Pencarian

Komplotan Bawah Tanah 1

Komplotan Bawah Tanah Karya Enid Blyton Bagian 1


Bab 1 LIBURAN "Halo, Roger!" seru si anak perempuan.
"Halo, Diana! Bagaimana sekolahmu kali ini?" sahut si anak lelaki. Mereka saling menyeringai. Kemalu-maluan. Selalu begitu bila mereka bertemu kembali di saat masa sekolah berakhir. Sesungguhnya mereka kakak-adik kandung, yang tampak pada kemiripan wajah mereka-wajah-wajah yang menggambarkan kekerasan hati, berambut gelap, dan dengan senyum hangat lebar.
"Keretaku tadi tiba dua puluh menit sebelum keretamu," kata Roger.
"Untung sekali bukan, masa liburan kita kali ini mulai pada hari yang bersamaan" Biasanya tidak begitu. Capai juga aku menunggumu. Kini kita harus menunggu Nona Pepper." Diana mengeluh, menyeret kopor, tas berisi raket tenis, serta sebuah bungkusan berwarna coklat besar. Roger juga membawa raket tenis serta kopor.
"Liburan ini pasti takkan begitu menyenangkan," kata Diana kemudian. "Ayah dan Ibu pergi. Kita terpaksa menghabiskan liburan di tempat
terpencil dengan diawasi oleh Nona Pepper lagi! Mengapa Ibu memilih dia" Mengapa kita tidak disuruhnya tinggal dengan Bibi Pam saja?"
"Sebab anak-anak Bibi Pam sakit selesma semua," kata Roger.
"Ibutakutkalau kita ketularan. Lagi pula Nona Pepper lumayan juga, sebetulnya ... Maksudku, ia cukup bisa mengerti saat-saat kita merasa sangatlapar. Ia mengertibahwa kita sangat suka pada sosis, salad, daging dingin, kentang bakar, eskrim, limun jahe ..."
"Oh, sudahlah, jangan diteruskan ... lapar perutkujadinya," kata Diana.
"Apa rencana kitahari ini, Roger" Yang kuketahui hanyalah bahwa kau
akan menunggu aku, kemudian kita akan menemui Nona Pepper. Di mana?"
"Kemarin aku menerima surat dari Ayah," kata Roger, sementara mereka berdua berusaha menembus ramainya orang-orang di dalam peron stasiun itu.
"Ayah dan Ibu menurut rencana akan berangkat hari ini dengan kapal laut, ke Amerika. Tadinya kita akan dititipkan pada Bibi Pam. Tetapi karena disana adawabah selesma, makalbuminta pada bekas pengasuhnya, Nona Pepper, untuk menemani kita di sebuah pondok kecil yang telah dibeliAyah di Rockingdown. Entah dimana tempat itu."
"Wah, seluruh liburan kita pasti terbuang sia-sia di sana," gerutu Diana.
"Sial benar!" "Mungkin tidak separah itu," sahut Roger.
"Tak jauh dari tempat itu ada sekolah menunggang kuda. Kemudian ada sebuah sungai yang mungkin bisa untuk bermain perahu. Pokoknya alam di sekitar tempat itu masih sangat menarik."
"Bagimu sih mungkin menarik, karena kau tergila-gila pada alam," kata Diana.
"Bagiku ... seperti dikubur hidup-hidup ditempatitu!Takbisa bermain tenis, tak ada pesta... dan si Snubby yang mengesalkan itu pasti akan ikuttinggal dengan kita di sana."
  "Tentu," jawab Roger, dan cepat-cepat minta maaf pada seseorang yang tak sengaja tersodok oleh tangkai raketnya,
"Oh! Maaf!" Dan kepada adiknya ia berkata,
"Ayo, keluar dari kelompok ini, Di. Rasanya kita berputar-putar terus dari tadi."
"Kita terbawa arus orang-orang yang akan naik kereta itu," kata Diana.
"Biarlah orang-orang ini lewat dulu. Lihat, itu ada bangku kosong. Mari duduk sebentar. Kapan kita bertemu dengan Nona Pepper?"
"Mungkin dua puluh empat menit lagi," jawab | Roger, melihat kejam dinding stasiun.
"Bagaima na kalau kita beli eskrim dulu?"
"Hei, pikiranmu tepat sekali dengan pikiranku!" seru Diana, langsung bangkit dari duduknya.
"Mari kita keluar sebentar. Pasti ada yang jual eskrim di luar sana. Ayo!" Dan sambil makan eskrim mereka meneruskan pembicaraan.
"Katamu tadi Snubby akan datang pula ke sana?" tanya Diana.
"Anak itu sungguh mengesalkan!"
"Ya, kau harus ingat bahwa ia yatim piatu," kata Roger.
"Sungguh suatu keadaan yang sangat tidak menyenangkan, tak punya ayah dan ibu. Ia terpaksa terombang-ambing dari satu keluarga ke keluarga lain bila musim liburan tiba. Dan kebetulan ia lebih suka tinggal dengan keluarga kita, Di. Sesungguhnya ia tak begitu buruk, asal saja ia bisa mengurangi tingkahnya yang gilagilaan itu."
"Yah ... sudah nasib kita, punya saudara sepupu saja begitu sinting .... Bahkan anjingnya pun sinting!" kata Diana.
"Oh, aku suka pada si Sinting," langsung Roger membela.
"Memang ia agak kurang ajar, tapi ia anjing spaniel yang manis. Lucu juga ia diberi
nama si Sinting. Dan memang ia sinting, namun cerdik sekali. Aku yakin ia akan membuat Nona Pepper angkat tangan nanti!"
"Ya, bisa sinting Nona Pepper menghadapi si Sinting. Kauingat apa kegemaran si Sinting" Pasti ia akan merajalela, menyembunyikan semua sepatu Nona Pepper, mempermainkan topi-topi terbaiknya dan ya ... pasti takkan aman gudang makanan. Boleh tambah lagi?" tanya Diana.
"Kalau saja Snubby seumur dengan kita, rasanya takkan sulit mengubah tabiatnya," kata Roger.
"Aku kini berumur empat belas, kau tiga belas. Dibandingkan dengan kita, maka Snubby yang baru sebelas tahun masih boleh dibilang seorang bayi."
"Tapi tak pernah ia berlaku sebagai seorang bayi," kata Diana, mulai memakan eskrimnya yang kedua.
"Tingkah lakunya lebih mirip tuyul atau setan cilik lainnya. Selalu saja ia berbuat hal-hal yang sangat nakal, dan ia pasti akan terus mengikuti kita. Oh, dengan adanya Snubby dan Nona Pepper, rusaklah masa liburan kita kali ini."
"He, lihat jam berapa!" kata Roger tiba-tiba.
"Ayo, cepat, bisa-bisa kita takkan bertemu dengan Nona Pepper. Biar aku minta bonnya."
Pelayan memberinya bon dan berdua mereka pergi kekasir untuk membayar. Saat mereka akan melangkah ke luar, Roger melihat bahwa tangan Diana kosong.
"Tolol. Raket dan tasmu tertinggal di meja itu. Selalu begitu. Sungguh pelupa. Heranjuga aku, kau masih bisa membawa barangbarangmu ke rumah setiap pulang."
"Sialan!" Diana bergegas kembali ke tempat mereka tadimakan eskrim. Sebuah kursi terpelanting tertubruk olehnya. Roger menunggu dengan sabar, tersenyum lebar.Adiknya ini memangsering tidak sabaran, dan sering sangat pelupa. Sering ia yang harus mengatur segala keperluan sang Adik. Tapi ia memangsangat sayang pada adiknya ini. la juga senang pada saudara sepupunya, Snubby, yang tingkah lakunya selalu menggelikan. Aneh. Dan biasanya dianggap nakal oleh orang lain. Roger yakin, dalam liburan ini ia harus berusaha keras mengendalikan Diana dan Snubby. Diana jelas marah dan sangat kecewa terpaksa menghabiskan liburannya dengan Nona Pepper di suatu tempat terpencil. Karenanya mungkin ia akan sulit diatur, serta pemarah. Snubby lebih-lebih lagi. Yang ditakuti oleh anak itu hanyalah ayah Roger. Tanpa sang Paman, dan hanya diawasi oleh
seorang wanita tua, Snubby pastiakan bersimaharajalela. Si Sinting, anjing Snubby, mungkin merupakan suatu persoalan tersendiri, yang juga cukup rumit. Sinting hanya mau patuh pada satu orang, yaitu pada Snubby. Dan anjing itu tak pernah lupa akan kebiasaannya menggigiti segala macam barang atau menyembunyikannya atau menguburnya dalam tanah. Sesekali anjing itu pun bagaikan gila, berlari kencang kesana kemari, naik turun tangga, keluar masuk setiap kamar yang ada sambil
terus-menerus menyalak sekeras suaranya - sehingga membuat gusar semua orang dewasa yang ada di sekitar itu.
Tetapi anjing itu sungguh cantik, pikir Roger, mengenang betapa mengkilapnya bulu hitam si Sinting, betapa lucunya daun telinganya yang begitu panjang sehingga selalu ikut terjurai ke tempat makanannya, dan betapa lembut pandang matanya. Sungguh beruntung Snubby memiliki anjing seperti itu. Sering Roger harus memukul si Sinting untuk menghukum kenakalannya, tetapi tak pernah ia betul-betul membenci anjing tersebut. Roger merasa senang bahwa kali ini Sinting akan menemaninya berlibur, walaupun itu berarti Snubby juga ikut.
"Kita harus menunggu Nona Pepper di bawah jam stasiun ini," kata Roger.
"Tinggal beberapa menit lagi .... Hei, lihat! Bukankah itu Nona Pepper?"
Ternyata benar. Kedua anak tersebut memperhatikan wanita tua yang ditunjuk Roger. Memang itu bekas pengasuh ibu mereka dulu. Kurus, jangkung, berpakaian rapi. Mata tua di balik kaca mata itu tampak bersinar cemerlang. Dan senyumnya sungguh manis saat Roger dan Diana bergegas mendekat.
"Roger! Dianal Akhirnya kalian muncul jugal Tepat pada waktu yang dijanjikan! Sudah setahun aku tak melihat kalian
, tapi kalian sama sekali tidak berubah!"
Nona Pepper mencium Diana dan berjabatan tangan dengan Roger.
"Nah, waktu tinggal sedikit sekali bagi kita untuk berangkat lagi ke stasiun tujuan kita," kata Nona Pepper kemudian.
"Bagaimana kalau kalian kubelikan eskrim" Ataukah kalian sudah merasa cukup besar untuk tidak makan eskrim lagi?" Wajah Roger dan Diana berseri seketika. Mereka tidak berkata bahwa mereka baru saja makan eskrim. Diana menyeringai pada Roger. Sungguh baik hati Nona Pepper. Pandai sekali ia mengambil hati kedua anak itu dengan selalu ingat bahwa mereka sangat suka pada eskrim, limun jahe, dan seterusnya.
"Di mana ya kita bisa beli eskrim tanpa harus pergi terlalu jauh?" tanya Nona Pepper, melihat berkeliling.
"Mmm... cobalihat, bukankah diluar stasiun ada restoran kecil" Mungkin ada eskrimnya," kata Roger.
"Ya, akuingat sekarang....Eskrimnya enak-enak lagi," kata Diana.
"Kau ingat tempatnya, Roger?" Tentu saja Roger ingat. Ia segera memimpin mereka memasuki restoran kecil yang baru saja mereka tinggalkan beberapa menit yang lalu. Mata Nona Pepper bersinar-sinar. Kedua anak itu tak tahu bahwa wanita tua tersebut sedang mengirangira berapa eskrim yang telah mereka makan sebelum ini. Kali ini Roger membawa adiknya dan Nona
Pepper ke meja lain, bukan yang didudukinya tadi.
" Ia tak mau kalau pelayan tanpa sengaja mengatakan sesuatu yang membuat
"rahasianya" terbongkar. Mereka segera memesan eskrim.
"Kapan Snubby tiba?" tanya Diana.
"Besok. Dengan kereta api,"jawab Nona Pepper.
"Hampir bisa dipastikan dengan si Sinting. Kalian tahu, aku tak suka pada anjing. Dan aku lebih tak suka lagi si Sinting ini. Kalau ada si Sinting, maka itu berarti aku harus menaruh semua sandalku, topiku, sarung tanganku di dalam lemari terkunci. Heran juga aku, betapa anjing itu bisa mencium benda-benda tersebut! Terakhir kali aku tinggal di rumahmu, aku sampai berpendapat bahwa si Sinting itu bisa membuka kopor! Apa saja yang kutaruh di dalam kopor tersebut, kemudian kukunci, selalu hilang ... dan kutemukan dibuat mainan oleh si Sinting!"
"Mungkin ia dibantu oleh Snubby," kata Roger.
"Liburan itu ia sungguh nakal. Sama sintingnya dengan anjingnya."
"Aku harap Pak Young akan mampu menjinakkan Snubby," kata Nona Pepper. Tiba-tiba kedua anak itu terdiam. Terkejut mereka memandang pada Nona Pepper.
"Pak Young!" seru Roger.
"Untuk apa?" "Untuk memberi kalian bertiga pelajaran tambahan," kata Nona Pepper, kini ganti heran.
"Apakah kau belum tahu" Mungkin kalau kalian belum tahu, pada surat berikutnya Ayah kalian akan menerangkan hal itu. Ayah kalian telah menelepon ke sekolah kalian masing-masing,
minta diberitahutentang raporkalian.latohtakkan bisa mengetahui isi rapor tersebut sebelum berangkat ke Amerika. Dan ternyata kau, Roger, harus mendapat pelajaran tambahan di bahasa Latin dan matematika. Dan kau, Diana, di bahasa Prancis dan Inggris."
"Wahhh! Sial betul!" seru Roger dan Diana bersamaan.
"Oh, kenapa" Pak Youngkan baik, dania pandai mengajar. Kalian kan sudah pernah diajar olehnya?"
"Wah, dia kaku sekali," geram Diana.
"Sungguh sial kita liburan ini. Takada Ayah, tak ada Ibu, mesti pergi ke tempat terpencil, ditambah lagi dengan diajari oleh Pak Young ..."
"Sudahlah, Di," tukas Roger yang takut kalau-kalau adiknya yang sedang marah itu kelepasan bicara dan menyinggung Nona Pepper juga.
"Kau tahu, semester Paskah yang lalu kita tak bisa bersekolah karena sakit campak. Kita tertinggal banyak memang. Lagipula aku memang bermaksud untuk belajar liburan ini"
"Ya ... tapi ... Pak Young! Dengan jenggotnya, dengan dengusannya, dengan
"Nonaku sayang"nya... Aku benci!" seru Diana.
"Aku akan menulis surat pada Ayah, akan kukatakan ..."
"Cukup, Diana!" tukas Nona Pepper dengan suara tajam.
"Apakah Snubby juga akan mendapat pelajaran tambahan?" tanya Roger, sementara di bawah
meja kakinya menendang kaki Diana agaramarah adiknya itu tidak meluap.
"Ya, sayang sekali rapornya sangat buruk ... Begitu laporan kepala sekolahnya," jawab Nona Pepper.
"Kurasa hal itu bukanlah sesuatu yang baru," gerutu Diana.
"Dan coba pikirkan ... bisakah Pak Young memberi pelajaran dengan Snubby ada di situ"Snubbyakan membuatapa saja berantakan!"
"Ada yang ingin tambah eskrim?" tanya Nona Pepper, melihat arlojinya. Kukira masih cukup waktu. Atau apakah kau terlalu gusar sehingga napsumu makan eskrim hilang?"
Ternyata biarpun marah, Diana merasa masih bisa untuk menerima eskrim dan limun jahe. Dan dengan eskrim itu maka ketegangan mulai mencair. Roger bercerita gembira tentang pengalamannya di sekolah. Untuk beberapa lama Diana masih murung, tapi lama-kelamaan ia pun bisa ikut tersenyum. Bagaimanapun liburan tetap liburan. Mungkin saja ia nanti akan merasa senang menjelajah daerah yang belum dikenalnya itu. Dan masih ada sekolah menunggang kuda itu. Serta berperahu di sungai. Pokoknya ia masih bisa bersenang-senang ... walaupun cuma sedikit.
"Sudah waktunya berangkat," kata Nona Pepper.
"Nanti kita makan di kereta api saja. Kuharap kalian suka itu. Kita akan sampai di Rockingdown sekitar waktu minum teh. Ayolah, Diana ... tak usah murung. Kau pasti gembira dalam liburan ini, seperti biasanya."
Bab 2 INILAH PONDOK ROCKINGDOWN
DEsa Rockingdown hanyalah desa kecil. Hanya ada
satu toko daging, satu toko roti, dan satu toko berbagai macam barang di situ. Di sekelilingnya terdapat beberapa tanah pertanian serta pondokpondok peristirahatan. Dari pondok yang akan mereka tinggali selama liburan ini, Roger dan Diana bisa melihatpuncak menara gereja dari balik pepohonan di kejauhan. Lonceng gereja juga terdengar nyaring dan jernih. Pondok itu ternyata cukup menyenangkan.
"Kurasa ini terlalu besar untuk disebut pondok," kata Diana, mulai menyukai apa yang dilihatnya.
"Lebih mirip sebuah rumah tua dengan begitu banyak kamar."
"Dahulu pondok ini merupakan suatu kesatuan dengan rumah gedung besar yang dari sini berjarak sekitar satu kilometer itu. Tanah tempat pondok ini berada adalah halaman gedung tersebut," Nona Pepper menerangkan.
"Rumah semacam ini biasanya disebut Rumah Janda."
"Mengapa?" tanya Diana.
"Rumah seperti ini khusus dibangun pada saat pemilik suatu gedung besar meninggal. Isterinya
harus menyerahkan gedung tersebut untuk ditempati keluarga anaknya, sementara ia sendiri akan tinggal di rumah kecil yang baru dibangun tadi, bersama para pelayannya. Ia kemudian disebut Nyonya Janda, sementara rumahnya ya Rumah Janda."
"Pondok ini pasti sudah sangat tua, ya?" tanya Diana, memperhatikan bagian-bagian kayu ruang makan tempat mereka kini makan makanan kecil sambil minum teh.
"Aku senang sekali pada tangga yang lebar itu, sertatangga kecil melingkar yang ada di dapur. Sungguh tempat yang sangat memuaskan untuk bermain sembunyi-sembunyian."
"Aku suka sekali tempat tidurku," kata Roger.
"Langit-langitnya begitu miring sehingga hampir
memotong lantai.Dan salah satu jendelanya telah ditumbuhi sulur-suluran liar."
"Aku suka pada lantainya yang naik turun," kata Diana.
"Lihat saja telundakan aneh dari dapur ke kamar ini. Aneh sekali." Justru lantai yang naik turun itu yang tak disukai Nona Pepper. Matanya rabun dekat, dan rumah aneh ini membuat ia terantuk, terbentur, dan tertubruk ke mana pun ia bergerak. Tapi mungkin karena ia belum biasa saja!
"Enak sekali kue-kue ini," kata Roger.
"Anda sendiri yang buat, Nona Pepper?"
"Astaga, tentu saja bukan ... Aku tidak begitu pandai memasak!" kata Nona Pepper.
"Ini buatan Ibu Round. Ia tinggal di desa dan setiap hari ia akan datang untuk membersihkan serta untuk memasak."
"Apakah ia mirip dengan namanya?" tanya Diana, yang merasa aneh ada orang bemama Nyonya Bundar. Round memangkata Inggris yang artinya bundar". Nona Pepper berpikir-pikir.
"Ya ... begitulah," katanya.
"la memang agak gemuk dan mukanya betul-betul bundar. Kurasa nama itu cocok
untuknya." Kue yang dihidangkan pada waktu minum teh
itu memang lez at-lezat. "Kue seperti ini yang palingkusukai," kata Diana sambil mengambil sepotong kue buah, untuk ketiga kalinya.
"Kita tak usah memilih-milih, tak harus mengira-ngira apakah di dalamnya ada
potongan buah atau tidak. Sebab potongan itu sudah ditaburkan di kue!" -
"Kau rakus benar, Di," kata Roger.
"Anak-anak seumur kalian memang selalu rakus," kata Nona Pepper. Hanya agak berbedabeda, tentu. Ada yang sangat rakus, ada yang sedikit rakus."
"Apakah aku sangat rakus?" tanya Diana mendesak.
"Kadang-kadang," jawab Nona Pepper dengan mata berseri-seri di balik kaca matanya. Roger tertawa terbahak-bahak melihat air muka Diana mendengar jawaban itu.
"Nona Pepper, Di dapat menghabiskan satu kaleng penuh susu manis seorang diri, sekaligus." Roger akan bercerita, tetapi tak jadi sebab Diana menendangnya di bawah meja.
"Aku pun kadang-kadang seperti itu, dapat menghabiskan sekaleng susu," Nona Pepper menyela. Kedua anak tersebut memandangnya heran. Rasanya tak mungkin orang serapi dan selangsing itu bisa begitu rakussehingga menghabiskan sekaleng susu seorang diri.
"Ayolah, cepat selesaikan makanmu. Aku akan membereskan barang-barangmu," kata Nona Pepper kemudian. Begitulah. Sehabis makan Roger dan Diana segera berangkat untuk menyelidiki keadaan rumah yang akan mereka tinggali tersebut, - sementara Nona Pepper membuka kopor-kopor | mereka serta menyimpan dan mengatur isinya.
Berulang kali wanita tua itu terpaksa berseru gemas melihat begitu banyaknya pakaian yang masih sangat kotor, robek, atau koyak. Apalagi bila semua itu dilihatnya pada pakaian Diana. Kalau melihat keadaan pakaian itu, orang bisa berpendapat bahwa disekolah Dianatak punya kegiatan lain kecuali menerobosi semak-semak berduri. Kalau Roger dan Diana saja pakaiannya seperti ini, bagaimana dengan pakaian di kopor Snubby besok" Hhhh! Anak-anak zaman sekarang benar benar tak dapat diatur!
Malam harinya Roger bertanya pada Nona Pepper,
"Apakah gedung tua itu kosong" Kami melihatnya dari kejauhan, dan tak terlihat ada asap sedikit pun. Seperti tak berpenghuni."
"Kurasa memang demikian, Roger," kata Nona Pepper,
"di mana saja kaus kakimu" Menurut catatan ini kau pergi kesekolah dengan membawa delapan pasang kaus kaki. Tapi aku hanya menemukan sepasang, penuh lubang, dan sangat kotor."
"Aku pakai sepasang. Jadi dua pasang," sahut Roger, berpikir-pikir.
"Nona Pepper," Diana mencoba mengalihkan pembicaraan,
"apakah kami boleh menyelidiki gedung tua itu seandainya memang tak berpenghuni?"
"Sebaiknya tidak," jawab Nona Pepper.
"Diana, dalam daftarmu tertulis kau membawa empat buah blus ..."
Diana lari meninggalkan tempat itu. Sungguh menjen
gkelkan, betapa orang-orang dewasa selalu bertanya tentang baju-baju dan pakaian begitu mereka pulang untuk berlibur. Bersama Roger ia
berlari ke lantai atas - kemudian dengan berjingkat-jingkat menuruni tangga dibelakang, ke kebun.
Nona Pepper beberapa saat kemudian menyusul ke atas, membawa daftarnya, untuk menanyakan sesuatu. Tetapi kedua anak itu telah lenyap. Diperiksanya kamar Diana, dan ia mengeluh. Kamar yang tadi begitu rapi diaturnya, baru satu jam yang lalu, kini telah berantakan! Malam itu Roger sangat gembira sewaktu pergi tidur. Tempat ini sungguh kaya akan burung," katanya pada Diana.
"Dan ada juga beberapa cerpelai di sini, di daerah ini! Suatu malam kelak aku akan berjaga-jaga di luar untuk melihat | binatang-binatang itu."
"Asalkau jangan minta aku menjaga dirimu dari mereka saja!" kata Diana, dan harus mengelak sebab Roger berpura-pura akan memukulnya.
"Kau seperti Snubby saja, suka mempermainkan kata-kata," kata Roger.
"Tak usah menirukan dia. Satu badut sudah cukup di sini."
Kamar tidur mereka berdampingan, di bawah
|- langit-langit yang miring mengikuti atap. Kamar
tidur Snubby di seberang kepala tangga, menghadap kebagian belakang rumah. Kamar untuk Nona
Pepper di bawah. Di suatu sudut di lantai bawah terdapat dua buah kamar lagi.
"Kita harus menjemput Snubby besok," seru Roger dari kamarnya sambil berganti pakaian.
"Dan si Sinting."
"Ya. Lebih baik berjalan kaki saja ke stasiun," kata Diana, melemparkan pakaiannya satu persatu ke lantai, walaupun ia tahu bahwa Nona Pepper pasti akan menyuruhnya mengambil pakaian pakaian itu lagi bila ia datang ke kamar itu untuk mengucapkan selamat tidur. Hanya tiga kilometer jaraknya. Jalan-jalan sedikit rasanya cukup menyenangkan. Kita bisa naik bis pulangnya, bila Snubby membawa banyak bawaan."
Keesokan harinya cuaca cerah. Kereta Snubby akan tiba pukul setengah satu.
"Kami akan menjemput Snubby," kata Roger pada Nona Pepper.
"Kalau tidak perlu benar, kurasa Anda tak usah ikut. Aku yakin banyak yang ingin Anda kerjakan di sini."
Jam dua belas mereka berangkat, berjalan kaki. Mereka memutuskan, jalan terpendek adalah menyeberangi halaman gedung tua yang kini sudah penuh oleh semak belukar. Ketika mereka sampai ke halaman tersebut, mereka baru tahu bahwa semak belukarnya lebih lebat dari dugaan mereka. Bahkan jalan setapaknya hampir tertutup oleh semak-semak berduri. Hanya jalan masuk ke halaman itu dan ke depan gedung tua tersebut yang agaknya pernah dirawat. Tapi ini pun mulai dilalap pula oleh semak-semak belukar. -
"Aneh juga," kata Diana.
"Mestinya siapa pun pemilik daerah ini, gedung ini, merawat tanahnya
dengan baik agar bisa dijual dengan harga tinggi, kalau ia tak suka tinggal disini. Wah, bagaimana aku harus menembus semak ini" Bisa hancur kakiku kena duri-durinya."
Dari beberapa tempat mereka bisa melihat - gedung tua itu, dari balik pepohonan. Tampak sunyi, sepi. Ngeri juga Diana melihatnya.
"Rasanya aku takkan tertarik untuk menyelidiki tempat itu," katanya.
"Pastilah penuh labah-labah dan entah binatang melata apa lagi. Dan penuh suara-suara menakutkan. Serta angin yang tiba-tiba bertiup entah dari mana. Sungguh tempat yang mengerikan."
Akhirnya mereka berhasil menyeberangi halaman amat luasitu dan sampai dipinggiran desa. Di desa mereka berhenti sebentar untuk membeli eskrim.
"Ah, kalian pastilah anak-anak yang menempati
Pondok Rockingdown itu," kata wanita tua yang
| melayani mereka. "Tempat itu sungguh menyenangkan. Aku ingat, Lady Rockingdown tinggal
di pondok tersebut setelah suaminya meninggal
dan putera mereka tinggal digedung besar dengan
| isterinya yang dibawanya dari Italia. Ah, zaman itu
begitu gemilang. Penuh dengan perburuan, pesta,
dan ramai-ramai khas para bangsawan. Kini daerah ini jadi sepi sekali."
Roger dan Diana mendengarkan dengan penuh | perhatian.
"Kemudian ke mana keluarga mereka pergi?" tanya Roger.
"Putera Lady Rockingdown tewas di medan perang, dan isterinya meninggal karena sedih hati," kata wanita tua itu.
"Tempat itu kemudian diwariskan kepada seorang kemenakannya. Tetapi pemilik baru itu tak pernah tinggal di situ, hanya menyewakannya. Kemudian pada masa perang, gedung itu dikuasai pemerintah. Kata orang digunakan untuk membuat sesuatu yang amat rahasia. Kami tak pernah bisa menduga-duga, apa yang dilakukan di tempat itu. Tetapi dengan berakhirnya perang, berakhir pula pekerjaan tersebut. Gedung tua itu ditinggalkan, dikosongkan, takterurus. Takadayang menginginkannya.... Terlalu besar serta angker. Ah, tapi dulu tempat itu begitu indah. Dulu aku sering pergi ke sana untuk membantu menyelenggarakan suatu pesta."
"Maaf, kami harus segera pergi. Kalau tidak, bisa terlambat nanti," kata Roger.
"Ayo, Di!" Dibayarnya eskrim, dan mereka berlari menuju stasiun. Mereka sampai di stasiun tepat pada saat kereta api memasukinya. Mereka berdiri diperon, menunggu munculnya Snubby dan si Sinting. Biasanya majikan dan anjing itu muncul dengan terjatuh dari gerbong yang mereka naiki.
Kereta berhenti. Seorang wanita tua keluar. Disusul seorang petani dan isterinya. Sudah. Tak ada lagi. Terdengar kepala kereta api mendengus dengus, siap untuk berangkat lagi. Roger berlari sepanjang rangkaian kereta, mencari-cari Snubby. Mungkinkah anak itu ketiduran"
Tak adalagi penump ang, kecuali seorang petani dan seorang wanita yang membawa bayi. Kereta itu pun berangkat. Satu-satunya pembawa barang di stasiun itu pergi keluar untuk makan. Kereta berikutnya baru akan masuk dua jam lagi. Lama juga baru Roger dan Diana mengetahui tentang hal ini. Sebab begitu pembawa barang itu pergi, stasiun itu kosong. Tak ada orang yang bisa mereka tanyai. Penjual karcis tak ada. Kepala stasiun tak ada. Ruang tunggu pun kosong.
"Sialan Snubby, pasti ia ketinggalan kereta!" gerutu Diana.
"Biasa! Mestinya ia bisa menelepon kita tentang itu, agar kita tidak susah payah pergi kemari." Akhirnya mereka berhasil menemukan jadwal kereta api. Sulit juga menelaah jadwal tersebut. Baru setelah berpikir sepuluh menit Roger tahu bahwa kereta api berikutnya baru akan datang nanti sore, dua jam lagi Jam stasiun menunjukkan waktu pukul satu lebih seperempat.
"Kita telah membuang waktu hampir satu jam di sini," kata Roger gusar.
"Mencari-cari Snubby, mencari-cari orang yang bisa kita tanyai, mencoba menerka-nerka apa kata jadwal ini... Marilah kita pulang saja. Kita naik bis saja. Mungkin bisa sampai di rumah sebelum waktu makan. Kata Nona Pepper, kita akan makan jam satu-tetapi kita harus sudah berada dirumah jam setengah satu." Tetapi ternyata bis baru akan datang satu jam | lagi. Mereka terpaksa jalan kaki.Padahal matahari
begituterik. Dan mereka lapar serta haus. Sungguh sialan si Snubby! Mereka baru sampai dipondokmereka jam dua. Dan ... ternyata Snubby sudah berada di meja makan, tampak sudah kekenyangan
"Halo!" sapa Snubby.
"Mengapa kalian terlambat" Apa yang terjadi?"
Bab 3 SNUIBBY - DAN SI SINTING DANA dan Roger tentu saja tidak bernapsu untuk dengan girang menubruk serta merangkul Snubby. Mereka begitu kesal! Tetapi si Sinting punya pikiran lain. Ia melesat menubruk Diana begitu keras sehingga anak itu hampir roboh. Kemudian ia menyalak-nyalak memekakkan telinga, melompat-lompat tak keruan.
"Hei, tunggu!" seru Roger, yang girang sekali melihat si Sinting. Si Sinting pun menjilati mukanya, merengek-rengek riang. Nona Pepper dengan gusar berkata,
"Diana! Roger! Kalian | sangat terlambat!"
"Bukan salah kami!" kata Dianakesal.
"Kamitak menemukan Snubby di stasiun. Kami menunggu dan menunggu, kemudian mencari tahu kapan kereta berikutnya tiba. Ini bukan salah kami!"
"Aku dan Nona Pepper telah makan siang," kata Snubby.
"Aku lapar sekali. Tak tahan lagi menunggu kalian."
"Duduklah, Roger-Diana," kata Nona Pepper.
"Snubby, panggil si Sinting!" Roger dan Diana duduk. Sinting melesat menubruk kaki Snubby dan melonjak-lonjak di
sekelilingnya, seolah-olah majikannyaitu juga baru kembali dari suatu perjala
nan jauh. "Masih sinting juga anjing itu," kata Diana, mengambil beberapa potong daging dingin.
"Snubby, apa yang terjadi?"
"Pasti kalian terlambat sampai di stasiun," kata Nona Pepper."Dan kalian tak melihat Snubby serta Sinting di jalan. Ini takkan terjadi kalau aku ikut menjemput tadi."
"Mereka memang kurang memperhatikan sekelilingnya," kata Snubby sambil mengambil buah kalengan.
"Maksudku, walaupun aku dan Sinting berjalan tepat di depan hidung mereka ... mereka pasti takkan mengetahuinya!"
Dengan marah Diana memelototkan mata pada Snubby.
"Jangan berlagak tolol!" katanya gusar.
"Tak mungkin kau lewat di depan kami tanpa kami ketahui!"
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Nona Pepper.
"Snubby, aku melarang kau memberi makan Sinting di ruang makan pada waktu kita makan! Kalau kau masih juga memberinya makanan di sini, maka ia tak boleh lagi masuk ruang makan!"
"Tapi kalau ia tidak boleh masuk, ia akan mencakari pintu sampai pintu itu rusak," kata Snubby.
"Tadi kukatakan baik Roger maupun Diana tak begitu tajam penglihatannya, Nona Pepper. Sungguh heran mereka tak melihatku. Atau Sinting." Sinting melompat-lompat setiap kali ia mendengar namanya disebut. Nona Pepper memutuskan
dalam hati bahwa ia takkan pernah menyebutkan nama anjing itu. la hanya akan menyebutnya sebagai
"anjing itu". Ampun! Keadaan pasti akan dua kali lebih sulit baginya kini, dengan munculnya anak yang begitu nakal serta anjing yang kurang ajar ini.
"Snubby, kau pasti tidak naik kereta api," kata Roger dengan suara dingin.
"Kau naikapa"Ayolah, katakan. Kalau tidak, kami tak akan mau
menjemputmu lagi." "Aku turun di stasiun sebelum Rockingdown, kira-kira enam kilometer dari sini," kata Snubby akhirnya.
"Kereta apiku harus berhenti hampir tiga perempat jam ditempatitu untuk menunggu jalan dibuka untuknya. Aku kesal. Turun. Naik bis kemari. Dan aku sampai di sini jam satu kurang seperempat."
"Oh, Snubby! Mengapa tak kaukatakan dari tadi?" seru Nona Pepper.
"Padahal kedua saudara sepupumu telah bersusah payah menjemputmu
ke stasiun. Dan kau telah membuat mereka terlambat makan, kelaparan, kahausan, lelah, dan
kesal!" Diana memandang marah pada Snubby.
"Betul-betul setan cilik! Setan cilik berambut kuning kemerahan, bermata hijau, berhidung pesek, dan pipi penuh bintik-bintik merah.... Entah bagaimana aku bisa senang tinggal bersamanya," katanya pada Roger seolah-olah Snubby tidak ada
di situ. "Pokoknya aku senang tinggal bersama kalian," kata Snubby, mengerut-ngerutkan hidung peseknya serta menyeringai lebar-lebar sehingga mukanya bagaikan terbuat dari kar
et. Matanya hampir lenyap di bawah alis matanya yang berwarna kuning kemerahan.
"Maaf, karena aku kalian jadi tampak begitu kesal. Aku betul-betul tak tahu bahwa kalian akan menjemputku. Aku tak terbiasa dengan sambutan yang begitu akrab. Bukankah begitu, Sinting?" Sinting meloncat-loncat dan mencakar-cakar paha Snubby, hingga kepalanya terbentur keras ke meja dan ia terpaksa mendengking-dengking kesakitan.
"Sinting ingin pergi ke luar," kata Snubby yang selalu menjadikansi Sinting suatu alasan bilamana ia ingin berjalan-jalan di luar tanpa ditemani siapa pun.
"Bolehkah, Nona Pepper?"
"Boleh," kata Nona Pepper, dalam hati bersyukur bahwa ia akan terbebas dari keduanya.
"Dan jangan bawa masuk dia ke dalam rumah nanti. Tinggalkan saja di kebun. Kemudian pergilah ke tingkat atas. Bantu aku membongkar bawaanmu. Kopor besarmu tadi pagi tiba." Diana dan Roger bisa menyelesaikan makan mereka dengan tenang. Roger menyeringai sendiri. Sungguh keterlaluan Snubby. Tetapi rasanya keadaan menjadi lebih ceria dengan kedatangannya-dan si Sinting. Diana diam-diam mengeluh. Iatak begitu gembira dengan kedatangan Snubby. Ia lebih suka bila Roger hanya bermain
dengan dirinya saja. Snubby sangat mengagumi Roger. Karenanya anak itu selalu mengikuti kakak Diana tersebut. Inilah yang membuat Diana kadang-kadang ingin sekali mengusir Snubby
pergi. Hari pertama Snubby di tempat itu berlalu | dengan tenang, dan hanya dikacaukan oleh dua hal: Snubby menemukan seekor kumbang badak
yang sangat besar serta bersikeras untuk memainkannya di meja makan, dan kemudian kedapatan bahwa kopor besar yang datang ternyata adalah milik anak lain, bukan miliknya.
Sementara itu Snubby dan Sinting telah menjelajah segala sudut tempat itu. Snubby paling | tidak suka bila diantarkan dan diberi tahu hal-hal yang belum diketahuinya di suatu tempat yang baru. Ia lebih suka menyelidiki dan mempelajari apa saja yang baru baginya tanpa bantuan orang lain. Sesungguhnya otaknya sangat cerdas. la pandai sekali menyembunyikan kecerdasannya itu di balik tingkah laku ketolol-tololannya serta berbagai muslihat lucunya yang tak pernah habis. Anak-anak di kelasnya mengaguminya, menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang harus selalu mereka ikuti. Tetapi para gurunya sangat kesal padanya, serta seolah-olah selalu berlomba lomba untuk membuat laporan buruk tentang hasil pelajarannya serta tingkah lakunya. Semua uang sakunya dihabiskannya untuk membeli eskrim, kembang gula - atau bendabenda untuk membuat suatu lelucon. Snubby-lah yang mula-mula memikirkan untuk menaruh pensil-pensil
"ajaib" di tempat alat tulis beberapa orang guru - pensil yang ujungnya bergoyang goyang bila dipakai menulis karena sebetulnya terbuat dari karet, pensil yang ujungnya langsung lenyap bila ditekankan untuk menulis, pensil yang
begitu keras sehingga bisa dipakukan kelantai dan tak bisa dicabut begitu saja.


Komplotan Bawah Tanah Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Snubby juga yang mengadakan percobaan dengan pelbau-pel yang bila dilemparkan keapi menyiarkan bau ikan busuk. Snubby juga yang berhasil memanjat menara sekolah sampai ke puncaknya. Semua kenakalan pasti dianggap dibuat oleh Snubby, walaupun ada kalanya yang berbuat orang lain! Tetapi Snubby tak peduli. Diterimanya semua hukuman. Tak peduli apakah memang ia wajib memperoleh hukuman itu ataupun tidak. Diterimanya dengan tabah dan gagah. Dan selalu diakuinya kesalahannya bila ia sudah tersudut.
"Ia memang sangat nakal, tetapi sesungguhnya ia seorang anak baik," kata kepala sekolahnya.
"Sayang sekali kedua orang tuanya telah tiada. Kalau saja keduanya atau salah seorang dari mereka ada, pasti Snubby akan menjadi murid terbaik, sebab ia seorang anak yang takkan mau membuat orang yang dicintainya kecewa. Kelak ia akan menjadi anak yang baik, aku yakin itu. Tapi saat ini ... ia benar-benar malapetaka!"
Snubby sangat gembira mendapat tempat bermain seperti Pondok Rockingdown ini, serta
halaman dan tanah tempat gedung tua berada. la akan punya banyak tempat untuk membuat gua persembunyian di tanah bagi dirinya ataupun si Sinting. Mereka bisa bermain bajak laut, pelaut terdampar, Indian, atau apa saja di antara semak belukar yang begitu lebat itu, atau di cabang cabang pepohonan yang tinggi - sebab Sinting juga tak keberatan diseret naik kesebatang pohon! Bahkan dibawa ke mana pun si Sinting takkan keberatan, asal majikannya tercinta itu ada di dekatnya. Pernah Sinting ikut meringkuk tak bersuara selama satu jam bersama Snubby di dalam bak sampah, saat Snubby akan mempermainkan seorang anak tukang daging. Snubby membuat rencana untuk menyelidiki gedung tua itu. Pastilah gedung tersebut dikunci, dipalang, ataupun dikancing. Namun Snubby yakin ia bisa masuk. Kalau Di dan Roger mau ikut, tentu saja lebih menyenangkan. Kalau tidak, ia akan pergi sendiri. Paling tidak, ia sangat mengharapkan Roger bisa ikut. Ia ingin menjadi sahabat akrab Roger. Baginya Roger memang sangat baik, tidak seperti Diana yang sering menyebalkan hatinya. Tetapi bagi Snubby memang semua anak perempuan menyebalkan. Snubby sangat terkejut sewaktu tahu bahwa ia akan memperoleh pelajaran tambahan dalam liburan itu. Diana yang memberitahukan hal itu padanya malam harinya.
"Kau tahu tidak, kau harus mendapat pelajaran tambahan dalam liburan ini?" tanya Diana.
"Pak Young akan mengajar kita." Sesaat Snubby tak bisa berbicara. Membelalakkan mata ketakutan.
"Kau pasti bohong," katanya.
"Tak seorang pun bisa menyuruhku belajar di masa liburan. Belum pernah kudengar hal begitu sepanjang hidupku!"
"Kau harus percaya hal itu," kata Diana.
"Ayah yang mengaturnya. Roger akan mendapat pelajaran tambahan ba
hasa Latin dan matematika. Aku, Prancis dan Inggris."
"Lalu aku apa?" tanya Snubby muram.
"Pasti semua pelajaran!" ejek Diana.
"Aku yakin kau masih belum hapal daftar perkalianmu. Dan dapatkah kau mengeja?"
"Sial. Awas kau, kubalas nanti," kata Snubby.
"Bagaimana kalau kutaruh satu-dua cacing di bantalmu?"
"Kalau kau masih juga bertingkah seperti anak kecil, akan kubanting kau. Kududuki kau dan kupukuli kau sampai kau tak bisa minta ampun lagi!" kata Diana marah.
"Kau tahu, aku lebih besar darimu, Kerdil!" Hal ini memang benar. Snubby bertubuh terlalu
kecil bagi anak seumur dia. Sebaliknya Diana bertubuh tinggi, kekar, dan kuat la pasti sanggup
melaksanakan ancamannya. Si Sinting muncul, berguling-guling di lantai Snubby menggelitiknya dengan kakinya, dan tiba-tiba anjing itu melompat mengambil sesuatu dari gang. Diana menjerit.
"Oh, dia membawa sikat rambutku, Snubby Ambilkan benda itu, cepat!" serunya.-
"Untuk apa" Bukankah kau tak pernah memakainya?" tanya Snubby tenang, lega kini bisa membalas saudara sepupunya.
"Apa gunanya kaudapat kembali" Lebih baik kaubiarkan si Sinting bermain dengan benda itu." Tapi akhirnya sikat rambut itu berhasil direbut kembali. Si Sinting diberi hadiah beberapa pukulan, sampai ketakutan bersembunyi di bawah meja, mengintip ke luar dengan matanya yang tampak murung itu. |
"Kau telah menyakiti hatinya!" kata Snubby.
"Biar. Sesungguhnya aku ingin lebih banyak lagi melukai dirinya," kata Diana.
"Lihat, sekarang aku terpaksa mencuci sikat rambut ini. Sialan Sinting! Kurang ajar!"
"Segalanya kurang ajar," gumam Snubby.
"Heran juga, mendapat pelajaran khusus dari Pak Young! Apakah ada yang lebih buruk dari itu?"
Bab 4 TIDAK JADI" TETAPI ternyata Pak Young tidak jadi datang untuk memberi pelajaran tambahan kepada ketiga anak itu. Dua hari setelah kedatangan Snubby - pada saat Roger, Diana, dan Snubby telah menyiapkan semua buku-buku sekolah mereka rapi-rapi di meja belajar, di saat suasana bagi mereka terasa sangat menekan - telepon berdering dengan nyaring.
"Biarlah aku yang menjawabnya, Nona Pepper. Aku saja!" teriak Snubby yang sangat gemar menjawab telepon dan berpura-pura sebagai salah seorang dewasa di rumah itu. Ia berlari menyambar telepon. Yang lain menunggu dengan perasaan bosan. Mungkin itu telepon dari pedagang daging yang tidak bisa mengirimkan dagingnya, sehingga salah seorang di antara mereka terpaksa harus pergi ke desa untuk mengambil daging tersebut.
"Ya, di sini Pondok Rockingdown," terdengar Snubby berkata.
"Oh ... siapa" Oh, Nyonya Young. Ya, ya, benar. Tentu, aku bisa menyampaikan pesan Anda. Tent
u, tentu. Astaga! Sungguh menyedihkan! Ya ampun! Bagaimana hal seperti
itu bisa terjadi begitu mendadak" Tapi dia sudah baikan, bukan" Syukurlah. Sayang benar. Ya, mudah-mudahan Anda bisa tabah menanggung semua itu, Nyonya Young. Sungguh suatu keadaan sulit tentunya bagi Anda. Tentu, tentu, aku akan menyampaikan pesan Anda. Pasti, jangan kuatir. Terima kasih kembali!" Menjelang akhir pembicaraan Snubby, baik Roger maupun Diana sudah mendekat, keheran heranan mendengar pembicaraan tersebut.
"Ada apa" Dengan siapa kau bicara" Dan kau berpura-pura jadi siapa, Snubby?"
"Aku tidak berpura-pura jadi siapa pun," sanggah Snubby dengan wajah berseri-seri.
"Aku hanya bersikap sopan, betul tidak" Dan aku kan | tidak menjanjikan apa-apa, hanya akan membantunya menyampaikan pesan! Begini ... Pak Young ternyata terserang usus buntu! la TIDAK BISA DATANG kemari! Nah, bagaimana pendapat kalian?" Roger dan Diana ternganga.
"Ya ampun! Dan kau berbicara tolol seperti itu?" tanya Diana akhirnya.
"Itu bukan pembicaraan tolol. Begitulah cara orang dewasa berbicara di telepon," kata Snubby.
"Aku betul-betul kasihan pada Pak Young .... la harus pergi ke rumah sakit dan dioperasi ...."
"Pasti dalam hati kau tidak merasa kasihan!" tegur Roger.
"Kau selalu berkata bahwa operasi usus buntu bukan apa-apa, karena kau pernah mengalaminya. Kau hanya pura-pura kasihan!
" Tetapi ... yah, apakah itu berarti kita takkan memperoleh pelajaran tambahan" Tentu saja peristiwa ini sangat menyedihkan bagi Nyonya Young, tetapi bagaimana dengan kita" Apakah itu berarti kita bisa bersenang-senang saja sepanjang liburan ini?" Sinting menyalak-nyalak hebat di sekeliling kaki mereka, merasa bahwa sesuatu yang menyenangkan akan terjadi. Nona Pepperturun dari lantaiatas.
"Ada apa ini" Tadi telepon dari siapa" Apakah dari tukang daging lagi?" tanyanya.
"Bukan," jawab Snubby.
"Dari Nyonya Young. Pak Young dirawat di rumah sakit karena terkena radang usus buntu. la tak akan datang kemari untuk memberi pelajaran tambahan pada kami."
"Ya ampun! Kasihan Nyonya Young. Mudahmudahan ia bisa tabah menghadapi peristiwa ini," kata Nona Pepper tepat mirip dengan lagu suara yang tadi digunakan oleh Snubby. Wah, kalau begitu kita jadi sulit nih ...."
"Mengapa?" kata Diana.
"Bukankah itu berarti bahwa kami tak perlu bersulit-sulit belajar?"
"Astaga! Tidak!" tukas Nona Pepper.
"Aku harus segera mencari seseorang untuk memberi pelajaran pada kalian. Entah siapa ... aku akan lihat nanti pada daftar guru-guru pribadi milikku. Snubby, hentikan si Sinting itu. Bisa habis permadani ini digigitinya. Sudah hampir separuh rusak olehnya sejak kedatangannya. Tolong sisakan yang separuh itu."
" Ia mengira permadani itu seekor kelinci, habis terbuat dari bulu sih," kata Snubby.
"Aku tak peduli apa yang dikirakannya," kata Nona Pepper.
"Pokoknya kau dengar kataku tadi. Bawa Sinting keluar. Akubosan melihatnya. Kukira sudah tiba waktunya bagiku untuk membeli sebuah cambuk. Cambuk yang kuat dan sanggup membuatnya kesakitan." Snubby ternganga, ketakutan. Apa" Cambuk untuk Sinting" Masa ada orang yang tega berbuat itu" Memukul dengan telapak tangan, ya tak apa. Tetapi cambuk!"
"Sinting telah membawa lari sikat perapian Nyonya Round," kata Nona Pepper lagi,
"dan entah disembunyikannya di mana. Kemudian, dua kali ia memasuki gudang makanan. Semua alas kaki diseretnya, dikumpulkannya di ujung tangga. Dan kalau sampai sekali lagi ia berani bersembunyi di kolong tempat tidurku, aku akan benar-benar membeli cambuk itu!" Sinting tiba-tiba bersin dan tampak sangat keheranan. Ia memang selalu sangat heran setiap kali bersin. Dan ia bersin sekali lagi.
"Kenapa dia?"tanya Nona Pepper heran.
"Lihat, di mana-mana ia bersin!"
"Mungkin ia terlalu banyak mencium merica","
kata Snubby tiba-tiba. "Ya, aku tahu. Pasti terlalu banyak merica. Merica selalu menggelitiki hidungnya. Memang di sini merica merajalela deh!" Nona Pepper memandang tajam padanya. Jangan kurang ajar, Snubby!" katanya, dan ia
( merica dalam bahasa Inggris: pepper Persis seperti nama Nona Pepper. Dalam arti kiasan, ini berarti: suka marah.)
keluar dari kamar itu dengan gusar. Roger tertawa terbahak-bahak oleh permainan kata-kata si Snubby. Snubby menyeringai lebar.
"Setiap kali Nona Pepper marah-marah, marilah bersin-bersin," kata Snubby kemudian.
"Ia akan merasa disindir dan tak akan mengganggu kita lagi. Sinting, keluarlah. Kalau tidak, bisa celaka kau. Dan jangan lagi bermain-main dengan sikat-sikat Nyonya Round. Lagi pula ia baik pada kita." Saat itu Nyonya Round muncul. Ia memang sangat mirip dengan namanya. Badannya bundar, wajahnya bundar bagai bulan purnama.
"Anjingmu itu," kata nyonya tersebut,
"entah di mana ia menyembunyikan sikatku. Dan kalau ia kuusir dengan sapu, dikiranya aku bermain-main dengannya. Sungguh mirip dengan namanya. Si Sinting memang sinting!"
"Hari ini masak kue apa, Nyonya Round?" tanya Snubby mengalihkan pembicaraan.
"Anda akan membuat puding air tebu" Wah, sungguhsungguh aku ingin Anda jadi juru masak di sekolahku. Setiap hari seluruh murid pasti bersorak-sorak memuji masakan Anda!" Wajah Nyonya Round berseri-seri. Malu-malu ia mengusap rambutnya.
"Wah, kau ini ada-ada saja! Begini. Jaga jangan sampai anjingmu itu masuk dapur, dan akan kubuatkan kalian panekuk dengan selai arbei. Bagaimana?"
"Sinting!Jangan sekali-sekali kau ber
animasuk ke dapur hari ini. Dengar?" kata Snubby tegas-tegas. Mendengar nada yang kurang biasa
didengarnya ini, Sinting takut juga. la merapatkan diri ke lantai dan ketakutan merayap mendekati kaki Snubby.
"Pura-pura saja!" kata Diana.
"Ia pandai sekali bermain sandiwara. Seperti kau, Snubby." Nona Pepper muncul, melihat si Sinting.
"Hei, kau masih di sini juga?" Si Sinting langsung melesat lari ke luar.
"Aku akan menelepon beberapa guru pribadi yang kukenal," kata Nona Pepper pada anak-anak itu.
"Kemasilah buku-bukumu. Hari ini tak ada pelajaran." Dengan gembira anak-anak itu mengemasi buku mereka. Setelah beberapa lama, Nona Pepper datang lagi.
"Nihil," katanya.
"Semua guru yang kutelepon tak ada yang bisa datang kemari. Ada yang sudah terikat kerja dengan orang lain, ada pula yang bepergian. Kita terpaksa pasang iklan kalau begitu."
"Oh, kukira tak usah begitu repot, Nona Pepper," kata Roger.
"Kasihan Anda.Akuyakin, Ayah sendiri takkan mau bila Anda sampai terlalu repot seperti InI.
"Kau keliru, Roger. Aku yakin ayahmu juga akan berbuat seperti aku," kata Nona Pepper. la langsung duduk dan menulis rancangan untuk iklannya. Kemudian dengan kesal anak-anak itu melihat rancangan iklan tersebut diposkan.
"Entah siapa yang akan kita dapati nanti," gerutu Diana.
"Kalau Pak Young, kita sudah kenal orangnya. Kita bisa membuat dia begitu banyak
berbicara, sehingga tak banyak yang harus kita lakukan. Tapi kalau guru yang baru kita kenal" Sial!" Tiga hari berikutnya, anak-anak itu bebas berbuat apa saja. Mereka berhasil menemukan sekolah menunggang kuda, dan Nona Pepper memesankan satu hari penuh berkuda, serta berkuda selama dua jam. Sungguh menyenangkan. Satu-satunya yang kecewa ialah Sinting. la benci melihatanak-anak itu berkuda,sebab lambat laun ia pasti tak kuat berlari mengikuti mereka dan terpaksa tertinggal. Seekor anjing besar milik sekolah menunggang kuda itu dengan mudah bisa berlari mengikuti lari kuda-kuda tersebut, dan anjing ini selalu memandang mengejek pada si Sinting setiap kali mereka bertemu. Ketiga anak tersebut juga menemukan sungai serta berhasil menyewa sebuah perahu. Ketiganya pandai berenang. Karenanya Nona Pepper tak kuatir mereka bermain-main disungai. Merekapun pergi menjelajahi daerah semak belukar serta hutan di dekat tempat mereka tinggal. Dengan penuh semangat mereka mencari burung-b aneh, kumbang-kumbang yang belum pernah mereka lihat, atau tumbuh-tumbuhan yang masih asing. Paling tidak, Roger dan Snubby-lah yang sangat bersemangat. Diana lebih banyak berjalanjalan saja. Menikmati bau padang rumput Mendengarkan nyanyi-nyanyi burung. Di hari ketiga, Snubby membuat suatu penemuan besar yang malah jadi bahan ejekan kedua
saudaranya. Saat it u Diana sedang duduk di tepi sungai, menunggu munculnya burung pemburu ikan. Roger berbaring di rumput, menutup matanya, mendengarkan pekikan burung layanglayang saat mereka menyambar permukaan air, memburu lalat. Snubby entah dimana. Ia telah merangkak pergi. Katanya untuk mencari anak-anak kelinci yang pernah dilihatnya bermain-main di sinar matahari. Tetapi tiba-tiba ia bergegas kembali.
"Hei, coba terka! Apa yang kulihat tadi?" tanyanya tegang.
"Kupu-kupu raksasa," sahut Diana tenang.
"Bunga liar," sahut Roger, tak bergerak.
"Bukan! Seekor monyet!" teriak Snubby.
"Ya, kalian boleh tertawa. Tetapi aku betul-betul melihat seekor monyet!"
"Jangan coba menjual isapan jempolmu pada kami, Snubby," kata Roger.
"Kami bukan kanak kanak lagi seperti teman-temanmu sekelas."
"Hei, aku betul-betul melihat seekor monyet tadi," kata Snubby bersikeras.
"Ini bukan isapan jempol! Monyet itu berada di puncak sebatang pohon, melompat turun, tapi kemudian melihat aku dan lenyap. Sinting tidak melihatnya, tetapi ia mencium bau monyet tersebut. Aku bisa mengetahui bahwa ia mencium sesuatu yang asing setiap kali hidungnya bergerak-gerak."
Diana dan Roger tak lagi mau mendengarkan kata-kata Snubby. Snubby terlalu sering mengalami hal-hal yang begitu luar biasa, yang tak masuk
akal. Pasti ini salah satu dari hal-hal tersebut. Diana menyuruhnya diam.
"Ssst, diam. Kudengar burung pemburu ikan itu .... Mungkin ia akan datang kemari."
"Kalian sungguh tak bisa percaya pada omongan orang," kata Snubby gusar.
"Padahal aku betul-betul melihat seekor monyet. Untuk apa kalian menunggu munculnya seekor burung!" Tak ada yang menyahut Snubby mendengus geram.
"Baiklah, aku akan pergi sendiri. Dan aku takkan berlari kembali pada kalian, meskipun misalnya nanti aku akan melihat seekor simpanse!" Snubby berangkat dengan si Sinting. Terdengar Roger mendengkur perlahan. Ternyata ia telah tertidur. Diana duduk dengan dagu bertopang pada lututnya. Dan kesabarannya ternyata mendapat hadiah: burung pemburu ikan itu tiba-tiba muncul, hinggap di dahan tepat di depannya, menunggu lewatnya seekor ikan di air di bawah dahan tersebut. Dengan muram Snubby menjelajahi hutan sendiri. Sinting berlari-lari kecil dekat kakinya. Ia tak habis-habisnya heran bagaimana kelinci-kelinci bisa hidup di lubang-lubang yang terlalu kecil untuk dimasuki seekor anjing sekecil dia. Tetapi tiba-tiba Sinting tertegun, menggeram dalam.
"Kenapa?" tanya Snubby.
"Oh, ada orang datangke arah kita" Ya, aku dengar sekarang.Wah, aku iri pada tajamnya pendengaranmu, Sinting .
Walaupun aku tak mengerti bagaimana kau bisa mendengar.... Lubang telingamu begitu kecil dan daun telingamu selalu menutupinya!"
Seseoran g berjalan mendekat. Bersiul-siul perlahan. Sinting menggeram perlahan lagi. Kemudian tampak orang itu oleh Snubby. Seorang anak berumur sekitar empat belas tahun. Kulitnya berwarna kecoklatan karena terlalu banyak kena sinar matahari. Rambutnya berwarna rambut jagung. Matanya begitu biru hingga mengejutkan juga melihatnya di wajah yang begitu gelap. Mata tersebut terpisah lebih jauh dari biasanya, dan dilindungi oleh alis mata panjang melengkung berwarna gelap. Senyumnya sangat bersahabat saat ia menyapa Snubby.
"Halo," katanya.
"Apakah kau melihat seekor monyet?"
Bab 5 IA BERNAMA BARNEY - MONYETNYA: MIRANDA
INILAH pertama kali ketiga orang anak itu berkenalan dengan anak aneh yang kemudian menjadi sahabat karib mereka. Saat itu Snubby masih terpukau oleh cemerlangnya mata biru di wajah gelap anak tersebut. Entah kenapa, ia langsung suka padanya.
"Hei, kenapa" Lidahmu tiba-tiba hilang?" tanya anak itu.
"Itu sih tak apa. Aku malah kehilangan monyetku. Kaulihat dia?"
Ia tidak berbicara dengan lagu yang pernah didengar Snubby. Mungkin dengan nada bicara orang Amerika. Tetapi ada sesuatu yang bukan bahasa Inggris di lagu bicaranya. Mungkin SpanyoIP Italia" Atau apa" Ia bahkan tidak mirip anak Inggris, walaupun matanya begitu biru dan rambutnya kekuningan.
"Oh, ya!" Snubby gugup menjawab.
"Ya, aku tadi melihat seekor monyet. Kira-kira lima menit yang lalu. Mari kutunjukkan tempatnya. Wah, apakah monyet itu betul-betul milikmu" Sudah lama aku ingin punya monyet. Yang kupunyai hanyalah seekor anjing."
"Tapi anjingmu cukup bagus," kata anak itu, membelai Sinting. Sinting langsung berguling di tanah, dan dengan keempat kaki di atas ia bergerak-gerak seolah-olah naik sepeda.
"Anjing cerdik," kata anak itu.
"Buatkan saja sebuah sepeda kecil untuknya." Ia berpaling pada Snubby.
"Lihat, betapa tangkasnya ia mengayuh, walaupun terbalik. Kalau kaubuatkan dia sebuah sepeda dengan empat pengayuh, maka kau bisa dapat uang banyak dengan mempertontonkan dia. Satu-satunya anjing yang naik sepeda di dunia!"
"Betulkah?"tanya Snubby penuh harap. Ia selalu percaya bahwa Sinting bisa berbuat apa saja. Anak itu tertawa.
"Tidak. Tentu saja tidak Ayolah, di mana kau lihat monyet itu tadi" Namanya Miranda. Dan ia sudah pergi dariku lebih dari satu jam." Miranda ditemukan di pohon dekat pohon di mana Snubby tadi melihatnya. Anak itu bersiul lembut dan si monyet melesat bagaikan tupai di antara dahan-dahan, langsung mendarat di tangannya. Dibelai-belainya monyettersebut, serta ditegurnya.
"Hei, dengar,"kata Snubby yang susah payah menahan Sinting agar tidak menyerbu si monyet.
"Sebenarnya aku tadi telah berkata pada kedua sa
udara sepupuku bahwa aku melihat seekor monyet. Tetapi mereka sama sekali tak percaya. Bisakah kau menyuruh monyetmu melakukan sesuatu untuk menggoda mereka?"
"Mudah saja," kata anak itu, memandang Snubby dengan mata biru cemerlangnya.
"Apa yang kauinginkan?"
"Entahlah .... Mungkin kau bisa menyuruh Miranda berjalan mengelilingi mereka kemudian kembali padamu" Kemudian aku akan datang pada mereka. Dan bila mereka berkata bahwa mereka melihat monyet, aku akan bersikeras tidak percaya."
"Terlalu gampang. Akan kusuruh Miranda menjatuhkan diri di dekat mereka kemudian melompat kembali ke pohon. Mereka pasti ketakutan."
"Oh! Bisakah kau menyuruh Miranda berbuat itu?".
"Tentu. Di mana kedua saudara sepupumu itu. Ayo, kita buat ramai mereka. Tapi jangan sampai mereka melihat kita."
Mereka menyelinap di antara semak-semak, menuju tepi sungai. Snubby menyuruh Sinting tak bersuara, dan berbaring diam-diam. Kepada anak itu ditunjukkannya Roger dan Diana. Sianak asing mengangguk. Berbicara perlahan pada Miranda. Miranda menjawab dengan suara mencereceh, kemudian melesat melompat ke pohon. Snubby menunggu dengan tegang. Sinting sangat heran melihat Miranda tiba-tiba lenyap di atas pohon.
Kucing memang bisa berbuat seperti itu, tetapi binatang ini tadi tidak berbau kucing sama sekali.
Miranda sudah sampai di cabang tepat di atas tempat Roger tidur dengan wajah tertutup topi. Miranda melompat dan jatuh tepat di dada Roger. Diana berpaling terkejut. Matanya membelalak lebar melihat monyet kecil itu. Tapi sebelum ia bisa berseru apa-apa, Miranda telah melompat kembali ke pohon dan lenyap.
Roger terbangun, bangkit duduk, terkejut.
"Apa yang jatuh di atas dadaku tadi?" tanyanya pada Diana.
"Seekor monyet," sahut Diana.
"Kecil, berwarna coklat."
"Oh, jangan bercanda," tukas Roger gusar.
"Kalau dengar omonganmu dan omongan Snubby, orang bisa mengira tempat ini penuh dengan monyet."
"Tetapi, Roger, tadi itu betul-betulmonyet!" kata
Diana. "Sudahlah, kau dan Snubby boleh berbicara
tentang monyet sepanjang hari, tetapi aku takkan percaya walaupun seandainya monyet itu kulihat dengan mataku sendiri."
Dan tepat saat itu ia melihat Miranda! Miranda duduk di bahu si Anak asing yang datang bersama Snubby, menyeringai lebar-lebar.
Roger terpaksa harus percaya kini. la sangat heran.
"Apakah itu monyetmu" Apakah ia jinak?"
"Tentu," kata anak itu.
"Kau jinak, Miranda?"
Miranda mencereceh. Tangan kecilnya menyelusup masuk ke leher baju tuannya.
"Jangan menggelitik," kata anak itu.
"Ayo, jabat tangan pada kawan-kawan ini. Berbuatlah sopan."
Si Si nting ternganga heran melihat Miranda dengan tenang mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengan Roger, Diana, dan Snubby. Anak asing itu pun duduk. Dan melihat Miranda kini dekat dengan tanah, Sinting langsung menyerbunya. Ia begitu iri.
Tetapi secepat kilat Miranda melompat dan hinggap di punggung Sinting. Ia berpegang erat-erat, hingga tak peduli betapa Sinting berlari-larian cepat ia tak bisa terjatuh. Miranda baru melompat turun saat Sinting mulai berguling guling di tanah.
Semua tertawa terbahak-bahak.
"Kasihan Sinting... belum pemah ia ditunggangi sesuatu ..." kata Diana.
"Siapa tadi namanya" Miranda" Nama yang aneh sekali."
"Mengapa?" tanya anak asing itu.
"Kukira itu nama yang sangat indah, saat pertama kali kubaca dibuku. Dan kukira cocok untuk Miranda. la cukup cantik, kan?" Ketiga anak itu sesungguhnya tak melihat kecantikan Miranda, tetapi mereka sepakat bahwa monyet kecil ini sungguhlucu dan manis. Lagipula sudah sepantasnya bila seorang pemilik seekor binatang menganggap binatangnya cantik.
"la manis, ya," kata anak itu lagi.
"Dan tangkas." Miranda berlompat berputaran di udara. Cepat sekali. Berulang-ulang, makin lama makin cepat. Sinting memperhatikannya dengan seksama. Tidak. Ini bukan kucing. Seingatnya tak pernah ada kucing berbuat seperti ini
"Siapa namamu?" tanya Roger yang juga langsung menyukai anak tersebut.
"Barney. Dari Barnabas."
"Di mana rumahmu?" tanya Snubby. Barney ragu-ragu sejenak.
"Saat ini tidak tentu," katanya.
"Aku selalu berpindah-pindah tempat." Anak-anak itu sedikit heran.
"Apa maksudmu" Apakah kau sedang mengembara dalam liburan ini?" tanya Diana.
"Boleh dibilang begitulah," kata Barney.
"Tetapi rumahmu sebenarnya di mana?" desak Snubby.
"Kau tentunya punya rumah tetap, bukan?"
"Jangan mendesak terus, Snubby," kata Roger melihat Barney sulit menjawab.
"Kurang sopan itu."
"Tak apa," jawab Barney, membelai-belai Miranda.
"Sesungguhnya aku sedang mencari ayahku." Ini terdengar semakin aneh.
"Apakah ibumutak tahu di mana ayahmu?" tanya Snubby.
"Ibuku meninggal tahun lalu," jawab Barney.
"Lebih baik kita tak membicarakan hal itu. Sebab aku juga tak banyak mengetahui tentang dirinya. Aku sedang berusaha tahu lebih banyak. Begini Ibuku ikut pertunjukan berkeliling - sirkus, pasar malam, dan sebagainya. la seorang pelatih binatang.Tadinya kukira ayahku sudah meninggal. Tetapi pada saat Ibu akan meninggal, ia berkata mungkin ayahku masih ada. Katanya ayahku seorang pemain sandiwara, khusus lakon-lakon karangan Shakespeare. Ibuku meninggalkannya setelah mereka kawin tiga-bulan. Jadi ayahku tak tahu bahwa aku ada."
"Kur asa tak baik kita berbicara tentang persoalan pribadimu," kata Roger segan.
"Takapa. Aku sudah lama ingin membicarakannya dengan seseorang," kata Barney.
"Hanya sampai saat ini tak ada yang aku ajak bicara. Sewaktu ibuku meninggal, aku jadi merasa sangat kesepian. Lalu aku berpikir untuk mengembara sendiri, dengan Miranda tentu. Siapa tahu aku akan mendengar sesuatu tentang ayahku. Aku ingin agar ada seseorang yang betul-betul dekat
-denganku, betul-betul milikku, walaupun mungkin
sangat mengecewakan hatiku."
"Aku tak punya ayah dan ibu," kata Snubby.
"Tetapi aku cukup beruntung. Aku punya banyak sekali sanak keluarga. Semua baik padaku. Aku akan sedih sekali kalau tak punya keluarga - hanya punya Si Sinting saja." Diana tak bisa mengira-ngira bagaimana rasanya bila ia tak punya ibu. la sungguh kasihan pada Barney.
"Lalu, bagaimana kau mencari makan?"
"Oh, banyak pekerjaan yang bisa kukerjakan," kata Barney.
"Selalu ada saja sirkus atau pasar malam tempat aku bisa mencari uang.Tak banyak yang tak bisa kukerjakan. Sering hanya dengan Miranda saja aku bisa melakukan suatu pertunjukan. Aku baru saja meninggalkan pasar malam di Northcotling. Kini aku menganggur, hanya mengembara saja bersama Miranda. Yang paling kuingini saat ini adalah buku-buku karangan Shakespeare. Aku ingin membacanya. Apakah kira-kira aku bisa meminjamnya dari kalian?" Snubby sangat heran. Masakan ada seorang anak menaruh perhatian pada drama karangan Shakespeare. Tetapi Diana langsung mengerti.
"Aku tahu! Kau ingin mempelajari drama-drama yang pernah dimainkan ayahmu!" katanya.
"Kau ingin tahu apa saja yang disukai ayahmu, peran-peran yang dimainkannya!"
"Memang betul," kata Barney senang.
"Aku baru membaca salah satu di antaranya. Tentang badai
dan kapal yang terdampar. Di situlah kuperoleh nama Miranda."
"Oh, ya... Badai?" kata Roger.
"Cukup baik untuk permulaan kau menyukai karya-karya Shakespeare. Apakah kau betul-betul ingin membaca semua dramanya" Mungkin agak sulit bagimu. Tetapi bila kau memang berminat, bisa kupinjamkan beberapa padamu."
"Terima kasih," kata Barney.
"Di mana kau tinggal?"
"Di Pondok Rockingdown," kata Roger.
"Apa kau tahu tempatnya?"
Bamey mengangguk. "Saat ini kau tinggal di mana?" tanya Diana. Sungguh aneh baginya, ada orang tanpa rumah.
"Oh, dalam cuaca baik seperti ini aku bisa tidur di mana saja," kata Barney.
"Di bawah tumpukan jerami, di gudang, bahkan di pohon dengan Miranda, asalkan kuikatkan badanku di salah satu dahannya."
Diana melihat arlojinya dan berseru,
"Wah! Kalian tahu sekarang jam berapa" Sudah lewat waktu mi
num teh! Nona Pepper pasti akan sangat kuatir!"
Anak-anak itu bergegas berdiri
"Kalau kau datang ke rumah kami, bersiullah, dan kami pasti keluar menemuimu," kata Roger.
"Akan kusiapkan buku-buku yang kauinginkan itu."
(The Tempest, salah satu karya Shakespeare)."Baiklah. Sampai jumpa besok," kata Barney, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Dan Miranda juga ikut melambaikan tangan.
"Aku sangat suka padanya," kata Snubby kemudian.
"Bagaimana kau, Roger" Dan matanya sungguh aneh, ya"la lebih mirip mmm... makhluk halus! Hiiii. Mungkin bukan begitu maksudku ... tapi ia sungguh aneh."
Memang. Yang lain juga merasa bahwa ada sesuatu yang aneh pada Barney. Entah kenapa anak itu seperti kesepian dan selalu sedih, tetapi toh ia sangat riang dan mudah tertawa. la tampak liar, tetapi gerak-geriknya cukup sopan secara sangat wajar!"Mudah-mudahan kita bisa bersahabat dengannya," kata Roger.
la tak tahu bahwa harapannya itu akan terkabul. Barney memang akan menjadi sahabat erat mereka semua!.
Bab 6 ADA PAK KING - DAN SUATU PIKIRAN MENARIK
Kejadian berikutnya adalah: Nona Pepper memperoleh guru pribadiuntuk ketiga orang anak itu! Anak-anak sedang membantu Nyonya Round membereskan bekas sarapan saat terdengar bel pintu depan berdering. Nyonya Round cepat-cepat membuka pintu. Beberapa saat kemudian ia kembali dan berkata pada anak-anak itu,
"Ada orang ingin bertemu Nona Pepper. Namanya King."
Diana bergegas memanggil Nona Pepper yang kemudian membawa tamunya ke ruang belajar. Lama juga mereka ada disana. Dan ketika akhirnya pintu terbuka kembali, Nona Pepper berkata pada anak-anak itu,
"Anak-anak, ini Pak King. Pak King, ini anak-anak yang kuceritakan itu. Ini Roger, ini Diana, dan ini saudara sepupu mereka, Peter."
Roger dan Diana agak heran juga mendengar Snubby dipanggil Peter. Mereka hampir lupa bahwa memang itulah nama anak berhidung pesek tersebut, yang mendapat julukan Snubby karena hidungnya. Pak King tersenyum. la bertubuh sedang, bahkan sedikit kekar, berumur
sekitar tiga puluh lima tahun. Rambutnya sudah mulai banyak putihnya, dan garis bibirnya tegas.
"Kelihatannya mereka tak begitu nakal," katanya. Nona Pepper tersenyum.
"Kelihatannya saja begitu," kata Nona Pepper.
"Anak-anak, kami sedang mengatur agar Pak King bisa tinggal bersama kita dan memberi kalian pelajaran tambahan sesuai dengan kehendak ayah kalian." Sial. Senyum anak-anak itu lenyap. Mereka memperhatikan Pak King lebih teliti kini. Dan Pak King memperhatikan mereka. Apakah anak-anak itu menyukainya" Atau tidak" Snubby memutuskan dalam hati bahwa ia tak suka pada orang ini. Diana masih belum bisa memutuskan. Roger merasa
kalau ia bisa kenal lebih lama, mungkin ia bisa menyukainya. Yang jelas, mereka jadi sangat kecewa. Kini tiap pagi mereka harus belajar, padahal tiga hari ini mereka begitu bebas.
"Pak King akan mulai memberi pelajaran Senin yang akan datang," kata Nona Pepper.
"Bolehkah si Sinting ikut masuk ke kamar belajar?" tanya Snubby. Pak King tampak terkejut.
"Er ... siapa?" tanyanya kebingungan, mengira-ngira apakah yang dimaksud adalah seorang anak lain yang mungkin tidak normal.
"Anjingku," kata Snubby. Dantepat pada saat itu Sinting muncul seperti biasanya, bagaikan badai menyerbu masuk. Bagaikan roket ia melesat masuk, menubruk setiap orang seolah-olah sudah
setahun ia tak melihat mereka. Ia bahkan berguling-guling di dekat kaki Pak King sebelum sadar bahwa itukaki orang yang belum dikenalnya. Begitu sadar ia langsung melompat berdiri dan menggeram.
"Oh, jadi ini si Sinting," kata Pak King.
"Kukira tak ada salahnya ia berada di kamar belajar, asalkan tak mengganggu kita."
Saat itu juga Snubby memutuskan bahwa ia bisa menyukai Pak King. Nona Pepper cepat-cepat menukas,
"Kalau saya Anda, saya tidak akan tergesa-gesa menjanjikan sesuatu," katanya dengan pandang memperingatkan. Dan Pak King mengerti
"Oh, ya, tentu saja ... itu tadi bukan janji bahwa Sinting pasti boleh berada di kamar belajar," katanya. Dan karena saat itu si Sinting sedang berusaha mengunyah-ngunyah tali sepatunya, dengan cepat ia menambahkan,
"Kita harus memberinya masa percobaan."
"Alangkah senangnya bila Miranda boleh ikut juga," kata Snubby.
"Miranda itu seekor monyet, Pak King, dan sangat menyenangkan." Pak King memutuskan untuk pamitan saja sebelum ia terikat janji untuk memberi masa percobaan pada monyet itu.
Sepeninggal Pak King, Nona Pepper berkata pada anak-anak itu,


Komplotan Bawah Tanah Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pengalaman dan suratsuratnya sungguh sangat mengesankan. la pasti bisa menjadi guru yang baik. Kalian akan mulai hari Senin ini. Dan kalau sampai kudengar laporan
buruk tentang dirimu, Snubby, si Sinting akan kukurung di dalam kandang anjing, dan tak boleh masuk lagi ke rumah." Ancaman ini sungguh menakutkan, sebab yang ini besar kemungkinan bisa dilakukan dengan mudah oleh Nona Pepper. Snubbybiasa tidur satu tempat tidur dengan anjingnya, dan si Sinting pasti akan merana bila harus tidur sendirian di luar. Snubby tak berani membantah. Tetapi tiba-tiba ia bersin kuat-kuat, dua kali, dan pura-pura gugup mencari sapu tangannya,
"Hatsssih! Hatsss ... oh,
maaf, Nona Pepper ... Hattssssihhh!"
"Kau masuk angin, Snubby?" tanya Nona
Pepper. "Sudah kukatakan kemarin malam, mestinya kau pakai mantel ...."
"Bukan ... bukan masuk angin ...." Snubby mengel
uarkan selembar sapu tangan yang sangat kotor, menekap hidungnya dan bersin lagi,
"Hatssssiiiiiih ... maaf... mungkin .... ada merica masuk hidungku!" Nona Pepper mendengus dan keluar dari ruangan itu. Diana dan Roger tertawa terpingkalpingkal. Si Sinting ikut gempar, berlari berkeliling dengan kecepatan penuh.
"Sinting menirukan kuda balap!"kata Snubby. Ia menaruh sapu tangannya dan berkata pada Sinting,
"Sudah, Sinting, kau telah melewati garis akhir tiga kali. Berhenti!"
"Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanya Diana, menumpuk piring-piring untuk dikemasi nanti oleh Nyonya Round.
"Mari kita selidiki gedung tua itu," kata Roger.
"Tanyakan pada Nyonya Round, apakah ada jalan untuk masuk ke sana. Aku ingin sekali masuk ke dalam, dan membayangkan bagaimana keadaannya di masa lalu."
Ternyata Nyonya Roundtak tahu banyak.
"Lebih baik jangan dekati gedung itu," katanya.
"Kata orang, pernah seorang anak muda masuk kesana dan tak bisa keluar lagi. Bisa saja hal ini terjadi pada kalian. Pintu-pintunya banyak yang berbahaya ... bisa tertutup sendiri dan mengunci. Dan di dalamnya sudah penuh dengan berbagai binatang, seperti labah-labah dan berbagai macam serangga. Sebuah tempat yang sangat menyeramkan. Dibayar satu juta pun aku takkan berani masuk ke sana."
Kedengarannya mengerikan, tetapi ini malah merangsang rasa ingin tahu anak-anak itu. Mereka langsung memutuskan untuk mengadakan penyelidikan hari itu juga. Bila Barney datang, mereka akan mengajaknya juga.
Dan Barney memang datang. Siulan lembutnya terdengar. la muncul dengan Miranda di bahunya. Miranda langsung melompat ke jendela yang terdekat, mengintip ke dalam. Saat itu Nyonya Round sedang menyapu, dan Miranda memperdengarkan suaranya.
Nyonya Round mengangkat muka, sangat terkejut melihat seolah-olah Miranda akan melompat padanya. Dengan cepat ia menutup jendela tersebut, hampir saja menjepit hidung si monyet.
Dengan geram Nyonya Round mengacungkan tinjunya pada Miranda yang kini sangat terkejut itu. Dan Nyonya Round memanggil Nona Pepper,
"Nonal Datanglah kemaril Lihat, apa yang dibawa anak-anak ini!"
Nona Pepper bergegas datang, mengira anakanak itu telah membawa ulat atau tikus atau kumbang untuk menakut-nakuti Nyonya Round. Mereka sering sekali menaruh binatang-binatang seperti itu di kamar masing-masing, hingga membuat Nyonya Round yang kemudian menemukannya jadi setengah mati ketakutan. Nona Pepper juga sangat terkejut melihat Miranda, yang kemudian lenyap bersembunyi.
"Begini saja ... kalau mereka mulai membawa monyet ke rumah ini... baiklah... aku akan pergi," kata Nyonya Round megap-megap,
"Anjing sinting aku bisa terbiasa, juga kumbang dan lainnya...tapi monyet,terima kasih. Setelah itu pas
ti mereka akan membawa gajah."
Nona Peppersegera keluar menemui anak-anak itu. Saat itu Miranda sudah berada di bahu Barney. Barney mengangguk sangat sopan saat diperkenalkan oleh Roger,
"Nona Pepper, ini Barnabas, dan ini Miranda, monyetnya. la sungguh manis, bukan?"
Nona Pepper menahan diri untuk tidak memberi tanggapan. Menurut pengalamannya, monyet selalu penuh dengan kutu dan suka menggigit orang. Dengan curiga ia memperhatikan Miranda.
"Kuharap kalian tidak membawanya masuk," kata Nona Pepper.
"Manis atau tidak, lebih baik ia tinggal di luar saja."
"Baiklah, Ibu," kata Barney.
"Memang tidak semua orang suka pada monyet."
Miranda melihat pada Nona Pepper dengan pandang mata sedih. Seperti pandang mata Sinting bila kadang-kadang menatapnya. Nona Pepper jadi salah tingkah, mengapa binatangbinatang selalu bersikap begitu padanya" la bergegas ke dapur, mengambil sebuah ketimun serta mengiris-irisnya panjang-panjang di piring. Dibawanya piring tersebut ke tempat anak-anak tadi.
"Monyet suka ketimun," katanya.
"Berikan ini padanya. Tetapi bawalah dia ke taman. Dan hati-hati, jangan sampai ekornya digigit Sinting."
Ekor Miranda memang tergantung rendah, dan Sinting sejak tadi mengawasinya dengan rasa ingin. Kelihatannya enak sekali untuk dikunyahkunyah. Tiba-tiba ia melompat. Namun Miranda lebih cepat, melompat ke bahu Barney dan langsung ke kepalanya, mencereceh ketakutan.
"Sinting! Kalau sampai kau berani menggigit ekor Miranda, maka akan kusuruh dia menggigit ekormu!" bentak Snubby. Sinting langsung duduk menyembunyikan ekornya, seolah-olah ia mengertiapa yang dikatakan oleh Snubby. Barney tertawa terpingkal-pingkal sehingga semua ikut tertawa. Nyonya Round bahkan membuka jendela dan
melongok ke bawah untuk melihat apa yang lucu itu.
"Ayolah," kata Roger pada Barney,
"kita ke taman saja. Oh, tunggu. Nona Pepper, Barney sangat gemar membaca karya Shakespeare. la telah membaca Badai, dan kini ingin meminjam salah satu karya Shakespeare. Menurut Anda, apa yang cukup menarik baginya?"
Nona Pepper sangat heran. Anak baru ini sungguh aneh. la punya monyet, matanya begitu biru, dan kini ternyata ia gemar drama Shakespeare yang biasanya tak begitu menarik bagi anak-anak sebayanya sebagai buku bacaan. Entah dari mana anak ini, nanti akan ditanyakannya pada Roger.
"Mmmm ... kukira ia bisa mencoba Impian di Musim Panas", kata Nona Pepper akhirnya.
"Oh, ya, ceritanya sungguh indah," kata Diana.
"Aku pernah ikut mementaskannya disekolah. Aku berperan sebagai Titania."
Mereka pergi ke taman, dan duduk-duduk di dalam semacam gardu di situ. Sinting berbaring di lantai, terus mengawasi ekor Miranda. Miranda sangat nakal
. la berlompatan dari punggung Snubby ke punggung Barney, dan ekornya seolah-olah dilupakannya. Tetapi ekor itu selalu tepat di luar jangkauan Sinting. Ia juga berhasil mencopet sapu tangan Diana, dan segumpal gula-gula dari saku Snubby. Dengan gembira ia
(Midsummer Night's Dream, salah satu karya Shakespeare.)
kemudian menjilati gula-gula tersebut, tetapi setelah beberapa lama sisanya dilemparkannya pada Sinting.
"Kau tak boleh makan gula-gula, Sinting," perintah Snubby.
"Kau tahu apa yang terjadi dulu itu."
"Apa yang terjadi?" tanya Bamey tertarik.
"Rahang atas dan bawahnya lekat, tak bisa dibuka lagi," kata Snubby.
"Ia begitu ketakutan hingga langsung lari ke luar, entah ke mana, tak kembali lagi selama berjam-jam. la baru kembali setelah gula-gula itu mencair di mulutnya dan habis. Sepanjang hari itu ia sangat ketakutan. Dan itulah satu-satunya hari dimana ia tidak nakal dari pagi sampai malam."
"Miranda hanya menjilati gula-gula itu," kata Barney.
"Kurasa Miranda memang lebih cerdik," kata Diana,
"Sinting memang tolol."
"Mari kita katakan pada Barney apa rencana kita," kata Roger.
"Barney, kita bermaksud menyelidiki gedung tua yang puncak-puncak cerobong asapnya terlihat dari sini itu. Saat ini gedungtua tersebut kosong, tak berpenghuni. Dan
banyak sekali cerita-cerita aneh sehubungan dengannya. Kami merasa akan sangat menyenangkan untuk menyelidikinya."
Mereka semua berdiri. Juga si Sinting yang
menggoyang-goyangkan ekornya penuh harap. Apakah rnereka akan jalan-jalan" la tak senang bila
hanya duduk-duduk seperti ini. Sungguh membosankan. Mereka berangkat. Sulit sekali menembus semak-semak yang melingkari gedung tua tersebut. Tetapi dengan memperkeras hati, mereka maju terus.
"Agaknya kita harus menggunakan kapak," keluh Roger.
"Tapi kita sudah hampir sampai ke jalan masuk mobil, dan dari sana mestinya jalan akan lebih mudah. Lihat. Gedung itu lebih terlihat kini. Besar sekali, ya?" Memang. Bagaikan istana raksasa. Cerobong cerobong asap tinggi menjulang. Jendela-jendela bagaikan mengintip ke luar, sebagian besar tertutup oleh tanaman liar. Dan suasananya begitu sunyi mengerikan.
"Ayolah, kita selidiki bagian dalamnya," ajak Roger.
"Alangkah hebatnya pengalaman kita ... kalau kita bisa masuk ke sana!"
Bab 7 "NYELIDIK' Keempat anak itu sampai di depan gedung tua tersebut. Seekor burung gereja yang tiba-tiba melesat dari semak-semak di dekat situ membuat mereka terkejut terlompat.
"Sunyi sekali," kata Roger.
"Bahkan angin pun rasanya tak berani bertiup di sini."
"Seram sekali," kata Diana.
; Mereka sampai ke telundakan di pintu depan. Telundakan dari batuitu disana-sini telah retak dan ditumbuhi rerumputan. Salah satu pasangan batunya goyah saat diinjak Roger. Agaknya semennya juga sudah hancur.
"Pasti memerlukan biaya selangit untuk memperbaiki ini semua," kata Diana.
"Tapi. aku masih bisa membayangkan betapa ceria dan cemerlangnya tempat ini dahulu, saat semuanya dirawat baik-baik dan ditinggali"
Pintu depan berdaun pintu dua buah, penuh dengan ukiran logam, yang kebanyakan sudah sangat berkarat. Tak ada pengetuk pintu, tetapi sebuah penarik lonceng terlihat tergantung di samping pintu tersebut.
Tentu saja Snubby merasa bahwa benda itu khusus dibuat untuknya. Ditariknya. Terasa sangat berat sehingga ia harus mengerahkan segenap tenaganya. Dan tiba-tiba suatu suara berdentang terdengar jauh di dalam gedung tua tersebut. Begitu mendadak dan mengejutkan sehingga Snubby langsung melepaskan pegangannya. Sinting menyalak-nyalak bagai gila, mencakar cakar pintu.
"Ampun! Rasanya copotjantungku!"seruDiana.
"Siapa percaya bel itu masih bisa bekerja setelah sekian puluh tahun" Aku yakin semua tikus di dalam rumah ini setengah mati ketakutan. Sungguh tolol kau, Snubby. Untuk apa kau menarik tali lonceng pintu setiap kali kautemui benda itu" Bisa-bisa rusak kaubuat."
"Toh itu tidak banyak berarti, rusak atau tidak," bantah Snubby.
"Kurasa tak ada orang lain yang sudi membunyikan bel di sini kecuali aku." Di pintu tak ada tempat surat, sehingga anak-anak itu tak bisa mengintip ke dalam. Tetapi ada retakan di daun pintu, dan lewat retakan ini anak-anak tersebut bisa mengintai ke bagian dalam yang luas dan suram. Seram. Semuanya tertutup debu tebal. Dindingnya penuh sarang labah-labah. Terlihat sekali betapa tempat itu telah mati. Di kejauhan di dalam ruangan itu tampak telundakan ke tingkat atas. Roger mengguncang-guncang pintu. Tetapi ia tak bisa membuatnya bergerak barang satu sentimeter pun. Ia pun tak mengharapkan pintu itu
bisa dibuka dengan mudah. Barney mentertawakannya.
"Hanya seorang raksasa saja yang bisa membukanya," katanya.
"Ayo, kita periksa jendelajendelanya. Begitu banyak, mungkin ada yang terbuka." Mereka pergi ke bagian timur gedungtua itu. Di situ terdapat jendela-jendela sangat besar. Kacanya sangat kotor berdebu, tetapi mereka dapat mengintip ke dalam. Pastilah kamar yang mereka intip itu tadinya sebuah ruang pesta. Sangat luas dan sangat indah. Di dinding masih terlihat bekas-bekas cermin besar. Beberapa cermin masih terpasang, tetapi sudah pecah-pecah. Di salah satu cermin itulah anak-anak tersebut melihat bayangan wajah mereka sendiri. Dan ini membuat mereka terloncat mundur ketakutan.
"Gila! Kukira ada orang lain yang mengintai kita!" kata Diana.
"Ternyata bayangan kita sendiri.
Ruang ini dahulunya pasti sangat indah. Lihat, benda apa yang tertumpuk di pojok itu?"
Roger memperhatikan benda yang ditunjuk Diana.
"Mungkin kursi rusak," katanya.
"Kau ingat, menurut kata orang tempat ini selama perang digunakan untuk suatu maksud rahasia.Akuyakin, ruang ini merupakan salah satu ruang yang digunakan untuk itu. Di sana itu tampaknya kursi-kursi untuk perwira, atau semacam itulah."
Mereka menyusuri dinding gedungtua tersebut. Mengintai dari jendela ke jendela, mengintai ke ruang-ruang yang suram, penuh debu dan sunyi.Suasana begitu mencekam, sehingga baik Miranda maupun si Sinting juga tak banyak tingkah. Akhirnya mereka sampai ke pintu depan lagi. Tak satu pun jendela yang mereka dapatkan tak terkunci. Tak satu pun jendela retak atau pecah. Ada beberapa jendela yang dipalang rapat dengan kayu-kayu, mungkin jendela-jendela ini pecah. Tapi anak-anak itu tak bisa merasa yakin tentang itu. Jendela-jendela di tingkat atas juga begitu. Terkunci rapat atau dipalang rapat
"Lihat itu," tiba-tiba Diana berkata.
"Di atas sana itu ada dua kamar yang jendelanya berterali. Pastilah itu kamar untukanak-anak. Waktuaku dan Roger masih anak-anak, jendela kami juga dipasangi terali seperti itu. Dahulu kami sangat benci pada terali tersebut."
Snubby menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas pada jendela-jendela yang ditunjukkan oleh Diana. Agak sulit, sebab jendela-jendela itu sangat tinggi.
"Coba lihat ... kalau tak salah jendela-jendela itu ada tirainya! Coba kalian lihat," katanya mendesak.
Barney mempunyai daya pandang paling tajam di antara mereka. Mata birunya tertuju pada jendela-jendela di kamar anak-anak itu. "Ya," katanya heran.
"Ada tirai di sana, walaupun tampaknya sudah koyak-koyak."
Mereka semua memperhatikan jendela-jendela itu. Si Sinting juga. Miranda tiba-tiba melompat meninggalkan bahu Barney, melompat ke sulur
suluran di dinding, mental ke bingkai sebuah jendela, mengayunkan diri ke suatu balkon kecil, dan sampailah ia di bingkai jendela ruang anak-anak itu.
"Wah, alangkah senangnya kalau aku bisa berbuat seperti itu," kata Snubby penuh kagum.
"Aku bahkan sangat heran kau tak bisa melakukannya," goda Roger.
Mereka semua memperhatikan Miranda. Tibatiba Miranda terlihat menyelinap di antara terali jendela ... dan masuk! Semua menahan napas.
"Ke mana dia?" tanya Diana.
"Masuk kamar itu!" kata Barney.
"Tetapi ... bukankah tempat itu berkaca?" tanya Roger.
"Agaknya sudah tak ada kacanya," kata Diana.
"Kalau ada kan Miranda tak bisa masuk. Sungguh aneh."
"Tunggu!" Barney memperhatikan jendela di atas itu. "Ya, tampak olehku kini, salah satu jendela itu kacanya pecah. Ada lubang di s
ana. Mungkin dilempar sebuah batu. Lihat, itu Miranda keluar."
Miranda keluar, melihat ke arah bawah. Tampak ia melambaikan tangan.
"la berkata, ia baru menemukan sesuatu yang sangat menarik," kata Barney.
"Nah, ia masuk lagi. Apa ya kira-kira yang ditemukannya?"
Miranda muncul lagi. Kali ini tangannya memegang sesuatu. Diulurkannya benda tersebut agar semua tahu.
"Lemparkan kemari, Miranda," perintah Barney. Dan benda tersebut meluncur turun, jatuh di dekat kaki Diana, langsung disergap Sinting. Tapi Diana cepat merebutnya, menunjukkannya pada yang lain.
"Sebuah boneka! Boneka kain kuno. Lihat, percaya tidak! Heran! Bagaimana Miranda bisa menemukannya di kamar atas itu!"
"Miranda suka boneka," kata Barney, memeriksa boneka tersebut. Diguncangkannya hingga debu beterbangan, diperhatikannya.
"Mungkin di atas sana masih banyak lagi benda-benda seperti ini." Dan bagaikan bisa membaca pikirannya, Miranda lenyap lagi ke dalam kamar, keluar lagi dengan membawa sesuatu benda lain. Ia mencereceh sebentar, kemudian melemparkan benda tersebut. Barney sigap menangkapnya. la berseru, memperlihatkan benda itu pada teman-temannya,
"Mainan prajurit naik kuda! Indah sekali ukirannya!"
"Ya ... warnanya masih tampak," kata Roger.
"Wah, sungguh indah mainan anak-anak zaman dulu. Aku tak pernah punya mainan seperti ini."
"Pastilah ini diukir dengan tangan," kata Diana. Mereka mengagumi keindahan benda itu, kemudian melihat keatas lagi. Miranda sedang melemparkan sesuatu! Kini sebuah buku. Berantakan saat dilemparkan, halaman-halamannya tersebar di udara. Diana berhasil mengumpulkan beberapa lembar.
"Wah, aneh benar buku ini," katanya.
"Persis seperti buku-buku kuno yang dikumpulkan oleh Nenek. Buku-buku Nenek ada yang berumur lebih dari seratus tahun! Kupikir ... aneh bukan bahwa di kamar itu masih ada tirainya" Dan mainan mainannya" Bagaimana pendapatmu, Roger?"
"Aku tak tahu," kata Roger.
"Mungkin pada waktu rumah ini disewakan, kamar anak-anak di atas itu terkunci. Mungkin untuk menjaga kenang-kenangan yang ada pada kamaritu.... Kau tahu, orang dewasa kadang-kadang aneh. Ingat tidak, Ibu masih menyimpan sepatu pertamamu, gigikuyang pertama kali tumbuh.... la sama sekali tak mau kehilangan benda-benda seperti itu."
"Ibu-ibu memang seperti itu," kata Diana.
"Mungkinibuanak-anak ini taktega melihatkamar anak-anaknya digunakan oleh orang lain, tak tega bila mainan anak-anaknya hilang, maka kamarnya dikunci terus. Mungkin kamar itu sendiri sudah dilupakan orang. Gedung ini begitu besar, pasti tak banyak yang tahu persis berapa kamarnya."
Miranda muncul lagi. Barney berteriak,
"Sudah, Miranda! Jangan ambil lagi!"
T api sesuatu melayang ke bawah, melayang layang ringan. Selembar sapu tangan kecil. Diana menangkapnya. Di sudut sapu tangan tersebut tersulam sebuah nama.
"Bob". Hanya itu. Tidak lebih. Anak-anak itu memeriksa tulisan tersebut. Siapakah Bob" Apakah kini ia sudah dewasa - ataukah ia sudah meninggal" Mereka taktahu. Mereka membayangkan seorang anak lelaki kecil yang disuruh ibunya
atau pengasuhnya untuk memakai sapu tangannya, sapu tangan yang bertuliskan namanya. Diana hampir bisa mendengarkan suara-suara itu....
"Jangan mendengus, Bob sayang Gunakan sapu tangan kecilmu, yang ada namamu .... Bukankah sapu tangan itu kuberikan padamu tadi pagi" ...
"Turunlah, Miranda!" seru Barney. Ia berpaling pada teman-temannya.
"Ia pasti akan melemparkan ke bawah semua benda yang ditemuinya di sana, kalau tak segera kusuruh turun," katanya.
"Dan entah masih ada benda apa saja disana itu.... Aku yakin kamar di atas itu masih lengkap dengan berbagai perabotan... tempat tidur dan semacamnya .... Aneh, bukan?"
Miranda melompat turun. Sungguh mengherankan, bagaimana ia bisa selamat sampai di bawah. Tampaknya ia hanya menyentuh tembok di sana-sini.
Sinting menyambutnya dengan menyalaknyalak hebat. Ia merasa iri Miranda bisa melakukan banyak hal yang sama sekali tak bisa dilakukannya. Kini Miranda sudah duduk di bahu Barney, memegang kupingnya dan membisikkan sesuatu. Barney menggeleng-gelengkan kepalanya keraskeras.
"Jangan! Geli!"
"Akan kita apakan barang-barang ini?" tanya Diana.
"Ini kan bukan milik kita."
"Kita toh tak bisa mengembalikannya," kata Snubby.
"Kecuali kalau Miranda kita suruh
melakukannya. Dan akuyakin Miranda tidak cukup cerdik untuk berbuat seperti itu."
"Oh, siapa bilang!" kata Barney.
"Miranda bisa melakukan apa saja yang aku suruhkan. la sangat pandai Kalian tak tahu betapa pandainya dia. Kalau saja orang tahu akan kepandaian Miranda, seluruh kepandaiannya, mereka pasti akan menawarnya satu juta rupiah. Dan aku takkan mau melepaskannya!"
"Satu juta!"Snubby ternganga, begitu juga yang lain. Mereka memandang penuh kagum pada monyet kecil itu.
"Satu juta!" ulang Snubby.
"Aku yakin, itu lebih banyak daripada hargaku."
"Oh, tentu, Snubby. Bila orang menaksir hargamu, maka harga Miranda sembilan ratus ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan sembilan per sembilan rupiah lebih banyak dari hargamu. Nah, berapa hargamu kalau begitu?" goda Roger. Snubby tak bisa menjabarkan angka sebanyak itu. la pura-pura memperhatikan jendela di atas tadi.
"Kalau saja aku bisa memanjat ke sana ... alangkah senangnya!"
"Sesungguhnya itu mudah," kata Barney.
"Asal kau sungguh-sungguh berusaha
, pasti bisa!" Bab 8 AKAL BARNEY "Apa maksudmu?" tanya Roger.
"Kita takkan bisa naik kesana....Lihatsaja, tingginya tiga tingkat,tiap tingkat lebih tinggi dari biasanya .... Pakai tangga pun kita takkan bisa sampai di sana. Itu kalau kita punya tangga. Dan kenyataannya kita tak punya."
"Kalaupun punya, akan terlalu berat untuk membawanya kemari," kata Diana, teringat betapa beratnya tangga terpanjang di rumahnya, saat ia dan Roger mencoba mengangkat tangga tersebut.
"Tak usah pakai tangga," kata Barney.
"Pakai tali." Semua memandang heran pada Barney.
"Pakai tali?" tanya Roger.
"Bagaimana kau bisa memasang tali di atas sana" Untuk itu kau perlu tangga." Barney tertawa.
"Bukan begitu. Aku tinggal menyuruh Miranda naik ke sana membawa tali. la bisa melakukan apa saja yang kuperintahkan." Mereka masih belum mengerti. Barney menyeringai.
"Jelas kalian belum pernah hidup di kalangan sirkus," katanya.
"Di sirkus hal-hal seperti ini hanyalah persoalan sepele. Begini, kalaukita punya tali, salah satu ujungnya kuberikan pada Miranda.
Miranda membawanya ke jendela di atas sana itu. la membelitkan ujung tali tersebut ke terali di jendela sana itu, dan melemparkannya ke bawah, ke kita. Dengan demikian kita sudah memiliki tali ganda, yang berbelit di terali jendela tadi. Kita bisa mencoba kekuatan teralijendela itu hanya dengan menarik tali tersebut."
"Dan bila ternyata cukup kuat, kita memanjat ke atas dengan pertolongan tali itu," kata Roger.
"Wah, itu akal bagus! Tetapi ... kurasa aku takkan bisa memanjat setinggi itu. Di sekolah memang aku yang terbaik dalam olahraga memanjat tali, tapi memanjat setinggi itu rasanya di luar kemampuanku."
"Aku bisa melakukannya," kata Barney.
"Di sirkus aku sudah menguasai berbagai kepandaian dengan tali .... Bahkan berjalan mundur di tali terentang tinggi pun aku bisa!"
Anak-anak itu semakin kagum pada Barney.
Betulkah ia bisa berjalan ditali atau kawat"Snubby
memutuskan dalam hati untuk minta diajari
kepandaian itu. Sudah terbayang olehnya ia
memamerkan kepandaian tersebut di depan
kawan-kawan sekolahnya. Betapa mereka akan ternganga!
"Memanjat tali bukanlah soal sulit," kata Barney.
"Yang penting, apakah terali di jendela itu cukup kuat untuk digantungi.Dan juga, apakah kita punya tali" Aku tidak."
Roger tak yakin, apakah di Pondok Rockingdown yang ditinggalinya ada tali. Atau tangga. i
"Kalau di rumah tidak ada, kita bisa beli," - katanya.
"Wah, menegangkan juga ya nantinya" | Bagaimana, Barney, kaupikir kita bisa masuk ke sana?"
"Tentu," kata Barney.
"Miranda dengan mudah bisa membawa tali itu. la tahu cara membelitkan- nya di terali. la sudah sering melihatnya di sirkus. - Kemudian aku akan naik, untuk melihat-lihat. Kalau di atas sana itu ada lubang yang cukup besar untuk masuk Miranda, pasti cukup besar untuk , masuk tanganku. Dan aku bisa membuka jendelanya. Dan sangat mudah bagiku untuk masuk."
"Kalau begitu, ayo kita beli tali," kata Diana bersemangat.
Dengan Sinting yang berlari bagaikan gila di depan mereka, keempat anak itu keluar dari halaman penuh semak belukar tersebut. Mereka melalui jalan masuk ke halaman itu, karena memang itulah jalan terdekat ke desa. Mereka memutuskan tak usah mencari-cari di Pondok Rockingdown, sebab itu bisa menarik perhatian Nona Pepper yang pasti takkan henti-hentinya menanyakan untuk apa mereka mencari tali.
"Orang-orang dewasa memang terlalu cerewet dan terlalu curiga," kata Snubby.
"Bahkan bila aku tak berbuat apa-apa mereka malah mendesakku, menanyakan apa yang aku pikirkan."
"Kalau tentang kau sih memang sepantasnya begitu," kata Diana,
"sebab kau selalu berbuat hal-hal tolol. Omong-omong, kau bukan yang menaruh sandalku diatas lemari" Kucari-cari lama sekali baru ketemu."
"Kutaruh di situ agar tidak diambil si Sinting," kata Snubby.
"Tak usah begitu kan bisa. Tutup saja pintu kamarku bila kebetulan terbuka. Sinting takkan bisa masuk," kata Diana.
"Masa tiap hari aku harus menghabiskan waktu untuk mencari sandal." Anak-anak itu memutuskan untuk membeli eskrim di toko serba ada satu-satunya di desa itu. Mereka duduk di satu-satunya meja di toko tersebut dan dilayani oleh wanita tua pemilik toko, yang juga satu-satunya pelayan di situ.
"Sudah kerasan di Rockingdown?" tanya wanita tua tersebut.
"Di pondoknya mungkin enak, ya" Tidak seperti di gedung tua yang penuh dengan cerita-cerita aneh itu."
"Cerita-cerita aneh bagaimana?" tanya Roger, membayar eskrimnya.
"Oh, aku tak ingin kalian ketakutan dengan cerita-cerita tersebut," kata wanita tua itu.
"Gedung tua itu seolah-olah kena kutukan jahat. Berbagai kesialan terjadi di sana." Rasanya ini akan menarik.
"Apa yang terjadi?" tanya Roger.
"Oh ... beberapa orang meninggal... dua orang
anak ..." "Dua orang anak" Salah satu bernama Bob?"
tanya Diana. "Hei, aneh sekali. Kau tahu namanya." Wanita tua itu heran."Ya, Tuan muda Robert. Dan adiknya, Nona Arabella, jatuh dari jendela kamarnya. Dan meninggal. Tinggal Tuan muda Robert. Jendela kamar mereka kemudian dipasangi terali. Tetapi toh kemudian Tuan muda Robert terkena demam berdarah dan meninggal."
"Lalu bagaimana?" tanya Diana, sesaat setelah mereka hening terpukau oleh c
erita itu. Oh, si Bob kecil, yang sapu tangannya kini ada di dalam sakunya. Ternyata ia tidaksempat tumbuh menjadi dewasa. Tetapi sapu tangannya masih ada. Juga bukunya. Dan mainannya.
"Kamar mereka langsung ditutup begitu saja," kata si wanita tua, mengingat-ingat.
"Pengasuhnya diberi perintah untuk tidak menyentuh apa pun di kamar itu. Semuanya dibiarkan apa adanya. Kamar itu dikunci begitu saja. Oh, pengasuh tersebut bagaikan orang gila. Ia juga sangat mencintai kedua anak tadi."
"Bagaimana dengan ayah-ibu mereka?" tanya Roger.
"Lord Rockingdown terbunuh dalam perang," wanita itu menjawab.
"Ya, dan istrinya meninggal karena terlalu sedih.... Suami dan kedua anaknya mendahuluinya .... Tetapi, bukankah ini sudah kuceritakan pada kalian" Oh, lebih baik aku tak membosankan kalian dengan ulangan ceritakuitu. Rumah itu kemudian diwariskan pada saudara sepupunya. Tetapi pemilik baru itu tak pernah datang kemari."
Anak-anak membayangkan apa saja yang terjadi di masa lalu, di gedung tua tersebut. Diana merasa sedih. Dibayangkannya, betapa gembiranya keadaan di rumah tersebut. Pesta ria, perburuan, memilih kuda untuk kedua anak kecil itu, merencanakan apa saja untuk masa dewasa mereka.
Tetapi mereka tak sempat dewasa. Masa-masa bahagia itu lenyap. Kini gedung indah mereka menjadi gedung tua, sepi dan tak ada yang merawat. Hanya kamar anak-anak itu yang masih menyimpan kenangan tentang keluarga kecil itu.
Sementara itu mata Diana melihat berkeliling. Toko kecil namun penuh sekali isinya. Rasanya tak akan ada yang tak bisa dibeli di sini. Betul-betul
serba ada. Ember, kursi lipat, selang air, panci, periuk, permadani, pecah belah ... semuanya ada. Ditumpuk begitu saja disana-sini. Berbagai barang tergantung di langit-langit. Atau ditumpuk di rak-rak.
"Apakah Anda bisa tahu persis barang-barang apa saja yang ada ditoko ini?"tanya Diana.
"Begitu banyak ... Mungkin Anda tak tahu semuanya."
"Ah, kenapa tidak?" Wajah keriput wanita tua itu berseri-seri.
"Semuanya aku tahu, dan aku tahu tempatnya yang tepat."
"Kalau begitu, coba, apakah Anda tahu dengan tepat di mana tersimpan tali yang panjang dan kuat?"
"Tali" Tunggu sebentar." Ia mengerutkan kening.
"Ah, ya, rak kedua di sebelah kiri, dekat ke ujung. Pasti di sana."
"Akan kuambil sendiri. Tak usah Anda berdiri," kata Barney,"apalagi memanjat rak-rak tinggi itu."
Rak kedua hampir mencapai langit-langit tingginya. Barney melompat ke atas rak tersebut, menemukan segulung tali dan melompat kembali, lincah bagaikan seekor kucing.
"Wah, betapa menyenangkan usia muda." Si wanita tua sangat kagum.
"Kau begitu tangkas.
Mengapa tidak bekerja di sirkus saja?"
  Anak-anak saling pandang dan menyeringai, tetapi tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Wanita tua itu memeriksa tali tadi dan bertanya,
"Untuk apa sih tali ini" Yang ini agak
mahal. Tetapi cukup kuat Mungkin kalian bisa menggunakan yang agak murahan."
"Oh, rasanya ini cukup sesuai untuk keperluan kami," kata Diana.
"Bayarlah, Roger." Roger membayar. Dalam hati ia merasa beruntung karena ini awal liburan, dan itu berarti uang sakunya masih cukup banyak. Mereka berpamitan. Lonceng gereja berbunyi keras.
"Setengah satu," kata Diana.
"Takada waktu lagi untuk pergi menyelidik. Kita bertemu lagi sore ini, Bamey."
"Baik," kata Barney.
"Bagaimana dengan makan siangmu?"tiba-tiba Snubby bertanya, sadar bahwa Barney tidak punya rumah di mana masakan sedap menunggu.
"Aku akan beli roti dan keju," kata Barney.
"Dan Miranda akan kubelikan sebuah jeruk. Ia sangat suka jeruk."
Setelah berjanji untuk bertemu jam setengah tiga, Barney dan Miranda meninggalkan anak-anak itu. Diana memutuskan untuk meminta bekal agak banyak pada Nona Pepper nanti, agar bisa dibagi dengan Barney.
la menguatirkan Barney. Apakah enak tidur di bawah tumpukan jerami di malam dingin" Apakah uangnya cukup untuk membeli makanan" Bagaimana kalau hujan" Apa yang dilakukannya" Agaknya bajunya juga hanya satu, yang selalu dipakainya. Sungguh kasihan dia, berdua dengan seekor monyet mengembara terus. Tak terasa Diana memandang ke langit.
"Rasanya akan hujan lebat," katanya pada yang lain.
"Mudah-mudahan Nona Pepper masih" memperbolehkan kita bermain di luar sore ini."
"Kurasa hujan baru akan turun di malam hari," kata Roger, memperhatikan awan di langit.
"Sore ini kita agaknya aman. Tetapi nanti malam pasti badai mengamuk." Nona Pepper cukup gembira karena kali ini mereka pulang tepat pada waktunya. Bau masakan sedap sudah memenuhi rumah.


Komplotan Bawah Tanah Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sosis ... bawang ..." kata Roger.
"Mudahmudahan ada keripik kentang ...." Memang ada. Tomat goreng juga. Anak-anak itu lapar, dan dengan lahap menghabiskan masakan masakan lezatitu. Alangkah senangnya bila Barney juga bisa makan seperti ini, pikir Diana. la membayangkan betapa anak itu duduk di tepi sungai, entah di mana, mengunyah sepotong roti dan keju, dan disampingnya Miranda makan jeruk.
"Tak apa," pikirnya kemudian.
"Sore ini ia akan ikut menikmati makanan kami ... dan suatu petualangan yang asyik!"
Bab 9 BARNEY NAIK SETENGAH tiga Barney muncul, bersiul di luar rumah.
"Itu anak yang punya monyet, Roger," kata Nona Pepper.
"Kuharap saja ia anak baik-baik. Aku tak ingin kau berteman dengan anak yang memberimu k
ebiasaan buruk." Roger menyeringai.
"Yang mungkin terjadi adalah Snubby mengajarinya kebiasaan buruk," katanya.
"Barney anak baik, Nona Pepper. Bolehkah suatu kali kuajak ia makan di sini agar Anda bisa memperhatikannya sendiri?"
"Ya, itu suatu pikiran bagus," kata Nona Pepper.
"Yah, kalau ia sudah menunggu, lebih baik kalian segera berangkat saja. Telah kusiapkan bekalmu. Di jendela dapur. Mintalah pada Nyonya Round." Snubby langsung lari ke dapur, diikuti oleh si Sinting.
"Roundy, Roundy!" teriaknya.
"Di mana Anda" Apakah bekalnya sudah siap?" Nyonya Round mengangkat muka dari cangkir tehnya.
"Jangan sembarangan kau, memanggilku
"Roundy" seperti itu," katanya.
"Bukankah sudah kukatakan padamu hal itu, Tuan cerewet?"
"Roundy rasanya manis sekali terdengar," kata Snubby sambil sesaat memeluk wanita gemuk itu.
"itu panggilan kesayangan. Kurasa Anda pasti tak keberatan."
Sesungguhnya Nyonya Round memang tak keberatan. la menganggap Snubby anak nakal saja, dan tak peduli apa yang dikatakan atau dilakukannya. la bahkan mulai baik pada si Sinting, walaupun anjing itu masih gemar menyembunyikan sikat-sikatnya.
"Kau dan anjingmu sungguh cocok," kata Nyonya Round setelah merapikan rambutnya, bekas
"serangan"Snubbytadi.
"Turunlah, Sinting! Di mana kausembunyikan sikat permadaniku" Tunggu sampai sikat itu ketemu, dan kuhajar engkau dengannya."
Si Sinting menyambar sebuah sandal dan menggigit-gigitnya seolah-olah benda itu seekor tikus. Snubby membentaknya, dan saat itu Nona Pepper muncul.
"Snubby, jangan ribut saja! Apa lagi yang dilakukan anjing itu" Lepaskan, Sinting! Maaf, Nyonya Round ... anjing itu memang betul-betul sinting!"
"Tak apa, Nona," kata Nyonya Round.
"Kini aku sudah terbiasa. Kalau dipikir-pikir, ia tidak begitu buruk .... Masih seperti anak anjing saja tingkahnya." Nona Pepper sedikit lega mendengar bahwa Nyonya Round tidak marah. Snubby menerima keranjang tempat makanan dan berlari ke luar bersama Sinting.
Sinting menyapa Barney dengan suara hirukpikuknya. Miranda bertengger di bahu Barney, mengawasinya terus. Tiba-tiba ia meluncur ke bawah, menjewer telinga Sinting dan melompat kembali ke bahu Barney. Sinting mendengking keras dan sesaat ia tak sadar apa yang telah menyakitinya. Anak-anak tertawa. Mereka selalu menikmati gurauan antara Sinting dan Miranda seperti tadi itu.
"Makanan sudah siap", kata Diana.
"Juga talinya. Ayo, berangkat." Dengan perasaan berdebar-debaranak-anak itu berangkat. Kembali menembus semak-semak menuju ke gedung tua. Miranda mencereceh tegang saat mereka hampir sampai. Agaknya ia ingat pengalaman tadi pagi
"Sialan," tiba-tiba Roger berkata,
"kurasa sebentar lagi hujan. Padahal kita bermaksud berpiknik!"
"Kita bisa makan di beranda gedung tua itu," kata Snubby. Ia menunjuk ke bagian selatan gedung itu. Berandanya hampir tertutup oleh berbagai tanaman menjalar.
"Kita bisa menguak sulur-suluran itu sehingga di dalamnya cukup terang." Mereka menaruh keranjang makanan di beranda tersebut. Suram sekali tempat itu. Diana merasa, pastilah tempat tersebut penuh dengan serangga menjijikkan serta sangat lembab. Mudah-mudahan saja mereka tak usah makan di tempat itu.Roger dan yang lain ingin segera memulai penyelidikan mereka. Mereka telah meninggalkan beranda menuju bagian gedung di mana terdapat ruang anak-anak. Mereka menengadah, melihat jendela-jendela berterali itu. Miranda langsung melompat dan memanjat Tetapi Barney memanggilnya turun kembali
"Ke sini, Miranda. Ada tugas untukmu!" kata Barney.
Snubby dan Roger menguraikan talinya. Jelas tali tersebut sangat kuat. Dan berat.
"Mungkin Miranda takkan kuat menariknya ke atas," kata Roger.
"Hal itu telah kupikirkan," kata Barney, mengeluarkan segulung benang besar dari sakunya.
"Benang ini cukup kuat untuk menarik tali itu ke atas." Barney mengikat ujung tali dengan benang. Kemudian ujung benang satunya diikatkannya pada sebuah batu.
"Untuk apa itu?" tanya Diana.
"Lihat saja nanti," kata Barney.
"Nah, Miranda, kau siap" Bawa benang ini naik. Lingkarkan ke terali-terali di atas itu seperti biasa kaulakukan bila kau bermain ayunan di sirkus. Kemudian biarkan batu ini meluncur ke bawah." Miranda mendengarkan dengan teliti. Matanya bersinar cerdik. Ia mencereceh perlahan. la betul-betul seekor monyet yang cerdik. Diambilnya batu yang terikat benang tadi. Dan ia melompat dari bahu Barney. la meloncat kebalkon. Berayun ke sulur-suluran. Makin lama makintinggi. Dengan terus membawa benang tadi
Tak lama kemudian ia telah berada di bingkai jendela kamar anak-anak itu, mengintip ke dalam. Barney berteriak,
"Ayo, Miranda! Kerjakan tugasmu!"
Dan ternyata Miranda melakukannya dengan baik! Diselipkannya batu yang terikat benang itu pada terali paling ujung, kemudian dibelitkannya melewati terali-terali lainnya, dan dijatuhkannya. Batu tersebut meluncur dengan membawa benangnya, sementara bagian benang yang terikat pada ujungtali meluncur naik. Barney menangkap batutadi.
"Kini lihatlah," katanya pada Diana,
"akan kaulihat tali ini naik ke atas."
Ditariknya benangnya. Benangitu melewati terali jendela, menarik tali. Dan tali tadi terus naik, terus ditarik. Melingkari terali-terali, turun kembali ke arah Barney.
"Sungguh cerdik!" kata Diana dengan kagum.
"Takkan terpikir olehku hal itu."
"Oh, ini sih gampang saja," kata Bar
ney tersenyum. "Semua anak sirkus bisa melakukannya sejak usia dua tahun. Wah, Miranda masuk lagi kekamar itu. Aku harus segera ke atas sebelum ia menghujani kita dengan berbagai barang."
Ujungtali kini telah ada ditangannya, sementara tali itu sendiri telah membelit terali-terali yang ada di atas. Dipegangnya kedua ujung tali tadi erat-erat. Dipuntirnya kuat-kuat sehingga benar.Roger dan yang lain ingin segera memulai penyelidikan mereka. Mereka telah meninggalkan beranda menuju bagian gedung di mana terdapat ruang anak-anak. Mereka menengadah, melihat jendela-jendela berterali itu. Miranda langsung melompat dan memanjat Tetapi Barney memanggilnya turun kembali
"Ke sini, Miranda. Ada tugas untukmu!" kata Barney.
Snubby dan Roger menguraikan talinya. Jelas tali tersebut sangat kuat. Dan berat.
"Mungkin Miranda takkan kuat menariknya ke atas," kata Roger.
"Hal itu telah kupikirkan," kata Barney, mengeluarkan segulung benang besar dari sakunya.
"Benang ini cukup kuat untuk menarik tali itu ke atas." Barney mengikat ujung tali dengan benang. Kemudian ujung benang satunya diikatkannya pada sebuah batu.
"Untuk apa itu?" tanya Diana.
"Lihat saja nanti," kata Barney.
"Nah, Miranda, kau siap" Bawa benang ini naik. Lingkarkan ke terali-terali di atas itu seperti biasa kaulakukan bila kau bermain ayunan di sirkus. Kemudian biarkan batu ini meluncur ke bawah." Miranda mendengarkan dengan teliti. Matanya bersinar cerdik. Ia mencereceh perlahan. la betul-betul seekor monyet yang cerdik. Diambilnya batu yang terikat benang tadi. Dan ia melompat dari bahu Barney. la meloncat ke
balkon. Berayun ke sulur-suluran. Makin lama makintinggi. Dengan terus membawabenang tadi.
Tak lama kemudian ia telah berada di bingkai jendela kamar anak-anak itu, mengintip ke dalam. Barney berteriak,
"Ayo, Miranda! Kerjakan tugasmu!"
Dan ternyata Miranda melakukannya dengan baik! Diselipkannya batu yang terikat benang itu pada terali paling ujung, kemudian dibelitkannya melewati terali-terali lainnya, dan dijatuhkannya. Batu tersebut meluncur dengan membawa benangnya, sementara bagian benang yang terikat pada ujungtali meluncur naik. Barney menangkap batutadi.
"Kinilihatlah," katanya pada Diana,
"akan kaulihat tali ini naik ke atas."
Ditariknya benangnya. Benangitu melewati terali jendela, menarik tali. Dan tali tadi terus naik, terus ditarik. Melingkari terali-terali, turun kembali ke arah Barney.
"Sungguh cerdik!" kata Diana dengan kagum.
"Takkan terpikir olehku hal itu."
"Oh, ini sih gampang saja," kata Barney tersenyum.
"Semua anak sirkus bisa melakukannya sejak usia dua tahun. Wah, Miranda masuk lagi ke kamar itu. Aku harus segera
ke atas sebelum ia menghujani kita dengan berbagai barang."
Ujung tali kini telah ada ditangannya, sementara tali itu sendiri telah membelit terali-terali yang ada di atas. Dipegangnya kedua ujung tali tadi erat-erat. Dipuntirnya kuat-kuat sehingga benar
benar terpadu bagaikan seutas tali. Jadi dua kali lebih kuat.
"Mudah-mudahan terali di atas itu cukup kuat menanggung beratku," kata Barney. Dicobanya menarik kuat-kuat. Terdengar suara berderak di atas.
"Oh, terali yang paling ujung agaknya akan copot," kata Diana terkejut.
"Awas! Terali itu akan jatuh!" Barney mencoba menarik lagi. Terali yang paling ujung itu copot, tergantung di bingkai jendela. Tali yang melingkarinya berpindah keterali berikutnya. Tinggal lima terali lagi.
"Satu teralijatuh," kata Barney.
"Mungkin yang lain cukup kuat." Ia menarik lagi talinya. Terali kedua sedikit bergerak, tetapi kemudian agaknya cukup kuat.
"Akan kucoba naik," kata Barney.
"Tak usah kuatir. Bila satu terali copot, maka taliku akan pindah ke terali berikutnya ...."
"Tetapi kalau semua copot, Barney?" tanya Diana ketakutan.
"Pada saat itu aku pasti sudah mencapai jendela itu," Barney menyeringai.
"Tak usah kuatir. Aku bagaikan kucing. Bila jatuh selalu berdiri."
Tiba-tiba ia meloncat, tangannya menarik tubuhnya, merayap di tali itu.
"la naik!" seru Snubby. Dan dalam luapan rasa heran Sinting melonjak-lonjak mencoba menggigit ujung tali.
"Terali itu copot lagi!" teriak Diana.
"Awas, Barney!"
Memang. Tiba-tiba terali terujung copot dan meluncur jatuh hampir menimpa kepala Sinting. Anjing itu melompat bersembunyi di bawah semak-semak. Barney merasa dirinya merosot beberapa saat dan terhentak saat tali berhenti di terali berikutnya. Sesaat ia berhenti. Kuatkah terali yang ini"
Hanya beberapa detik terali tersebut menanggung beratnya. Dan terali ini pun copot! Walaupun terali tidak jatuh, tetapi tali bergeser ke terali keempat.
"Barney, turun sajalah!" teriak Diana makin ketakutan.
"Semua pasti tak kuat menahanmu!"
Tapi Barney tak menghiraukannya. la terus menghela tubuhnya, merayap naik. Kalau terali keempat ini pun patah, tinggal satu terali yang menahannya. la harus cepat mencapai jendela.
Tepat saat ia mencapai bingkai jendela, terali keempat copot. Bagaikan kucing ia melompat ke bingkai jendela, dan duduk di bingkai tersebut, menyeringai pada kawan-kawannya di bawah.
"Aku sudah sampai!" teriaknya kebawah, sedikit terengah-engah karena mengerahkan tenaga tadi. la menjenguk ke dalam jendela, mencari Miranda. Lama sekali ia mengintai ke dalam, sehingga anak-anak di bawah tadi tak sabar.
"Barney! Apa yang kaulihat?" tanya Sn
ubby. "Seram sekali," seru Barney akhirnya.
"Kamar ini memang kamar anak-anak, lengkap dengan berbagai mainan. Bahkan di meja masih tersedia y,piring cangkir untuk makan. Sungguh mengerikan!"
Diana merinding. Sungguh aneh kedengarannya.
"Bolehkah kami naik?" teriaknya.
"Dapatkah kau ikatkan tali itu pada sesuatu di dalam kamar?"
"Jangan ada yang naik!" seru Barney.
"Kalian tak bisa memanjat seperti aku. Berbahaya!"
la mengulurkan tangannya lewat lubang di jendela yang tadi dimasuki Miranda. Dirabarabanya, mencari kancing jendela itu. Apakah kancing itu sudah begitu berkarat sehingga tak bisa digerakkan lagi" la tak ingin mendobrak jendela tersebut.
Akhirnya kancing itu ketemu. Memang sulit sekali - tapi akhirnya ia berhasil membukanya! Tapi kemudian ternyata jendela itu macet, sulit dibuka. Terpaksa Barney mengerahkan tenaga mendorong jendela itu. Hampir Barney terjatuh karenanya. Tetapi sedikit demi sedikit jendela membuka, cukup besar baginya untuk menyelinap masuk. Dengan disaksikan teman-temannya yang tak sabar dan cemas, Barney lenyap ke dalam kamar itu.
Barney melihat berkeliling. Lantainya berpermadani, yang sudah usang dimakan serangga. Tirai jendela compang-camping. Sebuah meja kecil berdiri di tengah ruangan, tertutup oleh selembar taplak meja yang dahulunya berwama cerah tetapi kini pudar berlapis debu. Kursi-kursi kecil berwarna mengelilinginya. Sebuah kudakudaan kayu berdiri dekat jendela. Barney menyentuh kuda goyang itu dengan kakinya. Kuda tersebut terangguk-angguk. Berderit-derit. Berdiri bulu roma Barney.
Di rak terbawah terlihat sebuah rumah boneka, besar. Di dekatnya balok-balok kayu berwarnawarni berantakan. Di rak buku terdapat beberapa buah buku bergambar. Agaknya Bob dan Arabella masih kecil sekali. Sebuah kursi goyang besar, agaknya untuk pengasuh, berdiri dekat perapian yang masih berisi arang-arang sisa pembakaran terakhir.
"Agaknya ruangan ini ditutup secara mendadak," pikir Barney.
"Tidak dirapikan. Semuanya apa adanya. Semuanya tepat seperti saat Bob jatuh sakit dan meninggal."
Sebuah pintu separuh terbuka. Ke sebuah kamar lain dimana tampak dua buah tempat tidur kecil. Agaknya untuk anak-anak itu. Juga terlihat sebuah meja hias kecil, dan dua buah lemari pakaian dekat jendela. Sebuah pintu di kamar ini ternyata terbuka ke arah kamar pengasuh. Rapi. Bersih, namun tertutup oleh debu dan barangbarang kainnya tak terlalu banyak dimakan ngengat. Tempat tidur terletak di sudut. Dahulu mestinya bersepraikan kain putih. Kini kelabu oleh debu. Semuanya sungguh aneh. Barney merasa dirinya melangkah kembali ke masa silam.
Terdengar sebuah suara berteriak dari bawah,
"Barney! BARNEY! Kau sedang apa" Katakan apa yang ada di atas sana!"
Bab 10 DI DALAM GEDUNG TUA BARNEY pergi kejendela tempat dia masuk tadi dan mengulurkan badan ke luar.
"Semuanya aneh di sini!" serunya kebawah.
"Di sini ada tiga buah kamar. Semuanya masih lengkap. Tunggu, aku akan turun dan menceritakan semuanya pada kalian. Aku tak ingin berteriak-teriak begini."
"Barney, tinggal ada satu terali di situ," seru Diana ketakutan.
"Jangan gegabah, talikan tali itu pada sesuatu di dalam kamar!"
Barney mencoba kekuatan terali terakhir itu. Langsung copot. Ternyata terali terakhir itu yang paling lemah! Untung ia tadi tidak menggantungkan dirinya padanya. Kemudian terkejut ia memperhatikan talinya. Tali itu sudah hampir putus. Agaknya tergeser-geser dengan ujung runcing salah satu terali yang patah tadi. Dan bahkan pada saat ia akan mengambil tali itu ... tali itu putus dan jatuh! Barney mencoba menyambarnya, tapi tak berhasil.
Sesaat semua hening. Kemudian Diana berseru,
"Kini bagaimana" Tali itu jadi dua!"
"Kita bisa menyambungnya," kata Roger. Tetapi di atas Barney menunjuk ke langit dan berseru,
"Lihat! Hujan akan segera turun. Kalianakan basah kuyup bila diam di situ, menyambung tali dan menyuruh Miranda membawanya kemari. Lebih baik akuakan mencarijalan turun lewat dalam saja. Mungkin aku bisa membuka pintu ataujendela dari dalam dan kalian bisa masuk."
"Bagus! Kami akan menunggumu di beranda," sahut Roger.
"Hujan sudah mulai turun!"
Roger, Snubby, Diana, dan si Sinting berlari menyusuri dinding gedung tua itu memasuki beranda yang begitu menyeramkan tadi. Seperti
yang ditakutkan Diana, di situ terdapat banyak sekali labah-labah dan berbagai serangga. Lantainya licin, lembab. Rasanya tak mungkin makan di tempat itu.
"Kuharap Barney akan segera mendapat jalan untuk memungkinkan kita masuk," kata Snubby, menggeletar kedinginan.
"Hawa dingin sekali kini." la bersin.
"Mungkin hidungmu kemasukan merica," kata Roger mencoba melucu. Tetapi beranda tersebut begitu seram sehingga yang lain tidak merasa kelucuan kata-katanya. Apa yang dilakukan Barney di dalam gedung itu" Apakah ia bisa mencari jalan turun" Pasti ia berusaha sebaik-baiknya. Ia membuka pintu di kamar pengasuh. Tidak terkunci. Bahkan kuncinya tergantung di lubang kunci pintu itu. Di depan pintu terdapat sebuah gang. Panjang dan gelap. Mengapa pintu ini tidak dikunci" la berjalan di gang itu, menubruk banyak sekali sarang labah-labah, serta mengepulkan banyak sekali debu. Satu-dua sarang labah-labah yang tebal menyentuh mukanya, bagaikan jari-jari dingin yang membuatnya meloncat mundur ketakutan. Alangkah senangnya kalau ia bawa senter. Gang itu begitu gelap. Di ujung gang terdapat sebuah pintu besar, kuat. Dicobanya membukanya. Terkunci. Tak ada
gunanya ia mencoba kekuatannya. Betul-betul terkunci rapat. Kalau begitu, inilah cara mereka mengunci bagian kamar anak-anak itu! Dengan mengunci satu pintu, maka tak seorang pun bisa memasuki ketiga kamar di dalamnya.
Lalu, bagaimana ia bisa melewati pintu ini dan masuk ke bagian dalam gedung tua ini" Tak mungkin ia merobohkan pintu sekuat ini. Rasanya ia takkan bisa masuk.
Tapi terpikir olehnya kunci-kunci di pintu kamar-kamar yang baru dilaluinya. Mungkinkah salah satu di antaranya cocok untuk lubang kunci ini" Tak ada salahnya untuk mencoba.
Cepat ia kembali. Hampir sesak napasnya oleh begitu banyak debu yang mengepul oleh gerakannya. Miranda erat-erat memeluk bahu
nya. Monyet itu tak suka keadaan ini. Begitu asing, gelap, dan aneh! Barney memperhatikan pintu-pintu kamar anakanak itu. Masing-masing punya kunci. Diperhatikannya kunci-kunci itu. Tampaknya mirip semua. Tetapi siapa tahu ada yang berbeda" Dibawanya kunci-kunci ini ke pintu di gang. Kunci pertama dengan mudah masuk, tetapi tak bisa diputar. Betapapun ia mencoba, kunci itu tak mau berputar. Barney tak mau memaksa, takut kalau kunci itu patah dan tertinggal di dalam. la mencoba kunci kedua. Kunci ini pun tak bisa diputar. Tanpa banyak harapan ia mencoba yang ketiga. Dan ternyata kunci itu bisa diputar Kaku sekali, berat dan berisik. Tetapi jelas berputar. Perlahan.Terdengar suara berdetak. Pintu sudah takterkunci lagi! Diputarnya pegangan pintu, didorongnya hingga terbuka. Debu kembali mengepul tebal, membuatnya terbatuk-batuk. Di depannya terdapat sebuah ujung tangga. Di kiri-kanannya masing-masing sebuah pintu. Barney berjingkat mendekati pintu-pintu tersebut. Satu per satu dibukanya. Kamar-kamar kosong. Tak ada kursi, tak ada buku, bahkan permadani juga tidak. Hanya debu menutupi lantai dan sarang labah-labah tergantung di mana-mana.
Hampir semua kamar gelap, karena jendelanya rapat sekali tertutup oleh tanam-tanaman. Bau udara di situ busuk, menyesakkan dada. Barney menuruni tangga. Di sini pun debu mengepul setiap kali ia melangkah. Debu halus yang membuatnya terbatuk-batuk. la tak berani berpegangan pada pagar tangga itu, takut kalau makin banyak debu mengepul. Ia sampai di lantai satu. Di sini makin banyak pintu yang ketika dibuka memperlihatkan kamarkamar yang gelap, kosong, dan sunyi. Tetapi dari lantai satu ke lantai dasar, dua tangga yang tadi melengkung dari lantai atas kini bertemu menjadi satu, menjadi telundakan lebar dan besar ke arah ruang pesta di bawah. Kini Barney berada di ruang pesta itu, atau ruang utama yang amat luas, yang pernah dilihatnya dari celah-celah pintu depan. Dindingnya berhias cermin-cermin di mana tampak bayangan dirinya.
Begitu suram, begitu seram. Ia masuk ke sebuah kamar di samping ruang pesta tadi. Agaknya bagian inilah yang dulu disewa sewaktu perang berkecamuk. Di sana-sini terlihat perabotan perabotan kantor setengah hancur, kertas-kertas berserakan, dan sebuah pesawat telepon yang rusak. Di sini juga berdebu, tetapi tidak setebal di kamar-kamar lainnya.
Ia memasuki sebuah kamar lagi. Dan ternyata kamar ini yang berhubungan dengan beranda depan. Di luar terlihat remang-remang tiga orang anak dan si Sinting menunggu dengan sabar. Mungkin ia bisa membuka pintu beranda ini. la mengetuk pada kaca di pintu tersebut. Ketiga anak tadi terlihat terlompat terkejut.
"Barney!" sayup-sayup terdengar suara Diana.
"Barney! Kau bisa lolos dari kamar atas?"
Suara itu hampir tak terdengar. Barney mengerahkan tenaga untuk membuka kancing kancing pintu yang sudah karatan dipintu besar itu. Tetapi akhirnya ia berhasil membuka semuanya, dan didorongnya pintu hingga terbuka. Roger, Snubby, dan Diana bergegas masuk. Diana memegang tangan Barney.
Bidadari Lentera Merah 1 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Raja 2
^