Pencarian

Sembilan Bocah Sakti 1

Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti Bagian 1


9 BOCAH SAKTI Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: 9 Bocah Sakti 128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Desa Liring Sedayu. Saat itu matahari
hampir berdiri tegak di atas kepala, hingga
bayang-bayang manusia hampir tenggelam pada
wujudnya. Tapi hawa panas tidak terlalu menyengat. Memang, di samping desa itu
banyak ditum- buhi pohon-pohon besar berdaun lebat, di sana
pun terdapat sebuah telaga yang berair jernih.
Hingga mampu menghadirkan rasa sejuk, meski
hari beranjak telah siang.
"Ha ha ha... Hi hi hi.... Tra la la...!"
"Huuu! Ha hi! Haaa...!"
"Ulali.... Lilu! Lali lali...!"
Sembilan bocah kecil berusia tidak lebih
dari tujuh tahun terlihat sedang menikmati jernih dan dinginnya air telaga.
Mereka bersenandung
lucu dengan tangan saling memercikkan air ke
wajah rekan-rekannya. Gurauan kesembilan bo-
cah itu sesekali tergerai manakala wajah mereka terkena cipratan air.
"Awas, Ger!" teriak bocah bertelanjang dada yang mengenakan cawat hitam pekat.
Tangan kanannya sudah tenggelam di air telaga hendak
menyiram temannya yang dipanggil Ger.
Bocah bernama Ger yang mengenakan ca-
wat merah hanya meleletkan lidahnya.
"Weee...!"
Prats! "Ha ha ha...!" Bla tertawa tergelak-gelak
melihat wajah Ger terkena air siramannya.
Prats! "Hi hi hi...!"
Ger juga tertawa melihat siramannya tepat
mengenai wajah Bla. Kedua bocah bercawat hitam dan merah itu sama-sama tertawa.
Apa yang dilakukan Ger dan Bla ternyata
dilakukan juga oleh bocah-bocah tujuh tahunan
yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan air yang memuncrat-muncrat dari
tangan yang satu ke wajah yang lain. Suasana di sekitar Telaga Perak menjadi ramai oleh tawa
yang sambung- menyambung. Hanya seorang di antara sembilan bocah
itu yang tidak ikut bermain-main air. Bocah yang mengenakan cawat putih
mengkilat itu merendam
tubuhnya di air telaga yang bening. Tampaknya, dia tengah menikmati kesejukan
yang ada. Sepertinya bocah yang satu itu tidak ingin diganggu teman-temannya.
"Awas, Jlak! Kena Kakak Gora nanti," ucap bocah bercawat biru yang bernama Sedu.
Jari telunjuknya menuding ke arah bocah bercawat pu-
tih yang tak mau diganggu.
"Kita menjauh sedikit, Sedu. Nanti Kakak
Gora terganggu," timpal Jlak, bocah yang bercawat hijau.
"Ayo, ayo!"
Dua bocah bercawat hijau dan biru itu
menjauhi bocah bercawat putih mengkilat yang
sepertinya begitu dihormati, dan di depan na-
manya pun diembeli dengan sebutan 'Kak'.
Siapakah gerangan bocah bercawat putih
mengkilat itu" Dan siapa pula kedelapan bocah
yang mengenakan sehelai cawat dengan warna
berbeda" *** Gora, bocah berusia tujuh tahun lebih se-
dikit itu tak lain adalah pemimpin dari delapan temannya. Mereka bernama Bla dan
Dbo, yang mengenakan cawat berwarna hitam. Ger dan Jagu
bercawat merah. Smas dan Sedu bercawat biru.
Dan yang bercawat hijau bernama Jlak dan Watu.
Kesembilan bocah bercawat yang dipimpin
oleh Gora itu adalah sosok-sosok yang berjuluk Sembilan Bocah Sakti, mereka
menempati Desa Liring Sedayu setelah sebelumnya membantai se-
luruh keluarga kepala desa, dan sebagian warga desa yang mencoba mempertahankan
desa yang subur dan memiliki telaga yang berair jernih itu.
Sedangkan warga Liring Sedayu yang lain tidak
ingin nyawanya hilang percuma. Mereka mening-
galkan desa setelah menyaksikan Sembilan Bocah Sakti yang bersenjata pedang yang
memendarkan sinar kebiruan. Panjang pedang itu sama dengan tinggi tubuh bocah-bocah itu.
Hingga sekilas ma-ta memandang, terlihat kejanggalan ketika mere-ka menggenggam
senjatanya. Namun sesungguh-
nya, di tangan mereka pedang itu merupakan iblis pencabut nyawa yang tak kenal
ampun. Itu sebabnya di Desa Liring Sedayu hanya
sembilan bocah bercawat itulah yang menempa-
tinya. Mereka tidak ingin ada orang lain ikut menikmati kehidupan di desa yang
kini dikuasai. Prek! Prek! Prek!
Tiba-tiba tangan Gora menepuk-nepuk
permukaan air tiga kali. Kedelapan rekannya yang sedang bercanda ria serempak
memalingkan wajah mereka menatap Gora.
"Ada apa, Kakak Gora?" tanya bocah bercawat hitam bernama Bla.
"Coba pusatkan pendengaran kalian," tukas Gora dengan suara yang terkesan
mengan- dung perbawa kuat.
Delapan bocah bercawat yang semenjak ta-
di bercanda kini menelengkan kepala untuk me-
musatkan pendengaran mereka.
"Hmmm... suara puluhan derap kaki kuda,
Kakak Gora," ujar bocah bernama Watu.
"Benar, Kakak Gora. Sepertinya tengah
menuju kemari," timpal Jagu.
"Yang lain bagaimana?" tanya Gora pada Bla, Dbo, Ger, Smas, Sedu dan Jlak.
Enam bocah yang ditanya Gora semua
menganggukkan kepala sebagai pertanda me-
nyamakan pendapat mereka dengan ucapan Watu
dan Jagu. "Ha ha ha...! Kita akan pesta besar hari ini, Adik-adik! Kita akan pesta besar.
Semoga mereka yang tengah menuju ke sini saudagar-saudagar
kaya raya yang membawa kepingan-kepingan
emas serta makanan enak!" ucap Gora dengan mata belonya yang sebentar terpejam
sebentar terbuka. Delapan bocah yang lain juga menampak-
kan wajah keriangan yang teramat sangat. Mere-
ka melonjak-lonjak di air telaga yang memang tidak begitu dalam. Namun di bagian
tengah Telaga Perak kedalamanannya tak dapat diukur.
"Hop! Hop!"
"Horeee...!"
"Huraaa...!"
Suasana di sekitar Telaga Perak kembali
riuh oleh teriakan-teriakan yang dilakukan bo-
cah-bocah bercawat
"Ya, ya, ya! Begitu. Begitulah! Berpura-
puralah kalian tidak tahu kedatangan mereka,"
tukas Gora, kemudian membenamkan kembali
tubuhnya di air telaga.
Delapan bocah itu kini kembali bercanda.
Sesekali diiringi dengan senda-gurau dan ejekan-ejekan lucu. Hingga ketika dari
arah selatan muncul dua puluh orang lelaki penunggang kuda, bocah-bocah itu hanya melirikkan
mata. "Hm... sepertinya bukan saudagar-
saudagar yang kita harapkan, Kakak Gora," ucap bocah bercawat merah.
"Sepertinya begitu, Ger," timpal Gora pelan.
"Tampaknya, mereka orang-orang persilatan. Lihat senjata-senjata mereka yang
tergantung di pinggang," lanjut Gora dengan tatapan mata yang tidak tertuju ke arah puluhan
lelaki berkuda yang
menuju ke Telaga Perak.
"Mereka orang-orang persilatan, Kakak Go-
ra," tukas Smas memastikan. "Bukan saudagar,"
lanjutnya. "Tak mengapa," jawab Gora. "Kita akan menjajal ilmu mereka."
"Tidak membinasakan mereka?" tanya Bla dengan mata tetap melirik ke arah puluhan
lelaki berkuda.
'Tentu saja, Bla. Mereka terlalu lancang
memasuki daerah kekuasaan kita," jawab Gora tegas. "Sudah! Sudah! Berpura-
puralah kalian tidak tahu kedatangan mereka," lanjut Gora meme-rintahkan pada
kawannya. Sembilan Bocah Sakti kini betul-betul ber-
pura-pura tak mengetahui kehadiran puluhan le-
laki berkuda. Sembilan bocah itu kelihatan tengah menikmati beningnya air
telaga, tanpa mem-
pedulikan para penunggang kuda yang semakin
dekat. *** "Kakek Guru, alangkah nikmatnya kalau
kita beristirahat di telaga berair bening itu, melepaskan lelah dan memberi
minum kuda-kuda
tunggangan kita," ucap lelaki muda berusia kira-kira dua puluh lima tahun seraya
memandang ke arah lelaki berusia lanjut yang mengenakan pa-
kaian putih. Jenggot dan rambutnya yang putih
digulung ke atas memperlihatkan wibawanya.
"Lihatlah, Kakek Guru. Bocah-bocah kecil
itu nampak kesenangan bermain-main di air tela-ga yang jernih," lanjut pemuda
berpakaian biru.
Ujung jarinya menunjuk ke arah bocah-bocah
yang tengah merendam tubuhnya sambil bercan-
da. "Sebaiknya begitu. Guru," timpal lelaki berpakaian merah yang menunggang kuda di
samping kiri lelaki yang disebut 'Kakek Guru'.
"Kesejukan air telaga itu pasti akan menghilangkan keletihan kita," lanjutnya
kemudian. Lelaki berusia lanjut yang disebut kakek
guru tidak menjawab permintaan pemuda berpa-
kaian biru dan lelaki berusia empat puluhan yang mengenakan pakaian merah. Kakek
itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui keingi-
nan cucu murid dan muridnya.
Memang patut dimaklumi keinginan mere-
ka. Sekembalinya dari berkunjung ke Perguruan
Gagak Putih, kuda-kuda mereka terus digebah,
tanpa sedikit pun ada waktu untuk istirahat. Sedangkan perjalanan pulang menuju
Perguruan Gagak Loreng masih cukup lama.
"Ayo kita beristirahat dulu di telaga itu!"
perintah lelaki berpakaian merah kepada kedelapan belas lelaki penunggang kuda
lainnya. Lelaki itu adalah orang kedua di Perguruan
Gagak Loreng. Dia bernama Ki Wanabara. Se-
dangkan orang pertama di perguruan itu Resi Wikalga. Dan lelaki berusia dua
puluh limaan itu adalah orang ketiga. Dia juga adalah putra tung-
gal Ki Wanabara. Namanya Bagatada.
Delapan belas penunggang kuda yang lain
adalah murid-murid Perguruan Gagak Loreng.
Mereka segera berloncatan turun. Langkah-
langkah mereka tertuju ke arah telaga yang berair jernih, mengikuti langkah Ki
Wanabara dan Bagatada yang sudah terayun lebih dulu.
Prats! Prats! Baru saja Ki Wanabara dan Bagatada men-
jejakkan kaki di tepi telaga, dua percikan air sudah menghantam wajah mereka.
"Anak nakal!" omel Ki Wanabara tidak sungguh-sungguh. Ucapan itu keluar
diselingi dengan tawanya. Tatapan Ki Wanabara tertuju
kepada bocah bercawat hitam yang tak lain Dbo.
Sedangkan Bagatada hanya tersenyum-
senyum menanggapi ulah bocah bercawat hijau
yang telah membasahi wajahnya dengan air telaga yang dingin.
"Siapa namamu, anak nakal?" tanya Bagatada. Jari telunjuk dan jempolnya
diulurkan hendak mencubit pipi bocah bernama Jlak.
Jlak yang memang ingin memancing kema-
rahan Bagatada, segera menggeser kepalanya ke belakang. Lalu dengan cepat
melepaskan tinjunya ke wajah Bagatada yang sedikit rendah.
Wuttt! Hugh! "Heh"!"
Ki Wanabara terkejut menyaksikan tubuh
Bagatada tergeser dua langkah ke belakang, setelah terkena pukulan bocah berusia
tak lebih dari tujuh tahun.
"Bocah Setan!" maki Bagatada setelah mampu menguasai diri. Di celah bibirnya
nampak meleleh darah segar.
"Kau yang setan!" balas Jlak di luar dugaan Ki Wanabara dan Bagatada.
"Kau telah lancang menginjak daerah ke-
kuasaan kami!" sentak Gora keras. Suaranya seperti terdengar dari jauh dan
memantul-mantul
sampai ke tengah telaga.
Terkejut Ki Wanabara dan Bagatada men-
dengar kalimat yang meluncur dari mulut bocah
bercawat putih mengkilat. Begitu juga lelaki tua yang mengenakan pakaian putih.
Resi Wikalga menatap tajam wajah bocah-bocah yang tengah
berendam di kebeningan air telaga. Sementara pikiran lelaki berjenggot dan


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berambut putih terge-lung itu menerawang, mengingat-ingat siapa ge-
rangan bocah-bocah bercawat itu.
"Sembilan Bocah Sakti tidak akan mem-
biarkan kalian meninggalkan desa ini hidup-
hidup. Kalian harus meninggalkan nyawa karena
kelancangan kalian!" lanjut Gora lantang.
"Sembilan Bocah Sakti...?" gumam Resi Wikalga mengulang julukan yang diucapkan
bocah bercawat putih mengkilat.
Gumaman itu dilakukan juga oleh Ki Wa-
nabara dan Bagatada, yang memang pernah
mendengar julukan itu.
"Maafkan, kalau kami telah lancang mema-
suki wilayah kekuasaan kalian, Sembilan Bocah
Sakti," ucap Resi Wikalga, mengejutkan Ki Wanabara dan Bagatada.
Ki Wanabara dan Begatada tidak menyang-
ka orang yang mereka hormati begitu merendah
kepada bocah-bocah kecil yang mengaku berjuluk Sembilan Bocah Sakti. Apalagi,
ucapan Resi Wikalga dibarengi dengan tundukan kepala.
"Ha ha ha..., Tua Bangka! Rupanya kau ta-
kut setelah mendengar julukan kami!" lantang ejekan itu keluar dari mulut Gora.
Wajah Ki Wanabara dan Bagatada merah
padam mendengar penghinaan itu. Begitu juga
delapan belas murid Perguruan Gagak Loreng.
Mereka menggemeretakkan gigi dan mengeraskan
otot-otot ketika penghinaan itu terlontar dari mulut bocah bercawat putih untuk
lelaki yang mere-ka panggil eyang guru.
"Kulumat mulut lancangmu, Bocah!" maki Bagatada seraya melangkah hendak
menghajar mulut lancang Gora. Namun langkah kaki Baga-
tada tertahan oleh cegahan Resi Wikalga.
"Tahan amarahmu, Tada!" ucap Resi Wikalga. Bagatada tentu saja menuruti ucapan
ka- kek gurunya yang begitu dihormati. Langkah ka-
kinya pun kembali ditarik mundur.
"Tua Bangka Pengecut! Biar saja muridmu
yang bernyali besar itu bermain-main denganku!"
tukas Gora dengan nada tegas penuh ejekan.
"Atau kau yang ingin bermain-main denganku?"
Kini wajah Resi Wikalga yang bersemu me-
rah mendapatkan tantangan dari bocah kecil bercawat putih. Resi Wikalga memang
pernah men- dengar kesaktian Sembilan Bocah Sakti yang te-
lah banyak membinasakan tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi. Kabar itu
didengarnya ketika tengah menikmati santapan pagi di Desa Patuna. Sesaat setelah
mengadakan pertemuan dengan Ke-
tua Perguruan Gagak Putih, yakni adik sepergu-
ruannya yang sama-sama pernah menimba ilmu
di Perguruan Gagak Raksasa.
"Cepat Tua Bangka! Kenapa kau melamun
seperti domba bodoh" Ayo kita bermain-main be-
berapa jurus! Atau kau ingin aku yang memu-
lainya?" tukas Gora memanasi wajah Resi Wikalga yang makin merah.
"Hiyaaa...!"
2 Tubuh Gora seketika melayang cepat ke
arah Resi Wikalga. Lejitan yang dilakukannya
membuat Ki Wanabara tidak percaya. Begitu ce-
pat, bagai angin yang berhembus keras.
Tangan bocah bercawat putih mengkilat itu
mengepal kuat dan bergerak gesit ke arah kepala kakek pemilik Perguruan Gagak
Loreng. Wuttt! "Eits!"
Resi Wikalga tentu saja tidak ingin pukulan
bocah berusia tujuh tahun itu mengenai kepa-
lanya. Maka, segera saja dia menarik kepalanya ketika sejengkal lagi sambaran
bertenaga kuat itu menghantam.
Serangan Gora berhasil dikandaskan Resi
Wikalga. Namun tendangan susulan yang tak ter-
duga kecepatannya membuat kakek itu tidak me-
nemui jalan lain kecuali memapaki tendangan lawan dengan menyodokkan tangan
kanannya. Plakkk! "Aaakh...!"
Resi Wikalga memekik tertahan sesaat se-
telah benturan keras terjadi. Tubuh lelaki tua yang terbalut pakaian putih itu
terhuyung mundur tiga langkah. Sementara tangan yang digunakan untuk menangkis
tendangan Gora mengalami
rasa sakit yang sangat kuat. Tulang-tulangnya terasa ingin patah.
Namun, Resi Wikalga yang sudah kenyang
makan asam garam pertarungan segera dapat
mengatasi rasa sakit yang dirasakannya. Seka-
rang, kakek itu tengah bersiap menghadapi se-
rangan lawan yang memiliki tenaga dalam di
atasnya. Sungguh Resi Wikalga tidak percaya.
Bagaimana mungkin bocah sekecil Gora memiliki
tenaga dalam yang demikian tinggi melebihi ke-
tinggian tenaga dalamnya yang dipelajari selama empat puluh tahun lebih"!
"Hyaaa...!"
Tubuh Gora kembali meluruk ke arah Resi
Wikalga. Sepasang tangannya memperlihatkan
cakar-cakar dengan kuku-kuku yang runcing.
"Betul-betul bocah setan," gumam Resi Wikalga yang menyaksikan perubahan tangan
Gora. Sementara itu, pertarungan di tempat lain
pun telah berlangsung. Ki Wanabara terlihat saling gempur dengan bocah bercawat
hitam berna- ma Bla. Sedangkan Bagatada berhadapan dengan
Smas, bocah yang mengenakan cawat biru.
Pertarungan yang dilakukan Ki Wanabara
dan Bagatada berlangsung cukup cepat dan seru.
Begitu juga pertarungan antara murid-murid Perguruan Gagak Loreng yang
bersenjatakan golok
panjang dengan Ger, Jagu, Sedu, Jlak, dan Watu.
"Hyaaa...!"
Brettt! "Aaa...!"
Lengking kematian yang menyayat terden-
gar ketika sambaran tangan Ger yang membentuk
cakar membabat perut salah seorang murid Per-
guruan Gagak Loreng. Jari-jari tangan yang tiba-tiba menjelmakan kuku-kuku
runcing dan tajam
amblas setengahnya.
Brrettt! Manakala tangan Ger yang membenam di
perut murid Perguruan Gagak Loreng tercabut,
maka terlihatlah usus dan darah berebutan ke-
luar. Saat itu juga, nyawa lelaki bertubuh tinggi tegap itu pergi meninggalkan
jasad. "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Rupanya, bukan hanya bocah bercawat
merah itu yang berhasil menghilangkan nyawa
murid Perguruan Gagak Loreng. Jagu dan Sedu
pun telah melakukan hal yang sama. Kedua kor-
ban itu menggelinjang sekarat dengan leher jebol bekas cakaran.
Agaknya, orang-orang Perguruan Gagak
Loreng tidak kuasa meredam keganasan sembilan
bocah bercawat yang memiliki gerakan cepat ba-
gai kilat. Kesembilan bocah itu memang langsung memainkan jurus andalan mereka
untuk menyingkirkan orang-orang Perguruan Gagak Lo-
reng, yakni jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.
Ki Wanabara yang berhadapan dengan bo-
cah bercawat hitam juga terlihat kewalahan. Berkali-kali sodokan tangan Bla
hampir menembus
kulit Ki Wanabara. Sementara dirinya hanya
mampu mengelak tanpa bisa memberikan seran-
gan balasan. "Hiaaattt..!"
Wrettt! Tlangngng! "Heh..."!"
Terkejut bukan main Ki Wanabara. Ketika
pedangnya ditebaskan dengan kuat ke arah per-
gelangan tangan Bla ia merasa seperti membentur lempengan baja yang sangat kuat.
Kekuatan tenaga dalamnya seperti berbalik. Ki Wanabara merasakan tangannya
bergetar linu. Dan pada saat keterkejutan Ki Wanabara
terjadi, sosok kecil Bla melesat dengan melancar-
kan jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.
"Hiaaattt...!"
Wettt! "Its"!"
Ki Wanabara secepatnya menghindari ter-
kaman lawan yang melancarkan serangan dari
atas. Serangan itu mencecar ubun-ubunnya. Tu-
buh Bla seperti seekor burung elang yang terbang menyambar anak itik. Namun
ketika Ki Wanabara
mampu mengelak, sambaran cakar Bla kembali
berkelebat "Hiaaattt...!"
Kali ini gerakan jurus 'Cakar Maut Empat
Jari' dilakukan bocah bercawat hitam dengan
menambah kecepatannya. Terarah ke ulu hati Ki
Wanabara yang berada pada kedudukan kurang
baik. Bret! "Ukh!"
Meski Ki Wanabara sudah menggerakkan
tubuhnya secepat mungkin, namun gerakannya
kalah cepat. Hingga, kulitnya harus tertembus
cakar lawan yang berkuku tajam. Dari pakaian-
nya yang koyak tampak darah merembes keluar.
"Mampus kau! Hiaaattt..!"
Tubuh Bla kembali melesat bagai terbang,
mengejar tubuh Ki Wanabara yang limbung sete-
lah terkena sambaran tangan jurus 'Cakar Maut
Empat Jari'. Blebert! Krakkk! Bunyi tulang berpatahan seketika terden-
gar ketika sepasang kaki bocah bercawat hitam
itu membelit leher Ki Wanabara dengan menge-
rahkan ilmu 'Sepasang Kaki Maut Bocah Sakti'.
Ki Wanabara yang merasakan tulang le-
hernya berpatahan hanya mengikuti gerakan ka-
kinya yang limbung.
Brukkk! Ketika ambruk ke bumi, tubuh Ki Wanaba-
ra sudah tidak lagi dihuni roh kehidupan.
"Ayah...!"
Bagatada yang sempat melihat ayahnya ro-
boh berteriak keras. Namun perbuatannya itu sebuah kesalahan yang paling besar.
Pemuda beru- sia dua puluh lima tahun itu melupakan pertahanan dirinya.
"Hiaaattt...!"
Bocah sakti bernama Smas segera meman-
faatkan kelengahan anak Ki Wanabara itu. Seke-
tika itu juga tubuhnya melesat bagai terbang.
Tangannya terangkat dengan jari-jari terkembang membentuk cakar harimau. Jurus
'Cakar Maut Empat Jari' masih dugunakannya untuk menye-
rang Bagatada. Crabs! "Aaaa...!"
Bagatada menjerit histeris ketika empat jari
kokoh berkuku runcing Smas dengan tepat
menghantam ubun-ubunnya. Namun patut dipuji
daya tahan pemuda itu. Dalam keadaan kepala
tertembus jari tangan lawan, ia masih sempat me-
lancarkan sodokan ke dada Smas.
Blag! Pukulan Bagatada yang tepat mengenai
dada bocah bercawat biru itu tidak berpengaruh sedikit pun. Malahan, Smas
menambah luka di
leher Bagatada dengan membenamkan jari tangan
kirinya. "Aaa...!"
Pekik yang keluar dari mulut Bagatada kali
ini adalah pekik kesakitan yang mengiringi ke-
luarnya nyawa dari dalam jasadnya.
"Heh!"
Smas menarik kedua tangannya yang me-
nembus kepala dan leher Bagatada.
Smas rupanya belum puas hanya dengan
satu nyawa. Dia kini bergabung dengan teman-
temannya untuk membantai murid-murid Pergu-
ruan Gagak Loreng.
"Haiiittt..!"
*** Telaga Perak yang berair jernih kini me-
nampakkan warna kemerahan saat tubuh-tubuh
murid Perguruan Gagak Loreng berpentalan ke
dalamnya. Hanya beberapa orang saja yang mam-
pu mempertahankan diri. Tapi, mereka pun bu-
kan mustahil akan mengalami nasib yang sama
dengan rekan-rekannya.
Lelaki berusia lanjut yang merupakan
orang nomor satu di Perguruan Gagak Loreng pun
tampak semakin terdesak. Tenaga Resi Wikalga
sudah berkurang seiring dengan luka-luka di tubuhnya akibat keganasan serangan
bocah berca- wat putih mengkilat itu, yang menjadi pimpinan Sembilan Bocah Sakti.
"Terima lagi ini, Tua Bangka!" pekik Gora.
Bersamaan dengan teriakan itu tubuhnya kembali mencelat ke arah Resi Wikalga,
yang terhuyung-huyung setelah tendangan telak bocah itu keras menerpa dadanya.
Resi Wikalga hanya bisa membelalakkan
mata menyaksikan kedatangan serangan susulan
lawan. Hasrat hati sang Resi untuk menyela-
matkan diri dari sambaran tangan Gora membuat
dia berusaha keras untuk mengelak. Akan teta-


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pi.... "Hih!"
Brettt! "Aaakh...!"
Pekik lebih keras keluar dari mulut Rea
Wikalga. Kening sebelah kanannya tersambar ku-
ku-kuku runcing Gora yang berkelebat dengan jurus 'Cakar Maut Empat Jari'. Darah
mengucur turun ke pipi keriput Resi Wikalga.
Tiga murid Perguruan Gagak Loreng yang
tersisa pun mengalami nasib yang sama. Smas,
Sedu, dan Jlak telah mengirim ketiganya ke air telaga dengan nyawa terlepas dari
badan. "Hi hi hi.... Ha ha ha...!" Bocah bercawat tertawa bersamaan menyaksikan lawan-
lawan terbantai dan mengambang di air telaga yang be-
rubah kemerahan. Hanya Resi Wikalga yang tersi-sa. Namun kakek itu pun sudah
terkulai lemas di tanah dengan luka-luka yang membuat dirinya tidak kuasa
bangkit "Tua Bangka! Tanpa kuserang kembali pun
kau pasti sebentar lagi akan mampus! Untukmu,
kuberi kesempatan pergi!" ucap Gora si bocah bercawat putih mengkilat "Ayo,
pergi sekarang!
Jangan coba-coba datang lagi ke dalam daerah
kekuasaanku!" lanjut Gora dengan jari tangan seperti mengusir kucing kurap.
Resi Wikalga tidak membalas ucapan Gora.
Wajah lelaki tua itu tampak mengejang menahan
sakit yang sangat
"Cepat!" bentak Gora. "Ha ha ha... Hi hi hi...!" bocah bercawat putih mengkilat
itu tertawa keras. "Ha ha ha...!"
"Hi hi hi...!"
"Hu hu hu...!"
Bocah-bocah bercawat yang lain pun mem-
buka mulut mereka lebar-lebar. Tawa mereka le-
pas berderai-derai.
"Ayo, kita kembali menikmati beningnya air telaga. Biarkan saja si tua bangka
itu mati dengan sendirinya," tukas Gora bernada memerintah.
Delapan bocah sakti yang mendengar uca-
pan Gora segera berlompatan ke air telaga yang perlahan kembali jernih.
Cburrr! Byur! Byur! "Ha ha ha... Hi hi hi...!"
*** Saat bocah-bocah sakti tengah hanyut
dengan canda, Resi Wikalga berusaha pergi me-
ninggalkan daerah kekuasaan Sembilan Bocah
Sakti. Meninggalkan mayat muridnya, cucu mu-
ridnya, dan delapan belas pengikutnya yang setia.
Meski dengan susah-payah, orang terpan-
dang di Perguruan Gagak Loreng itu berhasil
menjauhi bocah-bocah sakti yang nampaknya
berkeyakinan tak lama lagi Resi Wikalga akan
menjumpai ajalnya.
Semakin jauh Resi Wikalga berjalan me-
ninggalkan Telaga Perak, semakin tak kuat dia
menahan beban dirinya. Terlebih darah terlampau banyak keluar, membuat kepalanya
seperti diputar-putar. Dan ketika hampir mencapai perbata-
san Desa Liring Sedayu....
Brukkk! Resi Wikalga akhirnya tidak kuat bertahan.
Kakek itu terjerembab ke tanah. Pingsan.
Pada saat yang hampir bersamaan dari ke-
lokan jalan yang membatasi Desa Liring Sedayu
dengan Desa Warukunir muncul dua sosok tubuh
berpakaian kuning keemasan dan jingga. Sepa-
sang muda-mudi yang berjalan dengan mesra itu
segera melihat sesosok tubuh tergolek sejauh delapan tombak di depannya.
"Kakang! Lihat di sana," tunjuk gadis ber-
pakaian jingga. Tangan kiri gadis berwajah putih halus itu menggenggam sebatang
payung berwarna kuning keemasan.
"Kita ke sana, Mayang!" sambung kawannya, seorang lelaki muda berwajah tampan
dan bertubuh kekar.
"Ayo, Kakang Jaka," ujar gadis cantik yang ternyata Dewi Payung Emas yang
bernama asli Mayang Sutera. Dan kawannya sudah bisa dipas-
tikan. Siapa lagi kalau bukan Jaka Sembada yang berjuluk Raja Petir.
Sepasang pendekar muda itu berjalan ter-
gesa menghampiri sosok tubuh yang tergolek di
tanah. "Dia hanya pingsan, Mayang," ucap Jaka setelah meraba dan meneliti
keadaan kakek yang tak lain Resi Wikalga.
"Tapi luka-lukanya, Kakang.... Apakah ka-
kek ini akan mampu bertahan?" tanya Mayang.
Nada suaranya terdengar cemas.
"Aku akan memberi pil penawar rasa sakit, Mayang. Namun sebelumnya aku harus
memban-gunkan dari pingsannya," jawab Jaka.
"Lakukanlah, Kakang," pinta Mayang. Jaka segera membalikkan tubuh Resi Wikalga
yang ter-telungkup. Lalu dengan kepandaian yang dimili-
kinya, Jaka menyalurkan hawa murni ke tubuh
kakek berpakaian putih yang telah dipenuhi bercak-bercak darah.
"Euhhh...!"
Beberapa saat kemudian Rea Wikalga men-
gerang perlahan. Kakek itu menggerakkan tu-
buhnya dengan erangan yang memilukan.
"Dia sudah siuman, Kakang!" ujar Mayang.
Wajah gadis cantik kekasih Jaka itu tampak gembira.
3 "Eh!" Resi Wikalga terkejut menyaksikan sepasang muda-mudi bersila di hadapannya
di bawah pohon yang berdaun rindang.
"Siapa.... Siapa kalian?" tanya Resi Wikalga dengan suara parau yang tersendat-
sendat "Tenanglah, Ki," tukas Jaka lembut, "Aku, Jaka. Dan dia temanku, Mayang Sutera,"
lanjut tokoh muda yang julukannya banyak disebut-sebut tokoh persilatan.
Resi Wikalga beringsut dengan tatapan tak
lepas memandangi tubuh Jaka, seolah tengah
mengingat-ingat siapa orang muda yang kini berada di hadapannya.
"Kau... Kaukah Jaka Sembada?" tanya Resi Wikalga setelah beberapa saat terdiam.
Patut dipuji kejelian mata tua Resi Wikalga. Meski keadaan tubuhnya lemah, ia
masih mampu menge-
nali Jaka. "Benar, Ki. Nama lengkapku memang Jaka
Sembada," tutur Jaka menjelaskan.
"Oooh...!"
Tiba-tiba Resi Wikalga mengerang lirih. Ka-
kek itu bukan saja terkejut mendengar penga-
kuan Jaka, tapi rasa sakit pada luka-lukanya terasa menyengat
"Sebaiknya kau telan pil ini, Ki," pinta Ja-ka.
Tangannya terjulur memberikan butiran
obat penawar rasa sakit yang selalu dibawanya.
Tujuannya tak lain untuk menolong orang-orang yang ditemuinya di jalan.
Resi Wikalga segera meraih pil yang dis-
odorkan Jaka, dan langsung menelan pil berwar-
na merah itu. Begitu pil pemberian Jaka melewati kerongkongannya, Resi Wikalga
merasakan kha-siat pil yang diminumnya. Rasa nyeri di tubuhnya berangsur-angsur
hilang. "Terima kasih. Raja Petir. Terima kasih. Be-runtung sekali aku berjumpa dengan
kalian," tutur Resi Wikalga. Pandangannya beralih ke wajah cantik Mayang.
Gadis cantik dengan rambut dikepang itu
membalas tatapan Resi Wikalga dengan senyum
manis yang terkembang.
"Jangan panggil aku dengan julukan itu,
Ki," cegah Jaka sungkan.
"Ah, kau memang pantas menyandang ju-
lukan hebat itu, Jaka. Aku sering mendengar sepak-terjangmu. Tentang kehebatan
ilmu-ilmumu dari orang-orang persilatan yang kukenal, namun sayang baru sekarang ini aku
sempat bertatapan muka dengan tokoh muda yang berpijak pada jalan kebenaran
itu," kilah Resi Wikalga.
"Lupakan itu, Ki," sangkal Jaka malu-malu. Mayang yang mendengar ucapan kekasih-
nya merasakan ucapan itu tidak dibuat-buat
Mayang tahu kalau ucapan kekasihnya semata
karena dirinya tidak suka disanjung terlalu berle-bihan. "Sebenarnya apa yang
terjadi denganmu, Ki?" tanya Mayang mencoba menyingkap keka-kuan itu.
Resi Wikalga menatap wajah Jaka dan
Mayang bergantian. Hanya sesaat kemudian Resi
Wikalga menceritakan kejadian yang menimpa
rombongannya. "Sembilan Bocah Sakti"!" gumam Jaka
mengulang julukan yang disebut Resi Wikalga sebagai sumber petaka kejadian yang
dialaminya. "Pernah aku mendengar julukan itu, Ki,"
ucap Jaka kemudian.
"Aku pun demikian, Jaka," Jimpal Resi Wikalga. "Namun ketika kami berjumpa
dengan sembilan bocah yang hanya mengenakan pakaian
mirip cawat itu, semula kami menganggap mereka hanya anak-anak kampung yang
sedang bermain-main di kebeningan air telaga. Namun ternya-
ta...," Resi Wikalga tidak melanjutkan ucapannya.
Hatinya kembali terenyuh mengingat kematian Ki Wanabara dan Bagatada.
"Apakah kira-kira sembilan bocah itu ma-
sih berada di Telaga Perak Desa Liring Sedayu, Ki?" tanya Mayang.
"Entahlah," jawab Resi Wikalga.
"Kakang, apa kita datangi saja Telaga Perak itu?" tukas Mayang. "Rasanya aku
mencium se-suatu yang tak beres dengan keberadaan sembi-
lan bocah itu di Desa Liring Sedayu. Apalagi, mereka bilang tak seorang pun
diizinkan menginjak Desa Liring Sedayu," lanjut Mayang mengulangi cerita Resi
Wikalga. "Kurasa tidak sekarang ini, Mayang," tolak Jaka dengan tatapan mata lembut.
Mayang tidak membantah ucapan Jaka.
Hanya tatapan matanya membalas tatapan keka-
sihnya yang merasa keberatan kalau harus me-
ninggalkan Resi Wikalga yang membutuhkan per-
tolongan. "Ki Wikalga," ucap Jaka pelan, "Ke mana sesungguhnya tujuanmu sekarang?"
Resi Wikalga tidak segera menjawab perta-
nyaan Jaka. Hingga tokoh muda yang berjuluk
Raja Petir itu kembali berujar. "Kami dengan senang hati akan mengantarkanmu,
Ki." "Eh! Terima kasih, Jaka. Aku telah mere-
potkanmu," Resi Wikalga merasa tidak enak dengan kebaikan yang disodorkan Jaka.
"Kami tidak merasa kerepotan, Ki. Kami
merasa ini adalah sebagian dari kewajiban kami,"
tukas Mayang tegas.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ni-
sanak," ucap Resi Wikalga. Kepalanya tertunduk sedikit "Antarkan aku ke
Perguruan Gagak Putih,"
pintanya kemudian.
"Sekarang juga kami akan mengantar kau
ke sana, Ki," tukas Jaka seraya membawa bangkit tubuh Resi Wikalga yang masih
lemah karena banyak mengeluarkan darah akibat luka-lukanya
yang parah. "Maaf, Ki. Agar perjalanan kita ke Pergu-
ruan Gagak Putih tidak memakan banyak waktu,
sebaiknya tubuhmu kubopong saja," pinta Jaka sopan. "Terserahlah, Jaka," ucap
Resi Wikalga. Jaka segera mengangkat tubuh Resi Wikal-
ga dalam bopongannya. Sementara matanya me-
natap wajah gadis cantik yang berjuluk Dewi
Payung Emas. "Ayo, Mayang!" ajak Jaka. Kakinya kemudian menghentak kuat dan tubuhnya melesat
membopong tubuh sesepuh Perguruan Gagak Lo-
reng. "Hip!"
Gadis cantik berpakaian jingga pun segera
melakukan hal yang sama, melesat pergi mening-
galkan perbatasan Desa Liring Sedayu menuju
Perguruan Gagak Putih.
*** Perguruan Gagak Putih seketika menjadi
gempar ketika Jaka dan Mayang datang memba-
wa Resi Wikalga yang terluka parah.
Ki Rayung Sadawa yang merupakan sauda-
ra seperguruan Resi Wikalga merasa terpukul bu-
kan main. Wajah lelaki berusia hampir sama dengan Resi Wikalga itu nampak
kemerahan mena-
han kemarahan yang meluap-luap. Mata pimpi-
nan Perguruan Gagak Putih membelalak tajam
seperti macan hendak memangsa korbannya.
Setelah meletakkan tubuh Resi Wikalga da-
lam kamar khusus di Perguruan Gagak Putih,
dengan seorang tabib perguruan yang dipercaya-
kan untuk menangani keadaan sesepuh Pergu-
ruan Gagak Loreng itu, Ki Rayung Sadawa segera kembali menemui Jaka dan Mayang.
"Terima kasih atas bantuan kalian mem-
bawa Kakang Wikalga kemari. Entah apa jadinya
tanpa pertolongan kalian," ucap Ki Rayung Sadawa dengan hormatnya. Sesungguhnya,
Ki Rayung Sadawa ingin Jaka-lah yang menangani keadaan
Resi Wikalga. Karena Ki Rayung Sadawa yakin
dengan kesaktian yang dimiliki tokoh muda dig-
daya itu. Tetapi Ki Rayung Sadawa merasa tak
enak kalau kembali menyusahkan Jaka yang te-
lah menyelamatkan Resi Wikalga dan memba-
wanya ke Perguruan Gagak Putih.
"Itu hanya suatu kebetulan saja, Ki
Rayung," kilah Jaka merendah. "Kami tidak sen-gaja menemukan Ki Wikalga tergolek
di perbata- san Desa Liring Sedayu. Sebisanya aku menya-
darkannya dan membawanya ke sini sesuai den-
gan pemintaannya," lanjut Jaka.
"Sikap rendah hati itulah yang semakin
membuat nama harum, Raja Petir," tukas Ki Rayung Sadawa memuji sikap pemuda itu.
Me- mang, baru kali ini Ki Rayung Sadawa bertemu
muka dengan tokoh muda digdaya yang namanya
telah menggemparkan dunia persilatan itu. Na-
mun mendengar dari mulut-mulut tokoh persila-
tan tentang kehebatan Raja Petir dan ciri-cirinya sudah lama diketahui.
Dan itu semakin membuat rasa kagum Ki
Rayung Sadawa terhadap Raja Petir bertambah.
Jaka tidak bisa membantah ucapan lelaki
berpakaian hijau muda itu, yang pada bagian
pinggangnya tergantung sebilah pedang berga-


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gang kepala burung gagak terbuat dari emas.
"Aku akan mencari bocah-bocah siluman
itu! Mereka harus bertanggung jawab atas kema-
tian Adi Wanabara, Bagatada, dan delapan belas murid Perguruan Gagak Loreng. Aku
khawatir perbuatan mereka merambat dengan membantai
perguruan-perguruan lain," tukas Ki Rayung Sadawa. Seorang perempuan berusia
empat puluh tahun melangkah cepat-cepat membawa nampan
berisi air minum dan panganan. "Aku tidak menyangka Kakang Wikalga dapat
ditundukkan oleh
bocah-bocah itu," tukasnya sambil meletakkan nampan.
Ki Rayung Sadawa tidak menimpali perka-
taan istrinya. Begitu juga Jaka dan Mayang.
"Kepandaian bocah-bocah itu berarti di
atas kita, Kakang Rayung. Dan Kakang ingin
mencari bocah-bocah itu untuk dimintai pertang-gungjawaban. Apakah itu bukan
suatu hal yang mustahil. Kudengar Sembilan Bocah Sakti telah
banyak menyingkirkan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari golongan hitam dan putih,"
lanjut perempuan berpakaian putih itu.
Ki Rayung Sadawa tersentak juga menden-
gar perkataan wanita itu. Mata lelaki pimpinan Perguruan Gagak Putih menatap
wajah istrinya.
"Tak salah dengarkah telingaku, Nyi?"
tanya Ki Rayung Sadawa. "Kalau aku ingin mencari bocah-bocah siluman itu,
berarti aku telah meletakkan tanggung jawab di pundakku sebagai
tokoh persilatan. Apa kata orang terhadap diriku jika aku berpangku tangan dalam
menghadapi persoalan ini" Siapa pun Sembilan Bocah Sakti
itu aku harus tetap menghadapi mereka. Demi
wibawaku dan perguruanku yang berkaitan den-
gan Kakang Wikalga dan Perguruan Gagak Lo-
reng," mantap ucapan Ki Rayung Sadawa.
Nyi Rayung Sadawa yang duduk di sisi su-
aminya tidak membantah ucapan itu. Nampak-
nya, dia merasa bersalah ucapannya telah me-
nyinggung perasaan suaminya.
"Ayo, cicipi hidangan yang seadanya ini,
Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa mencairkan keka-kuan suasana.
Jaka dan Mayang memenuhi ucapan Ketua
Perguruan Gagak Putih.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang hendak
kau lakukan sekarang, Ki Rayung?" tanya Jaka setelah meminum teh hangat manis
yang disuguhkan Nyi Rayung Sadawa.
"Aku dan beberapa murid utamaku akan
mencari bocah siluman itu, Jaka. Kuharap kalian berdua bersedia melakukan hal
yang sama," jawab Ki Rayung Sadawa.
"Ya," sambut Jaka memenuhi harapan Ki Rayung Sadawa.
"Jika begitu, kalian bergeraklah bersama-
sama," ucap Nyi Rayung Sadawa memberi saran.
Sengaja saran itu dilontarkan Nyi Rayung Sada-
wa, karena jika Ki Rayung Sadawa bergerak ber-
sama-sama dengan Jaka, besar harapannya akan
selamat mengingat kedigdayaan tokoh muda nan
tampan itu belum menemui tandingannya.
"Masalah itu kuserahkan keputusannya
padamu, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa menimpali keinginan istrinya.
Jaka tidak segera memberikan jawaban.
Pemuda itu mampu membaca dari tekanan suara
Ketua Perguruan Gagak Putih, kalau lelaki itu sebenarnya ingin bergerak sendiri
dalam mencari Sembilan Bocah Sakti yang telah membuat mala-
petaka bagi Perguruan Gagak Loreng.
"Bagaimana kalau kita berpencar saja da-
lam mencari bocah-bocah itu, Ki Rayung. Dengan begitu kita akan dapat cepat
menemukan dan secepatnya mengambil tindakan," usul Jaka hati-hati. Dia tidak
ingin menyinggung perasaan Nyi Rayung Sadawa.
"Aku juga berpikiran ke situ, Jaka," sambut Ki Rayung Sadawa mantap. Dengan
berpen- car pekerjaan kita menjadi lebih ringkas," lanjut-
nya. Nyi Rayung Sadawa tidak membantah uca-
pan suaminya. "Tapi kau harus hati-hati, Kakang," ujar-nya pelan. "Biar bagaimanapun, mereka
adalah bocah-bocah sakti yang telah berhasil menundukkan Kakang Wikalga, yang
kepandaiannya je-
las di atas orang-orang di perguruan Gagak Putih ini," lanjut Nyi Rayung Sadawa
penuh kekhawati-ran. "Kau bantulah dengan doa, Nyi. Aku pun akan bertindak hati-
hati," tangan Ki Rayung Sadawa merangkul pundak istrinya untuk meredam
kecemasan yang tergambar di mata perempuan
yang sangat dicintainya itu.
"Jika begitu, izinkanlah kami bergerak lebih dulu, Ki," pinta Mayang yang sejak
kedatan-gannya di Perguruan Gagak Putih tidak sepatah
pun mengeluarkan perkataan.
"Ya. Kurasa lebih baik begitu, Ki Rayung,"
timpal Jaka. Ki Rayung Sadawa menatap wajah Jaka
dan Mayang bergantian. Pimpinan Perguruan Ga-
gak Putih itu merasa berhutang budi pada pasangan pendekar muda itu.
"Ya. Berangkatlah kalian lebih dulu. Beberapa orang muridku akan kuutus untuk
menga- barkan berita buruk ini pada orang-orang Perguruan Gagak Loreng. Setelah itu,
baru kami bergerak mencari bocah-bocah siluman itu," tukas Ki Rayung Sadawa.
"Kalau begitu kami pamit sekarang, Ki,
Nyi," ucap Jaka seraya bangkit berdiri. Mayang segera mengikuti.
Ki Rayung Sadawa dan istrinya mengiringi
langkah Jaka dan Mayang yang telah bergerak
meninggalkan pendopo. Ketika sampai di luar
pendopo Perguruan Gagak Putih, sekali lagi Jaka dan Mayang menatap wajah Ki
Rayung Sadawa. "Permisi, Ki, Nyi," ucap Jaka lagi.
"Hop!"
"Hip!"
Dua sosok tubuh pendekar muda itu seke-
tika melesat bagai angin berhembus. Gerakan mereka yang cepat begitu sedap
dilihat. Tampaknya, ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh
mereka telah mencapai kesem-
purnaan. Ki Rayung Sadawa dan istrinya hanya da-
pat memandangi kepergian Jaka dan Mayang
dengan kekaguman yang tak sempat tercetus.
"Ah, semoga mereka berhasil, Kakang,"
ucap Nyi Rayung Sadawa tak kuasa menyembu-
nyikan harapannya.
*** Sebuah kedai yang terletak di Desa Nura-
barang terlihat begitu ramai oleh pengunjung. Kedai itu memang selalu dipenuhi
pengunjung. Me-
reka bukan hanya ingin menikmati hidangan
yang sudah cukup tersohor kelezatannya. Tetapi
juga memandang dua gadis cantik anak-anak Ki
Sandara pemilik kedai, yang selalu rajin memban-tu melayani tamu-tamu ayahnya.
Dua gadis cantik berusia enam belas tahun
itu adalah anak kembar Ki Sandara. Keduanya
memiliki perangai yang sama. Sabar dan lemah
lembut. Setiap tamu yang datang di kedai Ki Sandara selalu disambutnya dengan
sopan, bahkan tak jarang senyum manis terkembang. Hal seperti itu dilakukan mereka bukan
karena anak-anak Ki Sandara perempuan genit, tetapi mereka berpen-dapat kalau
tamu harus disambut dengan kera-
mahan dan wajah yang manis. Tujuannya tentu
saja agar tamu-tamu itu tidak segan-segan mam-
pir lagi jika suatu saat lewat di depan kedai.
"Silakan, Tuan nikmati dulu hidangan lezat ini. Saya masih harus menyelesaikan
pekerjaan di dalam, " tolak seorang putri Ki Sandara yang sedang menjamu
tamunya. "Temanilah aku sebentar, Nini. Seleraku
akan bertambah kalau kau mau duduk menema-
niku," rayu lelaki berusia tiga puluh tahun. Sementara tangannya terus mencekal
pergelangan tangan anak Ki Sandara yang mengenakan pa-
kaian biru cerah.
Gadis cantik bernama Yayuning itu tidak
kuasa menolak ajakan lelaki berpakaian biru tua.
Kepala gadis bermata bagus itu hanya menoleh ke arah ayahnya yang tengah
menyiapkan makanan
untuk pengunjung kedai yang lain.
"Maaf, Kisanak. Izinkan dulu anakku
membawakan makanan ini untuk tamu-tamu
yang lain," ucap Ki Sandara cukup keras.
Lelaki berpakaian biru tua yang mencekal
tangan Yayuning serta-merta melepaskan ceka-
lannya. Wajah lelaki itu bersemu merah menden-
gar ucapan pemilik kedai yang dirasanya begitu berani. "Aku juga perlu
pelayanannya, Kisanak!"
bentaknya tak kalah keras.
"Aku tahu itu," kilah Ki Sandara cukup berani, "Tapi hidangan ini perlu diantar
untuk ta-mu-tamu yang lain. Baru selesai itu permintaan-mu bisa dipenuhi,"
lanjut Ki Sandara mantap.
Pengunjung kedai itu rupanya jenis lelaki
yang tidak begitu sulit diberi pengertian. Terbukti, dia kembali duduk di
tempatnya dan bersiap menyantap hidangan yang barusan diantar Yayun-
ing. Suasana di dalam kedai kembali tenang. Para pengunjung yang semula cemas
akan terjadi keri-butan kembali menyantap hidangan yang terse-
dia. Pada saat pengunjung kedai tengah me-
nikmati hidangannya, dua bocah berusia tujuh
tahunan tiba-tiba masuk dan langsung menuju
ke dapur tempat Ki Sandara dan kedua anak ga-
disnya tengah berkumpul.
"Hai! Anak Manis, ada perlu apa kalian ke sini?" tanya Yayuning beranjak
mendekati dua anak lelaki kecil itu, yang hanya mengenakan se-lembar cawat
berwarna hitam.
Dua bocah bercawat hitam yang tak lain
Bla dan Dbo menatap tajam wajah Yayuning.
"Aku perlu kau!" ucap Bla keras dengan ja-ri telunjuk menuding wajah anak Ki
Sandara. "Aku?" tanya Yayuning yang ditunjuk oleh Bla. "Ah, Ayah. Anak ini lucu sekali,"
ucap Yayuning lagi.
Ki Sandara yang tidak melihat sosok Bla
dan Dbo terpaksa memanjangkan lehernya untuk
melihat bocah lucu yang disebut Yayuning.
"Kau perlu apa dengan Yayuning, Anak
Manis?" tanya Ki Sandara.
Bocah bercawat hitam bernama Bla tidak
menjawab pertanyaan Ki Sandara. Tatapan ta-
jamnya tetap tertuju ke wajah cantik Yayuning.
"Kemari kau!" keras ucapan Bla dengan jari kembali menuding wajah Yayuning.
Yayuning tanpa diminta sekali lagi segera
saja menghampiri Bla. "Ada apa?" tanya Yayuning dengan kepala sedikit
direndahkan. Tak ada jawaban atas pertanyaan Yayun-
ing. Namun, tiba-tiba saja tangan Bla bergerak cepat ke bagian dada anak Ki
Sandara itu. Brets! "Ekh!"
Yayuning terpekik keras mendapatkan apa
yang dilakukan bocah kecil di hadapannya. Tu-
buhnya langsung melangkah mundur ketika da-
danya terasa perih dan pakaiannya yang tersam-
bar tangan Bla koyak.
Ki Sandara pun tak kalah terkejutnya me-
lihat perbuatan anak kecil bercawat hitam itu.
Langkahnya segera bergerak maju untuk mence-
gah perbuatan Bla yang hendak diulangi.
"Bocah Setan! Pergi kalian!" bentak Ki Sandara mengusir.
Bla dan Dbo mendelik mendengar benta-
kan Ki Sandara. Kemudian, tubuh dua bocah ke-
cil yang tak lain dua dari Sembilan Bocah Sakti mencelat ke atas meja dapur.
Dengan kecepatan
yang luar biasa tangan Bla dan Dbo bersama-
sama bergerak ke wajah Ki Sahdara.
Brets! Brets! "Aaa...!"
Ki Sandara memekik keras. Tubuhnya se-
ketika limbung dan jatuh berdebuk. Wajah Ki
Sandara mengucurkan darah akibat cakaran dua
bocah bercawat. Dari mulut pemilik kedai itu terdengar erangan kesakitan.
Suara ribut-ribut di dapur membuat para
pengunjung yang tengah menikmati hidangan se-
gera berdatangan. Mereka terkejut bukan main
ketika menyaksikan tubuh Ki Sandara tergolek di tanah dengan wajah koyak bekas
cakaran. Darah mengucur dari luka itu.
"Tolooong...!"
Yayuning memekik ketakutan ketika Bla
kembali hendak melayangkan cakarnya. Gadis
cantik anak Ki Sandara itu sudah terpepet di sudut dapur.
"Bocah Setan! Apa yang hendak kau laku-
kan di sini, heh"!" bentak lelaki tiga puluhan yang
tadi minta ditemani Yayuning. Langkah lelaki
berpakaian biru itu terayun hendak membopong
tubuh Bla dari belakang. Namun....
"Mampus kau!"
Seraya membalikkan tubuh, tangan kanan
Bla dengan jari yang ditumbuhi kuku-kuku runc-
ing berkelebat cepat ke arah leher lelaki berpakaian biru tua.
Wrrrttt...! "Uts!"
Lelaki itu menarik tubuhnya ke belakang
menghindari sambaran tangan Bla. Usaha itu
memang berhasil menyelamatkannya. Namun te-
man Bla, yakni Dbo, bergerak memberi serangan
susulan dengan loncatan cepat. Tendangannya terarah ke dada lelaki berpakaian
biru tua. "Haaaiiit..!"
Blagkg! "Aaa...!"
Brukkk! Tubuh lelaki berpakaian biru tua mental


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dapur dan jatuh di ruang makan menimpa
meja salah seorang pengunjung. Hanya sesaat tubuh lelaki itu mengejang. Pada
saat berikutnya tubuhnya telah terbujur kaku dengan nyawa terlepas dari raga.
Kenyataan itu membuat orang-orang gagah
yang berada di dalam kedai segera bergerak un-
tuk meringkus dua bocah aneh bercawat hitam
yang telah menewaskan Ki Sandara dan seorang
pengunjung kedai.
"Ringkus Bocah Setan itu! Jangan biarkan
lolos!" keras ucapan seorang lelaki yang pada bagian punggungnya menggelantung
sebatang pe- dang. Rupanya, lelaki itu adalah orang persilatan.
Bla dan Dbo yang mendengar ucapan itu
hanya mendengus marah. Kemudian tubuh kedua
bocah itu melesat keluar dari dapur kedai Ki Sandara. "Jangan biarkan bocah-
bocah itu lolos!"
ucap salah seorang pengunjung kedai. Tubuh le-
laki itu sendiri melesat cepat mengejar Bla dan Dbo yang sudah berada di luar
kedai. "Kami tidak akan kabur, Kisanak sekalian!
Justru nyawa kalianlah yang akan lolos dari raga.
Saat ini juga!" bentak Bla di luar perkiraan orang-orang gagah yang menjadi
pengunjung kedai.
"Bocah Setan! Ayo, tangkap mereka!" perintah lelaki yang di punggungnya
tersandang sebatang pedang.
"Ayooo...!" setuju yang lain.
4 Tujuh lelaki pengunjung kedai yang berpe-
nampilan seperti orang persilatan segera meluruk maju hendak meringkus Bla dan
Dbo. Gerakan mereka seakan hendak menangkap anak kecil
yang melarikan mainan adiknya. Kenyataan itu
tentu saja membuat Bla dan Dbo semakin men-
ganggap rendah lawan-lawannya. Keduanya ber-
gerak cepat dengan sambaran tangan dan kaki,
membuat para pengeroyoknya kalang kabut
menghindari cakaran dan sampokan kaki mereka
yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi.
Wrrrttt! Wughg! "Heh..."!"
Lelaki yang pada bagian punggungnya ter-
dapat pedang panjang tampak terkejut. Sambaran tangan yang baru saja berhasil
dielakkan berganti dengan sambaran kaki yang cukup keras, terarah ke batang
lehernya. Tubuh Dbo melayang bagai seekor burung
terbang. Plak! "Aaakh!"
Ketika benturan keras terjadi karena lelaki
itu memapaki dengan tangan, pekik kesakitan
pun terdengar. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terhuyung tiga langkah ke
belakang. Sementara
tubuh Dbo yang melancarkan tendangan cukup
keras berdiri tegak di tanah. Tidak terlihat bocah kecil itu kalah dalam adu
tenaga. "Haaaiiit..!"
Belum lagi lawan Dbo berhasil memperbai-
ki kedudukan, bocah bercawat hitam itu telah
melejit cepat dengan sepasang tangan bergerak
mencecar leher.
Lelaki berpakaian merah yang telah mera-
sakan kehebatan lawan tidak ingin ambil akibat.
Maka, meski dalam keadaan kaki kurang pas
menjejak tanah, disempatkannya juga untuk me-
loloskan pedang.
Srattt! Namun baru saja pedang itu keluar dari
warangkanya, dan belum lagi siap ditebaskan ke arah lawan, serangan Dbo yang
begitu cepat telah datang lebih dulu.
Crattt! Crappp! "Aaa...!"
Pekik membumbung tinggi ke langit pun
seketika terdengar cukup keras. Tubuh lelaki
berpakaian merah yang bagian leher kiri-
kanannya tertembus kuku-kuku runcing Dbo
menggelinjang-gelinjang bagai ayam disembelih.
Wrrrttt! Dan ketika jari-jari Dbo terlepas dari leher
lawan, seketika itu juga tubuh lelaki berpakaian merah menggeloso di tanah
dengan nyawa melayang pergi.
Apa yang dilakukan Dbo dapat disaksikan
pula pada sepak-terjang Bla yang begitu menggi-riskan. Bla tidak membiarkan
lawan-lawannya mengambil napas. Tubuh Bla berkelebatan cepat
bagai malaikat pencabut nyawa. Setiap gerakan
yang dilakukannya sebuah nyawa menjadi taru-
hannya. Seperti saat ini. Tubuh Bla kembali me-
layang di udara dengan cakar berkuku runcing
yang hendak dibenamkan di tubuh lelaki berpa-
kaian hitam yang tengah terhuyung-huyung.
"Haaaiiit..!"
Plakkk! "Eikh..."!"
*** Tubuh Bla terhuyung dua langkah ketika
sambaran tangannya dipapaki sosok kuning kee-
masan yang bergerak cepat. Kini sosok bayangan kuning yang menyelamatkan lelaki
berpakaian hitam telah menjejakkan kakinya di tanah.
"Nghrg...!"
Bla mengerang marah melihat sosok lelaki
berpakaian kuning keemasan berdiri di depan ca-lon korbannya. Tatapan Bla yang
membara bagai seekor serigala terluka merayapi sekujur tubuh lelaki berwajah tampan itu. Dan
ketika tatapan matanya membentur gagang pedang yang menggelantung di leher
pemuda itu, mata Bla untuk
sesaat terpejam. Ketika terbuka, tatapannya sudah terarah ke tempat lain.
Lelaki berpakaian kuning keemasan yang
tak lain Jaka hanya membalas tatapan mata Bla
dengan senyum terkembang. Namun, pikiran to-
koh muda yang berjuluk Raja Petir itu segera
mengambil kesimpulan kalau bocah yang dihada-
pinya adalah dua dari Sembilan Bocah Sakti.
"Hm.... Aku harus meringkus dua bocah itu hidup-hidup, " gumam Raja Petir dalam
hati. "Kakang,... Bukankah bocah-bocah itu...?"
Mayang yang baru tiba di tempat kejadian lang-
sung menyatakan dugaannya.
"Kau benar, Mayang," timpal Jaka memo-tong ucapan kekasihnya. "Hati-hatilah kau
meng-hadapinya. Jangan memandang remeh," lanjutnya menasihati.
Mayang tidak menimpali ucapan Jaka. Ta-
tapan matanya tertuju pada dua bocah kecil yang telapak tangan mereka penuh
berlumuran darah.
"Kita harus menangkapnya hidup-hidup
untuk mengorek keterangan di mana ketujuh re-
kannya yang lain. Sekaligus mengetahui tujuan
mereka yang selalu membunuh setiap orang yang
dijumpai," tukas Jaka dengan berbisik.
"Ya, Kakang. Kita memang harus segera
meringkus bocah-bocah setan itu," timpal
Mayang. "Bersiaplah, Mayang. Nampaknya dua bo-
cah itu sudah tahu siapa kita sebenarnya. Lihat!
Dua bocah itu tengah menyiapkan ilmunya yang
bukan mustahil sangat berbahaya. Berhati-
hatilah, Mayang."
Belum selesai gema ucapan Jaka meman-
tul di sudut hati Mayang. Sosok tubuh dua bocah bercawat hitam itu sudah
berkelebat cepat dengan tangan terentang kuat. Tangan itu telah berubah menjadi
kemerah-merahan.
"Sepasang Tangan Bocah Sakti'!" teriak Bla menyebut nama ilmu yang akan
dilancarkan untuk menyerang Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
"Haaaiiit..!"
"Haiiit..!"
Jaka dan Mayang yang memang sudah
bersiap segera mengerahkan jurus masing-masing untuk mematahkan serangan lawan.
Raja Petir dengan jurus menghindarnya yang bernama
'Lejitan Lidah Petir' segera berkelebat ketika serangan Bla dengan cepat
menyambar wajahnya.
Serangan pembuka yang dilancarkan Bla
memang berhasil dikandaskan Jaka. Kenyataan
itu membuat bocah bercawat hitam semakin
murka. Dia kembali melancarkan serangan yang
tak kalah cepat
"Hyaaa...!"
Wrrrttt! Uts! Jaka melentingkan tubuhnya ke udara ke-
tika serangan Bla terarah ke bagian bawah tu-
buhnya. Namun siapa sangka kalau setelah se-
rangannya gagal, Bla seperti udang di dalam
tangguk. Tubuhnya meletik indah dengan tangan
bergerak memberikan serangan susulan ke arah
dagu Raja Petir.
Jaka yang sempat terkejut menyaksikan
gerakan aneh lawan, segera menyadari kalau la-
wan betul-betul memiliki kepandaian tinggi. Maka untuk dapat mengandaskan
serangan Bla, Raja
Petir segera melintangkan tangannya memapaki
serangan. Plakkk! "Heh..."!"
Jaka terkejut bukan main. Ketika benturan
keras terjadi, dia merasakan hawa aneh menelu-
sup masuk melalui persentuhan kulit. Hawa aneh yang dirasakan Jaka begitu cepat
menelusup. Seketika itu juga Jaka merasakan ulu hatinya mual, seperti ingin
muntah. Kepalanya pun terasa ber-denyut-denyut pening.
"Hati-hati, Mayang! Usahakan jangan ber-
sentuhan dengan lawanmu!" tukas Jaka lantang.
Meski kepalanya dirasakan berputar hebat, dan
rasa mual di ulu hatinya semakin menjadi-jadi.
Rasa khawatirnya pada keselamatan Mayang
membuat Jaka meneriakkan peringatan itu.
Peringatan Jaka yang keras memang di-
dengar oleh Mayang. Dara manis yang berjuluk
Dewi Payung Emas segera mengembangkan senja-
ta andalannya yang berupa payung kecil dari logam keras berwarna kuning
keemasan. Sementara itu, Raja Petir yang tengah ter-
pengaruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' segera mengatasinya dengan 'Aji
Kukuh Karang'. Ajian itu berguna untuk mengusir pengaruh ber-
macam ilmu yang menelusup masuk ke tubuh-
nya. Maka, sebentar kemudian tubuh Jaka ter-
bungkus sinar kuning menyilaukan mata pada
bagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung kaki. Agaknya 'Aji Kukuh
Karang' tengah bekerja.
Dan ketika tangan Jaka yang barusan berpapa-
kan dengan tangan Bla dihentakkan kuat-kuat,
maka.... Slats! Sinar kemerahan yang merupakan penga-
ruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' mencelat keluar mengejar tubuh pemiliknya
sendiri. "Hops!"
Bla yang tidak menyangka Jaka dapat me-
redam keampuhan ilmunya segera menghentak-
kan kaki keras-keras menghindari luncuran sinar kemerahan yang meluruk cepat ke
arahnya. Tubuh bocah cilik yang terbungkus sehelai cawat
berputaran indah di udara. Gerakannya bagai
seekor burung walet menjumput air.
Jlieg! Tubuh kecil itu mendarat di tanah dengan
mantap. Sementara sinar kemerahan yang berha-
sil dielakkannya terus meluncur. Dan ketika me-nabrak sebatang pohon besar, maka
yang terja- di.... Blarrr! Brakkk! Bunyi ledakan keras terdengar diiringi den-
gan ambruknya pohon sebesar pelukan lelaki de-
wasa. Batang pohon itu hangus terbakar. Jika sinar merah itu menerpa sosok
manusia, tak ter-
bayangkan lagi akibat yang lebih mengerikan dari sebuah kematian.
"Hi hi hi...! Kau memang hebat, Raja Petir,"
ucap Bla mengenali sosok yang menjadi lawan-
nya. Ucapan Bla tak mengejutkan Jaka. Malah
hati, Jaka bertambah yakin kalau bocah cilik di hadapannya bukan bocah yang
sewajarnya. Tapi
merupakan jelmaan seorang tokoh sakti yang ke-
hadirannya tidak ingin diketahui.
"Raja Petir! Hari ini nama harummu akan
terkubur. Tantanglah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' jika kau ingin
mempertahankan nama harummu. Namun, jangan harap hal
itu akan dapat kau lakukan!" tukas Bla mantap.
Suaranya menggelegar meski terdengar nyaring
bagai suara bocah tujuh tahun.
Sementara Raja Petir dengan tenang terus
menyaksikan apa yang akan dilakukan lawannya.
Pada saat itu lawannya belum menggenggam sen-
jata yang dikatakannya sebagai sebatang pedang.
Dan ketika Bla memejamkan matanya, se-
saat kemudian lewat ubun-ubunnya muncul
ujung senjata yang dikatakannya sebagai pedang.
Ujung pedang itu semakin lama semakin meman-
jang. Dan ketika mencapai ukurannya, Bla segera meraih senjatanya yang ternyata
disimpan di dalam tubuh. "Bersiaplah, Raja Petir!" tukas Bla lantang. Sementara
itu, penghuni kedai yang hanya tinggal Yayuning, Partining, dan lelaki yang


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah diselamatkan Jaka bersembunyi di balik meja
yang berantakan. Mata mereka terus menyaksi-
kan pertarungan dengan hati berdebar cemas.
Jaka pun merasa cemas mengingat Mayang
yang tengah berhadapan dengan Dbo. Bocah yang
juga bercawat hitam itu pasti akan mengerahkan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka
Berkabung', yang ketika muncul dari tubuh Bla dirasakan Ja-ka kedahsyatan pamor pedang yang
panjangnya sama dengan tinggi tubuh pemiliknya.
"Mudah-mudahan saja Mayang mampu
menandingi ilmu setan itu," gumam Jaka dalam hati. Pada saat kecemasan Jaka akan
keselamatan kekasihnya berlangsung, Bla si bocah cilik bercawat hitam melesat
dengan pekikan aneh.
Pekikannya nyaris mirip suara anjing terjepit.
"Kaingngng...!"
Seperti gangsing, tubuh Bla berputar-putar
di udara. Bunyi menderu pun seketika terdengar memekakkan telinga. Sekujur tubuh
bocah bercawat hitam itu terbungkus sinar kemerahan, seperti halnya pedang di
tangannya. Menghadapi ilmu aneh lawannya. Raja Pe-
tir segera mengerahkan 'Aji Bayang-Bayang'. Sosok Raja Petir menjadi lima kali
lipat banyaknya.
Dan ketika tebasan pedang Bla mengarah ke tu-
buhnya.... Breberrrt..! "Hops...!"
"Heh"!"
5 Tubuh Raja Petir melenting cepat dengan
hentakan kuat pada permukaan tanah. Sungguh
Raja Petir tidak menyangka bocah bercawat hitam itu mampu membaca kelemahan ilmu
yang disuguhkan nya. Hampir saja tubuh Raja Petir dilumat kedahsyatan sambaran
senjata Bla yang me-
nyebarkan hawa panas menyengat
Jlegkh! Sosok Raja Petir mendarat dengan indah di
tanah empat tombak jauhnya dari kedudukan la-
wan, setelah berputaran beberapa kali di udara.
"Ush!"
Raja Petir melepaskan napasnya yang tera-
sa sesak. Pemuda itu merasakan kulitnya bagai
terpanggang bara.
"Apa perlu kukerahkan Sabuk Petir ini?"
Raja Petir bergumam sendiri, sementara tatapannya memandang sabuk hijau yang
melilit ping- gangnya, dengan tangan sudah memegang ujung
Sabuk Petir. Klangngng...! "Akh!"
Tercekat hati Raja Petir mendengar suara
dentang senjata beradu dan pekik tertahan yang keluar dari mulut Mayang.
"Mayang...!" panggil Raja Petir mence-maskan keadaan kekasihnya.
Bersamaan dengan kecemasannya yang
menjadi-jadi, bocah cilik bercawat hitam yang
menjadi lawan Raja Petir kembali melesat memberikan serangan susulan. Pedangnya
yang memen- darkan sinar kemerahan terayun di udara.
"Kaingngng...!"
Wrrrr...! Tubuh Bla melesat dan berputaran bagai
gangsing. Warna kemerahan nampak bergulung-
gulung di udara, membuat kerikil-kerikil yang be-
rada di sekitar arena pertarungan berpentalan.
Dan daun-daun berguguran dengan warna yang
Pedang Langit Dan Golok Naga 22 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2
^