Pencarian

Sembilan Bocah Sakti 2

Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti Bagian 2


berubah menjadi hitam. Hangus.
"Hmrh...!"
Jaka mendengus kesal melihat kebengisan
lawan. Namun, ia harus cepat menolong kekasih-
nya menghadapi Dbo. Maka tanpa pikir panjang
lagi tangan kanan Jaka segera menarik ujung Sabuk Petir.
Rrrrttt! Sinar kuning kemilau pun seketika ber-
pendar dari Sabuk Petir yang berwarna hijau,
hingga suasana di sekitarnya menjadi terang. Dan ketika tebasan ilmu 'Pedang
Selaksa Iblis Neraka Berkabung' datang. Raja Petir segera mengimban-ginya dengan
ilmu 'Petir Membelah Malam'.
Cletar! Glarrr! "Kaingngng...!"
Lidah Sabuk Petir yang terayun dalam ju-
rus 'Petir Membelah Malam' dengan tepat meng-
hantam segulungan sinar kemerahan yang tak
lain wujud dari Pedang Iblis Neraka yang diputar dengan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya, tubuh Bla tergempur mundur lima langkah. Sementara senjata andalannya
terpental lebih jauh dan patah dua. Namun senjata yang patah itu tiba-tiba raib,
tinggal patahan bagian ujungnya saja yang masih terlihat menggeletak di tanah.
"Eugkh!" Bla mengerang kesakitan sesaat ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka
Berkabung' mampu dilumpuhkan Jaka dengan jurus 'Petir
Membelah Malam'.
Akan tetap patut dipuji kepandaian bocah
bercawat hitam itu. Begitu juga dengan daya tahan tubuhnya. Seharusnya, orang
yang terhan- tam jurus 'Sabuk Petir Membelah Malam' sudah
tergeletak menjadi bangkai dengan tubuh hangus bagai tersambar petir. Namun apa
yang disaksikan Jaka terhadap tubuh Bla" Sungguh Jaka ti-
dak habis pikir. Tubuh Bla sedikit pun tidak
mengalami luka, apalagi hangus seperti luka bakar. Yang terlihat hanya napas
bocah bercawat hitam itu tersengal-sengal setelah terhantam jurus 'Petir
Membelah Malam'.
"Kaingngngh...!"
Di tengah keterpesonaan Jaka terhadap ke-
tangguhan lawan, sepasang mata pemuda itu
menangkap kelebatan lawan Mayang tengah men-
gerahkan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung'.
"Awaaas..., Mayang!" pekik Raja Petir memperingatkan kekasihnya akan kedahsyatan
ilmu yang sedang dipamerkan lawan.
"Hops!"
Raja Petir menghentakkan kakinya kuat-
kuat. Tubuhnya melesat bagai kilat dengan Sabuk Petir tergenggam di tangan
kanan, siap memainkan jurus 'Petir Membelah Malam'.
"Hyaaattt...!"
Cletar...! Glarrrr...! Ketika Sabuk Petir terayun dengan penge-
rahan tenaga dalam tinggi, seberkas sinar bagai lidah petir melesat cepat dan
menghantam sinar merah yang bergulung di atas kepala Dbo.
Bocah cilik bercawat hitam yang menjadi
lawan Dewi Payung Emas memekik keras. Tu-
buhnya tergempur mundur enam langkah. Se-
dang senjatanya yang bernama Pedang Iblis Nera-ka terpental lebih jauh dengan
keadaan yang tidak utuh lagi. Patahannya yang masih menempel
pada gagang seketika raib tak berbekas. Tetapi patahan ujungnya tergeletak di
tanah dengan warna yang berubah menjadi hitam legam.
"Eugkh...!"
Seperti yang dialami rekannya, Dbo si bo-
cah bercawat hitam mengerang kesakitan. Malah, keadaannya lebih parah dari Bla
yang menjadi lawan Jaka. Tubuh Dbo terkulai di tanah. Dari
sudut bibirnya tampak cairan merah.
"Dbo..."!" teriak Bla mengkhawatirkan keadaan temannya. Dengan langkah terseok-
seok Bla menghampiri Dbo. "Kau tak apa-apa Dbo" Hu hu hu...," tiba-tiba Bla
menangis bagai anak kecil yang tidak kebagian kembang gula.
Dbo yang menyaksikan Bla menangis sedih
dengan air mata bercucuran, ikut melakukan hal yang sama. Dbo malah menangis
lebih keras. "Huuu hu hu...!"
Jaka dan Mayang tentu saja tercengang
melihat kelakuan aneh bocah-bocah sakti yang
telah berhasil dilumpuhkannya. Begitu juga
Yayuning, Partining, dan lelaki berpakaian hitam yang diselamatkan Jaka. Ketiga
orang itu keluar dari tempat persembunyiannya di balik meja kedai. Mereka
keheranan mendengar tangis dua bo-
cah sakti yang sepak-terjangnya sangat menggi-
riskan. Yayuning dan saudara kembarnya saling
berpandangan dengan tidak mengerti.
"Dbo! Sekarang kita tidak punya apa-apa
lagi. Kesaktian kita musnah karena Pedang Iblis Neraka sudah raib dari tubuh
kita. Kita tak punya harga lagi di mata Kakang Gora. Hu hu hu...!" Bla kembali
menangkis keras. Tangannya merangkul
tubuh Dbo. Jaka dan Mayang yang mendengar ucapan
Bla menjadi mengerti mengapa mereka menangis.
Rupanya, Pedang Iblis Neraka-lah yang menjadi
sumber kekuatan mereka.
"Sebaiknya cepat kita ringkus bocah-bocah itu, Kakang," usul Mayang tak ingin
buang waktu. "Ya, Mayang. Kita memang harus segera
mendapatkan keterangan dari bocah-bocah itu,"
timpal Jaka menyetujui usul kekasihnya.
Langkah Mayang terayun lebih dulu hen-
dak menangkap Bla dan Dbo yang masih berang-
kulan. Sementara Jaka mengikuti langkah keka-
sihnya. Tetapi.....
"Kak! Kak....kak!" tiba-tiba terdengar suara tawa yang dikeluarkan melalui
pengerahan tenaga dalam tinggi. Bersamaan dengan itu melesat tiga sosok bayangan
menuju Jaka dan Mayang yang
tengah mengayunkan langkah menghampiri Dbo
dan Bla. Jlig! Jligk! Jligk! Tiga sosok tubuh tinggi besar berpakaian
seorang pendeta melesat cepat dan mendarat
dengan ringan di samping kiri Raja Petir.
Tiga lelaki yang berambut merah panjang
terurai itu berdiri pongah dengan tatapan mata setajam elang, tertuju lurus pada
wajah Jaka dan Mayang. Ketiga sosok itu bersenjatakan tasbih
merah. Mereka adalah tiga lelaki berambut panjang yang berjuluk 'Tiga Pendeta
Rambut Api'. Orang pertama dari Tiga Pendeta Rambut
Api bernama Ekalaya. Seperti kedua rekannya,
tubuh Ekalaya tinggi besar dan berotot meling-
kar-lingkar. Yang membedakannya hanya pada
matanya yang sipit seperti mata bangsa Tiongkok.
Sedangkan orang kedua dan ketiga bernama So-
naga dan Burita. Keduanya memiliki perbedaan
pada hidungnya yang besar nyaris mirip buah
tomat, dan mulutnya yang monyong.
"Hi hi hi...! Sungguh tak kusangka tokoh
sakti yang namanya harum semerbak bak bunga
surgawi memiliki sifat berbau busuk bagai bunga comberan!" tukas Ekalaya dengan
tawanya yang tergelak. Bola mata lelaki itu menjadi tak nampak. Yang terlihat
hanya sebaris garis memanjang di antara hidungnya yang melengkung.
Jaka dan Mayang sendiri tampak tenang-
tenang saja menyaksikan kemunculan tiga pende-
ta itu. Begitu juga ketika ucapan menghina keluar
dari mulut lelaki bermata sipit, sedikit pun tidak terdengar suara Jaka
menentang ucapan itu.
Sebaliknya, Bla dan Dbo seperti mendapat
kesempatan untuk menyelamatkan diri dengan
munculnya Tiga Pendeta Rambut Api. Hati kedua
bocah bercawat hitam itu merasa gembira. Itu terlihat dari wajah mereka yang
tidak lagi menun-
jukkan kecemasan.
"Raja Petir! Tak malukah kau hendak
membunuh dua bocah tak berdaya itu"! Inikah
yang dinamakan pendekar bijak dari golongan lurus" Perbuatan serendah inikah
yang dinamakan pengabdian untuk kaum lemah dan tak bersa-
lah?" sambut orang kedua dari Tiga Pendeta Rambut Api yang bernama Sonaga.
Ucapannya tegas dan tajam menusuk.
"Kau harus menebus dengan nyawa akibat
perbuatanmu ini. Raja Petir. Perbuatan rendah
yang tak patut dilakukan tokoh digdaya seperti-mu! Kami, Tiga Pendeta Rambut
Api, akan meng-
hukum kalian sekarang juga! Bersiaplah untuk
melayat ke lubang kubur!" sentak orang ketiga yang bernama Burita. Jari
telunjuknya bergerak-gerak menuding wajah Jaka dan Mayang.
"Hmmm...," Jaka bergumam tak jelas sebelum menimpali ucapan Tiga Pendeta Rambut
Api. "Kalian orang-orang sesat memang pandai bersilat lidah untuk melindungi kaum
segolongan!" sentak Jaka dengan suara yang ditekan, hingga keluar
dengan kewibawaan yang jelas dirasakan oleh Ti-ga Pendeta Rambut Api. Seketika
wajah mereka bersemu merah. "Ya. Kalian memang penjilat-penjilat kotoran anjing!" timpal Mayang semakin
membuat wajah Tiga Pendeta Rambut Api bagai panas ter-
panggang. "Silakan maju jika kalian memang mau menghukum Raja Petir dan Dewi
Payung Emas,"
lanjut Mayang menantang.
"Betina Liar!" timpal Burita memaki. Langkah kakinya terayun dua tindak.
"Bersiaplah untuk mampus, Betina Jelek!"
hina Burita. Srattt! Mayang tidak terkejut menyaksikan lelaki
tinggi besar bermulut monyong itu memamerkan
butiran tasbih besar berwarna merah darah. Ma-
lah, tatapan Dewi Payung Emas dipertajam me-
melototi wajah Burita.
"Lelaki monyong bau kentut! Buang saja
tasbih bututmu itu!" sentak Mayang menghina.
"Betina Gila! Kurancah mulutmu!" maki Burita dengan langkah panjang menghampiri
sosok Mayang. Jaka semula ingin melindungi kekasihnya.
Namun Mayang melarangnya. "Biarkan kuberi pe-lajaran lelaki bau tai itu,
Kakang," pinta Mayang.
Jaka yang memang tidak mau menying-
gung perasaan kekasihnya segera menggeser tu-
buhnya. "Seranglah aku!" tantang Mayang tegas
"Hmrh...!" Burita mendengus kesal.
"Hoaaa...!"
Teriakan Burita yang keras mengiringi
mencelatnya tubuh besarnya dengan tasbih ber-
putar bagai baling-baling, hingga menimbulkan
deru memekakkan telinga. Jelas, dalam serangan pembuka itu Burita telah
mengeluarkan tenaga
dalamnya. Untuk menghadapi serangan lelaki bermu-
lut monyong itu, Dewi Payung Emas segera men-
gerahkan jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air'.
Sosok dara manis yang mengenakan pakaian
jingga kini telah siap menyongsong serangan Burita. Brrrtt!
"Uts!"
Tubuh Mayang mencelat menghindari
sambaran tasbih Burita yang menimbulkan deru
hebat. Tubuh dara berambut panjang dikepang
itu berputaran dua kali di udara. Dan ketika tubuhnya mendarat di tanah, dengan
ciri khas ju- rus 'Menepak Laut Menggenggam Air', tubuhnya
kembali melesat memberikan serangan balasan
dengan sodokan ujung payung yang runcing ke
arah leher lawan.
"Mampus kau, Monyong!" teriak Mayang dengan mengarahkan senjatanya.
Wuttt! "Hits!"
Burita memiringkan tubuhnya ke samping
kanan menghindari tusukan ujung payung
Mayang. Namun gerakan itulah yang memang di-
tunggu-tunggu kekasih Raja Petir. Sesaat tubuh
Burita doyong ke kanan, sebuah tendangan me-
mutar yang cukup keras dilakukan Dewi Payung
Emas. "Hiaaattt...!"
Blugkh! "Hegk!"
Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke
samping kiri. Tendangan memutar yang dilancar-
kan Dewi Payung Emas mendarat dengan telak di
bahu kanannya. Kenyataan itu membuat Ekalaya dan So-
naga terhenyak. Serta-merta mereka meluruk
menyerang Dewi Payung Emas.
Di situlah letak perbedaan tokoh-tokoh ali-
ran sesat dengan tokoh yang berpijak di bumi kebenaran. Tokoh sesat aliran hitam
tidak akan segan-segan melakukan pengeroyokan terhadap la-
wan, meski dia seorang perempuan. Seperti yang dilakukan Ekalaya dan Sonaga
sekarang ini. "Biarkan temanmu bermain-main dengan
temanku, Kisanak," cegah Jaka melompat menghadang Ekalaya dan Sonaga. "Kalian
berdua adalah lawanku," ucapnya menantang.
"Setan Belang!" maki Ekalaya geram.
Dua tokoh yang berjuluk Pendeta Rambut
Api segera merangsek tubuh Jaka dengan lang-
sung mengerahkan jurus andalan mereka yang
bernama 'Tasbih Pemecah Karang'. Bunyi angin
menderu terdengar mengiringi berputarnya tasbih besar di genggaman tangan
Ekalaya dan Sonaga.
"Sudah lama aku hendak menjajal kemam-
puanmu. Raja Petir. Hadapilah serangan mautku.
Hiyaaa...!"
Breberr! Brebert!


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uts!"
Tubuh Raja Petir mencelat indah menghin-
dari serangan bersamaan yang dilancarkan orang pertama dan kedua Tiga Pendeta
Rambut Api. Jurus 'Lejitan Lidah Petir' memang cukup tepat dis-ajikan Jaka untuk
melumpuhkan serangan kedua
lawannya. Terbukti, serangan maut yang dilan-
carkan Ekalaya dan Burita hanya menerpa angin
kosong. Malah, keduanya harus jungkir balik
menghindar ketika Jaka memadukan jurus
'Lejitan Lidah Petir' dengan jurus 'Petir Menyambar Liang'.
"Jangan lengah, Sobat!" ucap Jaka memperingatkan lawan. Sementara tangannya
terus me- luruk cepat ke dada Ekalaya dan kepala Burita.
"Hup!"
"Hup!"
Dua dari Tiga Pendeta Rambut Api berlom-
patan cepat menghindari serangan Jaka. Tubuh
mereka berpencar ke dua arah.
Di tempat lain, nampak dua bocah berca-
wat yang bernama Bla dan Dbo bergerak perla-
han-lahan menjauhi arena pertarungan. Kedua-
nya berharap Raja Petir yang telah berhasil me-lumpuhkannya tidak melihat
perbuatan mereka.
Kalau pun melihat, Bla dan Dbo berharap Raja
Petir tidak mengejarnya.
Harapan dua bocah yang telah musnah ke-
saktiannya itu memang terkabul. Jaka yang sibuk menghadapi gempuran-gempuran
dahsyat Ekalaya dan Sonaga tidak sempat memperhatikan
perbuatan mereka. Hingga akhirnya tubuh Bla
dan Dbo menghilang di balik rerimbunan belukar Desa Nurabarang.
Kembali ke arena pertarungan antara
Mayang dan Burita, lelaki berpakaian pendeta itu terdesak hebat oleh jurus-jurus
yang dikerahkan Dewi Payung Emas. Namun karena kekeraskepa-laannya yang hendak
menjatuhkan gadis cantik
itu, Burita terus saja berusaha menggempur
Mayang tanpa mempedulikan pertahanannya.
Mayang yang cerdik dan bertarung dengan
ketenangannya yang luar biasa segera mampu
membaca kelemahan pertahanan Burita. Maka
ketika serangan Burita datang dengan pengera-
han jurus 'Tasbih Pemecah Karang', seketika itu juga Mayang mengembangkan
senjatanya yang
berupa payung kecil terbuat dari logam.
Rrrttt...! Tlangngng! Bunyi benturan keras pun terdengar ketika
dua tenaga dalam yang tersalur lewat senjata Burita dan Mayang bertemu.
Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke
belakang. Sedangkan tubuh Mayang hanya lim-
bung selangkah, kenyataan itu jelas menunjuk-
kan kalau kemampuan tenaga dalam Dewi
Payung Emas berada beberapa tingkat di atas Burita.
Melihat peluang emas yang ada, Mayang
segera mencelat hendak menyerang balik lawan-
nya dengan payung yang diputar cepat hingga
menimbulkan deru angin dahsyat.
"Hiaaattt...!"
Burita yang belum siap menerima serangan
susulan Mayang sebisanya mengelakkan samba-
ran payung berujung runcing yang terarah ke pa-hanya. Namun, siapa yang
menyangka kalau ge-
rakan menghindar yang dilakukan Burita meru-
pakan bencana bagi dirinya. Pada saat tubuhnya mencelat ke atas, payung Mayang
yang terkembang terangkat pula ke atas. Akibatnya....
Brets...! "Aaa...!"
Pekik melengking membumbung ke langit.
Sosok Burita tampak melambung dan kemudian
ambruk dengan perut terkoyak lebar. Darah men-
galir deras dari luka yang telah melenyapkan
nyawa orang ketiga dari Tiga Pendeta Rambut Api.
Ekalaya yang menyaksikan kematian Buri-
ta menjadi kalap. Tak dihiraukannya lagi keberadaan Raja Petir. Tubuhnya
langsung melesat
memburu Mayang yang telah membunuh Burita.
"Hiaaa...!"
6 Dengan tewasnya Burita, pertarungan ber-
langsung semakin seru. Ekalaya yang meluruk
menerjang Mayang tidak sadar kalau Raja Petir
tengah mengintainya untuk melindungi kekasih-
nya. Pada saat butiran tasbih merah Ekalaya
melayang dengan jurus 'Tasbih Pemecah Karang'
menuju kepala gadis cantik berpakaian jingga.
Raja Petir segera mengerahkan jurus 'Pukulan
Pengacau Arah'.
"Hyaaa...!"
Wuttt! Wusss! Serangkum angin bergulung melesat dari
telapak tangan Raja Petir yang menghentak kuat.
Angin bergulung bagai pusaran angin itu membu-
ru sosok Ekalaya yang tengah mencelat hendak
melampiaskan nafsu membunuhnya pada
Mayang. Ekalaya tidak lagi mempedulikan seran-
gan Jaka. Di hatinya telah tercetus niat untuk membalas kematian Burita.
Akibatnya.... Prets! "Aaa...!"
Ekalaya terpekik ketika serangkum angin
bergulung yang tercipta dari jurus 'Pukulan Pengacau Arah' menghantam dengan
telak sepasang kakinya yang tengah melayang di udara. Saat itu juga tubuh lelaki tertua dari
Tiga Pendeta Rambut Api melayang jatuh dengan kaki mengepulkan
asap tipis, terkena pukulan jarak jauh Raja Petir yang mengandung hawa panas
menyengat Bruk! "Akh!"
Kembali Ekalaya terpekik ketika tubuhnya
jatuh berdebuk ke bumi. Tulang pinggangnya te-
rasa patah. Lelaki tertua dari Tiga Pendeta Rambut Api itu hanya mampu mengerang
kesakitan tanpa kembali bangkit menyerang.
"Setan!"
Sonaga yang masih segar-bugar memaki
dengan segenap kemarahannya. Bola matanya
membara bagai mata banteng luka.
"Kubunuh kau, Raja Gendeng!" hardik Sonaga dengan tangan terkepal keras. Giginya
ge- meretakan menahan kemarahan yang tak kuasa
dibendung. "Hyaaa...."
Ekalaya memekik keras. Tubuhnya mence-
lat ke arah Jaka. Sonaga menyerang lawan den-
gan mengerahkan jurus 'Rambut Api Membakar
Ilalang'. Tangannya yang mengepal berubah men-
jadi merah seperti bara. Rambutnya yang keme-
rahan dikibas-kibas ke kanan dan kiri.
Pret! Pret! Slats! Sungguh aneh memang ilmu 'Rambut Api
Membakar Ilalang'. Dari sela-sela rambut panjang Sonaga meluncur selarik sinar
merah. Dan ketika tangan Sonaga menghentak kuat, sinar merah
yang tak kalah dahsyatnya keluar dengan deras.
Kini tiga sinar kemerahan bersamaan meluruk ke arah Raja Petir.
Menghadapi ilmu lawan. Raja Petir menco-
ba meladeninya dengan tetap mengerahkan
'Pukulan Pengacau Arah'. Maka ketika telapak
Raja Petir yang terbuka menghentak keras, se-
rangkum angin bergulung kembali tercipta, meluruk menyongsong kedatangan tiga
larik sinar kemerahan hasil olahan ilmu 'Rambut Api Memba-
kar Ilalang'. Brefs! Brefs! Pret! Tiga larik sinar kemerahan ciptaan Sonaga
terpental balik sesaat berbenturan dengan segulungan angin berhawa panas bagai
pusaran an- gin. Sonaga sendiri harus berkali-kali berputaran di udara menghindari sinar
kemerahan miliknya sendiri.
Jlig! "Hmrh...!" Sonaga menggeram marah ketika kakinya mendarat di bumi. Tatapannya
masih tetap membara tertuju ke wajah Jaka yang mem-
balasnya dengan cibiran dingin.
Sementara Mayang hanya mengulum se-
nyum melihat lelaki yang menjadi lawan kekasihnya mulai kehilangan kepercayaan
diri. Kebera- niannya sedikit demi sedikit luntur.
"Jangan kau teruskan, Sonaga. Biarkan
kali ini dia yang menang. Cukup Burita yang
menjadi korban!" cegah Ekalaya yang telah mampu menguasai rasa nyeri pada
sepasang kakinya.
"Hari ini Raja Petir bukan tandingan kita. Namun lain kali..."
"Kau benar, Kakang Ekalaya. Lain kali kita
akan menguburnya!" sangkal Sonaga mantap.
Jaka tidak turut campur dalam pembica-
raan dua lawannya yang sudah kehilangan kebe-
ranian. "Kenapa kalian tidak tobat saja. Bukankah itu lebih baik daripada kalian
menyimpan den-dam percuma dan hanya akan merasakan kega-
galan kedua kalinya?" ejek Mayang dengan suara yang dibuat-buat
Mata Ekalaya dan Sonaga mendelik seperti
hendak keluar. "Gadis Liar! Tak akan kami tobat sebelum mampu melenyapkan nyawa
kalian berdua. Kami bersumpah untuk itu!" tegas ucapan yang dikeluarkan Ekalaya.
Namun ketegasan ucapan itu hanya diba-
las dengan senyum ringan Jaka dan Mayang.
"Jadi sekarang kalian ingin pergi?" tanya Jaka menggoda.
"Keparat!" maki Sonaga hendak kembali menyerang.
"Jangan Sonaga!" larang Ekalaya, "Lebih baik kita pergi sekarang. Ayo, bantu aku
bangkit," pinta Ekalaya dengan suara yang sedikit menghi-ba.
Sonaga tampak tertegun mendengar uca-
pan Ekalaya. Ya, Ekalaya yang mengalami luka
bakar pada sepasang kakinya memang membu-
tuhkan pertolongan dengan segera. Di samping
itu, Sonaga juga sadar dengan kemampuannya
saat ini, percuma saja dia terus nekat menggempur Raja Petir yang jelas-jelas
berilmu lebih tinggi.
"Baiklah, Kakang Ekalaya. Kita memang
harus pergi. Dan dikemudian hari kembali men-
cari Raja Gendeng itu!" tukas Sonaga dengan jari telunjuk menuding wajah Jaka.
Jaka mencibir mendengar perkataan Sona-
ga. "Ayo, Kakang! Hop!"
Tubuh Sonaga seketika bergerak membo-
pong tubuh orang tertua dari Tiga Pendeta Ram-
but Api. Hanya sesaat Jaka dan Mayang menyak-
sikan Sonaga berlari dengan membopong tubuh
Ekalaya. Saat selanjutnya, pasangan pendekar itu sudah membalikkan tubuh mencari
sosok bocah-bocah bercawat yang telah mereka taklukkan.
"Ke mana perginya bocah-bocah itu, Ka-
kang?" tanya Mayang perlahan.
"Entahlah, Mayang. Namun menurutku le-
bih baik begitu. Dua bocah yang sudah hilang ke-saktiannya itu pasti akan
mengadu pada teman-
temannya. Dengan begitu, kita tak perlu susah-
susah mencari tujuh bocah sakti yang lain. Mere-ka pasti akan mencari kita untuk
membalas ke- kalahan dua temannya," ujar Jaka.
"Kau benar, Kakang," tandas Mayang
membenarkan kesimpulan Jaka. "Sekarang sebaiknya kita ke mana, Kakang?" tanya
Mayang. Tangan gadis itu bergelayut manja di punggung
Jaka. "Perutku sudah berbunyi, Mayang. Kau pasti tahu ke mana kita harus
melangkah," jawab Jaka akan pertanyaan kekasihnya.
"Ke kedai makan tentunya, Kakang. Bukan
ke sungai," seloroh Mayang.
"Bukankah itu rumah makan?" tunjuk Ja-ka pada sebuah bangunan yang terletak
delapan tombak di hadapan mereka.
"Betul, Kakang. Tapi mana pemiliknya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Mayang, kaki
Jaka segera terayun menuju kedai. Tiba-tiba pemuda itu ingat pada lelaki yang
telah disela- matkannya dari serangan bocah kecil bercawat
hitam. "Oh, terima kasih atas pertolonganmu. Raja Petir. Terima kasih," sambut
seorang lelaki berpakaian hitam.
"Jangan membungkuk seperti itu, Kisa-
nak," cegah Jaka ketika lelaki berpakaian hitam menjura hendak mencium lututnya.
Ketika lelaki berpakaian hitam menuruti
perintahnya, Jaka segera masuk ke dalam kedai
yang berantakan. Tampak dua orang gadis cantik tengah merayapi jasad ayahnya.
"Sudahlah, Nini," hibur Mayang yang juga ikut masuk ke dalam kedai. "Tak ada
yang mampu 'mencegah kedatangan takdir jika memang su-
dah waktunya datang. Ayahmu memang saat in-
ilah waktunya untuk menghadap Tuhan. Tuhan
telah berkehendak. Tak baik kalau kalian menyesali kehendak Tuhan dengan isak
tangismu. Ik- hlaskan saja kepergian orangtua mu, agar beliau bisa tenang dalam perjalanannya
menuju tempat yang abadi. Kewajibanmu sekarang adalah men-
gurus jasadnya sebagai tanda penghormatan dan
baktimu yang terakhir, di samping untuk me-
nyempurnakan keadaannya," Mayang berusaha meringankan penderitaan anak-anak Ki
Sandara. "Kelak pasti kita akan menjumpai keadaan seperti ini." Yayuning dan Partining
menghentikan isak tangis mereka sesaat mendengar nasihat Mayang.
Kemudian tatapan mereka tertuju lurus ke wajah Jaka, Mayang, dan lelaki
berpakaian hitam.
"Kakak-kakak sekalian, apakah bersedia
membantu kami menyempurnakan jenazah


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayah?" tanya Yayuning dengan suara parau.
Jaka dan Mayang, dan lelaki berpakaian
hitam serentak menganggukkan kepala mengiya-
kan. *** Sore yang datang membawa angin seolah
menebarkan kidung duka bagi anak-anak manu-
sia yang tengah menyempurnakan jasad-jasad tak bernyawa. Yayuning dan Partuning
kembali teri-sak memandangi segundukan tanah yang me-
nimbuni jasad ayahnya.
"Ikhlaskan kepergiannya, Nini," kali ini Ja-ka yang mengucapkan kata-kata itu.
7 Gora sangat murka mendapatkan keadaan
Bla dan Dbo yang sudah tidak lagi memiliki ke-
saktian. Pedang Iblis Neraka yang seharusnya terus bersemayam di tubuh dua bocah
bercawat hi- tam itu kini telah lenyap. Padahal, di situlah letak kekuatan bocah-bocah sakti
bercawat Dengan punahnya kesaktian Bla dan Dbo,
itu berarti ketajaman ilmu Sembilan Bocah Sakti tidak lagi sempurna. Sebuah
jurus pamungkas
yang hanya bisa dimainkan sembilan bocah seca-
ra serentak, terpaksa menjadi dangkal akibat hi-langnya dua Pedang Iblis Neraka
yang berada di tubuh Dbo dan Bla.
"Kalian bodoh!" maki Gora pada Bla dan Dbo yang menundukkan kepala dengan
berurai air mata. "Kami berdua siap menerima hukuman,
Kakak Gora," ucap Bla takut-takut. Bocah bercawat hitam itu sedikit pun tidak
berani mengangkat kepala.
"Menghukum kalian"! Cuh! Percuma saja.
Tak ada keuntungan yang kita dapat dari huku-
man yang kalian jalani. Aku hanya menyesali hi-langnya jurus pamungkas 'Pedang
Iblis Jagat Sejati' yang telah lama kita kuasai. Kini jurus itu harus lenyap
begitu saja! Kalian tahu apa arti dari kehilangan itu"!" sentak Gora dengan
pertanyaan yang menggelegar.
Ger dan Jagu, bocah bercawat merah,
Smas, dan Sedu yang bercawat biru. Dan Jlak
serta Watu yang bercawat hijau tidak berani ber-bicara. Enam bocah yang masih
memiliki Pedang
Iblis Neraka di dalam tubuh mereka hanya bisa
menundukkan kepala. Seorang lain tak ada yang
berani menyela ucapan bocah bercawat putih
mengkilat yang menjadi pimpinan mereka.
"Aku menjadi ragu apakah kita akan ber-
hasil menguasai jagat persilatan tanpa adanya jurus 'Pedang Iblis Jagat Sejati'.
Duh! Kenapa jadi begini. Rasanya sia-sia saja kemunculan kita dari tempat
pertapaan," lanjut Gora. Bocah bercawat putih mengkilat itu terduduk di sebuah
batu sebesar kepala kambing.
"Kita belum gagal untuk dapat menguasai
jagat persilatan ini, Kakak Gora," ucap Ger si bocah bercawat merah hati-hati.
"Meski tanpa ilmu
'Pedang Iblis Jagat Sejati', bukankah kita yang tujuh orang masih memiliki
kesaktian yang bisa diandalkan. Kalau kita masih tetap bersatu, tokoh sakti mana
pun, kurasa dapat kita atasi," lanjut Ger dengan bahasa yang disusun sebagus
mungkin. Ucapan bocah bercawat merah itu ternyata Cukup berpengaruh pada Gora.
Terbukti, bocah
bercawat putih mengkilat itu mengangkat kepa-
lanya dan menatap wajah Ger dengan tatapan
yang membersitkan sebuah harapan.
"Kau benar, Ger," ucap Gora pelan, "Kita tidak boleh menyerah! Biar bagaimanapun
kita masih memiliki banyak peluang untuk menguasai
jagat persilatan ini," lanjut Gora dengan penuh semangat
"Aku setuju, Kakak Gora!" sambut Jlak si bocah bercawat hijau. Tangannya tiba-
tiba terangkat dengan kepalan yang digerakkan meninju angin. "Kita lumat Raja
Petir yang telah menga-lahkan Bla dan Dbo!" lanjut Jlak lantang.
"Ya. Raja Petir memang harus kita binasa-
kan. Dialah penghalang utama kita!" timpal Sedu berapi-api.
"Lalu di mana kita harus mencari Raja Pe-
tir?" tanya Jagu hati-hati. Ucapannya yang pelan menandakan dia takut Gora akan
menyalahkan pertanyaannya. "Kita pancing dia dengan mengacaukan
perguruan-perguruan silat aliran putih," jawab Gora tegas.
"Setujuuu...!" teriak Sedu dan Watu bersamaan. "Sekarang juga kita bergerak!"
putus bocah bercawat putih mengkilat itu. "Setujuuu...!
Ayooo!" *** Bangunan Perguruan Tombak Perak yang
terletak di Desa Watu Kambang tampak berdiri
dengan megahnya. Bangunannya yang kokoh me-
nampakkan benteng pertahanan pada bagian
mukanya, menjadikan Perguruan Tombak Perak
begitu angker dilihat. Sinar matahari pagi yang menyoroti bangunan megah itu
seolah hendak memberitahukan keadaan perguruan itu.
Namun, keangkeran Perguruan Tombak
Perak hanya dipandang sebelah mata oleh sembi-
lan bocah bercawat yang tak lain Sembilan Bocah Sakti. Gora yang memimpin
delapan rekannya
melangkah lebih dulu. Ketika kakinya selangkah lagi mencapai gerbang Perguruan
Tombak Perak, seorang lelaki tinggi besar yang menggenggam sebatang tombak putih
menghadangnya. "Hendak ke mana kalian?" tanya lelaki tinggi besar berkumis melintang.
Gora dan kawan-kawannya tidak menja-
wab pertanyaan itu. Sembilan Bocah Sakti hanya menatap wajah lelaki tinggi besar
dengan tidak berkedip.
"Hayo pergi sana! Kalau mau bermain-main
jangan di sini!" usir penjaga pintu gerbang itu seraya mendorong tubuh Gora yang
berada di de- pan dengan bagian tengah tombaknya.
"Hmrh...!"
Gora mendengus jengkel mendapat sambu-
tan demikian. Dengan cepat tangannya mencekal
batang tombak kuat-kuat
"Hei, hei! Jangan main-main dengan senja-
ta itu," bentak lelaki tinggi besar.
Bettt! Tanpa mengomentari ucapan lelaki itu, Go-
ra segera menarik pegangannya pada batang tom-
bak. Karuan saja senjata itu terlepas dari tan-
gan lelaki tinggi besar. Lelaki itu terkejut bukan main merasakan tenaga kuat
yang dimiliki bocah kecil di hadapannya.
"Cepat panggil guru besarmu!" bentak Gora dengan mengerahkan tenaga dalam.
Suaranya terdengar menggelegar, membuat penjaga yang
lain berhamburan mendekati penjaga berkumis
melintang. "Cepat kataku!" bentak Gora lagi.
"Heh, Bocah! Mau apa kau bertemu Ki Se-
tanureja" Pulang saja kalian! Pulang!" ucap lelaki bertubuh kerempeng yang baru
datang. "Keparat kau, Cacing Kurus! Hih!"
Singngng! "Aaa...!"
Penjaga pintu gerbang Perguruan Tombak
Perak itu memekik histeris. Lemparan tombak
yang dilakukan Gora menancap tepat di tenggo-
rokannya. Lelaki itu sesaat menggelepar di tanah.
Dan nyawanya kemudian terbang meninggalkan
raga. Menyaksikan temannya tewas dengan
mengerikan, empat penjaga pintu gerbang yang
lain serta-merta bergerak hendak menangkap bo-
cah bercawat putih mengkilat itu. Namun belum
lagi maksud penjaga-penjaga itu tercapai, Ger, Jlak, Smas, dan Watu sudah
bergerak cepat menyerang mereka.
"Hiaaa...! Hiaaa...!"
Crat! Crat! "Haiiit! Hait!"
Crets! Brats! Empat lengkingan keras seketika terdengar
berturut-turut. Diiringi dengan bertumbangannya tubuh-tubuh penjaga pintu
gerbang Perguruan
Tombak Perak dengan luka di leher yang mengu-
curkan darah segar.
Lengking kematian mereka rupanya me-
mancing orang-orang yang berada di dalam ban-
gunan perguruan. Beberapa lelaki berpakaian putih tampak melesat dari dalam
perguruan. "Heh"!"
Terkejut lima lelaki berpakaian putih yang
tak lain murid-murid kelas dua. Mereka tidak
percaya bocah-bocah kecil itu mampu membina-
sakan kawan-kawan mereka yang kepandaiannya
tidak bisa diragukan lagi.
"Kaliankah yang telah melakukan peker-
jaan ini?" tanya salah seorang murid Perguruan Tombak Perak.
"Ya. Kami," sahut Gora tegas.
"Hmmmh!" lelaki bermata sipit yang tadi melempar pertanyaan mendengus marah.
"Kalian pasti bocah-bocah siluman!" sentak lelaki itu mengejutkan kawan-
kawannya. "Hmh!" Gora ikut mendengus, "Cepat suruh keluar Tua Bangka Setanureja!" pinta
Gora dengan lancang.
"Bocah Laknat! Mau apa kau bertemu guru
kami?" tanya murid Perguruan Tombak Perak yang bermata belo.
"Aku ingin mencabik-cabik wajahnya, Ku-
nyuk!" jawab Gora, membuat hati murid-murid Perguruan Tombak Perak terbakar
kemarahan yang tak tertahan.
Murid Perguruan Tombak Perak yang dis-
ebut kunyuk oleh Gora segera melayangkan pu-
kulan dari atas ke bawah, mencecar dagu bocah
cilik bercawat putih mengkilat itu.
Bettt! "Huh!" hanya dengan memiringkan tubuhnya sedikit, pimpinan Sembilan Bocah Sakti
itu berhasil membuat serangan murid Perguruan
Tombak Perak meninju angin.
Bahkan sebaliknya, serangan balasan Gora
yang tak kalah cepatnya berhasil menemui sasa-
ran. "Hih!"
Crattt! "Aaakh!"
Lelaki bermata belo itu seketika memekik
keras. Tubuh Gora yang meletik bagai seekor
udang telah mengarahkan cakarannya ke leher
yang langsung koyak mengucurkan darah.
Brukkk! Tubuh lelaki bermata belo langsung am-
bruk ke tanah, menggelepar sebentar dan kemu-
dian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.
Murid-murid Perguruan Tombak Perak ten-
tu saja tidak menyangka kejadiannya akan ber-
langsung begitu cepat. Enam orang teman mereka telah menggeletak menjadi mayat
"Ayo, kalian maju bersamaan! Biar cepat
tubuh kalian jadi bangkai!" tukas Gora keras.
Empat murid Perguruan Tombak Perak tak
lagi mampu membendung kemarahannya. Seketi-
ka itu juga tubuh mereka bergerak memberikan
serangan ke arah bocah bercawat putih mengkilat
"Hyaaa...! Heaaa...!"
"Haiiit! Hiaaa...!"
Gora si pemimpin Sembilan Bocah Sakti ti-
dak sendirian menyambut serangan empat murid
Perguruan Tombak Perak. Ger, Smas, dan Jlak
juga mengayunkan cakarannya memainkan jurus
'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.
"Heaaa...!"
"Hiaaat..!"
"Berhenti!"
Sebuah bentakan menggelegar berkekua-
tan tenaga dalam seketika terdengar. Tampak sesosok tubuh berpakaian putih
melesat keluar dari dalam bangunan perguruan.
Empat dari Sembilan Bocah Sakti yang
bermaksud menghabisi lawan-lawannya segera
menarik mundur langkah mereka. Tatapan Sem-
bilan Bocah Sakti kini tertuju pada sosok lelaki tua yang mereka perkirakan
Ketua Perguruan
Tombak Perak. "Tua Bangka! Apakah kau yang menjabat
sebagai pimpinan perguruan ini"!" tanya Gora dengan suara membentak.
Lelaki berusia enam puluhan yang berwa-
jah lonjong, berjenggot dan berambut putih hanya
memandangi wajah Gora dengan penuh selidik.
Tangannya kemudian diangkat dan mengelus-elus
kumis lebatnya yang berwarna hitam pekat.
Cukup lama juga lelaki berpakaian putih
itu bersikap demikian. "Ya. Namaku Ki Setanureja. Akulah Pemimpin Perguruan
Tombak Perak,"
jawab lelaki berkumis hitam dengan suara dite-
kan hingga terdengar berwibawa.
"Bagus!" sambut bocah bercawat putih mengkilat menimpali ucapan Ki Setanureja.
"Kalau begitu, sekarang saja kita mulai pembantaian ini!" lanjut Gora pada enam
rekannya yang masih memiliki kesaktian. Sedangkan Bla dan Dbo se-lamanya harus
jadi penonton. "Hiaaat..!" Gora sudah bersiap dengan ku-da-kudanya yang terlihat begitu lucu,
seperti ku-da-kuda tak sempurna seorang bocah tujuh ta-
hunan. "Tunggu!" Ki Setanureja mengangkat telapak tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Hrghg...!" Gora mendengus melihat tindakan Pimpinan Perguruan Tombak Perak.
"Aku tidak tahu siapa kalian. Dan rasanya aku juga tidak pernah bentrok, apalagi
berurusan dengan kalian. Namun, kenapa kalian tiba-tiba
membuat kekacauan di perguruan ini" Enam
orang muridku telah pula binasa karena ulah kalian. Apa salah mereka?" tanya Ki
Setanureja dengan ketenangannya yang sungguh menga-gumkan. Padahal, di balik
dadanya ada gemuruh
kemarahan akibat kelakuan bocah-bocah yang
sama sekali tidak dikenalnya itu.
"Tua Bangka!" sentak Gora kurang ajar,


Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketahuilah, kita memang tidak pernah bentrok.
Tidak pernah berurusan satu sama lain. Kedatanganku ke perguruan, ini semata
hanya untuk menantangmu mengadu kepandaian. Tapi, murid-
muridmu telah membuat jengkel dengan tidak
mau memanggilkanmu, Tua Bangka. Mungkin
murid-muridmu tahu kalau pimpinannya tak be-
cus apa-apa," lanjut Gora dengan penghinaan yang cukup pedas.
"Hmmm...," Ki Setanureja hanya membalas penghinaan bocah bercawat putih
mengkilat itu dengan dengusan tertahan.
"Kau berani menghadapi kami Sembilan
Bocah Sakti, Tua Bangka"!" tanya Gora membentak. "Untuk apa kalian mengajakku
mengadu kepandaian, Bocah-bocah Edan"!" suara Pimpinan Perguruan Tombak Perak
mulai meninggi. Je-
las, lelaki tua itu sudah tidak kuasa menahan ke-jengkelannya.
"Untuk apa" Sudah lama kami bercita-cita
ingin menguasai jagat persilatan ini. Dan yang pertama-tama kami basmi adalah
tokoh-tokoh persilatan golongan putih, termasuk kau yang
merasa berada pada golongan itu! Di samping itu, kami juga ingin membuat
kekacauan untuk memancing kemunculan Raja Petir yang telah me-
lumpuhkan ilmu kedua rekanku," lanjut Gora.
Jari telunjuknya menuding wajah Bla dan Dbo.
Kedua bocah bercawat hitam itu tampak menun-
dukkan kepala. "Hmmm...," Ki Setanureja kembali bergumam. "Kalau kalian punya urusan dengan
Raja Petir, kenapa harus membuat kekacauan di sini?"
"Jangan banyak bicara, Tua Bangka!" hardik Gora keras. "Kalau kau ingin mati
terhormat sebagai seorang pendekar pembela kebenaran,
ayo kita mulai pertarungan ini! Ayo!"
Gora mengangkat sebelah tangannya
memberi isyarat pada enam temannya untuk se-
gera menyerang murid-murid Perguruan Tombak
Perak, yang kini sudah berkumpul di pelataran
perguruan dengan tombak terhunus.
"Ayooo...!"
"Hiaaattt...!"
"Haiiit...!"
Tubuh enam bocah sakti anak buah Gora
merangsek maju menyerang murid-murid Pergu-
ruan Tombak Perak. Sementara Gora sendiri ber-
hadapan dengan sang Pemimpin perguruan.
"Ajalmu akan datang sekarang, Ki!" sentak Gora takabur.
8 Suasana di pelataran Perguruan Tombak
Perak sangat ramai. Suara teriakan garang dan
pekik kematian terdengar silih berganti. Murid-murid Perguruan Tombak Perak
terus maju me- nyerang tak henti-henti bagai gelombang lautan.
Tanpa rasa gentar sedikit pun mereka terus me-
nusukkan tombak di tangannya ke bagian yang
mematikan pada tubuh bocah-bocah bercawat
Namun, bocah-bocah bercawat itu bagai
malaikat pencabut nyawa. Setiap kali murid-
murid Perguruan Tombak Perak ingin melu-
kainya, tangan-tangan bocah bercawat bergerak
memainkan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti', hingga para penyerangnya tak
berdaya. Tubuh mereka bertumbangan dengan leher koyak men-
gucurkan darah.
"Bocah Setan!" maki seorang murid Perguruan Tombak Perak sambil menusukkan
tombak- nya ke leher bocah bercawat merah.
Wuttt! "Hi hi hi...!" Ger tertawa melihat serangan lawan. Tubuhnya yang kecil meletik
ke atas dan tahu-tahu sudah berdiri di mata tombak lawan.
"Cara menyerangmu salah, Tua Bangka!"
ejek Ger. "Yang benar begini. Hiaaa...!"
Tubuh Ger mencelat dari mata tombak
yang dipijaknya. Dan dengan cepat tangannya
bergerak ke leher lawan.
"Hih!"
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Jerit menyayat hati langsung terdengar, se-
saat sepasang tangan Ger yang kukuh runcing
membabat leher lawan dua kali berturut-turut
Tubuh murid Perguruan Tombak Perak itu
langsung ambruk kehilangan nyawa. Leher kiri
dan kanannya koyak tersambar kuku-kuku runc-
ing Ger. Sementara itu, pertarungan antara Ki Se-
tanureja yang menghadapi pimpinan Sembilan
Bocah Sakti mulai tampak tidak seimbang. Pim-
pinan Perguruan Tombak Perak berkali-kali men-
galami kesulitan membaca gerakan aneh lawan
yang selalu berubah-ubah. Gerakan Gora yang
memainkan ilmu 'Bocah Sakti Menari di Ujung
Tanduk' membuat Ki Setanureja kehilangan cara
untuk mengibanginya.
"Awas, Tua Bangka! Hiaaa...!"
Brettt! "Ekh!"
Ki Setanureja tersentak kaget melihat ke-
cepatan gerak serangan yang dilancarkan Gora.
Padahal, dia sudah menghindar dengan cepat.
Namun, tak urung jubahnya koyak juga tersam-
bar kuku-kuku runcing lawan.
"Cabut senjatamu kalau tak ingin mati ko-
nyol!" tantang Gora sombong.
"Hmh!"
Ki Setanureja mendengus keras. Kemu-
dian, kedua tangannya meloloskan sepasang
tombak pendek yang terbuat dari perak. Tombak-
tombak itu diambilnya dari sela pinggang yang di-lilit sabuk warna biru tua.
"Bagus!" ejek Gora melihat lawannya meloloskan senjata. "Sekarang, jaga
seranganku dalam jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' yang berga-
bung dengan jurus 'Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk' Hiaaattt...!"
Tubuh Gora kembali melesat ringan den-
gan melakukan gerakan aneh seperti bocah me-
nari. Sementara tangannya yang menegang kaku
berkelebat cepat ke arah dada dan kepala Pimpinan Perguruan Tombak Perak.
Wuttt! Wuttt! "Hops!"
Ki Setanureja melentingkan tubuhnya
menghindari serangan lawan. Lelaki berumur
enam puluh tahun itu berputaran dua kali di
udara. Namun, gerakan itulah yang memang di-
nanti-nantikan Gora.
Pada saat Ki Setanureja berputaran di uda-
ra, seperti elang menyambar mangsa, tubuh Gora berkelebat dan segera melancarkan
tendangan lurus ke iga lawan.
"Haiiittt...!"
Blagkh! "Uhugkh!"
Tubuh Ki Setanureja tergempur mundur.
Sebisanya lelaki tua itu berusaha mematahkan
daya dorong tendangan Gora.
Jligh! "Akh!"
Tubuh Pimpinan Perguruan Tombak Perak
limbung ketika mendaratkan kakinya di tanah.
Sesak di dadanya yang membuat Ki Setanureja
kehilangan keseimbangan.
Hampir saja tubuh Ki Setanureja ambruk
di tanah, kalau saja dari luar pelataran Perguruan Tombak Perak tidak melesat
sesosok bayangan hijau yang langsung menyangga tubuhnya.
"Ki Rayung" Oh.... Kedatanganmu tepat
sekali," ucap Ki Setanureja, ketika menyaksikan kedatangan lelaki berpakaian
hijau yang dikenalnya sebagai ketua Perguruan Gagak Putih.
"Aku memang tengah mencari mereka, Ki
Setanu. Hampir saja bocah-bocah itu mene-
waskan Ki Wikalga, kalau saja Raja Petir tidak datang menolong," jelas Ki Rayung
Sadawa. "Hi hi hi! Bagus! Jadi, kau adalah sahabat Ki Wikalga. Kedatanganmu hanya
mengantar nyawa saja," selak Gora sombong.
"Bocah Laknat!" maki Ki Rayung Sadawa,
"Kau pikir cuma dirimu yang memiliki kesaktian"
Cuh! Secuil pun aku tidak gentar menghadapi-
mu." Srattt!
Ki Rayung Sadawa segera meloloskan sen-
jatanya, sebilah pedang yang memancarkan sinar kebiruan. Sengaja Ki Rayung
Sadawa meloloskan
pedangnya, karena dia tahu kehebatan ilmu bo-
cah cilik yang hampir menewaskan Resi Wikalga
dan Ki Setanureja.
"Hi hi hi...!" Gora terkikik menyaksikan lawannya meloloskan senjata. "Ayo,
serang aku!"
ucapnya meledek.
"Hhh...!"
Ki Rayung Sadawa mendengus. Gengga-
man tangannya pada hulu pedang semakin dipe-
rerat. Tampaknya Ketua Perguruan Gagak Putih
itu tengah mengerahkan tenaga dalam.
"Hati-hati, Ki Rayung," ujar Ki Setanureja.
"Hiaaattt...!"
Tanpa mempedulikan nasihat Ki Setanure-
ja, tubuh Ki Rayung Sadawa melesat dengan pe-
dang memendarkan sinar kebiruan. Pedang itu
terayun-ayun di atas kepala memainkan jurus
'Pedang Menyembelih Awan'.
Wungngng! Wungngng! Bunyi mendengung seperti suara ratusan
lebah marah mengiringi ayunan pedang Ki
Rayung Sadawa yang menebas tubuh lawan.
Tetapi bocah bercawat yang di hadapinya
bukanlah bocah yang sewajarnya. Dengan kesak-
tiannya, Gora bergerak-gerak lincah menghindari sambaran pedang Ki Rayung
Sadawa. Bahkan,
dengan gerakannya yang aneh dan tak terbaca
lawan, Gora mengerahkan serangan balasan den-
gan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.
"Haiiittt...!"
Wrrrttt! Wrrrttt!
"Hups!"
Tubuh Ki Rayung Sadawa melejit-lejit rin-
gan menghindari serangan ganas Gora yang men-
gandung hawa panas menyengat. Namun, Gora
adalah bocah sakti yang licik dan berhati iblis.
Dengan menggabungkan jurus 'Sepasang Tangan
Bocah Sakti' dan jurus 'Bocah Sakti Menari di
Ujung Tanduk' dia terus memburu tubuh Ki
Rayung Sadawa. Wrttt! Wrttt! Tlangngng! "Heh"!" Ki Rayung Sadawa tersentak mendapat kenyataan senjata yang begitu
diandalkannya tidak mampu menebas putus tangan bocah
kecil itu. Padahal, pohon besar pun akan tum-
bang jika tertebas senjatanya yang bermain dalam jurus 'Pedang Menyembelih
Awan'. Tapi kenya-taannya..."
Tubuh Ki Rayung Sadawa malah terhuyung
ke belakang empat langkah ketika benturan keras itu terjadi. Sedangkan Gora yang
memapaki tebasan pedangnya hanya mundur satu langkah. Ke-
nyataan itu menunjukkan tenaga dalam bocah
bercawat putih mengkilat itu lebih tinggi daripada tenaga dalam Ki Rayung
Sadawa. "Sekarang giliranku yang memainkan sen-
jata!" ucap Gora tegas.
Ki Rayung Sadawa bingung dengan ucapan
lawannya. Bocah itu jelas-jelas tidak memegang apa-apa. Tetapi ketika sebilah
senjata keluar dari kepala Gora, barulah Ki Rayung Sadawa sadar
kalau bocah yang menjadi lawannya bukanlah
sembarang bocah. Rayung Sadawa menduga la-
wannya adalah jelmaan dari seorang tokoh sakti dari golongan sesat.
Suasana menjadi semakin panas saat sen-
jata Gora terlihat utuh. Pedang yang panjangnya sama dengan tubuh pemiliknya itu
memendarkan sinar kemerahan.
Sementara pada pertarungan lain, murid-
murid Perguruan Tombak Perak yang kini men-
dapat bantuan dari empat murid utama Pergu-
ruan Gagak Putih nampak berlangsung seru. Na-
mun belum terlihat mereka mampu mendesak
enam bocah bercawat yang menjadi lawan mere-
ka. Malah kebalikan dari itu mulai nampak setelah tumbangnya murid-murid
Perguruan Tombak
Perak. "Jagalah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung'-ku, Tua Bangka!"
sentak Gora marah.
Pedangnya yang memendarkan sinar kemerahan
terangkat ke atas kepala.
"Kaingngng...!"
Gora memekik keras. Suaranya bagai peki-
kan seekor serigala yang terjepit. Ketika pekikan itu lenyap, tubuh kecilnya
melesat ke arah Ki
Rayung Sadawa yang sudah siap menghadapi se-
gala kemungkinan.
Wrrr...! Suara angin menderu terdengar mengiringi
tibanya serangan Gora.
Wungngng...! "Heh"! Hops!"
Ki Rayung Sadawa menghentakkan ka-
kinya kuat-kuat ke tanah. Seketika itu juga tubuhnya mencelat ke belakang
menghindari teba-
san pedang lawan yang berhawa panas menyen-
gat

Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hi hi hi! Menghindarlah sebisamu, Tua
Bangka!" ucap Gora sambil terus mengejar tubuh lawan, "Kaingngng...!"
Wungngng...! Wesss! "Heh"!"
Kali ini Gora yang tersentak kaget. Sebuah
serangan tak terduga tiba-tiba meluncur datang.
Secepatnya Gora melentingkan tubuh ke kanan
beberapa kali, menghindari terjangan angin panas yang bergulung bagai pusaran
angin. "Kadal Buduk!" maki Gora jengkel.
Tatapan mata Gora tertuju pada wajah seo-
rang lelaki muda yang berdiri di sisi kiri Ki
Rayung Sadawa. Lelaki tampan bertubuh kekar
itu mengenakan pakaian kuning keemasan. Di
sebelahnya berdiri seorang gadis cantik berambut kepang. Siapa lagi sepasang
tokoh itu kalau bukan Raja Petir dan kekasihnya yang berjuluk De-wi Payung Emas.
"Selamat berjumpa denganku, Bocah Se-
sat," ucap Jaka menimpali kemarahan Gora yang terpancar dari bola matanya yang
membara. "Kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya Gora dengan kemarahan yang ditahan.
"Kau takut dengan julukanku?" tanya Raja Petir menggoda.
"Cuh!" Gora membuang ludah dengan ka-sar menanggapi pertanyaan Raja Petir.
"Justru aku ingin mengubur nama harummu sekarang
juga, Raja Gila!" lanjut Gora memaki.
Raja Petir mencibir mendengar ucapan Go-
ra, "Kalau begitu, jangan sembunyikan pedang dalam tubuhmu, Bocah Setan!" tambah
Raja Petir memancing kemarahan Gora.
"Kau tidak akan mampu menandingi Pe-
dang Iblis Neraka milikku. Raja Gila!" balas Gora garang.
"Pasti aku mampu, Bocah Ingusan. Bu-
kankah senjatamu sama dengan yang dimiliki bo-
cah-bocah itu?" tuding Jaka pada Bla dan Dbo yang sudah dikalahkankannya.
"Huh! Tak akan kejadian itu terulang lagi,"
sangkal Gora. "Mari kita buktikan sekarang," tan-tangnya kemudian sambil
bersiap-siap memulai
pertarungan. Jaka tidak menimpali ucapan Gora. Tata-
pan matanya kini tertuju kepada Mayang dan Ki
Rayung Sadawa yang gembira atas kedatangan
Raja Petir, dan Ki Setanureja yang kini sudah
bangkit untuk mengusir Sembilan Bocah Sakti
yang bercita-cita menguasai jagat persilatan.
Raja Petir memejamkan kedua matanya.
Pemuda itu tampaknya tengah memusatkan selu-
ruh kepekaan batinnya.
"Kurasakan kekuatan bocah-bocah itu ber-
tumpu pada bocah bercawat putih mengkilat itu.
Kalau dia sudah dilumpuhkan, aku yakin yang
lainnya akan mudah diringkus," gumam Raja Petir mengambil kesimpulan. Matanya
kembali ter- buka. Ditatapnya wajah Ki Setanureja, Ki Rayung Sadawa, dan Mayang.
"Kalian hadapilah bocah-bocah itu," pinta Raja Petir kemudian. Biar aku yang
menghadapi bocah bercawat putih itu," lanjutnya seraya menunjuk wajah Gora.
"Baik, Raja Petir," sambut Ki Rayung Sadawa dan Ki Setanureja bersamaan.
Raja Petir segera beringsut untuk mengha-
dapi Gora. Sementara Ki Setanureja. Ki Rayung
Sadawa, dan Mayang sudah bergerak ke arena
pertarungan murid-murid Perguruan Tombak Pe-
rak yang tengah menghadapi enam bocah sakti
anak buah Gora.
"Hiaaat..!"
"Hiyaaa...!"
*** Perguruan Tombak Perak bagai medan per-
tarungan. Belasan sosok tubuh saling mencelat
dengan serangan-serangan yang didorong kemur-
kaan hati. Iblis-iblis memang telah merasuki hati mereka. Nafsu saling membunuh
terumbar. Tanpa bisa dicegah oleh akal sehat untuk dapat saling memahami,
memaklumi, dan menyayangi an-
tara sesama mahluk ciptaan Tuhan. Itulah contoh segelintir manusia yang memiliki
nafsu, yang bisa menjadi teman dan lawan.
Seorang pemuda digdaya yang selalu berpi-
jak pada kebenaran dan membela orang-orang
lemah harus berhadapan dengan manusia-
manusia berwatak iblis. Orang-orang yang se-
sungguhnya tidak pantas menghuni bumi yang
penuh keindahan dan kedamaian.
"Raja Petir!" panggil Gora keras, "Hari ini nama harummu akan kukubur.
Bersiaplah menghadapi jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sak-
ti'!" "Lakukanlah!" sambut Jaka seraya mem-persiapkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hiaaat..!"
Wrrrt...! "Ops!"
Tubuh Jaka melenting di udara menghin-
dari serangan Gora. Tapi, bocah bercawat putih mengkilat itu bagai terbang saja.
Tubuhnya terus mengejar ke mana pun sosok Raja Petir melejit
"Haiiittt...!"
Wurttt...! Trakkk! "Heh..."!"
"Hah..."!"
Gora dan Jaka tampak terkejut ketika tan-
gan mereka beradu di udara. Tubuh Jaka tergem-
pur dua langkah ke belakang. Begitu juga tubuh Gora. Jelas, bisa disimpulkan
kalau keduanya memiliki tenaga dalam yang seimbang.
"Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk!" pekik Gora menyebutkan jurus serangannya.
Tu- buhnya kembali melesat ke udara dengan gera-
kan-gerakan aneh.
Jaka segera menciptakan 'Aji Bayang-
Bayang' untuk mengetahui sejauh mana ilmu
yang disuguhkan Gora. Wujudnya kini menjadi
lima kali lipat banyaknya.
"Haaattt...!"
Wurt! "Eh?"
Jaka melentingkan tubuhnya yang asli ke-
tika sejengkal lagi sambaran tangan Gora yang
berkuku runcing mencakar lehernya. Gora ter-
nyata mampu membaca kelemahan 'Aji Bayang-
Bayang' Jaka. Sebaliknya, Gora bertambah marah ketika
serangan-serangannya berhasil digagalkan Jaka.
Maka seketika itu juga kakinya diangkat ke belakang dua langkah. Matanya
kemudian terpejam.
Gora tengah mengambil senjata dari dalam tu-
buhnya. Senjata yang bernama Pedang Iblis Nera-ka itu disimpannya di dalam
tubuh. Dan ketika
Pedang Iblis Neraka muncul dari kepalanya, Gora segera mengambilnya. Pedang itu
memancarkan sinar kemerahan.
"Jaga ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka
Berkabung' tingkat terakhir ini, Jaka!" sentak Go-ra kemudian. "Ilmuku inilah
yang akan mengubur kegagahanmu selama ini," lanjutnya.
Ada getar aneh dirasakan Jaka sesaat me-
nyaksikan perbawa dari Pedang Iblis Neraka. Sebuah pedang pusaka yang mampu
menyebarkan hawa panas menyengat dan memiliki daya sedot
yang cukup kuat Jaka terpaksa mengerahkan te-
naga dalamnya untuk menahan daya sedot Pe-
dang Iblis Neraka.
"Haruskah kukeluarkan Pedang Petir?"
gumam Jaka dalam hati ketika dirasakan hawa
panas dan daya sedot senjata lawan semakin kuat mempengaruhi dirinya.
Ketika keputusan bulat telah diambil dan
setelah mempertimbangkan keselamatan kawan-
kawannya, tangan Jaka bergerak meraih hulu Pe-
dang Petir. Jaka segera mengangkat hulu pedang yang
telah dicekalnya, dan membawa naik ke atas
sampai melewati kepala. Seketika nampak suatu
keanehan. Wujud pedang Jaka memendarkan si-
nar kemerahan. Pada saat itu pula langit di atas Perguruan Tombak Perak menjadi
gelap. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, dan petir berkelebat menyambar-nyambar tubuh
dan batang Pedang Petir Jaka. Pertarungan antara orang-
orang Perguruan Tombak Perak yang mendapat
bantuan dari Mayang sesaat terhenti.
Glarrr! Glarrr!
Langit kembali cerah ketika petir yang me-
nyambar raib begitu saja. Kini Raja Petir menjelma menjadi sosok yang
berkekuatan sempurna.
Sebuah permainan pedang maut akan dikerah-
kannya dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyam-
bar'. "Hiaaattt...!" Gora si Bocah Sakti segera berkelebat menebaskan senjatanya
ke arah Raja Petir yang sudah siap siaga.
Wungngng! Twangngng! Glaaarrr! Bunyi ledakan keras pun membahana keti-
ka dua senjata pusaka itu saling beradu di udara.
Sosok Gora terpental dua tombak, sementara Ja-
ka hanya setengahnya.
Namun, akibat benturan itu orang-orang
yang berada di sekitar tempat pertarungan men-
galami nasib yang mengerikan. Mereka yang tak
kuat menahan bunyi ledakan bergelimpangan di
tanah dengan darah keluar dari telinga dan hi-
dung. Kenyataan itu juga dialami oleh Ki Setanureja, Ki Rayung Sadawa, dan
Mayang. Namun ka-
rena tenaga dalam mereka lebih baik, mereka
mampu menguasai keadaan. Begitu pula dengan
enam bocah sakti yang menjadi lawan-lawan me-
reka. "Huaaa...!"
Raja Petir tiba-tiba berteriak keras. Tubuh-
nya melesat bagai kilat dengan Pedang Petir berkelebat mencecar tubuh Gora yang
terhuyung. Trangngng! Blugkh! "Aaa...."
Dengan senjatanya, Gora memang mampu
membendung serangan Jaka yang mengerahkan
jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Namun sebuah tendangan menggeledek yang
kembali dike- rahkan Jaka tidak dapat dielakkan Gora. Da-
danya terpaksa harus menerima hantaman keras
kaki Jaka. "Hoeeek..!"
Darah kental kehitaman muncrat dari mu-
lut Gora. Bocah bercawat putih mengkilat yang
menjadi pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu
menggelepar di tanah. Hanya sesaat saja Gora
bergelut dengan napas terakhirnya, untuk kemu-
dian terbujur kaku tanpa nyawa.
"Heh"!" Jaka terkejut menyaksikan sosok Gora yang sudah tak bernyawa. Sosok
bocah bercawat putih itu berubah menjadi kakek bertubuh kerdil. Dan, Jaka makin
terpaku ketika mendapatkan kenyataan delapan bocah bercawat yang
lain bernasib serupa. Tubuh mereka terbujur ka-ku tanpa nyawa dengan sosok yang
berubah men- jadi kakek-kakek kerdil.
"Hmmm.... Rupanya pusat kekuatan ilmu
'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' berada pada Gora. Jika dia mati, maka
semuanya akan mengalami nasib serupa," gumam Jaka.
"Kakek Kerdil Penguasa Istana Neraka"!"
ucap Ki Setanureja ketika mengenali sosok Sem-
bilan Bocah Sakti yang telah berubah wujud.
"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Raja Petir seraya mendekati Pimpinan Perguruan
Tombak Perak. "Ya. Pada waktu aku baru mulai mempela-jari ilmu kanuragan, kira-kira
tiga puluh tahun yang silam, kakek-kakek ini pernah menguasai
rimba persilatan. Namun tiba-tiba mereka meng-
hilang begitu saja. Dan baru sekarang ini mereka muncul kembali," jelas Ki
Setanureja. "Aneh," gumam Jaka pelan.
"Biarlah keanehan itu raib bersama kema-
tian mereka, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa.
"Yang jelas, rimba persilatan kini tidak jadi bergo-lak. Semua karena
kehebatanmu. Raja Petir,"
sambut Ki Rayung Sadawa.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Ketua
Perguruan Gagak Putih. "Semua ini bukan karena aku, Ki. Tapi karena kuasa Tuhan
Pencipta Jagat Raya ini," kilah Jaka. "Oh ya, bagaimana keadaan Ki Wikalga?"
tanya Jaka. "Lukanya berangsur-angsur pulih," jawab Ki Rayung Sadawa.
"Syukurlah," ucap Jaka, "Sekarang izinkan kami pergi. Masih banyak pekerjaan
yang harus kuselesaikan," lanjut Jaka. Pemuda itu lalu meraih tangan Mayang.
"Oh, Silakan Jaka," sambut Ki Setanureja,
"Terima kasih atas bantuanmu," lanjut Ki Setanureja meski dengan berat hati.
Setelah memberi hormat pada orang-orang
yang hadir di tempat itu, Raja Petir dan Mayang segera berlalu. Diiringi
pandangan banyak mata yang mengagumi kehebatan dan budi luhur Raja
Petir. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Iblis Sungai Telaga 6 Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Walet Besi 3
^