Pencarian

Walet Besi 3

Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 3


Seperti aku pun harus menghormati keputusan yang dibuat
oleh Cu Taiya. Untuk sementara waktu ini, kita berdua tidak
saling bertemu pun tidak apa apa, kalau nanti ada berita
bagus, aku pasti akan pergi memberitahumu...."
"Tu toako, kalau begitu... kalau begitu aku harus meminta
maaf padamu" "Kie-hong, kalau aku membutuhkan bantu-anmu, aku pasti
akan mencari dirimu, mungkin nanti kau harus keluar
menolongku." "Kita lihat saja nanti" Wie Kie-hong sudah tidak berani
melanjutkan kata-katanya lagi.
Kedua orang ini berpisah ditengah jalan. Ketika Wie Kiehong
membalikkan tubuh dan akan melangkah pergi, Tu Liong
mengernyitkan keningnya dalam-dalam, jelas terlihat dia kesal
sebab untuk sementara waktu ini dia kehilangan satu satunya
orang yang dapat menolongnya. Ini bukan suatu hal yang
mudah dilewatkan begitu saja.
Akhirnya Tu Liong kembali memacu kudanya pergi, langkah
kudanya sama gontai dengan pikirannya yang kacau, didalam
kepalanya berseliweran banyak urusan yang tidak menentu.
Secara tidak terasa dia berjalan masuk kedalam sebuah gang
yang sepi, sebenarnya tidak bisa dikatakan "secara tidak
sadar", gang ini adalah gang yang harus dilalui kalau ingin
kembali ke rumah kediaman Cu Taiya....
Tiba tiba saja ada orang yang menghadang jalannya. Tu
Liong sadar dari lamunannya.
Orang ini berpakaian sangat aneh. Dia mengenakan
pakaian serba hitam yang panjang menyelubungi tubuhnya,
saat itu orang yang mengenakan pakaian hitam sangat jarang
ditemui. Kepalanya mengenakan sebuah topi kupluk, topi ini
dikenakannya sangat rendah sehingga menutupi raut
mukanya. Tu Liong tidak dapat melihat wajahnya dengan
jelas. Tu Liong langsung merasa ada sesuatu yang kurang beres.
"Saudara, aku ingin meminta suatu barang padamu" orang
itu berkata dengan dingin.
"Oh...?" Tu Liong sama sekali tidak menyangka lawannya
akan berlaku seperti itu. dia tertegun beberapa saat:
"Kau ingin minta barang apa?"
"Bahu kananmu...." baru saja kata-katanya diucapkan
setengah jalan, orang itu sudah meluncur ke arah Tu Liong
bagaikan panah yang terlepas dari busurnya.
Biasanya orang yang mengenakan jubah panjang yang
berat tidak akan bisa bergerak dengan mudah. Namun
ternyata orang ini sebaliknya, tidak hanya gerak-geriknya
sangat cepat, kegesitannya sempat membuat Tu Liong merasa
kaget. Dia mengeluarkan pedang yang memiliki gigi bagaikan
sebuah gergaji yang di ambil dari sarang yang digantung di
punggungnya. Sinar kilau pedang berkelebat ketika pedang itu
menebas mengarah ke bahu kanan Tu Liong.
Tu Liong mahir bertarung jarak dekat dan ahli jurus
bantingan, tentu saja dia mahir menggunakan tangan kosong
untuk melawan seseorang yang membawa senjata, tapi
menghadapi senjata yang aneh ini dia merasa sedikit raguragu.
Karena merasa ragu ragu, Tu Liong sudah kehilangan
waktu yang berharga. Pedang itu sekarang sudah sampai ke
atas bahunya. Gang itu sangat sempit, untuk menghindari
serangan tidaklah mudah. Apalagi Tu Liong masih duduk
diatas seekor kuda. Sekali salah bertindak, Tu Liong sudah
berada dalam bahaya besar.
Untung kemahiran Tu Liong menghindari serangan tidak
jelek. Ditengah situasi berbahaya seperti itu, dia masih mampu
menghindar serangan. Sebelum bahunya putus ditebas pedang bergigi, dia
meloncat mundur kebelakang dari pelana kuda.
Kuda putihnya merasa kaget. Binatang itu meringkik keras
mengangkat kedua kaki depannya.
Serta merta binatang itu lari menerjang menuju orang yang
memegang pedang gigi gergaji.
Walaupun raut mukanya tidak terlihat, namun Tu Liong
tahu orang yang memegang pedang gigi gergaji tidak merasa
panik. Dengan tetap tampak tenang, dia menendang tembok yang
ada disebelah kirinya dan membuatnya menjadi injakan untuk
meluncur ke atas. Kuda berlari semakin dekat.
Ternyata orang yang memegang pedang gigi gergaji belum
cukup loncatannya untuk menghindari terjangan kuda.
Sekali lagi dia menendangkan kaki kirinya ke tembok di
sebelah kanannya. Sekarang dia sudah berada cukup tinggi
diatas kuda. Kuda putih terus berlari dibawahnya, setelah mencapai titik
loncat tertinggi, orang yang memegang pedang gigi gergaji
mulai bersalto menuju Tu Liong.
Setelah dekat, dia segera mengayunkan lagi pedang bergigi
gergaji ke arah Tu Liong.
Tebasan pedangnya tampak sangat kuat.
Jika Tu Liong tidak segera berkelit, kepalanya pasti sudah
terbelah dua. Dia segera memutar tubuhnya menyamping.
Nyaris pedang bergigi gergaji itu menyentuh hidungnya.
Sekarang Tu Liong berdiri merapat ke dinding, pedang gigi
gergaji berada tidak jauh dari dadanya.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji segera
memutar pegangan pedang, sehingga gigi gergaji yang tajam
mengarah pada Tu Liong. Pedang itu kembali disabetkan ke arahnya.
Tu Liong langsung mengangkat kedua tangan dan
melempar dirinya menjauh. Pedang gigi gergaji hanya berhasil
merobekbajunya. Orang yang memegang pedang gigi gergaji tidak
membuang waktu. Dia kembali menusukkan pedang bergigi
gergaji ke arah dada Tu Liong.
Serangan beruntun ini sangat cepat.
Tu Liong kaget. Terpaksa dia menggunakan kedua telapak
tangannya untuk menghentikan laju tusukan pedang.
Tu Liong terseret mundur beberapa langkah. Orang yang
memegang pedang gigi gergaji segera mendorong pedang gigi
gergaji ke arah bawah. Pedang itu terlepas dari jepitan telapak tangan Tu Liong.
Setelah terlepas, pedang itu segera ditarik lagi ke arah
atas. Secara reflek Tu Liong menarik ke dua tangannya. Kalau
gerakan Tu Liong tidak cukup cepat, dia pasti sudah
kehilangan kedua pergelangan tangannya.
Tu Liong melangkah mundur.
Setelah beberapa saat, dia menyadari kalau bajunya sudah
koyak koyak karena serangan pedang yang beruntun.
"Berhenti!" Tu Liong berteriak keras-keras.
Orang itu ternyata menuruti kata-katanya dan
menghentikan serangan. Dia bertanya dengan nada dingin:
"Kau mau minta ampun?"
"Aku hanya ingin bertanya namamu ! Aku ingin bertanya
apa alasanmu menyerangku!"
"Kau bertanya saja pada Thiat-yan .... "
Sebelum kata katanya selesai diucapkan olehnya. Sekali lagi
dia menyerang ke arah Tu Long.
Tu Liong menjadi emosi, segera dia mencabut pedang yang
diikatkan di pinggangnya.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji menyabetkan
pedangnya memutar secara vertikal dari atas ke bawah.
Tu Liong juga menyabetkan pedangnya memutar secara
vertikal dari bawah ke atas.
Kedua pedang ini mengayun cepat. Kilau sinar pedang yang
terpancar karena sinar matahari membentuk suatu lengkung
cahaya yang indah. "TRAAANGGG!!!" Kedua pedang beradu dengan keras.
Pedang Tu Liong terpental ke bawah karena kuatnya
tebasan orang yang memegang pedang gigi gergaji.
Dia memanfaatkan hal ini untuk kembali mengangkat
pedangnya memutar dari bawah.
Setelah pedangnya berada setinggi kepala, dia segera
menyabetkannya secara mendatar ke arah kepala orang yang
memegang pedang gigi gergaji.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji segera
menghindar menunduk. Pedang Tu Liong nyaris mengenai topi
yang dikenakannya. Orang yang memegang pedang gigi gergaji segera
menusukkan kembali pedang gigi gergajinya ke arah Tu Liong.
Tu Liong sangat gesit. Dia meloncat dan menginjak pedang
yang melaju ke arahnya. Dia menggunakan pedang ini sebagai pijakan untuk
meloncat jauh ke belakangnya.
Tu Liong bersalto indah di atas punggung orang yang
memegang pedang gigi gergaji.
Namun belum sempat Tu Liong mendarat, orang yang
memegang pedang gigi gergaji sudah membalikkan tubuh dan
kembali menyerbunya. Baru saja Tu Liong mendarat ketika orang itu kembali
mengayunkan pedang gigi gergaji dari atas kebawah.
Tu Liong merasa kewalahan. Segera dia melintangkan
pedang yang dibawanya diatas kepala untuk menahan tebasan
pedang yang mematikan ini.
"TRAAANGGG" Kedua pedang kembali beradu.
Kepala Tu Liong nyaris terbelah dua.... lagi....
Serangan orang yang memegang pedang gigi gergaji tidak
berhenti sampai disini. Dia menarik pegangan pedang gigi
gergaji. Pedang Tu Liong bergetar hebat ketika gigi gergaji pedang
mengiris pedangnya dengan mudah seperti sebuah gergaji
yang memotong sebatang kayu yang melintang.
Kedua orang ini kembali berdiri berhadapan.
Pedang Tu Liong rompal cukup dalam. Untung pedang itu
belum belah menjadi dua. Tampaknya nafas kedua orang ini sudah mulai memburu.
Ini adalah sebuah pertarungan dahsyat yang menghabiskan
banyak tenaga. Segera kedua orang berusaha mengatur nafas-nya.
Saat istirahat tidak berlangsung lama.
Mendadak orang yang memegang pedang gigi gergaji
kembali berteriak pada Tu Liong..
"BAHU-MUU!!!...."
Kembali dia meluncur berlari ke arahTu Liong.
Tu Liong mengerang singkat. Istirahat singkat itu belum
cukup baginya. Sebentar saja pedang gigi gergaji sudah ditusukkan
kembali ke arah dadanya. Tu Liong segera menepis pedang gergaji sekuat tenaga.
"TRANGGG!!!" Pedang gigi gergaji terpental ke arah kanan dengan keras.
Gang itu sangat sempit. Dinding gang segera menyambut
pedang gigi gergaji. "BRAAAKKK!!!" Debu-debu berterbangan, pecahan dinding batu berjatuhan
kebawah. Tu Liong mengambil kesempatan ini untuk menerjang
dengan cepat ke arahnya. Dia menapakkan kakinya dengan
keras dan berusaha menyundul orang yang memegang
pedang gigi gergaji. Itulah jurus bertarung jarak dekat yang menjadi
keahliannya. Namun orang yang memegang pedang gigi gergaji benar
benar tangguh. Dia segera meloncat mundur cukup jauh untuk menghindari
serangannya. Setelah mendarat, Tu Liong menusukkan pedangnya ke
arah dada orang yang memegang pedang gigi gergaji.
Orang itu segera mengangkat pedangnya melintang di
dada untuk menangkis serangan.
Tu Liong melihat ada kesempatan emas. Dia segera
memanfaatkannya. Tu Liong menusuk-nusuk dengan cepat berulang kali ke
arah depan. Orang yang memegang pedang gigi gergaji segera
melompat mundur sangat jauh untuk menghindar.
Kembali mereka beristirahat singkat.
Tampaknya tidak satupun diantara mereka yang masih kuat
untuk terus bertarung dengan kepala dingin. Mereka terjebak
dalam kondisi yang menyulitkan.
Jika mereka ingin menyelesaikan pertarungannya, sekarang
mereka harus mengerahkan semua tenaga yang tersisa.
Tu Liong terengah-engah, keringat dingin terus mengucur
turun di tubuhnya, tubuhnya terasa panas, kabut asap putih
terlihat di sekelilingnya karena udara masih sangat dingin.
Dia melihat orang yang memegang pedang gigi gergaji
menurunkan pedangnya menyentuh tanah.
Pertarungan segera akan dimulai kembali.
"BAHU-MUUUUU!!!! ..." orang itu kembali berteriak sambil
berlari menyeret pedangnya di lantai.
Pedang itu membuat percikan bunga api kecil di tanah.
"HIAAAAHHH!!!" Tu Liong pun ikut mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk
melawan. Kedua pedang berayun bersamaan saling menyilang.
Terdengar suara benturan dua logam yang sangat keras.
Tu Liong terpental kebelakang nyaris kehilangan
keseimbangan.... Tenaga orang yang memegang pedang gigi gergaji
memang luar biasa kuat. Tu Liong segera siaga. Namun dia terkejut, ternyata orang
itu sudah dekat dengannya. Dia sedang meloncat dan
mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke arahnya.
"GAWAT!!" Tu Liong meloncat lagi kebelakang jauh-jauh untuk
menghindari tebasan maut ini.
Pedang gigi gergaji menghantam tanah dengan sangat
keras.

Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Batu dan debu bertebaran kemana-mana.
"Bagus., satu kesempatan emas lagi." pikir Tu Liong.
Dia menghentakkan kaki kanannya dan segera meluncur
kedepan menyerang orang yang memegang pedang gigi
gergaji. , Namun alangkah kagetnya Tu Liong..
Ternyata orang yang memegang pedang gigi gergaji sudah
menghilang. Tu Liong bengong sesaat. Mendadak dia mendengar suara dari atas. Dia segera
menegadah ke atas. Ternyata orang yang memegang pedang gigi gergaji sudah
meloncat tinggi dan kembali menghujamkan pedangnya
kebawah. "TRAAAANNGGG!!!"
Untunglah Tu Liong masih sempat meng-angkat pedangnya
menangkis. Kepalanya sudah nyaris terbelah tiga kali berturut-turut
Orang itu mendarat dengan mulus, dan kembali menarik
pedang gergajinya. Tu Liong pikir ini adalah saat istirahat selanjutnya.
Ternyata orang itu tidak menghentikan serangan.
Dia kembali meluncur menuju Tu Liong sambil menebaskan
pedang gergajinya melintang ke arah pedangnya.
Kali pedang yang di pegang Tu Liong patah menjadi dua
karena tebasan terakhir ini.
Saking kerasnya tebasan pedang gergaji, pedang Tu Liong
sampai terlepas dari tangannya.
Pedang gergaji kembali menusuk ke arahnya.
Tu Liong berusaha meloncat mundur. Tapi pedang lawan
masih mengenai pinggang kirinya dan membuat sedikit
terluka. Darah segar membasahi baju yang dikena-kannya.
"Hahahahahahaha!"
Orang yang memegang pedang gigi gergaji tertawa melihat
sekarang Tu Liong sudah tidak berdaya.
Tidak menanti lama dia kembali melaju menyerbunya.
Pedang gigi gergaji teracung kedepan melesat dengan cepat.
Kali ini terpaksa Tu Liong menggunakan jurus
bantingannya. Ketika sudah dekat, tubuh Tu Liong menggeliat ke sebelah
sisi menghindari pedang dan pergelangan tangan kanannya
meliuk bagaikan seekor naga menyambar ke arah pergelangan
tangan kanan orang yang sedang menyerangnya.
PLAK! Pergelangan tangan yang memengang pedang gergaji
digenggam dengan erat. Siapa sangka tangan kiri orang yang juga sedang
menggenggam pedang gergaji, tiba-tiba saja mengeluarkan
sebuah pisau kecil yang panjangnya tidak lebih dari tiga puluh
senti meter. Dengan secepat kilat pisau itu menyambar
bagian-bagian penting di tubuh Tu Liong. Serangan ini benar
benar diluar dugaan Tu Liong. Jangankan dirinya, seorang
pendekar ternama di kalangan persilatan pun tidak akan
menyangka akan mendapatkan serangan seperti ini.
Ditengah tengah situasi yang sangat genting seperti ini, Tu
Liong hanya bisa melepaskan genggaman tangan kanannya
dan segera meloncat mundur menjauh, untung dia masih
sempat meng-hindari serangan pisau kecil yang bertubi- tubi.
Walaupun dapat menghindari sebagian besar serangan
pisau kecil, namun bahu kanannya sekarang sudah terluka
parah, segumpal daging terpapas dari bahu kanannya.
Sebelumnya Tu Liong sudah berada dalam situasi yang buruk,
sekarang ini darah segar mengalir dari bahunya. Situasi
semakin genting saja. "Saudara!" dari awal orang ini sama sekali tidak
menampakkan raut muka aslinya, "julurkanlah bahu kananmu,
aku berjanji selain mengambil bahu kananmu, kau tidak akan
mendapatkan luka apapun lagi."
Tu Liong menelan ludah, otaknya segera berputar
memikirkan bagaimana cara mengatasi masalah yang
sekarang ini sedang terjadi didepan matanya.
0-0-0 BAB 6 Rahasia Dari kejauhan seseorang berdiri.
Dia mengawasi semua kejadian yang terjadi didalam gang
sempit itu. Dia sepertinya sedang menimbang-nimbang,
apakah dia harus ikut campur tangan dalam urusan ini atau
tidak. Dia tidak terlihat seperti orang yang hanya menonton
kebakaran, (tidak mau menolong ketika terjadi musibah),
karena sepanjang peristiwa dia tampak sangat tegang.
Pada akhirnya dia perlahan-lahan berjalan mendekat.
Orang yang memegang pedang gergaji mendengar suara
langkah mendekat. Dia segera berteriak dengan suara tinggi
"Orang yang lewat harap berhenti!"
"Kenapa" Kau ingin menyuruhku pergi?"
Orang yang membawa pedang gergaji berkata dengan
hambar... "Maaf !" ditengah tengah sambaran pedang gergaji,
gerakannya berhenti diudara, "disini kami sedang
menyelesaikan dendam amarah antara dua orang pendekar
kalangan persilatan, aku harap sahabat tidak ikut campur"
Pada waktu pedang gergaji itu berhenti ditengah udara,
penjagaan orang yang memegang pedang gergaji sangat
lemah, sebenarnya itu adalah kesempatan emas bagi Tu
Liong untuk menyerang balik. Tapi dia tidak melakukan hal
ini. Tu Liong benar benar seorang pendekar jantan.
Orang itu semakin lama berjalan semakin mendekat.
Setelah dekat, tampaknya orang itu tidak menunjukan akan
menghentikan langkahnya. Dia terus berjalan maju. Pedang
gergaji segera berbalik arah, kecepatan gerakannya tidak
berkurang sedikitpun, segera saja pedang gergaji sudah
ditebaskan ke arah pinggang orang yang datang. Tu Liong
sekali lagi mendapatkan kesempatan emas untuk menyerang,
tapi sekali lagi dia tidak bergerak. Orang yang memegang
pedang gergaji tampaknya sangat mengerti bahwa Tu Liong
tidak mungkin menyerangnya dari belakang, karena itu dia
berani membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru
datang. Tapi ternyata lawan yang baru ini tidak begitu mudah untuk
dihadapi. Tu Liong hanya sempat melihat orang itu menghindari
serangannya ke samping, sebentar saja pedang gergaji sudah
membelah udara kosong. Pada waktu yang bersamaan
terdengar dia berteriak: "Orang she Boh! sudah cukup "
APA..." orang she Boh" Boh Tan-ping" Diam-diam hati Tu
Liong merasa sangat terkejut. Sekarang dia mengambil
kesempatan untuk menyambarkan senjatanya yang terjatuh
yang tinggal sepotong, dipegangnya dan menebas topi yang
sedang dipakai oleh orang yang memegang pedang gergaji.
Topi itu segera terlempar jauh.
Ternyata dia memang Boh Tan-ping.
"Boh Tan-ping !" Tu Liong bertanya dengan nada yang
tertekan rendah "aku tidak memiliki dendam terhadap dirimu,
untuk apa kau menyerang-ku?"
"Aku tidak dapat menerima perlakuanmu menyelipkan surat
peringatan itu disisi bantal nona Thiat-yan. "
"Orang she Boh!" asalnya orang yang baru datang ini
terlihat sangat emosi, namun sekarang tiba-tiba saja dia
terlihat tenang, "kau boleh pergi"
"Sebutkan namamu!"
"Untuk apa?" "Agar aku dapat mengingatmu dalam hati"
"Hiong-ki" Hiong-ki" Boh Tan-ping seperti pernah mendengar nama ini
sebelumnya, dia tidak berkata apa-apa. dia segera
menurunkan senjatanya dan pergi.
Hiong-ki" Tu Liong sebaliknya terlihat kebingungan, dia
belum pernah mendengar nama ini sebelumnya.
Hiong-ki tampak mengambil sesuatu dari balik bajunya. Dia
mengeluarkan sebuah barang yang berwarna kuning dan lalu
membalurkan pada luka Tu Liong, setelah itu dia
menggunakan sebuah kain dan membalut lukanya.
Pada waktu ini Tu Liong mencoba meneliti Hiong-ki dengan
baik. Tampak dia kira-kira baru berumur tiga puluh tahun.
Tampangnya seperti orang yang lugu, namun sinar matanya
sangat dalam. Yang tampak berbeda adalah orang ini tampak
seperti seorang pemurung yang menyimpan banyak
pemikiran. "Terima kasih" "Di jalan menemui ketidak adilan." (artinya: ditengah jalan
menemui orang yang mendapat masalah, dia tidak mungkin
tinggal diam) Hiong-ki menjawab singkat.
"Ini ramuan obat apa" aku tidak pernah melihatnya
sebelumnya" "Ini adalah tanaman "singa berbulu emas" yang hanya
tumbuh di daerah selatan. Tanaman ini banyak tumbuh
dimana-mana, semacam tanaman liar. Aku tidak perlu
mengeluarkan uang untuk mendapatkan-nya. Tanaman ini
sangat baik untuk mengobati luka sayatan pedang"
"Apakah saudara Hiong mengenali orang yang she Boh
tadi?" "Aku hanya pernah mendengarnya"
"Dia....dia sebenarnya orang seperti apa?"
"Dia orang yang sangat setia. Seumur hidupnya dia hanya
setia pada satu orang saja. Dia dulu setia hanya pada orang
yang bernama Tiat Liong-san, sekarang ini dia mengabdi pada
Thiat-yan" Hiong-ki sepertinya mengerti semua urusan dengan
jelas "Aku ingin mengundang saudara Hiong minum arak dan
berbincang-bincang. Tentu saja ada banyak hal yang ingin aku
tanyakan pada saudara"
Hiong-ki hanya tertawa dan berkata:
"Kau baru saja terluka, apakah kau masih bisa minum
arak?" "Ku dengar arak juga memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan luka" kata Tu Liong ikut tertawa.
"Tidak masalah apakah omongan ini benar atau tidak, niat
baikmu sudah membuatku kagum. Marilah kita pergi!"
Arak belum tentu memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan luka, tapi yang pasti arak bisa membuat
suasana kaku antara dua orang menjadi cair. Situasi yang
canggung pun menjadi hidup, membuat orang yang baru
dikenal menjadi dekat bagaikan teman lama. Sekarang ini,
arak sudah menghancurkan jurang pemisah antara Tu Liong
dengan Hiong-ki, mereka berdua pun menjadi akrab.
"Hiong-ki!" Tu Liong sudah memanggil langsung nama
teman barunya "aku lebih enak memanggilmu seperti ini,
apakah kau pikir aku sudah tidak sopan?"
"Tentu saja tidak"
"Aku ingin bertanya padamu, tapi kau boleh tidak
menjawabnya." Hiong-ki hanya diam tidak berbicara. Kalau kedua orang ini
dibandingkan, jelas terlihat Hiong-ki lebih mantap dan dewasa
dibanding Tu Liong. "Tadi kau tidak pergi meninggalkan perta-rungan, jelas
terlihat sepanjang waktu kau selalu memperhatikan gerak
gerik Boh Tan-ping...."
Setelah berhenti beberapa saat dia melanjutkan kata
katanya: "Topi yang dikenakan oleh Boh Tan-ping dipasang sangat
rendah, aku tidak bisa mengenali siapa dirinya. Namun
melihatnya sebentar saja kau bisa langsung mengenalinya.
Kau langsung memanggilnya "orang she Boh" bukankah ini
terlihat sangat jelas?"
"Aku dengar kabar katanya kau sangat pandai
memecahkan misteri, ternyata kabar itu tidak salah."
"Selain memperhatikan dirinya, ternyata kau juga sudah
memperhatikan diriku."
"Kuakui" Hiong-ki menggenggam cangkir arak dengan
sangat tegak dan lalu minum isinya. Ini adalah gerak-gerik
yang sudah umum dilakukan para pendekar ketika merasa
tidak nyaman, jelas terlihat dia tidak ingin banyak bicara.
"Mengapa?" Tu Liong tidak ingin melepaskan kesempatan
begitu saja. "Aku sering memperhatikan urusan orang lain"
"Jawaban ini terlalu ditutup-tutupi"
"Tu Liong, bagaimanakah jawaban yang kau ingin dengar
agar kau merasa puas?"
"Niat........kau sering memperhatikan urusan orang lain
pastilah kau punya niat"
"Niat?" Hiong-ki kembali mengulang kata tersebut
perlahan-lahan, lalu menjelaskan, "ini jawaban ku. Apakah niat
Thiat-yan yang sudah mencelakai empat orang tapi dia belum
melukai Cu Siau-thian" Dia sudah berhasil membuatmu terusik
dan keluar menampakkan muka. apa niat yang kau miliki?"
"Jawabannya sangat sederhana"
"Apakah benar sederhana?"
"Niat Thiat-yan melukai orang-orang adalah untuk
membalaskan dendam lama ayahnya. Aku keluar menampilkan
muka niatnya melindungi Cu Taiya. Dia adalah majikanku.
Hubungan kasih sayang yang kami miliki sudah seperti
seorang ayah pada seorang anak. tidak terlalu jauh berbeda.
Aku tidak ingin dia mendapat celaka."
"Apakah benar sesederhana itu?"
"Memang sesederhana itu"
"Kalau benar-benar sederhana, aku sudah tidak berminat
pada urusan ini lagi"
Tu Liong terdiam sangat lama. Dia mene-mukan bahwa
ternyata Hiong-ki memiliki pemikiran yang jauh melebihi
dirinya. Menghadapi orang seperti ini, dia seharusnya sedikit
bicara dan banyak mendengarkan. Masalahnya adalah kalau
dia tidak membuka mulut, Hiong-ki juga tidak akan membuka
mulutnya: "Kelihatannya kau sudah mengetahui banyak hal"
"Belum tentu" "Jangan menyangkal, kalau kau tidak tahu banyak hal,
mana mungkin kau bisa mengatakan kalau masalah ini tidak


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesederhana seperti yang ku pikir?"
"Kalau Thiat-yan melukai hanya demi membalaskan
dendam, mengapa setelah melukai orang-orang itu dia tidak
segera meninggalkan Pakhia?"
"Ini karena dia masih ingin melukai satu orang lagi"
"Cu Siau-thian?"
"Betul sekali, didalam hati Thiat-yan, Cu Siau-thian adalah
target utama" "Salah !" nada ucap Hiong-ki terdengar sangat pasti.
Tu Liong merasa terkejut. Namun dia berusaha untuk tidak
menampilkan rasa kagetnya. Dia melihat pada Hiong-ki
dengan tatapan heran, sepertinya dia berharap menemukan
jawaban misteri yang lebih dalam yang tertulis pada wajahnya
yang datar dan biasa-biasa saja. Sayang sekali raut wajahnya
tidak tampak tanda sedikitpun, bagaikan kertas putih yang
belum dicoretkan apa-apa.
Hiong-ki kembali mengatakan kalimatnya: "Aku berani
mengatakan Thiat-yan selamanya tidak akan melukai Cu Siauthian"
Kalimat ini diucapkan terlalu serampangan, terlalu yakin.
Bahkan Cu Siau-thian ataupun Thiat-yan sendiri tidak mungkin
berani mengatakan kalimat ini.
selamanya....ini adalah sebuah kata yang tidak bisa
diperkirakan dan tidak bisa dikendalikan. Didunia ini tidak ada
teman yang selamanya selalu menjadi teman, begitu pula
tidak ada musuh yang selamanya selalu menjadi musuh.
Sebenarnya entah apa yang Thiat-yan dan Cu Siau-thian
sedang rencanakan berkenaan dengan rahasia ini. siapapun
tidak bisa menjamin bahwa hubungan ini tidak akan pernah
berubah. "Apakah yang sebenarnya sedang kau coba katakan
padaku?" "Memangnya kau pikir aku sedang ingin mengatakan apa
padamu?" "Kau tampak seperti sedang mencoba mengatakan sesuatu
padaku, bahwa Cu Siau-thian dan Thiat-yan sebenarnya
berteman, dan bukan saling bermusuhan"
"Kalau kau berpikir seperti ini, kau juga sudah salah"
Muka Tu Liong sekarang berubah menjadi merah, didepan
Hiong-ki dia tampak seperti tidak tahu apa-apa. mana
mungkin mukanya tidak menjadi merah.
"Apakah kata-kataku sudah membuatmu merasa serba
salah?" "Aku merasa malu"
"Inilah keunggulanku, juga kejelekkanku."
"Bagaimanakah itu?"
"Untuk sisi baikku, aku sangat berterus terang. Untuk sisi
jeleknya kata-kataku ini sangat tidak enak didengar. Tapi
bagaimanapun juga aku lebih senang mengucapkan kata-kata
yang tidak enak didengar tapi terus terang."
"Tapi dari apa yang kurasakan, kata-katamu itu diucapkan
dengan gegabah" "Kamu berkata seperti ini aku juga senang. Bukan hanya
dirimu saja, tapi siapapun pasti akan mencurigai kesimpulan
yang sudah kubuat, namun mereka semua tidak memiliki
keberanian untuk mengatakannya....Tu
Liong! Kalau kau bersedia terus berlaku seperti ini ketika
berbicara padaku, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan
padamu" "Baik...." Tu Liong menjawab cepat.
"Di dalam dunia ini, siapakah menurutmu orang yang kau
anggap paling penting" Tentu saja dirimu tidak masuk
kedalam pertimbangan"
"Cu Taiya!" Tu Liong menjawab tanpa banyak
pertimbangan "Alasannya?" "Karena dia sudah mengurusku sampai dewasa, hutang
budiku terhadapnya sudah tidak terhitung lagi. kalau tidak ada
dirinya, maka aku pun tidak ada."
"Inilah tahu balas budi, tidak melupakan hutang budi,
betul?" "Betul." "Tapi pandangan yang kau miliki ini salah"
Padahal Tu Liong baru berbincang-bincang dengan Hiong-ki
beberapa kalimat saja, Hiong-ki sudah tiga kali berturut-turut
menunjukkan dengan gamblang kesalahan yang dibuat oleh
Tu Liong. Ini membuat Tu Liong merasa jengkel. Dia berkata:
"Hiong-ki! Kalau menurutmu pandangan tahu balas budi
pun adalah sebuah kesalahan, aku ingin berdebat denganmu"
"Tidak perlu berdebat, aku akan segera menjelaskan
padamu...." Hiong-ki minum secangkir arak, sepertinya dia
memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuri sedikit waktu,
menimbang-nimbang. "Tu Liong, saat ini kau sedang memburu konsep membalas
budi dengan membabi buta, bisa dibilang saat ini kau berjalan
mirip seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh rasa balas
budimu itu. sebenarnya didunia ini, selain balas budi masih
ada banyak hal yang lebih besar dan penting."
"Apakah itu?" "Kebenaran dan kebijakan"
"Kebenaran dan kebijakan?"
Tentu saja ini bukan pertama kalinya Tu Liong mendengar
kata-kata ini. "Betul sekali. Balas budi adalah definisi yang sangat sempit,
sedangkan kebenaran adalah definisi yang sangat luas. Balas
budi masih memiliki batas tertentu yang tidak bisa dilewati.
Bagaimanapun besarnya hutang budi yang kau miliki, Kau
tidak mungkin menjadikannya alasan sampai tidak
memperdulikan nyawamu sendiri, ataupun tidak lagi menjaga
nama baikmu. Sedangkan kebenaran yang sesungguhnya
tidak memiliki batasan. Demi membela kebenaran, kau bisa
tidak memperdulikan apapun lagi."
"Hiong-ki, penjelasanmu ini benar-benar sangat
mendalam." "Kau merasa seperti ini karena matamu sudah ditutupi
konsep balas budi" Tu Liong tertegun, dia seperti mendengar suara suara dari
kejauhan. "Hiong-ki, apakah menurutmu semua tindakan ku selama
ini salah?" "Mengapa kau punya pikiran seperti ini?"
Dari mula Hiong-ki tidak pernah benar benar menjawab
sebuah pertanyaan. "Sepertinya dari kata-kata yang sudah kau ucapkan tadi
sudah terlihat jelas"
"Apakah kau mengakui kalau kau adalah orang yang baik?"
"Ya" "Kalau begitu apakah kau membenci orang yang jahat?"
"Tentu saja" "Pada waktu itu Cu Siau-thian sudah memiliki permusuhan
dengan Tiat Liong-san. Karena ilmu silatnya tidak rendah, dan
memiliki koneksi yang sangat luas, sehingga dia menghubungi
orang-orang penting dari kalangan pemerintahan untuk
bekerja sama menghasut dirinya. Menurutmu apakah tindakan
semacam ini adalah tindakan yang dilakukan oleh orang
yang baik ataukah tindakan yang hanya akan dilakukan oleh
orang yang berhati jahat?"
Tu Liong menutup mulutnya rapat-rapat, dia hanya
menundukkan kepala. Melihat gelagat ini, Hiong-ki tidak mengendurkan katakatanya.
"Jelas-jelas terlihat dalam hatimu, kau sudah memiliki
jawabannya. Mengapa kau tidak mengatakannya langsung
padaku?" Tu Liong menenggak secangkir besar arak dan lalu berkata
dengan suara keras: "Menghasut Tiat Liong-san sebenarnya adalah tindakan
orang jahat" "Kau berkata, kau merasa majikanmu orang yang jahat,
mengapa kau masih mati matian membelanya" Mengapa kau
masih menganggapnya sebagai orang paling penting dalam
hidupmu?" "Mungkin saja orang lain akan menilainya sebagai orang
yang jahat, namun bagaimanapun bagiku dia adalah orang
yang baik." "Kalau misalnya ada seorang pencuri yang sudah
merampok semua orang di dunia, dia hanya tidak merampok
dirimu. Apakah kami masih merasa bahwa dia adalah seorang
bandit" Kalau misalnya dia menyerahkan semua hasil
jarahannya padamu, tidak saja kau tidak akan lagi
menganggapnya sebagai seorang bandit, malah sebaliknya,
apakah kau akan menganggapnya sebagai seorang
pahlawan..." Kata kata Hiong-ki terus-menerus keluar menusuk hati,
membuat Tu Liong merasa susah. Dia tidak bisa mengatakan
sepatah katapun. Setelah berhenti beberapa saat, Hiong-ki kembali berbicara
dengan nada ramah "Tu Liong ! manusia mungkin memiliki
karakter yang berbeda beda. Bagi orang yang pertama,
mungkin saja sebuah tindakan akan dinilai sebagai sebuah
tindakan brutal yang sangat tidak terpuji. Namun untuk orang
yang kedua mungkin saja tindakan yang sama dianggap
sebagai pahala yang mulia. Namun kita tidak bisa mengatakan
bahwa orang yang pertama adalah orang yang baik, dan
orang yang kedua adalah orang yang jahat."
Tu Liong sudah tidak ingin meneruskan argumentasi yang
rumit ini, karena dia merasa bagaimanapun juga dia tidak
mungkin bisa berada diatas angin dan memenangkan
perdebatan. Karena itu dia berusaha membelokkan topik
pembicaraan: "Hiong-ki, pembicaraan kita sudah melenceng jauh dari
topik utama. Baiknya sekarang kita kembali pada topik awal,
dan melihat dari sudut pandang yang lain....
... Cu Siau-thian sudah mencelakai Tiat Liong-san memang
adalah tindakan yang sangat tidak baik, betul tidak?"
"Tidak salah" "Thiat-yan adalah putri satu-satunya Tiat Liong-san. Betul
tidak?" "Juga tidak salah"
"Membalaskan dendam ayah adalah sebuah perkara besar,
mengapa kau mengatakan bahwa selamanya Thiat-yan tidak
akan melukai Cu Taiya?"
Kali ini keadaan berbalik dan Tu Liong memiliki keunggulan
dalam perdebatan. Sangat jelas terlihat Tu Liong merasa
sangat senang. Dia menunggu
Hiong-ki melotot terbengong-bengong karena tidak bisa
menjawab. Hiong-ki malah tertawa. "Apa yang kau tertawakan?"
"Kata-kataku adalah sebuah kontradiksi, semua orang pun
bisa dengan mudah melihat kesalahan seperti ini. Apakah kau
pikir aku sudah melakukan kesalahan yang bodoh seperti ini?"
"Kau selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Mengapa kau selalu membalikkan pertanyaan dan tidak
menjawab secara langsung?"
"Membalikkan pertanyaan dapat banyak membantu
mempertimbangkan jawaban"
"Membantu siapa mempertimbangkan jawaban?" sekarang
wajah Tu Liong tampak murung.
"Membantu dirimu, juga diriku"
karena jawaban terakhir yang diucapkan oleh Hiong-ki tidak
tajam, kata-kata Tu Liong kembali terdengar melembut.
Namun dia tetap tidak melepas-kan pertanyaan yang sudah
diajukannya tadi: "Aku masih menunggu jawabanmu"
"Ada sebuah barang yang mungkin bisa membantu
mewakilkan jawabanku."
"Barang apa?" "Sebuah surat" Hiong-ki mengeluarkan sebuah tas yang
terbuat dari kulit kambing. Dari dalamnya dia mengeluarkan
sebuah amplop yang sudah terlihat tua.
Diatas amplop kertas tertulis kata-kata berikut:
"Untuk adik Tan-ping"
beberapa huruf ini benar benar terlihat sangat familiar
dimata Tu Liong. "Tan-ping" Boh Tan-ping?"
"Sebaiknya kau lihat dulu isi suratnya...."
Tu Liong mengeluarkan surat dari dalam amplop. Diatas
surat tertulis: "Adik Tan-ping yang terhormat, lakukanlah semua sesuai
dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya, ketika
melakukannya harus akurat, tindakanmu harus kejam. Harap
diingat ! " tertanda Siau Tian"
Siau Tian" Cu Siau-thian!
Tidak salah. Ini memang tulisan tangan majikannya Cu
Siau-thian. Sekali lihat saja Tu Liong sudah langsung
mengenali bahwa ini adalah tulisan tangannya.
"Tu Liong, Cu Siau-thian dengan Boh Tan-ping memiliki
hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Apakah kau tidak
memikirkan ini sebelumnya?"
"Aku hanya ingat tadi kau mengatakan sepatah kata
berikut. Boh Tan-ping adalah orang yang setia. Dahulu dia
setia kepada Tiat Liong-san, dan sekarang dia setia pada
Thiat-yan. Kalau dilihat dari surat ini, dia jelas-jelas juga setia
pada Cu Siau-thian. Satu orang bisa setia dan mengabdi pada
lebih dari dua orang, pastilah kesetiaannya akan sedikit
berkurang." "Kata katamu itu masuk diakal. Namun kau tidak mengerti
kejadian yang sesungguhnya"
Tu Liong hanya bisa melihat Hiong-ki sambil terdiam. Dia
menunggu lanjutan kalimatnya.
"Kesetiaan adalah salah satu syarat mendasar yang harus
dimiliki seorang pendekar silat. Setia kepada majikannya, setia
kepada kawan-kawannya. Pada waktu itu dia sudah
mengangkat saudara dengan Cu Siau-thian, ini adalah
kesetiaan sebagai seorang teman. Tentu saja mereka juga
bekerja sama dalam menghadapi banyak persoalan. Asalkan
urusannya tidak menyinggung Tiat Liong-san, dia pasti
bersedia melakukan apapun itu..
"Kalau sekarang?"
"Kalau sekarang?"


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiong-ki sepertinya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh
Tu Liong. "Sekarang ini majikannya adalah Thiat-yan. Sedangkan
Thiat-yan dan Cu Siau-thian saling menyimpan dendam. Kirakira
Boh Tan-ping berdiri di sisi mana?"
"Tentu saja berdiri di sisi Thiat-yan"
"Kata-katamu itu terdengar terlalu yakin, sehingga terkesan
gegabah" "Apakah mungkin Boh Tan-ping bisa berdiri di sisi Cu Siauthian?"
"Mengapa kau tidak mengatakan apa yang sedang ada
dipikiranmu?" "Apakah kau pikir aku sedang menyimpan sesuatu darimu?"
"Setidaknya kau tidak berterus terang?"
"Oh" Apakah kau bisa menyadarkanku?"
"Tadi kau berkata bahwa Thiat-yan selamanya tidak
mungkin akan melukai Cu Siau-thian. Kata kata ini
mengandung arti lain yaitu Thiat-yan selamanya pun tidak
mungkin akan menemukan cara untuk melukai Cu Siau-thian.
Mengapa demikian" Karena semua tindakan yang dilakukan
oleh Thiat-yan pasti langsung akan diketahui oleh Boh Tanping,
oleh karena itu dia pasti akan selalu melaporkannya
pada Cu Siau-thian. Betul tidak?"
"Betul. Tu Liong! aku merasa sebaiknya masalah ini kau
coba buktikan sendiri. Pasti akan lebih berguna daripada aku
yang memberitahumu."
"Kalau begitu, Boh Tan-ping bukanlah orang yang benarbenar
setia." "Kata-katamu benar juga, setidaknya diper-mukaan dia
terlihat seperti itu."
"Selama ini dia selalu menjadi kuping dan mata bagi Cu
Siau-thian." Hiong-ki tidak menyetujui pernyataan ini, sebaliknya dia
pun tidak membantah. "Mengapa Cu Taiya tidak menceritakan semua masalah ini
padaku?" Sebenarnya Tu Liong bergumam sendiri, tapi juga Hiong-ki
menjawabnya. "Pertanyaan itu hanya memiliki satu jawaban. Cu Siau-thian
merasa bahwa kau masih belum cukup dapat dipercaya
sepenuhnya." Tu Liong minum arak banyak-banyak. Setelah itu dia
kembali bertanya, "Apakah surat ini boleh aku bawa pulang?"
"Jangan. Ini adalah sebuah barang bukti. Aku harus
ingatkan dirimu. Kau sama sekali tidak boleh menceritakan
semua masalah ini dihadapan Cu Siau-thian. Sedikitpun tidak
boleh bocor." "Memangnya kalau rahasia ini bocor, ada akibat yang
seperti apa?" "Kau bisa mati"
"Kalau begitu biarkanlah aku mati" Tu Liong bergegas pergi
keluar. Hiong-ki segera berdiri dan mencegat jalannya.
"Apa maksud dari kata-kata mu tadi?"
"Aku akan selalu mengingat kesetiaan hatiku pada Cu Siauthian.
Namun ternyata dia belum mempercayai diriku. Apakah
hidupku ini masih ada artinya?"
"Kau seorang laki-laki dewasa. Demi membela kebenaran,
demi membela keadilan lalu mati, ini bukanlah hal yang jelek.
Namun kau mau mati demi rasa ingin membalas budi, demi
melampiaskan emosi" Itu adalah tindakan yang sangat bodoh.
Aku rasa kau sudah tahu"
Tu Liong hanya menatap Hiong-ki. Setelah beberapa lama
dia baru meneruskan kata-katanya, "Hiong-ki, aku sangat
senang mendapat seorang teman seperti dirimu. Sekali
melihat dirimu pun aku langsung merasa suka. Bukan karena
kau sudah menolong diriku. Ini hanyalah sebuah rasa suka
yang ada dalam hatiku. Hiong-ki, apakah kau tahu apa akibat
yang akan terjadi kalau misalnya kau sudah membohongiku?"
"Aku tidak mungkin mati"
"Mungkin juga saat ini aku tidak memiliki kemampuan
seperti itu" "Kalau misalnya seseorang benar-benar menginginkan
seseorang yang lain mati, dia pasti akan menemukan cara
untuk mencapai apa yang diinginkannya"
"Hiong-ki.. ingat lah... kau yang mengucapkan kata-kata
tersebut." Hiong-ki hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia
sudah tidak perlu berkata apa-apa.
Tu Liong sudah hampir berangkat, namun dia bertanya
lagi: "Kapan kita akan bertemu lagi?"
"Kalau kita harus bertemu lagi"
Kata-kata ini terdengar seperti omong kosong yang asal
diucapkan sembarangan. Tapi sebenarnya kata-kata ini
mengandung arti yang sangat dalam.
0-0-0 Tu Liong kembali ke kediaman Cu. Setelah sampai, dia
segera pergi menemui Cu Siau-thian. Luka yang didapatnya di
bahu kanannya sangat jelas terlihat, tidak mungkin dapat
dengan mudah ditutupi dari pandangan orang lain.
Kelakuan yang ditunjukkan oleh Cu Siau-thian membuat Tu
Liong kembali sangsi dengan semua yang sudah diceritakan
oleh Hiong-ki. Dia membantu Tu Liong membasuh luka,
merawatnya membalutkan obat dan perban dengan
tangannya sendiri. Setelah semuanya selesai, dia hanya menanya-kan sebuah
kata: "Perbuatan siapa?"
"Boh Tan-ping" Tu Liong sengaja mengatakan dengan nada
datar. "Boh Tan-ping?"
"Hanya seorang prajurit rendahan"
"Kalau kau mengatakan ini kau sudah mem-buat kesalahan.
Pada waktu itu dia adalah pengawal setia nomor satu yang
mengabdi pada Tiat Liong-san. Dia bukanlah seseorang yang
pantas disebut prajurit kecil."
"Kalau begitu aku sudah terlalu memandang rendah
dirinya" "Karena kau sudah memandang rendah dirinya makanya
kau mendapat luka ini ....mengapa kau bertarung
dengannya?" "Sebenarnya semua ini salahku" Tu Liong sekali lagi
sengaja menutupi kejadian yang sebenarnya, "sebenarnya aku
yang pertama menyerangnya"
Tu Liong sedang membuat sebuah percobaan. Kalau Boh
Tan-ping selalu melaporkan kejadian yang terjadi pada Cu
Siau-thian, seharusnya dia sudah mengetahui kejadian yang
sesungguhnya terjadi dengan cepat. Karena itu Cu Siau-thian
tidak perlu bertanya terlalu jauh karena tidak banyak gunanya.
"Aih !" Cu Siau-thian hanya menghembuskan nafas
panjang, "kalau dikatakan lagi sepertinya terdengar sangat
memalukan. Sebenarnya Boh Tan-ping itu dahulu pernah
menjadi saudara angkatku...."
Tu Liong diam-diam merasa kaget. Seharusnya ini adalah
sebuah rahasia yang sangat besar ! mengapa Cu Siau-thian
membocorkannya pada dirinya"
"Semuanya karena pada waktu itu emosiku tidak dapat
dikontrol. Aku masih sangat muda. Aku tidak tahu bagaimana
menghadapi orang lain. Aku lalu membuatnya marah dan dia
langsung pergi, setelah itu dia menjadi kaki tangan Tiat Liongsan."
"Apakah setelah itu kalian berdua tidak pernah
berhubungan lagi?" "Sebelum Tiat Liong-san mati, hubungan kami baik-baik
saja. Walaupun tidak dekat, tapi kami masih berhubungan.
Namun setelah Tiat Liong-san mendapat celaka kami tidak
pernah bertukar kabar lagi. dia pasti sangat membenciku"
"Sekarang dia bersama-sama dengan Thiat-yan. Dia pasti
akan membelanya" "Rasanya memang begitu. Apakah kau perlu
mengatakannya lagi?"
Cu Siau-thian menyayangkan maksud Tu Liong untuk
mengejar masalah ini. Tu Liong sempat berpikir untuk menceritakan pada Cu Siauthian
tentang semua hal yang sudah dipelajarinya tadi. Namun
mengingat peringatan yang diberikan oleh Hiong-ki, dia jadi
menahan niatnya. "Luka yang kau derita ini tidak bisa dibilang sebuah luka
ringan. Mengapa kau masih pergi ke kedai arak dan minum
arak disana" kau benar-benar tidak tahu bagaimana cara
merawat tubuhmu." "Aku dengar arak bisa menyembuhkan luka"
"Siapa yang memberitahumu kalau arak bisa
menyembuhkan luka?" "Banyak orang mengatakan demikian..." Tu Liong
serampangan bergumam pada dirinya sendiri.
"Omongan itu adalah omongan yang tidak memiliki
dasar..." kata kata Cu Siau-thian penuh arti.
"Setelah kejadian ini, sebaiknya kau mendengar kan
omongan yang sudah benar-benar terbukti. Kau tidak boleh
sembarangan mempercayai omongan orang lain."
"Baiklah" Tu Liong menjawabnya dengan sangat berhatihati.
sepertinya rahasia yang disimpan didalam hati sudah
diketahui oleh Cu Siau-thian dengan sekali tatap.
"Sekarang kau pergilah beristirahat. Aku akan mengutus
seseorang pergi membeli obat untukmu. Urusan ini sebaiknya
dilupakan saja." "Cu Taiya, aku punya sebuah pertanyaan yang tidak berani
aku tanyakan" "Oh...?" "Apakah Thiat-yan benar-benar tidak berani melukai
dirimu?" "Apa maksud kata-kata mu?"
"Aku hanya mengatakan, orang seperti Leng Taiya adalah
orang yang terpelajar, namun Thiat-yan melukainya dengan
mudah. Cu Taiya menguasai ilmu silat, apakah dia masih bisa
melukai Cu Taiya" Walaupun misalnya dia berhasil mencapai
apa yang diinginkannya, dia juga pasti akan takut balasannya
! mana mungkin Cu Taiya tidak memiliki satupun saudara
ataupun teman untuk membalas dendam?"
Cu Siau-thian hanya mengerutkan kening diam tidak
berbicara apa-apa "Aku berpikir seperti ini, apakah aku sudah
membuat kesalahan?" "Sekarang ini masalahnya bukan Thiat-yan berani
melukaiku atau tidak. Masalahnya apakah dia memiliki
kemampuan untuk melukaiku"
"Oh...?" Tu Liong tidak berani sembarangan melanjutkan
kata-katanya. Mendadak Cu Siau-thian duduk tegak dan mengangkat
kepalanya. Sinar matanya terlihat sangat tajam. Dia
memandang Tu Liong dalam-dalam.
"Kau pasti sudah pernah menemui nona Thiat-yan. Betul
tidak?" "Betul" Tu Liong tidak berani menyangkal.
"Mengapa sejak tadi kau tidak memberitahu?"
"Aku sudah menemui musuh untuk berunding. Aku bukan
pergi menemui musuh untuk mengadu ilmu. Aku takut kau
akan memarahiku" "Berunding" Kau sudah membicarakan apa saja dengan
dirinya?" "Tadi aku menyuruhnya untuk segera pergi meninggalkan
kota" "Hasilnya?" "Hasilnya adalah luka di bahuku ini"
"Thiat-yan tidak turun tangan?"
"Tidak" "Kita harus mencurigai semua orang di kolong langit ini,
namun tidak boleh mencurigai diri sendiri.... terhadap semua
masalah yang terjadi di kolong langit ini kita harus menaruh
curiga, namun tidak boleh curiga dengan apa yang dilihat oleh
mata kepala sendiri. Tu Liong! aku hanya bisa memberi tahu
ini saja" Tu Liong hanya terdiam. Sepertinya Cu Siau-thian sudah
mengetahui segalanya. Hanya saja dia tidak banyak
mengatakan tentang hal yang diketahui-nya.
Tu Liong sudah tidak kuat berada didalam ruangan itu
walaupun itu hanya satu menit lagi. dia segera pergi keluar
dan menuju kamarnya, sekarang ini dia ingin menenangkan
hatinya dan emosinya untuk berpikir.
Apakah Cu Siau-thian benar-benar seorang penjahat yang
licik" Apakah kata-kata Hiong-ki dapat diandalkan"
Mengapa dia tidak mempercayai Cu Siau-thian yang sudah
merawatnya dari kecil" Apakah pantas semuanya itu habis
hanya karena sebuah surat"
Kalau seseorang mempunyai niat untuk meniru gaya tulis
orang lain, dia pasti bisa melakukannya!!!
Semakin dipikirkan, pertanyaan yang yang muncul semakin
banyak. Semakin lama berpikir, Tu Liong merasa semakin tidak
tenang.... Tiba-tiba saja sebuah tanda tanya besar muncul didalam
kepalanya... Tanda tanya besar ini menyambar bagaikan kilat. Sampaisampai
Tu Liong yang sedang berbaring beristirahat tiba-tiba
saja meloncat turun dari ranjang.
0-0-0 BAB 7 Terkejut Malam sangat larut. Leng Souw-hiang terbangun dari tidurnya setelah dia
beristirahat sepanjang hari.
Dia memiliki banyak harta dan kekuasaan. Walaupun dia
masih merasa sulit menahan sakit, namun jika dibandingkan
dengan orang kecil yang tidak memiliki harta ataupun
kekuasaan, dia masih terhitung jauh lebih beruntung.
Tabib yang terkenal, ramuan obat-obatan yang termashyur,
sudah membuat penderitaannya ber-kurang sampai ke tingkat
yang paling rendah. Baru saja matanya membuka, kuah ayam bercampur
ramuan ginseng sudah disuapkan sesendok demi sesendok ke
mulutnya. Orang yang merawatnya tentu saja pasangan


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidupnya yang dapat dipercayanya sepenuh hati.
Setelah minum setengah mangkuk besar kuah ayam,
tenaga Leng Souw-hiang sudah pulih. Kalimat pertama yang
ditanyakannya adalah Wie Kie-hong.
"Anak itu benar-benar setia dan patuh. Setelah makan
malam, dia hanya tidur sebentar dan sampai sekarang dia
masih berpatroli kedepan dan kebelakang"
"Tolong panggil dia" Leng Souw-hiang memberinya
perintah "kau pergilah istirahat ! Aku ingin berbincang-bincang
dengan Wie Kie-hong. Ketika aku berbicara dengannya,
siapapun tidak boleh masuk"
Nyonya besar Leng sangat mengerti tabiat suaminya,
karena itu dia segera mengangguk. Sepatah katapun tidak
diutarakan. Sebentar saja Wie Kie-hong sudah masuk kedalam
kamarnya. Leng Souw-hiang menyuruh menutup pintu masuk
rapat-rapat, setelah itu menyuruhnya mendekat. Dia lalu
meminta Wie Kie-hong duduk disamping ranjangnya.
"Malam sudah sangat larut. Aku dengar kau masih
berpatroli diluar" "Karena sudah malam, aku harus memastikan penjagaan
masih ketat" "Apakah kau pikir Thiat-yan akan datang kemari mencariku
lagi?" "Tindakannya melukai orang lain hanyalah sebagian kecil
dari rencananya saja. Sebelum barang yang dimiliki Tiat Liongsan
ditemukan, dia pasti akan membuat seribu rencana untuk
mengejar informasi. Tuan sudah tua, seharusnya tetap tinggal
di ranjang merawat luka. jangan merasa kaget lagi"
"Tampaknya semua sudah kau pikirkan baik..."
Setelah berkata sampai disini, Leng Souw-hiang terdiam
beberapa saat. "Apakah kau tahu apa alasanku menyuruhmu tidak
berhubungan lagi dengan Tu Liong?"
"Aku pikir tuan pasti memiliki alasan kuat"
"Kau sama sekali tidak mau bertanya padaku.."
"Apa yang harus kutanyakan" Kalau tuan sudah membuat
keputusan seperti itu, apapun alasannya aku yakin pasti tidak
mungkin salah." "Sebenarnya Tu Liong seorang anak yang memiliki hati
baik. Orangnya juga ingat balas budi.
Hanya saja Cu Siau-thian majikannya sangat mengerikan.
Aku sudah menyuruhmu untuk meng hindari Tu Liong,
tujuannya adalah agar kau menghindari Cu Siau-thian."
"Oh...?" "Sebenarnya aku tidak pernah mengenal orang yang
bernama Bu Tiat-cui. Aku juga belum pernah menitipkan kopor
kulit yang berwarna kuning padanya"
"Tapi...." "Kau dengarlah ceritaku! setelah kita bersama- sama
mencelakai Tiat Liong-san, kami sudah memikirkan akibatnya
akan sampai pada keturunan-nya, bahkan semua keluarga
bermarga Tiat, kakak beradik yang dimilikinya pasti akan
menyimpan dendam. Kami sudah mempertimbangkan
semuanya, bagaimana cara kita menghadapi suatu saat nanti.
Cu Siau-thian sudah menuliskan empat buah surat perintah
rahasia, masing masing dibagikan pada kami berempat. Isi
suratnya menyuruh kami untuk melakukan sesuatu untuk
menjaga kerahasiaan. Kalau terjadi suatu masalah yang
genting, kami harus membuka surat rahasia itu dan
melakukan sesuai dengan apa yang tertulis didalam
surat....Kie- hong ! aku sudah menyuruh kau untuk mengurus
satu hal, itu adalah perintah yang aku lakukan sesuai dengan
apa yang tertulis didalam surat."
"Oh...?" "Apakah kau tidak percaya?"
"Bukan begitu ! mana mungkin aku bisa tidak percaya pada
kata-kata tuan" "Hui Ci-hong sudah mati gantung diri, aku khawatir ini
adalah perintah yang tertulis dalam surat yang diberikan Cu
Siau-thian pada dirinya."
"Aku rasa tidak mungkin seperti itu" Wie Kie-hong langsung
memotong. "Oh..." Mengapa tidak mungkin?"
"Kedua mata tuan besar Hui sudah dicungkil keluar. Dia
tidak mungkin bisa melihat tulisan yang tertulis diatas surat
itu. Kalau dia menyuruh orang yang dipercaya untuk
membacakan untuknya, dan diatas surat itu tertulis agar tuan
besar Hui mengakhiri hidupnya, orang yang membacakan
tidak mungkin akan langsung menyampaikan perintah itu apa
adanya." "Betul ! Betul!" Leng Souw-hiang meng-angguk-anggukkan
kepalanya. "Aku memiliki sebuah permintaan" Wie Kie-hong berkata
dengan sepenuh hati. "tapi Tuan tidak harus menyetujuinya."
Wie Kie-hong menambahkan.
"Katakanlah" "Aku ingin menyelidiki apa saja yang tertulis diatas ketiga
surat rahasia yang lain"
"Tidak boleh" Leng Souw-hiang segera memotong dan
melarangnya. "Mengapa tidak boleh?" secara reflek pertanya-an ini
meluncur keluar dari mulutnya.
"Alasan yang paling mendasar bagi seseorang yang ingin
melindungi dirinya adalah tidak men-campuri urusan orang
lain, apalagi sampai mengorek rahasianya. Semakin banyak
kau mengetahui rahasia orang lain, semakin besar bahaya
yang akan kau hadapi."
Leng Souw-hiang menarik nafasnya sejenak.
"Selain itu aku juga tidak ingin berurusan dengan Cu Siauthian!"
"Aku tidak mengerti apa anda ucapkan tadi. Apakah
maksudmu ada sesuatu yang harus ditakuti dari Cu Taiya ?""
"Cu Siau-thian adalah seorang pendekar di kalangan dunia
persilatan. Terlebih lagi dia adalah seorang pendekar yang
sudah berpengalaman. Orang yang seperti ini paling baik tidak
kau usik ketenangannya."
"Kalau memang begitu apakah pada waktu itu kalian semua
perlu...." "Kie-hong ! kau tidak usah mengatakan hal yang sudah
berlalu. Es setebal tiga puluh sentimeter tidak akan terbentuk
hanya karena udara dingin dalam waktu semalam saja.
Sekarang ini tidak perlu dibahas lagi"
Wie Kie-hong menyadari bahwa membahas tentang
masalah ini lebih lanjut pun tidak akan banyak membuahkan
hasil. Karena itu dia mencoba meng-akhiri pembicaraan
"Tuan sudah harus beristirahat kembali. Banyak-banyaklah
makan dan menenangkan diri. cepatlah sembuh. Inilah satusatunya
harapanku." "Tidak ! tidak ! sekarang ini semangatku sudah pulih. Kita
berdua masih bisa berbincang bincang sebentar lagi."
Terpaksa Wie Kie-hong kembali duduk ditempatnya semula.
Sekarang dia tidak banyak bertanya. Leng Souw-hiang sudah
memintanya untuk tinggal, tentu saja dia yang harus
membuka pembicaraan. Benar saja, sekarang Leng Souw-hiang sudah memiliki
topik pembicaraan yang baru.
"Kie-hong! aku ingin meminta tolong padamu, ada
seseorang yang ingin kuketahui keberadaannya. Bisakah kau
membantuku mencari tahu?"
"Siapa?" "Orang ini she Ciu. Aku sudah tidak ingat apa nama yang
dipakainya dulu. Tapi aku dengar belakangan beredar kabar
dia berganti nama menjadi Ciu-sam. Mungkin sekarang dia
tinggal di daerah Tian-kao."
Semangat Wie Kie-hong kembali, segera dia bertanya:
"Apa yang biasanya dilakukan orang ini?"
"Dia seorang sipir penjara"
"Sipir penjara?" semangat Wie Kie-hong semakin berkobarkobar.
"Dia adalah kepala sipir penjaga penjara besar bernama
Thian-ci. Sebelum Tiat Liong-san dieksekusi, dia sempat
dikurung dalam penjaranya..."
"Maksud tuan adalah....?"
"Orang yang hidup di gunung makan dari hasil gunung,
orang yang hidup di air makan dari air. Sipir penjaga penjara
makan dari penjahat yang tinggal disana, sipir penjara
bernama Ciu-sam ini dulu bertugas mengawasi Tiat Liong-san.
Aku menebak Tiat Liong-san pasti pernah meminta tolong
dirinya untuk melakukan suatu tugas. Misalkan saja
mengantar surat atau pekerjaan lainnya"
"Mmm... kira-kira berapa umur orang ini?"
"Sekarang ini seharusnya dia berumur sekitar enam puluh
tahun lebih" "Mengapa tuan tiba-tiba teringat tentang dia?"
"Berdasarkan apa yang sudah diperbuat Thiat-yan, jelas
terlihat kalau dia sangat mengerti situasi ketika Tiat Liong-san
dicelakai oleh kita pada waktu itu. Aku terus berpikir mengenai
hal ini. Yang mengetahui semua kejadian itu dengan jelas
hanya Tiat Liong-san sendiri. Pasti sebelum dia mati, dia
sudah mengirimkan sebuah surat keluar."
"Mencari Ciu-sam, apakah untuk mem-buktikan masalah
ini?" "Benar" "Lalu kalau memang sudah berhasil membuktikan tentang
masalah ini, apa untungnya bagi tuan?"
"Aku bisa mengerti seseorang"
"Siapa?" "Cu Siau-thian!"
Leng Souw-hiang berkata dengan lemah lembut tapi katakatanya
terdengar penuh tenaga. "Aku menaruh curiga bahwa dia yang sudah mengkhianati
kita semua, semua perbuatan balas dendam yang dilakukan
Thiat-yan kemungkinan besar sudah diperintahkan oleh Cu
Siau-thian" Pendekar ternama dikalangan persilatan pada dasarnya
adalah orang yang paling berbahaya dan paling jahat. Hanya
karena sedikit kata-kata, dia akan turun tangan bertindak.
Meski sudah menjadi seorang saudagar kaya, atau seorang
pejabat yang khusus mengatur pemerintahan, tetap saja akan
berbuat jahat. Leng Souw-hiang memiliki buah pemikiran
seperti ini, mana mungkin dia tidak memiliki alasan yang jelas"
mengapa pada waktu itu Leng Souw-hiang bisa berhubungan
dengan orang-orang seperti ini"
Kata-kata Leng Souw-hiang tentang "Es setebal tiga puluh
centimeter" sudah jelas jelas meng-gambarkan hatinya yang
pedih. Karena itu Wie Kie-hong tidak bisa langsung bertanya
padanya saat itu. Apa yang ada didalam kepalanya hanyalah
satu: agar ayah angkatnya bisa melalui hari tuanya dengan
tenang. "Baiklah!" Wie Kie-hong mengangguk-anggukan kepala nya tanda
setuju. "Setelah malam ini berlalu aku akan mengutus seseorang
pergi ke Thian-kau mencari Ciu-sam. Asalkan dia masih hidup,
aku psati akan menemu-kannya."
Wie Kie-hong lalu pergi keluar kamar. Walaupun sudah
berjanji untuk segera bertindak, dia tidak langsung
mengerjakan apa yang sudah direncana kannya. Dia harus
berpikir dulu semua kemungkinan yang akan terjadi.
Kabut tebal menutupi rembulan. Permukaan bumi kadangkadang
terlihat terang kadang kadang menjadi gelap. Wie Kiehong
duduk seorang diri di tengah taman untuk beristirahat.
Tiba-tiba saja dia menyadari ada bayangan seseorang yang
berkelebat dari dinding taman melewati dirinya....
Pandangan mata Wie Kie-hong sangat baik. Dia tahu dia
tidak salah lihat. Dia segera pergi menyelidiki asal-usul
bayangan yang berkelebat tersebut. Setelah menemukannya
dia bersiap untuk mengepungnya. Dia sama sekali tidak
mengeluarkan suara. Dia percaya diri akan bisa
menghadapinya. Pendekar kuat manapun pasti ingin
memenangkan pertarungan yang mudah.
Setelah orang itu mendarat di atas tanah, dia tidak segera
bersembunyi menghilangkan jejak. Malah sebaliknya sosok itu
berjalan dengan gamblang menuju Wie Kie-hong.
"Wie Kie-hong?" perlahan-lahan Hiong-ki bertanya.
"Tidak salah. Kau siapa?"
"Hiong-ki" "Hiong-ki?" "Kau tidak usah membuang-buang tenaga berpikir. Kau
belum pernah mendengar namaku sebelumnya, namun aku
sudah mengetahui tentang dirimu"
"Kau datang menemuiku larut malam begini ada urusan
apa?" Kata-kata Wie Kie-hong meluncur dengan nada keras, sama
sekali tidak berbasa-basi.
"Aku datang berkunjung"
"Mengunjungi siapa?"
"Tentu saja dirimu"
"Mengapa kau tidak masuk lewat pintu utama?"
"Urusan ini sangat rahasia, tidak bisa diketahui oleh orang
yang ketiga." "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku sedang berada di
taman ini?" "Selain dirimu, siapapun tidak mungkin menge tahui gerakgerikku
tadi" Wie Kie-hong terdiam. Kata-kata Hiong-ki tidaklah salah.
Gerak-geriknya sangat lincah dan cepat, tidak sembarang
orang yang dapat mengetahuinya.
"Kalau kau ada urusan denganku, kau bisa mengatakannya
sekarang" "Bagaimana pandanganmu pada Tu Liong?"
Wie Kie-hong menimbang-nimbang perta-nyaan ini sesaat.
Setelah itu dia menjawab, "Dia orang jujur yang tidak memiliki
rasa egois. Pengetahuannya luas, dan dia seorang yang gagah
berani. Ilmu silatnya pun tidak jelek"
"Bagaimana perasaanmu terhadap dirinya?"
"Kami saling merasa cocok"
"Apakah kau selalu berada di sisinya?"
"Rasanya hal ini tidak mungkin. Umurnya sudah dewasa,
dan lagi dia jauh lebih kuat dari-padaku. Hanya dirinya yang
dapat mempengaruhi diriku. Aku sama sekali tidak mempunyai


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemam-puan untuk mempengaruhi dirinya."
"Kalau kalian memang merasa saling cocok, kau harus
peringatkan dirinya"
"Peringatkan tentang apa?"
"Memperingatkan dia supaya menjauhi Cu Siau-thian"
"Tidak mungkin" Wie Kie-hong langsung memotong
perdebatan singkat ini. "Tidak mungkin" kenapa?"
"Maksudku, Tu Liong tidak mungkin meninggalkan Cu Siauthian,
karena dia sudah berhutang budi padanya yang sudah
merawatnya sampai dewasa."
"Kau harus memperingatkan dia dengan tulus. Seorang pria
sejati tidak boleh dibutakan semata-mata oleh perasaan
hatinya." Kata-kata Hiong-ki terdengar sangat tulus. Wie Kie-hong
merasa simpatik padanya. Tetapi maksud kedatangan Hiong-ki
dan sikap yang diambil oleh Leng Souw-hiang masih saling
berhubungan. Dalam hatinya rasa was-was Wie Kie-hong
menghilang. "Mohon tanya, apa motivasimu memberi-tahukan hal ini"
Apakah kau melakukannya demi orang lain" Demi diri sendiri"
Atau demi Tu Liong?"
"Aku melakukan demi Tu Liong"
"Kata-katamu sangat mengharukan, namun sangat sulit
dipercaya. Apa hubunganmu dengan Tu Liong" Bukankah Tu
Liong baik ataupun jahat, hidup ataupun mati, sama sekali
tidak ada hubungannya dengan dirimu"
"Dia seorang pemuda yang berbakat. Tidak hanya kau yang
mengatakannya, banyak orang juga sudah mengatakan
demikian. Menurut pandanganku pun demikian. Mana
mungkin aku rela melihatnya terbenam didalam lumpur dan
tidak datang menolong menariknya keluar?"
"Tinggalkanlah Cu Siau-thian! kata kata ini sangat
sederhana, sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat
sulit untuk dilakukan........betul, mengapa kau tidak langsung
memberitahukan hal ini kepadanya?"
"Hari ini aku sudah bertemu dengan Tu Liong, aku juga
sudah berbicara sangat banyak kepadanya. Aku takut
tenagaku tidak cukup untuk membujuknya. Karena itu aku
datang kemari mencarimu"
"Tentu aku harus memiliki sebuah alasan untuk
mengatakan ini, betul tidak?"
"Kau katakan saja perkara mengenai Cu Siau-thian yang
sudah mencelakai Tiat Liong-san. Cu Siau-thian adalah orang
yang sangat berbahaya dan menakutkan"
"Hiong-ki, alasan ini tidak memiliki dasar yang kuat. Dunia
persilatan sangat rumit, pada dasarnya, dunia dimana yang
kejam yang akan berkuasa. Yang menang akan menjadi raja,
yang kalah akan tersingkirkan. Betul atau salah sudah tidak
penting lagi. Siapa yang tahu apakah Tiat Liong-san pernah
berbuat salah pada Cu Siau-thian sebelumnya"
"Wie Kie-hong, pada saat ini sangat banyak urusan yang
belum bisa dikatakan. Aku sudah sepenuh hati ingin
menolong, kau pikirkanlah sendiri"
"Hiong-ki, aku ingin bertanya padamu"
"Apa" "Kalau kau benar-benar orang yang baik, kau harus
menjawab yang sebenarnya"
"Orang yang mengaku dirinya orang baik belum tentu
orang yang benar-benar baik, tapi yang sudah pasti aku
bukanlah orang jahat."
"Apakah kau berdiri di sisi yang sama dengan Thiat-yan ?""
"Tidak" "Kalau begitu....?"
"Kau tidak perlu bertanya lebih lanjut" Hiong-ki segera
memotong perkataan Wie Kie-hong.
"Kalau dilanjutkan lagi pasti akan muncul banyak
pertanyaan. Aku tidak yakin aku akan memiliki jawaban untuk
setiap pertanyaan itu. Dan lagi belum tentu aku mau
menjawab semua pertanyaan itu. Asalkan ada sebuah
pertanyaan yang tidak membuat-mu senang, pasti akan
mengurangi penilaianmu terhadap diriku. Kalau seperti itu,
untuk apa kau bertanya" kau sudah bisa membedakan yang
baik dan yang buruk. Yang benar dan yang salah. Sebaiknya
kau pikirkan lagi sendiri...."
Setelah kata-katanya habis, Hiong-ki langsung pergi,
gerakannya sangat lincah dan cepat, sekejap saja orang itu
sudah meloncati tembok. Diam diam Wie Kie-hong mengaguminya.
Kalau orang ini menjadi musuhnya, dia pasti akan berada
dibawah angin Dia kembali berpatroli berjalan ke depan dan kebelakang.
Setelah capek, Wie Kie-hong kembali pulang ke kamarnya
untuk beristirahat, setelah memasuki pintu, mendadak dia
menyadari ada yang tidak beres.
Ketika dia pergi keluar kamar, lampu masih menyala
terang, namun sekarang lampu sudah padam.
Lampu pijar buatan barat ini memiliki gelas yang
melindungi nyala api dari tiupan angin. Tidak mungkin lampu
ini mati karenanya. Karena itu hanya ada satu kemungkinan,
lampu mati karena minyaknya habis.
Namun rumah kediaman yang besar seperti ini, pegawai
disini sangat banyak. Hal ini pun tidak mungkin terjadi, jadi
hanya tinggal satu kemungkinan yang tersisa, pasti ada
seseorang yang sudah mematikannya.
Terlebih lagi orang yang sudah mematikan lampu pasti
masih berada didalam ruangan.
Secara reflek Wie Kie-hong menghela nafas panjang. Dia
segera bersiap siaga, sekarang sikapnya menjadi serius.
Penjagaan sudah sedemikian ketatnya, namun tetap saja
banyak orang yang bisa keluar masuk dengan sangat mudah.
Bukankah ini suatu hal yang sangat menakutkan"
Dia perlahan-lahan melangkah masuk, dengan berhati hati
menutup pintu. Setelah itu dia menaruh palang pengunci pintu
tanpa mengeluarkan suara. Setelah itu dia bersiap siap ingin
menyalakan lampu. Tiba-tiba ditengah-tengah kegelapan ruangan terdengar
sebuah suara. "Jangan nyalakan lampu itu. Kau duduklah dibelakang meja
buku" Wie Kie-hong sudah tahu dari awal kalau didalam kamarnya
pasti ada orang, pada waktu yang sama dia juga tahu orang
ini tidak mungkin melukai dirinya. Kalau memang orang itu
bermaksud untuk melukainya, dia memiliki kesempatan emas
ketika tadi dia pertama kali memasuki pintu...
Sekarang dia merasa lebih tenang, karena yang berkata
tadi adalah Thiat-yan Dia tidak mengeluarkan suara. Dia hanya duduk dibelakang
meja buku. "Kie-hong..." Kalau dinilai dari sumber suaranya, sepertinya Thiat-yan
juga sedang duduk didekat jendela.
"Maafkan aku karena harus menemuimu dengan cara
seperti ini. saat ini aku membawa sebuah cerita yang kurang
menyenangkan" "Nona, kalau seseorang menemukan aku sedang berada
disini berbicara denganmu, tidak saja aku akan kehilangan
muka tinggal didalam rumah ini, di dunia yang luas ini aku pun
akan kehilangan harga diri untuk tinggal. Karena itu sebaiknya
persingkat ceritamu."
"Baiklah. Aku datang kemari karena ingin memintamu
menolongku" "Nona! berdasarkan pendirianku, aku tidak mungkin
membantumu." "Kau berkata seperti ini, kalau misalkan aku sudah hampir
mati dan membutuhkan pertolongan, apakah kau tidak akan
menjulurkan tangan untuk membantu?"
"Aku tidak mahir berbelit-belit. Kau tadi mengatakan bahwa
kau membawa sebuah cerita yang kurang menyenangkan,
sekarang aku bertanya pada-mu, apakah benar ada sebuah
cerita yang kurang menyenangkan" Kau sudah melukai ayah
angkatku, karena itu seharusnya kita berdua berdiri di sisi
yang berseberangan. Hanya karena aku menghargai
perasaanmu, ditambah lagi Leng Taiya tidak ingin
mempermasalahkan hal ini lebih jauh, jadi aku tidak
menganggapmu sebagai musuh."
"Baiklah ! kau tidak perlu mengatakan lebih banyak lagi.
Kau pun tidak akan menyukai kalau aku menggunakan kabar
ayahmu sebagai sebuah syarat, kalau begitu apakah masih
ada hal yang bisa dibicarakan lagi"... .... aku sudah mencari
kabar, pada dasarnya hatimu sangat welas asih. Demi orang
lain membela kebenaran. Kalau kau memang orang yang
seperti itu, kau harus membantu diriku."
"Baiklah ! kau katakanlah permintaanmu !" Wie Kie-hong
belum lama terlibat di masyarakat, dia segera berkompromi.
Namun dia tetap masih menjaga martabatnya:
"Aku akan menolongmu kalau aku bisa"
"Sebagai teman baik Tu Liong, tolong bantulah aku untuk
memperingatkannya agar dia tidak ikut campur dalam masalah
ini." "Oh...! apa karena dia sudah menghalangi jalanmu untuk
melukai Cu Siau-thian?"
"Aku tidak mau melukai sembarang orang"
"Kau tidak ingin sengaja melukai orang?"
Tiba-tiba saja Wie Kie-hong menjadi emosi.
"Kata-katamu sangat enak didengar, namun sekali
bertindak kau sudah melukai empat orang sekaligus, salah
seorang diantaranya karena tidak kuat menahan rasa sakit
sudah memutuskan untuk bunuh diri. Bukankah semua ini
adalah hasil dari perbuatan-mu?"
"Mereka semua pantas mendapatkannya."
Nona Thiat-yan tidak terdengar seperti sedang emosi, tapi
lebih terdengar seperti sedang membela diri.
"Pantas?" "Betul, Wie Kie-hong, kalau kau ada di posisiku, kau pun
akan berbuat yang sama"
"Walaupun kau berbuat seperti ini, kau tidak mungkin bisa
kembali menghidupkan ayahmu"
"Baiklah, jangan mengatakan kata-kata yang tidak ada
gunanya ini. apakah kau bisa menyetujui permintaan tolong
ku tadi?" Tiba-tiba Wie Kie-hong terpikirkan tentang satu hal, karena
itu dia segera membelokkan topik pembicaraan:
"Pada waktu itu ayahmu dicelakai, ayah angkatku yang
menulis surat pengaduan palsu, karena itu kau sudah
memotong tangannya. Tuan besar Hui mengaku sudah
melihat sendiri kalau ayahmu sudah membunuh seorang
prajurit kerajaan, sehingga mata-nya dicongkel. Tan Po-hai
mengaku sudah mendengar bahwa ayahmu menghasut orangorang
untuk mem-berontak, karena itu kau memotong daun
telinganya. Oey Souw adalah orang yang sudah menjatuhkan
hukuman mati, hanya karena dia sudah meninggal, kau
menimpakan dosanya pada keturunannya. Bagaimana-pun
juga tindakanmu itu tidak dapat dibenarkan. Aku hanya ingin
mengetahui tentang satu hal. Pada waktu ayahmu mendapat
celaka, tidak seorangpun tahu tentang kematiannya. Tindakan
beberapa orang ini pun tidak pernah tersebar keluar,
bagaimana kau bisa mengetahui kejadian yang
sesungguhnya?" "Apakah ini syaratmu sebagai balasan perminta an
tolongku?" "Bukan syarat, aku hanya ingin tahu"
"Kalau aku mengatakan asal-usul berita ini, apakah kau
bisa berjanji untuk memperingatkan Tu Liong agar tidak ikut
campur dalam urusan ini?"
"Dalam kondisi seperti apapun aku tidak bisa memberikan
janjiku. Tu toako memiliki pendirian yang kuat. Dia takut Cu
Taiya mendapat celaka. Siapapun tidak akan mau orang yang
dihormatinya mendapat celaka. Betul tidak?"
"Bagaimanapun juga, aku tetap bersedia menceritakan hal
yang ingin kau ketahui"
"Kalau begitu aku berterimakasih"
"Semua peristiwa itu diceritakan oleh Boh Tan-ping.
Didalam kota ini dia memiliki relasi yang luas"
"Boh Tan-ping?"
"Dia dengan ayahmu adalah kakak beradik sehidup semati"
"Jujur saja, aku tidak menyukainya"
"Itu hanya pandangan subyektif dirimu saja. sebenarnya
dia orang yang baik"
"Orang yang baik ataupun orang yang jahat, semuanya aku
tidak perduli. Nona, aku besok pasti akan menceritakan semua
pesanmu tadi pada Tu toako, dan aku akan berusaha
semampuku untuk memper-ingatkannya. Namun apakah nanti
aku akan berhasil, aku tidak bisa berjanji."
"Aku berterimakasih padamu .... mengenai kematian
ayahmu...." "Jangan katakan!"
"Mengapa" Apakah sekarang kau sudah tidak ingin
mengetahuinya lagi?"
"Setelah bertahun-tahun mencari tahu apa yang menjadi
penyebab kematian ayahku sudah menjadi obsesi ku."
"Kalau begitu aku semakin harus memban-tumu memenuhi
obsesimu" "Tidak. Aku tidak ingin mendengar tentang masalah ini dari
mulutmu" "Mengapa?" "Karena aku pasti akan mencurigai apakah yang kau
katakan adalah kejadian yang sesungguhnya terjadi"
"Apakah kau mengganggapku sebagai seorang yang
senang berbohong?" "Baiklah nona! sebaiknya kita hentikan pembicaraan kita
disini" "Wie Kie-hong! jika suatu hari nanti kau ingin mengetahui
penyebab kematian ayahmu, kau datanglah padaku. Aku
berjanji padamu bahwa kau pasti akan mendapatkan informasi
yang paling akurat dari ku."
Setelah itu jendela kamar terbuka, semilir angin malam
yang dingin bertiup masuk. Dan sekelebat saja Thiat-yan
sudah meloncat keluar. Kurang lebih pada waktu yang sama, Wie Kie-hong


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar para pengawal yang bertugas meronda di taman
sedang membuat keributan. Sepertinya sudah terjadi sesuatu.
Wie Kie-hong juga ikut meloncat keluar.
Thiat-yan masih berdiri dideka t jendela, dia belum
bergerak, dia hanya mendengar dia berkata perlahan:
"Sepertinya sudah terjadi sesuatu. Cepatlah kau pergi lihat"
Sebelum Wie Kie-hong selesai mendengarkan kata-katanya,
dia sudah berlari menjauh.
Pada waktu ini, semua penjaga sudah mengerubungi kamar
Leng Souw-hiang. Seolah olah kedatangan seorang musuh
besar. Wie Kie-hong segera bertanya sebenarnya apa yang sudah
terjadi. Ternyata ada orang yang sudah mencoba mendongkel
jendela. Beruntung salah seorang penjaga sudah melihatnya.
Tapi gerakan orang itu sangat cepat, sebentar saja dia sudah
menghilang. Wie Kie-hong segera memeriksa jendela kamar majikannya.
Ternyata memang ada jejak dongkelan pedang yang tajam.
Untung saja dia sudah memaku jendela kamar majikannya
dari dalam sehingga tidak bisa dibuka dengan mudah. Kalau
tidak, tamu yang tidak diundang ini mungkin tidak akan
ketahuan, malah kemungkinan Leng Souw-hiang sudah di
celakai oleh orang itu. Berpikir sampai disini, Wie Kie-hong men-dadak merinding.
Siapa yang ingin membunuh Leng Souw-hiang"
Jelas orang ini bukan Thiat-yan....tapi...
Apakah Thiat-yan sengaja membuat alibi"
Apakah dia sudah menyuruh Boh Tan-ping turun tangan
membunuh majikannya"
Rasanya tidak mungkin. Kalau Thiat-yan memang berniat
membunuh majikannya, mengapa dia tidak membunuhnya
dari awal ketika masih ada kesempatan"
Mungkin juga Thiat-yan tiba-tiba terpikirkan sebuah
pertanyaan yang ingin ditanyakannya pada Leng Souw-hiang,
sehingga...." Namun sepertinya kemungkinan ini terlalu kecil. Sangat
tidak mungkin terjadi. Orang yang datang dan memberitahu Wie Kie-hong, kalau
semua hiruk-pikuk ini sudah membuat Leng Souw-hiang
kaget, sekarang ini dia sedang menanyakan keadaan,
sehingga mereka tidak tahu bagaimana menjawabnya.
Wie Kie-hong segera masuk kedalam kamar-nya, awalnya
dia bermaksud membuat hatinya tenang, tidak disangka
ternyata Leng Souw-hiang sudah mengetahui semuanya.
"Kie-hong, mengapa kau mencoba menutupi kejadian yang
sebenarnya dariku?" "Aku tidak mencoba menutupinya. Para penjaga malam itu
sudah salah melihat."
"Kie-hong" tatapan mata Leng Souw-hiang jatuh ke daun
jendela yang tadi sudah didongkel orang, "aku melihat sebuah
pedang menembus masuk dari jendela itu"
"bukan... bukan... bukan... bukan... !" Wie Kie-hong juga
tidak mengerti mengapa dirinya mencoba menutupi masalah
ini dari Leng Souw-hiang.
Mungkin juga dia takut Leng Souw-hiang yang sudah tua
akan kembali menderita shock, dan memperburuk keadaan.
Oleh karena itu dia tetap berkeras tidak menceritakan keadaan
yang sebenarnya baru saja terjadi.
"Gihu! tuan pasti sudah salah lihat. Sebenarnya tidak terjadi
seperti itu" "Mengapa kau masih mencoba menutupi kejadian ini?"
"Benar-benar tidak terjadi seperti itu"
"HUH! Aku bahkan mengenali pedang yang menembus
masuk tadi" Tubuh Wie Kie-hong mendadak bergetar hebat bagaikan
tersambar petir. Setelah itu dia bertanya dengan nada yang
terdengar sedikit menyesal...
"Tuan tadi berkata mengenal pedang itu?"
"Tentu saja kenal"
"Pedang siapa" Cepatlah beritahu, pedang itu milik siapa?"
"HUH! Sekarang giliranmu yang bertanya padaku" Aku
tidak akan memberitahumu"
"Aku berusaha menutupi kejadian ini karean takut kau
kembali merasa shock. Ternyata tuan sudah melihatnya
dengan jelas, kalau begitu apa yang masih bisa aku katakan"
Sebenarnya memang ada orang yang berusaha mendongkel
jendela, namun sebelum berhasil, seorang penjaga sudah
melihatnya. Setelah diketahui dia segera melarikan diri....siapa
dia?" "Dia adalah...."
Leng Souw-hiang terdiam beberapa saat. Setelah itu dia
kembali menelan kata katanya.
"Sudah lupakan saja. untuk apa membicarakan tentang
orang itu lagi" "Tuan! "Wie Kie-hong terus memaksa.
"Tuan harus memberitahu, pedang itu milik siapa" Kalau
tidak kepergok oleh penjaga, dan aku tidak memaku jendela
itu sebelumnya, siapa yang tahu apa yang sudah diperbuat
oleh orang itu pada diri tuan sekarang"
"Kie-hong, anggaplah aku sudah salah melihat...
anggaplah...." "Tuan tetap harus mengatakannya padaku! Pedang itu
anda kenal, Dia pasti orang yang sudah anda kenal dekat
bukan?"" Leng Souw-hiang memandang Wie Kie-hong dengan
perasaan was-was. "Ayah angkat... orang itu pasti adalah Cu Siau-thian, benar
tidak?" "Kie-hong ! bagaimana kau bisa berpikir kalau orang itu
adalah Cu Siau-thian?"
"Kalau bukan orang yang sudah anda kenal dekat,
bagaimana mungkin anda mengenali pedangnya?"
"Memang aku kenal dekat Cu Siau-thian, tapi aku masih
kenal seseorang lebih dekat lagi"
"Siapa?" "Kau tidak usah terus mengejarku dengan pertanyaan. Aku
........aku benar benar tidak ingin membicarakannya lagi. Aku
bahkan bersedia mengakui kalau aku sudah salah lihat. Aku
bersedia...." "Kau harus memberitahu aku, tuan sudah mengenali
pedang itu, itu pedang siapa"
"Tidak salah, aku memang benar mengenali pedang itu.
Tapi aku tidak berani memastikan orang yang menggunakan
pedang itu adalah pemilik aslinya"
"Aku hanya ingin tahu itu pedang siapa?"
Bibir Leng Souw-hiang bergetar hebat. Namun dia tidak
mengeluarkan suara. "Cepatlah katakan!"
Wie Kie-hong tahu dia membuat kemajuan. Dia terus
mendesak lebih jauh. "Setelah aku merawat lukaku, emosiku jadi tidak stabil.
Karena itu aku tadi merasa kaget, kalau di waktu biasa, aku
pasti hanya menyimpan kejadian ini didalam hati dan tidak
membicarakannya" Leng Souw-hiang terdiam sesaat
"Tolong jangan tanyakan lagi. Untuk sementara waktu aku
belum bisa menceritakan padamu"
"Mengapa?" Leng Souw-hiang kembali terdiam "Tuan!"
Mendadak Wie Kie-hong berlutut ditanah, dia terus
memohon pada Leng Souw-hiang.
"Urusan ini bukan urusan kecil, tuan harus memberitahuku.
Tenang saja, aku tidak mungkin melakukan tindakan yang
tidak dipikirkan dahulu"
"Kau tidak mengerti...."
"Memang aku tidak mengerti ! tapi kalau tuan tidak
memberitahuku, aku selamanya tidak akan mengerti. Setelah
anda memberitahuku, aku pasti bisa mencoba untuk
mengerti..." "Apakah kau bisa tetap tenang setelah mendengar katakataku?"
"Aku janji tidak akan emosi"
"Kalau kau tidak emosi, aku akan mem-beritahu. Pedang itu
aku sangat hafal. Itu adalah pedang pusaka yang aku berikan
sendiri pada ayahmu."
Sekali lagi bagaikan kilat yang menyambar di siang bolong.
Walaupun benar-benar membuat orang kaget, namun berita
ini juga membuat hatinya senang.
"Apakah tuan yakin tidak salah lihat?"
"Yakin tidak salah lihat"
"Apakah mungkin ayahku masih hidup?"
"Kata katamu itu benar-benar membuatku sulit menjawab.
Kalau ayahmu masih hidup, mana mungkin dia datang kemari
mendongkel jendela?"
"Tentu saja tidak mungkin" Wie Kie-hong mulai merasa
sedikit emosi, "ayah angkat, urusan mengenai ayahku, tuan
sudah terlalu banyak menceritakan padaku. Dia adalah orang
yang sangat setia dan mengingat balas budi, dia tidak
mungkin melakukan hal yang bertentangan dengan dirimu"
"Aku tahu....tapi, pedang itu"...."
"Tuan berkata mengenali pedang itu."
"Betul" "Dimanakah perbedaan pedang pusaka ayahku dengan
pedang orang lain?" "Pedang itu sebenarnya sama-sama pedang pendek,
namun pedang ayahmu itu berbeda dari pedang yang lain.
Pedang milik ayahmu memiliki dua mata (tajam di kedua
sisinya) berwarna merah darah, namun dibawah sinar lampu,
pedang itu bersinar biru. aku yang menyerahkan sendiri
padanya" "Oh...!" "Kie-hong, pedang pusaka yang terkenal ini sudah
berpindah pemilik. Siapakah pemilik baru pedang ini" apa
tujuannya datang kemari" Kau harus mencari tahu, apakah
kau dapat melakukan nya?"
"Pasti bisa" Wie Kie-hong menjawab dengan penuh percaya diri.
"Kau jangan menganggap aku sebagai barang rongsokan
yang sudah tua dan tidak berguna. Kalau masalah sudah
berada didepan mata, aku tidak bisa masa bodoh begitu saja
........baiklah, sekarang pergilah beristirahat"
"Masih ada satu masalah yang ingin aku tanyakan padamu"
"Katakanlah" "Hari ini banyak teman-teman yang datang kemari
menanyakan keadaanmu. Semuanya sudah kutolak. Besok
pasti akan datang lebih banyak lagi, Tuan..."
"Kalau yang tidak terlalu dekat, suguhkan teh bagi mereka.
Bagi yang benar-benar akrab, persilahkan mereka
masuk....baiklah, terserah kau saja"
"Tuan sangat senang bercakap-cakap. Namun aku minta,
besok tolong jangan menceritakan tentang kejadian tadi pada
orang lain." Leng Souw-hiang bengong menatap wajah Wie Kie-hong.
Sepertinya dia tidak mengerti arti dari kata-katanya. Setelah
beberapa saat, tiba-tiba dari sudut mulutnya terbentuk sebuah
senyum. "Mengapa kau bisa berpikir kalau pemilik baru pedang itu
adalah salah seorang diantara teman-teman dekat kita?""
"Di dunia ini urusan yang pelik sangat banyak"
"Aku mengerti... aku mengerti"
Wie Kie-hong pergi meninggalkan ayah angkatnya, dia lalu
bercakap cakap sebentar dengan para pengawal yang
menunggu didepan pintu. Setelah itu dia kembali pergi ke
kamarnya sendiri. Pintu kamarnya sudah dipalang dari dalam, tapi jendela
kamarnya masih terbuka lebar. Terpaksa dia meloncat masuk
kamar lewat jendela. Baru saja kakinya menyentuh lantai
kamar, tiba-tiba saja sebuah benda yang dingin menyentuh
lehernya. Ini adalah sebilah pedang.
Pedang ini sepertinya tidak dipegang oleh orang
sembarangan. Pedang ini tampak seperti melayang ditengah
udara. Seolah-olah pedang ini bergerak atas kemauannya
sendiri. Sepertinya gerakan pedang ini tidak dikendalikan
orang lain. Wie Kie-hong tidak merasakan keberadaan orang lain
didalam kamarnya. Tapi sebenarnya memang ada orang lain didalam kamar
tersebut.... Hanya terdengar kata katanya bergumam perlahan dan
terdengar serak. "Wie Kie-hong, aku tidak bermaksud untuk melukaimu.
Jangan takut" Wie Kie-hong tidak berkata apa apa.
"Besok pagi-pagi sekali pergilah ke Sie-san"
"Untuk apa?" "Tidak usah bertanya... asalkan kau datang, kau pasti akan
tahu" "Aku pasti akan pergi"
"Aku tahu kau pasti akan pergi"
"Tapi aku tidak mungkin pergi hanya karena seseorang
sudah datang ke dalam kamarku dan menodongkan pisau di
leherku dan memaksaku untuk pergi"
"Aku tahu, pedang tidak mungkin bisa memaksa orang
semacam dirimu untuk melakukan sesuatu. Pedang ini
hanyalah sebuah taktik. Kalau tidak menggunakan pedang ini,
kau pasti sudah berteriak dan merusak suasana"
"Tidak masalah apapun yang kau katakan, yang pasti
sekarang pedang ini sudah menempel di leherku. Karena itu
aku tidak mungkin pergi ke Sie-san. Dan aku tidak mungkin
menyetujui apapun yang kau minta. Kalau kau menurunkan
pedang ini, mungkin juga kita berdua bisa berbincang
bincang." "Baiklah... kau sangat pandai menahan perasaanmu.
Pedang ini tidak perlu melukai orang, jadi tidak perlu aku
keluarkan" Pedang itu pun terlepas dari leher Tu Liong.
Dari asal suaranya, jelas terdengar kalau orang itu sedang
berdiri dibelakang Wie Kie-hong, tapi Wie Kie-hong sama
sekali tidak merasakan kehadiran siapapun.


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wie Kie-hong, apakah besok pagi kau akan pergi ke Siesan
?"" "Kalau ada yang ingin kau bicarakan, bukankah sama saja
kalau dibicarakan disini?"
"Aku bukan ingin membicarakan sesuatu padamu........Wie
Kie-hong, aku tidak mungkin membawamu ke Sie-san hanya
untuk melukaimu. Bagiku, kalau hanya untuk melukai
seseorang, tidak perlu repot begitu"
"Aku tidak mengerti mengapa aku tetap harus pergi ke Siesan..."
"Kalau kau benar-benar ingin tahu, sekarang aku akan
memberikan sedikit bocoran. Ada seseorang yang ingin
menemui dirimu. Tempat dan waktu semuanya sudah
ditentukan olehnya. Sekarang ini sudah tidak mungkin
dirubah. Karena aku sama sekali tidak tahu dia tinggal
dimana" Kata-kata orang itu bukan saja tidak berhasil memenuhi
rasa ingin tahunya, malah sebaliknya Wie Kie-hong merasa
semakin penasaran. Dalam hatinya diam-diam dia
memutuskan, besok pagi dia pasti akan pergi memenuhi janji
pertemuan ini. kalau memang ini adalah sebuah jebakan, dia
tidak perduli. "Apakah aku boleh menyalakan lampu?"
"Aku sudah akan pergi"
"Aku hanya ingin mengatakan kalau sebelum kau pergi aku
ingin menyalakan lampu"
"Mengapa?" "Aku ingin melihat dirimu. Untuk berjaga jaga agar besok
pagi saat aku pergi ke Sie-san dan tidak mengenali siapapun."
"Aku mengenalimu saja juga sudah cukup"
"Dan lagi aku juga ingin melihat pedangmu"
"Oh...?" "Pedang itu terasa sangat dingin, aku yakin itu bukan
pedang biasa. Aku senang mendapatkan lawan yang unik, aku
juga senang melihat alat perang yang antik"
"Baiklah, kau nyalakan saja lampu itu"
Wie Kie-hong segera menyalakan lampu. Ketika lampu
menyala terang, dia segera membalikkan tubuh untuk melihat
orang itu. Tapi ternyata dia sudah menghilang.
Wie Kie-hong sudah tertipu, tapi dia tidak merasa marah,
kalau misalnya urusan ini dibalik dan dia menjadi penyerang,
dia pun pasti akan melakukan hal yang sama. Malah
sebenarnya dia masih merasa bangga, orang itu tidak berani
menunjukkan tujuan awalnya jelas-jelas karena takut pada
dirinya. Tapi tetap saja ada sebuah tanda tanya besar yang muncul
di kepala Wie Kie-hong. Apakah orang itu adalah orang yang sama yang tadi
mendongkel jendela kamar Leng Souw-hiang"
Apakah benar pedang yang digunakannya adalah pedang
pusaka milik ayahnya"
Siapakah yang akan muncul di Sie-san besok pagi untuk
menemuinya" Mungkin kah orang itu adalah ayahnya"
Ketika pertanyaan paling terakhir muncul di kepalanya,
tidak ayal tubuhnya kembali bergetar hebat. Dia hanya
berharap ini bukan harapan kosong saja.
Malam itu dia sulit sekali tidur dengan pulas. Sebentarsebentar
dia terbangun dari tidurnya. Tidak lama langit pun
menjadi terang. Wie Kie-hong segera mandi dan memper-siapkan diri.
Setelah itu dia segera meninggalkan kediaman Leng. Dia
berjalan terus sampai di mulut gang. Ternyata karena hari
masih pagi, tidak satu kereta pun terlihat melintas. Karena itu
dia terpaksa berjalan menuju Sie-san, berharap ditengah jalan
dia akan menemui sebuah kereta yang akan membawanya
kesana. Dari kejauhan terlihat seseorang berjalan mendekat
Ternyata ini adalah Thiat-yan
Seperti dirinya, dia juga sedang berjalan perlahan lahan.
Tapi tidak benar. Karena setelah melihat dirinya, dia
langsung berkata kepadanya.
"Wie Kie-hong, aku tahu kau mau pergi kemana. Tapi aku
ingin memberimu sebuah peringatan, kau jangan melanjutkan
perjalanan kesana" "Oh..." kau tahu aku mau pergi kemana" Benarkah?"
"Tentu saja aku tahu"
"Coba katakanlah agar aku dengar"
"Kau mau pergi ke Sie-san untuk menemui seseorang yang
belum pernah kau lihat sebelumnya. Orang ini sudah membuat
janji untuk bertemu kemarin malam. Betul"
"Dari mana kau dengar berita ini ?"
"Kemarin malam aku tidak langsung pergi meninggalkan
rumahmu. Karena itu percakapan kalian didalam kamar sudah
kudengar." "Nona, apakah kau senang mendengarkan rahasia orang
lain?" Setelah kata-kata ini meluncur keluar dari mulutnya, Wie
Kie-hong langsung tertegun. Dia benar-benar tidak mengerti
mengapa dirinya berkata seperti itu.
Thiat-yan juga tertegun, dia terlihat sedikit merasa malu,
tapi dia tidak terlihat merasa marah, malah dia segera
menjawab: "Kau sudah salah paham, waktu itu aku tetap tinggal
disana bukan untuk mendengarkan rahasiamu, tapi karena
ingin tahu siapa orang itu sebenarnya"
"Apakah kau sudah melihatnya?"
"Tentu saja sudah melihatnya"
"Apakah kau mengenalinya"
"Kenal" "Siapa?" "Walaupun aku memberitahumu, sepertinya itu tidak
banyak gunanya, karena kau tidak pernah mengenal orang ini
sebelumnya. Namun walaupun kau belum pernah
mendengarkan nama itu sebelumnya, aku tetap ingin
memberitahumu satu hal....jangan pergi ke Sie-san!!!"
"Mengapa?" Thiat-yan mengatakan jawabannya sepatah demi sepatah
kata. "Karena tempat itu sebuah perangkap yang sedang
menunggu kau masuk kedalamnya"
"Nona!" Wie Kie-hong berkata dingin "kecuali dirimu, aku
tidak mempunyai musuh"
"Aku juga bukan musuhmu...."
"Baiklah ........nona! tolong kau jangan membuang-buang
waktuku. Aku tetap mau pergi ke Sie-san memenuhi janji"
Thiat-yan melotot, mungkin karena Wie Kie-hong sama
sekali tidak menghiraukan peringatannya, juga mungkin
marah karena Wie Kie-hong sama sekali tidak menghargai
keberadaannya. Tidak masalah alasan yang mana pun, dia
tetap tidak menunjuk-kannya didepan Wie Kie-hong.
"Kau benar-benar aneh !" Wie Kie-hong berkata padanya
"kau adalah seorang musuh. Kau sudah melukai tangan ayah
angkatku. Mengapa aku harus mendengarkan peringatanmu?"
"Kau benar-benar sembrono. Tapi tunggulah sampai di Siesan,
kau pasti akan menyesal tidak mendengar saranku."
"Aku bersedia menyesal"
"Baiklah" nona Thiat-yan kembali berjalan pergi dengan
cepat "bagaimanapun kau tidak ingin mendengarkan
peringatanku. Kau pergi saja ke Sie-san. Orang yang arogan
seperti dirimu, kalau tidak merasakan sendiri pahitnya
kenyataan, selamanya kau tidak akan tahu betapa
berbahayanya dunia persilatan."
Wie Kie-hong tidak mengatakan apa apa barang sepatah
katapun. Dia hanya meneruskan perjalanan-nya, tanpa
disengaja dia sudah membuat Thiat-yan merasa serba salah.
Dia hanya berpikir kalau dia terlalu baik memperlakukan Thiatyan,
dia sudah meng-khianati ayah angkatnya.
Tidak lama dia menemukan sebuah kereta yang melintas.
Kebetulan kereta ini hendak berangkat menuju Sie-san.
Perjalanan ini tidak bisa dibilang perjalanan singkat. Ketika
tiba di tujuan, hari sudah menjelang sore.
Di daerah Sie-san ada banyak sekali orang yang berlalu
lalang, dia tidak menentukan tempat bertemu yang pasti.
Menemui siapapun dia tidak tahu. Wie Kie-hong hanya bisa
berdiri di tempat yang terlihat jelas dan menunggu.
Pada akhirnya ada seseorang datang menemuinya. Tentu
saja Wie Kie-hong mengenal orang ini. tapi dalam hatinya dia
menduga bahwa orang ini mungkin adalah orang yang sudah
membuat janji bertemu dengannya.
"Apakah anda adalah Wie Siauya?" Hiong-ki bertanya
dengan sangat sopan. "Betul"
"Bagusnya kita pergi kesebelah sana untuk berbincangbincang..."
Hiong-ki menunjuk sebuah tempat yang sepi. Wie Kie-hong
mengikutinya. Wie Kie-hong terus menerus mencoba memperhatikan
senjata yang dibawa oleh Hiong-ki, tapi dia tidak dapat
menemukannya. Sebuah pedang dapat dengan mudah
disembunyikan. Wie Kie-hong tidak dapat menahan diri untuk tidak
bertanya. Walaupun belum kenal, tapi dia merasa pernah
melihat dirnya sebelumnya. Dia lalu bertanya pada Hiong-ki:
"Apakah kau orang yang kemarin malam?"
"Kemarin malam?"
"Kau sudah mendongkel jendela kamar tidur Leng Taiya,
setelah itu..." "Kau sudah salah orang...."
"Aku tidak mungkin salah. Suaramu, postur tubuhmu,
semuanya dikenal olehku. Lagi pula kau sudah mengundangku
datang kemari...." "Kie-hong, kemarin malam setelah langit gelap kita bertemu
di pekarangan rumahmu. Kita pun berbincang bincang sangat
banyak disana. Betul?"
"Tentu saja aku ingat, kau sudah bicara tentang Tu toako.
Tapi setelah itu kau masih mencoba menye-linap masuk
kedalam kamar majikanku...."
"Kau sudah salah menebak. Orang itu bukan diriku."
"Kalau bukan dirimu, mengapa kau hari ini mengundangku
datang kemari?" "Apa" Kau sedang menunggu seseorang?"
"Betul. Kalau tidak untuk apa aku berdiri disana seperti
itu?" "Rupanya telah terjadi salah paham. Benar-benar kesalah
pahaman yang besar. Aku melihatmu tanpa sengaja, karena
kemarin malam kita sudah berbincang-bincang cukup lama,
karena itu aku berpikir ingin bercakap-cakap lagi dengamu.
Pergilah! kita pergi jalan masing-masing, aku tidak ingin
menunda urusanmu" Kejadian ini membuat Wie Kie-hong kebingungan.
Hiong-ki segera pergi, Wie Kie-hong tidak mencegahnya.
Walaupun Hiong-ki ingin memainkan sebuah siasat, Wie Kiehong
tidak bisa melarangnya. Tentu saja dia tidak bisa terus menunggu disana. Segera
dia pulang ke rumah kediaman Leng. Setelah sampai dirumah,
seseorang memberinya sebuah surat, setelah melihat-lihat
amplop surat itu, dia bertanya:
"Kapan surat ini dikirim?"
"Baru saja belum lama" pembantu yang menyerahkan surat
menjelaskan padanya. "Siapa yang mengantarkan surat ini?"
"Surat ini ditinggalkan didepan pintu" Amplop surat dilem
dengan menggunakan lem kanji. Lem ini belum kering. Jelas
terlihat surat ini dibuat terburu buru, dan dikirimkan terburu
buru. Pada kertas surat hanya tertulis kata-kata: "Perjanjian
pertemuan kita di Sie-san, karena teman anda ada di sisi
anda, jadi aku batalkan. Entah apakah ini adalah sebuah
kebetulan, ataukah anda sudah sengaja mengaturnya.
Sebelumnya kita sudah membuat perjanjian, hanya boleh
datang seorang diri. namun anda tidak menepati janji, orang
yang melanggar janji adalah dirimu, bukan diriku. Sekali lagi
kujelaskan, urusan ini ada hubungannya dengan baik
buruknya diri anda sendiri....Kalau malam ini anda ada waktu,
kira-kira jam delapan malam, aku akan menunggu di pinggir
lapangan" Surat ini ditulis memakai bahasa sastra kuno, selain itu
tulisannya pun digoreskan dengan sangat baik. Jelas terlihat
penulisnya adalah orang yang terpelajar..
Dari surat ini Wie Kie-hong kembali terpikirkan tentang
Hiong-ki. Apakah benar Hiong-ki menemuinya tanpa sengaja"
Apakah benar janjinya bertemu di Sie-san adalah sebuah
jebakan" Hiong-ki tidak memberi-tahunya, tapi dari gerakgeriknya
diam-diam Wie Kie-hong bisa membuat kesimpulan.
Apakah benar demikian"
Kalau begitu, Hiong-ki adalah orang yang baik, dan orang
yang membuat janji bertemu adalah orang yang jahat.
Lalu apakah janji bertemu di lapangan malam ini juga
adalah sebuah jebakan"
Wie Kie-hong menemukan dirinya berpikir terlalu banyak.
Secara reflek dia tertawa. Orang yang sedang menjalankan
hidup yang sangat tegang pasti akan berpikir kesana-kemari.
Dia duduk bersandar di bangku, memejamkan mata
sebentar untuk beristirahat. Namun baru saja dia menutup
matanya tiba-tiba Thiat-yan sudah berdiri didepannya.
Dia merasa tidak nyaman, entah apa alasannya tiba-tiba
datang kehadapannya. Bersambung jilid 2... 0-0-0 JILID KE DUA BAB 8 Jalan yang menakutkan Tu Liong mengunjungi Wie Kie-hong, karena sebuah alasan
saja. didalam hatinya dia memiliki sebuah rencana, dia
berharap Wie Kie-hong bisa membantu menjelaskannya.
"Kie-hong" Tu Liong menyapa begitu melihat temannya,
"bagaimana menurutmu kalau kita berjalan-jalan diluar
sebentar?" "Aku baru saja pulang kerumah"
Setelah itu Wie Kie-hong menceritakan semua kejadian
yang terjadi malam kemarin. Selain itu dia juga mengulang
semua kejadian yang sudah terjadi hari ini. tentu saja tidak


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lupa menambahkan cerita per-temuannya dengan Hiong-ki.
"Tu toako, kalau aku mencoba mengingat-kanmu agar
jangan memberatkan tentang balas budi dengan Cu Taiya,
apakah ini mungkin?"
Tu Liong tidak menunjukkan respon apa-apa.
Wie Kie-hong tidak menyangka dia bisa mengeluarkan
perkataan seperti ini. seharusnya Tu Liong menentang dan
menjadi emosi mendengar kata-kata tersebut, namun
sekarang dia sama sekali tidak mengeluarkan suara. Walaupun
tidak menentang, tapi belum tentu dia setuju. Tapi paling
tidak dia sudah membuat sebuah pertimbangan. Apa
penyebab perubahan sikap Tu Liong yang bisa membuat
pendiriannya goyah" "Kenapa kau tidak berkata apa-apa?"
"Kie-hong!" Tu Liong berkata "memangnya kau ingin aku
berkata apa?" "Mengenai peringatan yang tadi aku berikan padamu...."
"Kemarin malam aku sudah memikirkan tentang hal ini.
Sepertinya angkatan tua kita sedang menutupi sesuatu, dan
mereka berusaha membodohi generasi dibawahnya."
"Apakah karena hal ini kau jadi kecewa?"
"HUH..! aku sangat kecewa. Selain itu aku juga merasa
ditipu" "Ditipu?" bagi Wie Kie-hong, satu patah kata ini sangat sulit
diterima. Siapapun yang datang kepadanya mengatakan
bahwa Leng Taiya adalah seorang penipu, dan sudah
mempermainkan dirinya, dia pasti akan merontokkan semua
gigi orang yang sudah mengatakan hal tersebut.
"Hal ini memang sangat sulit dipercaya, namun ini adalah
kenyataan. Kemarin sehari penuh Cu Taiya setidaknya sudah
membohongi ku beberapa kali"
"Benarkah?" "Apakah mungkin aku membohongimu?"
"Belum tentu, kau bisa saja berbohong padaku. Tapi
pemikiranmu itu belum tentu bisa diandalkan. Jika Cu Taiya
ingin kau mati, kau pun pasti akan melakukannya. Untuk apa
dia masih mau membohongimu lagi?"
"Urusan ini tidak perlu kita debatkan lebih jauh lagi. Aku
hanya ingin menanyakan satu hal padamu. Kalau Thiat-yan
menjadi musuhmu, sikap macam apakah yang akan kau
tunjukkan padanya?" Wie Kie-hong menjawab dengan spontan:
"Aku akan berusaha semampuku untuk merubah
permusuhan kita menjadi persahabatan....Tu toako,
kata-kataku tadi mungkin tidak benar, tapi hatiku berpikir
demikian. Karena itu tadi aku menjawabnya dengan spontan"
"Aku sangat senang mendengar jawabanmu!"
Tu Liong menepuk bahu Wie Kie-hong.
"Hatiku juga berpikir seperti ini. mengapa harus
bermusuhan dengan Thiat-yan" Apakah mem-balaskankan
dendam ayahnya adalah perbuatan yang salah?"
"Salah kalau kita berpikir seperti ini"
"Salah?" "Tentu saja. Karena angkatan tua kita, korban yang sudah
dilukainya" "Salah!" Tu Liong berkata dengan suara yang keras.
"Ini adalah pemikiran kita kemarin, sekarang kita harus
membuka mata dan melihat keadaan yang sesungguhnya
dengan jelas....Kie-hong, angkatan tua kita sedang
mempertaruhkan nyawanya hanya demi menjaga sebuah
barang rahasia di masa lalu.
Barang ini dapat kita sebut sebagai sebuah "rahasia". Kiehong,
apakah kita masih mau mengadu nasib untuk
membantu mereka menjaga rahasia ini?"
"Tentu saja harus kita lakukan"
"Menurutku tidak harus demikian"
"Oh...?" Wie Kie-hong merasa bingung.
Tu Liong berkata perlahan-lahan kata demi kata.
"Kita harus membongkar rahasia ini, agar kita bisa
mengetahui keadaan yang sesungguhnya"
Perubahan Tu Liong sungguh membuat Wie Kie-hong
terkejut. Tapi dia tidak dapat memikirkan apa yang sudah
menyebabkan perubahan seperti ini.
"Tu toako, kau mengatakan semua ini karena kau sudah
mendengar... ?" "Memangnya kau pikir karena aku sudah mendengarkan
kata-kata selentingan maka aku me-rubah pendirianku" Kau
salah, aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Mendengarnya dengan telingaku sendiri, setelah itu aku
memikirkannya dengan kepalaku sendiri........apakah kau
mengerti" Kemarin Hiong-ki sudah memberitahuku bahwa
kenyataan sesungguhnya yang dihormati semua orang."
"Ini perubahan yang sangat besar"
"Kau tenang saja. Tidak masalah bagaimana pun aku
berubah, aku tidak mungkin berbalik membelakangi Cu Siauthian.
Sebenarnya dia sedang menggunakan diriku,
membohongiku. Aku juga tidak mungkin membalas berbuat
sesuatu yang akan kusesali suatu saat nanti"
"Tu toako, ada banyak masalah yang tidak aku mengerti.
Tapi, ada satu hal yang aku mengerti. Balas budi adalah balas
budi. Itu adalah kenyataan. Bagaimana Cu Taiya sudah
memperlakukan dirimu, bagaimana Leng Taiya sudah
memperlakukan aku, ini semua adalah budi besar yang tinggi
seperti gunung, dan dalam seperti lautan, kita tidak boleh
melupakan jasa mereka."
"Kata-kata mu ini benar, asalkan kita mengingatnya terus,
aku rasa itu juga sudah lebih dari cukup ... .... kata-katamu
tadi sudah membuatku berpikir... ...kalau....kalau..."
"Bagaimana" Cepat katakan!"
"Kalau ternyata ayahmu masih hidup...."
"Mana mungkin hal ini terjadi?"
"Mengapa tidak mungkin" Leng Taiya sudah melihat
pedangnya dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana
mungkin pedang pusakanya jatuh ke tangan orang lain?"
"Ini hal yang tidak mungkin, kasih ayah kandung sendiri
lebih besar setingkat daripada kasih ayah angkat. Kalau
memang dia masih hidup, mengapa dia tidak segera datang
untuk menemuiku" Mengapa dia harus menghindari" sungguh
tidak masuk akal." "Orang yang berusaha memecahkan sebuah misteri pasti
akan sering merasa curiga. Aku merasa pedang pusaka
ayahmu yang sudah menampakkan diri, bukanlah suatu
kebetulan. Lagipula orang yang mendongkel jendela kamar
Leng Taiya, apakah dia merasa pedang lain tidak enak
digunakan sehingga harus menggunakan pedang ayahmu"
kupikir ini pasti ada alasan yang masuk akal."
"Apa alasannya?"
"Mungkin juga dia sedang berusaha menguji daya ingat
Leng Taiya." "Tentu saja aku merasa senang kalau ternyata ayah
kandungku masih hidup. Tapi aku tidak bisa mempercayai
kalau dia masih hidup namun berusaha menghindariku."
"Apa alasannya dia menghindari dirimu, ini juga salah satu
jawaban yang ingin ku cari"
"Tu toako....maksudmu adalah....?"
"Pada waktu itu Leng Taiya menyuruh ayahmu untuk pergi
membantunya menyelesaikan sebuah masalah. Apakah karena
ayahmu tidak dapat menyelesaikan tugas yang sudah
dipercayakan padanya sehingga dia tidak berani pulang" Kiehong....
ini adalah sebuah masalah yang jawabannya sangat
fatal, yang paling menentukan"
"Siapa yang bisa mengetahuinya?" Wie Kie-hong bergumam
seolah-olah berkata pada diri sendiri.
"Leng Taiya pasti tahu" kata Tu Long.
"Kau ingin aku bertanya padanya?"
Tu Liong mengangguk-anggukkan kepala.
"Dia....dia tidak mungkin memberitahuku"
"Kau harus menggunakan taktik pada waktu bertanya
padanya..." "Tu toako! Leng Taiya sudah mendapat musibah, terlebih
lagi dia adalah angkatan tua kita, umurnya sudah sangat tua.
Aku tidak bisa memaksa"
"Tentu saja generasi yang lebih muda tidak boleh memaksa
pada generasi yang lebih tua. Namun kalau kau bisa
membelokkannya sedikit, asalkan masih bisa mencapai hasil,
bukankah ini namanya kompromi?"
Wie Kie-hong hanya termenung. Dia mengerti maksud
perkataan Tu Liong ........jawaban dari pertanyaan ini memang
menentukan segalanya" ....
kalau bisa memecahkan misteri ini apakah bisa tahu
keadaan yang akan terjadi"
"Tetapkan hatimu!" Tu Liong memberi semangat.
"Baiklah! Aku akan coba"
"Segeralah, aku akan menunggu disini"
"Aku berangkat sekarang"
Wie Kie-hong tidak hanya menyanjung Tu Liong, tapi
sangat menghormatinya sampai hatinya yang dalam, kalau Tu
Liong tidak memberi dukung an moral dan semangat, dia tidak
mungkin berani menanyakan hal ini didepan Leng Souw-hiang.
Tampaknya kemarin malam Leng Souw-hiang sudah tidur
dengan nyenyak. Sekarang semangatnya sudah kembali pulih.
Kehilangan banyak darah sudah membuat mukanya terlihat
sangat pucat, namun sekarang rona warna merah darah
sudah samar-samar tampak dikedua pipinya. Kelihatannya dia
sudah kembali sehat dengan cepat.
Matanya yang sudah berpengalaman langsung dapat
mengetahui maksud kedatangan Wie Kie-hong menemuinya.
Dia tidak menunggu Wie Kie-hong berbicara, dia sudah
bertanya: "Ada masalah apa?"
"Ayah!" walaupun keberanian Wie Kie-hong sekarang sudah
beratus kali lipat, namun ketika kata-katanya sudah sampai di
bibirnya, dia kembali menimbang-nimbang, "ada sebuah
masalah yang ingin kutanyakan"
"Masalah apa?" "Pada saat ayah menyuruh ayah kandungku untuk pergi
menyelesaikan sebuah urusan, aku ingin tahu urusan apa
yang harus diselesaikan?"
"Mengapa kau menanyakan hal ini?"
Nada bicara Leng Souw-hiang terdengar sangat tenang.
Sepertinya dia tidak merasa kaget
"Aku ingin tahu penyebab kematian ayah ku..."
"Apakah kau tidak percaya padaku?" Tiba-tiba raut muka
Leng Souw-hiang berubah. "Aku tidak bermaksud seperti ini ....berita mengenai
kematian ayahku, selama ini aku hanya mendengar kabar
saja. Bahkan ayah pun tidak pernah melihat jasadnya. Dan
lagi kemarin malam ayah sudah melihat sendiri pedang pusaka
milik ayah kandungku....... ini membuatku berpikir bahwa ada
kemungkinan ayah kandungku masih hidup. Ayah angkat,
dugaanku mungkin ayahku tidak menyelesaikan masalah yang
harus diurusnya dengan baik, karena itu dia tidak berani
pulang untuk menjumpaimu...."
"Omong kosong!" Leng Souw-hiang sudah mulai marah,
"mengapa kau punya pikiran seperti ini" bukankah ini
menjelek-jelekkan nama ayahmu sendiri" ayahmu sangat setia
padaku, dia tidak pernah melupa-kan budinya. Kie-hong,
katakanlah, siapa yang sudah menyuruhmu menanyakan hal
ini padaku?" "Tidak.... tidak ada...." Wie Kie-hong sedikit gugup.
"Kie-hong!" nada bicara Leng Souw-hiang kembali
terdengar lembut. "Walaupun aku jarang keluar rumah, namun aku tahu
semua masalah yang terjadi diluar sana. ayahmu memang
sudah mati, karena banyak alasan, aku tidak bisa mengirim
orang mencari jasadnya dibawa pulang. Namun kau tenang
saja, akhirnya aku mengerti pikiranmu."
"Tapi pedang itu...."
"Sekarang aku menyesal sudah menceritakan tentang
pedang itu padamu. Orangnya sudah mati, barang
peninggalannya tentu diambil orang lain dengan mudah"
"Tentu ayahku tidak mati karena sakit"
"Tidak salah. Dia memang sudah dibunuh orang"
"Kalau begitu semuanya cocok, orang yang sudah
menggunakan pedang pusaka milik ayah pasti ada
hubungannya dengan asal usul kematiannya. Aku tidak ingin
berbohong bahwa aku ingin sekali menyelidiki masalah ini"
"Kau ingin melakukan ini, sebenarnya tidak ada salahnya.
Hanya saja saat ini kau belum bisa langsung menyelidikinya.
Kie-hong! dengarlah kata kataku. Jangan usik ketenangan
Thiat-yan" "Aku tidak mengerti masalah ini. apa hubungan antara
menyelidiki asal-usul kematian ayah kandungku dengan Thiatyan?"
"Dugaanku, orang yang kemarin malam berusaha
mendongkel jendela pasti ada hubungan dekat dengan Thiatyan."
"Apa ada bukti?"
"Tidak ada, hanya dugaanku saja."
"Jangan jangan....apakah waktu itu tugas yang sedang
dijalankan oleh ayahku juga ada hubungannya dengan Thiatyan?"
Ketika Wie Kie-hong masuk kedalam kamar, Leng Souwhiang
sedang berbaring diatas ranjang. Sekarang ini dia sudah
loncat turun dan berdiri tegak. Mukanya tampak tertekuk,
nafasnya tersengal-sengal.
Wie Kie-hong belum pernah melihat dia marah seperti ini.
"Kalau kau masih percaya padaku, dan masih
menganggapku sebagai orang yang lebih tua, kau dengarkan
kata-kataku. Kalau kau tidak percaya padaku, kupersilahkan
kau pergi dari tempat ini. kau ingin berbuat apapun kau bebas
melakukannya. Tidak ada yang bisa melarangmu"
Wie Kie-hong jelas sudah pasrah. Cara yang sudah
diajarkan oleh Tu Liong gagal total. Hutang budi yang besar
sudah mencegahnya untuk terus maju. Selain itu dasar
hatinya sangat baik. dia tidak ingin Leng Souw-hiang sakit
hati. Dia kembali ke kamarnya. Hanya sekali melihat Tu Liong sudah tahu apa yang sudah
terjadi........"aku tahu kau tidak berhasil menanyakannya,
malah sebaliknya dimarahi habis-habisan. Betul tidak?"
"Aih...!" Wie Kie-hong hanya menghembuskan nafas
sedalam-dalamnya...

Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya ini sudah lebih dari cukup, kalau Leng Taiya
tidak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya, malah
sebaliknya menjadi emosi, ini menunjukkan bahwa urusan
yang sudah dia perintah-kan agar ayahmu menyelesaikan
pekerjaannya adalah sebuah urusan yang tidak dapat
diceritakan pada orang lain"
Tampak Wie Kie-hong merasa tidak setuju dengan
pernyataan ini. Tapi dia hanya mengerutkan kening sambil
berkata: "Mengapa kau bisa mengatakan hal ini?"
"Apakah kata-kataku salah?"
"Kalau misalnya Leng Taiya sudah mem-berikan sebuah
pekerjaan yang tidak boleh diceritakan pada orang lain,
bukankah ketika ayahku pergi meninggalkan kediamannya,
juga tidak bisa diceritakan pada orang lain?"
"Aih...kau sudah terlalu banyak membaca buku. Sepertinya
kau sudah terbelit dengan kata-kata ini. siapa yang tidak
punya rahasia" Yang namanya rahasia ya memang tidak bisa
diceritakan pada siapapun. Urusan yang tidak bisa diceritakan
pada orang 1 ain pastilah adalah urusan yang picik."
Setelah Tu Liong mengatakan seperti ini, Wie Kie-hong
merasa tidak enak hati. setelah terdiam beberapa lama dia
baru melanjutkan kata katanya.
"Sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa lagi"
"Kalau kau tidak ingin tahu kejadian yang sebenarnya, kau
bisa bersantai dan tidur didalam rumah. Kalau Thiat-yan
datang kemari, barulah kau bisa berkata padanya...."
"Buat apa menyindirku" Jelas sekali kau tahu betapa aku
ingin mengetahui keberadaan ayahku saat ini. kalau masih
hidup, aku ingin menemuinya, kalau sudah mati, aku ingin
mempersiapkan upacara penguburan dan membuatkan
sebuah makam yang layak."
"Kalau begitu kau harus pergi mencari Thiat-yan"
"Mencari dia?" "Betul sekali, waktu itu bukankah dia mengatakan ingin
bertukar syarat denganmu?"
Wie Kie-hong merasa sulit membuat keputusan. Tiba-tiba
saja dia terpikirkan tentang Hiong-ki. Karena itu dia membuat
sebuah topik pembicaraan yang baru
"Tu toako, apakah kau pernah mendengar seseorang yang
bernama Hiong-ki?" "Kenapa?" "Dia datang kemari mencariku. Dia berharap aku bisa
memberimu peringatan"
"Peringatan" Apa maksudnya?"
"Dia berharap kau tidak ikut campur dalam masalah ini"
"Sebenarnya dia tidak perlu datang padamu untuk memberi
peringatan padaku lagi, kemarin dia sudah menemui aku. Kita
sudah berbincang-bincang sangat banyak. Kata-katanya sudah
memberi dampak yang mendalam bagiku. Kie-hong, bukankah
kau mengatakan bahwa aku sudah banyak berubah?"
"Bagaimana keputusanmu....?"
"Tenang saja, aku tidak mungkin membela-kangi Cu Taiya,
hanya saja aku tidak akan terus menutup mata dan
mematuhinya. Aku mengerti semua kejadian yang terjadi.
Hutang budi harus dibalas, namun tidak bisa hanya
mengandalkan ini saja, menurutmu benar tidak?"
"Apakah Tiat Liong-san orang jahat?"
"Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal ini?"
"Kalau dia orang jahat, maka hukuman mati adalah
pembalasan yang setimpal. Kalau dia bukan orang jahat...."
"Menurut pandanganku, tidak masalah apakah Tiat Liongsan
orang jahat ataupun orang yang baik, semua ini tidak ada
hubungannya. Yang paling penting adalah mengetahui
motivasi angkatan tua kita. Apa maksud mereka bersamasama
mencelakai Tiat Liong-san?"
"Apakah ini urusan yang ingin kau tahu?"
Tu Liong menganggukan kepalanya.
"Kalau begitu harus mencari Thiat-yan untuk minta
penjelasan, itu sebuah keharusan"
Tu Liong mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.
"Baiklah. Aku akan pergi mencarinya"
"Hati-hati dengan Boh Tan-ping yang selalu ada disisinya"
"Oh...?" "Paling baik kau bisa berbicara dengan Thiat-yan secara
diam diam. Boh Tan-ping adalah teman baik Tiat Liong-san,
namun dia juga adik angkat Cu Taiya"
Wie Kie-hong terlihat sangat kaget
Kedua pemuda ini sudah menganggap Cu Siau-thian
sebagai dalang pembuat onar. Tu Liong merasa terjepit dalam
situasi yang canggung itu, dia merasa serba salah, sifat dan
karakternya yang lurus, mem-bangkitkan rasa ingin tahunya,
membuat dia ingin mengkorek rahasia, namun hatinya yang
lemah membuatnya tidak tega melihat Cu Siau-thian mendapatkan
masalah. Situasi yang dialami oleh Wie Kie-hong jauh lebih
sederhana daripada Tu Liong. Kalau diteliti dari berbagai
macam sudut pandangpun, Thiat-yan seperti-nya sudah tidak
memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Leng Souw-hiang.
Kalau Wie Kie-hong ingin mencari dirinya untuk berbicara, ini
bukanlah suatu hal yang sulit dikerjakan.
0-0-0 Thiat-yan tidak terkejut ketika menyambut kedatangan Wie
Kie-hong yang mendadak. Sepertinya semua sudah dia
perkirakan sebelumnya. Sekali melihat dirinya dia tersenyum
dan bertanya, "Bagaimana kunjunganmu ke Sie-san?"
Wie Kie-hong tidak menjawab. Dia langsung mengatakan
tujuan datang menemuinya:
"Thiat-yan! dahulu kau pernah mengucapkan tentang
sebuah perjanjian, apakah kau masih ingat?"
"Tentu saja ingat"
"Apakah sekarang masih berlaku?"
"Masih berlaku"
"Baik! Kalau begitu aku bersedia membuat pertukaran
dengan dirimu" Thiat-yan melihat dia dari ujung rambut sampai ujung kaki
dengan sangat cermat. Seolah-olah dengan melakukan ini dia
bisa melihat isi hatinya.
"Kie-hong! Aku harap kau membuat keputusan ini dengan
sebuah pertimbangan yang matang, bukan hanya sebuah
keputusan yang gegabah"
"Tenang saja! aku bukan orang yang gegabah dan terburu
buru melakukan sesuatu"
"Baik! kalau begitu kita berdua sudah sepakat. Kau
mendapatkan informasi berita yang ingin kau ketahui, aku bisa
mengerti misteri yang ingin aku
mengerti....sekarang ini pertama-tama marilah kita berdua
membicarakan tentang kopor kulit kuning. Barang itu sudah
diserahkan oleh Leng Souw-hiang pada Bu Tiat-cui untuk
dijagakan. Apa betul ?"?"
"Tidak pernah terjadi hal yang seperti itu"
"Oh..?" "Pada waktu itu Cu Siau-thian memberikan sebuah surat
perintah pada Leng Souw-hiang. Dia berpesan padanya agar
surat itu dibuka dan dibaca hanya pada waktu situasi sedang
sulit. Ketika kau sudah memotong tangannya, dia terpikirkan
tentang surat ini. segera dia membuka dan membaca isinya,
setelah itu dia menyuruhku untuk pergi ke gang San-poa...."
"Kau mengatakan bahwa Leng Taiya sebe-narnya tidak
mengetahui apapun tentang kopor kulit berwarna kuning itu.
Bahwa dia sebenarnya hanya menjalankan perintah yang
tertulis didalam surat....?"
"Betul" "Kalau begitu sebenarnya siapa Bu Tiat-cui juga dia
mungkin tidak tahu?"
"Betul" "Apakah Cu Siau-thian masih memberikan surat perintah
serupa pada orang lain?"
"Semua orang diberinya! Tan Po-hai, Oey Souw juga
masing-masing mendapatkannya"
"Sungguh sebuah berita yang membuat hatiku menjadi
tenang..." Wie Kie-hong merasa heran. Dia bertanya:
"Mengapa berita ini membuatmu begitu gembira?"
"Karena berita ini tidak pernah kita dengar sebelumnya."
"Sekarang kita sudah bisa membicarakan tentang
keberadaan ayahku" Tiba-tiba saja raut wajah Thiat-yan berubah. Dia lalu
berkata dengan nada rendah:
"Sebelum aku memberitahum berita yang ingin kau ketahui,
kau harus berjanji satu hal padaku. Kau tidak boleh emosi dan
kau pun tidak boleh berharap terlalu banyak. Kenyataan dari
sebuah harapan sering diluar dugaan seseorang, kalau terjadi
seperti itu, harapan terlalu tinggi bisa membuatmu susah"
"Bagaimanapun hasilnya bagiku tetap sama saja. yang
paling penting adalah kenyataan yang sesungguhnya, aku
hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi"
"Sejauh pengetahuanku, ayahmu masih hidup dalam dunia
ini, dia belum mati...."
Wie Kie-hong tampak sangat tenang, melihat hal ini,
sebaliknya Thiat-yan yang merasa tidak enak hati. Kata-kata
yang akan diucapkan selanjutnya bukanlah sebuah berita baik
Pendekar Panji Sakti 1 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Tujuh Pedang Tiga Ruyung 5
^