Pencarian

Jejak Jejak Kematian 1

Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian Bagian 1


JEJAK-JEJAK KEMATIAN Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Bab l RAJAWALI Emas menegakkan tubuhnya tatkala telinganya menangkap suara seperti
orang bersyair. Se-
pasang matanya yang tajam dibuka lebih lebar dengan
keheranan yang mulai terbias. Karena, sejak menung-
gu, orang yang bersyair itu belum juga kelihatan ba-
tang hidungnya. Padahal, syair yang diucapkan sangat
jelas sekali di gendang telinga Tirta.
"Aneh! Apakah aku hanya salah mendengar,
suara gemeresek dedaunan yang dihembus angin ku-
sangka orang bersyair?" batin pemuda dari Gunung
Rajawali ini dengan kening dikernyitkan. Sepasang ma-
tanya yang tajam diedarkan. Yang nampak hanya pe-
pohonan dan semak belukar yang tumbang. Selebih-
nya jajaran pepohonan tinggi dengan daun yang sangat
rimbun. Masih dengan keheranan Tirta berdesis lagi,
'Tetapi tak mungkin karena suara syair itu sangat jelas sekali. Hutan ini memang
sangat menyeramkan.
Hmm.... Seharusnya aku mengikuti jejak Hantu Seribu
Tangan yang baru saja berlalu."
Kembali Rajawali Emas memperhatikan sekeli-
lingnya. Namun sejauh ini dia tetap tak melihat
adanya seseorang kecuali tempat yang pekat dan ting-
ginya pepohonan yang tumbuh di Hutan Seratus Ke-
matian ini. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya,
setelah bertemu dengan Mata Malaikat dan bertarung
menghadapi Ratu Api dan Bocah Maut, Tirta alias Ra-
jawali Emas segera meneruskan perjalanan dengan
menunggangi Bwana, burung rajawali raksasa berwar-
na keemasan menuju Goa Seratus Laknat. Tatkala tiba
di atas Hutan Seratus Kematian, Tirta menangkap satu
kelebatan tubuh di antara jajaran pepohonan tinggi
yang tumbuh di hutan itu. Segera diperintahkan Bwa-
na untuk terbang merendah sementara dia sendiri
mencelat turun. Yang sungguh tak disangkanya, kalau
tubuh yang berkelebat tadi ternyata adalah orang yang
selama ini dicarinya, Hantu Seribu Tangan. Pertarun-
gan sengit terjadi dan memporak-porandakan tempat
di mana pertarungan terjadi. Di saat Tirta sudah ham-
pir mengalami kekalahan, mendadak saja Bwana tu-
run membantu dan mengurungkan niat Hantu Seribu
Tangan untuk meneruskan serangan pada Tirta. Sebe-
lum meninggalkan Hutan Seratus Kematian, Hantu Se-
ribu Tangan mengundang Rajawali Emas untuk datang
ke Goa Seratus Laknat dengan ucapan penuh kemara-
han dan ancaman. Saat itulah Tirta ambruk dan sege-
ra mengalirkan tenaga dalam guna memulihkan kea-
daan dirinya. Tatkala dia hendak menyusul Hantu Se-
ribu Tangan, telinganya menangkap suara syair yang
sangat merdu (Mengenai seluruh kejadian ini, silakan
baca: "Mata Malaikat").
"Benar-benar aneh," Tirta mendesis lagi sambil mengusap rambutnya ke belakang.
"Sejak tadi aku
menunggu, tetapi orang itu belum muncul juga. Kalau
begitu, aku harus cepat menuju Goa Seratus Laknat.
Hmmm... Padang Seratus Dosa yang harus ku-
tempuh. Hantu Seribu Tangan sudah mengucapkan
ancamannya. Ternyata, Hutan Seratus Kematian, Pa-
dang Seratus Dosa dan Goa Seratus Laknat telah di-
kuasai olehnya. Dia pula yang mengetahui segala ra-
hasia yang ada di ketiga tempat itu dan sekarang, dia
mengancam akan menjalankan apa yang selama ini
dihentikannya."
Selagi Tirta bergumam seperti itu, terdengar
suara merdu, Jangan bermuram durja bila tak tahu sebabnya
jalan masih panjang membentang di antara ke-
dua kaki setiap sisi jalan berupa tarikan napas entah di
mana keabadian berpijak bila langkah mulai
terbentang di sanalah urusan menghadang
Seketika Tirta menolehkan kepalanya ke arah
kanan dari mana syair itu terdengar. Namun sepan-
jang matanya memandang, lagi-lagi dia tak melihat
adanya seseorang.
"Gila! Kali ini tak mungkin aku salah menden-
gar! Suara itu jelas orang yang bersyair! Semakin kuat rasa penasaran. Sekarang
tak akan ku tinggalkan hutan ini sebelum tahu siapa yang bersuara."
Anak muda, tipu muslihat akan jadi jerat buka-
lah kedua mata bila tak ingin terjungkal segala upaya akan menjadi kuat bila
bergerak da- lam satu tekad Syair yang terucap itu semakin kuat terdengar,
seperti menggema di sekitar tempat Tirta berdiri. Dari sikapnya yang penasaran
tadi, diam-diam pemuda
berbaju keemasan lengan pendek dengan celana agak
kebiruan ini berusaha menenangkan diri.
"Aku belum tahu siapa orang yang bersyair ini.
Namun dari syair yang disampaikannya jelas dia seper-
ti memberikan pesan kepadaku," katanya dalam hati.
Lalu dengan berhati-hati pemuda ini berkata, "Orang di balik pandangan. Bila
memang ingin memberikan
satu petunjuk, mengapa tidak segera datang?"
Habis kata-katanya terucapkan, mendadak saja
perubahan angin terjadi. Angin yang tadi cukup ken-
cang berhembus dan terasa dingin, mendadak saja se-
karang seperti bergerak perlahan. Entah dari mana da-
tangnya, hawa dingin tertindih oleh hawa yang cukup
hangat. Tanpa sadar Tirta mundur satu langkah me-
nyadari perubahan udara dengan kening semakin di-
kernyitkan. "Aneh. Pertanda apakah ini?" desisnya. Mendadak telinganya mendengar suara cukup
keras, "Jalan yang ditempuh telah nampak di depan
mata, kendati hanya fatamorgana. Pandangan mata
sering kali tertipu, oleh satu kekuatan palsu."
Belum habis kata-kata yang berpantun itu ter-
dengar, satu sosok tubuh telah berdiri di hadapan Tir-
ta. Serentak Tirta memandang ke muka, menatap so-
sok seorang lelaki yang lanjut usianya. Si kakek bertubuh bungkuk tanpa
mengenakan pakaian. Di lehernya
tergantung sebuah kalung yang cukup besar terbuat
dari oyot pohon yang dirajut, agak menjuntai karena
tubuh kakek ini bungkuk. Tubuhnya yang kurus diba-
lut oleh kulit yang tipis dan dipenuhi tonjolan tulang.
Rambutnya yang putih panjang dikepang, seperti para
pendekar dari tanah seberang. Mengenakan celana
pangsi warna hitam kusam. Sepasang mata kelabunya
memandang ke arah Tirta. Begitu jernih dan tenang.
Tirta yang sejenak terpana memperhatikan, di-
am-diam membatin, "Siapa orang tua ini" Kehadirannya cukup mengejutkan. Dan
tadi, dia telah tiba di si-
ni, mendahului kata-katanya sendiri yang belum sele-
sai terdengar. Dan tentunya dia pula yang bersyair ta-
di" Setelah beberapa saat terdiam dalam kesunyian, Tirta yang tak dapat menahan
rasa ingin tahunya lebih
lama, berkata, "Orang tua.... Siapakah engkau ini
adanya?" Si kakek tersenyum. Bibirnya yang keriput
nampak begitu mengiriskan, namun karena pandan-
gannya yang teduh, rasa ngeri melihat tampangnya
agak mencair. "Aku sendiri tidak tahu siapa namaku. Tetapi
aku masih ingat, dengan sebutan apa orang-orang
memanggilku. Pendekar Bijaksana. Apakah aku bijak-
sana dalam setiap langkah, sikap, dan tutur kata, aku
tidak tahu. Entah mengapa pula orang-orang memang-
gilku dengan julukan yang tinggi itu. Hanya itulah
yang kuingat mengenai siapa aku."
Rajawali Emas mengerutkan kening mendengar
kata-kata si orang tua bungkuk yang berdiri di hada-
pannya. Dia teringat akan cerita gurunya, Bidadari Ha-
ti Kejam. Pendekar Bijaksana. Bukankah itu julukan
dari orang tua yang menjadi guru dari Mata Malaikat
dan Hantu Seribu Tangan"
Lalu, kalau si kakek yang mengaku berjuluk
Pendekar Bijaksana, yang selama ini tidak diketahui di mana rimbanya hadir di
sini, apa yang sebenarnya terjadi" Seperti ada sesuatu yang tersekat di
tenggoro- kannya, Rajawali Emas bertanya pelan, "Kek.... Bukan aku tak percaya segala
omongan, tetapi aku ingin memastikan. Benarkah engkau Pendekar Bijaksana
adanya?" Ditunggunya si kakek yang sedang mengang-
guk-anggukkan kepalanya berbicara dengan penuh ra-
sa kagum. Semenjak mendengar cerita gurunya, Bida-
dari Hati Kejam dan Manusia Pemarah, Tirta memang
ingin sekali berjumpa dengan tokoh yang dulu na-
manya begitu santer sekali. Bahkan, sampai saat ini,
kharisma yang dimilikinya masih menggaung santer.
Tak ubahnya Malaikat Dewa dan Manusia Agung Se-
tengah Dewa. "Aku juga tidak yakin apakah itu memang se-
butan ku. Rasanya, terlalu lama aku tak berjumpa
dengan orang, sehingga tak ada yang memanggilku
dengan sebutan itu. Tetapi, rasanya aku tidak pernah
lupa kalau dulu banyak yang memanggilku dengan se-
butan seperti itu."
"Sikapnya cukup membingungkan. Tetapi yang
dikatakannya tadi cukup jelas," kata Tirta dalam hati.
Sambil memandang ke depan, dengan suara terdengar
sangat santun, pemuda ini berkata, "Salam hormat un-tukmu seorang, Pendekar
Bijaksana."
"Kehormatan itu telah lama tak kuterima sejak
aku terdiam dalam kegelapan. Bahkan, murid-murid-
ku pun tak pernah mengucapkan kata seindah itu."
"Murid-muridku katanya" Pasti yang dimak-
sudkan adalah Mata Malaikat dan Hantu Seribu Tan-
gan. Kalau begitu dia memang Pendekar Bijaksana
ada-nya," batin Tirta. Lalu berkata, "Maaf bila aku lancang bicara. Mengapa
Kakek hadir di sini?"
"Aku hanya ingin memastikan apa yang terjadi
dan telah mengganggu alat pendengaranku ini. Kalau
seorang murid telah murtad dalam menjalankan tu-
gasnya sebagai murid. Aku tak hendak menurunkan
tangan. Aku hanya hendak memastikan."
Kendati yakin kalau si kakek memang Pendekar
Bijaksana yang banyak dibicarakan orang dan terma-
suk salah seorang tokoh rimba persilatan setingkat
dengan Eyang Malaikat Dewa dan Manusia Agung Se-
tengah Dewa yang sukar sekali ditemukan, Tirta ber-
tanya, "Bolehkah ku tahu siapa murid yang Kakek
maksudkan?"
"Hantu Seribu Tangan. Murid murtad yang
membuatku malu dengan perbuatannya."
Tirta menarik napas pendek, lalu menyahut,
"Kalau kau hendak memastikan kebenaran itu, me-
mang begitulah adanya, Kek. Karena, aku juga men-
dengar tentang sepak terjang Hantu Seribu Tangan. Di
samping itu, aku juga sedang mencarinya."
Si kakek terdiam beberapa saat. Lalu terdengar
kata-katanya, "Sayang. Padahal aku tak ingin mendengar kalau berita itu memang
benar. Anak muda! Dari
gaya bicaramu, sepertinya kau tahu banyak tentang
muridku yang berjuluk Hantu Seribu Tangan. Apa
yang kau ketahui dan apa yang memaksamu untuk
mencarinya?"
Tanpa ragu lagi Tirta berkata, "Terus terang,
aku mencoba hendak menghentikan sepak terjang
Hantu Seribu Tangan, Kek."
"Bagus! Hmmm.... Keranda Maut Perenggut
Nyawa. Yah.... Alat itulah yang menjadi momok se-
karang ini."
Merasa mendapatkan kesempatan untuk me-
ngetahui lebih banyak tentang Keranda Maut Pereng-
gut Nyawa yang sampai saat ini belum diketahui-nya,
Tirta berkata, "Kalau engkau tahu soal senjata mengerikan itu, Kek.... Bisakah
kau menceritakan-
nya kepadaku?"
Si kakek tak segera menjawab. Justru dia me-
natap pada Tirta dalam-dalam. Cukup lama keduanya
seperti membiarkan kesunyian meraja sebelum Pende-
kar Bijaksana membuka mulut, "Aku hafal setiap ilmu yang kuajarkan pada murid-
muridku. Kulihat, kau
terkena pukulan 'Pesisir Bunga Merah'. Dan ilmu itu
hanya pernah kuajarkan pada Hantu Seribu Tangan.
Benarkah telah bertarung dengan Hantu Seribu Tan-
gan dan kau terkena pukulan mengerikan itu, Anak
Muda?" Tak ada yang bisa dilakukan Rajawali Emas kecuali menganggukkan
kepalanya. Sungguh banyak
pengalaman tentang kehidupan dan orang-orang yang
lebih dulu hidup darinya yang didapatkan. Semenjak
meninggalkan Gunung Rajawali, Tirta tidak pernah
mengira tentang kehidupan panjang yang akan diala-
minya. Bertemu dengan para tokoh aneh rimba persila-
tan pun salah satu yang tak pernah dibayangkannya.
Dan sekarang, orang tua berjuluk Pendekar Bijaksana
ini cukup membuatnya tergetar pula.
"Pukulan 'Pesisir Bunga Merah' adalah suatu
pukulan yang sangat mengerikan. Dan hanya bisa di
tandingi oleh ilmu 'Matahari Rangkul Jagat' yang di
miliki oleh Manusia Agung Setengah Dewa. Kendati
demikian, bila tenaga pemilik pukulan 'Matahari Rang-


Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kul Jagat' masih kalah dengan tenaga pemilik pukulan
'Pesisir Bunga Merah' cukup berakibat fatal meskipun
pertama kali tak pernah dirasakan. Dan kau cukup
membuatku heran, Anak Muda. Kau bisa bertahan dan
tidak meninggal terkena pukulan mengerikan itu. Apa-
kah kau memiliki ilmu dahsyat tiada banding itu, yang
meskipun tak kau kerahkan tetapi karena telah me-
nyatu dengan tenaga panas dalam tubuh, selalu tidak
langsung memberi kekuatan untuk menahan pukulan
'Pesisir Bunga Merah'"!"
Tirta lagi-lagi hanya menganggukkan kepala.
Baru disadari kalau dia terluka dalam. Hanya karena
kekuatan ilmu 'Matahari Rangkul Jagat' yang mem-
buatnya masih hidup tanpa merasakan kalau dirinya
itu terluka dalam. Dilihatnya sepasang mata Pendekar
Bijaksana melebar cerah. Lalu katanya sambil men-
gangguk-anggukkan kepala,
"Beruntung sekali kau ini. Karena kudengar,
Manusia Agung Setengah Dewa tak pernah menurun-
kan ilmu sakti itu meskipun pada muridnya sendiri
yang berjuluk Manusia Pemarah. Kupikir tiba saat-
nya...." Tiba-tiba saja si kakek bungkuk memutus kata-katanya sendiri dengan
kedua mata lebih membuka
lebar. " Anak muda. Di kedua lenganmu kulihat ada rajahan sepasang burung
rajawali berwarna keemasan.
Dan entah mengapa kedua mataku yang mulai rabun
ini seperti melihat sesuatu yang tersimpan" Anak mu-
da... salahkah bila kukatakan, kau juga mewarisi ilmu
langka yang dimiliki Malaikat Dewa atau yang disebut
ilmu 'Inti Roh Rajawali'?"
Kembali Tirta terkagum-kagum mendengar ka-
ta-kata kakek di hadapannya. Kali ini Tirta segera me-
nerangkan siapa dirinya. Juga hubungannya dengan
Eyang Malaikat Dewa dan Manusia Agung Setengah
Dewa. "Luar biasa!" sahut Pendekar Bijaksana setelah Tirta mengakhiri
penuturannya. "Kau sangat beruntung, Anak Muda. Karena seperti yang kuketahui,
Ma- laikat Dewa dan Manusia Agung Setengah Dewa tak
akan pernah menurunkan ilmu-ilmu sakti dan langka
itu kepada siapa pun. Tak kecuali kepada murid-murid
mereka. Ah, suatu saat aku ingin berjumpa kembali
dengan kedua sahabat lamaku itu. Dan kau tadi men-
gatakan, tugas dari kedua orang itulah yang mem-
buatmu sampai ke sini dan bertekad mencari Hantu
Seribu Tangan. Sekarang, pejamkan kedua matamu
sebelum kuceritakan tentang Keranda Maut Perenggut
Nyawa." Tirta menarik napas panjang dan perlahan-
lahan melaksanakan perintah si kakek. Dan entah
apa yang terjadi, mendadak saja si pemuda merasakan
tubuh-nya seperti terombang-ambing. Namun aneh-
nya, tubuhnya tetap berdiri tegak!
Di depannya, Pendekar Bijaksana hanya men-
gulapkan tangannya dan terlihat mulutnya berkemik-
kemik. Di lain kejap, dia menyentakkan tangannya ke
depan lalu ditariknya ke belakang. Saat itulah Tir-
ta merasakan tubuhnya seperti terlempar sangat jauh
dan surut kembali ke tempat semula. Namun yang di-
rasakan sekarang, tubuhnya dalam keadaan segar bu-
gar. "Buka kedua matamu, Anak Muda...," terdengar perintah Pendekar Bijaksana.
Tirta segera membuka kedua matanya. Dia tak
lagi mempersoalkan cara pengobatan aneh yang dila-
kukan oleh si kakek. Justru dia menjura dan berkata,
"Terima kasih atas pertolonganmu, Orang Tua."
"Kebetulan pukulan sakti itu aku yang mencip-
takannya. Maka, dengan mudah aku bisa mengatasi-
nya. Sekarang dengar baik-baik, aku akan mencerita-
kan tentang Keranda Maut Perenggut Nyawa."
*** Bab 2 DUA ratus tahun yang lalu, di sebuah tempat yang tan-dus dan gersang, tumbuh
sebuah pohon aneh.
Sema-cam pohon beringin namun tanpa buah dan
bunga. Bahkan hanya sedikit dedaunan yang tumbuh
di se-tiap cabang dan ranting. Pohon itu, satu-satunya pohon yang tumbuh di
tanah tandus yang setiap sera-
tus tahun sekali baru turun hujan.
Tatkala itu datang ke sana dua orang anak ma-
nusia berbeda jenis dan berbeda usia tiga tahun. Ke-
duanya adalah seorang pemuda dan pemudi yang
tampan dan jelita. Pertama kali mendapati pohon itu,
keduanya sudah merasa keheranan. Karena, dari se-
luas mata memandang, hanya pohon itu yang tumbuh
di sana. Dan lebih heran lagi, karena di tempat itu
sangat sulit mendapatkan air. Begitu pula mengharap-
kan hujan turun. Tetapi, pohon itu bisa tumbuh den-
gan suburnya. Rasa heran itulah yang membuat keduanya ak-
hirnya menyembah pohon besar tanpa bunga dan
buah itu dan mendirikan rumah dari batang pohon
yang sangat jauh mereka dapatkan, beberapa ratus
tombak dari pohon itu berdiri.
Bertahun-tahun keduanya merawat pohon itu
sampai mereka akhirnya mempunyai dua orang anak
laki-laki yang dengan penuh kasih sayang mereka
asuh karena menjadi pengobat kesepian. Kedua anak
mereka itu pun tumbuh menjadi pemuda yang gagah
serta kuat. Tatkala si orang tua lelaki hendak meninggal,
dia berpesan agar kedua anak serta generasi penerus-
nya menjaga dan merawat pohon itu dengan baik. Pe-
san-nya dilaksanakan sepenuh hati oleh istri dan ke-
dua anaknya. Begitu pula ketika si orang tua perem-
puan hendak menemui ajalnya, dia pun berpesan yang
sama. Kehidupan pun terus berjalan dan anak-anak
mereka pun tumbuh dewasa dan akhirnya menikah. Si
bungsu rela membangun sebuah rumah baru untuk
tempat tinggalnya sementara si sulung menempati wa-
risan rumah orangtua mereka. Kehidupan mereka ber-
jalan lancar tanpa kurang suatu apa.
Sampai suatu ketika, tatkala si sulung kehabi-
san batang kayu, untuk kayu bakar pada malam hari
yang dingin, dia sangat enggan untuk mencari batang
kayu yang sangat jauh dari tempat tandus itu. Belum
lagi harus menyeret-nyeret batang kayu yang cukup
berat dan melelahkan. Pikirannya yang picik dan pe-
malas, memutuskan untuk menebang pohon aneh
yang tumbuh di sana.
Si bungsu menolaknya dan memperingatkan
untuk mengingat pesan kedua orangtua mereka. Na-
mun merasa sebagai anak tertua yang bisa menentu-
kan segalanya, si sulung marah besar. Si bungsu yang
masih mengingat amanat kedua orang tuanya, akhir-
nya merelakan kayu-kayu bakar miliknya diberikan
pada si sulung.
Merasa begitu mudah mendapatkan kayu-kayu
bakar, si sulung menjadi keenakan. Dia menjadi ber-
tambah malas bila kayu-kayu bakarnya habis. Dengan
hanya mendatangi rumah si bungsu, dia mendapatkan
kayu-kayu bakar yang diinginkannya.
Dan lama kelamaan si bungsu menjadi kesal
melihat kemalasan dan kepicikan kakaknya. Diperin-
gatkan kakaknya untuk mencari kayu bakar di hutan.
Si sulung murka. Dia tak mengindahkan kata-kata
adik-nya. Justru dia ngotot meminta terus menerus.
Karena tak mau dirinya diperbudak oleh kakaknya, si
bungsu mempertahankan haknya.
Si sulung pulang dengan bersungut-sungut dan
dendam membara. Diam-diam suatu malam dia ke-
luar dengan membawa kapak besar yang dibuatnya
dari batu. Hendak ditebangnya pohon warisan kedua
orang tuanya. Si bungsu melihat hal itu. Si sulung ma-
rah karena si bungsu menolak dan mempertahankan
pohon itu. Perkelahian sengit yang disaksikan kedua istri
masing-masing pun berlangsung dan tak ada yang ka-
lah serta menang. Keduanya sama-sama terluka dan
menderita. Kendati demikian, si sulung semakin men-
jadi beringas karena merasa harga dirinya se-
bagai seorang kakak diinjak-injak oleh adiknya sendiri.
Tekadnya semakin bulat untuk menebang pohon itu.
Tatkala adik dan iparnya sedang mencari kayu
di hutan yang berjarak sangat jauh dari daerah tandus
itu, dia pun mengambil kapaknya. Ditebangnya pohon
besar itu dengan keberingasan yang tinggi.
Anehnya, setiap kali pohon itu ditebang, setiap
kali pula batang, cabang atau rantingnya yang ter-
penggal menyatu kembali. Keanehan itu bukan mem-
buat si sulung menjadi ketakutan dan menghentikan
perbuatannya. Dia justru menjadi sangat marah. Ak-
hirnya, diputuskan untuk membakar pohon besar itu.
Pada saat itulah si bungsu dan istrinya tiba
kembali di sana dengan menyeret batang kayu yang
mereka ambil dari hutan. Alangkah terkejutnya si
bungsu melihat dari kejauhan api berkobar di tengah
padang tandus. Ditinggalkan batang pohon yang baru didapat-
nya dan dia berlari kencang. Diusahakan untuk me-
musnahkan api yang membakar pohon warisan kedua
orangtua mereka sementara si sulung hanya mem-
perhatikan dengan senyum kepuasan.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat di-
raih. Pohon itu pun hangus dan luruh menjadi debu.
Tinggal si bungsu yang memandangnya dengan kerin-
gat bercucuran di seluruh tubuh, sementara si sulung
puas menyaksikan perbuatannya.
Selama tiga hari tiga malam si bungsu bersim-
puh di hadapan tumpukan abu yang berasal dari po-
hon itu yang semakin lama semakin mengikis dan ak-
hirnya tak nampak lagi di mata, tanpa menghiraukan
ajakan istrinya kembali ke rumah.
Namun keanehan terjadi, karena dua-hari ke-
mudian, mereka melihat sebuah tumpukan batang
kayu di tempat bekas pohon itu tumbuh. Si bungsu
tak berani berbuat apa-apa sementara si sulung me-
ngambilnya sambil terbahak-bahak. Kayu-kayu itu di-
buat menjadi api unggun guna mengusir hawa yang
sangat dingin bila malam datang.
Dan anehnya lagi, kayu-kayu itu tak hangus
atau habis kendati dibakar. Dan selama satu tahun
kayu-kayu itu tetap utuh. Sudah tentu bagi si sulung
ini merupakan sebuah anugerah karena tak perlu re-
pot-repot mencari kayu bakar lagi. Karena terus mene-
rus dibakar dan tak pernah habis, entah karena kodrat
alam atau bukan, batang kayu itu berubah menjadi
besi yang sangat hitam.
Setahun berlalu dan besi-besi itu mulai terang-
kai secara tidak sengaja menjadi sebuah keranda. Me-
rasa aneh melihat hal itu, si sulung yang sombong dan
pemalas menceritakannya kepada si bungsu yang
hanya terdiam saja. Dan entah mengapa si bungsu
menangkap satu isyarat agar keranda itu dibuang saja.
Tetapi si sulung menolak. Dia menginginkan
keranda itu tetap berada di rumahnya sebagai tanda
kehebatannya karena berhasil menebang pohon besar
yang aneh. Suatu ketika, satu peristiwa yang mencengang-
kan terjadi. Putra si sulung yang berusia tiga tahun
mendadak saja masuk ke dalam keranda itu dan lang-
sung lenyap, luruh menjadi debu. Berteriak setinggi
langit si sulung melihat putranya tewas di dalam ke-
randa itu. Dia berusaha menghancurkan keranda itu.
Tetapi segala usaha yang dilakukannya gagal. Akhir-
nya diputuskan untuk membuang keranda itu.
Si bungsu yang baik hati mau membantu ka-
kaknya untuk membuang keranda itu. Tetapi ketika
mereka hendak membawanya, istri si sulung tiba-tiba
menolak. Dan mendadak saja dia masuk ke dalam ke-
randa itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang
menimpa putra si sulung.
Menjerit setinggi langit si sulung melihatnya.
Dengan beringas dan penuh teriakan kacau dia beru-
saha untuk menghancurkan keranda itu, tetapi justru
tubuhnya yang terseret dan masuk ke dalamnya.
Satu tenaga asing yang mengerikan seolah me-
nyayat dan membakar tubuh si sulung yang berteriak
minta tolong. Si bungsu yang berusaha untuk meno-
long tak bisa berbuat apa-apa. Dan di depan matanya
dilihatnya bagaimana nasib tragis kakaknya me-
nerima ajal secara mengerikan.
Bertahun-tahun kemudian si bungsu tak bera-
ni mendekati keranda yang tetap berada di rumah si
sulung. Seiring waktu yang bertambah, anaknya pun
tumbuh menjadi remaja.
Dan selama itu pula si bungsu tak bisa melu-
pakan peristiwa mengerikan yang menimpa keluarga
kakaknya. Akhirnya diputuskan untuk mengubur ke-
randa maut itu.
Setelah selesai, si bungsu pun pindah bersama
anak dan istrinya dari tempat itu. Anaknya pun meni-
kah dengan seorang gadis dari sebuah dusun. Se-
puluh tahun kemudian istri si bungsu meninggal dan
karena tak tahan dengan perasaan sedih melihat ke-
nyataan orang yang berpuluh tahun mengasihinya
meninggal, si bungsu pun akhirnya menyusul istrinya.
Putra mereka memiliki seorang anak lelaki yang
cakap dan tampan. Sekali waktu, diceritakan tentang
keranda maut yang menjadi cerita para leluhurnya
pada anaknya. Lima belas tahun kemudian, putra si
bungsu pun meninggal dan menyusul istrinya. Tinggal


Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak mereka yang merupakan cucu si bungsu yang
sampai sekarang masih hidup. Cucu si bungsu akhir-
nya melanglang buana mencari pengalaman hidup dan
melupakan tragedi keluarganya yang mengerikan.
Di sebuah pesisir, cucu si bungsu berguru pada
seorang tua yang berjuluk Ki Ageng Nirwana. Selama
bertahun-tahun dia tekun menuntut ilmu. Namun di
dalam hatinya dia memiliki rasa penasaran yang dalam
untuk mengetahui tentang keranda maut yang pernah
diceritakan oleh ayahnya yang merupakan se-
buah cerita yang mengerikan.
Ketika Ki Ageng Nirwana meninggal, cucu si
bungsu pun mulai melacak tentang keberadaan keran-
da maut. Bertahun-tahun dia melacak jejak keranda
itu dan bertahun-tahun dia gagal menemukannya.
Sampai akhirnya dia memungut dua orang mu-
rid yang kemudian dikenal berjuluk Mata Malaikat dan
Hantu Seribu Tangan. Pada Hantu Seribu Tangan-
lah cucu si bungsu yang tak lain Pendekar Bijaksana
adanya menceritakan tentang keranda maut. Karena
pikirnya, murid pertamanya itu memiliki jiwa agung
yang tinggi dan berbudi luhur. Namun pada kenya-
taannya, justru muridnya tak pernah kembali lagi sete-
lah diberi izin untuk mencari keranda maut selama
bertahun-tahun. Sampai diputuskan untuk mening-
galkan muridnya yang seorang lagi yang berjuluk Mata
Malaikat, Hantu Seribu Tangan tetap tidak pernah
muncul. Dan tak pernah diceritakan soal keranda
maut itu pada Mata Malaikat.
"Dan akhirnya ku putuskan keluar dari tem-
patku untuk mencari kebenaran tentang Keranda
Maut yang telah dimiliki oleh Hantu Seribu Tangan...,"
kata Pendekar Bijaksana mengakhiri ceritanya.
Orang tua bungkuk ini menarik napas panjang.
Lalu sambil menatap Rajawali Emas yang seksama
mendengarkan setiap kata yang terucapkan dilan-
jutkan ucapan, "Ternyata tentang keanehan dan ke-
saktian Keranda Maut Perenggut Nyawa yang bisa
mem-buat orang yang memilikinya menjadi kejam,
memang benar...."
Tirta terdiam dan membiarkan Pendekar Bijak-
sana merenung beberapa saat.
Lalu tanyanya, "Kek.... Bagaimana caranya un-
tuk menghancurkan keranda maut itu?"
Pendekar Bijaksana menggeleng-gelengkan ke-
pala. "Sangat sulit, Anak Muda. Karena, keranda itu sudah memiliki kesaktian
sendiri." "Oh! Jadi bukan karena dibantu oleh tenaga si
pemiliknya?" tanya Tirta tercekat.
"Tidak sama sekali. Pemiliknya akan menjadi
jahat kendati dia dulu orang baik-baik. Dan dia men-
jadi sangat hebat bila sudah dibantu keranda maut
itu." Tirta teringat pada dugaannya tentang kesaktian Keranda Maut Perenggut
Nyawa yang diduganya
dibantu oleh Hantu Seribu Tangan yang menjadi pemi-
liknya (Baca serial Rajawali Emas dalam episode: "Mata Malaikat").
"Ternyata dugaanku salah...," desisnya dalam hati. Lalu katanya, "Jadi... apa
yang bisa dilakukan agar keranda itu punah, Kek?"
'Tadi kukatakan, aku sendiri tidak tahu. Tetapi,
tentu ada kelemahannya. Otakku sudah tak sanggup
diajak berpikir lebih lama. Ini tugasmu sebagai orang
muda yang cekatan dan masih bertenaga."
Tirta berkata lagi dalam hati, "Kalau begitu...
perjalanan ini semakin bertambah sulit. Hantu Seribu
Tangan sebenarnya orang yang memiliki hati bersih,
hanya karena pengaruh keranda maut itu saja dia
menjadi sangat kejam. Oh! Sungguh mengerikan sekali
akibat pengaruh keranda maut itu."
Selagi Tirta berkata dalam hati, Pendekar Bi-
jaksana berkata, "Bila kita menginginkan keranda
maut itu untuk dihancurkan dan bukan dimiliki, maka
kita akan sulit untuk terpengaruh oleh keranda maut
itu. Tetapi bila kita menginginkan untuk memilikinya,
niscaya kita akan bisa terpengaruh. Tetapi pengaruh
itu akan timbul bila orang yang pertama kali memili-
kinya sudah tewas. Kendati demikian, orang yang ter-
seret masuk oleh tenaga gaib dari keranda itu, tak
akan pernah bisa selamat. Anak muda... rasanya su-
dah cukup lama aku berada di sini."
"Tunggu, Kek. Kau sendiri hendak ke mana?"
tanya Tirta sambil menatap Pendekar Bijaksana.
"Aku akan tetap pada tujuan semula. Aku akan
menuju Goa Seratus Laknat."
Habis kata-katanya, si kakek melangkah den-
gan tenang ke arah barat.
Dari kejauhan terdengar suaranya bersyair,
Perjalanan panjang hamper tiba di Penghu-
Jung entah siapa yang menang dan siapa yang ter-
gantung hanya Tuhan yang menentukan segala untung
Di lain kejap, sosok orang tua bungkuk tanpa
baju itu sudah lenyap dari pandangan Tirta.
Pemuda dari Gunung Rajawali ini menarik na-
pas panjang. "Ternyata, tak semudah yang kukira tentang
Keranda Maut Perenggut Nyawa. Tetapi biar bagaima-
napun sulitnya, aku akan tetap menuju ke Goa Sera-
tus Laknat untuk menghentikan sepak terjang Hantu
Seribu Tangan sekaligus menghancurkan Keranda
Maut jahanam itu. Sebaiknya ku coba menyusul Pen-
dekar Bijaksana."
Kejap lain, tubuhnya sudah berkelebat ke arah
perginya Pendekar Bijaksana. Namun, kendati Rajawali
Emas telah mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuh
dan membuka kedua mata lebih lebar, dia tak mene-
mukan sosok Pendekar Bijaksana!
* * * Bab 3 ANGIN berdesau dingin. Berlarian dari satu pohon ke pohon lain. Bergayutan
sejenak di hamparan semak
belukar. Jalan setapak yang sunyi itu seolah semakin
ditimbun kesunyian yang dalam. Hanya suara burung
saja yang terdengar.
Mendadak saja kesunyian itu dipecahkan oleh
satu suara yang berasal dari balik sebuah gerumbulan
semak belukar. "Sekian jarak telah terlampaui, sekian waktu
telah terbuang. Tetapi Mata Malaikat belum juga dite-
mukan." Tak lama kemudian, dua sosok tubuh muncul
dan menghentikan langkah di jalan setapak itu. Suara
tadi berasal dari seorang berpakaian coklat panjang
gombrang dengan wajah yang ditutupi pupur tebal
warna putih. Rambutnya yang panjang digelung ke
atas. Orang itu memandang sekitarnya tanpa kedip.
Di lain saat, orang itu mengalihkan pandangan
pada seorang lelaki bertubuh kurus tinggi yang berdiri di sebelahnya. Bila saja
orang di sebelahnya itu tak
mengenakan pakaian yang agak gombrang sudah pasti
akan memperlihatkan seluruh tulang dalam tubuhnya.
Merasa orang berpupur putih itu menunggu
ucapannya, lelaki berwajah tirus yang di pinggangnya
terdapat sebuah pundi yang cukup besar berkata,
"Jejak yang harus kita lakukan sekarang, lang-
sung menuju Goa Seratus Laknat. Berita tentang ke-
pergian Mata Malaikat menuju Goa Seratus Laknat
bukan lagi berita burung sekarang. Dendam di dada
harus dibalas. Tetapi terus terang, aku mulai tertarik dengan berita tentang
Keranda Maut Perenggut Nyawa.
Sandang Kutung, bisakah kau mengatakan ada uru-
san apa sebenarnya kau mencari Mata Malaikat" Pa-
dahal, di saat pertama kali berjumpa bersamanya kau
hanya diam saja sehingga seorang kawan kita, si Pe-
menggal Kepala tewas" Apa yang mendorongmu untuk
mengetahui di mana Hantu Seribu Tangan berada. Ka-
lau kau tak mau menjawab urusan mu dengan Mata
Malaikat, kau bisa mengatakan urusan apa yang
membebanimu untuk mencari Hantu Seribu Tangan?"
Orang berpupur putih yang tak lain adalah
Sandang Kutung menggeram sengit. Lalu berkata den-
gan nada suara ditekan, "Kau boleh terus melangkah bersamaku. Dan kau boleh
meninggalkan ku karena
hutang di antara kita sudah impas. Kau pernah kuto-
long tatkala terkena pukulan sakti Mata Malaikat. Be-
gitu pula diriku yang kau tolong akibat bentrokan den-
gan Bidadari Hati Kejam. Tetapi urusanku dengan
Hantu Seribu Tangan, tak seorang pun yang boleh ta-
hu." Mengkelap wajah lelaki yang mengenakan pa-
kaian dan jubah hitam panjang mendapati kata-kata
orang. Orang yang tak lain si Penabur Pasir adanya.
mendengus dalam hati, "Kau bisa mengelabui semua
orang tentang siapa dirimu yang sebenarnya. Dengan
wajah yang kau tutupi pupur tebal dan suara yang kau
besarkan hingga mirip suara laki-laki, kau bisa me-
ngecoh setiap orang yang berjumpa denganmu. Tetapi
tidak denganku. Aku tahu kau seorang perempuan.
Tetapi, aku tidak begitu lancang untuk menghapus
pupur dari wajahmu hingga aku tahu siapa kau
adanya." Apa yang dikatakan Penabur Pasir dalam hati
memang benar. Seperti diceritakan pada episode sebe-
lumnya "Mata Malaikat", Penabur Pasir berkelebat menyelamatkan Sandang Kutung
saat terjadi bentrokan
hebat dengan Bidadari Hati Kejam. Sebelumnya, orang
berpundi besar di pinggang ini bermaksud untuk tu-
run membantu Sandang Kutung. Tetapi tatkala dili-
hatnya seorang lelaki tua berkuncir yang dikenalnya
sebagai Manusia Pemarah, dihentikan keinginannya
itu. Hendak ditunggunya bila Manusia Pemarah mem-
bantu Bidadari Hati Kejam. Namun Sandang Kutung
mengalami nasib sial tatkala bentrok dengan Bidadari
Hati Kejam. Saat itulah, Penabur Pasir menyela-
matkannya. Di sebuah tempat yang sunyi, orang ber-
pakaian dan berjubah hitam yang membuka pakaian
di bagian dada Sandang Kutung guna mengalirkan te-
naga dalamnya, harus terperanjat tatkala melihat dada
Sandang Kutung ternyata milik dada seorang wanita.
Montok dan menggairahkan. Sadarlah Penabur Pasir
siapa orang berpupur ini sebenarnya.
Di lain kejap Penabur Pasir membuka suara
memecah, "Masing-masing orang mempunyai tujuan
yang sama untuk mencari Mata Malaikat. Tetapi den-
gan alasan yang berbeda. Kita pun sama-sama punya
urusan dengan Hantu Seribu Tangan. Tak perlu ber-
debat dan membuka silang sengketa. Sebaiknya, kita
teruskan perjalanan mencari Mata Malaikat sekaligus
Goa Seratus Laknat."
Orang berpupur menoleh, mengangguk dengan
senyum puas. "Bagus! Dan aku tak ingin lagi mendengar per-
tanyaan bodoh yang seperti kau katakan tadi."
Keduanya saling pandang, seolah menjajaki ke-
kuatan satu sama lain. Namun Penabur Pasir yang
pernah dikalahkan Sandang Kutung, kejap lain menga-
lihkan pandangannya. Tak ingin adu tatap lebih lama
lagi. Karena disadarinya kalau pandangan Sandang
Kutung mengandung ancaman yang mengerikan.
"Setan keparat! Apakah kalau kukatakan aku
tahu siapa dirimu sebenarnya kau masih menutupi
siapa dirimu?" geramnya dalam hati. Lalu menduga-
duga, "Kau seorang perempuan yang menyamar seba-
gai laki-laki. Tentunya, urusan apa kalau bukan uru-
san asmara kau mencari Hantu Seribu Tangan" Tetapi
payudaramu begitu montok menggairahkan. Paling ti-
dak kau berusia dua puluh tahunan. Kalau memang
urusan asmara, urusan asmara macam apa?"
Sementara itu, orang berpupur sedang berkata,
"Kalau kau tak ingin meneruskan perjalanan bersama ku, aku pun tak merasa rugi."
Sungguh bodoh Penabur Pasir bila menyetujui
usul itu. Karena toh dia tetap mengharapkan kebera-
daan Sandang Kutung. Paling tidak, karena orang itu
hendak mencari Mata Malaikat pula.
Tanpa menunggu jawaban orang, Sandang Ku-
tung sudah mendahului melesat. Penabur Pasir meng-
geram dan segera menyusul.
Tanpa setahu keduanya, sepasang mata meme-
rah tajam memperhatikan dari sebuah semak belukar.
Orang yang memiliki mata merah ini seluruh tubuhnya
dipenuhi bulu yang sangat lebat berwarna hitam kea-
bu-abuan. Dan gigi seperti taring yang mengeluarkan
air liur. Di lain kejap orang ini sudah berkelebat me-
nyusul ke mana perginya Sandang Kutung dan Pena-
bur Pasir, dengan gerakan yang sangat aneh. Tak
ubahnya dengan gerakan seekor serigala!
*** Waktu sepenanakan nasi telah lewat. Tempat di
mana Sandang Kutung dan Penabur Pasir berada, se-
makin ditelan kesunyian yang sangat dalam. Di angka-
sa, arakan awan putih telah menjelma menjadi gumpa-
lan awan hitam.
Selang beberapa saat, satu sosok tubuh tiba di
tempat itu. Sosok seorang gadis berparas jelita dengan sepasang mata jernih dan
hidung bangir. Bibirnya tipis memerah, mengenakan pakaian ringkas berwarna biru
kehitaman dengan celana pangsi berwarna hitam. Di
pinggangnya yang ramping terdapat sebuah angkin
berwarna hitam. Rambutnya yang panjang dikepang
dua. Gadis yang baru muncul ini memperhatikan
sekitarnya dengan seksama. Merasa tempat ini cukup
aman, gadis yang kedua matanya nampak sembab itu


Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah ke bawah sebuah batang pohon. Dengan
keletihan yang sangat kentara, gadis ini duduk di sana sambil menyandarkan
kepalanya ke batang pohon.
Di lain kejap, terdengar tarikan nafasnya, gun-
dah. "Maafkan aku, Guru.... Terpaksa aku mening-
galkanmu. Tak kuasa aku mengusir bayangan Kang
Cakra dalam kedua mataku ini. Diri pemuda yang ku-
cintai dan menolak cintaku itu sangat lekat sekali....
Guru, mungkin ini jalan yang terbaik bagiku. Karena,
aku memutuskan untuk mencari Kang Cakra...."
Siapa sebenarnya gadis yang tengah resah ini"
Gadis itu bernama Diah Srinti alias Angin Racun Ba-
rat, murid dari Nyi Randa Barong atau yang dikenal
dengan julukan Iblis Cadas Siluman. Seperti pernah
disinggung dalam episode sebelumnya, Nyi Randa Ba-
rong saat itu sedang gelisah karena murid satu-
satunya yang sangat dikasihi menghilang begitu saja.
Saat itu dia tahu kalau muridnya mencintai
Cakra alias Pendekar Judi murid dari Malaikat Judi.
Tetapi sayangnya, murid Malaikat Judi itu menolak
cinta muridnya. Iblis Cadas Siluman menjadi sangat
geram sekali. Dia akhirnya mendatangi Malaikat Judi
di Lembah Sumur Tua untuk menjodohkan muridnya
dengan murid Malaikat Judi. Tetapi orang tua bijak itu tak bisa memutuskan
karena masalah perjodohan harus disepakati oleh kedua belah pihak yang hendak
di- jodohkan. Iblis Cadas Siluman pun kembali dengan
tangan hampa dan semakin gundah melihat keadaan
muridnya yang dijuluki si Angin Racun Barat yang
termenung. Sebulan kemudian, muridnya menghilang begi-
tu saja. Betapa bingungnya Nyi Randa Barong hingga
akhirnya diputuskan untuk mencari muridnya. Si ne-
nek ini merasa kesal mengingat kepergian muridnya
dikarenakan penolakan Pendekar Judi atas cinta mu-
ridnya itu. Dia pun menyusul ke Lembah Sumur Tua.
Namun bukan hanya Pendekar Judi saja yang tidak di-
temukan, Malaikat Judi sendiri tidak ada di tempat-
nya. Masih untung dia bisa melacak jejak Malaikat Ju-
di dan meminta pertanggungjawaban dari orang tua itu
tentang muridnya yang menghilang. Tetapi Malaikat
Judi justru meramalkan sesuatu yang sama sekali tak
disangka oleh Nyi Randa Barong.
Dan sekarang si Angin Racun Barat yang se-
dang gundah ini kembali menarik napas panjang. Te-
ringat kalau apa yang dilakukannya ini tentunya san-
gat mencemaskan Nyi Randa Barong. Namun tekadnya
sudah bulat untuk meninggalkan Nyi Randa Barong.
Dia juga sudah mendatangi Lembah Sumur Tua, na-
mun tak menemukan Pendekar Judi di sana. Saat itu-
lah dia mendengar gumaman Malaikat Judi yang ter-
nyata sedang cemas memikirkan muridnya. Tahulah si
Angin Racun Barat kalau pemuda yang dicintainya tak
berada di tempatnya. Mulailah dia melangkahkan kaki,
semata melupakan kegelisahan hatinya sekaligus me-
miliki niat untuk mencari pemuda yang dicintainya itu.
Mendadak saja kegelisahan si Angin Racun Ba-
rat menguap, tatkala sepasang telinganya menangkap
suara orang melangkah dengan cara diseret di-iringi
suara keluhan kesakitan. Serentak gadis berambut di-
kepang dua ini berdiri. Sepasang matanya dialihkan ke
arah samping kanan dari mana datangnya suara lang-
kah terseret dan keluhan kesakitan. Tanpa terasa si
gadis menjadi bersiaga.
Sesaat kemudian, muncul seorang pemuda ber
baju putih yang melangkah terhuyung sambil meme-
gangi dadanya. Pakaiannya yang putih bersih itu nam-
pak ternoda oleh darah yang sudah mengering. Wajah-
nya yang tampan sangat pucat sekali dengan dipenuhi
butiran keringat.
Diah Srinti alias Angin Racun Barat yang me-
nunggu dengan tegang tadi mendadak membuka suara
penuh kecemasan seraya memburu.
"Kang Cakra!!"
Pemuda yang dalam keadaan terluka itu meng-
angkat kepalanya sejenak. Sekejap terlihat kedua ma-
tanya membulat cerah, tetapi kejap lain sudah me-
ringis kesakitan. Mungkin, karena lelah yang mendera
serta luka di dadanya; tubuh si pemuda mendadak sa-
ja terhuyung dan ambruk.
Angin Racun Barat buru-buru menangkap tu-
buh pemuda yang dikenalinya. Hatinya kebat-kebit
penuh kecemasan.
"Kang Cakra! Kau kenapa, Kang?" tanyanya terburu dengan suara yang tak bisa
menutupi kerisauan-
nya. Tetapi pemuda itu sudah jatuh pingsan.
Dengan kecemasan yang dalam, si gadis mele-
takkan tubuh si pemuda yang pingsan dan terluka itu
di rumput cukup tebal. Dibukanya pakaian si pemuda
dengan segera. Tersentak kaget Angin Racun Barat
mendapati luka menganga di dada pemuda ini.
Gugup dialirkan tenaga dalamnya sekadar
menghangatkan tubuh pemuda ini. Sungguh, dia tak
pernah membayangkan kalau akan menjumpai pemu-
da yang dicintainya ini dalam keadaan terluka parah.
Bahkan jatuh pingsan di dadanya.
Bisa dirasakan bagaimana kecemasan Angin
Racun Barat melihat keadaan pemuda yang selama ini
dicintainya ini.
"Aku harus tenang, aku harus tenang!" desis-
nya berulang kali dengan mencoba menindih rasa gu-
gupnya. Perlahan-lahan dibukanya pakaian si pemuda
dan diletakkan di kepalanya sebagai ganjalan. Lalu
perlahan-lahan diperiksanya luka di dada pemuda itu.
Sudah agak mengering, namun masih ada darah yang
mengalir. Cepat diloloskan angkin di pinggangnya dan
diikatkan pada luka si pemuda. Terburu-buru pula dia
mengalirkan tenaga dalamnya melalui kedua ibu jari
kaki si pemuda. Cukup lama si gadis melakukannya
sehingga sekujur tubuhnya dialiri keringat. Tatkala dirasakan tubuh si pemuda
mulai menghangat, dia pun
menghentikannya dan menarik napas lega.
Sambil membawa pakaian si pemuda yang ko-
tor penuh noda darah, si gadis berkelebat untuk men-
cari air. Angin Racun Barat menemukan sebuah mata
air di sebelah timur. Dicucinya pakaian yang bernoda
darah itu sampai bersih. Lalu dengan sebuah kendi
usang yang ditemukannya, dibawanya air itu kembali
ke tempat semula!
Dijemurnya pakaian si Pemuda yang basah na-
mun sekarang sudah bersih di atas sebuah semak. La-
lu dengan sangat telaten dan penuh pengabdian, di-
bersihkannya luka di dada si pemuda dengan hati-
hati. Setelah beberapa saat, si gadis berkelebat kemba-li. Kali ini mencari
buah-buahan untuk pengisi perut.
Karena dia yakin, bila Cakra alias Pendekar Judi ini
siuman, tentunya pemuda itu sangat lapar. Angin Ra-
cun Barat berharap tatkala dia kembali ke tempat se-
mula pemuda itu sudah siuman dari pingsannya.
Namun yang diharapkannya tidak terjadi, kare-
na Pendekar Judi masih dalam keadaan pingsan. Dipe-
riksanya sekali lagi tubuh si pemuda.
"Hmmm... keadaannya sudah semakin mem-
baik, tidak lagi sedingin tadi. Aku yakin, dalam waktu yang tak berapa lama dia
akan siuman."
Si Angin Racun Barat duduk bersimpuh di ha-
dapan si pemuda yang terbujur. Sepasang mata si ga-
dis tak putus-putus menatap ke wajah pemuda yang
dicintainya. Dan tiba-tiba saja wajah gadis ini berubah. Dia
teringat bagaimana Pendekar Judi menolak cintanya.
Semuanya teringat dan seperti sebuah layar gambar
yang terpampang di hadapannya. Mendadak saja gadis
ini menjadi sangat geram. Geram karena dia telah me-
nolong pemuda ini.
"Keparat! Tak seharusnya aku menolong orang
yang telah menyakiti hatiku! Seharusnya aku senang
melihatnya dalam keadaan seperti ini. Mungkin, inilah
yang namanya balasan karena dia menolak cinta-ku!"
Untuk sesaat Angin Racun Barat terbelenggu
oleh rasa amarah dan tidak senangnya. Saat lain, wa-
jahnya yang berubah tegang kembali pada mimik ke-
cemasan. Dengan susah payah ditindihnya rasa jeng-
kel dan bayangan bagaimana cintanya ditolak oleh.
Pendekar Judi. "Ah.... Tak seharusnya aku berpikiran picik de-
mikian. Biar bagaimanapun juga, saling tolong meno-
long harus tetap kujalankan pada sesama manusia.
Tetapi..." Si gadis menghentikan kata-katanya sendiri.
Di lain saat ditarik nafasnya panjang-panjang. Dan di-
alihkan kembali pandangannya pada wajah Pendekar
Judi yang nampak pucat. "Tidak! Aku tidak boleh
mengharapkan balasan dari pertolonganku ini Kendati
dia menolak cintaku. Hanya saja...."
Kembali gadis ini memutus kata-katanya sendi-
ri. Kegeraman berpadu dan bergulat dalam rasa cinta
kasih yang tulus. Kembali ditariknya napas panjang-
panjang. "Peduli setan. Aku tidak boleh berpikir picik. Biarlah kutunggui saja pemuda ini
bangkit dari pingsan-
nya. Perjalananku pun untuk mencarinya dan me-
nuntaskan rasa rindu di dada...."
Sebenarnya, Angin Racun Barat sudah sangat
lelah sekali. Dia belum beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh. Namun
ditahan rasa kantuknya demi
pemuda yang dicintainya ini. Saat itu sang waktu terus melangkah perlahan namun
pasti. Angin mulai berhembus sejuk dalam keremangan senja. Tanpa sadar,
kejap lain si gadis sudah terlena.
* * * Bab 4 DIAH Srinti alias Angin Racun Barat terjaga tatkala terdengar suara orang
mengigau di sampingnya. Terburu-buru dia bangkit dan mendapati igauan itu be-
rasal dari Pendekar Judi. Dengan penuh kecemasan
dirabanya tubuh pemuda itu. Terasa sangat panas se-
kali, padahal udara berhembus sangat dingin. Dari
mulut Pendekar Judi, terdengar igauan yang semakin
membuat cemas hati Angin Racun Barat.
Dengan penuh rasa galau yang tinggi, murid Ib-
lis Cadas Siluman ini segera mengalirkan hawa murni-
nya guna meredam hawa panas yang melingkupi tu-
buh Pendekar Judi. Setelah beberapa saat dilakukan-
nya, barulah dia bisa menarik napas panjang. Dan
dengan hati-hati dikenakannya kembali pakaian si
pemuda yang telah kering.
Hari saat ini sudah merangkak menuju malam.
Di sekitar tempat itu sangat sunyi sekali. Gemerisik
angin terdengar cukup mengganggu, tetapi tak mem-
buat Angin Racun Barat menjadi gugup. Dia justru tak
sabar untuk melihat Pendekar Judi siuman. Dan kare-
na tak ingin pemuda yang dicintainya ini mengalami
gangguan, diputuskan untuk tidak tidur.
Sepanjang malam, gadis ini hanya memperhati-
kan pemuda yang dicintainya yang sesekali mengigau.
Bahkan, setengah ragu-ragu tatkala tengah malam da
tang dan hawa panas yang melingkupi tubuh si pemu-
da berubah menjadi begitu dingin, Angin Racun Barat
merangkulnya dengan wajah berseru merah. Dia ber-
harap, si pemuda jangan terbangun di saat dia masih
merangkulnya. Tatkala terdengar kokok ayam hutan di kejauh-
an, Angin Racun Barat baru melihat tubuh Pendekar
Judi bergerak-gerak diiringi keluhan tertahan berkali-
kali. Terburu-buru Angin Racun Barat melepas-kan
rangkulannya dan berusaha menyadarkan pemuda itu
dengan cara memanggil-manggilnya.
Dia baru bisa menarik napas panjang ketika
Pendekar Judi membuka kedua matanya. Hanya se-
saat, karena Pendekar Judi kembali memejamkan ma-
tanya. Tetapi, mulutnya mengucapkan suara lemah.
"Kau...."
"Jangan berbicara dulu, Kang Cakra. Kea-
daanmu masih payah...," kata Angin Racun Barat tan-pa bisa menyembunyikan
kegembiraannya mendapati
pemuda yang dicintainya ini sudah siuman.
Dilihatnya, Pendekar Judi membuka kedua ma-
tanya kembali. Bibirnya tersenyum lemah. Namun ke-
jap lain, dia sudah menutup kembali kedua matanya,
sedikit meringis karena memang masih merasa nyeri
pada sekujur tubuhnya, terutama dadanya yang terlu-
ka lebar. Selang beberapa saat hanya ditelan kebisuan
saja sementara sepasang mata Angin Racun Barat te-
rus menatap penuh gembira namun masih dilingkupi
kecemasan pada pemuda itu.
Kembali didengarnya suara Pendekar Judi per-
lahan tanpa membuka matanya, "Terima kasih atas
pertolonganmu, Diah."
Diah Srinti tersenyum. "Sudahlah. Kau jangan
banyak bicara dulu. Beristirahatlah."
Perlahan-lahan Pendekar Judi membuka kedua
matanya lagi. Bibirnya kembali menguakkan senyum-
an. "Beruntung sekali.... Aku berjumpa denganmu
di sini, Diah...," katanya agak tersendat. "Bila tidak....
Mungkin aku tak sanggup bertahan lagi...."
"Aku pun beruntung bisa bertemu dengan kau,
Kang. Karena sedikit banyaknya, rindu dalam dadaku
cukup terobati," kata Angin Racun Barat dalam hati.
Lalu katanya sambil mengerjapkan matanya berkali-


Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali diiringi desahan napas panjang, "Bila memang kau sudah bisa duduk
bersandar, lebih baik kau mengisi
perutmu dulu, Kang Cakra."
Trenyuh hati Pendekar Judi mendengar kata-
kata Angin Racun Barat yang diucapkan penuh kasih
sayang. Dan dia mendesah pendek dalam hati tatkala
teringat kalau dia sangat sulit mencintai gadis ini.
Perlahan-lahan dia bangkit bersandar di bawah
sebatang pohon dengan dibantu oleh Angin Racun Ba-
rat. Kepalanya masih terasa sedikit pusing dengan se-
kujur tubuh yang sangat letih. Dia tak ingat lagi bera-pa lama dia tidak makan
dan berapa kali dia pingsan.
Hanya karena ketahanan tubuhnya yang sudah sangat
terlatih saja dia masih mampu bertahan.
Kembali dia berucap, "Terima kasih, Diah."
"Sudahlah, Kang. Makanlah dulu."
Sambil tersenyum, Pendekar Judi menikmati
buah-buahan yang disodorkan Angin Racun Barat se-
mentara si gadis meliriknya dengan cara mencuri-curi.
Setelah beberapa kejap berlalu, Pendekar Judi
berkata, "Sekali lagi.... Kuucapkan terima kasih kepadamu, Diah. Tetapi....
Mengapa kau bisa berada di si-
ni?" Untuk sejenak Angin Racun Barat gelagapan
mendapati pertanyaan itu. Dia terdiam beberapa saat
dengan perasaan galau. Tetapi, Angin Racun Barat
adalah seorang gadis yang tegar. Dan baginya, apa
yang ada di hatinya memang harus diutarakan.
Sambil menengadah dengan kedua mata mena-
tap tak berkedip tetapi hati bergemuruh, dia berkata
pelan, "Aku.... Aku mencarimu, Kang."
Pendekar Judi mendesah pendek. Untuk saat
ini dia sangat sulit harus menjawab apa yang ada di
hatinya, mengingat bantuan yang diberikan oleh gadis
ini padanya. Lalu tanyanya, "Bagaimana kabar gurumu, Di-
ah?" Kendati tahu kalau Pendekar Judi hanya men-
coba mengalihkan persoalan cinta, Angin Racun Barat
menjawab juga, "Aku meninggalkan Guru secara diam-diam,
Kang Cakra. Mungkin apa yang kulakukan ini salah,
tetapi pada kenyataannya aku tak bisa melupakan-
mu, Kang."
"Tentunya dia sangat cemas sekali."
"Bisa dipastikan hal itu, Kang. Tetapi... sudah-
lah. Kang Cakra.... Aku ingin tahu, mengapa kau bisa
terluka seperti ini" Maukah kau menceritakan kepada-
ku apa yang telah menimpa dirimu sebelumnya?"
Pendekar Judi terdiam beberapa saat sebelum
menjawab, "Waktu itu.... Guru memberiku tugas untuk melacak jejak Hantu Seribu
Tangan dengan batas waktu selama tiga bulan yang diberikannya kepadaku. Di
sebuah lembah yang cukup permai, aku menemukan
sebuah gubuk yang saat itu terdengar suara-suara
ramai. Entah mengapa aku tertarik untuk mendatangi
gubuk itu. Di sana, kulihat seorang lelaki tua tengah
berjudi dengan tiga orang lelaki bertampang mengeri-
kan. Saat aku masuk, ketiga lelaki itu berdiri dan mencoba mengusirku.
Sebenarnya, aku bisa menerima
perlakuan mereka mengingat aku adalah tamu tak di-
undang. Tetapi melihat keadaan si orang tua yang
nampaknya kalah besar dalam perjudian itu, aku me-
rasa ingin membantunya. Apalagi kulihat wajah orang
tua itu begitu pucat dan pandangannya terus menerus
memperhatikanku seolah meminta bantuan, Aku pun
akhirnya turun bermain judi setelah ketiga orang itu
memaksaku mengeluarkan jumlah taruhan. Melihat
uang yang cukup banyak kubawa, mereka mengizin-
kan. Dari berlangsungnya perjudian itu, aku tahu ka-
lau orang tua ini nampaknya sangat terpaksa sekali
berjudi dengan mereka. Aku tidak tahu bagaimana dia
bisa berjudi dengan orang-orang itu. Kepandaianku
bermain judi cukup tinggi. Dalam waktu yang singkat
aku berhasil mengalahkan ketiga lelaki itu termasuk si orang tua.
Karena merasa telah kalah, si orang tua ber-
maksud untuk meninggalkan tempat itu. Padahal te-
rus terang, aku hendak memberikan hasil kemenan-
ganku kepadanya. Tetapi, salah seorang dari lelaki itu menahannya. Aku tak suka
perlakuan yang mereka la-
kukan terhadap si orang tua.
Perkelahian pun terjadi. Dalam waktu singkat
pula aku berhasil mengalahkan mereka dan kuserah-
kan uang kemenanganku kepada si orang tua. Namun
mendadak saja seorang lelaki setengah baya berparas
tampan mengenakan pakaian berwarna merah penuh
garis hitam dengan celana pangsi hitam ke tempat itu.
Orang yang baru datang menanyakan tentang
diriku, si orang tua dan ketiga lelaki yang kukalahkan.
Tetapi, sebelum ada yang menjawab pertanyaannya,
mendadak saja orang yang baru datang berkelebat dan
membunuh ketiga lelaki itu dengan sekali sentak. Me-
nyusul kulihat si orang tua telah menjadi mayat.
Bukan main gusarnya aku melihat apa yang di-
lakukan orang itu. Perkelahian pun terpaksa kulaku-
kan lagi, kali ini demi membalas perlakuan keji orang
berbaju merah penuh garis hitam itu. Dan tak ku-
sangka dari jurus yang ku keluarkan, orang itu tahu
siapa aku sebenarnya. Rupanya, dia mempunyai den-
dam tinggi pada guruku. Sebenarnya, aku bisa saja
mengimbangi sekaligus mengalahkannya. Namun sua-
tu ketika, dia menggerakkan kedua tangannya.
Dan.... Serangkum asap putih tiba-tiba tercium
olehku. Kepalaku mendadak pusing dengan sekujur
tubuh yang tiba-tiba melemah. Merasa orang itu telah
melakukan tindakan busuk, dan kondisiku tak bisa
kukendalikan, aku berusaha melarikan diri bila tak
mau mati konyol. Dalam keadaan seperti itu, lawan ku
berhasil menggerakkan tangannya dan mengenai da-
daku. Keadaanku semakin lemah ditambah luka yang
cukup parah di dadaku. Tetapi kupaksakan juga un-
tuk menjauh dari sana.
Sayup-sayup.... Kudengar orang itu menyebut-
kan julukannya. Iblis Seribu Muka. Dengan keadaan
yang payah aku berusaha mengobati luka-lukaku, te-
tapi pengaruh asap yang kuhirup tadi benar-benar
membuatku tak berdaya. Aku berusaha menghilang-
kan pengaruh asap itu dengan hawa murniku. Apa
yang kulakukan memang sedikit berhasil tetapi jalan
napasku terasa sesak. Lebih parah lagi ketika kuketa-
hui kalau luka di dadaku mengandung racun. Se-lama
kurang lebih sebulan, aku berada dalam keterombang-
ambingan antara hidup dan mati. Tetapi rupanya,
Yang Maha Kuasa belum menghendaki aku mati dan
akhirnya bertemu denganmu di sini, Diah."
Angin Racun Barat menarik napas berat. Bisa
di-bayangkan bagaimana tersiksanya pemuda yang di-
cintainya ini dalam keadaan semacam itu.
"Dan aku pun bersyukur karena bisa meno-
longmu, Kang...."
"Mungkin, lebih besar rasa syukur yang ada di
dadaku, Diah."
"Tidak, Kang. Rasa syukur itu lebih besar di ha-
tiku. Karena aku memang merindukanmu," kata Angin Racun Barat dalam hati. Saking
gembiranya, tanpa sadar, Angin Racun Barat mendekap si pemuda yang ge-
lagapan dengan penuh kasih sayang.
"Kita harus bersyukur pada-Nya, Kang Cakra.
Karena, dengan kehendak-Nyalah kita masih dikaru-
niai umur panjang." Lalu dalam hati si gadis me-
nyambung, "Terutama, Dia memberikan kesempatan
padaku untuk berjumpa lagi denganmu."
Pendekar Judi hanya terdiam dengan wajah se-
tengah memerah dan galau. Dia sebenarnya ingin me-
lepaskan rangkulan Racun Angin Barat, tetapi entah
mengapa dia tak tega melakukannya.
* * * Bab 5 PAGI kembali menghampar dengan kesejukan yang
sangat terasa. Kendati kabut masih menggumpal dan
menutupi pandangan, namun sinar sang mentari per-
lahan-lahan menguakkannya dan menguapkan em-
bun-embun yang bertengger di setiap dedaunan.
Satu sosok tubuh menghentikan langkahnya di
sana setelah beberapa saat berlari. Kedua matanya
yang tajam memperhatikan ke sana kemari.
"Keparat! Di mana lagi aku berada sekarang"
Sialan! Apakah Dewi Bulan salah memberikan petun-
juk kepadaku" Apakah hutan ini yang disebutnya Hu-
tan Seratus Kematian?" maki sosok yang ternyata seorang nenek mengenakan pakaian
batik kusam dengan
sebuah konde di kepalanya. Wajah si nenek yang dipe-
nuhi keriput seolah semakin tertarik ke dalam saat
memaki tadi. Setelah memperhatikan lagi sekelilingnya, si
nenek yang di balik pakaiannya terdapat sebuah senja-
ta pengebut bertangkai baja, kembali mengeluarkan
dumalannya, "Ke mana pula perginya Pendekar Judi"
Juga si orang tua pemarah yang sudah bau tanah yang
masih genit karena lebih suka berjalan bersama Dewi
Kisah Membunuh Naga 18 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pengelana Rimba Persilatan 14
^