Pencarian

Dendam Si Manusia Palasik 2

Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik Bagian 2


"Bocah keparat! Kau berani main gila dengan anak menantuku" Kubunuh kau
bangsat!" Orang tua itu menerjang kalap. Goloknya menebas ke
kiri-kanan dan membacok ganas ke tubuh si pe-
muda. Akan tetapi dengan tertawa-tawa pemuda
itu telah melompat-lompat menghindar. Gerakan
mengelakkannya ternyata santai saja, namun se-
rangan-serangan ganas laki-laki tua itu ternyata luput dengan mudah. Sementara
laki-laki yang hampir seumur dengannya itu melompat mener-
jang dengan bentakan keras, dan berteriak-teriak kalap. Agaknya dialah suami
wanita bugil yang
terjuntai di pintu rumah panggung.
"Aku akan adu jiwa denganmu, setan pemer-
kosa wanita!" Dan dengan menggerung keras dia sudah lakukan terjangan hebat
dengan golok panjangnya.
"Ahahaha... aku tidak memperkosa! Boleh
kau tanyakan pada istrimu! Kami melakukannya
mau sama mau!" Ujar pemuda itu dengan mengelak dari sambaran ganas golok panjang
si laki-laki suami wanita itu. Dan...
BLUGH...! Dia telah kirimkan satu hantaman
telak di dada orang. Tak ampun laki-laki itu terlempar keras hingga menabrak ke
anak tangga bambu rumah panggung itu.
BRRAKK...! Tangga bambu itu patah berde-
rak. Dan laki-laki itu meringis menyeringai kesakitan. Dia masih berusaha
bangkit, namun segera
terbatuk-batuk, dan darah kental berwarna hitam
menggelogok keluar dari mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau menyusul istrimu
ke Alam Baka! Bukankah kematiannya adalah di
tanganmu sendiri" Siapa suruh kau membunuh-
nya...?" Berkata pemuda itu dengan tertawa menyeringai.
"Iblis keparat...! Kau... kau..." Membeliak sepasang mata laki-laki itu. Akan
tetapi sebelum dia
dapat bangkit berdiri, tubuhnya telah terhuyung
limbung. Dan kata-katanya terputus, karena se-
ketika nyawanya sudah melayang. Ambruklah tu-
buh laki-laki itu dengan tidak bergeming lagi. Pukulan keras pada dada laki-laki
itu ternyata telah mengantarkannya pada jalan kematian. Dan dia
memang benar-benar tewas menyusul istrinya,
yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan dari salah seo-
rang kawannya tentang adanya seorang pemuda
yang bertamu ke rumahnya di saat dia tidak be-
rada di rumah. Dan sang istri ternyata menerima
tetamu nya itu untuk menghormati. Tak dinyana
telah terjadi satu perbuatan mesum di rumahnya.
Hal mana diketahui oleh sang kawan yang telah
mengintip perbuatan mereka. Tentu saja dengan
kemarahan meluap dia berlari pulang. Di jalan
berjumpa dengan ayahnya. Secara singkat dia ce-
ritakan pada sang ayah. Dan melompat geram ke
arah rumahnya. Golok panjang yang selalu diba-
wanya itu dipakai menoreh pintu jendela yang tertutup. Dan segera terpampang
jelas di depan ma-
tanya sang istri yang tengah bercumbu dengan
pemuda asing itu. Melompatlah dia ke dalam.
Sementara si pemuda asing sudah merapihkan
sebagian pakaiannya, dan melompat keluar. Laki-
laki ini muncul di kamar istrinya. Dilihatnya sang istri bukannya ketakutan
melihat suaminya me-mergoki perbuatannya, bahkan tersenyum-
senyum menatap padanya dengan rambut awut-
awutan, dan tubuh telanjang bulat.
Betapa geramnya dapat dibayangkan hati
sang suami. Dia berpikir sang istri sudah keterlaluan. Dan sengaja memanasi
hatinya. Tak ampun
lagi dia sudah seret tubuh istrinya, keluar pintu.
Dan golok panjangnya "berbicara" menghabisi nyawa wanita itu.
Bocah iblis...! Kau telah bunuh anakku..."
Kucincang tubuhmu manusia edan...!" Dan si orang tua itu sudah menerjang
beringas dengan
goloknya. Tubuh laki-laki tua ini menggeletar hebat. Betapa dengan kejam si
pemuda asing itu te-
lah membunuh anak laki-lakinya.
WUT! WUT! WHUT...! Kembali serangan-
serangan ganas itu dielakkan dengan mudah, se-
raya berkata dengan wajah cengar-cengir. "Ah, sudahlah pak tua! Kau urusi saja
mayat anak dan menantumu aku malas membunuhmu...!" Akan
tetapi mana mau si laki-laki tua itu diamkan ma-
nusia pembunuh itu di depan matanya" Kembali
dia menerjang bringas. Goloknya membabat dan
menabas kepala pemuda konyol di hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih mampus! Baiklah!
Jangan sesalkan aku...!" Tiba-tiba tubuh pemuda itu berkelebat melompat,
lengannya bergerak
menghantam kepala laki-laki tua itu...
WHHUUKK... DHESS...! Terkejut pemuda itu
ketika merasai angin bersyiur ke arah punggung-
nya. Dan belum lagi dia sempat menghantamkan
lengannya, tubuhnya telah terlempar beberapa
tombak. Namun dengan lincah si pemuda ini ber-
jumpalitan di udara, dan jatuhkan kakinya men-
ginjak tanah. Hatinya memikir. Siapa yang telah
menyerangnya"
Untunglah dia sudah lindungi tubuhnya den-
gan hawa sakti yang dengan cepat disalurkan ke
punggung. Hingga hantaman telak itu tak mem-
buatnya cidera. Saat itu juga telah berkelebat sebuah bayangan tubuh manusia.
Dan seorang la-
ki-laki gagah berpakaian sederhana telah berada
di situ. Ternyata Satryo yang barusan menggagal-
kan serangan maut pemuda konyol itu.
"Manusia dari manakah yang telah tega ber-
buat keji, dan bertindak semaunya mengumbar
kelakuan jahat...!" Ujar Satryo dengan kedua lengan terentang. Sepasang matanya
menatap pada pemuda yang juga telah menatapnya. Sementara
diam-diam Satryo terkejut juga karena hantaman
angin pukulannya tadi ternyata tak membuat pe-
muda itu cidera. Atau setidak-tidaknya luka da-
lam. Pemuda bertelanjang dada itu bahkan masih
bisa berdiri dengan keadaan segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah kau! Manusia keji ini bukan lawanmu...!" Berkata
Satryo. Sementara di belakangnya terdengar suara ringkikan kudanya. Tak ayal si
laki-laki tua itu sudah me-
nyingkir, dan berlari menubruk mayat anak laki-
lakinya dengan menangis bagai anak kecil. Se-
dangkan keadaan di lingkungan desa itu, seketika menjadi ramai dengan
berdatangannya orang-orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya yang datang ber-kuda! Hahaha... satu kehormatan
buatku untuk menjajal kepandaian!" Berkata pemuda itu dengan tertawa jumawa. Dan melangkah
lebar men- dekati Satryo. "Heh! Siapakah kau, sobat! Apa kesalahan keluarga rumah ini, hingga kau turunkan
tangan keji!" Ujar Satryo dengan kening berkerut menatap orang.
"Hm, aku tak pernah menyembunyikan na-
maku. Namaku RAKA RUMPIT! Dan mengenal
urusanku, kau tak perlu ikut campur! Kecuali
memang mau menjajal ilmu! Bukankah telah kau
lihat sendiri kalau ternyata pukulanmu barusan
tak berarti apa-apa padaku! Ahahaha... Baiknya
kau pulang dulu untuk berguru pada kakekmu!
Barulah boleh berlagak jadi pahlawan!" Ucap pemuda yang tak lain dari Raka
Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!" Mendengus Satryo. Selama hidupnya baru dia menjumpai seorang
pe- muda yang keterlaluan dan bertingkah konyol be-
gitu. Akan tetapi Satryo dapat menahan kesaba-
rannya. Sementara diam-diam Raka Rumpit su-
dah membaca mantera dengan bibir berkemak-
kemik. Sepasang matanya menatap tajam pada
Satryo. Terkejut bekas Senapati itu, karena merasai tatapan mata Raka Rumpit
telah bersitkan si-
nar tajam yang mempengaruhi bathinnya. Selang
sesaat, tampak dalam pandangannya tubuh Raka
Rumpit berubah jadi segumpal asap hitam. Dan
gumpalan asap itu membentuk sesosok tubuh hi-
tam berbulu dengan wajah menyeramkan.
"Hah!" Edan...! Manusia apakah si Raka
Rumpit ini?" Desis Satryo tersentak kaget. Terpaksa dia gunakan kekuatan
bathinnya untuk
menindih kekuatan lawan yang mempengaruhi
pandangannya. Akan tetapi sia-sia. Makhluk hi-
tam berbulu itu semakin dekat melangkah. Satryo
mundur dua tindak.
*** DELAPAN AKAN TETAPI PADA SAAT ITU... terdengar sa-
tu bentakan keras, dengan diiringi berkelebatnya dua sosok tubuh ke hadapan
mereka. "Bocah keparat...! Akhirnya berhasil juga ka-mi menjumpaimu!" Raka Rumpit
hentikan lang- kahnya, serata tatap wajah kedua orang penda-
tang itu. Ternyata yang muncul tak lain dari Bayu Wijaya dan si Pendekar Lembah
Bunga. "Walah... siapakah kalian ini, datang-datang memaki orang?" Tanya Raka Rumpit.
Pemuda ini tak menampakkan perubahan tubuhnya dalam
pandangan kedua orang tokoh persilatan itu. Se-
mentara Satryo tersentak lagi, karena segera me-
lihat tubuh makhluk hitam berbulu dengan wajah
menyeramkan itu berangsur-angsur melenyap,
dan kembali berubah dalam bentuk aslinya.
"Heh" Ilmu Hitam...!" Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm, bocah...! Kau sembunyi-
kan di mana anak gadisku yang bernama Mahe-
sani! Kau... kau telah menculiknya ketika dia tengah melatih para anak buahku
hampir empat bu-
lan yang lalu di lereng bukit Karang Tunggal. Bukankah kau bernama RAKA
RUMPIT...?" Bentuk
Bayu Wijaya si Pendekar Trisula Emas. Tercenung
sejenak Raka Rumpit. Namun segera perdengar-
kan tertawanya.
"Oh, hahaha... haha... kalau begitu kaukah
yang bergelar si Pendekar Trisula Emas, ketua
Perguruan Trisula Dewa itu...?"
"Benar! Perbuatan terkutukmu ini benar-
benar menghinaku, bocah! Kau ke manakan anak
gadisku itu! Dan siapakah gurumu?" Bentak lagi Bayu Wijaya. Baru saja Raka
Rumpit mau menjawab, tiba-tiba telah menelusup ke lubang telinganya satu suara
halus. "Raka Rumpit...! Kau pulanglah...! Ada hal
penting yang akan aku katakan padamu! Aku te-
lah kedatangan tetamu istimewa...! Kedatangan-
mu amat kuharapkan secepatnya...!" Terkejut pemuda ini karena itulah suara sang
guru, si Nenek Bongkok Muka Tengkorak.
"Hm, maafkan aku para Pendekar Tua! Aku
tak bisa menjawab sekarang! Aku harus kembali
secepatnya!!" Seraya berkata tubuh Raka Rumpit sudah berkelebat melesat. Dan
melompat pergi dari situ. "Kurang ajar...! Hei" Kau tak dapat melarikan diri lagi manusia tengik!"
Membentak Rukmina si Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya mencelat
menyusul bayangan tubuh Raka Rumpit. Tiba-
tiba lengannya bergerak mengibas.
WHUSSSSS! Ser! Ser! Ser...! Enam kuntum bunga kering
meluncur deras ke arah belakang punggung Raka
Rumpit, yang telah tersusul tiga tombak di bela-
kangnya. Hebat senjata bunga kering yang dilon-
tarkan wanita Pendekar Lembah Bunga ini. Kare-
na mengarah keenam bagian jalan daerah lawan.
Bila salah satu saja yang mengena, tentu akan
membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya ilmu siluman! Pantas kalau anakmu si Mahesani bisa
dikalah- kan...!" Desis Rukmita si Pendekar Lembah Bunga. "Keparrrat...! Entah siapa guru
si bocah edan itu...!" Memaki Bayu Wijaya. Di lengannya telah tergenggam senjata
Trisula Emas-nya. Akan tetapi belum lagi dipergunakan, pemuda penculik anaknya
itu sudah merat menjadi segumpal asap. Sa-
tryo mendehem seraya mendekati kedua orang
itu. Lalu menjura hormat ketika keduanya meno-
leh. "Paman Bayu Wijaya...! Apakah anda masih mengenalku?" Bertanya Satryo.
Terkejut laki-laki tua ini. Seraya mengelus jenggotnya, dia menatap pada laki-
laki dewasa di hadapannya dengan kre-nyitkan keningnya. Diperhatikan demikian,
Sa- tryo tersenyum. Lalu segera perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling, sobat Bayu Wi-
jaya! Aku Satryo!"
"Hah!" Anda... anda Senapati Satryo..." Oh, maafkan mata tuaku ini, Senapati!"
Ucap Bayu Wijaya dengan tersipu. Dan segera beranjak ulurkan lengannya menjabat
tangan laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku Senapati lagi, paman Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati
sudah punah! Dan aku telah berhenti dari jabatanku!" Ucap Satryo pendek. Laki-laki tua yang
masih bertubuh kekar itu tercenung sejenak, lalu manggut-
manggut mengerti. Agaknya berita diambil alihnya kekuasaan Kerajaan Matsyapati
yang sudah ditinggal pergi oleh Rajanya itu telah sampai juga ke telinganya.
Selang sesaat, tiba-tiba Bayu Wijaya berkata:
"Oh, adik Senapati... eh, Satryo...!" Berkata Bayu Wijaya seraya menatap
berganti-ganti pada
Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang digelari si Pen-
dekar Lembah Bunga! Kami masih saudara seper-
guruan...!" Ucap si Pendekar Lembah Bunga
mendahului bicara, karena tampaknya Bayu Wi-


Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jaya agak tergagap untuk memperkenalkan di-
rinya pada laki-laki bekas Senapati itu. Laki-laki tua ini cuma manggut-manggut
dengan tersenyum. Dan cepat-cepat Satryo menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya ceritakan tentang
musibah yang telah menimpanya pada Satryo.
Dan mereka berdua memang tengah mencari jejak
pemuda bernama Raka Rumpit itu, di samping
mencari ke mana lenyapnya Mahesani, anak ga-
disnya. "Kakang Bayu, aku akan coba cari jejak pe-
muda edan itu, kukira tak berapa jauh di sekitar sini...!" Seraya berkata
Rukmita telah berkelabat melompat tanpa menunggu lagi jawaban si Pendekar
Trisula Emas. Melengak laki-laki tua ini,
seraya berteriak:
"Diajeng Rukmita! Tungguuu...!" Dan dia sudah palingkan lagi wajahnya menatap
Satryo. "Maaf, adik Satryo, aku... aku harus segera mem-
bekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari
jauh!" Satryo cuma terpaku dan cepat mengangguk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah
berkelebat menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan tercenung. Dan terdengar
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi!
Sayang dipergunakan untuk menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan dia pun segera berkelebat untuk
menjemput kudanya. Tak lama sudah mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat
menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat
muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah
memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara
tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu
telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak
lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya
pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak
sabar lagi...!" Menggumam si nenek bongkok seraya duduk di atas batu di tengah
goa. Tak lama dia sudah beranjak bangkit dan melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan
tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah terdengar di kejauhan suara
tertawa mengakak,
dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda murid-
nya itu telah muncul di mulut goa. Terhenyak si
nenek bongkok. "He!" Begitu cepat kau datang...?" Berkata si nenek. Dia agak heran karena tak
mendengar suara pemuda muridnya itu dari kejauhan. Bi-
asanya telinga si nenek bongkok sudah dapat
menangkap dari kejauhan, kalau anak muda mu-
ridnya itu akan pulang. Bahkan walau masih be-
rada di kaki bukit. Akan tetapi kedatangannya ki-ni adalah memang di luar
dugaannya. Dia tadi te-
lah sengaja berdusta dengan mengatakan ada te-
tamu istimewa di goa tempat tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku telah mempelajari
ilmu ASAP SETAN! Mana kau mampu mengetahui
kedatanganku lagi, nenek manis..!" Ucap Raka Rumpit dengan tertawa, dan memasuki
goa dengan langkah lebar.
"Bocah gendeng..." Memaki si nenek. Akan tetapi seperti baru tersadar dia
berkata. "He!" Apa katamu tadi" Kau telah berhasil menguasai ilmu
ASAP SETAN...?"
Pemuda ini mengangguk sambil nyengir ter-
tawa, dan lengannya menggaruk-garuk dadanya
yang telanjang berkeringat. Rambutnya yang se-
makin gondrong tanpa ikat kepala itu dikibas-
kibaskannya seperti mengusir hawa panas dalam
goa. Melengak si nenek bongkok. Sepasang ma-
tanya membeliak. Tiba-tiba saja dia sudah angkat tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau sudah berhasil menamatkan pelajaranmu..." Bocah
gendeng...! Pantas
aku tak mendengar suara kedatanganmu! Dan...
sejak kapan kau telah menguasai ilmu ASAP SE-
TAN itu?" Tiba-tiba si nenek bongkok ajukan pertanyaan.
"Baru dua-tiga hari belakangan ini, guru! Aku memang sengaja tak memberitahukan
padamu!" Jawab Raka Rumpit dengan melompat mendekati
si nenek. "Ha..."! Aiii... dasar bocah edan! Aku sudah menyangka kau tak akan mampu
menguasai se-cara cepat karena kulihat otakmu bebal! Dugaan-
ku dalam sepekan lagi baru kau bisa mengua-
sai..." Ujar wanita muka tengkorak ini tertegun.
Akan tetapi tiba-tiba sang guru sudah keluarkan
bentakan. "Bocah edan! Coba kau tunjukkan padaku...!"
Agaknya si nenek bongkok merasa kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek manis.!" Ucap Raka Rumpit. Dan segera mulutnya berkemak-
kemik membaca mantera. Seluruh kekuatan bathinnya
sekejap sudah tersalur untuk membentuk daya
khayal yang berada di otaknya. Tak berapa lama
tampak tubuh pemuda itu berubah jadi segumpal
asap hitam. Namun sekejap gumpalan asap itu te-
lah membentuk sesosok tubuh yang merangkak
di tanah itu. Dan...
"GRRRRRRAUUUUMMMHHH...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah berubah
jadi seekor harimau belang yang luar biasa be-
sarnya. Binatang ini membuka mulutnya menam-
pakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing ta-
jam. Terperanjat si nenek bongkok dengan mata
terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba telah mengkikik
tertawa. "Hihihi... hihi... hebat! hebat...! bagus sekali!
Kau benar-benar telah menguasainya dengan
baik, bocah edan! Ooooh, mengapa kau baru
mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku memang sengaja
mau membuat kejutan, guru! Berkata si harimau
jejadian itu dengan mendengus-dengus serta
mendekam mengejap-ngejapkan matanya. Nenek
bongkok muka tengkorak julurkan tongkat hi-
tamnya mengetuk tubuh sang macan.
"Sudahlah! Pergilah kau mandi! Bukankah
kau mau kupertemukan dengan seorang tamuku
yang istimewa?" Berkata si nenek.
"He, ya...! Mana dia tetamunya?" Bertanya Raka Rumpit, yang sekejap telah
berubah kembali
menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah mandi, bersihkan tubuhmu! Bukankah kau baru mengotori
tubuhmu dengan keringat wanita" Aku tak suka tu-
buhmu bau wanita...!"
*** SEMBILAN SEMENTARA Raka Rumpit pergi mandi, baik-
nya kita menengok dulu kelain tempat. Udara ce-
rah hari itu... seorang gadis berbaju ungu tampak berjalan santai memasuki
sebuah Padepokan,
atau rumah perguruan yang tampak agak sunyi
itu. Sementara di sepanjang jalan yang dilaluinya beberapa pasang mata telah
menatapnya dengan
mata tak berkedip. Mereka adalah beberapa orang
anak buah perguruan Trisula Dewa. Akan tetapi
mereka cuma menatap dengan aneh, karena me-
lihat perobahan pada gadis muda itu yang tak
mengenalnya. Bahkan telah pula bertanya di ma-
na adanya sebuah Perguruan Silat bernama Tri-
sula Dewa. Tentu saja dengan tergagap mereka menun-
jukkan Perguruan Trisula Dewa yang tak sebera-
pa jauh dari situ. Bahkan nama Ketuanya pun di-
tanyakan. Adalah aneh, kalau seorang gadis yang
menjadi puteri dari Ketua Perguruan Trisula De-
wa menanyakan rumah perguruan tempat ting-
galnya, dan menanyakan ayahnya sendiri, seperti
orang yang belum mengenal sama sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu melewati pen-
jaga pintu padepokan yang tak sempat menegur,
karena mulutnya sudah ternganga dengan tubuh
kaku. Karena entah apa salahnya, ketika tahu-
tahu laki-laki penjaga yang sudah siap menyam-
butnya dengan girang itu mendadak ditotok pada
bagian lehernya. Sekejap tubuhnya jadi berdiri
kaku dengan mulut ternganga dan sepasang mata
membeliak. Tampak dari mata, mulut dan hi-
dungnya mengeluarkan tetesan darah. Ternyata
belum lagi sempat berteriak, nyawanya sudah me-
layang. Melihat munculnya seorang gadis di depan
pintu ruangan pendopo padepokan itu, semua
yang berada di dalam terkejut Beberapa orang
anak buah Bayu Wijaya sudah berteriak seraya
melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...! anda... anda sudah datang...?". Serentak
berlompatanlah mereka dengan wajah girang disertai sorak-sorai kawan-kawannya.
Akan tetapi bersamaan dengan itu
terdengar satu bentakan keras disusul dengan
berkelebatannya tiga sosok tubuh berkepala gun-
dul. "Wanita iblis! Kiranya kau anaknya si Bayu Wijaya..." Heh jangan harap kau
dapat melo-loskan diri...! Hadapi kami si Tiga Paderi Kuil Na-ga...!"
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya. Serentak mereka telah menghambur mengu-
rung tiga paderi itu.
"Hei, tiga orang botak! Apakah kesalahan puteri Ketua kami" Kalian melabrak
seenaknya me- masuki rumah perguruan tanpa permisi lagi!"
Bentak seorang murid dari tingkat utama Pergu-
ruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih muda. Berpa-
kaian jubah warna kuning. Pada punggungnya
masing-masing terselip sebuah tongkat kayu jati
yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis siluman ini un-
tuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di
hadapan ketua kami! Dia telah main gila dengan
lima orang saudara seperguruanku. Dan membu-
nuhnya dengan melemparkan mayat-mayat sau-
dara seperguruan kami di belakang kuil. Perbua-
tan keji itu harus kami balas dengan setimpal,
yaitu dengan menghukumnya! Mengenal urusan
hukuman itu tergantung ketua kami! Akan tetapi
kami memang telah diperintahkan untuk mem-
bawanya hidup atau mati!" Berkata salah seorang yang lebih tua dari ketiga
paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya.
Mereka seperti tak percaya mendengar keterangan
si paderi muda. Karena tak mungkin hal itu dila-
kukan oleh anak gadis puteri Ketua mereka.
Sementara Mahendra yang berada di antara
murid-murid perguruan itu jadi terpaku tak ber-
geming. Baru saja dia melihat tampang sang ca-
lon istrinya itu, ternyata sudah mendengar berita demikian. Tentu saja membuat
wajahnya menjadi
merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi tengik macam kau ini mengapa memfitnah orang seenaknya"
Aku belum pernah mengunjungi Kuil Naga! Letak tem-
patnya pun aku tak mengetahui! Kau telah bikin
malu aku di hadapan anak-anak buah ayahku...!"
Saat itu beberapa orang anak buah Perguruan
yang tadi berada di luar telah masuk ke pelataran dengan menggotong mayat
penjaga pintu. "Hah, apa yang terjadi?" Melompat seorang kawannya yang turut mengurung ketiga
paderi itu. "Kimung telah tewas! Entah siapa yang membunuhnya...!" Menyahut kawan yang
memondong mayat si penjaga pintu Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah membunuh, kalau bukan tiga kunyuk gundul ini?" Tiba-
tiba Mahesani berkata dengan suara dingin.
"Hayo, kalian bunuhlah pengacau-pengacau
ini! Mengapa didengar ocehannya yang mengaco
itu" Masakan aku dituduh seenaknya saja!". Suara Mahesani yang bernada aneh, dan
agak asing itu memang membuat murid-murid perguruan itu
agak memikir sejenak. Akan tetapi perintah itu
seperti punya pengaruh, karena memang mereka
amat mematuhi setiap perintah putri ketuanya
ini. Serentak beberapa orang sudah menghunus
senjata. Dan tak ayal lagi beberapa orang sudah
menerjang dengan bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya senjata-senjata.
Karena ketiga paderi muda itu masing-masing te-
lah mencabut tongkat kayu jatinya. Ternyata
tongkat mereka adalah berisikan sebatang pe-
dang, yang dari luar hanya mirip tongkat biasa.
Segera saja terjadi pertarungan seru. Tiga paderi ini mau tak mau memang harus
melayani serangan gencar mereka, kalau tak ingin nyawa mereka
melayang. Adapun Mahesani dengan senyum di bibir se-
gera melompat ke dalam. Mahendra berkelebat
menyusul ......
"No.. nona Mahesani...!" Berteriak Mahendra memanggil. Dan sang gadis segera
menoleh seraya hentikan langkahnya.
"Siapakah kau...?" Bertanya Mahesani, yang sebenarnya adalah Tri Agni. Yaitu si
manusia setengah siluman yang menitis pada badan kasar
Mahesani yang telah mati dicekik Raka Rumpit,
akibat pengaruh kekuatan ghaib gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih ingatkah kau"


Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita pernah bertemu semasa masih kanak-kanak!
Ibu ku bergelar si Pendekar Lembah Bunga! Apa-
kah ayahmu tak pernah bercerita tentang aku?"
Tutur Mahendra seraya menatap wajah orang Ga-
dis baju hijau bernama Mahesani itu memang ga-
dis yang cantik. Bertubuh mulus, berkulit putih
dengan perawakan tubuh semampai. Rambutnya
hitam bergelombang. Mahesani menggeleng se-
raya tatap wajah pemuda di hadapannya. Tentu
saja membuat Mahendra jadi melengak, karena
sedikit pun gadis itu tak ingat akan dirinya.
"Kemanakah ayahku?" Bertanya Mahesani
dengan suara kaku. Segera Mahendra bercerita
singkat tentang ibunya, dan ayah gadis itu yang
pergi mencari jejak penculik serta mencari tahu di mana adanya sang gadis.
"Sudah hampir empat bulan ini beliau tak
kembali, juga ibuku!" Eh, kita harus membantu mengusir tiga paderi itu! Aku
khawatir akan banyak korban berjatuhan!" Tiba-tiba Mahendra berkata, seraya
berpaling ke arah pintu ruangan, didengarnya suara-suara jeritan terdengar dari
kalangan pertarungan. Akan tetapi sekali lengan
Mahesani bergerak, lengan Mahesa sudah dice-
kalnya. "Aku amat rindu padamu... ngng... Mahen-
dra!" Tiba-tiba Mahesani ucapkan kata-kata dengan suara lirih mendesis. Lengan
Mahesani berge-
rak mengibas. Dan tahu-tahun pintu ruangan di
mana mereka berada menutup terhempas terkena
sambaran angin yang bersyiur dari kibasan len-
gannya. Dan.... ketika jari-jemari lentik Mahesani
bergerak lincah, tahu-tahu baju bagian atas dara itu sudah tersibak menyembulkan
sepasang buah dadanya yang putih ranum membuntat padat,
dengan kedua buah putiknya yang memerah jam-
bu kecoklatan. AHH..." Tersentak Mahendra dengan sepa-
sang mata membeliak. Tubuhnya tergetar hebat.
Dan napasnya sekonyong-konyong jadi memburu.
Mahesani sandarkan punggungnya di dind-
ing, dan lengannya sudah menggamit leher pe-
muda itu, serta sebelah lagi membelai rambutnya.
Dan tahu-tahu kepalanya sudah ditekan ke arah
dada. Sekejap saja wajah Mahendra sudah me-
nempel di kedua buah benda lembut itu. Dengus
napasnya semakin memburu, berdesahan me-
mantul balik dari hidungnya. Dan mau tak mau
bibirnya yang sudah bersentuhan dengan putik
memerah yang lunak itu, segera menganga terbu-
ka. Dan.... tanpa harus disuruh lagi direngkuh-
nya benda lunak itu untuk dilumat. Bergelinjan-
gan tubuh sang dara itu dengan keluarkan desa-
han dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan semakin men-
jadi dengan serunya. Dua orang anak buah Per-
guruan itu telah roboh terkena tebasan pedang si tiga paderi muda. Ternyata
permainan ilmu pedang si tiga paderi muda itu cukup hebat. Mereka bertarung
dengan tempelkan rapat punggung
masing-masing, dan menghadapi terjangan-
terjangan gencar dari belasan anak buah Bayu
Wijaya. Namun tak urung mereka juga sudah ter-
luka terkena goresan pedang lawan, karena lawan
yang dihadapi lebih banyak. Dan juga bukannya
orang-orang keroco, karena didikan dari seorang
tokoh persilatan yang cukup terkenal dan berilmu tinggi
Pertumpahan darah mungkin akan bertam-
bah lagi, seandainya tak datang berkelebat seso-
sok tubuh semampai, berambut panjang terurai.
Dan satu bentakan nyaring bersuara merdu ter-
dengar.... "Hentikan...!". Suara teriakan itu amat ber-pengaruh, karena seperti menusuk ke
ulu hati, mendebarkan jantung. Serentak mereka sudah
sama-sama melompat untuk hentikan pertarun-
gan. Segera terlihatlah siapa yang datang. Ternya-ta seorang gadis muda yang
amat rupawan. Ber-
baju sutera tipis berwarna hitam gemerlapan. Ikat pinggangnya terbuat dari kulit
ular, di mana di kedua sisi pinggangnya tergantung dua buah
benda mirip "payudara", dengan dua utas rantai yang membelit pinggang. Itulah
senjata si Rantai Genit. Dan siapa lagi si pemilik senjata aneh yang mempunyai
bentuk lucu itu, kalau bukan RORO
CENTIL. Gadis ini tatap mata semua yang berada di si-
tu dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada persoalan apakah
kalian bertarung?" Tanya Roro dengan bertolak pinggang. Segera tiga paderi muda
melompat ke hadapan dara ini seraya salah seorang berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil! Oh, beruntung
sekali anda datang...!" Dan ketiga paderi muda itu segera menjura hormat
"Hm, kalian bukankah murid-murid si manu-
sia bulat Kipas Angin Puyuh?" Tanya Roro ketus.
"Ada apa kalian mengamuk di sini" Kalau ku-
adukan pada gurumu, tentu telinga kalian akan
dijewer sampai putus!" Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah mengenali dari ju-
bah warna kuning dengan strip hitam di bagian
sisinya, bahwa ketiga paderi muda itu adalah mu-
rid-murid dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang
bergelar si Dewa Angin Puyuh memang sudah di-
kenalnya ketika masih berada di Pulau Andalas.
Ternyata pada beberapa bulan belakangan ini Ro-
ro telah menjumpainya berada di sebuah Kuil
yang baru beberapa bulan dibangun di sebelah
selatan daerah wilayah utara Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat si Dewa
Angin Puyuh girang setengah mati. Karena me-
mang sejak mereka pernah berjumpa dan bersa-
habat di Pulau Andalas, paderi bertubuh gemuk,
pendek dan boleh dikata bulat itu pernah sama-
sama turut menumpas musuh. Yaitu seorang wa-
nita cabul dari tokoh Rimba Hijau dari Golongan
Hitam, bergelar si Kupu-kupu Emas. (baca: Kisah
Dara Cantik Berdarah Dingin).
Dengan mengumbar tawa bergelak si Dewa
Angin Puyuh menyambut kedatangan Roro Centil,
yang menyebut si paderi bulat itu dengan sebutan paman. Karena memanglah
keinginan si Dewa
Angin Puyuh demikian, bahkan telah mengakui
Roro Centil sebagai keponakannya. Tinggal di sa-
na beberapa hari, Roro dijamu makan minum
oleh paderi Ketua Kuil Naga yang baru didirikan-
nya itu. Bahkan telah memesan pada tukang jahit
pakaian yang khusus didatangkan, dan mengu-
kur tubuh Roro. Ternyata sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan ini di beri seperangkat pakaian sutera warna hitam, yang gemerlap
bagai ditaburi permata. Tentu saja selama itu Roro telah mengenal
dengan murid-murid si Dewa Angin Puyuh. Na-
mun baru beberapa hari saja dia meninggalkan
Kuil Naga, ternyata melihat satu pertarungan di
sebuah padepokan. Dan amat terkejut ketika
mengetahui tiga orang paderi muda murid-murid
dari Kuil Naga, tengah bertarung dengan belasan
orang anak-anak buah sebuah Perguruan.
Roro menatap wajah ketiga paderi muda itu
dengan satu pertanyaan, yaitu persoalan apakah,
hingga ketiga paderi melabrak ke Perguruan
orang. "Kami mengejar si pembunuh orang-orang
kami di Kuil Naga!" Ujar salah seorang, dan segera beberkan peristiwanya dengan
singkat. Dan ce-
ritakan bahwa ketika kejadian itu, guru mereka
sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak gadis si Ketua Perguruan Trisula Dewa ini! Dia... dia
bukan manu- sia! Seandainya manusia tentu berilmu iblis, ka-
rena kelima saudara kami telah dilempar mayat-
nya dalam keadaan membugil. Dan masing-
masing lehernya terluka bekas gigitan. Darahnya
telah tersirap habis!" Berkata si paderi paling tua dengan suara agak keras.
Terperanjat semua
orang dari anak buah Perguruan Trisula Dewa
yang turut mendengar penuturan paderi muda
itu. Sedangkan Roro Centil sendiri pun terkejut
mendengarnya. "Tidak mungkin...! Dusta! Kau paderi sialan telah mengaco seenak perutmu menuduh
orang! Nona Mahesani puteri Ketua kami bukan sebang-
sa manusia siluman yang doyan menghisap darah
orang! Dan tak mungkin dia melakukan perbua-
tan keji itu yang tak wajar dilakukan manusia!"
Membentak salah seorang anak buah Bayu Wi-
jaya. "Mau apa aku mendustai kenyataan itu" Huh!
Kukira tak ada untungnya!" Membentak lagi si paderi muda yang paling tua itu,
dengan mata melotot tajam. Akan tetapi pada saat itu, Roro
Centil sudah palingkan wajahnya menatap pada
semua anak buah Padepokan itu. Sementara be-
berapa orang anak buah Padepokan tampak ten-
gah kasak-kusuk membicarakan tingkah yang
aneh dengan keadaan Mahesani, puteri sang Ke-
tua mereka. "Hm, baiklah! Kini aku mau bertemu dengan
nona kalian itu, bisakah kalian panggil keluar?"
Tanya Roro. "Kami tak berani..! Beliau sedang bersama...
raden Mahendra!" Berkata salah seorang. Karena dia memang melihat Mahendra masuk
ruangan, menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra itu?" Tanya Roro dengan kesal.
"Dia... dia TUNANGANNYA!" Menyahut si murid tertua Perguruan itu dengan tegas,
akan tetapi dia juga merasa aneh dengan sikap Mahesani.
Kenapa justru meninggalkan mereka bertempur
tanpa memunculkan diri, Roro yang tak sabar,
segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku yang memeriksa!
Kalian boleh ikut aku!" Berkata Roro seraya menunjuk pada tiga orang di
hadapannya. Tiga
orang itu mengangguk, seraya berlari mengikuti
Roro, yang sudah berkelebat melompat ke ruan-
gan pendopo. BRRAAKKK...! Sebuah pintu yang tertutup di
terjangnya hingga menjeblak terbuka Dan...
terkejutlah ketiga orang anak buah Bayu Wijaya
maupun Roro. Karena segera terlihat satu pe-
mandangan menjijikkan. Dua sosok tubuh berte-
lanjang bulat saling bergelutan... Ternyata Mahesani dan Mahendra yang tengah
bergelinjangan di
lantai. Akan tetapi segera terlihat wajah Mahen-
dra menyeringai kesakitan. Sementara wajah Ma-
hesani terbenam ke leher pemuda itu. Nyaris Roro Centil tinggalkan ruangan itu,
kalau tak melihat darah mengalir dari leher si pemuda itu. Dan ketika si wanita
mengangkat kepalanya, tampak
mulutnya menyeringai penuh darah.
Tersentak Roro Centil, hingga tak terasa ka-
kinya sudah menindak dua langkah ke belakang.
Tiba-tiba Mahesani gerakkan lengannya memukul
ke depan. Bersyiur angin keras menerjang ke arah Roro dan ketiga anak buah Bayu
Wijaya yang berada di muka pintu ruangan. Roro Centil gerak-
kan cepat lengannya mendorong tubuh ketiga
orang murid Perguruan Trisula Dewa itu hingga
terpental jatuh, sedangkan tubuhnya sudah ber-
gerak melompat menghindari terjangan angin ke-
ras. WHUUK...! BRRAAAKK...! Angin deras bertenaga dalam itu lewat di ba-
wah kaki Roro dan langsung menghantam tiang
pendopo di luar ruangan hingga patah berderak.
"Manusia iblis penghisap darah! Kiranya be-
narlah kau adanya...!" Membentak Roro Centil, seraya melompat ke atas berpegang
pada tiang penglari. Namun pada saat itu si gadis titisan wanita setengah siluman itu telah
bangkit berdiri.
Lengannya bergerak menyambar pakaiannya, dan
berkelebat keluar dengan perdengarkan tertawa
mengikik menyeramkan. Sementara itu Mahendra
tengah berkelojotan meregang nyawa. Dari leher-
nya yang terluka menganga, mengucur darah
yang menggelogok. Setelah beberapa saat meng-
geser-geser tubuh laki-laki itupun mengejang, dan diam tak bergeming. Karena
nyawanya telah melayang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap sekilas, tubuhnya
sudah melesat turun dari tiang penglari, dan me-
lompat mengejar keluar. Namun Mahesani sudah
lenyap dengan perdengarkan suara tertawa
mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu tercengang sesaat ke-
tika sesosok tubuh telanjang bulat melompat ke-
luar dari dalam ruangan Padepokan. Jelas sudah
itulah Mahesani. Dan tentu saja belasan or ang
murid-murid Padepokan yang melihat kenyataan
itu jadi terperangah dengan mata terbelalak lebar.
Karena kini telah jelas bahwa Mahesani puteri Ketuanya itu memang amat
memalukan, dan meng-
herankan sekali. Tubuh telanjang bulat itu begitu tiba di luar langsung melesat
cepat meninggalkan pelataran Padepokan. Lalu lenyap dengan perdengarkan suara
tertawa mengikik yang jelas bukan
suara Mahesani.


Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga paderi muda itu cuma bisa terpaku
dengan palingkan wajahnya menatap semua mu-
rid-murid Perguruan Trisula Dewa. Salah seorang
mendengus dengan wajah mendongkol. Lalu beri-
kan isyarat pada kedua kawannya. Dan ketiga
paderi muda itupun berkelebatan meninggalkan
tempat itu tanpa menoleh lagi... Sementara Roro
Centil cuma menatap saja dari ruang Pendopo.
Sedangkan ketiga orang yang terpental didorong
Roro segera cepat-cepat menjura mengucapkan
terima kasih. Roro Centil cuma mengangguk, lalu
tatapkan mata pada para murid Perguruan Trisu-
la Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat buktinya, bahwa nona besar kalian itu ternyata seorang
manusia iblis penghisap darah! Dia telah menjadi manusia PA-
LASIK!" Ucap Roro dengan suara keras. "Kawanmu yang di dalam itu telah mati,
dengan keadaan sama seperti kematian lima orang paderi kawan
ketiga paderi tadi! Kalian lihatlah sendiri...!" Lanjut Roro seraya beranjak
meninggalkan Padepo-
kan itu dengan langkah lebar. Keruan saja semua
para murid Perguruan Trisula Dewa segera berla-
rian memasuki ruangan Padepokan. Dan terpe-
rangah mereka dengan berteriak tertahan, karena
segera menjumpai keadaan Mahendra yang telah
membugil menjadi mayat, dengan leher terkoyak
bekas gigitan. Roro Centil sudah tak perdulikan lagi kea-
daan para murid Padepokan itu, dan segera kele-
batkan tubuhnya tinggalkan tempat itu.
*** RORO CENTIL memang telah mendengar
adanya manusia palasik penghisap darah, yang
sejak beberapa pekan ini bergentayangan mencari
mangsa. Kemunculannya adalah memang untuk
menguntit si manusia Palasik yang menggempar-
kan itu. Akan tetapi Roro telah kehilangan jejak lagi setelah diketahuinya siapa
adanya si manusia palasik itu. Berkelebatan tubuh Roro menuju ke
arah barat. Roro hanya menduga-duga saja men-
cari kemana arah wanita penghisap darah itu
perginya. Sementara di balik semak belukar itu adalah
terdapat dua orang berlainan jenis yang tengah
berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah kau... kau men-
cintaiku?" Terdengar suara seorang wanita dengan suara pelahan hampir tak
terdengar disela
rintihannya. "Mengapa kau ragu, diajeng..." Apakah kau
malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan aku sudah hampir keriput begini, apakah tak akan
malu dengan orang-orang muda" Terutama anakku Mahendra!
Dan kita belum juga berhasil menjumpai Mahe-
sani! Apakah tak sebaiknya kita pulang?" Desis suara wanita itu lagi, seraya
lengannya memeluk
kencang laki-laki tua bertubuh kekar yang meng-
himpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng! Dan... ah, sudahlah..." Terdengar laki-laki itu
menyahuti lirih seraya menggerakkan tubuhnya, membuat dahan
dan ranting kecil di sebelahnya berguncangan.
Sementara suara desah napas terdengar santar
bercampur rintihan kecil yang terdengar pelahan
sekali. Namun tak lama segera melenyap, seperti
semak belukar itu tiada yang menghuni. Selang
beberapa saat, tampak sebuah lengan terjulur
menggapai seonggok pakaian yang tergeletak di
rerumputan. Dan suara-suara tertawa kecil pun
terdengar dibarengi timpalannya suara laki-laki
yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya di satu se-
mak yang agak lowong. Sepasang matanya jadi
membelalak. Setan Alas! Memaki gadis Pendekar
ini dalam hati. Dan dia sudah palingkan wajah-
nya yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara ter-
tawa mengikik di kejauhan. Roro cepat-cepat me-
nyelinap. Tak berapa lama segera muncul sesosok
tubuh berpakaian warna ungu, dengan rambut
terurai beriapan. Hampir melejit mata Roro, kare-na melihat sosok tubuh itu
pasti tak salah lagi si wanita Palasik penghisap darah. Baru saja dia
berniat melompat keluar. Ternyata sudah didahu-
lui dua orang di balik semak itu yang berkelebat
berlompatan. Sekejap kemudian telah menghadang di de-
pan wanita palasik itu. Seolah tak percaya laki-
laki tua itu yang tak lain dari Bayu Wijaya, menatap pada si wanita muda di
hadapannya. Dan sa-
tu suara tergetar segera terlompat dari bibirnya.
"A...anakku... Ma.. .Mahesani! Kaukah
adanya" Oh, betapa aku amat mengkhawatirkan
nasibmu...!" Bayu Wijaya menatap wanita muda di hadapannya dengan mata tak
berkedip. Akan tetapi gadis muda itu bahkan mengikik tertawa
dengan suara aneh yang amat asing didengarnya.
"Hihihi... siapakah kau" Eh, ya... kau ayahku!
Aku memang Mahesani, anakmu! Kalian sedang
apa di sini ayah" Dan siapa wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian tak pernah di-
ucapkan oleh Mahesani sebenarnya. Dan mem-
buat Bayu Wijaya jadi ternganga heran. Sementa-
ra si wanita tua yang tak lain dari si Pendekar
Lembah Bunga itu jadi terkejut dengan wajah te-
rasa panas. Apakah yang telah terjadi dengan anakku"
Mengapa sikapnya jadi berubah demikian..." Sen-
tak hati Bayu Wijaya. Dan dia sudah saling tatap dengan Rukmita si Pendekar
Lembah Bunga itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda mendekat. Tak lama
segera terlihat empat orang berpakaian pengawal-pengawal Kerajaan. Ternyata
salah seorang adalah Tumenggung
Meranggi, yang telah berpakaian perwira kerajaan Mataram. Kiranya sang
Tumenggung itu tak mau
menganggur begitu saja begitu lepas dari jabatan
dengan punahnya Kerajaan Matsyapati, yang di-
ambil alih kekuasaannya oleh Kerajaan Pusat.
Yaitu Mataram. Segera dia memasuki keperwiraan
di Kerajaan Mataram, yang kemudian bertugas
justru masih berada di sekitar bekas kekuasaan
Kerajaan Matsyapati.
Begitu hentikan kuda-kudanya, keempat
orang perwira itu berlompatan turun dari ku-
danya. "Manusia iblis! Kau tak akan dapat melarikan diri lagi!" Membentak Ki Meranggi
seraya mencabut keluar Keris Pusakanya. Terkejut Bayu Wijaya juga si Pendekar
Lembah Bunga, karena tahu-tahu keempat Perwira Kerajaan Mataram itu telah
mengurung. "Tunggu...!" Teriak Bayu Wijaya, yang tiba-tiba telah bergerak melompat seraya
mengangkat kedua belah tangannya. Tubuhnya memutar den-
gan sepasang mata menatap pada keempat perwi-
ra Kerajaan itu.
"Apakah gerangan yang telah terjadi, hingga kalian menuduh anakku sebagai iblis
keji?". Teriak Bayu Wijaya dengan ketus. Ki Meranggi plo-
totkan matanya. Segera dia sudah mengenali laki-
laki itu. "Huh! Kiranya perempuan ini anak gadismu,
sobat Bayu Wijaya" Kami petugas penjaga ling-
kungan di wilayah Kerajaan Mataram ini merasa
berhak menangkap atau membunuhnya, karena
dia telah melakukan pengacauan di beberapa
tempat! Bahkan dia telah membunuh bekas Raja
Kerajaan Matsyapati Prabu Gurawangsa di Goa
Kiskenda!" Terperanjat Bayu Wijaya bukan kepalang, dan dengan mata terbelalak
menatap pada anak gadisnya. "Aku adalah bekas Tumenggung Kerajaan
Matsyapati! Masih ingatkah kau padaku Bayu Wi-
jaya" Aku Ki Meranggi, yang kini sudah menjadi
orang Kerajaan Mataram!"
"Ya! Aku dapat mengenalimu Tumenggung!
Akan tetapi benarkah tuduhanmu itu" Anakku ini
baru saja kutemukan setelah menghilang selama
empat bulan! Dia diculik seorang pemuda yang
mengaku bernama Raka Rumpit, selagi aku se-
dang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang anakmu, Bayu Wijaya,
akan tetapi telah kemasukan roh jahat! Dia telah menjadi iblis wanita penghisap
darah! Dia telah
menjadi manusia palasik!" Tiba-tiba Roro Centil berkelebat keluar dengan
mengumbar kata-kata.
Terkejut semua orang yang segera berpaling ke
arah gadis Pendekar itu. Dan Ki Meranggi tiba-
tiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro Centil!.... Ah, kebetulan sekali anda datang...!" Bekas
Tumenggung Kerajaan Matsyapati ini memang telah mengenal Roro
ketika dia diperkenalkan oleh Senapati Satryo di Ksatrian. Roro Centil waktu itu
memang banyak membantu pihak Kerajaan Matsyapati, di saat ter-
jadinya pengkhianatan Patih Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung sedemikian
rupa, Mahesani jadi tertawa mengikik.
"Hihihi... hihi.... aku memang bukannya Ma-
hesani! Raga kasar gadis ini kutemukan sudah
mampus, setelah habis diperkosa seorang pemu-
da! Mungkin dialah si pemuda bernama Raka
Rumpit itu! Dan aku... hihihi... aku adalah TRI
AGNI! Masih ingatkah kau Tumenggung, ketika
kau membunuhku dengan keris pusakamu itu?"
Terperangah seketika Ki Meranggi. Sepasang ma-
tanya jadi menatap pada Mahesani dengan terbe-
lalak. Sementara tampak satu kejadian aneh, ka-
rena samar-samar wajah Mahesani memudar dan
berganti rupa dengan wajah Tri Agni, si wanita setengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal dengan wajahku"
Kini aku inginkan nyawamu, Meranggi!" Wajah dan kepala Tri Agni pun kembali
berubah menjadi
kepala Mahesani lagi. Sementara si Pendekar
Lembah Bunga dan Bayu Wijaya jadi terperanjat
melihat kejadian itu. Barulah mereka percaya ka-
lau wanita itu bukan lagi Mahesani.
Pada saat itu Roro telah menimbrung bicara.
"Hm, sobat Bayu Wijaya! Wanita palasik ini telah masuk ke dalam Rumah
Perguruanmu! Dan dia
juga telah meminta korban membunuh kekasih-
nya sendiri, dengan menghisap darahnya! Menu-
rut yang kudengar kekasihnya itu bernama MA-
HENDRA!" "Hah...! dia... dia membunuh a... anakku!?".
Bedebah! Iblis keparat! Kau harus ganti nyawa
anakku!" Teriak Rukmita si Pendekar Lembah
Bunga, dan seraya menggerung keras segera me-
nerjang si wanita setan itu. Sepasang lengannya bergerak menghantam.
BUK! BUK! Tubuh Mahesani terlempar terhuyung-
huyung, dan saat itu keempat perwira Kerajaan
Mataram segera gerakkan senjatanya menerjang.
Keris Ki Meranggi telah keluarkan sinar berwarna biru bergerak menabas. Dan
ketiga tombak si tiga Perwira Kerajaan meluruk dengan berbareng.
CRAS...! BLES! BLES! BLES!
Sekejap saja keadaan telah berubah jadi men-
gerikan, karena tubuh Mahesani telah terpang-
gang oleh tiga tombak perwira menembus pung-
gung dan dada. Sedangkan Keris Pusaka Ki Me-
ranggi telah menabas kepala Mahesani hingga
terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak Bayu Wijaya dengan ma-ta membeliak. Walau bagaimana pun
dalam pan- dangannya tubuh anak gadisnyalah yang telah
terbunuh dengan cara mengerikan seperti itu.
"Mahesaniiii...!" Dan dia sudah memburu tubuh tanpa kepala itu dengan wajah
pucat. Akan tetapi diluar dugaan kepala Mahesani yang jatuh
menggelinding itu telah melayang ke arah Bayu
Wijaya dengan cepat.
Dan..... Terkesiap semua orang, karena sekejap tam-
pak Bayu Wijaya telah berkelojotan meregang
nyawa. Karena kepala Mahesani telah berubah
menjadi kepala Tri Agni yang berwajah menye-
ramkan dengan rambutnya yang berwarna putih
beriapan. Kiranya kepala makhluk itu telah me-
nyusup ke leher Bayu Wijaya dan ngangakan mu-
lutnya, serta menggigit leher laki-laki tua itu.
BRELL ...! Kepala Tri Agni menyentak. Dan...
darah segera menyembur dari leher laki-laki ma-
lang itu. Sesaat setelah bergelinjangan, tubuh
Bayu Wijaya pun terkulai lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan kepalamu...!" Membentak Rukmita. Lengannya bergerak
melemparkan bunga-bunga keringnya ke arah kepala Tri Agni.
Akan tetapi makhluk itu gerakkan kepalanya
memutar. Rambut putihnya tiba-tiba bergerak
menghantam bunga-bunga kering hingga terhem-
pas jatuh. Tahu-tahu kepala makhluk itu menyu-
sup ke bawah, bergerak memutar ke belakang si
Pendekar Lembah Bunga. Terpekik wanita tua itu,
karena segera lehernya kena dicengkeram mak-
hluk kepala itu. Berguling-gulingan tubuh Rukmi-


Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ta, lengannya berusaha bergerak untuk mele-
paskan diri dari gigitan wanita setan itu. Namun kepala Tri Agni telah berhasil
merobek leher Rukmita dengan gigitannya. Darah pun menyem-
burat memancur. Dan tubuh si Pendekar Lembah
Bunga itu berkelojotan meregang nyawa, namun
sesaat kemudian terkapar tak berkutik lagi.
Terperangah Ki Meranggi dan ketiga Perwira.
Mereka sudah melompat mundur dengan senjata
siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi! Pergunakan lagi keris Pusakamu itu! Hehehihi... hihi..."
Selesai berkata, tiba-tiba kepala Tri Agni bergerak ke arah tubuh Mahesani dan
melekat lagi pada tubuh tanpa kepala itu. Sekejap kemudian kepala dan tubuh itu
telah menyatu kembali. Dan... saat berikutnya
Mahesani telah bangkit berdiri. Sementara pela-
han-lahan kepala wanita setengah siluman itu
kembali berganti wujud menjadi kepala Mahesani
lagi. Ki Meranggi memberi isyarat untuk mener-
jang pada ketiga kawannya. Namun saat itu Roro
Centil sudah mendahului mengirimkan tendan-
gan kakinya. Dhesss...! Tubuh Mahesani terlem-
par bergulingan beberapa tombak. Keempat Per-
wira Kerajaan itu segera memburunya. Akan teta-
pi Mahesani telah kembali berdiri dengan lengan
terentang. Sepasang matanya menatap pada
keempat Perwira Kerajaan itu, lalu terhenti pada Ki Meranggi. Sementara Roro
Centil tercenung sesaat Benaknya memikir. Heh! wanita siluman ini
akan sulit dimusnahkan, karena sama saja den-
gan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan dengan siluman...!"
Desis Roro. Dan segera bibirnya berbisik me-
manggil sahabatnya si Harimau Tutul. Segera saja segumpal asap hitam muncul di
hadapan Roro. Gumpalan asap itu melenyap, dan membentuk
sesosok tubuh Harimau Tutul sebesar kerbau.
Binatang ini mendengus dan keluarkan suara
menggerung mengaum. Tampakkan gigi-gigi dan
taringnya yang runcing-runcing. Lalu mengibas-
ngibaskan ekornya mengelilingi Roro Centil me-
nunggu perintah. Namun pada saat itu sudah
terdengar jeritan Ki Meranggi. Ketika Roro Centil menatap. Ternyata laki-laki
Perwira Kerajaan Mataram itu dadanya telah terkena cengkeraman
lengan Mahesani, yang menembus sampai ke
punggung. Darah menyemburat keluar ketika lengan
Mahesani disentakkan. Dan tubuh Ki Meranggi
berkelojotan meregang nyawa. Lalu sekejap ke-
mudian tewas. Ketiga Perwira ini menerjang den-
gan tombaknya. Percuma saja, karena sekali
menggerakkan tangan tiga batang tombak terlem-
par. Dan di saat ketiga tubuh Perwira itu ter-
huyung, Mahesani alias Tri Agni telah berkelebat menerjang.....
Akan tetapi Roro Centil sudah mendahului ki-
rimkan hantaman lengannya. Kali ini pukulan
berhawa panas menerjang Tri Agni, si wanita se-
tan itu. WHUSSSS...! Terpekik wanita setan itu. Seke-
tika tubuhnya terbakar hangus. Namun pada saat
itu dari dalam tubuh yang terbakar itu telah me-
lesat ke luar dua gumpal asap hitam. Dan, bukan
kepalang terkejutnya Roro Centil, karena dua
gumpal asal itu telah menjelma menjadi dua so-
sok tubuh. Sosok tubuh yang satu adalah seorang
bocah kecil berkulit hitam. Sedangkan sosok tu-
buh yang satunya adalah seorang wanita yang be-
rambut hitam beriapan. Ternyata mereka itulah si Bocah Siluman, cucu si wanita
setan itu. Dan si wanita satunya adalah ibu bocah berkulit hitam
itu, yaitu DURGANDINI.
*** Raka Rumpit baru saja selesai mandi. Dan
dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia memasuki goa,
lalu beranjak ke ruangan kamarnya. Baru saja
dia mau bergerak masuk ke pintu, sudah terden-
gar suara tertawa kecil sang guru.
"Hihihi... hihi.. silahkan masuk, muridku
yang gagah!" Satu suara lembut terdengar. Itu memang suara gurunya. Akan tetapi
amatlah aneh, dan asing pada pendengaran pemuda ini,
karena tak biasanya sang guru berkata selembut
itu. Mengapa tidak pakai bocah edan! atau bocah
gendeng" Bisik hati Raka Rumpit. Dan segera saja terpampang di matanya sesosok
tubuh mulus berselimutkan kain sutera tipis. Berwajah cukup
cantik, walaupun tidak seperti gadis muda. Ram-
butnya tergerai hitam di antara sebelah dadanya.
Tubuh wanita itu dalam keadaan setengah terbar-
ing di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap wanita itu.
Wajahnya jelas bukan wajah gurunya, akan tetapi
suaranya memang mirip suara sang guru, alias si
nenek bongkok yang galak itu.
"Guruku kah kau ini...?" bertanya Raka Rumpit. "Ataukah kau... tetamu guruku si
nenek bongkok muka tengkorak?" Tambahnya lagi dengan tertegun menatap wanita
itu, serta matanya
merayapi ke sekujur tubuh yang setengah terbar-
ing itu. "Hihihi... aku memangnya si nenek bongkok
gurumu itu, tapi juga tetamu yang akan me-
nyambut mu!" Berkata wanita itu dengan tersenyum perlihatkan giginya yang putih
berderet, seraya bangkit berdiri.
"Kau lihatlah! Apakah tubuhku kini masih
bongkok" Dan kulitku keriput, juga wajahku mi-
rip tengkorak?" Berkata lirih si wanita itu.
"Aku selama ini memakai alat-alat ini!" Ujar si wanita itu, seraya meraih sebuah
bungkusan yang segera dibukanya. Segera terlihat kelotokan kulit muka semacam topeng,
serta kulit-kulit tipis lainnya yang membungkus seluruh tubuh wanita
itu. Ternyata diam-diam di saat Raka Rumpit per-
gi mandi, si nenek bongkok telah "mengupas" kulit muka dan seluruh kulit
pembungkus tubuh-
nya. Hingga bagaikan ular yang baru berganti ku-
lit, si nenek tua renta itu kembali menjadi muda.
Ada pun rambut putihnya adalah tetap memutih.
Namun dia telah gunakan cairan hitam dari obat
ramuan yang telah lama disediakan untuk me-
nyemir kembali rambutnya. Hingga dalam bebe-
rapa saat saja si nenek telah berubah kembali
menjadi muda. Dan segera sambar pakaian tipis-
nya untuk segera masuk ke kamar sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya kalau wanita
itu gurunya sendiri. Melihat keadaan sang guru
itu tentu saja Raka Rumpit agak jengah, namun
sebagai manusia tetap saja tak luput dari hawa
nafsu. Hingga ketika sang guru menggamitnya
untuk dibawa merebahkan diri ke pembaringan,
dia memang tak dapat menolak. "Aku telah beri-jab-kabul, muridku... bahwa kalau
kau telah ber- hasil menamatkan pelajaranmu, kau harus men-
jadi suamiku! Ya, aku amat mencintaimu, bocah
gagah. Kau pinjamkanlah Cincin batu Combong-
mu...! Aku ingin memakainya! Sudah lebih dari
sepuluh tahun aku tak pernah mengenakan cin-
cin warisan guruku ini!" Seraya berkata lengan sang guru bergerak menjelari
dadanya yang bi-dang dan mempermainkan bulu-bulu dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum mengangguk
dan segera copotkan cincinnya untuk berikan
benda itu. Sang guru julurkan jari-jari lengannya dan segera saja sang murid
memasukkannya ke
jari lengan sang guru.
Sinar biru yang membersit dari cincin aneh
itu ternyata telah menimbulkan hawa rangsangan
hebat padanya. Kalau dulu adalah wanita yang
tergila-gila pada Raka Rumpit, namun kini dia
sendirilah yang di mabuk asmara.
Tiba-tiba dari dalam ruangan kamar di dalam
goa itu, terdengar suara teriakan tertahan, seperti suara yang tersangkut di
tenggorokan. "Aaaaakh...! Aaaarkkh...! Hek! Ahh...! uuh.!"
BLAG..! BUKK!BRRAKKK...!
"Huaaaaakh...! Terdengar suara-suara berge-
dubrakan setelah terdengar sebelumnya suara ke-
luhan dan pekik kesakitan tersendat di kerong-
kongan. Terakhir adalah suara teriakan Raka
Rumpit. Apakah yang terjadi di ruangan kamar
dalam goa itu" Kiranya satu pergumulan tengah
terjadi. Sekonyong-konyong Raka Rumpit telah
mencekik leher gurunya sendiri. Meronta-ronta
sang guru dengan berteriak julurkan lidah. Len-
gan sang murid itu dengan ganas telah menceng-
keram lehernya.
*** DUA BELAS TERENGAH-ENGAH sang guru memperta-
hankan nyawanya dari cekikan maut lengan si
murid. Akhirnya satu hantaman lengan sang guru
telah berhasil membuat terlempar anak muda itu.
Tubuhnya membentur dinding goa, yang segera
ambrol dengan suara bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah edan!" Teriak si wanita jelmaan si nenek bongkok.
Tubuhnya bangkit
dari pembaringan dengan terhuyung. Sebelah
lengannya mencekal lehernya yang mengucurkan
darah. "Kubunuh kau... bocah gendeng! Kau... kau
mau membunuh dirimu sendiri?" Akan tetapi ti-ba-tiba Raka Rumpit telah tertawa
bergelak, se- raya bangkit berdiri.
"Hahaha... haha... kau memang harus kule-
nyapkan, guru! Aku tak memerlukan kau lagi!"
Tiba-tiba wajah Raka Rumpit telah berubah jadi
bengis. Dan ... sekonyong-konyong tubuhnya be-
rubah jadi segumpal asap hitam. Dan segera saja
menjelma menjadi makhluk hitam berbulu. Ber-
mata besar, lidah terjulur dan mulut menyeringai menampakkan giginya yang
runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang guru, dan dengan bentakan menggeledek dia telah melompat
menerjang makhluk itu. Sedangkan makhluk berbulu
itu pun sudah menerjang dengan suara mengge-
ram menyeramkan. Sekejap saja terjadilah per-
gumulan seru. Tubuh sang guru yang dalam kea-
daan membugil itu seketika hampir lenyap dalam
pelukan ketat si makhluk berbulu. Hantaman-
hantaman lengannya seperti tak dirasakan mak-
hluk itu. Hingga saat berikutnya pergumulan di-
lakukan dengan bergulingan. Sementara darah
terus mengalir dari leher si wanita jelmaan si nenek bongkok itu yang terluka
bekas cekikan. Se-
lang sesaat terdengar lagi suara jeritan menyayat hati. Taring-taring si makhluk
berbulu itu telah membenam lagi di lehernya. Bergelinjangan tubuh
polos itu menghentak-hentak. Sepasang kakinya
terpentang menjejak ke sana ke mari. Namun te-
riakannya semakin melirih. Dan gelinjangannya
semakin melemah. Akhirnya terkulai... tak berte-
naga lagi. Ketika makhluk berbulu itu mele-
paskan cengkeraman taring-taringnya, darah se-
perti membasuh wajahnya. Dengan kakinya si
makhluk itu balikkan tubuh si wanita gurunya,
yang ternyata telah tewas.
Makhluk berbulu itu tampakkan suara meng-
geram senang, lalu berubah menjadi suara gelak
terbahak. Dan beberapa kejap antaranya mak-
hluk berbulu itu pun kembali berubah menjadi
Raka Rumpit. "Hahaha... hahaha... haha... Kini aku bebas!
Tak ada yang harus kuturuti perintahnya! Dan
aku bebas bergerak ke mana aku suka! Hahaha...
terima kasih, guru atas warisan ilmu hitammu!
Semoga kau tenang di alam baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit menghampiri
tubuh gurunya, dan segera membungkuk untuk
mencopot kembali cincin batu Combong itu dari
jari tangan sang guru. Tak lama dia sudah kena-
kan lagi di jari tangannya. Setelah kenakan pa-
kaiannya beberapa saat antaranya Raka Rumpit
sudah beranjak keluar dari dalam kamar ruangan
goa yang sudah berantakan itu. Sejenak Raka
Rumpit memandang ke ruangan goa itu. Tiba-tiba
sepasang lengannya bergerak menghantam langit-
langit ruangan batu goa itu.
BRRUAAAS...! BLAARRRR...! Sekejap saja ruangan atas goa
itu sudah ambruk meruntuhkan batu-batu ba-
gaikan hujan, berdebukan jatuh menguruk ruan-
gan kamar itu berikut tubuh gurunya. Sedangkan
pemuda edan itu ternyata telah melesat keluar
goa sebelum goa menjadi ambruk tertutup batu-
batuan. Keadaan lereng tebing itu kini sudah be-
rubah berantakan, karena hampir sebagian melu-
ruk ke bawah, menimbun goa di bawahnya.
Sedangkan Raka Rumpit saat itu sudah ber-
kelebatan mendaki tebing, dan sekejap kemudian
melesat lenyap meninggalkan suara tertawa ber-
kakakan... *** "Bocah siluman..."!" Desis Roro dengan wajah tegang. Tentu saja Roro terkejut,
karena beberapa bulan berselang dia baru saja menghadapi makhluk kecil yang buas
ini. Pada waktu itu telah
muncul sebuah bayangan mirip sekali dengan
guru Roro Centil yaitu si Manusia Banci, yang didahului dengan mengikiknya suara


Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa tokoh Rimba Hijau itu. Bayangan itu mirip arwah saja
dan menghantam buyar ke empat makhluk kecil
berkulit hitam itu yang berubah jadi gumpalan
asap. Lalu melenyap sirna. (pada waktu itu tubuh si bocah siluman telah memecah
menjadi empat, setelah tertabas tubuhnya menjadi empat potong
oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali dengan bisa
muncul dan menjelma lagi si bocah siluman itu.
Bahkan bersama seorang wanita yang berkulit
putih bagaikan kapas. Kedua makhluk itu meng-
hampiri Roro. Sementara ketiga Perwira cuma bi-
sa menatap dengan terperangah dan mata mem-
beliak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda, dan derap
mendatangi. Dan mun-cullah Satryo. Laki-laki ini hentikan kudanya
dengan cepat, lalu melompat turun.
"Nona Pendekar Roro Centil! Anda berada di
sini..?". Teriak laki-laki itu. Roro tersenyum seraya mengangguk cepat, dan
berkata; "Bagus! Kau bantulah aku menumpas kedua
makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia, Satryo...!" Tiba-tiba terdengar suara lirih disusul
dengan berkelebatnya sebuah bayangan putih. Dan di tempat itu te-
lah berdiri seorang tua berjenggot dan berkumis
panjang terjuntai. Ternyata tak lain dari Resi
Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak Satryo dengan wajah girang. Satryo sudah mau beranjak
melompat ke arahnya. Akan tetapi sang Resi mengangkat sebe-
lah lengannya. "Sudahlah, Satryo! Tak usah banyak perada-
tan! Kita hadapi kedua makhluk siluman ini!" Selesai berkata, laki-laki tua
berjubah putih ini pejamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-
kemik seperti membaca do'a pada Yang Maha Ku-
asa. Sekejap kemudian tampak tubuh sang Resi
bergoncangan. Kedua lengannya, yang menyilang
di depan dada itu tiba-tiba bergerak terbuka. Sepasang matanya menatap pada
kedua makhluk itu. Kedua makhluk itu tampak mundur beberapa
langkah, seperti tak kuat menahan tatapan mata
sang Resi. Sementara itu Roro Centil sudah tak
sabar, dan perintahkan si Tutul yang barusan
melenyap untuk menerjang kedua makhluk silu-
man itu. Segera segumpal asap hitam meluncur
ke arah si bocah siluman dengan suara mengge-
ram dahsyat. Dan selanjutnya yang terlihat ada-
lah tubuh anak hitam itu jatuh bergulingan, tapi tubuhnya seperti tak menyentuh
tanah. Tak lama
segera ujud sang Harimau Tutul pun terlihat. Dan tengah menerkam ganas dengan
kuku dan taringnya.
Sementara tengah terjadi pergumulan seru itu
antara sama-sama makhluk siluman, Durgandini
yang telah menjadi makhluk halus itu tiba-tiba
menerjang Satryo... Terkejut laki-laki ini yang segera menghindar melompat ke
samping. Resi Jenggala Manik telah berkelebat dari tempatnya.
Bibirnya telah membacakan MANTERA SUCI. Ke-
dua lengan sang Resi menghantam ke arah mak-
hluk wanita bekas permaisuri
Raja Matsyapati itu, seraya berucap.
"Maaf, Durgandini! Kembalilah kau ke "Alam"
mu! Tak layak lagi kau muncul di alam fana!".
Terdengarlah suara meletup dahsyat.
BHUSSSSS...! Dan tubuh Durgandini lenyap jadi gumpalan
asap, yang kemudian sirna. Sementara itu perta-
rungan sang Harimau Tutul dengan si bocah si-
luman masih berlangsung seru. Namun tak bera-
pa lama kepala si anak hitam itu sudah lenyap
menjadi asap ketika sang Harimau Tutul berhasil
membuka mulutnya, dan merencah kepala mak-
hluk kecil itu. Selang sesaat seluruh tubuh si bocah siluman itupun sudah
melenyap menjadi
asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan suara au-
mannya, lalu melompat kembali ke arah Roro
Centil. Kemudian melenyapkan diri. Satryo yang
melihat kejadian itu cuma tertegun dengan mulut
ternganga, sedangkan ketiga Perwira Mataram se-
dari tadi cuma bisa menyaksikan pertarungan
semacam itu. Tiba-tiba pada saat itu juga cuaca berubah
gelap. Angin keras membersit bersiutan dan di
angkasa terlihat kilatan-kilatan petir yang kemudian terdengar suaranya yang
menggelegar. Terperangah semua orang yang berada di si-
tu. Akan tetapi Resi Jenggala Manik tetap tenang.
Dia mengangkat kedua belah tangannya, teren-
tang ke arah langit. Bibirnya komat-kamit mem-
baca do'a. THARRRRRR...! Satu kilatan petir menyambar
tubuh Mahesani yang sudah hangus terkapar di
tanah. Tubuh wanita itu lenyap jadi gumpalan
asap putih. Dan sekonyong-konyong menjelma
menjadi kepala Tri Agni, si manusia palasik. Ke-
pala tanpa tubuh yang berambut putih beriapan
itu membumbung naik ke atas, dengan perden-
garkan suara tangisan pilu menyeramkan. Tiba-
tiba segumpalan asap hitam bergerak memutar di
atasnya. Lalu meluncur turun menyambar kepala
wanita setan itu. Dan dibawahnya naik lagi ke
atas. Gumpalan asap hitam itu semakin mem-
bumbung terus ke atas, diterangi cahaya kilatan petir yang berkredepan.
Sementara angin keras
terus membersit tak kunjung henti.
Sekejap antaranya asap hitam itupun mele-
nyap. Angin yang meniup keraspun mulai terhen-
ti, kembali sepoi-sepoi. Dan cuaca lambat laut berubah kembali menjadi terang-
benderang. Mata-
hari yang sudah menggelincir ke arah barat kem-
bali tampakkan sinarnya. Mereka segera dapat
melihat kembali satu sama lain. Terlihat sang Re-si sudah menurunkan lengannya,
dan mengu- sapkan ke wajahnya tiga kali. Terdengar kemu-
dian suara menghela napas laki-laki pertapa itu.
"Hm, sukurlah bahaya bagi umat manusia telah bisa teratasi. Mudah-mudahan
makhluk siluman
itu takkan kembali lagi mengacau di dunia!" Berkata sang Resi dengan suara
lirih. Semua yang
berada di situ menarik napas lega. Sementara itu ketiga Perwira Kerajaan Mataram
sudah melompat ke depan mereka. Lalu menjura pada sang
Resi dan Roro Centil. Juga pada Satryo. Seraya
salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha kalian semua mem-
bantu kami melenyapkan kerusuhan yang telah
mengganggu wilayah Kerajaan Mataram ini! Jasa
dan bantuan kalian yang amat tak ternilai ini
akan kami sampaikan pada baginda Raja Mata-
ram!" Dan belum lagi sang Resi atau Roro dan Satryo menyahut, ketiga Perwira
Kerajaan Majapahit itu sudah balikkan tubuh, untuk segera beranjak
ke arah mayat Ki Meranggi bekas Tumenggung
Kerajaan Matsyapati yang sudah punah itu. Den-
gan menggotongnya bertiga, segera beranjak pergi tinggalkan tempat itu. Tak lama
sudah terdengar
suara ringkik kuda, dan derapnya yang semakin
menjauh. Dan cuma menampak punggung-
punggung ketiga Perwira Kerajaan itu yang men-
gendarai kudanya tinggalkan itu.
*** Tak dikisahkan perpisahan ketiga tokoh itu.
Namun sekitar tempat pertarungan tadi sudah
bersih dari mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-
sisa percikan darah di rerumputan.
Ketika matahari mulai membenam di lereng
gunung, tampak sesosok tubuh melangkah perla-
han meniti lereng bukit. Baju sutera warna hi-
tamnya masih terlihat gemerlapan terkena cahaya
layung warna merah. Dialah Roro Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang sudah me-
nyelesaikan tugasnya sebagai Pendekar Penegak
Keadilan. Entah pengalaman apa lagi yang akan
dihadapinya di hari mendatang Kita serahkan sa-
ja pada Pengarangnya. O. K.
TAMAT E-Book by Abu keisel https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 29 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Pendekar Pedang Dari Bu Tong 13
^