Pencarian

Geger Pusaka Ratu Shima 1

Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima Bagian 1


S A T U KI RANGGA WULUNG duduk di kursi goyang sambil
memilin-milin jenggotnya yang cuma sejumput, hampir
memutih. Matanya menatap keluar jendela. Tapi bukan
keadaan diluar rumah itu yang terlihat didepan matanya.
Melainkan dia memandang jauh....! jauh sekali kemasa
dimana dia masih menjabat sebagai seorang Tumenggung
Kerajaan Mataram. Agak lama dia termenung demikian,
hingga didengarnya suara langkah mendekat dibelakang
menghampiri. Dia tahu yang datang adalah anak gadis.
Karena, dirumah itu tak ada siapa-siapa lagi.
"Ayah...! sampai kapan kita akan begini terus" Apakah tak ada jalan lain selain
kau bermenung setiap hari?"
berkata, gadis itu dengan berdiri dibelakang punggung
sang ayah. Gadis yang berwajah cukup cantik ini berna-
ma Jayeng Sari. Lengannya meraba bahu ayahnya, seraya
bergerak memijit-mijit pundak laki-laki tua ini.
Sementara Ki Rangga Wulung masih belum lepaskan
pandangannya keluar jendela. Tapi kali ini yang ditatapnya adalah keadaan diluar
rumah. Tak lama Ki Rangga
Wulung terdengar menghela nafas. Lalu bangkit berdiri dari kursinya.
"Sabarlah, anakku...! dalam berdiam diri begini bukannya aku tak berpikir apa-
apa. Akan tetapi aku tengah merencanakan sesuatu....! Yah, dengan
diberhentikannya
aku dari jabatan semakin terasa pahitnya hidup!" ujarnya seraya berpaling
menatap pada sang gadis.
"Lalu..." apakah rencana yang telah kau pikirkan itu, ayah....?"
"Aku sudah cukup usia, anakku. Jadi wajar kalau aku diberhentikan dari
jabatanku. Aku tak memikirkan apa-apa lagi dengan diriku. Akan tetapi yang
kupikirkan kini adalah kau....!" menyahut Ki Rangga Wulung.
"Aku....?" tukas Jayeng Sari dengan agak terkejut.
"Ya! kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah teramat
dewasa! Kau perlu segera menikah....! agar ada yang me-
rawatmu!" ujar Ki Rangga Wulung dengan suara tegas.
Akan tetapi Jayeng Sari menyahut dengan cepat.
"Aku belum mau menikah, ayah...!"
"Mengapa....?" tanya Ki Rangga Wulung. Alisnya bergerak naik, menampakkan kerut-
kerut didahinya. Terheran
orang tua ini. Tapi yang ditanya cuma berdiam diri, menatap keluar jendela.
Wajahnya tampak kaku. Seperti eng-
gan memberikan jawaban pada ayahnya. Akhirnya kem-
bali Ki Rangga Wulung yang membuka mulut untuk bica-
ra. "Aneh, kau ini....!" ujarnya. "Laki-laki bernama SATRYO yang menggantikan
kedudukanku sebagai Tumenggung itu cukup simpatik. Dia memang pernah
punya istri. Tapi telah lama menduda. Ketika dia kemari menyambangiku sebelum
menerima jabatan Tumenggung
dari Baginda Raja, kunilai dia seorang yang balk. Simpatik, dan berwibawa.
Bukankah dia ada bercakap-cakap
dengan kau?"
"Hm, jadi ayah akan menjodohkan aku dengan dia....?"
potong Jayeng Sari. "Maaf ayah, aku tak dapat meneri-manya. Seperti kukatakan
tadi aku belum mau menikah
dengan siapa saja....!" ujar Jayeng Sari
"Bahkan.... aku.... aku amat membencinya!" sambungnya lagi.
"Jayeng Sari...." waraskah otakmu?" terkejut Ki Rangga Wulung mendengar kata-
kata anak gadisnya itu.
"Otakku masih waras, ayah! Aku tak sudi bersuamikan laki-laki seperti itu. Apa
cuma dia laki-laki didunia ini..."
Aku dapat menentukan siapa jodohku dan calon suamiku
kelak! akan tetapi bukan dia!" sambut Jayeng Sari dengan celotehnya yang tegas.
"Baik! baik, kalau itu yang kau maui, akan tetapi apa yang membuat kau
membencinya?" berkata Ki Rangga
Wulung. Akan tetapi Jayeng Sari tak menjawab. Tapi kemudian.
"Ayah, hal itu adalah urusan pribadiku. Membenci saja kukira tidaklah berdosa
kalau tidak mendendam. Kuha-rap ayah tak mempertanyakan hal itu.!" Selesai
berucap, Jayeng Sari kembali masuk keruang dalam. Memasuki
kamarnya dan mengunci pintu Dan luar kamar, Ki Rang-
ga Wulung mendengar suara isak tersendat anak gadis-
nya. Dia berdiri dipintu kamar. Keningnya berkerut. Lengannya bergerak mengeluk
pintu. Seraya panggilnya.
"Sari...! Jayeng Sari...! Bukalah pintu, anakku...!
Suara isak itu mendadak lenyap. Namun setelah di-
tunggu sekian lama pintu tetap tak dibuka. Ki Rangga
Wulung tahu kalau anak gadisnya tak mau membukanya
Dia masih marah, dan dia tahu kalau hati Jayeng Sari telah tersinggung dengan
niat baiknya itu. Setelah mere-
nung sejenak Ki Rangga Wulung segera beranjak mening-
galkan pintu kamar Jayeng Sari Terdengar lagi suara he-
laan napasnya. Malam itu keadaan diluar gedung Ki Rangga Wulung
nampak sunyi senyap. Akan tetapi ruangan depan gedung
masih tampak terang dengan lampu gantung berukir yang
terdapat diruangan itu. Suasana sepi di Gedung itu se-
makin terasa oleh Ki Rangga Wulung yang duduk me-
nyandar dikursinya. Alam pikirannya kembali menera-
wang kemasa yang silam. Masa jayanya, dimana dia ma-
sih berusia tiga puluh tahun. Akan tetapi masa itu adalah masa yang penuh dengan
bermacam peristiwa kehidupan
dan kemelut rumah tangga.
Dia bukanlah seorang suami yang baik. Diakuinya dia
sering menyeleweng pada wanita-wanita penjaja cinta. Itu dikarenakan sang istri
tak pernah mempunyai keturunan.
Pertengkaran sering terjadi dalam rumah gedung itu. Dan bila hal itu terjadi,
dia harus segera menyingkir pergi untuk melampiaskan perasaan kesalnya pada
wanita-wanita penghibur. Atau minum arak sampai mabuk. Walau de-
mikian dia tetap menjalankan tugas dengan baik sebagai
seorang Tumenggung Kerajaan Mataram.
Hingga akhirnya meletus pula "perang kecil" dalam rumah tangganya Sang istri
memutuskan untuk berpisah.
Rangga Wulung tak dapat menahan lagi keinginan is-
trinya untuk itu. Dan perpisahanpun terjadi. Akhirnya dia menikah lagi. Dan
dikaruniai seorang anak perempuan.
Dialah Jayeng Sari. Namun sang istri telah meninggal-
kannya terlebih dulu sebelum Jayeng Sari dewasa. Dan
dia hidup menduda hingga sampai saat diberhentikannya
dia dari jabatan tumenggung Kerajaan Mataram.
Dalam masa-masa sepi demikian, laki-laki tua Ini ter-
nyata telah membayangkan kehadiran istrinya yang per-
tama. Betapa dia memang masih amat mencintai Nyi Se-
kar. Dan ada hasrat dia untuk mencarinya. Rupanya hal
itu agak mengganggu pikiran Ki Rangga Wulung. Hingga
dia segera kecilkan lampu depan. Berjingkat-jingkat Ki
Rangga Wulung mendekati kamar anak gadisnya. Dari
lubang kunci dia mengintip kedalam. Jayeng Sari ternyata telah tidur. Niatnya
untuk keluar rumah jadi gagal, karena kain selimut sang anak gadis telah
menyingkap hing-
ga menampakkan bagian tubuh gadis itu dalam kereman-
gan cahaya lampu kamar.
Tampak wajah laki-laki tua ini berubah tegang. Sekian
lama dia hidup berdua dengan anak gadisnya tak disadari kalau Jayeng Sari telah
dewasa dan semakin cantik. Entah mengapa dia tak mau menikah cepat-cepat"
pikirnya. Padahal dia amat penuju dengan Satryo si Tumenggung
Muda yang menggantikan kedudukannya itu.
Wajah sang ayah ini menampakkan kegelisahannya.
Entah berapa kali dia mondar-mandir didepan pintu ka-
mar anak gadisnya.
Sebentar-sebentar berhenti didepan pintu untuk kem-
bali mengintip dari celah lubang kunci. Akhirnya dengan tangan gemetar dia
membuka pintu kamar dengan perla-han. Ternyata pintu tak terkunci. Rupanya
Jayeng Sari lupa menguncinya Rasa lelah dan banyak memikir mem-
buat gadis itu tertidur agak cepat.
Lengan tua itu mulai terulur untuk meraba. Dan me-
nyingkapkan apa yang sudah tersingkap itu semakin le-
bar. Gadis itu menggeliat. Dan dia terkejut dengan mata membelalak. Sang ayah
telah berada dipembaringannya
dengan mata membinar dan napas memburu.
"Ayah...!" ada apakah..." mengapa kau masuk keka-
marku....?" sentak Jayeng Sari. Seraya beringsut mundur kesudut pembaringan.
Lengannya bergerak menyambar
kain selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Sari...! Sari, aku.... aku..."
"Ayah! kelakuanmu tak pantas! Sa...sadarlah ayah.....!"
membentak Jayeng Sari. Dari sikap ayahnya tahulah dia
apa yang telah terjadi. Dan apa yang akan dilakukan
ayahnya. Akan tetapi cepat sekali tubuh Ki Rangga Wu-
lung melompat menerkamnya.
"Tidak! tidak...! jangan ayah! kau, kau...telah gila! Lepaskan aku!"
"Sari....! aku tahu kau kesepian! aku tahu kau mendambakan laki-laki! Kalau kau
tak mau menikah, menga-
pa kau menolak...." berilah aku kesempatan. Sekali ini
saja....! ya! cuma sekali...." berkata Ki Rangga Wulung dengan suara tergetar.
"Ayah! apakah kau tak takut kutukan Tuhan" sadar-
lah! aku anakmu! Darah dagingmu...!" berkata Jayeng Sa-ri menyadarkan ayahnya.
Akan tetapi... "Sari! kalau kau tak menuruti kemaua-nku, lihatlah! lebih baik
kau kubunuh! Ya! kau akan ku-
bunuh...!" ancam Ki Rangga Wulung yang sudah kerasukan setan. Jari-jari
lengannya bergerak ke leher Jayeng Sari untuk mencekik.
"Ayah...!" Oh, ja...jangan ayah...! ampun! ampunkan aku ayah!
hk...hk...hk..jangan ayah! ja jangan..." Pucat pias wajah Jayeng Sari. Akhirnya
dia cuma menyerah. Dia tak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya lemah lunglai. Dan
dia tak mampu berbuat apa apa ketika dengan tersenyum
menyeringai sang ayah mulai melolosi pakaiannya. Lalu
melepaskan pula pakaiannya sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba Jayeng Sari yang telah katupkan
sepasang matanya dengan simbahan air mata itu, mem-
buka lagi matanya.
"Ayah! kalau kau mau lakukan, lakukanlah...! Akan tetapi ketahuilah, perbuatanmu
adalah terkutuk! Dan aku
tak mau menanggung dosanya...! ucap gadis ini dengan
tandas. Dia telah berusaha menahan segala perasaannya,
menghadapi kenekatan sang ayah yang telah kerasukan
setan itu. "Ba...baik! baik! aku yang akan menanggung dosanya!"
menyahut laki-laki tua. Dan... selesai berkata, dia telah menindih tubuh anak
gadisnya. Dan....terjadilah apa yang sebenarnya tak boleh terjadi! Manusia yang
beriman lemah apapun bisa saja dilakukan, kalau setan telah mera-
suki hati dan jiwanya.
Malam semakin kelam! Desah angin diluar gedung ba-
gaikan ribuan iblis yang tertawa. Hitamnya malam ternya-ta lebih hitam lagi
ruangan kamar tempat terjadinya perbuatan terkutuk itu.
D U A SESOSOK TUBUH tegak berdiri didepan pintu kamar
yang tak tertutup itu. Dilengannya tercekal sebuah
TOMBAK. Dan sebuah buntalan besar berada pula dice-
kalan tangan kirinya.
Buntalan besar itu diletakkan didepan pintu. Dan so-
sok tubuh itu berkelebat lenyap...
Perbuatan terkutuk itupun berlanjut terus tanpa ada
hambatan. Suara desah napas yang membaur dengan rin-
tihan kecil seperti sirna ditelan lengangnya malam. Ma-
nakala Ki Rangga Wulung perdengarkan lenguhannya.
Dan hempaskan tubuhnya kesisi pembaringan dengan
napas tersengal. Selang sesaat, Ki Rangga Wulung bang-
kit untuk duduk. Lengannya mencengkeram rambutnya
yang awut-awutan. Sementara si gadis bernama Jayeng
Sari menelungkup, menekap kepalanya dengan bantal.
Tenggelam dengan sedu sedan yang hampir tak terdengar.
Tiba-tiba sepasang mata Ki Rangga Wulung membela-
lak lebar. Karena terpandang buntalan besar didepan pin-tu kamar. Dengan heran,
disambarnya kain selimut un-
tuk penutup tubuh dan dia beranjak menghampiri. "Siapa yang meletakkan
disini...?" berkata dia dalam hati.
"Aneh...?" desisnya pelahan. Rasa penasaran membuat dia ulurkan kepala untuk
melihat keluar kamar, tapi tak ada bayangan sosok tubuhpun. Pintu depan masih
tertutup rapat. Akhirnya diseretnya buntalan itu ke dekat
pembaringan. Dan, dia segera buka ikatannya untuk me-
lihat apa isi buntalan itu.
Seketika membelalak sepasang mata laki-laki tua itu.
Karena yang berada dalam buntalan tak lain dari berma-
cam senjata dan beberapa kotak perhiasan. "Ah, apakah tak salah mataku"
Ini...ini benda-benda Pusaka Kerajaan!" Mendadak tubuh Ki Tumenggung bergetaran.
Sementara lengannya membinar, ketika membuka isi kotak
berukir itu benar seperti dugaannya adalah berisi perhiasan dari berbagai macam,
dari emas. Juga terdapat ke-
pingan-kepingan uang emas.
Tiba-tiba meledaklah tertawanya, gelak-gelak. Dan dia
sudah membangunkan anak gadisnya. Mengguncang-
guncang punggungnya.
"Hahahaha... hahaha... Sari! Sari! lihatlah, kita...kita kaya raya! Lihat
perhiasan-perhiasan ini! Kita akan kaya!
Hahaha... hahaha..." Diguncang-guncangkan demikian, dan suara kata-kata aneh
yang didengarnya, membuat
Jayeng Sari terhenti dari sedu sedannya.
Dan.....sepasang mata Jayeng Sari jadi membelalak ke-
tika melihat sang ayah tengah memperlihatkan uang
emas dan bermacam perhiasan dihadapannya.
"Kau lihatlah, Sari...! kita akan kaya....! Kita telah keja-tuhan rejeki yang
jatuh dari langit!" ujar sang ayah. Se-
makin membelalak lebar mata Jayeng Sari ketika ayahnya
mengangkat buntalan besar, dari bawah pembaringan.
Meletakkannya diatas tempat tidur, lalu menghamburkan
isinya. "Hah!" dari mana kau dapatkan benda-benda dalam
buntalan ini?" berkata Jayeng Sari dengan wajah pucat.
"Hehehe... tak perlu tanya-tanya! Segera kemasilah pa-kaianmu! Lalu siapkan
kuda. Kita pergi dari sini!" berkata Ki Rangga Wulung.
"Ayah! apakah ini bukan benda-benda pusaka Kera-
jaan Mataram yang kudengar lenyap dicuri oleh bekas
Senapati bernama Wira Rati itu....?" Akan tetapi sebelum Ki Rangga menjawab
sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar. Dan satu suara menyahuti, dibelakang
Ki Rangga Wulung. "Benar! ini memang harta benda milik Kerajaan Mataram. Dan, akulah
pencurinya....!" Tentu membuat Ki Rangga Wulung terkejut, dan cepat balikkan
tubuhnya.

Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi... JROSS! Terhenyak laki-laki bekas Tumenggung ini.
Sepasang matanya membeliak. Karena tahu-tahu seba-
tang Tombak telah terhunjam menembus lambungnya.
Hal kejadian itu demikian cepat. Hingga Jayeng Sari cu-ma bisa terperangarah
dengan mata membeliak dan mu-
lut terperangah.
"Kakk...k...kau...Wi....ra....pp...Patt..i...ii...?" Terdengar suara Ki Rangga
Wulung terputus-putus.
"Hahaha....benar! Nah, berangkatlah kau ke Akhirat, Rangga Wulung! Kukira kau
bisa diajak kerja sama. Anak
gadismu ku kepingini, kau tolak. Tak tahunya kau "makan" sendiri! Dasar tua
bangka rakus!" berkata laki-laki itu seraya menyentakkan tombaknya. Dan
terdengar jeritan parau Ki Rangga Wulung. Tubuhnya terlempar mem-
bentur tembok. Lalu menggabruk dilantai. Darah me-
muncrat. Memercik diruangan kamar itu. Diiringi pekik
histeris Jayeng Sari, laki-laki bekas Tumenggung itu
menggeliat. Lalu terkulai dengan melepaskan nyawanya.
Darah menggelogok dari luka lebar yang menoreh isi pe-
rutnya. Bercampur isi perut yang berhamburan.
"Ayaah...!" ayah....!" memekik Jayeng Sari dengan wajah pucat. Akan tetapi dia
cuma berdiri mematung me-
mandang pada ayahnya dan laki-laki itu berganti-ganti.
"Kau....kau...mengapa membunuh dia" mengapa...?" teriak wanita muda ini dengan
mata membelalak. Sementa-
ra lengannya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Hahaha...! dia sudah pantas masuk kubur! Dan,
kau...." hm, rupanya dari pada menerima lamaranku se-
tahun yang lalu rupanya lebih senang disunting ayahmu
sendiri yang sudah tidak waras ini! Hahaha...dunia me-
mang sudah edan!" tertawa Wira Pati dengan menghamburkan kata-kata tajam.
"Wira Pati apakah kau anggap dirimu juga bukan ma-
nusia bejat" Kau sama saja dengan ayahku! Dan aku
amat yakin kalau perbuatan ayah adalah akibat terpenga-
ruh oleh kelakuan burukmu. Karena ayah bersahabat
denganmu!"
"Hm, jangan membawa-bawa aku! perbuatan ayahmu
tak ada sangkut-pautnya dengan diriku!" berkata dingin Wira Pati. Tiba-tiba
pancaran matanya membinar menja-lari liku-liku tubuh Jayeng Sari. Wira Pati
beranjak menghampiri. Jayeng Sari beringsut mundur. Wajahnya
tampak berubah pias. Dari tatapan mata laki-laki berusia hampir setengah abad
itu, dia telah tahu akan apa yang
bakal dilakukan manusia ini.
"Hm, setelah kau ternoda begini apakah kau masih ju-ga menolak keinginanku?"
berkata Wira Pati dengan wajah sinis, dan tertawa menyeringai. Kakinya terus me-
langkah mendekati Jayeng Sari yang telah merapatkan
tubuh di sudut dinding, tak berkutik.
"Pilih antara dua! apakah kau mau cepat-cepat me-
nyusul ayahmu ke alam Baka ataukah mau melayaniku
secara baik-baik...?" ancam Wira Pati. Ujung tombaknya yang masih berlumuran
darah itu terangkat untuk di-
arahkan ke dada wanita muda itu. Tergetar tubuh Jayeng
Sari. Sepasang matanya membeliak menatap ujung mata
tombak. "Aku...aku akan melayanimu, Raden.... tapi, tidak ditempat ini.
Aku....aku ngeri melihat jenazah
ayah...." menyahut Jayeng Sari dengan napas tersengal.
"Hmm...." Wira Pati palingkan wajahnya untuk menatap pada mayat Ki Rangga
Wulung. Lalu palingkan lagi
pada Jayeng Sari.
"Baik! kau kemasilah benda-benda ini! malam ini juga kau harus turut denganku.
Hahaha... setelah selesai urusan kita tentunya! berkata dia.
"Nah! cepat kerjakan!" bentaknya dengan halus. Lalu menggeser tubuh untuk
memberi jalan pada Jayeng Sari.
"Ba..ba..baik Raden!" menyahut Jayeng Sari. Lalu segera turuti perintah Wira
Pati. Sementara hati wanita ini tak menentu. Sedih, gusar menjadi satu menindih
dadanya. Selesai wanita muda itu membungkus lagi benda-
benda itu dalam buntalan, Wira Pati perintahkan Jayeng
Sari keluar ruangan, Dan....Bruk! pintu kamar itu segera ditutup rapat Wira
Pati. "Ke arah sana!" berkata Wira Pati dengan menunjuk dengan tombaknya! Jayeng Sari
mengangguk. Lalu dengan tubuh terhuyung melangkahkan kakinya menuju
ruangan dalam. Dia tahu ke arah tempat itu adalah ke
arah kamar ayahnya.
"Ayo! buka pintu kamar itu. Kita bermalam sejenak!
Menjelang pagi dinihari sebentar lagi kita harus sudah
tinggalkan desa ini!"
"Ya... baik, Raden..!" Menyahut Jayeng Sari. Lalu membuka pintu kamar. Dan
melangkah masuk. Diikuti
Wira Pati... Keadaan diluar gedung masih sunyi seperti tadi. Se-
mua kejadian tak seorangpun dari penduduk itu yang
mengetahui. Dan, pada malam yang penuh peristiwa itu, Jayeng Sa-
ri lagi-lagi harus menerima kenyataan pahit. Menuruti
kemauan iblis Wira Pati untuk memberikan kehangatan
tubuhnya pada laki-laki buronan Kerajaan Mataram
itu...... WIRA PATI sang buronan Kerajaan Mataram itu terka-
par kelelahan. Dengkurnya terdengar memenuhi ruangan.
Laki-laki yang telah melampiaskan keperkasaannya itu
tampaknya amat kelelahan setelah banyak perjalanan dia
lakukan demi meloloskan diri dari kejaran orang-orang
Kerajaan. Kini dia terlena pulas dengan tidur mendengkur. Sebe-
lah lengannya menempel diatas perut wanita disebelah-
nya. Tidurkah wanita anak Ki Rangga Wulung itu " Tidak!
Jayeng Sari masih belalakkan matanya. Mata yang telah
berkaca-kaca karena nasib telah menyeretnya hingga
bermacam kejadian, menimpanya. Wajahnya yang cantik
itu kini telah dilumuri dengan simbahan air mata dipi-
pinya. Seakan tertegun dia menatap langit-langit kamar, menerangi diri yang
bernasib buruk.
Sesaat seperti tersadar dia, ketika mendengar suara
dengkur Wira Pati. Dan tercekatlah hatinya untuk bisa
meloloskan diri dari cengkeraman laki-laki buronan Kerajaan itu.
Pelahan dia bangkit. Setelah mengangkat dengan hati-
hati tangan Wira Pati yang memeluknya: Laki-laki itu ternyata benar-benar pulas.
Jayeng Sari menggeser tubuh-
nya untuk turun dari pembaringan. Dia berhasil. Wira Pa-ti tetap tak bergerak
dari posisi tidurnya.
Degup-degup jantung wanita itu semakin cepat. Se-
mentara dia tak berayal untuk segera merapihkan pa-
kaiannya. Lalu setelah meneliti keadaan Wira Pati, den-
gan pelahan dan berjingkat-jingkat segera beranjak men-
dekati pintu kamar. Membukanya dengan pelahan sekali.
Dan dia menarik napas lega, setelah berada diluar kamar.
Ditutupnya lagi pintu kamar itu. Keringat dingin tam-
pak membasah disekujur tubuh. Setelah mengatur napas,
dan detak jantungnya agak mereda. Barulah Jayeng Sari
bergegas keluar dari dalam gedung itu.
Dia harus cepat kalau tak ingin jadi korban ketelenga-
san laki-laki yang telah mengancam akan membunuhnya
itu, bila dia melarikan diri. Namun segalanya memang
menggembirakan. Tak ada bahaya apa-apa. Suasana da-
lam gedung itu masih tetap seperti tadi. Dan suara dengkur laki-laki buronan
Kerajaan Itu masih terdengar sa-
mar-samar. Jayeng Sari membuka pintu belakang gedungnya. Dan
dari ruangan dapur itu, dia berkelebat lari menembus ke-pekatan malam. Sesaat
tubuhnya sudah lenyap ditelan
gelapnya malam yang sial itu... Suara burung hantu ter-
dengar seperti mengantarkan kepergiannya meninggalkan
tempat itu.....
TIGA Esok harinya...
Seorang laki-laki berbaju putih dari kain kasar. Berce-
lana pangsi warna abu-abu tampak berjalan bergegas
menghampiri kerumunan orang. Dipinggangnya tersoren
sebilah pedang. Dialah Ginanjar adanya. Sementara dibe-
lakang pemuda itu terlihat beberapa ekor kuda melintasi pula jalan itu. Ternyata
rombongan orang-orang Kadipaten. Seorang laki-laki tua yang berada dibagian
depan adalah Adipati Kiduling Kuto. Lima penunggang kuda di-
belakangnya adalah para pengawalnya.
Ginanjar segera menyingkir untuk memberi Jalan, Ke-
tika rombongan itu tiba ditempat kejadian, kerumunan
orang itupun segera. menyibak bubar. Semua mata tertu-
ju pada para penunggang kuda. Mengetahui kalau yang
datang adalah Adipati Kiduling Kuto, mereka menghatur-
kan sembah. "Selamat datang kanjeng Adipati..."
"Selamat datang Gusti Adipati..!" beberapa orang
membuka suara. Adipati Kiduling Kuto hentikan kudanya. Matanya me-
nyapu pandangan semua orang yang menunduk dihada-
pannya. Lalu menatap pada sosok tubuh yang terbujur
ditanah itu. Sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi
mayat. "Apakah kalian mengetahui siapakah mayat perem-
puan itu?" tanya sang Adipati.
"Ampun Gusti, hamba mengenalnya. Dia puteri Ki
Rangga Wulung!" menyahut salah seorang dihadapannya.
"Aneh" mengapa bisa berada ditempat ini" Apakah kalian mengetahui siapa yang
telah membunuhnya?" tanya lagi Adipati Kiduling Kuto dengan sapukan pandangannya
pada beberapa orang.
Sementara Ginanjar telah berada pula dikerumunan
orang itu. Matanya menatap pada perempuan yang terbu-
jur kaku itu. Sebuah belati tampak jelas terhunjam didadanya. Salah seorang dari
kerumunan orang itu tiba-tiba menyeruak keluar, menghampiri ke hadapan Adipati
Kiduling Kuto. Seraya menyembah, laki-laki itu berkata.
"Ampun, Gusti.! Nama hamba Wiryo Jembluk. Hamba
tadi malam bertugas meronda. Jelas sekali hamba melihat sebelum menjelang
shubuh, sesosok tubuh berlari-lari ke arah tengah desa. Merasa curiga kami yang
meronda ber-tiga segera mengejarnya. Ternyata perempuan itu adalah
Nyi Jayeng Sari. Puteri Ki Rangga Wulung. Lalu hamba
menanyai..."
"Aku tanyakan siapakah yang telah membunuhnya!
apakah kau mengetahui?" membentak Adipati Kiduling Kuto. "Aku tak menanyakan
macam-macam!" sambungnya.
Dibentak demikian si laki-laki bernama Wiryo Jembluk
ini jadi gelagapan.
"Ya...! Yya.. Gusti. hamba...hamba.." belum lagi habis kata-katanya tiba-tiba
laki-laki itu menjerit keras dan roboh terjungkal. Ternyata dadanya telah
tertembus sebuah
belati kecil. Sesaat setelah berkelojotan, Wiryo Jembluk terkapar tak berkutik,
karena nyawanya telah melayang.
Pucatlah wajah semua orang. Juga wajah Adipati Kiduling Kuto.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat diantara kerumu-
nan orang. Ginanjar tersentak kaget. Dia lihat jelas laki-laki itu yang telah
menyambitkan pisau belati itu ke arah Wiryo Jembluk.
"Dia pembunuhnya...! he! jangan lari!!" membentak pemuda ini. Tubuhnya
berkelebat. Dan dengan gerakan
salto diudara setinggi lima tombak, tubuh Ginanjar melewati kepala-kepala orang.
Dilain kejap dia sudah berada dihadapan laki-laki yang mau melarikan diri itu.
SET! SET! Dua pisau belati meluncur ke arah leher dan dada Gi-
nanjar yang dilontarkan laki-laki Itu. Namun Ginanjar
berhasil mengelakkan diri dengan gerakan lincah.
Dan...BUK! lengannya telah menghantam dada orang.
Pukulan itu tak terlalu keras, akan tetapi membuat laki-laki pembunuh itu
terdorong mundur hingga jatuh ter-
jengkang. Ginanjar tak berlaku ayal untuk cepat melompat. Len-
gannya sudah bergerak untuk mengirimkan totokannya.
Dia berpendapat harus meringkus laki-laki itu tanpa ha-
rus membunuhnya.
Akan tetapi tiba-tiba sebatang anak panah telah men-
dahuluinya menembus dada laki-laki itu, yang jadi meng-
geliat sejenak. Setelah mengerang, lalu terguling tak berkutik. Tewas seketika.
"Bagus! kau amat cekatan anak muda! manusia pem-
bunuh ini memang pantas mampus!" terdengar suara
berkata. Ternyata Adipati Kiduling Kuto telah berada dihadapannya bersama
seorang pengawalnya yang memba-
wa busur dan anak panah. Ginanjar cepat-cepat mengha-
turkan hormat. Diam-diam hatinya membathin. "Hebat!
tak dinyana Adipati ini punya gerakan hebat. Juga pen-
gawalnya..." Ginanjar memang telah melihat jelas kedua orang Kadipaten itu
melompat dari punggung kuda masing-masing. Si pengawal bersenjata panah itu
telah men- cabut sebatang anak panah dan melemparkannya untuk
membunuh laki-laki itu tanpa menggunakan busur lagi.
"Terima kasih atas pujian anda Adipati...! akan tetapi sayang, mengapa dia
dibunuh?" berkata Ginanjar.
"Apakah maksud anda, sobat" Dan, siapa anda! meli-
hat dari caramu bicara kau pasti orang Rimba Hijau. Si-
lahkan perkenalkan nama dan julukanmu!" Berkata pengawal Adipati itu dengan
suara lantang. Ginanjar mena-
tap pada Adipati Kiduling Kuto. Laki-laki tua itu men-
gangguk seraya berkata.
"Benar! coba kau ungkapkan maksud anda, anak mu-
da. Dan akupun ingin mengetahui siapa anda gerangan.
Tentunya seorang pendekar dari pihak golongan Putih,
yang berada dipihak Kerajaan...!"
"Ah, hamba hanya seorang pendekar picisan yang tak berguna, Adipati! Namaku
Ginanjar. Dan julukanku...ngng... aku tak punya julukan!" menyahut Ginanjar
dengan suara datar merendah. Dia sudah mau sebutkan
dirinya berjulukan si Dewa Linglung. Akan tetapi merasa julukan itu tak sesuai
lagi dengan keadaan dirinya yang sudah kembali waras.
Adipati Kiduling Kuto manggut-manggut. "Nah, seka-
rang jelaskan maksud kata-katamu. Mengapa kau men-
cegah orangku membunuhnya?" Ginanjar tersenyum, seraya menyahut.
"Maksudku demikian, Adipati. Kalau orang ini tak dibunuh, kita bisa menanyai.
Atau memaksanya bicara.
Hamba berpendapat kalau- dia pulalah yang telah mela-
kukan pembunuhan terhadap anak gadis Ki Rangga Wu-
lung itu. Akan tetapi bukan mustahil kalau dia hanya su-ruhan orang lain. Nah,
kita bisa menanyai siapa gerangan orang yang berada dibelakangnya...!" tutur
Ginanjar. Sejenak tercenung Adipati ini. Sementara sang pengawal


Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menatap berganti-ganti pada atasannya dan Ginanjar
dengan wajah kaku. Apakah tindakannya akan disalah-
kan ataukah dibenarkan oleh sang Adipati.
Tampak kemudian Adipati Kiduling Kuto manggut-
manggut seraya mengelus jenggotnya. Lalu berkata.
"Haih! pendapatmu benar, anak muda! Ya! kau telah bertindak salah, Hambali! akan
tetapi kejadian ini sudah ter-lanjur...!"
"Lalu apakah selanjutnya yang akan kita lakukan Gus-ti Adipati?" tanya Hambali.
Wajahnya tampak berubah merah. Tampaknya laki-laki ini agak mendongkol juga
terhadap Ginanjar yang membuat dia dipersalahkan oleh
Adipati. Untung sang Adipati tak memperpanjang urusan.
"Hm, pergilah empat orang dari kalian ketempat tinggal Ki Rangga Wulung! Periksa
keadaan didalam rumahnya!"
perintah Adipati.
"Daulat, kanjeng Gusti Adipati!" menyahut Hambali.
Dan selanjutnya memberi isyarat pada keempat kawan-
nya, yang telah berdatangan. Salah seorang kawan pen-
gawal itu membawakan pula kudanya. Lalu, setelah me-
lompat keatas kuda, bergegas empat orang pengawal Ka-
dipaten itu memacu kuda masing-masing untuk mening-
galkan tempat itu. Dengan tujuan ke arah tempat kedia-
man Ki Rangga Wulung. Ginanjar menatap kepergiannya.
Sang Adipati mendekati Ginanjar menepuk pundaknya.
"Anak muda, tampaknya kau bisa diajak bekerja sama!
marl ketempat kediamanku...! urusan ini kita serahkan
saja pada keempat pengawalku! Kita kembali ke Kadipa-
ten!" "Ah, kalau hamba diajak singgah, mana mungkin kutolak" Terima kasih
Adipati...!", menyahut Ginanjar. Sang Adipati melompat kepunggung kuda yang
dibawakan oleh seorang dari pengawal yang tak turut serta. Lalu beri
isyarat pada pengawal itu untuk berikan kudanya pada
Ginanjar. Tak lama dua ekor kuda sudah mencongklang pelahan
meninggalkan kerumunan ditempat itu. Pengawal yang
seorang diperintahkan menunggu kawan-kawannya di-
tempat itu, sekalian mengurus jenazah wanita anak gadis Ki Rangga Wulung itu
untuk dikuburkan sebagaimana
mestinya. "Bila tak ada kejadian apa-apa dikediaman Ki Rangga Wulung ataupun ada terjadi
peristiwa, kau katakan pada
keempat pengawal kawanmu untuk segera menghadapku
di Kadipaten!" teriak Adipati Kiduling Kuto sesaat ketika dia hentikan kudanya
dan membalik ke arah pengawalnya.
"Daulat kanjeng Gusti Adipati. Perintah akan hamba laksanakan!" menyahut
pengawal ini. Tak lama dia cuma menatap punggung kedua orang itu hingga lenyap
meninggalkan debu mengepul.
"Heh! pemuda bernama Ginanjar itu jangan-jangan bi-sa menggeser kedudukanku di
Kadipaten. Tampaknya
Adipati amat berkenan melihatnya!" gumam pengawal ini.
Dan dengan bersungut-sungut segera dia perintahkan
orang berkerumun itu bubar. Beberapa orang laki-laki diperintahkan menggali
lubang untuk mengubur jenazah
perempuan itu. Matahari mulai merayap naik. Tampak kesibukan di-
tempat itu dari para penduduk yang menjalankan perin-
tah menggali kubur.....
Sementara si pengawal Kadipaten itu cuma duduk di
bawah pohon dengan bertopang dagu. Seolah seribu ke-
melut membentang dalam benaknya. Sikap Adipati pada
Ginanjar itu membuat dia takut tergeser sebagai orang-
orang kepercayaan dan andalan sang junjungannya.
EMPAT "Ampun Gusti Adipati! hamba melaporkan. Keadaan di rumah kediaman Ki Rangga
Wulung tak dapat hamba ceritakan. Segeralah gusti Adipati melihatnya
sendiri...!"
melapor salah satu dari keempat pengawal Kadipaten. Di-
alah Hambali. "Hm, mengapa demikian?" bertanya Adipati Kiduling Kuto. Keningnya berkerut, dan
alisnya naik terjungkat.
Ginanjar yang sedang duduk bercakap-cakap dengan
Adipati ini juga terheran mendengar laporan itu.
"Ampun Gusti Adipati. Terlalu berat mengatakannya, karena hal ini adalah sesuatu
yang diluar dugaan. Dan
hanya gusti Adipati sendirilah yang berhak melihatnya.
Tiga orang kawan kami masih berada disana...!" berkata lagi pengawal bernama
Hambali itu. Setelah termenung
sejurus, laki-laki Adipati ini berpaling pada Ginanjar.
"Sobat Ginanjar, mari kita melihatnya. Kukira pasti ada kejadian yang luar
biasa...!" Ginanjar mengangguk.
"Hamba tak keberatan, Adipati...!" ujar pemuda ini. Nah, Hambali segeralah kau
siapkan kudaku. Juga kuda buat
tetamuku sobat Ginanjar ini!"
"Daulat, Gusti, perintah akan hamba laksanakan...!"
menyahut Hambali. Lalu setelah meminta diri, segera be-
ranjak keluar dari pendopo. Tak lama diluar sudah tersedia dua ekor kuda.
"Mari sobat Ginanjar...!" ajak Adipati Kiduling Kuto.
Dan dia melompat terlebih dulu kepunggung kudanya.
Ginanjar mengikuti. Tak lama kedua kuda telah men-
congklang cepat keluar halaman gedung Kadipaten. Ham-
bali memandang disebelah dua orang pengawal Kadipa-
ten, hingga kedua kuda itu lenyap ditikungan jalan.
Diatas kuda, Adipati Kiduling Kuto berkata. "Sobat Ginanjar! anak buahku teramat
patuh padaku! lihatlah! un-
tuk satu hal yang amat besar, dia tak mau melancangi
melapor, kecuali menitahkan aku sendiri melihat keja-
dian. Tampaknya hal ini bukan hal biasa! karena dia ta-
kut kesalahan bicara...!" Ginanjar kerutkan aliasnya. "Ada kejadian apakah
sebenarnya, dirumah kediaman Ki Reng-gana itu ?" berkata Ginanjar dalam hati.
Akan tetapi dia cuma manggut-manggut tanpa memberikan komentar
pada Adipati Kiduling Kuto.
Tak lama mereka sudah berada dihalaman sebuah
rumah gedung model lama yang tampak diluar dijaga oleh
tiga orang pengawal berkuda. Ketika melihat Adipati
muncul bersama Ginanjar, mereka seperti agak terkejut
melihat pemuda itu. Tapi segera turun dari kudanya, se-
raya menyembah hormat. "Syukurlah Gusti Adipati berkenan datang melihat sendiri
keadaan didalam. Hamba
takut melancangi kanjeng Gusti...!"
Akan tetapi sambil berkata mata laki-laki yang bicara
ini menatap pada Ginanjar dengan sorot mata tajam. Be-
gitu pula kedua kawannya.
"Hm, kalian tak usah curiga padanya. Dia orang sendiri...!" berkata Adipati.
Ginanjar yang tahu diri segera menjura hormat pada ketiganya.
"Mari, sobatku! kita lihat keadaan didalam. Apakah gerangan yang telah
terjadi...?" Ginanjar mengangguk. Sementara ketiga pengawal cuma menunduk,
setelah mem- persilahkan Adipati Kiduling Kuto untuk menindak ma-
suk. Didepan gedung keduanya hentikan kuda. Setelah
menambatkan kudanya, Adipati melangkah lebar mema-
suki ruangan dalam gedung Ki Rangga Wulung yang be-
kas Tumenggung itu. Ginanjar mengikutinya dari bela-
kang. Sementara dua dari pengawal Kadipaten itu mengi-
kutinya dibelakang Ginanjar. Satu persatu ruangan dipe-
riksa. Ketika melihat pintu kamar terbuka dan bau mayat menyerang hidung membuat
Adipati ini tampak berubah
wajahnya. "Hm, pasti ada yang tidak beres!" berbisik dia pada Ginanjar. Dan... segera
terpampang dihadapan mereka, se-
sosok tubuh yang telah jadi mayat terkapar diruangan
kamar. Sosok tubuh dari Ki Rangga Wulung, yang tewas
dengan isi perut robek. Ususnya terburai keluar. "Ah...!?"
tersentak Ginanjar. Adipati inipun kelihatan berubah kaget wajahnya.
"Haiiih! inikah kejadian yang tak mau dilaporkan itu?"
berkata Adipati. "Lagi-lagi pembunuhan! siapakah bangsat tengik yang telah
melenyapkan nyawa bekas Tumeng-
gung Kerajaan ini...?" Menggetar suara Adipati.
"Benar, Gusti Adipati. Akan tetapi bukan ini saja!" menyahut pengawal yang
dibelakang Ginanjar.
"Hm, mari kita periksa ruangan lain..!" berkata Adipati Kiduling Kuto. Lalu
beranjak melangkah kelain ruangan.
Dan ketika membuka sebuah pintu kamar yang memang
sudah setengah terbuka pintunya. Segera terpampang la-
gi sebuah pemandangan menyeramkan. Hal ini bukan sa-
ja membuat Ginanjar terkejut, akan tetapi sang Adipati
ini juga belalakkan matanya. Mulutnya ternganga dengan
berteriak kaget.
"Hah!" dia..dia si WIRA PATI,...?"
Tentu saja hal itu membuat Ginanjar terpaku tak ber-
geming, karena melihat seorang laki-laki berusia 40 ta-
hun lebih yang tergantung lehernya oleh seutas tambang
pada langit-langit kamar, Sementara di bawahnya tergeletak sebuah buntalan yang
setengah terbuka, berisi ben-
da-benda pusaka Kerajaan. Darah membanjir menganak
sungai diatas pembaringan! hingga kelantai. Lambung la-
ki-laki itu sobek memburaikan isi perutnya. Sungguh se-
buah pemandangan yang amat mengerikan.
"Wira Pati...." maksud Adipati, apakah dia si orang buronan Kerajaan Mataram
yang tengah dicari-cari itu...?"
tanya Ginanjar terkejut.
"Tak salah, sobatku....! dia Wira Pati adanya?" menyahut Adipati ini. "Akan
tetapi aneh! siapakah orang yang telah membunuhnya, dan menggantungnya dalam
kamar Ki Rangga Wulung ini?"
Wilayah Kota Raja jadi gempar, karena si buronan Ke-
rajaan bernama Wira Pati yang telah merampok harta pu-
saka Kerajaan, telah berhasil dibawa mayatnya oleh Adi-
pati Kiduling Kuto, Tentu saja orang-orang Kerajaan mengelu-elukan Adipati
Kiduling Kuto yang telah berhasil menyelamatkan harta pusaka Kerajaan Mataram.
Benda- benda pusaka itu masih utuh dalam buntalan. Kecuali
sebuah tombak. Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima yang
lenyap tak ketahuan kemana rimbanya. Untuk itu sang
Adipati itu telah menerima penghargaan besar dari bagin-da Raja Mataram. Selain
penghargaan, tentu saja menda-
pat pub hadiah istimewa dari Baginda Raja Kerajaan Ma-
taram atas jasanya itu.
Rakyat tampaknya amat bersuka cita dengan hasil ge-
milang yang dilakukan Adipati Kiduling Kuto yang bertindak cepat meringkus dan
membunuh mati si buronan
yang bekas Senapati itu bersama anak-anak buahnya.
Demikianlah. Apa yang memang sudah seharusnya terja-
di, juga telah menjadi kenyataan. Walaupun sebenarnya
bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang membunuh buronan
Kerajaan itu. Tapi karena tak seorangpun dari pihak ra-
kyat maupun para pendekar yang buka suara atau men-
getahui kejadian sebenarnya, semua yakin kalau Adipati
Kiduling Kuto yang berjasa...
Hal mana membuat Ginanjar yang telah menjadi teta-
mu di gedung Kadipaten Adipati Kiduling Kuto jadi geleng kepala tak mengerti.
Dua hari dia menjadi tetamu di gedung Kadipaten, Ginanjar merasa tugasnya sudah
selesai. Karena toh biang kerok yang menjadi buronan Kerajaan
telah mati. Walau tak tahu siapa pembunuhnya, namun
mau tak mau sang Adipati Kiduling Kuto itulah yang be-
runtung. Mendapat penghargaan, juga hadiah istimewa
dari Raja. "Hm, Adipati tentu tak melupakan keempat pengawal
Kadipaten yang telah berjasa dengan "anugerah" besar itu...!" berdesis Ginanjar
dalam duduknya. Sepasang matanya menatap keluar dari kamar tempat dia bermalam
sebagai tetamu istimewa Adipati Kiduling Kuto.
"Apakah sebaiknya aku meninggalkan gedung Kadipa-
ten ini" Info yang kudapat dari orang Kadipaten, bahwa
penghargaan dan hadiah telah diberikan hari ini oleh baginda Raja! Menurut
seorang pengawal yang bam pulang
dari Kota Raja, Adipati baru kembali sore nanti...." berkata Ginanjar dalam
hati. Termenung sesaat pemuda ini se-
perti menimbang-nimbang keputusannya. Akhirnya dia
bangkit dari kursinya, lalu beranjak ke ruangan pendopo.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara merintih dari dalam
ruang kamar ditengah gedung. Tersentak pemuda ini.
"Aih, siapakah gerangan yang merintih itu?" pikirnya. Tak ayal dia sudah
hentikan langkah, dan berbalik ke arah
ruang dalam. Itulah ruangan kamar istri Adipati Kiduling Kuto.
Suara mengerang dan rintihan itu semakin jelas dari
celah daun pintu kamar yang setengah terbuka. Mau tak
mau Ginanjar tertegun bingung.
"Tidak! jangaan! tolooong...! lepaskaaan...!" teriakan itu semakin jelas.
Membuat Ginanjar tak sabar. Dan membuka daun pintu kamar dengan cepat. Dan
selanjutnya sudah melompat kedalam. Kelambu pada tempat tidur is-
tri Adipati Kiduling Kuto tampak tertutup dan bergoyang-goyang. Orang didalam
tak begitu jelas.
"Celaka...!" jangan-jangan ada orang jahat yang masuk mau memperkosanya. Ataukah
anak buah Adipati sendiri
yang mau berbuat kurang ajar?" seru tak hati Ginanjar.
Tak ayal dia sudah berkelebat melompat. Lengannya me-
nyibak kelambu. Akan tetapi tertegun dia, karena istri
Adipati itu tengah mengigau dalam tidurnya. Dia telah
berteriak-teriak dan merintih dengan mata tertutup. Ten-tu saja dengan pakaian
setengah terbuka.
"Aiiih! siang-siang begini mengigau..." memaki Ginanjar dalam hati. Seraya
garuk-garuk kepala yang tidak gat-al. Akan tetapi tersentak dia. karena
mendengar langkah-langkah kaki mendekat ke arah kamar. "Celaka! aku bisa dituduh
berbuat tidak senonoh..." Aii! aku harus cepat
menyingkir!" sentaknya dalam hati. Akan tetapi terlambat....'
"Bangsat licik! apa yang kau lakukan disini bocah keparat..."! tahu-tahu telah
terdengar suara bentakan. Dan
tiga sosok tubuh dari tiga pengawal Kadipaten telah ber-lompatan masuk. Pucatlah
seketika wajah Ginanjar. Dan
pada saat itu juga tahu-tahu telah berkelebat sesosok tubuh dari balik pintu
kamar itu. Lengannya bergerak men-
girimkan jotosan kepunggung Ginanjar. Mengetahui ada
bayangan sekilas dibelakang, dan merasa angin pukulan
dibelakanganya, Ginanjar bertindak cepat untuk menge-
lakkan diri. Dia berhasil. Gerakan mengegos itu telah di-barengi dengan lompatan
ke arah pintu. Tapi dua batang
tombak telah meluruk deras mengancam dadanya. Ter-
paksa Ginanjar gunakan kelincahannya. Lengannya ber-
gerak kedepan dengan jari tangan mengembang.


Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan...Krep! Dua batang tombak itu telah kena dicekal.
Selanjutnya yang terdengar adalah suara bergedubrakan-
nya tubuh kedua pengawal Kadipaten itu yang meluncur
ke arah meja. Membentur keras hingga meja tergelimpang terbalik
patah-patah tertindih dua tubuh pengawal itu. Kiranya
Ginanjar telah gunakan kekuatannya untuk membetot
tubuh lawan. Selanjutnya dengan gerakan gesit, dia telah berhasil
melompat keluar dari dalam kamar istri Adipati Kiduling Kuto itu.
"Cegat dia...! cepat! jangan biarkan meloloskan diri...!
membentak orang yang tadi bersembunyi dipintu kamar.
Sementara itu terdengar pula suara jeritan-jeritan kaget dari istri sang Adipati
yang agaknya telah tersadar dari mimpinya.
Seketika suasana didalam gedung Adipati itu menjadi
hiruk pikuk. Suara bentakan dan teriakan terdengar di
setiap sudut ruangan, sampai ke pendopo.
"Kejaar! tangkaaap! Tangkap bangsat itu! dia mau
memperkosa Kanjeng Ibu Adipati....!"
"Tidak! dusta..! aku tak melakukan apa-apa..!
aku...aku..." teriak Ginanjar seraya melompat keruangan pendopo. Akan tetapi
belasan pengawal Kadipaten telah
bermunculan mengurungnya.
"Tetamu macam beginikah yang menjadi tamu istime-
wa gusti Adipati" Heh! tangkap dia! Cincang sampai
mampus!!" terdengar teriakan-teriakan disana sini. "Rupanya kau laki-laki hidung
belang ya.." Ayo. kawan-
kawan! ringkus setan bau kencur ini...!"
LIMA Dua orang pengawal menerjang Ginanjar dengan dua
bilah golok besar. Satu menyerang ganas untuk membe-
lah batok kepala. Sedang satu lagi menabas pinggang.
Pemuda ini jadi gelagapan. Terpaksa dia lakukan gerakan jatuhkan tubuh kelantai.
Kakinya menjejak perut pengawal yang satu. Sedangkan sepasang lengannya me-
nangkap bilah golok yang nyaris membelah tubuhnya.
Dengan sekali sentakan, tubuh si penyerang yang golok-
nya tertangkap itu terlempar membentur dinding
kayu...BRAKK! Dua teriakan terdengar santar. Dan kedua
tubuh pengawal Kadipaten itu terjengkang bergulingan.
Cepat Ginanjar gerakkan tubuh melompat berdiri.
"Tunggu! kalian telah salah menuduh orang! aku akan berikan penjelasan!
berteriak Ginanjar. Akan tetapi percuma. Suara kentongan telah terdengar dipukul
bertalu- talu. Dan diluar gedung puluhan prajurit Kadipaten telah bermunculan
mengurungnya. "Edan! apa-apaan ini...?" tersentak kaget Ginanjar.
"Kau tak dapat loloskan diri kurcaci tengik! Menyerahlah! Kau akan menerima
hukuman berat dari Kanjeng
Adipati...!" terdengar bentakan. Dan...enam orang pengawal segera menerjang
dengan melontarkan tambang-
tambang atau tali laso untuk menjerat dia. "Celaka...!?"
membathin pemuda ini.
Enam tali laso telah meluncur ke arah Ginanjar untuk
menjeratnya. Pengawal-pengawal Kadipaten itu ternyata
adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Ginanjar
cepat cabut pedangnya untuk menabas. Namun bersa-
maan dengan itu. Beberapa pisau terbang telah pula me-
luncur deras kearahnya. Dalam keadaan demikian ter-
nyata membuat pemuda ini jadi melengak. Untunglah pa-
da saat itu selarik cahaya perak telah menghantam buyar semua serangan. Dan...
selarik sinar pelangi meluncur ke arah Ginanjar. Membelit tubuhnya. Saat
berikutnya tubuh pemuda itu tiba-tiba meluncur deras keluar dari
ruang pendopo. Tentu saja kejadian itu membuat para
pengawal Kadipaten jadi terkejut.
Ternyata bukan mereka saja. Ginanjar pun terkejut
bukan main, karena tahu-tahu dia rasakan tubuhnya
terbetot keluar pendopo. Detik selanjutnya Ginanjar rasakan tubuhnya mengapung
ke udara. Ternganga semua
pengawal Kadipaten melihat tubuh Ginanjar melayang
keatas setinggi lebih dari sepuluh tombak. Dan lenyap dibalik wuwungan gedung
Kedipatian itu.
"Kejar.!" mereka hampir serempak. Dan berloncatanlah tubuh-tubuh para pengawal
itu untuk mengejar Ginanjar.
Akan tetapi mereka tak dapatkan lagi pemuda itu disana.
Ginanjar telah lenyap entah kemana bagaikan diterbang-
kan angin.... "RORO..." kau...kau...?"" Ah, lagi-lagi kau telah me-nyelamatkanku! Ilmu Sinar
perak-pelangi itu dari mana
kau dapatkan" Ah, ah..sungguh mengagumkan!" berkata Ginanjar, ketika dapatkan
dirinya berada diatas bukit.
Dihadapannya berdiri tegak Roro Centil yang tersenyum
memandangnya. "Hihihi... Ginanjar! Ginanjar..! kau mengapa membuat kerusuhan di kediaman
Adipati Kiduling Kuto itu?" ujar Roro dengan suaranya yang merdu. Lalu duduk
diatas batu. Pandangannya dialihkan menatap kebawah bukit.
"Hm, aku tak membuat keasusilaan...!" tugas anak muda ini.
"Lalu" mengapa pengawal-pengawal Kadipaten mau
meringkusmu?" tanya Roro menyelidik. "Menurut yang
kudengar kau mau mengganggu istri Adipati itu!" Ginanjar jadi garuk-garuk kepala
kesal. "Kau percaya?"
"Yah! Setengah percaya setengah tidak!" "Kalau aku ceritakan kejadian
sesungguhnya kau mau mempercayai-
ku?" tanya lagi Ginanjar.
"Akan kupertimbangkan dulu, apakah ceritamu be-
nar!" sahut Roro.
"Baik! akan kukatakan sebenarnya. Setelah itu terserah kau, apakah mau
mempercayai atau tidak!" berkata pemuda itu. Lalu tanpa ayal lagi Ginanjar
segera ceritakan kejadiannya dari awal hingga akhir. Selain itu diceritakan pula
kejadian sebelumnya mengenai peristiwa di
kediaman Ki Rangga Wulung. Tentang diketemukannya
mayat WIRA PATI sang buronan Kerajaan Mataram yang
telah tewas dalam keadaan tergantung di langit-langit
kamar. "Jadi sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang telah membunuh Wira Pati!
melainkan seorang yang misterius, yang telah bertindak tanpa diketahui
siapapun,"
berkata Ginanjar. Roro jadi kerutkan keningnya. Alisnya bergerak menyatu.
Tampaknya dia amat serius memikirkan hal kejadian.
"Kejadian itu memang aneh!" berkata Roro, sesaat kemudian setelah lama
tercenung. "Hahaha... memang
aneh! apakah kau percaya Adipati itu ataukah percaya
aku?" tertawa hambar Ginanjar seraya menatap Roro dalam-dalam.
"Hm, baik! aku percaya padamu! akan tetapi kau ha-
rus membantuku. Aku akan berusaha memecahkan per-
soalan ini. Saat ini kau pasti akan dikejar terus oleh
orang-orang Kadipaten. Sebaiknya kau menyingkir jauh-
jauh. Aku akan coba menyelinap ke gedung Kadipaten
untuk menyelidiki..!" berkata Roro.
"Aku sih setuju saja. Tapi aku akan kemana baiknya menurut pendapatmu?" tanya
Ginanjar. Roro jadi terme-
nung sejurus. "Yak! kalau begitu sebaiknya kau ke Kota Raja. Temui Tumenggung SATRYO. Dan
ceritakan tentang kejadian
sebenarnya mengenai kematian Wira Pati itu. Dua hari
kemudian aku akan menyusulmu kesana...!" ujar Roro dengan wajah cerah.
"Hm, baiklah kalau begitu!"
"Bagus! akan tetapi kau harus waspada! setiap saat nyawamu akan terancam. Karena
pengawal-pengawal Kadipaten takkan membiarkan kau hidup. Kukira, kau kini
jadi orang penting. Karena hanya kaulah yang mengeta-
hui kejadian terbunuhnya Wira Pati. Takkan dibiarkan-
nya kau hidup karena amat membahayakan kedudukan-
nya!" ujar Roro dengan serius.
"Kalau begitu aku terpaksa harus menyamar...!" berkata Ginanjar.
"Hihihi, itulah jalan terbaik! akan tetapi hati-hati. Aku yakin orang-orang
Adipati Kiduling Kuto tak akan tinggal diam dan bertebaran mencarimu!"
"Heh! jangan khawatir! aku dapat menjaga diriku! berkata Ginanjar. Roro Centil
manggut-manggut, lalu ujar-
nya kemudian. "Nah, baiklah kalau begitu! Aku segera pergi. Sampai jumpa lagi
dua hari kemudian di Kota Ra-ja!" "Kalau tak ada halangan, tentunya...!" sambung
Roro. "Ya, kalau tak ada halangan!" sahut Ginanjar sambil tersenyum. Roro Centil
bangkit berdiri, lalu beranjak melangkah. Tak lama dia sudah berkelebat lenyap
dari atas bukit itu. Ginanjar cuma terpaku memandang. Hatinya
membathin. "Haiih, kalau tak ada dia keadaanku bisa lebih gawat. Heh, dia benar-
benar seorang Dewi Peno-
long...!" Adipati Kiduling Kuto telah kembali dari Kota Raja sore itu. Dengan diantar oleh
pasukan kehormatan dari Kerajaan Mataram. Tentu saja dengan membawa hadiah isti-
mewa dari Kerajaan Mataram. Hadiah istimewa dari Ba-
ginda Raja Mataram adalah Tiga hektar sawah dan tanah,
mutlak jadi miliknya. Permintaan hadiah itu adalah atas dasar baginda menawarkan
apa yang diingini oleh Adipati Kiduling Kuto. Ternyata sang Adipati meminta
hadiah tanah dan sawah. Permintaan itu dikabulkan Baginda Raja.
Hingga sang Adipati kembali ke Kadipaten sore itu dengan membawa surat
ditangannya. Surat dari tiga hektar sawah dan tanah yang menjadi hak miliknya
secara syah. Selain itu pula Baginda telah memberi pula uang emas
sebagai imbalan atas jasanya.
Tumenggung Satryo yang memimpin pasukan kehor-
matan untuk mengantar sang Adipati itu cuma mengan-
tar sampai perbatasan Kota Raja. Selanjutnya kembali ke markas, di Kota Raja.
Adapun Adipati Kiduling Kuto dengan pengawal-pengawal kadipaten meneruskan
perjala- nan menuju ke Kedipatian. Derap langkah kaki-kaki kuda
terdengar dan terlihat semakin mendekat kewilayah Kadi-
paten. Dan, tak lama mereka tiba dipintu gerbang gedung Kadipaten.
Beberapa pengawal segera datang menyambut. Juga
istri sang Adipati yang masih berusia muda itu menyam-
but sang Adipati dipintu pendopo.
"Selamat datang, kanda Adipati...!"
"Hm, ya...!ya...! apakah tak ada kejadian apa-apa dirumah kita?" bertanya
Adipati Kiduling Kuto.
"Marilah kita bicara didalam, kanda!" berkata sang istri dengan agak berubah
wajahnya. Laki-laki Adipati ini
mengangguk. Lalu beranjak memasuki ruang pendopo.
"Celaka, kanda...! tetamu kita, laki-laki muda bernama Ginanjar itu berhasil
meloloskan diri!" tak sabar sang istri telah buka pembicaraan, sambil melangkah
keruangan tengah. Membelalak sepasang mata Adipati ini. "Bagaimana bisa terjadi" bukankah
telah kuatur rencana agar
dia dijadikan tawanan!"
"Kanda dapat tanyakan nanti pada pengawal-pengawal Kadipaten yang telah
ditugaskan kanda untuk hal itu
nanti!" berkata sang istri. "Akan tetapi sebaiknya kanda beristirahat dulu...!"
Adipati Kiduling Kuto tak menjawab.
Dihempaskannya tubuhnya kekursi diruang tengah ber-
bantal empuk itu. Dan dihelanya napasnya panjang-
panjang. "Walau bagaimanapun anak muda itu harus dile-
nyapkan! Karena hanya dia yang mengetahui kejadian
itu!" berdesis suara sang Adipati. Sepasang matanya tampak membinar. Dan dia
tampak gelisah.
"Hal itu dapat diatur nanti kanda! minumlah dulu! kau tentu haus!" Laki-laki ini
tak menolak ketika istrinya me-nyorongkan nampan berisi minuman segar kehadapan-
nya. Diraihnya cangkir perak berisi minuman segar kesu-
kaannya. Dan direguknya hingga ludas.
ENAM Malam itu bulan sabit mengambang dilangit... Seekor
kuda pelahan keluar dari belakang gedung Kedipatian.
Sesosok tubuh berpakaian serba hitam telah menyeretnya
keluar dengan gerakan hati-hati. Lalu melompat dengan
sigap. Dan selanjutnya mencongklang pelahan mening-
galkan tempat itu. Laki-laki itu memakai topeng untuk
menutupi wajahnya. Sekejap kemudian telah lenyap diti-
kungan jalan. Ternyata penunggang kuda itu menuju ke
arah utara. Memasuki jalan setapak disisi hutan. Tak la-ma telah menuruni sebuah
bukit kecil. Setelah membelok
ke arah timur, lalu berhenti didepan sebuah candi.
Membelok disisi candi, ada sebuah jalan lurus yang
menuju kesisi bukit. Dan tepat dibelakang candi itu dia hentikan langkah
kudanya. Melompat turun. Menyembu-nyikan kuda, dan mengikatnya disekitar pohon
dibalik semak. Lalu beranjak melangkah kesisi bukit.
Disini terlihat sebuah pondok terpencil ditempat itu.
Pondok satu-satunya. Tampak dari kejauhan cahaya lam-
pu tersembul dari jendela yang terbuka. Dia terus me-
langkah menghampiri.
"Kokok Beluk terbang malam...!" berteriak pelahan, la-ki-laki bertopeng itu.
Suasana tampak hening mencekam.
Jarak antara laki-laki itu tinggal beberapa tombak lagi.
"Hehehe... silahkan masuk, sobatku...! aku telah mengetahui kedatanganmu!"
terdengar suara serak dari dalam pondok. Ternyata laki-laki itu mengucapkan
kata-kata sandi (rahasia).
"Ah, terima kasih, kakek Panembahan!" berkata laki-laki itu seraya bergegas
mendekati pondok. Tak lama pin-tu terbuka dengan suara berderit. Aneh! pintu itu
seperti terbuka sendiri. Seorang kakek berusia hampir tiga perempat abad tampak
duduk dibalai-balai bambu bera-
laskan tikar. Diatas meja terang bersinar cahaya lampu
tempel menerangi wajahnya yang keriput. Sepasang ma-
tanya terkatup rapat. Kakek ini mengenakan jubah warna
hitam. Berkepala hampir gundul, yang cuma tinggal bebe-
rapa lembar lagi rambutnya.
Dihadapannya terdapat sebuah pedupaan. Dan sebuah
tombak berwarna hitam tergeletak dihadapannya. Itulah
Tombak Pusaka Ratu Shima. Laki-laki ini melangkah ke-
dalam dan menjura hormat, seraya membuka topeng wa-
jahnya. Ternyata dia tak lain dari Adipati Kiduling Kuto.
"Silahkan duduk sobat Adipati...!" berkata si kakek berjubah hitam itu. Tanpa
membuka matanya dan masih
tetap duduk seperti tadi. "Terima kasih...!" sahut laki-laki ini. Sang Adipati
segera beranjak untuk duduk disudut
sisi balai-balai.
"Tampaknya kau gelisah sekali. Bukankah kau baru
terima hadiah dari Baginda Raja" Ada maksud apakah
dengan kedatanganmu?" bertanya si kakek itu.
"Aku perlu bantuanmu, kakek Panembahan...!"
"Heheheh...sudah kuduga! Apakah mengenai pemuda


Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Ginanjar yang berhasil meloloskan diri itu...?"
Melengak Adipati Kiduling Kuto. "Kakek Panembahan
telah mengetahui?" tanyanya terheran. Akan tetapi juga
kagum. "Hm, mata bathinku lebih awas dari pada kedua mata-ku ini!" menyahut si kakek.
Lalu nampak membuka mata.
Ternyata kakek ini mempunyai sepasang mata yang amat
kecil alias sipit. Hingga hampir tak terlihat biji matanya.
"Benar sekali apa yang kakek Panembahan katakan
itu. Bocah laki-laki itu amat membahayakan. Dia harus
dilenyapkan secepatnya. Aku khawatir dia membocorkan
hal ini dengan melapor ke Kota Raja!" berkata sang Adipati. "Hm, benar apa
katamu! Apakah kau tak berupaya untuk berbuat sedini mungkin sebelum anak muda
itu membocorkan rahasia itu?"
"Sudah, kakek Panembahan! Aku telah sebar anak bu-
ahku yang menyamar untuk mengawasinya disekitar wi-
layah Kota Raja. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran-
ku adalah, adanya seseorang sakti yang berada dibela-
kangnya!" "He" siapa dia" mata bathinku tak dapat menangkap-
nya...!?" tersentak Kakek ini.
"Aku sendiri tak mengetahui, kakek Panembahan.
Yang kutahu adalah para pengawal Kadipaten anak-anak
buahku itu telah menceritakan..." Lalu Adipati Kiduling Kuto segera menuturkan
kejadian aneh hingga lolosnya
pemuda bernama Ginanjar itu dari sergapan anak buah-
nya. "Sinar perak dan pelangi itu amat luar biasa. Dan telah menyelamatkan nyawa
_muda itu. Kalau bukan seorang
yang sakti yang telah menolongnya, tak mungkin dia da-
pat lolos dari ringkusan anak-anak buahku yang telah
berpengalaman...!"
"Sinar perak dan pelangi....?" menggumam si kakek mata sipit ini.
"Benar, kakek Panembahan!"
Kakek ini tampak kerutkan keningnya dan tertegun se-
jenak. "Seperti aku pernah mengenai siapa pemilik ilmu
aneh itu! Ya, ya..! aku ingat. Si pemilik ilmu itu tak lain dari seorang
perempuan yang pernah berjulukan si Pendekar Selendang Perak Pelangi! Hm, kalau
tak salah ber- nama MURI ASIH!" berkata si kakek dengan suara berdesis. "Mungkinkah perempuan
sakti itu!" gumamnya.
Agak lama si kakek Panembahan itu tercenung dengan
serius. Namun tak lama dia berkata. "Sobat Adipati, coba tolong kau ambilkan aku
segelas air putih!"
"Baik, kakek Panembahan..." menyahut sang Adipati, seraya beranjak menuju ruang
belakang pondok.
KAKEK Panembahan itu tampak komat kamit memba-
ca mantera. Dihadapannya segelas air putih yang diberi
asap pedupaan. Diputar-putarkannya pedupaan itu bebe-
rapa kali. Sementara matanya terpejam. Tak lama dia le-
takkan lagi pedupaan itu. Sepasang matanya terbuka.
Memandang kedalam gelas berisi air putih itu. Sementara sang Adipati menanti
dengan hati berdebar.
Tampak wajah kakek itu berubah pucat ketika mena-
tap kedalam air. Namun tak lama wajah berubah membe-
si. Dia membentak keras.
"Kau akan menjadi gila, bila turut campur urusanku!
Siapa kau bocah perempuan...?" Adipati Kiduling Kuto sampai terlonjak kaget.
PRAKK! Terkejut dia karena tahu-tahu gelas berisi air itu pe-
cah. Airnya tumpah membanjir ditikar. Ternyata bukan
Adipati itu saja yang terkejut, akan tetapi kakek inipun terperanjat. Karena
satu suara terdengar mendenging ditelinganya.
"Hihihi... kakek tua bangka! hebat juga ilmu bathinmu!
Aku Roro Centil yang akan memberantas pengacau licik
macam kau!" Tergetar tubuh kakek ini. Tiba-tiba lengannya meraih Tombak Pusaka
Ratu Shima. Bibirnya mem-
baca mantra. Dan... PLASH! aneh! tiba-tiba tombak Pusa-
ka itu lenyap. Kakek ini gerakkan lengannya mengibas.
Pintu pondok itu tahu-tahu menjeblak terbuka. Dan tu-
buh si kakek telah melesat keluar bagaikan terbang. Lalu lenyap dikegelapan
malam. Adapun Adipati Kiduling Kuto jadi terkejut. Dia jadi
serba salah. Apakah yang akan dilakukannya" Dia pun
memburu keluar dari pondok.
"Sobat Adipati! segeralah kau kembali pulang!" terdengar suara ditelinganya,
tanpa diketahui dimana adanya si kakek Panembahan.
"Ah!" ha... baik, kakek Panembahan!" sahutnya dengan cemas. Dan.. tak ayal dia
segera berlari-lari menuruni bukit kecil itu. Tak lama telah tiba ditempat dia
menambatkan kuda. Dan selanjutnya selang sesaat Adipati Ki-
duling Kuto telah melarikan kudanya dengan cepat me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara itu diatas Candi sesosok tubuh tegak berdi-
ri mematung bagaikan arca. Sosok tubuh seorang wanita
yang berambut panjang terurai. Cahaya bulan sabit me-
nerangi wajahnya. Siapa lagi wanita itu, kalau bukan
RORO CENTIL. Ketika langkah kuda melewati sisi Candi, kuda tung-
gangan Adipati itu meringkik panjang. Mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi. Hawa aneh yang membangunkan
bulu roma telah membuat sang kuda mengetahui akan
adanya sesuatu yang menakutkan. Karena dihadapannya
tegak berdiri seekor harimau tutul yang luar biasa besarnya.
Akan tetapi harimau tutul itu lenyap, ketika terdengar
bentakan. "Roro Centil! akulah lawanmu, jangan ganggu dia..!"
Dan segelombang angin menerpa bergulung-gulung ke
arah harimau itu, yang segera lenyapkan diri. Kuda Adi-
pati Kiduling Kuto jadi tenang kembali. Dan bergegas
sang Adipati memacu kudanya untuk segera minggat dari
tempat itu. "Hihihi... boleh juga ilmu pukulan angin taufanmu, kakek!" terdengar suara dari
atas Candi. Entah sejak ka-
pan di bawah Candi telah berdiri diatas batu, si kakek Panembahan. kepalanya
yang gundul itu berkilat-kilat
kena cahaya rembulan. Laki-laki tua ini menatap keatas
Candi. "Bocah perempuan! ada hubungan apakah kau dengan
si Pendekar Selendang Perak Pelangi, Muri Asih itu...!"
bertanya dia. Suaranya terdengar dingin. Akan tetapi jelas mengandung tekanan
tenaga dalam hebat.
"Hihihi... dia boleh juga disebut guruku! Sayang, beliau yang berhati mulia itu
telah tak ada didunia ini lagi!"
menjawab Roro. "Dia telah mati...?" tanya kakek tua ini dengan suara terkejut.
"Benar! ada apakah kau menanyakannya" Aku datang
untuk meringkusmu, dan tentu saja untuk mengambil
kembali benda Pusaka yang masih ketinggalan dan bera-
da ditanganmu itu!" ujar Roro. Terkejut kakek ini, karena ternyata Roro dapat
mengetahui kalau Tombak Pusaka
Ratu Shima yang telah lenyap sirna itu berada ditangan-
nya. Dengan kekuatan manteranya si kakek ini memang
telah membuat tombak itu tak nampak oleh mata biasa.
"Heheheh... bocah centil! kau terlalu sombong! Walau kau punya ilmu setinggi
langit, apa kau dapat buktikan
kata-katamu?" menantang si kakek dengan mendongkol.
"Hm, akan kucoba! tapi sebelumnya segera kau se-
butkan siapa dirimu! Gelarmu! Bukankah kau yang telah
membunuh si Wira Pati itu" Juga keluarga bekas Tu-
menggung Ki Rangga Wulung...?" cerocos Roro Centil, memberondong dengan
pertanyaan. "Hehehe... hehehe... Aku digelari si Laba-laba Hitam.
Namaku tak perlu kusebutkan! Memang aku yang telah
membunuh si Wira Pati itu. Dia telah tak kuperlukan lagi.
Hehehe... ketahuilah, pencurian harta pusaka Kerajaan
itu hanya dalihku saja untuk memiliki Tombak Pusaka
Ratu Shima, yang kudengar disimpan di Istana Kerajaan
Mataram!" ujar si kakek yang bergelar si Laba-laba Hitam
itu. "Heh! kalau bekas tumenggung, Ki Rangga Wulung itu, bukan aku yang
membunuh. Akan tetapi si Wira Pati
itu sendiri. Sedangkan anak gadis Ki Rangga Wulung
yang mati itu aku tak mengetahuinya!" sambungnya lagi.
"Hm, begitukah..." Hebat juga rencanamu itu, Laba-
laba Hitam! Kematian gadis bekas Tumenggung itu aku
telah mengetahui. Dia dibunuh si Adipati Kiduling Kuto
yang bekerja sama denganmu! Hebat! Hebat...! Tipu daya
licik yang mengagumkan. Dengan cara demikian, bukan-
kah Adipati Kiduling Kuto dapat penghargaan dari Bagin-
da Raja Kerajaan Mataram. Padahal semua ini adalah
permainan busuk kalian. Wira Pati kau bunuh, setelah
berhasil mencuri benda-benda pusaka Kerajaan Mataram
demi keamanan kalian!"
"Hehehe... Roro Centil! aku telah dengar kehebatanmu!
Dan kau telah mengetahui rahasiaku. Maka jalan yang
baik buat kau adalah segera. berangkat ke Akhirat!"
T U J U H "Hihihi... gertakanmu lumayan juga, Laba-laba Hitam.
Akan tetapi jangan bertarung disini. Aku khawatir meru-
sak Candi!" berkata Roro dengan suara merdu.
"Persetan dengan Candi!" memaki si kakek Laba-laba Hitam. Lengannya bergerak
menghantam ke arah Roro.
Menggebu angin pukulan si kakek bagaikan angin praha-
ra. Terkejut Roro Centil. "Celaka!" mendesis suara Roro.
Betapa mendongkolnya dia karena si kakek tak menghi-
raukan kata-katanya. Candi itu adalah salah satu dari
peninggalan Kerajaan SRIWIJAYA. Harus dijaga kelesta-
riannya. Berpikir demikian, tiba-tiba Roro berteriak keras.
Sepasang lengannya terangkat. Dan... satu tenaga yang
tak kelihatan melebihi kekuatan angin pukulan si laba-
laba Hitam telah membersit keluar dari sepasang tangan-
nya. WKHUUUUSSS...! Terkejut Ki Panembahan alias si La-
ba-laba Hitam. Angin pukulannya telah diterpa sambaran
angin panas yang dahsyat luar biasa. Bahkan kekuatan
anginnya sendiri berbalik menghantam tubuhnya. Da-
tangnya begitu cepat, hingga tak lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tak ampun
tubuh si Laba-laba Hitam terlempar
keudara sejauh lebih dari dua puluh tombak.
Dalam keadaan membumbung keudara itu amatlah
beruntung si kakek dapat mengimbangi kekuatan serta
mengkonsentrasikan panca indranya. Hingga dengan rin-
gan dia telah daratkan kakinya keatas bukit.
Terengah-engah si Laba-laba Hitam. Lalu salurkan
hawa murni untuk sebarkan keseluruh tubuh. Hatinya
menggumam. Kakek ini bersyukur karena dia tak terluka
dalam. Angin panas itu cuma membuat tubuhnya tertolak
mental, karena dia telah lindungi tubuhnya dengan tena-
ga dalam inti yang membuat tubuhnya jadi sekeras batu.
"Hebat! luar biasa kekuatan tenaga dalam bocah perempuan itu. Tak percuma dia
bernama besar yang
menggoncangkan jagat!" Diam-diam hatinya memuji dan terkejut bukan main.
"Nah! disini kita aman untuk bertarung! Sudah
siapkah kau kakek sakti...?" satu suara membuat dia terperangah, karena ketika
dia membalik, ternyata Roro
Centil telah berada dibelakangnya.
"Edan...! begitu cepat dia menyusulku?" mendesis suara si kakek.
"Bagaimana Laba-laba Hitam" apakah kau mau serah-
kan Tombak Pusaka Ratu Shima itu dengan suka rela
ataukah kau tetap berkeinginan mengangkanginya?" bertanya Roro. Namun si Laba-
laba Hitam tak menjawab.
Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba tu-
buhnya mendadak lenyap sirna. Tak kelihatan lagi oleh
mata biasa. "Hihihi... mau kabur kealam haluspun kau percuma
saja, Laba-laba Hitam. Aku takkan melepaskanmu begitu
saja sebelum benda Pusaka itu kau serahkan padaku!"
berkata Roro dengan tertawa mengikik. Dan...tubuh sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan itupun sirna pula dari
pandangan. Kini kedua tokoh Rimba Persilatan itu telah
berada dialam halus.
"Bagus! aku memang mau mengajakmu bertarung di-
alam yang tak kelihatan oleh mata manusia biasa", ujar si kakek. Nah, bersiaplah
untuk menghadapi seranganku!"
bentaknya dengan suara dingin mencekam jantung. "Silahkan! aku siap melayanimu,
kakek Laba-laba Hitam
menyahut Roro dengan jumawa. Walau diam-diam dia ju-
ga harus waspada. Karena dia yakin kalau sang kakek itu punya ilmu tinggi yang
belum pernah dilihatnya.
Tampak Laba-laba Hitam telah selesai pula membaca
mantera. Lengannya bergerak memutar.
Menimbulkan segulung asap hitam yang menerjang ke
arah Roro. Asap yang bergulung-gulung itu mendadak be-
rubah menjadi seekor Laba-laba Raksasa. Tersentak Roro
Centil. Tahu-tahu dia telah terkurung oleh kaki-kaki hitam berbulu yang
menyeramkan. Sementara taring sang
Laba-laba Raksasa telah siap menerkamnya.
WHUUK! WHUUUK...!
Lengan sang pendekar Perkasa ini bergerak menghan-
tam ke arah tubuh makhluk itu. Akan tetapi terkejut Ro-
ro. Karena pukulannya hanya menghantam bayangan sa-
ja. Makhluk itu tetap tak merobah posisi menerkamnya.
PRAASSH! kepala mukluk itu menyerang ganas. Batu
bukit itu hancur beserpihan, Namun Roro berhasil gu-
lingkan tubuhnya untuk menghindar.
"Heheheh...! keluarkan seluruh kesaktianmu, nona
Pendekar Pantai Selatan!" terdengar suara tertawa menge-jek mendesing ditelinga
Roro. Makhluk menyeramkan itu
telah meluruk lagi untuk merencah tubuh Roro Centil
mentah-mentah. Empat pasang kaki makhluk itu berhasil
mencengkram tubuh wanita Pendekar ini. Roro terkejut
bukan main. Segala daya upayanya untuk menyerang La-
ba-laba Raksasa menemui jalan buntu. Hingga dia agak
ayal dan berhasil diterkam makhluk mengerikan itu. Be-
lum lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuh-
nya telah kena jerat benang laba-laba, hingga kaki dan
tangannya tak berkutik.
Keringat dingin menebar kesekujur tubuh Roro. Segera
dia berusaha konsentrasikan syaratnya yang membaur
tak keruan. Dengan berguling-guling Roro berusaha men-


Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh dari makhluk itu, walau tubuhnya tak leluasa bergerak. Sementara sang Laba-
laba Raksasa tampaknya cuma
bertindak mempermainkan korbannya yang hampir tak
berdaya. Karena sekejap kaki-kaki sang makhluk Raksasa
telah kembali menerkamnya. Dan lagi-lagi Roro harus
menerima nasib lebih parah. Benang-benang sutera sang
laba-laba yang lengket itu kembali membelit dan mem-
bungkus tubuhnya. "Celaka! aku tak dapat berpikir normal, aku tak tahu apa yang
harus kulakukan...!" membathin Roro dalam keluh putus asanya.
Dalam keputus asaan itu Roro menjerit sekuatnya.
Sungguh diluar dugaan. Jeritan yang diraungkan itu ka-
rena kesal akan ketidak berdayaannya ternyata telah me-
nolong Roro dari bahaya maut. Cengkeraman kaki-kaki si
Laba-laba Raksasa mengendur. Bahkan tanpa disadari je-
ritan yang mirip raungan harimau itu telah memutuskan
benang-benang jerat si Laba-laba Raksasa. Tentu saja hal itu membuat Roro
tersentak girang. Tak ayal dia sudah
melompat bangkit. Kejap berikutnya Roro segera satukan
kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan bathin la-
wan yang telah mempengaruhi sirkuit otaknya hingga dia
tak dapat berpikir normal.
Sementara itu si kakek ternyata masih berdiri tegak
dengan Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya. Terhe-
ran dia melihat Roro berhasil melepaskan diri dan memu-
tuskan jerat sutra laba-laba ciptaannya. Herannya cuma
putus oleh suara jeritan yang mirip raungan harimau.
Melihat Roro tegak berdiri menghimpun kekuatan bathin
yang telah menindih kekuatan bathinnya, laki-laki tua ini
segera berkomat-kamit lagi. Sebelah tangannya menyilang diatas dada. Tiba-tiba
dia membentak keras. "ROBOH...!"
Lengan yang menyilang diatas dada itu digerakkan
menghantam Roro. Itulah pukulan ghaib yang dinamakan
Serapah Dewa Maut. Hebat akibatnya! Tubuh Roro tam-
pak tergetar hebat. Laba-laba Raksasa itu telah lenyap.
Namun segelombang angin pukulan telah membuat tu-
lang-tulangnya serasa lumpuh. Hampir saja dia jatuh
menekuk lutut. Untunglah dengan kekuatan tenaga ba-
thin yang telah dapat mengungguli tenaga bathin si kakek Panembahan itu, Roro
cuma terhuyung saja. Bahkan
dengan satu bentakan nyaring, Roro balas menyerang
dengan pukulan Sinar Perak.
"Kakek gundul! jaga seranganku!" WHUUUKK...!
BLUARRR! Cahaya perak membersit menyambar tubuh si kakek
Laba-laba Hitam. Akan tetapi kakek itu, telah berhasil lemparkan tubuhnya
Iblis Berwajah Seribu 1 Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Suka Suka Cinta 1
^