Mahluk Kerdil Penghisap Darah 2
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah Bagian 2
bisa pulang kembali!" Tak lama nenek Muri Asih tampak berlalu dari tepi sungai
dengan bibirnya kembali
perdengarkan suara berdesis. "Celaka! celaka..! apakah akan tiba masanya
kekalahan besar buat golongan
kaum putih?" Dan berkelebatlah wanita tua itu me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara itu di atas puncak gunung Galung-
gung... Giri Mayang tampak tengah memperhatikan
dengan seksama sebuah benda kuning berkilauan
yang tak lain dari tusuk konde emas yang telah tercek-
al di tangannya. Dari hasil semedinya memusatkan
kekuatan batin untuk bersekutu dengan para iblis di
kawah gunung itu, Giri Mayang telah mengerti bagai-
mana caranya mempergunakan sepasang lengan Iblis-
nya. Ketika itulah membersit cahaya kuning menyilau-
kan yang menyeberangi puncak gunung, melintas di
atas kepundan. Tak ayal Giri Mayang gerakkan sepa-
sang Lengan Iblisnya untuk menyambar cahaya itu.
Ketika sepasang tangan itu kembali menempel di len-
gannya menyatu kembali pada tubuhnya, ternyata te-
lah mencekal sebuah tusuk konde emas yang segera
diamatinya. "Hm, agaknya telah ada orang sakti yang mau
mencoba-coba mengusik ketenangan ku di puncak Ga-
lunggung ini...!" desis Giri Mayang. Mengikik tertawa wanita iblis ini, seraya
selipkan benda itu ke balik pa-kaiannya lalu melompat berdiri.
"Hm, tujuh setan kerdil! kalian selidikilah di
sekitar tempat ini! berkata Giri Mayang pada ketujuh
makhluk piaraan gurunya si Nenek Lembutung. Ketu-
juh makhluk kerdil itu membungkuk hormat, lalu ber-
kelebatan untuk menyebar menjalankan perintah
mencari kalau-kalau bisa dijumpai manusia sakti yang
telah melepaskan tusuk konde emas itu. Sementara
Giri Mayang merapal ajiannya untuk segera mele-
nyapkan diri, hingga tubuhnya tak nampak lagi oleh
mata manusia biasa...
*** DELAPAN Kemanakah gerangan si Tutul membawa maji-
kannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang duduk
di atas punggungnya dengan memeluk erat lehernya
itu" Roro Centil tak berani membuka matanya karena
bersitan angin yang terlalu keras menerpa tubuhnya.
Seperti juga dalam perjalanan yang biasa dilakukan
menjelajah dunia dalam petualangannya, Roro Centil
selalu mengingat kebesaran Tuhan yang telah membe-
rikan karunianya. Dengan memiliki sahabat si Tutul
yang luar biasa itu Roro Centil telah berpetualang ke-
tempat-tempat yang jauh. keperbagai pulau di kawa-
san Nusantara pada masa itu.
Dua malam telah terlewati. Dalam perjalanan
itu telah beberapa kali si Tutul beristirahat memberi kesempatan pada Roro untuk
menangsal perut. Bahkan sempat singgah di satu desa. Namun tak bisa ber-
lama-lama karena si Tutul selalu memberi isyarat den-
gan menggigit-gigit dan menarik ujung bajunya agar
meneruskan perjalanan.
Kembali Roro Centil mengarungi lautan yang
amat luas. Burung- burung camar menyingkir ketika
angin keras tahu-tahu membersit melewati wilayah pe-
rairannya. Seorang nelayan tua melengak kaget ketika
perahunya menjadi oleng karena hempasan angin le-
wat telah menerpa layarnya.
Akan tetapi dia memang tak dapat melihat apa-
apa. Kecepatan luncuran si Tutul laksana hembusan
angin. Nelayan tua itu cuma membelalak kaget seraya
menyambar dayung untuk menguasai olengnya perahu
dengan bibir komat-kamit entah do'a apa yang diba-
canya... Selang kira-kira waktu setengah hari, si Tutul menghentikan luncuran.
Ternyata telah tiba di satu
daratan berpasir. Bukit-bukit batu tampak bertebaran
disana-sini. "Ah, diwilayah manakah ini...?" sentak Ro-ro seraya melompat dari
atas punggung si Tutul. Ter-
mangu-mangu Roro Centil memperhatikan tempat se-
kitarnya, yang melulu padang pasir serta bukit-bukit
batu. Sementara si Tutul tiba-tiba merubah dirinya
menjadi seekor harimau kecil sebesar kucing. Dengan
menggeram dan "mengeong" lirih sang Tutul kecil itu menarik-narik ujung terompah
Roro. "Aiiih, apa maksudmu, Tutul...?" tanya Roro heran. Si Tutul kecil kembali
menggeram dan mengeong
lirih, seraya kemudian melompat ke arah sebuah batu
besar di sisi tebing batu. Terpaksa Roro Centil melom-
pat menyusui. Sikap seperti itu adalah menandakan si
Tutul mengajaknya untuk kesatu tempat. "Mengapa
harus merobah menjadi anak harimau...?" berkata Ro-ro dalam hati.
Di atas batu besar itu si Tutul kecil mondar-
mandir menunggu kedatangan Roro. Baru saja Roro
injakkan kakinya ke atas batu. Si Tutul melompat
kembali ke bawah. Lalu apa yang di lakukannya" Ter-
nyata si Tutul kecil mengorek-ngorek pasir di bawah
batu itu seraya mengeram dan mengeong tak hentinya.
Melengak Roro Centil, tak tahu dia apa maksudnya.
Akhirnya Roro Centil cuma jadi penonton saja, dengan
berjongkok di atas batu itu memperhatikan tingkah la-
ku si Tutul kecil yang terus menggali pasir hingga ber-
lubang. Tak memakan waktu lama lubangpun semakin
dalam. Dan si Tutul kecil seperti lenyap ditelan pasir
sekian lama ditunggu tak munculkan dirinya. "Ah,
apakah yang telah terjadi dengannya?" desis Roro dengan hati berdebar. "Ada
apakah di bawah batu besar ini?" berkata Roro dalam hati. Baru saja dia mau
melompat turun, si Tutul kecil telah tongolkan kepalanya.
Ternyata pada moncongnya telah menggigit sebuah tu-
lang lengan manusia. Tersentak Roro dengan mata
membelalak. "Aiiiih?" teriaknya tertahan karena terkejut dan herannya.
Baru saja meletakkan tulang lengan itu di atas
lubang, si Tutul sudah masuk lagi ke dalam lubang
itu. Tak lama keluar lagi dengan membawa tulang-
tulang lainnya. Dari tulang lengan, tulang leher, tulang kaki sampai tulang
pinggul dan rusuk kesemuanya
diseret keluar oleh makhluk itu. Roro Centil cuma bisa
terpaku sambil garuk-garuk kepala dan leletkan lidah-
nya tanpa mengetahui apa maksud ulah si Tutul kecil
itu. Namun dia sudah dapat menerka kalau di bawah
batu besar itu ada terdapat kuburan manusia yang tu-
lang-tulangnya sedang digeret keluar oleh sang hari-
mau Tutul kecil. Namun kemisteriusan tingkah laku
sahabatnya itu membuat benaknya tak habis memikir.
Hingga terpaksa Roro cuma berdiam diri menunggu
habisnya tulang-belulang manusia yang dibawa keluar
lubang oleh si Tutul.
Sementara Matahari memanggang tubuh Roro
dengan panasnya yang menyengat kulit. Namun Roro
Centil tetap tak beranjak dari tempatnya untuk menge-
tahui kelanjutan dari apa yang diperbuat sahabatnya
itu. *** Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang tengah
bergelut dengan berbagai pertanyaan dibenaknya itu.
Mari kita beralih kesekitar wilayah gunung Galung-
gung. Giri Mayang ternyata tengah mengumbar kesak-
tian sepasang Tangan Iblisnya. Dua larik cahaya ber-
warna biru tampak membersit di udara mengelilingi
beberapa buah desa.
Tampak satu kepanikan luar biasa dari pendu-
duk kedua desa itu. Dengan bersiyuranya dua larik
cahaya biru itu yang memutari desa membuat pendu-
duk jadi ketakutan. Sementara hawa dingin yang men-
cekam dan membangunkan bulu roma menyelimuti
sekitar kedua desa itu.
Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan menyayat ha-
ti ketika dua larik cahaya biru itu meluncur turun.
Berjatuhan tubuh-tubuh tanpa kepala dalam sekeja-
pan saja seperti dipoteskan saja layaknya oleh lengan-
lengan mengerikan yang tak terlihat oleh mata biasa.
Pekik ketakutan dan jerit kematian membaur dalam
kengerian yang amat luar biasa. Darah memercik dis-
ana sini membasahi tanah halaman juga pada bilik-
bilik kamar. Lebih dari tiga puluh manusia dari mas-
ing-masing desa mengalami kematian dengan amat
mengerikan. Bukan saja laki-laki, tapi perempuan dan
bahkan anak-anak yang tak berdosa menjadi korban
ke "gila"an sepasang tangan iblis.
Sementara dengan tertawa mengikik Giri
Mayang duduk dengan kaki menjuntai di atas wuwun-
gan rumah yang berada ditempat agak tinggi menyak-
sikan bekerjanya sepasang Tangan Iblisnya menyebar
maut. Selang beberapa saat, tampak wanita iblis itu
mengangkat sepasang lengan buntungnya seraya ber-
kata dengan berdesis. "Cukup!" Dan... Plash! kedua lengan Iblisnya segera
kembali melekat ke tempatnya
semula, menelusup masuk ke dalam lengan baju wani-
ta itu. "Hihihihi... hihihi... Mari, setan-setan kerdil! ki-ta tinggalkan tempat
ini!" Dan selesai berkata tubuh Giri Mayang segera melesat lenyap dari atas
wuwungan rumah itu dengan diikuti tujuh bayangan hitam dari
ketujuh makhluk kerdil yang setia mengikuti tanpa
memperlihatkan diri.
Lagi-lagi Giri Mayang sengaja menyebar maut
untuk memancing kemunculan para pendekar.
Dan lagi-lagi rakyat yang tak berdosa menjadi
korban! Pekik dan jerit serta ratap tangis dari sisa-sisa penduduk yang
keluarganya menjadi korban kegana-san si Tangan Iblis segera membaur didua desa.
Se- mentara Giri Mayang meninggalkan tempat pemban-
taian itu dengan perdengarkan suara tertawa mengikik
yang membuat bulu tengkuk meremang.
Saat itu tiga bayangan tubuh berkelebat me-
nyusul ke arah berkelebatnya tubuh Giri Mayang. Ge-
rakan melompat dari ilmu meringankan tubuh ketiga
orang yang mengejarnya itu cukup hebat, pertanda
mereka bukan orang-orang biasa, tapi orang-orang
yang mempunyai kepandaian tinggi yang boleh dian-
dalkan. Sementara dari jurusan lain dua bayangan ju-
ga berkelebat menyusul. Dialah seorang laki-laki ber-
baju putih yang mempunyai gerakan berlari cepat ba-
gaikan larinya seekor kijang. Di belakangnya mengikuti
seorang wanita berbaju merah, kembang-kembang.
Membawa sebuah topi tudung lebar di lengannya.
Selarik cahaya putih yang berkredepan meman-
jang laksana sehelai selendang perak tiba-tiba melun-
cur menghalangi langkah lari kedua orang ini. Terpak-
sa si laki-laki berbaju putih menahan langkahnya den-
gan terkejut, yang diikuti si wanita muda berbaju me-
rah. Sementara itu tiga laki-laki yang tengah mengejar
Giri Mayang telah mendengar suara halus yang dikirim
dari jarak jauh.
"Tiga orang gagah, tahanlah langkah kalian!
Jangan mengumbar nafsu dan menambah korban!"
Suara halus itu terdengar amat berpengaruh, mem-
buat ketiga laki-laki itu segera menahan langkah. Se-
mentara si laki-laki baju putih dan gadis berbaju me-
rah kembang-kembang jadi tersentak kaget ketika me-
lihat seorang wanita tua berdiri kira-kira 10 tombak
dihadapannya. Cahaya selendang perak itu terpaksa
membersit dari telapak tangannya. Sesaat kemudian
tampak wanita tua itu gerakkan lengannya seperti me-
narik kembali cahaya selendang warna perak itu yang
seketika lenyap.
"Siapakah perempuan tua itu?" bertanya gadis
yang berada di belakang laki-laki baju putih. Pemuda
berwajah tampan itu menoleh. "Ah!" kau mengapa
ikut-ikutan mengejar, nona?" tanya si pemuda yang
tak lain dari Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata
alias si Bujang Nan Elok.
"Hm, aku toh punya kaki!" sahut gadis itu dengan merengut.
"Haiiih! semangat kalian memang hebat, anak-
anak muda! Akan tetapi tahanlah emosi kalian. Musuh
kalian itu adalah musuh kita semua golongan kaum
pendekar, namun dengan kita bertindak tanpa perhi-
tungan cuma akan sia-sia!" terdengar suara halus si wanita tua itu yang entah
sejak kapan telah berada dihadapan mereka.
Sementara itu tiga sosok tubuh laki-laki tadi te-
lah berkelebatan melompat ketempat itu.
"Nenek tua, siapakah kau" mengapa mengha-
langi niat kami menumpas keangkaraan yang amat ke-
terlaluan itu?" berkata salah seorang dari ketiganya.
Ternyata mereka itu adalah tiga laki-laki gagah yang
memang berada didesa itu. Yaitu ketiga laki-laki yang
pernah mencari lenyapnya seekor macam Tutul didesa
Kranji. Sudah beberapa malam mereka menginap dide-
sa tersebut untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
adanya tujuh makhluk kerdil yang muncul didesa itu.
Wanita tua itu putarkan tubuhnya untuk me-
natap ketiga Pendekar ini. "Aku si tua renta ini bernama Muri Asih. Sayangilah
nyawa kalian sobat-sobat
muda. Bukan aku mau mencegah kalian dengan mem-
biarkan perempuan iblis itu berlalu, tapi kukira mati
konyol adalah satu hal yang paling sial! menyahut wa-
nita tua itu yang tak lain dari nenek Muri Asih.
Perempuan iblis itu terlalu berbahaya sobat-
sobat muda! Selain memiliki Sepasang Tangan Iblis dia
juga membawa serta tujuh makhluk kerdil penghisap
darah!" lanjutkan kata-katanya nenek Muri Asih.
Melengak seketika ketiga pendekar itu. "Tujuh
makhluk kerdil penghisap darah, dan sepasang Tan-
gan Iblis...!?" Hampir berbareng mereka tersentak kaget.
"Benar! aku telah menyelidikinya, perempuan
iblis itu bernama Giri Mayang!" tegaskan nenek Muri Asih. "Ah...!" tersentak
kaget Sambu Ruci.
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** SEMBILAN SAMBU RUCI sebenarnya tak tahu menahu
dengan pembantaian penduduk desa itu. Dari arah
sungai dia mendengar suara jerit dan pekik menyayat
hati di mulut desa yang telah dilihatnya dari kejauhan.
Disamping terkejut melihat dua larik cahaya berwarna
biru bersyiuran di angkasa, yang menukik dan mem-
bumbung sebentar kelihatan sebentar lenyap. Apapun
gadis berbaju kembang-kembang itu dia tak menge-
nalnya, tapi Sambu Ruci mengetahui kalau gadis itu
adalah gadis yang meniup seruling di sisi sungai ketika Sambu Ruci melintasi
sungai berbatu menyeberangi
dengan dua kali lompatan. Sekilas pemuda ini telah
meliriknya, dan mengetahui kalau si peniup seruling
itu seorang gadis.
Gadis itu hentikan tiupan serulingnya, dan
membuka topi tudung dikepalanya. Sejenak Sambu
Ruci menatap, dan dua pasang mata segera beradu
pandang. Akan tetapi gadis itu telah perdengarkan su-
ara dihidung lalu cepat-cepat membuang muka dan
mengenakan lagi topi tudungnya, untuk teruskan lagi
meniup seruling.
Melengak Sambu Ruci. Sekilas dia memang da-
pat melihat satu wajah yang cantik. Akan tetapi kece-
wa pemuda ini karena gadis itu bukanlah orang yang
dicarinya. Yaitu Roro Centil. Telah dua bulan lebih dia gentayangan mencari
kemana lenyapnya si Pendekar
Wanita Pantai Selatan sahabatnya itu.
Ada terbesit dihatinya untuk mengetahui siapa
gadis peniup seruling yang telah membuang muka se-
telah bertatap mata dengannya itu. Akan tetapi tiba-
tiba dua larik cahaya berwarna biru telah bersiutan di
angkasa. Membuat Sambu Ruci tersentak kaget. "Ca-
haya apakah itu?" sentaknya berdesis dan memandang dengan terperangah
memperhatikan cahaya biru yang
berkelebatan itu. Dilihatnya cahaya itu sebentar mun-
cul dan sebentar lenyap berputar-putar ke beberapa
tempat. Otomatis si gadis bertudung itupun hentikan
tiupan serulingnya untuk segera membuka lagi topi
tudungnya dan menengadah memperhatikan cahaya
biru yang berkelebatan di angkasa.
Saat itulah dari tengah desa yang tak berapa
jauh dari sungai itu terdengar suara teriakan-teriakan
ketakutan dan jeritan menyayat hati. Terkejut Sambu
Ruci. Serta merta tak ayal lagi dia sudah berkelebat
melompat untuk memburunya kesana. Sementara di-
am-diam si gadis peniup seruling itupun ikut pula me-
lompat untuk berlari cepat menyusul di belakang pe-
muda itu. Tiga mayat dengan tiga buah kepala yang su-
dah lepas dari tubuhnya dijumpai Sambu Ruci diten-
gah jalan yang menuju ke desa. Terkejut Sambu Ruci
ketika menjumpai lagi beberapa mayat dalam keadaan
yang sama. Dan, tersentak jantung pemuda ini ketika
melihat sesosok tubuh tengah mengikik tertawa duduk
menjuntaikan kaki di atas wuwungan rumah. Belum
lagi dia tahu jelas wajahnya, wanita itu telah berkele-
bat melesat dari atas wuwungan rumah itu.
"Pasti perbuatan dia!" desis Sambu Ruci dengan geram. Tak ayal Sambu Ruci segera
berkelebat mengejarnya, yang diikuti pula oleh si gadis peniup seruling di
belakangnya... Kini mendengar penjelasan si nenek Muri Asih
yang jelas adalah tokoh Rimba Hijau yang berilmu
tinggi lagi-lagi dia tersentak kaget karena wanita itu
tak lain dari Giri Mayang. Sambu Ruci memang pernah
beberapa kali berjumpa bahkan pernah bertarung den-
gan wanita iblis itu dan dia pula yang berhasil mena-
bas putus sebelah lengan Giri Mayang. Sedangkan se-
belah lagi tangan wanita iblis itu diputuskan oleh keris seorang pendekar tua
yaitu Gembul Sona alias si Belut
Putih, seperti yang telah diceritakan dalam kisah:
Langkah-langkah Manusia Beracun.
"Anda mengenal wanita iblis itu?" tanya nenek Muri Asih.
"Benar! dialah musuh besar sahabatku Roro
Centil! Aku pernah bertarung dengannya beberapa
kali, bahkan dia pernah pula menawan gadis Pendekar
sahabatku itu. Belakangan manusia iblis itu berga-
bung dengan si Manusia Beracun. Dalam pertarungan
terakhir kami berhasil menabas putus kedua lengan-
nya...!" tutur Sambu Ruci. Lalu ceritakan kejadiannya hingga waktu itu dalam
keadaan terluka disaat mau
dihabisi nyawanya telah disambar oleh sesosok tubuh
dan dibawa melesat melarikan diri. Entah siapa peno-
long wanita iblis itu Sambu Ruci tak mengetahuinya.
Dan dalam sekelebatan itu dia mendengar suara Roro
Centil yang mengejar kemana berkelebatnya si peno-
long Giri Mayang.
Sejak itu Sambu Ruci tak pernah mendengar
lagi kabar berita wanita iblis itu, bahkan sampai saat
ini tak pernah dijumpainya si Pendekar Wanita Pantai
Selatan sahabatnya itu...
Nenek Muri Asih manggut-manggut, lalu pa-
lingkan kepala menatap pada tiga laki-laki Pendekar
yang masih berdiri mendengarkan kisah penuturan
Sambu Ruci. "Dan kalian ini siapakah..?" tanya nenek Muri Asih. "Kami yang rendah adalah
tiga bersaudara.
Kaum persilatan menggelari kami si Tiga Musafir Hati
Besi...!" sahut salah seorang seraya menjura, yang segera diikuti oleh kedua
laki-laki lainnya.
"Hehehe... pantas! hati kalian sekeras besi. Tak
mengenal takut akan bahaya. Akan tetapi untuk kali
ini harap anda bersabar dan menahan diri. Keresahan
memang tengah melanda bukan saja kaum Pendekar
Rimba Persilatan golongan Putih, akan tetapi juga pi-
hak Kerajaan dan rakyat sekitar wilayah ini. Bahkan
menjadi ancaman besar bagi umat manusia umumnya!
Apakah kalian semua tak mengetahui" kalau saat ini
puluhan mayat berkaparan di dua desa akibat kegana-
san Sepasang Tangan Iblis si Giri Mayang itu...!" Tegaskan Nenek Muri Asih.
"Kami tak melihat apa-apa, apakah Tangan Iblis
yang anda maksudkan adalah dua larik cahaya ber-
warna biru itu?" tanya salah seorang dari Tiga Musafir Hati Besi.
"Benar! Aku telah mengikuti cahaya biru itu
yang membantai desa disebelah sana hingga kemudian
meluncur ke desa ini. Ternyata wanita Iblis itulah yang telah melepaskan
Sepasang Tangan Iblisnya! Sejak kejadian aneh pada beberapa hari ketika puncak
Ga- lunggung membersitkan cahaya merah itulah saat si
Perempuan Iblis itu memiliki Sepasang Lengan Iblis!
sahut Muri Asih seraya berikan penjelasannya dengan
menatap silih berganti pada semua orang yang menge-
lilingi. Tak satupun yang membuka suara kecuali sama
menatap pada nenek Muri Asih yang tengah memberi-
kan penjelasannya mengenai wanita bernama Giri
Mayang itu. Dan lanjutkan penuturannya wanita tua
itu... Disamping mempunyai sepasang lengan yang
mengerikan itu turut pula bersamanya ketujuh mak-
hluk kerdil penghisap darah seperti yang telah kukata-
kan tadi! Oleh sebab itu akan sia-sialah kalian bila
menempur perempuan Iblis itu pada saat ini. Nah, ku-
kira banyak jalan bagi anda Pendekar-pendekar muda
jika ingin turut membantu menegakkan keadilan dan
kebenaran dibumi ini.
Langkah yang harus kalian ambil saat ini ada-
lah sebaiknya membantu penduduk mengebumikan
mayat-mayat...! Apakah pendapatku dapat kalian teri-
ma?" "Ah... dengan segala senang hati kami bersedia untuk itu, nenek Muri
Asih...!" Tergesa-gesa mereka saling menyahut dan menjura dengan membungkuk-kan
tubuh. Wanita tua itu tersenyum. "Nah, lakukanlah! pertolongan kalian sangat
diharapkan. Wanita Ib-
lis itu akan ku usahakan untuk memancingnya ke-
tempat yang tak dikunjungi manusia. Sementara kita
Kaum Pendekar mencari jalan untuk menumpasnya...!
Aku telah hubungi beberapa tokoh Kaum Rimba Hijau
golongan putih untuk segera kami berembuk...! Karena
Giri Mayang bukanlah musuh perseorangan, akan te-
tapi musuh seluruh umat manusia...! Kemerajalelaan-
nya akan banyak menimbulkan musibah yang amat
mengkhawatirkan. Dan sudah menjadi tugas kaum
Pendekar untuk melenyapkan kebathilan yang mau
menguasai bumi ini!"
Tiga Musafir Hati Besi manggut-manggut. Salah
seorang agaknya masih penasaran kalau belum ber-
tanya. "Nenek Muri Asih! kami belum mengenal siapa gelaran anda. Apakah anda
dapat memberitahukannya
untuk kami ingat?"
"Hehehehe... hehehe... " mengekeh tertawa si
wanita tua itu. Tiba-tiba sebelah lengannya bergerak
terangkat ke atas. Dan....
Selarik cahaya perak membersit ke udara ba-
gaikan sehelai selendang yang berkredepan. Dan keti-
ka sebelah lagi lengan si nenek Muri Asih terangkat
pula ke atas, selarik cahaya pelangi membersit ke uda-
ra. Bagian ujungnya membelit batang pohon kelapa
bagian atas, dan...
KRRAAAK! batang pohon kelapa itu patah kena
hantaman sinar perak. Selanjutnya sinar pelangi le-
nyap. Sedang sinar perak menghantam beberapa kali
hingga batang pohon kelapa itu putus menjadi bebera-
pa belas potong.
Sedangkan puncak pohon kelapa itu jatuh me-
luncur ke bawah. Namun tiba-tiba cahaya pelangi
kembali membersit menyambar dan membelit pucuk
pohon kelapa itu. Ketika si nenek Muri Asih gerakkan
lengannya, pucuk pohon kelapa itu melayang jauh en-
tah kemana seperti dilemparkan oleh sehelai selendang
warna-warni. Tentu saja satu pertunjukan yang mengagum-
kan itu membuat semua mata jadi memandang si ne-
nek Muri Asih dengan terperangah.
"Hebat...! oh, hebat sekali...!" tak terasa suara pujian terdengar dari mulut-
mulut pendekar muda itu.
Bahkan si gadis bertudung yang sejak tadi tak ikut bi-
cara telah berseru.
"Ah, sungguh amat mengagumkan! Sinar perak
dan pelangi yang menakjubkan...!"
"Hehehe... hampir benar! Julukanku pada pu-
luhan tahun yang silam adalah si Pendekar Selendang
Perak Pelangi!" Dan selesai berkata, si nenek Muri Asih tertawa terkekeh-kekeh.
Namun sekejap kemudian tubuhnya melesat ke udara dan lenyap dari pandangan
mata. Terpaku lima sosok tubuh itu dengan meman-
dang ke arah lenyapnya di Pendekar Sinar Perak Pe-
langi. Gerakannya begitu cepat sekali hingga tak sem-
pat mata mereka mengikuti. Selang sesaat si Tiga Mu-
safir batu segera berkata, dengan menatap pada Sam-
bu Ruci dan wanita peniup seruling yang masih terpa-
na dengan mencekal erat topi tudung dan serulingnya.
"Mari sobat...! kita bantu menguburkan mayat-
mayat...!"
"Ya! ajaklah gadis kawanmu itu turut serta
membantu...!" berkata pula salah seorang dari mereka.
Sambu Ruci menoleh pada gadis baju merah berkem-
bang itu dengan tersenyum.
"Nona bersedia membantu kami...?"
"Hm, tanpa kau perintahkan pun aku tak nan-
tinya berpeluk tangan!" Menyahut sang gadis dengan wajah cemberut. Lalu
berkelebat lebih dulu ke arah
desa. "Ah, gadis yang ketus...!" tertawa Sambu Ruci seraya melompat menyusul.
Ketiga Musafir Hati Besi
cuma saling pandang dengan tersenyum. Namun tak
lama segera berkelebatan menyusul...
*** SEPULUH RORO CENTIL benar-benar tak mengerti den-
gan maksud si Tutul, setelah mengangkut seluruh tu-
lang-belulang lalu menggeram memperlihatkan taring-
nya pada Roro. Lalu menggigit sebuah tulang lengan
manusia itu dan membawanya melompat ke arah bukit
batu. Terpaksa Roro Centil mengikutinya. "Mau dibawa kemana tulang itu..?"
berkata Roro dalam hati. Ternyata meletakkan tulang itu di atas batu pada
pertenga- han bukit yang di panjatnya. Di sana dia menggeram-
geram dengan memutari kesana-kemari seperti men-
cari sesuatu. lalu melompat ke arah sisi samping batu
yang agak menonjol. Disana dia mengorek-ngorek den-
gan kukunya seperti mau menggali lubang lagi. Kali ini
Roro telah dapat menerka maksudnya. Segera dia me-
lompat kesana, lalu meneliti sekitar sisi bukit itu. "Apa maksudmu Tutul" Hm,
apakah kau mau sembunyikan
tulang-belulang itu di sini..!?" berkata Roro lirih. Si Tutul menggeram kecil.
Tangan Roro yang meraba-raba
segera temukan satu celah didekatnya. "He" batu ini bergerak...!?" sentak Roro
terkejut. Apakah ini sebuah pintu goa...?" berpikir Roro dalam benaknya. Dengan
kekuatan tenaga dalam segera Roro salurkan untuk
menepuk beberapa kali dengan pelahan.
Dan...BRRRAAASH...! batu itu hancur menjadi kepin-
gan-kepingan kecil. Segera terlihat sebuah rongga di
sisi tebing itu.
"Aiiih, benar dugaanku!" teriak Roro dengan girang. Sementara si Tutul telah
menggigit kembali tu-
lang lengan manusia itu untuk dibawa melompat ke
dalam. Dan selesai meletakkan tulang lengan itu, sege-
ra melompat lagi keluar. Cepat sekali bekerjanya si Tu-
tul mengangkuti tulang belulang itu dan membawanya
sekerat demi sekerat. Sementara Roro Centil perhati-
kan seluruh ruangan itu. Dalam ruangan yang agak
samar-samar terangnya itu Roro melihat setiap sudut
goa dipenuhi sarang laba-laba. Sebuah peti berdebu
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergeletak di atas batu. cepat Roro menghampirinya.
Rasa ingin tahu memang selalu ada pada setiap
diri manusia. Begitu juga dengan Roro Centil. Setelah
membersihkan debu di atas peti, segera berusaha
membukanya. Teramat mudah untuk membuka peti
itu seperti tak diduganya. Begitu peti terbuka segera
terlihat sebuah kitab usang yang sudah lapuk dimakan
usia. Saat Roro Centil membalik-balik lembaran kitab
itu yang mempergunakan tulisan lama. Roro Centil
melihat si Tutul telah selesai dengan pekerjaannya
mengangkut tulang. Dengan menggeram kecil si Tutul
melompat mendekati. Lalu menjilati lengannya. Tapi
tak lama segera lenyapkan diri.
Roro Centil jadi garuk-garuk kepala tidak gatal.
Jelas dengan si Tutul melenyapkan diri berarti sudah
selesai tugasnya menuntun Roro ketempat itu. Kini
tinggallah Roro yang harus memecahkan apa yang be-
rada dihadapannya.
"Apakah tengkorak manusia itu si pemilik kitab
ini...?" sentak Roro dalam hati. Lalu apa maksudnya si Tutul membawa kerangkanya
ketempat ini?" Dasar Ro-ro Centil yang selalu ingin memperbuat apa yang ter-
bersit dihatinya. Diletakkan kembali kitab itu yang be-
lum sempat ditelitinya. Lalu beranjak mendekati tu-
lang-belulang manusia itu. Dan... lengannya mulai
bergerak kesana-kemari mengatur tulang-tulang hing-
ga membentuk kembali sebuah kerangka dengan posisi
sebuah tengkorak manusia yang sedang duduk me-
nyandar didinding goa. Terasa hawa seram melingkupi
sekitar ruangan goa itu.
Tiba-tiba baru saja dia bangkit berdiri, telah
terdengar suara aneh. Rahang mulut tengkorak itu hi-
dup dan bergerak-gerak. Tersentak kaget Roro Centil,
hampir saja dia melompat keluar goa.
"Hehehe... jangan takut cucuku...! aku memang
sudah lama mati, tapi dengan kekuatan ilmu yang
kumiliki aku masih bisa menyimpan suara untuk bisa
didengar oleh orang yang menemukan goa ini...!" Terperanjat Roro Centil, tak
terasa kakinya melangkah
mundur dua tindak.
"Ssi... siapakah anda .,.?" bertanya Roro. "Hehehe... sudah pasti kau akan
bertanya tentang aku!
akulah yang pernah dijuluki si MANUSIA PADANG
PASIR...! Kematianku dalam usia 100 tahun lebih. Ki-
tab yang berada pada kotak di atas batu itu kuwa-
riskan pada siapa yang telah menemukannya! Pelajari-
lah cucuku! Pada kitab itu ada pelajaran ilmu silat dari
yang pernah kumiliki. Sebagian adalah ilmu silat se-
banyak tiga belas jurus. Sedangkan sebagian lagi ada-
lah tujuh jurus kalimat MANTERA SUCI! Ilmu penolak
setan dan iblis..!
Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat
menguasainya! Dan tentu saja orang yang berjodoh
memiliki seekor Harimau Tutul, yang dapat berjodoh
menjadi pewaris ilmuku...! Karena Harimau Tutul itu
adalah rohku! Jangan heran bila kelak terjadi satu
keanehan pada dirimu...! Bila selesai kau mempelajari
ilmu warisanku, kau bakarlah kerangka tubuhku ini
berikut kitab itu!"
Selesai berkata, tulang tengkorak kerangka
manusia yang disusun Roro Centil tiba-tiba berjatuhan
ke tanah dengan suara berkerotakan. Roro Centil ter-
paku tak bergeming ditempatnya. Seolah apa yang di-
lihatnya itu seperti dalam khayal atau mimpi. Tapi ke-
nyataan telah terpampang dihadapan matanya. Telin-
ganya jelas mendengar apa yang diucapkan si kerang-
ka Manusia Padang Pasir.
Tiba-tiba Roro Centil jatuhkan dirinya berlutut
dihadapan kerangka itu. Bibirnya tergetar mengu-
capkan kata-kata.
"Guru...! aku Roro Centil segera akan mentaati
pesan itu...!" Selesai Roro Centil berkata tiba-tiba dari langit-langit bagian
atas goa memantulkan cahaya terang benderang. Di luar angin membersit kencang
me- nerbangkan butiran-butiran pasir. Roro bangkit berdiri
untuk mencari penutup lubang goa. Akan tetapi tiba-
tiba dinding batu di sisinya bergerak menggeser sendi-
ri. Dan... BRAK! goa itu telah tertutup rapat. Terheran-heran Roro Centil akan
keanehan itu. Ditatapnya ca-
haya terang yang membersit dari langit-langit ruangan
goa itu. Ternyata sebuah batu pualam sebesar tengko-
rak kepala manusia yang menempel dibatu langit-
langit goa itu, memancarkan sinarnya yang amat te-
rang benderang.
"Aiiih, benar-benar aneh dan amat mengagum-
kan...!" desis Roro pelahan "Selama hidupku baru aku mendengar ada satu ilmu
kesaktian yang dapat menyimpan suara. Sedangkan orangnya sudah mati en-
tah berapa puluh tahun yang silam..!" berkata Roro dalam hati.
Demikianlah! apa yang dialami Roro Centil ada-
lah sudah menjadikan jodoh bagi dirinya. Dan tak ayal
si Pendekar Wanita Pantai Selatan segera mulai mem-
pelajari isi kitab usang itu dengan membalik-balik
lembarannya. Untunglah, walaupun agak sulit dibaca,
Roro Centil dapat juga memahami huruf-huruf kuno
yang tertera di kitab usang itu.
Segala daya dan kecerdasan Roro Centil untuk
memahami dan mempelajari isi kitab itu dikerahkan
demi terwarisnya ilmu si Manusia Padang Pasir kepa-
danya... Lembar-demi lembar mulai di hayati dan di-
praktekkan dengan kesungguhan hati dan keyakinan
yang mantap, bahwa tak ada sesuatu yang sukar di
dunia ini kalau diusahakan dengan kekerasan hati,
kemauan, tekad dan niat yang bulat...!
Dan sejarah Persilatan memang akan membuk-
tikan bahwa tak lama lagi Roro Centil akan kembali
muncul di Rimba Persilatan dengan segala kesaktian
yang dimilikinya...
*** SEBELAS Ternyata dalam waktu sembilan hari Roro Cen-
til berhasil menguasai ketiga belas jurus ilmu Manusia
Padang Pasir. Dan dalam waktu empat hari Roro ber-
hasil pula menguasai ketujuh jurus ilmu Mantera Suci.
Tepat 13 hari Roro Centil telah dapat mena-
matkan isi kitab itu dan menguasai penuh isinya. Ter-
nyata tekad Roro untuk menyelesaikan pelajarannya
agar tepat tiga belas hari, dengan tekad yang bulat dan kemauan yang keras
membaja membawa hasil yang
memuaskan. Roro memang mau merobah pandangan
manusia yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu
menganggap angka 13 adalah angka sial!
Namun Roro beranggapan hari yang ke 13 itu
adalah hari yang penuh kemujuran. Hari itu mutlak
sudah Roro Centil menjadi pewaris tunggal ilmu si Ma-
nusia Padang Pasir.
Dan pada hari itu juga setelah selesai memba-
kar tulang kerangka gurunya si Manusia Padang Pasir
juga kitab peninggalannya, Roro Centil menutup pintu
goa yang telah menjadi tempatnya menempa ilmu-ilmu
warisan si Manusia Padang Pasir.
Di depan pintu goa Roro Centil kembali mene-
kuk lutut dengan tundukkan kepala dan berkata den-
gan suara lirih.
"Guru...! hari ini aku telah selesai menjalankan
amanatmu. Hari ini aku muridmu, Roro Centil telah
berhasil menamatkan pelajaran dalam kitab warisan
mu. Dan hari ini pula aku segera akan meninggalkan
tempat peristirahatan mu! Hari ini pula aku akan
mengemban tugas kewajiban yang lebih berat untuk
menegakkan panji-panji keadilan dimuka bumi...!
Aku berjanji untuk mengamalkan segenap ilmu
dari apa yang telah kau wariskan padaku! Mele-
nyapkan kebatilan, memusnahkan keangkaramurkaan
yang mengotori bumi persada demi tegaknya kebena-
ran. Demi tegaknya keadilan di atas jagat raya ini...
Dan demi ketenteraman umat manusia!"
Selesai berkata Roro Centil menjura beberapa
kali memberikan penghormatan terakhir sebelum me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara angin mulai membersit agak keras
memperdengarkan suara bersiutan Roro angkat wa-
jahnya untuk segera melompat bangkit berdiri. Lalu
putarkan tubuh untuk segera melangkah beberapa
tindak. Sejenak Roro terhenti karena merasa tiupan
angin semakin santar menerpa tubuh. Di kejauhan di-
lihatnya seperti ada kabut menghalang. "Ada apa-
kah...?" sentak Roro terkejut dengan suara berdesis.
Ternyata angin semakin keras membersitnya. Pasir
mulai beterbangan.
Dan apakah yang dilihat Roro selanjutnya..."
Terbelalak mata si Pendekar wanita Pantai Sela-
tan itu melihat di kejauhan timbunan pasir yang mem-
bukit bergulung-gulung meluncur bergelombang ba-
gaikan ombak raksasa bergerak cepat mendatangi.
Begitu kagetnya Roro hingga sampai melangkah
kembali mundur beberapa tindak. Namun nalurinya
mengatakan adanya bahaya besar bila dia tak cepat
menyingkir. Memikir demikian, Roro Centil segera en-
jot tubuhnya untuk melompat pergi menjauhi secepat-
nya tempat itu.
Dari kejauhan dia cuma bisa menyaksikan ge-
lombang pasir yang menggunung bagaikan menyerbu
ke arah tebing batu itu dengan suara bergemuruh luar
biasa. Suara bersitan angin yang membadai terdengar
bersiutan membuat Roro harus menutupi matanya
agar tak kemasukan debu.
Gelombang demi gelombang pasir raksasa itu
berhempasan. Dan dalam sekejapan saja bukit batu
dimana terdapat goa tempat disimpannya abu si Ma-
nusia Gurun Pasir, telah lenyap tertimbun pasir yang
menggunung. Selang beberapa saat badai pun kembali mere-
da. Roro Centil memandang dengan terperangah kare-
na tak melihat lagi adanya bukit batu tempat dia me-
nempa ilmu selama ini, kecuali timbunan pasir yang
menggunung. Lama dipandangnya apa yang terpam-
pang didepan matanya dengan tertegun itu. Namun
tak lama kemudian terdengar suara helaan napas ga-
dis Pendekar. Segala sesuatu yang terjadi itu seperti
punya makna. Seolah si Manusia Gurun Pasir telah
merasa telah puas dengan apa yang menjadi harapan-
nya. Dan mengubur diri untuk menyatu kembali den-
gan pasir seperti sesuai dengan julukannya...
"Selamat tinggal, guru...!" ucap Roro dengan
suara tergetar. Dan berkelebatlah tubuh si dara Perka-
sa meninggalkan tempat itu....
*** Roro Centil injakkan kakinya ditepi pantai. An-
gin laut yang meniup santar membuat rambutnya me-
nyibak berkibaran.
"Tutul...! kita harus cepat kembali! Tugas berat
telah menantiku diseberang lautan sana! Cahaya me-
rah itu membuat hatiku gundah akan adanya musibah
yang melanda wilayah gunung Galunggung. Tampak-
kanlah dirimu, sahabatku...!" berkata Roro dengan suara lirih.
Akan tetapi setelah ditunggunya sekian lama si
Tutul tak menampakkan diri. "Ah, kemanakah dia...?"
menyentak hati Roro. "Tutul...! dimanakah kau..?"
ulangnya memanggil seraya memutar tubuh dan me-
natap ke sekelilingnya. Namun tak dijumpai apa-apa.
Semuanya tetap seperti tadi, tak berubah. Sunyi, len-
gang dan tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.
Tercenung seketika Roro Centil, dan termangu-
mangu memikirkan kemisteriusan makhluk itu. Sejak
beberapa tahun makhluk itu selalu setia mengiku-
tinya, mengapa kini tahu-tahu menghilang sirna tak
munculkan diri" berpikir Roro dalam hati.
Setelah lama ditunggu-tunggu tetap si Tutul tak
menampakkan diri yakinlah dia kalau sahabatnya itu
telah pergi meninggalkannya. Barulah Roro teringat
akan kejadian di gurun pasir. "Hm, apakah dia telah ikut pula terkubur gelombang
pasir...?" berdesis Roro.
Roro tak menemukan jawaban dari pertanyaannya
sendiri. Seketika tersentaklah Roro ketika teringat akan kata-kata suara gaib di
Manusia Padang Pasir yang
mengatakan agar dia tak terkejut akan menjumpai
keanehan yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ini
salah satu dari keanehan yang dimaksud" pikir Roro.
Dalam memecahkan teka-teki lenyapnya si ha-
rimau Tutul sahabatnya itu Roro benar-benar dibuat-
nya tak mengerti. Juga dengan maksud kata-kata gaib
si Manusia Padang Pasir. Kembali teringat satu kata-
kata gaib dari sang gurunya itu. "Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat
menguasai ilmuku. Dan
orang yang memiliki seekor harimau tutul yang dapat
berjodoh menjadi pewaris ilmuku! karena Harimau Tu-
tul itu Rohku...!"
Tersentak Roro Centil seketika, karena dari ka-
ta-kata itu segera dapat diambil kesimpulan.
"Mm, kalau aku telah menguasai ilmu- ilmu si
Manusia Gurun Pasir berarti akupun menguasai pula
ilmu-ilmu si Tutul!" berkata Roro dalam hati. "Jadi...
jadi... ah, begitu mengerikan....!" desis Roro dengan tersentak kaget. Makin
mengingat si Tutul ternyata
makin besar dorongan imajinasi untuk menirukan apa
yang dilakukan si Tutul.
Itulah yang membuat Roro terperangah kaget.
Menghadapi dorongan tenaga batin yang menyeruak
dari dalam tubuhnya sendiri Roro seperti kehabisan
akal untuk menghindarinya. Semakin dia resah, sema-
kin daya kekuatan itu menelusup merangsang pori-
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pori dan pembuluh-pembuluh darahnya.
Dan.... di luar sadar dia telah melakukan apa
yang dilakukan si Tutul. Roro Centil menahan napas,
lalu goyang-goyangkan tubuhnya.
Apakah yang terjadi kemudian.."
Tubuh Roro Centil lenyap jadi gumpalan asap.
dan... di atas pasir pantai itu telah berdiri seekor Harimau Tutul yang hampir
sebesar kerbau memperli-
hatkan giginya menyeringai menyeramkan. Itulah Ha-
rimau Tutul penjelmaan dari Roro Centil. Apapun yang
terjadi pada diri Roro ternyata memang sudah di-
ucapkan oleh kata-kata gaib si Manusia Padang Pasir.
Membelalak sepasang mata gadis Pendekar itu
melihat perubahan bentuk pada tubuhnya. "Aku... aku telah menjadi Harimau...!
aku kini menjadi si Tutul!
Oh...! inikah satu keanehan yang bakal terjadi seperti
yang dikatakan suara gaib itu ?" keluh Roro. Ditatapnya ke empat kakinya yang
berkuku runcing. Ditatap-
nya apa yang kini telah menjadi bagian dari tubuhnya.
Terhenyak gadis Pendekar itu.
Dengan mendekam sang harimau Tutul alias
Roro Centil itu termenung hingga beberapa lama. Apa-
kah ujud asli ku akan lenyap seterusnya" dan tetap
menjadi makhluk yang jelas bukan manusia ini..." "
berkata Roro dalam hati. Akan tetapi selang sesaat Ro-
ro telah melompat bangun dan perdengarkan suara
menggeramnya. Edan..! suaraku pun telah berobah!"
sentak Roro dalam hati. Tentu saja membuat Roro ter-
kejut mendengar perobahan suaranya sendiri. Namun
titik terang dari pemikirannya telah Kembali jernih.
Roro yakin kalau semua itu adalah cuma "ilmu" bela-
ka. Dia takkan selamanya menjadi Harimau. Keyaki-
nan yang mantap itu telah membuka titik terang bagi
si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Segera dia ber-
semadi dengan pejamkan mata. Batin menyatu untuk
kembali memulihkan ujudnya. Terasa ada getaran pa-
da kulit dan pori-pori tubuhnya.
Ketika Roro Centil hentikan semedinya lalu
membuka mata, membersitlah senyum pada bibirnya.
Karena sekejap Harimau Tutul itu telah kembali pada
ujud asalnya lagi. "Aiiiiih, kalau tahu begini mengapa aku pusing-pusing
memikirkannya.." Dasar otakku
bebal!" menggumam Roro dengan tersenyum.
"Aku harus kembali secepatnya! firasatku men-
gatakan ada sesuatu terjadi disana yang memerlukan
aku turun tangan!" berdesis Roro dengan mata mena-
tap jauh ke cakrawala. Matahari senja membuat ca-
hayanya memantul gemerlapan dari ombak-ombak
laut yang tengah bermain bagaikan hamparan perma-
dani perak. Dan saat itu juga sebuah bayangan seekor
Harimau Tutul meluncur pesat dari daratan itu bagai-
kan hembusan angin lewat.
Dialah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Si Pewaris Manusia Gurun Pasir...
*** DUA BELAS Di wilayah KOTA RAJA... Delapan belas perwira
Kerajaan mati tergeletak dengan tubuh tanpa kepala.
Dan delapan belas "butir" kepala manusia berserakan diantara tubuh-tubuh tanpa
kepala itu. Delapan ekor
kuda mati dengan tubuh hangus dan kepala hancur...
Bau anyirnya darah menyebar di sekitar tempat
itu. Sungguh satu pemandangan yang amat mengeri-
kan dan mengenaskan hati.
Seekor kuda hitam meluncur pesat ke tempat
kejadian. Di tangannya penunggangnya tercekal se-
buah tombak bermata tiga. Dialah Tumenggung Shan-
dikala yang menerima laporan dari beberapa orang
anak buahnya. Tak ayal segera "meluncur" ke tempat kejadian.
Bedebah! Perempuan iblis edan...!" memaki la-
ki-laki berusia empat puluh tahun ini. Kudanya telah
dihentikan dan bergerak memutari mayat-mayat dan
bangkai kedelapan belas anak buahnya.
Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar me-
rah. Dada laki-laki ini berombak-ombak pertanda me-
nahan kemarahan yang amat luar biasa yang ada di
dada. Satu suara tertawa mengikik membuat laki-laki
ini tersentak Jantungnya seperti melonjak karena ter-
kejut. Walau niatnya memang mau menempur si pe-
rempuan iblis itu, namun mendengar suara tertawanya
saja membuat nyali laki-laki Tumenggung ini agak
menciut. "Hihihihi..... selamat datang panglima yang ga-
gah! Kau pasti Tumenggung Shandikala!" Satu kata-
kata penyambutan yang dilontarkan si pemilik suara
telah dibarengi dengan kelebatan tubuh seorang wani-
ta berpakaian warna kuning. Berlengan baju lebar
yang menutupi seluruh lengan. "Siapa kau...!" membentak laki-laki Tumenggung itu
dengan membeliakan
matanya. Hatinya agak ragu untuk menduga kalau
orang yang dihadapannya adalah si perempuan iblis
itu. Dia memang Giri Mayang adanya. Wanita ini
dengan tersenyum genit bahkan balik bertanya. "Coba terka olehmu siapakah
aku...?" Percikan darah yang melekat dipakaian wanita
itu telah membuat si Tumenggung membentak kasar.
Walau sebenarnya darahnya seperti tersirap.
"Kau pasti si perempuan iblis itu...!"
"Hihihihi... tepat! tepat sekali dugaanmu! tapi
aku manusia biasa bukan iblis. Tumenggung yang ga-
gah!" Baru saja selesai ucapannya tubuh Giri Mayang mendadak lenyap.
Tahu-tahu laki-laki itu merasa pinggangnya di-
peluk orang dari belakang.
"Hihihihi... tubuhmu kekar, dan wajahmu ga-
gah. Dan keberanianmu juga boleh dibanggakan. Hihi-
hi... justru aku menyenangi laki- laki sepertimu, Tu-
menggung!" terdengar suara berdesis didaun telin-
ganya. Tentu saja membuat sang Tumenggung kaget
setengah mati. Akan tetapi dia sudah terkulai kena to-
tokan lengan wanita itu dengan perdengarkan keluhan
dari mulutnya. Dan... kuda hitam itu sudah berlari cepat ke-
luar dari tempat berbau anyir itu. Mencongklang pesat
menuju hutan jati.
Melewati hutan jati itu, sang kuda ternyata te-
lah kehilangan penunggangnya. Namun si kuda hitam
itu terus mencongklang lari hingga lenyap di ujung hu-
tan. Ternyata tepat ditengah jalan wanita itu telah me-
lompat dari atas punggung kuda dengan menggondol si
Tumenggung. BREET! BREET! BREBEEET...! Sekejapan saja
tubuh laki-laki penegak hukum itu sudah telanjang
bulat. Dan... sepasang matanya menatap dengan
membeliak pada sosok tubuh putih mulus yang tanpa
selembar benangpun menghalangi. Namun yang mem-
buat laki-laki itu merasa ngeri adalah sepasang tangan
wanita itu karena bentuk dan rupanya amat menye-
ramkan. "Hah!" ma... mau apa...kka... kkau..." tergetar suara Tumenggung Shandikala
dengan mencoba untuk
beringsut. Namun jalan darahnya terasa ngilu. Hingga
dia cuma bisa menatap dengan terbelalak dan keringat
dingin "membanjir" deras di sekujur tubuhnya yang polos. "Hihihi... aku mau
kau!" menyahut Giri Mayang.
Sepasang mata wanita itu menatap tajam si
Tumenggung. Bibirnya bergerak-gerak membaca man-
tera. "Kau pandanglah aku, apakah aku kurang can-
tik?" ujarnya sesaat kemudian.
"Kau... kau ccan.. cantik, no... nona!... ta... tapi lenganmu... lenganmu amat
menakutkan!" Sahut laki-laki Tumenggung itu dengan suara menggetar.
"He" siapa bilang" sepasang tanganku halus
mulus tanpa cacad! Matamu telah terbalik rupanya.
Perhatikanlah sungguh-sungguh...!" berkata Giri
Mayang yang| telah selesai merapal ajian Malih Rupa.
"A, bbbeb.. be... benar!" tanganmu mulus! mu-
lus, tanpa cacad dan.... kau... kau cantik sekali, no-
na..." berkata sang Tumenggung dengan memandang
terperangah. Memang aneh dalam pandangan Tumenggung
Shandikala karena kini yang dilihatnya sepasang tan-
gan perempuan itu memang halus mulus. Ternyata dia
telah kena pengaruh ilmu Malih Raga. Bahkan dima-
tanya itu teramat cantiknya. Apa lagi dalam keadaan
tanpa busana. Seluruhnya membentang dengan nyata.
"Bagus! kini matamu sudah terang!" ujar Giri
Mayang dengan meneguk air liur. Sepasang matanya
seketika mulai membinar. Ujung puti payudaranya
mulai terlihat kaku dan semakin kemerahan.
Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas. Dan,
terlepaslah totokan pada tubuh sang Tumenggung
Mendapatkan dirinya telah punya tenaga lagi.
laki-laki ini tergesa bangkit dengan gelora yang meng-
gelegak. Hawa rangsangan telah menutup pikiran wa-
rasnya... Giri Mayang tertawa lirih seraya "menerkam"
mangsanya dengan berahi memuncak di atas sega-
lanya. Sang Tumenggung menyambutnya dengan gai-
rah melonjak-lonjak. Merengkuhnya dengan seluruh
hasrat yang tak dapat terbendung lagi....
WHUSSSS...! sesosok tubuh terlempar dari ba-
lik rumpun dihutan Jati. Dan... BRUK! tubuh itu jatuh
tepat di belakang dua orang yang tengah berjalan di
satu jalan menuju desa. "Hah!?"
"Ooh...!?"
"Hiiiiiiii..." Menjerit dua orang itu seraya lari lintang pukang. Ternyata
mereka dua orang laki-laki yang
sedang melintas ditempat itu. Langkahnya tergesa-
gesa. Ketika tiba-tiba terdengar suara menggabruk di
belakangnya. Ketika menoleh ternyata sesosok tubuh
laki-laki tanpa kepala yang dalam keadaan telanjang
bulat. Tentu saja membuat mereka terperanjat, dan
seketika lari ketakutan pontang panting.
Sementara itu di desa yang tengah ditujunya.
"Itu Karma dan Kubil! pasti dikejar perempuan
iblis itu...!" teriak salah seorang dari tiga laki-laki yang berada di mulut
desa. "Celaka...! pasti! pasti...!" berkata kawannya dengan wajah pucat.
"Cepat laporkan pada Ketua!" perintah yang berusaha berkata seraya mendorong
tubuh sang kawan
yang cuma menatap dengan mata melotot dan bibirnya
terbuka. Tak ayal segera laki-laki itu berlari cepat untuk segera melapor.
"Apa yang telah terjadi...?" terdengar suara dari
bernada depan sebuah rumah disertai berdirinya seo-
rang laki-laki. Lalu diikuti oleh beberapa laki-laki dan seorang wanita tua.
"Celaka, Den...! perempuan iblis itu... itu...
itu..." "Ita itu ita itu!" bicara yang benar goblok!" seorang laki-laki
berangasan bertubuh kekar dengan pe-
rut yang buncit telah melompat dan mencengkeram
tengkuk laki-laki ini
"Biarkan dia menenangkan diri dulu, sobat An-
terja!" terdengar suara lirih. Cepat sekali gerakannya, tahu-tahu wanita tua
berjubah hijau itu telah berdiri
dihadapan laki-laki si pelapor. Si tubuh kekar beran-
gasan itu lepaskan cengkeramannya.
"Katakanlah! apakah maksudmu si perempuan
iblis itu telah datang kemari...?" tanya perempuan tua itu dengan suara lembut.
"Hihihi... hihi... benar! aku telah datang kemari!
dan datang kesetiap tempat untuk membunuh habis
kaum Rimba Hijau golongan putih!" belum lagi si pelapor itu menyahuti telah
terdengar suara tertawa yang
menyahutinya. Dan, suaranya belum habis, empat so-
sok tubuh telah terlempar dan jatuh bergedebukan
dengan kepala yang sudah lenyap dari tubuhnya.
Terkejut semua mata memandang karena tahu-
tahu di hadapan mereka menjelma sesosok tubuh wa-
nita berpakaian serba kuning berlengan baju gom-
brong menutupi kedua lengannya.
Semua mata jadi memandang dengan terperan-
gah. Akan tetapi sekejap saja sosok-sosok tubuh dibe-
randa rumah itu segera berlompatan untuk mengu-
rung wanita itu, dengan senjata-senjata terhunus.
"Giri Mayang! perempuan iblis, kau takkan lolos
kini dari tangan kami!" teriak salah seorang. Ternyata mereka adalah para
pendekar yang tengah berkumpul
menyusun rencana. Dua orang anak buah dari salah
seorang tokoh Pendekar yang memang berdiam di wi-
layah desa itu telah dikirim Untuk melihat situasi di
sisi Kota Raja sejak pagi tadi. Ternyata kembalinya te-
lah berikut dengan hilangnya nyawa kedua murid utu-
san itu. Sementara si nenek berjubah hijau itu telah
mencabut keluar seuntai tasbih dari balik jubahnya.
Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. "Hihihi...
hihi... mantera apakah yang kau baca itu, nenek peot?"
Berkata Giri Mayang dengan mengikik tertawa.
Akan tetapi sepasang matanya membersit tajam men-
gandung hawa pembunuhan. Dan... tiba- tiba...
WMUUUK! Secercah cahaya biru telah melun-
cur cepat ke arah nenek tua itu disertai menyebarnya
hawa dingin mencekam. Terdengarlah jeritan parau
menyayat hati. Dan... Krraak! Batang leher si nenek
berjubah hijau itu sekonyong-konyong berderak patah.
Darah memuncrat, dan kepalanya jatuh menggelinding
diserta menggabruk jatuhnya tubuh si wanita tua ber-
tasbih itu. Terbelalak para Pendekar yang mengurung si
wanita iblis Giri Mayang menyaksikan kejadian itu.
Serta merta mereka menerjang dengan berba-
reng. Senjata-senjata berkelebatan menebas batang
tubuh perempuan iblis itu.
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi dengan sekejap tubuh Giri Mayang
telah kembali lenyap sirna tak berbekas. Selanjutnya
yang terdengar adalah jerit dan teriakan ngeri disertai tumbangnya tubuh-
tubuhnya para Pendekar itu dengan masing-masing kepalanya telah putus bagaikan
dipereteli saja dari leher mereka.
Sekejapan saja belasan mayat telah bergelim-
pangan dengan amat mengerikan. Darah membanjir
menganak sungai...
Sungguh satu pemandangan yang amat menge-
rikan! Lagi-lagi Giri Mayang menambah korban-
korbannya. Selang sesat terdengar kembali suara tertawa
mengikik menyeramkan membangunkan bulu roma.
Namun suara tertawa itu semakin menjauh, dan ak-
hirnya lenyap dalam kelengangan yang membaur den-
gan hawa maut...
"GIRI MAYANG...! perempuan iblis! perbuatan-
mu sudah keterlaluan!"
Terdengar satu bentakan keras yang terdengar
bagaikan memecahkan anak telinga. Wanita ini henti-
kan langkahnya yang baru saja memasuki perbatasan
sebelah timur dari wilayah Kota Raja. Disinipun terli-
hat beberapa mayat berserakan dengan keadaan yang
mengerikan. Yaitu mayat dari empat orang ponggawa
penjaga perbatasan.
Yang membentak adalah salah satu dari Tiga
Musafir Hati Besi. Ketiga orang ini melompat untuk se-
gera mengurungnya, dengan masing-masing telah
mencabut senjata. "Hm. lagi-lagi tiga Pendekar muncul mencari mati!" berkata
Giri Mayang dengan suara dingin. Akan tetapi tiba-tiba membersitlah senyum pada
bibirnya ketika menatap salah satu dari si ketiga Mu-
safir Hati Besi seorang lelaki yang bertubuh kekar den-
gan urat-uratnya yang bertonjolan.
"Hihihi... dua diantara kalian boleh mati, tapi
kau kuberi hidup untuk sementara!" ujar Giri Mayang seraya menunjuk pada laki-
laki gagah itu. Bahkan
langsung membaca mantera dengan sepasang matanya
menatap tak berkedip pada laki-laki bernama Bhadur
itu. Akan tetapi dua dari si Tiga Musafir Hati Besi
telah menerjang dengan golok besar dan sepasang
ruyung bermata tombak tipis yang meluncur deras
menabas tubuh dan menyerang leher.
Akan tetapi belum lagi senjata-senjata mereka
mengenai kulit wanita itu selarik sinar biru meluncur
dari sepasang lengan baju Giri Mayang.
Melihat dua larik sinar biru itu meluncur ke
arah mereka Tiga Musafir Hati Besi sudah maklum
dengan serentak melompat menghindari dengan letik-
kan tubuh ke arah samping. Sesaat sudah berada da-
lam posisi berdiri dengan siap siaga. "Hmm...!" mendengus Giri Mayang. "Aku tak
perlu melayaninya dengan tanganku! Hihihi... tujuh setan kerdil! kalian hi-
saplah darah kedua Pendekar tolol itu!" terdengar pe-rintahnya dengan suara
dingin pada tujuh makhluk
kerdil yang berdiam diri menunggu perintah.
Serentak mereka menampakkan dirinya. Dan
dengan wajah menyeringai menyeramkan ketujuh
makhluk hitam itu berkelebatan ke arah dua dari Tiga
Musafir Hati Besi. Sementara Bhadur baru saja tersa-
dar dari pengaruh ilmu penakluk Sukma Giri Mayang.
Dengan marah dia menerjang wanita itu.
Senjatanya sepasang kapak bermata lebar me-
nebas beruntun memperdengarkan suara bersiutan.
Akan tetapi melengak laki-laki itu karena mata kapak-
nya seperti menebas angin. Tahu-tahu... Plak! kedua
kapak telah terlepas dari sepasang lengannya. Dan be-
lum lagi dia menyadari apa yang bakal terjadi, tubuh-
nya telah serasa "terbang" karena telah disambar di wanita Iblis itu yang
langsung telah menotoknya.
Sementara pertarungan dua dari Tiga Musafir
Besi dengan ketujuh makhluk kerdil itu berlangsung
dengan tegang. Sambaran-sambaran senjata mereka cuma me-
nabas angin belaka, membuat bulu kuduk kedua laki-
laki itu mulai berdiri meremang. Berguling-guling dan
melompat mereka menyelamatkan diri dari cengkera-
man ganas makhluk-makhluk kerdil itu.
Selang kira-kira dua kali sepeminuman teh,
tampaknya tenaga kedua Pendekar itu semakin berku-
rang. Hal itu karena nyali mereka mulai menciut. Ke-
putusasaan telah membayang di wajah mereka yang
tak mungkin menang menghadap makhluk yang bu-
kan manusia itu.
Tiga makhluk kerdil berhasil menangkap perge-
langan tangan dan kaki dari salah seorang Pendekar
itu. Bergulingan laki-laki ini dengan segala daya untuk melepaskan diri. Akan
tetapi sia-sia. Saat mana salah
satu makhluk kerdil itu telah meluncur untuk mener-
kam ke arahnya yang dalam keadaan terlentang tanpa
berdaya. Di lain pihak tiga makhluk kerdil lainnya te-
lah meluruk pula untuk merencah ganas pada Pende-
kar satunya yang sudah megap-megap kehabisan na-
pas. Dia cuma terperangah menanti datangnya maut,
dengan mata membelalak.
Akan tetapi di saat mau tinggal sedetik lagi, ti-
ba-tiba secercah cahaya perak telah membersit
menyambar tepat di atas kepala makhluk-
makhluk kerdil itu dengan menimbulkan suara meng-
gelegar. BHLAAARRR...!
Tujuh makhluk kerdil itu seketika berloncatan
dengan suara gaduh karena terkejut. Hingga telah me-
lepaskan cengkeraman pada kedua Pendekar itu.
Dan... di situ telah berdiri tegak si nenek Muri Asih, alias si Pendekar
Selendang Perak Pelangi.
Melihat kemunculan wanita tua renta itu si tu-
juh makhluk kerdil jadi menyeringai gusar. Mereka te-
lah mengetahui karena nenek tua ini pernah membuat
mereka menyasar dan sukar keluar dari hutan belan-
tara karena dipancing mengejarnya. Hingga Giri
Mayang terpaksa harus menghubungi gurunya si Nini
LEMBUTUNG melalui semadi. Atas bantuan Nini Lem-
butung itulah mereka bisa keluar dari rimba belantara
yang seperti telah terpagar oleh tembok kabut yang
sukar ditembus.
"GRRRRH...! KRAAA..! KRWWOK! KRWOOK!
Menggeram ketujuh makhluk kerdil itu dengan
marah. Tiba-tiba serentak menerjang ke arah wanita
tua itu. Membersitnya tubuh ketujuh makhluk kerdil
itu dibarengi dengan lenyapnya tubuh mereka. Akan
tetapi si Nenek Muri Asih telah waspada. Sinar Perak
yang menyilaukan mata segera terlihat seperti mem-
bungkus tubuhnya. Sementara sinar
Pelangi membumbung ke atas memancarkan
warna-warni. Tiba-tiba sinar pelangi itu bagaikan sebuah se-
lendang yang panjang meluncur ke bawah membentuk
lingkaran yang memutar cepat seperti menggulung.
Dan saat itu sinar Perak yang membungkus tubuh si
nenek Muri Asih mendadak membersit ke udara.
Apakah yang terjadi kemudian..."
Tubuh ketujuh makhluk kerdil itu telah terjerat
menjadi satu. Terbelit oleh selendang warna Pelangi.
Terlemparlah ketujuh makhluk kerdil yang telah kem-
bali menampakkan diri ke udara, karena dibetot oleh si
wanita tua itu.
Saat mana dalam keadaan mengapung di udara
si Nenek Muri Asih telah lancarkan serangan dahsyat
dengan semburan sinar perak ke arah ketujuh mak-
hluk kerdil yang bergulung menjadi satu...
BHLAAARRRRR...!
Terdengar ledakan hebat di udara. Asap hitam
tampak membumbung di bekas ledakan itu. Kedua
Pendekar yang berada di bawah memandang ke atas
dengan takjub, juga hati berdebaran. Apakah nanti ke-
lanjutannya dengan pukulan sinar perak yang tepat
mengenai ketujuh makhluk kerdil itu..." Saat itu den-
gan ringan si nenek Muri Asih telah meluncur turun
kembali, jejakkan kaki ke tanah dengan tak menim-
bulkan suara. Asap hitam yang membumbung di udara itu
mendadak lenyap. Akan tetapi tepat dari bekas le-
nyapnya asap hitam itu telah mengucur turun cairan
darah, yang begitu menyentuh bumi, sekejapan saja
terlihat menganak sungainya cairan darah yang ber-
bau busuk. Terperangah kedua Pendekar itu memandang.
Sementara sudah terdengar suara si nenek Muri Asih.
"Mereka telah musnah...! Dan sebagian dari ke-
kejian manusia- manusia setan itu telah berhasil kita
tumpas. Akan tetapi entah apakah aku akan sanggup
menghadapi si perempuan iblis itu...?"
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nenek Muri
Asih...!" berkata kedua pendekar dari Tiga Musafir Hati Besi seraya sama-sama
menjura. Pada saat itu...
"Hihihihi... hebat kau Nenek Muri! biarlah si Gi-
ri Mayang itu aku yang akan menghadapi!"
"RORO CENTIL...!" hampir berbareng mereka
berseru, karena segeralah telah melihat munculnya se-
sosok tubuh wanita muda berparas rupawan. Senjata
Rantai Genit yang tergantung dipinggang telah dikenali
oleh kedua Pendekar itu.
"Roro...! sukurlah kau datang...!" berkata nenek Muri Asih seraya melompat
menghampiri. "Nona Pendekar Roro Centil, Kami yakin anda
dapat menumpas perempuan iblis itu! berkata salah
seorang dari kedua Pendekar itu yang bernama Bonar.
Sedangkan adiknya adalah Bhimo.
"Ah, kalian Bonar dan Bhimo bukan..."
"Tidak salah! kami adalah si Tiga Musafir Hati
Besi yang pernah menerima budi anda dua bulan yang
lalu, namun belum sempat kami ucapkan terimakasih.
Biarlah hari ini kami sempatkan untuk mengucapkan-
nya!" "Huss! sudahlah, tak mengucapkan pun tak apa-apa, Kemanakah Bhadur..?"
bertanya Roro dengan mata jelalatan menatap pada empat mayat ponggawa
Kerajaan menduga kalau-kalau Bhadur telah tewas
dan ada diantaranya.
"Dia... dia dibawa pergi si Perempuan iblis
itu...!" menyahut Bonar dengan wajah pucat. Barulah dia sadar akan lenyapnya
sang kakak. "Hmm...! tercenung sejenak Roro Centil. "Kau tak boleh gegabah
menghadapinya, Roro...! Giri Mayang mempunyai se-
pasang lengan Iblis! Bukan aku meremehkan kepan-
daianmu, tapi kukira dengan berdua kita menempur-
nya mungkin kita bisa membinasakan perempuan iblis
itu!" berkata Nenek Muri Asih dengan suara lembut.
Tampaknya wanita tua itu agak mengkhawatirkan Ro-
ro, karena dia sendiri memaklumi betapa berba-
hayanya sepasang Tangan Iblis Giri Mayang. Roro Cen-
til tersenyum menatap wanita tua itu. "Aku hargai
kekhawatiranmu itu, nenek Muri...! Akan tetapi aku te-
lah berjanji dan bersumpah akan membunuhnya den-
gan tanganku sendiri. Dia telah menantangku untuk
bertarung! secara kesatria, apakah aku harus berlaku
pengecut...! ujar Roro dengan mengalihkan tatapannya
pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Giri Mayang telah banyak membuat kejahatan,
mengumbar nafsu Iblisnya demi memancing muncul-
nya aku pada peristiwa yang lalu. Juga telah memfit-
nahku! Mencemarkan nama baikku...! Pernah pula dia
berhasil menawanku, yang nyaris membuat nyawaku
melayang. Untunglah dia tak berniat membunuhku
siang-siang. Karena dia memang mau menyiksaku se-
puas-puasnya. Aku berhasil melepaskan diri dan balas
menyiksanya! sayang waktu itu aku tak membunuh-
nya mampus! Dia kuampuni jiwanya! Kubiarkan dia
hidup dalam menderita sebagai balasan atas penyik-
saan yang dilakukan padaku yang walaupun belum
sempat terjadi aku telah berhasil melepaskan diri dari
tolokannya. Tak dinyana dia masih bisa hidup, dan bahkan
bergabung dengan si Manusia Beracun yang telah di-
peralatnya. Kembali dia membawa bencana..! Kali ini
bencana lebih besar! Dia telah mempunyai Sepasang
Tangan Iblis pengganti kedua tangannya yang putus!
Ayahnya adalah seorang tokoh jahat golongan hitam
yang pernah melakukan pembantaian di Kuil Istana
Hijau. Bernama Tun Parera. Akan tetapi dia memper-
gunakan nama palsu, yang aku lupa namanya. Dia te-
was oleh si Tutul...! Dialah si Kelabang Kuning, alias
Giri Mayang anak dari Tun Parera yang menyimpan
dendam kesumat terhadapku...!
Oleh sebab itu, perkenankanlah aku membu-
nuhnya dengan tanganku sendiri! sesuai dengan kein-
ginannya untuk bertarung denganku secara kesatria!"
Tuturkan Roro Centil mengenai siapa adanya Giri
Mayang itu. Nenek Muri Asih manggut-manggut yang telah
mendengarkan penuturan Roro dengan panjang lebar.
Lalu tampak orang tua itu menghela napas.
Lalu ujarnya kemudian.
"Aku tak bisa menahan kalau memang demi-
kian! akan tetapi berhati-hatilah menghadapinya. Dia
masih punya seorang guru baru yang bernama Nini
Lembutung yang tak ku tahu dimana tempat sembu-
nyinya. Dialah yang telah berusaha dengan jerih payah
untuk memiliki sepasang tangan Iblis demi muridnya
itu...!" tuturkan nenek Muri Asih yang telah menyelidiki dengan kekuatan
batinnya yang tinggi, hingga ber-
hasil mengetahui siapa adanya guru perempuan iblis
itu. Bahkan Nini Lembutung pulalah yang telah mele-
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paskan Giri Mayang dari kurungan tembok kabut cip-
taannya dihutan belantara, dalam usahanya menying-
kirkan wanita iblis itu ketempat yang jauh dari manu-
sia. Pada saat mereka bercakap-cakap itu tiba-tiba
tersentak Roro Centil melihat sesosok tubuh manusia
melambung dari balik hutan bambu dihadapannya.
Cepat sekali Roro melesat untuk segera menangkap
sebelum tubuh itu jatuh ke bumi. Ketika dibaringkan
tersentak Roro dan kedua pendekar muda itu, karena
itulah tubuh Bhadur yang dalam keadaan telanjang
bulat. Kepalanya terkulai karena tulang lehernya patah
seperti kena cengkeraman.
"Iblis keji...!" memekik Roro seraya melesat ke balik hutan dengan lompatan
setinggi lima belas tombak. Roro Centil jejakkan kakinya ke tanah. Matanya
menjalar ke beberapa arah untuk memperhatikan se-
kelilingnya. Sunyi senyap. Keheningan mencekam...
"Hihihihi... selamat berjumpa Pendekar Wanita
yang hebat...!" terdengar suara di belakang Roro tanpa terlihat sosok tubuhnya.
Roro Centil cepat balikkan tubuh seraya me-
rapal aji halimunan. Akan tetapi sengaja Roro tak
membentuk tubuhnya menjadi harimau Tutul.
Segera terlihat siapa dihadapannya.
"Giri Mayang...! saat pertarungan telah tiba! ha-
ri ini kau harus menyudahi perbuatan kejimu! Aku te-
lah siap untuk mengirim nyawa iblismu ke Neraka...!
membentak Roro dengan suara nyaring.
"Hebat! kau bisa melihatku...?" puji Giri
Mayang dengan tersentak kaget, tapi tetap tenang.
Keyakinannya untuk bisa menghancurkan musuh be-
sarnya amat tegar, karena dia yakin sepasang tangan
iblisnya akan mampu mencopot kepala si Pendekar
wanita Pantai Selatan itu.
"Hihihi... kau kira cuma kau sendiri yang
punya kesaktian macam begini" Hm, kali ini silahkan
kau gunakan seluruh kesaktianmu untuk menghadapi
aku. Roro Centil akan melayaninya...! Dan... jangan
harap kau dapat menunda lagi kematianmu, perem-
puan setan!"
"Baik! akan tetapi tempat pertarungan kita ter-
lalu sempit!" ujar Giri Mayang dengan wajah merah
menegang. "Silahkan kau cari tempat yang luas. Ataukah
kau mau ajak aku bertarung diliang semut...! aku
akan melayani!" berkata Roro dengan senyum sinis.
Tampak ketenangan tetap membayang di wajah sang
Pendekar kita. "Baik! baik...! Silahkan ikuti aku...!" berkata Gi-ri Mayang, seraya melesat
bagaikan "terbang" keluar dari hutan bambu itu. Roro Centil enjot tubuhnya untuk
mengikuti. Dan, bagaikan dua hembusan angin
lewat, dua sosok-sosok tubuh yang tak terlihat oleh
mata biasa itu saling berkelebatan meluncur pesat
meninggalkan tempat itu...
Pertarungan memang tampaknya tak dapat di
elakkan lagi. Dan satu duel yang amat menegangkan
pasti akan berlangsung untuk menentukan siapakah
yang masih bisa hidup mempertahankan nyawanya.
Juga pada pertarungan itu akan ditentukan apakah
kebathilan atau kebenaran yang akan bercokol dijagat
ini. Segalanya memang belum bisa dipastikan.
Nenek Muri Asih saling tatap dengan kedua
pendekar muda itu.
Mereka cuma mendengar bentakan-bentakan
dan tantangan yang menegangkan dari balik hutan
bambu, yang kemudian suara-suara itupun lenyap.
Alam kembali sunyi mencekam. Ketiga manusia
itu tertegun dalam beberapa saat. Namun akhirnya
nenek Muri Asih menyadarkan, dengan berkata pela-
han. "Segala sesuatunya tak dapat lepas dari takdir!
Kita tak tahu apakah kemenangan ada dipihak Roro
Centil, ataukah Giri Mayang. Semuanya kita serahkan
pada Yang Maha Kuasa! Marilah kita kuburkan mayat
saudaramu itu, sobat-sobat Pendekar muda...! Juga
empat mayat pengawal itu kita ke bumikan sekalian!
aku akan membantu kalian menggali lubang...!"
Tersentak kedua dari Tiga Musafir Hati Besi.
Lalu cepat-cepat menjawab.
"Terima kasih, nenek Muri Asih! kami sudah
berhutang budi pada anda, biarlah kami yang menggali
kubur untuk semua mayat yang berada disini...!" berkata Bonar.
Sejenak perempuan tua itu tercenung. Lalu ter-
dengar menghela napas. "Baiklah, kalau begitu...!
Doa'a-kan saja agar kemenangan ada pada Pendekar
Wanita kita..!" ujar Nenek Muri Asih.
"Tentu...! tentu, nenek Muri Asih!" menyahut
keduanya dengan serempak.
Nenek Muri Asih gerakkan lengannya beberapa
kali ke arah depan.
Terdengarlah suara berdentum beberapa kali
ketika sinar perak berkelebatan menghantam tanah.
Debu mengepul, dan tanah menyemburat ke udara.
Ketika abu tebal itu lenyap, terperangah kedua
pendekar itu melihat dihadapannya telah berjajar lima
buah lubang yang persis seperti baru digali.
Kedua pendekar jadi saling pandang dengan
keheranan. "Beliau telah membantu kita menggalikan ku-
buran...!" berkata Bhimo dengan tertegun.
"Benar, adikku... ah, sungguh sakti nenek itu
juga berhati mulia! Marilah kita kuburkan dulu jena-
zah kakak kita..." ujar Bonar.
Sang adik mengangguk, lalu segera bantu men-
dukung membawa jenazah. Kesedihan tampak mem-
bayang di wajah dua Pendekar muda ini. Akan tetapi
mereka memang tak dapat menentang takdir seperti
apa yang diucapkan nenek Muri Asih. Begitu juga den-
gan pertarungan kedua tokoh hitam dan putih itu ke-
lak. Manusia, ya cuma manusia. Setinggi apapun
ilmunya tetap di bawah kekuasaan Yang Maha Pencip-
ta. Langit tampak cerah tak berawan. Cahaya Ma-
tahari membersit terik. Sesekali terhalang sinarnya
oleh daun-daun bambu yang bergoyang tertiup angin.
Setelah berdo'a untuk arwah-arwah mereka yang telah
tiada, kedua. Pendekar Hati Besi meninggalkan tempat
itu. Meninggalkan lima buah gundukan tanah yang
masih baru. Mereka telah gugur sebagai pahlawan wa-
laupun cuma dengan sedikit perjuangan. Tapi masih
punya arti ketimbang matinya seorang berpangkat
yang meninggalkan nama buruk dimata manusia...
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dewi Ular 7 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Dewa Iblis 3
bisa pulang kembali!" Tak lama nenek Muri Asih tampak berlalu dari tepi sungai
dengan bibirnya kembali
perdengarkan suara berdesis. "Celaka! celaka..! apakah akan tiba masanya
kekalahan besar buat golongan
kaum putih?" Dan berkelebatlah wanita tua itu me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara itu di atas puncak gunung Galung-
gung... Giri Mayang tampak tengah memperhatikan
dengan seksama sebuah benda kuning berkilauan
yang tak lain dari tusuk konde emas yang telah tercek-
al di tangannya. Dari hasil semedinya memusatkan
kekuatan batin untuk bersekutu dengan para iblis di
kawah gunung itu, Giri Mayang telah mengerti bagai-
mana caranya mempergunakan sepasang lengan Iblis-
nya. Ketika itulah membersit cahaya kuning menyilau-
kan yang menyeberangi puncak gunung, melintas di
atas kepundan. Tak ayal Giri Mayang gerakkan sepa-
sang Lengan Iblisnya untuk menyambar cahaya itu.
Ketika sepasang tangan itu kembali menempel di len-
gannya menyatu kembali pada tubuhnya, ternyata te-
lah mencekal sebuah tusuk konde emas yang segera
diamatinya. "Hm, agaknya telah ada orang sakti yang mau
mencoba-coba mengusik ketenangan ku di puncak Ga-
lunggung ini...!" desis Giri Mayang. Mengikik tertawa wanita iblis ini, seraya
selipkan benda itu ke balik pa-kaiannya lalu melompat berdiri.
"Hm, tujuh setan kerdil! kalian selidikilah di
sekitar tempat ini! berkata Giri Mayang pada ketujuh
makhluk piaraan gurunya si Nenek Lembutung. Ketu-
juh makhluk kerdil itu membungkuk hormat, lalu ber-
kelebatan untuk menyebar menjalankan perintah
mencari kalau-kalau bisa dijumpai manusia sakti yang
telah melepaskan tusuk konde emas itu. Sementara
Giri Mayang merapal ajiannya untuk segera mele-
nyapkan diri, hingga tubuhnya tak nampak lagi oleh
mata manusia biasa...
*** DELAPAN Kemanakah gerangan si Tutul membawa maji-
kannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang duduk
di atas punggungnya dengan memeluk erat lehernya
itu" Roro Centil tak berani membuka matanya karena
bersitan angin yang terlalu keras menerpa tubuhnya.
Seperti juga dalam perjalanan yang biasa dilakukan
menjelajah dunia dalam petualangannya, Roro Centil
selalu mengingat kebesaran Tuhan yang telah membe-
rikan karunianya. Dengan memiliki sahabat si Tutul
yang luar biasa itu Roro Centil telah berpetualang ke-
tempat-tempat yang jauh. keperbagai pulau di kawa-
san Nusantara pada masa itu.
Dua malam telah terlewati. Dalam perjalanan
itu telah beberapa kali si Tutul beristirahat memberi kesempatan pada Roro untuk
menangsal perut. Bahkan sempat singgah di satu desa. Namun tak bisa ber-
lama-lama karena si Tutul selalu memberi isyarat den-
gan menggigit-gigit dan menarik ujung bajunya agar
meneruskan perjalanan.
Kembali Roro Centil mengarungi lautan yang
amat luas. Burung- burung camar menyingkir ketika
angin keras tahu-tahu membersit melewati wilayah pe-
rairannya. Seorang nelayan tua melengak kaget ketika
perahunya menjadi oleng karena hempasan angin le-
wat telah menerpa layarnya.
Akan tetapi dia memang tak dapat melihat apa-
apa. Kecepatan luncuran si Tutul laksana hembusan
angin. Nelayan tua itu cuma membelalak kaget seraya
menyambar dayung untuk menguasai olengnya perahu
dengan bibir komat-kamit entah do'a apa yang diba-
canya... Selang kira-kira waktu setengah hari, si Tutul menghentikan luncuran.
Ternyata telah tiba di satu
daratan berpasir. Bukit-bukit batu tampak bertebaran
disana-sini. "Ah, diwilayah manakah ini...?" sentak Ro-ro seraya melompat dari
atas punggung si Tutul. Ter-
mangu-mangu Roro Centil memperhatikan tempat se-
kitarnya, yang melulu padang pasir serta bukit-bukit
batu. Sementara si Tutul tiba-tiba merubah dirinya
menjadi seekor harimau kecil sebesar kucing. Dengan
menggeram dan "mengeong" lirih sang Tutul kecil itu menarik-narik ujung terompah
Roro. "Aiiih, apa maksudmu, Tutul...?" tanya Roro heran. Si Tutul kecil kembali
menggeram dan mengeong
lirih, seraya kemudian melompat ke arah sebuah batu
besar di sisi tebing batu. Terpaksa Roro Centil melom-
pat menyusui. Sikap seperti itu adalah menandakan si
Tutul mengajaknya untuk kesatu tempat. "Mengapa
harus merobah menjadi anak harimau...?" berkata Ro-ro dalam hati.
Di atas batu besar itu si Tutul kecil mondar-
mandir menunggu kedatangan Roro. Baru saja Roro
injakkan kakinya ke atas batu. Si Tutul melompat
kembali ke bawah. Lalu apa yang di lakukannya" Ter-
nyata si Tutul kecil mengorek-ngorek pasir di bawah
batu itu seraya mengeram dan mengeong tak hentinya.
Melengak Roro Centil, tak tahu dia apa maksudnya.
Akhirnya Roro Centil cuma jadi penonton saja, dengan
berjongkok di atas batu itu memperhatikan tingkah la-
ku si Tutul kecil yang terus menggali pasir hingga ber-
lubang. Tak memakan waktu lama lubangpun semakin
dalam. Dan si Tutul kecil seperti lenyap ditelan pasir
sekian lama ditunggu tak munculkan dirinya. "Ah,
apakah yang telah terjadi dengannya?" desis Roro dengan hati berdebar. "Ada
apakah di bawah batu besar ini?" berkata Roro dalam hati. Baru saja dia mau
melompat turun, si Tutul kecil telah tongolkan kepalanya.
Ternyata pada moncongnya telah menggigit sebuah tu-
lang lengan manusia. Tersentak Roro dengan mata
membelalak. "Aiiiih?" teriaknya tertahan karena terkejut dan herannya.
Baru saja meletakkan tulang lengan itu di atas
lubang, si Tutul sudah masuk lagi ke dalam lubang
itu. Tak lama keluar lagi dengan membawa tulang-
tulang lainnya. Dari tulang lengan, tulang leher, tulang kaki sampai tulang
pinggul dan rusuk kesemuanya
diseret keluar oleh makhluk itu. Roro Centil cuma bisa
terpaku sambil garuk-garuk kepala dan leletkan lidah-
nya tanpa mengetahui apa maksud ulah si Tutul kecil
itu. Namun dia sudah dapat menerka kalau di bawah
batu besar itu ada terdapat kuburan manusia yang tu-
lang-tulangnya sedang digeret keluar oleh sang hari-
mau Tutul kecil. Namun kemisteriusan tingkah laku
sahabatnya itu membuat benaknya tak habis memikir.
Hingga terpaksa Roro cuma berdiam diri menunggu
habisnya tulang-belulang manusia yang dibawa keluar
lubang oleh si Tutul.
Sementara Matahari memanggang tubuh Roro
dengan panasnya yang menyengat kulit. Namun Roro
Centil tetap tak beranjak dari tempatnya untuk menge-
tahui kelanjutan dari apa yang diperbuat sahabatnya
itu. *** Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang tengah
bergelut dengan berbagai pertanyaan dibenaknya itu.
Mari kita beralih kesekitar wilayah gunung Galung-
gung. Giri Mayang ternyata tengah mengumbar kesak-
tian sepasang Tangan Iblisnya. Dua larik cahaya ber-
warna biru tampak membersit di udara mengelilingi
beberapa buah desa.
Tampak satu kepanikan luar biasa dari pendu-
duk kedua desa itu. Dengan bersiyuranya dua larik
cahaya biru itu yang memutari desa membuat pendu-
duk jadi ketakutan. Sementara hawa dingin yang men-
cekam dan membangunkan bulu roma menyelimuti
sekitar kedua desa itu.
Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan menyayat ha-
ti ketika dua larik cahaya biru itu meluncur turun.
Berjatuhan tubuh-tubuh tanpa kepala dalam sekeja-
pan saja seperti dipoteskan saja layaknya oleh lengan-
lengan mengerikan yang tak terlihat oleh mata biasa.
Pekik ketakutan dan jerit kematian membaur dalam
kengerian yang amat luar biasa. Darah memercik dis-
ana sini membasahi tanah halaman juga pada bilik-
bilik kamar. Lebih dari tiga puluh manusia dari mas-
ing-masing desa mengalami kematian dengan amat
mengerikan. Bukan saja laki-laki, tapi perempuan dan
bahkan anak-anak yang tak berdosa menjadi korban
ke "gila"an sepasang tangan iblis.
Sementara dengan tertawa mengikik Giri
Mayang duduk dengan kaki menjuntai di atas wuwun-
gan rumah yang berada ditempat agak tinggi menyak-
sikan bekerjanya sepasang Tangan Iblisnya menyebar
maut. Selang beberapa saat, tampak wanita iblis itu
mengangkat sepasang lengan buntungnya seraya ber-
kata dengan berdesis. "Cukup!" Dan... Plash! kedua lengan Iblisnya segera
kembali melekat ke tempatnya
semula, menelusup masuk ke dalam lengan baju wani-
ta itu. "Hihihihi... hihihi... Mari, setan-setan kerdil! ki-ta tinggalkan tempat
ini!" Dan selesai berkata tubuh Giri Mayang segera melesat lenyap dari atas
wuwungan rumah itu dengan diikuti tujuh bayangan hitam dari
ketujuh makhluk kerdil yang setia mengikuti tanpa
memperlihatkan diri.
Lagi-lagi Giri Mayang sengaja menyebar maut
untuk memancing kemunculan para pendekar.
Dan lagi-lagi rakyat yang tak berdosa menjadi
korban! Pekik dan jerit serta ratap tangis dari sisa-sisa penduduk yang
keluarganya menjadi korban kegana-san si Tangan Iblis segera membaur didua desa.
Se- mentara Giri Mayang meninggalkan tempat pemban-
taian itu dengan perdengarkan suara tertawa mengikik
yang membuat bulu tengkuk meremang.
Saat itu tiga bayangan tubuh berkelebat me-
nyusul ke arah berkelebatnya tubuh Giri Mayang. Ge-
rakan melompat dari ilmu meringankan tubuh ketiga
orang yang mengejarnya itu cukup hebat, pertanda
mereka bukan orang-orang biasa, tapi orang-orang
yang mempunyai kepandaian tinggi yang boleh dian-
dalkan. Sementara dari jurusan lain dua bayangan ju-
ga berkelebat menyusul. Dialah seorang laki-laki ber-
baju putih yang mempunyai gerakan berlari cepat ba-
gaikan larinya seekor kijang. Di belakangnya mengikuti
seorang wanita berbaju merah, kembang-kembang.
Membawa sebuah topi tudung lebar di lengannya.
Selarik cahaya putih yang berkredepan meman-
jang laksana sehelai selendang perak tiba-tiba melun-
cur menghalangi langkah lari kedua orang ini. Terpak-
sa si laki-laki berbaju putih menahan langkahnya den-
gan terkejut, yang diikuti si wanita muda berbaju me-
rah. Sementara itu tiga laki-laki yang tengah mengejar
Giri Mayang telah mendengar suara halus yang dikirim
dari jarak jauh.
"Tiga orang gagah, tahanlah langkah kalian!
Jangan mengumbar nafsu dan menambah korban!"
Suara halus itu terdengar amat berpengaruh, mem-
buat ketiga laki-laki itu segera menahan langkah. Se-
mentara si laki-laki baju putih dan gadis berbaju me-
rah kembang-kembang jadi tersentak kaget ketika me-
lihat seorang wanita tua berdiri kira-kira 10 tombak
dihadapannya. Cahaya selendang perak itu terpaksa
membersit dari telapak tangannya. Sesaat kemudian
tampak wanita tua itu gerakkan lengannya seperti me-
narik kembali cahaya selendang warna perak itu yang
seketika lenyap.
"Siapakah perempuan tua itu?" bertanya gadis
yang berada di belakang laki-laki baju putih. Pemuda
berwajah tampan itu menoleh. "Ah!" kau mengapa
ikut-ikutan mengejar, nona?" tanya si pemuda yang
tak lain dari Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata
alias si Bujang Nan Elok.
"Hm, aku toh punya kaki!" sahut gadis itu dengan merengut.
"Haiiih! semangat kalian memang hebat, anak-
anak muda! Akan tetapi tahanlah emosi kalian. Musuh
kalian itu adalah musuh kita semua golongan kaum
pendekar, namun dengan kita bertindak tanpa perhi-
tungan cuma akan sia-sia!" terdengar suara halus si wanita tua itu yang entah
sejak kapan telah berada dihadapan mereka.
Sementara itu tiga sosok tubuh laki-laki tadi te-
lah berkelebatan melompat ketempat itu.
"Nenek tua, siapakah kau" mengapa mengha-
langi niat kami menumpas keangkaraan yang amat ke-
terlaluan itu?" berkata salah seorang dari ketiganya.
Ternyata mereka itu adalah tiga laki-laki gagah yang
memang berada didesa itu. Yaitu ketiga laki-laki yang
pernah mencari lenyapnya seekor macam Tutul didesa
Kranji. Sudah beberapa malam mereka menginap dide-
sa tersebut untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
adanya tujuh makhluk kerdil yang muncul didesa itu.
Wanita tua itu putarkan tubuhnya untuk me-
natap ketiga Pendekar ini. "Aku si tua renta ini bernama Muri Asih. Sayangilah
nyawa kalian sobat-sobat
muda. Bukan aku mau mencegah kalian dengan mem-
biarkan perempuan iblis itu berlalu, tapi kukira mati
konyol adalah satu hal yang paling sial! menyahut wa-
nita tua itu yang tak lain dari nenek Muri Asih.
Perempuan iblis itu terlalu berbahaya sobat-
sobat muda! Selain memiliki Sepasang Tangan Iblis dia
juga membawa serta tujuh makhluk kerdil penghisap
darah!" lanjutkan kata-katanya nenek Muri Asih.
Melengak seketika ketiga pendekar itu. "Tujuh
makhluk kerdil penghisap darah, dan sepasang Tan-
gan Iblis...!?" Hampir berbareng mereka tersentak kaget.
"Benar! aku telah menyelidikinya, perempuan
iblis itu bernama Giri Mayang!" tegaskan nenek Muri Asih. "Ah...!" tersentak
kaget Sambu Ruci.
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** SEMBILAN SAMBU RUCI sebenarnya tak tahu menahu
dengan pembantaian penduduk desa itu. Dari arah
sungai dia mendengar suara jerit dan pekik menyayat
hati di mulut desa yang telah dilihatnya dari kejauhan.
Disamping terkejut melihat dua larik cahaya berwarna
biru bersyiuran di angkasa, yang menukik dan mem-
bumbung sebentar kelihatan sebentar lenyap. Apapun
gadis berbaju kembang-kembang itu dia tak menge-
nalnya, tapi Sambu Ruci mengetahui kalau gadis itu
adalah gadis yang meniup seruling di sisi sungai ketika Sambu Ruci melintasi
sungai berbatu menyeberangi
dengan dua kali lompatan. Sekilas pemuda ini telah
meliriknya, dan mengetahui kalau si peniup seruling
itu seorang gadis.
Gadis itu hentikan tiupan serulingnya, dan
membuka topi tudung dikepalanya. Sejenak Sambu
Ruci menatap, dan dua pasang mata segera beradu
pandang. Akan tetapi gadis itu telah perdengarkan su-
ara dihidung lalu cepat-cepat membuang muka dan
mengenakan lagi topi tudungnya, untuk teruskan lagi
meniup seruling.
Melengak Sambu Ruci. Sekilas dia memang da-
pat melihat satu wajah yang cantik. Akan tetapi kece-
wa pemuda ini karena gadis itu bukanlah orang yang
dicarinya. Yaitu Roro Centil. Telah dua bulan lebih dia gentayangan mencari
kemana lenyapnya si Pendekar
Wanita Pantai Selatan sahabatnya itu.
Ada terbesit dihatinya untuk mengetahui siapa
gadis peniup seruling yang telah membuang muka se-
telah bertatap mata dengannya itu. Akan tetapi tiba-
tiba dua larik cahaya berwarna biru telah bersiutan di
angkasa. Membuat Sambu Ruci tersentak kaget. "Ca-
haya apakah itu?" sentaknya berdesis dan memandang dengan terperangah
memperhatikan cahaya biru yang
berkelebatan itu. Dilihatnya cahaya itu sebentar mun-
cul dan sebentar lenyap berputar-putar ke beberapa
tempat. Otomatis si gadis bertudung itupun hentikan
tiupan serulingnya untuk segera membuka lagi topi
tudungnya dan menengadah memperhatikan cahaya
biru yang berkelebatan di angkasa.
Saat itulah dari tengah desa yang tak berapa
jauh dari sungai itu terdengar suara teriakan-teriakan
ketakutan dan jeritan menyayat hati. Terkejut Sambu
Ruci. Serta merta tak ayal lagi dia sudah berkelebat
melompat untuk memburunya kesana. Sementara di-
am-diam si gadis peniup seruling itupun ikut pula me-
lompat untuk berlari cepat menyusul di belakang pe-
muda itu. Tiga mayat dengan tiga buah kepala yang su-
dah lepas dari tubuhnya dijumpai Sambu Ruci diten-
gah jalan yang menuju ke desa. Terkejut Sambu Ruci
ketika menjumpai lagi beberapa mayat dalam keadaan
yang sama. Dan, tersentak jantung pemuda ini ketika
melihat sesosok tubuh tengah mengikik tertawa duduk
menjuntaikan kaki di atas wuwungan rumah. Belum
lagi dia tahu jelas wajahnya, wanita itu telah berkele-
bat melesat dari atas wuwungan rumah itu.
"Pasti perbuatan dia!" desis Sambu Ruci dengan geram. Tak ayal Sambu Ruci segera
berkelebat mengejarnya, yang diikuti pula oleh si gadis peniup seruling di
belakangnya... Kini mendengar penjelasan si nenek Muri Asih
yang jelas adalah tokoh Rimba Hijau yang berilmu
tinggi lagi-lagi dia tersentak kaget karena wanita itu
tak lain dari Giri Mayang. Sambu Ruci memang pernah
beberapa kali berjumpa bahkan pernah bertarung den-
gan wanita iblis itu dan dia pula yang berhasil mena-
bas putus sebelah lengan Giri Mayang. Sedangkan se-
belah lagi tangan wanita iblis itu diputuskan oleh keris seorang pendekar tua
yaitu Gembul Sona alias si Belut
Putih, seperti yang telah diceritakan dalam kisah:
Langkah-langkah Manusia Beracun.
"Anda mengenal wanita iblis itu?" tanya nenek Muri Asih.
"Benar! dialah musuh besar sahabatku Roro
Centil! Aku pernah bertarung dengannya beberapa
kali, bahkan dia pernah pula menawan gadis Pendekar
sahabatku itu. Belakangan manusia iblis itu berga-
bung dengan si Manusia Beracun. Dalam pertarungan
terakhir kami berhasil menabas putus kedua lengan-
nya...!" tutur Sambu Ruci. Lalu ceritakan kejadiannya hingga waktu itu dalam
keadaan terluka disaat mau
dihabisi nyawanya telah disambar oleh sesosok tubuh
dan dibawa melesat melarikan diri. Entah siapa peno-
long wanita iblis itu Sambu Ruci tak mengetahuinya.
Dan dalam sekelebatan itu dia mendengar suara Roro
Centil yang mengejar kemana berkelebatnya si peno-
long Giri Mayang.
Sejak itu Sambu Ruci tak pernah mendengar
lagi kabar berita wanita iblis itu, bahkan sampai saat
ini tak pernah dijumpainya si Pendekar Wanita Pantai
Selatan sahabatnya itu...
Nenek Muri Asih manggut-manggut, lalu pa-
lingkan kepala menatap pada tiga laki-laki Pendekar
yang masih berdiri mendengarkan kisah penuturan
Sambu Ruci. "Dan kalian ini siapakah..?" tanya nenek Muri Asih. "Kami yang rendah adalah
tiga bersaudara.
Kaum persilatan menggelari kami si Tiga Musafir Hati
Besi...!" sahut salah seorang seraya menjura, yang segera diikuti oleh kedua
laki-laki lainnya.
"Hehehe... pantas! hati kalian sekeras besi. Tak
mengenal takut akan bahaya. Akan tetapi untuk kali
ini harap anda bersabar dan menahan diri. Keresahan
memang tengah melanda bukan saja kaum Pendekar
Rimba Persilatan golongan Putih, akan tetapi juga pi-
hak Kerajaan dan rakyat sekitar wilayah ini. Bahkan
menjadi ancaman besar bagi umat manusia umumnya!
Apakah kalian semua tak mengetahui" kalau saat ini
puluhan mayat berkaparan di dua desa akibat kegana-
san Sepasang Tangan Iblis si Giri Mayang itu...!" Tegaskan Nenek Muri Asih.
"Kami tak melihat apa-apa, apakah Tangan Iblis
yang anda maksudkan adalah dua larik cahaya ber-
warna biru itu?" tanya salah seorang dari Tiga Musafir Hati Besi.
"Benar! Aku telah mengikuti cahaya biru itu
yang membantai desa disebelah sana hingga kemudian
meluncur ke desa ini. Ternyata wanita Iblis itulah yang telah melepaskan
Sepasang Tangan Iblisnya! Sejak kejadian aneh pada beberapa hari ketika puncak
Ga- lunggung membersitkan cahaya merah itulah saat si
Perempuan Iblis itu memiliki Sepasang Lengan Iblis!
sahut Muri Asih seraya berikan penjelasannya dengan
menatap silih berganti pada semua orang yang menge-
lilingi. Tak satupun yang membuka suara kecuali sama
menatap pada nenek Muri Asih yang tengah memberi-
kan penjelasannya mengenai wanita bernama Giri
Mayang itu. Dan lanjutkan penuturannya wanita tua
itu... Disamping mempunyai sepasang lengan yang
mengerikan itu turut pula bersamanya ketujuh mak-
hluk kerdil penghisap darah seperti yang telah kukata-
kan tadi! Oleh sebab itu akan sia-sialah kalian bila
menempur perempuan Iblis itu pada saat ini. Nah, ku-
kira banyak jalan bagi anda Pendekar-pendekar muda
jika ingin turut membantu menegakkan keadilan dan
kebenaran dibumi ini.
Langkah yang harus kalian ambil saat ini ada-
lah sebaiknya membantu penduduk mengebumikan
mayat-mayat...! Apakah pendapatku dapat kalian teri-
ma?" "Ah... dengan segala senang hati kami bersedia untuk itu, nenek Muri
Asih...!" Tergesa-gesa mereka saling menyahut dan menjura dengan membungkuk-kan
tubuh. Wanita tua itu tersenyum. "Nah, lakukanlah! pertolongan kalian sangat
diharapkan. Wanita Ib-
lis itu akan ku usahakan untuk memancingnya ke-
tempat yang tak dikunjungi manusia. Sementara kita
Kaum Pendekar mencari jalan untuk menumpasnya...!
Aku telah hubungi beberapa tokoh Kaum Rimba Hijau
golongan putih untuk segera kami berembuk...! Karena
Giri Mayang bukanlah musuh perseorangan, akan te-
tapi musuh seluruh umat manusia...! Kemerajalelaan-
nya akan banyak menimbulkan musibah yang amat
mengkhawatirkan. Dan sudah menjadi tugas kaum
Pendekar untuk melenyapkan kebathilan yang mau
menguasai bumi ini!"
Tiga Musafir Hati Besi manggut-manggut. Salah
seorang agaknya masih penasaran kalau belum ber-
tanya. "Nenek Muri Asih! kami belum mengenal siapa gelaran anda. Apakah anda
dapat memberitahukannya
untuk kami ingat?"
"Hehehehe... hehehe... " mengekeh tertawa si
wanita tua itu. Tiba-tiba sebelah lengannya bergerak
terangkat ke atas. Dan....
Selarik cahaya perak membersit ke udara ba-
gaikan sehelai selendang yang berkredepan. Dan keti-
ka sebelah lagi lengan si nenek Muri Asih terangkat
pula ke atas, selarik cahaya pelangi membersit ke uda-
ra. Bagian ujungnya membelit batang pohon kelapa
bagian atas, dan...
KRRAAAK! batang pohon kelapa itu patah kena
hantaman sinar perak. Selanjutnya sinar pelangi le-
nyap. Sedang sinar perak menghantam beberapa kali
hingga batang pohon kelapa itu putus menjadi bebera-
pa belas potong.
Sedangkan puncak pohon kelapa itu jatuh me-
luncur ke bawah. Namun tiba-tiba cahaya pelangi
kembali membersit menyambar dan membelit pucuk
pohon kelapa itu. Ketika si nenek Muri Asih gerakkan
lengannya, pucuk pohon kelapa itu melayang jauh en-
tah kemana seperti dilemparkan oleh sehelai selendang
warna-warni. Tentu saja satu pertunjukan yang mengagum-
kan itu membuat semua mata jadi memandang si ne-
nek Muri Asih dengan terperangah.
"Hebat...! oh, hebat sekali...!" tak terasa suara pujian terdengar dari mulut-
mulut pendekar muda itu.
Bahkan si gadis bertudung yang sejak tadi tak ikut bi-
cara telah berseru.
"Ah, sungguh amat mengagumkan! Sinar perak
dan pelangi yang menakjubkan...!"
"Hehehe... hampir benar! Julukanku pada pu-
luhan tahun yang silam adalah si Pendekar Selendang
Perak Pelangi!" Dan selesai berkata, si nenek Muri Asih tertawa terkekeh-kekeh.
Namun sekejap kemudian tubuhnya melesat ke udara dan lenyap dari pandangan
mata. Terpaku lima sosok tubuh itu dengan meman-
dang ke arah lenyapnya di Pendekar Sinar Perak Pe-
langi. Gerakannya begitu cepat sekali hingga tak sem-
pat mata mereka mengikuti. Selang sesaat si Tiga Mu-
safir batu segera berkata, dengan menatap pada Sam-
bu Ruci dan wanita peniup seruling yang masih terpa-
na dengan mencekal erat topi tudung dan serulingnya.
"Mari sobat...! kita bantu menguburkan mayat-
mayat...!"
"Ya! ajaklah gadis kawanmu itu turut serta
membantu...!" berkata pula salah seorang dari mereka.
Sambu Ruci menoleh pada gadis baju merah berkem-
bang itu dengan tersenyum.
"Nona bersedia membantu kami...?"
"Hm, tanpa kau perintahkan pun aku tak nan-
tinya berpeluk tangan!" Menyahut sang gadis dengan wajah cemberut. Lalu
berkelebat lebih dulu ke arah
desa. "Ah, gadis yang ketus...!" tertawa Sambu Ruci seraya melompat menyusul.
Ketiga Musafir Hati Besi
cuma saling pandang dengan tersenyum. Namun tak
lama segera berkelebatan menyusul...
*** SEPULUH RORO CENTIL benar-benar tak mengerti den-
gan maksud si Tutul, setelah mengangkut seluruh tu-
lang-belulang lalu menggeram memperlihatkan taring-
nya pada Roro. Lalu menggigit sebuah tulang lengan
manusia itu dan membawanya melompat ke arah bukit
batu. Terpaksa Roro Centil mengikutinya. "Mau dibawa kemana tulang itu..?"
berkata Roro dalam hati. Ternyata meletakkan tulang itu di atas batu pada
pertenga- han bukit yang di panjatnya. Di sana dia menggeram-
geram dengan memutari kesana-kemari seperti men-
cari sesuatu. lalu melompat ke arah sisi samping batu
yang agak menonjol. Disana dia mengorek-ngorek den-
gan kukunya seperti mau menggali lubang lagi. Kali ini
Roro telah dapat menerka maksudnya. Segera dia me-
lompat kesana, lalu meneliti sekitar sisi bukit itu. "Apa maksudmu Tutul" Hm,
apakah kau mau sembunyikan
tulang-belulang itu di sini..!?" berkata Roro lirih. Si Tutul menggeram kecil.
Tangan Roro yang meraba-raba
segera temukan satu celah didekatnya. "He" batu ini bergerak...!?" sentak Roro
terkejut. Apakah ini sebuah pintu goa...?" berpikir Roro dalam benaknya. Dengan
kekuatan tenaga dalam segera Roro salurkan untuk
menepuk beberapa kali dengan pelahan.
Dan...BRRRAAASH...! batu itu hancur menjadi kepin-
gan-kepingan kecil. Segera terlihat sebuah rongga di
sisi tebing itu.
"Aiiih, benar dugaanku!" teriak Roro dengan girang. Sementara si Tutul telah
menggigit kembali tu-
lang lengan manusia itu untuk dibawa melompat ke
dalam. Dan selesai meletakkan tulang lengan itu, sege-
ra melompat lagi keluar. Cepat sekali bekerjanya si Tu-
tul mengangkuti tulang belulang itu dan membawanya
sekerat demi sekerat. Sementara Roro Centil perhati-
kan seluruh ruangan itu. Dalam ruangan yang agak
samar-samar terangnya itu Roro melihat setiap sudut
goa dipenuhi sarang laba-laba. Sebuah peti berdebu
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergeletak di atas batu. cepat Roro menghampirinya.
Rasa ingin tahu memang selalu ada pada setiap
diri manusia. Begitu juga dengan Roro Centil. Setelah
membersihkan debu di atas peti, segera berusaha
membukanya. Teramat mudah untuk membuka peti
itu seperti tak diduganya. Begitu peti terbuka segera
terlihat sebuah kitab usang yang sudah lapuk dimakan
usia. Saat Roro Centil membalik-balik lembaran kitab
itu yang mempergunakan tulisan lama. Roro Centil
melihat si Tutul telah selesai dengan pekerjaannya
mengangkut tulang. Dengan menggeram kecil si Tutul
melompat mendekati. Lalu menjilati lengannya. Tapi
tak lama segera lenyapkan diri.
Roro Centil jadi garuk-garuk kepala tidak gatal.
Jelas dengan si Tutul melenyapkan diri berarti sudah
selesai tugasnya menuntun Roro ketempat itu. Kini
tinggallah Roro yang harus memecahkan apa yang be-
rada dihadapannya.
"Apakah tengkorak manusia itu si pemilik kitab
ini...?" sentak Roro dalam hati. Lalu apa maksudnya si Tutul membawa kerangkanya
ketempat ini?" Dasar Ro-ro Centil yang selalu ingin memperbuat apa yang ter-
bersit dihatinya. Diletakkan kembali kitab itu yang be-
lum sempat ditelitinya. Lalu beranjak mendekati tu-
lang-belulang manusia itu. Dan... lengannya mulai
bergerak kesana-kemari mengatur tulang-tulang hing-
ga membentuk kembali sebuah kerangka dengan posisi
sebuah tengkorak manusia yang sedang duduk me-
nyandar didinding goa. Terasa hawa seram melingkupi
sekitar ruangan goa itu.
Tiba-tiba baru saja dia bangkit berdiri, telah
terdengar suara aneh. Rahang mulut tengkorak itu hi-
dup dan bergerak-gerak. Tersentak kaget Roro Centil,
hampir saja dia melompat keluar goa.
"Hehehe... jangan takut cucuku...! aku memang
sudah lama mati, tapi dengan kekuatan ilmu yang
kumiliki aku masih bisa menyimpan suara untuk bisa
didengar oleh orang yang menemukan goa ini...!" Terperanjat Roro Centil, tak
terasa kakinya melangkah
mundur dua tindak.
"Ssi... siapakah anda .,.?" bertanya Roro. "Hehehe... sudah pasti kau akan
bertanya tentang aku!
akulah yang pernah dijuluki si MANUSIA PADANG
PASIR...! Kematianku dalam usia 100 tahun lebih. Ki-
tab yang berada pada kotak di atas batu itu kuwa-
riskan pada siapa yang telah menemukannya! Pelajari-
lah cucuku! Pada kitab itu ada pelajaran ilmu silat dari
yang pernah kumiliki. Sebagian adalah ilmu silat se-
banyak tiga belas jurus. Sedangkan sebagian lagi ada-
lah tujuh jurus kalimat MANTERA SUCI! Ilmu penolak
setan dan iblis..!
Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat
menguasainya! Dan tentu saja orang yang berjodoh
memiliki seekor Harimau Tutul, yang dapat berjodoh
menjadi pewaris ilmuku...! Karena Harimau Tutul itu
adalah rohku! Jangan heran bila kelak terjadi satu
keanehan pada dirimu...! Bila selesai kau mempelajari
ilmu warisanku, kau bakarlah kerangka tubuhku ini
berikut kitab itu!"
Selesai berkata, tulang tengkorak kerangka
manusia yang disusun Roro Centil tiba-tiba berjatuhan
ke tanah dengan suara berkerotakan. Roro Centil ter-
paku tak bergeming ditempatnya. Seolah apa yang di-
lihatnya itu seperti dalam khayal atau mimpi. Tapi ke-
nyataan telah terpampang dihadapan matanya. Telin-
ganya jelas mendengar apa yang diucapkan si kerang-
ka Manusia Padang Pasir.
Tiba-tiba Roro Centil jatuhkan dirinya berlutut
dihadapan kerangka itu. Bibirnya tergetar mengu-
capkan kata-kata.
"Guru...! aku Roro Centil segera akan mentaati
pesan itu...!" Selesai Roro Centil berkata tiba-tiba dari langit-langit bagian
atas goa memantulkan cahaya terang benderang. Di luar angin membersit kencang
me- nerbangkan butiran-butiran pasir. Roro bangkit berdiri
untuk mencari penutup lubang goa. Akan tetapi tiba-
tiba dinding batu di sisinya bergerak menggeser sendi-
ri. Dan... BRAK! goa itu telah tertutup rapat. Terheran-heran Roro Centil akan
keanehan itu. Ditatapnya ca-
haya terang yang membersit dari langit-langit ruangan
goa itu. Ternyata sebuah batu pualam sebesar tengko-
rak kepala manusia yang menempel dibatu langit-
langit goa itu, memancarkan sinarnya yang amat te-
rang benderang.
"Aiiih, benar-benar aneh dan amat mengagum-
kan...!" desis Roro pelahan "Selama hidupku baru aku mendengar ada satu ilmu
kesaktian yang dapat menyimpan suara. Sedangkan orangnya sudah mati en-
tah berapa puluh tahun yang silam..!" berkata Roro dalam hati.
Demikianlah! apa yang dialami Roro Centil ada-
lah sudah menjadikan jodoh bagi dirinya. Dan tak ayal
si Pendekar Wanita Pantai Selatan segera mulai mem-
pelajari isi kitab usang itu dengan membalik-balik
lembarannya. Untunglah, walaupun agak sulit dibaca,
Roro Centil dapat juga memahami huruf-huruf kuno
yang tertera di kitab usang itu.
Segala daya dan kecerdasan Roro Centil untuk
memahami dan mempelajari isi kitab itu dikerahkan
demi terwarisnya ilmu si Manusia Padang Pasir kepa-
danya... Lembar-demi lembar mulai di hayati dan di-
praktekkan dengan kesungguhan hati dan keyakinan
yang mantap, bahwa tak ada sesuatu yang sukar di
dunia ini kalau diusahakan dengan kekerasan hati,
kemauan, tekad dan niat yang bulat...!
Dan sejarah Persilatan memang akan membuk-
tikan bahwa tak lama lagi Roro Centil akan kembali
muncul di Rimba Persilatan dengan segala kesaktian
yang dimilikinya...
*** SEBELAS Ternyata dalam waktu sembilan hari Roro Cen-
til berhasil menguasai ketiga belas jurus ilmu Manusia
Padang Pasir. Dan dalam waktu empat hari Roro ber-
hasil pula menguasai ketujuh jurus ilmu Mantera Suci.
Tepat 13 hari Roro Centil telah dapat mena-
matkan isi kitab itu dan menguasai penuh isinya. Ter-
nyata tekad Roro untuk menyelesaikan pelajarannya
agar tepat tiga belas hari, dengan tekad yang bulat dan kemauan yang keras
membaja membawa hasil yang
memuaskan. Roro memang mau merobah pandangan
manusia yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu
menganggap angka 13 adalah angka sial!
Namun Roro beranggapan hari yang ke 13 itu
adalah hari yang penuh kemujuran. Hari itu mutlak
sudah Roro Centil menjadi pewaris tunggal ilmu si Ma-
nusia Padang Pasir.
Dan pada hari itu juga setelah selesai memba-
kar tulang kerangka gurunya si Manusia Padang Pasir
juga kitab peninggalannya, Roro Centil menutup pintu
goa yang telah menjadi tempatnya menempa ilmu-ilmu
warisan si Manusia Padang Pasir.
Di depan pintu goa Roro Centil kembali mene-
kuk lutut dengan tundukkan kepala dan berkata den-
gan suara lirih.
"Guru...! hari ini aku telah selesai menjalankan
amanatmu. Hari ini aku muridmu, Roro Centil telah
berhasil menamatkan pelajaran dalam kitab warisan
mu. Dan hari ini pula aku segera akan meninggalkan
tempat peristirahatan mu! Hari ini pula aku akan
mengemban tugas kewajiban yang lebih berat untuk
menegakkan panji-panji keadilan dimuka bumi...!
Aku berjanji untuk mengamalkan segenap ilmu
dari apa yang telah kau wariskan padaku! Mele-
nyapkan kebatilan, memusnahkan keangkaramurkaan
yang mengotori bumi persada demi tegaknya kebena-
ran. Demi tegaknya keadilan di atas jagat raya ini...
Dan demi ketenteraman umat manusia!"
Selesai berkata Roro Centil menjura beberapa
kali memberikan penghormatan terakhir sebelum me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara angin mulai membersit agak keras
memperdengarkan suara bersiutan Roro angkat wa-
jahnya untuk segera melompat bangkit berdiri. Lalu
putarkan tubuh untuk segera melangkah beberapa
tindak. Sejenak Roro terhenti karena merasa tiupan
angin semakin santar menerpa tubuh. Di kejauhan di-
lihatnya seperti ada kabut menghalang. "Ada apa-
kah...?" sentak Roro terkejut dengan suara berdesis.
Ternyata angin semakin keras membersitnya. Pasir
mulai beterbangan.
Dan apakah yang dilihat Roro selanjutnya..."
Terbelalak mata si Pendekar wanita Pantai Sela-
tan itu melihat di kejauhan timbunan pasir yang mem-
bukit bergulung-gulung meluncur bergelombang ba-
gaikan ombak raksasa bergerak cepat mendatangi.
Begitu kagetnya Roro hingga sampai melangkah
kembali mundur beberapa tindak. Namun nalurinya
mengatakan adanya bahaya besar bila dia tak cepat
menyingkir. Memikir demikian, Roro Centil segera en-
jot tubuhnya untuk melompat pergi menjauhi secepat-
nya tempat itu.
Dari kejauhan dia cuma bisa menyaksikan ge-
lombang pasir yang menggunung bagaikan menyerbu
ke arah tebing batu itu dengan suara bergemuruh luar
biasa. Suara bersitan angin yang membadai terdengar
bersiutan membuat Roro harus menutupi matanya
agar tak kemasukan debu.
Gelombang demi gelombang pasir raksasa itu
berhempasan. Dan dalam sekejapan saja bukit batu
dimana terdapat goa tempat disimpannya abu si Ma-
nusia Gurun Pasir, telah lenyap tertimbun pasir yang
menggunung. Selang beberapa saat badai pun kembali mere-
da. Roro Centil memandang dengan terperangah kare-
na tak melihat lagi adanya bukit batu tempat dia me-
nempa ilmu selama ini, kecuali timbunan pasir yang
menggunung. Lama dipandangnya apa yang terpam-
pang didepan matanya dengan tertegun itu. Namun
tak lama kemudian terdengar suara helaan napas ga-
dis Pendekar. Segala sesuatu yang terjadi itu seperti
punya makna. Seolah si Manusia Gurun Pasir telah
merasa telah puas dengan apa yang menjadi harapan-
nya. Dan mengubur diri untuk menyatu kembali den-
gan pasir seperti sesuai dengan julukannya...
"Selamat tinggal, guru...!" ucap Roro dengan
suara tergetar. Dan berkelebatlah tubuh si dara Perka-
sa meninggalkan tempat itu....
*** Roro Centil injakkan kakinya ditepi pantai. An-
gin laut yang meniup santar membuat rambutnya me-
nyibak berkibaran.
"Tutul...! kita harus cepat kembali! Tugas berat
telah menantiku diseberang lautan sana! Cahaya me-
rah itu membuat hatiku gundah akan adanya musibah
yang melanda wilayah gunung Galunggung. Tampak-
kanlah dirimu, sahabatku...!" berkata Roro dengan suara lirih.
Akan tetapi setelah ditunggunya sekian lama si
Tutul tak menampakkan diri. "Ah, kemanakah dia...?"
menyentak hati Roro. "Tutul...! dimanakah kau..?"
ulangnya memanggil seraya memutar tubuh dan me-
natap ke sekelilingnya. Namun tak dijumpai apa-apa.
Semuanya tetap seperti tadi, tak berubah. Sunyi, len-
gang dan tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.
Tercenung seketika Roro Centil, dan termangu-
mangu memikirkan kemisteriusan makhluk itu. Sejak
beberapa tahun makhluk itu selalu setia mengiku-
tinya, mengapa kini tahu-tahu menghilang sirna tak
munculkan diri" berpikir Roro dalam hati.
Setelah lama ditunggu-tunggu tetap si Tutul tak
menampakkan diri yakinlah dia kalau sahabatnya itu
telah pergi meninggalkannya. Barulah Roro teringat
akan kejadian di gurun pasir. "Hm, apakah dia telah ikut pula terkubur gelombang
pasir...?" berdesis Roro.
Roro tak menemukan jawaban dari pertanyaannya
sendiri. Seketika tersentaklah Roro ketika teringat akan kata-kata suara gaib di
Manusia Padang Pasir yang
mengatakan agar dia tak terkejut akan menjumpai
keanehan yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ini
salah satu dari keanehan yang dimaksud" pikir Roro.
Dalam memecahkan teka-teki lenyapnya si ha-
rimau Tutul sahabatnya itu Roro benar-benar dibuat-
nya tak mengerti. Juga dengan maksud kata-kata gaib
si Manusia Padang Pasir. Kembali teringat satu kata-
kata gaib dari sang gurunya itu. "Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat
menguasai ilmuku. Dan
orang yang memiliki seekor harimau tutul yang dapat
berjodoh menjadi pewaris ilmuku! karena Harimau Tu-
tul itu Rohku...!"
Tersentak Roro Centil seketika, karena dari ka-
ta-kata itu segera dapat diambil kesimpulan.
"Mm, kalau aku telah menguasai ilmu- ilmu si
Manusia Gurun Pasir berarti akupun menguasai pula
ilmu-ilmu si Tutul!" berkata Roro dalam hati. "Jadi...
jadi... ah, begitu mengerikan....!" desis Roro dengan tersentak kaget. Makin
mengingat si Tutul ternyata
makin besar dorongan imajinasi untuk menirukan apa
yang dilakukan si Tutul.
Itulah yang membuat Roro terperangah kaget.
Menghadapi dorongan tenaga batin yang menyeruak
dari dalam tubuhnya sendiri Roro seperti kehabisan
akal untuk menghindarinya. Semakin dia resah, sema-
kin daya kekuatan itu menelusup merangsang pori-
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pori dan pembuluh-pembuluh darahnya.
Dan.... di luar sadar dia telah melakukan apa
yang dilakukan si Tutul. Roro Centil menahan napas,
lalu goyang-goyangkan tubuhnya.
Apakah yang terjadi kemudian.."
Tubuh Roro Centil lenyap jadi gumpalan asap.
dan... di atas pasir pantai itu telah berdiri seekor Harimau Tutul yang hampir
sebesar kerbau memperli-
hatkan giginya menyeringai menyeramkan. Itulah Ha-
rimau Tutul penjelmaan dari Roro Centil. Apapun yang
terjadi pada diri Roro ternyata memang sudah di-
ucapkan oleh kata-kata gaib si Manusia Padang Pasir.
Membelalak sepasang mata gadis Pendekar itu
melihat perubahan bentuk pada tubuhnya. "Aku... aku telah menjadi Harimau...!
aku kini menjadi si Tutul!
Oh...! inikah satu keanehan yang bakal terjadi seperti
yang dikatakan suara gaib itu ?" keluh Roro. Ditatapnya ke empat kakinya yang
berkuku runcing. Ditatap-
nya apa yang kini telah menjadi bagian dari tubuhnya.
Terhenyak gadis Pendekar itu.
Dengan mendekam sang harimau Tutul alias
Roro Centil itu termenung hingga beberapa lama. Apa-
kah ujud asli ku akan lenyap seterusnya" dan tetap
menjadi makhluk yang jelas bukan manusia ini..." "
berkata Roro dalam hati. Akan tetapi selang sesaat Ro-
ro telah melompat bangun dan perdengarkan suara
menggeramnya. Edan..! suaraku pun telah berobah!"
sentak Roro dalam hati. Tentu saja membuat Roro ter-
kejut mendengar perobahan suaranya sendiri. Namun
titik terang dari pemikirannya telah Kembali jernih.
Roro yakin kalau semua itu adalah cuma "ilmu" bela-
ka. Dia takkan selamanya menjadi Harimau. Keyaki-
nan yang mantap itu telah membuka titik terang bagi
si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Segera dia ber-
semadi dengan pejamkan mata. Batin menyatu untuk
kembali memulihkan ujudnya. Terasa ada getaran pa-
da kulit dan pori-pori tubuhnya.
Ketika Roro Centil hentikan semedinya lalu
membuka mata, membersitlah senyum pada bibirnya.
Karena sekejap Harimau Tutul itu telah kembali pada
ujud asalnya lagi. "Aiiiiih, kalau tahu begini mengapa aku pusing-pusing
memikirkannya.." Dasar otakku
bebal!" menggumam Roro dengan tersenyum.
"Aku harus kembali secepatnya! firasatku men-
gatakan ada sesuatu terjadi disana yang memerlukan
aku turun tangan!" berdesis Roro dengan mata mena-
tap jauh ke cakrawala. Matahari senja membuat ca-
hayanya memantul gemerlapan dari ombak-ombak
laut yang tengah bermain bagaikan hamparan perma-
dani perak. Dan saat itu juga sebuah bayangan seekor
Harimau Tutul meluncur pesat dari daratan itu bagai-
kan hembusan angin lewat.
Dialah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Si Pewaris Manusia Gurun Pasir...
*** DUA BELAS Di wilayah KOTA RAJA... Delapan belas perwira
Kerajaan mati tergeletak dengan tubuh tanpa kepala.
Dan delapan belas "butir" kepala manusia berserakan diantara tubuh-tubuh tanpa
kepala itu. Delapan ekor
kuda mati dengan tubuh hangus dan kepala hancur...
Bau anyirnya darah menyebar di sekitar tempat
itu. Sungguh satu pemandangan yang amat mengeri-
kan dan mengenaskan hati.
Seekor kuda hitam meluncur pesat ke tempat
kejadian. Di tangannya penunggangnya tercekal se-
buah tombak bermata tiga. Dialah Tumenggung Shan-
dikala yang menerima laporan dari beberapa orang
anak buahnya. Tak ayal segera "meluncur" ke tempat kejadian.
Bedebah! Perempuan iblis edan...!" memaki la-
ki-laki berusia empat puluh tahun ini. Kudanya telah
dihentikan dan bergerak memutari mayat-mayat dan
bangkai kedelapan belas anak buahnya.
Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar me-
rah. Dada laki-laki ini berombak-ombak pertanda me-
nahan kemarahan yang amat luar biasa yang ada di
dada. Satu suara tertawa mengikik membuat laki-laki
ini tersentak Jantungnya seperti melonjak karena ter-
kejut. Walau niatnya memang mau menempur si pe-
rempuan iblis itu, namun mendengar suara tertawanya
saja membuat nyali laki-laki Tumenggung ini agak
menciut. "Hihihihi..... selamat datang panglima yang ga-
gah! Kau pasti Tumenggung Shandikala!" Satu kata-
kata penyambutan yang dilontarkan si pemilik suara
telah dibarengi dengan kelebatan tubuh seorang wani-
ta berpakaian warna kuning. Berlengan baju lebar
yang menutupi seluruh lengan. "Siapa kau...!" membentak laki-laki Tumenggung itu
dengan membeliakan
matanya. Hatinya agak ragu untuk menduga kalau
orang yang dihadapannya adalah si perempuan iblis
itu. Dia memang Giri Mayang adanya. Wanita ini
dengan tersenyum genit bahkan balik bertanya. "Coba terka olehmu siapakah
aku...?" Percikan darah yang melekat dipakaian wanita
itu telah membuat si Tumenggung membentak kasar.
Walau sebenarnya darahnya seperti tersirap.
"Kau pasti si perempuan iblis itu...!"
"Hihihihi... tepat! tepat sekali dugaanmu! tapi
aku manusia biasa bukan iblis. Tumenggung yang ga-
gah!" Baru saja selesai ucapannya tubuh Giri Mayang mendadak lenyap.
Tahu-tahu laki-laki itu merasa pinggangnya di-
peluk orang dari belakang.
"Hihihihi... tubuhmu kekar, dan wajahmu ga-
gah. Dan keberanianmu juga boleh dibanggakan. Hihi-
hi... justru aku menyenangi laki- laki sepertimu, Tu-
menggung!" terdengar suara berdesis didaun telin-
ganya. Tentu saja membuat sang Tumenggung kaget
setengah mati. Akan tetapi dia sudah terkulai kena to-
tokan lengan wanita itu dengan perdengarkan keluhan
dari mulutnya. Dan... kuda hitam itu sudah berlari cepat ke-
luar dari tempat berbau anyir itu. Mencongklang pesat
menuju hutan jati.
Melewati hutan jati itu, sang kuda ternyata te-
lah kehilangan penunggangnya. Namun si kuda hitam
itu terus mencongklang lari hingga lenyap di ujung hu-
tan. Ternyata tepat ditengah jalan wanita itu telah me-
lompat dari atas punggung kuda dengan menggondol si
Tumenggung. BREET! BREET! BREBEEET...! Sekejapan saja
tubuh laki-laki penegak hukum itu sudah telanjang
bulat. Dan... sepasang matanya menatap dengan
membeliak pada sosok tubuh putih mulus yang tanpa
selembar benangpun menghalangi. Namun yang mem-
buat laki-laki itu merasa ngeri adalah sepasang tangan
wanita itu karena bentuk dan rupanya amat menye-
ramkan. "Hah!" ma... mau apa...kka... kkau..." tergetar suara Tumenggung Shandikala
dengan mencoba untuk
beringsut. Namun jalan darahnya terasa ngilu. Hingga
dia cuma bisa menatap dengan terbelalak dan keringat
dingin "membanjir" deras di sekujur tubuhnya yang polos. "Hihihi... aku mau
kau!" menyahut Giri Mayang.
Sepasang mata wanita itu menatap tajam si
Tumenggung. Bibirnya bergerak-gerak membaca man-
tera. "Kau pandanglah aku, apakah aku kurang can-
tik?" ujarnya sesaat kemudian.
"Kau... kau ccan.. cantik, no... nona!... ta... tapi lenganmu... lenganmu amat
menakutkan!" Sahut laki-laki Tumenggung itu dengan suara menggetar.
"He" siapa bilang" sepasang tanganku halus
mulus tanpa cacad! Matamu telah terbalik rupanya.
Perhatikanlah sungguh-sungguh...!" berkata Giri
Mayang yang| telah selesai merapal ajian Malih Rupa.
"A, bbbeb.. be... benar!" tanganmu mulus! mu-
lus, tanpa cacad dan.... kau... kau cantik sekali, no-
na..." berkata sang Tumenggung dengan memandang
terperangah. Memang aneh dalam pandangan Tumenggung
Shandikala karena kini yang dilihatnya sepasang tan-
gan perempuan itu memang halus mulus. Ternyata dia
telah kena pengaruh ilmu Malih Raga. Bahkan dima-
tanya itu teramat cantiknya. Apa lagi dalam keadaan
tanpa busana. Seluruhnya membentang dengan nyata.
"Bagus! kini matamu sudah terang!" ujar Giri
Mayang dengan meneguk air liur. Sepasang matanya
seketika mulai membinar. Ujung puti payudaranya
mulai terlihat kaku dan semakin kemerahan.
Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas. Dan,
terlepaslah totokan pada tubuh sang Tumenggung
Mendapatkan dirinya telah punya tenaga lagi.
laki-laki ini tergesa bangkit dengan gelora yang meng-
gelegak. Hawa rangsangan telah menutup pikiran wa-
rasnya... Giri Mayang tertawa lirih seraya "menerkam"
mangsanya dengan berahi memuncak di atas sega-
lanya. Sang Tumenggung menyambutnya dengan gai-
rah melonjak-lonjak. Merengkuhnya dengan seluruh
hasrat yang tak dapat terbendung lagi....
WHUSSSS...! sesosok tubuh terlempar dari ba-
lik rumpun dihutan Jati. Dan... BRUK! tubuh itu jatuh
tepat di belakang dua orang yang tengah berjalan di
satu jalan menuju desa. "Hah!?"
"Ooh...!?"
"Hiiiiiiii..." Menjerit dua orang itu seraya lari lintang pukang. Ternyata
mereka dua orang laki-laki yang
sedang melintas ditempat itu. Langkahnya tergesa-
gesa. Ketika tiba-tiba terdengar suara menggabruk di
belakangnya. Ketika menoleh ternyata sesosok tubuh
laki-laki tanpa kepala yang dalam keadaan telanjang
bulat. Tentu saja membuat mereka terperanjat, dan
seketika lari ketakutan pontang panting.
Sementara itu di desa yang tengah ditujunya.
"Itu Karma dan Kubil! pasti dikejar perempuan
iblis itu...!" teriak salah seorang dari tiga laki-laki yang berada di mulut
desa. "Celaka...! pasti! pasti...!" berkata kawannya dengan wajah pucat.
"Cepat laporkan pada Ketua!" perintah yang berusaha berkata seraya mendorong
tubuh sang kawan
yang cuma menatap dengan mata melotot dan bibirnya
terbuka. Tak ayal segera laki-laki itu berlari cepat untuk segera melapor.
"Apa yang telah terjadi...?" terdengar suara dari
bernada depan sebuah rumah disertai berdirinya seo-
rang laki-laki. Lalu diikuti oleh beberapa laki-laki dan seorang wanita tua.
"Celaka, Den...! perempuan iblis itu... itu...
itu..." "Ita itu ita itu!" bicara yang benar goblok!" seorang laki-laki
berangasan bertubuh kekar dengan pe-
rut yang buncit telah melompat dan mencengkeram
tengkuk laki-laki ini
"Biarkan dia menenangkan diri dulu, sobat An-
terja!" terdengar suara lirih. Cepat sekali gerakannya, tahu-tahu wanita tua
berjubah hijau itu telah berdiri
dihadapan laki-laki si pelapor. Si tubuh kekar beran-
gasan itu lepaskan cengkeramannya.
"Katakanlah! apakah maksudmu si perempuan
iblis itu telah datang kemari...?" tanya perempuan tua itu dengan suara lembut.
"Hihihi... hihi... benar! aku telah datang kemari!
dan datang kesetiap tempat untuk membunuh habis
kaum Rimba Hijau golongan putih!" belum lagi si pelapor itu menyahuti telah
terdengar suara tertawa yang
menyahutinya. Dan, suaranya belum habis, empat so-
sok tubuh telah terlempar dan jatuh bergedebukan
dengan kepala yang sudah lenyap dari tubuhnya.
Terkejut semua mata memandang karena tahu-
tahu di hadapan mereka menjelma sesosok tubuh wa-
nita berpakaian serba kuning berlengan baju gom-
brong menutupi kedua lengannya.
Semua mata jadi memandang dengan terperan-
gah. Akan tetapi sekejap saja sosok-sosok tubuh dibe-
randa rumah itu segera berlompatan untuk mengu-
rung wanita itu, dengan senjata-senjata terhunus.
"Giri Mayang! perempuan iblis, kau takkan lolos
kini dari tangan kami!" teriak salah seorang. Ternyata mereka adalah para
pendekar yang tengah berkumpul
menyusun rencana. Dua orang anak buah dari salah
seorang tokoh Pendekar yang memang berdiam di wi-
layah desa itu telah dikirim Untuk melihat situasi di
sisi Kota Raja sejak pagi tadi. Ternyata kembalinya te-
lah berikut dengan hilangnya nyawa kedua murid utu-
san itu. Sementara si nenek berjubah hijau itu telah
mencabut keluar seuntai tasbih dari balik jubahnya.
Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. "Hihihi...
hihi... mantera apakah yang kau baca itu, nenek peot?"
Berkata Giri Mayang dengan mengikik tertawa.
Akan tetapi sepasang matanya membersit tajam men-
gandung hawa pembunuhan. Dan... tiba- tiba...
WMUUUK! Secercah cahaya biru telah melun-
cur cepat ke arah nenek tua itu disertai menyebarnya
hawa dingin mencekam. Terdengarlah jeritan parau
menyayat hati. Dan... Krraak! Batang leher si nenek
berjubah hijau itu sekonyong-konyong berderak patah.
Darah memuncrat, dan kepalanya jatuh menggelinding
diserta menggabruk jatuhnya tubuh si wanita tua ber-
tasbih itu. Terbelalak para Pendekar yang mengurung si
wanita iblis Giri Mayang menyaksikan kejadian itu.
Serta merta mereka menerjang dengan berba-
reng. Senjata-senjata berkelebatan menebas batang
tubuh perempuan iblis itu.
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi dengan sekejap tubuh Giri Mayang
telah kembali lenyap sirna tak berbekas. Selanjutnya
yang terdengar adalah jerit dan teriakan ngeri disertai tumbangnya tubuh-
tubuhnya para Pendekar itu dengan masing-masing kepalanya telah putus bagaikan
dipereteli saja dari leher mereka.
Sekejapan saja belasan mayat telah bergelim-
pangan dengan amat mengerikan. Darah membanjir
menganak sungai...
Sungguh satu pemandangan yang amat menge-
rikan! Lagi-lagi Giri Mayang menambah korban-
korbannya. Selang sesat terdengar kembali suara tertawa
mengikik menyeramkan membangunkan bulu roma.
Namun suara tertawa itu semakin menjauh, dan ak-
hirnya lenyap dalam kelengangan yang membaur den-
gan hawa maut...
"GIRI MAYANG...! perempuan iblis! perbuatan-
mu sudah keterlaluan!"
Terdengar satu bentakan keras yang terdengar
bagaikan memecahkan anak telinga. Wanita ini henti-
kan langkahnya yang baru saja memasuki perbatasan
sebelah timur dari wilayah Kota Raja. Disinipun terli-
hat beberapa mayat berserakan dengan keadaan yang
mengerikan. Yaitu mayat dari empat orang ponggawa
penjaga perbatasan.
Yang membentak adalah salah satu dari Tiga
Musafir Hati Besi. Ketiga orang ini melompat untuk se-
gera mengurungnya, dengan masing-masing telah
mencabut senjata. "Hm. lagi-lagi tiga Pendekar muncul mencari mati!" berkata
Giri Mayang dengan suara dingin. Akan tetapi tiba-tiba membersitlah senyum pada
bibirnya ketika menatap salah satu dari si ketiga Mu-
safir Hati Besi seorang lelaki yang bertubuh kekar den-
gan urat-uratnya yang bertonjolan.
"Hihihi... dua diantara kalian boleh mati, tapi
kau kuberi hidup untuk sementara!" ujar Giri Mayang seraya menunjuk pada laki-
laki gagah itu. Bahkan
langsung membaca mantera dengan sepasang matanya
menatap tak berkedip pada laki-laki bernama Bhadur
itu. Akan tetapi dua dari si Tiga Musafir Hati Besi
telah menerjang dengan golok besar dan sepasang
ruyung bermata tombak tipis yang meluncur deras
menabas tubuh dan menyerang leher.
Akan tetapi belum lagi senjata-senjata mereka
mengenai kulit wanita itu selarik sinar biru meluncur
dari sepasang lengan baju Giri Mayang.
Melihat dua larik sinar biru itu meluncur ke
arah mereka Tiga Musafir Hati Besi sudah maklum
dengan serentak melompat menghindari dengan letik-
kan tubuh ke arah samping. Sesaat sudah berada da-
lam posisi berdiri dengan siap siaga. "Hmm...!" mendengus Giri Mayang. "Aku tak
perlu melayaninya dengan tanganku! Hihihi... tujuh setan kerdil! kalian hi-
saplah darah kedua Pendekar tolol itu!" terdengar pe-rintahnya dengan suara
dingin pada tujuh makhluk
kerdil yang berdiam diri menunggu perintah.
Serentak mereka menampakkan dirinya. Dan
dengan wajah menyeringai menyeramkan ketujuh
makhluk hitam itu berkelebatan ke arah dua dari Tiga
Musafir Hati Besi. Sementara Bhadur baru saja tersa-
dar dari pengaruh ilmu penakluk Sukma Giri Mayang.
Dengan marah dia menerjang wanita itu.
Senjatanya sepasang kapak bermata lebar me-
nebas beruntun memperdengarkan suara bersiutan.
Akan tetapi melengak laki-laki itu karena mata kapak-
nya seperti menebas angin. Tahu-tahu... Plak! kedua
kapak telah terlepas dari sepasang lengannya. Dan be-
lum lagi dia menyadari apa yang bakal terjadi, tubuh-
nya telah serasa "terbang" karena telah disambar di wanita Iblis itu yang
langsung telah menotoknya.
Sementara pertarungan dua dari Tiga Musafir
Besi dengan ketujuh makhluk kerdil itu berlangsung
dengan tegang. Sambaran-sambaran senjata mereka cuma me-
nabas angin belaka, membuat bulu kuduk kedua laki-
laki itu mulai berdiri meremang. Berguling-guling dan
melompat mereka menyelamatkan diri dari cengkera-
man ganas makhluk-makhluk kerdil itu.
Selang kira-kira dua kali sepeminuman teh,
tampaknya tenaga kedua Pendekar itu semakin berku-
rang. Hal itu karena nyali mereka mulai menciut. Ke-
putusasaan telah membayang di wajah mereka yang
tak mungkin menang menghadap makhluk yang bu-
kan manusia itu.
Tiga makhluk kerdil berhasil menangkap perge-
langan tangan dan kaki dari salah seorang Pendekar
itu. Bergulingan laki-laki ini dengan segala daya untuk melepaskan diri. Akan
tetapi sia-sia. Saat mana salah
satu makhluk kerdil itu telah meluncur untuk mener-
kam ke arahnya yang dalam keadaan terlentang tanpa
berdaya. Di lain pihak tiga makhluk kerdil lainnya te-
lah meluruk pula untuk merencah ganas pada Pende-
kar satunya yang sudah megap-megap kehabisan na-
pas. Dia cuma terperangah menanti datangnya maut,
dengan mata membelalak.
Akan tetapi di saat mau tinggal sedetik lagi, ti-
ba-tiba secercah cahaya perak telah membersit
menyambar tepat di atas kepala makhluk-
makhluk kerdil itu dengan menimbulkan suara meng-
gelegar. BHLAAARRR...!
Tujuh makhluk kerdil itu seketika berloncatan
dengan suara gaduh karena terkejut. Hingga telah me-
lepaskan cengkeraman pada kedua Pendekar itu.
Dan... di situ telah berdiri tegak si nenek Muri Asih, alias si Pendekar
Selendang Perak Pelangi.
Melihat kemunculan wanita tua renta itu si tu-
juh makhluk kerdil jadi menyeringai gusar. Mereka te-
lah mengetahui karena nenek tua ini pernah membuat
mereka menyasar dan sukar keluar dari hutan belan-
tara karena dipancing mengejarnya. Hingga Giri
Mayang terpaksa harus menghubungi gurunya si Nini
LEMBUTUNG melalui semadi. Atas bantuan Nini Lem-
butung itulah mereka bisa keluar dari rimba belantara
yang seperti telah terpagar oleh tembok kabut yang
sukar ditembus.
"GRRRRH...! KRAAA..! KRWWOK! KRWOOK!
Menggeram ketujuh makhluk kerdil itu dengan
marah. Tiba-tiba serentak menerjang ke arah wanita
tua itu. Membersitnya tubuh ketujuh makhluk kerdil
itu dibarengi dengan lenyapnya tubuh mereka. Akan
tetapi si Nenek Muri Asih telah waspada. Sinar Perak
yang menyilaukan mata segera terlihat seperti mem-
bungkus tubuhnya. Sementara sinar
Pelangi membumbung ke atas memancarkan
warna-warni. Tiba-tiba sinar pelangi itu bagaikan sebuah se-
lendang yang panjang meluncur ke bawah membentuk
lingkaran yang memutar cepat seperti menggulung.
Dan saat itu sinar Perak yang membungkus tubuh si
nenek Muri Asih mendadak membersit ke udara.
Apakah yang terjadi kemudian..."
Tubuh ketujuh makhluk kerdil itu telah terjerat
menjadi satu. Terbelit oleh selendang warna Pelangi.
Terlemparlah ketujuh makhluk kerdil yang telah kem-
bali menampakkan diri ke udara, karena dibetot oleh si
wanita tua itu.
Saat mana dalam keadaan mengapung di udara
si Nenek Muri Asih telah lancarkan serangan dahsyat
dengan semburan sinar perak ke arah ketujuh mak-
hluk kerdil yang bergulung menjadi satu...
BHLAAARRRRR...!
Terdengar ledakan hebat di udara. Asap hitam
tampak membumbung di bekas ledakan itu. Kedua
Pendekar yang berada di bawah memandang ke atas
dengan takjub, juga hati berdebaran. Apakah nanti ke-
lanjutannya dengan pukulan sinar perak yang tepat
mengenai ketujuh makhluk kerdil itu..." Saat itu den-
gan ringan si nenek Muri Asih telah meluncur turun
kembali, jejakkan kaki ke tanah dengan tak menim-
bulkan suara. Asap hitam yang membumbung di udara itu
mendadak lenyap. Akan tetapi tepat dari bekas le-
nyapnya asap hitam itu telah mengucur turun cairan
darah, yang begitu menyentuh bumi, sekejapan saja
terlihat menganak sungainya cairan darah yang ber-
bau busuk. Terperangah kedua Pendekar itu memandang.
Sementara sudah terdengar suara si nenek Muri Asih.
"Mereka telah musnah...! Dan sebagian dari ke-
kejian manusia- manusia setan itu telah berhasil kita
tumpas. Akan tetapi entah apakah aku akan sanggup
menghadapi si perempuan iblis itu...?"
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nenek Muri
Asih...!" berkata kedua pendekar dari Tiga Musafir Hati Besi seraya sama-sama
menjura. Pada saat itu...
"Hihihihi... hebat kau Nenek Muri! biarlah si Gi-
ri Mayang itu aku yang akan menghadapi!"
"RORO CENTIL...!" hampir berbareng mereka
berseru, karena segeralah telah melihat munculnya se-
sosok tubuh wanita muda berparas rupawan. Senjata
Rantai Genit yang tergantung dipinggang telah dikenali
oleh kedua Pendekar itu.
"Roro...! sukurlah kau datang...!" berkata nenek Muri Asih seraya melompat
menghampiri. "Nona Pendekar Roro Centil, Kami yakin anda
dapat menumpas perempuan iblis itu! berkata salah
seorang dari kedua Pendekar itu yang bernama Bonar.
Sedangkan adiknya adalah Bhimo.
"Ah, kalian Bonar dan Bhimo bukan..."
"Tidak salah! kami adalah si Tiga Musafir Hati
Besi yang pernah menerima budi anda dua bulan yang
lalu, namun belum sempat kami ucapkan terimakasih.
Biarlah hari ini kami sempatkan untuk mengucapkan-
nya!" "Huss! sudahlah, tak mengucapkan pun tak apa-apa, Kemanakah Bhadur..?"
bertanya Roro dengan mata jelalatan menatap pada empat mayat ponggawa
Kerajaan menduga kalau-kalau Bhadur telah tewas
dan ada diantaranya.
"Dia... dia dibawa pergi si Perempuan iblis
itu...!" menyahut Bonar dengan wajah pucat. Barulah dia sadar akan lenyapnya
sang kakak. "Hmm...! tercenung sejenak Roro Centil. "Kau tak boleh gegabah
menghadapinya, Roro...! Giri Mayang mempunyai se-
pasang lengan Iblis! Bukan aku meremehkan kepan-
daianmu, tapi kukira dengan berdua kita menempur-
nya mungkin kita bisa membinasakan perempuan iblis
itu!" berkata Nenek Muri Asih dengan suara lembut.
Tampaknya wanita tua itu agak mengkhawatirkan Ro-
ro, karena dia sendiri memaklumi betapa berba-
hayanya sepasang Tangan Iblis Giri Mayang. Roro Cen-
til tersenyum menatap wanita tua itu. "Aku hargai
kekhawatiranmu itu, nenek Muri...! Akan tetapi aku te-
lah berjanji dan bersumpah akan membunuhnya den-
gan tanganku sendiri. Dia telah menantangku untuk
bertarung! secara kesatria, apakah aku harus berlaku
pengecut...! ujar Roro dengan mengalihkan tatapannya
pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Giri Mayang telah banyak membuat kejahatan,
mengumbar nafsu Iblisnya demi memancing muncul-
nya aku pada peristiwa yang lalu. Juga telah memfit-
nahku! Mencemarkan nama baikku...! Pernah pula dia
berhasil menawanku, yang nyaris membuat nyawaku
melayang. Untunglah dia tak berniat membunuhku
siang-siang. Karena dia memang mau menyiksaku se-
puas-puasnya. Aku berhasil melepaskan diri dan balas
menyiksanya! sayang waktu itu aku tak membunuh-
nya mampus! Dia kuampuni jiwanya! Kubiarkan dia
hidup dalam menderita sebagai balasan atas penyik-
saan yang dilakukan padaku yang walaupun belum
sempat terjadi aku telah berhasil melepaskan diri dari
tolokannya. Tak dinyana dia masih bisa hidup, dan bahkan
bergabung dengan si Manusia Beracun yang telah di-
peralatnya. Kembali dia membawa bencana..! Kali ini
bencana lebih besar! Dia telah mempunyai Sepasang
Tangan Iblis pengganti kedua tangannya yang putus!
Ayahnya adalah seorang tokoh jahat golongan hitam
yang pernah melakukan pembantaian di Kuil Istana
Hijau. Bernama Tun Parera. Akan tetapi dia memper-
gunakan nama palsu, yang aku lupa namanya. Dia te-
was oleh si Tutul...! Dialah si Kelabang Kuning, alias
Giri Mayang anak dari Tun Parera yang menyimpan
dendam kesumat terhadapku...!
Oleh sebab itu, perkenankanlah aku membu-
nuhnya dengan tanganku sendiri! sesuai dengan kein-
ginannya untuk bertarung denganku secara kesatria!"
Tuturkan Roro Centil mengenai siapa adanya Giri
Mayang itu. Nenek Muri Asih manggut-manggut yang telah
mendengarkan penuturan Roro dengan panjang lebar.
Lalu tampak orang tua itu menghela napas.
Lalu ujarnya kemudian.
"Aku tak bisa menahan kalau memang demi-
kian! akan tetapi berhati-hatilah menghadapinya. Dia
masih punya seorang guru baru yang bernama Nini
Lembutung yang tak ku tahu dimana tempat sembu-
nyinya. Dialah yang telah berusaha dengan jerih payah
untuk memiliki sepasang tangan Iblis demi muridnya
itu...!" tuturkan nenek Muri Asih yang telah menyelidiki dengan kekuatan
batinnya yang tinggi, hingga ber-
hasil mengetahui siapa adanya guru perempuan iblis
itu. Bahkan Nini Lembutung pulalah yang telah mele-
Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paskan Giri Mayang dari kurungan tembok kabut cip-
taannya dihutan belantara, dalam usahanya menying-
kirkan wanita iblis itu ketempat yang jauh dari manu-
sia. Pada saat mereka bercakap-cakap itu tiba-tiba
tersentak Roro Centil melihat sesosok tubuh manusia
melambung dari balik hutan bambu dihadapannya.
Cepat sekali Roro melesat untuk segera menangkap
sebelum tubuh itu jatuh ke bumi. Ketika dibaringkan
tersentak Roro dan kedua pendekar muda itu, karena
itulah tubuh Bhadur yang dalam keadaan telanjang
bulat. Kepalanya terkulai karena tulang lehernya patah
seperti kena cengkeraman.
"Iblis keji...!" memekik Roro seraya melesat ke balik hutan dengan lompatan
setinggi lima belas tombak. Roro Centil jejakkan kakinya ke tanah. Matanya
menjalar ke beberapa arah untuk memperhatikan se-
kelilingnya. Sunyi senyap. Keheningan mencekam...
"Hihihihi... selamat berjumpa Pendekar Wanita
yang hebat...!" terdengar suara di belakang Roro tanpa terlihat sosok tubuhnya.
Roro Centil cepat balikkan tubuh seraya me-
rapal aji halimunan. Akan tetapi sengaja Roro tak
membentuk tubuhnya menjadi harimau Tutul.
Segera terlihat siapa dihadapannya.
"Giri Mayang...! saat pertarungan telah tiba! ha-
ri ini kau harus menyudahi perbuatan kejimu! Aku te-
lah siap untuk mengirim nyawa iblismu ke Neraka...!
membentak Roro dengan suara nyaring.
"Hebat! kau bisa melihatku...?" puji Giri
Mayang dengan tersentak kaget, tapi tetap tenang.
Keyakinannya untuk bisa menghancurkan musuh be-
sarnya amat tegar, karena dia yakin sepasang tangan
iblisnya akan mampu mencopot kepala si Pendekar
wanita Pantai Selatan itu.
"Hihihi... kau kira cuma kau sendiri yang
punya kesaktian macam begini" Hm, kali ini silahkan
kau gunakan seluruh kesaktianmu untuk menghadapi
aku. Roro Centil akan melayaninya...! Dan... jangan
harap kau dapat menunda lagi kematianmu, perem-
puan setan!"
"Baik! akan tetapi tempat pertarungan kita ter-
lalu sempit!" ujar Giri Mayang dengan wajah merah
menegang. "Silahkan kau cari tempat yang luas. Ataukah
kau mau ajak aku bertarung diliang semut...! aku
akan melayani!" berkata Roro dengan senyum sinis.
Tampak ketenangan tetap membayang di wajah sang
Pendekar kita. "Baik! baik...! Silahkan ikuti aku...!" berkata Gi-ri Mayang, seraya melesat
bagaikan "terbang" keluar dari hutan bambu itu. Roro Centil enjot tubuhnya untuk
mengikuti. Dan, bagaikan dua hembusan angin
lewat, dua sosok-sosok tubuh yang tak terlihat oleh
mata biasa itu saling berkelebatan meluncur pesat
meninggalkan tempat itu...
Pertarungan memang tampaknya tak dapat di
elakkan lagi. Dan satu duel yang amat menegangkan
pasti akan berlangsung untuk menentukan siapakah
yang masih bisa hidup mempertahankan nyawanya.
Juga pada pertarungan itu akan ditentukan apakah
kebathilan atau kebenaran yang akan bercokol dijagat
ini. Segalanya memang belum bisa dipastikan.
Nenek Muri Asih saling tatap dengan kedua
pendekar muda itu.
Mereka cuma mendengar bentakan-bentakan
dan tantangan yang menegangkan dari balik hutan
bambu, yang kemudian suara-suara itupun lenyap.
Alam kembali sunyi mencekam. Ketiga manusia
itu tertegun dalam beberapa saat. Namun akhirnya
nenek Muri Asih menyadarkan, dengan berkata pela-
han. "Segala sesuatunya tak dapat lepas dari takdir!
Kita tak tahu apakah kemenangan ada dipihak Roro
Centil, ataukah Giri Mayang. Semuanya kita serahkan
pada Yang Maha Kuasa! Marilah kita kuburkan mayat
saudaramu itu, sobat-sobat Pendekar muda...! Juga
empat mayat pengawal itu kita ke bumikan sekalian!
aku akan membantu kalian menggali lubang...!"
Tersentak kedua dari Tiga Musafir Hati Besi.
Lalu cepat-cepat menjawab.
"Terima kasih, nenek Muri Asih! kami sudah
berhutang budi pada anda, biarlah kami yang menggali
kubur untuk semua mayat yang berada disini...!" berkata Bonar.
Sejenak perempuan tua itu tercenung. Lalu ter-
dengar menghela napas. "Baiklah, kalau begitu...!
Doa'a-kan saja agar kemenangan ada pada Pendekar
Wanita kita..!" ujar Nenek Muri Asih.
"Tentu...! tentu, nenek Muri Asih!" menyahut
keduanya dengan serempak.
Nenek Muri Asih gerakkan lengannya beberapa
kali ke arah depan.
Terdengarlah suara berdentum beberapa kali
ketika sinar perak berkelebatan menghantam tanah.
Debu mengepul, dan tanah menyemburat ke udara.
Ketika abu tebal itu lenyap, terperangah kedua
pendekar itu melihat dihadapannya telah berjajar lima
buah lubang yang persis seperti baru digali.
Kedua pendekar jadi saling pandang dengan
keheranan. "Beliau telah membantu kita menggalikan ku-
buran...!" berkata Bhimo dengan tertegun.
"Benar, adikku... ah, sungguh sakti nenek itu
juga berhati mulia! Marilah kita kuburkan dulu jena-
zah kakak kita..." ujar Bonar.
Sang adik mengangguk, lalu segera bantu men-
dukung membawa jenazah. Kesedihan tampak mem-
bayang di wajah dua Pendekar muda ini. Akan tetapi
mereka memang tak dapat menentang takdir seperti
apa yang diucapkan nenek Muri Asih. Begitu juga den-
gan pertarungan kedua tokoh hitam dan putih itu ke-
lak. Manusia, ya cuma manusia. Setinggi apapun
ilmunya tetap di bawah kekuasaan Yang Maha Pencip-
ta. Langit tampak cerah tak berawan. Cahaya Ma-
tahari membersit terik. Sesekali terhalang sinarnya
oleh daun-daun bambu yang bergoyang tertiup angin.
Setelah berdo'a untuk arwah-arwah mereka yang telah
tiada, kedua. Pendekar Hati Besi meninggalkan tempat
itu. Meninggalkan lima buah gundukan tanah yang
masih baru. Mereka telah gugur sebagai pahlawan wa-
laupun cuma dengan sedikit perjuangan. Tapi masih
punya arti ketimbang matinya seorang berpangkat
yang meninggalkan nama buruk dimata manusia...
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dewi Ular 7 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Dewa Iblis 3