Pencarian

Mahluk Kerdil Penghisap Darah 1

Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah Bagian 1


SATU Puncak gunung Galunggung kepulkan asap ti-
pis... Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap.
Cuma yang terdengar suara lumpur lahar yang bergo-
lak mendidih. Tak seorangpun manusia yang berani melongok
ke puncak gunung itu, karena hawa yang teramat pa-
nasnya. Akan tetapi justru satu keanehan di sisi lum-
pur yang bergolak menindih itu, pada satu relung goa
tampak duduk dengan mata meram dan kaki bersila
seorang nenek tua renta yang berambut putih beria-
pan. Hawa dari lahar itu seperti tak dirasakannya.
Empat puluh hari empat puluh malam sudah nenek
tua renta itu bersemadi. Kalau pantatnya tak menem-
pel di atas batu tentu manusia itu pasti disangka setan kalau kebetulan ada
orang yang melonggokkan kepala
melihatnya. Dekat ujung kakinya banyak terdapat guratan
yang menggores batu. Itulah goresan hitungan dimana
setiap selesai satu malam bertapa, si nenek selalu
menggurat satu kali dengan jarinya demikian seterus-
nya... Dan dari banyaknya guratan itu yang kalau di-
hitung sudah berjumlah 40 guratan berarti sudah em-
pat puluh hari lamanya dia bersemadi di lereng dasar
kawah itu. Hari itu adalah hari keempat puluh dia bertapa.
Saat mana tampak si nenek tua renta itu mulai mem-
buka sepasang kelopak matanya.
Ternyata dia seorang nenek bermata juling. Bi-
birnya tampak sunggingkan satu senyum puas. Dan
dia boleh bernapas lega, karena dari bisikan gaib yang
diperoleh melalui semedinya satu harapan besar yang
menggembirakan telah membuat dia tertawa terkekeh-
kekeh seraya ucapnya lirih.
"Hihihik... hihihihik... terima kasih! terima ka-
sih atas petunjukmu Eyang Pukulun..! tentu saja sya-
rat-syarat itu akan hamba penuhi! Bocah perempuan
yang sudah kuresmikan menjadi muridku itu harus
dapat menandingi kehebatan si Roro Centil! dan dia
harus mampu membunuhnya! hihihik... hihihik..."
Selesai berkata si nenek tua renta bermata jul-
ing itu bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap ke
atas tepian lereng kawah, dipuncak paling atas. Den-
gan perdengarkan suara tertawa dingin, perempuan
tua yang sakti ini gerakkan anggota tubuhnya ke kiri
dan ke kanan. Terdengar suara berkrotokan tulang-
tulangnya. Duduk bersemadi selama empat puluh hari
empat puluh malam membuat urat-uratnya kaku.
Bahkan kulitnya sudah hitam seperti gosong akibat
hawa yang teramat panas. Pakaiannyapun robek ber-
serpihan karena lapuk dimakan hawa panas.
Sekali lengannya bergerak, sebongkah batu be-
sar dua kali kepalan tangan sudah tercekal di tangan-
nya. Lalu matanya menatap lagi ke atas puncak gu-
nung dari dalam ruang rongga di lereng batu dalam
mulut kawah. WHUUUT...! batu di lengannya dilemparkan ke
atas. Dan tubuhnya secepat kilat melesat menyusul
batu yang barusan dilemparkan.
Ketika kakinya tepat di atas batu, sebelah kaki
si nenek mata juling jejakkan kakinya pada batu tua
itu, dan... ringan sekali tubuh si nenek kembali me-
luncur untuk seterusnya hinggapkan kaki di bibir mu-
lut kawah. Sementara batu yang dipakai sebagai "tangga"
untuk melompat itu meluncur deras ke bawah, dan le-
nyap ditelan bergolaknya lumpur kawah gunung Ga-
lunggung. Setelah perdengarkan suara tertawanya yang
terkekeh-kekeh, si nenek mata juling berkelebat dari
puncak gunung itu dan lenyap di kesamaran kabut...
Dua hari kemudian sejak terjadinya peristiwa di
gunung Galunggung, di sebuah desa terdekat telah ter-
jadi kegaduhan. Teriakan-teriakan ketakutan terden-
gar dari sebuah rumah. Apakah yang terjadi"
Seorang wanita tua lari pontang panting keluar
dari rumahnya dengan wajah pucat. Hari belum begitu
malam, namun hawa aneh yang membangunkan bulu
roma telah menyebar di sekitar desa Banyu sari. Wani-
ta yang lari pontang panting keluar dari rumahnya itu,
karena tahu-tahu melihat di dalam kamarnya muncul
makhluk-makhluk kerdil yang berwajah menyeram-
kan, dengan mulut menyeringai dan sepasang mata
yang besar-besar. Pada kepalanya terdapat dua buah
tanduk. Makhluk-makhluk itu ternyata menghampiri
anak gadisnya yang tidur sendiri dalam kamarnya. Ke-
tika mendengar suatu jeritan sang anak gadis tengah
meronta-ronta dalam cengkeraman tangan mahluk-
mahluk kerdil yang menyeramkan. Tentu saja mem-
buat dia terperangah dengan wajah pucat. Dan serta
merta melompat keluar rumah dengan menjerit-jerit
ketakutan... "Toloooong! tolooong!" teriaknya dengan meng-
getar panik. Tentu saja membuat penduduk segera ke-
luar untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Dua
orang laki-laki bergegas melompat menghampiri.
"Ada apa, bi..." ada apa..." mengapa kau berte-
riak-teriak malam-malam begini?" tanya salah seorang.
Sementara laki-laki itu telah mencekal golok yang se-
jak keluar dari rumah sudah dihunusnya.
"Anaku... a... anaku... Kitri! tolong anaku..." teriak wanita tua itu dengan
menangis terisak dan wajah
pucat pasi. "Kenapa anakmu" kenapa" apa yang terjadi...?"
tanya seorang lagi. Sementara beberapa orang pendu-
duk laki-laki dan perempuan sudah berdatangan den-
gan berlari-lari menghampiri.
Akan tetapi belum apa-apa wanita tua itu telah
terkulai pingsan tak sadarkan diri. Si laki-laki bergolok seketika sudah
melompat ke arah rumah.
"Pasti ada terjadi apa-apa dengan anak gadis
itu! ayo, bantu aku melihat!" teriak laki-laki itu sesaat ketika berhenti untuk
berpaling pada para tetangganya
yang sudah berkerumun. Dua orang lagi singsingkan
kain sarungnya lalu bergegas melompat menyusul ka-
wannya. Sebuah kayu yang tergeletak di tanah disam-
bar oleh salah seorang. Sedang kawannya yang satu
lagi telah mencabut keluar goloknya yang terselip di
pinggang. "Dimana anak gadis itu" tak ada...!" teriak salah seorang yang tadi duluan
masuk. "Periksa kamar, tolol!" teriak kawannya.
BRAAK! pintu kamar ditendang roboh. Keti-
ganya menyerbu ke dalam. Akan tetapi beberapa
bayangan hitam telah melompat dan menerkam... Se-
ketika terdengarlah suara jeritan tiga orang itu yang
seketika berkelojotan dengan mata membelalak dan
terperangah kaget, karena tahu-tahu leher mereka te-
lah terkena terkoyak oleh gigitan taring makhluk-
makhluk kerdil yang mencengkeramnya.
Tak ampun ketiga orang itu berkelojotan mere-
gang nyawa dengan lidah terjulur sekarat.
Suasana kembali hening setelah ketiga orang
penduduk itu roboh terkulai dengan tak berkutik lagi.
Akan tetapi di luar telah terjadi kegaduhan ke-
tika dari jendela berlompatan makhluk-makhluk kerdil
itu yang jelas terlihat memondong tubuh seorang pe-
rempuan. "Itu..! it..uuuu! kejar.! kejaaaar...!" teriak beberapa orang dengan suara
santar dan mata membela-
lak. Akan tetapi bukannya pada mengejar, bahkan me-
reka menyurut mundur. Karena segera meremang bulu
tengkuk mereka melihat sekelebatan bentuk tubuh
dan wajah yang menyeramkan dari makhluk-makhluk
kerdil itu yang menggondol lari gadis itu.
"Ssssetan...! hah!" itu, mah... ssetan! hiiiiiii..."
teriak salah seorang dengan suara gemetar dan wajah
pucat pias. Sekejapan saja makhluk-makhluk kerdil itu le-
nyap dikeremangan malam. Barulah mereka teringat
akan nasib tiga orang kawan yang memasuki rumah.
Bergegas beberapa orang menyerbu untuk melihat.
Bukan main terkejutnya para penduduk ketika
mengetahui ketiga kawan mereka telah terbujur jadi
mayat. Keadaannya mengerikan karena pada leher
masing-masing ada luka lebar menganga seperti bekas
gigitan taring.
Gemparlah seketika penduduk desa Banyu sari
ketika mengetahui ketiga penduduk yang telah tewas
itu kenyataannya telah tersedot habis darahnya.
Diculiknya gadis bernama Kitri anak seorang
janda yang cuma hidup berdua dengan anak gadisnya
itu menambah mengkalutkan suasana.
Kepala Desa segera memerintahkan semua
penduduk untuk berjaga-jaga khawatir kejadian beri-
kutnya terulang lagi.
Esoknya menjelang tengah hari, mayat ketiga
penduduk itu segera dikebumikan dengan hati hancur
serta perasaan sedih. Kejadian itu adalah kejadian un-
tuk yang pertama kalinya melanda desa Banyu sari di
lereng gunung Galunggung...
Sementara itu di satu tempat tersembunyi yang
sukar dikunjungi manusia biasa, di satu lereng bukit
terjal pada sebuah lubang goa...
"Hihihi... hihihik... bagus! bagus! kalian bekerja dengan baik, akan tetapi aku
membutuhkan enam
orang gadis lagi untuk keperluan ku!" Di mulut goa itu berdiri sesosok tubuh
wanita tua yang berambut putih
beriapan. Dialah si nenek tua renta bermata juling
yang tengah bicara dengan tujuh makhluk kerdil yang
berwajah menyeramkan.
"Tiga hari lagi bulan Purnama. Kalian harus
sudah selesai mengumpulkan tujuh orang gadis!"
sambungnya dengan suara serak bagai burung gagak.
Ketiga makhluk itu manggut-manggut dengan tertawa
menyeringai, lalu segera satu persatu berkelebatan ke-
luar dari dalam goa. Gerakannya cepat sekali karena
mereka seperti melayang saja di atas udara melintas
jurang terjal di bawah bukit. Tertawa terkekeh si ne-
nek mata juling, memandang ketujuh makhluk piaraan
yang amat patuh untuk menjalankan tugas.
Tak lama nenek mala juling segera beranjak
masuk ke dalam goa. Sebongkah batu bergerak meng-
geser dari dalam yang segera menutupi lubang itu.
Ternyata si nenek itulah yang menggeserkan batu pe-
nutup liang goa itu...
*** DUA Dari ruangan bagian dalam goa itu terdengar
suara isak tangis seseorang. Bergegas si nenek mata
juling menghampiri, seraya perdengarkan suara terta-
wanya mengekeh. "Hihihik... hihihik... sudahlah muridku, jangan kau turutkan
kesedihan mu! Tiga hari
lagi kau boleh bergirang hati mempunyai sepasang
lengan baru. Tidak saja akan membuat anggota tu-
buhmu kembali sempurna, akan tetapi juga kau akan
memiliki sepasang lengan yang sakti!" ujar si nenek tua renta itu menghibur.
Tampak seorang wanita berwajah cantik, na-
mun berambut kusut dan wajah pucat lesu duduk
menyandar ditembok goa dengan berurai air mata.
Akan tetapi jelas terlihat sepasang lengannya putus.
Dialah wanita yang bernama Giri Mayang. (se-
perti dikisahkan dalam judul: Langkah-langkah Manu-
sia Beracun, Giri mayang yang bertarung melawan
Gembul Sona si Belut Putih dan Sambu Ruci alias si
Pendekar Selat Karimata kena dilukai senjata kedua
Pendekar itu. Saat itu Giri Mayang telah menyerupa-
kan dirinya menjadi seekor ular besar berkepala tujuh.
Pedang Sambu Ruci berhasil menabas leher salah satu
kepala ular. Demikian pula keris pusaka Gembul Sona
si kakek rambut coklat itu dapat leher salah satu dari
tujuh kepala ular kejadian itu. Ternyata tepat yang di-
tabas adalah sepasang lengan dari wanita sakti ber-
nama Giri Mayang itu, yang mempunyai dendam seda-
lam lautan terhadap Roro Centil.
"Tiga hari lagi, guru..." dan benarkah apa yang
kau katakan itu...?" bertanya Giri Mayang dengan wajah sekonyong-konyong
membersitkan cahaya cerah.
Semangat hidupnya telah timbul lagi.
"Hihihik... hihik... mengapa aku harus berdus-
ta" Tenangkan hatimu. Tiga hari lagi menjelang pur-
nama si tujuh makhluk kerdil piaraan ku sudah men-
gumpulkan tujuh orang gadis. Mereka semua adalah
sebagai syarat untuk mendapatkan sepasang lengan-
mu yang kudengar dari suara gaib hasil dari semediku
selama empat puluh hari empat puluh malam di ka-
wah gunung Galunggung. Dan... kau boleh bersuka ci-
ta dengan sepasang lengan barumu kelak, karena kau
akan mempunyai sepasang Tangan Iblis yang dapat
kau pergunakan untuk membalas dendam, hihihik...
hihihik... hihik..."
"Oh, terima kasih! terima kasih, guru! Atas jerih
payahmu itu entah dengan apa aku harus membalas-
nya!" berkata Giri Mayang dengan sinar mata membi-
nar karena girangnya.
Tertawa mengekeh si nenek mata juling, seraya
ujarnya. "Hm, bagiku asalkan kau bisa melenyapkan si Roro Centil aku sudah puas!
karena bukan saja murid
manusia Banci itu telah membunuh murid ku si kupu-
kupu emas akan tetapi juga membunuh mati anakku


Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Porak Supih. Dengan kau berhasil kelak mele-
nyapkannya berarti kau telah pula membalaskan den-
dam ku. dan membalaskan pula kematian paman gu-
rumu serta murid gurumu itu." berkata si nenek tua renta dengan suara dingin.
"Dengan bekal Tangan Iblis itu aku yakin kau dapat membunuh mati si Roro Centil
itu, murid ku!" ucapnya dengan tandas.
Giri Mayang tak dapat berkata-kata selain
mengangguk-angguk dengan pancaran mata bersinar.
Betapa dia sudah tak sabar untuk menantikan saat
pembalasan itu...
Kita tinggalkan dulu dua manusia Kaum Rimba
Hijau golongan hitam itu yang mempunyai dendam
amat luar biasa pada sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan. Marilah kita beralih kesatu tempat.
Lelaki muda bertubuh tegap itu duduk terman-
gu di atas batu. Di belakangnya adalah air terjun yang
meluncur dari atas tebing batu di belakangnya. Sepa-
sang matanya menatap ke depan.
Akan tetapi tiada yang ditatapnya karena sebe-
narnya dia tengah menatap jauh ke masa silam...
Laki-laki itu berwajah bersih. Dari bekas cuku-
ran pada jenggot dan kumisnya menandakan dia ada-
lah bekas seorang laki-laki brewok yang berambut
gondrong. Bila di pandang dari keadaan tubuhnya,
ternyata diapun seorang yang cacad jasmani, karena
sebelah lengan kirinya putus hampir sebatas pangkal
lengan. Dialah Joko Sangit! laki-laki gagah yang pada
peristiwa beberapa bulan yang lalu terpaksa membun-
tungi lengannya sendiri, karena demi membuktikan
cinta dan janjinya pada Roro Centil.
Akan tetapi Joko Sangit telah terkecoh, karena
tanpa disadari Joko Sangit telah salah mata mengang-
gap Giri Mayang sebagai Roro centil, karena Giri
Mayang telah mempergunakan ajian malih rupa, bah-
kan memakai pakaian serta senjata yang mirip seperti
yang sering dikenakan Pendekar Wanita Pantai Selatan
itu. Giri Mayang yang mengetahui dalam mabuknya si
laki-laki bernama Joko Sangit itu bahwa dia memen-
dam Cinta pada Roro Centil telah sengaja memper-
mainkannya. Hingga dalam keadaan menderita, Joko
Sangit tergelincir masuk ke dalam jurang. Dan tak
sempat lagi mengetahui siapa sebenarnya wanita diha-
dapannya... (baca: kisah, Misteri Telaga Berkabut.)
Apakah yang terjadi dengan murid si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu hingga masih bisa
hidup dan berada di satu tempat tersembunyi di ba-
wah air terjun" Sebentar akan kita simak kisahnya.
Saat Joko Sangit tengah merenung akan kisah
silamnya yang sebentar-sebentar diseling dengan he-
laan napas, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang
membuat laki-laki ini terkejut dan tersadar dari lamu-
nannya. "Hehehehe... orang muda terlalu banyak mela-
mun akan tidak baik! Hal itu boleh dilakukan cuma
sekali waktu. Akan tetapi terus-terusan melamuni na-
sib, bukan saja membuat lenyapnya semangat hidup
juga akan menyia-nyiakan waktu!" Suara tertawa yang kemudian disambung dengan
kata-kata itu membuat
Joko Sangit tersenyum, karena dia segera telah melihat
datangnya seorang kakek jangkung bermata sipit ber-
kulit putih. Rambutnya digelung kecil di atas kepala.
Terbungkus dengan kain sutera warna putih.
"Ah, kakek Matsui, anda membuat aku jadi ter-
kejut..! ujar Joko Sangit seraya menjura. Lalu tukas-
nya selanjutnya. "Benar sekali apa yang anda katakan itu kakek Matsui! aku
terlalu tenggelam dengan kemelut kisah ku di masa silam yang penuh dengan kebru-
talan...!"
Mengekeh tertawa si kakek jangkung berjubah
putih ini dengan mengelus-elus jenggotnya, "Heheheheh... kebrutalan masa muda
memang seperti tidak bi-
sa terlepas dari gaya hidup manusia, akan tetapi tentu
punya batas-batas dan ukuran tertentu!" tukas si kakek Matsui, tokoh persilatan
dari Negeri Sakura ini.
Entah bagaimana kakek kosen ini mulai "ngelayap" keluar dari negerinya,
"Wah...! kalau aku sudah lebih dari batas uku-
ran, kek...! Makanya tak habis-habis kurenungi. Aku
merasa jalan hidupku banyak salah. Aku banyak ber-
buat dosa di luar kesadaranku, atau bahkan dalam
sadarku...!" berkata Joko Sangit. ,
Kakek Matsui kerutkan keningnya menatap pa-
da laki-laki itu yang pada beberapa bulan yang lalu di-
colongnya secara kebetulan.
"Apakah di samping minum arak ada banyak
kejahatan lain yang kau lakukan?" tanya Kakek Mat-
sui. Joko Sangit tertawa hambar sambil manggut-
manggut."Banyak nian, kek! terutama pada soal pe-
rempuan...! ya! arak dan perempuan itu seperti sudah
mendarah daging di benakku! Aku berusaha menghi-
langkannya tapi tak punya kemampuan untuk meng-
hindari..." keluh Joko Sangit.
"Heheheh... apakah kira-kira kau telah temu-
kan cara baik untuk buang sifat itu?" tanya kakek
Matsui. "Justru itulah aku tengah merenungkannya... !
sahut Joko Sangit dengan menghela napas. "Dan...
kau sudah punya kepastian" dalam perenungan mu
selama berhari-hari ini?" tanya lagi kakek Matsui dengan tersenyum.
"Baru separuhnya...!"
"Maksudmu?" tanya orang tua itu tak mengerti.
"Aku baru bisa menghilangkan keinginanku
dengan perempuan saja!" sahut Joko Sangit. Membelalak mata kakek Matsui, lalu
dikejap- kejapkan. Dan ti-
ba-tiba saja tertawa terkekeh-kekeh sampai terbatuk-
batuk. "Hehehe... heh heh heh... uhuk uhuk... berhari-hari merenungi diri
ternyata hasilnya tak lebih cuma
"pesong" belaka! hehehe... hehheh..."
"Apa itu pesong, kek...?" tanya Joko Sangit heran. Ditatapnya kakek jangkung
kurus berjubah putih
itu dengan hati agak mendongkol, juga tak mengerti.
"Hehehe.. ."pesong" artinya pepesan kosong! ka-lanya kau merenung mengingat
segala dosa taik kuc-
ing! nyatanya kau tak mampu menghilangkan keingi-
nanmu untuk mabok arak! Wahahaha... he. hehe...
Kalau cuma menghilangkan keinginan pada perem-
puan sih bukannya hasil merenung, tapi sudah saja
kau bilang bahwa kau patah hati! Dan patah hati itu
sifatnya sementara...! kalau untuk selamanya kau tak
punya keinginan pada perempuan, apa lagi masih
punya keinginan mabuk arak, Wah... ! wah! itu sih
sama dengan bohong! kecuali kau "dikebiri" aku baru yakin." berkata kakek Matsui
dengan blak-blakan
mengungkapkan pendapatnya.
Ternyata apa yang dikatakan si kakek Matsui
sedikitpun tak disalahkan Joko Sangit. Hatinya mem-
batin. "Si kakek orang asing yang menolongku ini seperti bisa mengetahui sifat
manusia! aku sendiri tidak
bisa memastikan apakah akan selamanya aku men-
jauhi perempuan" Yang jelas semenjak aku dibuat sa-
kit hati oleh perbuatan Roro Centil hingga sampai aku
kehilangan sebelah lenganku aku... aku mulai mem-
benci perempuan!"
Akan tetapi sedikit banyak Joko Sangit masih
penasaran yang membuat dia ajukan pertanyaan, dan
balas "memukul" orang.
"Penjelasan anda ada benarnya juga kakek
Matsui. Akan tetapi anda mengatakan keyakinan anda
kalau manusia dikebiri barulah lenyap keinginannya
pada perempuan, apakah anda pernah mengalami hal
seperti aku" dan jangan-jangan anda termasuk orang
yang dikebiri..." ujar Joko Sangit seraya melompat berdiri. Berubah seketika
wajah si kakek jangkung dari
Negeri Sakura itu. Alisnya yang putih dan gompyok
hampir menutupi matanya itu terjungkat naik.
Tiba-tiba sebelah lengannya menghantam ta-
nah. Buk! dan... tubuhnya telah mencelat setinggi se-
puluh tombak. Di udara tubuh si kakek Matsui itu
berputar dua kali. Selanjutnya dia berdiri tegak me-
nengadah menatap langit. Jubahnya berkibaran ter-
tiup angin pegunungan...
Terkejut Joko Sangit dia tak menyangka kalau
kata-kata itu ternyata tepat mengenahi hati sanubari
si kakek penolongnya. Namun diam-diam dia memuji
kehebatan ilmu meringankan tubuh kakek dari Negeri
Sakura itu. "Ucapanmu tidak salah, anak muda...! aku
memang manusia kebiri! sejak usia delapan belas ta-
hun kejadian itu telah menimpa ku! Akan tetapi du-
gaanmu salah kalau kau katakan aku mengalami hal
yang sama sepertimu!" terdengar suara si kakek Matsui berkata. Suaranya pelahan,
akan tetapi mengan-
dung kekuatan tenaga dalam yang hebat, yang mampu
menandingi suara mengguruhnya air terjun. Ternyata
si kakek Matsui telah palingkan kepalanya untuk me-
natap padanya dari tempat ketinggian itu. "Anak mu-da...!" ujarnya.
"Selama hidupku aku tak pernah mengenal
atau mencicipi arak yang dapat membuat manusia
menjadi mabuk! Di negeriku cuma ada SAKE...! Itu
minuman tradisi disana! Dan... ketahuilah! Puluhan
tahun sudah aku berusaha melupakan dendam pada
manusia yang telah membuat aku cacad! Agaknya ma-
nusia yang kucari itu sudah tinggal jerangkongnya saja
alias tak ada di dunia lagi! Namun aku masih penasa-
ran untuk tetap mencarinya untuk membalaskan den-
dam ku! karena manusia itulah aku gagal dalam hidup
ini...! aku tak seperti manusia layak lainnya yang da-
pat punya istri, berkeluarga dan mengeyam hidup ba-
hagia...!"
Tertegun Joko Sangit seketika. Suara si kakek
Matsui seperti tergetar menahan perasaan yang meng-
gebu di dadanya. Tampak terlihat tubuh orang tua itu
tergoyang-goyang. Namun segera menggeloso dengan
menekuk lutut. Sepasang matanya menatap pada Matahari, la-
lu menundukkan kepala dengan sepasang lengan
mengepal menjadi satu.
"Kakek Matsui, maafkanlah kata-kataku yang
telah menyinggung perasaan anda... !" teriak Joko
Sangit. Pendekar tua dari Negeri Sakura itu angkat wa-
jahnya menatap Joko Sangit. Dan terdengar suara he-
laan nafasnya."Sudahlah, anak muda...! kehidupan
memang penuh dengan kemelut. Tak seorangpun ma-
nusia yang terlepas darinya...!"
Selesai berkata, kakek itu bangkit berdiri.
"Kakek Matsui! mau kemanakah anda...?" te-
riak Joko Sangit, seraya gerakkan tubuhnya melompat.
Akan tetapi cuma mampu tiba di bawah kakek itu yang
berada sepuluh kaki diatasnya. Tampaknya seperti
khawatir sekali si penolongnya itu meninggalkan tem-
pat itu. Tersenyum orang tua ini memandang laki-laki
muda itu. Ada terbersit perasaan kasihan padanya.
Memang sejak dia menolongnya secara kebetulan, si
Pendekar tua. Negeri Matahari Terbit itu agak menaruh
simpati pada Joko Sangit.
Kejadiannya adalah sebagai berikut.
Ketika itu Matsui memang berada didasar ju-
rang dalam yang berkabut itu, Sejak selama beberapa
bulan dia "gentayangan" meninggalkan Negerinya untuk mencari seseorang diwilayah
Pulau Jawa. Orang
yang dicarinya tak lain adalah Roro Centil. Entah apa
maksudnya kakek Matsui itu mencari sang dara Per-
kasa Pantai Selatan itu belum lagi diketahui.
Roro Centil memang pernah berkunjung ke ne-
geri Sakura itu untuk memenuhi tantangan seorang
tokoh hitam di kepulauan Jepang yang telah menden-
gar kehebatan serta nama besar Pendekar Wanita itu.
Roro berhasil menjatuhkan lawannya. Dan sempat pu-
la berkenalan dengan kakek tua bernama Matsui itu,
serta mengalami pertarungan dengan para Ninja. (Ba-
ca: kisah," Pedang Asmara Gila").
*** TIGA Saat itu sesosok tubuh melayang deras ke da-
sar jurang yang dalam dimana pada sisi-sisinya adalah
tebing-tebing batu terjal. Naluri si kakek Matsui yang
peka membuat dia menengadah untuk melihat ke atas
tebing. Tersentak kakek itu melihat diantara kesama-
ran kabut sesosok tubuh manusia meluncur ke bawah
dengan derasnya. Saat itu Joko Sangit sudah tak tahu
akan bahaya apa yang mengancam dirinya. Ketika ta-
hu-tahu sepasang lengan telah menyambar tubuh-
nya... Dan selamatlah dia dari bahaya maut! Kakek
penolongnya itu segera diketahui bernama Matsui.
Seorang laki-laki tua dari bangsa asing dari sebuah
kepulauan yang jauh, yaitu di Negeri Matahari Terbit.
atau yang dinamakan juga Negeri Sakura.
Selama beberapa pekan Joko Sangit dirawat
oleh kakek itu hingga lukanya sembuh dan mengering.
Selama itu pula kakek Matsui telah berdiam didasar
lembah di bawah air terjun itu...
Joko Sangit merasa sangat berhutang budi atas
pertolongan orang tua asing itu. Tentu saja membuat
dia begitu khawatir kalau si penolongnya meninggal-
kan dia di dalam keadaan tersinggung karena kata-
kata yang telah diucapkannya.
"Anak muda..." ujar Matsui dengan suara lirih.
"Jangan takut! aku tak merasa tersinggung dengan
ucapan mu. Akan tetapi aku memang mau pergi.
Dan... hari ini adalah saat yang baik buat aku mene-
ruskan perjalanan...!"
"Ah!" akan kemanakah kakek..." tanya Joko
Sangit tersentak. Pirasatnya sudah menduga kalau


Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek asing yang baik budi itu akan pergi.
"Entahlah...! aku sendiri tak mengetahui kema-
na aku akan pergi! Untuk itu aku tak bisa mencerita-
kannya padamu!" "Apakah kakek Matsui akan mencari dimana adanya musuh besar
anda?" "Tadinya demikian...! tapi setelah berpikir
orangnyapun entah masih hidup entah sudah mati!
Tujuan sebenarnya adalah aku ingin bertemu dengan
seorang tokoh Rimba Hijau dari tanah Jawa ini. Dia
bernama Roro Centil dan berjulukan si Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan!" tegaskan Matsui dengan menghela napas. Tersentak Joko
Sangit. Seketika dia tundukkan
wajah dan tampak wajahnya berubah murung. Da-
danya berombak-ombak. Namun selang sesaat Joko
Sangit dapat menenangkan perasaannya. "Ada hubun-
gan apakah anda dengannya... "tanya Joko Sangit.
"Kau mengenalnya...?" Kakek Matsui justru ba-
lik bertanya. "Yah, begitulah...! akan tetapi dia memang amat
sukar dijumpai!"
Terpaksa Joko Sangit menyahuti, walau sebe-
narnya hatinya lebih dari mendongkol pada Roro Cen-
til, karena si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah mempermainkan cintanya.
Bahkan gara-gara gadis
Pendekar itu dia harus kehilangan sebelah lengannya.
Demikian apa yang terpikir dihati Joko Sangit, tanpa
mengetahui kalau perbuatan yang dilakukan terha-
dapnya adalah bukan oleh Roro Centil. Melainkan oleh
Giri Mayang. "Ya, ya, ya...! aku mengerti, Gadis itu memang
berwatak aneh. Muncul dan perginya seperti hantu.
Kalau tak secara kebetulan mana mungkin bisa ber-
jumpa dengan dia...?" tukas Matsui dengan manggut-manggut.
"Baiklah...!" sambungnya kemudian setelah me-
renung beberapa saat.
"Kalau kau sudi menolongku tentu aku akan
berterima kasih sekali!"
"Apakah itu, kek" anda telah menyelamatkan
nyawaku kalau aku bisa membalas budimu!" apa pun
yang kau tugaskan untuk membantumu aku bersedia
membantumu!" sahut Joko Sangit dengan cepat.
"Heheheheh... heheheh... bagus! bagus! telah
ku tinggalkan di dalam goa "sesuatu" yang aku ingin memberikannya pada gadis
Pendekar itu! Nah! tolong kau berikanlah benda dalam kotak
perak itu padanya...! Hanya itu yang ku ingin kau me-
nolongku... serta sampaikan salamku padanya... !"
berkata kakek Matsui. Dan setelah tertawa terkekeh-
kekeh tubuh jago tua dari Negeri Matahari Terbit itu-
pun berkelebat dari atas tebing batu. Lalu lenyap tak
kelihatan lagi.
Samar-samar masih terdengar suara tertawa
mengekehnya dan kata-kata. "Selamat tinggal anak
muda! sampai jumpa lagi, kalau masih ada usia bua-
tku...!" Terpaku Joko Sangit ditempatnya. Tanpa sempat dia ucapkan kata-kata
perpisahan pada sang ka-
kek penolongnya.
Namun yang lebih membuatnya terpaku adalah
pesan si kakek Matsui.
"Benda apakah yang berada dalam peti perak,
yang harus kusampaikan pada si Roro Centil itu?" sentak hati Joko Sengit.
Dan... begitu tergerak rasa ingin tahunya, tu-
buh laki-laki murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur
Wedha telah melompat turun dari tempat ketinggian
itu. Untuk selanjutnya berlari-lari menuju arah goa
tempat tinggalnya selama ini.
Kebesaran bukan terletak pada kekuatan yang
dimiliki, melainkan bagaimana menggunakan kekua-
tan itu dengan benar!
Itulah tulisan dari kata-kata yang tertera pada
kulit kitab usang yang terdapat di dalam peti perak.
Ternyata rasa ingin tahu Joko Sangit telah membuat
dia penasaran untuk membuka kotak perak dalam
buntalan kain yang sedianya harus diberikan pada Ro-
ro Centil. Berdebar hati Joko Sangit. Kata-kata dalam tu-
lisan itu mempunyai arti yang amat besar. "Ini pasti sebuah kitab tentang Ilmu
kadigjayaan...!" sentak hati laki-laki itu. Dengan lengan sedikit tergetar
kembali Joko Sangit menyibak lemparan berikutnya. Dan terte-
ra disana sebuah tulisan yang berkalimat pendek.
"NlNJA".
Tercenung Joko Sangit."Apa artinya kata-kata
ini...?" gumamnya lirih. Selanjutnya dia telah membuka lembaran-lembaran
berikutnya, yang ternyata beri-
sikan ilmu-ilmu kedigjayaan. Akan tetapi jelas mem-
punyai bentuk ilmu silat asing serta ilmu bela diri yang menerangkan tentang
rumusan-rumusan inti dari jurus-jurus NINJA, seperti yang tertera pada lembar
per- tama. Jelaslah sudah kalau kakek Matsui mencari
Roro Centil adalah karena ingin memberikan kitab ten-
tang NINJA yang berasal dari Negeri Matahari Terbit
itu. Entah hubungan apakah kakek Matsui mencari
Roro Centil, hingga kakek Matsui mencari sejauh itu
hanya untuk menyerahkan kitab itu pada Roro" pikir
dibenak Joko Sangit.
"Apakah aku harus menyampaikannya pada
Roro Centil... ?" desis laki-laki itu. Sejenak dia termangu-mangu seraya
menutupkan kembali kitab itu. Lalu
dimasukkan lagi dalam kotak perak. Tulisan itu jelas
masih baru. Agaknya kakek Matsui telah sengaja me-
nyadurnya dengan tulisan yang mudah dipahami diwi-
layah Pulau Jawa! Benak Joko Sangit memikir.
Lama... dan lama... Joko sangit merenung. Se-
mentara dadanya semakin berombak-ombak, pertanda
dia telah menimbang-nimbang keputusannya dengan
hati gemuruh. Sakit hati pada Roro Centil akibat per-
lakuanya hingga dia harus kehilangan sebelah lengan-
nya membuat wajahnya sebentar merah sebentar pu-
cat menegang. Tiba-tiba laki-laki itu gerakan sebelah
lengannya menghantam batu besar didekatnya.
Brrass...! batu besar itu hancur berkepingan.
Lalu jari-jari lengannya mengepal keras hingga
terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulangnya.
Ternyata Joko Sangit telah mengambil kepastian.
"Heh! tidak! aku takkan memberikannya! perse-
tan dengan amanat si kakek Matsui. Lebih baik aku
yang mempelajari kitab tentang Ninja dari Negeri Asing
ini!" desisnya dengan suara menggetar.
Ternyata Joko Sangit sudah terkena racunnya
asmara akibat salah paham yang menyangka Roro
Centil telah mempermainkan cintanya.
Namun laki-laki itu terhenyak ketika teringat
dia cuma memiliki sebelah lengan.
"Hm, mengapa dengan lengan yang cuma sebe-
lah ini menjadi penghalang?" desisnya dengan wajah membersitkan sinar cerah.
"Hahaha... aku bisa melakukan apa yang bisa kulakukan! Dengan mengga-
bungnya dengan apa yang sudah dimiliki, mustahil ke-
lak aku tak bisa menguasai ilmu asing bernama Ninja
ini!" Joko Sangit kepalkan jari-jari tangannya den-
gan tertawa sendiri tergelak-gelak, Selanjutnya dia su-
dah bergerak melompat untuk menutup pintu goa.
Dan... entah apa yang dilakukan murid si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu di dalam. Yang jelas
Joko Sangit telah siap mempelajari ilmu Ninja dari Ne-
geri Sakura itu dengan tekad yang sudah bulat.
Lereng tebing itu kembali sunyi mencekam seo-
lah tak ada penghuninya. Suara gemuruhnya air ter-
jun dan kepak sayap-sayap kelelawar serta sesekali
bunyi suaranya yang mengiyak seperti menambah len-
gangnya suasana ditempat itu yang mulai merambah
senja.... Namun yang pasti dan kelak, entah setahun
entah dua tahun bakal muncul di Rimba Persilatan
seorang tokoh yang memiliki ilmu silat tinggi, berlen-
gan tunggal. Dialah Joko Sangit! Joko Sangit! yang
pernah mendapat julukan si Berandal Pemabukan!
*** EMPAT Suara tetabuhan yang terdengar dari tengah
desa PATUHA di malam terang bulan itu memang
membuat orang penasaran untuk melihatnya. Satu
dua dan kelompok demi kelompok bukan saja anak-
anak muda akan tetapi orang-orang tuapun tak ke-
tinggalan berdatangan untuk melihat tontonan yang
jarang terdapat itu. Dari jauh-jauh mereka sengaja
berdatangan. Tentu saja bukan cuma untuk menon-
ton. Bagi para pemuda desa di wilayah itu adalah satu
kesempatan untuk menggaet pasangan. Karena dalam
setiap keramaian sudah pasti kembang- kembang de-
sapun bermunculan dengan dandanan yang berbeda
dari biasanya. Boleh dikata malam tontonan itu adalah
kesempatan yang sukar dicari bagi para gadis atau
janda. Siapa tahu ada jodoh berkenalan dengan pemu-
da-pemuda dari desa lain.
Berita tentang menikahnya anak juragan Raden
Mas Mangku dengan seorang anak pejabat Kerajaan
telah menjadi buah bibir masyarakat desa Patuha dan
sekitarannya, yang bakal mengadakan hiburan Topeng
Banjet. Yaitu sejenis kesenian yang menampilkan pe-
nari-penari serta pesinden yang cantik-cantik dan ba-
henol. Dan malam itu adalah malam yang telah tiba
pada waktunya. Penonton telah berjejal dihalaman
rumah Juragan Raden Mas Mangku. Tepat di sebelah
kiri rumah besar yang agak berhadapan dengan rumah
Juragan itu telah berdiri sebuah panggung. Pada ba-
gian depannya telah penuh sesak dengan para tamu
undangan, yang duduk pada sederetan kursi-kursi dan
meja dengan berbagai hidangan tersedia diatasnya.
Para pesinden belum lagi muncul, akan tetapi
penonton telah berjejal memadati sekitar panggung.
Para penjaga keamanan sibuk mengatur jejalan penon-
ton agar berdiri ditempat yang tak mengganggu para
tamu undangan. Sementara di ruangan dalam penuh
pula dengan kesibukan. Dari yang member! selamat
pada mempelai yang telah duduk bersanding, juga ke-
sibukan-kesibukan lain. Sedangkan para penabuh ga-
melan tiada hentinya menyajikan irama-irama yang
bertalu-talu, diseling suara rebab dan seruling.
Menjelang tiga perempat malam, penonton mu-
lai tak sabar karena para penari dan pesinden belum
juga dimunculkan. Namun akhirnya yang dinanti-
nantikan pun tiba juga. Lima orang pesinden merang-
kap penari telah naik ke atas panggung. Penonton me-
nahan napas. Benar saja. Mereka adalah para penari
yang cantik-cantik, dengan dandanannya yang luar bi-
asa. Maklum karena yang mengundangnya adalah
orang ternama. Sedangkan pihak mempelai laki-laki
adalah anak seorang Pembesar Kerajaan dari Kota Ra-
ja. Bahkan yang ditampilkan malam itu adalah pesin-
den-pesinden pilihan yang kesemuanya adalah gadis-
gadis jelita. Setelah masing-masing memperkenalkan
nama, satu-persatu segera duduk dibagian depan
panggung. Penonton saling berdesakan untuk melihat
lebih jelas. Sementara penjaga keamanan mulai sibuk
mengatur penonton.
Selang tak lama seorang laki-laki setengah usia
maju ke depan seraya memberi penghormatan pada
penonton dan para tamu undangan. Lalu dengan sua-
ra lantang memberitahukan bahwa salah seorang pe-
sinden segera akan mengumandangkan sebuah lagu,
yang akan diiringi oleh tarian pula oleh salah satu dari lima pesinden itu.
Penonton menyambutnya dengan
tepuk tangan riuh serta suara suat-suit yang ramai
disana-sini. Ketika gamelan mulai berbunyi maka se-
ketika suasana gaduh itu segera terhenti. Dan... ber-
kumandanglah alunan suara merdu seorang pesinden
berpakaian warna merah muda. Sementara salah seo-
rang dari deretan kelima pesinden itu segera bangkit
berdiri untuk menyajikan tariannya.
Tepuk tangan kembali riuh serta suara suitan
disana-sini. Dan... ketika gadis semampai berpinggang
ramping dengan gemulai segera mulai menari mengi-
kuti irama gamelan, seketika satu keasyikan dari lagu
dan penarinya telah membuat penonton mendengar-
kan dan memandang kagum, terpesona...
Demikianlah. Lagu demi lagu berkumandang.
Dan penari silih berganti menyajikan tarian gemulai
yang mempesona. Semakin lama jadi semakin hangat
dan semarak. Karena dari para tamu undangan mulai
"turun" untuk ikut menari bersama dan secara bergantian. Penonton bertepuk
tangan riuh, serta diam-diam
bagi yang masih "doyan", mulai mengiri melihat laki-laki yang menari bersama
"bidadari-bidadari" itu. Apalagi dari para tamu undangan banyak yang mulai ku-
rang ajar untuk meraba pinggang sang "Ratu Banjet".
Marilah kita menengok diantara kerumunan
penonton. Seorang laki-laki berpakaian warna hitam
sejak tadi mengepal-ngepalkan tangannya menatap
dengan mata membinar melihat adegan tarian gemulai
yang ikut bersama menari adalah seorang pemuda se-
kitar usia dua puluhan tahun. Dia adalah anak seo-
rang Tumenggung Kerajaan dari Kota Raja. Pemuda itu
tampaknya mulai semakin berani meraba kesetiap ba-
gian penting ditubuh si penari. Sudah lazim menjadi
tradisi didaerah itu kalau setiap laki-laki yang akan turut menari bersama
dengan "Ratu-ratu Banjet" itu akan memberikan sejumlah uang lebih dulu sebagai
imbalannya. Namun walau demikian bukan berarti si
penari laki-laki akan bebas berbuat semuanya, me-
lainkan pada batas-batas tertentu saja.


Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi pemuda anak Tumenggung itu te-
lah berbuat agak keterlaluan. Hal mana membuat pe-
nonton terperangah. Bahkan dalam irama yang syahdu
laki-laki muda itu telah memeluk erat-erat pinggang si
penari dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman.
Bahkan goyangan pinggul mereka telah benar-
benar rapat tanpa renggang sedikitpun. Penonton se-
perti terkesima, sementara si penari Banjet mulai me-
ronta untuk menghindari ciuman yang bertubi-tubi
itu. Pada saat itulah selirik kilatan cahaya berkelebat...
Dan detik itu juga si laki-laki anak Tumenggung itu
menjerit ngeri. Dan roboh terjungkal berkelojotan. Se-
saat antaranya setelah menggeliat beberapa kali tubuh
pemuda itupun terkulai tak berkutik lagi.
Sejenak terpaku semua menatap ketempat ke-
jadian. Akan tetapi selang beberapa saat segera ter-
dengar teriakan-teriakan kaget. Dan gemparlah pe-
nonton, juga para penabuh gamelan, yang seketika
menghentikan tabuhannya. Sedangkan penari dan pe-
sinden saling memekik ketakutan. Beberapa orang me-
lompat ke atas panggung untuk memeriksa. Ternyata
kedapatan si pemuda itu telah tewas dengan sebuah
belati tertancap pada belakang lehernya. "Kurang ajar!
Siapa yang telah melakukan pembunuhan ini! Siapa
yang telah melakukan...!" berteriak-teriak seorang laki-laki berpakaian perwira
Kerajaan yang tak lain dari sa-
lah seorang para tamu undangan Sedangkan sang
Tumenggung ayah dari anak muda itu kebetulan tak
dapat menghadiri pesta di tempat itu yang diwakilkan
oleh anaknya. Penonton yang tadinya berkerumun berjejalan
seketika menjadi buyar dan hiruk-pikuk. Ada yang
langsung pulang. Ada pula yang tetap berada di Sana
karena ingin tahu lanjut kejadian itu. Sementara dian-
tara simpang siurnya penonton itu, si laki-laki berbaju hitam tadi diam-diam
menyelinap pergi. Tak seorangpun yang mengetahui kalau pelakunya adalah si laki-
laki berbaju hitam itu. Dan untuk mengenali siapa
pembunuhnya adalah seperti mencari jarum yang ter-
cebur ke dalam laut, karena sekejap saja si laki- laki berbaju hitam telah
lenyap tak ketahuan lagi kemana
perginya... Saat terjadi kegaduhan itulah tujuh sosok
bayangan hitam berkelebat cepat sekali ke arah pang-
gung. Dan... tahu-tahu tiga orang sinden terpekik
menjerit ketakutan ketika tiga sosok makhluk kerdil
telah mencengkeram pinggang. Dan sebelum bisa ber-
buat apa-apa tubuh-tubuh mereka telah dibawa mele-
sat ke atas wuwungan rumah. Suara jeritan mereka
seketika lenyap ketika makhluk itu lenyap pula di be-
lakang wuwungan rumah Juragan Raden Mas Mang-
ku. Para penabuh gamelan menjadi gempar. Dua sin-
den lagi telah melompat ke bawah panggung dengan
berteriak ketakutan. Ternyata mereka sempat melihat
kemunculan makhluk yang menyeramkan itu. Si per-
wira kerajaan dan para tamu undangan jadi melengak.
Mereka cuma membelalak terkesima melihat kejadian
itu. Sementara diruang dalam terjadi pula kegadu-
han ketika dua makhluk kerdil tahu-tahu tersembul
dikamar pengantin. Salah satu mencengkeram pengan-
tin wanita, sedang satu lagi menjebolkan daun jendela.
Cepat sekali pengantin wanita itu sudah dipondong si
makhluk kerdil itu dan dibawa melompat keluar dari
jendela... Pengantin laki-laki terkejut bukan kepalang.
Dia baru saja meninggalkan istrinya untuk melihat ke-
jadian, setelah mengantarkan sang istri ke kamarnya
yang jadi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan
itu. Beberapa orang wanita berteriak-teriak memberi-
tahukan kejadian. Dan melompatlah si pengantin laki-
laki itu dengan wajah pucat untuk mengejar si pencu-
lik pengantin wanita istrinya.
Namun cepat sekali makhluk itu lenyap, dan
tak diketahui kemana larinya. Suara gaduh dari para
penonton serta teriakan disana-sini sukar untuk men-
getahui suara jeritan si pengantin wanita. Sementara
Juragan Raden Mas Mangku cuma terbelalak dengan
tubuh gemeteran.
"Celaka...! anakku...! a... anakku... di... diculik sss... ssset..." BRUK! dia
sudah jatuh terlentang tak sadarkan diri. Seketika suasana bertambah semrawut,
dan suasana pesta di kediaman sang Juragan itu kini
bukan lagi pesta, melainkan jerit dan ratap serta teriakan ketakutan disana-
sini. Beberapa orang ternyata te-
lah mengejar kemana makhluk-makhluk itu melarikan
para gadis penari tadi dengan senjata-senjata telan-
jang. Ternyata empat orang penjaga keamanan yang
ditugaskan mengatur keamanan ditempat pesta itu.
Mereka adalah para pengawal dari Kota Raja yang ber-
kepandaian tinggi.
"Itu dia...!" teriak salah seorang dari mereka yang berkelebat mengejar makhluk-
makhluk kerdil itu."Kejaaaar...!" teriak kawannya. Dan berlarianlah keempatnya dengan
keberanian yang boleh dibanggakan. Karena dari sekian banyak orang apalagi untuk
mengejar, melihat tampang-tampang makhluk kerdil
yang menyeramkan dengan kepala bertanduk dan ma-
ta sebesar-besar telur ayam itu akan membuat mereka
ketakutan setengah mati. Namun keempat pengawal
dari Kota Raja ini ternyata tak takut pada segala ma-
cam hantu. Suasana terang bulan itu ternyata telah mem-
bawa korban dan kejadian yang cukup membangun-
kan bulu tengkuk. Karena tiba-tiba keempat pengawal
itu menjerit parau ketika tahu-tahu entah dari mana
datangnya beberapa sosok bayangan hitam telah men-
cengkeram tubuhnya. Selanjutnya mereka telah berke-
lojotan dan bergulingan dengan jerit dan pekik me-
nyayat hati. Senjata-senjata mereka telah berlepasan
tak tahu kemana terpentalnya. Empat sosok makhluk
kerdil, hitam legam dan bertanduk itu telah menggigit
leher-leher mereka... menghisap darahnya.
Selang tak lama empat tubuh itu sudah terku-
lai tak bergerak lagi. Dan berloncatanlah makhluk-
makhluk kerdil itu untuk menyambar kembali korban-
korbannya yang telah pingsan dan ditinggalkan sesaat
tadi, untuk selanjutnya berkelebatan ke arah timur
dan lenyap tak kelihatan lagi....
*** LIMA Berita-berita kejadian yang menggemparkan
penduduk desa Patuha serta lenyapnya mempelai wa-
nita yang akan diperistrikan oleh anak seorang Pembe-
sar Kerajaan dari Kota Raja yang diculik oleh makhluk-
makhluk kerdil segera tersebar di beberapa tempat.
Rombongan mempelai laki-laki kembali ke Kota Raja
dengan sedih. Dan kejadian itu segera menggemparkan
Kota Raja, karena ternyata dua hari kemudian dua
orang gadis kembali lenyap dari sebuah desa lain yang
beritanya segera tersiar dengan cepat.
Suasana kota dan desa diwilayah itu menjadi
hangat dengan adanya berita kemunculan makhluk-
makhluk kerdil yang menculik gadis-gadis serta meng-
hisap darah dari beberapa orang yang mencoba menge-
jarnya. Seperti juga pada pagi itu tengah dibicarakan
beberapa laki-laki yang sedang duduk digardu penja-
gaan disudut desa.
Udara pagi itu memang terasa agak dingin me-
nyungsum tulang. Mereka boleh menghela napas lega
karena semalam suntuk berjaga-jaga digardu penja-
gaan disudut desa itu tak menjumpai kejadian apa-
apa. "Aku benar-benar penasaran ingin melihat ba-
gaimana tampangnya makhluk kerdil itu. Kalau saja
malam tadi mereka nongol, golokku si Loglog Getih ini
pasti akan memenggal batang lehernya!" berkata wake Kanta. Kata-katanya memang
kedengarannya seperti
menyombong. Dapat dimaklumi karena diwaktu mu-
danya wak Kanta adalah bekas "jawara" ulung yang pernah malang-melintang di
beberapa wilayah.
"Wah, wak Kanta! kalau yang ini jangan dibuat
main-main. Makhluk-makhluk kerdil itu bukan se-
bangsa manusia, tapi.... siluman!" tukas Madi seorang pemuda belasan tahun
sambil mencibirkan bibir. "Heheheh... baru segala siluman, setan pun takut kalau
melihat golokku yang keramat ini. Kalian tahu" Sembi-
lan puluh sembilan perampok dimasa mudaku sudah
kena hirup darahnya oleh si Loglog Getih!" ujar wak Kanta seraya menepuk-nepuk
gagang goloknya. Aku
pernah menaklukkan beberapa macam siluman dari
siluman Harimau sampai siluman kadal, buaya, ular
monyet dan lain sebagainya. Kesemuanya takut meli-
hat golok si Loglog Getihku ini...!"
"Wah! hebat...! wak Kanta pernah ketemu silu-
man Harimau?" tanya Jaya dengan pura-pura terkejut.
Dia memang sudah hampir bosan mendengar bual ma-
sa muda orang tua itu. Padahal ketika beberapa bulan
yang lalu terjadi perampokan didesa itu laki-laki ber-
nama Kanta ini sembunyi di dalam sumur, ketakutan.
Alasannya waktu itu dia terperosok ke dalam sumur.
"Dimana ketemunya, wak...?" tanya Jaya. "Hm, sebentar...! aku agak lupa!" sahut
wak Kanta seolah tengah mengingat-ingat kisah masa lalu dimasa mu-danya. "Ya,
ya...! aku ingat sekarang! Waktu aku berusia dua puluh tahun mengejar-ngejar
enam orang pe- rampok. Sebelas orang telah tewas oleh amukan golok-
ku si Loglog Getih. Melihat sebelas kawannya mampus,
enam orang itu kabur ketakutan! He hehe... mana ku-
biarkan mereka meloloskan diri?"
"Jadi wak Kanta mengejarnya?" tanya Jaya, pu-
ra-pura serius.
"Benar!"
"Semuanya mati, wak...?" tanya Madi dengan
wajah pura-pura tegang.
"Hus! tunggu dulu, kalau orang lagi bercerita
jangan banyak tanya-tanya. Dengarkan saja!" sahut
wak Kanta dengan agak kesal karena ceritanya dipo-
tong oleh pertanyaan-pertanyaan.
"Ya, ya, teruskan wak! si Madi memang nggak
sabaran kalau mendengarkan cerita seru, sih!" menim-brung bicara Gimin yang
sedari cuma "nguping" saja.
"Sudah, sudah, semua jadi ikut ngomong! mau
mendengarkan atau tidak" kalau tidak aku mau pu-
lang, ngantuk nih! aku mau tidur!" sambar wak Kanta.
"Mauuu!"
"Mauuuu...!" teriak mereka dengan serempak.
Wak kanta terdiam sejenak, lalu mulai teruskan ceri-
tanya. "Eh, sampai dimana tadi..."' tanya wak Kanta.
"Sampai wak mengejar enam orang perampok yang me-
larikan diri!" Sahut Jaya dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Ya, ya... betul! Nah! waktu aku mengejar me-
reka yang lari pontang-panting, aku tak teruskan men-
gejar karena mendengar suara harimau mengaum!"
ujar wak Kanta dengan berdiri dari duduknya. "Aku
cari dari mana suara itu. Ketika aku menengok ke be-
lakang, ternyata ssse... seekor ha... hari... harimau...!?"
tiba-tiba suara wak Kanta berubah jadi tergetar, dan
wajahnya sekonyong-konyong berubah pucat bagai
mayat. Darah wak Kanta serasa terhenti mengalir keti-
ka dia berpaling ke sebelah kanannya tepat disamping
gardu ronda, tahu-tahu entah sejak kapan seekor ha-
rimau Tutul telah berdiri di situ memperlihatkan ta-
ringnya menyeringai.
Seketika dengkulnya menjadi lemas dan tu-
buhnya menggeletar. Dan... saat berikutnya wak Kanta
sudah jatuh berdebuk tak sadarkan diri bahwa takut-
nya. Terheran empat kawannya, tapi begitu mereka
menoleh seketika terperangah mereka dengan mata
membelalak dan mulut ternganga.
"Ha...harimau...!" Tersentak mereka hampir serentak. Dan... tak menunggu komando
lagi, seketika mereka "ngacir" pontang-panting melarikan diri dengan berteriak-teriak
ketakutan. "Harimau...! Celaka!" toloooong...! tolooong..!"
Dan... saat itu terdengar suara tertawa mengikik geli
terpingkal-pingkal yang dibarengi dengan suara meng-
geramnya harimau Tutul itu.
Semakin ketakutan mereka berlari jatuh ban-
gun bagai dikejar setan.
Sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik se-
mak. Ya, sosok tubuh semampai dari seorang dara jeli-
ta yang tak lain dari si Pendekar Wanita RORO CEN-
TIL. Dengan geli Roro beranjak menghampiri si Tutul
dan mengelus-elus kepalanya." Aiiiih, mengapa kau
menakuti-nakuti orang, tutul" hihihi... kasihan orang
tua ini, dia sampai pingsan melihatmu!" berkata Roro.
Si Tutul mendengus-dengus menjilati lengan gadis
Pendekar majikannya itu dan menggelendot manja di
kaki Roro Centil.
"Hm, Tutul...! mari kita cari dimana adanya ke-
tujuh makhluk kerdil penghisap darah itu, tampaknya
desa ini salah satu dari korban penculikan gadis-gadis
yang dilakukan makhluk-makhluk keparat itu. Sudah
jelas manusia yang kita cari tak berada jauh dari wi-
layah ini...!" berkata Roro Centil dengan suara lirih.
Wajahnya kelihatan gemas, karena Roro memang telah
mengetahui kalau makhluk-makhluk kerdil itu adalah
ketujuh siluman peliharaan si nenek mala juling, yang
pada beberapa bulan yang lalu nyaris mencelakainya.
Sang harimau Tutul menggeram pelahan, lalu tubuh-
nya melenyap jadi gumpalan asap. Roro tersenyum.
Sesaat menoleh pada wak Kanta. Sepasang mata Roro
tampak berkejap-kejap. Lalu beranjak menghampiri.
Entah apa yang dilakukannya ketika berjongkok dide-


Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pan tubuh laki-laki tua itu. Dan, selanjutnya Roro
Centil sudah kelebatkan tubuhnya keluar dari desa itu
menuju ke arah timur.
Sementara para penduduk desa itu telah ber-
munculan dengan senjata-senjata ditangan. Akan teta-
pi mereka tak menjumpai adanya harimau yang nyasar
masuk kampung, kecuali mendapatkan tubuh wak
Kanta yang masih pingsan didepan gardu. Madi men-
guncang-nguncangkan tubuh wak Kanta agar tersadar
dari pingsannya. "Dimana kalian lihat harimau itu...?"
tanya salah seorang dari mereka yang datang. Ternyata
diantara penduduk ada tiga orang laki-laki yang berpe-
rawakan kekar, menandakan mereka bukan orang
sembarangan. "Di... disini, Den...!" menyahut Jaya sambil
acungkan telunjuknya. Salah satu dari ketiga penda-
tang itu memberi tanda. Dan... ketegangan berkelebat
menyebar ke tiga arah untuk melacak sang Harimau
yang dikhawatirkan masih gentayangan di sekitar tem-
pat itu. "Wak! wak Kanta! bangun, wak... harimaunya sudah pergi...!" teriak
Madi. Laki-laki tua itu membela-lakkan matanya, dan terkejut melihat dia
dikerumuni banyak orang. "Ssssu... sudah pergi?" tanya wak Kanta den-
gan suara menggetar.
"Tenang, wak...! untung kau tak diterkamnya!"
berkata Jaya. Sepasang mata jago tua" ini berkejab-kejab. Lalu tiba-tiba
melompat bangun.
"Ah,... apa kubilang!" ujarnya.
"kalau tak ada golokku si Loglog Getih, sudah
pasti aku celaka! karena golokku ini paling ditakuti
oleh..." "Hah...?" tersentak kaget wak Kanta ketika
mencabut goloknya dari serangkanya ternyata cuma
tinggal gagangnya saja.
"Hahaha... hahaha... kemana goloknya, wak?"
Tentu saja wak Kanta jadi bahan tertawaan seketika
itu juga, Karena sikapnya yang lucu. Gerakan menca-
but goloknya sudah pasang aksi dengan kaki melang-
kah ke depan. Lututnya menekuk sedikit. Dan dengan
sikapnya yang gagah itu, wak Kanta mencabut golok
pusakanya. Akan tetapi ternyata cuma tinggal gagang-
nya saja. Merah padam dan pucat lesi silih berganti
pada wajah wak Kanta. Dengkulnya kembali menggele-
tar, karena hatinya sudah membatin. "Hah!" kemana
mata golokku si Loglog Getih" jangan-jangan yang
muncul tadi benar-benar siluman Harimau...?"
Dengan lemas laki-laki tua itu mendeprok di
tanah. "Tunggu, wak! jangan pingsan dulu...!" teriak Madi. "Siapa yang mau
pingsan..."!" membentak wak Kanta dengan mata melotot."Aku tengah mengingat-
ingat bagaimana aku bisa membawa golok cuma ga-
gangnya saja! Ternyata aku lupa memandikan si Loglog
Getih malam Jum'at kemarin. Memang biasanya kalau
tak diurus dan lupa dirawat, si Loglog Getih suka nga-
dat tak mau menampakkan diri..." lanjutnya dengan
masih berusaha membual. Padahal hatinya kebat-kebit
berdebaran. Karena disamping kagetnya luar biasa, ju-
ga malunya bukan main. Untuk menceritakan sesung-
guhnya dia sudah terlanjur menyombong, Dan hal itu
bisa merusak nama besar"nya.
"Ooooooo...!" hampir berbareng semua mang-
gut-manggut. Wak Kanta tak memberi komentar lagi.
Dengan dengkul lemas yang sengaja di kuat-kuatkan
dia "ngeloyor" pergi.
"Mau kemana, wak...?" tanya Jaya.
"Huuu, aku ngantuk, monyong! mau tidur! ka-
lau ada apa-apa jangan bangunkan aku dulu...! kalian
orang-orang muda bisa wakilkan aku, tapi tak usah
khawatir, harimau itu sudah pulang! Percayalah, mak-
hluk itu tak berani mengganggu...!" ujarnya dengan jumawa.
"Beres, wak! jangan lupa besok malam kita me-
ronda lagi!" teriak Jaya dengan tersenyum. Tapi wak Kanta sudah bergegas
melangkah menuju ke arah rumahnya tanpa menoleh lagi...
*** ENAM RORO CENTIL ternyata telah tiba di desa Patu-
ha. Dari hasil pelacakannya dengan bertanya pada
penduduk ternyata secara kebetulan di desa Patuha
memang baru dua hari yang lalu telah terjadi musibah
perbuatan keji ketujuh makhluk kerdil penghisap da-
rah, yang telah menculik tiga orang pesinden dan men-
culik mempelai wanita anak Juragan Raden Mas
Mangku. Serta dua orang gadis yang berasal dari desa
lain, yaitu desa dimana tadi pagi baru saja Roro mele-
watinya dan mencopotkan mata golok milik wak Kanta.
Roro ucapkan terima kasih pada dua orang tua
suami istri yang barusan ditanyai. Akan tetapi baru sa-
ja kakinya beranjak untuk melangkah, bumi tiba-tiba
serasa bergoncang keras. Atap genting me-rosot jatuh
dari beberapa wuwungan rumah penduduk. Keadaan
seketika menjadi gaduh. Para penduduk masing-
masing keluar dari rumahnya dengan berteriak-teriak.
"Gempaaa! gempaaa...!" Begitu juga kedua su-
ami istri itu. Seketika wajah mereka berubah pucat.
Serentak saling berangkulan dengan cemas. "Gempa
apakah...?" sentak Roro terkejut. Keadaan ditengah de-sa itu menjadi kalut
dengan teriakan-teriakan serta
tangis dan jerit anak-anak. Sekonyong-konyong udara
menjadi gelap. Petir sambung menyambung di angkasa. Gem-
pa itu semakin keras, serasa bumi mau terbalik. Bebe-
rapa orang yang berlarian tampak jatuh terjengkang.
Roro Centilpun terkejut bukan main. Namun
sedikitpun tubuhnya tak bergeming, berdiri tetap di-
tempatnya. Sepasang kakinya menempel kuat di ta-
nah. Dengan ilmunya yang tinggi, terutama dari ajian
Sari Rapet, seolah kaki si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu melengket di tanah yang di
pijaknya. Sementara diam-diam Roro pejamkan ma-
tanya bersemadi. Nalurinya mengatakan ada sesuatu
yang luar biasa yang tidak sewajarnya.
Selang sesaat suasana seperti itupun kembali
seperti sediakala. Udara kembali cerah. Dan goncan-
gan-goncangan itu mereda. Namun cahaya merah
tampak membersit dari puncak gunung Galunggung.
Membuat para penduduk ternganga keheranan. Keja-
dian semacam itu belum pernah terjadi di sekitar wi-
layah itu. Puncak gunung Galunggung memang sering
mengepulkan asap, pertanda gunung itu masih tetap
bekerja. Dan goncangan-goncangan gempa itu memang
dikhawatirkan dari gunung itu akan meletus. Namun
kejadian barusan bukanlah pertanda akan terjadi letu-
san. Roro tersentak kaget dan hentikan semedinya.
Jantungnya berdetak keras ketika melihat ber-
sitan cahaya merah itu. "Pasti ada sesuatu terjadi di atas puncak gunung
itu...!" berkata Roro dalam hati.
"Satu pertanda buruk...!" desisnya lirih. Dan... sesaat Roro Centil sudah
berkelebat lenyap dari tempat itu
Sementara cahaya merah itupun pelahan-lahan mulai
sirna... *** Kita beralih pada sebuah goa tersembunyi di le-
reng tebing batu. Di dalam ruang goa itu duduk bersila
seorang wanita yang berambut beriapan. Siapa lagi ka-
lau bukan GIRI MAYANG. Sepasang lengannya tampak
jelas yang putus hampir sebatas siku. Kedua luka itu
sudah mengering dan sudah tak memerlukan pemba-
lut lagi. Giri Mayang duduk bersila dengan pejamkan
mata. Batinnya menyatu untuk menerima sesuatu
yang gaib. Sesuatu yang amat didambakannya. Sejak
bulan Purnama malam tadi dia duduk tak bergeming.
Dia tahu bahwa sang guru tengah berusaha dengan
segala daya untuk memulihkan kesaktiannya. Dan dia
tahu pada malam Purnama itu ketujuh gadis telah di-
bawa ke puncak gunung Galunggung untuk dijadikan
syarat atas permintaan sang guru demi dirinya. Juga
dia tahu tak berapa lama lagi dia akan memiliki satu
kekuatan hebat yang akan membangkitkan kembali
semangat hidupnya. Membersitkan kembali dendam
kesumat yang nyaris sirna karena keputusasaan.
Itulah sebabnya dia tetap khusuk dan bersabar
dalam semadi, untuk menanti dan menanti kelanju-
tannya dengan penuh harap. Dan harapan itu memang
bakal menjadi kenyataan. Karena selang beberapa saat
dari tatapan mata dalam alam gaib, dia melihat secer-
cah cahaya merah membersit dan meluncur keluar da-
ri dalam kawah puncak gunung Galunggung. Secercah
sinar yang berwarna biru. Selanjutnya Giri Mayang tak
melihat apa-apa lagi, kecuali gelap pekat.
Samar-samar telinganya mendengar suara gu-
runya yang mengekeh tertawa seperti kegirangan. He-
hehehe... heheh... muridku! bersiap-siaplah kau untuk
menerima SEPASANG TANGAN IBLIS...! Sebentar lagi
apa yang kau harapkan itu akan terkabul! Hehehe...
heheheheh..." Dan... tanpa terlihat oleh mata batin Giri Mayang, cahaya warna
biru yang keluar dari dalam
kawah di puncak gunung Galunggung itu telah melun-
cur cepat memasuki goa tempatnya bersemadi.
Ketika tiba dihadapan Giri Mayang, cahaya itu
memecah menjadi dua buah. Kemudian kedua buah
cahaya itu meluncur ke arah sepasang lengan buntung
wanita itu. PLASSH...! Cahaya biru itu lenyap seketika. Dan... apakah
yang terjadi" Ternyata dalam sekejap mata kedua len-
gan buntung Giri Mayang telah bersambung oleh sepa-
sang lengan yang bentuknya menyeramkan. Yaitu se-
pasang lengan yang hitam legam, berbulu kasar den-
gan ruas-ruas jarinya lebih mirip dengan tulang teng-
korak lengan yang bertonjolan.
Pada ujung kesepuluh jarinya tampak kuku-
kuku yang runcing mengerikan. Itulah Sepasang Len-
gan Iblis! Pelahan-lahan Giri Mayang membuka kelopak
matanya, ketika merasakan dua buah benda menyam-
bung pada kedua lengannya yang putus.
"Ah..."!" tersentak wanita itu ketika melihat pa-da lengannya yang buntung telah
menempel sepasang
lengan yang bentuk dan rupanya amat menyeramkan.
"Inikah Sepasang Tangan Iblis?" sentak hatinya. "Ah, begitu mengerikan...!"
desisnya dengan mata membelalak menatap sepasang tangannya. Saat itu sebuah
bayangan berkelebat memasuki goa itu. Dan terdengar
suara tertawa mengekeh.
"Heheheheh... heheh... bagus! sukurlah, murid
ku! Ternyata usaha jerih payahku tak sia-sia...! kau
tak usah takut dengan tanganmu sendiri. Walau ru-
panya menakutkan. tapi dengan sepasang tanganmu
itu kelak kau akan berhasil merengkuh segala cita-
citamu! Dan... heheheh... si Roro Centil akan cuma
tinggal namanya saja dikolong jagat ini! Berterima ka-
sihlah kau dengan para Iblis yang telah mengaruniai
mu sepasang tangan sakti itu!"
Giri Mayang tersenyum dan manggut-manggut.
"Tentu...! tentu, guru! lebih dulu aku menghaturkan terima kasih padamu, yang
telah bersusah payah men-carikan sepasang lengan ini untukku!" berkata Giri
Mayang seraya membungkuk dan jatuhkan diri berlutut di hadapan wanita tua renta
bermata juling itu.
"Hehehe... cukup! cukup! tak perlu banyak ba-
sa-basi! Segera kau keluar dari goa ini! pergilah ke kawah gunung Galunggung
untuk kau sampaikan terima
kasih mu! dan... mulai hari ini kau tak kuperkenankan
kembali ke goa tanpa kepala si Roro Centil! Selama
kau berpetualang mencarinya, silahkan kau berhu-
bungan denganku melalui batin. Aku akan menetap di
goa ini... menjadi tempat tinggalku sementara. Karena
aku juga akan' sekalian memperdalam ilmu-ilmuku!
Ketujuh makhluk kerdil piaraan ku itu segera akan
kuserahkan padamu untuk membantumu dalam ke-
sulitan!" ujar si nenek mata juling.
"Ah, terima kasih, guru...!" ujar Giri mayang dengan wajah girang. "Akan tetapi,
guru...!" bagaimana aku bisa menghubungi mu melalui batin, sedangkan
selama ini aku tak mengetahui namamu!" tambahnya
dengan menatap dalam-dalam wajah sang guru.
"Heheheh... betul! betul, muridku. Aku si nenek
tua renta ini bernama Lembutung. Dan kau boleh se-
but aku Nini Lembutung! Hehehe... apakah ayahmu,
Tun Parera tak pernah memberitahu dimasa hidupnya
tentang aku?"
"Ti... tidak, guru!" sahut Giri Mayang. Seketika wajahnya berubah merah padam
wanita ini, dan tubuhnya tampak tergetar hebat ketika teringat akan
kematian sang ayah di tangan Roro Centil. Perubahan
itu diketahui oleh si nenek mata juling yang bernama
sebenarnya adalah Lembutung. Tokoh sakti golongan
hitam dari kepulauan Andalas ini maklum bahwa sang
murid amat mendendam sekali pada musuh besarnya
yang juga telah menewaskan sang murid wanitanya
pada beberapa tahun yang silam, yaitu si Kupu-kupu
Emas. Dan terakhir adalah kematian Porak Supih yang
tewas pula oleh Roro Centil. (Baca: kisah. Langkah-
langkah Manusia Beracun).
"Hm, sabarlah, muridku! kelakpun akan tiba
masanya kau balaskan sakit hatimu! Dendam itu me-
mang teramat dalam sedalam lautan! Namun dengan
Sepasang Tangan Iblis yang telah kau miliki, segalanya
akan menjadi beres. Para iblis akan turut membantu-
mu melenyapkan nyawa perempuan keparat itu. Kare-
na aku telah mengundangnya untuk datang ke kawah
gunung Galunggung melalui semadi ku! Heheheh...
bersabarlah, muridku!" hibur Lembutung dengan men-
gekeh tertawa yang menyerupai tangisan, dan mem-
buat bangunnya bulu roma.


Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah! segeralah kau berangkat! Ketujuh mak-
hluk kerdil piaraan ku telah siap di luar goa untuk
ikut menyertaimu! berkata si nenek mata juling den-
gan suara yang dingin mencekam perasaan.
"Baik, guru! aku akan segera berangkat!" me-
nyahut Giri Mayang seraya melompat berdiri. Dan sete-
lah sekali lagi menjura dengan menekuk lutut dihada-
pan gurunya, Giri Mayang bergerak
melompat keluar dari dalam goa itu. Dengan
gerakan yang amat luar biasa tubuhnya melayang rin-
gan laksana kapas melompat dari batu ke batu. Seke-
jap antaranya telah berada di atas tebing curam itu.
Kemudian setelah menatap sejenak ke bawah dimana
selama ini dia mendekam, tubuh wanita itu telah me-
lesat lagi, dan lenyap dibalik bongkah-bongkah batu
besar yang banyak bertebaran di atas tebing. Sementa-
ra tujuh bayangan hitam berkelebat mengikuti. Nenek
mata juling alias Nini Lembutung tertawa mengekeh,
seraya menutup mulut goa dengan menggeser batu da-
ri dalam. Selanjutnya tempat yang tersembunyi dan
susah diketahui manusia itupun kembali len-
gang seolah ditempat itu tiada berpenghuni. Burung-
burung walet beterbangan membuat sarang diantara
celah batu-batu berlubang yang banyak terdapat di sisi
tebing... *** TUJUH Di bawah lereng gunung Galunggung, Roro
Centil menengadah memandang ke atas puncak gu-
nung yang tinggi menjulang. Asap tipis masih tampak
mengepul ke atas, menyatu dengan kesamaran kabut
pada bagian puncaknya. Terdengar suara menggeram
di belakangnya, dan harimau Tutul sahabatnya telah
menampakkan diri.
Si Tutul tampaknya agak gelisah. Berkali-kali
menatap ke atas menengadahkan kepalanya, lalu ber-
putar-putar mengelilingi Roro beberapa kali dengan
mendengus-dengus. Sesekali memperdengarkan suara
geramannya lirih. Ternyata diam-diam Roro Centil
mengawasi kelakuan aneh sahabatnya itu.
"Ada apakah, Tutul..." tampaknya kau lain dari
biasanya! aku mau naik ke atas untuk melihat ada
apakah di atas puncak gunung ini...?" berkata Roro seraya berjongkok dan
mengelus-elus leher dan kepala
Makhluk itu. Akan tetapi justru makhluk itu melenguh
seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya lalu mengge-
ram beberapa kali. "Apa maksudmu Tutul...?" desis Roro lirih."Apakah kau tak
menginginkan aku naik ke atas?" Harimau Tutul gerakkan kepalanya mengangguk-
angguk. Hm, baiklah, rupanya kau mau memba-
waku ke lain tempat!" ujar Roro seraya melompat naik ke punggung si Tutul.
Binatang itu tampak mulai hilang kegelisahannya. Dan setelah menggeram pelahan
beberapa kali, tubuhnyapun meluncur ke arah selatan.
Membersit bagaikan angin. Roro Centil memeluk leher
si Tutul erat-erat. Sekejap saja bayangan tubuh mak-
hluk itu telah lenyap dibalik bukit...
*** Sementara itu dipuncak Galunggung...
Giri Mayang duduk bersila ditepi lubang ke-
pundan. Segenap batinnya dipersatukan untuk men-
gadakan persekutuan dengan para Iblis yang menghu-
ni di dalam kawah. Yang pada malam purnama kema-
rin baru saja menerima korban tujuh orang gadis. Te-
lah dipersembahkan dengan jalan mencemplungkan
ketujuh gadis itu ke dalam kawah. Tak terlihat oleh
mata biasa ketujuh makhluk kerdil penghisap darah,
duduk pula mengelilingi di belakang wanita itu.
Sementara tak jauh dari gunung itu di satu
puncak bukit, berdiri sesosok tubuh menatap cemas
ke arah puncak Galunggung. Dialah seorang wanita
tua dengan rambut putih yang tergelung di atas kepa-
la. Berpakaian jubah serba putih. Segera dapat dikena-
li yang tak lain dari si nenek MURI ASIH.
Nenek sakti misterius ini tampaknya sudah
maklum akan adanya bencana besar yang bakal terja-
di. Cahaya merah yang membubung dari puncak Ga-
lunggung telah membuat kecemasan tokoh wanita sak-
ti ini. "Celaka...! pertanda buruk dari puncak Galung-
gung! Tampaknya bakal banyak bencana yang akan
terjadi. Entah siapa yang telah mengotori kesucian
puncak Galunggung itu..?" berdesis suara wanita tua ini.
"Hmm...! akan kulihat! apakah tusuk kondeku
mampu melintasi lubang kepundannya?" gumam wani-
ta tua itu lirih. Sebelah lengannya tiba-tiba bergerak
mencabut tusuk konde emas yang terselip digelung
rambutnya. Dengan kedua jarinya nenek Muri Asih
menjepit tusuk konde itu. Telapak tangannya yang
memegang tusuk konde itu tegak menghadap ke ba-
wah dagu di atas dada bertumpu dengan sebelah tela-
pak tangannya yang terbuka. Sepasang mata wanita
tua itu bergerak mengatup, dan bibirnya berkomat-
kamit membaca mantera.
Selang beberapa saat wanita tua itu kembali
membuka matanya. Sepasang mata itu kini menatap
ke arah puncak gunung Galunggung. Lengan kirinya
kembali bergerak turun. Sementara lengan kanannya
masih tetap berada di atas dada menjepit tusuk konde
emas itu dengan kedua jarinya. Dan... selanjutnya len-
gan kanannya segera terangkat ke atas. Kemudian
bergerak mengayun. Membersitlah tusuk konde emas
itu melesat ke udara bagaikan anak panah terlepas da-
ri busurnya. Tusuk konde emas itu sudah tak menyerupai
tusuk konde lagi, melainkan berubah menjadi secercah
sinar kuning yang berkilauan meluncur pesat menuju
ke puncak gunung Galunggung... Tak sampai sepemi-
numan teh, cahaya kuning kemilau itu telah tiba tepat
di atas lubang kepundan puncak gunung Galunggung.
Agaknya cahaya itu akan mampu melewati lubang ke-
pundan itu dengan aman. Akan tetapi tiba-tiba dari
atas puncak gunung itu membersit dua larik cahaya
berwarna biru. Kedua cahaya biru itu mengejar cahaya kuning
berkilauan itu. Tampak wajah si nenek Muri Asih be-
rubah menegang. Kedua lengannya terangkat seperti
berusaha menarik kembali cahaya kuning yang telah
dilepaskan. Akan tetapi terasa tenaganya mengendur.
Cahaya kuning dari tusuk kondenya tiba-tiba
lenyap. Ternyata telah berhasil kena disergap dua ca-
haya berwarna biru itu. Dan kedua cahaya biru yang
telah menyatu itu kini meluncur kembali ke bawah, la-
lu lenyap. Terengah-engah si nenek Muri Asih dengan
wajah berubah pucat. Tampaknya dia seperti telah ke-
hilangan sepertiga dari tenaga gaibnya yang lenyap
terbetot arus kekuatan dari dua larik cahaya biru itu.
Tubuh nenek Muri Asih tampak jatuh mende-
prok ke tanah. Namun cepat-cepat dia, duduk bersila.
Sepasang matanya terpejam. Bibirnya tampak komat-
kamit membaca mantera. Dengan duduk bersila ber-
semadi itu si nenek Muri Asih tengah menghimpun
kembali kekuatannya. Sesaat antaranya wajah si ne-
nek itu telah kembali cerah. Lalu membuka matanya,
dan melompat berdiri.
"Luar biasa...! aku gagal menarik kembali tusuk
konde emasku! Entah apakah dua larik cahaya biru
itu?" desisnya tersentak. Namun wanita sakti ini segera manggut-manggut.
Jelaslah sudah bahwa ada sesu-
atu di atas puncak gunung Galunggung. Pembuktian
yang dicobanya melalui pertunjukan barusan yang
mengalami kegagalan merupakan bukti yang amat
kuat. Berarti kekuatan gaibnya dapat dipatahkan den-
gan mudah oleh sesuatu di atas puncak gunung itu.
Segera akan kuketahui..!" gumamnya lirih.
Dan... melesatlah tubuh si nenek Muri Asih dari atas
bukit itu. Sekelebatan saja tubuhnya telah lenyap dari
atas bukit itu. Kemana gerangan perginya nenek Muri,
Asih" Ternyata telah berkelebat menuju ke sisi sungai.
Matanya jelalatan menatap ke arah buah-buah kelapa
yang pohonnya banyak tumbuh di sisi sungai itu. Wa-
nita tua ini menjumput sebutir batu kecil. Lalu jentik-
kan jarinya ke atas. TES! sebutir batu kerikil itu tepat mengenai gagang sebuah
kelapa yang segera meluncur
jatuh ke tanah. Nenek Muri Asih cepat menyambarnya.
Selanjutnya dengan gerakan cepat seolah sepasang
tangannya laksana pisau telah menguliti buah kelapa
itu lalu memapas dan melubanginya. Dibuatnya lu-
bang yang cukup lebar, hampir separuh dari bulatan
kelapa itu. Apa yang diperbuatnya kemudian" Nenek Muri
Asih duduk bersila dihadapan buah kelapa yang sudah
terbuka dengan masih tergenang airnya. Lalu pejam-
kan sepasang matanya untuk bersemadi, dengan bibir
komat-kamit membaca mantera. Selang sepeminuman
teh tampak wanita tua itu kembali membuka matanya.
Menatap tajam-tajam ke dalam air kelapa. Sementara
bibirnya tak hentinya bergerak-gerak mengucapkan
mantera-mantera. Selanjutnya apa yang terjadi kemu-
dian" Tampak wajah si nenek Muri Asih berubah te-
gang. Alisnya menjungkat naik. Mulutnya ternganga
separuh terbuka.
Dalam air kelapa itu kini jelas membayang ca-
haya biru yang mulai terlihat nyata bentuknya. Yaitu
sepasang tangan sebatas siku yang bentuknya amat
menyeramkan. Melekat pada kedua lengan manusia
yang tak dapat terlihat wajahnya.
"Ah..! " itulah SEPASANG TANGAN IBLIS...!"
tersentak kaget nenek Muri Asih dengan suara berde-
sis. Lalu melompat berdiri.
PRRAK! buah kelapa itu telah dihantamnya
hingga hancur dengan hantaman angin pukulan tela-
pak tangannya. "Celaka! berbahaya sekali! entah siapa si pemi-
lik Tangan Iblis itu! Pantas tusuk konde Emasku tak
Bloon Cari Jodoh 22 Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah Putri Randu Walang 1
^