Pencarian

Manusia Beracun 2

Roro Centil 14 Manusia Beracun Bagian 2


sungai. Siapakah gerangan sosok tubuh dalam pon-
dongan si Ririwa Bodas itu" dan siapa pula yang men-
gejarnya" Marilah kita ikuti pertarungan yang tadi tengah berlangsung di Bukit
datar. Ketika itu si Ririwa
Bodas tengah lancarkan pukulan apinya yang dahsyat
ke arah punggung Ki Gembul Sona. Terperangah laki-
laki tua berambut coklat itu. Akan tetapi segera dia
pergunakan ilmu ajian "Belut Putih" untuk menghadapi terjangan pukulan si kakek
kate, karena tak mung-
kin lagi baginya untuk melompat atau menghindar.
Angin panas itu telah tinggal sejengkal lagi di belakang punggungnya.
PLASSH...! Terkejut si Ririwa Bodas, karena an-
gin panas yang dahsyat dari pukulannya itu telah le-
wat bagaikan kalis, tanpa melukai atau membakar
hangus tubuh Ki Gembul Sona. Cuma pa-
kaiannya saja yang terbakar hancur dan berhambu-
ran. Sedangkan punggung Ki Gembul Sona tetap utuh
tanpa hangus. Akan tetapi tubuh itu terhuyung ke de-
pan beberapa langkah. Sekejap Ki Gembul Sona sudah
cabut kerisnya, dan balikkan tubuh dengan cepat. Dan
melesatlah tubuhnya untuk menukik menghujamkan
kerisnya ke ubun-ubun kepala si kakek kate...
TRANG! Terdengar suara benturan keras. Ter-
nyata si kakek kate telah menyampok mental keris Ki
Gembul Sona. Kakek ini perdengarkan teriakan terta-
han. Tubuhnya lakukan salto beberapa kali ke udara.
Dan sekejap sudah jejakkan kaki di atas batu. Nyaris
keris di tangannya terlempar lepas dari genggamannya.
Kakek itu rasakan lengannya kesemutan. Akan tetapi
pada saat itu si kakek kate telah lemparkan tongkat-
nya ke arah Ki Gembul Sona. Bibir si Ririwa Bodas ini tampak bergerak-gerak
membaca mantra. Seraya berbareng dengan lemparan tongkat itu, dia membentak
keras. "Kau hadapilah ular ku...!"
"HOSSSSSS...!" Tiba-tiba tongkat si kakek kate telah berubah menjadi seekor ular
yang ngangakan mulutnya menyambar ke arah batok kepala Ki Gembul
Sona. Terperangah kakek ini. Namun dengan mengger-
tak gigi secepat kilat tabaskan kerisnya ke kepala ular raksasa "ciptaan" itu.
Akan tetapi benarlah seperti kata muridnya. Ular ciptaan itu mempunyai kekebalan
kulit yang luar biasa kerasnya, (tentu saja, karena ciptaan itu adalah tongkat ular
baja si kakek kate yang dicip-takan menjadi ular dengan menggunakan ilmu hitam,
atau ilmu siluman).
Tampaknya kejadian pertarungan seperti tadi
segera berlangsung lagi. Ki Gembul Sona keluarkan te-
riakan-teriakan gusar yang merangsak ular ciptaan
itu. Akan tetapi setiap kali kerisnya menyentuh kulit ular, segera terpental
balik. Sementara Ki Gembul Sona tengah sibuk
menghadapi ular ciptaan si Ririwa Bodas ini berkelebat mendekati ke arah Pandan
Sari. "Kehkehkeh... gadis cantik! kau ikutilah aku...!"
Desisnya dengan suara serak. Dan sekonyong-
konyong ekor si kakek kate itu telah menggulung tu-
buhnya, dan membelit pinggangnya dengan erat. Ter-
perangah beberapa murid Ki Gembul Sona. Sementara
si gadis itu sudah terpekik kaget. Sepasang Trisulanya segera digunakan
menghujani kulit ekor si Ririwa Bodas. Akan tetapi mengeluh gadis ini, karena
tahu-tahu lengan si kakek kate itu telah berkelebat menotoknya.
Sekejap tubuhnya sudah terkulai tak berkutik. Sekali
lengan si kakek itu menyambar, maka berpindahlah
tubuh Pandan Sari ke atas pundaknya.
Tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat lagi ke
tempat pertarungan seraya kirimkan serangan hebat
pada Ki Gembul Sona, untuk membantu "ular"nya me-nyudahi pertarungan. Saat itu
Ki Gembul Sona dalam
keadaan lengah. Kemarahan menghadapi ular raksasa
itu yang Kembali muncul dan "hidup" lagi, membuat dia tak waspada akan kejadian
disekelilingnya. Bahkan tak menyadari kalau murid terkasihnya telah berada
dipundak musuhnya.
WHHUUKKK...! Hantaman yang menyemburkan
hawa panas itu menerjang mengarah batok kepala Ki
Gembul Sona. Agaknya si Kakek ini tak mampu berke-
lit lagi. Dan saat itu dia tak sempat pergunakan ajian
"Belut Putih"
BLASSS...! Terdengar teriakan tertahan Ki
Gembul Sona, seolah terasa kepalanya seperti sudah
hangus sekejapan. Akan tetapi teriakan tertahan itu
berbareng dengan teriakan si kakek kate, yang sebe-
lumnya didahului oleh satu bentakan nyaring. Sesosok
bayangan berkelebat menyelamatkan nyawanya me-
mapaki serangan ganas si Ririwa Bodas. Tubuh si ka-
kek kate terdorong ke udara tiga tombak. Nyaris saja tubuh gadis dalam
pondongannya itu terlepas.
Akan tetapi dengan gesit tubuhnya berjumpali-
tan. Ekornya menjulur untuk menyangga tubuhnya
dari kejatuhan. Sekejap dia sudah dapat jejakkan kaki ke tanah dengan baik.
Menyeringai wajah si kakek kate ini karena rasakan telapak tangannya perih dan
ngilu akibat terlepasnya persendian tangannya. Heran ber-
campur terkejut si kakek kate menatap pada sosok tu-
buh semampai yang sudah muncul di situ. Siapa lagi
kalau bukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan
RORO CENTIL. Ternyata Pendekar Wanita ini datang tepat pa-
da waktunya dan secara tak sengaja telah menyela-
matkan nyawa Ki Gembul!
"Hm, kakek siluman buntut kadal, tongkat ular
ciptaanmu itu hebat sekali...! Berkata Roro. Dan sekejap tubuhnya sudah
berkelebat ke arah sang ular yang
masih menempur Ki Gembul Sona. Senjata Rantai Ge-
nitnya tahu-tahu sudah mendesing ke arah kepala
"ular" raksasa itu.
PRRAKK...! Terdengar suara berderak keras.
Tubuh ular segera menggeliat, kemudian roboh meng-
gabruk. Ketika tubuh sang ular berubah ujud menjadi
tongkat yang lagi-lagi hancur bagian ujungnya, Roro
Centil sudah berkelebat untuk menyambarnya.
"Tongkat sialan mu ini lebih baik dipendam ke
dalam bumi!" Berkata Roro Centil, seraya menghujamkan tongkat baja si kakek
kate, hingga amblas ke da-
lam tanah tak kelihatan lagi ujungnya. Terperangah Ki Gembul Sona. Kemunculan
seorang gadis yang telah
menyelamatkan nyawanya dan sekaligus memusnah-
kan "ular" ciptaan si Ririwa Bodas itu membuat hatinya tersentak kaget dan
girang. Pandangan matanya
sudah membentur pada senjata Rantai Genit-nya Roro
Centil. Melihat sepasang benda yang berbandulan mi-
rip sepasang buah dada itu, segera Ki Gembul Sona
mengetahui siapa gadis cantik di hadapannya.
Ah, ah...! anda pasti Pendekar Wanita RORO
CENTIL! apakah dugaanku yang tua renta ini tidak sa-
lah..?" Ucapnya dengan menatap pada Roro.
"Hihihih...! tepat sekali dugaanmu, kakek jang-
kung...! Biarlah aku mewakilkan mu menghajar
si kakek siluman buntut kadal itu!" Sahut Roro,
yang sudah balikkan tubuh menatap pada si Ririwa
Bodas. Sementara si kakek kate cukup terkejut meli-
hat tindakan Roro yang memusnahkan ular ciptaannya
dan sekaligus melenyapkan tongkatnya hingga amblas
ke dalam tanah. Hatinya membatin. Hebat...! Macam
inikah cantiknya si Pendekar Wanita Pantai Selatan
Roro Centil, yang menjadi musuh muridku" Memang
sungguh-sungguh cantik, dan juga berilmu tinggi...!
Sayang kalau dia harus tewas, bangkainya saja aku
masih tak menolak untuk ku cicipi...!
Otak kotor si kakek kaki gajah ini sudah beker-
ja sampai sejauh itu, karena hatinya diam-diam men-
gagumi akan kecantikan serta kemontokan tubuh sang
dara perkasa Pantai Selatan itu.
*** DELAPAN Sebenarnya walaupun belum pernah bertemu
muka, si kakek kate itu sudah dapat menerka siapa
adanya wanita kosen yang cantik jelita di hadapannya
itu, karena juga dengan melihat sepasang senjata Ran-
tai Genit di tangan gadis Pendekar itu. Akan tetapi di luar dugaan, justru Roro
Centil telah mengenali siapa laki-laki kate di hadapannya. Karena pada peristiwa
belakangan ini, Roro Centil telah terjerumus ke sarang
Siluman Buaya Putih.
Dari sang Ratu Siluman Buaya Putih itu Roro
mengetahui kalau di wilayah sekitar Jawa Barat ada
berdiam seorang tokoh Rimba Hijau yang amat kejam
dan telengas. Dialah yang bernama RIRIWA BODAS,
yang memiliki ilmu-ilmu siluman jahat hingga kakek
kate itu mempunyai ekor yang tumbuh dipantatnya.
*(Untuk mengungkap pertemuan Roro Centil
dengan sang Ratu Siluman Buaya Putih amat panjang
kisahnya. Untuk itu pengarang anda MARIO GEMBA-
LA akan mengisahkan secara terperinci dalam kisah
yang tersendiri, yaitu berjudul: "CINTA & DENDAM
RATU SILUMAN BUAYA PUTIH")*.
"Eh, kakek muka kriput buntut kadal...! turun-
kan gadis itu dari pundakmu...!" Bentak Roro dengan suara nyaring dan terdengar
gemas. Akan tetapi si kakek kate itu cuma tertawa menyeringai, kendati ha-
tinya agak jeri melihat kehebatan si Pendekar Wanita
yang masih berusia muda dan cantik itu.
"Kehkehkeh...! selamat jumpa nona Pendekar
RORO CENTIL! Aku si Ririwa Bodas salah seorang
pengagum mu. Memang sudah lama aku menantikan
kemunculan anda! Sayang hari ini aku tak dapat me-
layani mu, kelak muridkulah yang akan menghadapi
anda nona Pendekar Perkasa...! Dan... kehkehkeh...!
mengenai gadis ini, terpaksa aku tak dapat mele-
paskannya...!" Berkata si Ririwa Bodas. Selesai buka mulut, si kakek kate itu
sudah gerakkan ekornya untuk mengait dahan pohon. Dan... WHUSS...! Tubuhnya
sudah melayang cepat untuk melesat pergi. Dengan
beberapa kali lompatan saja sudah berada sejauh dua
puluh tombak. Akan tetapi Roro Centil sudah gerakkan tubuh-
nya melesat untuk mengejar, diiringi bentakan nyar-
ing. "Kakek keriput buntut kadal...! jangan harap
kau dapat loloskan diri dari tanganku...!( Siapakah
muridmu yang mendendam padaku itu?" Teriak Roro
Centil. "Dia akan kau ketahui kalau kau sudah berhadapan...!" Sahut si kakek
kate tanpa menoleh, dan semakin cepat berkelebatan untuk melarikan si gadis da-
lam pondongannya...
Ki Gembul Sona sudah kelebatkan tubuh un-
tuk turut mengejar, akan tetapi Roro Centil segera berkata. "Kakek jangkung,
biar aku yang menyela-
matkan muridmu itu...!" Dan melesatlah tubuh Roro Centil untuk memburu si Ririwa
Bodas. Sementara Ki
Gembul Sona cuma bisa menatap saja dengan hati ke-
bat-kebit. Akan tetapi dia merasa yakin kalau sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan akan dapat menyela-
matkan murid terkasihnya itu ....
Tiba-tiba dilihatnya asap mengepul di kejau-
han. Langit pada sebelah utara tampak menghitam.
Hati si kakek rambut coklat ini jadi tersentak kaget.
Hatinya memikir. Ah, jangan-jangan telah terjadi ke-
bakaran di Pesanggrahan ku! Memang si kakek jang-
kung yang bergelar si Belut Putih ini mengetahui betul letak tempat
pesanggrahannya. Dugaannya ternyata
tak keliru, karena setelah ramai-ramai mereka kembali bersama para muridnya yang
terluka, cuma bisa me-nyaksikan rumah Pesanggrahannya sudah tinggal
puing-puing belaka.
Demikianlah. Sementara Ki Gembul Sona ten-
gah dilanda kekalutan dengan bermacam musibah
yang menimpa, Roro Centil Sang Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah mengejar si kakek kate Ririwa
Bodas yang sudah amat jauh meninggalkan wilayah
selatan itu ...
Akan tetapi ketika telah memasuki wilayah
tempat kediaman si kakek kate itu, Roro Centil telah kehilangan jejak.
"Setan alas...! gadis murid si kakek jangkung
itu harus kuselamatkan...!I" Deals Roro dengan wajah menampakkan kemendongkolan,
karena sejauh itu Ro-ro tak dapat melakukan tindakan apa-apa. Khawatir
kalau melukai si gadis yang berada dalam pondongan
si Ririwa Bodas.
Di hadapannya adalah bukit batu. Tak terlihat
sebuah celah kecilpun untuk si kakek kate menyelinap
masuk, apalagi dengan membawa korbannya dalam
pondongan. Akan tetapi Roro Centil tak kekurangan
akal. Segera bibirnya telah berdesis.
"Tutul Sahabatku...!" kau kejarlah siluman tua itu, dan rebut kembali gadis yang
diculiknya...!" Sebagai sahutannya adalah suara menggeram, yang kemu-
dian terasa angin membersit lewat di sampingnya. Itu-
lah pertanda sang harimau Tutul sudah menjalankan
perintah. Kalau saja Roro Centil pergunakan mata batin-
nya tentu akan melihat sebuah lubang menganga di
hadapannya. itulah goa tempat sarang si Ririwa Bodas, yang telah menutupnya
dengan kekuatan gaib yang
amat hebat, hingga tak menampak ada lubang disana
kecuali batu-batu yang rapat dinding bukit.
Badan si makhluk siluman sahabat Roro itu
sudah melesat masuk dengan cepat, bagaikan angin
yang berhembus lewat...
Sementara Roro Centil bahkan melompat he
atas tebing bukit itu untuk mengamati kemana geran-
gan lenyapnya si kakek kate Ririwa Bodas.
-ooOoo- GUBUK KECIL di puncak pohon itu tampaknya
seperti tak berpenghuni. Karena tak terlihat seperti biasanya seorang kakek
berkaki satu duduk di "rumah burung" Itu untuk menikmati asap tembakaunya dengan
cangklong terbuat dari tulang ayam. Kakek berka-
ki buntung itu seorang yang tuna wicara alias gagu.
Pekerjaannya sehari-hari tak lain dari berburu. Bila


Roro Centil 14 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan hasil buruannya tentu segera memang-
gangnya dan menyantapnya di rumah burung yang be-
rada di puncak pohon. Untuk memanjat ke atas telah
disediakan sebuah tangga tali yang menjuntai sampai
ke tanah. Itulah rumah mungil tempat beristirahatnya
si kakek gagu berkaki satu.
Akan tetapi sukar diterka kalau ternyata di da-
lam pondok kecil itu telah diisi oleh dua orang anak
manusia berlainan jenis yang tengah melakukan per-
buatan terkutuk. Laki-laki itu ternyata tak berdaya,
ketika tubuhnya yang tertotok kaku, di bawa berkele-
bat ke puncak pohon. Dan sekejapan saja sudah dire-
bahkan di dalam pondok yang cuma beralaskan tikar
pandan kumal. Ternyata adalah si wanita yang telah membakar
Pesanggrahan Ki Gembul Sona. Dialah si Roro Centil
gadungan. Menatap tubuh laki-laki yang bertubuh ke-
kar itu "Roro Centil" sudah tak sabar untuk segera menyalurkan keinginannya.
Lengannya sudah bergerak menyingkirkan apa yang menghalangi tubuh laki-
laki bernama Tanggor itu.
BREET...! WEK! WEEK...!
BREET! BREBEET...! BRET! Sekejap saja tubuh
si laki-laki itu sudah membugil. Kini gantilah wanita itu yang melepaskan
pakaiannya. Tentu saja sepasang
mata Tanggor jadi membeliak. Kebencian dan birahi
mengaduk menjadi satu. Akan tetapi dengan mengger-
tak gigi Tanggor menahan rangsangan hebat itu, den-
gan memejamkan matanya.
"Laki-laki bodoh!" memaki Roro Centil gadungan. lengannya sudah bergerak untuk
memencet urat nadi di leher laki-laki itu, seraya berdesis dengan geram. "Apakah kau lebih
senang mati, dari pada menikmati tubuhku....?" Hm, jawablah ..." Tentu saja si
laki-laki itu sudah belalakkan matanya lagi dengan
megap-megap dan menyeringai kesakitan.
"Hm, jarang aku mau digauli laki-laki semba-
rangan! Dan kau mendapat kesempatan istimewa,
mengapa kau menolak?". Berkata si wanita itu seraya lepaskan cengkeramannya.
"Baik...! baik...! lepaskanlah totokanku...! aku akan menuruti kemauanmu,
perempuan bejat!" Berkata laki-laki murid Ki Gembul Sona itu.
"Hihihi... makilah aku sepuasmu, laki-laki ga-
gah! Asal kau turuti kehendakku, aku tak penasaran
lagi! Sahut si Roro Centil gadungan, yang segera ge-
rakkan lengannya membebaskan tubuh laki-laki itu
dari pengaruh totokannya.
"Hm, dengarlah! Tanggor! walau kau cuma ke-
pala pengawal penjaga Pesanggrahan si tua bangka
Gembul Sona itu, aku senang padamu! Kalau kau
mau, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Pen-
gawal di Kadipaten...! Bersediakah kau?"
Sejenak termenung si Tanggor itu. Sementara
wanita itu sudah rebahkan tubuhnya ke dadanya yang
bidang dan berbulu lebat. Terasa dua gumpal benda
lunak menindih dadanya. Dan jantungnya segera ber-
detak cepat. "Aku amat menyenangi mu, sayang...! maukah
kau menjadi Kepala pengawal Kadipaten" Kau akan
memperoleh sebuah kuda yang bagus, dan pakaian
keperwiraan. Ketahuilah! aku adalah istri dari Adipati
ANTABOGA yang sekarang memegang kekuasaan!
Mengenai hubungan kita, aku dapat mengaturnya.
Kau akan kuberi sebuah rumah tinggal yang aman,
untuk aku sewaktu-waktu datang...!"
"Akan tetapi bukankah kau... kau seorang Pen-
dekar Penjunjung Kebenaran" Kalau kau benar seo-
rang Pendekar pembela yang lemah, mengapa kau
menjadi seorang penjahat" Kau lakukan perbuatan ke-
jam membunuh kawan-kawanku, dan membakar Pe-
sanggrahan! Apakah itu perbuatan seorang Pendekar?"
Berkata Tanggor dengan mendidih perasaannya yang
menggebu. Hawa rangsangan semakin lama semakin
sukar untuk ditolak, karena seketika wanita itu sudah mendidih tubuhnya.
"Hihihi... aku lakukan itu karena suruhan
orang, kakang Tanggor!" Berkata Roro Centil gadungan seraya membelai wajah dan
leher laki-laki itu.
"Si... siapa yang telah menyuruhmu...?" Tanya Tanggor dengan napas sesak.
Dirasakan sekujur tubuhnya seperti lemah lunglai. Tak kuasa dia menahan
gejolak rangsangan yang sudah menggelegak meme-
nuhi dadanya...
"Guruku ...!" Ujar si wanita dengan menggeliat di dada laki-laki itu. Terasa
nafasnya semakin memburu, dan bibirnya mulai keluarkan desahan-desahan
kecil. Terlalu sukar bagi Tanggor untuk lakukan ber-
macam pertanyaan, karena sepasang matanya sudah
menjadi nanar. Dan sesuatu yang terlalu indah menu-
rut naluri kelaki-lakiannya telah membuat dia seperti terperosok kesatu lembah
yang teramat dalam tak be-rujung...
Selanjutnya dari "rumah burung" itu sudah
terdengar suara-suara berdesahan dan rintih-rintih
kecil yang membaur dengan irama margasatwa di seki-
tar hutan... -ooOoo- Sesosok tubuh melompat-lompat dengan gera-
kan lincah. Walaupun cuma berkaki tunggal, si kakek
gagu itu dapat melakukan perjalanan cepat dengan
menggunakan sebuah tongkat kayu bercabang pe-
nyangga tubuhnya. Dari kejauhan dia sudah melihat
ke arah "rumah burung" tempat dia berhuni. Ternyata si kakek gagu kaki tunggal
ini mempunyai naluri yang
peka. Dia sudah mengetahui adanya orang lain yang
menghuni tempat tinggalnya itu. Tampak alisnya ber-
gerak turun, sepasang matanya menatap beberapa la-
ma. Heh" siapa pula orangnya yang berani mengotori
rumah tempat tinggalku" Berkata dia dalam hati. Tiba-
tiba tubuhnya sudah berlompatan untuk segera tiba di
bawah pohon. Diraihnya tangga tali untuk digerak-
gerakan, seraya berteriak.
"Wuuuuh! wuuuh...! wuuuu ...!" Suara teria-
kannya kedengaran aneh, tapi maksudnya adalah
mengusir orang yang berada di atas, di dalam "rumah burung"nya itu agar segera
turun. Tentu saja si kakek gagu tak mengetahui kalau di dalam rumah burung itu
dua anak manusia berlainan jenis tengah memadu
asmara. Kembali dia menyentak-nyentakkan tangga ta-
li itu dengan berteriak-teriak seperti tadi. Tiba-tiba amat terkejut si kakek
gagu ketika tahu- tahu dari atas terdengar suara jeritan parau, diiringi
terlemparnya sesosok tubuh menggabruk ke bawah. Dan sebuah
bayangan kuning melompat turun dengan gerakan rin-
gan. Akan tetapi segera berkelebat pergi tanpa menghiraukan si kakek gagu kaki
buntung itu menuju arah
utara. Si kakek gagu itu jadi terheran dan meman-
dang sekilas. Akan tetapi segera melompat untuk
menghampiri orang yang jatuh dari "rumah burung" di atas pohon. Seketika wajah
kakek gagu itu jadi pucat
dan terperangah memandang sesosok tubuh laki-laki
yang sudah tewas dengan tubuh telanjang bulat. Pada
saat itu telah berkelebat pula ke arahnya sesosok tu-
buh berpakaian sutera warna hitam, berambut beria-
pan. "Apakah yang telah terjadi kek...?" Bertanya pendatang ini yang tak lain
dari Roro Centil adanya.
Sementara Roro sudah segera palingkan wajahnya se-
telah sekilas melihat mayat yang tergeletak itu, yang mulutnya tampak
mengalirkan darah. Kini menatap
pada si kakek gagu setelah lakukan pertanyaan. Tentu
saja si kakek gagu itu tak bisa bicara, kecuali cuma
berkata. "Wuuuh! wuuuh...! wuuh...!" Seraya menunjuk ke arah utara dimana si wanita tadi
berkelebat. Tahu-lah Roro Centil kalau orang tua kaki satu itu tak bisa bicara.
Cepat sekali tubuh Roro Centil sudah bergerak mengejar ke arah yang ditunjuk
kakek gagu itu Beberapa saat, Roro sudah dapat melihat
adanya sebuah bayangan kuning berkelebatan dengan
sebat menerobos hutan belukar. Kali Ini Roro tak la-
kukan bentakan, kecuali dengan diam-diam mengikuti
kemana sosok tubuh itu berkelebat. Diam-diam ha-
tinya membatin. Eh, siapakah wanita itu" Dia seperti
membawa bandulan senjata Rantai Genit seperti senja-
taku! Akan tetapi baru saja dia mau lakukan lompa-
tan untuk menghadang, tiba-tiba terdengar bentakan
keras di belakangnya. Dan beberapa sosok tubuh su-
dah mengurung Roro. Terkejut Centil ketika mengenali
mereka adalah tujuh mahluk kerdil yang sudah tidak
mirip manusia lagi. Karena dari kepala-kepala ketujuh makhluk kerdil itu ada
sepasang tanduk. Masing-
masing bermata bulat menonjol, dengan mulut menye-
ringai menampakkan taring-taring yang runcing tajam.
Tubuhnya hitam berbulu dengan kaki yang tak me-
nyentuh tanah. Tersentak Roro Centil, yang sudah da-
pat menduga mereka adalah siluman-siluman kerdil
yang jahat. Seperti ada yang mengomandokan, ketujuh
makhluk kerdil itu sudah menerjang Roro Centil. Akan
tetapi Roro sudah waspada sejak tadi. Segera gerakkan lengannya menghantamkan ke
kiri dan kanan. Sayang,
yang dihadapi Roro bukanlah manusia biasa, melain-
kan mahluk siluman, hingga hantaman-hantaman itu
tak berarti. Sekejap tubuh-tubuh mahluk kerdil itu
sudah berpencar. Pukulannya seperti menembus
bayangan belaka. Ketika tahu-tahu tubuh Roro sudah
kena disergap ketujuh mahluk siluman kerdil itu.
Menghadapi demikian tampak Roro Centil agak panik.
Namun segera hentakkan kakinya untuk melompat se-
tinggi sepuluh tombak. Ketujuh mahluk kerdil itu ter-
bawa ke atas. Ternyata Roro Centil gunakan jurus "Pu-saran Angin Puyuh" warisan
si kakek bulat si Dewa Angin Puyuh sahabat baiknya yang berbaik hati menurunkan
beberapa jurus ilmunya.
Hebat akibatnya, karena serentak ketujuh mah-
luk kerdil itu berpental terlepas dari tubuhnya. Dengan beberapa kali lakukan
salto di udara, tubuh Roro sudah kembali jejakan kaki ke tanah. Sebat sekali,
Roro Centil sudah gerakkan tubuhnya untuk teruskan mengejar si wanita baju
kuning tadi, tanpa menghiraukan
tujuh mahluk kerdil yang entah berpentalan kemana...
*** Sementara seekor harimau tutul berkelebat
menyusulnya, yang melompat bagaikan terbang. Pada
moncongnya menggigit baju di punggung seorang gadis
yang digondolnya. Dialah si Tutul sahabat Roro yang
telah berhasil menyelamatkan gadis bernama Pandan
Sari itu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi". Ki-
ranya di dalam goa yang pintunya telah ditutup den-
gan ilmu gaib hingga tak kelihatan lubangnya, si kakek kate baringkan tubuh
Pandan Sari di atas batu beralas tikar. Kakek kate ini tersenyum menyeringai
menatap gadis yang telah tertotok itu. Sementara sebuah
bayangan hitam menunggu disudut ruang goa, menca-
ri kesempatan untuk menggondol si gadis yang terta-
wan itu. Akan tetapi si kakek kate itu justru tak segera
pergi, bahkan mulai beraksi dengan merayapi sekujur
tubuh sang gadis, dan mulai menyibakkan pakaian
sang korban untuk segera membukanya. Melihat de-
mikian, sang harimau Tutul yang masih membentuk
asap hitam itu sudah tak sabar untuk segera bergerak.
Melompatlah dia menerjang kakek kate. Terkejut si Ri-
riwa Bodas ini karena tahu-tahu sebuah bayangan hi-
tam meluncur menerjang ke arahnya. Secara reflek dia
sudah bergerak untuk melompat. Segera matanya su-
dah menatapi pada seekor harimau tutul sebesar ker-
bau yang berada di atas batu. Cepat si harimau tutul siluman itu balikkan tubuh
sang gadis, dan menggigit
baju dipunggungnya. Lalu bergerak melompat keluar
dari ruangan goa.
Karena dalam keadaan terkesima, ketika si ha-
rimau tutul sudah melesat keluar goa, barulah dia ter-sadar kalau korbannya
sudah digondol si harimau tu-
tul. "Kurang ajar...!" memaki si kakek kate, tubuhnya segera berkelebat
mengejar. Dan terjadilah kejar-kejaran hingga sampai jauh keluar dari wilayah si
Ri- riwa Bodas. Akan tetapi pada saat itu sudah berkelebat sesosok tubuh menghadang.
Terkejutlah si kakek kate
ini, segera sudah jatuhkan diri berlutut, dan bibirnya terdengar kata-kata
tergetar. "Datuk guru...! Aku menghaturkan sembah
bakti." "Hm, bangunlah...!" Ujar sosok tubuh di hadapannya, yang ternyata adalah
seorang pertapa tua ber-
tubuh jangkung. Kumis, dan jenggotnya panjang men-
juntai hampir sedepa. Disamping bertubuh jangkung,
tubuh kakek pertapa ini boleh juga disebut tinggi be-
sar. Hingga berhadapan dengan si kakek itu seperti
seorang raksasa saja layaknya. Kakek tinggi besar ini berjubah hitam, juga
berkulit hitam. Dialah seorang
tokoh yang sudah lama menyembunyikan diri di Pulau
Andalas. Bersama RATAN SUGAR. Entah bagaimana si
datuk ini bisa berada di Pulau Jawa. Ternyata keda-
tangannya memang mencari si kakek kate itu.
"Ada hal apakah kiranya Datuk guru menyusul
kemari?" Tanya si kakek kate dengan heran.
"Kau terlalu gegabah membuat keonaran, Abi
Ghamus...! hal itu akan membahayakan dirimu! Se-
baiknya kau pulang, dan tinggalkan petualanganmu
serta niat gilamu untuk menguasai Dunia Persilatan!"
Ujar kakek yang bertubuh hebat itu. Sejenak terme-
nung si Ririwa Bodas yang ternyata bernama Abi
Ghamus itu. "Akan tetapi Datuk guru..." Tukas si kakek kate dengan terkejut.
"Kau tak akan mampu menghadapi para tokoh
kaum Rimba hijau, muridku! Dan hal itu akan sia-sia
belaka! Kau perlu menambah lagi ilmu-ilmu yang kau
tuntut dan meninggalkan wilayah ini dengan secepat-
nya! Juga saran ku adalah sebaiknya kau menghamba
saja pada Kerajaan Sriwijaya! Kukira tenagamu bisa
bermanfaat bagi keamanan disana...!" Potong Ratan Sugar dengan cepat.
"Tidak bisa sekarang Datuk guru...! aku punya


Roro Centil 14 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjanjian dengan si Raja Racun untuk bertanding il-
mu. Kira-kira tinggal menunggu sampai Purnama
mendatang...!I" menyahut si kakek kate Ririwa Bodas.
"Ah, lupakanlah...!" Tandas Ratan Sugar dengan suara agak ditekan. Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan
bumi. Dan muncullah sesosok tubuh dengan gerakan
ringan ke hadapan mereka.
"Hahahaha... haha RIRIWA BODAS! Tak usah
menunggu sampai purnama bulan depan. Hari ini ku
kira cukup baik untuk aku wakilkan guruku si Raja
Racun membuat kau hidup kekal di alam Baka...
*** SEMBILAN Terkejut si kakek kate melihat yang muncul
adalah pemuda murid si Raja Racun yang bernama
ADHINATA itu. Akan tetapi keadaannya kini lain. Pe-
muda itu mengenakan baju rompi warna hitam dengan
lengan atas terbuka. Juga dadanya tersibak. Pada se-
pasang lengannya mengenakan sebuah gelang besi
berwarna hitam legam. Juga pada sepasang kaki pe-
muda itu melingkar sepasang gelang besi serupa. Ra-
tan Sugar si kakek tinggi besar asal India ini cuma
krenyitkan kening menatapnya. Diam-diam hatinya
tersentak memandang tubuh pemuda itu mengelua-
rkan sinar kebiruan. Akan tetapi tak sempat berfikir
jauh karena si kakek kate muridnya itu sudah mem-
bentak parau. "Bagus...! akan tetapi kemanakah gurumu"
mengapa tak munculkan diri?" Tanya Ririwa Bodas.
"Hahaha... haha... si Raja Racun itu sudah du-
luan! Segeralah kau menemuinya di kuburan...!" Berkata Adhinata dengan suara
jumawa. Mendengar kata-
kata demikian, mana si kakek kate mau percaya begitu
saja. Hatinya membatin. Hm, si Raja Racun itu terlalu menganggap enteng padaku!
Dia cuma munculkan
muridnya untuk menghadapiku... " Akan tetapi Ririwa
Bodas sudah membentak hebat. Ekornya tiba-tiba
menjulur untuk menghantam kaki si murid Raja Ra-
cun yang cuma memakan waktu dua kali bulan pur-
nama itu. Serangan itu adalah untuk memancing tu-
buh Adhinata melompat ke atas. Sementara dengan
diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam yang hebat
pada sepasang tangan. Sekali hantam akan mampus-
lah si anak sombong itu! Pikirnya. Di luar dugaan, ketika ekor si kakek kate
menyambar kakinya, pemuda
itu justru secepat kilat telah menangkapnya dengan
sebat. Apa yang terjadi" Terdengar suara kakek kate
meraung panjang. Tubuhnya sudah melompat untuk
jatuhkan diri bergulingan.
Dan pada saat itu Adhinata dengan tawa berge-
lak segera enjot tubuh untuk hantamkan lengannya.
Terperangah kakek kate. Walaupun dia dalam keadaan
kesakitan yang amat sangat yang diketahuinya akibat
apa, namun segera papaki serangan pemuda itu den-
gan pukulan yang tadi sudah disiapkan. Sementara
segelombang angin yang mengeluarkan asap warna bi-
ru sudah menerjang dahsyat. Hawa dingin menyusup
ke tulang sumsum. Ketika kakek kate memapaki se-
rangan itu dengan hantaman lengannya, segera ter-
dengar suara parau si kakek kate dan teriakan terta-
han pemuda itu.
DHEESS...! Kakek kate terlempar bergulingan dengan
berkelojotan. Sedangkan si pemuda itu terpental hing-
ga membentur dahan pohon, tepat pada belakang ke-
palanya. Sungguh satu kejadian yang amat aneh juga
mengerikan. Karena kalau Adhinata jatuh pingsan tak
sadarkan diri, adalah si kakek kate berekor ular itu
meraung-raung parau dengan berkelojotan bagai ayam
disembelih. Tak lama tubuhnya menegang untuk
menggeliat. Dan kejap selanjutnya, segera terkulai layu tak berkutik lagi.
Keadaannya amat mengerikan karena seketika tubuh si kakek itu berubah menjadi
warna kebiruan. Dan pelahan-lahan menjadi cair. Untuk se-
lanjutnya jadi bangkai yang menimbulkan bau yang
menusuk hidung.... Sementara ekornya telah lenyap.
Terkesiap si kakek tinggi besar, bagaikan tak percaya menatap tubuh ke dua orang
yang terkapar itu silih
berganti. "MANUSIA BERACUN....!" Pekiknya dengan ka-
get. Barulah dia menyadari sinar kebiruan yang timbul dari tubuh anak muda itu
adalah sinar racun yang
dahsyat, yang seumur hidupnya belum pernah dijum-
pai. Tertegun seketika si kakek hitam bertubuh tinggi besar itu.
"Haiiih! sudah kukatakan tak usah menghirau-
kan segala macam adu kesaktian! Ternyata nasibmu
buruk Abi Ghamus! Harus menemui kematian dengan
begitu rupa...!" Seraya berucap, tubuh Ratan Sugar tokoh asal India yang sejak
lama menyembunyikan diri
di Pulau Andalas itu segera berkelebat pergi mening-
galkan tempat itu, dengan hati penuh
kemasygulan. Sepeninggal si kakek tinggi besar berkulit hitam
yang kumis dan jenggotnya panjangnya hampir sedepa
itu, sesosok tubuh berkelebat muncul. Sukar diper-
caya, karena yang muncul itu adalah si kakek muka
putih Ki Panunjang Jagat. Dia berdiri tercenung me-
mandang tubuh Adhinata yang tergeletak tak sadarkan
diri akibat benturan kepalanya dengan batang pohon.
Apakah yang sebenarnya terjadi dengan Ki Panunjang
Jagat" Ternyata ketika itu tubuhnya jatuh meluncur ke dalam jurang yang dalam,
keadaan cuaca yang berkabut di kedalaman jurang terjal itu membuat dia tak
mampu melihat apa-apa. Akan tetapi dengan belalak-
kan mata lebar-tebar Ki Panunjang Jagat sempat Juga
melihat dasar jurang. Hatinya melunjak girang. Seba-
gai seorang kakek kosen yang sudah banyak mengenal
bahaya, tentulah tidak mandah saja untuk menghada-
pi maut yang sudah di depan mata. Sesungguhnya
kematian itu memang telah ditentukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Dia cuma manusia... Kalau ditakdir-
kan untuk mati, ya mati...!
Melihat dasar jurang itu harapannya untuk hi-
dup timbul lagi. Siapa yang mau tubuhnya hancur re-
muk di atas batu cadas dari tempat yang amat tinggi
itu" Segera sepasang lengannya bergerak menghantam
batu cadas di dasar jurang. Hal itu amat menguntung-
kannya, karena segera tubuhnya tertahan luncuran-
nya. Dan selanjutnya dengan bersalto mempergunakan
hantaman yang menimbulkan reaksi menahan tubuh
itu, Ki Panunjang Jagat dapat mendarat dengan ringan
di dasar lembah dengan selamat.
Kakek ini jatuhkan lututnya ke tanah dengan
menarik napas lega. Sementara benaknya berpikir pa-
da kejadian tadi. Entah siapa telah menyerangnya
hingga dia salah lompat, hingga terperosok ke dalam
jurang. Dasar jurang itu sunyi lenggang. Kabut tipis
seperti menyebar yang membuat pandangannya agak
mengabur. Segera Ki Panunjang Jagat meneliti kea-
daan sekitarnya. Tiba-tiba tatapan matanya terbentur
pada sesosok tubuh yang selangkah terhuyung-
huyung, dengan tertawa sendirian. Tersentak hati si
kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu itu. Seje-
nak Ki Panunjang Jagat terpaku menatap sosok tubuh
itu, karena seperti mengenali siapa adanya laki-laki
yang berperawakan demikian.
"Ah" apakah dia bukannya Adhinata" Apakah
diapun terjerumus ke dalam jurang ini, hingga selama
lebih dari dua bulan sejak kepergiannya belum juga
sampai ke Pesanggrahan Ki Gembul Sona?" Desis Ki Panunjang. Jagat. Niatnya
mencari jalan untuk merayap naik ke atas lagi jadi diurungkan. Dengan hati
berdebar diam-diam Ki Panunjang Jagat bergeser dari
tempatnya untuk memperhatikan lebih dekat. Betapa
terkejutnya si kakek muka putih melihat sesosok
mayat tergeletak dengan keadaan pakaian yang hancur
dan kulit tubuh membiru. Lagi-lagi hatinya tersentak.
"Si Raja Racun...!" desisnya dengan suara perlahan. Apakah gerangan yang
terjadi" Berkata
dalam hati si kakek Tangkuban Perahu ini.
Namun cepat-cepat menyelinap ke balik batu ketika di-
lihatnya Adhinata balikkan tubuh.
"Hahaha... selamat tinggal guru! Dua bulan le-
bih kau lakukan percobaan dengan bermacam cara,
akhirnya begitu berhasil, tak dinyana kau bahkan
mampus terlebih dulu...!" Berkata Adhinata, yang membuat Ki Panunjang Jagat yang
sembunyi di belakang batu untuk ketiga kalinya jadi tersentak kaget.
Hah!" Dia berguru pada si Raja Racun" percobaan
apakah yang dilakukan manusia golongan hitam ini
hingga menewaskannya...! Sementara Adhinata sudah
tambahkan kata-kata lagi.
"Maaf, guru...! aku malas mengubur jenazah-
mu, hahaha... biarlah aku wakilkan kau untuk meng-
hadapi si Ririwa Bodas!" Selesai ucapkan kata-kata, Adhinata segera balikkan
tubuh dan melangkah pergi.
Ki Panunjang Jagat tak berlaku ayal, segera unjukkan
diri di hadapan muridnya. Sekejap sudah melompat
keluar. "Adhinata...! tunggu dulu!" Teriak kakek ini.
Pemuda itu menoleh dan sepasang mata lebar-lebar
melihat orang di hadapannya.
"Guru...!?" Tersentak kaget Adhinata, yang segera tekuk kedua lututnya untuk
bersimpuh. Seraya
ucapnya. "Maaf, guru...! aku belum sampai ke Pe-
sanggrahan paman guru Gembul Sona! dan aku batal-
kan niat untuk teruskan pelajaran berguru padanya!"
"Bagus! begitulah seorang murid yang berbakti"
kau telah batalkan niat, karena kau lalu bergu-
ru pada tokoh sesat si Raja Racun!"
"Aku cuma tertarik dengan dua pasang benda
mustika, guru...! Tak dinyana kalau kejadiannya bakal begin...!"
"Apa maksud ucapanmu" kejadian apakah"
dan benda mustika macam apa yang telah menggiur-
kan hatimu?" bertanya Ki Panunjang Jagat.
*** SEPULUH Akan tetapi tiba-tiba Adhinata berkelebat me-
lompat menjauh, seraya berteriak. "Maaf, guru...! aku tak dapat menceritakan,
aku tak dapat menceritakan-nya padamu! Amat menyesal aku telah menjadi murid
yang tak berbakti padamu! segalanya sudah terlanjur!"
"Terlanjur bagaimana?" bentak Ki Panunjang
Jagat seraya berkelebat mengejar. Adhinata segera
berkelebat pula melompat dengan cepat, tampaknya
seperti ketakutan melihat gurunya. Terjadilah kejar-
kejaran antara guru dan murid.
"Bocah keparat! lima tahun aku mendidikmu
untuk kau menjadi seorang pendekar berhati putih,
tak nyana kau menempuh jalan sesat! Jangan harap
kau mimpi untuk lolos dari tanganku..! kau harus ber-
tobat, dan meminta maaf padaku! Kau tak ku perke-
nalkan memiliki ilmu si Raja Racun!" teriaknya lagi.
"Sudah terlambat, guru...!" Balas berteriak Adhinata, lalu percepat gerakannya
untuk segera merat
dari hadapan gurunya. Ternyata Adhinata setelah
mendapat gemblengan si kakek puncak Tangkuban Pe-
rahu itu Justru memiliki gerakan lincah dan gesit me-
lebihi gurunya, hingga beberapa saat kemudian Ki Pa-
nunjang Jagat telah kehilangan jejak.
Demikianlah.... peristiwa belakangan hingga
munculnya kakek puncak Tangkuban Perahu itu di
saat terjadinya pertarungan muridnya dengan Ririwa
Bodas. Yang justru adalah musuh yang telah mem-
buatnya jatuh ke dalam jurang.
-ooOoo- "MANUSIA BERACUN...!?" Sentak pula Ki Pa-
nunjang Jagat, seperti kata-kata yang dilontarkan Ra-
tan Sugar yang sudah berkelebat pergi. Terpengaruh
bagaikan tak percaya pada penglihatannya, Ki Panun-
jang Jagat menatap tubuh muridnya mengeluarkan si-
nar kebiruan, yang berhawa dingin mencekam dan
menggidikkan. "Aku tak boleh menyentuhnya...! berbahaya!
berbahaya...!" desis sang kakek ini. Segera hatinya sudah membatin. "Pantas dia
berusaha menjauhi ku, ternyata tubuhnya mengandung racun yang amat luar
biasa!" Tak terasa kakinya sudah mundur melangkah dua tindak.
Pada saat itulah berkelebat pula sesosok tubuh,
yang tak lain dari Roro Centil. Di atas pundaknya ter-sangkut tubuh seorang
gadis. Ternyata Roro Centil
pun sudah sejak tadi berada di tempat itu. Ketika baru saja harimau tutul
mengantarkan Pandan Sari yang
dibawa dengan menggigit baju gadis itu, Roro Centil
mendengar suara parau. Roro memang baru saja terle-
pas dari serbuan mahluk-mahluk kerdil Siluman itu.
Segera Roro Centil mencari dimana adanya arah suara
teriakan itu. Dan melihat si kakek kate tengah berkelojotan meregang nyawa. Tak
lama kemudian tewas den-
gan tubuh berubah mencair, mengerikan sekali. Se-
mentara di bawah pohon tergeletak sesosok tubuh tak
bergerak entah pingsan entah mati, Roro tak mengeta-
huinya. Kakek puncak Tangkuban Perahu itu terkejut
melihat Roro Centil yang memondong tubuh seorang
wanita. Ketika Roro turunkan bebannya untuk dire-
bahkan di tanah, segera Ki Panunjang Jagat mengenali
siapa adanya gadis itu.
"Siapakah anda, nona..." Gadis itu aku menge-
nalnya! Dia murid adik seperguruanku Gembul Sona!"
Bertanya dia setelah menjura pada Roro. Dilakukan-
nya pertanyaan itu karena memang dia tak mengeta-
hui kejadian di atas bukit karena tubuhnya sudah me-
layang ke dasar jurang.
Tersenyum Roro Centil. Roro memang telah da-
tang terlambat untuk menolak pukulan si kakek kate,
yang justru kemunculannya adalah di saat si kakek


Roro Centil 14 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kate itu tengah melancarkan serangan ganas pada ka-
kek Jangkung muka putih yang sudah di lihatnya ber-
hasil meremukkan kepala ular dengan hantaman pu-
kulannya. Segera Roro menyahuti. "Namaku Roro...!
Lengkapnya RORO CENTIL!" Sahutnya.
"Ah, sukurlah kau orang tua bisa selamat dari
kematian! Kalau demikian aku tak perlu repot-repot
mengantarkan gadis murid adik seperguruanmu si ka-
kek Jangkung rambut coklat itu!" Ujar Roro, yang segera ceritakan kejadiannya
secara singkat. Adapun Ki
Panunjang Jagat sejak tadi mengingat-ingat nama
yang baru disebutkan itu. Memandang pada senjata
Rantai Genit di pinggang Roro, barulah dia sadar dan tersentak kaget.
"Sungguh tak dinyana aku masih bisa mengen-
al dan bertemu muka dengan Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang namanya sudah tersohor. Ternyata masih
muda belia dan cantik!" Berkata Ki Panunjang Jagat.
"Terima kasih atas bantuan anda, nona Pende-
kar Roro Centil!" Sambungnya. Manusia aneh berekor ini aku baru melihatnya.
Sungguh tak kusangka kalau
dialah yang lakukan pukulan dahsyat hingga aku sa-
lah lompat dan masuk jurang!" Akan tetapi Roro tak menyahuti, karena wanita
Pendekar ini perdengarkan
suara. "Aiiih...!" Tubuhnya melangkah dua tindak, dengan menatap ke belakang
tubuh Ki Panunjang Jagat. Terkejut si kakek ini. Ketika palingkan tubuh, sekilas
sudah melihat punggung Adhinata yang berkele-
bat cepat, untuk selanjutnya lenyap dikerimbunan hu-
tan. Roro tak sempat berfikir lagi untuk mengejar, karena dia memang menyangka
lawan si kakek kate itu
sudah tewas. Tak disangka kalau tiba-tiba tubuh yang
terkapar itu melompat berdiri, dan kabur dengan cepat sekali. "Haiiih...! kelak
bocah itu akan membuat ke-gemparan di Dunia Persilatan!" Berkata si kakek puncak
Tangkuban Perahu dengan wajah menampak te-
gang dan hati yang masygul.
"Siapakah dia kakek..?" Tanya Roro.
"Dia muridku...!
"Muridmu" mengapa sikapnya demikian terha-
dap seorang guru" Apakah dia mempunyai kesalahan
terhadap kau orang tua...?" Tanya Roro lagi. Ki Panunjang Jagat anggukkan
kepala. Seraya kemudian men-
ceritakan secara singkat kejadian yang menimpa mu-
ridnya. Roro Centil mendengarkan penuturan itu den-
gan penuh perhatian. Sementara gadis bernama Pan-
dan Sari ternyata telah sadar dari pingsannya. Gadis
itu terkejut mengetahui di hadapannya ada dua orang
yang tengah berbincang-bincang. Yang seorang sudah
dikenalnya. Akan tetapi seorang lagi adalah baru per-
tama kali dilihatnya.
Roro Centil segera beranjak menghampiri. "Eh,
adik manis...! kau ikutlah pada kakek ini. Dia kakak
seperguruan gurumu Ki Gembul Sona!" Ujar Roro seraya kemudian berpaling pada Ki
Panunjang Jagat. Se-
raya berucap. "Terima kasih atas penjelasan mu, kakek Tang-
kuban Perahu.... Aku harus segera pergi lagi. Masih
banyak urusan yang belum ku selesaikan!" Akan tetapi baru saja habis kata-kata
Roro. Sudah terdengar suara... "Tunggu, nona Roro Centil...!" Dan dua sosok
tubuh sudah berkelebat di hadapannya. Melengak Ro-ro melihat siapa salah seorang
dari keduanya. Ternyata yang seorang adalah Ki Gembul Sona, sedangkan seorang
lagi adalah seorang pemuda tampan berkulit pu-
tih yang menyandang pedang dipundak. Agak lupa-
lupa ingat Roro melihat wajah pemuda itu. Akan tetapi segera terluncur kata-
katanya. "Apakah kalau tak salah kau si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang
Nan Elok...?" Tanya Roro Centil. Pemuda itu tersenyum, lalu tertawa gembira.
"Hahaha... benar! benar sekali, nona... Roro!
kau masih ingat padaku" ah, sukurlah...! Rasanya ba-
hagia sekali aku bisa berjumpa lagi dengan anda, nona Pendekar Roro Centil...!"
"Hm, begitukah... ?" Jawab Roro dengan berikan seulas senyum di bibir. Membuat
jantung si pe- muda itu seperti berdentang-dentang berdebaran, ka-
rena sukar dikipakan senyum yang menghias di bibir
sang dara jelita itu. Ternyata "CINTA" telah sejak lama bersemayam di hati si
Bujang Nan Elok sejak perjum-paan mereka di Pulau Andalas. Dan dia sudah maju
dua tindak untuk menjabat tangan sang "dara pujaan hati" dengan jantung
bergemuruh. Sementara Ki Gem-bol Sona tampak gembira sekali memeluk kakak se-
perguruannya yang disangkanya sudah tewas, ternyata
masih segar bugar. Sedangkan Pandan Sari segera
menjura di hadapan kedua orang tua itu.
"Sukurlah kau selamat, muridku...! mengapa
kau tak ucapkan terima kasih pada Nona Pendekar
Roro Centil yang telah menolongmu?" Ucap Ki Gembul Sona. Pandan Sari memang
sejak tadi mau buka suara, namun keburu muncul gurunya bersama seorang
laki-laki tampan berkulit putih. Melihat tatapan mata si Bujang Nan Elok itu
seperti melekat tak mau lepas
menatap sang Pendekar Wanita itu, Pandan Sari jadi
tersipu dan agak jengah kalau terus memperhatikan.
Hingga dia tak sempat buka mulut. Selanjutnya den-
gan terburu-buru segera melompat menghampiri gu-
runya dan sang uwak guru, untuk menjura.
Sukar diceritakan kegembiraan, juga rasa haru
pada pertemuan itu. Roro Centil terpaksa batalkan
niatnya untuk menguntit si wanita yang menyaru se-
bagai dirinya. Dalam pembicaraan selanjutnya dilaku-
kan sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Terden-
gar suara si kakek Puncak Tangkuban Perahu.
"Walaupun si Ririwa Bodas itu sudah tewas,
akan tetapi masih ada hai lain yang menjadi masalah
kita. Yaitu Adhinata murid tunggalku itu, yang telah
menjadi seorang MANUSIA BERACUN...!" Ki Gembul
Sona manggut-manggut seraya ucapnya. "Ya, disamping muridmu itu kukira masalah
memang belum tun-
tas, karena wanita yang mengaku bernama Roro Centil
itu telah membuat keonaran dimana-mana! Di samp-
ing telah membakar seluruh Pesanggrahan ku, juga te-
lah mulai mempengaruhi Adipati Antaboga yang baru!"
"Benar kakek sahabat...! aku mendengar berita
dari seorang pengawal Kadipaten, justru si wanita itu telah menjadi istrinya
Adipati Antaboga. tukas si Bujang Nan Elok yang nama sebenarnya adalah SAMBU
RUCI. Dia berjalan berdua dengan Roro Centil.
"Hihih...! biarlah untuk urusan wanita itu, se-
rahkan saja padaku! Dia memang sengaja membuat
keonaran untuk memancing kebencian kaum Rimba
Hijau padaku! Wanita itu memang menaruh dendam
padaku! entah persoalan apa...!
"Aku belum bisa menduganya siapa wanita itu
kalau belum bertemu muka...!" Ujar Roro. Lalu ceritakan tentang kata-kata si
Kakek kate berekor ular, yang pernah mengatakan bahwa muridnya menaruh dendam
yang amat hebat terhadapnya. "Jelas perbuatannya adalah untuk mengundangku
datang mencarinya.
Aku memang tengah mengutitnya, setelah wanita itu
lakukan perbuatan bejat dengan seseorang. Dan telah
membunuh pula laki-laki korbannya...!" Tutur Roro.
"Kalau dia ternyata adalah isterinya Adipati An-
taboga, kebetulan sekali! Akan lebih mudah bagiku un-
tuk melabraknya...!" Ujar Roro lebih bersemangat.
"Aku setuju, nona Roro...! aku bersedia mem-
bantu!" Roro cuma tersenyum menoleh pada Sambu
Ruci, akan tetapi segera mengangguk.....
*** SEBELAS Adipati Antaboga yang digembar-gemborkan
mempunyai ilmu tinggi dan aji penangkal ilmu-ilmu hi-
tam itu ternyata adalah "boneka"nya si wanita yang menyamar menjadi Roro Centil
gadungan. Tak seorangpun mengetahui kalau tumbal yang digunakan
untuk penangkal yang disebarkan pada penduduk
adalah cuma "permainan" si wanita itu. Karena dia sendirilah yang membuat mala
petaka dan dia sendiri
pula yang membuat tumbalnya. Ketika malam telah
melingkupi mayapada.
"Adipatiku...! agaknya kita tak dapat bertahan
lama di tempat ini! Musibah besar telah menimpa ku!"
Berkata Roro Centil gadungan dengan bertolak ping-
gang. "Musibah apakah itu, dewiku...?" Tanya Adipati Antaboga. Dia seorang laki-
laki yang diculik dari kota Raja. Bertampang gagah. Berusia sekitar 35 tahun.
Bertanya demikian, sang Adipati ini beranjak mende-
kati seraya menggamit dagu si wanita. Dan selanjutnya sudah raih pinggang orang
untuk segera di pondong ke
pembaringan bertilam sutera.
Tak seperti biasanya si wanita ini berdiam diri
tanpa gerakkan lengannya untuk merangkul leher
sang "suami". Tampaknya si Adipati ini tak terkejut mendengar sang "istri"
mendapat musibah yang belum diketahui mendapat musibah apa.
"Apakah yang telah terjadi, dewiku?" Kembali dia lakukan pertanyaan seraya
rebahkan tubuh "istri"nya ke pembaringan.
"Guruku Ririwa Bodas telah tewas oleh si Raja
Racun. Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan
itu sudah muncul, sedangkan aku belum punya per-
siapan untuk menghadapi. Rusaknya rencanaku ada-
lah gara-gara tewasnya guruku...! Kita harus secepat-
nya pindah dari sini...!" Barulah si Adipati itu belalakkan matanya.
"Pindah... " Akan tetapi aku telah diangkat
resmi oleh pihak Kerajaan untuk menduduki jabatan
Adipati, memerintah di beberapa wilayah di sekitar Kadipaten. Bagaimana mungkin
aku bisa meninggalkan
jabatanku?" Tukas Adipati Antaboga.
"Jadi kau lebih sayang jabatanmu dari pada
aku?" Tanya sang "istri" dengan wajah kecut. "Bukan begitu Dewiku...! Akan
tetapi sebaliknya kita gunakan cara lain agar mendapat bantuan dari pihak
Kerajaan...!" "Maksudmu... ?" Tanya si wanita dengan menatap tajam sang Adipati.
"Kau harus dekati orang-orang Kerajaan, teru-
tama Senapati Kerta Bumi.
Tujuannya adalah agar mengirimkan bantuan
lasykar untuk menangkap musuh besarmu itu!" Tutur sang Adipati dengan wajah
serius. "Senapati Kerta Bumi belum tentu bisa diper-
budak oleh kita! Aku merasa kalau hal perbuatanku
ini justru telah bocor oleh orang yang paling dekat
denganku!"
"Siapakah orang yang kau maksudkan Dewi-
ku...?" Tanya sang Adipati dengan wajah berubah agak pucat. Sementara jantungnya
berdebaran semakin cepat.
"Hm, kaulah orangnya!" Berkata sang istri"
dengan suara dingin. Kau kira aku belum mencium
perbuatan mu yang diam-diam melaporkan pada Pihak
Kerajaan dengan mengutus seorang, Pengawal Kadipa-
ten untuk melaporkan tindakanku, dan sekaligus
membongkar rahasiaku...!" Lanjut ucapannya. Terpe-
rangah seketika sang Adipati. Sementara diam-diam
lengannya sudah meraba ke bawah tilam. Disana telah
disembunyikan sebuah keris untuk menamatkan wani-
ta yang telah menjadikannya sebuah "boneka" hidup.
Akan tetapi mulut sang Adipati ini bicara lemah lem-
but dengan membujuk. Bahkan merangsangnya den-
gan ciuman bertubi-tubi.
"Janganlah berprasangka demikian, Dewiku...!
Aku akan tetap menjadi pengabdianmu yang setia. Kau
telah mengangkat derajatku dengan menjadi Adipati di
Kadipaten Ini, masakan aku akan berkhianat". Justru
tujuanku adalah demi kelanggengan hidup kita!" Sang
"istri" cuma berdiam diri tanpa menjawab. Dan biarkan lengan "suami"nya
menyelusuri lekuk-liku tubuhnya.
Tapi lama- kelamaan sikap sang "istri" mulai lain.
"Hihih... sebenarnya aku hanya menggertak mu
saja, Adipati ku...! Soalnya aku khawatir kau kepincut pada si Roro Centil
betulan" Aku... aku cemburu! Dan
rasanya ingin cepat-cepat melenyapkan wanita keparat
itu secepatnya! Aku takut dia merebut mu dari tan-
ganku...!" Berkata si wanita. Suaranya tiba-tiba jadi lirih dan manja. Seraya
mendekap tubuh sang Adipati
erat-erat. Sang Adipati pun tertegun seketika karena
melihat perubahan sikap "istri"nya. Akan tetapi dia segera berikan keinginan
sang "istri" yang sekonyong-konyong mempunyai hasrat menggebu.
"Ah, Adipati ku...! aku amat mencintaimu...!
kau gagah dan amat perkasa! Rencanamu itu bagus
sekali...!" ucapnya dengan berdesah kenikmatan. Kepala sang Adipati ini telah
membenam diantara celah da-
danya. Sementara itu keadaan di luar gedung Kadipa-
ten.... Cahaya bulan masih menerangi sekitar tempat
itu walau cuma remang-remang. Adalah aneh kalau
penjaga Kadipaten telah bermunculan, dan bergerak
menyusup untuk mengurung kamar sang Adipati den-
gan gerakan hati-hati dan senjata terhunus.
Mereka sembunyi di sisi tembok pintu kamar,
dan menyelinap ke berapa tempat gelap lainnya. Se-
mentara telinga mereka memasang pendengaran ke
arah kamar peraduan Adipati. Keadaan remang men-
jadi tegang, karena dari dalam kamar sang Adipati terdengar suara rintih dan
tertawa kecil serta desah-
desah napas menggebu. Tiga pengawal yang rapatkan
telinganya ke tembok wajahnya tampak tegang, semen-
tara lengannya mencekal senjata dengan gemetar.
Mereka semua mengetahui kalau si wanita itu
adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan punya
ilmu hitam yang mengerikan. Kesabaran memang di-
butuhkan saat itu, disamping harus menahan napas
agar tak bersitkan udara terlalu keras dari hidung. Ti-ba- tiba terdengar suara
bentakan dari dalam kamar.
"Mampuslah kau wanita Iblis...!" Diiringi suara keluhan dan suara bergedubrakan
di atas pembaringan seperti tengah terjadi pergelutan hebat. Tak lama keadaan
kembali senyap. Hal mana menimbulkan tanda tanya para pengawal Kadipaten yang
telah menge- pung di luar kamar. Kepala Pengawal bernama Wage
segera memberi isyarat untuk menerjang ke dalam.
Dan..... BRRAAKKK...! Pintu telah diterjang hingga jebol berantakan. Mereka
segera berlompatan dengan senjata-senjata terhunus. Segera saja terlihat
pemandangan di dalam ruangan kamar. Di atas pembaringan tubuh
sang Adipati terkapar dengan tubuh telanjang bulat.
Pada lehernya tertancap kerisnya sendiri yang berlu-
muran darah, berpuncratan ke atas bantal dan tilam.
Sementara sesosok tubuh tanpa busana menatap ke


Roro Centil 14 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah mereka dengan putarkan pandangan ke arah pa-
ra penyergap-penyergap itu. Rambutnya beriapan, dan
tampak wajahnya tampilkan kegusaran hebat. Saat itu
juga dia sudah membentak keras.
"Bagus! kalian semua cari mati!" Akan tetapi ti-ga pengawal segera menerjang
dengan senjata-senjata
telanjangnya untuk menebas tubuh wanita itu. Cepat
sekali terjadinya, ketika lengan si wanita itu mengibas dan melompat gesit
menghindari terjangan maut. Segera terdengar suara jeritan ketiga pengawal.
Tubuh- tubuh mereka berpentalan, karena segelombang angin
panas menghantam mereka. Dan... blug! blug! blug!
Ketiganya roboh dengan tubuh berbau sangit alias go-
song. Terkesiap beberapa pengawal lainnya. Namun
Wage sudah maju melompat menerjang dengan putar-
kan senjata sepasang goloknya. Wage memang mem-
punyai kepandaian tinggi, dan sudah terkenal amukan
sepasang goloknya ini hingga mendapat julukan si Se-
pasang Golok Naga Kembar.
WHERRR...! WHUKK! WHUUK...! WHUUKK!
Hebat terjangan sepasang golok ini. Karena se-
kejap sudah mengurung tubuh telanjang si wanita itu,
yang sudah tak sempat lagi menutupi auratnya. Se-
mentara beberapa pengawal siap dengan tombak-
tombak terhunus untuk menjaga jangan sampai wani-
ta itu melarikan diri. Akan tetapi bukanlah hai yang
mudah untuk menangkap atau membunuhnya.
"Kau tak dapat lolos dari sepasang golokku,
wanita iblis!" Membentak si Kepala Pengawal, yang kembali menerjang dengan
hebat. Dua bayangan golok
laki-laki bernama Wage ini bagaikan sepasang Naga
yang mengamuk. Menerjang, menabas, menusuk dan
melingkar-lingkar melancarkan serangan-serangan
dahsyat yang berbahaya. Akan tetapi suatu kesempa-
tan, si Wanita berhasil menyambar pakaiannya. Len-
gannya kirimkan serangan menahan terjangan itu
dengan mendadak, dan sepasang kakinya menjejak
untuk melompat ke sisi tembok. Disana tergantung se-
pasang senjata Rantai Genit tiruan. Sekali lengannya
bergerak, sepasang senjata itu sudah disambarnya.
WHUK! WHUKI WHUK...! Tahu-tahu dia sudah
menerjang dengan lemparan sepasang Rantai Genit ti-
ruan itu. Tentu saja membuat Wage jadi, terkejut, ka-
rena tahu-tahu bandulan rantai telah membelit tu-
buhnya. Sedangkan yang sebuah lagi terbabat putus
kena sambaran goloknya. Saat Wage terperangah itu,
si wanita telah gerakkan lengannya menghantam Wage
dengan pukulan Inti Apinya yang hebat. BHUUSSS...!
Terdengar suara teriakan parau si Kepala Pen-
gawal. Tubuhnya seketika tertambus api yang memba-
kar tubuhnya. Seketika jatuh menggabruk dengan
berkelojotan. Dan... tewaslah Wage dengan keadaan
tubuh matang hangus. Tak lama sosok tubuh wanita
itu Sudah berkelebat keluar, dengan melompat dari
jendela kamar. Sungguh di luar dugaan. Saat itu juga
membersit puluhan anak panah ke arahnya. Tersentak
wanita ini. Beruntung tadi dia menyambar pakaiannya
yang belum sempat untuk dikenakan. Segera dengan
teriakan keras, lengannya gunakan pakaian itu untuk
menghalau panah yang meluruk deras ke arahnya.
PRAS! PRASS..! PRASS..!
Berpentalan puluhan anak panah beberapa
arah. Namun tak urung tiga batang panah berhasil
menancap dipundak dan betis serta pahanya. Menjerit
wanita ini. Dan Jatuh menggabruk. Saat itu kembali
puluhan anak panah menerjangnya. Akan tetapi se-
buah bayangan kilat telah menyelamatkan nyawanya.
Keadaan itu sudah tak mungkin di elakkan lagi oleh
wanita itu karena dia dalam keadaan terluka. TRANGI-
TRANG...! TRANG...! Muncullah di hadapan si wanita
itu seorang wanita juga yang tak lain dari Roro Centil
adanya. Ternyata Roro pergunakan senjata Rantai Ge-
nitnya untuk menghalau serangan. Tentu saja hal de-
mikian membuat terkejut pemimpin dari pasukan
laskar kerajaan yang dipimpin oleh Senapati Kerta
Bumi sendiri. "Tahan...!" Teriak Roro seraya mengangkat sebelah lengannya.
"Pendekar RORO CENTIL...! "Teriak Senapati
Kerta Bumi hampir berbareng dengan teriakan prajurit
Lasykarnya. *** DUA BELAS SENAPATI KERTA BUMI melompat ke hadapan
wanita Pendekar Pantai Selatan dengan perlihatkan
wajah cerah. "Ah, sungguh tak dinyana anda muncul di saat
seperti ini! Aku Senapati Kerta Bumi menghaturkan
hormat pada anda, nona Pendekar Roro Centil! Semen-
tara itu puluhan pengawal Lasykar Kerajaan sudah
mengurung wanita itu dengan anak panah siap dile-
pas. Keadaan sudah tak memungkinkan wanita itu un-
tuk berkutik. Roro Centil tersenyum. Tanpa perintah
Senapati takkan ada yang berani membunuh wanita
itu. Roro balas menjura ketika Senapati Kerta Bumi
barusan bungkukkan tubuh menjura padanya. "Ah,
ah...! apa-apaan ini" Kau sudah mengenalku, sobat
Senapati?" Tanya Roro dengan wajah menampakkan
senyum. "Akulah yang memberitahu...! Menyahuti seseo-
rang dengan diiringi sosok tubuh berkelebat melompat
ke hadapan mereka. Ternyata Sambu Ruci, alias si Bu-
jang Nan Elok. "Apakah penyerangan ini atas usulmu juga...!?"
Tanya Roro lagi. "Ah, sama sekali tidak! Sejak sebulan yang lalu aku banyak
mendengar tersiarnya berita seorang Pendekar Wanita yang bernama Roro Centil ba-
nyak melakukan perbuatan tercela di wilayah ini.
Sungguh mati aku tak percaya! Karena aku sudah
mengenal watak nona Roro tak mungkin demikian!"
"Benar...! nyaris saja akupun beranggapan de-
mikian, nona Pendekar RORO CENTIL...!! kalau saja
sobat Sambu Ruci ini tak menuturkan adanya musuh
dalam selimut yang telah menghancur leburkan ke-
luarga Adipati Kambangan, yang tewas berikut pulu-
han prajurit pengawal Kadipaten!" Tukas Senapati Kerta Bumi. Akhirnya Roro pun
maklum dan manggut-
manggut mengerti. Hampir saja menuduh Sambu Ruci
menggagalkan niatnya untuk melabrak wanita yang
menyamar sebagai dirinya itu.
Walaupun Roro menyatakan tak keberatan di-
bantu oleh Sambu Ruci untuk melabrak wanita itu,
tapi ternyata Roro telah berangkat pada malam itu seorang diri untuk menemui si
wanita yang menyaru di-
rinya di gedung Kadipaten. Ternyata sudah keduluan
oleh lasykar Senapati Kerta Bumi yang nyaris membu-
nuh wanita itu. Hal demikian akan membuat kecewa
Roro Centil. Karena dia memang ingin mengetahui sia-
pa adanya wanita itu dan dendam permusuhan apa-
kah yang telah dikatakan si kakek buntut ular Ririwa
Bodas terhadap dirinya... Pada saat itu.
"Hihihi... Roro Centil! akhirnya kau datang ju-
ga! mengapa tak kau biarkan aku mampus terpang-
gang anak panah" Apakah kau tak menyesal menolong
jiwaku?" Semua segera menoleh pada wanita itu, yang dalam keadaan menyeringai
kesakitan karena paha,
bahu dan betisnya tertancap tiga batang anak panah,
ternyata masih mampu umbar suara. Roro sudah ba-
likkan tubuh dan menatap pada wanita itu.
"Heh! justru aku inginkan kau hidup! kau ha-
rus berurusan denganku, karena kau telah cemarkan
nama baikku di wilayah ini...!" Bentak Roro. "Kini se-butkanlah siapa dirimu!
dan ada permusuhan apakah
denganku hingga kau mendendam padaku!?" Bentak
Roro dengan bertolak pinggang. Wanita itu perdengar-
kan dengusan di hidung, dan meludah ke tanah.
"Cuih...! Masih ingatkah kau setahun yang lalu
pernah seorang laki-laki tua bernama TUN PAMERA"
Kau telah pergunakan binatang siluman harimau tutul
untuk membunuhnya!" Ucapnya dengan wajah mem-
bersitkan kemarahan dan dendam yang luar biasa.
Tercenung sejenak Roro Centil, seraya menggumam.
"Tun Parera...?" Sejenak Roro mengingat-ingat dengan krenyitkan keningnya.
"Apakah maksudmu si Paderi palsu yang men-
jabat Ketua Dua di Kuil Istana Hijau dengan nama Pa-
deri Sapta Dasa Griwa itu...?"
"Heh! palsu atau tidak bukan urusanmu! keta-
huilah, aku adalah anak perempuannya. Namaku GIRI
MAYANG! Di wilayah Pulau Andalas itu aku digelari si
Kelabang Kuning...! Tekad ku tak pernah surut untuk
membalas dendam pati walaupun aku harus mati di
tangan mu atau di tangan para lasykar Senapati itu!"
Silahkan kau turun tangan Pendekar Wanita yang he-
bat! Walau aku mungkin saat ini mati, namun dendam
ku akan sampai ke liang akhirat...! Heh! akan tetapi
apalah artinya keharuman namamu kalau membunuh
lawan dengan menggunakan binatang siluman" Kukira
lebih baik gelarmu saja dengan gelar si Pendekar Wani-ta Siluman Roro Centil!
Hihihi... hihii..... hihi....." Terpingkal-pingkal
tertawa si wanita yang ternyata bernama Giri Mayang
alias si Kelabang Kuning itu, hingga sampai mengelua-
rkan air mata. Pedihnya hati, sakitnya perasaan yang
bercampur rasa iri hati dan dendam yang belum juga
terbalaskan, membuat Giri Mayang mengumbar terta-
wanya sejadi-jadinya.
Roro Centil terdiam sesaat. Suara tertawa wani-
ta itu sungguh amat menyakitkan anak telinga. Bukan
karena berisi tenaga dalam yang tinggi, akan tetapi berisi sindiran pedas yang
telah menyentuh hati sanuba-
rinya. Dan hati itu terluka sudah. Ucapan wanita itu
memang benar setelah ditimbang-timbang. Akan tetapi
hatinya kembali membantah. Toh, dia tidak menuntut
ilmu siluman, karena si harimau Tutul datang padanya
seperti sudah menjadi kodrat, hingga si binatang mak-
hluk siluman itu telah mengakuinya sebagai pengganti
Ratunya! (baca kisah: Siluman Kera Putih). Makin la-
ma suara tertawa wanita itu semakin santar, seperti
membuat tergetarnya jantung Roro. Seakan-akan ha-
tinya diiris sembilu! Tiba-tiba Roro membentak keras
menggeledek. "DIAAAM...!" Tentu saja semua yang berada di situ terlonjak kaget. Nyaris saja
anak-anak panah itu terlepas dari masing-masing busurnya, karena para
pengawal dari pasukan panah itupun terlonjak kaget.
Kali ini Roro Centil yang perdengarkan suara tertawa
melengking tinggi. Keadaan jadi gempar. Karena seke-
tika itu juga Roro Centil telah melesat tinggi, sejauh dua puluh tombak. Semua
yang berada di bawah men-dongak ke atas untuk melihat apa yang dilakukan si
Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Ternyata tubuh
Roro Centil kembali meluncur ke bawah. Dan sepasang
kakinya hinggap dengan ringan di atas tanah.
Gerakan mendadak itu adalah pelampiasan
kemarahannya. Akan tetapi Roro Centil telah mengam-
bil keputusan di atas tadi. Apakah membunuh mam-
pus si wanita bernama Giri Mayang itu atau tidak!
Ternyata keputusan telah diambil untuk tidak dilaku-
kan. Kalau Roro waktu itu mengambil keputusan
membunuhnya tanpa perduli akan segala macam har-
ga diri dan lain-lain, tentu detik itu Giri Mayang sudah tewas dengan batok
kepala pecah. Karena Roro Centil
di waktu menukik bisa lancarkan pukulan dengan se-
kejap. Semua mata tertuju pada Roro, yang tampak
bersitkan wajah seram. Karena rambutnya yang beria-
pan itu sebagian menutupi wajahnya.
"Nona Pendekar Roro! karena wanita ini sudah
menyangkut urusan Kerajaan, dan banyak sudah me-
newaskan orang-orang penting dari Kerajaan Sunda
Kalapa, ku harap anda berikan dirinya untuk kami ja-
dikan tawanan Kerajaan. Mengenai hukuman padanya
terserah Baginda Raja" Berkata Senapati Kerta Bumi.
Akan tetapi Roro Centil perdengarkan tertawanya, se-
raya ujarnya dengan nada ketus. "Maaf, sobat Senapati...! bukan aku mementingkan
diriku sendiri, akan tetapi biarlah dia ku bebaskan. Dan tak seorangpun
yang kuperkenankan membunuhnya!"
Seraya berkata, Roro Centil segera beri isyarat
pada si harimau Tutul untuk menampakkan diri.
Gemparlah seketika semua lasykar sang Senapati. Ka-
rena segera muncul di situ seekor harimau tutul yang
amat besar. Menampakkan taringnya yang runcing.
Senapati inipun terkejut, tak terasa kakinya sudah
mundur dua langkah. Harimau tutul perdengarkan
suaranya menggeram dahsyat, kemudian mendekati
Roro dan menjilat-jilat lengannya.
"Tutul...! sahabatku! kau pergilah! Dan jangan
ikuti lagi diriku! Bukan aku membenci mu, tapi aku
akan mencoba menggunakan sepasang lenganku ini
untuk membunuh siapa saja yang membuat keonaran
dimuka bumi ini! Untuk membuktikan bahwa Roro
Centil bukan seorang Pendekar Siluman...!" Berkata Roro dengan suara tegas.
Mendengar ucapan Roro demikian, sang harimau Tutul perdengarkan suara men-
gaum panjang, membuat tanah bergetaran. Tak lama
tubuh harimau jejadian itupun meluncur pergi bagai-
kan hembusan angin. Dan lenyap dari pandangan ma-
ta... Terperangah semua orang, dan rata-rata mena-
rik napas karena baru pertama kali melihat seekor Ha-
rimau Tutul sebesar dan sehebat itu. Akan tetapi hati mereka juga bergidik
seram, karena sang Harimau itu
bukan harimau biasa melainkan mahluk siluman.
"Nah, bangkitlah kau, Giri Mayang! Pergilah
kemana kau suka. Dendam dalam dadamu itu boleh
kau lampiaskan kapan waktu saja! Aku selalu siap un-
tuk menghadapimu...!" Ujar Roro dengan suara lantang. Selesai berkata Roro


Roro Centil 14 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Centil segera menatap pa-
da Senapati Kerta Bumi. "Kuharap kau perintahkan anak buahmu untuk menyingkir,
sobat Senapati!" Tatapan Roro seperti melunturkan kekerasan hati Sena-
pati ini, hingga dengan segera serta merta lalu perintahkan anak buahnya untuk
membebaskan si wanita
dari kepungan. Terhuyung Giri Mayang bangkit berdiri.
Sebelah lengannya dipergunakan untuk menutupi ba-
gian tubuhnya yang terbuka dengan pakaian yang be-
lum sempat dikenakan itu.
"Bagus! kelak aku pasti akan mencarimu Roro
Centil! bila telah sembuh lukaku!" Berkata si wanita bernama Giri Mayang itu
dengan suara parau.
"Pergilah...! Tapi jangan coba-coba kau meng-
ganggu rakyat atau wilayah Kerajaan Sunda Kelapa ini!
Aku tak akan mengampunimu untuk kedua kali!" Giri
Mayang tak menjawab. Dengan terpincang-pincang se-
gera berlalu dari tempat itu. Dan lenyap di keremangan malam. "Akupun harus
pergi, sobat Senapati. Kuharap kau tak perlu khawatir, Bila terjadi apa-apa, aku
masih berada di wilayah 'sini!. Roro dengan menjura pada Senapati Kerta Bumi.
"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar
Roro Centil!". Sambu Ruci yang sedari tadi terpaku di tempatnya melihat Roro
menjura, diapun ikut-ikutan
menjura, dan mohon diri pada Senapati itu.
"Nona Roro...! Tunggulah aku...!" Teriaknya ketika Roro segera berkelebat
melompat pergi.
"Hihihi... kau seperti anak kecil saja. apakah
mau minta digendong?" Ujar Roro. seraya berpaling, dan hentikan langkahnya.
"Digendong pun aku mau...!" tukas Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok. Tubuhnya
segera berkelebat
cepat untuk menyusul Roro. Tak lama kedua tubuh itu
sudah berkelebatan pergi meninggalkan tempat itu
dengan cepat. Senapati Kerta Bumi dan para anak
buahnya memandangi mereka hingga sampai lenyap di
keremangan sinar bulan...
TAMAT Judul mendatang:
LANGKAH-LANGKAH SI MANUSIA BERACUN
E-Book by Abu Keisel Dewi Penyebar Maut X I 1 Dewi Ular 79 Pembalasan Selir Sesat Sepasang Naga Penakluk Iblis 10
^