Langkah Manusia Beracun 1
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun Bagian 1
SATU "RORO CENTIL...! Jangan harap kau dapat me-
loloskan diri dari tangan kami!" Terdengar bentakan keras yang diiringi dengan
berlompatannya sosok-sosok tubuh dari balik candi.
"Aliii...!" apakah gerangan kesalahanku" tak
hujan tak angin tahu-tahu kalian datang dan muncul
mau membunuhku...! hm, siapakah kalian?" Roro Centil menatapkan pandangannya
satu persatu pada em-
pat orang di hadapannya. Ternyata mereka adalah tiga
orang wanita yang masih tampak muda-muda. Berpa-
kaian singsat. Rata-rata mengenakan baju berwarna
ungu. Dan masing-masing lengan kanannya mencekal
senjata gaetan yang amat runcing. Wajah-wajah mere-
ka menampilkan dendam permusuhan yang amat da-
lam terhadap Roro. Entah dendam apakah gerangan,
karena Roro sendiri memang merasa tak mempunyai
kesalahan terhadapnya.
"Heh! kiranya pendekar wanita yang punya na-
ma besar seperti anda mempunyai akhlak rendah!"
Membentak salah seorang yang berwajah paling cantik
diantara keempatnya. "Kami adalah murid dari perguruan Taring Naga Putih!" Nah,
sebulan yang lalu anda muncul di perguruan kami. Kami dari Perguruan Naga
Putih amat mengagumi anda dan telah mendengar ten-
tang sepak terjang serta kehebatan anda dalam hal
membela kebenaran, akan tetapi.... perbuatan anda
menculik serta membunuh kakak seperguruan kami
benar-benar keterlaluan! Seharusnya kamilah yang
bertanya, apakah tingkah laku semacam itu adalah
perbuatan seorang pendekar...?"
Terkejut Roro Centil bukan kepalang. Alisnya
mencuat naik. Sepasang matanya membelalak karena
dia merasa tak pernah melakukan hal itu. Mendengar
adanya perguruan Taring Naga Putih pun baru men-
dengarnya. Akan tetapi Roro tak sempat untuk bicara,
karena sudah terdengar bentakan salah seorang yang
berwajah mirip laki-laki.
"Kakak Parmi...! biarlah aku yang mewakilkan
mu mengirim nyawanya ke Neraka! Pendekar Wanita
berakhlak bejat ini sudah selayaknya mampus!
SREK! Gadis ini sudah mencabut sebuah lagi
senjata gaetannya dari belakang punggung, dan maju
dua tindak ke hadapan Roro. Melihat demikian salah
seorang kawannya tak mau tinggal diam.
"Eh, jangan serakah kakak Sri Kendil! tangan-
ku sudah gatal untuk menghajarnya! perempuan bejat
macam begini tak perlu dibunuh secara cepat, akan te-
tapi kematian secara pelahan yang lebih baik! hm,
maksudku di bunuh pelan-pelan...!" Melangkah pula dua tindak gadis berambut
kepang, yang bertampang
galak ini. "Aiii...! sabar dulu adik-adik manis...! aku me-
rasa tak melakukan hal demikian. Jangan-jangan ka-
lian salah terka...!" Berkata Roro sambil tersenyum.
Akan tetapi hatinya diam-diam mengeluh. "Celaka! ini pasti ulah perbuatan si
Giri Mayang keparat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang telah menyebar
kericuhan dengan menyamar sebagai diriku!"
"Bedebah...! seumur hidup baru kujumpai seo-
rang pendekar bermuka dua! jelas-jelas aku lihat den-
gan mata kepala sendiri, kau menculik kakak sepergu-
ruanku mengapa kini kau mungkir?" Teriak Parmi seraya maju melompat.
"Ah ah...! tampaknya kau amat menyayangi ka-
kak seperguruanmu itu! Kulihat di matamu ada sema-
cam sinar yang berbeda dengan sinar mata kedua
adikmu. Kakak seperguruan kalian itu pasti seorang
laki-laki yang gagah dan berwajah tampan. Dan... kau
sudah jatuh cinta setengah mati padanya bukan?"
Berkata Roro dengan tersenyum sambil menunjuk ke
arah Parmi. Gadis ini memang lain dari dua gadis itu, karena Roro dapat melihat
ada setitik air bening dis-udut mata Parmi. Semakin berkaca-kacalah sepasang
mata gadis ini. Akan tetapi dia telah membentak gusar.
"Perempuan bejat! aku akan adu jiwa dengan-
mu...!" Dan senjata gaetannya telah dicabut lagi keluar lagi dari belakang
punggung. Selanjutnya dengan
mempergunakan sepasang senjata gaetan itu, dia su-
dah menerjang Roro Centil dengan beringas. Sementa-
ra isaknya tersendat dikerongkongan.
WHHUT! WHUUUT! WHUUTT...!
Hebat serangan si dara yang paling cantik dian-
tara kedua gadis baju ungu itu. Sepasang senjata gae-
tan itu menerjang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian
tubuh Roro. Bahkan yang lebih mengerikan adalah
Parmi selalu mengarah kepada bagian leher dan sepa-
sang matanya. "Aiih...! berbahaya sekali...!" Teriak Roro seraya berkelebatan menghindar.
Ternyata cuma dengan tiga
kali bergerak ke kiri dan ke kanan serta doyongkan tubuh ke belakang Roro telah
dapat meloloskan diri dari serangan maut segebrakan itu. Mengetahui serangan
berbahayanya dihindari dengan tersenyum-senyum
jumawa membuat Parmi semakin bernafsu untuk men-
jatuhkan lawannya. Dan dengan menggertak nyaring
kembali dia lancarkan serangan beruntun yang lebih
berbahaya lagi. Kali ini sepasang gaetannya berubah
bagaikan belasan cahaya berkilau yang membersit
mengurung tubuh Roro, diiringi suara mendesing yang
mengeluarkan hawa dingin. Ayal sedikit saja leher atau perut bisa kecantol
gaetan maut itu.
Akan tetapi Roro Centil masih melayani seran-
gan itu dengan tersenyum manis. Bahkan mengajari
lawannya menyerang.
"Yaaak, tebas ke bawah mengarah kaki! terjang
menyilang sambil menendangi serang ke kiri-kanan
dengan serangan bolak-balik! Bagus...!" Teriak Roro seraya lengannya bergerak
menangkap kedua lengan ga-
dis itu. TAP...!
Sekejap saja lengan Parmi telah kena tertang-
kap oleh cekalan kuat Roro Centil. Melihat demikian
kedua saudara seperguruan gadis itu lakukan seran-
gan berbareng, seraya membentak.
"Lepas...!" Cahaya-cahaya menyilaukan dari kedua pasang gaetan si dua gadis baju
ungu nyaris membobol perut Roro. Terpaksa Roro lepaskan ceka-
lannya dengan mengenjot tubuh melesat ke udara se-
tinggi lima tombak. Ringan sekali sepasang kakinya
hinggap di atas candi. Terperangah kedua gadis itu seraya menengadah ke atas.
"Hai...! kau kira semudah itu mau melarikan di-
ri?" kejaaar...!" Teriak Sri Kendil.
"Hihihi... siapa yang mau melarikan diri?" berkata Roro. Tiba-tiba si Pendekar
Wanita Pantai Selatan meluncur turun ke arah mereka. Tentu saja hal demikian tak
disia-siakan ketiga murid dari Perguruan Li-
dah Naga Putih itu. Serentak menyambutnya dengan
terjangan maut. Akan tetapi yang terdengar adalah ju-
stru teriakan ketiga dara baju ungu itu berbareng dengan terpentalnya senjata-
senjata mereka. Aneh sekali, karena seketika itu tubuh ketiga gadis sudah dalam
keadaan tertotok kaku dalam posisi menyerang. Apa-
kah gerangan yang terjadi" Ternyata Roro Centil baru
saja memperagakan ilmu dari jurus "Bayangan Kem-
bar" Ilmu ini cuma bisa dimiliki oleh orang yang tingkat ilmunya sudah amat
tinggi. Karena mengan-
dalkan kecepatan yang melebihi cepatnya kejapan ma-
ta. Hingga ketiga gadis itu menyangka tubuh Roro
Centil berada di hadapan mereka dan akan berhasil
kena di robohkan. Tak dinyana dengan gerakan yang
sukar diikuti oleh mata, justru Roro Centil sudah me-
lesat ke arah sisi dan lakukan serangan pada ketiga
lawannya yang menerjang bayangannya. Hingga seke-
japan saja ketika senjata dapat dibuat terlepas dari
masing-masing pemiliknya, bahkan sekaligus melan-
carkan totokan.
Terbelalak tiga pasang mata dara-dara murid
dari Perguruan Lidah Naga. Masing-masing hatinya
sudah mengucap. "Matilah aku...! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
tertawa mengekeh dibarengi
dengan kata-kata. "Hebat...! hebat...! jurus ilmu Bayangan Kembar itu sukar
untuk dikuasai, tapi ternyata telah menguasainya, sobat Roro Centil!" Tentu saja
Roro Centil segera palingkan wajahnya, dan menatap pada sosok tubuh yang barusan
saja berkelebat ke
hadapannya. Itulah sosok tubuh seorang wanita tua berju-
bah putih berwajah masih cantik walau telah penuh
keriput. Di lengannya tercekal sebuah tongkat putih
tipis, bengkok dan berujung runcing. Rambutnya ter-
gelung rapi dengan tusuk konde perak. Tak berapa la-
ma, sudah disusul dengan berkelebatnya sesosok tu-
buh lagi, dibarengi kata-kata.
"Haiiih! hampir saja terjadi lagi salah paham!
selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil...!" Ternyata orang kedua yang barusan
muncul adalah Ki Gembul
Sona, yaitu si kakek yang berjulukan si Belut Putih.
Seketika wajah Roro Centil berubah cerah.
"Ah... selamat datang pula pada kalian orang
tua gagah, sungguh kebetulan sekali bisa muncul dis-
ini...!" Tukas Roro seraya menjura.
"Bolehkah aku bertanya apakah bibi yang ber-
tongkat adalah guru dari ketiga gadis ini" Tanya Roro.
Hm......benar! kuharap anda dapat memaafkan
kekeliruan mereka karena telah menyangka anda si
pembuat kericuhan! mereka memang masih hijau dan
belum banyak pengalaman di luar. Kematian murid la-
ki-laki kami telah membuat mereka menjadi nekat un-
tuk mencari anda demi membalas dendam!" ujar si
wanita tua seraya balas menjura.
"Aku si perempuan tua renta ini adalah yang di
juluki kaum Rimba Hijau si Pendekar Tongkat Taring
Naga!" sambungnya memperkenalkan diri. Roro Centil tersenyum manggut-manggut.
Tiba-tiba Roro Centil segera balikkan tubuhnya. Sepasang lengannya berge-
rak. Dan... segelombang angin telah membersit keluar
dari sepasang lengannya. Tersentak ketiga gadis itu
karena sekejap mereka sudah terbebas dari pengaruh
totokan. Tentu saja mereka cepat-cepat memungut
kembali senjata masing-masing yang bergeletakan di
tanah. Selanjutnya segera melompat ke hadapan sang
guru mereka. "Murid-muridku hayo lekas kalian minta maaf
pada nona Pendekar Roro Centil!" Ketiga murid ini tampak ragu-ragu, bahkan salah
seorang sudah berkata,
"Akan tetapi, guru... bukankah dia... dia ucap-
nya tergagap. "Seseorang telah menyaru mirip nona Pendekar
Roro Centil ini! Kalian telah salah menduga orang.
Hayo cepat minta maaf...!" Bentak si Pendekar Tongkat Taring Naga dengan
plototkan matanya. Tentu saja
membuat ketiga gadis baju ungu itu terperangah den-
gan mata membelalak. Dan serta-merta segera menju-
ra di hadapan Roro.
"Maafkan kekeliruan kami, sobat Pendekar Ro-
ro Centil! kami tak mengetahui tentang hal itu!" ucap Parmi yang mewakilkan
bicara. "Akan tetapi bolehkan anda menjelaskan siapa
sebenarnya yang melakukan tipu muslihat keji mem-
fitnah anda itu?" Tiba-tiba Parmi langsung ajukan pertanyaan.
"Benar! kami ingin mengetahui dan harus men-
getahui..." Berkata Sri Kendil yang menatap Roro dengan pandangan tajam. Dari
tatapannya itu jelas dia
masih kurang percaya dengan penuturan gurunya.
"Hihihi... silahkan kalian tanyakan pada guru-
mu, atau pada kakek rambut coklat itu. Beliau-beliau
pasti akan menjawabnya!" Sahut Roro dengan tersenyum seraya leletkan lidah
membasahi bibirnya.
"Nah maaf... aku tak bisa berlama-lama dis-
ini...!" Ujar Roro. Selanjutnya dengan sekali genjot tubuh sang Pendekar wanita
ini sudah melayang ke atas
candi yang paling tinggi. Dan saat berikutnya sudah
lenyap melompat ke belakang candi.
- ~oOo~ - ~ DUA Desa Cilutung yang mengalir pula disana kali
Cilutung tampak pada slang hari itu amat lengang.
Udara panas membuat seorang laki-laki berusia antara
20 tahun itu melepaskan lelah duduk di bawah pohon.
Dia seorang laki-laki gagah yang berwajah cukup tam-
pan. Memakai baju rompi warna hitam, dengan dada
telanjang. Rambutnya tak terurus. Pada pergelangan
lengan dan kaki pemuda ini membelit empat buah ge-
lang besi berwarna hitam.
Dialah ADHINATA, murid Ki Panunjang Jagat
dari puncak Tangkuban Perahu. Laki-laki yang pernah
menjadi murid si Raja Racun ini tampak seperti kebin-
gungan untuk menentukan langkahnya. Sementara
perutnya sudah berbunyi berkeriutan minta di isi.
"Ah, aku harus cari makanan...! perutku lapar.
Kukira did alam desa ini pasti ada warung nasi. Atau...
aku bisa minta pada salah seorang penduduk. Tak ku
punyai sekepingpun uang perak...!" gumamnya perlahan. Sesaat dia sudah bangkit
berdiri. Dan melangkah
memasuki desa. Jalannya tak terlalu cepat karena da-
lam melangkah itu benaknya terus bekerja.
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat!
aku harus hati-hati untuk tidak menyentuh siapa saja!
haiih...! sungguh aku tak menyangka kalau akan begi-
ni jadinya! semua ini gara-gara aku kepincut dengan
benda pusaka si Raja Racun yang ternyata adalah ha-
sil ciptaannya!" desisnya lirih.
Kedai nasi mang Sakri didesa itu terkenal den-
gan kelezatan masakannya. Warung nasi itu adalah sa-
tu-satunya yang paling besar di desa itu. Bahkan begi-tu terkenalnya masakan
maupun pelayanannya, mang
Sakri pernah di undang ke rumah Adipati Bayu Nin-
grat untuk memasak di gedungnya. Ya...! sejak itu se-
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makin terkenal saja kedai nasi mang Sakri. Hingga wa-
rungnya diperlebar, dan berdagang slang malam. Ka-
rena banyak para pelanggan yang memesan dari per-
bagai tempat, juga yang sengaja datang untuk makan
di situ. Seperti juga hari itu. Tampak lima penunggang kuda telah singgah di
warungnya. Kelima ekor kuda
segera di tambatkan di tempat yang telah tersedia,
bahkan diberi rumput pula untuk menyenangkan hati
para pelanggan. Beberapa pelayan laki-laki maupun
perempuan tampak sibuk mencarikan meja dan tem-
pat duduk, karena mereka tahu kelima penunggang
kuda itu adalah tamu-tamu istimewa yang sering
memesan makanan. Kesemuanya adalah dari Kota Ra-
ja. Mang Sakri sudah tidak lagi memasak di dapur, cu-
kup memerintahkan saja pada para pelayan. Berkat
didikan mang Sakri pelayan-pelayan tamu maupun ju-
ru masak mengolah makanan telah pandai untuk me-
nyesuaikan selera orang.
Beberapa saat setelah kelima orang penung-
gang kuda itu mendapat tempat duduk dan memesan
makanan. Adhinata dengan langkah terhuyung mema-
suki kedai. Seorang pelayan laki-laki segera menyam-
but di pintu. Pemuda ini menatap mata pelayan. Tentu
saja si pelayan ini kerutkan keningnya, karena baru
sekali ini ada tetamu yang memasuki kedai dengan ba-
ju kumal dan rambut awut-awutan. Bahkan sepasang
mata laki-laki yang ditatapnya itu terlihat merah seperti habis mabuk.
"Boleh aku bertanya, apakah aku bisa bicara
dengan yang punya kedai ini?" Tanya Adhinata. Melengak si pelayan, dan ajukan
pula pertanyaan dengan
menatap tajam orang di hadapannya.
"Apakah maksudmu menanyakan majikanku?"
Tanyanya. "Ah, kau panggil sajalah majikanmu, aku mau
bicara hanya dengannya! Sahut Adhinata.
"He...!" lagakmu macam tuan besar saja! ma-
tamu merah, jangan-jangan kau baru saja mabuk! ke-
dai kami sedang kedatangan orang-orang terhormat.
Sebaiknya kau katakan maksudmu! atau nanti saja se-
telah para tamu kami sudah pulang...!" kau lihat! majikanku sedang sibuk
menghormati tamu...!" Ucap si pelayan dengan tandas.
Tercenung sejenak Adhinata, segera dia meno-
leh pada laki-laki tua bertubuh gemuk yang tengah
bercakap-cakap dengan lima orang tamu yang berpa-
kaian mewah. "Hm, aku tak pernah minum-minuman
keras! mataku merah karena aku kurang tidur! baik-
lah, nanti aku bicara sendiri pada majikanmu! Sedia-
kanlah makanan, perutku lapar...!" Ujar Adhinata seraya melangkah masuk.
"Eh tunggu dulu! bajumu kotor tubuhmu dekil
dari kumal. Dengan keadaanmu seperti itu pasti teta-
mu kami akan menyingkir pergi! Lagi pula apakah kau
punya uang untuk membayar makanan...! cegah pe-
layan yang dengan sigap telah menghalangi di pintu.
Tentu saja hal demikian membuat Adhinata jadi gusar.
Tadinya dia mau berterus terang untuk meminta sepir-
ing nasi pada majikan si pelayan itu. Akar tetapi kare-na sang pelayan
melarangnya dengar memberikan ala-
san. Adhinata Jadi batalkan niatnya untuk berterus
terang. Benaknya berfikir saat tadi ialah makan dulu
mengisi perut, urusan bayar adalah belakangan.
Kini melihat si pelayan itu dengan bertolak
pinggang melarangnya masuk, membuat pemuda ini
jadi mendongkol. Dan hilanglah kesabarannya, bahkan
lupa kalau dia harus berhati-hati untuk bertindak. Sekali lengannya bergerak
dicengkeramnya baju si pe-
layan seraya membentak.
"Pelayan kurang ajar! kau berani melarang aku
makan disini" aku kan tetamu" segala alasan kau ke-
luarkan, kau kira aku tak mampu membayar" Akan te-
tapi apakah yang terjadi" Tiba-tiba si pelayan menjerit parau. Tubuhnya
berkelojotan bagai ayam di sembelih.
Terkejut Adhinata. Ketika dia lepaskan cekalannya,
tubuh si pelayan itu jatuh mengambruk lalu diam tak
berkutik lagi. Gemparlah seketika keadaan di dalam
kedai nasi itu. Beberapa orang sudah segera melompat
untuk melihat kejadian di pintu kedai. Begitu juga kelima tetamu berkuda, yang
sudah bergegas melompat
dari kursi masing-masing.
Berpasang-pasang mata menatap terbelalak
pada mayat si pelayan yang tubuhnya mulai mencair
kehitaman! "Hih...! dia telah kena pukulan beracun!" berkata salah seorang dari kelima
penunggang kuda.
"Dia lari kesana...! si pembunuh itu!" teriak seorang pelayan yang melihat
berkelebatnya tubuh
Adhinata. Tak usah menunggu terlalu lama, serentak
kelima tamu dari Kota Raja itu telah berkelebatan me-
lompat untuk mengejar. Ternyata Adhinata yang tahu
gelagat tidak baik segera angkat kaki dari muka kedai.
Dengan gerakan cepat dia menyelinap masuk pada se-
buah pintu rumah yang kebetulan terbuka. Akan teta-
pi terdengar jeritan dari dalam. Sesosok tubuh tertumbuk tubuhnya dan terlempar
membentur dinding. Ter-
nyata seorang wanita penghuni rumah itu telah jadi
korban kedua. Berkelojotan tubuh wanita itu meregang
nyawa, dan sesaat kemudian pun tewas dengan tubuh
berubah kehitaman.
Tentu saja hal itu membuat Adhinata terperan-
gah. Dia memang tak sengaja membenturnya. "Celaka
...! aku harus segera kabur dari tempat ini!" Desisnya.
Dan... BRRAK... dia sudah menerobos keluar mener-
jang daun pintu bagian belakang. Akan tetapi telah
terdengar bentakan keras.
"Manusia keji! kau telah terkepung!" Dan beberapa sosok tubuh sudah
mengurungnya. Ketika Adhi-
nata menatap pada mereka, tahulah dia kalau yang
mengejarnya adalah tetamu kedai nasi yang rata-rata
berpakaian mewah tadi.
"Pembunuh biadab! apakah kesalahan pelayan
itu, hingga kau membunuhnya dengan kejam?" Bentak salah seorang dari mereka.
"Aku... aku tak sengaja..." Teriak Adhinata dengan panik.
"Manusia keji macam begini mengapa tak cepat
dibunuh mampus" Hayo kita ringkus dia! Teriak salah
seorang yang sudah tak sabar. Dan sekejap sudah
menghunus golok panjangnya. Tentu saja yang lainnya
pun berbuat sama. Masing-masing mencabut keluar
senjatanya. Salah seorang menerjang mendahului. Pe-
dang berkilauan dilengannya ditabaskan ke arah leher
Adhinata. Terkejut laki-laki ini. Lengannya bergerak
menangkis. TRANG...! Luar biasa! pedang si penyerang
itu terpental patah dua. Dan bersamaan dengan itu
terdengar jeritan ngeri salah seorang kepala pengawal dari Kota Raja itu.
Tubuhnya seketika menghitam dan
jatuh berkelojotan. Cuma beberapa kejap saja lang-
sung tewas dengan keadaan tubuh berubah mengeri-
kan. Tentu saja keempat kawannya jadi tersentak
dan melompat mundur.
"Pergi...! pergilah! atau berikan aku pergi dari sini! aku... aku tak
sengaja...!" teriak Adhinata dengan wajah pucat. Sungguh di luar dugaannya kalau
tang-kisannya barusan membawa efek demikian hebat. Dan
tak ayal Adhinata segera melesat untuk melarikan diri.
Akan tetapi keempat kepala Pengawal Kerajaan itu
mana mau membiarkan orang yang telah menyebab-
kan kematian kawannya itu melarikan diri" Serentak
telah mengejar dengan membentak keras.
"Keparat...! kejar...! dia telah membunuh kawan
kita....!" Dan berkelebatlah sosok-sosok tubuh keempat kepala Pengawal, mengejar
Adhinata. Akan tetapi pada
saat itu berkelebat sesosok tubuh menghadang si em-
pat Kepala Pengawal.
"Tahan...! jangan kejar...!" Tentu saja teriakan nyaring itu menghentikan
langkah mereka. Dan ketika
menatap ke arah si penghadang, ternyata seorang wa-
nita muda yang cantik rupawan. Siapa lagi kalau bu-
kan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"He!" siapakah nona" mengapa menghalangi
kami mengejar manusia keji itu?" Tanya salah seorang dari Kepala Pengawal.
"Dia si MANUSIA BERACUN! pengejaran kalian
amat berbahaya! apakah kalian sudah tak sayang
nyawa...?" Berkata Roro dengan menatap tajam pada mereka satu persatu.
"MANUSIA BERACUN...?"" Teriak mereka den-
gan kaget hampir berbareng. Dan menatap Roro den-
gan membeliakkan mata.
"Benar! aku memang tengah menguntitnya,
ternyata dia telah mulai membawa korban!" Tukas Ro-ro dengan wajah serius.
"Nah, maaf, aku harus meneruskan menguntit-
nya Aku menghawatirkan akan banyak terjadi kejadian
yang mengundang maut!" Ucap Roro. Dan selesai berkata demikian tubuh si Pendekar
Wanita itu sudah
berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Melesat cepat
untuk mengejar Adhinata, hingga tak sempat lagi
keempat Pengawal itu untuk menanyakan siapa di-
rinya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara di belakang mereka.
"Kalian beruntung dapat peringatan dari Pen-
dekar Wanita itu! Seharusnya kalian ucapkan terima
kasih...!" Kata-kata itu jelas ditunjukkan pada keempat Kepala Pengawal ini.
Tentu saja serentak mereka putar tubuh untuk melihat siapa yang bicara.
"Ah, Gusti Senapati Kerta Bumi...!" Teriak mereka hampir berbareng. Dan tak ayal
segera menjura hormat pada sang atasan ini.
"Sudahlah! kalian bukan sedang dalam tugas!
Ucap sang Senapati. "Bawalah mayat kawanmu pu-
lang, dan tugas baru telah menanti kalian...!" Selesai berkata Senapati Kerta
Bumi melangkah pergi dari si-
tu. Keempat Kepala Pengawal mengangguk seraya ber-
gegas menghampiri mayat kawannya. Akan tetapi ter-
perangah mereka, karena tubuh sang kawan telah be-
rubah mencair dan menimbulkan bau busuk.
"Gusti Senapati...!" Teriak salah seorang seraya mengejar laki-laki berusia 35
tahun itu. "Ada apakah?" Tanyanya dengan palingkan wa-
jah pada si Kepala Pengawal.
"Mengerikan sekali, gusti Senapati! mayat ka-
wan kami..." Segera si Kepala Pengawal ini beritahukan apa yang dilihatnya.
Tampak wajah Senapati Kerta
Bumi berubah. "Mari...! aku segera melihatnya!" Ujarnya seraya mendahului melompat. Kepala
Pengawal ini segera
menyusul di belakangnya. Terperangah Senapati Kerta
Bumi menyaksikan keadaan mayat. Karena tubuh si
Kepala Pengawal yang malang itu telah menjadi cairan
hitam. Kulitnya meleleh menampakkan tulang-
belulangnya dari sebagian tubuhnya. Sementara hawa
busuk menyebar dari mayat itu.
"Edan! luar biasa sekali racun itu...! benar-
benar amat mengerikan...! entah racun apakah yang
telah mengendap di tubuh laki-laki itu?" Gumam sang Senapati dengan mengelus
jenggotnya yang tipis. Bahkan dia telah menatap pula pada potongan pedang si
Kepala Pengawal yang telah tewas. Ternyata potongan
pedang itupun telah berubah menghitam.
"Racun yang amat ganas itu adalah warisan si
Raja Racun! Manusia itu telah menciptakan empat
buah gelang beracun yang diwariskan pada pemuda
itu! Dunia ini akan dilanda musibah besar! karena si
Raja Racun telah berhasil mencapai cita-citanya men-
ciptakan seorang manusia yang tubuhnya mengan-
dung racun luar biasa, walaupun dia sendiri harus te-
was!" Satu suara lembut terdengar dari seberang jalan.
Tampak seorang kakek duduk di atas sebuah batu be-
sar dengan lengan mengelus jenggotnya yang panjang
menjuntai memutih. "Kakek tua...! siapakah... anda?"
Tanya Senapati Kerta Bumi yang segera telah melihat
siapa orangnya yang bicara. Ringan sekali gerakan
orang tua berjubah putih itu, sekejap sudah hing-
gapkan kakinya ke tanah di hadapan Senapati Kerta
Bumi. "Aku si kakek tua yang sial ini bernama Panunjang Jagat, Gusti Senapati.
Terimalah hormatku ....
Ucap kakek itu seraya menjura pada Senapati Kerta
Bumi. Buru-buru Senapati ini balas menjura. Dari ge-
rakannya hamba Kerajaan ini telah mengetahui kalau
si kakek Panunjang Jagat adalah seorang tokoh Rimba
Hijau yang berilmu tinggi.
"Aneh, anda menyebut diri anda sial. Apakah
hubungannya dengan masalah ini" dan anda tampak-
nya mengetahui benar dengan perihal manusia bera-
cun itu!" Bertanya Senapati Kerta Bumi,
"Bagaimana tak kukatakan diriku sial" si ma-
nusia beracun itu adalah muridku sendiri yang telah
ku gembleng untuk menjadi seorang pendekar kaum
golongan putih. Eii, tahu-tahu mengangkat si Raja Ra-
cun itu menjadi gurunya pula. Dan... jadilah dia ma-
nusia yang menakutkan...! entah bagaimana nasib-
nya, kalau dia dipengaruhi kaum golongan hitam". Tak
ada lain jalan selain membunuhnya siang siang...! "
Ujar sang kakek Puncak Tangkuban Perahu dengan
wajah sedih. Tampak dari sepasang mata tua kakek itu
mengalir air bening yang meluncur turun membasahi
pipinya yang keriput.
Terangguk-angguk kepala Senapati Kerta Bumi
yang diiringi dengan helaan napas. "Benar-benar di luar dugaanku, ternyata anda
guru dari Manusia Beracun itu. Masalah ini memang amat besar dan rumit,
tapi kukira kita memang harus bertindak cepat sebe-
lum kasip. Benar seperti yang dikhawatirkaa anda, ka-
lau muridmu itu telah dipengaruhi kaum golongan se-
sat, akan membahayakan bukan saja terhadap rakyat
akan tetapi juga membahayakan Kerajaan. Bahkan bi-
sa membahayakan umat manusia!" Ujar sang Senapati dengan menatap wajah Ki
Panunjang Jagat.
"Ya! memang lebih cepat kulenyapkan nyawa
murid murtad itu adalah lebih bagus!" Tukas Ki Panunjang Jagat. Akan tetapi
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senapati Kerta Bumi cepat
menyambar bicara.
"Tidak...! bukan dengan membunuhnya, kita
harus cari jalan untuk melenyapkan racun yang men-
gendap ditubuhnya! Akan tetapi apakah watak dari si
Raja Racun itu belum mengendap pada jiwa muridmu,
sobat Ki Panunjang Jagat?"
"Mudah-mudahan tidak, karena waktu yang di-
pergunakan si Raja Racun untuk memproses si Adhi-
nata muridku itu menjadi manusia beracun cuma ber-
kisar antara dua bulan!" Sahut Ki Panunjang Jagat seraya menghapus air matanya.
"Sebenarnya waktu itu aku menitahkan pada Adhinata untuk meneruskan
berguru pada adik seperguruanku Gembul Sona. Dan
kuperintahkan dia turun gunung dari puncak Tangku-
ban Perahu. Akan tetapi dua bulan kemudian ketika
aku menyambangi adikku di pesanggrahannya, ternya-
ta muridku tak kujumpai ada di sana. Belakangan ba-
ru ku ketahui dia berguru pada si Raja Racun, tokoh
hitam dari Rimba Hijau. Aku bisa menduganya karena
kujumpai mayat si Raja Racun dalam keadaan seperti
mayat Pengawal Kerajaan ini!" Tutur Ki Panunjang Jagat lebih lanjut, seraya
menatap pada mayat yang telah membusuk itu.
"Baiklah sobat Panunjang Jagat! aku akan be-
rusaha sebisa mungkin untuk membantumu...!"
"Terima kasih atas bantuan anda sebelumnya
gusti Senapati...! " Senapati Kerta Bumi anggukkan kepalanya dengan tersenyum,
seraya ujarnya.
"Jangan khawatir, orang Kerajaan tidak akan
memusuhi muridmu, sepanjang dia masih dalam kea-
daan belum diperalat orang lain...! Ki Panunjang Jagat manggut-manggut. Lalu
segera menjura untuk mohon
diri. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tubuhnya se-
raya menatap pada mayat.
"Mayat itu sebaiknya dibakar saja, jangan coba-
coba menyentuhnya! amat berbahaya...!"
-ooOoo- TIGA "Setan alas...! aku kehilangan jejak!" Memaki Rora Centil. Tubuh sang dara ayu
ini berkelebatan ke
beberapa arah, dan kepalanya dipalingkan ke kiri dan
ke kanan. Akan tetapi sosok tubuh si manusia beracun
sudah lenyap tak kelihatan bayangannya lagi.
Tiba-tiba Roro melihat sosok bayangan yang
menyelinap ke balik tebing. Tentu saja hal itu tak dis-ia-siakan. Segera dia
berkelebat kesana. Akan tetapi
tiba-tiba... RRRRRRTT! RRRRTT! RRRRTT...! Terperan-
gah Roro Centil, beberapa utas tali telah menjeratnya.
Dan tak ampun lagi kaki dan lengannya serta ping-
gangnya kena terjerat. "Alii...! " aku terjebak dalam pe-rangkap! Desis Roro
dengan terkejut. Cepat sekali be-
kerjanya tali-temali itu, karena sekejap Roro Centil telah tergantung pada
beberapa utas tali dengan kaki
terpentang, kepala di bawah dan kaki di atas. Tali-tali yang menggantung tubuh
Roro menjulur dari beberapa
arah. Yaitu dari atas tebing batu dan beberapa batang
pohon tinggi. "Hihihihi... begitu mudahnya menjebak seorang
wanita Pendekar yang perkasa...! " Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik
tanpa terlihat orangnya. Roro
segera mengenali suara itu. "Keparat si Giri Mayang rupanya!" Desis Roro
tersentak. Dan... saat itu pula telah berkelebatan tujuh sosok makhluk kerdil
mengu- rung di bawah Roro. Tentu saja Roro mengenal mak-
hluk-makhluk ini, karena pernah diserang oleh mere-
ka. Benaknya segera memikir. "Setan alas...! kalau begitu mahluk-mahluk kerdil
ini baladnya si Giri
Mayang...!" Diam-diam Roro kerahkan tenaga dalamnya untuk dapat segera
melepaskan diri dari jeratan
tali. Akan tetapi pada saat itu serangkum angin telah menerpa tubuhnya.
Terdengar si Pendekar Wanita ini,
karena segera merasai tubuhnya tak dapat digerakkan
lagi. Hebat, serangan aneh itu. Roro Centil tak mampu berkutik lagi, karena
seketika jalan darahnya telah tersumbat. Dan dengan demikian dia tak mampu lagi
un- tuk berbuat apa-apa.
"Hehehe... hehehee... selamat berjumpa nona
Pendekar Roro Centil!" Terdengar suara tertawa mengekeh serak yang diiringi
kata-kata. Dan sesosok tu-
buh berkelebat muncul. Sekali gerakan lengannya
memutar, tali temali yang menjerat tubuh Roro terpa-
pas putus terkena sambaran angin aneh. Tanpa bisa
dicegah lagi, tubuh Roro meluncur jatuh. Dan.... mah-
kluk-mahkluk kerdil itu segera menangkapnya.
"Bagus! inilah saatnya kemenangan berada di
pihak kita!" Terdengar suara nyaring dan diiringi dengan berkelebat muncul
sesosok tubuh wanita dengan
ram but terurai. Siapa lagi kalau bukan Giri Mayang.
Entah bagaimana si wanita yang amat mendendam
pada Roro Centil itu bisa berada di tempat itu, dan apa pula hubungannya dengan
nenek renta bertangan ko-
song yang berilmu tinggi itu".
"Hihihi... guru! berikanlah padaku manusia
yang telah menghinaku itu!" berkata Giri Mayang dengan menatap pada si nenek
tangan kosong. Entah se-
jak kapan tahu-tahu wanita ini telah pula mengangkat
guru pada si nenek tua renta berkalung mutiara indah
itu. Si nenek berikan isyarat pada ketujuh makhluk
kerdil untuk melepaskan tubuh Roro dari pegangan
tangan-tangan mereka. Serentak berlompatanlah mak-
hluk-mahkluk kerdil itu dengan patuh.
"Heheheheh mau kau apakan-kah dia?" Ta-
nyanya. "Guru...! terima kasih atas bantuanmu sekali lagi! kali ini biarkanlah
aku yang akan menentukan
hidup matinya perempuan bernama Roro Centil ini!"
Berkata Giri Mayang dengan menatap pada gurunya
lalu alihkan tatapannya pada Roro yang terkapar di
tanah dengan keadaan tak berdaya. Sejurus antaranya
si nenek bertangan kosong yang ternyata bermata jul-
ing itu termenung, tapi kemudian ujarnya...
"Heeheheh... heheh... baiklah! akan tetapi ku
beri waktu kau untuk segera membunuhnya tidak le-
bih dari dua hari. Selewat dua hari aku tak mau men-
dengar adanya nama Roro Centil di atas jagat ini!"
"Baik, baik...! jangan khawatir! manusia pem-
bunuh muridmu si Kupu-kupu Emas ini aku jamin
kau akan segera melihat bangkainya dalam keadaan
tidak utuh!" Berkata Giri Mayang dengan tersenyum menyeringai. Sementara itu
Roro Centil jadi terkejut
karena segera mengetahui kalau si nenek bermata jul-
ing itu adalah guru si Kupu-kupu Emas yang telah te-
was di tangannya, sewaktu berada di Pulau Andalas.
Selesai berkata, Giri Mayang segera sambar tu-
buh Roro. Dan sekejap saja sudah dibawa berkelebat
meninggalkan tempat itu. "Dua hari lagi silahkan kau datang melihat ke tempat
tinggalnya, guru... teriak Giri Mayang yang masih sempat berpesan pada guru
barunya. Nenek mata juling tak menjawab, akan tetapi
segera berkelebat pergi diikuti ketujuh mahkluk cebol piaraannya.
-ooOoo- "Iblis perempuan! tahan langkahmu!" Terdengar bentakan nyaring. Giri Mayang yang
baru saja tiba dibalik bukit jadi terkejut dan hentikan langkahnya,
karena beberapa sosok tubuh berkelebatan
menghadang. Ternyata ketiga murid si nenek Pendekar
Taring Naga, yaitu si tiga gadis berbaju ungu. Giri
Mayang tatapkan matanya pada ketiga dara dihada-
panya. Tiba-tiba dia tertawa mengikik, dan berkata
dengan nada dingin.
"Hihihi... kiranya tiga saudara seperguruan dari Perempuan Taring Naga! He" mau
apa kalian mengha-dangku" Hm, rupanya kalian mau mencari mati...!"
"Bedebah! perempuan laknat! kau telah mencu-
lik dan membunuh kakak laki-laki saudara sepergu-
ruan ku! kau telah memfitnah pula nama Pendekar
Roro Centil! kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatan mu!" Bentak Sri Kendil dengan berang. Dan sepasang senjata gaetannya
telah tercekal di kedua
lengannya. "Hihihi.... nona Pendekar pujaan kalian itu kau
lihat sendiri sudah tak berkutik dalam tanganku! apa-
kah kalian mau jual lagak untuk mencari mati" Se-
baiknya lekas kalian merangkak pergi dari sini!" Bentak Giri Mayang. Sejak tadi
mereka memang telah ber-
prasangka dan tengah menduga-duga pada wanita
yang berada di atas pundak Giri Mayang. Kini semakin
jelaslah kalau wanita itu benar Roro Centil adanya.
Tentu saja membuat mereka cukup terkejut, juga
khawatir. "Hah" Le... lepaskan dia!" Bentak Sri Kendil dengan mata mendelik. Akan tetapi
Girl Mayang tertawa mengikik, seraya berkata lantang.
"Silahkan kalian rebut nona Pendekar pujaan
kalian ini dari tangan ku!"
"Bedebah! kau turunkan dulu dia dari pun-
dakmu! dan hadapi kami!" teriak Parmi, si dara paling cantik diantara mereka.
"Hm, baik! kalian kira aku sebangsa manusia
pengecut yang mau menjadikan si Roro Centil ini un-
tuk perisai..." Kalian rasakan nanti sepak terjangkut berkata Girl Mayang dengan
senyum sinis. Giri Mayang
jatuhkan tubuh Roro menggabruk ke tanah. Dan ber-
kata lagi dengan suara dingin.
Silahkan kalian maju berbareng! kalian mau
membalas dendam kematian kakak seperguruanmu,
bukan" Hihihi... dia memang laki-laki gagah. Sayang
aku terpaksa membunuhnya, karena itulah kebiasaan
ku kalau aku sudah bosan!" Selesai bicara, kembali Gi-ri Mayang perdengarkan
suara tertawa mengikik. Se-
mentara diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam
inti api pada kedua lengannya.
"Iblis perempuan sundal! aku akan adu jiwa
denganmu!" membentak Parmi dengan geram, dan se-
pasang mata berkaca-kaca. Seraya kemudian mener-
jang wanita ini dengan kemarahan meluap-luap. Sepa-
sang senjata gaetannya menyambar bagai kilat menga-
rah leher. Akan tetapi dengan tersenyum Giri Mayang
merunduk cepat. Sebelah lengannya Lantas bergerak
menghantam ke perut lawan.
WHUUK! Angin panas membersit menyambar perut Par-
mi Untunglah gadis ini cepat pula berkelit dengan ja-
tuhkan diri bergulingan. Giri Mayang tak memberi ke-
sempatan untuk gadis itu bangkit. Segera melesat un-
tuk kembali hantamkan telapak tangannya bertubi-
tubi. Akan tetapi saat itu telah terdengar bentakan,
berbareng dengan menerjangnya Sri Kendil dan gadis
rambut kepang. Dua pasang gaetan itu berkilatan me-
nyambar tubuhnya dari perbagai tempat. "Bagus...!"
teriak Giri Mayang. Gesit sekali wanita itu berloncatan menghindar dari serangan
ganas. Tiba-tiba Giri Mayang mulai merubah gerakan
silatnya. Sekejap saja tampak ketiga lawannya mulai
menyerang dengan serabutan, karena Giri Mayang
mempergunakan jurus-jurus yang mengacaukan se-
rangan lawan. Ternyata sambil mempergunakan juru-
sannya, bibir Girl Mayang tampak komat-kamit mem-
baca mantera-mantera. Itulah ilmu hitam yang diper-
gunakan untuk menyerang syaraf lawan. Hingga dalam
pandangan ketiga gadis itu, mereka seperti menghada-
pi mahkluk menyeramkan.
Pada satu kesempatan Giri Mayang hantamkan
lengannya kedua arah.
WHUUKI WHUUKKK...!
Tak ampun lagi terdengar jeritan menyayat ha-
ti. Sri Kendil dan si gadis rambut kepang yang berna-
ma Nirawuni terlempar dengan tubuh menghitam han-
gus. Bukan saja Parmi salah satu dari ketiga gadis itu saja yang terperanjat,
akan tetapi Roro Centil yang dalam keadaan tak berdaya itupun terkesiap kaget.
"Iblis telengas Giri Mayang! kelak kau rasakan kalau bisa
terbebas dari totokan si nenek mata juling itu!"
maki Roro Centil dalam hati. Ternyata lidah dari Pantai Selatan inipun dibuatnya
menjadi kelu dan tak dapat
mengeluarkan suara. Kecuali sepasang matanya saja
yang mendelik gusar.
--000-- EMPAT "Hihihi... segeralah kaupun berangkat menyu-
sul kedua saudara seperguruanmu itu!" Berkata Giri Mayang seraya hantamkan
lengannya mengarah ke
tubuh Parmi yang sedang terlongong dengan mata
membelalak. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar kilat berhawa dingin yang
meluluhkan pukulan inti api Giri Mayang, disertai bentakan keras. "Wanita
terlengas, kejam nian kau...! " BHUURRR...! pukulan inti api Giri Mayang
membalik ke udara, dan menyambar dahan pohon besar. Hebat dan mengerikan sekali,
pohon itu terbakar hangus. Daun-daunnya rontok kering,
berjatuhan meluruk ke bawah. Tersentak Parmi bukan
buatan. Dalam keadaan terperangah tadi, nyaris saja
nyawanya melayang kalau tak datang sosok tubuh
yang menangkis serangan berbahaya itu. Ternyata dis-
itu telah tegak berdiri seorang pemuda tampan berpa-
kaian serba putih. Di lengannya tercekal sebuah pe-
dang yang berkilauan seperti perak. Dialah SAMBU
RUCI si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan
Elok. Kalau Roro Centil diam-diam merasa girang
dengan kemunculan pemuda sahabatnya ini, adalah
Giri Mayang memandang dengan terkejut. Bibirnya su-
dah bergetar untuk membentak. Akan tetapi, aneh...!
tampaknya Giri Mayang sulit untuk mengeluarkan ka-
ta-kata dari mulutnya. Seumur hidup barulah dia me-
lihat seorang laki-laki yang tampannya sedemikian ru-
pa. Tiba-tiba, cepat sekali Girl Mayang balikkan tubuh,
dan menyambar tubuh Roro yang tergeletak ditanah.
Selanjutnya dengan gerakan sebat segera angkat kaki
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tempat itu.
"Haiii" pengecut busuk! mengapa kau melari-
kan diri...?" Teriak Sambu Ruci. Sepasang matanya segera dapat melihat siapa
adanya sosok tubuh yang di
panggul dipundak wanita itu. "Hah" dia... Roro Centil...!" Sentak Sambu Ruci
dengan berdesis. Akan tetapi baru dia mau berkelebat menyusul, sebuah benda
telah dilemparkan ke arahnya.
BRUSSS...! Benda itu meledak menimbulkan
asap hitam yang menyebar menghalangi pandangan.
Ketika Sambu Runci menerobos asap, tubuh Giri
Mayang sudah tak kelihatan lagi.
"Kurang ajar, akal licik untuk melarikan diri!"
Memaki Sambu Ruci dengan hati masygul. Saat itu
Parmi telah lemparkan sepasang senjatanya, dan
memburu ke arah kedua tubuh saudara sepergu-
ruaannya yang terkapar dengan keadaan mengerikan.
Tubuh Sri Kendil dan Nirawuni yang dalam keadaan
menghitam hangus itu ditatapnya dengan air mata
mengenang. Tak kuat melihat kengerian yang terpampang di
matanya, gadis ini menangis terisak dengan menekap
wajahnya dengan kedua belah tangan. Menghadapi
kenyataan yang amat luar biasa itu, pandangan mata
Parmi menjadi gelap dan berkunang-kunang. Kepa-
lanya terasa berdenyutan. Dan bumi yang dipijak tera-
sa berputar. Akhirnya si gadis itu roboh pingsan tak
sadarkan diri. Sementara itu Sambu Ruci telah berke-
lebat menghampiri.
Tentu saja hal itu membuat Sambu Runci jadi
kebingungan. "Ah, dia pingsan pula...! bagaimana ini... ?" Tersentak Sambu Runci. Sambu Runci
memang serba sa-
lah, karena dia baru mau berniat menyusul Roro yang
dilarikan Giri Mayang akan tetapi melihat keadaan ga-
dis itu tak sampai hati dia meninggalkannya. Terlebih melihat kematian kedua
gadis kawannya yang hangus
mengerikan. "Kasihan...! aku harus menolong gadis ini, dan
menguburkan mayat kedua gadis malang ini...! " Berkata Sambu Ruci seorang diri.
Demikianlah... dengan
segera si Pendekar Selat Karimata menggali tanah, lalu menguburkan jenazah kedua
gadis malang itu dengan
hati ikut terharu. Bahkan tak terasa air matanya menitik turun dari kelopak
mata. Matahari mulai menggelincir ke arah barat. Dan
selesailah pekerjaan Sambu Runci. Dua gunduk tanah
yang ditimbun juga dengan batu dan pasir telah bera-
da ditempat itu. Pada tanah datar di sisi bukit. Angin pegunungan berhembus
menyejukkan tubuh.
Laki-laki ini menyeka peluhnya yang meluncur turun
ke dahi. Kini tatapan matanya dialihkan ke bawah po-
hon dimana dia merebahkan tubuh Parmi yang masih
tak sadarkan diri.
Mendengar langkah-langkah kaki menghampiri
agaknya gadis ini mulai sadar dari pingsannya. Dan
sekejap dia sudah melompat bangun. Dilihatnya seso-
sok tubuh laki-laki yang tadi telah menyelamatkan ji-
wanya berada di hadapannya. Berdiri dengan meman-
dang kagum pada gadis itu. Memang tak dapat di
sangkal kalau Parmi adalah seorang dara yang cantik
Berambut ikal. Dengan ikat kepala bercorak kembang-
kembang warna merah. Tatapan matanya sayu, akan
tetapi sedikit membelalak karena segera terlihat dua
gundukan tanah yang sudah dapat diduga adalah ku-
buran kedua saudara seperguruannya.
"Anda.... anda yang telah mengebumikan jena-
zah kedua saudara seperguruanku...?" bertanya Parmi
dengan memandang tajam, akan tetapi diam-diam ha-
tinya berdebar keras. Pemuda itu seorang laki-laki
yang amat tampan. "Siapakah gerangan dia ini..?" berkata Parmi dalam hati.
Sementara itu dengan terse-
nyum Sambu Runci segera menjawab.
"Benar...! kulihat kau telah jatuh pingsan tak
sadarkan diri. Aku lalu menolongmu memindahkan ke
tempat yang teduh disini, kemudian segera ku gali ta-
nah untuk mengubur jenazah...! " Terlihat senyum tre-nyuh di bibir sang gadis.
Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Dan sepasang bibir mungil itupun
tampak tergetar mengucapkan kata-kata...
"Te... terima kasih atas pertolongan anda, tu... tuan Pendekar!" Ucapnya dengan
suara lirih. Dan... setetes air bening kembali mengalir turun ke pipinya yang
putih ranum. "Andapun telah pula menyelamatkan nyawaku.
Betapa besar budi anda, entah dengan apa aku harus
membalasnya. Lanjut Parmi dengan tundukkan wajah,
dan cepat-cepat lengannya menghapus air matanya.
"Ah, sudahlah...! pertolongan itu adalah sudah
menjadi dasar dari setiap golongan pendekar. Siapakah namamu, adik...?"
"Namaku amat jelek. Apakah kau sudi menden-
garnya?" Balas bertanya sang gadis dengan senyum di paksakan.
"Ah, Jelek atau bagus cuma sebuah nama. Tapi
yang jelas orangnya kan cantik...?" goda Sambu Ruci dengan tersenyum. Sengaja
dia bergurau untuk melupakan kesedihan sang gadis itu.
"Ah, anda terlalu memuji! aku sedang dalam
kesedihan begini, kalau anda mau tahu namaku tentu
tak keberatan pula kalau anda menyebutkan nama
anda, bukan?" Berkata sang gadis dengan tersipu.
"Haha... mengapa tidak" namaku Sambu Ruci!"
sahut Sambu Ruci pendek tanpa memperkenalkan ju-
lukannya. Akhirnya sang gadis baju ungu itupun se-
butkan pula namanya.
"Aku... aku Parmi, atau kepanjangannya Parmi
Sudira..."
"Aha...! nama yang begitu bagus mengapa kau
katakan jelek?" kelakar Sambu Ruci dengan tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Bagus dan cantik secantik orangnya! sam-
bungnya dengan menatap tajam pada wajah sang gadis
yang semakin merona merah saja wajahnya.
"Sudira itu tentu nama ayahmu, ataukah nama
suamimu.. ?" tiba- tiba Sambu Ruci ajukan pertanyaan. "Suami..." ah, mana aku
punya suami... itu nama ayahku!" sahut Parmi.
"Ya, ya... aku percaya! baiknya kau ceritakan
riwayatmu, apakah sebabnya bisa bentrok dengan wa-
nita bersama Giri Mayang itu?" Tanya Sambu Ruci
yang segera alihkan pembicaraan. Terdengar suara he-
laan napas si gadis. Wajahnya kembali menampakkan
kesedihan. Akan tetapi segera dia sudah memulai beri-
kan penuturan. Demikianlah, secara kebetulan Parmi akhirnya
dapat berkenalan dengan Sambu Ruci si Pendekar Se-
lat Karimata. Dan Parmi pun tuntas pula menceritakan
siapa dirinya serta persoalan apa hingga dapat bentrok dengan Giri Mayang, yang
nyaris saja dia menyangka
Roro Centil biang pelaku dari kejahatan itu. Tercenung sejenak Sambu Ruci.
Segera terlintas lagi nasib Roro
yang sedang dalam keadaan tak berdaya di tangan Giri
Mayang. Walaupun bagaimana hati pemuda ini yang
sudah kepincut oleh Roro, tak bisa berpeluk tangan
membiarkan Giri Mayang menawan si Dara Pantai Se-
latan itu. "Dimanakah tempat tinggalmu, nona Parmi...
aku akan mengantarkanmu pulang. Selesai itu aku
harus mencari jejak si wanita Iblis itu. Dia telah berhasil menawan sahabatku
Roro Centil. Amat berbahaya
dan mengkhawatirkan sekali. Wanita iblis itu amat te-
lengas dan mempunyai ilmu tinggi..!"
"Kami bertiga sudah bertekad mencari jejak si
wanita iblis pembunuh saudara laki-laki kakak seper-
guruaku. Ternyata telah berhasil menjumpai. Akan te-
tapi kedua saudara seperguruanku kembali tewas di-
tangan iblis wanita telengas itu. Tak ada lain jalan, aku akan turut mencari
jejak nona Pendekar Roro Centil.
Ajaklah aku kemana kau pergi, sobat Sambu Ruci...! "
Berkata Parmi dengan wajah bersemangat.
Tercenung Sambu Ruci. Walau dalam hati tak
menyetujui gadis itu turut serta dalam melacak jejak
Giri Mayang, akan tetapi Sambu Ruci memang tak da-
pat menolak keputusan si gadis. Juga dikhawatirkan
hal itu akan menyinggung perasaan sang gadis yang
amat bersemangat dan berani itu. Akhirnya Sambu
Ruci pun mengangguk.
- ~oOo~ - ~ LIMA Kemanakah gerangan lenyapnya Adhinata, si
manusia beracun" Ternyata dia berada dalam sebuah
lubang sumur yang amat dalam. Kalau Adhinata tak
memiliki kepandaian tinggi, serta akal cerdik yang dipergunakan, niscaya tulang-
tulang tubuhnya telah pa-
tah-patah karena jatuh dari tempat ketinggian terje-
rumus masuk ke dalam sumur itu. Itulah pula sebab-
nya Roro Centil kehilangan jejak.
Di dalam sumur itu Adhinata termangu-mangu.
Untuk merayap naik amat sulit, karena dinding sumur
penuh lumut yang amat licin. Sedangkan untuk me-
lompat keluar juga tak mungkin, karena dalamnya
sumur lebih dari lima puluh kaki. Kecuali dia punya
sayap untuk terbang barulah dia bisa keluar dari su-
mur itu. Berpikir demikian, Adhinata jadi termangu-
mangu dengan mulut memaki panjang pendek.
"Sial! siaaal...! mengapa nasib buruk selalu me-
nimpa ku" Kini nasibku tak lebih buruk dari nasib si
Raja Racun! cepat atau lambat akhirnya toh
aku akan mati kelaparan di asar sumur celaka ini...!"
Malam pun semakin merayap, Adhinata masih
termangu-mangu di dasar sumur tanpa bisa berpikir
apa-apa selain menunggu datangnya maut. Dan lagi-
lagi hawa lapar menggerogoti perutnya. Akan tetapi ti-ba-tiba dia berseru
kegirangan. Matanya menatap pada
lumut yang menempel tebal didinding sumur.
"Ha..." aku... masih bisa hidup! mengapa aku
jadi tolol" lumut ini bisa menjadi bahan makananku!
hahaha..." Tergelak-gelak Adhinata. Dan serta merta lengannya sudah mencongkel
lumut itu. Lalu langsung
memakannya dengan lahap. Tak perduli lagi bagaima-
na rasanya, baginya yang panting adalah dia bisa ber-
tahan hidup sambil menunggu kemukjizatan yang da-
pat menolong dirinya keluar dari sumur itu.
Adhinata memang sudah ditakdirkan menga-
lami hal yang aneh-aneh. Perjumpaanya dengan si Ra-
ja Racun telah membawa akibat tubuhnya mengan-
dung racun yang amat hebat. Empat buah gelang besi
berwarna hitam yang terpasang di empat anggota tu-
buhnya adalah empat buah gelang yang sudah diren-
dam dengan racun puluhan tahun dengan bermacam
racun jahat. Semasa hidupnya si Raja Racun telah be-
rambisi menciptakan seorang manusia yang amat luar
biasa yang bakal diperalat untuk menguasai Dunia
Persilatan. Hingga dengan segala daya dia berhasil
menciptakan gelang-gelang besi itu. Apakah yang telah menyebabkan kematian si
Raja Racun itu" marilah ki-ta ungkapkan peristiwanya.
--000-- Betapa girangnya si Raja Racun tokoh hitam itu
yang telah menemukan Adhinata, yang dianggap cocok
untuk dijadikan bahan percobaan keempat gelang be-
sinya. Si Raja Racun memang telah mendusta Adhina-
ta dengan mengatakan bahwa dia memiliki dua pasang
benda pusaka, yang kalau Adhinata mengingini pasti
dia akan memberikannya. Adhinata yang baru turun
gunung dan belum banyak pengalaman segera kepin-
cut untuk memiliki dua pasang gelang pusaka itu. Ka-
rena menurut Langir Setho bakal menjadikannya seo-
rang yang luar biasa di dunia persilatan.
Demikianlah, Adhinata di bawah ke tempat
tinggal tokoh hitam itu. Selanjutnya dengan menuruti
setiap perintah dan petunjuk si Raja Racun, yang telah di angkat guru oleh
Adhinata, pemuda murid Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu itu di
proses dengan waktu singkat hingga tubuhnya men-
gandung racun yang amat luar biasa dahsyatnya. Akan
tetapi justru si Raja Racun sendiri tewas tanpa sengaja karena kecerobohan yang
di luar dugaannya.
Keempat buah gelang besi itu telah terpasang di
pergelangan keempat anggota tubuh Adhinata. Dia
memerintahkan pemuda itu menyalurkan tenaga da-
lam untuk menyebarkan pengaruh racun dari keempat
gelang besi ke sekujur tubuhnya. Sebelumnya Adhina-
ta memang telah meminum beberapa macam ramuan
untuk memperkuat tubuh, yang harus dimakannya se-
lama waktu satu bulan. Hal itu pernah dicobanya pada
beberapa pemuda yang di Jadikan calon memproses
ide gilanya itu, akan tetapi dari tiga orang pemuda
yang dicobanya itu telah tewas. Hingga si Raja Racun
segera merobah beberapa macam ramuan, dengan me-
nambahi ramuan lain. Hal itu memang berhasil baik
seperti yang telah dicobakan pada Adhinata. Akan te-
tapi Adhinata ternyata tak mampu mengembalikan ra-
cun yang menyebar ditubuhnya ke tempat asalnya yai-
tu keempat buah gelang besi itu. Adhinata memang ti-
dak mati, akan tetapi dia tak sadarkan diri hingga beberapa hari.
Tentu saja hal itu amat mengkhawatirkan si Ra
Racun. Berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan
Adhinata. Kekhawatiran akan kegagalannya semakin
memuncak karena setelah lewat dua pekan, Adhinata
tetap belum sadar dari pingsannya. Untunglah ra-
muan-ramuan yang dijejalkan di mulut Adhinata dapat
memperkuat tubuhnya untuk masih tetap bisa berta-
han hidup. Sepekan pun berlalu lagi, dan Adhinata te-
tap terkapar tanpa daya. Semakin gelisahlah hati Lan-
gir Setho. Tinggal satu proses lagi yang harus dite-
rapkan pada tubuh pemuda itu. Akan tetapi keadaan
Adhinata semakin memburuk. Nafasnya tinggal satu-
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu. Akhirnya si Raja Racun ini jadi nekat. Proses
yang satu lagi harus dilaksanakan, yaitu merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun. Tanpa
harus menunggu lama lagi, si Raja Racun segera cem-
plungkan tubuh Adhinata dalam kubangan air bera-
cun yang telah disiapkan. Ketika pemuda yang jadi
bahan percobaannya satupun belum ada yang sampai
pada proses terakhir ini, karena telah keburu tewas di-awal percobaan. Cuma
Adhinatalah yang bisa menca-
pai proses akhir ini. Akan tetapi itupun masih dalam
teka-teki......
-ooOoo- Tiga hari tiga malam si Raja Racun merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun itu. Se-
lama itu Langir Setho kerahkan tenaga dalamnya un-
tuk membantu menguatkan tubuh Adhinata dengan
saluran tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu. Ter-
nyata hebat akibatnya. Racun yang menyebar di tubuh
Adhinata telah bercampur telah bercampur lagi dengan
racun. Napas pemuda itu sudah semakin gawat. Detik-
detik maut hampir menjelang. Semakin resah hati si
Raja Racun. Kekhawatiran akan kegagalan percobaan-
nya semakin memuncak. Karena bila gagal kali ini bu-
kan saja dia harus memulai segalanya dari nol, akan
tetapi hal ini juga telah menguras habis tenaga dalamnya, dan telah merugikan
tidak sedikit dari usahanya
yang sia-sia itu.
Dan... pada detik-detik yang mendebarkan itu
ternyata Langir Sheto hampir melonjak karena girang-
nya. Tampak napas Adhinata kembali normal secara
berangsur-angsur.
"Bagus muridku...! kau... kau berhasil! berha-
sil...! hahaha... hehe..." Tertawa gelak-gelak si Raja Racun karena girangnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit keras. Cekalan lengannya pada bahu pemuda itu
yang selama tiga hari tiga malam tak pernah lepas un-
tuk menyalurkan tenaga dalam yang mengalirkan ha-
wa hangat ketubuh Adhinata, mendadak sontak di le-
paskan. Terhuyung-huyung tubuh si Raja racun mun-
dur ke belakang. Wajahnya pucat bagai mayat dan
membiru. Akan tetapi tak berlangsung lama, karena
segera tubuh Langir Sheto jatuh menggabruk untuk
selanjutnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Dan
kejap berikutnya tubuh si Raja racun sudah tak ber-
kutik lagi dengan keluarnya suara mengorok bagai
kerbau dipotong.
--ooOoo-- Beberapa saat antaranya tubuh si Raja Racun
itupun mencair dengan mengeluarkan bau busuk yang
amat mengganggu hidung. Tewasnya si Raja Racun
yang berhasil dengan percobaannya. Akan tetapi me-
minta korban jiwanya sendiri. Demikian kisah yang di
alami Adhinata, hingga dia menjadi si Manusia Bera-
cun. Betapa amat mengerikan kini keadaan tubuhnya
membuat Adhinata sendiri menjadi serba salah. Kare-
na dengan demikian justru menyulitkan dirinya sendi-
ri. Masalahnya adalah si Raja Racun telah tewas.
Sedangkan dia tak dapat mengendalikan racun yang
mengendap dalam tubuhnya karena tak mengetahui
caranya. Seandainya dia dapat berfikir secara normal mungkin hal itu bisa
dilakukan. Akan tetapi efek sam-pingan dari proses yang terjadi pada tubuhnya
juga telah merusak jaringan syaraf. Hingga Adhinata tak lebih dari seorang
pemuda tolol. Terkadang dia berambisi
untuk merajai Dunia persilatan, tapi terkadang begitu ketakutan akan keadaan
dirinya. Dan berusaha menjauhi manusia, karena dia khawatir untuk menyen-
tuhnya. - ~oOo~ - ~ ENAM GIRI MAYANG tertawa sinis menatap Roro Cen-
til, yang telah dikuliti seluruh pakaiannya. Bahkan telah menambah beberapa
totokan untuk memperkuat
agar si musuh besarnya tak dapat lepas lagi dari tan-
gannya. Giri Mayang ambil seutas tambang, lalu men-
gikat tubuh kedua pergelangan tangan Roro Centil. Se-
lanjutnya telah mengereknya ke atas pada dua buah
tiang yang menyangga sebuah balok panjang. Rumah
itu adalah sebuah rumah tempat seorang pandai besi.
Si pandai besinya sendiri telah dibunuhnya. Mayatnya
telah di lemparkannya ke sungai di belakang rumah
itu. Tentu saja disana banyak bermacam alat-alat kerja si pandai besi. Dari
tungku tempat bara api, sampai
palu, pahat kikir dan perbagai alat lainnya.
Dan... tungku api itu memang sudah menyala
sejak tadi. Tubuh Roro Centil terayun-ayun pada seu-
tas tambang. Kakinya cuma berada satu jengkal di
atas tanah. Entah kejahatan apa yang akan dilakukan
wanita telengas ini. Dengan bertolak pinggang Giri
Mayang menatap tubuh Roro dengan tersenyum sinis.
"Hm, bentuk tubuhmu memang patut dikagumi
Roro Centil! Memang membuat aku jadi mengiri! Hihi-
hi... akan tetapi tak lama lagi aku akan membuat kulit tubuhmu yang putih itu
menjadi seperti kulit macan
loreng...!" Berkata Giri Mayang seraya perdengarkan suara tertawa mengikik dan
terpingkal-pingkal geli.
"Heh, mengapa tak kau bunuh mampus saja
aku sekalian?" bentak Roro. Ternyata totokan pada urat suaranya telah dibuka
oleh Giri Mayang. Mak-sudnya memang dia ingin mendengar suara Roro yang
menjerit-jerit ketika menjalani siksaan darinya.
"Hihih... hihi... aku memang mau membunuh
mu Pendekar Perkasa! Akan tetapi secara pelahan-
lahan. Biar kau rasakan enaknya menjalani kematian
dengan caraku ini...!" sahut Giri Mayang dengan tersenyum dingin. Selesai
berkata Giri Mayang beranjak
menghampiri tungku. Bara api menyala di dalamnya
Dan tampak beberapa batang besi telah terbakar me-
rah membara. Giri Mayang meraih sebatang besi yang
sudah membara ujungnya itu.
Lalu beranjak mendekati Roro Centil.
"Ck, ck, ck.... sayang, tubuh mulus mu itu
akan menjadi buruk, Roro Centil. Bersiap-siaplah un-
tuk menahan rasa sakit...!" Berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Membeliak
sepasang mata Roro Cen-
til. Baru sekali inilah dia kena dikerjai orang. Bahkan justru berhadapan dengan
wanita sadis yang memben-cinya setengah mati. Tak dapat dibayangkan Roro bak-
al menjalani siksaan yang tidak ringan.
Sepasang mata Giri Mayang menjalari sekujur
tubuh Roro. Dan... besi panjang bergagang kayu yang
ujungnya merah membara itu sudah bergerak mende-
kati tubuh Roro. Beberapa detik lagi Giri Mayang akan mendengar suara jerit
kesakitan dari tubuh Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar suara teriakan yang me-nahannya. Besi panas itu sudah
tinggal beberapa inci
lagi dari kulit tubuh Roro. Terpaksa Giri Mayang hen-
tikan gerakannya, untuk segera berpaling ke arah sua-
ra barusan. Tampak sesosok tubuh berkelebat masuk
ke dalam ruangan.
"Weiaaaah, sabar dulu sobat Kelabang Kuning!
welaah, welaaah, sayangnya kalau kulit yang putih
mulus itu kau bikin cacad...!" Berkata sosok tubuh itu yang ternyata adalah
seorang laki-laki yang sikapnya
amat genit. laki-laki ini berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh jangkung, dan
berbaju gombrong hingga mirip
orang kedodoran. Wajahnya tampak lucu, tanpa kumis
dan jenggot. Sebelah telinganya memakai anting-anting besar. Melihat kemunculan
laki-laki aneh ini tampak
Giri Mayang disamping terkejut, juga mendongkol se-
kali. Laki-laki yang sikapnya genit ini adalah adik tiri ayahnya yang sudah
tewas. Bernama PORAK SUPIH.
Porak Supih inilah yang memperkenalkan dirinya den-
gan si nenek mata juling, yang cuma memberi waktu
dua hari padanya untuk segera membunuh Roro.
Bahkan Girl Mayang telah pula mengangkat si
nenek mata juling itu sebagai gurunya. Giri Mayang
memang belum menerima tambahan ilmu, akan tetapi
nenek yang mempunyai "piaraan" tujuh makhluk kerdil (siluman) itu telah beberapa
kali membantunya.
Walaupun si nenek mata juling itu sendiri belum resmi mengangkat Giri Mayang
menjadi muridnya. Hubungan apakah si nenek mata juling dengan Porak Supih"
Tak lain dan tak bukan wanita tua renta mata juling
itu adalah ibunya sendiri.
"Mau apa kau muncul disini, paman Porak Su-
pih. Sekali ini kuminta kau tak mencampuri urusanku!
Segera keluarlah...! aku tak mau kau mengganggu aca-
ra ku!" Berkata Giri Mayang dengan suara tegas dan hati mangkel. Akan tetapi
Porak Supih malah cengar-cengir dan garuk kepala yang tidak gatal. pasang ma-
tanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan membinar
binal. Seraya ujarnya.
"Welaaah...! Kelabang Kuning! sombong kali
kau ini, bah...! Berilah aku kesempatan untuk masya
dulu dengannya, alangkah menyesalnya kalau kesem-
patan yang langka ini tersia-sia! Kudengar wanita yang kau tawan ini adalah
seorang Pendekar Wanita kena-maan. Ooh... alangkah sayangnya... Welaah, welaah!
aku tidak mau pergi!" Berkata Porak Supih yang telah semakin kurang ajar menatap
Roro yang dalam keadaan tanpa penutup aurat tubuh. Perbuatan Giri
Mayang memang sudah sangat keterlaluan. Dan diam-
diam apa yang telah diperlakukan Giri Mayang ini te-
lah dicatat direlung hati Roro. Di ukir dibenak tanpa
bisa dihapus lagi.
Mendengar jawaban kata-kata Porak Supih, Gi-
ri Mayang semakin mendongkol. Akan tetapi mengingat
laki-laki ini masih ada hubungan famili dengan ayah-
nya, Giri Mayang jadi serba salah kalau harus lakukan kekerasan untuk
mengusirnya. Apa lagi Porak Supih
sudah banyak menanam jasa padanya. Dan.. kali ini
Giri Mayang memohon dengan halus.
"Paman Porak Supih...! si Roro Centil ini adalah musuh besar yang telah membunuh
ayahku. Biarlah
aku memberinya siksaan pedih. Aku akan membuat-
nya mati secara perlahan-lahan. Bahkan dia juga mu-
suh nenek NORI...!" Ujar Giri Mayang dengan suara datar. Nenek Nori yang
dimaksud adalah si nenek ma-ta juling.
Akan tetapi membersit perasaan mengiri dan
cemburu, ketika melihat sepasang mata Porak Supih
sejak tadi tak berkejap-kejap merayapi kemulusan tu-
buh Roro ke setiap lekuk liku dengan pandangan mata
membinar. Bahkan kata-kata Giri Mayang seperti tak
didengarnya. "Heh... heh... walau bagaimana tak kuperke-
nankan kau menyiksanya! Aku sudah benar-benar ja-
tuh hati padanya... dan... aku... aku sudah tak kuat
untuk menahan lagi!" Berkata Porak Supih seraya beranjak melangkah mendekati
tubuh Roro yang meng-
gantung tak mau bergerak.
Akan tetapi tiba-tiba...
"Tunggu...! tak kuperkenankan pula kau me-
nyentuhnya, kecuali..." Bentak Giri Mayang. Besi panas yang merah membara itu
telah meluncur, mena-
han langkah tindakan kaki Porak Supih. Dan... besi
panas itu cuma tinggal berjarak setengah jengkal dari leher Porak Supih.
Terpaksa laki-laki ini hentikan
langkahnya. Kedipan mata wanita itu membuat Porak
Supih mengerti. Segera saja dia tertawa bergelak dan
berkata. "Beres...! untuk jasamu ini aku pasti akan
membalas dengan yang lebih baik...!"
"Nah, beri aku lewat...! kelak kalau sudah hi-
lang penasaran ku, baru ku persilahkan kalau kau
mau menyiksanya atau mencabut nyawanya...!" Lan-
jutnya dengan gerakan lengan menepiskan besi panas.
Aneh! serangkum hawa dingin telah menyambar besi
panas membara itu, dan... CHESSSSS...! Terdengar
bunyi seperti bara disiram air. Ujung besi panas yang merah membara itu seketika
kembali menghitam kepu-tih-putihan, serta menimbulkan asap tipis akibat pa-
damnya ujung besi membara itu.
Dan... sekali lompat dia sudah berada di hada-
pan Roro. Sepasang lengannya bergerak untuk mende-
kap tubuh Roro Centil, dengan nafsu yang sudah
menggelagak tak terbendung lagi.....
DHESS...! BRRAAKKK...!
Terdengar suara jeritan parau disertai terlem-
parnya tubuh Porak Supih yang membentur dinding
ruangan rumah, menimbulkan bergedubrakan. Dua
tiang penyangga tempat menggantung tubuh Roro ta-
hu-tahu telah patah berubah menjadi beberapa po-
tong. Dan tambang yang mengikat Roro telah putus.
Bahkan Roro Centil sendiri sudah tak ada disana.
Apakah yang terjadi"
WHUUKK...! tahu-tahu serangkum angin telah
menyambar tubuh Giri Mayang yang terpukau dengan
mata membelalak. Wanita itu terdengar teriakan terta-
han, seraya jatuhkan diri bergulingan.
PRRASS...! Tanah di tengah ruangan itu me-
nyemburat berlubang. Tubuh Giri Mayang berguling-
guling menghindari serangan dahsyat yang tak diketa-
hui siapa penyerangnya. Sambaran-sambaran angin
dahsyat yang bisa membuat tubuhnya hancur luluh
itu mengejar tubuhnya tiada henti.
BRRRAAKKK...! Dengan satu teriakan keras,
Giri Mayang berhasil menerobos keluar ruangan den-
gan melompat ke atas menjebol atap genting. Beberapa
kejap kemudian wanita itu sudah jejakkan kaki di luar rumah. Terengah-engah
nafas Giri Mayang. Wajahnya
pucat bagai kertas. Jantungnya berdebaran. Akan te-
tapi baru saja dia bernafas lega, lagi-lagi angin keras menyambar dahsyat...
BHLAARRR...! Batu-batu beterbangan hancur.
Dan untuk yang kesekian kalinya wanita ini berhasil
menyelamatkan diri dari maut dengan melompat tinggi
mencelat pergi dari tanah yang dipijaknya. Jantungnya terasa copot, ketika dia
jejakkan lagi kakinya di tanah, sebuah bayangan tubuh telah berkelebat... dan
sekejap telah berdiri di hadapannya.
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah...!?""... kka... kau... (glek...!) Giri Mayang menelan ludah. Terasa kelu
tenggorokannya untuk
berteriak kaget. Ternyata bagaikan area telanjang yang mengerikan sesosok tubuh
telah berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Yang mem-
buat jantung Giri Mayang menyentak kerai adalah di
lengan dara ini telah tercekal sebuah kepala manusia
yang dijambak rambutnya. Potongan kepala manusia
itu tak lain dari kepala Porak Supih. Dara menetes turun memercik di atas batu
yang di injaknya. Dan selu-
ruh Rambut Roro Centil berdiri menegang ke atas ba-
gaikan duri-duri landak. Sepasang matanya meman-
carkan hawa pembunuhan yang membuat nyali Giri
Mayang seketika seperti meleleh. Keringat dingin men-
gembun dan menetes dari sekujur tubuhnya. Seolah-
olah dia tidak melihat manusia lagi, akan tetapi seperti melihat malaikat maut
yang berdiri di hadapannya.
"Alih.... am... ampuni nya.. nyawaku.. nona...
nona Pendekar.... Berkata Giri Mayang dengar suara
gemetar. Akan tetapi sebelah lengan Roro Centil malah terangkat ke arahnya.
Tersentak Jantung wanita ini.
Sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi, Giri Mayang
telah genjot tubuhnya untuk kabur...
Cepat sekali Giri Mayang angkat langkah seribu
menyelamatkan jiwanya. Nyalinya sudah hilang lenyap
untuk menghadapi Roro Centil yang sudah berubah
mengerikan. Ternyata Roro Centil batalkan menghan-
tam wanita itu dengan pukulan dahsyatnya. Lengar
bergerak menjumput sebutir batu. Sekali remas han-
curlah batu itu jadi beberapa kerikil kecil. Dan...
WHUURR...! Segenggam kerikil itu sudah me-
luncur deras mengejar tubuh Giri Mayang yang ber-
lompatan melarikan diri. Terdengar suara menjerit wa-
nita itu. Tubuhnya menggelinding jatuh. Akan tetapi
segera bangkit lagi dengan tubuh luka-luka. Beberapa
butir kerikil telah membenam di anggota tubuhnya.
Dan Giri Mayang terus berlari jatuh bangun. Hingga
beberapa saat kemudian sudah lenyap dibalik batu
tebing..... Ternyata Roro Centil tidak mengejar. Melainkan
berkelebat kembali menuju ke rumah pandai besi,
tempat tinggal sementara Giri Mayang alias si Kela-
bang Kuning itu. WHUUUSS...! Dia telah lemparkan
kepala Porak Supih ke arah sungai di belakang si pan-
dai besi. Lalu berkelebat masuk kembali ke dalam ru-
mah. Apakah sebenarnya yang telah terjadi, hingga Ro-
ro dapat terlepas dari belenggu dan pengaruh totokan
pada tubuhnya"
Kiranya diam-diam Roro Centil telah berhasil
melepaskan diri dari pengaruh totokan. Hawa murni
yang dikumpulkan di pusar berhasil menyebar untuk
membuka totokan. Roro Centil memang mempunyai
tenaga dalam tinggi yang sudah jarang tandingannya.
Pengaruh totokan si nenek mata juling sebenarnya te-
lah sirna karena Roro terus menerus kerahkan tenaga
dalam untuk mengalirkan hawa murni ke sekujur tu-
buhnya. Akan tetapi Roro Centil memang belum mam-
pu bertindak, karena untuk mengembalikan kenorma-
lan aliran darah memakan waktu beberapa saat lagi.
Tak dinyana Giri Mayang telah menambahnya
dengan totokan lagi, memperkuat totokan si nenek ma-
ta juling. Bahkan lalu membuka pakaiannya. Selanjut-
nya telah mengikat kedua lengannya. Lalu menggan-
tung tubuhnya pada dua tiang penyangga balok. Pada
saat besi panas membara itu sudah siap menggores
kulit tubuh, sebenarnya Roro sudah terlepas dari pen-
garuh totokan Giri Mayang yang berhasil tembus oleh
hawa murni dari dalam tubuh Roro.
Demikianlah, hingga kemudian muncul Porak
Supih... Ketika Porak Supih rentangkan tangannya un-
tuk memeluk tubuh Roro, si Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini langsung hantamkan kakinya hingga tubuh
Porak Supih terlempar dengan tulang-tulang bagian
dalam tubuhnya remuk. Lalu memutuskan tali dan
menghantam kedua penyangga itu hingga patah men-
jadi beberapa potong. Selanjutnya menerjang Giri
Mayang, yang ternyata masih mampu menyelamatkan
diri. Ketika Giri Mayang menjebol atap wuwungan,
Porak Supih ternyata masih bisa lakukan serangan
bokongan dengan hamburan ratusan jarum beracun!
Untunglah Roro Centil punya naluri yang teramat pe-
ka. Sambaran halus dari serangkuman senjata rahasia
itu berhasil dipunahkan dengan kibasan rambutnya.
Selanjutnya dengan geram, Roro Centil balik-
kan tubuh... Dan apakah yang di lakukannya" Ternya-
ta sekali lengannya bergerak, Roro telah puntirkan ke-
pala orang dengan menjambak rambutnya. Sekali sen-
takkan, putuslah kepala itu dari tubuhnya. Selanjut-
nya melesat mengejar Giri Mayang. Dan kembali
menghantam wanita itu dengan pukulan-pukulan
maut. Namun berakhir dengan mengalahnya Roro Cen-
til, karena Roro memegang janji. Hingga loloslah Giri Mayang dari maut......
Ketika Matahari merayap naik hampir tepat di
atas kepala, Roro Centil sudah tinggalkan lereng bukit yang telah membawa
peristiwa maut. Terdengar suara
helaan napas si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Per-
bagai peristiwa telah banyak dialami. Akan tetapi pengalaman barusan telah
membuka matanya betapa ba-
nyaknya manusia licik di kolong jagat ini. Juga manu-
sia-manusia berakhlak bejat yang mengumbar nafsu
seenaknya. Porak Supih ternyata sudah dikenali Roro
Centil, ketika dalam salah satu pengembaraanya men-
dengar akan kebrutalan laki-laki aneh beranting-
anting sebelah itu. Entah berapa banyak suami dari
wanita-wanita yang diingini telah dibunuh. Dan mem-
perkosa mereka. Bahkan tidak jarang wanita yang su-
dah hamil akibat perbuatannya itu dibunuhnya pula.
Roro pernah mengejar Porak Supih untuk menangkap-
nya dan menyerahkannya pada seorang Tumenggung
di salah satu wilayah Kerajaan kecil dipesisir laut Pulau Jawa di wilayah selat
Sunda. Akan tetapi Porak
Supih berhasil meloloskan diri. Hingga ketika men-
jumpai Porak Supih muncul di hadapannya, Roro tak
memberinya kesempatan untuk hidup lagi.
Dengan perdengarkan suara tertawa tawar, Ro-
ro Centil berkelebat menuju ke arah barat.......
- ~oOo~ - ~ DELAPAN Tiga-hari tiga malam telah dilewati Adhinata
yang mendekam di dasar sumur... Selama itu tak ada
lain pekerjaan Adhinata selain menghitung-hitung jari-jari tangan dan kakinya.
Atau mencabuti bulu-bulu
yang tumbuh di badannya. Kalau sudah bosan dengan
"pekerjaan" itu tak ada lagi keisengan lain selain makan lumut. Dan kalau
perutnya sudah kenyang terisi,
hawa mengantuk pun datang. Tidurlah dia dengan
menggeros. Demikianlah nasib Adhinata selama terku-
rung di dasar sumur. Tak terasa haripun kembali men-
jadi gelap lagi. Datangnya malam ternyata begitu cepat, karena bila hawa dingin
menyelimuti sekitar lubang
Adhinata cuma bisa menggigil kedinginan. Untunglah
ingatannya mulai agak pulih, dan dia dapat segera sa-
lurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya untuk men-
gusir hawa dingin yang menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak perduli lagi akan
nasibnya. Bahkan sudah tak ingat lagi berapa hari su-
dah dia bersemayam di dasar sumur itu. Pada hari ke-
sembilan pemuda ini kerutkan keningnya, karena
mendengar suara jeritan kaget dari atas lubang. Dan
bersamaan itu batu-batu kecil berjatuhan meluruk
atas kepala. Alangkah terkejutnya Adhinata ketika
menengadah ke atas, melihat sesosok tubuh melayang
ke bawah. "Haaii...! ada orang terperosok ke lubang sialan ini...!" Sentaknya kaget. Tak
ayal dia sudah bangkit berdiri. Dan.... tentu saja lengannya dengan cepat segera
terentang untuk selanjutnya sudah menangkap
tubuh orang yang jatuh terperosok itu.
KREP...! Sekejap kemudian sosok tubuh itu su-
dah berada dalam rengkuhan sepasang tangannya
yang kuat. Orang itu perdengarkan suara keluhan li-
rih. Segera saja Adhinata sudah dapat menduga kalau
sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Karena terasa
ada dua buah benda lunak yang menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini aku punya seorang
teman...!" Berdesis mulut Adhinata dengan sepasang matanya membeliak lebar
memperhatikan wajah
orang. Akan tetapi tiba-tiba wajah Adhinata berubah
pucat. "Celaka...! aku tak boleh menyentuhnya!" desisnya kaget. Dan serta-merta
Adhinata melepaskan pon-
dongannya. Tubuh wanita itu jatuh berdebam ke tanah
lembab. Dan Adhinata melompat ke sisi lubang.
Jantungnya berdetak keras. Sepasang matanya
memperhatikan tubuh wanita itu dengan cemas.
Segera terbayang akan apa yang bakal terjadi.
Tak lama lagi di tempat itu akan ada sesosok mayat
yang daging tubuhnya mencair, menimbulkan bau bu-
suk. Ooh, alangkah tidak menyenangkan...! Akan teta-
pi ditunggu sekian lama tak ada terjadi apa-apa den-
gan wanita itu. Bahkan si wanita itu sendiri sudah
membuka sepasang matanya. Dan menggeliat untuk
bangkit berduduk. Sepasang matanya menatap pada
Adhinata dengan tatapan heran. Bibirnya tampak ter-
getar berucap. "Ah... siapakah.. anda...?"
"Heh" kau tak apa-apa..." Aneh...! Tubuhku
mengandung racun! aku... aku telah menyentuh mu...!
Sukurlah kau tak apa-apa...! Namaku Adhinata!" Tukas Adhinata dengan wajah
gerang melihat wanita itu
tak terkena racun. Hal itu amat mengherankan Adhi-
nata. Hingga terlongong Adhinata menatap wanita itu
yang tak lain dari Giri Mayang adanya. Entah apa yang terjadi hingga wanita
telegas itu bisa jatuh terperosok ke dalam lubang. Giri Mayang sendiri pun
terlongong keheranan, karena tak menyangka dirinya masih hi-
dup. Dia memang dalam keadaan tanpa daksa. Bebe-
Pendekar Bodoh 5 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 11
SATU "RORO CENTIL...! Jangan harap kau dapat me-
loloskan diri dari tangan kami!" Terdengar bentakan keras yang diiringi dengan
berlompatannya sosok-sosok tubuh dari balik candi.
"Aliii...!" apakah gerangan kesalahanku" tak
hujan tak angin tahu-tahu kalian datang dan muncul
mau membunuhku...! hm, siapakah kalian?" Roro Centil menatapkan pandangannya
satu persatu pada em-
pat orang di hadapannya. Ternyata mereka adalah tiga
orang wanita yang masih tampak muda-muda. Berpa-
kaian singsat. Rata-rata mengenakan baju berwarna
ungu. Dan masing-masing lengan kanannya mencekal
senjata gaetan yang amat runcing. Wajah-wajah mere-
ka menampilkan dendam permusuhan yang amat da-
lam terhadap Roro. Entah dendam apakah gerangan,
karena Roro sendiri memang merasa tak mempunyai
kesalahan terhadapnya.
"Heh! kiranya pendekar wanita yang punya na-
ma besar seperti anda mempunyai akhlak rendah!"
Membentak salah seorang yang berwajah paling cantik
diantara keempatnya. "Kami adalah murid dari perguruan Taring Naga Putih!" Nah,
sebulan yang lalu anda muncul di perguruan kami. Kami dari Perguruan Naga
Putih amat mengagumi anda dan telah mendengar ten-
tang sepak terjang serta kehebatan anda dalam hal
membela kebenaran, akan tetapi.... perbuatan anda
menculik serta membunuh kakak seperguruan kami
benar-benar keterlaluan! Seharusnya kamilah yang
bertanya, apakah tingkah laku semacam itu adalah
perbuatan seorang pendekar...?"
Terkejut Roro Centil bukan kepalang. Alisnya
mencuat naik. Sepasang matanya membelalak karena
dia merasa tak pernah melakukan hal itu. Mendengar
adanya perguruan Taring Naga Putih pun baru men-
dengarnya. Akan tetapi Roro tak sempat untuk bicara,
karena sudah terdengar bentakan salah seorang yang
berwajah mirip laki-laki.
"Kakak Parmi...! biarlah aku yang mewakilkan
mu mengirim nyawanya ke Neraka! Pendekar Wanita
berakhlak bejat ini sudah selayaknya mampus!
SREK! Gadis ini sudah mencabut sebuah lagi
senjata gaetannya dari belakang punggung, dan maju
dua tindak ke hadapan Roro. Melihat demikian salah
seorang kawannya tak mau tinggal diam.
"Eh, jangan serakah kakak Sri Kendil! tangan-
ku sudah gatal untuk menghajarnya! perempuan bejat
macam begini tak perlu dibunuh secara cepat, akan te-
tapi kematian secara pelahan yang lebih baik! hm,
maksudku di bunuh pelan-pelan...!" Melangkah pula dua tindak gadis berambut
kepang, yang bertampang
galak ini. "Aiii...! sabar dulu adik-adik manis...! aku me-
rasa tak melakukan hal demikian. Jangan-jangan ka-
lian salah terka...!" Berkata Roro sambil tersenyum.
Akan tetapi hatinya diam-diam mengeluh. "Celaka! ini pasti ulah perbuatan si
Giri Mayang keparat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang telah menyebar
kericuhan dengan menyamar sebagai diriku!"
"Bedebah...! seumur hidup baru kujumpai seo-
rang pendekar bermuka dua! jelas-jelas aku lihat den-
gan mata kepala sendiri, kau menculik kakak sepergu-
ruanku mengapa kini kau mungkir?" Teriak Parmi seraya maju melompat.
"Ah ah...! tampaknya kau amat menyayangi ka-
kak seperguruanmu itu! Kulihat di matamu ada sema-
cam sinar yang berbeda dengan sinar mata kedua
adikmu. Kakak seperguruan kalian itu pasti seorang
laki-laki yang gagah dan berwajah tampan. Dan... kau
sudah jatuh cinta setengah mati padanya bukan?"
Berkata Roro dengan tersenyum sambil menunjuk ke
arah Parmi. Gadis ini memang lain dari dua gadis itu, karena Roro dapat melihat
ada setitik air bening dis-udut mata Parmi. Semakin berkaca-kacalah sepasang
mata gadis ini. Akan tetapi dia telah membentak gusar.
"Perempuan bejat! aku akan adu jiwa dengan-
mu...!" Dan senjata gaetannya telah dicabut lagi keluar lagi dari belakang
punggung. Selanjutnya dengan
mempergunakan sepasang senjata gaetan itu, dia su-
dah menerjang Roro Centil dengan beringas. Sementa-
ra isaknya tersendat dikerongkongan.
WHHUT! WHUUUT! WHUUTT...!
Hebat serangan si dara yang paling cantik dian-
tara kedua gadis baju ungu itu. Sepasang senjata gae-
tan itu menerjang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian
tubuh Roro. Bahkan yang lebih mengerikan adalah
Parmi selalu mengarah kepada bagian leher dan sepa-
sang matanya. "Aiih...! berbahaya sekali...!" Teriak Roro seraya berkelebatan menghindar.
Ternyata cuma dengan tiga
kali bergerak ke kiri dan ke kanan serta doyongkan tubuh ke belakang Roro telah
dapat meloloskan diri dari serangan maut segebrakan itu. Mengetahui serangan
berbahayanya dihindari dengan tersenyum-senyum
jumawa membuat Parmi semakin bernafsu untuk men-
jatuhkan lawannya. Dan dengan menggertak nyaring
kembali dia lancarkan serangan beruntun yang lebih
berbahaya lagi. Kali ini sepasang gaetannya berubah
bagaikan belasan cahaya berkilau yang membersit
mengurung tubuh Roro, diiringi suara mendesing yang
mengeluarkan hawa dingin. Ayal sedikit saja leher atau perut bisa kecantol
gaetan maut itu.
Akan tetapi Roro Centil masih melayani seran-
gan itu dengan tersenyum manis. Bahkan mengajari
lawannya menyerang.
"Yaaak, tebas ke bawah mengarah kaki! terjang
menyilang sambil menendangi serang ke kiri-kanan
dengan serangan bolak-balik! Bagus...!" Teriak Roro seraya lengannya bergerak
menangkap kedua lengan ga-
dis itu. TAP...!
Sekejap saja lengan Parmi telah kena tertang-
kap oleh cekalan kuat Roro Centil. Melihat demikian
kedua saudara seperguruan gadis itu lakukan seran-
gan berbareng, seraya membentak.
"Lepas...!" Cahaya-cahaya menyilaukan dari kedua pasang gaetan si dua gadis baju
ungu nyaris membobol perut Roro. Terpaksa Roro lepaskan ceka-
lannya dengan mengenjot tubuh melesat ke udara se-
tinggi lima tombak. Ringan sekali sepasang kakinya
hinggap di atas candi. Terperangah kedua gadis itu seraya menengadah ke atas.
"Hai...! kau kira semudah itu mau melarikan di-
ri?" kejaaar...!" Teriak Sri Kendil.
"Hihihi... siapa yang mau melarikan diri?" berkata Roro. Tiba-tiba si Pendekar
Wanita Pantai Selatan meluncur turun ke arah mereka. Tentu saja hal demikian tak
disia-siakan ketiga murid dari Perguruan Li-
dah Naga Putih itu. Serentak menyambutnya dengan
terjangan maut. Akan tetapi yang terdengar adalah ju-
stru teriakan ketiga dara baju ungu itu berbareng dengan terpentalnya senjata-
senjata mereka. Aneh sekali, karena seketika itu tubuh ketiga gadis sudah dalam
keadaan tertotok kaku dalam posisi menyerang. Apa-
kah gerangan yang terjadi" Ternyata Roro Centil baru
saja memperagakan ilmu dari jurus "Bayangan Kem-
bar" Ilmu ini cuma bisa dimiliki oleh orang yang tingkat ilmunya sudah amat
tinggi. Karena mengan-
dalkan kecepatan yang melebihi cepatnya kejapan ma-
ta. Hingga ketiga gadis itu menyangka tubuh Roro
Centil berada di hadapan mereka dan akan berhasil
kena di robohkan. Tak dinyana dengan gerakan yang
sukar diikuti oleh mata, justru Roro Centil sudah me-
lesat ke arah sisi dan lakukan serangan pada ketiga
lawannya yang menerjang bayangannya. Hingga seke-
japan saja ketika senjata dapat dibuat terlepas dari
masing-masing pemiliknya, bahkan sekaligus melan-
carkan totokan.
Terbelalak tiga pasang mata dara-dara murid
dari Perguruan Lidah Naga. Masing-masing hatinya
sudah mengucap. "Matilah aku...! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
tertawa mengekeh dibarengi
dengan kata-kata. "Hebat...! hebat...! jurus ilmu Bayangan Kembar itu sukar
untuk dikuasai, tapi ternyata telah menguasainya, sobat Roro Centil!" Tentu saja
Roro Centil segera palingkan wajahnya, dan menatap pada sosok tubuh yang barusan
saja berkelebat ke
hadapannya. Itulah sosok tubuh seorang wanita tua berju-
bah putih berwajah masih cantik walau telah penuh
keriput. Di lengannya tercekal sebuah tongkat putih
tipis, bengkok dan berujung runcing. Rambutnya ter-
gelung rapi dengan tusuk konde perak. Tak berapa la-
ma, sudah disusul dengan berkelebatnya sesosok tu-
buh lagi, dibarengi kata-kata.
"Haiiih! hampir saja terjadi lagi salah paham!
selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil...!" Ternyata orang kedua yang barusan
muncul adalah Ki Gembul
Sona, yaitu si kakek yang berjulukan si Belut Putih.
Seketika wajah Roro Centil berubah cerah.
"Ah... selamat datang pula pada kalian orang
tua gagah, sungguh kebetulan sekali bisa muncul dis-
ini...!" Tukas Roro seraya menjura.
"Bolehkah aku bertanya apakah bibi yang ber-
tongkat adalah guru dari ketiga gadis ini" Tanya Roro.
Hm......benar! kuharap anda dapat memaafkan
kekeliruan mereka karena telah menyangka anda si
pembuat kericuhan! mereka memang masih hijau dan
belum banyak pengalaman di luar. Kematian murid la-
ki-laki kami telah membuat mereka menjadi nekat un-
tuk mencari anda demi membalas dendam!" ujar si
wanita tua seraya balas menjura.
"Aku si perempuan tua renta ini adalah yang di
juluki kaum Rimba Hijau si Pendekar Tongkat Taring
Naga!" sambungnya memperkenalkan diri. Roro Centil tersenyum manggut-manggut.
Tiba-tiba Roro Centil segera balikkan tubuhnya. Sepasang lengannya berge-
rak. Dan... segelombang angin telah membersit keluar
dari sepasang lengannya. Tersentak ketiga gadis itu
karena sekejap mereka sudah terbebas dari pengaruh
totokan. Tentu saja mereka cepat-cepat memungut
kembali senjata masing-masing yang bergeletakan di
tanah. Selanjutnya segera melompat ke hadapan sang
guru mereka. "Murid-muridku hayo lekas kalian minta maaf
pada nona Pendekar Roro Centil!" Ketiga murid ini tampak ragu-ragu, bahkan salah
seorang sudah berkata,
"Akan tetapi, guru... bukankah dia... dia ucap-
nya tergagap. "Seseorang telah menyaru mirip nona Pendekar
Roro Centil ini! Kalian telah salah menduga orang.
Hayo cepat minta maaf...!" Bentak si Pendekar Tongkat Taring Naga dengan
plototkan matanya. Tentu saja
membuat ketiga gadis baju ungu itu terperangah den-
gan mata membelalak. Dan serta-merta segera menju-
ra di hadapan Roro.
"Maafkan kekeliruan kami, sobat Pendekar Ro-
ro Centil! kami tak mengetahui tentang hal itu!" ucap Parmi yang mewakilkan
bicara. "Akan tetapi bolehkan anda menjelaskan siapa
sebenarnya yang melakukan tipu muslihat keji mem-
fitnah anda itu?" Tiba-tiba Parmi langsung ajukan pertanyaan.
"Benar! kami ingin mengetahui dan harus men-
getahui..." Berkata Sri Kendil yang menatap Roro dengan pandangan tajam. Dari
tatapannya itu jelas dia
masih kurang percaya dengan penuturan gurunya.
"Hihihi... silahkan kalian tanyakan pada guru-
mu, atau pada kakek rambut coklat itu. Beliau-beliau
pasti akan menjawabnya!" Sahut Roro dengan tersenyum seraya leletkan lidah
membasahi bibirnya.
"Nah maaf... aku tak bisa berlama-lama dis-
ini...!" Ujar Roro. Selanjutnya dengan sekali genjot tubuh sang Pendekar wanita
ini sudah melayang ke atas
candi yang paling tinggi. Dan saat berikutnya sudah
lenyap melompat ke belakang candi.
- ~oOo~ - ~ DUA Desa Cilutung yang mengalir pula disana kali
Cilutung tampak pada slang hari itu amat lengang.
Udara panas membuat seorang laki-laki berusia antara
20 tahun itu melepaskan lelah duduk di bawah pohon.
Dia seorang laki-laki gagah yang berwajah cukup tam-
pan. Memakai baju rompi warna hitam, dengan dada
telanjang. Rambutnya tak terurus. Pada pergelangan
lengan dan kaki pemuda ini membelit empat buah ge-
lang besi berwarna hitam.
Dialah ADHINATA, murid Ki Panunjang Jagat
dari puncak Tangkuban Perahu. Laki-laki yang pernah
menjadi murid si Raja Racun ini tampak seperti kebin-
gungan untuk menentukan langkahnya. Sementara
perutnya sudah berbunyi berkeriutan minta di isi.
"Ah, aku harus cari makanan...! perutku lapar.
Kukira did alam desa ini pasti ada warung nasi. Atau...
aku bisa minta pada salah seorang penduduk. Tak ku
punyai sekepingpun uang perak...!" gumamnya perlahan. Sesaat dia sudah bangkit
berdiri. Dan melangkah
memasuki desa. Jalannya tak terlalu cepat karena da-
lam melangkah itu benaknya terus bekerja.
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat!
aku harus hati-hati untuk tidak menyentuh siapa saja!
haiih...! sungguh aku tak menyangka kalau akan begi-
ni jadinya! semua ini gara-gara aku kepincut dengan
benda pusaka si Raja Racun yang ternyata adalah ha-
sil ciptaannya!" desisnya lirih.
Kedai nasi mang Sakri didesa itu terkenal den-
gan kelezatan masakannya. Warung nasi itu adalah sa-
tu-satunya yang paling besar di desa itu. Bahkan begi-tu terkenalnya masakan
maupun pelayanannya, mang
Sakri pernah di undang ke rumah Adipati Bayu Nin-
grat untuk memasak di gedungnya. Ya...! sejak itu se-
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makin terkenal saja kedai nasi mang Sakri. Hingga wa-
rungnya diperlebar, dan berdagang slang malam. Ka-
rena banyak para pelanggan yang memesan dari per-
bagai tempat, juga yang sengaja datang untuk makan
di situ. Seperti juga hari itu. Tampak lima penunggang kuda telah singgah di
warungnya. Kelima ekor kuda
segera di tambatkan di tempat yang telah tersedia,
bahkan diberi rumput pula untuk menyenangkan hati
para pelanggan. Beberapa pelayan laki-laki maupun
perempuan tampak sibuk mencarikan meja dan tem-
pat duduk, karena mereka tahu kelima penunggang
kuda itu adalah tamu-tamu istimewa yang sering
memesan makanan. Kesemuanya adalah dari Kota Ra-
ja. Mang Sakri sudah tidak lagi memasak di dapur, cu-
kup memerintahkan saja pada para pelayan. Berkat
didikan mang Sakri pelayan-pelayan tamu maupun ju-
ru masak mengolah makanan telah pandai untuk me-
nyesuaikan selera orang.
Beberapa saat setelah kelima orang penung-
gang kuda itu mendapat tempat duduk dan memesan
makanan. Adhinata dengan langkah terhuyung mema-
suki kedai. Seorang pelayan laki-laki segera menyam-
but di pintu. Pemuda ini menatap mata pelayan. Tentu
saja si pelayan ini kerutkan keningnya, karena baru
sekali ini ada tetamu yang memasuki kedai dengan ba-
ju kumal dan rambut awut-awutan. Bahkan sepasang
mata laki-laki yang ditatapnya itu terlihat merah seperti habis mabuk.
"Boleh aku bertanya, apakah aku bisa bicara
dengan yang punya kedai ini?" Tanya Adhinata. Melengak si pelayan, dan ajukan
pula pertanyaan dengan
menatap tajam orang di hadapannya.
"Apakah maksudmu menanyakan majikanku?"
Tanyanya. "Ah, kau panggil sajalah majikanmu, aku mau
bicara hanya dengannya! Sahut Adhinata.
"He...!" lagakmu macam tuan besar saja! ma-
tamu merah, jangan-jangan kau baru saja mabuk! ke-
dai kami sedang kedatangan orang-orang terhormat.
Sebaiknya kau katakan maksudmu! atau nanti saja se-
telah para tamu kami sudah pulang...!" kau lihat! majikanku sedang sibuk
menghormati tamu...!" Ucap si pelayan dengan tandas.
Tercenung sejenak Adhinata, segera dia meno-
leh pada laki-laki tua bertubuh gemuk yang tengah
bercakap-cakap dengan lima orang tamu yang berpa-
kaian mewah. "Hm, aku tak pernah minum-minuman
keras! mataku merah karena aku kurang tidur! baik-
lah, nanti aku bicara sendiri pada majikanmu! Sedia-
kanlah makanan, perutku lapar...!" Ujar Adhinata seraya melangkah masuk.
"Eh tunggu dulu! bajumu kotor tubuhmu dekil
dari kumal. Dengan keadaanmu seperti itu pasti teta-
mu kami akan menyingkir pergi! Lagi pula apakah kau
punya uang untuk membayar makanan...! cegah pe-
layan yang dengan sigap telah menghalangi di pintu.
Tentu saja hal demikian membuat Adhinata jadi gusar.
Tadinya dia mau berterus terang untuk meminta sepir-
ing nasi pada majikan si pelayan itu. Akar tetapi kare-na sang pelayan
melarangnya dengar memberikan ala-
san. Adhinata Jadi batalkan niatnya untuk berterus
terang. Benaknya berfikir saat tadi ialah makan dulu
mengisi perut, urusan bayar adalah belakangan.
Kini melihat si pelayan itu dengan bertolak
pinggang melarangnya masuk, membuat pemuda ini
jadi mendongkol. Dan hilanglah kesabarannya, bahkan
lupa kalau dia harus berhati-hati untuk bertindak. Sekali lengannya bergerak
dicengkeramnya baju si pe-
layan seraya membentak.
"Pelayan kurang ajar! kau berani melarang aku
makan disini" aku kan tetamu" segala alasan kau ke-
luarkan, kau kira aku tak mampu membayar" Akan te-
tapi apakah yang terjadi" Tiba-tiba si pelayan menjerit parau. Tubuhnya
berkelojotan bagai ayam di sembelih.
Terkejut Adhinata. Ketika dia lepaskan cekalannya,
tubuh si pelayan itu jatuh mengambruk lalu diam tak
berkutik lagi. Gemparlah seketika keadaan di dalam
kedai nasi itu. Beberapa orang sudah segera melompat
untuk melihat kejadian di pintu kedai. Begitu juga kelima tetamu berkuda, yang
sudah bergegas melompat
dari kursi masing-masing.
Berpasang-pasang mata menatap terbelalak
pada mayat si pelayan yang tubuhnya mulai mencair
kehitaman! "Hih...! dia telah kena pukulan beracun!" berkata salah seorang dari kelima
penunggang kuda.
"Dia lari kesana...! si pembunuh itu!" teriak seorang pelayan yang melihat
berkelebatnya tubuh
Adhinata. Tak usah menunggu terlalu lama, serentak
kelima tamu dari Kota Raja itu telah berkelebatan me-
lompat untuk mengejar. Ternyata Adhinata yang tahu
gelagat tidak baik segera angkat kaki dari muka kedai.
Dengan gerakan cepat dia menyelinap masuk pada se-
buah pintu rumah yang kebetulan terbuka. Akan teta-
pi terdengar jeritan dari dalam. Sesosok tubuh tertumbuk tubuhnya dan terlempar
membentur dinding. Ter-
nyata seorang wanita penghuni rumah itu telah jadi
korban kedua. Berkelojotan tubuh wanita itu meregang
nyawa, dan sesaat kemudian pun tewas dengan tubuh
berubah kehitaman.
Tentu saja hal itu membuat Adhinata terperan-
gah. Dia memang tak sengaja membenturnya. "Celaka
...! aku harus segera kabur dari tempat ini!" Desisnya.
Dan... BRRAK... dia sudah menerobos keluar mener-
jang daun pintu bagian belakang. Akan tetapi telah
terdengar bentakan keras.
"Manusia keji! kau telah terkepung!" Dan beberapa sosok tubuh sudah
mengurungnya. Ketika Adhi-
nata menatap pada mereka, tahulah dia kalau yang
mengejarnya adalah tetamu kedai nasi yang rata-rata
berpakaian mewah tadi.
"Pembunuh biadab! apakah kesalahan pelayan
itu, hingga kau membunuhnya dengan kejam?" Bentak salah seorang dari mereka.
"Aku... aku tak sengaja..." Teriak Adhinata dengan panik.
"Manusia keji macam begini mengapa tak cepat
dibunuh mampus" Hayo kita ringkus dia! Teriak salah
seorang yang sudah tak sabar. Dan sekejap sudah
menghunus golok panjangnya. Tentu saja yang lainnya
pun berbuat sama. Masing-masing mencabut keluar
senjatanya. Salah seorang menerjang mendahului. Pe-
dang berkilauan dilengannya ditabaskan ke arah leher
Adhinata. Terkejut laki-laki ini. Lengannya bergerak
menangkis. TRANG...! Luar biasa! pedang si penyerang
itu terpental patah dua. Dan bersamaan dengan itu
terdengar jeritan ngeri salah seorang kepala pengawal dari Kota Raja itu.
Tubuhnya seketika menghitam dan
jatuh berkelojotan. Cuma beberapa kejap saja lang-
sung tewas dengan keadaan tubuh berubah mengeri-
kan. Tentu saja keempat kawannya jadi tersentak
dan melompat mundur.
"Pergi...! pergilah! atau berikan aku pergi dari sini! aku... aku tak
sengaja...!" teriak Adhinata dengan wajah pucat. Sungguh di luar dugaannya kalau
tang-kisannya barusan membawa efek demikian hebat. Dan
tak ayal Adhinata segera melesat untuk melarikan diri.
Akan tetapi keempat kepala Pengawal Kerajaan itu
mana mau membiarkan orang yang telah menyebab-
kan kematian kawannya itu melarikan diri" Serentak
telah mengejar dengan membentak keras.
"Keparat...! kejar...! dia telah membunuh kawan
kita....!" Dan berkelebatlah sosok-sosok tubuh keempat kepala Pengawal, mengejar
Adhinata. Akan tetapi pada
saat itu berkelebat sesosok tubuh menghadang si em-
pat Kepala Pengawal.
"Tahan...! jangan kejar...!" Tentu saja teriakan nyaring itu menghentikan
langkah mereka. Dan ketika
menatap ke arah si penghadang, ternyata seorang wa-
nita muda yang cantik rupawan. Siapa lagi kalau bu-
kan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"He!" siapakah nona" mengapa menghalangi
kami mengejar manusia keji itu?" Tanya salah seorang dari Kepala Pengawal.
"Dia si MANUSIA BERACUN! pengejaran kalian
amat berbahaya! apakah kalian sudah tak sayang
nyawa...?" Berkata Roro dengan menatap tajam pada mereka satu persatu.
"MANUSIA BERACUN...?"" Teriak mereka den-
gan kaget hampir berbareng. Dan menatap Roro den-
gan membeliakkan mata.
"Benar! aku memang tengah menguntitnya,
ternyata dia telah mulai membawa korban!" Tukas Ro-ro dengan wajah serius.
"Nah, maaf, aku harus meneruskan menguntit-
nya Aku menghawatirkan akan banyak terjadi kejadian
yang mengundang maut!" Ucap Roro. Dan selesai berkata demikian tubuh si Pendekar
Wanita itu sudah
berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Melesat cepat
untuk mengejar Adhinata, hingga tak sempat lagi
keempat Pengawal itu untuk menanyakan siapa di-
rinya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara di belakang mereka.
"Kalian beruntung dapat peringatan dari Pen-
dekar Wanita itu! Seharusnya kalian ucapkan terima
kasih...!" Kata-kata itu jelas ditunjukkan pada keempat Kepala Pengawal ini.
Tentu saja serentak mereka putar tubuh untuk melihat siapa yang bicara.
"Ah, Gusti Senapati Kerta Bumi...!" Teriak mereka hampir berbareng. Dan tak ayal
segera menjura hormat pada sang atasan ini.
"Sudahlah! kalian bukan sedang dalam tugas!
Ucap sang Senapati. "Bawalah mayat kawanmu pu-
lang, dan tugas baru telah menanti kalian...!" Selesai berkata Senapati Kerta
Bumi melangkah pergi dari si-
tu. Keempat Kepala Pengawal mengangguk seraya ber-
gegas menghampiri mayat kawannya. Akan tetapi ter-
perangah mereka, karena tubuh sang kawan telah be-
rubah mencair dan menimbulkan bau busuk.
"Gusti Senapati...!" Teriak salah seorang seraya mengejar laki-laki berusia 35
tahun itu. "Ada apakah?" Tanyanya dengan palingkan wa-
jah pada si Kepala Pengawal.
"Mengerikan sekali, gusti Senapati! mayat ka-
wan kami..." Segera si Kepala Pengawal ini beritahukan apa yang dilihatnya.
Tampak wajah Senapati Kerta
Bumi berubah. "Mari...! aku segera melihatnya!" Ujarnya seraya mendahului melompat. Kepala
Pengawal ini segera
menyusul di belakangnya. Terperangah Senapati Kerta
Bumi menyaksikan keadaan mayat. Karena tubuh si
Kepala Pengawal yang malang itu telah menjadi cairan
hitam. Kulitnya meleleh menampakkan tulang-
belulangnya dari sebagian tubuhnya. Sementara hawa
busuk menyebar dari mayat itu.
"Edan! luar biasa sekali racun itu...! benar-
benar amat mengerikan...! entah racun apakah yang
telah mengendap di tubuh laki-laki itu?" Gumam sang Senapati dengan mengelus
jenggotnya yang tipis. Bahkan dia telah menatap pula pada potongan pedang si
Kepala Pengawal yang telah tewas. Ternyata potongan
pedang itupun telah berubah menghitam.
"Racun yang amat ganas itu adalah warisan si
Raja Racun! Manusia itu telah menciptakan empat
buah gelang beracun yang diwariskan pada pemuda
itu! Dunia ini akan dilanda musibah besar! karena si
Raja Racun telah berhasil mencapai cita-citanya men-
ciptakan seorang manusia yang tubuhnya mengan-
dung racun luar biasa, walaupun dia sendiri harus te-
was!" Satu suara lembut terdengar dari seberang jalan.
Tampak seorang kakek duduk di atas sebuah batu be-
sar dengan lengan mengelus jenggotnya yang panjang
menjuntai memutih. "Kakek tua...! siapakah... anda?"
Tanya Senapati Kerta Bumi yang segera telah melihat
siapa orangnya yang bicara. Ringan sekali gerakan
orang tua berjubah putih itu, sekejap sudah hing-
gapkan kakinya ke tanah di hadapan Senapati Kerta
Bumi. "Aku si kakek tua yang sial ini bernama Panunjang Jagat, Gusti Senapati.
Terimalah hormatku ....
Ucap kakek itu seraya menjura pada Senapati Kerta
Bumi. Buru-buru Senapati ini balas menjura. Dari ge-
rakannya hamba Kerajaan ini telah mengetahui kalau
si kakek Panunjang Jagat adalah seorang tokoh Rimba
Hijau yang berilmu tinggi.
"Aneh, anda menyebut diri anda sial. Apakah
hubungannya dengan masalah ini" dan anda tampak-
nya mengetahui benar dengan perihal manusia bera-
cun itu!" Bertanya Senapati Kerta Bumi,
"Bagaimana tak kukatakan diriku sial" si ma-
nusia beracun itu adalah muridku sendiri yang telah
ku gembleng untuk menjadi seorang pendekar kaum
golongan putih. Eii, tahu-tahu mengangkat si Raja Ra-
cun itu menjadi gurunya pula. Dan... jadilah dia ma-
nusia yang menakutkan...! entah bagaimana nasib-
nya, kalau dia dipengaruhi kaum golongan hitam". Tak
ada lain jalan selain membunuhnya siang siang...! "
Ujar sang kakek Puncak Tangkuban Perahu dengan
wajah sedih. Tampak dari sepasang mata tua kakek itu
mengalir air bening yang meluncur turun membasahi
pipinya yang keriput.
Terangguk-angguk kepala Senapati Kerta Bumi
yang diiringi dengan helaan napas. "Benar-benar di luar dugaanku, ternyata anda
guru dari Manusia Beracun itu. Masalah ini memang amat besar dan rumit,
tapi kukira kita memang harus bertindak cepat sebe-
lum kasip. Benar seperti yang dikhawatirkaa anda, ka-
lau muridmu itu telah dipengaruhi kaum golongan se-
sat, akan membahayakan bukan saja terhadap rakyat
akan tetapi juga membahayakan Kerajaan. Bahkan bi-
sa membahayakan umat manusia!" Ujar sang Senapati dengan menatap wajah Ki
Panunjang Jagat.
"Ya! memang lebih cepat kulenyapkan nyawa
murid murtad itu adalah lebih bagus!" Tukas Ki Panunjang Jagat. Akan tetapi
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senapati Kerta Bumi cepat
menyambar bicara.
"Tidak...! bukan dengan membunuhnya, kita
harus cari jalan untuk melenyapkan racun yang men-
gendap ditubuhnya! Akan tetapi apakah watak dari si
Raja Racun itu belum mengendap pada jiwa muridmu,
sobat Ki Panunjang Jagat?"
"Mudah-mudahan tidak, karena waktu yang di-
pergunakan si Raja Racun untuk memproses si Adhi-
nata muridku itu menjadi manusia beracun cuma ber-
kisar antara dua bulan!" Sahut Ki Panunjang Jagat seraya menghapus air matanya.
"Sebenarnya waktu itu aku menitahkan pada Adhinata untuk meneruskan
berguru pada adik seperguruanku Gembul Sona. Dan
kuperintahkan dia turun gunung dari puncak Tangku-
ban Perahu. Akan tetapi dua bulan kemudian ketika
aku menyambangi adikku di pesanggrahannya, ternya-
ta muridku tak kujumpai ada di sana. Belakangan ba-
ru ku ketahui dia berguru pada si Raja Racun, tokoh
hitam dari Rimba Hijau. Aku bisa menduganya karena
kujumpai mayat si Raja Racun dalam keadaan seperti
mayat Pengawal Kerajaan ini!" Tutur Ki Panunjang Jagat lebih lanjut, seraya
menatap pada mayat yang telah membusuk itu.
"Baiklah sobat Panunjang Jagat! aku akan be-
rusaha sebisa mungkin untuk membantumu...!"
"Terima kasih atas bantuan anda sebelumnya
gusti Senapati...! " Senapati Kerta Bumi anggukkan kepalanya dengan tersenyum,
seraya ujarnya.
"Jangan khawatir, orang Kerajaan tidak akan
memusuhi muridmu, sepanjang dia masih dalam kea-
daan belum diperalat orang lain...! Ki Panunjang Jagat manggut-manggut. Lalu
segera menjura untuk mohon
diri. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tubuhnya se-
raya menatap pada mayat.
"Mayat itu sebaiknya dibakar saja, jangan coba-
coba menyentuhnya! amat berbahaya...!"
-ooOoo- TIGA "Setan alas...! aku kehilangan jejak!" Memaki Rora Centil. Tubuh sang dara ayu
ini berkelebatan ke
beberapa arah, dan kepalanya dipalingkan ke kiri dan
ke kanan. Akan tetapi sosok tubuh si manusia beracun
sudah lenyap tak kelihatan bayangannya lagi.
Tiba-tiba Roro melihat sosok bayangan yang
menyelinap ke balik tebing. Tentu saja hal itu tak dis-ia-siakan. Segera dia
berkelebat kesana. Akan tetapi
tiba-tiba... RRRRRRTT! RRRRTT! RRRRTT...! Terperan-
gah Roro Centil, beberapa utas tali telah menjeratnya.
Dan tak ampun lagi kaki dan lengannya serta ping-
gangnya kena terjerat. "Alii...! " aku terjebak dalam pe-rangkap! Desis Roro
dengan terkejut. Cepat sekali be-
kerjanya tali-temali itu, karena sekejap Roro Centil telah tergantung pada
beberapa utas tali dengan kaki
terpentang, kepala di bawah dan kaki di atas. Tali-tali yang menggantung tubuh
Roro menjulur dari beberapa
arah. Yaitu dari atas tebing batu dan beberapa batang
pohon tinggi. "Hihihihi... begitu mudahnya menjebak seorang
wanita Pendekar yang perkasa...! " Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik
tanpa terlihat orangnya. Roro
segera mengenali suara itu. "Keparat si Giri Mayang rupanya!" Desis Roro
tersentak. Dan... saat itu pula telah berkelebatan tujuh sosok makhluk kerdil
mengu- rung di bawah Roro. Tentu saja Roro mengenal mak-
hluk-makhluk ini, karena pernah diserang oleh mere-
ka. Benaknya segera memikir. "Setan alas...! kalau begitu mahluk-mahluk kerdil
ini baladnya si Giri
Mayang...!" Diam-diam Roro kerahkan tenaga dalamnya untuk dapat segera
melepaskan diri dari jeratan
tali. Akan tetapi pada saat itu serangkum angin telah menerpa tubuhnya.
Terdengar si Pendekar Wanita ini,
karena segera merasai tubuhnya tak dapat digerakkan
lagi. Hebat, serangan aneh itu. Roro Centil tak mampu berkutik lagi, karena
seketika jalan darahnya telah tersumbat. Dan dengan demikian dia tak mampu lagi
un- tuk berbuat apa-apa.
"Hehehe... hehehee... selamat berjumpa nona
Pendekar Roro Centil!" Terdengar suara tertawa mengekeh serak yang diiringi
kata-kata. Dan sesosok tu-
buh berkelebat muncul. Sekali gerakan lengannya
memutar, tali temali yang menjerat tubuh Roro terpa-
pas putus terkena sambaran angin aneh. Tanpa bisa
dicegah lagi, tubuh Roro meluncur jatuh. Dan.... mah-
kluk-mahkluk kerdil itu segera menangkapnya.
"Bagus! inilah saatnya kemenangan berada di
pihak kita!" Terdengar suara nyaring dan diiringi dengan berkelebat muncul
sesosok tubuh wanita dengan
ram but terurai. Siapa lagi kalau bukan Giri Mayang.
Entah bagaimana si wanita yang amat mendendam
pada Roro Centil itu bisa berada di tempat itu, dan apa pula hubungannya dengan
nenek renta bertangan ko-
song yang berilmu tinggi itu".
"Hihihi... guru! berikanlah padaku manusia
yang telah menghinaku itu!" berkata Giri Mayang dengan menatap pada si nenek
tangan kosong. Entah se-
jak kapan tahu-tahu wanita ini telah pula mengangkat
guru pada si nenek tua renta berkalung mutiara indah
itu. Si nenek berikan isyarat pada ketujuh makhluk
kerdil untuk melepaskan tubuh Roro dari pegangan
tangan-tangan mereka. Serentak berlompatanlah mak-
hluk-mahkluk kerdil itu dengan patuh.
"Heheheheh mau kau apakan-kah dia?" Ta-
nyanya. "Guru...! terima kasih atas bantuanmu sekali lagi! kali ini biarkanlah
aku yang akan menentukan
hidup matinya perempuan bernama Roro Centil ini!"
Berkata Giri Mayang dengan menatap pada gurunya
lalu alihkan tatapannya pada Roro yang terkapar di
tanah dengan keadaan tak berdaya. Sejurus antaranya
si nenek bertangan kosong yang ternyata bermata jul-
ing itu termenung, tapi kemudian ujarnya...
"Heeheheh... heheh... baiklah! akan tetapi ku
beri waktu kau untuk segera membunuhnya tidak le-
bih dari dua hari. Selewat dua hari aku tak mau men-
dengar adanya nama Roro Centil di atas jagat ini!"
"Baik, baik...! jangan khawatir! manusia pem-
bunuh muridmu si Kupu-kupu Emas ini aku jamin
kau akan segera melihat bangkainya dalam keadaan
tidak utuh!" Berkata Giri Mayang dengan tersenyum menyeringai. Sementara itu
Roro Centil jadi terkejut
karena segera mengetahui kalau si nenek bermata jul-
ing itu adalah guru si Kupu-kupu Emas yang telah te-
was di tangannya, sewaktu berada di Pulau Andalas.
Selesai berkata, Giri Mayang segera sambar tu-
buh Roro. Dan sekejap saja sudah dibawa berkelebat
meninggalkan tempat itu. "Dua hari lagi silahkan kau datang melihat ke tempat
tinggalnya, guru... teriak Giri Mayang yang masih sempat berpesan pada guru
barunya. Nenek mata juling tak menjawab, akan tetapi
segera berkelebat pergi diikuti ketujuh mahkluk cebol piaraannya.
-ooOoo- "Iblis perempuan! tahan langkahmu!" Terdengar bentakan nyaring. Giri Mayang yang
baru saja tiba dibalik bukit jadi terkejut dan hentikan langkahnya,
karena beberapa sosok tubuh berkelebatan
menghadang. Ternyata ketiga murid si nenek Pendekar
Taring Naga, yaitu si tiga gadis berbaju ungu. Giri
Mayang tatapkan matanya pada ketiga dara dihada-
panya. Tiba-tiba dia tertawa mengikik, dan berkata
dengan nada dingin.
"Hihihi... kiranya tiga saudara seperguruan dari Perempuan Taring Naga! He" mau
apa kalian mengha-dangku" Hm, rupanya kalian mau mencari mati...!"
"Bedebah! perempuan laknat! kau telah mencu-
lik dan membunuh kakak laki-laki saudara sepergu-
ruan ku! kau telah memfitnah pula nama Pendekar
Roro Centil! kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatan mu!" Bentak Sri Kendil dengan berang. Dan sepasang senjata gaetannya
telah tercekal di kedua
lengannya. "Hihihi.... nona Pendekar pujaan kalian itu kau
lihat sendiri sudah tak berkutik dalam tanganku! apa-
kah kalian mau jual lagak untuk mencari mati" Se-
baiknya lekas kalian merangkak pergi dari sini!" Bentak Giri Mayang. Sejak tadi
mereka memang telah ber-
prasangka dan tengah menduga-duga pada wanita
yang berada di atas pundak Giri Mayang. Kini semakin
jelaslah kalau wanita itu benar Roro Centil adanya.
Tentu saja membuat mereka cukup terkejut, juga
khawatir. "Hah" Le... lepaskan dia!" Bentak Sri Kendil dengan mata mendelik. Akan tetapi
Girl Mayang tertawa mengikik, seraya berkata lantang.
"Silahkan kalian rebut nona Pendekar pujaan
kalian ini dari tangan ku!"
"Bedebah! kau turunkan dulu dia dari pun-
dakmu! dan hadapi kami!" teriak Parmi, si dara paling cantik diantara mereka.
"Hm, baik! kalian kira aku sebangsa manusia
pengecut yang mau menjadikan si Roro Centil ini un-
tuk perisai..." Kalian rasakan nanti sepak terjangkut berkata Girl Mayang dengan
senyum sinis. Giri Mayang
jatuhkan tubuh Roro menggabruk ke tanah. Dan ber-
kata lagi dengan suara dingin.
Silahkan kalian maju berbareng! kalian mau
membalas dendam kematian kakak seperguruanmu,
bukan" Hihihi... dia memang laki-laki gagah. Sayang
aku terpaksa membunuhnya, karena itulah kebiasaan
ku kalau aku sudah bosan!" Selesai bicara, kembali Gi-ri Mayang perdengarkan
suara tertawa mengikik. Se-
mentara diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam
inti api pada kedua lengannya.
"Iblis perempuan sundal! aku akan adu jiwa
denganmu!" membentak Parmi dengan geram, dan se-
pasang mata berkaca-kaca. Seraya kemudian mener-
jang wanita ini dengan kemarahan meluap-luap. Sepa-
sang senjata gaetannya menyambar bagai kilat menga-
rah leher. Akan tetapi dengan tersenyum Giri Mayang
merunduk cepat. Sebelah lengannya Lantas bergerak
menghantam ke perut lawan.
WHUUK! Angin panas membersit menyambar perut Par-
mi Untunglah gadis ini cepat pula berkelit dengan ja-
tuhkan diri bergulingan. Giri Mayang tak memberi ke-
sempatan untuk gadis itu bangkit. Segera melesat un-
tuk kembali hantamkan telapak tangannya bertubi-
tubi. Akan tetapi saat itu telah terdengar bentakan,
berbareng dengan menerjangnya Sri Kendil dan gadis
rambut kepang. Dua pasang gaetan itu berkilatan me-
nyambar tubuhnya dari perbagai tempat. "Bagus...!"
teriak Giri Mayang. Gesit sekali wanita itu berloncatan menghindar dari serangan
ganas. Tiba-tiba Giri Mayang mulai merubah gerakan
silatnya. Sekejap saja tampak ketiga lawannya mulai
menyerang dengan serabutan, karena Giri Mayang
mempergunakan jurus-jurus yang mengacaukan se-
rangan lawan. Ternyata sambil mempergunakan juru-
sannya, bibir Girl Mayang tampak komat-kamit mem-
baca mantera-mantera. Itulah ilmu hitam yang diper-
gunakan untuk menyerang syaraf lawan. Hingga dalam
pandangan ketiga gadis itu, mereka seperti menghada-
pi mahkluk menyeramkan.
Pada satu kesempatan Giri Mayang hantamkan
lengannya kedua arah.
WHUUKI WHUUKKK...!
Tak ampun lagi terdengar jeritan menyayat ha-
ti. Sri Kendil dan si gadis rambut kepang yang berna-
ma Nirawuni terlempar dengan tubuh menghitam han-
gus. Bukan saja Parmi salah satu dari ketiga gadis itu saja yang terperanjat,
akan tetapi Roro Centil yang dalam keadaan tak berdaya itupun terkesiap kaget.
"Iblis telengas Giri Mayang! kelak kau rasakan kalau bisa
terbebas dari totokan si nenek mata juling itu!"
maki Roro Centil dalam hati. Ternyata lidah dari Pantai Selatan inipun dibuatnya
menjadi kelu dan tak dapat
mengeluarkan suara. Kecuali sepasang matanya saja
yang mendelik gusar.
--000-- EMPAT "Hihihi... segeralah kaupun berangkat menyu-
sul kedua saudara seperguruanmu itu!" Berkata Giri Mayang seraya hantamkan
lengannya mengarah ke
tubuh Parmi yang sedang terlongong dengan mata
membelalak. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar kilat berhawa dingin yang
meluluhkan pukulan inti api Giri Mayang, disertai bentakan keras. "Wanita
terlengas, kejam nian kau...! " BHUURRR...! pukulan inti api Giri Mayang
membalik ke udara, dan menyambar dahan pohon besar. Hebat dan mengerikan sekali,
pohon itu terbakar hangus. Daun-daunnya rontok kering,
berjatuhan meluruk ke bawah. Tersentak Parmi bukan
buatan. Dalam keadaan terperangah tadi, nyaris saja
nyawanya melayang kalau tak datang sosok tubuh
yang menangkis serangan berbahaya itu. Ternyata dis-
itu telah tegak berdiri seorang pemuda tampan berpa-
kaian serba putih. Di lengannya tercekal sebuah pe-
dang yang berkilauan seperti perak. Dialah SAMBU
RUCI si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan
Elok. Kalau Roro Centil diam-diam merasa girang
dengan kemunculan pemuda sahabatnya ini, adalah
Giri Mayang memandang dengan terkejut. Bibirnya su-
dah bergetar untuk membentak. Akan tetapi, aneh...!
tampaknya Giri Mayang sulit untuk mengeluarkan ka-
ta-kata dari mulutnya. Seumur hidup barulah dia me-
lihat seorang laki-laki yang tampannya sedemikian ru-
pa. Tiba-tiba, cepat sekali Girl Mayang balikkan tubuh,
dan menyambar tubuh Roro yang tergeletak ditanah.
Selanjutnya dengan gerakan sebat segera angkat kaki
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tempat itu.
"Haiii" pengecut busuk! mengapa kau melari-
kan diri...?" Teriak Sambu Ruci. Sepasang matanya segera dapat melihat siapa
adanya sosok tubuh yang di
panggul dipundak wanita itu. "Hah" dia... Roro Centil...!" Sentak Sambu Ruci
dengan berdesis. Akan tetapi baru dia mau berkelebat menyusul, sebuah benda
telah dilemparkan ke arahnya.
BRUSSS...! Benda itu meledak menimbulkan
asap hitam yang menyebar menghalangi pandangan.
Ketika Sambu Runci menerobos asap, tubuh Giri
Mayang sudah tak kelihatan lagi.
"Kurang ajar, akal licik untuk melarikan diri!"
Memaki Sambu Ruci dengan hati masygul. Saat itu
Parmi telah lemparkan sepasang senjatanya, dan
memburu ke arah kedua tubuh saudara sepergu-
ruaannya yang terkapar dengan keadaan mengerikan.
Tubuh Sri Kendil dan Nirawuni yang dalam keadaan
menghitam hangus itu ditatapnya dengan air mata
mengenang. Tak kuat melihat kengerian yang terpampang di
matanya, gadis ini menangis terisak dengan menekap
wajahnya dengan kedua belah tangan. Menghadapi
kenyataan yang amat luar biasa itu, pandangan mata
Parmi menjadi gelap dan berkunang-kunang. Kepa-
lanya terasa berdenyutan. Dan bumi yang dipijak tera-
sa berputar. Akhirnya si gadis itu roboh pingsan tak
sadarkan diri. Sementara itu Sambu Ruci telah berke-
lebat menghampiri.
Tentu saja hal itu membuat Sambu Runci jadi
kebingungan. "Ah, dia pingsan pula...! bagaimana ini... ?" Tersentak Sambu Runci. Sambu Runci
memang serba sa-
lah, karena dia baru mau berniat menyusul Roro yang
dilarikan Giri Mayang akan tetapi melihat keadaan ga-
dis itu tak sampai hati dia meninggalkannya. Terlebih melihat kematian kedua
gadis kawannya yang hangus
mengerikan. "Kasihan...! aku harus menolong gadis ini, dan
menguburkan mayat kedua gadis malang ini...! " Berkata Sambu Ruci seorang diri.
Demikianlah... dengan
segera si Pendekar Selat Karimata menggali tanah, lalu menguburkan jenazah kedua
gadis malang itu dengan
hati ikut terharu. Bahkan tak terasa air matanya menitik turun dari kelopak
mata. Matahari mulai menggelincir ke arah barat. Dan
selesailah pekerjaan Sambu Runci. Dua gunduk tanah
yang ditimbun juga dengan batu dan pasir telah bera-
da ditempat itu. Pada tanah datar di sisi bukit. Angin pegunungan berhembus
menyejukkan tubuh.
Laki-laki ini menyeka peluhnya yang meluncur turun
ke dahi. Kini tatapan matanya dialihkan ke bawah po-
hon dimana dia merebahkan tubuh Parmi yang masih
tak sadarkan diri.
Mendengar langkah-langkah kaki menghampiri
agaknya gadis ini mulai sadar dari pingsannya. Dan
sekejap dia sudah melompat bangun. Dilihatnya seso-
sok tubuh laki-laki yang tadi telah menyelamatkan ji-
wanya berada di hadapannya. Berdiri dengan meman-
dang kagum pada gadis itu. Memang tak dapat di
sangkal kalau Parmi adalah seorang dara yang cantik
Berambut ikal. Dengan ikat kepala bercorak kembang-
kembang warna merah. Tatapan matanya sayu, akan
tetapi sedikit membelalak karena segera terlihat dua
gundukan tanah yang sudah dapat diduga adalah ku-
buran kedua saudara seperguruannya.
"Anda.... anda yang telah mengebumikan jena-
zah kedua saudara seperguruanku...?" bertanya Parmi
dengan memandang tajam, akan tetapi diam-diam ha-
tinya berdebar keras. Pemuda itu seorang laki-laki
yang amat tampan. "Siapakah gerangan dia ini..?" berkata Parmi dalam hati.
Sementara itu dengan terse-
nyum Sambu Runci segera menjawab.
"Benar...! kulihat kau telah jatuh pingsan tak
sadarkan diri. Aku lalu menolongmu memindahkan ke
tempat yang teduh disini, kemudian segera ku gali ta-
nah untuk mengubur jenazah...! " Terlihat senyum tre-nyuh di bibir sang gadis.
Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Dan sepasang bibir mungil itupun
tampak tergetar mengucapkan kata-kata...
"Te... terima kasih atas pertolongan anda, tu... tuan Pendekar!" Ucapnya dengan
suara lirih. Dan... setetes air bening kembali mengalir turun ke pipinya yang
putih ranum. "Andapun telah pula menyelamatkan nyawaku.
Betapa besar budi anda, entah dengan apa aku harus
membalasnya. Lanjut Parmi dengan tundukkan wajah,
dan cepat-cepat lengannya menghapus air matanya.
"Ah, sudahlah...! pertolongan itu adalah sudah
menjadi dasar dari setiap golongan pendekar. Siapakah namamu, adik...?"
"Namaku amat jelek. Apakah kau sudi menden-
garnya?" Balas bertanya sang gadis dengan senyum di paksakan.
"Ah, Jelek atau bagus cuma sebuah nama. Tapi
yang jelas orangnya kan cantik...?" goda Sambu Ruci dengan tersenyum. Sengaja
dia bergurau untuk melupakan kesedihan sang gadis itu.
"Ah, anda terlalu memuji! aku sedang dalam
kesedihan begini, kalau anda mau tahu namaku tentu
tak keberatan pula kalau anda menyebutkan nama
anda, bukan?" Berkata sang gadis dengan tersipu.
"Haha... mengapa tidak" namaku Sambu Ruci!"
sahut Sambu Ruci pendek tanpa memperkenalkan ju-
lukannya. Akhirnya sang gadis baju ungu itupun se-
butkan pula namanya.
"Aku... aku Parmi, atau kepanjangannya Parmi
Sudira..."
"Aha...! nama yang begitu bagus mengapa kau
katakan jelek?" kelakar Sambu Ruci dengan tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Bagus dan cantik secantik orangnya! sam-
bungnya dengan menatap tajam pada wajah sang gadis
yang semakin merona merah saja wajahnya.
"Sudira itu tentu nama ayahmu, ataukah nama
suamimu.. ?" tiba- tiba Sambu Ruci ajukan pertanyaan. "Suami..." ah, mana aku
punya suami... itu nama ayahku!" sahut Parmi.
"Ya, ya... aku percaya! baiknya kau ceritakan
riwayatmu, apakah sebabnya bisa bentrok dengan wa-
nita bersama Giri Mayang itu?" Tanya Sambu Ruci
yang segera alihkan pembicaraan. Terdengar suara he-
laan napas si gadis. Wajahnya kembali menampakkan
kesedihan. Akan tetapi segera dia sudah memulai beri-
kan penuturan. Demikianlah, secara kebetulan Parmi akhirnya
dapat berkenalan dengan Sambu Ruci si Pendekar Se-
lat Karimata. Dan Parmi pun tuntas pula menceritakan
siapa dirinya serta persoalan apa hingga dapat bentrok dengan Giri Mayang, yang
nyaris saja dia menyangka
Roro Centil biang pelaku dari kejahatan itu. Tercenung sejenak Sambu Ruci.
Segera terlintas lagi nasib Roro
yang sedang dalam keadaan tak berdaya di tangan Giri
Mayang. Walaupun bagaimana hati pemuda ini yang
sudah kepincut oleh Roro, tak bisa berpeluk tangan
membiarkan Giri Mayang menawan si Dara Pantai Se-
latan itu. "Dimanakah tempat tinggalmu, nona Parmi...
aku akan mengantarkanmu pulang. Selesai itu aku
harus mencari jejak si wanita Iblis itu. Dia telah berhasil menawan sahabatku
Roro Centil. Amat berbahaya
dan mengkhawatirkan sekali. Wanita iblis itu amat te-
lengas dan mempunyai ilmu tinggi..!"
"Kami bertiga sudah bertekad mencari jejak si
wanita iblis pembunuh saudara laki-laki kakak seper-
guruaku. Ternyata telah berhasil menjumpai. Akan te-
tapi kedua saudara seperguruanku kembali tewas di-
tangan iblis wanita telengas itu. Tak ada lain jalan, aku akan turut mencari
jejak nona Pendekar Roro Centil.
Ajaklah aku kemana kau pergi, sobat Sambu Ruci...! "
Berkata Parmi dengan wajah bersemangat.
Tercenung Sambu Ruci. Walau dalam hati tak
menyetujui gadis itu turut serta dalam melacak jejak
Giri Mayang, akan tetapi Sambu Ruci memang tak da-
pat menolak keputusan si gadis. Juga dikhawatirkan
hal itu akan menyinggung perasaan sang gadis yang
amat bersemangat dan berani itu. Akhirnya Sambu
Ruci pun mengangguk.
- ~oOo~ - ~ LIMA Kemanakah gerangan lenyapnya Adhinata, si
manusia beracun" Ternyata dia berada dalam sebuah
lubang sumur yang amat dalam. Kalau Adhinata tak
memiliki kepandaian tinggi, serta akal cerdik yang dipergunakan, niscaya tulang-
tulang tubuhnya telah pa-
tah-patah karena jatuh dari tempat ketinggian terje-
rumus masuk ke dalam sumur itu. Itulah pula sebab-
nya Roro Centil kehilangan jejak.
Di dalam sumur itu Adhinata termangu-mangu.
Untuk merayap naik amat sulit, karena dinding sumur
penuh lumut yang amat licin. Sedangkan untuk me-
lompat keluar juga tak mungkin, karena dalamnya
sumur lebih dari lima puluh kaki. Kecuali dia punya
sayap untuk terbang barulah dia bisa keluar dari su-
mur itu. Berpikir demikian, Adhinata jadi termangu-
mangu dengan mulut memaki panjang pendek.
"Sial! siaaal...! mengapa nasib buruk selalu me-
nimpa ku" Kini nasibku tak lebih buruk dari nasib si
Raja Racun! cepat atau lambat akhirnya toh
aku akan mati kelaparan di asar sumur celaka ini...!"
Malam pun semakin merayap, Adhinata masih
termangu-mangu di dasar sumur tanpa bisa berpikir
apa-apa selain menunggu datangnya maut. Dan lagi-
lagi hawa lapar menggerogoti perutnya. Akan tetapi ti-ba-tiba dia berseru
kegirangan. Matanya menatap pada
lumut yang menempel tebal didinding sumur.
"Ha..." aku... masih bisa hidup! mengapa aku
jadi tolol" lumut ini bisa menjadi bahan makananku!
hahaha..." Tergelak-gelak Adhinata. Dan serta merta lengannya sudah mencongkel
lumut itu. Lalu langsung
memakannya dengan lahap. Tak perduli lagi bagaima-
na rasanya, baginya yang panting adalah dia bisa ber-
tahan hidup sambil menunggu kemukjizatan yang da-
pat menolong dirinya keluar dari sumur itu.
Adhinata memang sudah ditakdirkan menga-
lami hal yang aneh-aneh. Perjumpaanya dengan si Ra-
ja Racun telah membawa akibat tubuhnya mengan-
dung racun yang amat hebat. Empat buah gelang besi
berwarna hitam yang terpasang di empat anggota tu-
buhnya adalah empat buah gelang yang sudah diren-
dam dengan racun puluhan tahun dengan bermacam
racun jahat. Semasa hidupnya si Raja Racun telah be-
rambisi menciptakan seorang manusia yang amat luar
biasa yang bakal diperalat untuk menguasai Dunia
Persilatan. Hingga dengan segala daya dia berhasil
menciptakan gelang-gelang besi itu. Apakah yang telah menyebabkan kematian si
Raja Racun itu" marilah ki-ta ungkapkan peristiwanya.
--000-- Betapa girangnya si Raja Racun tokoh hitam itu
yang telah menemukan Adhinata, yang dianggap cocok
untuk dijadikan bahan percobaan keempat gelang be-
sinya. Si Raja Racun memang telah mendusta Adhina-
ta dengan mengatakan bahwa dia memiliki dua pasang
benda pusaka, yang kalau Adhinata mengingini pasti
dia akan memberikannya. Adhinata yang baru turun
gunung dan belum banyak pengalaman segera kepin-
cut untuk memiliki dua pasang gelang pusaka itu. Ka-
rena menurut Langir Setho bakal menjadikannya seo-
rang yang luar biasa di dunia persilatan.
Demikianlah, Adhinata di bawah ke tempat
tinggal tokoh hitam itu. Selanjutnya dengan menuruti
setiap perintah dan petunjuk si Raja Racun, yang telah di angkat guru oleh
Adhinata, pemuda murid Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu itu di
proses dengan waktu singkat hingga tubuhnya men-
gandung racun yang amat luar biasa dahsyatnya. Akan
tetapi justru si Raja Racun sendiri tewas tanpa sengaja karena kecerobohan yang
di luar dugaannya.
Keempat buah gelang besi itu telah terpasang di
pergelangan keempat anggota tubuh Adhinata. Dia
memerintahkan pemuda itu menyalurkan tenaga da-
lam untuk menyebarkan pengaruh racun dari keempat
gelang besi ke sekujur tubuhnya. Sebelumnya Adhina-
ta memang telah meminum beberapa macam ramuan
untuk memperkuat tubuh, yang harus dimakannya se-
lama waktu satu bulan. Hal itu pernah dicobanya pada
beberapa pemuda yang di Jadikan calon memproses
ide gilanya itu, akan tetapi dari tiga orang pemuda
yang dicobanya itu telah tewas. Hingga si Raja Racun
segera merobah beberapa macam ramuan, dengan me-
nambahi ramuan lain. Hal itu memang berhasil baik
seperti yang telah dicobakan pada Adhinata. Akan te-
tapi Adhinata ternyata tak mampu mengembalikan ra-
cun yang menyebar ditubuhnya ke tempat asalnya yai-
tu keempat buah gelang besi itu. Adhinata memang ti-
dak mati, akan tetapi dia tak sadarkan diri hingga beberapa hari.
Tentu saja hal itu amat mengkhawatirkan si Ra
Racun. Berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan
Adhinata. Kekhawatiran akan kegagalannya semakin
memuncak karena setelah lewat dua pekan, Adhinata
tetap belum sadar dari pingsannya. Untunglah ra-
muan-ramuan yang dijejalkan di mulut Adhinata dapat
memperkuat tubuhnya untuk masih tetap bisa berta-
han hidup. Sepekan pun berlalu lagi, dan Adhinata te-
tap terkapar tanpa daya. Semakin gelisahlah hati Lan-
gir Setho. Tinggal satu proses lagi yang harus dite-
rapkan pada tubuh pemuda itu. Akan tetapi keadaan
Adhinata semakin memburuk. Nafasnya tinggal satu-
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu. Akhirnya si Raja Racun ini jadi nekat. Proses
yang satu lagi harus dilaksanakan, yaitu merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun. Tanpa
harus menunggu lama lagi, si Raja Racun segera cem-
plungkan tubuh Adhinata dalam kubangan air bera-
cun yang telah disiapkan. Ketika pemuda yang jadi
bahan percobaannya satupun belum ada yang sampai
pada proses terakhir ini, karena telah keburu tewas di-awal percobaan. Cuma
Adhinatalah yang bisa menca-
pai proses akhir ini. Akan tetapi itupun masih dalam
teka-teki......
-ooOoo- Tiga hari tiga malam si Raja Racun merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun itu. Se-
lama itu Langir Setho kerahkan tenaga dalamnya un-
tuk membantu menguatkan tubuh Adhinata dengan
saluran tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu. Ter-
nyata hebat akibatnya. Racun yang menyebar di tubuh
Adhinata telah bercampur telah bercampur lagi dengan
racun. Napas pemuda itu sudah semakin gawat. Detik-
detik maut hampir menjelang. Semakin resah hati si
Raja Racun. Kekhawatiran akan kegagalan percobaan-
nya semakin memuncak. Karena bila gagal kali ini bu-
kan saja dia harus memulai segalanya dari nol, akan
tetapi hal ini juga telah menguras habis tenaga dalamnya, dan telah merugikan
tidak sedikit dari usahanya
yang sia-sia itu.
Dan... pada detik-detik yang mendebarkan itu
ternyata Langir Sheto hampir melonjak karena girang-
nya. Tampak napas Adhinata kembali normal secara
berangsur-angsur.
"Bagus muridku...! kau... kau berhasil! berha-
sil...! hahaha... hehe..." Tertawa gelak-gelak si Raja Racun karena girangnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit keras. Cekalan lengannya pada bahu pemuda itu
yang selama tiga hari tiga malam tak pernah lepas un-
tuk menyalurkan tenaga dalam yang mengalirkan ha-
wa hangat ketubuh Adhinata, mendadak sontak di le-
paskan. Terhuyung-huyung tubuh si Raja racun mun-
dur ke belakang. Wajahnya pucat bagai mayat dan
membiru. Akan tetapi tak berlangsung lama, karena
segera tubuh Langir Sheto jatuh menggabruk untuk
selanjutnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Dan
kejap berikutnya tubuh si Raja racun sudah tak ber-
kutik lagi dengan keluarnya suara mengorok bagai
kerbau dipotong.
--ooOoo-- Beberapa saat antaranya tubuh si Raja Racun
itupun mencair dengan mengeluarkan bau busuk yang
amat mengganggu hidung. Tewasnya si Raja Racun
yang berhasil dengan percobaannya. Akan tetapi me-
minta korban jiwanya sendiri. Demikian kisah yang di
alami Adhinata, hingga dia menjadi si Manusia Bera-
cun. Betapa amat mengerikan kini keadaan tubuhnya
membuat Adhinata sendiri menjadi serba salah. Kare-
na dengan demikian justru menyulitkan dirinya sendi-
ri. Masalahnya adalah si Raja Racun telah tewas.
Sedangkan dia tak dapat mengendalikan racun yang
mengendap dalam tubuhnya karena tak mengetahui
caranya. Seandainya dia dapat berfikir secara normal mungkin hal itu bisa
dilakukan. Akan tetapi efek sam-pingan dari proses yang terjadi pada tubuhnya
juga telah merusak jaringan syaraf. Hingga Adhinata tak lebih dari seorang
pemuda tolol. Terkadang dia berambisi
untuk merajai Dunia persilatan, tapi terkadang begitu ketakutan akan keadaan
dirinya. Dan berusaha menjauhi manusia, karena dia khawatir untuk menyen-
tuhnya. - ~oOo~ - ~ ENAM GIRI MAYANG tertawa sinis menatap Roro Cen-
til, yang telah dikuliti seluruh pakaiannya. Bahkan telah menambah beberapa
totokan untuk memperkuat
agar si musuh besarnya tak dapat lepas lagi dari tan-
gannya. Giri Mayang ambil seutas tambang, lalu men-
gikat tubuh kedua pergelangan tangan Roro Centil. Se-
lanjutnya telah mengereknya ke atas pada dua buah
tiang yang menyangga sebuah balok panjang. Rumah
itu adalah sebuah rumah tempat seorang pandai besi.
Si pandai besinya sendiri telah dibunuhnya. Mayatnya
telah di lemparkannya ke sungai di belakang rumah
itu. Tentu saja disana banyak bermacam alat-alat kerja si pandai besi. Dari
tungku tempat bara api, sampai
palu, pahat kikir dan perbagai alat lainnya.
Dan... tungku api itu memang sudah menyala
sejak tadi. Tubuh Roro Centil terayun-ayun pada seu-
tas tambang. Kakinya cuma berada satu jengkal di
atas tanah. Entah kejahatan apa yang akan dilakukan
wanita telengas ini. Dengan bertolak pinggang Giri
Mayang menatap tubuh Roro dengan tersenyum sinis.
"Hm, bentuk tubuhmu memang patut dikagumi
Roro Centil! Memang membuat aku jadi mengiri! Hihi-
hi... akan tetapi tak lama lagi aku akan membuat kulit tubuhmu yang putih itu
menjadi seperti kulit macan
loreng...!" Berkata Giri Mayang seraya perdengarkan suara tertawa mengikik dan
terpingkal-pingkal geli.
"Heh, mengapa tak kau bunuh mampus saja
aku sekalian?" bentak Roro. Ternyata totokan pada urat suaranya telah dibuka
oleh Giri Mayang. Mak-sudnya memang dia ingin mendengar suara Roro yang
menjerit-jerit ketika menjalani siksaan darinya.
"Hihih... hihi... aku memang mau membunuh
mu Pendekar Perkasa! Akan tetapi secara pelahan-
lahan. Biar kau rasakan enaknya menjalani kematian
dengan caraku ini...!" sahut Giri Mayang dengan tersenyum dingin. Selesai
berkata Giri Mayang beranjak
menghampiri tungku. Bara api menyala di dalamnya
Dan tampak beberapa batang besi telah terbakar me-
rah membara. Giri Mayang meraih sebatang besi yang
sudah membara ujungnya itu.
Lalu beranjak mendekati Roro Centil.
"Ck, ck, ck.... sayang, tubuh mulus mu itu
akan menjadi buruk, Roro Centil. Bersiap-siaplah un-
tuk menahan rasa sakit...!" Berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Membeliak
sepasang mata Roro Cen-
til. Baru sekali inilah dia kena dikerjai orang. Bahkan justru berhadapan dengan
wanita sadis yang memben-cinya setengah mati. Tak dapat dibayangkan Roro bak-
al menjalani siksaan yang tidak ringan.
Sepasang mata Giri Mayang menjalari sekujur
tubuh Roro. Dan... besi panjang bergagang kayu yang
ujungnya merah membara itu sudah bergerak mende-
kati tubuh Roro. Beberapa detik lagi Giri Mayang akan mendengar suara jerit
kesakitan dari tubuh Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar suara teriakan yang me-nahannya. Besi panas itu sudah
tinggal beberapa inci
lagi dari kulit tubuh Roro. Terpaksa Giri Mayang hen-
tikan gerakannya, untuk segera berpaling ke arah sua-
ra barusan. Tampak sesosok tubuh berkelebat masuk
ke dalam ruangan.
"Weiaaaah, sabar dulu sobat Kelabang Kuning!
welaah, welaaah, sayangnya kalau kulit yang putih
mulus itu kau bikin cacad...!" Berkata sosok tubuh itu yang ternyata adalah
seorang laki-laki yang sikapnya
amat genit. laki-laki ini berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh jangkung, dan
berbaju gombrong hingga mirip
orang kedodoran. Wajahnya tampak lucu, tanpa kumis
dan jenggot. Sebelah telinganya memakai anting-anting besar. Melihat kemunculan
laki-laki aneh ini tampak
Giri Mayang disamping terkejut, juga mendongkol se-
kali. Laki-laki yang sikapnya genit ini adalah adik tiri ayahnya yang sudah
tewas. Bernama PORAK SUPIH.
Porak Supih inilah yang memperkenalkan dirinya den-
gan si nenek mata juling, yang cuma memberi waktu
dua hari padanya untuk segera membunuh Roro.
Bahkan Girl Mayang telah pula mengangkat si
nenek mata juling itu sebagai gurunya. Giri Mayang
memang belum menerima tambahan ilmu, akan tetapi
nenek yang mempunyai "piaraan" tujuh makhluk kerdil (siluman) itu telah beberapa
kali membantunya.
Walaupun si nenek mata juling itu sendiri belum resmi mengangkat Giri Mayang
menjadi muridnya. Hubungan apakah si nenek mata juling dengan Porak Supih"
Tak lain dan tak bukan wanita tua renta mata juling
itu adalah ibunya sendiri.
"Mau apa kau muncul disini, paman Porak Su-
pih. Sekali ini kuminta kau tak mencampuri urusanku!
Segera keluarlah...! aku tak mau kau mengganggu aca-
ra ku!" Berkata Giri Mayang dengan suara tegas dan hati mangkel. Akan tetapi
Porak Supih malah cengar-cengir dan garuk kepala yang tidak gatal. pasang ma-
tanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan membinar
binal. Seraya ujarnya.
"Welaaah...! Kelabang Kuning! sombong kali
kau ini, bah...! Berilah aku kesempatan untuk masya
dulu dengannya, alangkah menyesalnya kalau kesem-
patan yang langka ini tersia-sia! Kudengar wanita yang kau tawan ini adalah
seorang Pendekar Wanita kena-maan. Ooh... alangkah sayangnya... Welaah, welaah!
aku tidak mau pergi!" Berkata Porak Supih yang telah semakin kurang ajar menatap
Roro yang dalam keadaan tanpa penutup aurat tubuh. Perbuatan Giri
Mayang memang sudah sangat keterlaluan. Dan diam-
diam apa yang telah diperlakukan Giri Mayang ini te-
lah dicatat direlung hati Roro. Di ukir dibenak tanpa
bisa dihapus lagi.
Mendengar jawaban kata-kata Porak Supih, Gi-
ri Mayang semakin mendongkol. Akan tetapi mengingat
laki-laki ini masih ada hubungan famili dengan ayah-
nya, Giri Mayang jadi serba salah kalau harus lakukan kekerasan untuk
mengusirnya. Apa lagi Porak Supih
sudah banyak menanam jasa padanya. Dan.. kali ini
Giri Mayang memohon dengan halus.
"Paman Porak Supih...! si Roro Centil ini adalah musuh besar yang telah membunuh
ayahku. Biarlah
aku memberinya siksaan pedih. Aku akan membuat-
nya mati secara perlahan-lahan. Bahkan dia juga mu-
suh nenek NORI...!" Ujar Giri Mayang dengan suara datar. Nenek Nori yang
dimaksud adalah si nenek ma-ta juling.
Akan tetapi membersit perasaan mengiri dan
cemburu, ketika melihat sepasang mata Porak Supih
sejak tadi tak berkejap-kejap merayapi kemulusan tu-
buh Roro ke setiap lekuk liku dengan pandangan mata
membinar. Bahkan kata-kata Giri Mayang seperti tak
didengarnya. "Heh... heh... walau bagaimana tak kuperke-
nankan kau menyiksanya! Aku sudah benar-benar ja-
tuh hati padanya... dan... aku... aku sudah tak kuat
untuk menahan lagi!" Berkata Porak Supih seraya beranjak melangkah mendekati
tubuh Roro yang meng-
gantung tak mau bergerak.
Akan tetapi tiba-tiba...
"Tunggu...! tak kuperkenankan pula kau me-
nyentuhnya, kecuali..." Bentak Giri Mayang. Besi panas yang merah membara itu
telah meluncur, mena-
han langkah tindakan kaki Porak Supih. Dan... besi
panas itu cuma tinggal berjarak setengah jengkal dari leher Porak Supih.
Terpaksa laki-laki ini hentikan
langkahnya. Kedipan mata wanita itu membuat Porak
Supih mengerti. Segera saja dia tertawa bergelak dan
berkata. "Beres...! untuk jasamu ini aku pasti akan
membalas dengan yang lebih baik...!"
"Nah, beri aku lewat...! kelak kalau sudah hi-
lang penasaran ku, baru ku persilahkan kalau kau
mau menyiksanya atau mencabut nyawanya...!" Lan-
jutnya dengan gerakan lengan menepiskan besi panas.
Aneh! serangkum hawa dingin telah menyambar besi
panas membara itu, dan... CHESSSSS...! Terdengar
bunyi seperti bara disiram air. Ujung besi panas yang merah membara itu seketika
kembali menghitam kepu-tih-putihan, serta menimbulkan asap tipis akibat pa-
damnya ujung besi membara itu.
Dan... sekali lompat dia sudah berada di hada-
pan Roro. Sepasang lengannya bergerak untuk mende-
kap tubuh Roro Centil, dengan nafsu yang sudah
menggelagak tak terbendung lagi.....
DHESS...! BRRAAKKK...!
Terdengar suara jeritan parau disertai terlem-
parnya tubuh Porak Supih yang membentur dinding
ruangan rumah, menimbulkan bergedubrakan. Dua
tiang penyangga tempat menggantung tubuh Roro ta-
hu-tahu telah patah berubah menjadi beberapa po-
tong. Dan tambang yang mengikat Roro telah putus.
Bahkan Roro Centil sendiri sudah tak ada disana.
Apakah yang terjadi"
WHUUKK...! tahu-tahu serangkum angin telah
menyambar tubuh Giri Mayang yang terpukau dengan
mata membelalak. Wanita itu terdengar teriakan terta-
han, seraya jatuhkan diri bergulingan.
PRRASS...! Tanah di tengah ruangan itu me-
nyemburat berlubang. Tubuh Giri Mayang berguling-
guling menghindari serangan dahsyat yang tak diketa-
hui siapa penyerangnya. Sambaran-sambaran angin
dahsyat yang bisa membuat tubuhnya hancur luluh
itu mengejar tubuhnya tiada henti.
BRRRAAKKK...! Dengan satu teriakan keras,
Giri Mayang berhasil menerobos keluar ruangan den-
gan melompat ke atas menjebol atap genting. Beberapa
kejap kemudian wanita itu sudah jejakkan kaki di luar rumah. Terengah-engah
nafas Giri Mayang. Wajahnya
pucat bagai kertas. Jantungnya berdebaran. Akan te-
tapi baru saja dia bernafas lega, lagi-lagi angin keras menyambar dahsyat...
BHLAARRR...! Batu-batu beterbangan hancur.
Dan untuk yang kesekian kalinya wanita ini berhasil
menyelamatkan diri dari maut dengan melompat tinggi
mencelat pergi dari tanah yang dipijaknya. Jantungnya terasa copot, ketika dia
jejakkan lagi kakinya di tanah, sebuah bayangan tubuh telah berkelebat... dan
sekejap telah berdiri di hadapannya.
Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah...!?""... kka... kau... (glek...!) Giri Mayang menelan ludah. Terasa kelu
tenggorokannya untuk
berteriak kaget. Ternyata bagaikan area telanjang yang mengerikan sesosok tubuh
telah berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Yang mem-
buat jantung Giri Mayang menyentak kerai adalah di
lengan dara ini telah tercekal sebuah kepala manusia
yang dijambak rambutnya. Potongan kepala manusia
itu tak lain dari kepala Porak Supih. Dara menetes turun memercik di atas batu
yang di injaknya. Dan selu-
ruh Rambut Roro Centil berdiri menegang ke atas ba-
gaikan duri-duri landak. Sepasang matanya meman-
carkan hawa pembunuhan yang membuat nyali Giri
Mayang seketika seperti meleleh. Keringat dingin men-
gembun dan menetes dari sekujur tubuhnya. Seolah-
olah dia tidak melihat manusia lagi, akan tetapi seperti melihat malaikat maut
yang berdiri di hadapannya.
"Alih.... am... ampuni nya.. nyawaku.. nona...
nona Pendekar.... Berkata Giri Mayang dengar suara
gemetar. Akan tetapi sebelah lengan Roro Centil malah terangkat ke arahnya.
Tersentak Jantung wanita ini.
Sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi, Giri Mayang
telah genjot tubuhnya untuk kabur...
Cepat sekali Giri Mayang angkat langkah seribu
menyelamatkan jiwanya. Nyalinya sudah hilang lenyap
untuk menghadapi Roro Centil yang sudah berubah
mengerikan. Ternyata Roro Centil batalkan menghan-
tam wanita itu dengan pukulan dahsyatnya. Lengar
bergerak menjumput sebutir batu. Sekali remas han-
curlah batu itu jadi beberapa kerikil kecil. Dan...
WHUURR...! Segenggam kerikil itu sudah me-
luncur deras mengejar tubuh Giri Mayang yang ber-
lompatan melarikan diri. Terdengar suara menjerit wa-
nita itu. Tubuhnya menggelinding jatuh. Akan tetapi
segera bangkit lagi dengan tubuh luka-luka. Beberapa
butir kerikil telah membenam di anggota tubuhnya.
Dan Giri Mayang terus berlari jatuh bangun. Hingga
beberapa saat kemudian sudah lenyap dibalik batu
tebing..... Ternyata Roro Centil tidak mengejar. Melainkan
berkelebat kembali menuju ke rumah pandai besi,
tempat tinggal sementara Giri Mayang alias si Kela-
bang Kuning itu. WHUUUSS...! Dia telah lemparkan
kepala Porak Supih ke arah sungai di belakang si pan-
dai besi. Lalu berkelebat masuk kembali ke dalam ru-
mah. Apakah sebenarnya yang telah terjadi, hingga Ro-
ro dapat terlepas dari belenggu dan pengaruh totokan
pada tubuhnya"
Kiranya diam-diam Roro Centil telah berhasil
melepaskan diri dari pengaruh totokan. Hawa murni
yang dikumpulkan di pusar berhasil menyebar untuk
membuka totokan. Roro Centil memang mempunyai
tenaga dalam tinggi yang sudah jarang tandingannya.
Pengaruh totokan si nenek mata juling sebenarnya te-
lah sirna karena Roro terus menerus kerahkan tenaga
dalam untuk mengalirkan hawa murni ke sekujur tu-
buhnya. Akan tetapi Roro Centil memang belum mam-
pu bertindak, karena untuk mengembalikan kenorma-
lan aliran darah memakan waktu beberapa saat lagi.
Tak dinyana Giri Mayang telah menambahnya
dengan totokan lagi, memperkuat totokan si nenek ma-
ta juling. Bahkan lalu membuka pakaiannya. Selanjut-
nya telah mengikat kedua lengannya. Lalu menggan-
tung tubuhnya pada dua tiang penyangga balok. Pada
saat besi panas membara itu sudah siap menggores
kulit tubuh, sebenarnya Roro sudah terlepas dari pen-
garuh totokan Giri Mayang yang berhasil tembus oleh
hawa murni dari dalam tubuh Roro.
Demikianlah, hingga kemudian muncul Porak
Supih... Ketika Porak Supih rentangkan tangannya un-
tuk memeluk tubuh Roro, si Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini langsung hantamkan kakinya hingga tubuh
Porak Supih terlempar dengan tulang-tulang bagian
dalam tubuhnya remuk. Lalu memutuskan tali dan
menghantam kedua penyangga itu hingga patah men-
jadi beberapa potong. Selanjutnya menerjang Giri
Mayang, yang ternyata masih mampu menyelamatkan
diri. Ketika Giri Mayang menjebol atap wuwungan,
Porak Supih ternyata masih bisa lakukan serangan
bokongan dengan hamburan ratusan jarum beracun!
Untunglah Roro Centil punya naluri yang teramat pe-
ka. Sambaran halus dari serangkuman senjata rahasia
itu berhasil dipunahkan dengan kibasan rambutnya.
Selanjutnya dengan geram, Roro Centil balik-
kan tubuh... Dan apakah yang di lakukannya" Ternya-
ta sekali lengannya bergerak, Roro telah puntirkan ke-
pala orang dengan menjambak rambutnya. Sekali sen-
takkan, putuslah kepala itu dari tubuhnya. Selanjut-
nya melesat mengejar Giri Mayang. Dan kembali
menghantam wanita itu dengan pukulan-pukulan
maut. Namun berakhir dengan mengalahnya Roro Cen-
til, karena Roro memegang janji. Hingga loloslah Giri Mayang dari maut......
Ketika Matahari merayap naik hampir tepat di
atas kepala, Roro Centil sudah tinggalkan lereng bukit yang telah membawa
peristiwa maut. Terdengar suara
helaan napas si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Per-
bagai peristiwa telah banyak dialami. Akan tetapi pengalaman barusan telah
membuka matanya betapa ba-
nyaknya manusia licik di kolong jagat ini. Juga manu-
sia-manusia berakhlak bejat yang mengumbar nafsu
seenaknya. Porak Supih ternyata sudah dikenali Roro
Centil, ketika dalam salah satu pengembaraanya men-
dengar akan kebrutalan laki-laki aneh beranting-
anting sebelah itu. Entah berapa banyak suami dari
wanita-wanita yang diingini telah dibunuh. Dan mem-
perkosa mereka. Bahkan tidak jarang wanita yang su-
dah hamil akibat perbuatannya itu dibunuhnya pula.
Roro pernah mengejar Porak Supih untuk menangkap-
nya dan menyerahkannya pada seorang Tumenggung
di salah satu wilayah Kerajaan kecil dipesisir laut Pulau Jawa di wilayah selat
Sunda. Akan tetapi Porak
Supih berhasil meloloskan diri. Hingga ketika men-
jumpai Porak Supih muncul di hadapannya, Roro tak
memberinya kesempatan untuk hidup lagi.
Dengan perdengarkan suara tertawa tawar, Ro-
ro Centil berkelebat menuju ke arah barat.......
- ~oOo~ - ~ DELAPAN Tiga-hari tiga malam telah dilewati Adhinata
yang mendekam di dasar sumur... Selama itu tak ada
lain pekerjaan Adhinata selain menghitung-hitung jari-jari tangan dan kakinya.
Atau mencabuti bulu-bulu
yang tumbuh di badannya. Kalau sudah bosan dengan
"pekerjaan" itu tak ada lagi keisengan lain selain makan lumut. Dan kalau
perutnya sudah kenyang terisi,
hawa mengantuk pun datang. Tidurlah dia dengan
menggeros. Demikianlah nasib Adhinata selama terku-
rung di dasar sumur. Tak terasa haripun kembali men-
jadi gelap lagi. Datangnya malam ternyata begitu cepat, karena bila hawa dingin
menyelimuti sekitar lubang
Adhinata cuma bisa menggigil kedinginan. Untunglah
ingatannya mulai agak pulih, dan dia dapat segera sa-
lurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya untuk men-
gusir hawa dingin yang menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak perduli lagi akan
nasibnya. Bahkan sudah tak ingat lagi berapa hari su-
dah dia bersemayam di dasar sumur itu. Pada hari ke-
sembilan pemuda ini kerutkan keningnya, karena
mendengar suara jeritan kaget dari atas lubang. Dan
bersamaan itu batu-batu kecil berjatuhan meluruk
atas kepala. Alangkah terkejutnya Adhinata ketika
menengadah ke atas, melihat sesosok tubuh melayang
ke bawah. "Haaii...! ada orang terperosok ke lubang sialan ini...!" Sentaknya kaget. Tak
ayal dia sudah bangkit berdiri. Dan.... tentu saja lengannya dengan cepat segera
terentang untuk selanjutnya sudah menangkap
tubuh orang yang jatuh terperosok itu.
KREP...! Sekejap kemudian sosok tubuh itu su-
dah berada dalam rengkuhan sepasang tangannya
yang kuat. Orang itu perdengarkan suara keluhan li-
rih. Segera saja Adhinata sudah dapat menduga kalau
sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Karena terasa
ada dua buah benda lunak yang menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini aku punya seorang
teman...!" Berdesis mulut Adhinata dengan sepasang matanya membeliak lebar
memperhatikan wajah
orang. Akan tetapi tiba-tiba wajah Adhinata berubah
pucat. "Celaka...! aku tak boleh menyentuhnya!" desisnya kaget. Dan serta-merta
Adhinata melepaskan pon-
dongannya. Tubuh wanita itu jatuh berdebam ke tanah
lembab. Dan Adhinata melompat ke sisi lubang.
Jantungnya berdetak keras. Sepasang matanya
memperhatikan tubuh wanita itu dengan cemas.
Segera terbayang akan apa yang bakal terjadi.
Tak lama lagi di tempat itu akan ada sesosok mayat
yang daging tubuhnya mencair, menimbulkan bau bu-
suk. Ooh, alangkah tidak menyenangkan...! Akan teta-
pi ditunggu sekian lama tak ada terjadi apa-apa den-
gan wanita itu. Bahkan si wanita itu sendiri sudah
membuka sepasang matanya. Dan menggeliat untuk
bangkit berduduk. Sepasang matanya menatap pada
Adhinata dengan tatapan heran. Bibirnya tampak ter-
getar berucap. "Ah... siapakah.. anda...?"
"Heh" kau tak apa-apa..." Aneh...! Tubuhku
mengandung racun! aku... aku telah menyentuh mu...!
Sukurlah kau tak apa-apa...! Namaku Adhinata!" Tukas Adhinata dengan wajah
gerang melihat wanita itu
tak terkena racun. Hal itu amat mengherankan Adhi-
nata. Hingga terlongong Adhinata menatap wanita itu
yang tak lain dari Giri Mayang adanya. Entah apa yang terjadi hingga wanita
telegas itu bisa jatuh terperosok ke dalam lubang. Giri Mayang sendiri pun
terlongong keheranan, karena tak menyangka dirinya masih hi-
dup. Dia memang dalam keadaan tanpa daksa. Bebe-
Pendekar Bodoh 5 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 11