Pencarian

Pedang Asmara Gila 2

Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila Bagian 2


peti mati di atas jenazah puterinya.
"Heh, jangan jangan itu Pedang Pusaka Kera-
jaan yang hilang!" Berkata kawannya.
"Entahlah...! Bisa juga demikian...!"
"Hm. kalau hal ini kita laporkan pada Kaisar
dan Pedang Mustika itu ternyata benar benar memang
Pedang Pusaka milik Kerajaan yang lenyap, kita bakal dapat hadiah besar!" Tukas
seorang lagi.....!"
"Sssst... hentikan bicara kalian. Bagaimana ka-
lau ada yang mendengar pembicaraan kita" Atau dike-
tahui si Soku Sheba sendiri, akan tamatlah" riwayat ki-ta!" Keenam orang ini
segera berpaling kesana kemari, khawatir ada orang lain yang mendengar
percakapan mereka. Ternyata keadaan aman. Mereka tak tahu ka-
lau si wanita bercadar hitam telah menyelinap dengan
cepat. Akhirnya mereka bicara berbisik-bisik.
"Kita bagi berenam hadiah dari Kaisar nanti..."
Bisik salah seorang yang sudah mengkhayal terlalu
tinggi. "Heh, aku tentu harus mendapat bagian yang paling besar, karena aku yang
telah melihatnya...!"
"Akan tetapi aku yang mengusulkan untuk me-
laporkan pada Kaisar...! Justru akulah yang paling banyak mendapat bagian....!"
Berkata kawannya yang bertubuh kekar, agak pendek. Dia ini adalah kepala
dari para pegawai Perusahaan Peti Mati. Bernama WA-
KASA. Si kepala kuli itu plototkan matanya pada Sin-
bei. Membuat si jangkung kekar ini tersumbat mulut-
nya. Namun diam-diam hatinya jadi agak mendongkol.
Di luar dugaan dia sudah membatin. Hm, kalau tak
ada Wakasa, hadiah itu tentu akan dibagi lima. Ba-
gianku tentu akan lebih besar lagi. Cuma dia inilah pe-rintangnya! Kalau yang
lainnya sih, akan menurut ku-
beri berapa saja!
Memikir bakal mendapat hadiah besar, Sinbei
sudah merencanakan untuk menyingkirkan Wakasa.
Dan rencana itu ternyata sudah siap dikerjakan. Keti-
ka mereka tiba di satu tempat sunyi, Sinbei telah
menghunus belatinya dengan diam-diam. Saat itu Sin-
bei berada di belakang Wakasa. Dan.... JEP! JREP!
JREP....! Sinbei telah hunjamkan belatinya berkali-kali ke punggung Wakasa.
Terdengar jeritan Wakasa kesakitan. Sekejap tubuhnya sudah membalik dengan ter-
huyung. "Hah" kau.... kau..." Kala-katanya tak dapat dilanjutkan lagi, karena
dia sudah roboh terguling. Setelah meregang nyawa tak lama Wakasa segera mele-
paskan nyawanya saat itu juga.
Keempat kawannya jadi berteriak kaget. Akan
tetapi Sinbei tertawa menyeringai. "Hahaha...biarlah dia mati! Aku benci pada
kesombongannya selama ini.
Bukankah hadiah akan lebih besar kalian terima tanpa
si Wakasa ini?" berkata Sinbei.
Tiba-tiba si wanita bercadar sudah melompat
ke luar. dari tempat persembunyiannya. Ternyata lang-
sung mendekati Sinbei yang jadi ternganga.
"hihihi... kalau dibagi lima bagianmu akan se-
dikit sekali, sobat! Bagaimana kalau dibagi dua sa-
ja...."! Seraya berkata si wanita itu sudah membuka
cadar penutup wajahnya. Ternyata seorang wanita
berwajah cantik yang tersenyum pada Sinbei dengan
kedipkan matanya genit.
Tentu saja melihat tahu-tahu ada seorang wani-
ta yang bersikap demikian padanya membuat Sinbei
jadi berdegupan jantungnya.
"Apakah maksud ucapanmu, no... nona...?"
Tanya Sinbei tergagap.
Wanita genit itu bisikkan ditelinganya dengan
suara berdesis. Degupan jantung Sintei terasa semakin cepat. Bau wewangian
segera menyambar hidungnya.
Akan tetapi bisikkan itu membuatnya jadi belalakkan
matanya. Tak terasa kepalanya sudah mengangguk.
Sementara keempat kawannya sudah menyurut mun-
dur. Dari gerakan si Wanita itu saja mereka sudah ta-
hu kalau wanita itu berkepandaian tinggi. Dan kata-
kata bisikan itu cukup keras untuk didengar mereka.
Tahu-tahu si wanita itu sudah kenakan lagi cadar hi-
tamnya, dan melompat ke hadapan keempat laki-laki
pegawai Perusahaan Peti Mati itu.
"Heh! Kalian sudah mengetahui hal yang harus
dirahasiakan ini, maka kalian berdoalah cepat-cepat.
Karena aku akan mengirim nyawa kalian ke Akhirat...!"
Terdengar suara si wanita bercadar dengan suara din-
gin. Membuat tengkuk ke empat laki-laki ini keluarkan keringat dingin. Ternyata
belati Sinbei telah tergeng-gam di tangan si wanita bercadar itu.
Belum lagi mereka sempat berdo'a, tubuh si
wanita itu telah berkelebatan.
Dan sekejap kemudian sudah terdengar suara
jeritan-jeritan menyayat hati diiringi robohnya keempat laki-laki itu. Darah
menyemburat, memercik membasahi rerumputan. Keempat laki-laki itu meregang nya-
wa dengan mata membeliak. Masing-masing lehernya
telah tersayat hampir putus. Di lain kejap keempat tubuh itu sudah terbang
nyawanya. Terperangah Sinbei
dengan sepasang mata terbelalak tak berkedip. Terasa
ngeri juga di melihat kejadian yang cuma sekejap itu.
Siapakah wanita yang berilmu tinggi dan telen-
gas ini" Bisik hatinya. Walaupun Sinbei bergirang hati, karena dengan lenyapnya
keempat kawannya
dia akan menerima hadiah lebih besar. Namun
tak urung hatinya kebat-kebit juga, karena batinnya
sudah membisik. Ah, celakalah aku kalau akupun di-
bunuhnya...! Sekejap saja lenyaplah keinginan menda-
patkan hadiah yang diimpikan, karena nyawanya ada-
lah lebih penting dari hadiah sebesar apapun. Apalagi semua itu belum berupa
kenyataan. "Hihihi... jangan khawatir! Nasibmu masih lebih
baik dari mereka! Kau tak perlu risaukan dirimu! Bah-
kan kau akan menerima hadiah lebih besar lagi dari
apa yang kau harapkan....!" Berkata si wanita bercadar yang sudah beranjak
menghampiri. JEP! .... Tahu-tahu
belati berdarah itu telah menancap di batang pohon.
Tepat di sisi telinganya.
"Hm, siapakah namamu?" Tanya si wanita itu
dengan menatap tajam pada laki-laki di hadapannya.
Tampak tubuh Sinbei gemetaran menatap belati berda-
rah yang melesak dalam pada batang pohon tempat dia
sandarkan tubuhnya.
"Aku... aku... SINBEI..." Sahut Sinbei dengan menunduk. Dahinya mengembun penuh
keringat. "Hm, Sinbei! bantulah aku menguruk kelima
mayat kawanmu itu!" Sinbei cepat-cepat menganggguk, dan beranjak dari
tempatnya... Senja itu udara agak lembab. Angin bertiup da-
ri arah lembah menimbulkan hawa dingin. Sekitar
lembah itu dicekam kesunyian. Akan tetapi dibalik se-
mak lebat, justru sesosok tubuh membukai pakaian-
nya. Tergetar tubuh Sinbei menatap apa yang terpam-
pang di hadapannya.
Kalau belum lama berselang bau wewangian
yang ditimbulkan dari sosok tubuh wanita itu telah
merangsangnya. Kini justru sosok tubuh wanita itu
sendiri telah membuat bangkitnya kejantanannya. Ke-
bat-kebit hatinya mendadak sudah lenyap, sirna. Keti-
ka lengan-lengan halus wanita itu mulai membukai
kancing bajunya.
Sinbei tak berlaku ayal, karena imannya segera
sudah luluh. Beberapa kejap kemudian Sinbei sudah
singkirkan pakaiannya dengan gerakan cepat. Selan-
jutnya... Dua sosok tubuh itu sudah bergelinjangan di atas rerumputan dengan
suara dengus nafas saling
bersahutan. Rintihan nikmat pun terdengar lirih ter-
bawa hembusan angin yang bertiup dari arah lembah.
SINBEI perdengarkan keluhannya, dan guling-
kan tubuhnya direrumputan. Wajahnya menampakkan
keletihan .Sementara si wanita itu tampakkan senyu-
man pada bibirnya. Senyum kepuasan.
"Kau sudah punya istri....?" Tiba-tiba si wanita itu bertanya.
"Ah, aku belum punya cukup bekal cukup un-
tuk memelihara seorang istri...!" Jawab Sinbei dengan tersenyum.
"Siapakah namamu, nona..." kau mempunyai
ilmu tinggi yang mengagumkan. Kalau aku diangkat
jadi muridmu, aku tak penasaran!" Berkata Sinbei seraya garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba si wanita perden-
garkan suara tertawanya.
"Kau bersedia menjadi muridku..." " Tanyanya dengan alis dinaikkan. Sinbei
anggukan kepalanya.
Sementara sepasang matanya masih merayap pada
kedua buah benda menggumpal yang belum lagi tertu-
tup. "Hm, kalau benar-benar kau ingin jadi murid-ku, kau harus penuhi dulu
syaratnya...!" Berkata si
wanita. "Apakah itu...!" Tanya Sinbei.
"Syaratnya adalah nyawamu...!" Menyahut si
wanita dengan suara tiba-tiba berubah dingin. Sepa-
sang matanya mendadak bersitkan sinar yang men-
gandung hawa maut. Terperanjat Sinbei. Sepasang ma-
tanya sekejap sudah membeliak.
"Hah!" nya... nyawaku" Ah, nona! Kau bergu-
rau...." Ucap Sinbei dengan hati agak tergetar, seraya perlihatkan senyuman yang
agak kaku. Sementara hatinya kembali kebat-kebit. Berguraukah atau betulan
kata-kata si wanita itu" Sentak hati Sinbei. Akan tetapi Sinbei tak sempat
berfikir lagi. Karena tiba-tiba dia sudah menjerit parau, dan berkelojotan
meregang nyawa.
Darah segar memuncrat ke wajahnya. Ternyata
lengan si wanita itu telah bergerak menghantam kepa-
lanya. Sesaat Sinbei sudah terkapar tak bernyawa
dengan kepala rengat. "Hihihi... aku sudah tak mem-butuhkan mu lagi,
Sinbei.....!"
*** DELAPAN APAKAH sebenarnya wanita itu" Dialah MITONI
SAKEDA, selir sang Kaisar Kotsyi Nagoya. Ketika ti-
upan angin dari arah lembah agak reda, sosok tubuh
wanita itu sudah berkelebat dari balik rumpun lebat
itu. Ternyata sejak lenyapnya sang selir ini, setelah
memberikan dua orang bayi perempuan pada penga-
suh bayinya bernama HUYIMA, Mitoni Sakeda bukan
lagi selir sang Kaisar yang bodoh! yang bisanya cuma
menangis! Akan tetapi Mitoni Sakeda telah menjadi
seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Kemuncu-
lannya adalah setelah lenyapnya dia selama beberapa
tahun, sejak diusir dari Istana, karena seorang Pembesar Kerajaan telah
menuduhnya main gila dengan seo-
rang Panglima Kerajaan bernama HIGEI TANAKA.
Mitoni Sakeda ternyata menuju ke Lembah tak
bernama itu untuk menjumpai SOKU SHEBA. Penutu-
ran dari Sinbei telah cukup untuk dia mengetahui le-
tak dan tempat rumah Soku Sheba. Bahkan diketahui
pula dimana peti mati berisi mayat dan Pedang Pusaka
itu dikuburkan.
Tampak seorang laki-laki brewok bertubuh ke-
kar, mondar-mandir di depan rumah terpencil yang
tampak sunyi itu.
Dengan gerakan lincah, Mitoni Sakeda sudah
melompat untuk sembunyi ke balik batu. Tajam sekali
pendengaran laki-laki itu. Seketika dia sudah memben-
tak. "Siapa di situ...!" Terpaksa si wanita itu tak dapat lagi untuk lebih lama
sembunyikan diri. Segera dia keluar perlihatkan diri.
"Aku... aku tersesat kemari, paman...! Hari
hampir menjelang malam. Sudilah kau menerimaku
untuk menumpang menginap?" Berkata Mitoni Sakeda dengan memperlihatkan wajah
muram. Tentu saja Soko Sheba jadi melengak heran.
Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh wa-
nita di hadapannya dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut. "Hm, kau siapakah...?" Tanya Soku Sheba.
"Namaku YURIKO...!" Sahut Mitoni Sakeda se-
kenanya. Akan tetapi membuat si laki-laki brewok itu
jadi tersentak kaget. Karena justru nama itu adalah
nama anak gadisnya yang baru saja jenazahnya diku-
burkan. "Kau bicaralah yang benar, apakah benar kau
bernama demikian?" Tanya lagi Soku Sheba. Kesedihannya mendadak sudah memuncak
lagi. Nama itu membangkitkan kepedihannya yang belum lagi sirna
itu terkoyak lagi.
"Aku.... aku memang bernama Yuriko!" Tegas
Mitoni Sakeda yang sudah terlanjur mengucapkan.
Sementara diam-diam dia sudah perhatikan pe-
rubahan wajah laki-laki brewok itu. Aih, apakah anak
gadisnya yang mati itu bernama Yuriko" Pikir Mitoni
Sakeda, yang sudah segera menduga demikian.
Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar ben-
takkan keras. Dan lengan si laki-laki brewok sekejap
sudah menjambak rambut Mitoni Sakeda.
"Bedebah busuk! Kau penipu...! Yuriko sudah
mati...! Yuriko mati karena pedang sialan itu...!
Kau...kau hambuslah dari sini!" Sekali lengan Soku Sheba bergerak, terlemparlah
tubuh Mitono Sakeda
yang menjerit kesakitan. Separuh rambutnya telah je-
bol dari kulit kepalanya.
Buk...! tubuhnya sudah terbanting ke tanah,
dan jatuh bergulingan. Menyeringai wanita ini menye-
ringai sakit yang bukan alang kepalang. Sekejap saja
sekujur wajahnya telah berlumuran darah, yang men-
galir dari kulit kepalanya. "Keparrrattt...!" Memaki Mitoni Sakeda. Tiba-tiba
tubuhnya telah bangkit kembali dan melompat menerjang. Di lengannya telah
tergeng-gam sebuah kebutan dari buntut kuda, bergagang
emas yang berkilauan.
WHUKK...! WHUKK...! WHUK...!
BRETT...! Tiga serangan beruntun segera dilancarkan


Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam ke arah tiga bagian tubuh Soku Sheba.
Hebat laki-laki brewok itu, yang segera dapat meng-
hindari serangan ganas Mitoni Sakeda, Akan tetap sa-
tu sabetan telah membuat jubahnya sobek berikut ter-
lukanya kulit pundaknya.
Terkejut Soku Sheba, yang sudah perdengarkan
teriakan tertahan dan jatuhkan tubuhnya bergulingan.
Ketika dia memandang pada pundaknya, segera tam-
pak selarik goresan yang membuat kulit pundaknya
pecah-pecah mengalirkan darah. Tiba-tiba dia telah
melompat bangkit dengan membentak gusar.
"Kau... kau berani melukaiku YURIKO....?"
Tanpa sadar dia telah menyebut lagi nama anak gadis-
nya. Dan wajahnya seketika berubah pucat.
"Tidak...! tidaaak...! Yuriko sudah mati...! kau...
kau... kubunuh kau perempuan setan...!" Kembali dia membentak hebat.
BUK! Satu hantaman telak tak dapat dielakkan
Mitoni Sakeda. Tubuhnya terjungkal. Beruntung puku-
lan itu tak seberapa keras. Akan tetapi dari bibir wanita itu sudah mengalirkan
darah. Soku Sheba sudah memburunya lagi lengannya
terulur untuk mencengkram. Terperangah wanita ini.
Hatinya sudah membatin. Matilah aku...! Akan tetapi
sebisanya dia cepat gulingkan tubuhnya menghindar.
BRRETTTTT...! Cengkreman Soku Sheba telah merobek pa-
kaiannya sebatas dada. Membuat tersembulnya sepa-
sang buah dada sang wanita itu.
Membeliak seketika mata Soku Sheba. Akan te-
tapi dia sudah menyurut mundur dua tindak. Bibirnya
tampak tergetar dan wajahnya kembali berubah pucat
pias. "Ohh.... tidak...! tidaak...! Yuriko...! Yuriko...
anakku! maafkanlah ayahmu. Maafkanlah...! Aku....
aku telah berdosa anakku.... " Sesaat sudah terlihat sepasang mata Soku Sheba
berkaca-kaca. Dan sudah
cucurkan air mata yang membasahi kedua pipinya.
Akhirnya laki-laki brewok itu telah jatuhkan di-
ri berlutut dengan tundukkan wajahnya. Sungguh ka-
sihan laki-laki ini, ternyata otaknya sudah tidak waras lagi. Tertegun seketika
Mitoni Sakeda. Dia sudah ber-niat membunuh mati laki-laki itu. Akan tetapi
segera diurungkan. Timbul di hati Mitoni Sakeda untuk memper-
mainkan Soku Sheba yang telah membuatnya cedera
kulit kepalanya, karena separuh rambutnya jebol di-
cengkeram laki-laki brewok itu.
Entah dosa apakah gerangan yang dilakukan
Soku Sheba pada anak perempuannya itu, hingga
membuat laki-laki ini seperti orang tidak waras. Pikirnya. Akan tetapi dia sudah
perdengarkan tertawanya
mengikik, walaupun sebenarnya Mitoni Sakeda mera-
sakan sakit bukan main pada kulit kepalanya yang ter-
luka. "Hihihi... hihihi... baik! baik! aku akan ampuni kesalahanmu, ayah! Akan
tetapi sebagai penebus dosamu kau harus membuntungi kedua belah kakimu!"
Berkata Mitono Sakeda dengan suara dingin.
"Membuntungi kedua kakiku..." Bertanya dia.
"Ya!... Dengan cara itu mungkin akan dapat
meringankan dosamu...!" Ujar Mitoni Sakeda. Soku Sheba tiba-tiba tertawa gelak-
gelak. "Hahahaha... haha... kalau cuma membutungi
sepasang kakiku, aku tak keberatan!" Seraya berkata Soku Sheba telah selonjorkan
kedua kakinya. Kedua
lengannya terangkat ke atas, dan tampak bergetar, ka-
rena Soku Sheba tengah salurkan tenaga dalamnya ke
kedua lengan. Sepasang lengannya pun bergerak meluncur ke
arah kedua kakinya....
"TUNGGU.....!" Satu teriakan telah menggema menyibak keheningan. Akan tetapi
sudah terlambat.
PRAKKK....! Soku Sheba telah perdengarkan te-
riakannya yang berbareng dengan suara berderaknya
tulang kaki yang hancur.
Saat itu sesosok tubuh telah bergerak melom-
pat ke tempat itu, diiringi dengan teriakan tertahan.
"Kakaaak...!" Dan... WHUUK! Lengannya sudah bergerak menghantam Mitoni Sakeda.
Beruntung wanita itu sudah melompat menghindar.
"Kakak...! Kakak Soku Sheba! sadarlah apa
yang telah kau lakukan?" Teriak si pendatang itu yang ternyata seorang wanita
yang usianya hampir tak berbeda jauh dengan Mitoni Sakeda. Lengan wanita itu
mengguncang-guncangkan tubuh Soku Sheba, yang
segera tersadar setelah membuka matanya. Dan segera
mengenali siapa yang datang.
"Ah, adik MIYAZAKI...! kau... kau menyusul ke
tempat ku...?"
"Ya...! Apakah yang telah terjadi" Dan siapakah
wanita itu . . ." Mengapa kau lakukan hal ini...?" wanita bernama Miyazaki itu
adalah adik seperguruan So-
ku Sheba. Tentu saja dia terkejut mengetahui sang ka-
kak seperguruan telah menghancurkan kedua ka-
kinya. "Hah!" ya...! mengapa aku menghancurkan sepasang kakiku sendiri?" Agaknya
Soku Sheba baru
tersadar dari pengaruh kejiwaannya yang goncang.
"YURIKO...! Yah, Yuriko itulah yang telah me-
nyuruhku...!" Berkata Soku Sheba dengan suara
menggeram. "Yuriko" Mana Yuriko..." Dia bukan anakmu!
Siapakah dia...?" Mitoni Sakeda perdengarkan suara mendesis.
"Heh! Aku bukan Yuriko...! Namaku Mitoni Sa-
keda...! Kakakmu itu telah menjadi kurang waras! Aku
memang bersalah telah mendustainya dengan mema-
kai nama Yuriko!"
"Lalu apa maumu ke tempat ini" Aku adalah
saudara seperguruannya! Aku bertanggung jawab atas
keselamatan dirinya...! Hm, menurut pendengaran ku
kalau tidak salah, kaulah orangnya bekas selir
Kaisar Kotsyi Nagoya yang telah diusir karena
melakukan hubungan gelap dengan seorang Panglima
Kerajaan. Kedatanganmu pasti mau mengganggu ka-
kak seperguruanku...!" Berkata Miyazaki dengan suara ketus. "Hm aku tak kesudian
melakukan itu! Dia telah menyerangku tanpa sebab hingga kau lihat sendiri
keadaanku! Masih bagus aku tak suruh kakakmu
membunuh diri...!" Tukas Mitoni Sakeda dengan tak kalah sengit.
"Sudah...! biarkanlah dia pergi.. ! Hm! Ketahui-
lah, sobat! kakakmu itu telah membunuh anak gadis-
nya sendiri...! Biarlah dia rasakan akibat perbuatan-
nya!" Teriak Mitoni Sakeda, seraya beranjak melangkah. Hatinya jadi geram,
karena niatnya untuk mencu-
ri Pedang telah gagal.
"Tutup mulutmu, perempuan sial...! Hambus-
lah kau dari sini!" membentak Soku Sheba dengan suara menggeledak. Tubuhnya
sudah mau digerakkan
melompat. Akan tetapi dia segera mengeluh panjang,
karena segera sadar kalau sepasang kakinya telah
hancur putus sebatas lutut.
Mitoni Sakeda sudah putar tubuh dan berkele-
bat pergi... Tentu saja dengan membawa 101 macam
kemendongkolan dihatinya.
Penuturan Soku Sheba ternyata membuat
Miyazaki jadi terperangah. Seperti diketahui Soku
Sheba telah kematian istrinya sejak Yuriko berusia li-ma belas tahun. Tentu saja
dapat dirasakan betapa
pedihnya hati Soku Sheba. Hingga beberapa bulan se-
jak kematian sang istri, Soku Sheba mendiami sebuah
lembah yang tenang bersama Yuriko anak gadisnya.
Di samping itu Soku Sheba masih merasa pe-
nasaran, karena kematian istrinya adalah secara aneh.
Yaitu tengah malam mendadak sang istri muntahkan
darah hitam yang kental dari mulutnya. Setelah berpe-
san untuk menjaga Yuriko baik-baik, sang istri pun
tewas dengan bibir tampakkan senyuman.
Ternyata di luar sepengetahuan Soku Sheba,
yaitu di saat dia tak berada di tempat telah kedatangan seorang wanita yang
bernama FUKI ZIMA.
FUKI Zima mengatakan bahwa dia saudara se-
pupu Soku Sheba. Begitu masuk ruangan sepasang
matanya menatap pada sebuah pedang samurai yang
tergantung ditembok.
"Ah, pedang yang bagus! Aku tahu pedang itu
milik kakak Soku Sheba!"
"Benar...! Itu pedang warisan gurunya...! Berka-
ta istri Soku Sheba. Akhirnya dengan kata-kata manis
Fuki Zima sampaikan maksudnya untuk meminjam
pedang milik Soku Sheba itu. Sebenarnya istri Soku
Sheba tak berani memberikan, akan tetapi wanita itu
telah meninggalkan sebuah pedang samurai yang ber-
gagang indah sekali bertatahkan mutiara pada ujung-
nya. Dan pada mata pedangnya berukiran dua ekor
burung Hong. "Aku tinggalkan pedangku ini sebagai jami-
nan..! Kakak Soku Sheba pasti akan mengenali pe-
dang ini...!" Istri Soku Sheba tak berani menolak lagi.
Dia sudah percaya penuh pada wanita yang
mengaku saudara sepupu suaminya. Apa lagi pedang
yang di tinggalkan tampak lebih indah. Merupakan se-
buah pedang yang berharga mahal.
Demikianlah! wanita bernama Fuki Zima itu se-
gera mohon diri. Yuriko pada waktu itu menanyakan
pada ibunya tentang wanita itu. Fuki Zima segera tu-
turkan siapa dirinya, bahkan wanita itu memeluk Yu-
riko dengan tersenyum dan berkata lembut.
"Aiih...! namamu Yuriko, bukan..." ah, kau can-
tik sekali seperti ibumu. Panggillah aku bibi...! Kelak ayahmu akan dapat
bercerita tentang bibimu ini...!"
"Selamat jalan, bibi...!" Ujar Yuriko, ketika wanita itu lambaikan tangan
padanya dan berkata pada
istri Soku Sheba.
"Aku pasti akan datang lagi secepatnya untuk
mengembalikan pedang!" Setelah berucap demikian
Fuki Zima beranjak pergi dengan langkah cepat. Kedua
ibu dan anak itu memperhatikan wanita itu sampai le-
nyap di tikungan jalan. Sekembalinya Soku Sheba se-
gera sang istri beritahukan kedatangan wanita tadi.
Dan serahkan pedang titipannya pada suaminya.
Tercenung Soku Sheba memandang pedang
yang indah itu. Wajahnya tampak mengalami peroba-
han dengan tiba-tiba. Akan tetapi cepat-cepat Soku
Sheba menutupinya dengan tersenyum.
"Ah, benarlah dia itu saudara sepupu ku, ma...!
Apakah tak datang bersama suaminya?" Ujar Soku
Sheba. Padahal di hati laki-laki ini timbul semacam perang batin yang hebat.
Ternyata Fuki Zima adalah be-
kas kekasihnya. Pedang itu adalah pedang lambang
cinta kasih mereka, yang diukirkan dengan sepasang
burung Hong pada mata pedang.
Soku Sheba pernah berjanji tak akan kawin
dengan wanita manapun kecuali dengan Fuki Zima.
Tapi kenyataannya Soku Sheba menikah dengan
SHINTOMI. Karena Fuki Zima tak pernah muncul sete-
lah sejak lama dinantinya.
Bahkan Soku Sheba tak mengetahui lagi dima-
na Fuki Zima berada.
Mengapa setelah 15 tahun terlewat Fuki Zima
baru muncul..." Sentak Soku Sheba. Dan dia datang
cuma meminjam Pedang Pusaka warisan gurunya itu
yang tak pernah dipakai.
Semalam-malaman Soku Sheba tak bisa tidur.
Tentu saja kegelisahan itu diketahui istrinya. Akan tetapi Shintomi pura-pura
tak mengetahui.
Tengah malam di saat istrinya tidur lelap, Soku
Sheba keluar dengan pelahan menuju ruang tengah.
Ternyata menghampiri dinding dimana pedang beruki-
ran burung Hong itu tergantung menggantikan pedang
Pusaka miliknya.
Tergetar jantung laki-laki ini ketika melihat pa-
da sepasang burung Hong itu. Seakan terbayang lagi
kisah cinta dimana mereka masih memadu kasih pada
lima belas tahun yang silam.
Tiba-tiba lengannya sudah bergerak memasuk-
kan kembali pedang itu dalam serangkanya. Soku
Sheba ingat sekali, pada gagang pedang telah dibuat
sebuah ruang yang dipergunakan untuk menyimpan
surat. Jari-jari lengannya telah bergerak memutarkan
gagang pedang itu. Benar saja. Dalam rongga gagang
pedang itu terdapat segulung kertas kecil.
Dengan penerangan lilin di atas meja disudut
ruangan, Soku Sheba membaca tulisan pada kertas
kecil itu. "Aku akan mengembalikan pedangmu, tapi aku
tak mau datang ke rumahmu!
Datanglah ke Lembah Sakura pada malam pur-
nama depan. Aku menantimu...!
Istrimu cantik sekali, Soku Sheba...!
FUKI ZIMA. Berdebar hati Soku Sheba. Akan tetapi cepat-
cepat masukkan kertas itu untuk ditelannya segera.
Dia amat mengkhawatirkan istrinya mengetahui. Sege-
ra Soku Sheba kemasi lagi pedang itu pada tempatnya.
Lalu beranjak masuk ke kamarnya. Tersenyum
laki-laki ini melihat istrinya masih tidur lelap dengan posisi semula.
Dengan pelahan Soku Sheba kembali rebahkan
tubuhnya di samping sang istri yang amat dikasihi itu.
Aku tak dapat mengkhianati istriku, akan tetapi aku
memang harus menjumpainya untuk menjelaskan du-
duk perkaranya! Fikir Soku Sheba.
Malam purnama yang dijanjikan itupun tiba.
Aneh! Justru malam itu Shintomi minta izin menginap
dirumah ibunya bersama Yuriko.
Akan tetapi Soku Sheba tak berfikir jauh, sege-
ra mengizinkannya. Menjelang kepergian mereka Soku


Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sheba pun berangkat menuju ke lembah Sakura den-
gan membawa pedang berukiran sepasang burung
Hong itu, dan pertemuan kedua insan yang pernah
memadu kasih dan cinta itupun terjadi....
"Kau belum bersuami Fuki Zima...?" Tanya So-ku Sheba yang sudah membuka
percakapan. Fuki ZI-
MA duduk di atas batu tak bergeming. Dilengannya
tercekal pedang Soku Sheba.
"Kukira pertanyaan itu tak patut kau lontarkan
padaku, Soku Sheba! Bukankah pedang cinta kasih
dari kisah asmara kita selalu berada di dekat ku" Pe-
dang itu seolah dirimu sendiri...! Patutkah aku
mengkhianatinya" Sepasang burung Hong itu laksana
aku dengan kau!
Namun kenyataan pahit sudah ku alami. Aku
menikah dengan wanita lain!" berkata Fuki Zima dengan suara ketus. "Maafkanlah
aku Fuki... ! keadaan sudah terlanjur begini! aku tak dapat mengkhianati is-
triku!" Berkata Soku Sheba dengan suara lemah tergetar. Sebenarnya Soku Sheba
segera akan mengemuka-
kan beberapa alasan hingga dia tak menepati janji ka-
sih yang telah mereka ikrarkan berdua. Akan tetapi
Fuki Zima sudah keluarkan kata-kata sinis.
"Heh! Aku bukan datang untuk mengemis cinta
mu, Soku Sheba! Aku mau mengembalikan pedang mi-
likmu ini! Aku sudah mengetahui kau menikah sejak
10 tahun yang lalu. Nah, dapat kau bayangkan betapa
sakit dan pedihnya hatiku! Tapi aku rela...! aku rela kau pergi dari sisiku!
Semoga kau bahagia dengan ke-hidupan yang telah kau tempuh itu, Soku Sheba...!
Nah kau terimalah pedangmu!" Seraya berkata , Fuki Zima sodorkan pedang samurai
yang dipinjamnya pada
si laki-laki bekas kekasihnya itu.
*** SEMBILAN SOKU SHEBA agak berat menerima pedangnya
kembali. Namun dia sudah ulurkan lengannya me-
nyambuti. "Nah, kembalikan pedang titipan ku itu!"
Berkata, Fuki Zima dengan nada tak berubah. Sejenak
Soku Sheba memperhatikan pedang yang pernah
membawa kisah cinta antara mereka berdua itu. Na-
mun segera telah sodorkan pada wanita itu dengan
berkata. "Sekali lagi aku mohon maafmu, Fuki Zima!"
Akan tetapi Fuki Zima tertawa sinis seraya menyambu-
ti pedang berukiran sepasang burung Hong itu.
"Hihihi... sudahlah! Di antara kita sudah tak
ada hubungan apa-apa lagi! Pedang ini sudah tak
mempunyai arti lagi, Soku Sheba!" Seraya berkata tiba-
tiba lengan Fuki Zima sudah bergerak membantingkan
pedang itu ke atas batu. TRRAKK...! Sekejap pedang
yang pernah membawa kisah asmara mereka sudah
patah menjadi beberapa bagian. Terkejut Suku Sheba.
Akan tetapi wanita itu telah berkata.
"Hmm, pada Pedang Pusaka milikmu yang ku
pinjam itu ku ukirkan namaku! dan kupindahkan pula
lambang sepasang burung Hong sebagai pengganti pe-
dang lama! Nah, kalau kau ingat diriku,
kau boleh pandangi gambar sepasang burung
Hong itu! Dan akan segera kau ingat aku...! walaupun
aku sudah tak mengharapkan kau lagi! Pedang itu kini
kunamakan PEDANG ASMARA GILA!" Setelah berkata
demikian Fuki Zima berkelebat pergi dengan perden-
garkan suara tertawa pedih. Tertawa yang seperti me-
nangis. Sekejap saja tubuhnya telah lenyap di antara
rimbunnya pepohonan....
Terperangah Soku Sheba. Terasa hatinya seper-
ti terbawa pergi. Akan tetapi dia sudah menghela na-
pas. Dapat dirasakan betapa wanita itu menanggung
siksa karena gagal dalam mengharap kebahagiaan hi-
dup bersama dengan laki-laki yang pernah didamba-
kannya. Terasa lemah lunglai tubuh laki-laki itu. Ha-
tinya membatin. Betapa berdosanya aku...! Betapa su-
cinya cintanya...! Namun segalanya sudah terlanjur.
Laki-laki ini perdengarkan helaan nafasnya. Sementara lengannya sudah bergerak
perlahan menarik pedang
yang dinamai Pedang Asmara Gila oleh Fuki Zima. Be-
nar saja! Pada bilah pedang terdapat ukiran sepasang
burung Hong. Akan tetapi burung itu tidak seperti
lambang yang dulu. Karena ukiran burung Hong itu
masing-masing terpisah dengan kepala sama membe-
lakangi. Itulah pertanda kisah asmara mereka telah
bertolak belakang. Ketika membalik bila pedangnya, di situ sudah terukir nama
FUKI ZIMA. Termangu-mangu
Soku Sheba. Benar saja seperti ucapan bekas kekasih-
nya itu. Karena segera kisah cinta mereka di masa da-
hulu telah terbayang kembali di matanya.
Bahkan yang lebih luar biasa adalah. sinar pe-
dang itu telah memancarkan hawa pengaruh cinta be-
rahi yang menggebu-gebu. Terperangah Soku Sheba.
Akan tetapi Soku Sheba tak menyadari bahwa pedang
itu kini telah terisi semacam ilmu gaib yang mempen-
garuhi jiwanya. Dengan terengah-engah cepat-cepat
Soku Shema masukkan lagi bila pedang itu pada se-
rangkanya. "Fuki Zima...! Menyesal aku tak mengawini
mu.... Fuki Zima.... tahukah kau bahwa cintaku amat
besar padamu?" Terdengar bibirnya berdesahan me-
luncurkan kata-kata. Dengan membawa berahi yang
masih tak kunjung reda, Soku Sheba berkelebat pergi
tinggalkan lembah Sakura. Setiba di rumah barulah
dia sadar kalau istri dan anak gadisnya tak ada di rumah. Akan tetapi anehnya
sang istri tak lama sudah
muncul kembali. Ternyata pada sepertiga malam dia
telah batalkan menginap di rumah ibunya.
"Mana Yuriko...?" Tanya Soku Sheba, karena
tak melihat anak gadisnya turut serta. "Anak itu teruskan menginap! Biarlah
Neneknya amat rindu pa-
danya." Sahut Shitomi pendek.
"Kau... kau mengapa tak jadi menginap?" Tanya Soku Sheba dengan pandangan mata
nanar menatap istrinya. "Ah, tak apa-apa...! Aku takut kau kesepian
sendirian di rumah!" Sahut sang istri. Soku Sheba tersenyum. "Ya, biarlah...!
Sekali-sekali kita toh perlu mengenang masa pengantin baru..." Ujar Soku Sheba.
Shintomi tersenyum seraya masuk ke peraduan....
-----oooOooo------
Malam itu Soku Sheba bagaikan seekor kuda
jalang yang menjalankan tugasnya dengan napas
menggebu-gebu. Akan tetapi dimatanya bukanlah wa-
jah istrinya, melainkan wajah FUKI ZIMA....
Akan tetapi menjelang pagi, ketika Soku Sheba
masih tertidur pulas, sang istri terbatuk-batuk hebat dan muntahkan darah kental
berwarna hitam. Tentu
saja membuat dia terkejut. Dengan panik Soku Sheba
berlari ke arah rumah tetangga yang agak berjauhan
untuk memberi bantuan menolong istrinya. Sayang,
bermacam pengobatan dilakukan, namun nyawa Shin-
tomi tak dapat tertolong lagi. Akan tetapi sebelum
hembuskan napas yang terakhir, sang istri tersenyum
menatapnya. Senyum itu begitu pedih terlihat oleh So-
ku Sheba. Akan tetapi sang istri tak mengucapkan ka-
ta-kata lain, selain berpesan agar menjaga Yuriko baik-baik. Sesaat kemudian
istri Soku Sheba yang setia itupun lepaskan nyawanya
Dan sejak Soku Sheba menetap di lembah tak
bernama itu, telah terjadi satu peristiwa yang amat
terkutuk. Soku Sheba dalam kesepiannya telah kem-
bali loloskan pedang Asmara Gila. Kembali terpandang
ukiran sepasang burung Hong. Juga sebuah nama
yang terukir di balik bilah pedang itu. Sepasang ma-
tanya pun kembali nanar. Dan... Yuriko si anak gadis
yang amat disayanginya telah menjadi korban pelam-
piasan nafsu terkutuknya. Hingga Yuriko dalam kea-
daan baju terkoyak-koyak dan tubuh lemah lunglai
melarikan diri di saat Soku Sheba tertidur menggeros.
Yang didesiskan dari mulutnya tak lain dari nama FU-
KI ZIMA. Dan kejadian tragis tak dapat terelakkan lagi.
Yuriko membunuh diri dengan melompat dari atas teb-
ing.... Terperangah Miyazaki mendengar penuturan
Soku Sheba. "Jadi kau... kau telah lakukan perbuatan terku-
tuk dengan anak gadismu sendiri...?" Berkata Miyazaki seperti menggumam. Soku
Sheba terangguk-angguk
dengan cucurkan air mata yang deras mengalir mem-
basahi sepasang pipinya. Sang adik seperguruan cuma
bisa menarik napas dengan trenyuh. Jelas bekas keka-
sih Soku Sheba itu telah sengaja membalas dendam!
Pikirnya. Pedang itu telah mengandung satu kekuatan
gaib yang menimbulkan berahi... Tumbuh di hati Miya-
zaki untuk memusnahkan pedang itu. akan tetapi dia
khawatir kekuatan berahi akan menyerangnya. Akhir-
nya Miyazaki menetap di Lembah tak bernama itu me-
rawat Soku Sheba. Bahkan beberapa tahun kemudian
tempat itu telah dipasangi bermacam jebakan. Karena
khawatir ada orang yang mencuri Pedang Asmara Gila.
Miyazaki ternyata seorang wanita yang berkepandaian
tinggi dan berotak cerdas. Siang malam bekerja tak
mengenal lelah untuk membuat bermacam jebakan.
Rumah tua itu telah "disulap" Miyazaki menjadi tempat yang angker. Miyazaki
tinggalkan Lembah tak bernama
itu, setelah merampungkan pembuatan jebakan-
jebakan rahasia itu.
Tinggallah Soku Sheba sendiri di rumah tua
itu. Dan lembah tak bernama itu pada sepuluh tahun
kemudian mempunyai nama yang memang sangat se-
suai dengan kenyataan. Yaitu Lembah AIR MATA. Ka-
rena sering terlihat seorang kakek berjubah putih, duduk di atas batu di depan
rumah tua itu sambil me-
niup serulingnya. Tiupan seruling itu bernada sedih,
memilukan hati. Dan akan terlihat wajah kakek tua
berkaki buntung itu mencucurkan air mata...
*** SEPULUH BEBERAPA HARI KEMUDIAN.... Di Lembah Air
Mata telah bermunculan puluhan Ninja mengepung
rumah tua itu dari perbagai Penjuru. Ninja-Ninja itu berpakaian serba Hijau.
Gerakannya cepat sekali. Mereka menggali tanah di malam yang agak gelap itu.
Rembulan di langit cuma tinggal sepotong yang me-
mancarkan sinarnya. Awan hitam telah menyelubungi
hampir separuhnya. Kira-kira tiga kali penanak nasi,
beberapa Ninja telah berhasil memasuki ruangan da-
lam. Beberapa kepala bersembulan di beberapa tem-
pat. Mereka memakai topi tudung baja yang berujung
lancip. Lengan-lengan mereka memakai cakar besi
yang dipergunakan untuk mengeruk tanah. Luar bi-
asa! Mereka dapat selamat dari jebakan senjata-
senjata rahasia yang terpasang di sekitar tempat itu.
Mereka saling memberi isyarat. Segera sudah
melihat di mana adanya segunduk tanah yang mem-
punyai batu nisan bertulisan nama YURIKO. Beberapa
orang menyelinap dengan hati-hati untuk menjaga
khawatir munculnya si kakek kaki buntung bernama
Soku Sheba itu. Tak lama mereka sudah mulai meng-
gali tanah kuburan. Cepat sekali beberapa
Ninja itu bekerja. Tak Sama peti mati sudah
berhasil terkorek. Kini tinggal lagi membuka tutupnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras. Tiga
orang Ninja terjungkal jatuh dengan pekik kematian.
Beberapa Ninja segera berlompatan membantu. Ter-
nyata di ruangan itu telah muncul seorang wanita yang memakai cadar hitam
penutup muka. "Keparat...! Kalian tak akan dapat memiliki Pe-
dang Pusaka itu!" Bentaknya. Dan di lengannya sudah tercekal sebuah kebutan
bergagang Emas. Dialah guru
Hamada. Beberapa lengan sudah muncul dari dalam
tanah menarik kakinya. Terkejut wanita bercadar hi-
tam itu. Kebutannya telah bergerak menyambar.
PRAK! PRRAKK...! Tanah menyemburat, dan
lengan-lengan Ninja itu putus berpentalan. Belasan pisau tiba-tiba berdesir
meluruk ke arahnya. Akan tetapi dengan sebat dia sudah lakukan salto. Lengannya
gerakkan kebutannya menghalau.
JEP! JEP! JEP...! Tiga orang Ninja roboh terke-
na sambaran balik dari pisau-pisau terbang yang dis-
ampoknya. Beberapa Ninja segera lemparkan tali pen-
jerat. Namun belum sempat tali-tali mengenai sasaran, tubuh wanita bercadar itu
telah lebih dulu melompat
menerjang. Beberapa sosok tubuh kembali terjungkal.
Sebat sekali si wanita itu melompat ke dalam lubang.
Dua orang Ninja kembali dihajar roboh oleh kebutan
mautnya. Lengannya bergerak cepat membuka tutup
Peti Mati. Tampak mayat seorang wanita yang sudah
tak berbentuk lagi. Dan Pedang Pusaka itu tergeletak
di atasnya. Cepat sekali dia meraihnya. Sekejap sudah berada di tangannya. Dan
dengan sebat sudah melompat ke atas menjebolkan atap wuwungan rumah. Ter-
dengar suara bergedubrakan.... Si wanita bercadar itu sudah berada di atas
wuwungan. Akan tetapi puluhan
anak panah telah meluruk ke arahnya.
Wanita ini segera gunakan senjatanya untuk
memukul buyer puluhan anak panah. Dan di lain ke-
jap dia sudah melesat dari wuwungan rumah ke balik
semak lebat di bawahnya. Lalu lenyap tak ketahuan
lagi ke mana perginya.
"Kejaarrr...!" Terdengar suara teriakan. Dan puluhan Ninja sudah berlompatan
mengejarnya. -----oooOooo-----
Si wanita bercadar itu pergunakan kelincahan-
nya untuk cepat meninggalkan Lembah Air Mata. Ha-
tinya sudah girang karena Ninja-Ninja Hijau itu takkan dapat mengejarnya.
Beberapa saat kemudian dia telah
berada di atas bukit. Namun sungguh di luar dugaan.
Karena di hadapannya telah berdiri beberapa sosok


Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh yang sudah siap merentangkan busur panah.
Siap memanggang tubuhnya. Di tengah-tengah barisan
Ninja Hijau itu tegak berdiri si Setan Tanah Higei Tanaka. Lengkap dengan topi
tudung lebarnya.
"Hm, serahkan pedang itu! Berkata Higei Tana-
ka dengan suara dingin. Akan tetapi wanita bercadar
ini mendenguskan hidungnya.
"Huh, kau kira semudah itu Higei Tanaka..."
Pedang ini bukanlah Pedang Pusaka Kerajaan yang hi-
lang itu! Akan tetapi pedang pusaka milik Soku Sheba!
Pedang ini mempunyai riwayat tersendiri, yang tak bo-
leh lain orang memilikinya!"
"Akan tetapi baiklah akan aku serahkan pada-
mu, kalau kau suruh orang-orangmu itu pergi!" Ujar si wanita bercadar.
"Hm, baik...! Apakah kau mampu melarikan diri
kalau kau berdusta?" Berkata Higei Tanaka. Segera dia tepukkan lengan tiga kali.
Sekejap para Ninja Hijau itu berkelebatan lenyap. Tersenyum si wanita itu.
Sepasang matanya jalang menatap pada Higei Tanaka. Ka-
kinya pun beranjak melangkah ke arah laki-laki itu.
Sementara Higei Tanaka telah siap-siap menghadapi
kalau terjadi sesuatu. Sepasang lengannya mencekal
tongkatnya erat-erat.
"Apakah kau percaya kalau kukatakan pedang
ini bukan milik Kerajaan?" Tanya wanita itu,
"Hm, MITONI SAKEDA...! Aku perlu bukti un-
tuk melihatnya!" Ucap Higei Tanaka. Wanita ini tampak tatapkan matanya tajam-
tajam pada laki-laki di
hadapannya. "Heh!" Agaknya kau telah mengetahui
siapa diriku...!" Terkejut wanita ini. Karena sudah belasan tahun dia
menyembunyikan diri di Kota Raja,
ternyata Higei Tanaka bekas panglima Kerajaan dari
Kaisar lama itu mengetahui siapa dirinya.
"Heh! Sudah sejak lama aku mengetahui, pe-
rempuan bejat! Kaulah si penyebar fitnah keji, hingga aku dipecat dari jabatanku
sebagai Panglima Kerajaan!
Hubunganmu dengan HOKAIDO si Wali Kota itu, kau
fitnahkan padaku! Ketahuilah! Si Hokaido itu telah
kubunuh mampus! Kedua anakmu Kori Syima dan Su-
zi telah berada di Lembah Pedang! Mereka tak boleh
mengetahui urusan kita. Dan hari ini setelah kau se-
rahkan pedang Pusaka itu, kau harus serahkan pula
nyawamu...!" Berkata si Setan Tanah Higei Tanaka yang amat mendendam pada wanita
bekas selir Kaisar
ini. Akan tetapi wanita itu cuma tersenyum seraya
ucapnya lirih. "Hm, aku sudah mengetahui dari HUYIMA... si
pembantuku itu! Sudahlah, Higei Tanaka...! Kejadian
lama itu tak usah kau ungkit lagi! Sebenarnya aku tak main gila pada Hokaido!
Aku sebenarnya amat mencintaimu, Higei Tanaka...! Aku adalah wanita malang yang
gagal menemukan kebahagiaan! Kehidupanku di Istana sebagai selir tidaklah
membahagiakan ku! Selama
itu aku mencari dan mencari di manakah letak keba-
hagiaan itu" Sejak Kaisar mulai tak memperhatikan ku
lagi, timbullah niatku untuk minta cerai! Diam-diam
aku mencintaimu. Karena kulihat kau tak punya seo-
rang istripun, tak kusangka kalau niatku itu kau tolak mentah-mentah! Aku
sengaja memfitnah mu agar kau
dipecat. Setelah aku pasti akan dicerai Kaisar. Tujuanku adalah kembali
mendekatimu, karena dengan be-
basnya aku, kau pasti sudi menjadikan aku istrimu...!"
Berkata demikian, tampak sepasang mata Mitoni Sa-
keda cucurkan air mata.
Membuat Higei Tanaka jadi tercenung. Tak me-
nyangka kalau demikianlah halnya. Sementara Mitoni
Sakeda telah teruskan lagi bicaranya.
"Pedang Pusaka ini silahkanlah kau periksa...!
Bagiku tak keberatan kalau kau ingin memilikinya! Te-
busannya pasti amat besar dari Kaisar. Siapa tahu kau bisa memangku jabatan lagi
di Kerajaan Merak Hijau...!" Seraya berkata Mitoni Sakeda lepaskan cadar penutup
wajahnya, dan sodorkan gagang pedang pada
Higei Tanaka. Agak terpana laki-laki ini melihat wajah Mitoni Sakeda, yang masih
tak berubah kecantikan-nya. Namun lengannya sudah terulur untuk menyam-
buti Pedang yang disodorkan padanya. Hatinya diam-
diam membatin. Hm, kalau benar ini pedang Pusaka
Kerajaan, pasti akan ada ukiran burung Merak pada
bilah pedangnya! Sekejap Higei Tanaka telah cabut pe-
dang samurai itu dari serangkanya.
Segera membersitlah hawa aneh yang mengge-
tarkan jantung, ketika menatap gambar ukiran sepa-
sang burung Hong yang saling membelakangi. Dan di
sebaliknya tertera sebuah name FUKI ZIMA. Siapakah
Fuki Zima... " Sentak hatinya. Jelas pedang itu bukan pedang Pusaka Kerajaan
walaupun sarang pedang dan
gagangnya amat mirip. Karena ketika masih menjabat
sebagai Panglima Kerajaan, Higei Tanaka pernah meli-
hatnya. "Nama yang tertera di situ adalah namaku, Higei Tanaka...! Sudah
kukatakan pedang itu bukanlah
pedang Pusaka Kerajaan. itu adalah pedang milik Soku
Sheba. Pedang yang membawa kisah cinta kami yang
gagal! Pedang itu kunamakan PEDANG ASMARA GI-
LA...!" Berkata Mitoni Sakeda alias Fuki Zima. Seraya sudah beranjak mendekati
Higei Tanaka. Ketika lengan
wanita itu bergerak menyibakkan celah pakaiannya di
dada, segera tersembul sepasang payudaranya yang
putih. Kedua benda membulat itu bergerak-gerak keti-
ka wanita itu bergerak melangkah kian mendekat. Se-
pasang mata Higei Tanaka jadi berubah nyalang. Hawa
berahi yang di timbulkan dari pedang yang sudah ter-
salurkan ilmu gaib yang hebat itu telah merasuk ke
otaknya. Tergetar dada laki-laki itu, tak terasa pedang yang di genggamnya sudah
terlepas jatuh. Topi tu-dungnya segera sudah disibakkan. Dan... sepasang
lengannya sudah mendekap tubuh wanita itu.
"Fuki Zima... ah, namamu amat indah kedenga-
rannya. Aku... aku menyesal menolakmu menjadi is-
triku, Fuki Zima...!" Ucapnya dengan
suara-suara gemetar. Sepasang matanya men-
gatup merasakan gesekan tubuh Fuki Zima, yang
menggeliat dalam pelukannya. Dan... lengan laki-laki
itu sudah menyelusup semakin jauh. Pakaian wanita
itupun ditanggalkan helai demi helai bersamaan den-
gan tanggalnya pakaian Higei Tanaka yang dibenahi
lengan halus wanita itu.
"Aku amat mencintaimu Higei Tanaka ...." Berkata Fuki Zima dengan suara
berdesah. Tenggorokan
Higei Tanaka seperti kering tersumbat. Dan... di pon-
dongnya tubuh wanita itu untuk dibaringkan di re-
rumputan. Sekejap saja Higei Tanaka telah seperti
orang kesurupan yang menggeluti tubuh wanita itu
dengan hempasan-hempasan tubuhnya.... Bergelinjan-
gan tubuh si wanita itu, menggeliat-geliat dengan bibir berdesahan. Sementara di
hati si wanita bernama Fuki
Zima alias Mitoni Sakeda itu sudah membatin. Hihihi...
akhirnya kau jatuh juga di tanganku, Higei Tanaka
yang sombong! Dan direngkuhnya tubuh laki-laki itu
untuk melampiaskan segenap kepuasannya.... Akan
tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar sebuah bentakan menggeledek! Sebuah
bayangan putih berkele-
bat.... "FUKI ZIMA...! Kau mampuslah sekarang...!"
Satu sambaran dahsyat menderu menghantam kedua
tubuh yang tengah bergelinjangan itu. Terperangah Hi-
gei Tanaka. Detik itu juga dia sudah gulingkan tubuh-
nya dengan cepat dari atas tubuh si
wanita. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
berderak keras.
BRRASSS...! Dan diiringi teriakan menyayat ha-
ti, segera terlihat tubuh Fuki Zima berhamburan isi
perutnya terkena hantaman pukulan lengan seseo-
rang. Ketika dia melihat siapa yang datang, ternyata
adalah seorang laki-laki tua berkaki buntung terman-
gu-mangu menatap tubuh wanita itu yang sudah le-
paskan nyawanya dengan seketika. Dialah SOKU
SHEBA. Belum lagi Higei Tanaka sempat berbuat se-
suatu, lengan si kakek itu sudah menyambar pedang
Asmara Gila yang tergeletak di sisi tubuh Fuki Zima.
Dan sudah berkelebat melompat ke atas sebuah batu
besar. Terdengar suara SREEK...! Dia telah masukkan
pedang itu dalam serangkanya.
Cepat-cepat Higei Tanaka sambar pakaiannya,
dan kenakan dengan cepat. Higei Tanaka sendiri terke-
jut, dan baru tersadar kalau dia telah lakukan perbuatan di luar kesadarannya.
*** SEBELAS "AH, siapakah kau orang tua..." Terima kasih!
kau telah membuat aku sadar walaupun nyaris nya-
waku melayang!" Tanya Higei Tanaka. Laki-laki tua berkaki buntung sebatas lutut
itu balikkan tubuhnya,
seraya menatap pada Higei Tanaka.
Aku SOKU SHEBA. Si penghuni Lembah Air
Mata! Pedang ini benar seperti kata wanita bejat itu! Ini pedang keparat yang
harus dimusnahkan! Pedang ini
berisi ilmu gaib yang amat dahsyat, yang telah di isi oleh seorang wanita
penyihir yang bergelar si Iblis Naga Merah!" Wanita ini adalah bekas
kekasihku...! kau lihatlah, wajahnya mengalami perubahan...!" Berkata Soku
Sheba. Pada saat itu telah berkelebat dua buah bayan-
gan ke atas bukit itu, yang perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuu...!" Sekejap dua sosok tubuh itu sudah berdiri dekat tubuh wanita itu.
Akan tetapi seketika
mereka jadi terperanjat. Karena sudah memekik heran.
"Ah...!" dia bibi HUYIMA...!" Terperangah ke dua gadis itu..
"Dia adalah guruku...!" Terdengar seseorang berkata. Dan sesosok tubuh
berkelebat lagi muncul dibarengi sosok tubuh lainnya yang berambut beriapan.
Kiranya Hamada yang barusan berkata, dan Roro Cen-
til yang menyusul di belakang. "Ah, ternyata guru ku itu tak lain dari bibi
Huyima...!?" Terdengar lagi pemuda bernama Hamada itu menyambung kata-katanya.
Sepasang matanya dapat melihat senjata kebutan dan
cadar hitam yang selalu dikenakan wanita itu. Kini barulah dia dapat melihat
jelas wajah gurunya, yang se-
lama ini selalu memakai cadar penutup muka.
"Hehehehe.... pantas! pantas dia melarangmu
untuk pergi ke Lembah Pedang. Karena kau menolak
untuk melayani kehendaknya, bukankah begitu Ha-
mada?" Tiba-tiba muncul pula kakek Mitsui di tempat itu.
Hamada cepat-cepat palingkan wajahnya den-
gan bersemu merah. Kata-kata kakek itu memang ti-
dak salah. Hamada pernah menolak hasrat gurunya,
hingga dia ditugaskan ke Lembah Air Mata untuk
mengantar nyawa. Namun beruntung dia selama dari
jebakan maut. Akan tetapi sang guru yang ternyata
HUYIMA itu telah menjebloskannya ke dalam lubang
bawah tanah bersama-sama dengan kakek Mitsui dan
Roro Centil. Disamping heran, mereka juga merasa
ngeri melihat keadaan tubuh wanita itu yang sudah
hancur isi perutnya, bahkan hingga sampai sebatas
paha. Tentu saja barang terlarang wanita itu tak kelihatan lagi.
Korisyima tiba-tiba menekap mukanya, dan te-
lah menangis terisak-isak. Suzi cepat-cepat memeluknya. Akan tetapi pada saat
itu sudah terdengar suara
Hamada. "Oh. lihat.. ! Kulit muka dan tubuhnya telah berubah semua." Tersentak
Korisyima, yang segera lepaskan lagi tekapan lengannya yang menutupi wajah-
nya. Bukan saja Korisyima yang terbelalak, akan tetapi semua yang berada di situ
belalakkan matanya menatap pada tubuh wanita itu.
Ternyata kulit tubuh dan muka wanita itu telah
berubah lagi menjadi lebih mengerikan. Karena sudah
menjadi keriput macam kulit nenek-nenek. Rambutnya
pun berubah memutih. Dan wajahnya mirip seorang
nenek tua yang mirip tengkorak.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap suara
kaki-kaki kuda mendatangi. Ternyata sepasukan
laskar Kerajaan yang dipimpin oleh seorang panglima
Kerajaan Merak Hijau. Jelas terlihat dari pakaiannya
dari seorang penunggang Kuda paling depan. Sebentar
saja telah mengurung mereka dari beberapa penjuru.
"HIGEI TANAKA...! Dan kalian semua yang be-
rada di sini, atas perintah Kaisar kalian ditangkap!"
Bentak Panglima Kerajaan itu. Dialah yang bernama
Panglima SHOGUN. Tentu saja mereka semua jadi me-
longok. Kecuali Higei Tanaka yang sudah melompat ke
hadapan Panglima itu.
"Maaf, panglima! kalau aku mau ditangkap ka-
rena telah membunuh Hokaido, aku akan serahkan di-
riku...! Akan tetapi mereka semua tak mempunyai ke-
salahan apa-apa. Mengapa harus pula ditangkap...?"
Berkata Higei Tanaka.
"Heh! Kau bukan saja telah membunuh Hokai-
do, Wali Kota itu, akan tetapi Juga telah merencana-
kan pemberontakan...!" Bentak Panglima Shogun dengan wajah gusar.
"Dan satu hal lagi. Kau telah mencuri Pedang
Pusaka Kerajaan yang lenyap ketika kau dipecat dari
jabatanmu oleh Kaisar!" Tambah Panglima itu. Terkejut Higei Tanaka karena dia
tak merasa melakukan hal
itu. Akan tetapi baru dia mau menjawab, sudah ter-
dengar suara yang menyambar terlebih dulu disertai
bergerak mendekat seekor kuda dengan penunggang-
nya. "Heh! manusia busuk...! Ketahuilah! Kami telah menggeledah markasmu di
Lembah Pedang! Dan telah
kami jumpai Pedang Pusaka Kerajaan ini di kamar
mu!" Ternyata yang bicara adalah seorang pemuda
berpakaian mewah yang menyandang samurai di ping-
gang. Lengannya bergerak menurunkan sebuah pe-
dang terbungkus kain hitam dari punggung. Segera dia
sudah membukanya. Pemuda ini tak lain dari HASYI
GATO si anak Wali Kota Hokaido itu.
"Inilah Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang se-
lama lebih dari sepuluh tahun itu! Pantas selama ini
Kerajaan tak mengalami kemajuan...! Bahkan banyak
musibah terjadi...!" Sekali lihat saja Higei Tanaka sudah mengetahui kalau benda
itu adalah Pedang Pusa-
ka Kerajaan, karena saat itu juga Hatsyi Gato sudah
mencabut Pedang Pusaka itu. dan terlihatlah gambar


Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ukiran seekor burung Merak yang tampak seperti me-
nyala terkena sinar bulan.
Dengan mendengus Hatsyi Gato segera masuk-
kan lagi pedang itu ke dalam serangka. Dan cepat
membuntalnya. "Higei Tanaka! Kau lihat lambang tanda keka-
saran di tanganku ini" Bersujudlah untuk kami ring-
kus!" Berkata demikian Panglima Shogun keluarkan sebuah medali berukiran Merak
terbuat dari emas
yang bertatahkan permata warna merah dan hijau.
Lambang itu adalah lambang Kekaisaran. Siapa yang
memegang benda itu berarti telah menjadi wakil kai-
sar. Dan berhak menangkap siapa saja. Terperangah
seketika Higei Tanaka. Akan tetapi Higei Tanaka tak
mau bersujud. Bahkan bertolak pinggang dengan wa-
jah menampilkan kemarahan.
"Panglima! Kalau aku bersalah, aku rela di-
tangkap. Akan tetapi kesalahanku cuma membunuh
seorang penguasa yang telah menyelundupkan harta
kekayaan Kerajaan! Apakah aku dapat dipersalahkan"
Dan aku sama sekali, tak pernah menyimpan benda
Kerajaan apa pun di Pasanggrahan Lembah Pedang...!"
Apakah kau mau mungkir dengan bukti di tan-
gan kami"!" Membentak si Panglima dengan menggeledek. Dan hampir melejit
sepasang mata Hatsyi Gato
mendengar kata-kata Higei Tanaka. Karena ayahnya
dianggap penyelundup harta kekayaan Kerajaan. Na-
mun hatinya sudah tersentak kaget. Hah!" dari mana
dia mengetahui..." Ternyata bukan saja Hatsyi Gato
yang terkejut, akan tetapi wajah si Panglima Shogun
itupun seketika pucat. Namun cepat nutupi dengan
membentak menggeledek.
HIGEI TANAKA...! kau berani melawan perintah
Kaisar...?" Dan lengannya sudah terangkat ke atas, serta memberi perintah pada
laskarnya. "Pengawal...! tangkap manusia pemberontak
ini...!" Sekejap beberapa belas pengawal sudah melom-
pat dari punggung kuda dengan tombak dan pedang
terhunus mengurung Higei Tanaka.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ben-
takan keras dari arah belakang Panglima Shogun.
"Tunggu...!" Seekor kuda dilarikan dengan cepat, me-nyeruak dari belakang
laskar. Ternyata yang datang
adalah Kaisar KOTSYI NAGOYA. Bukan main terperan-
jatnya Panglima Shogun dan Hatsyi Gato. Seketika wa-
jah mereka jadi pucat. Ternyata Kaisar Hatsyi Gato telah menyaru menjadi salah
seorang laskar yang men-
gikut di belakang Panglima Shogun. Tentu saja dengan
membawa lebih dari sepuluh perwira Kerajaan pen-
gawal pribadinya, yang juga menyaru menjadi para
laskar golongan prajurit.
"Hm, Panglima Shogun...! kau takkan dapat
menutupi lagi belang mu! Kau telah berkomplot den-
gan Hokaido untuk berbuat kejahatan! Aku sudah
menggrebek tempat rahasia penyimpanan harta ke-
kayaan Kerajaan selundupan mu! Dan kau Hatsyi Ga-
to! Perbuatanmu di luaran telah membuat malu orang-
orang Kerajaan! Ayahmu si Hokaido itu pantas mati,
karena pedang Pusaka Kerajaan itu dialah yang men-
curinya! Kalian diam-diam telah merencanakan pem-
berontakan menggulingkan Kekuasaanku sebagai Kai-
sar Kerajaan Merak Hijau! Lemparkan lambang palsu-
mu yang tak berguna itu...!" Berkata Kaisar Kotsyi Nagoya. Serentak belasan
pengawal yang mengurung
Higei Tanaka jatuhkan diri berlutut di hadapan Kaisar.
Begitu juga para laskar lainnya yang berada di bela-
kang panglima Shogun. Serentak melompat dari kuda,
dan berlutut tundukkan kepala. Sebelas orang pen-
gawal pribadi Kaisar segera bangkit setelah mendengar perintah dari Kaisarnya.
"Pengawal pribadiku...! kalian ringkuslah kedua
orang pengkhianat ini...!" Pucat piaslah wajah Panglima Shogun dan Hatsyi Gato.
Namun kedua orang ini
telah keprak kudanya, yang segera mencongklang ka-
bur. "Tangkap mereka hidup atau mati!" Teriak Kaisar memberi perintah. Keadaan
pun berubah panik.
Suara ringkik kuda hiruk pikuk berbaur dengan teria-
kan-teriakan para pengawal yang mengejar kedua
pemberontak itu. Di luar dugaan dua orang pengawal
telah mendekati Kaisar. Dua buah samurai telah me-
luncur deras ke arah leher laki-laki Pemimpin Kerajaan itu. Akan tetapi pada
saat itu telah berkelebat sebuah bayangan merah, dan...
TRANG...! BUK! BUK...! Kedua pedang samurai
itu telah terlempar ke udara diiringi jerit kesakitan, dan robohnya kedua
pengawal gadungan itu terjengkang dari atas kuda.
Terkejut Kaisar Kotsyi Nagoya. Segera di men-
getahui nyawanya barusan saja bakal melayang kalau
tak ada yang menolong menyelamatkannya. Ternyata
RORO CENTIL telah bertindak cepat menghantam ter-
jangan kedua pedang samurai yang mengarah mene-
bas leher Kaisar, dengan senjata Rantai Genitnya.
Berbareng dengan menghantam kedua dada
pengawal gadungan itu dengan tendangan kaki dan
hantaman tinjunya. Untung hantaman itu tak begitu
keras. Cuma membuat mereka rasakan dadanya men-
jadi sesak. Akan tetapi tahu-tahu sepasang lengan ga-
dis Pendekar Pantai Selatan itu telah mencengkeram
tengkuk mereka. Dan diseret ke hadapan Kaisar. Bebe-
rapa pengawal Pribadi Kaisar cuma menatap dengan
tertegun. "Silahkan Kaisar beri hukuman pada dua orang
pengawal gadungan ini!" Berkata Roro seraya menjura.
Di samping terkejut, sang Kaisar ini juga bergi-
rang karena nyawanya telah selamat. Terkejut karena
yang menolong menyelamatkan nyawanya adalah seo-
rang gadis asing yang baru sekali ini dilihatnya.
"Siapakah namamu gadis asing..." Ah, terima
kasih atas bantuan mu!"
"Namaku RORO CENTIL..."
"Dialah yang bergelar si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan, Tuanku Kaisar!" yang namanya terkenal di seantero Pulau Jawa.
Bahkan sampai ke Pulau Anda-las ...!" Tiba-tiba terdengar satu suara dari
kejauhan, yang kemudian berkelebat muncul seorang wanita berusia cukup tua.
Sikapnya gagah. Mencekal sebuah
tongkat berkepala naga berwarna merah.
Terkejut Roro Centil melihat wanita ini. Karena
justru wanita inilah yang tengah dicarinya. Yaitu wani-ta yang berdiam di lereng
Gunung BUKKYO. Sepasang
mata wanita inipun membersit tajam menatap Roro.
Tiba-tiba dia telah kirimkan suara jarak jauh yang menyelusup ke telinga Roro.
"Hihihi... kau wanita pendekar yang hebat, Roro
Centil! Berani mengarungi lautan untuk menerima tan-
tanganku...! Kutunggu kau di Lembah Air Mata!" Akan tetapi pada saat itu Soku
Sheba telah perdengarkan
bentakannya. "IBLIS NAGA MERAH...! aku akan adu jiwa
denganmu ..." Dan tubuh kakek buntung itu telah melompat dari atas batu.
WHUUKKK...! Sebelah lengannya telah meng-
hantam. Akan tetapi dengan perdengarkan suara din-
gin si wanita itu telah melesat melambung tinggi dan
berjumpalitan di udara.
Hebat...! Memuji Roro dalam hati. Kalau bukan
orang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sudah sangat sempurna, tak mungkin dapat melaku-
kan itu. Karena ujung kaki si wanita itu tak membuat
bergoyangnya daun sedikitpun.
"Hihihi... hik hik hik...! SOKU SHEBA...! kau telah membunuh muridku, si Fuki
Zima itu! Seharusnya
aku mencabut nyawamu saat ini juga! Akan tetapi tak
apalah, aku kasihan padamu yang sudah terlalu men-
derita...! Aku masih punya urusan dengan si wanita
asing Pendekar Wanita Pantai Selatan itu! aku tak da-
pat melayanimu...!" Setelah berkata demikian, tubuh wanita itupun berkelebat
lenyap. Akan tetapi Soku
Sheba telah melesat untuk mengejarnya...
Melihat demikian Roro Centil pun cepat-cepat
menjura pada Kaisar.
"Maaf, Kaisar...! Akupun harus pergi".
Belum sempat Kaisar mencegahnya, tubuh Ro-
ro Centil sudah berkelebat, lenyap menyusul Soku
Sheba. Tercenung sang Kaisar ini, akan tetapi dia su-
dah palingkan kepalanya menatap kedua pengawal ga-
dungan itu. Ternyata kedua pengawal itu telah tak da-
pat gerakkan tubuhnya lagi, karena Roro Centil telah
menotoknya. Dengan menggeram gusar Kaisar Kotsyi
Nagoya cabut pedang samurainya.
Dua kali lengannya bergerak menabas.
Kepalanya menggelinding lepas dari tubuhnya...
-------ooOoo-------
Panglima Shogun tak dapat berlari jauh, karena
sekejap dia sudah terkepung oleh barisan Ninja anak
buah Higei Tanaka. Hingga para perwira Kerajaan itu
dapat menyusulnya. Karena merasa tak dapat melo-
loskan diri lagi. Panglima Shogun telah gunakan pe-
dang samurainya untuk membunuh diri...
Sementara itu Kotsyi Nagoya telah didapat ter-
susul oleh si Setan Tanah, Higei Tanaka. Pertarungan
pun segera terjadi. Akan tetapi mana Kotsyi Nagoya
mampu menandingi kepandaian Higei Tanaka. Tak la-
ma pemuda hidung belang itu sudah perdengarkan je-
ritan mautnya. Tubuhnya tembus terpanggang tongkat
baja hitam laki-laki bekas panglima Kerajaan itu.
Kaisar Kotsyi Nagoya amat bersuka cita atas
bantuan Kotsyi Nagoya, yang telah serahkan pedang
Pusaka Kerajaan Merak Hijau padanya. Sementara Hi-
gei Tanaka hampir saja membenci pihak Kerajaan, ka-
rena ulah si Wali Kota HOKAIDO yang pernah mence-
gatnya dengan mempergunakan pengawal Kerajaan
untuk membunuhnya.
"Terima kasih Kotsyi Nagoya! Segeralah datang
ke Istana! Sudah selayaknya kau menerima jabatanmu
kembali...! Selama ini aku telah terkecoh karena kelalaian ku! Hingga si Hokaido
dan Panglima Shogun itu
nyaris menggulingkan kekuasaanku sebagai Kaisar...!"
Berkata Kaisar.
Kotsyi Nagoya menekuk lutut di hadapan Kai-
sar dengan membungkuk beberapa kali.
"Terima kasih, Paduka Kaisar..!" Ucap Higei Tanaka dengan air mata berlinang
karena terharu dan
bahagianya. Tak berapa lama pasukan Kerajaan sudah me-
ninggalkan bukit di atas Lembah Air Mata itu dengan
bergemuruh. Diiringi dengan pasukan Nina Hijau yang
telah membawa kemenangan gemilang. HIGEI TANAKA
berada di tengah-tengah anak buahnya.... Kemanakah
gerangan Korisyima, Suzi dan pemuda bernama Ha-
mada itu" Ternyata mereka berada d barisan depan, di
samping Kaisar Kotsyi Nagoya dengan masing-masing
mengendarai kuda.
*** DUA BELAS RORO CENTIL yang memiliki ilmu lari cepat
yang amat luar biasa itu sudah dapat bayangan tubuh
Soku Sheba. Bahkan di hadapan si kakek kaki bun-
tung yang melompat-lompat pergunakan sebelah len-
gannya itu telah kelihatan tubuh si wanita bergelar IBLIS NAGA MERAH...
Ternyata di tempat yang terbuka itu si Iblis Na-
ga Merah hentikan gerakan larinya. Agaknya dia me-
mang mencari tempat yang baik untuk bertanding ilmu
dengan Roro Centil. Tentu saja dia sudah mengetahui
kalau si kakek Soku Sheba itu memburunya. Sesaat
laki-laki kaki buntung itu sudah tiba di hadapannya.
Tampak di sebelah lengan Soku Sheba masih tergeng-
gam Pedang Asmara Gila.
"Hihi... Soku Sheba! Apakah kau manusia yang
tak dapat dikasihani" Kau mengejarku cuma mengan-
tar nyawa saja!" Ucapnya dengan suara dingin.
"Iblis keparat...! Dengan ilmu gaib yang kau isi dalam pedang Pusakaku ini,
secara langsung kaulah si
penyebab kematian anak gadisku YURIKO!" Bentak
Soku Sheba dengan menggeram beringas.
Saat itu Roro Centil sudah tiba pula di tempat
itu. Kakek Soku Sheba, biarlah kau wakilkan aku un-
tuk menghajarnya ..!" Berkata Roro Centil yang berada di belakang Soku Sheba.
Laki-laki kaki buntung ini
tanpa menoleh, luncurkan kata-kata.
"Ada permusuhan apakah kau dengannya, ga-
dis asing...?"
"Hihihi... seorang Pendekar kalau ditantang
bertarung, walaupun yang menantangnya berada di
ujung langit harus dipenuhi!" Berkata Roro.
"Nah! Kedatanganku adalah menemuinya un-
tuk menerima tantangannya!" Melengak Soku Sheba.
Namun hatinya diam-diam memuji akan kejantanan si
gadis asing itu. Pada saat itu sesosok tubuh telah pula berkelebat ke tempat
itu. Ternyata kakek Matsui.
"Nona Roro Centil! Jadi diakah yang kau kata-
kan "sahabat"mu itu...?" Bertanya kakek Matsui. Roro Centil palingkan wajahnya
seraya berkata.
"Benar kakek Matsui! Aku tak tahu apakah aku
harus terkubur di Lembah Air Mata ini, kelak! Tapi ku mohon padamu pada
permintaan terakhir ku, sudikah
kau mengabulkannya...?" Berkata Roro dengan lakukan pertanyaan aneh. Karena
belum apa-apa sudah
mau pesan kata-kata.
"Pasti aku kabulkan, Nona Pendekar Roro!" Sahut Kakek Matsui, dengan hati kebat-
kebit juga. Kha-
watir kalau benar-benar si gadis asing yang pernah
menolongnya dari lubang bawah tanah itu tewas dalam
pertarungan.

Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Tolong kau pinjam seruling si kakek
Soku Sheba ini, dan kau tiupkan seruling mu di atas
Kuburan ku sambil menangis selama 100 tahun!" Ujar Roro. "Ah...!" usiaku saja
mungkin tinggal beberapa tahun lagi. Mana mungkin hal itu kulakukan?" Tukas si
kakek Mitsui dengan tertawa mengakak terkekeh-kekeh... Akan tetapi pada saat itu
si Iblis Naga Merah telah membentak dengan suara dingin. "RORO CENTIL...! Kata-
katamu membuat kepalaku menjadi besar,
akan tetapi mengecilkan jantungku! Kau telah lakukan
hinaan yang teramat besar padaku!" Roro Centil kre-nyitkan keningnya. "Hihihi...
aku berkata apa adanya!
Itulah adat orang Jawa! Aku merendahkan diri bukan
dengan maksud menghinamu!" Sahut Roro Centil dengan tersenyum jumawa.
Akan tetap si Iblis Naga Merah telah perdengar-
kan tertawa sinis disertai bentakan keras. "Baik! Sesaat lagi kau benar-benar
akan terkubur di Lembah
ini! Tak seekor semutpun menangisi kematianmu! Ka-
rena setelah kau mampus, kedua kambing-kambing
tua itupun akan menyusul kepergianmu ke Akhirat...!"
Selesai berkata wanita itu gerakkan tongkat
berkepala Naga Merah itu memutar cepat. Segera sege-
lombang angin bergulung-gulung membersit menerjang
ke arah Roro. Soku Sheba cepat menyingkir. Mau tak
mau dia harus mengalah untuk menyaksikan perta-
rungan maut itu.
Roro Centil bentangkan lengannya ke depan
menyalurkan tenaga dahsyat untuk menghantam ge-
lombang angin yang menerpanya. Inilah satu jurus da-
ri Pantai Selatan yang dinamakan Taufan Melanda Ka-
rang. Hebat akibatnya. Serangkum angin dahsyat telah
menerjang gulungan angin yang menggebu itu.
WHUSSSSSS...! PRRAAASSSSS" KRRRAK...! BHUMMM...!
Si Iblis Naga Merah perdengarkan teriakan ter-
tahan kekuatan gelombang anginnya tak mampu me-
nahan terjangan dahsyat itu. Tubuhnya terlempar wa-
lau dia sudah melompat setinggi dua puluh tombak.
Sementara dengan deras, rangkuman angin
pukulan Roro terus meluncur menerabas apa yang
menghalangi di belakang wanita itu. Tiga bongkah batu besar terungkit lepas
berbareng dengan berderaknya
beberapa batang pohon besar yang tercabut jebol
akarnya. Bagaikan diseret oleh tangan raksasa batu
dan pohon itu meluncur menghantam bukit dengan
perdengarkan suara berdebum. Batang-batang pohon
itu hancur beserpihan berikut bongkah-bongkah batu
besar itu, yang beradu dengan bukit di belakangnya.
Saat itu terdengar suara lengkingan yang ba-
gaikan membelah langit. Tubuh Roro Centil melesat
dua puluh tombak ke udara, menyusul tubuh si iblis
Naga Merah. Sekejap tubuh Roro Centil telah berada di atas tubuh si Iblis Naga
Merah yang dalam keadaan
terperangah itu. Roro Centil tak berlaku ayal. Sekali lagi dia pertunjukkan
kehebatan pukulan TAUFAN
MELANDA KARANG. Kedua lengannya telah bergerak
menghantam. "WHUUUUKK...! DHESS! Terdengar jeri-
tan menyayat hati yang cuma sekejap. Karena tubuh si
Iblis Naga Merah telah meluncur bagaikan disentakkan
tangan raksasa untuk segera amblas ke dasar bumi...!
BLASH! Sekejap saja lenyaplah tubuh wanita
jagoan Negeri Sakura itu. Roro Centil melayang ringan, dan jejakkan kaki di sisi
lubang bekas amblasnya tubuh lawan tarungnya. Dan terdengar suara helaan na-
fas wanita Pendekar ini yang pejamkan mata untuk
mengatur pernafasannya kembali.
Tampak asap tipis bagaikan kabut mengepul
dari lengan dan ubun-ubun si Pendekar Perkasa Pan-
tai Selatan. Tak berapa lama asap kabut itu semakin meni-
pis, kemudian berangsur lenyap. Perlahan dia sudah
membuka sepasang matanya. Ternyata di hadapan Ro-
ro telah tegak berdiri dua sosok tubuh yang menatap-
nya dengan terperangah. Dialah Soku Sheba dan si
Kakek Matsui. "Ah...! Hebat! hebat...! Luar biasa...!" Beberapa kali keluar suara pujian dari
mulut si kakek jangkung itu. Sementara itu Soku Sheba telah luncurkan kata-kata
dengan suara terharu bercampur girang. Karena
ketika berbareng dengan amblasnya tubuh si Iblis Na-
ga Merah, Pedang Asmara Gila mendadak musnah,
hancur menjadi debu!
"Terima kasih, nona Pendekar...! kau telah me-
nolongku memusnahkan Pedang keparat yang telah
menghancurkan hidupku itu...!"
Segera Soku Sheba perlihatkan sisa debu dari
Pedang Asmara Gila di lengannya. Dan sedikit mence-
ritakan riwayat pedang itu pada Roro Centil. Terman-
gu-mangu gadis pendekar itu dengan bergidik ngeri.
Kakek Matsui pun menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan menarik napas lega. Hatinya membatin. Aih,
beruntung aku tak mengalami hal seperti si Soku She-
ba. Kalau pedang itu tanpa sengaja aku yang memiliki
dan terkena hawa gaib yang menimbulkan berahi itu....
Wah, wah.... Apakah yang bakal terjadi" Tak tahulah
aku! Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya si
Kakek Matsui itu adalah seorang ..... BANCI laki-laki.
-------ooOoo-------
Langit nampak cerah di permulaan musim semi
itu. Bunga-bunga Sakura bermekaran di mana-mana.
Mengorak senyum menampakkan kesuciannya bagai-
kan seorang gadis yang masih putih bersih belum per-
nah terjamah laki-laki.
RORO CENTIL tinggalkan Istana Kerajaan Me-
rak Hijau dengan meninggalkan kesan yang amat
mendalam di hati Kaisar juga penduduk negri Mataha-
ri Terbit itu. Dara Perkasa Pantai Selatan ini langkahkan kakinya menuju ke arah
pantai... Angin laut
membersit menyibakkan rambutnya yang terurai.
Dan pada bibir gadis rupawan yang mungil itu,
tampak secercah senyum.
"Nona Roro... !" Sesosok tubuh telah berlari-lari mengejarnya. Ternyata Hamada.
Si Pemuda Ninja yang
tampan itu. "Selamat jalan, nona Pendekar...! Ah, mengapa
begitu cepat kita berpisah...?" Berkata Hamada dengan suara serak parau. Hatinya
telah terpaut pada gadis
tanah Jawa yang gagah itu.
"Aih, Hamada...! Kalau Tuhan mentakdirkan ki-
ta dapat bertemu lagi, mungkin setelah kau punya
sembilan cucu, kita bisa bertemu lagi...!" Ujar Roro Centil dengan tersenyum,
dan kerlingkan matanya.
"Eh, yang manakah yang akan kau pilih di an-
tara kedua gadis itu" KORISYIMA ATAU SUZI...?" Bertanya Roro Centil.
"Ah... ah... entahlah! aku... aku..." Hamada jadi tergagap dengan wajah bersemu
merah. "Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-duanya! Ucap Roro.
"Dua-duanya...?" terperangah Hamada.
Akan tetapi Roro Centil telah berkelebat pergi.
Sekejap saja telah berada di kejauhan. Tampak oleh
Hamada wanita Pendekar itu balikkan tubuhnya. Len-
gannya menggapai, dan terdengar suaranya sayup-
sayup ke telinga Hamada.
"Nah, selamat tinggal Ninja yang gagah...! Sam-
paikan salamku pada kedua gadismu...!
Sesaat antaranya tubuh wanita Pendekar Pan-
tai Selatan itupun melesat lagi. Dan lenyap di ujung titik pandangan...
Hamada gapaikan lengannya sampai bayangan
tubuh Roro Centil tak terlihat lagi. Seakan-akan masih terngiang di telinganya
kata-kata wanita Pendekar
yang dikagumi itu.
"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-duanya!"
Apakah Hamada akan menjadikan kedua gadis
manis itu istrinya" Entahlah...! Yang jelas laki-laki itu sudah langkahkan
kakinya untuk kembali ke Istana
Merak Hijau. Di kejauhan masih terdengar lapat-lapat
suara helaan nafasnya.....
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dendam Iblis Seribu Wajah 13 Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah Kekaisaran Rajawali Emas 1
^