Pembalasan Setan Cengkrong 1
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong Bagian 1
S A T U ANGIN malam membersit keras menyibak de-
daunan di malam senyap itu... Daun-daun kering ber-
guguran ke tanah. Tak tampak sepotong rembulan pun
di atas langit yang hitam pekat. kebisuan mencekam
ketika sesosok tubuh berindap-indap meninggalkan
gedung Kadipaten. Dua orang penjaga yang tertidur le-
lap menyandar di pintu pendopo itu, tak melihat
adanya sesosok tubuh yang melewatinya. Dengkurnya
terdengar saling bersahutan.
Dengan gerakan hati-hati sosok tubuh itu me-
lewati pintu penjagaan ruangan pendopo. Kini bergerak lagi untuk melewati taman.
Di sini dia berhenti sejenak untuk berpaling, melihat ke sekitar yang agak
remang. Rupanya suasana aman untuk meneruskan langkah-
nya. Tak berapa lama sudah tiba di muka pintu. Ca-
haya lampu yang temaram dari obor kecil di sudut
tembok itu menerangi wajahnya.
Ternyata dia seorang gadis berwajah cantik.
Akan tetapi raut wajahnya tampak pucat dan tegang...
Rambutnya kusut masai, dengan pakaian yang me-
nyingkap di sana-sini. Sepasang matanya tampak me-
mancar redup seperti habis menangis.
Kembali sejenak dia berpaling ke belakang.
Dengkur kedua penjaga itu masih terdengar dari ke-
jauhan. Cepat-cepat gadis ini palingkan wajahnya un-
tuk menatap ke arah api obor, dan segera beranjak un-
tuk meniupnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke depan
pintu. Membuka palang pintunya dan meletakkannya
dengan hat-hati di tanah. Lalu ia membuka daun pintu
secukupnya. Selanjutnya dia sudah menyelinap ke-
luar. Beberapa saat kemudian gadis, itu sudah berla-
ri cepat meninggalkan gedung Kadipaten itu, dan le-
nyap di kegelapan malam.
Gadis itu berlari, dan terus berlari... Sesekali
terdengar suara isaknya menyibak lengangnya malam.
Akan tetapi isak tersendat itu seperti ditahannya. Jatuh bangun dia berlari dan
berjalan cepat tersaruk-
saruk. Hingga sebentar kemudian telah berada jauh
dari gedung Kadipaten itu. Kini di hadapannya terben-
tang anak sungai. Tertegun sejenak gadis itu. Tapi
dengan menggigit bibir dan singsingkan kainnya, sege-
ra beranjak menuruni. Terdengar suara air menyibak.
Tubuh si gadis terendam sampai separuhnya. Ada ter-
sirat rasa seram di hati si gadis, akan tetapi dia terus melangkah untuk
menyeberanginya. Beruntung dalamnya cuma sebatas dada. Selang sesaat si gadis
su- dah sampai di seberang. Ketika beranjak ke darat..
menggigil tubuh itu kedinginan. Namun dengan meng-
gigit bibir dia teruskan langkah kakinya. Ke mana tu-
juannya sebenarnya dia sendiri tak mengetahui, kare-
na yang penting adalah meninggalkan Gedung Kadipa-
ten itu sejauh-jauhnya.
Fajar mulai menampakkan diri, ketika gadis itu
melangkah terhuyung. Hampir semalam suntuk dia
berjalan tak pernah berhenti. Hawa dingin yang men-
cengkeram tubuh serta luka-luka pada telapak ka-
kinya sudah tak dirasakan lagi. Namun di wajah gadis
ini tersungging satu senyuman. Dia sudah bebas bagai
seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Walau
kebebasan itu cuma untuk sementara, karena orang-
orang Kadipaten tentu akan memburunya.
Walau demikian dia sudah dapat menarik nafas
1ega. Dijatuhkannya sang tubuh untuk duduk di rum-
putan. Di hadapannya adalah padang ilalang dari se-
buah lembah yang hijau. Sementara Mentari pagi su-
dah bersitkan sinarnya dari balik punggung bukit.
Wajah gadis ini tampilkan senyum berseri. Se-
pasang matanya menatap ke atas perbukitan. Ada ca-
haya cerah terpancar dan sedikit harapan tampak dari
tatapannya. "Ah, PRAMANA...! Mengapa kejadiannya jadi
begini... !?" Gumam gadis ini lirih. Sementara wajahnya kembali tertunduk
menatap rerumputan. Seperti
terbayang lagi wajah pemuda itu di pelupuk matanya.
Pemuda yang dicintainya. Akan tetapi nasib telah me-
renggutnya untuk tidak berjodoh dengan pemuda itu.
Nasib telah merenggut dirinya yang jatuh ke dalam pe-
lukan Adipati BANU REKSO.
Gadis ini bernama RATIH DEWI. Ia adalah pu-
teri seorang Demang di desa Guci Alit. Hubungan yang
dibinanya secara diam-diam dengan seorang pemuda
bernama PRAMANA akhirnya diketahui juga oleh ke-
dua orang tuanya.
"Ratih, anakku...!" Suatu hari ibunya berkata, ia duduk berhadapan.
"Bukan ibu melarangmu bergaul dengan PRA-
MANA! Ibu memberi kebebasan padamu untuk bersa-
habat dengan siapa saja! Akan tetapi..."
"Tetapi apa, bu... ?". Tanya Ratih Dewi dengan alis dinaikkan. Tersirat di wajah
gadis ini satu pertanyaan yang membuat ia tercenung, karena dilihatnya
si ibu termangu memandang jauh keluar jendela.
"Tunggulah kedatangan ayahmu. Beliau baru
dipanggil oleh Kanjeng Adipati. Mungkin sebentar lagi akan pulang....!".
Menyahut perempuan tua itu, seraya menghela napas. Lalu beranjak meninggalkan
Ratih Dewi yang cuma terpaku dalam kebingungan. Kata-
kata ibunya yang cuma sepotong itu cukup membuat-
nya merasa risau. Malamnya Ratih Dewi sudah berada
di hadapan kedua ayah dan ibunya. Kali ini terasa jantung Ratih Dewi berdebaran.
Terasa ada keganjilan
pada sikap sang ayah, yang menatapnya tajam-tajam.
Akan tetapi jelas terlihat kalau sang ayah pun amat
berat untuk mengatakannya, karena sampai sekian
lama mereka tetap terpaku.
Terdengar Ki Demang Harya Winangun ini
menghela napas. Tatapannya sekali-sekali dilayangkan
keluar jendela. Lalu tertunduk lagi.
Ki Demang menyulut pipa tembakaunya, serta
menghisapnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya
seperti membuang keresahan hati yang menggeluti sa-
nubarinya. Kemudian terdengar kata-katanya;
"Ratih Dewi anakku. Terlalu berat bagiku untuk
mengatakannya padamu, akan tetapi apa boleh buat.
"Kau anakku satu-satunya. Kau pasti tidak akan men-gecewakan orang tuamu. Aku
amat yakin akan priba-
dimu. Nah. Dengarlah...". Demikianlah dengan hati berat Ki Demang menceritakan
bahwa kedatangannya ke
Kadipaten adalah karena sang Adipati bermaksud me-
lamar Ratih Dewi. Pembicaraan mereka adalah untuk
yang ketiga kalinya. Kali ini Adipati Banu Rekso sudah tak dapat menahan gejolak
hatinya. Dan meminta
anak gadis Ki Demang dengan terang-terangan.
Bagaikan ada petir menggelegar di telinga, Ra-
tih Dewi terkejut bukan kepalang. Wajahnya seketika
pucat pias. Benarkah atau hanya main-main kata-kata
ayahnya itu". Adipati Banu Rekso sudah beristri em-
pat. Mungkinkah kalau dia mau mempersuntingnya
pula..". Terhenyak Ratih Dewi seketika.
"Kau...kau... menerimanya ayah...?" Tanya Ratih Dewi.
"Yah...! Tak ada jalan lain. Aku mengetahui wa-
tak sang Adipati Banu Rekso. Kalau kutolak besar ba-
hayanya buat kedudukanku. Semua ini kuterima den-
gan terpaksa!". Ujar Ki Demang.
Hancur luluh seketika hati Ratih Dewi. Air ma-
tanya sudah segera menetes keluar dari pelupuk ma-
tanya. Kandaslah sudah harapannya. Tiba-tiba di ja-
tuhkannya dirinya ke pangkuan sang ibu, dan menan-
gislah gadis itu terisak-isak. Sang ibu cuma linangkan air mata dengan menunduk
sedih. Wanita ini mengetahui betapa kehancuran hati anak gadisnya. Hati wa-
nita inipun menangis. Sebagai wanita dia dapat
merasakan kepedihan hati Ratih Dewi, namun
mana bisa ditentang keinginan sang Adipati". Sepa-
sang lengan wanita tua ini cuma bisa mengelus-elus
rambut anak gadis yang dicintainya.
Sejak itu Ratih Dewi tak pernah keluar rum ah.
Sia-sia kedatangan Pramana untuk menjumpainya.
Pemuda ini pun maklum sudah. Dia cuma bisa meng-
hela napas tanpa berdaya untuk bisa menentang ke-
hadiran sang Adipati di rumah Ki Demang. Cuma bisa
tatapkan mata melihat dari kejauhan, tatkala Ratih
Dewi diboyong oleh Adipati Banu Rekso. Sepasang ma-
ta Pramana berkaca-kaca menatap tandu yang men-
gangkut Ratih Dewi, dengan dikawal oleh beberapa
prajurit dari Kadipaten. Sementara kedua orang tua-
nya cuma terpaku memandang. Upacara pernikahan
berlangsung sederhana saja di rumah Ki Demang. Se-
lesai upacara itu, Ratih Dewi segera diboyong.
Seperti nanar tatapan mata Pramana melihat
apa yang terpampang di depan matanya. Ternyata ki-
sah cinta mereka putus di tengah jalan. Tak ada lagi
harapan yang rasanya lebih baik bagi Pramana. Saat
itu juga dia kembali ke pondok. Mengemasi pakaian-
nya. Lalu menghadap gurunya, Panembahan Kumitir.
Tentu saja membuat Panembahan Galih Kumi-
tir terheran-heran. Namun saat itu Parta Kendala sang murid tertua Perguruan
Elang Putih membisiki di telinga sang Panembahan, yang membuatnya segera
manggut-manggut.
"Pergilah tenangkan hatimu, Pramana. Memang
sebaiknya kau turun gunung...! Kelak kalau menemui
kesulitan jangan segan-segan untuk kemari...!". Berkata sang Guru. Agaknya orang
tua ini maklum akan ke-
patahan hati pemuda muridnya itu.
"Terima kasih. Guru....! Kakang Parta Kendala,
Guru...! Hamba mohon diri!". Kedua orang itu pun mengangguk. Pramana segera
tinggalkan padepokan
yang selama beberapa tahun didiaminya. Juga tempat
dia digembleng dengan berbagai ilmu kedigjayaan oleh
Panembahan Galih Kumitir.
Di sana pula tempat terpautnya hati pada seo-
rang gadis jelita, puteri Ki Demang Harya Winangun.
Demang yang menguasai wilayah Desa Guci Alit dan
sekitarnya. Namun di sana pula kandas cintanya, ka-
rena direnggut oleh sang Adipati Banu Rekso. Adipati
yang punya wewenang besar di wilayah itu. Adipati
yang keinginannya tak dapat dibantah. Juga Adipati
yang menghancurkan harapannya.
Sementara Ratih Dewi cuma bisa titikkan air
mata di dalam tandu yang memboyongnya untuk ting-
gal di rumah Gedung sang Adipati Banu Rekso.
Ternyata Ratih Dewi sudah mempunyai renca-
na yang tersirat dalam benaknya. Rencana yang hanya
dia saja yang mengetahui. Cinta memang bisa mem-
buat orang jadi nekat. Cinta memang tak dapat dipak-
sakan. Ratih Dewi tak mampu untuk menolak lamaran
sang Adipati yang sudah diterima ayahnya. Dia telah
berusaha menjadi seorang anak yang berbakti terha-
dap kedua orang tuanya, akan tetapi ternyata dia tak
berhasil mendustai dirinya sendiri. Ratih Dewi tak dapat menerima kehadiran sang
Adipati Banu Rekso.
Adipati yang serakah! Pikirnya. Seorang pembesar
yang mementingkan dirinya sendiri tanpa mau tahu
akan penderitaan orang lain.
Berdebar hati Ratih Dewi kala sang Adipati te-
lah memasuki kamarnya. Saat itu para tamu sudah
pulang. Acara pesta di gedung Kadipaten sudah usai.
Tiga orang istrinya masing-masing telah pamit untuk
mengundurkan diri ke bilik masing-masing. Cuma istri
pertamanya yang paling tua tak terlihat menampakkan
diri. Wanita berusia sekitar 40 tahun itu cuma bisa
menghela nafas berat. Betapa pun ia cumalah seorang
istri yang tak punya wewenang apa-apa terhadap sang
Adipati. Wanita ini mempunyai tempat tinggal, sebuah
gedung yang terpisah agak jauh dari gedung Kadipa-
ten. Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya di
hati wanita tua itu terpendam kepedihan. Walau ia su-
dah tawar akan artinya kehidupan sebagai seorang is-
tri Adipati, yang pada kenyataannya adalah melulu
penderitaan batin belaka yang harus dialami. "Kau belum mengantuk dinda...?".
Tanya sang Adipati seraya menghampiri Ratih Dewi. Sebelah lengannya mengga-mit
pinggang istrinya yang sedari tadi tetap duduk
dengan setia di sisi pembaringan yang berbau harum
itu. Kedua belah pipi Ratih Dewi segera mendapat
ciuman mesra dari laki-laki berusia 50 tahun itu. Ratih Dewi tersenyum manis
seraya tundukkan wajahnya
yang tiba-tiba terasa panas. Detak jantungnya semakin cepat. Tak berani dia
menatap wajah sang Adipati itu, walau rasanya ingin dia menampar wajah kasar itu
sekuat-kuatnya.
"Aku menantikan kakanda... Kanjeng Adipa-
ti...!" Ujar Ratih Dewi lirih.
"Oh..." Begitukah ..." Ha ha ha... kau memang
seorang gadis ayu yang menggairahkan, istriku...! Kau berbeda dengan yang
lainnya. Pantas kalau aku tergi-la-gila padamu. Kau cantik, ayu dan kenes, Ratih
De- wi...!". Berkata sang Adipati.
Selanjutnya sang Adipati Banu Rekso telah
mendekapnya erat-erat, akan tetapi Ratih Dewi cepat-
cepat mendorongnya seraya berkata.
"Mengapa terlalu tergesa kakanda..." Bukalah
pakaianmu dulu, dan simpan dulu keris pusaka itu.
Aku ngeri menyentuhnya...!".
"Oh, ya aku lupa, maafkan aku istriku...!".
Menyahut Banu Rekso seraya lepaskan pelu-
kannya. Dan menyingkirkan benda pusaka itu dari
punggungnya. Lalu meletakkannya di atas meja. Ratih
Dewi sudah beranjak menghampiri. Meraih keris pusa-
ka sang Adipati, lalu menyimpannya dalam lemari pa-
kaian. Banu Rekso cuma tersenyum.
"Kau takut dengan senjata pusaka itu, sayang
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ku...?". Tanya Banu Rekso. Ratih Dewi cuma
mengangguk, seraya menghampiri lagi sang
Adipati. Di lengannya sudah tersedia handuk. Semen-
tara sang Adipati telah selesai menyingkirkan apa yang menjadi penghalang.
Cepat-cepat Ratih Dewi belitkan
handuk pada tubuh sang Adipati.
"Tubuhmu berkeringat, kakanda kanjeng Adi-
pati. Mandilah segarkan badanmu lebih dahulu. Bu-
kankah akan lebih bergairah untuk malam pertama ini
bagi hamba...!".
"Oh..." Baik. Baiklah...! Ha ha ha... Kau me-
mang benar-benar seorang istri teladan. Sebentar aku
sudah bebas dari bau keringat, sayang ku...!". Berkata Adipati Banu Rekso. Ia
tampaknya amat penurut sekali, padahal keinginannya sudah tak ter bendung lagi.
Banu Rekso beranjak meninggalkan kamar, dan menu-
tup pintunya kembali.
Ratih Dewi sudah baringkan tubuhnya di pem-
baringan, berselimutkan kain sutera tip is yang mem-
buat samar-samar tampak bayangan tubuh sang pen-
gantin jelita itu. Sementara Ratih Dewi menanti dengan hati berdebar. Degup
jantungnya serasa berdeburan
keras. Namun dia masih bisa menahan ketegangan.
Rencana itu tak boleh gagal, pekik hatinya. Sepasang
mata laki-laki tua itu sudah merayapi setiap lekuk liku di balik tirai sutera
tipis di hadapannya. Senyumnya
terlihat melebar. Sementara sepasang kakinya telah
melangkah mendekati.
Ratih Dewi pejamkan kelopak matanya. Hatinya
terasa hancur berkepingan. Kala dia biarkan juluran
lengan nakal sang bandot tua itu menelusuri sega-
lanya. Akan kuberikanlah apa yang ada semuanya un-
tuk si manusia keparat ini... "
Tersentak hati sang pelanduk ketika sesuatu
yang ditakutkan itu sesaat lagi akan terjadi. Akan
mandahkah dia untuk berdiam pasrahkan diri". Hati
sang pelanduk menjerit, akan tetapi wajahnya tetap
tak menampakkan reaksi. Beberapa kali lengannya
sudah bergerak ke sisi pembaringan, di mana di bawah
tilam telah dia siapkan sepucuk keris berlekuk tujuh.
Keris telanjang yang telah ditaruh di situ adalah keris pusaka milik sang
Adipati. Namun beberapa kali pula
dia urungkan niatnya, karena khawatir akan menga-
lami kegagalan. Gagal berarti mautlah yang justru
akan menimpa dirinya.
Beruntung sang Adipati sudah keluarkan kelu-
hannya. Wajahnya menampilkan kekecewaan. Kemu-
dian gulingkan tubuhnya ke sisi. Terlihat sekujur tu-
buhnya bermandikan peluh. Ratih Dewi menarik nafas
lega. Puncak kengerian itu sudah terlewati... Kebulatan hati Ratih Dewi telah
tertanam untuk tak bisa diha-puskan lagi. Di saat laki-laki tua itu sudah
terdengar mendengkur di sebelah tubuhnya, saat itu pula Ratih
Dewi telah sibakkan kain tilam di sisi pembaringan.
Segera lengannya sudah menggenggam sepucuk keris
berlekuk tujuh yang sudah telanjang itu. Di tatapnya
sejenak wajah sang Adipati Banu Rekso. Lengan Ratih
Dewi menggeletar. Akan tetapi keris itu sudah di hun-
jamkan berkali-kali ke dada dan lambung laki-laki
bandot tua itu. Tak sempat lagi Adipati Banu Rekso
untuk berteriak. Tubuhnya sudah menggelinjang ber-
kelojotan mandi darah. Namun sesaat kemudian sege-
ra mengejang untuk lepaskan nyawanya melayang ke
akhirat. Selanjutnya segera beranjak keluar kamar.
Ternyata dia harus menunggu sampai semua orang
tertidur, dan barulah dengan berindap-indap keluar,
yang untuk seterusnya berhasil meloloskan diri.
Demikianlah awal kisah dari kejadian yang me-
nimpanya. Sepasang mata Ratih Dewi kembali jatuh-
kan air mata yang mengalir ke pipi. Isaknya kembali
terdengar... Ratih Dewi menekap wajahnya dengan ke-
sepuluh jari tangannya. Air mata itu mengalir turun
lewat sela jemarinya yang lentik. Namun selang sesaat dia sudah kembali dapat
menguasai diri lagi. Setelah
menghapus air matanya, kemudian bangkit berdiri.
Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan di ma-
na cahaya mentari baru pancarkan sinarnya. Lalu be-
ranjak melangkah lagi untuk kembali meneruskan per-
jalanannya... * * * Sepasang pemuda bertubuh kekar, berpakaian
dari sutra warna biru yang mahal. Ikat kepalanya ber-
warna merah, dengan sabuk terbuat dari baja tipis
yang melingkar di pinggang. Sikapnya amat gagah.
Berwajah garang dan angkuh, namun boleh dibilang
cukup tampan. Tampak tengah ayunkan kakinya ber-
jalan cepat menuju ke tengah desa. Dia bernama REK-
SO JIWO. Pemuda ini baru pulang dari berguru, yang
kedatangannya ke desa ini adalah untuk yang ketiga
kalinya sejak satu tahun yang lalu. Siapakah adanya
Rekso Jiwo ini... " Pemuda yang umurnya berkisar an-
tara 23 tahun itu adalah putera sang Adipati Banu
Rekso. Tampak dia sudah tiba di tengah desa. Bebera-
pa orang yang mengenalinya segera menyapa dengan
menjura hormat.
"Raden...! Oh, anda baru datang lagi Salah seo-
rang dari yang menyapa adalah seorang laki-laki beru-
sia 40 tahun yang bernama Sentani.
"Benar, paman! Tampaknya wajah-wajah kalian
menampilkan kesusahan". Ada apakah yang terjadi ...!
Apakah orang-orang ELANG PUTIH menantang kalian
lagi...?". Bertanya Rekso Jiwo. Kedua lengannya sudah bertolak pinggang. Setahun
yang lalu ketika Rekso Ji-wo datang ke desa ini, tengah terjadi keributan antara
beberapa orang anak-anak buah Sentani dengan
orang-orang Perguruan Elang Putih. Persoalannya ka-
rena beberapa murid Perguruan Elang Putih turut
campur dalam urusan perbuatan Sentani dan anak-
anak buahnya. Tindakan Sentani yang semaunya menguras
harta benda penduduk, tentu saja membuat kegusaran
beberapa anak murid Perguruan Elang Putih. Seperti
di ketahui, Sentani adalah orang kepercayaan Adipati
Banu Rekso. Dan mendapat pula dukungan dari Rekso
Jiwo. Tentu saja jadi besar kepala, dan bertindak se-
maunya memeras penduduk, terutama para pedagang
dan petani, serta melakukan bermacam perbuatan ter-
cela lainnya. Bentrokan pun terjadi. Namun segera di-
tengahi oleh Ki Demang Harya Winangun.
Rekso Jiwo yang mengetahui Ki Demang mem-
punyai anak gadis cantik yang diam-diam tengah diin-
carnya, terpaksa tak turut campur. Padahal diam-diam
Rekso Jiwo mendongkol sekali, karena memang dia tak
menyenangi adanya Perguruan Elang Putih berada di
wilayah itu. Dia menganggap ilmu-ilmu kedigjayaan
Perguruan Elang Putih adalah kelas rendah. Justru
itulah Rekso Jiwo tak berniat berguru di Padepokan
tersebut. Bahkan dia telah menepuk dada di hadapan
kawan-kawannya bahwa kelak akan dijatuhkannya
wibawa Perguruan Elang Putih olehnya. Selanjutnya
Rekso Jiwo akan mendirikan satu Perguruan sendiri
yang punya wibawa besar. Apa lagi dengan dibawah
naungan kekuasaan ayahnya yang sebagai Adipati,
serta mempunyai wewenang besar di beberapa wilayah.
Kedatangannya kali ini adalah untuk menun-
jukkan serta membuktikan apa yang telah dicapainya
selama berguru lebih dari tiga tahun. Disamping me-
mang perlu menjumpai ayahnya, karena Rekso Jiwo
punya satu gagasan yang lebih baik dalam mengelola
pemerintahan ayahnya di sekitar wilayah yang dikua-
sai. Gagasan itu memang perlu dibicarakan pada sang
Adipati Banu Rekso. Tentu saja bagi seorang yang ber-
watak kurang baik, akan menelorkan satu gagasan
yang tidak baik pula. Mungkin baik bagi si pengelola, akan tetapi amat merugikan
bagi rakyat. "Mengapa kalian diam semua"!". Tiba-tiba Rek-so Jiwo membentak, karena
dilihatnya Sentani dan
anak-anak buahnya terpaku dengan wajah menunduk.
Wajah-wajah mereka seperti menampakkan sesuatu
kesusahan yang sukar disampaikan.
Mendengar bentakan itu tentu saja mereka jadi
terkejut. Sentani pelahan mengangkat wajahnya. Lalu
tiba-tiba jatuhkan diri berlutut di hadapan Rekso Jiwo.
"Kami... kami tengah berkabung. Juga semua
rakyat di wilayah Kadipaten tengah berkabung, Ra-
den... ! Ramanda Raden, Kanjeng Gusti Adipati telah
berpulang...!".
"HAH...!?". Terkejut seketika Rekso Jiwo. Sepasang matanya menatap pada Sentani,
lalu alihkan pa-
da keenam orang anak buah Sentani itu. Mereka se-
mua menundukkan wajah tanpa ada yang berani men-
gangkatnya. "Ramanda wafat...!?". Gumam Rekso Jiwo.
Tampak laki-laki ini tertunduk lesu. Sentani sudah
bangkit berdiri, lalu berkata, setelah menatap sejenak pada Rekso Jiwo.
"Sebaiknya Raden segera ke Kadipaten. Ataukah mau mendengarkan penuturan hamba
terlebih dulu...?"
"Ceritakanlah...! Tuturkanlah apa yang menjadi
penyebab kematian ayahku! Sudah berapa harikah
menjelang kematian beliau?". Berkata Rekso Jiwo.
"Baiklah Raden. Mari kita bicara di bawah po-
hon itu, di sana udara sejuk!". Ujar Sentani seraya menunjuk pada sebuah pohon
rindang kira-kira sepuluh tombak di sebelah mereka.
Tak berapa lama mereka sudah berkumpul di
tempat itu. Mulailah Sentani membuka kisah penutu-
rannya. Setelah menghela nafas sejenak segera mulai
bicara. "Sebenarnya kejadian itu tak ada yang mengetahui, akan tetapi banyak
dugaan orang memperkuat
siapa pelaku dari pembunuhan itu... Kejadian itu ber-
langsung sudah dua hari ini, yaitu pada malam pen-
gantinnya Kanjeng Gusti Adipati..."
Rekso Jiwo beliakkan matanya mendengar
ayahnya ternyata telah kawin lagi untuk yang kelima
kalinya. Siapakah pengantin wanitanya..." Berkata
Rekso Jiwo dalam hati, akan tetapi dia tak hendak
memutuskan cerita Sentani. Hingga Sentani terus be-
rikan penuturannya panjang lebar pada Rekso Jiwo.
Tentu saja dengan beberapa dugaan yang dia berikan
semaunya saja mengenai pelaku pembunuhan itu.
Sementara Rekso Jiwo mendengarkan dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah.
"Tak mungkin rasanya Ratih Dewi yang mela-
kukannya. Dia seorang wanita Lemah. Dugaanku ada-
lah ada orang kedua di belakang Ratih Dewi, yang sen-
gaja melenyapkan nyawa Gusti Kanjeng Adipati dan
membawa kabur gadis itu... !" Ujar Sentani setelah mengakhiri penuturannya.
"Maksudmu siapa...?". Tanya Rekso Jiwo. Sepasang alisnya bergerak menyatu dengan
mata membela- lak menatap Sentanu.
"Heh! Siapa lagi kalau bukan PRAMANA...! Pe-
muda murid Panembahan Galih Kumitir Ketua Pergu-
ruan ELANG PUTIH itu adalah kekasihnya. Buktinya
begitu ramanda mu tewas, si Pramana itu lenyap tak
ketahuan ke mana perginya...!". Ujar Sentani.
"Bedebah...! Benar paman, dugaanmu pasti tak
akan meleset. Tunggu kelak kedatanganku orang-
orang Elang Putih!". Teriak Rekso Jiwo dengan kemarahan luar biasa. Selanjutnya
mereka segera bubar.
Rekso Jiwo kelebatkan tubuhnya untuk segera be-
rangkat menuju gedung Kadipaten.
* * * Panembahan Galih Kumitir duduk di tengah
ruangan padepokan. Sementara lima belas orang mu-
rid-muridnya duduk bersimpuh di hadapannya.
Para Kendala murid tertuanya berada di sebe-
lah kiri ketua Perguruan Elang Putih itu. Tampaknya
ada sesuatu yang tengah dibicarakan oleh sang Pa-
nembahan. Laki-laki tua yang berusia lebih dari setengah abad itu tampak duduk
merenung dengan sepa-
sang mata terpejam. Sementara jari-jari tangannya
mengelus-elus jenggotnya yang panjang memutih. Ke-
palanya terbungkus dengan belitan kain kasar berwar-
na putih. Memakai jubah warna abu-abu yang tidak
terlalu bagus, tetapi bersih. Terdengar sang ketua
Elang Putih itu menghela napas, lalu berujar;
"Kita dalam kesulitan murid-muridku. Karena
orang-orang Kadipaten menganggap kita telah terlibat
dalam perkara pembunuhan Adipati Banu Rekso ...!".
Terkejut kelima belas murid-murid sang Pa-
nembahan. Mereka tatapkan pandangan pada gurunya
dengan wajah pucat. Beberapa orang saling pandang
dengan kawannya.
"Mengapa demikian Guru..." Kita tak mengeta-
hui masalah pembunuhan itu, mengapa kita bisa terli-
bat...?" Bertanya salah seorang yang duduk paling depan. "Hm, semua ini adalah
karena kesalahan yang sengaja dijatuhkan pada kita!"
"Apakah kita tak patut mencurigai juga, guru!
Bisa saja Pramana dianggap yang telah mem-
bunuh Adipati dan melarikan Ratih Dewi, karena gad
is anak Ki Demang itu adalah kekasihnya! Cinta terka-
dang bisa membuat orang jadi kejam, dan merubah fi-
kiran sehat menjadi tidak waras...!". Berkata Parta Kendala, si murid tertua
sang Panembahan.
"Tidak...! Aku tak sependapat. Aku tahu watak
serta pribadinya. Sejak selama empat tahun dalam
gemblengan ku, tak nantinya dia berhati telengas! Tindakan itu pasti telah
difikirkan sebelumnya, karena
dengan berbuat demikian berarti dia telah membawa
Perguruan Elang Putih ke ambang kehancuran...! Ja-
lan terbaik adalah kau Parta Kendala segera pergi bersama beberapa orang saudara
seperguruanmu mencari
di mana adanya Pramana ...!" Akan tetapi terlambat sudah, karena pada waktu itu
juga sudah terdengar
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara teriakan di luar padepokan..
"Orang-orang Elang Putih! Keluarlah kalian...!
Aku REKSO JIWO akan menuntut balas kematian
ayahku...!". Terkejut semua yang hadir termasuk sang Panembahan Galih Kumitir.
Parta Kendala sudah melompat ke luar diikuti lima belas orang murid-murid
sang Panembahan.
"Bagus...! Mana Tua bangka keparat gurumu si
Ketua Elang Putih. Suruh dia menghadapku...!".
Teriak laki-laki tegap di luar padepokan itu.
Ternyata di sisi Rekso Jiwo, tegak berdiri seorang kakek berjubah hitam berwajah
kaku, dengan sebelah
matanya meram. Giginya besar-besar menonjol keluar.
Pada lengannya tergenggam sebuah tongkat bercagak
dua, berwarna hitam. Semua murid-murid Perguruan
Elang Putih segera pentang mata untuk melihat ke
arah kedua orang itu. Parta Kendala belum menjawab,
namun sang Panembahan Galih Kumitir telah berada
di muka pintu padepokan. Tampak wajah sang Pa-
nembahan tampilkan perubahan melihat si kakek ber-
jubah hitam itu.
Tak salah lagi, dia si Setan Hitam! Ada apakah
dia muncul di sini..." Gumam sang Panembahan Galih
Kumitir dalam hati. Akan tetapi dia sudah mengetahui
kalau manusia itu adalah Gurunya Rekso Jiwo, anak
Adipati Banu Rekso itu.
"He he he... he he... Bagus! Bagus... ! Selamat
berjumpa Elang Putih. Kiranya baru sekarang kita ber-
jumpa setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Tak
dinyana kau kini sudah jadi ketua Perguruan dan
punya kewibawaan di desa ini...!" Terdengar suara si kakek jubah hitam yang
ditujukan pada sang Panembahan Galih.
"Angin apakah yang telah meniup mu datang
kemari, Setan Hitam". Kami merasa tak mempunyai
kesalahan, mengapa datang-datang Raden Rekso Jiwo
muridmu ini mau menuntut balas kematian ayahan-
danya... ?".
"Bedebah...! Tua bangka keparat... ! Muridmu
yang bernama Pramana itulah yang telah melakukan
perbuatan keji. Masakan aku akan tinggal diam". Ka-
lau muridnya pembunuh dan juga telah melarikan istri
orang, tentu Gurunya yang harus bertanggung ja-
wab...!". Teriak Rekso Jiwo dengan wajah berang.
"Tutup mulutmu Rekso Jiwo...! Kau menuduh
orang yang belum jelas kesalahannya. Belum tentu itu
perbuatan saudara seperguruanku!". Teriak Parta
Kendala. Laki-laki ini amat gusar, karena Gurunya di-
maki-maki seenaknya.
"Hoh...! Aku telah kehilangan ayahanda ku, ju-
ga seluruh rakyat di wilayah ini telah kehilangan pe-
mimpinnya. Kalau tak kutumpas biang keladi pembu-
nuhnya, serta meratakan padepokan ini dengan tanah
janganlah aku bisa meram tidur...! Kini tunjukkan di
mana adanya si bedebah Pramana itu. Kalian kira den-
gan menyembunyikan pemuda itu, kalian akan
aman....". Huh! Jangan kalian harap...!". Merasa kata-katanya diremehkan, Parta
Kendala jadi naik pitam.
Tubuhnya sudah melompat ke hadapan Rekso Jiwo.
"Maaf, sobat Rekso Jiwo! Perguruan kami tak
menerima kedatangan tetamu yang tak tahu adat!
Silahkan kalian keluar...! Pramana sudah turun
gunung sebelum terjadi kejadian pembunuhan itu. Ka-
lau kau menganggap saudara seperguruanku itu yang
melakukan, tentu saja kami tidak terima...!". Kata-kata pedas Parta Kendala
membuat alis Rekso Jiwo naik ke
atas, lalu bergerak turun menyatu. Sepasang matanya
menatap Parta Kendala dengan sinar kemarahan. Tiba-
tiba Rekso Jiwo sudah keluarkan teriakan keras. Sebe-
lah lengannya bergerak menghantam dada laki-laki itu.
PLAK...! Parta Kendala cepat silangkan lengan
untuk menangkis. Tampak tubuh kedua pemuda itu
terhuyung. Dalam segebrakan saja, mereka telah sal-
ing menjajal kekuatan tenaga dalam lawan.
"Bagus...! Urusan tak perlu berlama-lama mu-
ridku. Manusia-manusia yang cuma menyebalkan ini
sebaiknya cepat-cepat disingkirkan dari wilayah
mu...!". Berkata si Setan Hitam dengan nada sinis.
Tentu saja kelima belas murid-murid perguruan Elang
Putih tak tinggal diam. Segera sudah mengurung me-
reka. "Kalian mencari keributan tanpa sebab dan bukti yang kuat, kami akan
mempertahankan kebenaran. Karena kami yakin kejadian itu bukan perbuatan
saudara seperguruan kami...!" Berkata salah seorang dari tiga murid utama
Panembahan Galih.
Yaitu yang bernama Subala. Pada saat itu su-
dah berkelebat tubuh sang Panembahan ke dalam pa-
depokan. "Tahan...! Sebaiknya kita bermusyawarah. Atau
kalau perlu kami akan berusaha mencari Pramana,
untuk membuktikan kebenaran tuduhanmu itu, raden
Rekso Jiwo!".
Akan tetapi jawabannya adalah serangan hebat
yang dilancarkan si Setan Hitam. Satu pukulan keras
bertenaga dalam telah menghantam dada sang panem-
bahan secara tak terduga.
BUK...! Terdengar laki-laki tua itu mengeluh.
Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
Gusarlah sang Panembahan.
Pukulan itu cukup membuat dada sang pa-
nembahan terasa sesak. Beruntung tidak terlalu keras, karena si Setan Hitam itu
sengaja menguji kekuatan
lawan. "He he he... Sebaiknya kita bermusyawarah di
atas pertarungan, Elang Putih! Ingin kulihat sudah
sampai di mana kehebatan ilmu silatmu sejak sepuluh
tahun ini...!". Teriak si kakek berjubah hitam. "Huh...!
Kalian memang sengaja mencari keributan...! Baik!
Aku akan hadapi kau... Setan Hitam!". Berkata sang panembahan. Selanjutnya dia
sudah mengirim satu
pukulan dengan jurus Elang Sakti Menyambar Mang-
sa. Hebat pukulan itu, yang ternyata dibarengi dengan cengkeraman yang mengarah
ke batok kepala si Setan
Hitam. Suara angin menderu keras ketika lengan-
lengan si Elang Putih itu bergerak ke arah lawan. Na-
mun dengan berseru keras, si Tongkat Setan Hitam te-
lah sambarkan tongkatnya, yang bersitkan hawa din-
gin. Tubuh Elang Putih berbalik untuk menukik.
Sepasang lengannya telah ditarik lagi. Kini telah jejakkan kaki di tanah. Cuma
sekejap, karena selanjutnya
sudah hantamkan telapak tangan mengarah dada. In-
ilah jurus pukulan Menghantam Bukit. Terkejut si Se-
tan Hitam. Akan tetapi dengan tertawa dingin sudah
disambutnya serangan itu. Justru anehnya dia tak
menggerakkan tangan untuk menangkis.
BUK...! Hantaman itu telah mengenai sasaran-
nya dengan telak. Terkejut sang Panembahan, karena
lengannya seperti menghantam kapas... Tenaga puku-
lannya seperti lenyap tak berbekas.
Pada saat itulah tongkat si Setan Hitam berke-
lebat menyambar kaki. Disertai lengan jubahnya ber-
gerak menghantam kepala lawan.
Dalam posisi demikian ternyata cukup sulit un-
tuk menghindar. Namun dengan gulingkan tubuhnya
serta lakukan salto beberapa kali, ternyata si Elang
Putih telah mampu menyelamatkan diri. Namun tak
urung jubahnya kena disambar robek.
"Bagus...! Masih lincah juga kau, Elang Pu-
tih...!" Teriak si Setan Hitam. Dia tidak mengejar. Akan tetapi bahkan
berkelebat ke arah pertarungan, di ma-na tiga orang murid utama si Elang Putih
tengah ber- tarung dengan Rekso Jiwo. "Celaka Guru...! Kita tak akan dapat menang
melawannya.. !". Berkata sang Murid. Tercenung sang panembahan. Dilihatnya satu
per- satu para muridnya dibantai habis oleh Rekso Jiwo.
Pemuda itu cuma pergunakan lengan kosong saja, tapi
mampu mematahkan setiap serangan yang datang.
Bahkan bila sepasang lengannya bergerak, tentu akan
jatuh bertumbangan tubuh para muridnya dengan da-
da remuk. "Iblis telengas! Hadapilah aku...!". Sang panembahan gusar bukan main melihat
keadaan para mu-
ridnya. Dengan menggerung keras dia sudah hantam-
kan pukulannya bertubi-tubi. Dengan tertawa jumawa
si kakek jubah hitam itu putarkan tongkatnya meng-
halau serangan. Sebentar saja pertarungan kedua to-
koh yang sudah kawakan dan telah lama tak bertemu
itu terjadi dengan hebatnya. Dua puluh jurus telah
berlalu, akan tetapi si Elang Putih tetap tak mampu
menembus bentengan hitam yang melindungi tubuh si
Setan Hitam. Bentengan hitam itu seperti mengelua-
rkan hawa aneh yang dinginnya luar biasa, yaitu dari
putaran tongkat si Setan Hitam.
Sementara Parta Kendala sudah pula melompat
untuk menerjang Rekso Jiwo. Pemuda ini tertawa si-
nis. Merasa ada sambaran angin di belakangnya, dia
sudah balikkan tubuh secepat kilat dan lancarkan
hantaman lengannya memapaki serangan.
WUT! WUT! Kedua pukulan masing-masing di
elakkan oleh mereka. Akan tetapi tenaga pukulan telah membuat ikat kepala Rekso
Jiwo terlepas. Pemuda ini
tampak gusar. Tiba-tiba dia telah cabut keluar senja-
tanya. Yaitu sebuah pedang berwarna hitam. Terkejut
Parta Kendala karena sinar dari pedang itu membuat
hawa mengantuk pada sepasang matanya.
Empat orang sisa para murid sang Panemba-
han terkejut melihat sinar hitam yang telah membuat
tubuhnya bergidik, karena pedang itu keluarkan hawa
dingin yang aneh. Ketika senjata itu digerakkan berputar, segera membersit
keluar suara bagaikan hantu-
hantu yang tertawa cekikikan, disertai hawa mengan-
tuk yang menyerang mereka.
"Ilmu Sihir Hitam...!". Terperangah seketika Parta Kendala. Dia pernah mendengar
dari Gurunya akan adanya Pedang Setan ini yang telah lenyap dua
puluh tahun yang lalu. Tak dinyana kalau benda pu-
saka itu akan muncul lagi. Dan anehnya berada
di tangan Rekso Jiwo. Sementara pada saat itu
sang Panembahan Galih Kumitir dalam keadaan terde-
sak. Namun masih sempat melihat ke arah Parta Ken-
dala yang tengah terperangah menatap pada Rekso Ji-
wo yang keluarkan Pedang Pusaka berwarna hitam itu.
Terkejut pendekar tua ini, karena segera dia sudah
mengenali senjata langka itu. Celaka...! Parta Kendala harus cepat-cepat
menyingkir pergi sebelum terlambat.
Pikir sang Panembahan. Akan tetapi justru terpecah-
nya perhatian, membuat kesempatan baik tak disia-
siakan oleh si Setan Hitam. Satu serangan ke arah da-
da dengan gerak tipuan, membuat si Elang
Putih melompat menghindar. Lompatan yang
sudah diperhitungkan itu ternyata adalah kesempatan
yang paling baik untuk menghantamkan tongkatnya.
BUK...! Terdengar suara teriakan keras sang
Panembahan, tubuhnya terjungkal dan menggelinding
beberapa kali. Ketika berhenti tampak jubahnya ba-
gian dada telah sobek hangus. Wajah sang panemba-
han tampak pucat pias, karena terasa dadanya remuk
terhantam tongkat si Satan Hitam. Akan tetapi dia su-
dah berteriak untuk memperingati murid tertuanya.
"Parta Kendala, muridku... Pergilah cepat. Se-
lamatkan dirimu... Suaranya putus seketika, berba-
reng dengan berkelebatnya tongkat si Setan
Hitam yang menembus dadanya. Detik itu, Par-
ta Kendala sudah segera sadar akan apa yang harus
dikerjakan. Sekejap, sang murid tertua panembahan
Galih Kumitir itu sudah berkelebat cepat untuk ting-
galkan padepokan. Gerakan yang tak terduga itu
membuat Rekso Jiwo tak sempat untuk mengejar. Se-
mentara dilihatnya sisa empat orang dari murid-murid
Perguruan Elang Putih itu beranjak untuk melarikan
diri. Kemendongkolan hatinya jadi ditumpahkan pa-
da mereka. Terdengar suara bentakannya, dan ketika
tubuh Rekso Jiwo berkelebat, segera sinar pedang
yang memukau itu telah membuat mereka berhenti
berlari. Selanjutnya sudah terdengar jeritan-jeritan
mengerikan, ketika dada dan leher mereka terkoyak
oleh tebasan pedang.
Bertumbanganlah keempat tubuh murid-murid
sang Panembahan, untuk roboh mandi darah. Setelah
berkelojotan, kemudian tewas.
"Bagus, muridku...! Menumpas musuh harus
sampai akarnya. Kelak harus kau cari satu orang yang
tadi melarikan diri. Dan cari si Pramana itu...!" Berkata si Setan Hitam, yang
sudah mencabut tongkatnya dari
hujamannya di dada sang Panembahan Galih Kumitir
alias si Elang Putih.
"He he he ... kekalahan 10 tahun yang lalu te-
lah tertebus, muridku...! Si Ketua Perguruan ELANG
PUTIH ini dulunya manusia yang selalu ikut campur
urusan orang. Dia dulu berjulukan si Pendekar Elang
Putih. Beberapa orang saudara seperguruanku tewas
di tangannya. Cuma aku yang berhasil lolos. Namun
sejak aku memperdalam ilmu silatku hingga ku berha-
sil memiliki Pedang Setan di tanganmu itu, dia sudah
bukan apa-apa lagi bagiku. He he he... kelak kau boleh dirikan lagi Perguruan
yang pasti sebentar akan membuat kewibawaan mu terkenal ke setiap penjuru...!".
Rekso Jiwo manggut-manggut dengan terse-
nyum, lalu sarungkan lagi Pedang Setannya ke bela-
kang punggung. Kedatangan sang Guru memang
amat di harapkan oleh Rekso Jiwo, yang memang me-
merlukan bantuan untuk melenyapkan sang Panem-
bahan Galih Kumitir. Ternyata justru datang dengan
membawa Pedang Setan yang diberikan padanya...
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara diam-diam Rekso Jiwo bergirang ha-
ti juga, karena dengan kematian ayahnya kelak dia bi-
sa menggantikan kedudukan sebagai Adipati yang
menguasai beberapa wilayah, serta punya wibawa.
Namun walau bagaimana tetap saja dia merasa
kehilangan, atas kematian sang Adipati Banu Rekso
ayahnya... D U A PRAMANA sudah jauh meninggalkan kawasan
perguruan Elang Putih. Tatapannya tak bergairah me-
natap ke depan. Berkali-kali terdengar dia menghela
nafas. Ditatapnya burung-burung elang di angkasa,
dan seketika teringatlah dia akan Gurunya sang Pa-
nembahan Galih Kumitir yang bergelar Pendekar Elang
Putih itu. Terasa trenyuh hatinya. Orang tua itu sudah menggemblengnya dengan
pelbagai ilmu kedigjayaan
selama lebih dari empat tahun. Kini dia meninggalkan
Perguruan karena semata-mata buat melipur hatinya
yang terluka. Karena untuk terus berdiam di sana cu-
ma akan membuat hatinya semakin pedih. Cintanya
terlalu besar pada Ratih Dewi. Kepergiannya justru untuk menenangkan perasaan
hatinya yang kalut.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di sisi
sebuah muara sungai yang di kiri-kanannya banyak
tumbuh rumput ilalang, serta pohon-pohon rimbun.
Keadaan di sini memang lebih menyenangkan. Peman-
dangan yang cukup bagus! Pikir Pramana. Dia pun
mengambil keputusan untuk menetap di sekitar hutan
itu. Pramana adalah anak yatim piatu.
Ketika kejadian perampokan dua belas tahun
yang lalu dia masih kecil. Tak banyak yang diketahui
dengan kematian kedua orang tuanya. Cuma yang di-
ingatnya adalah dia mempunyai seorang saudara kem-
bar yang bernama WIRATMANA.
Wiratmana terhitung kakaknya, karena lahir
lebih dulu. Namun sejak kejadian mengerikan yang
menimpa keluarganya, Pramana tak mengetahui ke
mana gerangan sang kakak. Seingatnya adalah, dia
ikut bersama seorang laki-laki tua yang dipanggilnya
paman WANGSIT. Ketika Pramana berusia lima belas tahun, pa-
man Wangsit meninggal karena usia tua dan serangan
penyakit yang dideritanya. Sayang paman Wangsit tak
pernah bisa menceritakan peristiwa kematian orang
tuanya, karena paman Wangsit adalah orang yang tu-
nawicara alias gagu. Pramana pergi mengembara ke
mana saja sepembawa kakinya. Lalu berjumpa dengan
seorang tua bernama Galih Kumitir. Demikianlah,
hingga dia menetap di padepokan ELANG PUTIH, ber-
sama gurunya Panembahan Galih Kumitir itu.
Telah beberapa hari ini Pramana merasa ha-
tinya tak enak. Lama-lama merasa bosan juga dia ting-
gal di hutan rimba itu. Suatu hari terkejut ketika tengah berburu mengejar
pelanduk, telah mendengar sua-
ra jeritan seorang wanita. Suara itu seperti berteriak minta tolong, yang
nampaknya amat ketakutan sekali.
Apakah yang terjadi..." Sentak hati pemuda itu.
Sekejap tubuhnya sudah berkelebat melompat untuk
mencari di mana arah suara itu.
Dengan pergunakan indra pendengarannya
yang cukup tajam, Pramana menyusup ke semak be-
lukar. Suara teriakan itu semakin jelas. Lalu bergegas melompat ke sebatang
pohon. Dari atas cabang segera
dia dapat menyaksikan kejadian di bawahnya.
Ternyata seorang gadis tengah berteriak-teriak
dikejar beberapa orang laki-laki yang menyoren senjata di pinggang. Bahkan salah
seorang sudah berhasil
memenangkannya. Siapakah mereka...". Dan siapa pu-
la gadis itu...". Sentak Hati Pramana.
Dengan gerakan ringan Pramana melompat tu-
run. Jarak di hadapannya masih sekitar dua puluh
tombak. Tak berapa lama dia sudah mengintai di balik
semak belukar. "Tidaak...! Tidaak...! Jangan ganggu aku! To-
looong...!". Teriak gadis itu.
"Ha ha ha... berteriaklah sekuatmu, manis. Di
tempat ini tak ada pendekar yang nyasar, untuk meno-
longmu!". Berkata salah seorang, yang tak lain dari SENTANI. Beberapa orang anak
buahnya telah berhasil
meringkus wanita itu.
Sementara itu di tempat persembunyiannya,
Pramana jadi terkejut, karena gadis itu tak lain dari RATIH DEWI. Istri Adipati
Banu Rekso, alias bekas kekasihnya sendiri. Pramana menahan diri untuk tetap
di tempat persembunyiannya. Sepasang matanya me-
natap dengan berbagai pertanyaan memenuhi benak-
nya. Apakah yang terjadi dengan Ratih Dewi...". Apa-
kah dia melarikan diri dari Kadipaten".
"Hahaha... haha... Aku akan mendapat hadiah
besar bila membawamu ke Kadipaten, bocah ayu...!
Kau telah membawa bencana besar, dengan
terbunuhnya Adipati Banu Rekso. Katakanlah, siapa
yang telah lakukan pembunuhan itu...!". Tanya Sentani seraya mencekal dagu Ratih
Dewi. Gadis ini so-
rotkan wajah ketakutan, akan tetapi segera menjawab
setelah kuatkan hati. Toh dia akan mati setelah usa-
hanya melarikan diri gagal. Dan kini tertangkap di tangan orang-orang bayaran
dari kadipaten! Pikir Ratih
Dewi. "Heh! Baik aku katakan!. Akulah yang membunuhnya, karena aku tak sudi
menjadi istri kelima Adi-
pati itu. Aku bukan ayam yang dapat diperbuat se-
maunya. Manusia itu telah merenggutkan diriku dari
orang yang kucintai, yaitu Pramana! Nah! Jelaslah su-
dah! Kini bunuhlah aku sekarang juga. Tak perlu kau
bawa aku ke Kadipaten...! Bunuhlah! Bunuh...!". Teriak sang dara, yang dengan
mata beringas menantang
wajah Sentani. Kata-kata itu membuat Sentani jadi
melengak, akan tetapi dia sudah tertawa lebar seraya
berkata. "Hahaha... Bagus! Tapi apakah kata-katamu itu
bisa dipercaya...". Aku tak yakin kau yang membu-
nuhnya! Akan tetapi biarlah, lupakan saja mengenai
siapa yang melakukannya. Namun untuk membu-
nuhmu siang-siang adalah amat disayangkan. Kau
masih pengantin baru, dan... kau memang amat mem-
pesonakan. Pantas kalau mendiang Adipati Banu Rek-
so menginginkan kau jadi istrinya...!".
Tampak sepasang mata Sentani semakin binal.
Juluran lengannya semakin turun ke leher, yang ke-
mudian meraba ke dada. Menggelinjang tubuh Ratih
Dewi untuk meronta. Wajahnya merah padam dan te-
rasa jantungnya berdebar keras. Untuk menghadapi
kematian tak ditakutinya, akan tetapi justru satu hal yang seperti sudah
terbayang di depan matanya saja
yang dikhawatiri. Ketika tahu-tahu lengan Sentani te-
lah menotok tubuhnya. Ratih Dewi perdengarkan ke-
luhan, dan seketika tulang-tulang persendiannya tera-
sa lemah. Kepalanya terkulai menunduk.
"Ha ha ha... Tinggalkan wanita ini, dan kalian
boleh beristirahat agak jauhan...!"
Berkata Sentani pada anak buahnya. Tiga
orang yang mencekal tubuh si dara itu segera mere-
bahkan tubuh yang sudah tak berdaya itu di rerumpu-
tan. Lalu cepat-cepat menghilang pergi ke balik semak.
Sementara beberapa orang lainnya sudah melangkah
pergi menjauh. Namun tidak terlalu jauh, sudah ber-
henti untuk palingkan tubuhnya. Tentu saja berpa-
sang-pasang mata dari anak buah Sentanu, menatap
ke arah sang ketuanya.
BRET! BRET...! BREEET... ! Lagi-lagi lengannya bergerak untuk
menyibakkan kain penutup tubuh yang putih mulus
itu... Segera saja satu pemandangan yang mendebar-
kan membuat sepasang mata Sentani semakin melebar
bulat, seolah kedua biji matanya mau meloncat keluar
dari kelopaknya. Napas Sentani semakin menggebu.
Bibirnya terbuka menyeringai meneteskan air liur. Se-
lanjutnya dia sudah gerakkan lengannya membuka
kancing bajunya, yang seperti sekejap saja sang baju
bagian atasnya telah diloloskan terbuka. Golok pan-
jang yang tersoren di pinggang segera di copotnya terlebih dulu berikut
sarungnya. Tampaknya Sentani su-
dah tak sabar untuk menerkam. Akan tetapi pada saat
itu juga, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras.
Satu hantaman kaki telah membuat tubuh Sentani ja-
tuh tersungkur ke sebelah kiri. Terjangan hebat itu
membuat seketika tubuhnya menggelinding sejauh
empat tombak. Bukan saja Sentani yang terkejut, akan
tetapi juga anak buahnya. Karena segera mereka meli-
hat di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh,
yang tak lain dari Pramana.
"Setan Alas...! Kiranya kau bersembunyi di si-
ni...". Bagus! Anak-anak. ringkus dia...! Dia si PRA-
MANA...!". Teriak Sentani dengan wajah merah padam.
Beberapa anak buahnya yang tadi terkesima,
seketika sadar kembali. Serentak mereka bergerak
mengurung Pramana dengan mencabut senjatanya
masing-masing. Pertarungan pun segera terjadi. Pramana telah
mencabut keluar pedangnya untuk menangkis seran-
gan-serangan gencar para anak buah Sentani. Prama-
na dan kawan-kawannya memang pernah bentrok
dengan Sentani dan anak-anak buahnya setahun yang
lalu, yang dilerai oleh Ki Demang. Kini untuk kedua
kalinya Pramana berhadapan dengan orang-orang Sen-
tani dengan lain persoalan.
Kalau dulu adalah karena membela seorang
pedagang yang uang dan dagangannya dikuras habis
oleh begundal-begundal ini, akan tetapi sekarang ada-
lah karena membela kehormatan seorang wanita yang
adalah bekas kekasihnya sendiri.
Suara benturan-benturan senjata tajam, serta
teriakan-teriakan dan bentakan segera mengoyak ke-
sunyian di mulut hutan itu.
Dua orang roboh terjungkal terkena tebasan
pedang Pramana. Untuk pertarungan ini Pramana te-
lah keluarkan jurus-jurus permainan pedangnya yang
berkelebatan hebat. Tiga orang merangsak maju den-
gan berteriak membentak. Tiga buah golok berkeleba-
tan menabas pemuda itu.
Nyaris memapas pinggangnya, kalau Pramana
tak cepat berkelit. Selanjutnya kembali terjadi pertarungan dua lawan satu.
Pramana terus merangsak la-
wan-lawannya. Jelas ilmu pedang dari jurus-jurus
Elang Putih cukup membuat anak-anak buah Sentani
agak gentar. Namun khawatir dibentak oleh ketuanya
mereka terpaksa dengan bersemangat kembali maju
menempur. Delapan orang anak buah Sentani kini
tinggal enam orang. Dua orang sudah terkapar tak
bernyawa. Setahun belakangan ini ternyata membuat ke-
pandaian Pramana maju pesat, tapi dengan menge-
royok bersama rasanya tak mungkin kalau tak dapat
meringkusnya...! Demikian pikir Sentani. Tiba-tiba dia sudah melompat untuk
turut menempur Pramana!
Menghadapi empat orang anak buah Sentani ditambah
lagi dengan kedatangan si Ketua begundal-begundal
itu, ternyata membuat Pramana cukup kewalahan ju-
ga. Di samping satu keteledoran telah membuat len-
gannya terluka.
"He he... Bagus! Ayo, serang terus... !". Teriak Sentani memberi semangat pada
anak buahnya. Melihat darah semakin mengucur di lengan Pramana. Sen-
tani tertawa gelak-gelak. "Ha ha ha... Semua senjata anak buahku telah direndam
dengan racun. Kau harus
hati-hati dengan lukamu Pramana, karena lebih ba-
nyak bergerak racun akan cepat menjalar!" Teriak Sentani. Terkesiap juga hati
Pramana mendengar teria-
kan Sentani. Padahal Sentani hanya menggertaknya.
Namun hal itu telah membuat gerakannya tidak lagi
terarah. Permainan ilmu pedangnya agak kacau. justru
hal itu yang diinginkan Sentani.
Pramana mengeluh panjang, tubuhnya jatuh
bergulingan tanpa dapat dicegah lagi. Saat itu Sentanu kembali lancarkan
serangan ganasnya. Goloknya me-
luncur deras menyambar tubuh Pramana. Akan tetapi
pada saat yang genting itu berkelebat sesosok tubuh
menghalau serangan ganas Sentani.
TRANG...! Terdengar suara beradunya dua sen-
jata tajam. Terkejut Sentani. Benturan keras itu mem-
buat tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tin-
dak. Terasa telapak tangannya tergetar, yang nyaris
saja membuat goloknya terlepas dari tangannya. Be-
lum lagi diketahui siapa yang datang, sang penolong
itu sudah berkelebat menyambar lengan pemuda itu
untuk ditariknya pergi. Dalam beberapa kejap saja su-
dah lenyap di balik semak belukar.
"Sudahlah! Tak usah dikejar. Mari kita kembali
...!". Sentani sudah mendahului melompat ke arah aw-al pertarungan tadi. Akan
tetapi terkejut Sentani kare-na tak mendapatkan tubuh Ratih Dewi di tempatnya
lagi. "Hah...! Kemana perempuan itu..."!". Teriak Sentani dengan kepala
berpaling ke beberapa arah. Dia cuma dapatkan sisa-sisa sobekan kain dan baju
wanita itu saja yang berceceran di rerumputan, serta ba-
junya sendiri yang tadi dilepaskan. Apakah wanita itu dapat melepaskan diri dari
pengaruh totokannya". Bukankah dia tadi dalam keadaan pingsan". Berfikir Sen-
tani dalam benaknya.
Tiba-tiba Sentani telah melompat ke arah se
orang anak buahnya yang terluka.
"Kau tidak melihatnya...?". Tanyanya dengan plototkan sepasang mata pada si anak
buah. Laki-laki yang terluka itu cuma gelengkan ke-
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pala dengan lemah. Sementara bibirnya tampak me-
nyeringai menahan sakit dari luka goresan pedang di
dadanya. "Bodoh! Goblok: Dungu... !" Berteriak Sentani memaki. Lalu palingkan kepala pada
keempat anak buahnya. "Hayo kalian cari perempuan itu Serentak
hampir berbareng mereka menyahuti, dan sege-
ra berkelebatan mencari dengan berpencar. Sementara
Sentani sendiri duduk mendeprok sambil menggaruk-
garuk kepalanya yang tidak gatal. Namun tak berapa
lama, satu persatu sudah kembali lagi, seraya memberi laporan nihil.
* * * PRAMANA mengikuti orang yang menarik len-
gannya itu untuk berlari cepat menembus hutan rimba
belantara. Beberapa saat antaranya mereka sudah
hentikan larinya. Terkejut juga girang hati Pramana
mengetahui orang itu tak lain dari kakak sepergu-
ruannya, yaitu Parta Kendala.
"Terima kasih kakang...! Kalau tak ditolong mu
mungkin aku sudah celaka!". Berkata Pramana. Parta Kendala tak menyahut, tapi
balikkan tubuhnya untuk
menatap ke arah lain. Wajahnya kaku tak menampak-
kan senyum secuilpun. Kedua tangannya tampak ter-
kepal, dan sesaat sudah tundukkan kepala disertai
terdengarnya suara helaan napas.
"Kakang...!" Kenapakah kau" Kalau kau tak
mau dengar ucapan terima kasihku mengapa kau to-
long aku?". Berkata Pramana. Tiba-tiba Parta Kendala balikkan tubuhnya, dengan
wajah memerah. Sepasang
matanya tampak berkaca-kaca menatap pada adik se-
perguruannya. Terkejut Pramana melihatnya. Hatinya
tersentak seketika. Pasti ada apa-apa yang terjadi, pikirnya. "Kakang Parta
Kendala! Maafkanlah aku. Katakanlah kakang, apa gerangan yang membuatmu ber-
sedih" Apakah karena aku dituduh orang-orang Kadi-
paten telah membunuh Kanjeng Adipati Banu Rek-
so...?". Tanya Pramana dengan suara lembut. Sang kakak seperguruan tak menjawab,
tapi menggelengkan
kepalanya. "Bukan itu yang jadi masalah, Pramana!". Akhirnya Parta Kendala bicara juga.
"Akan tetapi..." Sambung kata-katanya; dan seterusnya segera tuturkan
peristiwa di Padepokan Perguruan Elang Putih bebera-
pa hari yang lalu.
Serasa mendengar petir menggelegar di siang
hari layaknya, Pramana terkejut bukan main. Sepa-
sang matanya membeliak seperti tak percaya. Dadanya
tergetar menahan kepedihan yang amat luar biasa.
"Aku cuma bisa melihat kematian Guru dari ke-
jauhan. Semua saudara-saudara seperguruan kita tak
satupun yang hidup! Kalau aku tak menuruti perintah
Guru waktu itu untuk menyelamatkan diri, mungkin
akupun sudah tak hidup lagi di Dunia ini!" Ujar Parta Kendala mengakhiri
penuturannya. "Kakang Parta Kendala...! Ini semua adalah ga-
ra-gara kepergianku! Hingga aku dituduh Rekso Jiwo
melarikan Ratih Dewi dan membunuh sang Adipati.
Maafkanlah aku, kakang! Kini apa yang harus
kita perbuat?". Berkata Pramana. Wajah Parta Kendala kini menampakkan senyum,
walau sepasang matanya
masih berkaca-kaca. Seraya ujarnya;
"Kau tak bersalah, Pramana. Mungkin kesala-
han itu terletak pada nasib. Dan berpangkal pada ke-
nekadan Ratih Dewi, yang nekad melenyapkan jiwa
Adipati Banu Rekso, suaminya! Kukira titik kesala-
hannya adalah pada kekasihmu itu, Pramana!".
"Akan tetapi hal itu tak bisa menjadikan orang-
orang ELANG PUTIH kehilangan segala-galanya. Teriak
Pramana, yang secara tak sadar telah keluarkan suara
keras. Wajahnya tampak merah padam, dadanya tu-
run-naik. Pramana tak dapat menerima alasan yang
dilontarkan Rekso Jiwo, sebagai dalih untuk menum-
pas habis Perguruan Elang Putih. "Aku akan menuntut balas kematian Guru dan
saudara-saudara seperguruan kita itu, kelak...!". Berkata Pratama dengan
menggeram. Kedua lengannya terkepal, namun tiba-tiba dia mengeluh seraya
memegangi lengannya yang
terluka. "Oh, aku terkena tabasan golok yang mengandung racun. Apakah kau punya
obat pemunah racun,
kakang?". Tanya Pramana dengan khawatir. Parta
Kendala terkejut, serta sudah melompat untuk meme-
riksa lengan Pramana. Akan tetapi selang sesaat, tiba-tiba telah tertawa geli.
"Hahaha... Rupanya kau kena dibohongi si Sen-
tani itu. Lukamu biasa, tak beg itu membahayakan.
Tapi kau obatilah, sebentar rasa nyerinya akan hilang!"
Ujar Parta Kendala seraya berikan obat berupa serbuk
halus. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara tertawa dingin disertai
berkelebatnya dua sosok tubuh. Bukan
main terkejutnya Parta Kendala, karena keduanya ada-
lah si Setan Hitam yang datang beserta muridnya. Yai-
tu Rekso Jiwo. "Hah...?" Pucat bias seketika wajah Parta Kendala. Sementara Pramana segera
mengetahui siapa
yang datang. Melihat wajah pucat saudara sepergu-
ruannya ketika menatap pada si kakek berjubah hi-
tam, tahulah Pramana kalau orang itu adalah yang
berjuluk si Setan Hitam.
"Hahahehe... hehe.... Menumpas musuh harus
sampai ke akar-akarnya, muridku! Kini keduanya su-
dah berada di depan mata! Segeralah kau turun tan-
gan...!". Si kakek jubah hitam yang berwajah menyeramkan, dengan gigi besar-
besar mencuat keluar serta
mata yang tinggal sebelah itu berkata se-enaknya. Su-
aranya seperti tempayan rengat, tak enak didengar,
dan membuat daun telinga jadi gatal seperti dikilik-
kilik. Kalau Parta Kendala wajahnya seketika menjadi pucat, akan tetapi
sebaliknya Pramana men jadi gusar
dan kertak gigi melihat kedatangan kedua musuh yang
telah membinasakan Gurunya ini.
"Bagus... ! Macam beginikah tampangnya ma-
nusia-manusia keji yang telah membunuhi orang-
orang yang tak punya kesalahan di Padepokan Elang
Putih?". Berkata Pramana dengan sepasang mata melotot tajam.
"He!" Besar juga nyalimu, bocah! Apakah kau
tak takut mati?". Bentak si Setan Hitam. Akan tetapi jawabannya justru membuat
si kakek jubah hitam ini
jadi melengak. "Cuih...! Siapa yang takut akan mati. Bagiku
mati atau hidup sama saja tak ada bedanya.
Cuma yang berbeda adalah hidup seperti anjing hina
dan mati sebagai pahlawan, kukira lebih berharga ke-
matian!". "Bedebah! Kunyuk...! Kurcaci semacammu lebih
baik dibuat mati tidak hiduppun tidak, barulah kau
bisa hilangkan kesombonganmu!" Bentak Rekso Jiwo.
"Bagus! Bagus! Kau buatlah dia cacat seumur
hidup, muridku. Biar lebih sengsara hidupnya melebihi sengsaranya anjing
kudisan! He he he he...". Selesai membentak Rekso Jiwo sudah mencabut keluar
Pedang Setan dari sarangnya. Segera hawa dingin menyi-
bak membuat hawa aneh yang menjadikan mata seper-
ti mengantuk. Juga membuat semangat orang bisa
menghilang punah.
Sepasang mata Pramana terpaku menatap pe-
dang berwarna hitam legam itu. Adapun Parta Kendala
sudah segera salurkan kekuatan batinnya untuk me-
nolak kekuatan ilmu Hitam dari Pedang Setan. Namun
saat itu pedang dilengan Rekso Jiwo telah berkelebat
menabas ke arah leher.
WUT! Nyaris membuat putus menggelinding
kepala Parta Kendala kalau dia tak cepat membuang
diri ke samping. Akan tetapi sepasang matanya jadi
nanar, karena Rekso Jiwo telah putarkan pedangnya
membuat hawa aneh menyerang semakin hebat. Parta
Kendala hampir-hampir jatuh karena mengantuk, tak
kuat menahan tubuhnya. Saat itulah berkelebat kem-
bali beberapa kilatan Pedang Setan, yang tahu-tahu
Parta Kendala tak mampu lagi mengelakkannya.
DES! DES! Terdengar jeritan menyayat hati dari
Parta Kendala. Keadaan tubuhnya amat mengerikan,
karena kedua tangannya terpapas putus. Dan di saat
tubuh laki-laki itu terhuyung limbung, satu kilatan
Pedang Setan yang berkelebat terlalu cepat telah
menghunjam di dada Parta Kendala. Robohlah sang
murid tertua Panembahan Galih Kumitir dengan kea-
daan yang mengerikan. Tubuhnya bersimbah darah
yang menyemburat dari kedua luka lengannya yang
putus sebatas pundak.
Setelah meregang nyawa beberapa saat, maka
putuslah nyawa laki-laki murid ketua Perguruan
ELANG PUTIH itu. Pramana beliakkan sepasang ma-
tanya dengan mulut ternganga. Tubuhnya terguncang
gemetaran. "Aku akan adu jiwa denganmu, IBLIS...!". Teriaknya lantang. Suaranya bagaikan
hendak membuat runtuhkan langit layaknya, saking gusarnya yang ba-
gai sudah tak terbendung lagi.
PLAK! PLAK...! WESS...! Beberapa serangan
dahsyat Pramana mendapat tangkisan telak dari len-
gan Rekso Jiwo, yang mempergunakan satu jurus he-
bat. Itulah jurus Tiga Iblis Membendung Lautan, yang
sudah matang dipelajarinya. Serangan yang bagaima-
napun lihainya akan punah dengan jurus itu. Karena
saat menerjang itu Pramana sendiri terheran. Seko-
nyong-konyong tubuh Rekso Jiwo seperti berubah jadi
tiga. Tentu saja serangannya lolos. Tahu-tahu terasa
lengannya kena terhantam di saat posisinya dalam
keadaan tak menguntungkan. Qua kali hantaman itu
membuat tubuh Pramana berpusing atau memutar
beberapa kali. Dan saat berikutnya satu tendangan te-
lak telah menghantam dada Pramana, yang seketika
terjungkal dengan teriakan tertahan.
"Hahaha... hehehe... Bagus! Bagus, muridku.
Ilmu Bayangan Sepuluh Iblis itu telah sempurna betul
kau kuasai! Ayolah cepat jangan membuang waktu.
Kau buat dia orang yang cacat tanpa daksa seumur
hidup!". Berkata si Setan Hitam dengan suara sember yang membuat lubang telinga
gatal. "Baik, guru...! Aku memang akan membuatnya
mati tidak hiduppun tidak. Dan kelak aku akan ada-
kan satu permainan hebat di hadapannya. Hahaha...
haha...". Begitu habis suara tertawanya, kesepuluh tubuh bayangan Rekso Jiwo
telah semakin rapat mengu-
rungnya. Mengamuklah Pramana sejadi-jadinya, den-
gan menerjang kesana-kemari dengan pukulan-
pukulan dahsyatnya. Akan tetapi semuanya seperti
menemui tempat kosong. Bahkan kali ini Pramana tak
dapat lagi menghindar ketika Rekso Jiwo gerakkan
lengannya menotok tubuhnya. Pemuda keluarkan ke-
luhannya. Baru saja tubuhnya terhuyung roboh, telah
terasa tengkuknya dicekal orang. Tahu-tahu dia rasa-
kan tubuhnya telah melayang di udara. Kiranya Rekso
Jiwo telah melemparkannya ke atas.
Pemuda ini mengeluh ketika rasakan tubuhnya
sudah meluncur turun kembali ke bawah. Dan selan-
jutnya terdengar suara tulang-tulang yang berderak
pat ah. Pramana keluarkan jeritannya yang menyayat
hati. "Hehehe... Berikan padaku bocah itu, murid ku... !". Teriak si Setan Hitam
tiba-tiba. Entah mengapa manusia ini jadi kepingin ikut-ikutan menyiksa.
"Baik, guru...! Sambutlah! Tapi jangan kau bu-
nuh dia, guru!" Teriak Rekso Jiwo. Sekali gerakkan tangan, tubuh Pramana kembali
melayang ke udara.
Akan tetapi sebelum si Setan Hitam sempat menang-
gapinya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dengan
gerakan bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
Dan selanjutnya dengan gerakan yang sekali, telah
membawanya berkelebat cepat sekali. Hingga sebentar
saja sudah lenyap.
Adapun si Setan Hitam jadi terkejut bukan
main, karena tahu-tahu tubuhnya terhuyung dua tin-
dak. Kiranya di saat lengannya sudah bergerak untuk
menyambuti tubuh pemuda itu, tiba-tiba segelombang
angin halus tapi bertenaga besar, telah membuat tu-
buhnya terdorong. Dan berbareng dengan itu, satu
bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Prama-
na. Tadinya dia sudah gerakkan kaki untuk mengejar,
akan tetapi telah terdengar satu suara halus yang diki-rim dari jarak jauh.
Padahal orangnya sudah tidak ke-
lihatan. "Setan Hitam telengas....! Kelak akan datang masanya kalian menyesali
perbuatan keterlaluan kalian...!". Suara itu cuma si Setan Hitam yang
mendengarnya. "Siapa kau...?". Bentak kakek tonggos ini dengan suara
berkumandang. Akan tetapi tiada jawaban
apa-apa. Semuanya berlalu seperti angin lewat saja.
Kini di tempat itu kembali sunyi. Rekso Jiwo cuma saling pandang dengan gurunya.
Namun tak berapa lama
kemudian kedua sosok tubuh guru dan murid itu telah
berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.
T I G A PELAHAN LAHAN si gadis mulai membuka ke-
lopak matanya. Kelihatannya dia telah tersadar dari
pingsannya akibat pengaruh totokan. Gadis itu tak lain dari Ratih Dewi. Terkejut
sang gadis ini mengetahui dirinya berada dalam sebuah ruangan yang gelap. Seke-
lilingnya adalah cuma dinding yang terbuat dari batu
bertonjolan, yang ternyata adalah sebuah Goa. Dia
sendiri ter baring pada sebuah balai-balai beralasan tikar rumput kering.
"Dimanakah aku ini... " Dan tempat apakah
ini...?". Gumam Ratih Dewi berdesis. Dilihatnya samar-samar di ujung ruangan ada
bayangan sesosok tubuh
membelakangi. Tak jauh di dekatnya ada sebuah meja,
yang di atasnya terpasang sebuah lampu minyak ta-
nah. Siapakah orang itu". Tanya Ratih Dewi dalam ha-
ti. Sementara dia mulai mengingat-ingat peristiwa di-
rinya. Terkejut Ratih Dewi ketika dapatkan tubuhnya
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telanjang bulat. Dan dia cuma berselimutkan selembar
kain tipis yang tak seberapa panjang. Barulah dia sadar akan apa yang dialami,
karena seingatnya dia telah terjatuh dalam cengkeraman orang-orang Kadipaten.
Terutama ada laki-laki bernama Sentani itu yang telah berbuat kurang ajar
terhadapnya, ketika menjadi tawanan. Ratih Dewi memang sudah tak mengharapkan
hidup. Akan tetapi tetap saja dia mengkhawatirkan na-
sibnya kalau harus terpaksa melayani nafsu bejat. la-
ki-laki itu. Tapi kini dia berada di tempat lain. Entah sia-
pakah orang itu. Apakah Sentani...". pikirnya dalam
benak. Karena Ratih Dewi cuma melihat punggungnya
saja, dia tak mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.
Namun dia sudah memastikan orang itu adalah Sen-
tani, karena siapa lagi kalau bukan manusia itu, yang telah menodainya.
Perlahan dia bangkit. Sepasang matanya me-
mancar tajam menatap punggung orang itu. Kebera-
nian Ratih Dewi memang luar biasa. Tiba-tiba matanya
telah melihat sepotong kayu tergeletak di sudut ruang yang samar-samar itu.
Diraihnya benda itu. Lalu dengan berjingkat-jingkat beranjak mendekati orang
yang tengah duduk membelakangi. Entah apa yang tengah
dilakukan sosok tubuh itu, yang tampaknya seperti
tengah bersemadhi. Ketika itu Ratih Dewi telah tiba di belakangnya dengan
langkah tak menimbulkan suara.
Potongan kayu itu sudah diangkatnya tinggi-tinggi siap untuk dihantamkan ke
kepala orang itu. Akan tetapi
orang itu menoleh... Segera terlihat wajahnya yang tertawa menyeringai.
"HAH...!?". Terperanjat Ratih Dewi. Sepasang matanya hampir-hampir tak percaya,
karena orang itu
adalah ayahnya. Alias Ki Demang Harya Winangun.
Akan tetapi wajah itu tampak pucat, dan menyeringai
menyeramkan. Membuat gadis ini tersentak kaget. dan
melangkah mundur dua tindak. Sebelah lengannya
memegangi kain yang membungkus tubuhnya sebatas
dada. "Hehehe... Ratih Dewi, anakku... kau sudah sadar, sayang...?". Suara sang
"ayah" ini kedengarannya begitu mesra. Tiba-tiba cepat sekali tubuhnya telah
melompat ke dekat sang gadis. Tahu-tahu lengannya
sudah menangkap pinggang Ratih Dewi.
"Ayah...!" Kau... kau... Akan tetapi selanjutnya gadis itu sudah perdengarkan
teriakannya, karena se-
konyong-konyong wajah ayahnya itu telah berubah
menakutkan. Giginya besar-besar menonjol keluar.
Matanya cuma sebelah. Rambutnya yang panjang se-
batas bahu berwarna putih beriapan itu bergerak-
gerak bagaikan cacing-cacing kecil yang berjuntaian.
"Hah!" Kau bukan ayah". Si... siapa kau... " Ti-
daak! Tidaaak! Lepaskan aku!" Berteriak Ratih Dewi.
Akan tetapi sosok tubuh itu telah memondongnya den-
gan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu diletakkan di pemba-
ringan beralaskan tikar rumput itu. Kain penutup tu-
buhnya telah melayang lagi entah ke mana.
Ratih Dewi serasa bermimpi yang amat mena-
kutkan. Akan tetapi seperti sungguhan. Anehnya dia
berada di tengah hutan dalam keadaan telanjang bu-
lat, dan tubuh basah kuyup disiram hujan. Tak men-
gerti dia sama sekali akan semua itu. Segera dia berlari untuk mencari tempat
meneduh. Tubuhnya menggigil
bukan main. Akan tetapi mau cari selimut atau pa-
kaian kemari" Hampir gila, dan seperti sudah hilang
akal wanita ini.
Pada saat itulah terdengar suara menyeramkan
di telinganya. Suara tertawa yang membuat bulu teng-
kuknya meremang berdiri. Tiba-tiba angin bersiur ke-
ras. Hawa dingin semakin merasuk ke tubuh menem-
bus ke tulang. Bergetaran tubuh gadis ini. Di samping rasa takut, tapi juga
karena hawa dingin yang tak tertahankan.
"Hoaha... hahaha... anak manis...! Kau akan
kutolong dari kesusahanmu, asalkan kau menerima
beberapa syaratku. Hoahaha... haha...! Kalau kau tak
bersedia, kau akan mati dengan ketakutan dan ke-
sengsaraan... !". Terdengar suara orang berkata. Terperangah seketika Ratih
Dewi. Suara itu berkumandang
di sekitarnya, akan tetapi tak ada orangnya. Setankah"
Makhluk haluskah...". Pikir dalam benaknya. Ratih be-
lum memberikan jawaban. Ketika pada saat itu kilatan
petir membuat cuaca gelap itu terang sekilas. Terlihat di hadapannya sesosok
tubuh berdiri menatap ke
arahnya. Siapakah...". Tak pikir panjang Ratih Dewi
sudah gerakkan tubuh untuk berlutut. Seraya berka-
ta;. "Bapak yang berada di hadapanku! Tolonglah
aku segera dari kesusahan, dan kekalutan fikiranku
ini. Apapun syarat itu akan aku kabulkan asalkan aku
terlepas dari kesusahan ini...
Baru saja selesai kata-katanya sudah terdengar
suara tertawa lagi terbahak-bahak. Tahu-tahu hujan
deras serta angin yang menderu-deru menerpa tubuh-
nya itu sirna. Cuaca pelahan-lahan berubah kembali
terang. Akan tetapi sudah terdengar bentakan keras
"Anak manis, cepat tutup matamu! Kalau tidak cuaca akan kembali berubah seperti
tadi...! Dan ingat, jangan dibuka sebelum aku memerintahkanmu...!". "Oh, baik...
! Baik, aku akan menutup mataku!". Ujar Ratih Dewi. Padahal baru saja dia ingin
melihat siapakah
orang di hadapannya. Tahu-tahu terasa tubuhnya me-
layang cepat sekali. Namun dia benar-benar tak berani membuka matanya. Terasa
ada lengan yang mencekal
pinggangnya. Selang sesaat tiupan angin telah mereda, dan dirasakannya tubuhnya
menyentuh alas rumput
kering. Lengannya sudah meraba sebuah selimut ker-
ing yang hangat. Tak ayal segera dipakainya untuk
membungkus tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Ketika Ratih Dewi diperintahkan membuka matanya,
di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh menatap-
nya. Sesosok tubuh laki-laki berbadan tegap, namun
wajahnya tak terlihat jelas, karena memakai topi tu-
dung yang menutupi sebagian wajahnya.
Ikutlah aku...!". Berkata orang itu. Ratih Dewi
terpaku sejenak.
"Andakah yang telah menolongku...?". Tanya
Ratih Dewi. Orang itu tak menyahut, karena tubuhnya
telah melompat ke depan ruangan goa yang luas itu.
Pada bagian ujungnya ada terdapat sebuah batu besar,
yang tingginya hampir setinggi manusia. Kesanalah
orang itu melompat, dan sekejap sudah duduk di atas
batu. "Kalau di sini tak ada lain orang selain aku, siapa lagi yang melakukan
pertolongan padamu...".
Heh, seandainya kubiarkan dirimu tanpa kusela-
matkan, niscaya kau sudah dijadikan pelampias nafsu
manusia bejat yang bakal membawamu ke tiang gan-
tungan! Kini cepatlah kau duduk di hadapanku!".
Tak ayal lagi Ratih Dewi sudah berucap dengan
suara tergetar takut dan girang menjadi satu. Ratih
Dewi cuma bisa mengangguk. Selanjutnya sudah ter-
dengar lagi suara orang bertudung itu dengan nada
suara dingin. "Bagus! Kau harus bersedia menjadi muridku!"
Terkejut Ratih Dewi mendengarnya, akan tetapi dia
sudah segera bersujud di hadapan orang itu.
"Oh, terima kasih, guru...! Aku benar-benar me-
rasa amat senang sekali!". Ujarnya dengan wajah girang. "Bagus...! Ketahuilah,
ayahmu Ki Demang telah tewas, juga ibumu...! Kasihan orang tua itu, karena ga-
ra-gara kau membunuh Adipati Banu Rekso, mereka
telah dijatuhi hukuman gantung oleh Tumenggung
Kadipaten...!". Ujar si orang bertudung.
"Oh...!" Ayah, ibu.... !?" Terkesiap Ratih Dewi.
Seketika wajahnya berubah pucat. Kemudian terden-
garlah isaknya tersendat. Betapa hancur hatinya men-
dengar berita itu. Selang beberapa saat setelah tangisnya mereda gadis ini
dongakkan wajahnya menatap
sang guru, seraya berkata.
"Guru...! Ajarilah aku ilmu kepandaian. Aku...
aku..." Tak mampu Ratih Dewi meneruskan kata-
katanya, karena kembali dia terisak, dengan air mata
bercucuran. "Kau mau menuntut balas, bukan". Hahaha...
Bagus! Kau memang anak yang berbakti pada kedua
orang tua! Nah, tinggallah di sini sampai kau berhasil mempunyai ilmu
kepandaian. Jangan khawatir, aku
SILUMAN MUKA SERIBU akan menurunkan ilmu-ilmu
yang hebat padamu...!". Ujar si orang bertudung dengan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru! Terima kasih...!". Teriak Ratih Dewi dengan girang,
seraya jatuhkan diri la-gi untuk berlutut beberapa kali.
000O000 E M P A T TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak kejadian di
dalam goa itu. Di pertengahan musim kemarau... langit tampak amat bersih membiru
tak berawan. Udara
siang itu amat cerah. Seorang gadis cantik tampak
berdiri di ujung bukit. Di bawahnya mengalir sebuah
sungai berair jernih berbatu-batu. Itulah sungai yang bernama Kali Kendil.
Sedang bukit yang dipijaknya
adalah dataran tinggi di mana jauh di sebelah sana tegak menjulang Gunung Bromo
dengan megahnya. An-
gin pegunungan yang menerpa membuat rambut si ga-
dis ayu tersibak beriapan. Dia memakai pakaian persi-
latan berwarna hijau lumut. Ikat pinggangnya terbuat
dari kulit ular. Sementara ikat kepalanya yang terjuntai juga berkibaran, yang
juga berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang bertubuh semampai
itu kalau bukan RORO CENTIL adanya. Seulas senyum
tampak terlihat pada bibirnya yang merah ranum keti-
ka menatap ke arah sungai yang mengalir di bawah
bukit. Lain pandangan matanya beralih ke sebelah ba-
rat sungai, di mana terlihat satu dua wuwungan ru-
mah penduduk di sela-sela pepohonan. Pasti di bagian
sebelah dalamnya terdapat perkampungan. Berkata
sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebatan
menuruni bukit. Bagi mata manusia biasa yang tak
mempunyai kekuatan ilmu batin, akan merasa aneh
melihatnya. Karena sang gadis Pendekar ini tampak-
Para Ksatria Penjaga Majapahit 2 Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur Pusaka Rimba Hijau 3
S A T U ANGIN malam membersit keras menyibak de-
daunan di malam senyap itu... Daun-daun kering ber-
guguran ke tanah. Tak tampak sepotong rembulan pun
di atas langit yang hitam pekat. kebisuan mencekam
ketika sesosok tubuh berindap-indap meninggalkan
gedung Kadipaten. Dua orang penjaga yang tertidur le-
lap menyandar di pintu pendopo itu, tak melihat
adanya sesosok tubuh yang melewatinya. Dengkurnya
terdengar saling bersahutan.
Dengan gerakan hati-hati sosok tubuh itu me-
lewati pintu penjagaan ruangan pendopo. Kini bergerak lagi untuk melewati taman.
Di sini dia berhenti sejenak untuk berpaling, melihat ke sekitar yang agak
remang. Rupanya suasana aman untuk meneruskan langkah-
nya. Tak berapa lama sudah tiba di muka pintu. Ca-
haya lampu yang temaram dari obor kecil di sudut
tembok itu menerangi wajahnya.
Ternyata dia seorang gadis berwajah cantik.
Akan tetapi raut wajahnya tampak pucat dan tegang...
Rambutnya kusut masai, dengan pakaian yang me-
nyingkap di sana-sini. Sepasang matanya tampak me-
mancar redup seperti habis menangis.
Kembali sejenak dia berpaling ke belakang.
Dengkur kedua penjaga itu masih terdengar dari ke-
jauhan. Cepat-cepat gadis ini palingkan wajahnya un-
tuk menatap ke arah api obor, dan segera beranjak un-
tuk meniupnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke depan
pintu. Membuka palang pintunya dan meletakkannya
dengan hat-hati di tanah. Lalu ia membuka daun pintu
secukupnya. Selanjutnya dia sudah menyelinap ke-
luar. Beberapa saat kemudian gadis, itu sudah berla-
ri cepat meninggalkan gedung Kadipaten itu, dan le-
nyap di kegelapan malam.
Gadis itu berlari, dan terus berlari... Sesekali
terdengar suara isaknya menyibak lengangnya malam.
Akan tetapi isak tersendat itu seperti ditahannya. Jatuh bangun dia berlari dan
berjalan cepat tersaruk-
saruk. Hingga sebentar kemudian telah berada jauh
dari gedung Kadipaten itu. Kini di hadapannya terben-
tang anak sungai. Tertegun sejenak gadis itu. Tapi
dengan menggigit bibir dan singsingkan kainnya, sege-
ra beranjak menuruni. Terdengar suara air menyibak.
Tubuh si gadis terendam sampai separuhnya. Ada ter-
sirat rasa seram di hati si gadis, akan tetapi dia terus melangkah untuk
menyeberanginya. Beruntung dalamnya cuma sebatas dada. Selang sesaat si gadis
su- dah sampai di seberang. Ketika beranjak ke darat..
menggigil tubuh itu kedinginan. Namun dengan meng-
gigit bibir dia teruskan langkah kakinya. Ke mana tu-
juannya sebenarnya dia sendiri tak mengetahui, kare-
na yang penting adalah meninggalkan Gedung Kadipa-
ten itu sejauh-jauhnya.
Fajar mulai menampakkan diri, ketika gadis itu
melangkah terhuyung. Hampir semalam suntuk dia
berjalan tak pernah berhenti. Hawa dingin yang men-
cengkeram tubuh serta luka-luka pada telapak ka-
kinya sudah tak dirasakan lagi. Namun di wajah gadis
ini tersungging satu senyuman. Dia sudah bebas bagai
seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Walau
kebebasan itu cuma untuk sementara, karena orang-
orang Kadipaten tentu akan memburunya.
Walau demikian dia sudah dapat menarik nafas
1ega. Dijatuhkannya sang tubuh untuk duduk di rum-
putan. Di hadapannya adalah padang ilalang dari se-
buah lembah yang hijau. Sementara Mentari pagi su-
dah bersitkan sinarnya dari balik punggung bukit.
Wajah gadis ini tampilkan senyum berseri. Se-
pasang matanya menatap ke atas perbukitan. Ada ca-
haya cerah terpancar dan sedikit harapan tampak dari
tatapannya. "Ah, PRAMANA...! Mengapa kejadiannya jadi
begini... !?" Gumam gadis ini lirih. Sementara wajahnya kembali tertunduk
menatap rerumputan. Seperti
terbayang lagi wajah pemuda itu di pelupuk matanya.
Pemuda yang dicintainya. Akan tetapi nasib telah me-
renggutnya untuk tidak berjodoh dengan pemuda itu.
Nasib telah merenggut dirinya yang jatuh ke dalam pe-
lukan Adipati BANU REKSO.
Gadis ini bernama RATIH DEWI. Ia adalah pu-
teri seorang Demang di desa Guci Alit. Hubungan yang
dibinanya secara diam-diam dengan seorang pemuda
bernama PRAMANA akhirnya diketahui juga oleh ke-
dua orang tuanya.
"Ratih, anakku...!" Suatu hari ibunya berkata, ia duduk berhadapan.
"Bukan ibu melarangmu bergaul dengan PRA-
MANA! Ibu memberi kebebasan padamu untuk bersa-
habat dengan siapa saja! Akan tetapi..."
"Tetapi apa, bu... ?". Tanya Ratih Dewi dengan alis dinaikkan. Tersirat di wajah
gadis ini satu pertanyaan yang membuat ia tercenung, karena dilihatnya
si ibu termangu memandang jauh keluar jendela.
"Tunggulah kedatangan ayahmu. Beliau baru
dipanggil oleh Kanjeng Adipati. Mungkin sebentar lagi akan pulang....!".
Menyahut perempuan tua itu, seraya menghela napas. Lalu beranjak meninggalkan
Ratih Dewi yang cuma terpaku dalam kebingungan. Kata-
kata ibunya yang cuma sepotong itu cukup membuat-
nya merasa risau. Malamnya Ratih Dewi sudah berada
di hadapan kedua ayah dan ibunya. Kali ini terasa jantung Ratih Dewi berdebaran.
Terasa ada keganjilan
pada sikap sang ayah, yang menatapnya tajam-tajam.
Akan tetapi jelas terlihat kalau sang ayah pun amat
berat untuk mengatakannya, karena sampai sekian
lama mereka tetap terpaku.
Terdengar Ki Demang Harya Winangun ini
menghela napas. Tatapannya sekali-sekali dilayangkan
keluar jendela. Lalu tertunduk lagi.
Ki Demang menyulut pipa tembakaunya, serta
menghisapnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya
seperti membuang keresahan hati yang menggeluti sa-
nubarinya. Kemudian terdengar kata-katanya;
"Ratih Dewi anakku. Terlalu berat bagiku untuk
mengatakannya padamu, akan tetapi apa boleh buat.
"Kau anakku satu-satunya. Kau pasti tidak akan men-gecewakan orang tuamu. Aku
amat yakin akan priba-
dimu. Nah. Dengarlah...". Demikianlah dengan hati berat Ki Demang menceritakan
bahwa kedatangannya ke
Kadipaten adalah karena sang Adipati bermaksud me-
lamar Ratih Dewi. Pembicaraan mereka adalah untuk
yang ketiga kalinya. Kali ini Adipati Banu Rekso sudah tak dapat menahan gejolak
hatinya. Dan meminta
anak gadis Ki Demang dengan terang-terangan.
Bagaikan ada petir menggelegar di telinga, Ra-
tih Dewi terkejut bukan kepalang. Wajahnya seketika
pucat pias. Benarkah atau hanya main-main kata-kata
ayahnya itu". Adipati Banu Rekso sudah beristri em-
pat. Mungkinkah kalau dia mau mempersuntingnya
pula..". Terhenyak Ratih Dewi seketika.
"Kau...kau... menerimanya ayah...?" Tanya Ratih Dewi.
"Yah...! Tak ada jalan lain. Aku mengetahui wa-
tak sang Adipati Banu Rekso. Kalau kutolak besar ba-
hayanya buat kedudukanku. Semua ini kuterima den-
gan terpaksa!". Ujar Ki Demang.
Hancur luluh seketika hati Ratih Dewi. Air ma-
tanya sudah segera menetes keluar dari pelupuk ma-
tanya. Kandaslah sudah harapannya. Tiba-tiba di ja-
tuhkannya dirinya ke pangkuan sang ibu, dan menan-
gislah gadis itu terisak-isak. Sang ibu cuma linangkan air mata dengan menunduk
sedih. Wanita ini mengetahui betapa kehancuran hati anak gadisnya. Hati wa-
nita inipun menangis. Sebagai wanita dia dapat
merasakan kepedihan hati Ratih Dewi, namun
mana bisa ditentang keinginan sang Adipati". Sepa-
sang lengan wanita tua ini cuma bisa mengelus-elus
rambut anak gadis yang dicintainya.
Sejak itu Ratih Dewi tak pernah keluar rum ah.
Sia-sia kedatangan Pramana untuk menjumpainya.
Pemuda ini pun maklum sudah. Dia cuma bisa meng-
hela napas tanpa berdaya untuk bisa menentang ke-
hadiran sang Adipati di rumah Ki Demang. Cuma bisa
tatapkan mata melihat dari kejauhan, tatkala Ratih
Dewi diboyong oleh Adipati Banu Rekso. Sepasang ma-
ta Pramana berkaca-kaca menatap tandu yang men-
gangkut Ratih Dewi, dengan dikawal oleh beberapa
prajurit dari Kadipaten. Sementara kedua orang tua-
nya cuma terpaku memandang. Upacara pernikahan
berlangsung sederhana saja di rumah Ki Demang. Se-
lesai upacara itu, Ratih Dewi segera diboyong.
Seperti nanar tatapan mata Pramana melihat
apa yang terpampang di depan matanya. Ternyata ki-
sah cinta mereka putus di tengah jalan. Tak ada lagi
harapan yang rasanya lebih baik bagi Pramana. Saat
itu juga dia kembali ke pondok. Mengemasi pakaian-
nya. Lalu menghadap gurunya, Panembahan Kumitir.
Tentu saja membuat Panembahan Galih Kumi-
tir terheran-heran. Namun saat itu Parta Kendala sang murid tertua Perguruan
Elang Putih membisiki di telinga sang Panembahan, yang membuatnya segera
manggut-manggut.
"Pergilah tenangkan hatimu, Pramana. Memang
sebaiknya kau turun gunung...! Kelak kalau menemui
kesulitan jangan segan-segan untuk kemari...!". Berkata sang Guru. Agaknya orang
tua ini maklum akan ke-
patahan hati pemuda muridnya itu.
"Terima kasih. Guru....! Kakang Parta Kendala,
Guru...! Hamba mohon diri!". Kedua orang itu pun mengangguk. Pramana segera
tinggalkan padepokan
yang selama beberapa tahun didiaminya. Juga tempat
dia digembleng dengan berbagai ilmu kedigjayaan oleh
Panembahan Galih Kumitir.
Di sana pula tempat terpautnya hati pada seo-
rang gadis jelita, puteri Ki Demang Harya Winangun.
Demang yang menguasai wilayah Desa Guci Alit dan
sekitarnya. Namun di sana pula kandas cintanya, ka-
rena direnggut oleh sang Adipati Banu Rekso. Adipati
yang punya wewenang besar di wilayah itu. Adipati
yang keinginannya tak dapat dibantah. Juga Adipati
yang menghancurkan harapannya.
Sementara Ratih Dewi cuma bisa titikkan air
mata di dalam tandu yang memboyongnya untuk ting-
gal di rumah Gedung sang Adipati Banu Rekso.
Ternyata Ratih Dewi sudah mempunyai renca-
na yang tersirat dalam benaknya. Rencana yang hanya
dia saja yang mengetahui. Cinta memang bisa mem-
buat orang jadi nekat. Cinta memang tak dapat dipak-
sakan. Ratih Dewi tak mampu untuk menolak lamaran
sang Adipati yang sudah diterima ayahnya. Dia telah
berusaha menjadi seorang anak yang berbakti terha-
dap kedua orang tuanya, akan tetapi ternyata dia tak
berhasil mendustai dirinya sendiri. Ratih Dewi tak dapat menerima kehadiran sang
Adipati Banu Rekso.
Adipati yang serakah! Pikirnya. Seorang pembesar
yang mementingkan dirinya sendiri tanpa mau tahu
akan penderitaan orang lain.
Berdebar hati Ratih Dewi kala sang Adipati te-
lah memasuki kamarnya. Saat itu para tamu sudah
pulang. Acara pesta di gedung Kadipaten sudah usai.
Tiga orang istrinya masing-masing telah pamit untuk
mengundurkan diri ke bilik masing-masing. Cuma istri
pertamanya yang paling tua tak terlihat menampakkan
diri. Wanita berusia sekitar 40 tahun itu cuma bisa
menghela nafas berat. Betapa pun ia cumalah seorang
istri yang tak punya wewenang apa-apa terhadap sang
Adipati. Wanita ini mempunyai tempat tinggal, sebuah
gedung yang terpisah agak jauh dari gedung Kadipa-
ten. Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya di
hati wanita tua itu terpendam kepedihan. Walau ia su-
dah tawar akan artinya kehidupan sebagai seorang is-
tri Adipati, yang pada kenyataannya adalah melulu
penderitaan batin belaka yang harus dialami. "Kau belum mengantuk dinda...?".
Tanya sang Adipati seraya menghampiri Ratih Dewi. Sebelah lengannya mengga-mit
pinggang istrinya yang sedari tadi tetap duduk
dengan setia di sisi pembaringan yang berbau harum
itu. Kedua belah pipi Ratih Dewi segera mendapat
ciuman mesra dari laki-laki berusia 50 tahun itu. Ratih Dewi tersenyum manis
seraya tundukkan wajahnya
yang tiba-tiba terasa panas. Detak jantungnya semakin cepat. Tak berani dia
menatap wajah sang Adipati itu, walau rasanya ingin dia menampar wajah kasar itu
sekuat-kuatnya.
"Aku menantikan kakanda... Kanjeng Adipa-
ti...!" Ujar Ratih Dewi lirih.
"Oh..." Begitukah ..." Ha ha ha... kau memang
seorang gadis ayu yang menggairahkan, istriku...! Kau berbeda dengan yang
lainnya. Pantas kalau aku tergi-la-gila padamu. Kau cantik, ayu dan kenes, Ratih
De- wi...!". Berkata sang Adipati.
Selanjutnya sang Adipati Banu Rekso telah
mendekapnya erat-erat, akan tetapi Ratih Dewi cepat-
cepat mendorongnya seraya berkata.
"Mengapa terlalu tergesa kakanda..." Bukalah
pakaianmu dulu, dan simpan dulu keris pusaka itu.
Aku ngeri menyentuhnya...!".
"Oh, ya aku lupa, maafkan aku istriku...!".
Menyahut Banu Rekso seraya lepaskan pelu-
kannya. Dan menyingkirkan benda pusaka itu dari
punggungnya. Lalu meletakkannya di atas meja. Ratih
Dewi sudah beranjak menghampiri. Meraih keris pusa-
ka sang Adipati, lalu menyimpannya dalam lemari pa-
kaian. Banu Rekso cuma tersenyum.
"Kau takut dengan senjata pusaka itu, sayang
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ku...?". Tanya Banu Rekso. Ratih Dewi cuma
mengangguk, seraya menghampiri lagi sang
Adipati. Di lengannya sudah tersedia handuk. Semen-
tara sang Adipati telah selesai menyingkirkan apa yang menjadi penghalang.
Cepat-cepat Ratih Dewi belitkan
handuk pada tubuh sang Adipati.
"Tubuhmu berkeringat, kakanda kanjeng Adi-
pati. Mandilah segarkan badanmu lebih dahulu. Bu-
kankah akan lebih bergairah untuk malam pertama ini
bagi hamba...!".
"Oh..." Baik. Baiklah...! Ha ha ha... Kau me-
mang benar-benar seorang istri teladan. Sebentar aku
sudah bebas dari bau keringat, sayang ku...!". Berkata Adipati Banu Rekso. Ia
tampaknya amat penurut sekali, padahal keinginannya sudah tak ter bendung lagi.
Banu Rekso beranjak meninggalkan kamar, dan menu-
tup pintunya kembali.
Ratih Dewi sudah baringkan tubuhnya di pem-
baringan, berselimutkan kain sutera tip is yang mem-
buat samar-samar tampak bayangan tubuh sang pen-
gantin jelita itu. Sementara Ratih Dewi menanti dengan hati berdebar. Degup
jantungnya serasa berdeburan
keras. Namun dia masih bisa menahan ketegangan.
Rencana itu tak boleh gagal, pekik hatinya. Sepasang
mata laki-laki tua itu sudah merayapi setiap lekuk liku di balik tirai sutera
tipis di hadapannya. Senyumnya
terlihat melebar. Sementara sepasang kakinya telah
melangkah mendekati.
Ratih Dewi pejamkan kelopak matanya. Hatinya
terasa hancur berkepingan. Kala dia biarkan juluran
lengan nakal sang bandot tua itu menelusuri sega-
lanya. Akan kuberikanlah apa yang ada semuanya un-
tuk si manusia keparat ini... "
Tersentak hati sang pelanduk ketika sesuatu
yang ditakutkan itu sesaat lagi akan terjadi. Akan
mandahkah dia untuk berdiam pasrahkan diri". Hati
sang pelanduk menjerit, akan tetapi wajahnya tetap
tak menampakkan reaksi. Beberapa kali lengannya
sudah bergerak ke sisi pembaringan, di mana di bawah
tilam telah dia siapkan sepucuk keris berlekuk tujuh.
Keris telanjang yang telah ditaruh di situ adalah keris pusaka milik sang
Adipati. Namun beberapa kali pula
dia urungkan niatnya, karena khawatir akan menga-
lami kegagalan. Gagal berarti mautlah yang justru
akan menimpa dirinya.
Beruntung sang Adipati sudah keluarkan kelu-
hannya. Wajahnya menampilkan kekecewaan. Kemu-
dian gulingkan tubuhnya ke sisi. Terlihat sekujur tu-
buhnya bermandikan peluh. Ratih Dewi menarik nafas
lega. Puncak kengerian itu sudah terlewati... Kebulatan hati Ratih Dewi telah
tertanam untuk tak bisa diha-puskan lagi. Di saat laki-laki tua itu sudah
terdengar mendengkur di sebelah tubuhnya, saat itu pula Ratih
Dewi telah sibakkan kain tilam di sisi pembaringan.
Segera lengannya sudah menggenggam sepucuk keris
berlekuk tujuh yang sudah telanjang itu. Di tatapnya
sejenak wajah sang Adipati Banu Rekso. Lengan Ratih
Dewi menggeletar. Akan tetapi keris itu sudah di hun-
jamkan berkali-kali ke dada dan lambung laki-laki
bandot tua itu. Tak sempat lagi Adipati Banu Rekso
untuk berteriak. Tubuhnya sudah menggelinjang ber-
kelojotan mandi darah. Namun sesaat kemudian sege-
ra mengejang untuk lepaskan nyawanya melayang ke
akhirat. Selanjutnya segera beranjak keluar kamar.
Ternyata dia harus menunggu sampai semua orang
tertidur, dan barulah dengan berindap-indap keluar,
yang untuk seterusnya berhasil meloloskan diri.
Demikianlah awal kisah dari kejadian yang me-
nimpanya. Sepasang mata Ratih Dewi kembali jatuh-
kan air mata yang mengalir ke pipi. Isaknya kembali
terdengar... Ratih Dewi menekap wajahnya dengan ke-
sepuluh jari tangannya. Air mata itu mengalir turun
lewat sela jemarinya yang lentik. Namun selang sesaat dia sudah kembali dapat
menguasai diri lagi. Setelah
menghapus air matanya, kemudian bangkit berdiri.
Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan di ma-
na cahaya mentari baru pancarkan sinarnya. Lalu be-
ranjak melangkah lagi untuk kembali meneruskan per-
jalanannya... * * * Sepasang pemuda bertubuh kekar, berpakaian
dari sutra warna biru yang mahal. Ikat kepalanya ber-
warna merah, dengan sabuk terbuat dari baja tipis
yang melingkar di pinggang. Sikapnya amat gagah.
Berwajah garang dan angkuh, namun boleh dibilang
cukup tampan. Tampak tengah ayunkan kakinya ber-
jalan cepat menuju ke tengah desa. Dia bernama REK-
SO JIWO. Pemuda ini baru pulang dari berguru, yang
kedatangannya ke desa ini adalah untuk yang ketiga
kalinya sejak satu tahun yang lalu. Siapakah adanya
Rekso Jiwo ini... " Pemuda yang umurnya berkisar an-
tara 23 tahun itu adalah putera sang Adipati Banu
Rekso. Tampak dia sudah tiba di tengah desa. Bebera-
pa orang yang mengenalinya segera menyapa dengan
menjura hormat.
"Raden...! Oh, anda baru datang lagi Salah seo-
rang dari yang menyapa adalah seorang laki-laki beru-
sia 40 tahun yang bernama Sentani.
"Benar, paman! Tampaknya wajah-wajah kalian
menampilkan kesusahan". Ada apakah yang terjadi ...!
Apakah orang-orang ELANG PUTIH menantang kalian
lagi...?". Bertanya Rekso Jiwo. Kedua lengannya sudah bertolak pinggang. Setahun
yang lalu ketika Rekso Ji-wo datang ke desa ini, tengah terjadi keributan antara
beberapa orang anak-anak buah Sentani dengan
orang-orang Perguruan Elang Putih. Persoalannya ka-
rena beberapa murid Perguruan Elang Putih turut
campur dalam urusan perbuatan Sentani dan anak-
anak buahnya. Tindakan Sentani yang semaunya menguras
harta benda penduduk, tentu saja membuat kegusaran
beberapa anak murid Perguruan Elang Putih. Seperti
di ketahui, Sentani adalah orang kepercayaan Adipati
Banu Rekso. Dan mendapat pula dukungan dari Rekso
Jiwo. Tentu saja jadi besar kepala, dan bertindak se-
maunya memeras penduduk, terutama para pedagang
dan petani, serta melakukan bermacam perbuatan ter-
cela lainnya. Bentrokan pun terjadi. Namun segera di-
tengahi oleh Ki Demang Harya Winangun.
Rekso Jiwo yang mengetahui Ki Demang mem-
punyai anak gadis cantik yang diam-diam tengah diin-
carnya, terpaksa tak turut campur. Padahal diam-diam
Rekso Jiwo mendongkol sekali, karena memang dia tak
menyenangi adanya Perguruan Elang Putih berada di
wilayah itu. Dia menganggap ilmu-ilmu kedigjayaan
Perguruan Elang Putih adalah kelas rendah. Justru
itulah Rekso Jiwo tak berniat berguru di Padepokan
tersebut. Bahkan dia telah menepuk dada di hadapan
kawan-kawannya bahwa kelak akan dijatuhkannya
wibawa Perguruan Elang Putih olehnya. Selanjutnya
Rekso Jiwo akan mendirikan satu Perguruan sendiri
yang punya wibawa besar. Apa lagi dengan dibawah
naungan kekuasaan ayahnya yang sebagai Adipati,
serta mempunyai wewenang besar di beberapa wilayah.
Kedatangannya kali ini adalah untuk menun-
jukkan serta membuktikan apa yang telah dicapainya
selama berguru lebih dari tiga tahun. Disamping me-
mang perlu menjumpai ayahnya, karena Rekso Jiwo
punya satu gagasan yang lebih baik dalam mengelola
pemerintahan ayahnya di sekitar wilayah yang dikua-
sai. Gagasan itu memang perlu dibicarakan pada sang
Adipati Banu Rekso. Tentu saja bagi seorang yang ber-
watak kurang baik, akan menelorkan satu gagasan
yang tidak baik pula. Mungkin baik bagi si pengelola, akan tetapi amat merugikan
bagi rakyat. "Mengapa kalian diam semua"!". Tiba-tiba Rek-so Jiwo membentak, karena
dilihatnya Sentani dan
anak-anak buahnya terpaku dengan wajah menunduk.
Wajah-wajah mereka seperti menampakkan sesuatu
kesusahan yang sukar disampaikan.
Mendengar bentakan itu tentu saja mereka jadi
terkejut. Sentani pelahan mengangkat wajahnya. Lalu
tiba-tiba jatuhkan diri berlutut di hadapan Rekso Jiwo.
"Kami... kami tengah berkabung. Juga semua
rakyat di wilayah Kadipaten tengah berkabung, Ra-
den... ! Ramanda Raden, Kanjeng Gusti Adipati telah
berpulang...!".
"HAH...!?". Terkejut seketika Rekso Jiwo. Sepasang matanya menatap pada Sentani,
lalu alihkan pa-
da keenam orang anak buah Sentani itu. Mereka se-
mua menundukkan wajah tanpa ada yang berani men-
gangkatnya. "Ramanda wafat...!?". Gumam Rekso Jiwo.
Tampak laki-laki ini tertunduk lesu. Sentani sudah
bangkit berdiri, lalu berkata, setelah menatap sejenak pada Rekso Jiwo.
"Sebaiknya Raden segera ke Kadipaten. Ataukah mau mendengarkan penuturan hamba
terlebih dulu...?"
"Ceritakanlah...! Tuturkanlah apa yang menjadi
penyebab kematian ayahku! Sudah berapa harikah
menjelang kematian beliau?". Berkata Rekso Jiwo.
"Baiklah Raden. Mari kita bicara di bawah po-
hon itu, di sana udara sejuk!". Ujar Sentani seraya menunjuk pada sebuah pohon
rindang kira-kira sepuluh tombak di sebelah mereka.
Tak berapa lama mereka sudah berkumpul di
tempat itu. Mulailah Sentani membuka kisah penutu-
rannya. Setelah menghela nafas sejenak segera mulai
bicara. "Sebenarnya kejadian itu tak ada yang mengetahui, akan tetapi banyak
dugaan orang memperkuat
siapa pelaku dari pembunuhan itu... Kejadian itu ber-
langsung sudah dua hari ini, yaitu pada malam pen-
gantinnya Kanjeng Gusti Adipati..."
Rekso Jiwo beliakkan matanya mendengar
ayahnya ternyata telah kawin lagi untuk yang kelima
kalinya. Siapakah pengantin wanitanya..." Berkata
Rekso Jiwo dalam hati, akan tetapi dia tak hendak
memutuskan cerita Sentani. Hingga Sentani terus be-
rikan penuturannya panjang lebar pada Rekso Jiwo.
Tentu saja dengan beberapa dugaan yang dia berikan
semaunya saja mengenai pelaku pembunuhan itu.
Sementara Rekso Jiwo mendengarkan dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah.
"Tak mungkin rasanya Ratih Dewi yang mela-
kukannya. Dia seorang wanita Lemah. Dugaanku ada-
lah ada orang kedua di belakang Ratih Dewi, yang sen-
gaja melenyapkan nyawa Gusti Kanjeng Adipati dan
membawa kabur gadis itu... !" Ujar Sentani setelah mengakhiri penuturannya.
"Maksudmu siapa...?". Tanya Rekso Jiwo. Sepasang alisnya bergerak menyatu dengan
mata membela- lak menatap Sentanu.
"Heh! Siapa lagi kalau bukan PRAMANA...! Pe-
muda murid Panembahan Galih Kumitir Ketua Pergu-
ruan ELANG PUTIH itu adalah kekasihnya. Buktinya
begitu ramanda mu tewas, si Pramana itu lenyap tak
ketahuan ke mana perginya...!". Ujar Sentani.
"Bedebah...! Benar paman, dugaanmu pasti tak
akan meleset. Tunggu kelak kedatanganku orang-
orang Elang Putih!". Teriak Rekso Jiwo dengan kemarahan luar biasa. Selanjutnya
mereka segera bubar.
Rekso Jiwo kelebatkan tubuhnya untuk segera be-
rangkat menuju gedung Kadipaten.
* * * Panembahan Galih Kumitir duduk di tengah
ruangan padepokan. Sementara lima belas orang mu-
rid-muridnya duduk bersimpuh di hadapannya.
Para Kendala murid tertuanya berada di sebe-
lah kiri ketua Perguruan Elang Putih itu. Tampaknya
ada sesuatu yang tengah dibicarakan oleh sang Pa-
nembahan. Laki-laki tua yang berusia lebih dari setengah abad itu tampak duduk
merenung dengan sepa-
sang mata terpejam. Sementara jari-jari tangannya
mengelus-elus jenggotnya yang panjang memutih. Ke-
palanya terbungkus dengan belitan kain kasar berwar-
na putih. Memakai jubah warna abu-abu yang tidak
terlalu bagus, tetapi bersih. Terdengar sang ketua
Elang Putih itu menghela napas, lalu berujar;
"Kita dalam kesulitan murid-muridku. Karena
orang-orang Kadipaten menganggap kita telah terlibat
dalam perkara pembunuhan Adipati Banu Rekso ...!".
Terkejut kelima belas murid-murid sang Pa-
nembahan. Mereka tatapkan pandangan pada gurunya
dengan wajah pucat. Beberapa orang saling pandang
dengan kawannya.
"Mengapa demikian Guru..." Kita tak mengeta-
hui masalah pembunuhan itu, mengapa kita bisa terli-
bat...?" Bertanya salah seorang yang duduk paling depan. "Hm, semua ini adalah
karena kesalahan yang sengaja dijatuhkan pada kita!"
"Apakah kita tak patut mencurigai juga, guru!
Bisa saja Pramana dianggap yang telah mem-
bunuh Adipati dan melarikan Ratih Dewi, karena gad
is anak Ki Demang itu adalah kekasihnya! Cinta terka-
dang bisa membuat orang jadi kejam, dan merubah fi-
kiran sehat menjadi tidak waras...!". Berkata Parta Kendala, si murid tertua
sang Panembahan.
"Tidak...! Aku tak sependapat. Aku tahu watak
serta pribadinya. Sejak selama empat tahun dalam
gemblengan ku, tak nantinya dia berhati telengas! Tindakan itu pasti telah
difikirkan sebelumnya, karena
dengan berbuat demikian berarti dia telah membawa
Perguruan Elang Putih ke ambang kehancuran...! Ja-
lan terbaik adalah kau Parta Kendala segera pergi bersama beberapa orang saudara
seperguruanmu mencari
di mana adanya Pramana ...!" Akan tetapi terlambat sudah, karena pada waktu itu
juga sudah terdengar
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara teriakan di luar padepokan..
"Orang-orang Elang Putih! Keluarlah kalian...!
Aku REKSO JIWO akan menuntut balas kematian
ayahku...!". Terkejut semua yang hadir termasuk sang Panembahan Galih Kumitir.
Parta Kendala sudah melompat ke luar diikuti lima belas orang murid-murid
sang Panembahan.
"Bagus...! Mana Tua bangka keparat gurumu si
Ketua Elang Putih. Suruh dia menghadapku...!".
Teriak laki-laki tegap di luar padepokan itu.
Ternyata di sisi Rekso Jiwo, tegak berdiri seorang kakek berjubah hitam berwajah
kaku, dengan sebelah
matanya meram. Giginya besar-besar menonjol keluar.
Pada lengannya tergenggam sebuah tongkat bercagak
dua, berwarna hitam. Semua murid-murid Perguruan
Elang Putih segera pentang mata untuk melihat ke
arah kedua orang itu. Parta Kendala belum menjawab,
namun sang Panembahan Galih Kumitir telah berada
di muka pintu padepokan. Tampak wajah sang Pa-
nembahan tampilkan perubahan melihat si kakek ber-
jubah hitam itu.
Tak salah lagi, dia si Setan Hitam! Ada apakah
dia muncul di sini..." Gumam sang Panembahan Galih
Kumitir dalam hati. Akan tetapi dia sudah mengetahui
kalau manusia itu adalah Gurunya Rekso Jiwo, anak
Adipati Banu Rekso itu.
"He he he... he he... Bagus! Bagus... ! Selamat
berjumpa Elang Putih. Kiranya baru sekarang kita ber-
jumpa setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Tak
dinyana kau kini sudah jadi ketua Perguruan dan
punya kewibawaan di desa ini...!" Terdengar suara si kakek jubah hitam yang
ditujukan pada sang Panembahan Galih.
"Angin apakah yang telah meniup mu datang
kemari, Setan Hitam". Kami merasa tak mempunyai
kesalahan, mengapa datang-datang Raden Rekso Jiwo
muridmu ini mau menuntut balas kematian ayahan-
danya... ?".
"Bedebah...! Tua bangka keparat... ! Muridmu
yang bernama Pramana itulah yang telah melakukan
perbuatan keji. Masakan aku akan tinggal diam". Ka-
lau muridnya pembunuh dan juga telah melarikan istri
orang, tentu Gurunya yang harus bertanggung ja-
wab...!". Teriak Rekso Jiwo dengan wajah berang.
"Tutup mulutmu Rekso Jiwo...! Kau menuduh
orang yang belum jelas kesalahannya. Belum tentu itu
perbuatan saudara seperguruanku!". Teriak Parta
Kendala. Laki-laki ini amat gusar, karena Gurunya di-
maki-maki seenaknya.
"Hoh...! Aku telah kehilangan ayahanda ku, ju-
ga seluruh rakyat di wilayah ini telah kehilangan pe-
mimpinnya. Kalau tak kutumpas biang keladi pembu-
nuhnya, serta meratakan padepokan ini dengan tanah
janganlah aku bisa meram tidur...! Kini tunjukkan di
mana adanya si bedebah Pramana itu. Kalian kira den-
gan menyembunyikan pemuda itu, kalian akan
aman....". Huh! Jangan kalian harap...!". Merasa kata-katanya diremehkan, Parta
Kendala jadi naik pitam.
Tubuhnya sudah melompat ke hadapan Rekso Jiwo.
"Maaf, sobat Rekso Jiwo! Perguruan kami tak
menerima kedatangan tetamu yang tak tahu adat!
Silahkan kalian keluar...! Pramana sudah turun
gunung sebelum terjadi kejadian pembunuhan itu. Ka-
lau kau menganggap saudara seperguruanku itu yang
melakukan, tentu saja kami tidak terima...!". Kata-kata pedas Parta Kendala
membuat alis Rekso Jiwo naik ke
atas, lalu bergerak turun menyatu. Sepasang matanya
menatap Parta Kendala dengan sinar kemarahan. Tiba-
tiba Rekso Jiwo sudah keluarkan teriakan keras. Sebe-
lah lengannya bergerak menghantam dada laki-laki itu.
PLAK...! Parta Kendala cepat silangkan lengan
untuk menangkis. Tampak tubuh kedua pemuda itu
terhuyung. Dalam segebrakan saja, mereka telah sal-
ing menjajal kekuatan tenaga dalam lawan.
"Bagus...! Urusan tak perlu berlama-lama mu-
ridku. Manusia-manusia yang cuma menyebalkan ini
sebaiknya cepat-cepat disingkirkan dari wilayah
mu...!". Berkata si Setan Hitam dengan nada sinis.
Tentu saja kelima belas murid-murid perguruan Elang
Putih tak tinggal diam. Segera sudah mengurung me-
reka. "Kalian mencari keributan tanpa sebab dan bukti yang kuat, kami akan
mempertahankan kebenaran. Karena kami yakin kejadian itu bukan perbuatan
saudara seperguruan kami...!" Berkata salah seorang dari tiga murid utama
Panembahan Galih.
Yaitu yang bernama Subala. Pada saat itu su-
dah berkelebat tubuh sang Panembahan ke dalam pa-
depokan. "Tahan...! Sebaiknya kita bermusyawarah. Atau
kalau perlu kami akan berusaha mencari Pramana,
untuk membuktikan kebenaran tuduhanmu itu, raden
Rekso Jiwo!".
Akan tetapi jawabannya adalah serangan hebat
yang dilancarkan si Setan Hitam. Satu pukulan keras
bertenaga dalam telah menghantam dada sang panem-
bahan secara tak terduga.
BUK...! Terdengar laki-laki tua itu mengeluh.
Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
Gusarlah sang Panembahan.
Pukulan itu cukup membuat dada sang pa-
nembahan terasa sesak. Beruntung tidak terlalu keras, karena si Setan Hitam itu
sengaja menguji kekuatan
lawan. "He he he... Sebaiknya kita bermusyawarah di
atas pertarungan, Elang Putih! Ingin kulihat sudah
sampai di mana kehebatan ilmu silatmu sejak sepuluh
tahun ini...!". Teriak si kakek berjubah hitam. "Huh...!
Kalian memang sengaja mencari keributan...! Baik!
Aku akan hadapi kau... Setan Hitam!". Berkata sang panembahan. Selanjutnya dia
sudah mengirim satu
pukulan dengan jurus Elang Sakti Menyambar Mang-
sa. Hebat pukulan itu, yang ternyata dibarengi dengan cengkeraman yang mengarah
ke batok kepala si Setan
Hitam. Suara angin menderu keras ketika lengan-
lengan si Elang Putih itu bergerak ke arah lawan. Na-
mun dengan berseru keras, si Tongkat Setan Hitam te-
lah sambarkan tongkatnya, yang bersitkan hawa din-
gin. Tubuh Elang Putih berbalik untuk menukik.
Sepasang lengannya telah ditarik lagi. Kini telah jejakkan kaki di tanah. Cuma
sekejap, karena selanjutnya
sudah hantamkan telapak tangan mengarah dada. In-
ilah jurus pukulan Menghantam Bukit. Terkejut si Se-
tan Hitam. Akan tetapi dengan tertawa dingin sudah
disambutnya serangan itu. Justru anehnya dia tak
menggerakkan tangan untuk menangkis.
BUK...! Hantaman itu telah mengenai sasaran-
nya dengan telak. Terkejut sang Panembahan, karena
lengannya seperti menghantam kapas... Tenaga puku-
lannya seperti lenyap tak berbekas.
Pada saat itulah tongkat si Setan Hitam berke-
lebat menyambar kaki. Disertai lengan jubahnya ber-
gerak menghantam kepala lawan.
Dalam posisi demikian ternyata cukup sulit un-
tuk menghindar. Namun dengan gulingkan tubuhnya
serta lakukan salto beberapa kali, ternyata si Elang
Putih telah mampu menyelamatkan diri. Namun tak
urung jubahnya kena disambar robek.
"Bagus...! Masih lincah juga kau, Elang Pu-
tih...!" Teriak si Setan Hitam. Dia tidak mengejar. Akan tetapi bahkan
berkelebat ke arah pertarungan, di ma-na tiga orang murid utama si Elang Putih
tengah ber- tarung dengan Rekso Jiwo. "Celaka Guru...! Kita tak akan dapat menang
melawannya.. !". Berkata sang Murid. Tercenung sang panembahan. Dilihatnya satu
per- satu para muridnya dibantai habis oleh Rekso Jiwo.
Pemuda itu cuma pergunakan lengan kosong saja, tapi
mampu mematahkan setiap serangan yang datang.
Bahkan bila sepasang lengannya bergerak, tentu akan
jatuh bertumbangan tubuh para muridnya dengan da-
da remuk. "Iblis telengas! Hadapilah aku...!". Sang panembahan gusar bukan main melihat
keadaan para mu-
ridnya. Dengan menggerung keras dia sudah hantam-
kan pukulannya bertubi-tubi. Dengan tertawa jumawa
si kakek jubah hitam itu putarkan tongkatnya meng-
halau serangan. Sebentar saja pertarungan kedua to-
koh yang sudah kawakan dan telah lama tak bertemu
itu terjadi dengan hebatnya. Dua puluh jurus telah
berlalu, akan tetapi si Elang Putih tetap tak mampu
menembus bentengan hitam yang melindungi tubuh si
Setan Hitam. Bentengan hitam itu seperti mengelua-
rkan hawa aneh yang dinginnya luar biasa, yaitu dari
putaran tongkat si Setan Hitam.
Sementara Parta Kendala sudah pula melompat
untuk menerjang Rekso Jiwo. Pemuda ini tertawa si-
nis. Merasa ada sambaran angin di belakangnya, dia
sudah balikkan tubuh secepat kilat dan lancarkan
hantaman lengannya memapaki serangan.
WUT! WUT! Kedua pukulan masing-masing di
elakkan oleh mereka. Akan tetapi tenaga pukulan telah membuat ikat kepala Rekso
Jiwo terlepas. Pemuda ini
tampak gusar. Tiba-tiba dia telah cabut keluar senja-
tanya. Yaitu sebuah pedang berwarna hitam. Terkejut
Parta Kendala karena sinar dari pedang itu membuat
hawa mengantuk pada sepasang matanya.
Empat orang sisa para murid sang Panemba-
han terkejut melihat sinar hitam yang telah membuat
tubuhnya bergidik, karena pedang itu keluarkan hawa
dingin yang aneh. Ketika senjata itu digerakkan berputar, segera membersit
keluar suara bagaikan hantu-
hantu yang tertawa cekikikan, disertai hawa mengan-
tuk yang menyerang mereka.
"Ilmu Sihir Hitam...!". Terperangah seketika Parta Kendala. Dia pernah mendengar
dari Gurunya akan adanya Pedang Setan ini yang telah lenyap dua
puluh tahun yang lalu. Tak dinyana kalau benda pu-
saka itu akan muncul lagi. Dan anehnya berada
di tangan Rekso Jiwo. Sementara pada saat itu
sang Panembahan Galih Kumitir dalam keadaan terde-
sak. Namun masih sempat melihat ke arah Parta Ken-
dala yang tengah terperangah menatap pada Rekso Ji-
wo yang keluarkan Pedang Pusaka berwarna hitam itu.
Terkejut pendekar tua ini, karena segera dia sudah
mengenali senjata langka itu. Celaka...! Parta Kendala harus cepat-cepat
menyingkir pergi sebelum terlambat.
Pikir sang Panembahan. Akan tetapi justru terpecah-
nya perhatian, membuat kesempatan baik tak disia-
siakan oleh si Setan Hitam. Satu serangan ke arah da-
da dengan gerak tipuan, membuat si Elang
Putih melompat menghindar. Lompatan yang
sudah diperhitungkan itu ternyata adalah kesempatan
yang paling baik untuk menghantamkan tongkatnya.
BUK...! Terdengar suara teriakan keras sang
Panembahan, tubuhnya terjungkal dan menggelinding
beberapa kali. Ketika berhenti tampak jubahnya ba-
gian dada telah sobek hangus. Wajah sang panemba-
han tampak pucat pias, karena terasa dadanya remuk
terhantam tongkat si Satan Hitam. Akan tetapi dia su-
dah berteriak untuk memperingati murid tertuanya.
"Parta Kendala, muridku... Pergilah cepat. Se-
lamatkan dirimu... Suaranya putus seketika, berba-
reng dengan berkelebatnya tongkat si Setan
Hitam yang menembus dadanya. Detik itu, Par-
ta Kendala sudah segera sadar akan apa yang harus
dikerjakan. Sekejap, sang murid tertua panembahan
Galih Kumitir itu sudah berkelebat cepat untuk ting-
galkan padepokan. Gerakan yang tak terduga itu
membuat Rekso Jiwo tak sempat untuk mengejar. Se-
mentara dilihatnya sisa empat orang dari murid-murid
Perguruan Elang Putih itu beranjak untuk melarikan
diri. Kemendongkolan hatinya jadi ditumpahkan pa-
da mereka. Terdengar suara bentakannya, dan ketika
tubuh Rekso Jiwo berkelebat, segera sinar pedang
yang memukau itu telah membuat mereka berhenti
berlari. Selanjutnya sudah terdengar jeritan-jeritan
mengerikan, ketika dada dan leher mereka terkoyak
oleh tebasan pedang.
Bertumbanganlah keempat tubuh murid-murid
sang Panembahan, untuk roboh mandi darah. Setelah
berkelojotan, kemudian tewas.
"Bagus, muridku...! Menumpas musuh harus
sampai akarnya. Kelak harus kau cari satu orang yang
tadi melarikan diri. Dan cari si Pramana itu...!" Berkata si Setan Hitam, yang
sudah mencabut tongkatnya dari
hujamannya di dada sang Panembahan Galih Kumitir
alias si Elang Putih.
"He he he ... kekalahan 10 tahun yang lalu te-
lah tertebus, muridku...! Si Ketua Perguruan ELANG
PUTIH ini dulunya manusia yang selalu ikut campur
urusan orang. Dia dulu berjulukan si Pendekar Elang
Putih. Beberapa orang saudara seperguruanku tewas
di tangannya. Cuma aku yang berhasil lolos. Namun
sejak aku memperdalam ilmu silatku hingga ku berha-
sil memiliki Pedang Setan di tanganmu itu, dia sudah
bukan apa-apa lagi bagiku. He he he... kelak kau boleh dirikan lagi Perguruan
yang pasti sebentar akan membuat kewibawaan mu terkenal ke setiap penjuru...!".
Rekso Jiwo manggut-manggut dengan terse-
nyum, lalu sarungkan lagi Pedang Setannya ke bela-
kang punggung. Kedatangan sang Guru memang
amat di harapkan oleh Rekso Jiwo, yang memang me-
merlukan bantuan untuk melenyapkan sang Panem-
bahan Galih Kumitir. Ternyata justru datang dengan
membawa Pedang Setan yang diberikan padanya...
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara diam-diam Rekso Jiwo bergirang ha-
ti juga, karena dengan kematian ayahnya kelak dia bi-
sa menggantikan kedudukan sebagai Adipati yang
menguasai beberapa wilayah, serta punya wibawa.
Namun walau bagaimana tetap saja dia merasa
kehilangan, atas kematian sang Adipati Banu Rekso
ayahnya... D U A PRAMANA sudah jauh meninggalkan kawasan
perguruan Elang Putih. Tatapannya tak bergairah me-
natap ke depan. Berkali-kali terdengar dia menghela
nafas. Ditatapnya burung-burung elang di angkasa,
dan seketika teringatlah dia akan Gurunya sang Pa-
nembahan Galih Kumitir yang bergelar Pendekar Elang
Putih itu. Terasa trenyuh hatinya. Orang tua itu sudah menggemblengnya dengan
pelbagai ilmu kedigjayaan
selama lebih dari empat tahun. Kini dia meninggalkan
Perguruan karena semata-mata buat melipur hatinya
yang terluka. Karena untuk terus berdiam di sana cu-
ma akan membuat hatinya semakin pedih. Cintanya
terlalu besar pada Ratih Dewi. Kepergiannya justru untuk menenangkan perasaan
hatinya yang kalut.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di sisi
sebuah muara sungai yang di kiri-kanannya banyak
tumbuh rumput ilalang, serta pohon-pohon rimbun.
Keadaan di sini memang lebih menyenangkan. Peman-
dangan yang cukup bagus! Pikir Pramana. Dia pun
mengambil keputusan untuk menetap di sekitar hutan
itu. Pramana adalah anak yatim piatu.
Ketika kejadian perampokan dua belas tahun
yang lalu dia masih kecil. Tak banyak yang diketahui
dengan kematian kedua orang tuanya. Cuma yang di-
ingatnya adalah dia mempunyai seorang saudara kem-
bar yang bernama WIRATMANA.
Wiratmana terhitung kakaknya, karena lahir
lebih dulu. Namun sejak kejadian mengerikan yang
menimpa keluarganya, Pramana tak mengetahui ke
mana gerangan sang kakak. Seingatnya adalah, dia
ikut bersama seorang laki-laki tua yang dipanggilnya
paman WANGSIT. Ketika Pramana berusia lima belas tahun, pa-
man Wangsit meninggal karena usia tua dan serangan
penyakit yang dideritanya. Sayang paman Wangsit tak
pernah bisa menceritakan peristiwa kematian orang
tuanya, karena paman Wangsit adalah orang yang tu-
nawicara alias gagu. Pramana pergi mengembara ke
mana saja sepembawa kakinya. Lalu berjumpa dengan
seorang tua bernama Galih Kumitir. Demikianlah,
hingga dia menetap di padepokan ELANG PUTIH, ber-
sama gurunya Panembahan Galih Kumitir itu.
Telah beberapa hari ini Pramana merasa ha-
tinya tak enak. Lama-lama merasa bosan juga dia ting-
gal di hutan rimba itu. Suatu hari terkejut ketika tengah berburu mengejar
pelanduk, telah mendengar sua-
ra jeritan seorang wanita. Suara itu seperti berteriak minta tolong, yang
nampaknya amat ketakutan sekali.
Apakah yang terjadi..." Sentak hati pemuda itu.
Sekejap tubuhnya sudah berkelebat melompat untuk
mencari di mana arah suara itu.
Dengan pergunakan indra pendengarannya
yang cukup tajam, Pramana menyusup ke semak be-
lukar. Suara teriakan itu semakin jelas. Lalu bergegas melompat ke sebatang
pohon. Dari atas cabang segera
dia dapat menyaksikan kejadian di bawahnya.
Ternyata seorang gadis tengah berteriak-teriak
dikejar beberapa orang laki-laki yang menyoren senjata di pinggang. Bahkan salah
seorang sudah berhasil
memenangkannya. Siapakah mereka...". Dan siapa pu-
la gadis itu...". Sentak Hati Pramana.
Dengan gerakan ringan Pramana melompat tu-
run. Jarak di hadapannya masih sekitar dua puluh
tombak. Tak berapa lama dia sudah mengintai di balik
semak belukar. "Tidaak...! Tidaak...! Jangan ganggu aku! To-
looong...!". Teriak gadis itu.
"Ha ha ha... berteriaklah sekuatmu, manis. Di
tempat ini tak ada pendekar yang nyasar, untuk meno-
longmu!". Berkata salah seorang, yang tak lain dari SENTANI. Beberapa orang anak
buahnya telah berhasil
meringkus wanita itu.
Sementara itu di tempat persembunyiannya,
Pramana jadi terkejut, karena gadis itu tak lain dari RATIH DEWI. Istri Adipati
Banu Rekso, alias bekas kekasihnya sendiri. Pramana menahan diri untuk tetap
di tempat persembunyiannya. Sepasang matanya me-
natap dengan berbagai pertanyaan memenuhi benak-
nya. Apakah yang terjadi dengan Ratih Dewi...". Apa-
kah dia melarikan diri dari Kadipaten".
"Hahaha... haha... Aku akan mendapat hadiah
besar bila membawamu ke Kadipaten, bocah ayu...!
Kau telah membawa bencana besar, dengan
terbunuhnya Adipati Banu Rekso. Katakanlah, siapa
yang telah lakukan pembunuhan itu...!". Tanya Sentani seraya mencekal dagu Ratih
Dewi. Gadis ini so-
rotkan wajah ketakutan, akan tetapi segera menjawab
setelah kuatkan hati. Toh dia akan mati setelah usa-
hanya melarikan diri gagal. Dan kini tertangkap di tangan orang-orang bayaran
dari kadipaten! Pikir Ratih
Dewi. "Heh! Baik aku katakan!. Akulah yang membunuhnya, karena aku tak sudi
menjadi istri kelima Adi-
pati itu. Aku bukan ayam yang dapat diperbuat se-
maunya. Manusia itu telah merenggutkan diriku dari
orang yang kucintai, yaitu Pramana! Nah! Jelaslah su-
dah! Kini bunuhlah aku sekarang juga. Tak perlu kau
bawa aku ke Kadipaten...! Bunuhlah! Bunuh...!". Teriak sang dara, yang dengan
mata beringas menantang
wajah Sentani. Kata-kata itu membuat Sentani jadi
melengak, akan tetapi dia sudah tertawa lebar seraya
berkata. "Hahaha... Bagus! Tapi apakah kata-katamu itu
bisa dipercaya...". Aku tak yakin kau yang membu-
nuhnya! Akan tetapi biarlah, lupakan saja mengenai
siapa yang melakukannya. Namun untuk membu-
nuhmu siang-siang adalah amat disayangkan. Kau
masih pengantin baru, dan... kau memang amat mem-
pesonakan. Pantas kalau mendiang Adipati Banu Rek-
so menginginkan kau jadi istrinya...!".
Tampak sepasang mata Sentani semakin binal.
Juluran lengannya semakin turun ke leher, yang ke-
mudian meraba ke dada. Menggelinjang tubuh Ratih
Dewi untuk meronta. Wajahnya merah padam dan te-
rasa jantungnya berdebar keras. Untuk menghadapi
kematian tak ditakutinya, akan tetapi justru satu hal yang seperti sudah
terbayang di depan matanya saja
yang dikhawatiri. Ketika tahu-tahu lengan Sentani te-
lah menotok tubuhnya. Ratih Dewi perdengarkan ke-
luhan, dan seketika tulang-tulang persendiannya tera-
sa lemah. Kepalanya terkulai menunduk.
"Ha ha ha... Tinggalkan wanita ini, dan kalian
boleh beristirahat agak jauhan...!"
Berkata Sentani pada anak buahnya. Tiga
orang yang mencekal tubuh si dara itu segera mere-
bahkan tubuh yang sudah tak berdaya itu di rerumpu-
tan. Lalu cepat-cepat menghilang pergi ke balik semak.
Sementara beberapa orang lainnya sudah melangkah
pergi menjauh. Namun tidak terlalu jauh, sudah ber-
henti untuk palingkan tubuhnya. Tentu saja berpa-
sang-pasang mata dari anak buah Sentanu, menatap
ke arah sang ketuanya.
BRET! BRET...! BREEET... ! Lagi-lagi lengannya bergerak untuk
menyibakkan kain penutup tubuh yang putih mulus
itu... Segera saja satu pemandangan yang mendebar-
kan membuat sepasang mata Sentani semakin melebar
bulat, seolah kedua biji matanya mau meloncat keluar
dari kelopaknya. Napas Sentani semakin menggebu.
Bibirnya terbuka menyeringai meneteskan air liur. Se-
lanjutnya dia sudah gerakkan lengannya membuka
kancing bajunya, yang seperti sekejap saja sang baju
bagian atasnya telah diloloskan terbuka. Golok pan-
jang yang tersoren di pinggang segera di copotnya terlebih dulu berikut
sarungnya. Tampaknya Sentani su-
dah tak sabar untuk menerkam. Akan tetapi pada saat
itu juga, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras.
Satu hantaman kaki telah membuat tubuh Sentani ja-
tuh tersungkur ke sebelah kiri. Terjangan hebat itu
membuat seketika tubuhnya menggelinding sejauh
empat tombak. Bukan saja Sentani yang terkejut, akan
tetapi juga anak buahnya. Karena segera mereka meli-
hat di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh,
yang tak lain dari Pramana.
"Setan Alas...! Kiranya kau bersembunyi di si-
ni...". Bagus! Anak-anak. ringkus dia...! Dia si PRA-
MANA...!". Teriak Sentani dengan wajah merah padam.
Beberapa anak buahnya yang tadi terkesima,
seketika sadar kembali. Serentak mereka bergerak
mengurung Pramana dengan mencabut senjatanya
masing-masing. Pertarungan pun segera terjadi. Pramana telah
mencabut keluar pedangnya untuk menangkis seran-
gan-serangan gencar para anak buah Sentani. Prama-
na dan kawan-kawannya memang pernah bentrok
dengan Sentani dan anak-anak buahnya setahun yang
lalu, yang dilerai oleh Ki Demang. Kini untuk kedua
kalinya Pramana berhadapan dengan orang-orang Sen-
tani dengan lain persoalan.
Kalau dulu adalah karena membela seorang
pedagang yang uang dan dagangannya dikuras habis
oleh begundal-begundal ini, akan tetapi sekarang ada-
lah karena membela kehormatan seorang wanita yang
adalah bekas kekasihnya sendiri.
Suara benturan-benturan senjata tajam, serta
teriakan-teriakan dan bentakan segera mengoyak ke-
sunyian di mulut hutan itu.
Dua orang roboh terjungkal terkena tebasan
pedang Pramana. Untuk pertarungan ini Pramana te-
lah keluarkan jurus-jurus permainan pedangnya yang
berkelebatan hebat. Tiga orang merangsak maju den-
gan berteriak membentak. Tiga buah golok berkeleba-
tan menabas pemuda itu.
Nyaris memapas pinggangnya, kalau Pramana
tak cepat berkelit. Selanjutnya kembali terjadi pertarungan dua lawan satu.
Pramana terus merangsak la-
wan-lawannya. Jelas ilmu pedang dari jurus-jurus
Elang Putih cukup membuat anak-anak buah Sentani
agak gentar. Namun khawatir dibentak oleh ketuanya
mereka terpaksa dengan bersemangat kembali maju
menempur. Delapan orang anak buah Sentani kini
tinggal enam orang. Dua orang sudah terkapar tak
bernyawa. Setahun belakangan ini ternyata membuat ke-
pandaian Pramana maju pesat, tapi dengan menge-
royok bersama rasanya tak mungkin kalau tak dapat
meringkusnya...! Demikian pikir Sentani. Tiba-tiba dia sudah melompat untuk
turut menempur Pramana!
Menghadapi empat orang anak buah Sentani ditambah
lagi dengan kedatangan si Ketua begundal-begundal
itu, ternyata membuat Pramana cukup kewalahan ju-
ga. Di samping satu keteledoran telah membuat len-
gannya terluka.
"He he... Bagus! Ayo, serang terus... !". Teriak Sentani memberi semangat pada
anak buahnya. Melihat darah semakin mengucur di lengan Pramana. Sen-
tani tertawa gelak-gelak. "Ha ha ha... Semua senjata anak buahku telah direndam
dengan racun. Kau harus
hati-hati dengan lukamu Pramana, karena lebih ba-
nyak bergerak racun akan cepat menjalar!" Teriak Sentani. Terkesiap juga hati
Pramana mendengar teria-
kan Sentani. Padahal Sentani hanya menggertaknya.
Namun hal itu telah membuat gerakannya tidak lagi
terarah. Permainan ilmu pedangnya agak kacau. justru
hal itu yang diinginkan Sentani.
Pramana mengeluh panjang, tubuhnya jatuh
bergulingan tanpa dapat dicegah lagi. Saat itu Sentanu kembali lancarkan
serangan ganasnya. Goloknya me-
luncur deras menyambar tubuh Pramana. Akan tetapi
pada saat yang genting itu berkelebat sesosok tubuh
menghalau serangan ganas Sentani.
TRANG...! Terdengar suara beradunya dua sen-
jata tajam. Terkejut Sentani. Benturan keras itu mem-
buat tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tin-
dak. Terasa telapak tangannya tergetar, yang nyaris
saja membuat goloknya terlepas dari tangannya. Be-
lum lagi diketahui siapa yang datang, sang penolong
itu sudah berkelebat menyambar lengan pemuda itu
untuk ditariknya pergi. Dalam beberapa kejap saja su-
dah lenyap di balik semak belukar.
"Sudahlah! Tak usah dikejar. Mari kita kembali
...!". Sentani sudah mendahului melompat ke arah aw-al pertarungan tadi. Akan
tetapi terkejut Sentani kare-na tak mendapatkan tubuh Ratih Dewi di tempatnya
lagi. "Hah...! Kemana perempuan itu..."!". Teriak Sentani dengan kepala
berpaling ke beberapa arah. Dia cuma dapatkan sisa-sisa sobekan kain dan baju
wanita itu saja yang berceceran di rerumputan, serta ba-
junya sendiri yang tadi dilepaskan. Apakah wanita itu dapat melepaskan diri dari
pengaruh totokannya". Bukankah dia tadi dalam keadaan pingsan". Berfikir Sen-
tani dalam benaknya.
Tiba-tiba Sentani telah melompat ke arah se
orang anak buahnya yang terluka.
"Kau tidak melihatnya...?". Tanyanya dengan plototkan sepasang mata pada si anak
buah. Laki-laki yang terluka itu cuma gelengkan ke-
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pala dengan lemah. Sementara bibirnya tampak me-
nyeringai menahan sakit dari luka goresan pedang di
dadanya. "Bodoh! Goblok: Dungu... !" Berteriak Sentani memaki. Lalu palingkan kepala pada
keempat anak buahnya. "Hayo kalian cari perempuan itu Serentak
hampir berbareng mereka menyahuti, dan sege-
ra berkelebatan mencari dengan berpencar. Sementara
Sentani sendiri duduk mendeprok sambil menggaruk-
garuk kepalanya yang tidak gatal. Namun tak berapa
lama, satu persatu sudah kembali lagi, seraya memberi laporan nihil.
* * * PRAMANA mengikuti orang yang menarik len-
gannya itu untuk berlari cepat menembus hutan rimba
belantara. Beberapa saat antaranya mereka sudah
hentikan larinya. Terkejut juga girang hati Pramana
mengetahui orang itu tak lain dari kakak sepergu-
ruannya, yaitu Parta Kendala.
"Terima kasih kakang...! Kalau tak ditolong mu
mungkin aku sudah celaka!". Berkata Pramana. Parta Kendala tak menyahut, tapi
balikkan tubuhnya untuk
menatap ke arah lain. Wajahnya kaku tak menampak-
kan senyum secuilpun. Kedua tangannya tampak ter-
kepal, dan sesaat sudah tundukkan kepala disertai
terdengarnya suara helaan napas.
"Kakang...!" Kenapakah kau" Kalau kau tak
mau dengar ucapan terima kasihku mengapa kau to-
long aku?". Berkata Pramana. Tiba-tiba Parta Kendala balikkan tubuhnya, dengan
wajah memerah. Sepasang
matanya tampak berkaca-kaca menatap pada adik se-
perguruannya. Terkejut Pramana melihatnya. Hatinya
tersentak seketika. Pasti ada apa-apa yang terjadi, pikirnya. "Kakang Parta
Kendala! Maafkanlah aku. Katakanlah kakang, apa gerangan yang membuatmu ber-
sedih" Apakah karena aku dituduh orang-orang Kadi-
paten telah membunuh Kanjeng Adipati Banu Rek-
so...?". Tanya Pramana dengan suara lembut. Sang kakak seperguruan tak menjawab,
tapi menggelengkan
kepalanya. "Bukan itu yang jadi masalah, Pramana!". Akhirnya Parta Kendala bicara juga.
"Akan tetapi..." Sambung kata-katanya; dan seterusnya segera tuturkan
peristiwa di Padepokan Perguruan Elang Putih bebera-
pa hari yang lalu.
Serasa mendengar petir menggelegar di siang
hari layaknya, Pramana terkejut bukan main. Sepa-
sang matanya membeliak seperti tak percaya. Dadanya
tergetar menahan kepedihan yang amat luar biasa.
"Aku cuma bisa melihat kematian Guru dari ke-
jauhan. Semua saudara-saudara seperguruan kita tak
satupun yang hidup! Kalau aku tak menuruti perintah
Guru waktu itu untuk menyelamatkan diri, mungkin
akupun sudah tak hidup lagi di Dunia ini!" Ujar Parta Kendala mengakhiri
penuturannya. "Kakang Parta Kendala...! Ini semua adalah ga-
ra-gara kepergianku! Hingga aku dituduh Rekso Jiwo
melarikan Ratih Dewi dan membunuh sang Adipati.
Maafkanlah aku, kakang! Kini apa yang harus
kita perbuat?". Berkata Pramana. Wajah Parta Kendala kini menampakkan senyum,
walau sepasang matanya
masih berkaca-kaca. Seraya ujarnya;
"Kau tak bersalah, Pramana. Mungkin kesala-
han itu terletak pada nasib. Dan berpangkal pada ke-
nekadan Ratih Dewi, yang nekad melenyapkan jiwa
Adipati Banu Rekso, suaminya! Kukira titik kesala-
hannya adalah pada kekasihmu itu, Pramana!".
"Akan tetapi hal itu tak bisa menjadikan orang-
orang ELANG PUTIH kehilangan segala-galanya. Teriak
Pramana, yang secara tak sadar telah keluarkan suara
keras. Wajahnya tampak merah padam, dadanya tu-
run-naik. Pramana tak dapat menerima alasan yang
dilontarkan Rekso Jiwo, sebagai dalih untuk menum-
pas habis Perguruan Elang Putih. "Aku akan menuntut balas kematian Guru dan
saudara-saudara seperguruan kita itu, kelak...!". Berkata Pratama dengan
menggeram. Kedua lengannya terkepal, namun tiba-tiba dia mengeluh seraya
memegangi lengannya yang
terluka. "Oh, aku terkena tabasan golok yang mengandung racun. Apakah kau punya
obat pemunah racun,
kakang?". Tanya Pramana dengan khawatir. Parta
Kendala terkejut, serta sudah melompat untuk meme-
riksa lengan Pramana. Akan tetapi selang sesaat, tiba-tiba telah tertawa geli.
"Hahaha... Rupanya kau kena dibohongi si Sen-
tani itu. Lukamu biasa, tak beg itu membahayakan.
Tapi kau obatilah, sebentar rasa nyerinya akan hilang!"
Ujar Parta Kendala seraya berikan obat berupa serbuk
halus. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara tertawa dingin disertai
berkelebatnya dua sosok tubuh. Bukan
main terkejutnya Parta Kendala, karena keduanya ada-
lah si Setan Hitam yang datang beserta muridnya. Yai-
tu Rekso Jiwo. "Hah...?" Pucat bias seketika wajah Parta Kendala. Sementara Pramana segera
mengetahui siapa
yang datang. Melihat wajah pucat saudara sepergu-
ruannya ketika menatap pada si kakek berjubah hi-
tam, tahulah Pramana kalau orang itu adalah yang
berjuluk si Setan Hitam.
"Hahahehe... hehe.... Menumpas musuh harus
sampai ke akar-akarnya, muridku! Kini keduanya su-
dah berada di depan mata! Segeralah kau turun tan-
gan...!". Si kakek jubah hitam yang berwajah menyeramkan, dengan gigi besar-
besar mencuat keluar serta
mata yang tinggal sebelah itu berkata se-enaknya. Su-
aranya seperti tempayan rengat, tak enak didengar,
dan membuat daun telinga jadi gatal seperti dikilik-
kilik. Kalau Parta Kendala wajahnya seketika menjadi pucat, akan tetapi
sebaliknya Pramana men jadi gusar
dan kertak gigi melihat kedatangan kedua musuh yang
telah membinasakan Gurunya ini.
"Bagus... ! Macam beginikah tampangnya ma-
nusia-manusia keji yang telah membunuhi orang-
orang yang tak punya kesalahan di Padepokan Elang
Putih?". Berkata Pramana dengan sepasang mata melotot tajam.
"He!" Besar juga nyalimu, bocah! Apakah kau
tak takut mati?". Bentak si Setan Hitam. Akan tetapi jawabannya justru membuat
si kakek jubah hitam ini
jadi melengak. "Cuih...! Siapa yang takut akan mati. Bagiku
mati atau hidup sama saja tak ada bedanya.
Cuma yang berbeda adalah hidup seperti anjing hina
dan mati sebagai pahlawan, kukira lebih berharga ke-
matian!". "Bedebah! Kunyuk...! Kurcaci semacammu lebih
baik dibuat mati tidak hiduppun tidak, barulah kau
bisa hilangkan kesombonganmu!" Bentak Rekso Jiwo.
"Bagus! Bagus! Kau buatlah dia cacat seumur
hidup, muridku. Biar lebih sengsara hidupnya melebihi sengsaranya anjing
kudisan! He he he he...". Selesai membentak Rekso Jiwo sudah mencabut keluar
Pedang Setan dari sarangnya. Segera hawa dingin menyi-
bak membuat hawa aneh yang menjadikan mata seper-
ti mengantuk. Juga membuat semangat orang bisa
menghilang punah.
Sepasang mata Pramana terpaku menatap pe-
dang berwarna hitam legam itu. Adapun Parta Kendala
sudah segera salurkan kekuatan batinnya untuk me-
nolak kekuatan ilmu Hitam dari Pedang Setan. Namun
saat itu pedang dilengan Rekso Jiwo telah berkelebat
menabas ke arah leher.
WUT! Nyaris membuat putus menggelinding
kepala Parta Kendala kalau dia tak cepat membuang
diri ke samping. Akan tetapi sepasang matanya jadi
nanar, karena Rekso Jiwo telah putarkan pedangnya
membuat hawa aneh menyerang semakin hebat. Parta
Kendala hampir-hampir jatuh karena mengantuk, tak
kuat menahan tubuhnya. Saat itulah berkelebat kem-
bali beberapa kilatan Pedang Setan, yang tahu-tahu
Parta Kendala tak mampu lagi mengelakkannya.
DES! DES! Terdengar jeritan menyayat hati dari
Parta Kendala. Keadaan tubuhnya amat mengerikan,
karena kedua tangannya terpapas putus. Dan di saat
tubuh laki-laki itu terhuyung limbung, satu kilatan
Pedang Setan yang berkelebat terlalu cepat telah
menghunjam di dada Parta Kendala. Robohlah sang
murid tertua Panembahan Galih Kumitir dengan kea-
daan yang mengerikan. Tubuhnya bersimbah darah
yang menyemburat dari kedua luka lengannya yang
putus sebatas pundak.
Setelah meregang nyawa beberapa saat, maka
putuslah nyawa laki-laki murid ketua Perguruan
ELANG PUTIH itu. Pramana beliakkan sepasang ma-
tanya dengan mulut ternganga. Tubuhnya terguncang
gemetaran. "Aku akan adu jiwa denganmu, IBLIS...!". Teriaknya lantang. Suaranya bagaikan
hendak membuat runtuhkan langit layaknya, saking gusarnya yang ba-
gai sudah tak terbendung lagi.
PLAK! PLAK...! WESS...! Beberapa serangan
dahsyat Pramana mendapat tangkisan telak dari len-
gan Rekso Jiwo, yang mempergunakan satu jurus he-
bat. Itulah jurus Tiga Iblis Membendung Lautan, yang
sudah matang dipelajarinya. Serangan yang bagaima-
napun lihainya akan punah dengan jurus itu. Karena
saat menerjang itu Pramana sendiri terheran. Seko-
nyong-konyong tubuh Rekso Jiwo seperti berubah jadi
tiga. Tentu saja serangannya lolos. Tahu-tahu terasa
lengannya kena terhantam di saat posisinya dalam
keadaan tak menguntungkan. Qua kali hantaman itu
membuat tubuh Pramana berpusing atau memutar
beberapa kali. Dan saat berikutnya satu tendangan te-
lak telah menghantam dada Pramana, yang seketika
terjungkal dengan teriakan tertahan.
"Hahaha... hehehe... Bagus! Bagus, muridku.
Ilmu Bayangan Sepuluh Iblis itu telah sempurna betul
kau kuasai! Ayolah cepat jangan membuang waktu.
Kau buat dia orang yang cacat tanpa daksa seumur
hidup!". Berkata si Setan Hitam dengan suara sember yang membuat lubang telinga
gatal. "Baik, guru...! Aku memang akan membuatnya
mati tidak hiduppun tidak. Dan kelak aku akan ada-
kan satu permainan hebat di hadapannya. Hahaha...
haha...". Begitu habis suara tertawanya, kesepuluh tubuh bayangan Rekso Jiwo
telah semakin rapat mengu-
rungnya. Mengamuklah Pramana sejadi-jadinya, den-
gan menerjang kesana-kemari dengan pukulan-
pukulan dahsyatnya. Akan tetapi semuanya seperti
menemui tempat kosong. Bahkan kali ini Pramana tak
dapat lagi menghindar ketika Rekso Jiwo gerakkan
lengannya menotok tubuhnya. Pemuda keluarkan ke-
luhannya. Baru saja tubuhnya terhuyung roboh, telah
terasa tengkuknya dicekal orang. Tahu-tahu dia rasa-
kan tubuhnya telah melayang di udara. Kiranya Rekso
Jiwo telah melemparkannya ke atas.
Pemuda ini mengeluh ketika rasakan tubuhnya
sudah meluncur turun kembali ke bawah. Dan selan-
jutnya terdengar suara tulang-tulang yang berderak
pat ah. Pramana keluarkan jeritannya yang menyayat
hati. "Hehehe... Berikan padaku bocah itu, murid ku... !". Teriak si Setan Hitam
tiba-tiba. Entah mengapa manusia ini jadi kepingin ikut-ikutan menyiksa.
"Baik, guru...! Sambutlah! Tapi jangan kau bu-
nuh dia, guru!" Teriak Rekso Jiwo. Sekali gerakkan tangan, tubuh Pramana kembali
melayang ke udara.
Akan tetapi sebelum si Setan Hitam sempat menang-
gapinya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dengan
gerakan bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
Dan selanjutnya dengan gerakan yang sekali, telah
membawanya berkelebat cepat sekali. Hingga sebentar
saja sudah lenyap.
Adapun si Setan Hitam jadi terkejut bukan
main, karena tahu-tahu tubuhnya terhuyung dua tin-
dak. Kiranya di saat lengannya sudah bergerak untuk
menyambuti tubuh pemuda itu, tiba-tiba segelombang
angin halus tapi bertenaga besar, telah membuat tu-
buhnya terdorong. Dan berbareng dengan itu, satu
bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Prama-
na. Tadinya dia sudah gerakkan kaki untuk mengejar,
akan tetapi telah terdengar satu suara halus yang diki-rim dari jarak jauh.
Padahal orangnya sudah tidak ke-
lihatan. "Setan Hitam telengas....! Kelak akan datang masanya kalian menyesali
perbuatan keterlaluan kalian...!". Suara itu cuma si Setan Hitam yang
mendengarnya. "Siapa kau...?". Bentak kakek tonggos ini dengan suara
berkumandang. Akan tetapi tiada jawaban
apa-apa. Semuanya berlalu seperti angin lewat saja.
Kini di tempat itu kembali sunyi. Rekso Jiwo cuma saling pandang dengan gurunya.
Namun tak berapa lama
kemudian kedua sosok tubuh guru dan murid itu telah
berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.
T I G A PELAHAN LAHAN si gadis mulai membuka ke-
lopak matanya. Kelihatannya dia telah tersadar dari
pingsannya akibat pengaruh totokan. Gadis itu tak lain dari Ratih Dewi. Terkejut
sang gadis ini mengetahui dirinya berada dalam sebuah ruangan yang gelap. Seke-
lilingnya adalah cuma dinding yang terbuat dari batu
bertonjolan, yang ternyata adalah sebuah Goa. Dia
sendiri ter baring pada sebuah balai-balai beralasan tikar rumput kering.
"Dimanakah aku ini... " Dan tempat apakah
ini...?". Gumam Ratih Dewi berdesis. Dilihatnya samar-samar di ujung ruangan ada
bayangan sesosok tubuh
membelakangi. Tak jauh di dekatnya ada sebuah meja,
yang di atasnya terpasang sebuah lampu minyak ta-
nah. Siapakah orang itu". Tanya Ratih Dewi dalam ha-
ti. Sementara dia mulai mengingat-ingat peristiwa di-
rinya. Terkejut Ratih Dewi ketika dapatkan tubuhnya
Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telanjang bulat. Dan dia cuma berselimutkan selembar
kain tipis yang tak seberapa panjang. Barulah dia sadar akan apa yang dialami,
karena seingatnya dia telah terjatuh dalam cengkeraman orang-orang Kadipaten.
Terutama ada laki-laki bernama Sentani itu yang telah berbuat kurang ajar
terhadapnya, ketika menjadi tawanan. Ratih Dewi memang sudah tak mengharapkan
hidup. Akan tetapi tetap saja dia mengkhawatirkan na-
sibnya kalau harus terpaksa melayani nafsu bejat. la-
ki-laki itu. Tapi kini dia berada di tempat lain. Entah sia-
pakah orang itu. Apakah Sentani...". pikirnya dalam
benak. Karena Ratih Dewi cuma melihat punggungnya
saja, dia tak mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.
Namun dia sudah memastikan orang itu adalah Sen-
tani, karena siapa lagi kalau bukan manusia itu, yang telah menodainya.
Perlahan dia bangkit. Sepasang matanya me-
mancar tajam menatap punggung orang itu. Kebera-
nian Ratih Dewi memang luar biasa. Tiba-tiba matanya
telah melihat sepotong kayu tergeletak di sudut ruang yang samar-samar itu.
Diraihnya benda itu. Lalu dengan berjingkat-jingkat beranjak mendekati orang
yang tengah duduk membelakangi. Entah apa yang tengah
dilakukan sosok tubuh itu, yang tampaknya seperti
tengah bersemadhi. Ketika itu Ratih Dewi telah tiba di belakangnya dengan
langkah tak menimbulkan suara.
Potongan kayu itu sudah diangkatnya tinggi-tinggi siap untuk dihantamkan ke
kepala orang itu. Akan tetapi
orang itu menoleh... Segera terlihat wajahnya yang tertawa menyeringai.
"HAH...!?". Terperanjat Ratih Dewi. Sepasang matanya hampir-hampir tak percaya,
karena orang itu
adalah ayahnya. Alias Ki Demang Harya Winangun.
Akan tetapi wajah itu tampak pucat, dan menyeringai
menyeramkan. Membuat gadis ini tersentak kaget. dan
melangkah mundur dua tindak. Sebelah lengannya
memegangi kain yang membungkus tubuhnya sebatas
dada. "Hehehe... Ratih Dewi, anakku... kau sudah sadar, sayang...?". Suara sang
"ayah" ini kedengarannya begitu mesra. Tiba-tiba cepat sekali tubuhnya telah
melompat ke dekat sang gadis. Tahu-tahu lengannya
sudah menangkap pinggang Ratih Dewi.
"Ayah...!" Kau... kau... Akan tetapi selanjutnya gadis itu sudah perdengarkan
teriakannya, karena se-
konyong-konyong wajah ayahnya itu telah berubah
menakutkan. Giginya besar-besar menonjol keluar.
Matanya cuma sebelah. Rambutnya yang panjang se-
batas bahu berwarna putih beriapan itu bergerak-
gerak bagaikan cacing-cacing kecil yang berjuntaian.
"Hah!" Kau bukan ayah". Si... siapa kau... " Ti-
daak! Tidaaak! Lepaskan aku!" Berteriak Ratih Dewi.
Akan tetapi sosok tubuh itu telah memondongnya den-
gan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu diletakkan di pemba-
ringan beralaskan tikar rumput itu. Kain penutup tu-
buhnya telah melayang lagi entah ke mana.
Ratih Dewi serasa bermimpi yang amat mena-
kutkan. Akan tetapi seperti sungguhan. Anehnya dia
berada di tengah hutan dalam keadaan telanjang bu-
lat, dan tubuh basah kuyup disiram hujan. Tak men-
gerti dia sama sekali akan semua itu. Segera dia berlari untuk mencari tempat
meneduh. Tubuhnya menggigil
bukan main. Akan tetapi mau cari selimut atau pa-
kaian kemari" Hampir gila, dan seperti sudah hilang
akal wanita ini.
Pada saat itulah terdengar suara menyeramkan
di telinganya. Suara tertawa yang membuat bulu teng-
kuknya meremang berdiri. Tiba-tiba angin bersiur ke-
ras. Hawa dingin semakin merasuk ke tubuh menem-
bus ke tulang. Bergetaran tubuh gadis ini. Di samping rasa takut, tapi juga
karena hawa dingin yang tak tertahankan.
"Hoaha... hahaha... anak manis...! Kau akan
kutolong dari kesusahanmu, asalkan kau menerima
beberapa syaratku. Hoahaha... haha...! Kalau kau tak
bersedia, kau akan mati dengan ketakutan dan ke-
sengsaraan... !". Terdengar suara orang berkata. Terperangah seketika Ratih
Dewi. Suara itu berkumandang
di sekitarnya, akan tetapi tak ada orangnya. Setankah"
Makhluk haluskah...". Pikir dalam benaknya. Ratih be-
lum memberikan jawaban. Ketika pada saat itu kilatan
petir membuat cuaca gelap itu terang sekilas. Terlihat di hadapannya sesosok
tubuh berdiri menatap ke
arahnya. Siapakah...". Tak pikir panjang Ratih Dewi
sudah gerakkan tubuh untuk berlutut. Seraya berka-
ta;. "Bapak yang berada di hadapanku! Tolonglah
aku segera dari kesusahan, dan kekalutan fikiranku
ini. Apapun syarat itu akan aku kabulkan asalkan aku
terlepas dari kesusahan ini...
Baru saja selesai kata-katanya sudah terdengar
suara tertawa lagi terbahak-bahak. Tahu-tahu hujan
deras serta angin yang menderu-deru menerpa tubuh-
nya itu sirna. Cuaca pelahan-lahan berubah kembali
terang. Akan tetapi sudah terdengar bentakan keras
"Anak manis, cepat tutup matamu! Kalau tidak cuaca akan kembali berubah seperti
tadi...! Dan ingat, jangan dibuka sebelum aku memerintahkanmu...!". "Oh, baik...
! Baik, aku akan menutup mataku!". Ujar Ratih Dewi. Padahal baru saja dia ingin
melihat siapakah
orang di hadapannya. Tahu-tahu terasa tubuhnya me-
layang cepat sekali. Namun dia benar-benar tak berani membuka matanya. Terasa
ada lengan yang mencekal
pinggangnya. Selang sesaat tiupan angin telah mereda, dan dirasakannya tubuhnya
menyentuh alas rumput
kering. Lengannya sudah meraba sebuah selimut ker-
ing yang hangat. Tak ayal segera dipakainya untuk
membungkus tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Ketika Ratih Dewi diperintahkan membuka matanya,
di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh menatap-
nya. Sesosok tubuh laki-laki berbadan tegap, namun
wajahnya tak terlihat jelas, karena memakai topi tu-
dung yang menutupi sebagian wajahnya.
Ikutlah aku...!". Berkata orang itu. Ratih Dewi
terpaku sejenak.
"Andakah yang telah menolongku...?". Tanya
Ratih Dewi. Orang itu tak menyahut, karena tubuhnya
telah melompat ke depan ruangan goa yang luas itu.
Pada bagian ujungnya ada terdapat sebuah batu besar,
yang tingginya hampir setinggi manusia. Kesanalah
orang itu melompat, dan sekejap sudah duduk di atas
batu. "Kalau di sini tak ada lain orang selain aku, siapa lagi yang melakukan
pertolongan padamu...".
Heh, seandainya kubiarkan dirimu tanpa kusela-
matkan, niscaya kau sudah dijadikan pelampias nafsu
manusia bejat yang bakal membawamu ke tiang gan-
tungan! Kini cepatlah kau duduk di hadapanku!".
Tak ayal lagi Ratih Dewi sudah berucap dengan
suara tergetar takut dan girang menjadi satu. Ratih
Dewi cuma bisa mengangguk. Selanjutnya sudah ter-
dengar lagi suara orang bertudung itu dengan nada
suara dingin. "Bagus! Kau harus bersedia menjadi muridku!"
Terkejut Ratih Dewi mendengarnya, akan tetapi dia
sudah segera bersujud di hadapan orang itu.
"Oh, terima kasih, guru...! Aku benar-benar me-
rasa amat senang sekali!". Ujarnya dengan wajah girang. "Bagus...! Ketahuilah,
ayahmu Ki Demang telah tewas, juga ibumu...! Kasihan orang tua itu, karena ga-
ra-gara kau membunuh Adipati Banu Rekso, mereka
telah dijatuhi hukuman gantung oleh Tumenggung
Kadipaten...!". Ujar si orang bertudung.
"Oh...!" Ayah, ibu.... !?" Terkesiap Ratih Dewi.
Seketika wajahnya berubah pucat. Kemudian terden-
garlah isaknya tersendat. Betapa hancur hatinya men-
dengar berita itu. Selang beberapa saat setelah tangisnya mereda gadis ini
dongakkan wajahnya menatap
sang guru, seraya berkata.
"Guru...! Ajarilah aku ilmu kepandaian. Aku...
aku..." Tak mampu Ratih Dewi meneruskan kata-
katanya, karena kembali dia terisak, dengan air mata
bercucuran. "Kau mau menuntut balas, bukan". Hahaha...
Bagus! Kau memang anak yang berbakti pada kedua
orang tua! Nah, tinggallah di sini sampai kau berhasil mempunyai ilmu
kepandaian. Jangan khawatir, aku
SILUMAN MUKA SERIBU akan menurunkan ilmu-ilmu
yang hebat padamu...!". Ujar si orang bertudung dengan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru! Terima kasih...!". Teriak Ratih Dewi dengan girang,
seraya jatuhkan diri la-gi untuk berlutut beberapa kali.
000O000 E M P A T TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak kejadian di
dalam goa itu. Di pertengahan musim kemarau... langit tampak amat bersih membiru
tak berawan. Udara
siang itu amat cerah. Seorang gadis cantik tampak
berdiri di ujung bukit. Di bawahnya mengalir sebuah
sungai berair jernih berbatu-batu. Itulah sungai yang bernama Kali Kendil.
Sedang bukit yang dipijaknya
adalah dataran tinggi di mana jauh di sebelah sana tegak menjulang Gunung Bromo
dengan megahnya. An-
gin pegunungan yang menerpa membuat rambut si ga-
dis ayu tersibak beriapan. Dia memakai pakaian persi-
latan berwarna hijau lumut. Ikat pinggangnya terbuat
dari kulit ular. Sementara ikat kepalanya yang terjuntai juga berkibaran, yang
juga berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang bertubuh semampai
itu kalau bukan RORO CENTIL adanya. Seulas senyum
tampak terlihat pada bibirnya yang merah ranum keti-
ka menatap ke arah sungai yang mengalir di bawah
bukit. Lain pandangan matanya beralih ke sebelah ba-
rat sungai, di mana terlihat satu dua wuwungan ru-
mah penduduk di sela-sela pepohonan. Pasti di bagian
sebelah dalamnya terdapat perkampungan. Berkata
sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebatan
menuruni bukit. Bagi mata manusia biasa yang tak
mempunyai kekuatan ilmu batin, akan merasa aneh
melihatnya. Karena sang gadis Pendekar ini tampak-
Para Ksatria Penjaga Majapahit 2 Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur Pusaka Rimba Hijau 3