Rahasia Kitab Ular 2
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular Bagian 2
telinganya "Kak Sentanu... aku... aku cinta padamu... "
Suara yang mendesis pada telinganya itu benar-benar membuat hatinya tergetar...
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Rangsangan yang kuat itu mulai
mempengaruhi jiwanya. Apa lagi di goda terus menerus selama beberapa hari dalam
perjalanan yang tak menentu itu, yang Sentanu tak mengetahui arahnya. Bahkan si
gadis baju merah itulah yang menunjuki arah ke mana ia membawa kudanya. Alhasil
ia cuma pegang tali kendali, namun urusan berhenti, belok kiri atau belok kanan
adalah atas perintah dan keinginan si gadis di belakang punggungnya, yang ia
tinggal menuruti saja ke mana yang
dimauinya! Rasa benci pada pamannya Senapati
Wira Pati itu, dan rasa sedih dengan kematian ibunya membuat ia ingin pergi
sejauh-jauhnya entah ke mana ia tak tahu
... Memang selama ini ia selalu
berusaha menjauhi hal-hal yang
bertentangan dengan hati kecilnya. Ia menyadari betapa tidak baiknya berjalan
dengan seorang gadis. Apalagi teman seperjalanannya berada pada satu kuda. Di
samping menarik perhatian orang, juga kurang leluasa baginya karena walaupun
bagaimana ia mengkhawatirkan hal-hal yang tak diingininya.
Pernah ia hampir berniat mening-
galkan gadis baju merah itu dengan diam-diam, di saat malam menjelang, dan
mereka bermalam pada sebuah pondok petani. Roro Dampit dengan berani telah
mengatakan bahwa mereka berdua adalah suami istri yang kemalaman di jalan. Tentu
saja ia jadi melengak. Seandainya
ia tidak diserobot lebih dulu untuk memberikan penjelasan, tentu tak akan terjadi mereka
berdua menginap dalam satu kamar.
Untunglah malam demi malam selama dalam perjalanan itu Sentanu selalu dapat
menguasai diri ... Namun tindakan Roro Dampit semakin berani ... dan yang
terakhir ini lebih berani lagi, dengan membisikkan kata-kata cinta yang sudah
dikatakannya dengan terang-terangan, tanpa malu-malu lagi. Bahkan kali ini sang
gadis telah jatuhkan tubuhnya pada pangkuan Sentanu .. . Laki-laki ini cuma bisa
pejamkan mata menahan gejolak
hatinya yang memburu ... Tiba-tiba saja ia sudah tak bisa berfikir jernih lagi,
ketika lengan-lengan halus Roro Dampit mulai merayapi wajahnya ... lalu turun ke
bawah mengusap lehernya ... ke bawah lagi
... mengusap dadanya. Bukan itu saja bahkan mulai membukai kancing-kancing
bajunya. Bagaikan seekor ular saja lengan
yang halus dan jari-jari yang lembut itu merayapi hampir sekujur tubuhnya. Tubuh
Sentanu bagian atasnya entah bagaimana telah terbuka seluruhnya ... Entah cara
apa yang dilakukan ular-ular lembut itu, hingga pakaian atas si laki-laki itu
bisa merosot ke bawah. Kelanjutannya ... ular-ular lembut itu merayap lagi ke
atas. Dan berhenti menggantung pada lehernya. Bagai seekor kerbau yang dicocok
hidungnya dengan tali, ia merendah saja akan apa yang dilakukan gadis itu
padanya... Sentanu tak dapat menahan kepalanya untuk menunduk dalam-dalam, karena sepasang
ular lembut itu telah mengganduli
lehernya dengan berat. Tahu-tahu ia merasa bibirnya telah dipagut oleh seekor
ular yang mendesis-desis bagaikan mau menyantap bibirnya dan menelannya bulat-
bulat hingga ia rasakan napasnya sesak, karena hidungnya tertindik benda lunak
yang mengeluarkan angin mendesah-desah...
Dan rasa hangat segera merayapi sekujur tubuhnya ketika sepasang benda lunak
yang lembut itu menempel erat menindih
dadanya, seperti mau menutup bunyi degup jantungnya yang semakin cepat
berdetak... Dua ekor anak anjing yang terpisah
dari induknya yang berada di seberang sungai itu tiba-tiba tampak saling terkam
dan saling gigit dengan seru ... bahkan ketika salah seekor jatuh terguling,
kaki-kaki yang sigap dari salah satu anjing itu telah kembali menerkam. Dan
moncongnya telah dipergunakan menggigit leher kawannya yang meronta-ronta manja
dengan keluarkan keluhan-keluhan.
Tak lama gigitannya pun terlepas...
dan keduanya bergumul semakin seru...
Saling tindih dan saling terkam...
Selang beberapa saat tampak seekor
kupu-kupu yang hinggap pada ranting kayu telanjang ... telah keluarkan telurnya
yang melekat pada ranting yang d hinggapi nya. Dengan harapan atau memang tak
begitu dirisaukannya si telur mau menetas
atau tidak... Sementara kedua anjing di seberang sungai itu rupanya tergeletak
saling tindih, dengan napas yang terendah engah. Namun "perkelahian" itu benar-
benar mencapai kepuasan bagi keduanya ...
6 Matahari makin condong ke arah
barat. Ketika seekor kuda putih mencongklang cepat, namun terkadang harus
berhenti untuk membelok atau memutar, dikarenakan jalan yang dilaluinya banyak
rintangan. Tiga sungai telah dilintasi, yang
terpaksa harus mencari air yang agak dangkal untuk melintasinya... Sementara
cuaca semakin meredup, karena sang
mentari seolah tertutup rimbunnya
pepohonan. Si punggung kuda putih itu tak lain dari Roro Centil.
Yang dalam perjalanannya menuju ke Gunung Wilis. Surat yang dikirim padanya
dengan melalui seseorang yang tak
diketahuinya itu, telah membuat ia harus menempuh perjalanan yang teramat jauh
itu. Semata-mata karena terdorong rasa kewajiban untuk datang karena undangan
aneh yang tak diketahui maksudnya itu.
Disamping rasa ingin tahu pada si
pengundangnya, yang menurut yang tertera
di surat adalah dari ketua Biara "Welas Asih". Di lereng Gunung Wilis, yang
bernama; Paderi Jayeng Rana. Siapakah paderi Jayeng Rana itu, dan apakah
hubungannya dengan si Tiga paderi Gunung Wilis yang telah ditumpasnya itu"...
Serta satu hal yang membuat ia ingin tahu adalah ada permusuhan dan persoalan
apakah paderi-paderi Gunung Wilis itu dengan Gurunya, yang menurut penuturan
sang Guru adalah beliau terluka terkena pukulan beracun dari Paderi-Paderi
Gunung Wilis. Namun apakah sebabnya ia tak boleh
membalas dendam... itulah yang ia ingin ketahui ... Sedangkan tiga paderi Gunung
Wilis itu nyata-nyata telah ditumpasnya.
Mengapa masih ada lagi paderi Gunung Wilis yang lain ... " Manakah yang benar"
Itulah yang membuat Roro terpaksa menunda pengejarannya pada si jongos tua yang
telah melarikan atau mencuri kotak
perhiasannya. Namun telah diketahui tempat persembunyiannya...
Di hadapannya kini telah melintang
lagi sebuah sungai... entah sungai yang keberapa kali yang harus dilintasi.
Namun sebentar lagi hari akan gelap, maka Roro urungkan niatnya untuk
menyeberang. Dan mencari saja tempat bermalam, sambil bersantap. Karena khawatir
nasi yang telah dibelinya itu jadi mubazir tak
termakan... Segera ia putar kudanya untuk mencari jalan ke arah desa terdekat...
yang ia yakin pasti ada di sekitar situ.
Benarlah, tak berapa lamanya
setelah menempuh jarak kurang lebih dua lemparan tombak. Dari jauh, dilihatnya
ada asap mengepul. Pasti sebuah pondok.
Pikir Roro. Dan bergegas ia ke sana. Dan yang tampak ternyata benar-benar di
luar dugaan, karena di situ, hanya terdapat sebuah gubuk tanpa dinding.
Sedangkan di bawah atap itu terlihat dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita
tengah asyik memanggang sesuatu entah daging apa...
yang baunya sedap dan wangi sekali.
Sedangkan pada tiang gubuk itu tertambat seekor kuda hitam yang tengah asyik
makan rumput. Segera Roro dapat mengetahui kalau
yang wanita itu adalah murid si Naga Seribu Racun. Sedangkan yang laki-laki ia
dapat mengenalinya yaitu laki-laki yang telah menemukan kalungnya. Benda itu
sudah tergantung di lehernya, namun dengan orangnya baru hari ini dapat ia
jumpai lagi... Melihat si gadis baju merah cuma
sendiri, tanpa adiknya... dan kini di tempat sunyi begini telah berdua-dua
dengan laki-laki. Segeralah Roro mengerti pasti ada apa-apa dengan kedua orang
itu. Mendengar langkah-langkah kuda
mendekati, tentu saja kedua orang yang tengah asyik dengan panggangannya itu
jadi menoleh, dan terkejut melihat siapa.
Orang yang menunggangnya.
"Nona Pendekar Roro Centil... !"
Oh, angin apa yang telah membawa anda sampai kemari...?" Berseru si wanita baju
merah itu, sambil bangkit berdiri, dan menghampiri lebih dulu.
Sentanu pun cepat-cepat bangkit....
segera ia tatap wajah orang, yang
ternyata dua pasang mata telah bentrok, karena saat itupun Roro tengah menatap
padanya. Adegan sekilas itu tak luput dari
mata Roro Dampit... Walaupun cuma
sekilas, namun mempunyai arti yang
mendalam bagi pandangan hatinya. Memang bisa dimaklumi bagi seorang wanita yang
sedang dimabuk cinta seperti dirinya.
Namun ia tak perdulikan semua itu,
dan cepat menyalami Roro yang baru saja melompat turun dari kudanya.
Sentanu pun segera keluar dari
gubuk, dan menjura hormat pada si
pendatang yang pernah digandrungi dan disangka Peri atau Dewi laut Pantai
Selatan. Tak dikisahkan obrolan mereka bertiga, yang sama-sama terkejut karena
dapat berjumpa dengan tidak sengaja di tempat itu.
Selanjutnya terlihat mereka asyik
bersantap dengan nikmatnya daging kelinci yang baru saja ditangkap oleh Roro
Dampit. Dan disaat daging matang, muncul Roro yang memang membawa bekal nasi
yang cukup banyak beserta lauknya.
Tentu saja suatu kebetulan yang
jarang ada. Maka ketiganya terus saja bersantap. Tak dikisahkan malamnya, dan
obrolan-obrolan Roro Centil dan Roro Dampit, yang tidur satu selimut berdua.
Kedua Roro itu dapat tidur pulas ... cuma Sentanu yang jadi serba kikuk. Hingga
semalam-malaman ia tak dapat memicingkan matanya. Kegelisahan membuat ia cuma
duduk menghadap api unggun sampai
menjelang pagi. Roro Dampit dapat tidur nyenyak karena ia telah mengetahui jelas
tentang hubungan Roro Centil pada
Sentanu. Yang tenyata tak ada hubungan apa-apa. Cuma mengenai seuntai kalung
yang telah ditemukan Sentanu sepuluh tahun yang lalu. Yang ternyata adalah milik
Roro Centil. Dan Roro cuma ingin bertemu muka saja pada orang yang telah
menemukannya, tanpa ada embel-embel yang lainnya, apalagi kisah asmara. Karena
ucapan terimakasih akan terasa lebih akrab bila dengan menjumpai orangnya.
Bila dilihat usia, agaknya Roro
Centil lebih muda dibandingkan dengan umur Roro Dampit. Namun Roro Centil
ternyata mempunyai kelebihan kecerdasan
dibanding Roro Dampit. Dan perbedaan watak kedua wanita itu adalah; Roro Dampit
lebih mementingkan diri sendiri.
Sedangkan Roro Centil lebih cenderung mementingkan urusan orang lain ketimbang
dirinya. Roro Centil tahu diri orang sedang dimabuk cinta, makanya pagi-pagi
sekali ia sudah berkemas untuk segera meneruskan perjalanan.
Namun Roro Dampit dengan memelas
memohon agar jangan berangkat dulu...
Heran juga Roro Centil, mengapa si gadis baju merah begitu berkeras untuk
menahannya..." Pada sat itu Sentanu muncul. Rupanya ia baru saja selesai mandi
di sungai yang memang tidak berapa jauh. Melihat munculnya Sentanu, tiba-tiba
lengan Roro Centil segera ia tarik untuk menjauh dari gubuk itu.
Tentu saja membuat si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini jadi makin keheranan. Ia cuma bisa mandah saja tanpa
bicara apa-apa. Sekalian ingin tahu ada rahasia apakah di antara mereka berdua
yang tak boleh diketahui Sentanu..."
Roro Dampit mengajaknya duduk di
bawah sebatang pohon. Dan selanjutnya ia sudah berbicara dengan suara perlahan.
Sementara Sentanu cuma melirik kelakuan kedua wanita itu, seolah tak
memperdulikan atau juga berpura-pura tak
mengetahui. Ia melangkah mendekat kudanya
yang bernama Antasena itu. Dan
membersihkan bulu-bulu binatang kesaya-ngannya itu dengan tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa
Roro Centil yang agak keras. Suara merdu yang membuat Sentanu menoleh. Lapat-
lapat di dengarnya suara si Pendekar Wanita itu. Sementara Sentanu pasang
telinga baik-baik sambil pura-pura membersihkan sepatu kaki kudanya...
"Jadi aku mau kalian jadikan
Penghulu untuk menikahkan kalian" Hihihi
... alangkah lucunya!"
Sentanu terkejut juga mendengar
kata-kata yang didengarnya lapat-lapat itu. Telinganya segera ia pasang lagi
baik-baik. "Aku tak tahu caranya menikahkan orang... Sebaiknya kalian cari saja
orang yang mengerti ... " Terdengar lagi suara Roro Centil.
"Tidak ... ! Aku ingin kau yang menjadi Penghulunya nona Pendekar...! Aku sudah
yatim piatu, dan dia ... dia juga sama halnya denganku. Kurasa tak ada
halangannya kau menikahkan kami nona Pendekar ... Kasihanilah aku!" Terdengar
Roro Dampit menyahuti dan berkata seperti meratap. Trenyuh juga hati Sentanu
mendengarnya. Ia telah merasa berbuat kekhilafan, dan ia harus bertanggung jawab
atas perbuatannya.
Cuma saja ia masih teringat akan
pesan Mandra, sahabatnya yang telah memohon padanya untuk menjaga adiknya,
Marni. Yang kini tak diketahuinya di mana, karena memang bukan kesalahannya
untuk tidak menepati janji atau pesan terakhir itu, melainkan Marni yang telah
mendahului pergi karena tak mau berjumpa dengannya. Kini semua itu bukanlah
masalah... Ia harus tunjukkan dirinya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!
Demikian pikirnya dengan matang.
Memikir demikian, tiba-tiba ia
bangkit berdiri..., pandangan matanya ia arahkan pada kedua wanita yang tengah
bersitegang itu.
Yang satu mohon dengan memaksa,
sedangkan yang satu menolak dengan
mengarahkan pada jalur yang benar.
Sentanu merasa ia harus berpihak
pada Roro Dampit yang dilihatnya begitu memelas mengharapkan si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu untuk menikahkan mereka. Segera ia langkahkan kaki ke sana
dengan cepat...
Melihat kedatangan Sentanu Roro
Dampit sudah tutup mulutnya berhenti bicara. Roro Centil cepat bangkit
berdiri, diikuti Roro Dampit, yang
memandang wajah Sontanu segera menunduk.
Sentanu segera menjura... dan
berkata; "Maafkan, aku telah mengganggu pembicaraan kalian berdua ... !"
"Oh, tidak mengapa, kami hanya membicarakan...
"Aku sudah dengar apa yang kalian bicarakan." Sentanu memotong pembicaraan
orang. Agaknya ia sudah tak sabar untuk memulai berkata.
Roro Centil yang memang sengaja
agak mengeraskan suara tadi, cuma
tersenyum. Ia memang sudah menyangka pasti Sentanu akan mendengar pembica-
raannya. "Maaf aku telah memotong kata-
katamu, nona Pendekar ... " Kembali Roro Centil tersenyum dan lirikan matanya
pada Roro Dampit yang masih tundukkan
wajahnya.
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, tak mengapa... Silahkan anda bicara, biarlah aku dan kak Roro Dampit yang
ganti mendengarkan". Sela Roro Centil, dengan kata-kata yang menghargai orang.
Segera Sentanu ungkapkan perasaan
hatinya yang ada bersamaan dengan
keinginan Roro Dampit, yang ia bersedia menyuntingnya, serta tak lupa
mengemukakan alasan-alasannya. Tentu saja pernyataan itu kembali membuat Roro
Centil jadi geleng-gelengkan kepala, dan berkata; "Aiiiii ... Kalian ini agaknya
telah sepakat untuk mengangkatku menjadi wali, juga penghulu kalian berdua...
Entah kapan berundingnya...?"
Lain halnya dengan Roro Dampit,
yang begitu mendengar kata-kata Sentanu yang ternyata di luar dugaan adalah
laki-laki yang berani bertanggung jawab. Ia telah menjadi kegirangan setengah
mati. Tadinya ia mengira Sentanu pasti tidak akan menghiraukannya kalau ada terjadi
apa-apa terhadap dirinya. Kecemburuannya pada Marni sudah pasti ada, karena ia
menduga Sentanu kelak akan mencari juga di mana adanya Marni, demi menunaikan
janjinya pada Mandra disaat pesan
terakhirnya sebelum tewas. Ketika
mendengar penjelasan bahwa ia kelak cuma akan menjaga Marni sesuai dengan
janjinya, namun tidak sebagai istri...
melainkan sebagai adik angkatnya.
Tentu saja ia girang bukan main...
karena ia benar-benar amat mencintai Sentanu. Itulah sebabnya tadi ia sengaja
diam-diam minta dinikahkan cepat-cepat pada sang Pendekar Wanita. Dengan harapan
Sentanu tidak akan menyeleweng lagi bila telah menikah. Apa lagi dinikahkannya
oleh Pendekar Wanita Pantai Selatan,
sudah pasti Sentanu akan mati kutu ...
Kini segalanya telah menjadi
terang. Sentanu pun justru ingin cepat-cepat menikah demi menghindari dosa yang
ditakutkan akan berkelanjutan.
Mendengar Sentanu pun menginginkan
si wanita Pendekar itu menjadi wali
mereka sekaligus menikahkannya, Roro Dampit segera bergerak memeluk Sentanu,
yang balas memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya. Sekonyong-konyong keduanya
telah berjongkok memberikan
penghormatan pada Roro Centil. Bahkan Roro Dampit telah bersujud mencium
kakinya. Keruan saja si Pendekar Wanita ini jadi terkesiap. Buru-buru ia angkat
bahu orang dengan satu hentakan tenaga dalam, karena ia yakin keduanya pasti
akan susah untuk dibangunkan.
"Bangunlah, tak layak kalian
berbuat begitu...!
Usiaku masih sangat muda, bahkan
kalian berdua justru lebih tua. Kita bicaralah yang baik. Marilah..." Satu
kekuatan tenaga dalam telah membuat keduanya unjuk rasa kaget, karena bagai
disedot oleh besi sembrani mereka tahu-tahu telah bangkit berdiri. Segera Roro
Centil bimbing mereka ke dalam gubuk.
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tetap tak bisa menikahkan kalian . ...
karena aku tak tahu cara menikahkan orang. Biarlah aku menjadi saksi saja atas
pernikahan kalian nanti. Sedangkan untuk mengesyahkan kalian menjadi suami
istri, aku akan carikan orang yang memang kerjanya menikahkan orang..." Dan
lanjutnya lagi; "Kalian tunggulah di sini. Aku akan cari di beberapa desa, dan
bawa kemari untuk menikahkan kalian dengan resmi. Bagaimanakah... Apakah kalian
setuju?" Kedua sejoli itu tak keluarkan sepatah kata selain mengangguk-angguk.
Sementara Roro Dampit sudah basahi
pelupuk matanya dengan genangan air mata.
Entah air mata sedih atau bahagia... Roro Centil segera berdiri dan beranjak
keluar gubuk ... Akan tetapi pada saat itu terdengar satu suara...
"Kalau cuma untuk menikahkan saja mengapa harus cari orang jauh-jauh" Aku pun
sanggup...!".
Tentu saja suara itu membuat
ketiganya jadi terkejut. Roro Centil segera pasang mata, dan pusatkan panca
indra untuk mengetahui di mana adanya sumber suara itu. Sedangkan Roro Dampit
tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengha-pus air matanya, dan melompat keluar
gubuk sambil palingkan kepalanya ke sana kemari dengan mata liar menatap ke
beberapa arah. Sementara Roro Centil telah
mengetahui di mana adanya orang yang bersuara itu, dan tentu saja ia jadi
terkesiap karena yang terlihat adalah ujung sebuah peti kayu ... "Hah!" Si
pemetik Kecapi Maut...!" Roro keluarkan desisan dari bibirnya. Dan pada saat itu
juga telah berkumandang suara petikan tali-tali kecapi dengan lagu yang enak
sekali bernada lembut membuat orang akan segera terkenang masa yang si-lam...
Wajah Roro Dampit tampilkan senyum girang
... segera ia sudah melompat ke arah mana suara Kecapi itu.
Roro Centil tak dapat mencegah
karena orang sudah cepat sekali memburu ke balik pohon di belakang gubuk itu.
Sementara Roro Dampit telah berada di hadapan si pemetik kecapi itu yang segera
telah menghentikan permainannya. Melihat seorang kakek berkulit hitam yang entah
dari mana datangnya dan tahu-tahu sudah berada di situ, Roro Dampit terkejut
juga. Namun mengetahui orang bisa menjadi penghulu untuk menikahkannya, Roro
Dampit sudah cepat-cepat buka suara; "Oh...
Benarkah kakek bisa menikahkan kami...?"
Si kakek pemetik kecapi itu dengan
terkekeh-kekeh tertawa segera menjawab;
"Jangankan untuk menikahkan manusia di dunia, menikahkan manusia untuk di
Akhirat pun aku bisa...!"
Roro Dampit melengak juga mendengar kata-kata itu, namun ia tak begitu
memperdulikan ucapan yang seperti bernada sombong itu. Karena pikirannya
sudah tertuju pada resminya pernikahan mereka berdua, ia sudah sambung kata-kata si
kakek; "Aku yang akan menikah Kek, kami memang tengah mencari orang yang pandai
dan mengerti akan hal itu.
Saksinya pun sudah ada. Beliau
adalah Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil..." Ketika mengucapkan
demikian Roro Dampi bicara dengan nada bangga, dan palingkan kepala melirik pada
Roro Centil yang masih berdiri di samping gubuk dengan hati kebat-kebit. Ia agak
menyesal kesembronoan Roro Dampit yang telah memperkenalkan dirinya dengan nama
sanjungan itu Sementara Sentanu sudah mau
bergerak menyusul ke sana... namun Roro segera menahannya karena sudah terdengar
lagi suara Roro Dampit "Mari kek, kupersilahkan anda ke gubuk. Di sana enak kita
dapat duduk bercakap-cakap..."
Segera Roro Dampit melangkah lebih dulu.
Dan tampak sang kakek sudah angkat peti kecapinya dan sangkutkan di pundaknya.
Namun alangkah terkejutnya ketiganya ketika mengetahui si pemetik kecapi tidak
berdiri, melainkan berjalan dengan
menggunakan kedua lengannya untuk
melompat dari balik pohon itu.
Ternyata kedua kakinya buntung
sebatas paha, yang tertutup oleh jubahnya yang berwarna abu-abu. Roro Centil
kerutkan kening, dan dalam hati ia diam-diam berdoa agar tak terjadi sesuatu,
betapa ia amat memikirkan nasib kedua sejoli itu ....
Tak dikisahkan lagi bagaimana
upacara berlangsung. Akhirnya resmilah pernikahan kedua sejoli itu, dengan
disaksikan oleh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak Roro Dampit
kucurkan air mata bahagia. Segera Sentanu peluk istrinya dengan terharu ...
Roro Centil menundukkan wajahnya...
Entah apa yang terasa di hatinya... tapi yang jelas iapun turut merasakan
kebahagiaan mereka berdua.
Sementara si pemetik kecapi sudah
lantas buka suara, dan palingkan
kepalanya pada Roro Centil, yang segera angkat wajahnya.
"Upacara sudah selesai... Kini suruhlah sepasang pengantin ini cepat-cepat
pergi, karena kini tinggal lagi urusan "Kita" yang belum lagi diselesaikan...!"
Terkesiap seketika Roro Centil mendengar kata-kata itu. Urusan apakah" sentak
hatinya. Ia merasa tak punya urusan apa-apa dengan kakek pemetik kecapi ini"
Demikian hatinya bertanya-tanya. Namun dalam saat-saat suasana bahagia seperti
itu, Roro tak mau
mengusik kebahagiaan sepasang sejoli yang sedang bertangisan itu. Iapun diam-
diam memuji kebaikan hati sang kakek yang tidak mau melibatkan sepasang sejoli
yang baru jadi pengantin itu. Segera ia
bangkit berdiri, dan berkata; "Sobat Sentanu, dan Roro Dampit... maaf,
bukannya aku mengusir kalian, tapi
kumohon dengan sangat karena sudah
selesainya urusan pernikahan kalian; segeralah kalian teruskan perjalanan
seperti rencana tujuan kalian semula..."
Roro hentikan bicaranya sebentar,
dan melangkah keluar dari gubuk... itulah isyarat agar kedua mempelai
mengikutinya. Segera sepasang sejoli ini turut
bangkit berdiri sejenak keduanya saling tatap. Namun segera melangkah keluar
gubuk mengikuti sang Pendekar Wanita Pantai. Selatan itu ...
Roro Centil telah berdiri disamping kuda putihnya. Dan saat kedua mempelai itu
tiba, segera ia angkat bicara lagi;
"Aku tak dapat memberikan apa-apa untuk tanda mata atau kado buat kalian
berdua... tapi harap kalian tak menolak jika kuberikan kudaku ini sebagai hadiah
untuk kalian...!"
Roro Dampit sudah lantas peluk Roro Centi dengan tiba-tiba, sambil berkata
"Oh, terimakasih... terima kasih...! Kami merasa senang sekali adik Pendekar...
Aku akan rawat kuda pemberian ini baik-baik, dan akan selalu ingat akan kebaikan
budi adik pendekar...!" Roro Centil berusaha tekan perasaannya, dan berkata
sambil lepaskan pelukan si wanita murid Naga Seribu Racun yang telah tewas
itu... "Pergilah berangkat... ! Ucapkan
terimakasih pada kakek yang telah berjasa menikahkan kalian..." Sambil berkata
Roro juga menatap Sentanu, yang segera
anggukkan kepala dengan hormat. Segera ia bimbing lengan istrinya...
Tak dikisahkan lagi kelanjutannya.
Sepasang pengantin baru itu tampak telah meninggalkan gubuk itu dengan langkah
kuda perlahan. Betapa serasinya pasangan pengantin baru itu dengan menunggang kuda, yang satu
berwarna hitam pekat, sedang yang satu lagi putih bersih; dengan penunggangnya
seorang wanita muda yang cantik berbaju merah. Didampingi seorang laki-laki yang
gagah dan tampan. Roro Dampit putarkan tubuhnya, dan sebelah lengannya telah
diangkat tinggi-tinggi melambaikan tangan pada sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang menatap dengan terharu.
Tak berapa lama kemudian kedua kuda itu telah mencongklang dengan cepat...
dan lenyap di balik tikungan jalan; sementara derapnya masih saja terdengar dari
kejauhan... namun kemudian suasana kembali sunyi...
Tak terasa setitik air bening
tersembul di pelupuk mata Roro Centil.
Air mata terharu juga bahagia, melihat kebahagiaan sepasang pengantin itu ...
7 Tingngng...! Satu suara membuat ia tersentak, dan sadar akan dirinya yang belum
ketahuan nasibnya. Roro Centil lihat si kakek pemetik Kecapi masih duduk
menyender pada tiang gubuk. Di hadapan papan kecapinya... sementara sebelah
lengannya tampak asyik mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar...
Segera ia tatap wajah orang tajam-
tajam seraya berkata Roro Centil "Maaf kakek yang terhormat, sebelumnya akupun
berterima kasih atas pertolonganmu
menikahkan kedua sahabatku tadi... Kini ingin sekali aku mengetahui ada urusan
apakah anda denganku..." Sedangkan aku pikir, aku merasa tak punya permasalahan
apa-apa dengan anda...! Dan bolehkah kiranya aku yang rendah mengetahui siapa
anda"..."
Tingngng...! Terdengar lagi suara
dentingan tali kecapi.
Roro Centil yang bersikap waspada
sejak tadi mengetahui betapa kehebatan irama Kecapi mautnya si kakek berkulit
hitam ini. Dan terdengarlah suaranya yang
serak parau, suara yang amat berbeda dengan yang tadi; "Hmm. Nama Roro Centil,
Pendekar Wanita Pantai Selatan itulah yang membuat aku jauh-jauh datang dari
pantai Utara untuk mencarimu. Kematian Empat Iblis Kali Progo dengan cara yang
amat mengerikan itu, beritanya telah bertiup sampai ke Pantai Utara. Tentu saja
aku si Kecapi Maut ingin sekali berkenalan dengan Pendekar Wanita yang hebat dan
keji itu. Tapi tak dinyana, ternyata yang aku jumpai adalah seorang bocah
perempuan yang baru melek, dan baru lepas susu dari ibunya.... Huh! Benar-benar
membuat aku jadi kesal ... !"
Terkejutlah Roro Centil, ia tak menyangka akan hal yang sudah berlangsung lewat
setahun yang lalu itu, akan berbuntut panjang
Si kakek pemetik kecapi sudah
lanjutkan lagi bicaranya; "Bukan kematiannya yang aku sesalkan, karena siapa pun
bisa saja mati. Entah dia seorang penjahat atau bukan. Tapi cara kematiannya itu
yang sampai ke telingaku, sehingga aku perlu mengetahui dan
hubungan apakah kau dengan si Dewa
Tengkorak... Itulah yang perlu
kutanyakan. Dan apakah si iblis keji itu masih hidup" Apakah kau adalah
muridnya..."!" Pertanyaan itu sudah tentu dengan nada yang ditekan, karena dapat
dilihat dari wajahnya, betapa ia amat membencinya.
Roro Centil menarik napas dalam-
dalam... segera ia teringat akan kejadian
setahun yang lalu, di mana di saat
pertarungan dengan si Empat Iblis Kali Progo ia telah mempergunakan jurus keji
dari si Dewa Tengkorak, yang dipelajari dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai
Selatan yaitu salah satu dari "10 Jurus Pukulan Kematian", yang cuma dikuasainya
tujuh jurus pukulan saja.
Segera ia menjawab dengan suara
datar seadanya; "Baiklah kakek, akan kujelaskan... Si Dewa Tengkorak telah mati
sejak tiga tahun yang lalu.
Kematiannya adalah dengan sebab akibat dari 10 jurus Pukulan Kematian yang ia
lontarkan sendiri disaat bertarung dengan Pendekar Bayangan...! Aku bukanlah
muridnya, walau aku telah menguasai beberapa jurus ilmunya...!" Demikian jelas
Roro polos. Namun tiba-tiba terdengarlah suara
si kakek pemetik kecapi... "Bagus...!
Bagiku sama saja. Langsung atau tidak langsung kau adalah tetap murid si iblis
tua itu...! Karena kau telah mewarisi ilmu-ilmu kejinya! Karena dengan ilmu
kejinya itulah aku sampai kehilangan kedua belah kakiku ini...!".
"Tapi tapi... " Belum habis Roro berkata satu sambaran angin keras telah
menyerangnya dengan bersyiur dahsyat.
Ternyata si kakek telah mengibaskan jubahnya yang lebar itu. Terkejut Roro
bukan main ketika rasakan sambaran
dahsyat yang mau menghantam dada...
segera ia keluarkan teriakan keras
tertahan, dan tubuhnya melesat ke atas menghindari serangan yang datang. Dan
dengan beberapa kali berjumpalitan di udara ia kembali turun kira-kira jarak
beberapa tombak.
Namun hebat akibat dari kibasan
lengan jubah itu. Karena baru saja Roro turun menjejakkan kakinya ke tanah,
terdengarlah suara bergedebukan.
Ternyata gubuk itu telah ambruk
terkena hempasan angin dari kibasan jubah si pemetik Kecapi, yang telah melesat
keluar dengan melompat cepat.
Dan dengan sekali enjot ia telah
tiba di hadapan Roro dalam jarak tidak terlalu jauh. Belum sempat Roro buka
suara untuk bicara lagi, telah terdengar petikan tali kecapi dengan nada nyaring
yang menembus kesunyian di tempat itu...
Roro terkesiap, dan cepat salurkan
tenaga dalamnya pada telapak tangan. Ia tahu orang mau membunuhnya... Maka
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan berteriak keras ia telah mengirim satu pukulan ke arah si kakek kulit
hitam itu. Terdengar suara tertawa menghindar dari si kakek dan sebelah lengannya ia
pergunakan menangkis serangan itu.
DEZZ...! Dua tenaga dalam yang hebat telah saling beradu.
Roro terhuyung tiga-empat
langkah... sedangkan si kakek hampir terjengkang.... namun sambil
berdiri dengan dengkulnya ia telah kibaskan lagi kedua lengan jubahnya ... Syiuut
Syiuuut!... Angin keras yang mengandung tenaga dalam yang hebat menerjang ke
arah Roro. Terasa bersyiur angin panas. Cepat ia pergunakan jurus Ikan Hiu
Balikkan Ekor, dan memapaki kedua serangan itu dengan tenaga dalam Inti Es...
Hebat akibatnya. Sambaran angin panas yang dahsyat itu tiba-tiba berbalik
menerjang ke arah si pemetik Kecapi.
Terkejut si kakek ini bukan
kepalang. Segera ia sambar peti Kecapinya untuk menangkis, namun tiba-tiba ia
urungkan, dan jatuhkan tubuh bergulingan sambil memeluk peti Kecapinya. Terasa
angin panas dan dingin lewat bersyiur.
BRAAAKKK! Terdengar suara keras.
Ternyata pohon besar di belakangnya telah hancur lumat kena hantaman angin
tenaganya sendiri.
Keringat dingin terasa mengalir di
sekujur tubuh si pemetik kecapi. Ia tahu tenaganya sendiri yang hebat,
seandainya ia tangkis dengan peti kecapinya sudah pasti akan hancur. Karena saat
itu ia belum lagi menghimpun tenaga dalam...
Roro Centil sudah cepat buka suara;
"Kakek Kecapi maut! Urusanmu dengan si
Dewa Tengkorak adalah urusan yang tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan
aku. Mengapa kau jadi berbalik mau membunuh ku...?". Jawabannya adalah Tingng!
Tringng! Tingng!... Dan seterusnya telah terdengar nada santar yang membawa
maut, berkumandang dengan irama yang keras tinggi, lalu merendah dengan cepat,
lalu meninggi lagi... Dan akhirnya yang
terdengar adalah nada-nada yang kacau.
Roro tersentak. Segera ia tutup indra pendengarannya, ketika rasakan darahnya
terasa bergolak mendengar irama yang mengandung tenaga dalam, yang menyerang
melalui pendengaran yang mengacau sirkuit otaknya itu.
Sementara ia telah keluarkan senja-
tanya sepasang "Rantai Genit".
Ia berfikir lawan tidaklah enteng,
sedangkan perjalanannya jadi tertunda
gara-gara mengurusi si Kecapi Maut ini.
Yang bisa-bisa membuat ia cuma tinggal nama saja di dunia ini...
Sementara si kakek pemetik Kecapi
terus membunyikan senjata ampuhnya, dengan nada-nada keras, rendah dan tinggi
... namun sudah tentu irama yang kacau dan tak enak untuk didengar.
Tahu orang masih asik menari-
narikan jari tangannya pada tali-tali kecapinya, Roro Centil segera goyangkan
pinggulnya dan gerak-gerakkan tubuhnya
meliuk-liuk dengan cepat, terkadang gemulai... seolah tengah mengikuti irama
yang kacau ini dengan tarian yang
disuguhkannya. Sementara sepasang senjatanya ia
putar-putar sehingga terdengar suara mendengung mirip suara ratusan lebah.
Jika saja Roro mengetahui akibat dari putaran si sepasang Rantai Genitnya, tentu
ia akan kagum. Karena sesungguhnya suara berdengung itu telah membuat
serangan tenaga dalam, melalui petikan tali kecapi itu menjadi buyar... tersapu
angin putaran kedua benda itu.
Hal itu telah membuat si Kecapi
Maut jadi melengak. Matanya yang sipit itu jadi melotot agak lebar, melihat di
hadapannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan tengah menari-nari dengan tubuh
meliuk-liuk sambil memutar-mutar kedua benda di kedua lengannya.
Tingng! Tingng! Tringng!
Ia pentil tali kecapinya dengan
keras, dan kemudian tiba-tiba berhenti.
Segera ia tunggu reaksinya... Namun tunggu punya tunggu, Roro Centil masih terus
menari-nari dengan lincah, dan terkadang gemulai... membuat ia jadi terheran-
heran. Akhirnya tahulah ia bahwa serangan mautnya itu ibarat batu yang
kecemplung ke laut.
Tiba-tiba terdengar ia berseru
keras... dan tubuhnya yang tinggal tiga perempat bagian itu telah melesat ke
arah Roro. Peti kecapi mautnya telah di pakai menerjang menghantam orang.
Namun bagai tidak melihat serangan
orang Roro telah berhasil membuat
serangan itu lewat ke tempat kosong.
Makin gusar si kecapi maut. Beberapa serangan ia lancarkan menyerang leher, dada
dan perut. Tapi itu pun lolos, cuma dengan melangkah melenggang-lenggok meliuk
ke sana-kemari, atau ke atas dan ke bawah...
"Bocah Keparat...!" Teriaknya. Dan ia sudah menerjang dengan serangan-serangan
hebat yang mematikan. Roro terkejut juga lihat serangan-serangan yang berbahaya
itu. Ternyata kecapi telah sedari tadi berhenti bermain... Segera ia buka indra
pendengarannya sambil tetap pergunakan jurus istimewa ciptaan Gurunya itu, yang
diberinya nama jurus "Bidadari Mabuk Kepayang".
Hasilnya memang mengagumkan, karena serangan-serangan si kakek selalu saja
lolos. Karena yang diperhatikan Si
pemetik kecapi itu adalah tubuh lawannya saja ia tak mengetahui ketika tahu-tahu
senjata si Rantai Genit tiba-tiba
meluncur deras ke kepalanya. Terkesiap seketika si kakek ini. Ia segera
pergunakan peti kecapinya menangkis
melindungi kepalanya... Inilah yang diinginkan Roro Centil. BRAK! Terdengar
suara keras dari peti Kecapi Maut si kakek yang hancur.
Belum sempat si kakek melompat,
sudah menyambar lagi bandulan "Genit"
itu... BRAKK! Nyaris bandulan itu
menembus peti yang bisa langsung mengenai kepala... kalau tidak cepat-cepat ia
lepaskan peti kecapinya, yang somplak dan hancur tak terpakai lagi itu...
Dengan berteriak tertahanlah ia
cepat menggelinding menjauh, tatkala satu sambaran lagi kembali menyusul
menyerang punggungnya. Rantai Genitnya Roro Centil seperti punya mata saja yang
terus bergerak meluncur saling susul.
Brukk! Kecapi Mautnya sudah ter-
lempar dalam keadaan rusak berat, dengan tali-tali senarnya yang sudah kusut
hampir putus semua.
Tiba-tiba terdengar teriakan Roro
yang nyaring merdu, dan yang terlihat oleh si kakek berkulit hitam itu adalah
berkelebatnya bayangan putih... yang kemudian lenyap.
"Hah!?" Tersentak hatinya. Karena tubuh sang gadis itu benar-benar lenyap tak
berbekas ... Ketika tiba-tiba... Rrrrt! Secercah sinar kuning telah berkelebat di bawah
hidungnya, dan terasa ada benda yang
menjerat lehernya.
Terkesiap ia bukan buatan, ketika
mengetahui itulah senjata aneh si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sementara di atas kepalanya terdengar suara
mende-ngungnya ratusan tawon.
Kiranya Roro Centil telah berada di belakang si pemetik Kecapi Maut, dengan
sepasang senjatanya yang siap mencabut nyawa...
Terasa terbang sukma si kakek
tatkala ia mengetahui dirinya sudah dibawah kekuasaan lawannya. Dan pada saat
itu juga terdengarlah suara yang merdu namun dengan nada menggertak... "Hai
kakek yang sudah mau masuk liang kubur!
Apakah kau masih juga mau menjatuhkan kesalahan padaku..."! Betapa tadinya aku
amat mengagumi kepandaianmu memetik Kecapi, tapi alangkah kecewanya ternyata
irama kecapimu adalah untuk membunuh orang...! Sungguh amat disayangkan, anda
yang telah setua ini masih memperturutkan nafsu. Padahal nafsu itulah yang akan
menghancurkan dirimu...! Bukankah tadi kau katakan siapapun dapat saja mati.
Tapi kalau mau mati, maka matilah yang baik! Bukan mati konyol karena
memperturutkan hawa nafsu ..."
Tampak tubuh si kakek Kecapi Maut
itu tergetar hebat. Tubuhnya sekonyong-konyong jadi lemah lunglai, dan jatuh
terduduk. Terlihat ada air bening menetes turun membasahi jubahnya... Getaran
tubuhnya makin terlihat tatkala sepasang lengan si kakek itu tiba-tiba bergerak
menggeletar dengan jari-jari yang
terbuka. Tiba-tiba sepuluh jari tangan itu
dipertemukan seperti orang mau memberi hormat. Namun apakah kelanjutannya"...
sepasang lengan yang tergetar itu tiba-tiba bergerak, dan ... Krakk! Krrakk!
Terdengar suara tulang yang berklotakan.
Roro Centil terkejut bukan main...
kiranya si pemetik Kecapi Maut telah meremas hancur kesepuluh jari-jari
tangannya. Segera ia kendurkan dan lepaskan
Rantai genitnya pada leher si kakek...
dan melangkah ke samping dua tindak.
Tampak keadaan kedua telapak tangan sang kakek yang dalam keadaan yang
mengerikan karena serpihan tulang-tulang yang hancur itu bersimbah darah, dan
air mata yang seperti membanjir deras dari kelopak matanya.....
"Kakek!"... kau...
kau..." Hanya
itu yang keluar dari kerongkongan Roro, tatkala terdengar suara si kakek yang
parau terputus-putus menahan gejolak perasaan dan rasa sakit yang tak
terhingga... "Inilah... yang patut kulakukan...
Jari-jari... tanganku ini telah banyak membunuh orang!"
Tampak si pemetik Kecapi Maut
berhenti berkata sebentar... untuk
menyeka air matanya. Dengan mengangkat pangkal lengannya, dan dengan
mempergunakan kain jubah yang dipakainya ia menyapu wajahnya.
Sebentar kemudian ia telah menerus-
kan kata-katanya... "Bocah Pendekar, betapa aku orang tua merasa malu... malu
karena harus dinasihati oleh seorang bocah yang pantas menjadi cucuku ...
namun telah membuka mata hatiku untuk menyadari akan kekeliruanku... Benar,
bocah Pendekar, menurutkan hawa nafsu adalah takkan ada habisnya selama manusia
belum masuk ke liang kubur. Kecuali orang-orang yang dapat mengendalikan hawa
nafsunya... Dia takkan terbawa arus gelombang nafsu yang melandanya, karena pada
jiwanya telah tertanam benih-benih kesadaran dan iman yang teguh..." Kembali ia
berhenti sejenak untuk mengangkat kedua lengannya yang terasa nyeri. Dan ia
sudah meneruskan kata-katanya;
"Kini aku serahkan segalanya pada nasib...! Kalau kau mau bunuh aku
silahkan bunuh! Kalau kau mau mengampuni aku, aku sungguh-sungguh bersyukur pada
Tuhan. Biarlah penderitaan ini aku
jalani, dan kurasakan sebagai penebus
atas segala dosaku... Aku telah merasa bersalah telah berniat membalas dendam
pada orang yang justru tak ada sangkut-pautnya dengan urusan dendamku. Dan aku
harus menyadari bahwa dendam itu adalah sesuatu yang harus dihilangkan pada diri
manusia... "
Sampai di sini si kakek pemetik
Kecapi Maut berdiam menutup mulut dan mengatupkan kelopak matanya, menunggu
tindakan apa yang akan diambil gadis Pendekar yang ada di hadapannya...
Selang sesaat terdengar Roro Centil menghela napas. Dan terdengar kata-kata
seperti terharu... "Kakek...! Aku bukanlah orang telengas yang kejam.
Memang aku pernah gunakan jurus telengas si Dewa Tengkorak itu ketika menumpas
ke empat Iblis Kali Progo. Tapi percayalah
...! Hal itu di luar kesadaranku... Aku masih terlalu hijau untuk berkecimpung
di dunia persilatan, dalam meneruskan
perjuangan Guru-Guruku... menegakkan keadilan di atas bumi ini. Baiklah, aku
berjanji tak akan mempergunakan jurus keji itu lagi... dan tentu saja aku hargai
kesadaran yang telah kau temukan itu, kakek... Nah... rasanya aku tak dapat
berlama-lama di sini, karena aku tengah dalam perjalanan memenuhi undangan orang
dan perjalanan yang kutempuh amat jauh sekali... Selamat menempuh duniamu
yang baru... kakek, dan selamat
tinggal...!"
Setelah berkata demikian Roro
Centil berkelebat pergi..... tapi ketika itu juga ia teringat akan buntalan
pakaiannya. Segera ia melesat ke gubuk yang sudah roboh itu... Tak terlalu sukar
ia sudah menemukan kembali buntalannya, dan selanjutnya tanpa menoleh lagi ia
sudah enjot tubuhnya, dan berlalu dari tempat itu...
8 Biara "Welas Asih" di lereng Gunung Wilis adalah sebuah biara yang tidak begitu
dikenal orang...
Namun penduduk sekitar Gunung Wilis mengetahui kalau di biara itu terdapat tiga
orang paderi yang bersaudara... yang dikenal sebagai para tabib yang pandai
mengobati orang
Namun sepandai-pandainya manusia...
ada saja kelemahannya. Oleh sebab itulah tak semua orang yang datang dapat
disembuhkan penyakitnya...
Manusia hidup memang tak luput dari pelbagai
masalah, juga tak dapat
menghindari yang namanya takdir.
Juga mati hidupnya manusia, adalah
sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sudah hampir 9 tahun paderi Jayeng
Rana meninggalkan kuil atau biara Welas asih, yang sudah berpuluh tahun
dibinanya, kini telah berada kembali di biara Welas Asih, di lereng Gunung
Wilis. Ia memang seorang paderi yang
berasal dari Nepal. Entah mengapa ia amat senang mengembara di masa mudanya.
Hingga ia tiba di suatu daerah yang amat subur dengan tumbuh-tumbuhannya.
Terutama kelapa. Akhirnya ia menganggap bahwa daerah atau pulau yang diinjaknya
itu adalah pulau Kelapa.
Di Lereng Gunung Wilis itulah ia
mendirikan sebuah kuil atau biara yang diberinya nama Welas Asih, yang berarti;
kasih sayang ...
Memang sebenarnya watak dan pribadi dari paderi Jayeng Rana adalah watak yang
tiada cela. Peramah, baik hati, rendah hati juga kasih sayang terhadap siapa
saja. Pribadinya menarik, membuat orang akan merasa segan bila berbicara atau
bertatap muka dengannya.
Sedikit kepandaian yang ia miliki
ternyata dapat berguna bagi masyarakat.
Menolong yang sakit, atau memberi bantuan pada yang susah adalah dasar dari
kehidupan yang ditujunya...
Jarang orang menemui manusia
semacam paderi Jayeng Rana ini, karena kebanyakan manusia pada kenyataannya
adalah menitik beratkan pada kepentingan
pribadinya saja, tanpa mau mengetahui keadaan orang lain. Apakah susah..."
Apakah perlu dibantu..." Apakah perlu ditolong..." Dan lain sebagainya. Padahal
bagi orang yang mengerti apa arti dan maknanya kehidupan; pasti menyadari betapa
Tuhan menciptakan manusia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk dapat hidup
saling berkasih sayang dengan sesamanya, dan hidup saling tolong
menolong. Demikianlah... berpuluh tahun paderi Jayeng Rana bermukim di biara
Welas Asih, di Lereng Gunung Wilis, ia memang membawa tiga orang murid, yang
telah mewarisi ilmu kepandaiannya.
Sejak ia kembali ke Nepal 9 tahun
yang lalu, biara Welas Asih diserahkan pada ketiga orang muridnya. Yang telah
dapat dipercaya untuk meneruskan cita-citanya yaitu beramal bakti pada
masyarakat, disamping harus bekerja keras untuk hidup. Karena manusia yang baik
ialah, yang hidup tanpa harus mengandalkan belas kasih orang
lain, Atau mengharap-harap hujan emas yang jatuh dari langit.
Tuhan takkan merobah nasib setiap
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merobahnya... Demikian ia selalu
camkan pada murid-muridnya. Demikian juga dengan akhlak dan budi pekerti
manusia... apakah Tuhan akan merobah watak manusia
yang sesat sekonyong-konyong menjadi orang baik yang berakhlak mulia" Tidak!
Karena watak jahat akan tetap saja jahat, tak akan berubah menjadi baik apa bila
tidak manusia itu sendiri yang berusaha merobahnya.
Juga watak yang baik, tentu saja
tidak akan selamanya baik. Kalau manusia itu tidak terus memupuknya; ibarat kita
memelihara tanaman... kalau tidak dirawat dan disirami setiap hari akan layulah
tanaman itu. Bermacam nasihat telah ditanamkan
di hati ketiga paderi muridnya itu oleh paderi Jayeng Rana si pendiri biara
Welas Asih. Ternyata kembalinya ke Nepal adalah untuk memperdalam ilmu ketabibannya di sana.
Dalam waktu beberapa tahun ia berhasil menambah ilmu kepandaiannya dalam hal
ilmu pengobatan itu, yang memang sudah menjadi cita-citanya.
Hingga paderi Jayeng Rana berhasil
membuat sebuah kitab, yang berisikan ilmu-ilmu tersebut. Tentu saja dibuatnya
kitab itu adalah untuk dapat diamalkan dan dipelajari kelak oleh ketiga orang
murid-muridnya. Demikianlah setelah selang beberapa tahun kemudian, paderi
Jayeng Raya berangkat kembali ke pulau Kelapa dengan membawa kitab yang telah
diciptakannya itu... Namun karena satu
dan lain hal ia terpaksa tidak bisa langsung ke gunung Wilis. Perjalanan jauh
yang ditempuhnya itu amatlah melelah-kannya.
Dan ia memang tidak berniat lagi
tinggal di pulau Kelapa itu, karena ingin menghabiskan sisa umur menjelang hari
tuannya itu di tanah kelahirannya.
Ia menitipkan Kitab Pusaka itu pada seorang bekas pembantunya yang setia di
pesisir pantai Pulau Kelapa (Pulau Jawa).
Pembantu yang setia itu tak lain
dari seorang laki-laki berkebangsaan India. Dialah yang bernama Gurnam Singh.
Yang sejak kedatangannya dari Nepal sampai ke Pulau Kelapa dan mendirikan biara
Welas Asih, selalu turut ber-samanya.
Gurnam Singh menikah dengan seorang gadis dari lereng Gunung Merapi. Dan menetap
di pesisir pantai Pulau Kelapa.
Setelah menitipkan Kitab Pusaka
tersebut untuk diberikan pada ketiga muridnya di biara Welas Asih... Paderi
Jayeng Rana kembali ke Nepal.
Niat yang baik itu ternyata banyak
sekali rintangannya; karena kitab yang sedianya akan segera diantarkan itu telah
dicuri oleh seorang sahabat Gurnam Singh.
Tentu saja betapa kecewanya sang pembantu yang setia itu...
Berbulan-bulan ia mencari, dan
mencari... ke mana perginya sahabat licik yang pandai berpura-pura itu. Yang
bersifat bagaikan musang yang berbulu ayam. Tak dapat dibayangkan betapa
masygulnya hati Gurnam Singh. Hilangnya Kitab Pusaka itu adalah tanggung
jawabnya untuk dapat menemukannya kembali. Sahabat Gurnam Singh itulah yang
bernama Tonga. Tonga memang seorang yang berwatak licik.
Bila orang melihat perawakannya tentu akan timbul rasa iba. Wajah yang memelas,
serta tubuh kecil yang kurus dan bentuk muka yang lancip... Rasanya akan
sulitlah orang untuk menebak atau menyangka Tonga orang bejat. Karena
penampilannya bagaikan seorang yang berakhlak amat baik. Inilah salah satu dari keanehan
manusia di dunia.
Tonga telah membawa kitab itu pada
Gurunya, yang juga berakhlak sama
bejatnya dengan muridnya. Sang Guru ternyata orang dari Nepal juga. Yang berilmu
tinggi namun sesat. Kitab curian itu ternyata tidaklah menarik
perhatiannya. Bahkan telah timbul suatu ilham bejat setelah membaca isi Kitab
yang menerangkan tentang ilmu-ilmu
ketabiban itu... Dengan ilham yang
didapat dari Kitab Pusaka itu ia telah berhasil menciptakan suatu ilmu sesat
yang hebat. Yang bila dipelajari dan dikuasai orang... maka akan rusaklah
akhlak orang itu, walaupun ilmu
kedigjayaannya tinggi.
Ilmu-ilmu sesat hasil gubahannya
dari Kitab Pusaka ilmu ketabiban itu telah dituangkannya dalam sebuah kitab
ciptaannya. Sang Guru si laki-laki bernama
Tonga itu benar-benar merasa puas telah berhasil menciptakan sebuah kitab yang
luar biasa sesatnya itu.
Bahkan saking gilanya, kulit luar
dari kitab itu dibuat serupa dengan kitab ilmu ketabiban tersebut. Yaitu terbuat
dari kulit ular.
Sayang... manusia berakhlak rendah
itu tak menyadari bahwa hakekatnya umur manusia Tuhanlah yang menentukan.
Manusia boleh sakti tapi janganlah lari dari kenyataan... Karena sesakti-
saktinya manusia sakti di dunia ini yang
kesemuanya pun akhirnya MATI! Karena hakekatnya manusia hidup itu adalah untuk
mati! Itulah sebabnya bagi orang yang
memahami akan arti hidup; ia akan
berusaha sebaik-baiknya mencari bekal orang yang memahami akan arti hidup; ia
akan berusaha sebaik-baiknya mencari bekal untuk mati. Karena setelah
kematian, akan ada lagi kehidupan yang lebih sempurna dan kekal untuk selama-
lamanya. Yaitu kehidupan Akhirat.
Sayang sang Guru si laki-laki
bernama Tonga itu meninggal dunia sebelum sempat bertobat dan menanam amal dalam
kehidupannya. Kini Tonga yang menguasai kedua
Kitab Ular itu.
Kematian Gurunya dianggap wajar
saja. Dan ia berniat untuk mempelajari kedua kitab itu.
Ia tidaklah seperti gurunya yang
fanatik. Karena ia berpendapat lebih banyak ilmu adalah lebih baik. Tanpa mau
tahu apakah ilmu itu sesat atau ilmu yang bermanfaat.
Sayang... belum lagi ia sempat
mempelajari, telah muncul Gurnam Singh yang telah mencarinya sekian lama itu
akhirnya dapat mengetahui jejak tempat persembunyiannya. Dan merampas kembali
kitab yang telah dicurinya. Bahkan kedua Kitab Ular itu berhasil dibawa kabur.
Tentu saja Tonga dapat mengetahui
ke mana Gurnam Singh membawanya... yang tentu saja ke biara Welas Asih di lereng
gunung Wilis ...
Dugaan Tonga tidak salah. Gurnam
Singh si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu memang membawanya ke kuil
atau biara Welas Asih.
Di sana ia berikan kedua kitab itu
yang ia tak tahu mana yang asli pada si ketiga paderi dan juga menceritakan
kejadian yang dialaminya, hingga ia terlambat memberikan Kitab Pusaka titipan
paderi Jayeng Rana guru mereka.
Setelah meneliti kedua kitab itu
segera mereka dapat mengetahui mana yang asli... Namun alangkah terkejutnya ia
ketika mengetahui kitab yang satu lagi adalah kitab yang berisikan ilmu-ilmu
kedigjayaan yang sesat, dan amat jahat.
Mereka segera kembalikan pada
Gurnam Singh, namun ditolaknya... dan mengatakan agar kitab itu sementara
dititipkannya di biara tersebut. Lalu iapun kembali ke pesisir pantai pulau
Kelapa. Tonga menyusul ke biara Welas
Asih... Dan dengan segala macam akal, ia berhasil tinggal di biara itu sebagai
seorang pembantu atau jongos.
Tentu saja ia berpura-pura dirinya
adalah seorang yang berakhlak baik.
Padahal diam-diam ia berniat mencuri lagi kitabnya yang segera dapat diketahui
berada di ruangan tempat kitab.
Tak disangka telah terjadi
peristiwa... yaitu munculnya tiga orang yang berkepandaian tinggi yang mau
merebut kitab pusaka paderi Jayeng Rana, yang disangkanya adalah kitab ilmu
kedigjayaan yang amat tinggi.
Ternyata khabar Gurnam Singh
mencari seorang pencuri kitab telah
tersiar ke setiap tempat... Dan ketiga penjahat itu mencium jejak Gurnam Singh,
yang telah berhasil menemukan kitab titipan paderi Jayeng Rana itu kembali.
Ketiga penjahat tak dikenal itu
merusak biara dan mengobrak-abriknya, karena sudah tentu mereka tak dapat
memberikan kitab warisan guru mereka...
Pertarungan terjadi. Namun ketiga
Paderi tak ada daya untuk dapat menang dalam pertarungan itu... Ketiganya
terjungkal mandi darah.
Tonga yang cari kesempatan baik
dalam kekeruhan itu, berhasil masuk ke ruangan kitab... Namun ia harus sembunyi
di belakang lemari mengetahui ketiga penjahat itu memasuki ruangan.
Ketika keadaan sudah sepi, Kitab
Ular yang tengah diincarnya itu telah lenyap. Dengan segala daya upaya, Tonga
akhirnya dapat mengetahui di mana adanya si ketiga penjahat itu, yang telah
mencukur gundul kepalanya...
Mereka adalah Kuti, Kebo Ireng dan
Lembu Alas. Ternyata Kuti pun orang Nepal, yang sudah lama berdiam di tanah Jawa
ini... Ketika mengetahui ketiga paderi palsu itu ada berhubungan dengan Bupati
Daeng Panuluh di daerah Karang Sembung; dengan modal wajahnya yang memelaskan
hati, ia berhasil mendekati Bupati Daeng Panuluh untuk dapat bekerja
di Gedung kuno tempat kediaman si tiga paderi Gunung Wilis yang palsu itu.
Permohonannya dikabulkan. Dan ia
pun berhasil menjadi jongos di sana.
Demikianlah hingga akhirnya ia
berhasil lagi merebut Kitab Ular yang berisikan ilmu-ilmu sesat dari Gurunya
itu, dari tangan Roro Centil...
Rusaknya biara "Welas Asih" membuat terkejut paderi Jayeng Rana, yang tidak
disangka-sangka muncul lagi di Lereng Gunung Wilis bersama Gurnam Singh. Betapa
trenyuh hatinya menyaksikan keadaan yang menyedihkan itu.
Dijumpainya cuma tinggal seorang
muridnya yang masih tersisa... Itupun dalam keadaan cacat jasmani akibat dari
ketelengasan dari si ketiga penjahat, yang juga diketahui salah seorangnya
berasal dari Nepal.
Sudah beberapa hari ia berada di
biara itu lagi. Datangnya seorang tetamu yang tak diundang, telah membuat paderi
yang sudah lanjut usia ini telah
menitahkan Gurnam Singh untuk membawa sepucuk surat undangan, untuk diberikan
Naga Beracun 18 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Rantai Naga Siluman 2
telinganya "Kak Sentanu... aku... aku cinta padamu... "
Suara yang mendesis pada telinganya itu benar-benar membuat hatinya tergetar...
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Rangsangan yang kuat itu mulai
mempengaruhi jiwanya. Apa lagi di goda terus menerus selama beberapa hari dalam
perjalanan yang tak menentu itu, yang Sentanu tak mengetahui arahnya. Bahkan si
gadis baju merah itulah yang menunjuki arah ke mana ia membawa kudanya. Alhasil
ia cuma pegang tali kendali, namun urusan berhenti, belok kiri atau belok kanan
adalah atas perintah dan keinginan si gadis di belakang punggungnya, yang ia
tinggal menuruti saja ke mana yang
dimauinya! Rasa benci pada pamannya Senapati
Wira Pati itu, dan rasa sedih dengan kematian ibunya membuat ia ingin pergi
sejauh-jauhnya entah ke mana ia tak tahu
... Memang selama ini ia selalu
berusaha menjauhi hal-hal yang
bertentangan dengan hati kecilnya. Ia menyadari betapa tidak baiknya berjalan
dengan seorang gadis. Apalagi teman seperjalanannya berada pada satu kuda. Di
samping menarik perhatian orang, juga kurang leluasa baginya karena walaupun
bagaimana ia mengkhawatirkan hal-hal yang tak diingininya.
Pernah ia hampir berniat mening-
galkan gadis baju merah itu dengan diam-diam, di saat malam menjelang, dan
mereka bermalam pada sebuah pondok petani. Roro Dampit dengan berani telah
mengatakan bahwa mereka berdua adalah suami istri yang kemalaman di jalan. Tentu
saja ia jadi melengak. Seandainya
ia tidak diserobot lebih dulu untuk memberikan penjelasan, tentu tak akan terjadi mereka
berdua menginap dalam satu kamar.
Untunglah malam demi malam selama dalam perjalanan itu Sentanu selalu dapat
menguasai diri ... Namun tindakan Roro Dampit semakin berani ... dan yang
terakhir ini lebih berani lagi, dengan membisikkan kata-kata cinta yang sudah
dikatakannya dengan terang-terangan, tanpa malu-malu lagi. Bahkan kali ini sang
gadis telah jatuhkan tubuhnya pada pangkuan Sentanu .. . Laki-laki ini cuma bisa
pejamkan mata menahan gejolak
hatinya yang memburu ... Tiba-tiba saja ia sudah tak bisa berfikir jernih lagi,
ketika lengan-lengan halus Roro Dampit mulai merayapi wajahnya ... lalu turun ke
bawah mengusap lehernya ... ke bawah lagi
... mengusap dadanya. Bukan itu saja bahkan mulai membukai kancing-kancing
bajunya. Bagaikan seekor ular saja lengan
yang halus dan jari-jari yang lembut itu merayapi hampir sekujur tubuhnya. Tubuh
Sentanu bagian atasnya entah bagaimana telah terbuka seluruhnya ... Entah cara
apa yang dilakukan ular-ular lembut itu, hingga pakaian atas si laki-laki itu
bisa merosot ke bawah. Kelanjutannya ... ular-ular lembut itu merayap lagi ke
atas. Dan berhenti menggantung pada lehernya. Bagai seekor kerbau yang dicocok
hidungnya dengan tali, ia merendah saja akan apa yang dilakukan gadis itu
padanya... Sentanu tak dapat menahan kepalanya untuk menunduk dalam-dalam, karena sepasang
ular lembut itu telah mengganduli
lehernya dengan berat. Tahu-tahu ia merasa bibirnya telah dipagut oleh seekor
ular yang mendesis-desis bagaikan mau menyantap bibirnya dan menelannya bulat-
bulat hingga ia rasakan napasnya sesak, karena hidungnya tertindik benda lunak
yang mengeluarkan angin mendesah-desah...
Dan rasa hangat segera merayapi sekujur tubuhnya ketika sepasang benda lunak
yang lembut itu menempel erat menindih
dadanya, seperti mau menutup bunyi degup jantungnya yang semakin cepat
berdetak... Dua ekor anak anjing yang terpisah
dari induknya yang berada di seberang sungai itu tiba-tiba tampak saling terkam
dan saling gigit dengan seru ... bahkan ketika salah seekor jatuh terguling,
kaki-kaki yang sigap dari salah satu anjing itu telah kembali menerkam. Dan
moncongnya telah dipergunakan menggigit leher kawannya yang meronta-ronta manja
dengan keluarkan keluhan-keluhan.
Tak lama gigitannya pun terlepas...
dan keduanya bergumul semakin seru...
Saling tindih dan saling terkam...
Selang beberapa saat tampak seekor
kupu-kupu yang hinggap pada ranting kayu telanjang ... telah keluarkan telurnya
yang melekat pada ranting yang d hinggapi nya. Dengan harapan atau memang tak
begitu dirisaukannya si telur mau menetas
atau tidak... Sementara kedua anjing di seberang sungai itu rupanya tergeletak
saling tindih, dengan napas yang terendah engah. Namun "perkelahian" itu benar-
benar mencapai kepuasan bagi keduanya ...
6 Matahari makin condong ke arah
barat. Ketika seekor kuda putih mencongklang cepat, namun terkadang harus
berhenti untuk membelok atau memutar, dikarenakan jalan yang dilaluinya banyak
rintangan. Tiga sungai telah dilintasi, yang
terpaksa harus mencari air yang agak dangkal untuk melintasinya... Sementara
cuaca semakin meredup, karena sang
mentari seolah tertutup rimbunnya
pepohonan. Si punggung kuda putih itu tak lain dari Roro Centil.
Yang dalam perjalanannya menuju ke Gunung Wilis. Surat yang dikirim padanya
dengan melalui seseorang yang tak
diketahuinya itu, telah membuat ia harus menempuh perjalanan yang teramat jauh
itu. Semata-mata karena terdorong rasa kewajiban untuk datang karena undangan
aneh yang tak diketahui maksudnya itu.
Disamping rasa ingin tahu pada si
pengundangnya, yang menurut yang tertera
di surat adalah dari ketua Biara "Welas Asih". Di lereng Gunung Wilis, yang
bernama; Paderi Jayeng Rana. Siapakah paderi Jayeng Rana itu, dan apakah
hubungannya dengan si Tiga paderi Gunung Wilis yang telah ditumpasnya itu"...
Serta satu hal yang membuat ia ingin tahu adalah ada permusuhan dan persoalan
apakah paderi-paderi Gunung Wilis itu dengan Gurunya, yang menurut penuturan
sang Guru adalah beliau terluka terkena pukulan beracun dari Paderi-Paderi
Gunung Wilis. Namun apakah sebabnya ia tak boleh
membalas dendam... itulah yang ia ingin ketahui ... Sedangkan tiga paderi Gunung
Wilis itu nyata-nyata telah ditumpasnya.
Mengapa masih ada lagi paderi Gunung Wilis yang lain ... " Manakah yang benar"
Itulah yang membuat Roro terpaksa menunda pengejarannya pada si jongos tua yang
telah melarikan atau mencuri kotak
perhiasannya. Namun telah diketahui tempat persembunyiannya...
Di hadapannya kini telah melintang
lagi sebuah sungai... entah sungai yang keberapa kali yang harus dilintasi.
Namun sebentar lagi hari akan gelap, maka Roro urungkan niatnya untuk
menyeberang. Dan mencari saja tempat bermalam, sambil bersantap. Karena khawatir
nasi yang telah dibelinya itu jadi mubazir tak
termakan... Segera ia putar kudanya untuk mencari jalan ke arah desa terdekat...
yang ia yakin pasti ada di sekitar situ.
Benarlah, tak berapa lamanya
setelah menempuh jarak kurang lebih dua lemparan tombak. Dari jauh, dilihatnya
ada asap mengepul. Pasti sebuah pondok.
Pikir Roro. Dan bergegas ia ke sana. Dan yang tampak ternyata benar-benar di
luar dugaan, karena di situ, hanya terdapat sebuah gubuk tanpa dinding.
Sedangkan di bawah atap itu terlihat dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita
tengah asyik memanggang sesuatu entah daging apa...
yang baunya sedap dan wangi sekali.
Sedangkan pada tiang gubuk itu tertambat seekor kuda hitam yang tengah asyik
makan rumput. Segera Roro dapat mengetahui kalau
yang wanita itu adalah murid si Naga Seribu Racun. Sedangkan yang laki-laki ia
dapat mengenalinya yaitu laki-laki yang telah menemukan kalungnya. Benda itu
sudah tergantung di lehernya, namun dengan orangnya baru hari ini dapat ia
jumpai lagi... Melihat si gadis baju merah cuma
sendiri, tanpa adiknya... dan kini di tempat sunyi begini telah berdua-dua
dengan laki-laki. Segeralah Roro mengerti pasti ada apa-apa dengan kedua orang
itu. Mendengar langkah-langkah kuda
mendekati, tentu saja kedua orang yang tengah asyik dengan panggangannya itu
jadi menoleh, dan terkejut melihat siapa.
Orang yang menunggangnya.
"Nona Pendekar Roro Centil... !"
Oh, angin apa yang telah membawa anda sampai kemari...?" Berseru si wanita baju
merah itu, sambil bangkit berdiri, dan menghampiri lebih dulu.
Sentanu pun cepat-cepat bangkit....
segera ia tatap wajah orang, yang
ternyata dua pasang mata telah bentrok, karena saat itupun Roro tengah menatap
padanya. Adegan sekilas itu tak luput dari
mata Roro Dampit... Walaupun cuma
sekilas, namun mempunyai arti yang
mendalam bagi pandangan hatinya. Memang bisa dimaklumi bagi seorang wanita yang
sedang dimabuk cinta seperti dirinya.
Namun ia tak perdulikan semua itu,
dan cepat menyalami Roro yang baru saja melompat turun dari kudanya.
Sentanu pun segera keluar dari
gubuk, dan menjura hormat pada si
pendatang yang pernah digandrungi dan disangka Peri atau Dewi laut Pantai
Selatan. Tak dikisahkan obrolan mereka bertiga, yang sama-sama terkejut karena
dapat berjumpa dengan tidak sengaja di tempat itu.
Selanjutnya terlihat mereka asyik
bersantap dengan nikmatnya daging kelinci yang baru saja ditangkap oleh Roro
Dampit. Dan disaat daging matang, muncul Roro yang memang membawa bekal nasi
yang cukup banyak beserta lauknya.
Tentu saja suatu kebetulan yang
jarang ada. Maka ketiganya terus saja bersantap. Tak dikisahkan malamnya, dan
obrolan-obrolan Roro Centil dan Roro Dampit, yang tidur satu selimut berdua.
Kedua Roro itu dapat tidur pulas ... cuma Sentanu yang jadi serba kikuk. Hingga
semalam-malaman ia tak dapat memicingkan matanya. Kegelisahan membuat ia cuma
duduk menghadap api unggun sampai
menjelang pagi. Roro Dampit dapat tidur nyenyak karena ia telah mengetahui jelas
tentang hubungan Roro Centil pada
Sentanu. Yang tenyata tak ada hubungan apa-apa. Cuma mengenai seuntai kalung
yang telah ditemukan Sentanu sepuluh tahun yang lalu. Yang ternyata adalah milik
Roro Centil. Dan Roro cuma ingin bertemu muka saja pada orang yang telah
menemukannya, tanpa ada embel-embel yang lainnya, apalagi kisah asmara. Karena
ucapan terimakasih akan terasa lebih akrab bila dengan menjumpai orangnya.
Bila dilihat usia, agaknya Roro
Centil lebih muda dibandingkan dengan umur Roro Dampit. Namun Roro Centil
ternyata mempunyai kelebihan kecerdasan
dibanding Roro Dampit. Dan perbedaan watak kedua wanita itu adalah; Roro Dampit
lebih mementingkan diri sendiri.
Sedangkan Roro Centil lebih cenderung mementingkan urusan orang lain ketimbang
dirinya. Roro Centil tahu diri orang sedang dimabuk cinta, makanya pagi-pagi
sekali ia sudah berkemas untuk segera meneruskan perjalanan.
Namun Roro Dampit dengan memelas
memohon agar jangan berangkat dulu...
Heran juga Roro Centil, mengapa si gadis baju merah begitu berkeras untuk
menahannya..." Pada sat itu Sentanu muncul. Rupanya ia baru saja selesai mandi
di sungai yang memang tidak berapa jauh. Melihat munculnya Sentanu, tiba-tiba
lengan Roro Centil segera ia tarik untuk menjauh dari gubuk itu.
Tentu saja membuat si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini jadi makin keheranan. Ia cuma bisa mandah saja tanpa
bicara apa-apa. Sekalian ingin tahu ada rahasia apakah di antara mereka berdua
yang tak boleh diketahui Sentanu..."
Roro Dampit mengajaknya duduk di
bawah sebatang pohon. Dan selanjutnya ia sudah berbicara dengan suara perlahan.
Sementara Sentanu cuma melirik kelakuan kedua wanita itu, seolah tak
memperdulikan atau juga berpura-pura tak
mengetahui. Ia melangkah mendekat kudanya
yang bernama Antasena itu. Dan
membersihkan bulu-bulu binatang kesaya-ngannya itu dengan tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa
Roro Centil yang agak keras. Suara merdu yang membuat Sentanu menoleh. Lapat-
lapat di dengarnya suara si Pendekar Wanita itu. Sementara Sentanu pasang
telinga baik-baik sambil pura-pura membersihkan sepatu kaki kudanya...
"Jadi aku mau kalian jadikan
Penghulu untuk menikahkan kalian" Hihihi
... alangkah lucunya!"
Sentanu terkejut juga mendengar
kata-kata yang didengarnya lapat-lapat itu. Telinganya segera ia pasang lagi
baik-baik. "Aku tak tahu caranya menikahkan orang... Sebaiknya kalian cari saja
orang yang mengerti ... " Terdengar lagi suara Roro Centil.
"Tidak ... ! Aku ingin kau yang menjadi Penghulunya nona Pendekar...! Aku sudah
yatim piatu, dan dia ... dia juga sama halnya denganku. Kurasa tak ada
halangannya kau menikahkan kami nona Pendekar ... Kasihanilah aku!" Terdengar
Roro Dampit menyahuti dan berkata seperti meratap. Trenyuh juga hati Sentanu
mendengarnya. Ia telah merasa berbuat kekhilafan, dan ia harus bertanggung jawab
atas perbuatannya.
Cuma saja ia masih teringat akan
pesan Mandra, sahabatnya yang telah memohon padanya untuk menjaga adiknya,
Marni. Yang kini tak diketahuinya di mana, karena memang bukan kesalahannya
untuk tidak menepati janji atau pesan terakhir itu, melainkan Marni yang telah
mendahului pergi karena tak mau berjumpa dengannya. Kini semua itu bukanlah
masalah... Ia harus tunjukkan dirinya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!
Demikian pikirnya dengan matang.
Memikir demikian, tiba-tiba ia
bangkit berdiri..., pandangan matanya ia arahkan pada kedua wanita yang tengah
bersitegang itu.
Yang satu mohon dengan memaksa,
sedangkan yang satu menolak dengan
mengarahkan pada jalur yang benar.
Sentanu merasa ia harus berpihak
pada Roro Dampit yang dilihatnya begitu memelas mengharapkan si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu untuk menikahkan mereka. Segera ia langkahkan kaki ke sana
dengan cepat...
Melihat kedatangan Sentanu Roro
Dampit sudah tutup mulutnya berhenti bicara. Roro Centil cepat bangkit
berdiri, diikuti Roro Dampit, yang
memandang wajah Sontanu segera menunduk.
Sentanu segera menjura... dan
berkata; "Maafkan, aku telah mengganggu pembicaraan kalian berdua ... !"
"Oh, tidak mengapa, kami hanya membicarakan...
"Aku sudah dengar apa yang kalian bicarakan." Sentanu memotong pembicaraan
orang. Agaknya ia sudah tak sabar untuk memulai berkata.
Roro Centil yang memang sengaja
agak mengeraskan suara tadi, cuma
tersenyum. Ia memang sudah menyangka pasti Sentanu akan mendengar pembica-
raannya. "Maaf aku telah memotong kata-
katamu, nona Pendekar ... " Kembali Roro Centil tersenyum dan lirikan matanya
pada Roro Dampit yang masih tundukkan
wajahnya.
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, tak mengapa... Silahkan anda bicara, biarlah aku dan kak Roro Dampit yang
ganti mendengarkan". Sela Roro Centil, dengan kata-kata yang menghargai orang.
Segera Sentanu ungkapkan perasaan
hatinya yang ada bersamaan dengan
keinginan Roro Dampit, yang ia bersedia menyuntingnya, serta tak lupa
mengemukakan alasan-alasannya. Tentu saja pernyataan itu kembali membuat Roro
Centil jadi geleng-gelengkan kepala, dan berkata; "Aiiiii ... Kalian ini agaknya
telah sepakat untuk mengangkatku menjadi wali, juga penghulu kalian berdua...
Entah kapan berundingnya...?"
Lain halnya dengan Roro Dampit,
yang begitu mendengar kata-kata Sentanu yang ternyata di luar dugaan adalah
laki-laki yang berani bertanggung jawab. Ia telah menjadi kegirangan setengah
mati. Tadinya ia mengira Sentanu pasti tidak akan menghiraukannya kalau ada terjadi
apa-apa terhadap dirinya. Kecemburuannya pada Marni sudah pasti ada, karena ia
menduga Sentanu kelak akan mencari juga di mana adanya Marni, demi menunaikan
janjinya pada Mandra disaat pesan
terakhirnya sebelum tewas. Ketika
mendengar penjelasan bahwa ia kelak cuma akan menjaga Marni sesuai dengan
janjinya, namun tidak sebagai istri...
melainkan sebagai adik angkatnya.
Tentu saja ia girang bukan main...
karena ia benar-benar amat mencintai Sentanu. Itulah sebabnya tadi ia sengaja
diam-diam minta dinikahkan cepat-cepat pada sang Pendekar Wanita. Dengan harapan
Sentanu tidak akan menyeleweng lagi bila telah menikah. Apa lagi dinikahkannya
oleh Pendekar Wanita Pantai Selatan,
sudah pasti Sentanu akan mati kutu ...
Kini segalanya telah menjadi
terang. Sentanu pun justru ingin cepat-cepat menikah demi menghindari dosa yang
ditakutkan akan berkelanjutan.
Mendengar Sentanu pun menginginkan
si wanita Pendekar itu menjadi wali
mereka sekaligus menikahkannya, Roro Dampit segera bergerak memeluk Sentanu,
yang balas memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya. Sekonyong-konyong keduanya
telah berjongkok memberikan
penghormatan pada Roro Centil. Bahkan Roro Dampit telah bersujud mencium
kakinya. Keruan saja si Pendekar Wanita ini jadi terkesiap. Buru-buru ia angkat
bahu orang dengan satu hentakan tenaga dalam, karena ia yakin keduanya pasti
akan susah untuk dibangunkan.
"Bangunlah, tak layak kalian
berbuat begitu...!
Usiaku masih sangat muda, bahkan
kalian berdua justru lebih tua. Kita bicaralah yang baik. Marilah..." Satu
kekuatan tenaga dalam telah membuat keduanya unjuk rasa kaget, karena bagai
disedot oleh besi sembrani mereka tahu-tahu telah bangkit berdiri. Segera Roro
Centil bimbing mereka ke dalam gubuk.
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tetap tak bisa menikahkan kalian . ...
karena aku tak tahu cara menikahkan orang. Biarlah aku menjadi saksi saja atas
pernikahan kalian nanti. Sedangkan untuk mengesyahkan kalian menjadi suami
istri, aku akan carikan orang yang memang kerjanya menikahkan orang..." Dan
lanjutnya lagi; "Kalian tunggulah di sini. Aku akan cari di beberapa desa, dan
bawa kemari untuk menikahkan kalian dengan resmi. Bagaimanakah... Apakah kalian
setuju?" Kedua sejoli itu tak keluarkan sepatah kata selain mengangguk-angguk.
Sementara Roro Dampit sudah basahi
pelupuk matanya dengan genangan air mata.
Entah air mata sedih atau bahagia... Roro Centil segera berdiri dan beranjak
keluar gubuk ... Akan tetapi pada saat itu terdengar satu suara...
"Kalau cuma untuk menikahkan saja mengapa harus cari orang jauh-jauh" Aku pun
sanggup...!".
Tentu saja suara itu membuat
ketiganya jadi terkejut. Roro Centil segera pasang mata, dan pusatkan panca
indra untuk mengetahui di mana adanya sumber suara itu. Sedangkan Roro Dampit
tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengha-pus air matanya, dan melompat keluar
gubuk sambil palingkan kepalanya ke sana kemari dengan mata liar menatap ke
beberapa arah. Sementara Roro Centil telah
mengetahui di mana adanya orang yang bersuara itu, dan tentu saja ia jadi
terkesiap karena yang terlihat adalah ujung sebuah peti kayu ... "Hah!" Si
pemetik Kecapi Maut...!" Roro keluarkan desisan dari bibirnya. Dan pada saat itu
juga telah berkumandang suara petikan tali-tali kecapi dengan lagu yang enak
sekali bernada lembut membuat orang akan segera terkenang masa yang si-lam...
Wajah Roro Dampit tampilkan senyum girang
... segera ia sudah melompat ke arah mana suara Kecapi itu.
Roro Centil tak dapat mencegah
karena orang sudah cepat sekali memburu ke balik pohon di belakang gubuk itu.
Sementara Roro Dampit telah berada di hadapan si pemetik kecapi itu yang segera
telah menghentikan permainannya. Melihat seorang kakek berkulit hitam yang entah
dari mana datangnya dan tahu-tahu sudah berada di situ, Roro Dampit terkejut
juga. Namun mengetahui orang bisa menjadi penghulu untuk menikahkannya, Roro
Dampit sudah cepat-cepat buka suara; "Oh...
Benarkah kakek bisa menikahkan kami...?"
Si kakek pemetik kecapi itu dengan
terkekeh-kekeh tertawa segera menjawab;
"Jangankan untuk menikahkan manusia di dunia, menikahkan manusia untuk di
Akhirat pun aku bisa...!"
Roro Dampit melengak juga mendengar kata-kata itu, namun ia tak begitu
memperdulikan ucapan yang seperti bernada sombong itu. Karena pikirannya
sudah tertuju pada resminya pernikahan mereka berdua, ia sudah sambung kata-kata si
kakek; "Aku yang akan menikah Kek, kami memang tengah mencari orang yang pandai
dan mengerti akan hal itu.
Saksinya pun sudah ada. Beliau
adalah Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil..." Ketika mengucapkan
demikian Roro Dampi bicara dengan nada bangga, dan palingkan kepala melirik pada
Roro Centil yang masih berdiri di samping gubuk dengan hati kebat-kebit. Ia agak
menyesal kesembronoan Roro Dampit yang telah memperkenalkan dirinya dengan nama
sanjungan itu Sementara Sentanu sudah mau
bergerak menyusul ke sana... namun Roro segera menahannya karena sudah terdengar
lagi suara Roro Dampit "Mari kek, kupersilahkan anda ke gubuk. Di sana enak kita
dapat duduk bercakap-cakap..."
Segera Roro Dampit melangkah lebih dulu.
Dan tampak sang kakek sudah angkat peti kecapinya dan sangkutkan di pundaknya.
Namun alangkah terkejutnya ketiganya ketika mengetahui si pemetik kecapi tidak
berdiri, melainkan berjalan dengan
menggunakan kedua lengannya untuk
melompat dari balik pohon itu.
Ternyata kedua kakinya buntung
sebatas paha, yang tertutup oleh jubahnya yang berwarna abu-abu. Roro Centil
kerutkan kening, dan dalam hati ia diam-diam berdoa agar tak terjadi sesuatu,
betapa ia amat memikirkan nasib kedua sejoli itu ....
Tak dikisahkan lagi bagaimana
upacara berlangsung. Akhirnya resmilah pernikahan kedua sejoli itu, dengan
disaksikan oleh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak Roro Dampit
kucurkan air mata bahagia. Segera Sentanu peluk istrinya dengan terharu ...
Roro Centil menundukkan wajahnya...
Entah apa yang terasa di hatinya... tapi yang jelas iapun turut merasakan
kebahagiaan mereka berdua.
Sementara si pemetik kecapi sudah
lantas buka suara, dan palingkan
kepalanya pada Roro Centil, yang segera angkat wajahnya.
"Upacara sudah selesai... Kini suruhlah sepasang pengantin ini cepat-cepat
pergi, karena kini tinggal lagi urusan "Kita" yang belum lagi diselesaikan...!"
Terkesiap seketika Roro Centil mendengar kata-kata itu. Urusan apakah" sentak
hatinya. Ia merasa tak punya urusan apa-apa dengan kakek pemetik kecapi ini"
Demikian hatinya bertanya-tanya. Namun dalam saat-saat suasana bahagia seperti
itu, Roro tak mau
mengusik kebahagiaan sepasang sejoli yang sedang bertangisan itu. Iapun diam-
diam memuji kebaikan hati sang kakek yang tidak mau melibatkan sepasang sejoli
yang baru jadi pengantin itu. Segera ia
bangkit berdiri, dan berkata; "Sobat Sentanu, dan Roro Dampit... maaf,
bukannya aku mengusir kalian, tapi
kumohon dengan sangat karena sudah
selesainya urusan pernikahan kalian; segeralah kalian teruskan perjalanan
seperti rencana tujuan kalian semula..."
Roro hentikan bicaranya sebentar,
dan melangkah keluar dari gubuk... itulah isyarat agar kedua mempelai
mengikutinya. Segera sepasang sejoli ini turut
bangkit berdiri sejenak keduanya saling tatap. Namun segera melangkah keluar
gubuk mengikuti sang Pendekar Wanita Pantai. Selatan itu ...
Roro Centil telah berdiri disamping kuda putihnya. Dan saat kedua mempelai itu
tiba, segera ia angkat bicara lagi;
"Aku tak dapat memberikan apa-apa untuk tanda mata atau kado buat kalian
berdua... tapi harap kalian tak menolak jika kuberikan kudaku ini sebagai hadiah
untuk kalian...!"
Roro Dampit sudah lantas peluk Roro Centi dengan tiba-tiba, sambil berkata
"Oh, terimakasih... terima kasih...! Kami merasa senang sekali adik Pendekar...
Aku akan rawat kuda pemberian ini baik-baik, dan akan selalu ingat akan kebaikan
budi adik pendekar...!" Roro Centil berusaha tekan perasaannya, dan berkata
sambil lepaskan pelukan si wanita murid Naga Seribu Racun yang telah tewas
itu... "Pergilah berangkat... ! Ucapkan
terimakasih pada kakek yang telah berjasa menikahkan kalian..." Sambil berkata
Roro juga menatap Sentanu, yang segera
anggukkan kepala dengan hormat. Segera ia bimbing lengan istrinya...
Tak dikisahkan lagi kelanjutannya.
Sepasang pengantin baru itu tampak telah meninggalkan gubuk itu dengan langkah
kuda perlahan. Betapa serasinya pasangan pengantin baru itu dengan menunggang kuda, yang satu
berwarna hitam pekat, sedang yang satu lagi putih bersih; dengan penunggangnya
seorang wanita muda yang cantik berbaju merah. Didampingi seorang laki-laki yang
gagah dan tampan. Roro Dampit putarkan tubuhnya, dan sebelah lengannya telah
diangkat tinggi-tinggi melambaikan tangan pada sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang menatap dengan terharu.
Tak berapa lama kemudian kedua kuda itu telah mencongklang dengan cepat...
dan lenyap di balik tikungan jalan; sementara derapnya masih saja terdengar dari
kejauhan... namun kemudian suasana kembali sunyi...
Tak terasa setitik air bening
tersembul di pelupuk mata Roro Centil.
Air mata terharu juga bahagia, melihat kebahagiaan sepasang pengantin itu ...
7 Tingngng...! Satu suara membuat ia tersentak, dan sadar akan dirinya yang belum
ketahuan nasibnya. Roro Centil lihat si kakek pemetik Kecapi masih duduk
menyender pada tiang gubuk. Di hadapan papan kecapinya... sementara sebelah
lengannya tampak asyik mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar...
Segera ia tatap wajah orang tajam-
tajam seraya berkata Roro Centil "Maaf kakek yang terhormat, sebelumnya akupun
berterima kasih atas pertolonganmu
menikahkan kedua sahabatku tadi... Kini ingin sekali aku mengetahui ada urusan
apakah anda denganku..." Sedangkan aku pikir, aku merasa tak punya permasalahan
apa-apa dengan anda...! Dan bolehkah kiranya aku yang rendah mengetahui siapa
anda"..."
Tingngng...! Terdengar lagi suara
dentingan tali kecapi.
Roro Centil yang bersikap waspada
sejak tadi mengetahui betapa kehebatan irama Kecapi mautnya si kakek berkulit
hitam ini. Dan terdengarlah suaranya yang
serak parau, suara yang amat berbeda dengan yang tadi; "Hmm. Nama Roro Centil,
Pendekar Wanita Pantai Selatan itulah yang membuat aku jauh-jauh datang dari
pantai Utara untuk mencarimu. Kematian Empat Iblis Kali Progo dengan cara yang
amat mengerikan itu, beritanya telah bertiup sampai ke Pantai Utara. Tentu saja
aku si Kecapi Maut ingin sekali berkenalan dengan Pendekar Wanita yang hebat dan
keji itu. Tapi tak dinyana, ternyata yang aku jumpai adalah seorang bocah
perempuan yang baru melek, dan baru lepas susu dari ibunya.... Huh! Benar-benar
membuat aku jadi kesal ... !"
Terkejutlah Roro Centil, ia tak menyangka akan hal yang sudah berlangsung lewat
setahun yang lalu itu, akan berbuntut panjang
Si kakek pemetik kecapi sudah
lanjutkan lagi bicaranya; "Bukan kematiannya yang aku sesalkan, karena siapa pun
bisa saja mati. Entah dia seorang penjahat atau bukan. Tapi cara kematiannya itu
yang sampai ke telingaku, sehingga aku perlu mengetahui dan
hubungan apakah kau dengan si Dewa
Tengkorak... Itulah yang perlu
kutanyakan. Dan apakah si iblis keji itu masih hidup" Apakah kau adalah
muridnya..."!" Pertanyaan itu sudah tentu dengan nada yang ditekan, karena dapat
dilihat dari wajahnya, betapa ia amat membencinya.
Roro Centil menarik napas dalam-
dalam... segera ia teringat akan kejadian
setahun yang lalu, di mana di saat
pertarungan dengan si Empat Iblis Kali Progo ia telah mempergunakan jurus keji
dari si Dewa Tengkorak, yang dipelajari dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai
Selatan yaitu salah satu dari "10 Jurus Pukulan Kematian", yang cuma dikuasainya
tujuh jurus pukulan saja.
Segera ia menjawab dengan suara
datar seadanya; "Baiklah kakek, akan kujelaskan... Si Dewa Tengkorak telah mati
sejak tiga tahun yang lalu.
Kematiannya adalah dengan sebab akibat dari 10 jurus Pukulan Kematian yang ia
lontarkan sendiri disaat bertarung dengan Pendekar Bayangan...! Aku bukanlah
muridnya, walau aku telah menguasai beberapa jurus ilmunya...!" Demikian jelas
Roro polos. Namun tiba-tiba terdengarlah suara
si kakek pemetik kecapi... "Bagus...!
Bagiku sama saja. Langsung atau tidak langsung kau adalah tetap murid si iblis
tua itu...! Karena kau telah mewarisi ilmu-ilmu kejinya! Karena dengan ilmu
kejinya itulah aku sampai kehilangan kedua belah kakiku ini...!".
"Tapi tapi... " Belum habis Roro berkata satu sambaran angin keras telah
menyerangnya dengan bersyiur dahsyat.
Ternyata si kakek telah mengibaskan jubahnya yang lebar itu. Terkejut Roro
bukan main ketika rasakan sambaran
dahsyat yang mau menghantam dada...
segera ia keluarkan teriakan keras
tertahan, dan tubuhnya melesat ke atas menghindari serangan yang datang. Dan
dengan beberapa kali berjumpalitan di udara ia kembali turun kira-kira jarak
beberapa tombak.
Namun hebat akibat dari kibasan
lengan jubah itu. Karena baru saja Roro turun menjejakkan kakinya ke tanah,
terdengarlah suara bergedebukan.
Ternyata gubuk itu telah ambruk
terkena hempasan angin dari kibasan jubah si pemetik Kecapi, yang telah melesat
keluar dengan melompat cepat.
Dan dengan sekali enjot ia telah
tiba di hadapan Roro dalam jarak tidak terlalu jauh. Belum sempat Roro buka
suara untuk bicara lagi, telah terdengar petikan tali kecapi dengan nada nyaring
yang menembus kesunyian di tempat itu...
Roro terkesiap, dan cepat salurkan
tenaga dalamnya pada telapak tangan. Ia tahu orang mau membunuhnya... Maka
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan berteriak keras ia telah mengirim satu pukulan ke arah si kakek kulit
hitam itu. Terdengar suara tertawa menghindar dari si kakek dan sebelah lengannya ia
pergunakan menangkis serangan itu.
DEZZ...! Dua tenaga dalam yang hebat telah saling beradu.
Roro terhuyung tiga-empat
langkah... sedangkan si kakek hampir terjengkang.... namun sambil
berdiri dengan dengkulnya ia telah kibaskan lagi kedua lengan jubahnya ... Syiuut
Syiuuut!... Angin keras yang mengandung tenaga dalam yang hebat menerjang ke
arah Roro. Terasa bersyiur angin panas. Cepat ia pergunakan jurus Ikan Hiu
Balikkan Ekor, dan memapaki kedua serangan itu dengan tenaga dalam Inti Es...
Hebat akibatnya. Sambaran angin panas yang dahsyat itu tiba-tiba berbalik
menerjang ke arah si pemetik Kecapi.
Terkejut si kakek ini bukan
kepalang. Segera ia sambar peti Kecapinya untuk menangkis, namun tiba-tiba ia
urungkan, dan jatuhkan tubuh bergulingan sambil memeluk peti Kecapinya. Terasa
angin panas dan dingin lewat bersyiur.
BRAAAKKK! Terdengar suara keras.
Ternyata pohon besar di belakangnya telah hancur lumat kena hantaman angin
tenaganya sendiri.
Keringat dingin terasa mengalir di
sekujur tubuh si pemetik kecapi. Ia tahu tenaganya sendiri yang hebat,
seandainya ia tangkis dengan peti kecapinya sudah pasti akan hancur. Karena saat
itu ia belum lagi menghimpun tenaga dalam...
Roro Centil sudah cepat buka suara;
"Kakek Kecapi maut! Urusanmu dengan si
Dewa Tengkorak adalah urusan yang tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan
aku. Mengapa kau jadi berbalik mau membunuh ku...?". Jawabannya adalah Tingng!
Tringng! Tingng!... Dan seterusnya telah terdengar nada santar yang membawa
maut, berkumandang dengan irama yang keras tinggi, lalu merendah dengan cepat,
lalu meninggi lagi... Dan akhirnya yang
terdengar adalah nada-nada yang kacau.
Roro tersentak. Segera ia tutup indra pendengarannya, ketika rasakan darahnya
terasa bergolak mendengar irama yang mengandung tenaga dalam, yang menyerang
melalui pendengaran yang mengacau sirkuit otaknya itu.
Sementara ia telah keluarkan senja-
tanya sepasang "Rantai Genit".
Ia berfikir lawan tidaklah enteng,
sedangkan perjalanannya jadi tertunda
gara-gara mengurusi si Kecapi Maut ini.
Yang bisa-bisa membuat ia cuma tinggal nama saja di dunia ini...
Sementara si kakek pemetik Kecapi
terus membunyikan senjata ampuhnya, dengan nada-nada keras, rendah dan tinggi
... namun sudah tentu irama yang kacau dan tak enak untuk didengar.
Tahu orang masih asik menari-
narikan jari tangannya pada tali-tali kecapinya, Roro Centil segera goyangkan
pinggulnya dan gerak-gerakkan tubuhnya
meliuk-liuk dengan cepat, terkadang gemulai... seolah tengah mengikuti irama
yang kacau ini dengan tarian yang
disuguhkannya. Sementara sepasang senjatanya ia
putar-putar sehingga terdengar suara mendengung mirip suara ratusan lebah.
Jika saja Roro mengetahui akibat dari putaran si sepasang Rantai Genitnya, tentu
ia akan kagum. Karena sesungguhnya suara berdengung itu telah membuat
serangan tenaga dalam, melalui petikan tali kecapi itu menjadi buyar... tersapu
angin putaran kedua benda itu.
Hal itu telah membuat si Kecapi
Maut jadi melengak. Matanya yang sipit itu jadi melotot agak lebar, melihat di
hadapannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan tengah menari-nari dengan tubuh
meliuk-liuk sambil memutar-mutar kedua benda di kedua lengannya.
Tingng! Tingng! Tringng!
Ia pentil tali kecapinya dengan
keras, dan kemudian tiba-tiba berhenti.
Segera ia tunggu reaksinya... Namun tunggu punya tunggu, Roro Centil masih terus
menari-nari dengan lincah, dan terkadang gemulai... membuat ia jadi terheran-
heran. Akhirnya tahulah ia bahwa serangan mautnya itu ibarat batu yang
kecemplung ke laut.
Tiba-tiba terdengar ia berseru
keras... dan tubuhnya yang tinggal tiga perempat bagian itu telah melesat ke
arah Roro. Peti kecapi mautnya telah di pakai menerjang menghantam orang.
Namun bagai tidak melihat serangan
orang Roro telah berhasil membuat
serangan itu lewat ke tempat kosong.
Makin gusar si kecapi maut. Beberapa serangan ia lancarkan menyerang leher, dada
dan perut. Tapi itu pun lolos, cuma dengan melangkah melenggang-lenggok meliuk
ke sana-kemari, atau ke atas dan ke bawah...
"Bocah Keparat...!" Teriaknya. Dan ia sudah menerjang dengan serangan-serangan
hebat yang mematikan. Roro terkejut juga lihat serangan-serangan yang berbahaya
itu. Ternyata kecapi telah sedari tadi berhenti bermain... Segera ia buka indra
pendengarannya sambil tetap pergunakan jurus istimewa ciptaan Gurunya itu, yang
diberinya nama jurus "Bidadari Mabuk Kepayang".
Hasilnya memang mengagumkan, karena serangan-serangan si kakek selalu saja
lolos. Karena yang diperhatikan Si
pemetik kecapi itu adalah tubuh lawannya saja ia tak mengetahui ketika tahu-tahu
senjata si Rantai Genit tiba-tiba
meluncur deras ke kepalanya. Terkesiap seketika si kakek ini. Ia segera
pergunakan peti kecapinya menangkis
melindungi kepalanya... Inilah yang diinginkan Roro Centil. BRAK! Terdengar
suara keras dari peti Kecapi Maut si kakek yang hancur.
Belum sempat si kakek melompat,
sudah menyambar lagi bandulan "Genit"
itu... BRAKK! Nyaris bandulan itu
menembus peti yang bisa langsung mengenai kepala... kalau tidak cepat-cepat ia
lepaskan peti kecapinya, yang somplak dan hancur tak terpakai lagi itu...
Dengan berteriak tertahanlah ia
cepat menggelinding menjauh, tatkala satu sambaran lagi kembali menyusul
menyerang punggungnya. Rantai Genitnya Roro Centil seperti punya mata saja yang
terus bergerak meluncur saling susul.
Brukk! Kecapi Mautnya sudah ter-
lempar dalam keadaan rusak berat, dengan tali-tali senarnya yang sudah kusut
hampir putus semua.
Tiba-tiba terdengar teriakan Roro
yang nyaring merdu, dan yang terlihat oleh si kakek berkulit hitam itu adalah
berkelebatnya bayangan putih... yang kemudian lenyap.
"Hah!?" Tersentak hatinya. Karena tubuh sang gadis itu benar-benar lenyap tak
berbekas ... Ketika tiba-tiba... Rrrrt! Secercah sinar kuning telah berkelebat di bawah
hidungnya, dan terasa ada benda yang
menjerat lehernya.
Terkesiap ia bukan buatan, ketika
mengetahui itulah senjata aneh si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sementara di atas kepalanya terdengar suara
mende-ngungnya ratusan tawon.
Kiranya Roro Centil telah berada di belakang si pemetik Kecapi Maut, dengan
sepasang senjatanya yang siap mencabut nyawa...
Terasa terbang sukma si kakek
tatkala ia mengetahui dirinya sudah dibawah kekuasaan lawannya. Dan pada saat
itu juga terdengarlah suara yang merdu namun dengan nada menggertak... "Hai
kakek yang sudah mau masuk liang kubur!
Apakah kau masih juga mau menjatuhkan kesalahan padaku..."! Betapa tadinya aku
amat mengagumi kepandaianmu memetik Kecapi, tapi alangkah kecewanya ternyata
irama kecapimu adalah untuk membunuh orang...! Sungguh amat disayangkan, anda
yang telah setua ini masih memperturutkan nafsu. Padahal nafsu itulah yang akan
menghancurkan dirimu...! Bukankah tadi kau katakan siapapun dapat saja mati.
Tapi kalau mau mati, maka matilah yang baik! Bukan mati konyol karena
memperturutkan hawa nafsu ..."
Tampak tubuh si kakek Kecapi Maut
itu tergetar hebat. Tubuhnya sekonyong-konyong jadi lemah lunglai, dan jatuh
terduduk. Terlihat ada air bening menetes turun membasahi jubahnya... Getaran
tubuhnya makin terlihat tatkala sepasang lengan si kakek itu tiba-tiba bergerak
menggeletar dengan jari-jari yang
terbuka. Tiba-tiba sepuluh jari tangan itu
dipertemukan seperti orang mau memberi hormat. Namun apakah kelanjutannya"...
sepasang lengan yang tergetar itu tiba-tiba bergerak, dan ... Krakk! Krrakk!
Terdengar suara tulang yang berklotakan.
Roro Centil terkejut bukan main...
kiranya si pemetik Kecapi Maut telah meremas hancur kesepuluh jari-jari
tangannya. Segera ia kendurkan dan lepaskan
Rantai genitnya pada leher si kakek...
dan melangkah ke samping dua tindak.
Tampak keadaan kedua telapak tangan sang kakek yang dalam keadaan yang
mengerikan karena serpihan tulang-tulang yang hancur itu bersimbah darah, dan
air mata yang seperti membanjir deras dari kelopak matanya.....
"Kakek!"... kau...
kau..." Hanya
itu yang keluar dari kerongkongan Roro, tatkala terdengar suara si kakek yang
parau terputus-putus menahan gejolak perasaan dan rasa sakit yang tak
terhingga... "Inilah... yang patut kulakukan...
Jari-jari... tanganku ini telah banyak membunuh orang!"
Tampak si pemetik Kecapi Maut
berhenti berkata sebentar... untuk
menyeka air matanya. Dengan mengangkat pangkal lengannya, dan dengan
mempergunakan kain jubah yang dipakainya ia menyapu wajahnya.
Sebentar kemudian ia telah menerus-
kan kata-katanya... "Bocah Pendekar, betapa aku orang tua merasa malu... malu
karena harus dinasihati oleh seorang bocah yang pantas menjadi cucuku ...
namun telah membuka mata hatiku untuk menyadari akan kekeliruanku... Benar,
bocah Pendekar, menurutkan hawa nafsu adalah takkan ada habisnya selama manusia
belum masuk ke liang kubur. Kecuali orang-orang yang dapat mengendalikan hawa
nafsunya... Dia takkan terbawa arus gelombang nafsu yang melandanya, karena pada
jiwanya telah tertanam benih-benih kesadaran dan iman yang teguh..." Kembali ia
berhenti sejenak untuk mengangkat kedua lengannya yang terasa nyeri. Dan ia
sudah meneruskan kata-katanya;
"Kini aku serahkan segalanya pada nasib...! Kalau kau mau bunuh aku
silahkan bunuh! Kalau kau mau mengampuni aku, aku sungguh-sungguh bersyukur pada
Tuhan. Biarlah penderitaan ini aku
jalani, dan kurasakan sebagai penebus
atas segala dosaku... Aku telah merasa bersalah telah berniat membalas dendam
pada orang yang justru tak ada sangkut-pautnya dengan urusan dendamku. Dan aku
harus menyadari bahwa dendam itu adalah sesuatu yang harus dihilangkan pada diri
manusia... "
Sampai di sini si kakek pemetik
Kecapi Maut berdiam menutup mulut dan mengatupkan kelopak matanya, menunggu
tindakan apa yang akan diambil gadis Pendekar yang ada di hadapannya...
Selang sesaat terdengar Roro Centil menghela napas. Dan terdengar kata-kata
seperti terharu... "Kakek...! Aku bukanlah orang telengas yang kejam.
Memang aku pernah gunakan jurus telengas si Dewa Tengkorak itu ketika menumpas
ke empat Iblis Kali Progo. Tapi percayalah
...! Hal itu di luar kesadaranku... Aku masih terlalu hijau untuk berkecimpung
di dunia persilatan, dalam meneruskan
perjuangan Guru-Guruku... menegakkan keadilan di atas bumi ini. Baiklah, aku
berjanji tak akan mempergunakan jurus keji itu lagi... dan tentu saja aku hargai
kesadaran yang telah kau temukan itu, kakek... Nah... rasanya aku tak dapat
berlama-lama di sini, karena aku tengah dalam perjalanan memenuhi undangan orang
dan perjalanan yang kutempuh amat jauh sekali... Selamat menempuh duniamu
yang baru... kakek, dan selamat
tinggal...!"
Setelah berkata demikian Roro
Centil berkelebat pergi..... tapi ketika itu juga ia teringat akan buntalan
pakaiannya. Segera ia melesat ke gubuk yang sudah roboh itu... Tak terlalu sukar
ia sudah menemukan kembali buntalannya, dan selanjutnya tanpa menoleh lagi ia
sudah enjot tubuhnya, dan berlalu dari tempat itu...
8 Biara "Welas Asih" di lereng Gunung Wilis adalah sebuah biara yang tidak begitu
dikenal orang...
Namun penduduk sekitar Gunung Wilis mengetahui kalau di biara itu terdapat tiga
orang paderi yang bersaudara... yang dikenal sebagai para tabib yang pandai
mengobati orang
Namun sepandai-pandainya manusia...
ada saja kelemahannya. Oleh sebab itulah tak semua orang yang datang dapat
disembuhkan penyakitnya...
Manusia hidup memang tak luput dari pelbagai
masalah, juga tak dapat
menghindari yang namanya takdir.
Juga mati hidupnya manusia, adalah
sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sudah hampir 9 tahun paderi Jayeng
Rana meninggalkan kuil atau biara Welas asih, yang sudah berpuluh tahun
dibinanya, kini telah berada kembali di biara Welas Asih, di lereng Gunung
Wilis. Ia memang seorang paderi yang
berasal dari Nepal. Entah mengapa ia amat senang mengembara di masa mudanya.
Hingga ia tiba di suatu daerah yang amat subur dengan tumbuh-tumbuhannya.
Terutama kelapa. Akhirnya ia menganggap bahwa daerah atau pulau yang diinjaknya
itu adalah pulau Kelapa.
Di Lereng Gunung Wilis itulah ia
mendirikan sebuah kuil atau biara yang diberinya nama Welas Asih, yang berarti;
kasih sayang ...
Memang sebenarnya watak dan pribadi dari paderi Jayeng Rana adalah watak yang
tiada cela. Peramah, baik hati, rendah hati juga kasih sayang terhadap siapa
saja. Pribadinya menarik, membuat orang akan merasa segan bila berbicara atau
bertatap muka dengannya.
Sedikit kepandaian yang ia miliki
ternyata dapat berguna bagi masyarakat.
Menolong yang sakit, atau memberi bantuan pada yang susah adalah dasar dari
kehidupan yang ditujunya...
Jarang orang menemui manusia
semacam paderi Jayeng Rana ini, karena kebanyakan manusia pada kenyataannya
adalah menitik beratkan pada kepentingan
pribadinya saja, tanpa mau mengetahui keadaan orang lain. Apakah susah..."
Apakah perlu dibantu..." Apakah perlu ditolong..." Dan lain sebagainya. Padahal
bagi orang yang mengerti apa arti dan maknanya kehidupan; pasti menyadari betapa
Tuhan menciptakan manusia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk dapat hidup
saling berkasih sayang dengan sesamanya, dan hidup saling tolong
menolong. Demikianlah... berpuluh tahun paderi Jayeng Rana bermukim di biara
Welas Asih, di Lereng Gunung Wilis, ia memang membawa tiga orang murid, yang
telah mewarisi ilmu kepandaiannya.
Sejak ia kembali ke Nepal 9 tahun
yang lalu, biara Welas Asih diserahkan pada ketiga orang muridnya. Yang telah
dapat dipercaya untuk meneruskan cita-citanya yaitu beramal bakti pada
masyarakat, disamping harus bekerja keras untuk hidup. Karena manusia yang baik
ialah, yang hidup tanpa harus mengandalkan belas kasih orang
lain, Atau mengharap-harap hujan emas yang jatuh dari langit.
Tuhan takkan merobah nasib setiap
Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merobahnya... Demikian ia selalu
camkan pada murid-muridnya. Demikian juga dengan akhlak dan budi pekerti
manusia... apakah Tuhan akan merobah watak manusia
yang sesat sekonyong-konyong menjadi orang baik yang berakhlak mulia" Tidak!
Karena watak jahat akan tetap saja jahat, tak akan berubah menjadi baik apa bila
tidak manusia itu sendiri yang berusaha merobahnya.
Juga watak yang baik, tentu saja
tidak akan selamanya baik. Kalau manusia itu tidak terus memupuknya; ibarat kita
memelihara tanaman... kalau tidak dirawat dan disirami setiap hari akan layulah
tanaman itu. Bermacam nasihat telah ditanamkan
di hati ketiga paderi muridnya itu oleh paderi Jayeng Rana si pendiri biara
Welas Asih. Ternyata kembalinya ke Nepal adalah untuk memperdalam ilmu ketabibannya di sana.
Dalam waktu beberapa tahun ia berhasil menambah ilmu kepandaiannya dalam hal
ilmu pengobatan itu, yang memang sudah menjadi cita-citanya.
Hingga paderi Jayeng Rana berhasil
membuat sebuah kitab, yang berisikan ilmu-ilmu tersebut. Tentu saja dibuatnya
kitab itu adalah untuk dapat diamalkan dan dipelajari kelak oleh ketiga orang
murid-muridnya. Demikianlah setelah selang beberapa tahun kemudian, paderi
Jayeng Raya berangkat kembali ke pulau Kelapa dengan membawa kitab yang telah
diciptakannya itu... Namun karena satu
dan lain hal ia terpaksa tidak bisa langsung ke gunung Wilis. Perjalanan jauh
yang ditempuhnya itu amatlah melelah-kannya.
Dan ia memang tidak berniat lagi
tinggal di pulau Kelapa itu, karena ingin menghabiskan sisa umur menjelang hari
tuannya itu di tanah kelahirannya.
Ia menitipkan Kitab Pusaka itu pada seorang bekas pembantunya yang setia di
pesisir pantai Pulau Kelapa (Pulau Jawa).
Pembantu yang setia itu tak lain
dari seorang laki-laki berkebangsaan India. Dialah yang bernama Gurnam Singh.
Yang sejak kedatangannya dari Nepal sampai ke Pulau Kelapa dan mendirikan biara
Welas Asih, selalu turut ber-samanya.
Gurnam Singh menikah dengan seorang gadis dari lereng Gunung Merapi. Dan menetap
di pesisir pantai Pulau Kelapa.
Setelah menitipkan Kitab Pusaka
tersebut untuk diberikan pada ketiga muridnya di biara Welas Asih... Paderi
Jayeng Rana kembali ke Nepal.
Niat yang baik itu ternyata banyak
sekali rintangannya; karena kitab yang sedianya akan segera diantarkan itu telah
dicuri oleh seorang sahabat Gurnam Singh.
Tentu saja betapa kecewanya sang pembantu yang setia itu...
Berbulan-bulan ia mencari, dan
mencari... ke mana perginya sahabat licik yang pandai berpura-pura itu. Yang
bersifat bagaikan musang yang berbulu ayam. Tak dapat dibayangkan betapa
masygulnya hati Gurnam Singh. Hilangnya Kitab Pusaka itu adalah tanggung
jawabnya untuk dapat menemukannya kembali. Sahabat Gurnam Singh itulah yang
bernama Tonga. Tonga memang seorang yang berwatak licik.
Bila orang melihat perawakannya tentu akan timbul rasa iba. Wajah yang memelas,
serta tubuh kecil yang kurus dan bentuk muka yang lancip... Rasanya akan
sulitlah orang untuk menebak atau menyangka Tonga orang bejat. Karena
penampilannya bagaikan seorang yang berakhlak amat baik. Inilah salah satu dari keanehan
manusia di dunia.
Tonga telah membawa kitab itu pada
Gurunya, yang juga berakhlak sama
bejatnya dengan muridnya. Sang Guru ternyata orang dari Nepal juga. Yang berilmu
tinggi namun sesat. Kitab curian itu ternyata tidaklah menarik
perhatiannya. Bahkan telah timbul suatu ilham bejat setelah membaca isi Kitab
yang menerangkan tentang ilmu-ilmu
ketabiban itu... Dengan ilham yang
didapat dari Kitab Pusaka itu ia telah berhasil menciptakan suatu ilmu sesat
yang hebat. Yang bila dipelajari dan dikuasai orang... maka akan rusaklah
akhlak orang itu, walaupun ilmu
kedigjayaannya tinggi.
Ilmu-ilmu sesat hasil gubahannya
dari Kitab Pusaka ilmu ketabiban itu telah dituangkannya dalam sebuah kitab
ciptaannya. Sang Guru si laki-laki bernama
Tonga itu benar-benar merasa puas telah berhasil menciptakan sebuah kitab yang
luar biasa sesatnya itu.
Bahkan saking gilanya, kulit luar
dari kitab itu dibuat serupa dengan kitab ilmu ketabiban tersebut. Yaitu terbuat
dari kulit ular.
Sayang... manusia berakhlak rendah
itu tak menyadari bahwa hakekatnya umur manusia Tuhanlah yang menentukan.
Manusia boleh sakti tapi janganlah lari dari kenyataan... Karena sesakti-
saktinya manusia sakti di dunia ini yang
kesemuanya pun akhirnya MATI! Karena hakekatnya manusia hidup itu adalah untuk
mati! Itulah sebabnya bagi orang yang
memahami akan arti hidup; ia akan
berusaha sebaik-baiknya mencari bekal orang yang memahami akan arti hidup; ia
akan berusaha sebaik-baiknya mencari bekal untuk mati. Karena setelah
kematian, akan ada lagi kehidupan yang lebih sempurna dan kekal untuk selama-
lamanya. Yaitu kehidupan Akhirat.
Sayang sang Guru si laki-laki
bernama Tonga itu meninggal dunia sebelum sempat bertobat dan menanam amal dalam
kehidupannya. Kini Tonga yang menguasai kedua
Kitab Ular itu.
Kematian Gurunya dianggap wajar
saja. Dan ia berniat untuk mempelajari kedua kitab itu.
Ia tidaklah seperti gurunya yang
fanatik. Karena ia berpendapat lebih banyak ilmu adalah lebih baik. Tanpa mau
tahu apakah ilmu itu sesat atau ilmu yang bermanfaat.
Sayang... belum lagi ia sempat
mempelajari, telah muncul Gurnam Singh yang telah mencarinya sekian lama itu
akhirnya dapat mengetahui jejak tempat persembunyiannya. Dan merampas kembali
kitab yang telah dicurinya. Bahkan kedua Kitab Ular itu berhasil dibawa kabur.
Tentu saja Tonga dapat mengetahui
ke mana Gurnam Singh membawanya... yang tentu saja ke biara Welas Asih di lereng
gunung Wilis ...
Dugaan Tonga tidak salah. Gurnam
Singh si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu memang membawanya ke kuil
atau biara Welas Asih.
Di sana ia berikan kedua kitab itu
yang ia tak tahu mana yang asli pada si ketiga paderi dan juga menceritakan
kejadian yang dialaminya, hingga ia terlambat memberikan Kitab Pusaka titipan
paderi Jayeng Rana guru mereka.
Setelah meneliti kedua kitab itu
segera mereka dapat mengetahui mana yang asli... Namun alangkah terkejutnya ia
ketika mengetahui kitab yang satu lagi adalah kitab yang berisikan ilmu-ilmu
kedigjayaan yang sesat, dan amat jahat.
Mereka segera kembalikan pada
Gurnam Singh, namun ditolaknya... dan mengatakan agar kitab itu sementara
dititipkannya di biara tersebut. Lalu iapun kembali ke pesisir pantai pulau
Kelapa. Tonga menyusul ke biara Welas
Asih... Dan dengan segala macam akal, ia berhasil tinggal di biara itu sebagai
seorang pembantu atau jongos.
Tentu saja ia berpura-pura dirinya
adalah seorang yang berakhlak baik.
Padahal diam-diam ia berniat mencuri lagi kitabnya yang segera dapat diketahui
berada di ruangan tempat kitab.
Tak disangka telah terjadi
peristiwa... yaitu munculnya tiga orang yang berkepandaian tinggi yang mau
merebut kitab pusaka paderi Jayeng Rana, yang disangkanya adalah kitab ilmu
kedigjayaan yang amat tinggi.
Ternyata khabar Gurnam Singh
mencari seorang pencuri kitab telah
tersiar ke setiap tempat... Dan ketiga penjahat itu mencium jejak Gurnam Singh,
yang telah berhasil menemukan kitab titipan paderi Jayeng Rana itu kembali.
Ketiga penjahat tak dikenal itu
merusak biara dan mengobrak-abriknya, karena sudah tentu mereka tak dapat
memberikan kitab warisan guru mereka...
Pertarungan terjadi. Namun ketiga
Paderi tak ada daya untuk dapat menang dalam pertarungan itu... Ketiganya
terjungkal mandi darah.
Tonga yang cari kesempatan baik
dalam kekeruhan itu, berhasil masuk ke ruangan kitab... Namun ia harus sembunyi
di belakang lemari mengetahui ketiga penjahat itu memasuki ruangan.
Ketika keadaan sudah sepi, Kitab
Ular yang tengah diincarnya itu telah lenyap. Dengan segala daya upaya, Tonga
akhirnya dapat mengetahui di mana adanya si ketiga penjahat itu, yang telah
mencukur gundul kepalanya...
Mereka adalah Kuti, Kebo Ireng dan
Lembu Alas. Ternyata Kuti pun orang Nepal, yang sudah lama berdiam di tanah Jawa
ini... Ketika mengetahui ketiga paderi palsu itu ada berhubungan dengan Bupati
Daeng Panuluh di daerah Karang Sembung; dengan modal wajahnya yang memelaskan
hati, ia berhasil mendekati Bupati Daeng Panuluh untuk dapat bekerja
di Gedung kuno tempat kediaman si tiga paderi Gunung Wilis yang palsu itu.
Permohonannya dikabulkan. Dan ia
pun berhasil menjadi jongos di sana.
Demikianlah hingga akhirnya ia
berhasil lagi merebut Kitab Ular yang berisikan ilmu-ilmu sesat dari Gurunya
itu, dari tangan Roro Centil...
Rusaknya biara "Welas Asih" membuat terkejut paderi Jayeng Rana, yang tidak
disangka-sangka muncul lagi di Lereng Gunung Wilis bersama Gurnam Singh. Betapa
trenyuh hatinya menyaksikan keadaan yang menyedihkan itu.
Dijumpainya cuma tinggal seorang
muridnya yang masih tersisa... Itupun dalam keadaan cacat jasmani akibat dari
ketelengasan dari si ketiga penjahat, yang juga diketahui salah seorangnya
berasal dari Nepal.
Sudah beberapa hari ia berada di
biara itu lagi. Datangnya seorang tetamu yang tak diundang, telah membuat paderi
yang sudah lanjut usia ini telah
menitahkan Gurnam Singh untuk membawa sepucuk surat undangan, untuk diberikan
Naga Beracun 18 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Rantai Naga Siluman 2