Pencarian

Rahasia Kitab Ular 1

Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular Bagian 1


1 TIGA orang gadis itu masih
berjongkok di sisi sebuah kuburan yang masih baru ... Keadaan di tempat itu
kembali sunyi hening mencekam. Tukang-tukang gali kubur sudah berangkat pulang
dengan membawa cangkulnya masing-masing, dengan girang karena persenannya hari
itu cukup besar.
"Gadis yang baju merah itu royal sekali ... Upah untuk kita bertiga ini cukup
untuk kita makan dua pekan" ...
Salah seorang berkata. "Ha ha ha ...
Benar Kang, agaknya ia membawa banyak uang!" Menyahut kawannya yang berhidung
melengkung bagai paruh burung betet.
Sementara yang seorang lagi agaknya sudah tidak sabar untuk menerima pembagian
upahnya. "Sudahlah kita bagi di sini saja, aku mau terus pulang menemui anak
istriku ...!"
Yang memegang uang hasil upah
mereka bertiga itu tiba-tiba palingkan kepalanya pada kawannya, sambil
tersenyum. "Aha ... Rupanya si Jasiman sudah kangen betul pada maknya si Blotong
di rumahnya...!" Katanya sambil picingkan mata pada si hidung betet di
sebelahnya yang jadi tertawa ngakak. Keruan saja muka Jasiman yang bertubuh
kurus itu jadi merah padam dan terasa panas mendengar
dirinya ditertawakan. "Sudahlah cepat Gento, kau berikan jatahnya... kasihan
kan, nanti kalau memble di sini kan bisa gawat! Ha ha ha ... ha ha ... "
Si hidung betet kembali menggoda.
Tampaknya si pemegang uang yang bernama Gento itu pun tidak mau menggoda lebih
jauh. Segera ia berikan jatah buat
kawannya itu. "Nah, ini bagianmu Jasiman,
cepatlah pulang, dan ... eh tunggu dulu
... " Tiba-tiba Gento sudah berteriak lagi ketika Jasiman
dengan cepat menyambar uang upahnya itu, dan sudah mau ngeloyor pergi. "Kencangkan dulu tali
celanamu jangan sampai kedodoran di jalan, nanti di rumah baru pelan-pelan kau
lepaskan! Ha ha ha... ha ha...".
Jasiman tampak mendongkol sekali, segera tanpa perdulikan ejekan itu ia sudah
putar tubuh dan bergegas pergi tanpa menoleh lagi, diikuti suara tertawa kedua
kawannya itu yang terbahak-bahak...
Seekor kuda berjalan dengan
perlahan meniti jalan setapak itu...
dengan penunggangnya seorang laki-laki tampan dan gagah, namun wajahnya
menampilkan kemurungan. Pakaiannya berwarna putih dan terbuat dari bahan yang
kasar. Ketika melihat kedua orang diha-
dapannya, ia segera percepat jalan
kudanya. Sementara kedua tukang gali
kubur yang belum beranjak pergi dari situ, jadi arahkan mata untuk melihat
kedatangannya. "Maaf pak. Apakah jalan ini bisa terus tembus ke Makam...?" Ia segera bertanya
setelah memberhentikan langkah kudanya. "Oh, benar Den,...! Berjalanlah terus.
Nanti di ujung jalan ini
membeloklah ke kanan. Makam itu segera akan terlihat ...!" Menyahuti si hidung
betet, dan segera minggir untuk memberi jalan.
"Terima kasih, pak.... tapi..."
Laki-laki ini tidak terus langkahkan kudanya, karena sambil berkata ia telah
melompat turun dari kudanya. "Namaku Sentanu...!" Ternyata ia telah perkenalkan
dirinya pada kedua orang itu, yang segera menyambuti uluran tangannya.
"Apakah Raden masih sanak famili yang meninggal ... ?" Bertanya lagi si hidung
betet. "Oh, bukan ... aku hanya sahabatnya
... !" Kata laki-laki itu, yang segera sudah menyambung kata-katanya lagi.
"Maaf, pak. Harap tidak memanggilku Raden. Aku orang biasa saja seperti juga
bapak-bapak".
Si hidung betet mengangguk-angguk,
diikuti oleh Gento ketika mata Sentanu singgah pada wajahnya. "Apakah bapak-
bapak baru saja selesai menggali
kubur...?" Bertanya lagi si penunggang kuda itu. Kedua orang itu dengan
berbareng sama-sama anggukkan kepala.
"Oh, ya ... maaf! Masih adakah orang di sana ...?" Bertanya lagi ia, yang segera
disahuti oleh Gento cepat. "Masih ki sanak! Ada tiga orang wanita lagi di sana.
Sedang yang dua orang sudah
berangkat pergi... !"
"Apakah kedua orang yang pergi itu wanita juga?". Tanyanya lagi.
"Rasanya sih laki-laki dan wanita.
Kata orang yang wanita itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang
bernama Roro Centil". Menjelaskan Gento.
Laki-laki bernama Sentanu ini
tampak kerenyitkan alisnya, sementara bibirnya menggumam perlahan... "Pendekar
Wanita Pantai Selatan ... ?". Namun ia sudah cepat-cepat bertanya. "Dari manakah
bapak-bapak mengetahuinya?"
Gento agak aneh juga didesak dengan pertanyaan-pertanyaan itu, namun ia tak mau
mengecewakan orang muda di hadapannya itu. Segera ia menyahuti. "Aku
mendengarnya secara kebetulan saja dari dua orang yang sedang bercakap-cakap
ketika lewat di sebelah kami...! Mereka berbisik-bisik membicarakan gadis yang
di sebelah pemuda itu, ketika keduanya tengah mengantar jenazah untuk dibawa ke
Makam...!"
Kini berbalik Sentanu yang manggut-
manggut sambil berkata: "Baiklah...!
Terimakasih atas penjelasan bapak-bapak berdua!" Laki-laki itupun meminta diri
dan segera melompat ke atas punggung kudanya yang segera mencongklang cepat dari
situ. Si kedua tukang gali kubur itu tampak berbisik-bisik dan tak lama
kemudian menyelinap pergi ...
"Gagal...!" Terdengar samar-samar suara Gento dari kejauhan. Ketika
mendengar suara kaki kuda memasuki makam itu, ketiga gadis yang berada di sisi
kuburan yang masih baru tersebut menoleh, dan mengarahkan pandangan matanya pada
Sentanu. Laki-laki ini segera tinggalkan kudanya di sisi makam, dan menghampiri
mereka. Yang dua orang segera berdiri menyambut. Sedangkan yang seorang lagi
masih berjongkok di sisi gundukan tanah itu. Tampak sepasang matanya masih
merembeskan air mata. Si laki-laki ini tampak menjura terlebih dulu sambil
berkata; "Maafkan aku datang terlambat sehingga tak sempat menghadiri pemakaman
nya!" Dan kata-katanya itu telah disambungnya lagi dengan memperkenalkan diri
pada kedua gadis itu, yang dibalas dengan anggukan kepala oleh si baju merah.
Dan lantas katanya; "Kami memang tengah menanti kedatangan anda sobat
Sentanu ... "
Terkejut juga laki-laki tampan ini, namun si gadis baju merah itu telah
menyambung kata-katanya sambil melirik pada gadis yang masih berjongkok di situ
seperti tengah terhanyut dengan kesedi-hannya. "Tentu saja kami mendengar pesan
almarhum itu ... semoga anda dapat
menjaganya dengan baik. Kami yakin anda pasti tidak ingin almarhum kecewa di
alam baka bukan ...?"
Ucapan itu sudah dibarengi dengan
deheman yang membuat Marni gadis itu segera menoleh, dan wajah yang baru dilanda
kesedihan itu jadi berubah merah.
Ia memang sudah mengetahui keda-
tangan laki-laki itu, namun mana ia tahu pesan kakaknya Mandra almarhum sebelum
ajal tiba, kecuali kedua gadis itu yang merahasiakannya. Tentu saja kata-kata
itu telah membuatnya mengerti.
Marni memang telah mengenal Sentanu yang pernah berdiam di desa Karang
Sembung, selama beberapa bulan. Laki-laki yang pernah difitnah oleh ayah
angkatnya bahwa telah menodai dirinya ... Padahal ayah angkatnya sendirilah yang
telah mengumpankannya pada Bupati Daeng Panuluh dengan imbalan uang.
Kini ia hidup sebatang kara. Kakak
kandungnya Mandra telah tewas oleh ketiga paderi cabul yang mengaku dari Gunung
Wilis. Dari kata-kata si gadis baju merah
ia segera mengetahui bahwa kakaknya telah berpesan untuk menjaga dirinya, entah
sebagai adik atau sebagai istri.
Apakah kedatangan Sentanu adalah
untuk mewujudkan pesan kakaknya Mandra almarhum". Berfikir Marni, sementara
kesedihan nya belum lagi sirna.
Tiba-tiba terbersit di hatinya
perasaan malu pada laki-laki bernama Sentanu. Marni merasakan dirinya bukanlah
seorang gadis lagi. Ia takut bila Sentanu mau mengambilnya sebagai seorang istri
hanya karena terpaksa. Apakah mungkin Sentanu dapat merasa puas beristrikan nya"
Rasa malu itu bergelut dalam
jiwanya, dan sekonyong-konyong ia merasa rendah diri... Tiba-tiba Marni bangkit
berdiri, dan tanpa berpaling lagi ia telah berlari cepat dari tempat itu sambil
menutup wajahnya.
Hal demikian yang tiba-tiba itu
telah membuat mereka bertiga jadi
terpaku. Lebih-lebih Sentanu yang jadi tak mengerti apa sebabnya. Tiba-tiba ia
sudah bergerak mau mengejarnya. Namun si gadis baju merah telah berkata:
"Rasanya tak perlu anda mengejarnya sobat Sentanu, itu akan menambah luka di
hatinya". Selanjutnya si gadis baju merah
menjelaskan akan sifat seorang wanita yang bila telah bersikap demikian,
berarti ia merasa rendah diri untuk berhadapan dengan seorang laki-laki yang
telah berniat untuk menjaganya. Kata-kata menjaga itu tentu saja mempunyai arti
yang amat dalam
Sejurus Sentanu jadi termenung dan
serba salah. Tiba-tiba pada saat itu adik seperguruan si gadis baju merah yang
bernama Surti ini berkata; "Kak Roro Dampit, biarlah aku menyusulnya, kasihan
ia. Aku akan menemaninya atau mungkin juga menjaganya sebagai adikku sendiri.
Karena nasibnya adalah tidak berbeda dengan nasibku sendiri ... "
Si gadis baju merah yang ternyata
bernama Roro Dampit ini tercenung
sejenak, tapi kemudian; "Pergilah Surti!
Agaknya kita pun harus berpisah. Aku tak dapat menemanimu karena aku punya
urusan sendiri seperti kau juga. Guru kita telah tiada, dan kaupun cuma saudara
seperguruan denganku. Mulai hari ini kita ambil jalan sendiri-sendiri...
Setujukah kau?"
Tentu saja ucapan itu membuat Surti jadi terhenyak ... namun ia segera dapat
membaca fikiran orang. "Hm, baiklah kalau kau menginginkan demikian, kak Roro
Dampit. Asal saja kau tak melupakanku kalau berjumpa di jalan ..." Jawab Surti
sambil sudut matanya bergerak sekilas melirik pada Sentanu yang masih tercenung
di situ mendengarkan pembicaraan orang.
Si gadis baju merah ini tiba-tiba
tertawa hambar dan katanya; "Aih adik Surti, siapa yang mau melupakan orang..."
Walau bagaimanapun kita masih satu
saudara seperguruan... !"
Dan sambungnya lagi; "Pergilah susul dia, nanti kau kehilangan jejak."
Surti anggukkan kepalanya, dan
tatap wajah kakak seperguruannya, kemudian mengalihkannya pada Sentanu yang cuma
anggukkan kepala ... Dan selanjutnya ia sudah balikkan tubuh, lalu tubuhnya
berkelebat cepat menyusul ke arah mana Marni berlari. Kini tinggal mereka berdua
di tempat itu. Hening kembali mencekam... Si gadis baju merah dan Sentanu sama-sama membisu.
Sentanu sendiri seperti bingung akan apa yang akan ia lakukan. Tiba-tiba Roro
Dampit terdengar berkata memecah kehe-ningan; "Kemanakah tujuan anda sobat
Sentanu...?"
Laki-laki ini seperti baru tersadar dari lamunannya, ia cepat-cepat menjawab
... "Entahlah ... mungkin juga aku akan pergi jauh...!"
"Mengembara...?" Si gadis bertanya lagi sambil kerutkan alisnya. Sentanu
anggukkan kepalanya, dan terdengar ia menghela napas.
"Apakah anda telah tak punya sanak
famili lagi ... ?"
"Ada! Seorang paman". Sahutnya.
"Siapa..." Tinggal di mana" Mengapa anda tak ke sana saja ... ?" Tanya gadis itu
beruntun. Tiba-tiba Sentanu angkat wajahnya
menatap gadis baju merah itu "Kuharap janganlah membicarakannya!" Katanya dengan
nada agak ketus.
Tentu saja hal itu membuat Roro
Dampit jadi terhenyak, dan tundukkan muka ke tanah. "Maafkan kalau hal itu
menyinggung perasaanmu. Aku tak tahu ada ganjalan apa anda dengannya. Dan akupun
tak akan menanyakan lagi... "
Tiba-tiba kini Sentanu yang balik
bertanya; "Dan anda akan ke mana... ?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu!"
Si gadis menjawab seenaknya.
Selang sejenak tiba-tiba Sentanu
berkata "Baiklah, maaf aku pergi dulu..."
Dan ia sudah melangkahkan kakinya
menuju ke tempat kudanya menunggu.
"Bolehkah aku ikut dengan anda..."
Akupun ingin merantau. Alangkah senangnya kalau ada teman seperjalanan".
Laki-laki ini tak menjawab, dan ia
sudah segera melompat ke atas punggung kudanya. Tampak ia seperti sedang
mempertimbangkan. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan, si gadis tiba-tiba
telah melompat ke atas punggung kuda dan
enak saja telah duduk di belakangnya.
Terkesiap juga ia akan keberanian
gadis baju merah itu yang belum mendapat jawaban sudah berani taruh pantat
seenaknya di belakang punggungnya. Belum lagi ia tarik kendali kudanya untuk
memutar, si gadis telah hentakkan kakinya pada perut kuda sambil berteriak;
"Heaaa! Ayoh cepat kak Sentanu, aku sudah ingin segera meninggalkan tempat seram
ini...!" Keruan saja sang kuda jadi terkejut dan angkat kedua kakinya tinggi-
tinggi sambil perdengarkan suara
ringkikan panjang. Kalau Roro Dampit tak cepat memeluk tubuh laki-laki itu tentu
ia sudah terlempar dari punggung kuda.
Segera Sentanu dapat menguasai binatang tunggangannya itu, yang segera diputar
arah. Dan sang kuda sudah mencongklang cepat meninggalkan makam itu melalui
jalan setapak... Sentanu geleng-gelengkan kepalanya. Agak mendongkol juga ia
atas kenakalan gadis baju merah itu. Namun hatinya jadi berdebar karena
merasakan dua benda lembut menempel pada
punggungnya. Ternyata gadis itu telah memeluknya erat sekali.
2 Senja sebentar lagi akan lewat dan
berganti dengan malam ... Telaga yang berair jernih itu menampakkan dua
bayangan sosok tubuh, namun tidak jelas karena air telaga bergoyang-goyang
terkena hembusan angin. Ternyata sang angin terus menghembus ke darat dan
menyibak segerumbul rumput alang-alang yang segera terdengar bunyi berkeresekan.
Kedua sosok tubuh itu ternyata
berada di tempat itu, terlindung semak lebat yang banyak tumbuh di sisi
telaga... Keduanya dalam jarak yang dekat sekali, sehingga saling menempel tubuh
yang satu dengan lainnya.
"Ayolah, buka pakaianmu ... "Salah seorang berbisik. "Tunggu dulu sampai.
agak gelap, aku takut ada orang melihat kita. Menyahut yang seorang.
"Aih ... Percayalah, tempat ini tersembunyi. Tak kan ada orang yang melihat
kita!" Yang seorang agaknya sudah tak sabar lagi menunggu, dan segera membukai
pakaiannya ... Terpaksa iapun menuruti membuka pakaiannya satu persatu.
Dan tak lama kemudian kedua sosok
tubuh itu sudah dalam keadaan bugil.
Sementara cuaca semakin gelap. Rembulan sisa kemarin malam belum lagi muncul.
Terdengar yang seorang mendesah ... "Oh,
dinginnya".
"Hmm... nanti setelah kita berenang pasti akan menjadi hangat, percayalah!"
Berkata sosok tubuh yang disebelahnya.
Dan sebelum kata-kata itu disahuti, sosok tubuh yang berada di sebelahnya telah
berkata; "Lihatlah...!".
Sebuah benda hitam panjang meluncur ke luar dari balik semak! Bergerak-gerak


Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dedaunan yang kena tersenggol benda tersebut. Mata sosok tubuh yang melihat
keluarnya benda itu jadi menatap tak berkedip. Dan tak lama kemudian ...
"Ayo... doronglah sedikit lagi, tekan agak kuat... ! Nah, begitu... !"
Terdengar suara. Dan terlihatlah dengan jelas sebuah rakit melaju ke tengah
telaga yang dikemudikan oleh seorang wanita setengah umur dengan mempergunakan
sebatang bambu panjang untuk pengayuhnya.
Dari seberang telaga itu terdengar
lagi suara seorang wanita; "Cepat kau tarik rakit itu ke pinggir, dan ikatkan
yang kuat dengan rakitmu!"
Si wanita itu tak menyahuti karena
sibuk menancapkan batang bambu panjang itu ke dalam air. Bila telah menyentuh
dasar, segera menekannya dan mendorong rakitnya yang diarahkan pada rakit yang
terapung di tengah telaga itu.
Sebentar kemudian kedua rakit itu
telah merapat. Segera si wanita itu
mengikatnya kuat-kuat pada ujung kedua rakit itu dengan tali yang telah
disediakan. Dan selanjutnya ia sudah mengayuh lagi rakitnya untuk kembali lagi
ke seberang telaga ...
Terdengar si wanita itu menggumam
sendiri. "Heran"! Entah rakit siapa yang hanyut sampai ke mari... !".
Sementara kedua sosok tubuh yang
telah membugil itu jadi saling pandang dan garuk-garuk kepala. "Huh!" Pembantu-
pembantu tua itu telah menggagalkan rencana kita!" Berkata yang seorang. "Ini
semua adalah gara-garamu, yang tidak mengikat rakit dengan kencang, hingga
hanyut ke tengah...!". Kata yang seorang lagi mendesis. Ternyata kedua orang itu
adalah si tukang gali kuburan, yaitu Gento dan si hidung betet. Yang sudah
mengatur rencana untuk menyeberang dengan rakit yang telah disembunyikan di
balik semak, namun ikatannya terlepas dan hanyut ke tengah telaga.
Si hidung betet tak bisa menjawab,
namun hatinya diam-diam memikir; Rasanya sudah ku ikat cukup kuat... tapi
entahlah! Karena waktu itu aku tergesa-gesa takut dilihat orang. Dan entah galah
bambunya itu hanyut ke mana. Berfikir lagi ia.
Rasa sakit pada pangkal pahanya dan
gatal-gatal pada punggungnya membuat si hidung betet berteriak tertahan; "Aduh!"
Dan terdengarlah suara Plak! Plok! ketika lengannya bergerak ke sana-kemari
memukuli tubuhnya. Ternyata nyamuk-nyamuk rawa telah menggigit tubuhnya yang
telanjang bulat... Dan mulai menyerbu menyantap darah yang dihidangkan
untuknya... Segera saja cepat-cepat ia
mengenakan pakaiannya lagi dengan
terburu-buru. Begitu juga Gento yang mulai diserbu binatang-binatang penghisap
darah itu, segera sambar pakaiannya ...
Sementara mulutnya terus menggerutu mempersalahkan kawannya. Belum lagi dua
pekan kedua sahabat itu yang kerjanya cuma sebagai kuli suruhan orang, telah
tidak mempunyai uang lagi.
Rupanya Gento mempunyai kelakuan
yang tidak baik, yang telah menyeret si hidung betet... untuk mencuri pada salah
sebuah rumah gedung di seberang telaga itu. Rakit bambu sudah sejak siang-siang
mereka sediakan untuk menyeberang.
Rencana sudah diatur matang sejak tadi siang. Gedung itu memang di samping
letaknya agak terpencil, juga bagian belakangnya sudah bolong-bolong. Hingga
mengundang orang untuk berniat jahat.
Mereka sengaja menyeberang tidak terlalu malam, karena di belakang gedung itu
ada tempat untuk bersembunyi, sambil melihat situasi untuk segera mereka
melaksanakan niatnya nanti malam. Tapi apa lacur sang rakit telah hanyut ke
tengah... Mereka sudah membukai pakaiannya untuk dibawa berenang ke sana,
ternyata telah keduluan munculnya pembantu-pembantu rumah gedung itu yang kini
tengah menarik rakitnya dibawa langsung ke seberang. Gagallah rencana
jahatnya... Tak berapa lama kemudian keduanya sudah kembali menyuruk ke semak-
semak untuk segera meninggalkan tepian telaga tersebut.
Ketika kedua bayangan sosok tubuh
kedua tukang gali kubur itu sudah lenyap di kejauhan, sesosok tubuh muncul dari
balik pohon di tempat yang agak
ketinggian itu. Ternyata dia Roro
Centil... Terlihat senyumnya yang menawan
tatkala sang gadis Pendekar Pantai
Selatan itu menatap rakit terapung yang sudah ditarik sampai ke seberang... Dan
terdengar gumamnya puas. "Heh! Biar kau rasakan kegagalanmu maling-maling
picisan ..." Ternyata yang melepaskan rakit
kedua tukang gali kubur itu adalah hasil perbuatan Roro, yang rencananya telah
ia ketahui. Ternyata pertemuannya dengan
Ginanjar telah menambah pengalamannya ...
Roro makin teliti dengan keadaan ling-kungannya.
Beberapa keping uang pemberian Pak
Ronggo Alit cukup untuk makan tidur beberapa pekan, dan membeli satu setel
pakaian laki-laki bekas di pasar loak.
Entah akan dipergunakan untuk apa.
Roro Centil baru saja kembali dari
Kota Raja ... entah mengapa ia ingin sekali mengetahui di mana tempat tinggal
pemuda itu yang masih terhitung saudara seperguruannya. Ternyata orang yang
bernama Ronggo Alit itu, seorang yang amat ramah tamah. Berumur kira-kira lima
puluh tahun. Di rumah pak Ronggo Alit itulah Ginanjar tinggal selama ini. Usaha
pak Ronggo Alit ternyata amat maju pesat sebagai penjual obat-obatan. Toko nya
yang besar itu dilengkapi dengan beberapa orang pembantu. Menurut penuturannya
baru setahun inilah usaha itu dikembangkan.
Gadis bernama Kasmini itu yang pernah ditolongnya, ternyata berada di sana.
Juga bekerja sebagai pelayan di toko itu
... Banyak kisah menarik yang Roro
dengar dari tokoh bekas pejuang dari Partai Pengemis, yang bersahabat baik
dengan Ki Bayu Seta atau si Pendekar Bayangan almarhum. Dan tentu saja iapun
menceritakan tentang kematian Pendekar Besar itu, yang masih termasuk Guru Roro,
karena iapun mewarisi beberapa jurus ilmu kepandaiannya.
Hampir dua pekan ia berada di
gedung sederhana tempat tinggal pak Ronggo Alit itu ... selama berada di sana
banyak berita baik yang didengarnya.
Yaitu ditumpasnya Partai Pengemis Baru yang telah muncul dan mengacau oleh pihak
Kerajaan. Partai Pengemis lama pun telah dibubarkan ... agar tidak terjadi lagi
hal-hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kericuhan.
Kini orang-orang Partai Pengemis
lama yang pernah bersatu padu dengan pihak Kerajaan Medang dalam menumpas
pemberontak, dapat bernapas lega ...
Sekembalinya dari Kota Raja, Roro
menginap pada sebuah penginapan sederhana di dekat pasar... Malam baru saja
merayap... Ketika Roro kembali ke
tempatnya. Udara panas, seperti mau turun hujan. Rembulan pun terlihat dari
sela-sela jendela agak meredup tertutup
awan... Begitu tiba di kamarnya ia sudah lemparkan tubuhnya ke pembaringan empuk
itu, yang segera berderit mengusik
kelengangan. Seperti biasa ia tak lupa untuk
berserah diri pada Tuhan ... dan segera pejamkan mata. Rasa panas mulai
berkurang ketika ada angin bertiup di luar. Kamar bagian atas tepat Roro
bermalam itu cuma
ada tiga kamar. Dan kebetulan malam itu tak ada lagi tamu yang menginap selain
Roro. Dapat dilihat olehnya tadi sewaktu melewati kedua kamar itu yang terlihat
kosong ... Iapun dapat bernafas lega, karena sebagai seorang wanita selalu ada
saja rasa khawatir terhadap keselamatan dirinya ...
Suara burung Perkutut yang telah
dikerek persis dekat jendela kamarnya itu membuat ia segera mendusin ...
Ternyata hari sudah agak siang. Karena jelas terlihat sorot panas matahari yang
menyemprot dari sela-sela jendela.
Bergegas ia bangun dan gerakkan
tubuh untuk memulihkan lagi otot-otot yang kendur, dan melancarkan darah serta
pernafasannya melalui beberapa gerakan khusus, mirip sebuah tarian yang
diajarkan oleh si manusia banci Gurunya.
Selesai itu ia pun bergegas turun
untuk mandi, setelah membuka terlebih dahulu jendela kamarnya, serta melirik
sekejap pada seekor Perkutut yang sedang asyik manggung. Namun tersentak dan
terhenti sejenak, karena terkejut melihat jendela yang sekonyong-konyong
terbuka... 3 Makam yang berada di sebelah barat
daerah Karang Sembung adalah makam yang paling lama, dan paling jauh ...
Sehingga karena lamanya orang
kadang-kadang tidak ingat lagi kalau di sana ada terdapat sebuah makam kuno.
Kuburan di makam itu tidak banyak.
Cuma aja beberapa belasan gunduk tanah, yang nisannya terlihat sudah banyak yang
lapuk dimakan usia dan rayap. Namun bila diperhatikan dan disengaja untuk
menghitung, maka akan terlihat ada tujuh buah kuburan yang sungkup dan nisannya
terbuat dari batu.
Bentuk ketujuh kuburan itu hampir
mirip satu sama lain baik sungkup dan batu nisannya. Sayang, karena lamanya dan
sudah tidak dirawat lagi, banyak semak belukar yang tumbuh rapat hingga sukar
bila orang datang mau berziarah ke makam tersebut... Ternyata makam tua yang
hampir sudah tak di ingat orang lagi itu, masih ada juga yang mau
mengunjunginya...
Dua sosok tubuh tampak mendatangi
ke arah makam. Gerakannya ringan sekali.
Yang seorang bertubuh langsing berbaju dan berpakaian serba hitam. Ternyata ia
seorang wanita, yang dari kerut dan potongannya ia bekas seorang yang cantik.
Berkulit sawo matang, dengan usia sekitar
empat puluh tahun. Namun tidaklah
mengurangi kecantikannya, yang memang dapat dilihat bahwa ia seorang wanita yang
pandai merawat tubuh dan merias diri.
Yang seorang lagi adalah laki-laki
dengan perawakan sedang, tinggi tidak, pendekpun tidak. Usianya sudah dapat
dipastikan adalah lebih muda si laki-laki itu, yang kelihatannya dari golongan
bangsawan atau orang-orang berada.
Ketika tiba di ujung makam, si
wanita baju hitam sudah hentikan langkahnya yang ringan dan cepat. Tak berapa
lama disusul oleh si laki-laki bangsawan itu yang tertinggal jauh di belakang.
Begitu si laki-laki bangsawan itu
tiba di belakang si wanita kira-kira sepuluh langkah lagi, ia sudah jatuhkan
pantatnya ke tanah; dengan napas yang memburu dan wajah penuh keringat. Si
wanita cuma melirik saja sambil
tersenyum, sedangkan ia tampaknya tak merasa lelah sama sekali...
Akan tetapi tiba-tiba si laki-laki
bangsawan itu telah perdengarkan seruan tertahan; "Hah!" Apa-apaan kau istriku
... masakan mengajak aku jalan-jalan ke kuburan!?". Dan seketika saja wajahnya
telah berubah menampilkan perasaan takut.
Memang suasana makam tua itu terlihat agak menyeramkan ...
Namun si wanita baju hitam cuma
tertawa saja. Sengaja suara tertawanya ia bikin keras yang mengikik panjang.
Keruan saja bulu tengkuk si laki-laki bangsawan yang memang pengecut itu jadi
terbangun semua. Tubuhnya terasa berubah jadi panas dingin, karena suara tertawa
sang istri persis suara Kuntilanak. Hingga bukannya takut terhadap setan, tapi
takut pada istrinya sendiri, yang memang kebetulan berpakaian serba hitam, dan
rambutnya beriapan - kusut. Sedangkan berdirinya di pojokan dekat sebuah batu
nisan yang sudah doyong di bawah pohon ... Persis Hantu kuburan!
Tiba-tiba si wanita menghentikan
tertawanya dan berkata "Katanya kau cinta banget padaku ... Cinta yang dulu kau
katakan sangat ngebet! Kau berkata bahwa akan sehidup semati.... Tapi nyatanya
baru dibawa jalan-jalan ke kuburan aja, kau sudah ketakutan setengah mati,
suamiku... ! Hi hi hi... hi hi... "
Kembali disambung dengan suara
mengikik yang tertahan.
"Sudahlah, jangan kau tertawa lagi, aku benar-benar takut mendengar suara
tertawamu itu!" Sang suami berkata dengan hati amat mendongkol pada istrinya.
"Oooo, jadi kau takut padaku ya, bukan pada setan penunggu makam tua ini!?".
Bertanya sang istri dengan ketus.
Tentu saja suaminya jadi kelabakan untuk menjawabnya ... "Bu ... bukan ... !
Yang kutakutkan suaramu, mirip ... "
"Mirip setan, begitu!?" Sang istri sudah menyambung kata-kata gagap
suaminya yang dirasa terlalu lambat bicara. Tampak sang suami mengangguk-angguk,
agaknya penyakit gagapnya sudah mau kumat lagi, hingga mulutnya saja yang
menganga tapi yang menjawab adalah
anggukan kepala.
Tiba-tiba istrinya telah berdiri
bertolak pinggang di hadapannya dengan wajah cemberut, dan berkata; "Jadi
jelasnya kau takut aku apakah takut setan..."!".
"Ya takut setan...?" Jawabnya dengan lancar.
"Apa" Buktinya kau takut aku!"
Berkata lagi ia dengan ketus. "A ... aku
... a... a... a... "
"Hm, kumat lagi ... !" Gerutu si wanita baju hitam kesal. Akhirnya ia berkata
"Sudahlah, tak usah kita teruskan debat. Menunggu bicaramu selesai saja
kesabaranku rasanya sudah mau naik sampai kepala...! Saking kesalnya menunggu
bisa-bisa aku benar-benar jadi setan karena pegalnya hatiku!".
Si wanita sudah lanjutkan lagi
bicara; "Dengarlah suamiku ... Makam tua ini dulunya adalah bekas istana raja-
raja pulau seberang yang berkuasa di tanah Jawa. Kerajaan-kerajaan kecilnya banyak
tersebar di seluruh Jawa, kecuali Madura.
Tapi tetap berdaulat pada kerajaan besar yaitu Kerajaan Medang, yang pernah
dikuasai berpuluh tahun... "
Sang suami manggut-manggut mende-
ngar penuturan itu. Diam-diam hatinya memuji kepintaran pengetahuan sang istri,
yang mengerti sejarah. "Aku mengetahui dari ayahku, karena ayahku adalah orang
tanah seberang... Namun ayah tidak
terlibat dengan urusan kerajaan. Di waktu terjadi peperangan besarpun ayah tetap
berdiam di sini. Karena kedatangannya ke tanah Jawa adalah karena ingin
merantau."
Demikianlah, tanpa dipinta sang
istri telah bercerita mengenai
keluarganya. Kalau ditinjau dari kata-katanya dan juga gerak-gerik suaminya yang
lebih muda, tampaknya mereka belum lama menjadi suami istri, dan terbukti dengan
kata-katanya; "Suamiku, aku ingin kau adalah suami yang terakhir ... Kalau kau
sudah janji padaku janji sehidup semati, ya sudah... Dan kau harus benar-benar
buktikan kata-katamu itu ... !"
Sejurus si wanita baju hitam itu berhenti bicara dan menatap wajah suaminya yang
mirip adik atau bahkan anak sendiri Yang ditatap jadi cengar-cengir dan manggut-
manggut sambil berkata; "Baiklah
istriku sayang.. aku kini tidak takut setan lagi. Walaupun kau ajak aku untuk
masuk ke lubang kuburan sekalipun aku akan turuti kau demi cintaku padamu...!".
Mendengar kata-kata suaminya itu
bukan main girangnya si wanita baju hitam. Segera ia tarik lengan suaminya dan
kepit dengan ketiaknya sebelah kiri, sehingga mirip tengah di rangkul dari
belakang. Sementara lengannya sendiri pun menyeruak mencari jalan dari belakang
baju sang suami, dan berhenti di pinggang kanannya. Dengan saling berangkulan
begitu mereka memasuki makan tua tersebut
... Sudah tentu sang suami menurut saja ke mana ia "diseret" sang istri.
Makin ke dalam... dan makin ke
dalam lagi.

Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini rangkulannya telah
mereka lepaskan karena jalanan sempit dan penuh semak belukar. Namun cekalan
tangan sang suami tak mau lepas dari tangan istrinya. Bahkan mencekal makin
kuat. Sementara hatinya berdebar-debar. Namun rasa takut itu tak ditampakkan pada
istrinya. Bahkan ia berkata; "Wah, kalau kita membangun gedung di tengah makam
ini orang pasti akan memuji keberanian
kita...! "Hm, itu sih belum seberapa... Aku maunya membangun di dalam kuburan... !"
"Hah... !?". Tentu saja jawaban sang istri membuat ia mati kutu tak bisa
bicara lagi. Untung saja ia tak bicara.
Kalau ia berani teruskan, niscaya
penyakit gagapnya akan kumat lagi.
"Eh, ngomong-ngomong kau mau ajak ke mana aku ...?" Berkata ia sambil menahan
perasaan takutnya yang sudah sedari tadi menggelutinya.
"Mengajakku untuk masuk ke dalam kuburan...!" Dengan tenang saja si wanita baju
hitam menyahuti. Namun sudah membuat hati si bangsawan itu jadi kebat-kebit, dan
tubuhnya sudah mulai panas dingin.
Istrinya kalau becanda keterlaluan"
Pikirnya. "Kau tunggu di sini...!" Tiba-tiba ia kibaskan lengannya dari pegangan tangan
sang suami. Dan segera enjot tubuhnya ke tengah makam. Lalu dengan berhati-hati
ia meneliti setiap gunduk kuburan yang mempunyai sungkup atau tutup lubang serta
nisannya dari batu. Tiba-tiba ia telah berkelebat lagi ke sisi makam. Di sana ia
berhenti. Setelah meneliti tempat sekitarnya, ia segera melangkah menuju semak.
Dengan menyingkap semak sebuah batu berbentuk kerucut yang tertutup semak
belukar itu segera
terlihat olehnya. Sementara si laki-laki bangsawan masih berdiri di sana.
Di hadapan sebuah kuburan tua yang
batu-batunya penuh berlumut. Ia benar-benar tak mengerti apa yang tengah
dilakukannya istrinya. Ketika tiba-tiba kuburan yang berada di hadapannya
bergerak tergetar...
"Hah!" ... To ... to ... tto ...
ttttto ..." Gagapnya langsung saja kumat lagi. Ketika bersamaan dengan
menjeblos-nya kuburan batu itu ke bawah, terdengar bunyi Blug! Ketika si wanita
baju hitam menoleh... ternyata sang suami telah jatuh pingsan, karena takutnya
melihat kejadian yang berlangsung di depan
matanya. Kiranya ketika batu berbentuk kerucut itu diputar, justru yang bergerak
adalah kuburan batu yang berada di
hadapan suaminya ...
Segera saja ia berkelebat ke sana.
Ia jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal melihat sang suami yang terkapar di
sisi kuburan ...
Namun ia segera sudah alihkan
matanya memandang ke lubang kuburan yang sudah menganga itu. Tadinya ia sudah
mau melompat ke lubang, kalau saja ia tidak kasihan pada sang suami. Namun ia
segera urungkan niatnya. Segera ia sudah
melompat lagi ke sisi makam. Langsung masuk ke semak, dan menyingkap batu
kerucut itu serta memutarnya lagi. Maka segera saja batu sungkup kuburan itupun
mumbul lagi ke atas.
Segera ia kembali lagi... Ia
pandang sejenak suaminya dengan diam-diam
ia membatin. Seandainya ia tidak pingsan tentu ia sudah ketakutan setengah mati
kalau tahu ia benar-benar mau dibawa masuk ke dalam kuburan!
Memikir demikian ia benar-benar
bersyukur dengan kejadian itu.
Segera ia seret sang suami dan
letakkan di atas batu kuburan. Dengan tubuh menyender pada batu nisan yang cukup
besar itu. Dan dengan cepat ia melesat kembali ke sisi makam. Memutar batu
kerucut itu ...
Dan perlahan-lahan tubuh si laki-
laki bangsawan itu turut amblas ke dalam lubang. Sementara ia sudah segera
kembali ke tempat itu.
Tak berapa lama iapun melesat masuk ke dalam ... Saat selanjutnya kira-kira
sepeminuman teh, tiba-tiba sungkup batu kuburan itu telah naik ke atas, dan
kembali seperti sedia kala.
Suasana makam tua itu kembali sunyi lengang dan misterius ...
4 Roro Centil kembali ke kamarnya...
ia sudah merencanakan untuk mengurus kotak perhiasannya yang dicuri di jongos
tua Tonga, yang bersembunyi di kuburan misterius di makan tua itu. Kalau
dibiarkan terlalu lama ia khawatir benda-
benda warisan Gurunya itu akan lenyap.
Hal itu akan membuatnya kecewa, disamping rasa jengkelnya pada si pencuri...
Berfikir demikian ia segera berkemas-kemas ... Namun alangkah terkejutnya ia
ketika di atas meja ada tergeletak sebuah kertas yang dilipat. Sebuah
suratkah..."
Siapa yang meletakkannya... Pikir Roro.
Segera ia menyambarnya... membuka
lipatannya, dan membacanya.
Ternyata surat itu ditujukan
padanya, yang tulisannya berbunyi: "Nona Pendekar! Sudilah anda datang ke lereng
Gunung Wilis. Kedatangan anda sangat kami harapkan. Kami menanti di biara Welas
Asih". Dan pada bagian bawahnya ada tertulis kata-kata: Ketua biara; Paderi
Jayeng Rana. Tercenung seketika Roro membaca
surat itu. Siapakah yang telah menaruhnya di sini" Berfikir ia. Namun segera ia
lipat kembali kertas itu dan selipkan pada BH-nya yang baru saja dipakainya.
Tiba-tiba terdengar suara orang naik ke atas, dan berhenti tepat di depan pintu
kamarnya. Suara ketukan segera terdengar, dibarengi dengan satu suara; "Kakak,
tadi ada seorang laki-laki di bawah yang telah memberikan sepucuk surat, dan
suruh aku mengantarkan pada kakak. Karena kuketahui kakak sedang mandi, aku
telah menaruhnya di atas meja...!"
Segera Roro mengetahui ia anak si
pemilik penginapan ini. Cepat ia
menyahuti dari dalam; "Oh, ya ... sudah kutemukan, ... ng ... Terimakasih dik!"
Terdengar lagi suara mengiyakan, lalu suara langkah kaki pun terdengar
melangkah turun dari atas loteng itu ...
Dan Roro Centil meneruskan berkemas.
Cepat benar sang waktu ... Sebentar saja hari sudah menjelang tengah hari.
Pak Wiro si pemilik penginapan itu merasa agak aneh pada tamunya, karena sampai
siang begini tak keluar dari kamarnya.
Juga tak terdengar suara apa-apa di loteng kamarnya. Padahal hanya ia seorang
yang berada di atas.
Apakah tidur lagi sehabis mandi..."
Berfikir ia. Apakah ia tidak lapar... dan
memesan makanan" Kembali ia memikir.
Karena biasanya setiap tamunya pasti makan atau minum di tempatnya, karena
selain menyewakan tempat bermalam ia juga menyediakan makanan. Sebab di bawah
dipergunakan juga untuk berjualan nasi serta lauk-pauknya.
Segera ia panggil anak gadisnya
untuk melihat. "Coba nduk, lihat tetamu kita...! Tampaknya kok aneh. Tak ada
kedengaran suaranya. Apakah ia tidur, atau... mungkin sakit...!" Tapi tadi pagi
habis mandi, dan tampaknya segar
bugar..." Menyahut sang anak.
Segera sang anak bergegas naik ke
loteng ... Namun tak lama kemudian sudah kembali lagi, dan mengatakan bahwa
tamunya sudah tak ada di kamarnya. Dan di atas meja ditemukan beberapa keping
uang receh sebagai pembayaran uang sewa
menginap. Segera ia berikan uang itu pada ayahnya.
Pak Wiro jadi geleng-geleng kepala
karena baru sekali ini mendapat tamu yang aneh. Dari mana ia keluarnya..."
Demikian pikirnya. Apakah ia melompat dari jendela kamar yang setinggi itu ..."
Membatin ia. Namun ia tak dapat untuk terus
memikirkannya karena beberapa orang telah datang ke warungnya. Ia segera cepat-
cepat melayani para langganannya ...
* * * * Suara kecapi yang dimainkan oleh
seorang kakek berkulit hitam di bawah pohon di sisi jalan itu amat enak sekali
kedengarannya. Berdenting-denting mengalunkan ira-
ma tembang yang mengasyikkan, membuat orang yang lewat pasti akan menoleh dan
kagum. Karena belum pernah didengarnya irama kecapi yang seindah itu, yang
dimainkan dengan enak saja oleh si kakek.
Jari-jarinya yang lincah itu bergerak
kesana-kemari seperti sudah punya mata saja, karena memainkannya tanpa dilihat
lagi. Tiba-tiba empat orang laki-laki
berpakaian putih hitam muncul di tikungan jalan. Agaknya suara kecapi yang enak
didengar itu telah membuat mereka pergi mencari dari mana sumber suara itu.
Segera terlihat oleh mereka adanya
seorang kakek yang berumur kira-kira enam puluhan tahun. Berwajah seperti orang
yang mengantuk. Dengan rambut separuh putih, namun amat tipis, bahkan pada
bagian atasnya sudah boleh dikatakan botak. Kumisnya pun tipis terjuntai bagai
ekor tikus. Tulang pelipisnya menonjol keluar, dengan kulit muka yang kasar.
Dialah yang dijuluki si "Kecapi Maut". Seorang tokoh persilatan dari Pantai
Utara. Entah angin apa yang telah meniupnya hingga ia datang jauh-jauh ke daerah
yang hampir dekat ke Pantai
Selatan ini ... Keempat laki-laki itu tampaknya dari satu perguruan, karena
warna dan potongan-potongan pakaiannya sama. Sebentar saja mereka telah sampai
ke bawah pohon, di mana sang kakek tengah asyik memainkan kecapinya. Melihat
yang memainkannya seorang kakek kumal dengan pakaian rombeng yang bertambal di
sana-sini itu, salah seorang sudah buka suara
... "Eh, kakek.... coba perdengarkan padaku lagu dengan irama yang lain...
Lagu itu membuat mataku jadi mengantuk...!" Katanya, sambil segera merogoh
sakunya mengeluarkan sekeping uang receh, dan dilemparkan ke hadapan si kakek.
Kepingan uang logam itu persis jatuh di papan Kecapi yang tengah asyik
dimainkan. Suara Klotak! pun terdengar. Dan
sekonyong-konyong suara dentingan tali kecapi itu terhenti
Namun mata si kakek kumal itu masih tetap seperti tadi, terbuka pun tidak.
Melihat orang tetap berdiam, yang seorang berkata; "Eh, kakek tua! Bukalah
matamu. Apakah uang sedekah itu kurang... "
Mainkanlah dulu. Nanti kalau lagunya enak didengar aku yang tambahi ... !".
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari kedua temannya ... "Ha ha ha ... he he he
... Kau mau tambahi pakai batu..." Macam kau mana pernah pegang uang...! Ha ha
ha..." Salah seorang berkata, dan ditimpali suara tertawa yang memperolok-olokkannya.
Tiba-tiba si kakek telah membuka
matanya yang memang sipit, hingga masih mirip orang meram saja. Terdengar
suaranya yang serak; "Siapakah kalian ini...?"
Yang melempar uang itu segera
berkata dengan membusungkan dadanya;
"Hmm... Agaknya kau belum tahu"... Kami
adalah murid-murid dari perguruan Gelap Ngampar! Yang di daerah ini punya nama
disegani orang...! Nah, petiklah kecapimu, kakek!"
Si kakek tampak manggut-manggut dan tersenyum, tapi senyumnya adalah senyum
sinis. Terdengar ia bertanya
lagi; "Siapakah Guru kalian?".
Si laki-laki yang melempar uang
tadi tiba-tiba jadi plototkan matanya.
"Apakah kami harus memperkenalkan juga pada seorang pengamen tua macam kau...!"
Berkata ia. "Baiklah, akupun tak begitu ingin untuk mengetahuinya...! Nih! Ambil lagi
uangmu!" Si kakek pemetik Kecapi ini tiba-tiba goyangkan peti Kecapinya...
Hebat akibatnya. Uang logam receh
di atas peti itu sekonyong-konyong
melesat ke arah laki-laki itu, yang jadi terkejut. Untung ia bermata awas.
Sekali lengannya bergerak ia telah dapat
menangkap kembali uang logam recehnya.
Seketika keempat murid-murid pergu-
ruan "Gelap Ngampar" itu jadi terkesiap.
Sadarlah mereka bahwa si kakek pemetik Kecapi itu bukanlah orang sembarangan.
Belum sempat mereka buka suara, si
kakek berkulit hitam itu telah perdengarkan suara kata-katanya; "Baiklah! Akan
kuperdengarkan pada kalian sebuah lagu yang lain dari pada yang lain!" Dan
selanjutnya suara dentingan tali-tali Kecapi telah berkumandang di telinga
mereka. Iramanya memang terdengar lain,
ketika jari-jari sang kakek kembali menari-nari di atas tali Kecapinya. Nada itu
terkadang rendah dan tiba-tiba
berubah meninggi dengan suara yang makin keras... Tapi tahu-tahu merendah lagi
dengan suara yang hampir tak terdengar.
Lalu sekonyong-konyong beralih lagi dengan nada tinggi yang keras. Tiba-tiba
nadanya berubah makin cepat... dan
semakin cepat, tapi suaranya sudah tak beraturan lagi. Keempat laki-laki itu
tampak kerutkan alisnya. Suara itu tidak enak didengar... bahkan membuat telinga
terasa sakit. Salah seorang tampak sudah menutup
telinganya, sementara yang tiga orang lagi berteriak-teriak agar si kakek segera
menghentikan permainannya.
Jari-jari si kakek berhenti
menari..., Namun akibatnya ternyata lebih fatal, karena suara dentingan yang
kacau tadi seperti berdengung-dengung di telinga mereka.
Tahu-tahu tubuh mereka telah
sempoyongan limbung. Dan alangkah terkejutnya keempat murid-murid perguruan
Gelap Ngampar itu karena mengetahui masing-masing telinganya telah menge-
luarkan darah...
"Kurang ajar kau....!" Salah seorang segera melangkah maju, siap mengirim
tendangan pada si pemetik
Kecapi... Tapi pada saat itu ...
TINGNGNG! Satu petikan bernada keras telah terdengar. Apakah akibatnya"...
Keempat laki-laki itu tiba-tiba berteriak keras, dan terjungkal roboh. Setelah
meregang nyawa, beberapa saat kemudian tubuh keempat murid perguruan Gelap
Ngampar itu telah tergeletak tak
bergeming lagi. Kematian yang dialaminya ternyata amat aneh dan menggiriskan,
karena dari telinga, mata dan hidungnya telah mengalirkan darah segar. Kejadian
itu ternyata tidak luput dari mata
seorang laki-laki bertudung yang menyan-dang buntalan di punggungnya, dengan
tali buntalan yang diikatkan erat pada dadanya melalui pundak dan bawah
ketiaknya. Diam-diam laki-laki ini jadi
terkesiap mengetahui ilmu permainan kecapi yang mengandung maut itu. Dalam jarak
satu lemparan tombak ia dapat mengetahui kalau si pemetik Kecapi itu seorang
kakek berpakaian kumal yang penuh tambalan di sana-sini, dengan kepala yang
hampir tidak berambut.
Dalam jarak sejauh itu ternyata
suara dentingan tali-tali Kecapi itu telah membuat ia terkesiap, karena
mengandung tenaga dalam yang hebat, yang dikirimkan
melalui suara petikan
Kecapinya. Segera ia satukan panca indranya, hingga suara Kecapi itu seperti tak
terdengar olehnya.
Namun alangkah terkejutnya ia


Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kejadian yang dialami keempat orang itu. Siapakah kakek pemetik Kecapi
itu" Pikirnya. Namun tampaknya ia tak mau berurusan dengan orang. Segera ia
berkelebat pergi, angkat kaki dari situ.
5 Beberapa saat kemudian ia telah
memasuki sebuah desa. Laki-laki bertudung yang wajahnya hampir tak terlihat
karena seperti terbenam oleh tudungnya yang lebar itu tampak celingukan ke
beberapa arah. Dan pandangan matanya terhenti pada sebuah kedai di tengah desa.
Segera ia melangkah ke sana... Kiranya sebuah kedai nasi yang ditujunya.
Terdengar suaranya yang serak ketika ia memesan makanan.
"Dibungkus
nang...?" Terdengar
suara warung berkata dengan nada heran.
Yang segera disahutinya pendek. "Tampaknya anak mau melakukan perjalanan
jauh...?" Berkata lagi ia sambil membungkus nasi dan lauk pauk pesanan itu
dengan rapi, serta sekalian mengikatnya.
"Benar mbok...!" Menyahut si laki-laki bertudung itu.
"Kemanakah tujuan anak ... ?"
"Ke... ,Gunung Wilis! Apakah simbok dapat menunjukkan aku ke mana arah yang
menuju ke sana?". Jawaban itu tentu saja membuat si tukang warung jadi terkejut,
dan tatap wajah orang seperti tak
percaya. "Anak mau Ke sana....?" Tanyanya lagi mengulang seperti ingin jelas.
"Ya.... Apakah jalan ke sana jauh, mbok?" Sambungnya lagi. Perempuan tua itu
tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata; "Oalaaaah nang...! Bukannya
jauh lagi, tapi terlalu jauuuuh sekali! Ada keperluan apa anak jauh-jauh mau ke
sana ... ?" Tanyanya lagi, sambil memberikan
bungkusan nasi yang telah rapi diikatnya.
"Ke tempat famili... !" Sahut laki-laki itu pendek. Dan balikkan tubuh untuk
segera berjongkok, dan buka ikatan ujung buntalannya di dada. Selanjutnya meraih
bungkusan nasi itu dan selipkan pada buntalannya.
Tak berapa lama kemudian ia sudah
keluar lagi dari kedai nasi itu. Tiba-tiba ia merandek karena mendengar suara di
belakangnya; "Berjalanlah lurus sampai ke ujung desa ini. Lalu membelok ke
kiri... Itulah arah timur. Bila mau ke
Gunung Wilis teruslah menghadap ke timur.
Setelah melewati dua buah gunung, maka Gunung ketiga itulah gunung Wilis yang
berdekatan dengan sebuah gunung, yang bernama Gunung Liman. Tapi jangan
salah... karena Gunung Wilis tidaklah setinggi Gunung Liman, dan berada di
sebelah selatan Gunung Liman ... !".
Ternyata yang berkata adalah
seorang laki-laki setengah tua tanpa membalikkan tubuhnya. Dan tanpa menoleh
lagi ia telah bergegas pergi dengan langkah lebar menuju ujung desa.
Sebentar saja ia telah tiba di sana
... Ketika membelok ke kiri tiba-tiba ia hentikan langkahnya merandek sejenak.
Karena di hadapannya telah berdiri seekor kuda putih yang kekar, lengkap dengan
pelana dan tali kendalinya.
"Aneh...!" Kuda siapakah?" Terdengar ia bergumam. Tampak ia palingkan kepalanya
ke perbagai arah. Ternyata di situ tak ada sepotong manusia dan sebuah pondok
pun. Tersentaklah hatinya. Apakah kuda itu diperuntukkan buat dirinya..."
Tiba-tiba terdengar suara yang
mendesis dari bibirnya. "Setan alas! Aku sudah menyamar, toh masih ketahuan...!"
Dan sekonyong-konyong ia telah lemparkan topi tudungnya. Segera saja terurai
rambutnya yang panjang ... Dan ketika lengannya bergerak ke arah wajahnya, ia
telah menarik selembar kulit tipis yang melekat pada wajahnya. Terlihatlah wajah
aslinya... Sepasang mata yang bulat indah dengan bulu matanya yang lentik
panjang. Hidung yang tidak terlalu mancung dengan bibir tipis bagaikan busur panah yang
melengkung kemerahan. Wajah yang amat cantik dari seorang gadis muda yang baru
meningkat dewasa... Siapa lagi kalau bukan Roro Centil, si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Segera ia simpan kedok kulit muka
itu, dan terdengar suara tertawanya yang merdu. Tiba-tiba sekali berkelebat ia
telah melesat ke dekat kuda putih itu berdiri. Setelah lepaskan tali kendali
yang mengikat binatang itu pada sebatang pohon kecil, ia sudah enjot tubuhnya
melayang ke atas punggung kuda.
Ternyata kuda putih itu seekor kuda yang jinak. Binatang itu perdengarkan
ringkikan perlahan dan berputar-putar di situ. Roro baru sadar kalau ia baru
sekali ini naik kuda. Dengan hati-hati ia mencoba tarik dan kendurkan tali
kendalinya. Biarlah! Hitung-hitung sambil belajar naik kuda. Pikirnya.
"Hus! Hus! Heaaaaaa ... !" Ia coba berteriak sambil hentakkan kakinya pada perut
kuda, dan keprakkan tali kendali ketika sang kuda telah menghadap ke arah timur.
Dan dengan segera binatang itu
bergerak lari ke arah itu ... tapi tiba-tiba Roro telah tarik kendalinya.
Sekonyong-konyong binatang itu segera tahan larinya, dan terdengar ringkikan-
nya. Ketika berhenti, sepasang kaki depannya tiba-tiba terangkat ke atas ...
Nyaris Roro terjungkal ke belakang.
Untung tubuhnya tertahan oleh tali
kendali yang menyangkut pada mulut binatang itu.
Setelah berputar-putar beberapa
kali mengelilingi pohon kecil itu dengan berulang-ulang menarik ke kiri dan ke
kanan ... Roro pun fahamlah caranya untuk mengendalikan kuda dengan baik.
Selanjutnya ia telah keprak tali
kendalinya sambil berteriak; "Heaaa-aaaaa!" Dan sang kuda dengan patuh segera
mencongklang dengan cepat ke arah timur.
Tubuh Roro Centil tampak terangguk-angguk di atas punggung si Putih yang
mencongklang dengan cepat. Tapi tampaknya Roro sudah lengket pantatnya di atas
pelana. Ia tinggal mengikuti saja
gerakan-gerakan punggung binatang itu tanpa kikuk lagi. Debu mengepul yang
ditinggalkannya makin menipis... dan akhirnya punggung Roro sudah tak
kelihatan lagi karena sudah semakin jauh Di tepi sebuah sungai tampak
terlihat seekor kuda hitam yang bulunya
berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari sore yang cerah, tertambat pada sebatang
pohon tua yang tumbuh di tepi sungai yang berair jernih.
Seonggok pakaian berwarna merah
tampak tidak jauh dari kaki kuda itu, berada di atas sebuah batu di tepi
sungai. Sepasang kaki tersembul dari
permukaan air, bersamaan dengan terlihat-nya sepasang betis yang berkulit
halus... terdengar suara air menyibak muncrat.
"Kang Sentanuuuu...! Apakah kau tidak ingin mandi" Oh, segar sekali rasanya...!"
Satu suara merdu segera terdengar dari tengah sungai yang berair tidak terlalu
dalam itu. Ternyata itu adalah suara Roro Dampit yang tengah
berkecimpung di air sungai mempertunjukkan kebolehannya berenang, pada
seorang laki-laki tampan yang tampak menuruni tepi sungai yang berbatu-batu.
Namun ia tidaklah menoleh pada suara itu, melainkan terus membasuh wajah serta
tangan dan kakinya ketika tiba di tepi air. Tiba-tiba persis di hadapannya
sebuah kepala tersembul di permukaan air.
Diselingi suara tertawa ... dan sebagian tubuhnya segera tersembul semua.
"Idiiih, nggak mandi! Malu ah..." Demikian kata Roro Dampit sambil menutupi
sebagian tubuhnya yang entah disengaja entah
tidak, ujung dua bukit kembar itu sedikit terlihat. Membuat mata Sentanu mau tak
mau merayap ke sana...
Seketika laki-laki ini cepat-cepat
palingkan wajahnya, sementara jantungnya kembali berdegup cepat. Ia akui memang
akan kecantikan orang, namun justru ingatannya bahkan tertumpu pada Ratu Laut
Nyai Roro Kidul. Yang pernah digandrungi setengah mati. "Puaskanlah mandimu,
sebentar lagi setelah istirahat kita lanjutkan perjalanan!" Berkata ia sambil
balikkan tubuh, dan melangkah pergi dari situ. Ternyata yang ditujunya adalah ke
bawah sebatang pohon rindang. Di sana ia menjatuhkan pantatnya untuk duduk di
akar pohon. Sementara pandangan matanya tertuju lagi pada tempat di mana gadis itu mandi
berkecimpung ... Terdengar suara helaan napasnya yang berat seperti ia tengah
berusaha melepaskan tekanan perasaan dalam dadanya.
Bukannya wajah Roro Dampit yang
berkelebatan pada wajahnya. Tapi wajah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, yaitu
Roro Centil. Yang akhirnya barulah
disadari bahwa Ratu Dongeng Nyai Roro Kidul itu bukanlah seorang Dewi lautan,
melainkan seorang wanita Pendekar yang berilmu tinggi. Hingga sampai-sampai ia
tak percaya bahwa seorang manusia dapat
bermain di atas ombak dengan gelombang yang besar-besar itu. Betapa tingginya
ilmu pendekar wanita yang menamakan dirinya Roro Centil itu. Membatin
hatinya. Pantas kalau ketika paderi cabul
Gunung Wilis itu berhasil ditumpasnya.
Demikianlah sambil duduk di akar pohon itu, sebentar pikirannya tertumpu pada si
gadis pendekar itu, namun sebentar
tertuju pada gadis yang asyik mandi di hadapannya... yang sama-sama mempunyai
nama depan yang sama yaitu RORO. Cuma berbeda pada ujungnya saja.
Sesaat ia teringat akan dirinya
yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, cuma sekedar ilmu yang boleh dikatakan
tak berarti bila dibandingkan dengan para pendekar yang pernah didengar namanya,
seperti; si Maling Sakti atau Pendekar Bayangan. Memikir demikian ia merasa
menyesali kebodohannya selama ini
Saking jauhnya ia melamun, sampai-
sampai ia tak menyadari kalau si gadis teman seperjalanannya itu telah selesai
mandi. Dan telah pula selesai mengenakan pakaiannya kembali. Bahkan langkah-
langkah tindakan kaki di belakangnya ia tak mendengarnya karena memang si gadis
baju merah itu dengan berjalan memutar, telah berada di belakang Sentanu. Dan
dengan langkah hati-hati ia menghampiri
laki-laki itu. Sentanu yang tak menyadari tiba-tiba jadi terkejut karena
sepasang lengan yang dingin telah merangkul
lehernya dari belakang... Dibarengi terdengarnya suara "Kak Sentanu, kau melamun
saja... apa sih yang
dilamunkan...?"
Tentu saja ia jadi gelagapan. Untuk meronta adalah hal yang sulit rasanya karena
tak sesuai dengan hatinya yang lembut dan mengerti perasaan orang.
Terpaksa ia mandah saja ketika sepasang benda lunak yang lembut menindih pada
punggungnya, dan ketika benda yang
menimbulkan rangsangan itu menggeser ke atas, pipi yang terasa dingin namun
hangat itu telah menempel pada pipinya...
Terdengarlah bisikan lembut pada
Rahasia Sang Geisha 2 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Pendekar Super Sakti 17
^