Pencarian

Setan Cebol Penyebar Maut 2

Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut Bagian 2


diserang oleh beberapa prajurit Kerajaan Medang
yang berilmu tinggi.
Namun akhirnya setelah segalanya menjadi
beres. Ia dapat berkenalan dengan si Pendekar
Pedang Bermata Delapan yang bernama Ki Reksa
Permana. Dan bahkan sempat pula si Pendekar
Tua itu menceritakan kisah hidupnya. Tentu saja
kematian Tokoh yang dikagumi itu telah mem-
buat Roro Centil jadi bersedih... Ternyata terlalu banyak manusia keji yang
selalu membuat kericuhan di alam kehidupan ini...
4 KEJADIAN beberapa bulan yang lalu itu ia-
lah ketika iring-iringan kereta kuda dari Wono
Segoro yang membawa upeti menuju ke Kerajaan
Medang telah dibegal oleh seorang perampok wa-
nita yang berkepandaian tinggi. Wanita itu me-
makai cadar diwajahnya sehingga tak dikenali...
beberapa pengawal pengawal kereta kuda yang
membawa upeti dari Bupati Wono Segoro itu jadi
terkejut melihat sesosok tubuh meloncat ke da-
lam kereta yang tengah dikawalnya dari jarak be-
berapa belas tombak dari mereka. Karena menga-
lami kesulitan jalan, terpaksa mereka mengambil
jalan memutar. Tak dinyana ditempat yang sunyi
mencekam itu telah dihadang oleh beberapa
orang begal. Tiga orang pengawal dibagian depan
segera lakukan pertarungan. Sementara dibagian
tengah ternyata lebih berbahaya, karena benda-
benda berharga atau upeti itu berada dikereta
yang berada ditengah. Empat orang pengawal
menjerit roboh, ketika senjata-senjata rahasia
mengenai tepat pada jantungnya... Dan sesosok
tubuh yang dikenalinya adalah seorang wanita,
telah melompat ke atas kereta untuk segera
menggondol beberapa buntalan berisikan sepeti
uang dan perhiasan kiriman dari Bupati Wono
Segoro. Empat penunggang kuda yang melihat ke-
jadian itu dari belakang kereta, segera lakukan pengejaran...
"Berhenti keparat..!" Teriak salah seorang dari mereka. Dan dengan cepat
mengejar dengan
kudanya. Sementara tiga pengawal lainnya segera
berpencar untuk mengurung si pembegal.
Terdengar ringkikkan kuda sang pengawal
yang segera roboh terkena senjata rahasia si wa-
nita misterius itu. Namun si penunggangnya da-
pat menyelamatkan diri, dengan melompat cepat.
Dan dengan tombak siap ditangan ia sudah akan
segera menerjang si pembegal. Melihat itu tiga
orang pengawal lainnya segera turun dari ku-
danya untuk segera bantu mengepungnya. Meli-
hat dirinya sudah terkepung sedemikian rupa,
tampaknya si pembegal itu tak menjadi ciut nya-
linya. Segera saja keempat pengawal menerjang
dengan senjata masing-masing. Dua orang meng-
gunakan pedang, sedang dua orang lagi memper-
gunakan tombak. Hebat ternyata gerakan wanita
bercadar itu, dengan gerakan lincah ia segera
berkelebat kian kemari untuk menghindar.
Plak! Sebuah hantaman telapak tangan masih
sempat ia lontarkan, sementara sebelah lengan-
nya telah bergerak untuk melakukan serangan
dengan senjata-senjata rahasianya. Namun
keempat pengawal ini adalah pengawal-pengawal
pilihan. Dengan segera telah menyampok mental
senjata-senjata rahasia itu dengan memutarkan
pedangnya. Sementara yang terkena hantaman
telapak tangannya terjungkal beberapa tombak,
tampak ia agak menyeringai kesakitan. Namun
masih dapat untuk kembali bangkit. Dan kembali
raih tombaknya yang terlempar. Terjadilah serang
dan terjang dari keempat pengawal dan si pem-
begal wanita itu. Sementara itu ketiga pengawal
yang berada didepannya tampaknya agak kewala-
han, karena kelima begal laki-laki yang mereka
hadapi ternyata adalah bukan begal-begal pici-
san... Namun walau demikian mereka berhasil ju-
ga membunuh tewas seorang begal. Seorang pen-
gawal terpaksa lepaskan senjatanya karena terlu-
ka pada pergelangan tangannya. Dua pengawal
terkejut, segera mempergencar serangan... Namun
empat begal itu bukanlah tandingannya. Tombak
dan pedang mereka terlepas karena masing-
masing terluka oleh golok dan blencong yang te-
rus-menerus mencecarnya. Keduanya segera me-
lompat mundur... Pada saat itulah salah seorang
dari pengawal yang terluka telah melompat ke
atas kudanya untuk segera memacunya dengan
cepat. Sedang kedua kawannya yang terluka sege-
ra berlari ke belakang untuk membantu menye-
lamatkan upeti. Namun sudah terlambat, karena
sudah sejak tadi upeti berharga itu lenyap. Dan
mereka hanya menjumpai empat pengawal yang
sudah tergeletak tewas. Dan dikejauhan ia meli-
hat adanya pertarungan hebat dari keempat pen-
gawal yang berada dibelakang kereta dengan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi. Dalam keadaan
yang tak terduga keempat orang pembegal itu te-
lah menerjang ke atas kereta...
"Keparat..! Sudah ada yang menggondol-
nya..!?" Berteriak salah seorang. Kemarahannya beralih pada si dua pengawal itu.
Yang kembali mereka gempur dengan terjangan golok dan blen-
cong. Hingga akhirnya kedua orang pengawal itu
perdengarkan teriakan ngeri ketika senjata-
senjata dari para begal itu menebas dada dan
menggorok leher. Kiranya perampokan itu dilaku-
kan oleh orang-orang yang tidak saling kenal. Yai-tu kelompok pembegal dan si
wanita bercadar itu, yang mengambil keuntungan lebih cepat, disaat
terjadinya pertarungan. Kelima begal itu adalah
yang dijuluki si Lima Iblis Gentayangan. Yang
terkenal amat kejam, dan berkepandaian tinggi.
Melihat seorang wanita bercadar yang telah ber-
hasil menggondol barang upeti itu, dan tengah
bertarung dengan serunya dengan keempat pen-
gawal. Segera saja ia turun tangan membantu.
Beruntunglah si wanita bercadar itu sehingga ia
dapat bernapas lega. Segera ia sudah sambar ke-
dua buntalan rampasannya, sambil berkata :
"Lima Iblis Gentayangan...! Jangan khawa-
tir, aku akan selamatkan benda upeti ini dulu.
Nanti aku akan kembali untuk membantu kalian
melenyapkan kacung-kacung Bupati ini...! Hi hi
hi..." Dan sesaat kemudian ia telah berkelebat menerobos dari kepungan keempat
pengawal, yang jadi terkesiap seraya berteriak salah seo-
rang... "Setan betina! Tinggalkan barang itu..!"
Plak! Sebuah lemparan tombak telah berhasil ia
halau dengan kibasan lengannya, dan tanpa me-
noleh lagi ia sudah melesat kabur. Akan halnya si keempat pembegal itu tak ada
jalan lain selain
menerjang keempat pengawal itu. Dan terjadilah
pertarungan seimbang, yaitu empat lawan empat.
Namun keempat pengawal karena mengkhawatir-
kan keselamatan barang upeti itu, jadi kurang
bergairah untuk bertarung, sehingga tampak ter-
desak. Dengan menarik napas lega si wanita ber-
cadar itu berkelebat cepat untuk mencari tempat
yang aman, bagi barang upeti rampasannya itu.
Agaknya ia tak terlalu tamak untuk mengangkan-
gi sendiri. Segera saja ia telah mendapatkan tempat persembunyian yang aman.
Dibalik sebong-
kah batu besar yang tertutup rumpun bambu
yang hanya satu-satunya rumpun bambu yang
terdapat disitu, ia segera sembunyikan kedua
buntalan benda berharga itu. Terdengar ia meng-
gumam : "Tempat ini mudah di ingat..! Biarlah aku
menolong membantu si Lima Iblis Gentayangan
itu. Mereka bisa diajak kerja sama, untuk mem-
begal lagi dilain saat..!" Akan tetapi baru saja ia balikkan tubuh, terkejutlah
ia karena dihadapannya telah berdiri seorang gadis cantik dengan
rambut terurai panjang. Seuntai kalung berukiran huruf " R " pada bandulannya
yang berbentuk ha-ti, tampak tergantung di lehernya yang jenjang.
Sepasang matanya yang bak bintang kejora, terli-
hat menatap padanya dengan tatapan tajam.
"Siapa kau..!" Bertanya si wanita bercadar dengan suara bentakan. Namun yang
ditanya dengan dibentak begitu rupa, malah tertawa geli
sekali membuat si wanita bercadar jadi terpaku
heran. "Hi hi hi... hi hi... Dari kecil sampai begini dewasa baru aku lihat ada
pencuri yang malah
membentak petugas keamanan... Apakah tidak
salah..?" Berkata di gadis berbaju hijau yang tak lain adalah Roro Centil.
Mendengar balasan kata-kata itu tentu saja membuat si wanita bercadar
jadi melengak. "Kalau begitu kau harus mampus..!" Bentak si wanita bercadar, yang tak mau
mengulur waktu, dan segera menerjangnya. Dua hantaman
yang ia lancarkan hampir bersamaan itu adalah
sebuah jurus yang mematikan. Satu mengarah
tenggorokan, dan satu lagi mengarah dada.
"Jurus yang bagus..!" Teriak Roro Centil.
Dan ia hanya gunakan ujung rambutnya menge-
prak datangnya sambaran tangan ke arah tenggo-
rokan dengan gerakkan kepala ke arah samping.
Sedangkan sambaran ke arah dadanya ia biarkan,
sengaja ia menguji kekuatan tenaga lawan.
Buk! Prak! Terdengar hantaman pada Roro Centil,
namun akibatnya si wanita bercadar perdengar-
kan teriakan kaget. Tubuhnya terpental ke bela-
kang beberapa tombak. Terasa ia telah memukul
benda keras, yang menolak balik pukulan tan-
gannya. Sedangkan keprakkan ujung rambut Ro-
ro, tak sempat ia mengelakkannya. Sehingga
tampak ia meringis menahan pedasnya jari-jari
tangannya, yang menampakkan guratan-guratan
merah. "Edan..! Sebutkan siapa namamu sebelum aku bertindak lebih jauh. Kau kira
si Walet Kencana akan membiarkan kau turut campur uru-
sanku..?" Roro Centil naikkan alisnya dengan juma-
wa, sambil menggendong tangannya ke belakang
ia sudah lantas berkata :
"Siapakah Walet Kencana itu.." Paling-
paling begitu melihatku ia sudah segera bertekuk lutut. Apakah kau muridnya..?"
"Hm, kau belum rasai kelihaian ilmu-
ilmuku, sudah mau menyombong. Tak perlu gu-
ruku yang datang. Aku si Elang Alap-alap masih
mampu memindahkan nyawamu ke alam Akhi-
rat..! Menggertak si wanita bercadar itu. Kembali Roro Centil mengikik tertawa
seraya berkata :
"Hi hi hi... Memang nyawaku sudah sering
pulang pergi ke Akhirat, mengapa harus payah-
payah kau mau memindahkan...?" Dan setelah
kembali mengikik geli Roro sudah menyambung-
nya lagi : "Baiklah aku beri tahu namaku... Apa kau
belum dengar nama Roro Centil" Nah itulah
aku..!" Berkata Roro sambil tersenyum. Agaknya nama yang barusan itu pernah juga
didengarnya. Namun belum pernah lihat orangnya. Mengetahui
orang yang dihadapannya itu adalah si Pendekar
Wanita Pantai Selatan, tampak si wanita bercadar mendengus dan berkata tajam.
"Huh! Rupanya seorang gadis yang masih
ingusan saja..! Rupanya orang terlalu menggem-
bar-gemborkan namamu yang berjulukan si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan itu terlalu melebih-
lebihkan saja. Bagus...! Aku mau rasai keheba-
tanmu, sobat..!" Selanjutnya ia telah perdengarkan teriakan keras, dan
berkelebat menerjang
dengan serentetan pukulan, yang menggelombang
bagaikan air bah, tanpa memberi kesempatan se-
dikitpun untuk Roro Centil berdiam sejenak. Na-
mun dengan tertawa-tawa sang lawan bahkan
menari-nari dihadapannya, dengan gerakan yang
mempesona. Tapi alangkah terkejutnya si Elang
Alap-alap, mengetahui setiap hantaman pukulan-
nya telah dapat terelakkan. Hingga tiba-tiba ia
berteriak keras untuk merubah gerakannya. Kali
ini sepasang kakinya bergerak menyambar ke
arah dada dan perut. Dibarengi dengan hantaman
telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam
penuh. Wus ! Wus! Dua terjangan kaki dan tangan lolos dari
sasaran. Terpaksa ia pergunakan senjata rahasia
andalannya untuk menyerang lawan. Berhambu-
ranlah belasan paku-paku beracun menyerang
Roro. Yang cukup terkejut, karena serangan men-
dadak itu dibarengi dengan gerakan pukulan tan-
gan menyilang, dan terjangan tipuan ke arah
samping. Sehingga ketika ia melompat kekanan,
saat itulah paku-paku beracun si Elang Alap-alap meluruk deras ke arah delapan
bagian tubuhnya.
Roro Centil berteriak keras... dan tiba-tiba telah gerakkan sepasang lengannya
untuk menyampok
jatuh beberapa paku beracun itu. Namun tak


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urung dua paku beracun kena juga menancap
pada kakinya. Segera ia melompat mundur. Se-
mentara si wanita bercadar itu tersenyum sinis.
Dilihatnya sang lawan jatuh dengan menekuk lu-
tut. Dan tampak menyeringai kesakitan... Melihat orang sudah tak berdaya, ia
menjadi sombong.
Tiba-tiba perdengarkan tertawanya, seraya mem-
buka topeng cadarnya.
"Hi hi hi... Pendekar Wanita Pantai Selatan ternyata hanya nama yang digembar-
gemborkan belaka. Buktinya, tanpa guruku Walet Kencana...
kau sudah bertekuk lutut dihadapanku! Hi hi hi...
Kau boleh rasakan kehebatan racun paku yang
amat jahat itu. Dalam waktu sepeminuman teh,
kedua kakimu akan lumpuh tak terpakai lagi.
Alangkah sayangnya...!"
Namun yang ditertawakan ternyata balik
tertawa lagi dengan geli sekali. Tertawanya Roro Centil ternyata berkepenjangan,
hingga sampai-sampai si Elang Alap-alap mengerahkan kekuatan
bathinnya untuk melawan getaran pada jantung-
nya yang sekonyong-konyong terasa bergetar. Tak
ia ketahui bahwa suara tertawa itu adalah diper-
gunakan Roro untuk mengusir racun untuk sege-
ra mengalir keluar lagi, dari bekas luka senjata rahasia dikakinya. Yang tanpa
ia ketahui, kedua
paku beracun yang mengena pada kaki sang la-
wan, telah dicabut kembali. Darah hitam segera
merembes keluar.
"Hentikan tertawamu bocah centil..! Kau
pasti akan cepat mampus..!" Terdengar bentakan keras, dibarengi dengan terjangan
kedua telapak tangan yang menghantam Roro dengan tenaga
penuh. Namun pada saat itu, Roro Centil sudah
mencelat ke atas tiga tombak. Dan ketika menu-
kik dengan beberapa kali jumpalitan ia telah ge-
rakkan tangannya untuk meluncur deras ke arah
tubuh sang lawan. Yang segera si wanita bercadar perdengarkan teriakan atau
keluhannya, dibarengi dengan ambruknya sang tubuh. Karena seko-
nyong-konyong ia rasakan tubuhnya menjadi ka-
ku dan limbung. Ternyata ia telah terkena totokan lengan si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Ketika ia coba palingkan kepalanya, terli-
hat olehnya sang lawan tengah cekikikan mena-
tap padanya... Seraya melemparkan paku bera-
cun yang telah sejak tadi berada dalam gengga-
mannya, Roro Centil berujar: "Hi hi hi... Siapa bilang kakiku akan menjadi
lumpuh.." Mungkin ju-
ga sepasang kakimu yang akan kubikin sate saat
ini..!" Keringat dingin segera mengucur deras di tubuh si Elang Alap-alap. Dalam
keadaan demikian ia tak mampu untuk berkutik lagi. Ia cuma
pejamkan mata dengan hati kebat-kebit. Tiba-
tiba... Bret! Bret! Bret! Dengan senyum-senyum
Roro Centil telah gerakkan tangannya untuk me-
robek pakaian orang.
"Auuuw..! Apa yang kau mau lakukan..!?"
Berteriak si wanita itu yang sudah terbuka cadarnya. Wajahnya segera tampak
pucat pias melihat
apa yang dilakukan si Pendekar Centil ini.
"Hm, lebih baik mulutmu dikunci saja,
agar tidak terlalu cerewet!" Berkata Roro Centil sambil gerakkan tangannya,
hingga sekejapan sa-ja si wanita itu, cuma bisa ngangakan mulutnya
tanpa bisa keluarkan suara. Setelah ditelanjangi sampai bersih, Roro Centil
angkat tubuh orang ke tengah semak belukar. Sementara matanya jelala-tan
mencari-cari sesuatu, ke atas dahan pohon
dan ke beberapa tempat dibawah. Tiba-tiba ia
menampakkan senyumnya sekilas... Dan berkele-
batanlah tubuhnya ke semak-semak. Tampak di-
bawahnya ratusan semut rangrang yang tengah
berkerumun diatas rerumputan, seperti tengah
membuat sarang.
Bruk! Ia sudah jatuhkan tubuh si wanita,
yang sudah bagaikan pisang yang dikupas kulit-
nya itu. Tak ampun lagi ratusan semut rangrang
segera mengerubutinya, untuk segera menye-
rangnya dengan gigitan-gigitannya. Adapun si
Elang Alap-alap cuma meringis-ringis kesakitan
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya atau berte-
riak. Sehingga ia cuma bisa menggeliat-geliat se-bisanya tanpa bisa menangis.
Apalagi tertawa...
Roro cuma pandangi orang dihadapannya dengan
senyum-senyum. Seraya berkata :
"Nah kau rasakanlah akibat dari ketama-
kanmu. Barang upeti itu akan kukembalikan lagi
pada yang berhak membawanya ke Kerajaan..!"
Setelah ucap-kan kata-kata itu, segera Roro Cen-
til berkelebat kembali ke tempat tadi. Pakaian-
pakaian si wanita itu ia raih dan lemparkan.
Hingga menyangsang didahan pohon tinggi. Se-
lanjutnya ia sudah berkelebat ke arah dimana si
Elang Alap-alap menyembunyikan buntalan ba-
rang upeti itu. Yang sebentar saja telah berpindah ketangan Roro.
"Aku harus cepat antarkan kembali ba-
rang-barang berharga ini..! Menggumam ia, sam-
bil gerakkan tubuh untuk tinggalkan tempat itu.
Memang ia telah melihat adanya perampokan itu.
Yaitu pertarungan antara si wanita itu dengan
keempat para pengawal. Ketika ia mau bergerak
untuk membantu, telah keburu datang si empat
dari Lima Iblis Gentayangan yang turut menem-
pur keempat pengawal itu. Sementara si wanita
bercadar itu membawa kabur barang rampasan-
nya. Roro Centil segera menguntitnya. Hingga terjadi pertarungan, yang berakhir
dengan keunggu-
lannya. Namun baru saja ia jejakkan kakinya.
Enam orang perwira kerajaan telah mengurung-
nya, yang muncul dari beberapa penjuru.
"Pembegal tengik..! Kau tak dapat lari lagi!
Hayo serahkan barang rampasanmu!" Teriakan
itu telah dibarengi dengan berkelebatnya pedang
dari arah samping dan belakang. Terpaksa Roro
gerakkan tubuh untuk menghindar. Namun ia
sudah terkepung oleh enam pengawal yang tak
mengerti akan hal ikhwalnya. Segera saja empat
orang maju merangsak dengan teriakan sengit,
menabas dan menusuk dari berbagai arah. Ter-
paksa Roro Centil kembali bergerak untuk sela-
matkan jiwanya. Kedua buntalan itu telah ia le-
paskan. Dan dengan mengegos ke kiri dan kanan
ia hindari terjangan-terjangan keempat pengawal.
Wah...!" Celaka besar..! Aku yang dianggap
pembegal tengik itu...!" Berkata Roro dalam hati.
Agaknya Roro Centil tak mau berlama-lama un-
tuk mengakhiri pertarungan. Tiba-tiba ia berte-
riak keras dengan suara yang melengking pan-
jang. Inilah suara yang baru pertama kali diden-
gar oleh keenam pengawal yang baru datang itu.
Walaupun mereka adalah pengawal-pengawal an-
dalan yang berkepandaian tinggi, namun kini su-
dah dibuat terkesima dengan lengkingan yang
panjang itu. Lengkingan suara yang mengandung
tenaga dalam hebat, hingga keenam pengawal itu
berdiri terpaku dengan diluar kesadarannya. Pada saat itulah tiba-tiba tubuh
wanita dihadapannya
berkelebatan dengan cepat karena masing-masing
senjata yang dicekalnya telah terlepas dan ter-
lempar dari tangannya, dengan suara yang ber-
klontangan. Saat selanjutnya bayangan tubuh
Roro Centil tampak berkelebat lagi ke tengah-
tengah arena pertarungan. Dan sekejap telah ber-
diri lagi dekat buntalan barang upeti yang tergeletak dekat kakinya. Sedangkan
dikedua belah len-
gannya tergantung senjata si Rantai Genit... Melihat kejadian yang hampir dapat dikatakan seke-
jap mata itu, keenam pengawal itu jadi ternganga.
Namun Roro Centil sudah lantas berkata dengan
suara keras : "Kalian telah salah alamat..! Aku bukanlah
si pembegal tengik yang menginginkan barang
upeti macam begini! Pergilah ambil barang-barang ini..!" Sambil berkata demikian
Roro telah menggerakkan ujung kakinya mengungkit kedua bun-
talan itu. Segera kedua buah buntalan barang
berharga itu melayang ke arah dua orang pen-
gawal, yang segera menyambutinya. Sementara
keempat orang pengawal, yang tadi bertarung
dengan keempat begal dari si Lima Iblis Gen-
tayangan, telah berkelebat ke tempat itu. Tapi
kemunculannya diikuti seorang tua berjubah pu-
tih. Roro tetap berdiri tegak ditempatnya. Adapun kemunculan keempat pengawal
itulah yang telah
menolongnya dari kesalah fahaman. Karena sege-
ra mereka mengenali akan si pembegal. Rupanya
dari pakaian yang dipakai si pembegal wanita itu mereka dapat membedakannya.
Kalau tadi yang
dikepungnya adalah wanita yang bercadar hitam
pada wajahnya, dan berbaju kuning. Akan tetapi
Roro Centil adalah berpakaian hijau. Adapun se-
pasang senjatanya yang berbentuk aneh itu, me-
nandakan ia bukanlah si pembegal yang tadi...
Segera saja keempat pengawal menjura hormat
pada Roro Centil. Salah seorang pengawal telah
memeriksa isi kedua buntalan itu, yang masih
utuh gemboknya pada peti upeti yang dikawalnya.
Keenam pengawal lainnya pun segera menjura
hormat sambil menyatakan maafnya atas kekeli-
ruan mereka... Sementara si orang tua berjubah putih itu,
segera memperkenalkan dirinya yang ternyata
bernama Ki Reksa Permana. Yang berjulukan si
Pedang Sakti Bermata Delapan. Segera Roro men-
gambil kesimpulan bahwa kawanan pembegal tadi
pasti telah tewas. Karena kedatangan si Pendekar Tua itu bersama keempat
pengawal yang tadi bertempur. Sudah dipastikan si Pendekar Tua berju-
bah putih itu turut membantu keempat pengawal.
Dalam waktu singkat mereka telah saling berke-
nalan... Roro Centil segera beritahukan tentang si pembegal wanita yang telah
dilucuti pakaiannya
dan kini tengah merasakan siksaannya digigiti
tubuhnya oleh semut-semut rangrang. Tentu saja
penuturan itu membuat semua pengawal jadi ter-
tawa. Adapun si Pendekar Tua bernama Ki Reksa
Permana itu ternyata telah mengajaknya saling
menjajaki kepandaian masing-masing. Terutama
sekali sang Pendekar Tua ini ingin mengetahui
kehebatan senjata si "Rantai Genit" nya Roro Centil. Terpaksa Roro pertunjukkan
kelihaiannya memainkan senjata itu. Yang ternyata telah me-
nambah pengalamannya bertempur. Karena Ki
Reksa Permana telah pergunakan senjata anda-
lannya yang telah membawa harum namanya itu,
yaitu Pedang tipis yang luar biasa lemasnya.
Hingga bila senjata itu digunakan, akan terlihat mata pedang yang berubah jadi
delapan mata pedang. Roro Centil sendiri tak menyangka kalau
permainan sepasang senjata si Rantai Genit itu
ternyata dapat mematahkan serangan pedang Ki
Reksa Permana. Dengan berseru kagum sang
Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan tiba-tiba
melompat mundur. Seraya berucap :
"Cukup..! Cukup..! Sepasang senjata yang
hebat!" Memuji Ki Reksa Permana. Adapun kesepuluh pengawal, jadi dibuat
ternganga menyaksi-
kan pertarungan kedua tokoh ternama itu. Yang
satu adalah seorang Pendekar Tua yang sudah
kawakan, sedang yang seorang lagi adalah tokoh
persilatan yang masih amat muda. Seorang gadis
cantik yang tampaknya tidak punya ilmu kepan-
daian, tapi ternyata telah membuat mata mereka
terbuka. Bahwa sudah muncul lagi seorang pen-
dekar muda, yang sukar dicari tandingannya di
abad itu. Demikianlah... dengan rasa terima kasih tak terhingga pada kedua
pendekar, kesepuluh
pengawal itupun mohon diri. Untuk segera men-
gurus para jenazah, dan meneruskan perjalanan
membawa kiriman upeti ke Kerajaan Medang. Se-
dangkan Roro Centil tampak masih bersama si
Pendekar Tua itu meneruskan bercakap-cakap.
Ternyata Ki Reksa Permana banyak bercerita ten-
tang kisah hidupnya...
Itulah kisah pertemuannya dengan Ki Rek-
sa Permana, Si Pendekar Pedang Sakti Bermata
Delapan yang kini telah tiada. Tampak si gadis
Pendekar itu menghela napas. Terasa trenyuh ha-
tinya, mengingat akan kisah hidup Pendekar Tua
itu, yang akhirnya menemui kematian dengan ca-
ra yang amat mengenaskan. Perjalanan yang ditu-
junya adalah mencari tempat tinggal Ki Reksa
Permana, yang seperti telah diceritakan oleh al-
marhum, ia mempunyai seorang puteri hampir
sebaya dengannya, bernama Sumirah. Walaupun
sang Pendekar Tua itu tak meninggalkan pesan
disaat kematiannya, Roro bermaksud mencari ta-
hu tentang Sumirah itu, apakah ia berada disana, ataukah juga telah tewas.
Karena memang didapati ada seorang wanita yang juga tewas dengan
keadaan yang mengerikan. Namun wanita itu ti-
daklah dapat dikatakan masih sebayanya. Dan
tentu saja untuk memberikan pedang Pusaka Ki
Reksa Permana itu pada si gadis, sebagai pewaris pusaka orang tuanya...
Bulan sepotong yang seperti menempel di-
langit itu masih tetap seperti tadi, ketika si Pendekar Wanita Pantai Selatan
mulai gunakan ilmu
larinya mencari jalan, untuk dapat menjumpai
sebuah desa. Seeker kelelawar tampak terkejut di sebuah pohon rimbun, dan


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengepakkan sayapnya untuk terbang menjauh, tatkala Roro berlalu
dibawahnya... Padepokan Cemara Kandang yang cuma
tinggal dua belas orang itu, tampak berkumpul
disatu ruangan. Masih terdengar suara orang ber-
cakap-cakap dengan perlahan. Namun kesemua-
nya tampaknya dilanda kegelisahan.
"Tak ada seorangpun dari murid utama
yang kembali pulang... Apakah mereka telah da-
pat membekuk si makhluk Cebol itu, ataukah te-
lah tewas..?" Berkata salah seorang dengan suara berdesis perlahan. Salah
seorang yang paling tertua menyahuti.
"Yah, kita hanya dapat berdo'a saja akan
keselamatannya. Kasihan Jatmiko... anak dan is-
trinya jadi korban si makhluk biadab itu. Aku
berkeyakinan, mereka pasti telah tewas. Kare-
na..." Tampaknya si murid tertua itu tak tega untuk menceritakannya. Dan
sekonyong-konyong
rasa takut menghantuinya.
"Hm... Sudahlah, jangan fikirkan yang su-
dah terjadi. Sebaiknya kita tunggu saja kedatan-
gan Guru kita, atau Jeng Sumirah... yang tengah
melacak kemana perginya si makhluk keji itu."
Dan semua pun terdiam. Suasana kembali men-
cekam, membuat kedua belas pemuda yang ber-
kumpul satu ruangan itu saling berdesak dengan
wajah yang gelisah.
"Sampurasuuuun..!" Terdengar suara
memberi salam diluar.
"Rampeees..!" Hampir berbareng kedua belas sisa murid di Padepokan itu menyahuti
salam itu. Salah seorang sudah berkata pada kawannya:
"Siapa" Jeng Sumirah kah..?"
"Entahlah! Tak biasanya Jeng Sumirah
mengucapkan salam demikian..!" Menyahuti kawannya.
Sementara beberapa orang sudah segera
membukakan pintu ruangan, dengan hati was-
was. Segera terlihat sesosok tubuh yang telah
berdiri di depan Padepokan. Sinar cahaya bulan
dan terangnya cahaya lampu yang menyorot ke-
luar dari dalam ruangan itu, segera dapat melihat siapa adanya yang datang.
"Siapa gadis ini..?" Salah seorang cepat berbisik pada kawannya.
"Ssst. Diamlah..!" Menyahuti sang kawan yang bertubuh agak jangkung. Lalu dengan
segera menghampiri si wanita itu, yang tak lain dari Roro Centil. Tanpa menunggu
pertanyaan Orang,
Roro segera berucap :
"Maaf... Boleh aku tahu, apakah disini
tempat tinggal Ki Reksa Permana?" Terkejut si jangkung dan juga beberapa
kawannya karena
sang tetamu ternyata mengenai nama Guru me-
reka. Si murid tertua yang juga turut keluar, segera menjawab pertanyaan itu...
"Benar, nona..! Padepokan Cemara Kan-
dang ini adalah tempat tinggal beliau. Dan Ki
Reksa Permana adalah Guru kami. Siapakah no-
na.." Bolehkah hamba tahu, dan ada keperluan
apakah anda datang kemari..." Jawaban si murid tertua dibarengi dengan
pertanyaan pula, dengan
menatap wajah sang tamu tajam-tajam, seperti
tengah menegasi wajah orang.
"Aku ada membawa berita tentang Guru
kalian. Dan selain itu juga untuk menyampaikan
benda ini pada puterinya yang bernama Sumi-
rah..!" Berkata Roro Centil sambil menunjukkan pedang tipis Ki Reksa Permana.
Terkejutlah mereka seketika. Dan serta merta mempersilahkan
Roro untuk masuk. Sementara beberapa orang
murid segera berdesakan untuk mengetahui beri-
ta itu, juga ingin melihat siapa adanya si gadis cantik yang datang itu.
Demikianlah, Roro Centil
segera perkenalkan dirinya. Dan menceritakan
kejadian yang telah dijumpainya. Setelah sebe-
lumnya menceritakan perjalanannya hingga sam-
pai dapat menjumpai Padepokan Cemara Kan-
dang... 5 TAK ada peristiwa lain yang amat menye-
dihkan selain kesedihan mendengar berita ten-
tang tewasnya Guru mereka yang amat mereka
cintai. Adapun mengenai Sumirah, puteri sang
Guru almarhum mereka sendiri tak dapat mem-
berikan keterangan. Karena menurut dugaan,
pasti puteri sang Guru mereka itu telah menyusul ayahnya mencari jejak si
makhluk Cebol itu. Dalam suasana haru itu, Roro Centil termenung...
Yang akhirnya terdengar menghela napas. Ia juga
turut berduka cita dengan tewasnya Ki Reksa
Permana. Namun sebagai seorang tetamu, juga
seorang Pendekar yang telah kebal dengan pende-
ritaan, Roro tak menampakkan kedukaannya.
Bahkan memberi semangat pada murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana agar tetap tabah
menghadapi cobaan berat yang telah menimpa
mereka. Karena bukan mereka saja yang menga-
lami kesedihan. Penduduk desa dan masyarakat
juga telah banyak yang mengalami musibah besar
semacam itu. Kehilangan anak dan istri, serta
lain-lain musibah, sejak kemunculan makhluk
Cebol gentayangan itu... Bahkan semua ini ada-
lah tanggung jawab mereka semua, yaitu para
pendekar penegak hukum, pembela si tertindas,
penolong yang lemah, dari segala macam kekejian
yang berada diatas permukaan bumi ini untuk
menumpasnya. Namun sebagai orang yang telah cukup ju-
ga dengan pengalaman, Roro Centil dapat mema-
hami akan sia-sianya pengorbanan mereka. Kare-
na telah dapat diduganya si makhluk Cebol itu
berkepandaian amat tinggi dan telengas. Hingga
dengan segala senang hati Roro Centil menerima
usul mereka untuk menetap dulu selama bebera-
pa hari di Padepokan itu. Sambil mencari kabar
mengenai berita dimana adanya Sumirah, juga
mencari tahu jejak si manusia iblis penyebar
maut itu. Berdiamnya Roro Centil di Padepokan itu
ternyata membuat murid-murid mendiang Ki
Reksa Permana tampak timbul lagi semangatnya.
Apalagi mengetahui Roro Centil adalah seorang
tokoh yang pernah diceritakan kehebatan ilmunya
oleh mendiang Gurunya pada mereka.
Berita yang mengejutkan terjadi di sekitar
desa. Tampaknya seperti tenang-tenang saja. Ka-
bar tentang Sumirah yang telah dilacak ke perba-
gai desa oleh murid-murid mendiang si Pendekar
Tua itu tak membawa hasil. Sumirah lenyap tak
berbekas. Roro Centil tak dapat berdiam lebih la-ma... Akhirnya iapun mohon diri
untuk mening- galkan Padepokan Cemara Kandang, dengan tu-
juan mencari jejak Sumirah. Demi rasa tanggung
jawabnya, dan rasa simpati sebagai sesama pen-
dekar. Demikianlah... Dengan hati berat, kedua
belas murid Ki Reksa Permana itu melepas keper-
giannya. Bahkan ada diantara mereka yang ber-
sedia ikut bersama mencari jejak puteri Gurunya
itu. Namun dengan halus Roro Centil mengu-
capkan terima kasih. Dan menyuruh mereka te-
tap berada didesa. Menjaga dari segala hal atau
kemungkinan yang bisa saja terjadi kericuhan.
Walaupun bukan perbuatan si makhluk Cebol itu.
6 RORO CENTIL langkahkan kakinya untuk
segera meninggalkan Padepokan Cemara Kan-
dang... Dan sesaat kemudian telah berkelebat le-
nyap dari pandangan kedua belas murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana. Yang jadi ternganga
kagum. Matahari pagi itu bersinar cerah... Dere-
tan awan-awan putih bagaikan kapas terlihat di-
ujung cakrawala. Semilir angin bersyiur lembut
dari arah utara terasa membuat tubuh menjadi
sejuk. Namun tidaklah membuat sejuknya hati
Roro Centil, yang entah mengapa amat mengkha-
watirkan nasib Sumirah. Beruntung Roro telah
dapat mengetahui akan tanda-tanda dan raut wa-
jah si gadis yang tengah dicarinya itu, dari penje-lasan yang ia dapati.
Sehingga ia akan dapat
mengenali seandainya dapat menjumpainya.
Roro Centil telah tiba pada sebuah tempat
yang berpemandangan indah. Bunga-bungaan
disekitar situ terawat dengan rapi... Hampir disetiap tempat terdapat rumpun
bambu kuning, yang berkelompok-kelompok yang juga terawat
dengan baik. Beberapa kolam kecil berair jernih
terdapat juga disekitar tempat itu.
Tempat apakah ini.." Seperti sebuah taman
saja layaknya..! Berfikir Roro. Sementara kakinya terus melangkah melalui jalan
kecil yang mengelilingi taman berpagar bambu kuning yang tampak
semakin rapat dibagian depan. Tiba-tiba dikejau-
han terdengar suara orang bercakap-cakap. Roro
kerutkan alisnya, dan cepat menyelinap ke balik
semak disebelah kiri jalan. Sementara sepasang
matanya menatap ke ujung jalan. Tak berapa la-
ma segera terlihat siapa yang tengah bercakap-
cakap itu. Yaitu seorang wanita setengah tua,
dengan dandanan yang amat menyolok. Wajahnya
masih boleh dikatakan cukup cantik. Tiga untai
kalung mutiara tergantung pada lehernya. Wanita
ini berkulit putih. Memakai sanggul diatas kepala, dengan tusuk konde emas
terselip pada sanggul-nya. Sedangkan lawannya bercakap-cakap adalah
seorang laki-laki yang agak bungkuk. Kepalanya
agak besar, yang mengenakan ikat kepala bersu-
lam benang emas. Berbaju dan celana yang ber-
warna hitam, yang juga tersulam dengan benang
emas. Kain sarungnya terbuat dari sutera yang
indah berwarna biru langit. Mengenakan ikat
pinggang yang besar. Laki-laki yang agak bung-
kuk ini membawa sebuah pipa cangklong yang
panjang, terbuat dari gading. Bergagang perak,
yang tampak berkilat. Sebentar-sebentar ia
menghisap pipanya, dan menghembuskan asap
tembakau dari mulutnya. Usianya sekitar lima
puluhan tahun. Dapat dipastikan orang ini ada-
lah seorang bangsawan atau hartawan.
"Apakah kau sudah yakin aku akan panuju
dengan orang barumu itu..?" Terdengar suara bi-caranya dengan nada angkuh.
Wanita setengah
tua disebelahnya tampak tersenyum sambil lirik-
kan matanya yang agak genit.
"Aku tak tahu pasti, tapi menurutku kau
tak akan kecewa..!" Berkata si wanita itu. Tampak si bangsawan bungkuk itu hisap
pipa cangklongnya dalam-dalam, dan hembuskan asap tebal dari
mulut dan hidungnya ke udara.
"He he he... walaupun sudah tua begini,
aku Raden Mas Guntoro sudah banyak pengala-
man, tak akan dapat kau dustai untuk yang ke-
dua kalinya...!" Kata-kata itu membuat si wanita jadi tersenyum masam, namun
segera terdengar
suara tertawanya yang disambung dengan kata-
kata : "Hi hi hi... Yang sudah lalu itu pasti tak akan terulang lagi, Ndoro..!"
Tampak si wanita itu sengaja menyanjungnya dengan kata-kata seperti
seorang abdi pada majikannya. Dan selanjutnya
yang terdengar adalah suara cekikikan dan terta-
wa terkekeh, kekeh dari keduanya. Tiba-tiba si
bungkuk bercangklong itu hentikan suara terta-
wanya. Sebelah lengannya sekonyong-konyong
bergerak ke arah semak disebelah kirinya, seraya membentak :
"Siapa disitu..!" Dan serangkum angin keras menyambar ke semak-semak, membuat
daun- daun semak itu buyar dan beberapa batangnya
rebah. Roro Centil telah melesat dari tempat persembunyiannya. Ia heran juga,
yang si orang bungkuk itu mengetahui adanya ia disitu. Namun
akhirnya Roro dapat mengetahui, yaitu sinar pe-
dang tipis yang cahayanya terpantul kena sorotan Matahari itulah yang
menyebabkan orang mengetahui tempat persembunyiannya. Baru saja ia
menjejakkan kakinya ke tanah, sudah terdengar
lagi bentakan keras. Dan berkelebatannya seso-
sok bayangan, yang tak lain dari si wanita genit itu. "Kuntilanak..! Apa yang
kau kerjakan ditempat ini..!" Sebentar saja Roro telah lihat si wanita itu
berada dihadapannya. Sepasang matanya
menatap tajam padanya. Sementara kedua len-
gannya bertolak pinggang. Si orang bungkuk ber-
cangklong panjang itupun telah melompat ke
tempat itu. Tapi, tiba-tiba wajahnya jadi berubah menyeringai...
"He he he... Kalau macam begini sih ra-
sanya aku amat penuju sekali. Eh, Walet Kenca-
na! Apakah kaupun tidak mengenalnya..?" Bertanya si bungkuk itu, sementara
sepasang ma- tanya telah merayapi setiap lekuk tubuh Roro dari
kepala sampai kekaki. "Aku sih tidak kenal, tapi mungkin salah seorang muridku
mengenalnya..!"
Selesai berkata tiba-tiba ia telah masukkan dua
jarinya kebawah lidah. Dan terdengarlah suara
suitan panjang keluar dari mulutnya. Selang be-
berapa saat terdengar suara gaduh dari beberapa
orang wanita. Dan selanjutnya telah muncul lima
orang murid wanita yang segera menjura hormat
pada si wanita yang dijuluki si Walet Kencana.
Adapun Roro Centil begitu mendengar nama Wa-
let Kencana itu, segera teringat akan si wanita
pembegal yang telah kena dipecundangi. Dan di-
telanjangi bulat-bulat untuk diumpankan pada
ratusan semut rangrang beberapa bulan yang la-


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lu. Wanita pembegal itu bernama julukan si Elang Alap-alap, yang menyebut-nyebut
nama Walet Kencana sebagai gurunya.
"Eh, murid-muridku..! Apakah salah seo-
rang dari kalian mengenal perempuan di hada-
panku ini.. ?" Salah seorang dari mereka ternyata ada yang telah menatap amat
tajam dari balik cadar tipis yang dikenakannya. Wajahnya tampak
terpulas dengan bedak tebal. Namun tetap saja
bekas luka-luka gigitan semut rangrang pada wa-
jah dan seluruh tubuhnya masih menampakkan
bintik-bintik kecil yang menghitam. Ia sudah lantas berkata :
"Guru..! Kalau guru dapat memaklumi ke-
bodohanku, kuntilanak inilah yang telah mengga-
galkan pekerjaanku. Dan telah menyiksaku den-
gan perbuatan kejinya..." Tampak sang Guru alias
si Walet Kencana itu cuma tersenyum.
"Hm, tak usah kau berkecil hati. Kalau kau
ingin balas menyiksanya, baiklah akan kutang-
kapkan ia dihadapanmu. Namun sebelumnya kau
harus mengalah dulu pada paman Guntoro Kecut
ini. Setujukah...?" Si wanita bercadar itu men-gangguk. Roro segera dapat
mengenalinya kalau
wanita itu tak lain dari si Elang Alap-alap.
"Kau pernah ceritakan padaku kalau si Wa-
let Kencana, ialah aku telah dihina sedemikian
rupa oleh budak ini yang mengatakan aku akan
tunduk bersujud dihadapannya. Nah, gadis can-
tik, cobalah kau perbuat aku untuk tunduk pa-
damu..!" Sambil berkata ia kembali palingkan wajah pada Roro Centil. Tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh berbaju kuning ke tempat itu, yang sudah
lantas berkata santar :
"Kakak..! Bolehkah aku bicara sebentar
dengan si Pendekar wanita ini..?" Si wanita setengah tua itu sudah palingkan
kepalanya pada si
pendatang. Namun ia hanya perdengarkan den-
gusan hidungnya.
"Ken Wangi..! Jangan kau mencampuri
urusanku. Sudah kukatakan hitam tetaplah hi-
tam. Aku tak mau lihat mukamu lagi, walau kau
adalah adikku sendiri!" Semua mata jadi beralih menatap pada wanita berbaju
kuning itu. Namun
si wanita baju kuning itu tersenyum sinis, dan
dengan monyongkan mulutnya ia menyahuti.
"Huh! Siapa yang sudi akui kau kakak kandung-ku lagi.. " Namun perbuatanmu
semakin brutal tetap akan kutentang. Kalau tidak, akan habislah gadis-gadis suci yang cantik-
cantik kau umpankan pada para hidung belang macam si Raden
Mas Guntoro Kecut itu.." Tampak wajah si Walet Kencana berubah merah padam.
Tiba-tiba ia palingkan kepala pada kelima muridnya.
"Murid-muridku..! Segeralah kau usir dia
dari tempat ini. Atau kalau perlu kau bunuh
mampus!" Mendengar perintah gurunya itu, segera kelima orang wanita itu
mengurungnya. "Heh! Lima orang kuntilanak kau suruh
menggempurku.. "! Apakah tidak sekalian kau
suruh keluar semua orang-orangmu untuk mem-
bunuhku!" Berkata si wanita berbaju kuning yang bernama Ken Wangi itu. Namun
kata-katanya sudah segera terhenti, karena dengan berbareng ke-
lima wanita itu telah menerjang untuk mering-
kusnya. Sebentar saja di taman itu telah terjadi pertarungan seru. Suasana yang
tadi sunyi mendadak jadi ramai oleh suara bentakan-bentakan
keras. Adapun Roro Centil segera berkelebat men-
jauh. Ia tak mau jadi sasaran pukulan dari mere-
ka, yang bertarung didekatnya.
"Tunggu..! Kau tak dapat pergi dengan be-
gitu saja. Penghinaanmu terhadap muridku, dan
meremehkan pada diriku, harus kau pertanggung
jawabkan!" Membentak si Walet Kencana, seraya berkelebat mengejar ke arah Roro.
"Aiiii.."! Siapa yang mau melarikan diri.."
Bukankah kau ingin menangkapku hidup-hidup,
untuk kau serahkan pada si tua bangka bungkuk
itu. Nah, tangkaplah aku, siapa tahu aku dapat
membuktikan kata-kataku membuat kau bersu-
jud mencium kakiku. Hi hi hi...." Berkata Roro Centil dengan seenaknya. Saat itu
si Raden Mas Guntoro Kecut sudah berlari mendatangi.
"Walet Kencana! Awas, jangan sampai kau
lukai tubuhnya... Aku pasti akan membayar
mahal untuknya..! Teriak Raden Mas Guntoro Ke-
cut, sambil menghisap pipa cangklongnya. Si Wa-
let Kencana cuma tersenyum jumawa seraya ber-
kata : "Jangan khawatir Ndoro, hamba pasti per-sembahkan seutuhnya buat Ndoro
tanpa cacat secuilpun..!" Namun sebelum si wanita itu bertindak lebih lanjut, Roro telah
berlalu ke arah si
Bangsawan bungkuk itu. Langkahnya seperti
orang yang tak merasa khawatir sedikitpun. Ten-
tu saja si orang bungkuk bercangklong panjang
itu jadi ternganga, karena gerakan langkah Roro
amat memikat hatinya. Memang Roro Centil sen-
gaja berjalan dengan goyangkan pinggul, yang
membuat orang jadi tercengang.. Apalagi bagi si
hidung belang macam Raden Mas Guntoro Kecut.
Hal itu telah membuatnya amat kagum, seraya
geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah, den-
gan mata yang nyalang merayapi indahnya tubuh
gadis dihadapannya.
"Kalau tak ingin membuat tubuhku menja-
di lecet, sebaiknya tak usah kau payah-payah un-
tuk menangkapku Walet Kencana. Lebih bagus
biar Ndoro mu Raden Mas Guntoro Kecut ini saja
yang menangkapku...!" Mendengar kata-kata itu tentu saja si bangsawan bungkuk
itu jadi terbeliak matanya, dan tiba-tiba telah tertawa terke-
keh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk.
"He he he., he he... Bagus! Bagus! Bocah
ayu..! Mengapa tidak sedari tadi kau katakan"
Tentunya aku tak akan keluar biaya mahal untuk
menyuntingmu..!" Sambil berkata tiba-tiba sepasang lengannya telah memeluk tubuh
sang gadis dihadapannya. Roro Centil yang memang berwa-
tak aneh sukar diterka itu, ternyata membiarkan
tubuhnya dipeluk orang. Bahkan ia tersenyum
manja sambil menggelendot di dada si bangsawan
tua itu. Adapun hal itu telah membuat si Walet
Kencana jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Disamping rasa mendongkol, namun
juga aneh yang amat luar biasa.
Apakah perempuan ini memang agak tidak
waras.." Berfikir si Walet Kencana. Belum lagi ia banyak berfikir melihat sikap
orang yang aneh
itu, Roro Centil telah berkata dengan suara ber-
nada memerintah :
"Walet Kencana, segera kau suruh orang-
orangmu menyediakan kamar yang bersih untuk
aku menginap beberapa malam bersama Ndoro-
mu ini..." Tentu saja si wanita setengah tua yang menjadi majikan ditempat ini,
jadi melengak. Orang luar dihadapannya telah berani berkata
sedemikian enaknya. Seolah-olah dialah majikan-
nya. Namun tetap saja ia menyahuti, karena me-
mandang pada si orang Bangsawan bungkuk itu
yang juga tengah menatap padanya.
"Kamar yang bersih sudah selalu tersedia
setiap saat. Atau baiklah aku periksa lagi akan
kebersihannya..!" Berkata ia sambil segera melesat lebih dulu ke arah depan.
Ketika sesaat ia
menoleh kebelakang, segera terlihat Raden Mas
Guntoro Kecut telah memondong si gadis cantik
yang aneh itu. Benar-benar ia seperti tidak mem-
percayai penglihatannya. Muridnya mengatakan
gadis itu adalah yang berjulukan si Pendekar Wa-
nita Pantai Selatan. Dengan telah berhasil mengalahkan si Elang Alap-alap dan
dapat menggagal-
kan pekerjaannya membegal barang upeti yang
berharga, sudah dipastikan ia berilmu tinggi. Walaupun terasa aneh akan sikap
orang, namun te-
tap saja ia bercuriga pada Roro. Hingga diam-
diam ia telah mengatur rencana untuk dapat
membekuknya. Cuma saja ia harus mengalah du-
lu pada tetamunya Raden Mas Guntoro Kecut,
yang akan memberi pinjaman uang, juga salah
seorang yang menjadi sumber pemasukan yang
tidak kecil. Sebentar saja Roro Centil sudah diba-wa berlari dengan cepat,
mengikuti di belakang si Walet Kencana.
Sebuah rumah gedung mungil segera tam-
pak dibagian depan. Sedangkan dibelakang ge-
dung itu ada terlihat juga satu wuwungan yang
memanjang. Ternyata dikatakan mungil, gedung
itu amat luas dibagian dalamnya. Selang sesaat
Roro sudah berada didalam ruangan gedung yang
amat bersih dan rapi itu. Temboknya berwarna
kuning, sedang bagian bawahnya berlantai mar-
mer yang indah. Didepan pintu ruangan wanita
itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Seraya me-
natap pada Roro yang masih berada dalam pon-
dongan sang tamu.
"Hm, Aku agak sangsi dengan sikapmu,
nona..! Sebaiknya agar tidak menaruh kecuri-
gaanku, harap kau lepaskan benda-benda yang
membelit dan tersangkut di pinggangmu..!" Roro kerutkan alisnya dan berfikir
sejenak, lalu sudah lantas berkata, sambil menoleh pada orang yang
memondongnya. "Bagaimana pendapatmu, sayang.." Aku
sih terserah padanya!" Berkata Roro sambil palingkan wajah menatap lagi pada si
Walet Kenca- na. "He he he... Jangan khawatir, apakah
orang macam aku, masih perlu kau beri peringa-
tan" Siang-siang aku telah menotoknya. Walau-
pun ia hanya pura-pura saja toh sudah tak ber-
daya apa-apa..." Seraya berkata ia telah lepaskan pondongannya. Hingga tak ampun
lagi tubuh Ro-ro Centil jatuh terlentang diatas lantai. Masih untung bagian atas
tubuhnya tidak dilepaskan,
hingga hanya kaki dan pantatnya saja yang
menggasruk ke lantai. Tampak Roro perlihatkan
wajah meringis. Namun sekejap sudah berpindah
lagi dalam pondongan Raden Mas Guntoro Kecut.
Melihat kenyataan didepan mata, wajah si Walet
Kencana tampak perlihatkan wajah berseri, se-
raya berucap : "Hi hi hi... Bagus! Silahkan kalian berse-
nang-senang. Aku akan menyelesaikan urusanku
dengan adik keparatku dulu. Ingat, jangan kau
coba-coba buka totokanmu, Raden Mas Guntoro
Kecut...!" Dan setelah berkata demikian, ia segera melesat keluar gedung.
Sementara si Bangsawan
tua itu sudah pondong tubuh Roro ke dalam ka-
mar. Namun saat berikutnya yang terdengar ada-
lah suara keluhan Raden Mas Guntoro Kecut.
Yang disusul dengan terdengar suara tempat ti-
dur yang berderit, ketika tubuh si bangsawan itu jatuh ke pembaringan. Sementara
Roro Centil berdiri di sisi pembaringan tengah menatap laki-
laki bungkuk itu sambil tersenyum.
"Kau.." Ka.. kau...." Terdengar suara Raden Mas Guntoro Kecut, tapi hanya
desisnya saja yang keluar di tenggorokan. Sedangkan sepasang
matanya menatap Roro dengan melotot gusar, ju-
ga heran. Karena sekonyong-konyong ia telah ra-
sakan tubuhnya jadi kaku. Bukannya ia yang
lemparkan tubuh gadis itu diatas kasur, bahkan
ia sendiri yang terlempar ke atas pembaringan.
Itulah akibat ulah perbuatan Roro Centil, yang telah gerakkan tangannya untuk
menotok didalam
pondongan. Bukan saja menotok tubuh orang, ju-
ga menotok urat suara si bangsawan bungkuk
itu, hingga tak bisa mengeluarkan suara. Dalam
keadaan kaku begitu, Roro sudah segera merosot
dari pondongannya. Dan dorong tubuh laki-laki
tua itu ke pembaringan. Mengapa tiba-tiba Roro
dapat terlepas dari totokan si Raden Mas Guntoro Kecut itu" Kiranya sewaktu
berjalan dengan
goyangkan pinggulnya ke arah si bangsawan tua
itu tadi, diam-diam Roro telah salurkan tenaga
dalam ke seluruh tubuh untuk menjaga dari be-
berapa kemungkinan yang tak terduga. Sebagai
pewaris ilmu si Manusia Aneh Pantai Selatan,
tentu saja Roro mewarisi keanehan watak Gu-
runya. Bahkan Roro telah bertambah lagi il-
munya, ketika ia berjumpa dengan seorang laki-
laki bernama Joko Sangit. Yang mengajarinya il-
mu mengeluarkan racun dengan suara tertawa....
Demikianlah, disaat si bangsawan bungkuk itu
menotoknya dengan diam-diam melalui gerakan
tangan ketika memeluknya, Roro Centil telah ter-
hindar dari pengaruh totokan... Rupanya Roro
Centil telah berani menempuh jalan lain yang cu-
kup berbahaya, dari pada bertempur. Karena
dengan demikian ia bisa leluasa bergerak untuk
menyelidiki dimana adanya Sumirah. Seperti te-
lah didengarnya tadi dari si wanita pendatang
bernama Ken Wangi, yang ternyata adik kandung
si Walet Kencana sendiri... Sang kakak ternyata
seorang Germo, yang boleh dibilang penculik ga-
dis-gadis cantik. Yang tentu saja untuk kepentingan usahanya. Juga didengarnya
dari percakapan
si Walet Kencana dengan si bangsawan tua, yang
menyinggung-nyinggung tentang adanya seorang
gadis yang telah dipersiapkan untuk di persem-
bahkan pada si bungkuk hidung belang itu. Ma-


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanya Roro telah mengambil jalan yang cukup
unik, namun dengan perhitungan yang sudah di-
pikir masak masak.
Demikianlah dengan cepat ia telah keluar
kembali dari kamar. Ruangan tengah itu tampak
sunyi... Hingga tanpa mengalami kesulitan ia berhasil memasuki setiap ruangan
untuk mencari dimana adanya si gadis Sumirah. Dengan gerakan
cepat, namun dengan sembunyi-sembunyi. Tanpa
ragu-ragu Roro membukai setiap pintu yang ter-
tutup, dan melongok ke arah kamar yang terbu-
ka. Akan tetapi pada salah sebuah pintu kamar
yang tertutup, terdengar suara laki-laki dan wani-ta. Untung pintu tak terkunci.
Segera saja ia buka pintu kamar dengan cepat, dan melompat ke dalam. Tampak satu
pemandangan yang membuat
darahnya berdesir... Karena dua orang manusia
berlainan jenis bagaikan dua orang bayi yang ba-
ru dilahirkan dari perut ibunya, saling berangkulan di pembaringan. Walaupun
pemandangan itu
membuat darahnya tersirap, namun mengingat
waktu sangat sempit, Roro telah berkelebat cepat untuk segera menotoknya, hingga
kedua manusia itu tak dapat berkutik lagi. Dan serta-merta telah perhatikan wajah si wanita.
Namun tampaknya ia
sudah melompat lagi keluar kamar, dan tutupkan
pintu. Kembali ia berkelebat ke lain ruangan. Pa-da sebuah ruangan yang terbuka
ia dapat dengar
suara beberapa wanita... Segera ia merandek un-
tuk mendengarkan.
"Cepatlah kau melarikan diri...! Mumpung
belum terlambat..! Nyonya majikanku tengah ber-
tarung dengan adik kandungnya, bersama kelima
orang murid-muridnya....'" Terdengar berkata salah seorang wanita.
"He..." Kau mau mati" Pergilah kalau me-
mang sudah tak inginkan hidup! Si Walet Kenca-
na tak akan membiarkan orang bawahannya un-
tuk kabur begitu saja. Hmh, rupanya diam-diam
kau mau jadi penghianat, ya! Awas kau Laras..!
Akan aku adukan perbuatanmu pada Ndoro Pu-
tri!" Ancam seorang wanita yang suaranya terdengar agak santar.
"Huh, kau memang keterlaluan Katrijah.
Aku hanya merasa kasihan padanya kalau sam-
pai ia jadi korban bangsawan hidung belang. Jadi pemuas hawa nafsu manusia-
manusia yang sudah tak mengenal batas kesusilaan..! Apakah tak
tersirat dihatimu untuk juga lepaskan diri dari
tempat terkutuk ini..?" Menyahuti lagi wanita yang bernama Laras itu dengan tak
kalah sengit-nya. Dan kata-katanya sudah terdengar disam-
bung lagi... "Apakah kalian semua juga sudah betah
berdiam ditempat najis seperti ini..?"
Tampak sejenak suasana jadi hening. Ter-
dengar salah seorang menghela napas, entah sia-
pa. "Sebenarnya bukan kami tak mau mening-
galkan tempat maksiat ini, tapi kami takut untuk melarikan diri. Kami takut
tertangkap lagi. Dan
akan besar akibatnya. Bukankah pernah salah
seorang teman kita yang coba-coba melarikan di-
ri, telah kau lihat sendiri penyiksaan atas dirinya.
Yang akhirnya menemui kematian..!" Kembali semua terdiam, namun salah seorang
terdengar berkata dengan suara lemah :
"Aku tak dapat tinggalkan pembaringan-
ku... Tubuhku terasa lemah tak bertenaga ...! Aku memang lebih baik mati dari
pada berdiam ditempat celaka ini..!" Suara itu dibarengi dengan suara isak
tersendat. Tersentak seketika Roro
Centil. Segera ia sudah dapat menebak siapa
adanya wanita itu... Dengan segera ia sudah ge-
rakkan tubuh melompat masuk ke dalam kamar.
Kemunculan Roro membuat beberapa sosok tu-
buh melangkah mundur. Dan beberapa pasang
mata-mata yang jeli menatap tajam ke arahnya.
Roro sudah lantas berkata :
"Aku akan menolong kalian semua keluar
dari neraka ini. Segera bersiaplah untuk minggat tinggalkan tempat celaka
ini..!" Dan kata-katanya telah dibarengi dengan melangkah cepat ke arah
seorang gadis yang terbaring di pembaringan.
Yang juga tengah menatap padanya.
"Apakah kau yang bernama Sumirah.."
Bertanya Roro. Gadis ini segera berusaha bangkit untuk duduk. Tampak memang
tubuhnya lemah sekali. Segera Roro ulurkan tangan memban-
tunya. Bahkan dengan gerakan-gerakan tangan-
nya ia telah mengurut di beberapa tempat bagian
tubuh gadis itu. Tampak si gadis tampilkan wajah girang. Ia segera telah dapat
bangkit berdiri. Dan dengan memandang kagum pada orang dihada-
pannya, tanpa ragu-ragu ia telah peluk tubuh Ro-
ro sambil linangkan air mata.
"Be., benar! Aku Sumirah..! Siapakah ka-
kak..?" Bertanya ia sambil lepaskan pelukannya.
Roro tampak menarik napas lega.
"Aku Roro Centil, sahabat ayahmu Ki Rek-
sa Permana.." Tutur Roro sambil tepuk-tepuk pundak gadis itu dengan terharu.
"Oh... "! Andakah Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang diceritakan ayahku itu?" Sumirah belalakkan sepasang matanya dengan
mulut ternganga. Roro angguk-anggukkan kepalanya.
Dan tiba-tiba ia telah loloskan pedang tipis Ki
Reksa Permana dari pinggangnya, serta berikan
benda itu pada si gadis.
"Cepatlah kau terima pedang pusaka
ayahmu ini. Jangan banyak bertanya..! Ayo, sege-
ra ikuti aku..!" Selanjutnya ia telah tarik lengan si gadis keluar dari kamar.
Sembilan wanita yang
berdesakan dikamar itu tanpa dikomandokan lagi
turut mengikuti dibelakang. Cuma salah seorang
yang bernama Katrijah itu tiba-tiba hentikan tin-dakannya. Ia agak ragu untuk
turut melarikan di-
ri. Namun salah seorang telah menarik lengan-
nya, hingga terpaksa iapun berlari menyusul yang lainnya.
"Aku tahu pintu keluar yang baik..!" Teriak Laras. Yang segera mendahului ke
arah depan Roro, yang tidak gunakan gerakkan terlalu cepat, karena harus menunggu wanita-
wanita lain dibelakangnya. Dengan sebat Laras sudah berlari un-
tuk menuju ke arah pintu belakang. Dua orang
pembantu terperanjat melihat orang-orang diha-
dapannya berlarian, hingga ia berdiri dengan wa-
jah kebingungan.
"Sssst, Awas kau! Jangan berani laporkan
kepergian kami..!" Laras cepat tempelkan jari te-lunjuk pada bibirnya, sambil
plototkan mata pada kedua pembantu itu. Namun sekali Roro berkelebat, kedua
pembantu itu sudah perdengarkan ke-
luhannya dan jatuh menggeloso, tanpa bisa kelu-
arkan suara lagi. Kira-kira sepeminum teh, sete-
lah rombongan wanita-wanita itu melewati pintu
belakang gedung, suasana di gedung itu kembali
Perintah Maut 2 Pendekar Mabuk 123 Pengawal Pilihan Pedang Langit Dan Golok Naga 26
^