Pencarian

Setan Cebol Penyebar Maut 3

Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut Bagian 3


sunyi. Kedua pembantu itu cuma bisa gerakkan
kepalanya saling berpandangan. Namun sama se-
kali ia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Apala-
gi bersuara. Karena Roro telah menotok urat sua-
ranya. Pertarungan antara si wanita pendatang
bernama Ken Wangi itu dengan kelima orang mu-
rid wanita, merangkap primadona di gedung ber-
taman indah milik si Walet Kencana itu, tampak
berjalan dengan seru. Suara bentakan dan teria-
kan-teriakan terdengar santar, diantara bera-
dunya senjata-senjata tajam. Tiga wanita pergu-
nakan pedangnya untuk menusuk dengan berba-
reng... Namun si wanita berbaju kuning alias Ken Wangi itu cuma mendengus, dan
putarkan tongkatnya untuk menyampok mental terjangan ke
arahnya. Dua wanita yang satu gunakan sabuk
sutera untuk belitkan pada tongkat Ken Wangi,
sedang satu lagi adalah si Elang Alap-alap, yang sudah gerakan tangannya
menyerang dengan pa-ku-paku beracun, senjata rahasia andalannya.
"Perempuan-perempuan bejat..!" Teriak
Ken Wangi. Dengan tiba-tiba ia telah sentakkan
tongkatnya dengan keras, hingga tubuh si wanita
yang telah berhasil menggubat tongkatnya itu me-
luncur ke arahnya. Hal yang diluar dugaan itu telah membuat si wanita bersabuk
sutera terkesiap, terlebih-lebih si Elang Alap-alap... Karena saat itu telah
meluncur tiga paku beracun ke arah depan.
Namun sudah terlambat. Segera saja terdengar je-
rit si wanita bersabuk sutera itu yang roboh ter-sungkur. Tampak tubuhnya
berkelojotan bagai
ayam baru disembelih. Namun sekejap kemudian
telah terkulai tewas. Kiranya tiga paku beracun
itu telah mengenai leher dan punggungnya. Tiga
wanita berpedang melompat mundur, seraya pa-
lingkan muka ke arah si Elang Alap-alap.
"Kau...!?" Hampir berbareng mereka berteriak sambil plototkan mata pada si Elang
Alap-alap, yang seketika wajahnya berubah pias.
"Aku tak menyangkanya, akan terjadi de-
mikian..!" Berkata si wanita bercadar tipis itu membela diri. Dan tiba-tiba ia
telah berkelebat ke arah Ken Wangi untuk menempurnya dengan terjangan-terjangan
kaki dan tangannya. Pada saat
itulah muncul si Walet Kencana, yang segera ke-
luarkan bentakan keras.
"Menyingkir semua..! Biar aku yang meng-
hajar bocah kurang ajar ini.,!" Serentak ketiga
wanita berpedang yang telah siap untuk kembali
menempur itu, melompat ke belakang begitu li-
hat, munculnya sang guru mereka. Si Elang Alap-
alap pun segera melompat mundur. Namun se-
saat sudah kembali melesat untuk memondong
mayat saudara seperguruannya. Dan dibawa me-
nyingkir ke sisi.
"Murid-murid kerocomu itu baiknya kau
ajari memasak Walet Kencana..! Mengapa hanya
kau ajari membunuh orang dan melayani laki-laki
hidung belang saja...?" Merah padam wajah si Walet Kencana.
"Kuntilanak..! Hitam kataku tetap hitam.
Kau sudah bunuh orangku, maka tak salah jika
aku turunkan tangan keji terhadapmu..!" Dan sekejap ia sudah lompat menerjang...
Kedua belah tangannya telah bergerak menghantam ke arah
Ken Wangi. Tersentak wanita itu, yang segera
berkelebat menghindar, namun tak urung samba-
ran angin panas itu telah membuat kulitnya kena
terserempet. Busss! Tanah tempatnya berpijak muncrat ber-
hamburan, dan tampak berubah hitam, hangus.
Sementara sebelah lengan Ken Wangi telah jadi
melepuh, akibat serempetan hawa panas yang
menyambar dahsyat itu.
"Keparat! Arwah orang tua kita pasti me-
nangis, bila dapat melihat kekejianmu Walet Ken-
cana! Manusia sepertimu, sudah tak mengenal la-
gi akan jalan yang benar. Kau mau turunkan tan-
gan keji untuk membunuhku" Baik! Aku akan
adu jiwa denganmu...!" Segera saja terdengar teriakan santar Ken Wangi, yang
dengan beringas
telah menerjang dengan tongkatnya.
Wuss! Wuss! Dua hantaman keras secara
beruntun meluncur ke arah tenggorokan dan ke-
pala si Walet Kencana. Namun wanita setengah
tua ini cuma keluarkan dengusan di hidung. Dan
dengan sedikit mengegos ia berhasil menghin-
dar... Plak! Sebuah hantaman telapak tangan dengan
telak telah mengenai dada Ken Wangi. Yang sege-
ra perdengarkan teriakannya. Tubuhnya terlem-
par beberapa tombak... Begitu menyentuh tanah
telah menggelogok darah kental berwarna hitam,
keluar dari mulutnya. Terlihat baju kuningnya telah berubah jadi hitam hangus.
Segera saja kain
itu menjadi serpihan lapuk ketika lengan Ken
Wangi merabanya. Terpaksa Ken Wangi biarkan
payudaranya terbuka, yang tampak kedua da-
gingnya menjadi berubah kehitaman. Betapa sa-
kitnya Ken Wangi merasakannya, namun lebih
sakit lagi hatinya... Perlahan-lahan ia sudah
bangkit lagi. Tongkatnya telah kembali disilang-
kan ke depan dada. Sepasang matanya menatap
tajam bersinar-sinar pada kakak kandungnya,
yang telah tega berbuat sedemikian pada adiknya
sendiri. "Kau terlalu mencampuri urusanku, Ken
Wangi! Sudah kukatakan sejak dulu. Jangan kau
sok menasihati aku. Ambillah jalanmu sendiri.
Dan biarkan aku mengambil jalan yang kutem-
puh sendiri..!"
"Keparat! Begitu hina dan rendahnya jalan
fikiranmu! Mana aku bisa berpeluk tangan meli-
hat laku lampahmu..." Kau bukan lagi manusia.
Ken Huma..! Kau memang ibliiiiiss..!" Dan dengan berteriak keras ia telah
kembali menerjang. Kali ini tongkatnya telah diputar sedemikian rupa
hingga sesaat Walet Kencana agak sulit menya-
rangkan pukulannya untuk menangkis putaran
tongkat. Namun senjata sang adik tiba-tiba telah berubah ganas. Tolakan dari
tangkisan itu membuat putaran tongkatnya terhenti. Namun gera-
kan selanjutnya bahkan lebih hebat. Setiap puku-
lan mengandung tenaga dalam. Batu dan ranting
beterbangan hancur, terkena sambaran tongkat
Ken Wangi. Ia sudah tak menghiraukan lagi akan
nyawanya... Serangan-serangan ganas itu sudah
saling susul menghantam si Walet Kencana.
Plak! Plak!.... Buk!
Kembali terdengar teriakan kesakitan dari
Ken Wangi. Tubuhnya telah terlempar lagi bergul-
ing-guling. Kali ini bajunya pada bagian pung-
gung yang terlihat hangus. Menampakkan serpi-
han-serpihan kain yang hancur, menyingkapkan
kulit punggung wanita itu yang terlihat mengelu-
pas. Dengan menahan rasa perih pada pung-
gungnya, juga tanpa menghiraukan darah yang
mengalir hitam dari bibirnya.... Kembali ia bangkit untuk menerjang. Namun Ken
Huma alias si Walet Kencana sudah menerjangnya kembali den-
gan hantaman yang sudah dipastikan akan me-
renggut nyawa sang adik... Akan tetapi pada saat dan detik yang membawa maut
itu, telah terdengar bentakan keras.
"Iblis keji..!" Dan bersyiurlah angin keras yang menggelombang, menghantam balik
pukulan si Walet Kencana.
"Aiiiiii..!" Terdengar si Walet Kencana me-
mekik. Segera ia sudah lemparkan tubuhnya ber-
gulingan. Bhusss..! Batu dan semak dibelakangnya
buyar berantakan disertai jeritan ketiga murid si Walet Kencana yang tak sempat
menghindar. Ternyata hantaman angin yang bergelombang dah-
syat itu telah menghantam balik pukulan dahsyat
si Walet Kencana. Tak ampun lagi ketiga murid-
nya telah perdengarkan jerit kematian, karena seketika tubuhnya telah berubah
hangus... Terbe-
liak sepasang mata si Walet Kencana, menyaksi-
kan ketiga murid wanitanya berkelojotan mere-
gang nyawa. Ternyata ia telah mengumbar hawa
amarahnya untuk menghancur leburkan tubuh
Ken Wangi. Hingga ia hantamkan kedua telapak
tangannya dengan menyalurkan tenaga dalamnya
dengan tenaga penuh. Akibatnya yang menjadi
korban adalah ketiga orang muridnya sendiri. Wa-
jahnya seketika berubah pias bagai kertas, ketika sesosok tubuh tahu-tahu telah
muncul dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Ki-
ranya setelah mengamankan wanita-wanita seka-
pan didalam gedung maksiat itu, ia kembali ke
taman... Karena tiba-tiba ia teringat akan seorang pendatang wanita berbaju
kuning yang tengah
bertarung dengan kelima wanita murid si Walet
Kencana. Memang ia telah mendengar si wanita
pendatang itu bernama Ken Wangi yang entah
akan bicara apa padanya... Disamping mengkha-
watirkan keselamatan dirinya. Dari kata-katanya
ia sudah mengambil kesimpulan bahwa Ken Wan-
gi berada di pihak yang benar. Yang telah menda-
pat tantangan keras dari sang kakak.
Ken Wangi tampakkan wajah gembira me-
lihat kedatangan Roro, ia sudah segera mau ber-
gerak menghampiri... namun tiba-tiba kembali ia
muntahkan darah hitam kental dari mulutnya.
Sekonyong-konyong ia rasakan matanya berku-
nang-kunang. Pandangan matanya menjadi gelap.
Dan dengan keluhan lemah, ia jatuh terjungkal...
Namun sebelum hal itu terjadi, Roro telah berke-
lebat untuk menyangganya. Dilain kejap ia telah
pondong tubuh Ken Wangi ke tempat yang aman.
"Celaka.." Keadaan tubuhnya luka pa-
rah..!" Menggumam Roro, dengan suara berdesis.
Sepasang alisnya mengkerut ke bawah. Dan tak
ayal lagi ia gunakan tenaga dalamnya untuk me-
nyalurkan hawa hangat, pada tubuh Ken Wangi.
Namun napas Ken Wangi tinggal satu-satu... De-
tak jantungnya kian melemah. Tiba-tiba wanita
itu telah buka kelopak matanya, menatap pada
Roro. "An... anda kah si Pendekar... Wanita Pan-
tai Selatan i... itu...?" Dengan megap-megap wanita itu berusaha buka suara.
Sementara wajahnya
tampak semakin memucat. Aliran tenaga dalam
Roro cuma mampu membuat dia bertahan bebe-
rapa saat. Karena begitu Roro Centil mengang-
gukkan kepala dengan memandang terharu, tam-
pak si wanita malang itu tersenyum padanya.
Tangannya tiba-tiba bergerak menggapai lemah...
Segera Roro cepat menangkapnya dan terasa pilu
hatinya ketika dengan kekuatan terakhir Ken
Wangi mencekal keras tangannya, seperti tengah menjabat tangan tanda gembiranya
akan pertemuan yang pertama kalinya dengan sang Pende-
kar Wanita itu tetapi juga pertemuan yang terak-
hir... Karena cekalan tangannya perlahan-lahan
mengendur. Dan kembali jatuh terkulai bersama
hembusan nafasnya yang terakhir. Ken Wangi te-
lah wafat dengan bibir tersungging senyuman, di-
hadapan Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro
Centil. Menitik air mata sang Pendekar ini. Betapa banyak orang harus berkorban
jiwa, hanya demi
tegaknya kebenaran... Apakah kebhatilan yang
harus tegak dimuka bumi ini.." Teriak hati Roro.
Tapi sudah tersentak lagi hatinya untuk memban-
tah. Tidak..! Kebhatilan harus punah dari muka
bumi ini! Setan Cebol masih hidup bergentayan-
gan. Dan kini sejenisnya tengah menanti dengan
penuh kebencian untuk menghancurkan kebena-
ran. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang dari Roro Centil. Pertanda ia
melepaskan kejeng-
kelannya, akan manusia-manusia yang hanya
membuat kericuhan diatas jagat ini... Dan detik
itu juga tubuh Roro telah melesat ke arah dimana si Walet Kencana berada. Wanita
itu telah bangkit berdiri. Wajahnya memerah menandakan kegusa-rannya, melihat
ketiga muridnya yang telah tewas akibat munculnya orang yang telah menyelamatkan
jiwa Ken Wangi. Baru saja ia mau gerak-
kan tubuh untuk melesat ke arah Roro Centil.
Namun sudah keburu si gadis itu yang berkelebat
kehadapannya. Ia sudah keluarkan bentakannya :
"Heh!" Kiranya kau si bocah aneh itu! Su-
dah kuduga, kau hanya berpura-pura saja..! Wa-
laupun ilmumu setinggi langit, jangan harap kau
dapat lolos dari kematian. Benarkah kau yang
bernama Roro Centil itu?" Kata-katanya sudah disambung dengan pertanyaan.
Seperti juga kurang yakin akan penglihatannya.
"Kalau kukatakan benar, apakah kau mau
terus berlutut mencium kakiku...?" Balik bertanya Roro dengan lagak yang masih
bernada jumawa.
Terbeliak mata si Walet Kencana karena gusar-
nya, dan tiba-tiba saja ia telah perdengarkan teriakan keras, untuk segera
lancarkan serangan.
Plak! Terdengar benturan kedua telapak
tangan. Tubuh Roro hanya tergeser beberapa
langkah. Namun si Walet Kencana telah memekik
keras, karena arus balik tenaganya sendiri yang
menyerangnya. Terhuyung-huyung ia mundur
beberapa langkah ke belakang. Tampak ia telah
pegangi dadanya. Sementara darah kental me-
netes dari bibirnya. Ternyata Roro tak mau ba-


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyak gunakan waktu untuk bertempur, dan telah
gunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor. Jurus
langka yang diwarisinya dari Pantai Selatan. Se-
hingga tenaga dalam serangan si Walet Kencana
berbalik menyerang sendiri. Lagi-lagi si Walet
Kencana dibuat tak habis mengerti. Ia pandangi
orang dihadapannya masih tenang-tenang saja
seperti tak terjadi apa-apa. Sementara ia segera kerahkan tenaga dalam untuk
menormalkan kembali keadaan tubuhnya. Dilain kejap, ia telah loloskan sabuk Kencana yang
membelit pada pinggangnya. Inilah senjata ampuh yang telah
membuat ia terkenal dengan nama julukan si Wa-
let Kencana. Senjata ini memang ada dibalik pa-
kaian tertutup baju. Benda yang panjangnya satu
meter lebih itu adalah logam yang lemas, yang
panjangnya mempunyai tiga ruas. Terbelit oleh
sebuah rantai berbentuk bulatan. Sedang bagian
kepalanya berbentuk burung walet yang tengah
membentangkan sayapnya. Warnanya kuning
emas. Ketika benda panjang itu diputarkan, sege-
ra membersit suara seperti burung walet yang
mencicit tiada hentinya.
Melihat orang keluarkan senjata pusa-
kanya. Roro dengan senyum masih menghias bi-
bir, segera loloskan sepasang Rantai Genit dari
pinggangnya. Dan segera saja iapun memutar se-
buah senjatanya, sedang sebuah lagi tetap terpe-
gang ditangan kiri. Detik selanjutnya segera terdengar suara mendengung bagaikan
suara ratu- san tawon yang menandingi suara cicit burung
walet. "Bocah jumawa..! Kau rasailah kehebatan Sabuk Kencana ku...!" Dan
berbareng dengan suara bentakannya, si Walet Kencana telah mener-
jang ke arah Roro Centil. Hebat dan ganas seran-
gan itu, segera saja bagai ratusan walet yang berkelebatan. Ujung Sabuk Kencana
si wanita ber- nama Ken Huma itu telah mengurung Roro. Se-
bentar sebentar walet-walet yang bercicitan itu
mematuk ke setiap jalan darah yang berbahaya
ditubuh sang Pendekar Wanita. Hal mana mem-
buat Roro Centil juga terkesiap, tak menyangka
akan kehebatan senjata lawan. Dengan berteriak
keras ia segera putar tubuh dan berkelebatan un-
tuk menghindar. Sementara ia sudah gunakan
sepasang senjatanya untuk menangkis setiap da-
tangnya serangan.
Tring! Tring! Tring!
Tiga patukan yang mematikan telah berha-
sil ia tangkis dengan si Rantai Genit. Tampak si Walet Kencana gertak gigi, dan
dengan mendengus ia telah robah gerakan senjatanya. Kali ini serangannya membuat
gerakan menyilang yang
membingungkan lawan. Ratusan walet segera
berserabutan menyerang Roro dari berbagai arah.
Terkadang menukik dengan tiba-tiba. Atau me-
luncur deras mengarah tenggorokan. Senjata Sa-
buk Kencana ini memang aneh, bisa menjadi le-
mas seperti ular, tapi bisa juga menjadi keras bagaikan sebatang tombak. Nyaris
saja dadanya ter-
koyak oleh sepasang sayap walet yang tiba-tiba
mencicit dengan menukik tajam. Untung ia telah
pergunakan gaya orang mabuk. Sehingga loloslah
serangan berbahaya itu. Gerakan orang mabuk
itu ternyata banyak menolongnya. Sehingga se-
rangan menyilang yang serabutan itu bisa terha-
lau dengan mudah.
Tampak si Walet Kencana seperti kehabi-
san akal. Tiba-tiba ia memekik keras, seraya lengannya yang sebelah telah
mencabut sebuah se-
ruling yang pendek. Dan detik berikutnya sudah
terdengar suara yang melengking tinggi rendah
membisingkan telinga. Roro Centil leletkan lidah.
Baru untuk kesekian kalinya ia menjumpai
orang-orang lihai, yang kali ini harus berlaku ha-ti-hati. Salah-salah nyawanya
bisa terbang ke Akhirat. Melihat orang sudah keluarkan senjata lagi, yang
ternyata cukup mempengaruhi konsentra-sinya, Roro pergunakan cara lain, inilah
memang cara yang aneh. Cara yang jarang dipunyai oleh
sembarang tokoh persilatan... Karena akal yang
cerdik saja yang bisa mempergunakannya. Tiba-
tiba saja Roro telah melompat mundur tiga-empat
tombak. Dan begitu ia sudah dapat menarik na-
pas untuk istirahat sejenak, tiba-tiba terdengar suara tertawa Roro yang
mengikik geli. Tertawa
yang terpingkal-pingkal itu membuat si Walet
Kencana jadi melengak, dan membuatnya ber-
tanya-tanya dalam benaknya.
Ada apakah yang lucu.." Pikir si Walet
Kencana. Sementara tanpa disadari tiupan serul-
ing pendeknya jadi berhenti. Demikian juga ter-
jangannya mendadak ia hentikan. Hal itu juga
membuatnya mengambil keuntungan. Karena na-
pasnya memang sudah Senin-Kemis akibat terlalu
gencar menyerang. Apalagi ia telah terluka dalam akibat balikan tenaga
pukulannya sendiri...
"Hi hi hi... Mengapa berhenti menyerang
Walet Kencana.." Apakah kau sudah menyerah
kalah..! Kalau begitu bukankah dengan baik-baik
segera bersujud mencium kakiku..! Atau aku ha-
rus perintahkan kau untuk melakukannya.." Hi
hi hi... hi hi.." Kembali ia tertawa mengikik geli.
Merah seketika wajah si Walet Kencana. Bocah
Centil dihadapannya benar-benar membuatnya
menjadi bertambah jengkel. Belum lagi ia mem-
bentak, Roro sudah menyambung lagi kata-
katanya: "Baiklah! Mungkin sepasang sepatuku ini sudah bau, hingga kau tak
berani mencium kakiku. Nah, tunggulah kubuka dulu..!" Seraya berkata, ia telah cepat buka
sepatu rumputnya.
Dan saat berikutnya sepasang sepatu Roro benar-
benar telah dibuka.
"Uhh..." Pantas, baunya amit-amit..!" Roro sudah lantas mencium ujung sepatunya.
Dan ti-ba-tiba telah ia lemparkan ke atas.... seraya berkata sambil mendongak.
"Nah! Terbanglah yang tinggi wahai sepa-
tuku yang sudah butut..!" Aneh, memang... Mengapa tahu-tahu si Walet Kencana
ikut-ikutan mendongak ke atas. Padahal sudah sedari tadi ia
gregetan pada si gadis, yang sudah mau dilabrak-
nya itu, namun ia agak merasa ngeri akan akal licik yang dipergunakannya.
Makanya dengan sa-
bar ia menahan kemarahannya, juga ingin tahu
apa yang akan diperbuat si orang aneh dihada-
pannya. Sepasang sepatu meluncur ke atas demi-
kian tinggi... Namun tanpa menunggu kembali
benda itu jatuh, si Walet Kencana sudah tak sa-
bar untuk membentak. Namun alangkah terke-
jutnya begitu ia lihat ke depan, ternyata tubuh si centil dihadapannya telah
lenyap. "Bocah keparat..!" Memaki si Walet Kencana. Ia segera putar tubuh untuk mencari
dimana adanya si gadis yang menyebalkan itu. Tapi tak
menampak batang hidungnya. Bahkan yang ter-
dengar adalah suara tertawa yang mengikik geli,
seperti ada di berbagai tempat. Tentu saja ia tak dapat melihat Roro, karena
jika si Walet Kencana putar tubuh ia segera mengikuti dibelakangnya.
Pada saat itulah sebuah benda tiba-tiba berkele-
bat disebelahnya. Membentak si Walet Kencana,
seraya menghantamnya.
Brak..! Benda itu hancur jadi beberapa
keping, yang ternyata hanya sebuah batu.
"Tampakkan dirimu bocah keparat..!" Teriak si Walet Kencana. Akan tetapi kembali
melu- ruk deras dari atas dua buah benda ke arah kepa-
lanya. "Edan..!" Ia segera mendongak ke atas untuk menyampok jatuh benda itu.
Tapi terkesiap ia, karena dua benda itu adalah sepasang sepatu
Roro yang tadi dilemparkan ke atas, dan baru ja-
tuh setelah sekian lama... Pada saat itulah ter-
dengar suara. Tring! Tring! Dan tanpa disadarinya sepa-
sang senjata si Rantai Genit, telah menyambar ke arah kedua senjatanya. Yang tak
ampun lagi segera terlepas dari genggamannya. Sabuk Kencana
itu terlempar seketika, yang mau tak mau telah
dilepaskan karena getaran hebat yang menggetar-
kan tangannya hingga menjadi kesemutan. Se-
dangkan suling pendeknya telah jadi remuk, dan
juga terlepas dari genggamannya. Belum lagi hi-
lang rasa terkejutnya, sebuah hantaman keras te-
lah mendarat di kepalanya. Seketika matanya jadi berkunang-kunang. Tubuhnya
sekonyong-konyong jadi limbung. Dan jatuhlah ia dengan
menekuk lutut. Ia tak dapat lagi melihat sekeli-
lingnya karena pandangan matanya telah menjadi
gelap. "Nah! Kau ciumlah kakiku..! Bagus! Hi hi hi... Mengapa tak sedari tadi
kau lakukan..?" Terdengar suara Roro Centil dihadapannya. Yang te-
lah membuat hampir hilang sukmanya. Tahu-
tahu kepalanya telah ditekan kebawah, hingga
benar-benar ia terasa mencium sepasang kaki
yang masih ada sisa bau kecutnya.
"Bocah keparat..!" Bentak si Walet Kencana. Namun tiba-tiba ia telah
perdengarkan jeritan ngeri, karena saat itu juga Roro telah gerakkan
kakinya untuk mencongkel tubuh si Walet Ken-
cana, hingga sang tubuh melambung ke udara.
Pada saat itulah terdengar bentakan yang mem-
buat terkejut Roro Centil.
"Bocah Centil..! Penipu tengik! Kubunuh
kau..! Sebuah sambaran benda panjang bersyiur
dibelakang Roro. Itulah serangan mematikan yang
mengarah kepala dari sebuah pipa cangklong si
bangsawan bungkuk alias Raden Mas Guntoro
Kecut. Ternyata ia telah berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan Roro
Centil. Dengan gerakan secepat kilat, Roro Centil gulingkan tubuhnya ke tanah.
Tak ada jalan lain selain mengambil ke-putusan dengan cepat. Saat itulah sebelah
kaki sang Pendekar Wanita itu telah bergerak me-
nyampok mental pipa cangklong. Itulah gerakkan
reflek yang ia telah lakukan. Namun dengan sam-
pokan yang telah ia perhitungkan dengan cermat.
Karena itulah jurus ilmu Meninju Tongkat Memu-
kul Anjing. Salah satu jurus dari gurunya si Maling Sakti dari lereng Gunung
Rogojembangan. Akibatnya memang amat fantastis, karena segera
terdengar jerit mengerikan, ketika dengan deras pipa cangklong itu meluncur
untuk segera me-nembus tubuh si Walet Kencana yang masih be-
rada di udara... Dan selanjutnya detik berikutnya, tubuh wanita yang sial itu
jatuh berdebuk ke bu-mi. Kejadian itu begitu cepat, hingga membuat
Raden Mas Guntoro Kecut jadi terbeliak. Dilihat-
nya si Walet Kencana menggeliat untuk kembali
bangkit. Sepasang matanya terlihat seperti merah menyala, menatap Roro.
"Bocah kepar... rrrratt..." Hanya itu yang bisa ia ucapkan, karena selanjutnya
ia sudah ter- kulai lagi untuk segera melepaskan nyawanya.
Melihat kematian si Walet Kencana. Si bangsawan
bungkuk itu jadi menggigil ketakutan. Bukannya
menerjang ke arah Roro yang sedang membela-
kangi, tapi dengan diam-diam ia berusaha kabur
untuk mengambil langkah seribu. Akan tetapi Ro-
ro Centil sudah perdengarkan suara tertawanya.
Dan tiba-tiba sebuah benda yang tak lain dari si Rantai Genit, telah meluncur
deras ke belakang si manusia berakhlak bejat itu.
Prak! Terdengar suara kepala yang beradu
keras dengan bandulan Rantai Genit itu... Dan
terdengar teriakan keras, disertai terjungkalnya tubuh Raden Mas Guntoro Kecut.
Dan tanpa berkelojotan lagi si bangsawan bungkuk hidung be-
lang itu sudah tewas dengan batok kepala pecan.
Roro sudah enjot tubuhnya untuk kembali me-
nyambar senjatanya. Setelah bersihkan pada baju
sang mayat ia sudah segera gerakkan tangannya
untuk menyelipkan kembali sepasang Rantai Ge-
nit nya pada kedua sisi pinggangnya.
"Hmh, orang semacam kau lebih bagus
siang-siang pulang ke akherat, sebelum bertam-
bah lagi dosamu..! Menggumam Roro.
7 MATAHARI semakin tinggi diatas kepala...
burung-burungpun seperti enggan untuk me-
nampakkan diri, di panas terik itu. Mereka ber-
lindung di balik dedaunan yang rimbun sambil
membentangkan sayapnya. Yang terkadang men-
gibas-ngibas untuk membersihkan kotoran yang
melekat pada bulu-bulunya. Sementara beberapa
ekor merpati itu tampak tengah asyik mencari ku-
tu-kutu dengan paruhnya...
Roro Centil rebahkan tubuhnya terlentang
dibawah pohon itu. Semilir angin sesekali mem-
buat kesejukan pada tubuhnya. Ia sudah pejam-
kan matanya, dengan berbantalkan lengan. Se-
lang sesaat saja ia telah terlena pulas, karena di-hembus angin yang sepoi-sepoi
membuat sepa- sang matanya jadi mengantuk. Sehingga tanpa ia
ketahui sepasang mata dengan tajam penuh ke-
bencian, memandang ke arahnya.... Itulah sepa-
sang mata si wanita bercadar tipis, alias si Elang Alap-alap. Wanita yang telah
menjadi sakit hati
terhadapnya. Tampak ia telah bertindak dengan
pelahan-lahan menghampiri, tapi sebentar kemu-
dian ia merandek sejenak... Ia sudah keluarkan
tiga buah paku beracun. Dan digenggam erat pa-
da tangannya. Namun tampaknya ia urungkan
niatnya... dan masukkan lagi senjata rahasia itu ke dalam sakunya. Sepasang
matanya beralih pa-da sebuah batu besar didekatnya.
"Aku ingin lihat dia mati menggeletak den-


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan kepala hancur..!" Terdengar ia berdesis dengan amat pelahan sekali. Dan saat
selanjutnya batu besar itu, diangkatnya dengan pelahan-
lahan. Cukup berat untuk meremukkan kepala
orang yang amat dibencinya itu. Berfikir ia dalam
hati. Dan kembali ia melangkah dengan langkah
hampir tak terdengar. Kini ia telah berada di bagian ujung kepala Roro Centil
yang masih tak terlihat bergeming. Hanya napasnya saja yang keli-
hatan turun naik. Sepasang matanya masih ter-
katup rapat... Inilah saatnya kau mampus..! Ber-
sorak hati si Elang Alap-alap. Dan ia telah angkat batu besar itu tinggi-tinggi
diatas kepala Roro...
Namun wanita itu lupa, bahwa pasir-pasir halus
yang berjatuhan dari bawah batu itu telah melun-
cur turun mengenai wajah, dan pelupuk mata Ro-
ro dibawahnya. Dan hal itulah yang telah mem-
buat Roro Centil membuka matanya. Nalurinya
yang peka telah mengatakan bahwa ada apa-apa
terjadi diatas kepalanya. Tepat pada detik itu, ba-tu besar itu telah melayang
turun ke arah kepa-
lanya. Terkesiap Roro Centil bukan kepalang me-
lihat bahaya didepan matanya... dengan berteriak tertahan ia telah gulingkan
tubuhnya ke samping.
Buk! Terdengar batu besar itu jatuh berde-
bum menimpa tanah. Namun Roro Centil sudah
selamat dari maut... Adapun si Elang Alap-alap
tak menyangka sama sekali akan hal yang ber-
langsung begitu cepat. Saat ia terpaku, tiba-tiba sepasang lengan telah
mencengkeram kakinya.
Disertai bentakan Roro yang bagaikan geledek
disiang hari terdengar santar ditelinganya. "Pengecut licik...!" Dan tahu-tahu
tubuhnya telah jatuh terbanting, tepat diatas batu besar yang baru saja berhenti
menggelinding... Terdengarlah teriakan ngeri dari mulut si Elang Alap-alap.
Karena dengan keras, kepalanya telah menghantam batu
besar itu. Tak ampun lagi ia telah jatuh mengge-
loso. Namun ia masih berusaha untuk bangkit,
walau terlihat ada darah mengalir dari belakang
kepalanya. Pandangan matanya memang telah
berkunang-kunang, dan rasa sakit pada kepa-
lanya terasa ngeri bukan kepalang. Tapi sebelum
ia dapat gerakkan tubuhnya, entah apa yang ter-
jadi, karena tahu-tahu batu besar itu telah menggelinding ke tubuhnya. Dan
terdengarlah pekik
mengerikan disertai terdengarnya suara remuk-
nya tulang dada, dan tengkorak kepala yang ber-
krotakan. Terlihat sepasang kaki si Elang Alap-
alap mengejang, dan bergerak-gerak... Namun se-
kejap kemudian gerakkan kaki itu terhenti untuk
selamanya. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan sege-
ra tinggalkan tempat itu dengan wajah murung...
namun membersitkan rasa bersyukur pada Tu-
han atas keselamatannya. Seperti terlihat pada
wajahnya yang kembali tampakkan kecerahan,
ketika ia mendongak ke langit sambil pejamkan
mata. Semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus,
membuat leganya hati dan sejuknya perasaan...
Dan detik selanjutnya sudah terdengar suara
lengkingan Roro Centil, seperti melepaskan kele-gaan hatinya. Dan detik
selanjutnya ia telah berkelebat cepat sekali, yang sesaat antaranya sosok tubuh
Pendekar Wanita itupun lenyap...
*** "Dalam sepekan ini aku perlukan empat
orang wanita atau gadis, tentu saja yang bertu-
buh mulus, dan berwajah cukup cantik..! Terden-
gar suara bernada serius dari balik air terjun itu.
Yang sudah ditimpali dengan suara kata-kata se-
perti suara burung gagak, namun agak besar se-
dikit. "Benar! Wanita yang bertubuh mulus, pasti jantung dan hatinya pun akan
mulus! Sudah tiga
hari ini aku tak makan sarapan yang amat men-
guatkan tubuh itu, apakah tidak sebaiknya kau
berangkat mencarinya, dan membawanya kema-
ri.." Aku khawatir, jangan-jangan aku bisa mengilar untuk mengorek hati dan
jantungmu, Dewi
Tengkorak!" Itulah suara si Setan Cebol dan si Iblis Tertawa dihadapan seorang
wanita yang cuma
bisa tampakkan wajah murung. Sejurus anta-
ranya wanita ini yang tak lain dari si Dewi Tengkorak adanya, berdiam tanpa buka
suara. Tiga hari ditempat sekapan yang tersembunyi itu
membuat ia tak bisa berkutik apa-apa. Dan sela-
ma tiga hari itu, tenaganya hampir habis, karena harus melayani kehendak si
Iblis Tertawa, dan si Setan Cebol berganti-ganti. Membuat ia mau melarikan diri
saja dari sarang kedua iblis dan setan itu... Namun apalah artinya.." Dua butir
pel yang telah dijejalkan pada mulutnya, membuyarkan
keinginannya. Walaupun ia bisa saja tinggalkan
pergi tempat itu, namun ia amat membutuhkan
obat penawar dari racun yang sudah masuk pe-
rutnya... Untuk membunuhnya adalah terlalu su-
lit. Apalagi pengaruh rasa takut akan kematian,
membuat ia hilang semangatnya. Dan terpaksa ia
harus menerima tugas dari kedua iblis dan setan
jahat itu, mencarikan korban yang dimauinya.
"Baiklah, demi obat penawar itu, aku akan
turuti perintah kalian. Namun aku khawatir aku
cuma dijadikan budakmu saja. Dan nanti bila te-
lah tiba saatnya satu bulan, aku kau biarkan
mampus keracunan..!" Berkata si Dewi Tengkorak. Meledaklah tertawa si Setan
Cebol, diikuti si Iblis Tertawa, yang terdengar berkakakan didalam ruangan goa
dibalik air terjun itu.
"Ha ha ha., ha ha... Kami berdua tak akan
berdusta, dan pasti akan kau terima obat pemu-
nahnya sebelum waktu satu bulan..! Jangan
khawatir nona manis..! Bukankah begitu sobat
Setan Cebol..!?"
"He he he... Benar! Kalau aku sedang tidak
malas, buat apa aku menyuruhmu" Aku hanya
tengah mengajar adat padamu, agar jangan terla-
lu sombong jadi manusia..! Ha ha he he he..!" Ujar si Setan Cebol, yang kembali
tertawa berkakakan.
"Baiklah, aku akan berangkat sekarang..!"
Berkata si Dewi Tengkorak, seraya bergerak ke
arah pintu goa.
"Bagus..! Agak cepatlah sedikit. Hati-hati, buaya-buaya di rawa itu suka naik ke
darat. Aku khawatir kau dicaploknya..! Teriak si Iblis Terta-wa. Namun Dewi Tengkorak,
sudah tak menghi-
raukan lelucon yang tidak lucu itu. Ia segera me-
langkah keluar dari ruang Goa dibalik air terjun itu. Tapi dasar wanita yang
sudah matang, dan
berpengalaman, ia tidak terus berangkat pergi...
melainkan berdiri disamping batu Goa. Telin-
ganya dipasang untuk mendengarkan suara dis-
ebelah dalam. Benarlah apa yang telah didu-
ganya. Karena segera terdengar suara tertawa si
Muka Bocah alias si Iblis Tertawa itu...
"Ha ha ha...ha ha... Kalau saja ia tahu te-
lah aku bohongi, pasti siang-siang ia sudah minggat tak balik lagi. Pel yang
kujejalkan dimulutnya itu adalah obat perangsang yang pengaruhnya
hebat luar biasa..! Buktinya ia mampu berperang
tanding sampai menggebu-gebu melawanku! He
he he... ha ha ha..." Terkejutlah si Dewi Tengkorak. Namun juga diam-diam ia
bergirang hati yang telah dapat mendengar celoteh si Iblis Ter-
tawa. Segera ia sudah melesat cepat untuk ting-
galkan Goa yang telah membuat ia tersiksa seten-
gah mati itu. Huh! Buat apa aku turuti keinginannya..
Lebih bagus aku kabur dari daerah kekuasaan
kedua setan dan iblis keparat itu! Berkata si Dewi Tengkorak dalam hati. Dan
dengan beberapa kali
ia mengenjot tubuh, sebentar saja sudah lenyap
dari tempat yang sunyi mencekam itu.
Menjelang malam baru saja merangkak,
Roro Centil sudah berada lagi dimuka pintu Pa-
depokan Cemara Kandang. Belum lagi ia mengu-
capkan salam, telah berteriak seorang gadis, yang telah memburunya keluar.
Dialah si gadis Sumi-
rah itu. "Kakak Pendekar Roro Centil..! Aiii..!" Se-
lamat datang ditempat kediamanku!" Dan sang gadis itu sudah lantas memeluknya.
Roro pun sudah balas memeluk si gadis itu dengan terharu.
Tampak terdengar suara isak tersendat dari mu-
lut Sumirah. Dan terasa air hangat membasahi
lengan Roro, ketika ia tengah membelai wajahnya.
"Kakak Roro... Mengapa semua ini terjadi
pada diriku" Pada kami orang-orang Padepokan
Cemara Kandang.." Benarlah dugaanku, ayah
pasti tak akan mampu melawan si Iblis Cebol
itu..?" Terdengar kata-katanya yang tersendat.
"Sudahlah dik Sumirah. Segalanya me-
mang sudah takdir Tuhan. Buat apa kau tangisi
kematian orang yang sudah tiada" Sebaiknya ta-
wakallah. Dan jangan terlena oleh kesedihan. Aku berdiam di rumahmu sampai
keadaan menjadi
kembali aman..!" Sumirah tiba-tiba lepaskan pelukannya, dan tatap wajah Roro
dalam-dalam. Wajahnya kembali menampilkan kecerahan.
"Benarkah demikian kakak Roro.." Oh, te-
rima kasih! Aku amat senang sekali..!" Dan selanjutnya ia telah bimbing lengan
Roro Centil untuk diajak masuk ke dalam ruang padepokan. Sementara beberapa
murid laki-laki mendiang Ki Reksa
Permana tampak berdatangan menyambutnya
sambil menjura hormat.
Malam semakin larut... namun masih juga
terdengar suara orang bercakap-cakap didalam
ruang Padepokan itu. Ternyata mereka berdua
tengah saling menceritakan pengalaman hidup-
nya. Dengan didengarkan pula oleh ke dua belas
orang murid laki-laki di Padepokan itu. Hingga
saat menjelang tengah malam, barulah Rumah
Besar Padepokan Cemara Kandang kembali sunyi
senyap. Semua orang telah tertidur. Hanya Roro
Centil, yang masih duduk dihadapan Sumirah
yang telah menggeros kelelahan. Tidurnya demi-
kian pulas. Sampai nyamuk yang hinggap di pi-
pinya sudah tak terasa lagi. Roro jentikkan jari te-lunjuknya untuk membuat
terpental mati sang
nyamuk itu. Dan dengan bersidakep, Roro pejam-
kan matanya... Ia tidak tidur, walaupun matanya
meram. Karena ia tengah bersemadi memulihkan
kekuatannya lagi. Pertarungan tadi siang telah
banyak menguras tenaganya...
Demikianlah, malam berganti siang. Dan
siang berganti malam... Roro tinggal atau mene-
tap di Padepokan itu. Dengan diam-diam telah
pula melatih ilmu pedang Sumirah. Dan turunkan
beberapa jurus ilmu ampuh padanya. Bahkan ke-
dua belas murid laki-laki di padepokan itupun
mempelajari juga beberapa jurus ilmu yang ia da-
pati dari Paderi Jayeng Rana. Hari kedua dan ke-
tiga Roro Centil tak mendapat berita mengenai si makhluk Cebol Itu. Tapi pada
hari keempat, dua
orang murid Ki Reksa Permana, tampak berlari-
lari menghadap pada sang Pendekar Wanita Roro
Centil. "Ada apakah yang terjadi..?" Bertanya Roro yang telah melompat kehalaman
Padepokan. Tampak terlihat kedua orang pemuda itu teren-
gah-engah. Sekujur tubuhnya bercucuran kerin-
gat. "Celaka, Guru... Makhluk Cebol itu tengah mengamuk dan membantai penduduk
dan orang-orang Ki Demang, di desa Duren Sawit... Bersama
seorang kawannya, yang telah menawan tiga
orang gadis..!" Terkesiap seketika Roro Centil.
Jantungnya berdetak keras karena terkejutnya.
Saat itupun muncullah Sumirah, dengan sepa-
sang Trisula dipinggang dan pedang tipis terbelit dipinggang. Ternyata iapun
baru saja masuk dari
pintu belakang Padepokan.
"Guru..! Mari kita berangkat ke Desa Duren
Sawit sebelum makhluk Cebol dan kawannya itu
kabur dengan membawa korban..!" Roro Centil palingkan kepalanya.
"Kaupun baru pulang menyelidiki?" Ber-
tanya Roro. Sumirah anggukkan kepalanya. Roro
tatap kedua murid laki-laki itu seraya berkata :
"Kalian tetaplah berada disini. Kemana
yang lainnya?" Bertanya Roro Centil.
"Empat orang berada disana, yang lainnya
entah. Guru. Mungkin berada dilain tempat..!"
Menyahut salah seorang.
"Baiklah. Kalau mereka kembali, jangan
menyusul kesana. Tetaplah berdiam di Padepo-
kan!" Perintah Roro, yang ternyata telah diangkat sebagai Guru oleh murid
mendiang Ki Reksa Permana dan Sumirah. Yang mau tak mau terpaksa
Roro menerimanya. Selesai ia berkata, segera ia
berpaling pada Sumirah yang tampaknya seperti
tak sabar menunggu sang Guru lagi.
"Ayo Sumirah, kita berangkat...!" Dan ber-kelebatlah dua tubuh dengan gerakan
cepat me- ninggalkan Padepokan Cemara Kandang...
Saat itu di Desa Duren Sawit tengah terjadi
pertarungan seru. Beberapa sosok tubuh tampak
telah tergeletak mandi darah. Itulah orang-
orangnya Ki Demang Gombal Manik, yang telah
menyerbu kedua iblis itu. Ternyata di desa itu
dengan diam-diam telah dipasang beberapa mata-
mata utusan Ki Demang. Dan bahkan ada pula
dua orang pendekar suami istri yang mau turut


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantu menumpas si Setan Cebol yang ka-
barnya semakin tersiar luas. Hingga keadaan dis-
ekitar Gunung Merbabu sebenarnya telah diper-
kuat dengan penjagaan dari beberapa golongan
kaum Pendekar. Termasuk juga orang pemerinta-
han, yang dipimpin langsung oleh Ki Demang
Gombal Manik. Gerakan rahasia itu memang di-
atur secara diam-diam dan dipasang di beberapa
tempat yang rawan. Hingga ketika terjadi penculikan dan pembunuhan oleh kedua
tokoh persila- tan yang keji itu. Berita segera tersebar dengan cepat. Dan terkurunglah si
Setan Cebol bersama
kawannya itu, yang tak lain dari si Iblis Tertawa yang amat rakus pada wanita
cantik. Dikurung
rapat sedemikian rupa, kedua manusia keji itu
bahkan tertawa-tawa, dan tampak senang dapat
membunuhi setiap orang yang menerjangnya.
Hingga korban-korban pun jatuh bergelimpangan.
Betapa gusarnya dua orang pendekar sua-
mi istri yang melihat kekejian dua makhluk itu.
Terlebih-lebih si makhluk Cebol itu, yang sambil memanggul seorang gadis,
mulutnya tak pernah
berhenti mengunyah jantung dan hati manusia
yang telah dibunuhnya... Sedangkan si Iblis Ter-
tawa dengan tertawa berkakakan juga mengepit
sesosok tubuh wanita yang sudah terkulai ping-
san. Sementara sebelah tangannya menghantam
para penyerangnya yang ragu-ragu karena kha-
watir mengenai tubuh wanita yang dikepitnya itu.
Tampak seorang yang bersenjatakan tombak itu
roboh terjungkal dengan perdengarkan jerit kema-
tian. "Iblis Pengecut..! Lepaskan wanita itu! Ha-dapilah pedangku. Jangan kau
buat ia sebagai
perisai..!" Bentak seorang wanita berbaju merah, yang sudah melompat turun dari
kudanya. "Ha ha ha... he he... Payah-payah aku
mencarinya, masa mau kulepaskan begitu saja.
Jangan khawatir, aku akan menjaganya jangan
sampai mengenai pedangmu, nona..!"
"He...! Muka Bengkak! Berikan padaku...
Jangan khawatir kau tak kebagian. Aku telah
simpan tiga orang di Goa..! Biar itu bagianku..!"
Berteriak si Setan Cebol. Dan serta merta ia telah lemparkan gadis di pundaknya.
Ternyata keadaan
wanita itu telah membuat orang berteriak ngeri.
Karena isi perutnya telah terburai keluar. Sementara sebelah lengannya telah
mengunyah sesuatu
yang penuh berlepotan darah.
"Baik! Terimalah ini..!" Teriak si Iblis Tertawa seraya lemparkan korbannya.
Namun sebe- lum si Setan Cebol menyambutnya, telah berkele-
bat sesosok tubuh dengan kecepatan kilat, yang
menyambar tubuh sang wanita.
"Iblis keji..!" Terdengar satu bentakan. Dan sesosok tubuh berbaju putih telah
menyerangnya dengan pedang, disaat si Setan Cebol ternganga...
Sret! Tergoreslah punggungnya. Walaupun
ia telah lompat menghindar. Segera ia dapat melihat siapa penyerangnya. Yang tak
lain dari Sumi-
rah adanya. "Iblis keparat...! Kau telah bunuh dengan
keji ayahku..! Kini terimalah kematianmu..!" Teriak si gadis, yang kemudian
telah menerjang
dengan gerakan pedang yang menyambar-
nyambar. Namun si Setan Cebol telah waspada.
Dengan muka meringis ia telah berkelebat meng-
hindar, dan lompat menjauh tiga tombak.
"Bagus..! Kiranya kau anaknya si Pedang
Sakti Bermata Delapan...! He he he... Beruntung
sekali aku. Terkabullah niatku untuk menumpas
habis keluarga manusia yang telah membunuh
Guruku..! Namun amat disayangkan kalau kau
harus mati siang-siang...'" Berkata si Setan Cebol, dengan sepasang matanya
berbinar-binar menatap Sumirah. Betapa marahnya Sumirah melihat
manusia yang menatapnya sambil terus mengu-
nyah jantung dan hati manusia itu. Ia sudah me-
lompat lagi untuk menerjang. Tapi kali ini si Setan Cebol telah gerakkan
tangannya memukul
pergelangan tangan Sumirah. Terlepaslah pedang
tipis itu. Saat berikutnya sepasang tangannya telah bergerak untuk menotok dan
merangkul gadis
itu. Terdengarlah keluhan Sumirah. Tubuhnya te-
lah terkulai, dan sekejap kemudian telah berpin-
dah ke atas pundaknya.
"He he he... Ayo manis, kita tinggalkan saja tempat ini..!" Berkata si Setan
Cebol, dan saat berikutnya ia telah berkelebat pergi dengan cepat.
"Kejaaar!" Teriak Ki Demang yang menga-wasi pertarungan. Beberapa orang yang
mengejar itu cuma bisa melongo saja karena si Setan telah lenyap dengan cepat sekali...
Sesosok tubuh kerdil yang memanggul tu-
buh seorang wanita itu, telah memasuki Goa di
sela air terjun... Itulah si Setan Cebol, yang dengan tertawa berkakakan telah
membawa korban-
nya, yaitu si gadis Sumirah. Tak banyak cerita ia sudah lemparkan tubuh gadis
itu ke pembaringan. Sumirah perdengarkan keluhannya. Ia cuma
bisa tatap orang yang telah membunuh ayahnya
itu, tanpa ia bisa berbuat apa-apa.. Berteriakpun ia sudah tak sanggup. Harapan
hidupnya sudah punah. Namun hati baja sang gadis telah mem-
buat ia menguatkan seluruh perasaannya agar ti-
dak menjatuhkan air mata. Biarlah aku mati, ka-
lau memang sudah ditakdirkan untuk mati. Pikir
gadis itu... Bukankah demikian wejangan sang
Guru barunya si Pendekar Wanita Roro Centil"
Kematian memang tak perlu ditakutkan. Berkata
ia didalam hati. Apalagi sudah didepan mata. Ke-
tabahan untuk menghadapi kematian secara keji
memang telah terpampang di depan mata Sumi-
rah. Namun ia benar-benar tabah, karena ia ber-
pendapat dengan kematiannya tak mungkin kalau
para pendekar akan membiarkan kebhatilan terus
merajalela dimuka bumi. Suatu saat akan datang
masa kehancurannya. Karena memang tidak
layak kebhatilan itu berdiam diatas bumi ini...
Bret! Bret! Bret! Terdengar sobekan kain
pakaian yang dikenakan Sumirah, ternyata si Se-
tan Cebol telah melakukannya tanpa berlama-
lama lagi. Sumirah pejamkan matanya. Ia sudah
tak hiraukan lagi akan dirinya. Semuanya ia pa-
srahkan pada Yang Maha Kuasa. Sepasang tan-
gan yang dingin telah menyelusuri sekujur tu-
buhnya yang terasa dingin dan panas berganti-
ganti. Keringat dingin telah mengucur deras di-
kening dan punggungnya. Namun tetap ia pejam-
kan mata dan gigit bibirnya agar tidak menjerit
ketakutan. Terasa benda berat telah menindih tu-
buhnya... dengan dengus napas yang terasa me-
nyambar wajahnya.
"He he he... Selesai ini segera akan kuma-
kan jantungmu, nona manis... Mumpung belum
datang si Muka Bengkak itu, yang telah aku bo-
hongi..!" Saat yang akan menghancurkan perasaan itu sekejap lagi akan tiba. Tapi
apalah ar- tinya... Karena semua itupun akan diiringi den-
gan kematiannya.." Berfikir Sumirah. Terdengar-
lah si Setan Cebol itu tertawa lagi terengah-engah karena menahan nafsu yang
menggelora, namun
anehnya tubuh yang telah menindihnya itu bah-
kan menggelinding ke sisi disertai keluhannya.
Ketika ia buka kelopak matanya. Terbelalaklah
sepasang matanya, karena disitu telah berdiri
sang Pendekar Roro Centil. Ternyata Roro telah
menotok tubuh si Setan Cebol itu, yang telah
muncul bagaikan malaikat saja...
Plak! Sebuah hantaman telah membuat tu-
buh si Setan Cebol terguling ke bawah.
"Uuuuh..!" Sss.. sssiapa ka.. kau..?" Berkata si Setan Cebol dengan meringis.
Kepalanya te- lah dibuat bertambah benjolannya. Hingga pada
kepala yang rambutnya bagai ijuk itu telah ada
dua benjolan. "Hi hi hi... Aku orang yang akan mengirim
nyawamu ke Neraka..! Kebiadabanmu telah be-
rakhir Setan Cebol!" Seraya berkata Roro telah tempelkan telapak tangannya pada
punggung si Setan Cebol. Terlihatlah asap tipis yang menge-
pul. Menjeritlah si manusia terkutuk ini. Tulang-tulangnya terdengar berkriutan,
dan lenyaplah kekebalan tubuhnya. Punahlah segala kekuatan-
nya. Karena Roro telah pergunakan jurus keji dari Sepuluh Jurus Kematiannya si
Dewa Tengkorak.
Si Setan Cebol ini memang hebat. Ia masih beru-
saha untuk merangkak. Sepasang lengannya ber-
gerak mengulur dengan kesepuluh jarinya untuk
mencengkeram kaki Roro Centil. Namun tena-
ganya memang telah punah... Kembali sepasang
lengan itu terkulai. Dan terlihat napas yang
memburu. Tapi sepasang matanya masih terlihat
merah menyala seperti menahan dendam yang
amat sangat pada orang dihadapannya. Roro Cen-
til sudah bergerak lagi untuk membebaskan toto-
kan pada tubuh Sumirah. Gadis ini menatapnya
dengan sepasang mata terbelalak seolah tak per-
caya akan apa yang terlihat dihadapannya. Dan
sekonyong-konyong ia sudah memekik dengan
isak tersendat. Pekik girang haru yang tak terlu-kiskan lagi. Seolah-olah Roro
Centil adalah bukan siapa-siapa lagi. Seolah ibunya sendiri yang tengah
menatapnya. "Guruuuuu..!" Dan tenggelamlah ia dalam pelukan sang Guru yang mengelus-elus
punggungnya dengan penuh kasih sayang. Tampak air
bening yang menetes dari pelupuk sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini. Roro Centil memang
seorang Pendekar Wanita yang aneh. Melihat Su-
mirah roboh tertotok, dan jatuh ke tangan si Se-
tan Cebol. Ia tampak tenang-tenang saja. Karena
ia telah mendengar dan mengetahui bahwa tak
mungkin si Setan Cebol akan membunuhnya
dengan sekejap mata. Apalagi ia telah mendengar
kata-katanya tadi, yang mengatakan adanya tiga
wanita lagi yang telah ia sekap didalam Goa. Ma-
kanya ia biarkan saja si Setan Cebol itu mening-
galkan tempat itu. Tapi dengan diam-diam ia te-
lah menguntitnya. Adapun pedang tipis yang ter-
pental dari tangan Sumirah, dengan cepat ia me-
nyambutinya. Demikianlah... Hingga ia berhasil
memasuki Goa dengan diam-diam. Ia memang
mengetahui si Setan Cebol itu pasti berilmu san-
gat tinggi. Namun seperti wejangan Gurunya si
Manusia Aneh Pantai Selatan, yang telah menga-
takan bahwa: Tingginya suatu ilmu adalah tak
ada batasnya. Karena diatas langit masih akan
ada lagi langit. Tapi "kecerdikan" adalah diatas segalanya. Oleh sebab itulah ia
telah pergunakan kecerdikannya untuk menjatuhkan si manusia iblis Setan Cebol.
Hingga berakhirlah kebiadaban-
nya. Sejenak Roro Centil menatap pada Sumi-
rah, yang telah membenahi lagi pakaiannya. Lalu
beralih menatap pada si manusia kerdil itu yang tampak amat menjijikkan. Tubuh
telah tak bertenaga lagi, bagaikan seonggok daging yang sudah
tak bertulang... tengah menatap padanya dengan
mata bersinar mengandung kebencian. Sementara
giginya yang runcing-runcing itu tampak menye-
ringai mengerikan. Mengeluarkan suara geraman
seperti seekor serigala.
"Sebaiknya manusia ini diberikan huku-
man yang setimpal atas kebiadabannya..!" Berkata Roro Centil. Dan setelah
berfikir sejenak, segera ia berkata pada Sumirah, seraya palingkan wa-
jahnya pada gadis itu.
"Ayolah, kau ikuti aku... untuk menyaksi-
kan hukuman apa yang akan aku berikan pada
manusia iblis ini..!" Selesai berkata Roro telah jambak rambut si Setan Cebol,
dan menggusur-nya keluar dari goa itu. Ternyata Roro Centil telah membawa tubuh
si Setan Cebol pada sebuah
tempat ketinggian, dimana dibawahnya terdapat
rawa-rawa yang diairi serta menyambung dengan
air sungai disebelahnya. Belasan ekor buaya tam-
pak berkeliaran dibawahnya. Ada yang tengah
berjemur diri pada panas Matahari dengan men-
gangakan mulutnya. Ada yang tengah saling kejar
dengan kawannya. Serta terlihat pula yang baru
saja naik ke darat, dan merayap ke tengah-tengah rawa-rawa yang amat luas itu.
Ketika mereka menatap pada si Setan Ce-
bol, tampak seketika pucat dan pias wajahnya.
Berteriak-teriaklah si manusia biadab ini ketakutan, melihat beberapa ekor buaya
yang telah mengangakan mulutnya ke arah mereka. Ru-
panya bau manusia telah membuat buaya-buaya
ini berkerumun dibawah tempat ketinggian itu.
Roro dan Sumirah saling berpandangan, dan sa-
ma-sama tersenyum. Dan tanpa menunggu waktu
lama lagi Roro telah lemparkan tubuh si Setan
Cebol ke arah makhluk-makhluk melata itu, yang
segera saja telah menyerbunya dengan moncong-
moncong yang menganga memperlihatkan giginya
yang runcing-runcing. Terdengar jeritan si Setan Cebol yang menyayat hati. Dan
hanya sesaat, karena segera tubuhnya telah diterkam dan diren-
cah dengan rakus oleh binatang-binatang buas
itu yang tampak saling berebutan. Hingga sekejap saja tubuh manusia kerdil itu
telah terbeset jadi beberapa bagian...
Sumirah palingkan wajahnya untuk tidak
melihat kejadian itu, terasa ngeri ia memandang-


Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Namun sesaat kemudian Roro telah tarik
lengan gadis itu untuk diajak berlalu dari tempat itu... Segera saja tampak
kedua tubuh wanita itu berkelebatan dengan tidak terlalu cepat meninggalkan
rawa-rawa yang telah mengubur mayat si
manusia iblis penyebar maut itu didalam perut
buaya-buaya penghuni rawa itu. Ternyata keda-
tangannya telah disambut oleh Ki Demang Gom-
bal Manik dengan suka cita. Juga pendekar sua-
mi istri itu, yang tak lain dari Sentanu dan Roro Dampit. Kiranya si Iblis
Tertawa itupun ternyata telah menemui kematiannya ditangan sepasang
pendekar itu yang ternyata telah bertambah il-
munya. Suasana di lereng Gunung Merbabu kini
telah menjadi cerah. Petani dan pedagang sibuk
dengan pekerjaannya seperti biasa, tanpa harus
mengkhawatiri akan adanya manusia Iblis yang
akan mengganggu ketentraman disetiap desa di
lereng gunung itu. Ki Demang Gombal Manik
menjamu tamu-tamunya dengan gembira, Bah-
kan sampai beberapa hari Roro dan Sumirah ser-
ta sepasang pendekar suami istri itu berada di-
rumah besar Ki Demang. Hingga suasana pun
kembali sepi, ketika satu persatu mohon diri, untuk kembali pulang ketempatnya
masing-masing. Roro Centil terpaksa memenuhi permin-
taan Sumirah untuk menetap sementara di Pade-
pokan Cemara Kandang. Gadis manis itu ternyata
telah tampak bergairah lagi dalam hidupnya, ber-
kat adanya Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Iblis Pemenggal Kepala 2 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Pedang Penakluk Cinta 2
^