Pencarian

Sukma Kala Wrenggi 2

Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi Bagian 2


ditolong Roro dalam kisah: "Misteri Sepasang Pedang Siluman", cuma bisa terpaku
memandang Roro.
"Jadi kau si bocah centil diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan sukma si
Kala Wrenggi edan
itu?" bertanya Ki Jagur Wedha.
"Benar, kakek..." sahut Roro dengan tersenyum.
Semua jadi membelalak memandang pada Roro
Centil. Akan tetapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan
menggeledek. "Bocah sialan! jangan harap kau dapat lolos dari tanganku!"
WHUUUK! Tanah menyemburat tepat dibawah kaki kedua to-
koh persilatan yang usianya berbeda jauh itu. Akan tetapi kedua tokoh kita dari
pihak golongan putih ini telah melesat lebih dulu dari tempat itu.
Sesaat tampak dengan bergandengan tangan, Roro
dan Ki Jagur Wedha baru saja "hinggap" di atas batu besar. Tepat di sisi Ki
Panunjang Jagat. Si kakek bertubuh jangkung ini menghela napas lega.
*** 7 Semua mata segera menatap pada sosok tubuh
yang telah berdiri tegak di hadapan mereka. Kiranya
yang barusan menyerang adalah si Datuk alias si Si-
luman Setan Belang. Bagaimana hingga sampai si ka-
kek Datuk dari para harimau jejadian itu bisa sampai ke tempat ini" Juga Roro"
Marilah kita ikuti kisah di belakang.
Saat pertarungan tengah berlangsung seru di dalam
ruangan Keraton Kuno tempat bercokolnya si Datuk
Siluman Setan Belang, seperti diceritakan Ginanjar
nyaris "diperkosa" oleh Rinjani si manusia harimau jejadian.
Akan tetapi muncul Kasmini yang menolong Ginan-
jar. Sementara itu pertarungan Roro dengan sang Da-
tuk semakin seru.
Roro tampaknya terdesak oleh ilmu-ilmu si Datuk
yang dapat merubah tubuhnya menjadi banyak. Se-
dangkan upaya Roro mengakali si Datuk untuk mema-
suki bumbung bambu ternyata menemui kegagalan.
Karena si Datuk Siluman Setan Belang ternyata masih
berada di luar bumbung. Yang menjelma menjadi asap
putih tipis dan memasuki bumbung bambu itu cuma
ilmu sihirannya belaka. Roro terjerat dalam benang-
benang sutera ciptaan sang Datuk.....
Tampaknya sebentar lagi dapat dipastikan oleh si
Datuk bahwa Roro akan berhasil jadi tawanannya.
Saat Roro tengah sibuk menghalau benang-benang su-
tera ciptaan itu, si kakek berhidung melesak ini berkelebat seraya menaburkan
serbuk halus berwarna putih
yang berbau harum. Serbuk ini menghalangi pandan-
gan mata Roro. Tampak tubuh dara perkasa Pantai Se-
latan ini terhuyung. Belum lagi tubuhnya roboh karena hidungnya telah mengendus
bau harum yang dapat
membuat orang tak sadarkan diri, lengan sang Datuk
telah bergerak menyambarnya.|
"Hehehehehe... hahaha... cah ayu, ternyata tak begitu sukar menawan mu" berkata
Datuk Siluman Setan Belang dengan tertawa terkekeh.
Dipanggulnya tubuh Roro yang tak berkutik untuk
dibawa masuk ke ruangan kamarnya. Tubuhnya yang
tampaknya telah lemah lunglai tanpa tenaga itu diba-
ringkan di peraduan. Kembali dia tertawa mengekeh.
Sementara sepasang matanya menjalari lekuk-liku tu-
buh korbannya. Sepasang matanya membinar-binar
menimbulkan hawa birahi. Beberapa kali lengannya
menyibak, maka tubuh sang dara perkasa yang cantik
jelita itu telah dalam keadaan tanpa busana.
Dengus napaspun mulai terdengar mengembara di
sekitar ruangan kamar sang Datuk. Sekejap dia sudah
lorotkan jubahnya. Gemetar lengan tua itu ketika men-jamah kulit pipi sang
korban yang bagaikan seorang
dewi tengah tertidur pulas. "Ohh... cantiknya kau cah ayu..." menggeletar suara
sang Datuk. Perlahan-lahan direbahkan tubuhnya menindih tubuh Roro....
Akan tetapi tiba-tiba kakek tua ini berteriak terta-
han. Seketika tubuhnya terlompat dari pembaringan-
nya bagaikan dipagut ular. Sepasang matanya membe-
lalak menatap sosok tubuh yang tergolek di pembarin-
gan itu. Datuk tua ini mengucak-ngucak matanya se-
perti tak percaya, karena apa yang dilihatnya adalah...
sebongkah batu terbujur di peraduannya.
"Gila! Setan alas! Dedemit...! Mengapa bisa begi-ni?"?"" Memaki-maki sang Datuk
Siluman Setan Belang dengan wajah merah padam.
"Aku telah tertipu mentah-mentah!" mendesis si kakek dengan kesal. Segera
disambar jubahnya. Dan se-
kali lengannya bergerak, hancurlah batu itu berikut
berderak hancur peraduannya. Selang sesaat dia telah berkelebat keluar dari
ruangan kamar. Ternyata yang ditujunya adalah kamar Rinjani, se-
telah berteriak-teriak memanggil anak buahnya agar
mencari jejak Roro Centil yang tak ketahuan kemana
lenyapnya. Didapati Rinjani terlentang di lantai kamar dalam keadaan telanjang
bulat. Akibatnya marahnya,
justru Rinjanilah yang jadi korban.
Sekali lengannya bergerak, tubuh Rinjani yang da-
lam keadaan tertotok itu terlempar membentur dinding kamar. Tak terdengar
jeritannya lagi. Karena nyawanya langsung melayang seiring dengan hancurnya
tulang-tulang tubuh wanita cabul itu dengan suara yang ber-
kelotakan. Darah menyemburat ke setiap penjuru. Dan
sang Datuk telah melompat keluar dari ruangan kamar
dengan, kemarahan yang membludak.....
Melihat di sekeliling tempat itu berkumpul lebih da-
ri lima orang kakek si Datuk Siluman Setan Belang
mendengus. "Heh! ada apakah kalian sobat-sobat berada di wilayah ku ini?" berkata demikian
kembali dia memandang pada Roro Centil yang tersenyum-senyum melihat
si Datuk yang mendelikkan mata ke arah dia.
"Kau bocah sialan, jangan harapkan dirimu bisa berlindung di ketiak kakek-kakek
moyangmu! huh! awas kau bocah centil! Kau telah mengelabuiku men-
tah-mentah. Tapi suatu saat aku akan buktikan uca-
panku untuk menawanmu hidup-hidup!"
"Persoalan apakah gerangan antara kau dengan no-na Pendekar Roro Centil
sahabatku ini, sobat" Apakah kau dapat memberi penjelasan?" Ki Kutut Praja Setha
yang sejak tadi berdiri saja sambil berpeluk tangan
ajukan pertanyaan.
"Maaf, aku tak dapat menjawab pertanyaan itu. Dan aku tak mau lain orang
mencampuri urusanku!" sahut sang Datuk dengan ketus. Selesai berkata si Datuk
ini balikkan tubuh, dan melompat pergi dari situ.
"Heeei! sobat tua! sungguh sombong benar kau" sebutkan dulu siapa nama dan
gelarmu biar aku tak pe-
nasaran!" teriak Ki Gembul Sona membentak. Tubuhnya berkelebatan menyusul.
Lengan kakek yang berju-
lukan si Belut Putih ini menjulur jubah si Datuk. Akan tetapi saat itu berdesir
puluhan jarum dari ujung
tongkat Siluman Setan Belang. Kalau saja Ki Gembul
Sona tak memiliki kelincahan, sudah dapat dipastikan bahaya maut mengancam
jiwanya. Untunglah dengan
gerakan gesit dia miringkan tubuh. Lengan jubahnya
yang lebar menghantam jarum-jarum maut itu hingga
buyar, Namun ketika dia jejakkan kakinya ke tanah, si kakek jubah hitam itu
lenyap. Lapat-lapat terdengar
suara tertawanya terkekeh.
"Hehehe... hahaha... nama gelarku adalah si Datuk Siluman Setan Belang! Harap
kau jangan coba-coba
urusan denganku!"
Ketika semua mata memandang ke arah Gembul
Sona dan ke arah tempat berkelebat lenyapnya sosok
tubuh Si Datuk Siluman Setan Belang, saat itu Roro
telah berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Para tokoh tua kaum putih itu cuma bisa gelengkan
kepala mengetahui Roro Centil sudah berlalu mening-
galkan mereka tanpa permisi lagi.
*** 8 RORO CENTIL telah jejakkan kakinya di satu kota
bernama BOLULAWANG. Dalam perjalanannya ke wi-
layah Tenggara ini ternyata Roro tak begitu tergesa-
gesa. Kota Bolulawang tak seberapa besar. Melangkah
lebih jauh memasuki tengah kota, Roro menampak ke-
ganjilan di dalam kota ini. Karena warung-warung,
penginapan dan toko-toko tak nampak ada yang buka.
Semuanya tutup. Orang-orang yang lalu-lalangpun ter-
lihat sepi. "Aneh! ada apakah yang terjadi?" pikir Roro.
Di ujung jalan Roro melihat seorang laki-laki tua
yang baru saja mengangkat papan terakhir untuk me-
nutup penginapannya. "Heh! Kebetulan. Aku bisa tanyakan pada orang itu!" desis
Roro tersenyum. Laki-laki tua ini adalah pelayan penginapan itu yang ker-
janya agak lambat.
Sementara dari dalam terdengar suara sang maji-
kan yang memerintahkan si pelayan agar secepatnya
masuk dan mengunci pintu. Ketika tahu-tahu...
"Paman...! maaf, aku mengganggu. Boleh aku num-
pang beristirahat di sini?" Terkejut laki-laki pelayan mengetahui seorang. gadis
entah dari mana muncul-nya tahu-tahu telah berada disampingnya.
"Oh, ma... maaf noo... nona. Hari ini kami tak menerima tamu..." tergagap
pelayan itu menyahut.
"Mengapa?" tanya Roro. Akan tetapi belum lagi sang pelayan itu menyahuti telah
terdengar suara bentakan dari dalam.
"Cepat masuk! tunggu apa lagi kau Bejo" apa kau mau mampus siang-siang?" Tentu
saja membuat pelayan tua ini tak ayal lagi segera melompat masuk tan-pa
pedulikan Roro lagi, dan... Bruk! Dia telah tutup pintu penginapan dan sekaligus
menguncinya dengan
palang pintu. "Aneh!?" menggumam Roro. Dia jadi terlongong di muka pintu. "Mengapa tampaknya
orang begitu ketakutan?" Roro putar pandangan ke sekeliling tempat.
"Hm, benar-benar tak ada manusia yang berani un-jukan diri. Apakah ada iblis
yang mengincar nyawa
hingga semua penduduk kota ketakutan menyembu-
nyikan diri?" pikir Roro dalam benak.
Sementara itu di balik pintu penginapan terdengar
suara bisik-bisik.
"Sssst! siapa orang yang mau menginap tadi" seperti kudengar suara perempuan?"
Suara yang terdengar agak berat itu adalah suara si pemilik penginapan.
"Seorang gadis, Ndoro..."
"Cantik?"
"Wah! coantiik sekali Ndoro. Dia mau menumpang
beristirahat, katanya tadi. Tapi Ndoro sudah memang-
gilku agar cepat-cepat masuk dan menutup pintu,"
menyahut sang pelayan dengan suara berbisik pula.
"Hm... apa dia masih ada di luar?"
"Entahlah, Ndoro..."
"Coba kau periksa!" perintah sang majikan.
"Baik, Ndoro. Apa disuruh masuk sekalian?" bertanya sang pelayan bernama Bejo
itu. "Pakai tanya, ya maksudku begitu! kasihan kan gadis secantik gitu kalau mau
beristirahat masakan bisa ku tolak?"
Bisik-bisik itupun berakhir. Dan terdengar suara
palang pintu dibuka dari dalam.
Kepala si pelayan tersembul di pintu. Matanya jela-
latan mencari Roro. Akan tetapi dia tak menampak
adanya gadis tadi berada di depan pintu. Dia melang-
kah agak lebih jauh dan memandang ke sekeliling. Tak nampak bayangan seorang
manusiapun "Ada, Jo... ?" terdengar suara agak keras dari dalam. "Ti... tidak, Ndoro...!
dia sudah pergi" menyahut Bejo.
"Huuuuh! sudahlah, ayo cepat kau masuk dan kun-
ci pintu lagi!"
Akan tetapi belum lagi Bejo melangkah, tiba-tiba
terdengar suara tertawa terbahak-bahak, diiringi kata-kata keras.
"Hahahahha... haha... perutku lapar begini, semua warung tak ada yang buka. He!
aku mau makan di warung mu, apa kau ada persediaan makanan?" Tentu saja si
pelayan tua bernama Bejo itu jadi gelagapan, karena tahu-tahu pundaknya telah
dicengkeram orang. Ketika dia balikkan tubuh, seorang laki-laki kekar berambut gondrong
telah berada di situ. Menatap
padanya dengan sorot mata seram.
Laki-laki ini berwajah penuh brewok. Bajunya ter-
buat dari karung goni. Sebelah lengan bajunya yang
panjang dibiarkan menggantung seperti tak berlengan.
Ternyata laki-laki brewok ini memang berlengan satu.
Jelas terlihat tangan yang sebuah lagi telah kutung sebatas pangkal lengan. Di
punggungnya terikat sebuah
buntalan. "Oh, hari ini kami tak punya persediaan makanan.
Harap maafkan..." menyahut si pelayan.
"Apakah kau berkata betul" Kalau ku geledah ternyata ada makanan, apakah kau mau
bertaruh dengan
kepala mu sebagai taruhannya?" bentak si brewok.
"Ampun, Raden...! sebenarnya ada, tapi hari ini ka-mi tak bisa menerima tetamu,
karena... karena..." Tergagap si pelayan mendengar gertakan laki-laki brewok
itu. "Bagus! hayo, antar aku masuk!" berkata si brewok, Belum lagi si pelayan
mengangguk, tahu-tahu tubuhnya serasa terbang. Dan sekejap kemudian telah bera-
da di dalam penginapan. Nyaris bertubrukan dengan si pemilik penginapan yang mau
melongok keluar melihat
apa yang terjadi.
Laki-laki gemuk ini belalakkan mata memandang
pada si laki-laki berewok yang telah masuk ke dalam
penginapan. "Ndoro, tet.. tetamu ini mau..." berkata si pelayan dengan gugup. Namun kata-
katanya segera dipotong
oleh si brewok.
"Ya! perutku lapar. Aku mau makan. Apa bisa ka-
lian sediakan aku makan?"
"A... ada..! Bejo! segera kau siapkan makanan untuk tuan ini!" perintah si
pemilik penginapan, yang memang juga membuka restoran.
"Tu... tutup pintu itu dulu!" perintahnya lagi pada Bejo.
"Baik! baik, Ndoro..." Bejo cepat bergegas menutup pintu dan memalangnya
sekaligus. "Ada apakah" tampaknya kalian seperti ketakutan.
Kulihat semua orang menutup pintu rumah makan
dan tokonya rapat-rapat." berkata si laki-laki brewok.
Si pemilik penginapan menatap wajah laki-laki bre-
wok itu.! Sekali melihat sudah dapat menduga kalau


Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki itu adalah orang baik-baik. Walaupun berwajah penuh cambang-bauk
tetapi jelas laki-laki itu
punya penampilan gagah. Dan di balik brewoknya me-
nampakkan ketampanan wajahnya.
"Boleh aku mengetahui siapa nama Anda" Aku Sin-
go Wulung pemilik penginapan dan rumah makan ini."
berkata si pemilik penginapan.
"Hahaha... aku tak punya nama. Tapi baiklah kau panggil aku si BREWOK LENGAN
TUNGGAL". Mendengar nama itu, Singo Wulung jadi tersenyum manggut-
manggut. Segera dia memaklumi kalau berhadapan
dengan seorang tokoh Rimba Hijau.
"Baiklah sobat Brewok, sebenarnya...." segera Singo Wulung menceritakan secara
singkat apa yang telah
terjadi. "Laki-laki tua jubah hitam itu memondong seorang gadis yang tak pernah lepas
dari pundaknya. Dia dalam keadaan tidak waras!" Singo Wulung mengakhiri
penuturannya. "Gila! dia telah lakukan pembunuhan pada bebera-pa orang penduduk?" tanya si brewok.
"Benar, sobat brewok...! menyahut Singo Wulung.
Sementara itu di luar pintu penginapan sesosok tubuh baru saja menjelma. Siapa
lagi kalau bukan Roro Centil. Dara perkasa ini memang sejak tadi berada di
tempat itu. Ternyata Roro telah mempergunakan aji Hali-
munan, hingga tubuhnya tak nampak oleh mata biasa.
Kemunculan si Brewok Lengan Tunggal juga telah di-
ketahui Roro, termasuk percakapan dari balik pintu
penginapan. Yang membuat Roro terkejut bukanlah
tentang si manusia laki-laki jubah hitam yang menye-
bar maut di kota itu. Akan tetapi kemunculan si laki-laki brewok, yang segera
dikenalnya adalah JOKO
SANGIT. Terpanar mata Roro memandang ke pintu pengina-
pan, seolah mata itu berhasil menembus papan pintu.
"Joko... ah, Joko Sangit! Apa yang terjadi denganmu"
Siapakah manusianya yang telah memutuskan tan-
ganmu itu?" berbisik Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak dapat berpikir lebih jauh, ka-
rena pada saat itu terdengar suara jeritan orang dari arah ujung jalan. Tak
ayal, Roro segera gerakkan tubuhnya untuk melesat ke sana.
*** 9 APAKAH yang terjadi di ujung jalan kota sunyi itu"
Ternyata seorang laki-laki tua berjubah tengah dike-
pung oleh belasan orang. Para mengepung itu tak lain dari para prajurit
Kadipaten. Dua orang telah roboh terjungkal dengan jerit men-
gerikan. Sebelas pengeroyoknya melompat mundur.
Sangat mengerikan, karena sekejap kedua tubuh tam-
tama itu telah berubah hijau. Keris berluk tujuh di
tangan laki-laki tinggi besar jubah hitam itu pancarkan sinar hijau. itulah
keris KYAI NOGO IJO. Ternyata laki-laki tua itu tak lain dari KI BOGOTA adanya.
"Hoahaha... haha... hayo majulah kalian semua ku-tu kutu Kadipaten. Kyai Nogo
Ijo akan menghirup da-
rah kalian semua! hahaha... haha..." tertawa berkaka-
kan Ki Bogota. Wajahnya memerah bagai kepiting dire-
bus. Sebelah tangannya mencekal keris, dan sebelah
lagi memanggul tubuh seorang gadis di pundaknya.
Tersentak Roro ketika mengenali gadis itu adalah
RANDU WANGI. Tiga orang perwira saat itu telah me-
nerjang dari arah kanan. Pedang dan golok berkeleba-
tan. Mereka adalah tiga orang perwira kelas satu dari pengawal Adipati
Bolulawang. Khawatir mengenal gadis yang dalam pondongan laki-laki gila itu,
mereka menerjang dengan hati-hati. Dua orang menabas kaki.
Sedangkan yang seorang lagi menabas lengan.
Akan tetapi Ki Bogota dengan tertawa terbahak se-
gera melompat. Kerisnya digunakan menangkis seran-
gan lawan yang mengarah pangkal lengan.
TRANG..! WHUUT! WHUUT! Dua jeritan kembali terdengar. Dua dari perwira
Kadipaten itu terlempar dengan perut robek. Ternyata dengan kecepatan kilat Ki
Bogota telah lemparkan tubuh gadis yang dipondongnya ke udara. Di detik itu
dia berkelebat menyarangkan kerisnya di perut kedua
lawan. Sementara tangkisan tadi telah membuat pe-
dang lawan tertabas putus. Luar biasa memang keris
Kyai Nogo Ijo itu. Tapi juga luar biasa gerakan tubuh Ki Bogota. Karena saat dua
tubuh lawannya terlempar, dia telah siap kembali menyangga tubuh gadis itu untuk
dipondongnya. Akan tetapi belum sempat lengan Ki Bogota me-
nyentuh tubuh gadis itu satu bayangan telah mener-
jang. BUK! Ki Bogota terjungkal berguling-guling. Terperanjat
laki-laki tua ini, ketika melompat berdiri sesosok tubuh berambut panjang telah
berdiri di hadapannya
dengan memanggul tubuh gadis itu.
Roro yang belum mengambil tindakan apa-apa ter-
sentak kaget, karena segera mengenali siapa dia. tu-
buh barusan tak lain dari JOKO SANGIT alias si Bre-
wok Lengan Tunggal.
"Manusia gila! Kau mampuslah!" membentak si brewok.
WHUUUK! BHLARRR...! Semua mata membelalak menatap dengan mulut
ternganga. Karena sukar untuk diduga ketika laki-laki brewok itu gerakan
lengannya, tahu-tahu terdengar ledakan dahsyat. Seiring ledakan itu, mereka
melihat tubuh Ki Bogota telah menjadi serpihan-serpihan yang melambung di udara.
Bercampur dengan menyembu-ratnya tanah dan batu.
Ketika debu menipis, tampak potongan-potongan
tubuh laki-laki tua bekas ketua Partai Lereng Merapi itu yang sudah tak
berbentuk lagi. Ketika mereka memandang pada si brewok, ternyata orangnya sudah
le- nyap entah kemana...
Roro cuma melihat berkelebatnya bayangan ke arah
utara. Tak ayal lagi Roro segera mengejar. Sementara sembilan tamtama Kadipaten
itu cuma bisa terperangah dengan mulut ternganga tanpa ucapkan sepatah
kata. Berdiri terpaku memandang tubuh manusia edan
yang telah membunuhi penduduk dan menewaskan
beberapa tamtama itu.
Dalam keadaan demikian, tanpa seorangpun yang
melihat. Sepotong lengan yaitu potongan lengan Ki Bogota yang masih erat
mencekal keris Kyai Nogo Ijo yang menggeletak di balik bongkah-bongkah batu,
tiba-tiba bergerak hidup. Potongan lengan yang menggeletak di
balik bongkah-bongkah batu itu melayang ke udara.
Fantastis sekali, karena tiba-tiba potongan lengan itu meluncur ke arah para
tamtama itu. Sinar hijau berkelebat, dan....
Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan membe-
lah udara. Kesembilan tamtama Kadipaten itu roboh satu per-
satu hampir berbareng. Darah memercik menyiram ta-
nah. Karena dada dan leher mereka telah terkoyak ke-
ris maut Kyai Nogo Ijo. Sekejap saja sembilan tubuh
itu telah roboh dengan nyawa masing-masing lepas da-
ri tubuhnya. Kejap berikutnya sinar hijau telah berkelebat mem-
belah udara meluncur pesat menuju ke arah utara.
Seperti menyusul kedua bayangan yang telah lebih
dulu melesat dari tempat itu...
*** RORO CENTIL berkelebat mengejar bayangan tubuh
si Brewok yang sudah dapat dipastikan adalah JOKO
SANGIT. Mana Roro bisa melupakan wajah laki-laki
yang telah membuat dia jatuh hati itu" Roro sendiri
tak mengetahui mengapa dia bisa jatuh hati pada be-
kas berandal itu. Apakah karena kebaikan hatinya,
ataukah karena Joko Sangit memang berwajah tam-
pan" Akan tetapi Roro mengetahui banyak laki-laki seperti SAMBU RUCI alias si
Bujang Nan Elok, atau Raja Muda tanah Melayu, Ginanjar dan banyak lagi yang
lainnya. Namun justru Roro lebih tertarik pada Joko
Sangit. Dia tak dapat mengelabui isi hatinya untuk
mencintai laki-laki itu. Joko Sangit memang sudah dapat dikatakan seorang laki-
laki yang amat mudah ja-
tuh ke tangan wanita. Tapi Roro yakin kalau kelakuan tidak baik itu bisa
dihilangkan. Semua itu karena Joko
Sangit seorang laki-laki yang kurang kuat iman. Apa-
kah rasa cintanya itu timbul karena rasa kasihan pada laki-laki Itu" Entahlah...
Ketika pada beberapa tahun yang lalu Ki Jagur
Wedha guru Joko Sangit bergurau akan mengambil
menantu padanya, Roro cuma tersipu dengan wajah
berubah merah. Biasanya Roro tak ambil peduli
dengan setiap laki-laki. Karena Roro memang masih
mau hidup menyendiri, bebas dari ikatan suami istri.
Yah, memang jiwa kependekaran Roro lebih tampak
menonjol. Roro memang lebih mementingkan urusan
kependekaran ketimbang urusan pribadi. Tapi sebagai
manusia Roro tak mampu menolak apa yang namanya
"Cinta". Walau Roro sendiri tak mengetahui apakah dia jatuh cinta, apakah cuma
rasa kasihan pada laki-laki itu. Yang jelas, Roro tengah mengejarnya dengan hati
trenyuh tak menentu. Karena setelah lama tak pernah
berjumpa, Roro melihat laki-laki brewok itu muncul
dengan ilmu yang tinggi. Akan tetapi Joko Sangit telah kehilangan sebelah
lengannya. Dan berjulukan si Brewok Lengan Tunggal.
Saat itu senja hampir merambah alam. Cuaca tidak
lagi terang benderang. Matahari hampir redup. Bebe-
rapa saat lagi akan lenyap terhalang pegunungan. Ge-
rakan Roro memang agak lambat, karena Roro di
samping memikirkan keadaan Joko Sangit, juga memi-
kirkan Ginanjar yang gua garbanya kemasukan sukma
KALA WRENGGI. Dua orang laki-laki muda yang sama-
sama mencintai dirinya itu telah muncul. Yang seorang adalah masih saudara
seperguruannya sendiri, yaitu
Ginanjar. Sedang Joko Sangit masih ada pertalian hu-
bungan antara guru Joko Sangit dengan gurunya, yai-
tu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Namun Roro telah
kehilangan jejak ketika mengejar Joko Sangit.
Mendadak cahaya hijau membersit di atas kepa-
lanya. "Hahaha... heheh... RORO CENTIL! untuk apa kau mengejar dia" Bukankah kau
mau ke Tenggara?"
Terkejut Roro melihat sepotong lengan yang mencekal
sebuah Keris bersinar hijau bisa berkata-kata. Nada
suara tertawa dan kata-kata itu membuat Roro segera
mengetahui dengan cepat. Namun membuat Roro jadi
terperanjat, karena dia tahu potongan lengan itu adalah potongan lengan manusia
edan yang tubuhnya
mengalami kehancuran akibat benda peledak yang di-
lakukan Joko Sangit alias si Brewok.
"Kala Wrenggi...!?" sentak Roro dengan mata terbe-lalak. Sekejap dia sudah
hentikan langkahnya. Menen-
gadah menatap pada potongan lengan yang mencekal
keris hijau berlumuran darah.
"Benar, aku sukma Kala Wrenggi! Segera hentikan pengejaranmu, dan ikut aku ke
Tenggara!" menyahut sukma Kala Wrenggi dengan suara seram.
"Mengapa kau masuk ke dalam lengan kutung itu"
Di mana kau tinggalkan tubuh Ginanjar?" bertanya Roro dengan heran. Akan tetapi
diam-diam dia bergirang, karena sukma Kala Wrenggi telah keluar dari gua garba
Ginanjar. "Bagus!" pikir Roro; "Aku akan beru-paya agar dia tak memasuki lagi
tubuh si tolol itu ..!
Akan tetapi aku terpaksa harus tetap ke Tenggara. Walau sampai saat ini aku tak
tahu bagaimana caranya
melenyapkan manusia iblis pantang mati ini!"
Roro yang memang telah bertekad untuk menghan-
curkan kebatilan, telah menempuh jalan dengan ca-
ranya sendiri. Tanpa memikirkan resiko lagi, gadis
berwatak aneh ini memang mempunyai keberanian
yang luar biasa. Entah, apakah dia mampu mele-
nyapkan manusia iblis pantang mati itu" Kita ikuti sa-
ja jalan ceritanya.
"Bocah laki-laki itu telah kubunuh mampus!" menyahut sukma Kala Wrenggi.
"HAH!?" tersentak Roro. Keringat dingin mengucur di dahinya. Sejenak dia
terhenyak mendengar kata-kata itu.
"Mengapa kau lakukan itu" mengapaaa!?" suara Ro-ro melengking tajam hingga
berpantulan di sekitar
tempat itu. "Kau... kau dasar iblis! Mengapa tak kau tepati jan-jimu?" Gemuruh dada Roro
karena terkejutnya.
"Hohoho... hehehe... dia masih hidup. Aku hanya menakut-nakuti mu!" tertawa
mengekeh sukma Kala Wrenggi.
"Benarkah demikian?" tanya Roro lirih. Sementara matanya menatap lengan kutung
yang mencekal keris
bersinar hijau itu tak berkedip.
"Percayalah! aku tak berdusta. Aku hanya menakut-nakuti kau. Dari sikapmu itu
aku mengetahui kalau
kau memang benar-benar mencintai dia!" Roro tersenyum. Sementara diam-diam dia
menarik napas lega.
"Ya! aku memang mencintainya. Tapi pemuda som-
bong itu lebih memperhatikan gadis bernama Kasmini
ketimbang aku..." sahut Roro berdusta.
Diam-diam Roro mulai mencari akal untuk membu-
juk sukma Kala Wrenggi agar tak memasuki lagi gua
garba Ginanjar. Tapi Roro harus melihat bukti dulu
bahwa Ginanjar masih hidup.
*** 10 SEMENTARA terjadi percakapan Roro dengan suk-
ma Kala Wrenggi, telah didengar oleh sesosok tubuh di balik semak belukar.
Sepasang matanya yang bersinar
tajam menatap dengan aneh pada Roro dan sepotong
lengan yang mencekal keris bersinar hijau itu. "Sukma Kala Wrenggi?" berdesis
pelahan laki-laki itu yang tak lain dari si brewok alias Joko Sangit.
Tubuh Randu Sari yang tak sadarkan diri dibaring-
kan tak jauh dari tempat dia bersembunyi. Sementara
dia sendiri mendengarkan percakapan itu dengan se-
rius, dengan hati berdebar. Karena Joko Sangit segera meraba lengan kiri yang
telah kutung. Lengan yang putus itu telah ditabasnya atas per-
mintaan Roro untuk membuktikan CINTAnya pada da-
ra perkasa Pantai Selatan itu, Joko Sangit telah nekad memutuskan lengannya
sendiri. Betapa marahnya Joko Sangit ketika ternyata Roro


Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menipunya. Dalam keadaan menderita Joko San-
git menggelepar kesakitan dengan luka pada lengannya yang putus, hingga dengan
kemarahan menggelegak,
dia menerjang Roro. Joko Sangit yang dalam keadaan
mabuk itu akhirnya tergelincir jatuh ke dalam jurang yang dalamnya susah diukur.
Agaknya nasib baik masih melindungi dia, hingga
masih berumur panjang.
Seorang kakek tua renta telah menolongnya. Dialah
seorang tokoh persilatan dari Negeri Sakura, bernama MATSUI.
Peruntungan Joko Sangit justru amat baik. Kakek
MATSUI memang bertujuan mencari Roro Centil untuk
mewariskan sebuah Kitab Pusaka. Kitab Pusaka itu
berisi ilmu-ilmu persilatan yang bernama NINJA.
Kakek Matsui yang pernah berhutang budi pada Ro-
ro Centil telah mengarungi lautan untuk menyerahkan
Kitab Pusaka NINJA itu pada dia.
Joko Sangit mengambil kesempatan baik itu, untuk
membantu Matsui menyampaikan Kitab Pusaka itu
pada Roro. Tokoh Negeri Sakura itu percaya pada Joko Sangit yang memberitahukan
bahwa dia adalah sahabat baik Roro Centil.
Demikianlah. Hingga kemudian Joko Sangit sendiri-
lah yang mempelajari ilmu NINJA itu.
Joko Sangit memang berniat tak akan memberikan
Kitab Pusaka NINJA itu pada Roro.
Joko Sangit yang bekas si pemuja Roro Dentil itu te-
lah salah menyangka.
Karena sebenarnya yang melakukan perbuatan ja-
hat menipunya itu adalah GIRI MAYANG. Wanita yang
amat mendendam pada Roro Centil. Dengan menggu-
nakan Ilmu Malih Rupa, Giri Mayang telah menyaru
Roro Centil. Bahkan dengan perbuatannya itu, Roro
pernah dituduh sebagai seorang wanita Pendekar be-
rakhlak bejat. Dan banyak melakukan perbuatan-
perbuatan tercela.
Joko Sangit yang tak mengetahui kalau Roro tengah
mengakali sukma Kala Wrenggi, terkejut mendengar
Roro mengatakan bahwa dia amat mencintai pemuda
bernama GINANJAR. Dia memang mengenal Ginanjar,
yang diketahuinya adalah seorang pemuda yang masih
saudara seperguruan Roro. Seperti diketahui Roro pernah menjadi murid Jarot
Suradilaga alias si Maling
Sakti. Dan Ginanjar adalah murid Ki Bayu Sheta atau
si Pendekar Bayangan, yang punya hubungan antara
mereka adalah menantu dan mertua. (baca: Kisah per-
tama RORO CENTIL, berjudul; Empat Iblis Kali Progo).
Roro sendiri masih terhitung murid Ki Bayu Sheta,
karena kakek tua bekas pejuang dari kaum Partai Pen-
gemis yang berjulukan si Pendekar Bayangan itu me-
nurunkan pula ilmu-ilmu kepandaiannya pada Roro.
Seketika wajah Joko Sangit berubah merah padam.
Dadanya bergetar.
"Pantas dia menipuku! ternyata diam-diam dia telah mencintai si bocah ingusan
itu...!" berdesis Joko Sangit dengan geram.
Namun di samping geram karena cemburunya, juga
sakit hati pada Roro yang telah memperdayai dia, Joko Sangit tak habis pikir
melihat kejadian di depan matanya. Jelas lengan yang putus dan masih memegang
keris itu adalah lengan manusia gila yang telah dihabi-si nyawanya dengan
ledakan peluru maut.
Di samping heran dia juga terkejut mengetahui len-
gan kutung yang bisa bicara itu adalah karena dima-
suki sukma KALA WRENGGI. "Siapakah Kala Wrenggi itu" Sukmanya bisa gentayangan
dan dapat masuk ke
tubuh manusia atau kemana saja yang disukainya?"
berpikir Joko Sangit dalam benak dengan 1001 perta-
nyaan. Sementara sukma Kala Wrenggi telah mulai buka
suara lagi. "Heh Bocah Centil, apakah kau mau aku memasuki
lagi tubuh pemuda bernama Ginanjar itu lagi?" Roro Centil merasa mendapat
peluang dengan adanya pertanyaan itu. Segera dia menjawab.
"Kurasa tidak perlu" sahut Roro. "Masih banyak pemuda gagah lainnya yang bisa
menawan hatiku. Ta-pi aku lebih menyukai kau Kala Wrenggi. Selain sakti
mandraguna kau juga seorang manusia yang pantang
mati. Aku amat tertarik padamu. Kalau tak keberatan
ingin sekali aku melihat jasadmu di pantai Tenggara..."
rayu Roro dengan tersenyum manis.
Mendengar jawaban Roro Centil sukma Kala Wreng-
gi tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha... hehehe... lucu! sungguh lucu sekali. Kalau gadis secantik dan
sehebatmu sampai tak dicintai oleh pemuda bernama Ginanjar itu saja sudah suatu
hal yang tak mungkin. Kini kau katakan bahwa kau
menyenangi aku yang jasadnya saja belum pernah kau
lihat. Bagaimana kalau jasadku itu cuma sesosok tu-
lang kerangka?" Tersentak Roro mendengar kata-kata sukma Kala Wrenggi. "Edan!
apakah roh manusia setan ini bisa menerka isi hatiku?" bertanya Roro dalam hati.
Namun walaupun demikian Roro tetap mengumbar senyum.
"Aku tak perduli apakah jasadmu cuma sesosok kerangka atau segumpal daging
busuk. Yang jelas aku
ingin sekali melihat jasadmu. Bukankah punya suami
manusia aneh yang sakti seperti kau banyak sekali
keuntungannya" Kau bisa berpindah pada jasad siapa
saja. Dan kau tak akan pernah tua. Juga tak kan per-
nah mati. Nah aku merasa pilihanku tidak meleset!"
ucap Roro dengan tegas.
Karuan saja Joko Sangit yang mendengarkan pem-
bicaraan Roro jadi belalakkan matanya seperti tak percaya. "Jadi si Kala Wrenggi
ini adalah manusia setan yang pantang mati" Gila Edan! si Roro juga edan! Dunia
Ini memang benar-benar sudah edan!" memaki Jo-ko Sangit kalang-kabut dalam hati.
Sementara sukma
Kala Wrenggi mulai bicara lagi setelah perdengarkan
tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Bagus! bagus! baiklah! aku tak keberatan dengan keinginanmu itu. Sebaiknya kita
berangkat sekarang
ke Tenggara!"
"Tunggu!" berkata Roro. "Bolehkah aku mengetahui
mana adanya pemuda bernama Ginanjar itu kini?" bertanya Roro.
"Hm, segera akan kutunjukkan! Apakah yang akan kau lakukan" Kalau kau sudah tak
menyukainya, aku
akan segera membunuhnya mampus saja sekalian, se-
perti sembilan nyawa para tamtama tadi!"
"He" kau telah membunuh sisa-sisa tamtama Kadi-
paten itu?" terhenyak Roro dengan terkejut. Matanya membelalak menatap lengan
kutung yang mencekal
keris bersinar hijau itu, yang menggantung di udara.
"Hehehe... siapa berhak melarang kemauanku?"
menyahut sukma Kala Wrenggi.
"Benar! benar, siapa yang berhak melarang kemauanmu?" timpal Roro. Dia memang
tak dapat berbuat apa-apa selain menelan ludah yang terasa menyangkut
di tenggorokan.
"Tidak! kau tak perlu membunuh pemuda itu. Kalau sudah kuketahui dia masih
hidup, kita langsung berangkat ke Tenggara. Kelak aku punya cara sendiri untuk
melakukan apa yang akan kulakukan pada pemu-
da sombong yang angkuh itu!" berkata Roro.
"Kalau begitu segera kutunjukkan di mana dia".
"Tunggu! aku tak bisa jalan bersama sepotong lengan yang mengerikan seperti itu.
Apakah..." Roro berpikir sejurus,
"Hehehe... apakah kau punya usul bagus?"
"Ya, apakah tak sebaiknya kau masuk saja ke da-
lam cincinku?" ujar Roro seraya mengangkat lengannya dan mengembangkan jemari
tangannya. Pada jari
manis Roro melekat sebentuk cincin berbatu Merah
Delima. Cincin warisan dari gurunya si Manusia Banci, yang
tak pernah lepas melingkar di jari manis Roro.
"Bagus! aku sepenuju dengan usulmu!" sahut suk-
ma Kala Wrenggi.
"Dan keris ini kukira aku tak memerlukannya!" berkata sukma Kala Wrenggi.
Selesai berkata, tiba-tiba
lengan kutung itu bergerak mengibas. Jari-jari tan-
gannya mengembang. Dan... meluncurlah keris bersi-
nar hijau itu menembus semak belukar.
Terperanjat Joko Sangit. Keringat dingin merembes
di tengkuknya. Keris maut itu nyaris menembus leher-
nya. Benda itu menancap tepat di dahan kayu semak
belukar tempat dia bersembunyi.
Ketika dia memandang ke arah Roro. Ternyata Roro
Centil baru saja berkelebat meninggalkan tempat itu.
Dia cuma bisa melihat punggung dara Pantai Selatan
itu sesaat sebelum lenyap.
"Edan! benar-benar manusia sudah pada edan!"
memaki si brewok seraya melompat berdiri. Tak ada
niat Joko Sangit untuk menyusul. Segera dia berpaling memandang pada Randu Wangi
yang masih tergeletak
tak sadarkan diri. Terdengar helaan napas laki-laki ini.
Akan tetapi tersentak dia ketika melihat semak belukar dihadapannya telah
menjadi layu. Jelas terlihat semak yang layu itu adalah yang da-
hannya tertancap keris bersinar hijau itu.
"Keris beracun!?" sentak Joko Sangit dengan membelalak. Dan lagi-lagi di
tengkuknya merembes kerin-
gat dingin. "Edan...!" makinya.
Joko Sangit julurkan lengannya mencabut keris itu,
lalu mengamatinya. Tampak cairan darah yang belum
mengering di badan keris itu. Akan tetapi Joko Sangit bukan memperhatikan bekas-
bekas darah itu, melainkan ukiran berbentuk seekor Naga yang terdapat di
badan keris. Ukiran Naga itu tergambar sama di kedua belah badan keris itu.
"Ini pasti sebuah keris Pusaka..." gumam laki-laki
brewok ini dengan kerutkan keningnya. "Entah siapa manusia gila yang sudah
mampus itu. Aku tak menge-nalinya. Dan aku memang tak perlu mengetahuinya
lagi, karena toh orangnya sudah mampus!" gerutu si brewok.
Tiba-tiba laki-laki ini balikkan tubuhnya dengan ce-
pat, ketika merasakan ada syiuran angin halus di be-
lakangnya. "Berikan benda itu padaku, sobat muda...! Kukira benda itu tak berguna buat
anda!" Joko Sangit pentang matanya lebih lebar. Seorang kakek berjubah putih,
kepalanya terbungkus lilitan kain yang juga berwarna putih. Seuntai tasbih
kuning tergantung di lehernya.
Pada sebelah lengan kakek itu tercekal sebuah pedang yang masih terbungkus
serangkanya. Kakek yang ber-jenggot dan berkumis tipis ini memandang pada Joko
Sangit dengan tersenyum. Suaranya seperti mengan-
dung wibawa. "Siapakah anda...?" bertanya Joko Sangit yang menatap dengan terpaku.
"Haiiihi namaku sudah hampir tak diingat orang.
Sebenarnya aku enggan menyebutkannya, tapi tak
apalah. Kulihat watakmu baik walau kelihatannya kau
seorang kasar. Baiklah aku akan memberitahukannya
padamu..." menyahut si kakek.
"Sebenarnya aku seorang pertapa dari gunung
Sumbing. Namaku Sujiwo. Tapi aku digelari orang
dengan julukan si Pertapa Tasbih Kuning..." ujar si kakek sambil tersenyum. Tapi
belakangan orang menye-
butku KYAI SUMBING"
Joko Sangit manggut-manggut mendengar penjela-
san orang tua itu.
"Terima kasih atas pemberitahuan nama dan gelar
anda. Aku sendiri bernama Joko Sangit." laki-laki bre-
wok itu perkenalkan dirinya seraya menjura hormat
pada kakek tua yang ramah itu.
"Boleh aku tahu, apakah hubungan anda dengan
keris ini?" bertanya Joko Sangit.
"Bukan saja dengan keris itu, akan tetapi juga dengan gadis yang kau tolong itu
aku memang ada hu-
bungannya." sahut Kyai Sumbing sambil lengannya menunjuk pada Randu Wangi yang
juga masih belum
sadarkan diri. "Oh, ya...?" terkejut Joko Sangit. "Gadis itu bernama Randu
Wangi" ujar Kyai Sumbing. "Dia adalah anak seorang Empu yang bernama Santri
Bubulen. Santri Bubulen adalah masih terhitung kepona-
kanku. Dan gurunya adalah sahabatku sendiri yang
bernama Kyai Nogo Ijo..." Joko Sangit manggut-
manggut. "Lalu hubungan apakah anda dengan keris ini?" potong Joko Sangit.
"Keris itu menjadi tanggung jawabku untuk me-
musnahkannya. Benda bercahaya itu adalah ciptaan
Santri Bubulen keponakanku itu, atas pesanan orang
yang bernama Bogota. Manusia bernama Bogota itu te-
lah menyandra anak gadisnya yang bernama Randu
Wangi selama belasan tahun karena menginginkan ke-
ris pusaka yang dimiliki Santri Bubulen.
Santri Bubulen memang memiliki sebuah keris pu-
saka dari gurunya yang bernama Kyai Nogo Ijo. Nama
keris itu memang serupa dengan nama si pemiliknya.
Santri Bubulen yang tak mau memberikan pusaka wa-
risan gurunya pada Bogota, telah mengatakan bahwa
keris pusaka itu telah hilang. Tapi dia sanggup mem-
buat keris yang serupa dengan keris Kyai Nogo Ijo jika Bogota menginginkan.
Santri Bubulen memang seorang ahli membuat keris dan boleh disebut sebagai
seorang Empu. Tapi dikatakan oleh Santri Bubulen
bahwa pembuatannya akan memakan waktu lama
hingga mencapai belasan tahun. Karena Bogota men-
ginginkan mutunya yang sama dengan keris Kyai Nogo
Ijo yang asli. Tujuan Santri Bubulen adalah agar Bogo-ta membatalkan maksudnya
memiliki keris itu.
Tak dinyana manusia itu malah menyandera anak
Santri Bubulen.
Dia akan mengembalikan anak itu kelak sebatas
waktu Santri Bubulen menjanjikan selesainya pem-
buatan keris tiruan Kyai Nogo Ijo. Tak terkira sedih dan menyesalnya Santri
Bubulen. Dengan dendam
yang tersemat di dada dia membuat keris tiruan Kyai
Nogo Ijo dan menunggu waktu sampai Bogota men-
gembalikan anak gadisnya sambil menjemput keris.
Akan tetapi Santri Bubulen telah merendam keris
ciptaannya itu dengan racun yang amat ganas. Tu-
juannya adalah bila anaknya sudah kembali, dia akan
membunuh Bogota dengan keris pesanannya sendiri.
Tak dinyana ketika Bogota muncul, justru tak mem-
bawa anak gadisnya.
Namun tekad Santri Bubulen telah bulat untuk
membunuh Bogota. Tapi ternyata justru Santri Bubu-
lenlah yang terbunuh oleh keris tiruan Kyai Nogo Ijo itu di tangan Bogota.."


Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tutur Kyai Sumbing.
"Sayang aku tak mengetahui peristiwa penyande-
raan itu sejak awal. Karena Santri Bubulen meraha-
siakannya!" sejenak orang tua itu termenung dan menghela napas.
*** JOKO SANGIT duduk termenung di akar pohon.
Malam telah merayapi sekitar perbukitan itu. Laki-laki brewok ini seperti
tenggelam dalam lamunannya dalam
keheningan yang membisu. Sepotong bulan tampak
mengambang di atas awan menyinari Mayapada den-
gan cahaya yang tak begitu terang. Joko Sangit me-
mang tengah tenggelam dalam lamunan mengingat
pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini.
Baru muncul lagi setelah menyembunyikan diri un-
tuk mempelajari kitab NINJA. Joko Sangit telah mem-
bunuh orang. Dan orang itu adalah seorang Ketua Par-
tai Besar yang bernama Partai Lereng Merapi, menurut penuturan Kyai Sumbing.
Kyai Sumbing memang tengah mengejar manusia gila bernama Bogota itu, dan
berhasil merampas Pedang Pusaka di tangan bekas Ke-
tua Lereng Merapi itu. Dari penuturan Kyai Sumbing,
Bogota ternyata bukanlah orang yang berhak mendu-
duki jabatan Ketua di partai
Lereng Merapi yang sudah terpecah belah. Perbua-
tannya banyak yang menyalahi peraturan-peraturan
partai itu. Kabar yang mengejutkan Joko Sangit adalah bahwa
kemunculan sukma Kala Wrenggi telah membuat ke-
hancuran Partai Lereng Merapi dan sebuah perguruan
lain dengan membantai habis orang-orangnya.
RANDU WANGI gadis yang telah ditolongnya itu ter-
nyata telah ternoda oleh manusia bernama Bogota.
Gadis yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri itu akan dibawa oleh Kyai
Sumbing untuk dipertemukan
dengan ibunya yang masih hidup. Joko Sangit tak da-
pat menghalangi.
Setelah memberikan keris tiruan Kyai Nogo Ijo, Joko
Sangit segera mohon diri untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Sementara Kyai Sumbing pun segera be-
rangkat pergi dengan membawa Randu Wangi.....
Terdengar laki-laki brewok itu menghela napas. Dia
belum punya tujuan untuk ke mana dia langkahkan
kakinya. Namun kemunculan RORO dan sukma Kala
Wrenggi membuat dia seperti tak dapat tenangkan ha-
ti. Entah mengapa tampaknya dia seperti mengkhawa-
tirkan keselamatan Roro, ataukah memang ingin tahu
apa yang terjadi di Tenggara, karena Roro dan sukma
Kala Wrenggi tengah menuju kesana.
"Kukira sebaiknya aku menyusul ke Tenggara..."
gumam laki-laki kekar ini, seperti mengambil keputu-
san. "Aku tak dapat mengetahui apakah aku bisa menjumpai dia atau tidak, karena
aku tak tahu ke mana
mereka pergi. Tapi dengan perjalanan ini kukira
mungkin akan menambah pengalamanku di wilayah
Tenggara...!" demikian keputusan Joko Sangit.
Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Kepalanya me-
nengadah menatap bulan sepotong di atas kepala. "Bagus! sekalian aku mencari
penginapan di kota. Sudah
lama aku tak mencicipi arak. hahaha..." Joko Sangit tertawa kecil lalu tubuhnya
berkelebat dari atas bukit itu. Sekejap kemudian sudah tak nampak lagi bayangan
tubuhnya. *** 11 Malam semakin melarut, ketika sesosok tubuh be-
rindap-indap mendekati sebuah rumah panggung di
sisi kota. Di luar cahaya bulan masih cukup menerangi seki-
tar tempat itu walaupun cahayanya remang-remang.
Tetapi berbeda dengan keadaan di dalam rumah pang-
gung itu, karena dari luar tak menampak ada cahaya
pelita. Terhuyung sosok tubuh itu yang semakin mendeka-
ti rumah panggung.
"Rumah siapakah gerangan?" terdengar suara sosok tubuh itu bergumam. "Perutku
lapar... Apakah yang punya rumah bisa memberikan sedikit nasi untuk me-nangsal
perutku?" gumamnya lirih. Tampaknya laki-laki itu amat menderita sekali seperti
sudah beberapa hari tak bertemu makanan. Siapakah gerangan dia"
Ternyata tak lain dari GINANJAR adanya.
Pemuda ini memang dalam keadaan bingung karena
ketika sukma Kala Wrenggi meninggalkan gua gar-
banya, Ginanjar tak mengetahui dia berada di mana.
Apalagi cuaca telah berubah gelap dengan pergan-
tian siang menjadi malam.
Dalam keadaan bingung karena tahu-tahu di hada-
pannya tak ada lagi gadis bernama Kasmini yang dika-
gumi kehebatannya dan telah menyelamatkan dirinya
dari perbuatan mesum Rinjani. Seingatnya dia men-
dengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh dan ber-
suara parau yang tanpa kelihatan ujudnya. Selanjut-
nya sudah tak tahu apa-apa lagi.
Tentu saja Ginanjar tak menyadari kalau sukma
Kala Wrenggi telah memasuki gua garbanya dan tu-
buhnya ke mana saja tanpa dia tahu ke arah mana dia
pergi. Bahkan perbuatan apa yang telah dilakukannya
dia tak mengetahui. Baru saja dia mau melangkah ma-
suk, dari dalam rumah yang gelap itu terdengar suara tertawa mengikik. Tersentak
Ginanjar bukan kepalang.
Sebuah bayangan putih tahu-tahu tersembul di pintu
rumah dengan rambut putih yang beriapan mena-
kutkan. Dan yang membuat Ginanjar seperti copot
nyalinya adalah muka sosok tubuh itu amat mengeri-
kan. Sepasang mata yang besar dengan mulut yang
menampakkan taring di kedua sisi bibir. Hidungnya
melesak serta mempunyai kerut-kerut wajah bagaikan
kera. "Huah!" sse... set... setaaaan!" sentaknya kaget. Suara tertawa makhluk itu
semakin menjadi-jadi ketika
Ginanjar lari pontang panting dengan terhuyung-
huyung jatuh bangun seraya berteriak-teriak.
"Tolooong! tolooong...! Kun... kun... kuntilanaaaak!"
Sesaat sosok tubuh Ginanjar telah lenyap di kegelapan malam.
"Hahahaha... haha... dasar bocah ingusan yang masih bau kencur! Bocah macam kau
baiknya tinggal saja di dapur, atau menyusu pada ibumu!" berkata "makhluk" itu.
Tiba-tiba lengannya bergerak. Rambut kepala dijambret terlepas. Kulit mukanya
juga terkelupas.
Ternyata hanya sebuah topeng serta rambut palsu be-
laka. Cahaya rembulan cukup menerangi wajahnya.
Ternyata si brewok, alias Joko Sangit.
Entah bagaimana sampai laki-laki brewok itu bisa
sampai di tempat itu. Sembunyi di dalam pondok dan
menakut-nakuti Ginanjar hingga lari pontang-panting
ketakutan. Joko Sangit tarik buntalannya di pung-
gung. Lalu dengan cepat telah benahi alat-alatnya untuk kembali dibuntal. Dan
sekejap kemudian buntalan
itu telah disangkutkan kembali di punggungnya.
"Hm, perutku sudah kenyang menyikat makanan
dalam rumah ini. Aku akan teruskan perjalanan ke ko-
ta..." berkata sendiri Joko Sangit. Selanjutnya dengan beberapa kali lompatan,
beberapa kejap kemudian sosok tubuh lak-laki brewok itu telah lenyap di
kegelapan malam.
*** PULAU terpencil di tengah laut itu masih terhalang
kabut. Tak ada sebuah perahupun yang nampak di
dekat situ. Akan tetapi dalam keremangan pagi yang
masih dinihari, tampak sebuah bayangan berkelebatan
di atas ombak. Bila diamati orang tak akan percaya kalau sosok
tubuh itu adalah manusia biasa. Karena satu hal yang tak mungkin bagi pemikiran
orang biasa, kalau ada
manusia bisa berlari-lari di atas air seperti menginjak tanah saja.
Sosok tubuh semampai itu memang manusia biasa,
akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Dialah RORO CENTIL, alias si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Tampak senjata Roro si Rantai Genit yang mirip mainan itu tergantung
terayun-ayun di pinggang-
nya. "Di arah sebelah manakah pulau tempat jasadmu
itu, sobat Kala Wrenggi?" terdengar suara Roro seperti bicara pada dirinya
sendiri. "Hehehehe... teruslah ke arah depan, sesaat lagi kau akan melihatnya." terdengar
suara sahutan tanpa terlihat ujudnya.
"Aiiiiih, aku sudah tak sabar untuk melihat jasadmu!" ujar Roro seraya menatap
pada cincin di jari ma-nisnya. Dari dalam cincin itulah terdengarnya suara
menyahut tadi. "Hehehehe... sabarlah! Tak lama lagi kau akan melihatnya!" menyahut sukma Kala
Wrenggi. Ketika Kabut mulai melenyap Roro Centil sudah je-
jakkan kaki di pulau yang baru lahir itu. Itulah pulau yang menyembul dari dasar
laut. Pulau baru yang
menjadi tempat tenggelamnya jasad Kala Wrenggi dari
atas permukaan laut, ketika tubuhnya dilemparkan
dalam keadaan terbelenggu oleh musuh-musuhnya.
Roro memandang berkeliling dengan takjub. Ka-
rang-karang yang bertonjolan di sekitar pulau itu seperti mempunyai keindahan
tersendiri. Akan tetapi ju-ga seperti menimbulkan kesan menyeramkan. Pulau
yang terlihat seperti mati tanpa penghuni. Bahkan tak nampak seekor burung
camarpun yang mendekati pulau itu. Bau amis mengembara di mana-mana. Bang-
kai-bangkai ikan yang membusuk seperti menyesak-
kan pernapasan. Hal itu di sadari Roro ketika kakinya mulai melangkah lebih jauh
memasuki pulau itu.
"Di mana dapat kutemukan jasadmu, Kala Wreng-
gi?" Roro bertanya lagi. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit. Sementara benaknya
terus memikir, akan meng-
gunakan cara bagaimanakah dia untuk melenyapkan
manusia Iblis yang pantang mati itu" Roro tak men-
dengar sahutan suara sukma Kala Wrenggi.
"He" Kala Wrenggi apakah kau masih berada di dalam cincin ku?" sentak Roro
terheran. Ditatapnya cincin berbatu Merah Delima yang melingkar di jari ma-
nis. Tetap tak ada sahutan.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di hadapannya.
Batu karang yang menonjol setinggi tiga kali tubuh
manusia depannya telah runtuh. Karang-karang ber-
lumut meluruk bergelundungan.
Roro belalakkan matanya. Sementara dia sudah pa-
sang panca indranya untuk menghadapi segala ke-
mungkinan yang bakal terjadi.
Matanya semakin membelalak lebar, ketika sesosok
tubuh muncul di antara celah-celah batu karang yang
bertimbunan. Sosok tubuh yang mengerikan. Karena
persis mayat hidup. Sosok tubuh yang sekujur tubuh-
nya penuh dengan lumut, dalam keadaan telanjang
bulat. Lumut-lumut itu menutupi aurat dan sekujur
tubuhnya. Wajahnya menampilkan wajah seorang ka-
kek tua yang berusia 70 tahun lebih. Tulang-tulang
rusuknya tampak menonjol. Rambutnya hampir me-
nyerupai lumut yang hijau. Sepasang matanya cekung
ke dalam, dengan sorot mata memerah bagaikan api.
Tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai yang baru saja putus. Inilah jasad
Kala Wrenggi. Jasad yang telah terkubur di dasar laut selama dua puluh tahun.
Roro terperangah memandang. Tak terasa kakinya
melangkah mundur. "Owh" betapa mengerikan..." berdesis suara dara Pantai Selatan
ini, "Inikah jasad Kala Wrenggi?" sentaknya dengan mata membelalak.
"Hehehehe... hoho... RORO CENTIL! Jangan terke-
jut! Akulah Kala Wrenggi yang telah menyatu lagi dengan sukmanya! Kau telah
datang di pulau gersang ini
untuk mengantar KEMATIAN!" Makhluk berlumut
itu tertawa seram, mengumbar kata-kata. Roro kemba-
li mundur dua tindak. Jantungnya berdetak keras. "Inilah agaknya yang bakal
terjadi...?" desisnya tersentak.
Roro memang tak menduga kalau justru Kala Wrenggi
akan bersikap demikian mendadak. Namun lambat
atau cepat toh dia memang harus mengalami perta-
rungan maut. Karena dia telah bertekad untuk me-
numpas manusia iblis yang bakal membawa bencana
dan sudah menyebar maut itu!
Sampai saat ini Roro belum tahu akan mempergu-
nakan cara bagaimana untuk memusnahkan manusia
yang pantang mati itu. Agaknya waktu untuk berpikir
sudah tak ada lagi. Karena tiba-tiba di sekeliling Roro telah bersembulan
kobaran api. Terperanjat Roro melihat dalam sekejap saja dia telah terkurung
oleh kobaran api yang menghalangi pandangan matanya ke seki-
tar pulau. "Hah!" Edan! dia memang benar-benar mau mem-
buat aku terkubur di pulau ini tanpa jasad" gumam Roro dengan mata membelalak.
"Hoahaha... hahahaha... RORO CENTIL! Hari ini
akan kau rasakan kematian! Kau takkan dapat meni-
puku, atau mengakali aku. Juga membunuhku! Tak
ada lagi jalan keluar bagimu, karena api neraka ini
akan membakar tubuhmu sampai luluh!" Kala Wrenggi gerakkan tubuhnya seperti
terbang. Dan...
WHUUUK! lengannya bergerak menghantam Roro.
Dari telapak tangan Kala Wrenggi keluar cahaya merah yang mengeluarkan hawa
panas seperti lahar.
BHLARRR! Gemuruh terdengar suara ledakan. Batu
karang itu seperti luluh mencair terkena sinar merah.
Akan tetapi Roro telah melambung ke atas sejarak 10
tombak. Kakinya hinggap di atas batu karang lainnya.
Wajah Roro tampak berubah tegang. Tiada lagi rasanya pertarungan dahsyat yang
dialaminya selain melawan
manusia iblis pantang mati ini.
Akan mampukah Roro membunuh Kala Wrenggi si
manusia iblis ini" Ikuti saja pertarungannya.
Roro telah gunakan tenaga dalam Inti Es untuk me-
lindungi tubuhnya dari hawa panas luar biasa. Hingga tampak keringat membasahi
sekujur tubuhnya. Inilah
saat penentuan mati dan hidup Roro. Sementara itu
api berkobar-kobar mengitari seluruh pulau. Kala
Wrenggi keluarkan suara menggeram menyeramkan.
Kembali manusia setan itu menerjang Roro. Sepasang
lengannya terpentang menyambar dibarengi melun-
curnya tubuh Kala Wrenggi bagaikan terbang. Roro te-


Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah waspada dan bertekad akan menempur manusia
iblis itu mati-matian.
Dengan membentak nyaring Roro telah gunakan ju-
rus pukulannya.
BHLARRR! BHLARRR!
Cahaya perak dan pelangi berkelebatan menyam-
bar. Roro yang sudah bertekad menghancurkan manu-
sia iblis itu telah menghantamnya dengan pukulan-
pukulan saktinya, yaitu jurus pukulan warisan Muri
Asih. Tubuh Kala Wrenggi lenyap terbungkus sinar pe-
langi yang berkelebatan di udara. Roro segera gunakan mata batinnya untuk
mengetahui ke mana lenyapnya
tubuh Kala Wrenggi. Sementara api semakin berkobar
dan kian menyempit mengurung Roro.
Tenaga Inti Esnya mulai mengendur. Dan Roro mu-
lai rasakan hawa panas yang menyengat kulit.
"Celaka...!" tersentak Roro. Segera dia gunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menambah tenaga Inti
Esnya. Cepat-cepat dia silangkan tangan dl depan da-
da seperti sikap orang yang bersemadi. Sepasang ma-
tanya terpejam. Sekejap tubuh dara perkasa Pantai Selatan itu seperti dipenuhi
butir-butir salju. Mengembun dan keluarkan hawa dingin luar biasa.
WHUUUUUS... BUK! Menjerit Roro Centil ketika me-
rasai tubuhnya terlempar. Satu hantaman pukulan se-
rasa membuat isi tubuhnya serasa remuk. Tapi Roro
belum hilang kesadarannya. Sebelum tubuhnya ter-
banting ke batu karang dan tertambus api, dia guna-
kan hantaman ke bumi. itulah jurus "Kosongkan Perut Menahan Lapar". Tubuh Roro
melambung ke udara setinggi dua puluh tombak. Dan mengambang di udara.
Tampak Kala Wrenggi tengah menengadah ke atas. Se-
pasang matanya memancarkan sinar merah yang me-
nyala. BHLARRRR! Terdengar ledakan dahsyat. Apakah yang terjadi"
Cahaya merah itu membalik menghantam ke arah pe-
nyerangnya. Ledakan dahsyat itu telah membuat keja-
dian mengerikan. Karena tampak batok kepala Kala
Wrenggi hancur lumat terhantam sinar merah.
Melihat keberhasilan pukulannya, Roro bersorak gi-
rang dalam hati. Dan... dengan dibarengi melesatnya
tubuh Roro bagaikan anak panah, Roro segera guna-
kan pukulan-pukulan "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis" dengan bertubi-tubi.
Ledakan-ledakan dahsyat terdengar beberapa kali.
Tak menampak lagi adanya tubuh Kala Wrenggi,
karena telah hancur lumat menjadi abu.
Saat itu langit tampak berubah kehitaman. Angin
bersyiur keras. Cahaya petir menyambar-nyambar di
angkasa. Mendadak api yang mengelilingi pulau itu
padam. Bayangan hitam dan cahaya merah itu sirna.
Cuaca segera berangsur-angsur berubah menjadi te-
rang benderang.
Dan terjadilah pemandangan yang aneh. Pulau mis-
terius itu mendadak berguncang hebat. Ombak laut
berdeburan keras. Menggelombang dan menyemburat
setinggi beberapa kaki. Apakah yang terjadi" Ternyata pulau yang baru lahir itu
telah tenggelam lagi ke dasar laut. Hanya beberapa saat saja di hamparan air itu
sudah tak menampak lagi adanya sebuah pulau. Pulau
itu telah kembali ke asalnya.
Sesosok tubuh manusia tertelungkup di atas per-
mukaan air. Saat mana sebuah perahu meluncur pesat
membelah ombak. Dikemudikan oleh si Brewok Lengan
Tunggal. Matanya jelalatan memandang ke sekeliling-
nya. Perahu itu berputar-putar mengelilingi perairan itu. "Hah" RORO..."
tersentak Joko Sangit mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu. Pucat seketika
wajah Joko Sangit bagaikan kertas. Tak lama Roro keluarkan keluhan lirih..
Wajah Joko Sangit berubah cerah. Tampak dia amat
girang sekali. "Roro...! RORO...!" teriaknya lirih, seraya menggun-
cang-guncang tubuh dara itu.
Akan tetapi Roro Centil tak menyahut. Namun tam-
pak bibirnya tersenyum. Dan perlahan kelopak ma-
tanya terbuka. Menatap wajah di dekatnya dengan ta-
tapan redup. "Roro...! aku masih mencintaimu, Roro...! Aku tak akan mendendam padamu walau
aku telah kehilangan
sebelah lenganku! Aku akan memaafkan kelakuanmu
tempo hari!" ucap Joko Sangit dengan suara mengge-tar. Tapi suara itu tersekat
di kerongkongannya. Dia cuma ucapkan dalam hati.
"Joko... siapakah manusianya yang telah memu-
tuskan lenganmu" Katakanlah. Demi langit dan bumi
aku akan melumatkan manusia jahanam itu!" ucap
Roro dengan suara lirih.
"Roro, nanti akan kuceritakan siapa orangnya. Apakah yang terjadi denganmu,
Roro" Bagaimana dengan
sukma Kala Wrenggi?"
"Dia telah kembali ke asalnya, Joko...! Iblis boleh tidak mati, dan tak akan
pernah mati sampai hari kia-
mat. Tapi sukma yang gentayangan akan tetap kembali
pada Tuhan, bila telah tiba waktunya. Kesaktian apa-
pun akan punah. Dan keangkara-murkaan tetap tak
akan bisa bertahan lama di atas dunia ini...!" ucap Ro-ro Centil dengan
tersenyum. Roro Centil katupkan lagi kelopak matanya. Bibirnya masih tersenyum.
Tapi tampak seperti mengharap. "Joko...! ah, Joko...! kau tak tahu betapa aku
mencintai mu..." bisikan itu teramat lirih. Hampir-hampir Joko Sangit tak
mendengar- nya. Camar-camar semakin banyak beterbangan di atas
permukaan laut.
Joko Sangit semakin mendekatkan wajahnya. Bi-
birnya mendesah.
"Roro...! Roro... aku cinta padamu...!
T A M A T E-Book by Abu keisel https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dendam Pendekar Gila 1 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Kisah Pedang Di Sungai Es 20
^