Pencarian

Tiga Siluman Bukit Hantu 3

Roro Centil 16 Tiga Siluman Bukit Hantu Bagian 3


menampakkan senyum puas....."
Baiklah, kita tinggalkan dulu Gantar Sewu den-
gan segala rencananya. Mari kita ikuti kemana gerangan langkah sang adik bernama
Jaka keling itu.
- oOOOo - Kuda hitam itu mencongklang lari dengan pe-
sat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki gagah
berkulit hitam. Pakaiannya sederhana, berwarna abu-
abu dengan ikat kepala sehelai kain berwarna jingga.
Dialah Jaka Keling yang telah tinggalkan mar-
kas Benteng Macan Gunung. Entah kemana tujuan-
nya. Tapi yang jelas dia tengah menuju ke arah barat, dari kota Ungaran. Laki-
laki ini tak membawa sebatang pedang, yang biasa diselipkan di belakang
punggungnya. Menjelang Matahari menggelincir, dia sudah tiba di satu kota lagi,
setelah menyeberangi dua buah sungai. Yaitu sebuah kota bernama Singorojo.
Sepasang matanya mulai mencari dimana adanya tempat
penginapan. Beberapa bulan berselang dia memang
pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan tempat di ten-
gah kota agak menyudut di sebelah selatan jalanan.
Setelah tambatkan kudanya, segera Jaka Keling beranjak masuk. Seorang pelayan
mempersilahkannya den-
gan menjura hormat.
Segera Jaka keling mencari kursi di dalam
ruangan bagian bawah restoran Itu. Dia berniat mengi-si perut dulu. Beberapa
pasang mata tampak memper-
hatikannya. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar
suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling, silahkan duduk disini...!"
Terkejut Jaka keling ketika melihat yang memanggil-
nya adalah justru orang yang tengah dicarinya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar
Wanita Roro Centil. Tergo-poh gopoh Jaka Keling menghampiri. Setelah menjura,
lalu menyeret kursi untuk segera duduk.
"Hihi... aku tak menyangka kau akan datang
begitu cepat, sobat Jaka..." Berkata Roro seraya menatap dengan tersenyum.
Sementara seorang pelayan te-
lah menghampiri mejanya. Segera Jaka Keling meme-
san makanan. "Aku menyangka takkan menjumpai anda dis-
ini, nona Roro! Bukankah anda ada mengatakan kalau
anda sementara ini berada di desa PATEAN" Niatku
memang akan kesana, tapi keburu senja! Justru mak-
sudku mau menginap disini, untuk teruskan lagi per-
jalananku esok untuk mencari anda di desa Patean!"
Ujar Jaka Keling dengan suara perlahan. Roro mang-
gut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat kelahiranku...!
Namun keadaan desa itu kini sudah tak seperti dulu lagi ketika aku kecil! Bahkan
sudah banyak orang-orang yang pindah! Karena wilayah sekitar Kota Raja sudah
mulai sepi, sejak Kerajaan Medang atau Mataram dipindahkan ke Jawa Timur!" Ujar
Roro datar. Jaka Keling manggut-manggut. Diapun sudah
mengetahui akan kepindahan Kerajaan Medang yang
telah berganti dengan nama Mataram itu. Bahkan ke-
retanya sering dipakai untuk mengangkut barang- ba-
rang, yang dalam kepindahannya dilakukan dengan
berangsur-angsur. Tentu saja dari para pembesar tidak keseluruhannya pindah ke
daerah baru itu.
Namun walau demikian dari pergantian wilayah
Kerajaan, membuat susunan Pemerintahan berubah
pula. Bahkan sudah dua kali di wilayah lama terjadi penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak keluar. Niat-
nya adalah mendengarkan penuturan Jaka Keling, ka-
rena untuk pembicaraan demikian kurang leluasa di-
lakukan di tempat terbuka, yang banyak telinga men-
dengarkannya. Bahkan sudah sejak tadi lima orang yang du-
duk melingkar mengelilingi satu meja paling besar, sering lirikan mata memandang
ke arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan tempat dulu?"
Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih baik kita cari penginapan lain." Berkata Roro dengan
suara yang terdengar agak keras.
Membuat beberapa orang segera menoleh. Tan-
pa perdulikan mata para pengunjung restoran di ru-
mah Penginapan itu, Roro panggil pelayan. Tergesa-
gesa seorang pelayan menghampiri. Namun sebelum
Roro rogoh sakunya untuk membayar, Jaka Keling su-
dah berikan beberapa keping uang perak yang dikeluarkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya untukmu!" Ujar Jaka Keling seraya tersenyum pada sang pelayan.
Manggut-manggut laki-laki pelayan itu sambil ucapkan terima kasih, lalu beranjak
pergi. *** 7 Pemandangan di sekitar kota Singorojo cukup
indah, jalan-jalan terlihat bersih berpagar bambu me-magari deretan rumah
penduduk desa disudut kota
Singorojo. Pertanda para penduduk adalah orang-
orang yang mengerti akan kebersihan dan kerapian,
serta keindahan desanya. Semakin ke ujung, ternyata semakin sepi dari rumah
penduduk. Ternyata di bagian sebelah bawah adalah daerah perkebunan, yang
terlihat indah dari tempat ketinggian berpadang rumput itu. Beberapa pohon
berdaun rindang tumbuh dis-
ana. Jaka Keling tuntun kudanya disamping Roro
Centil Tampaknya mereka sambil melangkah, telah
banyak bercakap-cakap. Dan bahkan Jaka Keling telah
tuturkan kejadian di markas. Roro tampak manggut-
manggut mengerti. Tak lama pembicaraan mereka su-
dah dilanjutkan sambil duduk di bawah pohon rin-
dang, dengan mata menatap ke bagian bawah tempat
ketinggian yang berpemandangan indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi perhatian Jaka
Keling dalam setiap gadis pendekar itu berbicara. Karena wajah cantik dan
menawan hati dari Roro Centil mau tak mau mendebarkan jantungnya. Akan tetapi
Jaka keling bukanlah seorang pemuda yang kurang
ajar. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya
yang selama ini ditutupnya buat setiap wanita. Bahkan sampai seusia tiga puluhan
tahun, Jaka Keling tak
pernah sedikitpun berhasrat untuk mengenal wanita.
Namun tak disangka kalau hari ini dia bisa bercakap-cakap dengan wanita...
Bahkan seorang gadis cantik
ayu memikat hati, juga seorang pendekar wanita, yang berkepandaian tinggi.
Sungguh suatu keberuntungan
pada nasib Jaka Keling bisa berkenalan dengan dara
perkasa itu. "Aku akan membantumu mencari dimana
adanya keponakan angkatmu bernama Sri Kemuning
alias Pipit Lurik itu...!" Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis itu berhasil me-
nyelamatkan diri! akan tetapi andai mereka tewas pun justru menjadi semakin
sulit mengetahui dimana
adanya gadis itu karena dia toh berada dalam tawanan si tiga Siluman Bukit
Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka Keling cuma manggut-manggut membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa malu, karena
membuat anda menjadi repot, nona Roro!" Ujar Jaka Keling. Roro kerutkan sedikit
keningnya seraya berkata.
"Aii... mengapa berkata begitu" Aku si Roro
Centil mana bisa berdiam diri melihat segala macam
kejahatan" Justru aku kini sedang mencari seorang
penjahat terselubung yang telah mengacaukan kea-
daan di beberapa wilayah...!"
"Oh!" Apakah kejahatan yang telah dilakukan-
nya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki! Apa lagi kalau
bukan pemerkosaan
terhadap wanita, termasuk penculikan. Dan tentu saja ada efek lainnya, yaitu
pembunuhan...!" Tandas Roro dengan suara terdengar seperti kesal.
Lengan gadis pendekar ini menjumput sebuah
batu kecil, dan jentikan keras dengan jarinya ke arah depan, seraya perdengarkan
dengusan di hidung. Tak disangka gerakan yang dilakukan Roro seperti melepas
rasa kesalnya itu berakibat lain. Karena di luar dugaan Roro telah perlihatkan
kepandaiannya menyambit yang tampak aneh. Batu kecil yang melayang ke depan itu
mendadak memutar arah, dan meluncur ke balik semak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak mengaduh dari
balik belukar itu, yang disusul dengan teriakan suara memaki.
"Aduh!?" Setan alas! Siapa yang menyambit ku?" Dan berapa sosok tubuh sudah
berlompatan keluar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti laki-laki hitam itu!
Mungkin dia mengetahui kita mengintip mereka dis-
ini!" Desis suara seseorang. Karena tempat itu lengang suara desisan itu
terdengar cukup jelas. Ternyata kelima orang yang tadi duduk dalam restoran
pengina- pan, ditambah dua orang kawannya lagi. Rupanya me-
reka mengincar pada Roro, yang memang tak menam-
pakkan seperti orang persilatan. Pakaiannya biasa saja berwarna putih dari kain
blacu murahan. Senjata Rantai Genitnya dibungkus dalam kain blacu yang ter-
sangkut di pinggang, tertutup pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan sikapnya yang
terlihat memang seperti gadis genit, telah membuat
mereka menguntitnya. Apa lagi kedatangan Jaka Kel-
ing, ternyata membuat mereka mendongkol. Karena
menghalang niatannya yang sudah direncanakan.
Adapun Jaka Keling walaupun tanpa menyandang Pe-
dang, salah seorang dari kawan mereka telah mengenal kalau dia adalah salah
seorang dari Tiga Macan gunung Muria.
"Heh, kalau memang benar dia, kita sudah ke-
palang basah ketahuan! Mengapa tak kita ringkus saja laki-laki itu! Sengaja dia
mau bikin gara-gara! Aku ada berita yang datang cepat, bahwa Markas Benteng
Macan Gunung telah ditutup! Semua karyawannya dibu-
barkan! Tampaknya ada terjadi perpecahan dengan Ke-
tiga Macan Gunung Muria itu!" Berbisik seseorang, di belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang dari dua ka-
wannya yang di tengah jalan ikut nimbrung menguntit.
Keduanya itu ternyata adalah dua orang pendatang
dari wilayah kota Ungaran, yang mempunyai sahabat
di sekitar kota Singorojo.
Mendapat gosokan dari kedua laki-laki itu, si
korban yang tangannya telah melembung benjol kena
sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi dia! Sekalian ingin ta-hu kehebatan yang bagaimanakah
yang dimiliki si Ma-
can Gunung Muria itu?". Desis si laki-laki itu dengan geram. Kelima orang itu
adalah anggota dari komplotan terselubung, sebagai pelacak mencari korban yang
telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima orang itu se-
pakat untuk keluar menampakkan diri. Sementara ke-
dua orang kawan yang nimbrung itu tampaknya te-
nang-tenang saja.
Tak lama segeralah berlompatan kelima tubuh
orang itu keluar dari balik semak belukar. Dan sekejap sudah mengurung di
belakang Roro dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria! Tak usah kau me-
nyamar jadi pelancong! Kami sudah tahu kau adalah si Jaka Keling! Kau kira di
wilayah sini bisa jual lagak seenaknya"! Hm, kami si Lima Naga Raksasa Dewa
bukanlah kaum perampok! Tapi perbuatanmu mence-
lakai orang adalah tak bisa dibenarkan!" Berkata laki-laki yang tangannya
bengkak itu dengan suara meng-
geledek. Adapun ke empat kawannya diam-diam beru-
saha menahan senyum, karena si kawan mereka yang
satu ini telah berani membuat gelaran yang amat ke-
terlaluan angkernya, padahal mereka tak mempunyai
gelaran sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka Keling segera pa-
lingkan tubuh. dan bangkit berdiri menatap pada ke-
lima orang di hadapannya, yang berdiri membuat se-
tengah lingkaran pada jarak dua tombak dari tempat
mereka duduk. Adapun Roro Centil yang sudah men-
getahui kemunculannya seolah tiada menggubris sama
sekali. "Ah, anda mungkin salah menduga orang! Aku bukan salah seorang dari
Macan Gunung Muria! Dan
namaku bukanlah Jaka Keling! Anda mengatakan aku
telah jual lagak! Tapi aku merasa tak mengganggu an-da"! Harap kalian
menyingkirlah, jangan mengganggu
pembicaraan kami!" Ujar Jaka Keling dengan tersenyum. "Setan usil! Kau sudah
sambit lenganku sampai bengkak begini, mengapa kau bilang tak mengganggu"
Heh, tak usah kau berdusta, kami telah tahu keretakan di markas mu! Tiga Macan
Gunung Muria sudah
tak punya kewibawaan apa-apa!". Berkata laki-laki bertubuh sama hitamnya dengan
Jaka Keling. Berwajah brewok dengan sepasang matanya yang memerah.
Roro Centil sudah melompat bangun berdiri seraya putarkan tubuh.
"Hihihi... kami sedari tadi sedang mengobrol
disini, masakan bisa mencelakai orang!" Jangan-
jangan lengan mu dipatuk ular! Siapa suruh mengintip orang dengan bersembunyi di
semak-semak lebat?"
Ujar Roro seraya menatap pada lengan orang yang me-
rah membengkak.
Merah seketika wajah kelima orang itu! Se-
dangkan si laki-laki hitam bertampang brewok itu
tampak sedikit terkejut, karena bualannya dengan
memperkenalkan "julukan" mata yang seram, tak membawa hasil untuk menggertak
orang. Karena dari kelima orang itu tak ada yang bisa
bicara lagi, tiba- tiba kedua orang tadi sudah berkelebat ke tempat mereka.
Kedua orang itu dengan cepat menjura ke hadapan Roro, seraya berkata.
"Maaf, nona... apakah anda yang bernama nona
Roro...?" Tanya salah seorang. Keduanya adalah laki-laki berusia sekitar tiga
puluhan tahun. Roro menatap mereka dengan penuh selidik, tapi tak urung segera
mengangguk. "Benar! Ada keperluan apakah kalian mena-
nyakan namaku?" Sementara Roro sudah berpikir kalau, dua laki-laki ini cuma
cari-cari alasan saja. Mengenai namanya diketahui orang itu, tentu mudah di-
terka. Karena sewaktu masuk ke restoran di Pengina-
pan itu, Jaka Keling telah menyebut namanya.
Keduanya adalah diketahui Roro berada tak be-
rapa jauh dari dekat mejanya; yang seolah tak turut memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan dari Adipati
banyu biru! Ada surat rahasia dari beliau untuk anda, untuk segera datang ke
tempat yang telah diperuntuk-kan pertemuan! Silahkan anda membacanya!" Ujar la-
ki-laki itu seraya berikan segulung kertas pada Roro.


Roro Centil 16 Tiga Siluman Bukit Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan agak heran Roro terpaksa menyambuti.
Ketika membaca isi surat yang singkat itu, segera wajahnya tampilkan senyuman.
"Baik! Aku akan segera datang kesana dalam
satu dua hari ini...! Ujar Roro Kedua laki-laki itu segera menjura, lalu salah
seorang menggamit lengan ka-
wannya untuk segera putar tubuh beranjak mening-
galkan mereka dengan berkelebat pergi. Akan tetapi
dikejauhan, salah seorang dad mereka telah berteriak.
"Kalau anda tak tahu jalan, silahkan hubungi kami di salah satu penginapan di
desa Boja...! Roro tak menyahut, namun meneliti isi surat
dalam tulisan di kertas itu. Lalu selipkan dalam saku pakaiannya.
"Mari kita berangkat, sobat Jaka...!" Berkata Roro seraya palingkan wajah
menatap Jaka Keling. la-ki-laki ini mengangguk, lalu sambar tali di leher kuda,
seraya sempat melirik pada kelima orang itu yang cu-ma terpaku dengan mata
melotot padanya.
"Tahan...! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!"
Berkata si kulit hitam brewok. Roro Centil menoleh, seraya pasang wajah lucu.
"Eh, mengapa" kau katakan bahwa kalian bu-
kan perampok! Lalu apa maksudmu menahan kami?"
Tanya Roro. "Aku tak tahu menahu dengan surat rahasia
dari Adipati Banyu biru! Tapi kalau anda dengan suka-rela mau menemui ketua
kami, tanpa laki-laki itu, aku si Kromo Yudho dan ke empat kawanku ini tak akan
bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan tertawa geli.
Tadi sesumbar mengatakan gelar yang hebat sebagai
Lima Naga Raksasa Dewa. Kini menggertak lagi untuk
menghadap ketuanya. Namun disamping geli, diam-
diam Roro berfikir lebih jauh. Siapa tahu penyelidikannya tentang seorang
penjahat yang tengah di in-carnya Itu bisa di ketahui di tempat sarang kelima
orang ini, yang tak diketahui siapa ketuanya.
Setelah tatap sejenak pada Jaka Keling, segera
Roro berkata. "Hm, baik! aku tak menolak! Tapi dengan sya-
rat! Kalau bisa jatuhkan sobat kawanku bernama Jaka Tingting ini tanpa pakai
senjata, aku segera akan
menghadap Ketua kalian!" Ujar Roro. Melengak kelima orang itu dengan saling
pandang. Namun tak lama segera kelimanya tertawa saling susul.
"Baik, aku bersedia!" Sahut laki-laki bernama Kromo Yudho itu.
"Apakah kami maju satu persatu, ataukah se-
kalian...?" Tiba-tiba salah seorang menyelak bicara.
"Majulah kalian semuanya...!" Berkata Jaka Keling dengan tersenyum jumawa. Tentu
saja hal tersebut membuat muka mereka jadi merah. Apalagi
mengetahui kalau laki-laki itu bukanlah salah satu da-ri Tiga macan Gunung
Muria. Roro memang pandai
mengubah nama orang, yang ternyata telah dipercaya
pula. "Hm, baik! Sebenarnya kami amat main menge-royok, tapi tak jadi apa!
Karena ini adalah permintaannya sendiri!" Ujar Kromo Yudho. Dan serentak mereka
sudah menanggalkan masing-masing senjatanya. Lalu
bergerak melompat mengurung Jaka Keling.
Jaka Keling telah siap berdiri dengan waspada.
Dan Kromo Yudho segera memberi isyarat memulai.
Maka dengan serempak kelima orang itu telah mener-
jang ke arah Jaka Keling dengan masing-masing jo-
toskan kepalannya.
Pemuda itu tiba-tiba rundukkan tubuhnya
hingga hampir menyentuh tanah. Dan di iringi henta-
kan keras, sepasang lengannya bergerak saling susul menghantam ke arah lima
penyerangnya. Terdengarlah
suara.. Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi teriakan-
teriakan keras, kelima tubuh itu roboh berjungkalan untuk tidak mampu berdiri
lagi. Karena masing-masing perutnya telah terkena hantaman tinju Jaka
Keling. Sehingga kelimanya meringis-ringis memegangi perutnya yang merasa mulas.
Roro bertepuk tangan melihat akhir dari perta-
rungan yang cuma berlangsung dalam beberapa kejap
itu. "Hebat! hebat... ! Kalian sudah kalah... ! Segeralah kalian merat dari sini!"
berkata Roro seraya tatap kelima orang itu. Sambil menahan rasa sakit pada
perutnya, segera mereka kembali mengambil senjata
masing-masing. Akan tetapi di luar dugaan mereka telah berke-
lebatan mengurung Roro. Rupanya isyarat dari Kromo
Yudho yang menjadi pimpinan dari keempat kawannya
itu amat dipatuhi. "Heh, walau bagaimanapun kau harus ikut menghadap ketua kami!
Atau senjata-senjata kami akan berbicara. Kromo Yudho mengharap dengan
menangkap Roro maka si pemuda tak bisa berbuat
apa-apa. Akan tetapi ketika Kromo Yudho gerakkan goloknya untuk ditempelkan ke
leher Roro, laki-laki ini menjerit parau. Tahu-tahu goloknya telah mental entah
kemana. Dan dia sendiri dalam keadaan tertotok
dengan berdiri kaku, dengan posisi menyerang. Terke-jutlah kelima kawannya.
Belum lagi mereka berbuat
sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara mengikik tertawa.
Dan tubuh Roro lenyap dari pandangannya. Kejap be-
rikutnya, giliran tubuh-tubuh merekalah yang tertotok dengan berdiri kaku bagal
arca. "Hihihi... sebaiknya kalian jadi patung saja dis-impan!" Ujar Roro, yang sudah
berdiri tegak di hadapan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung jadi awet, harus
dioleskan bahan pengeras ini supaya kalian tahan la-ma!" Ujar Roro, seraya
keluarkan sebuah tabung bambu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat piaslah seke-
tika wajah kelima orang itu. Menghadapi "gertakan"
Roro itu mereka seketika berteriak-teriak mohon am-
pun. Bahkan diantaranya sudah ada yang menangis
tersedu sedu. Baik! aku akan ampuni nyawa kalian! tapi se-
butkan siapa ketua kalian. Dan apa maksudnya aku
kalian suruh menghadap Ketuamu!" Bentak Roro dengan suara berubah bengis.
Keempat orang itu saling lirik dengan kawannya. Rupanya Kromo Yudho lah yang
segera buka mulut. Keringat dingin sudah bercucuran dari sekujur tubuh.
*** 8 Setitik api yang kecil, bisa membuat kebakaran
besar... Demikian juga dengan komplotan terselubung yang mendiami wilayah
Singorojo. Dengan adanya
pengakuan Kromo Yudho pada Roro Centil. Akhirnya
diketahui siapa adanya dalang dari komplotan terselubung itu.
Ternyata Roro Centil bertindak kejam. Seperti
diketahui watak wanita pendekar ini memang aneh,
dan sudah diterka. Terkadang genit, lucu dan menarik hati. Namun terkadang kejam
tak kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu telah diputuskan
urat suaranya, hingga mereka tak dapat bicara lagi.
Mengenai cara ini jarang orang yang dapat melakukan dari Kaum Rimba Hijau.
Karena seperti diketahui Roro Centil banyak mempunyai guru, yang diantaranya
adalah Resi Jayeng Rana asal Tibet. Tokoh ahli obat-
obatan yang mengenal betul akan keadaan urat-urat
tubuh manusia. Akan tetapi cara kejam ini adalah Roro sendiri
yang mendapatkan, setelah mengetahui dan mempela-
jari. Cuma datangnya niat, dan cara yang dilaku-
kan, adalah bagaimana munculnya waktu itu saja. Se-
perti diketahui, Roro Centil pernah terluka di kepala yang dialami ketika
berusia tujuh tahun. Yaitu terkena terjangan kaki-kaki kuda. Dan dalam
gemblengan gurunya si Wanita Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Banci, banyak
lagi hal-hal yang membuat Roro menjadi seorang gadis yang berwatak mirip
gurunya. Terkadang membuat orang jadi kebingungan akan sikapnya.
Tapi terkadang juga apa yang dilakukannya membuat
orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu dengan membawa
serta Kromo Yudho. Cuma laki-laki yang seorang inilah yang selamat dari
diputuskannya urat suara, oleh Ro-ro. Surat dari Adipati itu diberikan pada Jaka
Keling. Jaka Keling diperintahkannya menunggu di tempat
yang dimaksud dalam isi surat itu. Dengan janji, Roro akan segera menyusul pada
hari yang ditetapkan. Sementara Roro sendiri segera membawa Kromo Yudho,
yang dicengkeram punggungnya bagaikan mencengke-
ram seekor kucing. Dan dibawa berkelebat cepat seka-li.
Jaka Keling cuma terpana, melihat kepergian
wanita Pendekar itu. Namun tak ayal dia segera be-
rangkat pergi dengan mencongklang kudanya.
- oOOOo - Terkejut Tumenggung Yoga Bumi, ketika tahu-
tahu seorang gadis telah datang menghadap, dengan
menenteng sesosok tubuh laki-laki berkulit hitam berwajah brewok ke hadapannya.
Dan menjatuhkan sosok
tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga Bumi yang menja-
ga keamanan di wilayah Singorojo ini...?" Tanya Roro Centil. Terkejut Tumenggung
ini karena baru pertama kali didatangi seorang gadis cantik yang sikapnya tanpa
sopan santun. Bahkan "nyelonong" saya masuk ke Pesanggrahan tanpa membawa
perantara dari pengawal yang memberitahukan kalau mau menghadap. Baru
selesai Roro bicara, empat orang prajurit sudah berlarian ke dalam dengan wajah
pucat pias Karena sewak-
tu ditegur, Roro sudah melesat masuk dengan cepat
sekali. Sang Tumenggung menatap keempat prajurit,
lalu menatap pula pada Roro. Dan kemudian terakhir
menatap pada laki-laki yang tertunduk menyembunyi-
kan mukanya berjongkok diatas lantai.
Otaknya yang encer ternyata sudah dapat men-
duga kalau yang datang bukanlah orang sembarangan.
Apalagi dengan membawa seorang laki- laki yang tam-
pak gemetaran tubuhnya. Sudah dapat dipastikan
adalah seorang penjahat yang tertangkap. Atau juga
seorang pesakitan yang baru dibawa ke luar dari taha-nan. Segera dia berikan
isyarat pada keempat prajurit supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga Bumi adanya!
Siapakah anda, nona... " Dan siapa pulakah orang
ini...?" Tanya sang Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil! Mengenai orang ini, dia
adalah salah seorang anak buah dari komplotan terselubung yang selama ini
mengganggu ketertiban rakyat!
Ketuanya bernama Kala Butho! Perlu diketahui, bahwa komplotannya adalah
disamping menculik gadis-gadis
cantik untuk dijual dan diumpankan pada para bang-
sawan hidung belang, juga kepada orang asing dan pa-ra pembesar Kerajaan! Bahkan
juga melakukan pula
serangkaian pembunuhan dan perampokan secara ter-
selubung! Kala Butho baru salah satu anak buah dari gembong besar penyalur
wanita-wanita cantik yang
mempunyai cabang di wilayah Singorojo ini! Gembong-
nya telah aku selidiki...! Silahkan anda memeriksanya!
Dan tentunya setelah berhasil mengorek keterangan,
hendaknya segera menggulung secepatnya komplotan
itu disarangnya! Aku cuma bisa membantu anda den-
gan membawa salah seorang anak buahnya ini!" Ucap Roro dengan suara terdengar
nyaring merdu. Selesai berkata, tiba-tiba lengannya telah ber-
gerak menjambak rambut Kromo Yudho. Tentu saja
laki-laki ini berteriak kesakitan dan memohon ampun berulang kali.
"Bicaralah kau yang sebenarnya pada Tumeng-
gung! Dan tunjukkan dimana tempat komplotan itu!
Kalau kau berdusta, aku yang akan menghukum mu
dengan cara yang paliiing kejam! Mengerti...!" Bentak Roro, seraya lepaskan
jambakannya. Kromo Yudho
manggut-manggut dengan nyawa terasa seperti sudah
di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi, tumenggung! Tapi kalau ter-
nyata kau sendiri melindungi komplotan itu, aku akan gantung leher mu di alun-
alun...! Bentak Roro dengan suara sedingin es. Terkesiap Tumenggung Yoga Bumi.
Seperti kepalanya kena palu godam, mendengar anca-
man Roro. Edan! masakan aku mau melindungi penja-
hat" sentaknya dalam hati. Akan tetapi baru dia mau buka suara, si gadis aneh
itu sudah berkelebat lenyap dengan tinggalkan suara tertawa mengikik yang
membuat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi jadi terpaku
tak bergeming. "Aneh...!" Siapakah gerangan wanita muda
itu..." Namanya Roro... Cen.. til?" Gumam sang Tumenggung seraya mengelus-elus
jenggotnya yang cuma
sejumput. "Roro Centil...!... Hm, ya.. ya.. aku seperti pernah mendengar nama itu ...!"
Tiba-tiba wajahnya me-
nyentak kaget seraya mendesis.
"Tidak salah...! Dia pasti si Pendekar Wanita
Pantai Selatan! Ooooh, pantas! pantas...! Orang Rimba Hijau kelakuannya memang
aneh-aneh... 0OO**OO0 Dengan bujuk rayu Pitra Sena yang bersikap
manis pada Pipit Lurik, akhirnya jatuh Juga sang gadis dalam pelukan si pemuda
anak laki-laki Bangsa-
wan Tua Raden Mas Anjasmoro untuk yang kedua ka-
linya. Gadis cantik puteri Jaran Perkoso itu cuma bi-sa mandah saja ketika
lengan-lengan nakal si pemuda mulai menelusup membelai sekujur tubuhnya.
Udara senja yang dingin di sekitar tempat ber-
pemandangan indah itu menyibak tubuh-tubuhnya
yang bergelinjangan di rerumputan menghijau, pada
salah satu bukit yang terhalang matahari.
Entah kali ini sang gadis telah berikan kehan-
gatan tubuhnya untuk yang ke berapa kali. Karena
cumbuan Pitra Sena benar-benar meluluhkan hati dan
jantungnya. Harapannya untuk berguru pada nenek
sakti di puncak Ratawu, telah gagal. Karena mau tak mau dia harus membalas budi
Keluarga Bangsawan
itu yang telah menyelamatkannya dan tangan si Tiga
Siluman Bukit Hantu. Pitra Sena dan ayahnya ternyata manusia-manusia yang pandai
berpura-pura. Raden
Mas Anjasmoro telah berjanji akan segera menikahkan mereka. Pipit Lurik yang
dalam keadaan kalut dan merasa telah ternoda oleh si pendek Seto Bungkrik, tentu
saja tak berdaya menolak untuk dinikahi oleh Pitra
Sena, bahkan dia merasa bersyukur bahwa masih bisa
menuruti keinginan sang ayah, walau keadaannya se-
karang sudah lain. Karena berita kematian ayahnya telah terdengar juga. Bahkan
markas Benteng Macan
Gunung yang telah bubar pun sampai ke telinganya.
Dan tak diketahui lagi nasib kedua pamannya, Gantar Sewu dan Jaka Keling.
berada. Bahkan tak diketahui
mati dan hidupnya. Yang diketahuinya adalah si Tiga Siluman Bukit Hantu telah


Roro Centil 16 Tiga Siluman Bukit Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk mencari mereka,
mencari tahu kabar beritanya. Akan tetapi Pitra Sena, tak mengizinkannya. Kabar
berita itupun diberitahu-kan oleh Pitra Sena. Bahwa seorang sahabat ayahnya yang
telah memberitahukan kejadian tersebut. Dan da-ri Pitra Sena juga Pipit Lurik
mengetahui kalau tanah dan gedung Markas Benteng Macan Gunung telah dibeli oleh
calon Mertuanya itu. Gadis yang tengah shok itu cuma bisa menuruti keinginan
sang calon suaminya, yang hampir setiap saat mencumbuinya. Demi-
kian pula halnya dengan hari itu. Pitra Sena telah
mengajaknya ke tempat yang berpemandangan indah
itu. Pipit Lurik tenggelam dalam madunya cinta berahi, yang seolah-olah
melupakan semua kemelut dihatinya.
Direngkuhnya bibir laki- laki tempat menggantungkan
nasibnya itu. Dipeluknya kuat-kuat tubuh tegap yang menggelutinya. Dan
tenggelamlah Pipit Lurik dalam
belaian lembut, serta bisikan-bisikan yang memabuk-
kan. Kembali sehelai demi sehelai pakaiannya berlepasan. Dengus nafas Pitra Sena
bagaikan kerbau liar
yang membuat nafas dara cantik itu tertahan-tahan.
Terjangan demi terjangan sang kerbau liar itu mem-
buat hatinya semakin menggebu. Mendesah-desah na-
fasnya seperti saling pacu. Dan tenggelamlah sang da-ra dalam gelimang noda yang
penuh dengan kenikma-
tan. Ketika itu Matahari semakin menggelincir.....
Seorang pemuda menyeruak masuk ke balik
semak, meninggalkan kudanya yang ditambatkan di
bawah pepohonan. Suara-suara aneh yang telah
mengganggu telinganya membuatnya dengan berindap-
indap mendekati ke tempat asal suara itu. Ternyata dia tak lain dari Jaka
Keling. Tak jauh di belakang laki-laki itu sesosok tu-
buh ramping berambut terurai panjang, berkelebat
menyusul. Ternyata Roro Centil adanya. Berlainan
dengan tempat yang dituju Jaka Keling, Roro Centil
mengambil arah ke sebelah barat di seberang sungai
itu. Disini dia menjumpai tempat yang rapi seperti telah ada yang merawat.
Ketika tengah mengamati seki-
tarnya, dua sosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak rimbun. "Hm, kalian
adanya?" Tegur Roro dengan suara dingin.
"Silahkan ikuti kami! Segera akan kami tunjuk-
kan dimana tempat Adipati Banyu Biru menunggu no-
na...!" Ujar salah seorang seraya balikkan tubuh untuk mendahului berjalan. Roro
segera mengikuti tanpa banyak tanya.
Tak berapa lama telah memasuki hutan bambu
yang berderet rapi bagai pagar. Pada salah satu bagian
tengah pagar bambu terdapat satu pintu yang mem-
buat bagai sengaja dibuat untuk jalan menembus hu-
tan bambu. Kedua laki-laki yang telah memberi surat dari Adipati Banyu Biru itu
melompat cepat melalui
pintu membulat dari ruas-ruas batang bambu. Dan tak kelihatan bayangannya lagi.
Tanpa pikir panjang Roro segera melompat
mengikut... Akan tetapi tiba-tiba....
RRRRRRRRRRRTTT...!
Terkejut Roro Centil, karena tahu-tahu tubuh-
nya telah terkena jeratan dalam sebuah jala. Hingga sekejap tubuh nya telah
terbungkus masuk dalam tali-tali jala sutera itu.
Bersamaan dengan terjeratnya Roro, segera
berlompatan belasan sosok tubuh yang segera mengu-
rung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya berhasil juga aku
menawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Cen-
til!" Sesosok tubuh gemuk segera perdengarkan suara tertawa dan kata-katanya.
Roro Centil dapat melihat siapa orangnya dari balik tali jala sutera. "Eh,
monyet bunting! aku sudah tahu, kaulah gembong penculikan
wanita, dan ketua dari komplotan terselubung yang
merampok harta Pusaka Kerajaan Mataram! Aku
punya tugas untuk menangkapmu, dari Kanjeng Gusti
Raja secara rahasia! Kedokmu telah terbuka! Dan kau pula rupanya Adipati Banyu
Biru...! Hihihi... jangan kau bergirang dulu monyet
bunting! Orang-orangmu justru telah menjadi musuh-
mu, kecuali dua laki-laki yang menjebakku itu...!" Teriak Roro. Terkejut laki-
laki Bangsawan tua itu, yang ternyata tak lain dari Raden Mas Anjasmoro. Segera
dia tatap pada para anak buahnya yang memang khu-
sus ditempatkan di sekitar markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan tali jala ini....!" Ber-
kata Roro dengan suara berpengaruh. Suara yang te-
lah dilontarkan dengan tenaga dalam yang amat ting-
gal. Dan suara yang telah menggetarkan jantung setiap orang. Tampak beberapa
orang telah melompat ke de-katnya. Dan serentak sudah memutuskan tali jala su-
tera. Dan sekejap Roro Centil sudah lompat berdiri.
Gila...!" Edan...! Mengapa bisa jadi demikian"
Sentak hati Adipati Banyu Biru. Namun belum lagi habis rasa aneh dan terkejutnya
sudah terdengar perintah Roro Centil yang membentak keras memberi perin-
tah. "Tangkap hidup atau mati manusia keparat
ini...!" Dan bagaikan di komandokan seorang Senapati, belasan orang-orang Raden
Mas Anjasmoro alias Adipati Banyu Biru itu, sudah berlompatan menerjang
dengan senjata telanjang.....
Adapun kedua orang yang telah memberi surat
pada Roro itu tampak seperti orang yang kebingungan.
Wajahnya pucat pias bagai mayat. Roro Centil tiba-tiba telah melompat menerjang
untuk mengirimkan pukulan mautnya. Dalam keadaan panik demikian, mana
mampu keduanya mengelakkan serangan Roro yang
dilakukan dengan cepat sekali. PRAKK...! PRAKKK...!
Terdengar suara teriakan pendek parau, dis-
usul dengan robohnya kedua tubuh itu, yang setelah
menggeliat sejenak lalu segera lepaskan nyawanya.
Ternyata kepalanya telah rengat akibat hantaman ke-
dua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas Anjasmoro dengan
membentak gusar segera gerakkan lengannya meng-
hantam para penyerang dari anak-anak buahnya sen-
diri, .pekik dan jeritan maut segera terdengar saling susul. Beberapa sosok
tubuh terlempar dengan kepala hancur, dan tulang belulang remuk.
"Hantam teruuuus...!" Teriak Roro memberi se-
mangat pada mereka yang tengah menerjang si laki-
laki Bangsawan tua itu. Sementara Roro sudah berke-
lebat lenyap dari tempat itu. Ternyata Roro terus menyusup masuk ke dalam tempat
rahasia itu. Segera ditemuinya sebuah lobang goa. Roro su-
dah mau melompat ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba segera batalkan niatnya.
Dijumputnya beberapa buah
batu hampir sebesar kepalan, lalu dilontarkannya ke dalam. Roro sembunyi di sisi
goa. Selang tak lama tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dari dalam goa,
disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah yang telah iseng
sambitkan batu?" Akan tetapi begitu keduanya muncul, Roro Centil bergerak cepat
sekali untuk gerakkan tangannya menotok kedua tubuh itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah terlambat
Seketika kedua tubuh itu roboh terguling dengan keadaan tubuh kaku tanpa dapat
bergerak. Sungguh su-
kar di duga karena ternyata kedua orang itu adalah si pendek Sato Bungkrik dan
si jangkung Wong Duwur.
Melihat siapa yang telah menotoknya betapa terperan-jatnya kedua manusia itu.
Namun sebelum keduanya
sempat buka suara, Roro Centil telah gerakkan lagi lengannya menotok urat suara
mereka, gagulah sudah
kedua Siluman Bukit Hantu itu. Tak menunggu untuk
berlama-lama lagi, tahu-tahu Roro Centil sudah sam-
bar kedua jubah ditengkuk orang, dan apa yang dila-
kukan gadis Pendekar yang berwatak aneh itu" Ter-
nyata Roro telah menyeretnya pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang gadis yang keli-
hatan lemah tak bertenaga mampu menyeret dua tu-
buh manusia. Yang satu panjang bagai galah, dan satu lagi pendek kekar. Namun
kenyataannya memanglah
demikian. Mereka cuma bisa mengeluh dengan berdesis,
merasa perih dari bekas lukanya yang kembali berda-
rah terkena batu-batu kerikil tajam yang membentur luka dan tubuhnya. Namun
dalam keadaan demikian
mereka memang tak dapat berbuat apa apa, selain hati yang kebat-kebit. Karena
maut sudah terbayang di depan mata.
*** 9 "Hihihi.. tak usah kalian gelisah, kambing-
kambing bandot! Aku cuma berbaik hati untuk men-
gubur kalian di dasar jurang...! Berkata Roro Centil.
Seraya mempercepat larinya. Tentu saja membuat ke-
dua manusia ini jadi ketakutan setengah mati. Namun apa mau dikata" Berteriakpun
mereka sudah tak
sanggup. Kecuali cuma bisa mendesis dengan meringis menyeringai. Karena seketika
saja terdengar suara
berkelotakan dan bergedebukan, ketika batu dan ta-
nah berpentalan mengenai kepala dan tubuh mereka.
Bahkan ketika melewati belukar, duri-duri tajam itu telah menggores sekujur
wajah dan merobek kulit,
yang bukan alang kepalang pedihnya. Apalagi bila
mengenai bekas luka kutung di tangan maupun di ka-
ki mereka, yang telah dihancurkan Roro. Dan baru
diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit, tiba-tiba telinga Roro
mendengar suara bentakan dan teriakan dari orang
yang bertarung. Ternyata ada pula suara wanita. Ter-cekat hati Roro. Segera
diseretnya kedua tubuh tawanannya itu untuk dibawa menyeruak masuk melewati
semak belukar. Terdengar suara ranting-ranting yang patah akibat diterjang oleh
kedua tubuh manusia yang
diseretnya. Tak lama sudah kelihatan siapa adanya
yang bertarung seru disamping bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka Keling dengan Pitra
Sena. Saat itu Jaka Keling tengah menghadapi lawan-
nya dengan tangan kosong. Begitu juga Pitra Sena
yang tak mempergunakan senjata. Sementara seorang
gadis tengah menatap ke arah pertarungan dengan se-
pasang mata basah bersimbah air mata.
Siapakah gadis itu" Apakah Pipit Lurik..." Gu-
mam Roro dalam hati. Sekejap Roro sudah melompat
ke tempat pertarungan. Tampak sepasang mata Roro
menatap pada Pitra Sena. Aneh! Tatapan mata Roro
Centil seperti baru melihat orang. Tahu-tahu kedua
tawanannya sudah dilepaskan menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil tiba-tiba
dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak bergeming. Asap tipis bagai kabut tiba-tiba
keluar dari mulut Roro yang agak renggang. Bahkan kabut putih itu juga keluar
da-ri hidung, telinga dan... mata. Tiba-tiba sekejap, Roro sudah kembali buka
matanya. Terdengar suara gadis
pendekar ini berkata perlahan. Akan tetapi sesung-
guhnya dia tengah mengirim suara jarak jauh. "Jaka...!
Menyingkirlah!". Suara itu menyusup ke dalam cuping telinga Jaka Keling. Tentu
saja dia segera palingkan kepalanya. Dan melihat adanya Roro Centil. Tak ayal
segera dia lompat menjauh. Pada saat itu, Roro sudah berkelebat ke hadapan Pitra
Sena WHUUUSSSSSH.....
Segelombang asap kabut meluncur dari lengan Roro
menerjang ke arah Pitra Sena, disertai bentakan halus yang menyusup masuk ke
telinga Pitra Sena.
"Mukamu tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke
bentuk asalmu...!" Ketika asap kabut yang bergelombang itu menerpa tubuh Pitra
Sena, ternyata telah di iring! pula oleh satu hantaman telak ke arah dada lawan.
"BUK...!" Pitra Sena mengeluh, tubuhnya terlempar. Dan jatuh bergulingan tepat
ke hadapan Pipit Lurik. Ternyata gadis ini tengah menggenggam sebuah rencong di
tangannya. Niat untuk bunuh diri hampir
dilaksanakan, karena tak kuasa menanggung malu.
Betapa perbuatannya telah diketahui oleh Jaka Keling, sang paman angkat. bukan
kepalang terkejutnya Pipit Lurik ketika tubuh sang calon suaminya yang jatuh ke
hadapannya adalah bukan Pitra Sena.
Siapakah gerangan adanya "Pitra Sena itu...."
Ternyata tak lain dari GANTAR SEWU, adik sepergu-
ruan Jaran Perkoso. Tentu saja membuat Pipit Lurik
dan Jaka Keling terkejut. Asap kabut yang dilontarkan Roro Centil telah
dibarengi bentakan berkekuatan tenaga batin yang amat tinggi, membuat sirna
"ilmu si-hir" yang dipergunakan Gantar Sewu. Saat itu satu suara telah menelusup
masuk ke telinga Pipit Lurik.
Suara itu amat berpengaruh... akan tetapi bukanlah
suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...! Bunuh mampus ma-
nusia licik tak tahu membalas budi itu...!" Tersentak Pipit Lurik. "Ayah..."
Desisnya lirih. Benarkah itu suara ayah..." Sentak hatinya. akan tetapi kedua
lengannya mendadak bagaikan digerakkan satu tenaga gaib,
segera menghunjamkan rencong milik "Pitra Sena" itu tepat menembus ke jantung
laki-laki itu. Terperangah "Pitra Sena" alias Gantar Sewu.
Sepasang matanya membeliak. Dan wajahnya tampak
menyeringai kesakitan. Sementara Pipit Lurik sudah
melompat berdiri seraya melepaskan rencongnya yang
telah terhunjam di dada laki-laki itu.
"Kau... kau..." Ka... Kakang Gantar Sewu...?"
Teriak Jaka Keling. Saat itu tanpa ada seorangpun
yang mengetahui sesosok tubuh bagaikan siluman te-
lah muncul di belakang Roro. Sosok tubuh itu tak lain
dari Raden Mas Anjasmoro yang telah menyusul Roro
Centil. Sepasang lengannya tampak diangkat sebatas
dada. Dan tiba-tiba laki-laki bangsawan tua itu telah lancarkan serangan dahsyat
pada punggung Roro Centil, pada jarak dua tombak......
BHUKKK...! Terdengarlah suara jerit mengerikan disertai
terlemparnya tubuh manusia dengan darah berpuncra-
tan ke setiap penjuru. Dan... BRUKKI Tubuh yang terlempar itu baru berhenti
berguling ketika menghantam batang pohon. Dan sosok tubuh itu telah diam tanpa
berkutik lagi. Langsung tewas seketika. Apakah yang terjadi" Kiranya bukan Roro
Centil yang terkena sasaran serangan dahsyat itu. Melainkan si laki-laki
bangsawan tua itu sendiri yang terlempar dengan tulang-
tulang tubuh remuk. Karena begitu
Raden Mas Anjasmoro mengangkat kedua len-
gannya, telah berkelebat dua sosok tubuh menghan-
tamnya terlebih dulu. Sekejap di tempat itu telah berdiri dua orang tua renta.
Ternyata adalah Resi Paksi Sakti Jalatunda dan Bikhu Sokalima. Keduanya telah
gerakkan masing-masing lengannya menghantam ke
arah Raden Mas Anjasmoro.


Roro Centil 16 Tiga Siluman Bukit Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terperangah semua orang, termasuk Roro Cen-
til. Karena jelas kalau tak segera muncul kedua tokoh sakti Rimba Persilatan
itu, sukar dipastikan nasib Roro Centil yang dalam keadaan amat kritis.
"Guruuu...!?" Teriak Jaka Keling seraya lompat ke hadapan kedua orang kosen itu.
Dan segera bersu-jud di depan sang Resi.
Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok tu-
buh ke tempat itu. Ternyata tak lain dari Jaran Perkoso, yang masih berdiri
dengan segar bugar. Cuma keadaan tubuhnya penuh dengan balutan. Terbelalak se-
pasang mata Pipit Lurik. Dan... melompatlah gadis ini memburunya.
"Ayaaaah....!?" Jaran Perkoso menoleh. Dan ter-jadilah pertemuan yang
mengharukan. Kedua ayah
dan anak itu berpelukan dengan masing-masing ber-
simbah air mata.
"Hik hik hik... apakah murid durhaka mu itu
belum mampus, sobat Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar suara Bikhu Sokalima. Nenek
sakti puncak gunung
Ratawu itu sudah berkelebat ke arah dimana Gantar
Sewu masih terkapar dengan nafas empas-empis ting-
gal satu-satu. Akan tetapi memang laki-laki itu belum meng-
hembuskan nafasnya. Segera mereka semua beranjak
menghampiri Jaran Perkoso tatap wajah saudara se-
perguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam hatimu berbulu,
Gantar Sewu! Kau kira kejahatanmu tak akan menda-
pat balasan setimpal?" Bentak Jaran Perkoso dengan suara dingin. Gantar Sewu
tampak tersenyum pedih.
Dari kedua pelupuk matanya telah keluarkan air ben-
ing yang mengalir turun ke pipi.
"Maaf.. kan adikmu ini, kakang... ! Me.. me-
mang akulah.. yang te.. telah membunuh.. is.. istrimu, kakang mbok Sri.. Les..
ta.. ri....." Ucap Gantar Sewu dengan suara terputus-putus.
Tentu saja membuat Pipit Lurik jadi terperan-
gah dengan mata terbelalak. Juga Jaka Keling, yang
tak menyangka sama sekali. Sedangkan kedua kakek
sakti dan nenek kosen itu cuma tersenyum hambar
mendengar pengakuan Gantar Sewu Namun tubuh si
kakek sakti Puncak Muria itu tampak bergetar mena-
han kemendongkolan hatinya. Betapa muridnya yang
telah di didiknya susah payah, ternyata manusia tak berguna.
Selanjutnya setelah berkata beberapa patah ka-
ta lagi, Gantar Sewu pun tewas. Keadaan di tempat itu jadi hening. Saat itulah
tiba-tiba sesosok tubuh berbaju kuning melompat ke tempat itu. Semua orang den-
gan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!" Teriak Pipit Lurik dengan mulut ternganga dan sepasang mata
membeliak. Ternyata yang muncul memang benar-benar Pitra Sena.
Pemuda ini tak menjawab, akan tetapi melompat
menghampiri tubuh
Raden Mas Anjasmoro. Dan..... terlihatlah dia
duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar
suara kata-katanya bergetar lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu memang harus
dengan cara begini...! Aku memang anak bengal,
ayah...! tapi aku bukan manusia jahat! Aku bahkan
terlibat dalam kejahatan karena perbuatanmu... Oh!, betapa terkutuknya aku.!"
Selanjutnya sudah terdengar suara isak tersebut yang keluar dari bibir pemuda
itu. Perlahan Resi Paksi Sakti Jalatunda alias si Pendekar Lengan tunggal,
beranjak menghampiri. Lalu
cekal pundak orang dengan perlahan.
"Sudahlah, anak muda...! Walau dia ayahmu,
akan tetapi pada dasarnya adalah musuhmu! Cuma
pertalian darah yang tak dapat dilepaskan! Jasa dan pengorbanan mu amat besar
pada bangsa dan Kerajaan atas kesadaran mu membongkar kejahatannya!
Kau telah turut membantu melenyapkan gembong dari
penculikan para gadis cantik juga gembong dari beberapa perampokan harta pusaka
Kerajaan yang telah
berlangsung lama sejak dua tahun yang lalu. Dia juga musuh kaum pendekar
golongan kanan, yang selama
ini dalam kejaran kaum pendekar penegak keadilan,
juga buronan dari pihak Kerajaan Mataram! Jarang
sekali orang sepertimu berada di dunia ini! Tapi ter-
nyata apapun bisa terjadi!" Ujar sang
Resi dengan suara lirih dan tegas. Semua orang
yang mendengarkan jadi tercenung. Dan sama-sama
menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus menyibak dedau-
nan... Matahari semakin menggelincir kepermukaan
gunung. Saat itu Pitra Sena telah melangkah perlahan ke arah di mana Jaran
Perkoso dan Pipit Lurik yang tengah menatap padanya.
Tiba-tiba Pitra Sena tunduk berlutut dihadapan
laki-laki tua yang masih bertampang gagah itu. Tak
ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, kecuali isak tertahan yang telah
dipersembahkan pada sang Ketua
dari markas Benteng Macan Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba gerakkan lengan-
nya mengangkat bahu Pitra Sena. "Bangunlah, calon menantuku....! Aku terima
pinanganmu pada anakku
Pipit Lurik!" Ujar Jaran Perkoso. Dan wajahnya segera berpaling pada anak
perempuannya. "Terimalah dia sebagai calon suamimu, anakku.... Bukankah kalian
telah saling mengenal?" Tanya Jaran Perkoso dengan tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya, ayah..." Berkata perlahan Pipit Lurik dengan hati
polos. Dan Jaran Perkoso menatap lagi pada Pitra Sena lekat-lekat, seraya ucap-
nya. "Kau bersedia menikahi anakku yang sudah begini keadaannya...?" Pitra Sena
mengangguk. Seraya tatap wajah Jaran Perkoso, lalu beralih pada Pipit Lurik.
"Aku akan menikahinya dengan setulus hatiku, Ramanda...!
Dengan jalan ini aku tinggalkan segala tindak
kejahatan kelakuan ku... . .! Aku tak dapat memungki-ri untuk tidak
mencintainya, Ramanda! Walau apapun
yang telah terjadi...!"
Suara kata-kata Pitra Sena terdengar jelas dan
pasti. Gelimang hidupnya dari para wanita dan gadis-gadis cantik sekapan ayahnya
telah membuatnya se-
makin sadar dan semakin dewasa. Bahwa dia telah
tersesat dalam pendidikan yang salah. Tak di duga cinta justru bersemi pada
gadis bernama Pipit Lurik, yang justru akan dijadikan wanita "barang" pesanan
oleh ayahnya. Namun kasih sayang dan cinta ternyata telah semakin berakar pada
Pipit Lurik. Bercampur rasa kasihan dan kasih sayang pada gadis itu. Satu
kejadian yang tak diduga adalah munculnya Gantar Sewu yang
memang menjadi sahabat sang ayah.
Gantar Sewu telah pergunakan ilmunya untuk
mengelabui Pipit Lurik, saat Pitra Sena berangkat menemui nenek sakti Bikhu
Sokalima di puncak Ratawu.
Ternyata di sana dijumpai Jaran Perkoso dan Resi
Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya sang Resi lah yang telah menolong Jaran Perkoso.
Pitra Sena telah beberkan segala kejahatan
ayahnya pada kedua orang sakti itu, termasuk Jaran
Perkoso yang turut mendengarkan penuturannya. De-
mikianlah, hingga berakhir dengan kejadian seperti
tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu hati itu tampak
berangkulan dengan terharu. Semua hadir di situ Cu-
ma bisa tersenyum penuh keharuan, juga memuji atas
sikap Pitra Sena. Hal tersebut ternyata memang sudah diketahui oleh Roro Centil
dan Jaka Keling, hingga me-rekapun cuma bisa menarik napas lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan itu, Pipit Lurik
lepaskan rangkulannya, dan berpaling mencari dua
tubuh yang dibawa Roro Centil tadi. Sekejap dia sudah melompat kesana. karena
baru tersadar sang dara ini, setelah sekilas dapat melihat kalau kedua orang itu
adalah dua dari si Tiga Siluman Bukit Hantu.
Semua orang pun sudah berkelebatan kesana.
Akan tetapi ternyata kedua manusia itu telah tewas.
Keadaan tubuhnya tampak mengerikan, karena penuh
luka dari goresan duri. Kepala-kepala mereka rengat terhantam batu, dan luka-
luka lainnya akibat diseret Roro semau-maunya.
Jaka Keling terpaku menatap Roro. Sungguh
tak menyangka kalau akhirnya sang gadis Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu jugalah yang menumpas sisa dua iblis itu. Saat mereka
termangu-mangu menatap
mayat si pendek dan si jangkung itulah Roro Centil
berkelebat lenyap dari tempat itu, tanpa ada yang
mengetahui. Ketika mereka tersadar dan balikkan tubuh, ternyata Roro Centil
sudah tak berada di tempat itu.
"Aiiih..." Sungguh aku orang kaum tua merasa
mengiri padanya! Rasanya aku kepingin menjadi muda
lagi seperti si Roro Centil itu!" Berkata Bikhu Sokalima.
Ki Jalatunda tiba-tiba perdengarkan tertawa mengekeh seraya menyahuti;
"Wah, wah, wah...,! Kalau kau manusia turu-
nan ular, tentu bisa! Hehehe.. heh... heheheh... Kulit-mu yang keriput tinggal
mengulitinya aja, jadilah kau si nenek genit yang mania dan centil!"
"Hihihik... hihik... sudahlah, kakek peyot! Mari kita kembali ke puncak gunung
masing-masing...!"
Ujar sang nenek. Dan berkelebatanlah kedua tubuh
tokoh kaum tua Rimba Persilatan itu melenyapkan di-
ri. Tak berapa lama senjapun semakin memuram.
Mentari dibalik gunung itu masih sembulkan cahaya
merahnya. Sementara burung-burung kecil mulai riuh
berebut tempat untuk tidur.......
Pipit Lurik saling bertatapan dengan Pitra Sena.
Jari-jari lengan mereka menjalin menjadi satu. Ternyata kebahagiaan tidak hanya
dimiliki oleh orang-orang
yang bersih saja. Cinta mengalahkan segalanya. Dan
kekotoran memang tak luput dari sifat insan di dunia ini, walaupun cuma setitik.
Namun setidak-tidaknya
dengan niat orang yang berusaha mencuci kekotoran
itu, niscaya mereka sudah menuju kesatu jalan yang
bersih...... Walau kodrat dan takdir adalah Tuhan Yang Maha Menentukan.
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Mustika Naga Hijau 2 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 8
^