Pencarian

Geger Pesisir Jawa 1

Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa Bagian 1


GEGER PESISIR JAWA Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode 002 :
Geger Pesisir Jawa
Di Edit oleh: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Angkara tak kunjung mati di bumi mana pun Setiap kali pertiwi merintih
Lahir pula sang ksatria
Menjawab angkara dengan caranya
Meski darah harus tertumpah
Meski jiwa tercacah
Meski tubuh harus terencah
Ini dunia, di mana dia menanam darma Adalah dia pewaris bumi ini
Adalah dia yang tetap hidup
Meski telah mati
1 SATRIA berkutat sendiri, melawan
tarikan lumpur yang lamat tapi pasti terus menelan dirinya. Semakin dia
bergeliat untuk mencapai tepian lumpur dalam yang sulit ditentukan dasarnya,
semakin cepat saja tubuhnya tertelan. Di batas leher, matanya membesar. Dia
mulai merasa usianya tinggal beberapa tarikan napas saja.
Biar seberani apa pun dia, kendati
sekeras apa pun tekadnya untuk
menyelamatkan diri, tak urung kepanikan meruyak juga. Dia mulai kelabakan.
Terlebih ketika batas dagunya mulai
terendam permukaan lumpur berpasir dan berbau lumut itu. Kepanikan tersebut
menyebabkan dirinya makin tak bisa lagi mengendalikan gerakan. Karena itu puia
dia makin cepat tertelan. Lalu mulutnya pun mulai pula tenggelam dalam permukaan
lumpur. Matanya semakin membesar. Kini dia tahu semakin banyak dia bergerak,
akan semakin cepat tubuhnya tenggelam.
Namun, jika tidak berusaha untuk
menyelamatkan diri sendiri, siapa lagi yang akan menolongnya" Ah, siapa tahu ada
orang yang kebetulan lewat, pikirnya.
"Tuuooooloooong!" teriaknya sekuat mungkin. Tak ada seorang pun menampakkan
batang hidung. Di kejauhan
cuma terdengar suara-suara hewan hutan yang saling bersahut-sahutan untuk memikat
pasangan masing-masing.
Satria pantang putus asa. Dia
mencoba kembali. Lebih keras. Jika perlu sampai urat lehernya membengkak sebesar
cangklong. "Tuuoooloooong Ooooiii, apa ada orang"! Tuoolooong aku, niiiihhh!"
Sama saja. Tetap tak ada yang
datang. Paling cuma seekor kadal pohon yang melongo menatapinya dari satu
dahan. Satria makin merasa dirinya cuma
menanti merangkaknya detik demi detik ajal sendiri. Akhirnya dia cuma bisa
pasrah. Diserahkannya semua. Terutama jiwanya pada Sang Penguasa Segenap Jiwa di
Semesta Jagat. Matanya terpejam.
Sampai suatu ketika, telinga bocah
tiga belas tahunan itu mendengar
sayup-sayup suara halus menghampiri
dirinya. Bunyinya mirip desis seekor
ular kecil, namun lebih halus. Berpikir kalau ada seekor binatang berbisa sedang
mendekati dirinya, Satria membuka mata.
Matanya membelalak besar sekali.
Sekali ini bukan karena dia dilanda
kepanikan, melainkan keheranan.
Disaksikannya ada sebilah bambu kuning kecil berukuran tak lebih besar dari jari
telunjuknya sedang meluncur tegak lurus di atas permukaan lumpur Tingginya
sekitar setengah jengkal. Bergerak tegak lurus membelah lumpur menuju Satria
seolah makhluk lumpur kecil bertubuh
kaku. Apa itu" Bisik batinnya
terperangah-perangah. Apa dia telah
menyaksikan khayalan sendiri disebabkan nyawanya sebentar lagi akan melayang"
Atau ada makhluk halus yang mulai
menggoda hatinya untuk meminta
pertolongan"
Kurang satu tombak dari tempat
Satria, tonggak bambu kecii itu berhenti bergerak. Terdengar suara desis yang
kian kentara di pendengaran bocah itu.
Seperti desah napas. Desah napas" Satria tak bisa mempercayai itu. Apa mungkin
sebilah bambu tengah bernapas"
Namun keadaan terancam maut tak
memungkinkannya untuk bertanya-tanya dalam hati lebih jauh. Karena lumpur
sudah tiba di batas hidungnya. Satria tergagap. Lehernya berusaha dijulurkan
sejauh mungkin agar dapat terus
bernapas. Sayangnya, usaha itu malah makin membuat tubuhnya tenggelam lebih
dalam. Blup! Tak bisa Iagi Satria bernapas.
Seluruh jalan napasnya sudah tertutup lumpur. Tinggal mata dan sebagian
kepalanya saja yang masih terlihat.
Matanya sendiri membesar seakan hendak mencelat keluar. Tangannya
meronta-ronta di atas permukaan iumpur.
Tapi, sudah terlambat untuk meminta
tolong pada siapa pun. Kerut di keningnya memperlihatkan betapa anak itu tengah
meregang nyawa. Napas yang terputus
menyebabkan kulit wajahnya mulai
membiru. Sampai akhirnya, kepalanya
benar-benar terbenam sama sekali.
Tinggal tangannya menggapai-gapai. Dari gerak yang liar, semakin melemah dan
lunglai. Di dalam sana, Satria merasakan
seluruh tubuhnya seperti dihimpit dari segenap penjuru. Dadanya sesak. Mustahil
sudah baginya untuk mendapatkan udara segar di dalam lumpur kotor berbau itu.
Semuanya gelap. Dia merasakan kepalanya memberat. Rasa nyeri pun
berdenyut-denyut. Sebelum bocah
berkehendak sekeras baja itu kehilangan kesadarannya. Lamat-lamat dia merasakan
kakinya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang agak lunak dan kendor seperti daging
seorang Jompo. Jangan-jangan dia mulai berkhayal
lagi" Tidak. Satria tidak sedang terbawa khayal akibat keadaan menjeiang maut.
Sebab sebelum anak Itu sendiri
mempercayal apa yang dipijaknya,
mendadak saja tubuhnya terangkat
kuat-kuat ke atas.
Blubshhi Keterkejutannya memaksa dia
berteriak kuat-kuat.
"Wuaaaaaaoooooo!"
Lalu tubuhnya benar-benar mencelat
keluar dari permukaan lumpur maut, jauh menuju tepiannya! Setelah itu, menyusul
mencelat keluar sesosok tubuh yang tak kalah bersimbah lumpur kehitaman dari
dalam Iumpur. Satria jatuh tertelungkup di
semak-semak rimbun.
Empat depa di belakangnya,
seseorang telah berdiri kaku bagai
dedemit lumpur. Tangannya tersilang di dada. Seluruh tubuhnya kotor oleh lumpur
kehitaman. Seperti juga kepala tak
berambut. Termasuk wajah kerut-kerut
tanpa sehelai bulu. Sementara bagian terlarangnya cuma ditutupi oleh kulit ular
sanca. Ternyata orang itu seorang kakek amat tua kurus kering. Mulutnya
mengulum-ngulum sebilah bambu kuning
sepanjang dua tombak yang besarnya tak lebih dari jari telunjuk. Ujung bambu itu
yang sebelumnya disaksikan Satria.
"Bocah tak tahu adat Apa kau tak punya mata"! Seenaknya saja kau menginjak
perutku!" teriak si kakek berlumpur dengan mata kelabu membesar dan menyipit
bergantian. Mendengar suara bentakan dari arah
belakang, Satria tercekat. Tanpa sempat membebaskan diri dari cengkeraman
semak-semak, cepat-cepat dia menoleh.
Mulutnya sekeiika itu juga menganga
lebar-lebar. Lobang hidungnya
kembang-kempis. Matanya tak berkedip.
Bocah penuh lumpur itu yakin,
seyakin-yakinnya kaiau dia sedang
berhadapan dengan dedemit lumpur yang belum lama terbetik dalam benaknya.
"Aaa... aa... aa," gagapnya. Tak tahu sebenarnya dia hendak mengucapkan apa.
Niat bicara pun tidak. Kakek
berlumpur merengut. "Sudah menginjak pantatku, kau meledekku juga. Dasar
bocah gendeng tak tahu adat" makinya kembali. "Ke sini kau" perintahnya lagi
pada Satria. Satria
menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tak bisa bangun?" tanya si kakek berlumpur.
Sesudahnya dia meraih bambu dari
mulutnya. Dengan bambu itu dia membuat satu kebutan kecil menyamping di udara.
Wukhh Kebutan tadi kecil saja. Bahkan
sepertinya tak bisa membunuh seekor
lalat yang mungkin kebetulan lewat.
Tapi, hasil yang terjadi sungguh luar biasa. Angin kebutannya ternyata sanggup
mengangkat tubuh Satria saat itu juga.
"Wuaaoooo!" Sekali lagi Satria berteriak serabutan di udara.
Bruk! Dia jatuh terduduk tepat di depan si
kakek berlumpur.
"Katakan padaku, siapa kau
sebenarnya bocah tak tahu adat" bentak si kakek botak penuh lumpur seraya
bertolak pinggang dl depan Satria yang mendongak pucat menatapinya.
"Ak... ku Satria."
"Satria. Hm nama yang tak begitu buruk. Apa maumu main-main di lumpur?"
Main-main" Main-main apa" Orang
sudah mau mampus kenapa dibilang
main-main" Protes Satria dalam hati.
Kalau dipikir-pikir lagi, pantas saja orang tua ini menyebutnya sedang
main-main. Sedang dia sendiri dengan
seenak hati menyelam di dalam lumpur" Mau apa dia di dalam sana" Hati Satria
bertanya-tanya Iagi.
"Kakek sendiri kenapa 'main-main'
di dalam Iumpur?" cetus Satria, tak tahan terhadap rasa penasarannya. Latah,
diekorinya pertanyaan orang tua
berkepala gundul di depannya.
"Main-main"! Kau bilang aku sedang main-main?" Si kakek aneh mendelik. "Aku
sedang bertapa, tahu!"
"Tidak tahu," jawab Satria.
"Pantas saja...." Si
kakek menganguk-angguk. "Jadi kau ini... ah, Brengsek! Kau belum menjawab
pertanyaanku barusan bukan?"
"Aku terjatuh ke dalam lumpur itu, Kek. Tak sengaja...," aku Satria, terdengar
memelas. "Kalau kau tak keblinger, kau tentu tak terjerumus ke dalam lumpur, tahu!"
Tidak tahu, Kek."
"Bocah gendeng! Kau sudah dua kaii bilang tak tahu. Kau pikir aku bertanya
padamu." "Ada kakek berjenggot mau
menenggelamkan aku ke dalam lumpur
tempatmu bertapa...."
"Aku juga tak menanyakan itu!"
"Kakek jenggot itu menjentikkan jarinya sedikit, lalu... wuishhh, aku terlempar
jauh dan jatuh ke dalam lumpur," cecar Satria, tak peduli.
Tunggu, kau tadi menyebut kakek
jenggot?" Satria mengangguk.
"Hm.... Hm.... Hm.,.. Mau apa si jahanam Iblis Dari Neraka Itu."
"Jadi Kakek kenal?"
"Kenal, tahu!"
"Tidak tahu, Kek...."
"Ah, sial kau! Sana pergi! Aku mau melanjutkan tapaku yang kau ganggu.
Untung tadi aku masih berpikir untuk melemparmu keluar dari lumpur." Si kakek
botak mencelat dari tempatnya berdiri.
Tubuhnya masuk kembali ke dalam lumpur.
Yang terlihat cuma ujung bambu
kuningnya, berdesis halus menghembuskan napasnya dari dalam.
* * * 2 KEBERINGASAN Laskar Lawa Merah di
sepanjang pesisir Jawa Tengah kian hari kian merajalela. Perampokan-perampokan
keji berlangsung. Pembunuhan serta
pembantaian berdarah tak terelakkan.
Setelah membumi hanguskan desa-desa
di sekitar perbatasan
Ketawang-Jogoboyo, mereka
terus merambah daerah demi daerah. Seperti
wabah mengerikan, gerombolan itu
merambat ke bagian timur tanah Jawa.
Daerah pesisir siap mereka hancurkan.
Dirgasura makin unjuk taring di mana
pun dia berada. Juiukan besarnya Tangan Seribu Dewa terikut dalam setiap
pembantaian dan perampokan besar. Di
samping nama angker gerombolannya yang kian santer di telinga penduduk tanah
Jawa dan warga persilatan, julukannya pun makin membuat banyak nyali menjadi
gentar. Kecongkakan, keangkuhan, dan
kekejiannya tambah menjadi jadi. Dia
merasa dirinya begitu besar. Seolah
telah digenggamnya bulat-bulat tanah Jawa.
Pihak Demak yang kini telah menjadi
penguasa hampir sebagian besar tanah
Jawa, merasa kerepotan juga menghadapi rongrongan Dirgasura dan gerombolannya.
Beberapa punggawa pilihan yang tergabung dalam pasukan khusus ditugaskan di
bawah pimpinan seorang manggaia untuk menumpas mereka. Sayang belum ada hasil.
Di samping karena Laskar Lawa Merah suiit untuk ditaklukkan. Gerakan mereka juga
tak mudah untuk dilacak. Satu saat mereka bisa terlihat di satu desa. Setelah
menghancurkan daerah tersebut,
tiba-tiba saja mereka menghilang seperti segerombolan hantu. Lalu dalam beberapa
hari gerombolan orang-orang kejli itu tak pernah menampakkan diri tanpa
diketahui kabarnya. Beberapa hari
berselang, mereka membuat kejutan baru dengan membuat huru-hara di daerah lain


Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Manggala Demak yang bertanggung
jawab pada penumpasan Laskar Lawa Merah bernama Abdul Malik Bagaspati. Seorang
ksatria muda berperawakan gagah.
Wajahnya bersih. Tak begitu tampan,
namun memancarkan ketegasan dan wibawa.
Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu hal kecil pun luput dari pengamatannya.
Sore itu, pasukan Demak di bawah
pimpinan Manggala Bagaspati terlihat
berpatroli di sekitar wilayah
Ketawang-Jogoboyo. Jumlah mereka tak
kurang dari tiga puluh orang.
Wajah-wajah para punggawa sudah tampak suntuk. Kepenatan serta keletihan
menyerang mereka semua setelah satu
harian penuh menjelajah wilayah
tersebut. Sementara orang-orang yang
mereka buru tak juga ditemukan.
"Kita bermalam di sini" seru Bagaspati yang berjalan paling depan.
Hanya wajah lelaki satu itu yang tak
tampak ingin dipermainkan kesuntukan
sendiri. Masih saja dia teriihat tegar dan berwibawa dalam keadaan yang
demikian berat untuk sepa-ukan orang
yang gagah seperti mereka.
"Dirikan tenda!!" aba-abanya kembali, memerintahkan para punggawa
yang bertanggung jawab pada seiuruh
keperluan pasukan. Termasuk tenda-tenda dari kuiit hewan.
Anak buah Bagaspati meski dalam
keadaan banyak kehilangan tenaga dan
gairah segera bergerak sigap. Komando dari atasan tetap komando. Meski
bagaimanapun keadaan mereka saat itu.
Perintah atasan harus dijunjung, pikir mereka. Apalagi terhadap seorang yang
patut dihormati sekaligus dijunjung
seperti Manggala Bagaspati.
Tak begitu lama, beberapa tenda
selesai. Seorang prajurit tampak
mengumpulkan dahan-dahan kering untuk mempersiapkan api unggun. Bagaspati
cepat mencegahnya. Dalam keadaan seperti itu, api unggun dapat memancing
kecurigaan lawan, kata Bagaspati.
Akhirnya mereka bermalam dalam
gelap. Pembagian tugas pun diiakukan.
Beberapa prajurit bergantian melakukan penjagaan sementara yang lain
beristirahat di dalam tenda. Bagaspati sendiri sama sekaii tak bisa memicingkan
mata. Dia bersila resah di depan tendanya dalam diam. Di antara derik jangkrik,
terdengar hembusan napasnya yang teratur dan panjang. Jelas, ksatria muda
kepercayaan Raja Demak itu tak ingin
lengah barang sekejap pun.
Malam terus menyarangkan dingin ke
tubuh setiap makhluk. Beberapa saat
lagi, hari menjelang tengah malam.
Bagaspati mulai merasakan serangan
kantuk yang luar biasa. Kelopak matanya berat bagai diganduli oleh beban satu
kati. Untuk mengusir kantuk dan hawa
dingin, dia berniat hendak melakukan
semadi sejenak. Niatnya
terpancung manakala telinga lelaki gagah itu
mendengar suara mencurigakan dari arah samping tendanya.
Srek! Kepalanya menoleh siaga. Matanya
tak berkedip, berusaha menembus
kegelapan. Perlahan tangan kanannya
menjemput gagang keris di pinggang.
Setiap saat, keris itu siap dihunuskan lalu langsung dihujamkan.
Dari balik semak yang diawasi
Bagaspati, sebentuk kepala muncul
ragu-ragu. Orang itu rupanya hendak
mengintip. Tapi karena terlalu ceroboh, kepalanya malah telanjur terlihat.
"He-he-he, selamat malam Paman,"
sapanya seraya menampakkan diri
bulat-bulat. Dia telah kepalang
tertangkap basah. Orang itu ternyata
bocah tanggung berusia tiga belasan. Tak salah lagi... Satria! Dihampirinya
tenda Bagaspati. Mulutnya terus cengengesan.
Telapak tangannya terus diusap-usapkan satu dengan yang iain.
Tiga prajurit yang terdekat dengan
tenda Bagaspati menatapi Satria dengan pandangan melompong kebingungan.
"Apa yang tengah kau lakukan di
tengah hutan ini, Bocah?" tanya
Bagaspati seraya memasukkan kembaii
kerisnya yang telah dikeluarkan
setengah. "Mau...." Satria ragu-ragu.
Jangan-jangan mereka orang-orang sesat, pikirnya.
"Ayo, katakan saja," pinta
Bagaspati seraya bangkit dari silanya.
Ditawarinya Satria sebaris senyum ramah.
"Kami adalah orang-orang dari Kerajaan Demak. Kau tak perlu takut atau curiga
pada kami. Apa kau tersesat?" Satria menggeleng. "Lalu?" susul Bagaspati.
Wajah anak tanggung itu berubah
mengeras. Bibirnya agak menyorong ke
depan. Dibarengi dengusan, dia berkata,
"Aku sedang mencari Dirgasura! Aku ingin
menyeretnya ke tempat Bibi
Cemarawangi karena orang itu telah
membuatnya terluka..."
Dirgasura" Gembong Laskar Lawa
Merah yang terkenai keji" Apa-apaan
bocah macam dia mencari Dirgasura"
Bagaspati kini wajib untuk melompong
bengong. Terlebih tiga punggawa di
dekatnya.... * * * Ki Kusumo tak pernah kehilangan
pengawasan terhadap si bocah kecil
Satria. Semenjak anak yang diharapkan menjadi murid pewaris kepandaiannya itu
meninggalkan pantai Ketawang, Ki Kusumo terus mengikuti.
Dengan alasan tertentu, orang tua
itu meninggalkan Nyai Cemarawangi dan anaknya di gubuk itu. Ada satu hal
tentang keadaan Nyai Cemarawangi yang hanya diketahui oieh Ki Kusumo, alias
Tabib Sakti Pulau Dedemit Bahwa penyakit Nyai Cemarawangi sebenarnya penyakit
yang belum diketahui obatnya. Selama ini tak pernah ada satu pun orang yang
selamat dari renggutan penyakit
tersebut. Perlahan-lahan, tubuh orang itu akan makin melemah dan melemah.
Sampai akhirnya menemui ajal. Kendati Ki Kusumo adalah seorang tabib sakti yang
keahlian dan pengetahuannya sudah
demikian piawai, tak juga dapat berbuat banyak untuk menoiong Nyai Cemarawangi.
Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan cuma membantunya agar dapat bertahan
hidup lebih lama. Tanpa dapat
menyembuhkan penyakit itu sendiri. Itu sebabnya Ki Kusumo berpikir akan sia-sia
saja jika dia tetap berusaha menyembuhkan penyakit wanita itu.
Diputuskannya untuk mengekori ke mana langkah Satria, bocah yang disebutnya
setengah gendeng itu.
Dari balik semak-belukar lebat,
orang tua itu mengintip tempat bermalam pasukan Demak di bawah pimpinan Manggala
Bagaspati. Satria sendiri sudah dapat menyesuaikan diri dengan mereka. Anak itu
ditawari langsung oieh Manggala
Bagaspati untuk turut bermalam bersama.
Diam-diam, manggala muda itu tertarik juga dengan diri Satria yang dianggapnya
unik. Terutama keberaniannya hendak
menantang Dirgasura. Keberanian atau
kenekatan"
Di sana, tepatnya di depan tenda
Manggala Bagaspati, Satria sedang asyik bercakap-cakap perlahan dengan seorang
prajurit. Di tempat berbeda, berseberangan
dengan tempat mengintai Ki Kusumo.
Sesosok tubuh yang lain pun tengah
mengintai dari kegelapan dl balik sebuah pohon besar. Tak beda dengan Ki Kusumo,
mata orang itu pun terus mengawasi setiap gerak-gerik Satria.
Ah, anak itu benar-benar jadi pusat
perhatian rupanya" Tapi, siapa pula
orang itu" Orang itu bertubuh kurus.
Berkepala botak. Hanya mengenakan
semacam cawat kulit ular Sanca penutup bagian 'terlarang'nya. Tepat! Dialah
kakek pertapa yang ditemui Satria di
dalam lumpur hutan perbatasan Ketawang Jogoboyo beberapa waktu lalu!
Mau apa puia dia" Luar biasanya,
orang tua kurus kering seperti pisang terjemur itu pun ternyata berminat besar
terhadap diri Satria. Seperti juga Ki Kusumo, dia merasa tertarik pada
pandangan pertama untuk mengangkat
Satria menjadi muridnya! Apa anak itu tidak luar biasa jadinya"
Dongdongka nama aslinya. Nama yang
terlalu ganjil untuk lidah orang tanah Jawa. Tapi siapa yang peduli pada nama
itu. Mau nama seaneh apa pun dan dari mana pun, orang tak begitu ambil pusing
iagi. Terutama kalau telah mendengar julukan Kakek Dongdongka sebenarnya : Dedengkot
Sinting Kepala Gundul!
Dia adalah dedengkot dari segala
dedengkot dunia persilatan. Hidup
malang-melintang jauh sebelum lahirnya nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Usianya sulit ditentukan. Mungkin sudah mendekati bilangan dua abad. Atau lebih!
Orang sudah tak bisa lagi memperkirakan berapa usianya. Kalangan sebayanya saja
kebanyakan sudah mati puluhan tahun
silam. Dia sendiri terus bertahan dengan cara hidupnya yang teramat ganjii.
Kalangan persiiatan menyebut
nyebutnya sebagai manusia setengah
siluman. Bagaimana tidak" Terkadang dia muncul seperti angin tanpa terduga-duga.
Lalu bertahun-tahun dia tidak
menampakkan diri. Beberapa orang
menemukannya sedang bertapa di puncak bukit kering-kerontang. Yang lain
menemukannya sedang bergelantungan
seperti kelelawar di pucuk cemara. Ada juga yang menemukannya sedang telentang
mengapung sambil bersiul-siul di atas permukaan telaga. Anehnya, mereka
menyaksikan hal itu di saat yang sama dan tempat berbeda!
Menurut kabar burung, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul sedang berusaha untuk mati. Ini lebih gila lagi!
Sementara orang lain berusaha
mati-matian untuk memperpanjang usia dan menjauhi kematlan, dia malah
mengharap-harapkannya. Bahkan
mengusahakannya" Menurut desas-desus
yang sering berseliweran pula, manusia sakti mandraguna ini sudah bosan dengan
hidupnya sendiri. Dia sudah benar-benar jemu dengan usianya yang tak kunjung
menemui ajal. Bosan hidup, tapi sulit mati. Maklum, kesaktiannya sudah
telanjur melampaui
batas tampung kemampuan dirinya sendiri.
Ada satu-satunya cara yang bisa
dilakukan agar dia dapat menemui ajal.
Bunuh diri" Bukan. itu cara pengecut yang tak pernah terpikirkan oleh manusia
sepuh macam dia. Dia harus mengangkat seorang murld yang dapat menurunkan
seluruh kesaktiannya. Artinya, pada saat menurunkan kesaktian itu, terjadi
perpindahan kesaktian. Jika seluruh
kesaktiannya telah mengalir masuk ke
dalam tubuh sang murid, maka dengan amat mudah dia akan mati sendiri. Jangankan
dibunuh, terlanggar lalat saja sudah
cukup untuk membunuhnya!
Masalahnya, Dongdongka tak pernah
merasa cocok dengan beberapa calon
muridnya yang sudah dicari-cari selama bertahun-tahun. Semuanya tak masuk
hitungan, menurutnya. Padahal jumiah
yang ditaksirnya sudah mencapai bilangan ratusan orang.
Sampai kemarin sore dia bertemu
dengan Satria. Cerita baru tentang
pencarian murid si manusia setengah
siluman itu pun membuka lembar baru.
Ketika Satria berada dalam lumpur
tempatnya bertapa, dedengkot itu
merasakan satu hawa kuat yang membuatnya terbangun dari tapa. Ada sebentuk
kekuatan yang terpancar dari dalam tubuh anak itu ketika dia menjelang bahaya
maut. Kekuatan yang terpancar dari dalam karena ketangguhan hatinya. Sebab itu
Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun
terjaga dari tapanya. Didekatinya tubuh Satria yang nyaris mampus tenggelam.
Lalu dilemparnya anak itu keluar. Untuk lebih jelas menyaksikan siapa anak luar
biasa yang telah berhasil menyunat
tapanya, Dongdongka keluar dari Iumpur.
Di atas sana, firasatnya ternyata
terbukti. Dengan mata tuanya yang amat jeli dan tajam, dia melihat susunan
tulang Satria yang begitu bagus. Meski kurus, tubuhnya tak tampak lemah. Bahkan
memperlihatkan kekokohan. Tapi yang
lebih berkesan dari semua itu bagi Dongdongka adalah sinar mata anak itu.
Didapatinya kekuatan jiwa anak itu. Satu kekuatan yang sulit dibendung siapa pun
jika dorongan kehendak sanubarinya sudah berbicara.
Makin naksir saja Dedengkot Sinting
Kepala Gundul! Meski naksirnya sudah seperti orang
terlambat buang hajat, Dongdongka tidak mau memperlihatkan hal itu pada Satria.
Dia tak ingin siapa pun calon muridnya menjadi besar kepala karena dibutuhkan
olehnya. Maka, Dongdongka pun
berpura-pura acuh Setelah Satria
beranjak pergi, dedengkot segera keluar lagi dari lumpur. Diikutinya ke mana
kaki anak itu melangkah. Sampai anak itu ke tempat pasukan Demak kini.
* * * 3 KAU harus belajar olah kanuragan
dulu untuk menghadapi
Dirgasura, Satria," nasihat prajurit yang berbicara akrab dengan Satria.
"Kenapa begitu?" tanya Satria.
"Kupikir setiap orang punya kelemahan.
Juga Dirgasura. Kalau aku tahu
kelemahannya, tentu aku akan dapat
mengalahkannya," tepis Satria, cerdas.
Si prajurit terbahak.
"Kau cerdik. Tapi itu belum cukup.
Dirgasura itu licik. Aku tak meragukan kecerdikanmu. Tapi, kelicikan Dirgasura
kuyakin dapat mengungguli kecerdikanmu," katanya kemudian.
"Jadi, aku harus belajar olah
kanuragan, begitu?"
"Ya. Kau harus bisa mengungguli
kesaktian orang itu!"


Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satria mencibir. "Yang kutahu
selama ini, orang-orang yang pandai
berkelahi kebanyakan sombong. Lihat saja Dirgasura. Mentang-mentang dia memiiiki
kepandaian tinggi, seenaknya saja dia bertindak keji pada Bibi Cemarawangi!"
"Tidak semua orang, Satria. Semua itu akan berpulang kembali pada diri
masing-masing. Sesuatu yang baik akan jadi baik kalau orang yang memilikinya
memang baik. Termasuk kepandaian silat."
Satria mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, Kakang ajarkan aku satu-dua jurus yang Kakang punya!"
Wajah si prajurit berbinar. Entah
mengapa dia merasa mendapat kehormatan untuk mengajarkan anak berkepribadian
mengagumkan seperti Satria. Padahal
kenai pun baru kali itu.
Keduanya ke tengah-tengah pelataran
di depan tenda-tenda. Lalu mulailah
keduanya bergerak. Setiap kail si
prajurit mencontohkan
kembangan kembangan jurus silat, Satria langsung dapat menangkapnya dengan baik dan
tepat. Itu membuat si guru dadakan
menjadi semakin bersemangat mengajarkan muridnya.
Tanpa terasa sudah terlewat
sembilan jurus dasar.
"Sekarang, coba kau ulangi dari
awal," pinta si prajurit.
Satria mengangguk. Penuh keyakinan,
dia mulai memperagakan jurus demi jurus dari awai hingga akhir. Meskipun
gerakannya masih tergolong lambat dan kuda-kudanya masih tak terlalu tegar,
namun semua jurus dapat diperlihatkan dengan baik tanpa terlewat satu bagian
pun. Sang guru dadakan terpana-pana. Tak
disangkanya dia akan mendapatkan murid yang begitu cepat tanggap!
"Perkuat kuda-kudamu, Satria! Silat itu menekankan pada pertahanan dan
pembelaan diri. Untuk bisa memanfaatkan tenaga serangan lawan agar dapat menjadi
keuntungan untuk kita, kuda-kuda harus benar-benar kokoh!" sela Manggala
Bagaspati yang sejak lama rupanya terus memperhatikan gerakan Satria. Dia pun
dibuat terkagum-kagum.
Satria berhenti sejenak pada jurus
keempat. Dicamkannya baik-baik
kata-kata Manggala Bagaspati. Lalu
dengan cepat otak cerdasnya mengolah.
Sebentar kemudian, dia memulai
lagi. Sekali ini, gerakannya langsung memperlihatkan kekuatan. Setiap ucapan
Bagaspati nyatanya langsung
dilaksanakan dengan baik oleh Satria.
Bagaspati pun menggeleng-gelengkan
kepala. Sembilan jurus selesai dimainkan Satria. Bagaspati memanggil seorang
prajurit lain. "Coba kau serang dia," perintahnya pada prajurit yang tergopoh-gopoh
mendatangi. Si prajurit mengernyitkan kening.
Apa ini perintah sungguhan" Pikirnya.
"Ayo, tunggu apa lagi!" sentak Bagaspati.
Meski dengan benak terus
bertanya-tanya, prajurit tadi akhirnya melangkah ke arah Satria.
"Kakang mau apa?" tanya Satria.
"Aku diperintah untuk menyerangmu.
Kau siap?" bisik si prajurit.
Satria cengengesan "Kita coba saja, Kang" sergahnya, penuh keyakinan.
Si prajurit pun mulai menyerang.
"Hiaa!!" Satu pukulan lurus mengarah ke dada kurus Satria. Pukulan yang
sebenarnya tak sesuai dengan
teriakan yang terdengar garang. Pukulan itu dilakukan tidak sungguh-sungguh. Si
prajurit tampaknya tidak begitu yakin untuk menyerang bocah kurus macam
Satria. Apaiagi dia baru saja
mempelajari beberapa jurus, cuma
beberapa jurus!
Tak diduga, Satria berkelit gesit ke
samping. Tangan kurusnya tak mungkin
bisa mengalahkan kekuatan tangan kekar si prajurit. Namun, Satria tidak lupa
perkataan Bagaspati untuk memanfaatkan kekuatan lawan. Disorongkannya sedikit
dengkulnya ke atas dengan posisi tubuh agak miring ke samping. Satu bagian dari
jurus keempat. Begh! "Ngek!"
Tubuh penyerangnya menekuk ke
depan. Kedua tangannya memegangi perut yang kontan mulas. Sambll
tersenyum-senyum serba salah menahan
mual, prajurit tadi menegakkan tubuh
perlahan. Satria cengengesan. "Maaf ya, Kang.
Namanya juga latihan...," bisiknya.
"Siap untuk serangan kedua?" tanya si prajurit pada Satria dengan suara
tertekan seperti penderita sakit perut mejan. Dalam hati, dia menyumpahi diri
sendiri. Kenapa tak diserangnya saja
sungguh-sungguh bocah itu. Kalau sejak tadi begitu, dia tak perlu merasakan mual
dan malu pada Manggala Bagaspati,
pimpinannya. "Hiaa!"
Serangan kedua meluruk. Lebih
cepat, lebih bertenaga, lebih rumit dari sebelumnya. Selain itu, tampak jelas
kesungguhan dalam serangan kali ini.
Satria tegang. Manggala Bagaspati melangkah lebih
dekat. Lelaki besar gagah itu makin
berminat pada pertunjukan kecil itu.
Beriring serbuan si prajurit,
Satria melempar teriakan lantang. Amat keras. Nadanya melengking. Membuat
telinga si penyerangnya terasa pekak.
"Heaaath!"
Teriakan itu tak dilakukan tanpa
maksud apa-apa. Satria sengaja hendak mengacaukan kemantapan serangan lawan
dengan teriakan sinting barusan.
Hasilnya memang langsung terlihat.
Serangan lawan latihnya saat itu
langsung terganggu. Sasaran serangannya yang semula ke arah dada kiri Satria
menjadi sedikit melenceng keluar.
Satria cepat memanfaatkan. Tanpa
berpindah dari tempatnya, dia
memiringkan tubuh sedikit. Pukulan lurus lawan latihnya lewat hanya satu jari
dari sasaran. Tubuh anak itu berpindah cepat merapat ke lawan latihnya. Dengan
cara itu, si bocah langsung mengunci mati
serangan jarak jauh si prajurit.
Selanjutnya, sepasangtangan kurus bocah itu cepat menyodok dari bawah.
Begh-begh! Dua sasaran pukulan masuk kedua
bagian tubuh lawan latihnya. Satu
mendarat di ulu hati. Sisanya mendarat di lengan bawah si prajurit. Meski tenaga
pukulan Satria tak begitu keras, tak urung memaksa lawan latihnya mengeluh.
Rasa sakit yang menyerang ulu hati
lawan latihnya dimanfaatkan pula dengan cepat oleh Satria. Pada saat itu,
kuda-kuda lawan dapat dipastikan dalam keadaan paling lemah. Satria menjatuhkan
tubuhnya cepat.
"Hih!"
Kedua kakinya menggunting
pertahanan lawan dari bawah.
"E-e-eeeee...."
Bruk! Prajurit berbadan jauh lebih besar
dari Satria pun jatuh berdebam.
Bertambah terperangahlah Bagaspati
menyaksikan kecekatan Satria
mengalahkan lawan tandingnya. Baginya, kemenangan dua gebrakan bocah kurus
berambut kemerahan itu tergolong luar biasa. Pertama karena jurus yang
dipergunakannya untuk menghadapi lawan tanding masih sangat baru bagi dirinya
sendiri. Kedua, ukuran tubuh dan
pengalaman lawan tandingnya jauh di atas Satria. Seiain itu, Bagaspati juga
melihat telah ada kombinasi jurus yang cantik diperlihatkan Satria saat
keadaannya berada amat dekat dengan
posisi lawan. Jika jurus ketiga yang murni hanya menekankan pada serangan
jarak dekat, maka Satria sudah
menggabungkannya sekaligus dengan jurus kedelapan yang menekankan pada pematahan
pertahanan bawah lawan.
"Luar biasa. Anak ini hebat," puji Bagaspati tanpa sadar. Dan kata 'hebat'
dalam perkataannya tidak sekali itu saja diucapkan. Tak kurang dari empat kali
kata tersebut diulang-ulangnya. Juga
dilakukan tanpa sadar.
Di dua tempat tersembunyi, dua tokoh
tua kelas atas pun turut memuji kehebatan si bocah. Ki Kusumo alias Tabib Sakti
Pulau Dedemit tak henti-hentinya
menggelengkan kepala. Bibirnya
mengumbar senyum, memperiihatkan rasa yakin yang makin menyubur untuk
mengangkat Satria sebagai muridnya.
Di lain sudut, Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul malah sampai berdecak-decak. Hatinya tak
habis-habis menyumpahi kegemilangan
Satria dalam menangkap jurus-jurus dasar yang diajarkan padanya.
"Edan-edan-edan....Gendeng-genden ggendeng...." Sampai tanpa sadar, tercetus
juga sumpah serapah berbau
pujian itu dari mulutnya.
"Heiiii! Siapa itu"!" seru
Bagaspati sigap. Telinga tajam seorang kepala pasukan miliknya tentu saja dapat
menangkap dengan jeias gerutuan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Ki Kusumo yang berpendengaran jauh
lebih tajam dari kucing hutan liar pun mendengar gerutuan tadi. Latah tidak
latah, dia turut bertanya sendiri.
"Siapa itu?" desisnya.
Pada saat itu pula, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul menangkap desisan halus Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Siapa Itu"!" seru Dongdongka pula.
Semuanya latah!
* * * Dedengkot Sinting Kepala Gundul
sirna dari tempat pengintaiannya bagai angin. Tahu-tahu saja dia sudah berdiri
di samping kiri Satria. Pada saat yang sama, kelebatan tubuh Ki Kusumo mendarat
di samping kanan bocah itu.
"Kakek Gundul?" gumam Satria begitu menoleh ke kiri. Mulanya dia agak
pangling karena Kakek Dongdongka sudah tidak bersimbah lumpur kehitaman lagi.
"Pak Tua Kusumo?" gumamnya pula begitu menoleh ke kanan.
Dua orang tua itu sendiri saling
pandang satu sama lain. Mereka tentu saja sudah saling mengetahui siapa yang
kini dihadapi. Cuma dalam hal ini Ki Kusumo merasa sebagai orang yang berada
dibawah Kakek Dongdongka. Baginya, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul adalah sesepuh yang pantas mendapat penghormatannya.
Kendati tingkahnya keedan-edanan,,
"Salam hormatku, Panembahan
Dongdongka...," tabik Ki Kusumo cepat, setelah sadar dia tengah berhadapan
dengan tetua di antara tetua dunia
persilatan. Sepuhnya para sesepuh.
Manggala Bagaspati yang semula agak
berang karena tempat bermalam pasukannya diintai secara diam-diam, terperanjat
mendengar nama yang disebutkan Ki
Kusumo. Sama terperanjatnya manakala dia melihat wajah Ki Kusumo yang kebetulan
berdiri menghadapnya.
Panembahan Kusumo alias Tabib Sakti
Pulau Dedemit" Dan Panembahan
Dongdongka, alias Dedengkot Sinting
Kepala Gundul" Ada pertanda apa ini,
sampai-sampai dua tokoh kawakan hadir berbarengan di
tempat bermalam
pasukanku" Apa aku semalam mimpi
kejatuhan bulan" Pikir Bagaspati, nyaris tak percaya.
Bagaspati juga tak habis pikir
ketika Satria seenak udel menegur dua tokoh sesepuh itu dengan panggilan
sekenanya. Apa tak salah dengar aku" Anak itu memanggil Panembahan Dongdongka
dengan 'Kakek Gundul'" Dan menyebut
Panembahan Kusumo dengan 'Pak Tua
Kusumo'" Kasak-kusuk hati Bagaspati
kembali. Sebagai seorang lelaki yang hidup dalam jalan keksatriaan, tentu
saja Bagaspati tumbuh besar dengan
cerita-cerita tentang orang-orang
besar. Termasuk pula kisah-kisah
kesaktian dua tokoh yang baru saja hadir itu.
"Salam hormatku, Panembahan
Kusumo.... Panembahan Dongdongka,"
hatur Bagaspati cepat-cepat. Dia menjura takzim dalam-dalam. Diikuti oieh para
punggawa yang cepat-cepat berlarian
mendekat. Sekarang, resmilah Satria
menjadi pusat kerumunan mereka! Anak itu sibuk celingak-celinguk menatapi para
punggawa Kerajaan Demak menjura.
* * * 4 Di pantai Ketawang, sekitar empat
puluh kilometer dari pantai yang terkena bencana badai raksasa beberapa waktu
lalu. Tepatnya di gubuk kecil
terbengkalai yang dimanfaatkan Ki Kusumo untuk merawat Nyai Cemarawangi.
"Tresnasari...," panggil Nyai Cemarawangi. Wanita itu masih terbaring lemah, tak
berdaya dirongrong
penyakitnya di atas balai bambu.
Tresnasari yang sedang berdiri
termenung di mulut jendela gubuk
menghadap laut segera mendekat.
Ditempatinya pinggiran balai. Duduk di sana.
"Kita sudah berusaha mengobati
penyakitku Ini, Cah Ayu. Banyak sudah tabib kita datangi, tapi hasilnya tak
memenuhi harapan kita. Bukannya ibundamu ini putus asa. Tapi untuk mendatangi
tabib lain rasanya aku sudah tak
sanggup...."
Tresnasari tepekur mendengarkan.
Hatinya masygul. Hatinya giris. Pilu dan prihatin. Kepalanya terus tertunduk
menatapi sisi balai. Sementara tangannya terus memijat-mijat lembut sarat kasih
pada ibunya. Nyai Cemarawangi melanjutkan,
"Karena itu, Nduk.... Tolong kau carikan tabib untukku. Satu-satunya harapanku
cuma pada seorang tabib sakti yang amat sulit ditemui."
"Sebutkan namanya, Nyai. Tresna siap mencarinya."
"Dia dijuluki Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Menurut banyak orang, tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya.


Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dahuiu dia dipercayai pihak istana
Kerajaan Majapahit karena keahliannya itu. Carilah dia. Mintalah pertolongan
padanya untuk mengobati sakit ibundamu ini, Nduk...," lanjut Nyai Cemarawangi
lirih. Bibir pucatnya bergetar seakan amat sulit untuk mengucapkan patah demi
patah kata. Tresnasari menatap sayu ibunya.
Dijemputnya tangan wanita itu. Terasa dingin. Lalu digenggamnya.
"Aku ingin sekaii memenuhi
permintaan Nyai. Tapi, bagaimana dengan Nyai sendiri" Kalau aku pergi, siapa
yang akan mengurus Nyai?"
Kepala Nyai Cemarawangi menggeieng
perlahan. "Cuma itu yang dapat kau lakukan, Nduk. Kalau kau tetap di sini, maka
penyakit ini cepat atau lambat akan
memakan tubuhku dari dalam. Aku akan mati karena tak diobati. Bukankah lebih
baik kita berusaha, ketimbang hanya pasrah menunggu nasib" ingat Nduk, kita ini
manusia. Niiai kehormatan manusia
tergantung dari apa yang diusahakannya.
Dari sana Tuhan menilai hamba-Nya...."
Tak terasa air mata Tresnasari
bergulir jatuh mendengar seluruh ucapan ibundanya.
"Doakan aku agar dapat menemukan tabib itu, Nyai," katanya akhirnya.
Mulai saat Iitu, dia merasa harus
memasrahkan keadaan ibu tercintanya pada Sang Penguasa Alam Semesta, sementara
dia mencari Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Orang tua sakti ahli pengobatan yang
sesungguhnya sudah ditemuinya beberapa waktu lalu.
* * * Malam makin pekat. Merayap, waktu
mendekati dinihari. Dingin menjenuh di segenap penjuru. Hanya mengandalkan
sinar bulan sabit pucat, orang-orang di tempat bermalam pasukan Demak berdiri di
tempat masing-masing.
Seusai semua prajurit menghaturkan
jura pada dua orang sesepuh yang
dihormati oleh kalangan keraton
Majapahit sebelumnya dan juga oleh
kalangan dunia persilatan, salah seorang dari mereka mendekat kepada Manggala
Bagaspati. Didahului oleh juraan, dia berkata berbisik pada atasannya itu.
"Sena Bagaspati, anak itu adaiah salah seorang yang menolong saya dari kejaran
orang-orang Dirgasura...."
Prajurit itu adalah orang yang
ditolong Satria, Tresnasari dan
Cemarawangi di perbatasan hutan
Ketawang-Jogoboyo beberapa hari lalu.
Ketika keadaan memanas dengan kemunculan Dirgasura yang mengetahui anak buahnya
telah mampus di tangan seorang bocah
perempuan tanggung, prajurit itu dengan diam-diam melarikan diri. Maksud
sebenarnya tidaklah sepengecut itu. Dia hanya memanfaatkan kesempatan untuk bisa
segera melaporkan seluruh drama
pembantaian pasukan Demak oleh
gerombolan Dirgasura.
Karena itu, ketika Ki Kusumo membawa
Cemarawangi dan Satria bersama
Tresnasari ke gubuk terbengkalai di tepi pantai Ketawang, prajurit yang penuh
luka-luka itu sudah tak ada lagi di
tempatnya. Atas laporannya pula, beberapa hari
kemudian turun titah langsung dari Raden Patah, penguasa Demak yang berhasil
menjatuhkan Majapahit untuk
melaksanakan penumpasan terhadap
gerombolan keji Laskar Lawa Merah.
Sebagai salah seorang punggawa yang
banyak tahu keadaan hutan perbatasan
Ketawang-Jogoboyo, prajurit itu memohon untuk disertakan kembali dalam pasukan
di bawah pimpinan Bagaspati.
Bagaspati mengikuti arah lirikan
anak buah yang membisikinya. Tertuju
pada Satria. "Jadi, bocah ini yang kau laporkan waktu itu?" tanya Bagaspati, ingin meyakinkan
diri. "Benar, Sena (gelar untuk kepala pasukan}," sahut si prajurit cepat.
"Kenapa baru kau laporkan
sekarang?"
"Saya baru mengenalinya," ucap si prajurit. Sebelumnya, dia memang
bertugas jaga di sebelah barat daya
tempat bermalam. Cukup jauh dari tempat Satria.
Bagaspati mengangguk-angguk.
Hatinya kembali berbicara sendiri. Ah, lagi-lagi anak ini. Malam ini, kenapa
setiap orang tiba-tiba seperti menaruh perhatian amat besar pada bocah ini"
Terdengar deheman Ki Kusumo. Bagaspati sadar, dia telah agak lancang membiarkan
dua tamu kehormatannya.
"Maaf, Panembahan Kusumo,
Panembahan Dongdongka. Sebenarnya apa tujuan kaiian berdua ke tempat kami?"
mulai Bagaspati Iagi.
"Aku ingin membawa bocah ini,"
sergah Ki Kusumo dan Dongdongka
berbarengan. Keduanya lalu saling
pandang. Ki Kusumo yang lebih memiliki rasa hormat dalam terhadap sesepuh tanah
Jawa Dongdongka, segera merundukkan
badan. Kedua telapak tangannya
dipertemukan di depan hidung. "Apa saya tak salah dengar. Apakah Panembahan
ingin membawa bocah ini juga?" tanyanya merendah. Sikap yang diperlihatkan tanpa
kepura-puraan sebetik pun.
"Kau sendiri, kudengar ingin
membawa anak ini" Ada perlu apa?" balik tanya Dongdongka. Dengan bambu
kuningnya, diketuk-ketuknya ubun-ubun Satria. Anak itu sampai meringis-rlngis
kesakitan. Ki Kusumo ragu sejenak. ingin
diutarakannya langsung maksudnya
membawa Satria untuk mengangkatnya
menjadi murid. Pertimbangannya, kaiau dia harus mengatakan hal itu di depan si
bocah, apa tidak mungkin dia malah jadi besar kepala" Sebelumnya saja dia sudah
susah payah membujuk. Apalagi kalau
sampai bocah agak gendeng itu tahu dia ngotot mengekorinya terus. Lain
pertimbangan, tak bertatakrama rasanya kalau menunda jawaban atas pertanyaan
seorang sesepuh.
"Saya hendak mengangkatnya menjadi murid, Panembahan...," aku Ki Kusumo
akhirnya. Dongdongka tergelak-gelak. Ki Kusumo mengernyitkan kening. Apa
ucapannya ada yang keliru" Tanyanya
bingung membatin.
"Asal kau tahu, aku sendiri
sebenarnya datang ke sini karena ingin membawa bocah Ini untuk kujadikan
muridku!" seru Dongdongka di antara gelak tersendatnya.
Ki Kusumo makin mengernyitkan
kening. Kacau, pikirnya. Biar bagaimana, tak mungkin dia memperebutkan Satria
terhadap orang macam Dongdongka. Di
samping tak hormat, juga tak pantas.
"Jadi bagaimana, Kusumo" Apa aku harus meminta izin padamu dulu untuk
mengangkat dia menjadi murid?" tanya Dongdongka. Tangan isengnya lagi-lagi
mengetuk-ngetuk ubun-ubun Satria dengan batang bambu kuning. Satria
meringis-ringis.
Ki Kusumo untuk kesekian kalinya
menjura. Rasa segannya terlampau besar.
Benar-benar dihormatinya keberadaan
seorang Dongdongka. Bagi Ki Kusumo,
orang tua itu jauh lebih tinggi
derajatnya dari seorang resi. Serta jauh lebih mandraguna dari seorang mahapatih
sekalipun. "Tentu saja tidak Panembahan."
"Jadi kau membiarkan aku begitu saja membawa anak ini" Bukankah kau pun
sebenarnya berminat sekali?"
"Benar Panembahan. Tapi, saya
yakin. Anak ini membutuhkan gembelengan terbaik dari orang yang terbaik. Orang
itu adalah Panembahan sendiri..."
Dongdongka tertawa Iagi. Malu hati
pula dia menerima segenap pujian Ki
Kusumo. Hanya karena tak tahu cara
menutupinya, akhirnya dia cuma bisa
tertawa. "Terima kasih Kusumo. Kau lebih
bijak dari seorang resi!" balas puji Dongdongka. "Tapi, aku tak ingin
mengecewakan keinginan besarmu terhadap anak ini. Bagaimana kalau kita buat
perjanjian?"
"Perjanjian?"
"Ya. Setiap enam purnama, kita
berganti menurunkan kepandaian kita pada anak ini. Bagaimana?"
"Usul yang baik, Panembahan...."
Dongdongka mengangguk-angguk puas. Ki Kusumo tak begitu yakin. Sebab, sudah
cukup tahu siapa Satria. Masalahnya,
apakah anak itu kini sudah berminat untuk diangkat menjadi murid"
"Bagaimana dengan kau sendiri,
Bocah?" lempar Dongdongka pada Satria.
Yang dikhawatirkan Ki Kusumo
terjadi. Dengan wajah asam, Satria
menjawab, "Aku tidak mau." Dongdongka mendelik. Tidak bisa dipercaya! Ki
Kusumo memejamkan mata. Mau geii tak
mungkin. Mau kesal tak pada tempatnya.
Mau tak mau, dia cuma bisa memejamkan mata.
Sisa orang di sana, termasuk
Bagaspati melongo hebat. Kegendengan apa lagi yang hendak dipamerkan bocah ini"
"Kau gendeng"!" hardik Dongdongka.
"Masa dengan dia kau menerima ajaran jurus-jurusnya, sedangkan aku kau tolak
mentah-mentah?" omelnya seraya menunjuk prajurit yang belum lama menurunkan
sembilan jurus dasar keprajuritan pada Satria. Wajah prajurit itu langsung
terbakar. Dia sungguh tak enak hati
terhadap sang sesepuh. Tak enak hati, setengah mati!
"Itu persoalan lain, Kakek Gundul."
"Memang lain. Jelas lain! Kalau kau menjadi muridku, kau akan mendapat olah
kanuragan tingkat tinggi. Bukan sekadar jurus-jurus sederhana."
Kepala Satria menggeleng-geleng.
"Bukan itu. Kakang itu mengajariku dan aku menerimanya. Kenapa?"
"Kenapa kau tanya aku?" sewot
Dongdongka. "Karena aku menghargai sikap
persahabatannya."
"Lalu kenapa denganku, heh?"
"Kau... ah, nanti kau marah."
"Katakan saja, Cah Gendeng!"
"Kau menawariku menjadi muridmu
dengan sikap angkuh."
"Gendeng-gendeng-gendeng! Kau
biiang aku angkuh"! Memedi dari mana yang membisikkan ke kupingmu kalau aku ini
angkuh?" "Buktinya kau sekarang marah-
marah." "Memangnya tidak boleh?"
"Kalau kau berniat tulus,
semestinya kau tak perlu memaksakan
orang lain untuk menjadi muridmu. Kalau kau tak memaksa, kau tak perlu
marah-marah. Tapi karena kau memaksa, maka kau jadi marah-marah. Kau
marah-marah karena kau merasa harga
dirimu disembarangi. Kau menganggap, tak seorang pun pantas menyembarangimu,
bukan" Lalu apa lagi namanya itu, kalau bukan angkuh?"
Mata Dongdongka makin mendelik.
Mendelik. Dan mendelik. Tak terasa
sedikit pun kerut di kelopaknya. Dia
ingin mengomel lagi. Tapi, kalimat
panjang-pendek terakhir bocah di
depannya membuat dia mati kutu. Mulutnya terkunci. Biarpun dadanya
gedebak-gedebuk menahan masygul
kelewatan. "Sudah, lebih baik aku pergi saja.
Dari pada kalian terus meributkan aku".
Putus Satria santai.
Kakinya terus beranjak. Anak itu
ngeloyor pergi begitu saja. Kemana" Cuma dia yang tau. Siapa yang bisa melarang"
Tidak ada. Tak juga Ki Kusumo. Tak juga Dongdongka. itulah hebatnya!
* * * 5 PAGI menjelang slang. Kembali pada
Tresnasari. Entah ke mana gadis ayu
tanggung itu hendak mencari tabib yang dimaksud ibundanya. Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Namanya saja baru sekali itu didengar. Bagaimana pula dia tahu
orangnya" Satu-satunya jalan keluar, dia harus mencaritahu lebih dahulu
sebanyak-banyaknya tentang Tabib Sakti Pulau Dedemit. Harus ada orang yang bisa
dimintai keterangan. Sayang, sampai
sekarang Tresnasari pun tak tahu hendak bertanya pada siapa.
Galau, Pilu, Nelangsa, Berbaur
terus rasa-rasa itu dalam dirinya
sepanjang perjalanan. Tak kunjung
mengering kelopak bawah matanya dari air mata. Kemurungan seakan mendung yang
terus mengurung dalam musim hujan
panjang. Gadis tanggung itu terlihat
berjalan menuju utara. Di tengah
perjalanan, dia mendengar suara
gemeretak suara semak kering terinjak.
Dihentikannya langkah. Tegang. Matanya melirik siaga ke arah datangnya suara.
Tempat tersebut terlalu rimbun. Sukar menentukan apakah di baliknya ada
seorang pengintai. Atau sekadar seekor binatang.
Tresnasari tak ingin terlalu ambil
resiko. Setiap saat kemungkinan bertemu kembali dengan orang-orang Laskar Lawa
Merah bisa saja terjadi. Sebaliknya,
terlalu dini untuk memastikan apakah dia terancam bahaya atau tidak.
Maka, Tresnasari memutuskan untuk
membuat satu tipuan kecil. Dia
berpura-pura melanjutkan langkah.
Ditujunya dua buah pohon sebesar pelukan tiga orang dewasa yang tumbuh
bersisian. Ketika melewati sepasang pohon besar
itu, cepat-cepat dia membuat langkah
cepat. Geraknya seolah hendak melarikan diri. Padahal dia cuma bersembunyi di
balik dua pohon besar itu.
Dari sela-sela sempit antara dua
pohon tadi, si gadis ayu berjiwa ksatria mengawasi arah yang baru saja
dilaluinya. Belum ada tanda-tanda.


Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semak-semak tempat terdengarnya suara ranting semak patah tetap bisu. Tetap
tiada geming. Kecurigaan merangas Iagi.
Jangan-jangan, pengintainya adalah
seorang berkepandaian kanuragan cukup tinggi hingga dapat bergerak lebih cepat
dari Tresnasari.
Ketegangan makin menanjak naik.
Tresnasari mulai gelisah. Kepalanya
menoleh waswas ke belakang. Ke samping kiri. Juga kanan. Sama saja. Tetap tak
ada tanda-tanda adanya bahaya akan
menanduknya tiba-tiba. Sampai akhirnya telinga gadis tanggung itu mendengar
Iagi suara dari arah semak-semak.
Sekarang makin jelas kalau suara itu
berasal dari langkah kaki seseorang.
Tegang. Tresnasari beringsut ke
sisi pohon, tempat yang leluasa untuk melakukan serangan pembuka. Diremasnya
kepalan tangannya. Menyipit pula
sepasang kelopak mata bulat indahnya.
Jika nanti dia melihat sedikit saja sosok seorang keluar dari rimbun semak-
semak, akan langsung diterjangnya dengan
tendangan terbang.
Srk! Seseorang keluar.
"Haaiiih!"
Tendangan terbang Tresnasari
merangsak. Bugh! Orang yang baru hendak muncul dari
balik semak urung keluar. Tubuhnya
terlempar kembali ke rerimbunan.
Menghasilkan suara bergemerisik riuh.
"Siapa kau"!" seru Tresnasari gagah. Telah berdiri dia dengan
kuda-kudanya. Tangannya mengepal di
depan dada. Sahutan pertanyaan barusan cuma
keluhan. Menyusul bunyi gemerisik
perlahan. Setelah itu, muncul lambat sebentuk kepala yang sudah tak asing lag!
bagi mata Tresnasari.
"Kambing buduk...."
"Kenapa kau menyerangku seperti
itu"!" maki Satria. Bibirnya tak lekang dari ringisan. Anak itu berjalan keluar
sambil memegangi dada kurusnya yang
terhajar telak kaki kanan Tresnasari
barusan. "Kau sendiri, kenapa
mengintai-intai seperti itu"!" balas Tresnasari jauh iebih sengit. Jauh lebih
galak. "Aku tidak mengintai. Kebetulan aku lewat daerah ini. Kulihat kau melintas.
Lalu aku menyusulmu. Kupikir kau perlu bantuan," runtun Satria sambil
menjatuhkan tubuh ke rumput kering.
Dadanya masih sesak. Berdiri rasanya
terlalu menyiksa. Benar-benar mujarab tendangan Tresnasari.
"Ah, kau terlalu besar perasaan.
Mana pernah aku membutuhkan
pertolonganmu!"
Tresnasari melangkah. Ditinggalkan
nya Satria. Wajahnya manyun berat.
"Hei, tunggu!" Satria bangkit.
Tertunduk-tunduk menahan sesak, dia lari menyusul.
"Jangan mengikutiku!" bentak Tresnasari. Diacungkannya sepasang
kepalan tangan ke depan. Naga-naganya, dia hendak mengancam Satria. Kalau bocah
berambut kemerahan itu mau ngotot
mengikuti, silakan telan kepalannya.
Mungkin begitu maksudnya.
Satria kontan mengerem langkah.
"Apa-apaan kau ini"! Aku cuma ingin tahu bagaimana kabar Nyai Cemarawangi...."
"Dia bukan nyaimu."
"Aku tahu, tahu!"
"Kalau begitu, cepat minggat! Aku atau ibuku tak sudi lagi berurusan dengan
kambing buduk macam kau!"
Kambing buduk" Kalau dihitung
hitung dari awal, tentu sebutan itu telah keluar dari bibir Tresnasari lebih
dari hitungan satu purnama. Kalau bentuknya seperti sepotong tahu, tentu sudah
jadi sekeranjang. Lama-lama, Satria merasa jengkei juga disebut terus seperti
itu. Kesabaran seseorang ada batasnya, bukan"
"Hei, jangan coba kau sebut-sebut aku kambing buduk lagi!" ancam bocah itu.
Sekaii ini mukanya benar-benar merah.
Benar-benar tersinggung dia.
Tersinggung sampai ke ujung jempol kaki yang paling ujung!
"Kalau aku tidak mau, apa kau akan menghajarku" Heh, bisa apa kambing buduk
macam kau!" sembur Tresnasari, tak peduli. Padahai dia sempat juga merasa
bergidik menatap sinar mata Satria yang begitu mendebarkan. Rasanya ada
kelebatan sinar kuat yang langsung
menerkam ke jantungnya.
"Kau sebut lagi aku kambing buduk!"
"Ya. Apa kau tuli, Kambing Buduk!"
Satria memperlihatkan barisan
giginya. Dia geram. Tapi siapa nyana"
Pasalnya, wajahnya itu jadi lebih mirip orang sakit sawan.
"Kau mau menghajarku" Ayo hajar!
Ayo!" tantang Tresnasari.
Satria tak sabar Iagi. Jangan
mentang-mentang aku tak pandai berkelahi lantas seenaknya dia mengolok-olok,
geramnya membatin. Tapi, dia masih
sanggup menahan diri untuk tidak
menyerang. Tresnasari tak puas hanya
memaki-maki habis Satria. Didekatinya anak itu. Ditepaknya kening Satria.
"Ayo, katanya kau mau
menghajarku"!" tantang Trenasari, makin menjadi.
Tamparan di kening Satria mendarat
sekali Iagi. Sekali Iagi.
Bures sudah kesabaran Satria.
Sekarang dijamin benar-benar sudah
bures. Maka....
"Heaaa!"
Satu sentakan tangan cepat
dibuatnya. Awal jurus kelima yang pernah didapatnya dari prajurit Demak.
Tresnasari terkejut. Tak mengira
kalau si kambing buduk bisa melakukan serangan juga. Untung dia masih sigap.
Sambil memutar tangan cepat ke samping, dipapakinya serangan gusar Satria.
Dakh!! Lantas, jarinya menjapit cepat
pergelangan tangan bocah Itu. Satu
tarikan ke dalam dilakukan. Tubuh Satria mau tak mau terdorong ke depan. Saat
itulah dengkul Tresnasari masuk ke perut Satria. Bocah itu merunduk. Ulu hatinya
terasa ambrol. Tak cukup sampai di situ, kaki Tresnasari menyilang di belakang
tubuh goyah Satria. Dibuatnya satu
hentakan tangan di tubuh Satria.
Hentakan kecil saja. Dalam keseimbangan yang terlalu goyah, hentakan kecil itu
cukup mendorong deras Satria ke
belakang. Kakinya pun terganjal kaki
Tresnasari yang memalang di belakang tubuhnya.
Bruk! Satria terjungkal.
"Huh, cuma sebegitu saja! Sudah
kubilang, mana bisa kambing buduk
berkelahi".
Satria bangkit terseok.
Kemarahannya makin membengkak. Sebesar raja bisul masih mending, ini mungkin
sudah lebih bengkak dari kerbau bengkak.
Sambil mendengus-dengus, dia
memasang kuda-kuda. "Baik, kalau itu yang kau mau," katanya
terseret. "Sekarang, kau boleh serang aku!"
tantangnya. Tak jauh dari tempat keributan, dua
sosok tua bangka sedang asyik menonton dari rerimbunan dua pohon tua yang
sebelumnya dimana tempat Tresnasari untuk bersembunyi. Mereka duduk
uncang-uncang kaki jauh di dahan paling atas. Tempat yang paling aman agar tidak
diketahui dua bocah berbeda kelamin di bawah sana.
Mereka adalah Dongdongka dan Ki
Kusumo. "Kusumo, kutantang kau bertaruh.
Menurutmu, siapa di antara mereka yang akan memenangkan perkelahian?" bisik
Dongdongka. Ki Kusumo tersenyum. Ada-ada saja si
sesepuh ini, bisik hatinya. "Bagaimana menurutmu sendiri, Panembahan
Dongdongka?"
"Aku pegang si bocah gendeng kurang ajar itu."
"Sebenarnya aku pun ingin memegang anak itu. Tapi...."
"Tapi aku telah memegangnya bukan?"
"Kalau ,begitu...."
"Kaiau begitu, kau pegang bocah
perempuan ayu itu. Siapa yang kalah
taruhan harus menggendong selama satu harian penuh. Bagaimana?"
Ki Kusumo terkekeh hati-hati,
khawatir terdengar dua bocah yang sedang
'panas-panasan' di bawah.
"Hailt!"
Tresnasari tak mau merentangkan
waktu lebih lama lagi. Dilepasnya satu sapuan kaki setengah putaran tubuh. Sisi
kakinya mengancam kepala Satria. Sekali ini, dia keliru menilai bocah berambut
kemerahan. Dikiranya Satria tetap mudah diperdayakan dengan serangan langsung
seperti itu. Tiba-tiba Satria menjatuhkan
tubuhnya cepat. Amat cepat, tepat ketika Tresnasari mengangkat satu kakinya ke
atas. Kecepatan itu dimungkinkan karena Satria sudah benar-benar siap menghadapi
setiap saat arah serangan gadis
tanggung. Di atas tanah, kaki Satria menyapu
cepat, setengah putaran ke arah berbeda dengan sapuan kaki Tresnasari yang
menebas tempat kosong di atasnya.
Dsh! Tresnasari baru menyadari
kesalahannya ketika kaki Satria sudah telanjur membabat sebelah kakinya yang
berpijak di tanah. Keterlambatan itu tak begitu parah bagi Tresnasari. Dia masih
sempat mempergunakan otot perut untuk bersalto sekali ke belakang.
Sayang, mata Satria yang dasarnya
jeli dapat membaca gerak Tresnasari.
Belum sempat Tresnasari menjejakkan
kaki, bocah tanggung kurus itu sudah
bergulingan di tanah, menyusul tubuh
Tresnasari. Manakaia Tresnasari hendak
menjejakkan kaki, Satria sudah terlebih dahulu menyambutnya dengan sodoran cukup
keras telapak kaki kanannya.
Begh! Tak ayal Iagi, Tresnasari yang belum
cukup siap menerima serangan terhantam kaki lawan kurusnya di bagian perut.
Tresnasari tersurut mundur. Hampir
saja dia jatuh. Hanya karena pertahanan kakinya sudah begitu terlatih,
menyebabkan dia hanya terhuyung
sebentar. Matanya membeliak besar, tak percaya sama sekali kalau sekarang si
kambing buduk bisa meloloskan satu
tendangan telak ke perutnya!
Jurus-jurus sederhana dari seorang
prajurit Demak yang berhasil diolah otak cerdasnya menjadi serangkaian serangan
cerdik, baru saja dipertunjukkan Satria.
Itulah salah satu bakat si bocah kurus yang ditangkap dengan jeli oleh Ki Kusumo
maupun Dongdongka.
Padahal, jurus-jurus seperti Itu
biasanya mesti dipelajari tiga-empat
pekan agar bisa matang oleh anak sebaya Satria.
Satria bangkit. Dia memasang
kuda-kudanya lagi. Matanya menghujam dalam warna merah ke arah Tresnasari.
"Apakah kau masih penasaran untuk melanjutkan?" tantang Satria, garang.
Tresnasari ragu sejenak. Saat
berikutnya, kemarahannya terungkit naik lagi. Sebelum serangan gusarnya menyerbu
Satria, bocah kurus berambut kemerahan itu berteriak.
"Cukup, Tresna!" sentak Satria cepat. Baru sekali itu tercetus keluar panggilan
'Tresna' dari mulutnya. Dan itu sungguh berpengaruh pada si gadis yang sedang
kalap. Seolah panggilan itu mengingatkannya pada orang-orang yang dekat dengan
dirinya. Seperti cara Nyai Cemarawangi memanggilnya.
Tresnasari mengurungkan niat untuk
menyerang. "Aku minta maaf," hatur Satria.
Suaranya merendah, mencoba mendinginkan kemarahan Tresnasari. Biar bagaimana,
Satria menyadari tak ada gunanya
melanjutkan keributan itu. Semuanya cuma pepesan kosong. Lagi pula, dia tak akan
sudi sekali lagi menyakiti Tresnasari.
Tepatnya tak tega. Kalau tadi dia
akhirnya melakukan kekerasan, semata
karena kegusarannya sudah tak
terkendali. Satria cuma khilaf.
"Maukah kau memaafkan aku, Tresna.
Terus terang, tadi aku khilaf...," hatur Satria Iagi. Suaranya makin melandai.
Terus turun bagai memelas.
Sisi kelembutan seorang wanita di
diri Tresnasari akhirnya mampu
mengalahkan segala rusuh, segenap
kemarahan yang berontak di sisi lain.
Kalimat bernada terus melandai Satria, telah berhasil membuka sisi kelembutan
Tresnasari. "Sebenarnya, kenapa kita mesti
berkelahi seperti ini" Apakah aku
membencimu" Kurasa tidak. Atau karena aku pernah punya salah padamu?" lanjut
Satria. Tresnasari tak kuat menghadapi
tatapan mata Satria. Sebelumnya mata itu demikian sangar dibakar kemarahan. Kini
sejuk sama sekali. Bahkan rasa sejuk itu bisa dirasakan Tresnasari hingga ke
bilik hatinya. Kepala gadis ayu tanggung itu merunduk dalam.
"Sudahlah. Bagaimana kalau kita
lupakan semua itu?"
Tresnasari tak menjawab usulan
Satria. "Bagaimana kalau kita berkenalan dari awal kembali?" tawar Satria sekali lagi.
Perlahan, dia mendekati


Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tresnasari. "Aku belum puas kalau belum membalas tendanganmu tadi!" sergah Tresnasari.
Nadanya terdengar merajuk.
Satria menghela napas. "Kalau
begitu, silakan kau hajar aku." Lantas lebih didekatinya Tresnasari. Sampai
jaraknya tinggal satu lengan.
"Kau boleh menghajarku di mana pun kau suka," kata Satria pasrah, namun
terdengar mantap. "Tapi, kumohon dengan amat sangat, jangan kau hajar bagian
dadaku lagi ya...," tambahnya meringis seperti bocah tolol, seraya
memperlihatkah memar biru akibat
tendangan keras Tresnasari sebelumnya.
Lalu, Tresnasari pun tertawa
tertahan. * * * "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!"
perangah Satria. Baru saja dia selesai mendengar penuturan Tresnasari yang
menceritakan kalau ibunya meminta dia menemui Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Setelah beberapa saat berlalu dari
suasana panas di antara mereka
sebelumnya, keduanya sudah tampak
berjalan beriringan. Akrab adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan
jalinan hubungan baru yang mereka simpul kembali bersama. Walaupun Tresnasari
masih agak sungkan-sungkan. Kecuali
Satria. Dia acuh saja.
Usai sudah segala kegusaran. Tak ada
dendam. Karena begitulah dunia mereka.
Dunia nan polos.
"Jadi kau pernah mendengar nama itu, Satria?"
"Sebentar aku ingat-ingat dulu."
Belum Iagi cukup waktu untuk disebut
'sebentar', mulut Satria sudah berbicara lagi. "lya, aku ingat sekarang!"
"Siapa orang itu, Satria!" pekik Tresnasari kegirangan.
"Aku pernah bertemu dengan seorang kakek jelek berjenggot. Dia
menyebut-nyebut Ki Kusumo dengan julukan itu!"
Tresnasari terdiam. Matanya
menatapi wajah bocah tanggung di
depannya. "Maksudmu, Ki Kusumo yang dulu menolong kita dari tangan lelaki
bernama Dirgasura itu?" tanyanya dengan alis hampir bertaut.
"Betul!" Satria berjingkat.
"Jadi selama ini, Pak Tua Kusumo telah menutup-nutupi siapa dirinya
sebenamya?"
"Betul lagi!" Berjingkat-jingkat lagi dia.
"Tapi, kenapa dia tak langsung
mengobati Nyai ketika di gubuk tepi
pantai Ketawang?" tanya Tresnasari.
Nadanya seperti bergumam, seperti
bertanya ragu pada diri sendiri.
"Yang itu, aku tak tahu." Satria tidak bisa berjingkat-jingkat lagi.
Wajahnya muram. Secepatnya pula berubah cerah kembali.
"Tapi, kita bisa segera mencari tahu kenapa Pak Tua begitu, Tresna!"
sentaknya. "Bagaimana maksudmu?" Satria mengangkat jarinya. Sebelah matanya
mengerdip, memberi isyarat pada
Tresnasari untuk memperhatikan.
"Oiiii, Pak Tua Kusumo! Tolonglah keluar segera!"
Buat Tresnasari, itu bukanlah
jawaban yang tepat untuk pertanyaannya barusan. Sebaliknya, perbuatan Satria
dianggapnya tak punya alasan sama
sekali. Sama sekali tak masuk akal. Tentu saja dia beranggapan begitu.
Seandainya dia tahu alasan sesungguhnya Satria,
kebingungan Itu tak akan terjadi.
"Aku tahu kau terus mengikutiku Pak Tua! Jadi, keluarlah!"
Sepi. Tak ada seorang pun
menampakkan diri.
Satria dongkol. Dia yakin Ki Kusumo
masih mengekorinya. Seperti
sebelum-sebelumnya.
Tresnasari sendiri makin
merengut-rengut tak mengerti.
Satria tak kehilangan akal.
"Kalau kau tak Ingin keluar, sumpah mati disambar kambing mabok aku tak akan
sudi menjadi muridmu!!!"
Cukup dengan satu kalimat terakhir
itu, orang yang dimaksud Satria akhirnya menampakkan diri juga. Dari balik batu
besar yang bertengger di tanah meninggi, Ki Kusumo melompat amat ringan. Dia
berdiri di depan kedua bocah tanggung tadl.
"He-he-he, apa kabar, Pak Tua
Kusumo?" sambut Satria, merasa menang.
"Ada apa sebenarnya sampai kau
berteriak-teriak setengah gendeng
seperti itu" Kau tahu, aku tidak tuli, Cah Bagus?" ucap Ki Kusumo.
Satria tak buru-buru menjawab.
Diliriknya Tresnasari, Karena bocah
perempuan itulah yang punya urusan besar dengan Ki Kusumo.
"Pak Tua, apakah kau tabib yang
berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?"
tanya Tresnasari.
"Ya."
"Kenapa selama ini kau tak mencoba menyembuhkan penyakit ibuku" Bukankah sewaktu
di gubuk itu kau sudah tahu ibuku membutuhkan pengobatan?"
Ki Kusumo terdiam sebentar. Sulit
untuk mengutarakan alasan sebenarnya.
Jika diungkap, tentu akan membuat hati gadis tanggung itu akan terluka.
Bagaimana menjelaskan pada seseorang
kalau ibu tercintanya tak mungkin
disembuhkan" Bahwa Ibu tercintanya itu akan segera menemui ajal dalam beberapa
waktu Iagi"
"Karena kau atau ibumu tak meminta,"
jawab Ki Kusumo, menyembunyikan alasan sesungguhnya.
"Kalau begitu, sekarang aku
memintamu dengan amat sangat. Tolonglah kau sembuhkan ibuku...," pinta
Tresnasari memelas.
Ki Kusumo iba. Trenyuh juga jiwa
tuanya. Tidak sepantasnya dia membiarkan seorang gadis ranum yang baru mekar
menjadi sedih. Harus ada yang
menghiburnya, pikir orang tua ahli
obat-obatan dan pengobatan itu.
"Baiklah," putus KI Kusumo.
"Tapi...." Dipenggalnya kalimat lanjutan. Diliriknya Satria. Satu
rencana yang telah lama dipikirkan dalam benaknya pun harus bisa dimulai hari
ini, tekadnya lagi dalam hati.
"Tapi apa, Ki?" desak Tresnasari.
"Tapi, aku punya syarat. Bocah itu harus bersedia menjadi muridku!" tandas Ki
Kusumo seraya melempar isyarat kepada Satria dengan gerak wajahnya.
Satria dibuat gusar dengan
keputusan Ki Kusumo.
"Kenapa kau begitu licik, Pak Tua?"
sungutnya. "Menolong sesama itu
kewajibanmu. Kenapa kau harus berpamrih untuk melakukan tindakan mulia..."
Ki Kusumo tak mau lagi dikalahkan
oleh si bocah berambut kemerahan. Hari ini, dia harus menerima penuh
kesepakatan dari Satria untuk menjadi muridnya. Kalau tidak, dia tidak bisa
yakin lagi memiliki rencana yang cukup baik dari itu.
"Baik. Aku tidak akan meminta kau menjadi muridku. Tapi, kuminta kau untuk
membantuku menyembuhkan ibu Cah Ayu ini.
Kau bilang menolong sesama adalah
pekerjaan mulia bukan?" lanjut Ki Kusumo, meneruskan rencananya untuk
menundukkan si bocah.
"Apa yang bisa kuperbuat?"
"Mudah saja...," tukas Ki Kusumo dengan sebaris senyum samar kemenangan.
Satria, si bocah penuh bakat, cerdik, keras dan agak gendeng, kini nyaris
berada dalam genggamannya!
* * * Pulau Dedemit. Pulau terpencil. Terletak di
sekitar Samudera Hindia berombak besar.
Pada saat-saat tertentu atau musim-musim angin tertentu, ombak di sekitar
wilayah itu bisa menjelma menjadi tangan-tangan raksasa mengerikan.
Pulau kecil yang sebenarnya cuma
tersusun dari bukit-bukit karang tanpa kehidupan. Di mana-mana cuma ada karang.
Tempat bersarangnya ratusan ribu
burung-burung manyar.
Tepat dari Tanjung Karangbolong,
Pulau Dedemit samar-samar terlihat.
Siang itu, Ki Kusumo berdiri bersama
Satria ditepi pantai
Tanjung Karangbolong. Tepatnya di ubun-ubun
karang tinggi yang setiap saat diterjang ombak Laut Seiatan, menit demi menit,
tanpa henti. Keduanya memandang di
kejauhan. Pada bayangan samar yang
menyerupai dedernit yang tak lain Puiau Dedernit adanya.
Beberapa hari lalu, mereka baru saja
hijrah ke tempat tersebut. Nyai
Cemarawangi dibawa serta dengan pedati.
Di sana mereka mendirikan gubuk kecil, khusus untuk tempat Ki Kusumo merawat
Nyai Cemarawangi. Begitu kata Ki Kusumo pada Satria dan Tresnasari.
Ombak terpecah karena terbentur
karang di bawah Satria dan Ki Kusumo.
Semburannya menerkam ke segala arah.
Tubuh keduanya basah. Sekali-kali,
hantaman ombak yang sudah melemah
dihadang karang menjangkau kaki mereka.
Angin menderu-deru. Menyibak apa saja yang sanggup disibak.
"Kau lihat pulau itu, Satria?" mulai Ki Kusumo.
Satria mengangguk. Wajahnya tak
berubah. Matanya terus terhujam pekat ke arah bentuk menyeramkan di kejauhan
sana. "Di sana aku menyimpan seluruh
bahan-bahan ramuan yang kubutuhkan untuk menyembuhkan Nyai Cemarawangi. Aku
yakin kau memiliki jiwa ksatria. Itu artinya, kau memiliki keberanian luar
biasa. Tak mudah dikalahkan oleh ancaman. Kau tentu tak takut mengarungi ombak
besar itu bukan?" "Apa maksudmu, Pak Tua?" Satria
menoleh sejenak pada lelaki tua di
sebelahnya. "Untuk menolong wanita itu,
terpaksa aku memintamu membantuku...,"
sambung Ki Kusumo. Dia tahu dirinya kini sedang berdusta pada seorang bocah
lugu, polos tanpa dosa. Tapi jika niatnya untuk satu hal yang baik, tak mengapa.
Toh nilai segala tindakan ditentukan dari niat awal, pikirnya.
"Katakan saja, Pak Tua. Apa pun yang kau pinta, aku sudah siap
melaksanakannya. Aku merasa harus
membantu Nyai Cemarawangi yang baik
semampuku!" sela Satria, mengisi kekosongan kalimat Ki Kusumo.
"Kuminta kau untuk mengambil
bahan-bahan obat-obatanku di sana. Untuk itu, kau harus berenang menembus ombak
Laut Selatan. Kau sanggup?"
"Sanggup, Pak Tua!" tandas Satria, tak ragu. Tiada kegentaran dalam nada
suaranya. "Tapi, kenapa tidak
mempergunakan perahu saja. Pak Tua?"
"Tidak mungkin. Pulau Dedemit itu sebenarnya hanya puncak gunung karang dasar
laut yang menjorok ke permukaan.
Kalau kau mempergunakan perahu, maka
ombak setiap saat bisa menumbukkannya ketepi karang. Perahu akan hancur. Jadi,
semuanya tergantung dari kemampuanmu
berenang daiam ombak besar...."
Satria terdiam sejenak.
Membayangkan semua perkataan Ki Kusumo, dia jadi tahu tugasnya bukan tugas
enteng. Ini menyangkut nyawa
satu-satunya. Salah perhitungan sedikit saja, dia akan mati. Tapi, Satria tak
ingin jadi gentar dengan membayangkan terus.
"Aku sanggup, Pak Tua.... Sanggup!"
putus Satria, bulat.
"Bagus. Mulai besok, kau harus mulai ke sana!"
* * * Sehari terlewati.
Tiba waktunya bagi Satria untuk
menjalankan tugas berat yang dibebankan padanya. Selama Ki Kusumo merawat dan
mengobati Nyai Cemarawangi, maka bocah berhati baja itu yang akan berenang
pulang-balik dari pantai Tanjung
Karangbolong ke Pulau Dedemit untuk
mengambii segala keperluan Ki Kusumo.
Ombak besar memburu ke pantai.
Susul-menyusul ketepian, sampai
akhirnya surut kelelahan di batas pasir yang tak bisa lagi didaki.
Satria berdiri, menatapi riuh
gelombang. Di kejauhan, gulungan
gulungan ombak begitu mengerikan. Tapi, tak sedikit pun menitipkan kengerian itu
ke dalam diri Satria. Tekadnya seolah sudah mengeras bagai waja murni. Di
antara tarian angker ombak Laut Selatan, berdiri menjulang pulau kecil yang
samar. Ke sana dia hendak menuju. Berenang mempertaruhkan nyawa.
Jarak yang mesti ditempuh Satria pun
bukan jarak yang pendek. Seorang ahli renang seperti pencari mutiara alam,
setidaknya membutuhkan waktu seperempat hari berenang untuk sampai ke sana.
Ditambah tantangan sang ombak, dan
ancaman karang-karang tajam di sepanjang tepian Pulau Dedemit, lengkap sudah
beratnya tugas yang diemban bocah yang besar di tepi pantai itu.
Mulai saat ini, kemampuan renangnya, ketahanan tubuhnya, dan
kekuatan hatinya yang pernah
mendarah-daging sebagai seorang anak
tepi pantai akan diuji.
Apa pun yang terjadi, dia tetap akan
maju. Mundur, tak pernah terpikir.
Tatapan lurus padat tekad di pancar
mata anak itu disudahi dengan beberapa tarikan napas panjang. Matanya terpejam
sebentar. Dia hendak memanjatkan doa
daiam hati, memohon kekuatan dari
Pemilik Dirinya.
"Kau sudah siap, Satria?" tanya Ki Kusumo di belakangnya.
Bocah itu mengangguk tanpa menoleh.


Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika kau tiba di Pulau Dedemit, naiklah dari sisi tenggara. Kau harus mendaki
karang paling tinggi di sebelah itu. Jika tiba di puncaknya, kau akan menemukan
goa besar tak terlalu dalam. Di dinding goa itu, aku menyimpan semua bahan-bahan
obat-obatanku. Ambillah
satu tabung bambu berwarna hitam pada barisan paling kiri," tutur Ki Kusumo
panjang lebar. "Itu saja, Pak Tua?" Satria menoleh.
"Ya. itu saja!"
Satria menarik napas dalam-dalam,
memadatkan rongga paru-parunya dengan udara. Lalu dia pun memulai melangkah
menuju ombak. Sikapnya gagah menantang tantangan. Namun tak pernah tampak
angkuh. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
tertelan ombak.
Ki Kusumo melepasnya dengan
pandangan bangga.
* * * 6 DUA tahun berlalu. Selama itu, dalam
tiga kali sepekan Satria selalu
merenangi Lautan Selatan yang terkenal ganas. Pada awal-awalnya, dia banyak
menemui kesulitan. Dengan susah-payah dan tenaga terkuras, dia baru berhasii
tiba di Pulau Dedemit selama setengah hari penuh.
Menjelang tiba di tepian pulau
karang itu, sempat dia diombang kian
kemari. Dalam keadaan yang demikian
payah, amat sulit baginya untuk
menghindari diri dari ancaman
karang-karang tajam yang mencuat bagai gigi-gerigi hantu. Hanya dengan
mengerahkan seluruh sisa tenaganya dia sanggup untuk menyelamatkan diri. Itu pun
masih dengan luka-luka memanjang di beberapa bagian tubuhnya akibat tergores
karang. Keletihan luar biasa, rasa pedih
karena luka yang basah oleh air laut, belum cukup untuk Satria. Untuk bisa
mendapatkan pesanan yang diminta Ki
Kusumo, dia harus pula mendaki gunung karang terjal, licin, dan tajam.
Tanpa kenal kata putus asa, bocah
berhati baja itu meneruskan usahanya.
Didakinya gunung karang. Baru beberapa tombak saja dia mendaki, ujung
jari-jemari tangannya sudah berdarah
tersayat gigir karang.
Tak ada kata menyerah. Satria
meneruskan. Dia bertekad, lebih baik
mati dalam perjuangan mulia, ketimbang harus mundur kembali!
Menjelang tiba di puncak, seluruh
jaringan ototnya sudah bagai mati rasa.
Sendi-sendinya sudah teramat suiit
digerakkan. Matanya pun
berkunang-kunang. Sampai akhirnya, daya tahan tubuh anak itu tak bisa Iagi
membendung seluruh keletihan teramat
sangat. Di bibir goa, dia jatuh pingsan.
Satria sadar kembali setengah hari
setelah dia tak sadarkan diri. Merasa telah melalaikan tugas yang diembannya,
Satria bergegas masuk ke dalam goa tanpa mempedulikan betapa seluruh tubuhnya
dirundung iinu, sakit dan nyeri
menyiksa. Di sana, diambilnya tabung bambu
berwarna hitam yang diminta Ki Kusumo.
Setelah itu, harus diulangnya kembaii perjuangan hidup-mati yang telah
dilakukan sebelumnya. Menuruni gunung karang, dan menyeberangi Laut Selatan!
Selama itu, Ki Kusumo selalu
memberinya ramuan-ramuan khusus. Setiap hari Satria harus meminumnya. Setelah
meminum ramuan tersebut, tubuh si bocah perkasa terasa segar kembali. Rasa
letihnya perlahan hilang dan Iinu
beratnya tersingkirkan. Untuk
menyembuhkan luka-lukanya, Ki Kusumo
membalurkan pula ramuan tertentu di
tubuh anak itu.
Beberapa hari berikutnya, Satria
masih merasakan perjuangan terlampau
berat. Seminggu, dua minggu. Sebulan, dua bulan. Minggu-minggu dan bulan-bulan
berikutnya, dia mulai terbiasa dengan semua itu.
Bulan ketiga, dia sudah berhasil
menembus kelemahan dirinya sendiri. Saat tiba dibibir goa, bocah itu tak Iagi
kehilangan kesadaran.
Bulan kelima, si anak berjiwa satria
sejati sudah dapat menyeberangi Laut
Selatan hanya dengan memakan waktu
sepertiga hari. Dan dapat mendaki bukit karang lebih cepat dari sebelumnya.
Minggu demi minggu melesat tak
terasa. Demikian pula bulan demi bulan.
Pada bulan-bulan berikutnya, Satria
sudah mampu merenangi Laut Selatan
segagah seekor singa laut. Dia bahkan dapat mendahului perahu-perahu nelayan
yang kebetulan berpapasan dengannya.
Jarak antara Tanjung Karangbolong dengan Pulau Dedemit sudah bisa ditempuhnya
hanya dalam jangka waktu kurang dari
seperlima hari!
Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 3 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Dendam Empu Bharada 22
^