Pencarian

Dendam Empu Bharada 22

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 22


"Bohong !" tiba2 lelaki yang lebih muda dari lelaki berkumis lebat, melantang hardikan.
Wijaya sejenak mengalih pandang kepada orang itu. Seorang lelaki yang bertubuh kekar, lebih
muda usia dan berkumis pis. Cepat ia merangkai kesan bahwa kedua orang itu layaknya tentu
kaum prajurit. Walaupun saat itu mereka mengenakan pakaian biasa tetapi daklah mengurangkan
sikap, ucap dan ngkah seper prajurit "Ki sanak, memang mudah untuk menuduh. Tetapi apakah
dasar dan alasan yang engkau lambarkan pada tuduhanmu itu?"
"Wajah dan sikapmu, bukan seorang pemuda biasa "
"O" seru Wijaya mulai mengendap ketegangannya "memang benar. Se ap kali aku harus
mengalami kesulitan bahkan terkadang petaka, hanya karena wajahku ini. Orang mengira aku
putera priagung atau orang berpangkat. Betapa senang ha ku apabila hal itu memang benar.
Tetapi nyatanya aku tak lebih dan tak kurang hanya anak dari gunung belaka. Jangan menilai
peribadi seseorang dari wajah, ki sanak. Banyak terdapat wajah2 bagus tetapi ha nya berduri.
Kebalikannya, wajah2 jelek itu belum tentu kalau hati budinya juga ikut buruk .... "
"Bicaramu, pengupasanmu tentang sesuatu hal, makin membuk kan bahwa engkau bukan
pemuda sembarangan" tukas lelaki berkumis pis "engkau memiliki kecerdasan dan pengetahuan
yang tinggi " "Ya, kalau engkau anggap begitu, terserah" sahut Wijaya "Tetapi salahkah jika seseorang memiliki
kecerdasan dan pengetahuan itu" "
"Ya" sahut lelaki itu "karena engkau berada di sini "
"Mengapa?" Wijaya terbeliak. Namun diam2 ia sudah merangkai isi hati orang.
"Engkau tahu di sini tempat apa?" Wijaya gelengkan kepala.
"Hm, ini asrama rombongan dari Daha. Engkau tentu sengaja hendak mencari sisik melik,
menyelidiki tempat ini "
"Jangan menuduh semena-mena, ki sanak "
"Pertama, engkau orang Singasari. Engkau akui atau tidak kalau engkau seorang ksatrya,
tetapi yang jelas engkau tentu bukan pemuda sembarangan. Kedua, pada waktu sepagi ini
engkau seorang diri berkeliaran di lingkungan tempat ini. Ketiga, jika engkau benar2 hendak ke
desa di luar pura, tidak seharusnya mengambil jalan ini. Ini jalan buntu, bukan jalan yang menuju
ke lain daerah. Dengan tiga hal itu, jelas engkau tentu seorang mata-mata, paling tidak tentu
mempunyai maksud tertentu "
"Hm, benar" seru lelaki berkumis lebat "jika engkau mengaku sejujurnya, akan kubawa engkau ke
hadapan ki demang Bango Dolog. Tetapi kalau engkau berbohong, terpaksa kami akan
menindakmu dengan kekerasan "
Wijaya agak terkejut dalam ha . Ia seper pernah mendengar tentang nama demang Bango
Dolog sebagai salah seorang dari perwira prajurit Daha yang sak . Ingin ia menyerahkan diri agar
dibawa ke hadapan Bango Dolog dan menyelidiki apa rencana mereka. Tetapi pada lain kilas, ia
memperhitungkan bahwa besok, sayembara sudah dimulai. Apabila ia terlibat dalam kesukaran
dengan orang2 Daha itu, bukankah ia akan terhalang ikut dalam sayembara itu. Pada hal ia sudah
memberikan janjinya kepada tumenggung Bandupoyo.
"Maaf, ki sanak" akhirnya ia memberi alasan penolakan "aku akan melanjutkan perjalanan "
Tiba2 prajurit berkumis lebat itu tertawa "Ha, ha, dak semudah engkau datang tadi jika engkau
hendak pergi dari sini, ki sanak "
"O" seru Wijaya terkejut "adakah ki sanak hendak mempersulit diriku " "
"Ha, ha" lelaki berkumis lebat itu tertawa "engkau sendiri yang mencari kesulitan dan sekarang
engkau mendapatkannya. Mengapa engkau terkejut dan gelisah" "
Wijaya menghela napas dalam ha . Maksud kedatangannya yang pokok yalah untuk mengetahui
bagaimana keadaan para penghuni asrama itu. Apabila terjadi apa2 dengan mereka, ia bersiap
hendak memberi-tahu tentang sumur di belakang asrama. Tetapi kini ia malah terlibat dalam
kesulitan dengan kedua lelaki yang diduga tentu prajurit rombongan demang Bango Dolog.
Wijaya tak mau terlibat dalam kesulitan lagi. Diam-diam ia memutuskan untuk lolos. Tetapi ia
terkejut ketika melihat kedua lelaki itu sudah bergerak mengepungnya dari muka dan belakang.
"Apakah engkau tak mau menyerah?" rupanya mereka masih memberi kesempatan.
"Aku tak mengerti untuk apa aku harus menyerahkan diri. Aku tak merasa bersalah kepada kalian
" "Hm, engkau memang keras kepala" ba2 lelaki berkumis lebat yang berada di sebelah muka
terus ulurkan tangan hendak mencengkeram dada Wijaya.
Wijaya tak terkejut karena dia sudah menduga hal itu. Diapun tahu bahwa di belakangnya telah
siap lelaki berkumis pis. Apabila dia menyurut mundur, tentulah orang yang di belakang itu akan
menerkamnya. Ia tak mau terlibat terlalu lama di tempat itu. Ia harus mengakhiri cepat-cepat keadaan yang
dihadapinya maka diapun menggunakan siasat. Ia pura-pura gugup dan ketakutan lalu mundur.
Lelaki berkumis lebat itu maju selangkah untuk mengejarkan cengkeramannya. Hal itu sudah
diperhitungkan Wijaya. Diapun tahu bahwa kalau ia mundur selangkah lagi, orang di belakang
tentu akan menerkamnya. Ia melaksanakan siasatnya. Ia mundur lagi dan pada saat orang berkumis lebat maju pula,
dengan gerak yang tak terduga-duga, ia beringsut langkah ke samping dan serempak berputar
tubuh, ia gerakkan kedua tangannya untuk menebas lengan kedua orang itu.
"Uh" kedua lelaki itu terkejut ke ka tangan mereka terpukul ke bawah sehingga tubuh pun ikut
condong menelungkup. Sebelum sempat menegakkan diri, tengkuk mereka telah ditepis sekeras-
kerasnya. Hanya desuh mulut menahan kesakitan yang terdengar sejenak dan setelah itu mereka
berduapun roboh tak sadarkan diri.
Setelah memeriksa bahwa kedua orang itu hanya pingsan tetapi jiwanya tak berbahaya, barulah
Wijaya bergegas nggalkan tempat itu. Ia tak mau masuk ke-dalam pura, melainkan menuju ke
tempat ia menambatkan kuda hitam.
Kuda Hitam itu menyambut kedatangannya dengan meringkik bingar, seolah gembira.
Beberapa saat Wijaya mengelus-elus kepala kuda itu, kemudian dia menaikinya. Entah ke
mana. ia harus menuju. Hanya keinginannya ia hendak mencari tempat yang sepi untuk
beristirahat, mengheningkan pikiran, memulangkan semangat dan menghimpun tenaga.
Wijaya membiarkan dirinya dibawa kuda hitam itu. Entah ke mana cukup ia telah membisiki
telinga kuda akan keinginannya mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat.
Kuda hitam itu mendaki puncak gunung, melintas-hutan dan akhirnya menuju kesebuah
lembah dan beberapa saat kemudian berhenti disebuah tempat. Sejenak mengeliarkan
pandang, Wijaya lalu turun dan ayunkan langkah menuju ke sebuah gunduk karang. Di situ
tumbuh sebatang pohon randu alas yang tinggi dan rindang.
Wijaya duduk beristirahat di bawah pohon itu.
~dewikz~ismoyo~mch~ II Terik surya pagi yang makin menyengat, tak dihiraukan oleh beribu-ribu rakyat yang berdesak-
desak disekeliling alun-alun keraton Singasari. Tepat dimuka pendapa agung keraton, telah
dibangun sebuah bangsal besar yang dihias dengan aneka warna rumbai2, umbul2 dan tak
ketinggalan pula warnasari hiasan janur dalam bentuk berbagai corak dan ragam.
Seni hias di kerajaan Singasari memang mengagumkan. Janur dapat dibentak dalam berbagai
corak, sesuai dengan keperluan yang diinginkan. Demikian pula dengan daun lontar dan daun
brahmastana, selalu tak ketinggalan dalam setiap perayaan dan upacara.
Tepat di muka bangsal, diluangkan sebuah tanah lapang yang cukup luas. Empat penjuru
dipagar dengan tonggak2 bambu,dan dihias dengan panji2 dan umbul2. Setiap satu tombak,
dijaga oleh seorang prajurit bersenjata tombak.
Rakyat tegak berjajar-jajar, desak mendesak untuk mencari tempat peluang pandang. Hanya di
muka bangsal itu diluangkan sebuah jalan, rakyat dilarang berjajar disitu.
Hari itu balah saat yang dinan -nan oleh seluruh rakyat Singasari. Sayembara memilih
senopa dan mencari prajurit. Bukan melainkan hampir seluruh kawula kerajaan, pun bahkan dari
berbagai daerah luar pura, telah berbondong-bondong datang ke pura Singasari untuk
menyaksikan sayembara itu.
Sejak berpuluh tahun baginda Kertanagara memegang tampuk kerajaan, memang pura Singasari
sering mengalami kesibukan2 yang luar biasa. Penobatan baginda Kertanagara sebagai raja
menggan kan ayahandanya baginda Wisnuwardhana. Penerimaan beberapa utusan dari
mancanagara, termasuk utusan dari kerajaan Cina. Pemberangkatan pasukan Singasari ke tanah
Malayu atau yang disebut pasukan Pamalayu dan lain2.
Tetapi kesemuanya itu hanya bersifat suatu upacara, sekalipun upacara kenegaraan yang
diselenggarakan secara besar-besaran. Jarang seper kali ini, sayembara memilih senopa .
Tentulah acara2 yang akan terjadi dalam suasana sayembara itu, jauh bedanya dengan segala tata
upacara penobatan dan penerimaan utusan.
Sayembara pilih senopa mempunyai daya tarik besar dan mengandung ar tersendiri dalam
ha para kawula. Sejak pengiriman pasukan Pamalayu, memang terasa suatu kekosongan
kepemimpinan dalam hal pertahanan dan keamanan. Sebagian rakyat merasa cemas melihat dua
kenyataan, Singasari kosong sedang Daha membangun pasukan. Dan hampir seluruh kawula
merasakan pula gangguan2 keamanan di beberapa daerah.
Tetapi mereka hanya kawula kecil. Merasakan tetapi tak dapat berdaya apa2. Jalan yang
dapat mereka tempuh hanyalah membentuk kelompok ronda keamanan dalam lingkungan
tempat tinggal masing2. Rasa tak percaya akan kesanggupan pimpinan keamanan pura, makin
membesar dan meluas. Sayembara pilih senopa merupakan angin segar dalam kecamuk suasana yang mendung. Para
kawula mendambakan seorang senopa yang gagah dan cakap memimpin keamanan, mampu
mengembalikan kewibawaan kekuatan negara Singasari. Karena itulah mereka berbondong-
bondong bak lebah dionggok sarangnya, menuju ke alun-alun tempat sayembara itu akan
diselenggarakan. Rakyat ingin menyaksikan bagaimana wajah, peribadi dan kegagahan calon senopa harapannya
itu. Hari itu pekan sepi, jalan2 pun senyap. Pura Singasari seolah sedang menghadapi suatu
upacara besar-besaran, sebobot dengan penobatan raja.
Pada kursi yang berderat-deret di lapisan bawah dari bangsal agung itu, duduk para nayaka yang
berpangkat, buyut, demang dan para tanda. Sedang deretan kedua diisi mentri2 berpangkat
tumenggung, adipa , akuwu, wadana dan para juru. Lapisan
an yang ke ga, duduk para rakryan
ripakirakiran yani pa h Kebo Anengah, pa h Aragani, demung Mapanji Wipaksa, rakryan
Kanuruhan Mapanji Anurida. Ke ga mentri Katrini yani rakryan mentri Ino, mentri Sirikan dan
mentri Alu tak tampak hadir. Demikian pula baginda.
Rakyat mencurah pandang kearah para mentri, senopa dan narapraja kerajaan Singasari.
Kesempatan seper itu memang jarang terjadi. Suasana dalam tanah lapang dan bangsal agung itu
tampak bergemuruh seper lebah keluar dari sarang. Tak hen -hen nya para kawula berbisik-bisik
memperbincangkan se ap mentri, senopa yang hadir di bangsal agung itu. Mereka menilai nilai.
Buruk atau baiknya setiap gusti mentri dan senopati, tergantung dari selera masing2.
Tiba2 terdengar bende berdentum-dentum. Serentak siraplah suasana yang hiruk itu. Seorang
pengacara, segera berseru lantang "Para gus putera puteri seri baginda yang mulia, berkenan
hadir untuk menyaksikan sayembara "
Serombongan prajurit bhayangkara berjalan dengan langkah yang tegap di muka sebuah iring-
iringan para inang dan para dayang keraton yang mengiring ga buah tandu. Tandu pertama
berhen dan bersoraklah segenap rakyat ke ka dari dalam tandu itu muncul beberapa puteri.
Kemudian tandu kedua dan sekali lagi gegap gempita sorak sorai para kawula ke ka menyaksikan
pangeran Ardaraja dan permaisurinya turun. Puncak kedahsyatan sorak yang seolah-olah
menggetarkan bumi alun-alun Singasari yang luas itu adalah ke ka dari tandu ke ga muncul puteri
baginda yang paling termasyhur, yani sang dyah ayu puteri Teribuana dan sang dyah ayu puteri
Gayatri. "Dirgahayu, puteri Teribuana, surya kencana kerajaan Singasari"
"Dirgahayu puteri Gayatri, mustika keraton Singasari! "
Demikian sorak sorai menggelegar sedahsyat gunung roboh, sambutan para rakyat Singasari
menjelang atas kehadiran kedua puteri yang cantik jelita itu. Memang puteri Teribuana dan
puteri Gayatri amat termasyhur dan mendapat tempat dihati para kawula pura Singasari. Bukan
melainkan karena kecantikannya yang gilang-gemilang, pun karena rakyat menghormati kedua
puteri yang agung dan luhur budi itu.
Para prajurit penjaga keamanan tak kuasa lagi mencegah desikan rakyat yang maju ke tengah
gelanggang hanya karena hendak menghaturkan sembah ke hadapan kedua puteri yang duduk di
deretan teratas dari bangsal agung itu. Suasana hampir tak dapat ter-kendalikan lagi. Hiruk pikuk
memekakkan telinga. Puteri Teribuana dan Gayatri membalas hormat para kawula dengan melambaikan tangannya
yang halus, disertai dengan senyum dikulum yang penuh keharuan. Hanya pangeran Ardaraja yang
diam seper patung. Walaupun wajahnya tetap tenang tetapi dalam ha pangeran itu mbul
gejolak yang menggetarkan ha sanubarinya. Saat itu ia baru menyadari betapa kasih dan hormat
para kawula terhadap kedua puteri baginda. Dan diam2 pangeran itupun merasakan suatu kesan.
Kesan yang menebar kesadarannya, bahwa kedudukannya di Singasari lain dengan di Daha. Di
Daha, ia seorang putera mahkota yang dielu-elu para kawula dengan tumpuan harap dan
kepercayaan agar kelak ia akan menjadi penggan raja di Daha yang akan membawa kerajaan Daha
kearah kejayaan dan kebesaran. Tetapi di Singasari, dia tak lebih dan tak kurang hanya seorang
putera menantu baginda. Dengan sikap dan tumpahan hormat para kawula yang melimpah ruah kepada kedua puteri
Teribuana dan Gayatri itu, ia mendapat kesan bahwa segenap kawula Singasari tetap setya
mengharapkan kedua puteri baginda itu kelak yang akan memegang tampuk mahligai kerajaan
Singasari. Tetapi pangeran Ardaraja tak dapat melanjutkan pengembaraan lamunan hatinya karena saat itu
terdengarlah bende meraung-raung bagaikan canang panggilan perang. Dan seke ka suasana yang
hiruk pikuk itupun terobek berkeping-keping, berhamburan ditelan laut keheningan yang sirap.
Rakyat dahulu mendahului mencari tempat di kedua samping gelanggang.
Memang bende itu canang tanda akan dimulaikannya upacara yang mendahului acara2
sayembara. Seke ka suasana sunyi menyerap seluruh perha an rakyat dan para mentri, senopa
yang berada di bangsal agung.
Setelah bende berhen maka tampillah tumenggung Wirakre dalam kedudukannya yang
sekarang yani sebagai mentri Angabaya.
Tumenggung Wirakre tegak di hadapan bangsal, memberi hormat secara keprajuritan kepada
para hadirin agung, kemudian membacakan sebuah pengumuman dari daun lontar.
Berbahagialah, segala kemuliaan bagi Syiwa. Pada hari ini bulan Kartika tithi lima cuklapaksa, hari
Sukra pancawarna, ke ka bintang berkedudukan di selatan, dalam perumahan-bulan Puspa,
berlindung dibawah dewata Jiwa, maka turunlah tah, seri Maha-raja, seri Lokawijaya, penguasa
bumi dan yang menjadi pujian, yang ada tara dalam keberanian sebagai pahlawan yang mulia dan
yang telah bertegak nama rajabhiseka Kertanagara. Dan tah itu ditampung ke ga rakryan Katrini
kemudian turun kepada rakryan Paratanda bagi pelbagai urusan, yaitu rakryan pa h Kebo
Anengah. Isi titah: Untuk melaksanakan tah Seri Maharaja dalam menyusun dan memperkokoh ketahanan dan
pertahanan, keamanan dan pengamanan bagi seluruh bumi kerajaan Singasari yang besar dan jaya,
maka diserukan kepada seluruh ksatrya, muda-muda serta seluruh kawula yang ingin membak kan
pengabdiannya kepada kerajaan untuk ikut serta dalam sayembara keprajuritan, untuk memilih
calon2 prajurit, tamtama, perwira dan senopa penindih perang yang akan diserahi panji2
kewibawaan pasukan kerajaan Singasari yang jaya .... Demikian segala tah seri Maharaja yang
mulia telah dilaksanakan dengan penuh kepatuhan dan kesetyaan oleh rakryan pa h kerajaan
Singasari dengan menghaturkan laporan bahwa segala sesuatu persiapan sayembara itu telah
selesai pada saatnya. Semoga Hyang Batara Agung melimpahkan perlindungan berkah yang ada
taranya! Sorak sorai dan tepuk tangan menggelegar bagai gunung roboh menyambut kata pembukaan
yang diucapkan oleh tumenggung Wirakreti itu.
Seusai tumenggung Wirakre turun dari bangsal persada maka tampillah demang Widura yang
bertindak sebagai pa- ujar atau pengacara.
Dipilihnya demang itu sebagal pengacara memang tepat. Orangnya gagah perkasa, suaranya
seperti geledek dan nadanya tandas tegas.
Setelah mempersembahkan hormat kebahagiaan kepada para priagung, kemudian
menghaturkan selamat datang kepada ksatrya2 yang akan ikut dalam lomba keprajuritan nan
maka demang itupun mengumumkan tentang acara yang akan dipertandingkan dalam sayembara.
Menurut demang Widura, acara sayembara itu terdiri dari lima macam lomba yang amat
menarik. Pada garis besarnya dibagi dalam ga bidang yani ilmu ketangkasan keprajuritan,
kesaktian dan kecerdasan.
Mengenai susunan lomba sayembara maka berkatalah demang Widura "Pertama,
ketangkasan naik kuda dan bertanding dengan lawan dengan menggunakan tombak kayu.
Barangsiapa yang tertusuk jatuh dari kuda, dia kalah. Kedua, adu ketangkasan memanah.
Ketiga, menguji kekuatan dengan merentang busur pusaka. Keempat, adu ilmu kanuragan dan
kelima, ujian kecerdasan. "
Tepuk sorak menyambut pengumuman itu, seolah menggetarkan alun-alun Singasari. Rakyat
amat bersu-kacita akan menyaksikan suatu lomba sayembara yang amat menarik.
"Tidak mudah memikul tanggung jawab sebagai seorang senopa palaga. Selain harus memiliki
kegagahan yang perkasa, pun dituntut pula kecerdasan yang nggi untuk meliputkan kewibawaan
dan kekuasaannya pada anak pasukan. Itulah sebabnya maka lomba yang akan dilaksanakan terdiri
dari beberapa macam" kata demang Widura pula dengan lantang.
Kembali bumi alun2 Singasari bergetar-getar digempa oleh sorak sorai yang meluap-luap dari
segenap rakyat. Jelas bahwa para kawula Singasari memang benar2 merindukan seorang senopa
yang gagah dan berwibawa serta dapat menjadi pengayoman bagi keselamatan para kawula.
Diam2 pangeran Ardaraja membayang kesan, membanding-bandingkan semangat rakyat Daha
dengan kawula Singasari. Gairah dan gelora semangat mereka memang tak banyak berbeda. Tetapi
ia dapat menyelami suatu penghayatan lain. Bahwa gelora semangat rakyat Daha itu bernada
kebangkitan akan kejayaan negara Daha. Sedang semangat kawula Singasari itu hanya bernapas
suatu keinginan dan harapan akan keselamatan dan keamanan negara belaka. Tipis hampir garis
perbedaan antara kedua sifat itu, namun tetap terdapat suatu warna pemisahan yang tajam.
Demang Widura segera menutup pengumuman dengan suatu pernyataan bahwa acara pertama
lomba sayembara itu dimulai.
Alun-alun Singasari seper menjadi lautan manusia ke ka rakyat berjajar-jajar disepanjang tepi
yang telah dipagari dengan tonggak2.
Ternyata yang ikut dalam lomba sayembara itu cukup banyak. Tak kurang dari duapuluh
ksatrya muda yang siap diatas pelana kuda. Agar menyingkat waktu, maka keduapuluh orang
itupun dibagi menjadi dua kelompok, masing2 terdiri dari sepuluh penunggang kuda. Kelompok
kesatu ditempatkan di sudut barat alun-alun, kelompok kedua ditempatkan di sudut timur.
Setelah bende dipalu maka berderaplah keduapuluh ekor kuda itu membawa tuannya menuju ke
tengah alun-alun. Setiap penunggang kuda membawa sebatang tombak kayu.
Rakyat bersorak riuh rendah ke ka kesepuluh pasang penunggang kuda itu memperlihatkan
kemahiran naik kuda dan serang menyerang dengan lawan. Cepat sekali dalam waktu yang singkat,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa penunggang kuda telah terjungkal jatuh dari kuda karena terhunjam tombak lawan.
Setiap robohnya seorang ksatrya dari kudanya, selalu diiringi oleh sorak sorai yang
bergemuruh dari sekalian penonton. Suasana di tengah gelanggang benar2 menyerupai sebuah
medan laga dimana rombongan pasukan berkuda sedang bertempur dengan dahsyat.
"Hm, tidak mudah menjadi senopati" seru seorang penonton kepada kawan disebelahnya.
"Hm, sedang jadi prajurit saja susah, apalagi senopati" gumam kawannya.
"Huh, mengapa susah " Asal berbadan sehat, kekar dan berani berperang, tentu dapat diterima
menjadi prajurit. Bukankah prajurit itu ngkat yang paling kerucuk sendiri?" kata orang yang buka
suara pertama tadi. "Hm, jangan memandang ringan se ap pekerjaan, kakang Jalak" kata kawan itu pula "orangpun
akan mengatakan bahwa pekerjaanmu sebagai pandai besi itu amat mudah. Asal orang mempunyai
tenaga kuat, tentu dapat mengerjakannya. Tetapi nyatanya dak semua orang dapat menjadi
pandai-besi. Demikian pula diantara sekian banyak pandai-besi, hasil pekerjaanmulah yang paling
digemari orang " "Itu memang" jawab orang yang disebut Jalak "karena pandai-besi bukan sekedar hanya
bertenaga kuat pun juga harus tahu waktu dan cara besi yang membara itu harus ditempa. Dan
tahu pula akan selera seni karya "
"Apakah dak demikian dengan prajurit" "sanggah kawannya " dak sembarang orang dapat dan
mampu menjadi prajurit. Karena prajurit itu terikat pada sumpah prajurit yang berat"
"Apakah sumpahnya" "
"Setya membela negara dan rakyat. Setya pada tugas dan pimpinan. Jujur dan dapat dipercaya.
Memegang teguh tata ter b keprajuritan. Berani menghadapi segala kesukaran dan lain2. Apa jika
sudah dapat berbaris, berperang dan mengenakan pakaian keprajuritan, lalu jadilah dia seorang
prajurit" Tidak, kakang. Kesemuanya itu hanya tata-cara peraturan. Semisal yang engkau katakan
dengan seni karya dalam bidang pandai- besi, demikian pula prajuritpun harus memiliki jiwa
keprajuritan yang sejati "
"Uh" desuh Jalak "begitu sukar kiranya menjadi prajurit itu "
"Memang" kata kawannya pula" segala bidang pekerjaan, apabila dilakukan sesuai dengan
seni atau jiwa pekerjaan itu, memang sukar. Tetapi hasilnya pasti merupakan pilihan, misalnya
prajurit pilihan, pandai besi pilihan .... "
Tiba2 kata2 orang itu ditelan oleh tepuk sorak yang bergemuruh ke ka di gelanggang tampak
beberapa penunggang kuda terjungkal rubuh. Ada seorang penunggang kuda yang cepat memikat
perha an sekalian rakyat. Kudanya berbulu hitam mulus, tegar dan tangkas. Penunggangnya
seorang ksatrya muda yang bercahaya wajahnya. Cara dia menjatuhkan lawanpun menarik hati.
Penunggang kuda hitam itu dak memakai tombak kayu seper yang lain. Dalam menghadapi
terjangan lawan, dia selalu menggunakan cara menghindar dalam bermacam-macam gaya.
Mengendapkan tubuh lekat2 pada pelana, menggelincir ke samping perut kuda, merebahkan diri ke
belakang lalu dengan gerak yang tak terduga-duga menyambar tombak lawan atau kaki lawan,
kemudian didorongnya jatuh. Masih ada pula sesuatu yang memikat ha para penonton. Kuda
hitam itu seolah-olah menger akan kehendak tuannya. Tanpa diperintah tuannya, kuda itu
melonjak keatas, loncat ke muka, berputar-putar dan lain2 gerak untuk menghindar dari serangan
tombak lawan. Sorak sorai seluruh penonton tertumpah pada ksatrya dengan kuda hitam itu.
Cepat sekali hati segenap penonton tercurah kepada ksatrya muda itu.
Saat itu hanya tinggal empat penunggang kuda yang masih berada di tengah gelanggang.
Ksatrya berkuda hitam bertanding lawan seorang ksatrya Bali yang naik kuda merah. Sedang
seorang ksatrya bertubuh ramping dengan berkuda bulu putih, lawan seorang pemuda tak
memakai baju, naik kuda dawuk tanpa pelana.
Setelah berulang kali ksatrya Bali itu tak berhasil menusuk ksatrya berkuda hitam, ia menggeram
dan lemparkan tombak kayu "Ksatrya muda, akan kulawanmu dengan tangan kosong juga"
Pertempuran adu pukulan diatas kuda, harus (kayaknya ada kata2 terputus)
"Apakah ksatrya berkuda hitam itu bukan raden Wijaya, kakang Nambi?" dari deretan penonton
di sebelah barat, diantara kerumun manusia terdengar seorang lelaki bertubuh padat berkata
kepada kawan di sebelahnya.
"Ya" orang yang dipanggil Nambi itu meng-iakan "memang raden Wijaya "
"Jika begitu, kita harus meloloskan diri dan bergabung dengan raden "
Nambi mengiakan pula "Kita harus memberitahukan kepada ketiga kawan kita. Dimanakah
mereka " " "Agar tak menarik perha an orang bawahan pangeran Ardaraja, mereka berpencar. Tetapi kita
berjanji akan bertemu di gapura barat setelah pertandingan selesai "
"Akupun mengua rkan hal itu" kata Nambi "sepulang dari menghadiri pertandingan ini pangeran
tentu akan mendapat laporan tentang lolos kita dari tempat kediamannya "
"Apakah tak ada kemungkinan pangeran akan menitahkan orangnya untuk menangkap kita " "
"Memang kemungkinan itu dapat saja terjadi. Oleh karena itu kita harus berhati-hati "
Kawan bicara Nambi itu adalah Lembu Sora. Setelah mendengar bahwa pangeran Ardaraja
menghadiri pembukaan sayembara, ia dan Nambi segera lolos dari asrama lingkungan keraton,
tempat kediaman pangeran. Ardaraja. Medang Dangdi, Jangkung dan Podangpun mengiku jejak
mereka Mereka telah bersepakat, agar jangan diketahui orang2 sebawahan pangeran, mereka akan
menyaru sebagai rakyat biasa, berpencar memisah diri dan akan bertemu di luar gapura barat.
"Sora" bisik Nambi "rupanya ksatrya yang menjadi lawan raden itu tangkas dan perkasa sekali "
"Ya. Rasanya dia dari Bali. Menilik ulahnya dia tentu seorang perwira prajurit yang hebat "
"Menurut penilaianmu, dapatkah raden mengatasi ksatrya itu ?"
"Sukar dikata" sahut Sora "menurut penilaian, ilmu bertempur di atas kuda dari ksatrya Bali itu
lebih nggi. Tetapi kelebihan raden adalah pada Kuda Hitam itu. Andai bukan kuda itu, tentulah
raden sudah jatuh " "Hm" Nambi mendesuh. Diam2 ia sependapat dengan Sora. Kemudian dia bertanya "Siapakah
kedua ksatrya berkuda putih dan berkuda dawuk itu " "
"Secara kebetulan saja aku mendengar dari seorang penonton bahwa yang bertubuh kurus naik
kuda putih itu bernama Kuti ...."
"Kuti yang pangeran menitahkan kita untuk menyelidiki pada dua malam yang lalu itu" "
"Mungkin" "Dan lawannya" "
"Entahlah " "Bagaimana penilaianmu" "
"Hampir setanding tetapi ksatrya desa berkuda dawuk itu lebih unggul dalam ketangkasan
bermain tombak. Berulang kali Kuti terpaksa harus menghindar dari serangannya "
Terdengar pekik tertahan setengah jalan dari para penonton ke ka di gelanggang terjadi suatu
adegan yang mendebarkan. Karena beberapa waktu yang cukup lama belum juga berhasil
menerkam lawan, maka ksatrya Bali itu telah melakukan sebuah serangan yang menegangkan ha .
Tiba2 ia merapatkan kudanya dan terus ayunkan tubuh loncat menerkam Wijaya. Gerakan itu
dilakukan secara tak terduga- duga dan dengan kecepatan yang nggi sehingga Wijaya tak
mempunyai kesempatan untuk meloncatkan kudanya menghindar ke muka. Dia terpaksa
songsongkan kedua tangan untuk menyiak terkaman lawan.
Krakkkh .... Terdengar dua pasang tulang tangan beradu keras. Ksatrya Bali itu terdampar jatuh ke bawah
tetapi pada saat dia jatuh, dia sempat pula menyambar kaki Wijaya sehingga keduanya sama2
jatuh ke tanah. "Curang" teriak sekelompok rakyat yang berpihak kepada Wijaya. Mereka berhimpit-himpitan ke
muka ketika beberapa orang memaksa menyiak jalan hendak maju ke gelanggang.
"Hai, jangan mengacau!" teriak beberapa orang yang terhimpit dari belakang dan membentur
ang sehingga ang itu roboh. Dengan kasar prajurit, yang berjaga di tempat itu serentak
melintangkan tombak dan mendorong mereka mundur.
Dorong mendorong dan himpit menghimpit itu meningkat menjadi pukul memukul. Beberapa
orang yang memaksa untuk menyiak maju tadi telah dipukul oleh orang2. Timbul kericuhan.,
Untung prajurit penjaga dapat ber ndak tegas. Ia menyeret dua orang kedalam gelanggang lalu
dibawanya keluar. Sementara itu pertandingan antara Ku dengan ksatrya yang berkuda dawuk, juga mencapai
babak penyelesaian. Ku dapat ditusuk jatuh dari kudanya tetapi Ku membalas menusuk pantat
kuda dawuk. Kuda terkejut, loncat ke muka sehingga penunggangnya terlempar jatuh.
"Curang! Curang!" terdengar gemuruh teriakan penonton di seberang tepi. Kemudian
sekelompok orang berhasil menerjang maju kedalam gelanggang. Mereka hendak menghajar Ku
yang dianggap curang itu.
Beberapa prajurit penjaga terpaksa melakukan tindakan untuk mencegah mereka.
"Dia curang! Sudah jatuh masih memukul kuda lawan!" orang2 itu berteriak-teriak seraya
mengacungkan tinju. "Sudahlah, jangan ber ndak main hakim sendiri. Sudah ada petugas yang akan menilainya"
beberapa prajurit penjaga itu berusaha untuk menyabarkan kemarahan rakyat.
Bende berdentum-dentum, disusul dengan pengumuman bahwa lomba adu ketangkasan
bertempur di atas kuda telah selesai. Acara lomba berikutnya, adu ilmu memanah segera akan
dimulai. Masih kesan2 dalam lomba pertempuran diatas kuda itu menjadi bahan pembicaraan dikalangan
penonton. Dibalik dari suara2 yang cenderung mendukung Wijaya, terdapat pula kelompok yang
mengetengahkan ksatrya berkuda dawuk tadi. Bahkan terjadi perbantahan kecil yang meningkat
menjadi pertengkaran dan nyaris perkelahian diantara beberapa penonton yang saling ngotot
memuji jagonya dan mencela jago yang lain.
Sementara persiapan2 dari lomba kedua itu, pun telah selesai. Di sebelah barat, dipancang
sebuah tonggak dari kayu randu yang diukir seperti bentuk orang. Setelah bende bertalu dan
pengumuman terdengar maka berpuluh ksatrya menuju ke sebelah barat. Di situ telah siap
enam orang prajurit. Yang tiga membawa busur dan yang tiga membawa anakpanah. Para
ksatrya pengikut lomba panah itupun tegak berjajar jajar di hadapan kelompok prajurit itu.
Seorang lurah prajurit tampil, mempersilakan seorang pengikut untuk memulai. Ksatrya itu di
silakan memilih busur dan anakpanah. Setelah itu dia segera bersiap, tegak memasang anakpanah
dan merentang busur. Setelah membidikkan pandang mata dan mencurah perha an, ksatrya itu
melepaskan tali busur. Anakpanah meluncur cepat dan hinggap pada tubuh sasaran.
Terdengar tepuk sorak yang ramai, diseling dengan teriakan "Sayang, badannya yang kena! "
Kemudian ksatrya yang kedua, maju. Busur dilepas, disambut dengan sorak nyaring dari para
penonton "Kena dada! "
Demikian dilakukan berturut-turut oleh duapuluh ksatrya yang ikut lomba panah itu. Ternyata
jumlah pengikutnya lebih banyak dari yang ikut dalam lomba bertempur naik kuda tadi.
Jarak sasaran orang-orangan dengan yang memanah, cukup jauh, kira2 sepemanah jauhnya.
Namun hanya seorang dua orang yang gagal. Kebanyakan telah berhasil mengenai sasaran. Habis
sudah tubuh orang-orangan itu bertabur anakpanah. Namun sampai sebegitu jauh, belum ada
yang mampu mengenai tenggorokan sasaran itu. Padahal pemenang lomba panah itu, mereka yang
dapat memanah tepat tenggorokan sasaran.
Pertandingan dihen kan sebentar untuk menggan orang-orangan. Agar dapat diketahui jelas,
maka orang-orangan yang sudah penuh dengan anakpanah itu diganti dengan yang baru.
Penonton bersorak sorai ke ka melihat seorang pemanah yang mereka kenal sebagai ksatrya Bali
yang ikut dalam pertandingan naik kuda tadi, berhasil memanah mulut orang-orangan.
"Hebat benar orang Bali itu. Sayang kurang turun sedikit lagi" seru beberapa penonton.
Sorak sorai yang menurun sirap itu, mbul menggelegar lagi ke ka seorang ksatrya muda yang
dari dandanannya jelas bukan orang Majapahit, berhasil menyarangkan anakpanahnya ke dada
sasaran. "Sayang kurang naik sedikit" teriak rakyat yang menonton. Dalam saat seper itu, mereka tak
memiliki rasa membedakan siapa pemanah itu dan dari mana asalnya. Pokok, rakyat telah
terangsang hasratnya untuk melihat seorang ksatrya yang mampu memanah tenggorokan orang-
orangan itu. Setelah melalui beberapa ksatrya yang dapat memanah kepala, mata, hidung orang-orangan itu
maka rakyat mulai menyalangkan mata ke ka melihat seorang ksatrya bertubuh kurus tampil
merentang busur. "O, dia yang curang dalam pertempuran naik kuda tadi" dari sekelompok penonton terdengar
orang berteriak. Memang benar, kali ini yang tampil adalah Kuti. Rupanya beberapa penonton masih mendendam
rasa tak puas atas ulahnya dalam pertandingan naik kuda tadi.
Ku melangkah dengan tenang, penuh keyakinan akan kemampuan diri. Waktu terjadi keributan
para penonton yang meneriakinya curang dan beberapa orang hendak menyerbu kedalam
gelanggang tadi, Ku sempat pula mendengarkan. Tampaknya ia tak mau terkecoh dengan
kemarahan penonton. Ia harus menenangkan diri untuk menguasai pemusatan pikirannya "Bukan
rakyat yang menilai. Mereka hanya penonton. Mengapa aku harus terpengaruh oleh mereka"
katanya membekali diri ketika melangkah ke tempat yang diperuntukkan untuk memanah.
Dengan penuh perha an diapun memilih busur, mencobanya merentang-rentang tali se ap
busur baru kemudian memilih sebuah busur yang mencocoki selera ha nya. Tidak ke nggalan pula
ke ka hendak mengambil anakpanah. Ia memilih dengan teli , menekuk-nekuk batang anakpanah
sebelum ia menjatuhkan pilihan. Setelah mendapatkan busur dan anakpanah yang sesuai, dia lalu
tegak di tempat. Tidak langsung memasang anakpanah kepada busur, melainkan tegak memandang
kearah sasaran yang terpancang beberapa puluh tombak jauhnya.
"Gayanya boleh juga orang itu" terdengar suara2 sumbang diantara kerumun penonton.
"Mungkin dia akan bermain curang lagi "
"Gila! Bagaimana mungkin dia akan berbuat curang lagi" "
"Siapa tahu sekaligus dia akan melepas dua batang anakpanah! "
"Hus, jangan terlalu memfitnah orang! "
Demikian sahut menyahut mbul dari mulut beberapa penonton yang usil. Rupanya kesan
mereka terhadap ulah Kuti tadi masih buruk.
Setelah beberapa jenak melepas bidikan mata dan menanamkan gambaran orang-orangan itu
kedalam pikirannya, pelahan-lahan Ku mulai mengangkat busur dan memasang anakpanah. Sekali
lagi dia menggunakan waktu yang agak lama saat merentang busur.
Memang Ku sedang merangkaikan suatu renungan. Renungan jarak dari sasaran, perwujudan
dari orang-orangan itu dengan persesuaian daya layang dan kecepatan anakpanah yang akan
dilepaskan. Terakhir, direnungkannya pula pengerahan tenaga serta berapa ukuran lebar busur
yang akan direntang hingga mampu memancar daya tembak yang dapat mengantarkan anakpanah
mencapai sasarannya. Setelah itu dilengkapi pula pemusatan cipta untuk mengarah tenggorokan
orang-orangan itu. Hampir sepengerakit sirih lamanya belum juga Ku melepaskan anakpanahnya. Beberapa
penonton tak sabar menunggu dan mulai berteriak-teriak dak puas. Di beberapa tempat, mulai
terdengar bisik yang hiruk.
Namun Ku tak menghiraukan, la sudah mencapai penyatuan dari daya bidik yang melipu
tenaga perentangan busur, pelepasan anakpanah dan pemusatan titik sasaran. Tiba2 sret ....
Seke ka terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dari empat penjuru rakyat, ke ka mereka
melihat peris wa yang diharap-harap telah terjadi. Tenggok atau tenggorokan orang-orangan itu
telah tertancap anakpanah Kuti sehingga orang-orangan itu berguncang-guncang ..'..
"Hebat benar ksatrya itu!" teriak beberapa penonton. Bahkan diantaranya terdapat mereka yang
dalam lomba bertempur di atas kuda tadi marah2 karena menuduh Kuti curang.
Memang rakyat terpesona oleh peristiwa yang mereka harap-harapkan. Mereka cepat
melupakan apa yang telah terjadi tadi. Sekaligus, pamor Kutipun naik di mata rakyat yang
memenuhi alun-alun Singasari saat itu. Mereka melihat bahwa diantara calon pengikut lomba
memanah itu hanya tinggal tiga orang. Mungkinkah diantara mereka mampu melebihi hasil yang
telah dicapai Kuti "
Suasana menjadi sepi kembali tatkala seorang ksatrya tampil untuk memanah. Rakyatpun
mengiku dengan penuh debar dan perha an. Sesaat panah dilepas, melayang dan hinggap pada
tubuh sasaran, terdengar sorak yang ramai. Tetapi bukan sorak yang menggemparkan dan bernada
kejut pujian seper yang di-songsongkan kepada Ku tadi melainkan lebih banyak bernada
kekecewaan, bahkan terselip pula nada yang setengahnya mengejek. Anakpanah ksatrya itu hanya
mengenai dada sasarannya.
Juga hal itu terulang pada ksatrya kedua yang terakhir. Memang anakpanah ksatrya itu tepat
mengenai kepala sasarannya tetapi menurut penilaian, masih dibawah nilai dari Kuti.
Harapan dari para rakyat yang sudah mulai menurun itu, tampak meriah pula ke ka mereka
melihat ksatrya yang berseri wajahnya, tampil di gelanggang. Ksatrya itu mereka kenal sebagai
ksatrya yang dalam lomba pertama, naik seekor kuda hitam. Dan ksatrya itu pulalah-yang dalam
lomba bertempur di atas kuda tadi, telah menawan hati rakyat.
Kesan terhadap ksatrya berkuda hitam itu masih menyegar dalam hati rakyat. Setiap kesan
baik akan menimbulkan harapan dan pujian yang baik pula. Demikian perasaan sebagian besar
rakyat yang memenuhi alun2 keraton Singasari saat itu. Percik harapan dan doa2 puji rakyat
secara wajar dan tanpa diminta, mulai berhamburan mengalir kepada ksatrya muda itu yang tak
lain adalah raden Wijaya.
Memang aneh untuk dikata. Tetapi penampilan Wijaya sebagai peserta yang terakhir,
mengundang kecamuk perasaan dalam ha para penonton. Antara kecemasan dan keraguan atas
kemampuan Wijaya untuk mengatasi hasil gemilang dari Ku dengan harapan dan keinginan ha
supaya ksatrya itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Antara kecemasan dengan harapan,
kekuatiran dengan keinginan, meletupkan kemelut dalam hati rakyat.
Tampaknya kekua ran dan keraguan rakyat lebih membesar ke ka mereka melihat sikap Wijaya
dalam memilih busur dan anakpanah. Dengan tenang Wijaya mengambil busur dan sebatang
anakpanak. Tidak seper yang dilakukan Ku tadi, selekas tegak di tempat, Wijaya terus memasang
anakpanah pada tali busur dan mereritangnya. Merekapun melihat Wijaya diam dan sejenak
pejamkan mata lalu mengambil arah.
Ksatrya itu begitu cepat menentukan pilihan pada busur dan anakpanah. Begitu cepat pula terus
mengambil arah bidikan. Seolah tanpa suatu perenungan yang meyakinkan. Dapatkah dia
mencapai sasaran yang diharuskan sebagai persyaratan yang menang " Demikian keragu-raguan
yang mulai bertebaran dalam hati rakyat yang mempunyai kesah baik terhadap pemuda itu.
Memang mereka dak mengetahui bahwa sesungguhnya Wijaya tak kurang periha n. Setelah
melihat keberhasilan Ku yang gemilang, Wijaya sudah merasa gelisah dalam ha . Beruntung dia
jatuh sebagai calon yang tampil terakhir sehingga dia masih mempunyai waktu untuk membenahi
diri. Dipergunakannya kesempatan itu, untuk merenungkan cipta, mengenang kembali pada waktu
ia menerima ajaran ilmu memanah dan gurunya di puncak Kawi dahulu.
"Aji Danurwenda yang kuajarkan ini, merupakan ilmu memanah yang sak perbawanya" kata resi
Sinamaya "in daripada ilmu itu terletak pada pengheningan seluruh indriya ke arah pemusatan
cipta manunggal pada jarak dan
k sasaran yang akan dipanah. Memang akan kuajarkan juga
mantra dari aji itu. Mantra hanya suatu kekuatan yang akan menimbulkan daya gaib. Tetapi daya
gaib itu akan sia2 bila pada diri orang itu ada persiapan untuk menyambut dan menyatukannya.
Persiapan yang kumaksudkan itu tak lain adalah keheningan indriya ke arah penyatuan cipta
dengan keinginan. Timbulnya daya mantra yang disambut dengan persiapan itu, pas akan
melahirkan suatu hasil yang hebat "


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teringat akan pesan gurunya, Wijayapun segera berkemas
melakukan persiapan. Ia membebaskan diri dari lingkungan dan keadaan saat itu,
mencampakkan getar2 perasaan atas hasil Kuti yang mengejutkan dan melelapkan segenap
indriya dalam endap keheningan. Dan tatkala merentang busur, iapun segera pejamkan mata
mengucap mantra aji Danurwenda. Dan ia mengakhiri puji mantra itu dengan memanjatkan doa,
memohon restu kepada dewata.
Ke ka anakpanah dilepaskan, Wijaya pejamkan mata pula, mengungkung daya cipta agar masih
terhimpun dalam kemanunggalannya.
Serasa gunung roboh, bumi bergetar manakala pecah ledakan sorak sorai yang dahsyat "Hebat!
Hebat sekali .... ! "
Hamburan pekik teriakan yang memecah telinga sedahsyat pasukan yang menyerbu musuh di
medan laga. Wijayapun membuka mata.
"Benar2 luar biasa!" seru sekelompok penonton.
"Anakpanahnya tepat mengenai tenggorokan sasaran "
"Huh, dak hanya begitu, pun anakpanah yang pertama hinggap di tenggorokan, ikut terpanah
pecah " "Ya, anakpanah itu membelah anakpanah orang lalu menembus tenggorokan sasarannya .... "
"Luar biasa .....! "
Demikian hingar bingar puji dan teriakan yang menggempa di alun-alun saat itu. Bahkan
beberapa penonton yang sudah terlanjur tertawan ha nya kepada Wijaya, melonjak-lonjak seper
anak kecil. Ada pula yang menyerbu kedalam gelanggang dan menari-nari. Para prajurit penjaga
sukar mengatasi bahkan mereka seolah membiarkannya saja karena menganggap lomba panah itu
sudah selesai. Memang lomba panah telah usai dan acara yang ke ga segera akan dimulai. Saat itu surya sudah
sepenggalah ngginya. Panas bagaikan kala yang menyengat-nyengat tubuh. Namun tampaknya
rakyat tetap pantang menyerah. Mereka menganggap, bahwa peris wa semacam itu, setaraf
dengan penobatan raja bobotnya. Peris wa yang jarang bahkan hampir tak pernah
diselenggarakan selama berpuluh tahun.
Karena tak memerlukan tempat yang luas maka acara yang ke ga itu dilangsungkan di atas
sebuah panggung. Hal itu dimaksudkan agar rakyat yang menyaksikan dapat melihat dengan jelas.
Panggung itu telah dipersiapkan tepat dimuka bangsal agung. Terbuat dari papan kayu, ber ang
setombak tingginya Para ksatrya pengikut lomba, diberi tempat di samping panggung itu. Mereka akan dipanggil satu
demi satu ke atas panggung. Perobahan persiapan tempat itu menimbulkan kegaduhan kecil
dimana rakyat yang semula berdiri disepanjang tepi alun-alun, beralih mengelilingi panggung itu.
Terjadi desak mendesak untuk mencari tempat yang paling depan dan lapang.
Beberapa saat kemudian bendepun dicanangkan. Suara berisik dan hingar bingar, serentak
tertelan dalam kesunyian yang senyap. Dan tak lama naiklah demang Widura untuk
mengumumkan bahwa acara ketiga dari lomba sayembara akan dimulai. Kemudian ditutup
dengan suatu pengumuman, bahwa mengingat hari sudah amat siang, maka lomba hari
pertama yang terdiri dari tiga buah acara itu, akan ditutup. Dilanjutkan besok pagi sampai
selesai. Tampaknya rakyat sudah kepanasan. Mereka segan memberi sambutan tepuk sorak atas
pengumuman itu. Yang diharapkan, agar acara lomba itu segera dimulai saja.
Terdengar sangkakala meraung-raung, mengalunkan nada panggilan perang. Bendepun bertalu-
talu membangkitkan semangat. Suasana meluap meriah. Jantung se ap penonton serasa berdetak-
detak terdebur irama kesiapan prajurit2 mengayun langkah menuju ke medan perang. Apakah yang
terjadi dan akan berlangsung" Mengapa terdengar bunyi sangkakala dan benda serta genderang
perang yang sedemikian menggelorakan semangat"
Tiada seorangpun yang tahu menjawab. Mereka hanya menduga-duga dan dugaan baru
memperoleh jawaban ke ka serombongan prajurit mengiring sebuah usungan tandu yang bertutup
kain hitam berpatam benang emas. Se ba di bawah panggung, usungan diturunkan dan seorang
bekel prajurit memberi sembah ke arah usungan lalu menyingkap kain penutup tandu itu.
Kemudian dia memondong sebatang gendewa atau busur yang besar dan berwarna kehitam-
hitaman.. Rakyat yang berada disekeliling panggung itu desak mendesak untuk melihat apa gerangan yang
diusung oleh bekel prajurit itu. Namun mereka baru berhasil menyaksikan jelas ke ka busur itu
telah diangkat keatas panggung. Terdengar desus napas2 yang tertahan ke ka busur itu ditegakkan
di tengah panggung dan dipegang oleh bekel prajurit itu.
Busur itu berbentuk is mewa. Bagian tengah atau tempat penaruh ujung panah, berbentuk
seper kepala burung garuda, kedua samping atau batang busur berukiran sisik burung sehingga
keseluruhannya merupakan seekor garuda yang tengah merentang kedua sayapnya. Lebih jelas
pula bentuk burung garuda yang tengah merentang sayap dan terbang melayang, apabila nan
busur itu telah direntang.
Bende bertalu dan tampillah demang Widura untuk memberi pengumuman "Acara ke ga dari
sayembara ini yalah mementang gendewa pusaka kerajaan Singasari kyahi Kagapa atau Garuda
ngelayang. Kyahi Kagapa merupakan pusaka kerajaan yang amat bertuah. Se ap
mbul peperangan, seri baginda yang mulia akan memohon berkah dan petunjuk kepada kyahi Kagapa .
Apabila kyahi Kagapa mau dipentang, berar akan unggul dalam peperangan. Namun apabila
kyahi Kagapati tak berkenan dipentang, tandanya akan kalah "
Suasana seluruh alun-alun sunyi senyap. Rakyat menumpahkan perha an dengan, penuh
ketaatan akan uraian demang Widura.
"Atas kemurahan restu seri baginda maharaja junjungan seluruh kawula Singasari yang mulia,
maka diperkenankanlah kyahi Kagapa untuk menunjukkan siapa diantara para ksatrya dalam
sayembara ini yang layak menjadi senopati kerajaan Singasari ...."
"Amanat yang maha mulia seri baginda menitahkan bahwa barang siapa yang dapat merentang
gendewa pusaka kerajaan Singasari. kyahi Kagapa ini, dialah yang mendapat restu dewa. untuk
memangku jabatan sebagai senopati kerajaan Singasari "
Pungumuman demang Widura telah disambut dengan sorak sorai yang bergemuruh.
Kepercayaan rakyat bahwa senopa terpilih nan benar2 seorang ksatrya yang memenuhi syarat
dan harapan seluruh kawula kerajaan Singasari, makin tumbuh.
"Kiranya senopa yang terpilih nan , tentu dapat mengatasi tanggung jawab dan memenuhi
harapan kerajaan dan kawula Singasari" demikian kesimpulan, dari kasak kusuk, bisik2 dan
perbincangan yang mengemelut di tengah-tengah ribuan rakyat Singasari saat itu.
Bende bertalu. Nyaring dan berkumandang. Bekel prajurit segera mempersilakan seorang ksatrya
pengikut sayembara untuk naik ke panggung.
Seorang lelaki muda yang gagah perkasa, nggi besar menghampiri ke tempat kyahi Kagapa ,
menerima gendewa itu dari tangan bekel prajurit. Dengan lengannya yang berhias otot2 besar dari
melingkar-lingkar, dia mengangkat gendewa itu dengan tangan kiri, kemudian memutar tubuh
berkeliling, seolah hendak memamerkan keperkasaan pada segenap penjuru lapisan rakyat yang
berada; di sekeliling panggung itu. Tampak ksatrya gagah perkasa itu mengulum senyum. Wajahnya
menampilkan suatu kepercayaan atas kekuatan dirinya.
Rakyat tiada memberi sambutan apa2 kecuali menumpati pandang mata dan menahan napas;
"Boga dari tanah Keling, mohon restu kepada saudara2 seluruh kawula Singasari, agar dapat
merentang gendewa pusaka ini. Apabila aku terpilih menjadi senopa , akan kubangun pasukan
yang besar dan kuat untuk melindungi kerajaan Singasari dan seluruh kawula" teriaknya dengan
suara yang menggeledek. Namun ada bersambut jawaban dari para rakyat. Mereka hanya mencurahkan pandang mata
pada ksatrya gagah perkasa yang menyebut diri sebagai Boga dari bumi Keling.
Maka bersiaplah Boga. Setelah memancangkan kedua kaki sekokoh-kokohnya diapun mulai
menjemput tali gendewa. Sejenak menghimpun tenaga, maka mulailah dipentangnya gendewa itu.
Seluruh, rakyat yang berada disekeliling penjuru panggung ikut terbawa dalam ketegangan yang
mendebar-debar ke ka mengiku dan terhanyut pada penampilan muka Boga. Urat2 dahinya
meregang, membentuk gelembung besar yang melingkar-lingkar seper akar. Cahaya mukanya
merah seper batu merah terbakar, sepasang biji matanya melotot hampir meluncur keluar dari
kelopak, mulut menyeringai sebuas harimau mengoyak daging korbannya. Bahkan terdengar
giginya bergemerutuk seper orang sakit demam. Keringatpun mulai bercucuran membasahi muka
dan berketes-ketes ke dada ....
"Sudah, sudah, jangan memaksa diri! "
"Sudahlah, mundur saja! "
"Hayo, turun! "
Mulailah terdengar sorak teriakan dari para penonton yang menyaksikan keadaan lelaki nggi
perkasa yang bernama Boga itu. Ternyata Boga tak mampu merentang tali gendewa pusaka itu,
betapapun dia mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Namun dia malu dan masih
dicobanya dan dicobanya lagi.
"Uh" ba2 ia terhuyung-huyung ke belakang. Bekel prajurit yang masih berada di atas panggung
cepat menyongsongnya "Sudahlah, ki sanak, jangan memaksa diri. Masih ada lain kesempatan
engkau dapat menunjukkan kedigdayaanmu" kata bekel itu.
"Hm?" Boga lepaskan busur, menyalang mata ke arah bekel itu lalu melangkah turun panggung.
Dia makin marah ketika rakyat berteriak-teriak mencemohkannya.
Ksatrya kedua yang naik panggung bertubuh kekar padat. Rupanya dia menarik pelajaran dari
Boga dan tak mau melakukan suatu gaya dan pernyataan apa2. Langsung ia menerima gendewa
pusaka itu. Setelah sejenak menimang- nimang maka mulailah ia merentangnya. Diapun gagal. Dan
cepat2 pula dia menyerahkan gendewa itu kepada bekel prajurit lalu turun dari panggung.
Walaupun rakyat menyambut dengan sorak, tetapi nadanya daklah setajam saper yang disong-
songkan kepada Boga tadi.
Demikian satu demi satu calon2 peserta itu dipersilakan naik ke panggung. Tetapi silih bergan
mereka harus turun dengan menundukkan kepala. Dan sorak sorai rakyatpun makin lesu. Mungkin
mulut sudah lelah, mungkin jemu.
Suasana tampak meriah pula ketika saat itu seorang ksatrya yang dandanannya seperti dari
mancana-gara, tampil ke atas panggung. Tiba2 diapun membuka suara untuk memperkenalkan
diri. Tetapi nadanya agak merendah. Dia menyebut diri sebagai Munding Larang, seorang
kelana dari bumi Galuh disebelah barat. Dia memang sengaja datang dari jauh ke Singasari
karena ingin mengabdi kepada kerajaan Singasari.
Sebagian besar dari rakyat yang berada disekeliling panggung itu tak kenal akan nama bumi
Galuh di belah barat. Mereka hanya terkesiap ke ka mendengar Munding Larang hendak mengabdi
kepada kerajaan Singasari. Tak ada sambutan apa2 terhadap pernyataan ksatrya itu.
Munding Larangpun segera mengadakan persiapan, Setelah sejenak merentang-rentang tali
gendewa maka diacungkannya gendewa itu dan jari pun mulai memijat tali lalu pelahan-lahan
merentangnya. Hampir sekalian penonton bersorak ke ka tali busur kyahi Kagapa itu mulai melengkung tetapi
ke ka mencapai setengah lengkung, ba2 macet. Sorak yang hampir meluncur tetapi tertahan itu
menggemakan suatu suara yang aneh, lebih cenderung dengan suara mengguguk " auh .... "
Wajah Munding Larang yang berseri-seripun makin berobah pucat dan makin lesi. Bibirnya mulai
gemetar, demikian pula bahunya. Tampaknya ksatrya dari bumi Galuh itu berjuang sekuat tenaga
untuk mempertahankan hasil yang telah dicapai. Bahkan ingin sekali ia mencapai lebih dari itu.
Tetapi seolah ada suatu kekuatan gaib yang menentang kehendaknya dan menantang adu
kekuatan dengan lengannya. Makin lama makin menelungkuplah tali itu pada gendewanya.
"Ah ...." terdengar desah yang gemuruh dari empat penjuru ke ka menyaksikan, ksatrya Munding
Larang harus menyerah. Dia pejamkan mata untuk menenangkan gejolak darah yang berhamburan
dahsyat pada urat2 lengan yang dikerahkan sekuat-kuatnya tadi. Beberapa saat kemudian setelah
cahaya mukanya tampak merah pula, barulah dia membuka mata, menyerahkan gendewa pusaka
itu kepada bekel prajurit yang berkewajiban.
Geram, malu, kecewa bertebaran pada penampilan muka Munding Larang. Tetapi siapa yang
salah dan harus dipersalahkan " Beruntung rakyat dak menyorakinya. Merekapun seolah ikut
menyayangkan kegagalan Munding Larang yang diawali dengan harapan yang menyala-nyala itu.
Namun diantara sekian banyak yang gagal, dia termasuk satu-satunya ksatrya yang hampir berhasil.
Setelah beberapa calon pengikut tampil keatas panggung dengan membawa kegagalan, maka
perha an rakyat mulai tertarik akan penampilan seorang ksatrya yang bertubuh gagah perkasa,
berkumis tebal, berjampang simbar dada.
"Seper ksatrya Bratasena" terdengar beberapa suara diantara para penonton. Memang pada
masa itu cerita2 Ramayana, Mahabharata dan lain2 sudah dikenal dan tersebar luas di kalangan
rakyat, sesuai dengan perkembangan agama Hindu yang berkembang pesat diseluruh telatah
kerajaan Singasari. Tetapi ada pula yang karena sudah putus asa untuk mengharap ksatrya yang mampu merentang
gendewa pusaka kerajaan Singasari itu, sempat pula melontarkan suara2 bernada sumbang "Lucu
kalau Bratasena ikut sayembara mementang gendewa. Pantasnya ikut sayembara mengangkat gada
" Setiap pertunjukan tentu tak lepas dari suara2 penonton yang memuji maupun mengejek.
Oleh karena pendapat setiap orang itu berbeda, maka bermacam-macamlah penilaian yang
dilontarkan. Memang pada umumnya penonton hanya menghendaki melihat yang baik, yang
menang. Kadang ejekan mereka terlampau tajam, walaupun pengikut lomba itu sudah berusaha
sekuat kemampuannya. Pada umumnya penonton lupa bahwa dirinya juga tak mampu
melakukan, bahkan jauh lebih buruk dari orang yang dicemohkannya itu.
Ksatrya tinggi besar dan gagah perkasa yang ditokohkan sebagai ksatrya Bratasena itu,
membusungkan dada dan melangkah lebar ke tempat bekel yang bertugas merawat gendewa
itu. Ia menyambar gendewa dari tangan bekel, lalu tampil ke tengah panggung. Tiba2 ia
membolang balingkan gendewa dan mengayun-ayunkan sederas-derasnya, sehingga menimbul
suara angin yang menderu-deru.
"Ah, apa maksudnya" "
"Bratasena ngamuk "
"Mengapa mengamuk" Gila barangkali!" Demikian terdengar bermacam-macam ocehan dari
beberapa penjuru penonton.
Beberapa saat kemudian, ksatrya gagah perkasa itu hen kan gerakannya "Orang2 Singasari,
ketahuilah. Aku bernama Sengguruh dari tanah Bahu warna. Aku datang ke Singasari untuk ikut
dalam sayembara senopa . Aku dak mengamuk. Akupun dak gila! Aku hanya akan mencoba
kesaktian dari gendewa pusaka kyahi Kagapati ini "
Gemuruhlah sorak dan gelak seluruh rakyat mendengar pernyataan orang nggi besar itu.
Beberapa penonton segera menyambu "Kalau engkau memang digdaya, lekaslah pentang
gendewa itu " "Itu gendewa pusaka, untuk memanah bukan untuk dimain-mainkan"
"Jangan salah lihat, itu bukan gada "
"Ha, ha, ha, ha, .... "
Disana sini terdengar pekik teriakan dan suara sambutan gelak tawa yang riuh rendah. Suasana
yang jenuh tadipun mulai meriah pula dengan kesegaran. Dalam ga acara lomba baru pertama
kali ini seorang calon pengikut langsung menanggapi teriakan penonton.
"Jangan menertawakan dulu. Lihat saja nanti" sahut Sengguruh pula.
Melihat sikap, tingkah dan nada pembicaraannya yang wajar dan lugu, timbullah kesan yang
menyenangkan pada penonton. Mereka tahu bahwa orang tinggi besar itu tentu bertenaga kuat.
Tetapi merekapun cepat dapat menilai bahwa Sengguruh itu jujur, lugu tetapi agak tolol.
Sekalipun begitu mereka menyenanginya juga. Bekel dan prajurit yang berada diatas panggung,
ikut tertawa. Memang tiada suatu ketentuan bahwa seorang calon pengikut dilarang berbicara
menanggapi teriakan penonton! Tetapi pada umumnya tiada seorang pengikut yang bertingkah
seperti Sengguruh. Dibawah kemeriahan gelak dan suara berisik, Sengguruh mulai bersiap-siap. Dia tegak
menggagah, tangan kiri mencekal busur dan tangan kanan menjemput tali lalu sekonyong-konyong
dia menarik sekuat-kuatnya.
"Hai ...." meletus teriak para penonton ke ka melihat busur melengkung. Tetapi teriak
merekapun tertahan setengah jalan sesaat melihat busur itu hanya melengkung sejari lalu
berhenti. "Huh .... huh .... hekkkkk" terdengar suara mulut Sengguruh mendesuh-desuh seperti orang
ketulangan. Dia tengah mengerahkan segenap kekuatannya untuk melanjutkan rentang tali
gendewa itu. Mukanya merah membara, keringat bercucuran deras membasahi kepala dan
tubuh. Terhadap orang nggi besar itu, rakyat dak memiliki kesan benci bahkan suka akan
keluguannya. Di luar kesadaran, penonton ikut membantu menahan napas dan menegangkan
tangan masing2. Ada pula yang menggerenyutkan geraham. Bahkan karena terbawa dalam
ketegangan untuk membantu Sengguruh, ada penonton yang mencengkeramkan kedua tangannya
ke bahu penonton yang berada di depannya lalu diremas sekuat-kuatnya "Aduh ...." orang yang
dicengkeram sekeras-kerasnya itupun menjerit kesakitan, meronta-ronta dan mendekap kedua
bahunya. Tiba2 ia ayunkan kaki menendang orang yang mencengkeramnya itu "Bedebah,
rasakanlah ini " "Aduh" orang yang mencengkeram itu karena tak menduga, perutnya termakan kaki. Dia
terbungkuk-bungkuk mendekap perut. Seke ka suasana di tempat itu agak ricuh. Beberapa orang
segera melerai mereka. "Dia mencengkeram bahuku "
"Dia menendang perutku" sahut orang itu.
"Ah, sudahlah. Kita disini untuk melihat lomba sayembara. Kalau mau berkelahi, carilah tempat
lain yang sepi " Kerumun orang yang berada di sekeliling tempat perkelahian itu, diam2 menyadari bahwa
perbuatan mereka ikut bersitegang urat dan perasaan, hanya suatu ndakan yang bodoh
menggelikan. Betapapun mereka ikut bertegang-regang, namun takkan dapat membantu ksatrya
tinggi besar itu. Memang saat itu Sengguruh sudah melepaskan usahanya untuk merentang gendewa pusaka.
Wajahnya tetap tenang bahkan berseri gembira ke ka menyerahkan gendewa kepada bekel
prajurit. Sebelum meninggalkan panggung, ia sempat tegak dan memberi ketegangan kepada
seluruh penonton "Maaf, rakyat Singasari, pusaka kerajaan Singasari memang ampuh sekali.
Sengguruh harus bertapa ke puncak gunung lagi untuk memohon kesaktian kepada dewa "
Sikap dan bicara orang nggi besar itu lugu dan wajar. Menimbulkan rasa suka dikalangan
penonton. Diantaranya ada yang berteriak "Mengapa bertapa ke puncak gunung, lebih baik terjun
ke laut mencari sarang angin! "
"Benar, barangkali bertemu seekor ular naga yang mau menjadi isterimu! "
"Minta pusaka dan kesak an pada Dewa Ruci" Demikian terdengar teriak para penonton yang
bernada seloroh tetapi bukan mencemoh.
Suasana yang riang gembira itu, dilanjutkan pula oleh penampilan Ku yang tak asing lagi bagi
rakyat. Mereka menahan napas tercemar debar yang mendenyut ha . Kesan tak suka kepada Ku
dalam lomba bertempur naik kuda tadi, hampir terhapus oleh rasa kagum pada lomba kedua di
mana Ku telah berhasil memanah tenggorokan dari sasarannya. Mereka harus mengakui bahwa
Kuti itu seorang ksatrya yang sakti mandraguna.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penampilan Ku membangkitkan gairah semangat para rakyat yang menginginkan seorang
pengikut sayembara itu mampu merentang gendewa pusaka kyahi Kagapa . Namun terbe k suatu
rasa enggan dalam ha sebagian rakyat untuk dak memberikan tepuk sorak penyambutan yang
meriah kepada Ku . Entah apa sebabnya, mereka masih belum sreg dalam ha terhadap peribadi
Kuti apabila kelak menjadi senopati kerajaan Singasari.
Berpuluh ribu mata mengiku langkah Ku ke ka menghampiri bekel perawat gendewa. Ke ka
bekel itu menerimakan gendewa, Ku dak langsung menyambu , melainkan menghaturkan
sembah ke arah pusaka itu, "Kyahi Kagapa , hamba Ku , mohon restu dan perkenan paduka untuk
merentang tubuh paduka. Apabila kelak hamba menjadi senopa , hamba berjanji akan
mengagungkan paduka dengan sesaji suci....."
Setelah itu ia baru menyambuti gendewa pusaka lalu tegak bersiap di tengah panggung.
Rakyat tak mendengar apa yang diucapkan Kuti dihadapan kyahi Kagapati, begitu pula apa
yang diucapkan Kuti waktu hendak merentang tali gendewa. Mereka hanya memperhatikan
mulut Kuti bergerak-gerak mengucap sesuatu. Tentulah aji mantra, pikir mereka. Dan makin
tumbuhlah keyakinan mereka, bahwa Kuti akan mampu melakukan tugasnya.
Kutipun tengah memilin-milin tali gendewa. Beberapa saat kemudian dia mengacungkan busur
dan bersiap untuk menarik tali. Dan diikuti oleh beribu mata para penonton, mulailah dia
merentang tali gendewa, krek, krek, krek ....
Beribu mata rakyat ikut dibawa merentang oleh tali gendewa itu. Makin tali merentang, makin
mata para penonton ikut merentang lebar. Napas2 pun mulai berhenti. Gendewa melengkung
tertarik tali dan pada saat mencapai sekilan lebarnya, tiba2 terjadi suatu kegaiban. Tali yang
merentang keras itu tak kuasa lagi melengkungkan gendewa. Kuti berjuang sekuat tenaga untuk
menarik gendewa itu. Seluruh penontonpun terhayut, dalam ketegangan yang memuncak-
muncak. Lebih tegang daripada ketika mengikuti Sengguruh tadi.
Ku merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang berupa sebuah gunung dahsyat, menantang
tenaganya. Mampukah ia merobohkan gunung" Dan seke ka dia menyadari akan kekuatan gaib
yang menghuni dalam gendewa pusaka itu. Ampuh benar. Sebagai seorang ksatrya yang sudah
berani tampil di panggung sayembara, dia, pantang mundur. Lebih baik bahuku sempal daripada
aku melepaskan gendewa ini. Demikian dia membajakan tekadnya.
Sayup2 Ku teringat akan wangsit yang diterimanya ke ka ia bertapa di puncak gunung Bromo.
Sebagai akibat, menderita kekalahan dari Nararya, dia malu dan hendak menemui gurunya sang
begawan Brahmacarya di gunung Bromo. Tetapi sang begawan sudah meninggal. Dia lalu mendaki
ke puncak Bromo dan bertapa untuk memohon dawuh dewata. Dia berhasil ditemui oleh seorang
tua yang menyandang raga sebagai gurunya.
"Kutahu Ku , apa yang engkau pinta. Akupun menghargai tekadmu yang sekokoh baja itu.
Namun ketahuilah Ku , bahwa dewata telah menggariskan kodrat hidup pada se ap insan. Kodrat
prakitri tak mungkin dirobah .... "
"Hamba mohon petunjuk guru yang mulia. Bagaimanakah jalan hidup yang akan hamba tempuh
nanti" " "Ah, Kuti, mengapa engkau memaksakan hal itu" Apakah gunanya kepadamu, anakku" "
"Duh guru yang hamba horma . Ibarat berjalan, hamba umpamakan kehidupan itu bagaikan
dunia yang gelap, serba penuh kemungkinan. Oleh karena itu hamba mohon peturjuk paduka agar
dapat hamba jadikan sebagai pelita dalam perjalanan hidup hamba."
"Ku " kata begawan itu "dunia dak gelap. Dunia mempunyai surya, rembulan dan bintang2
yang silih bergan menerangi. Yang gelap adalah pikiran manusia sendiri. Gelap karena tercemar
nafsu2 keinginan yang tak kunjung habis. Bahkan ke ka badan wadagnya sudah usang dan menjadi
abu, jiwa itu masih melanjutkan keinginannya. Itulah sebabnya terjadi berulang kali peni san
sampai nanti nafsu keinginannya itu sudah menemui jalan kesadaran, kemokshaan yang abadi "
"Bapa guru, hamba hanya seorang tah yang masih harus menjalankan dharma hidup hamba di
arca-pada ini. Betapakah jalan yang benar bagi hamba, guru" "
"Jalan yang benar itu sesungguhnya terdapat dalam lapisan endapan ha mu. Asal engkau sudah
dapat melenyapkan endapan2 lumpur klesa, kekotoran. Iri, dengki, penuh pemilikan dan lain2
keangkara ke-a-kuanmu, maka cahaya itu akan memancar, menerangi jalan benar yang hendak
engkau tuju itu " "Hamba akan berusaha untuk melakukan titah paduka, bapa guru."
"Lalu apa lagi yang engkau kehendaki, Kuti" "
"Hamba hendak mohon dawuh paduka, adakah yang harus hamba lakukan, bapa guru."
"Hm, baiklah. Tetapi ingat kodrat prakitri itu tak mungkin dapat dirobah. Kelak engkau akan
menjadi seorang manusia besar, berkuasa, ternama dan mulia ..."
" Oh" Kuti mendesuh kejut.
"Tetapi kesemuanya itu akan terjadi menurut sekehendak ha mu. Ar nya, segala kenikmatan,
kemewahan dan kemuliaan hidup itu akan engkau kenyam sampai pada akhir hayatmu, asal
engkau tak tergoda oleh nafsu2 keinginan yang tamak "
"Terima kasih, bapa guru. Tetapi bagaimanakah jalan yang harus hamba tempuh kearah
kodrat hamba itu" "
"Engkau harus mengabdi kepada kerajaan. Disitulah engkau akan menemui kejayaan "
"Bapa guru, hamba mohon petunjuk. Adakah garis hidup hamba itu sedemikian besar sehingga
menanyai kekuasaan untuk memerintah negara "
"Bukan negara tetapi praja "
"Apa beda negara dengan praja, bapa guru" "
"Negara adalah keseluruhan bumi kerajaan dan daerah yang dikuasainya. Praja adalah
pemerintahannya " "Hamba mohon keterangan yang lebih jelas "
"Jangan memaksa rahasia kodrat. Engkau akan kena kutuk dewata, Kuti. Cukup kukatakan,
bahwa kelak engkau akan menjadi bintang yang cemerlang berkilau-kilauan cahayanya. Tetapi
ingat Kuti. Yang menerangi angkasa bawana itu adalah surya dan rembulan. Cukup kiranya
penjelasanku ini. Apa pula yang engkau kehendaki, Kuti" "
"Hamba mohon paduka kurniai dengan kesaktian yang tiada lawannya, bapa guru. "
"Kuti, ketahuilah. Bahwa kekuasaan itu terbatas. Akan kuberi apa yang engkau minta itu.
Tetapi janganlah engkau mengharap bahwa kesaktianmu itu tiada tandingnya. Terutama apabila
engkau berhadapan dengan hal2 yang gaib sebagai penentu kodrat prakitri, janganlah engkau
memaksa diri. Akibatnya, engkau pasti akan mengalami kehancuran. Ingat Kuti. Jagad
mempunyai surya dan rembulan. Insan di arcapada pun akan memiliki mustikaning janma atau
manusia yang linuwih dan linuhung yang oleh dewata telah direstui menjadi surya yang
menerangi praja dan bawana. Jangan engkau bersitegang membentur surya itu, engkau pasti
hancur " "Baik, bapa guru "
"Nah, jadilah apa yang engkau kehendaki. Engkau akan memiliki kesak an dan kekuatan yang
hebat .... " Demikian cepat sekali benak Ku melintas pengalamannya ke ka bertapa di puncak gunung
Bromo dahulu. Dan lintasan itu cepat pula bersambut dengan suatu perenungan. Adakah memang
saat itu dia harus berhadapan dengan suatu hal gaib yang akan menentang kehendaknya" Adakah
hal gaib itu yang akan menjadi sarana untuk meluruskan garis prakitri hidupnya"
"Ku , jangan engkau bersikeras untuk memaksa sesuatu yang sudah digariskan dewata"
terngiang pula telinga Ku akan pesan perwujutan dari kakek tua yang menyandang raga sebagai
gurunya ketika ia bertapa itu.
"Ah" ia menghela napas dalam ha "aku tak boleh berkeras memaksa keadaan. Tetapi rasanya
kedudukan senopa bukan suatu kedudukan yang memegang kekuasaan nggi dalam praja.
Adakah dewata menunjukkan, bahwa jalan yang kutempuh itu tidak tepat " "
Kemudian setelah melalui menung dan renung yang cukup panjang, akhirnya Ku pun menyerah.
Ia masih menghibur diri bahwa masih ada dua kesempatan lagi untuk menanda nasibnya. Adakah
memang dewata tak membenarkan langkahnya mencapai kedudukan senopa ataukah karena
suatu sebab yang belum dihayatinya.
Namun Kuti seorang muda yang berdarah panas. Walaupun kenyataan memaksa dia harus
menyerahi namun dalam hati dia masih penasaran juga. Untuk menumpahkan kemengkalan
hatinya, saat itu diapun mengunjukkan suatu kesaktian yang menakjubkan. Krek, krek ....
Sekalian penonton berteriak gempar ke ka menyaksikan panggung bergoncang dan pada ujung
panggung sebelah utarapun melesek ke bawah. Seke ka gemparlah suasana disekeliling panggung
itu. Beberapa prajurit cepat menghampiri ujung panggung disebelah barat itu. Dalam kehirukan
itupun Kuti menyerahkan gendewa pusaka kepada bekel yang bertugas.
Ternyata keributan itu berkisar pada suatu peristiwa yang mengejutkan. Dua batang tonggak
penyanggah panggung telah putus sehingga ujung panggung itupun melesek. Prajurit2 yang
bertugas menjaga keamanan, segera bekerja cepat. Mereka mengganti tonggak itu dengan
yang baru pula. "Aneh, mengapa tiang tonggak patah" "
"Ah, mungkin ksatrya itu mengunjuk kesaktiannya "
"Kesaktian " Apakah nama ilmu kesaktian semacam itu" "
"Aji Pengantepan "
"O, mungkin. Mungkin juga "
Demikian perbincangan ramai terdengar dari kelompok demi kelompok para rakyat yang
memenuhi sekeliling panggung itu. Sebagian besar menganggap bahwa patahnya ang tonggak itu
karena disebabkan Ka mengeluarkan ilmu kesak an. Dia tentu penasaran; karena gagal
mementang gendewa pusaka.
Ke ka suasana tenang kembali dan ang tonggak sudah selesai dipasang, ternyata Ku sudah tak
berada di atas panggung. Saat itu yang naik ke panggung seorang ksatrya Bali. Rakyat cepat dapat
mengenali dandanan dan ikat kepala orang itu.
Dengan gaya yang khusuk, ksatrya Bali itu merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari.
Tetapi dia gagal dan terus mengundurkan diri. Sebagai gantinya tampillah pemuda yang menilik
dandanannya sebagai seorang desa. Dia tak mengenakan baju. Rakyat mengenalinya sebagai
lawan dari Kuti ketika bertanding di atas kuda dalam lomba pertama tadi. Pemuda itupun tak
banyak ulah. Bahkan setelah menerima gendewa dan memeriksa beberapa jenak, dia terus
mengembalikan lagi kepada bekel yang bertugas menjaga gendewa pusaka itu. Kemudian dia
terus turun panggung. "O, dia ketakutan! "
"Dia malu karena merasa tak mampu "
"Ah, belum dicoba mengapa sudah tinggal gelanggang ! "
Demikian suara2 yang terdengar ramai dikalangan rakyat penonton. Sebagian besar merasa
heran akan sikap ksatrya itu. Ada pula yang mengejek. Hanya sebagian kecil yang menerima sikap
itu sebagai sikap yang jujur.
Setelah penampilan seorang calon pengikut yang seper calon2 terdahulu, mengalami kegagalan
maka suasanapun mulai mengembang kemeriahan pula manakala rakyat melihat tampilnya ksatrya
Wijaya ke atas-panggung. Ksatrya berkuda hitam, ksatrya yang mampu memanah tenggorokan
orang-orangan dan sekaligus membelah anakpanah yang sebelumnya menancap di tenggorokan
orang-orangan itu. kini tampil di atas panggung untuk merentang gendewa pusaka kyahi Kagapa .
Gendewa pusaka kerajaan Singasari yang ampuh dan bertuah. Yang selama dibawa ke atas
panggung, belum pernah ada seorang calon pengikut sayembara yang mampu merentang selebar-
lebarnya. Tidakkah layak rakyat untuk membelalakkan semangat, menyongsong harapan, memanjatkan
doa agar ksatrya berkuda hitam yang menjadi kesayangan mereka itu kali ini-dapat pula
menyelesaikan karya, merentang gendewa kyahi Kagapa yang termasyhur itu" Tidakkah wajar
apabila seluruh rakyat penonton memeriahkan suasana dengan tepuk sorak untuk mendorong
semangat ksatrya bsrkuda hitam itu "
Demikian luap kegairahan rakyat, meletus dalam tampik sorak yang riuh gemuruh atas
penampilan Wijaya yang terkenal sebagai ksatrya berkuda hitam itu.
Seluruh rakyat bahkan sampai pada para nayaka, senopa dari berbagai ngkat yang hadir di
bangsal agung, tampak terpikat oleh penampilan Wijaya dengan keperibadiannya yang tenang
berseri itu. Bahkan pada kursi kebesaran yang diduduki kedua puteri baginda yani sang dyah ayu
puteri Teribuana dan sang dyah-ayu puteri Gayatri, tampak suatu perobahan cahaya wajahnya.
Kedua puteri itu saling berbisik-bisik. Sementara pangeran Ardarajapun menampilkan sikap cahaya
yang lain pada wajahnya. Entah bagaimana tanggapan para putera puteri agung itu, ada
seorangpun yang dapat mengetahui.
Diantara sekian banyak muka yang cerah mengulum kegembiraan, hanya beberapa orang yang
tampak lesu bahkan ada yang pucat. Diantaranya terdapat, pa h Aragani, raden Kuda Panglulut
dan beberapa nayaka. Tetapi yang paling masam wajahnya adalah Kuti.
Ku masih berada di tempat yang disediakan untuk para pengikut sayembara. Ia sempat
melontarkan pandang kearah bangsal agung. Ada sesuatu yang menggeli k ha nya untuk
mengetahui sikap dan cahaya muka dari seorang yang ditujunya. Ia hendak meyakinkan diri atas
penglihatannya ketika ia turun dari panggung tadi.
Masih tegas membayang dalam kesannya, pada saat ia turun panggung karena gagal merentang
gendewa pusaka tadi, diam2 ia melontarkan pandang kearah deretan kursi ter nggi dalam bangsal
agung. Pencurian pandang itu telah berhasil menemukan yang dicarinya. Tetapi alangkah sakit
ha nya ke ka melihat sikap yang ditunjukkan sang dyah ayu puteri Teribuana. Puteri agung itu
memalingkan muka dalam sikap yang dingin. Dan serentak pada saat itu, pandang matanyapun
tertumbuk pada puteri yang duduk di sisi puteri Teribuana, yani sang dyah ayu puteri Gayatri.
Serentak terasa suatu kilatan pe r yang menyambar ha nya. Wajah sang dyah ayu Gayatri, gilang-
gemilang laksana san Dewi Ra h menjelma di arcapada. Dalam pandang mata Ku , suram
seke ka kecan kan sang dyah ayu Teribuana tersilau oleh kemilau wajah puteri Gayatri yang
bermandikan sinar keagungan yang anggun gemilang. Dan hampir Ku hen kan langkah sesaat
pandang matanya tertumbuk akan pandang puteri Gayatri yang mengarah kepadanya dengan
pandang ikut perihatin atas kegagalannya.
Hanya sekejab, karena saat itu puteri Gayatri pun menundukkan kepala dan Ku segera sadar
serta melanjutkan langkah turun ke panggung. Namun kejab itu merupakan kejab yang sangat
berar dan berharga sekali kepadanya. Seolah dia merasa menerima curahan semangat pula pada
saat ia hampir tenggelam dalam kekecewaan dan keputusan asa. Semangatnya bangkit kembali dan
harapanpun menyala, keperwiraannya sebagai seorang ksatryapun berkobar pula. Dia akan
memenangkan sayembara itu dan harus memenangkannya!
Maka pucatlah wajah Ku ke ka memperha kan betapa cerah dan meriah wajah kedua puteri
baginda itu sesaat Wijaya tampil keatas panggung. Ia membayangkan pula betapa suasana nan
apabila Wijaya berhasil merentang gendewa pusaka itu. Ah, betapa gempar ledakan kegembiraan
yang akan terjadi di alun-alun situ.
Ia tak menghiraukan apabila rakyat akan berteriak-teriak sampai pecah tenggorokannya. Iapun
takkan kecewa apabila Wijaya akan berhasil dalam tugasnya nanti;
Tetapi satu hal yang tak dapat diterima dalam ha nya, yang bahkan akan meremuk-redamkan
sanubarinya, yalah apabila puteri Gayatri akan terpikat oleh keberhasilan Wijaya merentang
gendewa pusaka dan ketampanan wajah ksatrya itu.
"Uh" diam2 ia mendesuh dan beringsutlah ia dari tempat duduknya, seolah tempat duduk itu
tiba2 tumbuh jarum2 yang menusuk pahanya.
Namun ingsut dan kisar tubuh pada tempat duduk itu tetap tak dapat menenangkan ha nya
yang sedang diamuk gejolak perasaan iri, dengki dan cemburu.
Tiba2 ia berbangkit dan terus melangkah nggalkan tempat itu. Ia tak ingin menderita
kehancuran ba n dan kemusnaan semangat. Ia tak ingin melihat dan mendengar peris wa yang
akan menusuk mata dan menikam uluhatinya.
Perha an seluruh rakyat tertumpah ruah pada Wijaya yang berada di atas panggung. Mereka tak
memperhatikan dan tak mengacuhkan tindakan Kuti meninggalkan gelanggang.
Wijayapun bersiap-siap diri.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Jilid 20 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Carilah 'tapake kuntul nglayang' atau jejak telapak burung kuntul terbang. Demikian tempat yang
paling sesuai untuk bersemedhi mengheningkan cipta. Mengasingkan diri di tempat yang sunyi
senyap, merendam atau menghanyutkan diri dalam sungai bengawan, menyepikan diri di tepi
pantai samudera. Demikian jika hendak bertapa.
Pernah hal itu diuraikan oleh resi Sinumaya kepada Wijaya yang waktu itu masih bernama
Nararya "Namun kesemuanya itu hanya suatu syarat " kata sang resi menambahkan "dan syarat itu
tidaklah mengikat" "Lalu bagaimanakah tempat yang sesuai untuk, bersemedhi itu, bapa guru" " tanya Nararya.
"Telah kukatakan kepadamu, angger" kata resi Sinumaya "bahwa ada ga pokok ajaran yang
perlu engkau turut dalam berla h ilmu semedhi itu. Pertama tata, kedua
dan kemudian tenteram" "Tata berar tetap, harus dilagukan dengan teratur secara tetap. Jangan memaksa diri hendak
buru2 mencapai tujuan. Karena kesemuanya itu akan datang sendiri tanpa diketahui dan tanpa
disadari. Dari Ti adalah memusatkan pikiran kepada hal yang dituju. Tak boleh bercabang ha ,
bersilang pikiran, nyeleweng dari tujuan. Karena kesemuanya itu akan menghambat mbulnya
Keheningan" kata resi Sinumaya pula "Tenteram, berar pelepasan dari seluruh gerak indriya dan
batin, bebas dari rasa kuatir dan takut, cemas dan bimbang serta lain2 tekanan batin dan jiwa"
"Setelah ke ga hal pokok itu dapat engkau laksanakan sungguh2, engkau akan dapat
membebaskan diri dari segala syarat tempat, waktu dan suasana"
Ajaran bapa gurunya itu telah dilaksanakan oleh Wijaya. Bahkan setelah mencapai tataran yang
meningkat, dia sengaja melakukan semedhi itu di tempat dan suasana yang berisik ramai "Jika aku
tetap memilih tempat2 yang tertentu, bukankah aku akan tak terbiasa di tempat dan suasana yang
lain " Aku menghendaki di tempat manapun, waktu dan suasana apapun, dapat melaksanakan
cipta semedhi itu" pikirnya.
Maka dalam menerima busur pusaka kyai Kagapati, diapun mengheningkan cipta,
memaserahkan panjatan doa kehadiran Hyang Widdhi Agung "Duh, Hyang Widdhi Agung,
hamba menyadari bahwa segala sesuatu yang menjelma, telah paduka tentukan. Tiada
seorangpun yang mampu merubahnya kecuali paduka. Hamba hanya titah paduka. Hamba akan
memaserahkan jiwa dan raga hamba dalam perjalanan hidup yang telah paduka kenankan.
Apabila memang paduka tak berkenan, maka pusaka kyai Kagapati inipun tak mungkin akan
hamba rentang. Dan hambapun dengan segala kepatuhan dan keikhlasan akan melepaskan
cita2 hamba untuk berhamba kepada kerajaan Singasari. Namun apabila paduka kenankan, o,
Hyang Widdhi Agung, limpahkan kekuatan yang tak terhingga kepada diri hamba agar hamba


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat melaksanakan apapun yang akan paduka titahkan kepada diri hamba ...."
Ada suatu rasa cemas yang mencengkam ha Wijaya pada saat menerima gendewa pusaka kyai
Kagapa . Demang Widura yang ber ndak sebagai paujar atau pengacara, hanya menyebutkan
bahwa gendewa kyai Kagapa itu adalah pusaka kerajaan Singasarl yang amat bertuah. Tidak
disebut lebih terperinci kerajaan Singasari dari jeman raja yang mana. Karena Singasari sejak Ken
Arok dinobatkan sebagai raja pertama dengan rajabhiseka Sri Rajasa sang Amurwabhumi,
kemudian Anusapati, Tohjaya, Wisnuwardhana dan terakhir baginda Kertanagara yang sekarang ini.
Namun Wijaya harus melepaskan pemikirannya tentang asal usul gendewa pusaka itu, karena
saat itu dia harus menghadapinya. Bukan bertugas untuk meneli sejarah gendewa pusaka itu,
melainkan dituntut oleh sayembara supaya merentangnya. Mampukah aku melakukan hal itu
dimana sekian banyak ksatrya2 dari segala penjuru telah melakukan dan gagal " Mengembanglah
pertanyaan itu dalam ba n Wijaya. Selekas pertanyaan berkembang maka tumbuhlah benih2
kecemasan, kebimbangan dan ketakutan.
Wijayapun segera pejamkan mata, mengheningkan cipta. Ini selalu dilakukannya se ap kali dia
menghadapi kegoncangan ha dan kebimbangan pikiran, sesuai apa yang dipesankan oleh
gurunya. Sehening pikirannya maka teringatlah indriya pendengaran akan pesan gurunya yang
sudah berulang kali diresapkan pada se ap habis memberi pelajaran ilmu kesak an "Ingat,
Nararya, didalam menghadapi tugas maupun lawan, jangan sekali-kali engkau bimbang, gentar dan
was-was. Camkan wejangan Sri Kresna kepada Arjuna ke ka ksatrya itu ragu2 dan bimbang bahkan
bersedih karena menghadapi barisan Korawa yang tak lain adalah saudara dan guru, paman
eyangnya sendiri " Percik2 sinar segera berhamburan dalam hati Wijaya, merekah dan membiaskan cahaya
yang menghalau gelembung2 hitam yang mengabut hatinya. Terang dan makin terang. Jernih
dan makin jernih. Mengapa harus bimbang" Mengapa harus cemas" Bukankah saat itu sudah
menghadapi saat2 yang menentukan" Demikian pertanyaan yang mulai meluap dari dasar
hatinya, menggelembung dan akhirnya pecah bertebaran memenuhi ruang hatinya "Gagal atau
berhasil, aku belum tahu dan tak perlu memikirkan. Yang penting aku harus melakukannya
dengan sekuat tenaga kemampuanku. Segala-galanya terserah kepada Hyang Widdhi"
Dan dengan kebulatan ha itu maka ia segera memanjatkan doa ke hadapan Hyang Widdhi,
menyerahkan segala sesuatu kepada keputusan Hyang Purbawisesa.
Setelah itu mulai ia memasang anakpanah ke tali gendewa "Duh kyai Kagapa . hamba mohon
idin untuk merentang kyai. Apabila kyai berkenan meluluskan hamba menjadi senopa kerajaan
Singasari, semoga kyai meluluskan permohonan hamba"
Pelahan-lahan mulailah dia menghimpun segenap tenaga, menyalurkan ke tangan kiri yang
mencekal gendewa dan tangan kanan yang siap merentang tali gendewa. Pelahan-lahan namun
dengan tenaga yang meluap penuh, talipun mulai ditarik. Wijaya tak tahu apakah kekuatannya
yang memang besar ataukah ada sesuatu yang tak diketahuinya. Sesuatu yang memuat kegaiban,
entah permohonannya kepada Hyang Widdhi, entah kepada kyai Kagapati itu.
Ketegangan yang mencengkam seluruh jiwa, membangkit semangatnya bagai gelombang
samudera mendampar ke pantai sebagaimana yang pernah di saksikan ketika ia berada
dipesisir Laut Kidul yang lalu. Tak dapat ditahan, tak mungkin ditentang lagi gelombang laut itu
berhamburan, berkejar-kejaran menuju pantai. Demikian keadaan Wijaya saat itu. Tangannya
yang merentang tali gendewa makin merentang ke belakang, makin lebar. Kedua ujung
gendewa itupun makin cekung dan makin menelungkup ke belakang. Wijaya tak tahu apa yang
terjadi saat itu. Adakah saat itu dia dapat merentang gendewa, adakah rakyat sedang
menumpah seluruh perhatian kepadanya, adakah para mentrinayaka yang duduk di bangsal
tengah merentang mata kepadanya. Adakah kedua puteri baginda sedang terpukau dalam
pesona pandang, adakah suasana di sekeliling gelanggang itu seperti lahar gunung yang
meluap mencapai mulut kepundan. Dia tak tahu karena tak merasa. Dia tak merasa karena
telah mematikan rasa. Pati rasa dan pati raga, memanunggal dengan daya kekuatan yang
terserap oleh suatu daya gaib yang memancar dari gendewa pusaka itu.
Ada suatu perasaan yang aneh dalam rasa ha Wijaya saat itu. Dia bukan lagi dia melainkan
telah berobah menjadi suatu bentuk lain. Bentuk suatu mahluk yang bersayap. Kemudian sebagai
mahluk bersayap ia ingin merentang sayap, ingin terbang ke angkasa ....
Ketegangan itu mencapai pada puncaknya ke ka terdengar ledakan sorak sorai yang
menggetarkan gelanggang. Rumbia yang menaungi bangsal agung seolah berderak-derak digempa
gema bahana sorak yang meledak saat itu.
"Hidup senopati baru !"
"Dirgahayu senopati Singasari yang jaya !"
"Selamat datang senopati pinunjul !"
"Dirgahayu seri baginda Kertanagara!"
Beraneka pekik sorak, teriak jerit dari rakyat manakala menyaksikan Wijaya berhasil merentang
tali gendewa kyai Kagapa . Wijaya terkejut dan pulanglah semangat dan jiwa ke dalam badan
wadagnya. Dan sesaat, ia mendapat kesadaran kembali ba2 ia kendorkan tangan dan tring ....
gendewa itupun jatuh disusul pula dengan tubuh Wijaya yang terhuyung-huyung ke belakang dan
rubuh pula. Gempar pula sorak teriakan seluruh rakyat bahkan para tetamu agung yang berada di bangsal
kehormatan. Mereka terkejut atas peris wa yang tak terduga-duga itu. Rakyat berada dideretan
muka, serentak hendak maju untuk menolong Wijaya tetapi para prajurit penjaga cepat ber ndak.
Mereka segera menghadang rakyat dan menghalau mereka kembali keluar gelanggang. Sementara
demang Widura pun cepat menghampiri ke tempat Wjaya lalu mengangkat tubuh anakmuda itu
untuk dibawa turun panggung.
Tak berapa lama terdengar bende bertalu dan demang Widurapun naik ke panggung pula untuk
mengumumkan bahwa pertandingan sayembara hari itu ditutup dan akan dilanjutkan besok pagi.
Rakyat pulang dengan membawa berbagai perasaan. Mereka kagum dan puas akan apa yang
dilihatnya dalam sayembara itu. Tetapi merekapun masih bertanya-tanya bagaimana dengan nasib
Wijaya yang rubuh tak kabarkan diri itu "Tewaskah ksatrya itu ?" demikian pertanyaan yang
menghuni dalam dada se ap rakyat Singasari. Penampilan Wijaya dalam ga acara pertandingan
itu, telah memikat ha sekalian rakyat. Dan sesuatu yang memikat itu tentu akan menimbulkan
perha an. Dimana perha an mbul maka lahirlah suatu buah yang disebut buah ha . Entah
adakah Wijaya akan mampu mengatasi acara lomba sayembara yang masih dua lagi itu, tetapi
rakyat sudah menjadikannya sebagai buah ha . Puji dan harapan mereka tertumpah ke dalam rasa
keinginan, semoga anakmuda itulah yang kelak menjadi senopati Singasari.
Sebelum memenangkan sayembara, Wijaya sudah memperoleh kemenangan. Kemenangan
merebut ha rakyat Singasari. Namun ia tak menyadari hal itu dan tak menyadari keberhasilannya
merentang gendewa pusaka. Bahkan tak menyadari keadaan dirinya. Ia pingsan sehingga oleh
demang Widura lalu di bawa ke asrama prajurit untuk diberi pertolongan seperlunya.
Beberapa waktu kemudian Wijaya sadar. Tetapi ia rasakan badannya lunglai sekali, tenaga
merana, bayu sungsum serasa lolos.
"Engkau terlalu le h, ki sanak" kata demang Widura yang menjenguk "baiklah engkau bermalam
di asrama ini" "Terima kasih, ki demang " kata Wijaya, "namun hamba rasa, lebih baik hamba pulang"
Demang Widura terkejut "jangan, ki sanak. Engkau masih lemah, baik engkau nggal di sini. Akan
kusuruh prajurit untuk menjaga dan menyediakan segalanya."
"Ah, lebih berat rasa ha hamba menerima kebaikan ki demang, tetapi hal itu hamba rasa
kurang layak. Lebih baik hamba pulang"
"Mengapa kurang layak ?"
"Bila hamba nggal di asrama prajurit sini, tentulah para ksatrya yang ikut serta dalam
sayembara itu, akan mendapat kesan bahwa seolah-olah hamba memang calon yang diajukan oleh
pimpinan prajurit kerajaan."
Demang Widura terkesiap. Tetapi hanya sejenak dan kemudian tertawa "Ya, memang benar
pandanganmu itu, ki muda. Tetapi benar dalam satu hal. Sedang pada hal2 kelanjutannya, daklah
bertemu lagi dengan yang disebut benar itu"
"O " Wijaya tertegun "bagaimana kehendak ki demang?"
"Orang yang mempunyai anggapan seper engkau, tentu akan membenarkan penilaianmu itu.
Maka kukatakan bahwa pandanganmu itu benar "kata demang Widura "tetapi untuk kelanjutan,
anggapan itu akan terbentur dalam kelarutan, pandangan lain. Jelasnya begini. Kami sebagai
nayaka yang mendapat tah seri baginda untuk menyelenggarakan sayembara ini, berhak dan
wajib melindungi se ap ksatrya yang ikut dalam sayembara itu, apabila ksatrya itu mendapat
kecelakaan atau lain-lain kesukaran. Jadi ndakan kami ini, dak semata tertuju pada dirimu pun
pada se ap ksatrya jang ikut sayembara yang mendapat halangan. Bahwa engkau jatuh pingsan
karena kehabisan tenaga lalu kami tolong dan rawat, bukan suatu hal yang berlebih-lebihan karena
hal itu sudah menjadi tanggung jawab kami"
"Kedua" demang Widura melanjut pula "engkau dibayang ketakutan apabila dituduh sebagai
calon yang diajukan oleh fihak prajurit. Itu memang hak mereka untuk menilai dan menuduh.
Karena menuduh itu semudah orang menggerakkan lidah. Lidah tak bertulang serupa dengan
menuduh tanpa bertanggung jawab dapat membuk kannya. Dan andaikata memang benar engkau
menjadi calon dari golongan prajurit, adakah hal itu melanggar peraturan sayembara " Bukankah
se ap kawula, se ap narapraja, se ap mentri dan golongan apa saja, berhak untuk mengajukan
calon yang dijagokan dalam sayembara itu. Lepas dari cemar rasa pamrih dan kepen ngan peribadi
yang tersembunyi dibalik pengajuan calon itu, tetapi ndakan mengajukan calon itu sesungguhnya
dalam ar yang luas, turut serta memikirkan kepen ngan negara. Bukankah kerajaan
membutuhkan seorang senopa " Dan bukankah merekapun ikut periha n untuk memilih calon2
yang sekira dapat mengisi kebutuhan kerajaan itu" Nah, cobalah engkau jawab, ki muda. Adakah
pernyataan ini kurang layak?"
Wijaya terkesiap. Diam2 ia mengakui bahwa sanggahan demang itu memang mempunyai
landasan kebenaran. Akhirnya ia mengangguk dan menyatakan dapat menerima pernyataan
demang itu. "Dan permintaanku kepadamu, ki muda" kata demang Widura lebih lanjut "lepas dari segala rasa
pamrih dan kepen ngan suatu apa. Kecuali hanya melakukan tugas dan kewajiban kami. Ingat ki
muda, engkau masih lemah dan hasil yang engkau capai dalam sayembara siang tadi, cukup
menyilau mata lain2 calon sehingga cukup memberi rangsang kepada mereka untuk melenyapkan
hal yang menusuk pandang mata mereka. Jelasnya, kemenanganmu dalam sayembara itu tentu
akan mengundang rasa iri, dengki dan marah dari lain2 peserta" Wijaya mengangguk.
"Dan mereka bukan ksatrya2 dari Singasari semuanya, sebagian besar berasal dari lain daerah.
Mereka muka2 baru yang belum dikenal ha perangainya. Tidakkah layak apabila aku
mengua rkan keselamatan dirimu, ki muda" Jika engkau sehat dan dalam keadaan biasa,
kuserahkan saja bagaimana engkau hendak menjaga dirimu. Tetapi dalam keadaan seper saat ini
dimana tenagamu masih lemah, dakkah kuanggap bukan suatu hal yang berlebih-lebihan bila aku
mencemaskan dirimu " Itulah alasan yang mendorong tindakanku untuk melindungi engkau dengan
meminta malam ini engkau tinggal di asrama sini"
Wijaya mengangguk angguk. Diam2 ia dapat menerima jalan pikiran demang Widura "Terima
kasih ki demang, atas perha an tuan kepada diri hamba. Hamba menurut saja apa yang tuan
perintahkan" Demang Widura mempunyai kesan baik ke ka menyaksikan ulah Wijaya dalam lomba
pertandingan siang tadi. Dan kini setelah berhadapan, bertukar kata dengan pemuda itu, ia
mendapat kesan pula bahwa pemuda itu memang seorang yang rendah kata, luhur budi dan penuh
penger an. Kesannya yang baik itu makin meningkat, tumbuh menjadi rasa suka. Ia segera
memerintahkan dua orang prajurit untuk menjaga dan melayani keperluan Wijaya. Setelah itu baru
dia tinggalkan asrama itu.
Menjelang petang datang dua orang pengalasan ke asrama "Kami diutus gus pa h untuk
mengundang ksatrya yang dirawat di sini, kakang" kata kedua pengalasan itu ke ka berhadapan
dengan kedua prajurit yang menjaga lempat Wijaya.
Kedua prajurit itu heran "Tetapi ki demang Widura memesan kami supaya menjaganya"
"Hm" desus pengalasan yang bertubuh nggi besar "apakah engkau hendak menolak tah gus
patih Aragani" "Gusti patih Aragani?" kedua prajurit itu membelalak mata. Dia terkejut dan gentar. Mereka
tahu siapa dan betapa kekuasaan patih Aragani. Namun mereka terkejut dan heran mengapa
patih Aragani hendak memanggil ksatrya yang keselamatannya telah dipertanggung jawabkan
kepada mereka oleh demang Widura.
"Bagaimana " Apakah kalian menolak " Jika demikian, aku segera melapor kepada gus pa h"
kata pengalasan itu dengan kata2 yang tandas tetapi mengandung ancaman.
Kedua prajurit itu saling bertukar pandang, kemudian salah seorang kerkata "Tetapi bagaimana
kalau ki demang marah ?"
"Ya, adakah ki sanak yang bertanggung jawab?" kata prajurit kawannya.
"Tentu "sahut pengalasan "katakan bahwa gus pa h Aragani yang menitahkan. Jika ki demang
marah, persilakan saja supaya ke kepatihan"
Memang besar nian kekuasan dan pengaruh pa h Aragani dikalangan keraton. Dengan hanya
menyebut namanya, kedua prajurit yang telah dipaserahi tugas, menjaga Wijaya, telah gugur
nyalinya dan menyerah. "Baik " kata prajurit "harap tunggu akan kukatakan kepada orang muda itu " ia terus masuk dan
tak lama kemudian muncul pula mengiring Wijaya.
Terkesiap kedua pengalasan ke ka berhadapan dengan Wijaya. Wajah anakmuda itu benar2
mengundang rasa patuh dan mengindahkan "Raden, maa an kami "kata pengalasan dengan
ramah. Pada hal tadi ketika menggertak prajurit, dia bersikap congkak dan bengis.
"O, kenapa kalian ki sanak" "tanya Wijaya.
"Hamba pengalasan dari kepa han yang diutus gus pa h untuk mengundang raden supaya
menghadap gusti patih "
"Gusti patih ...."
"Gusti patih Aragani, raden" cepat pengalasan itu mendahului."
"O "desuh Wijaya "mengapa gusti patih hendak memanggil aku ?"
"Soal ini aku tak tahu. Gus pa h hanya menitahkan kami berdua supaya mengantarkan raden
ke gedung kepatihan."
Wijaya tertegun. Diam2 ia berpikir. Apa sebab pa h Aragani ba2 mengundangnya " Iapun
teringat akan keterangan2 dari tumenggung Bandupoyo, dari Sora dan Nambi mengenai Kuda
Panglulut putera menantu pa h Aragani dan pa h itu sendiri. Bukankah pengunduran diri dari
beberapa mentri wredda pa h sepuh Raganata demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre dari
pucuk pemerintahan pura Singasari, adalah karena ulah patih Aragani "
"Mengapa pa h itu menitahkan aku menghadap?" masih Wijaya belum mampu memecahkan
persoalan itu. Aneh benar. Pikirnya "mungkin berkaitan dengan peris wa sayembara siang tadi.
Tetapi Apa kepentingannya dengan diriku?"
"Raden" ba2 pengalasan yang bertubuh nggi besar itu berseru pula "gus pa h menitahkan
hamba agar segera mengantar raden ke kepa han dan karena gus pa h sudah siap menunggu.
Hamba takut apabila terlalu lama, gusti patih akan murka"
"Baik" karena badannya masih lemah, Wijaya rasakan pikirannyapun masih belum terang.
Betapapun hendak memutar otak, namun tetap dia tak dapat menyingkap selubung yang
menyelimu maksud panggilan pa h Aragani itu. Ia memutuskan untuk memenuhi panggilan itu.
Bagaimana langkah selanjutnya baru akan ia per mbangkan setelah menghadap dan mengetahui
maksud patih Aragani nanti.
Demikian Wijaya segera nggalkan asrama itu untuk menuju ke gedung kepa han yang terletak
di luar keraton. "Bagaimana kakang, apabila kita mendapat teguran ki demang?" prajurit yang menjaga Wijaya
bertanya kepada kawannya.
Prajurit yang seorang mengangkat bahu "Lalu apa daya kita" "kemudian dia menghela napas
"begini nasib orang bawahan. Kita hanya menjadi permainan perintah atasan saja. Mereka yang
berebut kekuasaan, mengadu pengaruh, kita orang bawahan yang menjadi korban"
"Lalu bagaimana sikap kita sekarang?" tanya pula prajurit yang pertama.
"Tiada lain jalan" kata kawannya "kecuali hanya menghaturkan keterangan apa adanya manakala
ki demang datang kemari"
"Mudah-mudahan ki demang tak datang lagi"
"Ya . . . " tiba2 prajurit yang seorang itu merentang mata, memandang ke arah muka.
"Mengapa, kakang ?"
"Lihatlah, siapa yarg datang kemari itu" kata kawannya dengan masih melekatkan pandang mata
ke muka. Prajurit yang pertama segera mengiku arah yang dipandang kawannya. Ia terkejut ke ka
melibat dua orang lelaki, seorang bertubuh nggi besar dan seorang agak pendek tetapi kekar,
tengah berjalan mendatangi. Kedua prajurit itu gemetar ha nya. Mereka menyangka bahwa kedua
pendatang itu pengalasan dari demang Widura.
"Prajurit" kata kedua pendatang itu setelah ba dihadapan kedua prajurit "kami diutus pangeran
Ardaraja untuk memanggil raden Nararya supaya menghadap ke keraton"
Kedua prajurit iu menghela napas longgar karena jelas bahwa kedua pendatang itu bukan
pengalasan demang Widura. Tetapi hanya sekejab kesesakan napas itu berhembus keluar, jantung
merekapun sudah berdenyut keras ke ka mendengar keterangan kedua pendatang itu "Siapa yang
ki sanak maksudkan dengan raden Nararya itu ?"
"Apa " Engkau tak tahu raden Nararya ?" seru lelaki nggi besar itu. Sebenarnya dia hanya
berkata biasa tetapi bagi telinga kedua prajurit, nada orang itu sekeras orang menggembor.
Rupanya salah seorang prajurit yang bernama Gana, mbul pemikiran. Ia telah mengalami
peris wa yang pertama yani kedatangan pengalasan dari pa h Aragani. Ia telah menyerahkan
orang yang harus dijaganya, begitu saja. Diam2 ia menyesal karena terlampau mudah untuk
mempercayai keterangan pengalasan itu. Maka menghadapi kedua orang yang mengaku sebagai
pengalasan pangeran Ardaraja, timbullah keraguan dalam hatinya.
"Kami memang tak tahu siapa raden Nararya yang ki sanak katakan itu" katanya.
"Ksatrya yang dalam perlombaan sayembara siang tadi berhasil merentang gendewa pusaka
kerajaan Singasari" "O " desus prajurit Gana "kami baru tahu sekarang. Kami hanya ditugaskan untuk menjaga
ksatrya itu tanpa diberitahu mamanya"
"Hm " desuh orang nggi besar itu "lekas engkau undang raden itu keluar. Pangeran sudah
menunggunya" "Tetapi siapakah ki sanak ?"
"Aku pengalasan gusti pangeran"
"Ya, tadi engkau sudah mengatakan hal itu. Tetapi siapakah nama ki sanak?"
"Lurah Suramenggala, pengawal pendamping gusti pangeran putera menantu baginda"
"Benar" sahut prajurit Gana "asal ki sanak dapat meyakinkan kami tentang hal itu"
"Meyakinkan " Apa maksudmu ?"
"Kami prajurit yang mendapat tugas dari ki demang Widura untuk menjaga keselamatan ksatrya
yang ki sanak katakan bernama raden Nararya itu. Untuk se ap orang yang hendak bertemu
dengan raden itu, kami harus mendapat buk . Maaf, ini tugas dan karena kami belum kenal ki
sanak" "Hm, apa bukti yang engkau kehendaki?"
"Apa saja yang dapat meyakinkan kepercayaan kami bahwa ki sanak benar2 utusan gus


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangeran" Mendengar perkataan itu, lelaki nggi besar menggeram "Siapa yang tak kenal dengan lurah
Suramenggala, pengawal gusti pangeran Ardaraja. Seluruh keraton Singasari tentu tahu"
"Kecuali kami berdua " sahut prajurit Gana "karena kami prajurit kerucuk yang tak tahu suatu
apa kecuali menjalankan tugas"
Suramenggala mulai menyalangkan mata "Apa engkau tak percaya kepadaku, lurah prajurit
Suramenggala?" "Ki lurah" sahut prajurit Gana tak gentar "kami mohon penger an ki lurah Sebagai seorang lurah
prajurit, tuan tentu lebih maklum akan tata ter b keprajuritan. Kami prajurit yang menjalankan
tugas dan menjaga ketertiban tugas itu. Harap ki lurah jangan marah"
"Apa engkau benar2 tak percaya kepada Suramenggala?" wajah Suramenggala mulai
memberingas. "Aku percaya bahwa tuan adalah ki lurah Suramenggala tetapi kami terpaksa harus meminta
buk akan perintah gus pangeran itu oleh karena kami harus bertanggung jawab kepada ki
demang Widura" "Demang Widura" Huh, suruh dia menghadap gusti pangeran!"
"Ki lurah" prajurit Ganapun mulai tak senang, "peraturan dalam kalangan prajurit Singasari
memang demikian. Entah kalau di Daha. Tetapi hendaknya ki lurah maklum bahwa di sini adalah
keraton Singasari, bukan Daha. Jangan tuan menghina ki demang. Ki demang memberi perintah,
sesuai dengan tata peraturan keprajuritan di Singasari. Dan kamipun menjalankan tugas itu sesuai
dengan tata tertib keprajuritan Singasari"
"Setan" ba2 Suramenggala yang tak dapat menahan kemarahannya. Serentak dia terus
menerkam lengan prajurit Gana lalu diputar ke belakang sehingga prajurit Gana terteliku "jika
engkau berani membantah perintah pangeran, kupatahkan tulang lenganmu"
Prajurit Gana tak menyangka bahwa Suramenggala akan ber ndak sedemikian terhadap dirinya.
Jarak mereka amat dekat dan gerakan Suramenggala itu dilakukan secara cepat dan tak terduga-
duga. Sebelum prajurit Gana sempat bergerak, dia sudah dikuasai Suramenggala.
Prajurit yang seorang, Domapun telah dikuasai oleh kawan Suramenggala yang telah melekatkan
ujung pedang ke dada Doma. "Mau apa engkau, ki sanak "seru Doma.
Kawan Suramenggala itu bernama Kidung. Dia menjawab "Jangan banyak ngkah! Berani
bergerak, dadamu akan kutembus dengan ujung pedang ini"
"Ki sanak " seru Doma "kalau engkau mau membunuh aku, silakan ! ".
"Kecuali engkau menolak perintah kakang lurah Sura, engkau tentu kubunuh."
"Lekas bawa raden itu keluar "hardik Kidung.
"Apa yang harus kubawa keluar ?"
"Raden Nararya! " bentak Kidung.
Prajurit Doma gelengkan kepala "Maaf, tak dapat!"
"Hai, engkau benar2 hendak membangkang ?"
Kembali prajurit Doma gelengkan kepala "Bukan hendak membangkang tetapi karena raden itu
sudah tak berada di sini"
"Gila!" teriak Kidung seraya ajukan ujung pedangnya sehingga dada prajurit Doma terasa perih
dan basah. Ia menunduk dan melihat darah bercucuran dari dadanya"
"Engkau boleh berbuat apa saja. Bahkan boleh pula membunuh aku, tetapi raden itu memang
benar2 sudah tak berada di sini!
"Kenapa?" "Dia sudah diambil oleh pangalasan gusti patih"
"Hai! " Kidung terkejut "gusti patih siapa ?"
"Gusti patih Aragani "
"Bohong !" Prajurit Doma tertawa mencemoh "Jika tak percaya, silakan masuk mencarinya"
Suramenggala terkejut dan tanpa disadari ia lepaskan lengan prajurit Gana lalu loncat
kehadapan prajurit Doma "Jika engkau berani membohongi aku, kupenggal lehermu !"
"Silakan periksa ke dalam ruang ini " Melihat sikap dan ucapan prajurit Doma sedemikian
mantap, Suramenggala meragu "lalu kemanakah raden itu?"
"Telah kukatakan, dia telah dibawa oleh pengalasan dari gusti patih Aragani"
"Bilamana peristiwa itu terjadi ?"
"Baru beberapa kejab saja. Sesaat mereka pergi, kalian datang"
"Kidung, periksa ke dalam ruangan " seru Suramenggala. Dan Kidungpun terus masuk. Tak berapa
lama dia keluar lagi "Benar, raden itu memang tak berada di dalam"
"Benarkah raden telah dibawa pengalasan dari gusti patih" " Suramenggala menegas pula.
"Ya" sahut prajurit Doma.
"Jika engkau berani berbohong, aku akan kembali untuk
mengambil kepalamu " Suramenggala menarik Kidung diajak lari menyusul "cepat kita kejar
mereka!" Kedua pengalasan itupun lari sekencang angin berhembus. Dan langkah merekapun beruntung
mendapat hasil. Di penghujung lorong yang membelah ke mur, mereka melihat sosok2 hitam yang
tengah berjalan menyusur jalan. Dan cepat pula mereka dapat melihat jelas bahwa sosok2
bayangan itu terdiri dari ga orang lelaki "Itulah mereka " Suramenggala berseru dan kencangkan
lari. Kira2 masih sepuluhan tombak jauhnya, dia sudah berteriak "Hai, kalian berhenti dulu"
Rupanya ke ga orang yang dikejar itupun sudah dapat menangkap derap lari Suramenggala dan
Kidung. Tepat pada saat mereka berpaling maka terdengarlah Suramenggala berteriak dan ba di
belakang mereka. Ke ga orang itu tak lain adalah kedua pengalasan pa h Aragani yang mengiring Wijaya.
Pengalasan yang bertubuh, nggi besar bernama Pradongga dan yang bertubuh kekar bernama
Roban. Merekapun berhenti dan bersiap-siap.
"Raden Nararya" serentak berhenti maka Suramenggala pun berseru memanggil Wijaya.
"O, engkau ki lurah Suramenggala " balas Wijaya:
"Benar raden " kata Suramenggala "aku diutus gus pangeran untuk mengundang raden.
Kemanakah sekarang raden hendak pergi ?"
Wijaya terkejut. Bahwa pangeran Ardaraja tentu ikut menyaksikan lomba sayembara siang tadi,
dia dapat menduga. Tetapi bahwasanya pangeran itu hendak memanggilnya, dia tak menyangka
sama sekali. "O, pangeran hendak memanggil aku?"
"Ya" "Mengapa ki lurah?"
"Entahlah, raden," kata Suramenggala "aku hanya diutus saja. Mari raden, pangeran sedang
menunggu " dia terus menghampiri ke tempat Wijaya.
Melihat dirinya tak dihiraukan seolah tak dianggap sama sekali, marahlah pengalasan dari pa h
Aragani itu "Jangan mengganggu raden ini! " bentak Pradongga.
Suramenggala menyalang mata "Huh, siapa engkau !" ia terus mendorong Pradongga. Melihat
Suramenggala sedemikian kasar, bicara mulut bergerak tangan, Pradongga pun makin marah. Ia
songsongkan tangannya untuk mendorong tangan Suramenggala.
"Huh, huh . . ." terdengar dua buah suara mulut, mendesuh kejut dan kedua pengalasan nggi
besar itu masing2 tersurut mundur selangkah. Keduanya tegak, saling beerdiri menggagah, mata
membelalak lebar. "Aku pengalasan dari gus pa h Aragani untuk mengundang raden ini ke kepa han " seru
Pradongga. "Tidak" teriak Suramenggala "gus pangeran menitahkan supaya raden Nararya dibawa
menghadap ke dalam keraton gusti pangeran"
Pradongga terkejut dalam ha . Mengapa pangeran Ardaraja juga menginginkan ksatrya itu
menghadap kepadanya " Ia menimang bahwa pa h Aragani memang berkuasa penuh dan
berpengaruh besar terhadap para mentri senopa kerajaan. Tetapi yang dihadapinya sekarang
bukanlah mentri atau senopa melainkan pangeran Ardaraja, menantu baginda. Mungkinkah pa h
Aragani akan lebih berkuasa dari putera menantu baginda?"
"Eyah!" ba2 Suramenggala dengan kasar menyiak tubuh Pradongga. Pradongga terkejut dari
lamunan. Ia menyurut mundur selangkah sehingga tangan Suramenggala tak mengenai tubuhnya.
"Ki sanak, jangan sekasar itu ulahmu" seru Pradongga "engkau utusan akupun utusan. Engkau
melakukan tugas, demikianpun aku."
"Tetapi aku utusan gusti pangeran."
"Se ap orang dapat mengaku utusan pangeran bahkan dapat juga mengaku sebagai utusan
baginda. Tetapi dapatkah engkau membuktikan bahwa dirimu itu benar utusan dari pangeran?"
"Gila !" teriak Suramenggala "siapa yang tak kenal Suramenggala itu pengawal pangeran
Ardaraja" Coba engkau tanya kepada raden Nararya"
"Aku bertanya kepadamu, bukan kepada lain orang. Yang kupercaya adalah keteranganmu"
"Hayo engkau ikut menghadap pangeran Ardaraja. Jika aku bohong, bunuhlah. Tetapi jika engkau
sudah mendapat bukti bahwa aku benar utusan pangeran, engkau kubunuh"
Pradongga tertawa dingin "Bunuh membunuh harus memandang waktu dan tempat yang tepat.
Andaikata engkau hendak memaksakan suatu kepercayaan kepada, bahwa engkau ini ki lurah
Suramenggala, prajurit pengawai gus pangeran Ardaraja, akupun dengan terpaksa akan menerima
keterangan itu" "Jika begitu engkau seorang berpikiran sadar dan kuminta segeralah engkau serahkan raden
Nararya kepadaku. Jangan sampai gusti pangeran marah karena kesal menunggu terlalu lama"
Istana Yang Suram 18 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 8
^