Pencarian

Iblis Dari Neraka 1

Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka Bagian 1


IBLIS DARI NERAKA Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Satria Gendeng
Dalam Episode :
Iblis Dari Neraka
128 Hal.; 12 x 18 Cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 SEORANG pemuda berusia belasan
merenung sendiri di sebentang pagi yang dikurung mendung. Mendung di angkasa
sana, seakan bertakhta pula di wajahnya. Wajah tampan. Bergaris rahang jantan.
Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan.
Angin dingin berlarian. Pakai-
annya diusili, bergeletaran
kecil. Juga rambutnya. Juga kulitnya. tapis tak mengusik keheningannya. Tak
menggugah kebisuannya. Si pemuda tetap diam. Duduk bersandar dan bertopang dagu
di atas dahan pohon besar.
Matanya menombak lurus dan senyap ke arah ubun-ubun mentari merah muda di tepi
bumi sebeiah tmur.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu
putih dari kulit hewan. Bercelana pangsi putih sebatas lutut. Pada kain putih
pengikat pinggangnya terselip semacam tongkat pendek berwarna hitam.
Berpangkal logam perak kepala naga, berujung logam perak ekor naga.
Beberapa waktu belakangan, ada
banyak bayang-bayang kejadian menjajah benaknya. Membuatnya lebih sering terdiam
seperti saat ini dilakukan.
Baginya, betapa hidup begitu
sulit untuk dipahami. Mencari satu maknanya saja terasa tak cukup usia yang
dimiliki. Setiap kejadian seakan
terputus sama sekali dengan kejadian lain. Terputus karena dibatasi sekat waktu.
Namun siapa nyana, semuanya ternyata berkait seperti rantai tak terputus. Dan
ujung rantai itu adalah pernyataan bahwa hidup bukanlah
miliknya semata. Melainkan juga milik Sang Pemilik Kejadian dan Waktu itu
sendiri. Renungan si pemuda terpenggal.
Ada suara di kejauhan. Mengu-
siknya. Seekor kuda berlari kencang.
Mengarak debu tinggi dan panjang.
Penunggangnya seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun. Berpakaian biru tua.
Mengenakan ikat kepala kuning berlambangkan satu perguruan silat bergambar
cemeti lidah api. Di
wajahnya tergambar ketergesaan luar biasa bertumbukkan dengan ketakutan.
Dilarikannya kuda bagai kesetanan.
Pemuda tadi tertarik. Dia melom-
pat turun dari dahan pohon. Kebetulan sekaii penunggang kuda melewati
tempatnya. Segera saja dia berteriak, mencoba menghentikan.
"Tunggu, Kakang!"
Kuda meringkik karena tali kekang ditarik mendadak. Lalu berhenti tak jauh di
depan pemuda tadi. "Kenapa tampaknya Kakang tergesa-gesa sekali"
Dan dari wajah Kakang, tampaknya ada kesulitan. Apakah aku bisa mem-
bantumu?" tegur si pemuda belasan.
Tanpa turun dari kuda tung-
gangannya, lelaki tiga puluhan tadi berkata, "Aku tergesa-gesa, Adik Muda.
Tolong jangan kau halangi jalanku!"
Suara keras. Bukan karena berniat membentak. Melainkan karena dia
dipengaruhi ketergesaannya.
"Maaf, Kakang. Aku bukan hendak menghalangi jalanmu. Aku hanya berharap dapat
membantu jika kau punya kesulitan. Sungguh...."
Penunggang kuda menggeleng sing-
kat. "Sayang. Aku tak yakin kau dapat membantu...."
Setelah itu digebahnya kuda hitam tunggangannya dengan
hentakan kuat berbareng teriakan keras. Kuda meringkik kembali. Lebih keras. Didahului dengan
mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi akibat hentakan yang membuatnya
terkejut, kuda itu pun melanjutkan lari.
Mau tak mau, si pemuda menying-
kirkan tubuh ke sisi jalan agar tak terlanggar kuda.
"Izinkan aku membantumu, Kang!"
seru si pemuda penasaran begitu kuda melewatinya. Jawaban yang didapat cuma
teriakan-teriakan menggila si penunggang untuk memacu lari kuda lebih cepat. Dan
debu yang melayap ke
wajahnya. Si pemuda berambut kemerahan
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dibuntutinya terus penunggang kuda tadi
dengan pandangan. Menjauh dan makin jauh. Sampai dilihatnya penunggang tadi
membalikkan lari kudanya kembali ke arahnya.
"Baiklah. Mungkin kau
bisa menolong kami!" ujarnya, dengan napas terengah-engah.
"Kenapa kau berubah pikiran, Kang?" tanya si pemuda.
"Tak ada waktu menjelaskannya!
Tapi, akan kujelaskan juga dengan singkat. Aku berubah pikiran karena kulihat
kau memiliki senjata itu!"
sahut penunggang kuda. Matanya melirik ke ikat pinggang si pemuda. Pada
tongkat naga hitam pendek.
Si pemuda turut melirik ke arah
ikat pinggangnya. Wajahnya memperlihatkan mimik ketidak mengertian.
Kenapa karena senjata di pinggangnya"
"Tak ada waktu untuk menje-
laskan!" seru si penunggang kuda, ketika mata pemuda yang menawarkan pertolongan
bertanya dengan pandangan matanya. "Sebaiknya cepat kau pergi ke utara. Sekitar
sepenanakan nasi
berkuda, kau akan menemui perguruan silat kami. Di sana ada seorang yang sedang
mengamuk membantai anggota perguruan!"
Belum lagi kalimatnya selesai,
lelaki penunggang kuda sudah memutar kudanya dan menggebah kembali.
"Kakang sendiri hendak ke mana"!"
tanya anak muda belasan.
"Aku harus memberitahukan hal ini pada Guru Besar kami! Dia sedang
beristirahat di pendapanya di Lembah Kaliangkrik!"
* * * Perguruan Cemeti Api.
Terletak di sebelah utara wilayah Kaliangkrik. Di sana sedang terjadi kekacauan
besar ketika si pemuda
berambut kemerahan tiba. Kekacauan yang sebenarnya lebih tepat disebut prahara
berdarah. Kancah di mana nyawa begitu gampang beterbangan.
Satu orang tokoh sesat sedang
mengamuk membantai satu persatu murid Perguruan Cemeti Api yang sedang
ditinggalkan guru besarnya itu. Satu persatu nyawa terbang. Teriakan demi
teriakan maut melengking bersahutan.
Tumpang-tindih. Satu memenggal yang lain. Pelataran perguruan telah banjir oleh
darah. Tak kurang dua puluh orang telah menemui ajal. Perbuatan teramat biadab!
Tokoh sesat itu adalah seorang
kakek tua seram. Kurus-kering tubuhnya. Berjubah hitam pendek sebatas paha.
Berjenggot putih amat panjang
hingga mencapai lutut. usia yang
demikian tua, membuat wajahnya di-penati oleh kerut-merut. Sampai-
sampai, pipi di bagian bawahnya ber-gelantungan.
Kira-kira seperempat hari sebe-
lumnya, orang tua keji itu datang mengikuti seorang murid Cemeti Api yang baru
pulang bertandang dari
perguruan sahabat di Wadaslintang.
Diam-diam, dia menyusup masuk ke dalam perguruan tanpa diketahui. Bangunan utama
perguruan dimasukinya. Demikian juga pondokan para murid. Dia mencari-cari
sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Ketika yang dicarinya tak kunjung ditemukan, timbul kegusarannya. Kakek tua itu
keluar ke pelataran perguruan.
Di sana dia berteriak-teriak berg-muruh dengan penyaluran tenaga dalam tinggi.
Seluruh penghuni Perguruan Cemeti Api tersentak. Mereka berhamburan keluar.
Pancasona mencoba menanyakan
maksud kedatangan tak santun tamu tak diundang itu.
"Apa maksud kedatanganmu ke
tempat kami, Orang Tua?"
"Aku mencari seorang pemuda!"
jawab sang tamu tak diundang.
"Di sini banyak pemuda. Pemuda yang mana yang kau maksud" Siapa
namanya?" "Tak peduli siapa namanya. Yang jelas, pemuda itu membawa senjata pusaka....
Kail Naga Samudera!'
Hanya Pancasona yang terperanjat
mendengar kalimat terakhir tamu tak diundang tadi. Di antara para murid, dialah
yang paling banyak tahu tentang dunia persilatan. Termasuk Kail Naga Samudera.
Gurunya yang tergolong
kalangan tua sering bercerita tentang seluk-beluk dunia persilatan padanya.
Tentang tokoh-tokohnya, tentang kejadian kejadiannya Juga tentang senjata-
senjata pusaka yang pernan menciptakan kegegeran.
Salah satunya tentang Kail Naga
Samudera. Senjata pusaka yang sudah demikian lama menghilang dari dunia
persilatan. Dikabarkan hanyalah bagian dongeng belaka. Menurut selentingan
cerita senjata itu sebenarnya adalah cemeti milik salah seorang dari tiga
Jendral Tiongkok yang diutus Kubilai Khan untuk menyerang Prabu Kertanegara,
Raja Singasari.
Alkisah, ketiga Jendral Tiongkok
ini diperintah Kubilai Khan, cucu Jengis Khan Sang Penakluk Perkasa dari Mongol,
untuk membalas penghinaan Raja Kertanegara terhadap utusan Tiongkok bernama
Meng-ki. Telinga Mengki dibuat cacat oleh Raja Kertanegara. Pasukan besar
Tiongkok pun menyertai ketiga jendral itu.
Setibanya di tanah Jawa Raja
Kertanegara ternyata sudah wafat.
Kerajaan Singasari telah ditaklukkan oleh Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang.
Sementara itu, Kerajaan
Majapahit didirikan oleh menantu Prabu Kertanegara, Raden Wijaya. Raden
Wijaya sendiri saat itu sedang diburu oleh pihak Kediri.
Dengan siasatnya, pasukan Tiong-
kok akhirnya dikelabui oleh Raden Wijaya. Dia memanfaatkan kekuatan pasukan
Tiongkok untuk menyerang
Singasari yang telah dikuasai oleh Jayakatwang. Ketiga Jendral Tiongkok; Chepi,
Jhekomisu, dan Kau Hsing tak pernah menyadari Singasari telah
dikuasai Kediri. Mereka yang masih menyangka Prabu Kertanegara menguasai
Singasari segera menyerbu. Pasukan Raden
Wijaya membantu penyerangan
tersebut Untuk meruntuhkan kekuasaan Jayakatwang yang telah merebut Kediri.
Negeri Majapahit yang semula
hendak dibumi hanguskan tentara Kediri pun dapat diselamatkan berkat bantuan
tentara Tiongkok.
Sampai akhirnya, Daha sebagai
pusat pemerintahan Kediri jatuh.
Kerajaan Kediri berhasil dikuasai oleh bala tentara Tiongkok dan bala tentara
Raden Wijaya. Chepi sebagai salah seorang
perwira Tiongkok menganggap Raden
Wijaya telah berjasa dalam membantu penyerangan mereka. Dia hendak meng-
hadiahkan Raden Wijaya satu cambuk pusaka berbentuk naga.
Sebelum niatnya terlaksana, Raden Wijaya telah berbalik menyerang bala tentara
Tiongkok. Mereka hendak diusir dari tanah Jawa. Saat kekacauan itu, cambuk Chepi
yang telah menelan banyak nyawa dicuri, dan menghilang tanpa diketahui rimbanya
seiama ratusan tahun.
Seperti diketahui, orang terakhir yang memiliki cambuk pusaka itu
ternyata adalah Ki Kusumo, si Tabib Sakti Pulau Dedemit. Dialah yang telah
menemukan benda pusaka itu berada di Pulau Dedemit. Dinamakannya cambuk pusaka
itu, Kail Naga Samudera. Sebelumnya, tali cambuknya diganti
dengan ekor pari pelangi dan disimpan kembali di tempat rahasia. Sampai akhirnya
Satria menemukan tanpa
sengaja cambuk pusaka itu. (Bacalah episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera")
"Kenapa kau mengira kalau salah seorang murid perguruan kami memiliki Kail Naga
Samudera, Orang Tua?" tanya Pancasona lebih jauh, setelah seluruh cerita tentang
Kail Naga Samudera terlintas di benaknya.
"Aku curiga,
pemuda itu akan
memperdalam jurus-jurus cemeti di
perguruan ini! Lagi pula, bukankah guru besarnya sudah lama memimpikan benda itu
untuk dijadikan senjata-nya"!"
Pancasona memperlihatkan senyum
kecil. Dia tak bermaksud mengejek.
Hanya dianggapnya lucu perkataan orang tua tadi.
Senyum kecil itu justru dianggap
lain oleh kakek tua kurus.
Kecurigaannya makin menyubur dalam dirinya. Dia menganggap Pancasona sengaja
menyembunyikan sesuatu. Makin kuat dugaannya kalau Perguruan Cemeti Api memang
telah menerima seorang murid baru yang membawa Kail Naga Samudera.
Akibatnya, dia pun mengamuk. Jauh lebih buas dan ganas dari seekor singa hutan
jantan kelaparan. Caranya
membunuh mengingatkan siapa pun pada ketelengasan seekor ular mematuk
katak. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, ketika itu pula darah kental
kehitaman tersembur. Dan nyawa pun terpental dari raga sang korban.
Di sekujur tangan dan kakinya
yang terus berkelebat, berpusingan asap tipis membentuk lingkaran-lingkaran
kecil. Lingkaran-lingkaran asap tipis sesekali berubah warna menjadi merah bara.
Menyala. Menerkam ke calon korban.
Korban kesekian tersungkur.
Tubuhnya nyaris mengering. Biru
kehitaman. Berdebam di bumi, dan melepas
asap tipis kelam.
Pemuda berambut merah berdiri
tercekam di pintu gerbang perguruan.
Tak berkedip, disaksikannya seluruh kejadian. Hati kecilnya tertikam
geram. Dia tak habis mengerti mengapa sampai ada orang sebegitu tega
membunuh sekiah puluh nyawa. Dan masih pula tak cukup. Dari apa terbuat
hatinya" Darahnya dibuat mendidih.
Melepuhkan perasaannya.
Dia merasa harus bertindak.
Harus! "Berhenti kau manusia dur-
jana!!!!" serunya nyaris berupa pekik bergeletaran. Suara teriakannya teramat
mengguntur. Kekuatannya menyebabkan gerbang berderak. Pagar perguruan dari
susunan potongan batang pohon bergetar. Debunya berguguran. Permukaan bumi bagai
diusik lini. Dedaunan di dahan pohon-pohon randu yang tumbuh di sekitar pelataran perguruan
turut berguguran. Mayat-mayat yang bergelimpangan, sekedipan mata tersentak
berbarengan, seolah nyawanya berjuang untuk kembaii.


Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayangnya, beberapa murid per-
guruan pun harus menerima akibat.
Mereka langsung mendekap telinga kuat-
kuat. Dengan tubuh mengerut. Untung saja akibat itu tak terlalu parah bagi
mereka. Tak ada yang sempat jatuh tak sadarkan diri.
Sebentuk kesaktian yang sebenar-
nya tak pantas dimiliki oleh orang semuda dia. Usianya belasan.
Sementara suara bertenaga dalam
dengan tingkat seperti itu hanya bisa didapat tokoh-tokoh tua tertentu yang
telah mencapai tingkat olah kanuragan tertentu pula.
Hal luar biasa.
Menyentak amukan si kakek kurus
jelek. Memenggalnya dalam sekejap.
Kakek telengas itu menghentikan
seluruh gerakan mautnya. Berhenti dalam kuda-kuda terakhir. Mata kelabunya
memburu ke arah datangnya suara.
Ditemukannya pemuda berambut merah tadi.
"Siapa kau, Cah! Seberapa besar nyalimu hingga berani-beraninya kau menghentikan
aku!!" geram kakek kurus jelek, padat ancaman. Suaranya serak terseret.
Terdengar dalam, buas dan menerkam nyali.
"Siapa kau, Kakek Busuk! Seberapa keras hatimu sampai kau tega berbuat sekejam
itu pada mereka"!" balas pemuda berambut merah. Matanya
membersitkan kobaran kemarahan.
Sesuatu akan segera terjadi.
Nampaknya adalah pertarungan
sengit. Seorang anggota Perguruan Cemeti
Api terlihat melompat mendekat ke arah si pemuda. Dari penampilannya, tampak
kalau dia termasuk salah seorang murid perguruan yang cukup berpengaruh.
Wajahnya keras, memperlihatkan ketegasan sikap dan ketegaran hati.
Mengenakan pakaian merah api, berbeda dengan anggota perguruan lain yang
mengenakan pakaian warna biru tua seperti penunggang kuda yang ditemui pemuda
berambut merah beberapa waktu lalu.
Namanya Pancasona. Murid tertua
Perguruan Cemeti Api yang diberi
kepercayaan memimpin perguruan selama Guru Besar Cemeti Api sedang menyepi.
Orang satu ini rupanya tak begitu yakin pada kehadiran si pemuda. Tak yakin pada
kemampuannya. Apalagi dapat menghadapi kakek kurus kering.
"Pergi dari sini, Adik Muda!"
peringatnya keras.
Pemuda berambut merah menoleh.
"Apa yang sesungguhnya telah terjadi, Kang"!" tanyanya.
"Bukan urusanmu, Adik Muda. Kau harus segera menyingkir dari tempat ini. Aku tak
mau terjadi apa-apa pada dirimu!"
Bukannya menyingkir, pemuda be-
rambut merah malah melangkah melewati gerbang perguruan. Langkahnya tak
memperlihatkan dia memiliki tingkat ilmu peringan tubuh yang tinggi.
Serampangan. Walau diwarnai kesan kegarangan.
"Aku tak akan menyingkir dari tempat ini kalau kakek busuk itu tak menyingkir
lebih dahulu!" tandasnya sengit. Wajahnya tak berkedip mendelik penuh-penuh pada
kakek kurus. "Bocah bau kencur keparat! Besar sekali nyalimu memerintahkan aku Ki Ageng Sulut
menyingkir dari tempat ini!"
Pandangan Pancasona menyergap
wajah kakek tua yang berdiri dengan segenap kebengisannya. Tiba-tiba hatinya
bergetar hebat. Ki Ageng Sulut"
Tak beda dengan Pancasona, pemuda berambut merah pun seketika menatap kakek
kurus kering dengan pandangan mata menombak tajam.
"Ki Ageng Sulut...," desisnya perlahan, namun terisi kegeraman
penuh. * * * 2 KI Ageng Sulut. Nama yang tak
asing lagi bagi si pemuda berambut kemerahan. Mendengar nama itu, me-
ngingatkannya pada kejadian silam.
Tentang kematian mengenaskan seorang
wanita yang dekat dengan dirinya.
Wanita yang disayangi sebagaimana anak menyayangi ibunya sendiri. Kendati dia
bukanlah darah dan daging wanita itu.
Nama wanita itu Nyai Cemarawangi.
Mati akibat pukulan Ki Ageng Sulut yang tak lain dedengkot golongan sesat
berjulukan menggetarkan Iblis Dari Neraka!
"Rupanya kaulah orangnya," geram anak muda belasan yang pernah begitu dekat
dengan Nyai Cemarawangi. Siapa dia" Dia adalah Satria. Lelaki hijau yang baru
saja memasuki kancah
persilatan. Dalam waktu yang terbilang singkat, dia berhasil membuat kegegeran
dengan mengoyak-ngoyak kekuatan gerombolan perampok besar di sekitar Pesisir
Selatan Jawa Tengah, Laskar Lawa Merah. Pemimpinnya berhasil
dilemparkan ke neraka!
Sejak hari itu, namanya sering
dihubung-hubungkan dengan sesepuh di antara sepuh dunia persilatan yang terkenal
dengan julukan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Bukan cuma itu, beberapa
kalangan mulai menyebut-nyebut dirinya sebagai seorang pendekar muda baru yang
siap menjadi besar. Mereka pun tak luput memberinya julukan. Satria Gendeng!
Satria Gendeng" Ya, julukan yang
lahir karena kekhasan jurus-jurusnya.
Gerakan-gerakan tempur maut yang
begitu mirip dengan tingkah orang sinting! Jurus warisan dari sang guru,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Kenyataannya, orang tua sakti
bertabiat kurang waras itu belum lagi tuntas menurunkan segenap kesaktiannya
pada Satria. Selama ini, hanya terbatas pada jurus-jurus awal saja yang
diturunkan. Kalau dengan sebegitu saja si
pemuda berambut merah sudah demikian menggedor dunia persilatan, bagaimana pula
jika dia telah berhasil menerima seluruh warisan ilmu kesaktian sang dedengkot"
Setelah tiga bulan berlalu,
Satria belum sekali pun bertemu kembali dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bernama asli Dongdongka itu.
Dia melanglang tanpa tujuan. Melang-kahkan kaki ke mana pun kaki hendak menuju.
Satu hal yang memancing niatnya
untuk meneruskan perjalanan adalah keinginan untuk bertemu dengan
Tresnasari. Lalu bagaimana dengan Mayang seruni" Gadis yang begitu mirip dengan
Tresnasari" Gadis yang tak disangka tak diduga ternyata putri Dirgasura, si
pemimpin gerombolan perampok Laskar Lawa Merah" (Lihat kembali episode
sebelumnya : "Kail Naga Samudera")!
Dendam pun merangas cepat di
sekujur dada Satria. Bagai api yang lahap melalap.
Tercetus dengusnya.
Termuntah murkanya.
Bayaran setimpal harus dituntut.
Nyawa dilunasi nyawa!
"Kau harus mati di tanganku, Manusia Busuk Keji!" maki Satria.
Otot di sekujur tangannya menge-
ras. Uratnya seperti menggelembung Hat. Perlahan, dalam getaran hebat
digenggamnya gagang tongkat kecil berbentuk naga yang terselip di kain ikat
pinggangnya. Sret! Wajah Ki Ageng Sulut berubah.
Matanya nyalang, menemukan benda dalam genggaman calon lawannya kini. Sebentar
kemudian terdengar bisiknya.
"Kail Naga Samudera...."
Hampir berbarengan dengan bisikan kakek kurus itu, Pancasona pun
mendesiskan kalimat serupa.
Dan, senjata pusaka Kail Naga
Samudera terangkat tinggi di tangan Satria. Mengabarkan ancaman.
* * * Jauh dari prahara di Perguruan
Cemeti Api, tepatnya di wilayah
Tanjung Karangbolong, tempat di mana beberapa waktu lalu seorang anak muda
ditempa ilmu olah kanuragan oleh dua
tokoh dunia persilatan kalangan atas, Tabib Sakti Pulau Dedemit dan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di sana terdapat gubuk kecil. Di gubuk itu pula
dua tokoh ternama tersebut kini berada.
Seperti diketahui, Ki Kusumo
alias Tabib Sakti Pulau Dedemit
mengalami luka berat setelah bertarung amat sengit dengan seteru lamanya Iblis
Dari Neraka. Sepasang kaki Ki Kusumo dibuntungi oleh kakek bengis bernama Ki
Ageng Sulut itu. Hanya karena Ki Kusumo tak sudi mengobati penyakit menahun yang
diderita Ki Ageng Sulut.
Dalam keadaan luka parah dan
banyak kehilangan darah, Ki Kusumo mati-matian pulang ke Tanjung Karangbolong.
Kebetulan di sana ada De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Sesepuh para sepuh dunia persilatan tanah Jawa
itu selama beberapa lama memang sedang menggodok Satria, menurunkan kesaktiannya
pada murid 'gendeng'nya.
Sementara Satria sendiri sudah
meninggalkan tempat tersebut
untuk menyelamatkan Mayangseruni yang menurut kabar dari seorang prajurit Demak telah
disandera oleh kawanan begal Laskar Lawa Merah.
Ketika itulah tergelar
dua pilihan di hadapan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedua-duanya sama-sama
sulit. Antara menolong Ki Kusumo
terlebih dahulu, atau menyusul muridnya yang jelas-jelas terancam oleh Ki Ageng
Sulut. Sebab menurut Ki Kusumo sendiri, datuk aliran sesat itu
menghendaki Kail Naga Samudera. Di lain sisi, Satria telah pergi membawa senjata
pusaka itu tanpa membertahukan tujuannya (Bacalah episode sebelumnya
: "Kail Naga Samudera")!
Dongdongka saat itu ibarat men-
dapatkan buah simalakama. Serba-salah.
Kalau diputuskan menolong Ki Kusumo, maka nyawa Satria yang akan terancam.
Sebaliknya, kalau diputuskan untuk menyusul Satria, justru
nyawa Ki Kusumo yang akan melayang. Membingungkan. Kalau kepalanya masih berambut, bisa-
bisa menjadi rontok. Untung sudah klimis sempurna!
Sesakti-saktinya dia, tak mungkin dia berada di dua tempat dalam waktu yang
sama. Kalaupun banyak desas-desus kalangan persilatan tanah Jawa
rnenyebutkan dirinya bisa terlihat di dua tempat dalam waktu yang sama, itu tak
menjamin dia bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus di dua tempat tersebut.
Kejadian yang disaksikan beberapa orang persilatan itu sebenarnya hanya bentuk kewaskitaan batin
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Karena kemampuan batinnya sudah
mencapai taraf waskita, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dapat melepas sementara badan halusnya dan
meninggalkan wadagnya dengan cara bersemadi. Orang yang tak memiliki ketajaman
mata batin, tentu mengira badan halus yang disaksikannya adalah Dongdongka
sendiri. Akhir-akhirnya, Sang Sesepuh
memutuskan untuk menyelamatkan Ki Kusumo terlebih dahulu. Menurut penilaiannya,
keadaan Ki Kusumo jauh lebih mendesak. Dalam beberapa saja, orang tua ahli
pengobatan itu akan mati kehabisan darah. Kendati untuk
melaksanakan itu Dongdongka sempat juga menggerutu sepanjang arak-arakan semut
rangrang! Sambil berharap-harap cemas agar murid bandelnya tak cepat-cepat
ditemukan oleh Ki Ageng Sulut.
"Kusumo, kira-kira ke mana bocah itu pergi, ya?" tanya Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Ki Kusumo masih belum pulih benar. Masih terbaring di atas balai. Kedua
kakinya terbalut kain putih. Setelah sekian lama dalam perawatan, kaki
buntungnya sudah
mengering. Sebenarnya, Dongdongka tak cukup pandai merawat Ki Kusumo. Pada
awalnya, tua bangka bertabiat gila gilaan itu hanya menotok jalan darah di
bagian kaki Ki Kusumo yang telah buntung sebatas lutut. Tujuannya agar darah
tidak lagi mengalir keluar.
Selanjutnya, dia menyalurkan hawa
murni selama hampir tiga hari tiga malam. Terus menerus, tanpa henti.
Hari ke empat, saat Dongdongka sendiri sudah nyaris kehabisan tenaga, Ki Kusumo
baru siuman. Setelah siuman itulah, Dongdongka meminta petunjukKi Kusumo agar dia dapat
melakukan perawatan secara baik sebagaimana seorang tabib. Setidak-tidaknya
tabib karbitan! Dengan
petunjuk dari Ki Kusumo, Dongdongka pun dapat membuatkan ramuan-ramuan khusus
untuk pemulihan kesehatan tabib ternama tanah Jawa itu.
Sampai hari ini, hasilnya sudah
terlihat. Wajah Ki Kusumo sudah tak tampak memucat lagi. Meski masih
lemah, namun sudah jauh lebih baik keti-bang hari-hari sebelumnya. Lebih jauh,
bahkan dia sudah bisa bangkit.
Meski hanya duduk di tepi balai.
"Apakah Satria tidak bilang ke mana dia hendak pergi, Panembahan?" Ki Kusumo
balik bertanya. Dari berbaring, ia mencoba duduk. Tak beradat rasanya berbincang
dengan orang yang jauh lebih tua dengan berbaring, nilai Ki Kusumo.
Dongdongka sendiri sedang duduk
bertopang dagu di pintu gubuk. Seperti perawan menunggu perjaka tunangan.
Wajahnya asam. Tak enak dipandang.
Malah masih lebih enak memandang
bakiak butut berjamur.
Terdengar Dongdongka menggerutu.
"Kalau dia bilang, sudah aku susul bocah gendeng itu. Kau ini
bagaimana, Kusumo"!"
Wajah Ki Kusumo berubah cemas.
"Aku khawatir Ki Ageng Sulut menemukannya," desahnya.
"Aku juga khawatir begitu,"
timpal Dongdongka. Wajahnya bertambah asam.
"Kalau saja aku sanggup men-
carinya," gumam Ki Kusumo.
"Kalau saja aku tak sedang mera-watmu," balas Dongdongka. Sepertinya dia
mengungkit-ungkit keputusan untuk menolong Ki Kusumo. Sepertinya dia menyesal.
Padahai tidak. Ikhlas tidak ikhlas, memang sudah begitu tabiatnya.
Suka menjengkelkan siapa saja. Ki Kusumo sudah lama maklum.
"Apakah tak sebaiknya Panembahan mencari Satria" Kurasa aku sudah cukup sehat
untuk ditinggal...," usul Ki Kusumo.
"Kan sudah kubilang, kalau tahu di mana bocah brengsek itu sekarang, aku sudah
terbang subuh-subuh tadi!"
Ah, serba salah berbicara dengan
manusia buluk macam Dongdongka!
Ki Kusumo terdiam. Apa akalnya
agar dapat menyelamatkan Satria dari cengkeraman tangan Ki Ageng Sulut"
Orang tua itu berpikir keras. Sayangnya, tak ada satu jalan pun ditemukan.
Buntu. Dongdongka mendadak terkikik
geli. "Kenapa Panembahan?" tanya Ki
Kusumo kebingungan, tak paham kenapa tak ada angin tak ada hujan,
Dongdongka tertawa sendiri.
Bukan tak ada sebab. Ki Kusumo
cuma tak tahu. Dongdongka tertawa karena dia teringat bagaimana dia telah
dipecundangi mentah-mentah oleh


Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'si bocah gendeng' ketika Satria
hendak pergi. Juga karena dia teringat bagaimana dia benar-benar dibuat mati
kutu oleh sikap Satria hari-hari
sebelumnya. Mestinya, murid macam itu tak
perlu dipusingkan. Mau pergi, kek. Mau mampus, kek. Mau dimakan genderuwo, kek.
Anehnya, justru dia sekarang malah, mengkhawatirkan keselamatannya.
Memusingkannya sampai tujuh keliling.
Apa yang begitu itu tidak lucu"
Sampai akhirnya Dongdongka bang-
kit. "Begini saja...," ucapnya sambil melangkah masuk ke tengah ruang gubuk.
Ki Kusumo menunggu kelanjutan
ucapan Dongdongka.
Dongdongka malah menjatuhkan pan-
tat di lantai tanah. Bersila, melipat tangan didada, lalu memejamkan mata.
Sia-sia Ki Kusumo menunggu ucapan orang tua bertabiat sinting itu. Apa
maksudnya, cuma dia yang tahu. Sekali lagi, memang serba salah berbicara dengan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
* * * 3 KAIL Naga Samudera di tangan
Satria memperlihatkan kehebatannya. Di depan puluhan pasang mata yang menatap
nanar murid-murid Perguruan Cemeti Api. Termasuk di hadapan sepasang mata yang
membersitkan nafsu menguasai, mata milik Ki Ageng Sulut.
Wukh wukh wukh!
Ekor pari pelangi, ekor binatang
samudera yang telah musnah sekitar dua ratus tahun lalu, memancarkan sinar
warna-warni manakala tangan pemiliknya memutar benda itu layaknya cemeti yang
setiap saat siap dilecutkan.
Merah. Kuning. Hijau. Jingga. Menyelubungi tubuh Satria. Meli-
ngkar-lingkar, tiada berpangkal.
Suasana berubah mencekam. Deru
Kail Naga Samudera seperti menyalak-nyalak. Mendengarnya seolah menemukan geram
murka seekor naga.
Beberapa murid Perguruan Cemeti
Api tersurut mundur tak sadar. Ki
Ageng Sulut justru melepas tawa
nyaring mendengking-dengking, hendak membabat wibawa deru senjata pusaka di
tangan Satria. Pendekar muda berusia hijau
kalap. "Pergilah kau ke neraka!" maki-nya. Dan dia menerjang. Buas. Sepasang kaki
kokohnya menghantami pelataran perguruan. Berdebam. Tangannya membuat satu
lecutan sengit.
Wukh! Cletar! Udara seketika terbakar. Bunga
api ramai bertaburan sesaat. Detik berikutnya, pupus diseret sambaran udara yang
terbawa lecutan.
Sekali lagi, beberapa murid
Cemeti Api tersurut. Kali ini
dibayangi ketercekatan pada wajah masing-masing. Betapa mengerikan senjata
pusaka di tangan Satria dalam pandangan mereka. Berapa menggedor nyali!
Satria melepas lecutan kedua.
Sekali ini diarahkan langsung ke arah lawan. Tepatnya, ke bagian wajah Ki Ageng
Sulut. Wukh..cletar! Kalau murid-murid Cemeti Api
merasa kecut, Ki Ageng Sulut sebagai pihak yang harus berurusan langsung dengan
kehebatan Kail Naga Samudera malah sempat tertawa. Sekejapan
sebelum ujung Kail Naga Samudera
menjemput sasarannya.
Begitu tiba, ujung senjata pusaka itu tak berhasil memangsa sasaran.
Bagai setan, Ki Ageng Sulut berkelit sekali. Sulit menentukan ke arah mana,
karena tiba-tiba saja tubuhnya bagai melebur dengan udara.
Baru detik berikutnya sosok datuk aliran sesat itu terlihat kembali.
Hanya berpindah tak lebih dari
setengah langkah dari tempat semula!
Posisi menghindar yang amat berbahaya, yang sengaja dilakukannya.
Mata tajam nan jeli Satria
menangkap sosok lawan sepersekian detik lebih cepat dari para penonton
pertarungan. Tangkas dia memberi
sambutan. Satu sodokan lurus punggung kakinya melayang. Arahnya dada lawan.
Ki Ageng Sulut tergelak singkat.
Apakah serangan lawan hanya
dianggapnya sebagai permainan"
Kenyataannya memang tak bertolak
belakang. Dengan mudah dia mengelak.
Bahkan terlalu mudah. Disusul dengan satu dongkelan tangan di bawah
terjangan kaki Satria.
Degh! Satria memekik. Tubuhnya ikut
terdongkel. Terasa selangkangannya hendak terbelah. Di udara, tubuhnya dipaksa
berputar nyalang.
Satu kesempatan emas terbuka bagi
Ki Ageng Sulut. Tangannya yang barusan mendongkel cepat menyampok ke samping,
mengejar arah putaran Satria.
Dash! "Egh!"
Pekikan si anak muda sekali ini
dipaksa lahir karena hantaman telak punggung tangan lawan di dadanya.
Diaterpental. Tak tanggung-tanggung, nyaris sejauh tujuh tombak. Padahal,
sampokan punggung datuk aliran sesat tadi sepertinya tak akan membunuh seekor
lalat pun! "Aku tak berselera membunuhmu, Bocah Bau Kencur! Berikan saja senjata itu
padaku! Kau sendiri boleh
menyingkir dari sini!"
Satria mengerang-erang di tanah
tempatnya tersungkur. Tangannya
mendekap dada. Mulutnya dibasahi darah segar. Betapa sesak dadanya. Betapa sakit
seluruh bagian dalam tubuhnya.
Namun, sinar matanya sendiri seakan tak pernah menganggap sakit dan sesak itu
ada. Matanya tetap memancarkan tantangan seekor singa muda. Tetap melecutkan
kesan keangkeran padat ancaman. Sebentuk keberanian menghadapi tokoh paling
ditakuti seantero persilatan tanah Jawa yang terlampau jarang dimiliki oleh
pemuda lain seusianya. Mendengar peringatan lawannya,
bibir Satria malah tersungging, men-
cemooh. "Kau boleh memiliki benda ini kalau kau telah berhasil membuatku mampus,"
tandasnya, tegas.
Satria bangkit. Biar terseok. Tak lama, dia sudah sanggup berdiri dengan segala
kegarangannya. Tempaan keras selama ini membuat ketahanan tubuhnya demikian
mengagumkan. Tangannya mengeras lagi. Terutama genggaman pada Kail Naga Samudera.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga
Samudera. "Rebutlah dari tanganku!" tantangnya. Rupanya dia memilih untuk bertahan,
setelah serangan sebelumnya tidak membawa hasil.
"Keparat kecil! Kau benar-benar tak tahu adat!!!! Jangan menyesal bila kulempar
kau ke liang lahat!"
Pancingan Satria berhasil
menjerumuskan kegusaran lawan lebih dalam. Rencananya untuk bertahan
sekarang terwujud dengan menghamburnya serangan Ki Ageng Sulut.
"Hiah!"
Wukh! Tangan kurus berbalut kulit
keriput Ki Ageng Sulut, Si Iblis Dari Neraka yang terkenal menakutkan dengan
pukulan menyalanya, menerkam leher, dada, dan perut Satria. Ganas tak terkata.
Satria tegang. Pukulan beruntun datang dengan
cepat. Namun pemuda berjiwa ksatria itu telah siap.
Matanya bahkan telah menangkap
dengan demikian jeli ke mana arah serangan lawan. Hanya dalam waktu yang
demikian sempit, dipusatkannya segenap perhatian kepada serangan lawan.
Dibangkitkannya kesiagaan yang telah terlatih selama mengarungi samudera
berkarang tajam di sekitar Pulau
Dedemit. Pada puncaknya....
"Haaaa!"
Berbareng teriakan menggila se-
akan hendak mengoyak pita suara di kerongkongan sendiri, Satria membuat tiga
gerakan dari jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan' yang dikembangkan sendiri
secara naluriah olehnya saat itu juga.
Plak! Plak! plak!
Serbuan tiga pukulan beruntun Ki
Ageng Sulut termentahkan. Padahal rentang waktu antara satu pukulan dengan yang
lain demikian sempit.
Mungkin lebih cepat dari waktu yang dipergunakan seekor ular untuk mematuk
mangsa! Ki Ageng Sulut dipaksa terper-
angah. Tak disangka sama sekali lawan bau kencurnya sanggup bergerak cepat
mempecundangi serangan cepatnya. Lebih dari itu, datuk sesat golongan sesat
kalangan atas ini pun dibuat sekejap terpana mengetahui lawan mudanya sama
sekali tak beranjak dari tempat
semula. Tenaga pukulan beruntunnya seperti tak mengusik kuda-kuda pemuda
tanggung itu. Kakinya seperti terpacak dan
mengakar ke dalam bumi.
Ki Ageng Sulut terlalu mere-
mehkannya! Selang beberapa kejap berikutnya, dalam tenggang waktu yang demikian singkat,
Satria mengirim serangan balasan. Pinggangnya meliuk gemulai menyamping lebih
dahulu. Seperti
seorang perawan penari ular. Lawan sulit menduga apa yang hendak
dilakukannya. Tangannya mengembang.
Lawan mengira kedua tangan itu hendak menumbuknya dari samping kiri kanan.
Kala berikutnya, punggung pemuda
tanggung itu yang justru membuat
dorongan bertenaga ke ulu hati Ki Ageng Sulut.
Serangan yang ganjil dan benar-
benar sulit diduga!
Ki Ageng Sulut kecele.
Karena dasarnya dia tokoh yang
telah kenyang makan asam garam,
gerakan memperdaya lawan tidak sempat mendarat di sasarannya. Dia hanya agak
kelimpungan dalam menghindar. Membuat badannya agak terhuyung ke belakang.
Posisinya jadi kurang menguntungkan.
Satria tak menyia-nyiakan kesem-
patan. Jarak yang agak terentang lebih lebar dengan lawan memberinya peluang
untuk menyambar kepala lawan dengan sapuan tinggi menyamping dengan
kakinya. Sikap meremehkan lawan Ki Ageng
Sulut telah membawa akibat buruk
untuknya sendiri. Dalam rangkaian serangan yang belum terputus, sudah telanjur
untuk memperbaiki sikap.
Satu-satunya jalan adalah mengambil jarak aman terlebih dahulu. Setelah itu,
memulai gempuran baru.
Untuk itu, Ki Ageng Sulut harus
bisa menyelamatkan diri dari sapuan kaki lawan mudanya yang demikian
cepat. Hampir-hampir tak memberi
kesempatan untuk dibendung dalam
pertahanan yang demikian rapuh bagi Ki Ageng Sulut.
Sekali lagi Sang Datuk Sangar
dibuat kelimpungan. Dia memilih untuk menangkis serangan. Menghindar terlalu
sulit. Di samping posisinya sudah demikian terjepit, belum tentu gerakan
menghindarnya bisa meiebihi kecepatan sapuan kaki lawan.
Saat yang sama, tenaga tendangan
Satria dialiri tenaga dalam
berkekuatan tinggi yang seringkali mengalir keluar tanpa disadarinya.
Tenaga dalam yang lahir begitu saja akibat berbaurnya Ramuan Pulau Dedemit
racikan Ki Kusumo dengan zat langka dasar samudera. Tenaga dalam yang pernah
melempar beberapa nyawa anggota Laskar Lawa Merah hanya dalam sekali kepruk!
Tenaga dalam yang hanya bisa diperoleh oleh para pendekar-pendekar berusia
lanjut dalam tempaan bertahun-tahun.
Dagh! "Keparat!" maki Ki Ageng Sulut, terdengar lebih mirip erangan.
Pergelangan tangannya terasa nyeri teramat sangat. Berdenyut-denyut
sampai ke uiu hati. Bahkan kekokohan tangkisannya menjadi tergoyahkan.
Tangannya terdorong kuat. Hampir saja menghajar kepalanya sendiri.
Dengan memanfaatkan tenaga kuat
sapuan kaki lawan pada pergelangan tangannya, Ki Ageng Sulut memperlebar jarak.
Kemudian dia melakukan putaran tubuh di atas tanah empat kali. Dan akhirnya
menjejak kembali ke bumi.
Jemari tangan kanan yang diper-
gunakan untuk menangkis tadi tampak meremas-remas, mencoba mengenyahkan rasa
nyeri yang masih saja berdenyar-denyar.
Siapa anak muda sundal ini" Ru-
tuknya membatin. Kenapa tenaga
dalamnya sudah seperti orang persilatan kalangan atas" Kalau kukira-kira,
mungkin tak jauh beda dengan kekuatan tenaga dalamku sendiri,
bisik-bisik hati Ki Ageng Sulut
berlanjut. Sementara matanya tak
kunjung terlepas menatap lawan bau kencurnya.
* * * Di gubuk tepi pantai Tanjung
Karangbolong, Ki Kusumo hanya bisa menatapi keheran-heranan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Sebelumnya dia terus menggerutu, memusingkan bagaimana cara
menyelamatkan murid mereka yang besar kemungkinan sedang dalam intaian bahaya.
Sekarang, tak ada angin tak ada kentut, tiba-tiba saja dia duduk bersila di
tengah ruangan.
Sudah lewat sepeminum teh, Sang
Sesepuh Persilatan tanah Jawa itu begitu. Sampai sejauh itu, Ki Kusumo masih
tetap saja menduga-duga apa maksudnya. Orang tua ahli pengobatan itu terus
memperhatikan. Sampai suatu ketika, samar-samar
Ki Kusumo menyaksikan sebentuk sinar lembut tipis merayap keluar dari
sekujur badan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Pada awalnya demikian samar.
Nyaris saja mata Ki Kusumo tak
menangkapnya. Lama kelamaan, sinar itu makin tegas. Berangsur-angsur pula sinar
tadi merayap naik ke atas tubuh Dongdongka. Bentuknya menjadi lebih jelas dan
lebih jelas.

Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Kusumo baru mengerti maksud
sahabat tuanya ketika disaksikan
dengan seutuhnya kini sinar dari dalam tubuhnya telah berwujud Dongdongka.
Wujud kembaran itu seperti terlepas dari badan si tua bangka yang diam tanpa
gemik. Pada akhirnya, wujud kembaran Dongdongka terlepas dari jasad aslinya.
Penampakannya benar-benar sulit dibedakan, antara
Dongdongka yang sedang duduk bersila dengan kembarannya yang kini berdiri tegak
di depannya. Ki Kusumo tak berbuat apa pun.
Juga tak berniat mengusik Dongdongka yang bersila. Ataupun
menegur kembarannya yang berdiri diam.
Sepenuhnya dia telah paham, yang
terbaik baginya adalah diam.
Dalam beberapa tarikan napas,
kembaran Dongdongka sirna dari
tempatnya. * * * "Kenapa kau menyingkir seperti itu, Orang Tua Busuk" Bukankah kau katakan kau
ingin memiliki benda ini?"
cemooh Satria. Diacungkannya Kail Naga Samudera ke depan.
Ki Ageng Sulut menggeram. Cukup
sudah, tandasnya dalam hati. Dia tak bisa main-main lagi dengan pemuda tanggung
yang dianggapnya bau kencur
namun kenyataannya memiliki tenaga dalam nyaris setingkat dengannya.
Permainan usai!
Kedua tangan orang tua keriput
itu bergerak. Untuk gerakan yang baru, terlihat getaran kecil namun hebat.
Lama kelamaan, di sekujur tangannya berpendaran sinar lamat merah bara.
Ki Ageng Sulut mulai mengerahkan
kesaktian yang telah begitu lama
menjadi momok menakutkan dunia
persilatan tanah Jawa!
Geraknya makin melambat. Seba-
liknya, pendaran merah bara di sekujur tangannya makin menguat. Wajahnya
terpulas cahaya itu. Membangun kesan mengerikan. Padat ancaman.
Satria sadar, dia kini dihadapkan pada ancaman amat berbahaya. Nyawanya jadi
taruhan. Bersamaan dengan hembusan napas
panjang Ki Ageng Sulut, tepattiga langkah dari Satria, Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
muncul. Secara tiba-tiba! Seolah
dedemit gentayangan yang keluar dari persemayamannya.
Semuanya terkesiap.
Satria. Begitupun seluruh murid
Perguruan Cemeti Api.
Tak terkecuali Ki Ageng Sulut.
Baginya, tokoh tua satu ini adalah lawan paling berat yang pernah hidup di bumi
Jawadwipa ini. Seteru paling
tangguh. Padanan yang paling
berbahaya. Sebab, kesaktian mereka bisa terbilang setingkat. Hanya jalan yang
mereka ambil bersilangan satu dengan yang lain. Ki Ageng Sulut
memilih jalan sesat. Sebaliknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul memilih jalan
lurus. Kesaktian sepadan keduanya mem-
buat mereka harus bertumbukan sebagai seteru.
Terhitung sudah lima kali mereka
pernah berurusan. Keduanya mengadu kesaktian. Sampai saat itu, tak ada satu pun
yang dapat dikatakan menggenggam kemenangan.
Kalau Dedengkot Sinting Kepala
Gundul itu hadir hari ini, itu bisa berarti hilangnya kesempatan Ki Ageng Sulut
mendapatkan Kail Naga Samudera.
Padahal dia telah menanti saat itu selama puluhan tahun. Puluhan tahun!
Bukan waktu yang singkat. Terutama kalau dia harus menderita penyakit
menjijikkan! Ki Ageng Sulut benci keadaan itu.
Dia benar-benar gusar.
Di lain pihak, Dongdongka
berbisik perlahan pada Satria, murid gendengnya.
"Satria, kembali kau! Sekarang juga!"
"Tapi," kilah Satria.
"Jangan pakai tetapi. Kau harus
kembali sekarang juga! Tak mungkin kau unggul menghadapi kakek jelek itu!
Atau kau mau membiarkan tanah Jawa menjadi ladang pembantaian berdarah?"
"Apa maksudmu?"
"Percayalah. Kakek jelek itu, cepat atau lambat akan berhasil
merebut Kail Naga Samudera dari
tanganmu, karena kau belum siap
menghadapinya. Jika pusaka itu sampai jatuh ke
tangannya, maka prahara besar akan segera meledak di tanah Jawa ini...."
* * * 4 JURANG di kaki Gunung Sumbing.
Seorang gadis muda tanggung sedang digantung pada satu pohon tak begitu besar
yang tumbuh miring di dindsng jurang. Kakinya diikat dengan oyot pohon.
Sedangkan kepalanya tergantung ke bawah. Rambut panjangnya tergerai lunglai
menutupi bagian besar wajahnya. Keadaan gadis muda itu sungguh
berantakan. Wajahnya sudah kotor.
Begitupun pakaiannya dan rambutnya.
Mengenakan pakaian pendekar wanita berwarna merah hati. Sudah demikian kusam
warnanya. Tangannya terikat di sisi tubuh oleh oyot pohon yang sama.
Dari sela-sela geraian rambutnya, tampak wajahnya yang cantik.
Keadaannya yang dekil tak menutupi pancar pesona di wajahnya. Wajah itu agak
pucat Bibirnya mungil dan berwarna pucat pula. Matanya yang berbulu lentik hitam
terpejam. Tubuh gadis muda itu tergantung
diam, seolah-olah telah kehilangan nyawa.
Dasar jurang gelap, sulit bagi
cahaya matahari terjun langsung hingga ke sana. Tak banyak pohon yang sanggup
hidup tanpa sinar matahari seperti itu. Kalaupun ada, hanya enam tujuh pohon
yang tumbuh menyamping di
dinding jurang. Itu pun karena mereka masih dapat menerima sedikit cahaya
matahari yang kebetulan bisa menerobos hingga tempat nya.
Ketika sore menapak, suasana
makin menjadi kelam.
Kabut bergerak iambanterhuyung,
merayapi dasar jurang dan kaki tebing.
Sepanjang hari, kabut memang tak
pernah beranjak dari tempat itu.
Jangankan malam, di siang hari pun tetap ada. Keadaannya yang lembab dan dingin
memungkinkan hal itu terjadi.
Tak di bawah tempat gadis muda
tadi tergantung, tergeletak tumpukan kerangka manusia. Sebagian di
antaranya masih memiliki daging mem-busuk. Ulat-ulat menjijikkan ber-
geliat-geliat di sekitarnya.
Bau bangkai menebar ke mana-mana, seakan memadatkan segenap penjuru dasar
jurang. Satu sosok bayangan lalu keluar
dari satu sudut tebing. Kegelapan menyelimutinya. Di antara gerayangan kabut,
sosok itu seperti penjelmaan hantu dasar jurang. Terbungkuk-bungkuk dia bergerak
mendekati tempat gadis muda tadi tergantung. Dari baya-ngannya, tampak rambutnya
yang panjang dan kaku. Sulit menentukan pakaian yang dikenakan. Namun samar-
samar tampak seperti mengenakan kurungan kain compang-camping yang sama kaku
dengan rambutnya.
Tepat di bawah gadis muda yang
tergantung, sosok bayangan seorang nenek itu berhenti. Kepala nya menengadah,
melihat si gadis muda.
Sebentar kemudian, tubuhnya terguncang-guncang bersama kikik mening-ginya.
"Apa kau masih bersikeras, Gadis Hijau"!"tanyanya kemudian. Suaranya serak.
Mengusik bulu roma.
"Ayo bicaralah. Jangan diam saja seperti itu. Aku tahu kau masih sadar, bukan?"
lanjutnya. Lamat-lamat, bola mata sayu gadis muda terbuka. Kalau saja keadaannya tak begitu
kacau seperti saat itu, tentu sepasang bola matanya akan mem-
perlihatkan daya
pikat sempurna.
Sesempurna purnama yang mengambangi angkasa raya.
Bibir pucat keringnya bergerak
kecil. "Kenapa kau berbuat seperti ini padaku, Nek?" desahnya, lemah. Hampir-hampir
sulit didengar.
"Hi hi hi! Kau jangan melucu, Gadis Hijau. Aku memintamu menjadi muridku. Tapi
kau menolak. Kau
membuatku jadi marah. Lalu bagaimana aku tidak ingin memberimu pelajaran?"
"Tapi, kau tak berhak
memaksaku...."
"Siapa bilang"! Kau telah lancang memasuki tempat kediamanku. Karena kau kini
berada di tempatku, maka aku berhak bertindak apa saja terhadapmu...," serbu si
nenek berwajah amat menjijikkan. Dua bola matanya besar.
Biji matanya berurat kemerahan.
Sekeliling matanya berwarna biru
legam. Seluruh wajahnya dipenuhi
keriput bercampur kudis berlendir.
Bibirnya pucat berkerut-kerut.
"Aku tak pernah bermaksud lancang ke tempatmu, Nek."
"Hi hi hi, siapa peduli! Yang jelas, hukumku adalah hukumku. Aku yang menentukan
apakah kau salah atau tidak. Karena kau kuputuskan bersalah, maka kau harus
menerima hukuman. Kau bisa lepas dari hukumanku apabila kau
menjadi muridku!"
Beberapa saat si gadis tak mengeluarkan kalimat susulan. Lidahnya yang terlalu kelu sudah sulit untuk
mengeluarkan kata tambahan. Ditambah lagi rasa kering kerontang mencekik
kerongkongannya.
"Baiklah, aku bersedia," katanya samar, akhirnya.
Si nenek buruk rupa tertawa
kegirangan. Kikik menyeramkan
merambahi tebing, menelusupi kabut.
Seperti dengking sekawanan siluman perempuan.
* * * Ki Ageng Sulut tertawa tanpa
tedeng aling-aling ketika mengetahui bahwa Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang
tiba-tiba datang pada Kenyataannya bukan wujud sempurna. Hanya badan halus orang
tua sakti itu saja yang tiba. Sedangkan wadagnya sendiri di tinggal dalam gubuk
di pantai Tanjung Karangbolong.
Si datuk sesat mengetahui hal itu ketika menyaksikan wujud seteru
lamanya tak berbuat apa-apa, kecuali berdiri di tempatnya. Meskipun Ki Ageng
Sulut tak bisa mendengar
langsung bisikan batin yang dikatakan badan halus Dongdongka kepada Satria,
namun tokoh sesat kelas atas itu
sedikit banyak bisa menduga apa
maksudnya. Lagi pula, kalau memang Dongdongka telah hadir di sana tentu dia tak
akan berdiam diri demikian rupa seperti karobing congek.
Sebaliknya, besar kemungkinan dia akan kegirangan setengah mampus bakal
berurusan kembali dengan musuh sesat terberat. (Kegirangan" Jangan heran.
Maklumlah, dia memang 'sinting'!) Melihat semua gelagat itu, Ki Ageng Sulut pun
mulai menyadari.
Ketika terakhir berbicara dengan
Ki Kusumo, rupanya tercetus pemikiran Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk
berusaha menghubungi murid bandelnya dengan jalan melepas badan halusnya.
Karena badan halus tak lagi terbatas oleh ruang, Dongdongka dapat menjumpai
Satria di mana pun dia berada. Juga dengan waktu yang teramat singkat.
Setelah hampir sekian lama memu-
singkan cara menyelamatkan muridnya, baru kali itu si tua bangka terpikir
demikian" Jadi, selama ini 'ngelantur'
ke mana saja pikirannya"
Kembali ke halaman Perguruan
Cemeti Api. Menunggu lebih lama, tentu akan
teramat bodoh bagi Ki Ageng Sulut.
Terutama setelah mengetahui keberadaan Dedengkot Sakti Kepala Gundul sebenarnya.
Karena itu pula, dia
menghambur kembali ke arah Satria. Tak
dihiraukan penampakkan badan halus tua bangka seterunya.
Pada kenyataannya, ketika dengan
sengaja Ki Ageng Sulut melanggar
Dongdongka, memang tidak terjadi apa pun. Orang tua bengis aliran sesat itu
seperti melanggar asap. Sekelebatan kemudian, penampakan Dedengkot Sakti Kepala
Gundul memupus bagai dilarikan angin.
"Mampuslah kau, Bocah!" seru Ki Ageng Sulut seraya menusukkan jari-jari kanan
berwarna merah bara ke tenggorokan lawan muda belianya.
Ganas. Sadar peringatan gurunya, Satria siaga menyambut lawan. Terlambat sudah untuk
melaksanakan perintah Dedengkot Sakti Kepala Gundul untuk segera
menyingkir dari tempat tersebut. Lagi pula, Satria sendiri memang tak
sedikit pun memiliki niat untuk
melakukannya. Tak ada kata mundur dalam
bertempur! Maju menjemput maut.
Rebah tanpa nyawa, lebih baik
daripada menyingkir.
Deb! Sekian kedip lilin sebelum jemari merah bara si Iblis Dari Neraka
merobek tenggorokannya, Satria tangkas mengangkat batang Kail Naga Samudera.
Dengan senjata pusaka itu,
ditangkisnya serangan bengis lawan.
Gempuran pertama dapat dimen-
tahkan. Namun, bukan berarti dia telah lolos dari ancaman maut. Sebab, satu
patukan tangan lawan yang lain mencoba mencuri dari samping. Pelipis Satria
hendak dilobanginya!
Satria sadar sesadar-sadarnya,
lawan bisa mengirimnya ke liang lahat cepat atau lambat. Peringatan gurunya
bukanlah main-main semata. Orang seperti Dongdongka saja sudah menganggap Ki
Ageng Sulut begitu berbahaya,
apalagi untuk Satria" Sementara
Dongdongka adalah satu tokoh persilatan tanah Jawa yang julukannya saja sudah
sanggup menggebuk nyali warga persilatan seantero Jawa Dwipa.
Sedangkan Satria sendiri" Cuma bocah baru besar. Hijau. Tak terlalu meleset pula
untuk dikatakan bau kencur.
Menghadapi empat jari maut yang
meleset tajam ke pelipisnya, Satria tidak ingin mengambil risiko dengan
menghadangnya. Jika dia mencoba menangkis, besar kemungkinan tangannya akan
tertembus. Karena tampaknya, patukan jari tangan si Tua Bangka telah dialiri
tenaga dalam tingkat tinggi. Sekaligus pengerahan kesaktian yang mengandung


Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga panas luar biasa. Panas yang sanggup melobangi kulit, daging bahkan
tulang. Seperti baja membara menembus lilin!
"Haiiih!"
Kepala anak muda itu berkelit
tangkas ke belakang. Jari tangan lawan lewat begitu saja, dua jengkal di depan
wajahnya. Ketika itu, tercium bau udara terbakar. Salah satu
kehebatan yang dihasilkan jurus
Tepukan Iblis Kematian'. Celakanya, Satria sedikit pun tak menyadari
kehandalan jurus ini.
'Tepukan Iblis Kematian' adalah
salah satu jurus maut milik si Iblis Dari Neraka yang begitu khas. Karena inti
kekuatannya bukan terletak pada hantaman tangan langsung pemiliknya, melainkan
pada angin sambarannya!
Memang, Satria bukanlah Ki Kusumo yang mengetahui dengan jelas kehebatan jurus
lawan ( kisah pertarungan Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit, dengan Ki Ageng
Sulut dapat dibaca pada episode sebelumnya: "Kail Naga Samudera")! Bukan pula
seteru besar bagi Ki Ageng Sulut layaknya Dongdongka. Dia hanyalah seorang
pemuda tanggung yang baru saja memasuki medan ganas dunia persilatan.
Akibatnya.... Srat! Inti kekuatan pada angin sambaran tangan Ki Ageng Sulut melebur benteng keraton
dalam jarak sekitar satu
tombak, langsung menyambar kepala si pemuda tanggung.
"Akh!"
Ketika itu juga, Satria terlempar deras ke belakang.
Keras. Udara terbelah luncuran tubuhnya.
Jauh. Pada saatnya, jatuh berdebam
meninju bumi. Satria tak kuasa bangkit lagi.
* * * Dari semadinya, Dongdongka ter-
sentak. Keheningannya terkoyak. Dia bangkit seperti bocah kecil baru
tersadar dari mimpi menakutkan. Wajah berkeriputnya tertarik tegang. Kelopak
matanya mendelik-delik seolah
tercekik. "Bencana... bencana...." Sumpah serapahnya menyusul kemudian. Di depan balai Ki
Kusumo, tua bangka itu hilir-mudik sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri
dengan bambu tipis yang tak pernah lepas dari tangannya. Tak
lepas, meski sedang buang hajat
sekalipun. Ki Kusumo kebingungan. Namun,
setidaknya dia bisa mengendusi sesuatu yang genting telah terjadi.
"Ada apa Panembahan?" tanyanya.
"Celaka seratus
tujuh belas! Bocah gendeng kita 'ngejoprak', prak!
Si Jelek Ageng Sulut bisa-bisa
melarikan Kail Naga Samudera...,"
cerocos Dongdongka, menyembur-
nyemburkan ludah sendiri.
Ki Kusumo mendesis. Entah apa
yang diucapkannya.
"Celaka...," ujarnya kemudian.
"Aku juga bilang begitu barusan, bukan"!"
"Jadi, apa yang harus kita
lakukan"!"
"Aku ingin sekali memenggal
kepala si Jelek Ageng Sulut itu, yang atas dan yang 'bawah'!"
"Maksudku, bagaimana dengan Satria?"
"Sudah kubilang, dia 'ngejo-
prak'!" "Bagaimana kita bisa menolongnya, maksudku?"
Dongdongka menepak kening keras-
keras. "Astaga, iya ya! Kenapa aku jadi lupa pada bocah gendeng itu. Kalau dia mati
lebih dulu, bagaimana pula aku bisa mati"!"
Dongdongka menerjang pintu gubuk
begitu saja. Gedubrak! Pintu gubuk hancur berantakan.
* * * 5 DUA tahun berlalu. Tanpa terasa,
bagai hembusan angin datang dari
negeri yang jauh dan tiba-tiba saja sampai. Waktu memang selalu piawai
memperdayai manusia.
Sejak peristiwa di Perguruan
Cemeti Api, dunia persilatan tanah Jawa kehilangan dua tokoh besar:
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Keduanya tak
terdengar kabar beritanya.
Menghilang dari dunia persilatan
seolah menguapnya genangan air di gurun luas.
Sebaliknya, julukan Iblis Dari
Neraka merebakkan ketakutan di mana-mana. Di banyak tempat, tak peduli di sudut-
sudut tanah Jawa, orang tua telengas sakti itu menebar bencana.
Sepak terjangnya kian berangasan.
Terutama setelah menguasai Kail Naga Samudera yang berhasil direbutnya dari
tangan Satria. Pembantaian besar-besaran berlan-
jut dari hari ke hari.
Sudah tak terhitung perguruan
silat yang disatroni. Warganya ditum-pas seolah sekawanan lalat. Darah
membalurkan anyir di bumi tanah Jawa.
Ini hari di sana. Besok di sini.
Satu nama terus disebut-sebut
dengan sehimpun nada ketakutan di
mana-mana. Satu nama terus dihubung-hubungkan dengan setiap pembantaian keji....
Iblis Dari Neraka! Tua bangka bertabiat iblis yang selalu membawa senjata pusaka
berbentuk naga sepanjang dua tahun belakangan.
Bagaimana pula dengan nasib si
pemuda tanggung berhati pualam
bertekad baja"
Di mana pula Ki Kusumo dan
Dongdongka"
* * * Kotapraja Kerajaan Demak. Siang
yang terik. Seorang pemuda berjalan gagah.
Usianya masih tergolong muda, belum mencapai kepala dua. Badannya kekar berotot.
Rambutnya lurus, memanjang kemerahan sampai batas bahu. Wajahnya tak begitu
tampan, namun memancarkan daya tarik kuat. Terutama pada
matanya. Sepasang bola mata pemuda itu memancarkan kepribadiannya. Ada kesan
ketegasan, kewibawaan, kemantapan hati, kejernihan jiwa. Semuanya ber-gabung dan
menciptakan kekuatan tadi di matanya. Rahangnya terlihat kokoh dengan garis yang
memikat. Bibirnya tipis. Ada bulu-bulu kehijauan di sekujur dagu dan rahangnya.
Membuatnya makin terlihat gagah.
Pemuda itu mengenakan pakaian
bulu dari kulit binatang berwarna kelabu. Bercelana sebatas lutut
berwarna hijau tua. Kepalanya ditutup caping lebar, menyembunyikan ketampa-
nannya di balik bayang-bayang.
Suasana di alun-alun cukup ramai, tak terlihat seperti hari-hari biasa.
Beberapa pedati yang ditarik lembu tampak melintasi jalan Pesiar Raya, jalan
utama yang menghubungkan pela-buhan dengan Keraton. Jalan Pesiar Raya terbuat
dari susunan bata.
Beberapa orang berjalan hilir-mudik.
Kebanyakan rakyat jelata. Sementara satu-dua orang priyayi atau saudagar
melintas dengan mengendarai kuda.
Hari pasaran jatuh pada hari itu.
Hari di mana para pedagang meman-
faatkan beberapa tempat di sekitar kotapraja untuk mengadu peruntungan.
Di beberapa sudut terlihat para pandai besi dari kampung pandean menggelar
dagangannya. Di sudut lain, terlihat beberapa pedagang dari Gujarat yang khusus
datang dari kampung Pekojan di sekitar alun-alun. Sudut lain sudah pula diisi
oleh pedagang-pedagang dari kampung Kauman lain. Termasuk para pedagang Cina
dari Pecinan. Bersebelahan dengan alun-alun,
tepatnya di sebelah Selatan, berdiri keraton. Tembok dan gapura keraton terlihat
megah dan kokoh. Dua orang prajurit selalu tampak berjaga di
kedua sisi gapura.
Di sebelah barat
alun-alun, berdiri satu bangunan megah, tempat penduduk muslim melaksanakan salat.
Bentuknya segi empat. Memiliki atap bersusun. Mereka menyebutnya Masjid Raya.
Pemuda yang baru tiba berjalan
tak cepat, tak juga lambat. Langkah-langkahnya mantap, memperlihatkan kekokohan
kakinya. Tiba di persim-pangan jalan langkah si pemuda
terhenti. Ada iring-iringan kecil melintas dari arah utara.
Di depan iring-iringan terlihat
seorang penunggang kuda. Pakaian yang dikenakan memperlihatkan jabatan penting
dalam keperwiraan kerajaan. Di belakang pengendara kuda, berbaris empat orang
prajurit berseragam. Salah seorang di antaranya membawa semacam umbul-umbul
hijau bergambar simbol kebesaran Kerajaan Demak. Tak terlihat terlalu mewah,
namun kesannya megah berwibawa.
Beberapa orang yang kebetulan
berjalan berbarengan dengan pemuda berambut kemerahan turut berhenti.
Sikap mereka berubah. Ada gelagat kalau mereka berusaha bersikap hormat pada
iring-iringan yang lewat.
Iring-iringan melintas. Saat itu, si pemuda bercaping sempat mencuri pandang
ke arah lelaki gagah
penunggang kuda. Dia dibuat terkejut demi menemukan wajah orang itu. Tanpa
sadar, dilepasnya caping seraya
menyebutkan satu nama.
"Kakang Bagaspati...."
Ucapannya tadi sampai ke telinga
penunggang kuda. Sebentuk suara
berwibawa mencelat keluar dari
kerongkongannya. Berat, agak serak.
Berpengaruh. "Berhenti!"
Empat punggawa di belakangnya
berhenti. Beriring dengan ditariknya tali kekang kuda.
"Satria" Bukankah kau Satria?"
sapa penunggang kuda. Nadanya
terdengar membubung dihempas
kegirangan. Wajah itu memang dikenali pemuda
berbaju kulit binatang. Wajah bersih.
Tak begitu tampan, namun bermuatan prabawa. Usianya masih terbilang belum
terlalu tua, menjelang masa-masa
kematangan. Pada sepasang bola
matanya, terpancar ketajaman, seakan dapat menemukan satu kuman tersembunyi di
dasar lautan. Dia adalah orang penting dalam
jajaran keperwiraan Kerajaan Demak.
Namanya Abdul Malik Bagaspati. Seorang yang sudah tak asing lagi bagi si pemuda.
Ketika bertemu sekitar dua tahun lalu, jabatannya masih Manggala.
Kalau menilik dari pakaiannya, tentu
jabatannya sudah menanjak beberapa tingkat. Besar kemungkinan sebagai imbal jasa
dari Raja Demak atas
keberhasilannya menumpas gerombolan Laskar Lawa Merah.
(Baca kembali kisah sebelumnya:
"Geger Pesisir Jawa") Di lain sisi, ada kenyataan lain
yang tak mungkin dipungkiri oleh
Bagaspati. Keberhasilan tugas mulianya tersebut bukanlah semata keberhasilannya
memimpin pasukan. Melainkan, karena uluran tangan seorang pemuda belia yang
meledakkan kegemparan hebat di segenap penjuru dunia persilatan dengan membunuh
pemimpin gerombolan Laskar Lawa Merah, Dirgasura.
Kenyataan itu memberatkan hati
Bagaspati menerima penghargaan jasa langsung dari Raden Fatah. Penyebabnya, dia
merasa tak pantas untuk itu. Sebaliknya, seluruh penghargaan semestinya
dilimpahkan kepada pemuda belia yang telah membantunya.
Dengan jujur, Bagaspati mengung-
kapkan hal ikhwal
keberhasilan penumpasan Laskar Lawa Merah kepada Raden Patah. Dia sungguh tak ingin nanti
anak cucunya mengejeknya sebagai seorang pahlawan kesiangan. Orang yang sesumbar
tentang jasa-jasanya pada negara setelah perjuangan mencapai keberhasilan untuk
mendapatkan bintang jasa. Sementara di medan perjuangan
dahulu, justru dia tak lebih dari seorang badut pengecut.
Si pemuda belia kini dijumpai
kembali. Dialah Satria. Tokoh muda kita. Selang dua tahun ini, wajah, perawakan
sekaligus penampilannya memang cukup jauh berubah. Kendati demikian, tak ada
kesulitan sedikit pun bagi Bagaspati untuk mengenalinya.
Bagaspati turun dari punggung kuda. Dihampirinya Satria dengan suka-cita melimpah pada parasnya.
Dirangkulnya pemuda itu hangat-hangat, seolah sahabat lama yang baru saja
berjumpa kembali selama bertahun-tahun. Tawanya bahkan terdengar
meletup-letup, meski sebagai seorang abdi dalam istana dia selalu berusaha untuk
tidak begitu. Orang-orang yang kebetulan
berdiri di sana menatap terheran-heran pada pemuda berbaju bulu binatang.
Hati mereka tak habis bertanya,
bagaimana seorang perwira tinggi
Kerajaan Demak bisa begitu suka cita bertemu dengan seorang pemuda yang
penampilannya saja tak lebih bagus dari seorang penggembala kerbau"
* * * Apa yang sesungguhnya terjadi
pada diri si anak muda setelah
kejadian di Perguruan Cemeti Api"
Ketika itu Dongdongka jelas
mengetahui di mana keberadaan murid gendengnya setelah dia melepas jasad
halusnya dari wadag. Mengetahui keadaan Satria dalam kegentingan, segera
disusulnya pemuda itu.
Di sana, ternyata Ki Ageng Sulut
alias Iblis Dari Neraka sudah tidak ada lagi di tempatnya. Pergi membawa senjata
pusaka yang seharusnya
berjodoh dengan Satria, Kail Naga Samudera.
Dibawanya kembali Satria ke
Tanjung Karangbolong.
Di sana, Ki Kusumo mengobatinya.
Setelah sembuh, Satria digodok kembali oleh mereka dua tokoh kelas atas dunia
persilatan tanah Jawa. Itu sebabnya selama dua tahun mereka seperti hilang
disembunyikan zaman.
Selama dua tahun lebih, pemuda
berhati pualam, berkehendak sekeras baja murni menjalani tempaan. Baik itu


Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berupa tempaan jasmani maupun rohani.
Jurus-jurus silat tingkat tinggi
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit diterimanya.
Ajian-ajian ampuh dipelajarinya.
Nilai-nilai darma kesatriaan dikucur-kan ke dalam batin nya. Bagai sosok
Gatotkaca yang harus dimasukkan dalam Kawah Candradimuka untuk mencapai tingkat
demi tingkat kesaktiannya.
Usai dua tahun.
Apakah dengan begitu Sang
Dedengkot Gendeng Dongdongka berhasil mencapai keinginannya untuk menemui ajal
sendiri yang sudah begitu lama didamba"
Pertanyaan yang tak mudah untuk
ditemukan jawabannya. Karena, apa pun alasannya, bagaimanapun ngototnya usaha
diperjuangkan tokoh sakti
sesepuh para sepuh golongan lurus bertabiat sinting itu, urusan kematian bukan
sekali-kali ditentukan seenak udel oleh dirinya sendiri. Nyawa
adalah milik Sang Pencipta. Datang dari-Nya, dan kelak akan kembali padaNya.
Kapan waktu kembalinya si nyawa, Juga menjadi hak-Nya untuk menentukan.
Seperti sudah dimaklumi, menurut
perhitungan Dongdongka, dia akan
segera memasuki pintu kematian dengan tenang dan damai setelah tuntas
menurunkan seluruh kesaktian pada murid pilihannya.
Pada purnama kedua puluh lima,
satu purnama setelah seluruh ilmu Ki Kusumo dan Dongdongka diwariskan
kepada Satria, Dongdongka memanggil pemuda itu.
Dongdongka duduk bersila di tepi
pantai kala itu. Menghadap samudera yang tak pernah lelah mengayun
gelombang. Tak pernah letih menyenandungkan puji-pujian kepada Sang
Pencipta. Duduknya hening. Napasnya
pun seolah larut dalam setiap desah ombak.
Satria mendatanginya dari bela-
kang. "Kenapa Kakek memanggilku?" tanya pemuda tanggung itu.
Tak ada jawaban sampai beberapa
tarikan napas. Dedengkot Sinting
Kepala Gundul masih mempertahankan keheningannya.
"Duduklah di sebelahku, Cah Gendeng," pinta Dongdongka sejurus kemudian.
Satria memenuhi permintaan guru-
nya. Bersilalah dia tepat di sisi kiri Dongdongka. Menghadap samudera seperti
gurunya. "Aku ingin menyampaikan satu hal yang penting kepada dirimu, Cah,"
mulai Dongdongka. Suaranya perlahan, menyelinapi setiap desir angin pantai.
"Katakan padaku, Kakek."
Dongdongka menghimpun napas.
Dalam. Padat. Sarat. Mata kelabunya mencengkeramai
setiap gemulai samudera di kejauhan sana.
"Dua tahun lebih kau telah
menerima ilmu-ilmu dariku, juga dari Kusumo. Malam ini, tuntas sudah
kewajiban kami terhadapmu." Tak ada tanda-tanda kalau kesintingan Sang
Dedengkot Sinting hari itu akan
kambuh. Kata-katanya mengalir demikian datar.
"Tiba waktunya bagi kami berdua untuk melepasmu, memberimu kesempatan untuk
mengamalkan seluruh kepandaian yang telah kau miliki. Bukan hanya sekadar untuk
'hidup'. Lebih dari itu, kami berharap kau dapat mengamalkannya untuk
'kehidupan'"
Satria tepekur mendengarkan. Rasa nya, memang sudah semestinya dia
cepat-cepat kembali ke dunia persilatan. Ada banyak urusan yang sebelumnya tak
terselesaikan. Satu ha! besar yang begitu mengusik pikirannya adalah Ki Ageng
Sulut. Orang yang bertanggung jawab pada kematian Nyai Cemarawangi, juga orang
yang telah merampas Kaii Naga Samudera dari Satria. Suatu saat, akan direbut nya
kembali senjata
pusaka itu, tekad Satria membatin.
"Sebelum kau kulepas, ada satu pemberian akhir dariku yang hendak kuserahkan
padamu malam ini," lanjut Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Apa itu, Kakek?"
"Ajian Melepas Sukma'. Satu ajian yang tak bisa dipelajari sembarang orang,
kecuali bagi yang memiliki kemurnian hati Kemurnian itu mendo-rongnya untuk
selalu membersihkan sukma. Kebersihan sukma itulah yang memungkinkannya untuk
mendapatkan ajian 'Melepas Sukma'."
Melepas Sukma" Satria bertanya
membatin. Ajian macam apa lagi itu"
Sebentar, dia pun teringat pada
kejadian ketika Ki Ageng Sulut
menggempur habis-habisan di pelataran Perguruan Cemeti Api. Bukankah dia
menyaksikan gurunya datang, yang pada dasarnya kehadirannya itu hanya
diwakili oleh sukmanya"
"Untuk hal itu, kau tak
memerlukan waktu lama.
Aku cukup memasukkan 'kunci'nya ke dalam dirimu.
Sebab, kau telah memenuhi syarat untuk menerimanya."
"Kunci?" gumam Satria. Di benaknya, terbayang sebentuk kunci sebesar jempol kaki
Buto Ijo. Bagaimana caranya benda seperti itu hendak dimasukkan ke dalam
dirinya" Jangan-jangan gurunya hendak memaksanya
menelan kunci. Atau setidak-tidaknya, akan dibuat semacam lobang di udelnya
untuk memasukkan kunci itu. Apa iya begitu" Satria meringis. Ngeri.
"Kunci, Kakek?" tanyanya, ingin meyakinkan diri sendiri.
Dongdongka mengangguk.
"Besar apa tidak?" susui Satria sambil menelan ludah susah-payah.
Dongdongka kontan tergelak-gelak
detik itu juga.
Tepat tengah malam, keduanya
sudah terlihat duduk bersila
berhadapan. Masih di tempat yang sama.
Telapak tangan keduanya bertemu di depan.
Dalam diam, dalam hening, dalam
bisu yang dalam, keduanya tetap
mempertahankan posisi.
Lama. Malam beringsut. Dini hari jatuh.
Pada kokok ayam pertama, tubuh
keduanya tampak mulai bergetar.
Awalnya hanya sebentuk getaran halus.
Lama kelamaan makin kasar. Selanjutnya seperti ada hentakanhentakan yang memaksa
tubuh keduanya melonjak-lonjak kecil.
Kening, wajah, leher, dan
sebagian tubuh Dongdongka dibasahi peluh. Asap tipis mengepul lamat dari setiap
lobang pori-pori kulitnya.
Sebaliknya, tubuh Satria justru tampak diserang oleh rasa dingin luar biasa.
Uap tipis mengambang lambat. Juga dari seluruh lobang pori-porinya. Bibirnya
sudah tampak membiru. Gigi-giginya saling beradu, bergemeletak halus.
Lalu rembang pagi mengambang
diam-diam di cakrawala sebelah timur Getaran tubuh kedua guru-murid
itu pun melemah dan melemah. Sampai akhirnya tenang kembali. Hening
kembali. Bisu kembali.
Tangan Satria terjatuh, beriring
terjatuhnya tangan si tua bangka
Dongdongka. Satria yakin segalanya telah
usai. Selama itu, dia tak merasakan apa pun. Aneh memang. Padahal mestinya dia
mendapatkan serangan rasa dingin yang menyengat hingga ke tulang
sumsum. Seingatnya, dia hanya
merasakan ada sesuatu mengalir sejuk dari telapak tangan gurunya. Mengalir lagi
melalui telapak tangannya lalu berdesir cepat bagai meliuknya seekor belut ke
bagian dalam badannya di antara tulang belikat. Selain itu. tak ada.
Kelopak matanya pun dibuka. Kaget juga dia begitu menyaksikan
pemandangan yang dilihatnya di depan.
Matanya sampai membesar.
Matikah Dongdongka" Bukankah
menurut perkiraan Dongdongka sendiri, dia akan segera dijemput maut jika seluruh
kesaktiannya telah diturunkan pada sang murid, termasuk ajian akhir
'Melepas Sukma'"
Dua tiga tindak dari tempat
Satria, si tua bangka ternyata sedang nungging di atas pasir.
Apa yang sedang dilakukan Kakek"
Satria kebingungan. Disangkanya tindakan Dongdongka sebagai bagian dari upacara
penyerahan kunci ajian
'Melepas Sukma'. Satria keliru besar.
Sebab, tak lama kemudian terdengar suara raungan Dongdongka.
"Tobat tobaaaat, ya Gusti Agung!
Kenapa aku belum modar juga!"
Dan Dongdongka pun menangis
seperti anak monyet kehabisan jatah pisang.
* * * 6 KUUNDANG kau ke keraton, Satria!"
Pertemuan Di Kotaraja 9 Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit Biang Ilmu Hitam 2
^