Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 1

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 1


cersil ini diupload pertama kali oleh holistik...thank
-- DALAM kisah sebelumnya diceritakan Pek In Hoei jago muda kita terhantam masuk jurang oleh pukulan Hoa Pek Tuo yang maha dahsyat sehingga nasibnya tidak ketahuan.
Sedang Hoa Pek Tuo yang berhasil menghantam roboh musuhnya tiba-tiba merasakan suatu penyesalan yang besar sebab satu satunya orang yang bisa menandingi kepintarannya telah lenyap, ia menganggap sejak itu partai Thiam-cong telah musnah dari permukaan bumi.
Di saat bayangan tubuhnya baru saja lenyap dibalik kegelapan itulah, mendadak dari bawah tebing yang terjal muncul sepasang telapak tangan yang gemetar keras, seakan akan cakar baja telapak itu mencengkeram batu cadas kencang-kencang.
Orang itu bukan lain adalah Pek In Hoei jago kita yang dihantam masuk jurang oleh lawannya.
Dengan susah payah ia merangkak naik ke atas tebing, di atas wajahnya yang penuh penderitaan terlintas rasa bangga yang tak terkirakan.
"Partai Thiam cong tidak akan musnah!" gumamnya sambil memandang kegelapan yang mencekam permukaan bumi.
"Partai Thiam cong hanya akan lenyap dari dunia persilatan untuk sementara waktu begitu pula aku Pek In Hoei, tidak akan mati dengan begini saja, mungkin namaku akan hilang beberapa saat dari pendengaran orang..." Perlahan ia bangkit berdiri sambil mengepal kepalannya kencang-kencang ia berseru: "Suatu saat aku muncul kembali dalam dunia persilatan.
Pek In Hoei tiga patah kata pasti akan mengagetkan seluruh kolong langit." Kiranya tatkala sang badan mencelat masuk ke dalam jurang oleh pukulan Hoa Pek Tuo yang maha dahsyat tadi, tanpa terasa ia menjerit keras saking kagetnya, pada saat yang seperti itu timbul kemauan yang keras untuk melanjutkan hidupnya.
Maka dengan segenap kemampuan yang dimilikinya ia mengayunkan telapak tangannya ke depan, ia ingin menggunakan sambaran yang terakhir ini untuk mempertahankan jiwanya yang bakal musnah.
Oleh sebab itu, ketika tangan kanannya menyentuh sebuah tonjolan batu cadas di lambung tebing, tanpa sadar batu tadi dicengkeramnya kencang-kencang.
Setelah kesadarannya pulih kembali, ia himpun segenap kemampuan yang dimilikinya untuk setapak demi setapak merangkak naik ke atas, akhirnya usaha ini berhasil juga dan ia lolos dari ancaman maut.
Sambil membelai rambutnya yang kusut, si anak muda itu angkat kepalanya memandang ke angkasa lalu bergumam kembali seorang diri.
"Takdir masih belum menghendaki kematianku di tangan jahanam tua itu, aku tak boleh menyia nyiakan kesempatan bagus yang diberikan kepadaku untuk melanjutkan hidup ini..." Diam diam ia merasa berterima kasih pula atas pemberian sebutir pil penerus nyawa atau 'Si Beng Wan' yang dilemparkan Pek Giok Jien Mo kepadanya, sebab kalau tidak demikian tak nanti dirinya mempunyai kekuatan sebesar itu untuk merangkak naik ke atas tebing.
Angin malam berhembus kencang...
lapat-lapat terdengarlah serentetan suara nyaring menggema di angkasa : "Ada budi harus dibalas dengan budi, ada dendam harus dibalas dengan darah, aku tak sudi dirugikan oleh siapa pun dan tak mau berhutang kepada siapa pun !".
Tetapi... benarkah takdir memberikan budi kepadanya " dapatkah ia menyelesaikan budi dan dendam yang tiada terhingga banyaknya itu" Jalan kecil yang tiada ujung pangkalnya menjulur di tengah kegelapan dan lenyap dibalik hutan belantara yang gelap gulita, hutan yang begitu lebat dan tak nampak ujungnya di bawah sorot cahaya rembulan tampak seolah-olah sebuah samudra yang amat luas....
Dengan sempoyongan Pek In Hoei berjalan meninggalkan tebing batu karang yang hampir saja merenggut nyawanya, selangkah demi selangkah ia berjalan di jalan kecil yang tiada ujung pangkalnya itu...
Angin malam berhembus seakan akan sedang mentertawakan dirinya yang telah usang, di bawah sorot cahaya bintang, bayangan tubuhnya nampak semakin limbung.
"Ooooh... Pek In Hoei! Pek In Hoe, kau tak boleh melupakan segala penderitaan serta hinaan yang telah kau alami selama ini!" ia benahi rambutnya yang kusut, lalu gumamnya kembali, "Setelah kau sanggup menahan penderitaan batin yang berat, sepantasnya kau pun harus dapat menahan penderitaan atas kesunyian serta kepedihan di dalam hatimu...
" Ia angkat kepalanya memandang awan hitam di langit, senyum dingin menyungging di ujung bibirnya, kembali ia berpikir: "Aku tak sudi menerima rasa kasihan serta rasa iba dari kamu sekalian, aku sudah terbiasa hidup sebatang kara, seakan akan bayangan tubuhku, sepanjang masa ia akan mengikuti diriku kemana saja aku pergi..." Wajahnya mendadak berkerut...
air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Selamanya aku memang sebatang kara, aku tak sudi dikasihani orang...
aku tak sudi orang lain merasa iba atas penderitaanku...!" Angin malam membawa pergi jeritannya itu hingga lenyap di ujung sana...
kesunyian kembali mencengkeram sekeliling tubuhnya.
"Aku tidak seharusnya belajar silat," sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya ia bergumam lirih, "Sejak dilahirkan aku memang tiada berbakat untuk belajar silat, aku tahu sekali tubuhku melangkah masuk ke dalam dunia persilatan, sepanjang masa aku tak akan dapat hidup tenang, dunia kangouw pada dasarnya hanyalah suatu lembah yang penuh dengan pusaran.
Siapa pun yang terjerumus ke dalamnya maka selama hidup sulit baginya untuk melepaskan diri dari pusaran tersebut..." Sambil berjalan otaknya berputar terus, makin dipikir ia merasa makin sedih sampai akhirnya ia merasa bahwa di kolong langit ini tak ada seorang sanak keluarga yang bisa dijagakan, tak ada satu tempat pun yang bisa digunakan untuk berteduh, ia merasa dirinya sebatang kara...
seorang diri harus berkelana dalam dunia persilatan, merasakan pelbagai penderitaan dan siksaan tanpa segelintir manusia pun yang sudi menghibur hatinya.
Golakan batin yang luar biasa beratnya ini membuat si anak muda itu tak kuasa untuk menahannya lebih jauh, dengan penuh perasaan tersiksa ia mulai menjerit...
bagaikan kalap ia lari sekencang- kencangnya ke depan sambil tiada hentinya berteriak...
menjerit... Entah berapa jauh sudah ditempuh...
entah sudah berapa lama ia berteriak teriak bagaikan orang gila...
akhirnya Pek In Hoei tarik napas panjang panjang dan menghentikan gerakan tubuhnya, dengan termangu mangu ia berdiri tegak sambil memandang kicauan burung yang beterbangan di angkasa karena terkejut oleh teriak teriakannya itu...
Dengan sedih ia tundukkan kepalanya, ditarik cepat panjang dan duduk ke atas tanah...
Ia mengerti, setelah berlarian beberapa saat lamanya peredaran darah dalam tubuhnya telah berjalan semakin lancar, ditambah pula daya kerja obat penerus nyawa atau "Si Beng Wan" yang ditelannya tadi, bila ia gunakan kesempatan tersebut untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya, niscaya luka tersebut dengan cepatnya akan sembuh tujuh bagian.
Dalam keadaan seperti ini, ia tak ada waktu untuk memikirkan lagi apa sebabnya Pak Giok Jien Mo memberikan pil penerus nyawa itu kepadanya, seluruh perhatian serta pikirannya telah dipusatkan ke atas Tan Thian guna mengatur napas dan salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badan.
Segulung hawa panas perlahan lahan muncul naik dari pusar, perlahan lahan mengikuti persendian dan urat urat nadi dalam badan menyebar ke seluruh tubuh, dalam waktu singkat sekujur tubuhnya sudah dipenuhi oleh hawa panas tadi...
Mendadak... Di tengah kesunyian yang mencekam hutan belantara itu muncul suara langkah kaki yang nyaring, diikuti sebuah lampu lentera yang terang benderang perlahan-lahan muncul dari balik pepohonan yang lebat menuju ke arahnya.
"Eeeei... apa sebabnya burung burung dalam hutan ini secara tiba tiba pada beterbangan di angkasa?" serentetan suara nyaring menggema memecahkan kesunyian.
"Jangan jangan makhluk tua itu telah melarikan diri masuk ke dalam hutan ini?" "Hmm...! Hmmm!" suara lain yang lebih keras menyahut pertanyaan itu.
"Neneknya anjing tua itu...
seolah olah selama hidupnya tak pernah makan nasi, berani benar ia mencuri makanan dalam tenda Pangeran, Hmmm! kalau bukan toa Hoed ya..." Belum habis dia berkata, diiringi seruan tertahan orang itu roboh terjengkang di atas tumpukan dedaunan yang tebal.
Cahaya lampu berkelebat lewat, orang yang membawa lampu lentera itu segera memberikan reaksinya, cahaya kuning tampak berkelebat lewat.
Laksana kilat meluncur ke dalam hutan yang lebat itu.
Namun... bagaikan batu cadas yang tenggelam di dasar samudra, sama sekali tidak kedengaran reaksi apa pun dari balik sana.
Entah berapa saat sudah lewat...
mendadak terdengar gelak tertawa yang nyaring muncul dari balik hutan, diikuti berkumandanglah serentetan suara yang nyaring: "Neneknya cucu kura kura, kamu dua orang Lhama bukannya baik baik bersembahyang Lhama-Keng di Tibet, mau apa datang kemari mencicipi air kencing?" Lampu lentera diangkat tinggi tinggi sehingga di bawah cahaya lampu tampaklah jelas orang itu memakai jubah merah, berkepala gundul dan berdandan seperti seorang Lhama dari Tibet.
Dengan penuh kegusaran Lhama itu membentak keras, tangannya kembali diayun ke depan, dua batang lempengan baja segera meluncur ke arah mana berasalnya suara tadi.
Bersamaan dengan meluncur datangnya dua batang lempengan itu, mendadak dari hutan melayang keluar sesosok bayangan hitam yang segera menyongsong datangnya serangan itu.
Duuuk... ! Duuuuk... ! dengan telak lempengan lempengan baja itu bersarang di tubuh bayangan hitam, jeritan ngeri yang lirih dan lemah segera berkumandang, bayangan hitam tadi tanpa ampun lagi segera roboh ke atas tanah.
Rupanya Lhama berjubah merah itu tidak menyangka kalau sambaran lempengan bajanya akan mendatangkan hasil, dalam tertegunnya ia tidak mempedulikan keadaan rekannya lagi, dengan langkah lebar ia segera meloncat ke arah mana robohnya bayangan hitam tadi.
Siapa sangka baru saja ia tiba ditempat kejadian, mendadak ia temukan bahwasanya kedua batang lempeng bajanya ternyata tertancap di atas sebatang kayu yang besar.
Ia sadar bahwa keadaan tidak menguntungkan jiwanya, sambil berseru tertahan cepat cepat ia putar badan bermaksud lari dari situ, tapi...
pada saat itulah sebuah huncwee gede diiringi desiran angin tajam telah melayang keluar dari balik ranting menghantam jalan darah Giok Sheng Hiatnya.
Tak usah ditanya orang yang bersenjatakan huncwee gede itu bukan lain adalah Ouw-yang Gong yang pernah kita kenal.
Sementara itu jago tua yang konyol itu sudah mengambil alih lampu lentera itu dari tangan Lhama yang telah roboh binasa itu, sambil meludah ke atas tanah omelnya : "Maknya...
anak anjing cucu monyet, para Lhama keparat ini bukannya hidup bersenang senang dalam istananya, mau apa mereka lari kemari untuk bikin keonaran...
sialan..." Mendadak ia hentikan ucapannya yang belum selesai diutarakan, huncwee gedenya dengan cepat dilintangkan di depan dada, tubuhnya berputar dan menempel di balik.
sebuah pohon besar. Belum sempat ia padamkan lampu lentera yang ada di tangan, sebilah pedang panjang tanpa mengeluarkan sedikit suara pun telah meluncur datang dari balik kegelapan.
Selapis cahaya pedang yang amat tajam dan menyilaukan mata segera meluncur tiba dengan kecepatan laksana sambaran kilat, dalam sekejap mata tiga buah jalan darah penting di dada jago tua itu sudah terkurung di bawah ancamannya.
Ouwyang Gong terkejut, buru buru ia putar huncwee gedenya untuk menangkis datangnya titik titik cahaya kuning itu.
Triiing... ! Triiiing... ! Triiiing... ! tiga kali suara dentingan bergema di angkasa, seketika itu juga gerakan pedang lawan terhenti sejenak, namun sungguh lihay orang itu, mendadak pedangnya membentuk gerakan setengah busur yang aneh, dari samping laksana kilat membabat masuk ke dalam.
Rupanya Ouwyang Gong tidak menyangka kalau pihak lawan bisa mengubah jurus serangannya dengan begitu cepat, baru saja huncwee di tangannya tersampok oleh pedang musuh, tahu tahu di hadapan tubuhnya telah berkelebat datang lagi sebuah ancaman maut!.
Ia menjerit aneh, lampu lentera di tangan kirinya dengan cepat didorong ke depan sementara huncwee gedenya menyapu datar sang badan menyingkir ke samping.
Cahaya lampu berkedipan, sinar pedang menggulung silih berganti...
dalam sebuah babatan kilat lampu lentera itu terbelah jadi tiga bagian, separuh batang lilin dengan menempel di punggung senjata meneruskan babatannya ke depan.
Serangan pedang ini benar benar dilakukan dengan kecepatan yang sukar dibayangkan; bukan saja dalam sekejap mata ia sudah kirim tiga babatan dahsyat, bahkan sebelum lampu lilin itu terjatuh ke tanah orang itu sudah menyambutnya dengan punggung pedang.
Ouwyang Gong angkat ujung bajunya untuk diperiksa, ia lihat pakaian itu sudah terbabat sebagian oleh kilatan pedang lawan sehingga robek dan bergelantungan bagaikan bendera.
Diam diam si orang tua itu menjulurkan lidahnya, ia berpikir : "Kalau aku tidak berhasil menghindarkan diri dengan cepat, Oooh...
niscaya lengan kananku ini sudah ambrol termakan oleh senjata lawan..." "Hmmm! Hmmmm...!" mendadak gelak tertawa nyaring muncul dari balik hutan, Ilmu pedang kilat "Hoei Hong Kwan" dari aliran Hay Lam Pay betul-betul luar biasa, loolap merasa sangat kagum !" Dengan cepat Ouwyang Gong berpaling, tampaklah enam buah lampu lentera entah sejak kapan sudah menerangi hutan tersebut, seorang Lhama tua yang berperawakan tinggi kekar perlahan lahan munculkan diri ke dalam kalangan.
"Aduuuuuh celaka...! pikir si tua konyol itu dengan hati kecut, "Kurang ajar, aku tak mengira kalau malam ini diriku bisa termakan oleh siasat Song Kim situa bangka sialan ini..." Sinar matanya berkilat, kembali ia temukan dua orang jago muda bersenjata lengkap munculkan diri dari belakang batang pohon.
Kedua orang itu berwajah dingin menyeramkan, sedikit pun tiada perasaan yang terlihat di wajahnya, dengan sorot mata buas mereka awasi diri Ouwyang Gong tanpa berkedip.
Diam diam si huncwee gede menghembuskan napas dingin, ia mengerti bagaimanapun juga sulit baginya untuk melepaskan diri dari kepungan musuh yang begitu rapat pada malam ini.
Diam diam pikirnya : "Kurang ajar neneknya cucu monyet ! kalau memang anjing anjing ini tak mau melepaskan aku si huncwee gede, baiklah, kuhadiahkan dua butir Pek Lek Cu kepada mereka...
agar mereka semua modar jadi perkedel..." Dalam pada itu Song Kim Toa Lhama, dengan gerakan yang sangat ringan melayang turun lebih tiga tombak ke depan, dengan sikap yang angkuh dan sombong ia berdiri tegak kurang lebih dua tombak di hadapannya.
"Omihtohud!" serunya sambil tersenyum, "Loo-lap rasa sekarang sudah waktunya bagi sicu untuk menjumpai Jie thay cu kami bukan?"" Ouwyang Gong mendehem ringan, perlahan ia maju dua langkah ke depan.
"Thay Koksu kau terlalu sungkan, masa dengan upacara yang demikian besarnya kau hendak undang aku siorang tua untuk menjumpai pangeran kalian?" Hmm...
Hmm... seandainya tidak kuterima undanganmu ini...
waaah, bukankah aku jadi merasa tak enak terhadap dirimu?" "Terima kasih...
terima kasih..." sahut Song Kim toa Lhama dengan alis berkerut.
Dalam pada itu enam orang Lhama muda berjubah merah yang berada di belakang tubuhnya sambil menenteng lampu lentera perlahan-lahan maju ke depan, kemudian berdiri di belakang Song Kim toa Lhama.
"Ooouw... di antara tujuh orang jago pedang Bu lim yang tersohor dalam kolong langit dewasa ini sekarang sudah muncul tiga orang disini...
waduh... aku orang tua benar-benar boleh merasa bangga atas penyambutan yang luar biasa ini!" "Ciis...!" si pedang kilat Pelangi terbang Tok See menghardik keras, "Tua bangka sialan, kau masih juga tak mau menyerah dan mandah dibelenggu?" berani betul ngaco belo tidak karuan disini?" "Nenekmu keturunan ketiga belas yang bau tengik," maki Ouw-yang Gong sambil berpaling.
"Apa sih hebatnya perguruan Hay Lam Kiam Pay?" Hmm, bagaimanapun juga orang-orang yang datang dari luar lautan memang manusia-manusia liar yang tidak berpendidikan, sedikit sopan santun untuk menghormati kaum yang lebih tua pun tidak punya." "Tutup mulut!" Saking gusarnya si pedang kilat Pelangi Terbang Tok See tak sanggup menahan diri, pedangnya digetarkan keras, lilin yang masih berada di punggung pedang tadi seketika mencelat ke angkasa dan meluncur ke arah Ouw-yang Gong.
Si orang tua itu buru-buru membuang badan bagian atasnya ke belakang, huncwee gedenya diayun ke muka...
dengan ujung huncweenya ia sambut datangnya letupan api tersebut.
Pleeetak... pleeetak...! di tengah letupan panjang, api membakar sisa tembakau dalam huncwee dan mengebulkan segulung asap tebal ke angkasa.
Sambil menghembuskan asap tebal, ia tertawa terbahak-bahak dan berseru : "Haaah...
haaah... haaah... terima kasih atas bantuanmu yang sudi pasangkan api buat aku si orang tua!" Ia merandek sejenak, kemudian dengan wajah serius katanya lagi : "Coba kau lihat tingkah laku dari Cian san Kiam Khek yang berasal dari Tiang Pek san serta To Liong It Kiam yang berasal dari samudra utara...
Ehmm, mereka jauh lebih halus dan lebih sopan, cuma...
Heeeh... heeee....heee... kau bisa pasangkan api buat huncwee aku si orang tua, rupanya kau si bocah cilik pun boleh juga dididik dan dipupuk!" Pedang Sakti Pelangi Terbang Tok See amat gusar, sambil mempersiapkan pedang ia maju ke depan, diiringi desiran angin tajam ia babat tubuh Ouw-yang Gong.
Mendadak... "Tok See!" bentakan keras berkumandang keluar dari Song Kim Toa Lhama.
Sangat cepat serangan pedang itu meluncur ke depan namun cepat pula ia tarik kembali serangannya, sambil mendengus dingin Tok See tarik kembali cahaya pedangnya yang berkilauan.
"Sungguh tak disangka manusia liar tak berpendidikan macam kau bisa terhitung sebagai salah satu di antara tujuh jago pedang dari dunia persilatan," seru Ouw-yang Gong dengan wajah tenang.
"Sungguh hal ini merupakan suatu penghinaan bagi dunia kangouw!" Gelak tertawa seram berkumandang dari balik hutan disusul munculnya seorang lelaki berbaju ringkas dari atas pohon.
"Hey huncwee gede, kau jangan memaki pula dirimu lho...!" Begitu menjumpai siapakah orang itu, Ouw-yang Gong semakin getir perasaannya.
"Aaaaah, sungguh tak nyana Pay Boen Hay si keparat cilik ini pun telah menggabungkan diri dalam kalangan perwira istana, rupanya rencana kaum Seng Sut Hay untuk merajai Bu-lim masih belum dilepaskan dengan begitu saja!" Ia tarik napas panjang, kemudian serunya : "Ooooouw...! aku kira siapa, tak tahunya kau si Kiam Leng koen si pemuda tampan pedang sakti Pay Boen Hay.
Hmmm... di antara tujuh jago pedang Bu lim kini sudah muncul empat orang, entah si jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei apakah juga ikut datang atau tidak?" Teriakannya yang keras ini segera berkumandang hingga ke tempat yang sangat jauh di tengah kesunyian yang mencekam malam itu, membuat Pek In Hoei yang sedang duduk bersila sambil menyembuhkan lukanya kurang lebih sepuluh tombak dari tempat kejadian itu pun gemetar keras, ia sadar kembali dari konsentrasinya.
"Eeei..." bukankah teriakan tadi mirip suara dari Ouw- yang Gong si tua bangka itu" Kenapa dia pun berada di dalam hutan ini...?" Dalam pada itu terdengar si pemuda tampang pedang sakti Pay Boen Hay sedang tertawa dingin.
"Hmmm! Pek In Hoei terhitung manusia macam apa" orang seperti itu pun bisa dianggap salah satu di antara tujuh jago pedang dari dunia persilatan" Kalau sekarang ia berada di hadapanku, maka dalam sepuluh jurus pun Lang-koen pasti dapat memaksa pedangnya terlepas dari cekalan!...." "Neneknya cucu monyet, rupanya kau dilahirkan oleh anjing betina! coba dibayangkan dahulu kau Pay Boen Hay itu manusia apa" kau tidak lebih hanyalah cucu murid dari Ciak Kak Sin Mo, anak murid dari Ku Loei si monyet tua itu, berani betul kau..." Pek In Hoei yang dapat mendengar pula pembicaraan itu, diam-diam tarik napas panjang dan berpikir : "Saat ini luka dalamku sudah sembuh tujuh, delapan bagian, rasanya untuk mengalahkan manusia yang bernama Pay Boen Hay bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu sukar!" "Aku ingin agar kau bisa melihat betapa lihaynya ilmu pedang Liuwsat Kiam Hoat dari Seng Sut Hay kami," terdengar Pay Boen Hay berseru dengan suara menyeramkan.
"Aku hendak tutup bacot anjingmu yang kotor itu dan segera menyerahkan diri kepada Song Kiam Toa Koksu!" "Eeei"..." kembali Pek In Hoei berpikir, "Sungguh tak nyana disini masih ada seorang koksu dari istana, entah Ouw-yang Gong sedang mengalami kesulitan apa?" Ia mengepos tenaga dalamnya kemudian bagaikan selembar daun kering mengikuti hembusan angin malam meluncur ke arah sebelah kanan tubuhnya.
Ketika itu Ouw-yang Gong sudah menyambut lima buah serangan gencar Pay Boen Hay dan didesak mundur tiga langkah ke belakang.
Ia menghembuskan napas panjang, setelah menenteramkan golakan rasa kaget dan ngeri dalam hatinya, buru-buru ia berpikir : "Oooh, tak kusangka ilmu pedang yang dimiliki Pay Boen Hay si keparat cilik ini jauh lebih lihay dari suhunya, terpaksa malam ini aku harus adu jiwa..." Meskipun dalam hati kecil ia sudah mengambil keputusan, bila keadaan sudah kepepet maka dia akan lemparkan bahan peledak Pek Lek Cu peninggalan Pek Lek Sian cu si dewa Pek Lek Hong Loei, tetapi sebelum kedua belah pihak sama-sama menderita luka, ia masih tetap berharap bisa melepaskan diri dari kepungan itu tanpa menggunakan senjata ampuhnya itu.
"Aaaai...." ia semburkan asap tembakaunya dan menghela napas.
"Aku si huncwee gede benar-benar sedang sial, sudah dua hari aku menderita kelaparan disini, karena ingin mencari sedikit makanan tanpa sengaja aku telah memasuki daerah perguruan Jie Thay cu sehingga kini aku dipandang sebagai buronan yang melarikan diri...
huuuu...!" "Loo sicu, kalau kau ada ucapan terangkan saja di hadapan Jie Thay cu nanti," seru Song Kim Toa Lhama.
"Sudahlah, kau tak usah mengulur ulur waktu lagi, bagaimanapun juga tidak nanti kau bisa loloskan diri dalam keadaan selamat pada malam ini." "Aaaai...
baiklah, anggap saja aku sedang sial, tanpa angin tanpa hujan ternyata sudah ketanggor kamu sekalian cucu monyet keturunan cecunguk bau!" "Ouw-yang Gong, kau benar-benar sudah bosan hidup?" bentak Pay Boen Hay gusar.
"Neneknya cucu kura-kura anak anjing, jangan kau anggap aku si orang tua benar-benar tidak berani menghadapi dirimu..." Ia merandek sejenak, tiba-tiba tubuhnya berjumpalitan di tengah udara, huncwee gedenya laksana kilat dihantamkan ke atas batok kepala 'Cau san Kiam Khek' atau si jago pedang selaksa bukit Long Lek.
Mimpi pun orang she Liong itu tidak menyangka kalau secara tiba-tiba ia bakal dibokong, dalam tertegunnya ia terdesak mundur satu langkah ke belakang.
Setelah sadar apa yang telah terjadi, orang itu membentak gusar, pedangnya segera diloloskan dari sarung dan dibabat keluar.
Ilmu pedang selaka bukit dari aliran Tiang Pek san betul-betul luar biasa, begitu serangannya dilancarkan maka seakan-akan berlaksa-laksa buah bukit karang berbarengan menumbuk tubuh lawan.
Ouw-yang Gong jadi kelabakan, secara beruntun ia rubah dua jurus serangan untuk memunahkan datangnya ancaman lawan, tetapi bagaimanapun juga huncwee gede di tangannya tidak berhasil menembusi pertahanan lawan yang kokoh dan kuat itu.
Karena menyadari bahwasanya serangan itu tak mungkin berhasil menjebolkan pertahanan musuh, tubuhnya segera berputar kencang, dan kini ia balik menubruk ke arah To Liong It Kiam si pedang sakti pembunuh naga Tauw Meh yang berdiri di sudut Barat laut.
"Bagus!" seru Tauw Meh.
Kakinya segera bergeser ke samping cahaya pedang tiba-tiba memancar ke empat penjuru dan segera membentur huncwee gede di tangan Ouw-yang Gong.
"Traaaang...! diiringi suara bentrokan nyaring, tubuh Ouw-yang Gong berputar kencang ke samping, huncwee di tangannya terpental dan menimbulkan letupan api.
Ia terkejut, tangan kirinya segera meraba gagang huncwee, ditemuinya sudut huncwee tersebut telah gumpil sebesar beras, hatinya makin terkesiap.
"Neneknya... anjing buduk ini betul-betul hebat dan liar," batinnya dalam hati.
Sementara itu Tauw Meh telah tertawa seram, pedangnya miring ke samping dan kembali melancarkan satu babatan ke depan.
Ouw-yang Gong menjerit aneh, badannya sebat bergetar ke samping, setelah lolos dari ancaman pedang itu mendadak huncweenya berputar dan ditempelkan ke atas bibirnya.
Phuuu... sekuat tenaga ia meniup kencang, sisa tembakau yang belum terbakar habis dalam huncwee itu segera meloncat ke tengah angkasa dan laksana kilat meluncur ke arah tubuh To Liong It Kiam.
Tauw Meh tidak menyangka kalau Ouw-yang Gong secara tiba-tiba bisa mengeluarkan jurus serangan yang demikian anehnya, sementara ia masih melengak, senjata rahasia itu sudah menyerang dadanya.
Dengan penuh kegusaran To Liong It Kiam meraung keras, sekujur tubuhnya mengikuti gerakan pedang bergeser ke samping kanan, maksudnya ia hendak meloloskan diri dari hantaman 'Senjata rahasia itu'.
Siapa sangka percikan sisa tembakau yang meluncur ke depan itu sungguh aneh gerakannya, semakin ia menghindar serangan itu bersarang di tubuhnya makin tepat, tidak ampun lagi pakaiannya terbakar dan kulitnya terluka, saking sakitnya ia sampai menjerit-jerit keras.
"Haaah... haaah... haaah.... bagaimana dengan jurus ular racun melepaskan kentut ini?"" jengek Ouw-yang Gong sambil tertawa terbahak-bahak.
Dengan gusar Tauw Meh berteriak keras, sekuat tenaga tangan kirinya menarik ke bawah, pakaian yang terbakar tadi segera terlepas dari tubuhnya hingga tampaklah dadanya yang bidang, kekar dan penuh dengan bulu hitam.
Seluruh cambangnya berdiri tegak bagaikan landak, bisa dibayangkan betapa gusarnya si jago pedang pembunuh naga ini atas permainan usil lawannya.
Ouw-yang Gong bukan manusia bodoh, tidak menanti pihak lawan sampai menubruk datang, tubuh bagian atasnya telah dibuang ke belakang kemudian bagaikan gasingan berputar kencang, huncweenya digetar lalu diputar ke muka, hardiknya : "Anjing buduk yang bau tengik, sana pulang ke rumah nenek monyetmu!" Tauw Meh mendengus berat, tubuhnya yang besar kekar berjumpalitan lima enam kali ke belakang, akhirnya menubruk di atas sebuah pohon besar dan roboh terjengkang ke atas tanah.
Satu jurus serangannya mendapatkan hasil, Ouw- yang Gong tidak berhenti sampai di situ, dengan cepat badannya berkelebat meluncur ke arah Barat laut yang kosong.
"Omihtohud, loo sicu, tunggu sebentar." Bayangan merah berkelebat lewat, Song Kim Toa Lhama telah ayunkan tangan kirinya ke depan, segulung hawa pukulan yang sangat kuat segera membendung jalan pergi tubuhnya.
Ouw-yang Gong merandek sejenak,kemudian tarik napas panjang-panjang, senjata huncweenya dioperkan ke tangan kiri sementara telapak kanannya diayun ke depan melancarkan satu pukulan dahsyat.
"Bluum...! di tengah ledakan keras, tubuhnya terhuyung mundur dua langkah sebelum berhasil berdiri tegak.
"Loo sicu, kenapa kau tidak tahu diri?" seru Song Kim Toa Lhama sambil tersenyum.
Ouw-yang Gong tertegun, kemudian makinya : "Nenekmu yang tak tahu diri! Hmm...
bangsat, bangsat sialan, kalian tidak lebih hanyalah komplotan penjual negara yang tak tahu malu!" Air muka Song Kim Toa Lhama berubah hebat, sepasang alisnya yang tebal berkerut kencang, tidak menanti pihak lawan menyelesaikan kata-katanya ia sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa.
Tangan kanannya diangkat, sebuah angin pukulan yang sangat hebat segera dilepaskan.
Sungguh dahsyat angin pukulan dari Lhama tua itu, mau tak mau Ouw-yang Gong yang menyaksikan kejadian itu jadi berubah air mukanya, buru-buru ia salurkan hawa murninya ke seluruh badan, jubah bulu yang dikenakan dalam waktu singkat menggembung besar bagaikan balon yang ditiup keras-keras.
Huncweenya tidak ambil diam, secara beruntun dia pun melancarkan tiga buah serangan kilat untuk melindungi seluruh tubuhnya.
"EHMMMM...!" seorang lelaki setengah baya bertopi kulit kecil muncul dari balik ruangan dengan wajah kaku, mendadak hardiknya : "Hey pelayan sialan, apa yang sedang kau gerutukan?"" "Ooooh...
oooh... kiranya toa Ciang Kwee, aku...
aku baru bilang... cuaca ini hari sangat bagus...
matahari yang bulat membuat hati kita jadi hangat." "Omong kosong...
terang-terangan aku dengar kau sedang mengomeli nama penginapan tua Soen Hong- ku yang kurang baik...
Hmmm, kau anggap sekolahmu jauh lebih tinggi dari aku?" "Aaah...
mana... mana... cuma kelinci cucu monyet baru mengatakan nama dari penginapan ini kurang baik...
aku mengerti... ciang-kwee memberi nama itu agar usaha dagang kita lancar selalu..." "Bagus...
coba kau terangkan lebih jauh, aku ingin tahu sampai di manakah pengertianmu mengenai merek penginapanku ini." Sang pelayan gosok-gosok matanya lalu berkata dengan bangga : "Gunung Cing Shia begitu tinggi, kita yang melakukan usaha dagang begini sebagian besar tergantung pada orang-orang yang naik gunung untuk pasang hio, oleh karena itu kami selalu berharap agar perjalanan mereka lancar, selain cepat-cepat naik gunung dan cepat-cepat turun gunung..." "Konyol, kalau naik gunung biar lancar itu memang betul, dengan begitu bisa mengurangi beban sang pelancong yang sedang mendaki, kalau turun gunung juga terhembus angin, bukankah mereka bakal jatuh terpelanting...?" "Kalau anginnya terlalu gede, tentu saja terpelanting..." "Konyol! ayoh enyah dari sini!" Pelayan itu jadi ketakutan buru-buru ia sambar bangkunya lalu lari masuk ke dalam ruangan.
Pada saat itulah mendadak...
terdengar suara keleningan berkumandang datang...
tak usah dipandang lagi, loo ciang-kwee itu tahu sang dewi ayu yang tinggal di kuil Hwie Kak An di atas gunung sedang lewat di situ.
Ia tarik napas dalam-dalam, pikirnya : "Aaaah...
aku harus tenangkan hati, jadi kalau berjumpa dengan Hee siancu nanti tidak sampai gugup hingga tak dapat berbicara...
teringat tempo dulu... saking kagumnya kupandang wajahnya yang ayu, sampai bibirku terasa kaku dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun." Suara keleningan kedengaran makin nyata, dalam sekejap mata suara itu sudah tiba di depan pintu penginapan, dengan wajah penuh senyum simpul ciang kwee itu lantas menegur : "Hee siancu, apakah ini hari kau turun gunung lagi?" Seorang gadis cantik jelita dengan menunggang di atas sebuah keledai kecil warna putih berdiri di hadapannya, tampak dara itu tersenyum.
"Sungguh deras hujan yang turun beberapa hari ini, mumpung ini hari terang...
aku hendak turun gunung membeli barang keperluan sehari-hari." Ia mendongak memandang kain terpal yang berkibar terhembus angin, lalu gumamnya : "Penginapan tua Soen Hong, Penginapan tua Soen Hong...
Aaaa... siapakah manusia di kolong langit yang selalu lancar harapannya bagaikan terhembus angin?" Biji matanya bening kelihatan bertambah sayu, sekilas rasa sedih menghiasi wajahnya yang ayu...
perlahan- lahan ia menghela napas panjang.
"Hee Siancu, kau... kenapa kau nampak begitu sedih dan murung..." tegur Ciang kwee penginapan itu bagaikan orang mabok.
"Jalan hidup manusia di kolong langit hanyalah selapis awan yang gelap, hanya dengan tongkat penderitaan barulah kita dapat tembusi awan gelap yang penuh kesedihan itu..." Perlahan-lahan ia tepuk keledainya...
diiringi suara keleningan yang nyaring, gadis itu membuang pandangannya jauh ke depan.
"Tongkat Penderitaan"...
kabut kesedihan..." ciang- kwee itu dibikin bingung dan tidak habis mengerti.
Sorot mata sang gadis yang sedih itu lambat-lambat ditarik kembali dari kejauhan, ketika memandang wajah sang ciang-kwee yang lucu tak tahan ia tertawa.
"Hey... kalau aku tidak beritahu kepadamu, dari mana kau bisa tahu"..." ia tepuk kepala keledainya dan berseru : "Ciang-kwee, aku pergi dulu..." Keledai putih itu perlahan-lahan berjalan tinggalkan penginapan itu, diiringi suara keleningan yang nyaring terdengar dara itu bersenandung dengan nada yang pedih : "Bunga mekar bunga layu berulang terjadi, Berkumpul terburu-buru, berpisah pun tergesa-gesa Kudengar suara kicauan burung Nuri, tapi dimanakah kau berada" Asap kian menebal, hujan kian deras..." Tatkala ia menembusi kabut tipis yang melayang di atas permukaan, mendadak dari luar dusun berjalan datang dua ekor kuda yang penuh berlepotan lumpur.
Sinar matanya yang sayu mendadak bercahaya terang, dengan pandangan termangu-mangu ditatapnya kedua orang penunggang kuda itu tanpa berkedip.
Laksana kilat kuda-kuda itu melaju ke arahnya, dara tersebut berseru tertahan, wajahnya menampilkan cahaya kejut, girang dan tercengang, bibirnya terpentang lebar seakan-akan hendak berteriak.
Tapi tatkala satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera batalkan niat tersebut dan perlahan-lahan tundukkan kepalanya, dengan sedih ia berpikir : "Aaaai, buat apa kupanggil dirinya" setiap kali kujumpai dirinya, aku lantas teringat akan diri Pek In Hoei..." Kiranya orang yang dijumpai dara ayu itu bukan lain adalah Ouw-yang Gong si kakek tua konyol itu.
Terdengar Ouw-yang Gong dengan suara penuh kegirangan sedang berkata : "Anjing buduk neneknya...
pin itu betul-betul bukan manusia sembarangan, dua tahun berselang dia masih merupakan seorang bocah keparat yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat, sekarang nama besarnya sudah tercantum di antara tujuh jago pedang dari dunia persilatan.
Hmmm... Hm... Chee loote, tahukah kau apa sebabnya ia diberi sebutan sebagai jago pedang berdarah dingin?"" Di kolong langit hanya aku seorang yang tahu akan sebab- sebabnya, justeru karena dalam hatinya hanya senang dengan Hee Siok Peng si perempuan tuyul itu, maka terhadap perempuan lain ia tidak ambil peduli..." Ucapan itu diutarakan keras dan lantang, setiap patah kata seolah-olah martil yang menghantam dada gadis itu, tak tahan lagi dara ayu penunggang keledai itu angkat kepala dan berseru : "Hey si ular asap tua, Ouw-yang Gong!" Sebenarnya Ouw-yang Gong yang berjalan bersama- sama seorang lelaki berjubah merah tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap dara ayu penunggang keledai yang ada di pinggir jalan, tetapi setelah mendengar teriakan itu, buru-buru ia menoleh.
"Hey setan cilik, kiranya kau?" Di tengah bentakan keras, si kakek tua konyol itu loncat turun dari kudanya dan lari menghampiri gadis itu.
"Kenapa kau bisa berada disini?" Di mana ayahmu si racun tua Hee Gong Lam?" Sang dara ayu yang bukan lain adalah Hee Siok Peng itu segera tertawa getir.
"Suhuku melarang aku berada bersama-sama ayah, maka aku lantas diboyong kemari." Dengan pandangan tajam diawasinya wajah gadis itu dari atas hingga ke bawah, tatkala dijumpainya gadis itu pemurung dan wajahnya sayu, Ouw-yang Gong segera menegur kembali : "Hey setan cilik, kau banyak berubah." "Berubah?" perlahan-lahan Hee Siok Peng alihkan sorot matanya ke tempat kejauhan, "Awan putih bergerak di angkasa, setiap saat bisa berubah-ubah mengikuti keadaan, sudah jamak bagi kita manusia untuk berubah pula mengikuti situasi di sekitarnya.
Selama dua tahun ini, siapa bilang aku tidak berubah" Bukan saja wajahku berubah, hatiku pun telah berubah semakin tua." Ouw-yang Gong tertegun lalu menggeleng.
"Siok Peng, aku tidak dapat memahami dirimu." "Siapakah di dunia ini yang dapat memahami diriku?" gadis itu tersenyum, memandang rambut Ouw-yang Gong yang kacau tidak karuan, ia berkata kembali : "Hey ular asap tua, kau pun berubah, meskipun kau masih mengenakan jubah kulit kambing, tapi mana huncweemu..." Ouw-yang Gong semakin tertegun.
"Kau sudah kelihatan bertambah dewasa..." gumamnya lirih.
"Manusia tentu saja akan meningkat jadi dewasa, bukankah begitu" aku rasa kau tentu gembira bukan melihat aku bertambah dewasa..." Sinar matanya beralih ke atas tubuh lelaki jubah merah yang ada di sisi orang tua itu, kemudian tanyanya : "Siapakah dia" Mengapa keadaannya seperti kau, rambutnya kusut, jenggot panjang dan bau kecut, apakah dia adalah muridmu?" "Haaaah...
haaaah.... haaaaah.... di adalah tuan penolongku, si Pendekar jantan Berkapak Sakti Chee Thian Gak yang sudah tersohor namanya di Say Pak, apakah kau ingin bertemu dengan dirinya?" Dengan cepat Hee Siok Peng gelengkan kepalanya.
"Sekarang aku tidak ingin berjumpa dengan siapa pun." Wajahnya mendadak memerah.
"Apakah kau pernah berjumpa dengan Pek In Hoei?" "Oooh, sampai sekarang kau masih belum melupakan dirinya?" Buru-buru Hee Siok Peng menghindarkan diri dari pandangan Ouw-yang Gong, memandang ujung jubah Chee Thian Gak yang berkibar terhembus angin, katanya lagi dengan suara lirih : "Bagaimana keadaannya sekarang" Selama dua tahun terakhir belum pernah kudengar akan kabar beritanya." "Kakek moyang anjing buduk itu benar-benar tak tahu diri, bulan berselang ketika aku bertemu dirinya, ia sedang bersiap-siap memasuki perkampungan Thay Bie San cung yang ada di luar kota Seng Tok, siapa sangka si neneknya anjing buduk itu telah ajak aku berkelahi hanya lantaran seorang bocah perempuan dari luar lautan, ia telah putuskan hubungan dengan diriku..." "Apa" Dia sudah putuskan hubungan dengan dirimu lantaran seorang gadis...?" teriak Hee Siok Peng dengan wajah berubah hebat.
"Siapakah nama gadis itu?" "Dia bernama It-boen Pit Giok, murid dari Thian Tie Loo Nie salah satu di antara tiga dewa dari luar lautan..." Ia merandek sejenak kemudian tertawa terbahak- bahak, terusnya : "Memandang wajahmu yang patut dikasihani, biarlah terus terang kuberitahukan kepadamu, dia bukan mencintai It-boen Pit Giok itu sebaliknya lantaran bencinya maka ia telah putuskan hubungan dengan diriku." Sehabis mendengar keterangan ini Hee Siok Peng baru merasa hatinya lega, merah jengah selembar wajahnya.
"Cisss! Siapa yang peduli dia mau mencintai siapa pun juga! Apa sangkut pautnya dengan aku?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... di kolong langit hanya Hee Siok Peng seorang yang paling bisa mengurusi Pek In Hoei mencintai orang lain atau tidak!" "Cisss, ular asap tua, makin tua kau makin menjadi, mulutmu selalu saja usil!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... begitu baru mirip si setan licik pada dua tahun berselang!" "Kalau kau masih saja ngaco belo, aku segera pergi dari sini!" habis berkata ia lantas menggait perut keledainya dan siap berlalu dari tempat itu.
Ouw-yang Gong sendiri kendati dalam hati mengerti bahwa gadis itu hanya main gertak sambal belaka, namun karena takut ia benar-benar berlalu dari sana, maka segera teriaknya : "Hey, mari ke sini, biar kukatakan jejak mengenai Pek In Hoei!" "Hmmm, siapa yang sudi mencari tahu nasibnya, biar hidup atau mati apa hubungannya dengan aku?" Sekalipun berkata demikian namun tak urung gadis itu menghentikan badannya juga dan kembali ke hadapan si kakek tua itu.
Ouw-yang Gong tidak menggoda lebih lanjut, ia mendehem ringan kemudian berkata : "Di antara tujuh jago pedang dari dunia persilatan yang mulai tersohor namanya dalam dunia kangouw dewasa ini, Pek In Hoei menempati kedudukan nomor tiga, dia disebut orang sebagai si jago pedang berdarah dingin...!" Walaupun tadi secara diam-diam Hee Siok Peng telah mencuri dengan pembicaraan Ouw-yang Gong mengenai diri Pek In Hoei, namun sekarang setelah mendengar keterangan itu sekali lagi, ia tetap merasa girang.
Sambil menggigit bibir lantas tanyanya : "Kenapa ia disebut orang sebagai si jago pedang berdarah dingin?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... tentang soal ini, lebih baik tanyalah kepada dirimu sendiri." Sudah tentu Hee Siok Peng mengerti apa yang ia maksudkan, namun untuk menutupi rasa jengahnya ia menukas : "Kenapa harus bertanya kepada diriku sendiri" Apa hubunganku dengan dirinya?" "Selama ini namanya tersohor di daerah sekitar propinsi Su Cuan serta Hoo lam, aku rasa kau yang selalu mengasingkan diri dalam wilayah Biauw tentu tak tahu bagaimanakah tindak tanduknya..." Ia mendehem ringan, lalu terusnya : "Dibicarakan dari wajahnya yang ganteng serta potongan badannya yang kekar dan gagah, tak usah diragukan lagi banyak kaum gadis yang tergila kepadanya, tetapi ia sama sekali tidak tertarik oleh mereka, coba pikirlah, kalau dia bukan dikarenakan dirimu mengapa bisa bertindak demikian?"?" Betapa girang hati Hee Siok Peng setelah mendengar perkataan itu, namun di luaran dengan wajah kaku serunya : "Setan ular asap tua, kau jangan ngaco belo tak karuan, aku mau pergi..." Kali ini ia benar-benar menggapit perut keledainya dan berlalu dari situ.
"Hey buda! Suhumu serta kau tinggal di mana?" teriak Ouw-yang Gong keras-keras.
Derap kaki keledainya kian lama kian menjauh, tampak Hee Siok Peng sambil menoleh sahutnya : "Kami tinggal di dalam kuil Hwie Kak An di atas gunung Cing Shia, asal kau tanyakan di manakah rumahnya Hee Siancu, semua orang akan memberi petunjuk kepadamu..." "Hee Siancu?" sambil garuk-garuk rambutnya yang kusut, Ouw-yang Gong bergumam seorang diri, "Hey setan cilik, sejak kapan kau berubah jadi Hee Siancu?" Setiap kali ia teringat akan senyuman manis yang diperlihatkan dara itu di kala mendengar nama Pek In Hoei, hatinya lantas ikut gembira, maka sambil geleng kepala pikirnya :
"Dia begitu mencintai diri Pek In Hoei tapi di hadapanku masih saja berpura-pura seperti hambar dan tidak menaruh perhatian.
Heeei... dianggapnya aku si orang tua tidak mempunyai pengalaman mengenai soal ini" Masa masih saja mau membohongi aku?" Senyuman bangga tersungging di bibirnya, mendadak ia saksikan Chee Thian Gak sedang loncat turun dari kudanya.
Terdengar orang itu berkata sambil tertawa ringan : "Ouw yang Loo toako, apakah kau merasa sedih karena harus merawat lukamu selama beberapa hari hingga mengakibatkan perutmu yang buncit jadi kecil"...." "Aaah soal itu sih aku tidak ambil pusing asal makan nasi lima hari lagi, perutku akan kembali jadi buncit." Ia berpaling menuding ke arah belakangnya dan berkata lebih jauh : "Sudah kau lihat bocah perempuan itu" Dia bukan lain adalah Hee Siok Peng yang sering kuceritakan kepadamu, dan dia pula gadis idaman si jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei..." "Ooouw...
kiranya dia sungguh tak kusangka baru saja kau membicarakan soal dirinya, aku lantas bisa melihat raut wajahnya.
Ehmm, wajahnya memang cantik jelita, tidak aneh kalau Pek In Hoei telah menolak cinta kasih kaum gadis dunia persilatan yang begitu banyak mengejar kejar dirinya." "Tadi, kenapa kau tidak datang kemari untuk melihat wajahnya lebih jelas" Sebaliknya malahan berdiri saja di situ..." Chee Thian Gak tertawa getir.
"Huncwee gede, coba kau lihat tampangku, masa manusia macam begini pantas kalau berdiri berjajar dengan gadis secantik itu?" Bila dia wajahku, jangan- jangan bisa melarikan terbirit-birit..." Meskipun di luaran ia berkata demikian, dalam hati pikirnya : "Mana aku boleh biarkan dia mengetahui bahwasanya aku bukan lain adalah Pek In Hoei yang tempo dulu telah melarikan diri dari gunung Thian cong dengan badan menderita keracunan" pin telah mengasingkan diri dari dunia persilatan, buat apa aku harus mencari kesulitan dan kerepotan di dalam kalangan percintaan yang memusingkan kepala" Hutangku terhadapnya baru saja dibayar, kenapa harus berhutang lagi?" Bukankah aku akan jadi seorang manusia bodoh?" Dalam pada itu dengan pandangan tajam Ouw-yang Gong sedang memperhatikannya, tiba-tiba ia berkata : "Chee Loote, setelah kupandang pulang pergi, rasanya makin lama kau semakin mirip Pek In Hoei, bila kumismu dihilangkan kemudian rambutmu dibereskan maka aku pikir kalau kau berdiri sejajar dengan Pek In Hoei, sulit bagiku untuk membedakannya." Dalam hati Chee Thian Gak merasa terperanjat, namun di luaran ia segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... manusia kasar dan tidak kenal sopan santun macam aku mana bisa dibandingkan dengan Pek In Hoei yang halus budinya serta tampan wajahnya" Loo toako, rupa-rupanya kau sedang mengejek diriku!" Bibir Ouw-yang Gong bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu, namun dengan cepat Chee Thian Gak sudah tepuk bahunya sambil berseru : "Ayoh berangkat! Apa gunanya kita membicarakan persoalan yang tak berguna di tempat ini" Kita harus mencari satu tempat yang bagus untuk beristirahat, malam nanti aku masih harus melakukan perjalanan naik ke atas gunung Cing Shia." Melihat Chee Thian Gak sudah mencemplak kudanya berlalu, dengan perasaan apa boleh buat Ouw-yang Gong geleng kepalanya dan bergumam : "Selamanya aku dibikin tak habis mengerti sebenarnya siapakah dia" Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan jiwaku dari pengawasan Song Kim Toa Lhama serta empat jago pedang." Perlahan-lahan ia mencemplak kudanya dan menyusul dari belakang manusia aneh tersebut.
Memandang gunung Cing Shia yang menjulang tinggi ke angkasa, ia menghela napas panjang.


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gunung Cing Shia...
gunung Cing Shia! Sungguh tak nyana dua tahun kemudian aku telah kembali lagi ke sini!" Dengan rasa dongkol dan penuh kemarahan sambungnya lebih jauh : "Huuuu....! semuanya ini gara-gara Pek In Hoei bajingan cecunguk anak anjing budukan itu, wataknya jauh lebih keras dari cadas di puncak gunung..." Chee Thian Gak dapat mendengar semua omelan itu dengan jelas, cuma ia tidak menunjukkan reaksi apa pun kecuali tertawa getir...
** Memandang rentetan hutan bambu yang terbentang di depan mata, Chee Thian Gak tertawa getir, pikirnya : "Sejak kentongan pertama naik gunung hingga kini kentongan ketiga pun hampir menjelang tiba, namun aku belum juga berhasil menembusi hutan bambu ini, rupanya kalau aku tidak bertindak kasar tidak nanti bisa memasuki kuil Hwie Kak An!" Ingatan lain berkelebat dalam benaknya, pikirnya lebih jauh : "Lebih baik besok pagi aku datangi kuil Hwie Kak An lagi dan terus terang mengutarakan maksud kedatanganku kepada Hwie Kak Loo Nie serta mohon kepadanya agar meminjamkan kitab pusaka 'Ie Cin Keng' tersebut kepadaku.
Kalau tidak bukankah luka yang kuderita akibat pukulan Song Kim Toa Lhama di kala menolong Ouw-yang Gong tempo dulu selamanya tak bisa sembuh?" Sudah lama dia putar otak memikirkan persoalan ini, namun belum berhasil juga untuk menemukan satu cara yang bagus untuk mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng tersebut, sebab dia tahu setelah menderita luka dalam secara beruntun ditambah pula dengan luka yang baru belum sempat ia mendapatkan waktu untuk beristirahat, hal ini bisa mempengaruhi isi perutnya dan mempengaruhi pula kepandaian silatnya.
Bila ia harus menembusi hutan bambu ini dengan kekerasan maka berpuluh-puluh keleningan yang digantungkan pada jaring baja di sekeliling tempat itu pasti akan berbunyi dan kedatangannya pasti ketahuan, dalam keadaan begitu sulit baginya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Hwie Kak Loo Nie.
Sekarang, dia jadi merasa gemas, dongkol karena Ouw-yang Gong tidak tahu akan kedatangannya ke gunung Cing Shia serta datang membantu dirinya...
Di kala ia masih kebingungan itulah mendadak terdengar suara keleningan yang amat nyaring berkumandang di tengah hutan bambu, diikuti terdengarnya suara teriakan Ouw-yang Gong yang keras bagaikan sambaran geledek : "Ko In Loo Nikouw, ayoh keluar kau dari sarangmu!" "Ko In Loo Nie?" pikir Chee Thian Gak dengan perasaan tercengang bercampur tertegun.
"Darimana si ular asap tua bisa tahu kalau dalam kuil Hwie Kak An terdapat seorang nikouw tua yang bernama Ko In Loo Nie"..." Tapi dengan cepat ia tertawa, pikirnya lebih jauh : "Tingkah laku macam dia juga terhitung suatu hal yang luar biasa, rasanya di kolong langit jarang terdapat seorang manusia yang mendatangi kuil nikouw di tengah malam buta sambil berteriak-teriak suruh sang nikouw keluar menjumpai dirinya, aaaai...
rasanya cuma dia seorang yang sanggup melakukan perbuatan ini." Suara keleningan berbunyi makin gencar, hingga akhirnya seluruh bukit tersebut telah dipenuhi oleh suara yang amat nyaring.
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benak Chee Thian Gak, pikirnya : "Seandainya dengan menggunakan kesempatan ini aku membelah bambu tersebut untuk membuka satu jalan masuk, suara keleningan yang berbunyi disini tak nanti bisa terdengar oleh orang-orang dalam kuil..." Laksana kilat ia cabut keluar kapak saktinya dari pinggang kemudian gerakkan badannya ke samping, sekali bayangan kapak berkelebat lewat sebatang pohon bambu roboh ke atas tanah.
Dengan tumbangnya bambu tadi terbukalah satu jalan masuk baginya, tanpa pikir panjang ia menerobos masuk ke dalam hutan bambu dan langsung menuju ke arah kuil.
"Huuu... akhirnya aku berhasil juga tiba di kuil Hwie Kak An..." pikirnya sambil menghembuskan napas panjang dan menyeka air keringat yang membasahi tubuhnya.
Dari kejauhan masih kedengaran suara raungan gusar Ouw-yang Gong bergema memecahkan kesunyian...
Chee Thian Gak selipkan kembali kapak saktinya ke sisi pinggang, kemudian duduk bersila di atas tanah dan ia bermaksud untuk beristirahat sebentar, setelah lelahnya hilang baru menyusup masuk ke dalam kuil.
Mendadak... Goobrrak...! diiringi suara keleningan berdenting nyaring...
ketika ia menoleh terlihatlah seorang lelaki kekar berambut panjang sebahu dengan kepala memakai ikat besi berwarna emas, tangannya membawa toya baja menerobos masuk ke dalam.
"Siapakah orang itu?" pikir Chee Thian Gak dengan perasaan kaget, ia siap meloncat bangun.
Dalam pada itu lelaki kate bersenjata tongkat baja itu sudah berteriak gusar : "Pendekar bertenaga sakti Loe Peng dari partai Sauw lim datang berkunjung, Hey Hwie Kak Loo Nie, kenapa kau tidak munculkan diri untuk menyambut kedatanganku?"?" Dengan gemas dan kalapnya orang itu menerjang terus ke depan, seakan-akan dia mau sapu hutan bambu itu jadi tanah lapang.
Mendadak sesosok bayangan manusia kembali berkelebat datang, dengan suara yang aneh bagaikan gembrengan bobrok teriaknya : "Maknya...
anak sundal, apa toh yang sedang kau teriakan macam jeritan setan" berisik benar hingga mengganggu tidur aku si orang tua!" Dimaki dengan kata-kata yang kotor Si pendekar bertenaga sakti Loe Peng naik pitam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia ayun toyanya dan dikemplangkan ke muka.
Duuuuk...! getaran keras membuat telinga Pek In Hoei hampir saja berubah jadi tuli.
"Siapa yang datang?" teriak pendekar bertenaga sakti Loe Peng sambil mundur selangkah ke belakang.
"Toayamu adalah si Naga hitam dari Gurun pasir Hong Teng.
Keparat cilik, siapa kau?"?" "Aaaai...
kembali seorang manusia kasar!..." pikir Chee Thian Gak dengan alis berkerut.
Belum habis dia berpikir mendadak dari belakang tubuhnya menyambar datang segulung angin dingin, laksana kilat ia putar badannya ke belakang, tampaknya seorang nikouw tua berjubah abu dengan wajah penuh keagungan sedang melancarkan satu pukulan dahsyat ke belakang kepalanya dengan tasbeh yang ia cekal.
Chee Thian Gak mendehem rendah, telapak kirinya segera diayun mengirim satu pukulan hebat menolak datangnya tasbeh tersebut.
Nikouw tua itu hentikan langkahnya secara mendadak kemudian kaki kirinya melancarkan satu tendangan kilat ke muka dengan jurus naga sakti mendaki gunung, sementara telapak kirinya dengan membentuk gerakan satu lingkaran busur menghantam bahu kiri lawannya.
Begitu menyaksikan jurus serangan itu menggunakan ilmu Hoe Hauw Koen atau ilmu pukulan menaklukkan harimau dari Go bie pay, Chee Thian Gak segera menyadari bahwa nikouw tua itu bukan lain adalah Hwie Kak Loo Nie.
Ia tidak ingin bertarung melawan nikouw yang pernah menguburkan jenazah ayahnya, dengan cepat ia mundur ke belakang sambil menghindar, serunya : "Hwie Kak suthay, cayhe datang kemari adalah atas suruhan..." Belum habis ia berkata angin dingin meluncur datang dari belakang punggungnya, seketika tubuhnya jadi lemas dan ia segera roboh ke atas tanah.
"Kalian manusia-manusia keparat yang menangkap ikan di air keruh..." seru Hee Siok Peng sambil gigit bibir.
Tetapi ketika ia menjumpai raut wajah Chee Thian Gak yang terlentang di atas tanah, sekujur tubuhnya gemetar keras, seketika ia dibikin tertegun dan bungkam dalam seribu bahasa.
Hwie Kak Loo Nie masih belum mengetahui akan perubahan sikap muridnya, terdengar ia berkata dengan suara gelisah : "Peng jie, cepat pergi ke sebelah Timur, biar kuperiksa keadaan dari dua orang lelaki bodoh ini." Habis berkata tubuhnya segera berkelebat ke arah depan.
Hee Siok Peng memandang sekejap ular hijau di lengannya lalu menangis tersedu-sedu, sambil memeluk tubuh Chee Thian Gak teriaknya : "In Hoei...
In Hoe..." "Aku...
aku bukan Pek In Hoei!" sahut Chee Thian Gak susah payah.
"Tidak, kau adalah pin, sekalipun tubuhmu hancur jadi abu tak akan kulupakan bahwa kau adalah pin, peduli betapa panjangnya rambutmu serta betapa kusutnya jenggotmu aku masih kenali dirimu...
kau adalah Pek In Hoei..." Kesadaran Chee Thian Gak berangsur-angsur mulai hilang, dalam keadaan seperti ini ia tak bisa memikirkan soal apa pun juga, ia cuma ingat bahwa tujuannya datang kemari adalah untuk mencari kitab pusaka Ie Cin Keng, maka tanpa sadar ia bergumam seorang diri : "Ie Cin Keng...
Ie Cin Keng..." Hee Siok Peng tertegun, tapi dengan cepat ia totok jalan darah Chee Thian Gak, bisiknya sambil menyeka air mata yang jatuh bercucuran : "Baik, aku pasti akan mendapatkan kitab pusaka Ie Cin Keng untukmu!" Di tengah hembusan angin malam bayangan tubuhnya yang ramping lenyap di balik hutan bambu, tinggal Chee Thian Gak seorang diri yang menggeletak dalam keadaan tidak sadar.
Cahaya rembulan telah mendoyong ke barat, remang- remang menerangi tubuhnya di balik bayangan bambu, mendadak Chee Thian Gak merintih dan sadar dari pingsannya.
Ia tarik napas panjang-panjang kemudian bangkit berdiri dan melongok ke arah belakang hutan bambu, di situ ia jumpai si pendekar bertenaga sakti dari partai Sauw lim masih saja bersitegang dengan si naga hitam Hong Teng dengan wajah penuh kegusaran.
Mendadak terdengar si naga hitam dari gurun pasir membentak keras : "Padri bau, sambutlah sebuah seranganku!" Badannya menekuk ke depan, bagaikan seekor biruang raksasa ia tubruk musuhnya dengan dahsyat.
Loe Peng si pendekar bertenaga sakti mengerutkan sepasang alisnya, sepasang kakinya menekuk ke samping, toyanya digetarkan dan laksana kilat digetarkan ke atas.
Traaang...! bentrokan nyaring menimbulkan pusaran angin puyuh yang membuat daun serta ranting di sekeliling tempat itu bergoyang kencang...
"Bagus!" teriak si naga hitam dari gurun pasir.
Badannya yang tinggi besar dengan cepat berputar kencang, kakinya bergeser dua langkah ke samping, kemudian secara tiba-tiba membentur ke arah bawah.
Loe Peng mendengus dingin, ujung toyanya diputar sedemikian rupa dibarengi dengan gerakan tubuh bagian atasnya, seluruh toya mendadak jadi tegang kemudian menyambut dengan gerakan mendatar.
Traaaang... SAAT ITULAH... tiba-tiba dari balik pepohonan yang rindang menerjang keluar seekor makhluk yang tinggi besar.
Makhluk itu mempunyai empat buah kaki yang ramping dan panjang, lehernya tinggi, badannya lebar, pada punggungnya terdapat dua gundukan bukit kecil...
saat itu seakan-akan sedang mengejar sesuatu, dengan hebat dan cepatnya sedang menerjang datang.
Selama hidup belum pernah Loe Peng menjumpai makhluk aneh semacam ini, menyaksikan binatang itu menerjang ke arahnya buru-buru ia pejamkan matanya rapat-rapat.
Hong Teng sendiri, walaupun dilahirkan di daerah Hek Liong Kang namun disebabkan ia tumbuh jadi dewasa di sekitar daerah gurun pasir maka sering kali ia jumpai makhluk aneh yang dikenal olehnya sebagai binatang unta itu.
Walaupun begitu, sewaktu dilihatnya binatang itu sedang berlari kencang menerjang ke arahnya, dengan hati bergidik ia lantas berpikir : "Sungguh tak nyana aku Hong Teng yang sudah lama malang melintang dalam dunia persilatan akhirnya harus mati terinjak-injak oleh unta tanpa ada sedikit tenaga pun untuk melawan..." Belum habis dia berpikir, dari tengah hutan kembali meluncur datang tiga ekor unta yang tinggi dan besar...
Punahlah harapan jago lihay dari gurun pasir ini untuk melanjutkan hidup, seperti halnya dengan Loe Peng, ia tahu hanya bisa pasrah dan pejamkan matanya rapat-rapat.
Di saat yang amat kritis dan berbahaya itulah...
tiba- tiba terdengar suara bentakan nyaring berkumandang di tengah angkasa.
Dengan hati kaget dan terkesiap buka matanya, tampaklah seorang lelaki kekar berjubah merah, berambut kusut dan mencekal sebuah kapak sedang melancarkan satu babatan kilat ke arah unta yang sedang menerjang datang itu.
Cahaya hitam tampak berkelebat lewat, unta yang menerjang paling depan segera menjerit ngeri, di tengah muncratan darah segar binatang itu roboh binasa di atas tanah.
Hong Teng tak menyangka di saat jiwanya terancam bahaya, seseorang telah muncul dan menolong dirinya, seluruh perhatian dan semangatnya segera dikumpulkan kembali untuk memperhatikan gerak- gerik manusia aneh berjubah merah itu lebih jauh.
Sambil mencekal kapak pembelah langit, Chee Thian Gak berdiri kaku di tengah kalangan, dengan wajah tenang ia siap menghadapi serbuan dari unta-unta berikutnya.
Kapaknya kembali diayun...
darah segar muncrat ke empat penjuru, unta kedua roboh binasa.
Derap kaki bergetar membelah angkasa, seolah-olah barisan kuda yang banyak jumlahnya sedang menerjang ke arahnya, Chee Thian Gak membentak keras, dengan jurus 'Boan Ku Kay Thian' atau Boan Ku membuka langit ia ayunkan kapaknya ke depan.
Cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, tiga ekor unta berikutnya sama-sama menjerit keras kemudian roboh di hadapannya bagaikan sebuah bukit kecil.
Chee Thian Gak tidak memandang untuk kedua kalinya, sehabis membinasakan binatang-binatang itu dengan langkah lebar ia lewati tumpukan bangkai unta-unta itu dan menghadapi serangan berikutnya.
Menanti jurus ke-tujuh dari Sembilan kapak pembelah langit telah digunakan, secara beruntun dia telah membinasakan sembilan ekor unta.
Loe Peng si pendekar bertenaga sakti yang menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri, diam-diam merasa terperanjat bercampur kagum, gumamnya : "Tak nyana di kolong langit ini masih juga terdapat manusia yang bertenaga sakti sebagai itu..." Mendengar gumaman itu, Hong Teng si naga hitam dari gurun pasir segera berpaling.
"Kau sudah menyaksikan kehebatan dari manusia aneh berjubah merah itu"..." Dengan mulut membungkam Loe Peng mengangguk.
"Kau adalah orang yang berasal dari daratan Tionggoan," kata Hong Teng kembali, "tahukah kau siapakah dia?" Loe Peng menggeleng.
"Belum pernah kudengar di daratan Tionggoan terdapat manusia yang menggunakan kapak sebagai senjata andalannya, dan tak pernah kudengar ada jago lihay dengan dandanan begitu..." Dengan nada tercengang tiba-tiba tanyanya : "Mungkin dia datang dari luar perbatasan, apa kau kenal dengan orang itu?" "Aku cuma pernah mendengar orang berkata di Mongolia terdapat sinkoen bertenaga raksasa, di samping itu..." Bicara sampai disini mendadak dia merandek, sebab secara mendadak dirasakannya senjata patung tembaga yang dicekal dalam genggaman telah jatuh ke atas tanah.
Demikian juga halnya dengan Loe Peng tahu-tahu ia menyaksikan senjata toyanya sudah terjatuh ke atas tanah.
Rupanya karena tegang menghadapi serbuan rombongan unta tadi maka tanpa terasa masing- masing pihak sudah mengendorkan tenaga serangannya sehingga lama kelamaan ingatan kedua belah pihak untuk adu jiwa pun semakin hilang dari benak mereka, ketika tenaga kendoran masing- masing pihak sudah mencapai pada satu titik, maka tanpa menimbulkan luka bagi pihak lawan senjata masing-masing terlepas dari genggaman.
Dalam pada itu Loe Peng sudah berjongkok hendak mengambil kembali senjata toyanya.
"Bagaimana" pertarungan ini mau diteruskan?" bentak Hong Teng dengan mata melotot.
Sambil berkata ia pun segera berjongkok hendak mengambil kembali senjata patung tembaganya, apa daya sekalipun senjatanya sudah dipegang namun tiada tenaga untuk mengangkatnya, seakan-akan segenap kekuatan yang dimilikinya sudah buyar sama sekali.
Ketika ia berpaling ke arah lawan, ternyata keadaan Loe Peng pun tidak jauh berbeda, dalam keadaan begini mereka hanya bisa saling berpandangan sambil tertawa getir.
Lama sekali kedua orang itu saling berpandangan, akhirnya masing-masing pejamkan matanya untuk mengatur pernapasan.
Dalam pada itu Chee Thian Gak telah selesai membereskan ke-sembilan ekor unta tadi, dengan kapak pembelah langit terselip di pinggang ia dekati kedua orang itu dengan senyuman di kulum.
"Rasanya belum pernah mereka bayangkan kalau pada suatu hari mereka akan menjumpai keadaan yang serba kikuk macam begini," pikirnya.
"Entah bagaimana perasaan mereka di kala saling berpandangan tadi?" Tapi ingatan tersebut hanya sebentar saja berkelebat dalam benaknya, sebab ia lantas menyadari bahwa kedua orang itu berada dalam keadaan luka.
Dengan sebelah tangan menjepit Hong Teng dan tangan yang lain menjepit Loe Peng, sekali betot ia tarik kedua orang itu dari atas tanah.
"Terima kasih atas bantuanmu..." bisik Loe Peng sambil buka matanya memandang sekejap ke arah Chee Thian Gak lalu anggukkan kepalanya lirih.
Sedangkan Hong Teng sambil menghela napas ujarnya : "Sepanjang hidup belum pernah aku berhutang budi dengan siapa pun, setelah jiwaku kau tolong pada malam ini, selama aku masih hidup budi ini tak akan kulupakan..." Sinar matanya dialihkan sekejap ke arah wajah Chee Thian Gak, memandang rambut serta jenggotnya yang kasar dan lebat, serunya lagi sambil tertawa tergelak.
"Keadaanmu tidak jauh berbeda dengan keadaanku..." Mendadak...
suara jeritan aneh yang tinggi dan panjang berkumandang datang dari balik hutan disusul bumi bergoncang keras, seekor binatang yang luar biasa besarnya menerjang keluar dari balik pepohonan, melalui tumpukan bangkai unta dan menerjang ke arah beberapa orang itu.
Melihat binatang raksasa itu mempunyai dua buah taring yang panjang serta belalai yang panjang, dengan hati kaget bercampur terkesiap Loe Peng menjerit : "Aaaaah, gajah raksasa!" Chee Thian Gak bertindak sebat, sekali dorong ia pentalkan tubuh kedua orang itu ke samping, kemudian sekali putar badan ia berjumpalitan menyongsong kedatangan binatang tersebut.
Dengan gerakan yang dahsyat gajah tersebut menerjang datang, jarak mereka kian lama kian dekat sehingga akhirnya tinggal enam depa saja...
Dalam jarak yang sedemikian dekatnya tak mungkin lagi bagi Chee Thian Gak untuk mencabut keluar senjata kapak yang terselip pada pinggangnya, sebaliknya kalau ia menghindarkan diri dari terjangan dahsyat binatang itu niscaya Hong Teng serta Loe Peng yang ada di belakangnya bakal terpijak-pijak sampai hancur.
Tiada lagi kesempatan lain baginya untuk berpikir lebih jauh, sambil mendengus berat telapaknya segera diputar setengah lingkaran di depan dada kemudian dengan dahsyatnya didorong ke depan.
Braaak...! angin pukulan tersebut dengan telak menghantam batok kepala gajah itu membuat taring gadingnya tersapu miring dan gerakannya yang sedang menerjang datang pun tertahan untuk sesaat.
Gajah raksasa itu menjerit panjang, kaki bagian depannya tiba-tiba diangkat ke atas kemudian bagaikan dua batang pohon besar serentak diinjakkan ke atas kepala Chee Thian Gak.
Lelaki aneh berjubah merah ini tidak jadi gugup, badannya mengigos ke samping, tangan kanannya langsung menyambar salah satu kaki gajah yang sedang diangkat ke atas itu, di tengah bentakan keras di angkat seluruh tubuh gajah tadi kemudian melemparkannya ke arah belakang.
Bluuuum...! getaran dahsyat bagaikan ketimpa gempa menggetarkan seluruh bumi, batang bambu pada roboh ke samping, di mana gajah itu terbanting segera muncul sebuah liang yang sangat besar.
Hong Teng si naga hitam dari gurun pasir adalah seorang jagoan yang mempunyai tenaga sakti, meskipun ia pernah menghancurkan dua ekor harimau sekaligus di atas gunung Tiang Pek san dan membinasakan seekor ular naga yang besar di sungai Hek Liong Kang, tapi belum pernah ia saksikan ada orang bisa membanting gajah yang demikian besarnya setelah membunuh sembilan ekor unta.
Hatinya kontan bergidik, dengan pandangan kagum bercampur kaget ia berdiri melongo di tempat semula.
Sebaliknya Loe Peng si pendekar bertenaga sakti dengan hati kagum bercampur terkejut segera berseru : "Omihtohud! kalau ia tak memiliki tenaga sakti sebesar laksa kati, tak nanti gajah tersebut dapat dia angkat..." Sementara kedua orang itu masih dibikin menjublak dengan peristiwa yang baru saja terjadi, mendadak terdengar jeritan panjang lagi berkumandang datang, kembali seekor gajah besar menerjang datang dengan hebatnya.
Chee Thian Gak sama sekali tidak menggubris atas datangnya terjangan itu, ia tetap berlutut di atas tanah dengan sikap tenang.
Menanti gajah tadi hampir tiba di hadapannya, Chee Thian Gak baru meloncat bangun, telapak kirinya diayun ke muka...
Duuuuk! sebatang taring gading gajah itu dihantam hingga patah, menggunakan kesempatan di kala binatang tersebut sedang meronta gusar, kaki kanannya maju ke depan, tangannya laksana kilat menghambur belalai yang sedang menyapu tiba.
Terdengar ia membentak keras, meminjam tenaga terjangan gajah itu mendadak ia angkat tubuh binatang tersebut dan kemudian membantingnya ke belakang.
Semua gerakan ini dilakukan dalam waktu yang amat singkat, sementara bentakan Chee Thian Gak belum reda, tubuh sang gajah yang tinggi besar tadi sudah terlempar ke udara dan jatuh kurang lebih dua tombak di hadapannya.
Blummmm... sekali lagi bumi bergetar keras...
Mendadak... satu bentakan keras berkumandang keluar dari balik hutan, sesosok bayangan manusia laksana kilat berkelebat datang dengan cepatnya...
Dalam sekejap mata orang itu sudah tiba di depan mata, ia tidak langsung berdiri di hadapan lelaki aneh itu, sebaliknya malahan duduk di atas ranting bambu dengan gerakan yang aneh.
Orang itu adalah seorang kakek tua berjenggot putih keperak-perakan sepanjang dada, perawakannya pendek sekali ditambah pula jenggotnya yang panjang membuat keadaannya aneh dan sangat lucu.
"Entah siapakah kakek cebol ini?" diam-diam Chee Thian Gak berpikir di dalam hati.
"Perawakan tubuhnya tidak mencapai tiga depa, jenggotnya malah sepanjang dua depa setengah, untung ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat lihay, kalau tidak dengan jenggot yang begitu panjang mana ia bisa berjalan seenaknya"..." Sementara itu kakek cebol tadi sedang melotot ke arah Chee Thian Gak dengan pandangan aneh, sesaat kemudian ia menjerit aneh : "Sungguh tak nyana di negeri kerajaan Tong masih terdapat manusia bertenaga sakti sehebat ini, ternyata sanggup membanting dua ekor gajah...
Haaaah... haaaah... haaaah... kalau Oorchad sudah datang dan menyaksikan kesemuanya ini, dia tentu akan sangat mendongkol sekali!" Suara kakek cebol ini melengking dan tidak enak didengar, apa yang dia katakan tak sepatah pun yang didengar Chee Thian Gak kecuali 'Oorchad' sepatah kata.
Dengan alis berkerut lantas pikirnya : "Kakek cebol ini tidak mirip dengan orang yang berasal dari daratan Tionggoan, ditinjau dari kulitnya yang hitam, jangan-jangan dia berasal dari negeri Thian Tok atau mungkin budak Kun lun?" Budak Kun lun adalah panggilan untuk orang-orang bangsa Hitam pada jaman dinasti Tong, waktu itu kerajaan diperintah oleh kaisar Tong Thay Cong yang kuat dan bijaksana, pengaruh kekuasaannya telah meliputi negeri Korea, Jepang, India, Vietnam, Birma serta beberapa negara tetangga, setiap tahun dari negeri itu pasti datang upeti yang tak ternilai jumlahnya.
Nama kerajaan Tong bukan saja tersohor di seluruh Asia bahkan pedagang-pedagang dari negeri Timur Jauh serta Eropah pun sudah seringkali mendatangi Tionggoan, oleh sebab itu tidak aneh pada masa itu kalau sering nampak orang bermata biru berambut pirang dengan membawa orang-orang kulit hitam sebagai budak bermunculan di negeri Tiongkok.
Bagi orang Tionggoan, bangsa kulit hitam itu disebutnya sebagai budak Kun lun.
Sementara itu ketika kakek cebol itu melihat Chee Thian Gak hanya memandang ke arahnya dengan pandangan tertegun tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hawa gusarnya segera berkobar, makinya : "maknya...
anak anjing..." "Hey, kenapa kau memaku aku?" tegur Chee Thian Gak dengan nada tertegun.
Bukannya berhenti, kakek cebol itu malah memaki kembali dengan kata-kata tercabul, dalam keadaan gusar bukan saja suaranya berubah jadi aneh, wajahnya pun kelihatan lucu sekali.
"Aaaah... rupanya orang ini baru saja belajar memaki orang dengan kata-kata kotor...
maka ia cuma bisa mengulangi beberapa patah kata itu saja..." pikir Chee Thian Gak sambil tertawa getir.
Setelah melontarkan kata-kata makian, kakek cebol tadi menekan kain putih pengikat kepalanya ke atas.
Sebuah permata segera gemerlapan di atas kain kepala itu, mendadak ia buka mulut dan bersuit panjang.
Suaranya aneh dan seram...
begitu hebat suaranya sehingga bikin hati orang tidak tenang dan terasa sangat kacau...
Jeritan-jeritan gajah gajah melengking dari balik hutan disusul sahutan seorang dari tempat kejauhan.
Begitu mendengar suara sahut menyahut antara kakek cebol itu dengan rombongan gajah, dalam benak Chee Thian Gak segera berkelebat satu ingatan, ia teringat kembali akan dua nama yang pernah disebut Cian Hoan Lang koen atau Lelaki tampan berwajah seribu.
"Oooouw... dia pastilah si dewa cebol dari negeri Thian Tok yang diundang Ciak Kak Sin Mo!" pikirnya.
"Sedang orang yang disebut Oorchad kemungkinan besar adalah ketua suku Oorchad yang disebut Sinkoen bertenaga sakti..." oooOooo Bagian 15 BERPIKIR SAMPAI DISINI, air mukanya berubah jadi adem, pikirnya lebih jauh : "Rupanya Hoa Pek Tuo menganggap setelah aku pin menemui ajalnya maka di kolong langit sudah tiada orang yang patut disegani lagi, karena itu dia sudah laksanakan rencana besarnya untuk menguasai seluruh jagad jauh sebelum saat yang telah ditetapkan..." Mendadak hardiknya dengan suara lantang : "Apakah kau adalah si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok?" Senyuman manis terlintas di atas wajah si kakek cebol yang hitam pekat bagaikan pantat kuali, bibirnya yang lebar merekah hingga nampak sebaris giginya yang putih bersih, setelah tertawa jawabnya : "Darimana kau bisa mengetahui akan diriku?" "Hmmm...
Hmmm... bukankah kau sengaja diundang Hoa Pek Tuo untuk menghadapi tiga dewa dari luar lautan?" kembali Chee Thian Gak berseru sambil tertawa dingin.
Sementara Dewa cebol dari negeri Thian Tok hendak menyahut, sesosok bayangan hitam berkelebat datang dengan gerakan yang amat cepat.
Memandang ke arah orang itu, kakek cebol dari negeri Thian Tok berteriak keras : "Oorchad! coba kau lihat gajahku!" Orang yang baru saja datang mempunyai perawakan yang tinggi besar dan kekar, kulit wajahnya kuning emas, rambutnya keriting, hidungnya mancung dan matanya cekung ke dalam, sekali pandang siapa pun tahu bahwa orang itu bukan bangsa Han.
Menyaksikan kehadiran orang itu diam-diam Chee Thian Gak merasa terkesiap, pikirnya : "Sedikit pun tidak salah, dia adalah Sin Koen bertenaga sakti dari Mongolia, rupanya beberapa ekor unta itu adalah binatang yang sengaja dia bawa ke daratan Tionggoan, dan kini sudah kubinasakan semua..." Belum habis dia berpikir, sin koen bertenaga sakti Oorchad telah menerjang tiba, sambil meraung gusar sekali jotos ia kirim sebuah bogem mentah ke arah tubuh Chee Thian Gak.
Angin pukulan menderu-deru, jago kita tidak bingung dibuatnya, dengan tenang ia buang badan bagian atasnya ke belakang, lengan kanannya diputar satu lingkaran busur balas melancarkan satu jotosan ke depan.
Duuuuk... ! sepasang kepalan saling membentur satu sama lainnya di tengah udara menimbulkan bentrokan yang amat nyaring, tubuh kedua orang itu sama-sama tertekan ke bawah hingga mengakibatkan bumi bergoncang keras.
Oorchad mundur selangkah ke belakang, memandang kepalannya ia berdiri melengak, tapi hanya sebentar saja sebab secara tiba-tiba ia meraung keras, sepasang lengannya dikepal ke depan dada kemudian menubruk ke arah tubuh lawan.
Chee Thian Gak sendiri diam-diam merasa bergidik juga atas kekuatan tenaga sakti yang dimiliki pihak lawan, dalam bentrokan barusan ia rasakan tulang kepalannya teramat sakit seakan-akan pada retak semua...
Belum sampai pikiran kedua berkelebat dalam benaknya, terasa pandangan matanya jadi kabur, Oorchad dengan ganas dan hebatnya tahu-tahu sudah menerjang datang, sepasang lengannya laksana ular hijau membelit ke arah pinggangnya.
"Aaai...! Chee Thian Gak berseru tertahan, mendadak kaki kanannya melancarkan satu tendangan ke depan mengarah lambung lawan, lengannya diputar siap meronta dari jangkauan lengan musuh.
Dua jurus serangan ini dilancarkan dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, tetapi Oorchad sama sekali tidak menggubris, pinggangnya dibungkukkan ke depan, kaki ditekuk ke bawah, diiringi suara bentakan keras dia dekap pinggang musuh kemudian diangkat ke atas.
Cara tubrukan serta pendekapan yang dia lakukan bukan lain menggunakan cara sistim gulat aliran Mongolia, begitu lengannya berhasil memeluk pinggang musuh pergelangannya segera diputar, seketika ia banting badan Chee Thian Gak ke atas tanah dan menekan kepalanya mencium tanah.
Kelihatannya sebentar lagi kepala Chee Thian Gak akan membentur permukaan tanah, mendadak terdengar Hong Teng si naga hitam dari gurun pasir membentak keras, badannya sekuat tenaga meloncat ke depan, maksudnya ia hendak betot tubuh Chee Thian Gak sehingga kepalanya tidak sampai membentur tanah.
Tapi sayang segenap kekuatan tubuh yang dimilikinya boleh dikata sudah hampir habis digunakan untuk beradu jiwa beberapa saat berselang, baru saja badannya melayang sejauh lima depa, mendadak kakinya jadi lemas dan tubuhnya tidak ampun segera roboh ke atas tanah.
Dengan cepat ia merangkak bangun, tapi belum sempat ia berdiri punggungnya telah kejatuhan benda berat...
tidak ampun ia roboh kembali ke atas tanah.
Ternyata Loe Peng yang berusaha hendak menyelamatkan jiwa Chee Thian Gak pula sudah jauh terjengkang ke atas tanah berhubung kehabisan tenaga...
Tiba-tiba terdengar Oorchad membentak keras, begitu keras suara teriakannya sehingga seluruh bumi bergetar keras, Hong Teng serta Loe Peng yang sudah pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan tubuh tuan penolongnya hampir terbanting ke tanah tanpa sadar sudah membelalakkan mata dan memandang ke arah kalangan dengan hati kaget bercampur tercengang...
Ternyata keadaan di tengah kalangan sudah mengalami perubahan besar, bukan Chee Thian Gak yang terbanting ke atas tanah, sebaliknya tubuh Oorchadlah yang sudah menggeletak di tanah dengan mata melotot bulat, ketika itu dengan pandangan tertegun jago lihay dari Mongolia ini sedang menatap wajah Chee Thian Gak yang berdiri kurang lebih enam depa di hadapannya.
Mimpi pun ia tak menyangka kalau kepandaian gulat aliran Mongolia yang sudah dikuasainya dengan amat sempurna itu sama sekali tak berhasil membanting tubuh lawan ke atas tanah.
Ia semakin tidak mengerti apa sebabnya, tatkala ia salurkan hawa murninya tadi, tendangan yang dilancarkan lawan bisa mengenai di jalan darah Jiu keng Hiat di atas dadanya dengan begitu tepat, membuat badannya jadi lemas dan sebaliknya malah terpental sejauh enam langkah.
Chee Thian Gak sendiri dengan mulut membungkam menatap wajah Oorchad tajam-tajam, cambangnya yang pendek dan kasar membuat raut wajahnya nampak lebih gagah dan perkasa.
Di tengah kesunyian yang mencekam seluruh jagad itulah, terdengar si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak.
"Setan cebol, apa yang kau tertawakan?" maki Oorchad dengan penuh kegusaran sambil meloncat bangun dari atas tanah.
Dewa Cebol dari negeri Thian Tok tertawa semakin nyaring sehingga barisan giginya yang putih di balik bibirnya yang merah kelihatan semakin nyata.
"Kau paling suka mempamerkan kekuatan kasarmu di hadapan banyak orang, sekarang rasakanlah kalau sudah ketanggor batunya dan bertemu dengan tandinganmu, haaaah...
haaaah... haaaah... aku merasa sangat gembira karena kau jatuh terjengkang di atas tanah." Oorchad tertegun, namun dengan cepat ia sudah berseru kepada diri Chee Thian Gak : "Tunggu sebentar, aku hendak saling beradu tiga jurus pukulan lagi dengan dirimu." Sambil membentak keras dengan langkah lebar ia segera berjalan menuju ke arah hutan bambu.
Selama ini Hong Teng selalu menganggap perawakan tubuhnya yang paling tinggi, tapi setelah menyaksikan tubuh Oorchad yang tingginya melebihi satu tombak ini, tanpa sadar diam-diam ia menghela napas panjang.
Dalam dua tiga langkah Oorchad telah tiba di tepi hutan bambu, tatkala dilihatnya Hong Teng serta Loe Peng bergulingan jadi satu di situ, dengan hati melengak ia segera menegur : "Hey, kalian sedang berbuat di situ?" "Heeeh...
heeeeh... heeeh... kami sedang menonton orang berkelahi!" sahut Hong Teng sambil tertawa nyaring.
"Darimana kau bisa tahu kalau aku datang kemari memang mau berkelahi?"?" kembali Oorchad bertanya dengan wajah tertegun.
Menyaksikan tingkah laku orang, Loe Peng segera mengerti bahwa Oorchad adalah seorang dungu, maka ia lantas tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... bukan, kami bukan sedang nonton orang berkelahi, kami sedang tidur!" "Oooow...! tidur?"?" Oorchad angguk-anggukan kepalanya berulang kali, "sekarang hari sudah malam, memang sudah waktunya untuk tidur!..." Sambil meraba kepalanya sendiri, sekilas rasa sedih berkelebat di atas wajahnya, kembali dia bergumam : "Sayang aku harus berkelahi lagi, tak mungkin aku bisa tidur dalam keadaan begini..." Sambil menggerutu ia lantas lanjutkan langkahnya menerjang ke dalam hutan bambu.
Menyaksikan si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok yang masih berdiri di atas ranting bambu, teriaknya keras-keras : "Hey setan cebol, ayoh turun!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... Oorchad kau jangan melampiaskan amarahmu ke atas tubuhku, aku toh tidak membinasakan unta-untamu itu!" Oorchad melengak, tapi dengan cepat serunya : "Gajah-gajahmu tak sanggup menangkan cepatnya lari unta-untaku, kau sudah menderita kekalahan di tanganku!" "Eeeei...
nanti dulu, bukankah kita bertaruh binatang tunggangan siapa yang lebih dahulu tiba di perkampungan Thay Bie San cung, maka zamrud merah delima itu akan jatuh ke tangan siapa, unta- untamu toh tidak melanjutkan perjalanan, sebaliknya gajah-gajahku masih meneruskan perjalanan ke depan..." Rupanya si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok serta Sin koen bertenaga sakti Oorchad sengaja diundang Hoa Pek Tuo untuk datang ke perkampungan Thay Bie San cung guna melaksanakan rencana besarnya melenyapkan dunia persilatan di daratan Tionggoan.
Mereka berdua, yang satu dengan menunggang untanya berangkat dari Mongolia sedang yang lain berangkat dari negeri Thian Tok dengan menunggang gajah.
Karena mereka berdua sama-sama tidak begitu paham dengan peta bumi negeri Tionggoan, sedang perjalanan mereka hanya mengandalkan secarik peta yang sengaja dibuat Hoa Pek Tuo bagi mereka, maka perjalanan yang dilakukan kedua orang itu ngawur tidak karuan.
Sungguh tak nyana dalam suatu kesempatan mereka telah saling berjumpa di dalam propinsi Kwang Soe, berhubung gerak gerik mereka berdua yang serba mistrius, ditambah pula kedua belah pihak menunggang binatang-binatang yang pada masa itu masih dianggap aneh bagi penduduk di daratan Tionggoan maka begitu saling berjumpa mereka lantas saling berkelahi satu sama lain.
Menanti kedua orang itu sama-sama mengutarakan tujuan dari kedatangan mereka, barulah mereka sadar bahwa mereka berdua sengaja datang atas undangan dari Hoa Pek Tuo.
Suatu malam mereka telah tiba di propinsi Su cuan, karena malam yang gelap sedang perjalanan masih dilanjutkan, Oorchad telah mengeluarkan zamrud merah delima milik sukunya sebagai penerangan.
Si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok yang menyaksikan benda berharga tadi segera mengenali pula bahwasanya benda itu adalah Zamrud merah delima yang telah hilang hampir seratus tahun lamanya dari kuil gajah mustika di negeri Thian Tok maka dengan segala macam akal dicobanya untuk mendapatkan kembali Zamrud tadi, siapa sangka Oorchad tak mau mengembalikan.
Sampai akhirnya si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok segera mengusulkan untuk mengadakan pertandingan menempuh perjalanan antara gajah serta unta- untanya; barang siapa yang tiba lebih duluan di perkampungan Thay Bie San cung maka Zamrud merah delima itu akan menjadi pemilik si pemenang.
Watak Oorchad adalah jujur dan polos, belum pernah ia menggunakan akal muslihat untuk merobohkan musuhnya, ditambah pula ia berdiam jauh di daerah Mongolia yang belum pernah melihat gajah maka ketika dijumpainya gajah-gajah itu besar lagi berat, dia lantas mengira unta-untanya pasti dapat menang dalam pertandingan ini.
Tapi ia tidak mengerti kalau unta-untanya memang jempolan di daerah bergurun sebaliknya payah kalau diharuskan lewat jalan gunung yang penuh dengan bukit dan pepohonan.
Oleh karena itu untuk sementara unta-untanya menderita kekalahan, tapi ia tidak berputus asa, digunakannya cara penjinakan unta yang telah dikuasainya untuk memerintahkan unta-unta itu berlari cepat, alhasil untuk kali itu ia mendapat kemenangan.
Kian lama perkampungan Thay Bie San cung semakin dekat, kalau ia tidak mempertahankan terus posisinya sekarang niscaya pihaknya yang akan menderita kekalahan.
Siapa sangka di tempat itu unta-untanya berjumpa dengan Chee Thian Gak yang mengakibatkan binatang-binatang miliknya mati terbunuh semua.
Apalagi setelah menyaksikan si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok mengejek dan mentertawakan dirinya, tentu saja semua rasa dongkol dan marahnya ditumpahkan ke atas tubuh kakek cebol itu.
Namun setelah mendengar perkataan lawan, kembali ia dibikin tertegun, sambil meraba kepalanya terdengar orang itu bergumam : "Ehmmm, sedikit pun tidak salah, dia memang berkata binatang tunggangan milik siapa yang tiba di perkampungan Thay Bie San cung lebih duluan, maka dialah yang akan mendapatkan zamrud merah delima..." Lama sekali Oorchad berdiri termangu-mangu di situ, seakan-akan ia telah menemukan sesuatu, sambil mendongak katanya : "Gajah-gajahmu tidak nanti bisa tiba di perkampungan Thay Bie San cung, kau anggap aku adalah orang tolol yang bakal tertipu oleh siasat licinmu?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... sedikit pun tidak salah, kau memang seorang manusia tolol." Oorchad meraung keras, ia masuk ke dalam hutan sambil ayunkan sepasang telapaknya yang besar, angin puyuh menderu-deru di angkasa...
seketika berpuluh-puluh batang bambu roboh ke atas tanah.
Benar-benar hebat manusia ini, kakinya yang melangkah di tanah segera menghancurkan apa saja yang dijumpai, dalam sekejap mata keadaan di situ berubah jadi porak poranda...
Menyaksikan tingkah laku orang kasar tadi, si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok segera tertawa geli, sindirnya : "Huuuu....
keadaanmu tidak jauh berbeda dengan babi-babi celeng di negeriku sana...
di mana saja yang dilalui babi-babi itu tanaman tentu akan hancur berantakan..." "Setan tua ayoh turun kemari...
lihat saja nanti aku si tua cabut gundul jenggot-jenggot sialmu itu," maki Oorchad dengan gusarnya.
Si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok yang dimaki bukan jadi marah sebaliknya malah tertawa semakin menjadi, begitu gelinya kakek itu sampai-sampai air mata jatuh bercucuran dan mulutnya tak sanggup ditutup rapat, teriaknya sambil menuding ke arah Oorchad : "Babi celeng...
kau..." "Maknya, hey setan tua, kudoakan agar kau tertawa sampai modar..." Gelak tertawa si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok semakin menjadi-jadi...
seakan-akan di kolong langit tidak ada orang yang jauh lebih menggelikan daripada Oorchad.
Terlihatlah wajahnya yang hitam pekat telah basah oleh air mata, bibirnya kelihatan bertambah merah, saking kerasnya dia tertawa sampai pinggang pun terbungkuk-bungkuk.
"Haaaah... haaaah... haaaah... sungguh menggelikan... sungguh menggelikan... sampai air mataku bercucuran..." "Maknya...
moga-moga ususmu pada mengalir keluar semua...
ayoh tertawa terus... moga-moga perutmu jebol..." Ia sambar batang bambu di sisinya lalu dilemparkan ke tengah angkasa, diikuti ia dekati bambu di mana si cebol berada dan dengan sekuat tenaga dibetotnya dari atas tanah.
Hilang lenyap seketika itu juga gelak tertawa dari si Dewa Cebol, buru-buru badannya melejit ke angkasa, jenggotnya berputar setengah lingkaran busur di angkasa dan melayang turun kurang lebih dua tombak jauhnya dari tempat semula.
Ketika Oorchad berhasil mencabut keluar bambu tadi dan dipatah-patahkan jadi beberapa bagian, ia baru tertegun karena tidak menjumpai si cebol berada di situ.
"Heeey... kemana perginya setan tua itu?" serunya tercengang.
Tingkah lakunya yang ketolol-tololan ini tentu saja mengerutkan dahi Chee Thian Gak, pikirnya : "Kenapa sih otak orang ini begitu bebal dan sederhana" Tidak aneh kalau ia begitu gampang kena dipanasi oleh Hoa Pek Tuo sehingga bersedia memusuhi orang kangouw.
Aaaaa... aku benar-benar tidak habis mengerti bagaimana caranya ia memimpin sebuah suku yang besar" atau mungkin orang Mongol memang mengagumi orang yang memiliki kekuatan besar, maka menjumpai orang yang mempunyai kekuatan jauh lebih besar dari mereka lantas diangkat sebagai ketua suku..." Dalam pada itu Oorchad telah maju dua langkah ke depan, sorot matanya dengan tajam melirik sekejap ke arah Dewa Cebol dari negeri Thian Tok yang ada di sisi kanan pohon bambu, tiba-tiba teriaknya keras : "Aaaaah...
disini ada bangkai gajah..." seraya berseru ia lantas berjongkok ke atas tanah.
Senyuman yang menghiasi bibir Dewa Cebol dari negeri Thian Tok seketika lenyap tak berbekas, sekarang ia baru teringat bahwa tujuan kedatangannya ke daratan Tionggoan adalah atas undangan dari sepasang iblis Seng Sut Hay, dan teringat pula bahwa Chee Thian Gak telah membinasakan seekor gajahnya.
Dengan cepat ia meloncat ke depan serunya : "Hey Oorchad, lebih baik kita jangan ribut dahulu..." Oorchad tidak ambil pusing seruan orang, melihat jarak si Dewa Cebol dengan dirinya cuma terpaut lima depa, mendadak ia maju selangkah ke depan, lengan kanannya laksana kilat menyambar jenggot panjang dari lawannya.
Rupanya si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok tak pernah menyangka Oorchad yang selama ini dianggap bodoh bagaikan babi ternyata dapat menggunakan akal, tanpa bisa dihindari lagi jenggotnya segera kena disambar, membuat ia jadi melengak dan tertegun.
"Haaaah... haaaah... haaaah... setan tua berjenggot panjang..." seru Oorchad sambil tertawa keras.
"Biarlah aku si kepala suku menghantar dirimu menghadap Malaikat!" Dewa Cebol dari Negeri Thian Tok meraung rendah, seluruh tubuhnya melayang ke depan dengan mendatar, sepasang kakinya serentak melancarkan tendangan berantai menghajar dada Oorchad.
Kekuatan tendangan dari kedua belah kakinya boleh dikata mencapai bobot seberat ribuan kati, namun tatkala ujung kakinya mampir di atas dada Oorchad yang bidang dan lebar, sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun seolah-olah dada lawannya terbuat dari baja yang sangat kuat.
Mula-mula Oorchad melengak ketika menyaksikan perbuatan lawan, tapi dengan cepat ia tertawa terbahak-bahak, sekali puntir ia tarik jenggot panjang kakek cebol dua kali mengitari depan tubuhnya kemudian dibetot ke arah bawah.
Si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok menjerit-jerit kesakitan, telapaknya segera diputar dan hawa murni disalurkan ke seluruh tubuh, dalam sekejap mata telapaknya berubah jadi merah padam bagaikan darah, diiringi desiran tajam langsung ditabokkan ke atas tubuh Oorchad.
Sementara itu si Sinkoen bertenaga sakti dari Mongolia sedang kegirangan setengah mati karena berhasil membetot jenggot musuhnya, tatkala secara tiba-tiba ia mencium bau amis yang amat menusuk hidung, dalam hati ia lantas sadar bahwa si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok ini pastilah telah mengeluarkan ilmu pukulan beracunnya, suatu ingatan berkelebat dalam benaknya.
Di tengah suatu bentakan nyaring, tangan kanannya dengan cepat mencengkeram kiri kanan lawannya, kemudian sekali puntir dan menjegal, ia banting tubuh kakek cebol itu ke atas tanah dengan gerakan gulat aliran Mongolia...
Dalam pada itu si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk melancarkan satu pukulan kilat, siapa sangka secara tiba-tiba tubuhnya diangkat oleh Oorchad ke tengah udara sehingga hantamannya mengenai sasaran yang kosong, tubuhnya jdi kendor dan lemas...
tahu-tahu ia sudah diputar dua lingkaran di tengah udara dan dibanting keras-keras ke atas tanah.
Oorchad tertawa terbahak-bahak, ia maju dua langkah ke depan, lengan tangannya bagaikan ular sendok mendekam tubuh lawan erat-erat kemudian sekali betot ia cekal pinggang musuh dan dibantingnya lagi ke ke atas tanah dengan gerakan gulat.
Ketika dibanting untuk pertama kalinya tadi si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok sudah merasa pusing tujuh keliling, dadanya terasa sesak dan sukar untuk bernapas, belum sempat dia atur pernapasan tubuhnya kembali sudah dicekal lawan dan dibanting ke atas tanah.
Duuuuk...! punggungnya mentah-mentah mencium permukaan tanah, membuat badannya terjungkal bulak-balik bagaikan onde-onde, darah panas dalam dadanya langsung bergolak kencang, hampir saja ia muntahkan darah segar.
Oorchad tertawa terbahak-bahak, sambil meludah ke atas tanah serunya : "Hey setan tua keling...
enyah dari sini! Sana pulang ke rumah nenekmu! Aku sudah tidak punya waktu lagi untuk berjoget dengan dirimu...!" Ia putar badan langsung menghampiri Chee Thian Gak, kembali teriaknya : "Keparat cilik, waaah...
terpaksa aku harus suruh kau menanti agak lama...
mari! mari! mari! lebih baik kita adu kepalan sebanyak tiga gebrakan lagi!" Mendengar seruan itu Chee Thian Gak merasa geli bercampur mendongak, ia lantas mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah...

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haaaah... tidak salah, lebih baik kita saling adu tenaga." Buru-buru Oorchad menerjang ke muka, kepalanya yang besar dan kuat segera dikepal kencang-kencang kemudian secara beruntun melancarkan tiga buah serangan berantai, desiran tajam menderu-deru, angin pukulan bagaikan gulungan ombak menyapu dan melanda ke muka dengan hebatnya.
Chee Thian Gak membentak berat, tubuh bagian atas sedikit berjongkok ke bawah, hawa murni disalurkan ke dalam sepasang lengan, dalam waktu singkat dia pun melancarkan tiga buah serangan berantai, dengan keras lawan keras disambutnya seluruh serangan lawan.
Angin guntur membelah bumi, bagaikan bendungan yang ambrol desiran angin menyebar ke empat penjuru, tubuh Oorchad membeku beberapa saat, wajahnya berubah jadi merah padam, dengan termangu-mangu dipandangnya pasir serta batu kerikil yang berhamburan di tengah angkasa.
Lama sekali... ia baru berseru : "Bagus!" Habis berkata dari mulutnya menyembur keluar darah segar, tubuhnya yang tinggi kekar mundur tiga langkah ke belakang dengan sempoyongan, termakan oleh desiran angin pukulan yang maha dahsyat badannya berpusing dua kali kemudian roboh terjengkang ke atas tanah.
Hijau membesi seluruh wajah Chee Thian Gak,ia tarik napas dalam-dalam, hawa murninya perlahan-lahan diatur dan menekan golakan hawa darah dalam rongga dadanya.
Meskipun di dalam adu kekuatan yang baru saja berlangsung ia berhasil menang satu gebrakan, tetapi memandang tubuh Oorchad yang jatuh terjengkang di atas tanah, diam-diam ia merasa menyesal, sebab ketiga buah serangan yang baru saja digunakan tadi merupakan suatu penggabungan antara ilmu Lay yang sin kang serta kepandaian sakti yang diperolehnya dari kitab Ie Cin Keng.
Seandainya ia tidak mengeluarkan gabungan kedua macam kepandaian sakti yang menimbulkan kekuatan aneh itu, mungkin ia tak akan sanggup menahan kekuatan lawan.
"Oorchad!" tanpa terasa serunya dengan nada kagum, "kau benar-benar seorang pendekar sejati di antara pendekar-pendekar yang ada di kolong langit, kau tidak malu disebut sebagai seorang Sinkoen bertenaga maha sakti." Titik-titik air bercampur darah mengucur keluar dari ujung bibir Oorchad, perlahan-lahan ia merangkak bangun, serunya pula dengan suara parau : "Hanya kau seorang yang bisa disebut pendekar sejati di antara pendekar-pendekar yang ada di kolong langit..." ia tertawa tergelak.
"Mulai detik ini aku Oorchad akan mengingat hubungan persahabatan dengan dirimu, bukan saja aku tak akan mempersoalkan ke-sembilan ekor untaku lagi, bahkan suatu hari bila kau berkunjung ke Mongolia,akan kuhadiahkan sembilan ekor unta untukmu..."
BELUM habis dia berkata, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin muncul dari belakang tubuhnya, tahu- tahu si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok dengan gerakan yang mengerikan telah menubruk datang.
Suara suitan lengking berkumandang di seluruh angkasa, hawa merah yang bercampur dengan bau amis menyelimuti empat penjuru, si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok sambil tertawa seram serunya : "Oorchad, serahkan jiwamu!" Buru-buru Oorchad bergeser ke samping, siapa sangka si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok membokong dari arah belakang, ia lantas menghardik keras : "Setan cebol, kau..." Belum habis ia berteriak, pukulan berantai merah dari si Dewa Cebol telah mengancam di depan dadanya, dalam keadaan yang kepepet jago lihay dari Mongolia ini tak bisa berbuat lain kecuali busungkan dadanya, ia siap menyambut datangnya serangan lawan dengan keras lawan keras.
Dalam detik terakhir yang kritis dan berbahaya itulah, mendadak tubuh Chee Thian Gak bagaikan bayangan setan telah menerobos masuk lewat celah-celah di tengah kepungan tersebut.
"Biarlah aku yang sambut seranganmu itu!" bentaknya keras.
Diiringi suara bentakan nyaring, hawa panas yang menyengat badan segera menyambar ke tengah udara, menggunakan jurus kedua dari ilmu Thay yang Sam Sie yaitu 'Liat Jiet Hian Hian' atau Terik Matahari Menyengat Badan ia sambut pukulan lawan.
Ledakan keras membelah angkasa, di tengah jeritan aneh si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok tubuhnya mencelat ke angkasa, jenggotnya berkibar memenuhi udara bagaikan hujan gerimis yang melanda permukaan jagad...
Sepasang mata Chee Thian Gak melotot bulat, bekas merah di antara sepasang alisnya kelihatan merah membara semakin nyata, membuat orang yang memandang jadi ngeri dan bergidik.
Tubuh Dewa Cebol dari negeri Thian Tok yang tidak mencapai tiga depa tingginya itu di bawah sorot cahaya rembulan yang remang-remang nampak semakin cebol, di atas jubahnya yang berwarna putih kini berubah jadi hitam bekas terbakar hangus, jenggotnya yang semula panjang terurai ke bawah kini sudah terbakar hangus semua oleh pukulan Thay yang sinkang dari Chee Thian Gak hingga tinggal sedikit jenggot hangus di antara bibirnya.
Dengan napas terengah-engah, kakek cebol itu angkat kepalanya memandang ke arah Chee Thian Gak, beberapa saat kemudian baru ujarnya: "Kepandaian apakah yang telah kau gunakan" Siapakah kau?" Dengan sikap yang keren, gagah dan penuh berwibawa Chee Thian Gak maju dua langkah ke depan, sahutnya : "Cayhe adalah Pendekar Jantan Berkapak sakti Chee Thian Gak, berasal dari gurun pasir..." ia merandek sejenak, kemudian terusnya dengan suara berat : "Sepanjang hidupku cayhe paling benci melihat orang main bokong dari belakang, kalau kau tidak berbuat demikian tidak nanti aku campuri urusanmu..." "Hmmm! Kepandaian silatmu mirip sekali dengan ilmu Hwie Yan Sam Sin Sie yang sudah lama lenyap dari 'Poo Sion Tiong' di negeri Thian Tok, mengapa kau membohongi aku dengan mengatakan kau datang dari gurun pasir?"?" Tatkala menyaksikan jiwanya telah diselamatkan oleh Chee Thian Gak, dalam hati kecilnya Oorchad merasa amat terharu bercampur terima kasih, terutama sekali ketika mendengar Chee Thian Gak berasal dari gurun pasir, ia merasa hubungan batinnya makin erat.
Kini setelah mendengar teriakan si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok, dengan penuh kegusaran segera bentaknya : "Setan tua hitam, kau anggap dari daerah Mongolia kami tak ada orang pandai?" Konyol...
eeeeei, arang hitam tua, lebih baik kau cepat-cepat enyah ke kandang nenekmu." Rupanya jago kosen dari Mongolia ini sudah lupa atas kekalahannya yang mengenaskan di tangan Chee Thian Gak barusan, di tengah bentakan keras mendadak ia terjang ke muka sambil melancarkan sebuah pukulan yang maha dahsyat.
Angin puyuh segera menderu-deru...
begitu dahsyatnya serangan tadi sampai debu dan pasir beterbangan ke angkasa.
Dalam pada itu si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok sedang dibikin terkejut oleh kemistriusan serta kehebatan ilmu Thay yang Sam si dari Chee Thian Gak, ia sedang memikirkan hubungan antara ilmu tersebut dengan ilmu sakti Poo Sioe Tiong di negeri Thian Tok yang sudah lama dikabarkan lenyap.
Menjumpai kedatangan Oorchad, ia tertegun, tapi dengan cepat ia dapat merasakan datangnya ancaman musuh.
Dalam keadaan gugup buru-buru badannya bergeser enam coen ke samping untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut.
Pada kesempatan yang amat singkat itu dalam benaknya telah berputar beberapa ingatan, ia tahu kalau saat ini harus menghindarkan diri dari serangan musuh sehingga pihak lawan berhasil merebut kedudukan di atas angin, maka dalam puluhan jurus kemudian dia tak akan memperoleh kesempatan untuk balas melancarkan serangan.
Sebaliknya kalau ia kerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menerima datangnya serangan itu dengan keras lawan keras, maka menang atau kalah masih merupakan persoalan yang sukar diduga.
Berpikir demikian, buru-buru hawa murninya disalurkan mengelilingi seluruh badan.
Ia membentak nyaring, tubuhnya setengah berjongkok ke bawah lalu tarik napas panjang-panjang, sepasang telapaknya secara beruntun melancarkan tiga buah serangan berantai.
Bayangan telapak memenuhi angkasa, angin pukulan menderu-deru...
seluruh jagad segera dibikin gelap oleh sapuan angin puyuh serta hamburan batu dan debu di tengah udara...
Tubuh Oorchad mencapai ketinggian satu tombak lebih, sebaliknya tubuh si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok belum mencapai tiga depa, serangan yang dilancarkan dengan setengah berjongkok ini mengakibatkan serangan-serangan yang dilancarkan hanya mencapai ketinggian dua depa saja, oleh karena itulah ketika Oorchad mengirim pukulannya, mendadak ia sudah kehilangan jejak lawannya.
Ia berseru tertahan, karena tertegun tanpa terasa pukulannya pun rada merandek sejenak.
Chee Thian Gak yang menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan dapat menyaksikan semua kejadian dengan nyata, ia tidak menyangka kalau si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok mempunyai pukulan- pukulan aneh yang begitu sakti dan luar biasa, hatinya segera bergerak dan ia siap turun tangan menolong jiwa jago kosen dari Mongolia itu.
Dengan merandeknya serangan yang dilancarkan tadi, dengan sendirinya daya pertahanan tubuh Oorchad pun semakin lemah, menggunakan kesempatan yang sangat baik itu pukulan-pukulan Si kakek cebol segera mendesak masuk ke dalam, tahu-tahu selapis bayangan telapak telah mengancam di depan mata.
Kembali Oorchad melengak, teriaknya : "Hey, kepandaian silat apa yang kau gunakan" Macam dolanan bocah saja..." Belum habis dia berkata, di antara tiga belas pukulan yang dilancarkan si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok hanya ada sebuah jurus saja merupakan serangan sungguhan, hawa pukulan segera dilepaskan dan bersarang telah di atas dada Oorchad.
Jago kosen dari Mongolia ini menjerit aneh, ia muntah darah segar dan segera mundur tiga langkah ke belakang.
Menyaksikan jurus serangan 'Hoa-Yoe Pin Hoen' atau Hujan Bunga berserakan di mana-mana dari ilmu Sin- Yoe-Kangnya yang termasuk dalam kepandaian Yoga berhasil mendatangkan hasil, air muka si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok segera terlintas napsu membunuh yang maha hebat.
Sepasang telapaknya segera dirapatkan di depan dada, diam-diam ia membaca mantera kemudian badannya bergerak dan kembali melancarkan sebuah serangan dengan jurus 'Hoa-Yoe Pin Hoen' atau Hujan Bunga berserakan di mana-mana.
Tiga belas jurus serangan kembali dilancarkan secara berbareng, tiap jurus berubah jadi jurus sungguhan, hawa pukulan memenuhi angkasa, terciptalah segumpal hawa pukulan yang maha dahsyat menyapu seluruh permukaan bumi.
Oorchad mendengus berat, tubuhnya yang tinggi besar berjongkok ke bawah, sepasang lengan dikumpulkan jadi satu lalu menyerang dengan keras lawan keras, ia siap menggunakan gerakan gulatnya untuk membanting tubuh lawan.
Plaaak... ! Plaaaak...! plak! lengannya yang sedang diluncurkan ke depan kena dihantam musuh, si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok menggertak giginya keras...
ia tambahi kekuatannya...
Kraak ! sendi-sendi tulang lawan tahu-tahu sudah dihantam patah.
Oorchad menjerit kesakitan, keringat dingin sebesar kacang kedele mengucur keluar tiada hentinya, tetapi ia sama sekali tidak mau mundur ke belakang, kakinya bergeser ke depan dan segera melancarkan tiga buah tendangan kilat.
Ketika menyaksikan serangannya berhasil mengenai di tubuh lawan, si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok siap meneruskan kembali serangannya untuk membinasakan lawan, tetapi ia tak menyangka kalau pihak musuh begitu keras kepala, meski persendian tulang tangannya sudah patah masih juta melancarkan serangan balasan.
Tidak sempat lagi untuk menghindar, dadanya dengan telak kena terhajar oleh tiga buah tendangan musuh.
Ia menjerit aneh, tubuhnya seketika mencelat sejauh dua tombak, setelah berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, badannya terbanting jatuh ke atas tanah.
Oorchad segera mendongak dan tertawa terbahak- bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... setan cebol, akhirnya tetap akulah yang menang!" Tapi secara tiba-tiba wajahnya berubah hebat, ia menjerit kesakitan kemudian roboh terjungkal ke atas tanah.
Semua peristiwa ini berlangsung dalam sekejap mata, Chee Thian Gak tidak menyangka kejadian itu bisa berakhir demikian dan tak menyangka pula kalau si Dewa Cebol dari Thian Tok bakal keok di tangan Oorchad.
Diam-diam pikirnya dalam hati : "Seandainya si Dewa Cebol dari negeri Thian Tok tidak bersikap begitu jumawa serta menganggap kemenangan pasti berada di tangannya, dengan serangkaian ilmu pukulannya yang luar biasa tak nanti badannya bakal terhajar oleh tiga tendangan lawan...
rupanya kata-kata pepatah yang mengatakan : menggunakan tentara tak boleh jumawa, benar-benar mempunyai arti yang tepat..." Hong Teng serta Loe Peng yang mengikuti pula jalannya pertarungan itu mula-mula merasa tegang dan ngeri atas kehebatan kedua orang itu, tetapi setelah menyaksikan kedua orang itu sama-sama roboh terluka, tanpa terasa mereka saling berpandangan sambil tertawa getir.
Tapi justru dalam pandangan itulah masing-masing pihak bisa memahami suara hati masing-masing dengan sendirinya permusuhan di antara mereka pun jauh lebih tawar.
Chee Thian Gak tarik napas dalam-dalam, ia melirik sekejap ke arah tubuh Dewa Cebol dari negeri Thian Tok yang melingkar di atas tanah bagaikan udang, setelah ragu-ragu sejenak akhirnya ia berjalan menghampiri diri Oorchad.
Dalam hati ia merasa senang dan simpatik terhadap lelaki jantan dari Mongolia yang jujur, polos serta tidak punya pikiran licik ini, maka ia tidak tega membiarkan orang semacam itu mati binasa karena persoalan yang sepele.
Pedang Guntur Biru 3 Cinta Cewek Pengintai Karya Rani Istana Sekar Jagat 2
^