Pencarian

Kelelawar Tanpa Sayap 3

Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 3


"Ehmm, caramu memang sebuah cara yang bagus" "Tidak terhitung seberapa, dengan berbuat begitu sesungguhnya aku telah melakukan hal yang berlebihan, sebab bagaimana pun keadaannya, tak mungkin daya ingatku akan sedemikian buruknya" Habis berkata kembali ia tertawa getir, ujarnya: "Tak disangka aku benar benar akan mengalami kejadian seperti hari ini, daya ingatku jadi sedemikian jeleknya" Dia pegang batok kepalanya dengan sepasang tangan lalu digoyang dengan sekuat tenaga
Kemudian sambil menabok batok kepala sendiri, gumamnya: "Sialan, benar benar sialan, kenapa daya ingatku tiba tiba berubah sejelek ini"
-_~ hal semacam ini memang tak bisa dipaksakan, apa boleh buat" kata suara itu
"Aaai, aku benar benar sedemikian tuanya" si Kelelawar menghela napas panjang
Tiba tiba suara orang itu bertanya lagi: "Dimana kau simpan ke tiga belas bilah pisau pusaka itu" Apakah masih ingat"
Tiba tiba si Kelelawar tertawa, tertawa dengan riangnya
II "Hahaha, tentu saja aku masih ingat, bahkan teringat dengan jelas sekali katanya
"Sungguh" "Tentu saja sungguh!
"Di mana" "Di..... di........ mustahil aku beritahukan kepadamu
"Kenapa" "Karena aku telah menghadiahkan ke tiga belas bilah pisau pusaka itu kepada orang lain
Mendadak dia menggeleng, serunya lagi: "Coh bukan, bukan tiga belas, hanya.... hanya dua belas, betul, hanya dua belas
"Kau masih teringat dengan begitu jelas" seru orang itu
Kembali si Kelelawar tertawa aneh
"Tahukah kau ke dua belas bilah pisau mustika itu telah kuhadiahkan kepada siapa?" "Siapa"
"Dua belas orang wanita paling cantik, paling menawan hati
"Dua belas orang wanita"
"Mereka semua amat cantik bahkan memiliki bentuk badan yang berbeda, ada yang montok, ada yang langsing, ada yang..... ada yang.....
Entah kenapa, dia tak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya
Terdengar suara orang itu berkata lagi: "Bahkan pisau mustika yang begitu penting pun kau rela persembahkan kepada mereka, hal ini membuktikan kalau kau amat menyukai mereka
"Tentu saja "Cleh sebab itulah kau mempunyai kesan yang begitu dalam terhadap mereka, meski masalah lain sudah tak teringat lagi, namun kau tak pernah melupakan mereka semua
Si Kelelawar tidak menjawab, dia hanya tertawa bodoh
"Siapa saja nama mereka" Apakah kau masih ingat?" kembali suara orang itu berkumandang
"Siapa nama mereka?" gumam si Kelelawar sambil berdiri tertegun, dia seolah sudah tak ingat lagi nama nama itu
Terdengar suara orang itu berkata lagi: "Bukankah kau mengatakan Lau Ci-he termasuk salah satu diantaranya"
"Aaah benar, memang dia termasuk, darimana..... darimana kau bisa tahu?" seru si Kelelawar tak tahan
"Bukankah kau berasal satu tubuh denganku" Mana mungkin aku tidak tahu?" "Aaah, betul, betul sekali
"Apakah Botan (peony) hitam dari Shoatang dan teratai putih dari Hopak termasuk juga"
"3etul, mereka termasuk juga!" "Masih ada yang lain"
Dengan wajah tertegun si Kelelawar berpikir berapa saat, tiba tiba dia menghantam batok kepala sendiri sambil berteriak: "Sialan, benar benar sialan!
"Kenapa" Tak teringat lagi?" tanya orang itu sambil menghela napas
"Maukah kau beritahu kepadaku?" pinta si Kelelawar
Sekali lagi orang itu menghela napas
"Coba pikirlah dengan seksama, pasti akan teringat" katanya
"Aku..... aku......." dia hanya bisa memegangi kepala sendiri sambil dibenamkan kedalam sepasang lututnya, orang tua itu memang tak bisa mengingat kembali
Crang itu tidak bersuara lagi, dia ikut membungkam
Suasana dalam "ruangan" pun pulih kembali dalam keheningan dan kesepian yang luar biasa
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya si Kelelawar mendongakkan kepala seraya mengeluh: "Aku benar benar tak bisa mengingatnya kembali, maukah kau beritahu kepadaku"
Dia sedang bertanya kepada sang "sukma
Tiada jawaban Sekali lagi si Kelelawar bertanya, namun tetap tiada jawaban, perasaan panik, takut, ngeri mulai menghiasi wajah orang tua itu, jeritnya lengking: "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku" Kenapa"
Tiada reaksi dari dalam ruangan, suasana tetap hening
Si Kelelawar semakin panik, jeritnya: "Masa kau tinggalkan aku" Kau tak boleh berbuat begitu" Suara orang itu tak pernah berkumandang lagi
Tiba tiba si Kelelawar melompat bangun, sambil mencakar rambutnya dia menjerit: "Kau adalah sukmaku, kenapa tinggalkan diriku!
Nada suaranya diliputi perasaan panik, ngeri dan takut
Ditinjau dari tingkah lakunya, orang tua itu pada hakekatnya sudah kehilangan kesadaran, sudah menyerupai orang sinting
Nada suaranya yang sejak semula memang kedengaran aneh, dalam keadaan takut bercampur panik, suaranya kedengaran semakin aneh dan tak sedap didengar
Cahaya lentera yang redup, pada saat itu pula makin melemah dan suram sebelum akhirnya sama sekali padam
Suasana dalam ruang batu itupun tertelan kembali dalam kegelapan yang luar biasa
Suara teriakan si Kelelawar masih menggema dalam ruangan, suara itu makin lama makin parau dan lirih
Benarkah sukma si Kelelawar telah meninggalkan tubuh kasarnya" Meninggalkan dia dengan begitu saja" Bila seseorang sudah kehilangan sukmanya, lalu apa yang akan terjadi dengan dirinya" Dia akan berubah jadi apa"


Maaf...cerita meloncat sedikit krn filenya hilang...
Bab 8. Bu-shia beracun Siau Jit tertawa dingin "Jadi kau anggap aku pasti bukan tandinganmu, pasti bakal mati diujung pedangmu?" katanya
"Benar, kau masih bukan tandinganku" "Kau yakin dugaanmu tak bakal salah?" "Paling tidak, hingga sekarang dugaanku belum pernah meleset" "Ada satu hal mungkin belum kau ketahui" ujar Siau Jit tiba tiba
"Soal apa" "Kau tak lebih hanya seorang manusia, bukan dewa
"Maksudmu, selama sebagai manusia pasti akan melakukan kesalahan"
"Betul! Tiba tiba Ong Bu-shia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak
"Hahahaha..... bagi orang orang semacam kita berdua, salah menduga sama artinya mencari kematian buat diri sendiri, bukan begitu"
"Ehmmm "Mungkin saja dugaanku kali ini salah, keliru besar, tapi untungnya usiaku sudah lanjut, jadi urusan mati atau hidup sudah bukan kuanggap sebagai satu masalah besar lagi
"Setelah mendengar penuturanmu itu, aku semakin tak berani bersikap gegabah" kata Siau Jit
"Bila seseorang sudah tidak pedulikan masalah mati hidupnya, dia pasti akan menyerang tanpa kuatir, membunuh tanpa ragu, bukankah begitu"
"Benar! Ong Bu-shia memperhatikan sekejap sepasang tangannya, kemudian berkata lagi: "Dengan mengandalkan sepasang tangan ini, aku telah menjelajahi utara selatan sungai besar dan selama ini belum pernah ketemu lawan tanding
"Aku dengar memang begitu
"Paling tidak belum pernah ada hingga saat sekarang, saat sebelum aku mengundurkan diri
"Aku sendiripun tidak yakin kemampuanku sanggup menandingi dirimu
"Meski kau tak yakin bisa menangkan aku, namun kau tak akan mundur dari gelanggang"
"Tentu saja, kau pun tak akan membiarkan aku keluar dari gelanggang ini" "Memang tak mungkin" "Apalagi aku memang tak berniat mundur dari sini" kat a Siau Jit cepat
Dengan tajam Ong Bu-shia menatap lawannya, tiba tiba ia tertawa
"Aku sangat berharap kau adalah lawan tandingku" katanya
"Kenapa" "Karena aku sudah banyak tahun hidup kesepian
Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Selama banyak tahun, belum pernah ada orang berhasil mengalahkan aku, bahkan mencari lawan tanding yang seimbang pun susahnya setengah mati
"Karena itu kau merasa kesepian?" "Betul
Siau Jit menatapnya tajam
"Terlepas manusia macam apakah dirimu, dalam pertarungan kali ini, aku tak akan memandang enteng dirimu
"Aku memahami maksudmu . . . . .. kau memang seorang jago silat tulen, seorang pesilat sejati" "Sama sama, kita setali tiga uang
"Tahukah kau apa hubunganku dengan Ong Sip-ciu?" tiba tiba Ong Bu-shia bertanya
"Putramu!" "Betul, dia adalah satu-satunya putraku
"Sayang putra mu tidak memiliki kegagahanmu walau hanya setengahnya saja" "Aku hanya memiliki seorang putra, tentu saja dia kelewat manja hingga terbentuk watak yang lemah
"Kau seharusnya tahu bukan kenapa aku harus membunuhnya"
"Dalam pandangan kalian orang orang hiap-gi yang mengutamakan kebajikan dan kebenaran, tentu saja semua perbuatan dan sepak terjangnya pantas diganjar dengan kematian, namun dalam pandangan kami orang orang kalangan hitam, ulahnya masih belum terhitung kelewat jahat dan busuk, khususnya dalam pandanganku sebagai ayahnya, apa pun yang telah dia lakukan pantas dimaafkan dan diampuni, dosanya tak perlu ditebus dengan kematian
"Aku mengerti "Bagus sekali" seru Ong Bu-shia sambil perlahan-lahan menggeser kakinya
Siau Jit segera ikut menggeser pula langkah kakinya
Kedua orang itu sudah tidak berbicara lagi, seolah pembicaraan apa pun disaat ini sudah tak berguna lagi
Pedang Siau Jit sudah terhunus, tubuh dan pedang seolah telah terwujud jadi satu
Ong Bu-shia menggerakkan pula sepasang tangannya kian kemari, setiap saat dia siap melancarkan serangan
Akhirnya serangan pun dilancarkan! Pergeseran badan Ong Bu-shia dilakukan tidak terlampau cepat, sementara Siau Jit bergeser lebih lambat, ia berdiri diatas meja, berada diatas untuk menghadapi serangan dari bawah, bahkan posisi dimana ia berdiri merupakan sumbu dari perputaran mereka berdua, karena itu dia tak perlu banyak bergerak
Si Hong berdiri persis disamping Siau Jit, pedang lemasnya sudah dipersiapkan untuk setiap saat melancarkan serangan
Ia menatap Siau Jit, sorot matanya sama sekali tak berkedip, tubuhnya pun sama sekali tak bergerak
Hingga Siau Jit berdiri membelakangi dia, tiba tiba saja ia bertindak, secepat kilat tubuhnya menerkam ke arah Siau Jit, "Nguungg!" pedang lemasnya digetarkan hingga tegak lurus, bagai ular berbisa langsung menyergap bagian mematikan dipunggung lawan
Serangan pedang yang amat beracun, hati dan pikirann ya jauh lebih beracun! Dia menduga, begitu serangan dilancarkan, tak ayal Ong Bu-shia pasti akan manfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan pula serangannya, dengan begitu mereka berdua akan menyergap bersamaan waktu
Dengan ikut serta dalam melancarkan serangan maut itu, niscaya Ong Bu-shia dapat menghabisi nyawa Siau Jit
Mungkin saja apa yang dia bayangkan merupakan kenyataan
Sayang dugaannya meleset jauh, ternyata Ong Bu-shia sama sekali tak bergerak, dia hanya mengawasi gerak serangannya itu dengan pandangan dingin
Seketika itu juga hatinya tercekat, bergidik
Sayang pedangnya sudah terlanjur melancarkan tusukan, tusukan kilat ibarat anak panah yang terlepas dari busur, tak mungkin untuk ditarik balik
Dalam waktu singkat cahaya pedang bagai bianglala telah menghampiri tubuh Siau Jit, dan pada saat yang bersamaan tiba tiba Siau Jit membalikkan badan
Bersamaan itu pedangnya melepaskan sebuah tusukan! Serangan yang dilancarkan Si Hong sesungguhnya tidak terhitung lambat, dalam sekali tusukan dia telah melepaskan tujuh belas ancaman, tapi sayang gerak pedang Siau Jit jauh lebih cepat, biar menyerang belakangan tapi serangan tiba disasaran lebih awal, tujuh belas tusukan kilat seketika membendung seluruh ancaman yang dilakukan Si Hong
Menyaksikan kejadian itu Si Hong membentak nyaring, berapa kali dia merubah gerakan tubuhnya namun selalu gagal untuk melepaskan diri dari ancaman pedang lawan
Sambil mendengus tangan kirinya berputar, tujuh batang paku bunga li yang sangat beracun siap dibidikkan ke tubuh lawan, siapa tahu baru saja tangan kirinya bergerak, telapak tangan kiri Siau Jit sudah membacok pergelangan tangannya
Dengan ketajaman matanya ternyata ia tak bisa melihat dengan jelas darimana datangnya bacokan itu, dengan kegesitan gerak tubuhnya pun dia tak sanggup berkelit atau menghindarkan diri
Rasa sakit yang luar biasa merasuk hingga ke tulang sumsum, pergelangan tangannya yang ditelikung ke belakang membuat genggaman ke lima jarinya mengendor, paku paku bunga li yang sudah siap ditimpuk pun seketika berjatuhan ke tanah
Selama ini Ong Bu-shia hanya menyaksikan jalannya pertarungan sambil bergendong tangan, sama sekali tak punya niat untuk turun tangan membantu
Menyaksikan hal ini, Si Hong merasa hatinya mencelos, perasaannya makin terperosok dalam
Bersamaan dengan timbulnya rasa takut, tiba tiba perutnya terasa pedih, panas bagai terbakar dan sakitnya bukan kepalang
Inilah perasaan terakhir yang bisa dia rasakan sepanjang hidupnya! Pedang milik Siau Jit telah menusuk ke dalam perutnya, menghujam dalam dalam
Begitu ujung pedang menembusi perutnya, darah segar pun menyembur keluar bagaikan mata air
Si Hong terpuruk diatas lantai bagai manusia tanah liat yang tergenang air, "Traaangl
pedang lemasnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke samping
Sementara itu Siau Jit telah menarik kembali pedangnya, perlahan ia berpaling, menatap Ong Bu-shia dengan pandangan dingin
Ternyata gerak serangan pedangnya selain cepat, ganas pun sangat telengas
Ong Bu-shia balas menatap Siau Jit dengan pandangan dingin, tiba tiba ujarnya: "Sekali tusukan memutuskan usus, ternyata nama besarmu memang bukan nama kosong
"Kau seharusnya turun tangan selamatkan jiwanya
"Selama hidup, aku tak pernah mau melakukan pekerjaan yang sama sekali tak berguna
uoya"n Ong Bu-shia memandang sekejap jenasah Si Hong yang terkapar ditanah, lalu ujarnya lagi: "Dia tidak seharusnya membokongmu dari sudut tersebut, sebab, walaupun kau berdiri membelakangi dia, namun sudut itu merupakan benteng pertahanan yang kuat bagimu, sudut yang tak mungkin bisa membuahkan hasil
Mencorong sorot mata Siau Jit
Terdengar Ong Bu-shia berkata lebih jauh: "Andaikata dia menyerangmu dari sudut kanan, paling tidak kau harus menyambut tiga buah serangan berantainya" Sinar mata Siau Jit makin mencorong dingin
"Sekalipun dia menyerangku dari sudut kanan, aku yakin kau tetap tak akan turun tangan membantu
"Betul! "Walaupun dia datang bersamamu, padahal dalam kenyataan dia hanya kelinci percobaanmu, kau ingin gunakan dia untuk menjajal tipu muslihat ilmu pedangku
"Tepat sekali "Dia seharusnya mengerti akan hal ini
"Sayang tidak banyak orang cerdas dikolong langit saat ini, terlebih orang secerdas kau
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:


"Sayangnya pula, orang yang kelewat cerdas biasanya bukan merupakan satu kejadian yang baik
Siau Jit tertawa dingin "Entah sudah berapa kali kudengar perkataan semacam itu?" dengusnya
"Oya?" "Bahkan hampir semuanya pasti mengatakan satu hal" uApa"n "Karena orang yang kelewat pintar, biasanya tidak berumur panjang!
"Hahaha!" Ong Bu-shia tertawa tergelak, katanya samb il manggut manggut, "hal seperti ini jelas bukan satu kejadian yang menyenangkan" "Sayangnya manusia bukan hanya andalkan kecerdasan, seringkali selain pintar, diapun harus berbudi luhur sehingga selalu dilindungi Thian, bahkan berumur panjang
"Sayang tidak banyak manusia seperti itu
"Tapi bukan berarti tak ada orang semacam itu
"Jadi maksudmu, kau adalah salah satu diantaranya"
"Betul atau tidak, aku sendiri tidak tahu, bahkan aku sendiri pun tak tahu apakah aku termasuk orang pintar atau tidak" "Kau bisa berkata begitu, hal ini menandakan kalau kau memang seseorang yang sangat cerdas, moga moga saja kau berumur lebih panjang daripada orang cerdas lainnya
"Kau serius berharap begitu?" Siau Jit balik bertanya
"Hahaha, tentu saja bohong!
Begitu selesai bicara, tiba tiba tubuhnya mulai bergerak, dia tidak melompat ataupun menerkam, tapi selangkah demi selangkah berjalan mendekat
Siau Jit tidak bergerak, dia hanya mengawasi Ong Bu-shia yang semakin mendekat dengan pandangan dingin
Ong Bu-shia sama sekali tidak berhenti, sampai mendekati meja tersebut, ia baru mulai berputar, bergerak menuju ke sisi kanan anak muda itu
Siau Jit masih berdiri diatas meja dengan pedang terhunus, tubuhnya ikut berputar mengikuti gerakan musuhnya
Ong Bu-shia mulai berputar, makin lama ia bergerak makin cepat, akhirnya dia mengelilingi meja itu dengan kecepatan luar biasa
Siau Jit, tubuh berikut pedangnya ikut berputar
Walaupun dia cepat, namun gerakannya tak sanggup menyusul gerakan tubuh Ong Bu-shia, dalam waktu singkat kakek jangkung itu telah merebut posisi sebelah kanan, bahkan sepasang tangannya langsung membacok, membabat pinggiran meja tersebut
"Praaakkkl" meja yang lebar lagi kuat itu segera terbelah jadi dua bagian
Berbareng dengan terbelahnya meja itu, Siau Jit ikut melambung ke tengah udara, coba dia baru melambung setelah meja itu terbelah, niscaya keseimbangan badannya akan sangat terpengaruh
Berada ditengah udara, ia bersalto berapa kali, kemudian "Wussss!" ia berbalik posisi, dengan kepala dibawah kaki diatas, pedangnya langsung menusuk kepala lawan
Dalam posisi begitu, seharusnya Ong Bu-shia ikut melambung untuk melakukan pengejaran, namun dia sama sekali tidak berbuat begitu
Mungkin hal ini dikarenakan ia telah menduga akan serangan kilat yang bakal dilancarkan Siau Jit, dia berdiri tegak sambil menyambut datangnya ancaman tersebut
Bukan saja dia tidak melambung, sebaliknya justru merendahkan badan sambil menyusup ke bawah meja
Babatan pedang Siau Jit segera menyambar dari atas kepalanya, hanya terpaut satu inci dari ujung rambutnya
Dengan cepat orang tua itu merentangkan tangannya ke kiri kanan, ia sambar kaki meja lalu diiringi bentakan nyaring, belahan meja tersebut diangkat keatas dan dihantamkan ke tubuh Siau Jit
Untuk kedua kalinya Siau Jit mencelat ke samping, kini dia telah berbalik posisi dengan kepala diatas kaki dibawah, tubuh berikut pedangnya kembali melambung
Saat inilah Ong Bu-shia baru melompat bangun, tangannya sambil tetap memegang kaki meja yang terbelah merangsek maju ke depan, ternyata gerakan tubuhnya masih tetap cepat
Kini kedua belah lembaran meja yang terbelah itu digunakan sebagai tameng untuk melindungi tubuhnya, dengan kondisi seperti ini dia melanjutkan terjangan
Berulang kali Siau Jit mengubah gerakan tubuhnya, namun selalu gagal melepaskan diri dari jangkauan meja terbelah, akhirnya dia berpekik nyaring, tubuhnya mencelat ke atas, langsung menerjang permukaan genting ruangan
"Braaak . . . . .!" ditengah suara keras dan hamburan debu serta hancuran genting, tubuh Siau Jit menerobos keluar dari ruangan dengan menembusi langit langit
Pada saat itulah kedua lembar meja yang berada ditangan Ong Bu-shia telah menghantam langit langit, "Braaak, braaak . . . . . .." suara gemuruh bergema makin nyaring, semakin banyak debu dan hancuran genting berhamburan diseluruh ruangan, meledak, meletup dan hancur berantakan
Tidak berhenti sampai disitu, Ong Bu-shia menerobos keatas mengejar musuhnya, begitu berada disamping Siau Jit, lembaran meja ditangannya kembali menyapu ke depan dengan jurus Heng-sau-jian-pit-be (menyapu rata seribu ekor kuda)
Kembali Siau Jit melompat ke tengah udara
Gagal dengan sapuannya, Ong Bu-shia menarik tangannya sambil merapat, kedua belah lembar meja itu segera saling berbenturan, "Braaak!" diiringi suara ledakan, lempengan kayu itu hancur berantakan dan menyebar ke empat penjuru
Bukan begitu saja, paling tidak ada separuh bagian diantaranya langsung meluncur ke tubuh Siau Jit
Berada ditengah udara Siau Jit memutar pedangnya rapat rapat, ia ciptakan selapis bola cahaya yang tajam untuk melindungi tubuh, begitu hancuran kayu menghampirinya, kepingan kayu itu langsung remuk jadi bubuk dan berhamburan ke lantai
Menggunakan kesempatan itu Ong Bu-shia ikut melambung ke udara, sepasang tangannya menerobos masuk ke hadapan lawan, dengan tangan kiri melepaskan tujuh serangan, tangan kanan enam pukulan, dalam saat yang bersamaan dia lancarkan tiga belas buah ancaman berantai
Angin pukulan menderu deru, begitu kuatnya sapuan tersebut memaksa bola cahaya pedang yang diciptakan Siau Jit buyar seketika
Bukan hanya begitu, pukulan ke tiga belas dari Ong Bu-shia ternyata berhasil menghantam pedangnya hingga miring ke bawah, memanfaatkan kesempatan itu satu sodokan maut dihantamkan ke dada lawan
Siau Jit memang bukan jagoan kemarin sore, berada di udara cepat ia berganti posisi, disaat yang paling kritis dia mengigos dari hantaman Ong Bu-shia lalu mencelat keluar halaman
Sambil membentak nyaring tubuhnya meluncur ke bawah bagai seekor burung terbang
Tempat dimana dia melayang turun tak lain adalah jalan raya, ditempat itu pula para tamu rumah makan yang membubarkan diri berkumpul, tapi begitu melihat atap dan kayu berhamburan di udara, apalagi melihat pertarungan ke dua jagoan itu sudah bergeser ke sana, tergopoh orang orang itu kembali membubarkan diri
Baru saja kaki Siau Jit menginjak tanah, Ong Bu-shia telah menyusul tiba, sepasang tangannya dengan jurus Ngo-lui-hong-teng (lima guntur menghantam puncak) menghantam ubun ubun anak muda itu
Kali ini Siau Jit tidak berusaha menghindar, pedangnya diayun keatas menciptakan satu lingkaran cahaya untuk menyongsong datangnya ke dua belah tangan kakek itu
Tidak menunggu sepasang tangannya berhasil menyentuh tubuh lawan, cepat Ong Bu-shia mengigos ke samping
Berdasarkan pengalaman yang dimiliki, tentu saja dia dapat merasakan kelihayan dari serangan anak muda itu
Lingkaran cahaya pedang Siau Jit segera ditarik kembali, dengan pedang bersatu badan, ia balas menyerang Ong Bu-shia dengan kecepatan bagai anak panah terlepas dari busur
Berada ditengah udara, secara beruntun Ong Bu-shia berganti dengan tujuh macam gerakan tubuh sebelum berhasil meloloskan diri dari ancaman itu, begitu kakinya menjejak tanah, tangan kiri dan kanannya secara beruntun melepaskan empat buah pukulan berantai untuk mengunci datangnya ancaman
Kembali Siau Jit menggerakkan tubuhnya, meloloskan diri dari kurungan lawan
"Hmm, ternyata kungfu mu hebat juga!" ejek Ong Bu-shia sambil tertawa dingin
Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Disini sudah tak ada hambatan lagi, kita bisa bertarung habis habisan!" Belum sempat Siau Jit menjawab, suara derap kaki kuda yang ramai telah bergema dari ujung jalan raya, diikuti munculnya puluhan ekor kuda jempolan
Lui Sin berada dibarisan paling depan, dari kejauhan ia sudah berteriak keras: "Siau Jit!
Dia sama sekali tidak kenal dengan Siau Jit, tapi piausu disampingnya yang mengenali Siau Jit telah menunjuk ke arah pemuda itu sejak dari kejauhan
Sambil berpaling kata Ong Bu-shia: "Teman teman yang datang membantumu telah tiba!" "Belum tentu mereka sahabatku" sahut Siau Jit dengan kening berkerut
"Berarti mereka datang mencari gara gara" "Tidak jelas" "Terserah siapa pun yang datang, mereka harus menunggu sampai aku roboh diujung pedangmu!
Habis berkata kembali Ong Bu-shia melancarkan serangan mengurung tubuh anak muda itu
Angin pukulan yang menderu, membuat ujung baju Siau Jit berkibar kencang
Pada saat itulah si penunggang kuda telah mendekat, masih berada diatas kudanya Lui Sin telah menghardik: "Tahan!
Begitu bentakan berkumandang, dua orang piausu telah melompat turun dari kudanya, sambil meloloskan senjata, mereka segera memisah Siau Jit serta Ong Bu-shia yang sedang bertarung dari kiri dan kanan
"Harap semuanya berhenti!" teriak mereka pula
Siau Jit tertegun, belum lagi menarik kembali pedangnya, Ong Bu-shia telah menarik pukulannya sambil menegur: "Siapa suruh kau menghalangi kami!
"Congpiautau kami . . . . . . . ..
seru seorang piausu Belum selesai dia berkata, Ong Bu-shia telah menukas gusar: "Hmm, hanya andalkan kalian berdua, berani benar menghalangi pertarungan kami"
Tubuhnya merangsek ke depan, langsung menerjang piausu yang berada disebelah kiri
Menyaksikan hal itu buru buru Siau Jit membentak: "Cepat minggir!" tubuh berikut pedangnya langsung menerkam Ong Bu-shia
Sayang piausu itu tidak menuruti perintahnya, bukan mundur dia malah mengangkat goloknya bermaksud pukul mundur serangan Ong Bu-shia
Baru saja senjatanya diangkat, pukulan tangan kanan Ong Bu-shia telah bersarang telak diatas dadanya
Pukulan itu datang secepat petir, bagaimana mungkin piausu itu sanggup menghindarkan diri" "Kraaakl" terdengar suara tulang retak bergema di udara, dada piausu itu sudah terhajar oleh sebuah pukulan dahsyat hingga amblas ke dalam, tubuhnya langsung mencelat ke udara dan terlempar sejauh berapa kaki
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga pukulan itu
Lui Sin amat terperanjat, tidak terkecuali si pedang perak Han Seng yang berada disisinya, bagaimana pun mereka berdua adalah jago kawakan dalam dunia persilatan, pengetahuan serta pengalaman mereka cukup luas
Dari pukulan yang dilontarkan, mereka segera tahu kalau Ong Bu-shia adalah seorang jagoan kejam yang berhati telengas, menganggap nyawa manusia bagai rumput ilalang
Namun mereka berdua tidak mengenali Ong Bu-shia
Gerak serangan yang dilancarkan Siau Jit meski cepat, dia tetap terlambat satu langkah
Tampaknya anak muda ini sadar kalau ia sudah tak sempat lagi untuk selamatkan nyawa piausu itu, bukannya menyerang kepalan kanan Ong Bu-shia, babatan pedang itu justru menyambar pinggang lawan
Dengan cekatan Ong Bu-shia mengigos ke samping untuk menghindar, lalu melompat mundur dari posisi semula, kali ini dia menghampiri piausu ke dua
Siau Jit sama sekali tak menyangka kalau seorang jagoan yang berilmu begitu tinggi ternyata memiliki jalan pemikiran yang begitu sempit, tak sempat menghalangi perbuatannya, jago muda ini merasa hatinya makin bergidik
Ketika melihat Ong Bu-shia datang menghampiri, buru buru piausu itu mengayunkan goloknya melancarkan tujuh buah bacokan, semua serangan bukan ditujukan ke tubuh lawan melainkan hanya berusaha melindungi diri
Sayang dia berhadapan dengan jagoan tangguh semacam Ong Bu-shia, ingin melindungi diri pun bukan satu hal yang mudah
Ketika bacokan ke tujuh baru saja dilancarkan, tinju Ong Bu-shia sudah bersarang tiga kali diatas dadanya
Biar terdiri dari tiga pukulan, namun pada hakekatnya seolah dilancarkan bersamaan waktu
Seketika itu juga tulang dada piausu itu terpukul hancur hingga amblas ke dalam, sekujur badannya mencelat ke udara hingga menembus diatas dinding pagar
Siapa pun tahu kalau orang itu sudah tak punya harapan lagi untuk melanjutkan hidup
Sambil menuding Ong Bu-shia dengan pedangnya, bentak Siau Jit penuh kegusaran: "Apa-apaan kamu?" Perlahan Ong Bu-shia berpaling, sahutnya tertawa: "Lohu hanya tak ingin pertarungan kita berdua diganggu oleh kehadiran orang lain
Belum sempat Siau Jit mengucapkan sesuatu, dengan suara keras Lui Sin telah menghardik: "Siapa kau si tua bangka celaka" Kenapa kau bunuh piausu anak buahku"
"Kau sebut lohu sebagai apa?" Ong Bu-shia segera berpaling dan menatap Lui Sin gusar
"Tua bangka celaka! "Bagus sekali!" "Apanya yang bagus"
"Losu sudah mendapat satu alasan yang kuat untuk membunuhmu, memang kurang bagus"
Saking gusarnya Lui Sin tertawa keras
"Sebenarnya aku hendak mencari Siau Jit untuk membuat perhitungan, tapi tak ada salahnya kalau kubunuh dulu dirimu
Siau Jit tertegun, baru saja dia akan bertanya, Lui Sin telah meloloskan golok emasnya, kemudian sambil menuding wajah Ong Bu-shia, tegurnya: "Sebutkan namamu!
Sambil bergendong tangan Ong Bu-shia memperhatikan Lui Sin sekejap, lalu katanya: "Lebih baik kau tak usah tahu siapa diriku!" "Hahaha, ternyata kau tak lebih hanya seekor kura kura yang takut menyebut nama sendiri" "Hmm!" Ong Bu-shia mendengus dingin, "aku hanya kuatir anggota badanmu jadi lemas setelah mendengar namaku, apa enaknya kalau bertarung dengan orang yang sedang menggigil ketakutan"
"Memang kau anggap namamu sangat menakutkan?" ejek Lui Sin, setelah berhenti sejenak, hardiknya, "siapa namamu!
"Ong Bu-shia!" kata kakek itu kemudian sepatah demi sepatah kata
Berubah paras muka Lui Sin, begitu pula dengan si pedang perak Han Seng, apalagi kawanan piausu yang berada di belakang mereka berdua
"Bu-shia beracun pembetot sukma menggaet nyawa?" lanjut Lui Sin ragu
"Tepat sekali!" Perlahan-lahan Lui Sin menarik napas panjang, katanya: "Ternyata kau si tua bangka celaka!
Berubah seram paras muka Ong Bu-shia
"Kalau kubiarkan kau mampus kelewat cepat, rasanya keenakan bagimu" serunya
Perkataan itu diucapkan dengan nada dingin dan berat, sepatah demi sepatah kata bagaikan gada raksasa yang menumbuk lubuk hati Lui Sin
Tiba tiba si golok emas Lui Sin tertawa nyaring
"Hahaha, walaupun kau tersohor, sayang tak sampai menakutkan diriku!" "Oya?" Ong Bu-shia tertegun
Sambil mengebaskan ujung bajunya tiba tiba Lui Sin berseru: "Teman-teman, mundur semua, masalah ini merupakan urusan pribadi aku orang she-Lui, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kalian semua
Kawanan piausu itu baru saja tertegun, Han Seng yang berada disisinya telah berseru sambil tertawa hambar: "Toako, dengan perkataanmu itu, sama artinya kau sudah tidak menghendaki aku sebagai saudaramu"
Cepat Lui Sin menggeleng "Saudaraku . . . . . ..
"Kita dua bersaudara selalu menghadapi tantangan secara bersama, pertarungan yang kita hadapi pun tidak dibawah puluan kali, kapan kita pernah berpisah" Jika kau menghadap raja akhirat seorang diri, aku yakin Giam-ong pasti akan mengusirmu balik
Mendengar perkataan itu Lui Sin hanya bisa tertawa getir
Seorang piausu segera berteriak pula dengan lantang: "Congpiautau, jangan kau anggap kami adalah kawanan tikus yang takut mati
"Rekan rekan semua . . . . . . . .." bisik Lui Sin dengan perasaan amat terharu
Sambil tertawa Han Seng menambahkan: "Apalagi Ong Bu-shia hanya seorang diri
"Orang-orang itu pun hanya ada sedikit perbedaan dibandingkan kalian berdua" ejek Ong Bu-shia
"Dimana perbedaannya?" tanya Lui Sin


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepandaian silat!" "Ilmu silat yang kau miliki memang jauh lebih bagus daripada kepandaian yang kami miliki, namun bukan berarti kami bukan tandinganmu
"Benarkah begitu"
"Satu orang mungkin gampang kau taklukkan, belum tentu seribu orang bisa kau lawan
"Omong kosong! Lui Sin tidak menanggapi lagi, sorot matanya segera dialihkan ke wajah Siau Jit, ujarnya: "Orang she-Siau, aku orang she-Lui akan bikin perhitungan denganmu atas hilangnya berapa lembar nyawa
Kembali Siau Jit tertegun
Tanpa banyak bicara Lui Sin mencabut keluar golok emasnya dari sisi pelana, bentaknya: "Terima serangan!
Tubuh berikut golok langsung ditebaskan keatas kepala Ong Bu-shia
Pada saat yang bersamaan Han Seng ikut bergerak, pedang peraknya diloloskan dari sarung, diantara kilatan cahaya tajam, tubuh berikut senjata bagai anak panah yang lepas dari busur langsung melesat ke arah Ong Bu-shia
Ditengah bentakan nyaring, kawanan piausu itu sama sama melompat turun dari kuda lalu meloloskan senjata dan serentak meluruk ke arah Ong Bu-shia
"Hahaha, orang yang menghantar kematian telah berdatangan!" ejek Ong Bu-shia sambil tertawa nyaring
Baru selesai gelak tertawanya, golok emas pedang perak telah menyerang tiba, Ong Bu-shia sama sekali tidak berkelit atau menghindar, dia menerobos masuk ke balik lapisan cahaya golok dan bayangan pedang itu, sepasang ujung bajunya dikebaskan berulang kali, "plaak, plaaak" dia pukul mundur gabungan golok emas dan pedang perak itu hingga tersingkir sejauh satu meter
Tiba tiba tubuhnya melambung ke tengah udara, melewati atas ujung golok dan mata pedang, dia meluncur langsung ke tengah kerumunan para piausu
"Celaka!" pekik Lui Sin dan Han Seng hampir berbareng, senjata mereka buru buru ditarik kembali lalu memburu musuhnya
Begitu meluncur turun ke tanah, ke lima jari tangan kanan Ong Bu-shia dipentang bagai kaitan tajam, "sreeetl" dia cengkeram tenggorokan salah satu piausu yang berada paling dekat dengannya
Tak ampun piausu itu tewas seketika, tubuhnya langsung diangkat ke udara dan diputar bagai gangsingan
Dengan menggunakan mayat piausu itu, Ong Bu-shia merangsek maju lebih ke depan, dia sambut datangnya bacokan senjata kawanan piausu itu dengan mayat tersebut
Tentu saja para piausu tak tega untuk membacok mayat rekan sendiri, siapa sangka baru saja senjata mereka ditarik balik, Ong Bu-shia telah melemparkan mayat tadi langsung menumbuk dada seorang piausu lainnya
Timpukan mayat itu disertai tenaga dalam yang sangat kuat, ibarat tumbukan batu cadas yang keras, "blaaam!" piausu yang dadanya tertumpuk itu langsung mencelat ke belakang sambil muntah darah segar
Tubuhnya meluncur sejauh satu tombak lebih dan menumbuk diatas dinding rumah, tampaknya nasib orang itu lebih banyak celakanya daripada beruntung
Merah membara sepasang mata Lui Sin, bentaknya: "Orang she-Ong, jelek jelek kaupun seorang kangou kenamaan, terhitung jagoan macam apa perbuatan brutalmu itu"
Ong Bu-shia tertawa seram
"Hahaha, biar kalian tahu rasa, kalau pengin hidup, ayoh cepat mundur dari sini!
Kawanan jago itu bukannya mundur, sebaliknya sambil mengayun kan senjata, diiringi bentakan keras serentak menerjang maju ke arah lawan
Lui Sin dan Han Seng merangsek maju duluan, senjata mereka langsung diayunkan ke tubuh kakek ceking itu, tapi Ong Bu-shia tak ambil peduli, kembali dia menerjang ke tengah kerumunan piausu itu, satu sodokan sikut lagi lagi membuat seorang piausu muntah darah, tubuhnya mencelat jauh ke samping
Merah berapi api sorot mata Han Seng melihat kebrutalan lawan, jeritnya: "Lihat pedang!
"Mau dilihat pun bukan sekarang saatnya!" sahut Ong Bu-shia sambil tertawa dan mengigos
"Tua bangka celaka, terhitung enghiong hohan macam apa dirimu itu!" seru Lui Sin gusar
Ong Bu-shia tertawa terbahak-bahak
"Hahaha, tua bangka celaka memang bukan enghiong hohan, oleh karena itulah aku akan melahap dulu orang orang itu
Diiringi gelak tertawa seram, kembali tangannya mencengkeram tenggorokan seorang piausu
Meskipun terancam bahaya maut, ternyata piausu itu sama sekali tidak menghindar, dia malah menyerang lebih kalap
Disaat yang paling kritis itulah, mendadak sekilas cahaya pedang melintas lewat dari samping arena
Ternyata serangan pedang dari Siau Jit
Buru buru Ong Bu-shia menarik kembali ancamannya, sambil tertawa aneh teriaknya: "Orang she-Siau, jangan lupa, mereka datang untuk membuat perhitungan denganmu
"Itu urusan yang berbeda" sahut Siau Jit
`Ooh... aku hampir lupa, kau memang seorang hiapkek, seorang pendekar sejati" ejek Ong Bu-shia
"Aku hanya tahu penyelesaian masalah harus urut, mana duluan mana belakangan, lebih baik kita selesaikan dulu perselisihan diantara kita berdua" kata Siau Jit
"Bagus sekali! Sementara pembicaraan berlangsung, kedua orang ini sudah bertarung hampir ratusan jurus lebih
Serangan serangan pedang Siau Jit tajam bagai sambaran petir, sementara pukulan Ong Bu-shia menimbulkan deruan angin puyuh yang luar biasa, membuat ujung baju orang yang berada disisi arena ikut berkibar
Lui Sin tarik napas dalam dalam, sambil mengayun golok emasnya dia menerobos maju, teriaknya: "Orang she-Siau, enyah kau dari situ!
"Siau Jit, dengar itu" ejek Ong Bu-shia sambil mengebaskan bajunya menangkis bacokan, "orang lain ogah menerima maksud baikmu!
"Seharusnya kitalah yang suruh mereka enyah dari situ!" balas Siau Jit sambil secara beruntun melancarkan tujuh belas tusukan
Seketika Ong Bu-shia terdesak mundur sejauh tiga langkah, cepat kakek itu membentak, sambil melepaskan tiga pukulan dengan tangan kiri dan tiga pukulan dengan tangan kanan, dia merebut kembali posisinya sejauh tiga langkah
Seorang piausu menggunakan kesempatan itu merangsek maju, tombaknya langsung ditusukkan ke tubuh si kakek
"Kurangajar, besar amat nyalimu!" bentak Ong Bu-shia, ujung baju kirinya dikebaskan, bagai sayatan golok dia babat gagang tombak, "Kraaak!" seketika tombak yang meluncur tiba itu terbabat hingga kutung jadi dua bagian
Sambil menjerit kaget piausu itu melompat mundur dari arena
Kembali Ong Bu-shia menggulung batang tombak yang patah itu dengan ujung bajunya, kemudian dikebaskan, batang tombak itu bagai anak panah segera meluncur ke punggung piausu itu
Siau Jit tahu bahaya, cepat dia maju sambil melepaskan satu babatan, "Triiing!" sambitan batang tombak itu segera kena ditangkis hingga rontok jatuh
Saat itulah Ong Bu-shia menarik tubuhnya sambil merendah
"Sreeeet!" bacokan golok emas dari Lui Sin menyapu lewat persis dari sisi lehernya
Bacokan ini sungguh berbahaya sekali, namun Ong Bu-shia seakan sudah menduga sebelumnya, dalam keadaan kritis, paras mukanya sama sekali tidak berubah, tiba tiba tangan kanannya dibalik kemudian balas mencekik tenggorokan Lui Sin
Dia menghindar secara cepat dan balas menyerang dengan gerakan yang amat garang
Sedemikian cepatnya serangan itu meluncur tiba, bagaimanapun Lui Sin mencoba menghindar, tampaknya sulit baginya untuk meloloskan diri
Disaat kritis itulah lagi lagi tusukan pedang Siau Jit m enyambar tiba, secepat kilat menusuk pergelangan tangan kanan Ong Bu-shia
Biarpun tusukan pedangnya tidak secepat pukulan lawan, namun tusukan itu sudah pasti akan menembusi urat nadi pergelangan tangan kanannya disaat dia selesai menyarangkan serangannya ke tenggorokan Lui Sin
Dan apabila tusukan tersebut bersarang telak, niscaya Ong Bu-shia akan kehilangan tangan kanan untuk selamanya
Tentu saja Ong Bu-shia tak sudi mempertaruhkan keutuhan tangannya hanya demi nyawa Lui Sin, pada hakekatnya dia tak pandang sebelah mata pun terhadap congpiautau perusahaan ekspedisi ini
Dia berharap, andaikata harus kehilangan tangan, kehilangan tersebut harus dibayar mahal
Oleh sebab itu dia segera kendorkan tangan sambil melepaskan sebuah sentilan dengan jari tengahnya, "Criiing!" sentilan itu bersarang di punggung pedang
Bersamaan dengan dilancarkannya sentilan itu, tangan kirinya membabat iga kanan lawan
Cepat Siau Jit mengegos ke samping menghindarkan diri
Lolos dari kematian, dengan perasaan terkejut bercampur ngeri Lui Sin segera berseru: "Terima kasih banyak atas bantuanmu!
"Tak usah banyak adat" sahut Siau Jit, kepada Ong Bu-shia serunya pula, "lebih baik kita lanjutkan pertarungan diatas genting rumah!
"Baik!" Ong Bu-shia rentangkan sepasang lengannya kemudian melambung ke tengah udara
Siau Jit segera menyusul dari belakang
Ke dua orang itu bagaikan dua ekor burung, dengan cepat melesat lewat dari wuwungan rumah dan meluncur keatas atap bangunan
Menyaksikan kelihayan kedua orang jago itu, Lui Sin serta Han Seng hanya bisa berdiri tertegun sambil menarik napas dingin
Apalagi kawanan piausu itu, mereka hanya bisa berdiri terbelalak dengan mulut melongo
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan mereka berdua?" tiba tiba Lui Sin bertanya
"Konon Siau Jit telah membunuh putra Ong Bu-shia" sahut Han Seng
"Hah, ada kejadian seperti ini"
"Berita tersebut sudah tersebar luas dalam dunia persilatan, seharusnya merupakan satu kenyataan
"Waah, besar amat nyali bocah muda itu!
"Dalam kenyataan dia memang sangat mengejutkan" sahut Han Seng sambil tertawa getir
Sesudah berhenti sejenak, terusnya: "Oleh sebab itu aku curiga peristiwa yang menimpa Hong-ji sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan orang ini, bisa jadi ada sedikit kesalah pahaman dibalik kesemuanya itu
Lui Sin termenung sambil berpikir sejenak, ujarnya kemudian: "Kalau ditinjau dari serangan pedangnya yang telah selamatkan jiwaku, memang seharusnya kuajak dia untuk berbicara sampai jelas sebelum menantangnya berduel
"Sejak awal siaute pun berpendapat begitu
"Entah dia masih bisakah balik dalam keadaan hidup" tiba tiba bisik Lui Sin
"Bu-shia beracun pembetot sukma penggaet nyawa bukanlah manusia sembarangan, dari caranya melancarkan serangan tadi, bisa terlihat betapa keji dan telengasnya dia, Cuma.... aku rasa nama besar si pedang pemutus usus Siau Jit sama sekali tidak berada dibawah kebesaran namanya!
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang"
"Bicara dari kemampuan ilmu silat yang kita miliki, aku rasa bukan saja tak bakal membantu banyak, sebaliknya justru membuat Siau Jit tak bisa konsentrasi menghadapinya
"Jadi penonton pun tidak boleh?" "Lebih baik kita putuskan sesuai dengan keadaan nanti
"Aaai!" Lui Sin menghela napas panjang, "rasanya memang hanya bisa begitu
Dia genggam goloknya semakin kencang
Oo0oo Dengan gerakan cepat Ong Bu-shia melompat naik ke atap rumah dan berdiri tegak disitu dengan gerakan Kimrkie-tok-lip (ayam emas berdiri disatu kaki), biarpun angin kencang mengibarkan ujung bajunya, namun dia tetap berdiri kokoh bagaikan bukit Thay-san
Siau Jit yang menyaksikan hal itu kontan memuji: "Kagum, kagum!" "Tak pantas dikagumi" sahut Ong Bu-shia sambil menurunkan kembali kakinya
Sambil mengayunkan pedangnya, seru Siau Jit kemudian: "silahkanl
Bagai anak panah terlepas dari busur, Ong Bu-shia merangsek maju, sepasang kepalannya melepaskan serangkai pukulan bagai bintang kejora
Jurus serangan yang digunakan tak lain adalah jurus Liu-seng-gan-gwee (bintang kejora mengejar rembulan)
Sebetulnya gerakan jurus yang digunakan ini merupakan sebuah jurus yang amat sederhana, namun berada ditangannya, ternyata memancarkan daya kekuatan yang mematikan
Siau Jit tak berani memandang enteng, pedangnya dibabat kedepan menyongsong datangnya sepasang kepalan itu
Ditengah dengungan nyaring, cahaya pedangnya bagaikan petir yang berlapis lapis meluncur ke muka dengan hebatnya
Ong Bu-shia mengigos ke samping menghindari ujung pedang musuh, kemudian sambil merendahkan badan sekali lagi dia hantam dada Siau Jit
Tubuhnya bergerak cepat bagai kuda jempolan, serangan yang dilancarkan pun bagaikan sambaran petir
Siau Jit tak berani berayal, semakin cepat kepalan musuh bergerak, makin cepat pula pedangnya menyambar, kecepatannya merubah jurus sedikitpun tidak berada dibawah kemampuan kakek ceking itu
"Puas, puas sekali!" teriak Ong Bu-shia nyaring, kepalan demi kepalan dilancarkan semakin gencar
Kepalannya keras bagai martil besar, telapak tangannya tajam bagai mata golok, jarinya runcing bagai ujung pedang, nyaris seluruh bagian tang annya merupakan senjata tajam yang mematikan
Bahkan bukan hanya sejenis senjata saja, tapi berbagai jenis senjata pembunuh yang mematikan
Ditengah pertarungan yang berlangsung sengit, atap rumah tampak beterbangan di udara lalu mencelat hancur
Tak selang berapa saat kemudian, hampir semua atap yang berada diseputar arena telah tersapu lenyap
Tiba tiba terdengar suara gemuruh yang amat nyaring, rupanya tiang belandar tak kuat menahan tekanan yang timbul hingga patah jadi berapa bagian, tak ampun kedua orang itupun sama-sama terjerumus ke bawah bangunan
Asap, debu dan pasir beterbangan memenuhi angkasa, suasana jadi sangat kalut
Kawanan piausu yang menonton jalannya pertarungan dari jalan raya sama sama terkesima dibuatnya, bukan hanya mereka, bahkan Lui Sin maupun Han Seng ikut berdiri menjublak
"Bagaimana kita sekarang?" bisik Lui Sin kemudian sambil menarik napas dingin
Bab 10. Kejutan. Malam semakin kelam, angin berhembus makin kencang, begitu dingin udara malam itu seakan
sayatan dari sebilah golok tajam.
"Siau kecil" terdengar Suma Tang-shia berbisik, "ada satu hal entah kau sempat
memperhatikannya atau tidak?"
"Apakah golok pembunuh itu?" tanya Siau Jit.
"Ada apa dengan golok pembunuh?"
"Ditinjau dari posisi mulut luka, tampaknya jauh lebih t ipis daripada luka bacokan pada
umumnya , bahkan posisinya melengkung"
"Tepat sekali, lalu?"
"Berbicara soal ketajaman, tak disangkal ketajamannya memang jauh dari ketajaman golok
biasa" "Atau dengan perkataan lain, senjata itu pasti sebilah golok mestika!" ujar Suma
Tang-shia. Setelah berhenti sejenak dan menghela napas, terusnya:
"Menurut apa yang kuketahui, golok mustika dalam dunia persilatan yang cukup tersohor
jumlahnya mencapai sembilan belas bilah, diantaranya sebagian besar berbentuk tipis, bila
kita melakukan analisa dan pelacakan dari hal ini, bisa jadi akan diperoleh hasil"
"Aku rasa tidak segampang itu"
"Tentu saja tidak gamang, apalagi pemilik golok golok tersebut hamir semuanya merupakan
jago jago kelas satu dari dunia persilatan"
"Yaa, bukan hanya lihay, kebanyakan memiliki perangai dan watak yang sangat aneh, salah
salah batok kepala bisa terpisah dari badan"
Suma Tang-shia tertawa. "Padahal tak bisa salahkan mereka seratus persen, siapa pun itu orangnya, bila memperoleh
golok mestika yang tak ternilai harganya, watak mereka pasti akan berubah jadi aneh"
"Betul, siapa pun pasti akan berusaha untuk menjaga diri, bila setiap saat musti tegang
dan hidup dalam kecurigaan, lambat laun watak mereka tentu akan berubah jadi banyak curiga
dan gamang marah" ucap Siau Jit.
"Padahal tidak setiap orang yang datang selalu bermaksud mengincar golok mestika miliknya,
bicara dari dia pribadi, memangnya dengan mempunyai golok, lantas dia bisa menjagoi kolong
langit tanpa tanding?"
"Yaa, tentu saja tidak" Siau Jit menggeleng.
"Anehnya, kenapa hanya segelintir manusia yang bisa memahami teori semacam ini"
"Justru karena itulah muncul banyak manusia yang menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan sebilah golok mustika atau pedang mustika sebagai senjata andalan"
"Kalau begitu kau harus hati hati"
"Kenapa harus hati hati?" tanya Siau Jit keheranan.
"Bukankah pedang pemutus ususmu terhitung sebilah pedang mustika?" kata Suma Tang-shia.
"Untungnya hingga sekarang masih belum ada orang berani mengincar pedangku ini"
Suma Tang-shia segera tertawa.
"Mungkin mereka tahu, biarpun ada pedang pemutus usus ditangan, bila tidak memahami ilmu
pedang pemutus usus, senjata itu sama sekali tak ada gunanya"
"Semisal benar benar terjadi, berarti aku harus bersikap lebih waspada"
"Jadi sekarang kau mulai kuatir kalau mereka sedang mengincar pedangmu?"
" Ehmm! " Kembali Suma Tang-shia tertawa cekikikan.
"Sekalipun kau tak pandai ilmu pedang pemutus usus, sekalipun pedang pemutus usus tak ada
ditanganmu, mereka toh tetap mengincar dirimu, karena lelaki setampan kau memang tak
banyak jumlahnya di dunia ini"
"Ahh, lagi-lagi toaci sedang menggoda aku"
"Aku bicara sejujurnya"
Siau Jit menghela napas. II "Padahal kaupun tak perlu menghela napas kata Suma Tang-shia, "sebab kejadian seperti ini
bukan termasuk kejadian buruk"
Siau Jit segera mengalihkan pokok pembicaraan, katanya:
"Toaci, menurut pandanganmu, benarkah kita bisa mulai penyelidikan dari hal tersebut?"
"Aku rasa tak ada keharusan untuk berbuat demikian"
"Boleh saja kalian berdua ogah repot, aku orang she-Lui tak akan menyerah dengan begitu
saja" sela Lui Sin tiba tiba.
"Masalahnya bukan ogah repot atau tidak" Suma Tang-shia menjelaskan.
"Bukankah nona sendiri yang bilang, bila penyelidikan dimulai dari bidang tersebut, siapa
tahu bakal peroleh hasil" seru Lui Sin.
"Tapi sekarang aku telah berpikir lebih jernih, jagoan pengguna golok seharusnya sama
sekali tak ada hubungannya dengan peristiwa ini"
"Seharusnya?" kembali Lui Sin tertegun, "atas dasar apa nona begitu yakin?"
"Sedikit banyak aku cukup mengetahui keadaan mereka sekarang, ada berapa orang jagoan yang
dikabarkan sudah mati, ternyata masih tetap hidup didunia ini, bahkan tinggal tak jauh
dari sini, mereka muncul kembali ke dalam dunia persilatan dengan nama pendekar"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Dari sekian banyak jago golok, salah satu orang yang tinggal paling dekat dari sini pun
berjarak ratusan li dari tempat ini"
Dia berpaling kearah Siau Jit, lalu terusnya:
"Daripada melacak dari bidang ini, kenapa tidak melacak dati tujuan yang mereka lakukan?"
"Tujuan?" Siau Jit mulai berpikir.
"Walaupun peristiwa ini seolah hasil karya orang gila, namun mana ada orang gila yang bisa
bertindak begini rahasia dan rapi" Kalau rencana yang begini sempurna bisa dia lakukan,
ini berarti orang itu tidak edan dan pasti merupakan sebuah akal muslihat"
"Menurut toaci, apa akal muslihatnya?"
"Semula kusangka tujuannya adalah mengkambing hitamkan dirimu, tapi sesudah dipikir lebih
cermat, rasanya kemungkinan ini kecil sekali"
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Bagi manusia macam kau, pergi ke mana saja kehadiranmu selalu mencolok mata dan menarik
perhatian orang, jadi mustahil pembunuhan ini merupakan hasil karyamu, tidak terlalu susah
bagimu untuk mencari alibi, tak sulit membuktikan kalau kau tak pernah hadir di tempat
kejadian, dan seharusnya pihak lawan menyadari akan hal itu . . . . .."
Setelah berhenti sejenak, dia berpaling dan menatap Lui Sin dan Han Seng sekejap,
lanjutnya: "Aku yakin Lui dan Han enghiong bukanlah manusia yang tak pakai aturan"
Merah padam selembar wajah Lui Sin karena jengah, sementara Han Seng mendeham berulang
kali kemudian baru berkata:
"Yang lebih penting lagi, bila ingin mengandalkan kemampuan kami berdua, sudah jelas tak
akan mampu menandingi saudara Siau, jadi dia tak ada alasan mencari gara gara dengan kami
berdua" "Itulah sebabnya aku percaya peristiwa ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Siau
kecil" "Tapi..... bagaimana dengan surat dari Siau-heng yang ditujukan kepada putriku . . . . . .."
sela Lui Sin. "Tentu saja surat itu palsu" jelas Suma Tang-shia, "tujuannya tak lain karena hendak
memancing putrimu agar mau datang ke kuil kuno Thian-liong-ku-sat"
"Tapi aku belum pernah dengar kalau putriku pernah berkenalan dengan saudara Siau" kembali
Lui Sin berkata dengan kening berkerut.
"Aku pernah bertemu satu kali dengan putrimu" Siau Jit segera menjelaskan.
"Sekali sudah lebih dari cukup" seru Suma Tang-shia.
Siau Jit tertegun. "Maksud toaci . . . . .."
"Aku yakin tak seorang wanitapun yang dapat melupakan dirimu setelah bertemu satu kali,
jika gadis itu pernah bertemu muka lalu tiba tiba menerima surat undangan, mungkin tak ada
gadis yang tak mau memenuhi undangan itu"
Siau Jit segera terbungkam, tak sanggup bicara.
Sementara itu Suma Tang-shia telah berpaling kearah Lui Sin sambil berkata:
"Aku percaya putrimu pun tidak terkecuali"
Kali ini Lui Sin tidak membantah, dia hanya membungkam diri.
Kembali Suma Tang-shia menyapu sekejap tumpukan mayat yang berserakan ditanah, kemudian
katanya: "Berbicara dari ilmu silat yang dimiliki pembunuh itu, bisa saja dia bunuh kawanan jago
itu terlebih dulu kemudian baru menghadapi putrimu, dan s eharusnya hal ini bisa dia
lakukan dengan gamang sekali, tapi nyatanya dia lebih suka memancin g putrimu agar pergi
lebih dulu meninggalk an tempat ini kemudian baru melakukan pembantaian, hal ini
membuktikan kalau dia tak ingin pu trimu menderita celaka atau kerugian apapun"
&n bsp; "Jadi maksudmu, tujuan sebenarnya dari si pembunuh adalah mendapatkan putriku" tanya Lui
Sin. "Semestinya begitu"
"Kenapa?" "Hahaha, kalau soal ini mah musti ditanyakan langsung pada yang bersangkutan" Suma
Tang-shia tertawa cekikikan.
Lui Sin mendelong, dia hanya bisa tertawa getir.
"Disekitar tempat inipun terdapat seorang jago golok" tiba tiba terdengar Han Seng
menyela. "Siapa?" tanya Lui Sin tanpa sadar.
"Semestinya toako masih ingat akan hal ini"
Lui Sin tertegun, berapa saat kemudian jeritnya:
"Kelelawarl" setelah berhenti sejenak, tegasnya, "kau maksudkan si Kelelawar?"
Han Seng mengangguk. "Kelelawar yang mana?" tanya Siau Jit.
Tapi setelah berteriak, dia seakan teringat akan sesuatu, serunya agak tercengang:
"Apakah kau maksudkan si Kelelawar tanpa sayap?"
"Rasanya dalam dunia persilatan hanya terdapat satu Kelelawar"
"Aku dengar dia adalah seorang jago golok, senjata yang digunakan adalah golok Kelelawar,
sebilah golok mustika yang tajamnya luar biasa" kata Siau Jit.
"Betul, golok Kelelawar tajam sekali, selain tipis, konon mampu membelah besi baja bagai
membelah tahu!" "Jangan jangan . . . . . . . . ..


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

II Il "Persis seperti jenis manusia yang kalian berdua maksudkan Han Seng mengangguk, "hanya
sayangnya . . . . . . .."
Belum selesai dia berkata, Suma Tang-shia telah menyambung:
"Kelelawar tanpa sayap sudah tak ada lagi di dunia ini"
"Sudah mati?" tanya Siau Jit.
"Benar, sudah mati banyak tahun
Il kembali Han Seng mengangguk.
Lui Sin segera menambahkan:
"Dia tewas karena dikerubuti delapan orang jago lihay dari Kanglam, dalam pertempuran itu
ada tujuh jago yang tewas ditempat, tinggal seorang yang hidup, dia adalah Suma
Tiong-goan" "Dialah ayahku" kata Suma Tang-shia.
Lui Sin serta Han Seng tertegun, kemudian buru buru mereka berseru:
"Maaf, maaf" Suma Tang-shia tertawa hambar.
"Dalam pertempuran ini, luka yang diderita ayahku pun sangat parah" katanya, "tak sampai
setengah tahun kemudian, beliau menghembuskan napas terakhir"
"Benarkah Kelelawar tanpa sayap begitu lihay?" tanya Siau Jit.
Suma Tang-shia mengangguk.
"Nama besarnya waktu itu cukup membuat para jago persilatan berubah wajah, gabungan tenaga
delapan jago paling lihay dari Kanglam pun harus berakhir begitu tragis, bisa dibayangkan
betapa lihaynya ilmu silat orang itu"
"Aku dengar Kelelawar tanpa sayap gemar sekali main perempuan, waktu itu ada banyak gadis
yang dia culik dan perkosa" ujar Siau Jit.
"Benar, apa yang kau dengar memang kenyataan" Suma Tang-shia membenarkan.
"Untung saja dia sudah mamus dikerubuti delapan jagoan dari Kanglam" seru Lui Sin sambil
mengusap jidatnya, "kalau tidak, sekarang aku benar benar merasa kuatir"
Sambil menghela napas ujar Han Seng pula:
"Justru karena siaute merasa bahwa sepak terjang orang itu mirip sekali dengan tingkah
laku si Kelelawar dimasa silam, maka aku jadi teringat kembali akan dirinya"
~n "Tadi pun aku sempat teringat akan orang ini ujar Suma Tang-shia, "tapi setelah yakin
kalau mustahil dilakukan orang ini, maka nama tersebut tak sampai kusinggung"
"Karena orang ini sudah mati?" tanya Lui Sin, "dia hidup sebagai orang bejad, setelah mati
pun akan menjadi setan bejad, tapi kalau toh sudah menjadi setan, biar akan melakukan
kejahatan lagi pun mustahil akan dilakukan ditengah hari bolong"
"Aaah, masa toako percaya juga dengan segala cerita tahayul dan mistik?" tanya Han Seng
keheranan. "Tidak percaya" Lui Sin menggeleng, "tapi selain Kelelawar tanpa sayap, apakah terpikir
ole hmu orang lain?"
"Tidak" Han Seng tertawa getir.
Lui Sin menghela napas panjang.
"Aaai, sejujurnya aku berharap peristiwa ini merupakan hasil karya Kelelawar tanpa sayap,
sebab dengan begitu Hong-ji masih punya harapan hidup"
"Sekalipun tak ada sangkut pautnya dengan Kelelawar tanpa sayap, aku rasa seharusnya
putrimu tetap selamat" hibur Suma Tang-shia.
"Betul" Han Seng membenarkan, "jika bajingan ini berniat mencelakai Hong-ji, bisa saja dia
lakukan disegala tempat, kenapa musti memancingnya untuk datang ke kuil kuno Thian-liong-
ku-sat?" Berkilat sepasang mata Suma Tang-shia, tiba tiba katanya:
"Sekarang juga kita harus berkunjung ke kuil Thian-liong-ku-sat"
"Kuil Thian-liong-ku-sat terletak di mulut hutan murbei, sejenak lagi kita akan sampai
disana!" Han Seng menerangkan, cepat dia melompat naik ke punggung kudanya.
Waktu itu Lui Sin sudah tak dapat mengendalikan sabarnya lagi, dia melompat naik keatas
kudanya lalu dilarikan kencang.
Suma Tang-shia melompat masuk pula ke dalam keretanya, tanpa diperintah lagi, kereta itu
ikut meluncur ke depan. Buru buru Siau Jit ikut melomat naik keatas punggung kudanya.
Suara roda kereta pun kembali bergema membelah keheningan malam.
Oo0oo Angin malam berhembus kencang, menimbulkan perasaan gundah dalam hati setiap orang.
Walaupun malam sudah kelam hingga tak nampak daun murbei yang merah disepanjang jalan,
namun mereka dapat merasakan suasana sendu ditengah puncak musim gugur ini.
Tak lama kemudian kereta kuda sudah keluar dari jalur jalan raya.
Bagi Siau Jit, walaupun sudah berapa kali dia melewati kota Lok-yang, namun tidak terlalu
hapal dengan situasi diluar kota, karena itu sepanjang jalan dia hanya mengintil terus
dibelakang Lui Sin maupun Han Seng.
Sebaliknya bagi Lui Sin dan Han Seng, biarpun sudah banyak tahun tidak mengawal barang,
namun mereka sangat hapal dan menguasahi sekali dengan situasi diseputar Lokyang.
Tentu saja kuil kuno Thian-liong-ku-sat tak mungkin lenyap dengan begitu saja dari
tempatnya semula. Dibawah cahaya rembulan, kuil kuno itu tampak lebih menyeramkan.
Sambil menghentikan kudanya didepan gerbang kuil, gumam Lui Sin dengan kening berkerut:
"Kenapa bangunannya jadi begini bobrok dan terbengkalai?"
Sementara Siau Jit telah menghentikan pula kudanya sambil tertanya:
"Apakah bangunan ini adalah kuil kuno Thian-liong-ku-sat?"
Lui Sin manggut-manggut. "Ditempat ini hanya ada sebuah bangunan kuil, yakni Thian-liong-ku-sat"
Lalu kepada Han Seng katanya:
"Jite, ketika kita lewat disini tempo hari, bukankah bangunan kuil ini masih tampak
bagus?"   "Toako, mungkin kau sudah lupa, terakhir kali kita melewati tempat ini sudah berlangsung
banyak tahun berselang" sahut Han Seng sambil tertawa getir.
Lui Sin berpikir sejenak, kemudian manggut-manggut.
"Ehmm, memang sudah lima-enam tahun berselang, aaaai, waktu berlalu begitu cepat"
Sampai disini, tak tahan dia menghela napas panjang.
"Yaa, kuil kuno yang tak pernah diperbaiki dan dibiarkan terbengkalai terus, lama kelamaan
-n juga bakal roboh sendiri Han Seng menimali.
Sementara pembicaraan berlangsung, Suma Tang-shia sudah turun dari keretanya, sambil
berjalan tegurnya: "Kenapa kalian masih berdiam diri disana?"
"Tampaknya aku memang sudah semakin tua"
dengan kening berkerut Lui Sin melompat turun
dari kudanya, "reaksi ku terasa semakin lamban saja"
Dengan langkah lebar dia berjalan masuk terlebih dulu ke dalam ruang kuil.
Kuatir terjadi hal yang tak diinginkan, buru buru Han Seng mengintil dari belakang, sedang
empat orang piausu dengan membawa lampion bertindak paling depan.
"Siau kecil" bisik Suma Tang-shia kemudian sambil berpegangan bahu Siau Jit, "mari kita
pun masuk ke dalam" "Hati hati langkahmu!" sahut Siau Jit sambil mengangguk.
Suma Tang-shia tertawa geli.
"Memang kau anggap aku sudah setua nenek nenek berusia enam, tujuh puluh tahunan?"
"Bukan begitu, banyak semak dan onak liar dalam kuil itu, hati hati kalau sampai tertusuk"
"Bagaimana pun kau memang saudaraku yang paling baik, jangan takuti aku dengan ular" Suma
Tang-shia tertawa merdu. Belum habis ia berkata, Lui Sin yang berada didepan telah menghardik keras:
"Hati hati, dibalik semak terdapat ular berbisa!"
Seekor ular yang merambat kakinya seketika kena ditendang hingga mencelat ke udara,
berbarengan itu golok emasnya dicabut keluar.
Tampak cahaya tajam melintas lewat, ular itu terbabat jadi dua bagian dan mencelat ke
samping. Menyaksikan hal itu Suma Tang-shia menjerit kaget, kemudian menyusupkan badannya ke dalam
pelukan Siau Jit. Baru pertama kali ini Siau Jit berdiri begitu dekat dengan Suma Tang-shia, ia dapat
merasakan tubuhnya yang lembut, halus tapi padat berisi serta bau harum seorang dara
perawan . Dalam waktu sekejap perasaan hatinya gejolak keras, jantung terasa berdebar debar.
Padahal ia sudah kenal Suma Tang-shia banyak tahun, namun baru kali ini timbul perasaan
semacam itu. Selama ini dia menaruh perasaan hormat terhadap Suma Tang-shia selain perasaan
persaudaraan, rasa hormat dan sayangnya antara seorang kakak dengan adik.
Bahkan boleh dibilang selama ini dia tak pernah menganggap Suma Tang-shia sebagai seorang
wanita. Tapi sekarang, pada hakekatnya ia dapat merasakan suatu perasaan aneh, merasa bahwa Suma
Tang-shia adalah seorang wanita tulen.
Begitu kuat perasaan tersebut mencekam hatinya.
Disamping keheranan diapun merasa sedikit bergidik, ngeri, sesudah berhasil menenangkan
diri, ujarnya: "Dibalik semak memang benar-benar ada ular berbisa"
"Kalau begitu kau harus hati-hati melindungiku" bisik S uma Tang-shia sambil menghela
napas. Dia melanjutkan kembali perjalanannya dengan masih bersandar dalam rangkulan Siau Jit.
Kini perasaan tegang yang mencekam Siau Jit sudah teratasi, ia menjadi tenang kembali,
dengan tangan kiri merangkul bahu Suma Tang-shia, tangan kanan menggenggam pedang,
selangkah demi selangkah dia melanjutkan perjalanan dengan sangat hati hati.
Angin berhembus kencang menggoyangkan rerumputan, suara gemerisik yang aneh menimbulkan
suasana yang makin menyeramkan.
Siau Jit dapat merasakan tubuh Suma Tang-shia sedang gemetar, bisiknya kemudian:
"Toaci, bagaimana kalau kau tinggal diluar kuil saja?"
"Kau sangka toaci takut?" Suma Tang-shia balik bertanya.
Sebelum Siau Jit sempat menjawab, Suma Tang-shia telah melanjutkan kembali perkataannya:
"Selama kau berada disisiku, kenapa toaci musti takut?"
Dia menempel semakin rapat ke tubuh Siau Jit.
Perkataan semacam ini bukan untuk pertama kali didengar Siau Jit, tapi hanya kali ini dia
merasakan jantungnya berdebar sangat keras.
Dalam nada bicaranya kali ini seolah telah ketambahan sesuatu, sesuatu yang aneh.
Terdengar perempuan itu berkata lebih lanjut:
"Berada disampingmu, paling tidak bisa mendatangkan perasaan aman, tenteram bagiku,
sebaliknya kalau suruh aku menunggu diluar kuil, rasanya . . . . .. rasanya... bertambah
menyeramkan" Baru selesai dia berbicara, mendadak dari arah depan berkumandang suara kebasan yang
sangat aneh, disusul munculnya berapa gerombolan benda hitam yang terbang keluar dari
semak belukar. Sambil membentak nyaring Lui Sin mengayunkan golok emasnya, "Ciiiit!" gumpalan hitam itu
seketika terbelah jadi dua bagian.
"Benn....benda apa itu?" bisik Suma Tang-shia dengan nada gemetaran.
"Kelelawar!" nada jawaban Lui Sin pun kedengaran sedikit gemetar.
"Betul betul seekor Kelelawar yang sangat besar" sambung Han Seng, "selama hidup baru
pertama kali ini aku menyaksikannya"
Waktu itu dia telah meloloskan pedangnya dan secepat kilat melepaskan sebuah tusukan.
Tusukan itu dengan tepat menembusi tubuh seekor Kelelawar yang berada ditengah, kelelawar
itu masih berusaha meronta, berusaha mengebaskan sayap dengan sekuat tenaga.
Darah mulai meleleh keluar, menetes lewat sisi mata pedang yang tajam.
Kembali Han Seng menggetarkan pedang peraknya, "Ngunggg!" seekor Kelelawar dengan
bercucuran darah meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang dan terbang tinggi ke
angkasa. Melihat itu sambil menghela napas katanya lagi:
"Seandainya Kelelawar tanpa sayap bukan dikabarkan telah mati, pada hakekatnya aku merasa
yakin kalau kesemuanya ini merupakan hasil karyanya"
Lui Sin segera tertawa terbahak-bahak.
"Lumrah kalau banyak Kelelawar hidup dalam kuil yang terbengkalai, apa yang musti
diherankan?" "Benar juga perkataan itu"
Maka mereka berdua pun kembali beranjak, melanjutkan langkahnya menuju ke ruang utama kuil
1 Maka mereka berdua pun kembali beranjak, melanjutkan langkahnya menuju ke ruang utama kuil
kuno. Dibawah cahaya obor, tampak sarang laba laba memenuhi setiap sudut ruangan, tak nampak
sesosok bayangan manusia pun disana.
Tanpa sadar Han Seng mendongakkan kepalanya, tapi ia segera menjerit kaget:
"Kelelawarl" Puluhan ekor Kelelawar bergelantungan disepanjang tiang penglari gedung, ada berapa ekor
diantaranya yang beterbangan dan kabur menuju ke luar ruangan.
Siau Jit memandang sekejap ke langit langit ruangan lalu memandang pula ke lantai, serunya
cepat: "Coba lihat, dilantai terdapat bekas kaki"
Ketika semua orang mengalihkan pandangan matanya, benar saja, diatas lantai yang penuh
debu tertera dua baris bekas telapak kaki.
"Lihat, ada bekas kaki laki, ada pula bekas kaki perempuan" Suma Tang-shia menambahkan.
"Yang perempuan pasti Hong-ji, tapi siapa yang lelaki itu?" tanya Lui Sin.
"Tidak mungkin bekas kaki saudara Siau" jawab Han Seng.
"Jite, atas dasar apa kau berkata begitu yakin?"
"Toako, apakah kau tidak perhatikan kalau bekas kaki yang ditinggalkan saudara Siau sama
sekali berbeda dengan bekas kaki lelaki pada umumnya"
Kini Lui Sin baru memperhatikan, katanya kemudian setelah menghela napas:
"Untung saja muncul Ong Bu-shia yang membuat keon aran, coba kalau tidak, pertarungan habis
habisan antara kita bertiga pasti akan berakhir tragis dan konyol, bikin tertawa orang
lain saja" "Urusan sudah lewat, lebih baik tak usah cianpwee pikirkan lagi" sela Siau Jit.
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Lebih baik kita lakukan pengejaran dengan mengikuti bekas telapak kaki itu"
Tanpa banyak bicara lagi Lui Sin merebut sebuah lamion dari tangan seorang piausu
kemudian melakukan pengejaran dipaling depan.
Bekas telapak kaki itu langsung menuju ke ruang belakang kuil.
Rombongan jago itupun menelusuri serambi panjang, mengikuti bekas telapak kaki yang
tertinggal. Disepanjang lantai serambi tertera dua baris telapak kaki, sementara diatas tiang belandar
penuh bergantungan Kelelawar dalam jumlah banyak.
Dimana cahaya lentera memancar lewat, kawanan Kelelawar itu beterbangan karena kaget.
Kali ini, meski Han Seng tidak bersuara lagi, namun perasaan curiga dan keheranan yang
mencekam hatinya makin menebal, begitu pula dengan Lui Sin, ia tampak semakin cemas
bercampur panik. Siau Jit sendiripun tampak amat serius. Setelah kejadian berkembang jadi begini,
kendatipun semuanya membuktikan kalau peristiwa itu tak ada sangkut paut dengan dirinya,
namun bukan berarti dia dapat cuci tangan dengan begitu saja.
Pada dasarnya lelaki ini memang memiliki rasa ingin tahu yang sangat kuat, sedang masalah
yang dihadapi sekarang tampak begitu rahasia dan penuh misterius, hal ini semakin
membangkitkan rasa ingin tahunya.
Tak bisa disangkal lagi sasaran utama dari sang pembunuh adalah Lui Hong, dari penuturan
Lui Sin serta Han Seng dapat diketahui bahwa Lui Hong bertemperamen tinggi, untuk
membunuhnya jelas lebih gampang daripada menculiknya.
Sudah jelas orang ini tidak ingin Lui Hong mengalami gangguan apapun, itulah sebabnya ia
mencatut namanya dengan memancing Lui Hong meninggalkan rombongan pengawalan barang.
Sedang tujuan utamanya membunuh orang tak lain karena dia ingin menghilangkan saksi dan
bukti. Dalam kenyataan Ciu Kiok hanya terluka dan tidak sampai mati, tak disangkal kejadian ini
merupakan satu kemukjijatan, justru karena itu pula mereka baru dapat mendatangi kuil kuno
Thian-liong-ku-sat. Kalau dilihat dari bekas telapak kaki yang tertinggal, kemungkinan besar Lui Hong telah
bertemu dengan orang itu lalu mengikuti orang tersebut menuju ke ruang belakang.
Itu berarti mereka berdua saling mengenal, kalau tidak meski bekas telapak kaki terdapat
dua pasang, seharusnya mereka berjalan saling mengintil.
Dalam posisi seperti ini, semestinya nona Lui sudah seharusnya merasakan gelagat yang
tidak beres. Tak tahan Siau Jit menghela napas panjang.
Selama ini Suma Tang-shia hanya membungkam diri, seakan sedang memikirkan sesuatu, setelah
mendengar helaan napas Siau Jit, ia baru berkata:
"Siau kecil, tampaknya nona Lui sangat kesemsem dengan dirimu"
"Toaci, jangan bergurau" seru Siau Jit tertawa getir.
"Memang salah perkataanku" Coba berganti orang lain yang mengundangnya datang kesitu, biar
mau datangpun belum tentu ia datang seorang diri, seandainya sendirianpun, setelah tiba
disini seharusnya dia langsung menemukan hal hal yang mencurigakan dan segera mundur dari
tempat ini" "Mungkin saja ia sudah tak sempat berbuat begitu"
"Kalau dibilang satu pertarungan sengit telah terjadi, mana mungkin bekas telapak kaki
yang tertinggal tampak begitu teratur dan rapi?"
"Ehm, benar juga perkataanmu itu"


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut pendapatku, kemungkinan besar lantaran dia melihat sederet bekas telapak kaki itu
dan mengira itu bekas kakimu, menyangka kau telah menantinya di ruang belakang kuil, maka
dia pun menuju ke belakang mengikuti bekas kaki yang dijumpai"
"Kemungkinan besar memang begitu"
Sementara pembicaraan berlangsung, sampailah mereka diujung serambi, didepan sana
merupakan sebuah halaman luas dengan rumput ilalang dan semak yang amat lebat.
Selewat halaman itu merupakan bangunan kuil yang telah roboh tinggal puing berserakan.
Disitulah letak ruang belakang kuil kuno Thian-liong-ku-sat, tempat dimana Lui Hong
terjebak dan masuk perangkap.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Kelelawar tanpa sayap telah merobohkan seluruh ruangan
kuil itu hingga ambruk dan hancur, itu berarti semua bekas pertarungan, semua petunjuk
yang tertinggal ikut tertutup dibalik puing bangunan yang roboh.
Dipandang dari sudut mana pun, tempat itu tak lebih hanya berupa sebuah bangunan roboh,
siapa pun tak bakal curiga kalau dibawah puing bangunan terdapat ruang rahasia bawah tanah
yang lebih menyeramkan daripada neraka jahanam.
Lui Sin menghentikan langkahnya diujung serambi, gumamnya:
"Bekas kaki terhenti sampai disini, selanjutnya mereka pasti melewati halaman dengan semak
lebat itu . . . . . .."
"Tapi sebenarnya dia hendak ke mana?" tanya Han Seng.
"Diseberang sana merupakan sebuah bangunan kuil yang sudah roboh, tak ada alasan dia pergi
ke sana" "Rumput ilalang dan semak yang tumbuh dihalaman sini jauh lebih tinggi dan lebat daripada
didepan sana" ujar Suma Tang-shia, "andaikata orang yang mengundangnya bersembunyi dibalik
semak lalu membokongnya secara tiba tiba, hal ini bisa dia lakukan dengan mudah sekali"
Mendengar itu Lui Sin segera berkerut kening.
"Maksud nona, orang itu turun tangan disini lalu membawa hong-ji pergi dari tempat ini?"
tanya Han Seng. Suma Tang-shia mengangguk.
"Tempat ini jelas bukan tempat persembunyian, ini berarti tak mungkin ada orang yang
tinggal disini" katanya.
"Itulah sebabnya lapisan debu ditempat ini amat tebal" Siau Jit menambahkan.
Han Seng menghela napas panjang.
II "Aaai, bicara soal kuil kuno, hanya disinilah tempatnya keluhnya murung.
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tak tahan kembali dia menghela napas
panjang. Tiba tiba Lui Sin melompat turun ke tengah halaman, teriaknya keras keras:
"Hong-ji . . . . . . . . . .."
Ditengah keheningan malam, suara teriakan itu kedengaran nyaring sekali dan bergaung
sampai ke tempat yang jauh, namun tiada jawaban.
Lui Sin tidak berteriak untuk kedua kalinya, karena teriakan pertama sudah lebih dari
cukup, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri termangu tanpa bergerak.
Sepasang tangannya mulai gemetar, menyusul kemudian sekujur badannya ikut gemetar.
Lampion yang berada dalam genggamannya tampak bergetar keras, cahaya pucat yang memancar
diwajahnya membiaskan raut muka yang putih tanpa rona darah.
Cepat Han Seng menyusul ke sampingnya sambil menghibur:
"Toako, Hong-ji panjang usia dan selalu dilindungi Thian, aku rasa meski dia terjebak
ditangan orang jahat, nyawanya tak bakal terancam"
Lui Sin tertawa sedih. "Dalam keadaan seperti ini, apa gunanya kau berusaha menghiburku?"
Han Seng terbungkam, tak sanggup berkata.
Kembali Lui Sin melanjutkan:
"Mati hidup ada ditangan Thian, seandainya Hong-ji kehilangan nyawa pun aku tak bisa
berbuat apa apa" Dalam keadaan seperti ini ternyata dia masih mampu tertawa, katanya lagi sambil menepuk
bahu Han Seng: "Toako mu sudah puluhan tahun hidup bermandikan darah, mati hidup sudah bukan ganjalan
lagi bagiku, saudaraku, kau tak usah kelewat kuatir"
Han Seng manggut-manggut.
"Andaikata Hong-ji benar benar menjumpai mara bahaya, kita berdua segera pergi mencari
pembunuh itu dan membuat perhitungan" janjinya.
"Memang seharusnya begitu" Lui Sin tertawa tergelak, nada suaranya sangat menyedihkan.
"Mari kita periksa dibagian luar saja" ajak Suma Tang-shia tiba tiba, "siapa tahu didepan
sana kita akan temukan petunjuk yang berharga"
Sambil berpegangan tangan Siau Jit, dia berjalan masuk ke balik semak belukar.
Sekali lagi Lui Sin dan Han Seng bergerak maju, dibawah cahaya rembulan yang pucat,
rombongan itu bergerak ditengah semak bagaikan sukma sukma gentayangan.
Saat itu malam semakin kelam, suasana makin gelap mencekam.
Sesaat lagi fajar akan menyingsing, inilah saat paling gelap sepanjang hari.
Oo0oo Waktu itu, kegelapan malam mencekam seluruh kota Lokyang.
Saat seperti ini, kebanyakan orang sudah terlelap tidur, meski Lokyang merupakan kota
ramai, namun cahaya lentera yang menyinari sudut kota saat ini amat minim dan redup.
Tentu saja terkecuali suasana diseputar perusahaan ekspedisi Tin-wan piaukiok.
Cahaya lentera menyinari seluruh pelosok bangunan perusahaan membuat suasana disitu terang
benderang, kawanan piausu, pembantu, pelayan berjalan mondar mandir melaksanakan tugas
masing masing, suasana cukup ramai.
Ada yang membereskan jenasah rekannya, ada yang melakukan patroli sambil bersiap siaga,
ada pula yang menyampaikan kabar duka kepada para sanak anggota piausu yang tewas ditangan
Ong Bu-shia serta Kelelawar tanpa sayap hari itu.
Meski begitu, sama sekali tak nampak kekacauan disana, didikan serta disiplin tinggi yang
diterapkan Lui Sin serta Han Seng dihari hari biasa membuat mereka bersikap dan bertindak
teratur. Pintu gerbang perusahaan terbuka lebar, dua tiga orang piausu meronda diseputar sana,
sementara si pengurus rumah tangga Lui Ang berjaga seorang diri disitu.
Dia menyaksikan Lui Hong tumbuh dewasa, selama ini dia pun selalu menganggap dirinya
sebagai kakek gadis itu, karenanya sama seperti Lui Sin sekalian, dia amat menguatirkan
keselamatan gadis itu. Bila sampai malam nanti belum juga ada kabar berita tentang Lui Hong, mungkin sulit
baginya untuk tidur nyenyak.
Dengan perasaan tak tenang ia berjalan mondar mandir diseputar pintu gerbang, berulang
kali ia melongok ke arah ujung jalan, berharap bisa melihat Lui Sin mengajak pulang Lui
Hong dalam keadaan selamat tanpa kekurangan sesuatu apa pun.
Malam semakin larut, udara terasa makin dingin, hembusan angin mengibarkan rambutnya yang
telah beruban, dibawah sinar lentera, kerutan diwajahnya tampak lebih nyata dan jelas.
Dalam berapa jam saja dia seolah sudah bertambah tua berapa tahun.
Rasa cemas, kuatir, tegang memang paling gampang membuat seseorang bertambah tua.
Tiada manusia yang berlalu lalang ditengah jalan, hanya berapa lembar daun kering
bergulingan diatas lantai beralas batu hijau, dimainkan hembusan angin.
Tiba tiba terdengar suara gonggongan anjing menggema membelah keheningan, tapi dengan
cepat suasana jadi hening kembali.
Bersamaan dengan berhentinya suara gonggongan, sebuah lampu lampion muncul disudut jalan.
Lampion dengan cahaya api berwarna hijau muda, bagaikan segumpal api setan, melayang,
melambung ditengah jalan raya.
Disusul kemudian muncul sesosok tubuh manusia.
Seorang gadis muda dengan kepala tertunduk berdiri bagai segumpal asap dibawah cahaya
lentera, dia mengenakan pakaian berwarna putih.
Lampu lentera berada dalam genggaman tangan kirinya sementara tangan kanannya
disembunyikan dibalik pakaian.
Cahaya lentera menerangi wajahnya, tapi setengah dari mukanya tertutup oleh rambut
panjangnya yang hitam lekat.
Kini rambutnya sudah terurai kebawah, terurai bagai aliran air terjun, setengah menutupi
bahunya, setengah yang lain menutup sebagian mukanya.
Gerak gerik perempuan itu tidak cepat, tapi tidak pula lambat, dia tidak mirip sedang
berjalan, pada hakekatnya seperti lagi melayang ditengah udara.
Sama sekali tak ada hawa kehidupan, tiada hawa manusia barang secuwil pun.
Lui Ang pun mendengar suara lolongan anjing itu, justru karena mendengar suara lolongan,
ia baru berjalan keluar dari balik pintu gerbang.
Maka diapun menyaksikan lampu lampion itu, melihat gadis tersebut, satu ingatan yang
sangat aneh melintas dalam benaknya.
Manusia atau setankah perempuan muda itu"
Bahkan dia sendiripun merasa keheranan, mengapa ingatan semacam itu bisa melintas dalam
benaknya" Tapi dalam kenyataan, seorang gadis muda dengan dandanan semacam itu, membawa lamion,
kemudian dalam suasana seperti ini muncul diujung jalan raya, bagaimana pun pemandangan
semacam ini gampang menimbulkan kecurigaan dan keraguan orang lain.
Memandang bayangan wanita itu, mendadak Lui Ang merasa seakan pernah kenal, dia tidak
mundur ke dalam pintu tapi tetap berdiri ditempat semula, menyaksikan gadis itu berjalan
mendekat. Walaupun didalam kenyataan gadis itu sedang berjalan menelusuri jalan raya, entah mengapa,
Lui Ang merasa gadis itu sedang berjalan menuju ke pintu gerbang perusahaannya.
Mau apa dia datang ke piaukiok ditengah malam buta begini"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, gadis itu sudah tiba didepan pintu piaukiok,
bahkan perlahan-lahan membalikkan badan berjalan menuju ke undak-undakan didepan pintu
gerbang. Lui Ang merasakan jantungnya berdebar makin keras.
Asal dia berteriak, kawanan piausu yang berada dalam kantor pasti akan berhamburan keluar,
tapi saat itu dia seolah kehilangan pikiran, hatinya kalut, panik dan sama sekali tak tahu
apa yang harus dilakukan, orang tua itu hanya mengawasi gadis tersebut mendekatinya
selangkah demi selangkah.
Perasaan pernah mengenal makin lama semakin bertambah kental dan kuat.
Akhirnya dibawah cahaya lentera, ia dapat melihat raut muka gadis itu, si nona berdiri
persis satu meter dihadapannya, berdiri dengan kepala tetap tertunduk.
Sekonyong-konyong Lui Ang merasakan hatinya bergidik, bulu kuduknya bangun berdiri.
Perasaan seram, bergidik itu seolah timbul dari dasar hatinya yang paling dalam, tapi
seperti juga timbul dari tubuh gadis itu.
Akhirnya Lui Ang tak kuasa menahan diri, sapanya:
"Nona, kau . . . . . . .."
Nona itu menghela napas sedih.
Ucapan Lui Ang seketika terpotong, hatinya makin bergidik, sesaat kemudian ia baru
bertanya lagi: "Apakah nona ada keperluan di kantor piaukiok kami?"
" Ehmm! " "Boleh tahu ada urusan apa?"
Untuk kesekian kalinya gadis itu menghela napas, ia sama sekali tidak menjawab.
"Lohu Lui Ang, pengurus rumah tangga sini, bila nona ada urusan atau ingin mencari
seseorang, katakan saja kepadaku, biar kulaporkan kedatangan nona ke dalam"
Gadis itu menghela napas sedih.
II "Pengurus tua bisiknya, "masa kau sudah tak kenal lagi dengan diriku?"
Nadanya sedih, penuh kepedihan yang mendalam.
Lui Ang makin keheranan. "Sebetulnya nona adalah . . . . . . .."
Belum habis dia bertanya, gadis itu sudah mendongakkan kepalanya, walaupun masih tertutup
sebagian oleh rambutnya yang panjang, namun dibawah cahaya lentera, raut mukanya dapat
terlihat dengan sangat jelas.
Ternyata gadis itu tak lain adalah Lui Hong!
Nyaris Lui Ang melompat setinggi satu meter dari permukaan tanah, dalam waktu sekejap dia
sendiripun tak tahu harus berteriak kegirangan atau menjerit kaget.
Sekujur badannya gemetar keras, suaranya gemetar jauh lebih hebat, bisiknya:
"Kenapa . . . . .. kenapa bisa kau nona?"
Kemudian diapun dapat melihat paras muka Lui Hong dengan sangat jelas, dapat melihat pula
perubahan mimik mukanya. Paras muka Lui Hong saat itu pucat pasi bagai mayat, entah karena silau oleh pantulan
cahaya lentera atau memang sama sekali tak ada rona darah ditubuhnya.
Dia berdiri dengan mata melotot, terbelalak lebar, perasaan seram, ngeri terpancar dari
balik kelopak matanya. Tatapan ngeri itu seakan sudah mengakar, biji matanya seolah sudah membeku dibalik kelopak
matanya yang kaku, sama sekali tiada hawa kehidupan.
Seluruh wajahnya kaku, seluruh tubuhnya sama sekali tiada hawa kehidupan.
Lui Ang menyaksikan Lui Hong tumbuh hingga dewasa, namun selama ini belum pernah ia jumpai
mimik muka si nona seseram itu, belum pernah menyaksikan wajahnya tampil begitu
menakutkan. "Nona... kau . . . . .. sebenarnya kenapa kau?" tak tahan tanyanya.
Lui Hong tidak menjawab, mimik mukanya sama sekali tak berubah.
Lui Ang tak dapat menahan diri, kembali tanyanya:
"Sebenarnya kau telah pergi ke mana?"
"Ke temat yang sangat jauh!" jawaban Lui Hong kedengaran berasal dari tempat yang amat
jauh. "Untung kau telah pulang dengan selamat, tahukah kau, betapa cemas dan paniknya ayahmu"
Lui Hong menghela napas sedih.
"Aku tahu, ayahku sangat menguatirkan diriku, itulah sebabnya walaupun aku tak bisa pulang
dalam keadaan utuh, tapi sebagian tubuhku telah pulang kemari"
Lui Ang terperangah, melongo karena ucapan tersebut.
Ia betul betul tak paham dengan ucapan Lui Hong, tapi dengan cepat orang tua itu mengerti.
Terdengar Lui Hong berkata lagi:
"Inilah kepala ku, harap kau terima dengan baik"
Sambil berkata, gadis itu mencopot batok kepalanya dari badan lalu disodorkan kehadapan
Lui Ang. Tanpa sadar Lui Ang menyambut sodoran itu, setelah batok kepala itu berada dalam
genggaman, ia baru merasa ngeri dan ketakutan.
"Setannn . . . . ..!" jeritnya keras keras, sukma serasa melayang tinggalkan raga, sambil
memegang batok kepala Lui Hong, ia jatuh terduduk ke tanah, matanya membalik dan seketika
jatuh tak sadarkan diri. Cahaya yang memancar dari lentera ditangan Lui Hong pun ikut padam seketika.
Bersamaan dengan padamnya lampion itu, sinar lentera didepan piaukiok ikut mati, seketika
suasana ditempat itu berubah jadi gelap gulita.
Tubuh Lui Hong yang tak berkepala pun ikut lenyap tak berbekas dibalik kegelapan.
Tang Bu dan Ciu Liong dua orang piausu sedang meronda di lapangan berlatih dalam gedung
piaukiok sehabis pulang menghantar jenasah saudara saudaranya yang tewas.
Walaupun mereka berada tak jauh dari pintu gerbang, namun tak mendengar pembicaraan antara
Lui Ang dengan Lui Hong, namun sempat mendengar teriakan aneh dari pengurus tua itu.
Tentu saja mereka pun dapat mendengar kalau suara teriakan itu sangat aneh dan tidak
biasa. "Siapa yang sedang berteriak?" seru Tang Bu tanpa sadar.
"Mirip suara empek Ang" Ciu Liong sendiripun merasa tidak begitu yakin.
Lui Ang menjerit aneh dalam kondisi kaget, ngeri dan ketakutan, tentu saja suara
teriakannya jauh berbeda dengan keadaan biasa.
"Bukankah empek Ang sedang berjaga di pintu gerbang?" tanya Tang Bu dengan kening
berkerut. "Hah.... jangan jangan diluar pintu gerbang telah terjadi sesuatu!" sambil berseru, Ciu
Liong meloloskan golok panjangnya dan lari menuju ke pintu gerbang dengan kecepatan
tinggi. Tang Bu tak berani berayal, dia ikut meloloskan senjata kaitannya dan menyerbu keluar.
Berapa orang piausu dalam gedung yang menyaksikan hal itu segera tahu kalau telah terjadi
sesuatu, serentak mereka menggembol senjata dan ikut meluruk ke depan.
Dalam berapa kali lomatan Tang Bu serta Ciu Liong telah keluar dari pintu gerbang.
Dalam berapa kali lomatan Tang Bu serta Ciu Liong telah keluar dari pintu gerbang.
"Empek Ang!" teriak Ciu Liong.
Tak ada jawaban, suasana tetap hening, tak berayal dia menyiapkan goloknya sembari
menerjang makin ke depan.
Tang Bu kuatir temannya dicelakai orang, sambil memutar sepasang senjata kaitannya, dia
ikut menyusul dari belakang.
Tiba diluar pintu gerbang, mereka jumpai Lui Ang jatuh tak sadarkan diri diatas tanah,
mereka pun melihat batok kepala manusia yang berada ditangan orang tua itu.
"Kepala manusia!" jerit Ciu Liong sambil celingukan ke sekeliling tempat itu.
Cepat Tang Bu menyulut obor, begitu sinar terang memancar keluar, paras mukanya kontan
berubah hebat, jeritnya: "Batok kepala siocia!"
"Apa!" teriak Tang Bu dengan wajah berubah, cepat dia menengok ke arah batok kepala itu.
Kembali paras mukanya berubah, tiba tiba teriaknya lagi:
"Lihat, diatas tembok pagar berdiri seseorang!"
Mengikuti arah yang ditunjuk, Tang Bu ikut melongok, betul juga diatas dinding tembok
sebelah timur, lamat lamat tampak seseorang berdiri tegak disana.
"Cepat ambil lentera!" teriaknya keras keras.
Seorang piausu yang menyusul datang kebetulan membawa sebuah lentera, mendengar teriakan
itu, dia segera menyodorkan lenteranya.
Dengan cepat Ciu Liong sambar lentera itu, kemudian dengan tangan kiri membawa lampu,
tangan kanan membawa golok, dia berlarian menuju ke arah dinding sebelah timur.
Tang Bu serta kawanan piausu lainnya segera mengejar dari belakang, paras muka setiap


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berubah jadi amat tegang dan serius.
Dengan cepat Ciu Liong telah tiba disamping bayangan manusia itu, ia saksikan orang itu
mengenakan baju berwarna putih salju, ditinjau dari postur badan, seharusnya dia adalah
seorang wanita. Semenjak masih berada ditempat kejauhan, Ciu Liong sudah merasakan kalau orang itu seperti
kekurangan sesuatu, tanpa berjalan semakin dekat pun dia sudah melihat dengan jelas bahwa
wanita itu kehilangan batok kepalanya.
Untuk sesaat jagoan ini berdiri tertegun, perasaan bergidik, ngeri menyelimuti hatinya.
Sementara itu Tang Bu telah menghampirinya, dengan suara parau bisiknya:
"Apa . . . . .. apakah tubuh itu adalah jenasah . . . . .. jenasah siocia?"
"Mu..... mungkin . . . . . . .. mungkin begitu" nada suara Ciu Liong ikut berubah agak aneh.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Sambil tertawa getir Ciu Liong menggeleng.
"Yang pasti jenasah itu tak mungkin bisa balik sendiri bukan" ujar Tang Bu lagi dengan
suara berat. "Tentu saja!" Ciu Liong memegang goloknya makin kencang.
Kawanan piausu yang mendengar pembicaraan itu tan pa sadar ikut membalikkan badan dan
me mperhatikan sekeliling tempat itu.
Suasana di jalan raya amat hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun diseputar sana.
Hembusan angin malam seakan terasa makin dingin, seolah merasuk hingga ke lubuk hati
paling dalam dari setiap orang.
Ciu Liong menyapu lagi sekeliling tempat itu sekejap, kemudian mengalihkan kembali
pandangan matanya keatas jenasah tanpa kepala itu.
Tengkuk bekas tebasan sudah tak ada noda darah lagi, yang ada hanya warna putih pucat
seperti daging bangkai ikan.
Makin dipandang Ciu Liong merasa makin bergidik, dengan susah payah akhirnya berhasil juga
ia menenangkan diri, katanya kemudian:
"Lebih baik kita angkut pulang lebih dulu jenasah ini"
Tang Bu manggut-manggut, sambil menyimpan kembali sepasang kaitannya ia menyahut:
"Biar aku saja yang membopong!"
Dia maju berapa langkah dan membopong mayat perempuan tanpa kepala itu, namun belum sampai
tangannya bersentuhan, tiba tiba saja ia merasa gemetar keras.
Jangankan orang lain, dia sendiripun tak tahu mengapa bisa timbul perasaan ketakutan dan
ngeri semacam itu. Tapi akhirnya dia berhasil juga merangkul mayat tanpa kepala itu, saat itulah tiba tiba
mayat itu bergerak. Tak ampun Tang Bu menjerit sekeras-kerasnya.
Ketika melihat mayat peremuan tak berkepala itu mulai bergerak, para piausu lain pun ikut
tercekat, paras muka mereka berubah hebat.
Menyusul kemudian peristiwa yang terjadi makin seram dan menakutkan!
Mayat itu sama sekali tidak berjalan, pun tidak menerkam kawanan jago, tapi setelah
bergerak, bagian tubuhnya yang semula utuh tahu tahu terbelah dan terurai sama sekali.
Kepingan badan yang terurai itu seketika rontoh dan tersebar keatas tanah!
Dua kutungan kaki, sebuah kutungan lengan, semuanya tercerai belai dari balik bajunya yang
putih, semua kutungan itu berwarna putih pucat, putih bangkai, tak ada darah, bahkan
sedikit rona merah darah pun tak ada.
Tapi yang pasti kutungan tangan kaki itu adalah anggota tubuh manusia, tangan dan kaki
seorang perempuan. Suatu perasaan ngeri dan seram yang tak terlukiskan dengan kata seketika muncul dalam hati
semua orang. Diiringi jeritan kaget yang menggema di empat penjuru, Ciu Liong mundur selangkah dengan
wajah berubah. Sebaliknya Tang Bu masih berdiri ditempat semula, tampaknya tenaga untuk mundur pun sudah
tak dimiliki lagi, sekujur tubuhnya gemetar keras.
Anehnya, bahkan dia sendiripun keheranan, ternyata ia tidak sampai muntah karena mual,
tidak pula jatuh tak sadarkan diri.
Setelah jeritan kaget mulai sirap, suasana hening kembali mencekam sekeliling tempat itu.
Entah berapa lama kemudian, Ciu Liong baru berbisik:
"Perbuatan siapakah yang begitu kejam dan sadis?"
"Dimana pula lengan kanannya?" sambung Tang Bu.
Dia mencoba berjongkok lalu merogoh ke dalam baju sebelah kanan mayat itu.
Tiada lengan dibalik pakaian itu, ternyata lengan kanan sebatas ketiak mayat itu telah
hilang lenyap tak berbekas.
Lalu ke mana larinya lengan itu"
Tang Bu mencoba memeriksa sekeliling sana, lengan kanan itu sama sekali tak dijumpai
disitu. Serentak para piausu menyebarkan diri, mulai melakukan pencarian disekeliling tempat itu,
namun walau sudah dicari sampai jauh pun, kutungan lengan itu tidak ditemukan juga.
Saat itulah mereka mendengar ada orang berteriak keras:
"Siocia . . . . . . . .."
suara Lui Ang, ia sudah tersadar kembali, sambil membopong batok kepala
Lui Hong, berjalan menuruni undakan batu dengan tertatih-tatih.
Tanpa sadar Tang Bu dan Ciu Liong maju menghampiri, buru buru tanyanya:
"Empek Ang, sebenarnya apa yang telah kau lihat?"
"Siocia, aku melihat siocia!" seru Lui Ang.
Suaranya masih gemetar keras, pada hakekatnya sama sekali tak mirip dengan suaranya.
"Kenapa dengan siocia?" desak Tang Bu.
"Dia berjalan menuju ke sampingku, mengajakku berbicara, kemudian mencopot batok kepalanya
dan diserahkan kepadaku!"
"Empek Ang, kau bicara jujur?" tegur Ciu Liong dengan wajah hijau membesi.
Tentu saja diapun dapat melihat kalau Lui Ang tidak sedang berbohong, namun toh dia tak
tahan untuk mengajukan pertanyaan tersebut.
"Aku tidak bohong" jawab Lui Ang cepat, "atau mungkin mataku sudah agak lamur . . . . ..
mungkin mataku lamur . . . . .."
Bicara sampai disitu tubuhnya gemetar makin kencang, dua deret air mata jatuh berlinang
membasahi pipinya yang berkeriput.
Batok kepala itu masih berada dalam bopongannya, tentu diapun tahu kalau pandangan matanya
tidak lamur. Namun sampai mati pun dia tak mau percaya bahwa apa yang dialami sekarang merupakan
kenyataan. Perasaan hatinya kini sakit dan pedih bagai diiris-iris dengan pisau tajam, sedihnya bukan
kepalang. "Empek Ang" Tang Bu ikut menimbrung, "sewaktu melihat siocia datang mendekat, apakah dia
muncul dengan dandanan seperti itu?"
Sambil berkata ia menuding mayat tanpa kepala itu.
Mengikuti yang dituding Lui Ang berpaling, tapi begitu menyaksikan mayat tanpa kepala itu,
lagi lagi matanya membalik lalu jatuh tak sadarkan diri.
Buru buru Tang Bu memayang badannya dengan wajah pucat bagai kertas, paras muka Ciu Liong
pun ikut berubah sangat tak sedap dipandang.
Kendatipun Lui Ang tidak menyangkal maupun mengiakan, namun dari reaksi yang diperlihatkan
setelah menyaksikan mayat tanpa kepala itu, dapat disimpulkan bahwa dandanan Lui Hong
sewaktu menamakkan diri tadi memang demikian.
Sesosok mayat yang terpengkal jadi berapa bagian bukan saja dapat pulang sendiri, bahkan
dapat pula berbicara, peristiwa semacam ini benar benar diluar pemikiran normal bahkan
sama sekali tak masuk akal.
Tak heran kalau peristiwa ini terasa menyeramkan, sangat menakutkan!
Oo0oo Fajar hampir menyingsing, kabut tebal menyelimuti permukaan tanah, membuat suasana terasa
remang-remang. Kereta kuda berlarian kencang menelusuri jalan raya, setengah li di luar kota Lok-yang.
Walaupun merasa agak letih, Siau Jit tetap duduk dengan badan tegak lurus, alis matanya
selalu berkernyit menandakan ada masalah besar yang sedang dia pikirkan.
Dibelakang kereta mengikuti belasan ekor kuda, diatas pelana kuda terikat sosok mayat yang
telah mulai kaku, yang diurusi berapa orang piausu.
Beberapa orang itu tampak sedih dan letih, perasaan berduka bercampur gusar menyelimuti
wajah setiap orang. Semenjak diresmikan, perusahaan ekspedisi Tin-wan piaukiok baru pertama kali ini menderita
kerugian dan kematian yang paling parah.
Tentu saja orang yang paling berat perasaan hatinya adalah Lui Sin, ia melarikan kudanya
dipaling depan, tubuhnya tampak agak membungkuk, peristiwa yang baru terjadi seolah
membuat usianya bertambah tua berapa tahun.
Han Seng mengikuti dibelakang Lui Sin, dia membungkam dalam seribu bahasa, karena dia tak
tahu harus berbicara apa.
Perasaan kedua orang itu sangat berat dan murung, tanpa terasa lari kuda pun ikut
bertambah lambat. Mendadak dari hadapan mereka berkumandang suara yang sangat aneh, suara itu muncul dari
balik sebuah tikungan jalan.
Lui Sin segera menyadari akan hal itu, tegurnya:
"Suara apa itu?"
"Suara orang yang berjalan dengan tongkat" sahut Han Seng cepat.
"Oooh....." dia tidak melanjutkan perkataannya karena telah melihat orang tersebut.
Seorang kakek beruban. Kakek itu cukup tua, rambutnya putih beruban, wajahnya penuh keriput, matanya membalik
keatas hingga tampak putihnya saja, ternyata seorang kakek buta.
Ditangan kirinya kakek itu memegang sebuah tongkat bambu, tongkat itu digunakan untuk
menutul tanah, "Tok,tok, tok....." selangkah demi selangkah berjalan ke depan.
Ia berjalan langsung menyongsong kedatangan Lui Sin.
"Ooh, seorang kakek buta" ujar Han Seng setelah melirik sekejap.
"Ehmm" Lui Sin segera menarik tali les kudanya.
Mereka sama sekali tak kenal dengan kakek buta itu, tapi seandainya Ciu Kiok berada
disitu, dia pasti akan menjerit kaget setelah berjumpa dengan kakek buta ini.
Kakek itu tak lain adalah si Kelelawar!
Kelelawar tanpa sayap!! Tentu saja diapun merasakan juga datangnya seseorang, sambil menghentikan langkah kakinya
tiba tiba ia menegur: "Loya yang baik hati, tolonglah aku si buta tua"
"Orang tua, apa yang kau butuhkan?" tanya Lui Sin.
"Sebenarnya aku berada dimana sekarang?"
"Jalan raya di kota barat"
"Ooh Thian, kenapa aku bisa sampai disini?" seru si Kelelawar, "Loya yang baik hati,
berbuatlah kebaikan, tolong bimbinglah aku si buta agar bisa duduk ditepi jalan"
Tanpa curiga Lui Sin melompat turun dari kuda dan berjalan menghampiri.
Han Seng tidak mencegah, dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan dengan kakek buta
itu, lagian diapun menganggap Lui Sin patut melakukan permintaan itu.
Lui Sin berjalan menghampiri kakek buta itu sambil berseru:
"Kemaril" sambil berkata ia menjulurkan tangan kirinya.
Bersamaan waktu, si Kelelawar menjulurkan pula tangan kanannya.
Dengan cepat Lui Sin telah menggenggam tangan kanannya, tapi dengan cepat ia merasa
hatinya bergidik. Lengan si Kelelawar pada hakekatnya lebih dingin dari bongkahan es, lebih beku dari salju
kutub. Yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah lengan itu ternyata halus dan mulus, sama
sekali tak mirip dengan lengan seorang kakek berusia lanjut.
Lengan seorang lelaki tak mungkin sedemikian lembut dan halus.
Tanpa terasa sorot matanya dialihkan keatas lengan itu, kini dia baru melihat dengan jelas
kalau lengan tersebut adalah lengan seorang wanita. Tak kuasa lagi jeritnya:
II "Lenganmu ini . . . . . . ..
"Indah bukan?" tanya si Kelelawar sambil tertawa.
"Indah!" jawab Lui Sin tanpa sadar.
Si Kelelawar segera tertawa terkekeh.
"Kalau memang merasa indah, bagaimana kalau kusumbangkan untukmu?"
"Berikan untukku?" tanya Lui Sin tercengang.
"Perkataan seorang lelaki ibarat kuda yang dicambuk, tak akan terkejar kembali"
Selesai berkata dia tarik kembali tangan itu, kemudian ketika dijulurkan keluar lagi,
tangan itu sudah terlepas dari badannya.
Kali ini Lui Sin bersin berulang kali karena bergidik, sekali lagi sinar matanya dialihkan
keatas lengan itu. Lengan itu dipapas kutung sebatas ketiak, sama sekali tak nampak rona darah, dekat sikut
terlihat sebuah "toh" berwarna merah hati.
Tatapan mata Lui Sin tertuju keatas tanda hati berwarna merah darah itu, menatapnya tanpa
berkedip. Tiba tiba saja tubuhnya gemetar, gemetar keras sekali.
Han Seng yang menyaksikan kejadian itu kontan berseru:
"Bukankah diatas lengan kanan Hong-ji terdapat pula sebuah tanda merah berbentuk hati?"
"Benar, mirip sekali"
Dari balik mata si Kelelawar yang putih tiba tiba muncul biji mata, biji mata berwarna
hijau tua, biji mata menyerupai api setan yang menatap Lui Sin. Tanyanya sambil tertawa:
"Masa lengan milik putri sendiri pun tidak kau kenali?"
"Apa kau bilang?" teriak Lui Sin dengan wajah berubah.
"Masa sampai sekarang kau masih menyangka lengan ini adalah lenganku?" kembali si
Kelelawar mengejek, selesai berkata sebuah lengan kanan muncul lagi dari balik bajunya.
Lengan kanan berbentuk cakar burung.
Paras muka Lui Sin berubah menakutkan, bentaknya:
"Apa kau bilang?"
"Dia bilang, lengan itu adalah lengan milik Hong-ji!" seru Han Seng menimali.
Sepasang mata Lui Sin terbelalak lebar, biji matanya melotot keluar, sambil menatap si
Kelelawar tegurnya: "Siapa kau sebenarnya" Kenapa lengan milik putriku bisa berada ditanganmu?"
"Siapakah aku" Masa kau tidak tahu?" si Kelelawar tertawa aneh.
Dengan satu gerakan cepat dia melukis seeekor Kelelawar diatas tanah dengan tongkat
bambunya, bahkan Kelelawar itu digambarkan sedang menghadap ke arah Lui Sin.
Berubah makin hebat paras muka Lui Sin, khususnya setelah melihat lukisan itu, teriaknya
tertahan: "Kelelawarl" "Hahaha, betul sekali, akulah si Kelelawar" sahut kakek itu sambil tertawa aneh.
Han Seng segera mencabut pedangnya, tapi pada saat yang bersamaan si Kelelawar telah
melempar tongkat bambunya ke depan, persis menghantam gagang pedang itu.
"Triiing!" baru saja pedang itu tercabut tiga inci dari sarungnya, tongkat bambu itu sudah
menumbuk diatas gagang pedang tadi hingga tersarung kembali.
Tak terlukiskan rasa kaget Han Seng menjumpai kejadi an ini.
Terdengar si Kelelawar berkata lagi sambil tertawa:
"Biarpun tak bersayap, aku tetap bisa terbang!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dia sudah rentangkan sepasang tangannya dan
melambung ke udara. Tubuhnya langsung meluncur naik keatas sebatang pohon besar yang tumbuh disisi jalan.
"Kelelawar tanpa sayap! Hadang dia!" bentak Han Seng nyaring, sekali lagi dia mencabut
pedangnya dan meluncur kearah si Kelelawar bagaikan anak panah yang terlepas dari busur.
Sekilas cahaya pedang melintas pula dari sisi tubuhnya bagai lintasan cahaya petir,
langsung mengancam tubuh si Kelelawar.
Pedang pemutus usus milik Siau Jit!
Rupanya dia sudah muncul disitu, mendengarkan semua pembicaraan, menyaksikan semua adegan,
ketika Han Seng berteriak: "Hadang dia!" pedangnya sudah diloloskan dari sarung, tubuh
Rahasia Hiolo Kumala 3 Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Relikui Kematian 2
^