Pencarian

Rahasia Hiolo Kumala 3

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long Bagian 3


Dalam permainan silat orang memang tak bisa berpura pura, maka berbareng dengan
selesainya ucapan itu, terjadilah tiga kali benturan pedang yang amat nyaring, disusul
kemudian serentetan cahaya putih meluncur ke angkasa kemudian meluncur ke arah sebatang pohon besar
enam tujuh kaki dari arena pertarungan, ketika menancap di atas dahan, gagang
pedangnya masih bergetar keras tiada hentinya.
Selesai memukul rontok senjata musuh, Hoa In-liong masukkan kembali pedangnya ke
dalam sarung kemudian sambil memandang Siau Ciu yang mundur dengan ketakutan, ujarnya
tawa, "Bagaimana" Apakah engkau masih ingin berkeras kepala terus?""
Siau Ciu terbelalak dengan mata lebar, dadanya turun naik dengan tiada
beraturan, dapat diketahui bahwa ia merasa kaget bercampur gusar, sukar dilukiskan perasaan
hatinya waktu itu. Hoa In-liong mendengus dingin, kembali ujarnya, "Terus terang kukatakan kepada
diri Siau-heng bahwa aku Hoa-loji telah mendapat perintah dari ayahku untuk menyelidiki
peristiwa yang menimpa keluarga Suma hingga jadi terang, dan sampai sekarang engkaulah titik
terang yang berhasil kutemukan, mustahil aku Hoa teji bersedia untuk melepaskan engkau
dengan begitu saja, maka jika engkau cerdik dan pandai melihat gelagat, lebih baik
berbicaralah terus terang,
kalau tidak. ..Hmm Hm Kendatipun aku berhati welas, akupun mempunyai kemampuan
untuk melakukan penyiksaan dengan ilmu Ngo-im-soh-hun (panca hawa dingin pembetot
sukma) serta Ban-gi-coan.sim (selaksa semut menerobos Hati) yang akhirnya toh bisa memaksa
kau untuk menjawab sejujurnya.... bagaimana" Kau lebih mendengarkan anjuranku ataukah tetap
bersikeras?" Siau Ciu memutar sepasang biji matanya, kemudian menjengek dengan
nada dingin. "Heeehh...heeehhh heeehh.... sudah lama kudengar keluarga Hoa dari bukit Im-tiong-
san berbudi luhur, berjiwa besar dan berpribadi seorang ksatria, tapi setelah bertemu hari
ini, aku jadi ketawa dan benar-benar kectawa sekali...."
"Eeeh, hati-hati kalau berbicara!" tukas Hoa In-liong memperingatkan, "jangan
sembarangan ngomong sehingga tidak akan sampai tersambar petir, Kalau sampai terjadi begitu,
itu namanya mencari penyakit buat diri sendiri.."
Siau Ciu mendengus dingin.
73 "Hoa jiya, apakah kau hendak mengandalkan ilmu silatmu yang tinggi untuk memaksa
orang agar menuruti nasehatmu itu?"
Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terbahak-
bahak. "Haaaahhh haaaahh.....haaaahh.... benar-benar selembar mulut yang tajam!" serunya,
"tapi sayang Siau-heng telah salah menilai atas diriku. Ketahuilah bahwa Hoa teji
berbeda dengan orang lain, menghadapi urusan apapun aku lebih menitik beratkan pada suksesnya
tujuan yang harus dicapai daripada segala persoalan yang tetek bengek. Mau menilai aku jujur
boleh saja, mau menilai aku tak tahu diri juga silahkan, aku tak akan ambil peduli apalagi
memikirkan dihati, mengerti saudara Siau?"
Tercekat juga perasaan hati Siau Ciu setelah mendengar perkataan itu, tapi dia
terhitung seorang pemuda yang berjiwa panas juga, tentu saja tak sudi menyerah begitu saja, maka
setelah berhenti sebentar sahutnya ketus, "Aku sudah mengerti, dan soal membegal kuda
maupun membunuh orang sauya sama sekali tidak tahu."
"Benar?" teriak Hoa In-liong terperanjat, sinar tajam memancar keluar dari
matanya. Tiba-tiba Siau Ciu menengadah lalu mendengus.
"Hmm Akupun ingin memberitahukan kepada Hoa-heng, meski aku orang she-Siau tidak
mempunyai asal usul yang tersohor, tidak memiliki ilmu silat yang menggetarkan
sukma, tapi aku mempunyai sifat yang angkuh, apa yang kuucapkan tak pernah diputar balikkan dari
kenyataan." "Haaaah haaaah haaaah......bagus, bagus sekali," Hoa In-liong terbahak-bahak, "lunak
tidak diterima, keras tak ditakuti, kau memang laki-laki sejati. Nah, berhati-
hatilah......" Sebagai keturunan manusia, dalam darah yang mengalir dalam tubuh Hoa In-liong
terdapat kejujuran dan kepolosan Hoa-Thian-hong, namun terdapat pula kekejaman serta
kecerdikan Pek Kun-gi, seringkali perbuatan yang akan dilakukan olehnya menyimpang dari keadaan
yang berlaku pada umumnya. Pada saat itu lengan kanannya sudah diangkat,juri tangannya seperti tombak yang
keras ditunjukkan ke depan sementara tubuhnya selangkah demi selangkah maju mendekati
tubuh Siau Ciu. Gaya serangan dari jari tangannya yang kaku seperti tombak itu aneh dan tidak
umum, jari telunjuknya diluruskan ke depan sementara jari tengahnya ditekuk keadaan ini
aneh sekali. Pada hakekatnya inilah jurus pembukaan dari ilmu Ci yu-jit-ciat (tujuh kupasan
dari Ci-yu), ketika Hoa-Thian-hong baru mempelajarinya belum lama tempo- hari, dengan kepandaian
tersebut ia bisa membuat Yan-san-it-koay dari perkumpulan Hong-im-hwee yang amat tangguh itu
pontangpanting tak karuan (untuk mengetahui cerita ini silahkan membaca: Bara-
Maharani) . Maka ketika dipraktekkan oleh Hoa In-liong sekarang, segera terlihatlah betapa
kacau dan banyak raganya tipu muslihat dibalik serangan tersebut. Tampaknya Siau Ciu tak
akan lolos dari serangan maut tersebut. Tiba-tiba terdengar Wan Hong-giok berteriak dengan suara gemetar.
"Pek-Khi, Pek hey, tahan Tahan Jangan kau lancarkan serangan itu."
74 Sesosok bayangan merah dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat telah menerjang
maju ke depan Hoa In-liong sebera menarik kembali serangannya, dan sekali sambar ia telah
merangkul bayangan merah itu ke dalam pelukannya. "Ada apa?" tegurnya, "perkataan apalagi
yang hendak kau ucapkan keluar?"
Wai- Hong- giok tidak menjawab pertanyaan itu sambil meronta untuk melepaskan
diri dari rangkulan orang, ia berpaling dan serunya dengan gelisah.
"Siau suheng, katakanlah terus terang, apa gunanya kau pikul dosa bagi
kepentingan orang lain."
Penonton biasanya lebih jelas daripada pelakunya, demikian pula halnya dengan
Wan Hong-giok oleh karena pertama ia terdesak oleh hubungannya sesama perguruan, ketika
menyaksikan sikap Hoa In-liong yang aneh dan ilmu silatnya yang tinggi itu, jika serangan tersebut
dilancarkan Siau Ciu benar-benar akan menderita siksaan besar. Kedua mungkin juga nona ini
mengetahui lebih jelas duduknya persoalan, dan ia merasa tak ada gunanya "memikul dosa demi
kepentingan orang lain", ini berarti pula bahwa dibalik ke semuanya itu masih terdapat hal-
hal yang tidak beres. Ketika mendengar ucapan itu, Hoa In-liong segera jadi curiga, dengan tatapan
mata setajam sembilu dia mengawasi Siau Ciu tanpa berkedip. ia sedang menantikan jawabannya.
Apa mau dikata Siau Ciu mempunyai rasa cemburu yang sangat besar, kunci
terpenting dalam masalah ini terletak pada Wan Hong-giok seorang. Andaikata nona itu tidak buru-
buru menubruk ke depan sehingga dirangkul Hoa In-liong ke dalam pelukannya, mungkin perubahan
yang terjadi agak lebih sederhana. Tapi sekarang, setelah Wan- Hong giok terjatuh dalam pelukan mesra laki-laki
lain, hawa cemburu yang terkobar dihati Siau Ciu semakin menebal, dan sikapnya pun jauh
diluar dugaan pula. Siau Ciu berparas tampan dan menarik. diapun berpandangan picik, terlampau
menuruti emosi. Meski asal usul dari ilmu pedang tangan kirinya merupakan suatu teka-teki, namun
yang pasti ilmu silatnya terhitung kelas satu dalam dunia persilatan.
Dia adalah saudara seperguruan dengan Wan Hong-giok dan boleh dibilang sepasang
sejoli yang amat cocok. sayang Wan Hong-giok tidak tertarik oleh suhengnya ini dan setiap
kali justru berusaha untuk menghindari kejaran dari kakak seperguruannya ini.
Untuk kegiatannya itu, Siau Ciu merasa sangat penasaran, apalagi sekarang
setelah dilihatnya Hoa In-liong berparas tampan, asal usulnya populer dan ilmu silatnya lebih tinggi ditambah pula
sumoaynya tidak menolak waktu dirangkul, sebagai seorang pemuda yang
berpandangan picik, tentu saja keadaan ini tak dapat diterima dengan begitu saja olehnya.
Meski demikian sebagai orang yang berpikiran panjang dan mempunyai banyak tipu
muslihat, tak sudi ia utarakan ketidaksenanganya itu dengan jelas, otaknya berputar kemudian
ujarnya dengan dingini "Sumoay, ku suruh aku mengatakan apa?"
"Supek telah berusia lanjut, di hari-hari biasa beliau selalu melarang suheng
untuk jauh meninggalkannya, tapi kali ini demi siaumoay kau telah melanggar perintah guru
dan mengejar ke daratan Tionggoan, aku tahu bahwa engkau tidak mempunyai sangkut pautnya
dengan peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma...."
75 "Jadi sumoay sudah tahu perasaan hatiku?" seru Siau Ciu dengan suara hambar.
"Tentu saja su-moay tahu," sahut Wan Hong-giok dengan kening dikerutkan,
"tapi....tapi...."
"Hmm...... Kalau sumoay sudah tahu itu lebih baik lagi, mari kita pulang ke rumah."
Wan Hong-giok tidak segera menjawab, dia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong,
ketika dilihatnya pemuda itu sedang mengawasi Siau Ciu tanpa berkedip, ia lantas
mengira bahwa pemuda itu sedang mengawasi gerak-gerik kakak seperguruannya.
Dengan hati yang amat gelisah segera katanya, "Tidak bisa Kita tak boleh pulang
dengan begitu saja, Hoa kongcu menaruh kesalahan paham terhadap suheng, ia mengira kau mencuri
kudanya dan membinasakan pula Suma siok-nya, maka sudah sepantasnya jika suheng memberi
penjelasan, kepadanya agar perselisihan dapat dihindari, selain menghilangkan
kesalahan paham tersebut kitapun tak akan mengganggu usaha Hoa kongcu untuk menyelidiki pembunuh
yang sebenarnya." Maksud nona itu dengan perkataannya ini antara lain kesatu, ia memberi kisikan
kepada Hoa Inliong bahwa apa yang telah terjadi hanya suatu kesalahpahaman,
kedua diapun hendak menghilangkan bibit bencana bagi Siau Ciu.
Bagi Hoa In-liong yang berpikiran lebih luas, tentu saja maksud tersebut dapat
diterima olehnya berbeda dengan Siau Ciu, ia sudah terpengaruh oleh nafsu cemburu, arti diri
kata-kata itu justru di maksudkan sebaliknya. Diam-diam ia mendengus dingin, pikirnya, "Bagus! Rupanya kalian sudah seia
sekata, sampai dalam pembicaraanpun saling membela. Hmmm sekalipun aku Siau Ciu tak berhasil
mendapatkan kau, jangan harap kaupun bisa mendapatkan bocah keparat she-Hoa itu,
tunggu saja tanggal mainnya."
Meski dalam hati kecilnya sudah timbul niat jahat, perasaan tersebut tidak
dicerminkan di atas wajahnya, malahan sambil berlagak apa boleh buat ia berkata, "Aaaah baiklah,
mari kita berjabatan tangan dan damai saja."
Sambil merangkap tangannya, dia lalu menjura ke arah Hoa In-liong dari tempat
kejauhan. Hoa In-liong sendiripun dari pembicaraan tersebut dapat menarik kesimpulan bahwa
Siau Ciu baru datang ke daratan Tionggoan, itu berarti bahwa ia tak mungkin ada sangkut
pautnya dengan peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma, ia pun lantas menduga
bahwa dirinya memang sudah menaruh rasa salah paham, siapa tahu kalau kuda Liong-jinya bisa
terjatuh ke tangannya lantaran sebab-sebab lain?"
Kendatipun dia binal dan tak tingkah lakunya, tapi kegagahan serta kebesaran
jiwa keluarga Hoa menurun pula dalam darahnya.
Karena berpendapat demikian, dan lagi Siau Ciu sudah memberi hormat dan bersedia
berjabatan tangan untuk damai, dengan langkah lebar dia lantas menyongsong pemuda tersebut.
"Haah....haaaaah haaaahhh..... bagus.... bagus..... bagus..... Mari kita berjabatan tangan
untuk damai," katanya sambil tertawa tergelak, "asal Siau-heng bersedia untuk
menuturkan hal ikhwal waktu mendapatkan kuda ini, siaute segera akan mengakhiri persoalan hampai
disini saja, 76 apalagi kalau aku bisa menemukan jejak musuhku dari pembicaraan tersebut, siaute


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan lebihlebih merasa berterima kasih lagi."
Seraya berkata ia lantas mengulur tangan kanannya dan siap menggenggam tangan
Siau Ciu. Sekilas senyum licik menghiasi ujung bibir Siau Ciu, katanya pula dengan
berlagak pilon, "Benarkah engkau akan menyudahi persoalan ini sampai disini saja, bila
kuterangkan kisah yang sebenarnya?" Diapun menjulurkan tangannya untuk menyambut telapak tangan lawannya. Ketika dua
tangan saling bertemu, Hoa In-liong manggut-manggut berulang kali.
"Tentu saja, tentu saja siau-te sudah salah menuduh, harap Siau-heng bersedia
memaafkan " Belum habis ucapan tersebut diutarakan, tiba-tiba terdengar Wan Hong-giok
menjerit lengking. "Hei...hati-hati..."
Menyusul teriakan tersebut, bayangan saling menggumul dan salah seorang
diantaranya melancarkan sebuah tendangan yang mengakibatkan orang yang lain mencelat jauh ke
belakang. "Sungguh keji perbuatanmu." teriakan keras- menggema di angkasa.
Wan Hong-giok sangat terkejut, sambil menjerit buru-buru dia lari maju ke depan.
"Siau Ciu memang berhati busuk. rupanya pada jari tengah tangan kanannya
mengenakan sebuah cincin yang besar, ruang tengah dari cincinnya itu kosong dan bersembunyi
jarum beracun. Ketika saling berjabatan tangan tadi, diam-diam ia telah memencet tombol
rahasianya siap membidikkan jarum-jarum mautnya.
Hoa In-liong sama sekali tak menduga sampai kesitu, maka ketika tangan mereka
saling berjabatan tangan mendadak tangan kirinya diangkat menyodok iga kanan musuhnya
sementara jarum maut itu dibidikkan keluar.
Sebenarnya menurut keadaan pada waktu itu, semestinya tiada kesempatan bagi Hoa
In-liong untuk meloloskan diri, apa mau dikata perhitungan manusia tak menangkan
perhitungan langit, Wan Hong-giok segera menyadari kelicikan suhengnya dan Hoa In-liong pun cekatan
dan amat cerdik sekali. Begitu mendengar jeritan, cepat ia memburu maju ke depan, tubuhnya membungkuk
dan telapak tangan kanannya ditekan ke bawah, sementara kaki kanannya tiba-tiba
diangkat ke atas dan menendang tubuh Siau Ciu keras-keras.
Dldalam serangannya itu, ia lancarkan dalam keadaan gusar dan bertenaga besar,
Iagipula tepat menghajar iga sebelah kirinya, seketika itu juga tubuh Siau Ciu mencelat ke
tengah udara tulang iganya patah dua biji, isi perutnya menderita luka parah dan tak bisa dicegah
lagi sambil muntah darah tubuhnya roboh terjengkang di atas tanah dan tak mampu bangkit berdiri
lagi. Hoa In-liong masih penasaran, begitu berhasil menendang musuhnya sampai mencelat
dia segera melompat ke depan, dia siap memburu maju lebih jauh...
77 Untunglah Wan Hong-giok segera memburu ke depan, dia menangkap lengannya, ia
berteriak dengan perasaan ngeri, "Hoa kongcu, tunggu sebentar"
" orang ini terlalu keji dan licik sekali hatinya Hoa teji tak dapat mengampuni
jiwanya!" teriak Hoa In-liong dengan amarah yang meluap-luap.
"Tapi yang penting periksa dulu apakah engkau sudah terkena jarum beracunnya?"
kata Wan Hong-giok dengan gelisah, " ketahuilah bahwa racun yang terdapat di ujung jarum
itu sangat jahat dan tak ada obat penawarnya, bila sampai bertemu dengan darah maka jiwamu
akan terancam mara bahaya." Hoa In-liong mendengus dingin.
"Hmmm Aku Hoa teji tidak mempan diracuni, apalagi jarum beracun macam itu, tak
mungkin bisa mengapa-apakan diriku...."
Lengan kanannya segera digetarkan siap melepaskan diri dari cengkeraman Wan
Hong-giok, apa mau dikata baru saja lengan kanannya digerakkan, ia segera merasakan sikutnya
sudah kesemutan dan kaku, lengan itu tak kuat rasanya untuk digerakkan kembali.
Waktu melancarkan sergapan tadi, Siau Ciu menyerang dari jarak yang sangat
dekat, kendatipun Hoa In-liong cukup cekatan dan tubuhnya terlindung oleh kaus kutang pelindung
badan, namun jarum lembut seperti bulu kerbau yang jumlahnya mencapai dua tiga puluh biting
itu sukar di hindari keseluruhannya, tanpa dirasakan olehnya bahwa ada empat- lima batang
diantaranya sudah menancap dibagian sikutnya.
Wan Hong-giok cukup memahami kelihayan dari racun jarum itu, ketika dilihatnya
paras muka Hoa In-liong agak berubah, ia jadi terperanjat dan buru-buru serunya.
"Bagaimana" Apakah lengan kananmu sudah tak dapat digerakkan lagi?"
Tiba-tiba Siau Ciu tertawa seram, lalu ujarnya pula dengan suara yang
mengerikan, "Sumoay,
racun jarum perguruan kita amat lihay dan siapa yang terkena tak mungkin bisa
ditolong lagi, tunggu saja disitu untuk mengurusi layon Hoa loji."
Dengan sempoyongan dia bangkit berdiri lalu kabur dari situ menuju ke arah
utara. Ketika mendengar seruan tersebut, Wan Hong-giok berpaling, ia saksikan paras
muka Siau Ciu pucat pias seperti mayat, noda darah membasahi dadanya, tak kuasa lagi ia
bangkit dan menyusul dari belakangnya.
"Suheng....Siau suheng... tunggulah aku!" teriaknya keras-keras.
Tapi baru lari sejauh dua kaki, tiba-tiba ia berhenti dan berpaling, teriaknya
pula, "Hoa kongcu, lenganmu...." Sebelum kata-katanya sempit diutarakan keluar air mata bagaikan layang-layang
putus benangnya sudah mengucur ia menangis terisak.
Kasihan memang Wan Hong-giok. posisinya saat itu boleh dibilang serba salah,
disatu pihak Siau Ciu adalah kakak seperguruannya, dilain pihak Hoa In-liong adalah pemuda idaman
hatinya, dan sekarang kedua belah pihak sama-sama terluka, ia jadi bingung dan apa yang harus
dilakukan, menolong kakak seperguruannya ataukah menolong pemuda pujaan hatinya.
78 Hoa In-liong segera menghela napas panjang setelah melihat nona itu menangis
terisak. katanya sambil mengulapkan tangan, "Pergilah suhengmu menderita luka parah yang cukup
parah, pergi dan rawatlah dia." "Dan kau...." bisik Wan Hong-giok sambil menahan isak tangisnya. Hoa In-liong
tertawa tawa. "Aaah... racun jarum itu tak seberapa hebat, tak nanti bisa mencelakai jiwaku,"
katanya. Tapi Wan Hong-giok masih juga menangis tersedu.
"Jarum beracun itu terbuat dari sembilan buah racun lebah ditambah tujuh jenis
tumbuhtumbuhan berbisa, bila terkena darah maka tubuh manusia yang terkena akan
segera mencair" "Haaahh...,haaahhh,....haaahh.... kalau bisa mencair tubuhku telah mencair sedari
tadi. Pergilah Kalau tidak berangkat mulai sekarang, kau akan gagal untuk menyusul dia lagi."
Wan Hong-giok kembali tertegun, dia menatap wajah anak muda itu tajam-tajam,
ditemuinya senyum manis masih menghiasi wajah, kecuali lengan kanannya agak lumpuh, di atas
paras mukanya tidak ditemukan gejala lain yang mencurigakan.
Menyaksikan kesemuanya itu ia jadi setengah percaya setengah tidak. akhirnya
rasa kuatirnya terhadap Siau Ciu mengalahkan segala galanya, maka bisiknya dengan lirih, "Kalau
begitu, baikbaiklah menjaga diri......"
Hoa In-liong ulapkan tangannya berulang kali.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, justru kaulah yang harus bersikap mesra
terhadap suhengmu," katanya sambil tertawa. Rasa murung dan sedih terpancar keluar dari balik tatapan mata Wan Hong-giok,
bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya maksud itu
dibatalkan, mendadak ia putar badan dan berlalu dari tempat.
"Nona Wan," tiba-tiba Hoa In-liong memanggil lagi.
Wan Hong-giok segera berhenti dan berpaling.
"Ada apa?" tanyanya lirih.
"Suhengmu telah lupa membawa pergi pedang pusakanya, bawakan pedang itu
untuknya. Wan Hong-giok menghela nafas sedih, ia berjalan ke bawah pohon besar itu dan
mencabut pedang mustika tersebut, setelah memandang sekejap kea-rah Hoa In-liong dengan
tatapan mesra, dia baru melanjutkan pengejarannya menuju ke arah mana Siau Ciu
melenyapkan diri. Saat itu tengah hari telah menjelang tiba, sang surya memancarkan sinarnya dari
tengah-tengah awang-awang. Memandang bayangan punggung Wan- Hong giok yang lenyap di tempat kejauhan, Hoa
In-liong merasakan hatinya sedih dan murung, tak kuasa lagi dia bersenandung:
"Yang laki cinta apa daya yang perempuan tak tertawa:
79 sedih dan murung hatiku menyaksikan kesemuanya ini....
Bila hati telah bersatu padu,
biar mati-mati dengan hati yang tenang"
Akhirnya ia menghela napas panjang, setelah gelengkan kepalanya, memeriksa
lengan kanannya, perlahan-lahan anak muda itu naik ke punggung kuda Liong-ji dan kembali ke kota
Lok yang. KETIKA tiba kembali di kota Lok-yang, tengah hari sudah menjelang tiba, saat itu
adalah waktu orang bersantap siang, banyak sekali orang yang berlalu lalang masuk keluar dari
dari rumah makan, suasana ramai sekali.
Ketika sang pelayan menyaksikan Hoa In-liong telah kembali, buru-buru maju
menyongsongnya, sambil menerima tali les kuda ia berkata.
"Kongcu, kapan kau meninggalkan rumah penginapan" Ketika tidak melihat kongcuya
bangun kami tak berani mengganggunya, kemudian ketika menemukan kudanya sudah tiada,
kami membuka kamar tidur kongcu-ya, semua orang merasa lebih tercengang lagi setelah
dilihatnya tempat tidur masih teratur rapi dan buntalan masih ada disana."
Hoa In-liong sedang murung dan kesal, ia tidak berniat untuk menjawab, setelah
mendengus la turun dari kudanya dan langsung masuk ke dalam rumah penginapan.
Pelayan itu menyerahkan kuda yang diterimanya itu kepada orang lain, kemudian
mengejar ke depan, katanya lagi, "Dikota ini banyak terdapat gadis-gadis cantik jelita yang
menjual diri untuk mencari sesuap nasi, meski paras mereka cantik jelita tapi selalu menganggap
tingkatannya rendah, kalau aku tahu bila kongcu-ya suka dengan hal ini, cukup kau
memberitahukan kepadaku, aku cu siau-cit pasti...."
Rupanya pelayan itu mengira kalau Hoa In-liong semalam tidak pulang ke rumah
penginapan karena sedang menghibur diri di rumah pelacuran, maka ia hendak menggunakan
kesempatan tersebut untuk mencari keuntungan pribadi. Apa mau di kata baru saja berbicara
sampai ke situ, mendadak dia temukan pakaian yang dikenakan tamunya tidak teratur dan lagi
bagian dada serta punggungnya telah robek. Ini menyebabkan dia jadi tertegun.
Segera tanyanya lagi dengan wajah keheranan, "Eeeh....Kongcu-ya, kenapa keadaanmu
sangat mengenaskan" Apa yang telah terjadi?""
Hoa In-liong jadi amat jemu dengan sikap pelayan ini, dengan agak mendongkol
bentaknya, "Aaah, kamu cerewet amat....."
Kemudian setelah berhenti sebentar, tanyanya pula, "Apakah kemarin malam ada
orang mencari aku?" Mula-mula pelayan itu agak tertegun karena di bentak, menyusul kemudian sambil
membungkukkan badannya ia menyahut, "Oooh... tidak ada, tidak ada...."
"Kalau begitu, kau tak usah cerewet lagi, sana siapkan santapan bagiku dan antar
ke dalam kamar" Pelayan itu tak berani banyak bicara lagi, dia mengiakan berulang kali lalu
mengundurkan diri dari sana. 80 Setelah membersihkan badan, seorang diri Hoa In-liong bersantap dalam kamarnya,
sambil bersantap tanpa terasa dia membayangkan kembali pengalaman yang ditemuinya
semalam. Pertama-tama ia membayangkan kembali diri nyonya Yu, paras muka nyonya tersebut
memang cantik dan ilmu silatnya biasa-biasa saja, ia menyebut dirinya sebagai gundik
Suma Tian-cing, ditinjau dari pengetahuannya tentang gerak-gerik tingkah laku serta kebiasaan
Suma Jin, rasanya soal ini tak perlu dicurigakan lagi.
Tapi secara diam-diam ia telah menyergap dirinya, kemudian menyediakan pula obat
racun yang disembunyikan di dalam peti mati, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
nyonya itu memang sengaja telah disusupkan oleh pembunuhnya untuk melaksanakan tugas tersebut.


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Tiang-cing bergelar Kiu-mia-kiam-khek (jago pedang berjiwa sembilan), bukan
saja ilmu silatnya lihay, pengetahuan maupun pengalamannya luar biasa luasnya, tipu
muslihatnya macam apapun sulit untuk mengelabui ketajaman matanya, tapi nyonya Yu sudah bertahun-
tahun lamanya menyelinap dalam keluarganya, namun ia tak berhasil mengetahui rahasia
tersebut, dari sini dapat diketahui pula bahwa semua rencana itu disusun oleh sang pembunuh
dengan sempurna sekali. "Nyonya Yu ku memang menakutkan sekali, agaknya sudah lama sekali Si pembunuh
itu menentukan dan memerintahkan untuk menyusup ke dalam keluarga Suma-siok-ya,
kalau bukan seorang manusia yang berhati teguh dan berwatak jahat, tak mungkin pembunuh itu
dapat menyusun rencana jangka panjangnya sesempurna ini."
Berpikir sampai disitu, tanpa terasa lagi keringat dingin membasahi seluruh
badan Hoa In-liong, ia merasa jantungnya berdebar keras, dan pemuda ini semakin sadar bahwa
rintangan-rintangan yang bakal ditemuinya akan semakin banyak. bukan suatu pekerjaan yang gampang
baginya untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Sekalipun tidak gampang untuk diselesaikan lantas bagaimana" Suma Tiang-cing
adalah saudara angkat dari kakeknya Hoa-Goan-siu, hubungan mereka lebih akrab dari pada saudara
kandung sekali, sebagai keturunan dari keluarga kenamaan sekalipun tak ada perintah dari
ayah atau neneknya Hoa-loji harus menyelesaikan juga tugas itu sebisa mungkin.
Dia angkat cawan dan menghabiskan isinya, kemudian berpikir lebih jauh, kali ini
ia terbayang kembali akan diri nona baju hitam beserta pembantunya yang misterius.
Menurut pengakuan nona berbaju hitam, orang yang membunuh Suma siok-yanya adalah
seorang pemuda dari marga Ciu, orang itu hanya seorang kepala regu perkumpulan
Hian-bengkau yang tak ada artinya, sedangkan nyonya Yu dikatakan sebagai anak
buah Ciu kongcu itu, setelah dipikir beberapa saat anak muda ini pun merasa bahwa kejadian ini
janggal dan tak masuk di akal. Pertama: orang she Ciu itu disebut kongcu, itu berarti bahwa usianya tidak
terlampau besar, kalau dibilang jauh beberapa tahun berselang Ciu kongcu telah mengutus nyonya Yu
untuk menyusup ke samping Suma Tiang-cing, maka hal ini rasanya tak mungkin terjadi.
Kedua: Ketika akan meninggalkan rumah, ayah dan neneknya telah menyatakan rasa
curiganya terhadap Giok-teng hujin yang ada kemungkinan merupakan otak dari pembunuhan
berdarah itu. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, diapun lantas berpikir, Jangan-jangan
pemimpin perkumpulan Hian-beng-kau adalah Giok-teng hujin dan nyonya Yu diutus Giok-teng
hujin untuk 81 melaksanakan pembunuhan tersebut dan Ciu kongcu paling banter hanya bertugas
untuk mengawasi pelaksanaan dari pembunuhan itu, siapa tahu memang begitulah jalannya
peristiwa" Ia dapat menduga sampai kesitu karena tiba-tiba pemuda itu teringat kembali akan
Hek-ji si kucing hitam yang dipelihara nyonya Yu.
Menurut apa yang diketahui olehnya, Suma siok-yanya suami istrinya terbunuh
ketika tertidur nyenyak. pada tenggorokan mereka terdapat bekas luka seperti digigit oleh
sejenis binatang. Meskipun Hek-ji cuma seekor kucing hitam, tapi cakar dan giginya runcing dan
tajam, gerakgeriknya secepat angin dan pandai sekali bertempur, ditinjau dari
majikannya yakni nyonya Yu
adalah mata-mata yang diutus sang pembunuh untuk menyusup ke dalam keluarga
Suma, maka dapatlah diduga bahwa Hek-ji itulah pelaksana pembunuhan, sedangkan nyonya Yu
adalah pemilik dari binatang pelaksana pembunuhan tersebut.
Sekarang diapun sudah tahu kalau Ciu kongcu masih di kota Lok-yang, maka setelah
berpikir beberapa waktu ia merasa bahwa tindakan yang harus dilaksanakan sekarang adalah
mencari Ciu kongcu seru menyelidiki siapa gerangan "otak" dari pembunuhan itu
Kendati begitu, ia tidak segera melaksanakannya, malahan sambil bertopang dagu
anak muda itu melamun lebih jauh. Sebagai keturunan keluarga Hoa, Hoa In-liong memang gagah dan berjiwa ksatria,
tapi sifatnya yang romantis membuat pemuda ini tak boleh bertemu dengan perempuan cantik.
Tiba-tiba ia teringat kembali akan sikap si nona baju hitam yang bersembunyi
dalam ruang sembahyangan, dari gerak-geriknya nona itu tampaknya sedang menyelidiki rahasia
perkumpulan Hian-beng-kau, dan ia merasa orang itu mempunyai hubungan yang erat dengan
dirinya, ia masih ingat pula dengan perkataan dari Si Nio: Jika kita bunuh bocah keparat
ini, maka keselamatan loya akan tertolong."
Ditinjau dari sini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan ayah dari
nona baju hitam itu terancam bahaya, dan nasibnya cukup memilukan hati.
Sebagai seorang pemuda yang cerdik, hanya menganalisa sebentar saja dia lantas
mengetahui bahwa nona baju hitam itu bukannya tanpa alasan tertentu ketika memberi
keterangan kepadanya. Nona baju hitam itu pernah berkata begini. "Menurut perasaan siau-li, dunia
persilatan sedang menuju perubahan yang amat besar, kematian Suma Tiang-cing tak lebih hanya
korban penasaran pertama yang harus ditanggung demi kepentingan orang lain."
Sekarang kalau dicocokkan kembali dengan pesan dari ibunya, maka rasanya
persoalan ini ada kemiripannya meskipun berlawanan waktunya.
Diapun teringat kembali dengan perbuatan Si Nio yang akan meracuni dirinya serta
mencabut jiwanya, dari masalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nona baju hitam dan
pembantunya di tekan oleh seseorang untuk melakukan pembunuhan tersebut, dan korbannya bukan
dia seorang melainkan setiap anggota keluarga Hoa.
Atau tegasnya ayah dari nona baju hitam ini di sekap orang, bahkan kemungkinan
besar jiwanya terancam, dan mereka berdua dipaksa untuk memusuhi dan membunuh anggota keluarga
Hoa demi menyelamatkan jiwa ayahnya itu.
82 Hoa In-liong telah memandang keterangan yang diberikan nona baju hitam itu
sebagai suatu peringatan, maka serta-merta diapun merasakan betapa seriusnya yang sedang
dihadapi sebab jelas musuh dibalik tirai yang sedang dihadapinya sekarang adalah musuh tangguh
yang khusus memusuhi keluarga Hoa. Tercekat juga perasaan hatinya setelah menerapkan kesimpulan terakhir itu, pada
mulanya dia ada niat untuk kembali ke perkampungan Liok soat sanceng untuk melaporkan
kejadian ini kepada ayah dan neneknya, tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya:
" Nenek dan ayah telah menyerahkan tugas ini kepadaku, aku mana boleh pulang ke
rumah sebelum berhasil menemukan jejak dari pembunuhnya. selama ini aku Hoa Yang
dianggap seorang pemuda bergajul dalam pandangan orang rumah, kenapa tidak kumanfaatkan
kesempatan yang sangat baik ini untuk membuktikan diri bahwa akupun bukan
manusia tak berguna, siapa tahu kalau usahaku berhasil dan namaku ikut tersohor pula dalam
pandangan orang lain?" Memang demikianlah watak seorang pemuda yang masih berjiwa panas, setelah
mengambil ketetapan dihati, iapun tersenyum dan meneguk habis isi cawannya.
Selesai bersantap ia kenakan jubah sutera yang halus, membawa pedang
menggoyangkan kipas dan berjalan keluar dari kamarnya dengan langkah yang santai.
Dikatakan ia akan keluyuran sebenarnya tak cocok sebab pada saat ini ia
berhasrat untuk keliling kota sambil berharap dapat berjumpa dengan Kong-cu she-Ciu itu, dan lebih-lebih
berharap dapat bertemu sekali lagi dengan nona berbaju hitam itu.
Tapi Nona berbaju hitam itu tak ada tempat tinggal yang tetap tidak diketahui
pula namanya, sedang Ciu kongcu belum pernah ditemui, bagaimana tampangnya juga tak diketahui
olehnya. maka ingin berjumpa dengan mereka boleh diibaratkan mencari jarum di dasar
samudra, bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Sang surya telah condong ke barat, malampun menjelang tiba, cahaya lampu telah
menerangi seluruh kota, tapi tiada suatu hasilpun yang berhasil ditemukan.
Ketika dalam perjalanan kembali ke rumah penginapan, kebetulan ia lewat dijalan
raya sebelah timur sewaktu lewat di depan pintu gerbang keluarga Suma mendadak satu ingatan
terlintas dalam benaknya, ia lantas berpikir, "Sudah beberapa hari Suma siok-ya terbunuh,
namun layonnya belum dikebumikan dan masih bersemayam dalam ruang tengah, keadaan ini
bukan saja dapat membuat tak tenangnya arwah siok-ya bahkan bisa pula digunakan pihak
lawan untuk menyiapkan jebakan dan memancing rekan-rekan sealiran masuk perangkap. Apa
salahnya kalau ku singkirkan dahulu jenasahnya mereka ke suatu tempat tertentu, kemudian baru
kuundang kedatangan Jin kokoh untuk menyelenggarakan upacara penguburan" Aaai, aku harus
mengambil keputusan cepat dan segera melaksanakannya."
Seandainya Hoa se toakonya yang menghadapi kejadian semacam ini, bagimanapun
juga ia tak akan berani mengambil keputusan secara sembarangan, tapi Hoa Yang alias In-liong
tak kenal artinya adat istiadat, apa yang terpikir hanya soal cengli, dan apa yang telah
melintas dalam benaknya segera dilaksanakan tanpa berpikir panjang lagi.
Begitulah, setelah menengok ke kiri kanan dan yakin kalau di sekitar sana tak
ada orang, ia lantas menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melompati pagar pekarangan langsung
menerobos masuk ke ruang tengah. 83 Ia telah mempunyai rencana yang cukup masak malam itu juga akan dibawanya
jenasah dari Suma Tiang-cing suami istri ke rumah gubuk yang pernah dikunjunginya semalam.
Ia merasa tempat itu aman dan cukup tersembunyi, kendati sudah terbakar tapi
dengan semak belukar yang begitu tinggi mengitari sekelilingnya, tempat itu tak mudah menarik
perhatian orang, dan jenasah siok-yanya ditempatkan disana untuk sementara waktu, maka
orang tak akan menyangkanya. Siapa tahu ketika Hoa In-liong tiba dalam ruangan itu dan menengok ke dalam, apa
yang ditemuinya hampir saja membuat pemuda itu menjerit keras matanya terbelalak
karena tercengang bercampur heran untuk sesaat ia berdiri tertegun.
Meskipun kain horden masih menghiasi ruangan seperti sedia kala, meja
sembahyangan dengan lentera dan lilin masih utuh, namun dua buah peti mati itu sendiri sudah lenyap
tak berbekas. Padahal ia tahu jelas bahwa satu-satunya keturunan dari Suma siok-yanya berada
jauh di perkampungan Liok-soat-san-cung yang berada di bukit Im tiong-san, bila
dikatakan ia telah mengebumikan jenasah kedua orang itu, boleh dibilang hal ini tak mungkin
terjadi, tapi kenyataannya peti mati itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas. Selang sesaat
kemudian, Hoa In-liong mencibirkan bibirnya lalu mendengus dingin.
"Hmm...... Permainan busuk macam beginipun disuguhkan kepada aku Hoa-loji, sungguh
keterlaluan." Maksud musuh sudah jelas sekali, jelas mereka memang sengaja memindahkan peti
mati itu agar dia jadi bingung dan kelabakan untuk mencarinya kembali.
Hoa In-liong menjengek sinis, walaupun dia tahu bahwa musuh sedang memasang
jaring untuk menjebaknya, dilakukan juga pemeriksa yang seksama di sekitar gedung bangunan
itu. Tapi akhirnya anak muda itu merasa kecewa, orang-orang yang memasukkan peti mati
itu telah bekerja teliti, kecuali barang yang kacau terdapat di sekitar meja sembahyang
dan kedua belah sisi bekas tempat peti mati itu. boleh dibilang tiada tanda lain lagi yang
berhasil ditemukan, hal ini semakin mengejutkan hati Hoa In-liong.
Haruslah diketahui ruang jenazah menempati ruangan tengah yang panjang dan
lebarnya mencapai seluas lima kaki, karena sudah lama tak di kunjungi orang, debu yang
menempel di atas lantai tebal sekali, sebaliknya kedua peti mati itu hanya menempati tempat
yang tak begitu luas, beratnya juga luar biasa, untuk memindahkan benda seperti itu bukan saja
sangat repot bahkan tidak gampang. Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja mereka dapat memindahkan peti-peti mati


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, malahan tidak meninggalkan bekas apa-apa, dari sini dapatlah diketahui bahwa orang-orang
itu bukan saja amat cermat dan teliti, kekuatan mereka serta kelihayan ilmu meringankan
tubuh mereka sudah mencapai tingkatan yang luar biasa. Tapi siapakah orang itu?""
Dengan hati tercekat bercampur kaget, Hoa In-liong berpikir, "Seandainya peti
mati itu masih berada disini, memang gampang untuk menjebak orang masuk perangkap. tapi apa
maksud mereka membawa pergi peti-peti mati itu..."
Ia bukan seorang pemuda yang gegabah, juga bukan manusia pengecut yang bernyali
kecil, dalam tubuhnya mengalir sifat-sifat orang tuanya dan terdapat pula hasil didikan
dari Bun Tay- 84 kun, meski romantis namun mempunyai semangat yang besar, mempunyai keberanian
yang luar biasa dan berani menyerempet bahaya.
Lama sekali si anak muda itu termenung, dan berusaha untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya, ketika tanpa hasil, dengan dahi berkerut dan bibir dicibirkan ia
berjalan menuju ke pintu kecil dibalik horden dengan langkah lebar.
Mendadak dari arah belakang terdengar seseorang tertawa dingin, menyusul
jengekan dingin berkumandang memecahkan kesunyian, "Hoa loji, kau akan kabur kemana lagi?"
Hoa In-liong tidak kaget juga tidak gugup, malahan menjawabpun tidak. selangkah
demi selangkah ia lanjutkan perjalanannya menuju ke muka.
Tiba-tiba serentetan cahaya putih menyambar lewat, dengan disertai hawa pedang
yang hebat tanu-tahu sebilah pedang panjang telah menusuk punggungnya.
Secepat kilat Hoa In-liong memutar tabuhnya sambil mengebaskan kipasnya ke
samping ujarnya sambil tertawa, "Haaahhh haaahhh haaaahhh. dengan kepandaian macam beginipun
berani bertingkah dihadapanku" Huuh, masih ketinggalan jauh."
"Traaang....!" dengan telak kipas itu menghajar ujung pedang lawan, sementara
tulang bambu di balik permukaan kertas menyabet pedang tersebut ke samping, walaupun pedang tadi
bergeser dua depa ke samping, ternyata kipasnya sendiri tetap utuh. Untung si penyergap
itu segera mengundurkan diri, kalau tidak pedangnya niscaya sudah terlepas dari genggaman.
Jilid 05 SANG penyergap itu tampak agak tertegun, agaknya dia merasa tidak puas, sejenak
kemudian sambil membentak. untuk kedua kalinya ia siap melancarkan serangan lagi.
"Mundur, jangan gegabah!" mendadak terdengar seseorang membentak dengan suara
keras. "Sreeet...!" Hoa In-liong merentangkan kembali kipasnya dan digoyangkan beberapa kali, lalu
ujarnya sambil tertawa nyaring, "Sobat, aku lihat kelihayanmu juga tak seberapa gegabah atau
tidak toh sama juga hasilnya." Orang ini berkata lagi dengan suara keras, "Bersilat lidah bukan perbuatan
seorang laki-laki sejati, bila kau bisa lolos dari sini malam ini, kaulah seorang jago yang
hebat." Sekarang Hoa In-liong baru tersenyum, perlahan-lahan ia memutar badannya seraya
bertanya, "Bila dugaan tidak keliru, tentunya engkau she Ciu bukan?"
Orang itu berdiri di balik pintu kecil di belakang ruangan di balik pintu kecil
adalah sebuah lorong karena cahaya suram maka raut wajah orang itu tak tertampak jelas, tapi jelas
kelihatan ia agak tertegun sebelum akhirnya tertawa seram.
"Haaahhh haaahh haaahhh keturunan keluarga Hoa rata-rata memang hebat sayang
engkau sudah masuk perangkap. jangan harap kau bisa hidup sampai fajar esok."
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba bentaknya lagi, "Pasang obor, biar ia bisa
mampus dengan hati yang jelas!" 85 Suara mengiakan mendengung, cahaya api segera memercik menembusi kegelapan,
dalam sekejap mata suasana dalam ruangan itu jadi terang benderang bagaikan di siang
hari. Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, ia lihat delapan orang
laki-laki berbaju ungu berdiri mengitari sekeliling ruangan dalam dua kaki antara yang satu dengan
lainnya, mereka membawa obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, sinar matanya
rata-rata tajam, tubuh kekar dan kuat, usianya tiga puluh tahunan, jelas orang-orang itu
bukan manusia sembarangan, atau paling sedikit memiliki dasar ilmu silat yang tangguh.
Ketika ia alihkan pandangannya ke arah orang yang berdiri dibalik pintu rahasia,
maka terlihatlah bahwa orang itu berusia dua puluh tahunan, bajunya pakaian ringkas berwarna
hijau pupus, mantelnya juga berwarna hijau, sebilah pedang kuno tersoreng dipinggangnya,
dandanan maupun potongan badannya persis seperti seorang busu.
Ia bermuka bengis, beralis tebal, bermuka lonjong dengan ujung bibir tersungging
keatas, tampaknya menggemaskan sekali dan seakan-akan sejak dilahirkan memang bertampang
kriminil, bila ia benar-benar she-Ciu (dendam) maka cocoklah nama dengan
potongan badannya. Hoa In-liong tak berani gegabah setelah menyaksikan keadaan itu, kipasnya lantas
dilipat dan memberi hormat katanya sambil tersenyum, "Ciu kongcu, dari mana kau bisa tahu
kalau aku bakal datang kemari" Tidakkah merasa kuatir bila jebakan yang kau atur bakal
sia-sia belaka?" "Datang atau tidak aku tak ambil peduli, tapi yang pasti detik ini kau berada
dalam ruangan ini," sahut Ciu kongcu dengan ketus.
Hoa In-liong menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Kongcu, aku tidak merasa pernah berkenalan dengan kau, tapi apa sebabnya kongcu
baru puas jika telah berhasil membinasakan diriku, di manakah letak alasannya" Bersediakah
engkau memberi penjelasan?"
"Hmm... sudah tahu pura-pura bertanya," dengus Ciu kongcu dengan alis mata
berkenyit. "Oooh...jadi kalau begitu kongcu benar-benar adalah anggota perkumpulan Hian-beng-
kau?" Ciu kongcu tampak terkejut ia lantas berpikir dalam hati, "Bocah keparat ini
benar-benar memiliki kemampuan yang hebat, sampai asal usulku diketahui olehnya."
Meski dalam hati berpikir demikian, dimulut sahutnya dengan dingin, "Tak lama
kemudian, perkumpulan kami akan muncul dalam dunia persilatan secara resmi, dan kemudian
akan menguasai seluruh jagad, rasanya tiada suatu kepentingan bagi kami untuk
mengelabuhi hal ini kepadamu...." Sekarang Hoa In-liong yang gantian merasa kaget, meski diluaran ia tetap
berlagak tenang.... "Jadi kalau begitu, aku harus menagih dendam berdarah atas tewasnya majikan
gedung ini kepada diri kongcu?""
"Benar," jawab Ciu kongcu dengan angkuh, "akulah otak pembunuhan ini, jika ingin
membalas dendam, silahkan mencari aku."
86 "Bila aku hendak menuntut balas, tentu saja akan kuberi bagian untuk dirimu,
justru aku kuatir kalau kongcu bukanlah otak dan pembunuhan ini."
"Kurang ajar!" teriak Ciu kongcu dengan marah, sinar matanya berkilat, "engkau
berani memandang hina diriku?""
Hoa In-liong tersenyum. "Kenyataannya toh demikian, apa gunanya kongcu berlagak sebagai seorang
pahlawan?"" Tampaknya ucapan tersebut benar-benar membuat Ciu kongcu jadi mendongkol,
teriaknya penasaran, "Coba terangkan kenyataannya menurut pandanganmu!"
"Bukankah kongcu hanya seorang anak buah dari perkumpulan Hian-beng-kau. Nah
bila kuingin cari otak pembunuhnya yang sebenarnya, lebih pantas kalau kucari ketuamu."
Jawaban ini diluar dugaan Ciu kongcu ia jadi tertegun, tapi sejenak kemudian
ujarnya lagi dengan mendongkol, "Kongcu-ya mu adalah murid pertama dari kaucu, pembunuhan
berdarah yang terjadi disini akulah yang menyusun rencana serta pelaksanaannya kenapa kau
cerewet melulu dan bersikeras menuduh guruku yang melakukan pembunuhan ini, sebenarnya
apa maksudmu?" Diam-diam Hoa In-liong merasa geli, pikirnya "Bukan saja orang ini mempunyai
napsu ingin menang yang amat besar, bahkan merupakan juga seorang laki-laki yang tak berakal
panjang inilah kesempatan bagiku untuk mengorek keterangan kenapa tidak kumanfaatkan
sebaikbaiknya?" Berpikir sampai disini, dia lantas menjura dan memberi hormat, kemudian tanyanya
sambil tertawa, "Bolehkah aku tahu siapa nama kongcu?"
"Ciu Hoa." "Ciu Hoa?" pikir Hoa In-liong dengan hati terperanjat, "bukankah Ciu Hoa artinya
mendendam keluarga Hoa" Kalau begitu mereka memang sengaja memusuhi keluarga Hoa kami."
Cepat ia tertawa dan berkata lagi, "Selamat bertemu, selamat bertemu Bolehkah
aku tahu siapa gurumu....?" "Guruku adalah...."
"Kongcu hati-hati kalau bicara!" mendadak terdengar seorang laki-laki berbaju
ungu memberi peringatan. Agaknya Ciu Hoa segera mengetahui akan keteledorannya, cepat ia membungkam dan
batal untuk berbicara, matanya kontan mendelik besar dan melototi wajah lawannya tanpa
berkedip. Hoa In-liong tertawa, katanya dengan santai, "Kalau toh menyebut nama guru
adalah suatu pantangan, lebih baik tak usah kau katakan."
Ciu Hoa menggetarkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niatnya
itu kembali dibatalkan, agaknya ia cukup memahami betapa seriusnya masalah yang dihadapinya,
maka nama gurunya tak berani diucapkan lagi.
87 Melihat keadaannya itu, tahulah Hoa In-liong bahwa dibakar hatinyapun tak ada
gunanya, maka dia alihkan kembali pokok pembicaraannya ke soal lain.
"Kongcu, tolong tanya apakah engkau yang telah memindahkan jenasah dari Suma
tayhiap dari tempat ini?"" Sikap Ciu Hoa kali ini hambar sekali, malahan ia tertawa dingin.
"Heeeeh....heeeeh heeeeh kalau benar kenapa" Kalau tak benar lantas bagaimana?""
Jawaban ini mencengangkan hati Hoa In-liong sepasang alis matanya kontan
berkenyit, pikirnya, "Sungguh aneh, orang ini tak berakal panjang, kenapa begini aneh jawabannya"
Mungkinkah jenasah Suma siok-ya memang bukan dia yang memindahkan?""
Sementara ia masih keheranan dan tidak habis mengerti, Ciu Hoa telah melanjutkan
kembali kata-katanya, "Hampir saja kongcu-yamu terjebak oleh pancinganmu, mulai sekarang
aku tak akan menjawab pertanyaanmu lagi, kaupun tak usah putar biji mata sambil mencari
akal busuk. sekarang cabut keluar pedangmu, kongcu-yamu segera akan turun tangan."
"Sreeet...." la cabut keluar pedang antiknya, lalu bergerak ke depan dan
melancarkan tubrukan. Hoa In-liong tetap berdiam diri, dari sikap musuhnya ia tahu bahwa banyak
bertanya pun tak ada gunanya. Sebagai seorang pemuda yang sombong dan tinggi hati, ia bersedia merendahkan
diri lantaran ingin mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya, dan sekarang Ciu Hoa telah
waspada dan tak mungkin bisa dimintai keterangan lagi, tentu saja diapun tak sudi
merendahkan diri terus menerus, sambil tertawa tergelak segera ujarnya, "Bila kau hendak menyelesaikan
persoalan ini dengan suatu pertempuran kilat, silahkan saja turun tangan, kau tak usah
menguatirkan untuk keselamatan jiwaku."
Sekilas pandangan, Ciu Hoa tampaknya kasar dan berangasan, tapi metelah bersiap
siaga untuk melancarkan serangan, ia dapat pusatkan perhatiannya dengan sempurna, dapat
diketahui bahwa gurunya tentu lihay dan ilmu silat yang dimiliki si anak muda inipun bukan
ilmu silat sembarangan. Hoa In-liong tak berani gegabah, meski diluaran bicara seenaknya, hawa murninya
diam-diam disalurkan ke dalam telapak tangan, dengan tenang ia menantikan tibanya
serangan. Ciu Hoa sudah berada beberapa kaki saja di hadapan si anak muda itu, pedangnya
telah digetarkan siap melakukan pembacokan, kembali dia berseru, "Hati-hatilah, aku
akan melancarkan serangan!"
Jurus serangan itu sekilas pandangan tampaknya sederhana dan tiada sesuatu yang
aneh, tapi

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat yang dibacok ternyata luar biasa dan di luar dugaan, sebagai seorang ahli
pedang sekilas pandangan saja Hoa In-liong telah menyadari bahwa ia sudah bertemu dengan musuh
tangguh. Terkejut juga pemuda kita menghadapi kejadian seperti ini, ia tak berani
gegabah, kipasnya segera dikebaskan ke muka untuk menangkis ancaman, katanya, "Ciu kongcu,
silahkan menyerang dengan sepenuh tenaga, aku telah bersiap sedia menerima petunjukmu."
Dasar wataknya yang binal, kendatipun sedang berhadapan dengan musuh tangguh,
ternyata wataknya itu tidak berubah, sambil maju ia totok pergelangan tangan Ciu Hoa,
ketika serangan 88 nya mencapai tengah jalan, tiba-tiba ia merendah ke bawah, sambil menempel pada
ujung pedang orang itu badannya berputar setengah lingkaran, mendadak kaki kanannya
dijulurkan ke muka sementara sikut kirinya langsung menyodok iga kanan pemuda she-Ciu
tersebut. Keadaan ini bagaikan seorang bocah yang sedang bermain, tentu saja Ciu Hoa tidak
menyangka sampai kesitu, bila tidak begitu asal gerakan pedangnya sedikit dipercepat saja,
niscaya Hoa Inliong akan terpapas oleh pedangnya dan terluka parah.
Tapi Hoa In-liong telah mempraktekkan caranya yang binal itu, bahkan sapuan kaki
kanan dan sodokan sikut kirinya dilancarkan dengan menempelkan di badan lawan dan
kecepatan luar biasa. Dalam keadaan demikian, Ciu Hoa tak mampu untuk berkelit lagi, dia terdesak
hebat sehingga harus meraung gusar dan berkelijit satu kaki ke-tengah udara.
Menyaksikan musuhnya berhasil didesak mundur, Hoa In-liong tertawa nyaring dan
mengejek, "Kongcu-ya, aku lihat ilmu silatmu tidak begitu tinggi."
Dari malu Ciu Hoa jadi naik pitam, ia membentak keras lalu menerkam kedepan,
pedang antiknya dikebaskan berulang kali... Sreeeet sreeet!
Secara beruntun ia lepaskan tiga buah serangan berantai, yang mana seketika
mengurung semua jalan darah penting di dada Hoa In-liong.
Menghadapi serangan macam begini, Loji dari keluarga Hoa ini mengigos kesana
berkelit kemari dengan seenaknya, tiba-tiba merentangkan senjata kipasnya kemudian menotok ke
balik lapisan cahaya pedang yang berlapis-lapis itu, katanya sambil tertawa, "Lumayan juga
ketiga buah seranganmu barusan, tapi bila kau sanggup memaksa aku untuk lepas pedang itu
baru terhitung jago kelas satu dalam dunia persilatan."
"Hmm Bila tidak kau lepas pedangmu itu berarti kau ingin mencari kematian buat
diri sendiri jangan salahkan kalau kongcu mu bertindak telengas!" bentak Ciu Hoa sambil
mendengus dingin. Tubuhnya bergerak ke samping, tiba-tiba permainan pedang nya berubah, tampaklah
beratusratus berkas cahaya yang menyilaukan mata sebentar menyambar ke kiri
sebentar ke kanan, semuanya bergerak dengan gerakan yang aneh lihay dan sukar diduga, pedang itu
ibaratnya naga yang bermain di angkasa, berliuk-liuk tak menentu.
Itu masih mendingan, yang lebih hebat lagi ternyata dibalik gerakan pedang yang
aneh dan sukar terduga itu terselip suatu hawa kebengisan yang mengerikan hati, membuat
mereka yang menjumpainya jadi bingung dan ketakutan dengan sendirinya.
Perlu diketahui, ilmu silat yang diandalkan oleh keluarga Hoa dari Im-tiong-san
adalah ilmu Pedang, terlepas ketika Hoa Goan-ciu yakni kakek Hoa In-liong masih hidup,
sepeninggalnya ia telah mewariskan enam belas jurus pedang dan sebilah pedang baja untuk putranya,
dan putranya yakni Hoa Thian-hong mengandalkan sebilah pedang baja malang melintang
dalam dunia persilatan, suatu ketika ia berhasil mendapatkan kitab kiam keng san
berhasil pula mempelajari inti sari pelajaran pedang kiam-keng-poh-khi, akhirnya terciptalah
serangkaian ilmu pedang yang sakti dan Iihaynya luar biasa.
Semenjak kecil Hoa In-liong sudah pintar, apalagi mendapat pendidikan langsung
dari ayahnya, bukan saja ilmu silat jenis lain memiliki dasar yang kuat, terutama dalam ilmu
pedang kecuali kalah tenaga dari ayahnya boleh, dibilang kelihayannya hampir seimbang.
89 Tapi sekarang setelah Ciu Hoa merubah gaya serangannya, bukan saja ia tak
berhasil menebak asal mula dari ilmu pedang. tersebut, bahkan anak muda itu merasakan tubuhnya
seolah-olah terjerumus dalam samudra pedang yang tak bertepian, sekarang ia baru kaget.
Tak heran kalau Ciu Hoa dengan usia yang masih muda berani bersikap angkuh dan
jumawa, ternyata ilmu silat yang dimilikinya memang tak boleh dianggap enteng.
Lama kelamaan Hoa In-liong gelisah juga jadinya, tapi karena masih muda dan
berdarah panas, lagipula sudah terlanjur ngomong besar, ia tak sudi mencabut pedangnya untuk
melakukan perlawanan. Terpaksa dengan mengandalkan gerak tubuhnya ia berkelit kesana kemari dengan
seksama, bila menemukan kesempatan ia lantas melepaskan serangan balasan dengan kipas
Pertarungan macam begini memang besar sekali resikonya, sebab sedikit kurang
hati-hati maka bisa mengakibatkan melayangnya selembar jiwa.
Lima puluh jurus sudah lewat, keadaannya kian lama kian bertambah gawat,
sekarang Hoa Inliong sudah terdesak hebat sehingga tiap saat jiwanya kemungkinan
besar terancam. Tampaklah cahaya pedang berkilauan, angin serangan menderu-deru, bayangan
senjata berlapislapis dan mengurung si anak muda itu dalam kepungan, Hoa In-
liong telah berusaha untuk
menerjang ke kiri menyapu kekanan, toh gagal untuk melepaskan diri dari ancaman
tersebut, tampaknya selewat seratus gebrakan lagi dia akan terluka di ujung pedang Ciu
Hoa. Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai menggema memecahkan kesepian, seorang
laki-laki berbaju ungu bersorak keras.
"Kongcu perketat serangan, bacok sampai mampus bocah keparat itu..,.."
"Hoa loji, buang pedangmu dan menyerah saja!" teriak pula laki-laki yang lain,
"kalau kau tidak menyerah sekarang juga, tak akan kau temui lagi kesempatan di lain waktu."
"Membuang pedang atau tidak toh sama saja!" ejek pula laki-laki yang lain,
"sampai sekarangkan kongcu kita masih belum melancarkan serangan-serangan mematikannya."
Ciu Hoa sendiripun merasa bangga sekali setelah dilihatnya Hoa In-liong berhasil
dipaksa sehingga tak berkemampuan untuk melancarkan serangan balasan, ia berkata sambil
tertawa nyaring "Hoa-loji, ingatlah baik-baik Antara kau dan aku memang tak terikat hubungan
dendam atau sakit hati, aku membunuh engkau lantaran membenci kau she Hoa, dan lantaran kau
adalah putranya Hoa-Thian hong."
Sambil berkata, pedang antiknya digetarkan semakin kencang, dengan jurus Teng
liong kiu ci (naga membumbung bersalto sembilan kali) cahaya pedangnya membentuk sembilan
titik bianglala putih dan meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, sekejap
kemudian sekujur badan Hoa In-liong sudah terkurung rapat.
Serangan ini benar-benar sangat lihay. bahwa pedang yang membentuk berbintik-
bintik cahaya bianglala putih yang seperti air tapi rapat seakan akan tak berlubang, sekalipun
Hoa In liong membawa pedang belum tentu bisa mengundurkan diri dengan selamat.
90 Tapi Hoa In-liong pada saat ini sudah dibikin gusar juga oleh keadaan yang
dihadapinya, ditambah pula hatinya terbakar oleh ejekan lawan, serangan yang dilancarkan pun
mendekati setengah kalap. Terdengar ia membentak keras, telapak tangan kirinya tiba-tiba dilontarkan ke
muka dengan jurus Kun-siu-ci-tau, sedangkan tangan kanannya berputar kencang, jari tengahnya
ditegangkan dan menotok dada Ciu Hoa deagm ilmu menyerang sampai mati, suatu kepandaian
pentilan diri ci-yu-ji-ciat. Kedua buah serangan itu tak lain adalah senjata andalan ayahnya ketika masih
berkelana dalam dunia persilatan di masa mudanya, dalam gugup dan gelisahnya ia telah menyerang
dengan tenaga serangan yang amat dahsyat, kehebatannya sedikitpun tak kalah dengan
kehebatan ayahnya. Dua buah serangan tersebut boleh dibilang merupakan jurus pertarungan untuk
beradu jiwa, bilamana Ciu Hoa tak mau buyarkan serangannya, maka kendati Hoa In-liong bakal
terluka diujung pedangnya, akan tetapi dia sendiripun akan terhajar oleh serangan lawan
dan sedikit banyak dada nya akan berlubang tertembus oleh ilmu jari lawan yang maha dahsyat
itu. Sudah tentu ia tak sudi terluka di ujung telapak tangan musuhnya, disaat
terakhir tubuhnya segera miring kesamping sana.
Pedangnya ditekan ke bawah dan tubuhnya berkelebat ke samping, dengan demikian
diapun lolos dari pukulan musuh.
Hoa In-liong sendiri, meski baru saja terlepas dari mara bahaya, namun paras
mukanya masih tetap tenang-tenang saja seakan-akan tak pernah terjadi suatu apapun, malahan
sambil terbahak-bahak katanya, "Haaahhh haaaahhh haaahhh, Ciu kongcu, apakah engkau
masih mempunyai ilmu simpanan yang lain" Kenapa tidak sekalian kau keluarkan agar aku
orang sheHoa bisa merasakannya?"
Walaupun diluaran ia berkata seenaknya, tapi kali ini pedang mustikanya sudah
diloloskan dari sarungnya. Ciu-Hoa sendiri, sewaktu dilihatnya pihak lawan telah mencabut keluar pedangnya,
tak kuasa lagi dia menengadah dan tertawa terbahak-bahak. suara tertawanya penuh mengandung
nada sindiran, dan memandang hina.
Tentu saja Hoa In-liong dapat merasakan pula gelak tertawa yang penuh dengan
nada sindiran itu, akan tetapi ia tidak memperhatikan, malahan berkata dengan lantang, "Ciu
kongcu, aku telah merasakan kelihayan ilmu pedangmu, ketahuilah bahwa aku Hoa loji bukan seorang
manusia yang takabur dan suka berlagak sok. aku cukup mengetahui kemampuanku, aku sadar
bila tidak kugunakan pedang untuk melawan dirimu lagi, sulitlah bagiku untuk menangkan
engkau." "Huuuh sekalipun kau gunakan pedang, apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku?"
jengek Ciu Hoa sinis. Paras muka Hoa In-liong seketika berubah jadi membesi, dengan serius ia berkata,
"Diantara kita tak terikat hubungan dendam ataupun sakit hati, dan kata-kata itu muncul dari
mulutmu, maka akupun ingin memberi peringatan kepadamu, untuk menghadapi musuh yang tangguh
janganlah terlalu tekebur dan terlalu yakin dengan kepandaian yang dimiliki sendiri..."
91 Mula-mula Ciu Hoa agak tertegun, menyusul kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh....haaahhh... haahh....nasehat macam apakah itu, Hoa loji lebih baik kau tak
usah banyak bacot lagi." "Aku tahu bahwa ilmu pedangmu ganas dan sadis, akan tetapi kurang mantap dan tak
teguh, bila ingin digunakan untuk mencabut jiwaku maka tenaganya masih jauh berkurang,
bila bertempur lagi nanti, aku harap kau bisa bertindak lebih berhati-hati lagi."
Pemuda ini, sudah terbiasa bersikap binal dan tidak bersungguh-sungguh, seakan-
akan perkataan nya sama sekali tidak berbobot, akan tetapi setelah bersikap serius
sekarang, terlihatlah keagungan serta kewibawaannya yang amat besar.
Ciu Hoa tertegun dan seketika itu juga merasa kejumawaannya tersapu lenyap
hingga tak berbekas untuk sesaat anak muda itu hanya bisa berdiri terbelalak tanpa
mengetahui bagaimana harus menjawab perkataan dari musuhnya ini. Tiba-tiba terdengar seorang laki-
laki berbaju ungu berseru lantang, "Kongcu, buat apa kita musti bersilat lidah terus dengan orang
itu, mari kita atur barisan pedang saja, niscaya jiwanya tak akan lolos dari cengkeraman kita."
Sekarang kejumawaan Ciu Hoa sudah padam, maka setelah termenung sebentar dia pun
mengangguk. "Siapkan barisan" perintahnya sambil mengebaskan pedang antiknya.
Berbareng dengan diturunkannya perintah tersebut, bayangan manusia tampak
berkelebat memenuhi angkasa, delapan orang laki-laki berbaju ungu itu sama-sama mengayunkan
tangan kirinya dan menancapkan obor yang mereka bawa itu ke dinding ruangan, kemudian
ujung pedangnya disentakkan ke atas dan disilangkan didepan dada, kemudian selangkah
demi

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selangkah maju kedepan dan mengurung Hoa In-liong didalam kepunganHoa In-liong
tetap bersikap tenang, malahan sedikitpun tidak bergerak, dengan pandangan yang
tajam ia menyapu sekejap barisan yang baru dibentuk oleh musuh-musuhnya.
Ia lihat delapan orang laki-laki berbaju ungu itu berdiri diposisi yang beraneka
ragam, sepintas lalu posisi yang mereka duduki mirip dengan barisan pat-kwa, tapi bila ditinjau
dari kehadiran Ciu Hoa ditengah barisan yang tampaknya merupakan motor dari barisan tersebut,
posisi barisannya jadi lebih mirip dengan suatu barisan Klu-kiong-tinHoa In-liong tidak begitu
memahami soal ilmu barisan, maka dia hanya bisa mempertinggi
kewaspadaannya belaka, dan diam-diam pemuda itu mengambil keputusan untuk
menghadapinya dengan tenang.
Maka dengan dahi berkerut, bentaknya lantang, "Ciu kongcu, ketahuilah bahwa
golok dan pedang tak bermata, jika aku sampai melukai anak buahmu, jangan kau salahkan aku
bersikap kejam padamu..." Ciu Hoa mendengus dingin, ia tidak menjawab lagi, sambil menerjang ke muka
pedangnya langsung melancarkan sebuah tusukan kilat, hebat sekali serangannya itu.
Hoa In-liong segera menggerakkan pedangnya ke atas untuk menangkis, kemudian
dengan mengincar datangnya sambaran pedang lawan, tiba-tiba ia mencukil ke atas.
92 Dalam waktu singkat serangan musuh seolah-olah lenyap tak berbekas, diantara
kilatan cahaya yang menyilaukan mata tercipta berlapis-lapis hawa pedang yang datang dari empat
arah delapan penjuru. Hoa In-liong terperanjat, buru-buru pedangnya ditegakkan sementara tubuhnya
berputar kencang dan maju selangkah kedepan, lalu pedangnya ditarik kembali, ujung
pedangnya yang tajam disembunyikan dibalik ketiaknya, menyusul kemudian dia lancarkan kembali
sebuah tusukan kilat ke arah belakang.
Pemuda itu mengambil keputusan untuk melakukan pertarungan yang tenang dan tidak
berangasan lantaran dalam anggapannya kendati barisan pedang macam apapun yang
sedang dihadapi maka motornya pastilah Ciu Hoa, asal Ciu Hoa berhasil diringkus niscaya
barisan pedang itu akan buyar sendiri tanpa diserang.
Oleh sebab itu tatapan matanya yang tajam selalu mengincar posisi dari Ciu Hoa,
seperti pula serangannya yang terakhir, arah yang di tuju tak lain adalah tenggorokan Ciu
Hoa. Pendapatnya ini sedikitpun tak salah tapi justru karena Ciu Hoa merupakan motor
penggerak dari barisan pedang itu, maka maju mundurnya delapan bilah pedangpun bergerak dengan
Ciu Hoa sebagai pusat penyergapan, satu sama lainnya mereka dapat bergerak bersahut-
sahutan, seakan-akan otaknya satu dan mereka merupakan satu tubuh yang sama, dalam
keadaan demikian tentu saja bukan pekerjaan yang gampang bagi si anak muda itu untuk
membekuk Ciu Hoa. Ketika serangan yang kedua kembali mengenai sasaran yang kosong, sepasang mata
Hoa Inliong berkilat tajam ia saksikan betapa rapat dan ketatnya lapisan cahaya
pedang yang memancar datang dari empat penjuru, serangan tersebut ibaratnya cahaya yang
menggulung datang tiada habisnya, baik maju maupun mundur semuanya di lakukan dengan
kecepatan ya luar biasa. Lapisan pedang yang berlapis-lapis itu bukan saja sukar untuk dipecahkan, bahkan
tubuh Ciu Hoa pun terkurung dengan sendirinya hingga lenyap tak membekas, dalam keadaan
apa boleh buat terpaksa anak muda itu lebih mementingkan diri sendiri, sepasang kakinya
menjejak permukaan tanah kemudian mengegos ke samping.
Belum sempat badannya berdiri tegak, mendadak ia merasakan tibanya beberapa
gulung desingan angin dingin yang menyergap jalan darah penting diatas punggungnya,
cepat ia menekuk pinggang sambil melepaskan pukulan, gerakan yang di pakai adalah jurus
Kun-siu-citau (perlawanan terakhir dari binatang yang terjebak), seketika itu
juga desingan angin dingin itu
berhasil disingkirkan satu depa lebih kesamping.
Setelah nyaris termakan sergapan maut, Hoa In-liong mengigos kesamping dan
mundur dengan hati teperanjat, segera pikirnya dalam hati, "Benar-benar tak kusangka sebuah
barisan pedang sedemikian kecilpun ternyata memiliki daya kekuatan yang luar biasa besarnya,
bila aku tak tega untuk turun tangan keji, niscaya aku sendirilah yang bakal mendapat kerugian"
Belum habis dia berpikir, tiba-tiba Ciu Hoa telah munculkan dirinya kembali,
buru-buru ia menggerakkan pedangnya untuk membacok musuhnya itu.
Baru saja dia melepaskan bacokan, mendadak cahaya pedang berkilauan, dari
sampingpun muncul pula sebuah tusukan kilat yang tertuju ke atas tubuhnya, bila ia
lanjutkan niatnya untuk melukai Ciu Hoa, niscaya iga sendiripun akan berlubang tertusuk pedang musuh,
dalam keadaan 93 begini terpaksa ia tekan pergelangan tangannya ke bawah, kemudian menangkis
dengan pedangnya. Tak terkirakan sungguh dahsyat tenaga serangan musuh, ketika sepasang pedang
saling beradu.... "Traaang" diantara dentingan nyaring, Hoa In-liong terdesak mundur
selangkah ke belakang, sedangkan tusukan pedang tadi telah lenyap tak berbekas.
Ilmu silat yang dimiliki Hoa In-liong memang sudah mencapai pada puncaknya,
setelah bergebrak beberapa jurus, ia telah mengetahui bahwa kedelapan orang laki-laki
berbaju ungu itu rata-rata memiliki dasar ilmu pedang yang sangat kuat ilmu silat mereka lihay
dan andaikata bertempur seorang lawan seorangpun bukan sembarangan orang dapat menandinginya,
apalagi mereka bergabung menjadi satu dan membentuk sebuah barisan pedang tak heran
kalau kelihayannya berlipat ganda.
Sekarang ia tak berani bergerak secara sembarangan lagi, pedang mustika ditangan
konannya berusaha melakukan pertahanan, sementara tangan kirinya dengan disertai tenaga
dalam yang sempurna kerapkali melancarkan pukulan-pukulan gencar dengan jurus Kun-shi-ci-
tau yang maha sakti itu, dengan begini untuk sementara waktu keadaanpun bisa diimbangi
sekalipun dengan susah payah. Dalam pertarungan tersebut, tiba-tiba delapan bilah pedang bersatu padu, cahaya
pedang seakan-akan tercipta menjadi satu gumpalan cahaya besar yang menyilaukan mata,
makin lama pertempuran itu berlangsung, getaran yang terpancar dari barisan pun bertambah
cepat perputarannya, kedahsyatan yang kemudian terpancar keluar sungguh di luar dugaan
Hoa Inliong, meski begitu ia tidak bingung atau kalut, pertahanannya masih tetap
kokoh dan tangguh, sementara matanya masih saja mengincar tubuh Ciu-Hoa, bilamana ada kesempatan
dia akan segera membekuk musuhnya itu.
Seperminum teh kemudian, peluh teh membasahi jidat Hoa-In-lloag, ini menunjukkan
betapa sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung. Tiba-tiba terdengar Ciu Hoa
berteriak keras, "Hoa loji, bila kau bersedia melepaskan pedang dan menyerah kalah, kongcu mu
bersedia pula untuk memberi kematian yang utuh kepadamu."
Hoa In liong mendengus dingin, ia tidak memberi tanggapan atas ucapan lawan.
Terdengar Ciu Hoa berkata lagi, "Ketahuilah wahai Hoa loji, barisan pedang ku
ini bernama kiucoan-liong-si (memutar lidah naga sembilan kali), kendati bapakmu
sendiri belum tentu bisa memecahkan, bila engkau tak tahu diri sekali "lidah naga" telah menggulung maka
tubuhmu niscaya akan hancur berkeping-keping."
Belum habis ia berkata, mendadak sesosok bayangan manusia menerjang kedepan,
pedangnya ditegakkan ke atas dan langsung menusuk dada serta lambungnya.
Perlu diketahui, berhubung barisan pedang itu bergerak sangat cepat sekalipun
Hoa In-liong telah mengerahkan ketajaman mata untuk mengamati, gagal juga baginya untuk
menembusi ketajaman sinar pedang yang berkilauan itu, otomatis sukar juga baginya untuk
menduga dimanakah letak posisi Ciu Hoa dewasa ini, tapi begitu Ciu Hong buka suara, Hoa
In-liong segera mengetahui tempat kedudukannya dan serta-merta dia lantas mengejar kesitu.
Dalam keadaan yang tak terduga ini, Ciu Hoa tak sempat untuk menghindarkan diri
lagi, terpaksa dia harus menggerakkan pedangnya untuk menangkis datangnya ancaman itu.
94 "Traang...." suatu bentrokan nyaring menggema memecahkan kesunyian, Ciu Hoa segera
merasakan lengan kanannya jadi kesemutan dan kaku, pedang antiknya hampir saja
terlepas dari cekalan cepat ia mundur dua langkah ke belakang.
Tentu saja Hoa In-liong tak sudi melepaskan musuhnya dengan begitu saja, setelah
berhenti sebentar, ia maju lagi ke depan, pedangnya secepat kilat melancarkan pula
serangan mematikanDiluar dugaan, ternyata Ciu Hoa dibuat kelabakan dan kalang kabut
dengan sendirinya, ia tak
berani menyambut serangan tersebut dengan kekerasan, malahan tergopoh-gopoh
tubuhnya lantas menyelinap ke samping.
Dengan susah payah Hoa In-liong berhasil melepaskan diri dari kurungan barisan
pedang musuh dan menemukan sasarannya, tentu saja ia tak ingin membiarkan Ciu Hoa menyelinap
kembali ke dalam barisannya, melihat dia hendak kabur, segera bentaknya, "Mau kabur
kemana?" Bagaikan bayangan menempel badan, secepat kilat dia mengejar ke arah depan.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring berkumandang saling susul menyusul, delapan
bilah pedang diputar berbareng menghadang jalan perginya.
Hoa In-liong marah sekali, terutama ketika jalan perginya dihadang, ia meraung
keras, "Bangsat Kalian sudah bosan hidup semua rupanya."
Hawa murninya segera disalurkan ke dalam tangan, pedangnya diputar dan dia
lantas mainkan ilmu pedang Ciong-kiam (pedang berat)
Sreet sreet sreet serangan dilancarkan tiada hentinya, dalam sekejap mata ia
sudah meneter ke delapan orang itu habis habisan.
Perlu diketahui, ke enam belas jurus ilmu pedang yang ditinggalkan Hoa Goan-siu
ini tidak lihay dalam jurus serangan, tidak lihay pula dalam kesempurnaan tenaga dalam,
melainkan terletak pada kegagahan serta kewibawaan sang pembawa serangan tersebut, jika seseorang
dapat mainkan jurus pedang itu dengan gagah dan berwibawa maka serta-merta terciptalah
suatu kekuatan lain daripada yang lain yang jauh lebih mengerikan daripada hal-hal
lainnya. Sejak Hoa Thian-hong berhasil mendapatkan kitab Kiam-keng dan Kiam-keng-kui-boh,
ia telah menyisipkan pula intisari ilmu pedang di balik jurus-jurus pedang peninggalan
orang tuanya, ketika diwariskan kembali kepada putra-putrinya, ilmu pedang itu sudah dirubah
namanya menjadi Hoa-si- ciong-kiam-cap-lak-sin-cau (enam belas jurus sakti ilmu pedang
berat keluarga Hoa), itu pun sudah berbeda dengan keadaan aslinya, kalau dahulu permainan
pedang itu harus menggunakan pedang baja yang berat, maka sekarang cukup menggunakan pedang kayu
atau pedang bambu tanpa mengurangi kelihayannya.
Setelah lama bertempur tanpa mendatangkan hasil, lama kelamaan Hoa In-liong jadi
sadar, apalagi setelah dilihatnya Ciu Hoa hampir menyelinap ke dalam barisan pedangnya
lagi, dalam mendongkol dan marahnya dia lantas menyerang dengan gencar, malahan Hoa-si-
ciong-kiamcap-lak-sin-cau yang maha dahsyat pun dikeluarkan, sekalipun
kematangannya menggunakan
jurus-jurus sakti itu belum sempurna, tapi kedelapan orang laki-laki berbaju
ungu itu sudah tak sanggup mempertahankan diri
Dalam sekejap mata, serangan dan pertahanan saling bertautan, delapan orang
laki-laki berbaju ungu itu didesak sampai mundur berulang kali, tanpa bertindak lebih jauh barisan
pedang itu 95 bobol dengan sendirinya, dari satu barisan pedang yang tangguh sekarang telah
berubah jadi suatu perlawanan bersama atas serangan musuh yang gencar.
Sementara itu Ciu Hoa telah menyingkir kesamping, ketika dilihatnya barisan
pedang yang diandalkan sudah tak berwujud lagi, sedangkan kegagahan dan kehebatan Hoa In-
liong sukar dibendung lagi, ia lantas berminat untuk ikut terjun pula ke dalam arena
pertarungan serta berusaha untuk memulihkan kembali keutuhan barisan pedangnya.
Tapi Hoa In-liong memang terlampau dahsyat, ia menyerang dan mengejar terus
dengan

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketatnya, dimana serangannya tiba delapan orang laki-laki berbaju ungu itu harus
mundur untuk menyingkir, dalam posisi seperti ini sulitlah baginya untuk ikut terjun ke dalam
gelanggang. Hal ini sangat menggelisahkan hatinya, saking marah dan mendongkolnya ia sampai
mendepakdepakkan kakinya berulang kali ke atas tanah.
Dari sikap tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ciu Hoa adalah seorang laki-
laki yang berangasan, begitu melihat posisi rekan-rekannya terdesak dibawah angin,
sedangkan ia tak sanggup untuk memberikan bantuannya, timbullah niat jahat dalam hati kecilnya.
Mendadak ia membentak gusar, tangannya lantas diayun kedepan melemparkan sebuah
benda hitam ke atas batok kepala Hoa In-liong.
Sepanjang pertarungan berlangsung, Hoa In-liong selalu memasang telinga dan
matanya tajamtajam, begitu menangkap tibanya sambaran benda hitam yang disertai
desingan angin tajam, ia segera mengetahui bahwa ia sedang disergap oleh sejenis senjata rahasia.
Secepat kilat telapak tangan kanannya diayun kedepan. Ia menyampok senjata
rahasia itu dengan bacokan pedang, sementara lengan kirinya dibabat kedepan menghajar mundur
seorang laki-laki hingga terdesak sejauh tiga depa.
"Blaaang...." sebercak cahaya api berwarna biru mendadak memancar keempat penjuru
dan mengejar tubuhnya. Menghadapi ancaman tersebut, Hoa In-liong sangat terperanjat, buru-buru ia
menyusup ke samping dengan menempel diatas permukaan tanah, maksudnya ia hendak meloloskan
diri dari gumpalan cahaya api itu. Kendati reaksi yang diberikan cukup cepat, namun setitik cahaya api sempat juga
menetes diatas punggungnya, Hoa In-liong segera merasakan punggungnya jadi panas, jilatan api
segera merembet sampai diatas dan membakar pakaian yang dikenakan.
"Anak Liong! Jatuhkan diri dan bergelinding!" disaat paling kritis mendadak
seseorang berseru dengan suara yang serak tapi keras.
Bersamaan dengan munculnya suara peringatan itu, sesosok manusia menyambar masuk
ke dalam ruangan, seketika itu juga Ciu Hoa beserta delapan orang laki-laki berbaju
ungunya melepaskan senjatanya dan berdiri kaku seperti patung arca, agaknya jalan darah
mereka telah tertotok semua. Dalam pada itu Hoa In-liong telah bergelinding di atas tanah dan memadamkan
lobaran api yang menjilat-jilat baju bagian punggungnya, tiba-tiba ia merasa kaki kanannya kaku
dan susah digerakkan ketika diperiksa ternyata bagian lututnya telah tertancap sebatang
jarum perak yang berwarna biru, jarum itu sudah menembusi kulitnya hingga tinggal ekornya saja
masih tertinggal, 96 dari warna biru yang berkilauan dapat diketahui bahwa jarum itu mengandung racun
yang jahat sekali. Ayahnya Hoa Thian-hong tidak mempan terhadap serangan pelbagai jenis racun ini
disebabkan karena ia pernah makan racun teratai empedu api, dan dia sebagai keturunan dari
ayahnya mengalir pula darah murni yang mengandung serum penolak racun tersebut, dengan
keistimewaan yang dimilikinya itu, tancapan sebatang jarum beracun tidak
berpengaruh banyak atas dirinya. Meski demikian, Hoa In-liong naik pitam dan merasa dendam sekali, sebab Ciu Hoa
telah berbuat keji dan melepaskan senjata rahasia sangat beracun itu tanpa memberi peringatan
apapun, ini menunjukkan bahwa hatinya busuk sekali.
Demikianlah, setelah jarum beracun itu dicabut keluar, ia lantas bangkit
berdiri, kemudian sambil mendengus dingin katanya, "Manusia she-Ciu, kau keji dan berhati busuk Hoa loji
tak dapat mengampuni selembar jiwamu."
Dengan mata merah membara dan muka meringis menyeramkan, selangkah demi
selangkah ia mendekati musuhnya itu. Sekarang Hoa In-liong sudah dipengaruhi oleh hawa napsu membunuh yang amat
tebal, melihat keadaan lawannya itu Ciu Hoa jadi bergidik dan pecah nyalinya, apa daya jalan
darahnya tertotok mulut tak bisa berbicara badan tak mampu bergerak, dalam keadaan sepsrti ini
terpaksa dia hanya bisa pasrah dan menunggu saat ajalnya.
Mendadak sesosok bayangan manusia kembali berkelebat lewat, seorang kakek tua
berjubah ungu tahu-tahu sudah menghadang jalan perginya.
"Liong-ji," kata orang itu dengan lantang, "apakah engkau hendak membunuh
seseorang yang telah kehilangan daya perlawanannya?"
Orang itu berperawakan tinggi besar dan kekar, rambut, jenggot maupun alis
matanya telah berwarna putih, usianya enam puluh tahunan, meski demikian ia tampak masih segar
bugar dan tak nampak tua. Siapakah orang ini" Dia adalah Pek Siau-thian bekas ketua perkumpulan sin-kipang
yang tersohor di masa lampau, atau kakek dari Hoa In-liong sendiri
Tak heran kalau dalam sekali gebrakan sembilan orang jago tangguh tersebut dapat
dirobohkan semua olehnya, sebab Pek Siau-thian memang berilmu sangat lihay.
Setelah mengetahui kalau kakek tua itu tak lain adalah Gwa-kong (kakek luar)
nya, mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian dengan wajah berseru dia jatuhkan
diri berlutut, serunya dengan penuh kegembiraan, "Liong-ji memberi salam buat Gwa-kong."
"Bangun, cepat bangun!" seru Pek-siau-thian sambil ulapkan tangannya, "gwa-kong
ingin bertanya padamu, bagaimana caranya kau selesaikan beberapa orang ini?"
Sambil bangkit diri Hoa In-liong menjawab, "Mereka adalah anak buah perkumpulan
Hian bengkau, berhati busuk dan berniat keji," Liong-ji pikir.
Tatkala sinar matanya menyapu sekejap ke arah Ciu-Hoa sekalian, ia baru tahu
kalau jalan darah mereka sudah tertotok semua, maka kata-kata selanjutnya tidak jadi dilanjutkan.
97 Pek-siau-thian memandang sekejap ke arah cucunya, kemudian berkata lagi, "Ketika
ayahmu berkelana dalam dunia persilatan tempo hari, ilmu silat yang dimilikinya tidak
beberapa lihay, tapi sampai-sampai Gwa-kong sendiripun tak berani memandang enteng dirinya, tahukah
kau apa sebabnya bisa begitu?"
Dihari-hari biasa, Pek-siau-thian amat sayang dan memanjakan cucu luarnya ini.
tapi sekarang agaknya ia berniat untuk memberi pendidikan terhadap cucunya ini, bukan saja
keren wajahnya bahkan nada pembicaraanpun tegas dan bersungguh-sungguh.
Hoa In-liong yang menengadah dan menyaksikan keadaan kakeknya ini, kontan merasa
tercekat hatinya, ia sendiripun merasa sedikit di luar dugaan.
Pek-siau-thian anggukkan kepalanya, dan melanjutkan kembali kata-katanya,
"Ayahmu berjiwa besar, berwatak sabar tapi bersikap tegas, masalah kecil tidak selalu dipikirkan
dalam hati, masalah besarpun bersikap luwes, sekalipun berhadapan dengan musuh besar
pembunuh ayahnya, diapun tidak bersikap angkuh, sepanjang hidup tak pernah melukai mereka
yang sudah tak mampu bergerak, apalagi membunuh mereka yang sudah kehilangan daya
perlawanannya,sebab itu kendatipun musuh bebuyutannya juga menaruh tiga bagian
rasa hormat kepadanya." Ketika mendengar sampai disana, Hoa In-liong telah mengetahui apa yang
dimaksudkan Gwakongnya, cepat ia memberi hormat seraya berkata, "Liong-ji tak
tahu kalau beberapa orang ini
sudah tertotok jalan darahnya."
Pek-siau-thian ulapkan tangannya mencegah anak muda itu bicara lebih lanjut,
tukasnya, "Kau tak usah bicara lebih jauh, untuk hidup sebagai seorang manusia engkau harus
bertindak teliti, sebab dikala perasaan hatimu mulai bergerak maka yang benar tetap akan benar,
dan yang salah tetap akan salah, benar atau tidaknya harus kau bedakan disaat itu. bila kau
tidak meninjau dulu keadaannya tapi bertindak menurut emosi, coba bayangkan saja seandainya gwa-kong
tidak datang tepat pada waktunya, bagaimanakah akibatnya sekarang..."
Hoa In-liong tak dapat berbicara lagi, dia hanya bisa mengiakan berulang kali.
Terdengar Pek Siau-thian berkata lebih lanjut, "Gwa-kong sedari tadi sudah tiba disini, dan
apa yang terjadi dapat kusaksikan semua dengan jelas, akupun menyaksikan bagaimanakah dengan
menempuh bahaya kau mencari kesempatan yang baik untuk mengorek keterangan dari mulut
lawan, sekalipun kegagahanmu lumayan juga namun masih selisih jauh bila dibandingkan
dengan ayahmu. Aaaai...... Aku benar-benar merasa tidak habis mengerti mengapa nenekmu
begitu tega untuk melepaskan kau berkelana seorang diri?"
Kendati maksud ucapannya adalah memberi pendidikan dan pelajaran yang keras
untuk cucu luarnya ini, tapi rasa sayang dan manjanya terhadap cucu lakinya ini kentara
sekali diantara pancaran wajah maupun nada pembicaraannya.
Sebagai bocah yang binal, begitu Hoi In-liong menangkap kalau nada suara gwa-
kongnya menjadi lunak kembali, ia lantas menengadah, dengan alis mata berkenyit katanya,
"Gwa-kong masa kau tidak tahu" Liong-ji bisa berkelana diluaran sekarang ini adalah atas
perintah dari nenek." "Tentang soal ini kita bicarakan nanti saja!" tukas Pek Siau-thian sambil
ulapkan tangannya, "sekarang kau harus putuskan dulu, dengan cara apa engkau hendak selesaikan
beberapa orang ini?" 98 "Lepaskan saja mereka semua!" sahut Hoa In-liong sekenanya.
Pek Siau-thian tersenyum.
"Bukankah engkau hendak menyelidiki latar belakang tentang perkumpulan Hian-
beng-kau?" "Liong-ji telah mengerti, bahwa pengetahuan dari seorang ketua regu sangatlah
terbatas sekali." "Bukankah dia adalah murid tertua dari ketua perkumpulan Hian-beng-kau?"
"Murid tertua juga sama saja. sampai kini Hian-beng kaucu tetap menyembunyikan
diri seperti kura-kura, ia cuma mengutus anak buahnya melakukan keonaran dai penganiayaan,
masakan rahasia besar rencananya akan dibeberkan dihadapan mereka" Malahan yakin bahwa
ia sudah memperingatkan anak buahnya untuk menjaga rahasia dengan siksaan keji sebagai
imbalannya bila mereka telah membocorkan rahasia tersebut, maka aku pikir tak ada gunanya
kita paksa mereka untuk memberi keterangan, Liong-ji akan berusaha untuk mencari keterangan
sendiri dengan usaha yang kumiliki."
Mendengar jawaban tersebut, Pek Siau-thian tertawa terbahak-bahak sambil
mengelus jenggotnya ia berkata. "Haahh...... haaaahhh....... haaahhh..... sungguh tak kusangka engkau berotak cermat dan
mempunyai semangat yang menyala-nyala, baiklah Gwa-kong akan membantu dirimu
untuk melepaskan orang-orang ini."
Dia lantas putar badannya, diantara sentilan jari tangannya, sembilan orang jago
yang tertotok jalan darahnya segera bebas dari pengaruh totokan tersebut.
"Sebera tinggalkan kota Lok-yang" hardiknya dengan lantang, "kalau berani
mengulur waktu lagi, Hmm Bila terjatuh ketangan lohu lagi, jangan harap kamu semua bisa dibebaskan
seperti hari ini, Hayo cepat pergi..."
Dari pembicaraan yang baru saja berlangsung Ciu Hoa sudah mengetahui akan asal
usul kakek berjubah ungu itu. tentu saja ia tak berani berdiam lebih lama lagi disana.
Begitu jalan darahnya bebas, mereka lantas memungut kembali senjatanya, kemudian
setelah melotot sekejap ke arah Hoa In-liong dengan penuh kebencian, mereka lari
terbirit-birit tinggalkan ruangan itu, dalam sekejap mata bayangan tubuh mereka sudah lenyap
tak berbekas. Setelah beberapa orang itu berlalu Hoa In-liong baru berpaling, ujarnya sambil
tertawa cecikikan, "Huhh..hiihh..hiihh..sekarang aku sudah paham"
"Apa yang kaupahami?" tanya Pek Siau-thian tercengang.
"Tentu Gwa-kong yang sudah memindahkan jenasah dari Suma siok-ya dari tempat
ini." Pek Siau-thian tersenyum, ia membelai rambut cucunya dengan penuh kasih sayang,
kemudian sahutnya, "Bocah manis, kau memang cerdik, memang benar gwa-kong yang sudah
memindahkan jenasah dari Suma-tayhiap suami istri dari sini, sekarang jenasah
mereka bersemayam di kuil Pek-ma-si diluar kota sana, dan dirawat oleh Cu-hong-taysu."
"Siapakah Cu-hong Taysu itu?" tanya Hoa In-liong keheranan.
99 "Tentunya kau kenal bukan siapakah Cu-in-taysu itu?"
"Kenal," sahut si anak muda itu sambil mengangguk, "dia adalah sahabat karib


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahku." "Cu-hong taysu adalah kakak seperguruan Cu-in taysu, dia adalah sobat karib
Gwakong." Kiranya sejak pertempuran di bukit Cu-bu-kok dimana perkumpulan Sin-kapang
mengalami kekalahan besar, kemudian dalam penggalian harta dibukit Kiu-ci-san iapun harus
banyak mengandalkan bantuan Hoa-Thian-hong, setelah itu putri sulungnya kawin dengan
Bong-Pay, putri keduanya kawin dengan Hoa-Thian-hong, dimana kedua orang menantunya adalah
jagojago dari golongan lurus, ditambah pula istrinya Kho-hong-bwe selalu
menasehati suaminya agar bertobat. Dalam putus asa dan kecewanya Pek-siau-thian sering kali belajar agama Budha
dari istri nya sering pula berhubungan dengan orang-orang luar maka pada mulanya ia setelah
dapat melepaskan cita-citanya untuk menjagoi kolong langit, tapi akhirnya iapun sadar
bahwa jalan pikirannya itu keliru besar.
Maka akhirnya bukan saja ia sering berhubungan dengan Bun Tay-kun sekalian anak
famili dari golongan lurus, perangainya pun banyak berubah yang berbudi luhur, dengan Cu-
hong, cu-in taysu sekalian pun menjadi sahabat karib.
Kalau bukan lantaran perangainya sudah banyak berubah, dengan perbuatan dari Ciu
Hoa sekalian tadi, tak nanti ia akan lepaskan mereka dalam keadaan hidup.
Setelah mendengar asal usul Cu-hong taysu dari Gwa-kong nya, Hoa In-liong
merasakan hati nya jadi lega, diapun berkata, "Oooh.,.. kiranya dia adalah suhengnya Tau-to yaya,
sepantarnya kalau Liong ji pergi menyambanginya."
"Sedari kapan kau pandai menjalankan adat kesopanan?" goda Pek Siau-thian sambil
tersenyum. Merah padam selembar wajah anak muda itu karena jengah, serunya manja, "Gwa-
kong, masa kau anggap Liong-ji selamanya tak dapat tumbuh jadi dewasa?"
"Haaahhh....haaahhh....haaahhh.....bagus. Bagus! Kau memang sudah dewasa, kau memang
sudah dewasa. Cuma.... Gwa-kong selalu berharap agar selamanya kau jangan
dewasa......" setelah berhenti sebentar, dia alihkan pokok pembicaraan kesoal lain, tanyanya
lagi, "Menurut pengamatanku, tampaknya kau datang dengan membawa tugas, tugas apakah kau
diperintahkan untuk menyelidiki kasus pembunuhan berdarah atas diri Suma tayhiap?"
"Benar dari mana Gwa-kong bisa tahu?" tanya Hoa In-liong tercengang, agaknya ia
tak menduga kalau kakeknya bisa menduga sampai kesitu.
Pek Siau-thian tertawa. "Tentu saja Gwa-kong mengetahui kejadian ini secara kebetulan saja, dalam
perjalanan melewati kota Lok-yang, aku baru tiba disini menjelang senja, sebenarnya tujuanku adalah
mengunjungi sobat-sobat lama sambil kongkou, siapa tahu Suma siok-ya mu telah menjadi
almarhum, ketika kutemukan rumahnya terbengkalai, dalam peti mati tersiar bau obat beracun, dan
diantara debu yang melapisi permukaan lantai kutemukan juga bekas-bekas pertarungan setelah
itu kutemukan juga bekas gigitan diantara tenggorokan Suma-Tayhiap suami istri, aku lantas
sadar bahwa setelah mereka mati, pihak musuh telah menggunakan jenasah mereka sebagai
jebakan untuk 100 memancing orang-orang yang melayat kemari masuk perangkap, untuk menghindari
segala kemungkinan yang tak diinginkan maka jenasah mereka aku pindahkan dari sini."
Mendengar keterangan tersebut, tanpa terasa lagi Hoa In-liong lantas berpikir,
"Aaaai.....bagaimanapun juga pengetahuan serta pengalaman Gwa-kong jauh lebih
hebat daripadaku, sampai sekarang aku baru mencurigai sampai kesitu sebaliknya cukup
dalam sekali tatapan saja dia orang tua sudah menebak maksud busuk musuh dan segera melakukan
segala tindakan penanggulangan, dari sini menunjukkan bahwa aku masih belum bisa untuk
berbuat apa-apa." Sementara dia masih melamun, Pek Siau-thian telah bertanya lagi, "Liong-ji,
sudah berapa lama kau tiba di kota Lok-yang?"
"Kemarin baru sampai."
"Berhasil menemukan sesuatu tanda terang yang patut dicurigai?"
"Sudah, dan titik terang itu adalah Ciu Hoa tadi."
"Kalau begitu... bukankah titik terang itu kembali sudah terputus....?" kata Pek
Siau-thian dengan dahi berkerut. "Aaaah, tak jadi soal, Liong-ji toh bisa mencarinya lagi," sahut Hoa In-liong
dengan santainya. Sepintas lalu ucapan itu memang kedengarannya biasa dan tak ada sesuatu
keistimewaannya, bahkan malahan lebih mendekati jawaban yang seenaknya, tapi bagi pendengaran Pek
Siauthian justru berbeda jauh, dia malahan merasakan betapa gagah dan terbukanya
pikiran cucunya ini, bahkan dibalik kelembutan sebetulnya tersembunyi suatu kekuatan yang dapat
membuat orang jadi takluk dan kagum.. Tak terasa lagi ia tersenyum, sambil mengelus
jenggotnya dia berpikir, "Bocah ini betul-betul berhati sekeras baja, berjiwa besar, berotak
cerdik dan pandai menyelami perasaan orang, bila dididik secara betul dan terpimpin, niscaya
dikemudian hari akan menjadi seorang pemimpin dunia persilatan yang patut diandal kan"
ooooooooooo KARENA berpendapat begitu, Pek-siau-thian merasa hatinya jaun lebih lega katanya
kemudian dengan lantang, "Liong-ji hayo berangkat Ikut Gwa-kong ke- kuil Peks-ma-si."
"Waaah, tidak bisa," sahut Hoa In-liong setelah sangsi sebentar, "kuda dan
bekalku masih ada di rumah penginapan" Pek Siau-thian berpikir sejenak. kemudian sambil ulapkan tangannya ia berkata
lagi, "Baiklah, kalau begitu mari kita berkumpul dirumah penginapan"
Hoa In liong tidak mengerti apa sebabnya Gwa-kong mendadak jadi gembira sekali,
tapi berhubung ia sudah lama berpisah dengan kakeknya dan lagi iapun sudah amat rindu
dengan engkongnya ini tanpa berpikir panjang lagi ia maju ke muka dan sambil
menggandeng tangan si kakek tua itu berlalu dari ruangan.
Sekembalinya dirumah penginapan, Hoa In-liong memerintahkan pelayan untuk
siapkan sayur dan arak. selesai membersihkan badan kakek dan cucu berduapun bersantap sambil
bercerita. 101 Tampaknya Pek Siau-thian memang mempunyai maksud tertentu, ia berniat untuk
melatih Hoa In liong sehingga lebih perkasa dan lebih luas pengetahuannya. Mula-mula ia
menanyakan kisah Hoa In-liong ketika mendapat perintah untuk meninggalkan rumah, kemudian
menanyakan pula semua kejadlan dan peristiwa yang dijumpainya selama berada di kota Lok-yang.
Dengan tak Jemu-jemunya Hoa In-liong segera menjawab semua pertanyaan kakeknya
dengan jelas. Pek Siau-thian sendiripun lantas mendengarkan penuturan dari cucunya
sambil tersenyum. selesai bercerita, Hoa In-liong mendadak membuka telapak tangan kirinya dan
disodorkan kedepan, kemudian katanya, "Gwa- kong, semua persoalan tidak Liong-ji
pikirkan, tapi ada satu hal
yang tidak berkenan di hati Liong-ji, yakni ukiran huruf "benci" yang dibuat ibu
ditanganku, apakah Gwa-kong tahu apa maksudnya mengukir huruf tersebut?"
Pek Siau-thian melirik sekejap telapak tangan kirinya, kemudian ia balik
bertanya, "Apakah engkau merasa tidak senang hati, dengan kejadian itu?"
"Bukannya Lion-ji tak senang hati cuma Liong-ji merasa bahwa tindakan ini
sebenar nya sama sekali tak berarti...."
"Nenekmu adalah seorang pendekar wanita uang berjiwa besar dan berotak cerdas."
tukas Pek Siau-thian dengan cepat, "jangankan orang lain, aku sendiripun amat
mengaguminya, aku percaya semua .perbuatan yang ia perintahkan pasti mempunyai arti dan maksud
yang mendalam, hanya engkau belum berhasil menangkap artinya."
"Lalu apa maksudnya?" seru Hoa In-liong sambil menatap Gwa-kong nya tajam-tajam,
"ibu dan nenek semuanya bilang bahwa mereka tidak membenci aku, tapi aku tak dapat
memecahkan maksud dan arti di balik kesemuanya ini, kadangkala aku tak tahan dan memikirkan
persoalan ini, namun sekalipun aku sudah putar otak memeras keringat, toh akhirnya masih
tetap merupakan suatu persoalan simpul mati."
Pek-siau-thian tersenyum setelah mendengar perkataan itu ujarnya, "Bila ingin
menjadi seorang yang besar dan terkenal, pikiran dan jiwamu harus lapang, persoalan sepele dan
masalah kecil jangan selalu dipikirkan di hati, bukan saja kejadian itu bisa menutupi
kecerdasan otakmu bahkan amat mengganggu kesehatan badan, bila tak berhasil dipecahkan lebih baik
tak usah dipikirkan-" "Aaaai Gwa-kong, ucapanmu ini persis seperti perkataan nenek" gerutu sang pemuda
dengan wajah murung, "cobalah bayangkan, Liong-ji harus memikul tugas yang sangat berat
ini, masakah aku tak boleh menyelidiki tiap persoalan yang sedang kuhadapi" Sebelum
berangkat, ibu telah mengukir huruf "benci" itu di atas telapak tangan Liong-ji apakah
liong-ji harus berdiam diri belaka." Pek-siau thian mengelus jenggotnya dan tersenyum.
"Lalu bagaimana menurut jalan pikiranmu" Apakah tulisan itu ada hubungan yang
erat dengan peristiwa pembunuhan berdarah ini?"
"Tentu saja," jawab pemuda itu cepat, "kalau tak ada sangkut pautnya dengan
peristiwa berdarah itu, mengapa sewaktu mengukir huruf tersebut nenek bersikap amat
serius. Gwa-kong, tahukah kau bahwa pada waktu itu ibu merasa tak tega, tapi nenek yang memaksa
terus untuk mengukir huruf itu ditangan Liong-ji."
"Liong- ji, kau tak boleh bicara sembarangan!" mendadak Pek-siau-thian menukas
dengan wajah serius, "nenekmu adalah ksatria sejati diantara kaum perempuan, baik kecerdasan
otak maupun 102 pengetahuannya jauh lebih hebat dari siapapun, kalau ia memaksa untuk berbuat
demikian, itu berarti ia mempunyai maksud tertentu ketahuilah menyalahkan angkatan yang lebih
tua adalah...." Kata selanjutnya tak lain adalah kata-kata nasehat yang setumpuk bukit, dengan
watak Hoa ln liong yang binal, ia segan untuk mendengarkan " nasehat" tersebut, tapi iapun
mengerti betapa sayangnya Pek Siau-thian terhadap dirinya, maka ia berkata kemudian, "Apa
alasannya" Kalau tidak diterangkan bukankah itu berarti bahwa Liong ji selalu harus memikirkan
soal 'Benci', 'Benci' pada langit, 'Benci' pada bumi dan mungkin harus 'benci' terhadap setiap manusia
yang ada di kolong Langit?" "Ngaco belo!" bentak Pek Siau-thian dengan keras.
Mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, tanpa terasa kakek tua itu jadi
tertegun dan berdiri termangu-mangu. Hoa In-liong sendiripun agak tertegun menyaksikan keadaan gwa-kongnya itu,
dengan tercengang ia lantas berseru, "Gwa-kong, kenapa kau" Apakah berhasil menemukan
alasannya?" "Jangan berisik dulu," sela Pek-siau-thian sambil ulapkan tangannya, "biar
kupikirkan persoalan ini dengan seksama."
Hoa In-liong mengerdipkan matanya, lalu berpikir, "Benar, Gwa-kong dimasa lalu
adalah seorang pemimpin dunia persilatan yang tersohor dan mempunyai kedudukan tinggi, ia pasti
mengetahui banyak tentang Giok-teng hujin, apa salahnya kalau kugunakan kesempatan ini
untuk mencari tahu tentang dirinya?"
Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, Pek Siau-thian telah menatap
tajam cucunya sambil bertanya, "Liong-ji, pernah kau dengar tentang seorang jago lihay
dimasa lampau yang bernama Kiu-im kaucu?"
Hoa In-liong ingin cepat-cepat menjawab, sambil mengangguk segera sahutnya,
"Menurut apa yang Liong-ji dengar, Kiu-im kaucu adalah seorang perempuan berilmu tinggi,
orang itu licik, banyak akal busuknya dan kejam..."
"Ehmm" Pek Siau-thian mengangguk. "Suma Siok-cubomu dulunya adalah tiamcu dari
istana neraka, dengan Suma siok-ya mu...."
"Apa?" tukas Hoa In-liong tercengang "bukankah perkumpulan Kiu-im-kau adalah
perkumpulan kaum sesat?" Pek Siau-thian mengangguk.
"Perkumpulan Kiu-im-kau memang suatu perkumpulan kaum sesat, Tiancu istana
neraka itu

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah bertarung melawan Suma siok-ya mu, berhubung usia mereka sebaya dan ilmu
silatnya seimbang, sejak terjadinya pertarungan itu mereka selalu memikirkan pihak
lawannya. Kemudian saat Suma siok-ya mu sedang berpesiar, diatas bukit Lak-siau-san mereka berjumpa
untuk kedua kalinya, waktu itu mereka berpesiar selama beberapa hari mengunjungi tempat
kenamaan, ketika hubungan mereka kian lama terasa kian bertambah cocok. akhirnya Yu-beng tiamcu
ini melepaskan diri dari perkumpulan Kiu-im-kau dan menemani Suma siok-ya mu
berkunjung kedaratan Tionggoan dimana, akhirnya atas persetujuan dari nenekmu, merekapun
menikah menjadi suami istri."
103 "Aaah, kiranya siok cubo melepaskan diri secara diam-diam dari perkumpulan Kiu-
im-kau," pikir Hoa In-liong dalam hati, "tak aneh kalau sepanjang tahun jarang keluar pintu
gerbang, bahkan berkunjung kerumahpun hampir tak pernah."
Meski dalam hati berpikir demikian, di luaran ia berkata, "Jadi maksud gwa-kong,
otak dari pembunuhan berdarah atas diri Suma siok-ya dan siok cubo ini tak lain adalah
Kiu-im kaucu?" "Benar atau tidak kita harus melakukan penyelidikan lebih jauh, tapi
bagaimanapun juga kita tak
boleh melepaskan titik terang dengan begitu saja."
Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu menyambung, "Aah aku rasa belum tentu
begitu. Menurut kisikan dari nenek. agaknya beliau menaruh curiga bahwa persoalan ini ada
hubungannya dengan Giok-teng Hujin, sebab tanda pengenal yang ditinggalkan pembunuh itu tak
lain adalah sebuah hiolo kecil berwarna ungu kemala."
"Aku bisa menduga sampai kesitu justru karena secara tiba-tiba teringat akan
diri Giok-teng hujin ini." "Oooh... kiranya dugaan kalian ada kemiripannya antara yang itu dengan yang lain!"
seru Hoa Inliong seperti baru sadar, "Gwa-kong, cepatlah terangkan, bagaimana
dengan Giok-teng hujin itu?" "Aku sendiripun mendengar cerita ini dari cu-in taysu. Katanya di masa lalu
ayahmu, entio-mu, dan Suma siok-ya mu pernah menerima budi kebaikan dari Giok-teng- hujin,
kemudian sewaktu Giok-teng hujin mendapat musibah, ayahmu dan Suma-siokya mu bersama-sama datang
ke kota Cho Ciu untuk memberi pertolongan, menurut keterangan Cu in taysu, pada waktu
itu Giok-teng hujin sedang menjalankan siksaan Im hwe lee hun (api dingin melelehkan sukma),
siksaan itu amat keji dan melanggar peri kemanusiaan, ketika menyaksikan keadaan tersebut
ayahmu amat sedih dan gusar sehingga mendekati kalap. apa yang dipikirkan olehnya waktu itu
hanyalah membunuh manusia sebanyak-banyaknya."
(untuk jelasnya silahkan membaca: Bara Maharani oleh penyadur yang sama).
Ketika mendengar kisah tersebut, Hoa In-liong segera mengerutkan dahinya dan
berpikir dihati. "Siksaan api dingin melelehkan sukma memang merupakan suatu siksaan yang keji
dikolong langit, sekalipun aku yang temui kejadian juga akan naik darah, apalagi ayah
pernah mendapat budi dari Giok-teng hujin, tentu saja kemarahannya mendekati kekalapan setelah
menjumpai kejadian itu, tapi apa sangkut pautnya antara kejadian itu dengan kematian Suma
siok-ya serta ukiran huruf 'benci' diatas telapak tanganku ini?"
Pek Siau-thian sudah sering bergaul dengan cucunya ini semenjak masih bayi,
sekilas memandang tampang cucunya, ia lantas dapat menebak apa yang dipikirkannya, maka
ujarnya lagi, "Liong-ji, apakah engkau menganggap ayahmu ingin membunuh orang hanya
disebabkan oleh dorongan emosi dan kemarahan saja.?"
"Apakah dibalik kejadian ini masih terdapat sebab-sebab lain....?" Hoa In-liong
balik bertanya setelah tertegun sejenak.
"Tentu saja, Ayahmu sudah kenyang mengalami penderitaan, watak dan keteguhan
imannya jauh berbeda dengan manusia biasa, padahal dalam dunia persilatan banyak
terdapat kejadiankejadian yang gampang membuat orang naik darah bila setiap kali
marah dia lantas ingin 104 membunuh orang, berapa banyak sudah manusia yang akan terbunuh oleh ayahmu" Dan
darimana mungkin ia bisa melakukan pekerjaan besar?"
"Lalu sebenarnya mengapa ia sampai berbuat demikian?" desak si anak muda itu
cepat. Pertanyaan ini diajukan dengan hati yang gelisah seakan-akan sudah tak sabar
untuk menanti lebih lama lagi, melihat keadaan cucunya ini Pek Siau-thian kembali berpikir,
"Bun Tay-kun amat ketat mendidik keturunannya sedang persoalan, ini menyangkut soal muda-mudi
Seng-ji (Hoa Thian-hong) dimasa mudanya, aku harus mengelabuhi beberapa bagian yang tak perlu
dihadapan Liong-ji, tapi bagaimana aku harus mulai dengan jawabanku....?"
Setelah termenung beberapa saat lamanya, Pek Siau-thian menghela napas panjang
dan menjawab. "Dahulunya Giok-teng hujin juga merupakan anak buah dari Kiu-im-kau, ketika itu
ia sangat sayang terhadap ayahmu, hubungan mereka lebih akrab dari kakak beradik, sejak
perkumpulan Kiu-im-kau secara resmi munculkan diri lagi dalam selat Cu-bu-kok, ia selalu
memusuhi ayahmu dan berusaha merampas pedang baja ayahmu."
Sebagai seorang pemuda yang cerdas, tentu saja Hoa In-liong dapat menangkap
maksud lain dibalik ucapan tersebut, ia lantas menyela..
"Tentang peristiwa perebutan pedang baja itu, Liong-ji sudah pernah tahu, pedang
itu direbutkan karena dalam pedang tersebut disimpan sejilid kitab Kiam-keng yang lihay. Jadi
kalau begitu tujuan Kiu-im kaucu melakukan penyiksaan Api dingin melelehkan sukma adalah
untuk memaksa ayah untuk menyerah?"
Pek Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
"Padahal pada waktu itu ayahmu sudah berhasil mendapatkan kitab Kiam-keng,
sebagai seorang pendekar yang mengutamakan budi, dalam perkiraan Kiu-im kaucu jika ia gunakan
siksaan yang keji untuk menyiksa Giok-teng hujin, maka bila ayahmu bertekuk lutut..."
"Aaaah, sekarang, aku sudah paham!" tiba-tiba Hoa In-liong berseru lantang,
"tentunya ayahmu tak sudi menyerahkan pedang baja itu, maka Giok-teng hujin mendendam persoalan
itu dalam hati kecilnya karena..."
Siapa tahu Pek Siau-thian gelengkan kepalanya sambil menukas, "Keliru, keliru
besar" Giok-teng hujin bukan perempuan biasa, cinta kasihnya terhadap ayahmu boleh diibaratkan
tingginya langit dan tebalnya bumi, ia rela menderita siksaan yang lebih hebat sepuluh kali lipat
lagi daripada menyaksikan ayah mu terhina dan tercela namanya."
Hoa In-liong jadi tertegun.
"Aaah... kalau memang begitu, kebanyakan "otak" dari pembunuhan berdarah itu
adalah Kiu-im kaucu." Pek Siau-thian mengerutkan dahinya.
"Liong-ji, untuk menyelidiki siapakah otak dari pembunuhan berdarah ini, kau tak
boleh memecahkannya berdasarkan dugaan, dengarkan dahulu penjelasanku lebih jauh."
105 Sekali lagi Hoa In-liong tertegun, dengan wajah tercengang bercampur curiga dia
amati kakeknya. Setelah menghela nafas panjang, Pek Siau-thian berkata lebih jauh, "Menurut
keterangan dari Cu-in Taysu, sebelum seseorang menjalankan siksaan api dingin melelehkan sukma,
maka diulas dada sang korban akan ditaburi dulu dengan sejenis racun yang dinamakan Miat-
ciat-im-leng (bubuk phospor pelenyap keturunan) , kemudian dengan menggunakan........
Jilid 6 SEBUAH lentera Lian-hun-teng (lentera peleleh sukma) yang khusus terbuat dari
hawa racun katak paru, racun phospor itu akan dihisap sedetik demi sedetik, setelah
menjalankan siksaan terbakar perlahan-lahan selama tujuh hari tujuh malam, sang korban akan mati
karena hawa racun menyerang jantungnya. Liong-ji coba bayangkan, sebelum mati orang yang
tersiksa akan mengalami penderitaan yang amat hebat, betapa kejam dan ngerinya keadaan
tersebut?" Hoa In-liong membungkam dalam seribu bahasa, hawa gusar dan jengkel jelas
tercermin diatas wajahnya. Sekali lagi Pek Siau-thian menghela napas panjang, ujarnya lebih jauh, "Siksaan
tersebut betulbetul amat keji dan tak berperikemanusiaan, tentu saja ayahmu amat
gusar setelah menyaksikan
kejadian itu, tapi berulangkali Glok-teng hujin berpesan kepada ayahmu agar
jangan mau tunduk pada perintah orang, tak boleh mandah diperintah orang, kalau tidak maka
sekalipun ia bisa ditolong dalam keadaan hidup, tapi dia akan bunuh diri, Liong-ji, coba pikirlah
betapa bergolaknya perasaan ayahmu pada waktu itu."
Mendengar ucapan tersebut, mencorong sepasang mata Hoa In-liong sinar mata itu
setajam sembilu dan mengerikan sekali, melihat hal itu Pek Siau-thian segera berseru,
"Liong-ji, dengarkan baik-baik, aku hendak membicarakan tentang soal yang pokok."
Hoa In-liong tersentak kaget ia segera menyahut, "Katakanlah Gwa-kong, Liong-ji
akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh...."
"Pada waktu itu ayahmu merasa hatinya remuk rendam, dalam gusar bercampur emosi,
ia berhasrat untuk membunuh habis semua anak buah perkumpulan Kiu-im-kau, kemudian
akan beradu jiwa dengan Kiu-im-kaucu. Cu-in taysu yang berhati welas jadi kasihan dan
tak tega, ia tak ingin menyaksikan anak buah perkumpulan Kiu im kau bergelimpangan menjadi
mayat maka cepat ia perintah ayahmu untuk memusatkan pikiran dan tenangkan hati padahal
ayahmu sedang emosi dan diliputi kemarahan, dia pun tak berani membangkang perintah angkatan
yang lebih tua, seperti harimau terluka ia lantas berteriak keras, "Taysu berwelas kasih,
boanpwe menanggung benci" Sampai disini ia berhenti sebentar, ditatapnya Hoa In-liong lekat-lekat kemudian
melanjutkan, "Liong-ji, tahukah engkau kata 'benci' itu bagaimana mungkin bisa diucapkan
keluar?" Hoa In-liong memutar biji matanya lalu menjawab, "Tentu saja patut dibenci. Kiu-
im kaucu mengancam dengan menyandera orang, sedang ayah harus menolong orang terlepas
dari siksaan, namun ia tak dapat membalas cinta kasih Giok teng hujin, tak dapat pula
menukar sandera dengan kiam-keng, sekalipun membunuh orang mengadu jiwapun tak dapat
menolong keadaan tersebut, sebaliknya orangnya harus ditolong, dalam keadaan begini tentu
saja ia merasa benci sekali."
106 "Jadi kalau begitu, kau juga memiliki perasaan yang sama seperti ayahmu tempo
dulu?" selidik Pek Siau-thian. Dengan terus terang dan blak-blakan Hoa In-liong menjawab, "Setelah menerima
setitik budi kebaikan dari orang, sepantasnya membayar budi itu dengan cara apapun, bila
liong-ji yang menghadapi peristiwa itu, mungkin rasa benci Liong-ji berlipat kali akan lebih
hebat daripada ayahku" Pek Siau-thian menghela napas panjang.
"Aaai....meski manusia mempunyai perasaan yang sama dan perasaan yang sama
disadari oleh alasan yang sama, tapi toh belum tentu diterima oleh masyarakat luas sebagai
tindakan yang benar." Tiba-tiba paras mukanya jadi serius, dengan keren sambungnya lebih lanjut,
"Liong-ji, tentunya pada saat ini kau sudah memahami bukan apa sebabnya ibumu mengukir huruf 'benci'
diatas telapak tanganmu?" Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu bertanya keheranan, "Kenapa" Masa huruf
'benci' itu timbul lantaran ayah?"
Telapak tangan kirinya direntangkan lebar-lebar lalu diamatinya huruf 'benci'
itu sekali demi sekali, tapi makin dilihat ia merasa semakin bingung dan tidak mengerti, ia
benar-benar tak berbasil menemukan jawaban yang menunjukkan bahwa huruf 'benci' yang berwarna
biru tua ini mempunyai hubungan yang erat dengan perbuatan ayahnya dimasa lampau.
Ketika Pek-siau-thian melihat anak muda itu masih juga bingung dan tak habis
mengerti, ia lantas menghela napas panjang.


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaaa.... pada hakekatnya huruf 'benci' yang dialami ayahmu dimasa silam timbul
lantaran cinta, Andaikata Giok-teng hujin tidak menaruh rasa cinta, ia tak akan begitu sayang
dan membantu ayahmu, dan iapun tak akan bersedia menerima siksaan, daripada menyaksikan
ayahmu harus tunduk pada perintah orang dan mendapat penghinaan, sebaliknya ayahmu jika tidak
menaruh rasa cinta pada Giok-teng hujin, sekalipun demi keadilan dan kebenaran,
kegusaran dan kepedihan hatinya tak akan mencapai pada puncaknya, diapun tak akan mencari
orang untuk mengadu jiwa, dan ketika didesak sampai posisi apa boleh buat diapun tak akan
mengucapkan kata-kata "menanggung benci", dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa cinta
antara muda mudi, kadang kala mudah mendatangkan kerepotan dan kesulitan bagi diri sendiri"
Hoa In-liong mengedip-ngedipkan matanya, dengan sikap setengah mengerti setengah
tidak, ia mengerutkan dahinya. "Liong-ji apakah kau belum juga mengerti?" tiba-tiba Pek Siau-thian bertanya
lagi dengan wajah serius " nenekmu memaksa ibumu untuk mengukir huruf 'benci' diatas telapak
tanganmu, lantaran dia tahu bahwa kau terlampau romantis, sejak kecil suka main perempuan
dan bertukar pacar maka dengan ukiran tersebut ia berharap agar engkau bisa mawas diri dan
menjaga diri baik-baik sehingga tidak ikut terjerumus seperti apa yang pernah dialami ayahmu
dimasa lalu, sebab kalau sampai terjerumus dalam kesulitan, saat itu mau menyesalpun sudah
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 19 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Dendam Empu Bharada 20
^