Pencarian

Penghuni Kuil Neraka 2

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Bagian 2


Jauh. Mengenang saat-saat dia kehilangan seorang
yang dekat dengannya di Tanjung Karangbolong, Nyai
Cemarawangi. Seorang wanita yang sudah seperti ibu
angkatnya. Karena itu, dia pun bisa merasakan pera-
saan Sukma Sukanta.
(Tentang tokoh wanita ini, bacalah episode :
"Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
Sukma mengernyitkan kening. Ditatapnya wa-
jah Satria dalam-dalam. Bocah yang sepengetahuan-
nya adalah seorang yang tak banyak mulut kini bisa
bicara tepat dengan perasaan yang dialami beberapa
hari belakangan ini.
"Kakang, aku akan senang sekali bila dapat
membantu penderitaan yang Kakang rasakan seka-
rang." Wajah Sukma berbinar. Dia merasakan satu tawaran ikhlas keluar dari mulut
bocah berkepribadian mengagumkan. Sebelum sempat mengatakan apa-
apa.... Tok tok tok!
Pintu diketuk seseorang.
Sukma dan Satria saling tatap sejenak. Kemu-
dian Sukma sendiri yang membuka pintu. Setelah di-
buka, ternyata Bi Emban, pelayan adipati.
"Ada apa, Bi Emban?"
"Tuan berdua dipanggil untuk menghadap Kan-
jeng Adipati sekarang juga," jawab Bi Emban. Lalu, dia memohon diri.
"Ada apa, Kang?" tanya Satria.
"Kita diminta menghadap adipati sekarang," jawab Sukma Sukanta. Lalu dia
merapikan pakaian dan
rambutnya yang kusut. Satria latah ikut-ikutan.
Sekiranya menurut Sukma sudah siap, kedua
sahabat baru itu langsung beranjak untuk menghadap
Kanjeng Adipati.
Sementara di balai kadipatenan, sudah ada li-
ma sesepuh setempat yang sengaja diundang pada ma-
lam itu juga oleh Adipati Wisnu Bernawa. Mereka du-
duk berjajar menghadap timur. Kelima sesepuh itu
berperawakan sama. Dua orang menggunakan baju
dan celana pangsi hitam. Yang satu berkumis lebat
dan bergaris alis hitam. Rambutnya masih berwarna
hitam. Sedangkan yang lain tidak berkumis. Matanya
cekung dan bergaris alis tipis berwarna putih dengan rambut putih pula. Kedua
orang itu tampak akrab sekali. Mereka bercakap-cakap berdua tanpa mempedu-
likan tiga orang lain di sisi mereka.
Tiga orang yang lain, tampaknya jengkel juga
melihat kedua sosok tua berpakaian hitam-hitam. Me-
reka seperti tak tahu adat, ngobrol berdua saja tanpa mempedulikan yang lain.
Walaupun tampak jengkel, ketiga orang itu ma-
sih bisa bersikap ramah. Karena mereka menyadari
keberadaan mereka di balai kadipatenan atas undan-
gan langsung adipati.
Tak lama kemudian, muncul Sukma Sukanta
dan Satria, mereka menghaturkan sembah kepada
yang hadir. "Rupanya ada yang lebih dahulu di sini," basa-basi Sukma.
Kelima orang tadi membalas dengan senyum.
Satria lain sendiri. Matanya justru mendelik ketika pandangannya tertumbuk ke
arah deretan paling pinggir sebelah kiri. Di situ ada sesepuh desa bertubuh
kurus, berkepala botak licin. Tak sehelai rambut pun
tumbuh di kepalanya. Tubuh kurus itu dibungkus
dengan baju putih yang agak kusut dan kusam. Satria
jadi teringat pada gurunya, Dongdongka alias Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul. Ada sedih bila Satria mengenang jasanya. Ada lucu
bila Satria terbayang kepala klimisnya.
Orang berkepala botak sadar kalau dirinya di-
perhatikan Satria.
"Ada apa, Kisanak muda ini menatap aku de-
mikian" Apakah aku mirip dengan kakek moyangmu?"
dengusnya. Rupanya dia tidak enak hati.
"Ya, Ki. Aki ini mirip sekali dengan guruku!"
"Apanya yang mirip" Wajahku, penampilanku,
atau... kepalaku?" Rupanya Aki berkepala botak itu ja-di juga jengkel. Terdengar
dari nada suaranya yang ketus.
"Semuanya, Ki."
"Kalau begitu, gurumu itu orang yang jelek se-
perti aku."
Satria akhirnya cuma bisa cengar-cengir serba
salah. "Bocah edan. Rupanya gurumu tidak menga-
jarkan tata-krama, sehingga kau berani bicara semba-
rangan," Keempat sesepuh yang lain tampak kebingun-
gan melihat tingkah Satria yang terlalu polos. Kecuali Sukma. Dia sudah cukup
mengenal Satria dan maklum karenanya. Bibirnya cuma menyembulkan se-
nyum tipis. "Bocah edan, siapa nama gurumu hingga kau
samakan tampangnya denganku?" susul sesepuh berkepala botak, penasaran.
Satria geli sendiri. Rupanya orang satu ini tidak
menerima bila disamakan dengan guruku, nilainya da-
lam hati. "Bocah edan, ayo sebutkan siapa gurumu itu?"
desak sesepuh botak. Marahnya menjadi dua kali lipat karena pertanyaannya tak
kunjung mendapat jawaban. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menye-
butkan siapa gurunya sebenarnya. Alasannya bukan
karena dia malu memiliki guru yang terkenal dengan
tabiat 'sinting-sintingan'-nya. Hanya saja, dia tak ingin membuat keributan
kecil jika nama atau julukan tua
bangka sakti itu disebut-sebut. Tahu sendiri, selaku sesepuh dunia persilatan tanah Jawa,
nama Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah tercekam kuat di be-
nak hampir seluruh warga persilatan. Bahkan orang
biasa saja masih banyak yang mengetahui nama dan
julukannya. Kalau nanti Satria mengaku sebagai mu-
ridnya, apa tidak membuat kegemparan kecil"
Lagi pula, apa mereka mau begitu saja percaya"
Jangan-jangan, bukan mendapat sanjungan, malah
didapatnya cemoohan. Disangkanya nanti dia mem-
bual seperti tukang obat di pinggir jalan kotapraja,
atau seperti para pedagang dan usahawan yang rajin
membual untuk mengeruk keuntungan, atau....
"Bocah, ayo jawab!"
Bentak sesepuh kepala botak lagi. Nadanya
makin meruncing, makin menanjak. Bikin suasana
makin terasa tak enak.
"Guruku cuma seorang tua kesepian yang su-
dah begitu bosan kehidupan dunia...," jawab Satria, berusaha untuk menutup-
nutupi. "Aku cuma menanyakan namanya!" sambar se-
sepuh botak yang sudah kurus, galak pula.
Karena didesak, Satria akhirnya bicara apa
adanya. Peduli setan apakah nantinya semua yang
mendengar akan percaya atau tidak. Malah, barangkali lebih baik begitu, biar
jati dirinya untuk sementara tetap tertutup rapat.
"Guruku, Dongdongka...."
Kontan, tercenganglah semua orang yang hadir
di sana. Tak terkecuali Sukma Sukanta.
"Apa aku tak salah dengar?" kejar sesepuh botak. Parasnya menampakkan
ketidakpercayaan. Na-
mun, kemarahannya sudah agak surut oleh ketercen-
gangannya. Masih cukup bagus, pikir Satria. Ketim-
bang dia makin kalap karena merasa dibohongi.
Kelima orang di sana, termasuk Sukma Sukan-
ta langsung memandangi si pendekar muda dari ubun-
ubun ke ujung jempol kaki, lalu kembali lagi ke ubun-ubun. Mereka pernah
mendengar selentingan kabar
tentang ciri-ciri murid tunggal Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Sekarang mereka
hendak mencocokkan
dengan pemuda polos yang baru saja mengaku-ngaku
sebagai murid Sang Sesepuh.
Makin lama diteliti, wajah mereka makin tak
sedap bagi Satria. Memangnya enak diperhatikan den-
gan pandangan mereka yang seperti orang-orang yang
berhasil menangkap basah pencopet kampung"
Ketika mata sesepuh botak menangkap ujung
Kail Naga Samudera, parasnya berubah. Dari bersit
matanya tersirat bahwa dia kini percaya pada ucapan
Satria. Ada selintas rasa malu yang lantas disembu-
nyikan. "Ya, benar! Aku memang seperti gurumu, Cah!
Bahkan wajahku saja mirip beliau!" ledak sesepuh botak galak tadi, tiba-tiba.
Lalu dia tergelak-gelak sendiri.
Tengik juga orang satu ini. Sebelumnya dia be-
gitu gusar karena Satria mengatakan dia mirip dengan gurunya. Sekarang, dia
seperti bangga setengah modar. Sampai-sampai parasnya seperti mau modar bena-
ran! "Maafkan aku, Bocah. Aku yang tua ini terlalu cepat tersinggung. Kupikir
kau tadi berniat mengejek-ku...," tambahnya lebih jauh.
"Tidak apa-apa, Aki...," balas Satria.
Sementara Sukma Sukanta dan yang lain ma-
sih tetap menatapi si anak muda berambut kemera-
han. Sampai wajah mereka pun berubah seperti orang
yang baru saja mendapatkan ilham di atas jamban.
"Aku ingat! Aku ingat, sekarang!" cetus Sukma, tak kurang riuh dari sesepuh
botak tadi. Pandangan sekarang terpusat ke arah Sukma
Sukanta. "Kau Satria Gendeng itu! Ya, kau Satria Gen-
deng! Jangan coba main kucing-kucingan lagi dengan-
ku, Satria!" tukasnya nyaris berseru dengan paras ke-girangan.
Satria celingukan. Kiri... kanan, kanan... kiri.
Bibirnya tersenyum serba salah. Kartunya sudah ter-
buka sekarang. Tapi, rasanya kok seperti baru saja di-
telanjangi! Untung situasi yang lebih menyiksa daripada
menahan buang hajat bagi Satria Gendeng segera be-
rakhir ketika adipati datang.
Pintu masuk balai kadipatenan terbuka. Semua
yang hadir di sana melayangkan pandangan sejurus ke
arah pintu. Adipati Bernawa muncul.
Para sesepuh, Satria dan Sukma berdiri. Mere-
ka sama-sama membungkukkan badan. Adipati men-
gangkat tangan setinggi dada. Mereka pun menegak-
kan badan, lalu duduk kembali ketika adipati sudah
duduk terlebih dahulu.
Lima sesepuh, Satria dan Sukma duduk berja-
jar. Duduk paling pinggir adalah Ki Besi, seorang
empu pandai besi dari Desa Karang Kuruk. Di sebe-
lahnya, duduk lelaki tua seusia Ki Besi. Lelaki itu
mengenakan seragam kuning susu. Dia bernama Ki
Lengut. Di sebelah Ki Lengut, duduk orang tua berbaju merah hati dan bercelana
pangsi hitam tambalan. Dia
adalah Ki Sastro. Duduk di sebelah Ki Sastro, seorang tua berpakaian silat putih
bercelana warna coklat kuning bernama Ki Mangku Langit. Menyusul lelaki tua
berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat Namanya Ki
Durga. Sedangkan lelaki yang berpakaian sama den-
gannya tapi tak berkumis adalah Ki Sentul Gusti.
"Aku pribadi mengucapkan banyak-banyak te-
rima kasih atas kehadiran para sesepuh desa yang
kami undang secara mendadak," Wisnu Bernawa
membuka pembicaraan.
"Sama-sama Kanjeng!"
"Ada rencana apakah sehingga Kanjeng men-
gundang secara mendadak begini" Tidak seperti bi-
asanya...," tanya Ki Besi.
Adipati memalingkan wajah ke arah orang tua
gundul itu. "Kita semua mengetahui, bahwa akhir-akhir ini,
daerah kita sedang terancam. Kekejian yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian di
sebagian besar wilayah Kadipaten Lumajang sungguh sudah melampaui betas. Aku
tak mengerti, kenapa mereka hanya menghantui dae-
rah kita...."
"Mungkin ada sesuatu yang mereka inginkan
dari Kadipaten ini, Kanjeng!" Ki Sastro angkat bicara.
"Mungkin," timpal adipati, datar.
"Apa tindakan kita sekarang, Kanjeng?" tanya Ki Mangku Langit.
"Sebelumnya, kalian harus tahu dulu. Semalam
mereka mengacau ke sini. Mereka pun memerintah
aku untuk menyerahkan putriku pada purnama di bu-
lan ke tujuh."
Para sesepuh desa terdiam. Di wajah masing-
masing terbersit kegeraman.
"Jadi apa rencana Kanjeng?" ulang Ki Mangku Langit. "Rencanaku, aku ingin
mengundang para tokoh aliran putih untuk bergabung melawan Tujuh Dewa
Kematian. Untuk itu aku mengumpulkan kalian di si-
ni. Aku berharap kalian semua dapat membantu me-
nunjuk siapa saja tokoh-tokoh yang harus kita ajak
kerjasama."
Para sesepuh berembuk. Termasuk Sukma Su-
kanta. Satria bungkam. Sebagai orang paling muda,
dia tak mau banyak mulut. Nguping saja sudah bagus!
Kendati begitu, tetap saja para sesepuh mendesaknya
meminta pertimbangan ini-itu. Maklum, biar usia ter-
bilang mentah, mereka sudah banyak mendengar se-
pak-terjang Satria Gendeng yang banyak membuat ka-
langan berdecak kagum. Itu pun setelah mereka me-
nyadari siapa sebenarnya Satria. Kalau tidak, mungkin dia cuma dianggap anak
bawang. Tak lama rembukan tuntas. Tiga tokoh terpilih.
"Siapa yang nanti akan menyampaikan undan-
gan?" aju Ki Besi selang beberapa saat kemudian.
"Biar aku!" sergah Satria.
"Kau?" tanya adipati. Matanya menyiratkan
bahwa dia agak ragu pada kemampuan si anak muda.
Sukma Sukanta hendak memperkenalkan pada
adipati siapa sebenarnya Satria. Belum-belum, Satria sudah menyikut perutnya
diam-diam. Sampai Sukma
meringis menahan mual. Dengan isyarat mata. dimin-
tanya Sukma untuk tutup mulut.
"Percayalah, Kanjeng. Dia mampu melakukan-
nya...," sela Ki Besi. menebas keragu-raguan adipati.
Diliriknya Satria Gendeng. Orang tua itu tersenyum
penuh arti sambil mengelus-elus kepalanya yang kli-
mis.

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** TUJUH PAGI itu juga, Satria Gendeng berangkat menja-
lani tugas yang diemban dari Adipati Wisnu Bernawa.
Seekor kuda jantan gagah berwarna hitam telah dis-
ediakan oleh adipati untuknya. Dari halaman, pemuda
itu dilepas oleh adipati dan Sukma Sukanta.
"Heaaa!"
Usai memohon pamit, Satria menggebah ku-
danya. Kuda jantan meringkik. Kaki depannya menen-
dang ke depan, setelah itu berlari nyalang. Gerbang
yang masih tak karuan dilewati. Dua prajurit kekadi-
patenan memberi juraan serta ucapan selamat jalan
penuh semangat.
Sekitar tiga puluh tombak melewati gerbang,
seseorang menanti pendekar muda itu di bawah se-
buah pohon Beringin besar rindang. Dari kejauhan
agak sulit mengenalinya, karena rindangnya pohon.
Apalagi karena orang itu berdiri dengan posisi bersembunyi di sisi batang pohon.
Ketika sudah dekat, Satria harus memaksa kuda jantannya berhenti.
"Sedang apa Putri di sini?" tanyanya dengan wajah keheranan.
Orang di bawah pohon ternyata Pitaloka, putri
adipati. Gadis itu menghampiri Satria. Matanya melirik sesekali ke arah
kadipatenan, takut-takut mata prajurit memergokinya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Tuan Pende-
kar," kata Pitaloka sesampainya di sisi kuda Satria.
Satria turun. Tak enak hati dia tetap di atas
kuda sementara putri adipati di bawah. Persis di depan Pitaloka, si pendekar
muda tanah Jawa itu berdiri. Mereka hanya dipisahkan jarak kurang dari satu
tombak. Dalam jarak sedekat itu, Satria Gendeng baru
bisa melihat dengan jelas paras Pitaloka. Sungguh ayu, pikir Satria. Matanya
lembut. Garis wajahnya menawan, memancarkan kekuatan pesona kecantikan ga-
dis-gadis Jawa. Semalam, kenapa aku tak begitu me-
nyadari kalau gadis ini demikian ayu" Gumamnya
membatin. Apa karena gelap malam" Atau karena aku
terlalu malu untuk memperhatikannya karena berada
di dekat adipati....
Diperhatikan seperti itu, Pitaloka jadi jengah
sendiri. Kepalanya tertunduk. Pandangannya terbuang
ke tanah. Semu merah merekah di kedua belahan pi-
pinya. Satria sendiri baru menyadari kalau tatapannya sudah kelewatan. Kagum
boleh saja. Tapi kalau sampai membuat gadis semanis dia menjadi jengah, apa
tidak kelewatan namanya. Akhir-akhirnya, Satria jadi kikuk sendiri.
"Apa keperluan Putri denganku" Dan kenapa
harus bertemu di tempat ini" Apa Putri tidak tahu kemungkinan bahaya yang akan
menimpa Putri setelah
kejadian semalam?" Seperti tak sempat menarik napas, Satria meruntunkan
pertanyaan. Ini baru yang namanya gugup. Satria Gendeng merasa malu besar ka-
rena memperhatikan seorang gadis seperti menatapi
makanan lezat yang mengundang untuk disantap.
Brengsek sekali kau Satria, makinya pada diri sendiri.
"Aku tahu itu, Tuan Pendekar," ucap Pitaloka sambil tetap merunduk. Karena
jengah tetap berdiri
berhadapan dengan seorang pemuda tampan (meski
tatapan matanya agak kebodoh-bodohan), Pitaloka
membalikkan badan. Dua tindak dia melangkah. "Aku tahu bahaya apa yang akan
kudapat," ulangnya. "Tujuh Dewa Kematian memang meringankan diriku....
Tapi, aku benar-benar harus bertemu denganmu, Tuan
Pendekar."
"Panggil aku Satria saja."
"Aku pun sudah tahu itu."
"Kau sudah tahu namaku?"
"Aku pun sudah tahu siapa kau sebenarnya...."
Alis Satria bertaut.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku mencuri-curi pembicaraan kalian di balai
kadipatenan semalam. Kudengar Kang Sukma Sukanta
menyebut-nyebutmu sebagai Satria Gendeng.... Pende-
kar muda yang sering kudengar diceritakan oleh bebe-
rapa prajurit kadipatenan"
Satria nyengir sedikit. Sedikit cukup. Terlalu
banyak, takut disangka besar kepala.
"Ah, aku cuma orang kecil yang ingin keadilan
dan kebenaran tegak di bumi ini," katanya merendah.
Pitaloka berbalik.
"Karena itu, Kang Satria," mulai Pitaloka lagi.
Kini dia sudah mengganti panggilan 'Tuan Pendekar'-
nya dengan menyebut langsung nama Satria.
"Aku memohon sekali padamu agar dapat me-
nyelamatkan kadipaten ini dari kekejaman tangan Tu-
juh Dewa Kematian," sambung si gadis,
"Aku hanya berusaha. Semuanya Tuhan yang
menentukan, Putri...."
"Panggil aku Pitaloka."
"Pitaloka," ralat Satria, agak bergumam sungkan. "Aku berharap banyak padamu,
Kang Satria. Karena hanya kau yang kuanggap dapat diandalkan
untuk menyelesaikan petaka ini," tandas Pitaloka. Matanya yang jernih menatap
langsung Satria. Membuat
Satria merasa terpojok. Dia tertunduk. Sialan sekali, kenapa sekarang justru aku
yang jadi tak punya nyali memandang matanya! Rutuk Satria di hati.
"Kau mau berjanji, Kang Satria?"
"Hah?" Satria gelagapan sendiri. Pertanyaan Pitaloka datang ketika pikirannya
sendiri sedang ke ma-na-mana.
"Kau mau berjanji padaku?" ulang Pitaloka.
Gadis itu melangkah tambah dekat ke arah Satria.
Tampaknya dia ingin agar Satria mengucapkan janji.
Satria agak 'panas-dingin'. Dia memang jenis
pemuda lugu yang jarang berurusan dengan perem-
puan. Terutama perempuan seayu Pitaloka. Itu bisa
membuat perasaannya jungkir balik.
"Ya, aku berjanji," gegas Satria, seraya buru-buru menaiki kuda kembali. Dia
cuma takut, kalau-
kalau Pitaloka memergoki kegugupannya. Wuh, pasti
malu besar kalau sempat terjadi!
Mendengar ucapan Satria, Pitaloka tersenyum,
seperti membayar janji itu dengan senyum menawan-
nya. "Sekarang sebaiknya kau segera kembali, ng....
Pitaloka. Aku tak ingin terjadi apa-apa pada dirimu."
kata Satria, setelah menyiapkan tali kendali.
Pitaloka merunduk. Perkataan terakhir Satria
membuatnya risih.
Satria meringis. Slompret sekali, apa yang baru
kuucapkan barusan! Rutuknya membatin. Tak mau
jadi serba salah lebih lama, Satria Gendeng segera
menggebah kuda jantannya.
Pitaloka melepasnya dengan pandangan penuh
harap. Sampai Satria menghilang di kejauhan.
* * * Waktu terus bergulir. Cepat bagai sekedipan
mata. Bola penerang jagat sudah mendekati titik ter-
tingginya. Sinar mentari yang menyorot garang tak
membendung perjalanan seorang penunggang kuda.
Dia adalah Satria Gendeng.
Kadipaten Lumajang sudah jauh tertinggal kira-
kira dua kali penanakan nasi perjalanan. Satria yang duduk di punggung kuda
hitamnya tiba-tiba menghentikan langkah kuda persis di persimpangan jalan. Pe-
muda berkepribadian mengagumkan itu mengeluarkan
sesuatu berbentuk gulungan kecil dari kulit yang se-
lama ini terselip di pinggangnya. Gulungan kulit terse-
but adalah undangan yang ditujukan kepada tiga to-
koh sakti aliran putih. Mereka terdiri dari tokoh yang namanya hampir terlupakan
di dunia persilatan.
Satria membuka gulungan, lalu membacanya.
Pada gulungan pertama, Satria menemukan tulisan;
'Untuk Ki Jerangkong bergelar Dewa Gila di
Lembah Pangrango, untuk Pengemis Tuak alias Ki Dagul di Pesisir Tuban, dan untuk
Arya Wadam....'
Tiga lembaran berikutnya berisi sama. Masing-
masing gulungan ditujukan untuk ketiga tokoh yang
tertera pada gulungan pertama.
'Aku mengundangmu untuk datang ke Kadipaten
Lumajang. Ada kegentingan di Kadipaten Kami. Untuk itu, dengan segala hormat,
aku meminta kesediaanmu untuk menyingsingkan lengan membantu kesulitan ka-mi.
Kesulitan kami tersebut bersangkut-paut dengan sepak terjang Tujuh Dewa
Kematian. Tertanda, Wisnu Bernawa'
Selesai membaca, Satria menggulungnya kem-
bali. Diselipkannya ke tempat semula.
"Hm, ke mana dulu aku mesti pergi" Ke Pan-
grango, atau ke Tuban?"
Satria terdiam sebentar. Tangannya mengga-
ruk-garuk kepala. Bibirnya meringis.
"Ke mana pula aku harus menemukan Arya
Wadam" Adipati tak menjelaskan dalam surat perin-
tahnya. Tapi tak mungkin adipati lupa menuliskan
tempatnya...."
Mulut pendekar muda itu komat-kamit kemba-
li. "Sebaiknya aku ke Lembah Pangrango dulu. Se-
telah itu ke pesisir Tuban. Urusan di mana Arya Wa-
dam, bisa kupikirkan belakangan!" putusnya kemudian. "Ngomong-ngomong, sekarang
ini sudah masuk hari ke berapa bulan ke berapa, ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Dia celingukan mencari orang lewat yang mungkin bisa ditanyakan tentang hal itu.
Tak ada satu batang hidung pun ditemui, dia menampar jidatnya
sendiri, disusul makian sebal.
"Setan alas, tidak ada seorang pun yang lewat!
Ke mana aku harus bertanya?"
Dari kelokan jalan di kejauhan, muncul pemu-
da sebayanya. "Nah, ada orang lewat!" ujar Satria, nyaris berjingkat di atas kuda. Dia segera
turun dari atas ku-
danya. Dia berdiri di sisi kuda, memegangi tali kendali.
Pemuda tadi kebetulan lewat di dekatnya. Seorang pe-
muda dekil yang melangkah kuyu. Lusuh mukanya
seperti dirundung putus cinta. Pipinya biru seperti ba-ru dipukuli orang
sekampung. "Saudara," tegur Satria.
Pemuda dekil tetap berlalu, acuh tak acuh.
"Saudara Muda, aku ingin bertanya!" susul Satria lagi, mengutarakan maksudnya.
Pemuda dekil tadi menoleh. Wajahnya tak me-
nawarkan sebetik pun keceriaan.
"Mau tanya apa kau"!" ketusnya
Satria merengut.
"Ke mana arah Lembah Pangrango?" katanya.
"Kau harus menuju matahari tenggelam," jawab Pemuda Dekil seraya mengacungkan
tangan malas. Selesai menjawab, dia pun melanjutkan langkah. Baru
beberapa jejakan kaki, Satria mencegahnya.
"Tunggu Saudara Muda, aku ingin bertanya sa-
tu lagi!" "Tanya apa lagi"!" sungut Pemuda Dekil.
"Sekarang hari ke berapa bulan ke berapa?"
"Kau manusia hidup atau sudah mampus"
Dengan hari yang sering kau lewati saja tidak tahu!"
Pemuda Dekil kembali meneruskan langkah.
"Hai, Saudara Muda! Tolong jawab dulu perta-
nyaanku!" seru Satria, setengah berteriak, setengahnya lagi dongkol.
Tapi Pemuda Dekil tak mempedulikannya. Me-
noleh saja tidak. Dia berjalan gontai dengan kepala tertunduk-tunduk dan wajah
suntuk. Barangkali telin-
ganya sudah ditutup rapat-rapat oleh setan buduk,
umpat Satria membatin.
"Oh, nasib.... Mengapa aku memiliki nasib se-
perti ini?"
Di kejauhan, si Pemuda Dekil meratapi nasib-
nya. Kepalanya lalu mendongak ke langit seraya me-
nengadahkan tangan.
"Oh, Hyang Widhi... kenapa kau biarkan ham-
ba-Mu telantar seperti ini?"
Pemuda Dekil itu terus menyambung ratapan-
nya. Kalau ada orang yang kebetulan berpapasan, tak
diragukan mereka akan menganggapnya gila. Dia sen-
diri seperti tak peduli. Langkah terus diseretnya sampai dia berhenti di depan
sebuah batu cadas. Matanya menatap ke depan. Pandangannya kosong melompong.
Satria cuma bisa geleng-geleng kepala menyak-
sikan dari kejauhan. Tak lama, dia memutuskan un-
tuk segera melanjutkan perjalanan.
*** DELAPAN HARI menjelang malam. Di suatu desa di mana
para penduduknya selalu diliputi ketakutan. Terutama mereka yang memiliki bayi,
rasa takut lebih menghantui. Takut kalau-kalau Tujuh Dewa Kematian mengin-
ginkan bayi mereka.
Malam menjenuh. Rembulan pucat, ditabiri
awan pekat. Dari ujung desa, muncul sesosok tubuh di ke-
gelapan malam. Dia berjalan. Langkahnya terseok-
seok. Tangan kanannya mendekap perut. Kurus tu-
buhnya, dibungkus sehelai pakaian yang kolor kecok-
latan. Rambutnya kusut masai tertumpuk debu. Di-
alah pemuda dekil yang siang tadi berpapasan dengan
Satria Gendeng.
"Oh, nasibku yang malang.... Kenapa sampai
saat ini belum juga berganti senang" Hyang Widhi,
Engkah Maha Tahu. Sampai kapan aku menanggung
nasib ini" Kini perutku lapar...."
Terdengar keluh kesahnya yang seperti tak pu-
tus-putus sejak siang tadi. Sejurus dia berdiri diam, mengamati rumah-rumah
gubuk di sepanjang jalan setapak desa.
"Hoi, Orang-orang Kampung! Apakah kalian
memiliki sedikit sisa makanan" Berilah aku, sekadar
untuk mengganjal perut yang seharian belum bertemu
makanan!" Di tengah-tengah kesunyian, dia berteriak-
teriak. Tak lagi dia peduli pada apa pun atau siapa pun. "Wahai awan hitam
kelam, janganlah kau halangi sinar Dewi Malam! Biarlah Dewi Malam tahu
bahwa aku di sini sedang kelaparan!"
Sambil mendongakkan kepala, pemuda dekil
itu terus meratap-ratap dan berteriak-teriak.
Sementara para penduduk yang mendengarnya


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah mendekap telinga rapat-rapat. Mereka seper-
tinya tak asing lagi mendengar keluh kesah dan teriakan kacau balau si pemuda
dekil. "Hai gembel, pergi kau!" hardik seorang penduduk dari dalam gubuknya. "Aku bosan
mendengar ra-tapanmu. Lebih baik aku mendengar suara kaleng
rombeng!" tambahnya menusuk.
Si pemuda melanjutkan langkah. Kalau tak ada
yang mau ambil peduli pada dirinya, lalu apa alasannya untuk tetap tinggal"
Setelah cukup jauh Pemuda Dekil meninggal-
kan tempat sebelumnya, muncul pula satu bayangan
dari arah yang sama di mana si pemuda muncul. Sua-
ra derak terdengar sayup-sayup. Ditingkahi pula den-
gan suara kerikil tergilas.
Ada satu pedati tua yang dikusiri seseorang.
Kegelapan malam sulit menyingkap siapa atau bagai-
mana sang kusir. Yang jelas, sejak siang tadi pedati itu terus menguntit si
pemuda. Gerak-gerik Pemuda Dekil
terus diawasi kusirnya. Semua itu sama sekali di luar pengetahuan orang yang
dikuntit. * * * Pagi hari sudah merambat ke pertengahan
siang. Pemuda gagah bergaris rahang jantan, Satria
Gendeng tampak memacu kudanya merambah hutan,
mendaki tanah berbukit.
Pada pertengahan hari, pendekar muda tang-
guh itu sampai di suatu perkampungan. Dia memper-
lambat langkah kudanya. Pertama yang hendak dituju
adalah sebuah kedai makanan yang dari kejauhan su-
dah terlihat. Sesampainya di depan kedai, Satria menambat
kudanya di sebuah tonggak bambu terletak di sebelah
kiri kedai. Sementara di dalam kedai sudah ada sepu-
luh orang. Pengunjung di sudut kiri ada empat orang
bertampang seram, mengenakan pakaian silat merah
hati dan bercelana pangsi hitam. Di pinggang mereka
melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan
orang dewasa. Di ikat pinggang, mereka menyelipkan
trisula berwarna perak mengkilat. Tubuh keempat
orang itu tinggi besar. Satu orang di antara mereka
memiliki perut buncit.
Satria mengambil tempat di tengah ruangan.
Belum lama duduk, datang seorang pelayan lelaki be-
rusia muda. Mungkin masih bisa dibilang bocah.
"Makan, Den?" sambutnya, ramah sekaligus tak bertele-tele.
Satria mengangguk sekali.
"Perlu tuak juga?" susul si pelayan muda.
Satria menggeleng. Juga sekali.
Pelayan muda tadi mengangguk. Dia berbalik
hendak mengambil pesanan yang diminta tamunya.
Kebetulan, pintu dapur kedai yang cukup besar itu
melewati meja yang diduduki empat orang berpakaian
merah hati. Tangan salah seorang dari mereka meng-
hadang si bocah pelayan, mencengkeram leher ba-
junya, lalu menariknya kasar.
"Ambilkan kami tuak lagi!" seru si lelaki bertampang buruk dan kasar.
Si bocah pelayan mengangguk berkali-kali den-
gan wajah ketakutan setengah mampus, sampai ceng-
keraman kerah bajunya dilepas.
"Cepat jalan, Jongos!" hardik lelaki tadi seraya mendorong punggung si bocah
pelayan. Dorongan itu
terlalu keras. Tanpa perlu tenaga dalam, bocah kurus macam pelayan muda tentu
tak akan bisa bertahan.
Dia 'nyelonong' ke depan, menuju meja lain yang diduduki oleh seseorang bertopi
pandan seperti bakul nasi.
Menyambut tubuh si pelayan muda yang tak
terkendali, tangan orang itu bergerak sedikit ke atas.
Dada si pelayan muda disanggahnya, tanpa membuat
bocah pelayan itu kesakitan.
"Hati-hati kalau berjalan," katanya, seperti berbisik. Bocah pelayan geragapan.
"Ma... maaf, Den. Sssaya tak sengaja," kata bocah pelayan, memohon maaf.
Orang bertudung menurunkan tangan. Gerak-
nya lambat, tenang, namun mantap. Selain tangan, tak ada anggota tubuh lainnya
bergerak. Dia duduk seperti bersemadi. Tangannya dibiarkan tertelungkup di atas
meja. Di depannya, terdapat kendi air putih dan gelas tanah liat.
"Bawakan aku makanan, Dik!" pintanya kemu-
dian. Tetap dengan suara seperti orang berbisik.
"Nasi dengan lauk?" tanya bocah pelayan ter-bungkuk-bungkuk. Dia masih saja
merasa telah ber-
buat salah, kendati bukan dia penyebab kejadian ba-
rusan. "Boleh," sahut orang bertudung, enteng.
Bocah pelayan mengangguk. Dia baru hendak
berbalik ketika orang bertudung menahannya.
"O, iya! Campurkan segelas arak pada nasiku."
Bocah pelayan terbengong. Mencampurkan se-
gelas arak pada nasi" Apa dia tak salah dengar" Itu
permintaan aneh yang seumur-umur baru kali ini di-
dengarnya.... "Mencampurkan segelas arak pada nasi, Den?"
ulang Bocah pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian yang cukup
perlente mengangguk.
"Aneh, ya?" tanyanya.
Si pelayan muda buru-buru menggeleng.
"Ah, soal selera, orang kan berbeda-beda. Ram-
but boleh sama hitam, tapi selera berlainan...," tukasnya seraya tertawa kecil.
"Ya... ya," timpal orang bertudung. "Kalau begitu...." Belum selesai ucapan
tambahannya, lelaki buruk rupa yang duduk pada kelompok orang berpakaian
merah hati membentak kasar.
"Hei, Jongos! Bukankah aku meminta kau un-
tuk mengambilkan arak! Kenapa kau masih berlama-
lama"!" Lalu dihantamnya meja.
Drak! Membuat piring-piring berhamburan ke lantai.
Tiga kawannya yang lain tertawa terbahak-bahak. En-
tah apa yang mereka anggap lucu dari kejadian itu.
Untung saja bocah pelayan tidak termasuk
orang berpenyakit 'jantungan'. Badannya terlonjak di tempat. Wajahnya kontan
memucat. Bibirnya gemetaran. "Cepatlah kau layani mereka, Adik. Tak mengapa
pesananku kau antar belakangan," pinta orang bertudung, sedikit memberi
kelapangan pada bocah pe-
layan. Buru-buru pelayan muda itu beranjak ke arah
dapur. Tak lama dia sudah keluar membawa dua kendi
tuak. Dengan tangan gemetaran seperti dilanda lindu
kecil, diletakkannya dua kendi tuak ke atas meja
orang-orang berpakaian merah hati.
Baru hendak beranjak, tangan lelaki berperut
buncit menahannya. Tak kalah kasar dengan cara le-
laki sebelumnya.
"Kau berdiri di sini saja. Kami tak mau kalau
kau tak ada saat kami memesan yang lain!" ujarnya dengan nada mengancam. "Kau
mengerti, heh?"" sam-barnya lagi. Matanya melirik sinis ke arah orang bertudung.
Sudah jelas niat sebenarnya. Lelaki berperut buncit sengaja menahan bocah
pelayan agar pesanan
orang bertudung tak sampai-sampai.
Keterlaluan memang.
Bocah pelayan menelan ludah. Dia tak bisa
mengangguk atau menggeleng. Mengangguk berarti dia
setuju untuk tak melayani pesanan orang bertudung.
Kalau menggeleng, sama artinya dia sengaja minta bo-
gem mentah! "Apa kau tak bisa mengangguk" Lehermu ka-
ku" Perlu aku buat agar lehermu bisa lemas"!" hardik lelaki lain, mendukung
'permainan' tengik kawannya.
Satria melirik malas-malas. Jangankan pesa-
nan orang bertudung. Pesanannya pun belum jelas
juntrungannya. Sudah sejak tadi dia menunggu. Pe-
rutnya sudah ngadat berat minta diisi. Pendekar muda itu menarik napas, menahan-
nahan kesabaran.
Dia bangkit. Urusan manusia tengik macam
begitu tak perlu membuatnya turun tangan. Hanya
membuang tenaga. Sebaiknya dia mencari kedai lain,
pikir Satria. "Hei, mau ke mana kau Kisanak"!" cetus salah seorang lelaki berpakaian merah
hati. "Tak jadi makan karena merasa tak dilayani"
Merasa tak dihargai"!" ledeknya seraya mengusap-
usap dagu berbewok tipis namun kasar.
Satria diam sebentar. Selesai cemoohan tadi,
dia melanjutkan langkah.
"Ya, pergilah kau!" teriak lelaki gendut seraya menenggak tuak langsung dari
kendi. Keempat lelaki itu tertawa tergelak-gelak, sea-
kan para petarung yang baru memenangkan pertem-
puran hebat di medan laga. Cara tertawa mereka seo-
lah-olah dunia mereka yang punya.
Satria tak mau ambil pusing. Dia meneruskan
langkah. Sampai langkahnya tertahan oleh seruan da-
tar orang bertudung.
"Adik Pelayan, tolong bawakan pesananku dan
pesanan Kisanak berompi bulu itu!"
Bocah pelayan melirik takut-takut. Sekali dia
melirik orang bertudung, sekali dia melirik kawanan
orang berpakaian merah hati. Sewaktu menyaksikan
gagang senjata di balik pakaian orang kasar di depannya, dia menelan ludah.
"Sudahlah.... Ayo, ambilkan saja pesananku
dan pesanan Kisanak itu," pinta orang bertudung, nadanya tak memaksa. Namun
lebih dekat seperti orang
yang bergurau. Bocah pelayan tak beranjak juga. Dia masih
ngeri membayangkan senjata orang di depannya berge-
rak dan 'menyunat' lehernya. Apa mau dibegitukan"
"Kalau kau merasa susah seperti itu, kenapa
kau tak mencoba pelihara 'kucing', Adik Pelayan...."
Mendadak orang gendut bangkit dari kursi. Ma-
tanya berangasan. Wajahnya yang sudah merah kare-
na pengaruh tuak menjadi lebih matang.
"Kau hendak mengatakan kalau kami ini seka-
wanan tikus, Bangsat"!" bentaknya, meledak-ledak.
Ludahnya menyembur seru, menghujani teman di de-
pannya. "Kau yang berkata begitu, bukan aku," kilah orang bertudung. Ketenangannya sama
sekali tak teru-sik. Dia tetap duduk tak bergeming.
"Bangsat betul kau!" maki lelaki gendut, dibarengi dengan gerakan tangan menepis
kendi tuak di atas meja. Wush! Angin menderu. Kendi berpusing di udara.
Melesat lurus. Cepat seperti terjangan anak panah. Orang ber-
tudung tetap tak bergeming. Sudah nekat dia"
Kala tak ada seorang pun percaya orang bertu-
dung bisa menghindari terkaman kendi tuak yang me-
luncur ganas, jarinya tahu-tahu sudah menjentik. Ge-
rakan yang kecil saja. Tapi, akibatnya cukup untuk
membuat gelas di depannya mencelat seketika
Sing.... Denging santer terdengar.
Mengkebiri deru dari Kendi tuak.
Prang! Gelas tadi menghantam kendi tuak. Kedua
benda lebur berserpih. Yang tak kalah mengagumkan,
seluruh pecahannya justru meluncur sengit ke arah
kawanan orang berpakaian merah hati.
"Keparat!!"
Dibarengi sumpah-serapah, keempat lelaki itu
berhamburan dari tempatnya. Mereka harus mem-
buang diri dari tempat masing-masing. Jika kalah ce-
pat dari kepingan tadi, mereka akan bernasib serupa
dengan meja kayu yang kini tertembus.
Satria melirik. Sikapnya acuh tak acuh. Dalam
hati, dia mau tak mau mengagumi kepiawaian orang
bertudung mengatur tenaga dalamnya. Mungkin orang
akan luput menilai hal tersebut. Satria tidak.
Dia cukup jeli. Betapa sulit untuk membuat
kepingan-kepingan gelas dan kendi tuak tidak menge-
nai bocah pelayan yang berdiri terlalu dekat dengan
kawanan lelaki berpakaian merah.
Tindakannya menjegal luncuran kendi tuak
dengan menjentik gelas saja sudah cukup memperli-
hatkan siapa dirinya. Ditambah dengan kehebatannya
mengatur arah kepingan yang demikian banyak, makin
jelas saja siapa dirinya. Dia bukan orang sembaran-
gan, nilai Satria.
Keempat lelaki berpakaian merah hati berdiri
pada tempat yang baru. Dua orang di atas meja. Si-
sanya mendarat di lantai. Wajah mereka sudah terba-
kar tak tertolong. Semuanya siap dengan kuda-kuda.
"Kau akan kurencah, Keparat!" geram lelaki gendut seraya menggenggam gagang
senjata di pinggangnya.
"Kau sendiri?" tukas orang bertudung. "Kenapa tak kau ajak kawanmu yang lain.
Biar cepat kuselesai-kan urusan dengan kalian...," kata orang bertudung.
Datar saja. Namun tajam menghujam.
Srang! Lelaki gendut tak bisa menahan tangan. Senja-
ta diloloskan. "Haaaahh!!"
Dari atas meja, tubuhnya menerkam. Berat
memang tubuhnya. Kalau dia tak memiliki cukup ilmu
peringan tubuh, akan terlalu sulit baginya untuk me-
lakukan tindakan itu. Senjata di tangannya menyabet
udara. Arahnya ke batok kepala orang bertudung.
Wukh! Tebasan pertama!
Orang tenang saja. Tangannya mengangkat
kendi air dari atas meja. Masih sempat dia meneguk
isinya sebelum akhirnya dia menangkis senjata lawan.
Tang! Sewajarnya kendi tanah liat akan pecah ber-
hamburan. Tak wajar kalau tidak terjadi. Kenyataan-
nya memang demikian. Siapa yang ingin terperangah,


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silakan. Lelaki gendut adalah orang pertama yang terperangah di udara.
Kesempatan baik untuk orang bercaping. Ke-
terperangahan lawan dimanfaatkan. Tangannya meng-
gerakkan kendi tanah liat kembali.
Wukh! Deras menuju kepala lawan. Jaraknya cuma
satu lengan. Bahaya besar buat lelaki gendut. Sebe-
lumnya dia menyaksikan sendiri senjatanya tidak
sanggup membuat kendi terpecah, kendati dia sudah
mengerahkan tenaga penuh. Kalau kepalanya seka-
rang yang harus bertumbukan dengan kendi tanah
liat, apa yang bisa diharapkan"
Masih di udara, lelaki buncit menjerit. Matanya
ditutup rapat-rapat. Wajahnya terlipat. Ketakutan teramat sangat, sudah pasti.
Tepat hanya dua jari di depan hidung lelaki
buncit, kendi tanah liat berhenti. Tubuhnya terus melayang. Karena merasa dia
akan segera mampus, lelaki buncit tak sempat memikirkan lagi bagaimana me-
nyeimbangkan badan. Dia jatuh berdebam menimpa
meja. Meja sampai berantakan.
Cukup lama dia tak berdiri. Tengkurap saja di
atas pecahan meja dengan tangan dan kaki tergantung
seperti biang kura-kura sedang berjemur. Se-bentar
kemudian matanya terbuka pelan-pelan. Tangannya
memeriksa wajah. Tak ada yang kurang sedikit pun,
pikirnya. Bagaimana bisa begitu" Bukankah kendi air
di tangan prang bertudung sudah tak mungkin lagi lu-
put dari kepalanya"
Biarkan dia kebingungan sendiri. Tetap seperti
kura-kura sampai kiamat pun biar saja!
Sementara itu, ketiga kawannya masih juga be-
lum menyadari siapa yang dihadapi sebenarnya. Te-
rang saja, mereka memang belum menerima 'jatah'.
Jadi silakan saja kalau mereka mau memintanya.
"Bantai!" seru seorang di antara mereka. Lagak sekali. Seolah mereka tiga jago
yang tak terkalahkan selama tujuh puluh tujuh turunan.
Ketiganya melompat berbarengan.
Silakan! Di pihak lawan, orang bertudung benar-benar
tak berniat ke mana-mana. Sejenis manusia sakti pe-
malaskah dia" Siapa yang ambil pusing"
Yang jelas, ketika serangan datang memberon-
dong, dia meneguk air dalam kendi lagi. Beberapa te-
guk tertelan. Sisanya tetap di mulut.
Seperti sengaja bermain-main, dimancurkannya
air dari mulut ke permukaan meja seperti air dari pan-curan kecil. Belum sempat
ujung kucuran air menyen-
tuh permukaan meja, jari tangannya menjentik.
Tas! Dua orang lawan yang menyerang dari sisi ka-
nan mendadak kaku di tempat. Wajah mereka tetap
dalam mimik buas. Sebelumnya pasti seram. Bisa
membuat jantung orang jompo soak di tempat. Tapi
kalau terus begitu tanpa berubah-ubah, malah jadi
terlihat lucu. Kawannya yang paling akhir menyerang turut
berhenti juga. Bukan kaku mendadak. Melainkan dia
sendiri yang menghentikan geraknya. Matanya tak
berkedip menatap dua kawannya. Bagaimana bisa dua
orang mendadak kaku di tempat" Ceracau hatinya,
gentar. Jangan-jangan, orang yang kuhadapi sekarang
sejenis tukang sihir atau dukun santet, pikirnya was-was.
Sewaktu orang bertudung mulai menenggak air
dalam kendi tanah liat kembali, lawan terakhir tadi
menelan ludah susah payah. Apakah sekarang giliran-
nya" Ketimbang kaku, lebih baik minggat, pikirnya.
Cukup bijaksana. Sebab kalau tidak, urusan jadi agak lebih lama. Itu menurut
pihak orang bertudung.
Lantas, lelaki tadi pun 'ngacir'! Berlomba den-
gan lelaki buncit yang sudah bangkit lebih dahulu.
Satria tersenyum kecil. Dia melangkah kembali
ke mejanya. Sekarang sudah bertambah satu penilaian
lagi untuk orang bertudung. Bahwa orang itu adalah
ahli jalan darah. Kendati masih cukup sulit untuk menyaksikan percikan air yang
dijentik orang bertopeng, namun Satria bisa menduga kelanjutannya. Percikan
air dalam kecepatan amat tinggi itu menotok beberapa titik jalan darah dua orang
lawannya. Itu yang menyebabkan mereka menjadi kaku mendadak. Itu pula yang
menyebabkan lawan terakhir tak melihat kalau ka-
wannya kaku karena tertotok.
Permainan lihai....
"Terimakasih, Saudara...," ucap Satria seraya menoleh pada orang bertudung.
"Terima kasih untuk apa?"
"Entahlah. Mungkin untuk kesediaanmu men-
gingatkan pelayan untuk membawakan pesananku?"
kelakar Satria.
Tak terdengar orang bertudung tertawa. Tapi,
Satria tetap percaya dia tersenyum di balik tudungnya.
"Dan, kau...," lanjut Satria, sambil mengarah-
kan pandangan ke arah bocah pelayan, "Kenapa masih berdiri di sana" Bukankah kau
seharusnya mengan-tarkan pesanan kami?"
Masih dengan wajah pucat dan bibir gemetar,
bocah pelayan tersenyum. Bergegas dia melangkah ke
dapur. Jalannya agak diseret. Bukan apa-apa. Dia su-
dah terkencing di celana!
* * * Satria berniat melanjutkan perjalanan setelah
perutnya cukup terisi. Sebelum keluar, dia hendak
pamit pada orang bertudung yang duduk di meja bela-
kang. Ketika menoleh, Satria sudah tak menemukan
orang itu lagi. Di mejanya tertinggal beberapa keping kepeng yang cukup untuk
membayar makanan dan
minumannya, sekaligus kerusakan akibat keributan.
"Siapa orang itu?" gumam Satria ketika dia menaiki kudanya. Dalam hati, Satria
agak menyesali ke-
napa dia tak menanyakan jati diri orang itu sejak mu-la. Sekarang orang itu
sudah tak ada. Menyesal tak
ada guna. "Ah, kalau ada sumur di ladang, bolehlah me-
numpang mandi. Kalau umur panjang, mungkin nanti
jumpa lagi" gumam pendekar muda itu lagi, menghibur diri. Lalu digebahnya kuda.
"Heaa!!!"
Kuda berlari kencang.
Menyisakan debu yang mengambang di bela-
kang. *** SEMBILAN SATRIA tiba di Lembah Pangrango, setelah me-
nempuh berhari-hari perjalanan yang amat melelah-
kan. Pagi hari ketika itu. Malam sebelumnya, Satria
memaksa untuk terus memacu kuda. Berhubung su-
dah dekat, dia tak ingin membuang waktu. Menurut
perkiraannya, dia akan tiba pagi hari. Memang tak me-leset. Suasana nyaman
menyambutnya. Sejuk men-
gepung. Matahari masih menyembul malu-malu di ba-
hu lembah sebelah timur. Sinarnya masih lamat. Na-
mun sudah cukup menghangatkan. Rerumputan hijau
menghampar. Pepohonan di beberapa tempat masih
dibasahi embun. Cemara bergerak kecil disapa angin.
Burung di atasnya menembangkan senandung alam.
Lembah Pangrango sudah seperti surga kecil.
Sesaat Satria menikmati seluruh keramahan
alam di atas punggung kudanya. Rasanya, dia ingin terus menarik dada dan
menikmati kesejukan itu untuk
selamanya. Jelas itu tak mungkin. Pendekar muda itu
lalu turun dari punggung binatang tunggangannya. Di-
tuntunnya kuda itu sebentar, dan dibiarkan memakan
rumput segar. "Di bagian mana aku bisa menemukan dia?"
gumamnya. Pandangannya menebar. Tak ada sedikit pun
tanda-tanda seseorang pernah tinggal. Tak di mana
pun, meski dia sudah memandang ke segenap penjuru.
Dewa Gila. Kalau menilik julukannya, Satria
Gendeng yakin orang yang hendak ditemui memiliki
tabiat aneh. Mungkin tak jauh beda dengan gurunya.
Karena itu dia disebut Dewa Gila. Orang bertabiat
aneh, biasanya memiliki kebiasaan dan cara hidup
yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Satria tertawa sendiri. Lucu juga, pikirnya. Ka-
lau ada orang punya kebiasaan yang berbeda dengan
kebiasaan orang banyak, lalu orang itu pun disebut
tak waras. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja ju-
stru orang kebanyakan yang mungkin sudah tak wa-
ras. Sementara orang yang dituduh gila, sableng, sinting, gendeng, dan
sebagainya justru orang yang masih tetap waras.
Yah, kalau jaman semakin edan, biasanya
orang kebanyakan juga ikut edan. Mereka yang edan
ini mana mau disebut tak waras" Buntut-buntutnya,
mereka mencari 'kambing hitam'. Orang yang berlai-
nan cara hidupnya dengan mereka pun dituding tak
waras. Ini yang disebut; 'zaman jungkir-balik'! Yang salah bisa disebut benar.
Sebaliknya, yang benar malah dikatakan salah. Kepala dijadikan kaki, kaki
dijadikan kepala. Walhasil, kebanyakan orang pun menjalani hidup dengan 'pantat'
sebagai kepalanya!
Memutus renungannya, Satria Gendeng kemu-
dian menambatkan tali kekang kuda ke batang pohon.
Dibiarkannya kuda jantan itu merumput. Satria sendi-
ri melangkah, mencoba mencari tempat persembu-
nyian Dewa Gila.
Menurut kabar burung, Dewa Gila sudah lama
tak turun ke dunia persilatan. Menyepi atau mati, tak jelas lagi. Terhitung
sudah empat puluh tahun dia tak menampakkan batang hidung. Sudah banyak kalangan
muda persilatan yang tak mengenal rupa Dewa Gi-
la kecuali julukannya. Termasuk Satria sendiri. Jadi kalau nanti dia mengalami
kesulitan, bisa dianggap
wajar saja. "Hoiii, apa ada manusia di sekitar tempat ini?"!"
Satria Gendeng mulai berteriak, memancing siapa pun
keluar. Dia berharap ada 'sepotong' manusia bakal
muncul. Bukan dedemit atau tikus lembah kesasar.
"Hooiii, apa ada yang mendengar"!!"
Tak ada apa-apa. Tak muncul seorang pun se-
perti yang diharapkan. Satria tak cepat putus asa. Dia berteriak-teriak lagi.
Mungkin kalau dia meneriakkan nama Dewa Gila, orang yang dicarinya akan segera
muncul. Siapa tahu"
"Dewa Gilaaaa!!!!"
Masih tetap sama.
"Dewa Giiaaaa!! Aku ingin bertemu denganmu!!"
Sampai teriakan pendekar muda itu berubah
serak, tetap tak ada seorang pun muncul.
"Sial," rutuk Satria. "Barangkali benar ucapan beberapa orang, Dewa Gila sudah
mati. Kalau sudah
jadi bangkai, mana mungkin bisa mendengar," rutuknya lagi, berkomat-kamit.
Mendadak saja....
Ngung! Sebentuk benda sebesar kepalan tangan me-
layang deras ke arah Satria Gendeng. Berputar hingga menghasilkan dengung.
Arahnya dari barisan pepohonan rindang di tepi lembah. Satria terkesiap.
Kesigapannya tak berkurang. Tangannya gesit memapak.
Tap! Sesuatu tertangkap tangannya. Ketika diteliti,
ternyata hanya sepotong kincir kecil dari bambu yang biasa dibuat anak-anak
untuk permainan.
"Apa-apaan ini?" bisik Satria tak mengerti.
Sebelum kebingungannya terjawab.
Ngung... ngung... ngung....
Mata Satria membelalak. Dari arah yang sama
dengan kincir sebelumnya, bermunculan puluhan kin-
cir lain. Berkejaran.
Cepat. Berdengung-dengung tumpang-tindih.
"Sial!!!" maki Satria Gendeng seraya berjumpalitan kian ke mari menghindari
terjangan seluruh kincir.
Memang itu semacam mainan anak-anak. Tapi kalau
mendengar dari dengung yang dihasilkan serta kecepa-
tannya, bukan tak mustahil benda itu bisa melu-
kainya. Bahkan bisa saja lebih parah dari itu... mampus! Trak trak!
Karena dihujani terlalu deras, Satria Gendeng
terpaksa mengeluarkan Kail Naga Samudera yang ma-
sih berbentuk tongkat pendek. Dengan senjata pusaka
itu, dibabatnya beberapa kincir sampai hancur beran-
takan. Napas si pendekar muda murid Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit
itu terengah-engah ketika serangan mendadak itu bisa diatasi. "Heii, siapa
kau"!" serunya kemudian, dengan posisi memasang kuda-kuda. Hanya bersiaga jika
ada serangan mendadak susulan.
Sepi. Tak ada dengung lagi.
Sudah usai" Belum. Karena tak lama kemu-
dian, datang lagi satu kincir yang lebih besar. Bahkan jauh lebih besar dari
ukuran sebelumnya. Yang keluar sekarang bisa dibilang 'biang'-nya kincir,
berukuran kira-kira seukuran setengah badan manusia!
Yang satu ini bisa dipercaya sanggup memeng-
gal kutung tangan atau kepalanya!
Ngunggg!!! Arah serangan yang lurus saja agak memudah-
kan Satria Gendeng untuk menangkisnya dengan Kail
Naga Samudera. Bodoh kalau dia mencoba memapaki
dengan tangan telanjang.
Trak! Kincir besar tersentak ke samping. Arahnya
berbelok, namun tak cukup membuat Satria Gendeng
lega. Karena kejap berikutnya, arah senjata (itu pun kalau bisa disebut begitu!)
ganjil itu berputar kembali menuju dirinya.
Satria baru sadar kalau benda itu dikendalikan
dari jarak jauh ketika matanya menangkap benang ha-
lus yang membentang dari belakang kincir ke jajaran
pepohonan rindang di tepi lembah. Betul-betul per-
mainan yang tak bisa dianggap main-main!
"Haih!"


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena kincir besar berbelok demikian menda-
dak, Satria dipaksa untuk membuang diri ke samping.
Tubuhnya berjumpalitan di atas tanah. Kincir menge-
jarnya. Tak sempat lagi bagi Satria Gendeng untuk
memperbaiki posisi kecuali terus berjumpalitan. Be-
nar-benar dia dijadikan bulan-bulanan. Untung saja
sewaktu menjalani godokan dari Tabib Sakti Pulau De-
demit, dia terbiasa menghadapi ancaman karang di
tengah lautan yang berombak sangar. Naluri menyela-
matkan dirinya jadi demikian tajam.
Satria Gendeng tak mau terus berjumpalitan
sampai kepalanya tujuh keliling. Dalam kegentingan,
dia mencari akal. Dibawanya kincir ke arah satu pohon besar. Ketika tiba di
dekat pohon nanti, dia akan melompat tiba-tiba ke atas. Biar kincir itu
menghantam pohon yang besarnya empat kali pelukan manusia.
Masa' iya kincir tidak hancur"
Satria pun terus berjumpalitan ke arah pohon.
Sampai.... "Heeaa!!"
Dia menjejakkan kaki tiba-tiba, dan langsung
melompat ke atas dahan pohon yang lebih tinggi seper-ti rencananya. Sejauh itu
memang berhasil. Namun
kalau berharap kincir besar menghantam pohon, Sa-
tria Gendeng terlalu tergesa-gesa. Karena begitu tubuh Satria membuat atraksi
cepat ke atas dahan pohon,
kincir besar itu pun berbelok ke samping. Jaraknya
padahal hanya tinggal dua jengkal lagi dari pohon.
Satria dibuat takjub. Bisa dinilainya kelihaian
si pengendali kincir besar!
Di kejauhan sana, tepatnya dari jajaran pohon
rindang di tepi lembah, tercetus kekeh kecil yang renyah. "He he he!!!"
Satria mengerutkan kening. Apa aku tak salah
dengan" Usik pikirannya. Suara kekeh itu bukan milik seorang tua, melainkan
milik bocah kecil! Semula, Satria Gendeng mengira permainan berbahaya tadi dila-
kukan oleh Dewa Gila. Sepanjang pengetahuannya,
Dewa Gila sudah tua bangka. Bukan bocah ingusan!
Sedang dilanda kecamuk pikirannya, Satria
Gendeng diserang lagi oleh kincir besar dari arah
samping bawah. Ngungg! Pendekar muda itu melompat dari atas dahan.
Tras! Gila juga! Dahan sebesar paha manusia lang-
sung terpenggal seperti sepotong pedang menebas ba-
tang pisang! Bagaimana kalau mata kincir sempat
mengenai kakiku" Perangah Satria dalam hati.
Selanjutnya Satria mendarat empuk di tanah
berumput. Tempat yang terbuka. Tentu saja akan lebih memberi keleluasaan bagi
kincir besar untuk terus
memburunya. Satria tidak bodoh. Dia punya renca-
na.... "Heaaa!!!"
Srat, cletar! Kail Naga Samudera yang semula berbentuk
tongkat pendek, mendadak terulur. Disusul oleh lecu-
tan tali kail terbuat dari ekor pari pelangi. Sekarang, apa masih bisa kincir
besar itu unjuk gigi jika berhadapan dengan senjata pusakaku" Ancam Satria dalam
hati. Kincir besar pun memburunya.
Satria memang berharap begitu.
Ngungg! Kian dekat.... Saat kincir besar sudah mencapai jarak jang-
kau Kail Naga Samudera, Satria membuat lecutan
mendadak disertai pengerahan tenaga dalam.
Wukh, cletar!! Seakan tahu betapa berbahayanya ujung Kail
Naga Samudera, kincir besar mendadak membuat ge-
rak kiri-kanan yang cepat. Lecutan pertama tak mem-
bawa hasil apa-apa. Sementara jarak semakin dekat.
Satria tersenyum, agak menyeringai. Kau kira
aku tak bisa mengimbangi kecepatan gerak kincirmu"
Dengusnya membatin. Untuk rencana itu, Satria tak
beranjak dari tempat berdirinya. Agak nekat memang,
tapi dia tahu pasti apa yang hendak diperbuatnya.
Ketika kincir semakin dekat dengan luncuran
zig-zag, Satria mengebutkan kembali Kail Naga Samu-
dera. Jika sebelumnya dari atas ke bawah, kini dari si-si ke sisi.
Wukh, cletar! Ujung Kail Naga Samudera membentuk liukan
bertenaga dengan arah menyamping. Hal itu berakibat
tertutupnya gerak kiri-kanan kincir besar.
Krakh! Tepat pada liukan sengit di ujung mata kail,
kincir besar melepaskan suara keras. Satu mata kin-
cirnya terhantam dan patah seketika.
Kincir besar jadi kehilangan keseimbangan. Se-
saat benda itu melayang-layang ngawur. Sempoyongan
sana-sini. Tak beda dengan layangan 'singit', atau pe-mabok kebanyakan minum.
Sampai akhirnya jatuh
berdebam menimpa bumi.
Satria tergelak menyaksikan kejadian itu.
Di jajaran pepohonan rindang, malah terdengar
rengekan yang kemudian berubah menjadi raungan
menjadi-jadi. Eh, bocah siapa yang kehilangan mai-
nan" *** SEPULUH TERLALU kecele Satria jika mengira rengekan
yang didengarnya datang dari seorang bocah. Sebab
ketika muncul seseorang dari jajaran rapat pepohonan, Satria menyaksikan seorang
yang sama sekali tidak bi-sa disebut bocah. Badannya bongsor. Wajah kebodoh-
bodohan. Kian parah penampilannya dengan menge-
nakan baju monyet.
Sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan, lelaki ketolol-tololan itu berjalan beberapa langkah ke arah Satria. Dia
berhenti dalam jarak tiga puluh tombak.
"Hu hu hu... kau telah merusak mainanku,
Kunyuk!" makinya merajuk-rajuk. Bibir bawahnya ma-ju sekian senti. Jelek tak
tertolong. Satria serba salah. Mau meringis salah, mau
tersenyum salah, mau tertawa apa lagi. Kalau tertawa, jangan-jangan disangka
meledek. Bakalan kian menjadi tangisan yang sama sekali tak sedap masuk ke te-
linga itu. Sebenarnya pemandangan yang dilihatnya
amat bisa membuat dia tersenyum. Tapi, apa pantas"
Sepertinya dengan tersenyum dia merasa telah menge-
jek seorang berotak udang. Kalau meringis" Apa
mungkin dia melakukan hanya karena ikut prihatin
dengan kesedihan tengik si 'bocah ajaib'"
Akhirnya, Satria cuma bisa garuk-garuk kepala.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Satria.
"Siapa... siapa. Pakai tanya segala. Kau pikir
aku tak akan jadi marah karena kau berlagak ramah
seperti itu. Huh, tak sudi!" omel si bocah tengik. Sebentar dia memutuskan
rengekannya. Sebentar kemu-
dian dia menyambung kembali. Dari lagak dan
gayanya bicara, benar-benar tak bisa dibedakan den-
gan seorang bocah berumur tujuh tahun. Tapi, ya Tu-
han. Orang ini bukan bocah lagi. Kalau bocah, apa iya kakinya 'kaya' dengan
bulu. Tak terhitung bulu-bulu di tempat tersembunyi. Sudah berkumis pula.
Jenggot pun ada, kendati cuma beberapa lembar.
"Kau bukan Dewa Gila?" tanya Satria lagi, masih dikungkung kebingungan.
"Dewa Gila.... Dewa Gila. Seperti kau sudah
kenal dengan guruku saja...."
"Hey jadi kau murid Dewa Gila?" perangah Satria. "Diam! Aku tak menerima
pertanyaan dari
orang yang telah merusak mainanku!"
"Mainanmu"!" Dua kali Satria terperangah.
Mestinya sejak dari tadi. Sebelumnya bocah bongsor
itu sudah menyebut-nyebut hal itu. Hanya karena Sa-
tria terkesima menyaksikan orang yang dikiranya cu-
ma seorang bocah berusia tak lebih dari tujuh tahun
jika dinilai dari suaranya yang terdengar sebelumnya, dia tak begitu
memperhatikan. "Mainan katanya?" dengus Satria. "Mainan yang bagus kalau bisa membuat aku
nyaris mampus...."
Satria mencak-mencak. Dihampirinya kincir
besar milik si bocah bongsor. Ditendangnya benda itu gemas-gemas. Benda itu
hancur berantakan. Lebih
hancur dari sebelumnya. Sisa mata kincirnya berpen-
talan ke mana-mana. "Huaaaaa!"
Meraunglah si bocah ajaib. Suara raungannya
melayap entah sampai ke mana.
"Itu yang kau bilang mainan?" dengus Satria, belum puas. "Benda sial yang hampir
saja membuat kepalaku menggelinding"! Kenapa kau tak kau jadikan
saja semua senjata paling berbahaya di jagat ini sebagai mainanmu"!" semprotnya
meledak-ledak. "Tapi... tapi...," tercekat-cekat, si bocah ajaib yang sebenarnya lebih pantas
disebut bocah ganjil,
mencoba berkilah.
"Tapi, itu benar-benar mainanku, Bapak...." Satria mendelik. Sejak kapan aku
jadi bapaknya" Lagi
pula, apa wajahku sudah kelihatan tua sampai disebut begitu" Tampik Satria.
"Hey, jangan panggil aku Bapak!" "Iya, Kakang...," katanya terseguk. Apalagi
ketika mendapat bentakan Satria.
"Itu lebih bagus!"
"Jadi, Kakang mau membuatkan aku mainan
baru, ya?"?" dari merengek-rengek, si bocah ajaib ter-
senyum-senyum. Kedua tangannya dikatupkan di de-
pan wajah. Lalu badannya bergoyang-goyang. Seper-
tinya dia hendak mengambil hati Satria.
Satria merengut. Mimpi apa aku semalam sam-
pai harus berhadapan dengan manusia ini" Keluhnya
membatin. "Mau apa tidak Kakang membuatkan aku mai-
nan baru?" tanya si bocah ajaib. Senyumnya hilang karena tak juga mendapat
jawaban dari Satria. "Mau apa tidak?"
Satria tetap diam. Tetap merengut.
"Mau apa tidak"!"
Lalu nadanya mulai berubah galak kembali.
Mendelik pula matanya!
"Sudah diam! Katakan saja, siapa kau sebenar-
nya" Apa hubunganmu dengan Dewa Gila"!" serbu Satria. "Dia muridku, Bocah
Brengsek!"
Sebentuk suara mendadak memenggal.
Satria tersentak. Bukan semata karena tak
menduga munculnya suara tadi. Melainkan dia mera-
sakan betapa tenaga dalam yang terkandung dalam ge-
lombang suara itu demikian hebat menggetarkan. Yang
aneh, tidak di gendang telinga. Melainkan langsung ke dalam hatinya. Nyalinya
seperti hendak dipaksa menciut. Satria berusaha menemukan sumber suara itu.
Tak pernah berhasil. Sumber suara itu seperti bisa da-ri mana saja. Seakan dari
satu tempat yang tak ada di mana-mana. Pendekar muda itu celingukan ke sana
kemari. "Mencari siapa kau, heh"!"
Terdengar kembali bentakan angker. Dari orang
yang sama. Tetap tak bisa ditentukan dari mana sum-
bernya. Satria mulai berpikir, mungkin orang inilah
Dewa Gila yang hendak ditemuinya. Pucuk dicinta
ulam pun tiba kalau begitu!
"Hoi, apakah kau si tua Dewa Gila"!" seru Satria. "Apa maumu bertanya-tanya?"
"Aku ada satu keperluan denganmu!!"
"Terangkan!"
"Bisakah kau keluar terlebih dahulu"!"
"Jelaskan saja, Brengsek!"
"Aku mendapat tugas dari Adipati Wisnu Ber-
nawa!" "Aku tak kenal dia!"
"Beliau Adipati Lumajang!"
"Mau Lumajang kek, mau neraka kek!"
"Baiklah... baiklah. Kalau kau tak mau tahu
dengan beliau, setidaknya kau ingin melihat surat
yang dititipkan padaku untukmu, bukan?"
"Tak perlu! Minggat saja kau dari tempat ini!"
"Ini soal besar! Kau dibutuhkan untuk mem-
bantu menyelesaikannya!"
"Membantu" Heh, kau pikir aku ini semacam
jongos?" Satria geleng-geleng kepala.
Si bocah ajaib malah cengar-cengir. Dia kegi-
rangan seperti hendak melompat langsung ke awan sa-
ja mendengar suara Dewa Gila yang diakui sebagai gu-
runya. Dan sebaliknya, Dewa Gila pun mengakui dia
sebagai muridnya. Girang, karena Satria menurutnya
sedang dipermainkan. Balas dendam cara seorang bo-
cah.... "Tentu saja kau bukan jongos...," keluh Satria, pegal berteriak-teriak
seperti orang kehilangan akal.
"Kau mau pergi atau tidak"!" ancam suara tadi.
"Aku mengemban amanat, Orang Tua. Sebagai
seorang ksatria, tak mungkin rasanya aku pergi sebe-
lum amanat disampaikan kepada yang berhak mene-
rimanya. Aku siap menerima apa pun akibatnya, asal
kau mau menyempatkan waktu membaca surat yang
kubawa ini...."
"Pergi kataku! Atau kau akan kuinjak-injak
sampai rata dengan tanah!"
Astaga, apakah Dewa Gila itu sejenis tokoh Bi-
ma dalam pewayangan yang memiliki tubuh meraksa-
sa sampai bisa menginjak-injak orang sampai rata
dengan tanah" Satria berbisik dalam hati. Ngeri-ngeri, campur geli.
"Sudah kubilang aku tak bisa," tandas Satria.
"Pergi atau tidak?"
"Tidak, Orang Tua...," ucap Satria. Nadanya agak merendah, supaya bisa sedikit
mengambil hati tua bangka yang belum lagi disaksikan rupa dan wa-
jahnya. "Hmm, kalau begitu terserah kaulah!"
Nada suara si orang tua pun melandai. Ru-
panya dia termasuk manusia yang mudah tersentuh
oleh sedikit kerendahan hati. Atau mungkin dia bisa
menilai Satria sebagai seorang pemuda yang patut di-
hargai dengan kemantapan tekadnya untuk suatu
yang diyakini"
"Bagaimana dengan surat dari adipati?"


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada jawaban.
Satria curiga. Jangan-jangan orang tua itu su-
dah minggat dari tempatnya.
"Orang tua" Kau masih di sana"!" ulang Satria.
Tak juga ada jawaban.
Satria menghempas napas. Dia sudah menyim-
pulkan Dewa Gila telah pergi. Masih ada kemungkinan
untuk menemukannya selama dia masih berada di
Lembah Pangrango. Timbang punya timbang, mungkin
dia memang tak sudi dilibatkan dalam masalah di Lu-
majang, pikir Satria. Kalau sudah begitu, percuma saja jika dia mencarinya
kembali. Satria mendapat akal. Bocah ajaib itu mungkin
bisa dimanfaatkan untuk membujuk gurunya. Bukan-
kah orang semacam dia paling bisa merayu dengan
gaya yang memelasnya seperti pernah dilakukan sebe-
lumnya terhadap Satria. Kalau benar Dewa Gila terma-
suk orang tua yang cepat tersentuh dengan kerenda-
han hati, bukan tak mungkin kekerasan keputusannya
akan luruh dengan rayuan memelas sang murid.
Satria menoleh ke tempat bocah berkumis tadi.
Sudah tidak ada.
"Sial...," rutuk Satria.
Selagi menikmati kekesalan, mendadak terden-
gar suara kekeh tawa.
Satria tersenyum. Suara itu milik Dewa Gila.
Berarti dia masih di sekitar tempat itu.
"Bagaimana, Orang Tua?" tukas Satria, meng-gebu. "Soal surat itu maksudmu?"
"Benar!"
Dewa Gila terkekeh lagi. Satria menautkan alis.
Apanya yang lucu sehingga perlu ditertawakan"
"Mau kau membacakan untukku...?" kata Dewa Gila lagi dengan nada malu-malu.
Satria Gendeng menampar kening sendiri. Se-
karang dia baru tahu 'biang keladi' penyebab Dewa Gi-la menolak mentah-mentah
surat Adipati Wisnu Ber-
nawa. Dia pasti tidak bisa baca!
Satria pun membuka surat tersebut, lalu diba-
canya. Di ujung kalimat, mendadak saja mendesir an-
gin tajam dari arah belakang.
Satria sigap membalikkan badan.
Tahu-tahu, di depan hidungnya sudah berdiri
seorang kakek bungkuk yang tingginya hanya sebahu
Satria. Hidungnya berwarna ungu kehijauan. Persis
buah terung. Matanya besar sebelah. Rambutnya ka-
sar dan awut-awutan berwarna kelabu. Orang tua itu
mengenakan pakaian berwarna biru tua.
"Kau sebut-sebut soal Tujuh Dewa Kematian"!!"
serunya persis di depan wajah Satria Gendeng.
Pendekar muda murid dua tokoh kenamaan ta-
nah Jawa itu meringis. Telinganya pekak tak kepalang.
Mau pecah rasanya gendang telinga. Tidak pecah, su-
dah beruntung besar.
"Kau dengar aku bertanya" Apa kau sebut tadi
Tujuh Dewa Kematian"!" ulang Dewa Gila lebih meng-geledek.
Apa dikiranya Satria sudah tuli"
"Benar, Orang Tua," jawab Satria akhirnya.
Dewa Gila menghantamkan tinju ke telapak
tangan. "Kau tahu dengan Tujuh Dewa Kematian,
Orang Tua?" tanya Satria, ingin tahu.
"Siapa yang tak kenal dengan tujuh manusia
kembar banyak tingkah itu!" ucap Dewa Gila, dilapisi kegeraman.
"Bagus kalau begitu. Jadi kau menerima per-
mintaan Adipati, bukan?" sergah Satria.
Dewa Gila mencibir. Diangkatnya tangan tinggi-
tinggi. Sampai ketiaknya hampir mampir di dagu Sa-
tria Gendeng. "Kalau aku kesal dengan Tujuh Dewa Kematian
bukan berarti aku setuju dengan permintaan Adipati
itu..." "Jadi?"
Dewa Gila menempatkan ujung telunjuknya di
kening. Wajahnya berkerut lebih banyak dari sebelum-
nya. "Aku akan menyuruh Joyolelano untuk mewa-
kiliku!" "Siapa dia?"
"Muridku itu...."
Mak! Mau bilang apa Satria. Yang jelas ma-
tanya tak bisa ditahan untuk tidak mendelik.
"Kau hendak mengutus lelaki yang pikirannya
tak lebih dari seorang bocah itu untuk satu urusan besar?" perangah Satria.
Wajahnya tertarik lebih ketat dari seorang yang terkejut disambar dedemit
nyasar. "Jangan kau sebut dia begitu!" hardik Dewa Gi-la. "Asal kau tahu, di samping
muridku, dia juga anakku!"
"Aku tak bermaksud menghina anakmu... dia
anakmu" Bagaimana mungkin kau memiliki anak se-
perti itu" Dari perut siapa dia lahir?"
"Ya, dari perut istriku. Apa kau pikir dari perut kerbau"! Sudah, aku tak mau
banyak mulut lagi denganmu. Pokoknya kau terima atau tidak?"
Satria menghembuskan napas. Barangkali pe-
patah lama ada benarnya; 'tak ada rotan, akar pun ja-di'.
"Baiklah," putus Satria, akhirnya. Menyerah dia. Siapa pun tak bisa memaksakan
kehendak terhadap orang lain. Apalagi menyangkut penegakan keadi-
lan. Semuanya harus datang dari kesadaran pribadi
terdalam. "Tapi, asal kau berjanji tetap akan datang jika
anakmu itu mendapat kesulitan...."
"Peduli setan dengan janji!" gerutu Dewa Gila seraya 'ngeloyor' begitu saja.
"Oh, ya Orang Tua! Aku ingin bertanya satu hal
lagi!" "Tanyakan sebelum aku menghilang seperti kentut!" "Kau tahu bagaimana aku
harus menemukan Arya Wadam?"
"Kau tak bisa mencarinya. Dia tak pernah ting-
gal di satu tempat!" kata Dewa Gila seraya terus melangkah.
"Jadi?"
"Kalau beruntung, kau akan bertemu dengan-
nya secara kebetulan di sebuah kedai. Dia punya ciri tersendiri. Arya Wadam akan
memesan nasi dicampur
arak...." Satria terkesima. Dia ingat pernah menjumpai orang itu di kedai
beberapa waktu lalu.... Jadi dia pernah bertemu Arya Wadam yang mungkin akan
amat sulit dicari, dan dia meninggalkannya begitu saja"
Apa mungkin si tua bangka Dewa Gila diwakili
oleh si bocah berkumis untuk mengurus persoalan
amat besar" Bagaimana lagi cara Satria bisa menemu-
kan Arya Wadam" Siapa dan bagaimana sebenarnya
dia" SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Kiri 8 Prabarini Karya Putu Praba Darana Pedang Hati Suci 4
^