Pencarian

Perempuan Pengumpul Bangkai 1

Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai Bagian 1


PEREMPUAN PENGUMPUL BANGKAI Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode 005 :
Perempuan Pengumpul Bangkai
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 KERATON Demak di penghujung dini
hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal
kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Se-
luruh prajurit Keraton Demak berkumpul di
luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peris-
tirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara
mereka, mengawasi kejadian di samping satu
tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk
kekacauan, parasnya sama sekali tak beru-
bah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukan-
nya. Seolah badai hebat pun tak bisa mem-
pengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.
Di tengah-tengah pelataran Taman Sari,
seorang lelaki berpakaian hitam-hitam terge-
letak lemah. Mulut dan hidungnya mengalir-
kan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh
demikian pucat. Menderita sekali tampaknya.
Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga
dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia
berusaha bergerak bangkit.
Di atas wuwungan ruang peristirahatan,
berdiri seorang pemuda gagah berambut lu-
rus panjang kemerahan hingga sebatas bahu.
Dia mengenakan rompi putih dari kulit bina-
tang, Matanya disarati oleh bersit kebingun-
gan. Mimik wajahnya melepas sekian perta-
nyaan yang belum sempat terjawab. Menilik
wajah itu, usianya terbilang cukup muda. Ba-
ru saja menginjak masa kedewasaan.
Wuwungan tempatnya berdiri beran-
takan. Centang-perentang. Genteng-genteng
porak-poranda ke mana-mana. Setiap orang
yang melihat, akan dengan mudah menilai,
baru saja terjadi pertarungan sengit di atas
sana. Mendapati Raden Patah telah berada ke-
luar dari ruang peristirahatan nya, pemuda
tadi segera menggenjot tubuh. Ringan. dia
melompat turun. Geraknya bagai seekor raja-
wali muda perkasa yang baru saja meme-
nangkan pertarungan di angkasa.
Tiba di bumi, cepat dia menjura hormat
pada Raden Patah.
"Maafkan kelancangan saya, Kanjeng
Susuhan...." haturnya khidmat.
Raja Demak berwibawa itu mengangkat
tangan. Ada sebaris senyum la mat tersembul
di bibirnya. Senyum yang sama sekali tak bi-
sa dipahami oleh pemuda berambut kemera-
han. Bukankah tak tepat waktunya untuk
tersenyum setelah kekacauan"
"Tak usah kau meminta maaf, Nanda Sa-
tria," ujar Raja Demak, dengan suara berat berpengaruh. Dia melangkah, mendekati
pemuda berambut kemerahan.
Puluhan prajurit pengawal keraton me-
nyusul mempersembahkan juraan pada sang
Raja Demak. Setelah menjura, dua orang prajurit ber-
gegas membantu lelaki berpakaian hitam-
hitam yang terluka dalam untuk bangkit. Ke-
duanya memegang pangkal lengan di dua sisi.
Tak ada tanda-tanda kalau lelaki itu akan di-
tawan, kendati kekacauan yang terjadi karena
ulahnya. Bahkan ketika lelaki gagah berwajah tak
kalah berwibawa dengan Raja Demak itu su-
dah dapat berdiri agak limbung, kedua praju-
rit tadi menghaturkan juraan.
Masih dengan tanda tanya di wajah, pe-
muda berambut kemerahan yang dipanggil
Satria seorang pendekar muda belia yang be-
lum cukup lama terjun ke dunia persilatan
tanah Jawa - menatap lelaki berpakaian hi-
tam-hitam, beralih ke Raja Demak, dan ak-
hirnya kembali lagi ke lelaki berpakaian hi-
tam-hitam. Dia seperti ingin meminta penjela-
san dari siapa pun yang sudi menjelaskan
duduk perkara padanya.
Beberapa saat lalu, Satria telah berta-
rung dengan lelaki berpakaian hitam-hitam
itu. Sebelumnya, lelaki berpakaian hitam ser-
ta kain hitam penutup wajah, mengendap-
endap di wuwungan keraton menuju ruang
peristirahatan raja. Tindakan itu menimbul-
kan kecurigaan Satria. Dia menguntit sampai
terjadi pertarungan. Yang mengejutkan, la-
wannya justru orang yang sudah cukup dike-
nalnya. Dia seorang patih kepercayaan raja,
Bagaspati (bagian kisah ini dapat dibaca pada episode sebelumnya : "Iblis Dari
Neraka"). "Maaf Kanjeng Susuhan Kalau saya bo-
leh tahu, ada apa sebenarnya ini" Kenapa
Kang Bagaspati mengendap-endap menuju
ruang peristirahatan Kanjeng dengan pakaian
penyamaran seperti itu, hingga memancing
kecurigaan saya?" susul Satria.
Kendati masih merasakan luka dalam
akibat bertarung sengit dengan si pemuda be-
rambut kemerahan alias Satria Gendeng, Pa-
tih Bagaspati memperlihatkan senyum diam-
diam mendengar pertanyaan barusan.
Dengan tenang, dimasukkannya kembali
keris pusaka ke warangka. Selesai itu, dia
menjura pada raja.
"Kau bisa menjelaskan sekarang, Dinda
Bagaspati!" perintah raja kemudian.
Bagaspati mendekati Satria.
Satria terus menatapnya terheran-heran.
Mulutnya sampai ternganga tanpa sadar aki-
bat terlalu dirasuki rasa penasaran.
Bagaspati menepuk bahu kekar pemuda
itu. Satria masih saja manyun tak mengerti.
Setelah seluruh prajurit pengawal kera-
ton diperintahkan Bagaspati untuk segera
kembali ke tempat masing-masing, dan raja
sudah kembali pula masuk ke dalam, Bagas-
pati menggandeng bahu pemuda di samping-
nya. Diajaknya Satria melangkah lambat, me-
nyusuri jalan setapak berbatu kerikil yang
mengrangkai Taman Sari.
"Cepat jelaskan padaku, Kang, kenapa
Kakang melakukan tindakan konyol Itu?"
sungut Satria, tak sabar.
Bagaspati tersenyum. Dadanya jadi tera-
sa sesak kembali. Tangannya mendekap dada.
"Jangan anggap perkataan ku lucu,
Kang! Perbuatan Kakang memang konyol. Ba-
gaimana kalau di antara kita sampai ada yang
celaka?" "Nyatanya aku sudah 'celaka' di tan-
ganmu, bukan?" seloroh Bagaspati, seperti
gaya seorang kakak mencandai adik sendiri.
"O, jangan salahkan aku! Mana aku ta-
hu kalau orang yang ku curigai ternyata Ka-
kang sendiri. Lagi pula, siapa suruh Kakang
mengenakan kain hitam penutup wajah sega-
la"!" serbu Satria. Sumpah dikawini bidadari, dia tak sudi disalahkan.
"Baik baik, kau jangan sewot seperti itu."
"Baik apa?"
"Akan kuceritakan kenapa aku berbuat
seperti itu."
"Aku memang sudah berharap dari tadi.
Bahkan sejak aku menyaksikan wajah Ka-
kang sewaktu telentang waktu itu. Aku pikir
Kakang mati. Celaka kalau sampai terjadi!
Bagaimana tidak, Kakang sudah kuanggap
kakak sendiri. Orang mana yang tega mem-
bunuh kakak sendiri, kecuali orang gila" Lagi
pula...." Bagaspati terpaksa tersenyum lagi men-
dengar cerocos Satria. Padahal, sebelumnya
pemuda itu justru yang tak sabar meminta
penjelasan. Sampai akhirnya Satria menyadari sen-
diri kebodohannya.
"He he he, aku terlalu banyak ngomong,
ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan ma-lu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).
'Kau siap mendengar penjelasanku?"
tanya Patih Bagaspati.
Satria mengangguk. Dia tak ingin mem-
biarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang
bingung. mulutnya sering kali sulit dikendali-
kan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon.
"Begini.." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwun-
gan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendi-
ri...." "Ah, masa'"!" perangah Satria. Matanya membesar. Langkahnya terhenti.
"Ya. Beliau bermaksud menguji kepan-
daianmu selaku seorang pendekar muda. La-
lu, aku diperintah untuk mengujinya.'
"Ah, buat apa menguji aku segala" Sa-
tria tak percaya. Benar-benar tak percaya!
Apa alasannya menguji kepandaian kanura-
gannya" Apa tujuannya"
"Dengar dulu," potong Bagaspati ketika mulut Satria sudah memperlihatkan gelagat
buruk kembali. "Sengaja aku menyamar agar kau men-
curigaiku. Setelah kau curiga, dan mengang-
gap aku akan mencelakai Kanjeng Susuhan,
tentu kau tak akan ragu-ragu lagi bertarung
denganku dan mengeluarkan kepandaianmu.
Bahkan kau pun tak ragu-ragu membuat aku
'celaka'...."
"Bukan itu maksudku. Kang. Bukankah
sudah kubilang kalau...."
"Ya ya, aku paham," potong Bagaspati
kembali. "Memang itu tujuan aku menyamar.
Agar kau tak ragu-ragu bertarung denganku.
Jadi kau tak perlu merasa bersalah."
"Baik, yang itu aku paham. Tapi, kenapa
Kanjeng Susuhan hendak menguji kepan-
daian kanuragan ku?"
"Karena dia berniat mempercayakan pa-
damu satu perkara besar?"
"Ah, masa'"!"
"Kanjeng Susuhan belakangan ini men-
cari orang yang bisa dipercaya untuk me-
nangkap seorang pengacau besar berbahaya.
Hidup atau mati. Ketika bertemu dengan kau,
Kanjeng Susuhan merasa kau bisa dipilih un-
tuk menjalankan tugas itu...."
"Ah, masaaaaaaa'"!"
"Untuk itu, kau perlu diuji. Kanjeng Su-
suhan bukan tak yakin pada kemampuanmu.
Dia hanya ingin mengetahui sampai di mana
tingkat kepandaianmu. Aku pun diperintah
untuk mengujimu."
"Ah ah, masa' masa'"!"
"Dan tampaknya Kanjeng Susuhan telah
yakin kini. Apa kau tak mau tahu siapa yang
hendak kau hadapi dalam mengemban tugas
dari Kanjeng Susuhan?"
"Ah, masa', eh iya ya! Siapa orangnya,
Kang?" "Ki Ageng Sulut...,"
"Ah, Mak!"
Satria kontan melotot. Ki Ageng Sulut"
Lelaki tua sakti berjuluk Iblis Dari Neraka itulah yang dulu telah membuatnya
terjengkang hampir modar dalam kerusuhan di Perguruan
Cemeti Api (Baca kisahnya dalam episode :
"Iblis Dari Neraka"!). Dia juga yang telah me-rebut senjata pusakanya Kail Naga
Samudera. Tresnasari datang tergopoh-gopoh. Di
kamarnya yang cukup jauh dari ruang peristi-
rahatan raja, mendengar dua prajurit membi-
carakan pertarungan hebat Satria. Karena
khawatir jejaka pujaannya kenapa-napa dia
buru-buru keluar.
"Kau tak apa-apa, Satria"!" serbu Tresnasari, penuh kecemasan di wajahnya. Tan-
gannya memagut pangkal lengan si pemuda
kuat-kuat, akibat kecamuk perasaan.
Satria cengengesan. Malu hati dia pada
Bagaspati. "Sebenarnya, aku tak apa-apa...," ucap Satria. "Entah kalau Kang Bagaspati ini,"
tambahnya, meledek.
Bagaspati bisa bilang apa kalau sudah


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibegitukan"
* * * 2 ACARA pungut mantu diadakan oleh
seorang saudagar besar Kadipaten Kudus.
Dalam acara itu, diadakan sayembara untuk
mencari seorang suami bagi putri tunggal
sang Saudagar. Bentuk sayembaranya adalah
dengan menggelar pertandingan silat di atas
panggung besar yang sudah disediakan di de-
pan pelataran rumah besar saudagar itu.
Bagaspati mengajak Satria dan Tresna-
sari ke sana. Beberapa hari lalu, dia menda-
pat undangan untuk menghadiri acara terse-
but. Biasa, para saudagar besar terkadang
sering mencoba membuat 'pendekatan-pende-
katan' dengan pejabat. Dengan begitu, usa-
hanya secara tak langsung akan mendapat
dukungan kekuasaan.
Bagaspati sendiri sebenarnya tak begitu
berminat untuk menghadiri undangan sang
Saudagar. Namun karena dia ingin menjaga
citra pihak keraton, dia datang juga.
Dengan menunggang kuda, ketiganya
sampai di gapura rumah yang dikelilingi tem-
bok tinggi layaknya keraton itu. Empat orang
centeng berwajah sangar lengkap dengan
'perkakas'nya menyambut mereka. Melihat
Bagaspati, mereka cepat-cepat menyampai-
kan juraan. "Selamat datang Gusti Patih...," sambut salah seorang dari mereka. "Dan juga
Nisanak dan Kisanak berdua," tambahnya, ditujukan
untuk Satria dan Tresnasari.
Bagaspati mengangguk sekali, membalas
sambutan mereka. Satria latah mengangguk.
Entah apa maksudnya. Tresnasari tertawa
tertahan di belakangnya, geli menyaksikan la-
gak pemuda itu.
Ketiganya lalu diantar masuk oleh salah
seorang centeng.
Pelataran rumah sudah ramai. Di seke-
liling panggung, sudah hadir para undangan.
Di pendapa, tampak para kaum bangsawan
dan beberapa pamong duduk di atas kursi. Di
sekeliling panggung di depan pendapa, duduk
di kursi puluhan pendekar-pendekar silat dari
beberapa penjuru tanah Jawa. Mereka bermi-
nat besar untuk mengikuti sayembara yang
diadakan. Sebagian hanya berniat untuk
menguji dan mengukur sampai di mana ke-
pandaian silat yang dimiliki. Sebagian lain,
datang dengan tujuan mendapatkan putri
cantik si Saudagar yang telah disediakan
layaknya 'piala'.
Putri sang Saudagar sendiri tak tampak
di antara tamu di pendapa. Di sana tak ada
seorang gadis pun. Kalaupun ada wanita, ha-
nyalah istri-istri para undangan. Gadis itu
tampaknya masih berada di dalam kamarnya.
Mungkin baru akan keluar setelah acara
sayembara selesai.
Sang Saudagar tergopoh-gopoh me-
nyambut kedatangan rombongan kecil Bagas-
pati. Dia seorang lelaki agak pendek. Berwa-
jah bulat berlemak. Berperut buncit. Berpa-
kaian seperti para ningrat tanah Jawa. Men-
genakan blangkon dan kain lurik.
Di sampingnya, Bupati Kudus turut me-
langkah terburu. Seorang lelaki menjelang
tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak
seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya
mengembang. Wajahnya bersih dan enak di-
pandang. "Waduh, waduh Gusti Patih, selamat da-
tang!!" sambut sang Saudagar, berlebihan.
Bagaspati turun dari punggung kuda.
Diikuti Satria dan Tresnasari.
Kuda mereka digiring seorang kacung ke
kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam,
sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Sa-
tria dan Tresnasari untuk melangkah ke pen-
dapa rumahnya. Beberapa undangan di pen-
dapa serentak bangkit dan menghaturkan
hormat pada tiga orang tamu yang baru da-
tang. Hidung Satria kembang-kempis. Baru
sekali ini dia merasakan suasana seperti itu.
Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan
itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya di-
gagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih
yang dihormati. Sekali-kali, bolehlah bermim-
pi, gumam Satria dalam hati. Ngaco!
Coba kalau tak ada Bagaspati, tak akan
ada pula acara penghormatan sehebat itu. Bi-
sa-bisa justru tendangan centeng mampir di
pantatnya! Acara 'orang besar' memang tak
bisa dikunjungi sembarang orang. Apalagi
'wong cilik' macam Satria. Hari ini ada penge-
cualian. Karena dia datang dengan seorang
Patih Demak, tentunya!
"Dinda Satria. Dinda!"
Panggilan Bagaspati mengejutkan lamu-
nan tinggi Satria. Pemuda lugu itu terperan-
jat. Cepat-cepat dia menoleh ke arah suara
Bagaspati tadi.
Merah mukanya saat itu juga. Bagaima-
na tidak" Bagaspati sudah duduk di kursi
yang disediakan bersama Tresnasari. Semen-
tara dia masih saja melangkah. Bahkan,
hampir sampai di tangga luar pendapa sebe-
lah selatan. Satria tersenyum kecut. Buru-buru dia
putar haluan. Siapa yang suruh melamun"
* * * Setelah sekian mata acara yang menje-
mukan berlangsung, sayembara pertandingan
silat pun dimulai. Satu orang pendekar dari
tanah Parahiayangan wilayah kekuasaan Ke-
rajaan Pajajaran naik ke panggung.
Pendekar ini mengenakan baju putih, ce-
lana dan ikat kepala hitam. Seorang lelaki be-
rusia tak terlalu tua. Rambutnya panjang
bergelombang. Di pinggangnya melilit sabuk
kulit ular tempatnya menyelipkan kujang.
Sebentar dia memberi salam penghorma-
tan kepada seluruh hadirin. Lalu diperkenal-
kannya diri. Nama dan daerah asal dis-
ebutkan. Juga julukannya.
Berikutnya seorang penantang menyusul
naik panggung. Seorang lelaki muda Tiongkok
yang datang dari Pecinan di kotapraja Demak.
Berambut panjang dikepang. Meski bermata
sipit, wajahnya terbilang tampan. Kulitnya
putih kemerahan. Mengenakan pakaian khas
orang dari negeri asalnya, berwarna kuning
dengan beberapa ikatan di bagian dada. Ber-
celana panjang dan bergandul tali.
Seperti lelaki pertama, pemuda Tiongkok
itu pun menyampaikan hormat. serta mem-
perkenalkan diri. Ucapannya agak terpatah-
patah, kental dengan logat Tiongkoknya.
Keduanya pun mulai berhadapan satu
dengan yang lain. Saling menghormat, kemu-
dian memulai pertandingan. Pendekar dari
Parahiayangan bergerak kian kemari, me-
mainkan kembangan jurus-jurusnya.
Lambat, gemulai, dan indah disaksikan.
Laksana perawan penari.
"Hiaaa!"
Si pemuda Tiongkok mengambil inisiatif
serangan lebih dahulu. Dia tak ingin mem-
buang waktu memainkan kembangan jurus-
jurus seperti dilakukan calon lawannya. Seni
silat negerinya memang tidak sama dengan
seni silat orang-orang tanah Parahiayangan.
Satu sambaran cakar elang memangkas
udara. Tangan si pemuda Tiongkok mengan-
cam. Jarinya mengejang tak beda dengan ca-
kar-cakar burung raksasa perkasa. Jurus-
jurus khas negerinya memang diambil dari
gerak-gerik hewan.
Sementara pertandingan berlangsung,
Satria celingak-celinguk sendirian. Dia mulai
tak betah dengan suasana itu. Orang-orang
yang bersikap dengan tatakrama berlebihan
di sekelilingnya, pertandingan silat yang ba-
ginya seperti menonton adu ayam atau adu
domba, dan wajah-wajah para jago di sekelil-
ing panggung yang keras dan tak nyaman di-
pandang. Heran, kenapa Kang Bagaspati bisa
tahan dengan suasana ini, bisik Satria dalam
hati. Satria mencolek lengan Bagaspati.
"Kang, aku permisi dulu, ya?" bisiknya.
"Mau ke mana?"
"Aku tak betah," aku Satria jujur.
Bagaspati tersenyum. Kepalanya meng-
geleng-geleng perlahan. Semakin lama kenal
pemuda itu, dia kian memaklumi sifat-
sifatnya. Kepolosan dan keluguannya terka-
dang begitu menggelikan. Namun, dengan be-
gitu justru tercermin kemurnian hati si pe-
muda. Tak ada kepalsuan tersimpan. Tak ada
kemunafikan. Tak seperti beberapa orang di
sekitarnya. "Boleh aku keluar cari angin, Kang?" susul Satria.
Bagaspati tak bisa mengiyakan. Juga tak
bisa melarang. Mengiyakan sebenarnya ber-
tentangan dengan tatakrama. Kesannya tidak
sopan. Melarang pun percuma. Dalam suasa-
na seperti itu, tentu sulit menjelaskan pada
Satria tentang tatakrama. Akhirnya Bagaspati
cuma bisa tersenyum kembali.
Satria sendiri menganggap senyuman
Bagaspati sebagai tanda setuju. Satria pun
bangkit dari kursi ukir Jepara.
Tresnasari di sebelahnya menatap tak
mengerti. Mau apa dia" Tanyanya membatin.
"Mau ke mana kau?" tanya Tresnasari,
berbisik. "Cari angin," sahut Satria seenaknya, Tresnasari cemberut. Dari dulu, rasa
kesalnya pada Satria sering kali merebak karena pe-
muda itu sepertinya tak pernah tahu tata-
krama. Lebih menyebalkan lagi, dia seper-
tinya tak mau kenal dengan aturan tersebut.
Mendapati wajah asam Tresnasari, Sa-
tria cuma cengengesan.
* * * Satria berkeliling di sekitar rumah besar
milik sang Saudagar. Beberapa centeng ber-
tampang seram memperhatikannya dengan
pandangan curiga. Karena tahu Satria datang
dengan seorang Patih Demak, mereka tak be-
rani melarang. Kalau kebetulan berpapasan,
mereka malah menjura, sambil tersenyum di-
buat-buat. Satria tiba di sisi barat bangunan.
Disana terdapat taman kecil asri. Bebe-
rapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di
tengah-tengah taman, ada semacam kolam
pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau
bukan di tempat orang, dia akan segera buka
pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bu-
gil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecil-
nya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke
laut le-pas di pantai Ketawang....
Hey, Satria terhenyak. Sebagian ingatan
masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini,
bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali
tak terngiang di benaknya.
Selagi tertakjub dengan sekelumit inga-
tannya, perhatian pemuda itu diusik oleh su-
ara tangisan seorang wanita dari balik dinding
kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus,
Satria beringsut mendekati dinding kayu di
bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.
Jangan-jangan cuma salah dengar, pikirnya.
Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar,
memang ada seorang perempuan sedang me-
nangis di dalam sana.
"Siapa, ya?" gumam Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu mulai
menduga-duga. Barangkali istri sang Sauda-
gar" Kenapa menangis" Bisa saja karena ke-
habisan makanan untuk disuguhkan kepada
tamu" Ah, ngawur! Apa itu anak gadis sang
Saudagar yang sedang dipingit" Bisa saja dia
menangis karena tak ingin dinikahkan de-


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan salah seorang pemenang sayembara"
Lagi pula, bapak macam apa saudagar
buncit' itu" Kenapa bisa-bisanya dia hendak
menjodohkan anak gadis satu-satunya den-
gan orang yang belum tentu dikenal putrinya"
Keterlaluan! Satria menggerutu panjang lebar
dalam hati. "Ehm ehm!" dehem Satria.
Tangisan di dalam sana terpancung.
"Siapa?" terdengar suara halus. Agak
sengau karena baru menangis.
"Aku cuma seorang undangan, Nona,"
ucap Satria. "Kenapa Nona menangis?" tanyanya. Usil sekali dia. Mau tahu urusan
orang saja! "Tak apa-apa," jawab suara wanita di dalam sana.
"Sungguh?"
"Sungguh. Terima kasih, Saudara sudah
memperhatikan ku...."
"Tuan sedang apa"!" bentak seseorang
tiba-tiba dari kejauhan.
Satria mendelik. Sial, rutuknya. Dia ter-
tangkap basah! Yang menegurnya barusan
ternyata seorang centeng galak. Brewokan.
Berhidung besar. Bermata besar pula, seperti
naga keracunan jengkol!
Buru-buru Satria menjauhi dinding ban-
gunan. Tangannya bergerak serba salah. Wa-
jahnya apalagi. Mau tersenyum, malah keliha-
tan seperti ringisan orang yang 'khusuk'
buang hajat. Centeng tadi berlari mendekat. Tangan-
nya tak lepas dari gagang golok besar.
"Apa yang sedang Tuan lakukan?"
ulangnya. Nadanya mengandung kemarahan,
namun ditahan-tahan. Biar bagaimana, Satria
tetap seorang tamu. Apalagi datang bersama
seorang Patih Demak (lagi-lagi hal itu yang
membuat Satria dihormati!).
"Eh, anu...," gagap Satria, kehabisan alasan. Orang seperti dia memang paling
sulit berpura-pura. Apalagi mencari-cari alasan
untuk berdusta.
Jendela mendadak terkuak. Di balik
dinding tempat Satria nguping tadi, rupanya
kamar anak gadis saudagar. Terang saja cen-
teng brewok jadi 'kepingin' marah.
"Tak apa-apa, Kang!" sergah seorang gadis yang muncul dari jendela.
Centeng brewok menjura.
Satria menoleh. Matanya kembali men-
delik. Sekali ini bukan kaget karena bentakan
centeng. Melainkan karena terkejut tak alang
kepalang menyaksikan wajah gadis di jendela.
Sumpah mampus Satria tak bisa percaya ka-
lau gadis yang disaksikannya adalah Mayang-
seruni! * * * 3 DI panggung sayembara, beberapa per-
tarungan telah selesai. Satu persatu peserta
berjatuhan. Tak ada yang sampai kehilangan
nyawa. Dalam pertarungan seperti itu, tak di-
perkenankan membunuh. Lawan cukup dika-
lahkan dengan berbagai macam cara.
Ketika peserta kesebelas tumbang, ber-
kelebat bayangan membelah udara. Datang
entah dari mana. Namun yang jelas tak da-
tang dari jajaran bangku peserta di sekeliling
panggung. Jleg! Berdirilah kini seorang kurus agak
bungkuk. Mengenakan jubah hitam kusam
pendek. Mengenakan tudung berbentuk keru-
cut dari anyaman bambu, menutupi seluruh
kepala dan wajahnya. Padahal, dua peserta
sebelumnya belum lagi turun.
"Tampaknya kau sudah tak sabar lagi,
Kisanak?" tegur lelaki kekar berwajah klimis dan berpakaian perlente. Dialah
pemenang pada pertandingan terakhir.
Sahutan orang bertudung cuma gera-
man berat, "Turunlah, kalau nyawamu masih
ingin menetap di badan!" ancamnya sambil
menudingkan tangan berbungkus kulit keri-
put. Melengaklah lelaki klimis perlente. Wa-
jahnya berubah. Garis-garis keberangan me-
rangas. "Kau hanya bergurau, bukan?" desisnya.
"Jika tidak, kutunggu permohonan maafmu
sekarang juga, Kisanak!"
"Cuih!"
Padat penghinaan, orang bertudung ma-
lah meludah ke panggung.
Lelaki perlente merasa bukan panggung
yang diludahi, melainkan wajahnya. Dia me-
rasa terhina sekali. Dia merasa disepelekan di
hadapan khalayak. Harga dirinya terasa diin-
jak-injak semena-mena.
"Bukan aku yang memulai keributan ini,
Kisanak!" tandas lelaki perlente. Cukup sudah, pikirnya. Penghinaan terhadap
dirinya tidak bisa dibiarkan. Orang bermulut lancang
satu ini harus mendapat pelajaran agar dia
tahu bagaimana bersopan-santun.
"Kau memang ingin minta mampus!" te-
bas orang bertudung, manakala calon lawan-
nya kalap menerjang.
"Heaa!"
Deb! Tendangan lurus datang ke arah orang
bertudung. Serangan yang demikian cepat,
karena dilakukan dalam jarak yang begitu
dekat. Wukh! Hantaman kaki cepat lelaki perlente lo-
los begitu saja. Sementara orang bertudung
sepertinya tidak mengelak sedikit pun. Tiba-
tiba saja, tubuhnya sudah berpindah dari
tempatnya berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terperanjat pada gerak ba-
gai bayangan orang bertudung, lelaki perlente
tak ingin mundur atau sekadar mempertim-
bangkan kembali serangannya. Dengan kaki
kanan yang masih terangkat, dikejarnya la-
wan. Deb! Deb! Deb!
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kem-
bali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hen-
dak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak
kentara. Bahkan oleh mata lawan yang ba-
nyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Ter-
bukti dengan dimenangkannya satu partai
pertandingan belum lama.
Kepala lawan yang tertutup tudung se-
perti berpindah-pindah tempat meski badan-
nya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila
kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri,
kepala orang bertudung tahu-tahu sudah
condong ke samping kanan. Begitu sebalik-
nya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki
perlente membuat satu putaran dengan ber-
tumpu pada sends lututnya. Seakan hendak
dipeluntirnya kepala orang bertudung.
Jika orang bertudung hanya menggerak-
kan lehernya sekali ini, maka tak akan ada
kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab,
putaran kaki lawan menutup ruang gerak
yang bisa dijangkau otot lehernya.
Wukh! Tep! Bergerak bagai bayangan, tangan orang
bertudung mendadak sontak terangkat, dan
disambarnya kaki lancang lawan.
Mata lelaki perlente membeliak. Cengke-
raman tangan lawan di pergelangan kakinya
bagai himpitan rahang naga. Keras. Kuat.
Dan mengunci erat. Dia berusaha melepaskan
kakinya. Tak bisa. Bahkan, meski dia telah
berkutat sekalipun. Bahkan, meski telah pula
dikerahkannya tenaga dalam keotot-otot di
sekujur kakinya.
Perlahan tapi pasti, tangan orang kurus
bertudung mengangkat sebelah kaki lawan.
Tentu saja si lelaki perlente sadar, kalau
dia mencoba bertahan pada kuda-kudanya
semula, selangkangannya akan robek. Bah-
kan, bukan tak mungkin akan terbelah dua.
Cepat atau lambat. Sesaat tadi, memang dis-
adarinya pula betapa tenaga dalam lawan su-
lit terukur. Untuk menyelamatkan selangkangan
nya, lelaki perlente melakukan tindakan ter-
paksa. Dia memanfaatkan tenaga dorongan ke
atas tangan lawan untuk mengangkat tubuh-
nya ke udara. Lalu... "Hiaa!"
Wukh!! Deb! Dalam posisi miring di udara, tubuhnya
berputar setengah lingkaran. Sebelah kaki
yang bebas diayunkan berbareng dengan te-
rangkatnya tubuh. Sasarannya tangan lawan
yang mencengkeram pergelangan kaki lain-
nya, sekaligus menghantam leher lawan.
Taktik serangan tak terduga lelaki per-
lente ternyata tak terlalu mengejutkan. Bah-
kan begitu mudah diduga lawan. Selain itu,
tindakan lelaki perlente justru berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
Tep!. Seperti sebelumnya, sebelah tangan be-
bas orang bertudung bergerak amat cepat,
dan menyambut sapuan kaki lawan. Perge-
langannya dicengkeram kembali. Kini, kedua
kaki lawan terkunci mati sempurna. Badan-
nya sendiri kehilangan kendali.
Meluruklah dia.
Terkesiap wajahnya.
Tangannya terentang, mengira dapat
menahan luncuran tubuhnya di atas tanah.
Perkiraan yang keliru. Sebab....
"Huaaahh!"
Des! Satu clepakan ke depan kaki kurus
orang bertudung menahan tubuhnya ke bu-
mi. Korbannya hanya sempal mengeluh terta-
han. Badannya tersentak ke atas. Ketika tu-
buhnya mulai meluncur turun lagi, kaki la-
wan menyambutnya kembali.
Degh! Dan sekali lagi.... Degh!
Dan berkali-kali! Tak peduli, meski tu-
buh lawan tersentak-sentak meregang nyawa,
kejang lalu mulai lemas. Sementara darah
berhamburan kemana-mana. Keluar dari mu-
lut, hidung, dan telinganya! Panggung yang
beberapa waktu bersih dari anyir darah, kini
tersapu warna merah di mana-mana.
Ternodai. Penonton berseru ramai. Para wanita
memekik. Suasana keruh. Riuh.
Sehimpun caci maki melejit di angkasa.
Perbuatan keji!
"Terkutuklah kau!" seru lelaki yang be-
lum sempat turun dari panggung, orang yang
sebelumnya telah dikalahkan lelaki perlente.
Dia pun turut murka atas perbuatan tak ber-
perikemanusiaan orang bertudung.
Kemurkaan yang menggelegakkan da-
rahnya. "Cukup, Manusia Laknat!" Sambil berteriak serak, lelaki berperawakan pendek gem-
pal menyerbu orang bertudung.
Wesh...Wesh! Kekejian orang bertudung menyebabkan
lelaki berperawakan gempal tak ragu-ragu lagi
bertindak. Tak tanggung-tanggung pula, di-
pergunakannya trisula yang hanya terselip di
ikat pinggangnya selama ini.
Mudah, bahkan bisa disebut terlalu mu-
dah orang bertudung mementahkan seluruh
serangan nyalang lawan barunya. Padahal,
tangannya masih mencengkeram dua perge-
langan kaki lelaki perlente, menyebabkan ke-
pala dan bahu lunglai lelaki malang itu tersu-
ruk-suruk di permukaan panggung. Darah
membentuk kelokan-kelokan mengerikan se-
panjang seretan kepalanya.
Lelaki malang. Dan pada kejapan berikutnya.
"Cuih!"
Ludah orang bertudung melesat. Terle-


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bih dahulu menembus tudungnya, mencipta-
kan lobang sebesar uang logam!
Crresh! "Wuaa!"
Lelaki berperawakan gempal meraung-
raung seketika. Trisula di tangannya terlepas.
Kedua tangannya mendekap wajah. Dari sela-
sela tangannya mengalir darah segar!
"Pergilah kau ke neraka menemani
bangsat ini!" rutuk orang bertudung. Sebelah matanya meneroboskan bersit bengis
dari lobang di tudung.
"Hih!"
Sekelebatan dilemparnya tubuh korban
pertama. Tangannya menyambar tudung. Dari
balik tudung, dikeluarkannya sesuatu.
Cletarr! Mengangkasa suara menggidikkan. Ka-
sar menggelegar, seakan menghantam ke se-
genap penjuru. Saat berikutnya, kepala lawan keduanya
menggelinding, menyusul lesatan tubuh kor-
ban pertama. Gaduh, suasana makin riuh.
Para undangan kehormatan maupun
undangan di sekeliling panggung bangkit se-
rentak. Mereka tak bisa membiarkan ketelen-
gasan tergelar lebih jauh di hadapan mereka.
Pada saat mereka menyadari itu, dua nyawa
telah melayang.
Bagaspati berdiri tegang dengan rahang
kejang. Matanya memerah. Seluruh otot di seku-
jur tubuhnya meregang. Terdengar desisnya.
Tak kentara. Namun jelas mengandung kege-
raman memuncak!
Satria yang berada cukup jauh pun ter-
peranjat mendengar kegaduhan dari pelata-
ran. Keterkejutan sebelumnya karena berte-
mu kembali dengan Mayangseruni terpangkas
begitu saja. Mayangseruni sendiri tak bisa
menduga apa yang sedang terjadi di panggung
sana. Juga centeng brewok di depan Satria.
"Ada apa Satria?" tanya Mayangseruni.
"Aku tak tahu!" seru Satria. Cepat di-ayunnya langkah menuju pelataran.
"Satria tunggu!" pekik Mayangseruni.
Gadis yang masih mengenakan baju adat Ja-
wa itu melompat dari jendela, menyusul Sa-
tria. Sulit berlari karena kain wironnya,
Mayangseruni merobek saja kain tersebut pa-
da bagian tengah. Sebagian paha sekal mu-
lusnya pun tersembul manakala dia berlari.
Mayangseruni tak peduli.
Satria dan Mayangseruni tiba di pelata-
ran. Di atas panggung, Bagaspati dan Tres-
nasari sedang menggempur seorang lawan.
Suasana sudah berubah kacau balau. Satu
mayat dan sepotong kepala yang terjatuh di
bawah panggung segera diurus beberapa cen-
teng. Sementara di atas panggung, tersisa sa-
tu mayat tanpa kepala.
Para istri undangan di pendapa menjerit-
jerit kalang-kabut. Mereka berlarian keluar.
Kalau kebetulan suaminya termasuk seorang
berjiwa satria, memilih untuk tetap berdiam
di tempat. Sementara beberapa bangsawan
dan saudagar bernyali kodok, serabutan ber-
lari. Dengan istri masing-masing, mereka sal-
ing tarik-menarik tangan. Satu hendak ke sa-
na, yang lain hendak ke sini!
Para centeng bayaran segera membentuk
kepungan di sepanjang panggung, bersama-
sama dengan para pendekar undangan. Me-
reka menganggap tak pantas membiarkan
orang keji yang digempur Bagaspati dan Tres-
nasari lolos begitu saja.
Sang Saudagar, duda kaya yang ternyata
ayah angkat Mayangseruni kelimpungan ser-
ba salah. Sewaktu menyaksikan anak angkat
yang dipingitnya keluar bergandengan tangan
dengan seorang pemuda berambut kemera-
han, matanya mendelik besar-besar.
Tergopoh-gopoh dia berlari menemui
Mayangseruni. Perut buncitnya terayun-ayun.
"Kau... kau apa yang kau lakukan di si-
ni, Nduk"!" bentaknya dengan nada tinggi.
Mukanya memerah. Ludahnya tersembur-
sembur. "Masuk!" perintahnya.
Mayangseruni menggeleng. "Masuk!"
ulang saudagar gendut. Wajah Mayangseruni
memperlihatkan guratan menentang.
"Aku selama ini sudah cukup menurut
segala perintah Ayah. Sekarang, kuanggap
sudah cukup!" tandasnya.
"Kurang ajar! Kau harus masuk dan me-
nanti calon suamimu!"
"Tidak. Aku tak mau dijadikan alat oleh
Ayah. Ayah tak pernah berniat mencarikan
suami untukku. Melainkan, mencari pelin-
dung untuk kepentingan Ayah sendiri. Ayah
dengan sengaja mengundang orang-orang ber-
pengaruh dan berkuasa untuk mengikuti
sayembara. Jika salah seorang dari mereka
berhasil menjadi suamiku, tentu Ayah akan
memetik keuntungannya!"
Makin mendelik mata sang Saudagar.
Darah tingginya kumat. Napasnya sesak. Jan-
tungnya mendadak mogok kerja. Dan sauda-
gar gendut pun tersengal-sengal sambil me-
megangi dadanya. Sebentar kemudian dia ter-
jengkang. Satria tercengang sewaktu tahu sauda-
gar gendut sudah telentang di tanah.
"Kau apakan ayahmu, Mayangseruni?"
tanyanya, tak mengerti.
Sementara itu pertarungan di atas pang-
gung menanjak makin panas. Teriakan-
teriakan Bagaspati dan Tresnasari terus ber-
sahut-sahutan, menyelinapi deru angin puku-
lan, tendangan, dan gerak menggempur me-
reka. Kendati keduanya memiliki kepandaian
yang cukup tinggi di dunia persilatan tanah
Jawa, namun mereka seperti terlalu sulit un-
tuk menundukkan lawan. Serbuan mereka
hingga saat itu tak menghasilkan apa-apa.
Satria menggenggam telapak tangan
Mayangseruni lebih keras. Diseretnya gadis
itu, lebih mendekat ke arah panggung.
Tiba sekian tombak dari panggung.
Pendekar muda itu dipaksa menghenti-
kan langkah tiba-tiba begitu matanya mampu
menangkap wajah orang yang dikeroyok Ba-
gaspati dan Tresnasari. Sekelebatan saja su-
dah cukup bagi Satria untuk mengenali orang
itu. Juga cukup baginya untuk mengenali
senjata berbentuk cambuk di tangannya, sen-
jata yang dipergunakan untuk melecut putus
leher korban terakhirnya.
"Ki Ageng Sulut?""!!!" perangahnya. Ma-ta pemuda bernyali naga itu lalu
menyipit. "Kau datang hendak mengantar nyawa dan
Kail Naga Samudera padaku selagi aku hen-
dak mulai mencarimu, Kakek Laknat," desis-
nya. Dan tampaknya tugas yang hendak di-
percayakan Raja Demak padanya harus sege-
ra dimulai hari ini, meski perintah langsung
belum lagi turun.
4 Dash! "Akh!"
Belum lagi Satria beranjak dari tempat-
nya, Bagaspati sudah terhantam sambaran
angin pukulan maut milik Ki Ageng Sulut
yang sudah begitu dikenal sekaligus ditakuti
banyak kalangan persilatan, 'Tepukan Iblis
Kematian'. Terlemparlah Bagaspati dari atas pang-
gung. Melayang sejauh sembilan tombak, lalu
jatuh menimpa bumi bagai seonggok bangkai.
Tubuhnya ketika itu juga mengejang. Tak ada
darah keluar. Namun, pendarahan dalam tu-
buhnya terjadi demikian parah. Dia tak sa-
darkan diri, saat berikutnya.
Tresnasari merasakan bulu diteng-
kuknya merinding hebat menyaksikan kete-
lengasan lawan. Hal itu menyebabkan kelen-
gahan. Kelengahan menyebabkan kerugian
besar dalam satu pertarungan. Terlebih perta-
rungan berbau maut.
Meski jarak tarung antara Tresnasari
dengan lawan masih terpaut jauh, namun ke-
sempurnaan peringan tubuh Ki Ageng Sulut
memberinya kesempatan untuk menjangkau
lawan begitu cepat. Sebelum lawan sempat
menyadari kelengahannya sendiri, diterkam-
nya Tresnasari bagai mengejar bayangan. Sa-
tu tombak sebelum benar-benar tiba, telapak
tangan si tua sesat menepuk udara. Hanya
udara, namun akibatnya sungguh fatal bagi
Tresnasari. Dash! "Ugh!"
Giliran Tresnasari terkena sambaran an-
gin 'Tepukan Iblis Kematian'. Tak beda den-
gan Bagaspati, tubuh gadis murid Nini
Jonggrang itu terlempar deras keluar pang-
gung. Untunglah, murid nenek sesat itu lebih
siap daripada Bagaspati. Meski agak terlam-
bat, Tresnasari sempat mengucurkan segenap
kemampuan tenaga dalamnya ke kedua belah
telapak tangan.
Sebenarnya, hanya dua telapak tangan
yang tersambar angin pukulan lawan. Tapi te-
tap saja, akibatnya tak bisa dibilang ringan.
Sementara pengerahan tenaga dalam miliknya
yang selama dua tahun ini mendapat godokan
langsung dari tokoh jajaran atas golongan se-
sat, juga tak menipiskan kemungkinan men-
dapat luka lebih ringan.
Kalau dibanding-banding, Tresnasari
memang bukanlah tandingan si Iblis Dari Ne-
raka. Siapa Ki Ageng Sulut, siapa pula Tres-
nasari. Baik dari pengalaman, tingkat kesak-
tian, dan kematangan siasat bertarung, Ki
Ageng Sulut jauh berada di atas lawan mu-
danya. Kendati, Tresnasari murid langsung
Nini Jonggrang.
"Tresnaaa!!!"
Satria berteriak kalap.
Di atas panggung, Ki Ageng Sulut berdiri
pongah. Diangkatnya tinggi Kali Naga Samu-
dera. Lalu serunya lantang, "Katakan pada
Tabib Sakti Pulau Dedemit, aku akan mene-
ruskan pembantaian demi pembantaian jika
dia tetap tak ingin menyembuhkan penyakit
ku dengan senjata ini!"
(Seperti diketahui pada episode sebelum-
nya : "Kail Naga Samudera" bahwa penyakit aneh Ki Ageng Sulut akan dapat
disembuhkan dengan memanfaatkan tali Kail Naga Samude-
ra yang terbuat dari ekor ikan pari pelangi langka.)
Satria memburu, seperti memburunya
tetes darah di sekujur tubuhnya. Seperti
memburunya badai dari tengah laut!
Napasnya mendengus, menanduk-
nanduk udara. Belum sampai di dekat panggung, ka-
kinya menghentak.
"Heaaa!!!"
Seluruh mata menangkap lompatannya.
Keterpesonaan pun terjangkit.
Melayang tubuhnya, sengit. Bagai ter-
bang memangkas langit.
Jarak yang demikian jauh terlampaui
oleh Satria. Kakinya menjejak, tepat hanya
satu jengkal dari tepian panggung pertandin-
gan, yang kini telah berubah menjadi pang-
gung pembantaian. Tak ada yang tak terpeso-
na pada tindakannya. Jarak sepanjang seten-
gah pelataran hanya mungkin dilalui oleh se-
orang berperingan tubuh teramat sempurna.
Untuk mencapai tingkatan Itu. seseorang ha-
rus menggojlok kemampuannya selama pulu-
han tahun. Sementara pemuda yang baru sa-
ja melakukan berusia tak lebih dari dua pu-
luh tahun! "Siapa pemuda itu?" perangah beberapa orang.
"Aku belum pernah melihatnya di kalan-
gan persilatan" Bagaimana mungkin dia


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu melakukan lompatan sesempurna
itu?" kagum salah seorang dari beberapa pendekar di sekitar panggung.
Aku tak percaya dia dapat melakukan-
nya! Aku tak percaya! Kalau bukan siluman,
tentu dia orang sakti awet muda. Tak mung-
kin orang seusia dia dapat membuat lompa-
tan itu!' seru tertahan yang lain.
Dalam' keadaan biasa, 'memang tak
mungkin bagi Satria berbuat sehebat itu. Ka-
laupun kini mampu dilakukannya, semata
karena bangkitnya tenaga sakti akibat reaksi
zat abu-abu langka dasar terdalam Samudera
Hindia dengan Ramuan Pulau Dedemit pem-
berian Ki Kusumo. Campuran yang telah me-
nyatu dalam darah, daging, dan sumsumnya.
Dan akan meledak menjadikan tenaga dalam-
nya melimpah ruah bagai dikucurkan lang-
sung dari langit ke ubun-ubunnya!
Lepas dari segenap kekaguman yang ter-
tumpah padanya, apakah Satria masih sem-
pat peduli" Tidak mungkin. Sebab, yang ber-
golak, bergejolak, menggelegak dalam benak-
nya kini cuma kemurkaan besar!
"Kubunuh kau!!" pekik si pemuda kalap.
Suara nya pecah dan bergeletar hebat.
* * * Pantai Tanjung Karangbolong tak pernah
berubah. Dari hari ke hari. Pukulan ombak
dan deru yang dihasilkannya tetap serupa se-
perti hari-hari sebelumnya.
Di pondok tepi pantai tempat berdiam-
nya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Ki
Kusumo, salah seorang penghuninya keluar
dengan wajah kusut.
"Heran, bisa-bisanya tengah hari bolong
begini aku tertidur dan bermimpi pula," gerutu si tua bangkotan itu, sambil
menggaruk- garuk kulit kepala klimisnya. Kulit kering
yang terkelupas dari kepalanya pun berteba-
ran tertiup angin. Dengan mata sayu, dia me-
langkah malas-malasan.
"Ada apa Panembahan?" tanya Ki Kusu-
mo. Tabib tua kenamaan tanah Jawa yang
beberapa waktu lalu tak bisa berbuat apa-apa
karena luka parah akibat pertarungan hidup-
mati dengan Ki Ageng Sulut, kini sudah tam-
pak bugar sama sekali. (Baca kembali episode sebelumnya : "Kail Naga
Samudera"!). Di bawah satu pohon kelapa, orangtua itu sedang
melatih pernapasan.
Beberapa pekan belakangan dia juga se-
dang tekun melatih kaki cacatnya. Kaki ku-
tung sebatas lutut itu kini disambung dengan
logam runcing, dipesan khusus dari seorang
pandai besi yang dulunya menjadi keper-
cayaan Raja Brawijaya yang pernah dikenal-
nya. Keadaan badannya kini, memaksa Ki
Kusumo memperbaharui beberapa jurus-
jurusnya. Bahkan dia pun mulai mencoba
menciptakan jurus-jurus baru, yang mene-
kankan pada keampuhan logam runcing
pengganti kakinya. Keadaan terpaksa me-
mang sering kali membuat seseorang berusa-
ha untuk menemukan kelebihannya di balik
kekurangannya. Hal itu yang terjadi pada diri
Ki Kusumo. Dalam sepekan terakhir, setidaknya lima
jurus baru tercipta. Jurus-jurus yang berkai-
tan dengan 'senjata baru' di kaki kutungnya.
Hari ini, dia mencoba melatihnya kem-
bali. Di depan tempatnya berada kini, ada
tiang-tiang setinggi atap rumah. Di atas tiang-
tiang tersebut di gantung buah-buah kelapa.
Setiap buah kelapa sudah berlobang seuku-
ran mata uang logam. Tentunya ujung runc-
ing logam pengganti kakinya telah menembus
setiap buah kelapa itu.
Untuk melatih ketepatan sasaran, bukan
cuma kelapa dimanfaatkan Ki Kusumo. Orang
tua itu pun menggantung beberapa mata
uang kepeng. Setiap mata uang yang digan-
tung kini telah terbagi dua, terbelah ujung
runcing logam pengganti kaki Ki Kusumo.
Keringat Ki Kusumo belum lagi menger-
ing ketika Dongdongka keluar dengan geru-
tuannya. "Aku mimpi," jawab Dongdongka, atas
pertanyaan Ki Kusumo barusan.
"Mimpi?"
"Ya. Keterlaluan kalau kau tak mengerti
apa 'mimpi' itu!"
Ki Kusumo terkekeh. Kebiasaan khasnya
yang mulai sering muncul kembali hari-hari
belakangan, menyusul kembalinya keseha-
tannya. "Mimpi jelas aku tahu, Panembahan,"
kata Ki Kusumo seraya menghapus keringat
di kening keriputnya dengan lengan baju.
"Aku cuma ingin tahu, mimpi apa yang telah Panembahan alami?"
Dongdongka 'ngedeprok' seenaknya di
atas pasir, seperti tingkah seorang bocah.
"Aku mimpi, murid kita diserang dua
ekor ular. Ular jantan dan betina yang be-
suuuuuuaaaar! Kepalanya saja sebesar bukit!
Matanya sebesar pintu gubuk kita! Aku he-
ran, ular sebesar itu makanannya apa, ya"
Kalau kerbau, pasti butuh satu kandang. Ka-
lau padi pasti satu sawah. Ah, sejak kapan
ular makan padi, ya?" Kalau ular makan uang rakyat" Ah itu mah, Ular 'kadut-
kadutan' yang bisa membedakan mana perawan, mana
janda! He he he" Dari menceritakan mimpi,
tua bangka itu mulai ngoceh ngalor-ngidul.
Ki Kusumo terdiam. Punggungnya dis-
andarkan ke batang kelapa. Wajahnya diter-
kam kegalauan. "Kira-kira, apa kau bisa menafsir arti
mimpi ku itu, Kusumo?"
Ki Kusumo tak memperhatikan per-
tanyaan Dongdongka. Matanya menerawang.
"Hey, Kusumo! Aku bertanya padamu,
bukan pada dengkulku sendiri!" bentak
Dongdongka. Ki Kusumo tersentak.
"Apa yang Panembahan tanyakan?"
"Ah, sudahlah!" tepis Dongdongka, keki sendiri. Dia bangkit. Dilangkahkannya
kaki ke arah pantai.
Masih tetap dengan gerak malas. Ma-
tanya pun tetap sayu. Sebentar terkatup, se-
bentar membuka tanggung-tanggung.
Byurr! Bangkotan tua itu pun masuk ke dalam
laut. Barangkali mau sedikit mendinginkan
otaknya yang panas akibat mimpi siang bo-
long. Setidaknya sedikit menyegarkan badan.
Tinggal Ki Kusumo termenung sendiri.
Hati kecilnya memperingati, mimpi Dong-
dongka menjadi satu pertanda. Menurut tafsi-
rannya, murid mereka Satria akan mengha-
dapi lawan berbahaya. Dua lawan sekaligus.
Lelaki dan wanita yang bersekutu bersama!
Tak lama, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul sudah tampak lagi. Badannya basah
kuyup. Baru keluar dari laut. Sambil terus
menggaruk-garuk kepala dan mata terpejam,
dia bergumam pada Ki Kusumo yang dilewa-
tinya. "Keterlaluan kau Kusumo. Nyam...
nyam.... Kenapa kau tak bilang, kalau arah
gubuk kita bukan ke sana" Aku mau mene-
ruskan tidur di gubuk. Bukan di dasar
laut...." * * * Pertemuan-perpisahan. Dua kata tak
terpisahkan. Satu ada untuk melengkapi yang
lain. Kehidupan tak pernah lengkap dengan
dua hal itu. Seperti juga Mayangseruni. Sete-
lah terpisah sekian puluh tahun, untuk per-
tama kali dalam hidupnya, dia bertemu kem-
bali dengan saudara kembarnya, Tresnasari.
Ketika itu dia menyaksikan Tresnasari
terlempar dari atas panggung. Hatinya terta-
rik menyaksikan wajah Tresnasari begitu mi-
rip dengan wajahnya. Saat itulah, dia teringat
pada ucapan Satria beberapa waktu lalu. Kala
bertemu pertama kali dengan Satria, pemuda
itu menyangka dirinya sebagai seorang gadis
yang dikenal Satria. Satria sempat menyebut-
nyebut nama Tresnasari. (Lihat kembali epi-
sode : "Geger Pesisir Jawa"!).
"Apakah kau Tresna?" tanya Mayangse-
runi dengan sehimpun kegempitaan di hati,
setelah berlari kecil mendekati Tresnasari. Di-
bantunya Tresnasari bangkit.
Syukurlah, keadaan luka Tresnasari tak
terbilang parah seperti dialami Bagaspati.
"Siapa kau?" balas tanya Tresnasari. Matanya ternanar menyaksikan betapa wajah
gadis yang membantunya bangkit demikian
mirip dengannya. Ibarat dirinya sedang ber-
hadapan dengan cermin hidup!
"Aku Mayangseruni! Saudara kembar
mu!" tukas Mayangseruni, nyaris memekik
kegirangan. Tresnasari terpaku. Bibir merah ranum-
nya terbuka. * * * 5 NINI Jonggrang melantunkan sumpah
serapah paling tajam untuk telinga manusia.
Bahkan mungkin untuk kuping kambing con-
gek sekalipun. Pasalnya, dia melihat bagai-
mana murid tunggalnya, Tresnasari telah me-
langgar perintahnya mentah-mentah. Melang-
gar, artinya berkhianat. Tak peduli apakah
sebagai gurunya, Perempuan Pengumpul
Bangkai itu adalah seorang sesat. Yang na-
manya berkhianat, ya tetap berkhianat. Begi-
tu menurut si nenek jelek sakti. Padahal, ka-
laupun ada guru yang paling pantas dikhia-
nati, ya Nini Jonggrang orangnya.
Perempuan berusia alot layaknya Dong-
dongka itu 'nangkring 'di atas tembok pagar
rumah sang Saudagar. Sambil menyaksikan
seluruh huru-hara yang berlangsung di peka-
rangan, dia mencak-mencak ke sana ke mari.
Meski gerakannya lebih serampangan dari
tingkah seekor bajing kegatalan, tak ada satu
daun pun yang gugur karenanya. Bahkan
daun kering sekalipun. Itu semua disebabkan
karena Nini Jonggrang nenek moyangnya baj-
ing" Jelas bukan! Kesempurnaan ilmu perin-
gan tubuh yang sulit dicari tandingan yang
menjadi penyebabnya.
Sewaktu Bagaspati, Satria, dan Tresna-
sari sedang dalam perjalanan dari keraton ke
tempat undangan, tanpa disengaja Nini
Jonggrang menyaksikan mereka. Sulit dia
percaya kalau muridnya ternyata tak pernah
membunuh si pendekar muda, Satria Gen-
deng. Malah disaksikannya sendiri Tresnasari
tersenyum-senyum manja, berbincang bin-
cang hangat, bergurau-gurau mesra, ber... ah,
semuanya serba membuat nenek jelek itu jadi
naik darah! Rasanya. darahnya naik ke ubun-ubun,
lalu menukik ke pantat, terus terpantul naik
lagi ke ubun-ubun. Bukan cuma marah. Nini
Jonggrang juga malu pada keriputnya, pada
dengkulnya, serta pada dunia dan seisinya.
Masa muridnya tak becus menjalankan tugas
pertamanya" Apa sih, susahnya membunuh
satu manusia" Percuma jadi murid Perem-
puan Pengumpul Bangkai yang tersohor! Ru-
tuk Nini Jonggrang.
(Apa dianggapnya manusia itu sama
dengan kecoak")
Sampai saat itu, Nini Jonggrang belum
bertindak apa-apa. Perutnya masih terasa
mulas karena terlalu dongkol pada Tresnasa-
ri. Lagi pula, dia juga tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan bagaimana
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul melolong-
lolong minta ampun dihajar Ki Ageng Sulut.
Salah satu hal yang bisa membuatnya mera-
sakan puncak kepuasan! Kalau kesenangan-
nya saja bisa membuat orang yang menden-
gar bergidik, tentu manusia satu ini sinting
asli! Sementara pertarungan Satria dan Ki
Ageng Sulut berlangsung sengit.
Di panggung, Satria bergerak cepat dan
teratur. Terkadang melambat seperti orang


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uzur. Terkadang gemulai seperti penari. Ju-
rus-jurus sakti si Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bagai mengalir deras dari tubuhnya,
dan terwujud dalam setiap gerak.
Terkadang jurus-jurusnya berubah
menggebu. Pukulannya menderu. Tenda-
ngannya membabi-buta, beruntun laksana
gempuran petir. Setiap kali dia bergerak, ter-
dengar suara cukup keras. Pertanda setiap
gerakannya mengandung tenaga kilat.
Lawannya, meski berusia tua, tak kalah
hebat memainkan jurus-jurus maut. Kecepa-
tan, kekuatan, dan kejalangan jurus 'Satria
Gendeng' diimbangi, biarpun usia mereka ber-
taut amat jauh. Keduanya bergerak bagai dua
malaikat maut. Masing-masing hendak men-
cabut nyawa lawan.
Melewati jurus-jurus keempat puluh, ke-
lebatan gerak mereka sudah sulit diikuti mata
awam. Yang tampak hanya dua larik bayan-
gan yang bergerak kacau dan nyaris menyatu.
Satu bayangan hitam yang lain bayangan pu-
tih keabu-abuan.
Di antara dua kelebatan bayangan itu,
terlihat pendar-pendar warna pelangi. Terka-
dang membentuk selubung yang mengung-
kung dua kelebatan bayangan hitam dan pu-
tih, terkadang membersit lurus, terkadang
pula meluruk tajam. Sepanjang itu, terus ter-
dengar bunyi bergemuruh seperti sabetan-
sabetan petir di angkasa. Asal pendar cahaya
pelangi dan bunyi bergemuruh itu berasal da-
ri Kail Naga Samudera di tangan Ki Ageng Su-
lut. Seluruh mata di luar kancah pertarun-
gan seperti tak sempat berkedip menyaksikan
pertarungan dahsyat itu.
Suatu ketika....
"Hiaahaa! He he he!" Terlempar teriakan dari kerongkongan Satria disertai kekeh
re-nyahnya. Saat itu, si pendekar muda sedang
mengerahkan jurus-jurus andalan warisan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria makin terlihat gendeng. Dia ber-
jumpalitan ke sana kemari. Gerak tubuhnya
pun makin sulit diikuti mata. Terkadang ke-
lebatan tubuhnya berhenti mendadak. Di te-
pian panggung dia menandak-nandak nga-
wur. Pada bagian ini, pemuda itu seolah se-
dang bermain-main. Namun di balik itu, se-
benarnya terkandung kehebatan tersendiri.
Orang yang menyaksikannya akan mengang-
gap lelucon tengik. Namun bagi tokoh persila-
tan bermata jeli akan berpendapat lain. Mere-
ka menemukan kekuatan tersembunyi di ba-
lik setiap gerakan kacaunya, atau kecerdikan,
atau kecepatan, atau kegesitan tak terduga,
atau bahaya maut...!
Suatu ketika, Satria menarik mundur
tubuhnya beberapa tombak dari lawan den-
gan cara melejit ke udara. Di ujung panggung,
dia menjejakkan kaki ringan.
Selanjutnya, dibuat satu hentakan ke-
ras-keras sambil menjatuhkan badan ke per-
mukaan panggung. Dengan cara itu, tubuh-
nya meluncur di atas permukaan panggung.
Dengan posisi setengah terbaring, sebelah ka-
kinya merentang lurus. Sebelah kaki yang
Iain terlipat, menjadi tumpuan. Gelagatnya,
dia hendak mematahkan pertahanan kuda-
kuda lawan. Sementara tangannya siap
menghujani bagian selangkangan lawan den-
gan pukulan tak terduga.
Wrrr! "Hieeeeeheeee!"
Iblis Dari Neraka tentu tak mudah terti-
pu dengan siasat tarung lawan yang dinilai
aneh oleh kalangan persilatan. Karena tokoh
tua sesat ini kenal betul ciri bertarung guru si pendekar muda, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Mata tuanya yang tak pernah kehilangan
kejelian, membaca keadaan dengan cepat. Ji-
ka dia mencoba menghindari sodokan deras
kaki membentang lawan dengan cara melom-
pat, maka tangan lawan akan menyambut-
nya. Artinya, dia hanya memberi kesempatan
lawan menghantam empuk-empuk selang-
kangannya. Dan memang itu yang tampaknya
dikehendaki lawan.
Jika diputuskan untuk tidak melompat,
maka risiko yang bisa dideritanya adalah pa-
tah kaki pada bagian lutut!
Segenap kejelian dan kewaspadaan di-
tingkatkan Ki Ageng Sulut, menyambut keda-
tangan luncuran tubuh lawan mudanya di
permukaan panggung. Dalam tempo yang
demikian cepat, bahkan untuk hitungan ke-
dipan mata! Dan.... "Hih!"
Cerdik! Ki Ageng Sulut tidak melakukan
lompatan. Tidak juga membiarkan lututnya
patah oleh tandukan kaki lawan. Dia hanya
merenggangkan kuda-kudanya lebar-lebar.
Gesit geraknya. Tangkas.
Kaki terentang Satria Gendeng lewat di
tengah-tengah dua kaki lawan. Karena sia-
satnya gagal, dibuatnya satu serangan susu-
lan. Sebelah kaki terlipatnya, mendadak son-
tak membuka dari bawah kaki yang teren-
tang. Sapuan keras!
Ssrrrs! Sebelah kaki lawan terancam.
Dalam keadaan berdiri dengan kaki te-
rentang, tentu sulit bagi Ki Ageng Sulut untuk
mengangkat sebelah kaki. Tua bangka keji itu
tak kehilangan akal. Begitu tampak olehnya
kaki lawan membuat sapuan, tangannya
mengebutkan Kail Naga Samudera ke bawah.
Cletarr! Clep! Satria terkesiap.
Senjata pusaka di tangan tua bangka itu
secepat kilat menukik lurus. Tajam. Tahu-
tahu, kayu panggung tertembus. Sedangkan
tali Kail Naga Samudera sendiri merentang te-
gang seperti potongan baja. Sapuan Satria
tertahan seketika!
Kaki pendekar muda itu nyaris saja ter-
pantek langsung ke permukaan panggung!
Kalau saja Ki Ageng Sulut memiliki ketepatan
tinggi mempergunakan senjata pusaka di tan-
gannya! Saat Satria terpesona...,
Wukh! Degh! Satu tangan lawan membuat tamparan
mendongkel dari bawah ke atas.
Dari posisi setengah terbaring di lantai
panggung, kepala si anak muda tersentak te-
ramat keras. Dagunya terhantam angin tam-
paran telapak tangan lawan, satu tombak se-
belum telapak tangan itu menjangkau sasa-
rannya sendiri. Akibat yang lebih hebat, Sa-
tria Gendeng langsung terangkat deras ke
udara. Seperti dialami oleh Bagaspati maupun
Tresnasari, tubuh pendekar muda itu me-
layang deras. Meluncur keluar panggung.
'Tepukan Iblis Kematian' baru saja mengha-
jarnya! "Aaaahhh!"
Para penonton pertarungan maut berse-
ru. Pekat. Satria jatuh bergulingan. Dan baru ber-
henti ketika menghantam tangga batu penda-
pa telak-telak. Sebagian permukaan tangga
batu pualam menjadi gompal!
Segenap pandangan menombak ke arah
dirinya. Bersit cemas bertaburan. Tak lama
mereka seperti sama-sama menunda napas.
Ketika perlahan-lahan si pendekar muda be-
ringsut bangkit, baru terdengar desah napas
lega mereka. Tak urung pula, mereka mem-
perdengarkan helaan terpesona. Terpesona
karena jelas-jelas pendekar muda bau kencur
itu telah terkena salah satu pukulan paling
ditakuti di seantero dunia persilatan tanah
Jawa. Namun, tak ada tanda-tanda kalau dia
mengalami luka berbahaya. Di lain keadaan,
'Tepukan Iblis Kematian' bahkan sanggup me-
lebur karang sebesar kerbau!
Bukankah yang demikian itu mempeso-
na mereka"
Satria Gendeng mengeluh. Melenguh.
Suaranya parau. Betapapun sakit yang dideri-
ta, betapapun sesak mendera, betapapun
mual dan pening terasa, yang jelas dia telah
bangkit kembali kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat
naik. Perlahan.
Urat-urat di bola mata itu memerah. Se-
perti milik banteng ketaton! Darah kehitaman
mengalir lambat di antara hidung dan bibir-
nya. Wajahnya pun mematang, terbakar gele-
gak kemurkaannya.
"Khuaaaaaa!!!!"
Satria melolong. Kepalanya mendongak.
Urat di lehernya menggelembung. Dia. seperti
seekor serigala luka yang melampiaskan se-
genap kemarahan-nya melalui lolongan tinggi menohok angkasa.
Udara tergempur.
Getarannya menghancur.
Lapisan luar tembok pagar pecan ter-
hambur. Dedaunan menggelepar-gelepar, gugur.
Puluhan orang harus menekan daun te-
linga kuat-kuat.
Si nenek jelek yang sedang nangkring di
dahan satu pohon pun tergetar mendengar lo-
longan mengerikan itu. Hidungnya kembang
kempis. Hampir saja lendir dan lobang hidung
dekilnya terjatuh tanpa disadari.
"Bocah Bussssssuk! Bagaimana dia bisa
memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara
umurnya baru sejempol kukuku"!!" makinya
sambil meringis-ringis.
Si pemuda sendiri tak pernah peduli pa-
da semua itu. Dari tempatnya berpijak, dia
menggenjot tubuh.
Wrrr! Tepp! Di tepi panggung, kembali dia mema-
cakkan kuda-kuda.
Suasana mendadak dibungkam. Senyap,
kebisuan yang memagut. Napas seakan ter-
tunda kembali. Ki Ageng Sulut tak menyangka dia akan
ikut terbawa pesona yang seolah terpancar
gencar dari dalam diri si satria muda yang be-
lum lagi cukup dikenal dunia persilatan tanah
Jawa itu. Bahkan tak sempat ditariknya kem-
bali tali Kail Naga Samudera yang menembus
ke bawah lantai panggung.
Diam, si tua bangka keji itu dalam ke-
terpanaan. Sampai geraman pemuda di de-
pannya menyadarkan.
"Apakah kau tahu, Orang Tua Sesat.
Kematian tak pernah memilih-milih dan me-
mihak siapa pun," desis Satria, sarat nada mengancam. "Aku cuma berharap, semoga
Gusti Yang Agung meminta nyawamu hari ini
melalui tanganku...."
Ada yang terasa bergetar di dalam diri Ki
Ageng Sulut mendengar ucapan si anak mu-
da. Aneh. Keganjilan yang menyeruak tak ter-
tahan. Bagaimana mungkin seorang bocah
ingusan dapat menggetarkan hati seorang to-
koh kenamaan yang kekejamannya telah
membuat tanah Jawa merinding selama ber-
puluh-puluh tahun lamanya" Semuanya se-
perti sulit dipercaya oleh Ki Ageng Sulut sen-
diri. Namun, dia tak bisa memungkirinya! Sa-
tu kelebihan yang tak dimiliki oleh pemuda
kebanyakan. Dan akan sulit pula dimiliki oleh
kalangan tua sekalipun. Sebentuk pancar
kharisma kuat yang mungkin sanggup meng-
getarkan nyali seeker singa lapar!
Berkawal teriakan menggila, tubuh Sa-
tria Gendeng berpusing cepat serta liar. Pu-
singan tubuhnya merangsak deras menuju
lawan. Bagai gasing raksasa yang sulit didu-


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga. Tangannya sebentar terbentang, membuat
putarannya melambat. Sebentar berikutnya
terlipat dalam, menyebabkan putaran tu-
buhnya menjadi demikian sengit. Kegilaan itu
tidak hanya sampai di sana. Di antara den-
gung yang diciptakan putaran tubuh si pen-
dekar muda, terdengar pula suara berdesisan
di bawahnya. Apa yang terjadi sungguh me-
nabjubkan siapa, pun. yang menyaksikannya.
Begitupun Ki Ageng Sulut, tokoh nomor wahid
golongan hitam yang menggemparkan dengan
julukan Iblis Dari Neraka.
Ki Ageng Sulut tercekat. Dia menyaksi-
kan dengan mata kepala sendiri permukaan
panggung mengeluarkan asap karena gesekan
kaki Satria Gendeng yang menjadi tumpuan
putaran! "Sinting! Aku tak pernah melihat Dong-
dongka melakukan pertarungan seperti itu.
Lalu jurus siapa yang bocah sial ini main-
kan?"?" desis Ki Ageng Sulut, bergidik.
Sebenarnya, tak sekali pun Dedengkot
Sinting Kepala Gundul menurunkan jurus
aneh ini pada Satria. Kalaupun kini diperli-
hatkan oleh si pendekar muda, semata adalah
kekuatan dorongan naluri kependekarannya.
Dorongan itu menyebabkan dia mengikuti sa-
ja gerakan yang lahir dari dalam, hingga ter-
cipta sebentuk jurus ampuh tanpa disada-
rinya. Sedangkan kekuatan sakti yang men-
gendap dalam tubuhnya selama ini telah me-
nyebabkan tenaga putarannya sanggup men-
ciptakan gesekan teramat hebat di permu-
kaan panggung! * * * 6 MURID kualat!" Nini Jonggrang tahu-
tahu sudah berada di belakang Tresnasari.
Bertolak pinggang. Cemberut wajahnya. Su-
dah jelek, jadi tambah jelek.
Tresnasari kaget bukan kepalang. Keta-
kutan, dia tersurut mundur ke belakang.
Mayangseruni yang belum mengerti duduk
perkaranya menatap terheran-heran.
"Sini, kau!" bentak Nini Jonggrang,
mendelik-delik menyeramkan.
Tresnasari menggeleng takut-takut. Sifat
judes, bandel, dan ketusnya kabur entah ke
mana kalau sudah berhadapan dengan nenek
sakti penganut ilmu sesat itu. Siapa yang tak
ngeri berhadapan dengan perempuan bangko-
tan seseram Perempuan Pengumpul Bangkai"
Kendati muridnya sendiri" Jangankan men-
dengar bagaimana tabiat darah dinginnya se-
lama ini, menyaksikan wajah dan penampilan
rombengnya saja sudah bikin jantung 'empot-
empotan' separo soak.
Nini Jonggrang menggeram. Seperti de-
demit pohon petai.
"Ke sini, kataku!" susul si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Tresnasari tetap tak ingin mendekat. Ke-
palanya menggeleng makin kuat. Wajahnya
disergap ketakutan. Panas-dingin mungkin
juga. Nini Jonggrang mendengus sekali. Di-
angkatnya tangan kurus berkulit keriput dan
menebarkan bau bangkai busuk ke mana-
mana. Kuku-kukunya panjang menghitam.
Jari kelingkingnya bergerak-gerak bagai see-
kor cacing pesakitan, membuat isyarat agar
murid bandelnya mendekat. Matanya yang se-
ni era h darah menerkam langsung ke manik-
manik mata Tresnasari.
Tajam menusuk. Tresnasari kian gelagapan. Entah ba-
gaimana, kakinya perlahan-lahan terseret dari
tempat berpijak. Ada tenaga kasat mata
menggeser kakinya. Gadis itu mencoba berta-
han. Tak berhasil. Jangankan mempertahan-
kan pijakan, menggerakkan otot dan sendi
kakinya saja sudah demikian sulit.
Betapa Tresnasari yakin, mata iblis Nini
Jonggrang telah mempengaruhinya. Mata itu
pasti mengirim kekuatan tenung seorang pe-
rempuan penganut ilmu sesat, mengunci
langsung segenap jaringan saraf kaki di otak-
nya. Mata yang Juga mengirim getaran-
getaran menakutkan ke hati.
Terkutuklah kau nenek setan! Maki
Tresnasari, hanya berani dalam hati. Kalau-
pun punya keberanian, toh mulutnya pun te-
rasa terbelenggu kekuatan tenung perempuan
penganut ilmu sesat itu.
Tresnasari terus terseret perlahan.
Mayangseruni diam tak bergerak. Biar-
pun pengaruh tenung cuma ditujukan pada
Tresnasari, namun gadis kembarannya itu
seperti turut terkena getahnya. Dia takjub
menyaksikan bagaimana hebat, betapa pia-
wainya si nenek jelek mengatur tenaga dalam
demikian rupa. Menurut Mayangseruni, seba-
gai orang yang cukup banyak belajar ilmu-
ilmu olah kanuragan, tenaga dalam tersebut
dikirim Nini Jonggrang melalui gerakan jari
kelingkingnya. Bayangkan" Hanya dengan
menggerakkan jari kelingking, Perempuan
Pengumpul Bangkai 'sudah sanggup mengi-
rim tenaga dalam yang dapat menyeret seseo-
rang ke arah dirinya!
Tresnasari tiba satu tombak di depan
hidung gurunya, yang sampai detik ini tak
akan sudi diakunya. Biar bumi kiamat dan
mengeluarkan bangkai-bangkai berjalan dari
perutnya, sekalipun!
"Kenapa kau tak melakukan tugasmu,
hen?" hardiknya kembali.
Tresnasari tergagap-gagap parah. Butir-
butir keringat bersembulan di wajah dan leher
jenjangnya. "Ngomong tolol!"
Susah payah setengah mampus gadis itu
berusaha menggerakkan lidah, tak juga ada
satu kata keluar. Kelu lidahnya. Kerongkon-
gannya terasa sudah mau robek karena me-
maksa untuk berbicara.
Hidung Nini Jonggrang menyerupai pa-
ruh burung Nazar Hidung itu kembang-
kempis. Sewaktu mekar, terlihat kotoran ber-
lendir menjijikkan. Baunya menyengat. Tan-
gan yang tak sempat diturunkan mulai berge-
rak. Jari-jari kurus panjangnya turut berge-
rak-gerak. Kuku-kukunya melintas-lintas di
depan wajah Tresnasari, membuat gadis itu
makin pucat pasi.
"Kau tahu," mulainya lagi terseret. "Sebagai murid, kau telah mengecewakanku.
Mengecewakan sekali! Kau mengkhianati tu-
gas yang kuberikan. Itu artinya, secara tak
langsung kau telah mengkhianatiku!"
Nini Jonggrang mengusap lendir di lo-
bang hidungnya dengan punggung tangan.
Tertawa terkikik dia. Tanpa satu alasan pun
yang dianggap lucu.
"Bagi diriku, tak akan rugi bila seorang
murid berkhianat. Aku bisa mencari murid
yang lain. Yang setia. Yang mau menuruti apa
perintahku, tak peduli dia ku perintah untuk
menelan kotoran kerbau! Tidak seperti kau,
Murid Kualat!"
Nini Jonggrang terkikik-kikik lagi.
"Karena kau telah berkhianat, maka kau
sendiri yang akan merasakan akibatnya! Kau
tahu apa yang bisa kulakukan terhadap ma-
nusia" Aku bisa menguliti kulitnya, bisa
menggeragot ubun-ubunnya dan ku sedot
otaknya, aku akan melakukan apa pun yang
ingin kulakukan," desis Perempuan Pengum-
pul Bangkai, menggempur nyali murid ban-
delnya. "Dan untuk seorang murid murtad, ten-
tu saja akan bisa melakukan lebih dari itu.
Lebih! Lebih! Lebiiih! Hik hik hik!"
* * * Wuk wukh wukh! Pusingan tubuh Satria Gendeng tiba ju-
ga di dekat Ki Ageng Sulut. Sulit untuk men-
duga ke mana arah serangan yang hendak di-
lakukan pendekar muda itu. Setiap saat, tan-
gannya bisa melontarkan pukulan, ke setiap
arah. Juga kakinya bisa melepas tendangan,
atau sapuan, atau tebasan. Yang juga tak ter-
duga arahnya. Untuk menghadapi serangan ganjil ini,
Iblis Dari Neraka tak bisa sembarangan mela-
kukan gerakan. Atau sembarangan melancar-
kan serangan. Putaran tubuh lawan mudanya
sendiri sudah membuat matanya jadi kehi-
langan konsentrasi. Menyerang dalam kea-
daan seperti itu dengan anggota badan malah
bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. La-
wan bisa membuat tangkisan, sekaligus se-
rangan balasan tiba-tiba.
Kalau lawan lain, mungkin Ki Ageng Su-
lut tak akan begitu bingung melakukan se-
rangan. Pengalamannya selama menerjuni
dunia persilatan telah mengasah kewaspa-
daan dan ketajaman pandangan dan perhi-
tungannya. Dengan cepat, dia bisa menang-
kap serangan mendadak lawan. Kendati itu
dilakukan dari jarak tak lebih dari tiga jeng-
kal. Lawan yang dihadapinya kini, bukan
sembarang lawan. Dia adalah murid tunggal
Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Dan baru
sekarang disadarinya benar-benar, kalau pe-
muda tanggung itu nyatanya bisa jauh lebih
berbahaya dari gurunya sendiri!
Ki Ageng Sulut tak habis mengerti den-
gan hal itu. Kenyataan memang berkata de-
mikian. Gerakan si pendekar muda, demikian
cepat. Tak terduga. Kekuatannya pun sulit
diukur. Kecepatan dan kekuatan yang sulit
terduga dan telah mengejutkan banyak pihak
itulah yang menjadikannya berbahaya.
Jangankan Ki Ageng Sulut, Satria sendi-
ri pun sebenarnya tak pernah menyadari ke-
saktian apa yang sebenarnya bersemayam da-
lam dirinya. Kesaktian alami yang sanggup
melipatgandakan kekuatan dan kecepatan-
nya. Bahkan dalam keadaan-keadaan terten-
tu, sanggup melampaui satu-dua tingkat dari
tokoh-tokoh jajaran atas tanah Jawa!
Satu-satunya jalan yang dipikir terbaik
oleh Ki Ageng Sulut adalah mendahului se-
rangan. Tidak dengan tangan dan kaki. Me-
lainkan dengan senjata pusaka di tangannya.
Dengan Kail Naga Samudera! Senjata pusaka
yang tak diragukan keampuhannya di tangan
seorang yang tepat.
Wush!! Cletar! Menyambut tibanya putaran menggila
tubuh lawan, Iblis Dari Neraka melecutkan
Kail Naga Samudera. Suara celetar terdengar.
Sangar! Tali Kail Naga Samudera menggelepar
sengit. Bersit cahaya pelangi menebar lebar.
Putaran menggila tubuh Satria Gendeng
diterjang. Srrt! Ada yang menyentak hati Ki Ageng Su-
lut. Sekaligus menyentak tubuhnya. Dan ke-
tika menyadari apa yang terjadi, semuanya te-
lah terlambat. Dengan menakjubkan, tangan satria
muda lawan nya telah menyambar lecutan se-
cepat kilat Kail Naga Samudera. Tak terduga.
itulah hal yang sering kali mengejutkan siapa
pun. Itu pula yang dikhawatirkan si tua
bangka sesat. Kail Naga Samudera merentang.
Tegang. Tali di ujung kail mengeras dialiri dua
tenaga dalam tingkat tinggi. Lebih keras dari-
pada saat Iblis Dari Neraka menembuskannya
ke lantai panggung.
Di dua kutub berseberangan, dua lawan
berhadapan. Tampak diam. Pada dasarnya,
mereka sedang berkutat. Badan mereka ber-
geletaran. Mata Satria terpejam. Sebaliknya,
mata kelabu Iblis Dari Neraka membuka le-
bar. Tangan masing-masing terpagut ketat di
ujung-ujung Kail Naga Samudera.


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Detik-detik berjingkatan.
Keduanya makin tampak tegang.
Getaran tubuh mereka menanjak liar.
Sepasang Rajawali 1 Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci Pendekar Misterius 5
^