Pencarian

Siluman Bukit Menjangan 1

Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU BUKIT Menjangan pada tengah malam. Anj-
ing liar melolong. Meratap-ratap agar malam lak-
nat ini segera menyingkir. Seolah sejuta iblis tengah menyeret-nyeret mereka
menuju neraka. Alam
seolah tersihir oleh sebuah kekuatan gaib yang
meraja. Angin malam mendengus-dengus. Di ang-
kasa sana, segerombolan awan hitam mengepung
sepotong bulan suram. Pekat. Seolah tak ingin
membiarkan sang Dewi Malam lepas begitu saja.
Di bekas sebuah reruntuhan candi, seorang
perempuan tua duduk bersila dengan kepala ter-
tunduk di depan sebuah peti mati. Sesekali tan-
gannya menaburkan kemenyan di atas pedupaan.
Asap pun menggeliat makin banyak, terbawa angin
dan bergentayangan entah ke mana. Si perempuan
tua tak peduli. Perhatiannya tetap melekat pada
bayangan yang tengah berkecamuk dalam benak-
nya. Wajahnya amat mengerikan. Nyaris tak me-
nyisakan kulit, karena tertutup borok berlendir
yang menyebarkan bau busuk. Matanya menco-
rong berwarna kemerahan. Rambutnya tipis tak
terawat, menjadi sarang kutu. Pakaiannya mirip
jubah berwarna kelabu. Sebuah tongkat berwarna
putih tergenggam di tangan kanannya.
Siapakah perempuan tua jelek itu" Dialah
Nini Berek. Perempuan tua terselimut dendam
akibat kematian suaminya Ki Ageng Wirakrama.
Masih diingatnya, ketika dia menemukan kuburan
suaminya di kaki Bukit Srondol. Dan dia tidak ta-
hu, siapa pembunuhnya. Tapi dari jenis pukulan,
dia punya dugaan kalau yang membunuhnya ada-
lah tokoh sakti bernama Dongdongka. Entah benar
atau tidak, Nini Berek merasa perlu membukti-
kannya dulu. "Jangan khawatir, Suamiku. Dendammu
akan kubalaskan. Aku tahu, arwahmu belum te-
nang kalau setan laknat yang membunuhmu be-
lum mampus di tanganku. Bersabarlah...," desis si nenek jelek. Serak penuh
getaran pada suaranya.
Angin malam mendesis. Membawa suara si
nenek, dan mengabarkannya pada pohon, gunung,
hutan, dan seluruh isi alam ini bahwa darah harus dibayar darah. Nyawa bayar
nyawa. Begitu tekadnya. "Demi setan-setan neraka! Demi arwah-
arwah gentayangan! Dan demi Dewa Kegelapan!
Aku bersumpah akan melenyapkan siapa pun
yang terlibat dalam pembunuhan suamiku!"
Bibir kendor si nenek mendesis seraya
menghujamkan tongkat putihnya ke tanah. Dah-
syat! Entah menggunakan kekuatan macam apa,
tanah di sampingnya kontan terbelah. Memisah,
membentuk parit selebar satu tombak. Meruntuh-
kan bangunan-bangunan candi yang masih berdiri
disertai suara bergemuruh.
Si nenek jelek itu sendiri telah melenting ke
belakang tanpa bangkit dari duduk bersilanya. Se-
dang peti mati di depannya pun ikut terguling ke
dalam parit ciptaan si nenek.
Di tempat berdirinya kini, Nini Berek me-
mandang ke arah parit. Tajam. Lalu tongkat di
tangannya menuding.
"Beristirahatlah kau di kuburmu, Kakang
Wirakrama. Empat puluh hari lagi, dunia akan
gempar oleh kemunculanmu kembali. Musnahkan
orang-orang yang menjadi musuhmu!"
Di ujung kalimatnya, Nini Berek menghen-
takkan kaki kanannya.
Berdebam. Peti mati makin terbenam.
Tertanam. Diam. Parit yang diciptakan si nenek menyatu
kembali. Menyimpan peti mati yang berisi jasad Ki Ageng Wirakrama. Tokoh tua
sesat yang mati
membawa dendam.
* * * Kerajaan Demak pada pagi hari.
Pagi menawarkan keceriaan.
Ada sebuah keramaian di keraton, sejak
kembalinya Putri Dewi Sekarputri sejak hilang se-
kitar delapan belas tahun lalu. Kanjeng Gusti Pra-bu Sutawijaya amat berterima
kasih pada Satria
Gendeng. Karena, pemuda sakti itulah yang telah
menyelamatkan Dewi Sekarputri dari penyande-
raan Adipati Kutowinangun yang bersekongkol
dengan Panglima Ganang Laksono dalam upaya
menjatuhkan takhta Kerajaan Demak.
Putri Dewi Sekarputri atau Arya Wadam itu
pun telah sembuh berkat pertolongan si bocah
tengik. Tak percuma memang Satria Gendeng
menjadi murid Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Berkat ramuan obat yang dibuat Satria,
racun-racun yang mengendap di seluruh jaringan
syaraf Arya Wadam berhasil ditawarkan. (Untuk
lebih jelasnya, baca episode: "Badai di Keraton Demak").
Di keraton saat ini akan diadakan hajat be-
sar-besaran. Tak tanggung-tanggung, tujuh hari
tujuh malam seluruh rakyat dipersilakan untuk
ambil bagian dalam hajat besar dalam rangka syu-
kuran atas kembalinya Dewi Sekarputri.
Di alun-alun depan keraton, telah berdiri
beberapa panggung untuk menampilkan kesenian
rakyat. Seputar alun-alun sendiri telah dihiasi
umbul-umbul berwarna-warni. Acara memang
akan dimulai malam nanti, tapi rakyat Kerajaan
Demak telah mulai bergerombol. Seolah tak sabar
untuk menantikan kemeriahan.
Sebagian rakyat pun dengan suka rela me-
nyediakan tenaga untuk membantu kesibukan di
keraton. Yang pandai memasak, dipersilakan un-
tuk menuju dapur keraton. Yang pandai bertu-
kang, dipersilakan untuk membuat panggung.
Yang pandai berkesenian, dipersilakan untuk me-
nampilkan kebolehan masing-masing. Sementara
yang hanya pandai bicara saja tanpa bekerja, di-
persilakan menyingkir jauh-jauh.
Di Taman Sari, seorang pemuda tampan
malah duduk termenung. Kedua kakinya terlipat,
diikat oleh kedua tangannya. Dagunya bersandar
di dengkulnya. Pakaian si pemuda berupa rompi
putih dari kulit binatang. Wajahnya bergaris ra-
hang jantan. Rambutnya panjang melebihi bahu
berwarna kemerahan. Tatapan mata sembilunya
menerawang, tapi tertuju ke arah kolam di depan-
nya. Siapa lagi dia kalau bukan bocah tengik Sa-
tria" "Mengapa kau tak bersenang-senang dengan yang lain, Adi Satria?" tegur
sebuah suara. Berat, mengandung wibawa tinggi.
Lamunan si bocah cerdas ini terpangkas.
Sedikit kepalanya menoleh dengan lirikan seperti
tak peduli. Lalu perhatiannya kembali ke arah ko-
lam. "Aku mau kembali ke Tanjung Karangbo-
long, Kang Bagaspati," sahutnya, tanpa menoleh lagi. Si pemilik teguran yang
memang Mahapatih
Bagaspati tersenyum maklum. Dia tahu betul ta-
biat si bocah tengik ini. Didekatinya Satria, lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Aku tahu, kau tak betah dengan suasana
di sini, kan?" tebaknya. Mahapatih Demak ini mengerti kalau Satria paling tak
betah pada acara-acara yang penuh tatakrama. Orang-orang yang
bersikap dengan tatakrama berlebihan bagi Satria
hanya sekadar basa-basi. Tidak keluar dari hati
nurani. Segala tetek bengek tatakrama justru mem-
buat Satria terperangah dalam kebosanan. Dan
sialnya, si Bocah tengik seperti tak mau kenal
dengan segala tatakrama. Begitulah sikapnya. Apa
adanya, keluar begitu saja dari hati nuraninya.
"Begitulah, Kang," jawab Satria polos. "Makanya sekarang aku mau minta diri."
"Apa tak bisa kau tunda barang sehari" Ke-
rajaan sedang membuat hajat besar. Apa kau tak
mau menikmatinya barang sehari?" Mahapatih
Bagaspati mencoba menekan.
"Maaf, Kang. Aku sudah janji pada guruku
untuk segera pulang ke Tanjung Karangbolong se-
telah menuntaskan persoalan dengan Setan Madat
dan Panglima Ganang Laksono. Jadi, mohon men-
gertilah. Tahu sendiri, guruku Dongdongka paling
bawel kalau aku punya janji tak dipenuhi," Satria memberengut. Jelek sekali
wajahnya kalau sedang
begini. "Baiklah kalau memang itu alasannya. Aku tidak bisa menahanmu lagi,"
desah Mahapatih Bagaspati.
Satria beringsut dari duduknya. Juga Ma-
hapatih Bagaspati. Keduanya saling berhadapan.
Saling menatap, saling memahami.
"Atas nama kerajaan, aku menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepadamu, Adi Sa-
tria," ucap Mahapatih Bagaspati.
Entah, sudah berapa kali lelaki tinggi besar
ini mengucapkan kata-kata itu selama Satria Gen-
deng berada di lingkungan keraton. Gatal rasanya
telinga si pemuda perkasa ini mendengar kata-
kata yang terlalu banyak berbau pujian.
"Atas jasa-jasamu dalam menegakkan...,
ufs!" Satria Gendeng yang sengaja meledek Maha-
patih Bagaspati dengan melanjutkan kata-kata
sanjungan terpaksa memenggal kalimatnya. Sang
Mahapatih sendiri telah buru-buru menyodorkan
tangannya membekap mulut si bocah bertabiat
sinting. "Jangan meledekku, Adi Satria. Aku berkata
yang sesungguhnya," Ingat Mahapatih Bagaspati.
"Makanya Kakang juga jangan keterlaluan.
Yang wajar-wajar sajalah, Kang," berengut Satria.
"Baik, baik. Sekarang, kapan kau akan be-
rangkat?" "Sekarang."
"Lho" Tak mau bertemu Ar..., eh! Putri Se-
karputri dulu?" pancing Mahapatih Bagaspati.
"Tak perlulah. Sekalian aku titip salam pada Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya.
Katakan saja, aku harus pulang ke Tanjung Karangbolong," jawab Satria, polos. Si pemuda memang
tak ingin menemui Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya lagi, ka-
rena tak ingin terlibat dalam aturan tatakrama.
Daripada dibilang tak sopan, lebih baik pergi dengan menitip salam.
Sejenak mereka berjabat tangan. Tak puas,
justru Mahapatih Bagaspati memeluk tubuh si
anak muda erat-erat. Kontan Saja napas Satria ja-
di sesak bukan main dipeluk oleh lelaki tinggi besar macam Bagaspati.
"Maaf, Kang. Aku bukan istrimu yang harus
di peluk dengan penuh semangat," ingat Satria, megap-megap.
"Oh, maaf. Aku terlalu haru untuk mele-
pasmu, Adi Satria. Kau bukan saja sahabat, tapi
sudah seperti adik kandungku," Mahapatih Ba-
gaspati buru-buru melepas pelukan.
Satria cengar-cengir. Bukan karena kata-
kata Bagaspati, tapi lebih tepat berupaya men-
gembalikan jalan napasnya agar lebih lancar.
* * * Satria Gendeng tak kuasa menolak pembe-
rian seekor kuda putih perkasa dari pihak Kera-
jaan Demak. Seekor kuda Arab tinggi besar bero-
tot-otot kekar. Sekali menyentakkan tali kekang
saja, tubuh Satria telah dibawa melesat bak dike-
jar setan. Tapi di tikungan jalan yang mengarah ke
Tanjung Karangbolong, mendadak langkah ku-
danya dihentikan. Ada satu sosok tubuh ramping
yang menghadang jalannya. Cermat, si bocah sakti
mencoba mengamati.
"Arya Wadam?" sebutnya, nyaris tak kenta-ra. Bergegas, Satria melompat dari
punggung ku- danya. Dihampirinya sosok gadis yang memang
Arya Wadam alias Dewi Sekarputri. Kali ini sikap
si pemuda berusaha hati-hati, karena yang diha-
dapinya bukan lain Arya Wadam yang dulu. Tapi
Arya Wadam yang telah menjadi keluarga kera-
jaan. "Ada apa, Putri Dewi Sekarputri" Mengapa berdiri di tengah jalan" Di
pinggir jalan saja masih luas?" sapa Satria, sedikit bercanda. Tapi panggi-
lannya terhadap gadis di depannya telah dirubah.
"Jangan memanggilku begitu, Satria. Pang-
gil aku sebagaimana kau memanggilku dulu," ujar Arya Wadam, agak sungkan juga
dipanggil demikian oleh Satria
"Eits, tak bisa. Kau sekarang adalah putri
Gusti Prabu Sutawijaya. Dan aku wajib memang-
gilmu demikian," tandas si pemuda perkasa.
"Dulu atau sekarang sama saja buatku. Aku
tetap seperti yang dulu."
"Itu buatmu. Tapi buatku kan lain. Kalau
ada prajurit yang mendengar aku memanggilmu
dengan nama sembarangan, bisa dikemplang ke-
palaku. Kau tahu sendiri telapak tangan prajurit.


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jari-jarinya saja sebesar pisang Ambon. Kena pipi-ku yang halus begini, bisa
jadi oncom pipiku," se-loroh Satria.
"Alah, tak usah bercanda, Satria. Sekarang
aku mau tanya, kau mau pergi ke mana?" tepis Arya Wadam yang tak mau dipanggil
Dewi Sekarputri. Kini sikapnya agak lain dari sebelumnya. Si gadis sedikit demi
sedikit mulai bisa mengikis rasa cintanya terhadap bocah bertabiat sinting ini.
Karena selama ini disadari kalau Satria memang ti-
dak mencintainya. Tak gampang memang untuk
mengenyahkan perasaannya. Mengingkari nura-
ninya yang paling dalam. Tapi itu terpaksa dilakukan kala menyadari cintanya
hanya bertepuk sebe-
lah tangan. Disadari pula, sesuatu yang dipaksa
biasanya menghasilkan kesia-siaan. Dan agaknya,
Arya Wadam memang telah cukup matang untuk
berpikir panjang.
"Aku mau ke Tanjung Karangbolong, Arya,"
jawab Satria. Diluluskannya permintaan si gadis
untuk memanggil seperti biasa. Toh pada dasarnya
si anak muda cuma mau menguji, sampai di mana
perubahan sikap Arya Wadam setelah menjadi ke-
luarga kerajaan. Ternyata sikapnya tak berubah.
Tetap seperti dulu, saat menjadi pendekar persilatan. "Mau apa ke sana?" kejar
Arya Wadam. "Mau apa" Kau bilang mau apa" Ya, mau pulang.
Kau kan tahu rumahku di sana?" tukas Satria.
"Apa aku ke sana sekadar buang hajat" Kan tak mungkin!"
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. Dia
kini semakin memahami tabiat si pemuda. Bicara
ceplas-ceplos, apa adanya. Tak suka berbasa-basi
menyiratkan kejujurannya. Kalau dari mulut Sa-
tria meluncur kata-kata bernada menyanjung ke-
cantikannya, itu memang keluar dari hati nura-
ninya yang paling dalam. Tapi apakah itu dinama-
kan cinta" Belum tentu.
"Nah, sekarang giliran aku yang mau tanya.
Kenapa kau berdiri di sini menghadangku?" tanya Satria. "Aku ingin minta maaf
kepadamu," sahut Arya Wadam, terus terang.
"Untuk apa?"
"Untuk peristiwa beberapa hari yang lalu di
kedai." "Rasanya kau tak bersalah. Justru aku yang bersalah, karena bicara terus
terang padamu bahwa aku sudah punya kekasih. Mestinya kan aku
tak bicara terus terang, sehingga bisa dapat kekasih lagi," jawab Satria, mulai
kambuh penyakitnya.
Gatal mulutnya kalau tak meledek gadis ini.
"Dasar mata keranjang! Eh, Satria. Aku juga
ingin mengucapkan terima kasih. Tanpa pertolon-
ganmu, mungkin aku tinggal nama saja," ucap
Arya Wadam. "Ah, sudahlah. Nah, sekarang aku mohon
diri," ujar Satria.
"Kau tak mau menikmati keramaian yang
diadakan Gusti Prabu?"
"Aku tidak betah."
"Kenapa?"
"Terlalu banyak orang."
"Namanya juga keramaian."
"Tapi ada juga keramaian tanpa banyak
orang," sergah Satria.
"Apa?" tanya Arya Wadam. "Menjerit-jerit di tengah kuburan."
"Sial!"
"Ha ha ha...." Tawa Satria meledak. "Sudah, ya. Aku pamit dulu."
"Kalau ada waktu, kapan-kapan mampirlah
ke keraton," pinta Arya Wadam.
"Asal aku boleh bersamamu terus-
menerus." "Boleh. Asal mau kena bogem mentah pra-
jurit, silakan. Ha ha ha...."
Satria berbalik. Kakinya lantas melangkah
lebar menuju kuda putihnya. Tangkas, dia melom-
pat ke punggung kuda.
"Satria! Itu kuda betina. Hati-hati, lho?" ledek Arya Wadam lagi.
"Tapi dia tak sebinal kau, Arya! Ha ha ha....
Hia.... Hiaaa...!"
Di ujung tawanya, Satria menggebah kuda
putihnya. Sedangkan Arya Wadam masih terkikik
geli. Lalu kakinya melangkah menuju keraton.
DUA ALAM tak selamanya menawarkan kerama-
han. Semua orang tahu itu. Tapi ada kalanya, ke-
murkaan alam justru diakibatkan oleh ulah ma-
nusia itu sendiri. Kerakusan, ketamakan, mau
menang sendiri, nafsu berlebihan adalah sifat-sifat dalam kehidupan manusia yang
sulit terpisahkan.
Pada gilirannya, semua sifat-sifat itu justru membuat kesengsaraan orang lain.
Lebih jauh dari itu, alam pun seolah tak rela dikotori oleh sifat-sifat
demikian. Tak heran kalau kali ini alam menum-pahkan segala kemurkaannya.
Seperti halnya malam ini.
Desa Jatianom yang baru saja terkurung
malam, tiba-tiba menggeliat oleh terjangan angin
menggila. Meski angin belum seberapa melabrak,
tapi sudah membuat keberanian para penduduk
terdepak entah ke mana.
Awan gelap sudah mengepung beberapa la-
ma sebelumnya. Angin kencang mendengus-
dengus, membuat pepohonan meliuk-liuk liar.
Rembulan benar-benar terkurung, sedikit pun tak
diberi celah untuk meloloskan diri. Malam yang
sudah gelap makin terlihat pekat. Tak terlihat tan-da-tanda kalau angin akan
mereda. Malah bebera-
pa atap rumah penduduk terlihat mulai beterban-
gan dihempas angin nakal.
Jerit tangis perempuan dan anak kecil me-
ledak, tersamar oleh dengusan angin menggila. Bi-
natang-binatang menjerit-jerit gelisah berusaha
keluar dari kandangnya. Dan sehimpun keributan
lain berbau membangun suasana hiruk-pikuk.
Beberapa penduduk telah mulai keluar dari
rumahnya yang telah doyong tersapu angin. Ting-
gal menunggu disenggol saja, mungkin rumah me-
reka telah ambruk. Barang-barang yang perlu di-
bawa telah terpanggul di punggung para lelaki.
Sementara para wanita menyeret-nyeret anak me-
reka untuk segera menyelamatkan diri.
Tak terlalu jauh dari ujung desa, tepatnya
di bibir tebing jurang menganga, seorang perem-
puan muda malah berdiri terpekur penuh keputu-
sasaan. Bila orang-orang di desa berusaha menye-
lamatkan selembar nyawa mereka, maka gadis
muda ini justru seperti memilih mencari mati.
"Tak ada lagi gunanya hidup di dunia.... Ha-
rapanku telah hancur. Kakang Pandu tak mau
mengakui bayi dalam kandunganku.... Biarlah de-
rita ini kutanggung sendiri.... Maafkan aku, bayi-ku.... Aku tak bisa merawatmu
tanpa Kakang Pan-
du...." Di ujung kalimatnya, si gadis melempar tubuhnya ke mulut jurang di
bawahnya. Membawa
segala kedukaan, sakit hati, serta bayi tak berdosa dalam kandungannya yang baru
berusia tiga bulan! Tubuh ramping perempuan muda berpa-
kaian kuning itu terus meluncur, tertelan mulut
jurang menganga di mana batu-batu runcing di
bawahnya siap melahap.
Namun satu tombak lagi tubuh ramping itu
menghujam bumi, dari celah-celah dinding tebing
melesat satu bayangan menyambar.
Tap! Tubuh si gadis tahu-tahu telah berada di
kedua tangan satu sosok melengkung. Seorang pe-
rempuan tua berambut panjang digelung ke atas.
Gelungan rambutnya menggunakan konde dari tu-
lang lengan manusia. Wajahnya tirus berhidung
bengkok seperti paruh burung betet. Bibir kendor-
nya menebar senyum.
"Hi hi hi.... Untung ada aku, Cah Ayu.... Untung iseng-iseng aku ingin mencari
telur burung. Kalau tidak, tak bakalan kau selamat, Cah! Hi hi
hi.... Tak ada luka di tubuhmu. Berarti kau senga-ja menceburkan diri ke jurang
ini, ya?" cerocos si nenek berwajah penuh keriput seperti kain wiron.
Si gadis yang diajak bicara justru malah tak
tahu apa-apa. Kesadarannya telah tersingkir entah ke mana, ketika tubuhnya
meluncur ke bawah ta-di.
Si nenek segera meninggalkan tempat ini.
Sekali menghentak, tubuhnya telah melesat. Ka-
kinya menotol ujung-ujung runcing bebatuan, lalu
menghilang di sebuah goa dinding tebing.
* * * Perlahan namun pasti, angin yang menga-
muk di Desa Jatianom mereda. Tepat ketika mata-
hari mengintip malu-malu dari celah-celah bukit,
yang ada kini hanya desahan angin halus. Membe-
lai pepohonan yang sebagian telah tumbang. Se-
mentara para penduduk sudah bisa bernapas lega,
seraya membenahi barang-barang mereka yang
tercecer. Membawa anak-istri mereka kembali ke
rumah yang sebagian telah porak poranda.
Tapi, apa sebenarnya di balik bencana itu"
Sebenarnya, ada suatu kepercayaan kuat
yang melekat di tiap-tiap hati para penduduk. Bila salah seorang gadis desa itu
ada yang hamil di luar nikah, maka bisa dipastikan bencana alam akan
datang. Entah bencana apa, mereka belum dapat
memastikan. Tapi malam tadi, bukankah telah ter-
jadi kemurkaan alam lewat tiupan angin beliung
yang amat keras. Itukah bencana yang dimaksud-
kan" Tapi kenapa hanya sebentar. Sebab biasanya
kemurkaan alam bisa berlangsung berhari-hari
dan lebih dahsyat!
Lantas, gadis siapa yang telah hamil di luar
nikah" Dan rasanya, penduduk Desa Jatianom be-
lum bisa menerka, siapa gadis yang mendatangkan
kemurkaan alam. Tapi yang jelas, saat ini di ru-
mah kepala desa telah terjadi kegemparan. Lestari, putri satu-satunya sang
Kepala Desa telah lenyap
entah ke mana. Tewas akibat bencana" Rasanya tak mung-
kin. Sebab para pembantu kepala desa telah men-
cari di sekitar rumah, tetap tak ditemukan mayat-
nya. Apalagi, kerusakan rumah juga tak begitu pa-
rah. Satu-satunya petunjuk di rumah Ki Pawit,
si kepala desa, adalah jendela kamar Lestari yang terbuka. Itu artinya, si gadis
memang telah pergi meninggalkan rumah. Tapi ke mana"
Ke rumah Pandu" Sebab selama ini, putra
juragan kambing yang cukup kaya di Desa Jatia-
nom itu adalah kekasih Lestari. Semua orang di
desa sering melihat kalau Lestari dan Pandu kerap terlihat jalan berdua. Mereka
bagaikan kembang
dan kumbang. Tak dapat dipisahkan.
Ki Pawit hanya bisa menggigit jari ketika
mendengar kabar kalau anak gadisnya tak dite-
mukan di sana. Yang lebih menyakitkan, Ki Pawit
malah mendapat kabar bahwa Pandu justru akan
menikah dengan gadis pilihannya sendiri pada
purnama depan. "Benar apa yang kau katakan itu, Jume-
neng?" tanya Ki Pawit seperti belum yakin dengan apa yang didengarnya.
"Benar, Ki. Buat apa aku berkata dusta ke-
pada Kepala Desa?" sahut lelaki tinggi besar bernama Jumeneng.
"Jahanam! Pandu telah mencoreng namaku
kalau begitu! Semua orang telah tahu kalau anak-
ku sering bersamanya. Eh, tiba-tiba dia mau me-
nikah dengan orang lain. Keparat!" geram Ki Pawit.
"Jumeneng! Seret Pandu kemari! Suruh dia bertanggung jawab atas kepergian
anakku. Aku yakin,
perginya Lestari lantaran dia!"
"Baik, Ki," sahut Jumeneng
"Dan kau, Parjan! Cari anakku ke seluruh
sudut desa. Kalau perlu, cari sampai ke desa-desa lain," lanjut Ki Pawit.
"Baik, Ki," sahut lelaki berperut buncit bernama Parjan.
* * * Kembali ke dasar jurang.
Di bawah jurang sana dikenal sebagai Lem-
bah Setan. Sebuah tempat terakhir bagi orang-
orang berpikiran pendek. Tempat bagi orang-orang
yang ingin mengakhiri hidupnya lantaran putus
asa. Entah mengapa, Lembah Setan sudah sejak
dulu dikenal sebagai pilihan bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya.
Memenuhi panggilan
iblis untuk menyerahkan jasadnya di dasar jurang.
Tapi kali ini, beruntung Lestari dapat dis-
elamatkan oleh seorang perempuan tua berwajah
tirus. Berpakaian kebaya kusam dengan kain ba-
tik, juga telah compang-camping. Tusuk konde pa-
da gelungan rambutnya dari tulang lengan manu-
sia. Dialah Nini Manten.
Seorang tokoh silat wanita yang telah berta-
hun-tahun menghilang dari peredaran. Sewaktu
mudanya, wanita ini tergolong tokoh atas dunia
persilatan tanpa aliran. Hanya karena dikhianati
oleh seorang lelaki, dia tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sejak saat itu,
kabar tentang Nini Manten tak terdengar lagi. Lenyap bagai ditelan bumi.
Setelah bertahun-tahun bersemadi di dalam
goa di dinding tebing jurang Lembah Setan, Nini
Manten merasa harus nongol diri ke dunia luar.
Tapi baru saja hendak mencari makan berupa te-
lur-telur burung yang bersarang di celah-celah tebing, mata tajamnya menangkap
satu bayangan me-
luncur deras ke dasar jurang.
Naluri tajamnya segera memerintahkan un-
tuk melesat. Tangkas, langsung ditangkapnya
bayangan yang meluncur tadi. Bayangan yang di-
tangkapnya segera dibawa ke dalam goa tempat-
nya bersemadi. Itulah sosok seorang gadis yang


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak mengakhiri hidupnya di Lembah Setan.
Di dalam goa, Nini Manten memeriksa kea-
daan si gadis. "Tekanan batin yang begitu kuat membuat
kandungannya tak mampu bertahan. Dia telah ke-
guguran," gumam si nenek ketika melihat darah terus-terusan mengalir dari sela-
sela paha si gadis.
Lewat satu pijatan halus, Nini Manten ber-
hasil mengeluarkan janin bayi yang baru berusia
tiga bulan. Lalu ditotoknya jalan darah di tubuh
gadis itu. Darah pun berhenti mengalir.
"Ternyata dia seorang ibu.... Hmm..., kena-
pa mesti bunuh diri" Atau dia seorang gadis ma-
lang korban rayuan lelaki" Bisa jadi," kata si nenek, menjawab pertanyaannya
sendiri. Di atas tumpukan jerami, si gadis masih
terbaring pingsan. Sejak tubuhnya meluncur ke
dasar jurang, kesadarannya memang telah lenyap.
Bersamaan dengan lenyapnya harapan yang telah
dibina beberapa bulan yang lalu.
Siapa gadis ini"
Dialah Lestari.
Gadis putri Kepala Desa Jatianom yang be-
rusaha mengakhiri hidupnya karena kekasihnya
begitu tega menyingkirkannya. Padahal benih-
benih cinta kasih mereka telah membentuk se-
buah janin tak berdosa. Hanya karena kerakusan
sang kekasih, Lestari terpaksa harus terdepak dari sisinya.
Betapa terpukulnya Lestari ketika dengan
tiba-tiba Pandu mengatakan kalau purnama depan
akan segera menikah dengan gadis lain. Gadis
yang lebih cantik dan kaya, anak juragan palawija desa tetangga. Lebih terpukul
lagi ketika Pandu
tak mengakui bayi dalam kandungan Lestari. Den-
gan berbagai dalih, si pemuda berusaha lepas dari tanggung jawab.
Merasa terlalu percuma bila mendesak te-
rus, akhirnya Lestari memutuskan untuk men-
gakhiri hidupnya. Pada saat yang bersamaan, ma-
lam itu angin puting beliung menerjang desa. Tapi itu tak mengendurkan tekad si
gadis. Lewat jendela kamarnya, dengan hati hampa dia berjalan
hingga ke jurang Lembah Setan. Tempat di mana
orang-orang putus asa biasa mengakhiri hidupnya
di sana. "Hi hi hi.... Kau senasib denganku, Cah!
Aku pun juga korban kaum lelaki. Tapi itu dulu....
Tujuh puluh tahun yang lalu..... Kendati begitu,
dendam ini tak bakal pupus dalam hatiku. Kau
harus bisa mewakili aku melenyapkan lelaki mata
keranjang. Lelaki hidung belang yang membuat hi-
dup kita menderita. Kau akan kuangkat sebagai
murid, Cah! Hi hi hi...," celoteh Nini Manten. Dalam benaknya masih terbayang,
bagaimana ha- tinya terkoyak oleh ulah kaum lelaki.
Nini Manten kini tengah menyalurkan hawa
murni ke tubuh Lestari. Dia terus berusaha agar si gadis cepat siuman. Hatinya
tak sabar lagi untuk
mewujudkan cita-citanya. Menuntaskan dendam
pada kaum lelaki!
* * * Tiba di rumah Pandu, Jumeneng menemu-
kan kesia-siaan. Pandu tetap bersikeras kalau dia tak tahu-menahu tentang
Lestari. Bahkan dia menolak untuk diajak ke rumah Ki Pawit.
"Kalau kau tak mau ke sana, lebih baik kau
berhadapan denganku, Pandu. Aku harus bisa
menyeretmu ke sana!" bentak Jumeneng, galak.
"Terserah apa maumu. Jumeneng. Kau bisa
seret aku ke sana setelah kau mampu melumpuh-
kanku!" sahut pemuda tampan berpakaian indah dari sutera berwarna biru. Pandu
Perbawa namanya. "Bangsat! Itu artinya kau menantangku, Pandu!"
"Aku tak mau mengotori tanganmu hanya
untuk mengurusi manusia tengik macammu! Ha-
dapi dulu para pengawalku!"
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali Pandu bertepuk, tiga lelaki kasar
yang sejak tadi berdiri di depan pintu berlompatan ke halaman. Mantap, mereka
menginjak bumi di
sisi Pandu. Senyum pongah si pemuda terkem-
bang. Ekor matanya melirik ke arah tiga lelaki
pengawalnya. "Usir anjing kurap peliharaan kepala desa
itu dari sini!" ujarnya, dingin.
"Setan kau, Pandu! Kau pikir aku takut
menghadapi monyet-monyet peliharaanmu"!"
"Tak perlu banyak omong. Buktikan saja,"
Pandu segera berbalik. Ditinggalkannya tempat ini, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Tiga orang lelaki kasar telah mengepung
Jumeneng. Tatapan liar mereka menjilati wajah si
calon korban. Sedangkan gagang golok telah ter-
genggam dengan tangan kanan.
Jumeneng sama sekali tak mengenali ketiga
tukang pukul Pandu. Jelas, mereka bukan pendu-
duk desa ini. Tapi dari gerakan jurus pembuka
mereka, jelas kalau Jumeneng tak bisa meman-
dang remeh. Gerak ringan yang diperlihatkan me-
nandakan kalau ketiga lelaki kasar itu memiliki
kepandaian yang patut diperhitungkan.
Srattt...! Serempak, ketiga lelaki tukang pukul Pandu
telah mencabut golok masing-masing. Mata golok
langsung berputaran, membentuk lingkaran ca-
haya berkilatan akibat tertimpa sinar matahari.
Suara menderu putaran golok seolah hendak me-
runtuhkan nyali Jumeneng.
"Hiaaat...!"
Puas memperlihatkan kemahiran memutar
golok, ketiga lelaki kasar itu segera bergerak menerjang. Liar dan ganas. Hendak
dibabatnya tubuh
Jumeneng menjadi beberapa bagian. Dua golok
menyambar bagian atas, sisanya ke arah pinggang.
"Hih!"
Jumeneng tahu kalau berusaha memapak
ketiga golok sekaligus tak akan mungkin mampu.
Maka untuk sementara dicobanya menghindar
dengan membuang tubuh ke belakang. Dengan
dua kali bersalto, maka sambaran ketiga golok lu-
put. Begitu menginjak bumi, Jumeneng segera
mencabut goloknya pula. Pikirnya, bila lawan telah langsung menggunakan senjata,
maka tak ada salahnya kalau goloknya pun segera digunakan.
Wut! Wut! Wut! Beberapa putaran golok dibuat Jumeneng.
Cepat, bertenaga dalam tinggi. Deru angin yang
tercipta sempat menggetarkan ketiga lelaki penge-
royoknya. "Chiaa...!"
Sambil terus memutar golok, Jumeneng me-
lesat. Yang jadi sasaran adalah pengeroyok yang
berada paling kiri. Perhitungannya, sasarannya
kali ini lebih dekat dengannya. Selain itu, lawan yang dituju masih dalam
keadaan bersiap betul.
Tapi sebelum Jumeneng tiba, salah seorang
lawan yang lain telah melempar goloknya. Cepat
dan ganas. Wrrrr.... Mata golok menerabas udara. Di dalamnya
terkandung kekuatan dahsyat, siap mencabut
nyawa Jumeneng. Bila Jumeneng tidak sigap, ma-
ka siap-siap saja melawat ke akhirat.
"Hih!"
Tak! Setelah menghentikan laju serangannya,
Jumeneng langsung memapak luncuran golok. Ji-
wanya memang lolos dari mulut. Tapi tak urung
tubuhnya kontan bergetar keras. Tangannya pun
terasa bagai kesemutan. Cepat dibuatnya satu
sentakan ke samping. Karena saat itu, lawan yang
lain telah menerjang disertai tebasan golok dari
atas ke bawah. Jumeneng langsung bergulingan, mencari
jarak. Lima belas tombak dari tempat semula, dia
bangkit berdiri. Tapi belum juga bersiap, lawan
yang tadi hendak dirangsaknya kali ini ganti me-
nyerangnya. Wutt! Wutt! Sambaran liar golok lawan memangkas
udara. Deru angin tajam menggeliat, menyergap
nyali. Tak ada waktu lagi bagi Jumeneng untuk
menghindar. Tangkas, dibuatnya dua kali tebasan
golok untuk memapak serangan.
Tak! Tak! Gempuran tebasan golok lawan berhasil di-
tahan Jumeneng. Tapi goloknya sendiri terlepas
dari pegangan, dan terpental entah ke mana. Tan-
gannya pun kini terasa nyeri bukan main. Mulut-
nya meringis seperti orang telat buang hajat.
Lawan tak menyia-nyiakan kesempatan.
Langsung dihantamnya dada Jumeneng dengan
satu tendangan setengah lingkaran. Keras dan ber-
tenaga dalam tinggi.
Desss...! Jumeneng terpental. Sepuluh tombak dari
tempat semula dia jatuh telentang. Bersamaan
dengan itu, lawan yang tadi melemparkan golok te-
lah menerjang cepat. Ketika tubuhnya melayang di
udara, kaki kanannya telah terjulur ke depan. Be-
gitu berada di atas Jumeneng, diinjaknya dada le-
laki yang masih telentang menikmati sakitnya itu.
Kreakk! "Tamat riwayatmu!"
Dengusan liar lawan mengiringi kepergian
nyawa Jumeneng ke alam baka. Tulang-tulang da-
danya berpatahan, terinjak kaki penyerangnya
yang berisi tenaga dalam tinggi. Dari mulutnya
mengalir darah segar karena isi dalam dadanya
hancur. "Buang mayatnya ke hutan!" seru salah seorang lelaki kasar itu. "Biar aku yang
memberi lapo-ran pada Tuan Pandu," lanjutnya.
TIGA TANJUNG Karangbolong masih seperti dulu.
Ombak tak pernah lelah menjilati pantai. Mening-
galkan buih-buih putih yang kemudian di-
terbangkan angin. Suara gemuruhnya sampai ter-
dengar ke sebuah gubuk yang berdiri tak jauh dari pantai. Di dalam gubuk dua
lelaki bangkotan guru
Satria seperti tak terusik. Masing-masing asyik
dengan kesendiriannya. Ki Kusumo alias Tabib
Sakti Pulau Dedemit duduk menyelonjor di dipan.
Memperlihatkan kedua kakinya yang buntung se-
batas dengkul dan disambung dengan dua batang
logam runcing. Seperti tak pernah lepas dari tabiat sinting-
nya, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala
Gundul malah mendengkur keras tak beraturan
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua
tangan kurusnya yang berkulit keriput menjadi
penopang tubuhnya.
"Gawat..., gawat....'" desah Ki Kusumo tiba-tiba. Sepulas-pulasnya Dongdongka,
nyatanya ku- pingnya sempat mendengar desahan barusan. De-
dengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari tidur-
nya. Kelopak keriputnya membuka perlahan-
lahan. Dicobanya menatap Ki Kusumo dengan me-
naikkan kepalanya.
"Ada apa dengan syahwatmu, Kusumo?" Sa-
lah dengar rupanya Dongdongka. Atau kupingnya
memang sedang mabuk"
"Aku bilang gawat, Panembahan," ralat Ki Kusumo, halus.
"Oh, aku salah dengar ya" Lalu, apa yang
gawat Kusumo" Tentang murid kita lagi?" tebak Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
sok tahu. "Bukan, Panembahan. Tentang dirimu," sahut Ki Kusumo.
Dongdongka tersentak. Kedua kakinya ditu-
runkan. Mata kelabunya masih menempel lekat-
lekat di wajah Ki Kusumo yang beralis putih ja-
rang. "Tentang aku" Ada apa dengan aku?" tanya Dongdongka sambil berjongkok
dengan tangan masih menapak tanah berpasir. Persis seperti ko-
dok kurus mau kawin.
"Entah kenapa, sekarang justru aku
mengkhawatirkan keadaanmu, Panembahan," jelas Ki Kusumo.
"Hei, Kusumo! Aku bukan istrimu yang ha-
rus dikhawatirkan. Kenapa kau begitu mengkha-
watirkan aku" Kenapa?" terjang Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Harga dirinya
merasa terusik. Bukan apa-apa, masa' sebagai tokoh persilatan yang
nyaris sulit mati masih perlu dikhawatirkan" Bu-
kankah Ki Kusumo terasa mengada-ada"
"Lho" Apa salahnya kalau aku mengkhawa-
tirkan Panembahan?" tukas KI Kusumo.
"Itu artinya kau meremehkan aku, tahu?"
Dongdongka melempar pantat keroposnya ke ta-
nah berpasir. "Aku tak bilang begitu, Panembahan. Hanya
saja kok hatiku terasa tak enak. Ada firasat apa
ya, Panembahan?"
"Lho" Mana kutahu" Itu kan firasatmu sen-
diri" Tapi sudahlah! Jangan terlalu dirisaukan aku yang kurus kering ini. Nanti
juga mati sendiri. Eh, ngomong-ngomong, ke mana Cah Gendeng kita, ya
Kusumo" Katanya mau cepat-cepat pulang setelah
menyelesaikan urusannya dengan Setan Madat"
Kok belum pulang-pulang juga?"
Mau tertawa rasanya Ki Kusumo. Tadi


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dongdongka menuduhnya tengah mengkhawatir-
kan Satria. Tapi sekarang justru Dongdongka sen-
diri yang menanyakan dengan nada sedikit men-
cemaskan. "Panembahan mencemaskannya?" sindir Ki
Kusumo. "Siapa bilang?" tangkis si tua bangka gundul, setelah merasa disindir. "Aku kan
cuma menanyakan, kira-kira dia berada di mana?"
Sebagai orang yang lebih muda, Ki Kusumo
mengalah. Kendati begitu alis putih jarangnya te-
tap saja berkernyit. Memang, tabiat sesepuh gen-
deng yang tetap dihormatinya itu terkadang mem-
buatnya puyeng sendiri. Lantas, apa maksudnya
dia bertanya begitu" Sekadar basa-basi" Ah, su-
dahlah. Aku harus mengalah, tepis Ki Kusumo.
"Mungkin dia dalam perjalanan menuju ke
Tanjung Karangbolong ini," sahut Ki Kusumo asal-asalan.
Tanpa bertanya lagi, Dongdongka bangkit.
Terbungkuk-bungkuk, dihampirinya balai bambu
di depannya. Dihempaskannya pantat keroposnya
di balai. "Jangan-jangan, Cah Gendeng kita ada per-
soalan lagi, Kusumo?" buka Dongdongka. Tangannya lantas menggaruk-garuk kepala
gundulnya. "Rasanya Panembahan pernah menasihati-
ku agar aku tak perlu mengkhawatirkan Satria"
Panembahan pernah bilang, kalau kita tak perlu
menyuapinya terus menerus. Bukankah begitu?"
Ki Kusumo menyudutkan.
"Aku sudah tahu, tahu"!" tangkis Dong-
dongka. "Kekhawatiranku bukan berarti harus
menjaganya. Kau harus tahu itu, tahu"!"
Makin puyeng saja Ki Kusumo meladeni si
tua buluk Dongdongka. Tapi memang begitu ta-
biatnya. Ki Kusumo sudah memakluminya. Yang
bisa dilakukan cuma menghembuskan napas. Be-
rusaha melonggarkan dadanya yang mendadak se-
sak. "Sekarang bagaimana" Apakah aku harus
mencari Satria?" tawar Ki Kusumo.
"Ah, Cah Gendeng itu kalau lapar juga pu-
lang sendiri!" sergah si tua gundul. Berkata begitu maksudnya dia ingin
menunjukkan kalau hatinya
tidak khawatir terhadap Satria. "Tapi kalau kau pingin lihat-lihat dunia luar,
bolehlah sekalian
mencari Satria," lanjutnya.
Ki Kusumo tersenyum. Tapi mendadak se-
nyumnya menguap entah ke mana ketika teringat
sesuatu. "Apa semalam Panembahan tidak bermimpi
apa-apa?" usik Ki Kusumo.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terce-
nung. Otak tuanya berusaha mengingat. Lantas
kepalanya menggeleng. Perlahan, tampak ragu-
ragu. "Tapi kenapa semalam Panembahan mengi-gau tak karuan" Malah menyebut-
nyebut nama Nini Berek. Rasanya, aku juga pernah mengenal-
nya?" "Keterlaluan kau, Kusumo! Kenapa kau tak bilang dari tadi?" cekat
Dongdongka. "Maksud Panembahan?"
"Keterlaluan kalau kau tak tahu, siapa Nini
Berek!" "Aku tahu, dia wanita siluman istri Ki Ageng Wirakrama, salah seorang
datuk sesat."
"Ya, aku juga mau bilang begitu, tahu"! Tapi cilaka kalau perempuan kuntilanak
itu sampai ter-
jun lagi ke dunia penuh gonjang-ganjing ini! Pasti ada apa-apanya! Pasti ada
sebabnya!"
"Jadi, apa penyebabnya, Panembahan?"
* * * Desa Jatianom di puncak kegarangan siang.
Para penduduk masih sibuk membenahi
rumahnya yang semalam diterjang angin puting
beliung. Di hati mereka masih tersimpan sebuah
pertanyaan, gadis siapa yang hamil di luar nikah
sehingga membuat kemurkaan alam"
Pergunjingan pun merebak. Adalah suatu
kenikmatan tersendiri jika membicarakan aib
orang. Bukankah, begitu kebanyakan kaum ma-
nusia" Mereka saling kasak-kusuk, menduga-
duga. Tapi ketika mendengar bahwa anak gadis Ki
Pawit menghilang, tudingan pun diarahkan ke sa-
na. Hilangnya Lestari, putri Ki Pawit, lantas saja
dihubung-hubungkan dengan jurang Lembah Se-
tan. Dugaan itu diyakini seyakin-yakinnya karena
selama ini Lembah Setan dikenal sebagai tempat
orang-orang putus asa mengakhiri hidupnya. Dan
siapa tahu saat ini Lestari telah berhubungan terlalu jauh dengan Pandu, putra
juragan kambing
yang dikenal sebagai Ki Tambakyasa
Ki Pawit sendiri sebenarnya punya dugaan
seperti itu. Tapi dia berusaha menghibur diri sendiri dengan mengenyahkan
dugaan-dugaan buruk
dalam benaknya. Sementara istrinya hanya bisa
mengurung diri di kamar sambil meratapi nasib
anak perawan satu-satunya. Itu pun kalau masih
perawan. Tentu saja, kini Ki Pawit tinggal menunggu
kabar dari Jumeneng dan Parjan. Tapi sudah be-
gini siang, kedua bawahannya itu tak kunjung
muncul juga. Hatinya makin panas juga. Sementa-
ra kecemasan terhadap anaknya kian menyentak-
nyentak perasaannya.
Di serambi, lelaki setengah baya itu berjalan
mondar-mandir. Sikapnya serba salah. Sebentar
langkahnya berhenti dengan kepala menjulur me-
mandang ke jalan di depan rumahnya. Belum ada
tanda-tanda kalau kedua orang bawahannya mun-
cul. "Sial! Lama sekali mereka"!" rutuk Ki Pawit seraya melanjutkan
kegelisahannya. Kembali jalan
mondar-mandir di serambi.
Lelah, Ki Pawit lantas menghenyakkan pan-
tatnya di kursi. Dihembuskannya napas sesak
yang membalut dadanya. Maksudnya untuk men-
gurangi kegelisahannya, Tetapi itu belum cukup.
Diambilnya bungkus tembakau yang tergeletak di
meja. Setelah mengambil selembar kertas papir,
dibuatnya selinting rokok klembak menyan. Dilint-
ing-linting, lalu diselipkan ke bibir hitamnya. Tangannya lantas merogoh
pemantik api di saku sur-
jannya. Dinyalakannya rokok klembak menyan, la-
lu dihisapnya dalam-dalam.
Merasa belum cukup juga, Ki Pawit bangkit
dari duduknya. Kakinya lantas melangkah menuju
halaman. Namun baru beberapa langkah, seorang
lelaki kurus muncul dari jalan depan rumahnya.
"Parjan! Bagaimana" Apakah kau sudah
dapat berita tentang Lestari?" berondong Ki Pawit.
Matanya membesar.
Dua langkah di depan Ki Pawit, Parjan ber-
henti. Kepalanya tertunduk takut-takut.
"Be..., belum, Ki. Tap..., tapi...."
"Tapi apa"!" penggal Ki Pawit. Dadanya kian berdebar keras. Dugaan buruk yang
tersimpan dalam benaknya mulai merambat, merasuki hatinya.
"Ada beberapa penduduk desa kita yang
melihat Jumeneng dikeroyok orang-orang tak di-
kenal di halaman rumah Ki Tambakyasa. Bisa jadi
mereka adalah tukang pukulnya Pandu," jelas Parjan. "Setan! Berarti pemuda
sialan itu sengaja mau cari perkara dengan kita. Tapi kenapa penduduk yang
melihat kejadian itu tak melaporkannya
kepada kita?"
"Mungkin mereka takut, Ki. Kau tahu sendi-
ri, belakangan ini pengaruh Ki Tambakyasa terha-
dap para penduduk makin kuat saja. Bahkan di-
am-diam dia mengincar kedudukanmu menjadi
kepala desa ini," Parjan memberi alasan.
"Ya, aku tahu itu. Kupikir dengan ada hu-
bungannya antara Lestari dan Pandu, aku tak per-
lu khawatir lagi pada kedudukanku sebagai kepala
desa. Tak tahunya...."
Ki Pawit menggeram lirih. Rahangnya men-
geras. Teringat kembali dalam benaknya, bagai-
mana dia menerima Ki Tambakyasa sebagai pen-
duduk desa ini sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu sikap Ki Tambakyasa tampak
sangat bersahabat
dengannya. Penuh perhatian dan suka menolong.
Ki Tambakyasa adalah pedagang kambing
dari desa yang cukup jauh dengan ibu kota kadi-
paten. Karena Desa Jatianom terletak tak jauh dari kota kadipaten, maka dia
memutuskan untuk pindah ke desa ini. Benar saja. Begitu pindah ke desa ini,
perdagangannya melesat jauh. Kekayaan pun
melimpah. Kambing-kambingnya selalu habis ter-
jual di kota kadipaten.
Rupanya, Ki Tambakyasa tergolong manusia
rakus. Lewat para kaki tangannya, diam-diam dia
mulai menekan para penduduk untuk menjual
kambing-kambing semurah mungkin kepadanya.
Dengan cara halus, seolah sebagai dermawan,
penduduk yang membutuhkan pertolongan uang
dipinjami dengan imbalan seekor anak kambing.
Ternyata, bunga pinjaman begitu mencekik leher.
Akibatnya, bila salah seorang tak bisa mengemba-
likan, maka seluruh kambing miliknya akan di-
rampas. Peluang itu sebenarnya tak perlu terjadi
seandainya Ki Pawit mau bertindak. Tapi dasar
kepala desa itu juga manusia biasa, mulutnya pun
telah disumpal oleh kantung-kantung uang kepeng
pemberian Ki Tambakyasa. Apalagi kemudian,
anak gadisnya juga punya hubungan dengan Pan-
du, Putra Ki Tambakyasa.
Ki Tambakyasa kian merajalela. Kali ini dia
mulai berani menggunakan ancaman bila para
penduduk tak mau menjual kambingnya kepa-
danya. Tukang-tukang pukul dari desa lain pun
disewa untuk menakut-nakuti para penduduk.
Kini, Ki Pawit nyaris tak bisa berbuat apa-
apa. Tapi begitu Lestari hilang, kesadarannya ka-
lau selama ini telah dikadali Ki Tambakyasa pun
terkuak. Apalagi menurut kabar pun, Ki Tamba-
kyasa bercita-cita akan merebut kedudukannya
sebagai kepala desa.
"Kalau begitu, kumpulkan orang-orang kita.
Pandu harus kita seret ke balai desa. Dan kalau Ki Tambakyasa ikut campur, kita
bisa menuntutnya
dengan tindakannya selama ini terhadap pendu-
duk," ujar Ki Pawit.
Dalam hati Parjan tersenyum kecut. Dia su-
dah tahu, siapa Ki Pawit. Kenapa tidak bertindak
sejak dulu terhadap Ki Tambakyasa" Sesal lelaki
kurus ini. Setelah tertimpa musibah, baru menga-
jak bertindak. "Ayo, tunggu apa lagi?" letus Ki Pawit ketika melihat Parjan ragu-ragu.
"Baik, Ki," sahut Parjan. Bergegas, ditinggalkannya Ki Pawit.
Berbalik, Ki Pawit segera melangkah mema-
suki rumahnya. Dibuangnya puntung rokok klem-
bak menyan yang telah mati apinya ketika hendak
dihisap. "Tak akan kubiarkan sepak terjang Ki Tam-
bakyasa!" geramnya.
* * * "Dendamlah penyebabnya," jawab Dong-
dongka mantap. Sok tahu si tua bangka itu. Dari
mana dia tahu kalau munculnya kembali Nini Be-
rek ke dunia persilatan lantaran dendam"
"Panembahan tahu dari mana?" sodor Ki
Kusumo, penasaran.
"Kau ini bagaimana, Kusumo" Ya, dari
mimpiku itu!"
"Panembahan sendiri belum bercerita ten-
tang mimpi itu."
"Belum, ya" He he he.... Aku terlalu berse-
mangat, Kusumo."
Kembali Ki Kusumo hanya bisa menarik
napas sesak. Semaklum-maklumnya Ki Kusumo,
sekuat-kuatnya hatinya, tetap saja merasa mabok
menghadapi tua bangka satu ini. Cuma karena ra-
sa hormatnya saja dia tak ingin meninggalkan
Dongdongka begitu saja.
"Aku bermimpi seram sekali, Kusumo. Se-
ram sekali! Bayangkan!" ledak Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedua tangan
kurus keringnya
menggeliat-geliat di samping pinggang. Mirip cac-
ing kepanasan. Ki Kusumo tak ingin menyahuti. Dibiarkan-
nya si tua gundul mencak-mencak sendirian. Yah,
daripada dia ikut-ikutan sawan, lebih baik diam
saja. "Kau tak ingin tahu mimpiku, Kusumo?" aju Dongdongka, menyebalkan. Lebih
menyebalkan la-gi, tangan kanan kurusnya tiba-tiba menepak
punggung Ki Kusumo. Saking semangatnya, mem-
buat Tabib Sakti Pulau Dedemit nyaris terlonjak.
Ki Kusumo cengar-cengir serba salah. Mana
mungkin dia berani marah pada si tua sinting ini.
Bukan karena takut, tapi rasa hormatnya saja
yang dia mampu menghadapi 'musibah' ini.
"Dalam mimpi, aku seperti diseret-seret ke
negeri Siluman. Aku disuruh mempertanggungja-
wabkan perbuatanku. Perbuatan apa, Kusumo"
Perbuatan apa" Apa salahnya" Apa?" Dongdongka uring-uringan sendiri.
"Panembahan pernah punya urusan dengan
bangsa siluman?" cetus Ki Kusumo, tak tega melihat Dongdongka uring-uringan


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Dedengkot Sinting Kepala Gundul terdiam.
Dari duduknya dia bangkit. Wajah berkeriputnya
tertarik tegang. Kelopak matanya mendelik-delik
seolah tercekik.
"Ini bencana, Kusumo. Bencana!" Sumpah
serapahnya menyusul kemudian. Dia berjalan
mondar-mandir sambil mengetuk-ngetuk kepala
gundulnya dengan bambu tipis yang tak pernah
lepas dari tangannya.
Kini, Ki Kusumo yang kebingungan. Ma-
tanya bergerak-gerak, mengikuti arah mondar-
mandirnya si tua bangka di depannya. Tapi seti-
daknya, nalurinya bisa mengendus sesuatu yang
genting di hati Dongdongka.
"Bencana apa yang Panembahan maksud-
kan?" tanya Ki Kusumo.
"Itulah sialnya, Kusumo. Aku tak tahu, ben-
cana apa yang akan menimpaku. Dan lagi, rasanya
aku tak pernah berurusan dengan bangsa silu-
man, kecuali...."
"Kecuali apa, Panembahan?"
"Kecuali Cah Gendeng kita. Bukankah wak-
tu itu dia pernah mengalahkan Nini Jonggrang?"
Lengkap sudah kebingungan Ki Kusumo.
Apa hubungannya urusan mimpi Dongdongka
dengan Satria" Tanyanya, membatin.
Penasaran, Ki Kusumo mencoba menebak.
"Maksudmu, Nini Jonggrang belum mati betul?"
"Meleset jauh tebakanmu, Kusumo!"
Ki Kusumo tersenyum kecut. Tak ada gai-
rah lagi untuk mengorek keterangan dari Dong-
dongka. Yang penting sekarang, dibiarkannya saja
Dedengkot Sinting mengoceh sendirian.
"Kau tahu kan kalau Nini Jonggrang punya
guru yang berasal dari siluman?" letus Dongdongka.
Tidak. Ki Kusumo tak bergairah lagi menja-
wab. Mulutnya sengaja dikunci rapat-rapat. Takut
salah lagi dia.
"Ketika Nini Jonggrang dikalahkan Cah
Gendeng kita, bukankah terdengar suara mengi-
kik" Nah, aku yakin itulah suara tawa siluman.
Kalau kita hubungkan bahwa Cah Gendeng kita
adalah murid kita, bisa jadi bangsa siluman den-
dam terhadap kita. Terutama kepadaku. Nah, le-
wat mimpi itulah bangsa siluman menyatakan
dendamnya. Tapi entah kenapa, justru siluman je-
lek Nini Berek ikut-ikutan muncul. Kenapa bukan
siluman yang cantik-cantik...."
Dari mondar-mandirnya, Dongdongka ber-
henti di depan Ki Kusumo. Ditatapnya mata kela-
bu Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Kira-kira kau tahu, bencana apa yang akan
terjadi?" aju Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Tanpa bersuara, Ki Kusumo menggeleng.
Perlahan. "Aku yakin, para siluman akan bersekutu
menggempur kita. Terutama aku," jawab Dong-
dongka, yakin. Seyakin-yakinnya.
"Lalu bagaimana dengan Satria," tak kuat juga Ki Kusumo memendam
keingintahuannya.
"Cerdik! Kau benar-benar cerdik, Kusumo!"
sambar Dongdongka. Tapi justru sebenarnya
membuat Ki Kusumo tak mengerti.
Cerdik" Dia bilang aku cerdik" Rasanya aku
cuma bertanya. Rasanya aku tak memberi petun-
juk apa-apa" Sulit memang memahami jalan piki-
ran Dongdongka. Saking tak tahu harus bilang
apa, Ki Kusumo hanya cengar-cengir saja.
"Naluriku mengatakan, bersekutunya para
siluman untuk menggempur kita atau tepatnya
aku, salah satunya disebabkan oleh Cah Gendeng
kita. Sekarang kau mengerti, Kusumo?" papar
Dongdongka. Entah kenapa otak tuanya jadi begi-
tu bening. Sehingga kata-katanya meluncur begitu
saja. Tidak butek seperti tadi.
"Kalau sudah begitu, apa tindakan kita, Pa-
nembahan" Bukankah tadi aku hendak berpami-
tan untuk mencari Satria" Sebaiknya, sekarang
aku berangkat, Panembahan," cetus Ki Kusumo.
"Ya, berangkatlah, Kusumo. Aku juga mau
meneruskan tidurku lagi. Mudah-mudahan saja
aku dapat petunjuk dari guruku lewat mimpi...."
EMPAT DI DEPAN rumah Ki Tambakyasa, Ki Pawit
berdiri garang. Di belakangnya, sepuluh orang
anak buahnya berdiri bersiaga. Ada hawa kemara-
han tercium di sana. Tarikan wajah mereka terli-
hat tegang. Cuping hidung kembang-kempis. Teru-
tama terlihat pada wajah Ki Pawit.
"Ki Tambakyasa! Keluar kau! Serahkan
Pandu kepada kami!" teriak Ki Pawit. Ledakan suaranya memangkas udara.
Belum ada sahutan. Hening.
"Ki Tambakyasa! Jangan paksa aku untuk
mengobrak-abrik rumahmu!"
Keheningan kembali terkoyak.
Belum ada tanda-tanda kalau Ki Tamba-
kyasa atau Pandu akan muncul. Dan ini membuat
kegeraman Ki Pawit makin menyentak-nyentak
dadanya. Lewat kepalanya, kepala desa itu mem-
beri isyarat. Tapi sebelum orang-orang Ki Pawit
bergerak, dari pintu rumah Ki Tambakyasa ber-
munculan beberapa orang bertampang tak kalah
garang. Dua, empat, enam, delapan..., sepuluh lela-ki kini telah muncul di depan
pintu. Mereka semua telah menghunus golok, seolah ingin menyambut
kedatangan Ki Pawit dan bawahannya dengan ke-
matian mengerikan. Kesepuluh orang itu terus me-
langkah ke halaman, membentuk barisan menja-
jar. Kejap berikutnya, dari pintu tadi menyusul
dua lelaki yang dicari-cari Ki Pawit. Yang seorang adalah pemuda tampan
berpakaian putih dari sutera. Ketat, seolah ingin memamerkan kekekaran
tubuhnya. Dialah Pandu, putra Ki Tambakyasa.
Di samping Pandu, berdiri seorang lelaki be-
rusia sekitar enam puluh lima tahun. Bajunya dari sutera putih berhiaskan renda-
renda keemasan pada pinggirannya. Celananya komprang, juga dari
sutera putih. Kepalanya yang berambut putih ditu-
tupi ikat kepala warna putih pula. Wajah keriput-
nya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna putih. Alis matanya juga
berwarna putih. Sinar
matanya terlihat mengandung keramahan. Tapi di
balik itu justru tersimpan kekejian mendalam.
Dialah Ki Tambakyasa.
"He he he.... Selamat datang, Sobatku Pawit.
Ada apa kau berteriak-teriak begitu" Macam orang
kesurupan saja. Telingaku masih waras. Bahkan
kasak-kusukmu sekalipun masih dapat kuden-
gar...," kekeh Ki Tambakyasa, menyebalkan. Di beranda, dia berdiri bersama
Pandu. "Lagakmu makin tengik saja, Tambakyasa!
Dulu kau meratap-ratap padaku untuk menjadi
penduduk di sini. Sekarang kau mulai berani
mengutak-atik jabatanku sebagai kepala desa.
Manusia macam apa kau ini, Tambakyasa"!" ge-
ram Ki Pawit, meledak-ledak.
"Jangan menuduhku begitu, Sobatku Pawit.
Toh, kau juga menikmati hasil jerih payahku, bu-
kan" Sudah berapa peti uang kepeng yang kau te-
rima sejak aku menetap di desa ini?" balas Ki Tambakyasa.
Merah padam wajah Ki Pawit. Rahasianya
yang selama ini dipendam bertahun-tahun di-
bongkar begitu saja. Dia merasa ditelanjangi di depan orang banyak. Biji matanya
melirik ke kiri dan kanan, berharap agar para anak buahnya tak
mendengar kata-kata Ki Tambakyasa tadi.
Tapi justru dari mulut para anak buahnya
terdengar gumaman-gumaman tak jelas. Bahkan,
satu persatu mereka mulai meninggalkan Ki Pawit.
Hanya Parjan yang masih tersisa. Bisa jadi, karena Parjan dikenal sebagai kaki
tangan Ki Pawit yang
sangat setia. Ki Pawit makin salah tingkah. Sedikit berba-
lik, dipandanginya sembilan orang bawahannya
yang pergi begitu saja dengan langkah kecewa.
"He!! Apa kalian lebih percaya manusia bu-
suk itu daripada aku"!" teriak Ki Pawit.
Kesembilan orang bawahan Ki Pawit ber-
henti. Mereka berbalik.
"Entahlah, Ki. Sebenarnya, sejak lama kami
mendengar desas-desus kalau kau sering meneri-
ma suap dari Ki Tambakyasa. Waktu itu kami ma-
sih belum percaya. Lalu ketika beberapa saudara
kami terbelit ijon dengan bunga mencekik leher
dari Ki Tambakyasa, kau tak bertindak apa-apa
terhadapnya. Nah, sekarang setelah Ki Tambakya-
sa membeberkan bahwa kau sering menerima
suap, kami tak ragu-ragu lagi. Mengenai urusan-
mu dengan Ki Tambakyasa, selesaikan saja sendi-
ri," sahut salah seorang bawahan Ki Pawit
Makin murka saja Ki Pawit. Kali ini dia dite-
lanjangi dua kali.
"Biarkan saja mereka pergi, Sobatku Pawit.
Mereka adalah orang-orang yang kecewa terha-
dapmu. Itu hak mereka untuk pergi dari sini. He
he he...," usik Ki Tambakyasa.
"Diam kau, Anjing Busuk! Tanpa mereka,
aku pun bisa meremukkan kepalamu! Sekarang,
cepat serahkan anakmu kepadaku! Dia harus ber-
tanggung jawab atas hilangnya Lestari anakku!"
Sumpah serapah Ki Pawit meluncur bak air bah.
Matanya mendelik liar, memancarkan hawa kema-
rahan membludak.
"Lho" Yang hilang anakmu, kok yang dis-
uruh tanggung jawab anakku" Apa-apaan kau ini,
Pawit" Mau lepas tanggung jawab ya" Mau cuci
tangan ya?" ejek Ki Tambakyasa.
"Ular beludak kau, Tambakyasa! Pandu
anakmu telah berhubungan lama dengan anakku.
Kepergian anakku pasti lantaran dia! Karena den-
gan semena-mena Pandu telah memutus hubun-
gan dengan anakku!"
Ki Tambakyasa tersenyum dingin. Tarikan
wajahnya menyiratkan sifat meremehkan persoa-
lan. "Mereka mungkin sudah tidak cocok. Jadi, jangan dipaksa. Sesuatu yang
terpaksa hasilnya
tidak baik, Pawit. Nah, sekarang pulanglah. Aku
tak ada waktu meladenimu."
"Setan! Kau benar-benar seperti ular, Tam-
bakyasa. Aku akan membunuhmu!" semprot Ki
Pawit. "Kau mau membunuhku" Seberapa kekua-
tanmu, Pawit" Hadapi dulu anak buahku. Baru
kau boleh membunuhku. Maaf, aku masih banyak
urusan di dalam dengan anakku. Bermain-
mainlah dulu dengan para anak buahku!" sahut Ki Tambakyasa. Bersama Pandu, dia
kembali masuk ke dalam. Kata-kata terakhir Ki Tambakyasa ibarat
isyarat bagi para anak buahnya. Mereka segera
bergerak, mengelilingi Ki Pawit dan Parjan. Agak-
nya, pertarungan tak seimbang, dua lawan sepu-
luh akan segera digelar.
Apa yang terjadi selanjutnya"
* * * Bukit Menjangan pada waktu yang sama.
Hening. Sehening dua manusia keropos berjenis ke-
lamin perempuan yang duduk berhadapan. Yang
seorang sudah jelas. Nini Berek. Tapi siapa yang
seorang lagi"
Wajahnya hampir mirip dengan Nini Berek.
Penuh borok berlendir menyebarkan bau busuk.
Hanya pakaiannya dari kebaya lusuh dengan kain
batik kusam sebagai tapih. Rambutnya digelung ke
atas berwarna putih. Kedua matanya celong ke da-
lam. Bibir kendornya juga mengunyah sirih,
menciptakan liur berwarna merah darah.
"Terima kasih kau mau memenuhi undan-
ganku, Mbakyu Rewang," buka Nini Berek, me-
rampas keheningan.
"Hi hi hi.... Aku mengerti kesulitanmu,
Adikku Berek. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa
yang menjadi kesulitanmu," kata perempuan tua yang sebenarnya kakak kandung Nini
Berek. Dialah Nini Rewang.
Perempuan tua keturunan siluman yang
menjadi guru Nini Jonggrang. Setelah Nini
Jonggrang terjerumus dalam dunia sesat, dia ber-
guru pada Nini Rewang. Sewaktu Nini Jonggrang
dikalahkan pendekar muda yang baru turun da-
lam gonjang-ganjing dunia persilatan bernama Sa-
tria, terdengar suara mengikik menggidikkan. Itu-
lah suara tawa Nini Rewang.
Dendam siluman memang tak ada habis-
nya. Melihat muridnya kalah, Nini Rewang pun
mendendam pada bocah bernama Satria Gendeng
dan dua gurunya Ki Kusumo dan Dongdongka.
(Tentang kekalahan Nini Jonggrang di tangan Sa-
tria Gendeng, baca episode : "Kiamat di Gunung Sewu"). "Suamiku tewas entah oleh
siapa, Mbakyu Rewang. Tapi melihat jenis pukulannya, aku menduga kalau yang
membunuh suamiku adalah De-


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengkot Sinting Kepala Gundul," buka Nini Berek.
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Hi hi
hi.... Aku juga punya urusan dengannya. Muridnya
yang bernama Satria Gendeng telah memusnah-
kan muridku yang bernama Jonggrang," sahut Ni-ni Rewang.
"O, jadi Dongdongka telah punya murid,
Mbakyu" Siapa?"
"Satria Gendeng. Wah, kau rupanya keting-
galan berita, Adikku."
"Sejak menikah dengan Kakang Ageng Wi-
rakrama sebenarnya aku tak tertarik lagi mera-
maikan dunia persilatan. Tapi sejak kematian su-
amiku, pikiranku berubah. Aku harus menuntut
balas!" desis Nini Berek. Kepalanya lalu menoleh ke samping.
Prott! Sebentuk cairan merah meluncur, menera-
bas udara kosong. Menghantam batu bekas rerun-
tuhan candi. Menciptakan lubang disertai asap ti-
pis berwarna putih. Dahsyat sekali. Itulah seben-
tuk kemarahan Nini Berek yang dituangkan dalam
semburan cairan sirih di mulut.
"Itulah sebabnya, aku tak tahu kalau Dong-
dongka mempunyai murid," lanjutnya.
"Tapi jangan-jangan, justru murid Dong-
dongka itu sendiri yang membunuh suamimu" Ka-
rena aku yakin, Dongdongka saat ini risih untuk
terjun langsung dalam dunia persilatan," tukas Ni-ni Rewang.
"Maksudmu, Satria Gendeng yang kau ka-
takan tadi?" Nini Berek seolah tak percaya. "Kalau muridnya saja bisa membunuh
suamiku, bagaimana dengan Dongdongka sendiri?"
"Itu sebabnya, kita harus menggalang per-
sekutuan. Dengan bersatu, aku yakin kita bisa
melenyapkan mereka!" sambar Nini Rewang, mendesis. "Tapi untuk membuat dunia ini
tambah gonjang-ganjing, aku ingin membangkitkan suamiku dari kematian."
"Itu artinya, kau membutuhkan sari pati
sepuluh pemuda untuk membangkitkan suami-
mu?" "Tepat!"
* * * Dunia tak pernah sepi dari prahara.
Ada pepatah bilang, manusia adalah seriga-
la di antara sesamanya.
Begitulah yang terjadi antara Ki Pawit den-
gan Ki Tambakyasa.
Persekutuan telah tercipta. Ki Pawit beru-
saha mati-matian menghadapi sepuluh anak buah
Ki Tambakyasa. Kendati dibantu Parjan, apalah ar-
tinya" Wukh! Wukh!
Dua sambaran golok memapas udara. Men-
ciptakan angin keras, hendak meruntuhkan nyali.
Ki Pawit pontang panting menghindarinya, ber-
lompatan ke kiri, lalu menggulingkan tubuhnya ke
samping. Begitu bangkit, dicabutnya keris pusaka
peninggalan leluhurnya.
Sraakkk! Kejap yang sama, satu sambaran golok la-
wan yang lain menyambar hendak menebas leher-
nya dari kiri ke kanan. Hendak dibelahnya dada
kurus Ki Pawit.
"Hih!"
Tak! Keris telanjang berlekuk tujuh milik Ki Pa-
wit terangkat ke depan dada. Benturan pun terja-
di. Tiga tombak si penyerang terjajar mundur. Se-
dang Ki Pawit hanya bergetar saja tubuhnya. Dan
waktu yang sekejapan itu digunakan Ki Pawit un-
tuk menerjang dengan sebuah tendangan lurus.
"Khaaa...!"
Udara terpangkas oleh teriakan Ki Pawit
bersama luncuran tendangannya. Tapi sebelum
mengenai sasaran, dari arah samping lawan lain
menerjang dengan sambaran goloknya. Arahnya,
ke kaki terjulur Ki Pawit.
Tak mau kakinya jadi korban, terpaksa ke-
pala desa yang ternyata memiliki kemampuan lu-
mayan itu menghentikan luncuran tubuhnya sete-
lah menarik kakinya. Lalu dibuangnya tubuh ke
tanah. Sayang, arah jatuh dan bergulingan Ki Pa-
wit tanpa disadari justru menuju salah seorang
lawan. Tanpa membuang kesempatan, ditendang-
nya Ki Pawit. Bed! "Hih!"
Ki Pawit berusaha melindungi dadanya yang
jadi sasaran dengan kedua tangan yang menekuk
di depan dada. Tapi tak urung, tubuhnya tergeser
beberapa langkah.
"Hup!"
Lewat sentakan perut, Ki Pawit berusaha
bangkit. Sigap, kakinya berusaha mencengkeram
tanah seraya memasang kuda-kuda kokoh. Liar,
mata merahnya merayapi lawan-lawannya. Lima
orang yang mengeroyoknya. Lima sisanya sibuk
mengatasi Parjan yang ternyata tak gampang un-
tuk ditundukkan. Walaupun, lelaki itu juga harus
pontang-panting seperti Ki Pawit.
"Hiaaa...!"
Tiga orang lawan menerjang Ki Pawit ber-
samaan. Golok terhunus terangkat di atas kepala.
Hendak dibelahnya kepala Ki Pawit menjadi bebe-
rapa bagian. Udara pun terobek oleh teriakan menggila
mereka. Angin terbelah oleh golok-golok yang ber-
putaran di udara.
"Kau harus mampus, Keparat!" bentak sa-
lah seorang lawan yang berada di tengah.
Wukh! Satu sambaran golok dibuat penyerang
yang berada di tengah. Ganas berhawa maut. Ki
Pawit segera mengangkat kerisnya. Dipapaknya go-
lok lawan. Wukh! Wukh! Saat yang bersamaan, dua sambaran golok
lain mengancam dari samping kiri dan kanan. Se-
ketika tangan kirinya menyampok dari bawah un-
tuk mematahkan serangan dari samping kiri. Se-
dangkan kaki kanan menyongsong ke arah perut
lawan di kanan.
Trang! Tap! Dess! Ki Pawit mampu menahan serangan golok
dari depan. Juga, mampu menahan serangan dari
samping kiri, bahkan mampu mengirim tendangan
ke perut lawan di kanan. Tapi saat itu juga, lawan yang berada di depan
mengirimkan satu tendangan telak ke dada setelah goloknya tadi tertahan.
Bukk! Sepuluh tombak, tubuh Ki Pawit terlempar.
Kendati terbebas dari serangan golok, tak urung
tendangan tadi membuat dadanya terasa sesak.
Tapi ibarat keluar dari mulut macan masuk ke
mulut buaya, justru tubuh Ki Pawit melayang ke
arah dua lawan yang sudah sejak tadi menunggu
dengan golok terhunus.
Dan.... Crass! Crasss! Di udara, tubuh Ki Pawit terbelah. Di tanah,
dia telah bersimbah darah. Kepalanya terpisah. Perutnya terancah. Dia kalah
melawan manusia-
manusia serakah.
Crasss! Di tempat lain, Parjan mengalami nasib sa-
ma. Tubuhnya yang telah bersimbah darah oleh
sabetan-sabetan golok lawan, ambruk oleh tebasan
terakhir pada lehernya.
Siang pun memerah.
Darah pun bersimbah.
Dua manusia tergolek mati tanpa ingin me-
nyerah. * * * Tak ada. Tak ada penduduk Desa Jatianom
yang berani menolong kepala desanya saat terjadi
pertarungan di depan halaman rumah Ki Tamba-
kyasa. Mereka memang serba salah. Sudah sejak
lama mereka tahu kalau Ki Pawit, sama bejadnya
dengan Ki Tambakyasa. Di saat sepak terjang Ki
Tambakyasa makin mencekik leher dengan bunga
ijonnya, justru Ki Pawit tak berbuat apa-apa. Bahkan kalau boleh dibilang diam-
diam malah men-
dukung. Para penduduk hanya menonton pertarun-
gan dari kejauhan, takut jadi sasaran. Di sisi lain, mereka pun diliputi
kecemasan. Artinya, bila Ki
Pawit tewas, maka sepak terjang Ki Tambakyasa
akan makin merajalela. Kesewenang-wenangan
pun bakal mengancam.
Pasrah. Itu kata yang paling tepat untuk menggam-
barkan sikap para penduduk. Menunggu harap-
harap cemas, apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ketika melihat Ki Pawit dan Parjan tewas, mereka
berusaha untuk menutup mata dan telinga. Pura-
pura tak tahu apa yang terjadi ketimbang jadi korban keganasan anak buah Ki
Tambakyasa. Para penduduk tahu, orang-orangnya Ki
Tambakyasa adalah orang-orang persilatan yang
disewa Ki Tambakyasa sejak tiga tahun lalu. Mere-
ka ditugasi untuk memungut sekaligus mengan-
cam para penduduk dalam membayar hutang ter-
hadap Ki Tambakyasa. Jika ada salah seorang
penduduk yang tak mampu membayar, bukan saja
kambing yang dirampas, tapi tanah pun ikut dis-
ita. Jika melawan, maka para tukang pukul Ki
Tambakyasa akan turun tangan.
Serba salah. Itu kata yang tepat bagi para penduduk De-
sa Jatianom. Kematian Ki Pawit bagi mereka tak
merubah apa-apa. Makin parah, bisa jadi. Sebab,
mereka tahu, siapa Ki Tambakyasa.
LIMA WAKTU terus terdenyut.
Telah dua hari Satria Gendeng telah tiba di
Tanjung Karangbolong. Tiba di sana, si anak muda
tak lagi menemukan Ki Kusumo. Yang ada hanya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang selalu si-
buk dengan tidurnya.
"Ke mana Kakek Kusumo, Kek?" tanya Sa-
tria yang waktu belum lama tiba.
"Si Kusumo itu keras kepala. Sudah kubi-
lang kau pasti datang, tapi dia malah pergi menca-rimu. Apa kau tak bertemu di
tengah jalan?"
Satria menggeleng.
"Aku membutuhkan jawaban, bukan gelen-
gan!" semprot Dongdongka. Lalu bambu tipisnya yang selalu tergenggam di tangan
meski sedang buang hajat sekalipun melayang ke arah kepala si
pendekar muda. Tak! Satria cuma bisa meringis serba salah. Di
atas balai bambu, si pemuda membanting pantat-
nya. Sementara, Dongdongka masih tetap berdiri
di hadapannya. "Kalau Kakek Kusumo begitu keras kepala
mencariku, pasti ada sesuatu yang terjadi. Kira-
kira, apa ya, Kek?" tanya Satria lagi.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak sege-
ra menjawab. Juga tak tampak ada tanda-tanda
kesintingan yang akan diperlihatkannya pada Cah
Gendengnya. Terbungkuk-bungkuk, dia malah me-
langkah mondar-mandir di dalam gubuk. Tak lu-
pa, bambu tipisnya diketuk-ketukkan ke kepala
gundulnya. "Kakek tak menjawab pertanyaanku" Apa
ada yang merisaukanmu?" lanjut Satria, Mata
sembilunya terus bergerak, mengikuti gerakan
mondar-mandir si tua bangka buluk ini. Sementa-
ra alisnya nyaris bertaut. Raut wajahnya menyi-
ratkan ketidak-mengertian.
"Kau marah kalau aku mengatakan sesua-
tu?" Dongdongka malah mengajukan pertanyaan.
Si pemuda makin penasaran.
"Apa itu, Kek?" tanya Satria.
"Aku haus. Ambilkan dua butir kelapa. Aku
mau minum airnya," sabda Dongdongka seenak-
nya. Satria melengak. Rasa penasarannya terbe-
rangus oleh permintaan mengada-ada guru gen-
dengnya. Mau marah, tak enak. Mau menolak, tak
sopan. Mau jengkel, tak pantas. Mau tak mau, si
bocah gendeng harus mau memenuhi permintaan
si tua buluk itu.
* * * "Keadaan akan makin runyam kalau para
siluman bersekutu, ya Kek?" buka Satria setelah mendengar penjelasan Dongdongka
tentang mimpi serta firasatnya.
"Kau takut?" cibir Dongdongka. Perlahan, kelopak matanya membuka. Sayu. Si tua
bangka lapuk ini masih dalam keadaan tidur kelelawar-
nya. Kakinya di atas, mengait pada sebuah palang
bambu penyangga atap. Kedua tangannya berse-
dekap di depan dada.


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang para siluman bentuknya seram,
Kek?" Satria melengak. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri.
Dongdongka tersenyum geli. Dia tahu yang
ditakutkan Satria bukan soal kesaktian para silu-
man. Tapi lebih condong pada soal bentuk rupa si-
luman. Waktu menghadapi Nini Jonggrang saja si
anak muda sempat tercekat. Terutama ketika Nini
Jonggrang mengerahkan ilmunya, sehingga wa-
jahnya lebih mirip iblis (Baca episode: "Kiamat di Goa Sewu").
Tidak. Satria bukannya takut mati mengha-
dapi para siluman. Dongdongka tahu watak si pe-
muda. Bahkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
pun kalau perlu tak akan peduli bila Satria dima-
kan naga sekalipun.
"Kau pernah melihat wajah Nini Jonggrang
jelek itu ketika mengerahkan ilmunya?" Dong-
dongka malah bertanya. Entah, kenapa justru per-
tanyaan itu yang meluncur dari bibir kendornya.
Padahal dia sudah tahu kalau Satria pernah
menghadapi Nini Jonggrang.
"Pernah," jawab Satria, pendek.
"Ya, seperti itu kira-kira wajah Nini Berek
dan Nini Rewang. Cantik, ya?" goda si tua bangka lapuk. "Kau tertarik"
Goyangannya masih mantap, lho." Satria malah bergidik.
"Nah, sekarang carilah si Kusumo. Cepat
sana! Aku ngantuk. Oaahhhmmm...." Dongdongka menguap lebar. Semburan hawa dari
mulutnya membuat Satria meringis. Menyemprot langsung
ke wajah si anak muda.
"Nanti Kakek Kusumo juga pulang sendiri,"
maksudnya Satria mau menolak halus. Sebab, ba-
ru dua hari datang ke Tanjung Karangbolong, su-
dah harus pergi lagi.
"Slompret kau, Cah. Disuruh orang tua tak
mau menurut. Apa kau tak kasihan dengan si Ku-
sumo"!" semprot Dongdongka.
"Memang kenapa dengan Kakek Kusumo?"
"Kalau dia diperkosa para siluman itu, ba-
gaimana?" "Diperkosa?" Kening Satria berkerut. Polos sekali sikapnya.
"Memang kau pikir manusia saja yang bisa
memperkosa?" terabas si tua lapuk ini.
"Sudah sana!" usir Dongdongka. Lalu iseng-iseng ujung bambu kuningnya
disambarkan ke kepala si anak muda murid sintingnya.
Tak! "Aduh...!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul meme-
jamkan matanya. Rapat sekali. Satria sendiri telah beranjak. Mulutnya meringis,
tanpa mampu berbuat apa-apa.
* * * Waktu terus bergulir.
Sebulan setelah kematian Ki Pawit, Ki Tam-
bakyasa makin menancapkan kuku kekuasaannya
di Desa Jatianom. Bahkan dengan seenak udelnya
dia menyatakan diri sebagai kepala desa. Suka ti-
dak suka, rela tidak rela, mau tidak mau, para
penduduk harus mengakui bahwa Ki Tambakyasa-
lah yang menjadi kepala desa ini. Bagi yang me-
nentang, siap-siap saja melawat ke akhirat. Begitu ancamannya.
Kini kehidupan di Desa Jatianom tak lebih
berada dalam neraka. Para penduduk terbelenggu
kesengsaraan. Kehampaan, dan nyaris tak mampu
berbuat apa-apa. Kaum papa hanya bisa meratap.
Terlindas oleh keadaan yang makin tak karuan.
Wong cilik hanya bisa menangis. Meringis-
ringis, menahan lapar yang makin mengiris.
Dan malam pun berjalan amat lambat. An-
gin bergerak amat lambat. Desa Jatianom terke-
pung keheningan. Sebagian penduduk telah terle-
lap sambil berusaha menahan lapar. Sebagian lagi
masih sulit untuk memicingkan mata karena se-
rangan lapar yang maha hebat.
Memang, sejak Ki Tambakyasa menjadi ke-
pala desa, kehidupan jadi semakin sulit. Kesera-
kahan dan kerakusan Ki Tambakyasa seolah me-
matikan penghidupan mereka. Harta telah teram-
pas. Mereka hanya mengandalkan jagung atau
umbi-umbian yang ditanam di halaman rumah.
Bagi mereka yang rumah atau tanahnya telah te-
rampas, hanya belas kasihan dari penduduk lain
yang diharap. Tapi, justru di rumah Ki Tambakyasa kea-
daan jadi sebaliknya. Makanan melimpah ruah.
Terhidang di setiap meja yang dirubungi para anak buahnya. Berguci-guci tuak
telah habis ditenggak.
Seperti malam-malam kemarin, malam di
rumah Ki Tambakyasa memang tak pernah sepi.
Sebuah pesta pora hampir tiap malam terbangun
di sana. Yang menikmati hanyalah kerabat Ki
Tambakyasa serta para anak buahnya.
Tawa terbahak-bahak mereka seolah men-
gejek kesengsaraan para penduduk yang justru
tengah bergulat menahan lapar. Sebuah kenyataan
mengharukan yang kian berlarut-larut. Tapi apa
daya para penduduk"
Di sudut halaman rumah Ki Tambakyasa,
beberapa orang tengah bergerombolan. Memben-
tuk lingkaran yang di tengahnya tersaji beberapa guci tuak. Alam pikiran mereka
telah terseret ke
dalam dunia semu. Dunia yang tercipta akibat
pengaruh tuak. Menenggelamkan akal pikiran me-
reka. Sambil bicara tak karuan, sesekali mereka
menenggak tuak. Setiap salah seorang menenggak,
maka yang lain akan memberi semangat.
"Taruhan, sebentar lagi pasti Tembayan
bakal mengejoprak. Prak!" oceh salah seorang lelaki yang wajahnya kasar penuh
jerawat. Lelaki botak yang dipanggil Tembayan tak
terima diremehkan.
"Slompret kau, Ragil! Jangan hanya mengo-
ceh melulu. Ayo. kau juga tambah lagi!" semprot Tembayan.
"Baik, baik. Lihat!" Ragil mengangkat guci.
Dituangnya tuak dalam guci ke mulut. Pengaruh
tuak membuat pegangan pada leher guci tak ko-
koh. Sehingga, kucuran tuak jadi bececeran tak
karuan. Tapi banyak juga yang telah telanjur me-
luncur ke tenggorokan Ragil. Lalu sesudah itu....
Brukkk! "Ha ha ha...!"
Dasar Ragil memang sudah mabuk berat,
ditambah beberapa tegukan tuak saja, tubuhnya
kontan ambruk. Tak kuat. Tawa teman-temannya
pun meledak, mengiringi tubuhnya yang telah tak
sadarkan diri. "Ayo, siapa lagi yang mau bertanding den-
ganku"!" lantang Tembayan. Pongah lagaknya.
Empat lelaki yang masih bisa menguasai di-
ri walaupun telah berada dalam pengaruh tuak
saling menatap. Lalu salah seorang meraih guci
tuak. "Aku akan melawanmu. Tapi tak seru kalau tak ada taruhannya," sahut satu
dari empat lelaki itu. "Kau mau lawanku, Togap" Ha ha ha.... Apa taruhannya?"
tantang Tembayan.
"Bayarin aku perempuan di Penginapan
Bunga Nirwana. Bagaimana"!" aju lelaki bernama Togap. "Apabila di antara kalian
ada yang paling kuat menenggak arak, tak perlu jauh-jauh untuk
membuang uang ke Penginapan Bunga Nirwana."
Sebuah suara halus tahu-tahu menyita perhatian
mereka. "Aku bersedia menjadi hadiahnya," lanjutnya. Entah kapan datangnya,
tahu-tahu tak jauh
dari situ berdiri seorang gadis berpakaian kuning ketat. Saking ketatnya,
membuat lekuk-lekuk tubuhnya jadi tampak menggiurkan.
Mata memerah lima orang yang tengah du-
duk melingkar dalam pengaruh tuak langsung
mendelik ke arah gadis berwajah cantik. Merayapi
setiap lekuk-lekuk si gadis. Padahal kalau akal pikiran mereka waras, harusnya
mereka waspada.
Kedatangan si gadis yang tak disadari, menunjuk-
kan kalau kepandaiannya tak bisa dianggap en-
teng. "Edan..., edan! Cantik sekali kau, Cah Ayu"!
Siapa namamu?" Tembayan langsung bangkit berdiri. Juga, bangkit nafsunya.
Napasnya kontan
mendengus-dengus dengan mata melotot nyaris
keluar. "Apalah artinya sebuah nama.... Kalau na-ma bagus tapi tak bisa
memuaskan kalian, apa ar-
tinya?" desah si gadis, makin menantang.
"Kau benar.... Tapi, paling tidak aku akan
selalu mengingat namamu," Rayuan gombal Tem-
bayan meluncur begitu saja dari bibir leceknya
yang dibasahi cairan tuak.
"Baik.... Namaku, Lestari. Nah, kalian boleh meneruskan permainan. Siapa yang
sanggup bertahan dengan sebanyak-banyaknya minum tuak,
boleh tidur denganku," kata Lestari, mendayu-dayu. Kelima orang lelaki yang
telah dirasuki pengaruh tuak makin semangat saja. Sebuah tawaran
yang amat menantang. Begitu kata hati mereka.
Tembayan berbalik. Mata merahnya me-
mandangi keempat kawan-kawannya. "Kalian dengar apa yang dikatakan si cantik
ini" "
"Aku khawatir, justru kau yang ambruk le-
bih dulu, Tembayan," leceh Togap.
"Sialan kau, Togap! Jangan hanya bacot kau
tonjolkan. Tai kucing dengan segala ocehanmu. Ki-
ta buktikan sekarang!" maki Tembayan, mendidih darahnya merasa dilecehkan.
"Kalau kalian bicara terus, kapan mulainya"
Terus terang saja, aku sudah tak sabar menunggu
kehangatan kalian," sela Lestari, makin membuat kelima lelaki itu blingsatan.
"Baik, baik. Kami akan segera memulai, Cah
Ayu," sambut Tembayan makin menggebu-gebu.
Segera dihampirinya keempat kawannya, dan
kembali duduk di antara mereka.
Pertandingan adu minum pun dimulai. Li-
ma buah guci yang masih berisi tuak penuh segera
digeser ke tengah. Semua mata memerah tertuju
ke satu arah. "Kebetulan, sisa tuak tinggal lima guci. Masing-masing dapat satu guci. Nah,
kalian bisa me-
mulai," kata si gadis.
Tanpa banyak bicara, masing-masing me-
raih leher guci tuak. Begitu terangkat di atas wajah, mereka mulai mengucurkan
tuak ke mulut. Penuh semangat, mereka menenggak. Yang ada di
benak mereka hanyalah bayangan kemolekan tu-
buh si gadis. Kejap lain.....
Bruk! Bruk! Dua orang mulai ngejoprak. Tiga masih me-
nenggak. Lalu.... Bruk!
Satu orang menyusul. Tinggal Tembayan
dan Togap yang masih bertahan. Sejenak kedua le-
laki ini menghentikan tenggakkannya. Napas me-
reka mendengus-dengus. Kedua mata merah me-
reka saling berpandangan. Saling menatap, dan
saling membanggakan kekuatan masing-masing.
Dikawal satu tarikan napas, mereka kemba-
li menenggak. "Gluk! Gluk! Gluk!"
Makin panas. Makin membara dada mere-
ka. Terbakar nafsu serta pengaruh tuak.
Waktu terus merangkak. Makin gila saja
kedua orang tua itu menenggak.
Tiba-tiba.... Bruk! Tembayan kali ini tak berkutik. Kesombon-
gannya terberangus sudah. Pengaruh tuak yang
sangat berlebihan, membuat tubuhnya tak dapat
lagi terkendali. Ambruk bersama nafsunya yang
berkobar. "Ha ha ha.... Ternyata bacotmu tak sesuai
dengan kenyataan, Tembayan. Kau tak lebih dari
tong kosong yang nyaring bunyinya!" gelak Togap, melihat Tembayan ambruk.
"Ternyata kau pemenangnya, Kakang,"
sambut Lestari, mendayu-dayu. Suaranya mende-
sah, membangkitkan kelaki-lakian Togap. "Ayolah.
Pedang Sinar Emas 4 Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu Pedang Ular Mas 5
^