Pencarian

Siluman Bukit Menjangan 2

Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan Bagian 2


Aku sudah tak sabar menunggu kehangatanmu."
Penuh nafsu, Togap bangkit. Sempoyongan,
dihampirinya Lestari yang berdiri menantang di
sudut pagar tembok dalam keremangan malam.
Tepat setengah langkah di depan dia berhenti. Ma-
ta liarnya langsung menjilati tubuh Lestari yang
tertelan keremangan.
Tapi baru saja Togap hendak masuk....
Bed! Crasss...! Togap melotot sejadi-jadinya. Mulutnya
menganga tanpa suara. Tanpa dapat dicegah tadi,
Lestari membabat perut dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang.
Tindakan Lestari tak sampai di situ. Begitu
Togap ambruk, dihampirinya kelima kawan Togap.
Seperti tadi, jari-jari tangannya kembali bergerak.
Amat cepat, membabat perut lima lelaki yang su-
dah tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, tahu-
tahu mereka menemukan diri masing-masing telah
berada di dalam kubur.
ENAM TAK hanya di depan rumah Ki Tambakyasa
yang terjadi kegemparan. Pada saat yang sama,
dua orang pemuda ditemukan tewas dengan tubuh
mengeriput, mirip kulit kakek-kakek. Para pendu-
duk mengenali mereka sebagai dua bersaudara.
Saman dan Samin. Ada dugaan, sebelum kedua
pemuda itu dibunuh, terlebih dahulu mereka di-
perkosa. Diperkosa"
Bukti-bukti memang menjurus ke sana. Ke-
duanya ditemukan di sebuah dangau di tengah
sawah dalam keadaan telanjang. Di bagian selang-
kangan juga ditemukan cairan bening yang telah
mengering. Sepertinya, sari pati dua pemuda itu
diserap habis-habisan. Kedua wajah mereka
menggambarkan ketakutan yang luar biasa.
Kalau keduanya diperkosa, berarti pela-
kunya seorang wanita. Itu dugaan yang timbul di
benak para penduduk.
Begitu para penduduk mendengar terjadi
pembunuhan para lelaki tukang pukul di rumah
Ki Tambakyasa, maka makin lengkaplah kecema-
san mereka. Di satu sisi, para penduduk memang
merasa bersyukur dengan kematian para tukang
pukul itu, tapi di sisi lain mereka merasa teran-
cam. Sebab, bukan mustahil Ki Tambakyasa akan
menuduh mereka sebagai si pembunuh.
Tapi apa benar begitu"
* * * "Keparat! Ada yang mau main-main den-
ganku rupanya! Enam orang anak buahku tewas
tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya"! Mus-
tahil! Mustahil!" sembur Ki Tambakyasa.
Setelah penguburan keenam anak buahnya.
Ki Tambakyasa mengumpulkan para tukang pu-
kulnya di ruang tengah. Di sampingnya, berdiri
Pandu. Sikap si pemuda terlihat jumawa.
"Pada saat yang sama, ternyata juga terjadi
pembunuhan dua pemuda desa ini, Tuan," lapor salah seorang tukang pukul.
"Siapa?"
"Kalau tak salah, namanya Samin dan Sa-
man. Mereka kakak-beradik," lanjut si tukang pukul, semangat.
"Maksudku, siapa yang tanya, Guoblok!" ledak Ki Tambakyasa. Kedua biji mata
kelabunya nyaris melompat keluar. Semburan percikan air
liurnya saja yang meluncur, membasahi wajah si
pelopor. Karena wajahnya tepat di hadapan Ki
Tambakyasa. Si pelapor tadi ingin mengusap wajah ba-
sahnya. Tapi hatinya merasa tak enak. Walaupun
agak jijik, dibiarkannya percikan liur yang membasahi wajah.
Hening. Para tukang pukul tak ada yang bersuara.
"Jaswadi! Apa kau punya dugaan, siapa kira-kira si pembunuh?" buka Ki
Tambakyasa, merampas
keheningan. "Dugaan saya, si pembunuh memiliki ke-
pandaian tinggi. Buktinya dalam waktu hampir
bersamaan, dia bisa berada di dua tempat," duga lelaki bernama Jaswadi.
"Apa tak mungkin kalau pembunuhnya dua
orang?" sela Pandu.
"Bisa jadi begitu, Tuan Muda," sahut Jaswadi. "Kau benar, Anakku. Aku yakin
pembu- nuhnya dua orang. Karena mereka masing-masing
jelas mengemban niat yang berbeda. Satu orang
pembunuh jelas memusuhiku dengan mele-
nyapkan enam orang anak buahku. Pembunuh sa-
tunya paling tidak punya niatan lain. Karena ku-
dengar, dua pemuda yang tewas terhisap sari pa-
tinya hingga tandas. Sedangkan enam anak bua-
hku mati dengan luka-luka mengerikan pada ba-
gian perut," papar Ki Tambakyasa. Rupanya lelaki tua ini telah mendengar adanya
pembunuhan dua pemuda. Sehingga ketika dilapori, amarahnya
memuncak. Semua orang yang berada di tempat ini
hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ki
Tambakyasa. Bisa jadi penjelasan Ki Tambakyasa
memang masuk akal. Tapi yang masih jadi tanda
tanya, siapa pembunuh itu" Kalau dua orang apa-
kah kedua-duanya wanita" Sebab diduga si pem-
bunuh dua pemuda bernama Saman dan Samin
adalah wanita. Belum ada yang mampu menjawab, Semu-
anya masih gelap.
"Kalau aku menduga bahwa si pembunuh
keenam anak buah kita adalah Lestari, bagaima-
na?" aju Pandu. Tenang sekali sikapnya.
Ki Tambakyasa sendiri yang terhenyak.
"Maksudmu, Lestari anak mendiang Ki Pa-
wit?" Ki Tambakyasa seperti kurang yakin.
"Ya!"
"Bukankah kabar yang selama ini terdengar
Lestari bunuh diri di jurang Lembah Setan" Kita
semua tahu, orang putus asa macam Lestari pasti
akan mengakhiri hidupnya di jurang itu," bantah Ki Tambakyasa.
"Itu kalau dia benar-benar bunuh diri. Ka-
lau tidak?" sergah Pandu.
"Kalau tidak pun, bagaimana bisa punya
kepandaian tinggi" Kabar tentang Lestari sampai
sebulan ini memang tidak pernah terdengar lagi.
Tapi aku tak percaya kalau dia mampu menyerap
ilmu-ilmu tingkat tinggi hanya dalam waktu sebu-
lan" Sebab kita tahu, Lestari adalah gadis yang tak memiliki dasar ilmu olah
kanuragan sedikit pun!"
Pandu terdiam. Benar juga kata ayahnya.
Tapi siapa si pembunuh itu" Tanyanya, membatin.
* * * Malam pun menggilas mayapada.
Seorang gadis cantik berkulit putih berjalan
gemulai di pinggir desa. Pakaiannya ketat warna
kuning. Kegelapan tak mengurungkan langkah
gemulainya. Wajah cantiknya tersiram sinar bulan bulat.
Senyumnya tak lepas dari bibir ranumnya. Tu-
buhnya berlekuk-lekuk indah, mengundang ha-
srat. Dari arah berlawanan berjalan seorang lela-ki tua berperawakan kekar.
Pakaiannya hitam-
hitam longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat
kepala kain berwarna hitam pula. Kedua kakinya
buntung, disambung dengan logam runcing. Siapa
lagi lelaki tua itu kalau bukan Ki Kusumo"
"Malam, Cah Ayu" Mau ke mana, malam-
malam begini?" tegur Ki Kusumo, ramah. Lang-
kahnya terhenti dua tombak di hadapan si gadis.
"Malam, Pak Tua. Aku mau ke Desa Jatia-
nom," sahut si gadis. Datar suaranya.
"Ada apa malam-malam ke Desa Jatianom,
Cah Ayu?" Mestinya, pertanyaan itu tak perlu meluncur dari bibir Ki Kusumo.
Sebab, apa haknya
ingin tahu urusan orang. Tapi didorong rasa kha-
watirnya terhadap si gadis yang jalan sendirian di malam buta begini, membuatnya
merasa untuk bertanya. Tanpa menyahut, si gadis melanjutkan
langkahnya. Agaknya, dia tersinggung dengan per-
tanyaan Ki Kusumo barusan. Dilewatinya lelaki itu tanpa menoleh sedikit pun.
Ki Kusumo hanya bisa tersenyum kecut.
Kedua bahunya terangkat. Lalu langkahnya kem-
bali bergerak. Namun baru beberapa tindak, lang-
kahnya terhenti,
"Sepertinya ada yang tak beres?" gumam-
nya. "Aku seperti mencium bau busuk yang begitu menyengat hidung."
Cepat, Ki Kusumo berbalik. Tercekat.
Si gadis berbaju kuning tadi telah lenyap.
Menurut perhitungan, kalau dia berjalan biasa,
pasti bayangan tubuhnya masih terlihat. Jadi, je-
las gadis itu memiliki kepandaian tinggi.
Kecurigaan Ki Kusumo makin menggumpal.
Ada apa malam-malam begini seorang gadis berke-
liaran" Begitu tanya hatinya. Dan mencium bau
busuk yang ditinggalkan, rasanya ada sesuatu
yang hendak dikerjakan si gadis. Sesuatu yang bi-
sa jadi mengundang malapetaka. Sebab kalau dia
orang baik-baik, tak perlu tersinggung dengan ka-
ta-kataku tadi, lanjut batin Ki Kusumo.
"Ah, sebaiknya kuikuti arah perjalanannya
dari atas," gumamnya lagi.
Lewat satu sentakan kaki logamnya, Ki Ku-
sumo melesat ke atas. Di puncak sebuah pohon
besar, dia mendarat. Ringan sekali. Rupanya, setelah kakinya diganti dengan
logam runcing, Ki Ku-
sumo sering melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Setidaknya, agar kaki logamnya terbiasa saat di-
ajak mendarat di sebuah ranting pohon.
Di atas pohon, Ki Kusumo melesat ke arah
perginya gadis tadi. Dari satu pohon ke pohon lain dia berlompatan. Begitu
ringan, seperti seekor tu-pai yang bermain-main di atas pohon.
Tepat di ujung Desa Jatianom, Ki Kusumo
menghentikan lesatannya. Sampai sejauh ini mata
kelabunya tak menangkap satu bayangan setitik
pun. Tapi di kejap kemudian....
"Aaaa...!"
Ki Kusumo tercekat. Mata kelabunya lang-
sung diarahkan ke tengah sebuah ladang sing-
kong. Di situ, terdapat sebuah dangau kecil. Dari sanalah suara jeritan tadi
memangkas udara....
* * * Ada keramaian di rumah Ki Tambakyasa.
Malam ini Pandu telah melangsungkan pes-
ta perkawinannya dengan gadis putri juragan pa-
lawija dari desa tetangga. Sejak petang tadi, para tamu telah memenuhi rumah
besar itu. Di perten-gahan malam, para tamu mulai berkurang. Dan di
ujung malam, hanya tamu-tamu yang berasal dari
jauh saja yang masih ada. Sebab, mereka jelas
akan menginap di rumah Ki Tambakyasa, yang
saat ini menjabat kepala desa.
Walaupun kemarin terjadi kegemparan ka-
rena enam anak buahnya tewas mengenaskan, ta-
pi Ki Tambakyasa seolah untuk sementara hendak
melupakan peristiwa itu. Dia tak ingin kebaha-
giaan anak satu-satunya terusik. Menurutnya, as-
al penjagaan diperketat kejadian kemarin sulit
akan terulang. Benarkah demikian"
Seketat-ketatnya penjagaan di rumah Ki
Tambakyasa ternyata ada bagian yang masih bisa
ditembus. Buktinya, satu sosok bayangan kuning
leluasa melompat dari satu pohon ke atap rumah
Ki Tambakyasa. Mengendap-endap, si bayangan
kuning berjalan ke arah kamar Pandu yang telah
berubah menjadi kamar pengantin.
Tepat di atap kamar Pandu, si bayangan
kuning menghentikan langkahnya. Sejenak ma-
tanya menghujam ke bawah. Ada dua penjaga di
sana. Ringan, si bayangan kuning melompat.
Jleg! Tepat di belakang dua penjaga, si bayangan
kuning mendarat. Dan sebelum dua penjaga itu
menoleh, kedua tangannya langsung mencengke-
ram leher dua penjaga itu dari belakang.
Crass! Crass! Tak ada. Tak ada teriakan yang terdengar
mengusik keheningan. Mengusik para penghuni
tiap-tiap kamar yang tengah berlindung di balik
selimut dari hawa dingin. Yang jelas, tahu-tahu sa-ja kedua penjaga itu ambruk
dengan leher koyak
nyaris putus. Terjilat sinar rembulan penuh, wajah
bayangan itu terlihat amat cantik. Berpakaian
kuning ketat. Rambutnya panjang, berkilatan te-
rusap sinar rembulan. Namun di balik wajah, ter-
simpan sebuah dendam.
Dengan pandangan nyalang, kini bayangan
kuning milik seorang gadis itu menuju ke jendela
kamar Pandu. Gemulai, langkahnya makin dekat
ke jendela. Wajahnya begitu dingin, seolah tak ada lagi sifat-sifat rasa
kemanusiaan di sana.


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tok! Tokk! Dua ketukan terdengar, mengusik sebuah
keasyikan yang terbangun di dalam kamar. Pun-
cak kenikmatan pun pupus sudah. Yang ada kini
rasa kejengkelan, karena suara ketukan telah me-
rampas kenikmatan dua manusia berlainan jenis
yang tengah bergumul di atas ranjang.
"Setan keparat!" terdengar bentakan dari dalam kamar. "Jontor! Bawor! Kenapa
kalian men-gusikku, hah"!"
Tok! Tok! Sahutan yang terdengar dari luar malah su-
ara ketukan kembali. Suaranya malah lebih keras.
"Bedebah! Kalian akan kupecat, tahu"!"
Terdengar bentakan lagi dari dalam. Menyusul
kemudian, suara langkah terseret ke arah jendela.
Kasar, jendela pun dibuka.
Baru saja kepala orang yang membentak
melongok, sebuah tangan berkuku panjang telah
mencengkeram lehernya dari bawah jendela.
Creppp! "Apa kabarmu, Pandu.... Kau lupa pada-
ku...?" desis si gadis yang bersembunyi di bawah jendela.
Biji mata Pandu yang nyaris keluar karena
tercekik memperhatikan wajah si gadis di depan
jendela kamarnya.
"Les..., Lestari..." Ka..., kau masih hidup?"
Gagap Pandu, susah payah. Sulit rasanya untuk
bernapas. "Siapa bilang aku sudah mati, Pandu" Aku
belum mati. Dan aku harus menuntut tanggung
jawabmu. Benih cinta kasih kita telah menjadi ja-
nin dalam kandunganku. Sayang, janin itu telah
mati. Rupanya, si janin lebih suka untuk tidak
menjadi bayi yang tanpa ayah. Karena, sang Ayah
hanyalah seorang lelaki pengecut! Lelaki perusak
wanita!" desis si pemuda.
Dialah Lestari. Putri mendiang Ki Pawit
yang sebulan lalu hendak bunuh diri, namun dis-
elamatkan Nini Manten. Tokoh silat wanita itu me-
rawat Lestari, setelah kandungannya keguguran.
Berkat bimbingan Nini Manten pula kini Lestari telah berubah menjadi wanita
perkasa. Wanita yang
memiliki kepandaian tinggi, walau hanya digem-
bleng dalam waktu sebulan
Sewajarnya, memang tak mungkin rasanya
menggembleng seseorang dengan ilmu tinggi hanya
dalam waktu satu bulan. Mustahil rasanya bila
Lestari yang dulu dikenal sebagai gadis yang tak
memiliki kepandaian apa-apa, tiba-tiba menjadi
gadis yang digdaya.
Tapi, itulah Nini Manten.
Datuk silat wanita yang telah lama tengge-
lam dari gonjang-ganjing dunia persilatan itu memang bisa mengendalikan orang
dari jarak jauh.
Lewat mata batinnya, Nini Manten mampu meng-
gerakkan seluruh bagian tubuh Lestari, hingga bi-
sa memperagakan jurus-jurus silat. Sementara, ja-
lan pikiran si gadis tetap dikendalikan oleh Lestari sendiri.
"Am.., ampuni aku Lestari.... Ak..., aku...!"
"Tolong.... Tolong...!" Wanita yang ada di kamar Pandu segera menjerit begitu
bisa menguasai keadaan. Dialah istri Pandu yang baru dinikahi tadi siang. Semula
hatinya begitu tercekat melihat apa yang terjadi. Dan begitu bisa menguasai
keadaan, kesadarannya pun timbul untuk meminta
bantuan. Tapi terlambat.
Baru saja gema suara teriakan itu lenyap,
Lestari telah membetot leher Pandu amat kuat.
Crass...! Sia-sia Pandu bertahan. Memang dia mem-
punyai kepandaian lumayan. Tapi menghadapi
Lestari, sama saja dia menghadapi Nini Manten.
Biarpun Pandu mengerahkan tenaga dalam untuk
melepaskan diri, tetap saja tak mampu berbuat
banyak. Begitu Lestari melepaskan cengkeraman-
nya, Pandu ambruk bersimbah darah di atas lu-
bang jendela kamarnya. Sebentar berkelojotan, la-
lu diam tak bergerak lagi. Mati.
Sementara, Lestari telah mencelat ke atas
atap. Dari situ, tubuhnya melayang ke arah pohon.
Hinggap sebentar, lalu kembali melayang ke pohon
lain, menjauhi tempat ini.
* * * Tiba di tempat kejadian, Ki Kusumo mene-
mukan satu sosok mayat terbujur di dalam dan-
gau. Tanpa pakaian, memperlihatkan keadaannya
yang mengeriput. Sepertinya, mayat lelaki ini terhisap sari patinya. Namun
ketajaman matanya
masih sempat menangkap satu sosok bayangan
kuning yang meninggalkan dangau tadi.
Tak ingin kehilangan buruan, Ki Kusumo
menyentak kakinya di atas tanah. Tubuhnya lang-
sung melesat mengejar. Tabib Sakti Pulau Dedemit
mengerahkan ilmu lari cepat dan ilmu meringan-
kan tubuhnya agar tak kehilangan buruan.
Kecurigaannya kini memang sudah terbuk-
ti. Ternyata, bayangan kuning milik gadis yang ditemuinya tadi telah membawa
petaka. Maka makin
bulat tekadnya untuk segera mengikuti. Bahkan
kalau bisa membekuk si bayangan kuning.
"Hmmm.... Bayangan itu menuju Bukit
Menjangan. Sampai sejauh ini kehadiranku tak di-
ketahuinya. Mau apa gadis itu ke sana" Tapi...,
bukankah di sana tempat tinggal Ki Ageng Wira-
krama" Apakah gadis itu anaknya" Atau, is-
trinya?" tanyanya, sambil terus mengerahkan segala kemampuannya.
Kini si bayangan kuning telah mulai men-
daki Bukit Menjangan. Gerakannya cepat luar bi-
asa. Nyaris Ki Kusumo tak mampu menandingi.
Untung saja, bau busuk yang menebar dari tubuh
bayangan kuning itu membimbingnya hingga tak
kehilangan jejak.
Sepeminum teh kemudian, si bayangan
kuning telah tiba di pelataran yang dipenuhi bebatuan bekas reruntuhan sebuah
candi. Tabib Sakti
Pulau Dedemit sendiri telah bersembunyi di atas
sebuah pohon, untuk memastikan kecurigaannya.
Mata kelabunya terus melekat erat pada si
bayangan kuning yang kini telah duduk bersila.
Kedua telapak tangannya menempel di depan da-
da. Kepalanya tertunduk.
Lalu.... Perlahan-lahan dari seluruh tubuh gadis
berpakaian kuning keluar asap putih tipis. Perla-
han namun pasti, asap berubah menebal, menge-
pung tubuh si gadis.
Alis jarang berwarna putih milik Ki Kusumo
bertautan, Dan ketika asap perlahan-lahan meng-
hilang.... "Nini Berek...?" gumamnya, berbisik.
TUJUH JANGAN ditanya bagaimana geramnya Ki
Tambakyasa ketika dikabari bahwa putranya te-
was. Lebih geram lagi ketika mendengar penuturan
istri Pandu kalau yang menyatroni kamar mereka
adalah seorang gadis yang mengaku bernama Les-
tari. Dia tak habis pikir, bahkan nyaris tak per-
caya kalau si pembunuh adalah Lestari. Habis, ba-
gaimana mungkin" Lestari dikenalnya sebagai ga-
dis lemah yang tak punya dasar-dasar ilmu olah
kanuragan. Lalu tiba-tiba muncul sebagai momok
yang menakutkan. Kalau Pandu saja dapat dibuat
tak berdaya secara mengenaskan, apa bukan mo-
mok menakutkan namanya"
Kini hati Ki Tambakyasa dihantui keresa-
han. Karena, bisa jadi Lestari akan menuntut ba-
las atas tewasnya Ki Pawit, ayahnya. Saat itu juga, dia memerintahkan para anak
buahnya untuk mencari Lestari.
Tapi, di manakah Lestari"
Tak ada yang tahu. Karena ketika saat itu
juga para anak buah Ki Tambakyasa memeriksa
rumah Ki Pawit sudah dalam keadaan kosong. Is-
trinya yang tinggal sendiri sudah beberapa hari ini pergi ke rumah salah seorang
saudaranya di kadipaten. Sementara, para penduduk Desa Jatianom
diam-diam merasa bersyukur atas kematian Pan-
du. Sebab bukan rahasia lagi kalau Pandu dikenal
sebagai pemuda pemetik bunga desa. Tak hanya
gadis desa yang jadi korbannya, bahkan para wa-
nita bersuami. Sampai sejauh itu, para penduduk hanya
bisa berdiam diri. Mereka takut dengan para tu-
kang pukul Ki Tambakyasa. Apalagi, waktu itu Ki
Pawit masih bersahabat dengan Ki Tambakyasa.
Sehingga bila penduduk yang anak gadis atau is-
trinya jadi korban Pandu melapor pada Ki Pawit,
tak akan menghasilkan apa-apa.
Sampai akhirnya, banyak gadis yang hamil
di luar nikah. Sehingga tak heran bila Desa Jatianom sering terjadi bencana
alam. Anehnya, benca-
na alam itu akan berhenti bila korban kemesuman
Pandu telah menyeburkan diri ke jurang di Lem-
bah Setan. * * * "Guoblok..., guoblok...!" Di dalam gubuk di Tanjung Karangbolong, Dongdongka
uring-uringan sendiri. Dia berjalan mondar-mandir. Dan bambu
tipisnya tak lupa diketuk-ketukkan di kepala gun-
dulnya. "Bukankah Cah Gendeng itu pernah bilang kalau telah dengan terpaksa
membunuh si jelek
Ageng Wirakrama. Pantas..., pantas. Karuan kalau
istri jelek si Ageng Wirakrama muncul di mimpiku.
Rupanya, dia menyangka kalau aku yang membu-
nuhnya.... Huh! Kenapa waktu itu aku tak ingat,
ya" Dan Cah Gendeng itu kubiarkan pergi sendiri
mencari si Kusumo...."
Di ujung kalimatnya, Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul melempar pantat teposnya ke balai
bambu. Kedua kakinya lantas diangkat, duduk
bersila. Kelopak mata berkeriputnya perlahan-
lahan mengatup.
Hening. Kecuali debur suara ombak di pantai sana.
Saling berkejar-kejaran mencapai bibir pantai. Angin dini hari mendengus-dengus,
menerbangkan butir-butir pasir putih kecoklatan.
Apa yang dilakukan Dongdongka di dalam
gubuk" Mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Itulah
cara Dongdongka menyusul Cah Gendeng-nya. Ka-
rena aji itu tak dibatasi ruang dan waktu, bukan
satu hal yang sulit bagi Dongdongka untuk mene-
mukan Satria Gendeng maupun Ki Kusumo.
* * * Bukit Menjangan pada dini hari.
Mata kelabu Ki Kusumo terus mengawasi
seorang perempuan tua berpakaian seperti jubah
warna kelabu. Wajahnya dipenuhi borok berlendir
berbau busuk. Tangan kanannya memegang tong-
kat berwarna putih.
Semula, Tabib Sakti Pulau Dedemit sulit
untuk mengerti, bagaimana mungkin seorang ga-
dis cantik berpakaian kuning, tahu-tahu telah be-
rubah menjadi perempuan tua jelek bernama Nini
Berek" Tapi ketika teringat bahwa Nini Berek ada-
lah sebangsa siluman, maka akal tuanya baru bisa
menerima. "Hi hi hi.... Sebentar lagi, Kakang Wirakra-
ma. Tepat di hari keempat puluh kematianmu, kau
akan bangkit lagi. Aku tinggal membutuhkan sari
pati dari dua orang pemuda lagi. Begitu kau ku-
gauli, maka kau akan bangkit untuk menuntaskan
dendammu.... Hi hi hi...," celoteh Nini Berek.
Pada saat yang sama, dari balik sebuah ba-
tu bekas reruntuhan candi muncul seorang pe-
rempuan tua lainnya. Pakaiannya kebaya lusuh
dengan tapih dari kain batik kusam. Rambutnya
panjang berwarna putih. Seperti Nini Berek, mulut si perempuan tua itu juga
terus mengunyah sirih.
Dialah Nini Rewang. Perempuan tua ketu-
runan siluman yang sekarang guru Nini
Jonggrang. "Bagaimana, Adikku" Kau dapat korban la-
gi?" sapa Nini Rewang, mendekati Nini Berek.
"Tentu, Mbakyu. Itu sebabnya, aku memin-
tamu datang ke sini menolongku untuk membang-
kitkan Kakang Ageng Wirakrama. Tanpa kekuatan
kita berdua, mustahil kita bisa membangkitkan
Kakang Ageng Wirakrama. Biarlah untuk sementa-
ra, aku bersusah-susah mencari korban pemuda,
dan kau menunggui makam suamiku," sahut Nini Berek. Di tempatnya, Ki Kusumo
menautkan kedua alis putih jarangnya. Jadi, Ki Ageng Wirakra-
ma telah tewas" Kata hatinya. Hmmm, kalau ku-
hubung-hubungkan dengan mimpi Panembahan
Dongdongka, berarti yang membunuhnya pasti Sa-
tria. Tak mungkin kalau Dongdongka. Sebab, se-
lama Satria berada di luar, Dongdongka tak pergi
ke mana-mana. Perhatian Tabib Sakti Pulau Dedemit kem-
bali diarahkan pada Nini Berek dan Nini Rewang.
Rupanya mimpi Panembahan Dongdongka tepat,


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanjut batinnya. Di sini telah terjadi persekutuan para siluman. Dan mereka
hendak menuntaskan
dendam kepada Dongdongka atau Satria. Jadi,
kekhawatiranku pada Panembahan Dongdongka
waktu itu beralasan.
Perlahan-lahan, Ki Kusumo menghem-
buskan napas sesak. Ini tak bisa didiamkan. De-
sahnya. Apa yang harus kuperbuat" Rasanya ka-
lau menyerang mereka sekarang bukan saat yang
tepat. Artinya, aku harus menggunakan siasat.
Bangsa siluman sulit dikalahkan dengan ilmu-
ilmu silat. "Kapan kau akan mencari korban lagi?"
tanya Nini Rewang.
"Sehari sebelum kita melakukan upacara,"
sahut Nini Berek.
"Berarti, dua hari lagi?"
"Ya!"
"Apa semua sudah kau pikirkan masak-
masak?" aju Nini Rewang.
"Maksudmu?" Kening keriput Nini Berek
berkerut. "Walaupun kita bangsa siluman, tapi tetap
punya kelemahan. Kau tahu bukan, kelemahan ki-
ta?" Nini Berek mengangguk.
"Sebab kalau itu sampai terjadi, utusan Ra-
tu Laut Selatan akan mengambil dan memenjara-
kan kita," sambung Nini Rewang.
Di tempat persembunyiannya, Ki Kusumo
kembali tersentak. Kini dia mulai mengerti, siapa kedua siluman itu. Rupanya,
mereka masih terhi-tung warga Laut Selatan.
Hmmm, rasanya aku harus menemui Pa-
nembahan Dongdongka lebih dahulu. Mungkin dia
tahu kelemahan apa yang dimiliki kedua siluman
ini. Begitu putus hati Ki Kusumo. Lalu tanpa ber-
suara sedikit pun dia melesat meninggalkan tem-
pat ini. * * * Pagi merekah di Desa Jatianom.
Seorang pemuda tampan berjalan tegap
memasuki mulut desa. Pakaiannya rompi putih
dari kulit binatang. Celananya pangsi sebatas lu-
tut. Rambutnya panjang melebihi bahu berwarna
kemerahan. Wajahnya bergaris rahang jantan. Ma-
ta sembilunya begitu cerah, secerah pagi ini. Di
pinggangnya terselip sebuah tongkat pendek.
Ujungnya berbentuk kepala ular naga. Sedang
ujung yang satu lagi berbentuk ekor naga. Siapa
dia" Satria namanya.
Tokoh muda sakti yang mulai mengisi gon-
jang-ganjing dunia persilatan. Dalam pencariannya terhadap Ki Kusumo, tanpa
terasa langkah si pemuda perkasa telah tiba di desa ini.
Belum jauh Satria Gendeng memasuki mu-
lut desa, dari arah berlawanan terlihat beberapa
orang tengah mengusung keranda. Si pemuda me-
nepi, lalu berhenti. Paling tidak, dia ingin ikut memberi hormat pada para
pengantar jenazah.
"Hmm, ada yang mati. Kenapa matinya, ya"
Ah, pasti karena sudah tak punya napas lagi," gumamnya, perlahan.
Rombongan pengusung jenazah melewati
Satria. Sebagian orang melirik si pemuda dengan
pandangan curiga. Sebagian lagi seperti tak peduli, tapi dengan wajah tersaput
rasa takut luar biasa.
Satria tak peduli. Tapi baru saja akan me-
langkah lagi, dari arah yang sama muncul rom-
bongan orang yang juga tengah mengusung keran-
da. Kening si pemuda berkerut.
"Apa di sini ada wabah penyakit?" tanyanya, tak mengerti.
Masih belum beranjak, mata sembilu Satria
terus tertuju pada rombongan pengusung jenazah
yang akan melewatinya. Dan Satria melihat ada
perbedaan dengan para pengusung jenazah sebe-
lumnya. Bila para pengusung jenazah pertama ke-
lihatannya adalah orang-orang biasa, maka para
pengusung jenazah kedua seperti dari kalangan
persilatan. Berjalan paling belakang di antara para pengusung jenazah adalah
seorang lelaki tua berpakaian baju sutera putih berhiaskan renda-renda
keemasan pada pinggirannya juga celananya leng-
kap dengan blangkon.
Begitu melewati Satria, lelaki tua bersurjan
menatap Satria. Tatapannya terlihat dingin seperti menyimpan rasa dendam. Si
pemuda bisa merasa-kannya.
Tak ingin mengusik, Satria melanjutkan
langkahnya. Tapi hatinya masih bertanya-tanya,
ada apa dengan desa ini. Para penduduknya pun
hanya satu-dua yang terlihat. Sepertinya tak ada
denyut kehidupan di sini.
Penasaran, Satria Gendeng mendekati se-
buah rumah yang kebetulan di halaman ada seo-
rang lelaki tua tengah mencabuti singkong. Lang-
kah tegapnya pun menghentak.
"Selamat pagi, Pak Tua?" sapa Satria, ra-
mah. "Selamat pagi, Anak Muda. Ada yang bisa saya bantu?" sahut lelaki tua kurus
itu. "Oh, tidak, Pak Tua. Aku cuma mau ber-
tanya. Siapa yang meninggal, Pak Tua?" tanya Satria. "Maksudmu, kedua jenazah
tadi?" "Benar."
"Kalau yang pertama lewat, namanya si
Marbun. Dia pemuda penduduk desa ini yang ker-
janya berburu. Tapi semalam, dia ditemukan tewas
secara mengerikan. Tubuhnya mengeriput seperti
kulitku. Padahal usianya baru sembilan belas ta-
hun. Kuat dugaan, sebelum mati dia melakukan
hubungan intim dengan seorang perempuan.
Mungkin perempuan itu yang membunuhnya," pa-
par si lelaki tua.
"Perempuan" Maksud Pak Tua, setelah me-
lakukan hubungan intim, perempuan itu membu-
nuhnya?" "Begitulah. Tapi herannya, tak ada luka se-
dikit pun di tubuhnya. Hanya ya, itu tadi. Tubuh-
nya mengeriput. Sepertinya, sari pati si Marbun
tersedot habis."
Kening Satria berkerut. Edan! Buas sekali
perempuan itu! Pasti dia tokoh sesat yang tengah
memperdalam ilmu hitam! Desis Satria dalam hati.
"Lantas usungan mayat kedua?" lanjutnya,
"Apakah sama dengan mayat pertama?"
"Nah, kalau yang ini lain. Mayat kedua itu si keparat Pandu. Dia putra satu-
satunya Ki Tambakyasa yang menjadi kepala desa ini."
"Keparat" Apa maksudnya, Pak Tua?" cecar Satria. "Pandu dikenal sebagai pemuda
pemetik bunga desa," jelas si tua kurus.
"Pemetik bunga" Masa' hanya pemetik bun-
ga dikatakan keparat?" tukas Satria lugu.
"Maksud saya, tukang main perempuan. Se-
tiap gadis cantik atau istri orang selalu diusiknya,"
jelas si lelaki tua.
"O.... Lalu, matinya kenapa?"
"Kabarnya, dibunuh oleh bekas kekasihnya.
Lestari, namanya. Yah, bisa jadi Pandu dibunuh.
Mungkin Lestari menuntut tanggung jawab, kare-
na telah dihamili oleh Pandu. Sama seperti gadis-
gadis desa ini. Mereka hamil, tapi Pandu menolak
tanggung jawab," urai si tua kurus.
Satria mendesah. Lirih. Ada sesuatu yang
mengganjal benaknya. Yakni, tentang kematian
pemuda desa bernama Marbun yang begitu aneh.
Soal kematian Pandu, dia tak begitu peduli. Ba-
ginya, itu masalah biasa. Artinya, Pandu memang
harus membayar segala perbuatannya yang ba-
nyak menyengsarakan orang banyak.
"Sudah berapa orang pemuda yang bernasib
seperti Marbun, Pak Tua?" cecar Satria.
"Kalau tak salah, sudah dua orang," jawab lelaki itu.
"Kalau kau mau, kau bisa bernasib seperti
pemuda itu...."
Sebuah suara terdengar. Satria dan si lelaki
tua tercekat. Dan begitu Satria menoleh....
* * * "Kakek Kusumo"!" ledak Satria.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
belakang Satria telah berdiri Ki Kusumo. Kehadi-
ran yang tanpa diketahui, sungguh membuat si
pemuda terkagum-kagum. Sebab, ternyata Ki Ku-
sumo telah terbiasa menggunakan kaki logamnya
pada saat mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya bagi lelaki kurus penduduk desa
ini, kehadiran Ki Kusumo yang begitu tiba-tiba,
sungguh membuatnya nyaris kencing di celana.
Degup jantungnya pun berpacu keras. Tubuhnya
gemetar. Bagaimana tidak" Kehadiran Ki Kusumo
bagaikan hantu saja. Amat mengagetkan.
"Tenang, Pak Tua. Jangan takut. Dia guru-
ku," ujar Satria, menenangkan.
"Eh, iii..., iya. Saya sudah tenang, kok," jawab si tua kurus.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Kusu-
mo, ramah. "B..., Biran," sahut si tua kurus. "Nah, Ki Biran. Bolehkah kami duduk-duduk di
rumahmu?" lanjut Tabib Sakti Pulau Dedemit. "Silakan..., silakan...."
Ki Biran segera mendahului, melangkah
menuju rumahnya. Saking gugupnya, singkong
yang tadi dicabutnya terlupa.
"Pak Tua! Singkongmu ketinggalan," ingat Satria. Ki Biran berhenti dan berbalik.
Tergopoh-gopoh, dihampirinya singkong di dekat kaki Satria.
Lalu, sama-sama mereka melangkah menuju ru-
mah Ki Biran. DELAPAN KI KUSUMO dan Satria Gendeng mendesah
geram setelah mendengar apa yang terjadi di Desa
Jatianom ini dari penuturan Ki Biran. Betapa para penduduk desa ini sangat
membutuhkan dewa pe-nolong yang sanggup menghentikan sepak terjang
Ki Tambakyasa. "Kami sudah menjadi orang-orang tertin-
das.... Belum juga bisa bebas dari penindasan itu, datang malapetaka dengan
terbunuhnya beberapa
pemuda desa. Seolah, malapetaka tak pernah pergi
dari desa ini," desah Ki Biran.
Di beranda rumah Ki Biran mereka berbin-
cang-bincang. Satu piring singkong rebus masa-
kan istri Ki Biran terhidang di atas meja. Sebe-
lumnya, Ki Kusumo juga telah bercerita apa yang
dilihatnya di Bukit Menjangan kepada Satria.
"Menurutmu, apakah kita perlu pulang dulu
ke Tanjung Karangbolong, Satria?" aju Ki Kusumo.
"Buat apa, Kek?" si pemuda malah balik
bertanya. "Aku khawatir terhadap Panembahan
Dongdongka," keluh Ki Kusumo.
"Slompret kau, Kusumo! Sudah kubilang,
kau jangan mengkhawatirkan aku terus menerus!"
Seperti memedi saja, tahu-tahu Dongdong-
ka telah berdiri di depan pintu rumah Ki Biran.
Muncul tiba-tiba! Satria pun tahu, guru gendeng-
nya saat ini tidak membawa wadagnya. Yang mun-
cul hanyalah badan halus di tua itu. Pendek kata, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul tengah mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Sementara, wadag ka-
sarnya ditinggal di Tanjung Karangbolong.
Tidak seperti Ki Kusumo dan Satria, maka
Ki Biran justru tercekat. Sraduk-sruduk, dia hen-
dak masuk ke dalam rumahnya. Saking kalutnya,
kakinya terpentok meja.
"Aduuuh...!" ratapnya.
Jangan ditanya, bagaimana takutnya lelaki
tua ini melihat kedatangan Dongdongka yang se-
perti memedi saja. Tahu-tahu muncul begitu saja,
membuat Ki Biran menduga kalau Dongdongka
memang memedi betulan. Memang bisa jadi kalau
melihat penampilan Dongdongka. Tubuh kurus
keringnya hanya mengenakan cawat untuk menu-
tupi bagian terlarangnya. Cawat terbuat dari kulit ular sanca. Kepalanya gundul.
Bila tertawa, hanya terlihat beberapa gigi yang sudah menghitam. Jadi, wajar
kalau Ki Biran ketakutan begitu.
"Ha ha ha.... Jangan takut, Ki. Dia guruku.
Kakek Dongdongka, namanya. Sudah jinak, kok,"
oceh Satria, geli sekali melihat wajah takut Ki Biran. Dongdongka manyun. Tak
ada yang bisa di-
perbuatnya untuk menjitak kepala murid gen-
dengnya. Masa dia dibilang sudah jinak" Dalam
kemunculannya yang seperti ini, mana mampu
Dongdongka berbuat banyak, selain manyun"
"Lihat.... Tunggu saja nanti kalau pulang ke
Tanjung Karangbolong. Akan kuhukum kau"!"
semprot Dongdongka. Lalu perhatiannya ditujukan
pada Ki Kusumo. "Kusumo! Akhirnya kau kute-
mukan di sini."
"Atas restu Panembahan, aku bisa bertemu
Satria. Mari duduk di sini, Panembahan," kata Ki Kusumo.
"Tidak! Aku mau di sini saja," tolak Dongdongka.
"Ada apa Kakek menyusul kemari?" sela Satria. "Kakek mengkhawatirkan kami, ya?"
"Siapa bilang" Aku cuma mau bilang, kalian
harus hati-hati terhadap Nini Berek dan Nini Re-
wang. Para nenek jelek itu sukar ditaklukkan. Aku sendiri saja mungkin tak
sanggup menghada-pinya." "Oh, ya Panembahan. Semalam aku mengintip Nini Berek di
Bukit Menjangan," letus Ki Kusumo. "Edan kau, Kusumo. Tua-tua masih saja
tukang intip. Bagaimana" Mulus kulit perempuan
jelek itu?" Salah tangkap rupanya Dongdongka.
"Maksudku, mengintai perbuatan Nini Be-
rek," ralat Ki Kusumo.
"Wah, makin seru saja! Apa dia sedang ber-


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buat mesum lagi?" Makin tak karuan kata-kata Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di
kepalanya kontan muncul bayangan mesum. "He he he....
Bagaimana bentuknya kalau nenek jelek itu se-
dang telanjang" Menggemaskan kali, ya?"
"Kek! Kakek Kusumo sedang bicara sung-
guh-sungguh!" celetuk Satria. Tak tega dia melihat
Ki Kusumo tersenyum kecut dengan kepala meng-
geleng perlahan.
"Siapa bilang aku tak sungguh-sungguh"
Kau kira aku sedang bercanda, Cah!" Mata tua Dongdongka mendelik. "Asal kau tahu
saja, saat ini Nini Berek sedang berkeliaran mencari tumbal, menghisapi sari
pati pemuda untuk membangkitkan mayat suaminya. Kalau tak salah na-
manya...."
"Ki Ageng Wirakrama," Ki Kusumo yang
menjawab. "Ya, benar. Si Gareng Tak Keramas," kembali Dongdongka salah dengar. Tapi mana
mau dia peduli. Setiap kata yang sudah keluar, haram ba-
ginya ditarik lagi.
"Panembahan tahu dari mana" Aku juga
mau menjelaskan begitu," tanya Ki Kusumo.
"Semalam aku bermimpi begitu. Makanya
aku menyusul, hingga sampai ke tempat ini!"
Kini Ki Kusumo mengerti, apa yang terjadi
terhadap Desa Jatianom. Itu tak lain dari ulah Nini Berek. Waktu dia bertemu
dengan gadis berpakaian kuning di pinggiran desa, Tabib Sakti Pulau Dedemit
sudah curiga. Dan ketika mengikuti, ternyata Ki Kusumo terlambat. Nini Berek
telah men- dapatkan korban lagi.
"Seperti mimpi Panembahan, di Bukit Men-
jangan memang kulihat ada Nini Rewang. Rupanya
mereka benar bersekutu, untuk menuntaskan
dendam terhadap Panembahan dan Satria. Ru-
panya, kekhawatiranku terhadap Panembahan be-
ralasan," papar Ki Kusumo.
"Sudah kubilang, kau tak usah khawatir
terhadapku, Kusumo! Justru kita harus khawatir
terhadap Cah Gendeng kita!" Dongdongka melirik Satria. Lalu tiba-tiba bibirnya
tersenyum geli. "Kusumo! Apa kau bisa bayangkan kalau Cah Gen-
deng kita ditaksir nenek jelek itu" Tak bisa ku-
bayangkan, pasti Cah Gendeng kita bakal terkenc-
ing-kencing. He he he...," kekeh Dongdongka.
"Ya, aku pun mengkhawatirkannya," desah Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Aku tadi juga bilang begitu, Kusumo!"
Satria Gendeng yang jadi pusat pembica-
raan malah terbengong-bengong sendiri. Mata
sembilunya berpindah-pindah. Dari wajah Dong-
dongka ke wajah Ki Kusumo. Edan! Kenapa kedua
guruku malah begitu gelisah mengkhawatirkanku"
Mereka pikir aku takut" Rutuk si pemuda perkasa
dalam hati. Biar mereka keturunan Gendruwo,
kek. Setan belang, kek. Aku tak takut! Tandasnya.
Dan selagi Satria hendak menanyakan.
mengapa dirinya begitu dikhawatirkan.... "Aaaa...!"
Sebuah teriakan menerabas udara. Na-
danya menyiratkan kematian yang terbangun di
satu tempat. Ada apakah..." Pertanyaan itu terbe-
tik begitu saja di benak Satria....
* * * Sebuah pertarungan seru terbangun di se-
buah pemakaman, pinggiran Desa Jatianom. Pela-
kunya, seorang gadis cantik berpakaian kuning
dengan beberapa lelaki bertampang kasar. Bebera-
pa mayat lelaki kasar lain telah tergolek tumpang tindih dalam keadaan
menyedihkan. Rata-rata perut mereka robek. Menumpahkan darah serta isi
perut yang terburai.
"Mampus kau, Gadis Jalang!"
Wukh! Satu babatan golok dibuat salah seorang le-
laki. Tak bisa dianggap sembarangan, karena si lelaki telah mengiringinya dengan
pengerahan tena-
ga dalam. Buktinya, suara sabetannya menderu
tajam saat memangkas udara.
Dua jari lagi golok menemui sasaran, si ga-
dis baju kuning malah menghadangnya dengan
cengkeraman telapak tangan.
Tap! Golok tertangkap. Padahal, mata golok begi-
tu tajam berkilatan saat terjilat sinar matahari
siang ini. Bahkan pemiliknya juga menyertai den-
gan tenaga dalam.
Tapi sekali pluntir....
Tak! Golok patah jadi dua bagian. Si pemilik go-
lok melotot tak percaya. Dan sebelum dia bertin-
dak sesuatu, lawan telah menghujamkan tangan
kanan berkuku panjangnya ke perut.
Bress...! Breeett...!
Begitu menembus perut, tangan si gadis
membetot jeroan lawan. Tanpa ampun, isi perut le-
laki itu ikut keluar! Dan hanya sekali hantaman
tangan kiri yang masih memegang potongan golok,
si gadis telah membuat lawan terjengkang bersim-
bah darah. Sebentar meregang nyawa, lalu mati
penuh derita. "Siapa lagi yang menghalangiku membunuh
si keparat Tambakyasa, maju!" desis si gadis cantik. Wajahnya tetap dingin,
seolah tak merasa berdosa membantai secara keji begitu.
Tiga lelaki kasar yang memang anak buah
Ki Tambakyasa tersurut mundur. Sedangkan Ki
Tambakyasa sendiri sudah sejak tadi mengendap-
endap, melarikan diri. Hanya karena hadangan
anak buahnya saja pada gadis itu yang membuat
Ki Tambakyasa selamat. Kalau tidak, sudah sejak
tadi nyawanya melayang ke neraka.
Si gadis cantik yang tak lain Lestari maju
selangkah demi selangkah. Dibuangnya mata golok
yang ada di tangan kiri, serta bagian jeroan lelaki malang tadi yang ada di
tangan kanan. Matanya
tak lagi indah seperti dulu, tapi kosong seperti menyimpan hawa membunuh.
Sementara, keberanian tiga lelaki ini sudah
terdepak entah ke mana. Semula, mereka begitu
garang dan ganas. Saat itu mereka baru saja sele-
sai menguburkan mayat Pandu. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu muncul seorang gadis cantik
berpakaian kuning.
Karena belum tahu siapa Lestari sesung-
guhnya, para tukang pukul Ki Tambakyasa men-
ganggapnya bukan ancaman. Sedangkan Ki Tam-
bakyasa sendiri mesti dibalur keterkejutan, tetap tenang-tenang saja. Karena dia
pikir, sepuluh anak buahnya sudah cukup untuk menandingi Lestari.
Tapi apa yang terjadi"
Hanya beberapa gebrakan, dua orang tu-
kang pukulnya sudah terjengkang tanpa nyawa.
Perut mereka robek, dengan isi terburai keluar.
Melihat hal ini, tentu saja Ki Tambakyasa merasa
cemas. Maka diam-diam ditinggalkannya tempat
ini selagi Lestari bertarung.
Lestari sempat mengejar. Tapi hadangan pa-
ra anak buah Ki Tambakyasa memang menyu-
litkan gerakannya. Mau tak mau, kedua tangan
berkuku panjangnya pun menelan korban lagi.
Hingga tanpa terasa, sudah tujuh orang yang dija-
tuhkannya. "Huh! Mana kegarangan kalian tadi"!" ejek Lestari, mencibir.
Ketiga tukang pukul itu tercekat. Keringat
dingin semakin membasahi tubuh mereka. Dalam
pandangan mereka, Lestari tak ubahnya sosok
malaikat maut yang datang untuk mencabut nya-
wa-nyawa busuk mereka.
"Ma..., maafkan kami, Nona. Ka..., kami
hanya menjalankan tugas?" gagap salah seorang lelaki kasar itu. Jangan ditanya,
bagaimana kini wajahnya. Pucat, seolah darah tak mau mengalir.
"Menjalankan tugas" Apakah membunuh Ki
Pawit juga bagian dari tugas kalian! Ayo, jawab!"
"Be..., benar, Nona. Tapi kami hanya orang
suruhan...."
"Kalau begitu, kalian wajib mati. Ki Pawit
yang kalian bunuh itu adalah ayahku!" Lestari siap menggebrak. Tapi....
"Tahan!"
* * * Betapa terkejutnya Ki Tambakyasa begitu
tiba di rumahnya. Karena di halaman rumahnya
yang ditemuinya hanya mayat-mayat para tukang
pukulnya yang tergolek tak karuan. Sedangkan
sanak keluarganya, termasuk istrinya pergi entah
ke mana. Dia sudah berkeliling-keliling rumah, ta-pi tak menemukan apa-apa.
Di halaman, kini kepala desa itu celingu-
kan. Dia ingin berteriak meminta bantuan para te-
tangganya, tapi malu hati. Entah bagaimana, tiba-
tiba sebuah kesadaran muncul dalam benaknya.
Betapa selama ini dia telah banyak menyakiti para tetangganya. Dan kini, lelaki
tua itu bagai anak
ayam kehilangan induk. Tak tahu harus meminta
bantuan siapa. Kini baru disadari, betapa ting-
ginya nilai sebuah persaudaraan.
Diam-diam dia menyesali, kenapa dulu be-
gitu angkuh terhadap para tetangga. Bahkan me-
nyakitinya dengan merampas harta serta hak milik
orang lain. Dan dia yakin, para tetangganya men-
getahui kejadian di rumahnya. Hanya saja, mereka
tak mau menolong. Pendeknya, bersikap tak pedu-
li. Buktinya, para tetangganya hanya menatapnya
dari kejauhan dengan wajah seolah seperti mener-
tawakannya. Sebelum Ki Tambakyasa melangkah hendak
masuk ke dalam rumahnya lagi....
"Hi hi hi.... Siapa yang kau cari, Pengecut"!"
Ki Tambakyasa terhenyak. Sigap, dia berba-
lik. Kini di depan lelaki itu berdiri seorang pe-
rempuan tua. Pakaiannya kebaya kusam dengan
tapih kain batik yang telah compang-camping. Tu-
suk konde pada gelungan rambutnya terbuat dari
tulang manusia.
Siapa perempuan tua ini" Tanya hati Ki
Tambakyasa. Dia berusaha menenangkan hatinya
yang mulai kisruh. Matanya memandangi dari atas
hingga kaki si perempuan tua.
"Siapa kau, Perempuan Tua"! Hmmm...,
jangan-jangan kau yang mengadakan pembantaian
di halaman rumahku"! Sekarang katakan, di mana
istri dan sanak keluargaku"!" bentaknya, berusaha mengusir rasa takutnya.
"Kau menanyakan aku" Aku Nini Manten.
Lestari telah cerita banyak tentang penderitaan-
nya. Nah, kupikir inilah saat yang tepat aku me-
nuntaskan dendamnya. Aku datang ke sini, kau
tak ada. Dan justru para tukang pukulmu me-
nyambutku dengan permusuhan. Ya, terpaksa aku
melenyapkan mereka. Dan tentang sanak sauda-
ramu, istrimu, dan mantumu, mereka kusuruh
pergi kalau tak ingin jadi mayat. Aku sendiri tak tahu, ke mana mereka pergi,"
jelas Nini Manten, lugas. Setidaknya, Ki Tambakyasa bisa menarik
napas lega. Karena Nini Manten ternyata bukan
orang kejam seperti yang dibayangkan. Dia men-
duga paling-paling sanak saudara, istri, serta man-tu perempuannya pergi ke
Kadipaten Wadaslin-
tang, rumah adik kandung istrinya. Tapi bagaima-
na dengan dirinya sendiri"
"Ja..., jadi kau Guru Lestari?" gagap Ki Tambakyasa. Dia mulai bisa mengerti,
mengapa Lestari kini telah berubah menjadi gadis yang tak bisa dianggap remeh. Juga,
menduga apa maksud
kedatangan Nini Manten ke tempat ini.
"Ya! Kenapa" Kau takut?" leceh Nini Manten, Ki Tambakyasa tak menjawab. Sebagai
lelaki, gengsi rasanya untuk mengucapkan kata takut.
Apalagi, dia belum menjajal, setinggi apa ilmu Nini Manten. Apakah begitu tinggi
seperti apa yang
pernah didengarnya dulu" Sebab sebagai orang
yang pernah belajar silat, Ki Tambakyasa pernah
mendengar dari gurunya tentang tokoh silat wani-
ta bernama Manten Sakawerti. Apakah benar dia
orangnya" "Kau bermaksud hendak menuntut balas"
Apa yang kulakukan, Nini Manten?" kilah Ki Tambakyasa, pura-pura. Sekalian
mengulur-ulur wak-
tu. Yah, siapa tahu punya kesempatan melarikan
diri. "Jangan mungkir, Kadal Buduk! Anakmu
telah menghamili Lestari. Karena tak bertanggung
jawab. Lestari putus asa, lalu hendak bunuh diri.
Tapi aku bisa menolongnya. Dan kau juga telah
membunuh Ki Pawit, ayah Lestari. Juga, kau telah
membuat penduduk desa ini menderita akibat
perbuatanmu sebagai lintah darat! Ayo, ngaku!"
cecar Nini Manten. Saking semangatnya, air liur-
nya sampai bermuncratan ke wajah Ki Tambakya-
sa. Ki Tambakyasa hendak mengusap mu-
kanya. Tapi....
"Jangan dihapus!" bentak Nini Manten,
membuat gerakan tangan Ki Tambakyasa terhenti.
"Ludah saja belum cukup untuk membayar kebe-
jatanmu, tahu"!"
Panas hati Ki Tambakyasa. Tanpa tedeng al-
ing-aling, dicabutnya keris di balik pakaian sur-
jannya. Sratt...!
"Kau pikir aku takut padamu, Nenek Bu-
suk! Makan keris pusakaku! Chiaaat...!"


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wutt...! "Keras kepala. Disuruh mengaku malah me-
lawan! Hih!"
Satu jari lagi mata keris lekuk tujuh Ki
Tambakyasa membeset leher keriput si nenek, si
calon korban menarik tubuhnya ke belakang. Te-
pat ketika sambaran keris lewat, Nini Manten me-
nyampok tangan yang memegang keris.
Pak! Keris terpental. Tangan Ki Tambakyasa yang
memegang keris terdongkel ke atas. Cepat, Nini
Manten maju selangkah secara menyamping.
Sambil bergerak begitu, sikut kirinya langsung
menohok iga Ki Tambakyasa. Buk!
Lelaki tua telengas itu terjajar mundur. Mu-
lut keriputnya meringis, menahan nyeri luar biasa pada iganya. Dan sebelum dia
berbuat sesuatu,
Nini Manten melompat sambil mencincing kain ba-
tik compang-campingnya. Kaki kurus keriputnya
pun terjulur. Dan.... Desss...! Telak, telapak kaki tak terurus milik Nini
Manten bersarang di dada Ki Tambakyasa. Tubuh
lelaki itu terjengkang ke belakang sampai sepuluh
tombak, mendekati pintu halaman.
Memang tak ada perlawanan berarti dari le-
laki tua itu. Hanya karena tabiatnya yang pongah, sehingga tak ada kata menyerah
yang meluncur dari bibirnya. Padahal, kepandaiannya masih terla-lu jauh bila dibanding Nini
Manten. Dalam melancarkan serangan pun. Nini
Manten sebenarnya tak banyak mengerahkan te-
naga dalam. Dia telah cukup pengalaman untuk
mengukur, sampai di mana kepandaian lawan.
Sementara para penduduk yang menonton
dari kejauhan, mulai berani mendekat sampai ke
pintu halaman. Dan begitu melihat Ki Tambakyasa
jatuh, tanpa ada yang menyuruh mereka berham-
buran menghampiri sambil membawa senjata apa
saja yang ditemui. Dengan batu, kayu, bambu,
atau apa saja, mereka langsung menghantami tu-
buh Ki Tambakyasa yang belum sempat bangkit.
Nini Manten sendiri tak ingin mencegah. Dia mera-
sa, itu bayaran setimpal atas perbuatan Ki Pawit
selama ini. "Mampus, kau lintah darah! Ini balasan dari
harta kami yang kau rampas!" rutuk salah seorang penduduk, geram.
"Ini untuk anak perawanku yang dihamili
anakmu, Setan!" maki seorang perempuan setengah baya, langsung mengepruk kepala
Ki Tamba- kyasa dengan bambu.
Segenap kemarahan, kebencian, rasa kece-
wa, dendam, terlampiaskan di tempat itu. Sebuah
pemandangan mengerikan tercipta. Tanpa bisa
melawan, tubuh Ki Tambakyasa remuk redam di-
hantami para penduduk yang selama ini jadi kor-
bannya. Nini Manten tak ingin tersihir oleh peman-
dangan di depannya. Karena tiba-tiba, perasaan-
nya jadi tak enak begitu mengingat Lestari.
"Eh, ada apa dengan Lestari, ya" Menurut
mata batinku, dia tengah berhadapan dengan to-
koh-tokoh sakti. Ah, aku harus menyusulnya. Tadi
dia kulihat sedang bertarung di pemakaman, me-
lawan para tukang pukul Ki Tambakyasa. Tapi,
kenapa sekarang bertarung dengan orang lain"
Wah, gawat! Aku harus cepat ke sana!"
SEMBILAN SEBUAH pertarungan kembali tercipta di
pemakaman. Kali ini Lestari berhadapan dengan
seorang pemuda berpakaian rompi putih keabu-
abuan dari kulit binatang. Bercelana pangsi seba-
tas lutut. Berambut panjang melebihi bahu ber-
warna kemerahan. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan pendekar perkasa bernama Satria"
Ketika Lestari hendak menghabisi tiga tu-
kang pukul Ki Tambakyasa, Satria Gendeng, Ki
Kusumo, dan Dongdongka keburu datang. Begitu
melihat Lestari, Tabib Sakti Pulau Dedemit lang-
sung teringat pada gadis berpakaian kuning pen-
jelmaan Nini Berek yang diduga sebagai pembu-
nuh para pemuda desa. Merasa yakin dengan du-
gaannya, Ki Kusumo langsung bilang pada Satria
Gendeng. Tapi, sebenarnya Ki Kusumo dan Satria
agak ragu-ragu juga. Karena bila melihat para korban yang bergelimpangan di
sekitar makam, sung-
guh sangat berbeda dengan apa yang pernah terja-
di. Yakni, dengan tubuh mengeriput dan dalam
keadaan tanpa benang sehelai pun. Sedangkan
mayat-mayat di sekitar makan tak satu pun yang
tubuhnya mengeriput.
Hanya saja, tak mungkin Satria membiar-
kan adanya pembantaian yang begitu keji. Naluri
kependekarannya terpanggil untuk segera meng-
hentikan sepak terjang si gadis berbaju kuning.
Lestari sendiri menyangka kalau Satria ada-
lah salah satu kaki tangan Ki Tambakyasa. Du-
gaan itu timbul, karena si pemuda berani mengha-
langi niatnya. "Aku tak menyangka, ternyata ada gadis
yang kejamnya minta ampun! Apa kau tak merasa
berdosa membunuhi orang sebanyak ini, Nona?"
oceh Satria, sambil terus menghindari sambaran
tangan berkuku panjang Lestari.
"Dan kau sama kejamnya dengan menjadi
kaki tangan Ki Tambakyasa!" balas Lestari, "Lantas, apa bedanya?"
Wuttt! Kembali satu sambaran dibuat si gadis.
Tangan kanan berkuku panjangnya mengarah ke
perut Satria. Hendak dirobeknya perut berotot ke-
ras si pemuda. Sebenarnya, agak aneh juga apa yang terja-
di pada diri Lestari. Kini tanpa dikendalikan dari
jauh oleh Nini Manten, si gadis telah mampu me-
mainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Karena
biasanya, tanpa dibantu dari jarak jauh, gerakan-
nya akan terasa lambat. Entah, apa sebabnya. Ta-
pi bisa jadi karena dia telah mulai biasa dengan
jurus-jurus yang biasa diperagakan. Atau mung-
kin, karena terdorong oleh kemarahan menggele-
gak" "Hih!"
Satria menarik perutnya. Lalu tangan ka-
nannya bergerak menyampok ke samping, ke arah
tangan kanan Lestari.
Pak! Begitu melihat Lestari terhuyung ke samp-
ing, si anak muda memutar tubuhnya ke kiri.
Langsung dibuatnya satu sapuan dengan kaki kiri.
Keras, tapi tanpa disertai tenaga dalam. Sebab,
pada dasarnya si pemuda tak ingin menyakiti Les-
tari. Dia hanya ingin melumpuhkan saja.
Plak! Sendi lutut bagian belakang Lestari terhan-
tam. Si gadis jatuh bersimpuh. Sedang lawan ta-
hu-tahu telah berdiri di belakangnya. Hendak ditotoknya gadis itu.
Tapi.... "Tahan, Anak Muda!"
Sebuah teriakan menahan gerakan Satria.
Si pemuda menoleh. Juga Lestari. "Guru...!" sebut Lestari. Satria membiarkan si
gadis bangkit dan
menghambur ke arah seorang perempuan tua yang
dipanggil guru oleh Lestari. Namun kewaspadaan-
nya tetap terjaga. Menurutnya, dia merasa lebih
baik bertarung dengan lawan yang telah siap dan
berilmu tinggi, ketimbang melawan seorang gadis
yang kelihatannya masih hijau dalam dunia persi-
latan. Memang, setinggi-tingginya jurus-jurus
yang dikerahkan Lestari, di mata Satria masih saja terlihat lambat. Bahkan
tampak kaku. Ini yang
membuat Satria membiarkan gadis itu berlari ke
arah gurunya. "Mengapa kau bertarung dengan muridku,
Anak Muda. Kulihat, sepertinya kau bukan anak
buah Ki Tambakyasa" Tak kulihat tanda-tanda ka-
lau kau dari golongan sesat. Siapa kau, Anak Mu-
da?" berondong perempuan tua yang tak lain Nini Manten, Guru dari Lestari.
"Aku Satria, Nek. O, jadi dara cantik itu muridmu" Begini, Nek. Muridmu sudah
kuperin- gatkan agar menghentikan sepak terjangnya. Tapi
dia malah menuduhku sebagai anak buah Ki Tam-
bakyasa. Semakin kuperingatkan, dia malah me-
nyerangku. Ya, terpaksa aku melawan," tutur si pendekar muda, jujur.
Si nenek menatap muridnya yang kini su-
dah berada dalam pelukan dada peotnya. Bibir
kendornya lantas tersenyum.
"Ya, kita ternyata salah paham," desah si nenek. "Bukan saja salah paham! Tapi
muridmu sudah keterlaluan!"
Sebuah suara sember terdengar. Si nenek
langsung berpaling ke arah datangnya suara. Di
bawa pohon kemboja, Nini Manten melihat dua le-
laki tua tengah berdiri tenang.
"Panembahan Dongdongka" Panembahan
Kusumo" O, alaaah.... Tak kusangka kita bisa ber-
temu di sini" Gusti Yang Maha Agung.... Akhirnya
Kau pertemukan aku dengan kawan-kawan la-
ma...," desah Nini Manten, langsung menghampiri dua lelaki tua yang memang
Dongdongka dan Ki
Kusumo. Pada jarak satu tombak, Nini Manten
berhenti. Lalu dia menjura.
"Apa kabarmu, Nini Manten?" buka Ki Ku-
sumo. "Kenapa kau baru muncul lagi dalam kancah persilatan?"
"Kau terlalu asyik mengerami telurmu, ya?"
timpal Dongdongka. "Oh, maaf. Kau tak punya telur, ya?" Di benak si tua bangka
Dongdongka terbayang telur yang lain.
Di tempatnya, Satria malah terbengong-be-
ngong. Juga Lestari. Sungguh tak diduga kalau
mereka telah saling mengenal.
"Kabarku baik-baik saja, Panembahan. Yah,
beginilah. Sejak aku dikhianati lelaki, aku menga-singkan diri di dasar jurang
Lembah Setan. Sejak
itu aku benci lelaki!" sahut Nini Manten. Lupa dia kalau di depannya berdiri dua
lelaki. "Termasuk kami?" goda Ki Kusumo. "Oh, maaf. Tentu saja tidak. Kalian lain.
Kalian adalah teman-teman baikku," ralat Nini Manten. "Eh, ngomong-ngomong, ada
acara apa kalian bisa
muncul berbarengan?" lanjutnya, bertanya.
"Ini, si Kusumo mau sunat lagi, kali," celetuk Dongdongka seenaknya.
Berbarengan, Ki Kusumo dan Nini Manten
tertawa lepas. Renyah, serenyah kerupuk kulit.
"Begini, Nini," Ki Kusumo yang menje-
laskan. "Panembahan Dongdongka punya firasat mimpi kalau para siluman akan
bersekutu untuk
menuntaskan dendam mereka terhadap Panemba-
han Dongdongka. Juga murid kami."
"Murid kalian" Jadi, kalian sudah punya
murid" Mana?"
"Itu, yang tadi bertarung dengan muridmu,"
tunjuk Ki Kusumo pada Satria.
Nini Manten menoleh ke arah yang ditunjuk
Ki Kusumo. "O, jadi dia murid kalian. Pantas..., pantas...."
"Pantas kenapa, Nini Manten" Hebat ya mu-
rid didikan kami?" letus Dongdongka bersemangat.
"Bukan. Bukan itu. Yang ku maksud. ke-
tampanannya. Lihat, mata muridku sebentar-
sebentar melirik ke arah muridmu," tunjuk Nini Manten pada muridnya sendiri.
Lalu perhatiannya
kembali beralih pada kedua lelaki tua di depannya.
"Eh, iya. Tadi kalian bilang, para siluman bersekutu" Siluman mana yang
bersekutu?"
"Kau pernah dengar nama Nini Berek dan
Nini Rewang?"
"Ya, mereka memang keturunan siluman.
Jadi mereka yang bersekutu?" tebak Nini Manten lebih lanjut.
"Bukan hanya bersekutu. Bahkan nenek-
nenek jelek itu mau membangkitkan mayat Ki
Ageng Wirakrama yang ditewaskan Cah Gendeng
kami!" tambah Dongdongka.
Nini Manten melengak.
Bukan. Bukan karena mendengar perseku-
tuan para siluman. Tapi karena nyaris tak percaya kalau murid kedua teman
lamanya mampu mene-waskan Ki Ageng Wirakrama. Sulit dipercaya. Pe-
muda yang kelihatannya hijau tapi mempunyai ke-
saktian tinggi. Karena untuk melawan Ki Ageng
Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa dibutuhkan
kesaktian tinggi yang mesti diperdalam puluhan
tahun. Tapi pemuda itu"
"Pantas..., pantas...," desah Nini Manten.
"Pantas apa lagi" Ketampanannya" Sampai-
sampai, muridmu melirik terus pada Cah Gendeng
kami?" cibir Dongdongka. Tapi hatinya kecewa, karena tebakannya salah.
"Pantas, kulihat tadi tatapan matanya begi-
tu menyentuh kalbuku. Rasanya, sulit dipercaya
kalau pemuda itu sudah memiliki perbawa tinggi,"
puji Nini Manten, mendesah.
Nini Manten masih menggeleng-geleng tak
percaya. Tapi memang itu kenyataannya.
"Nah, Nini Manten. Kami rasa, persoalan ki-
ta sudah selesai. Kami masih ada urusan dengan


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para siluman itu. Jadi kami mohon diri dulu,"
ucap Ki Kusumo.
"Ya, ya. Maaf, aku tak bisa membantu ka-
lian. Karena aku masih harus mengobati jiwa Les-
tari, agar tak larut dalam dendam. Kasihan dia,"
desah Nini Manten. Lalu kepalanya menoleh pada
gadis berbaju kuning. "Lestari! Mari kita pulang!"
Sejenak Nini Manten menjura, lalu pergi
meninggalkan Dongdongka dan Ki Kusumo. Masih
sempat kepalanya menggeleng-geleng ketika sekali
lagi menatap Satria.
"Hebat..., hebat. Mudah-mudahan saja du-
nia ini banyak kutemukan pemuda sepertimu,
Cah! Kujamin, dunia ini pasti aman tenteram. Ku-
jamin!" desahnya, perlahan sekali.
SEPULUH TAK ingin kecolongan, Ki Kusumo dan Sa-
tria Gendeng memutuskan untuk tetap tinggal di
Desa Jatianom, tempat yang selama ini dijadikan
sasaran oleh Nini Berek untuk mencari korban.
Sedangkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul me-
mutuskan untuk kembali ke Tanjung Karangbo-
long. Karena dari penuturan Ki Kusumo, Nini Be-
rek dan Nini Rewang akan menuntaskan dendam-
nya setelah bisa membangkitkan mayat Ki Ageng
Wirakrama. Dan itu memerlukan satu orang pe-
muda lagi. Menurut perhitungan Ki Kusumo, tak perlu
ada yang patut dikhawatirkan lagi pada diri De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Karena, asal bisa
menggagalkan rencana gila Nini Berek yang ingin
membangkitkan mayat suaminya, maka bisa jadi
Nini Berek hilang semangatnya. Dengan begitu,
diharapkan rencananya bakal berantakan.
Untuk mempermudah penyelidikan, Ki Ku-
sumo dan Satria Gendeng saling membagi tugas.
Tiap sepeminum teh, salah seorang dari mereka
mengelilingi Desa Jatianom. Di rumah Ki Biran,
salah seorang dari mereka menunggu.
Kini, malam merangkak semakin larut. De-
sa Jatianom telah terbuai dalam keheningan. Saat
ini, para penduduk seolah ingin melepas rasa pe-
nat dari ketertekanan yang diderita selama ini. Ketertekanan yang disebabkan
ulah sosok manusia
serakah. Penduduk Desa seperti merasa terlepas dari
belenggu mimpi buruk berkepanjangan. Betapa ti-
dak" Sekian tahun darah dan air mata mereka se-
perti diperas. Dan kini setelah sang pemeras te-
was, mereka ingin segera melupakannya. Mereka
bercita-cita ingin kembali membangun desa dari
kesengsaraan. Lepas dari penderitaan, membuat penduduk
merasa ingin beristirahat. Membangun mimpi-
mimpi indah yang tak boleh diganggu gugat.
Hanya beberapa rumah saja yang penghuninya
masih belum terlelap. Sebagian membicarakan ke-
jadian di rumah Ki Tambakyasa. Sebagian lagi
membicarakan para pemuda yang tewas mengeri-
kan dengan tubuh mengeriput.
Memang, ada segelintir kengerian di hati
penduduk bila mengingat tewasnya beberapa pe-
muda desa. Tapi sejak Ki Biran menceritakan ka-
lau desa ini tengah dijaga beberapa tokoh persilatan, rasa cemas itu cukup
terobati. Di rumah Ki Biran, Ki Kusumo menunggu
was-was. Saat ini, giliran Satria Gendeng yang tengah berkeliling desa. Tapi
sudah lebih dari sepeni-num teh, si pemuda bertabiat sinting itu belum ju-ga
kembali. Dicobanya untuk menenangkan ha-
tinya sendiri. Dia tahu betul watak Satria. Dia percaya, Satria tidak sedang
bermain dalam tugasnya.
"Satria belum datang, Ki Kusumo?" Ki Biran tiba-tiba muncul dari dalam. Merampas
lamunan Ki Kusumo terhadap Satria.
Di sebelah Ki Kusumo, Ki Biran mengambil
tempat. Pantat keroposnya diletakkan perlahan-
lahan. Sejak bertemu Dongdongka kemarin, en-
coknya mendadak kumat. Selain karena terkejut,
juga karena takut yang melampaui batas.
"Belum, Ki Biran. Tapi aku yakin, Satria se-
lalu patuh pada tugas yang kuberikan," sahut Ki Kusumo, berusaha menghibur
dirinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya disusul saja?" cetus Ki Biran. "Terlalu berbahaya, Ki.
Rumahmu terletak di tengah desa. Kalau ada kejadian, siapa yang
menjaga?" Ki Biran tak menjawab. Diakui kebenaran
kata-kata Ki Kusumo.
"Apa sebaiknya kita minta bantuan para
penduduk desa?" usulnya lagi.
"Jangan, Ki. Terlalu berbahaya. Dan lagi,
kasihan para penduduk. Mereka telah lelah setelah peristiwa kemarin. Biarkan
mereka istirahat dengan tenang," tolak Ki Kusumo lagi. Diseruputnya kopi yang
disediakan Ki Biran.
Ki Biran terdiam. Dia seolah kehabisan ka-
ta-kata untuk menghibur hati Ki Kusumo.
"Desa ini cukup luas. Apa mungkin pemuda
itu mampu berkeliling hanya dalam waktu sepe-
minum teh?" tanya Ki Biran, lugu.
Ki Kusumo tersenyum. Kelihatan terpaksa
senyumnya. Saat ini perasaannya benar-benar ki-
sruh. Dia khawatir, Satria justru malah kepergok
Nini Berek. "Percaya sajalah pada anak muda itu, Ki Bi-
ran," sahut Ki Kusumo, yang sebenarnya untuk menghibur dirinya sendiri yang
dikepung kega-lauan. Kenapa Satria lama sekali" Tanyanya dalam
hati... * * * Justru pada saat yang sama, Satria Gen-
deng malah tengah celingukan. Sekelebatan tadi,
mata tajamnya menangkap sebuah bayangan kun-
ing melesat di depannya. Ketika mengejar sampai
di ujung desa dekat persawahan, bayangan itu se-
perti menghilang begitu saja.
"Slompret! Hebat juga ilmu lari cepat bayan-
gan kuning itu. Dan..., ufh! Kok tiba-tiba tercium bau busuk di tempat ini"!"
omel Satria, langsung menutup cuping hidungnya yang semula kembang
kempis. "Kau mencari siapa, Cah Bagus...."
Sebuah suara teguran cukup membuat Sa-
tria terjingkat. Bagai dedemit, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang
gadis cantik berpa-
kaian kuning. Begitu ketat pakaiannya, seolah
hendak membanggakan lekuk-lekuk tubuhnya.
Satria berbalik. Mata sembilunya menyipit.
Kedua alisnya nyaris bertautan. Sementara, bau
busuk makin menerobos lubang hidungnya.
"Alahh..., jangan berpura-pura, Nini Berek!
Jangan berlindung di balik wajah cantikmu. Aku
tahu, siapa dirimu!" tembak Satria langsung. Pemuda ini memang telah diceritakan
oleh Ki Kusu- mo, bagaimana ciri-ciri Nini Berek bila sedang me-nyamar sebagai wanita cantik.
Termasuk, bau bu-
suk yang menyengat hidung.
Terkejut Nini Berek. Tapi dia tak ingin me-
nunjukkannya pada si pemuda. Namun dia cukup
heran, bagaimana si pemuda bisa tahu siapa di-
rinya yang sesungguhnya"
"Mau cari korban lagi, ya, Nenek Jelek" Pe-
muda bodoh mana yang mau kau kerjai. Aku ya-
kin, pemuda yang kau kerjai bakal mati berdiri bila melihat tampang jelekmu!"
ledek Satria habis-habisan.
Setan buduk! Setan buntung! Siapa bocah
ini" Kenapa dia tahu tentang diriku" Sumpah se-
rapah Nini Berek yang menjelma jadi gadis cantik
meluncur dalam hati.
"Siapa kau, Cah Bagus?" susulnya, penasaran. "Aku Satria," jawab si anak muda
perkasa. "Maksudku, julukanmu, tahu"!"
"Aku tak punya julukan."
"Tapi kau punya guru, bukan"!" pancing
Mini Berek. "Guruku Kakek Kusumo dan Kakek Dong-
dongka," jawab Satria, polos.
"Apa"!" lonjak Nini Berek. "Kau tuli, Nini Berek?" Pucuk dicintai ulam tiba!
Sorak hati Nini
Berek. Siapa pun yang ada hubungannya dengan
Dongdongka harus mampus. Bahkan bisa jadi, ju-
stru bocah ini yang membunuh suamiku, seperti
dugaan Mbakyu Rewang! Hmmm aku bisa meng-
gunakannya sebagai tumbal terakhirku! Ya! Aku
harus secepatnya mengerahkan aji 'Pemikat Bira-
hi'! Tapi diam-diam Nini Berek merasa harus
hati-hati, karena dia yakin pemuda ini berilmu
tinggi. Sebab, kalau benar kata Nini Rewang, pe-
muda itu saja telah mampu membunuh Ki Ageng
Wirakrama, suaminya. Jadi bukan mustahil kalau
kepandaian anak muda itu tak bisa dianggap re-
meh. "Hmm, jadi kau muridnya Dongdongka"
Bagus..., bagus. Nah, mulai sekarang kau patuh-
lah denganku. Apa kau tak tertarik dengan tubuh
menggiurkanku" Tataplah mataku. Ayo, pandan-
glah aku. Kau akan kuajak ke surga setelah ini,"
Nini Berek mendesah, mulai memasang perang-
kapnya. Aji 'Pemikat Birahi' pun dikerahkan.
Tanpa sadar, Satria menatap kedua mata
Nini Berek. Sementara, secara aneh bau busuk
berganti bau harum yang membuat pening kepala.
Namun baru beberapa kejapan mereka saling ta-
tap.... "Aaah...!"
Bukan. Keluhan itu bukan keluar dari mu-
lut Satria. Justru kini Nini Berek yang terlonjak mundur membawa suara keluhan.
Rupanya ketika menatap kedua biji mata si pemuda, justru Nini
Berek merasa bergetar.
Edan! Kadal buduk! Dari mana bocah sint-
ing ini memiliki perbawa tinggi. Aku yakin, umur-
nya baru seujung upilku! Tapi kenapa pengaruh-
nya begitu menggetarkanku" Hmm, aku harus
meningkatkan aji 'Pemikat Birahi'-ku sampai se-
tinggi mungkin! Sumpah serapah Nini Berek me-
nyusul kemudian.
"Ayo, Cah Bagus. Apa aku kurang menarik
buatmu" Atau, karena aku masih berpakaian"
Baiklah.... Aku bisa membukanya satu persatu.
Lalu setelah itu, kau gendeng aku ke dangau itu.
Setuju?" rayu Nini Berek lagi. Perlahan, tangan ha-lusnya mulai mempreteli
pakaian yang dikenakan.
Sementara, aji 'Pemikat Birahi' makin diting-
katkan. Ajaib! Mendadak, pandangan mata Satria yang
semula penuh perbawa mulai surut, berganti tata-
pan kosong. Bahkan langkahnya mulai bergerak
mendekati Nini Berek!
"Ayo, pandanglah aku, Cah Bagus.... Pan-
danglah aku...." Dari balik kedua mata Nini Berek sebenarnya keluar sinar kasat
mata yang langsung
menembus alam pikiran Satria Gendeng.
Satria kini merasa berada di awang-awang
memabukkan. Alam bawah sadarnya berjalan ka-
cau. Degup jantungnya jadi tak menentu. Tanpa
bisa dikendalikan, sukmanya seolah terseret ke
alam asing. Alam yang melenakan kelaki-
lakiannya.... Bahaya besar mengancam si pemuda....
SEBELAS GUSTI Yang Maha Agung!" sentak Ki Kusu-
mo, tiba-tiba. "Kenapa perasaanku makin tak enak saja" Jangan-jangan..., ah! Aku
harus menyusul Satria!" putusnya kemudian.
Tabib Sakti Pulau Dedemit beranjak dari
duduknya. Sekali genjot, tubuhnya sudah melesat
meninggalkan rumah Ki Biran. Ditinggalkan si
pemilik rumah yang telah tertidur pulas bersender di bangkunya. Kebluk juga,
dia! Tiba di luar, Ki Kusumo melesat ke atas
atap rumah penduduk. Dari situ tubuhnya ber-
lompatan ringan. Dari satu rumah ke rumah lain.
Atau, dari satu pohon ke pohon yang lain. Cepat
gerakannya, sehingga yang terlihat hanya bayan-
gan tubuhnya saja.
Mungkin karena mata batinnya sudah terla-
tih, entah mengapa lesatan tubuh Ki Kusumo me-
nuju ujung desa tempat ketika dia menemukan
mayat seorang pemuda. Digenjotnya seluruh ke-
kuatan ilmu lari cepatnya, sehingga tak sampai
dua puluh hitungan mata tuanya sudah dapat
menangkap suatu pemandangan menjijikkan....
* * * Satria telah benar-benar terbius akal piki-
rannya. Dibiarkannya saja tubuh telanjang Nini
Berek membekap dan menggerayangi tubuhnya.
Bahkan si pemuda perkasa mulai mendesah-
desah, seolah tengah terengah-engah memacu ku-
da betina. "Bagus, Cah! Terus..., terus nikmati be-
laianku. Nikmatilah.... Sebentar lagi kita terbang ke awang-awang," desah Nini
Berek, makin liar memeluki tubuh kekar si pemuda.
Hingga tiba-tiba....


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Satria! Hentikan!"
Satu bentakan berisi tenaga dalam men-
goyak udara. Menyentak alam pikiran waras si
pemuda. Membangkitkan alam bawah sadarnya
yang tiba-tiba terusir entah ke mana. Kesadaran si pemuda pun terbangkit.
Matanya saat itu juga
memerah, melotot di balik punggung Nini Berek.
"Teruskan, Sayang.... Sebentar lagi kita me-
nuju surga...," rayu Nini Berek, seolah tak ingin terusik oleh bentakan barusan.
Justru tanpa diketahui si nenek jelek, di da-
lam diri si pemuda tengah bergolak sebuah kekua-
tan dahsyat. Sebuah kekuatan yang berasal dari
dasar amat dalam sekitar Lautan Hindia. Tanpa
sengaja, waktu dulu Satria menghisap suatu cai-
ran berwarna kelabu, sewaktu bocah ini tergulung
dan terseret gelombang laut. (Baca episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit').
Kemarahan yang amat sangat begitu me-
nyadari dirinya telah diperdayai Nini Berek mem-
buat si pemuda ingin segera melampiaskannya.
Sementara gejolak kekuatan dahsyat dari dalam
tubuhnya makin menyentak-nyentak. Lalu....
"Khuaaa...!"
Satria melolong. Disentakkannya tubuh te-
lanjang Nini Berek ke depan. Matanya mendelik.
Urat-urat di bola matanya memerah, seperti milik
banteng ketaton. Urat di lehernya mengembung.
Udara tergempur. Getarannya menghancur. De-
daunan runtuh. Gugur. Si nenek jelek yang tadi
tersentak pun melonjak. Dadanya bergetar men-
dengar lolongan mengerikan itu. Bahkan tiba-tiba
saja, asap putih menggulung tubuhnya. Begitu
asap menghilang, yang terlihat bukan lagi perawan cantik, tapi wujud perempuan
tua mengerikan.
Wujud Nini Berek yang sesungguhnya!
Nini Berek bermaksud hendak mendahului
menyerang Satria Gendeng. Tapi begitu hendak
bergerak.... "Oh, kenapa tubuhku mendadak lemas se-
kali" A..., aku seperti lumpuh.... A..., aku tak dapat menggerakkan tubuhku...,"
keluh Nini Berek, kalut bukan main. "Ja..., jangan-jangan.... Bocah ini anak
angkat Gusti Ratu Selatan...."
Sebelum kata-kata Nini Berek habis....
Glaarrr...! Kilat mendadak menyambar, membelah
angkasa. Tahu-tahu, gerombolan awan hitam telah
mengepung langit. Cuaca berubah mendadak. An-
gin ganas pun mendengus-dengus, siap melabrak
apa saja yang dilewati.
Di tempatnya. Nini Berek malah menggigil
ketakutan. Pancaran wajahnya kini tak lagi men-
gerikan seperti tadi, tapi memelas. Dan tepat keti-ka hujan rintik-rintik mulai
turun, lima buah
bayangan berbentuk gadis-gadis jelita turun dari
langit. "Berek.... Kau telah melanggar aturan Kera-
jaan Laut Selatan. Pemuda yang hendak kau gauli
adalah anak angkat Ratu Laut Selatan. Dulu, pe-
muda itu telah meminum air susu Ratu Laut Sela-
tan yang dimuntahkan bayinya sewaktu ada badai
di Laut Selatan. Dan Ratu Laut Selatan lantas
memutuskan bahwa barang siapa yang meminum
air susu itu, dia akan diangkat menjadi anak oleh Gusti Ratu. Kau pun telah tahu
aturan itu, Berek.... Tapi, tetap saja kau langgar...."
Suara mirip desahan itu makin menyiutkan
nyali Nini Berek. Suara yang berasal dari utusan
Laut Selatan. "Ampuni aku, Punggawa.... Sungguh aku
tak tahu.,.," ratap Nini Berek.
"Maaf, Nini Berek. Kalau saja hatimu tidak
buta, kalau saja hatimu tak tersaput dendam....
kau pun bisa merasakan getaran-getaran aneh di
tubuh pemuda itu. Tapi kau terlalu rakus...."
"Oh, sekali lagi ampuni aku.... Aku tak mau
dipenjara seumur hidup.... Aku..., oohh...."
Tatapan Nini Berek terputus saat itu juga.
Tahu-tahu saja, tubuhnya telah terangkat naik, ditarik kekuatan kasat mata para
gadis yang berben-
tuk bayang-bayang di angkasa.
"Kami tahu, kau pun bekerja sama dengan
Nini Rewang.... Jadi kami juga akan menjemput-
nya...," sambung para utusan Laut Selatan.
Tepat ketika bayang-bayang utusan Ratu
Laut Selatan itu pergi membawa Nini Berek, hujan
deras mengguyur bumi. Satria sendiri masih ter-
paku tak percaya. Semula dia hendak melam-
piaskan kemarahannya. Tapi keterpanaannya seo-
lah menyingkirkan niatnya.
"Satria...!" sebuah suara halus menyentak lamunan si pemuda.
Satria menoleh. Senyum cerah langsung
terkembang di bibirnya.
"Kakek Kusumo.... Terima kasih, kau telah
menyadarkan aku dari pengaruh sihir perempuan
bejad tadi...," ucap Satria.
Memang, Ki Kusumo tadi yang telah me-
nyadarkan Satria dari pengaruh aji 'Pemikat Bira-
hi' Nini Berek dengan bentakan tenaga dalamnya.
Dan Satria wajib berterima kasih. Tanpa lelaki tua ini, bisa jadi pemuda hijau
itu akan tinggal nama saja....
* * * Glaarr...! Glarrr...!
"Aaa...."
Dari kejauhan, samar-samar Ki Kusumo
dan Satria mendengar ledakan dahsyat yang di-
tingkahi jeritan panjang. Entah mengapa, kepala
mereka sama-sama memandang ke arah Bukit
Menjangan di kejauhan yang puncaknya telah ter-
kepung awan hitam.
Sebentar-sebentar, lidah-lidah petir me-
nyambar puncak bukit itu. Alam seolah murka pa-
da para penghuni Bukit Menjangan....
Timbul keyakinan di hati Satria maupun Ki
Kusumo. Seperti kata utusan Laut Selatan tadi,
mereka memang akan menjemput Nini Rewang.
Bersama Nini Berek, perempuan siluman guru dari
Nini Jonggrang itu dipenjarakan di dasar Laut Se-
latan.... Bisa jadi begitu.
Bisa jadi, mereka tak akan kembali lagi.
Bisa jadi tak akan ada yang dapat mem-
bangkitkan Ki Ageng Wirakrama.
Bisa jadi teriakan tadi adalah jeritan Nini
Rewang" Atau, jeritan Ki Ageng Wirakrama di alam
kubur. Sekali lagi, bisa jadi.
SELESAI Segera terbit; PERTUNANGAN BERDARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 13 Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis Gerombolan Samurai Hitam 2
^