Pencarian

Tawanan Bermata Nakal 2

Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal Bagian 2


dan kau anggap mata-mata!"
Sahara diam saja. ia segera menuju ke pancuran air terjun itu. Suto Sintlng Sempat berseru dengan jengkel.
'Hel, denger...! Kalau aku mau, aku bisa menendang wajahmu saat kau mau mengikat kakiku baru
saja! Tapi hal Itu tidak kulakukan, bukan" Berarti aku
tidak bermakSud jahat padamu, Sahara!"
Gadis itu bagaikan tak mendengar teriakan Suto
Sintlng. Ia melangkah terus. melompat ringan dari
batu ke batu. Sampai di belakang batu setinggi
perut, Sahara melepaskan pedang dari punggungnya Setelah meletakkan bumbung tuak milik Suto Itu.
Pedang ditaruh di atas batu berdekatan dengan
bumbung tuak. Demikian pula penutup dadanya
yang berumbal- rumbai Itu, juga dilepasnya dengan
cuek. Mata Suto Sintlng memandang tak berkedip.
Mulutnya terbengong melompong. Ludahnya ditelan berkali-kali. Dada yang terbuka Itu tampak jelas
dari tempatnya. Kencang dan mulus walau berwarna
coklat Sawo matang. Tap! ujung-ujungnya tampak
jelas sekali masih ranum dan menantang.
"Edan! Gadis Ini sudah tak waras! Buka dada di
depanku begini adalah hal yangtldak waras menurut
dalil mana pun juga! Aduh... dadaku sendiri malah
jadi sesak menahan deburan jantungku. iilhh...! Geregetan sekail aku padanya. Kaiau keadaanku tidak
terikat begini, kusambar dia dalam keadaan begitu.
Busyet!" Pendekar Mabuk mencoba ioloskan kedua kakinya. Tapi ikatan akar itu bergerak semakin kencang
dan kuat. Suto Sinting dongkol sekali.
Jantungnya makin berdetak-detak ketika ia melihat Sahara mengguyur tubuhnya dengan air terjun
ltu. Hal yang membuat dada Suto semakin sesak dan
dipakai bernapas terasa sakit adalah keadaan Sahara_yang melepaskan penutup bawahnya juga itu.
Sayang ia memunggungi Suto Slntlng, sehingga mata bandel sl pendekar tampan itu tak bisa melihat jelas apa yang tadi tertutup di bagian bawah Sahara
itu. Namun dengan memandang lekuk tubuh dari
belakang, kemulusan punggung sampai ke pinggul,
kemontokan pinggul belakang yang tampak kencang dan membusung itu, sungguh suatu siksaan
batin yang sulit dipakai untuk menjerit.
"Dia lebih sinting darikul' geram Suto dengan
napas terengah-engah, bukan karena marah tapi
karena dibakar oleh gairahnya sendiri.
'Gadis tololi Gadis edanl Mandi seenaknya di
depan orang yang jerat begini. Menyakltkan hati.
Goblokl' maki Suto Slntlng dengan suara gerutu
yang pelan. "Sebaiknya aku tak perlu memandangnyal Pandang saja arah iainl' sambil Suto berpaling ke ketempat
lain. menatap karimbunan pohon bambu di bawah
tanggul sungai. Tapi sesaat kemudian mata itu mellrik ke arah Sahara. '
Srrr...! Hati pun berdeslr karena Sahara kini
dalam posisi menyamping, karena ia juga perlu
mengawasi tawanannya dalam keadaan tetap menggUyur tubuh dengan air sejuk itu. Mata Suto sendiri
segera dialihkan lagi ke arah lain. Tapi sebentar sebentar melirik ke arah Sahara, seolah berharap agar
Sahara mandinya menghadap ke arahnya.
"Konyol! Kenapa mataku berat ke kanan"! Jangan-jangan sudah tak sehat lagi mata kananku"!
Maunya melirik ke kanan terus. Ah, setan belang be-tul gadis lm!" gerutu hati Suto Slnting sambil sesekali menahan napas, berusaha meredakan gemuruh
dl dalam dada. Namun gemuruh itu justru terasa semakin keras, seolah-olah dl dalam dadanya ada
ratusan kuda yang berlari serentak di tanah lapang.
"Mungkin Ia bermaksud menyiksa batinku," pikir
Suto Sintlng. 'Hmm... sebaiknya kupejamkan mataku blar tak semakin tersiksa."
Pendekar Mabuk pun segera pejamkan mata.
Tapi mata kanannya masih mencoba mengintip sedikit. Sedikit sekali. Lama-lama menjadi lebar.
"Oh, kenapa aku mengintipnya" Tolol!" ia buru-
buru pejamkan mata kanan kuat-kuat,
'Aman...! Kalau begini amanlah batinku, tidak
tersiksa oleh pemandangan yang-.... Lho, tapi benakku kok masih membayangkan dia telanjang dan
mandi di sana"! Wah, kacau! Mata terpejam tapi
pikiran membayangkannya, sama saja'terslksa juga
kalau begini"! Aduuuh... benar"benar muak aku pada keadaan seperti ini! Lama-lama aku teriak juga,
biar ada orang yang mendengarnya dan datang kemari untuk menonton Sahara mandi! Kunyuk betul!"
Entah sampai berapa baris batin Suto menggerutu dan berceloteh sendiri- Yang ielas hal itu dilakukannya dengan kedua mata terpejam rapat-rapat. Ia
mencoba untuk membayangkan hal-hal lain, seperti:
rumah Badrun, orang Waduk Bangkai, Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi musuh utamanya itu, wajah
Sawung Kuntet yang berkumis mirip kelelawar lumpuh itu dan beberapa bayangan lain yang sebenarnya sangat tak enak jika dibayangkan. Namun dengan cara begitu. deburan deras dalam dadanya
menjadi berkurang, lama lama hilang. Gairah kemesraannya yang tadi berkobar kini menjadi padam,
terutama setelah ia membayangkan Badrun sedang
melepas pakaian. Suto justru tertawa ceklkiksn sendlri membayangkan Badrun tanpa pakaian dikejar-kejar anjing dan jatuh terpeleset karena menginjak
tempurungnya sendiri. 'hehh, hehh. hehh, hehh...l" lawa Suto mulai
agak keras. "Kenapa tertawa sendlri Lekas jalan iagll"
Sentakan itu mengejutkan Suto dan Ia jadi
menggeragap. 'Hahh..."l Ada apa ini" Mengapa gelap semua"!"
"Buka matamu. Toioll'
"Astaga,?" Suto Slntlng malu sekali. Tak sadar
ia telah memejamkan mata terlalu lama. hingga tak
tahu kalau Sahara selesai mandi dan sudah ada di
hadapannya. Bahkan ia sampai lupa membuka matanya kembali, sehingga dunia dianggapnya gelap
semua. Ketika matanya beradu pandang dengan Sahara
yang sudah siap lanjutkan perjalanan dengan pedang terhunus di tangan, Suto hanya bisa cengar-cengir malu dan salah tingkah.
Wuuut, breat...l 'Haaaahh..."l' Suto Slntlng terpeklk karena kagetnya ketika pedang Sahara berkelebat ke arah-
memutus 'Akar Serat Setan' tanpa lukal kaki Suto
sedikit pun. Hal itu membuktikan bahwa Sahara
mempunyai keahlian dalam memainkan jurus pedang yang cukup dapat handal
"Cepat, jalan lagi!" perintah Sahara sambil
mengarahkan ujung pedang ke leher Suto.
"Hmmm... aku... aku haus sekali. Sahara. Boleh
minta minum tuakku'."
Setelah mendengus kesal, Sahara pun akhirnya
tuangkan tuak ke mulut Suto, sementara Suto berlutut dengan dongakkan kepala: dan membuk a mulutnya lebar"lebar. Om...!
"Haaip... haaip...l Sudah, Tolol! Uhuk, uhuk,
uhuk...!' Suto Slntlng terbatuk tuk. Tuak banyak
yang tumpah ke wajahnya. ia megap-megap karena
terlalu lama menenggak tuak.
"Gadis edan kau! Kau pikir alku seekor unta, bisa
minum sebanyak Itu buat persediaan di jalan"! Yang
wajar saja, Non!" omei Suto Slnt'ing sambil didorong
agar jalan kembali. Belum jauh dari tanggul, tiba-tiba Suto Sintlng
melihat sekeiebat benda kemilau melesat dari arah
samping kirinya. Suto pun berteriak secara spontan,
'Awass...l' ia melompat ke depan dan berguling ke
tanah satu kali. Wuuut...! Kejap berikut_la sudah berdiri dengan satu kaki berlutut.
Pada saat ia berguling ke tanah. samar-semar
didengarnya suara Sahara terpekik dengan nada
tertahan. "..-"akh !. . 'Sahara. ."l' Suto Sinting terkejut melihat Sahara terluka. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang segi lima menancap di lengan kiri Sahara. Ben-da itu masuk ke dalam lengan separuh bagian. Sahara menyeringai dan mengerang panjang sambil
berusaha menc'abut senjata rahasia itu.
'Seseorang ' menyerangmu, Sahara! Lepaskanlah ikatanku, aku
"Diam kau!" tuding Sahara memakai pedangnya.
Suto Slnt'ing mundur dan dlam seketika. Emosinya
diturunkan sendiri. ia "undur sampai merapat dengan sebatang pohon.
"Berani lari kubunuh dari jauh kaul" geram Sahara dengan wa mulai memucat. pasti racun da-
lam senjata rahasia itu mulai bekerja, menyatu dengan darah yang mengaiir di sekujur'tubuhnya itu
"Sahara, aku hanya akan... awas- sentak Suto
mendadak. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun
melompat dari balik semak dengan kapak bermata
dua sudah ada di tangannya. Orang itu menerjang
Sahara dari belakang; kapaknya slap. dihantamkan
pada kepala gadis'itu. , Sahara segera berbalik, lalu bersalto mundur
hindari hantaman kapak orang tersebut. Wees...!
Perginya Sahara dari hadapan Suto membuat kapak
itu terarah ke wajah Suto bersama pemiliknya yang
melompat dengan ganas. "Mati aku!" gumam Suta Sinting menegang, tapi
ia segera jatuhkan badan ke kiri. buuk...! Tepat pada
saat itu kapak orang tersebut diayunkan ke depan.
Jrrab...! Kapak itu menghantam pohon. Kaki Suto Sinting berkelebat menendang perut oran'g itu sambil
berbaring di tanah. Buuukh...! Wass.-..! Orang Itu
terpental sejauh tujuh langkah. Tendangan bertenaga 'dalam cukup kuat itu tak diduga sama sekali oleh
orang berbaju serba biru. Akibatnya Ia jatuh terbanting di sana dan terkapar dengan tubuh tersentak-sentak seperti orang terSerang penyakit ayan- Mulutnya berbusa dan busa itu adalah darah. Sedangkan kapaknya tertinggal di pohon dalam keadaan
masih menancap. Sahara menjadi beringas Setelah kenali orang
tersebut. "Rupanya kau ingin nasibmu lebih parah dari
adik perguruanmu, Ganda Wirang"! Terimalah ajalmu sekarang juga Keparatll' heaaah" .!"
'.'Saharaaa ... jangan. .l' teri ak Suto Sinting begitu meiihat Sahara berlari dengan pedang siap dihujamkan ke tubuh Ganda Wirang, Suto Sintlng buru-buru bangkit ingin menahan gerakan Sahara.
Tetapi gadis itu tiba-tiba iatuh tersimpuh dan
memekik sendiri. Rupanya racun pada senjata rahasia tadi mulai tak mampu ditahannya. Racun itu
membuat Sahara menjadi semakin lemas dan jantungnya melemah. Napasnya menjadi sesaak. sulit
diheia. Ia masih bersimpuh sambil mendekap luka
di lengannya. Pendekar Mabuk segera menghampirinya setelah berusaha mengambil bumbung tuaknya yang
tadi jatuh saat Sahara bersaito mundur. Bumbung
tuak itu dijatuhkan dl depan Sahara dengan tangan
Suto masih tetap terikat ke belakang.
"Minum Tuakku! Lekas minum sebelum racun itu
mencabut nyawamu' 'Uuukh...l' Sahara menahan sakit sambil berusaha mengairnbil bumbung tuak.
Pada saat itu, Ganda Wirang'berusaha bangkit
dan mendekati Suto dari belakang dengan langkah
gontal. Suto sedang memperhatikan Sah ara, dan
mata Sahara segera terbelalak melihat Ganda Wirang mencabut pisau yang terselip di balik bajunya.
kemudian melompat hendak menikam Suto dengan
pisau itu. _ 'Awwwaas...l. Aaakh...l" Sahara berusaha memeklk, tapi suaranya pelan dan lemah, bahkan dadanya terasa bagal ditikam dari dalam.
Namun pemuda tampan murid el Gila Tuak itu
segera paham maksud Sahara. Ia cepat menengok
ke belakang, kemudian kakinya berkeleba t menendang Ganda Wirang. Wuuut...l Baaaklt...l Tenda ngan kaki itu tepat kenal dada Ganda Wirang.
'Heekh...!' Ganda Wirang terlempar lagi ke belakang sejauh lima langkah, membentur pohon d
ngan kerasnya. Duuurt'...l "
Orang berkumis tlpis itu tak bisa bersuara lagi.
Matanya mendellk, wajahnya mendengak dengan
mulut terbuka, ia jatuh terkapar dan mengejang. Darah semakin banyak yang keluar dari mulutnya.
"Lekas minum tuaknya!" seru Suto dengan tenang. Wajahnya menampakkan kecemasan yang cukup membuatnya menjadl jengkel sendiri. Sahara
pun buru"buru 'meminum tuak itu dengan kedua
tangan gemetar. Sementara itu, suara Ganda Wirang
terdengar menyentak-nyentak bersama tubuhnya
yang juga menyentak-nyentak.
"Buka ikatanku! Lekas, buka ikatan tanganku!
Orang itu butuh bantuan. ia akan mati kalau tak ninum tuakkul Buka ikatan tanganku ini, Sahara!"
sambil Suto memunggungi Sahara, tapi gadis itu tak
mau membuka ikatan tangan Suto. Gadis itu terengah"engah dengan pejamkan mata, tertunduk dan
masih bersimpuh. "Buka ikatanku "ini, Sahara...!' teriak Suto dengan jengkel sekali.
NYALA api unggun menerangi tempat mereka
bermalam. Bukan gua, juga bukan rumah,
melainkan alam bebas yang penuh ditumbuhi
pepohonan besar dan tinggi. Di bawah pohon tinggi
yang mempunyai akar pipih 'seperti dinding itulah
mereka sepakat untuk bermalam. '
Sahara dan tawanannya masih berada di dekat
api unggun. Udara dingin menembus malam, tapi
mereka tertolong oleh kehangatan api unggun. Gadis berpakaian primitif itu duduk di atas bongkahan
akar setinggi betis. Pedangnya ditancapkan di tanah
samping kanannya Matanya pandangi nyala api
unggun tak berkedip. Pendekar Mabuk menyimpan rasa kagum melihat ketegasan dan keberanian Sahara. la mirip seorang prajurit perang yang tak pernah kenal kata
menyerah. Dilihat dari sikap duduknya yang mirip
lelaki perkasa itu, Pendekar Mabuk yakin bahwa gadis ltu berhati baja, tak mudah terkena bujuk rayu
siapa pun. Prinsipnya kuat dalam melakukan suatu
pekerjaan. la bagaikan karang di tengah lautan; tak
gentar diterjang ombak. tak goyah disapu badai.
"Siapa sebenarnya gadis itu"!"
Pertanyaan tersebut sering muncul di hati Pendekar Mabuk, bahkan sering terlontar lewat mulut-
nya, tapi tak pernah mendapat jawaban dari si gadis.
Kacantlkannya_yang keras menandakan ia tak mudah buka rahasia terhadap pihak lain, terlebih terhadap orang yang belum dikenalnya.
Suto Sinting pandangi gadis itu sambil sandarkan punggung di akar pipih menyerupai dinding setinggi pundaknya jika sedang berdiri. Suto duduk
melonjor dengan kedua tangan tetap terikat ke belakang. Gadis Itu beium mau membuka ikatan tersebut. Jaraknya dengan Suto hanya satu jangkauan.
Setiap gerakan Suto selalu diperhatikan dengan lirikan penuh curiga. .
Wajah cantiknya tak pernah tersenyum. Bahkan
kali ini Ia tampak memendam rasa kesai seteiah Suto
mendesak agar Ganda Wirang diberi minum tuak.
Gadis itu akhirnya memang memberinya minum tuak
kepada Ganda Wirang. Orang itu tak jadi mati, iuka
dalamnya sembuh dan badannya meniadi segar. Tapi ia segera larikan diri setelah pandangi Suto dengan pandangan aneh; antara'dendam dan salut.
"Kurasa tidak terlalu berlebihan," kata Suto kepada gadis itu.
"Kulakukan hal itu karena kau telah selamatkan
nyawaku dari kapak mautnyai' ujar Sahara dengan
suara seperti orang menggumam, walahnya tetap
menghadap ke depan, matanya setengah menerawang pandangi api unggun. .
"Siapa dia sebenarnya?"
"Saudara seperguruannya Cindera Girl! Pasti ia
telah bertemu Cindera Giri yang terluka oleh sabetan pedangku itu; dan ia mencariku. untuk balas ,dendam!"
Katakata itu terdengar datar dan dingin. Tapi
Suto sudah merasa beruntung karena pertanyaannya dijawab oleh Sahara. Akan iebih mengesaikan
hati lagi jika pertanyaan itu tidak mendapat jaWaban
walau diulang-ulang seperti kaset rusak.
"Siapa sebenarnya Cindera Giri itu"! Mengapa
kalian sampai ingin saling membunuh"!"
Sahara menarik napas, lalu menghempaskan-nya lepas-lepas. Kedua lengannya berada di atas
kedua kaki yang mrenggang dalam duduknya, menapak dengan tegar seperti seorang lelaki. Jari"jari
tangannya saiing selinap antara yang kiri dengan
yang kanan. Punggungnya sedikit membungkuk dengan lengan merenggang gagah.
'Duiu _aku bersahabat dengan Cindera Giri. Aku
sering diajak bertandang ke perguruannya. Tapi sejak kutahu maksud persahabatan Cindera Girl, kami
jadi bermusuhan." ' 'Apa maksud di baiik persahabatannya itu"'
'Mencoba memanfaatkan diriku."
Sampai di situ Sahara dlam. Tapi Suto Slntlng
belum puas dengan iawaban yang dianggapnya masih menggantung itu. Maka ia pun aiukan tanya lagi
bersifat mendesak namun tak kentara.
"Kau mau dimanfaatkan untuk maksud apa?"
"Kurasa kau Sudah tahu!" jawabnya sambil melirik angker. Angker tapi cantik dan enak dipandang,
karenanya Suto tak merasa takut atau muak. Justru
ia Suka dan dipandang terus wajah itu dengan senyum ketenangannya. Senyum itu makin melebar


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah Ia akhirnya berkata,
"Kau pikir siapa aku Ini"! Aku tidak ada hubung.
annya dengan Cindera Giri!
"Tapi kau punya hubungan dengan Ratu Sendang Pamuas! Dan perempuan itu juga mempunyai
maksud yang sama dengan Cindera Giril" sahut Sa-
hara dengan kata-kata cepat, nyerocos, tegas, ber-
kesan menuduh. Setelah memandang senyum tawanannya justru
semakin melebar, Sahara palingkan pandang ke depan, ke arah api unggun lagi. Namun suaranya terdengar tetap datar sebagai kelaniutan nyerocosnya
tadi. "Tugasku adalah menggagalkan orang-orang
sepertimui Mata-mata sepertimu memang pantas
dihukum mati. Tapi bukan aku yang menentukannya. Selama masih bisa kutangkap dan kubawa ke
peradilan, akan kutangkapi Tapi kalau tidak bisa.
kucabut nyawanya!" "Peradilan mana?" pancing Suto.
Tapi gadis itu tak menjawab. Ia justru lanjutkan
kata-katanya yang tadi. 'Kaiau Cindera Giri bukan bekas sahabatku,
sudah kubawa ia ke peradilan dan pasti kuiatuhi
hukuman mati jika kubeberkan maksudnya di peradilani'
"Peradilan mana"!"
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan pandangan sinis dari mata indah yang berkesan galak itu.
Wajah cantik tersebut juga semakin tampak sangar,
seperti pembunuh berdarah dingin. Suto Sintlng
salah tingkah sesaat setelah adu pandangan mata
selama tiga helaan napas. ia baru bisa bersuara lagi
setelah Sahara alihkan pandangan matanya ke api
unggun. "Mengapa kau begitu yakin kalau aku mata"mata
dari Pantai Dahaga"l"
'Aku pernah melihat wajahmu sebagai pendamping Ratu Sendang Pamuasl' '.
Dahi Suto Sinting berkerut, ia buru-buru memprotes tuduhan itu. "Aku belum pernah kenal dengan
Ratu Sendang Pemuas! Mendengar namanya saja
baru beberapa hari ini!"
"Mataku tak bisa dikeiabui. Walau saat itu kulihat ia bersama rombongannya dari kejauhan, tapi
aku ingat betul kau berada disamping Ratu Sendang
Pemuas. Kalian sama-sama menunggang kuda bersebelahan, sementara orang"orangmu membantai
habis perkampungan orang Shakih."
'Orang apa..."! Orang sakit"!"
'Orang Shakih!" Sahara sedikit menyentak sam-bil melirik Pendekar Mabuk. Gadis itu memang belum tahu bahwa pemuda yang bersamanya adalah
Pendekar Mabuk yang namanya sudah bukan asing
lagi di rimba persilatan itu. Agaknya ia juga belum
mengenai nama Pendekar Mabuk, sehingga sikapnya masih dingin-dingin saia ketika Suto Sintlng menyebutkan gelarnya.
"Baru sekarang kudengar nama orang Shakih,
tentunya melihat perkampungan orang Shaklh pun
aku belum pernah." Gadis itu melirik sinis tanda tak percaya.
! "Sahara, apakan kau pernah mendengar nama
Pendekar Mabuk"l' Sahara diam sala. Cuek. Entah cuek atau budek,
yang jelas ia tidak memberi reaksi apa-apa. Suto Sinting merasa heran dalam hatinya. Tapi la coba memancing reaksl si gadis dengan ianlutkan kata"kata-
nya tadi. "Akulah orang yang bergelar Pendekar Mabuk,
murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Aku
tidak ada hubungannya dengan pihak Pantai Dahaga atau Ratu Sendang Pamuas. Pendekar Mabuk
adalah Pendekar Mabuk, bukan pendekar pendamping Ratu Sendang Pamuasl"
Gadis itu memang meniengkeikan sekali. Ia tak
dengarkan kata-kata Suto. ia justru merapatkan
punggungnya ke akar pipih di sebelah kanannya,
lalu mengambil posisi slap-slap untuk tidur. Kini di
sebelah kirinya adalah bumbung tuak Suto, dan sebelah kanannya pedang yang sudah tidak ditancapkan ke tanah lagi, melainkan digeletakkan di tanah
dekat dengan tangannya. "Konyol!" geram hati Suto Sinting sambil hembuskan napas kejengkelannya.
Gadis itu lonjorkan kedua kakinya dengan satu
kaki lagi terlipat tegak. Duduknya menghadap ke
arah Suto, dengan sedikit merebah. Maksudnya sewaktu-waktu matanya terbuka dapat melihat gerakan tawanannya. Tapi Suto Sinting. merasa sengaja
dlpameri pemandangan yang mendebarka n jantung
lelakinya. Rumbai"rumbai penutup bagian dada dan
bagian bawah sengaja dihadapkan ke arah Suto,
seakan menantang sekali, sehingga napas Suto pun
mulai memberat. "Brengsek!" gerutu Suto dalam hati sambil palingkan pandang ke arah api unggun daripada api
gairahnya sendiri yang berkobar akibat menatap ke
arah si gadis. Sebab apa yang tertutup oleh pakaian
rumbaI"rumbai tampak mengintip sedikit, seakan
melambai"lambai dan cengar-cengir menggoda keusllan hasrat seorang lelaki. Kalau saja tangan Suto
tak terikat, Ingin rasanya ia menjepretnya dengan
karet gelang. "Siapa yang bernama Ratu Sendang Pemuas itu
sebenarnya' Mengapa dia yakin betul kalau aku
waktu itu ada di sarnplng sang Ratu"." Apakah sang
ratu punya pengawal yang mirip aku"!" pikir Suto
Sintlng sambil alihkan perhatiannya agar tidak ter.tuju kepada posisi tidur sl gadis yang menggoda sekali itu.
"0, ya... bicara tentang Ratu Sendang Pemuas,
berarti dia |uga tahu tentang gadis penunggang kuda putlh"! Hmmm... apakah dia yang dimaksud gadis
penunggang kuda putih" Jika bukan dia, apakah ada
hubungannya dengan Cindera Girl"!'
Rasa penasaran yang mengusik hati liu segera
dilontarkan dengan suara sedikit keras agar gadis
itu tak jadi tertidur lelap.
'Sahara....' ' Baru disebut namanya saja ia sudah membuka
matanya walau tak seluruh nya. Ini menandakan bahwa Ia tidak mudah tertidur nyenyak dan kewaspadaannya masih terjaga.
'Apakah kau juga tahu tentang gadis yang di-cari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas itu"!' tanya
Suto Slnting dan membuat Sahara makin mernbuka
mata seluruhnya. Suto menyambung kata,
"Sekitar dua hari yang lalu, aku singgah di Desia
Bumirela. Malam itu ada keributan dan aku berhasll
mengatasi. Orang-orang Waduk Bangkai yang
mengaku dibayar oleh seorang ratu bemama Ratu
Sendang Pamuas, telah menyiksa wakil lurah desa
tersebut hanya untuk mencari tahu seorang gadis
penunggang kuda putih."
Sahara tegakkan duduknya. Matanya sedikit iebih lebar: dari biasanya. Tatapan mata itu terasa
tajam menembus jantung Suto.
'Aku tidak tahu gadis mana yang dimaksud, dan
siapa orangnya. Tapi aku penasaran sekail. sebab
seorang temanku juga sempat hampir dianiaya oleh
tiga orang yang diduga dari Kadipaten Lohmina, karena ketiga orang itu Ingin tahu tentang gadis berkuda putih.'
Gadis itu diam saia. Diam sambil menatap tak
berkedip ke arah'Suto Sinting. Tentu saja ini' itu
membuat Suto menjadi salah tingkah dan terheran"heran. Akhirnya ia tersenyum canggung sambil berkata,
"Baiklah kalau kau tak bersedia bicarakan tentang gadis berkuda putih itu. Lupakan saja pertanyaanku. Tidurlah lagi kalau kau memang sudah
mengantuk. Aku tak akan lari, sekalipun aku nanti
berhasil lepaskan ikatan tanganku! Silakan tidur; lagi. Kau kelihatannya letih sekail hari ini.'
Sahara justru mendekati Suto dengan duduk di
tempat semula, tapi kali ini tidak menghadap ke arah
api unggun, melainkan langsung menghadap ke
arah Suto Sinting. Pedangnya digenggam dengan
tangan kanan dan ditancapkan di tanah tidak terlalu
dalam. "Apakah kau pernah melihatnya?"
"Melihat orang orang Waduk Bangkal, maksudmu" Oh, tentu saja aku pernah melihatnya sebab
aku yang...." : "Melihat gadis penunggang kuda putih' sentak.
Sahara memotong kata"kata Suto Sintin'g. Yang dipandang hanya nyengir malu.
"Belum. Aku justru penasaran dan ingin melihatnya. Lebih tepatnya, ingin mengetahui siapa gadis
itu 'dan mengapa dicari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas maupun orang Kadipaten Lohmina. Apakah...
apakah kau penunggang kuda putih itu?" Suto Sinting ganti bertanya sebagai pemancing percakapan
tersebut. Sahara kendurkan ketegangannya dengan
hembusan napas panjang. Ia berpaling ke kanan,
menatap api unggun yang hampir redup itu. Ia justru
sempatkan diri menambahkan kayunya dan nyala
api semakin terang kembail.
"Apa yang kau dengar dari orang"orang itu?"
tangis Sahara sambil mundur dari tepian api unggun,
dai ,. duduk kembali ke tempat semula.
"Orang-orang Desa Bumireja tak ada yang melihat gadis penunggang kuda putih, tapi seorang sahabatku."'
"Yang kumaksud, apa yang kau dengar dari para
pencari gadis penunggang kuda puth itu"!" potong
Sahara agak jengkel. "Mereka tak banyak bicara. Hanya menanyakannya pada beberapa penduduk desa, dan memaksa
wakil lurah untuk mengakui melihat gadis penunggang kuda putih. Lebih dari itu aku tak tahu apa-apa
tentang gadis tersebut. Tapi... jujur saja kukatakan
padamu, aku memang ingin tahu tentang gadis itu."
'Untuk apa kau ingin tahu jika kau memang
bukan mata-mata dari Pantai Dahaga"!"
"Hanya sekadar ingin tahu saja. Semula masalah ltu memang sudah kulupakan. Tapi berhubung
kau menyebut nama Ratu Sendang Pemuas, lalu rnenuduhku sebagai mata-matanya, maka aku |adi teringat lagi dan rasa penasaranku untuk mengetahui
siapa gadis itu mulai tumbuh iagi.' ?
Sahara diam kembali. Kali ini ia merenung dan
membiarkan dipandangi oleh Pendekar Mabuk. Hati
keci! Suto mengatakan, gadis penunggang kuda putlh bukan Sahara. Karena Sahara tampak sedang,
memikirkan gadis penunggang kuda putih iuga. .
"Apakah kau tidak bisa jelaskan tentang gadis
itu, Sahara?" Sahara memandang dengan mata tak berkedip,
kepaia sedikit tertunduk. Bola matanya bagus sekali '-
saat ia memandang dengan po sisi seperti itu. .
Suto tambahkan kata, "Hati kecilku mengatakan, gadis itu menghadapi kesulitan yang timbul dari
beberapa pihak. Agaknya aku perlu membantunya '
Jika ia gadis baik-baik: _"Ia gadis balk-balk!" sahut Sahara dengan cepat.
"Dan sedang menghadapi kesulitan"!"
"Kurasa memang begitu," jawab Sahara tegas,
tanpa senyum sedikit pun.
"Apakah dia cukUp mampu menghadapi kesulltan itu?"
"Kurasa" ," Sahara tampak ragu, tapi segera
paksakan diri untuk tegas kembali.
"Kurasa ia cukup mampu hadapi kesulitan apapun!'
"Syukurlah kalau begitu." Suto manggut"manggut kecil. "Apakah dia sahabatmu"!" pancing Suto.
' 'Dia lebih tinggi dariku."
Dahl si murid Gila Tuak itu berkerut taiam. "Maksudmu lebih tinggi "dalam hal apa"!"
Sahara hembuskan napas panjang lagi. "Lupakan tentang dial Aku mau tidur! Esok pagi kau harus
jalan lagi menulu ke peradilan!"
Setelah bicara begitu, Sahara geser mundur
dan sedikit merebah bersandar akar, posisinya seperti tadi lagi.
Kali ini Sahara tidur dengan memangku pedangnya. Tangan masih tetap berada di gagang pedang
walau tak menggenggam kencang. Sebenarnya saat
itu adalah saat yang mudah bagi Suto Sinting untuk
melarikan diri, atau melumpuhkan Sahara dengan
jurus 'Napas Tuak Setannya.
Tapi Suto tak mau lakukan juga. Hatinya justru merasa Iba melihat gadis Itu tidur dengan kepala
miring ke kiri. Seluruh ucapan gadis Itu dicerna kembali dalam benak Suto. lalu kesimpulan di batin Suto
mengatakan, Sahara adalah seorang prajurit. Setidaknya seorang anak buah yang punya nilai pengabdian cukup besar dan berani pertaruhkan nyawa
demi atasannya. "Jika ia mengatakan bahwa gadis penunggang
kuda putih itu lebih tinggi darinya, apakah itu berarti
dia adalah anak buah si gadis penunggang kuda
putih tersebut"!" tanya Suto dalam hatinya sendiri.
'Apakah aku akan diserahkan kepada .si gads
penunggang kuda putih itu"! Jika benar begitu, sebaiknya kuikuti saja apa maunya- Biarlah aku jadi tawanannya. karena aku ingin jumpa dengan gadis
penunggang kuda putih itu dan ingin tahu persoalan
yang sebenarnya. Lebih-lebih aku dituduh sebagai
mata-mata Ratu Sendang Pemuas, setidaknya aku
ingin dapat berhadapan dengan orang yang bergelar Ratu Sendang Pemuas itu."
Suto Sinting akhirnya redupkan mata. Ia juga
ingin tidur daripada buka mata dan tersiksa batinnya
melihat pemandangan yang ada di depannya; paha
mulus, dada seksi, pinggul menggiurkan, blblr
menggemaskan, dan semua itu memang sengaja
dipamerkan sebagai siksaan bagi sang tawanan.
Namun baru saia Suto pejamkan mata, la mendengar suara langkah yang mencurigakan. Langkah
itu seperti bukan langkah hewan, tapi langkah manusia yang mengendap endap.
"Ada yang mendekat kemari. Sepertinya berasal
dari arah belakang Sahara"l' pikir Suto, kemudian
dengan gerakan pelan ia menggulingkan batu
sebesar genggaman dengan kaki kirinya. Batu itu
bergulir dan kini berada di atas telapak kaki kanannya. Ia masih berlagak memejamkan mata, namun
sebenarnya mata itu tak tertutup rapat. ia masih bisa
melihat gerakan orang yang memang muncul dari
pohon belakang Sahara. "Oh..."! Seorang lelaki lebih tua dari Ganda
Wirang"! Hmm... badannya besar, kumisnya tebal,
pakaiannya serba hitam, wajahnya tampak bengis.
tapi nyalinya kecil sekaii"i Ooh... dia membawa plsau"l"
Lelaki yang diintai Suto itu berikat kepala merah
dengan rambut ikal tak sampai pundak. Ia menggenggam pisau bergagang dari gading. Panjang mata plsau sekitar dua iengkal. Bentuknya hampir seperti badik besar, ujungnya runcing.
Orang itu mengendap"endap dari belakang Sahara. la berlindung di balik akar pipih seperti dinding
itu. Padahal akar itulah yang dipakai bersandar Sahara.
ia memandang Suto beberapa saat, kemudian
setelah merasa yakin bahwa pemuda yang dipandangnya juga tertidur, ia memperhatikan Sahara dari
balik akar itu. Kejap kemudian, tangan yang menggenggam pisau ltu terangkat ke atas. ia ingin menikamkan pisau itu di dada Sahara, atau mungkin sasarannya ieher Sahara.
Ketika pisau itu mau diayunkan ke bawah, kaki
Suto Sinting segera berkelebat menendang. Batu
yang ada di atas telapak kaki itu melayang cepat sekali. Wuuut...! Praak...i
"Aaoow...l' orang itu memekik keras karena kepalanya terkena batu tersebut. Kepala itu langsung
bocor dan mengucurkan darah. sedangkan batunya
jatuh di pangkuan Sahara. Orang itu sendiri terpeianting menggeioyor ke belakang.
Sahara segera bangkit. ia amat terkejut melihat
wajah orang itu berlumur darah. Tapi agaknya ia
masih kenali siapa orang bertubuh besar yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Seet...l Sahara segera acungkan pedang di dada orang yang berdiri terpojok sudut kedua akar
yang mirip bilik itu. "Buang plsaumu. Krakaro"!" gertak Sahara dengan suara dan sikap tampak kalem tapi sedingin
seorang pembunuh tak kenal ampun.
'Hhhrrgg...i' Krakaro menggeram ganas, giginya saling menggegai kuat. Pisaunya tak dibuang.
ia bahkan gerakkan kakinya menendang tangan Sahara dengan gerakan cepat. Beeet. piaaak...i Tangan Sahara tersentak ke atas. Ujung pedangnya
menggores sedikit di dada Krakaro. membuat baju
hitam orang itu robek dan kuiit dadanya tampak berdarah karena goresan.
Namun ia tak peduli. dan bahkan segera menghujamkan pisaunya ke perut Sahara dengan suara
mengerang mirip singa ganas.
"Haaarrrgg...!"
Sahara lompat ke belakang hindari jangkauan
tangan Krakaro. Gadis itu segera memutar tubuh


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi memunggungl Krakaro yang mengejar, lalu
"pedang Sahara menyelinap ke belakang. Wuuut,
jruUb" .! "Aaaakkkhr... Krakaro mendellk, uiu hatinya ditembus pedang
Sahara yang dihujamkan ke belakang dengan satu '
tangan, sementara tangan yang kiri terangkat ke
atas menjaga keseimbangan. Pedang itu nyaris tembus ke punggung Krakaro karena hentakan tangan
Sahara cukup kuat dan tepat pada sasarannya.
"Ooh... kenapa harus dibunuh"!" gumam Suto
Sinting agak menyesal. _Sahara mencabut pedang dari ulu hati Krakaro.
Siuuub...! Wajah gadis itu tetap tampak dingin. Krakaro jatuh ke belakang, tersandar batang pohon.
kemudian melorot ke bawah dengan mulut terbuka
dan nyawa melayang entah ke mana.
Suto Sinting hembuskan napas. ia kurang setuju dengan tindakan Sahara. Tapi setelah dipikir-pikimya, Sahara sudah cukup bijak, menyuruh Krakaro membuang senjatanya- Tapi Krakaro nekat akhirnya Sahara ambll tindakan tegas.
"Dengan apa kau membocorkan kepalanya tadl"l" tanya Sahara sambil dekati Suto Sinting.
"Dengan batu di atas kakiku'," jawab Suto apa
adanya. "Hemm...l" Sahara manggut-manggut. "Kalau
begitu aku harus hati-hati dengan kakimu."
Suto Sinting tersenyum getir.
'Dia adalah Krakaro, mata"mata dari Lereng Curam. Dia juga punya maksud yang sama dengan ratumu; si Sendang Pemuas."
"Lereng Curam.--"!' Suto Sinting menggumam
bernada heran. ia pernah mendengar nama tempat
tersebut ingatannya segera berputar dan akhirnya
temukan sebuah nama yang pemah disebutkan oleh
Tirai Surga, yaitu nama Perguruan Pintu Neraka dan
nama ketuanya: sl Beruang iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : 'Daiam Pelukan Musuh')..
"Sebagai mata-mata Tebing Curam, ia layak mati
karena tak mau menyerah!" tegas Sahara sambil
membersihkan pedangnya yang berlumur darah
Krakaro memakai dedaunan.
"Aku pernah mendengar nama tempat itu. Kalau
tak salah di sana ada perguruan yang bernama Perguruan Pintu Neraka, ketuanya berjuluk si Beruang
iblis!" 'Kau sahabat Beruang iblis"l' ujar Sahara
penuh curiga. 'Aku hanya pernah mendengar nama itu dari
sahabatku yang menjadi musuhnya. Aku pernah
berjanji padanya untuk membantu menumbangkan
si Beruang ibllsl Karena itulah aku menuju ke Bukit
Sawan untuk temui sahabatku itu. Tapi kau menangkapku dan menawanku begini!"
Sahara acuh saja dengan keluhan itu. ia bahkan
berkata sambil bersihkan pedangnya lagi dengan
dedaunan. "Sudah yang keempat kail ini Beruang lblis gagal mengirimkan utusannya untuk menjadi pencuri
laknat!" 'Apa yang ingin dicurinya"!" tanya Suto, tapi
pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Sahara justru
mengatakan hai yang membuat Suto jadi kesal hati
iagi. 'Kurasa kau memang orangnya Ratu Sendang
Pamuas, sebab kau kenal dengan si'Beruang Iblis
dan tahu persis nama perguruannya. Kudengar kabar. Beruang iblis sedang merencanakan untuk bergabung dengan pihak Ratu Sendang Pamuas. Mereka akan membentuk persekutuan busuk untuk
menyerang kami! Benar, bukan"!'
"Mana kutahu"i" Suto bersungtrt"Sungut.
'Tak usah berpura"pura lagi di depahkui' gumam Sahara yang membuat hati pemuda tampan itu semakin dongkol.
sahara tak pernah memberitahu akan dibawa kemana tawanannya itu. Sang tawanan hanya bisa memendam kedongkolan dalam hatinya. Mau tak mau ia tetap harus meiangkah mengikuti perlntah Sahara. Gadis itu sepertinya tak pernah tahu berterima kasih. Sudah tiga kali nyawanya
diselamatkan oleh Pendekar Mabuk, namun masih
tetap menganggap Pendekar Mabuk adalah mata-matanya Ratu Sendang Pemuas.
Sahara berjalan di belakang Suto. Setiap Ingin
membelok ke kiri atau ke kanan, Sahara hanya berseru keluarkan perintah dan Suto melakukannya.
Anehnya, sejak peristiwa malam kematian Krakaro,
gadis itu semakin menjadi gadis pendiam. Beberapa
pertanyaan Suto tak dijawabnya. Kalau toh ia mau
menjawab, hanya satu-dua kata saja.
"Mengapa kau jadi pendiam, Sahara"
Pertanyaan itu pun tak dijawab. Sahara hanya
keiuarkan kata perintah, "Jalan terusl' Suto Sinting terpaksa melangkah lagl. Namun
kali Ini iangkahnya diperiambat ketika meiewati kakl
perbukitan yang merupakan tanah tandus tak berpohon itu. Kelambatan langkah Suto Slnting diiakukan karena ia melihat beberapa orang berdiri di perbukitan yang tak seberapa tinggi itu. Jarak mereka
satu dengan yang lain sekitar tiga puluh iangkah.
Namun sikap mereka berdiri yang meman dang ke
arah Suto Sinting mengundang tanda tanya sendiri
di dalam hati si Pendekar Mabuk.
Orang-orang di atas perbukitan itu diam tanpa
lakukan tindakan apa pun. Padahal mereka bersenjata; pedang, tombak, ada pula 'yang bersenjata
cambuk. Suto Sinting melangkah sambil memperhatikan mereka, sehingga punggungnya didorong oleh
Sahara dengan agak kasar.
"Ayo, cepat"i"
"Tunggu" sergah Suto. "Apakah kau tak meiihat
orang"orang di atas perbukitan itu"!"
"Itu bukan urusanmui'
'Tapi mereka mengawasi kita"!"
"Mereka orang Suku Shakih! Penjaga perbatasan. Ayo, jalan terus!"
Suro Sinting didorong iagi, terpaksa melangkah
kembali. "Orang Shaklh"i Jadi Shaklh Itu nama suku?"
Sahara diam saja, matanya memandang ke arah
orang"orang di atas perbukltan Itu.
"Jika mereka dari Suku Shaklh, iantas kau dari
suku apa"i" 'Mabayoi" jawab Sahara pelan dan datar, matanya tak mau memandang Suto Sinting. Padahal saat
itu Suto Sinting terperanjat mendengar nama Suku
Mabayo. Ia ingat cerita _Badrun tentang Suku Mabayo. Cerita yang didengarnya hanya sepintas itu ter-
nyata sekarang meniadi sangat berguna bagi Pendekar Mabuk.
"Jadi... iadl kau adalah masyarakat dari Suku
Mabayo yang tinggal di Hutan Malaikat itu"i"
Sahara tidak menjawab. Wajahnya tampak keras, penuh ketegasan dan bersikap cuek. Sementara itu Ingatan Suto kembali menyusuri kata"kata
Badrun tentang gadis penunggang kuda putih yang
berasal dari Suku Mabayo.
"Sekarang bisa kutebak," kata Suto. "Kau adalah
sahabat gadis penunggang kuda putih itu. Sebab
menurut penjelasan sahabatku, gadis penunggang
kuda putih itu berasal dari Suku Mabayo Benar,
bukan"i" desak Suto. Tapi mata Sahara hanya memandang dingin, mulutnya membungkam tanpa sepatah kata pun. Wajahnya tetap kelihatan ".
cantik2 galak. Mereka tiba di tepi sungai. Sahara diperintahkan Suto Sinting untuk seberangi sungai.
"Aku tak bisa berenang menyeberang kalau ikatantanganku tak kau lepaskan," ujar Suto beralasan
padahal ia bisa menyeberang sungai tanpa harus
berenang. Dengan melompati dedaunan atau benda
apa saja yang mengambang di permukaan air, lurus
perlngan tubuhnya dapat dipakai untuk menyeberangi sungai. Tetapi ia sengaja berlagak bodoh agar
Ikatan tangannya dilepaskan.
Sahara bukan gadis yang mudah dikeiabuhl. Sekalipun aiasan Suto masuk akal, tapi ia tetap tidak
mau lepaskan akar pengikat kedua tangan Itu. Tanpa
diduga"duga Sahara melepaskan totokan ke tengkuk Suto. Deees...l Totokan itu melumpuhkan seluruh urat si Pendekar Mabuk, dan membuat Pendekar
Mabuk menjadi tak berdaya. Terkulal lemas dalam
keadaan masih sadar, masih bisa memaki dalam hatinya.
Dengan sedikit gunakan kekuatan tenaga dalam, gadis itu mengangkat tubuh Pendekar Mabuk.
dan memanggulnya. Kemudian Ia menyeberangi sungai tersebut dengan lakukan lompatan"lompatan
perlngan tubuh dari ujung"ujung batu yang tersumbul dari kedaiaman air.
Tab, tab, tab, tab, teb...l
Sampai di seberang sungai ia tidak lepaskan
totokannya. Suto tetap dlpanggulnya dan dibawanya
lari. Gerakan larinya cukup cepat. dan dalam waktu
singkat ia sudah sampai di perkampungan Suku Mabayo di kedalaman Hutan Malaikat. Totokan pun segera dilepaskan. Suto Sinting bergegas bangkit terduduk.
Sahara segera mencengkeram baju Suto dan
menarikya ke atas agar Suto Sintlng berdiri. Pendekar Mabuk terbengong pandangi orang-orang
perkampungan Suku Mabayo itu. |
Ternyata kaum wanita lebih banyak daripada .
kaum lelakinya. Para wanita Suku Mabayo mengenakan pakaian minim seperti yang dikenakan Sahara. Mereka berkullt coklat sawo matang, dan rata rata kaum wanitanya bertubuh indah. Tinggi, padat,
berisi, dan masing"masing mempunyai dada yang ,
montok. Wajah mereka pun hampir mempunyal kecantikan yang seimbang, hanya berbeda corak kecantikannya.
Kaum wanita Suku Mabayo mempunyai hidung
mancung-mancung dan alis iebat namun tunbuh dengan rapl. Mata mereka bening"bening dan berbulu
mata lentik, seperti mata Sahara. Rambut mereka
keriting semua. Keriting kecil-kecil, halus sekali.
nyaris tak kentara kerltingnya. Namun potongan
rambut mereka berbeda-beda.
Kaum lelakinya berperawakan tegap dan gagah.
Namun yang memiliki ketarnpanan seperti Suto Sintlng tidak ada. Umumnya ketampanan meka tergolong cukup lumayan. Berkulit gelap dan berdada
bidang, namun yang sekekar Suto Sinting tak ada.
Hanya tinggi tubuh mereka memang rata-rata seukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk.
"Suku Mabayo..."!' gumam hati Suto Sinting.
'Rupanya di sinilah akhir perjalananku sebagai tawanan," sambil mata Suto Sinting pandangi rumah-rumah yang berbentuk kerucut terbuat dari rumbia.
Menurut perkiraan Suto Sintlng, perkarnpungan itu
terdiri dari sekitar dua puluh sampai tiga puluh rumah. Mereka berkelompok, sehingga satu dengan
yang lain mudah saling berhubungan. Jarak dari
rumah ke rumah sekitar empat langkah. Nanun mereka mempunyai tanah lapang yang tak berpohon
kecuali tatanan rumput, itu pun tak sesubur runput
di tempat lainnya. Rumah-rumah itu dibangun mengeiiiing tanah lapang yang luasnya separuh lapangan boia itu.
Di tengah tanah lapang ada tanah. yang menggunduk tak seberapa tinggi, kira-kira hanya setinggi
satu betis. Di tengah gundukan itu ada tiga tiang
tinggi sebesar pohon pinang. Suto tak mengerti apa
kegunaan tiang itu. Yang jelas, kini ia sedang menjadi pusat perhatian hampir seluruh penghuni perkampungan suku Mabayo. Wajah para wanita yang memandangnya berkesan dingin dan sinis.
Tiga orang bersenjata pedang di punggung
hamplri Sahara yang masih mencekal lengan Pendekar Mabuk. Ketiga wanita yang mendekat itu tampak berusia sedikit iebih tua dari Sahara, sekitar du-a
puluh delapan tahun- Satu orang dari mereka berambut pendek seperti potongan lelaki. Satu lagi berambut panjang
namun diguiung ke atas dengan sisanya berjuntai
seperti ekor kuda. Yang satunya mempunyai rambut
sepundak namun bagian depannya pendek sekali.
Wajah mereka cantik-cantik dengan bibir sensuai
dan berwarna merah ranum. Tetapi dari sorot matanya mereka tampak tegas-tegas dan punya wibawa
tersendiri. "Siapa yang kau bawa ini, Sahara"!'
"Aku menangkap mata-mata dari Pantai Dahaga
Orangnya si Sendang Pamuas!"
Yang tengah maju dekati Suto Sinting. Tanganya segera mencengkeram dagu Suto dengan kasar. hingga mulut Suto monyong ke depan. Suto Sinting sempat kaget dan mendelik tegang.
"ingin rasanya kuhancurkan wajah tampanmu.
Jahanam!" geram wanita berambut cepak itu dingin penuh
kebencian tercurah di wajahnya.
'Madesya... jangan sentuh dulu dia" ujar si rambut sepundak. "Biar sang ketua yang tanganli'
"Benar, Madesya! Kita tunggu saja kedatangan
sang Ketua," timpal yang rambutnya digulung keatas dan mengenakan kalung manik"manik putih
kecil". 'Hmmmh...!" Wanita yang bernama Madesya itu
meiepaskan cengkeraman tangannya hingga wajah
Suto tersentak ke kiri. ia pun mundur ke tempat semula.
"Aku bukan mata-matal Sahara yang salah paham dan...."
'Tutup mututmu!" bentak Madesya sambil menuding dengan kasar.
Wanita yang rambutnya diguiung naik itu berseru memanggii seseorang.
"Sambu...! Sambu...!"
Seorang pemuda sebaya dengan Suto berlari
menghadap wanita itu. Sikap berdirinya tampak
menghormat dan wajahnya penuh kepatuhan. Pemuda itu hanya kenakan ceiana dari kuiit binatang
warna hitam, berbentuk seperti rok yang sangat mini. Rambutnya kerlting lembut sepanjang pundak.
Ikat kepaia dari tali biru.
"Sambu, ikat dia di tiang tengah?"
"Baik, Barana!" jawab Sambu dengan patuh.
Kemudian ia menarik Suto Sinting dan membawanya ketiang di atas gundukan tanah itu. Suto Sinting
tak mau meronta. karena hanya akan bikin tuduhan
semakin berat. ia menurut, saja dengan kalem, tangannya masih terikat di belakang.
Sebelum itu Suto mendengar wanua yang dipanggii Sambu dengan nama imang bicara kepada
wanita yang berambut sepundak tapi bagian depannya pendek sekali itu.
"Siapkan tiang gantungan, Jenda'
"Apakah dia sudah pasti dijatuhi hukuman gantung"l"
"Persiapkan sajai' sergah lmang. Maka wanita
yang ternyata bernama Jenda itu pun segera memanggii beberapa pemuda dan beri perintah untuk
persiapkan tiang gantungan.
Pendekar Mabuk terikat di tiang tengah. Tali
penglkatnya bukan dari 'Akar Serat Setan" tapi dari
jenis tali rami berukuran besar, mirip tambang kapal.
Kedua tangan Suto masih tetap terikat dengan "Akar
Serat Setan". ia menjadi bahan tontonan para penduduk perkampungan Suku Mabayo itu. Ada yang secara terang-terangan menonton, ada yang sambil
lakukan kesibukan dari depan atau samping rumah
mereka. Dua orang pemuda sebaya dengan Suto menjaga di kanan"kiri. membawa senjata tombak yang
panjangnya melebihi tinggi tubuh Suto SintIng. Sementara itu. Jenda, lmang, Madesya, Sahara, dan
beberapa wanita berpedang berkumpul di seberang
tanah gundukan itu. Mereka saling berkasak"kusuk
dengan wajah wajah tegang. Suto Sintlng memperhatikan sekeliling tempat itu sambil sesekali!
menatap kearah para wanita berpedang.
"Aneh. Tak ada orang tua dl sini"! Rata-rata
mereka berusia sebaya dengan Sahara. Setua-tuanya hanya seperti Madesya"l" ujar Suto Sinting dalam hatinya. "Kelihatannya kaum wanita lebih
berkuasa di sini, sedangkan kaum lelakinya patuh
dengan perintah kaum wanita. Hmmm... tak kulihat
juga ada anak-anak di sini" Apakah mereka perempuan-perempuan mandul" Atau mereka sengaja tidak kawin"i"
Sekali lagi Suto mencari sosok anak-anak dengan pandangan matanya, namun Ia tak temukan
satu anak pun. Uaia paling muda yang ditemukan
melalui pandangan matanya adaiuh berusia sekitar
tujuh belas tahun. "Sepertinya mereka tidak mengenai hubungan
suami-Istri," Pendekar Mabuk kembali membatin.
"Tampaknya mereka tak mengenal kemesraan. Tak
ada yang kelihatan tertarik padaku. baik secara
mencuri pandang atau terang-terangan. Anehi Apakah mereka perempuan-perempuan dingin"i Perempuan"perempuan tak mengenal cinta dan kemesraan"!"
Memang aneh kehidupan orang orang Suku
Mabayo itu. Biasanya, di mana saja Suto muncul selain ada wanita yang menaruh perhatian khusus
kepadanya. Satu-dua wanita akan menampakkan
rasa terpikatnya terhadap ketampanan atau kegagahan Pendekar Mabuk. Tapi agaknya hal itu tidak
berlaku di perkampungan Suku Mahayo. Mereka tak
kelihatan ada yang tertarik dengan ketampanan atau
kegagahan Suto Sinting. "Alangkah gersangnya," pikir Suto. 'Alangkah
sepinya kehidupan yang tak mengenal cinta dan
kemesraan. Lalu... lalu bagaimana cara mereka berkembang biak" Apakah melalui penyerbukan"! Ah.
kok seperti tanaman saja" Tak mungkin itu! Laiu...
apakah mereka tidak ingin melestarikan kehidupan
sukunya" Aneh sekail. Baru sekarang aku bertemu
dengan orang-orang yang tidak mengenal kemesraan sama sekali. Mereka dikatakan kolot ya tidak,
dikatakan tidak ya koiot. Seharusnya mereka beranak-cucu agar penerus keturunan Suku Mabayo
tetap ada!" Pendekar Mabuk mencoba menangkap percakapan mereka dengan menggunakan jurus 'Sadap
Suara'. Tetapi ia justru bingung sendiri, karena mereka bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Pendekar Mabuk. Rupanya mereka mempunyal bahasa sandi tersendiri, atau bahasa daerah
yang belum pernah didengar oleh Suto sebelumnya.
Sampai menjelang sore, Suto Sintlng dibiarkan
terikat di tiang tanpa diberi makan ataupun minum.
Bahkan diajak bicara pun tidak. ia mendahului
mengajak bicara kedua penjaga bersenjata tombak
itu, tapi tak satu pun ada yang menjawab. Bahkan
memandangnya pun tidak. Baru saja Suto Sinting Ingin berteriak supaya
menarik perhatian mereka dan diajak bicara, tapi
tiba"tiba niatnya ditangguhkan karena perhatiannya
terpusat. pada suara derap kaki kuda yang makin
lama semakin jelas. Sahara, imang, Madesya, dan
wanita-wanita perpedang lainnya segera bubar, mereka membentuk barisan berjajar di sepanjang jalanan depan tempat Suto diikat itu.
Kejap berikutnya, Pendekar Mabuk bagal terhipnotis di tempatnya. Wajahnya menegang;
matanya terbelalak, mulutnya ternganga, napasnya
tertahan, tenggorokan tersumbat, dan... burung pun
terbang. Burung di rerumputan terbang karena derap
kaki kuda mendekatinya. Kuda itu adalah kuda putih.
Penunggangnya seorang gadis cantik berambut, sebagian dikonde di tengah kepala, sisanya merlap sepunggung. Rambut itu bergerai-gerai karena sentakan kuda putih yang ditungganginya-
?"Gadis... gadis penunggang kuda putih..."!" gumam hati Pendekar Mabuk dengan lidah masih kelu.
Sahara dan para wanita berpedang tundukkan
kepala menyambut kedatangan gadis berkuda putih
itu. Kedua penjaga di kanan kiri Suto Sinting juga
tundukkan kepala walau tugasnya berbeda, karena
orang"orang iainnya pun memberi hormat dengan
cara yang sama. Seluruh kesibukan dihentikan sesaat hanya untuk menyambut kedatangan gadis penunggang kuda putih.
"Oh, rupanya dia kepala sukunya"!' gumam hati
Suto Sintlng masih belum bisa kedipkan mata. "Pantas Sahara pernah bilang bahwa gadis itu lebih tinggi darinya, rupanya karena gadis itu kepala sukunya
maka Sahara tak berani sebutkan sembarangan!"
Madesya dan jenda segera pegangi tali kekang
kuda saat kuda berhenti tepat di depan Suro Slnting.
Gadis cantik itu lemparkan tatapan matanya ke arah
Suto hingga beberapa saat. Suto Sinting berdebar-debar dan muiai sadar dari tertegunnya, ia saiah
tingkah dan segala yang dipandang terasa serba
saiah. Sesaat kemudian gadis itu pun turun dari atas
-- kuda, tapi masih tetap memandang ke arah Pendekar Mabuk. Bahkan ia berjaian dekati gundukan
tanah, tapi belum sampai naik ke. atas gundukan itu.
"imang! Siapa orang ini"!" serunya sambil tetap
memandang Pendekar Mabuk. Rupanya seng kepaia suku juga belum pernah mendengar ciri-ciri
Pendekar Mabuk, sehingga ia masih merasa asing
dengan wajah dan penampilan si Pendekar Mabuk
itu. "Sahara menangkap mata-mata dari Pantai Dahaga, Ketua" dia! imang dengan suara tegas daniantang.
Suro Sinting menyahut, "itu tuduhan yang salah,
Ketual Aku tidak punya hubungan apa pun dengan
Pantai Dahaga maupun Ratu Sendang Pamuas
Sumpah! Berani dikutuk jadi raja kalau pengakuanku ini bohong!"
Gadis yang tampak. masih muda namun punya
sikap yang cukup matang itu sunggingkan senyum
tipis. Pendekar Mabuk berdesir bagai jatuh dari
ayunan begitu melihat senyuman kecil yang iuar
biasa indahnya itu. Untuk sesaat ia tak bisa bicara
pandangi si gadis berjubah emas. Jubahnya itu tanpa lengan dan tanpa kancing. Pakaian dalamnya
hanya berupa penutup dada dan penutup bagian
bawah yang terbuat dari kulit macan tutul. Sangat
kecil sekali penutup itu. bahkan tampaknya hanya
' rapat di bagian atas saja, semacam rok yang mudah
tersingkap atau sengaja disingkapkan sewaktu-waktu.
Satu"satunya gadis yang memakai jubah itu
seiain berhidung mancung juga berleisung pipit di
sudut senyumnya. Manis sekali. idia memgenakan gelang emas di lengan atas, dekat ketlak. Sebuah kalung emas berbandul batu hijau berukuran sebutir
anggur melingkar di lehernya yang berkuli t sawo
matang itu. "Ketua, aku mohon dibebaskan karena aku bukan mata-mata," ujar Suto agar tak tampak grogi.
Senyum sang Ketua kian meiebar, lesung pipitnya semakin menikam kerinduan di hati Pendekar
Mabuk. Sebab calon istrinya yang' bernama Dyah
Sarlningrum juga mempunyai lesumg pipit di sudut
senyum manisnya itu. "Kalau kau bukan mata-mata. x_nengapa kau ditangkap"!"
'Gobiok yang nangkap saya" suto Sinting bersungut-sungut. Tapi sang Ketua semakin tebarkan senyum. bahkan terdengar tawanya '.yang sangat manis
dan pendek itu. Tiba-tiba ia bersuara tegas. ' 'Madesya! Bawa dia
ke ruang pengadilani' 'Baik Ketua!" '_ Suto segera berkata, 'Aku minta seorang pembela!"
'Aku yang akan jad! pembelamu ujar sang Ketua
cantik dengan sunggingkan senyum lincah lagi.
"Aku pembeiamu, tapi juga penuntutmu, termasuk
hakim yang akan mengadilimui'
Pendekar Mabuk tak bisa bicara selain memandang antara kagum dan dongkoi.
RUMAH berbentuk kerucut itu berfungsi sebagai ruang pertemuan, termasuk ruang pengadiian juga. Di rumah kerucut itu ada kursi berukir diiapisi emas pada tepiannya dan gading di bagian punggung kursi.
Sang kepala suku duduk di kursi yang menyerupai singgasana dan punya iantai iebih tinggi itu.
Sementara para wanita berpedang yang berperan
sebagai prajurit itu memenuhi ruangan tersebut.
Suto Slnting berdiri di depan sang Ketua dalam keadaan tangannya masih terikat. Sahara ada di samping Suto, seolah-olah sebagai pihak yang mengajukan tuntutan dalam persidangan itu. '
"Apakah ada barang-barang buktinya"i' tanya
sang Ketua. "Hanya bumbung tempat tuak ini, Ketua." ujar
Sahara sambil serahkan bumbung tuak itu. Laiu ia
tambahkan kata, "Tuak itu punya khasiat yang iuar
biasa hebatnya. Selain dapat melenyapk an luka 'daiam waktu singkat. juga bisa memulihkan te naga dan
menyegarkan badan." |
'Sudah kau buktikan"!" tanya sang Ketua sambil pandangi bumbung tuak.
'Tlga kali saya 'terluka, tapi selalu sembuh
setelah minum tuak itu. Tiga kail pula dia menyelamatkan
nyawa saya dari ancaman maut Cindera Girl, Ganda
Wirang, dan Krakaroi' Sang Ketua manggut"manggut dengan senyum
tipis. ia pandangi Suto sesaat sambil masih pegangi
bumbung tuak itu. "Benar kau memiliki bumbung tuak ini"l'
'Benarl" jawab Suto Sinting pendek.
"Karena kau telah selamatkan nyawa Sahara
tiga kali, maka kuberi imbaian yang sepantasnya."
Sang Ketua memandang Sahara, 'Buka ikatan
tangannya sebagal imbalan atas jasa baiknya selama menjadi mata-mata pihak lawan!"
"Kuklra dapat imbalan apa?" gerutu Suto Sinting lirih sambil membiarkan Sahara membuka akar
pengikat itu dengan pelan-pelan sekali. Jika tidak
dilakukan dengan pelan-pelan atau diputus dengan
Secara cepat, akar itu akan menjerat lebih kencang
lagi. Pendekar Mabuk agak lega kedua tangannya
kini telah lepas dari tali pengikat. ia menggosok"gosok pergelangan tangannya sambil,memandang ke
kanan-kiri. "Tawanani" ujar sang Ketua. "Benarkah tuakmu
punya khasiat untuk lenyapkan luka dan sehatkan
badan"!" "Benar! Coba saja kalau tak percayai" jawab
Suto Sintlng agak ketus karena masih dongkol.
sang Ketua membuka tutup bumbung itu. Ia
ingin..' memeriksa tuak tersebut, tapi lebih dulu te
tarik pada tempurung hitam yang menjadi penutup
bumbung itu. Sang Ketua kerutkan dahi, lalu sedikit
terperanjat melihat gambar wajah orang pada tempurung itu. Lalu ia tersenyum dan geieng-geleng
kepala sendiri. Semua anak buahnya Ikut berkerut
dahi, wajah mereka memamerkan keheranan. Sahara pun tampak sedikit terperanjat ketika sang Ketua
menghadapkan gambar wajah orang di tempurung
itu. Bahkan Sahara segera menatap Suto Sinting dengan dahl berkerut. Suto Sinting juga berkerut dahi
karena bingung melihat ekspresi wajah mereka.
"Tawanan! Kau dapatkan dari mana sebenarnya
tempurung ini"!" tanya si Ketua cantik itu.
"Dari seorang sahabatku yang menjadi pengemis."
'Slapa namanya"i"
'Badrunl' jawab Suto tegas dan jelas.
Terdengar suara menggaung'seputl lebah. Itulah suara para wanita berpedang yang berkasak-kusuk dengan wajah tegang. Sang Ketua tetap kalem,
tapi Sahara jadi tampak grogi, wajahnya. memancarkan kecemasan. Suto Slnting pandangi ke sana"sini
dengan penuh rasa heran. 'Kenapa..."l" tanyanya kepada sang Ketua cantik yang masih menyandang pedang di punggungnya. Pedang itu bergagang dan bersarung emas dengan rumbai"rumbai benang merah.
"Sahara, apakah kau tak meiibat tempurung ini
sejak menyita bumbung tuaknya"i"
"Saya... saya tidak memperhatikan, Ketual' jawab Sahara dengan rasa takut.
'Tawanan! Sebagai mata-mata yang tertangkap
kau harus diadu dengan sepuluh orangku. Mereka
adalah para prajuritku yang kuat"kuat dan menjadi
andalan suku kami. Jika kau unggul melawan mereka, kau bebas. Tapi jika kau tidak unggul, nyawamu
yang bebas bergentayangan ke mana"mana!"
"Hmmm, eeeh... aku bersedia saja, tapi...."
"Tapi karena kau menyimpan tempurung ini,"
sahut si Ketua. "maka aku cukup. menghukummu dengan satu tebakan. jika kau salah menjawab, kau
akan celaka. Celaka itu! bisa membuatmu mati atau
cacat seumur hidup."
'Tebakan"l" Suto Slntlng heran sekali.
"Kau hanya punya kesempatan menjawab satu
kali! "Tebakan apa maksudmu"l"
"Mana yang-lebih hebat; rembulan atau matahari?"
'Hah..."l" Suto Sinting justru terperangah.
"Kau kusuruh menjawab. bukan kusuruh terperangah seperti kuda menelan gentong!" ujar sl Ketua. Semua yang berkasakukusuk tadi menjad! bungkam. Suasana sangat hening. Napas mereka pun tak
terdengar. Sang Ketua mengulang pertanyaannya, "Mana
yang lebih hebat; rembulan atau matahari?"
Sulo Slntlng ingat tebakan Badrun yang diberikan kepada tiga orang kaya itu. Bahkan pada malam
setelah pengusiran orang"orang Waduk Bangkai,
Suto Sintng dan Badrun mengupas kembali soal tebakan tersebut. Memang jawaban itu terkesan konyol atau main"main, tapi kala itu Badrun tetap ngotot bahwa jawabannya tidak salah.
Maka, walau hati Suto Sintlng merasa heran dan
kurang yakin dengan jawaban yang pernah didengarnya dari Badrun, namun di situ ia mencoba
menggunakan jawaban tersebut. Ia menjawab dengan suara lantang.
"Rembulan dan matahari, lebih hebat rembulan.
Karena rembuian bisa menerangi malam, sedangkan matahari tidak bisa menerangi maiam. Matahari
muncul pada waktu slang. Padahal siang itu sudah
terang. Jadi untuk apa ia muncul slang hari. Tetapi
rembulan muncul pada waktu malam menjadi gelap.
Jadi cahayanya berguna bagi kehidupan manusia!"
. Prok, prok, prok, prok...l
Suara tepuk tangan itu diawali dari sang Ketua
'-cantik. Yang lainnya lkut-ikutan tepuk tangan. Wajah
mereka mulai tampak berseri. Sahars sendiri mulai
bisa tersenyum Walau kecil. Tapi senyum Itu mencengangkan Pendekar Mabuk karena mempunyal
keindahan yang sama dengan senyum sang Ketua.
apakah... apakah iawabanku ini kau anggap
benar !" tanya Suto Sinting kepada sang Ketua.
'kalau jawabmu salah kau akan muntah darah
sampa seluruh darahmu hsbls. Karena tebakan itu
sebenarnya adalah ilmu...."
"Kedung Getlh'l" sahut Suto Sinting.
"Benar! Dan aku yakin kau pasti bisa. menlawab
dengan benar, karena adikku selalu memberitahukan jawaban dari tebakan itu kepada orang yang
akan singgah kemari!"
"Adlkmu..."!" Suto Slntlng kembali kerutkan dahi dengan rasa heran lebih besar lagi.
"Badrun adalah adik bungsukul Tapi karena dia
masih anak-anak, maka dia tak boleh tinggal di perkampungan sebelum berusia tujuh beias tahun. Kelak jika ia sudah berusia tiga puluh tahun, Ia pun harus pergi mengembara tak boleh tinggal di perkampungan. Begitulah aturan leluhur Suku Mabayo
yang berjalan secara turun temurun!
"Oh, pantas di sini tak ada anak-anak atau orang
tua"!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Madesyal Siapkan jamuan makan untuk tamu
kita Ini, karena dia bukan calon pencurl Batu Selaput
Dara." 'Baik, Ketua! Apakah kita akan pesta"!"
'Ya. Kita akan pesta bersama tamu tampan kita
ini!" sambll sang Ketua melirik Suto Slnting dengan '
senyumnya yang menawan. Baru sekarang ada
orang yang tersenyum dan bersikap menggemaskan hati seperti itu.
"Tunggu dulul' sergah Suto Slntlng. 'Apa yang
kau maksud dengan Batu Selaput Dara itu?"
Sang Ketua memegangi batu liontin kalungnya
yang berwarna hijau. "lnllah yang dinamakan Batu
Selaput Dara, yang akan dirampok atau dicuri oleh
beberapa pihak; termasuk si Sendang Pemuas.
Karena batu ini akan membuat si pemakainya tetap
perawan, tetap suci, walaupun Ia sudah melahirkan
beberapa keturunan,"
'Luar biasa"l' gumam Suto Sinting terheran-heran.
'Batu Selaput Dara juga dapat dipakai menundukkan semua lelaki. sejahat apa pun dan seangkuh
apa pun, termasuk jlka cahayanya yang dibiaskan
batu ini diarahkan ke tubuh lelaki Itu. Entah mengenal matanya, keningnya, blblmya, atau dengkulnya... atau apa saja bagian tubuhnya. Lebih-lebih
jika terkena itunya maka lelaki itu akan menjadi budak perempuan si pemakai:
"Maksudmu terkena bagian apanya?"
"Pusarnya!' jawab sang Ketua sambil tertawa
kecil.?"Jangan beranggapan jorok dulu, nanti kau
jatuh sendirl dijorokkan dengan pikiranmu!" tambah
sl ketua membuat Suto Sintlng tertawa kecll pula.
para wanita berpedang keluar dari ruang sidang
sambil bertaburan senyum. Tldak seangkuh dan sedingin tadi. Rupanya mereka dapat tersenyum jika
ketua sukunya berwajah ceria.
Suto Sinting dan sang ketua masih tetap berada
dl tempat. Sahara mendampingl sang ketua sebagai
penjaga pintu, memunggungi mereka. Gadis itu tampak ' cuek dan tak mau ikut terlibat dalam percakapan
itu; "Aku ingat, ketika Badrun kutanya apakah dia
punya seorang kakak, dia menjawab punya. Ketika
kutanya, siapa nama kakaknya, dia menjawab: Peri,'.. tapl langsung tertawa."
Dengan suara lembut dan ramah sang Ketua
berkata, "Namaku adalah Peri Jenaka."
'Peri Jenaka"!"
'ltu nama julukan! Hanya seorang Kepala Suku
yang boleh menggunakan nama julukan. Tapi nama
asllku: Srikunti." 'Manls sekali namamu"'
"Aku tak butuh pujian," ujar Perl Jenaka sambil
mencibir lucu, menggemaskan sekali bibirnya itu,
rasa-rasanya Suto ingin mencubltnya dengan gigitan.
"Badrun adik bungsuku, tapi juga mata-mata
Suku Mabayo,' ujar Peri Jenaka dengan .suara renyah dan sikap riang.
"Aku hampir tak percaya, Badrun seorang pengemis sedangkan kakaknya secantik ini dan menjadi kepala suku," Suto Sinting tertawa sendiri sambll geleng"geleng kepala.
"itu pengabdian. Setiap bocah menjelang dewasa, sebelum ia tingga! di perkampungan 'kaml,
harus mempunyai pengabdian terhadap suku. leluhurnya. Tapi mereka tidak kami kucilkan. 'di kamarku, ada ruang bawah tanah, sebuah lorong panjang yang menjadi tempat persembunyian sekai'igus
ruang kemesraan bagi kami. Lorong panjang Itu tembus ke Suatu tempat, beberapa tempat, di antaranya
rumah reot adikku itu. Kalau kau geser meja rendah


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di tengah ruangan, maka kau akan temukan lubang
seperti sumur yang menuju ke bawah dan itulah |alan tembus lorong rahasia kamil"
"Oooh. ."!" Suto Sinting manggut-manggut.
"kakekku asli dari Suku Mabayo, demikian pula
ayahku, pernah menjabat sebagal kepala suku sebelum
ia mencapai usia tiga puluh tahun,' ujar Perl
Jenaka. Sambungnya lagi, "Adikku sebenarnya ada tiga. Tapi yang dua
meninggal karena penyakit. Tinggal sl Badrun itu.'
"Jadi, pada waktu ltu sebenarnya Badrun
melihat kau lewat di depannya dengan menunggang
kuda putih"!" "Benar. Aku habis iakukan pertarungan dengan
seseorang, karena tantangan itu harus kupenuhl
untuk menjunjung harga diri suku kami. Demikian
pula tadi, aku baru pulang dari pertarungan, memenuhi tantangan sl Putri Mesum."
"Kenapa tak ada yang mendampingimu"'
'Seorang kepala Suku Mabayo harus berani
datang ke pertarungan seorang diri. Jika dalam Waktu tlga hari tak pulang, maka ia dinyatakan tewas dan
jabatan kepala suku segera digantikan dengan yang
baru." Percakapan itu terhenti. Bukan karena Suto Sinting yang telah memperoleh bumbung tuaknya itu
menenggak tuak beberapa teguk, tapi karena Madesya muncul dengan wajah tegang.
'Ketua, tiga orang Pantai Dahaga datang menantang pertarungan di sini juga!"
Suto Sinting terkejut, tapi Peri Jenaka tetap tenang.
"Suruh tunggu sebentar, aku akan muncul
menghadapinya!" "Baik, Ketual" Madesya pun segera pergi. ?".peri
Jenaka berkata dengan tetap tersenyum kepada
Suto Sintlng. "Maaf, obrolan kita dilanjutkan nanti saja. Aku
harus hadapl orang Pantal Dahaga itu!"
'Perl Jenaka... aku punya usul, bagaimana )lka
aku yang menghadapi mereka?"
"Kau bukan orang Suku Mabayo: sambil Perl
Jenaka gelengkan kepala. "Anggap sala aku masih tawananmu. Dan jika
aku bisa tumbangkan mereka, aku bebasl'
Peri Jenaka tertawa kecil. Ceria sekali wajahnya. Tak punya ketegangan sedlkit pun. Setelah beberapa saat pandangl Suto, akhirnya Perl Jenaka
mencekal lengan Suto dan menuntunnya keluar bagai membawa seorang tawanan.
Rupanya salah satu dari ketiga orang Pantal
Dahaga utusan ratu Sendang Pamuas itu mempunyai ketampanan yang hampir mirip Suto Sinting.
Rambutnya juga sepundak dan tidak kenakan Ikat
kepala. Badannya tegap, gagah. kekar, hanya mengenakan rompi merah da celana merah, membawa pedang di punggungnya.
"O, rupanya kali ini kau sendlrl yang diutus sl
Sendang Pemuas untuk mewakilinya, Salendra"!"
sapa Perl Jenaka kepada si pemuda tampan yang
bernama Salendra itu. "Aku diperintahkan oleh Nyai Ratu untuk mengambil Batu Selaput. Dara melaiul pertarungan."
Oh, jadi si Sendang Pamuas tetap Ingin merampok Batu Selaput Dara dengan mempertaruhkan
nyawamu"! Bagusl' ujar Perl Jenaka. "Tapi sebelun
kau merampok Batu Selaput Dara, kau harus' berhaapan dulu dengan tawananku lnll Jika kau unggul,
baru kau boleh bawa pulang Batu Selaput Daral'
Salendra menatap Suto dengan sinis. "Boleh jugaa Kurasa dua kali gebrak tawananmu tak akan
berkutlk lagi." "Kita lihat saja, siapa yang besar mulut Sebenarya: ujar Peri Jenaka dengan senyum kecil. Lalu Ia
mencabut pedangnya dan menyerahkannya pada
suto Slnting sambll berkata Ilrlh.
'Selngatku, hanya Pendekar Mabuk yang pergi
ke mana-mana membawa bumbung tuak."
'Akulah Pendekar Mabuk itu."
Peri Jenaka tersenyum geli. "Sudah kuketahul
sejak Sahara serahkan bumbung tuakl"
"Kau memang Kepala Suku yang nakal, Peri
Jenaka! "Sekarang letakkan bumbung tuakmu. hadapi
Salendra dengan pedangkul Tumbangkan dia, jangan sampai kau menjadi tawananku selamanya,
Pendekar jelekl' "Akan kucoba, Ketua genit. Tapi apa hadiah
untukku jika aku unggul melawan Salendra'"
'Apa yang kau mau dariku, ambiliah. Asal jangan
Batu Selaput Dara lnl!" jawab Peri Jenaka semakin
Ilrlh. Kemudlan ia membawa Pendekar Mabuk ke
arena pertarungan yang sudah dilingkari oleh wanlta wanita Suku Mabayo yang bersenjata pedang
Itu. Salendra pUn sudah menunggu di tengah arena
dengan pedang ditangan. Apakah Suto Slntlng akan unggul melawan Salendra jika ternyata Salendra Jago pedang andalan
Ratu Sendang Pamuas"l
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!" RATU PEMBURU GAIRAH Edit teks - Saiful B http://cerita-silat.mywapblog.com
Sepasang Ular Naga 27 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Senja Jatuh Di Pajajaran 10
^