Pencarian

Tawanan Bermata Nakal 1

Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal Bagian 1


ANGIN bertiup menuju ke timur, sementara
awan hitam menggantung di langit barat.
Hembusan angin itu membuat rambut pan|ang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap bagai ingin terbang dari kepala si pemuda tampan.
Pemuda tampan berbaju buntung coklat dengan
celana putih kusam dan menyilangkan bumbung tuak di punggungnya itu sengaja berhenti di perbatasan desa tersebut. Pemuda yang tak lain adalah si
murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang
bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu tertarik pada seorang pengemis kecil yang duduk di'
bawah pohon. Pengemis kecil itu berusia sekitar
tiga belas tahun. Badannya yang kurus dlbungkus pakaian biru
lusuh, seperti jeans belel. Bajunya tanpa lengan tanpa" kancing, celananya cingkrang, tinggi tidak panjang tidak sebatas lutut lewat sedikit Bajunya mempunyai empat tambaian, celananya dihitung hitung
ada enam belas tambaian. Semua kain penambal berbeda
wana. bulu dan celananya memang serba tambalan,
hanya mulutnya yang tidak ditambal. Karena itulah
maka mulut pengemls kecil Itu nyerocos terus, memohon belas kasihan dengan kata-kata dil'agukan
dalam irama mirip dangdut.
"Kasihanilah daku..-.
Bapak. Ibu. Kakek, Nenek, dan keturunannya....
Daku ini orang tak punya, duhai"
Ada nasi makan nasi. ada singkong makan
singkong, ada rampok makan ayam....
Mohon belas kasihan.... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan keturunannya....
Beri daku sedekah aia kadarnya....
Yang penting cukup untuk makan sebulan,
duhai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan
keturunannya.... Siapa memberi akan masuk surga....
Yang tidak memberi masuk penjara....
dunai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan
keturunannya... " Pendekar Mabuk sunggingkan senyum Setelah
menyimak permohonan belas kasihan yang ditembangkan itu. ia tersenyum bukan karena punya ide
ingin iadi pengemis juga, namun karena merasa unik
melihat pengemls kecil melantunkan tembang bersyalr lucu.
Pengemis berambut kucai warna merah jagung
dan berkulit hitam kusam itu sempat melirik Suto
Sinting. Hatinya berharap mendapat sedekah dari
seorang pemuda tampan. Maka permohonannya dalam tembang pun lebih diperbanyak dengan suara
agak keras. "Kasihaniiah daku....
Duhai, Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan
, keturunannya.... Badanku kurus bukan karena cacingan,
Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan keturunannya....
Badanku kurus karena bakat, Kangmas....
Bakat [adl pengemis muda....
Duhai, Bapak, ibu, Kangmas, dan keturunannya.--."
Akhirnya Suto mendekati pengemis kecil itu. SI
pengemis pandangi wajah Suto dengan mata sayu,
seakan penuh harapan untuk mendapat sedekah
dari si walah tampan itu. Ternyata Suto Sinting memang mengambil sekeping uang yang ada di selipan
Ikat pinggang kain merahnya itu.
"Kau memang pengemis kecil yang berbakat.
Suaramu enak juga didengar sambil tiduran."
"Terima kasih, terima kasih, Kakang"
Yang kubutuhkan bukan pujian tapi makanan,
Kakang" Kalau tak ada makanan uang pun jadi,
Kakang... Tak ada uang, baju pun jadi, Kakang"
Kalau tak ada baju, celana pun jadi,
Kakang..." Sambil tertawa kecil Suto berkata, "Kalau celanaku kuberikan padamu, lalu aku pakai apa"! Bisa
masuk angin, Dik" Kata nenek dan para sesepuh kakang ...
Masuk angin itu lebih baik daripada masuk
neraka, Kakang" Aduh lapar, lapar, lapar perutku, Kakang"
Jika tak punya uang jangan bercanda denganku, Kakang?"
Pengemis kecil itu selalu menjawab dengan
tembang. Kata-katanya mengandung kelucuan sederhana yang cukup menghlbur hati sl Pendekar
Mabuk. Maka, sambil tertawa pelan. murld sinting si
Glla Tuak itu berkata lagi kepada pengemis kecil
bermata sayu. "Aku akan memberimu uang, tapi sebutkan dulu
namamu." "Menurut silsilah para raja"raja. Kakang...
Hamba yang hina ini diberi nama Baruna
Widyatama" Tapi karena mirip nama perusahaan; Kakang...
Maka nama Baruna Widyatama diganti Badrun,
Kakang?" Tawa Suto terdengar iagi seperti orang menggumam pelan. Ia masih menimang-nimang uang
yang terhitung besar untuk ukuran perekonomian dl
kala Itu. Si pengemis kecil bermata sayu tampak
melirik terus dengan. hati-tak sabar. Tempurung
yang sejak tadi ditadahkan ke depan itu sengaja diarahkan mendekati tangan Suto Slnting.
"Satu iagl pertanyaanku untukmu, Badrun. Kalau kau bisa, uangku ini akan kujatuhkan ke tempurungmu. Jawablah tak perlu pakai-tembang'lagl.'!
Badrun sangat ngiler mellhat uang sebanyak
itu. Kira"kira kalau dlkurskan pada zaman sekarang
uang itu Ibarat selembar lima puluh ribuan yang
berwarna biru abu-abu itu. Suto memang mempunyal tiga keplng uang masing-masing senilai lima
puluh ribu untuk uang sekarang. Ia habis mendapat
hadiah dari seorang lurah., karena berhasil selamatkan nyawa anak KI Lurah. yang tenggelam di sungai.
Jiwa sosial Pendekar Mabuk membuatnya tak
merasa sayang memberrikan satu keping uang senilal itu kepada seorang pengemis. Apalagi Ia menaruh beias kasihan kepada pengemis kecil tersebut.
Tembangnya membuat hati Suto terharu, namun juga merasa senang bisa bertemu dengan Badrun. Suto Sinting sendiri tak tahu mengapa hatinya menjadi
senang ketika menyimak suara tembang bocah tersebut. Yang jelas, ia justru punya minat untuk menjadi sahabat si pengemis kecil.
"Apa yang ingin kau tanyakan. Kang?" tanya
Badrun, matanya sebentar-sebentar melirik ke uang
yang ditlmang-timang dl tangan Pendekar Mabuk
Itu. "Apakah kau punya tempat tinggal"!"
"Punya, tapi hanya sebuah gubuk reot, Kang. Itu
pun kalau ada angin kencang bisa ambruk!"
'Bolehkah aku bermalam di gubukmu?"
"Boleh saja, Kang. Tapi cepat jatuhkan uangmu
ltu ke tempurungku, Kangl"
'Balkiah," ujar Suto sambil tersenyum, dan uang
pun dijatuhkan ke dalam tempurung. Kliting...l Wa|ah si pengemis kecil Itu tampak girang sekali, kedua
mata sayu nya menjadi lebar dan seakan melihat
surga di depan mata. Ia buru-buru mengambil uang itu
dan memasukkan dalam selipat ikat pinggangnya
yang terbuat dari kain kuning itu.
"Terima kasih, Kang! Terima kaslh!" ucapnya
dengan ceria sekali. 'Kaiau memang kau lngin...,"
Badrun hentikan kata, karena dilihatnya ada tiga
orang berpakaian bagus hendak memasuki perbatasan desa.
"Ssst..., Kang, menjauhiah dulu. Ada tiga nasabah mau lewat."
"Nasabah itu apa?"
"Nasibnya selalu bertambah!"
_ "Bertambah kaya atau bertambah miskin?"
"Yaaah, tergantung cuaca. kang -.. ..... ..-..
menyingklrlah dulu, Kang"."
Sambil tersenyum geli Suto Sinting yang selama
ini pusing dengan urusan pertarungan, sengaja menyempatkan diri untuk mellhat aksi pengemis kecil
sebagal hlburannya. la menjauh, duduk di atas sebatang pohon yang sudah lama tumbang. Pohon
tumbang Itu ada di seberang jalan perbatasan desa
tersebut. Di sana ia menenggak tuaknya tiga teguk.
Tiga orang berpakaian mewah itu sepertinya
para saudagar atau pejabat istana yang hidupnya
berkecukupan. Masing-masing menunggang kuda
yang berpelana bagus. Lebih bagus pelana'kuda
ketimbang pakaian si Badrun.
Kuda yang berjalan santai seperti malas-malasan Itu akhirnya berhenti di depan Badrun ketika
Badrun serukan tembangnya. Ketiga orang berusia
sekitar lima puluh tahun itu sailng pandang seben
tar, kemudian sama"sama menatap Badrun. Wajah
sl pengemis kecil itu kian dibuat murung sedih dengan mata semakin sayu.
"Berilah sedekah kepada anak yatim piatu"ini....
Duhai, Tuan"tuan yang terhormat, yang gagah
dan perkasa.... Hamba sudah lama tak makan nasi...-
Kecuali panggang ayam dan gulai sapi....
Kasihaniiah hamba yang hina ini....
Duhai, Tuan-tuan yang terhormat dan punya
pangkat.... Sedikit sedekah dapat membuat harta makin
berlimpah.... Tanpa sedikit sedekah nanti malah Tuan dapat
musibah"." Salah seorang yang berpakaian kuning mengkllap itu berseru dengan nada membentak.
"Hei, kau mau minta sedekah atau mau menyumpahi kami"!" '!
"Mohon ampun seribu ampun, Tuan,...
Bukan maksud hamba mengutuk nasib orang....
Tapi syair memang tersusun begitu, dan....
Yang penting bukan syairnya. tapi sedekah-
Duhai Tuan-tuan yang terhormat dan anti
melarat-.." Suto Sinting hanya senyum-senyum saja dari
kejauhan. Matanya memang tidak tertuju langsung
ke arah Badrun, tapi perhatiannya terpusat ke sana.
telinganya menyimak suara tiga penunggang kuda &
yang terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Sebaiknya kita tanyakan pada dia. Siapa tahu
dia mengetahuinya!" usul yang berpakaian merah
bergaris-garis biru itu. Kejap kemudian, orang yang
berpakaian kuning itu berseru kepada Badrun tanpa
turun dari kudanya. "Hei. Bocah gembel...! Apakah kau melihat gadis penunggang kuda putih lewat sini"!"
"Kasihanilah hamba yang nista ini....
Duhai, Tuan"tuan yang terhormat dan salah
alamat.... Sedikit sedekah dapat perpanjang umur
hamba.... Duhai, Tuan-tuan terhormat dan tersesat...."
Yang berpakaian hijau muda mengkilap itu
membentak dengan mata melotot dan kumis dipelintir kuat-k_uat.
"Hei, budek kau, yar"! Jawab pertanyaan tadi;
apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putlh lewat jalanan ini"!"
"Aduh lapar, lapar, lapar perutku....
Segenggam nasi dapat menjadi petunjuk tak
basi.... Sekeping uang dapat menjadi bahan
penerang...." Badrun tetap ngotot Iantunkan tembang benrisl
syair permohonan. ta bagai tak mau dengar pertanyaan ketiga orang berkuda Itu. Salah seorang dari
mereka akhirnya turun dari punggung kuda dan
hampiri Badrun. Orang berpakaian merah garis-garis biru Itulah yang hampiri Badrun dan menendang tangan Badrun. Plak...l Weeers...l Tempurung
penadah uang terlempar akibat tendangan itu. Badrun ketakutan dan duduknya bergeser mundur. Pendekar Mabuk masih tetap di tempatnya, namun sudah mulai siap-slap lakukan sesuatu jIka orang-
orang itu bertindak lebih kasar lagi kepada Badrun.
'Apa kau benar-benar tuli, hah"!" bentak sl baju
merah garis-garis biru. "Jawab pertanyaan kami tadi. Jangan hanya bisa minta-minta terus! Kalau kau
tak mau menjawab, kami tak akan segan"segan
menghajarmu, karena kami tak mau kau permalnkan
dengan syair-syairmu itui'
Badrun merapatkan badan ke pohon, ia masih
duduk meringkuk dengan wajah penuh ketakutan.
Orang berpakaian merah garis-garis biru yang me"
nyandang pedang besar bersarung emas di pinggangnya itu mengulang pertanyaan tadi.
"Kau tinggal menjawab ya atau tidak! Apakah
kau melihat seorang gadis menunggang kuda putih
lewat jalanan tni"l Ya, atau tidak"l'
"Kalau Tuan bisa jawab tebakanku, aku akan
jawab pertanyaan Tuanl' ujar Badrun dengan nada
lumrah, namun tak berani dilamplaskan jelas-jelas.
'Turuti saia permintaannya asal bukan uangl"
seru yang berpakaian hilau dari atas kudanya.
"Baik. Asal iangan minta uang, akan kuturuti
apa"kemauanmu! Apa tebakanmu"!"
"Kalau Tuan tak bisa menjawab, Tuan akan celakal"
'persetanl Apa tebakanmu, lekas sebutkanl'
bentak st baju merah garis"garis biru.
Badrun tempelkan kedua telunjuknya di pelipis.
ia memejamkan mata sebentar, kemudian mata terbuka bersama suaranya terdengar ajukan tebakan-
"Mana yang lebih hebat: matahari atau rembulan"!"
Sl baju merah garis-garis biru menggeram jengkel. ia segera menatap kedua temannya yang masih
tetap di atas kuda. Kedua temannya sunggingkan
senyum sinis menyelekan. Si baju merah garis-garis
biru akhirnya menjawab tebakan itu sambil me natap
Badrun dengan mata garangnya.
"Jelas lebih hebat mataharil Dia lebih besar dan
lebih panas." "Salah" ujar Badrun tegas sambil berdiri pelan-pelan.
' Yang berbaju hijau Ikut ngotot. "Hebat matahari!
Dia punya daya panas lebih tinggi dari rembulan!"
"Salah!" Badrun makin mene'gaskan.
Yang berpakaian kuning pun menimpali, "Bocah '
bodoh! Rembulan dan matahari itu ieblh hebat matahari. Tenaga matahari bisa untuk membakarmu, Tololl' ' .
"Saiahl' ujar Badrun sambil bernada ngotot juga. Lalu sambungnya lagi.
'Rembulan dan matahari lebih hebat rembulan.
Karena rembulan bisa menerangi malam, sedangkan matahari tak pernah bisa menerangi malaml'
"Konyol! Hajar saia bocah itu!" seru yang berpakaian hijau. Si baju kuning segera turun dari pu nggung kuda. ; "
Tapi kejap berikut si baju merah garis"garis biru
itu tersentak dengan tubuh membungkuk. Tiba-tiba
mulutnya terbuka dan suaranya menyentak keras.
"Hooeeek...!" Orang itu memuntahkan darah segar cukup banyak. Kedua temannya tertegun kaget memandang
keadaan seperti itu. Si baju merah garis-garis biru
ingin kembali ke kudanya, tapi Ia memuntahkan darah lagi.
"Hoooeek...l Hoooeeek...i"
'Kenapa kau, Jalagina"l' tanya si baju kuning
segera memapahnya. "Dadaku terasa, hooeek...i Hoooeek...l'
Si baju hijau segera turun dari kudanya. ia Ingin
ikut memapah si baju merah garis-garis biru itu. Tapi


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba"tiba langkahnya terhenti dan ia sendiri memuntahkan darah segar cukup banyak.
"Hooeeek...l Hoooeeeekk...l'
'Apa yang terjadi Ini"!" seru si baju kuning dengan terheran-heran. 'Kenapa kalian sampai begini" Apakah... hoooeeek...i"
Sl baju kuning juga memuntahkan darah segar
cukup banyak dari mulutnya. Ia terbungkuk"bungkuk karena sesuatu mendorong lsl perutnya untuk
keluar semua, namun dalam bentuk darah segar.
"Hoooeeek...!' "Huuuueeeaaak...! Huuueeaak...i"
'Hoooook... hooook... hooeeeek...."
Pendekar Mabuk terperanjat sekali dan menjadi
tertegun di tempat. ia berdiri seketika pada waktu sl
baju hijau memuntahkan darah segar.
dalam benak Suto segera teringat kata"kata Badrun, bahwa
mereka akan celaka jika salah menjawab tebakannya.
"Apakah celaka seperti itu yang dimaksud Badrun"!" gumam Suto dalam hatinya. "Apakah muntah
darah mereka disebabkan salah menjawab tebakan"! Ah, mana mungkin salah menjawab tebakan
bisa bikin muntah darah separah itu"!"
Ketiga orang itu tampak lemah dan berwajah pucat pasl seperti mayat. Darah mereka banyak yang
keluar. Mereka tak mampu lagi meiangkah. Sisa
tenaganya dipakai untuk naik ke punggung kuda. itu
pun mereka masih terus-terusan memuntahkan da-
rah segar. Ketiga orang itu akhirnya kembali ketempatnya.
tak jadI lanjutkan perjalanan masuk desa. Mereka
menunggang kuda sebisanya sambil sesekaii muntahkan darah dari mulut. Suara 'hoek-hoek' masih
terdengar sekalipun mereka sudah cukup jauh.
Pendekar Mabuk segera hamplrl Badrun dengan wajah penuh keheranan- Badrun yang sudah
mengambil tempurungnya itu masih memandang kepergian ketiga orang kaya Itu sambil 'sungglngkan
senyum sinis. "Ada apa dengan mereka, Badrun" Suto Sinting
berlagak tidak tahu nasib ketiga orang itu-
"Mereka muntah darah, Kang."
"Mengapa bisa muntah darah begitu"!"
"; mereka saiah menjawab tebakanku!"
Pendekar Mabuk makin kerutkan dahi, mencoba memahami maksud pengemis konyoi itu- Tapi
beberapa renungan tidak membuat Suto mengerti
maksud kata-kata Badrun. Sebelum Sute ajukan tanya, Badmn sudah bicara lebih dulu.
"Kalau mereka tidak segera tertolong, mereka
dapat mati kehabisan darah. Darah Itu tidak akan
berhenti dan akan terkuras sampai habis."
"Maksudku... maksudku mengapa mereka sampai muntah darah hanya karena salah menjawab tebakanmu"!"
Badrun tarik napas dan sedikit tundukkan wajah, pandangi tempurungnya. Suaranya terdengar
ilrlh dan membuat Stilo Sinting makin mendekat.
"Mereka bermaksud jahat padaku, jadi terpaksa
kugunakan Ilmu 'Kedung Getih', daripada aku yang
celaka mendingan mereka yang celaka.'
"ilmu apa..."!" Suto klan kerutkan dahi dekatkan
teiinga. "llmu 'Kedung Getlh'. Kang. Hmm... hmmm...
sebenarnya kalau yang dua tidak ikut menjawab tebakanku, kedua orang itu tidak akan terkena iimu
'kedung Getlh'-ku. Tapi karena mereka ikut menjawab dan jawaban mereka salah, maka mereka ikui-Ikutan muntah darah."
Pendekar Mabuk tegakkan badan. memandang
ke arah kepergian ketiga orang tadi. Hatinya diilputl
kesangslan, antara percaya dan tidak mendengar
pengakuan Badrun itu. Karena baru sekarang Suto
sintng menemukan ilmu aneh seperti yang dikatakan Badrun. Pengakuan itu seperti sebuah canda,
itu iebih tepatnya mirip orang main-main. Tapi kenyataan yang diiihat Suto membuat hati menjadi'
ragu-ragu. "Katamu tadi, kau Ingin ikut bermalam di gubukku, Kang?" Badrun alihkan pembicaraan.
"Hmmm, ehh... iya," lawab Suto mengggeragap
karena segera sadar dari lamunannya. "Tapi... tapi
aku ingin tahu dulu tentang ilmu 'Kedung Getih' Itu.
Apakah kau bersungguh sungguh"!"
"Kugunakan jika dalam keadaan diriku terancam
bahaya saja, Kang. Karena begitulah pesan mendiang kakekku."
"Mendiang kakekmlm Apakah ilmu itu dari kakekmu?"
Badrun anggukkan kepala. "Kata mendiang
ayahku, Jika Kakek sudah mati, maka llmunya akan
menitis padaku. Semasa kakek masih hldup dulu bllang begitu padaku, tapi waktu itu aku masih kecil.
Masih usia enam tahun, jadi masih tidak percaya dengan kata-kata Kakek. Tapi aku sering melihat Kakek memberi tebakan kepada lawannya dan lawannya muntah darah lika tidak bisa menjawab tebakannya."
"Aneh..."!' gumam Suto Sintlng sambil masih
berkerut dahi, pandangan matanya dilemparkan kearah lain. "Tentang gadis penunggang kuda yang ditanyakan mereka itu saja sudah meniadl bahan pertanyaan dalam batinku. Jawabannya belum kutemukan, sudah harus dibuat heran lagi dengan ilmu 'Kedung Getih' itu"!"
Maka Suto Sinting pun bertanya kepada Badrun, "Tentang gadis penunggang kuda putih itu bagaimana" Apakah kau memang melihat gadis Itu
lewat jalanan lnl atau tidak"! Mengapa kau tak mau'
menjawab pertanyaan mereka?"
"Kang," ujar Badrun pelan, suaranya agak berbisik. "Kalau mau tahu tentang itu, sebaiknya kita blcara di rumahku saja. Kau tak perlu keluarkan uang
sewa kamar lagi. karena memang rumahku tak punya kamar."
Pendekar Mabuk seperti dipaksa untuk tersenyum. Maka yang keluar adalah senyuman canggung dlbayang-bayangl rasa penasarannya.
DESA itu bernama Desa'BumlrEJa. Sebuah desa yang subur dan padat penduduknya, nyaris menyerupai sebuah kota. Bahkan menurut keterangan Badrun, desa itu'rneniadi pusat perdagangan palawlja dan rempah-rempah.
"Desaku ini masih termasuk wilayah Kadipaten
Buranang lho, Kang," ujar Badrun saat mereka melangkah menuju rumah pengemis kecil itu.
Pendekar Mabuk sedikit terperanjat, karena Ia .
. pernah dengar nama Kadipaten Buranang. Ia pernah kenal dengan putri sang Adipatiyang manja itu:
Dianti Anggraini. Kabar terakhir yang diterima Suto
dari Sawung Kuntet, sang putrl'adipati telah diantar !
sampai ke istananya dengan selamat. Suto jadi lega
mendengarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Bibir Penyebar Maut").
"Apakah tiga orang kaya tadi adalah orang Kadipaten Buranang?"
"Kurasa bukan. Kang. Kalau mereka pejabat.
atau saudagar yang menetap di pusat kota kadlpaten. mereka tidak akan bertindak semenalmena
begitu. _Kurasa mereka orang dari Kadipaten Lohmina."
"0. ada dua kadipaten?"
"iya, tapi letaknya berjauhan. Batas Kadipaten
Buranang adalah Pegunungan Nagasari itu, Kang!"
sambil Badrun menuding pegunungan yang tampak
panjang melluk-Iluk mirip badan naga itu.
"Seberang pegunungan itu sudah menjadi wilayah Kadipaten Lohmina: tutur Badrun menjeiaskan
bagai pemandu turis. "Kalau yang itu gunung apa namanya, Badrun?"
"0, itu namanya Gunung Batari"
"indah sekali dipandang dari sini. Seperti bentuk mahkota alam."
'indah tapi... tapi cukup berbahaya itu, Kang."
"Berbahayanya kenapa" deSak Suta semakin
ingin tahu. "Pokoknya bahaya." jawab Badrun seakan malas memberi penjelasan panjang-lebar. Suto Sinting
pun tak. terlalu tertarik untuk mendesaknya, karena
matanya segera pandangi lalu-lalang para penduduk desa itu. Mereka tampak rajin bekerja dan punya
gairah hidup cukup tinggi. Suto menyukai semangat
i hidup yang tampak dari wajah wajah para penduduk
desa itu. Ternyata bukan hanya Suto Sinting yang me-
mandang kagum terhadap semangat hidup para
penduduk desa, tapi para penduduk desa pun memandang kagum terhadap kehadiran Suto Sinting.
Sebagai orang asing yang punya wajah tampan, tubuh kekar, gagah perkasa, sudah tentu menjadi pusat perhatian mereka. baik secara terang"terangan
maupun secara gelap-gelapan.
Mata kaum wanita selalu sempatkan metirlk ke
arah Suto, baik yang muda, tua, atau sudah ber- &
status nenek sekalipun. ada yang-mellrlk sambil dari
balik pohon, ada yang menatap darl'.bailk jendela
rumahnya, ada yang memandang dari sela"sela jemuran. ada pula yang memandang dari belakang
punggung suaminya. Menyadari hal itu, Suto menjadi rlslh sendiri.
Badrun pun disuruh mempercepat langkahnya. Tetapi bocah itu justru memperlambat langkah karena
ia merasa bangga bisa berjalan dengan pemuda gagah dan tampan bak seorang ksatria, Menurut Badrun. di desa itu tidak ada pemuda yang segagah dan
setampan Suto. Maka ketika tiba di rumah gubuknya Badrun,
Suto buru-buru masuk ke dalam. ia terpaksa merundukkan kepala karena atap rumah itu pendek, pintunya lebih pendek lagi"
"Wah, kalau begini caranya bisa-bisa keluar dari
rumah ini bentukku berubah eepe'rtl udang. Bungkuk' gumam Suto Sintlng sengaja agak- keras supaya dtdengar Badrun.
"Ya, begini inilah gubukku, Kang. Kalau kau suka silakan bermalam di sini. Kalau tak suka, silahkan ajak aku pindah ke rumah yang bagus," kata bocah itu sambil cengar-cenglr. '
Rumah itu memang menyedihkan. Dindingnya
terbuat dari papan yang tambal-tambal tak karua n.
Selain beratap pendek, juga miring ke kanan. Sepertinya sekali disapu angin setengah badai, rumah itu
akan roboh tanpa ampun lagi.
seperti apa kata Badrun tadi, rumah beratap__
rumbia itu tak punya kamar.polos tanpa penyekat
Tempat tldumya dari dipan bambu yang sudah reot.
Satu kakinya disambung dengan kayu lain hingga
posisinya agak miring. Meja kursinya dari kayu papan yang dibuat asal jadI. Di tengah ruangan ltu ada
meja lebar, berkaki rendah.
Meja itu dikelilingi tikar pandan yang sudah butukan. Orang yang akan makan di meja itu harus duduk berslla, atau melonjor ke samping. Tak bisa melonior ke depan, karena meja itu menyerupai kotak
tanpa kolong. Dua kursi kayu reot ada di samping dipan, satu
kursi lagi ada dl sudut. Sudut itu adalah dapur yang
mempunya! tungku berabu tinggi, dekat dengan pintu menuju ke halaman belakang.
Tapi halaman belakang hanya secuil tanah yang
cukup untuk kamar mandi dan WC saja. Bahkan untuk menanam pohon cabe saia harus diperhitungkan masak-masak letaknya.
Suto tak betah berdiri dI dalam rumah tanpa jendela Itu. Karena ia tak betah harus membungkuk terus. Maka ia memilih duduk di tikar yang mengelilingi meja rendah tersebut.
"Benar"benar menyedihkan. Lebih bagus kandang kebo daripada rumah lnl," pikir Suto Sinting
sambil matanya memandang sekeliling.
badrun menutup pintu rumah, karena petang mulai datang.
"kang, aku punya teh seduh. Apakah kau mau
minum teh seduh?" 'kaiau aku menjawab salah, bisa celaka apa
tidak ." Badrun tertawa kecii. "ini pertanyaan biasa kok,
Kang. Bukan tebakan 'Kedung Getlh'. Jangan takut
menjawab salah," ujar si bocah.
'Aku minum tuak saja," jawab Suto sambil sedikit mengangkat bumbung tuaknya.
"Wah. tak balk terlalu banyak minum tuak, Kang.
Sedlklt saja. Sisanya blar kuminum."
Suto tertawa pendek. "Ambil cangkir dan kita
minum tuak bersama."
Badrun kegirangan, lalu segera mengambil
cangkir keramik yang sudah rusak tepiannya.
ini cangkir apa takaran beras"i" gumam Suto
Sinting. membuat Badrun tertawa malu.
Sambil menikmati minuman tuak memakai cangkir-cangkir sompai Itu, Suto Sinting sempat pandangl lagi barang-barang yang ada di rumah Itu. Semuanya memang serba rombeng. Satu pun tak ada
yang laku dijual. "Sebenarnya pintu rumah ini tak perlu kau ganjal dengan palang pintu. Karena aku yakin tak ada
pencuri yang mau masuk ke rumahmu lnl, Badrun."
"Siapa tahu ada"!" _
"Pencuri masuk ke sini adalah pencuri yang
bernasib siail Apa yang mau dicuri?"
"Siapa tahu yang dicuri diriku sendiri"!'
"Orang mencuri dirimu itu adalah orang buta
yang menganggapmu patung keramat."
Tawa mereka meledak bersama di bawah penerangan cahaya iampu minyak. lampu itu berupa
mangkuk tembaga yang sudah pietat-pietot, dituangi minyak. Sejumput kapas direndam dalam minyak itu, kemudian ditarik sedikit dijadikan sumbu
yang membuat lampu itu menjadi menyala.
"Apakah sejak dulu keluargamu tlnggal di sinl"'
"Ya. Ayahku, ibuku, bahkan kakekku juga dulu
menempati rumah ini."
"tak dibangun sedikit pun?"
"Kami tak mampu membangunnya. Dari dulu ya
begini ini." "Gliai' gumam Suto Sinting sambil geleng"geieng kepala. 'Rumah kanan-kirlmu bagus"bagus, rumahmu sendiri yang luar biasa bagusnya," sindlr Suto tapi dalam nada bercanda. dan tampaknya Badrun
tak pernah tersinggung oleh sindiran atau candaan
seperti itu. Namun hati Suto sebenarnya terharu meiihat kehidupan Badrun.
"Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?" tanya
Suto setelah diam beberapa saat.
Badrun tidak langsung menjawab, Ia pandangi
cangkir tuaknya sesaat, kemudian baru perdengarkan suaranya agak pelan.
"Aku tlnggal sendirian di rumah inl.'
'Kau tak punya saudara?"
"Punya. Seorang kakak!
"Laiu, di mana kakakmu tlnggal?"
'Tidak di rumah ini."
"Siapa nama kakakmu?"
"Peri-..," jawab Badrun, lalu tertawa kecil.
Suto ikut tertawa walaupun sebenarnya ieiucon
itu tidak membuatnya geli. Rasa-rasanya pembicaraan itu tak begitu penting bagi Suto. Ada masalah
yang lebih penting dibicarakan, yaitu tentang gadis
berkuda putih yang ditanyakan tiga orang kaya itu.
Maka Suto pun menanyakan hal itu kepada Badrun.
"Penunggang kuda putih itu memang kulihat
tewat di depanku," kata Badrun. 'Tapi aku tak mau
memberi tahu mereka."
"Mengapa kau rnerahaslakannya"'
"Gadis itu adaiah... adalah orang suku Mabayo."
Pendekar Mabuk berkerut dahi. "Suku Mabayo?"!"
"Suku yang hidup di Hutan Maiaikat: tambah
Badrun dengan suara pelan, seakan takut didengar
orang lain. "Aneh. Baru sekarang kudengar nama suku itu.
Lalu, yang dinamakan Hutan Malaikat itu ada dl mana?"
"Di Gunung Batar.' "Hmmm...," Suto Sinting menggumam pelan dan
manggut-manggut. Selagi mereka saling terbungkam, suara petang
menjadi riuh. Di luar rumah ada keributan. Orang"orang berteriak, sailng menjerit, dan suara bentakan
terdengar tak ieIas dari mulut orang yang tampaknya
berperilaku kasar. Suara tersebut membuat Suto
Slnting bangkit berdiri, namun tak bisa tegak.
" 'Jangan keluar, Kang. Jangan keluar! Tetaplah
di sini!" ujar Badrun dengan wajah tegang ]uga. Ia
pun ikut bangkit dan memegangi tangan Suto.
"Suara keributan apa itu"!' tanya Suto Sintlng.
Bluuub...! Badrun matikan lampu. Suasana
meniadl gelap dan keheranan Suto Sinting bertambah besar.
'Badrunl Drum."! Badrun, di mana kau"i" tangan Suto meraba-raba. Plok...i WaJah Badrun dipegangnya-
"Kang, ini wajahku. Jangan diremas'
"Badrun, mengapa lampunya kau padamkan'."
'Biar orang-orang itu tidak mendekati rumah
ini!' "Kenapa" Orang-orang siapa"i Katakan. Drun...
siapa mereka itu"!"
"Mereka orang-orang iahat, kangi" bisik Badrun.
"Apa mau mereka"!"
"Mereka pasti mencari gadis penunggang kuda
putih." "Anehi Aku harus keluar dan mengetahui apa
yang mereka perbuat, Druni'
'Jangan, Kangi Nanti salah-saiah kau dibunuh
oieh mereka! Sudah tiga malam ini mereka berkeliaran di desa sini dan pasti mencari gadis penunggang kuda putih. Mungkin sekarang mereka jengkel
dan marah"marah pada penduduk, Kang."
Saat si Badrun bicara begitu, Suto sudah melangkah dekati pintu dengan meraba"raba. Lalu la
temukan palang pintu dan diangkatnya kayu palang
pintu itu.

Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kang..."t Kang Suto..."l' Badrun memanggil
dengan suara berbisik. rTetaplah di rumah dan kunci pintu! Aku keluar
sebentar. Druni' 'Bahaya, Kangi' "Kalau ada ketukan pintu empat kali, berarti aku
yang mengetuk! Kau boleh buka pintu. Tapi kalau
ketukan kurang atau lebih dari empat kali, berarti bukan aku yang datang. Kau tak perlu buka pintui"
"Tapi, Kang"."
Krriiieet...! Pintu pun dibuka pelan-pelan oleh Suto. Seakan
ia tak hiraukan kecemasan Badrun. Bocah berusia
tiga belas tahun itu bermaksud menahan Suto, tetapi
ketika Ia sampai di pintu, Suto Sintlng sudah keluar
rumah. Mau tak mau Badrun ikut keluar iuga. Ia
sangat mengkhawatirkan keselamatan teman barunya itu. Karena seiama ini. baru Suto Sintlnglah
orangnya yang datang ke rumahnya sebagai tamu
dan bersikap bersahabat. 'Kang..."! Kakang..."i' panggil Badrun sambil
beriarl-lari kecil mengikuti Suto Slnting.
"Hei, kenapa kau ikut keluar juga"! Sana masukl'
"Kang, kau belum paham betui jaian-lalan dl
desa ini Kau bisa tersesat jika puiang ke rumahku
nantll Sebaiknya aku ikut juga biar nanti pulangnya
bisa bersama-sama," kata Badrun seakan Ia merasa
bertanggung iawab atas keselamatan tamunya. Suto
tak tega untuk menghardik atau memaksanya pulang, akhirnya ia biarkan anak itu ikut bersamanya.
Suasana di luar rumah iebih terang daripada di
dalam tadi. Tiap rumah mempunyal iampu penerang
jalan. pada umumnya terbuat dari bambu melintang
dengan tiga atau empat sumbu.
Keadaan terang itulah yang membuat Suto Slnting melihat seorang lelaki kurus diseret keluar dari
rumahnya oleh dua orang berpakaian serba hitam.
"Kang... mereka orang-orang Waduk Bangkal!"
bisik Badrun semakin bernada penuh kecemasan
dan rasa takut. "Siapa orang-orang Waduk Bangkai itu"!"
"Mereka para pembunuh bayaran, Kang! Mereka ganas-ganas! Sebaiknya kita masuk rumah kembali, Kangl" Badrun menarik-narik tangan Suto.
"Kau berlindung di samping rumah berpagar
rendah itu. Aku akan temui mereka sebentar."
"Jangan, Kang! Nanti mereka marah padamu!"
"Sudahlah. sana berlindung di samping rumah
itu! jangan mendekatiku seiama aku berhadapan
dengan orang-orang Waduk Bangkai itu!"
"Tapi... tapi... tapi hati-hati, ya Kang"!"
"Hmmm! O, ya" siapa orang yang diseret mereka itu"!"
"Wakilnya Ki Lurah! Aduh. kasihan dia.... Soalnya Ki Lurah beberapa hari ini sedang sakit. tak bisa
turun dari tempat tidurnya dan...."
"Sudahlah, sana sembunyi!"
"Baik, Kang. Baik...i" kata Badrun masih tetap
dengan suara bisik, kemudian ia berlari ke samping
rumah tetangganya, bersembunyi di sana. Matanya
memandang tegang ke arah Suto Siming yang melangkah dengan tenang dekati kerumunan orang-orang berpakaian serba hitam itu.
Dengan bumbung tuak digantungkan di pundak
kanannya, Suto Sinting sengaja berjalan di tengah
jalanan tak beraspal itu supaya kehadirannya dapat
dilihat jelas oleh orang-orang berpakaian hitam
yang jumlahnya sekitar enam orang itu.
Si wakil lurah duduk di tanah dengan ketakutan
dikelilingi oleh enam orang Waduk Bangkai. Salah
seorang dari mereka memegang cambuk yang segera dilecutkan ke tubuh sl wakil lurah.
Ctaaar...! "Kalau kau tak mau kasih tahu di mana gadis
berkuda putih itu, kau akan kuhancurkan dengan
cambuk Ini!" bentak orang berkumis yang mengenakan ikat kepala model warok Itu. |
"Sumpah mati. aku tidak tahu tentang gadis itui'
ujar si wakil iurah. "Bohong! Kau wakil iurah, pasti menerima iaporan dari anak buahmu bahwa di sini ada tamu seorang gadis menunggang kuda putihi"
"Tidak! Tidak ada laporan. Sumpah! Berani disambar petir seratus kail kalau aku bohongi"
"Paksa dia dengan cambukan supaya mengakui" semak salah seorang dari mereka, maka si pemegang cambuk pun melecutkan cambuknya kembali.
Ctaaarrr...i "Aaaow...|" si wakil lurah memekik kesakitan,
mengiris hati orang yang mendengarnya. Sementara itu. keiuarganya yang hanya bisa menyaksikan
dengan sembunyi-sembunyi dari balik pintu rumah
hanya bisa menangis tanpa berani berteriak meminta tolong pada siapa pun.
Pendekar Mabuk segera berseru sebelum cambuk melecut ketiga kallnya.
'Hentikan...l" Suara itu sangat menarik perhatian mereka berenam. Bahkan para penduduk yang diam-diam
mengintai dari beberapa tempat itu juga terkejut
mendengar suara Suto Sinting. Mereka tak menyangka ada orang yang berani berseru menyuruh
orang-orang Waduk Bangkai menghentikan siksaannya.
"Siapa kau"i Berani-beraninya kau menyuruh
kami hentikan tindakan Ini, hah"!" seseorang maju
dengan berang dan segera mengangkat tangannya
untuk menampar Suto Sinting.
Tapi sebeium tangan orang itu berkelebat menampar, tiba-tiba kaki Pendekar Mabuk melayang
cepat dengan gerakan tak terlihat oleh siapa pun.
Wuuut...! Ploook...i Tendangan yang teramat cepat
itu membuat mereka terbengong sesaat, karena
orang itu tahu"tahu sudah jatuh terkapar dengan
napas tersentak-semak bagai sekarat. la jatuh di antara kedua temannya.
Melihat orang Itu terkapar, sl pemegang cambuk
menjadi barang. ia maju dengan langkah cepat dan
melecutkan cambuknya ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi gerakan tangan yang terangkat untuk melecutkan cambuk Itu terhenti. Suto lepaskan junrs 'Jarl
Guntur", berupa sentilan bertenaga dalam cukup
besar, menyamai tendangan seekor kuda jantan.
Teess...i 'Aaaooh...i" sl pemegang cambuk memekik keras-keras. Sentilan bertenaga dalam itu kenai per-
gelangan tangan orang tersebut, cambuk pun terlepas, tangan tak mampu menggenggam lagi. Ia terbungkuk-bungkuk dengan tangan kiri pegangi tangan kanannya.
"Aauuh, aauh, aaah... aaaakh...l'
'Serang diai' seru salah seorang memberi komando. Empat orang segera mencabut golok dan
menyerang Pendekar Mabuk. Murid si Gila Tuak itu
meliukkan tubuh ke sana-sini, melompat dan sempoyongan seperti orang mabuk mau tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tebasan dan bacokan golok-golok yang menyerangnya secara serentak itu.
'Hiiiaaaat...l" Wut, wuuuk, wuuuk, wuul, wuuk, wees,
weeess...l Tak satu pun sabetan golok mereka ada yang
kenal tubuh Pendekar Mabuk. Bahkan tendangan
dan pukulan mereka dapat dihindari oleh Pendekar
Mabuk dengan gerakan cepat yang sukar dihadang
dengan pukulan selaniutnya.
Secara tak sadar mereka berempat semakin
mengepung lebih dekat lagi. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk lompat ke atas dan memutar tubuh dalam keadaan tegak lurus dengan kedua kaki disentakkan secara beruntun.
Wuuuut. prraaak...l , 'Aaaaow...!" Empat orang itu terpental serempak. Mereka
terkena tendangan kaki Pendekar Mabuk secara
serempak ]uga. Tendangan kaki memutar bagai ba-
ling-baling tadi mengandung tenaga dalam yang
membuat dagu mereka pecah, salah seorang rahangny'a remuk. Mereka terkapar mengerang"erang, sementara si pemegang cambuk tadi hanya
bisa memandangi Suto Sinting dengan tangan kiri
masih pegangi tangan kanan yang terasa sakit bagaikan patah tulang itu.
"Bawa pulang teman-temanmu! Jangan sekali-kali berani bertingkah di desa ini! Kalau ketuamu tak
bisa menerima perlakuanku, suruh dia cari akui Namaku Suto Sinting! Aku bukan orang desa ini. Tapi
aku siap berhadapan dengan plhakmu kapan saja
kalian menghendaki diriku! Sekali kudengar kalian
mengganggu ketenteraman desa Ini, aku akan datang! ke Waduk Bangkai, dan kuhancurkan tempatmu ltui'
Kata-kata tersebut diucapkan dengan tegas tegas
, sekalipun sikap Suto tenang, tapi tiap kata yang
dilont'arkan bagai menggetarkan hati si pemegang
cambuk. Nyali orang itu mengkerut bagai kerupuk
kena angin. Dengan menahan rasa sakit di tangan
kanan, ia membantu teman"temannya untuk segera
pergi. Bahkan Ia ]uga yang menggotong salah seorang yanig pingsan karena serangan pertama tadi.
'Hei, tunggu"!" seru Suto membuat mereka
hentikan langkah dengan cemas.
"Siapa yang mengupah kalian untuk mencari
gadis berkuda putih"!"
'iimmm, eeeh, eeh... hmmmm.?"
'Aku minta lawaban yang jujur! Jangan harap
' kau bisa pulang ke Waduk Bangkai kalau tak mau
menjawab pertanyaankui' "Hmmm, ehhh... kami hanya diperintah oleh
Nyai Ratu." 'Nyai Ratu siapa"!"
Nyali yang sudah teianlur mengkerut mirip celdna kodian habis dicuci itu akhirnya tak berani tutupi
rahasia tersebut. Sl pemegang cambuk menjawab
dengan pelan. "Nyai Ratu... Ratu Sendang Pamuas.'
Suto Sinting menggumam lirih dan manggut
manggut. Hatinya bertanya"tanya, "Siapa sebenarnya ratu Sendang Pamuas itu"! Mengapa baru
sekarang kudengar nama Sendang Pamuas"! Sayang
sekali tadi lupa kutanyakan di mana keduduka si Ratu Sendang Pemuas itu!"
Ketika Suto selesai mengobati luka cambuk si
wakil lurah dengan meminumkan tuak dari bumbung
saktinya itu. ia pun kembali ke rumah Badrun. sekallpun si wakil lurah menawarkan tempat yan lebih
nyaman, tapi Suto Slnting tetap memilih bermalam
di gubuk reotnya Badrun. Anehnya, tak satu pun dari penduduk desa yang
mengetahui siapa Ratu Sendang Pamua Itu. Badrun pun mengaku tak mengenai nama itu dan baru sekarang mendengarnya.
'Setahuku di sini tak ada ratu, adanya adipati "
kata Badrun yang membuat Suto akhirnya termenung parljang di rumah kumuh itu.
.SETELAH dua hari tinggai bersama Badrun.
bahkan sempat mengobati penyakit Ki Lurah
dan beberapa warga setempat, Pendekar Mabuk akhirnya teruskan perjalanan yang sudah direncanakan dalam benaknya beberapa hari yang lalu.
Persoalan gadis berkuda putih itu dapat ditangguhkan untuk sementara waktu, toh orang-orang Waduk
Bangkai tidak muncul iagi sejak peristiwa malam itu.
"Setelah dari Bukit Sawan aku akan datang kembali ke sini untuk mencari tahu. siapa sebenarnya
garis berkuda putih itu" Mengapa Ki Lurah dan beberapa Warga desa lainnya tak ada yang bisa menjelaskan tentang gadis berkuda putih itu" Aku sendiri jadi sangsi dengan keterangan Badrun. Jangan-jangan anak itu hanya mengarang sebuah cerita supaya aku betah tinggal bersamanya"! Brengsek: Licin juga akal anak itu. Tapi kuakui. ia sebenarnya
anak yang cerdas." ujar Suto Siming dalam hatinya.
"badrun, kau mau ikut ke Bukit Sawan?"
tidak, Kang. Nanti siapa yang menggantikan
pekerjaanku; mengemis?"
'sudahlah, tinggalkan saja pekerjaan itu. Kau
bisa kulatih untuk bisa melakukan pekerjaan lain
yang mendatangkan hasil juga."
hah. sayang kalau bakat ini tidak terpupuk.
Kang." jawab Badrun sambil cengar-cenglr dan
membuat Suto Slnting tersenyum geli. '
Maka ketika pagi mulai meninggi, Pendekar Mabuk tlnggalkan desa tersebut. Ia harus teruskan perjalanannya menuju ke Perguruagn Telaga Murka
yang berada di Bukit Sawan. Ia ingin temui seora ng '
gadis cantik bak boneka yang menjadi murid perguruan tersebut. Tirai Surga, namanya!
Gadis itu mampu tinggalkan kesan tersendiri di
hati Pendekar Mabuk. Rasa-rasanya sulit bagi Suto
untuk melupakan Tirai Surga yang berkullt halus
lembut seperti kulit bayi itu. Sekalipun Tlral Surga
sebenarnya adalah musuh yang nyaris merenggut
nyawa Suto Slnting. karena ia adalah utusan dari
Nyai Dupa Mayat yang bertugas menjebak dan menangkap Suto, namun pada kenyataannya justru
nyawa Suto diselamatkan oleh jubah Tirai ,Surga saat lakukan pertarungan dengan Nyai Dupa Mayat.
Gadis itu sendiri tak tahu kalau orang yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Nylal Dupa
Mayat adalah pemuda yang pertama kali dalam sejarah hidupnya memberikan ciuman dan belalaian mesrra. Tirai Surga sudah telanjur dibuai oleh kemesraan':
Pendekar Mabuk, sehingga ketika ia merngtetahui
bahwa pemuda yang harus ditangkapnya adalah Suto, maka ia berbalik memihak Suto Sinting: ia lebih
baik batal mendapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa'
ketimbang tak bertemu dengan Suto Sinting selamanya. Mengharukan sekail, (Baca serial pendekar
Mabuk dalam episode : 'Dalam Pelukan Musuh').
"Kalau kau mau ke Bukit Sawan, kau harus
melewati kaki Gunung Batar itu, Kang," ujar Badrun
pada saat sebelum Suto Slnting meninggalkan desa
tersebut. Suto mencatat panduan itu dalam benaknya.
' 'Kang, aku tidak bisa membekali apa-apa," kata
Badrun saat ingin ditinggalkan. "Tapi aku punya dua
,, tempurung. Kalau kau mau, bawalah tempurungku
yang satu Ini, Kang. Yang satunya lagi tetap akan kupakai untuk mengemis."
"Kau plklr aku dijalanan akan mengemis"! Pakai
bawa-bawa tempurung segala"!" ujar Suto Slnting
sambil bersungut-sungut menahan tawa. Ia segera
mengusap-usap kepaia anak itu dengan penuh persahabatan.
' "Kau lebih membutuhkan tempurung itu ketimbang aku, Badrun."
"Tapi setidaknya buat tanda mata, lumayan juga,
Kang" Siapa tahu di jalan kau butuh tempat untuk
minum"!" Suto merasa didesak. Ia tahu, Badrun ingin
memberikan tanda kenang-kenangan atas jalinan
persahabatan mereka itu. Maka untuk melegakan
hati Badrun, tempurung hitam yang tepiannya bengerigi mlrlp tempat menaruh rokok pada asbak Itu
akhirnya diterima juga oleh Suto. Tempurung hitam
itu bergambar wajah orang di bagian luarnya. Hasil
goresan tangan Badrun sendiri yang dianggap Suto
mempunyai nilai seni cukUp lumayan. Suto sempat
menertawakan gambar wajah orang yang mirip topeng itu.
"Wajah kakekmukah yang kau gambar di 'tem-
purung ini?" canda Suto, dan Badrun tertawa penuh
keceriaan. "Ada gunanya juga. Bisa pas untuk tutup bumbungku"!" pikir Suto sambil mencoba menutupkan
tempurung dalam keadaan tengadah ke lubang
bumbung. Tempurung itu bagaikan baut yang harus
diputar sedikit agar menutup rapat dan kencang.
Membukanya juga harus diputar sedikit. Dengan tutup tempurung itu, tuak yang ada di dalam bumbung
lebih terjaga keutuhannya. Tidak mudah tumpah.
atau menetes keluar jika bumbung dalam keadaan
terbalik sewaktu"Waktu.
Perjalanan separuh siang itu terhenti sejenak
akibat suara ledakan kecil yang terdengar sampai di
telinga Pendekar Mabuk. Ledakan kecil itu berasal
dari arah kiri Suto. ia yakin ledakan kecil itu timbul
akibat adanya pertarungan adu tenaga dalam.
Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa
melewatkan sebuah pertarungan. Di mana pun ia
mendengar suara pertarungan selain diburunya untuk dijadikan tontonan. Bukan sekadar tontonan
penghibur hati. melainkan tontonan penambah pengetahuannya tentang jurus"iUIUS yang ada di dunia
persilatan. ia ingin mengetahui keunggulan dan kelemahan setiap lurus yang dimiliki orang lain. Karenanya, tak heran jika Suto Sintlng pun sedikit membelokkan arah perjalanannya untuk melihat pertarungan apa yang terjadi di sebelah kirinya itu.
"wuut". ..! Dalam sekejap ia sudah berada di atas
pohon dengan menggunakan ilmu peringan tubuh
ia melompat dari pohon ke pohOn sampai akhimya
meiihat dua sosok yang sedang beradu kekuatan
fislk tanpa senjata tajam.


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata terbelalak segar dengan senyum membias
tipis ketika Suto menatap ke arah pertarungan dua
gadis yang cukup menarik. Bukan jurus"jurus mereka saja yang menarik, tapi penampilan salah satu
dari kedua gadis itu juga sangat menarik. Mereka
sama sama mempunyai nilai kecantikan yang seimbang, tapi busana mereka berbeda.
Yang satu berjubah putih kekuning"kuningan
dari bahan kain halus namun mengkilap seperti satin. Jubalmya berlengan panjang itu tidak dik kancingkan, sehingga pakaian dalamnya yang terdiri dari
baju buntung warna biru dan celana biru yang juga
mengkilap itu tampak jelas. Gadis berjubah putih
krem itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun dengan
rambut disanggul asal"asalan, sehingga sisa rambutnya berjuntai ke bawah seperti ekor anak kuda.
ia bersenjata pedang dl pinggangnya, namun saat
itu belum digunakan. Sarung pedangnya dililit kain
beludru merah dengan ujung gagang pedang diberi
hiasan rumbai"rumbai benang kuning.
Sedangkan lawannya justru berpakaian minim.
Penutup dadanya dari serat"serai kulit pohon yang
lemas dan tampak kenyal, berserabut seperti rambut. Demikian pula penutup bagian bawahnya dari
rumpul-rumput kulit pohon yang menyerupai rambut. Digunakan hanya menutup bagian terpenting
saja. sisi kanan"kiri pinggulnya hanya tertutup tali
serat itu. gadis bertubuh tinggi dan seksi dengan
dada montok tampak maju ke depan itu tampak seperti orang prlmltll dilihat dari pakaiannya. Tapi ia
adalah gadis yang cantik, berhidung mancung, berblblr sensual, mata agak lebar berkesan galak.
Gadis yang berpakaian prlmltif itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun juga, hanya bedanya Ia bertubuh lebih tinggi dari lawannya. Gerakannya tampak lebih lincah dan ilar. Caranya memandang pun
berkesan liar. Sekalipun ia mempunyai pedang di
punggung, tapi ia belum mau mencabut pedangnya.
Rambut gadis itu panjang sebahu dan keriting
kecil-kecil,'tak terlalu kentara keritingnya jika dilihat
dari kejauhan. ia mengenakan ikat kepala dari tali
halus berwarna putih yang panjangnya melebihi
pundak, sehingga dalam setiap gerakannya, tali itu
melayang ke sana-sini, membuatnya tampak lebih
lincah dan menarik sekali. "
Kulitnya yang berwarna sawo matang bagaikan
tahan pukulan dan tahan goresan, karena keliha tan
keras bagal tembaga. Setiap bergerak, rumbai"rumbal penutUp dada dan bagian bawahnya menyingkap ke sana"slni, sehingga barang yang ditutupi sesekali tampak sesekali tertutup, membuat hati Pemdekar Mabuk berdeslr dan pandangan matanya
menjadi penasaran. 'Gilal Ini yang namanya kecantikan alami dan
kemontokan alami juga," ujar Suto dalam hati. "Justru kalau kelihatan ngablak malahan kurang menarik. Aih, gila! Kenapa mataku tertuju ke sana. Konyol! Jangan, ahi Tidak boleh! Kata orang tua; pamali" sambil hati Suto tertawa sendlrl.
Gerakan si gadis berpakaian rumbai"rumbai itu
makin lama semakin tampak liar. ia melompat ke
sana-sini mlrlp kera, terkadang menyerupai singa
yang sedang mengamuk, ingin menerkam lawannya
dengan buas. Ia sering gunakan gerakan bersalto,
atau plik-plak dl tanah. Dan hal itu dilakukan dengan
cepat, membingungkan iawannya. Tahu-tahu kakinya menendang telak kenal wajah gadis berjubah
putih krem itu. Plook...! Gadis berjubah putih krem menggoyor ke belakang. Sempoyongan! Wajahnya diklbaskan sesaat
karena pandangan matanya jadI buram. Dan pada
saat Itu pula, serangan si gadis berambut kerltlng
halus Itu datang lagi berupa tendangan beruntun.
Piak, plak, plak, best...!
Gadls berjubah krem berhasil tangkis setiap
' tendangan lawannya. Bahkan Ia segera memutar tubuh dan layangkan tendangannya ke arah kepala
' lawan. Wuuut...! . Plaaak...l Tendangan itu ditangkls juga oleh lawan. Kejap
berikut mereka saling menghantamkan kedua telapak tangan. Wuuut...! Biaarr...l Ledakan keras terjadi akibat benturan dua telapak tangan yang bertenaga dalam itu. Asap mengepul tipis dari kedua telapak tangan yang saling beradu tadi. Klni mereka sarna-sama teriempar ke belakang bagai dihernpas badai. Sl gadis berjubah putih krem jatuh terduduk, sedangkan lawannya hanya terpelanting dan sempo-
.yongan, namun tak sempat jatuh karena ia segera
berpegangan pada sebatang pohon. Klnl jarak mereka menjadi sekitar delapan langkah.
"Boleh juga si gadis hutan itu," ujar Suto Slnting
dalam hati sambil perhatikan gadis berpakaian rumbai-rumbai itu. "Gerakannya cukup llncah dan membingungkan. Ia banyak menggunakan gerak tipuan.
Kurasa si jubah putih tak dapat menumbangkannya.
Justru mungkin si jubah putih akan tumbang dalam
beberapa jurus lagi. Karena menurutku.?"
Celoteh batin Suto Sinting Itu terhenti karena si
gadis berjubah putih telah bangkit dan berseru kepada lawannya.
'Sudah waktunya kita tentukan siapa yang hidup dan siapa yang matt, Sahara!" sambil si ]ubah
putih krem mencabut pedangnya. Sreeet...l
"Akan kulayani kemauanmu, Cindera Giri!"
Gadis berpakaian minim itu pun segera mencabut pedangnya dari punggung. Sraaang...l Rupa-
nya ia bernama Sahara, sedangkan lawannya yang
berjubah putih krem itu bernama Cindera Girl. Entah
orang mana mereka dan apa persoalannya hingga
mereka ingin beradu pedang, Suto Sinting masih belum paham. Tapi hatinya sempat cemas. karena sebenarnya Suto tak ingin salah satu ada yang mati.
"Haruskah aku turun tangan melerai pertarungan itu"!" tanyanya kepada hati sendiri. Pendekar
Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya untuk
sambil menimbangcnimbang langkah yang akan diambilnya.
Namun Cindera Giri sudah lebih dulu maju menyerang dengan satu lompatan bagaikan terbang.
Sahara tidak hanya diam. Ia pun menyongsong da"
tangnya serangan lawan dengan satu lompatan llarnya.
'Heeaaah...!" . Trang, trang, wuik, wuik, wuuus. traaang...l
' ! Buuukh...l Sahara berhasil menendang perut
Cindera Girl. Gadis yang ditendang terlempar sebelum mereka sama-sama daratkan kaki ke tanah. Gerakan adu pedang yang cepat tadi sempat membuat
Cindera Giri kehilangan kontrol keseimbangan, aklbatnya ia mudah terlempar oleh tendangan kaki
panjang Sahara. Wuuut...! Brrruk...l Slaaap...l Cindera Girl melintang ke udara secara tiba-tlba. Ujung pedangnya bertumpu dltanah dan
melengkung saat ditekan, lalu pedang Itu bagaikan
per yang menyentak dan melemparkan Clndera Giri
ke atas. Dengan satu gerakan bersalto, Cindera Glrl berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dan daratkan kaki dengan tegak di tanah. Tapi serangan dari
Sahara datang lagi iebih ganas dan Ieblh liar.
'Hiillaaah...l' Sahara berlari dengan kedua tangan pegangl
pedangnya dan siap menusukkan ke arah Cindera
Giri. Namun ketika pedang itu hendak sampai ke perut Cindera Giri, tiba-tiba pedang Cindera Girl berkelebat ke depan menangkis pedang iawan. Traang...l
Perpaduan pedang itu memercikkan bunga api sekejap, kemudian tubuh Sahara terpelantlng ke klrl
akibat terbawa oleh sentakan pedangnya yang bagai
dibuang ke kanan oleh pedang Cindera Girl.
Pada saat Sahara terpelanting ke sebelah klri"
nya, pedang Cindera Girl berkelebat sambil tubuhnya memutar satu kali. Wuuuut, beeet...!
Craaas...l 'Aaaakh...!" Sahara menjerit keras, punggung
dekat lengan kanannya robek terkena sabetan pedang Cindera Girl. ia jatuh berlutut satu kaki sambil
menahan sakit. Pada saat itu pula, Cindera Girl melompat ke arahnya dan menghujamkan pedangnya.
Sahara segera berguling mendekati lawan sambil
menebaskan pedang ke atas. Traaang...! Pedang
Cindera Giri berhasil ditangkis. lalu pedang Sahara
berkelebat menebas daiam posisi berlutut satu kaki
lagi. Wuuuut, craaas...l 'Aaaakh...!' Cindera Giri tersentak mundur dalam keadaan perutnya robek terkena tebasan pedang Sahara. Darah pun mengalir sebanyak darah
dari luka Sahara. "Bangsat kaul' geram Cindera Giri sambil menahan sakit.
'Heeeaaat...l' Sahara menyerang sambil lakukan lompatan ke arah Cindera Girl. Pedangnya dlgenggam dengan dua tangan lagi dan dlhujamkan
ke dada lawan. Wuuut...l Traaang...! Sahara terpelanting ke samping kanan, karena
tiba"tiba pedangnya bagal ada yang melemparnya
dengan batu besar. Padahal yang mengenai pedangnya hanya sepotong ranting, tak lebih dari seukuran ibu jari. Hanya saja, ranting itu berisi tenaga
dalam cukup besar sehingga kekerasannya bisa
menyerupai baja dan kekuatan daya sentaknya bisa
meleblhi tendangan seekor kuda.
Perbuatan siapa lagi yang melemparkan ranting
itu kalau bukan perbuatan Suto dari atas pohon. Ia
sentilkan ranting itu dengan jurus 'Jarl Guntur' sehingga mampu singkirkan pedang Sahara yang nyaris merenggut nyawa Cindera Giri.
Mata Sahara jelalatan, bukan karena lngln melihat pemuda tampan, tapi karena ingin mencari
orang yang menghalangi pedangnya dengan ranting
berisi itu. ia tak sadar. pencarian matanya itu membuatnya lengah dan Cindera Giri yang masih bertahan dengan lukanya segera menyerang memakai
pukulan tenaga dalamnya. Beet...l Seberkas sinar kuning seperti telur mata sapi melesat dari telapak tangan kiri Cindera Girl.
Claaap...! Sinar itu diketahui Sahara sudah terlambat. Hanya ada sedikit peluang bagi Sahara, itu pun tak bisa
dengan cara menghindar. Mau tak mau Sahara keluarkan jurus bersinar juga yang keluar melalui kedipan kedua matanya. Blaap...! Dari kedua mata itu
keluar sinar merah kecil yang segera menyatu di depan hidungnya dan melesat menghantam sinar kuning. Crllaaap...!
Jegaarrrr...l Sinar jingga berpendar pecah menyebar dalam
sekejap. Besar dan lebar. Sinar jingga itu muncul
akibat benturan kedua sinar tadi. Gelombang sentakannya sangat kuat. Melemparkan tubuh Sahara
bagaikan boneka tak terpakai. Weess...l Brruuss...!
Ia jatuh terbanting dengan menyedihkan sekali. Tapi
masih beruntung karena Ia jatuh di semak"semak
Ilalang. Gelombang ledakan itu hanya membuat Cindera
Giri terhuyung"huyung ke belakang sejauh delapan
langkah, lalu membentur pohon tak seberapa keras.
Posisinya yang jauh dari ledakan membuat Ia tak terlempar seperti Sahara. Ia masih bisa berdiri memandang lawannya walau dengan sedikit membungkuk
dan tangan kirinya segera mendekap luka di perut.
"Seru! Sama-sama kuat sebenarnya, hanya tergantung slapa yang lengah lebih dulu," ujar Suto
Slnting. Tapi Ia segera tak tega melihat kedua gadis
itu berusaha saling membunuh. Karena ketika Sahara keluar dari semak-semak dalam keadaan semp oyongan, ternyata tubuhnya telah tercablk-cabik
bagal habis diserang delapan ekor singa bersama
delapan belas anaknya. Tubuh itu rusak berat, mengerikan, dan menyedihkan. Namun Sahara masih
bernyawa dan masih bersikeras untuk lanjutkan pertarungannya.
"Wah, ini sudah kelewatan" ujar Suto Slnting
dalam hatinya. la geleng-geleng kepala sambil teruskan membatln.
"Sahara bisa mampus! Mampus betul Sahara!
Cindera Giri tarnpak masih tangguh walau terluka. ia
tidak separah Sahara. Aku harus bertindak lebih
nyata lagi jika begini keadaannya."
DI lain pihak, semangat Cindera Giri menjadi besar kembali begitu melihat lawannya rusak berat seperti habis terbungkus petasan yang meledak ber-
sama. Dengan jeritan nyaring, Cindera Giri berlari
beberapa langkah, kemudian melayang bagaikan
terbang. Pedangnya ditebas-tebaskan di bagian depan, membuat Sahara sempat kebingungan melihat
gerakan pedang lawan dan kebingungan pula menangklsnya-
Ziaaap...i Edan! Ada bayangan seperti hantu melayang
cepat menyambar tubuh Sahara. Tahu"tahu Sahara
sudah pindah di tempat lain, sekitar sepuiuh tombak
dari tempat Cindera Giri dan pedangnya kecele, tidak berhasil menebas sasaran.
Siapa orang yang menyambar Sahara dalam
kecepatan seperti hantu sakit perut itu kalau bukan
si Pendekar Mabuk yang rada-rada konyol itu. Cindera Giri terkejut melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Pemuda itu sedang menyangga tubuh Sahara yang miring dalam berdirinya.
Sahara sendiri kaget melihat seorang pemuda
tampan berperawakan tinggi gagah sedang menyangga tubuhnya yang nyaris tak kuat berdiri lagi
Itu. Tapi karena ia sibuk menahan rasa sakit, maka
kekagetannya itu tak begitu kentara. Ia hanya mengeluh sambil pejamkan mata. _
"Oouh...l' Tubuhnya bertambah memberat dalam sanggaan tangan kiri Suto Slnting. Mau tak mau
tangan itu makin diperkuat. Bumbung tuak belum
sempat diraih Suto. Masih menggantung di pundaknya.
"Lepaskan dia atau kau ikut kuhancurkan"l" teriak Clndera Giri dengan ancaman yang bukan main-main.
"Hentikan pertarungan Ini!" Suto Slnting berseru, mencoba tampilkan Suara wibawanya. Tapi ternyata tak digubris oleh Cindera Giri.
Sinar kuning seperti telur mata sapi tadi melesat
lagi dari tangan Cindera Girl. Pendekar Mabuk segera meraih tali bumbung tuaknya. Dalam sekejap
bumbung tuak sudah berada di tangan kanan dan
dlhadangkan ke depan. Tepat pada saat itu sinar
kuning datang, lalu menghantam bumbung tuak itu.
Teeub...! Eh, sinar kuning membalik arah dalam keadaan
lebih cepat dan iebih besar. Seperti telur mata kebo.
Sinar Itu bagaikan batu mengenai karet yang segera
memantul balik ke arah pemiliknya.
'Setaaan...!" teriak Cindera Giri memaki sambil
lompat ke samping. Sinar kuningnya yang sudah
berubah itu melesat melewati bekas tempatnya berdiri tadl dan menghantam sebatang pohon besar.
Blegaaarrr...l Tanah berguncang bagai dilanda gempa. Hawa
sekeliling menjadi panas menyengat. Daun-daun
rontok dan menjadi layu. Pohon itu sendiri terbelah
menjadi beberapa potong. Salah satu potongan kayu yang Sebesar paha perawan itu menghantam
punggung Cindera Giri. Buuukh...i
'Heeekh-..!" Cindera Giri terSentak ke depan
dan jatuh tersungkur dengan napas tak bisa dihela
untuk sesaat. Suto Sintlng iatuh ke belakang, karena guncangan tanah membuat keseimbangannya hilang.
Padahal Ia menyangga beban tubuh tinggi seksi
milik Sahara. Maka mereka pun jatuh bersama.
Brruuk...! Tubuh Sahara menimpa tubuh Suto Slnting. Gadis yang belum pingsan namun sudah tak
mampu berbuat apa-apa itu hanya mengerang lirih.
'Uuuhhh...!" "Celakal Mungkin sebentar lagi dia akan mati"!"
gumam hati Suto Sintlng, ialu ia segera menyingkirkan tubuh penuh luka cablk-cablk Itu.
Suto Slnting sempat memandang ke arah Cindera Giri. Rupanya gadis Itu memuntahkan darah
dari mulutnya akibat terhantam potongan kayu pohon tadi. Cindera Giri sedang sibuk Seperti orang
ngidam. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Slnting
untuk buru"buru menuangkan tuak ke mulut Sahara.
Tuak tertuang ke dalam mulut yang ternganga mengerang. Akibatnya, Sahara tersedak, tuak tumpah di
sekitar wajah dan dadanya. Tapi Suto agak lega karena yakin ada tuak yang telah tertelan.
'Berbarlnglah dulu! Sebentar lagi lukamu akan
sembuh!" ujar Suto Sinting, lalu tinggalkan Sahara.
Ia segera hampiri Cindera Giri yang sedang bergegas bangkit.
'Nona...," baru saja Suto ingin menawarkan tuak
saktinya untuk sembuhkan luka, Cindera Giri sudah
memotong dengan geram penuh dendam.
"ingat! Lain kali kau akan berhadapan denganku, dan akan kubalas tindakanmu Inil'
'Lho, aku tidak menyerangmu"! Kau yang me-
nyerangku. Cuma sinar kuningmu Itu terlalu rendah
kadar kesaktiannya, Sehingga memantul ballk
dan...." "Dlaamm...l" bentak Cindera Giri. Ia menuding
Suto dengan pandangan mata menyeramkan.,
"Kau akan kubuat lumpuh seumur hidup jika kita
jumpa lagi!" "Jangan begitu, Nona. Aku hanya..."
Blaaass...l Cindera Girl melesat pergi tanpa pedulikah kata kata Suto lagi. Ia mengerahkan tenaga '
penghabisan untuk berlarl' secepat mungkin. Suto
Sintlng hanya pandangi kepergian Cindera Girl dengan mulut melongo dan garuk"garuk kepala. Wajahmya jadi seperti murid SLB.
* SAHARA kaget meilhat luka"lukanya hliang bersama rasa sakit di sekujur badannya. Ia kebingungan pandangi tubuhnya yang mulus
kembali bagal tak pernah terluka sedikitpun. Luka
yang hilang dicarinya di sana-sini tubuhnya. seperti
orang kehilangan dompet. Sampai la memutar tubuh, menengok ke pinggulnya. Hmmm... ternyata
mulus juga, tak ada cacat atau bekas goresan sedikit
pun. "Karena kau meminum tuakku, maka lukamu
mengatup rapat kembali dan... badanmu merasa segar, bukan"!" sambil Suto SIntIng sungglngkan senyum menawan.


Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sahara memandang rada tegang. Cepat-cepat
pedangnya diacungkan ke arah Pendekar Mabuk
dengan mata membelalak garang.
"Siapa kau'sebenarnya"!" bentuknya sambil melangkah maju. Pendekar Mabuk melangkah mundur
karena lehernya tak mau tertusuk uiung pedang.
'Hei. aku yang menolongmu! Aku bukan musuh.
Sahara!" "Bohong! Kau pasti mata"mata dari Pantai Dahaga!"
"Pantai Dahaga"! Ooh..., baru sekarang kudengar nama Pantai Dahaga!"
"Dustal' bentak Sahara iagi dengan wajah cantiknya semakin memancarkan keganasan. Pedangnya dlSentakkan ke depan, Suto tersentak mundur
karena hindari ujung pedang yang berjarak kurang
dari Sejengkal dengan lehernya.
'Kau Salah paham; Sahara! Aku tadi melihatmu
bertarung dengan Cindera Giri. Kuselamatkan kau
saat keadaanmu lemah dan Cindera Girl menyerang
dengan pedangnya. Kalau tidak kau akan mati di
ujung pedang Cindera Giri!"
"Memang aku tadi terluka parah, tapi sekarang
lukaku sudah hilang dan...."
"Dan aku yang Sembuhkan dirimu, Saharal"
"Mungkin saja. Tapi aku tahu maksud burukmu
di balik sikap baik itu!"
Suto Sintlng masih mundur terus sementara
Sahara dan pedangnya tetap maju, sampai akhirnya
Suto terdesak tak bisa bergerak lagi. Di belakangnya ada batu sebesar rumah Badrun. Di situlah
agaknya Sahara menggiring Suto dan mengancam
dengan pedangnya. Ujung pedang lebih dekat lagi
dengan kulit leher Suto. 'Jangan lakukan gerakan yang mencurigakan
kalau tidak ingin pedangku menembus lehermu, .jahanam"
"Namaku Suto Sinting. bukan Jahanam Sintlng...," ujar Suto sambil sunggingkan senyum yang
biasanya membuat hati wanita menjadi lemah. Tapl
agaknya ia berhadapan dengan wanita lain daripada
yang lain. Gadis itu tetap tegar, galak, dan penuh curiga. Jurus "Senyuman lblis' yang mampu membuat
perempuan terglla gila padanya Itu luga tidak mempan diarahkan kepada Sahara.
"Lepaskan bumbung tuakmu!"
"Hei. aku...." 'Lepaskan bumbung tuakmu!" bentak Sahara
dengan mata kian mendeiik. Uiung pedang terasa
dingin, berarti sudah menempel di pertengahan Ieher Suto. Agaknya gadis itu tidak main"main dengan
ancamannya. Mau tak mau Suto pun melepaskan
bumbung tuaknya. Tangan Sahara terulur ke depan.
bumbung tuak diserahkan ke tangan itu. Sahara
menggantungkannya di pundak kirl.
"Jalan ke kiri...!" perintah Sahara sambil ujung
pedang sedikit merapat lagi ke leher Suto.
'Gawatl Dia bersungguh"sungguh. Sedikit ge-
rakan yang mencurigakan leherku bisa ditembus de-
ngan pedangnya. Sebaiknya aku mengalah dulu.
sambil kucoba yakinkan bahwa aku bukan mata-
mata dari Pantai Dahaga," ujar Suto dalam hati-
"Mau dibawa ke mana aku, Sahara"!" tanya Suto
seraya melirik ke belakang, karena sekarang Sahara
ada di belakangnya dan ujung pedang gadis itu menempel lekat dl punggung kiri. Jika pedang itu ditusukkan maka akan tembus kenai jantung.
"Mau kubawa ke mana saja Itu urusankul Kau
tak perlu tahu. karena kau sekarang adalah tawanankul"
Pendekar Mabuk masih tenang, masih sempat
sungglngkan senyum geli mendengar dirinya dianggap tawanan. Suto pun mencoba jelaskan siapa
dirinya dengan tetap melangkah, karena ujung pedang Sahara terasa sedlklt mendorong. Kalau Suto
hentikan langkah, maka ujung pedang itu akan menembus ke punggungnya akibat didorong terus oleh
pemegangnya. "Saha'ra, kuingatkan sekali lagi, aku adalah seorang sahabat. Bukan musuhmu, bukan mata"mata
Pantai Dahaga. Aku dalam perjalanan ke Bukit Sawan untuk jumpai seorang sahabat yang menjadi
murid Perguruan Telaga Murka. Lalu kulihat kau
bertarung dengan Cindera Giri,..."
"Apakah kau begundalnya Cindera Glri"i'
"0, bukan! Bukan ]uga begundalnya Cindera
Giri. Aku"." "Tetap jalani' bentak Sahara memotong kata-kata Suto. Maka perintah itu pun diikuti ketimbang
harus ngotot yang akhirnya akan ditembus pedang.
,_ Tapi pada langkah berikutnya, tiba"tiba Sahara
terkelut melihat tawanannya tiba-tiba lenyap tak berbekas. Gadis itu kelabakan. cllngak-cilnguk kebingungan mencari sang tawanan yang sebenarnya
telah menggunakan jurus berlari dengan kecepatan
menyamai kecepatan cahaya yang dinamakan jurus
'Gerak Siluman' itu. Zlaaap, zlaaap...l
Tahu-tahu Suto Sinting berada disebelah kanan
Sahara dalam jarak delapan langkah lebih. Pemuda
itu sengaja berdiri dengan satu tangan bersandar
pada pohon dan Senyumnya mengembang penuh
kesan ejekan. Sahara menggeram, kemudian segera berlari mengejar Suto Sinting. Wuuus"!
Ziaap, zlaa'ap...l Pemuda tampan yang senyumannya menggoda
itu lenyap kembali. Padahal si gadis baru saja tiba
di tempat si pemuda tadi berdiri dengan satu tangan
bersandar pada pohon. Kini mata si gadis melihat
pemuda itu ada di sisl lain, duduk di atas batu seenaknya, seperti orang sedang santai melepas lelah.
'Kuhancurkan kau jika tetap tak mau kubawa ke
pengadilanl" geram Sahara, kemudian melepaskan
pukulan bersinar merah ke arah Pendekar Mabuk.
Ciaaap...l Zlaaap...| Blaarrr...i Sinar merah itu menghantam batu, sedangkan
Suto Slntlng sudah pindah di belakang Sahara dalam [arak tujuh langkah. Bertambah geram hati _Sah ara begitu mengetahui tawanannya ada di belakangny a. Ia pun bergegas memburunya lagi. Tapi
sebelum melangkah, tiba"tiba suara Suto Sinting terdengar bagal menggertak.
"Maju selangkah kau mati, Saharal"
Langkah si gadis kekar itu terhenti seketika. Rupanya gertakan yang tak akan dilakukan Suto secara
sungguh"Sungguh Itu sudah cukup membuat hati
Sahara menjadi waswas. ' "Kalau aku mau lolos darimu, itu adalah hal yang
mudah, Sahara! Bahkan kalau aku memang niata -mata dari lawanmu, sudah kubunuh kau sejak tadi.
Jadi sampai sekarang aku tidak melawanmu karena
aku Ingin tunjukkan bahwa aku bukan mata"mata
dari pihak lawanmul"
"Menyerahiah jika kau bukan mata-mata!!
"Mana mungkin"! Justru karena aku bukan ma-
ta-mata maka aku memberontak!"
Sahara dlam, agaknya ia mempertimbangkan
sesuatu dalam hatinya, 'Jika aku melawannya dengan kekerasan. kurasa... ilmuku tidak cukup untuk menandinginya. Dillhat dari gerakannya yang luar biasa cepat, dan kemampuannya menyembuhkan lukaku dengan tuaknya ini, maka jelaslah dia berilmu cukup tinggi, dan
lebih tinggi dariku. Aku harus menggunakan siasat
untuk menawannya. karena agaknya Ia memang mata-mata yang pandai bersandiwara sebagai orang
balk-balk." Pendekar Mabuk mencoba membujuk Sahara
dan meyakinkan gadis itu bahwa dirinya bukan
seorang mata-mata dari Pantai Dahaga. Tetapi agaknya gadis itu tak mudah dibujuk dan pendiriannya
tetap kokoh. "Baiklah kalau begitu kau memang Inginkan aku
melawanmu, Sahara! Jangan menyesal jika kau celaka dalam pertarungan denganku nanti!' ujar Suto
tegas. Sahara hanya berpikir, "Celaka! Dia pasti tak
akan Segan-segan membunuhkui Sebelum hal itu
terjadi, aku harus gunakan siasat untuk dapat menjeratnya. Tapl siasat apa yang harus kupakai?"
Sambil berpikir demikian, Sahara melangkah ke
samping dengan pandangan mata tetap tajam penuh
waspada. Namun pandangan matanya itu sempat
mellrik'ke arah tanaman rambat yang berakar mlrlp
tambang itu. "Hmm... ada 'Akar Serat Setan". Kalau dia kulkat
dengan 'Akar Serat Setan" itu, maka ia tak' akan dapat lolos. Sebab akar Itu jlka dipakai untuk mengikat
akan menjadi tambah kuat apabila orang itu ingin
memberontak melepaskan diri dari lkatannya. Akar
itu hanya bisa dilepaskan dengan pelan-pelan sekali
atau dengan cara dltebas dengan pedang. Tapl...
bagaimana aku harus membujuknya supaya masuk
perangkap dan dapat menjeratnya dengan akar itu?"
Terdengar suara Suto berseru dari kejauhan.
"Sahara, sekali lagi kulngatkan bahwa aku sebenarnya bukan musuhmu. Aku sedang. dalam perjalanan
ke suatu tempat Untuk temui sahabatku, sl Tirai
Surga. Kembalikan bumbung tuakku yang menggantung dl pundakmu itu, sebelum aku merampasnya dengan paksa. Tubuhmu akan cedera jika kulakukan perampasan dengan paksa, Sahara."
"Tlral Surga adalah menjadi tawananku juga.
Sebentar lagi Ia akan jalan! hukuman gantung!"
"Apaa..."l' Suto Sinting tampak terkejut dengan
kedua mata terbelalak. Sahara mulai mendapat
angin untuk slaaatnya. 'Jika kau bersedia kutawan, maka kau akan
kujadikan satu dengan Tlral Surga sebelum ia dihukum gantung oleh atasankul"
"Slapa atasanmu"!"
"Kau tak perlu tahu! Akan kulkat kau dan kuserahkan kepada atasanku biar dijadikan satu dengan
Tirai Surga dalam tawanan nanti." sambll hatl Sahara
berkata sendiri, "Aku yakin, Tikal Surga pastl nama:
seorang gadis, dan mungkin Ia sedang naksir gadis
Itu. Padahal aku sendri tak tahu siapa sl Tlral Surga
itu." Pendekar Mabuk sendiri berpikir, "Benarkah Tlrai Surga menjadi tawanannya" Benarkah akan dlhukum gantung?"
Lalu, Suto pun mendekat dalam' jarak lima langkah. "Apa kesalahan Tirai Surga sehingga kau Ingin
menghukum gantung sahabatku Itu?"
"Kau bisa tanyakan sendiri padanya setelah dalam satu kamar tahanan nanti!" '
Hati sl pendekar tampan itu pun akhirnya berkata, "Kurasa tak mungkin Tlral Surga menjadi tawanannya. Aku yakin, dia hanya ingin menjebakku
saja. Mengapa Ia bernafsu sekail menangkapku"
Aku jadi Ingin tahu siapa dia dan mau dibawa ke mana jika aku sudah diikatnya nanti?"
'Mendekatlah dan berbaliklah ke belakang. Taruh kedua tanganmu di belakang dan aku akan
mengikatnya dengan akar ini!". '
Tees...l 'Sahara memotong akar tanaman-rambat
dengan pedangnya. Akar itulah yang dinamakan
'Akar Serat Setan", yang akan menjerat semakin kuat jika tangan yang dijerat bergerak"gerak Ingin loIoskan diri. "
Suto Sintlng masih diam memandang sambil
hatinya berujar, "Aku benar-benar penasaran padanya. Orang mana sebenarnya dia itu" Apakah dia
juga tahu tentang si gadis penunggang kuda putih"
Hmmm... baiklah, aku akan berlagak menyerah saja,
biar jelas Segalanya bagiku'tentang siapa dia sebenamya. Aku akan penasaran jika sampai tak tahu
siapa gadis cantik berperawakan tegar itu. Kurasa _
jika sampai terjadi bahaya, aku bisa atas! sendiri
walau kedua tanganku terikat, apalagi hanya diikat
dengan akar seperti Itu. Sekali Sentak saja pasti akar
itu akan putus!" ' "Sahara," ujar Suto. "Aku bersedia kau tangkap,
tapi kau harus berjanji akan membebaskan aku jika
kau tak punya cukup bukti dalam peradilan nanti
tentang'tuduhan terhadapku tadi. Dan kau pun harus bebaskan Tira! Surga jika benar Ia akan dihukum
gantung!" ' "Aku tak punya perjanjian apa pun! Jika kau
Ingln bertemu Tira! Surga,' serahkan kedua tanganmu. ke belakang! ! lekas!"
Dengan senyum kaiem, merasa ancaman itu ,terlalu ringan untuk dihadapi, akhirnya Suto Sintlng
pun berlagak pasrah. ia memutar balik tubuhnya dan
kedua tangannya dibiarkan diikat di belakang dengan akar tersebut.
'Kusentakkan Satu kali, akar ini pasti putus. Dan
dia akan tahu bahwa Sebenarnya aku tak akan bisa
ditangkap dengan cara apa pun!" pikir Suto Sinting
saat Sahara mengikat tangannya.
Suto Sinting tak tahu keistimewaan akar tersebut. Kedua tangannya terikat dan Ia harus berjalan,
kedua tangan itu mencoba berusaha untuk disentakkan agar mengetahui seberapa kekuatan akar
tersebut. Tapi ternyata akar itu justru semakin kuat
menjerat. Suto coba-coba untuk loloskan tangannya, dan jeratan pun terasa kian kuat lagi. ikatannya
terasa mengencang dengan sendirinya, sampai"sampal darah terasa tak mengalir ke telapak tangan.
"Celaka! Kenapa tallnya jadi kencang sendiri
begini" Makin aku bergerak makin menjerat lag! tall
akar Ini. Brengsek! Rupanya ia memakai akar yang
aneh untuk mengikatkan! Wah, kacau kalau begini,
akar In! tak bisa diputus dengan sekali atau dua kali
sentak" Hmmm... biarlah kulkutl dulu apa maunya
gadis cantik bertubuh menggairahkan itu!"
Sahara membawa Suto ke arah timur. Mereka
akhirnya tiba di tepi sungai. Sungai itu berteplan
dangkal dan mempunyai air terjun cukup dingin.
Hawa sejuk terasa menyegarkan tubuh, seakan udara panas dl siang nan bolong itu tak dapat melawan
udara sejuk di sekitar air terjun tersebut.
"Duduk di situ!" sentak Sahara, dan Suto menuruti perintah Itu dengan sabar. Ia duduk di atas
batu setinggi betis dengan kedua kaki melenjor ke
depan. Rupanya Sahara masih menyimpan sisa
'Akar Serat Setan', dan kali ini sisa akar itu dipakai
untuk mengikat kedua kaki Suto Sintlng.
"Gila! Mengapa kau mengikat kakiku juga"!" ujar
Suto sambil pandang! dada Sahara yang dalam posisi agak membungkuk itu.
"Biar kau tak Iarlkan diri. harus diikat dengan
'Akar Serat Setan' ini!" Sahara bicara sambil sibuk
mengencangkan simpul Ikatannya.
'Aku tak akan lari, Sahara! Percayalah, aku tak
akan lari karena aku tak ingin menjadi buronanmu
Api Di Bukit Menoreh 3 Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie Bulan Jatuh Dilereng Gunung 1
^