Panah Kekasih 20

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 20


Menyaksikan berapa orang jago tangguh itu kembali terlibat dalam pertarungan sengit, Lim Luan-hong merasa terkejut bercampur tertawa, ia merasa hari ini dirinya benar benar mujur.
Begitu empat orang jago lihay itu terlibat dalam pertempuran sengit, angin pukulan, bayangan toya segera memenuhi seluruh ruangan rumah abu, Lim Luan-hong sekalian kini terdesak hingga harus mundur ke sudut ruangan.
Beberapa kali Li Koan-eng dan Beng Li-si ingin manfaatkan kesempatan itu untuk kabur, apa mau dikata mereka sudah terkurung disudut ruangan sehingga makin tak berani bertindah gegabah.
Terasa hawa dingin menyesakkan napas, angin pukulan membuat baju mereka ikut berkibar.
Si Tombak baja Yo Seng tak ikut terlibat dalam pertarungan ini, namun matanya melotot terus kearah Beng Li-si dengan tatapan gusar, sebab dia memperoleh penghinaan dimasa lalu, tak lain gara gara ulah perempuan ini.
Tiba tiba terdengar Yo Hui membentak keras: "Buntalan siapa yang menghalangi jalan, bawa pergi!" Tongkatnya langsung mencukil kearah buntalan ditanah.
Baru sekarang Lim Luan-hong teringat dengan Chin Ki yang masih terbalut dibalik buntalan.
Menyaksikan ayunan toya Yo Hui yang begitu dahsyat, ia sadar, jika pukulan itu dilanjutkan, pasti Chin Ki akan kehilangan nyawa, dalam terperanjatnya, tanpa sadar dia menjerit lengking.
Oo0oo Ketika Lan Toa-sianseng, bungkuk baja dan manusia berjubah hijau itu pada awalnya terlibat pertempuran, Tian Mong-pek telah tersadar dari pingsannya.
Kejadian ini segera membuat Siau Hui-uh dan Tong Hong jadi terkejut bercampur gembira.
Ternyata obat mujarab yang diberikan limlunhong kepada Siau Hui-uh merupakan hasil ramuan dari Chin Siu-ang, meski orang ini tidak berjiwa menolong, namun ilmu pertabiban yang dikuasahi sangat luar biasa.
Obat yang diramu ini meski tak punya kemampuan untuk menghidupkan orang mati, namun untuk mengobati luka dalam sudah bukan masalah lagi.
Tian Mong-pek yang baru tersadar dan melihat disampingnya ketambahan si burung hong api, dia jadi kaget bercampur keheranan, tentu saja dia tahu kalau selama dirinya tak sadarkan diri, beberapa kali jiwanya berada diujung tanduk, dia semakin tak menyangka kalau obat yang telah mengobati lukanya merupakan hasil ramuan dari Chin Siu-ang.
Siau Hui-uh dan Tong Hong segera merubung maju, mereka berdua sama sama melotot, ketika akhirnya Tong Hong berpaling kearah lain, Siau Hui-uh baru bertanya: "Apakah keadaanmu sudah jauh lebih baikan?" Orang yang baru mendusin dari pingsan sudah jelas kondisinya jauh lebih baikan, meski pertanyaan itu omong kosong, tak urung memperhatikan juga perhatiannya yang besar.
Tian Mong-pek merasa sangat berterima kasih, setelah tertawa dia meronta untuk duduk.
Melihat pemuda itu bisa duduk sendiri, Siau Hui-uh merasa makin kegirangan.
Memandang bayangan punggung Tong Hong, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Bagaimana ceritanya kita bisa sampai disini" Kenapa nona Tong berada disini juga?" Biarpun duduk membelakangi mereka, Tong Hong dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas.
Mendengar kemesraan yang diperlihatkan Siau Hui-uh kepada Tian Mong-pek, Il apalagi menyebut mereka sebagai "kita dan menyebut dia sebagai "nona Tong", gadis itu merasa hatinya kecut, meski menggigit bibir kencang kencang, tak urung air matanya jatuh bercucuran.
Siau Hui-uh merasa hatinya hangat, setelah melempar senyuman manis, sahutnya: "Panjang untuk menceritakan hal ini, mari kita tengok dulu keramaian diluar sana." Ketika melihat kondisi luka Tian Mong-pek sudah membaik, tentu saja gadis ini tak tega untuk beritahu kalau mereka sudah tiada harapan keluar dari ruang rahasia ini.
Sementar itu, diapun mulai tertarik untuk menyaksikan kelanjutan pertarungan antara Lan Toa-sianseng bertiga, maka sambil memayang Tian Mong-pek ke depan kaca kristal, katanya sambil tertawa: "Coba kau intip keluar, tanggung setelah itu tak bakalan mau berpindah tempat lagi." Begitu melihat keadaan diluar, benar saja, Tian Mong-pek jadi kegirangan.
Suasana terasa hening, suara bentakan maupun angin pukulan yang ramai diluar sana sama sekali tak terdengar di ruang bawah, biarpun Tian Mong-pek merasa agak kecewa, namun segera dia sudah melupakan hal itu.
Tampak jurus serangan yang digunakan Lan Toa-sianseng sekalian banyak variasi dan luar biasa, kalau dihari biasa Tian Mong-pek tak mungkin akan memperhatikan secara detil, namun sekarang, dalam suasana yang sepi, dengan cepat ia sudah dibikin mabuk kepayang dan lupa daratan.
Pepatah mengatakan: Yang menonton biasanya yang jelas.
Biarpun Lan Toa-sianseng sekalian merupakan tokoh persilatan, namun karena mereka secara pribadi terlibat dalam pertarungan itu, tak urung perasaannya ikut terpengaruh.
Terkadang dalam jurus lawan meski tampak ada titik kelemahan, mereka justru tidak melihatnya, berbeda dengan Tian Mong-pek yang mengikuti jalannya pertempuran dengan hati tenang, hampir semua kelemahan itu terlihat dengan jelas.
Dengan menonton pertarungan ini, bukan saja Tian Mong-pek berhasil memahami perubahan jurus dari ke tiga orang jagoan itu, bahkan sangat menguasahi setiap titik kelemahan yang ada.
Sampai kemudian Li Koan-eng dan Beng Li-si menerjang masuk, meski tak terdengar apa yang mereka katakan, namun dari mimik muka mereka yang gelisah dan panik, pemuda itu tahu kalau Go Jit telah menyusul tiba.
Namun kemudian dia tak menyangka kalau si Tombak baja Yo Seng akan muncul disitu, pertarungan sengit yang kemudian melibatkan ke empat jagoan lihay ini membuat anak muda ini semakin mabuk.
Kemudian ketika melihat orang berbaju hijau itu mencongkel buntalan dilantai dan Lim Luan-hong melompat bangun dengan kaget, Tian Mong-pek pun berpikir dengan keheranan: "Apa gerangan isi buntalan itu?" Jika Tian Mong-pek tahu kalau isi buntalan itu adalah Chin Ki, sudah pasti dia akan menjerit sekeras kerasnya.
Sebab Chin Ki adalah putri kesayangan Chin Siu-ang, sedikit banyak dia seharusnya tahu urusan tentang ayahnya, kini Chin Siu-ang sudah mati, itu berarti kunci paling utama untuk membongkar rahasia panah kekasih berada ditangan Chin Ki.
Bila sekarang dia tewas oleh tongkat si Tombak tanpa bayangan, bukankah akan ada banyak rahasia yang terkubur bersamanya"
Bab 45. sepasang burung Wan-yo menjalin kasih.
Siapa sangka baru saja toya milik tombak tanpa bayangan menyentuh buntalan itu, tiba tiba dia menarik kembali senjatanya sambil berbalik badan.
Rupanya serangan dari si bungkuk baja telah menghajar punggungnya, membuat dia mau tak mau harus balik badan melindungi keselamatan sendiri.
Lim Luan-hong jatuh terduduk dilantai, jantungnya berdebar keras, peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya, dia merasa sepasang kakinya lemas tak bertenaga, untuk sesaat tak sanggup lagi bangkit berdiri.
Saat itu,, meskipun keempat jagoan lihay itu masih terlibat dalam pertarungan sengit, padahal situasinya sangat berbeda.
Ternyata Lan Toa-sianseng tidak punya kesan buruk terhadap si bungkuk baja, karenanya semua jurus serangan yang dilancarkan hampir semuanya tertuju ke arah Go Jit serta Yo Hui, sama sekali tidak menyentuh si bungkuk baja.
Sebaliknya sasaran si bungkuk baja justru tubuh Lan Toa-sianseng, biarpun dia memukul dan menendang kearah Go Jit serta Yo H ui, namun serangan yang mematikan hampir semuanya diarahkan ke tubuh Lan Toa-sianseng.
Sedangkan Yo Hui dan Go Jit tidak peduli siapa musuhnya, setiap ada peluang langsung melancarkan serangan.
Semakin bertarung Yo Hui semakin keranjingan, tongkatnya sebentar ke timur sebentar ke barat menciptakan segumpal bayangan abu abu, siapa pun yang dekat dengan ujung tongkatnya, langsung dihadiahkan satu serangan.
Konsentrasi Go Jit saat itu hampir semuanya tertuju pada Li Koan-eng serta Beng Li-si, dia sama sekali tak berminat untuk melanjutkan pertarungan, apa mau dikata dia terikat oleh serangan lawan, maka yang dilakukan saat ini adalah berusaha secepatnya lepas dari cengkeraman lawan, otomatis serangan balasan yang dilancarkan jadi tidak serius.
sasaran dan tujuan dari ke empat orang itu berbeda, dengan sendirinya tenaga yang digunakan ikut berbeda, kasihan Lan Toa-sianseng, kalau orang lain satu lawan dua, maka dia justru harus menghadapi serangan satu lawan tiga.
Namun tokoh maha sakti ini memang memiliki kelebiha n yang luar biasa, meski harus menghadapi serangan tiga jago sekaligus, serangan yang dilancarkan tetap Cepat dan ganas, sedikitpun tidak menunjukkan kelemahan.
Pertarungan ke empat orang itu dilakukan sangat Cepat, begitu pertempuran dimulai, ratusan jurus lewat dengan Cepat, coba kalau ruang rumah abu itu bukan terbuat dari batu granis, mungkin sejak tadi sudah hancur berantakan.
Sekalipun begitu, keadaan dalam ruangan toh berantakan tak karuan, semua kerapian dan keindahan semula kini sudah lenyap tak berbekas.
Tiba tiba Go Jit membuka titik kelemahan lalu menerobos keluar dari arena pertarungan, secepat kilat dia menubruk Li Koan-eng serta Beng Li"si yang bersembunyi disudut ruangan.
Baru saja Beng Li-si menjerit kaget, telapak tangan Go Jit diiringi tertawa menyeringai sudah mencengkeram kearah dadanya.
"Aku akan beradu nyawa denganmu." Bentak Li Koan-eng.
Antara dia dengan Beng Li-si sudah tumbuh benih cinta sejati, tak heran dia langsung menerjang maju tanpa perhitungkan resiko sendiri.
Siapa tahu baru saja badannya bergerak, Go Jit telah menarik kembali tangannya, ternyata tongkat panjang si Tombak tanpa bayangan Yo Hui telah menyapu ke belakang tubuhnya.
Sapuan ini telah disertai segenap kekuatan yang dimiliki, kekuatannya mencapai radius berpa kaki, biar kungfu Go Jit lebih hebatpun,sesudah mendengar desingan angin yang menyambar, dia jadi terkesiap, buru buru badannya berjumpalintan sambil mundur.
"Blaaam!" toya ditangan si Tombak tanpa bayangan Yo Hui menyapu diatas altar membuat hatu granis disana hancur berserakan, keadaan sangat menakutkan.
sambil memutar kembali toyanya, bentak Yo Hui: "Tempat disini kelewat sempit, kalau ingin bertarung lebih mantab, lapangan diluar sana lebih lebar." "Betul, sudah seharusnya keluar sana." Kata si bungkuk baja sambil tertawa.
"Edan, siapa yang mau keluar bersamamu?" umpat si golok tanpa sarung Go Jit gusar.
Hampir bersamaan waktu teriak si bungkuk baja serta Go Jit: "Tidak maupun, kau tetap harus keluar." Toya panjang serta sepasang telapak tangan baja mereka serentak menghajar ke tubuh Go Jit.
Sekalipun enggan, namun setelah dipaksa kedua orang jago lihay itu, dia kehabisan daya, diiringi umpatan yang membabi buta, tubuhnya tetap dipaksa keluar dari ruangan.
Kungfu yang dimiliki ke empat orang ini memang luar biasa, begitu keluar dari rumah abu, gerakan tubuh mereka jadi leluasa, terdengar deruan angin pukulan dan umpatan marah bergema silih berganti, tak lama kemudian suara itu semakin jauh.
Cepat si Tombak baja Yo Seng menyusul kearah sumber suara itu.
Lim Luan-hong sendiripun dibikin mabuk oleh suguhan tontonan menarik ini, hampir saja dia ikut menyusul keluar, tapi baru berapa langkah, mendadak ia teringat dengan Chin Ki yang berada dalam buntalan, cepat dia berjalan kembali.
Li Koan-eng serta Beng Li-si lebih lebih tak berani menyusul.
Hanya Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh yang berada dalam ruang bawah tanah ingin mengikuti hasil pertarungan itu, sayang mereka tak bisa keluar dari situ.
Beberapa orang lelaki kekar yang dibawa Lan Toa-sianseng pun sudah siap menyusul keluar untuk nonton kermaian, tapi baru tiba didepan pintu, seakan berjumpa sesuatu, mendadak mereka mundur dan masuk kembali.
Terdengar dari luar pintu seorang wanita berseru lantang: "Apakah kau melihat dengan jelas?" seorang pria segera menjawab: "Hamba melihat dengan jelas sekali, tidak bakal salah." Dari suaranya yang tua dan berat, bisa dikenali itulah suara dari Hong Sin.
"Hmm, kalau salah akan kukuliti tubuhmu!" ancam perempuan itu.
Tiba tiba teriaknya lantang: "Siau-Lan, kumohon kali ini janganlah kabur lagi, mau bukan" Aku sudah mencarimu kemana-mana." Sesosok bayangan manusia segera menyelinap masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang wanita berbaju merah padam dan rambutnya disanggul tinggi, Tian Mong-pek segera mengenalinya sebagai Liat-hwee hujin.
Begitu masuk ruangan dan tidak melihat Lan Toa-sianseng, paras muka Liat-hwee hujin berubah hebat, mendadak dia melihat ada murid Lan Toa-sianseng disana, segera dicengkeramnya salah satu dari mereka sambil membentak: "Mana gurumu?" Ternyata dia berniat mengintil Lan Toa-sianseng, apa mau dikata jejak Lan Toa-sianseng ibarat naga dilangit, mana mungkin ia mau direcoki terus" Karena tak berdaya maka diapun mencari kesana kemari, ketika melihat para jago sedang berkumpul di Siok-tiong, diapun ikut menyusul kesitu.
Kebetulan Hong Sin memang berniat menggunakan perempuan ini untuk menyingkirkan Lan Toa-sianseng, dengan begitu ia bisa mencari jejak Tian Mong-pek serta Tong Hong, tentu saja dengan senang h ati dihantarnya perempuan itu sampai disana.
Waktu itu, Lim Luan-hong baru saja membuka buntalannya, agaknya beberapa orang lelaki itu cukup tahu akan kehebatan nyonya yang satu ini, mereka tak berani tidak menunjukkan jejak gurunya, namun tak berani pula untuk mengatakan.
Dari gelagat berapa orang itu, Liat-hwee hujin segera tahu kalau Lan Toa-sianseng pasti berada disana, maka dia memperketat cengkeramannya sambil mengancam: "Mau kau katakan tidak?" Sejak tadi lelaki itu sudah bermandikan keringat dingin, kini tak tahan lagi dia menjerit kesakitan.
Jerit kesakitan itulah yang tiba tiba bisa didengar Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh dengan jelas.
Rupanya sapuan toya dari si Tombak tanpa bayangan Yo Hui keatas meja persembahan tadi secara kebetulan telah mengenai salah satu tombol rahasia ruang bawah tanah itu, walaupun dengan kekuatannya tak sempat menghancurkan lapisan batu granis, namun pintu lorong yang tertutup rapat segera retak dan pecah, dari retakan itulah suara itu menyusup masuk.
Tiga orang yang berada dibawah ruang rahasia jadi terkejut, tapi berbarengan itu Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek merasa girang.
Baru saja mereka berdua siap berteriak minta tolong, mendadak dari luar pintu muncul lagi berapa orang.
Yang pertama adalah Hong Sin yang membopong putra kesayangannya, sedang tiga orang dibelakangnya merupakan orang yang sama sekali tak disangka Tian Mong-pek.
orang didepan bersanggul tinggi, bermata bening dan mengenakan baju serba putih, dia adalah So Kin-soat.
So Kin-soat bisa jalan bersama Liat-hwee hujin, kejadian ini sudah membuat Tian Mong-pek terkejut, yang membuatnya lebih kaget adalah perempuan berbaju hitam yang mengintil dibelakang So Kin-soat dan berwajah persis seperti Liu Tan-yan, kemudian disampingnya adalah pemuda berbaju panjang yang menjadi suaminya.
Wajah kedua orang itu tampak lesu dan sedih, mereka mengintil di belakang So Kin-soat dengan sikap amat takut.
Sebetulnya Tian Mong"pek sudah merasa kalau So Kin-soat itu sangat misterius, namun setelah melihat ketiga orang itu menempuh perjalanan bersama, satu ingatan segera melintas, pikirnya: "Apa gerangan hubungan mereka bertiga?" Namun ia tutup mulutnya rapat rapat dan berusaha agar tidak bersuara.
Siau Hui-uh sangka yang datang adalah Liu Tan-yan, dia tidak kenal So Kin-soat, disangka perempuan itu adalah pembantunya yang balik untuk mencari gara gara, sudah pasti dia semakin tak berani bersuara.
Akhirnya lelaki itu tak kuat menahan sakit, katanya dengan suara gemetar: "Suhu berada diluar.....
sedang bertarung dengan orang, asal hujin mencari di empat penjuru, pasti akan ditemukan." "Omong kosong, siapa yang berani bertarung melawannya?" teriak Liat-hwee hujin keras.
"Konon mereka adalah orang orang dari Tujuh manusia tersohor di kolong langit .
. . . .." "Hah, mereka" Cepat bawa aku ke sana." Seru Liat"hwee hujin dengan wajah berubah.
Kepada So Kin-soat katanya pula sambil tertawa: "Adikku, mau ikut bersamaku?" So Kin-soat segera tertawa terkekeh.
"Kalau sudah ditemukan, buat apa aku?" sahutnya.
"Cis, sialan." Umpat Liat-hwee hujin tanpa berubah jadi merah wajahnya, "tunggu saja disini, aku segera akan kembali." Kemudian dia paksa beberapa orang lelaki itu untuk menghantar.
Melihat perempuan itu sudah jauh, paras muka So Kin-soat baru berubah jadi dingin menyeramkan, kepada Hong Sin katanya: "Kau tak pernah berbuat kebaikan, kenapa hari ini membawaku kemari" Ada permainan setan apa lagi?" "Hamba.....
hamba tidak berani." Jawab Hong Sin dengan kepala tertunduk rendah.
Kelihatannya dia takut sekali terhadap perempuan ini.
"Kalau memang begitu, kenapa tidak segera menggelinding pergi." Bentak so Kin-soat sambil tertawa dingin.
"Turut.... turut perintah." Jawab Hong Sin, tapi matanya mengawasi terus meja altar, meski enggan meninggalkan tempat itu namun diapun tak berani membangkang, akhirnya sambil membopong putranya mundur dari situ.
II "Dasar tua bangka sialan, umat Siau Hui-uh dalam hati, "suka cari gara II gara .
. . . .. Sebaliknya Tian Mong-pek merasa keheranan, pikirnya: "Kenapa orang orang ini begitu takut terhadap So Kin-soat?" Lambat laun wajah So Kin-soat menjadi lembut kembali, sambil menengok kearah Li Koan-eng dan Beng Li-si, ujarnya perlahan: "Kenapa kalian berdua belum pergi" Memangnya mau menunggu sampai golok tanpa sarung Go Jit kembali kemari?" Bergetar sekujur tubuh Li Koan-eng, serunya agak kaget: "Boanpwee tidak kenal hujin, darimana hujin bisa mengetahui urusan boanpwee?" Perlu diketahui, kejadian ini meski bukan rahasia pribadi, namun jarang orang persilatan mengetahui akan kejadian ini.
So Kin-soat tertawa hambar, ujarnya: "Masih banyak sekali urusan yang tidak diketahui orang lain tapi kutahu semuanya." Biarpun perkataannya lembut dan halus, namun tersisip daya pengaruh yang tak terlukis dengan kata.
Belum sempat Li Koan-eng bicara, Beng Li-si sudah menggenggam tangannya sambil berbisik: "Ayoh pergi.....
cepat kita pergi!" Tangan dan kakinya sudah mendingin, suaranya gemetar, jelas dia merasa sangat ketakutan.
Kedua orang itu tidak bicara lagi, buru buru mereka memberi hormat lalu berlalu dengan langkah lebar.
"Berhenti!" tiba tiba So Kin-soat berseru lagi.
"Apakah hujin masih ada pesan?" tanya Li Koan-eng sambil menghentikan langkahnya.
"Selama Go Jit belum mati, mereka tak bakal melepaskan kalian berdua, padahal manusia semacam Go Jit tidak gampang mati, biar jagad sangat luas, kalian berdua akan kabur sampai dimana?" Li Koan-eng dan Beng Li-si saling bertukar pandangan, mereka sadar, ucapan itu tidak bohong, biar jagad amat luas, sulit bagi mereka untuk mencari tempat persembunyian yang aman, untuk sesaat kedua orang itu jadi tertegun.
Tiba tiba So Kin-soat tertawa lagi, dari sakunya dia mengeluarkan sebuah lencana bambu, katanya kemudian: "orang yang patut dikasihni, cepat ambil tanda pengenalku ini, pergilah ke kaki bukit Kun-san di telaga Tong-ting, carilah seorang nelayan yang mempunyai perahu besar bercat kuning, mereka akan membawa kalian menuju ke tempat yang sangat aman, setelah sampai disitu .
. . . . . .." Sesudah tertawa angkuh, terusnya: "Jangankan baru seorang golok tanpa sarung Go Jit, biar ada sepuluh, seratus orang Go Jit pun, jangan harap bisa melukai kalian berdua lagi!" Mendengar perkataan itu, Li Koan-eng dan Beng Li-si jadi kegirangan setengah mati, cepat mereka berdua berlutut sambil mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih hujin atas budi kebaikanmu." setelah menerima lencana bambu, buru buru mereka berlalu dari situ.
Walaupun Tian Mong-pek ingin sekali melihat bentuk lencana bambu itu, sayang jaraknya terlampau jauh, susah baginya untuk melihat dengan jelas.
Hal ini membuat perasaan hatinya semakin keheranan, dia merasa sepak terjang So Kin-soat amat misterius, dia masih ingat, So Kin-soat pun pernah suruh dia pergi ke bukit Kun-san di telaga Tong-ting untuk mencarinya, kalau dibayangkan kembali, hal ini semakin membuatnya curiga.
Tempat macam apakah bukit Kun-san di telaga Tong-ting itu" Dalam pada itu, secara diam diam Lim Luan-hong sudah membopong buntalan dan siap mencari kesempatan untuk kabur.
siapa tahu sepasang mata So Kin-soat yang tajam sedang memperhatikan gerak geriknya, melihat wajah Chin Ki yang nongol diluar buntalan, tiba tiba serunya: "Kalian berdua tunggu sebentar." "Apakah.....
apakah hujin ada petunjuk?" tanya Lim Luan-hong agak tertegun.
II "Lim Luan-hong, ujar So Kin-soat sambil tersenyum, "masa kau tidak kenal aku?" Lim Luan-hong makin terkejut.
"Dari... darimana hujin bisa tahu namaku?" tanyanya.
"Mungkin kau tidak kenal aku, tapi aku kenal kau." Kata So Kin-soat sambil tertawa, sesudah menghela napas, lanjutnya, "masih banyak orang yang tidak kenal, aku kenal semuanya." Lim Luan-hong melongo, terperangah, untuk sesaat dia hanya bisa membungkam.
Terdengar So Kin-soat berkata lagi sambil menghela napas: "Ini dikarenakan orang yang kukenal kelewat banyak, itulah sebabnya Liat-hwee hujin mengajakku untuk mencari orang, kau bilang sangat merepotkan bukan?" Lim Luan-hong tak tahu bagaimana harus menjawab, dia hanya menyahut agak tergagap: "Benar.....
benar....." Tiba tiba So Kin-soat melotot kearah perempuan berbaju hitam dan suaminya dan berkata dingin: "Justru karena itu, apapun yang kalian berdua lakukan, aku pasti tahu, kemanapun kalian pergi, akupun akan temukan kalian." Perempuan berbaju hitam dan pemuda berjubah panjang itu sama sama tertunduk lesu, wajah mereka menghijau, bibirnya pucat, jelas kedua orang itu sangat ketakutan.
Pada mulanya, Lim Luan-hong mengira perempuan berbaju hitam itu adalah Liu Tan-yan, tapi setelah melihat sikapnya sekarang, tanpa terasa dia memandang dengan mata melotot.
Tiba tiba terasa pandangan matanya kabur, So Kin-soat telah berdiri dihadapannya sambil menegur: "Ini urusan pribadi rumah tanggaku, masa kau ingin mendengarkan terus?" Terkesiap hati Lim Luan-hong, buru buru sahutnya sambil tertawa paksa: "soal ini....
soal ini ..... aku tidak berani.... biar aku menyingkir saja dari sini." sambil membopong Chin Ki, dia siap ngeloyor pergi dari situ.
Kembali So Kin-soat tertawa dingin, katanya: "Tapi.
Bila kubiarkan kau keluar sekarang, nanti aku harus ke mana mencarimu?" "soal ini .
. . . . . .. "Karena kau tak boleh mendengarkan, pun tak boleh keluar sana, aaai, II tampaknya aku harus menyiksamu.....
Tiba tiba dia melancarkan serangan secepat kilat, secara beruntun menotok lima buah jalan darahnya.
Tian Mong-pek dapat menyaksikan dengan sangat jelas, kecepatan serangannya bukan saja tidak berada dibawah kemampuan para jago, bahkan keras lembut digunakan bersana.
Namun yang lebih aneh lagi adalah dengan kungfunya yang begitu lihay, kenapa tak punya nama dalam dunia persilatan" Meski kaget dan keheranan, ia tak berani bersuara.
Terdengar So Kin-soat menghela napas panjang, panggilnya: "Koan-ji, kemari kau." Dengan kepala tertunduk pemuda berbaju panjang itu mendekat.
Ujar So Kin-soat lagi: "Bukan aku tak punya perasaan sehingga selalu menghalangi perkawinan kalian, hanya saja .
. . . .. aaai, aku menaruh pengharapan yang terlalu tinggi kepada kalian berdua, kau....
apakah kalian berdua tidak memahami niatku ini?" Bicara sampai disitu, matanya jadi merah, hampir saja air matanya jatuh berlinang.
Terlihat dada pemuda itu naik turun tak menentu, jelas dia sedang mengalami gejolak perasaan yang luar biasa, tiba tiba panggilnya: "Ibu .
. . . . .." Kembali Tian Mong-pek merasa terperanjat, dia sama sekali tak menyangka kalau kedua orang itu adalah ibu dan anak.
Dengan wajah gelap kembali So Kin-soat berkata sambil tertawa dingin: "Ibu, hmm, hmm, bagus, ternyata kau masih mengenali aku sebagai ibumu." Pelbagai perubahan berkecamuk diwajahnya, siapapun tak bisa meraba apa yang sedang dipikirkan.
"Ananda tidak berani .
. . . . . .." pemuda itu tertunduk lesu.
"Kalau kau masih mengakui aku sebagai ibumu, kenapa masih melukai perasaanku" Dengan susah payah kukirim kau masuk lembah kaisar, kenapa
"Kalau kau masih mengakui aku sebagai ibumu, kenapa masih melukai perasaanku" Dengan susah payah kukirim kau masuk lembah kaisar, kenapa II kau .
. . . . .. Mendengar sampai disini, Tian Mong-pek merasa telinganya mendengung, sekarang dia baru mengerti apa yang telah terjadi, pikirnya" "Rupanya pemuda itu bisa menyusup masuk ke dalam lembah, semuanya ini karena ide So Kin-soat, tak heran kalau pemuda ini bukan saja tahu Cara untuk masuk ke dalam lembah, diapun tahu dengan jelas semua masalah rumah II tanggaku, rupanya So Kin-soat yang beritahu kepadanya.
Semakin didengar, ia merasa sepak terjang So Kin-soat semakin misterius, susah diduga dia itu baik atau jahat.
Ketika menengok ke samping, dilihatnya paras muka Siau Hui-uh pun telah berubah.
Sementara mereka masih termenung, pemuda berjubah panjang dan gadis berbaju hitam itu sudah jatuhkan diri berlutut.
Kembali So Kin-soat melotot kearah gadis berbaju hitam, ujarnya: "Aku telah pelihara kalian dua bersaudara jadi manusia, itu kulakukan dengan tak mudah, bagaimanapun, kau tidak seharusnya menghianati aku." II "Ananda benar benar tak bisa mengendalikan diri, ucap gadis itu dengan air mata berlinang, "semoga kau orang tua bersedia memandang diatas bocah itu dengan mengabulkan permintaan kami!" So Kin-soat mendengus.
"Hmm, anak, kau telah melahirkan anak untuk anak Koan, sekarang mau gunakan alasan itu untuk memeras aku?" "Ananda tidak .
. . . .." "Tak usah banyak bicara lagi!" bentak So Kin-soat, tiba tiba ia bertepuk tangan sambil memanggil, "kau boleh masuk sekarang!" Sesosok bayangan manusia melangkah masuk ke dalam ruangan, ternyata dia adalah Liu Tan-yan.
Siau Hui-uh tutup mulutnya, nyaris dia menjerit kaget, begitu pula dengan Tian Mong-pek.
Dari perkataan So Kin-soat tadi, bisa disimpulkan kalau Liu Tan-yan dan gadis berbaju hitam itu sebenarnya adalah saudara kembar, dan kedua orang bersaudara inipun dipelihara So Kin-soat semenjak kecil.
Sekarang terbukti Liu Tan-yan ada hubungannya dengan panah kekasih, berarti So Kin-soat .
. . . . .. Waktu itu Liu Tan-yan sudah memberi hormat sambil melapor: "Ananda telah melaksanakan tugas dengan melakukan peninjauan ke sana, hingga kini para tamu di keluarga Tong masih berhura hura dan belum bubar." Rupanya setelah kabur dari rumah abu, ditengah jalan ia berjumpa dengan rombongan So Kin-soat, perempuan itupun perintahkan dia untuk menyelidiki suasana di gedung keluarga Tong, karena itulah hingga kini baru menyusul kemari.
"Selama berapa tahun terakhir kau selalu berkelana diluar," kata So Kin-soat lagi, "tahukah kau apa yang telah dilakukan adikmu serta Koan"ji?" "Ananda kurang jelas." sambil tertawa dingin kata So Kin-soat: "Adikmu telah melakukan perbuatan yang sangat keterlaluan, paling tidak kau ikut bertanggung jawab, bagaimana akan kau tegur, lebih baik kuserahkan saja kepadamu!" Belum habis dia berkata, paras muka Liu Tan-yan telah berubah, hanya saja dia tak berani menyela.
Saat inilah dia baru putar mata sambil berbisik: "Didalam sana masih ada orang yang bersembunyi." "siapa" Dimana?" bentak So Kin-soat dengan wajah berubah.
Liu Tan-yan segera membisikkan sesuatu ke sisi teling anya, kemudian tampak So Kin-soat dengan sepasang matanya yang tajam mulai mengawasi meja persembahan itu dengan seksama.
Walaupun Tian Mong-pek tahu kalau saat itu dia masih belum menemukan jejaknya, tak urung bergidik juga hatinya, dia merasa dibalik mata perempuan itu seolah tersembunyi dua bilah pisau yang tajam.
Tiba tiba terdengar Siau Hui-uh menjerit kaget: "Chin.....
Chin . . . . .." Ternyata selama ini dia tidak menaruh perhatian, hingga sekarang baru melihat separuh tubuh Chin Ki yang muncul dari balik buntalan.
Tian Mong-pek terlebih kaget, bisiknya: "Kenapa .
. . . .. kenapa dia bisa berada disini?" "Buntalan itu dibawa oleh Liu Tan-yan dan Sun Giok-hud." Tian Mong-pek semakin terperanjat, pikirnya: "Kalau begitu, jangan jangan Chin Siu-ang dibunuh oleh kedua orang itu" Mereka masukkan jenasah Chin Siu-ang ke dalam tandu pengantin kemudian menculik Chin Ki dan membawanya kemari." Namun situasi yang dihadapi tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak berpikir.
Terdengar So Kin-soat berkata dengan suara dalam: "Koan-ji, selama berada di lembah kaisar, ilmu yang kau pelajari pasti banyak bukan?" Pemuda berjubah panjang itu hanya tundukkan kepala, tidak berani menjawab.
Kembali So Kin-soat berkata: "Siau Ong-sun berpengetahuan sangat luas, diapun menguasahi ilmu perangkap dan alat rahasia, aku percaya tak sedikit yang telah kau pelajari, inilah saatmu untuk mempraktekkan apa yang telah kau pelajari itu." Belum sempat pemuda itu menjawab, Siau Hui-uh yang berada di ruang bawah tanah telah berseru kaget: "Ilmu perangkap dan alat rahasia yang dimiliki ayah tiada duanya dikolong langit, asal bangsat itu berhasil belasar sepersepuluh nya saja, tidak sulit baginya untuk menemukan jalan masuk kemari, sekarang kita sudah mendengar rahasianya yang tak ingin diketahui orang luar, bila sampai ditemukan, aku kuatir .
. . . . . .." sambil gigit bibir tiba tiba ia berhenti bicara.
Sementara itu Tian Mong-pek menyaksikan pemuda itu sudah berjalan menuju ke meja altar, hatinya makin panik dan ngeri.
Tiba tiba terdengar Tong Hong bertanya dengan suara dingin: "Tian Mong-pek, kau dapat berjalan?" Tian Mong-pek tahu, dibalik pertanyaan itu pasti tersisip maksud lain, sahutnya girang: "Nona Tong, apakah .
. . . . . .." "Di dalam ruang bawah tanah ini masih ada jalan tembus, bila mampu berjalan, tak ada salahnya akan kuajak keluar dari sini." Kemudian setelah tertawa dingin, tambahnya: "Biarpun aku tak rela membiarkan orang lain kawin denganmu, namun akupun tak ingin menyaksikan kau mati ditangan orang lain." sambil bicara, dia mengerling sekejap kearah Siau Hui-uh yang seolah olah berkata begini: "sampai saat yang kritis, toh hanya aku yang bisa menolong, sedang kau?" Siau Hui-uh bukan orang bodoh, tentu saja dia mengerti apa yang dimaksud, namun gadis ini enggan menanggapi, cepat dia melengos kearah lain.
Tian Mong-pek tidak mempedulikan lagi urusan cinta segi tiga, serunya kegirangan: "Terima kasih nona." "Tapi aku tidak tahan kalau melihat kau dibopong orang lain." Ucap Tong Hong.
"Luka ku sudah mulai sembuh, aku mampu berjalan sendiri." Sahut Tian Mong-pek tertawa.
"Kalian berdua boleh pergi, aku tak ikut." Tiba tiba Siau Hui-uh berteriak keras.
"Kau..... kau....." Tian Mong-pek terperanjat.
sambil tertawa dingin ujar Siau Hui-uh: "orang lain sedang menolongmu, aku ogah menerima kebaikannya.....
hmm, biar nyali mereka lebih besarpun, belum tentu mereka berani melukai putri dari kokcu lembah kaisar." Tian Mong"pek terperangah, saking herannya dia sampai melongo dengan mata terbelalak, dia tak habis mengerti kenapa gadis tersebut bersikap begitu.
Tapi begitu melihat Tong Hong sedang mendongakkan kepala sambil tertawa dingin tiada hentinya, diapun segera paham.
"Ooh, ternyata begitu." Maka diapun berkata lantang: "Kalau harus pergi, kita bertiga pergi bersama, kalau tak mau pergi, kita bertiga sama sama tidak pergi." Kontan saja Siau Hui-uh merasakan hatinya jadi manis.
Pada saat itulah tiba tiba dari batu granit bagian atas terdengar suara gemerincing, dengan wajah berubah segera serunya: "Aduh celana, bangsat itu sudah berhasil menemukan tombol rahasia." "Yaa, kelihatannya memang begitu." Sahut Tian Mong"pek sambil menghela napas.
"Kalau begitu kau....
cepat pergi, kalau tidak bakal terlambat." Desak Siau Hui-uh sambil menghentakkan kakinya.
"Kalau harus pergi, kita pergi bertiga, kalau tidak....." Siau Hui-uh benar benar girang bercampur terharu, katanya kemudian: "Yaa sudah, ayoh jalan, ayoh jalan, akan kutemeni dirimu .
. . . .. Tapi belum selesai bicara, tak tahan dia sudah tertawa cekikikan.
"Nah begitu baru betul....." kata Tian Mong-pek tertawa, "nona Tong, mari kita pergi!" Selama kedua orang itu berbincang, Tong Hong sengaja tidak menengok kearah mereka, namun perasaan hatinya betul betul jengkel dan mendongkol.
Waktu itu sebetulnya dia sudah gigit bibir dan bertekad tak akan menolong, namun begitu mendengar kata yang begitu lembut: "mari kita pergi", kata "kita" langsung membuat perasaan hatinya jadi lembek kembali.
Akhirnya setelah menghela napas sedih, gumamnya: "Aaai.....
musuh cinta.... musuh cinta . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . .." setelah meraba dinding batu yang datar berapa saat, benar saja, sebuah pintu segera terbuka.
Melihat itu, Tian Mong-pek menghela napas panjang, katanya: "sungguh tak disangka alat rahasia dari keluarga Tong benar benar sempurna..." Dia berusaha bangkit, tapi baru berjalan berapa langkah, tubuhnya sudah terhuyung dan roboh kembali.
Tak tahan Siau Hui-uh serta Tong Hong sama sama memayangnya, tapi setelah saling bertukar pandangan, merekapun sama sama lepas tangan.
sambil tertawa getir, dengan sempoyongan Tian Mong-pek masuk ke ruang rahasia.
"Silahkan nona Siau." Kata Tong Hong sambil tertawa dingin.
Siau Hui-uh pura pura tidak mendengar, dia langsung menerobos masuk ke dalam.
Waktu itu dari atas meja altar telah terbuka sebuah celah, dengan wajah berubah Tong Hong segera menyelinap masuk, tangannya menekan lagi diatas dinding, celah tadipun segera tertutup rapat tanpa meninggalkan jejak.
Saat itu terdengar suara So Kin-soat yang lembut sedang berseru: "Tian kongcu, nona Siau, pintu sudah terbuka, silahkan kalian berdua segera keluar!" sudah jelas dia takut kalau dalam ruangan masih ada jebakan lain, sehingga tak berani masuk secara sembarangan, tapi saat itu Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek sudah menyingkir ke balik dinding batu, tak mendengar lagi suara panggilannya.
Dibelakang dinding granit merupakan sebuah lorong bawah tanah, dikedua sisi dinding penuh dengan lampu tembaga yang memancarkan cahaya.
Lorong itu berliku liku dan dalamnya tak terukur, dari kokohnya bangunan disana dapat diduga kalau tempat itu luar biasa.
"Aaai, sungguh tak disangka ditempat ini masih terdapat dunia lain." Puji Tian Mong-pek sambil menghela napas.
"Kesemuanya ini dibangun oleh ayahku." Jawab Tong Hong sambil menunjukkan perasaan bangga.
Pada mulanya Tian Mong-pek menganggap si Tangan pencabut nyawa Tong Ti hanyalah manusia biasa yang tak punya kemampuan apa apa, setelah mendengar perkataan itu, dia baru sadar bahwa orang itu sangat lihay hanya penampilannya saja yang bersahaja.
sambil mencibir kata Siau Hui-uh: "Huh, biarpun tempat ini bagus, tapi kalau dibandingkan lembah kaisar....
hehehe.... masih ketinggalan jauh, rasanya tak perlu kujelaskan pun kau sudah tahu." Tong Hong jadi marah, serunya: "Kalau kau anggap tempat ini jelek, lebih baik tak usah kau lewati." Siau Hui-uh berkerut kening, tapi sebelum mengucapkan sesuatu, Tian Mong-pek sudah membentak: "Sst, diam!" Sebetulnya dia sengaja membentak karena kuatir dua orang itu timbul cekcok mulut, siapa tahu baru saja Siau Hui-uh dan Tong Hong tutup mulut, dari lorong sebelah depan sudah terdengar suara langkah manusia yang rendah dan berat.
Ke tiga orang itu berubah wajah dan cepat bersembunyi dibalik kegelapan, ketika mengintip keluar, terlihat ada tiga orang sedang berjalan mendekat dari lorong bawah tanah sisi lain, orang yang berjalan dipaling depan tak lain adalah si Tangan pencabut nyawa Tong Ti.
Tentu saja ke tiga orang itu tidak menduga kalau dalam lorong bawah tanah yang rahasia itu masih ada orang lain, karenanya mereka meneruskan langkahnya tanpa perhatian, otomatis tidak mengetahui jejak dari Tian Mong"pek bertiga.
Namun apabila ke tiga orang itu berjalan lurus ke depan, niscaya jejak Tian Mong-pek bertiga susah lolos dari pengamatan mereka.
Tian Mong-pek mengerti, mengintip rahasia orang lain merupakan perbuatan yang tak pantas, jika si Tangan pencabut nyawa Tong Ti mengetahui kehadirannya disitu, sudah pasti dia akan dicap sebagai mata mata.
Kalau sampai begitu, biar dia melakukan pembelaan dengan Cara apapun, sudah pasti tak ada gunanya.
Diam diam dia genggam tangan Siau Hui-uh, mereka berdua merasa peluh dingin telah mengucur keluar.
Tentu saja mereka tak tahu kalau Tong Hong jauh lebih ketakutan hingga peluh bercucuran bagai hujan.
siapa tahu, ketika berjalan sampai separuh jalan, tiba tiba Tong Ti menghentikan langkahnya dan menekan sesuatu diatas dinding, ternyata didalam lorong rahasia itu dilengkapi pula dengan ruangan rahasia.
Siapa tahu, ketika berjalan sampai separuh jalan, tiba tiba Tong Ti menghentikan langkahnya dan menekan sesuatu diatas dinding, ternyata didalam lorong rahasia itu dilengkapi pula dengan ruangan rahasia.
Terdengar suara gesekan lirih, Tong Ti bertiga sudah menyelinap masuk ke dalam, namun dinding itu tidak merapat, menyisakan secerca cahaya lentera yang memancar keluar dari balik ruang rahasia.
Tian Mong-pek bertiga saling bertukar pandangan, biarpun tidak berkata-kata, mereka mempunyai pikiran yang sama: Bila mereka bertiga ingin keluar dari lorong rahasia, artinya harus melewati pintu rahasia tersebut, namun tak dijamin jejak mereka tidak ketahuan Tong Ti.
sebaliknya bila harus menunggu disana, mereka pun tak tahu sampai kapan Tong Ti baru tinggalkan tempat itu.
Apalagi pemuda berjubah panjang tadi berhasil menemukan pintu masuk diatas meja altar, itu berarti menemukan jalan masuk menuju lorong bawah tanah ini sudah tinggal masalah waktu.
Berpikir bolak balik, ke tiga orang itu jadi bingung dan berdiri kaku, didepan tiada jalan, di belakang pasukan musuh mengejar, lalu apa yang harus dilakukan sekarang" Terdengar suara dari si Tangan pencabut nyawa Tong Ti lamat lamat berkumandang keluar dari balik ruang rahasia, katanya" "Kentongan pertama nanti kalian berdua segera berangkat, hantar kotak ini sampai di Kun-san tepi telaga Tong-ting, sepanjang jalan tak boleh mencari gara gara, terlebih minum arak sampai mabuk, mengerti?" Biarpun suaranya rendah, karena suasana disekeliling tempat itu hening, Tian Mong-pek bertiga dapat mendengar dengan sangat jelas.
Sekali lagi Tian Mong-pek merasa terkesiap, pikirnya: "Lagi lagi bukit Kun-san ditepi telaga Tong-ting, jangan jangan Tong Ti punya hubungan dengan So Kin-soat?" Terdengar dua orang itu mengiakan dengan sikap hormat.
Kembali Tong Ti berkata: "Urusan ini mempunyai kepentingan yang luar biasa, sewaktu berangkat nanti, ingat, jangan sampai diketahui orang ke tiga." "Hamba akan berhati hati." Sahut salah seorang diantaranya.
"Aku tahu kalian berdua cekatan dan pintar, karena itulah urusan penting ini kuserahkan kepada kalian.
Tapi bila kamu berdua sampai gagal melaksanakan tugas, lebih baik jangan pulang menghadap aku dalam keadaan hidup." "Hamba paham." Kembali Tong Ti menambahkan: "Kotak itu sudah disegel, jadi kalian berdua jangan mencoba untuk mengintip, bila berhasil sukses, kalian boleh ambil lima ratus tahil dari bukit Kun-san untuk berfoya foya, tak perlu buru buru pulang." "Terima kasih loya." Seru kedua orang itu kegirangan.
"Sekarang akan kubuatkan sepucuk surat dan kalian berdua bawa serta, kemudian kalian boleh menunggu disini bersama aku hingga kentongan pertama nanti, disini ada arak, kalian berdua boleh minum sesukanya." Kembali kedua orang itu menyahut dengan hormat, menyusul kemudian terdengar suara orang menulis surat .
. . . . .. Tian Mong-pek merasa ngeri, curiga bercampur girang, girang karena secara tak disengaja telah mendengar rahasia itu, curiga apa gerangan benda yang ada didalam kotak, mengapa punya sangkut paut dengan masalah besar dan mengapa harus dikirim ke bukit Kun-san di tepi telaga Tong-ting" Ngeri karena bila Tong Ti tahu kalau dia sudah mendengar rahasia ini, sudah pasti tak bakal melepaskan dirinya dengan begitu saja.
Kalau sampai begitu, bukankah kondisinya akan bertambah bahaya" Maka bagaimana pun juga, kehadirannya disana tidak boleh sampai ketahuan Tong Ti.
Sesudah berpikir berulang kali, diapun ambil keputusan, ketimbang ambil resiko dengan menanti disitu bahkan harus bersiap menghadapi kejaran So Kin-soat, jauh lebih baik menyerempet bahaya dengan menerjang keluar dari situ, karena kesempatan untuk lolos jauh lebih besar.
Diam diam dia menjawil lengan Siau Hui-uh, dilihatnya gadis itu sedang menatap balik kegelapan dengan mata bersinar.
Tian Mong-pek tertawa geli, dia tahu jalan pikiran gadis itu persis sama seperti pikirannya, mereka berdua saling bertukar pandangan sekejap, begitu seia sekata, tanpa banyak bicara lagi diam diam mereka mulai bergeser maju.
Tong Hong sangat terkejut, namun dia tidak berusaha menghalangi, tanpa bicara dia mengikuti di belakang mereka berdua.
Dengan hati hati ke tiga orang itu berjalan sampai disisi pintu ruang rahasia, terdengar dari balik ruangan seseorang sedang berkata: "Loya, silahkan minum secawan." Mendadak Siau Hui-uh gigit bibir, dia bopong tubuh Tian Mong-pek lalu memberi tanda kepada Tong Hong.
Tong Hong pun gigit bibir, mereka bertiga serentak menerjang kearah luar.
Saat itu si Tangan pencabut nyawa Tong Ti yang berada dalam ruang rahasia sedang siap menulis surat, ketika melihat bayangan berkelebat diluar pintu, dia segera membuang pit sambil membentak: "Celaka! Diluar ada orang, kejar!" Dengan kecepatan luar biasa dia langsung menyelinap keluar dari pintu, betul saja, didepan sana ia jumpai ada dua sosok bayangan manusia menyelinap lewat, hanya saja tidak terlihat jelas siapakah mereka" Kedua orang lainnya ikut melompat keluar, paras muka mereka berubah jadi pucat pias.
Dengan suara berat ujar Tong Ti: "Rencana terjadi perubahan, cepat ambil kotak itu dan segera ikut aku berangkat, diluar sudah disiapkan penjagaan, siapapun kedua orang itu, jangan harap bisa lolos dari sini." Sementara berbicara, tubuhnya sama sekali tak berhenti, secepat angin dia melakukan pengejaran.
Sementara itu Siau Hui-uh bertiga telah tiba diujung lorong, Tong Hong segera maju ke depan, sayang dalam gugup dan paniknya, untuk sesaat dia gagal menemukan tombol rahasia itu.
Terdengar suara bentakan Tong Ti makin lama semakin mendekat, hampir saja jantung Siau Hui-uh melompat keluar dari dadanya, dia telah memandang keselamatan Tian Mong-pek jauh lebih penting dari keselamatan nyawa sendiri.
"Aah, ketemu." Tiba tiba Tong Hong berbisik.
"Cepat.... cepat....." bisik Siau Hui-uh kegirangan.
Tampak jari tangan Tong Hong gemetar keras, dia seolah kehilangan seluruh tenaganya untuk menekan tombol rahasia itu, sementara suara kejaran Tong Ti sudah semakin mendekat.
Siau Hui-uh merasa pandangan matanya jadi gelap, ternyata peluh dingin telah membasahi matanya.
Tiba tiba cahaya terang melintas, pintu keluar telah terbuka.
Bagaikan mendapat pengampunan, Siau Hui-uh bertiga segera melompat keluar dari bawah lorong.
Tapi begitu memandang keadaan disekeliling sana, kembali mereka bertiga mengeluh.
"Aduh celaka!" Rupanya disekeliling lapangan terlihat ada puluhan lelaki bersenjata golok yang sedang melakukan patroli diseputar sana, hanya saja kawanan lelaki itu tidak mengira kalau musuh bakal keluar dari lorong bawah tanah, maka tubuh dan pandangan mereka terarah keluar dan tidak sampai melihat kehadiran Siau Hui-uh bertiga.
Dibagian depan sana, meski tak ada pasukan ronda, namun terdengar suara ringkikan kuda serta kerumunan kuda dalam jumlah yang banyak.
Perlu diketahui, sebagian besar tamu undangan yang datang kondangan di keluarga Tong, hampir semuanya menunggang kuda, tempat ini merupakan istal tempat menampung kuda kuda para tamu yang datang dari empat penjuru.
Bisa dibayangkan betapa berjubelnya istal tersebut sehingga mustahil bagi awam untuk melewatinya.
oleh karena itulah biarpun disitu tak ada pasukan ronda, namun keadaannya jauh lebih berbahaya.
Siau Hui-uh menyapu sekejap seputar sana, dengan cepat dia sadar kalau dari muka belakang sudah terkepung musuh, untuk bisa lolos dari sana hari ini, jelas jauh lebih susah daripada naik ke langit.
Terdengar Tong Ti yang masih berada dalam lorong bawah tanah berteriak keras: "Jangan biarkan mata mata itu lolos." Serentak kawanan penjaga itu menoleh dengan kaget, lalu sambil meloloskan senjata serentak menyerbu maju.
Tong Hong kuatir identitasnya dikenal orang, ternyata dia tidak berusaha kabur ataupun menyongsong kedatangan musuh, sebaliknya menutupi wajahnya dengan tangan.
Siau Hui-uh terlebih tak berani melepaskan tubuh Tian Mong-pek, tiba tiba dia menjejakkan kaki lalu menerjang ke tengah kerumunan kuda.
Tong Hong yang terdesak pun tak punya pilihan lain, dalam keadaan begini, liang berisi kobaran api pun akan dilompati, apalagi hanya gerombolan kuda, cepat dia menyusul dari belakang.
Dalam pada itu Tong Ti sudah muncul keatas permukaan, segera bentaknya: "Kedua orang itu kabur menuju ke tengah gerombolan kuda, rupanya mencari jalan kematian, cepat perintahkan pemanah untuk bersiap sedia, jangan lepaskan seorangpun." seorang lelaki kekar segera berteriak: "Dalam istal kuda tersusup mata mata, para pemanah siap perintah di empat penjuru, asal ada yang berusaha kabur dari dalam istal, segera lepas panah." Istal kuda itu hanya dibatasi dengan tali, sebetulnya tiada penjaga disekelilingnya, tapi begitu perintah diturunkan,dari empat arah delapan penjuru segera bermunculan bayangan manusia.
Siau Hui-uh sendiripun sadar kalau dia sudah kabur masuk ke jalan buntu, tapi saat ini takada pilihan lain baginya, maka keputusannya kalau bisa bersembunyi sesaat, kenapa tidak dicoba.
Namun dia cukup paham akan kelihayan senjata rahasia keluarga Tong, maka gadis itu berusaha untuk menghindari berjalan diatas punggung kuda.
Begitu masuk ke tengah gerombolan kuda, diapun menyusup ke bawah perut.
Sebagaimana diketahui kawanan kuda yang parkir ditempat itu luar biasa banyaknya, diantara rerumputan, kotoran kuda berserakan dimana mana, bau busuk sangat menusuk penciuman.
Mereka bertiga yang sembunyi dibawah perut kuda merasa kepanasan, sumpek, bau bercampur kuatir dan takut, bahkan setiap saat harus waspada agar tubuh mereka tidak terinjak kawanan kuda itu, bisa dibayangkan rasa mereka waktu itu tak terlukiskan dengan kata.
Padahal sejak kecil Siau Hui-uh sudah hidup manja, belum pernah dia alami siksaan semacam ini.
Namun demi Tian Mong-pek, demi luka yang diderita pemuda itu, dia seolah sudah melupakan semua penderitaan, sudah tidak merasakan semua siksaan, berulang kali dia bantu pemuda itu menyeka keringat, bahkan sambil bertanya: "Apakah kau sudah baikan" Apakah kau tahan dengan udara dan bau seperti ini?" Tian Mong-pek merasa sangat terharu, dia jadi sesenggukan hingga tak sanggup menjawab.
sebaliknya Tong Hong segera mendengus sambil berkata: "Tidak tahan dengan bau disinipun harus tahan." Siau Hui-uh tahu, nona itu lagi lagi dibakar api cemburu, dia berlagak tidak mendengar, katanya lembut: "Apakah lukamu masih sakit" Atau sudah baikan?" "Toh akhirnya bakal mati," kembali Tong Hong mengejek sambil tertawa dingin, "lukanya membaik atau tidak, sudah tak penting lagi." Siau Hui-uh sama sekali tidak memandang kearahnya, dengan badan sendiri dia lindungi Tian Mong-pek, lalu ujarnya lagi: "Kalau kau sudah tak tahan dengan bau disini, lebih baik.....
lebih baik bau badanku saja, bagaimana pun tubuhku jauh lebih harum daripada kotoran kuda." Dia berusaha untuk tertawa, namun dalam situasi dan kondisi seperti ini, mana mungkin dia bisa tertawa" Bukan senyuman yang muncul, sebaliknya air mata justru berlinang membasahi wajah Tian Mong-pek.
Pada awalnya, Tian Mong-pek menganggap gadis ini binal dan latah, sama sekali tak disangka ternyata ia begitu halus, hangat dan lembut, tak tahan sahutnya sambil menghela napas: "Sudah seharusnya aku berterima kasih kepada kotoran kuda ini." "Apa.....
apa kau bilang?" "Kalau bukan lantaran kotoran itu, mana mungkin kau bersikap begitu lembut kepadaku." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa paksa.
Kontan saja Siau Hui-uh tertawa.
"Masa dahulu aku tidak lembut?" Perlahan dia bersandar ditubuh Tian Mong-pek dan tidak mau bangun lagi.
Ringkikan kuda di empat penjuru bertambah ramai, hawa pembunuhan terasa makin pekat, namun bagi mereka berdua, disaat cinta kasih mulai mengalir keluar untuk pertama kalinya, situasi dan kondisi saat ini justru surga bagi mereka, ringkikan kuda pun telah berubah jadi musik dewa.
sampai lama, lama kemudian, Tian Mong-pek baru berkata lagi sambil menghela napas: "Watakku memang tidak baik, dulu, aku sering menyiksamu, tapi dikemudian II hari.....
dikemudian hari . . . . .. Mendadak dia teringat kembali kalau situasi yang mereka hadapi saat ini sangat berbahaya, mana mungkin ada dikemudian hari" Karenanya kata selanjutnya tidak diteruskan lagi.
Tangisan Siau Hui-uh semakin menjadi, namun dia semakin rapat bersandar ditubuh pemuda itu.
Mendadak terdengar Tong Hong menghela napas dengan nada getir, lalu gumamnya: "Masih menyinggung soal dikemudian hari, bagiku, asal ada kesempatan sesaat saja untuk merasakan hal seperti ini, biar segera mati pun aku ikhlas." Gadis itu membayangkan kembali nasib yang menimpa dirinya selama ini, biarpun sejak kecil hidup manja, apa pun yang diharapkan segera terwujud, padahal dia benar benar merasa kesepian, tak heran kalau tak tahan dia mengungkap suara hati sendiri setelah menyaksikan kasih cinta kedua orang itu.
Siau Hui-uh jadi termangu, diam diam pikirnya: "Orang lain sangka dia yang hidup dalam keluarga kenamaan pasti gembira dan bahagia.
siapa sangka nasibnva begitu memedihkan dan tragis?"
Siau Hui-uh jadi termangu, diam diam pikirnya: "orang lain sangka dia yang hidup dalam keluarga kenamaan pasti gembira dan bahagia, siapa sangka nasibnya begitu memedihkan dan tragis?" Berpikir begitu, tanpa terasa tumbuh rasa simpatik dihati kecilnya, ia segera berpaling, menyeka air mata dan berkata: II "Kemarilah kau, mari kita bertiga .
. . . . .. Tiba tiba Tong Hong menarik muka, katanya sambil tertawa dingin: "Kalian berdua ibarat memetik kecapi dibawah pohon pare, mencari kegembiraan ditengah kepahitan, aku mah ogah menemani, toh kita semua bakal mati, lebih baik manfaatkan kesempatanmu untuk bermesraan!" Siau Hui-uh menghela napas panjang.
"Aaai, aku tahu, sesungguhnya kau adalah orang yang sangat sangat baik dan mulia, hanya sering sengaja mengucapkan kata kata yang bikin sakit hati orang, siapa pula yang tahu ketika kau mengucapkan perkataan tadi, sesungguhnya hatimu jauh lebih sedih daripada orang lain" Tapi sekarang kau tak bakal bisa membohongi aku, aku tahu, biar setiap katamu dingin, padahal hatimu itu hangat." Tong Hong tertegun, sepasang matanya mulai berkaca kaca, mendadak teriaknya keras: "Siapa bilang hatiku hangat, hatiku.....
hatiku sudah mati sejak dulu." Biarpun suaranya keras, namun tak dapat menutupi kepedihan hatinya.
Tak tahan Siau Hui-uh membelai bahunya sambil berbisik: II "Nona Tong, kau .
. . . . .. "Pergi, pergi . . . . .." teriak Tong Hong lagi sambil memukul tanah, "aku....
aku tak ingin kau mengasihani aku .
. . . .. tak mau siapa pun mengasihani aku .
. . . .." Akhirnya dia mendekam ditanah dan menangis tersedu sedu.
Suara teriakan dan bentakan yang berasal dari empat penjuru terdengar makin lama semakin santar, ringkikan kuda yang ramai membuat suasana ibarat genderang perang yang dipukul bertalu talu, ditambah lagi hembusan angin barat yang kencang, isak tangis Tong Hong yang memilukan, benar benar membuat suasana disana tak terbayangkan.
Tiba tiba terdengar Tian Mong"pek menjerit kaget: "Celaka, kawanan kuda mulai bubar." Dengan kaget Siau Hui-uh berpaling, betul saja, kawanan kuda itu sudah makin menyebar keluar, jelas orang orang keluarga Tong telah melepas tali batas kadang kuda itu.
"Menyedot air menangkap ikan .
. . . . . .. satu siasat yang betul betul keji." Gumam Tian Mong-pek lagi.
Siau Hui-uh tercekat, sedang Tong Hong segera bertanya: "Apa itu menyedot air menangkap ikan?" "Bila air dalam kolam disedot keluar hingga kering, bukankah ikan didalam kolam jadi tak bisa bergerak dan terpaksa ditangkapi nelayan satu per satu." "Aaah betul," sahut Tong Hong seperti baru paham, "bila mereka mengusir kawanan kuda itu dan sang kuda sudah bubar, bukankah tempat persembunyian kita jadi terbuka dan menunggu ditangkap." Sebetulnya gadis itu merasa gembira karena berhasil menebak maksud dari siasat itu, tapi begitu teringat kalau orang yang bakal tertangkap adalah dirinya, hilang sudah semua rasa gembiranya.
Dengan sedih ia tertunduk dan tidak berbicara lagi.
Lama sekali ke tiga orang itu terbungkam, mendadak Tian Mong"pek menghela napas sambil bergumam: "Alangkah baiknya kalau ada api." Siau Hui-uh memandang sekejap sekeliling tempat itu, melihat kawanan kuda yang berkumpul kelewat padat hingga untuk membubarkan mereka jadi sangat lambat, diapun manggut manggut sambil menghela napas.
"Benar, kalau ada api, urusan pasti beres." Tong Hong melongo tak habis mengerti, tak tahan tanyanya: "Teka teki apa yang sedang kalian mainkan?" Sahut Siau Hui-uh sambil tertawa getir: "Jika kita bisa membuat kawanan kuda itu lari kesetanan, maka dengan menempel dipunggung mereka, kita bisa manfaatkan situasi kacau itu untuk kabur, meski mereka sangat lihay, mustahil orang orang itu bisa menghadang larinya kuda, apalagi kuda disini begitu banyak, dengan kekuatan kita tiga....
dua orang, ingin membuat kuda kuda itu panik rasanya seperti membuang batu ditengah samudra, menimbulkan riak pun tak sanggup, tapi....
tapi bila ada api . . . . .. asal ada api..... aaai!" sambil menghela napas Tong Hong gelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya: "selama ini aku sangka diriku ini pintar, siapa tahu bila dibandingkan II kalian, aku jadi lemot (lemah otak), tapi .
. . . . . .. Mendadak ia tertawa, katanya lagi: "Namaku ini Hui-hong-hong si burung hong api, jelas namaku bukan asal nama." "Jadi kau punya api?" tanya Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek kegirangan.
Tong Hong manggut manggut, dari dalam saku dia mengeluarkan sepuluh butir peluru berwarna hijau sebesar kelereng, katanya: "Beruntung senjata rahasia ini merupakan hasil ramuanku sendiri, karena itu tidak sampai mereka sita." Bicara sampai disitu dia agak sesenggukan, tapi dengan cepat lanjutnya: "Asal kita lempar ke atas tanah, akan muncul lidah api diseputar sana." Siau Hui-uh menerima beberapa butir peluru itu, katanya kegirangan: "Tempat ini dipenuhi rumput kering dan kotoran kuda, begitu api berkobar, siapa pun jangan harap bisa memadamkannya kembali." Pada saat itulah dari luar arena terdengar seseorang membentak keras: "Kalian tak bakal lolos, lebih baik menyerahkan diri saja secara baik baik, dengan begitu locu sekalian masih akan memberi sedikit kenyaman kepada kalian, kalau tidak, hehehe....
dosa kalian bakal semakin besar." Kawanan manusia itu mengira Siau Hui-uh sekalian sudah menjadi ikan dalam jaring, karenanya siapa pun enggan menyerempet bahaya dengan menelusuri kawanan kuda, mereka memilih lebih baik menunggu diluar arena sambil menyaksikan buronannya terperangkap.
Namun sayang kawanan kuda yang berkumpul disitu kelewat banyak, area tanah pun kelewat kecil, sehingga membubarkan kuda kuda itu berjalan sangat lamban.
Mungkin saja orang orang keluarga Tong tak ingin kawanan kuda itu jadi kaget dan panik, sehingga tak berani membubarkan terlalu Cepat.
II "Kalian Cepat naik keatas kuda, cepat....
cepat..... seru Tong Hong. setelah membantu Tian Mong-pek naik ke punggung kuda, tiba tiba Siau Hui-uh bertanya: "Kami naik kuda, bagaimana dengan kau?" Tong Hong tertawa sedih, katanya: "Ditempat ini ada begitu banyak kuda, bila api muncul dibagian belakang, yang bagian depan belum tentu tahu.
Dengan menung gang dipunggung kuda, bila kawanan kuda dibagian depan tiba tiba melambat, kalian tetap tak bakal bisa kabur, jadi aku harus menyulut api juga dibagian belakang." "Mana boleh begitu, kalau harus pergi, kita pergi bersama." seru Siau Hui-uh sambil menghentakkan kakinya.
"Betul, kalau harus pergi, kita pergi bersama." Imbuh Tian Mong-pek.
Tong Hong menggeleng, katanya sambil tertawa sedih: "Bisa mendengar perkataan kalian ini, aku sudah merasa puas sekali, selama hidup aku hanya tahu memikirkan diri sendiri, sekarang sudah saatnya untuk memikirkan orang lain." "Tapi...
tapi....." "Cepat, cepat pergi, aku tidak masalah.
Pepatah bilang: sekejamnya seekor harimau, dia tak akan menerkam anak sendiri.
Sekalipun aku berhasil ditangkap ayah, masa dia betul betul akan membunuhku?" Siau Hui-uh merasa perkataan itu ada benarnya juga, apalagi ia saksikan kawanan kuda disana sudah mulai menipis hingga diarea tengah sudah muncul lapangan seluas berapa kaki, maka katanya setelah sangsi sejenak: "Kalau begitu, kami.....
kami....." "Kalau masih belum pergi, kalian ingin kita bertiga benar benar mati bersama?" seru Tong Hong jengkel.
Tiba tiba air mata jatuh berlinang membasahi wajah Siau Hui-uh, katanya: II "sudah berulang kali kau selamatkan kami.....
aku.... aku..... Mendadak iganya jadi kaku, ternyata Tong Hong sudah menotok jalan darahnya.
Terdengar Tong Hong berkata: "setelah berpisah hari ini, semoga lain waktu dapat bersua kembali, asal kalian jangan.....
jangan lupa . . . . . .. Cepat dia menarik seekor kuda dan menghantar Siau Hui-uh serta Tian Mong-pek ke atas punggung binatang itu.
II Nona Tong..... seru Tian Mong-pek panik.
Tong Hong berlagak tidak mendengar, sambil menggigit bibir, dia lempar berapa butir peluru hijau itu ke tanah, seketika itu juga terjadi kebakaran hebat diatas padang rumput, ringkikan kuda bertambah ramai, suasana jadi gaduh.
Kuda yang ditarik Tong Hong ikut meringkik sambil angkat kaki depannya, nyaris Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek terjatuh dari atas pelana.
saat itulah Tong Hong menepuk bebas jalan darah ditubuh Siau Hui-uh lalu menghantam perut sang kuda.
Diiringi ringkikan kesakitan, kuda itu segera berlarian kalap menuju ke depan.
"Pergilah," teriak Tong Hong, "sampai jumpa lain waktu....." Air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Begitu jalan darahnya bebas, Siau Hui-uh tak sempat memikirkan yang lain, dia segera peluk tubuh Tian Mong-pek erat erat.
Sebenarnya dia masih berniag menunggu, tapi kuda itu sudah berlarian kalap dan susah dikendalikan tadi, dari arah belakang dia hanya mendengar seruan dari Tong Hong, lalu suasana kegaduhan pun mulai terjadi....
Kobaran api dibagian belakang makin lama semakin membesar, jelas Tong Hong tiada hentinya menyebar senjata rahasia apinya, mungkin dia ingin menggunakan jilatan api yang panas itu untuk melumat kesedihan hatinya.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berdiri dengan sikap dingin tapi serius, dia mengatur anak buahnya membubarkan kuda, menyiapkan jala untuk menangkap buronan.
Jaring yang dia siapkan sesungguhnya merupakan sebuah jaring senjata rahasia, murid keluarga Tong yang menggembol golok, hampir semuanya menggembol kantung senjata rahasia dipinggangnya, isi kantung itu jelas merupakan senjata rahasia paling mematikan.
Sekawanan lelaki kekar lainnya, walaupun belum mendapat pelajaran senjata rahasia, namun mereka semua dilengkapi dengan busur beracun bikinan khas keluarga Tong.
Busur yang sering dipakai suku Biau untuk berburu diwilayh itu tak lain merupakan busur sejenis yang digunakan keluarga Tong.
Bukan saja amat beracun, harimau ganas pun tak tahan bisa terkena bidikan, bila manusia biasa yang tersambar lecet, tak sampai berapa saat, sang korban pasti akan tewas mengenaskan.
Meski bukan senjata andalan keluarga besar ini, namun keganasan busur beracun mereka betul betul menakuskan.
sambil bergendong tangan seru si Tangan pencabut nyawa Tong Ti: "Jangan biarkan mata mata itu lolos, mati hidup mereka harus ditangkap." Belum selesai dia bicara, tiba tiba dari balik lorong rahasia dibelakangnya terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "siapa itu mata matanya?" Tong Ti sangat terperanjat, Cepat dia membalikkan tubuh sambil membentak: "siapa?" "Masa kau sudah tidak kenali suaraku lagi?" "Hah, kau?" seru Tong Ti tercengang.
setelah memandang sekeliling tempat itu sekejap, bentaknya: "Perketat penggeledahan, jangan sampai lolos!" Kemudian dia langsung melompat masuk ke lorong bawah tanah.
Tampak So Kin-soat sambil tersenyum manis bersandar didinding pintu masuk, sepasang tangannya yang putih lentik meraba ikat pinggangnya yang warna warni dengan lembut.
"Kenapa kau kemari?" bisik Tong Ti, jelas perasaan hatinya bergolak hingga suara pun jadi serak.
"Kenapa aku tak boleh kemari?" "Tahu kalau kau akan datang.....
aaai, tadi aku telah perintahkan dua orang murid andalanku untuk segera menghantar barang itu ke tempatmu." "Masih bisa dikejar?" senyuman dibibir So Kin-soat tiba tiba lenyap.
"Tak terkejar lagi, aaai....
semua ini kelewat kebetulan." Tong Ti menghela napas.
"Sebenarnya aku datang karena benda itu, Koan-ji pun sudah kutemukan, coba kalau bukan dia, tak mungkin kutemukan jalan masuk menuju ke lorong rahasiamu ini!" "Ooh, diapun datang, dimana sekarang?" Tong Ti berseru tertahan.
"Masih ada yang lain lagi, aku melarang mereka ikut kemari." "Kalau begitu kaupun Cepat kembali," bisik Tong Ti dengan suara berat, "kalau sampai ketahuan murid perguruanku, urusan jadi tak leluasa, tengah malam nanti aku akan berusaha untuk bertemu lagi dengan mu." So Kin-soat tertawa.
"Aku tahu . . . . .. tahukah kau, siapakah dua orang mata mata yang berhasil kabur lewat tempat ini" Aaai, selama hidup jangan harap kau bisa menebaknya." "siapa mereka" Cepat katakan." "Tian Mong-pek, Siau Hui-uh serta putri kesayanganmu itu." Sekujur tubuh Tong Ti bergetar keras, setelah tertegun berapa saat, katanya dengan benci: "Aku sedang heran, kenapa orang lain bisa memasuki lorong bawah tanahku, ternyata perempuan rendah itu yang berhianat, pagar makan tanaman." Belum selesai dia bicara, tiba tiba dari luar lorong terden gar orang berteriak panik: ll "Api....
api..... kebakaran..... Menyusul kemudian terdengar kekalutan diluar, teriakan manusia, ringkikan kuda, derapan kaki yang ramai menggema diseluruh penjuru.
Berubah paras muka Tong Ti, bisiknya: "Hati hati jejakmu.
Cepat dia melompat keluar dari lorong, kemudian sambil rentangkan lengan, teriaknya lantang: "Siapkan senjata rahasia, perhatikan punggung kuda, lebih baik bunuh setiap ekor kuda yang dijumpai daripada membiarkan mereka kabur dari sini .
. . . . .. Sekalipun ditengah suara kegaduhan, teriakan itu terdengar nyaring dan jelas.
Bab 46. Cinta ditengah api yang membara.
Kobaran api yang membara membakar seluruh permukaan padang rumput, ringkikan kaget kawanan kuda, ibarat air yang menjebol bendungan, menggulung keluar sedahsyat ombak samdra.
Anak murid keluarga Tong dengan tangan kanan menggenggam golok, tangan kiri mengenakan sarung tangan kulit menjangan, berteriak keras: "Lebih baik bidik mati kuda kuda itu daripada membiarkan mereka kabur dari sini." Anak panah beracun segera siap dibidikkan.
Tapi sayap asap dan api membumbung tinggi ke angkasa, debu dan pasir beterbangan menyelimuti udara, membuat mata terasa pedas dan susah melihat, jangan lagi memeriksa apakah dipunggung kuda ada orangnya, mendengar suara teriakan pun amat sulit.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti menghentakkan kakinya berulang kali karena jengkel, tiba tiba dengan gerakan It-hong-jiong-thian (bangau sakti tembus ke langit) dia melesat ke udara.
Disisi tebing bukit berdiri sebuah tiang bendera yang terbuat dari bambu, tingginya empat kaki, diujung tiang terikat selembar panji berwarna kuning yang berkibar terhembus angis, pada panji itu bertuliskan: "Area pemeliharaan kuda" Itulah petunjuk bagi para tamu yang datang kondangan untuk memparkirkan kuda tunggangannya.
Berada ditengah udara, Tong Ti bersalto beberapa kali, dengan menggunakan ilmu Ti-hun-jiong (tangga menuju awan) yang merupakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, dia melompat naik sampai setinggi empat kaki dan mencapai puncak tiang.
Sejauh mata memandang, ia saksikan kawanan kuda bagaikan air bah mengalir keluar dengan kecepatan luar biasa.
Biarpun asap api menyelimuti angkasa, namun dengan berdiri dipuncak tiang, ia dapat menyaksikan semua pemandangan dibawah dengan jelas.
Tiba tiba terlihat kilatan cahaya yang memantul dari salah seeekor kuda, dalam sekilas pandang, dia tahu, cahaya itu berasal dari pantulan baju sutera.
"Ada disana." Tong Ti segera berteriak kegirangan.
Serentak para murid keluarga Tong bereaksi, beribu ribu batang anak panah serentak dibidikkan kearah yang ditunjuk.
Terdengar desingan angin tajam membelah angkasa dan menggema tiada putusnya.
Begitu serangan hujan panah berlalu, pemandangan ditempat itu terlihat semakin mengerikan, kawanan kuda didepan yang terkena panah seketika roboh berserakan dimana mana dan tak mampu bangun, sementara rombongan kuda di belakangnya menerjang makin tak terkendali.
Kuda kuda yang terluka pun langsung terinjak hingga hancur tak karuan.
Suara hujan panah, jilatan api yang membara, hembusan angin yang semakin kencang, ditambah suara bentakan dan ringkikan kesakitan kuda kuda yang sekarat, semuanya ini membentuk satu pemandangan yang mengerikan.
Berapa orang murid keluarga Tong mulai tak tega, mereka mulai mengendorkan serangan, bahkan ada yang telah menghentikan serangannya, tapi Tong Ti justru tertawa makin keras, membuat suasana bertambah mencekam.
Ternyata sebagai ahli senjata rahasia kenamaan, dia memiliki ketajaman mata yang luar biasa, dalam jarak tiga kaki sanggup membidik lalat yang terbang.
Sejak tadi dia sudah melihat kalau kuda yang membawa kilatan baju sutera itu telah terkena panah dan roboh ke tanah, dalam keadaan begitu, biar si penunggang kuda memiliki kemampuan yang luar biasa pun, dapat dipastikan tubuhnya akan terinjak hingga remuk.
"Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek," seru Tong Ti sambil tertawa seram, "jangan salahkan aku bertindak keji dan telengas, siapa suruh kau mencampuri urusanku" Siapa suruh kau selidiki rahasia lohu?" Terlihat anak buah perguruannya mulai melarikan diri ke empat penjuru, ternyata ada berapa orang diantaranya yang mati terinjak kuda, hanya saja jeritan ngeri mereka menjelang kematian sudah tertelan oleh ringkikan kuda yang ramai sehingga tak ada yang mendengar.
Menyaksikan kejadian itu, rekan rekannya jadi pecah nyali dan ketakutan setengah mati, biarpun Tong Ti sudah turunkan perintah tegas, namun bagaimana pun menyelamatkan nyawa jauh lebih penting.
Oleh karena itu tanpa pedulikan perintah lagi, mereka tinggalkan senjata rahasia dan kabur ke empat penjuru.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangkai kuda kini sudah membukit, memandang kesemuanya itu, rasa puas melintas diwajah Tong Ti, dia sangat yakin, mayat Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh pasti berada diantara tumpukan bangkai kuda.
Sedari tadi, diapun melihat masih ada sesosok bayangan manusia ditengah lautan api yang melepas api kemana"mana, dia tahu, bayangan manusia itu pasti bayangan putrinya, rasa gusar dan benci semakin menggelora dihatinya.
Ketika melihat jilatan api menggulung ke empat penjuru dan tampaknya telah menggulung pula tubuh putrinya, Tong Ti sama sekali tak bertindak, bahkan niat untuk menolongpun tak ada.
"Paling bagus kalau mati terbakar .
. . . . .. paling bagus kalau mati II terbakar .
. . . . .. gumamnya. Bila disampingnya ada orang yang mendengar ucapan itu, mengetahui kalau dia begitu tega membiarkan putri sendiri mati terbakar, mungkin orang akan bergidik dan ngeri.
Untung saja dia berada dipuncak tiang bendera, disana hanya ada dia seorang.
Dalam pada itu para pelayan dan anggota keluarga Tong telah berdatangan dari empat penjuru, ada yang segera mlempar tali laso untuk menangkap kuda, ada pula yang berusaha memadamkan api.
Tapi padang rumput saat itu sudah terbakar, bagaimana mungkin kebakaran sebesar ini dapat dipadamkan dalam waktu singkat" Kembali ke lorong bawah tanah, Tong Ti menjumpai So Kin-soat berada disitu, maka katanya: "Sudah mati." So Kin-soat sama sekali tidak menunjukkan rasa sedih atau ngeri setelah menyaksikan peristiwa yang luar biasa itu, malah sambil tersenyum balik tanyanya: "Apanya yang mati?" "Mereka bertiga sudah mati." So Kin-soat berkerut kening, setelah termenung lama sekali baru katanya: "Baguslah kalau sudah mati." Masih banyak tamu undangan yang belum bubar, mereka berbondong bondong mendatangi tempat kejadian ketika dikejutkan oleh terjadinya kebakaran, namun apa yang mereka lihat hanya sebatas pemandangan yang mengerikan, sementara apa yang telah terjadi sama sekali tak mengerti.
Ui Hau, Lau-san-sam-gan maupun Tio Beng-teng sekalian tidak tampak diantara para tamu, hanya saja, karena berapa orang itu bukan pusat perhatian, tentu saja tak seorangpun yang memperhatikan mereka.
Kuda yang lari tunggang langgang telah menghalangi jalan lewat para jago, sementara kehadiran para jagopun menghalangi jalan lewat kuda kuda itu, akibatnya suasana bertambah kacau, bahkan ada yang mulai berteriak memanggil kuda tunggangan sendiri.
Sebagaimana diketahui, kebanyakan jago silat telah menganggap kuda tunggangan sebagai rekan sendiri, setelah melihat situasi sekarang, meski merasa kaget namun yang terutama adalah mereka sedih karena kehilangan kuda kesayangannya.
Tong Pa sebagai putra ke tiga keluarga Tong ikut merasa gelisah dan panik, peluh telah membasahi seluruh tubuhnya, dia berlarian ke sana kemari sambil membujuk para tamu agar tidak panik, setelah itu tanyanya kepada salah seorang anak buahnya: "Apa yang telah terjadi" Darimana sumber api itu muncul?" "Hamba juga tidak tahu," jawab lelaki itu gugup, "hanya saja loya .
. . . .." "Loya ada dimana?" Lelaki itu segera menuding kedepan, belum sempat berbicara, Tong Pa sudah melompat pergi, sebab secara lamat lamat dia telah melihat bayangan tubuh ayahnya menyelinap ke bawah tanah lalu menghilang.
Biarpun selisih jarak mereka tidak terlalu jauh, namun terhalang oleh gerombolan manusia dan kuda.
Menanti Tong Pa tiba ditempat itu dengan susah payah, tampak ayahnya sedang berdiri disana sambil bergendong tangan, tidak terlihat ada liang disitu.
Tong Pa jadi melongo, tanyanya: "Ayah, kemana kau tadi?" "Aku selalu berdiri disini, justru mau tanya kepadamu, sudah ke mana saja?" sahut Tong Ti dingin.
"Jangan jangan mataku kabur?" gumam Tong Pa kemudian sambil mengusap matanya.
Sejak kecil dia sudah berlatih tekun ilmu senjata rahasia, ketajaman matanya boleh dibilang luar biasa, kendatipun sedang gugup, tak mungkin matanya sampai kabur dan salah lihat.
Hanya saja kendatipun timbul kecurigaan dihatinya, ia tak berani bertanya.
Pada saat itulah dari kejauhan terdengar suara gelak tertawa yang nyaring, lalu seseorang berseru: "Lebih baik kita hentikan dulu pertarungan ini, siapa yang mampu memadamkan api, dia baru dianggap enghiong sejati." Suara tertawa itu nyaring memekik telinga, tapi suara bentakan itupun bagai suara guntur.
Baru saja para jago berpaling dengan tercengang, tampak empat sosok bayangan manusia telah meluncur ke tengah area kebakaran, kehadiran mereka ibarat malaikat yang turun dari langit.
Begitu melihat gerakan tubuh ke empat orang itu, paras muka Tong Ti berubah makin hebat, segera serunya: "Anak Pa, mari kita tengok ke sana, coba lihat siapa yang datang?" Pemikiran itu sama persis seperti apa yang dipikirkan para jago, siapa pun ingin tahu siapa gerangan yang memiliki ilmu silat dan keberanian sebesar itu.
Terlihat ditengah jilatan api yang membara, empat sosok bayangan manusia bergerak bagai bintang di langit dan bergerak ke empat penjuru, dimana tempat yang mereka singgahi segera terdengar angin kencang berhembus dan kobaran api pun seketika padam.
Para jago tahu, ke empat orang itu sedang menggunakan hawa murni yang luar biasa untuk memadamkan kobaran api yang membara itu, kontan saja demonstrasi ini membuat semua orang kaget bercampur kagum, sorak sorai pun bergema gegap gempita.
Semakin nyaring suara orang bersorak sorai, semakin lemah kobaran api yang tersisa.
Tiba tiba ditengah kobaran api terdengar seseorang berseru: "Aneh, disini ada orang." "Sudah terpanggang matang?" tanya yang lain.
"Aneh, orang itu belum mati." Berubah paras muka si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, ketika melihat ada sesosok bayangan manusia melompat keluar dari tengah api, Tong Ti segera berteriak: "Cianpwee mana yang telah datang" Tong Ti ada disini." Baru selesai dia berteriak, sesosok bayangan manusia telah berdiri dihadapannya, dia adalah seorang kakek bungkuk, sebagian rambutnya telah terbakar tapi sorot matanya setajam pisau.
Ketika dilihatnya orang yang berada dalam gendongan orang itu tak lain adalah putrinya, Tong Hong, diam diam Tong Ti merasa gelisah, hanya saja kepanikan itu tak sampai ditunjukkan diwajah.
Cepat dia memberi hormat seraya berseru: II "Terima kasih atas pertolongan cianpwee .
. . . .. Belum selesai dia bicara, kakek bungkuk itu telah serahkan tubuh Tong Hong ke dalam pelukannya.
"Nih, gendong kamu." Lalu dia balik badan dan menerjang masuk lagi ke tengah kobaran api.
Rupanya setelah mendengar teriakan dari Lan Toa-sianseng tadi: "siapa yang bisa padamkan api, dialah enghiong."....
kakek bungkuk ini segera memusatkan konsentrasinya untuk memadamkan api, sementara urusan lainpun tak dicampuri lagi.
Saat itu kobaran api sudah melemah, kuda yang panik pun sudah mereda, dalam waktu singkat para anggota keluarga Tong berhasil memadamkan api yang tersisa.
Si kakek bungkuk itu tak lain adalah si bungkuk baja, menanti dia balik badan dan melihat kobaran api telah padam sementara Lan Toa-sianseng sekalian bertiga sudah melompat keluar dari area kebakaran, dengan jengkel dia hentakkan kakinya seraya berseru: "Kenapa apinya sudah padam?" "Apa jeleknya kalau api telah padam?" sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa keras.
"Kalian bertiga yang telah padamkan api itu, bukankah kalian bertiga yang jadi enghiong?" teriak bungkuk baja marah.
"Dasar tua bangka yang pengen menangnya sendiri," kata Lan Toa-sianseng sambil tertawa, "masa kau tak tahu kalau selamatkan nyawa manusia jauh lebih hebat daripada memadamkan api, apalagi dalam hal padamkan kebakaran tadi, kaupun turut ambil bagian." Mendengar perkataan itu, bungkuk baja baru merasa gembira, katanya tertawa: "Nah, begitu baru pantas .
. . . .. kalau toh tak ada yang menang dan kalah, lebih baik kita berempat lanjutkan perkelahian." "Sayang perkelahian inipun tak mungkin lagi." Sahut Lan Toa-sianseng tertawa.
Sewaktu bungkuk baja berpaling, betul saja, si Tombak tanpa bayangan Yo Hui serta si golok tanpa sarung Go Jit telah lenyap tak berbekas, sementara suasana disekitar sana masih gaduh, tak mungkin mereka terkejar lagi.
Rupanya ke empat orang itu bertarung kelewat asyik hingga dari bukit depan bertempur sampai belakang bukit, saat itulah Lan Toa-sianseng melihat ada kebakaran, diapun mengusulkan untuk menolong api.
Menanti kebakaran sudah padam, Go Jit yang memikirkan Beng Li-si dan Li Koan-eng terus menerus, tentu tak mau tinggal disana lebih lama, diapun gunakan kesempatan itu untuk kabur.
Si tombak tanpa bayangan Yo Hui dan si tombak baja Yo Seng bukan saja mempunyai hubungan guru dan murid, bahkan mereka masih famili, Yo Seng yang selama ini dendam dengan luka parahnya dulu, tentu saja enggan melepaskan Go Jit begitu saja, maka mereka pun meninggalkan Lan Toa-sianseng berdua.
Agak berubah wajah Lan Toa-sianseng ketika melihat gadis berbaju hitam itu membopong Tong Hong, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tak sampai diucapkan.
Siapapun tak sempat melihat antara si Tangan pencabu t nyawa Tong Ti dengan So Kin"soat telah saling bertukar kerdipan mata yang aneh, siapapun juga tak ada yang melihat perubahan mimik wajah Lan Toa-sianseng.
Hanya Liat-hwee hujin yang tampak sangat gembira, katanya sambil tertawa: "Siau-lan, sudah lama kita tak bertemu, seharusnya kita mencari tempat untuk mengobrol, kau ha dialihkan sehingga yang menjadi sasaran tembak pun bukan arah mereka.
Kabut tebal menyelimuti seluruh udara, kedua orang itu tak berani buka mata, mereka serahkan nasib pada kehendak Thian.
Kini yang terdengar adalah suara hiruk pikuk yang makin lama makin lirih, makin berkurang dan akhirnya suasana terasa hening .
. . . .. Sambil menghembuskan napas, saat itulah Siau Hui-uh baru berani buka mata, tampak masih ada belasan ekor kuda lain yang berlarian tak menentu.
Rupanya anak buah keluarga Tong hanya memusatkan perhatian pada sasaran, dengan begitu mereka tidak memperhatikan sisi lain, karena itulah ada belasan ekor kuda yang berhasil kabur, sementara sifat kuda suka menggerombol, maka kuda kuda itupun tidak berpisah terlalu jauh.
Setelah terjadi kepanikan, kawanan kuda itu kabur menuju ke bukit yang sepi, Siau Hui-uh menghela napas panjang, tiba tiba ia merasa Tian Mong-pek yang berada dalam rangkulannya belum bergerak, ternyata luka parahnya belum sembuh, didalam kegugupan tadi, pemuda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.
Dalam kagetnya sekuat tenaga Siau Hui-uh menarik bulu kuda, niatnya untuk menghentikan lari kuda itu, Sayang kuda yang sedang panik itu berlari terus dengan kencangnya, bukan usaha gampang untuk menghentikannya.
Entah berapa lama lagi kuda itu berlarian, akhirnya karena tak tahan dengan sakit pada luka badannya, kuda itu mulai memperlambat larinya dan tertinggal dari rombongan kuda lain.
Begitu tertinggal dari rombongan, Siau Hui"uh pun segera berhasil mengendalikan kuda itu.
Terlihat kuda itu meringkik tiada hentinya, darah segar telah membasahi bulu binatang itu.
sambil menghela napas gumam Siau Hui"uh: "Wahai kuda, jangan salahkan aku, kau telah selamatkan kami tapi kau II sendiri yang terluka.....
Dengan perasaan sedih dia belai bulu kuda itu.
Dalam pada itu sang surya telah tenggelam dilangit barat dan menyisakan cahaya keemasan, akhirnya Siau Hui-uh menemukan sebuah selokan kecil, disitulah dia turun dari kudanya.
Disebuah tanah berumput yang rindang, Siau Hui-uh membaringkan tubuh Tian Mong"pek, merobek ujung bajunya dan mulai membasahi jidat pemuda itu.
Kemudian diapun meneguk berapa teguk air selokan, memandang suasana yang begitu hening, diapun menghela napas, dengan lembut dicucinya noda darah ditubuh kuda itu.
Entah berapa saat kemudian, akhirnya Tian Mong-pek tersadar kembali, diam diam dia awasi semua gerak gerik si nona itu tanpa bersuara.
Ia merasa, setelah mengalami pelbagai peristiwa, tabiat gadis itu sudah banyak berubah, menyaksikan bayangan tubuh gadis kesukaannya berubah lembut, selembut matahari disenja itu, tanpa terasa pemuda itupun termenung .
. . . . . .. Akhirnya Siau Hui-uh berpaling, kebetulan ia melihat Tian Mong-pek dengan matanya yang bening, wajahnya yang pucat sedang menatap kearahnya.
Gadis inipun terperana. Lama, lama sekali mereka berdua saling bertatap mata, siapapun tak bersuara, karena keheningan yang luar biasa justru lebih unggul dari seribu kata.
Akhirnya gadis itu tertawa jengah, dengan kepala tertunduk tanyanya: "Sejak kapan kau mendusin?" "Belum lama." "Merasa haus?" "Aku sudah lupa apakah merasa haus." Siau Hui-uh mendongakkan kepalanya tapi segera tertunduk kembali, pipinya jadi semerah buah tomat.
Setelah lolos dari musibah, mereka berdua sama sama merasakan bahwa nada bicara lawan berubah jadi begitu lembut, kerlingan mata jadi begitu lembut, bahkan cahaya senja dan aliran sungai pun ikut berubah jadi sangat lembut.
Mereka berdua sangat menikmati kelembutan itu dan berharap setiap saat setiap waktu selalu begitu, kendatipun dihati merekapun tersisip kemasgulan, namun siapa pun enggan mengutarakan.
" 0 0 o n u n u " 0 \\ ' ? ' II I a yang lain, dengan begitu pakaian yang tersisa ditubuh kedua orang itu tinggal pakaian ringkas warna hitam yang kebetulan mirip dengan kuda hitam yang mereka tunggangi.
Berada dipunggung kuda, kedua orang itu tak berani bergerak, mereka hanya mendengar suara sambaran anak panah yang beterbangan melewati atas kepala, untung saja sasaran sudah dialihkan sehingga yang menjadi sasaran tembak pun bukan arah mereka.
Kabut tebal menyelimuti seluruh udara, kedua orang itu tak berani buka mata, mereka serahkan nasib pada kehendak Thian.
Kini yang terdengar adalah suara hiruk pikuk yang makin lama makin lirih, makin berkurang dan akhirnya suasana terasa hening .
. . . .. Sambil menghembuskan napas, saat itulah Siau Hui-uh baru berani buka mata, tampak masih ada belasan ekor kuda lain yang berlarian tak menentu.
Rupanya anak buah keluarga Tong hanya memusatkan perhatian pada sasaran, dengan begitu mereka tidak memperhatikan sisi lain, karena itulah ada belasan ekor kuda yang berhasil kabur, sementara sifat kuda suka menggerombol, maka kuda kuda itupun tidak berpisah terlalu jauh.
Setelah terjadi kepanikan, kawanan kuda itu kabur menuju ke bukit yang sepi, Siau Hui-uh menghela napas panjang, tiba tiba ia merasa Tian Mong-pek yang berada dalam rangkulannya belum bergerak, ternyata luka parahnya belum sembuh, didalam kegugupan tadi, pemuda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.
Dalam kagetnya sekuat tenaga Siau Hui-uh menarik bulu kuda, niatnya untuk menghentikan lari kuda itu, Sayang kuda yang sedang panik itu berlari terus dengan kencangnya, bukan usaha gampang untuk menghentikannya.
Entah berapa lama lagi kuda itu berlarian, akhirnya karena tak tahan dengan sakit pada luka badannya, kuda itu mulai memperlambat larinya dan tertinggal dari rombongan kuda lain.
Begitu tertinggal dari rombongan, Siau Hui"uh pun segera berhasil mengendalikan kuda itu.
Terlihat kuda itu meringkik tiada hentinya, darah segar telah membasahi bulu binatang itu.
sambil menghela napas gumam Siau Hui"uh: "Wahai kuda, jangan salahkan aku, kau telah selamatkan kami tapi kau II sendiri yang terluka.....
Dengan perasaan sedih dia belai bulu kuda itu.
Dalam pada itu sang surya telah tenggelam dilangit barat dan menyisakan cahaya keemasan, akhirnya Siau Hui-uh menemukan sebuah selokan kecil, disitulah dia turun dari kudanya.
Disebuah tanah berumput yang rindang, Siau Hui-uh membaringkan tubuh Tian Mong"pek, merobek ujung bajunya dan mulai membasahi jidat pemuda itu.
Kemudian diapun meneguk berapa teguk air selokan, memandang suasana yang begitu hening, diapun menghela napas, dengan lembut dicucinya noda darah ditubuh kuda itu.
Entah berapa saat kemudian, akhirnya Tian Mong-pek tersadar kembali, diam diam dia awasi semua gerak gerik si nona itu tanpa bersuara.
Ia merasa, setelah mengalami pelbagai peristiwa, tabiat gadis itu sudah banyak berubah, menyaksikan bayangan tubuh gadis kesukaannya berubah lembut, selembut matahari disenja itu, tanpa terasa pemuda itupun termenung .
. . . . . .. Akhirnya Siau Hui-uh berpaling, kebetulan ia melihat Tian Mong-pek dengan matanya yang bening, wajahnya yang pucat sedang menatap kearahnya.
Gadis inipun terperana. Lama, lama sekali mereka berdua saling bertatap mata, siapapun tak bersuara, karena keheningan yang luar biasa justru lebih unggul dari seribu kata.
Akhirnya gadis itu tertawa jengah, dengan kepala tertunduk tanyanya: "Sejak kapan kau mendusin?" "Belum lama." "Merasa haus?" "Aku sudah lupa apakah merasa haus." Siau Hui-uh mendongakkan kepalanya tapi segera tertunduk kembali, pipinya jadi semerah buah tomat.
Setelah lolos dari musibah, mereka berdua sama sama merasakan bahwa nada bicara lawan berubah jadi begitu lembut, kerlingan mata jadi begitu lembut, bahkan cahaya senja dan aliran sungai pun ikut berubah jadi sangat lembut.
Mereka berdua sangat menikmati kelembutan itu dan berharap setiap saat setiap waktu selalu begitu, kendatipun dihati merekapun tersisip kemasgulan, namun siapa pun enggan mengutarakan.
Bab 47. Penunggang kuda menyampaikan berita mengagetkan.
"Boanpwee sekalian memang bermaksud datang ke bukit Kun-san untuk melihat keadaan." Teriak Siau Hui-uh keras.
Menyaksikan cara berbicara si kakek yang sengaja diulur dan ragu, dia merasa jengkel bercampur mendongkol.
Tapi kakek itu seakan tidak merasa, malah ujarnya lagi dengan lembut: "Dengan keberanian serta tekad kalian berdua, tiada urusan yang tak mungkin di dunia ini, tapi dalam perjalanan menuju bukit Kun-san, lebih baik kalian berdua lebih waspada dan hati hati." Siau Hui-uh segera mendengar kalau dibalik perkataan itu mengandung maksud yang mendalam, baru saja akan bertanya lagi, orang tua itu sudah menyela: "Apa yang bisa lohu katakan hanya sampai disini, semoga kalian berdua bisa jaga diri baik baik, dunia persilatan dimasa depan pasti akan menjadi dunia kalian, hanya sayang belum tentu lohu dapat menyaksikan, nasib tragis telah menimpa keluargaku .
. . . . .." Lambat laun perkataannya bertambah lirih, sekulum senyuman sedih menghiasi bibirnya.
Tapi sejenak kemudian tiba tiba teriaknya: "Tapi keluarga Tong mempunyai landasan dan fondasi yang kokoh, jangan harap ada yang bisa memusnahkannya." Ketika berbicara hari ini, dia selalu tampak murung dan sedih, hanya ketika menyampaikan perkataan tersebut, semangatnya baru pulih kembali sebagai seorang pemimpin sebuah perguruan besar.
Tian Mong-pek tahu, kakek ini pasti sedih dan kalut pikirannya karena perbuatan Tong Ti, ujarnya kemudian dengan hormat: "Bila cianpwee masih ada urusan penting lain, boanpwee tak berani mengganggu, pasti akan kusimpan nasehat cianpwee dan berjalan di jalur yang benar." Orang tua itu manggut manggut.
"Sudah seharusnya begitu, pergilah.
Bila lain hari .... aaai, mana mungkin masih ada lain hari." Sambil ulapkan tangannya, diapun berseru: "Angkat tandu, pulang." Dia tidak lagi memandang kearah Tian Mong-pek maupun Siau Hui-uh, sebaliknya kedua orang itu mengawasi terus tandu itu hingga lenyap dari pandangan .
. . . . .. "Orang tua ini kelihatan agak berubah." Kata Siau Hui-uh kemudian dengan kening berkerut.
Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Sudah pasti pikirannya sedang terganjal masalah besar dan masalah itu ada hubungannya dengan kotak yang dikirim Tong Ti ke bukit Kun-san, tapi anehnya, kenapa perkataan terakhirnya tadi seakan membawa firasat II jelek .
. . . .. Tapi setelah tertawa katanya: "Dengan kungfu yang dimiliki, tak mungkin dia akan menghadapi mara bahaya, atau mungkin tadi aku salah dengar." Ketika mereka berdua membayangkan kembali pengalamannya selama berapa hari ini, semua kejadian seolah berada dalam impian buruk, hingga kinipun masih terasa keringat dingin di telapak tangan mereka, tapi hari ini, rahasia yang berhasil mereka dengar justru banyak sekali.
Setelah berunding sejenak, mereka putuskan, hadangan dan mara bahaya apapun yang bakal dijumpai sepanjang jalan, mereka harus pergi ke bukit Kun-san.
Hanya satu hal yang membuat Siau Hui-uh kuatir adalah luka yang diderita Tian Mong-pek.
Bila dilihat dari begitu parahnya luka yang diderita, apakah bisa sembuh seperti sedia kala masih menjadi tanda tanya besar, padahal luka semacam ini semakin lama tertunda akan semakin sulit diobati, tapi dalam waktu yang begini singkat, harus pergi ke mana untuk menemukan orang yang bisa mengobati lukanya" Oo0oo Tong Bu-im tidak masuk lewat halaman muka, dia langsung menuju ke tempat tinggalnya.
Tong Pa, Tong Yan berdiri berjajar didepan pintu, wajah mereka tampak berat dan serius.
Begitu melihat kemunculan orang tua itu, mereka berdua segera maju berbareng.
Kata Tong Pa: "Ayah ada di dalam .
. . . .." Wajahnya bukan Cuma berat dan serius, bahkan amat sedih, ternyata secara lamat lamat ia mendapat tahu kalau ayahnya sedang pergi mengejar Tian Mong-pek, maka diapun melapor ke Lo-cou-cong.
Siapa tahu setelah menyampaikan laporan itu, ia saksikan Lo-cou-cong sangat gusar, hal ini membuatnya jadi menyesal.
Terdengar Tong Bu-im berseru dengan marah: "Aku tahu ayahmu berada di dalam, memang dia berani tak datang" Yan-ji, bukannya menjadi pengantin yang bahagia, mau apa kau kemari?" "Lapor Lo-cou-cong, cucunda .
. . . . .." Tong Yan tertunduk lemas.
"Tak usah bicara lagi, cepat kembali ke kamar pengantinmu, aku orang tua masih menunggu akan menggendong buyut .
. . . .. petugas tandu mundur, Pa-ji, bimbing aku masuk." Merah padam selembar wajah Tong Yan, bersama lelaki penggotong tandu, diapun mundur dari situ.
Sementara Tong Pa membimbing orang tua itu masuk, tampak Tong Ti sedang berlutut lurus didepan tempat duduk orang tua.
Dengan wajah serius orang tua itu mengulapkan tangannya.
"Pa-ji, kaupun mundur." Perintahnya.
Tong Pa seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi setelah memandang ayahnya, Tong Ti sekejap, diapun tutup mulut, selesai membimbing orang tua itu ke tempat duduknya, dia memberi hormat kemudian mengundurkan diri.
Kakek itu duduk sambil pejamkan mata, dia tidak bicara, tangannya meraba sisi bangku tiada hentinya.
Buru buru Tong Ti menyodorkan gula gula dan meletakkan disisi tangannya, orang tua itu mengambil sebiji, dua biji dan mulai mengunyah .
. . . .. sepasang matanya tetap terpejam.
Tong Ti sendiripun tidak bicara, dia hanya berlutut tanpa bergerak.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba tiba orang tua itu menegur: "Mengapa tidak bicara?" "Ayah belum buka suara, ananda tak berani bicara." Jawab Tong Ti dengan kepala tertunduk.
Mendadak orang tua itu membuka matanya, sinar tajam segera memancar keluar, bentaknya: "Kenapa tak berani berbicara" Kau tak mampu bicara apa apa lagi bukan?" "Ananda .
. . . . .." "Apa itu ananda, II umpat orang tua itu, "kau ini anak siapa" Kau hanya seorang bedebah, bangsa tikus, budak anjing, keledai goblok, binatang yang tak berbakti .
. . . . . .." Tampak dadanya naik turun dengan napas ngos-ngosan, jelas perasaan hatinya sedang marah sekali, menyusul kemudian ujarnya kembali: "Katakan, katakan, apa isi kotak itu?" "Rumput pelumat impian." Orang tua itu tertegun, tapi sejenak kemudian serunya sambil tertawa seram: II "Dasar binatang, ternyata kau cukup jujur .
. . . . .. "Ananda tidak berani membohongi kau orang tua." Kakek itu membentak gusar, dengan rambut pada berdiri saking marahnya dia mengumpat: "Kau.....
kau tidak membohongi aku" Coba jawab, kenapa kau berikan rumput pelumat impian itu untuk si perempuan lonte?" Sambil bicara, dia menggebrak meja kecil disampingnya hingga hancur berantakan, gula gula yang berada disana pun ikut berserakan.
"So Kin-soat bukan perempuan lonte, dia dan ananda....." "Aku tahu hubunganmu dengan dia, kau sangga aku tidak tahu sama sekali?" tukas orang tua itu semakin geram, "tapi tahukah hubungan dia dengan orang lain" Dia....
bukan saja dia itu lonte, pada hakekatnya dia adalah perempuan jalang, tak ada kata lebih pantas bagi perempuan hina itu, lihat saja, pemimpin persilatan, ciangbunjin, piau-pacu mana yang tak pernah dirayu dan digaetnya" Lelaki mana yang tak pernah naik ranjang dengn dirinya" Kau sangka hanya dirimu seorang" Kalau tak percaya tanya II saja kepada orang lain, bahkan si tua bangka yang paling aneh pun .
. . . . .. "Ayah mengetahui dengan begitu jelas, jangan jangan .
. . . . .." "Apa kau bilang?" jerit orang tua itu.
"Ananda tidak bilang apa apa." "Penghianat, pemberontak, tahukah kau untuk apa dia minta rumput pelumat impian?" "Ananda tidak tahu." "Kalau tidak tahu, kenapa kau berikan kepadanya?" "Karena dia minta, ananda pun berikan kepadanya, bila dia minta yang lainpun, ananda tetap akan berikan kepadanya." Jawab Tong Ti tenang.
ll "Binatang, besar amat nyalimu .
. . . .. kau . . . . . . .. Mendadak kulit mukanya mulai mengejang, sambil menuding putranya, dia menjerit: Il "Kau .
. . . .. kau.... kau....

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau . . . . . . .. Tiba tiba tubuhnya melejit dari tempat duduknya, dengan sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan, dia serang tenggorokan Tong Ti.
Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat.
Tampaknya Tong Ti sudah menduga sampai ke situ, cepat tubuhnya berkelit, dengan gerakan Ie-heng-huan-wi (menggeser badan berganti tempat) dia menghindar sejauh tujuh, delapan langkah dari posisi semula.
Masih melambung di udara, orang tua itu mengayunkan tangannya, tujuh titik cahaya perak melesat keluar dari balik bajunya.
Tanpa berpaling, lagi lagi Tong Ti menghindar sejauh berapa langkah ke samping.
"Taaak, taaak, taaak .
. . . .." terdengar serangkaian bunyi nyaring, tujuh titik cahaya perak itu sudah menancap diatas dinding pintu hingga tembus dari baliknya.
"Kau berani!" bentak orang tua itu, "jangan kabur .
. . . . .." Kembali tangannya menekan permukaan tanah lalu menerjang ke depan.
Tapi saat itu Tong Ti sudah kabur keluar dari pintu ruangan.
Ternyata sepasang kaki kakek itu cacat total, dia tak mampu merangkak bangun, "Blukkk!" tubuhnya kembali terjatuh ke lantai, mukanya pucat, peluh dingin membasahi seluruh wajahnya, sekujur badan gemetar keras.
Terdengar Tong Ti yang berada diluar pintu berkata lagi dengan tenang: "Ananda telah mencampurkan bubuk pencabut sukma pemutus usus didalam gula gulamu, bila kau orang tua mengerahkan tenaga dalam lagi, racun itu akan bekerja lebih cepat." Dia masih berbicara dengan nada sangat menghormat, penuh perhatian, tapi siapapun yang mendengarnya akan bergidik, akan berdiri semua bulu romanya.
"Kenapa kau harus berbuat begitu?" tanya si kakek dengan nada gemetar.
II "Tidak apa apa, hanya .
. . . . . .. Mendadak nada suaranya meninggi, jeritnya: "Sudah cukup aku hidup menderita, sudah cukup aku tersiksa oleh kendali dan kekuasaanmu, biarpun kau telah serahkan posisi ciangbunjin kepadaku, namun segala urusan tetap kau yang putuskan, sejak k ecil hingga tua, kapan aku pernah diberi wewenang untuk memutuskan sendiri keinginanku?" Setelah tertawa seram, lanjutnya: "Tapi mulai sekarang aku harus memutuskan sendiri, aku ingin menjadi Bu-lim bengcu yang mengendalikan seluruh umat persilatan di dunia ini, ingin lebih kuat sepuluh kali lipat daripada dirimu." Dengan sedih orang tua itu termangu, mimik mukanya berubah jadi begitu hambar, begitu mengenaskan, katanya sambil tertawa pedih: "Tidak kusangka ambisi mu begitu besar, tapi.....
tapi kau salah besar." "Hahaha, salah besar" Kesalahan apa yang telah kulakukan" Kau....
justru kau sudah hidup lebih dari cukup!" "Betul, aku sudah hidup lebih dari cukup, peristiwa apa pun didunia ini sudah pernah kulihat." Tiba tiba hawa amarahnya memuncak, bentaknya nyaring: "Tapi belum pernah kujumpai binatang tak berbakti yang begitu keji, begitu buas dan tak punya perasaan macam kau." "Padahal, asal kau tidak sok kuasa, tidak sok menekan aku, tak mungkin aku akan berbuat begini." Kata Tong Ti.
Kulit muka orang tua itu mulai mengejang, peluh semakin deras bercucuran, jeritnya: "Kau hanya mengingat hal seperti itu, apakah kau tak pernah mengingat kebaikanku untukmu .
. . . . .." Berdiri diluar pintu, Tong Ti bungkam tidak bicara.
Dengan nada gemetar kembali orang tua itu berkata: "Sewaktu masih kecil dulu, kau paling nakal, bencana dan keonaran apapun yang kau lakukan diluaran sana, selalu kubela dan kulindungi, suatu kali kau digigit ular berbicara, aku.....
aku nyaris gila saking gemasnya, tiga hari tiga malam tak bisa tidur nyenyak, tak bisa makan enak, selalu mendampingimu ditepi ranjang, mengobati luka racunmu, apa.....
apakah kau sudah melupakan semua kejadian ini....." dengan susah payah kau tumbuh dewasa, melihat kau menjadi begitu sopan dan penurut, aku merasa sangat gembira, amat puas, siapa sangka.....
siapa sangka kau . . . . . .." Tiba tiba ia berhenti bicara, air mata ikut berlinang membasahi pipinya.
Tong Ti sendiripun bermandikan keringat, tubuhnya ikut gemetar, tiba tiba teriaknya sambil menggigit bibir: "Kalau kau begitu sayang dan memanjakan aku semasa kecil dulu, setelah dewasa kenapa kau begitu menakn aku?" "Setelah menjadi seorang ciangbunjin, aku takut watak lamamu kambuh lagi, karenanya aku selalu menekan dan mengendalikan dirimu, tapi.....
tapi aku salah, semasa kau masih kecil dulu, aku tidak seharusnya menyayangimu, memanjakan dirimu." Bicara sampai disini dia tutup mulut, Tong Ti sendiripun tidak bersuara lagi.
Lewat berapa saat kemudian, paras muka orang tua itu mulai berubah jadi semu kehitaman, saat itulah kembali dia bergumam: "Membesarkan tapi tidak mendidik, mendidik tapi tak ketat, aku salah....
semua ini kesalahanku . . . . . .." Sambil membesut peluh dingin yang membasahi jidatnya, kata Tong Ti: "Bagaimana pun, setelah kau pulang ke langit nanti, aku pasti akan menyelenggarakan upacara penguburan yang paling megah untukmu, agar setelah mati, kaupun memperoleh penghormatan yang paling tinggi." "Bagus, kau memang anak yang berbakti." Kata orang tua itu tertawa sedih.
"Tapi, untuk itu kau harus serahkan dulu semua benda mustika warisan keluarga kepadaku, kaupun harus serahkan jarum sakti kiu-thian-sip-te- lo-hou-sin-ciam, penggaris jit-kiau-pat-ji-ie, tali ngo-sin-lak-sut, gelang sam-huan-su-kou yang tiada duanya dikolong langit kepadaku." "Bagus, akan kuserahkan padamu, kemari, ambillah!" Dengan cepat Tong Ti mundur selangkah, kemudian mundur lagi berapa langkah, katanya: "Katakan dulu dimana kau sembunyikan semua barang mustika itu, setelah kau berpulang nanti, akan kuambil sendiri barang barang itu." "Hahaha .
. . . .. sampai sekarangpun kau masih takut kepadaku?" kakek itu tertawa menyeramkan.
Tong Ti tidak menjawab, dia hanya bungkam dalam seribu bahasa, jelas wibawa orang tua itu masih membuatnya takut.
"Hahaha . . . . .." kembali orang tua itu tertawa seram, "kau begitu yakin dan percaya diri, masa tak akan kuserahkan kepadamu....." "Kau pasti tak akan rela menyaksikan senjata rahasia keluarga Tong yang Il tiada duanya dikolong langit itu ikut musnah bersama kematianmu .
. . . . . .. "Hahaha..... anak baikku, ternyata kau memang dapat membaca suara hatiku, bila kubawa mati jarum sakti itu, para leluhur keluarga Tong pasti akan menyalahkan aku karena telah menghancurkan wibawa perguruan .
. . . .. kotak mustika itu berada dalam jepitan roda keretaku, tidak susah untuk menemukan, anakku yang baik, ambillah sendiri.....
anakku yang baik . . . . . . . . .." Suara tertawanya makin lama semakin keras, lalu secara tiba tiba terhenti dan senyap.
Jago pedang yang paling tangguh akhirnya tewas diujung pedang, tokoh senjata rahasia beracun yang pernah menggetarkan kolong langit, jagoan
Jago pedang yang paling tangguh akhirnya tewas diujung pedang, tokoh senjata rahasia beracun yang pernah menggetarkan kolong langit, jagoan yang selama hidup pernah membunuh banyak orang karena senjata rahasia beracunnya, Tong Bu-im, pada akhirnya tewas juga oleh senjata rahasia beracun.
Inikah suratan takdir" Setelah lewat setengah jam kemudian, si Tangan pencabut nyawa Tong Ti baru berani masuk ke dalam ruangan, ia jumpai tubuh orang tua itu masih duduk tegak, biji matanya melotot keluar, baru memandang sekejap, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin.
Diantara lapisan tempat duduk kusi roda, ia temukan sebuah kotak kayu cendana, akhirnya senjata rahasia yang pernah diandalkan leluhur keluarga Tong untuk menjagoi kolong langit terjatuh ke tangan Tong Ti.
Ia bopong jenasah orang tua itu, membaringkan diatas ranjang, lalu dengan saputangan dia seka noda darah ditubuhnya dan merapatkan matanya yang melotot.
Kendatipun dia bernyali besar, tak urung gemetar juga sepasang matanya, tubuh menggigil keras, giginya saling beradu, dengan wajah pucat pasi ia berlutut didepan pembaringan.
Kembali lewat setengah jam kemudian, para tamu un dangan yang belum membubarkan diri menyaksikan si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, dengan baju serba hitam dan kepala tertunduk lesu, berdiri didepan ruang utama keluarga Tong.
Melihat wajah orang ini amat sedih, bahkan masih terlihat noda air mata yang belum mengering di kelopak matanya, para jago merasa amat terkejut bercampur keheranan, mereka segera sadar, dalam keluarga Tong pasti sudah terjadi peristiwa luar biasa.
Terdengar Tong Ti berkata dengan suara berat: "Ayah telah berpulang .
. . . . . .." Setelah menyampaikan kata kata itu, diapun sesenggukan dan tampaknya tak sanggup lagi mengucapkan kata berikut.
Para tamu undangan amat terperanjat, sedang Tong Pa merasa pandangan matanya jadi gelap, seketika itu juga ia jatuh tak sadarkan diri.
Maka kain merah segera diturunkan dan berganti kain putih, sebagian besar jago dunia persilatan ikut menghela napas sedih untuk keluarga Tong, mereka tidak menyangka dalam tiga hari, keluarga besar dunia persilatan ini berulang kali mengalami kejadian besar.
Para tamu undangan yang semula datang untuk minum arak kegirangan pun kini berubah jadi undangan yang ikut berkabung, panggung pengantin berubah jadi panggung berkabung.
Ilmu Ulat Sutera 18 Animorphs - 25 Pertempuran Di Kutub Utara Kembalinya Siluman Harimau 1
^