Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 10

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Agung Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam diri.
Tetapi mereka sudah bersiaga sepenuhnya. Apabila hantuhantu
itu mendekat, maka mereka telah siap menyerang
mereka dan kemudian bertempur melawan sejumlah hantuhantu
itu. "Ayo" terdengar hantu-hantu itu berteriak "kenapa kau diam
saja. Apakah Kiai Dandang Wesi sudah mati, atau sudah lari
kembali ke Gunung Merapi."
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi
sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba dikejauhan, disudut
barak yang gelap terdengar suara yang aneh. Semakin lama
semakin keras. Akhirnya meledaklah suara tertawa yang
berkumandang "He hantu-hantu bodoh. Apakah yang kau
tunggui disitu" Aku sudah disini. Akulah Kiai Dandang Wesi."
Suara itu benar-benar telah mengejutkan hantu-hantu yang
sudah mengepung Agung Sedayu dan Sumangkar. Mereka
tidak menyangka sama sekali bahwa suara itu telah berpindah
kesudut barak. Sehingga karena itu, mereka terdiam sejenak
tanpa dapat berbuat sesuatu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ketika
Sumangkar memandanginya, ia mengangguk kecil. Agaknya
kedua orang itu segera dapat mengetahui, bahwa suara itu
pasti suara Kiai Gringsing atau Swandaru yang telah dapat
rnembayangkan suasana yang telah terjadi
Suasana dibelakang barak itu menjadi hening sesaat. Yang
terdengar kemudian adalah suara tertawa yang semakin lirih
disudut barak itu. "Apakah kalian benar-benar berusaha melawan Kiai
Dandang Wesi?" suara disudut barak itu terdengar lagi. Kali ini
melengking-lengking. Agung Sedayu dan Sumangkarpun kemudian bersembunyi
semakin rapat. Mereka berjongkok didalam rimbunnya daun
perdu. Dengan susah payah mereka mencoba mengatur jalan
pernafasan mereka, supaya hantu-hantu yang mengepung
mereka tidak dapat mendengarnya.
"He, apakah kalian sedang berburu jengkerik" suara disudut
barak itu terdengar pula" kalau kalian ingin melawan Kiai
Dandang Wesi, kemarilah. Mungkin satu dua diantara kalian
pernah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi.
Sejenak kemudian disudut halaman itu tampaklah
bayangan hitam yang tidak berbentuk, melenting-lenting
disentuh oleh cahaya obor yang menerobos sela-sela dinding
barak. Tetapi kemudian seakan-akan tenggelam kembali
kedalam kegelapan disudut.
Suasana dibelakang barak itu terasa menjadi semakin
tegang. Selain suara tertawa yang aneh dari Kiai Dandang
Wesi, tidak ada seorangpun yang berbicara.
Karena semuanya terdiam, maka sejenak kemudian Kiai
Dandang Wesi itu berkata pula" Kenapa kalian sekarang
diam" Apakah hantu-hantu Alas Mentaok sudah mati, atau
sudah lari bersembunyi?"
Masih belum ada jawaban. Namun sejenak kemudian
Agung Sedayu dan Sumangkar mendengar gemerisik didekat
mereka. Agaknya beberapa orang sedang merangkak-rangkak
saling mendekati. Keduanya semakin mengerutkan tubuh mereka. Apalagi
ketika ternyata beberapa orang berhenti didekat keduanya.
Dan Agung Sedayu serta Sumangkar itupun kemudian
mendengar beberapa orang saling berbisik "Gila. Apakah
kalian percaya bahwa yang datang itu benar-benar hantu
Gunung Merapi?" Tidak ada seorangpun yang menyahut.
"Aku masih ingin membuktikannya. Mungkin orang-orang
gila itu telah mencoba memancing kita. Mereka juga tidak
percaya kepada hantu-hantu Alas Mentaok, sehingga mereka
mempergunakan cara yang sama untuk mengatasi ketakutan
orang-orang dibarak itu."
"Tetapi mereka baru saja berada ditempat ini atau
disekitarnya. Tiba-tiba saja ia sudah berada disudut barak
selagi kita sedang mengepungnya."
Sejenak mereka terdiam Namun kemudian seseorang
diantara mereka berkata "Marilah kita buktikan. Seandainya
benar kita berhadapan dengan hantu Gunung Merapi, kitapun
tidak boleh menyerah."
Maka Agung Sedayu dan Sumagkarpun menjadi semakin
berdebar-debar. Ia mendengar hantu-hantu yang sedang
berbincang itu bergeser dari tempatnya. Kalau saja tanpa
mereka sadari mereka melanggarnya, maka semuanyapun
hrus segera dimulai. Tetapi mereka ternyata meninggalkan tempat itu tanpa
mengetahui kehadiran Agung Sedayu dan Sumangkar.
Mereka telah merayap mendekati sudut barak. Semakin lama
semakin menjauhi Agung Sedayu.
"Mereka sudah jauh paman" desis Agung Sedayu.
"Bagaimana dengan kita?"
"Kitapun akan bergeser. Aku harus menyesualkan diri
dengan kegemaran guru bermain-main seperti ini. Kita
berpindah tempat." Keduanyapun kemudian berpindah tempat. Dengan hatihati
mereka bergeser mendekati barak. Tetapi mereka masih
tetap berdiam diri menunggu perkembangan keadaan,
sementara Kiai Dandang Wesi pun sudah diam pula.
Sejenak kemudian maka terdengarlah dari kegelapan suara
dari salah seorang yang mengaku hantu-hantu Alas Mentaok
"Kiai Dandang Wesi. Cobalah tampilkan dirimu Kita akan
saling memperkenalkan.diri."
"Aku sudah mengenal rajamu" sahut suara di sudut barak.
"Tetapi kita belum berkenalan. Mau tidak mau kau harus
menunjukkan kepada kami, kenyataan tentang hantu yang
bernama Kiai Dandang Wesi. Kami sudah mengepungmu.
Kau tidak akan dapat lari lagi.
Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak
mendengar jawaban apapun.
"He, jawablah. Apakah kau menjadi ketakutan?" Masih
belum ada jawaban. "Kiai Dandang Wesi" panggil seseorang dari
persembunyiannya "kenapa kau diam saja."
Tidak terdengar suara apapun.
"He, apakah kau sudah membeku?"
Sekali lagi hantu-hantu itu dikejutkan oleh suara tertawa
ditempat lain. Suara itu semakin lama semakin tinggi. Namun
tiba-tiba suara itu terputus. Yang terdengar kemudian adalah.
Kata-katanya "Aku disini. Aku disini. He, siapakah yang kalian
cari disitu?" (***) Buku 58 AGUNG SEDAYU dan Sumangkar mengerutkan
keningnya. Dan mereka segera dapat menebak, "suara itu
suara Swandaru." "Anak itu senang sekali bermain-main dengan cara ini,"
desis Agung Sedayu. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
mereka pun mendengar suara melengking tinggi, "Kalian
benar-benar telah menjadi pikun. He, apakah hantu-hantu di
Alas Mentaok itu sudah pada pikun" Atau memang kalian
adalah jadi-jadian dari orang-orang yang sudah pikun dan
kehilangan akal" Aku di sini. Akulah Kiai Dandang Wesi yang
kalian cari," suara itu terputus sejenak oleh batuk-batuk kecil.
Tetapi agaknya Swandaru memang anak bengal, katanya,
"Maaf, aku sedang terbatuk-batuk. Di Gunung Merapi memang
sedang berjangkit penyakit batuk khusus bagi hantu-hantu."
"Gila," desis Agung Sedayu, "Swandaru tidak dapat
bermain dengan baik."
Ternyata kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan
hati orang-orang yang sedang berusaha mengepung Kiai
Dandang Wesi. Orang-orang yang menyebut diri mereka
hantu-hantu Alas Mentaok. Karena itu salah seorang dari
mereka segera berteriak, "Omong kosong! Kalian mencoba
mengelabuhi kami. Aku tahu, kalian bukan terdiri dari
seseorang. Ternyata kalian berada di beberapa tempat dan
bermain hantu-hantuan."
Swandaru masih juga menjawab, "Bodoh sekali. Aku
adalah Kiai Dandang Wesi. Apakah kau tidak percaya."
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata kepada
Sumangkar, "Paman, Swandaru dan Guru telah memencar.
Sebaiknya aku pun akan memisahkan diri. Kita sudah berada
di dalam keadaan yang cukup jelas. Kita akan ber-tempur.
Tetapi sebaiknya kita mencoba untuk menurunkan gelora
keberanian mereka. Kalau mereka menjadi agak bingung
maka jantung mereka pun akan susut."
Sumangkar menganggukkan kepalanya. "Hati-hatilah,"
desisnya. Agung Sedayu pun kemudian merayap menjauhkan diri
dari Sumangkar. Permainan mereka akan segera sampai ke
puncaknya, dan mereka pun akan segera berbuat sesuatu.
Sementara itu, keadaan di belakang barak itu masih saja
hening dan tegang. Orang-orang yang menyebut dirinya
hantu-hantu Alas Mentaok itu masih diliputi oleh keraguraguan.
Sementara Swandaru pun tidak lagi berteriak-teriak
karena lehernya sudah mulai terasa serak.
Selagi orang-orang yang berusaha mengepung yang
menyebut darinya Kiai Dandang Wesi itu masih diliputi oleh
keragu-raguan, maka terdengar suara melengking di tempat
yang lain pula. Suara Agung Sedayu, "Ayo, tangkaplah aku.
Aku sudah berpindah tempat, sedang kalian masih saja
membeku. Apakah dengan demikian kalian akan mampu
menangkap kami?" Tidak terdengar jawaban. Tetapi Agung Sedayu melihat
bayangan yang bergerak-gerak di dalam gelapnya malam.
Sejenak kemudian dari dalam rimbunnya dedaunan Agung
Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Sumangkar yang
memencar itu melihat sesuatu yang berkilat-kilat tersembul
dari dalam gerumbul. Bahkan kemudian tampak benda itu
seakan-akan bercahaya di dalam gelapnya malam.
"Permainan apa lagi yang sedang mereka lakukan?"
bertanya Kiai Gringsing dan murid-muridnya di dalam hati.
Ketika cahaya itu kemudian hilang, maka mereka pun
melihat bayangan yang lain bergerak-gerak mendekati.
Seperti yang diduga oleh Sumangkar. Kira-kira sepuluh orang.
Agaknya benda yang bercahaya itu merupakan tanda untuk
mengumpulkan orang-orang mereka.
Agung Sedayu menjadi semakin ingin tahu, apakah yang
akan mereka percakapkan. Karena itu, ia pun kemudian
merayap mendekati kelompok yang telah terkumpul itu.
Namun ternyata, bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga
gurunya, Swandaru dan Sumangkar ingin tahu apa yang akan
mereka perbincangkan. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar
salah seorang dari orang-orang itu berkata, "Nah, kita sudah
berhasil. Agaknya bukan kita sajalah yang tertarik oleh tanda
itu. Agaknya hantu dari Gunung Merapi itu sudah mendekat
pula." Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Pasti ada
seorang yang berilmu cukup tinggi di antara mereka. Seorang
atau bahkan lebih, karena mereka segera menangkap desah
nafas orang yang sedang merayap mendekati.
Tetapi sekali lagi Agung Sedayu mengumpat. Ternyata
Swandaru yang serak itu tidak berhasil menahan gatal-gatal di
lehernya. Ialah agaknya yang telah memungkinkan orangorang
itu mendengar kehadirannya, karena Agung Sedayu
pun kemudian berhasil menangkap desah nafasnya. Sehingga
dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa adik
seperguruannya itu juga sudah ada di dekatnya.
Dengan hati-hati ia bergeser, mendekati. Tetapi ia tidak
berani menyentuhnya. Kalau Swandaru itu terkejut, maka ia
pasti akan segera berbuat sesuatu dan kehadiran mereka
akan segera diketahui lebih pasti lagi.
"Ayo, jangan hanya mengintip di dalam gelap. Kemarilah.
Kita akan bersama-sama melepaskan kedok kita," berkata
salah seorang dari mereka.
Tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut. Agung
Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar yang sudah
ada di sekitar tempat itu masih tetap berada di dalam
persembunyian mereka, di balik dedaunan yang rimbun.
"Baiklah," berkata suara itu, "kamilah yang akan mulai.
Kami akan berbuat sesuatu. Kalau kalian masih tetap
bersembunyi, maka kami akan membakar barak itu. Itu adalah
usaha kami yang terakhir untuk memancing kalian keluar dari
persembunyian." Tetapi masih belum ada jawaban. Kiai Gringsing masih
juga berdiam diri di tempatnya.
"Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera melakukannya,"
desis salah seorang dari mereka.
Sejenak kemudian orang-orang itu pun berdiri dari
persembunyiannya. Namun tanpa disangka-sangka salah
seorang dari mereka dengan cepatnya telah meloncat ke arah
persembunyian Swandaru. Agaknya suara desah nafasnyalah
yang telah didengar oleh orang-orang itu, karena lehernya
yang gatal setelah ia berteriak-teriak.
Untunglah bahwa Swandaru telah bersiaga menghadapi
setiap kemungkinan. Apalagi orang yang menyerangnya itu
masih belum tahu pasti di mana ia bersembunyi. Dengan
demikian, maka Swandaru masih mendapat kesempatan
untuk berguling menjauh dan mengurai senjata yang membelit
lambungnya. Tetapi yang terdengar lebih dahulu adalah ledakan cambuk
di arah yang lain. Ternyata Kiai Gringsing berusaha menarik
perhatian orang-orang itu, supaya mereka tidak memusatkan
serangan mereka kepada Swandaru.
Usaha Kiai Gringsing itu pun berhasil. Beberapa orang
segera berloncatan menyerangnya. Namun di saat yang
hampir bersamaan, cambuk Agung Sedayu pun telah meledak
pula, hampir berbareng dengan cambuk Swandaru sendiri.
Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas
Mentaok itu kini merasa bahwa lawan mereka telah genap tiga
orang. Tiga orang yang agaknya telah dituntutnya dari orangorang
di dalam barak itu. Tiga orang yang bersenjata cambuk.
"Tangkap mereka hidup-hidup," terdengar perintah dari
salah seorang lawan-lawan Kiai Gringsing itu, "kita


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memerlukan keterangannya. Siapakah yang telah
menempatkannya di dalam barak ini."
Tidak terdengar jawaban. Tetapi pertempuran telah terjadi
di tiga lingkaran. Agung Sedayu melawan beberapa orang,
Swandaru juga dan demikian pula Kiai Gringsing.
Sumangkar masih tetap diam di tempatnya. Sejenak ia
mengamati perkelahian itu. Apakah di dalam kelompok lawan
Kiai Gringsing itu terdapat orang yang harus mendapat
perhatian. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ada empat orang yang tampaknya memimpin kawankawannya
di dalam olah kanuragan. Satu di antara mereka
adalah orang yang terkuat, yang justru menyerang Swandaru
yang pertama kali. Sumangkar menjadi berdebar-debar. Orang itu bukan
sekedar orang-orang kebanyakan. Apalagi orang yang kini
sedang berusaha untuk segera berhasil menguasai Swandaru
yang tampak mengalami kesulitan.
"Siapakah orang ini?" pertanyaan itu mengetuk jantung
Sumangkar. "Tangkap mereka hidup-hidup," terdengar orang itu
memberikan perintah, "atau setidak-tidaknya mereka bertiga
jangan sampai terbunuh seandainya kalian harus melukainya."
Tidak ada jawaban. Tetapi serangan mereka menjadi
semakin garang. Mereka tampaknya berusaha sungguhsungguh
untuk dapat menguasai Kiai Gringsing beserta anakanaknya
dengan segera. Meskipun salah seorang dari orang-orang terkuat ikut serta
bertempur melawan Agung Sedayu namun Agung Sedayu
tidak mengalami kesulitan seperti Swandaru. Agung Sedayu
yang melawan tiga orang sekaligus, masih sempat meloncat
surut, mencari tempat yang agak lapang, sehingga ia dapat
mempergunakan senjatanya dengan leluasa. Ujung
senjatanya tidak tersangkut ranting-ranting atau pohon-pohon
perdu, meskipun ranting-ranting itu pun kemudian seakanakan
ditebas dengan pedang, namun kadang-kadang terasa
geraknya terganggu juga. Kiai Gringsing yang bertempur di lingkaran yang lain, harus
melawan lima orang sekaligus. Adalah kebetulan sekali bahwa
bukan orang-orang terkuat yang menghadapinya. Sementara
Swandaru dengan susah payah mencoba mempertahankan
diri dari sergapan empat orang yang bertempur dengan
garangnya. "Swandarulah yang berada di dalam bahaya yang
sebenarnya," berkata Sumangkar di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba hatinya dijalari oleh keinginannya untuk
menyesuaikan diri dengan cara yang telah dilakukan oleh Kiai
Gringsing. Tanpa setahu lawan-lawannya, ia berhasil
mengambil kerudung hitam yang justru semula dipergunakan
oleh hantu-hantu Alas Mentaok itu. Kemudian dipungutnya pula
tengkorak yang sudah mereka tanggalkan dari tangkainya.
Sumangkar pun kemudian mempergunakan kerudung itu.
Dengan hati-hati ia mendekati Swandaru yang selalu terdesak
surut. Kiai Gringsing pun menjadi cemas melihat keadaan
muridnya yang muda itu. Karena itu maka ia pun segera
mengerahkan kemampuannya untuk menerobos kepungan
kelima lawan-lawannya yang tidak begitu berat baginya.
Meskipun demikian, ia masih memerlukan waktu beberapa
saat untuk dapat menembus kepungan mereka. Sedang waktu
yang beberapa saat itu ternyata sangat gawat bagi Swandaru.
Orang terkuat dari lawan-lawan mereka benar-benar berusaha
untuk dapat menangkap Swandaru. Serangannya bagaikan
angin ribut yang menghantam dari segala arah.
Sejenak kemudian Swandaru telah menjadi pening. Ia
kehilangan keseimbangannya untuk melawan seranganserangan
yang membadai dari segala arah itu. Bahkan
kemudian senjatanya seakan-akan sudah tidak berdaya lagi
untuk menahan mereka. Apalagi salah seorang dari mereka
adalah orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari
Swandaru sendiri. Kecemasan yang tajam telah menyengat hati Kiai Gringsing
ketika ia melihat Swandaru terdorong jauh ke belakang,
sehingga ia hampir kehilangan keseimbangannya. Dengan
susah payah ia mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Tetapi ia masih juga terhuyung-huyung. Dengan demikian
maka ketika datang serangan berikutnya, Swandaru sama
sekali tidak berhasil bertahan. Ketika ia melihat pedang yang
terjulur lurus ke dadanya, ia masih sempat melecutkan
cambuknya. Tetapi sentuhan kaki di lambungnya, telah
membuat Swandaru terlempar ke samping dan jatuh
terbanting melanggar sebatang pohon perdu, sehingga pohon
itu ikut roboh pula. Pada saat itulah orang yang memiliki kemampuan yang luar
biasa itu meloncat mendekati Swandaru. Ia sudah siap
menerkam anak itu dan membuatnya tidak berdaya. Dengan
demikian, ia akan segera dapat membantu kawan-kawannya
yang lain. Namun disaat yang gawat itu, Kiai Gringsing telah berhasil
melepaskan diri dari lawan-lawannya. Dengan sigapnya ia
meloncat sambil meledakkan cambuknya tepat di belakang
orang yang sedang berusaha menerkam Swan-daru yang
masih terbaring di tanah.
Ternyata suara cambuk itu telah membuatnya terkejut.
Sejenak ia berpaling, dan dilihatnya Kiai Gringsing telah
menyerangnya dengan garangnya.
Namun dalam pada itu, lawan-lawan Kiai Gringsing sendiri
telah memburunya. Lawan-lawan Swandaru pun ikut
mengepungnya pula, termasuk orang yang terkuat di antara
mereka. Kiai Gringsing terkejut ketika ia melihat wajah orang itu.
Orang yang dengan mudahnya dapat menguasai Swandaru.
Orang itu adalah Kiai Damar.
"Kau Kiai Damar," desis Kiai Gringsing.
"Huh, aku sudah mengira bahwa kau sama sekali bukan
seorang gembala yang dungu. Tetapi umurmu tidak akan
dapat diperpanjang lagi. Kau akan jatuh ke tangan kami. Kami
akan memeras keteranganmu sebelum kalian mati di bawah
kaki-kaki kuda kami." Kiai Damar berhenti sejenak, lalu,
"Beberapa orangku terbunuh siang ini. Kami datang menuntut
balas. Pengawas-pengawasmu yang gila itu akan kami
musnahkan bersamamu dan anak-anakmu itu."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia harus menghadapi
tugas yang cukup berat. Ia mengharap bahwa Swandaru akan
dapat mempergunakan kesempatan itu, melepaskan diri dan
kembali turun di peperangan.
Namun dalam pada itu, di dalam ketegangan yang
memuncak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah tengkorak
yang terlontar diudara dan jatuh tepat di antara mereka yang
telah siap untuk mempertaruhkan jiwanya. Apalagi sejenak
kemudian disusul oleh suara yang melengking tinggi, "Jangan
takut. Kiai Dandang Wesi tidak akan mengingkari janjinya. Aku
akan melindungi kalian dari setiap bencana. Inilah aku, Kiai
Dandang Wesi dari Gunung Merapi."
Ternyata suara yang melengking tinggi itu telah
memberikan pengaruh yang luar biasa. Beberapa di antara
mereka yang berkelahi melawan Kiai Gringsing dan kedua
anak-anaknya itu menjadi bingung sesaat.
Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing sendiri
segera dapat mengetahui, bahwa yang kini sedang bermain
hantu-hantuan itu adalah Sumangkar. Bahkan Swandaru yang
telah meloncat bangun itu masih sempat tersenyum. Agaknya
Ki Sumangkar pun telah dijangkiti kebiasaan gurunya yang
kadang-kadang aneh. Selagi keadaan diliputi oleh keragu-raguan dan
kebimbangan itulah maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya
seakan-akan mendapat kesempatan. Dengan lantang maka
Kiai Gringsing pun berkata, "Nah menyerahlah. Kalau tidak,
maka Kiai Dandang Wesi akan menggilas kalian dengan
kekerasan." Namun Kiai Damar dan anak buahnya itu justru seperti
terbangun dari mimpinya. Apalagi ketika Kiai Damar berteriak,
"Persetan dengan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kami
sudah terlanjur mulai. Apa pun yang akan terjadi, akan kami
hadapi." "Jangan sombong," sahut Kiai Gringsing, lalu, "kau harus
merasa bahwa kau tidak akan berdaya menghadapi hantu
yang sebenarnya, bukan sekedar hantu-hantuan seperti
orang-orangmu. Tengkorak yang dipasang di atas tongkat dan
dilekati dengan kunang-kunang itu sama sekali tidak
menakutkan. Kerudung hitam dan kuda-kuda yang bersayap
itu seperti mainan kanak-anak yang jemu bermain kudakudaan
dari pelepah pisang."
"Diam!" teriak Kiai Damar. "Kau akan segera binasa. Kami
akan melanjutkan usaha kami menakut-nakuti orang-orang di
dalam barak itu dan kemudian menguasainya setelah kalian
bertiga mati." "Kau lupa Kiai Dandang Wesi."
"Persetan, ia tidak mampu melawan kami."
Belum lagi mulutnya terkatup, maka sesosok tubuh yang
berkerudung hitam telah tampil di dalam pertempuran itu.
Seperti yang pernah diceriterakan oleh Agung Sedayu,
pengalamannya dengan Kiai Dandang Wesi, maka
Sumangkar yang berkerudung hitam itu pun mencoba
menyesuaikan diri. Mula-mula ia melingkar di tanah, seperti
seonggok batu yang hitam kemudian melenting tinggi. Lalu
dengan, tiba-tiba pula menyerang orang-orang yang menyebut
dirinya hantu-hantu dari Alas Mentaok itu.
Gerak dan tingkah laku Sumangkar benar-benar telah
mengejutkan mereka. Mereka tidak mengira bahwa akan hadir
di tengah peperangan itu, suatu bentuk yang sangat
mendebarkan jantung mereka. Apalagi bentuk yang aneh itu
ternyata sangat berbahaya.
Demikianlah maka mereka pun segera terlibat di dalam
perkelahian melawan Kiai Gringsing, kedua anak-anaknya dan
sesosok tubuh yang menyebut dirinya hantu dari Gunung
Merapi. Kiai Damar yang memimpin kawannya, merasa wajib untuk
melawan musuh yang mereka anggap paling kuat, yaitu hantu
dari Gunung Merapi itu. Namun sebenarnyalah bahwa hantu
itu adalah hantu yang benar-benar lincah dan berbahaya.
Demikianlah di belakang barak itu telah terjadi perkelahian
yang semakin lama semakin sengit. Beberapa orang terkuat
dari rombongan Kiai Damar itu telah dibagi. Masing-masing
dikawani oleh orang-orang lain, berusaha untuk dapat
menangkap lawan mereka hidup-hidup. Bahkan Kiai Damar
pun telah mencoba pula, apabila mungkin menangkap hantuhantu
dari Gunung Merapi itu. Namun kekuatan lawan mereka benar-benar tidak mereka
duga sebelumnya. Mereka hanya mengira bahwa kekuatan
lawannya itu sedikit melampaui orang-orang mereka yang
telah terbunuh. Tetapi ternyata bahwa mereka menjumpai
kekuatan yang luar biasa. Menurut perhitungan mereka,
mereka yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu telah
cukup kuat untuk menangkap tiga orang yang mereka anggap
telah menghalang-halangi usaha mereka itu. Bahkan mereka
menyangka bahwa orang-orang di dalam barak itu akan dapat
mereka pengaruhi ikut serta, bahkan mengeroyok beramairamai
ketiga orang tersebut. Namun perhitungan mereka
ternyata telah meleset. Tiga orang itu ternyata mempunyai
kekuatan yang luar biasa, ditambah dengan hadirnya sesosok
tubuh yang sama sekali berada di luar dugaan, yaitu sesosok
tubuh dengan pakaian hitam dan menyebut dirinya Kiai
Dandang Wesi. Demikianlah, maka masing-masing telah bertempur
melawan tiga orang sekaligus. Juga Kiai Dandang Wesi telah
berkelahi melawan tiga orang, dan di antara ketiga orang itu
ialah Kiai Damar sendiri.
Dalam pada itu, orang-orang di dalam barak itu pun
seakan-akan telah benar-benar membeku. Mereka hanya
mendengar suara cambuk meledak-ledak, kemudian beberapa
kalimat-kalimat yang merontokkan isi dada mereka.
Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang
telah terjadi sebenarnya di belakang barak mereka. Namun
terbayang di kepala mereka, seakan-akan hantu-hantu sedang
berkelahi mati-matian. Mereka berterbangan dan sambarmenyambar.
Sesosok hilang dan yang lain telah membakar
dirinya dan berusaha menyentuh lawannya dengan nyala yang
berkobar. Tetapi kemudian telah memancar air dari tubuh
sesosok hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi
memandamkan api itu. Tetapi api itu kemudian menjelma
seekor naga raksasa yang siap menelan lawannya. Namun
sudah tentu hantu dari Gunung Merapi dan pasukannya akan
tidak membiarkan dirinya ditelan oleh ular naga. Mereka
segera berubah menjadi seekor harimau sebesar gunung
anakan. Sedang di pihak lain, tengkorak-tengkorak berkeliaran
melawan hantu-hantu bermata bara.
Tetapi di antara mereka terdapat tiga orang manusia yang
bersenjata cambuk itu. Cambuknya terdengar meledak-ledak
memekakkan telinga. "Apakah mereka dapat mengimbangi kemarahan hantuhantu
itu?" pertanyaan itu setiap kali telah melonjak di dalam
setiap dada. Namun ada di antara mereka yang berkata di
dalam hati, "Ketiga orang itu pasti orang-orang yang
sebenarnya dapat melihat hantu dan cambuk mereka itu
mempunyai kekuatan yang dahsyat."
Meskipun demikian kecemasan yang memuncak telah
mencengkam hati mereka. Bahkan ada di antara mereka yang
sama sekali tidak dapat membayangkan apa pun juga dan
meskipun mereka tidak pingsan, tetapi mereka seakan-akan
telah kehilangan segenap kesadaran.
Pemimpin pengawas yang terluka itu pun menjadi cemas
pula. Sejenak terbayang perkelahian yang dahsyat antara
orang tua yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu
dengan beberapa orang dari gerombolan yang tidak dikenal.
Namun ia pun membayangkan juga betapa dahsyatnya hantuhantu
yang sedang bertempur. Di dalam kepalanya terbayang
campur baur yang buram. Dan pemimpin pengawas itu tidak
berani membuat gambaran yang tegas, apakah yang
sebenarnya berkelahi itu adalah manusia-manusia seperti


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Truna Podang atau hantu-hantu dari Alas Mentaok melawan
hantu-hantu dari Gunung Merapi. Bahkan akhirnya pemimpin
pengawas itu bertanya kepada diri sendiri, "Apakah Truna
Podang itulah yaug menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi?"
Tetapi pemimpin pengawas itu ternyata telah membuat
kesimpulan yang terbalik. Katanya, "Kalau begitu Truna
Podang itu bukan manusia sewajarnya. Ia tentu hantu dari
Gunung Merapi yang membuat dirinya seperti manusia untuk
menolong kami. Juga kedua anak-anaknya itu pasti anak-anak
jin atau perayangan."
Dalam pada itu perkelahian di belakang barak itu masih
berlangsung terus. Agung Sedayu bertempur dengan gigihnya
melawan lawan-lawannya bersenjata pedang. Setiap kali
cambuknya meledak dan menyentuh tubuh lawannya
terdengar keluhan tertahan. Ujung cambuk Agung Sedayu,
seperti juga ujung cambuk Swandaru dan gurunya, di
beberapa bagian terikat oleh karah-karah besi baja yang dapat
menyobek tubuh. Di bagian lain Swandaru yang sudah mulai dapat bernafas
karena kekuatan lawannya telah menjadi jauh berkurang,
bertempur sambil berputar-putar. Ia masih juga sempat
melihat bagaimana gurunya, mendesak terus lawan-lawannya,
betapa pun lawan-lawannya berjuang dengan gigihnya.
Bahkan kemudian Kiai Gringsing berhasil menguasai mereka,
sehingga mereka seakan-akan tidak berdaya sama sekali.
Dibagian lain, Kiai Dandang Wesi yang berkerudung hitam
masih juga bertempur melawan Kiai Damar beserta kedua
kawan-kawannya. Ternyata permainannya itu terasa agak
mengganggunya sehingga Sumangkar tidak dapat bertempur
sewajarnya. Ia hanya dapat melenting-lenting dan meloncatloncat.
Sekali-sekali melempar lawan-lawannya dengan batu,
kemudian menghindar jauh-jauh.
Akhirnya Sumangkar tidak telaten lagi mempergunakan
kerudung hitam itu. Kerudung itu pun kemudian
disingsingkannya dan disangkutkan di pundaknya. Katanya,
"Kalau hantu-hantu di Alas Mentaok bertempur dengan
mengambil bentuk sebagai seorang manusia, apa salahnya
aku menyesuaikan diriku. Aku akan mengambil bentukku
sebelum aku menjadi perayangan. Inilah Kiai Dandang Wesi,
Abdi Dalem Pajang pemomong Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar di masa kanak-kanaknya."
Kiai Damar yang bertempur melawan Sumangkar yang
menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi itu tidak menyahut.
Tetapi sejenak ia terpengaruh juga melihat bentuk Ki
Sumangkar, yang tampaknya memang sudah cukup tua.
Janggutnya telah memutih dan di wajahnya telah tampak
kerut-merut ketuaannya. Dalam kesuraman malam, Kiai Damar tidak dapat melihat
bentuk wajah itu sejelas-jelasnya, namun, ternyata bahwa
tandang Sumangkar kemudian benar-benar di luar dugaan
Kiai Damar. Bahkan di dalam hatinya ia justru menjadi raguKang
Zusi - http://kangzusi.com/
ragu. Apakah benar orang itu adalah perayangan yang telah
musna dengan raganya" Hanya di dalam saat-saat tertentu
saja muncul kembali dalam bentuknya dan wadagnya itu"
Keragu-raguan Kiai Damar itu ternyata di dalam tata
geraknya. Senjatanya tidak menjadi semakin garang lagi,
bahkan kadang-kadang terasa agak menurun.
Sumangkar yang mengetahui keragu-raguan itu berusaha
menekannya semakin dalam. Katanya, "Inilah ujudku yang
sebenarnya. Kalau pada sekitar dua puluh tahun yang lampau
kau pernah menjelajahi daerah Demak lama kemudian Pajang
dan sekitarnya, maka kau pasti pernah bertemu dengan
seorang yang bernama Kiai Dandang Wesi. Itu adalah aku.
Dua puluhan tahun atau lebih sedikit, aku juga sudah setua ini.
Dalam bentuk perayangan aku tidak bertambah tua sampai
akhir dari bumi ini. Seratus tahun, dua ratus tahun mendatang,
aku akan tetap setua ini."
Dada Kiai Damar menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi
ternyata ia tidak mau surut. Ia mencoba berkelahi terus
bersama kawan-kawannya. Bahkan untuk mengusir keraguraguannya
sendiri ia berkata, "Jangan dengarkan igauannya.
Marilah kita tangkap ia hidup-hidup. Ia akan menjadi saksi
yang paling menarik bagi kita semuanya."
Dengan demikian, maka Kiai Damar pun berusaha untuk
semakin menekan lawannya yang kini sudah berbentuk, yaitu
Sumangkar, yang masih saja nekat menyebut dirinya Kiai
Dandang Wesi. Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin sengit.
Sumangkar yang sudah tidak memiliki tongkatnya lagi, karena
telah diberikannya kepada Sekar Mirah, kini ternyata telah
mempergunakan jenis senjata yang lain. Se-pasang trisula
bertangkai pendek. Senjata jenis itu adalah senjata kecil
berujung tiga. Panjangnya tidak lebih dari dua jengkal. Tetapi
di tangan seorang yang hampir mumpuni seperti Sumangkar,
senjata di antara sepasang trisula itu, ternyata terikat pada
seutas rantai baja yang kuat, sehingga trisula itu dapat
dilontarkannya dan kemudian ditarik kembali, seperti jenis
senjata bulatan-bulatan besi yang berduri.
"Eh," berkata Swandaru di dalam hatinya, "orang tua itu
sempat juga membuat mainan aneh itu."
Dan ternyata bahwa senjata itu segera dapat
mempengaruhi perkelahian. Lawannya yang belum menjajagi
betapa dahsyatnya senjata itu, segera terlihat dalam kesulitan.
Seorang kawan Kiai Damar yang menyerang sekuat-kuatnya,
telah kehilangan pedangnya yang terjepit pada trisula yang
diputar dengan cepatnya. Tangan orang itu tidak cukup kuat menahan putaran
pedangnya sendiri, sehingga pedang yang terlepas itu
terlempar beberapa langkah daripadanya.
Kiai Damar yang melihat hal itu menggeram sambil
meloncat maju. Senjatanya terjulur lurus-lurus ke depan.
Namun ketika senjatanya itu tersentuh trisula Ki Sumangkar,
maka Kiai Damar pun segera menariknya kembali sebelum
Sumangkar sempat memutarnya di sela ujung-ujung
trisulanya. Namun demikian tekanan Kiai Damar berhasil memberi
kesempatan kepada kawannya untuk memungut pedangnya
yang terjatuh. Bahkan kemudian mereka bertiga telah berhasil
kembali mengepung Ki Sumangkar yang menyebut dirinya
Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi itu.
Namun, ketika tekanan ketiga orang itu datang bersamasama
dari tiga arah, Ki Sumangkar segera memutar trisulanya
pada rantainya. Demikian cepatnya sehingga melontarlah
bunyi desing yang mengerikan.
"Setan alas," Kiai Damar mengumpat. Dan Sumangkar
yang sudah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu menyahut,
"Kaulah setan alas, aku hantu dari Gunung."
"Tutup mulutmu," Kiai Damar menjadi semakin marah.
Namun ia tidak segera berhasil menembus putaran trisula Ki
Sumangkar yang justru menjadi semakin cepat.
Yang paling parah adalah orang-orang yang mengeroyok
Kiai Gringsing. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat
sesuatu. Cambuk orang tua itu meledak-ledak tidak hentihentinya,
membuat telinga mereka seakan-akan tidak dapat
bertahan dan bahkan kepala mereka menjadi pening. Belum
lagi sentuhan-sentuhan ujung juntai cambuk itu, yang telah
melukai kulit mereka dan membuat jalur-jalur merah silang
menyilang. Agaknya Kiai Gringsing memang tidak ingin membinasakan
mereka. Seperti yang diinginkan, ia hendak menangkap
mereka hidup-hidup supaya dapat diketahui, setidak-tidaknya
dapat dibayangkan, apakah sebenarnya yang mereka
kehendaki dengan mengganggu para pekerja yang sedang
membuka hutan ini. Dalam pada itu Agung Sedayu dengan mengerahkan
tenaganya berhasil mengimbangi lawannya. Bahkan karena
orang-orang yang terkuat dari lawan-lawannya telah
berkumpul melawan Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka
lambat laun ia berhasil menguasai lawannya meskipun tidak
akan segera dapat mengalahkan mereka. Sedangkan
Swandaru masih harus berjuang mati-matian untuk mendesak
lawan-lawannya. Namun kadang-kadang ia berhasil mengenai
salah seorang dari mereka dan masih juga berkesempatan
melihat, betapa dah-syatnya trisula Ki Sumangkar.
"Bukan main," desisnya, "setelah ia kehilangan tongkatnya
yang mengerikan, kini ia membuat senjata yang tidak kalah
garangnya. Bahkan sepasang. Sebentar lagi, Sekar Mirah pun
pasti akan mampu juga bermain-main dengan baling-baling
maut itu." Dan senjata itu ternyata telah menggelisahkan Kiai Damar.
Meskipun Ki Sumangkar tidak segera dapat menguasai Kiai
Damar beserta kawan-kawannya, namun karena Kiai Damar
sendiri tidak juga segera dapat memenangkan perkelahian itu,
ia menjadi cemas. Kiai Damar yang merasa dirinya orang
terkuat, bersama dua orang kawannya sama sekali tidak
segera dapat menang atas lawannya. Apalagi kawankawannya
yang lain. Dan ternyata pula ketika ia sempat
melihat, betapa Kiai Gringsing dengan mudahnya menggiring
ketiga lawannya. Kiai Gringsing bermaksud menekan mereka
ke dinding barak. Kemudian membuat mereka tidak berdaya.
Kiai Damar menggeram di dalam hatinya. Ia sadar bahwa
sebentar lagi, ketiga orang yang melawan gembala tua itu
pasti akan segera dikuasainya. Orang tua itu pasti akan dapat
membantu lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai
Dandang Wesi itu. Karena itu, Kiai Damar telah berjuang sekuat-kuatnya.
Meskipun dengan susah payah, ketiga orang terkuat itu
perlahan-lahan sekarang berhasil mendesak Sumangkar yang
bersenjata dahsyat itu. Untunglah, bahwa Sumangkar dapat
mempertahankan jarak jangkau lawan-lawannya dengan
trisulanya yang diputarnya pada rantainya.
Meskipun perlahan-lahan Sumangkar sendiri terdesak,
tetapi ia sama sekali tidak cemas. Ia pasti akan dapat
bertahan untuk waktu yang lama. Kekuatan nafasnya akan
membantunya mengatasi kesulitannya. Pada suatu saat,
ketiga lawannya pasti akan susut kekuatannya. Sedang
Sumangkar yang tua itu berusaha untuk tetap menyimpan
tenaga cadangan, sehingga pada suatu saat, ia akan
menguasai medan itu setelah lawannya menjadi lelah. Apalagi
setelah ia melihat bahwa Agung Sedayu, Swandaru dan
apalagi Kiai Gringsing tidak memerlukan bantuannya sama
sekali. Dengan demikian ia dapat berkelahi sesuai dengan
kemampuan dan perhitungannya. Ia merasa tidak akan dapat
memaksa lawan-lawannya tunduk kepadanya, karena ilmu
mereka cukup tinggi. Tetapi ia dapat memaksa lawannya
mengarahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka,
sehingga mereka kehilangan pengamatan dan penghematan
tenaga itu. Perhitungan yang matang itulah yang telah
membuatnya semakin tenang menghadapi lawan-lawannya
yang tangguh. Tetapi Kiai Damar benar-benar tidak dapat menolong
kawan-kawannya yang semakin lama menjadi semakin
tersudut di dinding barak. Cambuk Kiai Gringsing kali ini tidak
menggiring kambing-kambing di lapangan rumput. Tetapi kali
ini ia menggiring tiga orang yang menyebut dirinya hantu Alas
Mentaok. "Besok aku akan dapat memperlihatkan hantu-hantu ini
kepada penghuni barak," katanya, "dan kalian tidak usah
takut, bahwa penghuni-penghuni barak akan berbuat sesuatu
atas kalian. Mungkin ada juga di antara mereka yang ingin
melihat kalian melenyapkan diri seperti asap, atau ingin
melihat kalian berkepala tengkorak naik kuda sembrani dan
sebagainya seperti yang pernah kalian perlihatkan kepada
mereka di malam hari."
Kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar membuat Kiai
Damar dan kawan-kawannya menjadi sakit hati. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat banyak. Mereka masih harus
menghadapi lawan masing-masing. Apalagi Kiai Damar yang
merasa orang terkuat di antara mereka, bersama dua orang
kawannya, tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang
menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.
Dalam pada itu Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai
Gringsing melihat juga, betapa Sumangkar berusaha dengan
cermat untuk dapat mengimbangi lawan-lawannya. Ternyata
Kiai Damar cukup memiliki bekal untuk bertempur melawan
Sumangkar, dibantu oleh dua orang terkuat pula di antara
mereka. "Aku harus segera menyelesaikannya," berkata Kiai
Gringsing di dalam hati. Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin seru.
Kiai Damar berusaha semakin keras untuk dapat segera
mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia melihat, ketiga
kawannya yang bertempur melawan Kiai Gringsing menjadi
terdesak karenanya. Karena usaha Kiai Damar tidak segera dapat berhasil,
maka ia pun kemudian mengambil jalan yang terakhir yang
dapat dilakukan. Dalam perkelahian yang sengit, tiba-tiba
tangan kirinya telah menggenggam sebilah keris pusakanya.
Sumangkar adalah orang yang cukup berpengalaman.
Karena itu ketika ia melihat keris Kiai Damar, maka ia pun
menjadi berdebar-debar karenanya. Keris yang berwarna
kehitam-hitaman tanpa memantulkan cahaya sama sekali itu
tampaknya bagaikan wajah yang buram penuh dengan
kemurkaan dan dendam. "Warangan keris itu pasti mengandung racun yang kuat,"
desis Sumangkar di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sekilas Sumangkar teringat kepada
senjatanya yang dahsyat. Tongkat berkepala tengkorak kecil
yang berwarna kekuning-kuningan.
Namun yang ada padanya kini adalah sepasang trisula itu.
Apa pun yang dihadapinya, maka ia hanya dapat
mempergunakan sepasang trisula itu.
Ternyata, bukan saja Sumangkar yang menjadi berdebardebar
melihat senjata itu. Kiai Gringsing yang juga melihatnya,
menjadi berdebar-debar juga. Seperti Sumangkar, ia pun
segera mengetahui bahaya senjata Kiai Damar itu pasti
mengandung warangan yang sangat tajam.
"Senjata itu sangat berbahaya," berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya. "Apalagi Ki Sumangkar harus menghadapi tiga


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang lawan yang cukup tangguh."
Karena itu, Kiai Gringsing tidak dapat memperpanjang
waktu lagi. Tiba-tiba cambuknya menggelepar dan sekaligus
dua orang lawannya memekik kesakitan. Ketika cambuknya
sekali lagi meledak seorang di antara lawan-lawannya itu
terlempar dan jatuh pingsan. Kedua lawannya yang lain
menjadi terkejut melihat akibat senjata yang dahsyat itu.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Selagi mereka
termangu-mangu, maka cambuk itu telah menghantam
punggung keduanya hampir bersamaan. Sekali lagi keduanya
terdorong ke samping. Dengan susah payah mereka berusaha
mempertahankan keseimbangan mereka. Namun semua
usaha itu sama sekali tidak berarti. Dengan dahsyatnya Kiai
Gringsing menekan, lawannya tanpa memberi kesempatan
apa pun. Cambuknya terdengar meledak kembali, dan kedua
orang lawannya itu pun terlempar jatuh, dan keduanya
menjadi pingsan pula. Kini Kiai Gringsing telah berdiri bebas. Sejenak ia menarik
nafas dalam-dalam sambil melihat, bagaimana Sumangkar
dengan susah payah berusaha mempertahankan diri.
Melawan keris beracun itu Sumangkar tidak dapat sekedar
memperpanjang waktu dan menunggu lawan-lawannya
menjadi lelah. Untuk mengurangi tekanan lawan, maka ia pun
kemudian harus mengambil sikap yang dapat mempengaruhi
jalan pertempuran itu. Dengan sepasang trisula kecilnya Sumangkar berusaha
menyerang lawan-lawannya. Yang sebuah diputarnya di atas
kepalanya untuk mempertahankan jarak dari lawannya.
Namun apabila sekali-sekali senjata lawannya berhasil
menyusup, maka dengan trisulanya yang lain ia berusaha
melindungi dirinya, terutama dari sentuhan ujung keris Kiai
Damar. Sejenak, Sumangkar berhasil merubah keadaan. Ia tidak
lagi membiarkan dirinya terdesak, agar ia tidak selalu dikejar
oleh senjata beracun itu. Tetapi ialah yang kemudian
memegang peran di dalam gerak perkelahian itu, justru karena
ia melihat bahaya yang mengancamnya.
Namun demikian, keris Kiai Damar benar-benar merupakan
senjata yang berbahaya. Setiap kali, hanya dengan susah
payah Sumangkar berhasil menghindar, menangkis dan
kadang-kadang mendesak Kiai Damar untuk meloncat surut.
Tetapi di saat lain, bahaya yang sebenarnya hampir-hampir
saja menyentuhnya. Kiai Gringsing tidak dapat tinggal diam. Ia pun kemudian
mendekati arena perkelahian Sumangkar sambil berkata, "Kiai
Dandang Wesi. Kenapa kau bertempur dengan ragu-ragu.
Jangan disesali seandainya terpaksa kau membunuh mereka.
Mereka adalah orang-orang, eh, hantu-hantu yang tidak
menurut perintah rajanya di Alas Mentaok ini."
Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi semuanya
menjadi jelas. Kiai Damar harus melepaskan dua orang
kawannya untuk melawan Truna Podang. Ia sendiri masih
tetap bertempur menghadapi Sumangkar dengan senjata
pusakanya. "Jangankan manusia, jin, peri atau perayangan," berkata
Kiai Damar, "bahkan gunung akan runtuh dan lautan akan
kering tersentuh oleh pusakaku ini."
Sumangkar tidak menjawab. Ia sadar, betapa dahsyatnya
kemampuan keris itu. Namun yang menjawab adalah Kiai Gringsing, "Gunung
dan lautan tidak dapat berusaha menghindar atau menangkis.
Tetapi beda dengan Kiai Dandang Wesi. Itulah sebabnya,
maka kau dapat meruntuhkan perlawanannya dan
mengeringkan darahnya."
Demikianlah akhir dari perkelahian itu segera menjadi jelas.
Kiai Damar tidak sempat menjawab kata-kata Kiai Gringsing,
karena Sumangkar segera menyerangnya.
Tanpa dua orang kawan yang membantunya, ternyata
bahwa Kiai Damar tidak dapat mengimbangi kemampuan
Sumangkar, meskipun Kiai Damar mempergunakan
pusakanya yang beracun itu. Ternyata senjata Sumangkar di
tangan orang yang cakap menggerakkannya, terlampau sulit
untuk ditembus. Sejenak kemudian, segera tampak bahwa Kiai Damar
terdesak karenanya. Betapa pun orang itu berusaha, namun
Sumangkar adalah seorang tua yang cukup berpengalaman.
Ia adalah seorang yang disegani di Jipang hampir seperti
Patih Mantahun sendiri. Persoalan yang dihadapi ini benar-benar tidak masuk
perhitungan Kiai Damar. Dengan kawan-kawannya yang lebih
dari sepuluh orang itu ia merasa bahwa ia pasti akan segera
dapat menyelesaikan tugasnya. Ia merasa pasti bahwa ia
akan dapat menangkap Truna Podang bersama dua anaknya.
Tetapi yang dihadapinya ternyata jauh berbeda dari
rencananya itu. Truna Podang ternyata memiliki kemampuan
yang luar biasa. Bahkan kedua anaknya tidak juga dapat
dikalahkan oleh masing-masing tiga orang kawan-kawannya
yang terpilih. "Siapakah mereka itu?" pertanyaan itu telah mengganggu
pikiran Kiai Damar. Tetapi Kiai Damar sadar, ia tidak boleh hanya sekedar
berteka-teki. Ia harus membuat perhitungan yang semasakKang
Zusi - http://kangzusi.com/
masaknya menghadapi keadaan ini. Dan Kiai Damar pun
menyadari, bahwa ia tidak boleh mengorbankan semua
kawan-kawannya itu untuk suatu tugas yang sia-sia. Tetapi
Kiai Damar tidak juga dapat meninggalkan mereka hiduphidup,
terutama orang-orang terpenting, karena mereka akan
dapat memberikan keterangan tentang keadaan mereka
sendiri, meskipun Kiai Damar sendiri sadar, bahwa orangorang
itu sebenarnya tidak terlampau banyak yang diketahui.
Mereka hanya tahu bahwa Kiai Damar adalah seorang dukun.
Mereka tunduk pada perintahnya, dan barangkali satu dua di
antara mereka tahu, bahwa masih ada orang lain di belakang
Kiai Damar, namun mereka pasti tidak dapat mengatakan
tentang orang lain itu. Kiai Damar menyadari keadaannya itu sepenuhnya.
Apalagi ketika ia mendengar sebuah keluhan yang panjang.
Seorang lagi kawannya yang melawan Kiai Gringsing
terlempar ke samping, kemudian jatuh berguling.
"Gila," desis Kiai Damar. Dan tidak menunggu lebih lama
lagi, ia pun segera mengambil keputusan. Mumpung malam
masih panjang. Ia masih mempunyai kesempatan untuk
berbuat sesuatu menjelang pagi hari.
"Besok pagi kami akan bertambah sulit. Para pengawas
yang berhasil menerobos pengawasan dan sampai ke pusat
Tanah Mataram itu pasti akan kembali sambil membawa
orang-orang baru. Bersama tiga orang gila dan seorang yang
menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi, maka sulitlah
kiranya, untuk berbuat sesuatu di sini."
Tetapi Kiai Damar tidak dapat berbuat banyak. Rencananya
untuk membinasakan tiga orang ini lebih dahulu, dan
kemudian orang-orang baru yang datang besok, ternyata tidak
berhasil. Bahkan beberapa orang-orangnya telah
dilumpuhkan. Maka sejenak kemudian terjadilah sesuatu yang tidak
terduga-duga itu. Kiai Damar yang tidak mau bertempur lebih
lama, tiba-tiba meloncat sambil bersuit nyaring. Tanpa
menunggu lagi, ditinggalkannya Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai Damar tidak segera meninggalkan arena. Ia
sadar, bahwa kawan-kawannya pun tidak akan dengan mudah
melepaskan diri. Juga orang-orang yang melawan Kiai
Gringsing, yang kini tinggal seorang, dan yang sebenarnya
sudah tidak berdaya sama sekali. Dua orang yang mula-mula
bersamanya melawan Sumangkar adalah orang-orang yang
termasuk penting di dalam lingkungannya. Kedua orang itu
mengerti serba sedikit hubungan yang lebih jauh di belakang
Kiai Damar di dalam usahanya menguasai daerah yang
sedang dibuka. Tetapi agaknya usahanya masih jauh dari
sasaran. Bahkan untuk menyingkirkan tiga orang itu pun ia
tidak berhasil. Adalah mengejutkan sekali, bahwa justru pada saat Kiai
Damar meninggalkan arena, ia masih sempat meloncat
mendekati kedua kawannya di tanah, dan yang seorang yang
melangkah surut didesak oleh Kiai Gringsing.
Hampir tidak masuk akal, bahwa Kiai Damar itu berlari
sambil menggoreskan ujung kerisnya kepada kedua orang itu.
Yang mula-mula dilukainya adalah orang yang terbaring di
tanah sambil mengerang, kemudian sebuah goresan
mengenai tangan kawannya yang justru sedang bertempur
melawan Kiai Gringsing. Sementara itu, kawan-kawannya yang lain pun, telah
mencoba meninggalkan gelanggang. Tetapi kebanyakan dari
mereka tidak sempat melakukannya. Apalagi tiga orang yang
melawan Swandaru. Disaat terakhir, Swandaru telah
mengerahkan segenap kemampuannya, ketika ia mendengar
Kiai Damar bersuit nyaring. Ia tahu benar maksudnya. Karena
itu, maka dengan sepenuh kemampuannya ia telah
melumpuhkan tiga orang lawannya tanpa ampun. Ledakan
cambuknya telah mengenai leher, wajah dan yang seorang
yang sudah sempat melangkah lari, telah dijerat kakinya
dengan ujung cambuk itu, sehingga ia jatuh terjerembab.
Sebelum ia sempat bangkit, maka ujung cambuk Swandaru
telah membuatnya pingsan.
Hanya seorang saja lawan Agung Sedayu yang berhasil
lolos. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu ketika ia mendengar
orang itu seakan-akan merintih mohon ampun. Kalau saja
Agung Sedayu tidak dibayangi oleh keragu-raguannya, ia
sempat meraih sebutir batu dan melempar punggung orang
yang kemudian seakan-akan tenggelam di balik dedaunan.
Tetapi, tangannya serasa menjadi sangat berat, ketika ia
mendengar orang itu seakan-akan menangis.
Tetapi dua orang lawannya yang lain telah terbaring di
tanah. Yang seorang pingsan sedang yang lain merintih,
kesakitan karena lambungnya sobek oleh karah-karah besi
cambuk Agung Sedayu. Arena pertempuran itu menjadi hening sejenak. Kiai
Gringsing masih dicengkam oleh keheranan dan bahkan
terkejut melihat Kiai Damar, yang dengan keris pusakanya,
telah melukai kawan-kawannya sendiri, yang dua orang itu.
"Yang dua orang ini pasti orang-orang penting," berkata
Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu, sejenak kemudian Kiai Gringsing menyadari,
betapa pentingnya keterangan dari kedua orang itu, kalau ia
berhasil menyelamatkannya.
Tetapi kedua orang yang telah dilukai oleh Kiai Damar itu
bagaikan orang gila. Keduanya sama sekali tidak menyangka,
bahwa justru Kiai Damar sendirilah yang telah berusaha
membunuhnya. Karena itu, terbayang di wajah keduanya,
perasaan marah, kecewa, penyesalan dan dendam yang
bercampur baur, sehingga mereka berteriak-teriak sambil
berguling-guling tidak menentu. Meskipun tubuh mereka
menjadi lemah dengan cepatnya, namun seakan-akan mereka
tidak mau menerima kenyataan itu.
"Kiai Damar, tunggu, tunggu aku," teriak salah seorang dari
mereka sambil meronta-ronta. Sebenarnya ia masih dapat
berlari meninggalkan arena kalau mendapat kesempatan.
Tetapi menurut perhitungan Kiai Damar, ia pasti tidak akan
dapat lepas dari tangan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya
bernama Truna Podang itu. Karena itu, sambil berlari
meninggalkan arena, ia masih sempat menggoreskan
pusakanya. Bagi Kiai Damar, kedua orang yang mengerti
tentang keadaannya, dan beberapa macam persoalan yang
menyangkut tentang dirinya, lebih baik dimusnahkan, apabila
memang tidak ada harapan untuk diselamatkan. Sedang
orang-orang lain adalah pengikut-pengikut kecil yang hampir
tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya di dalam
lingkungan mereka. Seandainya ada juga yang mengerti,
maka keterangan mereka tidak akan cukup banyak.
Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru
memandang kedua orang yang sedang diraba oleh maut itu
dengan hati yang berdebar-debar.
Mereka melihat suatu pergulatan yang dahsyat antara
kenyataan dan pemberontakan di dalam diri mereka.
"Marilah, kita mencoba menolong mereka," berkata Kiai
Gringsing. Sumangkar menganggukkan kepalanya.
"Cobalah, tahan tubuhnya, agar ia tidak meronta-ronta. Aku
akan berusaha mengobatinya."
Sumangkar pun kemudian melangkah mendekati salah
seorang dari mereka. Yang seorang itu agaknya masih cukup
mempunyai kekuatan untuk bertahan seandainya ia sempat
ditolong. Tetapi karena ia selalu meronta-ronta maka racun
warangan keris itu seakan-akan telah dipercepat menjalari
seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati Sumangkar mendekatinya. Kemudian
dengan cepatnya ia menerkam kedua tangannya dan
memeganginya erat-erat. "Inilah lukanya," berkata Sumangkar sambil menahan tubuh
orang itu. Tetapi ia masih tetap meronta-ronta. Sambil berteriak ia
berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi tubuhnya sudah
menjadi sangat lemah. Keringat dingin mengalir seperti
terperas dari tubuh itu. Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing mengambil serbuk
obat dari bumbung kecilnya. Dengan susah payah ditaburkan
serbuk itu di atas luka di tangannya. Namun demikian, Kiai
Gringsing sudah tidak berpengharapan lagi. Luka itu cukup
dalam, sehingga racun yang menyusup ke dalam darah pun
dengan cepatnya menjalar ke seluruh tubuh, dan
mencengkam jantung. Kiai Gringsing masih mendengar orang itu berteriak
mengumpat. Tetapi suaranya yang parau seakan-akan hilang
di tenggorokan. Namun semua orang masih sempat
mendengar orang itu mencaci maki Kiai Damar yang telah
membunuhnya. Sejenak kemudian ia pun terdiam. Obat Kiai Gringsing yang
sudah mulai bekerja tidak berhasil menolongnya. Sejenak
kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang
penghabisan.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika tiba-tiba
ia teringat pada orang yang satu lagi, ia pun segera bangkit
pula. Tetapi keadaan orang itu agaknya lebih buruk lagi dari
kawannya. Sebelum Kiai Gringsing berbuat sesuatu, ia pun
telah meninggal pula. Tubuhnya yang memang sudah
terlampau lemah, sama sekali tidak mempunyai daya tahan
yang cukup untuk menahan arus racun dari lukanya keseluruh
tubuhnya dan menghentikan detak jantungnya.
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi ngeri melihat
peristiwa itu. Alangkah kejamnya. Mereka dengan hati yang
dingin membunuh kawan-kawan sendiri apabila sudah tidak
diperlukan lagi, atau dianggap berbahaya bagi mereka.
Sumangkar pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia berdesis, "Mengerikan sekali."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa
disadarinya ia melangkah mendekati orang-orang lain yang
masih terbaring di tanah. Beberapa orang sudah mulai sadar,
akan tetapi tubuh mereka terasa sama sekali tidak bertenaga.
Dari dua belas orang yang datang ke barak itu, dua di
antara mereka sempat melarikan dirinya, yang dua terbunuh
oleh kawannya sendiri, sedang yang lain sudah tidak
mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Seorang
lawan Swandaru ternyata luka sangat berat dan mengancam
jiwanya. Demikian juga seorang lawan Agung Sedayu yang
luka di lambung meskipun ia tidak pingsan. Sedang lawanlawan
Kiai Gringsing yang pingsan justru tidak berbahaya bagi
jiwa mereka. "Marilah, kita bawa mereka ke barak," berkata Kiai
Gringsing. Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Kemudian bertiga bersama Agung Sedayu dan Swandaru,
Sumangkar mengusung orang-orang yang terluka. Sedang
Kiai Gringsing tetap mengawasi keadaan, apabila ada
perkembangan baru yang mencemaskan.
Satu demi satu mereka diletakkan di serambi. Sedang
orang-orang yang ada di serambi itu menjadi ketakutan dan
menyibak karenanya. "Jangan takut," berkata Agung Sedayu, "mereka tidak akan
berbuat apa-apa." Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi tatapan
mata mereka yang suram, membayangkan kecemasan yang
tiada taranya. Akhirnya, semuanya telah terbaring di serambi barak. Kiai
Gringsing pun telah berada di serambi itu pula. Satu demi satu
luka mereka mendapat pengobatan. Terutama mereka yang
luka parah. Orang-orang di serambi barak yang melihat orang-orang itu
terbaring diam, perlahan-lahan menjadi agak berani juga
mendekat. Bahkan salah seorang dari mereka yang
berjongkok di belakang Agung Sedayu bertanya lirih,
"Siapakah mereka itu?"
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru telah
mendahului menyahut, "Coba katakan, siapakah mereka
menurut dugaanmu." Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya Swandaru
yang berwajah bulat itu meskipun kini agak susut.
"Tebaklah." Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab,
"Orang itu adalah korban dari hantu-hantu yang marah itu."
"He, bukankah ia marah kepada kita di sini?"
"Tetapi orang-orang itu dibawanya dari barak-barak yang
lain di tempat yang lain."
"Coba terka, ke mana mereka, maksudku hantu-hantu itu
sekarang pargi." Orang itu tidak dapat menjawab. Sementara orang-orang
lain yang mendengar pembicaraan itu semuanya memandang
Swandaru dengan wajah yang bertanya-tanya.
"Ke mana" Coba terka ke mana perginya hantu-hantu itu?"
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
Akhirnya Swandaru itu berkata, "Inilah hantu-hantu itu.
Merekalah yang menyebut dirinya hantu-hantu. Mereka
pulalah yang sering menakut-nakuti kalian dengan tengkorak
yang dilekati kunang-kunang atau kuda yang diberi kerincing
dikakinya dan dilekati kunang-kunang pula di bagian-bagian
tubuhnya." Sejenak orang-orang di serambi barak itu terpaku diam.
Namun kemudian salah seorang berkata, "Tetapi, ada di
antara kita yang pernah melihat hantu-hantu itu."
Swandaru mengerutkan keningnya sejenak. Tiba-tiba ia
berlari menghambur ke belakang barak itu. Sejenak kemudian
ia kembali sambil membawa sebatang tongkat, dan di ujung
tongkat itu ditaruhnya tengkorak yang ditemukannya di
belakang barak itu. "Inilah hantu itu. Apakah kalian percaya?" bertanya
Swandaru kepada mereka. "Lihatlah, betapa menakutkan
hantu-hantu ini. Kemudian mereka berkerudung hitam. Lihat,
kain yang tersangkut di leher Ki Sumangkar itu. Itu-lah
kerudung hantu-hantu itu. Kami telah terlibat dalam
perkelahian melawan hantu-hantu kecil dari Alas Mentaok.
Ternyata hantu-hantu tidak lebih dari orang gila yang mencoba
menakut-nakuti kita. Sekarang kalian melihat, apakah hantuhantu
itu benar-benar menakutkan" Hantu-hantu itu sekarang
sudah tidak berdaya sama sekali."
Beberapa orang saling berpandangan sejenak.
"Cobalah. Sentuhlah kakinya atau tangannya. Kalian akan
merasa bahwa kalian sama sekali tidak bersentuhan dengan
hantu-hantu. Tetapi kalian akan merasakan kehangatan
kulitnya dan denyut nadinya. Hantu-hantu tidak berdarah, dan
karena itu tubuhnya sama sekali tidak mempunyai panas
sama sekali." Beberapa orang masih tetap ragu-ragu. Tetapi seorang
yang masih muda merayap maju. Meskipun ragu-ragu juga
tetapi tangannya kemudian dijulurkannya perlahan-lahan.
Tetapi ketika orang yang terbaring dihadapannya itu
menggeliat, ia meloncat mundur.
"Jangan takut."
Orang-orang yang terbaring karena luka-lukanya itu pun
menjadi berdebar-debar pula. Mereka merasa bahwa
berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka dengan
tajamnya, penuh kebencian dan penuh dendam. Apabila
mereka sadar, bahwa yang dihadapinya itu adalah orangorang
yang sudah tidak berdaya, maka sikap mereka akan
dapat membahayakan. "Sentuhlah," desis Swandaru.
Sekali lagi orang itu mengulurkan tangannya. Kali ini ia
memaksa dirinya sehingga akhirnya ia menyentuh tangan
orang yang sedang terbaring karena lukanya.
"Nah, apa katamu."
Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian sekali lagi ia
menyentuhnya. Bahkan kemudian tiba-tiba ia mencengkam
tangan itu. Dengan serta-merta tangan itu ditariknya sambil
menggeram, "Jadi kau yang menjadi hantu jadi-jadian itu, he."
Hampir saja orang itu meremas wajah orang yang sedang
terluka itu. Namun Swandaru yang berdiri di sampingnya
dengan cepatnya menangkap tangannya sambil berkata,
"Hantu-hantu itu sudah menjadi jinak. Jangan kau apa-apakan
dia. Biarlah ia menikmati luka-lukanya. Kalau luka-luka itu
sudah sembuh, maka kita akan memeliharanya. Mungkin kita
memerlukannya." Orang yang hampir saja mencengkam wajah orang yang
terluka itu terpaksa melepaskannya. Tetapi tiba-tiba ia
berkata, "He, orang-orang yang tinggal di barak ini, yang
selama ini telah dibayangi oleh ketakutan terhadap hantuhantu.
Sekarang kita sudah berhadapan dengan mereka,
sehingga karena itu, apakah yang akan kita lakukan terhadap
mereka." "Itu pasti akan mereka akui. Baiklah mereka akan kita
serahkan saja kepada para petugas yang besok akan datang."
"Tidak. Mereka tidak akan kita serahkan kepada orang lain.
Mereka akan kami adili di sini. Kamilah yang akan
menjatuhkan hukuman kepada mereka."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia melihat
beberapa orang telah bergerak mendekat. Bahkan orangorang
yang berada di dalam barak pun telah berdesakan di
muka pintu." "Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami."
Sejenak kemudian suasana menjadi semakin tegang.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Kiai Gringsing dan
Sumangkar pun telah bergeser mendekatinya pula. Bahkan
Kiai Gringsing berbisik ditelinga muridnya, "Pertahankan.
Pertahankan orang-orang itu."
Agung Sedayu menjadi semakin mantap. Namun sebelum
ia berkata lagi, terdengar suara diambang pintu, "Kalian tidak
akan dapat berbuat apa-apa atas mereka. Akulah pemimpin
pengawas di sini. Mereka akan diserahkan kepadaku dan aku
akan menyerahkan mereka kepada atasanku."
Kini semua orang memandang kepada pemimpin
pengawas yang memaksa dirinya untuk berdiri bersandar
tiang pintu. Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka memandang
pengawas itu sejenak. Namun orang yang marah itu agaknya
sulit mengendalikan diri. Salah seorang dari mereka berteriak,
"Kami tidak akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami
akan mengadilinya sendiri."
"Itu tidak mungkin. Orang-orang itu akan dibawa ke
Mataram. Kita semuanya sangat memerlukan mereka.
Keterangan mereka akan dapat membantu kita seterusnya."
"Aku tidak peduli."
"Ya, kami tidak peduli," sahut yang lain. Dan yang lain
berteriak, "Bunuh saja. Mereka membuat kita malu dan muak."
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan tibatiba
saja di dalam ketegangan itu, ia tidak melihat Swandaru.
"Kemanakah anak ini pergi?" ia bertanya kepada diri
sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Sumangkar pun
bertanya-tanya pula di dalam hati.
"Tidak apa," terdengar suara Agung Sedayu, "kalian tidak
akan berbuat apa-apa."
"Tetapi mereka telah menakut-nakuti kami untuk waktu
yang cukup lama sehingga kami telah kehilangan banyak
sekali kawan dan kehilangan banyak waktu."
"Tetapi kalian tidak akan berbuat apa-apa."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah
Agung Sedayu dan orang yang terbaring itu berganti-ganti.
Namun dalam pada itu terkilas dikepalanya, ketakutan yang
selama ini telah merusak semua usaha orang-orang di dalam
barak ini. Beberapa orang telah meninggalkan tempat mencari
tempat baru karena mereka tidak dapat lagi kembali ke tempat
mereka yang lama. Kemudian beberapa orang yang lain tidak
lagi berani keluar dari baraknya sehingga lebih baik bekerja
saja di dapur. Dan banyak lagi persoalan yang telah
mengungkat kemarahannya. Orang itu menjadi malu kalau
dikenangnya, bagaimana ia bersembunyi di balik selimut
apabila terdengar suara gemerincing dan derap kaki-kaki
kuda. Karena itu, dengan wajah yang kemudian menjadi merah
padam ia berkata, "Orang-orang ini telah membuat kami di sini
mengalami banyak sekali gangguan. Karena itu, serahkanlah
mereka kepada kami. Kami akan mengadili mereka dengan
cara kami." Permintaan itu telah mengguncangkan jantung orang-orang
yang sedang terbaring diam karena luka-luka mereka. Tetapi
yang lukanya tidak begitu parah perlahan-lahan mencoba
mengumpulkan kekuatan yang masih ada. Tentu tidak
menyenangkan sekali jatuh ditangan orang-orang yang
sedang marah karena ledakan perasaan yang sudah lama
ditekan. Beberapa orang merasa, lebih baik lari atau melawan dan
kemudian mati di dalam perlawanan itu apabila tidak berhasil
lolos sama sekali, daripada menjadi permainan.
Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab, "Sebaiknya
kalian tidak berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya.
Mereka sudah tidak akan dapat menakut-nakuti kalian lagi."
"Tetapi mereka pernah melakukannya. Mereka pernah
membuat hati kita kecut sehingga kami kehilangan gairah
untuk berbuat sesuatu."
Namun mereka tidak sempat mencari anak yang gemuk itu.
Mereka kini benar-benar dicengkam oleh kecemasan, bahwa
orang-orang di barak itu tidak dapat dikendalikan lagi.
"Kalian jangan melindungi mereka," tiba-tiba salah seorang
dari mereka berteriak. Seorang yang bertubuh besar meskipun
agak pendek berdiri di sudut serambi. "Akulah yang akan
membunuhnya. Aku telah banyak sekali dike-cewakan oleh
orang-orang gila itu. Aku sudah meninggalkan gubug yang
sudah aku bangun itu untuk beberapa saat dan tidur berjejaljejal
di sini." "Kenapa kau berbuat begitu?" bertanya Kiai Gringsing tibatiba.
"Orang-orang itulah yang telah menakut-nakuti kami."
"Salahmu sendiri bahwa kau menjadi takut."
"Kalau aku tidak takut, mereka akan membunuh aku."
"Dan kau, kau, kau dan yang lain lagi, sama sekali tidak
berani melawan, kalian hanya berani bersembunyi. Bahkan
menyalahkan kami yang dengan susah payah berusaha
membongkar kejahatan ini. Sekarang, kalian akan memaksa
kami menyerahkan mereka kepada kalian," jawab Agung
Sedayu, "tentu kami tidak mau. Misalnya orang berburu,
kamilah yang mendapat binatang buruan. Terserah kepada
kami, apa yang akan kami lakukan."
"Tepat," sahut pemimpin pengawas.
Keadaan menjadi hening sejenak, meskipun wajah-wajah
menjadi semakin tegang. Namun sejenak kemudian
meledaklah perasaan yang selama ini tertekan, "Kami tidak
peduli. Kami memerlukan mereka. Kami akan mencincang
mereka di halaman. Siapa yang melindungi, akan kami
sertakan pula. Akan kami cincang pula di antara mereka di
halaman." "Ya, ambil saja dengan paksa."
"Bunuh saja." Agung Sedayu menjadi bingung. Orang-orang itu bagaikan
orang yang kehilangan kesadaran. Kalau satu dua orang di
antara mereka kemudian berdiri dan maju selangkah, maka


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan akan menjadi kacau. Mereka tidak ubahnya dengan
orang-orang yang sakit ingatan, yang sama sekali tidak dapat
mengekang dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, di
dalam lingkungan orang banyak, seseorang akan dapat
kehilangan dirinya sendiri. Seseorang akan dapat berbuat
seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ada
disekitarnya tanpa memikirkan akibatnya.
Kiai Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar
pula. Seperti Agung Sedayu, mereka tidak segera mengerti,
apa yang sebaik-baiknya dikerjakan. Sedang pemimpin
pengawas yang berdiri bersandar pintu pun menjadi bingung
pula. Apalagi pemimpin pengawas itu menyadari, betapa
pentingnya keterangan-keterangan yang dapat didengar dari
hantu-hantu yang kini sudah tidak berdaya itu.
"He, kenapa kita menunggu?" bertanya orang yang
bertubuh besar dan pendek.
"Ya, apa yang kita tunggu. Ambil saja mereka semuanya,
Kita cincang bersama-sama."
"Kalian tidak akan dapat mengambil mereka," berkata
Agung Sedayu sambil mengurai cambuknya. "Aku sudah
bertempur mati-matian melawan hantu-hantu Alas Mentaok
ini. Sebagian dari mereka lari, dan sebagian dapat kami
tangkap. Hantu-hantu itu sama sekali tidak dapat
mengalahkan kami. Apalagi kalian. Ayo, siapakah di antara
kalian yang jantan. Majulah lebih dahulu. Siapa yang akan
mencincang mereka dan orang yang melindunginya sama
sekali. Akulah yang melindungi mereka."
Sejenak orang-orang itu terbungkam. Tetapi suasana yang
panas itu menjadi semakin panas ketika seseorang berkata,
"Jumlah kita lipat sepuluh lebih dari jumlah mereka. Mereka
tidak akan dapat menahan arus kemarahan kita."
"Kita paksa anak itu."
"Kami bersenjata," geram Agung Sedayu.
Sekali lagi orang-orang itu terdiam. Namun kemudian
seseorang berkata, "Tidak peduli. Tangkap mereka."
Ketika Agung Sedayu melihat sorot mata mereka yang
marah, harapannya untuk dapat menahan arus kemarahan
mereka menjadi pudar. Adalah tidak mungkin baginya
bersama guru dan Sumangkar, untuk melayani orang-orang
yang tidak bersenjata itu. Orang-orang bingung yang tidak
tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalau ia bersama
gurunya dan Sumangkar berbuat sesuatu, maka akibatnya
akan sangat parah bagi orang-orang itu. Tetapi kalau ia tidak
berbuat sesuatu, maka hantu-hantu Alas Mentaok itu akan
menjadi korban dan mereka akan kehilangan sumber
keterangan meskipun sedikit.
Sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka ia sudah
melihat satu dua orang mulai bergerak. Dan ia menjadi
semakin berdebar-debar ketika beberapa orang telah berdiri
serentak. "Bagaimana, Guru," desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak juga segera menjawab. Seperti
Sumangkar ia pun menjadi kebingungan. Apakah yang
sebaiknya dilakukan. Kalau ia terpaksa mempergunakan
kekerasan, maka akibatnya sama sekali tidak dikehendakinya.
Selama ini ia berbuat sesuatu, yang dapat membahayakan
jiwanya, justru untuk kepentingan orang-orang itu. Tetapi kini
orang-orang itu justru marah kepadanya.
Sebelum Kiai Gringsing menemukan cara yang sebaikbaiknya,
maka meledaklah kemarahan orang-orang di dalam
barak itu. Beberapa orang hampir berbareng berdiri sambil
berteriak, "Ambil, ambil saja."
"Tidak," tiba-tiba Agung Sedayu berteriak untuk mengatasi
suara riuh mereka. Dan hampir berbareng dengan itu, orangorang
yang merasa dirinya masih mampu bangkit, tiba-tiba
pula telah mencoba bangkit pula perlahan-lahan.
Ternyata beberapa orang yang bergerak-gerak, dan
kemudian duduk di serambi sambil menyeringai itu
berpengaruh. Apalagi ketika salah seorang dari mereka berdiri
dengan terhuyung-huyung. Agung Sedayu melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia
berkata, "Mereka tidak rela menyerahkan diri mereka kepada
kalian. Ternyata salah seorang dari mereka telah bangkit
berdiri. Sebentar lagi semuanya akan berdiri dan aku tidak
tahu apa yang akan mereka lakukan."
Serambi itu menjadi hening.
Agung Sedayu melihat sorot mata keragu-raguan di setiap
wajah. Orang-orang dibarak itu sejenak memandang Agung
Sedayu, sejenak kemudian gurunya dan Sumangkar, lalu
sesosok tubuh yang kemudian berdiri meskipun pakaiannya
telah bernoda darah. Tetapi selagi mereka ragu-ragu, salah seorang berkata
lantang, "Kenapa kita ragu-ragu, kenapa" Mereka sudah tidak
berdaya. Orang-orang yang melindungi mereka itu pun juga
tidak berdaya." "Ya, mereka sudah tidak berdaya."
"Mereka sudah tidak akan dapat melawan. Cepat, cincang
saja?" Sekali lagi orang-orang di dalam barak itu mulai bergerak.
Agung Sedayu yang kebingungan, tiba-tiba saja telah
menggerakkan cambuknya, sehingga suara ledakan yang
memekakkan telinga telah menyobek malam yang panas.
Kejutan suara cambuk Agung Sedayu memang membuat
mereka tertegun. Tetapi tidak membuat mereka surut. Mereka
masih bergerak pula mendekati orang-orang yang masih
sangat lemah itu. Agung Sedayu benar-benar telah kehabisan akal. Gurunya
dan Sumangkar pun masih belum menemukan jalan sama
sekali. Namun selagi suasana memanjat menjadi semakin panas,
tiba-tiba setiap telinga tergerak ketika tiba-tiba mereka
mendengar suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat.
Suara gemerincing seperti yang selalu mereka dengar selama
ini. Suara hantu-hantu dari Alas Mentaok.
Tiba-tiba terasa bulu kuduk orang-orang yang sedang
marah itu meremang. Semakin keras suara itu, mereka pun
menjadi semakin berkerut.
"Hantu-hantu yang lain telah datang lagi," desis Agung
Sedayu. Serambi barak yang hampir saja direnggut oleh udara maut
itu tiba-tiba menjadi hening. Namun terasa setiap dada
menjadi tegang. Beberapa orang yang semula berdiri dengan garangnya,
tiba-tiba melangkah surut dan perlahan-lahan berkerut
berdesakan. Beberapa orang segera membaringkan dirinya
dan berselimut kain sampai ke ujung kepalanya. Sedang
beberapa orang yang lain membeku di tempatnya.
"Hantu-hantu itu datang lagi," sekali lagi Agung Sedayu
berdesis, "kali ini pasti lebih banyak. Mereka pasti akan
mengambil kawan-kawannya yang sudah kamanungsan, dan
membuat mereka menjadi hantu kembali."
Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu
menjadi semakin kecut. Kini mereka telah kehilangan segala
kemauan dan bahkan seolah-olah mereka telah kehilangan
kesadaran. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan bibir
mereka bergetar. "Nah, siapakah yang masih akan mencincang hantu-hantu
ini," bertanya Agung Sedayu. "Tetapi jelas bukan aku, bukan
ayah dan bukan pamanku yang baru sore ini datang. Ayo,
siapa?" Tidak ada seorang pun yang berani menyahut.
"Tetapi hantu-hantu yang kamanungsan itu pasti dapat
berceritera, siapakah yang akan mencincang mereka apabila
kawan-kawannya yang lebih kuat akan datang, yang
barangkali tidak akan terlawan lagi oleh kami."
Setiap dada serasa hampir retak oleh ketakutan yang
bergejolak. Apalagi ketika suara gemerincing itu menjadi
semakin dekat. Dekat sekali di samping barak.
"He, kenapa kalian bersembunyi di balik selimut?" bertanya
Agung Sedayu. "Apakah kalian sudah kehilangan kegarangan
kalian" Kalian akan mencincang siapa saja, termasuk mereka
yang akan melindungi hantu-hantu yang sudah kamanungsan
itu. Sekarang kawan-kawan mereka pasti akan melindungi dan
membuat mereka kembali ke dalam dunia mereka. Dunia
hantu. Kenapa kalian tidak menyingsingkan lengan baju kalian
dan mencincang hantu-hantu yang lain itu."
Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi serasa darah orangorang
di serambi itu sudah tidak mengalir lagi.
Tiba-tiba mereka mendengar Agung Sedayu menahan
suara tertawanya. Tetapi agaknya Swandaru tidak dapat,
sehingga tiba-tiba meledaklah suara tertawanya
berkepanjangan. Tetapi bagi orang-orang yang ketakutan itu, suara tertawa
Swandaru terdengar sangat mengerikan. Seolah-olah
berpuluh-puluh hantu telah tertawa bersama-sama melihat
bakal korban mereka telah meringkuk di bawah kain panjang
masing-masing. "He, lihat. Lihatlah, siapa aku," teriak Swandaru yang
membawa sebatang tongkat yang digantungi beberapa
kerincing. Setiap kali tongkat itu dihentakkan di atas tanah,
maka terdengar suara gemerincing dari beberapa buah
kerincing yang bergantungan pada tongkat itu.
Tetapi tidak seorang pun yang berani membuka kerudung
kain panjang mereka yang menutupi kepala. Baik mereka
yang sudah melingkar berbaring di lantai atau di mana saja
mereka sempat, atau mereka yang masih tidak sempat
berbaring dan duduk memeluk lututnya, membenamkan
kepalanya di bawah tangannya sambil berselubung kain
panjang. "Lihat aku," teriak Swandaru sambil mengguncang guncang
tongkatnya. Bahkan kemudian tongkatnya telah dihentakhentakkan
di atas beberapa kepala yang tersembunyi.
"Buka selimutmu, lihat aku."
Tetapi tidak ada seorang pun yang berani. Bahkan ketika
ujung tongkat itu menyentuh seseorang, maka orang itu pun
segera jatuh pingsan. Orang itu merasa, seolah-olah ujung jari
mautlah yang telah merabanya.
Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Karena tidak ada
seorang pun yang mau melihatnya, tiba-tiba tangannya terjulur
dan menarik dengan paksa beberapa lembar selimut yang
menyelimuti orang-orang yang ketakutan.
Satu dua di antara mereka masih tetap menyembunyikan
wajahnya. Tetapi yang lain kemudian jatuh terguling dan
pingsan pula. Namun demikian ada juga satu dua orang yang dengan
terpaksa sekali melihat tongkat yang diacu-acukan Swandaru.
Sesaat ia tidak percaya kepada penglihatannya. Namun
sambil menyembunyikan wajah mereka, beberapa orang itu
berusaha melihat dari sela-sela lingkaran tangan mereka.
Dan yang mereka lihat memang Swandaru mengguncangguncang
sebatang tongkat yang digayuti oleh beberapa buah
kerincing. Dengan ragu-ragu satu dua orang mengangkat wajah
mereka. Yang mereka lihat sama sekali tidak berubah. Anak
Truna Podang yang gemuk itulah yang bermain-main dengan
kerincing. Tiba-tiba seseorang di antara mereka bertanya, "Apakah
kau anak Truna Podang?"
"Siapa, siapa aku. Coba tebak" Apakah kau sangka aku
sesosok hantu yang membentuk diriku seperti anak Truna
Podang?" "Tetapi?" orang itu ragu-ragu.
"Akulah yang sejak tadi bermain dengan kerincing-kerincing
ini. Apakah kalian tahu maksudku?"
Tidak ada yang menjawab. Meskipun demikian satu dua
orang kini telah membuka kerudung mereka meskipun dengan
ragu-ragu. "Aku ingin melihat, apakah benar-benar kalian orang-orang
jantan. Kalian berniat ingin mengadili orang-orang yang terluka
itu. Tetapi apakah kalian benar-benar berhak?"
Sejenak suasana menjadi sepi. Beberapa orang yang telah
berani membuka kerudung mereka saling berpandangan.
Bahkan beberapa orang yang berbaring melingkar, telah
bangkit dan duduk termangu-mangu.
Mula-mula mereka sama sekali tidak tahu, bagaimana
menanggapi keadaan itu. Mereka hanya memandang saja
Swandaru yang berdiri sambil memegangi tongkat yang
digantungi kerincing-kerincing itu.
Namun sejenak kemudian orang yang besar agak pendek
itulah yang berteriak untuk pertama kali, "He anak gila. Kau
telah mempermainkan aku, mempermainkan kami."
Swandaru mengerutkan keningnya. Sebelum ia menyahut
orang yang lain telah berteriak pula, "Ya. Kau mempermainkan
kami." "Apa maksudmu mempermainkan kami?" bertanya yang
lain. Dan tiba-tiba orang yang pendek itu berkata, "Kalian
memang orang-orang gila. Sekarang sudah jelas bagi kami,
bahwa kami selama ini telah dipermainkan orang. Bahkan
selagi kami dicengkam oleh ketegangan kali ini pun ada juga
orang yang mempermainkan kami. Sekarang kami akan
menuntut balas. Kami akan memuaskan hati kami yang
selama ini tertekan."
Suasana di serambi barak itu menjadi semakin tegang.
Namun tiba-tiba semua orang telah dikejutkan oleh suara
tertawa Swandaru yang meledak. Sambil menunjuk kepada
orang yang pendek itu ia berkata, "He, kenapa kau dapat
dipermainkan orang" Kenapa" Apalagi untuk waktu yang
lama?" Orang itu termangu-mangu sejenak. Sebelum ia menjawab,
Swandaru telah mendahului, "Karena kau penakut. Semua
orang yang ada di barak ini penakut dan pengecut. Aku masih
menghormati seorang penakut yang merasa dirinya penakut.
Tetapi kau tidak. Kau adalah seorang penakut, tetapi juga
pengecut. Di dalam keadaan yang gawat, kau sembunyi di
bawah selimutmu rapat-rapat. Tetapi kalau kau menghadapi
orang-orang sakit yang hampir mati, kau bertolak pinggang
seperti seorang pahlawan. Ayo, di mana kejantananmu"
Kejantanan bukan berarti berani membunuh orang-orang tidak
berdaya. Atau bahkan yang dengan penuh dendam mencekik


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan-lawan yang memang sudah hampir mati."
Dan Agung Sedayu pun menyambung, "Bukan pula
semata-mata karena kita berani bertempur dan berani mati.
Tetapi kejantanan juga mengandung segi-segi
perikemanusiaan dan pengakuan terhadap kenyataan.
Seorang kesatria sebagai lambang kejantanan bukan sematamata
yang menyandang pedang di peperangan, yang
membunuh musuh dengan ujung senjata dan membelah dada
lawan tanpa berpaling. Tetapi sifat-sifat kesatria adalah
ngabehi. Meliputi sifat-sifat baik yang menyeluruh. Kesatria
jantan bukan saja berjiwa seluas lautan yang mampu
menampung semua persoalan dan selapang langit yang
menyerap semua masalah dengan kesabaran."
Sejenak serambi itu menjadi sepi. Orang-orang yang
mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menundukkan
kepalanya. Tetapi bukan saja orang-orang itu yang
mendengarkannya dengan sentuhan-sentuhan di dalam hati.
Bahkan Swandaru pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agaknya ada beberapa perbedaan dari kata-kata Agung
Sedayu itu dengan kata-kata yang akan diucapkannya.
Namun ia bahkan ikut mencoba memahami kata-kata Agung
Sedayu itu. Tanpa sesadarnya Swandaru berpaling, memandang wajah
gurunya. Tetapi gurunya tidak sedang memandanginya. Orang
tua itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, seakanakan
membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.
"Untunglah, aku belum mengatakannya," desis Swandaru di
dalam hati. Hampir saja ia mengatakan, "Bahwa seseorang
yang jantan, adalah seseorang yang berani menengadahkan
dadanya. Yang berani bertempur seorang lawan seorang
dalam keadaan yang seimbang. Bukan melawan orang-orang
sakit dan hampir mati. Yang dengan jujur membunuh
musuhnya berhadapan."
"Itu hanya sebagian saja," Swandaru mengangguk-angguk
sendiri oleh kata-katanya di dalam hatinya itu. "Agaknya apa
yang akan aku katakan memang kurang lengkap."
Orang-orang diserambi barak itu mematung sejenak. Katakata
Agung Sedayu agaknya benar-benar telah menusuk
langsung ke pusat jantung.
"Nah," berkata Agung Sedayu kemudian, "sekarang
cobalah lihat. Apakah yang sudah terjadi atas kalian dan apa
yang sekarang kalian hadapi. Kalau memang menurut
pertimbangan kalian, orang-orang jantan yang bersifat
kesatria, orang-orang yang sudah tidak berdaya ini harus
dibunuh atau dicincang, demikian pula orang-orang yang
kalian anggap melindungi mereka, maka aku akan
mempersilahkan. Cincanglah mereka yang selama ini telah
mengganggu kalian dan membuat kalian ketakutan seperti
kelinci mendengar gonggong anjing liar di hutan-hutan."
Tidak ada seorang pun yang menyahut.
Kiai Gringsing dan Sumangkar yang berdiri di sebelah
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya
muridnya yang tua ini memiliki ketajaman sikap menghadapi
ketegangan yang sudah memuncak, meskipun agaknya
Swandaru pun akan dapat mengatasinya dengan caranya
sendiri. Tetapi Kiai Gringsing semakin melihat perbedaan sifat
dari keduanya. Keduanya mempunyai kelebihan masingmasing
tetapi juga kekurangan masing-masing.
Karena tidak seorang pun yang berkata sepatah kata pun,
maka Agung Sedayu meneruskan, "Sekarang, bagaimana"
Apakah kalian akan melangsungkan niat kalian."
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya dengan nada yang rendah, "Baiklah. Terserahlah
kepada kalian. Kalau kalian masih ingin melakukannya,
silahkan, sekarang juga. Kalau tidak, aku silahkan kalian
kembali ke tempat kalian masing-masing. Sebentar lagi fajar
akan datang. Kalau masalah ini tidak segera kita selesaikan,
maka kita akan menghadapi persoalan yang lain. Apalagi
matahari telah terbit, kita akan menunggu kedatangan para
pengawas dari pusat Tanah Mataram. Apabila utusan kita
sampai ke tujuan, mereka pasti akan kembali besok pagi."
Sejenak Agung Sedayu menunggu, karena tidak ada yang
bergerak sekali lagi ia berkata, "Apa pun yang akan terjadi,
lakukanlah sekarang. Cepat."
Tetapi tidak seorang pun yang segera beranjak dari
tempatnya. Apakah mereka akan meninggalkan tempat itu dan
kembali ke tempat masing-masing, atau mereka akan
melakukan niatnya, membalas sakit hati setelah sekian lama
mereka merasa dipermainkan.
Karena itu sekali lagi Agung Sedayu berkata agak keras,
"He, kenapa kalian hanya berdiam diri dengan mulut
ternganga. Berbuatlah sesuatu supaya kami dapat mengambil
sikap. Apa yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Sesegera,
sebelum kami membuat keputusan baru. Bergeraklah.
Membalas dendam atau kembali ke tempat masing-masing."
Ketika Agung Sedayu melihat beberapa orang yang
kemudian bergerak, ia pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak
tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan.
Tetapi ketika orang-orang itu mulai berdiri dengan kepala
tunduk, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
orang-orang itu menyadari diri mereka, dan perlahan-lahan
mereka berjalan ke tempat masing-masing.
Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Swandaru pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Sejenak mereka
saling berpandangan. Swandaru yang masih memegang tongkat berkerincing itu
kemudian mengangguk-angguk sambil memandangi orangorang
bergeser dari tempat masing-masing perlahan-lahan.
Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis,
"Benda-benda macam inilah yang telah membuat kalian
selama ini kehilangan kepribadian, kehilangan kesempatan
dan bahkan seakan-akan telah kehilangan harapan.
Sebenarnya benda ini adalah benda yang sederhana sekali.
Tongkat yang digantungi dengan kerincing-kerincing. Sebuah
tengkorak dan kerudung hitam. Mungkin juga seekor atau dua
ekor kuda. Selebihnya, yang paling menakutkan adalah hati
kalian sendiri. Kalian sendirilah yang membuat benda-benda
sederhana ini menjadi hantu-hantu Alas Mentaok."
Tidak ada yang menyahut. Tetapi kata-kata yang
dilontarkan sambil tersenyum-senyum itu ternyata mampu
juga menyentuh perasaan orang-orang di dalam barak itu.
Sebenarnyalah bahwa yang paling menakutkan bagi mereka
adalah hati mereka sendiri. Bayangan-bayangan yang
mengerikan yang mereka buat sendiri.
Sejenak kemudian, orang-orang di serambi itu telah duduk
di tempat masing-masing. Orang-orang yang berdesakan di
pintu pun telah duduk pula di dalam sambil menekurkan
kepala mereka. Pengawas yang masih bersandar pintu itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia berjalan
berpegangan dinding, mendekati Agung Sedayu. Kemudian
ditepuknya bahunya sambil berkata, "Kau berhasil, Anak
Muda. Aku sudah kehabisan akal. Aku cemas, apabila orangorang
yang bodoh ini berkeras kepala, dan kalian bertahan
untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian kepada
para pengawas apabila mereka datang. Aku sudah
membayangkan, apabila terjadi benturan yang tidak dapat
dihindarkan, korban pasti akan bertambah. Ujung cambuk
kalian yang seperti mempunyai mata itu, benar-benar sangat
berbahaya." Agung Sedayu tersenyum sambil menyahut, "Terima kasih.
Pujian itu terlampau berlebih-lebihan."
"Aku berkata sebenarnya."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Ia memandang orang
yang terakhir duduk di tempatnya. Kemudian menundukkan
kepalanya. "Mereka telah kembali ke tempat masing-masing," berkata
pemimpin pengawas itu. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian kepada orang itu, "Terima kasih. Kalian
ternyata telah membantu kami, memelihara ketenangan di
dalam barak ini. Sekarang, biarlah orang-orang yang terluka
ini dapat beristirahat dengan tenang, tugas kami di sini tinggal
mengawasi. Kami minta bantuan kalian, agar kalian ikut serta
menjaga orang-orang ini, agar tidak seorang pun yang dapat
lolos. Kita besok akan menyerahkan mereka kepada para
pengawas yang akan datang dari pusat pemerintahan
Mataram." Orang-orang itu masih menundukkan kepala mereka.
"Nah, baiklah. Kita anggap semua persoalan kini sudah
selesai. Persoalan berikutnya adalah persoalan para petugas
dari Mataram dan pemimpin pengawas di sini."
Orang-orang itu masih menundukkan kepalanya,
"Sekarang, apabila masih sempat, silahkan beristirahat.
Kalian dapat tidur nyenyak menghabiskan malam yang tinggal
sedikit. Kami pun akan tidur pula. Besok kami akan minta
bantuan kalian, mengubur mayat yang kini masih ada di
belakang barak ini."
"Mayat?" orang-orang itu bertanya di dalam hatinya.
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, Agung Sedayu
menangkap sorot mata mereka, katanya, "Ya, dua sosok
mayat. Di antara hantu-hantu itu ada yang terbunuh. Dan
dengan demikian akan semakin jelas bagi kalian, bahwa
sebenarnya mereka adalah manusia yang terdiri dari daging
dan tulang seperti kita. Sama sekali bukan hantu dari Alas
Mentaok seperti yang kalian percaya saat ini. Kalau aku
berkerudung sambil membawa tengkorak yang dilekati dengan
kunang-kunang itu, kalian pasti tidak akan ketakutan, karena
seperti yang dikatakan oleh adikku itu, ketakutan itu datang
dari diri kita sendiri. Sekarang, kalian pun sudah tahu dengan
pasti, sehingga kalian tidak akan takut lagi mendengar suara
gemerincing, suara derap kaki kuda, dari melihat di dalam
gelapnya malam, sesosok hantu hitam berkepala tengkorak.
Karena mereka adalah orang-orang yang kini terbaring di
hadapan kalian karena luka-luka mereka."
Orang-orang di dalam barak itu merasa diri mereka
semakin kecil. Namun seolah-olah mereka telah
mengucapkan janji, bahwa mereka tidak akan terperosok
untuk kedua kalinya ke dalam keadaan yang memalukan itu.
Mereka tidak akan mau lagi menjadi permainan siapa pun
juga. Mereka datang untuk membuka hutan. Dan kini harapan
itu seakan-akan telah terbit kembali.
"Sudahlah, tidurlah," berkata Agung Sedayu kemudian.
Bersama dengan Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar,
dan pemimpin pengawas itu, mereka menepi dan duduk
bersandar dinding. Tetapi ternyata mereka tidak mendapat kesempatan cukup
untuk beristirahat. Langit di sebelah Timur pun mulai menjadi
kemerah-merahah. "Hampir pagi," desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Tidurlah kalau kau lelah. Masih ada waktu sedikit
sebelum matahari terbit."
"Apakah Guru tidak beristirahat?"
"Tidurlah kau berdua. Aku dan pamanmu Sumangkar akan
duduk di sini. Waktu yang sedikit ini menyimpan bermacammacam
kemungkinan bagi barak ini." Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Dipandanginya wajah pemimpin pengawas yang
berkerut-merut. Kemudian wajah Agung Sedayu dan
Sumangkar. Lalu perlahan-lahan ia meneruskan, "Pagi ini
akan dapat menjadi pagi yang cerah dan tenang. Tetapi saatsaat
ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Kalau Kiai
Damar menyadari bahwa kehadiran para pengawas dari
Mataram menjadi semakin dekat, maka ada kemungkinan
mereka mempergunakan waktu yang pendek ini sebaikbaiknya."
Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya,
sedang pemimpin pengawas itu beringsut mendekat,
"Benarkah begitu?"
"Ini hanya suatu kemungkinan. Tetapi kemungkinan yang
lain adalah, bahwa mereka belum siap melakukan hal itu dan
menundanya sampai waktu yang tidak dapat kita
perhitungkan. Jika demikian kita akan dapat beristirahat untuk
beberapa hari. Mereka pasti memerlukan waktu untuk
mengetahui kekuatan para pengawas di daerah ini."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Aku mengharap bahwa setelah sembuh
aku akan tetap diperkenankan tinggal di daerah ini, meskipun
karena selama ini aku sudah gagal, aku tidak lagi menjadi
tetua para pengawas. Aku puas apabila aku dapat melihat
akhir dari permainan yang gila itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kau akan tetap
berada di sini. Kau adalah salah seorang yang telah mengenal
daerah ini sebaik-baiknya. Mengenal perkembangan keadaan
dan masa-masa yang paling pahit di daerah ini."
"Tetapi aku gagal mengatasi kesulitan. Usaha perluasan
tanah garapan di sini menjadi sangat mundur. Bahkan aku pun
telah terseret ke dalam suatu keadaan yang memalukan
sekali. Aku sama sekali tidak berdaya melawan hantu-hantu
itu, meskipun ternyata mereka sama sekali tidak berbeda
dengan kita yang berkulit dan daging."
"Meskipun kau tahu akan hal itu, tetapi memang sulit untuk
melawan mereka. Ternyata jumlah mereka cukup banyak. Hari
ini lebih dari sepuluh orang telah datang. Aku kira, di tempat
persembunyian mereka, masih ada orang-orang yang lebih
banyak lagi." "Kita dapat bertanya kepada orang-orang yang terluka itu."
"Ya. Kita akan mendapatkan beberapa keterangan dari
mereka meskipun tidak banyak. Besok kalau luka-luka mereka
telah tidak membahayakan jiwanya, kita akan dapat
mendengarnya." Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi Agung Sedayu berbisik, "Guru, apakah tidak
mungkin mereka akan berbuat seperti orang yang kita simpan
di dapur itu?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, "Mungkin.
Memang mungkin sekali."
"Apakah yang dilakukan?" bertanya Sumangkar.
"Mereka membunuh kawan mereka sendiri sebelum


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melarikan diri. Maksudnya sudah jelas, agar kawannya tidak
dapat memberikan penjelasan."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Kiai
Gringsing pun berkata, "Karena itu, kita akan mengawasi
mereka sebaik-baiknya. Apabila besok para pengawal itu
benar-benar datang, kita akan mendapat banyak kawan untuk
melakukannya." Agung Sedayu meng-angguk-anggukkan kepalanya. "Ya
mudah-mudahan mereka benar-benar datang besok."
"Bagaimana kalau tidak?" desis Swandaru,
"Kau yang akan menjaga mereka sepanjang hari."
"Kau?" "Aku akan tidur."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian di
sandarkannya tubuhnya pada dinding barak sambil
memejamkan matanya, "Aku yang akan tidur lebih dahulu."
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, "Matahari
sudah akan terbit." Dalam pada itu, perlahan-lahan langit menjadi semakin
merah. Ternyata sampai saatnya pagi mulai memancar, tidak
terjadi sesuatu, meskipun itu bukan berarti bahwa bahaya
telah dapat diabaikan. Kemungkinan orang-orang itu datang di
siang hari pun ada, apalagi setelah mereka tidak berhasil
menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantu Alas Mentaok.
Mereka tidak dapat memilih jalan lain daripada menyatakan
diri mereka sewajarnya. Meskipun demikian, suasana pagi yang cerah telah
membuat ketegangan-ketegangan di dalam barak itu menjadi
agak mereda. Beberapa orang telah berani keluar dari dalam
barak, mengambil air di sumur. Apalagi karena Kiai Gringsing
berkata kepada mereka, "Sekarang kalian tahu, kalau kalian
menjumpai apa pun, itu adalah manusia-manusia biasa seperti
kita. Tinggal tergantung kepada kita sendiri. Apakah kita
seorang penakut atau bukan."
Demikianlah perlahan-lahan barak itu seakan-akan
terbangun dari tidurnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun
segera pergi ke barak yang lain untuk menenangkan
ketegangan yang ada di dalam barak itu. Meskipun tidak pasti
bagi mereka, apakah yang terjadi, tetapi hati mereka telah
dicengkam olen kecemasan sepanjang malam.
Sumangkar dan Kiai Gringsing bergantian pergi mengambil
air untuk membersihkan diri. Mereka masih harus mengawasi
orang yang meskipun terluka, tetapi ada di antara mereka
yang sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan meskipun
lemah. Ketika hari menjadi semakin terang, orang-orang di dalam
barak itu dengan diam-diam, memerlukan memperhatikan
orang-orang yang terluka yang selama itu mereka sangka
hantu-hantu. Ternyata mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang
yang mempunyai wadag seperti mereka sendiri. Tangan, kaki,
kepala, dan anggauta-anggauta badan yang lain.
Kadang-kadang terasa juga hati mereka melonjak. Darah
mereka merasa panas apabila mereka mengenangkan, apa
saja yang pernah mereka alami di dalam barak itu. Tetapi
mereka tidak berani melanggar pesan Agung Sedayu, dan
agaknya mereka pun masih juga mempunyai harga diri, untuk
tidak bertindak kasar terhadap orang-orang yang sudah tidak
berdaya. Ketika matahari sudah menjadi semakin tinggi. Kiai
Gringsing telah memanggil Agung Sedayu dan Swandaru,
"Kedua mayat yang masih ada di belakang barak itu harus
dikuburkan." "Adi Sumangkar," berkata Kiai Gringsing, "tunggulah di sini.
Orang-orang itu masih memerlukan pengawasan. Aku akan
mengubur kedua orang di belakang barak itu."
Ki Sumangkar mengangguk sambil menjawab, "Silahkan.
Mudah-mudahan aku tidak tertidur."
Mereka pun kemudian mengajak beberapa orang untuk
pergi ke belakang barak. Orang-orang yang ikut dengan Kiai
Gringsing itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak
melihat, tetapi berdasarkan pendengaran mereka semalam
dan bekas-bekas yang mereka jumpai kini, terasa dada
mereka tergetar. Alangkah dahsyatnya perkelahian itu. Pohonpohon
perdu bertebaran seperti ditebas. Tanahnya bagaikan
dibajak. Bahkan rerumputan pun telah terungkat beserta akarakarnya.
"Mengerikan sekali," seorang berdesis perlahan-lahan.
"Apa?" bertanya yang lain.
"Kau tidak melihat bekas perkelahian ini?"
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa
juga bulu-bulu tengkuknya meremang.
Sejenak kemudian mereka pun telah menemukan dua
sosok mayat yang terbaring tidak berjauhan.
"Inilah mereka," berkata Swandaru. Namun ia pun
kemudian mengerutkan keningnya. Tubuh mayat itu menjadi
kebiru-biruan. Wajahnya tegang, seolah-olah sedang
menahan kesakitan yang amat sangat. Kedua belah matanya
terbuka dan jari-jarinya seolah-olah sedang mencengkeram.
"Mengerikan sekali," desis Swandaru. "Tampaknya mereka
telah dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak terhingga."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Sebenarnya, meskipun perasaan sakit itu
juga menjadi sebab ketakutannya menghadapi maut, namun
yang lebih parah dari itu adalah ketidak-ikhlasannya
menjelang tangan maut mencengkam mereka. Mereka
menyesal, kecewa, dan segala macam perasaan sakit, karena
sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang
penghabisan, mereka menyadari, bahwa ternyata kawan
mereka sendirilah yang telah membunuh mereka dengan
semena-mena. Itulah yang membuat mereka dihantui oleh
sentuhan maut itu." Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka adalah anak-anak muda yang pernah
menyaksikan kematian-kematian di peperangan. Tetapi kali ini
mereka masih juga merasa ngeri. Terbayang dimata mereka,
penderitaan yang tidak terhingga menyertai kematian mereka.
"Racun itu bekerja dengan sempurna," desis Kiai Gringsing.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Orang-orang yang menyaksikan pun menjadi ngeri pula.
Penderitaan itu terlampau berat.
Demikianlah mereka kemudian menyelenggarakan
penguburan mayat itu secukupnya. Bagaimana pun juga
mereka harus memperlakukan mereka sebagai sesamanya.
Ketika semuanya sudah selesai, maka orang-orang itu pun
kembali ke barak mereka. Mereka duduk-duduk di tangga
serambi. Yang mereka bicarakan adalah orang-orang yang
kini masih berada di serambi itu. Sebagian masih terbaring
diam, sedang yang lain duduk bersandar dinding sambil
menundukkan kepala mereka. Mereka merasa seakan-akan
setiap mata memandang mereka dengan tajamnya. Ejekan
dan umpatan membayang di wajah-wajah orang yang berada
di sekitarnya. Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun
kemudian duduk pula diserambi itu bersama Ki Sumangkar
dan pemimpin pengawas yang masih belum sembuh benar
dari lukanya itu. Sementara itu sepasukan kecil pengawal berkuda sedang
berpacu melewati jalan-jalan kecil menuju ke hutan yang
sedang dibuka dan yang selalu diganggu oleh hantu-hantu.
Sebenarnya hampir di semua daerah, tetapi yang didiami oleh
Ki Truna Pedang itulah yang seakan-akan merupakan letusan
yang paling keras, sehingga perhatian Mataram langsung
tertuju ke daerah itu. Di daerah lain, hantu-hantu masih tetap berkuasa karena
tidak ada orang yang berusaha untuk meyakinkan, bahwa
mereka sebenarnya bukan hantu.
Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya, agaknya
terlampau sibuk, sehingga mereka tidak sempat secara terusmenerus
mengawasi suatu daerah tertentu.
Tetapi kini mereka terpaksa mengkhususkan persoalan
yang mereka hadapi karena ada perkembangan yang khusus
pula. Sekelompok pengawal berkuda itu langsung dipimpin oleh
Raden Sutawijaya sendiri. Di tangannya digenggamnya
tombak pusakanya, sedang di lambungnya terselip keris Kiai
Naga Kumala. Sambil memandang lurus ke depan, Raden Sutawijaya
berkuda di belakang pengawas yang datang memberitahukan
apa yang sudah terjadi, sedang di belakangnya Wanakerti
yang sebenarnya masih belum sehat benar, tidak mau tinggal
di Mataram. Bagaimana pun juga ia menyatakan keinginannya
untuk ikut serta kembali ke tempat tugasnya.
"Aku ingin melihat akhir ceritera yang mendebarkan itu?"
katanya di dalam hati. Berdasarkan pengalaman para pengawas yang pergi ke
Mataram untuk menyampaikan laporan itu, maka mereka
harus berhati-hati. Meskipun kelompok itu agak lebih besar
dari hanya tiga orang, namun kemungkinan yang tidak
terduga-duga dapat saja terjadi.
Raden Sutawijaya yang diiringi oleh sepuluh, orang
pengawas itu telah mulai menyusup hutan-hutan rindang.
Kuda mereka kini tidak dapat berlari terlampau cepat. Jalan
yang sempit itu kadang-kadang tertutup oleh sampah dan
ranting-ranting pepohonan yang patah. Sulur-sulur kayu yang
bergayutan pada dahan-dahan pepohonan telah mengganggu
perjalanan itu pula. Tetapi lebih daripada itu, setiap saat mereka dapat saja
dengan tiba-tiba diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal
dan jumlahnya sama sekali tidak dapat mereka bayangkan.
Mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang
gerombolan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan
yang lebat itu. Kadang-kadang dada mereka menjadi berdebar-debar.
Meskipun mereka menyandang pusaka rangkap, tetapi
seandainya tiba-tiba mereka dihadapkan pada sekelompok
orang-orang yang ganas itu sebanyak lima puluh orang,
apakah mereka akan dapat melawan.
Tetapi hati mereka menjadi teguh apabila mereka melihat
Raden Sutawijaya yang berkuda di depan mereka, selalu
menengadahkan wajahnya memandang lurus ke depan.
Dalam pada itu, selagi pasukan itu beriringan di dalam
hutan yang tidak begitu lebat, beberapa pasang mata
mengikutinya dengan saksama. Seorang yang bertubuh tinggi
kekar dan berjambang lebat mengatupkan giginya rapat-rapat.
Perlahan-lahan ia berdesis kepada orang yang berdiri di
sampingnya. Dan orang itu adalah Kiai Damar, "Sayang, kita
tidak membawa orang cukup untuk menghancurkan mereka."
"Hati-hatilah," berkata Kiai Damar, "ternyata daerah
Mataram menyimpan banyak rahasia yang tidak kita ketahui.
Kita yang merasa telah mengenal hutan ini sebaik-baiknya,
namun ternyata perhitungan kita masih keliru juga. Semalam
aku telah gagal lagi. Ternyata orang-orang tua yang ada di
dalam barak itu bukan orang-orang kebanyakan. Kau harus
membuat perhitungan yang cermat untuk menentukan sikap di
sini." "Aku akan menghadap guru," berkata orang berjambang
itu. Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya, "Itu akan
lebih baik daripada kita bertindak sendiri. Aku tidak dapat
mengimbangi salah seorang dari dua orang tua-tua yang ada
di barak itu. Dan barangkali kau masih harus menyediakan
tenaga sepenuhnya untuk melawan anak-anaknya."
Orang itu menggeram. Katanya, "Karena itu aku akan
menghadap guru. Tidak ada seorang manusia pun yang akan
dapat melawannya. Bahkan seandainya Ki Gede Pemanahan
sendiri akan turun ke gelanggang, maka itu akan berarti
rencananya semakin cepat musnah. Ia tidak akan berhasil
menyelesaikan kerja ini."
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan orang tua itu tidak berkeberatan."
"Tentu tidak" Bukankah guru juga yang menganjurkan kita
melakukan ini semua" Dan Paman menyetujuinya?"
"Ya," Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya,
"tetapi menghancurkan mereka bukan penyelesaian yang
tuntas. Seandainya Ki Gede Pemanahan terusir dari Mentaok
sekali pun, bahkan terbunuh, maka kau masih akan
menghadapi soal-soal lain."
"Itu sudah aku perhitungkan, Paman. Maksud Paman,
bahwa kekuasaan Sultan Pajang masih tetap mencakup hutan
Mentaok." "Ya." "Sultan Pajang akan berterima kasih kalau usaha
Pemanahan gagal. Bukankah dengan berat hati Sultan Pajang
menyerahkan Mataram kepada Pemanahan" Kalau Sultan
tidak mengingat putera angkatnya itu anak Pema-nahan,
maka aku kira Pemanahan justru sudah digantungnya di alunalun."
"Mungkin begitulah kalau kau yang kebetulan menjadi
Sultan Pajang. Seorang Raja tidak akan berbuat demikian. Ia
telah berjanji untuk menyerahkan Pati dan Alas Mentaok
kepada mereka yang dapat membunuh Arya Penangsang.
Penjawi sudah mendapatkan Pati, dan wajar sekali kalau
Pemanahan menuntut Bumi Mentaok."
"Tetapi Sultan juga tahu, bahwa yang membunuh
sebenarnya bukan Pemanahan dan Penjawi, tetapi putera
angkatnya itu." "Tentu. Tetapi laporan yang diterimanya menyebut bahwa
yang melakukan adalah Penjawi dan Pemanahan. Ia tidak
akan dapat ingkar akan janjinya. Siapa pun yang
melakukannya, tetapi keduanya yang menyatakan dirinya
tanpa ada orang lain yang mengemukakan keberatannya."
"Nah, karena itulah maka kegagalan Pemanahan akan
menyenangkan hatinya. Karena ia memberikan Mataram tidak
dengan ikhlas hati."
"Lalu bagaimana dengan Pati?"
Orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak menyahut. "Sultan Pajang tidak pernah mempersoalkan Pati. Kenapa
ia berkeberatan atas Mentaok?" bertanya Kiai Damar.
"Mentaok terlampau dekat dengan pusat pemerintahan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pajang." "Bukan itu. Tetapi bagi Sultan Pajang, menyerahkan
Mentaok secara resmi tidak ada gunanya, karena akhirnya ia
akan memberikan juga kedudukan kepada anak Pemanahan.
Buat apa Pemanahan harus menuntut haknya apabila kelak
akan temurun juga kepada Sutawijaya. Tentu Sultan Pajang
menilai juga hal itu. Tetapi ia pasti tidak akan berkeberatan
apabila pada suatu saat Mentaok dapat menjadi ramai.
Bukankah kelak Sutawijaya juga yang akan menjadi penguasa
daerah ini" Apakah kelak ia akan menguasai Mataram
sebagai seorang putera raja yang mewakili kekuasaan
ayahnya, atau sebagai seorang adipati, seperti Sultan Pajang
dahulu atau sebagai kepala suatu daerah yang mendapat hak
sebagai tanah perdikan, itu masih belum jelas."
"Tetapi seperti yang Paman katakan sendiri, Sultan
agaknya memang mencurigai niat Pemanahan. Inilah yang
harus dimanfaatkan."
Kiai Damar merenung sejenak. Keningnya masih juga
berkerut-merut. Tetapi kini iring-iringan yang dipimpin Raden
Sutawijaya sudah menjadi semakin jauh dan hilang di balik
rimbunnya dedaunan. "Bagaimana kau dapat memanfaatkan kecurigaan Sultan
Pajang kepada Ki Gede Pemanahan atau justru kepada
putera angkatnya itu?"
"Serahkan kepadaku. Sultan pasti akan segera
menggerakkan senapati muda yang dikuasakan didaerah
Selatan ini. Apakah kau kenal dengan Untara?"
"Orangnya belum. Tetapi namanya sudah. Hampir setiap
orang di daerah Selatan mengenalnya. Menurut
pendengaranku, Untara-lah yang menyelesaikan masalah
orang-orang Jipang yang kehilangan pegangan sesudah Arya
Penangsang gugur." "Ya. Ia telah berhasil membunuh Tohpati, Macan
Kepatihan." "Apakah yang dapat dilakukan oleh Untara?"
"Untara adalah seorang senapati. Ia akan menjalankan
tugas yang diperintahkan oleh Sultan Pajang. Ia adalah
seorang yang setia. Ia ikut berjuang menegakkan Pajang.
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mudah-mudahan Untara benar-benar seorang senapati yang
baik." "Tentu." "Tetapi," berkata Kiai Damar, "apa hubungannya dengan
usaha kita sekarang?"
"Kita akan mendesak Sutawijaya. Kita akan
melontarkannya ke luar dari dalam hutan. Dan kita berharap
bahwa kita dapat berbuat sesuatu di istana untuk memancing
Untara mendekati pusat pemerintahan tanah yang baru dibuka
ini, sehingga Sutawijaya akan menghadapi kesulitan. Ia
harus mengatasi perlawanan dari dalam hutan ini, yang
meskipun agaknya cara kita yang pertama sudah gagal
karena kehadiran orang-orang gila yang menyebut dirinya
gembala itu, tetapi kita akan mencari cara lain, bahkan kalau
perlu seperti yang sudah kita lakukan. Beradu dada. Kita
menyerang di setiap saat, kemudian kita akan menarik diri.
Selain itu, Sutawijaya harus selalu berhati-hati menghadapi
pasukan Untara yang mendekati pusat pemerintahan tanah
Mataram." Kiai Damar mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak
untuk mencoba mencernakan kata-kata orang berkumis itu.
Tetapi kemudian ia berkata, "Aku kurang mengerti jalan
pikiranmu." "Paman," berkata orang itu, "katakanlah bahwa Sultan
Pajang tidak banyak mempunyai tuntutan atas tanah Mataram.
Ia sudah memberikan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan
kecurigaan itu, kecurigaan atas Ki Gede Pemanahan,
sehingga ia berada di simpang jalan. Ia melepaskan Mataram
dengan harapan agar putera angkatnya dapat
mempergunakannya sebaik-baiknya, tetapi juga ia curiga
kalau Mataram kelak justru menjadi besar di bawah Ki Gede
Pemanahan." Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
masih juga berkata, "Ada beberapa perbedaan tangkapan.
Tetapi pada dasarnya kau telah mencoba mengerti pikiranku.
Bocah Sakti 14 Wiro Sableng 040 Setan Dari Luar Jagat Han Bu Kong 3
^