Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 13

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 13


Pemanahan dan putera angkat Sultan Pajang."
"Semua orang sudah tahu. Jangan ragu-ragu. Tidak ada
hukuman yang dapat diperhitungkan jika kita membunuh
lawan di peperangan. Sultan Pajang pun tidak akan marah."
Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu, "Jika Pema-nahan
marah karena ia kehilangan anaknya, itu adalah salahnya
sendiri." Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian ia berkata, "Berhati-hatilah terhadap orang
bercambuk atau orang yang berada di pihaknya, bersenjata
jenis lentur pula, bahkan rantai."
Kiai Telapak Jalak menggeram, "Seperti anak-anak yang
pergi mencari kayu di hutan. Pesan ayah bundanya
berkepanjangan." "Aku hanya memperingatkanmu. Aku sudah
mengalaminya." "Terima kasih. Sekarang, kau pergi ke ujung sebelah. Aku
di ujung yang lain. Sutawijaya berada di antara kedua ujung itu
sambil membuat lawan-lawannya menjadi bingung."
"Kita akan menghentikannya."
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun segera berpisah.
Mereka pergi ke kedua ujung yang berlawanan. Namun
mereka tidak sekedar pergi ke ujung. Di sepanjang
langkahnya, mereka pun mencoba untuk menggetarkan dada
pasukan lawannya. Namun Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak lengah.
Mereka pun segera melihat keadaan medan yang seakanakan
terguncang. Sejenak mereka melihat pengaruh
Sutawijaya, namun sejenak kemudian seperti didorong oleh
gelombang pasang, pasukan yang mempertahankan barak itu
terdesak. "Nah, itulah dia," desis Kiai Gringsing ketika ia melihat Kiai
Damar, "agaknya orang itu mencarimu."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, "Tetapi ia hanya seorang diri. Seharusnya ia
berada bersama orang yang disebut bernama Kiai Telapak
Jalak." "Kita belum mengenal orang yang bernama Kiai Telapak
Jalak dengan baik. Mungkin ia berada di sekitarnya."
"Mungkin di tempat lain," sahut Kiai Gringsing. "Jagalah Kiai
Damar. Jangan beri ia kesempatan. Aku akan mencari orang
yang bernama Kiai Telapak Jalak. Mungkin ia berada di ujung
yang lain. Atau bahkan mungkin ia sedang berusaha
mengalahkan Raden Sutawijaya."
"Baiklah. Aku akan menemui Kiai Damar. Meskipun
barangkali tidak berkenan di hatinya, apa boleh buat," berkata
Sumangkar. "Ya. Kali ini kita tidak boleh gagal lagi. Persoalan tanah ini
harus segera menjadi jernih. Apalagi persoalannya kemudian
beralih menjadi persoalan dengan Pajang, itu bukan soal kita
lagi. Tetapi kita sudah membantu membebaskan mereka yang
sedang berusaha membuka hutan ini dari gangguan hantuhantu
kerdil ini." "Ya. Dan aku akan segera dapat membantu Agung Sedayu
dan Swandaru ke Sangkal Putung. Kalau aku juga tidak
segera kembali, hati Ki Demang berdua, bahkan Sekar Mirah
akan menjadi semakin cemas."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Lihat, Kiai Damar tidak pandang lawan.
Orang-orang yang tidak mampu berbuat banyak itu telah
diserangnya. Cepat, lindungilah mereka."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian meloncat menyongsong Kiai Damar yang seolaholah
sedang mengamuk. Meskipun Kiai Damar sadar, bahwa di antara mereka yang
tinggal di dalam barak itu ada orang-orang yang harus
mendapat perhatiannya, namun kehadiran Sumangkar yang
tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Bahkan dengan tanpa
sesadarnya ia berkata, "Kau lagi?"
"Ya. Aku lagi," jawab Sumangkar. "Selama kau masih
datang kembali, aku pun akan datang lagi menjemputmu."
"Persetan. Sekarang aku tidak akan membiarkan kau
hidup. Sekarang kau akan mati."
Sumangkar tidak merasa perlu untuk menjawab. Ia
langsung mengambil alih Kiai Damar dari lawan-lawannya
yang kebingungan. Sehingga dengan demikian, maka mereka
pun segera terlibat dalam perkelahian yang seru.
Di tempat lain, Sutawijaya masih sibuk menghalau lawanlawannya
yang masih selalu mendesak terus. Para pengawal
menjadi agak kecut juga melihat orang-orang yang bertempur
bersama mereka menjadi bingung. Ternyata penghuni barak
yang tidak pernah mengalami peperangan dan hanya
mendapat petunjuk sekedarnya itu, masih belum mampu
menyesuaikan diri dengan peperangan yang sengit. Perang
yang seakan-akan tidak teratur lagi. Perang brubuh.
Apalagi apabila sekali-sekali mereka mendengar seorang di
antara mereka berteriak kesakitan, karena tubuh mereka
tersentuh senjata, sehingga kadang-kadang para pengawal
tidak lagi sempat bertempur dengan mantap.
Kehadiran Sutawijaya di medan ternyata telah memberikan
nafas baru kepada mereka, Sutawijaya yang bagaikan burung
sikatan itu, terbang dari satu lingkaran peperangan ke
lingkaran yang lain, sehingga hati para pengawal menjadi
agak lapang. Mereka mendapat kesempatan untuk
mengerahkan kemampuan mereka terhadap lawan-lawannya
sendiri, karena lawan-lawannya yang lain menjadi kisruh oleh
kehadiran Sutawijaya. Tetapi tiba-tiba langkah Sutawijaya terhenti. Seseorang
telah berada di hadapannya sambil bertolak pinggang.
Dengan sorot mata yang tajam, orang itu berkata, "Raden,
hentikan cara itu. Korban akan terlampau banyak karena
pokalmu." Sutawijaya tertegun sejenak. Diamatinya orang yang berdiri
bertolak pinggang di hadapannya itu. Dan sebelum ia
bertanya, maka orang itu telah mendahuluinya, "Akulah yang
disebut Kiai Telapak Jalak."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya
sejenak orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak itu.
Agaknya orang itu terlampau yakin akan dirinya.
"Sayang, bahwa kita bertemu dalam keadaan seperti ini,"
berkata Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Ya, sayang sekali. Tetapi apakah sebenarnya yang kalian
kehendaki, sehingga kalian terpaksa melakukan tindakantindakan
yang kasar ini?" "Pertanyaanmu terlampau sederhana. Sebagai seorang
yang bercita-cita membuka sebuah hutan sebesar hutan
Mentaok, kau seharusnya sudah dapat menjawab
pertayaanmu sendiri."
"O, begitu" Sayang, aku tidak dapat menjawab pertanyaan
itu. Mungkin otakku memang tumpul atau barangkali aku tidak
cukup mempelajari persoalan ini. Tetapi aku akan bertanya
sekali lagi kepadamu, apa pun yang kau katakan tentang
diriku." "Ini adalah suatu ciri bagi Raden Sutawijaya," berkata Kiai
Telapak Jalak. Lalu, "Kau adalah gambaran dari anak-anak
muda yang keras kepala."
"Ya. Itu benar. Lalu?"
"Dan aku masih harus menjawab pertanyaanmu?"
"Ya, aku masih mengharap jawaban itu."
"Baiklah." Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu, "Kami
tidak menghendaki kalian membuka Alas Mentaok."
"Kenapa?" "Ada bermacam-macam alasan. Di antaranya, aku tidak
senang melihat kau dan ayahmu Pemanahan berkuasa di
sini." "Itukah alasanmu yang paling penting."
"Sekali lagi kau menunjukkan kebodohanmu sebagai
seorang putera Pemanahan dan apalagi putera angkat Sultan
Pajang." "O, mungkin nanti kau akan menjumpainya kebodohan
berikutnya. Tetapi apa jawabmu?"
"Aku kira aku lebih baik tidak menjawab. Sekarang, jangan
menyesal bahwa kau akan mati di tanganku. Sudah lama aku
berniat untuk melakukannya, tetapi agaknya baru sekarang
aku mendapat kesempatan."
"Kiai Telapak Jalak," berkata Sutawijaya, "sebenarnya
usahaku untuk membuka Hutan Mentaok sudah pasti tidak
akan merugikan siapa pun juga. Tanah ini akan menjadi tanah
garapan yang subur. Yang akan bermanfaat bagi daerah di
sekitarnya. Jalur perdagangan akan menjadi semakin banyak
dan ramai. Demikian juga bagi Pajang. Jadi apakah salahnya
aku melakukannya?" "Tidak selamanya menguntungkan," jawab Kiai Telapak
Jalak. "Tetapi biarlah aku tidak perlu menggurui kau, karena
itu bersedialah untuk menutup segala rencanamu dengan
mengakhiri hidupmu. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati
melihat Putera Sultan Pajang yang terkenal sakti tanpa
tanding itu mati di pinggir Alas Mentaok, seperti matinya para
pendatang yang sekedar ingin memiliki secuwil tanah
garapan." "Jangan mengigau. Tetapi kalau kau tidak mau
mengatakan alasanmu, baiklah. Aku tidak akan memaksa.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak, Kiai
Damar, dan orang-orang yang berdiri di belakangnya pasti
mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat sesuatu. Bukan
sekedar digerakkan oleh perasaan iri yang berlebih-lebihan.
Tidak sekedar digerakkan oleh perasaan tidak senang melihat
tanah ini terbuka dan berkembang di samping daerah-daerah
yang telah terbuka lebih dahulu di sekitarnya."
"Cukup!" potong Kiai Telapak Jalak. "Itu dugaan yang
sangat kerdil dari seorang Putera Sultan Pajang."
"Salahmu sendiri, karena kau tidak mengatakan alasan
yang sebenarnya." "Persetan. Jangan membuang waktu. Semua orang sudah
berkeringat dan bahkan menitikkan darah. Sekarang kau
harus mati." Sutawijaya melihat mata Kiai Telapak Jalak yang berkilatkilat
kena cahaya obor yang kemerah-merahan. Karena itu, ia
pun segera bersiap. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa Kiai
Telapak Jalak adalah seorang yang pilih tanding. Karena itu,
sepercik pertanyaan telah menyentuh hatinya, "Apakah Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menemukannya?"
Tetapi sebagai seorang prajurit Sutawijaya tidak akan lari
dari gelanggang. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, ia
sudah siap menghadapinya.
"Kau masih ada kesempatan sejenak untuk menyebut
nama ayahmu. Sejenak lagi kau akan mati terkapar di tanah,"
berkata Kiai Telapak Jalak. "Aku tidak memerlukan waktu lebih
dari tiga tarikan nafas untuk membunuhmu. Kalau ayahmu
datang kemari, barulah aku mendapat lawan. Tetapi
kematianmu pasti akan membangunkannya."
"Jangan omong kosong. Kalau kau mampu melakukan,
lakukanlah. Tetapi selama ini kau tidak berani menampakkan
dirimu. Apalagi menghadapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan."
Kiai Telapak Jalak tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia
maju mendekati Sutawijaya dengan mata yang menyala-nyala.
Ia merasa bahwa tugas ini adalah sebagian dari satu-satunya
cara yang dapat ditempuh untuk membatasi kegagalan Kiai
Damar di daerah ini. Sutawijaya pun telah siap pula menghadapi setiap
kemungkinan. Tombaknya segera merunduk. Dengan
kokohnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang sedikit
merendah pada lututnya. Sementara itu, di sekitarnya, pertempuran masih
berlangsung dengan dahsyatnya. Para pengawalnya telah
berjuang mati-matian untuk tetap dapat bertahan.
Sejenak Kiai Telapak Jalak memandang arena yang
remang-remang. Kemudian ditatapnya wajah Sutawijaya yang
menegang. Namun kemudian ia pun telah siap untuk
menerkam lawannya. "Raden," berkata Kiai Telapak Jalak, "kalau aku tidak
berhasil membunuh Raden Sutawijaya dalam tiga tarikan
nafas, maka aku akan berlutut dan menyembah di bawah
kakimu. Aku akan menyerahkan leherku untuk dipancung atau
digantung sama sekali."
Sutawijaya tidak menyahut. Betapa pun tabah hatinya,
namun terasa dadanya tergetar juga mendengar ancaman itu.
Kiai Telapak Jalak pasti tidak sekedar menakut-nakutinya.
Tetapi ia pasti merasa mampu untuk melakukannya.
"Tetapi aku bukan cacing," geram Sutawijaya di dalam
hatinya, sehingga dalam pada itu ia pun yakin bahwa ia akan
dapat menghindar dari ancaman itu. Ia pasti akan dapat
bertahan lebih dari tiga tarikan nafas.
"Nah, Raden," berkata Kiai Telapak Jalak, "aku akan
segera mulai. Hitungan akan dimulai sejak aku melontarkan
seranganku yang pertama, yang aku yakin, bahwa, kau tidak
akan dapat menghindarkan diri, sehingga aku tidak akan
memerlukan waktu lebih panjang lagi."
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tombaknya kini telah
bergetar di tangannya, siap menerima serangan Kiai Telapak
Jalak. "Ha, kau sudah gemetar," desis Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya masih tetap berdiam diri.
"Seandainya tidak ada sinar obor yang kemerah-merahan,
maka wajahnya akan tampak lebih putih dari kapas."
Tiba-tiba Sutawijaya menggeram, "Cepat. Lakukan kalau
kau mampu. Atau kau hanya sekedar berbicara saja" Atau
kau ingin mempengaruhi perasaanku dengan ancaman dan
pengaruh ketidak-sabaranku"
"Ah, kau pandai juga menebak. Sebagian benar. Tetapi
jangan menyangka, bahwa aku tidak akan dapat melakukan
apa yang sudah aku katakan."
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia tidak lengah. Dan ia
berusaha untuk tetap menjaga perasaannya, agar tidak
menjadi kehilangan keseimbangan.
Tetapi agaknya sudah sampai saatnya Kiai Telapak Jalak
melakukan rencananya. Karena itu, maka suasana menjadi
kian menegang.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun dalam pada itu, sepasang mata selalu mengikuti
pembicaraan itu dengan saksama. Perlahan-lahan orang yang
memiliki sepasang mata yang tajam itu bergeser semakin
mendekat, sehingga akhirnya ia berdiri di balik gerumbul
beberapa langkah saja di belakang Sutawijaya. Orang itu
adalah Kiai Gringsing. Dalam penilaian Kiai Gringsing, Kiai Telapak Jalak memang
seorang yang memiliki kelebihan dari orang-orang
kebanyakan. Bahkan Kiai Gringsing menganggap bahwa Kiai
Telapak Jalak memang tidak sekedar membual. Mungkin ia
benar-benar dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak akan dapat
membiarkan hal itu terjadi. Kalau serangan pertama berarti
maut bagi Sutawijaya, maka ia tidak akan dapat kesempatan
lagi untuk menyelamatkannya.
Karena itu, Kiai Gringsing harus bertindak sesuatu sebelum
serangan yang pertama itu.
Maka ketika ia melihat Kiai Telapak Jalak benar-benar telah
mempersiapkan serangannya dengan masak, tiba-tiba saja
terdengar Kiai Gringsing berkata, "He, Kiai, apakah kau akan
melawan Raden Sutawijaya?"
Kiai Telapak Jalak terperanjat. Sejenak ia mencari, namun
segera diketemukannya Kiai Gringsing yang melangkah dari
balik gerumbul mendekati Sutawijaya.
"Minggir kau," bentak Kiai Telapak Jalak, "aku tidak sedang
bermain-main." "Aku tahu. Tetapi aku minta waktu sedikit. Aku akan
berbicara dengan Raden Sutawijaya."
"Apa yang akan kau katakan?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tanpa melepaskan
kewaspadaan ia berkata, "Raden, pasukan yang
mempertahankan barak ini agak terdesak. Setiap orang
menunggu pertolongan Raden. Karena itu, aku ingin
mempersilahkan Raden menolong mereka, agar mereka agak
mendapat kesempatan untuk bernafas."
"Siapa kau?" bentak Kiai Telapak Jalak. Tetapi Kiai
Gringsing tidak menghiraukannya. Katanya, "Silahkan.
Keadaan menjadi semakin genting. Beberapa orang telah
terluka. Raden tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Aku
sudah tidak mampu lagi menolong keadaan. Yang dapat
menahan arus serangan lawan tidak ada orang lain kecuali
Raden sendiri." "Gila kau," bentak Kiai Telapak Jalak, sedang Sutawijaya
agak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia sadar,
apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing dengan bahasa
yang sering dipergunakan oleh orang tua itu. Agaknya Kiai
Gringsing mengharap ia meninggalkan lawannya yang
berbahaya dan siap untuk mengambil alih persoalan.
"Cepatlah, Raden. Keadaan sudah sangat mendesak,"
sejenak Kiai Gringsing terdiam. Sambil memandang Kiai
Telapak Jalak, Kiai Gringsing berkata, "Biarlah aku mengurusi
yang seorang ini. Tetapi yang banyak orang itu aku serahkan
kepada Raden." Sutawijaya menarik nafas. Dengan gaya Kiai Gringsing ia
menjawab, "Baiklah, Kiai. Sayang, aku harus meninggalkan
lawanku yang seorang ini."
"Persetan, jangan lari."
"Aku mempunyai tugas yang lebih penting. Biarlah
pemomongku ini sajalah yang melayanimu."
"Tunggu," ternyata Kiai Telapak Jalak tidak ingin
melepaskan Sutawijaya yang seakan-akan telah berada di
dalam telapak tangannya. Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dengan tergesagesa
ia meninggalkan Kiai Telapak Jalak. Seakan-akan ia
tidak mengacuhkannya lagi, meskipun sebenarnya ia masih
sempat melihat kesiap-siagaan Kiai Gringsing, karena ia
menduga pula, bahwa Kiai Telapak Jalak tidak akan begitu
saja menerima keadaan itu.
Ternyata dugaan itu pun segera terjadi. Selagi Sutawijaya
melangkah pergi, Kiai Telapak Jalak sekali lagi
menghentikannya, "Berhenti. Aku akan menyerangmu.
Melawan atau tidak melawan."
Meskipun dada Sutawijaya berdesir, tetapi ia percaya
bahwa Kiai Gringsing tidak akan tinggal diam, sehingga ia
telah menyerahkan nasibnya bulat-bulat kepada Kiai Gringsing
itu. Kemarahan yang menghentak dada Kiai Telapak Jalak
tidak dapat ditahan lagi. Meskipun Sutawijaya
membelakanginya, namun Kiai Telapak Jalak segera
menyerangnya sambil berteriak nyaring, "Salahmu sendiri
kalau punggungmulah yang terbakar karena sentuhan
tanganku." Kiai Telapak Jalak sama sekali tidak menunggu jawaban,
sedangkan Sutawijaya pun sama sekali tidak berpaling,
meskipun terasa juga punggungnya meremang.
Sekejap kemudian. Kiai Telapak Jalak telah meloncat
memukul punggung Sutawijaya dengan sisi telapak
tangannya. Kiai Telapak Jalak yang merasa terhina oleh sikap
Sutawijaya itu telah berniat untuk membunuhnya dengan
pukulannya yang pertama itu.
Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ia tidak
menyangka sama sekali bahwa serangannya itu akan
membentur kekuatan yang tidak pernah diperhitungkannya
sama sekali, sehingga karena itu, justru Kiai Telapak Jalak-lah
yang terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di
tanah. Sutawijaya yang mendengar benturan itu berpaling
sejenak. Ia masih melihat Kiai Telapak Jalak meloncat berdiri
dengan sigapnya. Namun demikian, karena ia tidak bersedia
sama sekali menghadapi hal itu, maka terasa juga dadanya
menjadi sesak. "Berhati-hatilah sedikit, Kiai Telapak Jalak," Sutawijaya
masih sempat berkata. "Jangan tergelincir lagi untuk kedua
kalinya." "Persetan," geram Kiai Telapak Jalak, "jangan licik. Hadapi
aku." Sutawijaya tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan
tempat itu. Ia sadar, bahwa pertempuran yang berkobar
semakin seru itu sama sekali tidak menguntungkan pihaknya.
Karena itu, setelah mempercayakan perlawanan atas Kiai
Telapak Jalak kepada Kiai Gringsing, maka Sutawijaya mulai
dengan penjelajahannya kembali. Ia bertempur dari ujung
sampai ke ujung yang lain.
Dalam pada itu, Kiai Telapak Jalak hampir tidak dapat
menahan kemarahan yang meledak di dadanya. Namun
demikian, ia sadar bahwa kini ia bertemu dengan lawan yang
sebenarnya, meskipun bukan Ki Gede Pemanahan. Dan ia
pun kini harus mengakui, bahwa selama ini bukanlah Kiai
Damar yang salah menilai kemampuan lawannya. Tetapi
bahwa di dalam barak itu ada orang-orang yang memiliki
kelebihan dari sesamanya, kini telah dilihatnya sendiri sebagai
suatu kenyataan. Tetapi Kiai Telapak Jalak pun sadar bahwa ia masih belum
mempergunakan seluruh kemampuannya. Ia masih belum
mengukur kekuatan lawannya dengan sewajarnya. Kekuatan
yang dilepaskan itu, menurut penilaiannya, sudah cukup kuat
untuk mematahkan tulang belakang Sutawijaya betapa pun
anak muda itu telah menempa dirinya.
Karena itu, dengan wajah yang merah padam ia berdiri
tegak menghadap Kiai Gringsing sambil berkata, "Siapakah
sebenarnya kau?" Kiai Gringsing maju pula selangkah. Dengan nada yang
rendah ia berkata, "Namaku Truna Podang."
"Persetan. Iblis seperti kau pasti mempunyai seribu nama.
Kau sangka aku percaya?"
"Tidak. Aku memang sudah menduga bahwa kau tidak
akan percaya bahwa namaku Truna Podang, seperti aku juga
tidak percaya bahwa namamu Telapak Jalak. Tetapi adalah
kebetulan sekali bahwa kita sama-sama meminjam nama jenis
burung yang hampir sama. Podang dan Jalak. Keduanya
sejenis burung oceh-ocehan. Burung yang setiap matahari
terbit, mulai berkicau tanpa ujung dan pangkal. Begitu?"
Kiai Telapak Jalak menggeretakkan giginya
"Tetapi jenis podang memiliki bulu yang warnanya lebih
cantik dari seekor burung jalak."
"Cukup, Cukup. Agaknya di dalam barak ini terdapat juga
orang gila seperti kau."
"Mungkin. Tetapi aku sebenarnya adalah pemomong
Raden Sutawijaya." "Tentu kau yang menyebut dirimu Dandang Wesi."
"Kenapa aku?" "Kau dan Dandang Wesi sama-sama mengaku menjadi
pemomong Sutawijaya. Tidak mungkin hal itu suatu
kebetulan." "O, kau keliru. Aku mengenal Kiai Dandang Wesi. Ia adalah
pemomong Sutawijaya di masa kecilnya. Tetapi ia sudah
meninggal. Akulah yang kemudian menggantinya."
"Jangan kau bohongi aku seperti kau membohongi anakanak."
"Terserahlah kepadamu. Mungkin aku memang
memperlakukan kau seperti kanak-kanak."
"Diam, diam kau," Kiai Telapak Jalak membentak-bentak.
Tetapi suaranya seakan-akan tenggelam dalam hiruk-pikuk
peperangan yang semakin ribut. Di sana-sini terdengar
teriakan kemarahan, namun juga jerit kesakitan dan keluhan
yang tertahan-tahan. "Kiai Telapak Jalak," berkata Kiai Gringsing kemudian,
"sebenarnya aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada
orang tua. Apakah kau bersedia?"
Kiai Telapak Jalak menjadi termangu-mangu sejenak. Ia
merasakan, suatu perbawa yang telah mempengaruhi
perasaannya. Sehingga di luar kesabarannya sendiri ia
menganggukkan kepalanya, "Berbicaralah."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut
matanya ia memandang hiruk-pikuk peperangan. Ia
mengharap bahwa kehadiran Raden Sutawijaya mempunyai
banyak pengaruh di medan, sehingga semakin lama ia
berbicara dengan Kiai Telapak Jalak, maka kesempatan
Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Kemudian
pertempurannya dengan orang ini tidak akan terlampau
banyak berpengaruh. Sedangkan Kiai Damar, sudah pasti
tidak akan dapat mengatasi Sumangkar seperti yang pernah
terjadi. "Kiai Telapak Jalak," berkata Kiai Gringsing, "sedikit atau
banyak, kami telah mengetahui niatmu menggagalkan usaha
Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok. Kalian tidak
senang melihat daerah baru yang akan segera berkembang
ini. Kenapa" Apakah kau hanya sekedar iri atau kau memang
mempunyai suatu rencana lain tentang daerah ini" Kenapa
kau tidak berterus terang membicarakannya dengan Ki Gede
Pemanahan" Kalau rencanamu itu baik, maka Ki Gede
Pemanahan pasti tidak akan menolaknya. Kenapa kau
mengambil jalan yang panjang seandainya tujuanmu tidak
terlampau jauh." Kiai Telapak Jalak memandang Kiai Gringsing dengan
sorot mata yang seakan-akan menyala. Dengan suara yang
parau ia menjawab, "Truna Podang. Siapakah kau sebenarnya
dan apakah keuntunganmu mencampuri urusanku" Apakah
Pemanahan merasa dirinya tidak mampu lagi mengatasi
persoalan ini, sehingga ia memerlukan orang-orang seperti
kau?" Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tentu tidak.
Aku kira Pemanahan tidak tahu apa yang sebenarnya telah
terjadi di sini sekarang. Kalau ia tahu, bahwa di sini ada Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak bersama-sama, maka ia tidak
akan membiarkan anak laki-lakinya yang hanya satu-satunya
itu datang kemari. Ia pasti akan pergi sendiri dan tidak hanya
membawa beberapa orang pengawal. Tetapi segelar sepapan.
Dan kalian akan ditumpasnya tanpa ampun."
"Persetan!" "Bukankah kau sengaja menghancurkan usahanya dengan
cara yang lain dari cara seorang laki-laki jantan" Kau telah
membuat hantu-hantuan untuk menakut-nakuti orang-orang
yang sedang membuka hutan. Kau berharap bahwa mereka
meninggalkan tempat ini dan mengurungkan niatnya, setelah
kau ambil keuntungannya. Setelah beberapa dari mereka
berhasil menebang kayu-kayu raksasa di pinggiran Alas
Mentaok. Kelak, apabila kau berhasil mengusir dengan
caramu, maka akan datang orang-orang lain yang mengaku
telah membuka hutan ini tanpa menitikkan keringat sama
sekali." "Cukup!" teriak Kiai Telapak Jalak. "Kau orang-orang kerdil
yang tidak dapat menjangkau cara berpikir seseorang yang
bercita-cita. Kau tentu tidak mengerti apa yang kami inginkan.
Dan kau hanya akan sampai pada suatu ke-simpulan iri hati
dan ketamakan melulu."
"Apakah kau dapat mengatakan yang lain?"
Kiai Telapak Jalak menelan ludahnya. Ada semacam
tuntutan untuk mengatakan alasan yang lebih bernilai dari
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai
Telapak Jalak yang tidak dapat menahan gelora di dadanya itu
berkata, "Orang-orang kerdil macam kalian memang tidak
dapat berpikir panjang. Mungkin kau memiliki kemampuan
olah kanuragan. Tetapi kau benar seorang yang tidak lebih
baik dari seekor kerbau yang kuat, tetapi terlampau dungu
untuk bersikap." Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak. Tiba-tiba
saja ia merasa sesuatu telah terjadi di dalam pertempuran
yang sengit itu. Namun ia mempercayakannya kepada Kiai
Damar bahwa pada suatu saat Kiai Damar akan bertemu
dengan Raden Sutawijaya dan membunuhnya. Ia tidak
menyangka bahwa orang-orang yang berilmu melampaui
orang-orang kebanyakan di dalam peperangan ini berjumlah
tidak hanya seorang saja. Seorang yang sedang dihadapinya.
Sedang yang lain, meskipun mempunyai kelebihan-kelebihan
tertentu, tetapi tidak akan dapat melampaui Kiai Damar dan
pasukannya. Orang-orang bercambuk yang pernah
didengarnya, tentu tidak akan dapat melawan lima atau enam
orang-orang pilihannya sekaligus seperti Sutawijaya sendiri.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak menyangka, bahwa Sutawijaya
tidak berkelahi di satu tempat, tetapi ia bagaikan terbang dari
ujung sampai ke ujung, sedang anak-anak muda yang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercambuk itu berada di belakang barak.
"Sebentar lagi," berkata Kiai Telapak Jalak di dalam
hatinya, "orang-orang yang sedang berkelahi ini akan berteriak
ketakutan diterkam oleh kengerian yang amat sangat. Mereka
akan melihat orang-orangku yang akan melemparkan mayat
anak, isteri, dan orang tua mereka yang tinggal di dalam barak
itu. Orang-orangku yang memasuki barak lewat belakang itu,
akan membuat barak seisinya menjadi neraka yang paling
jahanam." Tanpa disadarinya Kiai Telapak Jalak memandang ke arah
barak yang diliputi oleh kegelapan. Tetapi ia berkata pula di
dalam hati, "Sebentar lagi barak itu akan menyala, dan
semuanya akan segera selesai. Semua orang akan menyesal.
Sutawijaya pun akan menyesal melihat mayat yang
bergelimpangan. Mayat perempuan dan anak-anak. kemudian
disusul mayat laki-laki yang berkelahi ini dan para pengawal.
Yang terakhir Sutawijaya akan menyesali kematiannya
sendiri." Karena Kiai Telapak Jalak tidak segera meneruskan katakatanya,
maka Kiai Gringsing pun menyahut, "He, kenapa kau
merenung sebelum kau selesai. Kau baru mengatakan aku
sedungu kerbau. Tetapi kau belum mengatakan, kenapa aku
kau anggap orang yang dungu?"
"Kau hanya berpikir pendek. Iri, tamak, bengis, dan
sebagainya. Tetapi apakah kau mengerti, bahwa yang
dilakukan oleh Pemanahan ini tidak berkenan di hati Sultan
Pajang?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Memang ia sudah
menduga, bahwa orang-orang itu akan mencoba menarik
keuntungan dari hubungan yang seakan-akan mulai retak
setelah Pemanahan meninggalkan Pajang karena janji Sultan
Pajang itu tidak segera dipenuhi. Tetapi sampai berapa jauh
mereka mempergunakan dalih itu masih ingin diketahui oleh
Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai Gringsing pun bertanya, "Apakah kau
yakin pada apa yang kau katakan" Bukankah Raden
Sutawijaya putera angkat Sultan Pajang?"
"Ya. Itulah kekerdilan jiwa Pemanahan. Kalau ia tidak usah
menuntut tanah ini, maka persoalannya akan tetap jernih.
Sebagai putera Sultan Pajang, maka Sutawijaya akan
mendapat tidak hanya sekedar Alas Mentaok, tetapi jauh lebih
banyak dari itu. Jauh lebih luas dari Tanah yang kalian sebut
Mataram Baru ini. "Apakah kau lupa, bahwa di Pajang ada Pangeran
Benawa?" "Pangeran Benawa akan mewarisi tahta Pajang. Sutawijaya
setidak-tidaknya akan menjadi seorang Adipati. Adipati yang
besar dan tidak perlu berdiri di balik pintu yang tertutup seperti
sekarang ini." "Ah, kau memang aneh. Kau agaknya banyak mengetahui
tentang hubungan itu. Hubungan antara Pemanahan dan
Sultan Pajang. Tetapi semuanya itu kau nilai berdasarkan atas
pertimbanganmu sendiri. Apakah hubunganmu dengan
persoalan itu" Persoalan itu adalah persoalan Sultan Pajang
dengan Pemanahan. Bukan persoalanmu dan bukan
persoalanku. Kalau Sultan Pajang berkeputusan mengusirnya,
biarlah ia mengusirnya. Kalau kemudian ternyata Sultan
Pajang, entah karena segan atau karena Sutawijaya itu anak
angkatnya, dan mengesahkan pembukaan hutan ini dan ingat
Telapak Jalak, bahwa hal itu sudah dilakukan, itu pun
urusannya mereka pula."
"Itu tidak adil. Sultan Pajang tidak melalaikan apa yang
lurus bagi pemerintahannya. Ia membenarkan sikap
memberontak dari Pemanahan. Menurut pendapatku,
Pemanahan justru harus dihukum. Tidak justru mendapat
pengesahan atas pemberontakan yang dilakukan."
"Kiai Telapak Jalak. Kenapa kau mempergunakan istilahistilah
yang mendebarkan jantung. Apakah dapat dibenarkan
bahwa kau menganggap Pemanahan telah memberontak.
Dan bahkan Sultan Pajang sendiri telah membersihkan
pemberontak itu" Kau terlampau mengada-ada."
"Truna Podang. Apakah yang kau ketahui tentang
persoalan ini" Kau mungkin pernah berguru pada seorang
guru sakti. Tetapi gurumu tinggal di ujung pegunungan kapur
yang tandus, sehingga tidak sepantasnya kau berbicara
tentang Sultan Pajang."
"O, begitu?" sahut Kiai Gringsing. "Karena itu sebaiknya
kita tidak mempersoalkannya. Aku kira kau pun sebaiknya
tidak membuang-buang waktu untuk itu. Serahkanlah
semuanya kepada kebijaksanaan Sultan Pajang. Seandainya
Sultan Pajang membenarkan pemberontakan itu sekalipun,
apakah hakmu untuk ikut mencampurinya, apalagi dengan
caramu?" Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah
cahaya obor yang tersangkut di semak-semak.
"Persetan!" katanya. "Aku adalah salah satu dari
sekelompok orang-orang yang menghendaki tegaknya
keadilan di Pajang dan seluruh daerahnya, termasuk Alas
Mentaok. Cara-cara yang ditempuh oleh Pemanahan adalah
cara-cara yang kotor dan tidak dapat dibiarkan."
"Kalau kemudian Sultan Pajang membenarkannya,
bukankah itu berarti bahwa kau juga telah memberontak
kepada rajamu." "Demi kebenaran."
"Itu juga yang pernah diucapkan oleh Pemanahan ketika ia
memutuskan untuk membuka hutan ini. Demi kebenaran dan
keadilan. Pati sudah diserahkan. Mentaok pun harus segera
diserahkan. Nah, kau melihat persamaannya?"
Darah Kiai Telapak Jalak serasa telah mendidih. Ternyata
orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu bukan orang
yang sama sekali tidak mengerti persoalan Tanah Mentaok ini.
Sehingga dengan demikian, maka semakin besarlah tanda
tanya di dalam hati Kiai Telapak Jalak, siapakah sebenarnya
orang yang sedang dihadapinya ini. Namun agaknya orang itu
sama sekali tidak berniat untuk mengatakan tentang dirinya.
"Apa peduliku," geram Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
"kalau aku membinasakannya maka tidak akan ada persoalan
apa pun lagi." Karena itu, maka dengan suara bergetar ia berkata, "Kita
tidak usah mempersoalkannya. Bukankah kita sudah bertemu
di medan?" "Tetapi belum terlambat, Kiai Telapak Jalak. Kalau kau
bersedia menarik orang-orangmu, maka aku kira, persoalan ini
pun akan segera selesai. Aku menjamin bahwa Raden
Sutawijaya tidak akan menuntut kau dan orang-orangmu
apabila kau dan orang-orangmu benar-benar dengan ikhlas
menghentikan semua kegiatan yang tidak berarti ini. Kau
harus meninggalkan Alas Mentaok dan menghentikan segala
macam kegiatanmu, membuat hantu-hantuan dan menakutnakuti
orang-orang yang sedang bekerja."
Tetapi Kiai Telapak Jalak menggeram, "Gila. Kau sangka
dirimu begitu pentingnya sehingga kau dapat mengambil sikap
seakan-akan kaulah yang menentukan segala sesuatunya?"
"Bukan aku, tetapi kau."
"Tidak. Aku sudah berkeputusan untuk membinasakan
semua orang yang ada di sini, agar berita tentang badarnya
beberapa jenis hantu yang dibuat oleh Kiai Damar tidak
tersebar di mana-mana. Dan bahkan akan tersebar berita,
bahwa di sini telah berjangkit wabah yang maha dahsyat,
karena orang-orang di sini tidak lagi menghormati penghuni
Alas Mentaok yang sebenarnya. Kau mengerti?"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
sudah pasti baginya, bahwa ia tidak akan dapat
menyelesaikan masalah ini seperti yang dicobanya itu. Tetapi
ia benar-benar harus mempergunakan kekerasan yang pasti
tidak hanya akan berhenti sampai di sini. Karena di dalam
perkem-bangan persoalan yang didengarnya dari berbagai
pihak pasti ada hubungan yang rapat antara orang-orang itu
dengan beberapa orang yang ada di dalam istana Pajang.
"Apa boleh buat," berkata Kiai Gringsing, "kau terlampau
sadar akan kelebihanmu. Dan kau terlampau sadar bahwa di
belakangmu berdiri dukungan yang kuat, entah dari orangorang
di istana atau orang-orang yang erat hubungannya
dengan orang-orang istana."
"Bohong!" "Kau selalu menyebut hubungan antara tanah ini dengan
Sultan Pajang, karena persoalan itulah yang selalu kau dengar
dari orang-orang yang berdiri di belakangmu."
"Berangan-anganlah dan mengigaulah sekehendak hatimu.
Sebentar lagi mulutmu akan terkatup untuk selama-lamanya."
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia kini mempersiapkan
dirinya untuk menghadapi perkelahian yang sebenarnya. Kiai
Telapak Jalak adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari Kiai Damar dan memiliki keya-kinan yang teguh
akan dirinya sendiri. Sejenak kemudian, maka Kiai Telapak Jalak yang kecewa
karena lepasnya Sutawijaya itu pun telah menumpahkan
kemarahannya kepada Kiai Gringsing. Dengan gigi
gemeretak, ia pun mendekat selangkah demi selangkah.
Kemudian, dengan garangnya ia menyerang sambil berkata,
"Aku percaya bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu pada
serangan pertama seperti kalau yang berdiri di sini Raden
Sutawijaya. Tetapi cepat atau lambat, kau pun akan mati pula
di sini. Kemudian seisi barak ini akan menjadi mayat-mayat
berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil di hutan ini.
Merekalah yang kelak akan benar-benar menjadi hantu yang
berkeliaran siang dan malam di Alas Mentaok ini."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia sudah benarbenar
siap menghadapi serangan itu. Dengan sigapnya ia
menghindarkan dirinya dan bahkan dengan serta-merta ia
telah menyerangnya pula. Namun Kiai Telapak Jalak pun cukup tangkas untuk
menghindar sehingga serangan Kiai Gringsing pun tidak
mengenai sasarannya. Demikianlah maka keduanya segera terlibat di dalam
perkelahian yang sengit. Dengan cepatnya mereka saling
menyerang silih berganti. Tangan-tangan mereka terayunayun
seperti sayap-sayap burung yang sambar-menyambar.
Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan
sengitnya, Kiai Telapak Jalak masih menunggu hasil serangan
orang-orangnya dari arah belakang barak. Mereka harus
berbuat sesuatu untuk mempengaruhi jalannya pertempuran.
Mereka harus membuat perempuan dan anak-anak berteriak
ketakutan, membunuh mereka dan melemparkan mayat
mereka di tengah-tengah pertempuran ini. Dengan demikian
maka perlawanan orang-orang dari barak ini dan para
pengawal pasti akan segera dapat dipatahkan.
Tetapi hal itu tidak juga segera terjadi. Tidak ada jerit di
kejauhan, dan tidak ada sesosok mayat pun yang terlempar ke
tengah-tengah medan. Bahkan yang terdengar di kejauhan
adalah ledakan cambuk yang sahut-menyahut.
Ternyata suara cambuk itu telah menggelisahkannya. Ia
pernah mendengar dari Kiai Damar, orang-orang bercambuk
yang pernah dihadapinya. "Agaknya ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku
rencanakan," berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hati.
Dengan demikian, maka ia berniat untuk segera
meninggalkan mayat lawannya, apabila ia segera dapat
membunuhnya. Kemudian membunuh setiap orang yang ada
di dalam pertempuran itu.
Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berusaha
menyelesaikan peperangan itu. Dikerahkannya segala
kemampuan untuk mengalahkan Kiai Gringsing.
Namun ternyata ia menghadapi lawan yang jauh lebih berat
dari yang diduganya semula. Ternyata bahwa orang yang
menyebut dirinya Truna Podang itu tidak sekedar dapat
menyamai Kiai Damar. Tetapi orang tua ini ternyata memiliki
banyak kelebihan yang menggetarkan jantungnya.
Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak ingin
memperpanjang pertempuran. Dengan serta-merta dari balik
bajunya, ia mencabut sebilah cundrik. Cundrik yang berwarna
kehitam-hitaman. Dada Kiai Gringsing berdesir melihat senjata itu. Senjata
yang memang telah diduga ada pada orang yang bernama
Kiai Telapak Jalak, dan pasti juga pada Kiai Damar. Racun.
Senjata itu pasti menyimpan racun yang sangat tajam.
Didasari dengan kecepatan tangan Kiai Telapak Jalak,
maka cundrik itu pasti akan sangat berbahaya. Bahkan
seandainya Kiai Telapak Jalak itu menjadi liar, dan berlari-lari
di sepanjang medan sambil mengayun-ayunkan cundriknya
maka sebelum fajar, semua orang pasti akan sudah mati.
"Kalian memang suka bermain-main dengan racun," desis
Kiai Gringsing kemudian. "He, kau mengenal juga bahwa senjataku beracun."
Kiai Gringsing tidak dapat lengah barang sekejap pun.
Kalau senjata itu tidak berada di tangan Kiai Telapak Jalak,
maka pasti tidak akan terlampau berbahaya. Tetapi kini
senjata itu ada di tangan Kiai Telapak Jalak, sehingga
bahayanya akan menjadi berlipat ganda.
Karena itu, sebelum bahaya yang sebenarnya
menerkamnya, maka Kiai Gringsing pun meloncat surut untuk
mendapatkan kesempatan, mengambil sebutir obat dari
bumbung di kantong ikat pinggangnya. Sebelum serangan
berikutnya datang, obat itu sudah ditelannya.
Kiai Telapak Jalak justru tertegun sejenak. Ia melihat Kiai
Gringsing mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Yang
mula-mula terlintas di kepalanya adalah jenis senjata yang
belum dikenalnya. Karena itu Kiai Telapak Jalak segera
mempersiapkan dirinya menghadapi jenis senjata itu.
Namun ternyata Kiai Gringsing sekedar mengambil sebutir
reramuan obat dari kantong ikat pinggangnya itu. "Apa yang
kau telan?" bertanya Kiai Telapak Jalak.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia telah
mencoba membentengi dirinya dengan berjenis-jenis obat.
Menurut perhitungannya, racun yang berada pada senjata Kiai
Telapak Jalak pasti termasuk racun yang terbaik.
Namun demikian, terkilas juga di angan-angan Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar dan kedua muridnya. Mereka pun
sudah membawa bekal obat untuk mengurangi kerja racun
yang paling tajam sekali pun. Tetapi menurut perhitungannya,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ada di tangan Kiai Telapak Jalak itulah yang pasti paling
berbahaya. "He, apa yang kau telan" Apakah kau mau membunuh
diri?" Kiai Telapak Jalak mendesak. "Kalau kau ingin
membunuh diri, kau tidak usah menelan racun itu, karena aku
akan menolongmu." Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Terasa tubuhnya
menjadi panas. Adalah kebetulan sekali bahwa Kiai Telapak
Jalak tidak segera menyerangnya.
Tetapi ternyata Kiai Telapak Jalak tidak menunggu lebih
lama lagi. Ia pun kemudian menyadari, bahwa Kiai Gringsing
pasti sudah menelan obat yang dapat mengurangi ketajaman
racun senjatanya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak masih
berkata, "Kau akan menyesal. Kau sangka ada obat yang
dapat menawarkan jenis racunku" Seandainya reramuanmu
mandi, namun pasti ada akibat yang tinggal pada tubuhmu.
Mungkin kelumpuhan sebagian atau bahkan kelumpuhan
mutlak." Kiai Gringsing sengaja tidak menjawab kata-kata Kiai
Telapak Jalak itu, karena Kiai Telapak Jalak pasti akan segera
mengetahui bahwa suaranya bergetar.
Namun Kiai Gringsing tidak dapat menunda perkelahian
lebih lama lagi karena Kiai Telapak Jalak pun segera
menyerangnya pula. Untuk mengatasi kesulitan di saat-saat obat yang
ditelannya sedang bekerja di dalam dirinya. Kiai Gringsing
sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia hanya sekedar
menghindar dan meloncat surut. Tubuhnya rasa-rasanya
masih belum cukup kuat untuk bertempur langsung melawan
serangan-serangan Kiai Telapak Jalak.
Sejenak Kiai Telapak Jalak menjadi heran. Tetapi
kewaspadaannya justru menahannya untuk melakukan
tekanan yang lebih besar lagi. Bahkan ia menduga, bahwa
Kiai Gringsing yang menyebut dirinya Truna Podang itu
sedang mempersiapkan suatu cara yang tidak disangkasangkanya
untuk menjebaknya. Di saat-saat mereka mulai
bertempur, Truna Podang mampu melawannya dengan
gigihnya, namun tiba-tiba kini ia bertempur dengan cara yang
lain. "Apakah orang ini termasuk orang yang licik?" bertanya Kiai
Telapak Jalak di dalam hatinya. "Setelah ia melihat senjataku
ini, ia kehilangan keberanian untuk melawan?"
Tetapi keragu-raguan Kiai Telapak Jalak yang menahannya
untuk tidak segera menyerang itu memberi peluang kepada
Kiai Gringsing untuk mempersiapkan dirinya.
Perlahan-lahan terasa obat yang ditelannya telah menjalari
seluruh tubuhnya. Setelah seluruh kulitnya basah karena
keringat, maka terasalah udara malam yang sejuk mulai
menyelusuri kulitnya. Sejalan dengan perasaan itu, Kiai
Gringsing merasa bahwa ia sudah siap menghadapi setiap
kemungkinan. Bahkan seandainya di dalam perkelahian itu ia
akan tergores oleh ujung keris Kiai Telapak Jalak.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing kini tidak lagi berloncatan
surut. Kini ia berdiri tegak menghadapi lawannya yang
menggenggam sebuah keris yang berwarna kehitam-hitaman.
Namun Kiai Gringsing tidak ingin melawan keris itu dengan
tangannya, sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing pun
segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk yang berjuntai
panjang. Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ketika tampak
olehnya cambuk itu, maka ia bergumam kepada diri sendiri,
"Inilah agaknya orang bercambuk itu. Sudah tentu ia adalah
orang pilihan. Kalau orang-orang bercambuk yang masih
muda itu mampu menggetarkan orang-orang Kiai Damar,
maka yang tua ini pun pasti dapat berbuat jauh lebih banyak
lagi." Dan sadar pulalah Kiai Telapak Jalak, bahwa selama ini
pastilah lawannya sedang mencernakan obatnya di dalam
tubuhnya. Dengan demikian, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak akan
lengah lagi. Ia harus bertempur mati-matian. Untuk melawan
cambuk itu, ia tidak dapat mempergunakan senjata berjarak
pendek sependek kerisnya. Mungkin untuk melawan orang
lain yang bersenjata apa pun juga, ia tidak memerlukan
senjata yang lain, tetapi melawan orang bercambuk ini, Kiai
Telapak Jalak memerlukan senjata yang lain untuk
merangkapi keris pusakanya.
Ketika cambuk Kiai Gringsing mulai meledak, maka Kiai
Telapak Jalak pun melepas rantai yang membelit lambungnya.
Dengan rantai di tangan kanan dan kerisnya di tangan kiri, ia
pun telah siap melawan Kiai Gringsing yang bersenjata
cambuk itu. Pertempuran itu pun kemudian menjadi semakin dahsyat.
Kedua jenis senjata serupa itu berdesingan di antara dentang
senjata yang beradu di medan. Sambar-menyambar dan
desak-mendesak. Setiap kali kedua jenis senjata itu saling
membelit, namun kemudian dengan kekuatan raksasa yang
tarik-menarik, belitan itu pun segera terlepas dan perkelahian
pun berlangsung pula lebih dahsyat lagi.
Demikian pula pertempuran yang berlangsung di seluruh
arena. Sutawijaya yang bagaikan elang berterbangan itu
membuat lawan-lawannya menjadi ngeri dan bertanya-tanya
di dalam hati, "Apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak
tidak segera dapat menyelesaikan lawan-lawannya dan
membiar-kan burung elang ini berterbangan menyambarnyambar?"
Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak ternyata tidak
muncul juga di arena yang panjang itu. Hanya orang-orang
yang bertempur di sekitarnya sajalah yang melihat kedua
orang kebanggaan mereka itu bertempur dengan sengitnya.
Namun mereka pun segera melihat juga, bahwa keduanya
sama sekali tidak akan segera dapat mengatasi lawanlawannya.
Apalagi Kiai Damar, yang selalu terdesak mundur
betapa pun ia berusaha menahan arus serangan Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak pun segera merasa, bahwa orang
yang menyebut dirinya Truna Podang itu pun memiliki ilmu
yang tinggi. Di dalam pertempuran itu, Kiai Telapak Jalak
merasakan bahwa Truna Podang benar-benar telah
menguasai ilmunya dalam ungkapan yang matang.
Cambuk yang berputar-putar seperti baling-baling. Lecutan
yang tiba-tiba dan ayunan mendatar yang menyambar
lambung membuat Kiai Telapak Jalak harus berpikir beberapa
kali tentang lawannya. Truna Podang pasti bukan seorang yang sekedar pernah
mendapat tempaan oleh seorang guru padesan yang tinggal di
padukuhan kecil dan sedikit mempelajari olah kanuragan yang
kasar, dan membentuknya sendiri setelah menyadap
beberapa tata gerak alam yang dikenalnya sehari-hari. Tetapi
orang yang menamakan diri Truna Podang itu pasti seorang
yang mempelajari ilmunya berdasarkan atas pengamatan dan
pengolahan yang matang, sehingga seakan-akan Kiai Telapak
Jalak merasa telah berhadapan dengan Ki Gede Pemanahan
sendiri. Dengan demikian maka perlahan-lahan telah tumbuh
kecemasan di hati Kiai Telapak Jalak. Apakah ia benar-benar
telah terjebak bersama Kiai Damar ke dalam jarring-jaring
yang memang sudah dipersiapkan.
"Persetan," Kiai Telapak Jalak menggeram.
Namun bagaimana pun juga ia tetap tidak dapat mendesak
lawannya. Rantainya yang berdesing-desing dan kerisnya
yang buram namun memancarkan pantulan cahaya maut,
sama sekali tidak berhasil mendesak Kiai Gringsing. Betapa
pun Kiai Telapak Jalak mengerahkan segenap kemampuannya.
Bahkan setapak demi setapak ia harus melangkah
surut. Apalagi setelah beberapa lama orang-orang yang
ditugaskannya untuk menghancurkan barak tidak segera
menunjukkan hasilnya. Dengan demikian usahanya untuk
menghancurkan ketahanan dan ketabahan hati orang-orang
dari barak itu beserta para pengawal tidak dapat berlangsung.
Ledakan-ledakan cambuk di kejauhan telah membuat hati Kiai
Telapak Jalak menjadi semakin cemas.
Tetapi Kiai Telapak Jalak adalah orang yang matang di
dalam sikap dan tandang. Itulah sebabnya, ia masih tetap
bertempur sekuat tenaganya. Kelebihan Truna Podang dari
padanya, bukanlah kelebihan yang menentukan. Kalau Truna
Podang berbuat sedikit kesalahan, maka ia masih mempunyai
harapan untuk membunuhnya. Dengan racun di kerisnya, atau
langsung menusuk pusat jantungnya. Sehingga karena itulah
maka ia pun masih juga bertempur sekuat tenaga.
Di medan yang lain, di belakang barak, Agung Sedayu,
Swandaru, serta kawan-kawannya benar-benar telah berhasil
menguasai medan. Lawan-lawan mereka sama sekali sudah
tidak berdaya. Beberapa orang terbaring di tanah dengan
luka-luka di tubuhnya, sedang beberapa orang yang lain, tidak
lagi dapat menghindarkan diri dari kematian, karena
kelengahan mereka atau karena kemarahan orang dari barak
itu atau para pengawal. Tetapi kematian memang tidak dapat
dihindarkan dari peperangan, karena kematian adalah bunga
dari peperangan. Apalagi karena di antara orang-orang penghuni barak itu
pun ada juga yang menjadi korban. Kematian kawan-kawan
mereka itulah yang telah membakar hati setiap orang,
sehingga apabila Agung Sedayu tidak berusaha mencegahnya
kematian masih akan bertambah-tambah.
"Mereka tidak dapat menahan perasaan," desis Swandaru.
"Itulah yang harus kita jaga. Kalau keseimbangan perasaan
itu tidak dapat dijaga, akibatnya akan meniadi semakin parah."
"Bukan salah mereka. Mereka melihat kawan-kawan
mereka terluka, apalagi ada pula yang terbunuh."
"Memang, bukan salah mereka. Pergolakan perasaan yang
terjadi di medan adalah wajar. Tetapi alangkah baiknya kalau
kita dapat mengendalikan diri. Tanpa menambah kematian,
tugas-tugas kita dapat kita selesaikan."
"Memang bagus sekali. Tetapi di seluruh Pajang dan
Mataram, agaknya hanya ada seorang saja yang mampu
berbuat seperti kau, Kakang."
"Guru mengajarku."
"O," Swandaru mengangguk-angguk, "dua. Yang seorang
adalah guru sendiri."
"Raden Sutawijaya juga tidak membunuh lawan-lawannya
yang sudah menyerah. Apalagi yang sudah tidak berdaya."
"Tiga. Tiga dengan Raden Sutawijaya."
"Sudah tentu Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian
tanpa tuntunan." "Ki Gede Pemanahan. Bukankah kau akan mengatakan
bahwa Ki Gede Pemanahan juga pasti berbuat demikian.
Baiklah. Ternyata ada empat orang. Begitu" Apakah kau
masih akan menambah lagi."
"Ya." "Siapa?" "Swandaru Geni. Bukankah begitu?"
"Macam kau," desis Swandaru, namun kemudian ia
menjawab, "Ya, Swandaru memang seorang pengampun."
Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sejenak.
Namun kemudian ia pun tersenyum.
"Baiklah. Marilah kita berbuat sesuatu. Lawan-lawan kita
sudah tidak berdaya. Yang lain melarikan diri."
"Apakah kau yakin bahwa mereka memang melarikan diri?"
"Aku yakin." Swandaru mengangguk-angguk, lalu katanya, "Biarlah
mereka yang terluka dirawat sebaik-baiknya. Kita melihat
medan di depan barak. Apakah mereka masih memerlukan
tenaga?" Agung Sedayu merenung sejenak. Pertempuran di
belakang barak itu sudah dapat dikatakan selesai. Tidak ada
lagi perlawanan yang berarti. Satu dua orang mencoba untuk
melepaskan diri. Tetapi mereka tidak dapat lagi menghindar
karena luka-luka mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata kepada
seorang pengawal, "Terserah kepada Ki Sanak. Biarlah yang
luka-luka mendapat perawatan. Kami berdua akan pergi ke
medan di depan barak."
"Baiklah. Aku akan menyelenggarakan penyelesaian
sebaik-baiknya," jawab pengawal itu.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian pergi
kebagian depan barak yang masih dihangatkan oleh
perkelahian yang sengit. Obor-obor yang dinyalakan oleh
orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak memberi
banyak petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
"Mereka memerlukan obor-obor itu," bisik Swandaru.
"Kiai Damar yakin akan memenangkan perkelahian ini,
sehingga untuk mempercepat penyelesaian, mereka perlu
dapat membedakan dengan segera, yang mana kawan dan
yang mana lawan-lawan yang harus dihancurkannya."
"Tetapi agaknya mereka tidak akan segera berhasil."
Agung Sedayu tidak menyahut. Dengan hati-hati mereka
mendekati medan. Namun dengan demikian segera dapat
mereka lihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Pertempuran yang sengit itu hampir dapat dikatakan
seimbang. Namun Sutawijaya yang menjelajahi medan
memang membuat lawan mereka menjadi bingung.
Tombaknya yang berputar-putar bagaikan baling-baling
membuat orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak
berloncatan menjauh, semen-tara di beberapa tempat
pengawal-pengawal Sutawijaya dapat mem-pergunakan
setiap kesempatan itu sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang
yang tinggal di barak itu, yang semula mulai menjadi kecut,
perlahan-lahan telah tergugah lagi keberanian mereka.
Meskipun mereka tidak setangkas lawan, tetapi petunjukpetunjuk
yang mereka dapat untuk bertempur berpasangan,
ternyata sangat berguna bagi mereka, meskipun petunjukpetunjuk
itu terlampau singkat. "Apakah kita akan ikut?" bertanya Swandaru.
"Kita belum melihat, di mana Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak," sahut Agung Sedayu.
"Itu urusan guru dan Ki Sumangkar."
"Ya. Tetapi kita harus yakin, bahwa keduanya sudah
menemukan lawan masing-masing."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian itu. Sejenak
merasa masih sempat menyelusuri medan dan melihat


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengitnya pertempuran. Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya ketika
mereka melihat, Bagaimana Kiai Damar berjuang mati-matian
untuk mengelakkan serangan Sumangkar yang melandanya
bagaikan angin taufan. "Dukun sakti yang bergelimang racun itu tidak akan dapat
bertahan terlampau lama," desis Agung Sedayu.
"Ya. Ki Sumangkar akan segera menyelesaikan."
"Sekarang Kita lihat, guru pasti sedang bertempur melawan
Kiai Telapak Jalak."
Dan keduanya pun bergeser selangkah demi selangkah.
Akhirnya mereka pun menemukan arena perkelahian yang
dahsyat antara Kiai Gringsing melawan Kiai Telapak Jalak.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding.
Meskipun Kiai Gringsing berhasil mendesaknya, namun belum
merupakan suatu keyakinan bahwa ia akan berhasil
mengalahkan lawannya. "Kita tidak akan dapat mencampurinya," desis Agung
Sedayu. "Lalu?" bertanya Swandaru.
"Kita terjun ke medan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia
melihat bayangan seseorang yang melintas di medan dengan
tombak yang berputar-putar.
"Itulah Raden Sutawijaya," berkata Agung Sedayu.
"Kita mengikutinya."
"Tidak perlu. Kita membuat arena sendiri."
Swandaru menganggukkan kepalanya. Keduanya pun
kemudian mendekati medan yang masih riuh.
"Kami akan ikut serta di medan ini," berkata Agung Sedayu
kepada Raden Sutawijaya. Sutawijaya mundur selangkah. Jawabnya, "Apakah
tugasmu sudah selesai?"
"Ya. Kami sudah selesai."
"Baiklah. Kita tidak boleh gagal kali ini. Kita harus
menyelesaikannya dengan tuntas. Kesempatan seperti kali ini
belum tentu akan terulang kembali."
"Kami akan berbuat sebaik-baiknya."
"Kita membagi medan. Kalian di sini. Aku di ujung yang
lain. "Ya. Kami akan bertempur di sini."
Sutawijaya pun kemudian meloncat kembali menerjunkan
diri ke medan. Tombaknya berputar semakin cepat. Perlahan
ia bergeser ke ujung pertempuran yang lain, sedang Agung
Sedayu dan Swandaru kini menghadapi tugas yang baru di
medan yang riuh itu. Sejenak keduanya saling berpandangan. Kemudian
terdengar Swandaru berdesis, "Kita akan mulai?"
"Ya. Marilah." Swandaru mengangguk-angguk. Dan mereka berdua pun
kemudian mulai mengayun-ayunkan cambuk mereka.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Swandaru pun telah
berada di tengah-tengah dentang senjata. Sejenak mereka
mengamati medan, dan sejenak kemudian Swandaru-lah yang
pertama-tama meledakkan cambuknya memekakkan telinga.
Suara cambuk itu ternyata telah mendebarkan setiap
jantung. Beberapa orang yang bertempur tidak jauh dari Kiai
Telapak Jalak telah dibisingkan oleh ledakan-ledakan cambuk
Kiai Gringsing yang berhasil melawan Kiai Telapak Jalak. Kini
di bagian lain dari medan itu telah digetarkan oleh suara
cambuk yang lain pula. Kehadiran Swandaru dan Agung Sedayu ternyata benarbenar
telah merubah keseimbangan medan. Meskipun
tampaknya mereka hanya berdua di antara pertempuran yang
ramai, namun yang dua orang itu mempunyai arti yang luas.
Agung Sedayu dan Swandaru yang telah melakukan latihanlatihan
khusus untuk waktu yang lama, mempunyai pengaruh
yang besar bagi lawan-lawannya. Mereka berdua tidak
sekedar mengikat dua orang lawan, tetapi masing-masing
telah bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Seperti
Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru bergerak meskipun
tidak begitu luas di sepanjang separo lingkaran medan.
Sedang Sutawijaya bergerak di bagian yang lain.
Demikianlah, maka satu demi satu lawan-lawan kedua
anak-anak muda itu dilumpuhkan. Ujung cambuk mereka yang
meledak-ledak, mampu menyobek kulit dan meninggalkan
goresan-goresan yang merah biru di tubuh lawan.
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari
lagi kenyataan yang terjadi di medan. Apalagi Kiai Telapak
Jalak yang menganggap selama ini Kiai Damar tidak mampu
melakukan tugasnya karena gangguan-gangguan kecil. Tetapi
ternyata bahwa orang-orang yang ada di dalam barak itu
bukan sekedar gangguan-gangguan kecil seperti yang
disangkanya. Kini ia harus mengalami sendiri, betapa beratnya bertempur
melawan mereka. Selain orang-orang yang aneh, yang tidak
sewajarnya berada di antara orang-orang yang sedang
membuka hutan, ternyata penghuni barak itu pun sudah tidak
dapat lagi ditakut-takuti dengan gemerincingnya kaki-kaki
kuda semberani, dengan tengkorak yang bercahaya karena
dilekati kunang-kunang setelah dioles dengan getah yang
lekat. Orang-orang yang tinggal di barak itu ternyata justru telah
berani mengangkat senjata untuk melawan mereka di medan
pertempuran bersama-sama para pengawal yang jumlahnya
tidak begitu banyak. "Kalau saja keadaan di barak ini wajar," berkata Kiai
Telapak Jalak di dalam hatinya, "mereka pasti sudah hancur.
Mereka pasti sudah binasa sampai keakar-akarnya.
Perempuan dan anak-anak, dan bahkan Sutawijaya pun akan
binasa pula di sini."
Tetapi kenyataan yang dihadapi benar-benar di luar
perhitungan mereka. Dua orang di antara mereka berhasil
menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bukan saja
menahan keduanya, tetapi bahkan mendesaknya.
Demikianlah maka lambat laun akhir dari pertempuran itu
menjadi semakin jelas. Betapa pun juga orang-orang Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak bertempur dengan cara
mereka, namun mereka tidak berhasil mendesak lawannya.
Mereka tidak lagi dapat menakut-nakuti lawannya. Karena
dengan cara itu justru telah membuat Swandaru tertawa
terbahak-bahak. Ketika ada seorang yang menyerangnya
sambil berteriak, maka dengan tangkasnya Swandaru
bergeser sambil meledakkan cambuknya untuk membuat
lawannya itu terdiam. Bahkan menitikkan darah.
Kiai Damar pun semakin lama menjadi semakin parah.
Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat
mengalahkan Sumangkar yang selalu mendesaknya.
Yang paling menyakitkan hati Kiai Damar ialah usaha
Sumangkar untuk mengalahkannya dengan memaksanya
memeras tenaga sehingga ia akan menjadi lelah dan tidak
mampu melawan lagi. Meskipun kadang-kadang Sumangkar
mendapat kesempatan untuk mendesaknya dan bahkan
membinasakannya, namun Sumangkar agaknya masih juga
merasa segan. Sebenarnyalah Sumangkar mengetahui kepentingan
Sutawijaya dengan lawannya. Kalau salah seorang dari
pemimpin mereka itu dapat ditangkap hidup-hidup, maka
Sutawijaya akan mendapat kesempatan untuk menyadap
keterangan dari padanya. Dan Kiai Damar adalah salah
seorang dari pemimpin-pemimpin itu. Menurut perhitungan
Sumangkar, lebih mudah menangkap Kiai Damar dari pada
Kiai Telapak Jalak, karena menurut penilaian Sumangkar, Kiai
Telapak Jalak agaknya memiliki kemampuan yang lebih besar
dari Kiai Damar. Demikianlah, Sumangkar berusaha untuk membuat Kiai
Damar tidak berdaya dan kehilangan kemampuan
perlawanannya. Dengan menekan Kiai Damar terus-menurus,
tanpa memberinya kesempatan bernafas, Sumangkar
mengharap orang itu kehabisan tenaga.
Tetapi agaknya Kiai Damar menyadarinya, sehingga
karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk melepaskan
dirinya. Ia tidak bernafsu lagi membunuh lawannya dengan
senjata-senjata beracun, karena ia yakin bahwa di antara
orang-orang aneh yang tinggal di barak itu pasti ada yang
memiliki kemampuan yang besar untuk melawan racun,
sehingga racun tidak akan lagi mempunyai banyak arti.
Sebagai seorang yang mengerti tentang racun, Kiai Damar
pun mengerti, bahwa seseorang dapat membekali dirinya
dengan obat-obat untuk menawarkan diri, setidak-tidaknya
untuk mengurangi kekuatan racun yang menyerang urat
darahnya. Dalam menghadapi Sumangkar, Kiai Damar ingin
mempergunakan cara yang lain. Seperti cara yang sering
dipergunakan, maka ia tidak segan mengorbankan anak
buahnya untuk kepentingannya.
Ketika ia mengalami kesulitan yang memuncak, maka
terdengarlah suara isyarat dari mulutnya. Mula-mula
Sumangkar tertegun sejenak mendengar isyarat itu. Namun ia
segera menyadari, bahwa Kiai Damar telah berusaha untuk
merubah keseimbangan perkelahian itu.
Ternyata setelah isyarat itu bergema di medan
pertempuran yang bergeser semakin jauh dari barak itu,
empat orang pengawal pilihan Kiai Damar telah berloncatan
mendekatinya. Seperti yang dipesankan oleh Kiai Damar,
apabila diperlukan, mereka harus datang dan membantunya
menghadapi musuh-musuhnya.
Meskipun dengan demikian, orang-orangnya yang lain
mengalami banyak kesulitan, namun Kiai Damar tidak
mempedulikan. Kepada mereka Kiai Damar selalu
memberikan alasan yang tampaknya masuk akal.
Dalam keadaan yang demikian, maka alasan yang paling
baik yang dipergunakan oleh Kiai Damar adalah, bahwa
lawannya yang paling berat itu harus segera dibinasakan.
Dengan demikian maka ia akan segera dapat membantu
kesulitan-kesulitan yang lain di dalam pasukannya.
Demikianlah maka sesaat kemudian Sumangkar harus
menghadapi lima orang sekaligus. Kiai Damar dan empat
orang kepercayaannya. Meskipun Ki Sumangkar mempunyai kelebihan dari Kiai
Damar, tetapi untuk melawan lima orang sekaligus, terasa
juga betapa beratnya. Kiai Damar yang merupakan pusat dari perlawanan,
menghadapi Ki Sumangkar dari depan. Sedang empat orang
yang lain menyerangnya dari segenap arah.
Dengan memeras kemampuannya, Sumangkar masih tetap
dapat mempertahankan dirinya. Betapa dahsyatnya seranganserangan
lawannya, namun Sumangkar masih selalu
mendapat kesempatan untuk menghindar. Bahkan sekalisekali
ia masih juga mampu menyerang.
Namun lambat laun, karena Sumangkar telah mengerahkan
segenap kemampuannya, tenaganya terasa menjadi semakin
susut. Dengan demikian, Sumangkar terpaksa menempuh usaha
yang lain. Ia tidak dapat memaksa dirinya untuk berkelahi
tanpa melukai lawannya Bahkan seandainya lawannya
terbunuh juga, maka itu di luar kemampuannya, meskipun ia
masih tetap berusaha menangkapnya hidup-hidup. Tetapi
sudah tentu bahwa Sumangkar sendiri tidak ingin dirinya
sendirilah yang justru menjadi korban.
Karena itu, kemudian Sumangkar bukan saja memeras
segenap kemampuannya, tetapi juga tidak lagi sangat berhatihati
agar tidak menimbulkan kematian pada lawannya,
terutama Kiai Damar. "Kalau aku masih tetap bertempur dengan cara ini, maka
pada akhirnya, akulah yang akan menjadi mayat di medan ini,"
katanya di dalam hati. Dengan demikian, maka tandang Sumangkar pun segera
berubah. Senjatanya semakin cepat berputar. Kini pengerahan
tenaganya tidak saja ditujukan kepada keempat kawan Kiai
Damar, dan sebagian yang lain untuk menghindarkan diri dari
ujung senjata lawannya, namun kini justru ia memusatkan
serangannya kepada Kiai Damar.
Kiai Damar dan kawan-kawannya pun kemudian
mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Kalau
mereka segera berhasil membinasakan Sumangkar, maka
mereka akan segera dapat membantu kawan-kawannya di
dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin ribut
dan sengit. Senjata masing-masing berputaran dan
menyambar-nyambar. Semakin lama mereka semakin dalam
terbenam dalam perkelahian yang seru.
Betapa pun juga Kiai Damar berusaha, tetapi bersama
kawan-kawannya ia tidak dapat segera mengalahkan
Sumangkar. Apalagi ketika Sumangkar tidak lagi mengekang
diri, sehingga justru senjatanyalah yang telah menguasai
arena perkelahian itu. Namun Sumangkar terlonjak dan terkejut bukan buatan,
ketika terasa ujung senjata telah menyengat lengannya.
Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah merabanya, dan terasa
titik darah yang hangat memerah di telapak tangannya itu.
Dengan geramnya Sumangkar menggeretakkan giginya
Ternyata ialah yang telah terluka lebih dahulu. Ujung tombak
salah seorang lawannya telah menyentuh lengannya dan
melukainya. "Persetan," ia pun kemudian menggeram.
Luka itulah yang telah membakar jantungnya. Ditatapnya
lawannya berganti-ganti. Sorot matanya yang memancarkan
kemarahan, menjadi merah di dalam cahaya obor yang
bergetar ditiup angin malam.
"Aku akan membunuh kalian," desisnya.
Lawan-lawannya bergetar mendengar suara Sumangkar
yang berat itu. Namun darah yang menitik dan luka
Sumangkar, membuat lawan-lawannya itu agak berbesar hati.
Ternyata Sumangkar dapat juga dilukai dan menitikkan darah.
Dengan demikian, maka mereka harus berusaha terusmenerus
untuk menambah luka di tubuh orang itu.
Tetapi Sumangkar menyadari keadaannya. Karena itu, ia
pun kemudian bertempur seperti angin pusaran. Berputaran
menggulung lawannya dalam suatu putaran yang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membingungkan. Senjatanya terjulur semakin dalam dan
berputar di atas kepalanya. Tetapi ujung-ujung trisulanya
menyambar menebarkan udara maut.
Sejenak kemudian di dalam lingkaran perkelahian itu
terdengar keluhan tertahan. Ternyata bahwa ujung senjata
Sumangkar telah berhasil menyambar punggung seorang
lawannya yang sedang berusaha menjauhinya. Tetapi
terlambat. Punggung itu bagaikan sobek melintang,
mengucurkan darah. Namun bersamaan dengan itu, lawannya yang lain telah
berhasil menyentuh tubuh Sumangkar pula. Kali ini mengenai
pahanya dan membuat luka pula, meskipun hanya segores
kecil. Kemarahan Sumangkar pun menjadi semakin memuncak.
Dan tiba-tiba saja serangannya menjadi semakin cepat seperti
badai. Kini sasaran utamanya justru Kiai Damar sendiri,
karena orang itulah orang yang paling kuat dan paling banyak
menghisap tenaganya namun memberikan kesempatan
kepada kawan-kawannya untuk melukainya sedikit demi
sedikit. "Persetan," Sumangkar menggeram, "aku akan
membunuhmu. Bukan salahku."
Dan tekanan yang dahsyat pun kemudian melanda Kiai
Damar. Dengan susah payah ia mengerahkan tenaganya
untuk menghindarkan diri dari amukan badai yang melanda
dirinya. Bahkan kawan-kawannya pun telah membantunya
melawan amukan Sumangkar. Namun usaha mereka itu rasarasanya
sia-sia. Sumangkar benar-benar telah sampai ke
puncak kemampuannya, sehingga akhir dari pertempuran itu
pun sudah menjadi semakin jelas membayang. Seolah-olah
setiap orang sudah dapat meramalkannya, apa yang akan
terjadi. Agaknya luka-luka di tubuh Sumangkar telah membuatnya
marah tiada taranya, sehingga dengan demikian ia sudah
kehilangan segala macam pertimbangan untuk menangkap
lawannya hidup-hidup. Ketika perasaan yang pedih menyengat tubuhnya karena
luka-lukanya, maka dengan segenap kemampuan yang ada ia
menghentakkan senjatanya. Memutarnya dan tiba-tiba ia
merubah arah putarannya. Dengan dahsyatnya ujung senjata
yang berantai itu mematuk ke dada Kiai Damar.
Serangan itu benar-benar mengejutkan. Tetapi Kiai Damar
masih sempat mengelakkan dirinya. Dengan sigapnya ia
meloncat surut. Sambil berputar kiai Damar memiringkan
tubuhnya, sehingga senjata lawan itu lewat di sisi tubuhnya.
Tetapi Sumangkar tidak melepaskannya. Sekali diputarnya
senjatanya di atas kepalanya untuk mencegah seranganserangan
yang datang dari kawan-kawan Kiai Damar,
kemudian sebuah serangan sendal pancing sekali lagi
mengejar Kiai Damar. Kiai Damar yang sedang mencoba memperbaiki
keadaannya sekali lagi terkejut. Sekali lagi ia melangkah surut.
Namun kali ini Sumangkar tidak mau melepaskannya lagi. Titik
darah dari luka di tubuhnya telah membuatnya sam-pai ke
puncak kemarahan. Tiba-tiba saja Sumangkar itu merendah pada lututnya
sambil melemparkan senjatanya. Kemudian memutarnya
rendah setinggi lambung. Kali ini Kiai Damar tidak sempat mengelak lagi. Dengan
segenap kemampuannya ia mencoba memukul senjata
Sumangkar itu dengan senjatanya. Namun Sumangkar benarbenar
menguasai jenis senjatanya yang baru itu, sehingga
dengan menghentakkan rantai ditangannya, Kiai Damar tidak
berhasil menyentuh senjata lawannya. Bahkan begitu
senjatanya terayun, ujung senjata Sumangkar mematuk
dengan cepatnya. Tidak ada kesempatan buat menghindar dan menangkis.
Senjata Sumangkar itu meluncur bagaikan kilat di langit.
Begitu cepat dan deras, sehingga meskipun Kiai Damar masih
mencoba memiringkan tubuhnya, namun senjata itu berhasil
mengenai dadanya. Terdengar, pekik yang terputus. Kiai Damar terdorong
beberapa langkah surut. Namun ketika Sumangkar menarik
senjatanya, Kiai Damar tersentak selangkah maju, kemudian
jatuh tertelungkup. Kiai Damar tidak sempat bangkit kembali. Ia hanya dapat
bergerak setapak maju dan memutar tubuhnya menelentang.
Namun kemudian tangannya terkulai di sisi tubuhnya.
Orang yang selama ini membuat seisi barak itu ketakutan,
dan membuat Alas Mentaok di ujung ini menjadi penuh
rahasia dan teka-teki, kini sudah tidak ada lagi. Kemarahan
Sumangkar yang terluka dan menghadapi beberapa orang
lawan sekaligus telah mengakhiri hidupnya dengan luka yang
menganga di dadanya. Kematian Kiai Damar telah menggemparkan anak buahnya.
Orang-orang yang bertempur bersamanya melawan
Sumangkar tiba-tiba berloncatan menjauh. Bagi mereka, Kiai
Damar adalah seorang yang pilih tanding. Namun orang itu
kini tergolek tidak bernyawa.
Sejenak Sumangkar berdiri mematung memandangi mayat
Kiai Damar. Barulah ia menemukan kesadarannya kembali
tentang pentingnya orang yang bernama Kiai Damar itu
apabila ia dapat menangkapnya hidup-hidup. Tetapi
kesadarannya itu telah terlambat, karena Kiai Damar telah
terbunuh oleh kemarahannya.
"Seandainya orang itu masih hidup," desis Sumangkar di
dalam hatinya. Kini seolah-olah ia melihat di dalam dada Kiai
Damar yang terbelah itu tersimpan berbagai macam
keterangan tentang rahasia yang selama ini menyelubungi
Alas Mentaok. Namun bersama dengan kematiannya, maka
rahasia itu masih belum dapat terungkap seluruhnya.
"Mudah-mudahan Kiai Gringsing mampu menahan
perasaannya. Mudah-mudahan ia tidak diamuk oleh
kemarahan, sehingga ia berhasil menangkap lawannya hiduphidup,"
berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba terbersit suatu ingatan, seandainya Kiai
Telapak Jalak masih bertempur melawan Kiai Gringsing, maka
ia akan dapat membantunya, menangkap orang itu hiduphidup.
Oleh pikiran itu, Ki Sumangkar pun segera meninggalkan
tempatnya. Ternyata lawan-lawannya tidak seorang pun yang
berani menghalanginya. Dibiarkannya Sumangkar pergi ke
mana pun yang dikehendaki.
Sambil berjalan Sumangkar menilai luka-luka di tubuhnya.
Ternyata luka itu sama sekali tidak berbahaya. Namun
demikian, ia pun terpaksa berhenti sejenak, menaburkan
serbuk obat yang dapat memampatkan darah.
Ketika baru saja ia melangkah, maka ia pun tertegun pula.
Dilihatnya seseorang bertempur dengan dahsyatnya.
Menyambar-nyambar dengan tombak di tangan.
"Hem," Sumangkar menarik nafas, "Raden Sutawijaya."
Maka ditinggalkannya Sutawijaya yang sedang bertempur
itu. Ia bergeser semakin jauh mencari Kiai Telapak Jalak yang
pasti sudah bertempur melawan Kiai Gringsing.
Namun sekali lagi ia tertegun. Suara cambuk meledakledak
memekakkan telinga. Sekilas Sumangkar melihat Agung
Sedayu dan Swandaru mendesak lawannya tanpa
tertahankan lagi. "Sebenarnya pertempuran ini sudah akan berakhir,"
gumamnya. "Di semua bagian dari medan, mereka terdesak
terus. Kunci dari persoalan ini terletak pada Kiai Telapak
Jalak. Mudah-mudahan aku tidak terlambat."
Sumangkar pun kemudian mempercepat langkahnya.
Kalau mungkin Kiai Telapak Jalak harus tertangkap hiduphidup
untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang
perbuatan mereka selama ini. Untuk mendapatkan keterangan
siapakah yang ada di antara mereka dan yang penting,
siapakah penggerak yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak
sendiri atau masih ada orang lain lagi di sampingnya.
Sejenak kemudian Ki Sumangkar itu pun telah menjadi
semakin dekat dengan arena perkelahian antara Kiai
Gringsing dan Telapak Jalak. Sumangkar sudah mendengar
lecutan cambuk yang meledak-ledak, melampaui getar
ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
"Agaknya perkelahian itu sangat sengit," berkata Ki
Sumangkar di dalam hati. Ternyata seperti yang diduganya. Ketika ia menjadi
semakin dekat, maka dilihatnya perkelahian yang semakin
dahsyat. Baik Kiai Telapak Jalak, mau pun Kiai Gringsing telah
berada di dalam puncak kemampuannya. Dan agaknya Kiai
Telapak Jalak pun termasuk seorang yang pilih tanding.
Meskipun dengan pasti Kiai Griugsing dapat mendesak
lawannya, namun masih diperlukan waktu yang lama untuk
dapat menguasai Kiai Telapak Jalak sepenuhnya. Apalagi
Sumangkar pun melihat, bahwa di tangan Kiai Telapak Jalak
tergenggam senjata yang beracun, sedang di tangan yang lain
seutas rantai yang diputarnya seperti baling-baling.
"Hem," desis Sumangkar, "racun itu memang berbahaya."
Karena itu maka Sumangkar pun menjadi berhati-hati. Ia
sadar, bahwa racun itu dapat mengantar seseorang ke lubang
kubur. Tetapi ia pernah mendapat sejenis obat yang diberikan oleh
Kiai Griugsing untuk mengurangi ketajaman racun yang
mengenainya. Untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk yang
dapat terjadi atas dirinya, maka Sumangkar pun kemudian
mengambil obat itu dan ditelannya pula. Dengan demikian,
maka kemungkinan yang berbahaya atas dirinya, dapat
dikurangi sekecil-kecilnya.
Sejenak tubuh Ki Sumangkar pun terasa menjadi panas.
Bahkan ia merasa dadanya bergetar. Obat itu agaknya telah
mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga dengan
demikian untuk beberapa saat, ia akan menjadi orang yang
agak kebal terhadap racun, selama daya kekuatan obat itu
masih bekerja di tubuhnya.
Setelah tubuhnya tidak lagi merasa gemetar, maka Ki
Sumangkar pun melangkah semakin cepat dari arena
perkelahian yang sangat dahsyat itu.
Kehadirannya telah mengejutkan Kiai Telapak Jalak. Ia
masih belum mengerti, sampai berapa jauh kemampuan Ki
Sumangkar. Tetapi menilik sikap dan tatapan matanya, orang
ini pasti bukan penghuni kebanyakan dari barak itu. Orang ini
pasti salah seorang dari penghuni-penghuni aneh dari barak
yang akan dihancurkannya.
"Betapa tangkasnya orang yang agaknya bernama Kiai
Telapak Jalak," terdengar suara Sumangkar.
"Ya. Seorang yang pilih tanding," sahut Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya perkelahian yang semakin dahsyat karena
keduanya benar-benar telah mengerahkan puncak
kemampuan mereka. "Bagaimana dengan kau?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku sudah selesai. Tetapi sayang sekali, aku tidak berhasil
menangkapnya hidup-hidup."
"Jadi?" Sumangkar tidak segera menjawab. Ia melihat serangan
Telapak Jalak yang tiba-tiba saja hampir mengenai tangan
Kiai Gringsing. Untunglah ia dengan cepat dan tepat pada
waktunya menarik tangannya, sehingga keris Kiai Telapak
Jalak tidak menyentuhnya sama sekali.
"Aku terpaksa membunuhnya. Kiai Damar bertempur
bersama-sama dengan empat orang pengawalnya, sehingga
aku terluka," berkata Sumangkar sambil melihat perkelahian
itu. "Luka itulah yang membuat aku kehilangan kesempatan
untuk menangkapnya hidup-hidup. Apalagi di antara lima
orang lawan." "Jadi Kiai Damar terbunuh?" Kiai Gringsing menegaskan.
"Ya." "Bohong!" tiba-tiba Kiai Telapak Jalak memotong. "Kalian
berbohong. Kalian sengaja membuat ceritera itu untuk
mempengaruhi gairah perlawananku. Kalian telah
mempergunakan cara yang paling licik di dalam pertempuran
ini." "Apakah gunanya aku berbohong," desis Sumangkar,
"bukan saja Kiai Damar, tetapi orang-orangmu yang lain pun
telah menjadi pecah berserakan. Mereka tidak akan mampu
melawan Raden Sutawijaya dan kedua anak-anak muda yang
bersenjata cambuk itu pula. Apalagi sepeninggal Kiai Damar."
"Bohong, aku tidak percaya."
"Baiklah. Terserah kepadamu, apakah kau akan
mempercayainya atau tidak. Tetapi kedatanganku kemari
adalah karena aku sudah tidak mempunyai tugas lagi di ujung
lain dari pertempuran ini. Aku mengharap bahwa di sini aku
akan dapat bekerja bersama lawanmu itu untuk
menangkapmu hidup-hidup."
"Gila. Kau menghina aku."
"Aku berniat demikian. Terserah, apakah Ki Truna Podang
setuju." Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia
percaya bahwa Kiai Damar memang sudah terbunuh. Karena
itu, maka ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk
menangkap Kiai Telapak Jalak hidup-hidup.
Sejenak Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi serangan
Kiai Telapak Jalak justru menjadi semakin dahsyat. Seakanakan
Kiai Telapak Jalak ingin menunjukkan bahwa ia tidak
akan dapat dengan mudah dikalahkan.
Namun kehadiran Sumangkar itu benar-benar telah
merupakan sebuah persoalan baginya. Kalau benar orang itu
berusaha bersama Truna Podang untuk menangkapnya
hidup-hidup, apakah ia akan dapat melepaskan diri, apalagi
mengalahkan keduanya"
Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari, bahwa untuk
melawan Truna Podang seorang diri, ia sudah mengalami
kesulitan, apalagi melawan dua orang yang agaknya
mempunyai ilmu yang setingkat, atau setidak-tidaknya tidak
banyak berselisih. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak segera silau terhadap
angan-angannya itu. Ia masih ingin membuktikan, apakah
benar-benar ia tidak dapat melawan keduanya atau
melepaskan diri dari keduanya.
Demikianlah maka Kiai Telapak Jalak masih juga


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur. Tetapi ketika Sumangkar benar-benar telah mulai,
meskipun baru beberapa saat, telah terasa padanya, bahwa
kekuatan kedua orang itu merupakan kekuatan yang tidak
akan dapat terlawan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, "O, inikah cara
kalian bertempur" Kalau kalian tidak mampu bertempur
sendiri, maka kalian mulai bertempur berpasangan?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia
menjawab, "Agaknya memang demikian cara kita bertempur di
peperangan. Memang agak lain dengan apabila kita sudah
berjanji untuk melakukan perang tanding. Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak tidak menghiraukan berapa orang yang
bertempur dalam perang brubuh itu. Mungkin berpasangan,
mungkin justru sekelompok lawan sekelompak yang
jumlahnya tidak perlu diatur sama."
"Tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak berarti.
Mereka bukan pimpinan pasukan apalagi senapati."
"Tidak ada bedanya di peperangan. Aku juga bukan
pemimpin pasukan, dan juga bukan senapati."
"Pengecut. Tetapi kau pasti orang penting di sini."
"Kiai Damar berkelahi bersama empat orang kawannya,"
sahut Sumangkar, "sehingga aku harus bertempur melawan
lima orang sekaligus termasuk Kiai Damar."
"Omong kosong!"
"Terserah kepadamu. Tetapi aku tidak melihat keberatan
apa pun untuk berperang dalam pasangan," berkata
Sumangkar pula. "Tetapi aku dapat menantang kalian untuk berperang
tanding seorang lawan seorang."
"Terlambat. Kalau kau ajukan tantangan itu sejak kau
datang, maka salah seorang dari kami pasti akan
melayaninya. Tetapi kali ini tidak. Kami akan tetap bertempur
berpasangan. Sebenarnya aku yakin bahwa aku akan dapat
menyelesaikan pertempuran ini kalau aku hanya sekedar ingin
membunuhmu. Tetapi sekarang aku ingin menangkapmu.
Menangkapmu hidup-hidup, sehingga untuk itu justru akan
jauh lebih sukar." "Persetan!" Kiai Telapak Jalak menggeram. Ia merasa
benar-benar terhina. Tetapi ia tidak dapat mengingkari
kenyataan. Agaknya ia telah terjebak memasuki sarang
harimau lapar bersama Kiai Damar. Ia tidak mengira sama
sekali, bahwa di dalam barak ini ada orang-orang yang
memiliki kemampuan begitu tinggi.
"Aku terlampau meremehkan laporan Kiai Damar," berkata
Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. "Aku sangka Kiai Damar
sekedar menyembunyikan kelemahan. Tetapi ternyata kini aku
benar-benar terperangkap."
Meskipun demikian, Kiai Telapak Jalak masih berusaha
terus. Ia kini tidak lagi berjuang untuk mengalahkan lawannya,
tetapi sekedar untuk melepaskan dirinya. Kalau ia tertangkap
hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas untuk memberikan
keterangan-tentang semua perbuatannya bersama Kiai
Damar. Ia harus mempertanggung jawabkannya dan
menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan itu.
"Tidak, itu tidak mungkin," berkata Kiai Telapak Jalak,
"salah seorang dari kami harus tetap hidup. Kalau aku mati
biarlah aku mati, tetapi adikku itu harus tetap hidup untuk
menyambung nama keluarga kami. Sokurlah bahwa pada
suatu saat ia berhasil dengan usahanya, dan membalaskan
dendam sakit hatiku. Tetapi mulutku tidak boleh menyebut
namanya dalam keadaan apa pun juga. Ia harus tetap berada
di istana Pajang dan berbuat sesuai dengan keadaan yang
akan berkembang kemudian."
Karena itulah maka tidak ada tanda-tanda sama sekali
bahwa Kiai Telapak Jalak akan menyerah. Bagaimana pun
juga, ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Bahkan
orang itu sama sekali sudah tidak mengenal takut lagi.
Memang tidak mudah menangkap orang seperti Kiai
Telapak Jalak, karena ia telah berbuat atas dasar suatu
keyakinan. Salah atau benar, maka orang seperti Kiai Telapak
Jalak sangat sulit untuk ditundukkan. Mungkin jasmaniahnya
dapat dihancurkan, tetapi ia pasti akan mati bersama
keyakinannya. "Apa boleh buat," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
"aku terpaksa melukainya. Mungkin membuatnya pingsan.
Kalau tidak, mustahil aku berhasil menangkapnya. Apalagi
keris beracun itu masih tetap di tangannya meskipun sudah
menelan penawarnya."
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun mempertajam
serangannya. Ia tidak menghindarkan kemungkinan melukai
lawannya, sehingga dengan demikian, maka ledakan
cambuknya menjadi kian dahsyat pula.
Sumangkar agaknya mengerti pula keputusan sikap yang
diambil oleh Kiai Gringsing, sehingga ia pun perlu
mengimbanginya. Trisula keduanya pun berputaran semakin
cepat menyambar-nyambar, kemudian mematuk dengan
dahsyatnya. "Setan alas!" Kiai Telapak Jalak mengumpat. Seranganserangan
itu benar-benar telah membingungkannya. Ia tidak
dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang
datangnya seperti banjir yang melandanya dari segenap arah,
meskipun ia sudah berloncatan bagaikan berdiri di atas
seonggok bara. Maka, ketika serangan kedua orang-orang tua yang
memiliki ilmu yang melampaui manusia kebanyakan itu datang
semakin cepat, maka sampailah saatnya Kiai Telapak Jalak
tidak dapat meningkatkan lagi kemampuannya. Kemampuan
manusia yang terbatas pula. Ternyata bahwa batas itu pada
suatu saat tidak lagi dapat dilampauinya betapa pun ia
berusaha. Demikianlah, maka ketika Kiai Telapak Jalak menghindari
patukan ujung-ujung trisula Sumangkar, ia tidak mampu lagi
berbuat apa pun juga ketika ujung cambuk Kiai Gringsing
mengenainya. Yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah desis
yang tertahan. Bahkan kemudian Kiai Telapak Jalak
mengumpat sambil berusaha meloncat sejauh-jauh dapat
dilakukan. Namun, demikian ia menjejakkan kakinya di atas
tanah, serangan Sumangkar telah mengejarnya.
"Setan alas!" Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat.
Sebuah goresan yang merah biru telah melingkar di
lengannya, di bawah bajunya yang tersayat.
"Menyerahlah, Kiai Telapak Jalak," berkata Kiai Gringsing
kemudian, "tidak ada jalan lagi bagimu untuk meninggalkan
arena ini." Kiai Telapak Jalak tidak menyahut. Tetapi ia justru menjadi
semakin garang. Sekali-sekali ia masih mencoba menyerang
juga, kemudian berusaha menembus dua lingkaran senjata,
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak berhasil. Kedua lawannya
mempergunakan pula senjata sejenis dengan senjatanya
sendiri. Senjata lentur. "Menyerahlah," sekali lagi terdengar suara Kiai Gringsing.
"Persetan!" geram Kiai Telapak Jalak.
"Jadi kau benar-benar tidak mau menyerah?"
"Aku menyerah setelah, aku terbujur menjadi mayat."
"Kau memang jantan, Kiai Telapak Jalak," berkata Kiai
Gringsing, "tetapi aku akan berusaha agar tidak terjadi
demikian." Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah
cahaya obor yang sudah mulai redup.
"Lihat, pasukanmu telah jauh didorong oleh para pengawal,
orang-orang dari barak ini yang selama beberapa waktu
menjadi bulan-bulanan orang-orangmu dan orang-orang Kiai
Damar. Mereka hidup dalam ketakutan dan himpitan
perasaan. Tetapi sekarang perasaan yang tidak tertahankan
lagi itu telah meledak. Apalagi di antara mereka terdapat
Raden Sutawijaya sendiri dan dua orang anak-anakku yang
bersenjata cambuk." "Persetan, persetan! Aku bukan tikus yang takut melihat
kucing. Batas ketakutan adalah mati. Dan aku tidak takut
mati." "Tidak," sahut Kiai Gringsing, "masih ada yang lebih kau
takuti daripada mati."
"Tidak ada." "Ada. Kau tidak berani menyerah."
"Gila. Aku belum gila seperti yang kau sangka. Aku masih
tetap menyadari keadaanku. Dan aku akan memilih mati
sebagai laki-laki daripada aku harus menyerah kepada kalian
berdua." Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Memang tidak ada
harapan untuk menunggu Kiai Telapak Jalak menyerah.
Karena itu Kiai Telapak Jalak harus dipaksa untuk menyerah
sebelum ia menjadi mayat. Satu-satunya jalan adalah
membuatnya pingsan. Sudah tentu terpaksa sekali
melukainya. Namun Kiai Gringsing berharap untuk dapat
mengobatinya apabila luka itu tidak terlampau parah.
Dengan demikian, maka tidak ada gunanya lagi menakutnakuti,
mengancam dan membujuknya. Yang dilakukan
kemudian adalah tekanan-tekanan yang lebih berat terhadap
Kiai Telapak Jalak. Apalagi Sumangkar mengerti sepenuhnya
sikap Kiai Gringsing itu, sehingga ia pun menyerangnya
semakin dahsyat pula. Kiai Telapak Jalak pun menjadi semakin bingung. Seakanakan
sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak.
Kemana pun ia berloncatan, kedua ujung senjata lawannya itu
selalu mengejarnya. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik dadanya
pecah karena senjata daripada ia harus menyerah kepada
kedua lawannya itu. Karena itulah maka ia masih tetap
bertempur dengan gigihnya.
Tetapi tenaganya yang semakin surut itu membuat
geraknya semakin lamban. Sedangkan senjata Kiai Gringsing
dan Sumangkar justru menjadi semakin cepat.
Sebuah ledakan cambuk Kiai Gringsing telah
mendorongnya ke samping. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut
bukan buatan, ketika terasa ujung trisula yang tajam telah
menusuk pundaknya. (***) Buku 61 SAMBIL menyeringai Kiai Telapak Jalak memutar rantainya
seperti baling-baling. Tetapi cambuk Kiai Gringsing
menyerangnya mendatar serendah lututnya, sehingga
memaksa Kiai Telapak Jalak meloncat tinggi-tinggi. Tetapi
begitu kakinya menyentuh tanah, sekali lagi ujung cambuk itu
melecut lambungnya dan mengoyak bajunya. Bukan saja
bajunya, tetapi juga kulitnya telah menitikkan darah.
Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Tetapi umpatannya
tidak dapat menyelamatkannya. Ia terputar setengah lingkaran
ketika sekali lagi ujung trisula Sumangkar mendorongnya di
punggung, dan sebelum ia terjatuh, cambuk Kiai Gringsing
membelit dadanya, dan hentakan sendal pancing telah
membuatnya terputar dan tidak lagi berhasil menjaga
keseimbangannya. Sejenak kemudian Kiai Telapak Jalak, orang yang memiliki
kemampuan melampaui orang biasa itu, tidak lagi dapat
bertahan untuk tetap berdiri. Terhuyung-huyung sambil
berputaran ia akhirnya jatuh terlentang di atas tanah yang
lembab. "Cepat," desis Kiai Gringsing. Sumangkar pun meloncat
maju. Ia berhasil menginjak tangan kanan Kiai Telapak Jalak
yang menggenggam senjata. Ia mengharap bahwa dengan
demikian Kiai Telapak Jalak dapat dipaksanya menyerah.
Tetapi Ki Sumangkar terpaksa meloncat melepaskannya lagi,
karena Kiai Telapak Jalak masih berusaha mematuk kaki
Sumangkar dengan kerisnya.
Pada saat itulah, cambuk Kiai Gringsing meledak dan
ujungnya telah membelit tangan Kiai Telapak Jalak. Dengan
suatu hentakan yang kuat Kiai Gringsing mencoba menarik
tangan itu agar kerisnya dapat terlepas.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak mau melepaskan kerisnya
begitu saja. Ia masih mencoba menghentakkan tangannya.
Tetapi ternyata bahwa kekuatan Kiai Gringsing tidak dapat
diatasinya. Bahkan tanpa disadarinya, pergelangan tangannya
yang terbelit ujung cambuk itu terluka karenanya.
Meskipun demikian Kiai Telapak Jalak tidak mau
menyerah. Ia masih mencoba untuk menguasai dirinya.
Dengan sekuat-kuat tenaganya ia mendekapkan tangannya,
kemudian sekali ia berguling dan menyerang Kiai Gringsing
dengan kakinya yang melenting dengan kerasnya.
Kiai Gringsing tidak menyangka bahwa di dalam keadaan
itu Kiai Telapak Jalak masih mampu menyerangnya, sehingga
karena itu ia justru terperanjat karenanya. Ia tidak mendapat
kesempatan untuk menarik cambuknya dan sudah tentu ia
tidak ingin melepaskannya. Karena itu, sambil mengerahkan
kekuatannya ia menarik cambuknya itu.
Ternyata kekuatan tarikan cambuk Kiai Gringsing justru
telah memutar tubuh Kiai Telapak Jalak dan menolongnya
untuk melenting dan tegak berdiri meskipun ia masih belum
berhasil melepaskan pergelangan tangannya. Namun dengan
demikian ia mempunyai kesempatan yang lebih baik daripada
apabila ia masih terbaring di tanah. Tanpa menghiraukan apa
pun juga ia meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan
rantainya sekuat-kuat dapat dilakukan.
Tetapi Kiai Gringsing pun tidak tinggal diam. Sekali lagi ia
menghentakkan cambuknya sehingga Kiai Telapak Jalak
terseret beberapa langkah. Dengan demikian maka
serangannya tidak lagi pada sasarannya.
Namun demikian Kiai Telapak Jalak sama sekali tidak
menyerah. Ia masih berusaha mengurai ujung cambuk di
tangannya. Dan agaknya Kiai Gringsing kali ini tidak,
menghalanginya, sehingga akhirnya tangannya itu pun
terlepas, meskipun tangan itu telah terluka.
Tetapi Kiai Gringsing tidak membiarkannya. Begitu ujungcambuknya
lepas, maka sekali lagi ujung cambuk itu meledak
memekakkan telinga. Dan sebuah jalur merah telah melekat di
dada Kiai Telapak Jalak. Sumangkar yang sejenak terpukau oleh peristiwa itu tibatiba
seperti tersadar dari lamunannya. Tiba-tiba saja ia
melemparkan trisulanya mematuk Kiai Telapak Jalak yang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang kehilangan keseimbangan oleh sentuhan ujung
cambuk Kiai Gringsing. Dengan demikian maka ia sama sekali
tidak dapat menghindar lagi. Sekali lagi lambungnya tersobek
oleh luka karena ujung senjata Ki Sumangkar.
Kiai Telapak Jalak terdorong selangkah ke samping. Tetapi
ia masih tetap berdiri. Wajahnya menjadi merah padam.
Namun tidak terlintas sama sekali niatnya untuk menyerah.
Ketika kedua serangan datang beruntun dari Ki Sumangkar
dan Kiai Gringsing, maka Kiai Telapak Jalak sudah benarbenar
tidak berdaya. Jangankan menghindar dan menyerang
kembali, sedangkan menangkis pun tidak ada lagi sisa
tenaganya yang cukup. Karena itu, maka ia pun segera
terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang.
Namun demikian tatapan matanya masih tetap membara.
Sorot matanya itu masih tetap menantang dan pantang
menyerah. Kedua jenis senjatanya pun masih tetap pula di
dalam genggaman. "Menyerahlah," desak Kiai Gringsing, "kau akan mendapat
keringanan." - - Persetan," ia menggeram. Namun dalam pada itu, mata
Kiai Telapak Jalak seolah2
menjadi liar ketika ia melihat IJaden Sutawijaya telah
berada didekat arena itu sambil berkata," Semuanya sudah
selesai. Mereka telah dapat kami usir. Hanya sebagian kecil
sajalah yang masih melakukan perlawanan. Sebentar lagi
para pengawal akan segera dapat menguasai mereka." -
"Persetan," sekali lagi Kiai Telapak Jalak menggeram.
"Menyerahlah," desak Kiai Gringsing berulang kali, "aku
akan menjamin bahwa kau akan mendapat sekedar
pengampunan." "Aku tidak memerlukan belas kasian. Bunuhlah kalau kau
mampu membunuh aku."
"Baiklah," Sutawijaya-lah yang menyahut sambil
menggeretakkan gigi. "Aku tidak pernah meleset dari sasaran
apabila aku melontarkan tombak pendekku ini."
Tetapi ketika Sutawijaya mengangkat tombaknya, Kiai
Gringsing menggamitnya sambil berbisik, "Kita
memerlukannya hidup-hidup."
"O, ya," barulah Sutawijaya sadar betapa pentingnya Kiai
Telapak Jalak itu, sehingga karena itu, maka ia pun
mengurungkan niatnya. "Ayo, cepat. Lakukanlah Sutawijaya," tantang Kiai Telapak
Jalak, "jangan ragu-ragu. Inilah aku, Kiai Telapak Jalak.
Lontarkanlah tombakmu itu."
Tetapi Sutawijaya menggeleng, "Tidak. Aku tidak akan
melemparkan, tombak itu. Kami di sini sedang menunggu
kedua anak Truna Podang. Kami akan mengepungmu rapatrapat
dan menangkapmu hidup-hidup. Kau sadar bahwa kau
amat penting bagi kami?"
"Persetan!" teriak Kiai Telapak Jalak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan swandaru segera hadir
pula di arena itu, setelah orang-orang Kiai Telapak Jalak yang
masih tersisa terusir dari medan. Sedangkan yang lain jatuh
sebagai korban atau luka-luka sehingga mereka tidak dapat
beringsut lagi dari tempatnya.
"Nah, kita kepung orang ini rapat-rapat. Kita akan
menangkapnya hidup-hidup."
Mata Kiai Telapak Jalak menjadi nanar. Ia melihat lima
orang mengelilingi, masing-masing dengan senjata di tangan.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak berhasrat benar-benar
membunuhnya. Senjata-senjata itu tidak mereka pergunakan
sebaiknya meskipun ia sudah tidak berdaya lagi.
Namun dengan demikian, kegelisahan telah memuncak di
hatinya. Ia sadar sepenuhnya apa yang akan terjadi atasnya
apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup oleh Raden
Sutawijaya. Ia pasti akan dibawa ke pusat pemerintahan tanah
yang baru dibuka ini. Dihadapkan pada Ki Gede Pemanahan
dan kemudian dipaksa untuk mengatakan siapa saja yang
pernah berhubungan dengan dirinya dan usahanya yang
gagal itu. "Tidak!" ia menggeretakkan giginya. Ia sudah mendapat
kebulatan tekad. Ia tidak akan tertangkap hidup-hidup dan
tidak akan pernah mengatakan kepada siapa pun juga, siapa
yang sebenarnya terlibat di dalam usaha untuk menggagalkan
rencana pembukaan Alas Mentaok dan membuat Mataram
menjadi besar. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa ia tidak akan dapat
keluar dari kepungan kelima orang yang kini berdiri
mengitarinya dengan senjata di tangan masing-masing.
Dada Kiai Telapak Jalak menjadi semakin berdebar-debar
ketika ia melihat kelima orang itu maju setapak demi setapak
semakin dekat. Pada saatnya, mereka pasti akan meloncat
menerkamnya dan mengikat kedua tangan di punggungnya.
Sejenak Kiai Telapak Jalak masih berdiri terhuyunghuyung.
Tangannya yang gemetar masih juga bergerak
mengayun-ayunkan rantainya. Tetapi kekuatannya sama
sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi siapa pun juga, apalagi
bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Dalam keadaannya itu, masih juga terdengar Kiai Gringsing
berkata, "Apakah kau masih tidak ingin menyerah."
Kiai Telapak Jalak memandanginya. Dan sekali lagi ia
menggeram, "Persetan. Aku akan membunuh kalian berlima."
Belum lagi gema suaranya dihanyutkan angin, telah
terdengar cambuk Kiai Gringsing meledak. Sekali lagi
pergelangan tangan Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung
cambuk kiai Gringsing. Namun dengan sisa-sisa tenaganya,
Kiai Telapak Jalak masih juga tidak melepaskan kerisnya.
Keris pusakanya yang selama ini selalu berhasil
menyelesaikan persoalan yang paling sulit yang dihadapinya.
Dalam pada itu, selagi tangan Kiai Telapak Jalak terbelit
oleh ujung cambuk Kiai Gringsing, maka sekali lagi terdengar
cambuk meledak. Cambuk Agung Sedayu yang membelit
rantai di tangan kanan Kiai Telapak Jalak.
Karena perhatiannya terpusat kepada kerisnya, serta sisasisa
tenaganya yang semakin susut, maka Kiai Telapak Jalak
tidak dapat mempertahankan senjatanya itu. Rantai itu pun
kemudian terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa
langkah dari padanya. Berbareng dengan itu, Ki Sumangkar pun melonaat maju.
Tangannya telah terjulur ketengkuk Kiai Telapak Jalak. Ia ingin
membuat orang yang keras hati itu menjadi pingsan.
Tetapi di dalam saat-saat terakhir itu Kiai Telapak Jalak
masih sempat menghindar. Tanpa diduga oleh Ki Sumangkar,
Kiai Telapak Jalak masih sempat membungkukkan kepalanya,
justru pada saat Kiai Gringsing mencoba menarik tangannya.
Dengan demikian maka Kiai Telapak Jalak itu pun
terhentak beberapa langkah oleh tarikan cambuk Kiai
Gringsing yang membelit pergelangannya.
Kiai Telapak Jalak masih sempat menyadari keadaannya.
Ia masih sempat melihat orang-orang yang berdiri di
sekitarnya itu hampir bersamaan meloncat maju untuk
menerkamnya. Karena itu, maka ia pun harus mengambil
sikap terakhir untuk menghindarkan dirinya dari tangkapan
orang-orang itu. Tetapi ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu dengan kerisnya,
karena tangannya seakan-akan telah terikat dengan ujung
cambuk Kiai Gringsing. Ia tidak dapat lagi mengayunkan keris
itu meskipun masih tetap di dalam genggamannya.
Namun demikian ia tidak mau menyerah. Begitu tangantangan
mulai menyentuh tubuhnya, maka tanpa diduga-duga,
Kiai Telapak Jalak telah menggoreskan pergelangan tangan
kanannya pada ujung kerisnya sendiri. Goresan yang dalam
dan dengan demikian telah memotong urat nadinya.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar terkejut bukan buatan.
Sekali lagi Kiai Gringsing mencoba menbentakkan ujung
cambuknya. Namun ia sudah terlambat. Ujung keris itu telah
melukai tangan Kiai Telapak Jalak sendiri.
Sejenak kelima orang yang mengitarinya itu berdiri
termangu-mangu. Mereka melihat Kiai Telapak Jalak yang
lemah itu kemudian berjongkok sambil menyeringai menahan
sakit-sakit di tubuhnya. "Kalian tidak akan dapat menangkap aku hidup-hidup," ia
masih berdesis. Tetapi suaranya telah hampir tidak terdengar
lagi. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia masih
sanggup mengobati luka-luka di tubuh Kiai Telapak Jalak.
Tetapi racun keris itu akan bekerja sangat cepat di tubuh
pemiliknya. Apalagi Kiai Gringsing yakin, bahwa Kiai Telapak
Jalak pasti tidak akan bersedia untuk menelan obat yang
dapat mengurangi kekerasan kerja racun itu. Terlebih-lehih
lagi, tubuh Kiai Telapak Jalak sudah terlampau lemah oleh
luka-lukanya dan darahnya yang mengaur tidak hentihentinya.
Namun sejenak kemudian darahnya seakan-akan telah
membeku. Titik-titik darah dari luka-lukanya, semakin sendat
mengalir. Namun dengan demikian tubuh itu pun menjadi
semakin tidak berdaya. Dan akhirnya, Sutawijaya dan orang-orang yang
mengelilingi Kiai Telapak Jalak itu melihat orang yang keras
hati itu pun terjatuh dan tidak akan bangkit untuk selamalamanya.
Kiai Telapak Jalak meninggal. Meninggal oleh kerisnya
sendiri. Namun demikian, kelima orang yang berdiri di
sekelilingnya masih juga menundukkan kepalanya. Ternyata
Kiai Telapak Jalak benar-benar seorang yang keras hati.
Namun sayang, bahwa ia telah mengeraskan hatinya di dalam
kesesatannya. Orang-orang yang berdiri di sekitar Kiai Telapak Jalak yang
sudah meninggal itu seakan-akan tersedar dari angan-angan
mereka, ketika mereka mendengar sorak di arena. Ternyata
orang-orang Kiai Telapak Jalak yang terakhir telah melarikan
dirinya, meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan
terbunuh di peperangan itu.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kematian Kiai
Telapak Jalak dan Kiai Damar merupakan satu langkah maju
bagi usahanya membuka Alas Mentaok. Tetapi kematian
kedua orang itu ternyata mendekap rahasia yang masih
tersimpan di balik pepohonan yang lebat di hutan Ment aok.
Sutawijaya berpendapat, bahwa pasti masih ada orang-orang
lain yang terlibat di dalam gerombolan mereka. Pasti bukan
sekedar Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Jalan pikiran orang-orang yang berada di sekeliling Kiai
Telapak Jalak yang sudah terbujur di tanah itu ternyata tidak
jauh berbeda. Mereka telah membayangkan sesosok tubuh
yang diliputi oleh rahasia. Dan orang yang penuh rahasia itu
pasti berhubungan atau malahan berada di istana Pajang.
Dan tiba-tiba saja angan-angan Agung Sedayu bergeser
kepada kakaknya Untara yang menurut pendengarannya kini
berada di daerah yang langsung dapat dibayangi
perkembangan Alas Mentaok.
"Tetapi pasti bukan Kakang Untara," Agung Sedayu
menghentakkan giginya rapat-rapat. "Ia seorang prajurit.
Seorang senapati yang memiliki prajurit segelar sepapan.
Meskipun ia mendapat perintah untuk membayangi daerah
yang baru berkembang ini, namun tentu ia akan
mempergunakan cara seorang prajurit. Bukan cara yang licik
dengan bermain hantu-hantuan."
Tetapi Agung Sedayu tetap menyimpan persoalan itu di
dalam hatinya. Meskipun ia masih juga dibayangi oleh
kebimbangan, tetapi ia berusaha untuk mengendapkan hal itu
di dalam dirinya sendiri.
"Mungkin orang lain tidak akan berpikir sejauh itu," katanya
di dalam hati. "Kalau aku bertanya kepada seseorang, maka
justru akan dapat menimbulkan persoalan bagi mereka yang
sebelumnya tidak pernah mempertimbangkannya."
Demikianlah, maka ketika matahari kemudian memanasi
hutan Mentaok, para pengawal dan penghuni barak yang tidak
mengalami cidera apa pun, segera menjadi sibuk pula
mengurusi kawan-kawannya yang telah terluka dan bahkan
ada juga yang dengan kerongkongan yang serasa kering,
mengangkat tubuh-tubuh sahabatnya yang gugur di dalam
peperangan itu. "Kita tidak dapat menghindarkan korban di antara kita,"
berkata Sutawijaya. "Jer basuki mawa beya. Kita harus
menyerahkan tebusan bagi kesejahteraan yang kita
perjuangkan. Kita masih dapat mengucap sokur bahwa korban
yang jatuh itu bukan diri kita." Sutawijaya berhenti sejenak,
lalu dengan tekanan yang dalam Ia meneruskan, "Kita masih
mendapat kesempatan hidup dan menghirup udara tanah
yang telah kita bebaskan ini, untuk beberapa lamanya. Tetapi
yang telah menjadi korban itu tidak akan lagi dapat melihat,
apa yang akan terjadi atas tanah ini kelak."
Para penghuni barak itu mendengarkannya dengan
sepenuh perhatian. Dan Sutawijaya pun berkata selanjutnya,
"Karena itu, kita tidak akan pernah melupakan mereka.
Demikianlah seharusnya. Kalau kita kelak berhasil dengan
usaha kita, maka kita sudah dialasi dengan pengorbananpengorbanan
yang tidak ternilai harganya. Kalau kita kelak
berhasil membuat padukuhan-padukuhan yang subur di atas
tanah ini, kita tidak boleh melupakan tawur yang telah
berhamburan, yang akan menjadi pupuk buat kesuburan
tanah ini. Dan itu bukan berarti bahwa kita, untuk selanjutnya
tidak akan dapat berbuat sesuatu yang mempunyai nilai yang
sama dengan pengorbanan yang telah mereka berikan. Bukan
berarti bahwa apa yang kita lakukan kemudian sekedar
menyelesaikan persoalan yang telah dimulai. Kita masih
mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat sesuatu bagi
tanah ini. Kita masih harus mengisi wadah yang sekarang kita
bina dengan pengorbanan yang mahal. Tetapi kita harus
selalu ingat, bahwa pernah terjadi perjuangan yang
memungkinkan kita membuat pengorbanan-pengorbanan lain
dan mengembangkan usaha kita di atas tanah ini."
Orang-orang yang mendengarkan kata-kata Sutawijaya itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Rasa-rasanya katakata
itu meresap sampai ke tulang sungsum. Mereka yang
menyaksikan sendiri pengorbanan yang telah diberikan oleh
kawan-kawannya yang kini telah terbujur tidak bernafas, dan
ada pula yang menjadi cacat buat seumur hidupnya, tidak
akan dapat melupakannya. "Mereka tidak akan dapat menuntut penghargaan apa pun,
dan seandainya mereka masih menyadari keadaannya,
mereka pun tidak akan menuntut penghargaan atas


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjuangannya. Juga bagi keluarganya yang ditinggalkan.
Soalnya terletak pada kita sendiri. Dalam diri kita masih
tersimpan budi yang akan terungkapkan di dalam segala
tindak-tanduk dan tingkah laku. Dan apakah yang dapat kita
lakukan buat mereka dan keluarga mereka?" Sekali lagi
Sutawijaya berhenti. Sekali ia menarik nafas, lalu, "Mudahmudahan
anak-anak yang sekarang masih terlampau kecil
untuk mengingat apa yang baru saja terjadi, dan apalagi yang
akan lahir kemudian akan dapat mendengar, bahwa pernah
terjadi pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai
harganya. Seperti air dalam segala bentuk dan manfaatnya,
namun di suatu tempat yang barangkali tidak pernah
dihiraukan lagi, terdapatlah sumbernya. Mungkin di lerenglereng
gunung yang diselimuti oleh hutan-hutan yang lebat,
mungkin di tengah-tengah belukar yang tersembunyi."
Orang-orang yang mendengar kelanjutan kata-kata itu pun
masih juga mengangguk-angguk. Mereka menyadari
sepenuhnya apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dengan demikian, maka dengan kesungguhan hati, mereka
pun segera menyelenggarakan segala sesuatunya dengan
sebaik-baiknya. Tetapi ketakutan dan kecemasan, terutama pada
perempuan dan anak-anak, tidak segera dapat dihapuskan
dari barak itu. Apalagi mereka yang telah kehilangan salah
seorang dari keluarga mereka. Suami, ayah, atau anak lakilaki
mereka. Maka hari-hari berikutnya merupakan hari yang
sangat suram. Namun sejak pertempuran yang menentukan itu, harapanharapan
yang selama itu telah hampir pudar, mulai tumbuh
kembali di hati setiap orang. Mereka berharap bahwa untuk
seterusnya mereka akan dapat bekerja dengan tenang tanpa
gangguan lagi. Dalam pada itu Sutawijaya pun telah memerintahkan tiga
orang pengawal untuk pergi ke pusat pemerintahan Mataram,
mengambil beberapa buah pedati dan beberapa orang
pengawal untuk mengambil orang-orang Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak yang tertawan, menyerah dan luka-luka.
Mereka akan dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan yang
lebih saksama, sehingga memungkinkan Mataram mengambil
sikap yang sebaik-baiknya terhadap daerah yang telah
terbuka. Sutawijaya pun telah memerintahkan beberapa orang
pengawal lewat ketiga orang pengawalnya yang pergi ke
Mataram, untuk menenteramkan daerah-daerah lain yang
mengalami keadaan serupa. Daerah-daerah yang sedang
dibuka, tetapi terhenti karena gangguan hantu-hantu. Para
pengawal itu harus dapat menjelaskan keadaan yang
sebenarnya telah terjadi. Mereka harus memberitahukan dan
meyakinkan, bahwa pemimpin-pemimpin dari hantu-hantuan
itu telah terbunuh. Sehingga dengan demikian maka usaha
pembukaan hutan Mentaok akan menjadi lancar kembali.
Setelah semuanya tersedia, pedati-pedati dan
kelengkapannya, beberapa orang pengawal yang cukup kuat,
Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang tinggal di
barak itu. "Ternyata kalian adalah orang-orang yang mampu menjaga
diri sendiri. Aku percaya bahwa kalian akan-tetap menjadi
pengawal kerja kalian sendiri. Selain itu, beberapa
pengawalku telah aku tinggalkan di sini di bawah pimpinan
Wanakerti. Mereka, akan memimpin kalian di dalam olah
kanuragan. Jangan jemu melatih diri meskipun tampaknya
daerah ini telah menjadi tenang. Tetapi siapa tahu, bahwa
akan datang lagi gangguan-gangguan yang sengaja ingin
merintangi usaha kalian."
Orang-orang yang tinggal di barak itu menganggukanggukkan
kepala. "Aku akan minta diri, karena aku harus kembali ke
Mataram. Dalam waktu yang tidak lama, aku akan
mengirimkan alat-alat yang lebih baik bagi kalian di sini dan di
samping itu, aku juga akan memberikan senjata yang baik
buat kalian." Orang-orang itu masih juga mengangguk-anggukkan
kepala. Sejenak Sutawijaya terdiam. Dipandanginya orang-orang
yang berkumpul di halaman itu. Laki-laki, perempuan, dan
kanak-anak. Dan di ujung dilihatnya Kiai Gringsing,
Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru berdiri di samping
beberapa orang pengawal. Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Bukan baru sekali
ini dukun tua itu berbuat sesuatu untuk ketenteraman hati
sesama. Di Sangkal Putung ia telah berbuat sesuatu pula.
Bahkan hampir menentukan, bahwa kekuatan Macan
Perintah Kesebelas 2 Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan Tapak Tapak Jejak Gajahmada 8
^