Pencarian

Perintah Kesebelas 2

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Bagian 2


memberitahu petugas gerbang bahwa kedua penumpang terakhir akan segera menyusul.
Ketika Tara dengan enggan muncul beberapa saat kemudian, Connor merangkulnya
dengan lembut. "Aku tahu ini hiburan tak seberapa, tapi ibumu dan aku berpendapat
dia..." Connor ragu- ragu 90 "Aku tahu," kata Tara di antara isaknya. "Begitu k< nibali ke Stanford, aku akan
minta izin apakah mnleh menyelesaikan tesis di Universitas Sydney" t onnor melihat istrinya
berbicara dengan pramugari ih dekat pintu menuju ke pesawat.
Apakah dia begitu takut terbang?" pramugari itu l?eibisik kepada Maggie ketika
melihat Tara terisak-i ak Tidak. Dia harus meninggalkan sesuatu yang tak boleh dibawa melewati pabean."
Maggie tidur sepanjang penerbangan empat belas 11 m dari Sydney ke Los Angeles.
Tara selalu ka-jmm bagaimana ibunya bisa melakukannya. Ia sendui hanya bisa terkantuk
sebentar selama penerbang-iii, berapa pun pil yang ditelannya. Ia memegangi tangan ayahnya erat-
erat. Connor tersenyum kepadanya, tetapi tak bicara.
Tara membalas senyum ayahnya, sebab selama yang dapat diingatnya, ayahnyalah
yang menjadi pusat dunianya. Ia tak pernah cemas jangan-jangan tak menemukan pria yang dapat
menggantikan tempat ayahnya. Yang lebih mencemaskannya, jika ia telah menemukan pria itu dan
ayahnya tak dapat menerimanya. Kini ketika hal itu terjadi, ia lega karena mengetahui betapa
ayahnya mendukungnya. Bila ada masalah, ibunyalah yang ternyata menjadi sumbernya.
Tara tahu jika ibunya memaksakan kehendaknya sendiri, Tara pasti masih perawan,
dan mungkin masih tinggal di rumah. Hingga kelas sebelas barulah ia berhenti mengira bahwa
bila mencium cowok pasti akan hamil. Waktu itu seorang teman sekolahnya memberinya buku lusuh
berjudul Kenikmatan Seks Setiap malam ia meringkuk di bawah selimut
menJ baca buku tersebut dengan senter.
Tetapi baru setelah diwisuda dari Stone Ridge Tara kehilangan keperawanannya.
Dan jika semuti teman sekelasnya lelah mengatakan Kebenaran itu, Tara-lah yang terakhir. Tara
ikut orangtuanya me-j ngunjungi tanah kelahiran kakek buyutnya, seperti yang telah lama mereka
janjikan. Beberapa saal setelah mendarat di Dublin, Tara jatuh cinta kepada) Irlandia dan orang-
orangnya. Di hari pertama selama makan malam di hotel. Tara bercerita kepada ayahnyaJ bahwa ia tak
habis pikir mengapa begitu banyaw orang Irlandia tidak puas tinggal di negeri mereka* lebih
memilih beremigrasi. Pelayan muda yang sedang melayani mereka memandang Tara dan memperdengarkan
kutipan: "Irlandia tak pernah puas." "Mengapa kau berkata demikian" Kau gila. Irlandia
baru puas bila Semua dapat menggunakan pedang dan pena."
"Walter Savage Landor," kata Maggie. "Tapi apakah kau tahu baris berikutnya?"
Pelayan itu membungkuk. "Dan bila Tara telah tumbuh begitu tinggi..."
Tara merah padam, dan tawa Connor meledak. Si pelayan tampak bingung
"Itu namaku," Tara menjelaskan.
92 Si pelayan membungkuk lagi sebelum menying-t u kan piring. Sementara ayahnya
membayar rekening ilnii ibunya mengambil mantel, pelayan itu bertanya kepada Tara apakah
mau ditraktirnya minum di t ..illagher's bila ia selesai bertugas. Tara menyetujuinya dengan
senang. Beberapa jam berikutnya Tara menonton film lama ili kamar sebelum menyelinap
turun tepat setelah lengah malam. Pub yang disebutkan Liam hanyalah sekitar seratus meter
lebih jauh lagi di jalan itu. Dan ketika masuk, ia menemukan Liam sedang menunggu di bar. Liam tak
menyia-nyiakan waktu untuk memperkenalkan kelezatan Guinness kepadanya. Tara lak
terkejut ketika tahu Liam bekerja sebagai pelayan selama liburan sebelum menyelesaikan tahun
terakhirnya di Trinity College mempelajari pujangga-pujangga Irlandia. Namun Liam terkejut ketika
mendengar bagaimana Tara dapat mengutip karya-karya Yeats, Joyce, Wilde, dan Synge.
Ketika mengantarkan Tara kembali ke kamar beberapa jam kemudian, ia mencium
lembut bibir Tara dan bertanya, "Berapa lama kau tinggal di Dublin?"
"Masih dua hari lagi," jawab Tara.
"Kalau begitu jangan sia-siakan sesaat pun."
Setelah tiga malam yang hampir tanpa pernah tidur, Tara berangkat mengunjungi
daerah kelahiran Oscar di Kilkenny, merasa sudah mampu menambahkan satu-dua catatan kaki ke dalam
buku Kenikmatan Seks Ketika Liam mengangkut tas-tas mereka menuju mobil sewaan, Connor memberinya
persen banyak dan berbisik, "Terima kasih." Tara tersipu-sipu.
Di tahun keduanya di Stanford, boleh dikatakan Tara menjalin affair dengan
seorang mahasiswa kedokteran. Tetapi ketika dilamar, Tara baru menyadari ia tidak mau hidup
bersama orang itu. Tara membutuhkan waktu kurang dari setahun untuk mencapai kesimpulan yang sama sekali
berbeda mengenai Stuart. Pertama kali bertemu mereka bertabrakan. Memang salah Tara - tidak melihat-lihat
ketika Stuart sedang menukik dalam gelombang besar dan memotongnya. Keduanya melayang-layang.
Ketika Stuart mengangkatnya dari air, Tara menunggu caci maki yang memang sudah
sepantasnya. Tetapi Stuart malah tersenyum dan berkata, "Lain kali cobar hindari jalur
cepat." Tara lagi-lagi mencoba kiat itu siang harinya. Tapi kali ini sengaja. Dan Stuart tahu.
Stuart tertawa dan berkata, "Kau memberiku dua pilihan: aku mulai mengajarimu,
atau ku i sama-sama minum kopi. Jika tidak, pertemuan kita berikutnya bisa jadi
di rumah sakit. Mana yang kaupihh?" "Ayo kita mulai dengan minum kopi."
Tara sebenarnya ingin tidur bersama Stuart malam itu. Dan menjelang saat
keberangkatannya tinggal sepuluh hari lagi, ia menyesal telah membual Stuart harus menunggu tiga
hari waktu itu. Dan pada akhir minggu... "Ini kapten Anda yang sedang bn ata Kita sekarang mulai mendarat menuju ke Los
Angeles." Maggie tersentak bangun. Ia menggosok mata dan tersenyum kepada putrinya.
"Apakah aku tertidur?" tanyanya.
94 "Baru setelah pesawat tinggal landas," jawab Tara.
Setelah mereka mengambil barang-barang mereka, lara mengucapkan selamat tinggal
kepada orang-uianya dan melanjutkan penerbangan ke San Francisco. Ketika Tara membaur
dengan para penumpang yang datang dan pergi, Connor berbisik kepada Maggie, "Aku tak heran
jika dia berubah rencana dan naik pesawat berikutnya kembali ke Sydney." Maggie
mengangguk. Mereka menuju ke terminal penerbangan domestik, lan menaiki pesawat "mata
merah". Kali ini Maggie telah tertidur bahkan sebelum video penjelasan tentang sabuk pengaman
selesai diputar. Sementara me-leka terbang melintasi Amerika, Connor mencoba menghalau Tara dan
Stuart dari pikirannya. Dan ia memfokuskan pikiran pada apa yang harus dikerjakan begitu
tiba kembali di Washington. Dalam waktu tiga bulan ia sudah harus dibebaskan dari daftar petugas
berdinas penuh. Namun ia belum juga punya bayangan akan dipindahkan ke bagian mana. Ia takut
akan gagasan ditawari pekerjaan dari pukul sembilan sampai pukul lima di markas besar, yang
ia tahu akan berarti harus mengajar NOC yang muda-muda mengenai pengalamannya di lapangan. Ia
telah mengingatkan Joan bahwa ia akan mengundurkan diri bila tidak ada tawaran yang
lebih menarik. Ia merasa tidak sesuai menjadi pengajar.
Selama tahun silam ada petunjuk-petunjuk mengenai pos-pos di garis depan, dan ia
dipertimbangkan untuk menjabatnya. Tetapi itu sebelum bosnya mengundurkan diri
tanpa penjelasan. Walau telah berdinas selama 28 tahun dan mendapatkan bebe-95
rapa penghargaan, Connor sadar dengan tidak adanya Chris Jackson kini, masa
depannya tidak lagi begitu pasti sebagaimana yang dibayangkannya.
BAB DELAPAN Kau yakin Jackson dapat dipercaya?"
"Tidak, Mr. President, aku tak yakin. Tapi aku vakin akan satu hal: Jackson
membenci - kuulangi - membenci Helen Dexter seperti kau sendiri."
"Nah, itu sama baiknya dengan rekomendasi pribadi," kata Presiden. "Apa lagi
yang membuatmu memilihnya" Sebab bila membenci Dexter merupakan kualifikasi utama untuk
pekerjaan itu, pasti ada banyak calon." "Dia juga memiliki atribut lain yang kucari-cari. Catatan prestasinya sebagai
perwira di Vietnam dan sebagai kepala kontra dinas rahasia. Ditambah lagi reputasinya sebagai wakil
direktur CIA." "Lantas mengapa dia mengundurkan diri sementara masih mempunyai karier yang
menjanjikan?" "Kuduga Dexter merasa kariernya itu terlalu menjanjikan, dan dia mulai tampak
sebagai pesaing serius untuk menggantikan posisi Dexter."
97 "Jika dia bisa membuktikan bahwa Dexter memerintahkan pembunuhan atas diri
Ricardo Guzman, mungkin dia masih bisa jadi pengganti Dexter. Tampaknya kau telah memilih orang
terbaik untuk pekerjaan itu, Andy."
"Jackson mengatakan ada satu orang yang lebih baik lagi."
"Kalau begitu orang itu kita rekrut sekalian," kata Presiden.
"Aku juga punya ide sama. Tapi ternyata dia telah bekerja untuk Dexter."
"Ah, setidaknya dia takkan tahu Jackson bekerja untuk kita. Apa lagi yang hendak
dikatakannya?" Lloyd membuka berkas arsip dan mulai mengajak Presiden merunut pembicaraannya
dengan mantan wakil direktur CIA.
Setelah selesai, satu-satunya komentar Lawrence ialah, "Apakah kau memberitahuku
bahwa aku diharapkan hanya duduk bertopang dagu sambil menunggu Jackson datang melapor?"
"Itulah persyaratannya, Mr. President, jika kita menghendaki dia menerima
penugasan kita. Tapi kuperkirakan Mr. Jackson bukan jenis orang yang cuma bertopang dagu."
"Sebaiknya dia tak begitu, sebab tiap hari Dexter d Langley adalah satu hari
yang terlalu banyak bagiku. Semoga Jackson dapat memberikan tambang yang cukup panjang untuk
menggantung Dexter di depan publik. Dan jika saat itu tiba, kita laksanakan eksekusi itu di
Rose Garden." Kepala Staf tertawa. "Itu mungkin memberikan keuntungan ganda, mendapatkan
beberapa orang 98 I publik lagi yang mendukung kila dalam program lalan-jalan Aman dan RUU
Pengurangan Kelihaian " Presiden tersenyum. "Siapa bei ikutnya?" tanyanya Lloyd melihat jamnya. "Senaloi
Bedell sudah agak lama menunggu di lobi." Mau apa dia
sekarang?" "Dia ingin bicara denganmu mengenai serangkai-n amandemen yang diusulkannya
tentang RUU Pengurangan Senjata."
Presiden mengerutkan kening. "Apakah kau memperhatikan berapa poin yang
dikumpulkan Zerimski dalam jajak pendapat terakhir?"
Setelah menyelipkan kunci ke lubang pintu rumah kecilnya di Georgetown, Maggie
memutar nomor berkepala 650. Connor mulai membongkar koper sambil mendengarkan
pembicaraan antara istri dan putrinya lewat telepon.
"Cuma mau memberitahu kami sudah sampai dengan selamat," Maggie mencoba membuka
percakapan. Connor tersenyum mendengar alasan yang tak meyakinkan itu. Tara jauh lebih
cerdas untuk teperdaya oleh ibunya, tapi Connor tahu Tara akan mengikuti
permainan itu. "Terima kasih sudah menelepon, Mom. Senang mendengar suaramu lagi."
"Apa semuanya beres di tempatmu?" tanya Maggie. "Ya, beres," sahut Tara.
Kemudian selama beberapa menit ia mencoba memberitahu ibunya secara tak langsung bahwa ia tak
akan bertindak terburu-buru. Setelah yakin ibunya benar-benar tenang, ia bertanya, "Dad ada?"
99 "Ya, dia ada di sini." Maggie menyerahkan pesawat telepon kepada Connor di
seberang tempat tidur. "Boleh aku minta tolong, Dad?" "Sudah tentu."
'Tolong jelaskan pada Mom, aku takkan bertindak tolol. Stuart telah meneleponku
dua kali sejak aku pulang. Dan karena dia merencanakan" - Tara ragu - "pergi ke Amerika untuk


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Natalan, aku yakin aku bisa bertahan hingga saat itu. Omong-omong, Dad, mungkin lebih baik
kuberitahukan padamu apa yang kusukai sebagai hadiah Natal."
"Dan apa itu. Sayang?"
"Dad akan membayar rekening teleponku ke luar negeri selama delapan bulan
berikut. Kurasa itu jumlahnya akan lebih mahal daripada mobil bekas yang kaujanjikan bila aku meraih
gelar PhD." Connor tertawa. "Jadi sebaiknya Dad mendapatkan promosi yang kausebutkan ketika kita di
Australia. Bye, Dad."
"B\e, Sayang." Connor meletakkan pesawat telepon, dan tersenyum meyakinkan kepada Maggie. Ia
baru saja akan memberitahu Maggie supaya tidak waswas lagi, ketika telepon berdering. Ia
mengangkatnya karena mengira itu telepon dari Tara lagi. Ternyata bukan.
"Maaf meneleponmu saat kau baru kembali," kata Joan. "Tapi baru saja kudengar
dari Bos sesuatu yang kelihatannya gawat. Berapa lama kau bisa sampai di sini?"
Connor melihat jam tangannya. "Dua puluh menit lagi aku akan tiba di situ,"
sahutnya, dan segera meletakkan pesawat. 100 "Itu tadi siapa?" tanya Maggie, sambil meneruskan iurmbongkar koper.
"Joan. Aku perlu menandatangani beberapa kon nak yang belum tertandatangani.
Takkan lama." "Sialan," kata Maggie. "Aku lupa membeli hadiah untuknya di pesawat."
'Akan kubelikan sesuatu dalam perjalanan ke kan-lor."
Connor cepat-cepat meninggalkan kamar. Ia berlari menuruni tangga dan keluar
rumah sebelum Maggie bertanya-tanya lebih lanjut. Ia naik Toyota milik keluarga, tapi baru
beberapa saat kemudian nesinnya mau hidup. Akhirnya ia mengeluarkan "tank lua" itu, demikian
Tara menjulukinya, meluncur di Twenty-Ninth Street. Seperempat jam kemudian ia
membelok ke kiri di M Street, kemudian ke kiri lagi, dan menghilang memasuki jalur landai menuju
tempat parkir bawah tanah yang tak bertanda
Ketika Connor memasuki gedung, satpam memberi salam dengan menyentuh tepi topi
tingginya dan berkata, "Selamat datang kembali, Mr. Fitzgerald. Saya kira Anda baru masuk
Senin nanti." "Kita berdua sependapat demikian," kata Connor sambil membalas salam basa-basi
itu dan menuju ke deretan lift. Ia naik ke lantai tujuh. Begitu memasuki koridor ia disambut
dengan senyum tanda kenal oleh resepsionis yang duduk di meja di bawah tulisan besar-besar
"Perusahaan Asuransi
Maryland". Papan petunjuk di lantai dasar menyatakan perusahaan terhormat
tersebut menggunakan lantai tujuh, delapan, sembilan, dan sepuluh.
101 "Senang bertemu Anda lagi, Mr. Fitzgerald," kata resepsionis itu. "Anda ada
tamu." Connor tersenyum dan mengangguk kemudian berjalan lagi. Ketika membelok di sudut
ia melihat Joan sedang berdiri dekat pintu kantornya. Menilik ekspresi wajahnya, Joan telah
menunggu di sana beberapa lama. Kemudian Connor ingat kata-kata Maggie tepat saat ia
meninggalkan rumah - bukannya karena Joan berpikiran hadiah amat penting baginya.
"Bos datang beberapa menit yang lalu," kata Joan sambil membukakan pintu
untuknya. Connor memasuki kantornya. Yang duduk berhadapan dengannya menghadap meja adalah
seseorang yang setahu dia tak pernah mengambil cuti.
"Maaf kau terpaksa menunggu agak lama, Direktur," katanya, "aku hanya..."
"Kita menghadapi masalah," kata Helen Dexter sambil menyodorkan berkas melintasi
meja. "Berilah aku petunjuk yang layak, dan akan kulakukan semua pekerjaan dasar,"
kata Jackson. "Kalau saja aku bisa, Chris," jawab Kepala Polisi Bogota. "Tapi satu-dua kolega
lamamu telah menjelaskan padaku sekarang kau termasuk persona nongrata."
"Kupikir kau orang yang tak pernah menggubris perlakuan-perlakuan manis seperti
itu," kata Jackson seraya kembali menuangkan wiski ke gelas Kepala Polisi.
"Chris, harus kaupahami ketika kau masih mewakili pemerintahmu, semuanya
dilakukan terang-terangan."
102 "Termasuk amplop-amplopmu, bila ingatanku tepat."
"Sudah tentu, Chris," kata polisi itu tak ambil pusing. "Kaulah orang pertama
yang harus menghargai bahwa pengeluaran itu harus dibayar." Ia meneguk isi gelas
kristalnya. "Dan seperti kau tahu benar, inflasi di Kolombia tetap tinggi. Gajiku tak cukup untuk
keperluan sehari-hari."
"Dari pidato kecil ini," kata Jackson "haruskah kusimpulkan bahwa tarif tetap
sama, walau aku telah termasuk persona nongrata?"
Kepala Polisi menghabiskan wiskinya, mengusap kumisnya, dan berkata, "Chris,
presiden kita sama-sama silih berganti, tapi persahabatan kita tidak."
Jackson tersenyum tipis, kemudian mengambil amplop dari saku dalam, dan
menyerahkannya di bawah meja. Kepala Polisi melihat isi amplop itu, membuka kancing saku dalam,
dan menyelipkan amplop itu hingga hilang dari pandangan.
"Sayangnya, kulihat majikan-majikan barumu tak memberikan keleluasaan yang sama
dalam hal pengeluaran." "Aku hanya minta satu petunjuk yang layak. Hanya itu," ulang Jackson.
Kepala Polisi mengangkat gelasnya yang kosong dan menunggu hingga pramusaji bar
mengisinya penuh-penuh. Ia kembali meneguknya. "Aku selalu yakin, Chris, bila kau mencari
harga murah, tempat yang paling cocok untuk mulai ialah pegadaian." Ia tersenyum,
menghabiskan minumnya, lalu bangkit berdiri. "Dan mengingat dilema yang sedang kauhadapi, sahabatku,
sebaiknya kau mulai di distrik 103 San Victorina, dan kuanjurkan hanya melihat-lihat dulu."
Begitu selesai membaca memorandum rahasia itu dengan terperinci, Connor
mengembalikannya kepada Direktur. Pertanyaan pertama Direktur mengejutkannya^ "Berapa lama lagi kau masih berdinas
sebelum pensiun?" "Aku sudah tak termasuk dalam daftar pejabat aktif mulai 1 Januari tahun depan,
tapi tentu sajaj aku berharap masih bisa bekerja di sini."
"Mungkin tak begitu mudah untuk mengakomodasikan bakat khususmu saat ini,"
kata Dexter ^pa adanya. "Tapi ada lowongan yang bisa kurekomen-dasikan padamu." Ia berhenti
sebentar. "Sebagai direktur kantor kita di Cleveland."
"Cleveland?" "Ya." "Setelah berdinas 28 tahun," kata Connor, "aku berharap kau bisa menemukan
pekerjaan buatku di Washington. Aku yakin kau tahu istriku ketua Bagian Penerimaan di Georgetown.
Sungguh hampir mustahil' baginya menemukan jabatan sepadan di... Ohio."
Keheningan lama menyusul.
"Sebenarnya aku ingin menolong," kata Dexter datar. "Tapi saat ini tak ada
posisi yang cocok buatmu di Langley. Jika kau bersedia menerima tugas di Cleveland, mungkin
beberapa tahun lagi kau bisa kembali." Connor memandang wanita di seberang meja,, majikannya selama 26 tahun ini.
Hatinya sakit, wanita 104 itu kini menikamkan belati kepadanya sama seperti yang dilakukannya kepada
banyak rekannya di masa silam. Tapi mengapa" Ia selalu melaksanakan perintah-perintahnya secermat-
cermatnya. Ia memandangi berkas-berkas itu. Apakah Presiden meminta supaya seseorang
dikorbankan setelah interogasi yang begitu teliti mengenai kegiatan-kegiatan CIA di Kolombia" Apakah
Cleveland merupakan hadiah atas seluruh pengabdiannya selama bertahun-tahun itu7
"Apakah ada alternatif lain?" tanyanya.
Direktur tidak ragu-ragu. "Tentu saja kau bisa minta pensiun dipercepat." Wanita
itu seakan sedang menyarankan penggantian petugas jaga pintu berusia enam puluhan di gedung
apartemennya. Connor duduk bungkam. Ia tak dapat mempercayai apa yang telah didengarnya.
Seluruh hidupnya telah ia baktikan kepada CIA. Dan sebagaimana begitu banyak petugas lainnya, ia
telah beberapa kali mempertaruhkan hidupnya.
Helen Dexter bangkit dari kursinya. "Mungkin kau dapat memberitahuku setelah
mengambil keputus-an." Ia meninggalkan ruangan itu tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.
Connor duduk sendirian beberapa saat. Ia mencoba meresapi seluruh implikasi
ucapan Direktur. Ia ingat Chris Jackson telah menceritakan kepadanya percakapan yang hampir mirip
delapan bulan sebelumnya. Dalam kasusnya, pos yang ditawarkan adalah di Milwaukee. "Tak
mungkin terjadi pada diriku," begitu yang dikatakannya kepada Chris waktu itu. "Bagaimanapun,
aku pemain dalam tim. Dan tak seorang pun akan menganggapku menginginkan
105 jabatannya." Tetapi Connor telah melakukan dosa yang lebih besar lagi. Dengan
melaksanakan perintah-perintah Dexter, tanpa sengaja ia menjadi penyebab kejatuhan Dexter.
Jika Connor sudah tidak di situ lagi untuk mempermalukannya, mungkin Dexter masih dapat bertahan.
Selama bertahun-tahun, berapa banyak petugas baik yang telah dikorbankan di atas altar
ego wanita tersebut" ia bertanya-tanya heran.
Pikiran Connor terusik ketika Joan masuk ke ruangan itu. Joan tak perlu
diberitahu bahwa pertemuan tadi sangat buruk.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya tenang. "Tidak, tak ada. Terima kasih, Joan."
Setelah diam sejenak ia menambahkan, "Kau tahu aku akan dikeluarkan dari daftar petugas aktif
tak lama lagi." "Tanggal 1 Januari," kata Joan. "Tapi dengan catatan prestasimu, CIA pasti akan
menawarkan banyak posisi, jam-jam kerja yang manusiawi sebagai gantinya, dan mungkin
ditambah sekretaris bertungkai panjang."
"Tampaknya tak demikian," kata Connor. "Satu-satunya jabatan yang dipikirkan
Direktur buatku ialah memimpin kantor di Cleveland, dan di sana tentu saja tak ada sekretaris
bertungkai panjang."
"Cleveland?" ulang Joan tak percaya.
Connor mengangguk. "Perempuan jahanam "
Connor memandangi sekretaris yang telah lama membantunya, tak kuasa
menyembunyikan kekagetannya. Itu kata terkasar yang pernah didengarnya diucapkan Joan tentang
seseorang selama sembilan belas tahun, apalagi tentang Direktur
106 Joan menatap mata Connor dan berkata, "Apa ) ang hendak kaukatakan pada Maggie?"
"Aku tak tahu. Tapi karena sudah bisa mengelabuinya selama 28 tahun, aku yakin
bisa menemukan caranya." Ketika Chris Jackson membuka pintu depan, bel berbunyi untuk memberitahu pemilik
toko bahwa ada orang yang masuk. Di Bogota ada lebih dari seratus toko pegadaian, kebanyakan berada di distrik
San Victorina. Jackson telah lama tak berjalan sejak menjadi polisi. Ia bahkan mulai berpikir
jangan-jangan perburuannya, sesuai dengan anjuran Kepala Polisi sahabatnya itu, akan sia-sia
belaka. Tapi ia berjalan terus, sebab tahu polisi khusus itu selalu memastikan ada amplop lain
yang dijejali banyak uang di kemudian hari. Escobar mendongak dari balik koran edisi sore. Orang tua ini selalu dapat
mengenali apakah seseorang pembeli atau penjual sebelum orang itu sampai di gerai. Pandangan,
potongan pakaian, bahkan gaya langkah menujunya. Hanya perlu memandang sekilas pada pria .khusus
ini dan Escobar senang ia tidak menutup toko terlalu awal.
"Selamat sore, Sir," kata Escobar sambil berdiri dari kursi tinggi. Ia selalu
menambahkan sapaan "Sir" bila memperkirakan pendatang itu pembeli. "Bisa saya bantu?"
"Senapan di etalase..."
"Oh, ya. Saya tahu Anda dapat melihat dengan cermat. Itu memang milik kolektor."
Escobar mengangkat pintu gerai dan berjalan melintas menuju
107 etalase. Ia mengambil koper itu dan meletakkannya di atas gerai, lalu
mempersilakan orang itu meneliti isinya. Jackson hanya perlu memandang sekilas senapan buatan tangan itu untuk mengetahui
asalnya. Ia tidak kaget ketika menemukan bahwa salah satu peluru telah ditembakkan.
"Harganya berapa?"


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sepuluh ribu dolar," jawab Escobar setelah mengenali logat Amerika pembeli.
"Tak bisa saya lepas dengan harga lebih murah. Sudah banyak sekali ditanyakan orang."
Setelah tiga hari berkeliaran di sekeliling kota yang panas dan lembap itu
Jackson sama sekali tak berminat untuk tawar-menawar. Tapi ia tak membawa uang tunai sebanyak itu. Dan
ia tak dapat memberikan cek begitu saja atau menyerahkan kartu kredit.
"Apakah boleh saya meninggalkan uang muka, dan besok pagi-pagi saya
mengambilnya?" tanyanya. "Tentu saja, Sir," sahut Escobar. "Tapi untuk barang khas ini saya minta uang
tanggungan sepuluh persen." Jackson mengangguk, mengeluarkan dompet dari sakunya. Ia mengambil beberapa
lembar uang yang telah digunakan dan menyerahkannya ke seberang gerai.
Pemilik toko itu menghitung sepuluh lembar uang seratus dolaran dengan pelan-
pelan kemudian memasukkannya ke cash register. Lalu ia menulis kuitansi.
Jackson memandangi koper yang terbuka, dan tersenyum, la mengambil peluru yang
telah terpakai dan memasukkannya ke saku.
108 Orang tua itu bingung. Bukan karena tindakan I ickson, tetapi karena ia berani
bersumpah bahwa kedua belas peluru itu masih berada di tempat waktu cnapan itu dibelinya.
Aku ingin sekali berkemas dan berkumpul dengan-nu besok, jika tak mengingat
orangtuaku," kata Tara. "Aku yakin mereka akan mengerti," kata Stuart.
"Mungkin," jawab Tara. "Tapi itu takkan meng-entikanku merasa bersalah terhadap
semua pengorbanan ayahku selama bertahun-tahun agar aku dapat nenyelesaikan PhD-ku.
Belum terhitung ibuku. Dia nungkin sekali kena serangan jantung."
'Tapi kau bilang akan mencari tahu apakah penasihat fakultasmu akan
mengizinkanmu menyelesaikan program doktoralmu di Sydney."
"Penasihat Fakultas tak jadi masalah," sahut Tara. Yang jadi masalah adalah
Dekan." "Dekan?" "Ya. Ketika Penasihat Fakultas membicarakannya kemarin, Dekan mengatakan itu
mustahil." Hening agak lama. Kemudian Tara berkata, "Kau masih di situ, Stuart?"
"Ya, masih," sahutnya, diikuti desah yang akan menambah nilai positif bagi
seorang kekasih dalam drama Shakespeare. "Tinggal delapan bulan lagi," Tara mengingatkan Stuart. "Bahkan sebenarnya aku
dapat mengatakan beberapa hari lagi. Jangan lupa, kau akan di sini untuk Natalan."
"Aku sungguh merindukannya," sahut Stuart. "Aku 109
hanya berharap orangtuamu tak merasa seakan kupaksa. Bagaimanapun, mereka takkan
melihatmu beberapa lama." "Jangan konyol. Mereka senang sekali ketika ku-beritahu kau akan bersama-sama
dengan kami. Mom memujamu, kau tahu. Dan kau pria pertama yang disebut baik oleh Dad."
"Dia sungguh menakjubkan."
"Apa maksudmu?"
"Kuduga kau tahu persis apa maksudku."
"Sebaiknya aku berhenti. Bila tidak, Dad akan membutuhkan kenaikan gaji untuk
membayar rekening teleponku. Omong-omong, berikutnya giliranmu."
Stuart pura-pura tidak tahu betapa tiba-tiba Tara mengganti topik pembicaraan.
"Sungguh aneh bagiku," lanjut Tara, "kau masih bekerja, sementara aku sudah
pulas." "Nah, kurasa aku punya cara untuk mengubahnya," kala Stuart.
Ketika ia membuka pintu, alarm berbunyi. I ouceng di kantor luar berdentang dua
kali sementara ia menyingkap tirai manik-manik dan melangkah menuju toko. Ia menatap penyangga di
etalase. S< impan itu tak ada lagi di tempat.
Beberapa menit kemudian ia baru menem disembunyikan di bawah gerai.
Ia memeriksa seluruh bagian, dan mci satu peluru tak ada. Ia mengempit kopei i
pergi secepat ia masuk. Bukannya karena ia jangan-jangan ditangkap: Kepala Polisi i< i mastikan
kepadanya bahwa pembobolan itu l nya kan dan as ne-kan 110 dilaporkan setidaknya selama setengah jam. Ia memandang ke jam sebelum menutup
pintu. Pukul O.M2. Kepala Polisi tak dapat menyalahkan sahabat lamanya karena tak membawa cukup
uang tunai untuk membeli senapan. Dan bagaimanapun dengan berbuat begitu ia seolah dibayar
dua kali untuk sekeping informasi yang diberikannya. Khususnya bila uang n u dalam dolar.
Maggie menuangkan kopi cangkir kedua untuknya.
"Maggie, aku sedang mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari CIA dan
mencari pekerjaan yang tak perlu banyak bepergian." Ia memandang ke seberang meja dapur
dan menunggu reaksi istrinya. Maggie mengembalikan poci kopi ke mesin penghangat dan menyesap dari cangkirnya
sendiri, kemudian baru bicara. "Mengapa sekarang?" tanyanya sederhana.
"Direksi telah memberitahu aku dibebastugaskan dari penculikan dan tebusan,
diganti dengan orang yang lebih muda. Itu kebijakan perusahaan bagi orang seusiaku."
"Tapi pasti ada banyak pekerjaan lain dalam CIA untuk orang yang berpengalaman
seperti kau " "Direktur memang mengajukan saran," kata Connor. "Dia menawarkan pekerjaan
memimpin kantor daerah di Cleveland."
"Cleveland?" tanya Maggie tak percaya. Beberapa saat ia tetap diam, kemudian
bertanya dengan tenang, "Mengapa Direktur tiba-tiba ingin sekali menyingkir-kanmu?"
111 "Oh, tak seburuk itu. Kalaupun tawaran itu kutolak, aku masih berhak menerima
pensiun penuh," kata Connor tanpa mencoba menjawab pertanyaan. "Joan telah memastikan ada
beberapa perusahaan asuransi besar di Washington yang sangat senang menerima orang
berpengalaman seperti aku." "Tapi bukan perusahaan tempat kau bekerja sekarang," kata Maggie, masih sambil
memandang langsung pada suaminya. Connor menatap matanya, namun tidak menemukan jawaban
-yang meyakinkan. Kemudian terjadi keheningan yang lebih lama lagi.
"Apakah menurutmu belum tiba saatnya untuk mengatakan padaku seluruh kebenaran
itu?" tanya Maggie. "Atau apakah aku harus terus mempercayai setiap katamu sebagai istri
yang berbakti?" Connor menunduk dan tetap diam. "Kau tak pernah menyembunyikan fakta bahwa
Asuransi Maryland tak lain adalah kedok untuk CIA. Dan aku tak pernah mendesakmu mengenai
hal ini. Tapi akhir-akhir ini perjalanan-perjalananmu yang terselubung telah meninggalkan
sedikit lumpur di sepatumu." "Aku tak mengerti," kata Connor tak berdaya. "Ketika mengambil satelanmu dari
binatu, aku diberitahu ini ditemukan dalam sakumu." Maggie meletakkan uang logam kecil di
meja. "Mereka bilang ini tak bernilai kecuali di Kolombia."
Connor memandangi sekeping sepuluh peso yang bisa untuk membayar telepon
setempat di Bogota. "Banyak istri akan langsung meloncat mengambil satu kesimpulan, Connor
Fitzgerald," lanjut Maggie. "Tapi jangan lupa, aku sudah mengenalmu tiga puluh 112
tahun lebih, dan aku sadar kau takkan mampu melakukan penipuan seperti itu."
"Aku janji. Maggie..." "Aku tahu, Connor. Aku selalu menerima, pasti ada alasan yang pantas mengapa
selama bertahun-tahun kau tak sepenuhnya jujur padaku." Maggie membungkuk dan
memegang tangan suaminya dan berkata, "Tapi bila sekarang kau harus dibuang ke tumpukan sampah tanpa
alasan jelas, apakah kau tak merasa aku berhak tahu persis apa yang kaulakukan selama 28 tahun ini?"
Jackson meminta sopir taksi menepi di luar toko pegadaian dan menunggu. Hanya
beberapa menit, katanya, kemudian ia ingin diantar ke bandara.
Begitu ia masuk toko, Escobar buru-buru muncul dari kantor sebelah luar. Ia
tampak gugup. Ketika melihat pelanggannya, ia membungkuk dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun
membuka kunci cash register lalu menarik laci. Pelan-pelan ia mengeluarkan sepuluh lembar uang
seratusan dolar dan menyerahkannya melintasi gerai.
"Maaf, Sir," katanya sambil mengangkat muka memandang orang Amerika yang
jangkung itu, "tapi rupanya senapan itu dicuri semalam."
Jackson tak memberi komentar.
"Lucunya," lanjut Escobar, "siapa pun pencurinya, dia tak mengambil uang tunai."
Jackson tetap masih diam. Setelah ia meninggalkan toko, Escobar tak habis pikir
melihat pelanggan itu tidak begitu terkejut.
Dalam perjalanan menuju bandara, Jackson menge-
luarkan peluru yang telah dipakai itu dari saku jasnya. Ia mungkin tak bisa
membuktikan siapa yang menarik picu, tapi kini ia tak ragu lagi siapa yang memerintahkan
pembunuhan atas Ricardo Guzman. Createdsyaucjy_arr@yatioo. co. id
C1^KJefjfoj, ?ittp://?ianaofcj. wordpress. com
114 - BAB SEMBILAN 111 likopter mendarat lembut di sepetak rumput dekat Kolam Pantulan antara Tugu
Peringatan Washington dan Lincoln. Ketika baling-baling berputar pelan, terdengar beberapa
langkah ringan. Pintu Nighthawk terbentang lebar dan Presiden Herrera muncul, mengenakan seragam
lengkap hingga mirip pemeran kecil dalam film murahan. Ia berdiri tegak siaga dan
membalas salut pasukan Marinir yang menunggu, kemudian berjalan tak terlalu jauh menuju limusin C
adillac berlapis baja. Ketika arak-arakan mobil bergerak di Seventeenth Street, setiap tiang bendera
mengibarkan bendera Kolombia, Amerika, dan Distrik C olumbia.
Tom Lawrence, Larry Harrington, dan Andy Lloyd menantinya di deretan pilar
selatan Gedung Putih. 'Semakin rapi setelannya, semakin warna-warni selempangnya, semakin
banyak medalinya, semakin 115 tak berarti negerinya," pikir Lawrence sambil melangkah maju menyambut tamunya.
"Antonio, sahabat lamaku yang baik," kata Lawrence saat Herrera merangkulnya,
walau mereka baru sekali berjumpa sebelumnya. Herrera akhirnya melepaskan rangkulannya, lalu
Lawrence berpaling memperkenalkan Harrington dan Lloyd kepadanya. Lampu-lampu kamera
berkilatan dan kamera-kamera video merekam ketika rombongan Presiden menuju Gedung Putih.
Beberapa foto saling genggam dan saling senyum diabadikan di koridor panjang di bawah potret
George Washington. Seusai pengambilan foto wajib selama tiga menit, Presiden mempersilakan tamunya
masuk ke Ruang Oval. Sementara kopi Kolombia disajikan dan masih banyak jepretan foto
lagi, mereka membicarakan tetek-bengek. Ketika mereka akhirnya sendirian, Menteri Luar Negeri
mulai memandu pembicaraan mengenai hubungan kedua negara yang sedang berlangsung.
Lawrence berterima kasih atas penjelasan yang ia dapat dari Larry tadi pagi. Ia merasa
mampu berbicara dengan penuh kewenangan tentang persetujuan ekstradisi, panen kopi tahun ini,
masalah narkotika, bahkan metro baru yang akan dibangun di Bogota oleh perusahaan Amerika sebagai
bagian paket bantuan luar negeri. Ketika Menlu memperluas pembicaraan mencakup soal pengembalian pinjaman dolar
yang telah diberikan dan kesenjangan ekspor dan impor antara kedua negara, pikiran Lawrence
mengembara ke masalah-masalah yang harus dihadapinya kemudian hari itu.
RUU Pengurangan Senjata macet di komite dan
116 Andy telah memperingatkannya bahwa suara yang mendukung tidak banyak.
Mungkin ia perlu bertemu dengan beberapa anggota Kongres secara pribadi bila ia punya kesempatan
meneruskannya. Ia sadar bahwa upacara kunjungan-kunjungan ke Gedung Putih
biasanya tak lebih daripada pijatan ego sehingga para wakil terpilih itu dapat kembali ke distrik
mereka dan memberitahu para pemilih - bila mereka kaum Demokrat - betapa dekat hubungan mereka
dengan Presiden; atau bila mereka kaum Republik - I ahwa Presiden tergantung pada
dukungan mereka untuk meluluskan suatu undang-undang. Pemilihan umum pertengahan kurang dari
satu tahun lagi.

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka I awrence menyadari harus diadakan pertemuan-pertemuan tak terjadwal dalam
minggu-minggu mendatang. Ia tersentak kembali ke persoalan yang sedang berlangsung ketika Herrera
berkata, "...dan untuk itu saya secara khusus harus berterima kasih pada Anda, Mr. President." Senyum lebar
tersungging pada wajah pemimpin Kolombia itu, sementara tiga orang paling berkuasa di
Amerika menatapnya tak percaya. "Maukah kau mengulanginya, Antonio?" kata Presiden sebab tak yakin telah
mendengar ucapan tamunya dengan benar. "Karena sekarang kita dalam privasi Ruang Oval, Tom, aku hanya ingin mengatakan
betapa aku sangat menghargai peranan diri pribadimu dalam pemilihanku."
"Berapa lama kau telah bekerja untuk Asuransi Jiwa Maryland, Mr. Fitzgerald?"
tanya Ketua Dewan. 117 Pertanyaan pertama dalam wawancara yang telah berlangsung sejam lebih.
"Mei nanti 28 tahun, Mr. Thompson," jawab Connor, sambil menatap langsung orang
yang duduk menghadap meja besar di seberangnya.
"Catatan prestasimu sungguh mengesankan," kata wanita yang duduk di sebelah
kanan Ketua. "Dan referensi-referensimu sungguh tak ada celanya. Aku terpaksa menanyakan mengapa
kau ingin meninggalkan pekerjaan yang sekarang. Dan mungkin lebih penting lagi mengapa
Asuransi Maryland mau melepasmu."
Connor telah membicarakan dengan Maggie bagaimana ia akan menjawab pertanyaan
tersebut selama makan malam hari sebelumnya. "Katakan saja yang sebenarnya," kata Maggie.
"Dan jangan coba-coba berbohong, kau tak pernah ahli dalam hal itu." Connor tak mengharapkan
nasihat yang lain. "Satu-satunya kemungkinan promosi yang langsung ialah pindah ke Cleveland,"
jawab Connor. "Sedangkan aku tak sanggup meminta istriku melepaskan pekerjaannya di Georgetown
University. Sulit baginya menemukan jabatan yang sepadan di Ohio."
Anggota ketiga dari dewan pewawancara itu mengangguk. Maggie telah
memberitahunya bahwa salah satu anggota panel itu punya putra mahasiswa tahun keempat di Georgetown.
"Menurutku kami tak perlu menahanmu lebih lama lagi," kata Ketua. "Aku hanya
ingin berterima kasih atas kedatanganmu siang ini, Mr. Fitzgerald."
"Sama-sama," kata Connor, sambil beranjak akan pergi.
118 la terkejut ketika Ketua bangkit dari balik meja panjang dan berjalan memutar
bergabung dengannya. "Maukah kau dan istrimu makan malam bersama kami minggu depan?"
tanyanya sambil mengantar Connor ke pintu.
"Senang sekali, Sir," jawab Connor.
"Ben," kata Ketua. "Tak seorang pun di Washington Provident memanggilku Sir,
apalagi para eksekutif seniorku." Ia tersenyum dan berjabat tangan dengan hangat. "Akan
kuminta sekretarisku menelepon kantormu dan memastikan tanggalnya. Aku ingin sekali berkenalan dengan
istrimu - namanya Maggie, bukan?"
"Ya, Sir," jawab Connor. Ia berhenti sejenak. "Dan iku ingin sekali berkenalan
dengan Mrs. Thompson, Ben." Kepala Staf Gedung Putih mengangkat telepon merah, tetapi tidak segera mengenali
suara itu. "Aku punya beberapa informasi yang mungkin menurutmu berguna. Maaf sudah lama
sekali." Lloyd cepat-cepat menyambar notes kuning kosong dan membuka pulpen. Ia tak perlu
menekan tombol mana pun. Semua pembicaraan melalui telepon khusus itu otomatis direkam.
"Aku baru saja kembali dari kunjungan sepuluh hari ke Bogota\ Dan seseorang di
sana memastikan bahwa pintu-pintu tak hanya dicampakkan tertutup bagiku, tapi juga dikunci dan
dipasak." "Jadi Dexter sudah tahu apa yang sedang kaucari," kata Lloyd.
"Aku berani taruhan, pasti beberapa menit setelah aku bicara dengan kepala
polisi setempat." 119 "Apa itu juga berarti Dexter tahu kau bekerja untuk siapa?"
"Tidak, dalam hal itu aku sudah menyamarkan diri sendiri. Itulah sebabnya lama
sekali aku baru bisa kembali menghubungimu. Dan aku yakin berhasil mengecoh salah satu petugas
junior Dexter setelah mengalami perburuan yang seru. Dexter takkan tahu pada siapa aku
melapor. Atase kebudayaan kita di Bogota kini sedang melacak setiap raja narkotika terkenal,
setiap petugas junior di bagian narkotika, dan setengah kepolisian setempat. Laporannya akan sangat
tebal dan perlu waktu sebulan hanya untuk membacanya, apalagi menebak-nebak apa yang sedang
kuperbuat di sana." "Apa kau mendapatkan sesuatu yang bisa dipakai untuk menjerat Dexter?" tanya
Lloyd. "Tak ada yang tak bisa dia jelaskan dengan kiat-kiat tipu muslihatnya. Tapi
seluruh bukti menunjukkan bahwa CIA-lah yang ada di balik pembunuhan itu."
"Itu kita sudah tahu," sahut Lloyd. "Masalahnya, walaupun keterangan informan
kita tak bercela, Presiden tak bisa bersaksi di depan pengadilan, sebab dia pihak yang langsung
mendapat manfaat dari pembunuhan itu. Apa kau menemukan seseorang yang dapat memberikan kesaksian
di pengadilan?" "Hanya Kepala Polisi Bogota, dan surat kepercayaannya pasti tidak tanpa cela.
Bila dia harus bersaksi di pengadilan, tak dapat dipastikan pihak mana yang akhirnya dia
dukung." "Kalau begitu bagaimana kau bisa begitu yakin CIA terlibat di dalamnya?"
120 "Aku sudah melihat senapan yang kuyakini telah ilipunakan untuk membunuh Guzman.
Bahkan aku menemukan selongsong peluru yang menghabisinya. I ?"bih-lebih lagi, aku
cukup yakin tahu pembuat senapan itu. Dia orang yang paling andal dalam bisnis itu dan dikontrak
untuk bekerja bagi sekelompok kecil NOC." NOC?"
Non-official cover officer, petugas pelindung tak tesmi, yang tak terikat dalam
dinas pemerintahan mana pun. Dengan demikian CIA dapat menyangkal i.ihu sesuatu tentang kegiatan
mereka bila ada yang tak beres." 'Jadi pembunuhnya adalah petugas yang berdinas untuk CIA," kata Lloyd.
"Mungkin, kecuali bila ternyata dia sudah di-pensiun Dexter beberapa hari lalu."
"Nah, kalau begitu masih ada satu orang lagi ang harus kita pekerjakan." Disusul
hening lama. Kemudian barulah Jackson berkata, "Itu mungkin cara kerjamu di Gedung Putih, Mr.
Lloyd. Tapi orang ini takkan mengkhianati mantan majikan, betapapun besar suap yang
kautawarkan. Mengancamnya pun takkan berhasil: dia takkan memberimu kesempatan bila kau
membidik kepalanya." "Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
"Dia berdinas di bawah komandoku di 'Nam. Bahkan Vietkong pun tak berhasil
mengoreknya. Jika kau memang ingin tahu, dialah satu-satunya alasan mengapa aku masih hidup.
Bagaimanapun, Dexter pasti telah meyakinkannya bahwa perintah-perintahnya langsung berasal
dari Gedung Putih." 121 "Kita bisa saja mengatakan padanya bahwa Dex-ter berbohong," kata Lloyd.
"Itu hanya akan membahayakan hidupnya sendiri. Tidak. Aku harus mampu
membuktikan keterlibatan Dexter tanpa dia tahu apu yang kita usahakan. Dan itu tak mudah."
"Kalau begitu bagaimana kau akan melaksanakannya?"
"Dengan menghadiri pesta pensiunnya." "Kau serius?"
"Ya, sebab di sana akan ada seseorang yang mencintainya melebihi cintanya pada
negaranya. Dan wanita itu mungkin mau bicara. Aku akan terus menghubungimu."
Dan telepon dimatikan. Ketika Nick Gutenburg, wakil direktur CIA, memasuki ruang tamu rumah keluarga
Fitzgerald, orang pertama yang dilihatnya ialah pendahulunya: Chris Jackson yang sedang
asyik berbicara dengan Joan Bennett. Apakah Chris sedang bercerita pada Joan untuk siapa dia
bekerja di Bogota" Gutenburg ingin sekali mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi ia
harus lebih dulu menyapa tuan dan nyonya rumah.
"Aku masih sembilan bulan lagi bekerja," kata Joan. "Sesudah itu aku berhak atas
pensiun penuh. Dan aku ingin bergabung dengan Connor dalam pekerjaan barunya."
"Aku baru saja mendengar hal itu," kata Jackson. "Kedengarannya ideal. Dari yang
diceritakan Maggie padaku, Connor tak perlu lagi banyak bepergian."
122 Memang benar, tapi penunjukannya belum resmi," s ihut Joan. "Dan kau tahu
sendiri perasaan Connor karena dipotong dan dikeringkan. Tapi karena Ketua Washington Provident
telah mengundangnya makan malam bersama Maggie, kita dapat mengasumsikan ( onnor sudah
menerima pekerjaan itu. Kecuali tentu saja bila Mr. Thompson ingin main bridge
berempat." "Bagus kau datang, Nick," kata Connor hangat, ambil menyerahkan segelas Perrier
kepada Wakil Direktur. Connor tak perlu diingatkan bahwa (iutenburg tak pernah menyia-nyiakan
alkohol. "Takkan kulewatkan dengan alasan apa pun, Connor," kata Gutenburg.
Sambil berpaling ke istrinya, Connor berkata, Maggie, ini Nick Gutenburg,
temanku. Dia bekerja di..." "Bagian penggantian kerugian," sela Gutenburg cepat. "Kami semua akan merasa
kehilangan suamimu di Asuransi Jiwa Maryland, Mrs. Fitzgerald."
"Yah, aku yakin jalan hidup kalian pasti akan bersilangan lagi," kata Maggie,
"sekarang Connor mendapat pekerjaan baru di bidang yang sama."
"Belum dikonfirmasi," kata Connor. "Tapi begitu sudah, kaulah orang pertama yang
akan mendengarnya, Nick."
Mata Gutenburg kembali ke arah Jackson. Dan begitu Jackson meninggalkan Joan
Bennett, Gutenburg menyelinap, melintas ruangan bergabung dengan Joan.
"Aku senang mendengar kau tetap bekerja di CIA, Joan," ia membuka percakapan.
"Semula kukira kau akan bergabung dengan Connor dalam pekerjaan barunya."
123 "Tidak, aku akan tetap di CIA," kata Joan, sebab tak yakin seberapa jauh Wakil
Direktur telah tahu masalah itu. "Karena Connor tetap bekerja dalam bidang yang sama, kukira..."
Kau sedang memancing, pikir Joan. "Aku tak tahu itu," kata Joan tegas.
"Chris Jackson bicara dengan siapa?" tanya Gutenburg.
Joan memandang ke seberang ruangan. Sesungguhnya ia ingin bisa menjawab tidak
tahu, tapi sadar bahwa ia tak dapat lolos begitu saja. "Itu Pastor Graham, pastor paroki setempat
keluarga Fitzgerald dari Chicago, dan Tara, putri Connor."
"Apa kerja putrinya?" tanya Gutenburg.
"Sedang menyelesaikan program doktoralnya di Stanford."
Gutenburg sadar ia hanya membuang-buang waktu bila ingin mendapatkan informasi
yang sesungguhnya dari sekretaris Connor. Bagaimanapun wanita itu telah bekerja untuk
Fitzgerald selama 28 tahun, jadi tak diragukan lagi kesetiaannya. Dan dalam berkas tak ada
sesuatu pun yang tak profesional dalam hubungan mereka. Sambil memandang Miss Bennett, ia menduga
wanita itu mungkin perawan usia 45 tahun yang terakhir di Washington. Ketika putri Connor
menuju ke meja minuman untuk mengisi kembali gelasnya, Gutenburg meninggalkan Joan tanpa
sepatah kata pun. "Namaku Nick Gutenburg," katanya kepada Tara sambil mengulurkan tangan. "Aku
teman kerja ayahmu." "Aku Tara," kata Tara. "Kau ditugaskan di kota?"
124 "Tidak. Tugasku di pinggiran kota," jawab (iutenburg. "Kau masih di Pantai Barat
untuk menyelesaikan PhD-mu?"
"Ya, benar," sahut Tara tampak agak kaget. "Dan hagaimana dengan kau" Kau
bekerja di bagian apa?" "Bagian penggantian kerugian. Memang agak membosankan bila dibandingkan dengan
tugas ayahmu, lapi harus ada yang tinggal di kantor dan membereskan uusan surat-
menyurat," katanya sambil tertawa kecil. Omong-omong, aku senang mendengar ayahmu nendapat
pekerjaan baru." "Ya, Mom juga senang perusahaan yang begitu ergengsi mau cepat-cepat menerima
Dad. Walau ini I elum resmi."

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah dia akan bekerja di luar Washington?" inya Gutenburg sambil meneguk
Perrier. "Ya, perusahaan itu beberapa blok dari kantor I imanya..." Tara berhenti bicara
ketika mendengar hunyi keras. Ia berpaling dan melihat Chris Jackson menepuk meja untuk meminta
perhatian para tamu. "Maaf," bisik Tara. "Itu petunjuk buatku untuk melaksanakan tugas malam ini." Ia
bergegas pergi, dan Gutenburg berpaling untuk mendengarkan pendahulunya di Langley itu.
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu," Chris memulai. Ia menunggu hingga suasana benar-benar
hening, kemudian melanjutkan, "Merupakan kehormatan bagiku intuk bersulang bagi dua
sahabat terlamaku, Connor dan Maggie. Telah bertahun-tahun, secara konsisten Connor
membukakan diri sebagai orang yang paling mungkin memasukkanku ke dalam konflik."
Para tamu tertawa. Seorang di antaranya ber-
125 teriak, "Benar itu!" Dan seorang lain menambahkan, "Aku tahu masalahnya."
"Tapi begitu kau di dalam konflik, dialah orang yang paling dapat mengeluarkanmu
dari konflik itu." Ini disambut dengan tepuk tangan meriah. "Kami bertemu peitama kali..."
Gutenburg merasa penyerantanya berderik. Dicabutnya benda itu dari ikat
pinggangnya. "TROYA SECEPAT MUNGKIN" berita itu terpampang pada layarnya. Ia mematikannya dan
menyelinap keluar ke koridor. Ia mengambil telepon terdekat seolah sedang di rumah sendiri.
Dihubunginya nomor yang tak tercatat dalam buku petunjuk mana pun. Sebelum telepon berdering
sudah terdengar suara berkata, "Direktur."
"Aku terima beritamu, tapi aku memakai jalur yang tak aman." Ia tak perlu
mengatakan siapa dirinya. "Yang akan kusampaikan ini akan diketahui semua orang di seluruh dunia beberapa
jam lagi." Gutenburg tidak bicara. Membuang-buang waktu saja.
"Yeltsin meninggal karena serangan jantung tujuh belas menit yang lalu," kata
Helen Dexter. "Harap melapor ke kantorku secepatnya. Dan batalkan segala yang kaurencanakan
selama 48 jam mendatang." Telepon mati. Tak ada telepon dari jalur tak aman ke kantor Dexter
berlangsung lebih dari 45 detik. Ada stop-watch di meja Dexter.
Gutenburg meletakkan kembali , gagang telepon lalu menyelinap keluar ke pintu
depan tanpa berusaha pamit kepada nyonya rumah. Ia diantar mobil me-
126 tunggalkan Parkway kembali ke Langley. Sementara itu Chris mengangkat gelas dan
bersulang, "Untuk Connor dan Maggie, dan apa pun masa depan yang menanti mereka."
Semua tamu mengangkat gelas. "Untuk Connor lan Maggie."
BAB SEPULUH "Aku akan memberitahumu dari mana tepatnya asal informasiku ini," kata Tom
Lawrence. "Dari Presiden Kolombia sendiri. Dia berterima kasih padaku atas 'peranan yang
kumainkan dalam pemilihannya'." "Itu bukan bukti," kata Helen Dexter tanpa menunjukkan emosinya sedikit pun
"Kau meragukan ucapanku?" Presiden tidak berusaha menyembunyikan amarahnya.
"Tentu saja tidak, Mr. President," jawab Dexter tenang. "Tapi bila kau mendakwa
CIA melaksanakan operasi-operasi terselubung tanpa sepengetahu-anmu, kuharap, itu
tak hanya berdasarkan atas ucapan seorang politikus Afrika Selatan."
Presiden mencondongkan badannya ke depan. "Sebaiknya kaudengarkan baik-baik
rekaman pembicaraan yang berlangsung di kantor ini belum begitu lama," katanya. "Sebab
itu mengejutkanku sebagai sesuatu yang mengandung kebenaran sesuatu 128
y.mg kuduga tak banyak kaudapatkan bebeiapa tahun belakangan ini."
Direktur tetap tenang, meskipun Nick Gutenburg y mg duduk di sebelah kanannya
beringsut gelisah. Presiden mengangguk ke arah Andy Lloyd, yang mengulurkan tangan dan
menekan tombol lape re-order yang telah dipasang di sudut meja Presiden:
"Bisakah kau memberi keterangan yang lebih terperinci?"
"Tentu saja bisa, walaupun aku yakin tak bisa mengatakan sesuatu yang belum
kauketahui. Satu-satunya pesaingku, Ricardo Guzman, telah diamankan dari
persaingan dua minggu sebelum
pemilihan." "Kau pasti tak ingin mengatakan..." Itu suara Lawrence.
"Yah, jika itu bukan orangmu, tentu saja itu bukan orangku," Herrera menyela
sebelum Presiden dapat menyelesaikan kalimatnya.
Kemudian disusul keheningan lama hingga Gutenburg mulai bertanya-tanya jangan-
jangan pembicaraan telah selesai. Tetapi karena Lawrence dan Lloyd tak bergerak, ia
menyimpulkan masih ada kelanjutannya. "Kau punya bukti nyata yang menghubungkan pembunuhan itu dengan CIA?"
akhirnya Lloyd bertanya. "Peluru yang menghabisinya terlacak berasal dari senapan yang telah dijual di
toko pegadaian sebelum pembunuh melarikan diri dari negeri itu. Senapan itu kemudian diambil
dari pegadaian itu oleh salah satu detektifmu dan dikirim kembali ke Amerika dengan kantong
diplomatik." 129 "Bagaimana kau bisa begitu yakin mengenai itu?" "Kepala polisiku jelas jauh
lebih terbuka terhadapku dibandingkan dengan CIA terhadapmu."
Andy Lloyd mematikan tape recorder Helen Dex-ter mengangkat muka dan matanya
bertemu dengan tatapan tajam Presiden.
"Nah, bagaimana?" tanya Lawrence. "Penjelasan sederhana apa yang kini akan
kauajukan?" "Dari pembicaraan tadi. jelas sama sekali tak ada bukti keterlibatan CIA dalam
pembunuhan atas^diri Guzman," sahut Dexter datar. "Bagiku itu cuma memberi petunjuk bahwa
Herrera berusaha melindungi orang yang melaksanakan perintahnya."
"Aku mengasumsikan kau punya hubungan dengan 'pembunuh tunggal' yang telah
menghilang dengan lihai entah ke mana di Afrika Selatan sejak peristiwa itu," kata Presiden
sarkastis. "Begitu dia muncul, Mr. President, kami akan menemukannya dan aku akan sanggup
mengemukakan bukti yang kauminta."
"Seorang tak bersalah yang tertembak di jalan perkampungan di Johannesburg
takkan cukup menjadi bukti bagiku," kata Lawrence.
"Bagiku juga tidak," kata Dexter. "Jika orang yang bertanggung jawab atas
pembunuhan itu ku-munculkan, takkan ada keraguan sedikit pun untuk siapa dia
bekerja." Nada suaranya agak tajam.
"Jika kau gagal melakukannya," kata Presiden, "aku takkan kaget jika rekaman
ini" - ia mengetuk-ngetuk tape recorder itu - "jatuh ke tangan wartawan Washington
Post tertentu yang terken , tak
mencintai CIA. Kita dapat membiarkannya memutuskan apakah 130
Herrera melindungi diri, atau mengatakan yang sebenarnya. Dalam kedua hal itu,
kau harus menjawab begitu banyak pertanyaan gawat."
"Jika itu terjadi, mungkin kau harus menjawab sendiri satu-dua pertanyaan, Mr.
President," kata Dex-ter, tidak menyangkal.
Dengan marah Lawrence bangkit dari kursinya dan memelototi wanita itu. "Biar
kujelaskan sekarang, aku masih menuntut bukti positif keberadaan orang Afrika-mu yang
hilang itu. Dan jika kau gagal menemukannya dalam waktu 28 hari, kuharap kalian berdua mengajukan
surat pengunduran diri ke mejaku. Dan sekarang keluarlah dari kantorku."
Direktur dan wakilnya beranjak menjnggalkan ruangan itu tanpa berkata-kata lagi.
Keduanya tidak bicara hingga mereka duduk di kursi belakang mobil Dexter. Begitu mobil itu
keluar dari pekarangan Gedung Putih, Dexter menekan tombol di lengan kursi dan kaca pembatas
buram merayap ke atas hingga si sopir - seorang detektif senior - tidak bisa mendengar
percakapan di belakangnya. "Sudah kautemukan perusahaan *mana yang telah mewawancarai Fitzgerald?" *
"Ya, sudah," jawab Gutent*rg.
"Kalau begitu kau harus menelepon pemimpinnya."
"Namaku Nick Gutenburg. Aku wakil direktur CIA. Mungkin kau ingin meneleponku
kembali. Nomor pesawatku 703 482 1100. Jika kausebutkan namamu, operator akan langsung
menghubungkanmu dengan ruang kerjaku." Ia meletakkan gagang telepon.
Selama bertahun-tahun ia telah mengalami bahwa
131 telepon demikian itu pasti dijawab. Biasanya dalam waktu kurang dari semenit.
Tetapi bila ada dalih sedikit, itu bahkan memberinya kemenangan.
Ia duduk menghadap mejanya. Menunggu. Dua menit sudah berlalu, tapi ia tidak
khawatir. Ia tahu orang ini pasti ingin memverifikasi nomor. Begitu ia menerima konfirmasi bahwa
itu betul nomor CIA, Gutenburg berada dalam posisi yang lebih kuat lagi.
Ketika akhirnya telepon berdering tiga menit kemudian, Gutenburg membiarkannya
berdering lagi beberapa saat sebelum mengangkatnya. "Selamat pagi, Mr. Thompson," katanya tanpa
menunggu mendengarkan dulu siapa itu. "Aku sungguh berterima kasih kau menelepon kembali
begitu cepat." "Dengan senang hati, Mr. Gutenburg,'^ kata Kepala Washington Provident.
"Barangkali agak rumit masalah yang ingin kubicarakan denganmu ini, Mr.
Thompson. Aku takkan menelepon bila tidak demi kepentinganmu."
"Sungguh kuhargai," kata Thompson. "Bisa ku-bantu?"
"Baru-baru ini kau mewawancarai para calon untuk mengepalai bagian penculikan
dan tebusan. Jabatan yang menuntut standar integritas sangat tinggi."
"Sudah barang tentu," kata Thompson. "Tapi kami telah menemukan seseorang yang
ideal untuk posisi tersebut." "Aku tak punya gambaran sama sekali siapa yang kaupilih untuk pekerjaan itu,
tapi harus kuberitahukan bahwa kami sedang menyelidiki salah satu pelamar. Bila kasus ini
sampai ke pengadilan, mungkin sekali akan mencerminkan citra yang tak begitu baik bagi 132
perusahaanmu. Namun, Mr. Thompson, bila kau telah yakin menemukan orang yang
tepat, tentu saja CIA takkan menghalanginya."
"Nanti dulu, Mr. Gutenburg, bila kau tahu sesuatu yang harus kami ketahui, aku
sangat senang jika boleh mendengarnya."
Gutenburg diam sejenak, kemudian baru berkata. "Boleh kutanyakan secara sangat
rahasia nama calon yang akan kautawari pekerjaan itu?"
"Tentu saja boleh, sebab aku sama sekali tak ragu mengenai reputasi, latar
belakang, atau tingkah lakunya. Kami sedang akan menandatangani kontrak dengan Mr. Connor Fitzgerald."
Hening agak lama. Kemudian Thompson berkata, "Kau masih ada di situ, Mr. Gutenburg?"
"Ya, masih, Mr. Thompson. Aku sedang mempertimbangkan apakah kau punya waktu
untuk mengunjungiku di Langley. Aku harus menjelaskan padamu lebih lengkap lagi
mengenai penyelidikan penipuan yang sedang kami lakukan. Mungkin kau juga akan memeriksa
beberapa surat rahasia yang kami miliki."
Kali ini Thompson ganti diam. "Maaf atas berita tadi, tapi mungkin aku tak perlu
datang," kata sang kepala tenang. "Tampaknya dia orang yang sungguh baik."
"Aku juga sedih harus menelepon begini, Mr. Thompson. Tapi kau pasti akan lebih
marah lagi padaku seandainya aku tak menelepon, dan seluruh affair ini akan berakhir dengan
terpampang di halaman depan Washington Post."
"Memang demikian," kata Thompson.
"Bila boleh kutambahkan," kata Wakil Direktur,
133 "walau tentu saja tak berkaitan dengan kasus yang sedang kami selidiki, bahwa
aku pemegang polis Washington Provident sejak aku bekerja untuk CIA."
"Sungguh menyenangkan mendengarnya, Mr. Gutenburg. Aku hanya ingin mengatakan
betapa aku sangat menghargai profesionalisme kalian dalam melaksanakan pekerjaan."
"Aku hanya berharap sudah membantumu, Mr. Thompson. Selamat siang, Sir."
Gutenburg meletakkan pesawat, dan segera menekan angka "1" pada pesawat telepon
terdekat. "Ya?" sahut sebuah suara.
"Kupikir Washington Provident takkan menawarkan pekerjaan apa pun pada
Fitzgerald." "Bagus. Kita biarkan saja dulu selama tiga hari, lalu barulah kau memberitahunya
tentang tugas barunya." "Mengapa menunggu tiga hari?" "Jelaslah kau tak membaca makalah Freud tentang
kapan orang paling mudah diserang."
Kami mohon maaf hart\ memberitahu Anda...
Connor sedang membaca surat itu untuk ketiga kalinya ketika telepon di mejanya
berdering. Ia membeku tak percaya. Apanya yang tak beres" Santap malam di rumah keluarga
Thompson sangat menyenangkan. Ketika Connor dan Maggie pulang beberapa menit sebelum tengah
malam, Ben mengusulkan main golf di Burning Tree akhir minggu berikutnya. Dan Elizabeth
Thompson telah mengundang Maggie untuk mampir minum kopi selama suami mereka sedang berburu


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bola putih kecil. Hari berikutnya, 134 pengacaranya menelepon memberitahu bahwa kontrak yang dikirim Washington
Provident untuk ia setujui hanya memerlukan perbaikan kecil-kecil.
Connor mengangkat telepon.
"Ya, Joan." "Wakil Direktur menelepon."
"Sambungkan," jawabnya letih.
"Connor?" kata suara yang tak pernah dipercayai nya. "Ada sesuatu yang penting,
dan Direktur mr mintaku memberitahumu secepatnya."
"Tentu saja," sahut Connor tanpa benar-benar mengerti kata-kata Gutenburg.
"Kita putuskan saja pukul tiga. Di tempat biasanya?"
"Ya, baiklah," sahut Connor. Lama setelah sambungan diputuskan ia masih tetap
memegangi gagang telepon. Ia membaca surat itu untuk keempat kalinya, dan memutuskan tak
akan memberitahu Maggie mengenai hal itu hingga saat ia masuk dalam daftar orang yang
layak menduduki jabatan lain. Connor lebih dulu tiba di Lafayette Square. Ia duduk di bangku menghadap Gedung
Putih. Beberapa menit kemudian Nick Gutenburg datang dan duduk di ujung lain bangku
itu. Connor bahkan berusaha tidak melayangkan pandang kepadanya.
"Presiden sendiri minta agar kau menerima tugas ini," gumam Gutenburg sambil
menatap Gedung Putih. "Dia menghendaki orang kita yang terbaik."
"Tapi aku harus meninggalkan CIA sepuluh hari lagi,1* kata Connor.
"Ya, Direktur telah memberitahukannya. Tapi Presiden mendesak agar kami
mengusahakan segalanya 135 sesuai kemampuan kami untuk meyakinkanmu agar mau tetap bekerja bagi CIA hingga
tugas ini selesai." Connor tetap diam.
"Connor, hasil pemilu di Rusia dapat mempengaruhi masa depan dunia bebas. Jika
si gila Zerimski terpilih, berarti dalam waktu singkat kembali ke Perang Dingin. Presiden bisa
melupakan RUU Pengurangan Senjata, dan Kongres akan menuntut penambahan anggaran pei tahanan
hingga bisa membuat kita bangkrut."
"Tapi Zerimski masih jauh di belakang dalam jajak pendapat," kata Connor.
"Bukankah Chernopov yang diharapkan menang dengan mudah?"
"Begitulah kelihatannya sekarang," kata Gutenburg. "Tapi masih ada waktu tiga
minggu lagi, dan menurut Presiden," ia menekankan kata itu sambil menerawang ke Gedung Putih,
"dengan para pemilih yang begitu mudah berubah pendapat, segalanya dapat terjadi. Dia akan
sangat lebih senang bila tahu kau ada di sana, untuk berjaga-jaga bila keahlian khususmu itu
diperlukan." Connor tak menyahut. "Bila yang merisaukanmu itu pekerjaan barumu," lanjut Gutenburg, "aku bersedia
merundingkannya dengan kepala perusahaan yang akan kaumasuki. Dan akan
kujelaskan padanya ini tugas jangka pendek."
"Ah, itu tak perlu," kata Connor. "Tapi aku butuh sedikit waktu untuk
memikirkannya." "Tentu," kata Gutenburg. "Bila kau telah mantap, tolong telepon Direktur guna
memberitahukan ke-putusanmu." Ia bangkit berdiri dan melangkah ke arah Farragut Square.
Tiga menit kemudian, Connor melangkah ke arah yang berlawanan.
\ndy Lloyd mengangkat telepon merah Kali ini ia segera mengenali suara itu.
Aku hampir tahu pasti siapa yang melaksanakan lugas di Bogota," kata Jackson.
"Apakah dia bekerja untuk CIA?" tanya Lloyd.
"Ya, memang." "Apa kau punya cukup bukti untuk meyakinkan para anggota Komite Kongres Terpilih
Urusan lnteli- icn?" "Tidak. Hampir semua bukti yang kumiliki pasti ditolak sebagai kebetulan. Tapi
bila semua digabungkan jadi satu, menurutku akan terlalu banyak kebetulannya."
"Misalnya?" "Petugas yang kuduga menarik picu sudah dipecat tak lama setelah Presiden
bertemu Dexter di Ruang Oval dan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab itas pembunuhan
terhadap Guzman." "Itu bahkan tak dapat diterima sebagai bukti."
"Mungkin tidak. Tapi orang yang sama itu baru akan menerima pekerjaan baru di
Washington Provident sebagai kepala bagian penculikan dan tebusan, dan tiba-tiba, tanpa
penjelasan, tawaran pekerjaan itu dibatalkan."
"Kebetulan yang kedua."
"Ada kebetulan yang ketiga. Tiga hari kemudian, Gutenburg bertemu dengan orang
itu di bangku taman di Lafayette Square."
137 136 "Mengapa mereka ingin mempekerjakannya kembali?"
"Untuk melaksanakan tugas sekali jadi."
"Apakah kita punya gambaran itu penugasan apa?"
"Tidak. Tapi jangan kaget bila itu akan membawanya jauh dari Washington."
"Punya cara untuk mengclahui di mana?"
"Saat ini tidak Bahkan istrinya pun tak tahu."
"Oke. Mari kita periksa menurut sisi pandang nieieka," kata I loyd. "Menurutmu,
apa yang akan dilakukan Dextei sekarang ini untuk memastikan kedudukannya terlindungi?"
"Sebelum pertanyaan itu kujawab, aku ingin tahu hasil pertemuan terakhirnya
dengan Presiden," kata Jackson. "Presiden memberi waktu 28 hari pada Dexter dan Gutenburg untuk membuktikan CIA
tak terlibat dalam pembunuhan terhadap Guzman, dan memberikan bukti kuat siapa pembunuhnya.
Dia juga menjelaskan, jika gagal mereka harus mengundurkan diri dan melepaskan semua
bukti yang dimiliki pada Washington Post."
Terjadi keheningan lama sebelum Jackson berkata, "Itu berarti orang tersebut
hanya punya waktu hidup kurang dari sebulan."
"Wanita itu tak pernah melikuidasi orangnya sendiri," kata Lloyd tak percaya
"Jangan lupa, petugas itu adalah NOC. Seksi itu bahkan resminya tak ada dalam
CIA, Mr. Lloyd.'" "Orang itu sahabatmu, kan?" tanya Lloyd.
"Ya," jawab Jackson tenang.
138 "Kalau begitu sebaiknya kaupastikan dia tetap hidup."
"Selamat siang, Direktur. Ini Connor Fitzgerald."
"Selamat siang, Connor. Senang mendengar benta ilarimu," kata Dexter dalam nada
yang lebih hangat daripada waktu pertemuan sebelumnya.
"Wakil Direktur memintaku meneleponmu begitu aku memutuskan mengenai persoalan
yang kami bicarakan hari Senin."
"Ya," kata Dexter kembali ke gaya tegas seperti biasanya.
"Aku mau menerima tugas itu."
"Aku senang mendengarnya."
"Dengan satu syarat."
"Apa syaratnya?"
"Aku minta bukti bahwa operasi itu telah disetujui Presiden."
Keheningan berlangsung lama, dan akhirnya Dex-ter berkata, "Aku akan memberitahu
Presiden tentang permohonanmu."
'Jadi bagaimana bekerjanya?" tanya Direktur. Ia tak ingat kapan terakhir kali
mengunjungi laboratorium Sekolah Pelatihan Perwira di Langley.
"Sebenarnya sangat sederhana," kata Profesor Ziegler, direktur Pelayanan Teknik
CIA. Ia berpaling ke jajaran komputer dan menekan beberapa tuts." Wajah Tom Lawrence muncul di
layar. Setelah Dexter dan Nick Gutenburg beberapa saat mendengarkan kata-kata Presiden,
Dexter berkata. 139 "Apanya yang mengagumkan" Kita semua pernah mendengarkan Lawrence mengucapkan
pidato." "Mungkin. Tapi kalian belum pernah mendengar dia mengucapkan pidatonya yang
itu," kata Ziegler. "Apa maksudmu?" tanya Gutenburg.
Senyum puas yang hampir kekanak-kanakan tersungging pada wajah sang profesor.
"Dengan nama kode 'Tommy', aku telah menyimpan dalam komputerku lebih dari seribu pidato,
Wawancara televisi dan radio, serta pembicaraan lewat telepon Presiden selama dua tahun
silam. Setiap kata atau kalimat yang telah digunakannya di masa lampau telah disimpan dalam bank
memori ini. Itu artinya aku bisa membuatnya berpidato tentang topik apa pun yang kaupilih. Aku
bahkan bisa memutuskan apa posisinya dalam isu tertentu."
Dexter mulai mempertimbangkan kemunj/kinan-kemungkinan itu. "Jika misalnya
ditanyai siiatu masalah, apakah Tommy bisa memberikan jawaban meyakinkan?" tanya Dexter.
"Tak secara spontan," Ziegler mengakui 'Tapi bila punya pemikiran mengenai
masalah masalah itu, dia bisa diharapkan akan menjawab. Aku poicaya aku bisa mengecoh ibu Lawrence
sendiri." "Jadi yang harus kita lakukan ialah mciigimi.isi-pasi apa yang mungkin sekali
akan dikatakan pihak lawan," tukas Gutenburg. " "Yang itu tak sesulit yang dibayangkan." kala
Ziegler. "Bagaimanapun, bila kau mendapat lukpon dari Presiden, kau tak bakalan menanyakan ktkmitan
dolar, atau apa yang disantapnya waktu saiap.m. ya
140 k m9 Dalam kebanyakan kasus, kau telah tahu alasan Piesiden menelepon. Aku tak
punya gambaran meng "pa kau mungkin memerlukan Tommy. Tapi bila lurus mempersiapkan
pernyataan-pernyataan pembuka dan penutup, demikian pula lima puluh pertanyaan
iiau pernyataan yang harus ditanggapinya, aku hampir dapat menjamin dia akan bisa mengadakan
pembicaraan yang cukup bagus." "Aku yakin kita bisa melakukannya," kata (iutenburg.
Direktur mengangguk tanda setuju, kemudian ber-lanya kepada Ziegler, "Mengapa
kita pertama-tama mengembangkan peralatan ini?"
"Peralatan ini disusun kalau-kalau Presiden meninggal sementara Amerika sedang
perang, dan kita memerlukan musuh percaya bahwa Presiden masih hidup. Tapi Tommy punya banyak
kegunaan lain, Direktur. Misalnya..."
"Aku yakin memang demikian," sela Dexter.
Ziegler tampak kecewa. Ia sadar perhatian Direktur telah sampai pada batas
akhir. "Berapa lama waktu untuk mempersiapkan sebuah program khusus?" tanya Gutenburg.
"Berapa lama kau bisa mengetahui apa yang perlu dikatakan Presiden?" Ziegler
balas bertanya. Senyum kekanak-kanakan kembali menghiasi wajahnya.
Joan tetap memencet bel hingga akhirnya Connor mengangkat telepon di mejanya.
"Ada apa, Joan" Aku tidak tuli."
"Ruth Preston, sekretaris pribadi Presiden, menelepon.!'
141 Berikutnya yang didengar Connor adalah suara wanita. "Apakah di situ Connor
Fitzgerald?" "Ya, benar," jawab Connor. Ia dapat merasakan keringat dingin membasahi telapak
tangannya yang memegang telepon. Hal itu tak pernah terjadi bila ia harus menunggu menarik
picu. "Presiden ingin bicara denganmu."
Ia mendengar bunyi klik. "Selamat siang," terdengar suara yang telah akrab.
"Selamat siang, Mr. President."
"Kukira kau tahu mengapa aku menelepon."
"Ya, Sir, aku tahu."
Profesor Ziegler menekan tombol "Pernyataan Pembukaan". Direktur dan Wakil
Direktur menahan napas. "Kurasa aku harus meneleponmu untuk memberitahu betapa penting tugas itu
menurutku." Sunyi. "Sebab aku tak ragu sedikit pun kaulah orang yang tepat untuk melaksanakan tugas
tersebut." Sunyi. "Jadi kuharap kau setuju menerima tanggung jawab itu."
Ziegler menekan tombol "Tunggu".
"Aku sungguh menghargai kepercayaanmu padaku, Mr. President," kata Connor,
"dan aku berterima kasih kau mau meneleponku secara pribadi..."
"Nomor 11," kata Ziegler yang hafal semua jawaban.
"Kukira itu setidaknya yang bisa kulakukan dalam situasi begini." Sunyi.
'Terima kasih, Mr. President. Meskipun Mr. Gutenburg meyakinkanku mengenai
keterlibatanmu, dan Direktur sendiri siang itu memberi konfirmasi,
142 uku masih tetap merasa tak bisa menerima penugasan itu bila belum yakin perintah
itu langsung darimu." "Nomor 7."
"Aku sangat mengerti kerisauanmu." Sunyi. "Nomor 19."
"Mungkin jika semuanya telah selesai, kau dan istrimu mau berkunjung ke Gedung
Putih - itu kalau Direktur mengizinkan." Sunyi.
"Nomor 3," kata Ziegler tegas. Terdengar ledakan tawa keras.
Connor agak menjauhkan pesawat telepon dari telinganya. "Kami merasa sangat


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhormat, Sir," katanya ketika suara tawa itu telah lenyap.
"Pernyataan penutup," kata Ziegler.
"Bagus. Aku ingin bertemu denganmu begitu kau kembali nanti." Sunyi. "Sering aku
sedih memikirkan Amerika tak selalu menghargai para pahlawannya yang tak dikenal."
Sunyi. "Sungguh menyenangkan bisa bicara denganmu. Selamat siang."
"Selamat siang, Mr. President."
Connor masih memegangi telepon ketika Joan masuk ruangan. "Jadi itu tadi
hancurnya sebuah mitos lain," kata wanita itu ketika Connor meletakkan telepon.
Connor mendongak kepada Joan sambil mengernyitkan alis.
"Mitosnya ialah Presiden selalu memanggil orang dengan nama depan."
143 BAB SEBELAS Gutenburg menyerahkan amplop cokelat besar berisi empat paspor, tiga tiket
pesawat terbang, dan segepok uang kertas dalam berbagai mata uang.
"Apakah aku tak harus menandatangani semuanya ini?" tanya Connor.
'Tak usah. Segalanya terburu-buru, surat-surat akan kita urus setelah kau
kembali. Begitu tiba di Moskwa, kau harus mengunjungi markas-markas besar kampanye Zerimski dan
menunjukkan pada mereka surat penugasanmu sebagai wartawan freelance dari Afrika Selatan. Mereka
akan memberimu paket pers yang memuat keterangan terperinci mengenai jadwal mengikuti
masa persiapan pemilu." "Apakah aku punya kontak di Moskwa?"
"Ya. Ashley Mitchell." Gutenburg ragu. "Ini penugasan besar pertama baginya, dan
dia sudah diberi penjelasan mendetail tentang apa yang harus diketahuinya. Dia juga telah
diberi instruksi hanya boleh 144 menghubungimu bila ada lampu hijau dan dalam hal itu dia akan menyerahkan
senjatanya padamu." "Buatan dan modelnya?"
"Remington 700, seperti biasanya dibuat menurut pesanan," kata Gutenburg. "Tapi
bila Chernopov tetap memimpin dalam jajak pendapat, jasamu tak diperlukan, dalam kasus ini kau
harus kembali ke Washington sehari setelah pemilu. Aku khawatir jangan-jangan misi ini berubah
jadi tak penting." "Semoga saja demikian," kata Connor, dan meninggalkan Wakil Direktur tanpa
berjabat tangan. "Aku takut tanganku dipuntir ke punggungku hingga aku tak bisa menolak," kata
Connor sambil memasukkan kemeja biru lainnya ke koper.
"Kau sebenarnya bisa menolak," kata Maggie. "Memulai pekerjaan baru pada awal
bulan sebenarnya alasan yang cukup meyakinkan." Ia berhenti sejenak. "Apa reaksi Ben
Thompson?" "Dia sangat penuh pengertian," kata Connor. "Dia sama sekali tak keberatan aku
mulai sebulan yang akan datang. Tampaknya Desember selalu merupakan masa tenang." Connor
menekan-nekan pakaian-pakaiannya, berusaha agar kantong plastiknya bisa muat. Ia sebenarnya
sudah ingin membiarkan Maggie yang berkemas baginya, tapi ia tak mau Maggie menjumpai
beberapa barang yang tak berkaitan dengan ceritanya. Ia menduduki kopernya. Maggie menguncinya.
Lalu mereka berguling di ranjang sambil tertawa. Connor memeluk Maggie agak terlalu lama.
"Semuanya beres, Connor?" tanya Maggie pelan.
145 "Semuanya baik-baik saja, Sayang," kata Connor sambil melepas pelukannya. v
Connor mengangkat koper dan* membawanya ke lantai bawah. "Maaf aku tak ada di
sini pada Thanks-giving. Jangan lupa memberitahu Taia, aku sangat menantikannya di Hari
Natal," katanya sementara Maggie mengikutinya keluar dan pintu depan. Ia berhenti di sebelah
mobil yang belum pernah dilihat Maggie. "Dan juga Stuart," Maggie mengingatkan Connor.
"Ya, tentu," kata Connor sambil meletakkan koper dalam bagasi. "Sungguh
menyenangkan dapat bertemu kembali dengannya." Sekali lagi ia memeluk istrinya. Kali ini ia
memastikan tidak terlalu lama. "Astaga, apa hadiah Natal kita buat Tara?" tanya Maggie tiba-tiba. "Bahkan belum
kupikirkan." "Bila melihat rekening teleponnya yang terakhir, kau tak usah memikirkan* itu
lagi," kata Connor sambil naik duduk di belakang kemudi.
"Aku tak ingat mobil ini," kata Maggie.
"Salah satu mobil perusahaan," Connor menjelaskan sambil menstarter mobil.
"Omong-omong, kau bisa memberitahu Pastor Graham agar mencari pengganti untuk melengkapi pemain
bridge Sabtu nanti" Selamat tinggal, Sayang."
Tanpa berkata-kata lagi ia menjalankan mobil keluar ke jalan. Ia tak suka
mengucapkan selamat tinggal kepada Maggie, maka ia selalu berusaha membuat ucapan perpisahannya
sesingkat mungkin. Ia melihat kaca spion. Maggie berdiri di ujung jalur masuk, melambai-
lambaikan tangan, sementara Connor membelok ke Cambridge Place dan melaju menuju bandara.
146 Ketika tiba di ujung jalan Dulles, ia tak perlu mencari tanda panah yang
menunjuk ke tempat parkir
jangka lama. Ia menuruni jalur landai dan mengambil tiket dari mesin, kemudian
parkir di sudut yang jauh. Ia mengunci mobil dan berjalan menuju pintu masuk bandara. Kemudian
ia naik lift satu tingkat ke meja check-in United Airlines.
'Terima kasih, Mr. Perry," kata petugas berseragam yang memeriksa tiket.
"Penerbangan 918 hampir siap boarding. Silakan langsung saja ke Gerbang C7."
Setelah menyelesaikan urusan keamanan, Connor naik mobil menuju ke terminal
tengah. Di ruang tunggu ia duduk di sudut ujung. Dan ketika para penumpang diminta masuk pesawat,
ia memilih duduk dekat jendela di belakang seperti biasanya. Dua puluh menit kemudian, ia
mendengarkan kapten yang menerangkan bahwa meskipun pesawat tinggal landas tidak tepat waktu,
entah bagaimana secara menakjubkan mereka akan mendarat sesuai jadwal.
Di terminal, seorang pemuda bersetelan biru tua menekan sebuah nomor pada
ponselnya. "Ya?" sahut sebuah suara.
"Agen Sullivan menelepon dari 'Coach House'. Si burung sudah terbang."
"Bagus. Lapor lagi secepatnya bila sudah menyelesaikan seluruh tugas." Telepon
dimatikan. Pemuda itu mematikan ponselnya dan turun dengan eskalator ke lantai dasar. Ia
berjalan menuju ke sebuah mobil di tempat parkir jangka lama di sudut. Ia naik ke dalam mobil itu,
mengeluarkannya dari tempat parkir, membayar tiket parkir, dan meluncur ke timur.
147 Setengah jam kemudian ia mengembalikan kunci ke pul mobil dan menandatangani
daftar harian. Tercantum bahwa mobil itu telah dikeluarkan atas namanya dan dikembalikan juga
atas namanya. "Bisakah kau benar-benar pasti tak ada jejak sama sekali dia pernah ada?" tanya
Direktur. "Tak ada jejak apa pun," jawab Gutenburg. "Jangan lupa, sebagai NOC, dia tak
pernah disebut dalam pembukuan CIA."
"Tapi istrinya lalu bagaimana?"
"Mengapa dia akan menduga sesuatu" Cek gaji bulanan suaminya lelah dibayarkan ke
rekening me-ieka berdua. Di.i lakkan memikirkannya lagi. Bagi (lili alaminya lelah
mengundurkan diri dari jabatan m-lanani* dan akan bergabung dengan Washington Pioudeiii pada (anggai 1
Januari mendatang." ' lapi sekretaris lamanya masih ada."
"Aku telah memindahkannya ke Langley, jadi bisa kuawasi."
"Divisi apa?" 'Timur Tengah." "Mengapa Timur Tengah?"
"Sebab dia harus berada di kantor selama waktu kerja mereka dari pukul enam
petang hingga pukul tiga pagi. Dan selama delapan bulan mendatang dia akan kupekerjakan sedemikian
berat hingga terlalu lelah untuk memikirkan hal lain kecuali apa yang harus dikerjakannya
bila telah pensiun."
"Bagus. Di mana Fitzgerald sekarang?"
Gutenburg melihat jam. "Setengah jalan melintasi
148 Atlantik. Ia akan mendarat di bandara Heathrow London sekitar empat jam lagi."
"Dan mobilnya?"
'Telah dikembalikan ke pul. Sekarang sedang dicat kembali dan diberi pelat nomor
baru." "Dan kantornya di M Street bagaimana?"
"Akan dibongkar dalam waktu singkat. Dan seluruh lantai itu akan diserahkan pada
agen-agen real estate hari Senin." "Tampaknya kau telah memikirkan segala-galanya, kecuali apa yang akan terjadi
bila ia kembali ke Washington," kata Direktur
"Dia takkan kembali ke Washington," jawab Gutenburg.
Connor mengikuti antrean panjang untuk melewati pengawasan paspor. Ketika
akhirnya ia tiba di depan, seorang petugas memeriksa paspor dan berkata, "Semoga Anda menikmati
tinggal di Inggris selama dua minggu ini, Mr. Perry."
Dalam kotak kecil dengan pertanyaan "Berapa lama Anda bermaksud tinggal di
Inggris?" Mr. Perry telah menulis "Empat belas hari." Tetapi lalu Mr. Lilystrand yang kembali ke
bandara keesokan harinya. Dua orang mengawasinya sementara ia meninggalkan Terminal Tiga dan naik bus
menuju Stasiun Bus Victoria. Empat puluh dua menit kemudian kedua orang itu melihatnya antre
pada deretan taksi. Dalam kendaraan lain mereka mengikutinya ke Hotel Kensington Park. Di
situ salah seorang dari mereka telah meninggalkan bingkisan baginya di meja resepsionis.
149 "Ada pesan untukku?" tanya Connor setelah menandatangani formulir pendaftaran.
"Ya, Mr. Lilystrand," jawab si penjaga pintu. "Seorang pria menitipkan ini untuk
Anda pagi tadi." Ia menyerahkan amplop cokelat yang sangat besar kepada Connor. "Nomor kamar Anda
211 Portir akan mengangkut bagasi Anda."
"Bisa kubawa sendiri, terima kasih," katanya.
Begitu masuk kamar, Connor menyobek amplop. Di dalamnya terdapat tiket ke Jenewa
atas nama Theodore Lilystrand beserta uang seratus franc Swiss. Ia melepas jasnya dan
berbaring di ranjang. Walaupun sangat letih, ia tak dapat tidur. Ia menghidupkan televisi dan tak
henti-hentinya menjelajahi berbagai acara - itulah yang disebut Tara berselancar saluran - namun
tak juga berhasil. Ia selalu tak suka bila harus menunggu. Itulah keraguan akan waktu yang telah
dimulai. Ia tetap mengingatkan dirinya bahwa itu adalah misi terakhir. Ia mulai memikirkan Natal
bersama Maggie dan Tara - dan sudah tentu juga Stuart. Ia tak suka tak diizinkan membawa foto. Ia
harus membayangkan mereka dalam benaknya. Dan lebih-lebih lagi ia benci tak boleh
menelepon dan berbicara dengan mereka manakala ia ingin melakukannya.
Connor tak beranjak dari ranjang hingga petang hari. Kemudian ia keluar dari sel
penjara satu malamnya untuk mencari makan. Ia membeli Evening Standard di kios koran di sudut
jalan dan membelok masuk ke restoran Italia yang kecil di High Street, Kensington, yang
hanya separo terisi oleh pengunjung. Pelayan mengantarkannya ke meja yang tenang di
150 pojok. Lampunya nyaris tak cukup terang untuk membaca koran, la memesan Diet
Coke dengan es banyak sekali. Orang-orang Inggris takkan pernah mengerti arti "es banyak
sekali", dan ia tidak
terkejut ketika pelayan beberapa menit kemudian kembali dengan membawa gelas
besar berisi tiga keping es yang mengambang, disertai seiris jeruk tipis.
Ia memesan cannelloni dan salad tambahan. Anehnya, ia selalu memilih makanan
kesukaan Maggie bila berada di luar negeri. Sesuatu untuk mengingatkannya akan Maggie.
"Satu hal yang harus Dad lakukan sebelum memulai pekerjaan baru ialah menemukan
penjahit yang pantas," kata Tara ketika mereka berbicara terakhir kali. "Dan aku mau
mengantarmu agar bisa memilihkan kemeja dan dasimu."
"Pekerjaan barumu." Sekali lagi ia ingat akan surat itu. Menyesal saya harus
memberitahu Anda... Walaupun berapa kali memikirkannya, ia tidak juga menemukan alasan Thompson
berubah pendapat Jelas tidak sesuai.
Ia mulai membaca halaman depan koran. Ada sembilan calon yang bersaing dalam


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemilihan untuk menjadi wali kota pertama London. Itu aneh, pikir Connor. Apakah mereka tak
selalu punya wali kota" Nah, Dick Whittington bagaimana" Ia melihat foto-foto para pesaing dan
nama-nama mereka. Tapi tak berbicara apa-apa baginya. Salah seorang dari mereka akan
mengelola ibu kota Inggris beberapa minggu lagi. Ia bertanya-tanya saat itu ia akan berada di mana.
Ia membayar rekening dengan uang tunai. Pe-
151 layan diberinya tip yang takkan membuat dirinya diingat. Sekembalinya di kamar
hotel ia menghidupkan televisi, lalu^ beberapa menit menonton komedi yang tidak
membuatnya tertawa. Setelah mencoba beberapa film, ia tertidur dan sebentar-sebentar terjaga. Tetapi
ia disegarkan oleh pikiran bahwa nasibnya lebih baik daripada dua orang yang dipasang di trotoar
yang tak bisa tidur sama sekali itu. Ia telah melihat mereka beberapa saat setelah mendarat di
Heathrow. Ia melihat jam. Tengah malam lewat beberapa menit - beberapa menit setelah pukul
tujuh di Washington. Ia bertanya-tanya apa yang dikerjakan Maggie malam itu.
"Bagaimana kabar Stuart?" tanya Maggie.
"Masih di sana," jawab Tara. "Lima belas hari lagi ia tiba di Los Angeles. Aku
tak sabar menunggu." "Apakah kalian berdua akan langsung terbang kemari?"
"Tidak, Mom," sahut Tara sambil berusaha tak terdengar putus asa. "Seperti telah
kuceritakan padamu beberapa kali, kami akan menyewa mobil dan mengendarainya ke Pantai
Barat. Stuart belum pernah ke Amerika. Ia ingin melihat Los Angeles dan San Francisco. Ingat?"
"Hati-hati mengendarainya, ya?"
"Mom, sudah sembilan tahun aku menyetir mobil dan belum pernah ditilang,
sedangkan Dad dan Mom tak bisa dikatakan demikian. Nah, jangan cemas lagi. Apa acaramu malam ini?"
"Aku akan mendengarkan Placido Domingo dalam
152 La Boheme. Aku memutuskan menunggu sampai ayahmu ke luar kota, sebab aku tahu
dia akan tertidur sebelum babak pertama usai."
'"Mom akan pergi sendirian?"
"Ya." "Yah, hati-hati, Mom. Dan jangan duduk di enam deretan pertama."
"Mengapa tidak?" tanya Maggie polos.
"Sebab barangkali ada laki-laki kaya dan ganteng yang akan meloncat dari salah
satu boks dan merayumu." Maggie tertawa. "Rasanya aku sudah cukup menghukum diri sendiri."
"Mengapa Mom tak minta Joan menemanimu" Lalu kalian berdua dapat ngobrol tentang
Dad semalam suntuk." "Aku meneleponnya di kantor, tapi nomor itu rupanya sedang rusak. Akan kucoba di
rumah nanti." "Bye, Mom, besok kita ngobrol lagi," kata Tara. Ia tahu ibunya akan meneleponnya
tiap hari sementara ayahnya sedang pergi.
Manakala Connor bepergian ke luar negeri atau berlibur semalam untuk menemani
Pastor Graham di klub bridge, Maggie akan mengimbanginya dengan beberapa aktivitas
universitas. Misalnya kegiatan apa pun dari GULP, Georgetown University Litter Pa-trol - Pengawasan
Kebersihan Universitas Georgetown, Maggie adalah anggota pendiri organisasi itu, sampai ke
kegiatan Alive Women's Poetry Society, dan kelas dansa Irlandia, di mana Maggie mengajar. Bila
melihat para mahasiswa berdansa, dengan punggung tegak dan kaki mengentak-entak, ia teringat
kembali pada Declan 153 O'Casey. la kini telah menjadi profesor ternama di Universitas Chicago, belum
juga menikah, dan setiap Natal pasti mengirim kartu kepada Maggie, serta sebuah kartu tak
tertandatangani pada hari
Valentine. Mesin tulis tua dengan "e" bengkok selalu menunjukkan identitasnya.
Maggie kembali mencoba menelepon Joan di rumah, tapi tetap tak ada jawaban. Ia
membuat salad ringan yang dimakannya sendirian di dapur. Setelah memasukkan piring ke mesin
pencuci, ia menelepon Joan lagi. Masih tetap tak ada jawaban, maka ia berangkat ke Kennedy
Center. Selembar tiket untuk satu orang selalu mudah didapat, betapapun tenarnya
penyanyi tenor tamu yang didatangkan. Maggie terpesona oleh babak pertama La Boheme. Dan ia hanya menginginkan
seandainya ada seseorang yang dapat diajaknya berbagi pengalaman itu. Ketika tirai turun, ia
bergabung dengan rombongan orang yang menuju ke serambi teater. Waktu mendekati bar yang penuh
pengunjung, Maggie merasa sekilas melihat Elizabeth Thompson. Ia ingat Mrs. Thompson telah
mengundangnya minum kopi, tapi tak pernah terlaksana. Maggie terheran-heran
sebab tawaran tersebut waktu itu terdengar sangat tulus.
Ketika Ben Thompson berpaling dan melihatnya, Maggie tersenyum dan berjalan
menghampiri mereka. "Betapa senang berjumpa denganmu. Ben," kata Maggie.
"Dan juga denganmu, Mrs. Fitzgerald," jawab Ben, tapi bukan dengan nada hangat
yang diingatnya dua minggu sebelumnya dalam santap malam. Dan mengapa ia tak memanggilnya
Maggie" 154 Tanpa takut Maggie berjuang terus. "Domingo sungguh hebat, ya?"
"Ya, dan kita sangat beruntung dapat membujuk Leonard Slatkin dari St. Louis,"
jawab Ben Thompson. Maggie heran mengapa Ben tidak menawarinya minuman, dan ketika
akhirnya ia memesan jus jeruk, ia semakin terperanjat lagi karena Ben tak berusaha
membayarinya. "Connor sangat berharap bisa bergabung dengan Washington Provident," kata Maggie
sambil menyesap jusnya. Elizabeth Thompson tampak terkejut tapi tak berkomentar.
"Khususnya dia sangat berterima kasih padamu, Ben, karena mengizinkannya
menangguhkan sebulan hingga dia dapat menyelesaikan kontrak dengan perusahaan yang lama yang
belum habis itu." Elizabeth baru akan mengatakan sesuatu ketika bel tiga menit sebelum mulai
berdering. "Yah, sebaiknya kita kembali ke tempat duduk kita," kata Ben Thompson, walau
istrinya baru menghabiskan separo minumannya. "Sungguh menyenangkan kita dapat bertemu lagi,
Mrs. Fitzgerald." Ia menggandeng tangan istrinya dengan erat menuju ke arah
auditorium. "Selamat menikmati babak kedua".
Maggie tidak menikmati babak kedua. Ia tak dapat berkonsentrasi, sebab
pembicaraan di serambi tadi tetap melintas di pikirannya. Tetapi walaupun berkali-kali memikirkannya,
ia tetap tak dapat menghubungkan sikap Ben sekarang dengan apa yang telah terjadi di kediamannya
dua minggu sebelum itu. Seandainya tahu cara menghubungi Connor, ia pasti akan melanggar
peraturan seumur hidup itu dan meneleponnya. Nah,
155 itulah yang akan dikerjakannya setelah ini. Begitu tiba di rumah, ia akan
menelepon Joan Bennett lagi. Teleponnya tetap tidak dijawab.
Hari berikutnya Connor bangun pagi pagi. Ia membayar rekening dengan uang tunai,
menghentikan taksi, dan meluncur ke Heathrow sebelum portir yang bertugas menyadari bahwa ia
telah pergi. Pukul 07.40 ia memasuki pesawat Swissair Penerbangan 839 ke Jenewa.
Penerbangan berlangsung kurang dari dua jam, dan ia menyesuaikan jamnya menjadi 10.30 ketika roda
pesawat menyentuh landasan. Selama transit ia memanfaatkan tawaran Swissair untuk mandi. Ia memasuki ruang
"fasilitas eksklusif - deskripsi dalam majalah penerbangan mereka - sebagai Theodore
Lilystrand, bankir investasi dari Stockholm. Dan empat puluh menit kemudian ia muncul sebagai Piet
de Villiers, wartawan Johannesburg Mercury.
Meskipun masih punya waktu sejam, Connor tidak melihat-lihat di toko-toko bebas
bea cukai. Ia hanya membeli croissant dan secangkir kopi di salah satu restoran termahal di
dunia. Akhirnya ia menuju ke Gerbang 23. Tak ada antrean panjang untuk penerbangan
dengan Aeroflot ke St. Petersburg. Beberapa menit kemudian para penumpang dipanggil, dan ia
menuju ke bagian belakang pesawat. Ia mulai memikirkan yang harus dilakukannya keesokan harinya
ketika kereta api memasuki Stasiun Raveltay di Moskwa. Ia memikirkan kembali penjelasan
singkat Wakil Direktur. Ia heran mengapa Gutenburg berkali-kali berpesan, "Jangan 156
sampai tertangkap. Tapi bila tertangkap, ingkari mentah-mentah hubungan apa pun
dengan CIA. Jangan cemas - CIA akan selalu mengurusmu."
Hanya rekrut-rekrut hijau yang perlu diperingatkan akan Perintah Kesebelas itu.
"Penerbangan ke St. Petersburg baru saja tinggal landas, dan paket kita ada
dalam pesawat." "Bagus," kata Gutenburg. "Ada hal lain yang perlu dilaporkan?"
"Kupikir tak ada," jawab agen muda CIA itu. Ia ragu-ragu. "Kecuali..."
"Kecuali apa" Ayo, katakan saja."
"Cuma rasanya aku mengenal seseorang lain yang masuk pesawat juga."
"Siapa dia?" bentak Guntenburg.
"Aku tak ingat namanya. Dan aku tak begitu pasti dia orangnya. Aku tak berani
mengambil risiko mengalihkan perhatian dari Fitzgerald lebih dari sedetik pun."
"Bila telah ingat siapa dia, telepon aku secepatnya."
"Ya, Sir." Agen muda itu mematikan telepon dan berjalan menuju Gerbang 9. Dalam
beberapa jam lagi ia akan kembali di belakang mejanya di Bern, memainkan kembali peranannya
sebagai atase kebudayaan di Kedutaan Besar Amerika.
"Selamat pagi. Di sini Helen Dexter."
"Selamat pagi, Direktur," jawab Kepala Staf Gedung Putih dengan kaku.
"Kukira Presiden ingin segera tahu bahwa orang
157 yang dimintanya kami lacak di Afrika Selatan kini bergerak lagi."
"Aku tak yakin dapat memahami ucapanmu," kata Lloyd.
"Kepala kantor Johannesburg baru saja memberitahuku bahwa pembunuh Guzman naik
pesawat South African Airways menuju ke London dua hari lalu. Dia membawa paspor dengan
nama Martin Perry. Dia menginap di London hanya semalam. Keesokan harinya dia naik
pesawat Swissair menuju Jenewa. Dia menggunakan paspor Swedia dengan nama Theodore
Lilystrand." Kali ini Lloyd tidak menyela Dexter. Bagaimanapun, ia dapat memutar pita kembali
bila Presiden menghendaki mendengar kata-kata Dexter dengan tepat.
"Di Jenewa ia naik pesawat Aeroflot menuju St. Petersburg. Kali ini ia membawa
paspor Afrika Selatan dengan nama Piet de Villiers. Dari St. Petersburg ia naik kereta api
malam ke Moskwa." "Moskwa" Mengapa Moskwa?" tanya Lloyd.
"Jika ingatanku benar," kata Dexter, "akan ada pemilu di Rusia."
Ketika pesawat mendarat di St. Petersburg, jam Connor menunjukkan pukul 17.50.
Ia menguap, menggeliat, dan menunggu hingga pesawat benar-benar berhenti, lalu barulah ia
menyesuaikan jam dengan waktu setempat. Ia melihat ke luar jendela memandang bandara yang
setengah gelap, sebab separo jumlah bola lampu hilang. Hujan salju turun ringan, tapi tak mengeras.
Seratus penumpang yang 158 lelah harus menunggu dua puluh menit lagi kedatangan bus yang mengangkut mereka
ke terminal. Beberapa hal tidak berubah, entah KGB atau organi sasi kriminal yang sedang
bertugas. Orang-orang \merika menyebut mereka sebagai Mafya untuk menghindari
kerancuan dengan versi Italia.
Connor orang terakhir yang meninggalkan pesawat, dan juga yang terakhir turun
dari bus. Seseorang yang juga naik pesawat yang sama di kelas satu menerobos ke.depan
antrean supaya pasti menjadi orang pertama yang melewati imigrasi dan pabean Ia berterima kasih
bahwa Connor mengikuti seluruh prosedur standar buku petunjuk. Begitu turun dari bus, orang
ini tak pernah menengok ke belakang. Ia tahu bahwa mata Connor selalu mencari-cari.
Setengah jam kemudian Connor berjalan di jalan penuh lubang, ia menghentikan
taksi pertama yang kosong dan minta diantar ke Stasiun Protsky
Orang yang bepergian kelas satu itu mengikuti Connor hingga ke ruang pemesanan
yang lebih mirip gedung opera daripada stasiun kereta api. Ia mengamati dengan cermat
kereta api mana yang ingin dinaikinya, tetapi ada seorang pria lain yang berdiri dalam bayangan yang
bahkan mengetahui nomor kamar gerbong tidur yang akan digunakannya.


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atase Kebudayaan Kedubes Amerika di St. Petersburg telah melewatkan undangan ke
Balet Kirov malam itu sehingga dapat memberitahu Gutenburg kapan Fitzgerald telah naik
kereta api malam ke Moskwa. Ia tak perlu menemani dalam perjalanan itu, sebab Ashley Mitchell,
koleganya di ibu kota, akan menunggunya di Peron 4 hari berikutnya untuk
159 memberi konfirmasi bahwa Fitzgerald telah sampai tujuan. Telah dijelaskan kepada
Atase Kebudayaan bahwa ini operasi Mitchell.
"Satu karcis kelas satu gerbong tidur ke Moskwa," kata Connor dalam bahasa
Inggris kepada petugas pemesanan. Orang itu menyodorkan sehelai karcis melintasi gerai kayu. Dan ia kecewa karena
penumpang ini menyerahkan lembaran uang rubel sepuluh ribuan. Ia telah berharap penumpang ini
memberinya kesempatan menarik sedikit keuntungan dari kurs - kesempatan keduanya malam itu.
Connor memeriksa karcisnya sebelum menuju ke kereta api cepat Moskwa. Ia melalui
peron yang penuh orang, melewati beberapa gerbong tua warna hijau yang agaknya buatan
sebelum Revolusi 1917. Ia berhenti di Gerbong K dan menyerahkan karcis kepada wanita yang berdiri
di pintu terbuka, la menjepret karcis itu dan menepi untuk mempersilakan Connor naik
kereta. Connor melalui koridor, mencari Kompartemen 8. Begitu menemukannya ia menyalakan lampu
dan mengunci diri di dalamnya. Bukan karena takut dirampok sebagaimana yang sering
diberitakan pers Amerika, tetapi karena ia perlu mengganti identitas sekali lagi.
Ia telah melihat wajah muda-segar yang berdiri di bawah papan kedatangan di
bandara Jenewa itu, dan heran dari mana mereka dapat merekrut anak-anak muda itu di zaman sekarang.
Ia tidak berusaha melihat agen di St. Petersburg. la tahu pasti ada orang yang mengecek
kedatangannya, dan ada orang lain yang menunggu di peron di Moskwa. Gutenburg telah mem-160
berinya penjelasan singkat mengenai agen Mitchell, yang dilukiskannya sebagai
orang yang lumayan kasar lan tak tahu status Fitzgerald sebagai NOC.
Kereta api meninggalkan St. Petersburg tepat tengah malam kurang semenit. Dan
bunyi roda-roda kereta yang bergemeretak lembut dan ritmis melalui rel segera membuat Connor
mengantuk. Ia tersentak bangun dan melihat jam: pukul 04.37. Itulah tidurnya yang ternyenyak
setelah tiga malam berlalu. Kemudian ia ingat mimpinya. Ia telah duduk di bangku di Lafayette Square,
menghadap Gedung Putih, dan berbicara dengan seseorang yang tak pernah melihat ke arahnya.
Pertemuannya dengan Wakil Direktur minggu sebelumnya dimainkan ulang kata demi kata. Tetapi ia tak
dapat mengingat apa pembicaraan yang terus mengganggunya itu. Tepat saat Guntenburg sampai ke
kalimat yang ingin ia dengar kembali, ia terjaga.
Ia tidak lebih mendekati pemecahan soalnya ketika kereta api memasuki Stasiun
Raveltay pukul 08.33 pagi itu. "Di mana kau sekarang?" tanya Andy Lloyd.
"Di gardu telepon di Moskwa," jawab Jackson. "Melalui London, Jenewa, dan St.
Petersburg. Begitu turun dari kereta api, ia membiarkan kita semua berburu acak-acakan. Ia
berhasil menghilang dari orang kita di Moskwa kurang dari sepuluh menit. Jika aku bukan
yang pertama mengajarnya teknik kembali ke arah berlawanan, ia dapat juga melepaskan diri
dariku." "Ia berhenti di mana?" tanya Lloyd.
161 "Ia memesan kamar di hotel kecil di bagian utara kota."
"Apa ia masih di situ?"
"Tidak, ia sudah pergi sejam kemudian. Tapi ia menyamar begitu rapi hingga aku
sendiri hampir-hampir terkecoh. Jika bukan karena gaya jalannya, barangkali ia
dapat melepaskan diri dariku."
"Ia pergi ke mana?" tanya Lloyd.
"Ia memilih rute memutar lain dan berhenti di markas besar kampanye Victor
Zerimski." "Mengapa Zerimski?"
"Aku belum tahu. Tapi ia keluar dari gedung sambil membawa semua literatur
kampanye Zerimski, kemudian membeli peta di kios koran dan makan siang di restoran dekat situ.
Siang hari ia menyewa mobil kecil dan kembali ke hotelnya Sejak itu ia belum meninggalkan
hotel tersebut." "Astaga," kata Lloyd tiba-tiba. "Kali ini giliran Zerimski."
Hening lama di ujung satunya sebelum Jackson berkata, 'Tidak, Mr. Lloyd. Itu
tidak mungkin." "Mengapa tidak?"
"Ia belum pernah menyetujui penugasan yang begitu sensitif kecuali bila perintah
itu datang langsung dari Gedung Putih. Aku mengenalnya cukup lama untuk yakin tentang hal
itu." "Coba jangan lupa, sahabatmu itu melaksanakan tugas yang tepat seperti itu di
Kolombia. Dexter pasti mampu meyakinkannya bahwa operasi itu telah disetujui Presiden."
"Masih ada skenario alternatif," kata Jackson tenang.
162 "Yaitu?" "Bukan Zerimski yang direncanakan akan dibunuh, tapi Connor."
Lloyd menulis nama itu dalam notes kuning.
163 BUKU DUA Pemain Tunggal BAB DUA BELAS "Orang Amerika?"
"Ya," jawab Jackson tanpa memandang ke bawah, kepada sumber suara nyaring itu.
"Perlu sesuatu?"
'Tidak, terima kasih," sahutnya tanpa mengalihkan pandang dari pintu depan
hotel. "Kau pasti perlu sesuatu. Orang-orang Amerika selalu perlu sesuatu."
"Aku tak perlu apa-apa. Nah, pergilah," kata Jackson tegas.
"Kaviar" Boneka Rusia" Seragam jenderal" Topi bulu binatang" Perempuan?"
Untuk pertama kalinya Jackson memandangi bocah itu. Dari kepala hingga kaki ia
terbungkus jaket bulu domba yang tiga ukuran terlalu besar baginya. Kepalanya mengenakan peci
dari bulu kelinci yang menurut Jackson setiap saat makin diperlukannya. Senyumnya menampakkan dua
gigi yang tanggal. 167 "Perempuan" Pukul lima pagi?"
"Waktu yang cocok untuk perempuan. Tapi mungkin kau lebih suka pria?"
"Berapa harga pelayananmu?"
"Pelayanan macam apa?" tanya si bocah dan tampak curiga.
"Sebagai pesuruh."
"Pesuruh?" "Kalau tidak, ya pembantu,?"
"Pembantu?" "Asisten." "Ha, maksudmu partner seperti dalam film-film Amerika."
"Oke, jadi kita telah setuju dengan deskripsi kerjamu, bocah sok tahu, kau minta
bayaran berapa?" "Per hari" Per minggu" Per bulan?" "Per jam."
"Berapa tawaranmu?"
"Persis seperti pengusaha kecil kita ini, ya?"
"Kami belajar dari orang-orang Amerika," kata si bocah, dengan seringai lebar
dari kuping kiri ke kuping kanan. "Satu dolar," kata Jackson.
Bocah itu mulai tertawa. "Aku mungkin sok tahu, tapi kau pelawak.
Sepuluh.dolar." "Itu namanya pemerasan." Untuk pertama kalinya bocah itu tampak bingung.
"Kau akan kuberi dua."
"Enam." "Empat." "Lima." "Setuju," kata Jackson.
168 Bocah itu mengacungkan telapak tangan kanan tinggi-tinggi, sesuatu yang telah ia
lihat dalam film Amerika. Ditepuk oleh Jackson. Transaksi telah jadi. Bocah itu segera mengecek
waktu di jam Rolex-nya. "Nah, siapa namamu?" tanya Jackson.
"Sergei," jawabnya. "Dan namamu?"
"Jackson. Dan berapa usiamu, Sergei?"
"Berapa saja yang kau mau."
"Jangan main-main dan katakan usiamu berapa."
"Empat belas." "Kau sembilan tahun tak lebih sehari pun."
"Tiga belas." "Sepuluh." "Sebelas." "Oke," kata Jackson. "Setuju sebelas." "Dan berapa usiamu?" tanya si bocah.
"Lima puluh empat."
"Setuju 54," kata Sergei.
Jackson tertawa untuk pertama kalinya setelah selama beberapa hari itu. "Mengapa
bahasa Inggrismu bagus?" tanyanya sambil tetap mengawasi pintu depan hotel.
"Ibuku lama hidup bersama dengan orang Amerika. Orang itu kembali ke Amerika
tahun lalu, tapi tak membawa kami." Kali ini Jackson percaya bocah itu mengatakan yang sebenarnya.
"Jadi apa pekerjaanku, partner?" tanya Sergei.
"Kita mengawasi seseorang yang tinggal di hotel itu."
"Teman atau musuh?" 'Teman."
169 "Mafya?" "Bukan. Ia bekerja untuk orang-orang baik."
"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil," kata Sergei tajam. "Kita kan
partner, ingat?" "Oke, Sergei. Dia seorang teman," kata Jackson tepat saat Connor muncul di pintu
terbuka. "Jangan bergerak." la memegang erat bahu si bocah.
"Apakah itu orangnya?" tanya Sergei.
"Ya, itu orangnya."
"Ia berwajah ramah. Mungkin sebaiknya aku bekerja untuknya."
Hari Victor Zerimski tidak dimulai dengan baik, padahal baru pukul delapan lebih
beberapa menit pagi hari. Ia sedang memimpin rapat Dewan Sentral Partai Komunis yang sedang
menerima penjelasan " dari Dmitri Titov, Kepala Stafnya.
"Sebuah badan internasional para pengamat telah tiba di Moskwa untuk memonitor
proses pemilu," kata Titov kepada mereka. "Mereka terutama mencari tanda-tanda adanya kecurangan
atas surat suara. Tapi ketua mereka telah mengakui bahwa dengan para pemilih yang begitu
banyak dan tersebar, tak ada cara untuk mendeteksi setiap ketidakberesan." Titov mengakhiri
laporannya dengan mengatakan bahwa karena kini Kamerad Zerimski naik ke tempat kedua dalam
jajak pendapat, Mafya mencurahkan lebih banyak uang lagi ke dalam kampanye Chernopov.
Zerimski mengusap kumis tebalnya sambil ganti memandang setiap orang yang duduk
di seputar meja. "Bila aku jadi presiden," katanya sambil bang-170
kit dari kursi ketua, "akan kujebloskan bangsat-bangsat Mafya itu ke dalam
penjara satu per satu. Kemudian satu-satunya yang akan dapat mereka hitung dalam sisa hidup mereka
adalah batu." Para anggota Dewan Sentral telah sering mendengar ketua mereka mencerca Mafya.
walau tak pernah menyebut nama mereka di muka umum.
Orang yang pendek dan berotot itu menggebrak meja. "Rusia perlu kembali ke
nilai-nilai kuno yang digunakan seluruh sisa dunia untuk menghormati kita." Dua puluh satu orang
yang duduk berhadapan dengannya mengangguk, kendati telah mendengar kata-kata itu berkali-
kali selama beberapa bulan sebelumnya.
"Selama sepuluh tahun kita tak mengerjakan apa-apa kecuali mengimpor yang
terburuk dari tawaran * Amerika." Mereka mengangguk terus, dan mata mereka tetap menatap padanya.
Zerimski mengusap rambutnya yang hitam tebal itu, mendesah, dan duduk kembali.
Ia memandang Kepala Stafnya di seberang meja. "Apa yang harus kukerjakan pagi ini?"
"Mengunjungi Museum Pushkin," jawab Titov. "Kau dinanti pukul sepuluh."
"Batalkan saja. Hanya menyia-nyiakan waktu bila tinggal ada delapan hari sebelum
pemilu." Ia menggebrak meja lagi. "Aku seharusnya di luar di jalanan, di mana rakyat dapat
melihatku." "Tapi direktur museum telah mengajukan permohonan dana pada pemerintah untuk
restorasi karya-karya artis Rusia yang ternama," kata Titov.
171 "Hanya membuang-buang uang rakyat," kata Zerimski.
"Dan Chernopov telah dikritik karena mengebiri subsidi para artis," lanjut
Kepala Staf "Baiklah. Mereka akan kuberi seperempat jam."
"Dua puluh ribu orang Rusia mengunjungi Pushkin sedap minggu," tambah Titov,
sambil menyimak catatan yang terketik di depannya.
"Baik. Jadikan setengah jam."
"Dan minggu lalu di televisi, Chernopov menuduhmu sebagai penjahat tanpa
pendidikan."

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia apa?" teriak Zerimski. "Aku belajar hukum di Universitas Moskwa ketika
Chernopov masih menjadi buruh pertanian."
"Tentu saja itu benar, Ketua," kata Titov. "tapi jajak pendapat intern kita
menunjukkan persepsi publik bukan begitu, dan Chernopov telah dapat menyampaikan pesannya."
"Jajak pendapat intern" Suatu hal yang harus kita syukuri karena jasa orang
Amerika." "Mereka mendudukkan Tom Lawrence dalam jabat-an.
"Begitu terpilih, aku tak memerlukan jajak pendapat untuk bertahan dalam
jabatanku." Kecintaan Connor terhadap seni dimulai ketika Maggie mengajaknya mengunjungi
galeri-galeri ketika mereka masih kuliah Awalnya ia hanya ikut supaya bisa lebih lama bersama
Maggie, tetapi setelah beberapa minggu ia benar-benar suka. Manakala mereka bepergian ke luar
kota, Connor sering menemani Maggie ke galeri mana pun yang dipilih Maggie.
Dan begitu pindah ke Washington, mereka menjadi Sahabat Corcoran dan Anggota
Phillips. Sementara Zerimski diantar Direktur berkeliling di Museum Pushkin, Connor harus
berhati-hati agar konsentrasinya mengawasi pemimpin Komunis itu tidak dibuyarkan oleh begitu
banyaknya karya agung. Ketika pertama kali Connor diutus ke Rusia pada tahun 1980-an, para politisi
senior berada paling dekat dengan rakyat ialah ketika menatap mereka dari tribun Presidium selama
parade May Day. Tetapi karena kini massa telah dapat menentukan pilihan dengan kertas suara,
tiba-tiba menjadi perlu bagi mereka yang ingin dipilih untuk bergerak di antara rakyat, dan bahkan
mendengarkan pandangan mereka. Galeri itu penuh pengunjung, seperti Stadion Cooke selama pertandingan Redskins.
Dan di mana pun Zerimski muncul, kerumunan membelah seolah ia Musa yang sedang menyeberangi
Laut Merah. Calon presiden itu bergerak pelan di antara orang-orang Moskwa, tidak
menggubris lukisan dan patung, lebih menanggapi tangan-tangan rakyat yang terulur.
Zerimski lebih pendek daripada di foto. Ia dikelilingi sekelompok ajudan yang
lebih pendek daripadanya, sehingga kependekannya tidak mencolok. Connor ingat komentar
Presiden Truman mengenai sosok tubuh: "Bila harus menghitung sampai ke inci-incinya, anakku,
sebaiknya kau hanya memperhatikan dahi," katanya suatu saat kepada mahasiswa Missouri. "Lebih
baik ada satu inci jarak antara pucuk hidung dan garis rambut daripada antara mata kaki dan
tempurung lutut." Connor melihat bahwa kesombongan Zerimski tidak mempengaruhi cita rasa 173
172 berpakaiannya. Potongan setelannya buruk. Kemejanya berjumbai pada kerah dan
manset. Connor bertanya-tanya apakah bijaksana bila Direktur Pushkin mengenakan setelan jahitan
tangan yang jelas-jelas bukan buatan Moskwa.
Walau Connor tahu bahwa Victor Zerimski cerdas dan terdidik, segera tampak jelas
bahwa Zerimski jarang mengunjungi galeri. Sambil bergegas menerobos kerumunan, kadang-
kadang ia menunjuk ke salah satu kanvas dan dengan lantang memberitahukan nama artisnya
kepada para penonton. Beberapa kali ia sempat salah menyebut artis, namun orang-orang tetap
mengangguk setuju. Ia tidak menggubris lukisan Rubens yang mengagumkan, tapi lebih
memperhatikan seorang ibu yang berdiri dalam kerumunan orang sambil mendekap anaknya. Ia tidak begitu
memperhatikan bakat yang digunakan untuk melukis adegan yang sama itu di belakang ibu
tersebut. Ketika ia memilih anak itu dan berpose untuk difoto dengan ibunya, Titov menyarankan
supaya Zerimski melangkah selangkah ke kanan. Dengan demikian mereka dapat menjepret juga
Perawan Maria dalam foto. Tak ada halaman depan yang dapat menolaknya.
Begitu telah melalui setengah lusin galeri dan yakin setiap pengunjung Museum
Pushkin sadar akan kehadirannya, Zerimski bosan dan mengalihkan perhatian kepada para wartawan
yang mengikutinya. Di tempat pemberhentian di lantai pertama ia mulai mengadakan
konferensi pers secara improvisasi. "Lanjutkan menanyakan apa yang kalian suka," katanya sambil menatap kumpulan
nyamuk pers itu. "Mr. Zerimski, apa reaksi Anda terhadap jajak
174 pendapat terakhir?" tanya koresponden The Times di Moskwa.
"Menuju ke arah yang benar."
"Anda sekarang berada di tempat kedua, jadi satu-satunya pesaing Mr. Chernopov,"
teriak wartawan lain. "Menjelang hari pemilu ia akan menjadi satu-satunya pesaing/:w yang nyata," kata
Zerimski. Rombongannya tertawa sesuai dengan kewajiban mereka.
"Apakah Anda berpendapat bahwa Rusia harus menjadi negara komunis, Mr.
Zerimski?" muncul pertanyaan yang tak terhindarkan dengan logat Ame-' rika.
Politisi penuh akal ini terlalu waspada untuk terjerumus ke dalam perangkap itu.
"Bila yang kaumaksud adalah kembali ke kesempatan kerja yang lebih besar, inflasi yang
lebih rendah, dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi, jawabannya pasti ya." Nadanya mirip
kandidat Partai Republik dalam pemilihan pendahuluan di Amerika.
"Tapi justru itulah yang diklaim Chernopov sebagai kebijakan pemerintahan
sekarang." "Kebijakan pemerintahan sekarang ialah," kata Zerimski, "memastikan bahwa
Perdana Menteri mengalirkan dolar Amerika berlimpah ruah ke rekeningnya di Swiss. Uang itu milik
rakyat Rusia Makanya ia tak pantas menjadi presiden kita berikutnya. Aku diberitahu bahwa
bila majalah Fortune edisi berikut menerbitkan daftar sepuluh orang terkaya di dunia,
Chernopov berada di tempat ketujuh. Pilih dia sebagai presiden dan dalam waktu lima tahun ia akan
menggusur Bill Gates dari tempat teratas. Tidak, temanku," tambahnya. "Kalian akan tahu bahwa
175 bangsa Rusia secara mencolok akan memilih kembali ke zaman ketika kita menjadi
bangsa paling terhormat di bumi." "Dan yang paling ditakuti?" tanya seorang wartawan lain.
"Aku lebih suka demikian daripada meneruskan situasi sekarang, di mana kita
jelas tak digubris oleh seluruh dunia," kata Zerimski. Kini para wartawan menulis setiap kata
Zerimski. "Mengapa temanmu begitu penuh perhatian pada Zerimski?" bisik Sergei di ujung
lain galeri. "Kau terlalu banyak tanya," sahut Jackson.
"Zerimski orang jahat."
"Mengapa?" tanya Jackson sambil tetap menatap Connor.
"Bila terpilih ia akan menjebloskan orang-orang seperti aku ke penjara, dan kita
semua akan kembali ke zaman dulu yang menyenangkan", sementara ia berada di Kremlin makan
kaviar dan minum vodka." Zerimski melangkah ke pintu keluar galeri, diikuti direktur dan rombongan yang
mencoba bersama-sama dengannya. Si calon presiden berhenti di anak tangga terbawah untuk
difoto di depan lukisan raksasa Goya yang berjudul Kristus Diturunkan dari Salib. Connor
begitu terharu oleh lukisan itu hingga hampir saja tertabrak kerumunan orang di belakangnya.
"Kau suka Goya, Jackson?" bisik Sergei.
"Aku belum pernah melihat lukisannya sebanyak ini," orang Amerika itu mengakui.
"Tapi ya, aku suka. Benar-benar luar biasa."
"Masih banyak lagi lainnya di ruang bawah tanah." kata Sergei. "Aku selalu bisa
mengatur untuk 176 satu..." Ia menggosok-gosokkan ibu jarinya ke jari-jari lainnya.
Jackson pasti sudah memborgol anak itu kalau tidak takut akan menarik perhatian
orang-orang itu- "Orangmu bergerak lagi," tukas Sergei tiba-tiba. Jackson mengangkat muka dan
melihat Connor menghilang keluar lewat pintu samping galeri dengan dibuntuti Ashley Mitchell.
Connor duduk sendirian di restoran Yunani di Prechinstenka dan memikirkan apa
yang telah ia lihat pagi itu. Walau selalu dikelilingi segerombolan penjahat, dan mata mereka
jelalatan ke semua penjuru, Zerimski tetap tidak begitu terlindung sebagaimana kebanyakan para
pemimpin Barat. Beberapa tukang pukulnya mungkin pemberani dan banyak akal, namun hanya tiga di
antara mereka yang tampaknya punya pengalaman melindungi para negarawan dunia. Dan
mereka tak mungkin selalu berdinas sepanjang waktu.
Ia mencoba mengunyah moussaka yang tak begitu enak sambil merunut perjalanan
Zerimski selanjutnya hingga hari pemilu. Calon presiden ini akan dilihat publik dalam 27
kesempatan berbeda selama delapan hari berikutnya. Sementara pelayan telah menyajikan kopi
tanpa susu di depannya, ia telah memilih tiga tempat yang pantas dipertimbangkan bila nama
Zerimski perlu dihapus dari kertas suara.
la melihat jamnya Malam itu si calon presiden akan memberikan amanat dalam rapat
Partai di Moskwa. Pagi berikutnya ia akan bepergian naik kereta api ke Yaroslavl, di mana
ia akan membuka 177 pabrik sebelum kembali ke ibu kota untuk menghadiri pertunjukan Balet Bolshoi.
Dari sana ia akan naik kereta api malam ke St. Petersburg. Connor telah memutuskan membayangi
Zerimski di Yaroslavl. Ia juga telah memesan karcis balet dan kereta api ke St. Petersburg.
Sambil meneguk kopinya ia memikirkan Ashley Mitchell di Museum Pushkin.
Pendekar Lembah Naga 6 Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss Gajahmada 9
^