Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 15

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


Selangkah ia maju mendekati Agung Sedayu yang melangkah
surut. Ternyata dua orang kawannya bersikap agak lain. Sambil
menggamit kawannya yang marah, salah seorang dari mereka
berkata, "Sudahlah. Jangan hiraukan anak dungu itu."
"Biar aku memberinya sedikit peringatan. Kalau dibiarkan
saja demikian, maka ia akan menjadi semakin deksura. Ia
akan tidak menghargai lagi kepada kita. Disangkanya siapa
kita ini?" Kedua kawannya itu saling berpandangan sejenak.
Kemudian mereka pun mengangkat bahu. Kawannya itu tidak
mau lagi diperingatkannya.
"He, Agung Sedayu. Jangan mengelak. Kau harus
membiarkan, aku mengambil ikat kepalamu dan membanting
di tanah, kemudian akan aku injak dengan dua belah kakiku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar
menghadapi masalah yang meskipun sederhana, tetapi
membingungkan. Ia dapat saja berbuat sesuatu untuk
mempertahankan ikat kepalanya. Bukan sekedar ikat
kepalanya itu, tetapi harga dirinya. Namun dengan demikian ia
akan berselisih dengan seorang prajurit. Kalau kakaknya
mendengar, mungkin akan dapat menimbulkan salah
pengertian, justru karena ia datang dari daerah baru yang
sedang diawasi, Mataram. "Cepat, tundukkan kepalamu!" perintah prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
"Cepat, atau aku harus bertindak?"
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu kemudian, "sebenarnya
aku tidak ingin berselisih. Aku sudah mencoba menghindar
sejauh mungkin. Tetapi kau selalu memaksa aku untuk
mempertahankan harga diriku."
"Kau mau apa?" bentak prajurit muda itu.
"Tentu saja aku berkeberatan kalau kau menghina aku.
Kalau kau memerlukan ikat kepala yang lain, barangkali aku
dapat mengusahakan. Tetapi bukan ikat kepala yang sedang
aku pakai sekarang ini."
"Aku memang akan menghinakan kau, karena kau
terlampau sombong." "Aku berkeberatan."
"Jadi kau akan melawan?"
"Tidak. Tetapi aku akan mempertahankan ikat kepalaku."
"Gila," prajurit itu menjadi semakin marah. Selangkah ia
maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia
mendengar seseorang berkata, "He, apa yang terjadi?"
Semuanya yang ada di tempat itu berpaling. Ternyata Juga
datang dengan tergesa-gesa mendekati mereka yang sedang
bertengkar. "Kenapa kalian bertengkar?"
"Anak ini terlampau sombong," berkata prajurit muda itu, "ia
tidak mau menuntun kudanya di sepanjang jalan padukuhan
ini." "Ah kau," desis Juga, "sudahlah. Pergilah Sedayu."
"Tunggu," potong prajurit itu, "begitu saja ia akan pergi"
Aku sudah mengatakan, ia terlampau sombong. Ia tidak
menghiraukan sama sekali kepada prajurit-prajurit Pajang
yang ada di Jati Anom. Apakah dikiranya kami ini orang-orang
liar di sini?" (***) Buku 62 "JANGAN terlampau memanjakan perasaanmu. Biarkan
Sedayu pergi. Memang tidak ada keharusan untuk menuntun
kuda di sepanjang lorong padukuhan. Karena itu, ia
melakukannya. Petugas-petugas di regol pun tidak
melarangnya atau memperingatkannya."
"Persetan," geram prajurit muda itu, "tetapi ia sudah
menghina aku." Juga akan menjawab. Tetapi kedua kawan prajurit itu
berkata, "Ia menjadi kambuh lagi. Bukankah memang begitu
sifatnya?" "Tetapi ia harus dicegah," sahut Juga.
"Kami sudah mencoba, tetapi ia tidak menghiraukan."
Juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian ia berkata, "Terserah kepada Sedayu. Kami akan
menjadi saksi apa yang telah terjadi sebenarnya di sini. Kalau
kau tidak bersedia diperlakukan demikian, terserahlah
kepadamu." "He, apa maksudmu?" bertanya prajurit muda itu.
"Kalian adalah anak-anak muda. Agaknya kalian ingin
menyelesaikan persoalan yang paling kecil sekali pun dengan
cara anak muda." "Tetapi aku prajurit."
"Itulah kesalahanmu yang terbesar. Kalau kau mau
menunjukkan kemudaanmu, kekuatanmu, lepaskan dahulu
sebutan itu," jawab Juga. Lalu, "Aku juga seorang prajurit.
Tetapi aku menganggap sikapmu keliru."
"Persetan," dan tiba-tiba prajurit muda itu memandang
wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang seakan-akan
membara, "aku akan menghajarmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
kedatangannya di Jati Anom pagi ini kurang
meuguntungkannya sehingga ia harus bertengkar lebih dahulu
dengan seorang prajurit. Tetapi tanpa diduga-duga Juga berkata, "Kalau kau
menganggap, perlu membela diri, lakukanlah Sedayu. Kami
sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak
menghiraukannya. Mungkin ia masih ingin mengukur, sampai
di mana kemampuannya yang sebenarnya."
Prajurit muda itu berpaling. Dipandanginya Juga dengan
tajamnya. Tetapi Juga agaknya acuh tidak acuh saja. Sedang
kedua kawannya yang lain justru tersenyum-senyum. Salah
seorang berkata, "Anak itu memang anak bengal."
Juga bergeser mendekatinya sambil berbisik, "Tetapi kali ini
ia akan menyesal." Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
hampir berbareng mereka bertanya.
Tetapi Juga tidak menjawab. Sebuah senyum yang aneh
terbayang di bibirnya. Kedua prajurit itu pun rrenjadi heran. Sejenak mereka
memandang wajah Juga yane aneh.
Salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya, "Kau kenal
anak itu?" "Anak itu kawanku berkelahi sejak kecil. Dan aku tidak
pernah kalah. Apalagi ia penakut dan cengeng di masa
kanakkanak." "Apakah sekarang ia masih seorang penakut dan
cengeng?" "Lihat sajalah."
Kedua prajurit itu terdiam. Mereka memandang kedua anak
muda yang saling berhadapan. Yang seorang berpakaian
prajurit, yang lain tidak.
Ternyata beberapa orang yang kebetulan lewat di lorong itu
menjadi tertarik pula. Mereka semula tidak menyangka bahwa
prajurit-prajurit itu telah bertengkar di pinggir lorong. Namun
orang-orang yang lewat kemudian mengetahui, bahwa
ternyata keduanya menjadi semakin tegang.
Tetapi tidak seorang pun yang berani menegurnya. Mereka
hanya memandang dari kejauhan dengan kecemasan. Sekalisekali
mereka memandang prajurit-prajurit yang berdiri
didekac kedua anak-anak muda yang sedang bertengkar itu.
Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa.
"Aku masih memberi kau kesempatan," bentak prajurit yang
sedang bertengkar dengan Agung Sedayu itu, "tetapi kalau
kesempatan sekali ini kau sia-siakan, aku akan bertindak
keras." Agung Sedayu tidak menjawab.
"Berjongkok dan aku akan menginjak ikat kepalamu yang
harus kau bentangkan di tanah."
Mata Agung Sedayu menjadi merah. Penghinaan itu benarbenar
tidak dapat diterimanya. Meskipun demikian ia tidak
berbuat sesuatu selain berdiri tegak di tempatnya.
"Kau tidak mau melakukan" Tidak mau" Aku menghitung
sampai tiga." Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak.
"Satu, dua," prajurit itulah yang menjadi tegang sekali,
sedang Agung Sedayu sama sekali tidak bergerak.
"Tiga," teriak prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu tetap di tempatnya.
Prajurit itu menjadi marah sekali. Sambil menggeram ia
melangkah semakin dekat, "Kau memang gila."
Karena Agung Sedayu sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya, maka prajurit itu pun maju semakin dekat.
Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu melangkah surut
beberapa langkah. Sambil memegang kendali kudanya ia
berkata, "Aku akan pergi saja. Aku tidak akan melayani
perbuatan yang tidak pada tempatnya ini."
"Gila, kau tidak akan dapat pergi."
Agung Sedayu ternyata tidak sempat meloncat ke
punggung kudanya karena prajurit itu tiba-tiba saja meloncat
menyerangnya. Kini tidak ada jalan lain bagi Agung Sedayu selain
mempertahankan dirinya. Sebagai seorang anak muda yang memiliki pengalaman
yang cukup serta berbekal ilmu yang cukup pula. Agung
Sedayu dapat menilai bobot dari Berangan lawannya. Karena
itu, tanpa melepaskan kendali kuda yang dipeganginya
dengan tangan kiri, tangan kanannya menangkap tangan
prajurit yang terayun ke keningnya. Dengan atu putaran, maka
tangan itu pun terpilin ke belakang oleh putaran tubuhnya
sendiri. Sedang genggaman tangan Agung Sedayu serasa
himpitan besi yang meretakkan tulang-tulansnya.
Tiba-tiba saja prajurit itu berteriak kesakitan. Ia pernah
mengalami latihan yang berat dan pendadaran sebelum
menjadi seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba saja tangannya sekali
terpilin ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Sambil menekankan tangan itu ke punggungnya Agung
Sedayu berdesis, "Apakah kau masih memerlukan ikat
kepala." "Aduh. Jangan kau patahkan tanganku. Aduh."
"Jawab pertanyaanku."
"Aduh, gila kau. Juga, he, kenapa kalian diam saja?"
Kedua kawannya terkejut melihat ketangkasan Agung
Sedayu yang masih tetap memegang kendali kudanya. Tetapi
ketika keduanya mulai melangkah, Juga berkata, "Biarkan ia
mengenal anak muda yang akan dihinakan itu."
"Setan kau, Juga," teriak prajurit yang kesakitan itu.
"Salahmu. Aku sudah memperingatkan."
Ketika Agung Sedayu menekan sedikit lagi, terdengar ia
mengaduh semakin keras. "Aku akan mematahkan tangan ini," desis Agung Sedayu.
"Jangan, jangan."
"Nah, kau belum menjawab. Apakah kau masih
memerlukan ikat kepala?"
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka tangan
Agung Sedayu semakin keras menekan.
"Jawablah." "Ya, ya, eh maksudku tidak. Aku tidak akan?"," ia
menyeringai semakin lebar. "Juga, kau gila."
"Jangan mengharap bantuan orang lain. Kau sudah
memulainya. Kau juga yang harus menyelesaikan," jawab
Juga. "Gila. Tetapi kau akan dihukum karena kau melawan
seorang prajurit. Kawan-kawanku akan datang
menghancurkan kau atau kau akan dibawa menghadap
senapati. Mungkin kau dapat digantung karena perlawananmu
ini. Kau sudah memberontak."
"Aku tidak peduli. Tetapi jawab pertanyaanku."
Oleh tekanan yang semakin keras, prajurit itu berteriak,
"Tidak, aku tidak memerlukannya lagi."
Agung Sedayu pun kemudian mendorong prajurit itu
sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika tangan itu
dilepaskan. "Setan alas!" prajurit itu mengumpat dengan geramnya.
Wajahnya menjadi merah. Hampir saja ia menarik kerisnya.
Tetapi Agung Sedayu sudah meloncat ke atas punggung
kudanya dan pergi meninggalkannya.
Tetapi prajurit muda yang ditinggalkannya itu mengumpatumpat.
Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa dengan
satu gerakan yang sederhana, bahkan dengan satu tangan,
sedang tangan yang lain masih memegang kendali kuda, ia
sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
"Jangan lari, Pengecut!" teriak prajurit itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya.
"Kita berkelahi dengan senjata."
Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin jauh.
Karena Agung Sedayu tidak ada lagi, maka kemarahan
prajurit muda itu kini ditujukan kepada Juga, yang seolah-olah
telah menghalang-halangi kawan-kawannya untuk membantu.
"Kau memang gila, Juga. Kau senang melihat aku dihina
orang di padukuhan ini" Apakah karena kau sudah
mengenalnya sehingga kau lebih dekat dengan orang gila itu
daripada kesetia-kawananmu terhadap sesama prajurit."
"Jadi, maksudmu?"
"Hajar anak itu sampai biru bengap. Kenapa kau cegah
kawan-kawan untuk membantu aku?"
"Kau menghina kedudukanmu sendiri. Kau menghina harga
diri prajurit Pajang. Apakah prajurit Pajang hanya dapat
berkelahi dengan curang" Kalau kau memang jantan, kau
sendirilah yang harus menyelesaikannya. Bukan aku, bukan
orang lain, dan bukan beramai-ramai seluruh pasukan segelar
sepapan." "Persetan. Ternyata kau bukan kawan yang baik bagi kami.
Kalau begitu, apakah kau akan menggantikannya?"
"Maksudmu berkelahi melawan kau?" bertanya Juga.
"Ya." "Ah," salah seorang prajurit yang lain mencegah,
"persoalannya sudah lain sama sekali. Sudahlah. Kita bukan
anak-anak lagi." "Tetapi ia bersikap bermusuhan terhadapku. Ia berpihak
pada anak gila itu."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang lebih baik berkelahi dengan kau daripada
melawan anak itu. Bukan karena aku kawannya sejak kecil,
tetapi kami berempat tidak akan dapat menang. Bersenjata
atau tidak bersenjata. Apalagi aku sama sekali tidak ingin
membuat persoalan ini berkepanjangan. Bahkan mungkin kita
akan dapat dilemparkan dari tugas keprajuritan."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. "Kenapa?" ia bertanya.
"Pertama, kaulah yang bersalah. Kau bersikap kasar dan
seolah-olah kau adalah onng yang paling berkuasa."
"Bohong!" "Tunggu. Aku belum selesai. Yang kedua, aku tidak mau
berhadapan dengan senapati daerah Selatan."
Prajurit itu mengerutka n keningnya. Katanya, "Gila, kenapa
mesti berhadapan dengan senapati kita."
"Anak itu, anak yang akan kau hinakan itu adalah Agung
Sedayu. Ia anak Jati Anom."
"Aku sudah tahu."
"Senapati kita juga anak Jati Anom."
"Aku sudah tahu." Tetapi prajurit itu kemudian bertanya,
"Apakah unsur kampung halaman sangat mempengaruhi
perasaan dan sikap senapati, sehingga apa pun persoalannya
ia akan berpihak kepada orang se padukuhan?"
"Tidak. Bukan begitu. Ia adalah seorang yang berdiri tegak
di atas tugas keprajuritannya. Tetapi seperti yang aku katakan,
justru karena itulah ia akan bertindak terhadap kita, apabila
kila bersalah, meskipun kita seorang prajurit. Tetapi lebih
daripada itu, kita sudah bersalah terhadap Agung Sedayu."
"Kenapa dengan Agung Sedayu. Apakah kelebihannya?"
"Agung Sedayu adalah adik senapati itu. Agung Sedayu
adalah adik seayah dan seibu dari Untara."
"He," mata prajurit muda itu terbelalak karenanya. Sejenak
ia termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada yang
sumbang ia berkata, "Ah, kau bohong. Kau hanya akan
menakut-nakuti aku."
"Aku tidak berbohong. Keduanya adalah kawanku bermain.
Dan keduanya adalah anak-anak Jati Anom ini. Selebihnya
kau tahu sendiri. Dengan sebelah tangannya ia membuatmu
tidak berdaya." Prajurit itu sejenak mematung. Dan Juga berkata
selanjutnya, "Untunglah bahwa anak itu adalah anak yang
paling sabar yang pernah aku kenal. Kalau saja ia berbuat
sesuatu atasmu, maka aku kira kau tidak akan mengenal
matahari mencapai puncak di hari ini. Kalau saja sifat-sifat
Agung Sedayu ita sama seperti Untara, maka kau pasti sudah
digilasnya. Bukan saja kau, tetapi kami yang lain ini juga."
Tubuh prajurit muda itu tiba-tiba saja menjadi gemetar.
Dengan suara yang dalam ia berkata, "Kenapa kau tidak
memberitahukan kepadaku sejak mula-mula?"
"Aku datang setelah kalian bertengkar. Dan aku tahu sifatsifatmu
sebelumnya, sehingga sekali-sekali kau memang perlu
mendapat peringatan. Kali ini kau bertemu dengan adik Untara
itu." "Tetapi, tetapi bagaimana dengan senapati" Apakah benarbenar
aku akan diusir dari tugas keprajuritan?"
Juga menggelengkan ke palanya. Katanya, "Kalau kau jera
melakukan tindakan-tindakan yang tercela itu, kau tidak akan
diapa-apakan. Aku kira Agung Sedayu bukan orang tumbak
cucukan. Ia tidak akan melaporkannya kepada kakaknya.
Bahkan mungkin ia akan berusaha melindungimu. Ia memang
anak yang aneh menurut pendengaranku dan aku sudah
melihatnya sendiri saat ini."
Prajurit muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun masih membayang kegelisahan di wajahnya. Sekali ia
menelan ludahnya, namun ia tidak dapat segera
menenangkan hatinya. Bahkan setiap kali ia masih berkata,
"Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku."
"Suatu pelajaran buatmu," sahut Juga.
Dalam pada itu Agung Sedayu telah sampai di depan regol
rumahnya. Dengan dada yang berdebar-debar, ia pun turun
dari kudanya, dan dituntunnya mendekati regol itu. Beberapa
orang praiurit yang berada di regol itu memandanginya
dengan heran. Seorang dari prajurit-prajurit itu yang sedang
bertugas jaga sambil membawa senjata, melangkah maju
menyongsongnya. "Kau akan kemana, Anak Muda?" bertanya prajurit itu.
"Aku akan masuk ke halaman rumah ini."
"Apakah kau mempunyai suatu keperluan?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Mereka pasti
belum tahu bahwa ia adalah pemiiik rumah itu bersama-sama
dengan Untara yang mempergunakannya sebagai tempat
tinggal para pemimpin pasukan Pajang di Jati Anom. Karena
itu barangkali lebih baik langsung mengatakan siapakah ia
sebenarnya supaya tidak timbul lagi salah paham.
"Apakah keperluanmu?" prajurit itu mendesak.
"Aku akan menemui Kakang Untara."
"Kau akan menemui Senapati?"
"Ya." "Apakah keperluanmu?"
"Keperluan pribadi. Aku adalah adiknya."
Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Salah
seorang dari mereka yang sedang bertugas itu pun kemudian
bertanya. "Apakah kau benar-benar adik Senapati Untara?"
"Ya. Aku adik sekandungnya. Rumah ini adalah rumah
kami. Dan aku akan masuk menemuinya."
Tetapi agaknya prajurit-prajurit itu masih ragu-ragu. Namun
dalam pada itu, tiba-tiba mereka mendengar seorang
memanggilnya, "He, kau Sedayu?"
Semua orang berpaling. Dilihatnya seorang prajurit muda
berlari-lari mendapatkan Agung Sedayu.
"Bukankah kau Agung Sedayu?" prajurit itu mencoba
meyakinkan setelah ia berdiri berhadapan.
"Ya. Aku Agung Seuayu. Kau Surat" Kau juga menjadi
prajurit?" "Ya. Aku juga menjadi prajurit."
"Juga pun menjadi prajurit."
"Ya, Juga menjadi prajurit juga. Di mana kau selama ini?"
"Aku pergi bertualang."
"Dan sekarang kau pulang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara ita
Surat berkata kepada kawannya, "Inilah Agung Sedayu. Adik
sekandung Senapati kita."
Prajurit-prajurit yang berdiri di pintu regol itu menganggukanggukkan
kepalanya. Mereka kini tidak ragu-ragu. Salah
seorang dari mereka ternyata telah mengenalnya.
"Aku akan menemui Kakang Untara."
"Aku lihat ia ada di dalam. Masuklah."
"Terima kasih."
Agung Sedayu pun kemudian sambil menganggukkan
kepalanya menuntun kudanya masuk ke halaman rumahnya
yang sudah agak lama ditinggalkannya.
"Berikan kudamu," berkata Surat.
Agung Sedayu memandanginya sejenak, lalu menyerahkan
kendali kudanya kepada prajurit itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa.
Ketika ia sampai di serambi pendapa ia melihat seorang
perwira melintas. Sesaat perwira itu berhenti memandang nya.
Tetapi ia tidak menyapanya. Ia langsung melangkah
meninggalkan pendapa. Agung Sedayu menarik nafas. Ada juga perwira yang tinggi
hati. Atau, karena ia menjadi seorang perwira, maka ia
menjadi tinggi hati. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia
berpaling dilihatnya prajurit-prajurit yang bertugas di regol
memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.
"Aku yang memiliki rumah ini," berkata Agung Sedayu di
dalam hati. "Aku dapat berbuat apa saja sekehendakku."
Maka Agung Sedayu pun segera melangkah naik ke
pendapa. Diamat-amatinya perhiasan yang melekat di dinding
yang menyekat pendapa itu dengan pringgitan. Sebuah
perisai, tombak pendek yang bersilang, dan sebuah busur.
Tetapi letak hiasan itu sama sekali tidak memberikan
keseimbangan bentuk bagi keseluruhan dinding itu. Agaknya
senjata-senjata itu asal saja digantungkan, tanpa
menghiraukan letak dan bidang.
Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar pintu
berderit. Seorang perwira melangkah keluar dari pintu
pringgitan. Perwira yang dilihatnya melintas tanpa
menyapanya tadi. Sejenak perwira itu berdiri keheran-heranan.
Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Baru
kemudian ia bertanya, "He, kenapa kau ada di situ?"
Agung Sedayu memandangnya sejenak. Lalu menjawab,
"Aku akan bertemu dengan Kakang Untara."
"Siapa kau?" "Agung Sedayu."
"Siapa Agung Sedayu?"
"Adik Untara." Perwira itu memandanginya sejenak, lalu menganggukanggukkan
kepalanya. "Jadi kaulah yang bernama Agung
Sedayu. Adik Untara yang dikabarkan berada di Mataram"
Dada Agung Sedayu berdesir. Sejenak ia termangu-mangu,
namun kemudian ia menjawab tegas, "Ya. Aku baru datang
dari Mataram." " Bagus. Kau pasti seorang prajurit atau pengawal tanah
yang baru dibuka itu. Benar?"
"Apakah Kakang Untara berkata begitu?"
Perwira itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa berkata apa pun juga, ia pun
segera melangkah pergi. Agung Sedayu menjadi terheran-heran melihat tingkah
perwira itu. Ia belum pernah mengenalnya dan sebaliknya.
Tetapi perwira itu sikapnya sama sekali tidak
menyenangkannya. Bahkan setelah ia mengetahui, bahwa ia
adalah adik Untara. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Kini ia tidak
mau lagi berdiri termangu-mangu di pendapa. Meskipun
semula ia ragu-ragu namun kemudian dibulatkannya hatinya,
untuk langsung masuk ke pringgitan.
Setelah menenangkan hatinya sejenak, maka ia pun
melangkah dengan hati tetap menuju ke pintu pringgitan.
Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Di muka pintu ia
berpapasan dengan seorang perwira yang lain. Perwira itu
pun agaknya terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak,
lalu ia bertanya dengan dahi yang berkerut-merut, "Siapa
kau?" Agung Sedayu tidak mau berputar-putar lagi. Langsung ia
menjawab, "Aku Agung Sedayu. Adik Kakang Untara."
"O, jadi kau yang bernama Agung Sedayu?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Ya. Akulah
Agung Sedayu." Tiba-tiba saja di luar dugaan Agung Sedayu perwira itu
mempersilahkan dengan ramahnya. "Marilah. Marilah.
Kakakmu sudah menunggu. Silahkan masuk ke pringgitan.
Aku akan memanggilnya. Ia berada di belakang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia pun mengangguk sambil berkata, "Terima kasih."
Ketika perwira itu kemudian masuk ke ruang dalam, Agung
Sedayu menyesal karenanya, bahwa ia bersikap terlampau
angkuh justru kepada perwira yang ramah. Ia menyangka,
bahwa perwira ini pun akan bersikap angkuh seperti yang
dijumpainya pertama-tama.
Sejenak kemudian pintu dari ruang dalam itu pun terbuka.
Seorang anak muda yang tegap dan berwajah dalam
melanggkahi tlundak pintu sambil memandang Agung Sedayu
dengan tajamnya. "Kakang Untara," Agung Sedayu berdesis."
"Kau Sedayu," suara Untara dalam.
Agung Sedayu pun kemudian dengan serta-merta
mendapatkan kakaknya, yang kemudian mencengkam
pundaknya. Sambil mengguncang-guncang pundak adiknya
Untara bertata, "Akhirnya kau pulang juga, Sedayu. Kau
bertambah dewasa dan sorot matamu menjadi bercahaya.
Aku sudah cemas bahwa aku akan kehilangan seorang adik.
Tetapi ternyata bahwa kau benar-benar datang kepadaku
lagi." Dada Agung Sedayu berguncang mendengar kata-kata
kakaknya. Tetapi ia mencoba untuk tidak mempersoalkannya
di hatinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Dan Agung
Sedayu tahu benar bagaimana kakaknya sangat mengharap
kedatangannya. Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya.
Satu-satunya saudaranya yang sejak kecil selalu
dilindunginya, dibimbing dan diharapkannya untuk menjadi
seorang anak muda yang baik. Kebanggaannya melonjak
sejak Agung Sedayu berhasil memecahkan kunkungan
ketakutan yang membalut jiwanya pada waktu itu, pada waktu
ia menitikkan darahnya untuk yang pertama kali di arena
perang tanding melawan Sidanti, meskipun ia masih belum
berbuat sebaik-baiknya. Karena itu untuk sesaat Agung Sedayu tidak menjawab.
Dibiarkannya kakaknya mengguncang-guncangnya. Dan
Untara berkata seterusnya, "Badanmu bertambah kokoh. Pasti
hasil tempaan dukun tua yang baik itu. Aku berharap bahwa
kau benar-benar akan menjadi seorang prajurit yang baik."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa jantungnya
menjadi semakin berdebaran.
"Duduklah Sedayu," berkata Untara kemudian.
"Terima kasih, Kakang," jawab Agung Sedayu.
Agung Sedayu pun kemudian duduk di pringgitan bersama
Untara dan seorang peiwira yang memanggil Untara.
"Inilah adikku yang aku katakan itu," berkata Untara kepada
kawannya. "Ya. Aku sudah bertanya kepadanya, dan ia mengatakan
bahwa ia adalah adikmu."
"Ia memang mempunyai sifat-sifat aneh."
Agung Sedayu hanya dapat tersenyum ketika perwira itu
tersenyum pula. "Kapan kau datang dari petualanganmu, Sedayu?"
bertanya trntara kemudian.
"Semalam, Kakang."
Untara mengerutkan keningnya, "Kau langsung pergi ke


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangkal Putung?" "Ya. Karena kami pergi bersama anak Ki Demang Sangkal
Putung itu. Dan pagi-pagi aku sudah berangkat dari Sangkal
Putung kemari. Tetapi aku tiba-tiba saja ingin melihat rumah Ki
Tanu Metir, sehingga aku agak siang juga sampai di sini."
Untara mengangguk-anggukka n kepalanya. Dan tanpa
diduga oleh Agung Sedayu, Untara berkata, "Dan kau
memerlukan berkelahi juga sebentar."
"O." "Laporan itu sudah aku dengar."
Agung Sedayu terdiam sejenak. Begitu cepat laporan itu
sampai kepada kakaknya. Ia tidak melihat seorang pun yang
melaporkannya. Dan ia sendiri pergi berkuda. Tetapi ternyata
laporan itu datang lebih dahulu daripadanya."
"Kau heran, dari mana aku mendengar?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Kami mempunyai jarring-jaring yang rapi di segala bidang.
Hubungan yang cepat dan pengawasan yang rapat. Itulah
sebabnya, setiap persoalan segera sampai padaku. Meskipun
kau berkuda, tetapi seseorang yang berjalan memintas, lewat
pekarangan akan datang lebih dahulu daripadamu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Tetapi kau sudah bersikap benar. Prajurit-prajurit muda itu
memang perlu mendapat peringatan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
kakaknya tidak marah kepadanya dan tidak menghubungkan
persoalan itu dengan persoalan-persoalan lain yang
sebenarnya memang tidak mempunyai hubungan apa pun.
Sejenak kemudian beberapa orang perrwira pembantu
Untara pun datang menemui Agung Sedayu pula. Dua orang
yang sudah setengah umur, sedang dua orang yang lain
masih muda. Tetapi Agung Sedayu tidak melihat perwira yang
bersikap acuh tidak acuh kepadanya.
Setelah memperkenalkan diri mereka masing-masing,
maka perwira itu pun segera bertanya beberapa hal tentang
tamunya. Dan mau tidak, mau pembicaraan mereka pun
berkisar pada perjalanan Agung Sedayu dan tanpa dapat
menghindar lagi mereka sampai juga pada daerah yang
sedang dibuka itu. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sebelum ia dapat
berbicara dengan kakaknya sendiri, maka ia sudah harus
berbicara dengan beberapa orang sekaligus.
"Apakah Mataram sudah berhasil mengatasi kesulitankesulitannya?"
bertanya salah seorang dari perwiraa itu.
"Belum seluruhnya," jawab Agung Sedayu, "masih banyak
yang harus diatasi."
"Apa saja yang masih menghambat perkembangan daerah
itu?" "Masih banyak. Daerah yang keras dan hutan yang lebat."
Dan tiba-tiba saja seorang perwira yang sudah setengah
umur bertanya, "Bagaimana dengan hantu-hantu itu?"
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata Pajang
banyak mengetahui tentang perkembangan daerah baru itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi
termangu-mangu sejenak. "Bukankah orang-orang yang bekerja di Alas Mentaok
selalu diganggu oleh hantu-hantu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Mungkin akan segera dapat diatasi."
Perwira itu mengerutkan keningnya, "Apakah Mataram
dapat menemukan cara untuk melawan hantu-hantu itu?"
Agung Sedayu memandang Untara sejenak, tampak
sebuah senyum yang membayang di bibirnya. Karena itu
maka Agung Sedayu berkata, "Laporan itu pasti sudah sampai
di sini. Apa yang sebenarnya telah terjadi di Mataram."
Perwira itu pun memandang wajah Untara pula. Keduanya
tiba-tiba saja tersenyum hampir berbareng. Dengan demikian
maka Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa Pajang
telah mendapat laporan tentang segala, peristiwa yang terjadi
di Mataram. "Laporan itu belum lengkap," berkata Untara, "tetapi
sebagian memang sudah ada pada kami. Di samping harus
mengatasi kesulitan yang timbul, dari alam yang keras, Raden
Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan masih harus melawan
gangguan hantu-hantu. Tetapi agaknya hantu-hantu itu lambat
laun akan berhasil didesak ke luar dari Alas Mentaok.
Bukankah begitu" Meskipun dengan demikian . belum berarti
semua kesulitan dapat diatasi."
Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Bahkan ia berharap bahwa demikianlah
hendaknya sehingga ia tidak perlu memberikan keterangan
tentang Mataram. Tetapi ternyata justru Untara-lah yang
kemudian bertanya, "Agung Sedayu, bagaimana pendapatmu
tentang usaha Raden Sutawijaya itu" Apakah akan berhasil
seperti yang dikehendakinya atau tidak?"
Agung Sedayu berpikir sejenak, namun kemudian ia
menjawab, "Aku tidak dapat mengatakan, Kakang. Aku tidak
tahu sampai ke manakah rencana Raden Sutawijaya itu.
Apakah ia akan sekedar membangun sebuah padukuhan yang
besar atau sebuah kota atau yang lainnya. Kalau menurut
pendengaranku Mataram itu sudah diserahkan kepada Ki
Gede Pemanahan, maka kemungkinan Raden Sutawijaya
akan mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Tetapi Pati
berkembang ke arah yang lain. Pati akan menjadi sebuah
Kadipaten. Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Bagaimana menurut pendapatmu Sedayu, apakah
Mataram mempunyai kemungkinan yang baik di hari depan."
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan
dengan hati-hati ia menjawab, "Masih tergantung sekali
kepada banyak hal, Kakang. Tetapi aku tidak banyak
mengetahui. Aku tidak mengetahui siapa-siapa yang berdiri di
belakang Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka orang-orang
yang cukup mampu membantu Ki Gede memperkembangkan
daerah itu. Juga masih tergantung sekali kepada daerah yang
ada di sekitamya. Terutama daerah-daerah yang lebih dahulu
menjadi ramai." Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu
bahwa Agung Sedayu berbuat dengan hati-hati sekali.
Mungkin karena di antara mereka terdapat beberapa orang
yang belum dikenalnya dengan baik.
Tetapi tanpa diduga-duga oleh Agung Sedayu, Untara
berkata, "Mudah-mudahan Ki Gede berhasil menundukkan
alam yang keras itu. Mataram sudah jauh ketinggalan dari
Pati." Sejenak Agung Sedayu terpukau oleh kata-kata itu. Sama
sekali tidak ada tanda-tanda ketegangan di dalam diri Untara
menilik dari kata-katanya itu. Namun demikian Agung Sedayu
pun sadar, bahwa kakaknya memiliki ketajaman sikap dan
tanggapan. Sekali terloncat kata-katanya yang agak menjorok
terlampau jauh, maka akan terbukalah pembicaraan mengenai
Mataram dengan agak mendalam. Karena itu, Agung Sedayu
berusaha membatasi pembicaraannya dalam batas-batas
penglihatannya yang dangkal. Ia berharap bahwa hal-hal yang
mendalam, kelak gurunyalah yang akan memberikan
penjelasan. Namun demikian Untara berkata selanjutnya, "Mudahmudahan
Mataram segera menjadi besar dan membuktikan
pula, bahwa Mataram ditangani oleh bekas senapati tertinggi
di Pajang bersama putera angkat Sultan Pajang. Sehingga
dengan demikian, Pajang akan menjadi semakin mantap dan
tegak kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang
keras." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat
menangkap ungkapan kata-kata Untara. Bagaimana pun juga,
memang tampak batas yang kabur. Tetapi agaknya Untara
bukan seorang yang bersikap keras terhadap perkembangan
daerah baru ini. Tetapi Agung Sedayu tetap berhati-hati di dalam setiap
pembicaraan. Ia berusaha mengelakkan persoalan-persoalan
yang dapat melibatnya dalam pembicaraan yang mendalam.
Namun di dalam kesempatan yang tidak disangka-sangka
seorang perwira yang sudah setengah umur itu berkata,
"Mudah-mudahan persoalan Mataram tidak berkembang ke
arah yang tidak kita kehendaki. Setidak-tidaknya untuk waktu
yang dekat, selagi senapati didaerah Selatan ini menghadapi
masa-masa yang paling indah di dalam hidupnya."
"O," Agung Sedayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan serta-merta ia berkata, "Aku sudah mendengar.
Semula aku bingung mendengar berita itu. Telapi kini aku
sudah yakin." "Ah," Untara tersenyum, "sebenarnya kurang mapan. Selagi
Pajang menghadapi persoalan-persoalan yang gawat, datang
pula persoalan pribadi itu. Mula-mula aku benci melihat
hubungan Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung.
Namun akhirnya aku menyadari bahwa hal itu tidak akan
terhindar dari jalan hidup seseorang. Maka supaya aku tidak
menjadi sentuhan, aku akan segera memberikan jalan
baginya." "Itulah alasannya?" bertanya Agung Sedayu. Untara
tersenyum sedang beberapa orang perwira yang ada di
pringgitan itu tertawa. "Memang salah satu dari sekian banyak alasan adalah itu,"
jawab Untara, "tetapi sudah tentu ada alasan-alasan yang lain
yang tidak semua orang boleh mengetahuinya."
Mereka pun tertawa semakin keras. Dan seorang perwira
yang lain berkata, "Kenapa kalian tidak menyelenggarakan
perhelatan itu berbareng saja bulan depan?"
Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Namun
mereka berdua pun tertawa bersamaan.
"Aku menyangka bahwa Kakang Untara tidak akan pernah
dekat dengan seorang gadis. Tetapi pada suatu saat ia telah
berpacu mendahului aku," berkata Agung Sedayu sambil
tertawa pula. "Bukan salahku," sahut Untara.
"Jadi siapa yang bersalah?"
"Paman Widura."
"O," Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Barulah ia
teringat kepada pamannya meskipun sejak dari Sangkal
Putung ia sudah berhasrat untuk mengunjunginya. Karena itu
maka Agung Sedayu pun berkata, "Aku akan menengok
Paman Widura. Apakah ia ada di rumah atau paman ikut di
dalam kesatuan Kakang Untara ini?"
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Paman Widura
merasa telah terlampau tua untuk menjadi seorang prajurit.
Karena itu kini ia telah mengundurkan dirinya."
"O," Agung Sedayu m engangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang perwira yang telah setengah umur itu pun berkata,
"Mungkin umurnya belum setua aku. Ia lebih muda satu atau
dua tahun dari padaku. Tetapi beberapa waktu berselang ia
telah mengundurkan diri. Bahkan rasa-rasanya seperti dengan
tiba-tiba saja." Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pamannya adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi pada
suatu saat, ia memang wajar merasa bahwa tugasnya telah
selesai. "Ia mengharap anak-anak mudalah yang akan melanjutkan
tugasnya," berkata perwira itu. "Ia berbangga bahwa
kemanakannya telah menjabat sebagai seorang senapati yang
terpercaya. Namun ia masih berharap bahwa kemanakannya
yang seorang lagi akan mengikuti jejak kakaknya."
Agung Sedayu masih tersenyum meskipun dadanya
menjadi berdebar-debar. Karena itu, ia berusaha untuk
mengalihkan pembicaraan, "Jadi, Kakang Untara akan
melangsungkan perkawinan di bulan mendatang?"
Untara mengangguk. Katanya, "Mudah-mudahan suasana
tidak berubah. Semuanya telah diatur oleh Paman Widura."
Untara terdiam sejenak, lalu, "Tetapi dari mana kau
mendengarnya?" "Di jalan padukuhan ini aku bertemu dengan Juga.
Dikiranya aku sudah mengerti rencana itu."
"Aku juga kurang mengerti," berkata Untara sambil
tersenyum pula, "paman Widura-lah yang paling tahu."
"Aku akan segera menemui Paman Widura."
"Kapan kau akan kesana?"
"Sekarang, atau sebentar lagi."
"Ah," desah Untara, "kenapa tergesa-gesa" Besok atau
malam nanti kita pergi bersama-sama."
Agung Sedayu berdesir mendengar ajakan itu. Tetapi ia
berusaha untuk menahan perasaannya, sehingga kesan itu
sama sekali tidak terbayang di wajahnya. Tetapi ia menjawab,
"Aku sudah terlalu lama tidak berjumpa."
"Tetapi tidak perlu sekarang. Kau belum makan di sini,"
cegah Untara. Agung Sedayu tidak memaksa. Tetapi ia mulai dijalari oleh
kegelisahan. Kakaknya pasti tidak akan membayangkan
bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung hari ini. Tetapi
seandainya ia tidak kembali, maka tanggapan Ki Demang
Sangkal Putung beserta anak-anaknya pasti sangat tidak baik.
"Hanya guru sajalah yang tahu keadaanku yang
sebenarnya di dalam hubungan keluarga ini. Yang lain sama
sekali tidak akan dapat mengerti. Mereka memandang
persoalan ini dari segi mereka sendiri."
Namun Agung Sedayu sudah merasa berjanji bahwa senja
nanti ia sudah harus berada di Sangkal Putung kembali.
Meskipun kegelisahan itu terasa semakin mencengkamnya,
namun Agung Sedayu masih berhasil menguasai
perasaannya, sehingga kegelisahan itu sama sekali tidak
berkesan di hatinya. Demikianlah maka sejenak kemudian Agung Sedayu telah
mendapat hidangan dari juru madaran para perwira Pajang
yang tinggal dirumah Itu. Semangkuk minuman panas dan
makanan beberapa potong. Namun dalam pada itu, selagi tangannya menyuapi
mulutnya dengan makanan, Agung Sedayu masih juga
berpikir, bagaimana caranya ia nanti minta diri dan memaksa
kembali ke Sangkal Putung.
"Kalau saja aku tidak datang kemari," berkata Agung
Sedayu didalam hati. Namun dijawabnya sendiri, "Kakang
Untara akan marah kepadaku kalau ia tahu bahwa aku tidak


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menemuinya setelah aku datang di Sangkal Putung.
Dan apalagi hatiku pasti akan selalu digelisahkan oleh
bayangan kabur yang membatasi Pajang dan Mataram.
Ternyata Kakang Untara tidak bersikap keras. Jauh berbeda
dari bayanganku semula. Namun yang paling mencemaskan
adalah justru harapan Kakang Untara, bahwa Mataram akan
merupakan tiang yang dapat memperkokoh tegaknya Pajang.
Selain itu juga harapan Kakang Untara, bahwa aku akan
menjadi prajurit Pajang pula."
Karena kesibukan mulut mereka yang ada di pringgitan itu
mengunyah makanan, maka mereka pun terdiam untuk
sejenak. Tetapi justru karena mereka diam itulah angan-angan
Agung Sedayu telah mengembara.
Namun tiba-tiba para perwira yang ada di pringgitan itu
berpaling ketika mereka mendengar pintu bergerit. Seorang
perwira yang lain telah muncul dari balik daun pintu. Sejenak
ia berdiri diam memandang setiap orang yang ada di
pringgitan itu. Perwira itu adalah perwira yang acuh tidak acuh
terhadap kehadiran Agung Sedayu.
"O," berkata Untara kemudian, "kemarilah. Duduklah Adi
Ranajaya." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Perwira itu
ternyata bernama Ranajaya.
Ranajya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
pun melangkah mendekat dan kemudian duduk pula di antara
mereka. "Ini adalah adikku," berkata Untara.
"Ya, aku sudah mendengarnya "
"O, dari siapa kau mendengar?"
"Dari anak itu sendiri. Ia berdiri di pendapa seperti seorang
yang kehilangan akal. Karena aku belum pernah melihatnya,
maka aku bertanya kepadanya. Ternyata ia adalah Agung
Sedayu, adik Kakang Untara."
Untara mengerutkan keningnya.
"Ia adalah seorang pendukung berdirinya Mataram.
Kedatangannya ditandai dengan pertengkaran. Ia sudah
berkelai dengan seorang prajurit anak buahku."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
berkata, "Jangan kaget Sedayu. Kami yang tinggal di sini
sudah mengenalnya baik-baik. Tetapi karena kau baru
mengenalnya sekarang, kau wajib mengetahui bahwa Adi
Ranajaya sangat benci kepada orang-orang yang sedang
sibuk membangun Mataram. Dan adalah sifatnya, kadangkadang
kata-katanva melontar tanpa kendali." Untara diam
sejenak, lalu di pandanginya perwira yang bernama Ranajaya
itu, "Sebenarnya aku juga tidak senang mendengar kata-kata
itu. Bukan karena Agung Sedayu adalah adikku. Tetapi
tuduhanmu yang serta-merta, bahwa setiap orang yang
datang dari Mataram adalah pendukung berdirinya Mataram
dapat menimbulkan salah paham. Siapa pun yang datang."
"Tetapi aku tidak akan mengatakan begitu, seandainya ia
tidak dengan sengaja melawan dan menunjukkan
kelebihannya dari seorang prajurit Pajang."
"Itu bukan kata-kata seorang perwira. Adalah picik sekali
apabila kau segera menarik kesimpulan dari percekcokan itu
untuk menentukan seseorang berpihak kepada Mataram.
Apalagi karena kau sudah mengetahui apakah sebabnya."
Untara terdiam sejenak, lalu, "Tetapi apakah keberatanmu
seandainya Agung Sedayu, atau katakanlah seseorang yang
membantu berdirinya Mataram di Alas Mentaok itu" Katakan,
apakah keberatanmu?"
Wajah perwira itu menjadi merah. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa Untara akan menjawabnya langsung di
hadapan para perwira yang lain. Itu bukan menjadi
kebiasaannya. Namun kali ini Ranajaya berpendapat bahwa
Agung Sedayu adalah justru adik Untara sendiri. Biasanya
Untara tidak pernah membantah apabila ia memaki-maki
orang-orang Mataram, termasuk Raden Sutawijaya. Biasanya
Untara hanya tersenyum dan berkata, "Sudahlah. Jangan
membuat dirimu sendiri menjadi sakit." Tetapi kini Untara
langsung mencelanya. "Adi Ranajaya," berkata Untara, "soalnya tidak semudah itu
untuk menjatuhkan tuduhan terhadap Mataram dan terhadap
orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mataram.
Kalau memang benar Mataram akan memberontak terhadap
Pajang, akulah senapati di sini. Aku akan menerima perintah
untuk menghancurkannya, meskipun di sana ada Raden
Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Meskipun aku tahu
bahwa Ki Gede Pemanahan seorang yang mumpuni, tetapi
perang bukannya perang tanding. Karena itu untuk seterusnya
jangan memperuncing keadaan. Selagi kita menjajagi
kemauan Ki Gede Pemanahan, kau jangan menambah
suasana menjadi buram. Kata-katamu itu adalah racun bagi
prajurit-prajurit kecil. Bukankah aku sudah pernah
memperingatkan, jangan berkata seperti itu di hadapan orang
lain, selain di hadapan kami. Para perwira yang sudah
mengenal watak dan tabiatmu."
Wajah Ranajaya menjadi semakin merah. Namun
kemudian ia pun menundukkan kepalanya. Kali ini ia tidak
dapat membawa pembicaraan yang keras terhadap Mataram.
Dengan demikian, maka sejenak suasana menjadi hening,
meskipun terasa ada juga ketegangan. Agung Sedayu sama
sekali tidak ingin mengatakan apa pun juga agar tidak
menimbulkan salah paham. Tetapi ia masih tetap kagum
kepada kakaknya yang mencoba berdiri di atas segala
masalah yang hanya sekedar meloncat dari perasaan dan
prasangka. Sebagai prajurit ia memerlukan bukti-bukti untuk
menentukan suatu keputusan yang bersifat menghukum.
Meskipun hanya sekedar dengan kata-kata.
Namun dalam pada itu Ranajaya mengumpat-umpat di
dalam hati. Meskipun ia menundukkan kepalanya tetapi ia
menggeram, "Akan aku sampaikan hal ini kepada Kakang
Tumenggung." Kehadiran Ranajaya itu ternyata membuat suasana
menjadi lain. Wajah-wajah di ruangan itu tidak lagi tampak
jernih dan tidak ada lagi senyum di bibir. Dengan kaku mereka
mencoba melepaskan ketegangan dengan meneguk minuman
dan makan sepotong makanan. Tetapi rasa-rasanya minuman
dan makanan itu tidak lagi sesedap semula.
Untuk melepaskan kejanggalan di dalam pertemuan itu,
tiba-tiba Agung Sedayu-lah yang memulainya, "Kakang
Untara. Apakah Kakang memperkenankan aku pergi ke rumah
paman Widura sekarang saja?"
"Sekarang?" Untara mengerutkan keningnya.
"Ya, sekarang. Aku sudah terlalu rindu kepada paman dan
keluarganya. Aku akan segera kembali kemari apabila aku
sudah bertemu. Aku hanya akan sekedar bertemu saja."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Suasana di rumah itu
memang menjadi kurang baik, dan bahkan ada terasa
ketegangan di hati masing-masing. Karena itu, agaknya ada
juga baiknya Agung Sedayu menyingkir sejenak, untuk nanti
kembali lagi. "Bagaimana pertimbangan Kakang," desak Agung Sedayu.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
kemudian ia menjawab, "Baiklah, Agung Sedayu. Kau boleh
pergi ke pamanmu Widura. Tetapi jangan terlampau lama. Kita
akan makan siang ini di sini."
"Tetapi bagaimana kalau Paman memaksa aku untuk
makan di sana?" jawab Agung Sedayu yang mencoba
mencuci suasana. "Katakan, bahwa kau sudah makan."
"Tetapi aku dapat gagal kedua-duanya. Kepada Paman
Widura aku berkata, bahwa aku sudah makan, tetapi
kemudian ketika aku sampai di sini, aku tidak mendapat
bagian lagi." Beberapa orang di antara mereka tersenyum. Tetapi
perwira yang bernama Ranajaya masih menundukkan
kepalanya. Ia sama sekali tidak acuh lagi atas semua
pembicaraan. Hanya karena keseganannya kepada Untara
sajalah, maka ia tidak pergi meninggalkan ruang itu.
"Jangan takut," jawab Untara kemudian, "kami akan
menyediakan makan buatmu. Dua orang prajurit akan
menjaganya, supaya makan persediaanmu itu tidak dicuri
orang." Agung Sedayu pun tersenyum pula. Lalu katanya, "Kalau
begitu aku minta diri, Kakang." Kemudian kepada perwiraperwira
yang ada, Sedayu berkata, "Aku minta diri. Nanti aku
akan segera kembali. Aku hanya sekedar ingin bertemu lebih
dahulu. Mungkin di kesempatan lain, aku akan membicarakan
hari-hari yang baik buat Kakang Untara. Bukankah hari itu
masih belum ditentukan, meskipun di bulan depan."
"Ah," sahut seorang perwira yang lain, "tentu sudah. Tetapi
ada dua atau tiga pilihan dari hari-hari terakhir di bulan depan.
Bukankah begitu?" bertanya perwira itu kepada Untara.
Untara hanya tersenyum saja.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun meninggalkan
pringgitan yang rasa-rasanya menjadi terlampau panas itu.
Ketika ia berada ke pendapa, terasa udara yang segar
menyentuh tubuhnya. Untara dan beberapa orang perwira yang lain
mengantarnya sampai ke tangga pendapa. Kemudian Agung
Sedayu minta diri sekali lagi, "Aku akan membawa kudaku,
Kakang, supaya perjalananku agak cepat."
"Ah ada-ada saja kau, Sedayu. Selagi kau menyiapkan
kudamu, kalau kau berjalan kaki, kau sudah akan sampai,"
sahut Untara. Sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab, "Tetapi aku
kira, masih lebih cepat di atas punggung seekor kuda."
"Terserahlah," desis Untara.
Agung Sedayu pun kemudian mengambil kudanya, dan
menuntunnya sampai ke luar regol. Setelah ia melampaui
penjagaan prajurit di regol halaman itu, ia pun segera
meloncat naik ke punggung kudanya yang segera berlari ke
rumah pamannya, Widura. Kedatangan Agung Sedayu di rumah pamannya benarbenar
mengejutkan. Seisi rumah menyambutnya dengan
wajah-wajah yang cerah, seperti mereka menyambut anak
sendiri. Bagi Widura dan keluarganya, Agung Sedayu
memang seperti anak sendiri. Apalagi kini Agung Sedayu
bukan lagi anak cengeng seperti ketika ia datang ke Sangkal
Putung untuk yang pertama kali.
"Kau benar-benar seorang anak muda yang gagah
Sedayu," berkata Widura sambil mengguncang-guncangkan
lengan Agung Sedayu. "Tubuhmu kuat dan liat. Kau pasti telah
tumbuh menjadi seorang yang benar-benar dewasa."
Agung Sedayu tidak menyahut.
"Marilah, duduklah."
Agung Sedayu pun kemudian di bawa oleh pamannya ke
pringgitan. Hampir seisi rumah ikut pula menyambutnya.
Anak-anak Widura pun untuk beberapa lamanya ikut pula
duduk di sebelah menyebelah Agung Sedayu.
"Kau sama sekali lain dari kau yang dahulu, Sedayu,"
berkata Widura. Lalu, "Kau berkembang cepat sekali. Rasarasanya
baru kemarin kau datang di Sangkal Putung dengan
wajah pucat dan gemetar."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Salah paham yang timbul pada anak-anak muda Sangkal
Putung waktu itu, hampir saja membawa kesulitan yang dalam
bagimu." Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya wajah
pamannya sejenak, lalu katanya, "Memang lucu sekali,
Paman." "Kau mereka anggap sebagai seorang pahlawan. Tidak ada
seorang pun yang berani melintasi jalan ke Sangkal Putung
seorang diri seperti yang kau lakukan. Aku pun tidak. Dan
barangkali, kau yang sudah berkembang sekarang ini, tidak
akan mencoba melakukannya lagi seandainya kau
menghadapi saat yang sama."
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia menjawab, "Tetapi
Kakang Untara akan melakukannya saat itu. Padahal Kakang
Untara pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi ia
seorang senapati. Jarak itu akan ditempuh tanpa pengawalan
sama sekali." Widura menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya teranggukangguk
kecil. Katanya kemudian, "Untara adalah seorang
anak muda yang luar biasa. Ia memang agak lain dari anakanak
muda pada umumnya. Selain ilmunya yang cukup, dan
ternyata ia mampu mengalahkan Tohpati, juga ia memiliki
keberanian yang luar biasa. Saat itu ia merasa bertanggung
jawab atas keselamatan pasukan Pajang yang ada di Sangkal
Putung, sehingga meskipun ia dapat berbuat lain, tetapi jalan
yang paling baik ditempuh adalah menghubungi aku di
Sangkal Putung. Ia tidak sempat memanggil pengawalpengawalnya,
karena waktunya tinggal semalam. Namun
ternyata, bahwa kaulah yang berhasil menyampaikannya
berita itu kepadaku, tepat pada waktunya. Kalau kau
terlambat, maka aku kira jalan peperangan di daerah Selatan
itu akan menjadi berbeda."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya meremang. Peperangan di
Sangkal Putung memang menumbuhkan kenangan yang
khusus di dalam dirinya. Ngeri, lucu, dan mendebarkan.
Terlebih-lebih dari itu, ia telah tersangkut pula pada seorang
gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.
Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar. Seperti
kakaknya, maka persoalan itu pasti akan ditangani oleh
pamannya. Ia tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Sudah
tentu, semuanya akan terserah kepada Widura dan Untara.
Tetapi Agung Sedayu masih belum dapat mengatakannya.
Meskipun demikian, ia dapat juga bertanya tentang harihari
perkawinan Untara yang akan diselenggarakan bulan
depan. Widura tertawa. Jawabnya, "Memang sudah waktunya bagi
Untara. Umurnya sudah lebih dari cukup. Jabatannya baik dan
agar ia tidak terlalu kaku, ia memerlukan seorang isteri yang
sabar dan mengerti akan tugasnya sebagai seorang prajurit."
Agung Sedaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bakal isterinya adalah seorang gadis yang baik. Memang
agak berbeda dengan Sekar Mirah yang lincah dan gembira.
Isteri Untara adalah seorang gadis pendiam. Namun mudahmudahan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu akan dapat memberikan arti bagi hidup
Untara yang kering dan agak kaku. Ia seakan-akan
menenggelamkan diri di dalam kebekuan ketentuan seorang
prajurit, sehingga dirinya sebagai seseorang di antara
kehidupan yang luas agak menjadi janggal karenanya."
Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau Untara sudah kawin, maka jalan bagimu akan
menjadi terbuka semakin lebar. Tidak ada lagi keseganan apa
pun, apabila pada suatu saat, kau harus menginjakkan kakimu
ke jenjang perkawinan."
"Tetapi aku masih seorang petualang, Paman. Aku belum
mempunyai pegangan untuk hidup kelak. Berbeda dengan
Kakang Untara." "Apakah yang harus menjadi pegangan" Maksudmu, kau
belum memegang suatu jabatan apa pun?"
"Ya, Paman." Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau adalah
calon prajurit yang baik, Sedayu. Kau akan dapat menjadi
seorang prajurit, yang tidak usah mulai dari bawah sekali.
Kalau kau mau, kau akan dapat kesempatan. Bukan karena
kau adik Untara, tetapi karena kau memiliki kemampuan. Kau
dapat menempuh pendadaran untuk langsung menjadi
seorang lurah prajurit. Meskipun mula-mula kau akan
memimpin suatu kelompok kecil, namun dalam waktu singkat
kau akan menanjak." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja
kepalanya menunduk. Katanya, "Itulah yang merisaukan
hatiku, Paman." "Kenapa?" "Kakang Untara memang ingin aku menjadi seorang
prajurit. Agaknya Paman juga menginginkan aku menjadi
seorang prajurit." Widura tidak segera menyahut.
"Tetapi sayang, Paman. Untuk saat ini, aku masih pelum
ingin memasuki bidang keprajuritan."
Widura menjadi heran mendengar jawaban itu, sehingga
sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, "Kenapa Sedayu"
Apakah kau sama sekali tidak membayangkan pengabdian
lewat tugas seorang prajurit?"
"Tentu juga terbayang pengabdian yang dapat aku berikan
kepada negeri ini, Paman. Tetapi tidak dalam saat yang
singkat. Dan bukankah aku masih mempunyai kesempatan
untuk mengabdi lewat banyak saluran?"
Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya, ya. Kau
dapat memilih bidang pengabdianmu sendiri. Tetapi apakah
keberatanmu untuk menjadi seorang prajurit" Di dalam masamasa
yang buram ini, tenagamu sangat diperlukan oleh
Pajang." Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Tetapi
Hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata pamannya
juga menginginkannya menjadi seorang prajurit.
Namun tiba-tiba tanpa disadarinya sendiri, tiba-tiba saja
Agung Sedayu bertanya, "Kenapa Paman mengundurkan diri
dan keprajuritan?" Widura terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun
kemudian ia tersenyum sambil menjawab, "Aku sudah terlalu
tua." "Aku melihat seorang perwira yang lebih tua dari Paman."
"Tetapi sudah tentu waktu pengabdianku lebih panjang
daripadanya. Mungkin ia memasuki lapangan keprajuritan
setelah ia berumur jauh lebih tua dari saat-saat aku memasuki
tugas itu." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang jawaban itu mungkin sekali terjadi. Namun Agung
Sedayu masih bertanya, "Tetapi Paman, bukankah saat-saat
ini Pajang memerlukan prajurit yang cukup berpengalaman,
seperti kata Paman sendiri, suasananya kini sedang buram.
Bukankah begitu, Paman?"
Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Jawabnya, "Ya. Mungkin tenaga paman memang masih
dibutuhkan." Widura tidak melanjutkannya. Namun terasa
sesuatu agaknya tersangkut di hatinya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia menunggu
pamannya mengatakan sesuatu, tetapi Widura justru hanya
menarik nafasnya dalam-dalam. Tetapi ia tidak meneruskan
kata-katanya. Karena itu maka sejenak mereka terdiam. Seakan-akan
mereka kehabisan bahan untuk berbicara.
Namun untuk mengatasi kebekuan itu, tiba-tiba saja Widura
berkata, "Agung Sedayu. Tunggulah sejenak. Aku harus
menangkap seekor ayam yang paling besar, untuk
menjamumu hari ini. Kau akan makan di sini siang ini."
Tetapi Agung Sedayu berkata cepat-cepat, "Paman,
Kakang Untara berpesan kepadaku, agar aku segera kembali.
Kakang Untara menunggu aku makan siang ini bersama para
perwira yang tinggal di rumah kami."
"Benar begitu?"
"Benar, Paman. Aku mengucapkan terima kasih atas
sambutan Paman. Tetapi maaf, aku tidak akan membuat
Kakang Untara kecewa."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kamilah yang kecewa. Kalau begitu nanti malam kau harus
makan di sini." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
dapat menyimpannya lebih lama lagi, sehingga ia pun
menjawab, "Nanti sore aku harus kembali ke Sangkal Pulung."
"He, kembali ke Sangkal Putung" Bukankah kau anak Jati
Anom?" "Ya, Paman, tetapi aku sudah berjanji kepada Ki Demang
dan kepada Adi Swandaru, bahwa nanti sebelum senja aku
harus sudah berada di Sangkal Putung."
"Ah, tentu mereka minta kau kembali. Seandainya itu tidak
bersungguh-sungguh, maka mereka pasti akan sekedar
mengatakannya untuk memenuhi adat pergaulan. Tentu
mereka tidak akan mengatakan kepadamu, agar kau tidak
usah kembali saja." "Bukan, Paman. Bukan karena itu. Anak-anak muda
Sangkal Putung nanti senja akan berkumpul menyambut
kedatangan kami. Aku dan Swandaru. Mereka menganggap
aku sebagai keluarga mereka, karena aku pernah tinggal di
Sangkal Putung untuk beberapa lama."
"Ya. Mungkin begitu. Mungkin kau masih tetap mereka
anggap sebagai pahlawan. Tanpa kau, Sangkal Putung
mungkin tidak akan mengalami masa-masa sebaik sekarang."
"Tetapi keakraban, kekeluargaanlah yang agaknya
mendorong mereka menyambut kedatanganku."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia
berdesis, "Sejak kanak-kanak, kau berada di Jati Anom dan
Banyu Asri. Tetapi tidak seorang pun yang menyambut
kedatanganmu seperti anak-anak muda Sangkal Putung. Aku
tidak tahu, kenapa kau lebih dekat dengan Sangkal Putung
dari Jati Anom dan Banyu Asri. Mungkin karena kau berada di
Sangkal Putung dalam keadaan yang gawat, sehingga anakanak
mudanya merasa senasib dengan kau, atau karena kau
seorang pahlawan. Tetapi demikianlah agaknya."
Tiba-tiba saja terkilas di angan-angan Agung Sedayu, sikap
anak-anak muda Sangkal Putung yang sesungguhnya.
Sebenarnya mereka pun sama sekali tidak ingin menyambut
kedatangannya. Kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang
telah menggerakkan anak-anak muda Sangkal Putung
sebenarnya adalah kedatangan Swandaru. Putera Demang
Sangkal Putung itu pun pasti tidak akan berbuat apa-apa.
Seperti juga anak-anak Jati Anom dan Banyu Asri. Mereka
hanya akan menyambutnya sebagai kawan yang sudah lama
tidak bertemu di sepanjang jalan atau di simpang-simpang tiga
apabila berpapasan. Tiba-tiba saja kepala Agung Sedayu justru tertunduk. Ia
merasa, bahwa seolah-olah ia justru terlepas dari akarnya. Ia
bukan lagi anak Jati Anom, tetapi juga bukan anak Sangkal
Putung. "Jadi," Berkata Widura kemudian, "kau akan kembali ke
Sangkal Putung hari ini?"
Begitu saja terloncat jawabnya, "Ya, Paman."
"Dan kau sudah mengatakan kepada Untara?"
Agung Sedayu menggeleng, "Belum, Paman. Aku belum
dapat mengatakannya."
"Kalau begitu, Untara pasti menyangka, bahwa kau kini
telah kembali. Pulang ke rumah sendiri."
"Mungkin Kakang Untara berpendapat demikian, Paman.
Dan itulah yang membuat aku bingung. Bagaimana aku
kembali ke Sangkal Putung hari ini. Besok atau lusa, aku akan
kembali lagi kemari."
Tiba-tiba Widura tersenyum. Katanya, "Tetapi aku tidak
dapat menahanmu. Juga sebaiknya Untara tidak. Aku kira
bukan sambutan anak-anak muda Sangkal Putung itulah yang
penting bagimu." Wajah Agung Sedayu menjadi merah sekilas. Sambil
menundukkan kepalanya, ia berdesis, "Mungkin juga begitu,
Paman." "Aku dapat mengerti, Sedayu. Tetapi barangkali berbeda
dengan kakakmu. Ia merasa lebih berhak berbuat atasmu,
karena kebiasaannya sebagai seorang kakak terhadap
adiknya. Mungkin ia akan melarang kau pergi ke Sangkal
Putung hari ini." "Tetapi aku sudah berjanji untuk kembali."
"Tentu tidak akan ada akibat apa-apa, seandainya kau
menundanya sampai besok. Asal kau benar-benar kembali.
Kau tidak akan secepat itu kehilangan."
"Tetapi ?"," Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.
"Tentu orang-orang Sangkal Putung mengetahui, bahwa
kau kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan sanak
saudara. Tentu kau tidak akan dapat secepat itu kembali."
Agung Sedayu tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Yang
terbayang kemudian justru wajah Sekar Mirah yang
memberengut. Wajah Swandaru yang kecewa, dan anak-anak
muda Sangkal Putung yang berkelakar sambil mengunyah
daging kambing. "Mungkin anak-anak Sangkal Putung itu tidak
menghiraukan kehadiranku. Tetapi bagaimana dengan Sekar
Mirah dan Swandaru?" persoalan itulah yang kemudian selalu
mengganggunya, sehingga untuk sesaat ia merenung.
Tetapi Widura justru tertawa melihat wajah Agung Sedayu
yang menegang serta keningnya yang berkerut. Katanya,
"Jangan risau. Kalau kau berkata berterus-terang, maka
Untara akan mengerti. Aku mengharap Untara sekarang
sudah lain. Ia sekarang mulai mengenal seorang gadis dan
mulai mempelajari watak-wataknya."
Agung Sedayu memandang wajah pamannya sejenak,
namun kemudian ia pun tersanyum.
"Mudah-mudahan Kakang Untara mengerti," desisnya.
Lalu, "memang aku melihat perbedaan sikap Kakang Untara
sekarang. Aku menyangka, bahwa Kakang Untara akan
menyambutku dengan sikap yang dingin, dan bahkan marah
karena aku terlampau lama pergi, apalagi aku kembali ke
Sangkal Putung lebih dahulu. Tetapi ternyata Kakang Untara
tidak berbuat demikian. Ia menerima aku dengan ramah,
meskipun ia tahu, bahwa aku baru saja bertengkar dengan
prajuritnya." "He," Widura-lah yang terkejut, "kau sudah mulai
bertengkar?" Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
"Ya, Paman. Aku terpaksa bertengkar."
"Kenapa?" Agung Sedayu pun segera menceriterakan dengan singkat
apa yang telah terjadi kepada pamannya. Bahwa ia tidak
dapat mengelak sama sekali pertengkaran yang telah
dipaksakan kepadanya itu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Itu
memang membuat setiap perwira Pajang menjadi prihatin.
Tetapi ada juga baiknya mereka bertemu dengan kau."
"Ya, Paman. Kakang Untara juga berkata demikian. Tetapi
seorang perwira yang lain agaknya bersikap lain pula."
"Siapa" "Ranajaya," jawab Agung Sedayu. "Mungkin ia tidak
senang karena kedatanganku ditandai dengan pertengkaran
dengan prajurit yang kebetulan adalah bawahannya. Tetapi
mungkin juga karena aku datang dari Mataram, seperti yang
dikatakan Kakang Untara."
"Ranajaya," Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, "ia
memang mempunyai sikap yang aneh. Ia merasa dirinya
terlampau penting di dalam pasukan Untara. Dan anak itu
sangat membenci perkembangan Mataram yang dipimpin oleh
Raden Sutawijaya." "Aku semula menyangka, bahwa Kakang Untara pun akan
bersikap demikian. Tetapi ternyata tidak. Bahkan Kakang
Untara telah mencela sikap Ranajaya itu langsung di hadapan
para perwira yang lain."
"Sikapnya memang tercela," tiba-tiba saja Widura berkata.
Tetapi ia pun kemudian menelan ludahnya, seakan-akan ingin
menelan kata-katanya itu kembali.
"Kenapa, Paman?"
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah
bukan prajurit lagi. Aku tidak akan dapat membuat penilaian
apa pun atas mereka."
"Bukan penilaian, Paman, tetapi aku hanya sekedar ingin
medapat gambaran tentang sikap para perwira itu, agar aku
dapat mencoba menyesuaikan diri."
Widura memandang Agung Sedayu sejenak, dan tiba-tiba
saja ia tersenyum, "Kau dahulu pendiam, Sedayu. Sekarang
kau pandai juga memancing persoalan."
Agung Sedayu pun tersenyum pula. Katanya, "Aku tidak
berhasrat memancing persoalan, Paman. Tetapi aku benarbenar
ingin mengetahui, terutama latar belakang dari sikap
Ranajaya." Sejenak Widura merenung. Namun kemudian ia berkata,
"Ada beberapa orang perwira yang tidak senang sekali melihat
Mataram berkembang. Aku tidak tahu pasti apakah latar
belakangnya. Bahkan mereka mulai mengarah pada suatu
anggapan, bahwa Mataram akan membuat dirinya kuat untuk
bersaing dengan Pajang."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah," desis Agung Sedayu, "apakah pikiran itu benar?"
Widura memandang Agung Sedayu sejenak, lalu, "Kaulah
yang datang dari Mataram. Kau tentu dapat mengatakan,
apakah hal itu benar atau tidak benar."
Kini Agung Sedayu-lah yang menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi kemudian ia berkata, "Aku tidak terlampau lama di
Mataram, Paman. Dan aku tidak mendapat kesempatan
banyak." "Apa yang kau lihat di Mataram" Nanti kita sama-sama
mengambil kesimpulan."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
diceriterakannya hal-hal yang penting saja, yang telah terjadi.
Bahkan ia pun mengatakan pesan Raden Sutawijaya kepada
Untara dan para perwira Pajang.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Pasti ada salah paham. Tetapi aku menyangka, ada orang
yang dengan sengaja meniup-niupkan kesalah-pahaman itu.
Beberapa perwira Pajang sendiri telah termakan oleh
hembusan-hembusan ceritera tentang persiapan Mataram."
"Apa yang dapat dipersiapkan saat ini, Paman" Mataram
baru sibuk menundukkan alam. Kalau Mataram membangun
kekuatan, maka yang menjadi sasarannya adalah alam itu
sendiri. Hutan yang lebat dan daerah rawa-rawa."
"Memang masuk akal. Tetapi kau harus dapat
menghubungkan peristiwa yang terjadi di Alas Mentaok itu
sendiri dengan hal-hal yang terjadi di istana Pajang. Usaha
melawan pembukaan Alas Mentaok di medan dan usahausaha
untuk menentangnya di istana. Tidak mustahil, bahwa
ada hubungan di antara mereka. Yang aku tidak tahu, apakah
sikap itu ditujukan kepada Mataram atau justru Pajang."
"Maksud Paman?"
"Mereka yang menentang langsung, agaknya sudah jelas,
bahwa mereka tidak menghendaki Ki Gede Pemanahan
membuka hutan itu. Tetapi mereka yang dengan desas-desus
mengadu domba antara Mataram dan Pajang, masih perlu
diketahui latar belakangnya. Apakah mereka menghendaki
usaha membuka Mataram gagal seperti hantu-hantu yang kau
katakan itu, atau justru menghendaki Pajang runtuh.
Agung Sedayu mendengarkan keterangan pamannya
dengan saksama. Memang ada beberapa kemungkinan yang
dapat terjadi. Baik di Alas Mentaok sendiri, maupun di dalam
Istana Pajang. Namun demikian, Agung Sedayu bertanya,
"Paman, kalau ada usaha untuk meruntuhkan Pajang oleh
orang-orang dari lingkungan istana sendiri, apakah
pamrihnya?" Widura mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya
Agung Sedayu, yang dengan penuh minat mendengarkan
keterangannya. Lalu katanya, "Pajang memang belum mantap
benar sekarang ini. Dengan demikian, maka ada saja adipatiadipati
yang tidak menginginkan Pajang menjadi kuat. Kalau
Pajang runtuh, siapakah di antara para adipati yang kuat, akan
dapat menyatakan dirinya sebagai penguasa atas tanah ini."
"Tetapi bukankah dengan demikian, akan berarti
pertumpahan darah?" "Ya Sedayu. Mungkin kau dan mungkin juga aku, meskipun
aku bekas seorang prajurit, tidak menginginkan pertumpahan
darah itu terjadi. Tetapi mungkin ada juga orang yang merasa
berbahagia hidup di tengah-tengah pergolakan dan
pertumpahan darah. Mungkin ada orang yang merasa
berbesar hati, bahkan merupakan kebanggaan apabila
mendapat kesempatan berdiri di atas bangkai-bangkai.
Semakin tinggi timbunan bangkai di bawah kakinya, ia akan
merasa semakin berbangga."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pengetahuannya tentang Kerajaan Pajang dan kekuasaan
yang ada padanya sangat kecil. Bahkan yang pernah
dilihatnya adalah hanya sejengkal kecil dari Pajang
seluruhnya. Karena itu, dengan susah payah ia mencoba
untuk membayangkan keterangan pamannya. Daerah pasisir
dari Barat menjelujur ke Timur. Daerah-daerah yang diperintah
oleh adipati dan tanah-tanah perdikan yang besar.
Apabila ikatan dari sekumpulan pemerintahan itu lepas,
maka negara ini akan menjadi porak poranda.
"Tetapi," tiba-tiba Widura berkata, "jangan kau pikirkan
kata-kataku. Mungkin aku adalah seorang pemimpin buruk
yang paling baik di seluruh Pajang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya
memang seperti seseorang yang baru saja terbangun dari
sebuah mimpi yang buruk yang dibuat oleh pamannya,
sehingga tanpa disadarinya, Agung Sedayu mengusap
matanya dengan lengan bajunya.
Sesaat mereka tidak berbicara. Tetapi angan-angan
merekalah yang hilir-mudik tidak menentu, menjelajahi daerah
yang tidak dapat mereka kenal dengan baik.
"Ah, sudahlah," berkata Widura kemudian, "lupakan
semuanya. Kita berbicara tentang Untara dan bakal isterinya."
Agung Sedayu tersenyum. "Kau wajib mengenalnya baik-baik," berkata Widura.
Kemudian diceriterakannya serba sedikit tentang gadis itu
sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan di
hadapan mereka. Samar-samar Agung Sedayu dapat membayangkan,
bagaimanakah sifat dari gadis itu. Sama sekali tidak seperti
Sekar Mirah yang manja, keras hati, dan mempunyai harga
diri yang agak berlebih-lebihan. Juga tidak seperti Pandan
Wangi, yang menyerahkan dirinya kepada masa depan bagi
tanah perdikannya. Seorang anak perempuan yang bakti
kepada ayahnya, sepeninggal ibunya. Dan seorang gadis
yang berjiwa prajurit. Bakal isteri Untara itu adalah seorang gadis pendiam. Tidak
dapat bermain pedang dan olah kanuragan seperti Pandan
Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi ia pantas menjadi isteri
seorang perwira, karena sifat-sifatnya. Ia dapat membuat
Untara menjadi seorang senapati besar dengan kelembutan
hatinya. Ia dapat membuat Untara melepaskan semua
kepentingan pribadinya untuk mengabdi kepada tugasnya
sebagai seorang senapati.
"Setelah Untara selesai, kau akan segera menyusul," desis
Widura. "Ah, masih terlampau cepat. Bukankah saudara sekandung
tidak boleh kawin di dalam tahun yang sama?"
"Ya. Tetapi tahun ini hampir habis. Bulan depan adalah
bulan terakhir dari tahun ini. Kemudian tiga bulan kemudian
adalah bulan yang baik pula bagi perkawinan."
"Tidak, Paman. Tidak tiga bulan lagi. Mungkin tiga tahun
atau barangkali lima tahun."
"Mungkin kau tidak akan terpengaruh. Tetapi lain bagi
Sekar Mirah." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
kepalanya terangguk-angguk.
Tetapi sejenak kemudian, tiba-tiba saja Agung Sedayu
berkata, "Ah, aku akan minta diri, Paman. Aku akan kembali
kepada Kakang Untara. Mudah-mudahan aku dapat
menemukan alasan yang baik untuk kembali ke Sangkal
Putung. Mudah-mudahan Kakang Untara dapat mengerti, dan
mudah-mudahan tidak menimbulkan masalah apa pun juga."
"Kenapa begitu tergesa-gesa?"
"Jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak
terlampau jauh. Aku akan dapat hilir-mudik setiap hari."
"Kakakmu tentu akan bertanya, kenapa kau tidak pulang
saja ke Jati Anom, hanya apabila perlu, baru kau pergi ke
Sangkal Putung." "Ah, Paman," sahut Agung Sedayu.
Pamannya hanya tersenyum. Tetapi sorot matanya
memancarkan pengertian sepenuhnya atas keadaan Agung
Sedayu. Kemudian setelah minta diri kepada seluruh keluarga
pamannya, Agung Sedayu pun kembali kepada kakaknya.
Tetapi ia masih tetap dibebani oleh kegelisahan. Bagaimana ia
akan minta diri nanti, dan apakah alasan yang sebaik-baiknya
selain harapan, bahwa kakaknya akan dapat mengerti akan
keadaannya. Dengan demikian, maka di sepanjang jalan kepala Agung
Sedayu selalu tertunduk. Kudanya pun hanya berjalan
perlahan-lahan, tidak lebih cepat dari langkah seorang yang
berjalan kaki. Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada gurunya.
Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berdesis kepada diri sendiri, "Apakah aku dapat
mempergunakan guru sebagai alasan untuk kembali ke
Sangkal Putung" Mungkin aku dapat berkata, bahwa guru
mengharap aku malam ini menghadap. Ada sesuatu yang
penting untuk dibicarakan."
Agung Sedayu menarik nafas. Memang mungkin. Tetapi ia
masih belum tahu pasti tanggapan Untara atas ha1 itu.
Tetapi Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika ia
melihat beberapa orang prajurit yang berdiri di tepi jalan. Di
antara mereka adalah perwira yang bernama Ranajaya, dan
yang membuatnya semakin berdebar-debar adalah di antara
para prajurit itu terdapat prajurit yang menyerangnya di saat ia
datang. Prajurit yang akan menghinakannya dengan
menginjak ikat kepalanya.
"Ah, apa saja yang akan mereka lakukan?" Agung Sedayu
berdesah di dalam dirinya. "Kenapa ada juga perwira Pajang
yang memiliki sifat-sifat pengecut itu?"
Tetapi Agung Sedayu tidak berhenti. Kudanya melangkah
terus perlahan-lahan, semakin lama semakin dekat.
Beberapa langkah di hadapan perwira itu. Agung Sedayu
menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan
dilakukannya. Mungkin dengan tiba-tiba, prajurit itu berbuat
sesuatu yang tidak disangka-sankanya. Tetapi mungkin juga
mereka menghentikannya dan mengajaknya bertengkar.
Ternyata perwira itu benar-benar telah menghentikannya.
Dengan suara datar ia berkata, "Berhentilah dulu, Agung
Sedayu." Agung Sedayu berhenti tepat di hadapannya. Tetapi ia
tidak turun dari kudanya.
"Aku akan bertanya serba sedikit," berkata perwira itu.
"Kalau aku dapat menjawab, aku akan menjawab," sahut
Agung Sedayu. Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Jangan
terlampau sombong. Yang menjadi perwira atasanku adalah
Untara. Bukan kau. Jadi kau tidak dapat berbuat seperti
Untara kepadaku. Ia berhak mencela aku. Marah kepadaku
dan sesuka hatinya. Tetapi kau tidak." Perwira itu berhenti
sejenak, lalu, "Turunlah."
"Aku memang bukan Kakang Untara," jawab Agung
Sedayu, "tetapi aku juga bukan prajurit bawahanmu, sehingga
kau tidak berhak memerintah aku."
Wajah perwira itu menjadi merah. Tetapi ia masih menahan
perasaannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu bukan saja adik
Untara, tetapi ia sendiri mampu berbuat seperti Untara.
Ternyata prajuritnya sama sekali tidak mampu berbuat apaapa,
meskipun Agung Sedayu melawannya sambil memegang
kendali kuda dengan satu tangannya.
"Kau memang terlampau sombong. Tetapi baiklah. Aku
dapat berbicara dengan seseorang yang tetap duduk di atas
punggung kuda seperti Sutawijaya. Kau kenal Sutawijaya
bukan" Ia adalah salah satu contoh dari kesombongan yang
tiada taranya. Ia tidak pernah turun dari kudanya dengan siapa
pun ia berbicara, meskipun dengan orang yang lebih tua
sekalipun. Tetapi ia adalah putera angkat Sultan Pajang."
Agung Sedayu hanya dapat menahan perasaannya yang
mulai tergelitik oleh kata-kata perwira itu. Tetapi ia masih tetap
duduk di atas punggung kudanya.
"Agung Sedayu," berkata perwira itu kemudian, "aku minta
kau menjawab dengan jujur. Apakah Sutawijaya benar-benar
sudah menyusun sebuah pasukan yang kuat dan siap untuk
berperang?" Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya
perwira itu sejenak, lalu, "Siapakah yang mengatakannya?"
"Aku bertanya kepadamu. Bukankah kau baru saja datang
dari Mataram" Kau pasti mendengar apa yang sudah terjadi di
daerah yang baru dibuka itu."
"Aku hanya lewat."
"Meskipun demikian, kau pasti sudah mendengar apa yang
telah terjadi. Kalau yang lewat itu seorang pedagang ternak
atau pedagang emas, mungkin mereka tidak akan tertarik
kepada persoalan keprajuritan. Tetapi yang lewat adalah
Agung Sedayu, adik Untara yang menjadi senapati pasukan
Pajang di daerah Selatan, daerah yang langsung menjadi jalur
penghubung antara Pajang dan Mataram, pasti
memperhatikan masalah-masalah serupa itu.
Agung Sedayu merenung sejenak. Namun tiba-tiba ia
merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi di Mataram, untuk menghindari salah
paham. Dengan demikian, ia sudah membantu serba sedikit
usaha pendekatan antara ayah dan anak. Antara Sultan
Pajang dan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka tiba-tiba saja
atas kehendaknya sendiri, Agung Sedayu turun dari kudanya.
Perwira Pajang yang bernama Ranajaya itu justru surut
selangkah. Dengan penuh kecurigaan ia memandang Agung
Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya.
"Apa yang kau kehendaki?" bertanya Ranajaya.
"Bukankah aku harus menjawab pertanyaanmu?" sahut
Agung Sedayu. "Dan aku memang akan menjawab
pertanyaan itu." "O," Ranajaya maju pula selangkah. Namun ia masih tetap
berhati-hati. Agung Sedayu mengeluh di dalam hatinya. Seakan-akan
Ranajaya memandangnya sebagai orang yang paling
sombong dan licik. Namun Agung Sedayu mencoba untuk
mengesampingkannya. Ia ingin membantu usaha pendekatan
yang selalu dicoba oleh Sutawijaya
"Menurut penglihatanku," berkata Agung Sedayu, "Mataram
benar-benar sedang memusatkan perhatiannya pada
pembukaan hutan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda
persiapan prajurit, dan apalagi perlawanan terhadap pihak
mana pun juga. Aku memang singgah beberapa saat di
Mataram. Tetapi yang aku lihat adalah pengerahan tenaga


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk memperluas tanah garapan. Hanya itu. Dan mereka
terdiri dari petani-petani yang hanya mengenal kapak dan
parang untuk menebang kayu. Bukan pedang dan tombak.
Perwira yang bernama Ranajaya itu mengerutkan
keningnya. Tetapi tampak pada sorot matanya, bahwa ia tidak
percaya dengan keterangan Agung Sedayu itu. Bahkan
kemudian ia berkata, "Agung Sedayu, ingat, kakakmulah yang
akan mendapat tugas untuk berhadapan langsung dengan
Mataram. Kau harus memberikan keterangan yana benar.
Mungkin sampai saat ini, kakakmu masih belum menaruh
curiga atasmu. Tetapi apabila kau tidak mau memberikan
keterangan yang sebenarnya, maka kau dapat dianggap telah
berkhianat kepada Pajang. Dan kau tentu sudah kenal kepada
Untara. Meskipun kau adiknya, kau akan dapat digantungnya
di regol padukuhan Jati Anom. Di gerbang kampung
halamanmu sendiri." Agung Sedayu semakin tidak senang mendengar katakatanya.
Tetapi ia tidak mau mempertajam persoalan Pajang
dan Mataram. Maka katanya, "Sudahlah. Aku tidak dapat
memberikan keterangan lebih banyak dari yang aku ketahui.
Aku memang tidak akan mengatakan yang tidak sebenarnya.
Justru karena itu, aku tidak mau mengarang sebuah ceritera
untuk menyenangkan hatimu, seolah-olah bayanganmu
tentang Mataram yang di pagari dengan pasukan dan ujung
senjata itu, benar-benar telah terjadi."
Ranajaya membelalakkan matanya sambil membentak,
"Ingat, dengan siapa kau berbicara."
"Dan ingat," sahut Agung Sedayu, "aku bukan
bawahanmu." Ranajaya menggerelakkan giginya. Geramnya, "Kau salah
seorang telik sandi dari Mataram. Kau mendapat, tugas untuk
mengetahui kekuatan Pajang di Jati Anom, justru karena kau
adik Untara. Agaknya Untara kini benar-benar telah lengah,
dan membiarkan kau berkeliaran di sini."
Agung Sedayu menahan perasaannya yang bergolak
dengan susah payah. Ternyata perwira yang bernama
Ranajaya ini justru bukan seorang prajurit yang baik. Ia selalu
dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Namun mungkin, ia
memang mendapat gambaran yang salah tentang Mataram.
Karena itu, Agung Sedayu berkata, "Aku kira kau memang
mendapat keterangan yang tidak sebenarnya sebelumnya.
Coba katakan, siapakah yang sudah memberikan keterangan
kepadamu tentang Mataram seperti yang kau gambarkan itu?"
"Jangan mencoba bersembunyi lagi. Sebentar lagi aku
akan dapat membuktikan, bahwa kau memang seorang telik
sandi. Dan Untara sendirilah yang akan menangkapmu dan
menggantungmu di padukuhanmu sendiri."
"Apakah kau pernah melihat Alas Mentaok?"
Perwira itu tidak segera menyahut.
"Kalau belum, apakah kau bersedia sekali-sekali pergi ke
Alas Mentaok" Aku bersedia menunjukkan jalan. Kau dapat
mengenakan pakaian keprajuritanmu tanpa diganggu oleh
lalat sekalipun. Aku akan menanggung keselamatanmu. Kau
akan melihat, bahwa di Mataram tidak ada apa-apa sama
sekali. Tidak ada persiapan, tidak ada prajurit, dan tidak ada
rasa permusuhan dengan siapa pun juga. Mataram sampai
saat ini berjalan maju dengan wajar. Bahkan dengan banyak
rintangan. Apakah dengan demikian Mataram sempat
membuat persoalan dengan kekuasaan yang ada di
sekitarnya, apalagi kekuasaan Pajang."
Ranajaya mengerutkan keningnya. Ia mulai menyadari
bahwa Agung Sedayu bukan anak-anak yang takut dengan
bentakan-bentakan kasar. Agung Sedayu benar adik Untara,
yang memiliki banyak kesamaan, tetapi juga banyak kelainan.
Karena itu, Ranajaya tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih
sempat mengancam, "Agung Sedayu, kau harus bersikap baik
di sini. Jangan menimbulkan kecurigaan dan tingkah laku yang
dapat menyeretmu ke tiang gantungan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama
sekali tidak menjawab. Sejenak ia memandang wajah
Ranajaya, yang seakan-akan membayangkan kebencian yang
sangat dalam terhadap Mataram dan pemimpin-pemimpinnya.
"Aku kira benar juga dugaan-dugaan, bahwa ada satu dua
orang yang telah berbuat curang di dalam istana. Mungkin
saat-saat ini mereka baru berhasil menghasut para perwira
dan para prajurit. Mungkin lain kali senapati yang lebih tinggi
dan kemudian panglima prajurit, pepatih Pajang dan semua
kadang sentana. Akhirnya Sultan Hadiwijaya sendiri akan
mempercayainya, bahwa Mataram benar-benar akan
memberontak terhadap kekuasaan Pajang," berkata Agung
Sedayu di dalam hatinya. Agung Sedayu seakan-akan tersadar, ketika ia mendengar
Ranajaya berkata, "Pergilah. Aku tidak memerlukan kau lagi
hari ini." Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Sikap perwira itu
benar-benar telah memuakkan. Tetapi ia masih berusaha
untuk menahan perasaannya dan menjawab,
"Sekehendakkulah. Apakah aku akan pergi, apakah aku akan
tetap di sini. Aku berada di kampung halamanku sendiri. Sejak
kecil aku bermain-main di sepanjang jalan ini tanpa ada yang
mengganggu gugat. Sekarang aku dapat berjalan menyusur
jalan ini, ke sana ke mari sehari sepuluh kali."
"Gila. Kau adalah orang yang lebih sombong lagi dari
Sutawijaya." "Aku tidak peduli. Apakah aku melampaui kesombongan
Sutawijaya, dan menyamai kesombonganmu atau tidak, itu
adalah persoalanku."
"Diam!" bentak perwira itu. "Jangan berani mempermainkan
seorang perwira Pajang. Kau akan menyesal. Seandainya aku
tidak mengenal kau sebagai adik Untara, kau sudah menjadi
permainan anak buahku di sini."
"Bukan begitu kebiasaan seorang prajurit. Seorang prajurit
adalah seorang yang bersikap jantan. Apakah kau mengerti
arti dari sikap jantan itu?"
Tubuh perwira itu menggigil, apalagi ketika Agung Sedayu
berkata, "Aku akan mengatakan kepada Kakang Untara,
apakah yang sebaiknya aku lakukan menghadapi seorang
perwira macam kau ini. Dan aku memang tidak pernah
membayangkan, bahwa ada seorang perwira Pajang yang
mempunyai sifat semacam ini."
Tetapi Agung Sedayu tidak menunggu jawaban. Ia pun
segera meloncat ke punggung kudanya dan memacu kudanya
meninggalkan perwira yang bernama Ranajaya itu.
Ranajaya pun menjadi ragu-ragu. Kemarahan yang
memuncak di kepalanya hampir melepaskan segala macam
pertimbangannya. Untunglah, bahwa ia masih tetap sadar,
bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara, sehingga masih
ada juga keseganannya untuk berbuat sesuatu.
"Tetapi lepas dari daerah Jati Anom, aku dapat berbuat apa
pun juga di luar pengetahuan Untara. Kalau aku berbuat
jantan seperti yang dikatakan Agung Sedayu, tidak ada
seorang pun yang akan menuntut aku," berkata perwira itu di
dalam hatinya. Lalu sambil membusungkan dadanya ia
berkata, "Tetapi seandainya Untara marah juga, aku dapat
berhubungan dengan Kakang Tumenggung, yang mempunyai
pengaruh tidak kalah dari Untara di istana."
Perwira itu menggeretakkan giginya. Tetapi tanpa berkata
apa pun juga, ia pun segera pergi meninggalkan tempat itu
diikuti oleh beberapa orang prajuritnya.
"Anak itu memang keras kepala," desis seorang prajurit, "ia
tidak saja berani menentang seorang prajurit, tetapi juga
seorang perwira." "Ia merasa mendapat perlindungan dari kakaknya, seorang
senapati," jawab yang lain.
"Itu akan membuatnya keras kepala."
Tetapi mereka pun kemudian terdiam, apabila sekilas
melonjak di dalam hati mereka, kenyataan yang sebenarnya
mereka hadapi tentang Agung sedayu itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi semakin dekat
dengan rumahnya. Selain debar jantungnya yang belum reda,
ia sudah mulai dirayapi kegelisahan yang lain, yang tanpa
disengaja telah dilupakannya untuk sejenak. Kegelisahan
menjelang sore hari, untuk minta diri kepada kakaknya.
Ternyata kedatangannya memang sudah ditunggu oleh
Untara dan beberapa orang perwira yang lain. Setelah duduk
sebentar, maka mereka pun kemudian mulai menikmati
makan siang yang sudah disediakan.
Namun selama tangannya menyuapi mulutnya, Agung
Sedayu masih saja digelisahkan oleh keharusannya minta diri.
Sedangkan matahari semakin lama semakin bergeser turun ke
Barat. Demikianlah, setelah selesai makan dan setelah mereka
berbicara serba sedikit, mulailah Agung Sedayu mengatur
hatinya, untuk menyampaikan niatnya, bahwa ia akan kembali
ke Sangkal Putung sore itu.
Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar kembali, ketika
Untara berkata, "Bilikmu semasa anak-anak masih tersedia
buatmu, Sedayu. Meskipun selama ini bilik itu kami
pergunakan, tetapi malam ini dan seterusnya akan dapat kau
pakai lagi, seperti pada masa kecilmu. Bedanya, dahulu kau
menempati bilik itu bersama ibu, tetapi sekarang kau harus
berani tidur sendiri."
Para perwira yang mendengar kelakar Untara itu, tertawa.
Agaknya mereka telah mendengar ceritera tentang Agung
Sedayu semasa menjelang remaja. Bahwa ia adalah seorang
penakut yang kadang-kadang menjengkelkan sekali. Bukan
saja karena ia tidak berani menghadapi kawan-kawannya
yang nakal, tetapi ia adalah anak yang takut sekali kepada
gelap, hantu, dan semacamnya.
Agung Sedayu sendiri tersenyum mendengarnya, meskipun
debar jantungnya menjadi semakin cepat.
"Tetapi aku tidak dapat diam sampai senja," tiba-tiba saja
timbul pikiran di dalam dirinya, "sebaiknya aku berterus terang.
Apa pun yang akan dikatakan oleh Kakang Untara
terhadapku. Mudah-mudahan Kakang Untara tidak
menghubungkan masalah ini dengan kedatanganku dari
Mataram. Seolah-olah aku tidak mau lagi berada di lingkungan
prajurit Pajang, karena aku mempunyai ikatan tertentu dengan
Mataram. Jika demikian maka Ranajaya akan mendapat
kesempatan meniup-niupkan pendapatnya yang salah itu."
Karena itu, satu-satunya alasan yang akan dikemukakan
oleh Agung Sedayu adalah gurunya. Gurunya minta ia kembali
ke Sangkal Pulung sore ini, karena ada persoalan yang akan
dibicarakan mengenai dirinya dalam hubungan guru dan
murid. "Juga mudah-mudahan tidak ada salah paham pada
Kakang Untara. Kalau ia menganggap Guru pun berpihak
pada Mataram, maka aku akan mendapat kesulitan," katanya
pula didalam hatinya. Karena itu, setelah suara tawa para perwira mereda, Agung
Sedayu mencoba untuk mulai berbicara, mumpung Ranajaya
tidak ada di dalam mangan itu. "Kakang, sebenarnya aku
senang sekali bermalam di rumah ini. Rumahku sendiri.
Apalagi di dalam bilikku semasa kanak-kanak. Tetapi?","
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.
"Tetapi, kenapa?" Untara bertanya.
"Bukan maksudku tidak menghargai Kakang Untara dan
para perwira. Tetapi sebenarnya, bahwa sejak aku berangkat,
aku sudah mendapat pesan, bahwa senja ini aku harus
kembali ke Sangkal Putung."
"Kembali ke Sangkal Putung?" Untara mengerutkan
keningnya. "Ya, Kakang, tidak ada apa-apa. Tetapi demikianlah pesan
Guru. Besok aku akan segera kembali lagi ke mari, dan aku
akan tinggal di rumah ini. Aku senang sekali mendapat banyak
kawan di sini, Kakang Untara dan para perwira Pajang."
Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak
segera mengatakan sesuatu.
Agung Sedayu pun menjadi bimbang. Bahkan kepalanya
menjadi tertunduk dalam-dalam. Sekilas ia mencoba untuk
menatap wajah-wajah para perwira yang duduk di sekitarnya.
Tetapi ia tidak tahu, kesan apakah yang membayang di wajah
mereka. Namun dengan demikian, maka dada Agung Sedayu pun
menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia menunggu
jawaban kakaknya, tetapi rasa-rasanya sudah berhari-hari
kakaknya itu diam saja memandangnya dengan tajam.
Ruangan itu menjadi hening, seakan-akan tidak
berpenghuni. Hanya tarikan nafas yang gelisah terdengar
susul-menyusul. Betapa hati Agung Sedayu menggelepar.
Tetapi ia masih tetap harus menunggu.
Namun Agung Sedayu yang tertunduk dalam-dalam itu
terperanjat, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara Untara.
Justru suara tertawanya. Karena itu dengan serta-merta ia
mengangkat wajahnya, dan dengan penuh pertanyaan
ditatapnya wajah kakaknya yang tampak aneh baginya.
Sejenak kemudian, setelah suara tertawanya mereda,
barulah Untara menjawab, "Kau berbohong, Sedayu."
Berbagai perasaan bercampur baur di dada Agung Serayu.
Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati
kakaknya. Karena itu, maka tergagap ia menjawab, "Aku tidak
berbohong, Kakang." "Kau tentu berbohong. Kau katakan, bahwa gurumu
memanggilmu sore ini?"
"Ya, ya, ya Kakang."
Tetapi Untara tertawa pula.
Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya
ia duduk di atas tikar yang membara. Ia bergeser sejengkal
surut. "Jangan kau sangka aku tidak tahu," berkata Untara,
"bukankah baru tadi malam kau sampai di Sangkal Putung"
Dan karena kau segan kepada sanak kadang di Jati Anom,
kau memaksa diri untuk datang menemui aku, yang selama ini
kau anggap sebagai ganti ayah dan ibu?"
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi kepalanya telah
tertunduk semakin dalam. Namun di dalam hatinya ia berkata,
"Bukan hanya karena keseganan itu. Aku ingin segera
mendapat kesan tentang Kakang, bagaimana sikap Kakang
terhadap Mataram." "Agung Sedayu," berkata Untara kemudian. Karena suara


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untara menjadi bersungguh-sungguh, maka Agung Sedayu
pun mengangkat wajahnya. "Kalau dahulu," Untara
meneruskan, " mungkin aku akan bertanya, kenapa gurumu
memanggil kau sore ini. Mungkin aku tidak mempercayaimu
dan memaksamu tinggal di sini, karena aku adalah kakakmu.
Tetapi sekarang aku bersikap lain. Aku sekarang tahu, kalau
kau sekedar berbohong, karena kau malu mengatakan alasan
yang sebenarnya. Namun seandainya gurumu sekalipun yang
menyuruh kau kembali sore ini, kau pasti tidak akan menjadi
sangat gelisah, seandainya kau tidak dapat memenuhinya,
karena kau berharap, bahwa gurumu mengerti kesulitanmu.
Tetapi sekarang pasti bukan gurumu yang mengharap kau
cepat kembali." Agung Sedayu menjadi bingung.
"Ayo, berkatalah terus terang. Jangan mencoba terbohong."
Agung Sedayu justru menjadi semakin membeku. Dan ia
menjadi bingung ketika, Untara sekali lagi tertawa berbahakbahak,
sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa
orang perwira yang hadir tersenyum geli melihat sikap Untara
dan melihat Agung Sedayu yang kebingungan. Namun
mereka sendiri tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang
dipikirkan oleh Untara. "Agung Sedayu," berkata Untara kemudian setelah suara
tertawanya mereda, "kau tahu, dan barangkali kau mendengar
dari Paman Widura lebih banyak lagi tentang aku dan masamasa
menjelang perkawinanku" Nah, baru setelah aku akan
kawin aku tahu, bahwa kau berbohong. Bukankah begitu"
Sama sekali bukan Kiai Gringsing yang memaksamu pulang,
tetapi pasti Sekar Mirah. Ayo, jangan ingkar. Aku tahu pasti."
Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia mendengar
kakaknya berkata di sela-sela suara tertawanya, "Aku akan
menyerah sekarang. Mungkin dahulu aku akan berkeras.
Tetapi sekarang aku tahu, bahwa keharusan yang paling
ditaati, adalah keharusan serupa itu. Dan aku sama sekali
tidak berkeberatan, karena kau pun pasti akan memaksa,
seandainya aku minta kau tinggal di sini malam ini. Kau pasti
lebih memberatkan pesan Sekar Mirah dari pesan siapa pun,
termasuk gurumu sendiri."
Agung Sedayu membeku sejenak. Namun tiba-tiba terasa
sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Suatu sorongan
perasaan yang tidak terduga-duga, seakan-akan ia telah
terbanting dalam suatu keadaan yang sangat asing. Ia tidak
menyangka sama sekali, bahwa kakaknya akan bersikap
demikian lunak dan lembut menghadapi keadaannya.
Sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam sambil
memandangi wajah Untara yang masih saja dibayangi oleh
suara tertawanya. "Ha, kau akan mungkir?"
Tetapi Agung Sedayu kini sadar, bahwa kakaknya sekedar
berkelakar. Kakaknya ternyata tidak berbuat apa-apa seperti
yang dibayangkannya. Kakaknya tidak membentaknya dan
tidak memaksanya dengan kekerasan, karena perasaannya
tersinggung. Kakaknya ternyata bersikap lain sekali dengan
bayangan-bayangan yang tampak di angan-angannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun tersenyum pula,
meskipun kepalanya tertunduk dalam-dalam, tetapi
ketegangan yang melonjak di hatinya kini telah lenyap.
"Aku mendapat pesan Guru," berkata Agung Sedayu
hampir tidak terdengar. "Bohong. Kau sekarang pandai berbohong. Katakan saja
terus terang, bahwa Sekar Mirah berpesan dengan
bersungguh-sungguh, bahwa kau harus segera kembali ke
Sangkal Putung, karena, kau baru datang semalam." Untara
masih tertawa, lalu, "Baiklah. Sampaikan salamku kepada
Sekar Mirah, kepada Swandaru dan Ki Demang berdua.
Apalagi kepada gurumu dan Ki Sumangkar yang masih tinggal
di sana. Aku minta maaf, bahwa sampai kini aku masih belum
sempat mengunjunginya karena bermacam-macam
kesibukan." Dan seorang perwira menyahut, "Yang paling sibuk adalah
persoalannya dengan Kakang Widura."
"Ah," Untara berdesah. Tetapi yang ada di ruang itu hampir
berbareng tertawa, kecuali seorang perwira yang masih berdiri
di luar pintu, Ranajaya. Demikianlah, ternyata Agung Sedayu menemukan Untara
yang sudah agak lama ditinggalkannya bertualang itu, lain
sama sekali dengan Untara yang dibayangkannya. Ternyata
kakaknya sama sekali tidak berkeberatan, apabila sore itu ia
kembali ke Sangkal Putung. Bahkan kakaknya dapat menebak
alasannya yang sebenarnya, kenapa ia menjadi gelisah ketika
matahari menjadi semakin rendah.
"Jadi, Kakang tidak berkeberatan, apabila aku kembali ke
Sangkal Putung?" tiba-tiba hampir di luar sadarnya ia
bertanya. "Jadi, apakah aku harus berkeberatan?" jawab Untara
sambil tersenyum. "Tentu tidak. Memang aku mengharap Kakang tidak
berkeberatan." "Aku mengerti kepentinganmu, Sedayu. Karena itu, aku
tidak berkeberatan sama sekali. Kembalilah ke Sangkal
Putung. Dan kembalilah kemari, apabila kau sudah
mempunyai waktu. Ajaklah mereka kemari. Kami akan
menerima dengan senang hati."
"Siapakah mereka itu?" bertanya seorang perwira yang
sudah setengah umur sambil tersenyum.
Untara pun tersenyum pula. Jawabnya, "Kelak kalian akan
tahu." Demikianlah, Agung Sedayu pun segera minta diri. Ia
berjanji dalam waktu dekat, bahkan besok, ia pasti sudah ada
di Jati Anom kembali. Jarak antara Jati Anom Sangkal Putung
tidak terlampau jauh. Dan jalan di antara kedua daerah ini
sekarang sudah aman. "Dahulu, di dalam kemelutnya api peperangan, Agung
Sedayu berani pergi ke Sangkal Putung seorang diri dan
apalagi di malam hari," Untara masih bergurau juga.
Dalam pada itu, Ranajaya yang mendengar bahwa Agung
Sedayu akan kembali ke Sangkal Putung, telah
mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan itu.
Tiba-tiba saja timbul rencananya untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, maka ia pun justru meninggalkan pintu pringgitan
dan dengan tergesa-gesa pergi ke kebun belakang.
Sejenak kemudian, seekor kuda telah berderap melalui
pintu butulan meninggalkan halaman rumah itu. Di atas
punggung kuda itu adalah perwira prajurit Pajang yang
bernama Ranajaya. Di tikungan ketika ia menjumpai sekelompok prajurit
bawahannya, ia pun membisikkan sesuatu. Tiga orang di
antaranya tergesa-gesa meninggalkan tikungan itu dan berlariKang
Zusi - http://kangzusi.com/
lari mengambil seekor kuda bagi masing-masing di pondok
mereka. Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang akan mereka
lakukan, selain prajurit-prajurit itu sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayu yang sudah minta diri itu
pun, kemudian keluar dari rumahnya dan turun ke halaman.
Sambil sekali lagi minta diri, ia pun mengambil kudanya dan
segera meninggalkan halaman itu dengan kesan yang terasa
asing di hatinya. Asing karena tanggapan yang diterima sama
sekali lain dari bayangan yang selama ini menggelisahkannya.
Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di ujung lorong, di
mulut padukuhannya, Juga, seorang prajurit muda,
menghentikannya. Tangannya melambai-lambai, sedangkan
wajahnya tampak berkerut-merut.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ada kesan yang
aneh pada anak muda itu, sehingga karena itu, maka Agung
Sedayu pun menghentikan kudanya pula.
"Agung Sedayu," berkata Juga, "agaknya ada sesuatu yang
tidak wajar. Prajurit yang kau kalahkan itu ternyata mempunyai
rencananya tersendiri."
"Apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Agaknya ia ingin melibatkan seorang perwira di dalam
persoalan, yang sebenarnya dapat dianggapnya selesai."
"Maksudmu?" "Belum lama berselang, Ranajaya telah mendahului keluar
dari padukuhan ini, yang kemudian disusul oleh ketiga orang
prajurit bawahannya, yang salah seorang di antara mereka
adalah yang telah kau kalahkan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya Juga
tidak mengerti seluruh persoalannya dengan Ranajaya.
Namun hal itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebardebar.
Karena itu, sejenak Agung Sedayu berpikir. Tetapi ia tidak
menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk menentukan
sikap. "Aku akan kembali kepada Kakang Untara," berkata Agung
Sedayu, "kalau Kakang Untara tidak berkeberatan, aku akan
melayaninya. Tetapi dengan demikian tidak ada persoalan
antara aku dan Kakang Untara. Kalau Kakang Untara
berkeberatan, aku akan mengambil jalan lain ke Sangkal
Putung, meskipun agak jauh."
"Aku rasa itu adalah jalan yang sebaik-baiknya," sahut
Juga. Agung Sedayu pun segera memutar kudanya dan berlari
kembali ke rumahnya yang dipergunakan sebagai tempat
tinggal para perwira itu.
Untara yang masih ada di pendapa terkejut, melihat
adiknya kembali, sehingga karena itu, dengan tergesa-gesa ia
menyongsongnya. Sejenak, Agung Sedayu ragu-ragu, karena di sebelah
kakaknya ada beberapa orang perwira yang lain.
"Katakanlah," berkata kakaknya setelah Agung Sedayu
turun dari kudanya. Maka dengan singkat Agung Sedayu pun mengatakan
persoalannya, seperti yang dikatakan oleh Juga.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
kepada para perwira, "Marilah kita menjadi saksi. Pergilah
dahulu Agung Sedayu. Kami akan menyusul. Layani
kehendaknya. Kau tidak usah cemas, bahwa ia akan
menyalah-gunakan kekuasaannya sebagai seorang prajurit,
karena aku sudah mengetahui persoalannya. Aku akan
menyertakan seorang saksi sebelum aku sampai di tempat itu.
Supaya mereka melakukan rencana yang sebenarnya, biarlah
seorang prajurit saja pergi bersamamu. Prajurit yang dapat
diabaikan oleh Ranajaya."
Agung Sedayu memandang kakaknya sejenak. Tanpa
sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
kakaknya benar-benar seorang prajurit yang tidak emban
cinde emban silatan. Siapa pun yang bersalah, ia akan
menunjuk dengan jarinya atas kesalahan itu.
Sejenak kemudian, seorang prajurit yang ditunjuk oleh
Untara pun telah bersiap. Dan sekali lagi Untara berpesan,
"Pergilah. Hati-hatilah. Ia seorang perwira yang baik di medan
peperangan. Prajurit yang menyertaimu adalah seorang yang
berasal dari Macanam. Ia akan mengatakan, bahwa kebetulan
kalian berangkat bersama-sama dari Jati Anom."
Agung Sedayu mengerti maksud kakaknya. Karena itu,
maka ia pun segera minta diri dan berpacu ke luar padukuhan
Jati Anom, bersama seorang prajurit yang berasal dari
Macanan. "Perananmu hanyalah menjadi saksi sebelum Kakang
Untara sampai ke tempat itu."
"Ya." "Apakah Ranajaya sudah mengenalmu?"
"Ya. Ranajaya sudah mengenal aku. Ketiga prajurit yang
lain itu pun mengenal aku pula."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
rasa-rasanya kudanya berpacu terlampau lambat. Sebelum
senja ia harus sudah sampai di Sangkal Putung, sedang ia
masih akan mendapat rintangan di jalan menuju ke Sangkal
Putung itu. Ternyata apa yang dikatakan Juga itu benar. Belum
terlampau jauh keduanya keluar dari Kademangan Jati Anom,
maka mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di tengah
jalan. Semakin dekat, Agung Sedayu melihat semakin jelas
empat orang berdiri termangu-manggu di tepi jalan itu pula.
"Ternyata mereka benar-benar menunggu aku," desis
Agung Sedayu. "Ranajaya memang mempunyai sifat yang aneh. Kawankawannya,
para perwira Pajang, menjadi heran pula melihat
sikapnya. Semakin banyak umur seseorang, seharusnya ia
menjadi semakin mengendap. Tetapi ternyata tidak demikian
dengan Ranajaya. Ia justru menjadi semakin aneh. Semakin
tua dan semakin tinggi pangkat dan jabatannya, ia seakanakan
menjadi mabuk." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi
keningnya menjadi semakin berkerut-merut. Agaknya memang
sulit untuk menghindarkan dirinya.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan prajurit dari
Macanan itu menjadi kian mendekat. Dengan dada yang
berdebar-debar, Agung Sedayu melihat perwira itu bergeser
ke tengah jalan. Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang, ketika ia melihat
prajurit yang datang bersama Agung Sedayu. Dengan geram
perwira itu berkata, "Kau Japa" Kenapa kau mengawal Agung
Sedayu?" "Aku sama sekali tidak mengawal. Aku kebetulan sekali
ingin menengok keluargaku di Macanan."
"Tetapi kenapa kali ini kau berkuda" Bukankah biasanya
kau berjalan kaki saja?"
"Aku prajurit dari pasukan berkuda. Apa salahnya aku
pulang berkuda sekali-kali di dalam hidupku."
"Japa. Ingat, dengan, siapa kau berbicara."
Japa mengerutkan keningnya. Ia memang berbicara
dengan seorang perwira, sehingga karena itu, ia tidak dapat
menjawab. Bahkan ia pun segera meloncat turun dari
kudanya. "Bersikaplah sebagai seorang prajurit terhadap seorang
perwira." "Ya," sahut Japa singkat sambil berdiri tegak di samping
kudanya.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap duduk di
atas punggung kudanya yang berdiri termangu-manggu.
"Japa," berkata Ranajaya, "kalau kau memang ingin pulang
ke Macanan, pulanglah."
"Aku akan pergi bersama-sama Agung Sedayu."
"Pergilah dahulu."
"Aku menunggunya."
"Kau akan mencampuri urusan kami?"
"Tidak. Aku tidak akan membuat persoalan bagi diriku
sendiri. Aku hanya akan menunggu. Itu saja. Tidak ada niat
yang lain." Ranajaya menjadi tidak sabar lagi. Karena katanya,
"Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau ikut campur dalam
persoalan ini, maka akibatnya akan membuatmu menyesal
sekali." "Aku tidak akan berbuat apa-apa."
Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Biarlah. Menepilah."
Japa pun kemudian bergeser menepi menuntun kudanya.
Dalam pada itu, Ranajaya memandang Agung Sedayu
dengan sorot mata yang aneh. Seakan-akan Ranajaya melihat
seseorang yang belum pernah dikenalnya, bahkan seseorang
yang tidak sewajarnya. "Agung Sedayu," geram Ranajaya, "apakah kau tidak mau
turun dari kuda?" "Sudah aku katakan Ranajaya, itu adalah hakku. Dan
sekarang aku ingin cepat-cepat sampai ke Sangkal Putung
sebelum senja." "Kau harus turun."
"Jangan mengganggu perjalananku. Aku tergesa-gesa."
"Kau harus turun. Aku tahu, dengan sebelah tanganmu kau
dapat mengalahkan anak buahku. Tetapi jangan kau sangka,
Ranajaya sekedar seorang prajurit cengeng macam anak itu,"
berkata Ranajaya sambil menunjuk prajurit yang telah
dikalahkan oleh Agung Sedayu hanya dengan sebelah
tangannya. "Aku percaya Ranajaya," jawab Agung Sedayu kemudian,
"aku percaya. Dan sekarang berilah jalan. Aku akan lewat.
Hanya sekedar lewat."
Tetapi Ranajaya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku
ingin tahu yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang kau
andalkan, maka kau bersikap begini sombong."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Ia sama sekali tidak pernah membayangkan di saat-saat ia
berangkat dari Sangkal Putung, bahwa justru sikap seorang
perwira yang angkuh inilah yang telah menghambat
perjalanannya. Sama sekali bukan karena Untara
melarangnya kembali. "Ranajaya," berkata Agung Sedayu kemudian, "sebaiknya
kita tidak membuat persoalan ini berkepanjangan. Aku
berbangga, bahwa para perwira tidak membuat persoalan
atasku, karena aku bertengkar dengan seorang prajurit. Tetapi
tiba-tiba salah seorang perwira telah berbuat serupa, seperti
prajurit yang justru dianggap tidak benar oleh Untara, bukan
sebagai kakakku, tetapi sebagai perwira tertinggi di daerah
ini." "Urusan Untara adalah urusan keprajuritan. Ia tidak perlu
mengurusi sikap-sikap sombong seperti sikapmu ini."
Ranajaya berhenti sejenak, lalu, "Dan bukankah kau sendiri
yang menuntut sikap jantan di antara kita?"
Agung Sedayu merasa, bahwa ia tidak akan dapat
menghindar lagi. Apalagi ketika Ranajaya berkata, "Agung
Sedayu. Yang penting bagiku, aku akan memaksa kau
berceritera tentang Mataram. Kau harus berkata sebenarnya.
Kalau kau ingin menghindari sikap jantan yang kau tuntut itu,
katakanlah, apa yang kau ketahui tentang Mataram?"
Agung Sedayu berpikir sejenak. Agaknya ia dapat mencoba
menghindari pertengkaran, selama masalah Mataram itu
dapat memberi kepuasan kepada Ranajaya. Karena itu, maka
katanya, "Apakah yang ingin kau ketahui tentang Mataram?"
"Siapa saja yang telah dibunuh oleh Sutawijaya di daerah
yang sedang dibuka" Kau tentu tahu, dan kau tentu dapat
mengatakan, siapakah pembunuhnya yang sebenarnya."
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu.
Tetapi dengan demikian ia justru ingin mendengar pertanyaan
Ranajaya lebih lanjut. Karena itu, maka ia pun kemudian
menjawab, "Sepengetahuanku Ranajaya, tidak ada orang
yang sengaja dibunuh. Memang ada pertempuranpertempuran
kecil dengan mereka yang sengaja mengganggu
pembukaan Alas Mentaok. Tetapi itu bukan pembunuhan."
"Ya, sebutkan siapa saja yang terbunuh di dalam
peperangan itu?" Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. "Tentu aku tidak
dapat mengatakan seorang demi seorang."
"Bohong!" tiba-tiba Ranajaya membentak. "Pajang harus
mendapat bahan selengkapnya sebelum bertindak tepat. Nah,
berapa ribu orang sudah disiapkan oleh Sutawijaya untuk
melawan Pajang." "Inilah yang berbahaya," berkata Agung Sedayu. "Berulang
kali aku katakan. Tidak ada persiapan prajurit. Tidak ada."
"Bohong! Bohong! Aku akan memaksamu berkata."
"Tidak ada yang akan aku katakan."
"Itulah yang aku ingin tahu sebenarnya. Kau harus
menyebut besar pasukan Mataram. Siapakah pimpinan
mereka. Aku tahu, ada beberapa orang perwira yang telah
terbujuk oleh Sutawijaya yang curang itu. Dan di mana saja
mereka menempatkan pusat-pusat pertahanannya. Jangan
ingkar, bahwa kau pasti salah seorang telik sandi yang dikirim
oleh Sutawijaya. Menurut penyelidikan kami, kau bersahabat
dengan Sutawijaya sejak Tohpati masih berkuasa di daerah
ini. Kau berdua dengan anak Demang Sangkal Putung telah
mengikutinya ke Alas Mentaok, jauh sebelum Pemanahan
berontak dan dengan kekerasan menduduki daerah yang
belum resmi diserahkan kepadanya. Hanya karena kebesaran
hati Sultan Hadiwijaya, maka Pemanahan diperkenankan
membuka hutan itu. Tetapi ternyata kebaikan hati Sultan
Hadiwijaya itu telah disalah-artikan oleh Pemanahan,
sehingga mereka menganggap Pajang sudah terlampau
lemah menghadapinya."
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Itu tidak benar. Dari mana kau mendapatkan ceritera itu"
Mungkin seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya
akan berceritera semacam itu."
"Kau tentu tidak akan mengatakannya. Karena itu, aku
akan memaksamu. Aku akan mendengar keterangan tentang
Mataram menurut caraku. Kemudian kau akan aku seret
kembali ke Jati Anom untuk membuktikan kepada mereka,
bahwa kau adalah telik sandi yang harus kita curigai,
meskipun kau adik Untara atau katakanlah justru kau adik
Untara." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Kalau Untara meyakini, bahwa kau seorang petugas sandi
dari sahabatmu yang licik dan curang itu, kau akan mendapat
perlakuan yang lain meskipun ia kakakmu sendiri."
"Jadi kau ingin menunjukkan jasa yang berlebih-lebihan
kepada Kakang Untara" Atau kau ingin dianggap sebagai
pahlawan besar bagi Pajang?"
"Tutup mulutmu! Kalau kau ingin berbicara, berbicaralah
tentang pengkhianatan Sutawijaya. Jangan berkata tentang
yang lain." Agung Sedayu merenung sejenak, lalu, "Kalau begitu lebih
baik aku tidak berbicara tentang apa pun juga."
"Gila. Aku akan memaksamu. Ayo, turun dari kudamu! Atau
aku akan menyeretmu. Aku dapat memaksa kau berkata."
"Mungkin kau dapat memaksa aku berkata. Tetapi yang
aku katakan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Tetapi
hanya sekedar memenuhi keinginanmu."
"Kau benar gila," dan tiba-tiba saja wajah Ranajaya menjadi
merah membara. Sejenak kemudian ia beringsut maju.
Agung Sedayu tidak melihat jalan lain daripada membela
diri. Tetapi ia tidak mau berkelahi di atas punggung kudanya,
agar Ranajaya tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu. Karena
itu, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun sambil
berkata, "Japa, tolong, pegangi kudaku."
"O, anak yang malang. Kau benar-benar akan menyesal,"
geram Ranajaya. Kelelawar Iblis Merah 1 Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil Sumpah Palapa 27
^