Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 17

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


"Baik," sahut Swandaru, "kita akan mengeroyokmu karena
kau sendiri yang menantang. Kami akan mengikatmu di tiang
gardu, sedang satu tanganmu akan kami lepaskan agar kau
dapat membunyikan kentongan semalam suntuk. Bukankah
itu kegemaranmu?" Wita tidak menjawab, tetapi ia melangkah mendekati
Swandaru sambil membentak, "Cepat! Ayo, siapa yang maju?"
"Mari, mari," berkata Swandaru, "kita tangkap anak ini
bersama-sama. Bukankah kita sering menangkap bajing
bersama-sama di masa kanak-kanak" Sekarang kita akan
menangkap celeret gombel," Swandaru berhenti sejenak. Lalu,
"He, Wita, bukankah kau pernah melihat celeret gombel"
Celeret gombel yang hanya sebesar jari itu pasti dengan
sombong mencoba mengguncang-guncang pohon betapa pun
besarnya, seolah-olah ia tidak yakin bahwa pohon itu kuat
menahan tubuhnya." Wita yang merasa sindiran Swandaru itu bagaikan pisau
yang tergores di jantungnya, benar-benar tidak dapat
menahan hati lagi. Ia mengerti maksud itu. Bahkan ia
mengerti. bahwa Swandaru menganggapnya seperti seekor
celeret gombel yang tidak tahu diri.
Karena itu, Wita tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba
saja ia menyerang Swandaru yang berdiri beberapa langkah di
hadapannya. Swandaru yang marah itu masih sempat memancing
serangan Wita. Namun Swandaru itu pun ternyata kini telah
menjadi semakin dewasa pula, sehingga ia masih dapat
mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat berlebih-lebihan.
Dengan demikian, ketika ia melihat Wita menyerangnya,
Swandaru itu pun segera menghindar. Ia tidak langsung
menyerang tengkuk lawannya sehingga pingsan. Tetapi ia pun
mencoba menyentuh pundaknya dengan tangan kirinya.
Tetapi Wita masih sempat menghindar pula. Sambil
menggeliat, ia memutar tubuhnya, sehingga serangan
Swandaru yang tidak bersungguh-sungguh itu, tidak mengenai
sasarannya. Ternyata Wita salah mengerti terhadap serangan itu. Ia
tiba-tiba saja merasa dirinya benar-benar seorang yang cukup
lincah dan tangkas. Karena itu, maka dengan garangnya ia
telah menyerang Swandaru dengan kakinya, langsung
mengarah lambung. "Anak bengal," desis Swandaru di dalam hatinya. Serangan
Wita itu telah membuatnya semakin tidak senang. Tetapi ia
tidak ingin mencelakai anak muda yang bukan anak Sangkal
Putung itu sendiri. Karena itu, betapa pun kemarahan
membara di hatinya, namun Swandaru masih tetap menahan
diri. Sehingga dengan demikian, ia hanya berusaha untuk
menghindari serangan-serangan yang kemudian datang
bagaikan banjir bandang. Tetapi semakin seru Wita menyerang, semakin sadarlah
lawannya, bahwa sebenarnya Wita adalah anak muda yang
sedang di dalam perkembangan ilmu kanuragan yang
dituntutnya, itulah sebabnya ia merasa dirinya tidak
terkalahkan oleh siapa pun juga.
Agung Sedayu yang melihat perkelahian itu di dalam
keremangan malam pun menarik nafas dalam-dalam. Kali ini
ia memuji di dalam hati, "Untunglah bahwa Swandaru tidak
dihinggapi penyakitnya, sehingga ia tidak berbuat hal-hal yang
aneh atas anak muda itu. Agaknya Wita baru saja mulai
berguru kepada seseorang, sehingga ia masih merasa perlu
untuk menilai ilmu yang sedang dituntutnya. Sayang bahwa
sikapnya terlampau kasar dan sombong."
Demikianlah, Wita semakin lama menjadi semakin garang.
Tetapi Swandaru sama sekali tidak berusaha
menghentikannya dengan serangan yang berbahaya.
Dibiarkannya saja Wita meloncat-loncat dan berputar-putar.
"Ia akan kelelahan sendiri," berkata Swandaru.
Kiai Gringsing dan Sumangkar masih juga menunggui
perkelahian itu. Tetapi mereka tidak lagi menjadi tegang
melihat sikap Swandaru. Agaknya Swandaru kali ini benarbenar
masih dapat mengendalikan diri, meskipun ia telah
menjadi marah melihat sikap Wita.
"Biarlah aku kembali ke kademangan," berkata Sumangkar.
"Ki Demang dan anak-anak muda yang masih tinggal akan
menjadi gelisah dan mungkin di luar keinginan kita, mereka
akan melakukan hal-hal yang tidak wajar, apabila mereka
berdatangan ke mari."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya sambil
mengangguk-angguk, "Baiklah. Aku akan menunggui
Swandaru. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan kesabaran."
Sumangkar pun kemudian kembali ke kademangan untuk
menenteramkan anak muda yang masih tinggal. Mereka harus
tahu, bahwa sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang perlu
dicemaskan. Demikianlah, Swandaru masih berkelahi. Bukan saja Agung
Sedayu, tetapi anak-anak muda dan orang-orang yang ada di
sekitarnya pun segera mengetahui, bahwa Swandaru mampu
mengatasi lawannya tanpa berbuat dengan bersungguhsungguh.
Bahkan kadang-kadang Swandaru hanya sekedar
mendorong lawannya apabila ia menyerang, sehingga atas
dorongan kekuatan sendiri dan sentuhan tangan Swandaru,
Wita telah terjerembab di tanah.
Tetapi agaknya Wita sendiri tidak menyadari. Ia masih
bertempur sekuat tenaganya. Ia merasa bahwa Swandaru
belum pernah mengenainya pada tempat-tempat yang
berbahaya. Karena itu, maka ia masih tetap salah mengerti.
Disangkanya, Swandaru memang tidak mampu berbuat lebih
dari yang dilakukannya itu.
Demikianlah, perkelahian itu berlangsung terus. Dan Agung
Sedayu pun mengerti, Swandaru akan membiarkan lawannya
menjadi lelah sendiri. Namun ternyata, bahwa nafas Wita cukup panjang. Setelah
bertempur sekian lama, nafasnya masih juga mengalir dengan
teratur. Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menjadi raguragu.
Apakah ia akan tetap mempergunakan cara yang sudah
dimulainya itu untuk memaksa Wita mengakui kelemahannya"
"Tetapi aku akan memerlukan waktu yang lama," berkata
Swandaru di dalam hati. "Apakah anak-anak di pendapa itu
tidak menjadi gelisah dan bahkan menyusul aku ke mari" Jika
demikian, maka nasib Wita tidak akan dapat dibayangkan lagi.
Kalau anak-anak itu menjadi marah, maka akibatnya tidak
akan menguntuhgkan bagi siapa pun juga."
Namun selagi Swandaru berada dalam keragu-raguan itu
Agung Sedayu agaknya dapat melihat, karena sikapnya yang
tidak menentu. Kadang-kadang Swandaru tampak ingin tetap
menghindarkan diri dari setiap benturan yang terjadi dan
membiarkan Wita berhenti dengan sendirinya. Tetapi kadangkadang
ia bersikap lain. Kadang-kadang ia mulai bersikap
keras. Karena itu, agar Swandaru tidak berbuat sesuatu yang
dapat membahayakan lawannya, Agung Sedayu berkata, "Kau
mempunyai waktu yang panjang, Swandaru. Paman
Sumangkar telah kembali ke kademangan untuk
mengabarkan, bahwa sebenarnya tidak terjadi apa-apa di
sini." Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu, tiba-tiba saja ia
tertawa sambil menyahut, "Apakah kau tahu apa yang aku
pikirkan?" "Sikapmu yang ragu-ragu."
"Ah, aku sama sekali tidak ragu-ragu. Aku sudah
menentukan sikap yang pasti menghadapi keadaan ini."
"Tetapi kadang-kadang kau kehilangan pegangan. Kadangkadang
kau bersikap hampir bersungguh-sungguh."
"Mungkin, tetapi bukan maksudku. Aku tetap pada
pendirianku, bahwa aku akan dapat menghentikannya dengan
cara ini." "Teruskan, cara yang kau tempuh sudah baik."
"Diam, diam!" tiba-tiba Wita menjerit. Ia benar-benar
merasa terhina, bahwa Swandaru masih sempat berbicara
dengan Agung sedayu selagi ia berkelahi. Bahkan Wita
merasa telah mengerahkan segenap kemampuannya. Karena
itu, sikap Swandaru yang berbicara seenaknya membuatnya
benar-benar menjadi sakit hati.
"Kau terlalu sombong anak gemuk," geram Wita. "Aku akan
membuktikan, bahwa aku akan memenangkan perkelahian
ini." "Marilah kita lihat," berkata Swandaru, "kalau kau berhasil,
aku sembah kau." Wita tidak menyahut. Tetapi dikerahkannya segenap
kemampuan yang ada padanya untuk menekan lawannya.
Tetapi Swandaru masih bertempur sambil tersenyum-senyum.
Kadang-kadang ia menghindar, kadang-kadang berloncatan
surut, bahkan hampir berlari-lari.
"Licik, pengecut. Jangan lari."
"Aku tidak akan lari. Aku sedang menghindar. Bukankah di
dalam perkelahian yang mana pun, seseorang diperbolehkan
menghindar" Maksudku, bukankah menghindar itu bukan
perbuatan licik?" "Persetan!" teriak Wita. Dengan demikian, maka ia pun
menjadi semakin garang. Serangan-serangannya datang
membadai tanpa henti-hentinya. Tetapi ternyata, bahwa ia
sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya, yang
dengan lincah dan sigap menghindarinya.
Namun lambat laun Wita pun menyadari, bahwa
sebenarnya Swandaru tidak berkelahi dengan sungguhsungguh.
Bahwa sebenarnya Swandaru hanya sekedar
memancingnya untuk menyerang dan menyerang, tanpa
melakukan perlawanan. Tetapi kesadaran itu datangnya telah terlambat. Betapapun
panjang nafasnya, namun akhirnya ia pun menjadi terengahengah.
Tenaganya semakin susut, sehingga serangannya
menjadi semakin tidak terarah.
Namun demikian, Swandaru masih tetap memancingnya.
Kadang-kadang ia berdiri selangkah di depannya. Kemudian
meloncat dengan cepatnya, hampir tidak diketahui bagaimana
mungkin dilakukan, anak itu sudah berada di sisinya.
Wita yang hampir kehabisan nafas itu sudah hampir tidak
mampu berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang demikian
Swandaru menjadi kambuh lagi. Sekali-sekali ia menepuk
bahu Wita sambil berdesis, "He, he, apakah kau mencari
sasaran yang paling baik di tubuhku" Ini, lihatlah. Kalau kau
berhasil mengenainya, aku menyerah," berkata Swandaru
sambil menunjukkan dahinya. "Kau tidak usah memukul
sampai kepalaku pening. Kalau kau berhasil menyentuh saja,
kau menang." "Gila!" teriak Wita. "Kau pun tidak dapat melakukannya."
"He, kau sangka aku tidak dapat menyentuh dahimu?"
"Tidak." Belum lagi mulut Wita terkatup, tangan Swandaru telah
mendorong dahinya sehingga ia hampir terjatuh.
"Kau bilang aku tidak mampu?"
"Curang. Aku belum mapan."
"O, begitu?" Tetapi tenaga Wita benar-benar sudah habis. Nafasnya
seperti akan terputus di tenggorokan.
"Bagaimana?" bertanya Swandaru.
"Persetan!" desis Wita, "Ayo, keroyok aku."
"Ah," Swandaru berdesis, namun ia pun kemudian tertawa,
"jangan menipu diri sendiri. Berkatalah sebenarnya, bahwa
kau sudah tidak mampu lagi untuk berkelahi. Aku pun akan
berhenti pula, dan kita mulai berbicara dengan mulut."
"Tidak ada yang akan kita bicarakan. Serang aku atau
kalian pergi dari sini."
"Kemana aku dan anak-anak muda Sangkal Putung harus
pergi" Ini padukuhan dan kademangan kami."
"Persetan, persetan!"
Ternyata sifat yang keras itu sangat menjengkelkan
Swandaru. Maka katanya, "Wita, apakah kau tidak melihat
kenyataan yang kau hadapi?"
"Aku akan berkelahi terus. Aku adalah laki-laki. Tidak
seorang pun yang dapat memaksakan kehendaknya atasku,
" uh ?" suaranya terputus. Swandaru yang benar-benar
telah menjadi jengkel, telah memukul pipi Wita yang sedang
berbicara itu sehingga suaranya patah.
Sejenak Wita berdiri sambil meraba-raba pipinya. Ia tidak
dapat ingkar, bahwa pipinya menjadi sakit sekali. Sentuhan
tangan Swandaru yang gemuk itu ternyata telah benar-benar
membuatnya menyeringai. "Nah, apa katamu?" bertanya Swandaru. "Aku dapat
berbuat lebih banyak. Bukan sekedar memukul pipimu. Aku
dapat merontokkan gigimu dan membuat kau
pingsan, seperti kawanku itu."
Wita menggeretakan giginya. Tetapi ia sadar bahwa ia
berhadapan dengan Swandaru, yang lain dari anak-anak
muda Sangkal Putung yang telah dikalahkannya.
Tetapi ternyata, Wita sama sekali tidak menerima
kekalahannya dengan ikhlas. Pipinya yang sakit telah
membakar dendam di hatinya. Sehingga karena itu, tanpa
berkata sepatah pun ia meninggalkan tikungan itu.
Swandaru tidak berusaha mencegahnya. Bahkan ketika
seorang anak muda meloncat maju dan memandanginya
dengan heran, ia berkata, "Aku tahu. Ia mendendam. Tetapi
jika aku berbuat lebih banyak, dendam di hatinya akan
menjadi semakin menyala. Dari manakah sebenarnya anak
itu?" "Ia adalah anak Semangkak."
"Semangkak" Kenapa aku belum pernah mengenalnya?"
"Entahlah. Memang kita sudah banyak mengenal anakanak
dari padukuhan Semangkak. Tetapi kita belum pernah
mengenal anak itu sebelumnya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
ia bergumam, "Tentu ada juga anak-anak Semangkak yang
belum kita kenal dan belum mengenal kita. Dan kita tahu,
siapakah anak-anak muda dari Semangkak dan apa saja yang
pernah dilakukan selama ini, sehingga membuat para bebahu
kademangannya dan orang-orang tua di Semangkak sendiri
menjadi pening." "Ya. Ternyata anak-anak Semangkak sendiri telah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpecah. Yang separo tidak lagi menghendaki cara hidup
yang tidak wajar, sedang yang lain masih saja tidak mau
meninggalkan jalan mereka yang sesat, sehingga tidak jarang
terjadi bentrokan-bentrokan di antara mereka di Semangkak."
Swandaru mengangguk-angguk, perlahan-lahan ia
berdesis, "Kita tidak tahu, dari lingkungan yang manakah Wita
itu." "Menilik sikapnya sebelum ini, ia termasuk anak yang tidak
banyak tingkah. Tetapi ternyata, sekarang kita harus berpikir
lain." Swandaru mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk.
Terbayang dendam anak Semangkak itu dapat menyala
semakin besar. Apalagi apabila ia termasuk lingkungan anakanak
yang justru membuat keluarga Semangkak sendiri
menjadi sulit. "Sudahlah," berkata Swandaru kemudian, "kita kembali ke
kademangan. Mudah-mudahan, Wita tidak
mempersoalkannya lebih jauh."
"Besok kita akan melihat, apakah ia masih berada di rumah
pamannya atau tidak. Jika tidak, kita harus bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi."
Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya jalan yang
gelap, yang seakan-akan telah menelan Wita beberapa saat
yang lalu. Sekilas terbayang di kepalanya, beberapa waktu
yang lampau, anak-anak muda Sangkal Putung berkeliaran
hampir di setiap sudut kademangan, untuk mengawasi
kemungkinan orang-orang Tohpati yang menyusup masuk ke
kademangannya. "Apakah sekarang kita harus berbuat seperti itu, sekedar
untuk menghadapi anak-anak dari kademangan yang lain?"
katanya di dalam hati. Tetapi Swandaru tidak mengucapkannya. Yang
dikatakannya kemudian adalah, "Marilah kita kembali ke
kademangan. Jangan hiraukan lagi Wita, setidak-tidaknya
untuk malam ini." Agung Sedayu yang selama itu berdiri diam di samping
gurunya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang benar
apa yang dikatakan oleh Swandaru, Wita itu dapat diabaikan,
setidak-tidaknya untuk malam ini. Entahlah untuk besok atau
lusa. Demikianlah maka mereka yang berkerumun di tikungan itu
pun segera bubar. Ada yang kembali ke kademangan, tetapi
orang-orang tua, kembali pulang ke rumah masing-masing,
meskipun ada juga satu dua orang yang duduk-duduk di gardu
terdekat. Mereka masih saja memperbincangkan peristiwa
yang baru saja terjadi. Di kademangan, ternyata ceritera tentang Wita itu pun
segera menjalar dari mulut ke mulut. Setiap orang yang ada di
pendapa pun segera mengetahui apa yang telah terjadi.
"Ada-ada saja," gumam Ki Jagabaya, "persoalan anak-anak
muda jaman ini memang membuat kepala ini menjadi botak."
Ki Demang memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang
sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, "Persoalan yang
perlu mendapat perhatian yang mendalam."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
pembicaraan itu pun segera terputus. Ia mendengar gelak
yang meledak di antara anak-anak muda yang duduk di sudut.
Ternyata mereka sudah mulai berkelakar kembali.
Pendapa kademangan itu pun menjadi riuh kembali. Ki
Demang yang duduk di sebelah Ki Jagabaya berkata, "Anakanak
muda sebanyak ini, bahkan jauh lebih banyak lagi,
memerlukan perhatian. Jika mereka kehilangan pegangan apa
yang sebaiknya mereka lakukan, maka kita akan dihadapkan
pada tanda bahaya yang tidak kalah dari bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh pasukan Tohpati saat itu."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anak-anak yang tumbuh semakin dewasa, ingin juga
menunjukkan sifat kejantanan dan kepahlawanan seperti
kakak-kakaknya. Tetapi, sasaran mereka kini tidak tersedia
seperti pada saat Tohpati ada di luar kademangan ini,
sehingga kadang-kadang mereka menimbulkan persoalan
tersendiri." Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Dengan nada rendah ia menyahut, "Untunglah, bahwa anakanak
muda di Sangkal Putung sampai saat ini masih tetap
terkendali. Mudah-mudahan kita tidak menghadapi kesulitan
yang akan mereka timbulkan kemudian."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
merasa beruntung bahwa anak-anak muda Sangkal Putung
masih menyadari kedudukannya. Mereka masih tetap
menyadari, bahwa masa depan Sangkal Putung ada di tangan
mereka, sehingga mereka tidak menyia-nyiakan masa muda
mereka. "Sebagian terbesar dari anak-anak muda kita yang ikut di
dalam perjuangan menyelamatkan Sangkal Putung, masih
ada di antara mereka," berkata Ki Jagabaya kemudian,
"sehingga mereka masih tetap menyadari arti dari perjuangan
itu sepenuhnya." "Kita harus berhati-hati, Ki Jagabaya. Kalau kita lengah,
maka peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki, dapat saja
tumbuh di kademangan ini."
Keduanya pun kemudian terdiam. Di sebelah mereka, Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar pun hanya duduk sambil berdiam
diri. Mereka memandangi anak-anak muda yang berkelakar
dengan gembira, hampir semalam suntuk. Swandaru sendiri
duduk bersandar dinding sambil terkantuk-kantuk. Sedang
Agung Sedayu hanya tersenyum-senyum saja menanggapi
kelakar anak-anak muda Sangkal Putung.
Anak-anak muda itu seakan-akan tersadar, dari suasana
yang telah memukau mereka, ketika mereka mendengar ayam
jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika mereka berpaling ke
halaman, mereka pun telah melihat bayangan kemerahmerahan
di pepohonan. "Fajar," desis salah seorang dari mereka.
"O, ternyata kita berada di pendapa ini semalam suntuk."
"Ya. Marilah kita pulang. Siang nanti aku masih harus
menyelesaikan garapan di sawahku."
Anak-anak itu pun kemudian minta diri dan pulang ke
rumah masing-masing. Tetapi ada juga di antara mereka yang
malas berjalan pulang. Mereka langsung berkerudung kain
panjang dan berbaring di pendapa Kademangan Sangkal
Putung. "Kepalang tanggung untuk pulang," desis salah seorang
dari mereka, "aku akan tidur saja di sini. Nanti, kalau nasi
sudah masak, barulah aku pulang."
Swandaru tidak dapat mengusir mereka. Namun ia pun
terpaksa ikut tidur di pendapa itu pula, menghabiskan ujung
malam yang masih tersisa. Demikian pula dengan Agung
Sedayu. Ia tidak dapat meninggalkan mereka yang berbaring
silang-menyilang di antara daun-daun pembungkus makanan
yang masih berserakan. Tetapi Kiai Gringsing, Sumangkar, Ki Demang, Ki
Jagabaya, dan orang-orang tua yang lain pun meninggalkan
pendapa yang menjadi lengang. Mereka pun segera pergi ke
bilik masing-masing dan yang lain pulang ke rumah.
Namun demikian, terutama Ki Demang dan Ki Jagabaya,
masih juga memikirkan akibat yang dapat timbul oleh
persoalan yang tampaknya terlampau kecil. Persoalan yang
seakan-akan begitu saja dapat dilupakan, tetapi yang
sebenarnya akan dapat menimbulkan persoalan yang
berkepanjangan. Sebenarnyalah, di pagi-pagi buta, Wita telah minta diri
kepada pamannya untuk segera pulang ke Semangkak.
"He, kenapa begitu tergesa-gesa" Bukankah kau pernah
mengatakan bahwa kau akan berada di sini sampai ayahmu
menjemputmu, atau bahkan kau akan tetap tinggal di sini"
Aku memerlukan bantuanmu menjelang bertanam padi di
musim mendatang." "Aku hanya akan menengok ayah dan ibu sebentar saja,
Paman. Mungkin sehari atau dua hari. Aku akan segera
kembali." "Apakah kau mempunyai keperluan khusus, yang agaknya
kau segan mengatakannya?" bertanya bibinya.
"Tidak, Bibi. Tidak apa-apa. Aku hanya akan menengok
keluarga di Semangkak barang sehari dua hari. Sudah lama
aku tinggal di sini. Aku sudah ingin melihat adik-adikku
meskipun hanya sekilas."
Paman dan bibinya memang merasa agak curiga. Tetapi
mereka tidak dapat mencegahnya. Karena itu, Wita diberinya
bekal uang sedikit yang barangkali diperlukan di perjalanan.
Baru ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan Wita
telah menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal
Putung, pamannya mendengar peristiwa yang telah terjadi
semalam. "O, jadi. Wita telah berbuat onar di sini" Aku memang
mendengar bunyi kentongan berturut-turut. Tetapi kenapa aku
tidak mendengar bahwa di tikungan sebelah telah terjadi
keributan?" berkata paman Wita kepada tetangganya, yang
memberitahukan persoalan kemanakannya.
"Tidak banyak yang mendengar. Hanya, orang-orang yang
tinggal di sebelah-menyebelah tikungan itu saja."
Pamannya berpikir sejenak. Lalu, "Kalau begitu aku akan
menyusulnya. Aku akan pergi ke Semangkak menemui
kakang, ayah Wita. Anak itu harus mendapat pengertian,
bahwa yang dilakukan itu sama sekali tidak baik baginya,
bagiku, dan bagi orang tuanya sendiri."
Tetangganya tidak menyahut. ia hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. "Sebaiknya aku menemui Swandaru dan Ki Demang,
sebelum aku pergi ke Semangkak," berkata paman Wita.
"Itu lebih baik," sahut tetangganya, "kau akan mendapat
penjelasan yang jelas, apa yang sebenarnya telah terjadi."
Paman Wita itu pun kemudian dengan dada yang berdebardebar
pergi ke kademangan. Ia kenal benar dengan
kemanakannya yang tampaknya baik dan diam. Tetapi
kadang-kadang hatinya memang meledak-ledak, sehingga
orang tuanya sendiri menjadi cemas akan perkembangannya.
Itulah sebabnya Wita diserahkan kepadanya, yang
mempunyai pengaruh agak kuat pada anak itu. Biasanya Wita
menurut apa yang dikatakan oleh pamannya. Namun pada
suatu saat, Wita telah membuat pamannya itu menjadi
gelisah. Di kademangan, paman Wita berhasil menemui Swandaru.
Bahkan Ki Demang pun ikut menemuinya pula.
"Ada baiknya kau pergi ke Semangkak," berkata Ki
Demang. "Kau dapat memberi penjelasan kepada orang
tuanya, supaya tidak salah paham. Siapakah sebenarnya
kakangmu yang tinggal di Semangkak itu?" bertanya Ki
Demang kemudian. Paman Wita mengerutkan keningnya. Apakah kira-kira Ki
Demang sudah mengenal kakaknya yang tinggal di
Semangkak" "Kakakmu laki-laki atau perempuan?" desak Ki Demang.
"Saudaraku adalah ibu Wita," jawab paman Wita itu, "tetapi
ayahnya pun masih ada sangkut pautnya, meskipun sekedar
muntu katutan sambel."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
masih bertanya, "Siapakah nama bapaknya?"
"Santa," jawab paman Wita, "orang memanggilnya Santa
duwur." "O," Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
"aku sudah mengenalnya. Memang ada dua Santa yang aku
kenal di Semangkak. Yang seorang pendek dan yang seorang
tinggi. Kakakmu adalah Santa yang tinggi itu."
"Ya, Ki Demang."
"Ia adalah suami kakak perempuanmu."
"Ya. Kakak perempuanku yang sulung."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu
katanya, "Baiklah kau menemuinya. Seingatku, Santa
termasuk orang yang keras hati juga. Agaknya sifatnya itu
menurun pada anaknya."
Demikianlah, maka paman Wita hari itu memerlukan
menyusul kemanakannya. Ia mempunyai dugaan, bahwa Wita
menaruh dendam kepada anak-anak Sangkal Putung.
Karena itu, ia harus segera sampai ke Semangkak dan
menemui kakaknya. "Tetapi agaknya Kakang Santa tidak lagi merasa mampu
mengendalikan anaknya. Betapapun keras hatinya, namun
ternyata bahwa ia tidak berhasil menundukkan hati anaknya,
sekedar dengan kekerasan," berkata paman Wita di dalam
hatinya. Demikianlah, maka sebelum matahari sampai ke puncak
langit, paman Wita sudah sampai ke rumah kakaknya.
Ternyata kedatangannya telah mengejutkan seisi rumah itu.
"O, baru saja Wita datang, kau sudah menyusulnya.
Apakah ada sesuatu yang penting?" bertanya kakaknya.
Paman Wita menggeleng sambil tersenyum, "Tidak,
Kakang. Tidak ada apa-apa. Bahkan aku khawatir, kenapa
tiba-tiba saja Wita kepingin pulang."
Kakaknya suami isteri menarik nafas lega. Sambil
tersenyum Santa berkata, "Aku sudah kecemasan melihat
kedatanganmu. Sokurlah kalau tidak ada apa-apa terjadi di
Sangkal Putung." "Tidak, Kakang. Memang tidak ada apa-apa," paman Wita
terdiam sejenak. Lalu, "Di mana Wita sekarang?"
"Entahlah. Mungkin ia menemui kawan-kawannya setelah
sekian lama tidak ketemu."
"Apakah ia tidak mengatakan sesuatu?"
Santa mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" ia bertanya.
"Tidak apa-apa. Maksudku, apakah Wita mempunyai suatu
keperluan yang penting, tetapi ia tidak berani berterus terang"
pakaian misalnya, atau apa pun yang lain?"
Tetapi ayah dan ibunya menggelengkan kepalanya. "Ia
tidak mengatakan apa-apa."
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
sikapnya ternyata membuat ayahnya menjadi curiga, sehingga
ia mendesaknya, "Apakah sebenarnya yang terjadi?"
Pamahnya tidak segera menjawab, tetapi ia bertanya, "Di
mana Wita sekarang?"
Santa mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menjawab,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu. Ia pergi kepada kawan-kawannya."
Pamannya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak
segera berkata sesuatu. Ibu Wita-lah yang kemudian berdiri memanggil adik Wita.
Kepadanya ia bertanya, "Di mana kakakmu?"
"Ia pergi ke gardu, Ibu."
"Ke gardu" Apakah kerjanya di sana?"
Adiknya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak
tahu, ia berada di gardu bersama beberapa orang."
"Beberapa orang?"
"Ya. Dengan anak-anak muda sebaya Kakang Wita.
Agaknya Kakang sedang berceritera. Tetapi aku tidak boleh
mendekat." Paman Wita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
berkata, "Coba, lihatlah, apakah ia masih di gardu itu."
Adik Wita itu memandang ayahnya sejenak. Ketika
ayahnya menganggukkan kepalanya, maka anak itu pun
segera berlari ke luar. Sepeninggal anak itu, maka barulah pamannya berterus
terang apa yang terjadi. Apa yang sudah dilakukan oleh Wita,
sehingga telah terjadi bentrokan antara Wita dengan anakanak
Sangkal Putung. "Gila!" orang tuanya menggeram, "Wita memang pantas
dihajar, ia membuat aku malu. Aku kenal baik dengan
Demang Sangkal Putung. Kelakuannya ternyata telah
membuat aku malu. Anak itu memang pantas dihajar."
"Jangan," cegah pamannya. Lalu, "Jangan dengan cara
itu." Ibu Wita pun menjadi pucat. Setiap kali ia melihat suaminya
menghajar anak-anaknya, ia hanya dapat menekan dadanya.
Bahkan kadang-kadang ia menjadi ketakutan dan sama sekali
tidak tahu apa yang pantas dilakukan.
"Lalu, mau kau apakan anak itu?" bertanya ayahnya
kepada adik iparnya. "Kita mencari jalan lain. Tetapi kalau anak itu dipaksa
dengan kekerasan, pada saat-saat serupa ini, akibatnya tidak
akan menguntungkan baginya dan bagi keluarga ini."
"Anak itu membuat aku menjadi gila," gumam ayahnya.
"Tentu ia mengumpulkan kawan-kawannya. Tentu ia akan
membalas dendam kepada anak-anak Sangkal Putung."
"Mungkin," jawab pamannya. Tetapi, sebelum ia
meneruskan kata-katanya, adik Wita sudah berlari-lari masuk
ke ruangan itu sambil berkata, "Anak-anak yang berkumpul di
gardu menjadi semakin banyak."
"Nah, apa kataku. Aku harus mencegahnya."
Paman Wita menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi
kecemasan yang sangat telah merambat di dadanya. Ia sadar,
bahwa anak-anak Semangkak adalah anak-anak yang
mempunyai ikatan yang kuat satu dengan yang lain, sehingga
tidak mustahil bahwa Wita telah mempengaruhi kawankawannya
untuk membalas sakit hatinya.
"Aku akan pergi ke gardu," berkata ayah Wita.
"Tunggu," berkata isterinya, "jangan bertindak terlampau
keras di hadapan kawan-kawannya. Ia akan tersinggung dan
justru akan berbuat lebih kasar lagi."
"Aku tidak peduli."
"Biarlah aku menemuinya," berkata paman Wita, "aku akan
mencoba memanggilnya pulang."
"Biarlah pamannya yang memanggilnya," berkata ibu Wita.
Ayahnya berpikir sejenak. Lalu, "Baiklah. Panggillah
pulang." Paman Wita itu pun segera pergi ke gardu yang ditunjukkan
oleh kemanakannya yang kecil. Tetapi ia menjadi termangumangu,
ketika ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di
gardu itu. Sehingga karena itu langkahnya terhenti.
"Apakah kakangmu ada di antara mereka?" bertanya
paman Wita. "Ya, Paman." "Panggil ia kemari. Aku akan berbicara."
Adik Wita itu mengerutkan lehernya. Katanya, "Kakang
tentu akan marah kepadaku."
Pamannya tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian
melangkah mendekati gardu yang penuh dengan anak-anak
muda. Tetapi ketika ia sampai di dekat gardu itu, ia menjadi heran.
Tidak seorang pun yang memperhatikannya Tampaknya
mereka sedang sibuk sendiri, dan bahkan dengan herannya ia
mendengar beberapa orang di antara mereka sedang
bertengkar. "Aku tidak mau ikut campur," terdengar seseorang
berbicara mengatasi suara kawan-kawannya.
"Terserah kepadamu. Tetapi kau akan terpencil dari
lingkungan kami, bahkan kami tidak akan bertanggung jawab
terhadap keselamatanmu."
"Ayo, siapa berani melawan aku sekarang" Jangan
mengancam. Kalau ada yang merasa berkeberatan karena
aku tidak ikut-ikutan berbuat gila itu, katakan sekarang. Aku
tidak takut. Dua atau tiga orang sekaligus termasuk Wita
sendiri." "Gila," dengus Wita.
Tetapi kawannya itu menjawab, "Jangan kau sangka bahwa
kau adalah anak yang paling kuat di Semangkak. Kau telah
mencemarkan nama baik padukuhan kita. Sekarang kau
membujuk anak-anak mudanya untuk berbuat gila di Sangkal
Putung. Apakah kau sangka tindakan semacam itu benar dan
baik?" "Tutup mulutmu. Kalau tidak ikut, pergi saja dari sini."
"Sekehendakku. Aku anak Semangkak. Aku boleh berada
di mana saja di padukuhan ini."
"Jangan keras kepala. Kau akan benar-benar terpencil dan
nasibmu ada di tangan kami."
"Persetan. Aku berani menghadapi akibat itu. Kalian mau
apa" Dan jangan di sangka bahwa aku berdiri sendiri. Coba,
siapakah dari anak-anak muda sebelah selokan ada di sini
dan mau membantu kalian" Tidak ada. Mereka menyadari
kebodohan cara yang kalian tempuh sekarang. Dan siapa-kah
di antara kalian yang tidak mengenal Jumena, Data, Urip dan
Wana" Ayo katakan, siapakah yang dapat mengimbangi
kemampuan mereka berkelahi" Tetapi mereka tidak mau
berpihak kepadamu, meskipun mereka anak-anak Semangkak
juga, karena mereka tidak mau melibatkan diri dalam
perbuatan yang bodoh itu."
Sejenak anak-anak muda itu terdiam. Namun tiba-tiba Wita
berteriak, "Persetan dengan mereka. Aku adalah salah
seorang dari mereka sebelumnya, seperti kau juga. Tetapi
kalau kalian meninggalkan ikatan persahabatan ini karena
kalian telah menjadi pengecut, aku tidak peduli."
"Terserah. Aku sudah berusaha mencegah kalian. Kalian
akan mengalami bencana yang tidak pernah kalian duga-duga
di Sangkal Putung. Kita, lebih-lebih kakak-kakak kita, pasti
mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak muda
Sangkal Putung pada saat daerah ini masih dibayangi oleh
pasukan Tohpati yang menggetarkah itu."
"Mereka tidak berbuat apa-apa. Pasukan Pajang yang
berada di Sangkal Putung itulah yang telah berbuat banyak,
untuk menyelamatkan kademangan itu."
"Terserah. Terserah. Aku tidak akan ikut campur."
"Aku tidak peduli!" geram Wita.
Sejenak kemudian, anak-anak yang berkerumun itu mulai
menyibak. Dari antara mereka, seseorang melangkah tergesagesa
meninggalkan gardu itu, itulah agaknya anak muda yang
tidak mau ikut campur dengan kawan-kawannya, yang
ternyata telah dibakar oleh keinginan untuk berkelahi, untuk
sekedar menunjukkan bahwa mereka adalah laki-laki.
Ternyata paman Wita mengetahui gelagat yang tidak
menguntungkan itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui
kemanakannya. Ia yakin bahwa dalam keadaan serupa itu,
kata-katanya tidak akan didengarnya. Karena itu, maka ia
ingin menunggu saat yang lebih baik, karena menurut
perhitungannya, anak-anak Semangkak itu pasti menunggu
senja untuk bertindak. Karena itu, maka sebelum anak-anak muda itu menyadari
kehadirannya, maka ia pun segera menyelinap ke dalam
sebuah tikungan kecil dan berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu, menjauhi gardu sambil
menggandeng adik Wita. "Kemana kita, Paman?"
"Kita pulang ke rumahmu. Apakah ada jalan yang sampai
ke sana lewat jalan ini?"
"Ada. Jalan ini memang akan tembus ke jalan di belakang
rumah kami. Dan kami dapat memasuki kebun belakang lewat
pintu regol butulan."
"Marilah." Keduanya pun kemudian berjalan semakin cepat lewat
jalan sempit. Setelah meloncati parit dan beberapa kali
berbelok, maka mereka pun kemudian sampai ke jalan yang
akan melewati kebun belakang rumah Wita.
Kedatangan mereka yang tergesa-gesa mengejutkan ayah
dan ibu Wita, sehingga dengan serta-merta mereka bertanya,
"Kenapa dengan Wita?"
Pamannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak
apa-apa. Tetapi aku tidak sempat menemuinya, karena ia
sedang sibuk berbincang dengan kawan-kawannya."
"O," kedua orang tua Wita itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun ayah Wita itu pun bertanya, "Kenapa kau lewat jalan
belakang?" Paman Wita termenung sejenak sambil memandang
kemanakan yang diajaknya berjalan cepat-cepat melewati
jalan sempit itu. Namun kemudian Paman Wita itu tersenyum.
Katanya, "Anak itu ingin menunjukkan jalan lain untuk pulang
ke rumahnya." Santa memandang anaknya sejenak. Namun tampak
olehnya bahwa jawaban itu pasti bukan jawaban yang
sebenarnya, karena sorot mata anaknya yang aneh.
Karena itu, maka ia pun mendesaknya, "Apakah yang
sebenarnya dilakukan oleh anak itu?"
Paman Wita itu pun tidak segera dapat menjelaskan apa
yang telah disaksikannya. Ia masih mencoba mencari, cara
yang baik untuk mencegah hal itu. Jika ayah Wita menjadi
marah dan tidak terkendali lagi, maka hal itu akan mendorong
Wita menjadi semakin kasar dan mendendam.
"Apakah kau melihat sesuatu yang mencemaskan?" ayah
Wita mendesak. "Kakang," berkata paman Wita itu kemudian, "memang
tidak mudah mengurusi anak-anak muda saat ini."
"Apa yang sudah mereka lakukan?"
"Memang ada usaha untuk membalas dendam."
"Gila! Aku memang harus mencarinya."
"Ia sudah pergi," cepat-cepat paman Wita menyahut, "tetapi
aku kira ia masih akan pulang. Aku tidak tahu pasti, apakah
yang akan mereka lakukan. Tetapi kita mencoba
menunggunya. Mungkin ia masih akan pulang, sebelum pergi
ke Sangkal Putung." "Itulah yang mencemaskan. Suasana padukuhan ini
menjadi semakin jelek karena anak-anak yang kehilangan
arah. Wita memang harus dihajar."
"Itu tidak akan menolong," berkata iparnya, "kita harus
menemukan suatu cara yang baik untuk menghindarkan anakanak
kita dari suasana yang suram itu."
"Dengan kekerasan saja, mereka tidak jera. Apa yang
dapat kita lakukan kemudian?"
"Mungkin dengan cara yang justru tidak kasar dan keras."
"Persetan!" geram ayah Wita. "Aku sudah pening
dibuatnya. Biar saja ia datang ke Sangkal Putung. Ia akan
tahu, anak-anak muda Sangkal Putung tidak dapat dianggap
ringan. Mereka telah terlatih menghadapi bahaya yang
sebenarnya. Hampir seperti sepasukan prajurit."
Paman Wita mengerutkan keningnya.
"Aku tidak peduli lagi," Santa masih menggeram.
"Tetapi, tetapi, bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?"
ibu Wita-lah yang menjadi sangat cemas.
"Itu akan menjadi pelajaran baginya."
"Kalau yang terjadi itu membahayakan" Ia adalah sebab
dari keributan ini."
"Biar saja, biar saja. Hanya ada dua jalan bagiku.
Menyeretnya pulang dan menghajarnya, atau membiarkannya
sama sekali." "Tetapi, ia tidak menyadari apa yang dilakukannya."
"Anak itu sudah cukup besar untuk mengerti baik dan
buruk. Aku tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Ketika ia
mempelajari olah kanuragan, sebenarnya aku sudah
mencemaskannya jika ia tidak mendapat tuntunan, bukan saja
lahir tetapi batinnya. Akibatnya ia senang berkelahi, karena ia
dianggap salah seorang dari beberapa orang terbaik yang
mendapat tuntunan olah kanuragan itu."
"Siapakah gurunya?"
"Bekas seorang prajurit. Ia memberikan tuntunan itu bagi
anak-anak muda di Semangkak bersama-sama. Penilikan
seorang demi seorang agaknya memang kurang."
Paman Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku akan menemuinya. Mudah-mudahan ia dapat mencegah
murid-muridnya. Orang itu tentu mempunyai pengaruh yang
kuat bagi anak-anak yang mendapat latihan daripadanya."
Santa mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
menganggukkan kepalanya, "Cobalah. Temuilah orang itu.
Kemanakanmu itu dapat mengantarkan kau."
Demikianlah, dengan diantar oleh adik Wita, pamannya itu
pergi ke rumah seorang bekas prajurit, yang selama ini
memberikan bimbingan olah kanuragan kepada anak-anak
muda Semangkak. "Mudah-mudahan ia berada di rumah," desis adik Wita.
"Apakah ia sering pergi?"
"Ya." "Kemana?" "Adu ayam." "He?" paman Wita mengerutkan keningnya. "Jadi ia senang
menyabung ayam?" "Ya. Bukan saja menyabung ayam. Tetapi juga berjudi."
Paman Wita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bekas
prajurit itu sering menyabung ayam dan berjudi. Jadi apakah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan demikian sikap dan tuntunan kerohanian bagi anakanak
latihnya dapat dipertanggung jawabkan"
Tetapi, paman Wita masih ingin membuktikan. Mudahmudahan
ia dapat mengerti, dan berusaha mencegah anakanaknya
untuk tidak melanjutkan usaha mereka melepaskan
sakit hati anak-anak Sangkal Putung, karena anak-anak
Sangkal Putung mempunyai kemampuan yang agak lebih baik
dari anak-anak muda di padukuhan lain.
Karena itu, langkah paman Wita itu pun menjadi semakin
cepat. Ia ingin segera menenangkan masalah yang sedang
bergolak. Rasa-rasanya ia berdiri di atas padukuhan yang
sedang membara dan siap untuk meledak.
"Itulah rumahnya," berkata adik Wita.
"O," pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
rasa-rasanya dadanya menjadi berdebar-debar.
Kedatangannya mungkin akan dapat menimbulkan salah
paham, karena ia dapat disangka telah mencampuri persoalan
perguruannya. "Tetapi yang dilakukan belum dapat digolongkan dalam
bentuk perguruan, karena sifatnya yang terbuka," berkata
paman Wita di dalam hatinya. Namun demikian, ia masih tetap
dibayangi oleh kecemasannya.
Sejenak kemudian, maka mereka berdua pun telah
memasuki regol halaman rumah yang sedang. Tetapi
nampaknya rumah itu agak kurang terpelihara. Beberapa
bagian dari sudut-sudutnya telah berlubang, bahkan sebelah
dindingnya telah miring. "Agaknya penghuni rumah itu tidak sempat memelihara
rumahnya," berkata paman Wita di dalam hatinya."
Sejenak ia berdiri termangu-mangu di depan pintu rumah
yang tertutup itu. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah
kemanakannya yang berkerut-merut.
"Benar di sini ia tinggal?" ia sekedar bertanya saja untuk
melepaskan ketegangan di dadanya.
Kemanakannya menganggukkan kepalanya. Dengan
tangan yang agak gemetar, maka paman Wita itu pun segera
mengetuk pintu rumah yang tertutup itu.
"Mungkin ia tidak ada di rumah," berkata adik Wita.
"Apakah ia tinggal seorang diri?"
"Tidak. Isterinya ada di rumah. Ia tidak pernah pergi kecuali
membeli garam dan gula di pojok desa."
Pamannya mengangguk-angguk. Sekali lagi ia mengetuk
pintu. "Siapa?" terdengar suara seorang perempuan.
"Itukah isterinya?" paman Wita berdesis.
Kemanakannya menganggukkan kepalanya, "Ya. Tidak ada
orang lain di rumah itu."
Sejenak kemudian, pintu rumah itu terbuka. Seorang
perempuan setengah tua menjengukkan kepalanya dari selasela
pintu. Namun sebelum paman Wita bertanya, perempuan
itu sudah mendahuluinya, "Suamiku tidak ada di rumah. Ia
pergi membawa ayam aduan. Carilah di kalangan sabung
ayam, atau di tempat perjudian." Paman Wita mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Di manakah
kalangan sabung ayam itu?"
"Aku tidak tahu. Ada empat tempat yang sering
dikunjunginya, dan beberapa tempat perjudian. Aku tidak tahu
di mana ia sekarang berada."
"Apakah ia akan pulang segera?"
"Aku tidak pernah tahu, kapan ia akan pulang. Mungkin hari
ini, mungkin besok atau lusa. Aku tidak pernah tahu, dan aku
tidak pernah ingin tahu."
Paman Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun juga,
apalagi ketika ia masih belum beranjak dari tempatnya, pintu
itu sudah tertutup kembali.
"Hem," ia menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah kita akan mencarinya, Paman?"
"Kemana?" "Aku tahu empat tempat menyabung ayam yang dimaksud."
"Dan tempat berjudi itu?"
Adik Wita menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun
kemudian menjawab, "Mungkin ayah mengetahuinya."
"Ayahmu mengetahui tempat-tempat itu?"
"Mungkin." "Marilah kita pulang."
"Sekali lagi, mereka kembali ke rumah Santa dengan
tergesa-gesa. Sekali lagi, ayah dan ibu Santa menjadi
berdebar-debar. Tetapi mereka, terutama ibunya, menjadi
sangat kecewa ketika adiknya itu mengatakan bahwa bekas
prajurit itu tidak ada di rumah.
"Sudahlah. Aku tidak akan memikirkannya lagi," desis ayah
Wita. "Tetapi anak itu tidak menyadari keadaannya," berkata
isterinya. "Aku sudah kehabisan akal. Agaknya memang lebih baik
baginya untuk mendapat pelajaran sekali-sekali. Kalau ia tahu
apa yang terjadi akibat perbuatannya, ia akan berpikir tentang
dirinya lebih dalam."
"Tetapi akibatnya mungkin di luar dugaan kita," sahut
isterinya. "Ya, Kakang. Kita harus berusaha mencegahnya," berkata
iparnya. "Memang akibatnya mungkin tidak kita bayangkan. Di
Sangkal Putung pun ada anak-anak muda seperti Wita. Anakanak
muda yang baru tumbuh setelah perang selesai. Mereka
juga ingin disebut pahlawan seperti angkatan sebelumnya.
Tetapi mereka salah jalan. Mereka tidak berbuat sesuatu yang
bermanfaat bagi kampung halamannya, tetapi mereka sekedar
memperlihatkan kejantanannya. Karena bagi mereka,
kejantanan itu sejalan dengan kepahlawanan tanpa mengingat
arti dari perbuatannya itu bagi kampung halamannya dan
sesamanya." "Lalu, apa yang harus aku lakukan" Aku tidak dibenarkan
untuk mencari Wita di antara kawan-kawannya, karena hal itu
akan dapat membuatnya menjadi semakin kasar. Sekarang
aku didesak harus berbuat sesuatu. Apa yang harus aku
lakukan?" "Kakang," berkata paman Wita, "aku akan kembali ke
Sangkal Putung. Kalau mungkin, aku akan mencegah anakanak
Sangkal Putung. Tetapi, Kakang pun harus berusaha
menemui bekas prajurit itu. Ia adalah satu-satunya orang yang
masih mungkin mempunyai pengaruh atas Wita dan kawankawannya."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Menemui Ki Demang di Sangkal Putung."
Santa mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Tetapi
sekali lagi ia menggeleng, "Tidak. Aku tidak mau mengurusi
anak itu lagi." "Jangan, Kakang," berkata adik iparnya, "kau harus tetap
berusaha. Aku juga akan berusaha. Mudah-mudahan Ki
Demang di Sangkal Putung dapat mengerti."
"Kalau ia dapat mengerti, apa yang akan dilakukannya?"
"Menguasai anak-anak muda Sangkal Putung."
"Mustahil. Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung
merasa dirinya kuat dan di dalam hal ini, kalau benar
ceriteramu, anak Semangkak-lah yang salah."
"Tetapi apakah jeleknya kita mencobanya?" Namun
demikian, sekilas terbayang di angan-angan paman Wita itu,
seorang anak muda yang gemuk tertawa di tangga pendapa
kademangan. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri
sendiri, "Apakah Swandaru dapat mengerti?"
Sejenak Santa pun merenung. Ketika tanpa sesadarnya ia
berpaling memandang wajah isterinya, dilihatnya mata itu
basah. "Hem," Santa menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian dalam nada yang rendah, "Baiklah. Aku akan
berusaha menemui penjudi, penyabung ayam dan pemabuk
itu." "Mungkin ia dapat mencegah anak-anak Semangkak."
"Atau justru ikut serta dengan mereka."
"Ah. Tentu tidak. Seharusnya tidak."
"Baiklah. Aku akan mencarinya. Tetapi tentu amat sulit
untuk menemukannya."
"Sebaiknya Kakang berusaha. Sekarang aku akan kembali
ke Sangkal Putung. Kepergian Wita memang menimbulkan
kecurigaan. Supaya tidak terjadi sesuatu, kita yang tua-tua
inilah yang harus berusaha."
Santa tidak menjawab. Sekali ia menarik nafas dalamdalam.
Kemudian ia duduk saja merenung memandang ke
kejauhan. "Sudahlah, Kakang," berkata adik iparnya, "aku akan
segera kembali, supaya kita tidak terlambat. Bukankah
Kakang akan segera pergi juga, mencari orang yang
mengajari anak-anak Semangkak berkelahi itu?"
Santa mengangguk. Jawabnya kosong, "Ya. Aku juga akan
pergi." Demikianlah, maka paman Wita itu pun segera minta diri
kepada kakaknya suami isteri. Dengan tergesa-gesa, ia
meninggalkan Semangkak dan kembali ke Sangkal Putung.
Dadanya menjadi semakin berdebar-debar, ketika dari
kejauhan ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di gardu
itu sudah berpindah ke sudut desa, sehingga ia pun terpaksa
mengambil jalan lain, melintasi pematang yang justru malahan
memintas lebih dekat. Meskipun paman Wita itu lewat di tempat terbuka, namun
agaknya anak muda Semangkak itu tidak begitu
menghiraukannya. Jika mereka mengerti, bahwa seseorang
dari Sangkal Putung mengetahui persiapan mereka, mungkin
mereka akan mengambil suatu sikap. Setidak-tidaknya
menahan paman Wita itu untuk tetap tinggal di Semangkak
sampai senja. Tetapi paman Wita ternyata lepas dari perhatian anak-anak
muda itu, sehingga ia berhasil meninggalkan Semangkak dan
kembali ke Sangkal Putung.
Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
bahwa beberapa anak muda Sangkal Putung pun telah
berkumpul di sudut desa. Meskipun tidak sebanyak anak-anak
muda Semangkak. "Berbahaya sekali," berkata paman Wita itu di dalam
hatinya, "yang berdiri di sudut desa itu adalah anak-anak
muda Sangkal Putung yang baru berkembang. Yang pernah
melihat peperangan di jaman pasukan Tohpati ada di sekitar
daerah mereka, tetapi yang pada saat itu masih merupakan
kekuatan cadangan. Karena mereka dianggap masih belum
cukup masak untuk turun ke pertempuran."
Karena itu, seolah-olah paman Wita itu telah didera untuk
berjalan lebih cepat lagi, agar ia segera dapat berbicara
dengan Ki Demang di Sangkal Putung.
Untunglah, bahwa Ki Demang Sangkal Putung ada di
rumahnya. Bahkan Swandaru yang masih lelah, ada juga di
pendapa, bersama dengan Agung Sedayu. Sedang
Sumangkar dan Kiai Gringsing, duduk di serambi gandok
menghadapi mangkok air hangat dan beberapa potong
makanan. "O, silahkan," Ki Demang mempersilahkan tamunya,
"marilah. Duduklah di sini."
Paman Wita itu pun kemudian duduk di pendapa. Tetapi
nafasnya masih juga terengah-engah, sehingga Ki Demang
segera bertanya dengan cemas, "Apakah kau sudah pergi ke
Semangkak?" "Aku datang dari Semangkak."
"O, bagaimana dengan Santa?"
"Kakang Santa tidak apa-apa. Tetapi anak-anak muda
Semangkak-lah yang telah berhasil dipengaruhi oleh Wita."
"Mereka akan membalas dendam?" bertanya Swandaru
dengan serta-merta. Paman Wita menganggukkan kepalanya.
"Gila!" Swandaru menggeram, "Alangkah bodohnya anakanak
Semangkak." "Tidak. Tidak semua anak-anak Semangkak bodoh. Ada
juga di antara mereka yang tidak sependapat dengan Wita."
Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu paman
Wita pun menceriterakan apa yang telah dilihatnya di
Semangkak. "Ternyata ada juga ekor dari peristiwa itu," desis Ki
Demang. "Aku tidak menghendaki terjadi bentrokan
antara anak-anak kita di padukuhan induk ini, dengan anakanak
Semangkak." "Kita perlu menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka
adalah anak-anak yang tidak tahu diri."
"Ah," desah Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan
kata-katanya. Bahkan Swandaru-lah yang bertanya,
"Kenapa?" Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak dipandanginya
wajah Ki Demang, kemudian wajah Swandaru yang bulat.
"Apa yang akan kau katakan?" bertanya Swandaru
kemudian kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia masih
memandang Ki Demang sejenak, seolah-olah untuk
mendapatkan pertimbangan. Tetapi Ki Demang tampaknya
sedang merenungi persoalan yang sedang dihadapinya.
"Apa yang akan kau katakan?" Swandaru mendesak,
"Kenapa kau menjadi ragu-ragu?"
"Apakah yang akan kau lakukan menghadapi persoalan
ini?" bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
Swandaru tidak segera menyahut. Ia-lah yang kini
merenung, sekilas dipandanginya paman Wita, kemudian
ayahnya dan sejenak kemudian, ia menatap wajah Agung
Sedayu. "Apakah kau juga akan mengumpulkan anak-anak muda
Sangkal Putung?" bertanya Agung Sedayu pula.
Swandaru masih termangu-mangu. Tetapi ia kemudian
menyahut, "Anak Semangkak itu harus menyadari, bahwa
merekalah yang sebenarnya bersalah, apabila mereka benarbenar
akan datang ke Sangkal Putung untuk membalas
dendam." "Belum tentu kalau anak-anak Semangkak itu bersalah.
Mungkin Wita-lah yang telah memutar-balikkan persoalannya,
sehingga kawan-kawannya dapat dihasutnya."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
"Memang mungkin sekali."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah sebabnya, kita harus berhati-hati menghadapi
keadaan serupa ini," Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu,
"Anak-anak Semangkak tidak dapat kita samakan dengan
anak buah Tohpati, atau seperti orang-orang Menoreh yang
berpihak pada Sidanti waktu itu, atau seperti anak buah Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak."
"Ya, aku mengerti," Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, "tetapi, apakah kita akan membiarkan mereka
berbuat sesuka hati di Sangkal Putung?"
"Itulah yang harus kita pikirkan. Bagaimana kita mencegah
hal itu, tanpa menimbulkan benturan di antara kita, itulah yang
penting. Di dalam hal ini, bukanlah masalah harga diri dan
bukan sekali-sekali suatu perjuangan mempertahankan hak
milik serta kebebasan. Tetapi masalahnya adalah masalah
yang tumbuh di sudut lain dari segi-segi kehidupan anak-anak
muda." Swandaru tidak menyahut. Tetapi ketika ia berpaling
kepada ayahnya, Ki Demang berkata, "Angger Agung Sedayu
benar. Kita tidak boleh berbenturan dengan anak-anak muda
dari Kademangan tetangga. Kita akan menghubungi bebahu
Kademangan Semangkak. Mereka pun harus berusaha
mencegah anak-anak mereka."
(***) Buku 64 "BEBAHU Kademangan Semangkak agaknya telah
mengalami kesulitan mengendalikan anak-anak mudanya.
Tetapi masih juga dapat dicoba" berkata paman Wita.
"Biarlah Ki Jagabaya pergi ke Semangkak."
"Aku akan ikut serta" berkata paman Wita.
"Baiklah. Kalau begitu, pergilah kerumah Ki Jagabaya, dan
bawalah ia ke Semangkak. Katakan bahwa kau telah
menemui aku disini."
"Baiklah Ki Demang."
"Aku akan berusaha agar anak-anak Sangkal Putung tidak
mengimbanginya." "Terima kasih. Aku akan segera pergi kerumah Ki
Jagabaya. Mudah-mudahan ia ada dirumah."
Demikianlah, sepeninggal paman Wita, Ki Demang dengan
prihatin mencoba mencari jalan, agar benturan antara anakanak
muda itu dapat dihindarkan. Namun demikian Ki
Demangpun merasa, bahwa sulitlah kiranya untuk menekan
perasaan anak-anak muda di Sangkal Putung.
"Kita harus berusaha" berkata Ki Demang kemudian "dan
sebagian besar dari masalah ini terletak ditanganmu
Swandaru." Swandaru tidak segera menyahut.
"Kau harus berhasil menguasai mereka sebelum anak-anak
Semangkak itu datang."
"Apa yang sebaiknya aku lakukan ayah?"
"Kau harus menyingkirkan anak-anak muda Sangkal
Putung." "Jadi kita akan mengungsi ?"
Pertanyaan itu benar-benar sulit untuk menjawabnya.
Memang dalam menghadapi keadaan ini, perasaan dan nalar
tidak dapat selalu sejalan. Sebagai suatu Kademangan yang
besar dan kuat, anak-anak muda Sangkal Putung pasti
merasa terhina apabila mereka harus lari dan bersembunyi
karena kedatangan anak-anak Semangkak Tetapi menurut
pertimbangan nalar, perkelahian yang demikian biasanya akan
membawa akibat yang berlarut-larut.
"Memang sulit" tiba-tiba Ki Demang berdesis "tetapi aku
ingin bahwa benturan itu dapat terhindar tanpa merendahkan
diri kalian. Aku tahu, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung
tidak mau di sebut lari, licik atau apalagi takut."
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Tetapi kita harus menemukan jalan itu" berkata Ki Demang
kemudian. Agung Sedayu dan Swandaru masih saja menganggukangguk.
Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata "Kita
bersembunyi meskipun tidak lari."
"Maksudmu ?" "Beberapa orang saja diantara kita akan berada di
Kademangan. Kita bersembunyi diatap kandang. Kita melihat
apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak apabila
bebahu Kademangan mereka tidak dapat mencegah mereka.
Kalau mereka dapat diajak berbicara sukurlah. Ki Demang dan
Ki Jagabaya setelah pulang dari Semangkak akan berbicara
dengan mereka. Baru apabila hal itu tidak mungkin dilakukan,
kami, beberapa orang anak-anak muda akan mencoba
mengusir mereka. Hanya beberapa saja, supaya perasaan
kami dapat dikendalikan. Kalau jumlah kami terlalu besar,
maka kami akan kehilangan kemanapun untuk mengendalikan
diri, karena pengaruh orang banyak. Didalam suatu
lingkungan yang besar, kita akan dapat kehilangan
kepribadian." Swandaru merenung sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya
yang berkerut-merut. Agaknya Ki Demang sedang mencoba
merenungkan kata-kata Agung Sedayu itu.
"jadi maksudmu, anak-anak muda Sangkal Putung jangan
berbuat apa-apa?" bertanya Swandaru.
"Ya. Kecuali beberapa orang yang justru sudah berpikir
dewasa." Ki Demanglah yang kemudian menyahut "Tetapi ada juga
bahayanya. Jika mereka tidak dapat diajak berbicara, apa
yang akan kita lakukan dengan beberapa orang itu" Apalagi
kalau mereka menganggap bahwa anak-anak Sangkal Putung
lari ketakutan, dan mereka berbuat diluar dugaan"
"Misalnya?" "Mungkin angan-anganku terlampau berlebih-lebihan.
Tetapi kalau mereka membakar rum ah ini?"
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya "Memang
dapat saja terjadi. Ledakan kemarahan yang tidak mene
mukan sasaran memang akan dapat menimbulkan bencana
diluar dugaan. Tetapi sebelunmya kita memang harus
memperhitungkan dengan cermat. Yang akan tinggal di
Kademangan adalah beberapa anak muda yang bukan saja
dewasa cara berpikir, tetapi juga cara bertindak. Aku dan
Swandaru akan tetap berada disini. Kita masih memerlukan
lima orang anak muda lagi."
"Hanya bertujuh ?"
"Aku kira sudah cukup. Kalau kami mengalami kesulitan,
untuk sementara Ki Sumangkar dan guru akan berusaha
memperlambat usaha anak-anak Semangkak itu, sementara
salah seorang diantara kami akan membunyikan tanda untuk
memanggil beberapa orang, hanya beberapa orang tertentu.
Demikian berturut-turut, dengan tanda yang berbeda-beda."
"Tampaknya terlampau sulit untuk dijalankan."
"Aku yakin, bahwa kita akan dapat melakukannva. Susunan
kesatuan pengawal yang masih ada di Sangkal Putung sangat
menguntungkan. Kita menghubungi pemimpin-pemimpin
kelompok. Mereka harus bertanggung jawab atas anak buah
masing-masing." Swandaru menarik nafas. Katanya "Aneh sekali. Selama ini
kita memanggil pemimpin-pemimpin kelompok untuk
menyiapkan para pengawal apabila ada musuh mendatang,
kini kita berbuat sebaliknya. Kita mengumpulkan para
pengawal untuk menyingkir."
"Sesekali. Memang ada kalanya siput berjalan mundur."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ayahnya
berkata "Swandaru. Ternyata pendapat angger Agung Sedayu
itu baik. Cobalah kita lakukan. Aku pada dasarnya tidak
menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak muda dari
satu Kademangan dengan Kademangan yang lain. Itu hanya
akan membuang-buang tenaga dan terlebih-lebih lagi, kita
kehilangan ikatan kekeluargaan yang justru harus kita bina.
Swandarupun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya "baiklah. Aku akan memanggil mereka,
para pemimpin kelompok."
Tetapi Swandaru tidak memanggil mereka dengan
kentongan di Kademangan. Tanpa mengajak Agung Sedayu
ia pergi ke Banjar, dan memanggil para pemimpin kelompok
pengawal dengan pertanda kentongan dari banjar.
Setiap anak muda Sangkal Putung dapat membedakan
suara kentongan di banjar Kademangan, karena kentongan itu
termasuk salah satu dari beberara kentongan terbesar yang
ada di Sangkal Putung dengan warna nada khusus.
Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan beberapa
orang anak muda. Apalagi mereka yang dengan curiga
mengikuti peristiwa yang terjadi semalam.
"Apakah kita akan bertindak sesuatu?" bertanya salah
seorang dari anak-anak muda itu.
"Kita pergi ke Banjar."
Ternyata di banjar Swandaru mengumpulkan rara
pemimpin kelompok diruangan dalam. Ia memberikan
penjelasan khusus dan terperinci, agar mereka tidak
melakukan kesalahan yang akibatnva justru bertentangan
dengan yang mereka kehendaki sebenarnya.
"Apakah kalian sudah cukup jelas ?" bertanya Swandaru
kemudian. "Ya." sahut mereka hampir berbareng "cukup ielas."
"Kita menghindari becturan jasmaniah. Itu tidak baik dan
sama sekali tidak bermanfaat."
"Kami mengerti."
"Lima orang yang aku sebutkan, ikut aku ke Kademangan.
Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ikatan mereka tidak seerat pada saatsaat
Tohpati ada didepan hidung mereka, namun ternyata
bahwa para pemimpin kelompok itu masih mampu
menghubungi anak buahnya. Tetapi tugas mereka bertambah.
Mereka harus mengatur juga anak-anak muda yang masih
belum terikat didalam kelompok-kelompok pengawal. Namun
demikian, agaknya anak-anak muda yang pernah menjadi
pengawal Kademangan Sangkal Putung disaat-saat yang
gawat itu, masih mempunyai pengaruh yang kuat pada anakanak
muda yang sedang menyusul tumbuh di bawah mereka
selapis. Dalam pada itu, paman Wita bersama Ki Jagabaya dengan
tergesa-gesa pergi ke Semangkak. Mereka bermaksud
langsung pergi menemui bebahu Kademangan Semangkak.
Tetapi diluar dugaan, ketika mereka memasuki gerbang
padukuhan Semangkak tiba-tiba saia mereka berpapasan
dengan segerombol anak-anak muda. Diantara mereka
terdapat Wita. "Paman?" wajah Wita menjadi tegang. Pamannyapun
menjadi berdebar-debar Juga, Dipandanginya Wita yang
berada diantara kawan-kawannya, anak-anak mnda yang
tampaknya sedang dibius oleh dendam yang tidak mereka
mengerti sebab yang sebenarnya.
Sejenak suasana menjadi tegang. Kawan-kawan Wita
berdiri termangu-mangu. Sesekali mereka memandang wajah
Wita yang berkerut-merut kemudian memandang wajah orang
yang mereka jumpai itu. Baru kemudian Wita bertanya "Paman akan kemana?"
Paman Wita menjadi bingung sejenak. Tetapi ia
menemukan jawaban juga "Aku akan menemui ayahmu."
"Untuk apa ?" "Aku agak cemas, kau pagi-pagi sekali sudah
meninggalkan rumah kami. Jangan-angan ayahmu menjadi
salah paham tentang kau."
"Aku dapat mengatakan persoalanku kepada ayah, bahwa
paman tidak apa-apa."
"Tetapi boleh jadi ayahmu menganggap bahwa kau tidak
mau mengatakan persoalan yang sebenarnya. Karena itu, aku
akan menemuinya, supaya ayahmu tidak marah kepadaku."
"Tidak usah. Paman tidak usah pergi kerumah."
"Kenapa ?" "Sebaiknya paman tidak usah menemui ayah atau ibu atau
siapapun juga." "Aku tidak mengerti Wita."
"Maaf paman. Kami persilahkan paman kembaii. Kami
sedang sibuk disini."
"O" paman Wita menandang anak-anak Semangkek itu
dengan dada yang berdebar-debar. Tampak wajah-wajah
muda yang tegang, tetapi membayangkan pergolakan didalam
diri mereka. Ada sesuatu yang bergejolak didalam hati
mereka. Gejolak yang seakan-akan terrbendung, sehingga
pada suatu saat memerlukan penyaluran.
"Betapa dahsyatnya tenaga yang tersimpan didalam diri
mereka" berkata paman Wita didalam hatinya "kalau saja
tenaga yang sedahsat itu dapat disalurkan. Maka tenaga yang
dahsyat itu pasti akan dapat membangkitkan kerja yang besar
bagi Semangkak." Tetapi paman Wita tidak mendapat kesempatan, karena
Wita berkata "Paman, kami persilahkan paman kembaii." Wita
berhenti sejenak, lalu sambil memandang Ki Jagabaya, Wita
berkata "Ki Jagabaya dari Sangkal Putung pun akan kami
persilahkan kembali ke Sangkal Putung. Kami tidak dapat
menerima paman dan Ki Jagabaya dalam keadaan ini."
"Kenapa. dan apakah yang akan kalian lakukan ?"
"Tidak ada apa-apa paman Kami sedang mengerahkan
tenaga anak muda Semangkak untuk membangun jalan-jalan
yang sudah terlampau jelek."
"Alangkah baiknya jika demikian. Lakukanlah. Tetapi aku
akan menemui ayahmu."
"Tidak usah. Paman harus kembali ke Sangkal Putung.
Paman Wita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang
Sangkal Putung itu adalah orang tua2 yang cukup
berpengalaman, sehingga mereka merasa, dalam keadaan
yang demikian, mereka tidak akan dapat memaksakan
kehendak mereka. Karena itu, maka Ki Jagabayapun
kemudian berkata" Baiklah. Kalau kalian tidak mengijinkan
kami memasuki daerah Semangkak, kami akan segera
kembali." Paman Wita mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia
memandang tatapan mata Ki Jagabaya, seolah-olah ia dapat
membaca isi hatinya" Kita mencari jalan lain."
Karena itu, paman Witapun kemudian menganggukanggukkan
kepalanya sambil berkata "Baiklah. Baiklah, kami


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kembaii ke Sangkal Putung."
"Terima kasih. Paman dan Ki Jagababaya memang harus
kembali ke Sangkal Putung, Tetapi kami ingin memberikan
penghormatan kepada paman dan Ki Jagabaya"
"Maksudmu ?" bertanya paman Wita,
"Sebentar lagi matahari akan segera turun dan tenggelam.
Kami ingin mengantar paman berdua."
"He ?" wajah paman Wita menjadi merah
"Paman kami persilahkan menunggu sejenak. Kita akan
pergi bersama-sama."
"Gila" teriak paman Wita "kau jangan asal berkata saja
Wita." "Maaf paman. Kami justru ingin berbuat baik. Kami ingin
mengantar paman dan Ki Jagabaya."
"Itu tidak sopan. Itu perbuatan gila-gilaan. Aku mengerti
maksudmu. Jangan kau kira aku anak kecil yang dungu
Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia
berpaling memandang wajah kawan-kawannya. Dan hampir
berbareng kawan-kawannya berkata "Kau benar Wita."
"Nah, bukankah kawan-kawanku bersedia juga mengantar
paman nanti" Tetapi nanti sore paman. Dan bukankah paman
tidak akan terlalu lama menunggu."
Wajah paman Wita menjadi semakin tegang. Seharian ia
telah berjalan hilir mudik, dipadukuhannya sendiri dan di
Semangkak. Tetapi tiba-tiba anak-anak muda Semangkak itu
telah menahannya. Dalam pada itu Ki Jagabayapun menjadi marah bukan
buatan. Tetapi ia masih berusaha menahan dirinya. Adalah
tidak pantas apabila ia harus bertengkar dengan anak-anak.
Apalagi apabila ia harus mempergunakan kekerasan. Karena
itu, untuk sesaat ia tidak menyahut. Ia sedang mencari akal,
untuk melepaskan diri dari tangan anaak-anak muda yang
sedang dibakar oleh dendam dihatinya,
"Sudahlah" berkata Wita kemudian "paman dan Ki
Jagabaya tidak usah memikirkan keadaan kami. anak-anak
muda di Semangkak maupun di Sangkal Putung. Kami sudah
cukup dewasa untuk menentukan sikap kami sendiri.
"Baiklah" berkata Ki Jagabaya "kalian memang sudah
cukup dewasa, Tetapi kenapa kalian harus menahan kami
berdua" Apakah huburgannya dengan perbaikan jalan itu?"
Wita mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjawab.
"Memang tidak ada. Tetapi maaf, kami terpaksa
melakukannya. Kami sudah membuat suatu rencana. Dan Ki
Jagabaya jangan merusak rencana kami itu."
Terasa darah Ki Jagabaya semakin cepat mengalir. Kalau
saja ia tidak selalu berusaha menyadari dirinya, bahwa ia
berhadapan dengan anak-anak, maka ia pasti telah berusaha
untuk membebaskan diri tanpa menghiraukan akibatnya.
Tetapi berhadapan dengan anak-anak muda yang sedang
marah pula dibakar oleh dendam dan sakit hati, ia harus
membuat pertimbangan-pertimbangan lain, Pertimbangan
orang tua. Dalam pada itu Wita berkata selanjutnya "Kami mengharap
agar paman dan Ki Jagabaya tidak berusaha mengganggu
kami. Kami memang tidak akan memperbaiki jalan. Tentu
paman berdua sudah mengetahuinya, dan tentu kedatangan
paman dan Ki Jagabaya ada hubungannya dengan masalah
tersebut meskipun barangkali baru menduga-duga."
Benar-benar diluar dugaan paman Wita, ketika KI Jagabaya
kemudian berdesah sambil berkata "Apaboleh buat."
"Terima kasih atas sikap paman yang baik itu. Sekarang
paman kami persilahkan singgah dirumah salah seorang
kawan kami diujung desa.".
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling
kepada paman Wita ia berkata "Kita tidak usah membuat ributribut
disini. Sebentar lagi senja akan datang."
"Tetapi ?"?" bertanya paman Wita. Namun suaranya
tertahan ketika dilihatnya mata anak-anak muda itu bagaikan
menyala "Tidak bijaksana kita bertegang terhadap anak-anak."
Paman Wita akhirnya mengangguk "Baiklah jika Ki Jagabaya
memutuskan demikian."
"Sekali lagi kami mergucapkan terima kasih" lalu Wita
itupun berkata kepada kawannya "bawa keduanya untuk
singgah kerumahmu sebentar. Ajaklah dua orang untuk
mengawaninya. agar Ki Jagabaya dan paman mempunyai
teman bercakap-cakap."
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ternyata anak-anak
itu cukup berhati-hati, sehingga mereka perlu mengirimkan
dua orang untuk mengawasinya, selain anak muda yang
mempunyai rumah itu sendiri.
Tetapi jalan yang dicari Ki Jagabaya semakin jelas tampak
olehnya. Baginya, tiga anak-anak muda itu tidak akan begitu
sulit untuk menerobosnya, apalagi berdua dengan paman
Wita. Demikianlah maka mereka berlima berjalan memasuki
halaman rumah diujung desa. Rumah yang tampaknya begitu
sepi dan kotor. "Inilah rumahku" berkata anak muda yang membawanya
"rumah ini sudah lama kosong. Rumah ini sebenarnya rumah
kakek. Tetapi kakek telah meninggal."
"Dimana ayah dan ibumu?"
"Ayah dan ibuku berada dirumah ayah sendiri Akulah yang
menunggu rumah ini."
"Sendiri ?" "Ya sendiri." "Bagaimana kau makan sehari-hari ?"
"Rumah ayah tidak begitu jauh. Aku makan dirumah. Ayah
berada diujung yang lain dari desa ini."
"O" Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika mereka memasuki
rumah itu. Perkakas rumah yang tidak teratur, bumbung
berserakan disana-sini. Dan yang membuat Ki Jagabaya dan
paman Wita menjadi berdebar-debar adalah bau tuak yang
memenuhi ruangan. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Jagabaya berkata
"inikah agaknya tempat yang dipergunakan oleh anak-anak
muda Semangkak untuk berkumpul, duduk-duduk dan
berbicara tentang macma-macam hal dimalam hari?"
"Ya, justru karena rumahku kosong." Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi tidak semua anak-anak Semangkak sering datang
kemari. Anak-anak yang merasa dirinya piyayi tidak pernah
sudi menginjak rumahku yang jelek ini. Mereka adalah anakanak
muda yang merasa dirinya terlalu bersih."
Ki Jagabaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Silahkan duduk" anak muda itu mempersilahkan. Ki
Jagabaya dan paman Witapun segera memasuki bagian
dalam dari rumah itu. Terasa seakan-akan nafas mereka
menjodi sesak oleh udara yanp lembab.
"Aku akan duduk diserambi saja" berkata Ki Jagabaya.
"Maaf Ki Jagabaya" jawab anak muda yang mempunyai
rumah itu "aku biasa menerima tamu diruang dalam."
Ki Jagabaya menarik nafas. Tetapi ia tidak membantah.
Demikianlah mereka duduk diruang dalam yang gelap.
Terasa sinar matahari yang semakin rendah tidak lagi dapat
menerobos masuk pintu yang rendah untuk mencapai bagian
dalam rumah yang kotor itu, sehingga bau tuak semakin
menusuk hidung. "Apakah kalian minum tuak ?" tiba-tiba Ki Jagabaya
bertanya. Anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang dari mereka
menjawab."Setiap laki-laki pantas minum tuak."
"Dan kalian adalah laki-laki."
"Ya. Kami minum tuak." ketiga anak-anak muda itu tertawa.
Tanpa disadarinya terasa bulu-bulu tengkuk paman Wita
meremang. Ini adalah gambaran hidup Wita sendiri
dipadukuhannya, sehingga ayahnya mengirimkannya ke
Sangkal Putung. Tetapi justru karena itu, maka kini tumbuhlah
persoalan yang gawat antara kedua padukuhan itu.
Ki Jagabayapun kemudian hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya
saja dinding-dinding yang memutari ruangan itu. Kotor dan
penuh dengan sarang laba-laba.
Tetapi Ki Jagabaya tidak menunjukkan sikap yang dapat
menimbulkan kecurigaan. Ia duduk saja sambil menganggukangguk.
Ketika anak-anak itu menawarkan tuak kepadanya,
tiba-tiba saja ia tersenyum "Masih ada?"
Paman Wita terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi
ketika ia melihat wajah Ki Jagabaya yang tersenyum-senyum
ketika anak-anak muda itu memandanginya dengan heran
pula. "He" berkata Ki Jagabaya lebih lanjut "masih ada?"
"Apakah Ki Jagabaya benar-benar menghendaki?"
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Ya, sejak semalam aku tidak minum tuak."
"Jadi benar-benar Ki Jagabaya mau minum?"
"Tetapi aku hanya mau minum tuak yang baik."
"O tentu Ki Jagabaya. Kamipun tidak mau minum tuak yang
jelek." "Baik. Baik. Terima kasih."
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tibatiba
salah seorang dari mereka berdiri dan masuk keruang
sebelah. Ketika ia keluar dijinjingnya sebuah bumbung besar
berisi tuak. dan beberapa bumbung-bumbung kecil.
"Marilah Ki Jagabaya" anak muda itu memberikan sebuah
bumbung kecil kepada Ki Jagabaya dan kemudian menuangi
bumbung itu dengan tuak. Ki Jagabaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sambil mengangkat bumbung itu
dihidungnya ia berkata "Ah. Ini tuak untuk anak-anak. Bukan
tuak untuk seorang laki-laki."
"Kenapa?" Ki Jagabayapun kemudian mencicipi tua itu "Tidak ada
rasanya sama sekali. Hanya manis saja."
"Ah" ketiga anak-anak muda itu hampir berbareng
berdesah. Salah seorang berkata "Tuak ini tuak yang baik."
Wajah Ki Jagabaya menjadi berkerut merut. Tetapi ia masih
memegang bumbung berisi tuak itu. "Silahkan Ki Jagabaya."
Ki Jagabaya tidak segera meminumnya. Katanya pula
"Seperti minum legen mentah. Manis dan menghilangkan
haus." "Tentu tidak." anak-anak muda itu saling berpandangan.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menuang tuak itu
kedalam bumbungnya sendiri. Satu kali teguk isi bumbung itu
telah kering. "Benar-benar tuak malang. Tuak itu sudah disimpan lama
sekali. Apakah masih kurang keras bagi Ki Jaga-baya."
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Tetapi anak muda itu telah menuang tuak itu sekali lagi
kebumbungnya sendiri. Bahkan anak-anak yang lainpun
berbuat serupa pula. Mereka kemudian meneguk isi bumbung
itu sampai habis Tetapi mereka mengisinya pula demikian
berkali-kali, sehingga lambat laun kepala mereka menjadi
pening. Selagi mereka sibuk, dengan diam-diam, tanpa diketahui
oleh anak-anak itu, Ki Jagabaya telah membuang isi
bumbungnya kelantai yang terbuat dari tanah. Kemudian ia
berpura-pura meneguk tuak itu sampai bumbungnya kering.
"Benar-benar" tiba-tiba ia berkata "tuak ini memang tuak
yang baik. Tetapi bagiku tidak ubahnya seperti legen, seperti
yang sudah aku katakan. Mari isi bumbungku lagi.
Anak-anak itu telah menuang bumbung tuak itu pula
kedalam bumbung Ki Jagabaya, tetapi mereka tidak lupa
menuang kedalam bumbungnya sendiri. Sementara Ki
Jagabaya membuang tuak itu kesudut ruangan, anak-anak
muda itu sudah menghabiskan beberapa bumbung lagi.
"Cukup" berkata salah seorang dari mereka "kepalaku
pening." Yang, lainpun mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih
memegang bumbung-bumbung kecil ditangan mereka.
Ketika mereka hampir meletakkan bumbung-bumbung kecil
itu, Ki Jagabaya telah mengacungkan bumbungnya sekali lagi
sambil berkata "Beri aku lagi. Sebumbung penuh. Tuak
semanis legen ini memang enak. Tetapi tidak memuaskan."
Sambil terhuyung-huyung anak yang memegang bumbung
tuak itu mengisi bumbung Ki Jagabaya tidak saja menjadi
penuh, tetapi bahkan melimpah-limpah.
Sambil tertawa ia berkata "Ki Jagabaya juga seorang
peminum yang baik. Mari, mari kita minum bersama-sama.
Sekali lagi dan sekali lagi anak-anak itu mengisi
bumbungnya. Mereka meneguk tuak tanpa ragu-ragu lagi,
seperti yang selalu mereka lakukan.
Ki Jagabaya memandang anak-anak muda itu dengan
tegangnya. Akhirnya ketiga anak-anak muda itu menjadi
mabuk dan terkapar sambil mengigau tanpa arah.
"Mereka menjadi mabuk" berkata Ki Jagabaya "kita harus
segera pergi." "Ya Kita tinggalkan rumah lembab ini. Kite segera kembali
ke Sangkal Putung" "Tidak. Kita pergi ke Kademangan Semangkak." Dengan
hati-hati Ki Jagabaya itu menjengukkan kepalanya. Ketika
halaman itu ternyata sepi, maka iapun segera mengajak
paman Wita segera keluar. Namun ia masih sempat
mendengar anak muda itu mengigau "Kita bunuh saja
Swandaru yang gila itu."
Dalam pada itu Ki Jagabayapun segera meninggalkan
halaman rumah itu diikuti oleh paman Wita. Dengan hati-hati
mereka keluar regol dan kemudian hampir berlari-lari mereka
meliatas sebuah simpang tiga dan kemudian hilang masuk
kejalan sempit. Meskipun masih belum senja, tetapi jalan sempit itu sudah
sunyi. Dengan demikian Ki Jagabaya dapat berjalan cepatcepat
menuju ke Kademangan. Kedatangan KI Jagabaya Sangkal Putung itu benar-benar
telah mengejutkan. Semula mereka menyangka, bahwa Ki
Jagabaya itu sedang mengejar seseorang yang akan
ditangkapnya. Tetapi orang itu orang Semangkak. Namun
akhirnya dahi Demang Semangkak itu menjadi tegang, ketika
ia mendengar keterangan Ki Jagabaya mengenai anak-anak


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda mereka. "Huh, kami memang hampir menjadi gila dibuatnya" desis
Ki Demang Semangkak. Ki Jagabaya dari Sangkal Putung dan paman Wita
mengangguk-angguk. Mereka menyadari kesulitan yang
dihadapi oleh Ki Demang di Semangkak.
"Mereka telah bersiap untuk berangkat" berkata Ki
Jagabaya. "Tidak semua anak-anak muda bersikap seperti mereka"
berkata Ki Demang "tetapi karena yang lain tidak suka
keributan, mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka
seakan-akan telah menyingkir dari pergaulan yang suram itu."
"Kita dapat mencegah mereka" berkata seorang bebahu
Kademangan Semangkak" aku akan memanggil anak-anak
muda yang lain, yang tidak sependapat dengan mereka"
"Ah" Ki Demang berdesah "tentu akibatnya tidak
menyenangkan. Mereka bahkan akan berkelahi sesama anakanak
Semangkak." "Itu lebih baik daripada mereka dihancurkan oleh anakanak
muda Sangkal Putung."
"Aku akan berusaha agar anak-anak muda Sangkal Putung
tidak melibatkan diri."
"Bagaimana mungkin. Anak-anak Semangkak akan datang
ke Sangkal Putung." Ki Demang berpikir sejenak "anak-anak
itu memang harus dicegah. Tetapi tidak bijaksana kalau anakanak
kita harus saling berkelahi. Aku akan mencoba sekali
lagi." Tetapi bebahu Kademangan itu menggelengkan kepalanya
"Apakah hal itu mungkin ?"
"Aku akan mencoba. Aku akan memanggil Ki Jagabaya di
Semangkak." "Silahkan Ki Demang" berkata Ki Jagabaya di Sangkal
Putung "aku akan mendahului. Semuanya terserah kepada
kebijaksanaan Ki Demang. Kita mengutamakan keselamatan
anak-anak kita. Keselamatan badaniah dan keselamatan
rohaniah." "Ya. Kita memang bertanggung jawab. Orang-orang tua
merekapun harus bertanggung jawab. Kesalahan anak-anak
muda itu sebagian adalah kesalahan orang-orang tua pula."
"Baiklah. Sebelum terjadi sesuatu, aku harus berada di
Sangkal Putung." "Silahkan. Aku juga akan segera berbuat sesuatu." Ki
Jagabaya dan paman Witapun segera meninggalkan
Kademangan. Mereka mengambil jalan lain sehingga
mereka tidak berpapasan lagi dengan anak-anak muda
Semangkak yang semakin lama menjadi semakin banyak
menjelang senja. Dengan tergesa-gesa Ki Jagabaya meloncati parit
kemudian menyelusuri pematang kembali ke Sangkal Putung.
"Bekas prajurit yang mengajari anak-anak itu olah
kanuragan juga sedang dicari oleh kakang Santa" berkata
paman Wita "mudah-mudahan ia dapat membantu mencegah
persoalan ini" "Mudah-mudahan" gumam Ki Jagabaya sambil melangkah
lebih cepat lagi. Dalam pada itu, anak-anak yang berkumpul diregol
padukuhan Semangkak menjadi gelisah ketika matahari
menjadi semakin rendah. Mereka seakan-akan tidak sabar lagi
me-nunggu. "Ki Jagabaya sudah terlalu lama menunggu" berkata salah
seorang dari mereka hampir diluar sadarnya.
"Biar saja. Sesekali duduk termenung di Kademangan
tetangga bersama anak-anak muda."
"Bagaimana dengan pamanmu, Wita ?" bertanya salah
seorang kawannya. "Ia selalu ingin mencampuri persoalanku. Mudah-mudahan
ia menjadi jera, dan tidak lagi merasa lebih berpengaruh
atasku dari ayahku sendiri."
Kawannya tertawa. Ia akan mengumpat-umpat sepekan
tidak ada habis-habisnya. Tetapi kasian juga kalau ia menjadi
sasaran kemarahan anak-anak Sangkal Putung besok atau
lusa. "Salahnya sendiri. Tetapi anak-anak Sangkal Putung pasti
tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Mereka harus
menyadari, bahwa Sangkal Putung bukan Kademangan
terkuat di daerah Selatan ini. Mungkin disaat Tohpati
berkeliaran di sini, Sangkal Putung menjadi sasaran. Tetapi itu
bukan berarti bahwa anak-anak muda Sangkal Putung
menjadi sekuat prajurit-prajurit Pajang. Dan itu bukan berarti
bahwa anak-anak Semangkak tidak berbuat apa-apa waktu
itu." "Sekarang kita akan membuktikan. Kita akan merusak
semua gardu di Sangkal Putung, dan memecah semua
kentongan. Swandaru harus menyadari, bahwa ia adalah
seorang anak muda biasa. Bukan seorang pahlawan besar
yang pantas membanggakan diri." gumam salah seorang dari
mereka meskipun ia tidak mengenal Swandaru dari dekat.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, salah seorang
dari anak-anak muda itu berkata "Senja itu telah datang.
Marilah kita bersiap. Kita sudah terlalu lama duduk disini."
"Ambil Ki Jagabaya dan paman" berkata Wita "kita bawa
mereka bersama. Mereka akan menyaksikan anak-anak muda
kebanggaan mereka itu lari lintang pukang melihat
kedatangan kita." Demikianlah dua orang anak muda pergi kerumah di ujung
desa untuk mengambil Ki Jagabaya dan paman Wita.
Tetapi ketika mereka sampal kerumah itu, mereka menjadi
terkejut. Ternyata yang mereka jumpai adalah ketiga kawankawan
mereka yang sedang tidur karena mabuk tuak.
"Gila" teriak salah seorang dari kedua anak-anak muda itu
"mereka mabuk tuak."
"Mari, kita bangunkan mereka. Ki Jagabava pastI sudah
lari." Dengan susah payah maka ketiga anak-anak muda itu di
bangunkan. Tetapi karena kesadaran mereka masih belum
pulih kembali, maka yang mereka ucapkanpun tidak lebih dari
sebuah ingauan yang tidak menentu.
"Kalian sudah gila" bentak kawannya "dimana Ki Jagabaya
dan paman Wita itu ?"
Anak-anak muda yang baRU terbangun itu menggelengkan
kepalanya. "Kalian yang menunggui mereka disini."
Perlahan-lahan ingatan anak-anak yang mabuk itu
merayapi otaknya kembali. Meskipun masih kabur namun
mereka mulai teringat kepada Ki Jagabaya dan paman Wita
Karena itu maka dengan wajah yang tegang salah seorang
dari mereka bertanya "Ya, dimana Ki Jagabaya ?"
"Lari" sahut yang lain "ia pasti lari. Licik sekali. Ia membuat
kita mabuk." "Bodoh. Bodoh sekali. Kalian telah mabuk dan membiarkan
Ki Jagabaya Sangkal Putung bersama paman Wita itu pergi."
"Mereka akan segera memberitahukan hal ini kepada anakanak
muda Sangkal Putung sehingga mereka sempat
mempersiapkan diri."
"Gila. Mari kita segera kembaii keregol. Kita harus
berangkat sekarang."
Demikianlah anak-anak muda itu berlari-lari pergi keregol
padukuhan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka
memberitahukan bahwa Ki Jagabaya dan paman Wita telah
pergi tanpa diketahui oleh anak-anak yang menjaganya,
karena mereka telah mabuk.
"Berbahaya sekali" desis Wita "jika mereka mencapai
Sangkal Putung, maka anak-anak muda Sangkal Putung
sempat mempersiapkan diri."
"Kalau begitu kita harus segera berangkat. Meskipun Ki
Jagabaya datang lebih dahulu dari kita, tetapi mereka pasti
belum sempat mengadakan persiapan apapun untuk
menyambut kedatangan kita. Sementara itu kita sudah dapat
membuat mereka terkejut dengan membakar gardu-gardu dan
menghajar siapapun yang kita jumpai.
Mereka masih harus terpencar-pencar. Jika mereka sempat
berkumpul, mereka akan dapat menyusun kekuatan."
Demikianlah, maka anak-anak muda itu memutuskan untuk
segera berangkat. Seperti orang yang pergi berperang,
mereka membawa bermacam-macam senjata.
Beberapa orang yang melihat mereka meninggalkan
padukuhan Semangkak menjadi berdebar-debar. Tetapi
mereka hanya dapat saling bertanya. apakah yang akan
dilakukan oleh anak-anak muda itu.
Sementara itu, Ki Demang di Semangkak setelah
memanggil Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi pula
diregol padukuhan Semangkak. Tetapi ternyata anak-anak
Semangkak telah berangkat. Mereka tidak dapat
mencegahnya lagi. karena mereka datang terlambat beberapa
saat. "Kenapa mereka tidak menunggu senja ?" bertanya Ki
Demang kepada diri sendiri. Menurut Ki Jagabaya di Sangkal
Putung, anak-anak itu akan berangkat setelah senja.
Tetapi ketika Ki Demang menengadahkan wajahnya ke
langit, maka matahari telah hampir kehilangan sinarnya. Senja
memang sudah mulai turun perlahan-lahan.
"Jadi bagaimana sebaiknya Ki Jagabaya ?" bertanya Ki
Demang kemudian. "Kita menyusul mereka."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya Desisnya
"Ya, kita menyusul mereka."
Dengan demikian, maka Ki Demang bersama Ki Jagabaya
diiringi oleh beberapa-bebahu yang lain pergi menyusul anakanak
muda dari Semangkak itu. Kali ini mereka harus benarbenar
berhasil mencegah mereka. Kalau tidak, maka keadaan
anak-anak muda mereka justru akan menjadi semakin parah.
Dalam nada itu, anak-anak muda Semangkak itupun
dengan tergesa-gesa pula pergi ke Sangkal Putung. Bahkan
kadang-kadang mereka berlari-lari kecil melintasi bulak,
menyusur pematang. Beberapa orang yang masih berada disawah melihat iringiringan
itu dengan hati yang berdebar-debar. Didalam hati
mereka bertanya "Apalagi yang akan dilakukan oleh anakanak
itu?" Namun mereka hanya dapat memandang iring-iringan itu
dari kejauhan dan dengan hati yang cemas.
Sementara itu, Sangkal Putung telah mempersiapkan diri
menyambut kedatangan anak-anak Semangkak dengan
caranya. Tidak ada seorang anak mudapun yang tampak,
Yang ada di Kademangan adalah Ki Demang Sangkal Putung
dan beberapa orang bebahu. Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar sengaja berada didalam gandok, karena langsung
atau tidak langsung, Kiai Gringsing mempunyai hubungan
dengan Swandaru. Meskipun Ki Demang sendiri adalah ayah
Swandaru. tetapi dalam kedudukannya sebagai Demang
Sangkal Putung, ia tidak dapat ingkar akan tugasnya,
menghadapi kemungkinan yang manapun juga yang dapat
terjadi. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru dan
beberapa orang anak muda terpilih, bersembunyi diatas
kandang. Jika keadaan memaksa, maka merekapun tidak
akan dapat membiarkannya. Sedang didalam rumah Ki
Demang masih ada seorang lagi yang dapat membantu
mereka apabila diperlukan. Sekar Mirah. Tetapi bagi
Sumangkar, jika tidak memaksa sekali, Sekar Mirah lebih baik
berada didapur daripada ikut didalam keributan itu.
Yang datang lebih dahulu ke Kademangan itu adalah Ki
Jagabaya bersama paman Wita. Mereka dapat sekedar
memberikan gambaran apa yang akan dilakukan oleh anakanak
Semangkak itu. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Memang
terlampau sulit untuk mengendalikan anak-anak yang sudah
terlanjur lepas dari ikatan kepribadian kita yang sebenarnya
lembut. Kita memang harus ber-hati-hati."
"Kalau mereka mengetahui aku melepaskan diri, maka
mereka pasti akan segera menyusul."
Belum lagi Ki Demang menjawab, maka seorang pengawas
datang dengan tergesa-gesa melaporkan, bahwa anak-anak
muda Semangkak telah datang.
"Bersembunyilah. Untung kami sempat memberikan
penjelasan kepada anak-anak muda dan menenangkan
penduduk. Biarlah aku menerimanya. Mereka pasti akan
langsung menuju kemari mencari Swandaru." berkata Ki
Demang. "Bagaimana jika mereka keras kepala dan tidak mau
mendengarkan penjelasan Ki Demang?"
Ki Demang mengangkat bahunya. Sejenak ia memandang
Ki Jagabaya, kemudian orang-orang yang ada disekitamya.
Baru kemudian ia menjawab "Kita mengharap mereka akan
mendengar penjelasan-penjelasan."
"Sokurlah kalau pimpinan Kademangan Semangkak sendiri
berhasil mencegah mereka."
"Mereka sudah diambang pintu Sangkal Putung." Ki
Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kalau pimpinan
Kademangannya sendiri tidak dihiraukannya, apalagi pimpinan
Kademangan tetangga, terlebih-lebih anak-anak itu memang
merasa mempunyai persoalan dengan Sangkal Putung.
Dalam kebimbangan itu Ki Demang berkata sekali lagi
kepada anak muda yang mengawasi anak-anak Semangkak
itu "Bersembunyilah. Kawan-kawanmu ada dikandang."
"Baiklah" desis anak itu.
Baru saja la hilang dari pendapa, terdengar dikejauhan
suara anak-anak muda yang berteriak-teriak tidak menentu.
Berteriak-teriak seperti orang yang sedang mengejar tupai.
"Serahkan Swandaru. Serahkan Swandaru. Kalau tidak,
Sangkal Putung menjadi lautan api."
Yang mendengar teriakan-akan itu menjadi ngeri juga.
Anak-anak muda dalam jumlah yang besar beriring-iringan
sambil berteriak-teriak disepanjang jalan Sangkal Putung.
"Mereka datang" desis Ki Demang.
Ki Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, anak-anak muda Semangkak yang datang
di Sangkal Putung itu merasa, bahwa kehadirannya tidak di
ketahui oleh anak-anak muda Sangkal Putung, temyata tidak


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada seorangpun yang menahan kedatangan mereka. Namun
ketika mereka masuk lebih dalam, dan tidak seorangpun yang
mereka jumpai di gardu-gardu atau dimanapun, mereka mulai
curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata "Pengecut.
Ternyata anak-anak Sangkal Putung yang merasa dirinya
mampu melawan pasukan Tohpati ketika itu, kini hanya berani
menyembunyikan diri. Tidak seorangpun berani keluar dari
rumahnya." "Kita langsung pergi kerumah Swandaru."
"Ya, kita langsung pergi ke Kademangan. Kita temui Ki
Demang dan kita minta Swandaru. Kalau Ki Demang tidak
mau memberikan, kita jadikan Kademangan Sangkal Putung
karang abang" "Ya, kita jadikan Ki Demang tanggungan, sebelum kita
mendapatkan Swandaru yang sombong itu."
"Akulah yang akan mengurus Kademangan Sangkal
Putung." berkata Wita memotong kata-kata kawan-kawannya.
Kawan-kawannyapun tidak menyahut lagi. Dengan tergesagesa
mereka pergi ke Kademangan. Sepanjang jalan yang
sudah mulai gelap mereka sama sekali tidak menjumpai
seorangpun. Bukan saja anak-anak muda, tetapi seakan-akan
Sangkal Putung itu telah berubah menjadi sebuah kuburan
yang besar. Sepi. Sementara itu, Ki Demang di Semangkak berlari-lari
menyusul anak-anak mudanya yang telah berangkat
mendahului waktu yang diperkirakan. Mereka menjadi cemas,
kalau sesuatu telah terjadi. Jika mereka terlambat, maka
semuanya hanya akan dapat disesali.
Namun selagi ia masih berlari-lari ditengah sawah, anakanak
muda Semangkak telah memasuki halaman
Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang segera
memancar dihalaman, dikebun belakang dan yang lain
mendekati pendapa. Ki Demang di Sangkal Putung menjadi berdebar-debar
juga. Kali ini ia tidak menghadapi pasukan Tohpati. Tetapi
yang datang adalah anak-anak muda dari Semangkak. Anakanak
muda yang justru sedang tumbuh.
Seperti senja yang menjadi gelap, maka masa depan anakanak
muda itupun menjadi gelap. Jika mereka hanya
dicengkam oleh kesibukan yang tidak berarti apa-apa itu,
maka hari depan mereka, bahkan hari depan Semangkak
pasti akan suram. Ketika anak-anak muda Semangkak itu berdiri dibawah
tangga pendapa Kademangan, maka seseorang telah
menyalakan lampu dipendapa itu.
"Ki Demang di Sangkal Putung" berkata Wita yang agaknya
telah menjadi pemimpin anak-anak Semangkak "kami ingin
berbicara sedikit." Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi iapun
kemudian berdiri dan berjalan ketangga pendapa diringi oleh
Ki Jagabaya dan para bebahu. Juga paman Wita
mengikutinya dengan cemas.
"Ya, aku memang sedang menunggu kalian" ber kata Ki
Demang. Dengan wajah yang tegang mereka memandang Ki
Jagabaya dan paman Wita yang sudah berada d pendapa itu
pula. "Paman dan Ki Jagabaya sudah ada disini" desis Wita.
"Ya, maaf bahwa kami terpaksa mendahului.."
"Kalian sudah membujuk anak-anak yang menunggui kalian
untuk minum tuak dan menjadi mabuk."
"Merekalah yang memaksa aku minum tuak."
"Bohong" teriak anak yang baru saja sadar dari mabuknya
itu. "Sudahlah" berkata Wita "sekarang kami akan segera saja
menyampaikan keperluan kami."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya
"Serahkan Swandaru."
Ki Demang menarik nalas dalam-dalam. Sejenak ia
memandang Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya tidak sedang
memandangnya. "Anak-anak" berkata Ki Demang kemudian"Aku sedang
digelisahkan oleh anakku itu. Ia tidak ada dirumah sejak siang
hari" "Bohong" teriak Wita. "ternyata Ki Jagabaya telah
menyuruhnya bersembunyi. Sekarang, tunjukkan kepada
kami, dimana anak itu bersembunyi. Kami hanya memerlukan
Swandaru. Tetapi jika kami tidak menemukannya, kami akan
berbuat atas siapa saja."
Ki Demang menjadi semakin cemas melihat wajah-wajah
yang tegang itu. Se-akan-akan mereka sudah tidak mau lagi
mendengarkah kata-kata orang lain. Namun demikian Ki
Demang masih mencoba berkata "Sudah aku katakan bahwa
Swandaru pergi. Mungkin ia sudah menduga bahwa kalian
akan datang. Karena itu, iapun telah pergi meninggalkan
rumah ini." "Bohong, aku tidak percaya" teriak Wita "aku minta
Swandaru diserahkan."
"Bakar saja rumahnya" teriak salah seorang dari anak-anak
muda itu. Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi Witapun
berpaling kepadanya dan memberikan isyarat agar anak itu
diam. "Wita" berkata Ki Demang kemudian "sebenarnya kita
dapat membatasi persoalan ini. Yang kecil memang dapat kita
tiup-tiup menjadi besar Tetapi jika kita berkeinginan, maka
yang besarpun dapat kita jadikan kecil."
"Aku tidak akan berbicara. Yang kami tuntut, serahkan
Swandaru. Hanya itu."
"Cobalah, bayangkan kembali apa yang terjadi. Apakah
yang terjadi itu cukup besar untuk mengorbankan jalinan
kekeluargaan antara Semangkak dan Sangkal Putung."
"Cukup, cukup" teriak Wita "aku hormati orang tua2. Tetapi
jika ia mencoba menghalang-halangi aku, apaboleh buat."
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati. Tetapi Ki
Demang adalah orang tua yang mencoba mengerti jalan
pikiran anak-anak muda yang sesat sekalipun. Maka katanya
"Tidak baik kita terlalu memanjakan perasaan kita. Cobalah,
dengarkan kata-kataku."
"Tidak. Sudah cukup banyak. Serahkan Swandaru." Ki
Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika lagi
seorang yang berkata"
Bakar setiap gardu yang ada di Sangkal Putung. Bakar
rumah ini jika Swandaru tidak kita ketemukan."
"Membakar sebuah bangunan akibatnya akan luas sekali"
berkata Ki Demang "bukan saja orang-orang tertentu, tetapi
seluruh keluarganya akan menderita. Anakku bukan saja
Swandaru. Tetapi aku mempunyai keluarga yang lain yang
tidak tahu menahu." "Cukup, cukup. Jangan membujuk."
"Aku tidak membujuk. Jika ada sesuatu yang kalian anggap
salah, aku minta maaf bagi Swandaru. Tetapi marilah,
duduklah. Semuanya atau sebagian yang dapat kalian anggap
mewakili kalian. Kita dapat berbicara dengan baik."
"Tidak. Tidak. Aku tidak mau berbicara lagi."
"Cobalah sebentar. Apa salahnya kita mempergunakan
akal dari sekedar perasaan. Kalian adalah anak-anak muda.
Sedang gadis-gadis yang menolak kawinpun kadang-kadang
dapat juga diajak berbicara dengan nalar. Tentu kalian, lakilaki
Semangkak, dapat juga berbicara dengan nalar yang
bening. "Diam, diam" Wita membentak" Ki Demang. Jangan
membuat kami, anak-anak muda, kehilangan sikap hormat
kami kepadamu dan kepada orang-orang tua di Sangkal
Putung. Tunjukkanlah kepada kami dimana Swandaru dan
anak-anak muda Sangkal Putung bersembunyi"
"Silahkan. Marilah, aku mengharap kalian duduk sejenak."
"Tidak. Tidak" teriak Wita semakin keras untuk mengatasi
sentuhan kata-kata Ki Demang. Sementara kawan-kawannya
mulai berteriak pula "Tangkap Demang Sangkal Putung"
"Ki Demang" berkata Wita "kalau Ki Demang tidak mau
menunjukkan, maaf, kami akan mencarinya sendiri kedalam
rumah ini." Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
"Minggirlah Ki Demang. Kami akan memasuki rumah ini
untuk mencari Swandaru. Hanya Swandaru."
"Itu tidak sopan" berkata Ki Demang.
"Kami tidak peduli. Kami memaksa untuk memasuki rumah
ini meskipun Ki Demang berkeberatan."
"Kita tidak usah minta ijin kepadanya" teriak anak muda
yang lain. Suasana semakin meningkat tegang. Ki Demang masih
berdiri ditempatnya. Anak-anak yang sedang dibakar oleh
perasaannya, didalam kumpulan orang banyak, memang
terlampau sulit untuk diajak berbicara. Tetapi ia tidak akan
dapat berbuat dengan kekerasan, karena akibatnya akan
menambah keadaan menjadi semakin parah.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara diregol
halaman "Tunggu, tunggu."
Semua orang berpaling kepadanya. Temyata Ki Demang di
Semangkak diikuti oleh Ki Jagabaya beserta beberapa orang
bebahu datang dengan tergesa-gesa.
"Mereka datang" seorang kawan Wita berbisik.
"Aku tidak peduli" desis Wita.
"Ya, kita tidak peduli."
Dengan nafas terengah-engah Ki Demang di Semangkak
langsung naik kependapa mendapatkan Ki Demang di
Sangkal Putung sambil berkata "Maaf Ki Demang. Kami agak
terlambat. Untunglah semuanya belum terjadi."
Ternyata Wita mendengar kata-kata Ki Demang di
Semangkak itu dan langsung menyahut "Semuanya tetap
akan terjadi." Wajah Ki Demang di Semangkak menjadi merah padam.
Dengan nada yang keras ia berkata "Wita. Apakah kau sudah
gila?" "Mungkin Ki Demang. Mungkin kami memang sudah gila.
Tetapi kami tidak akan surut."
"Gila. Kalian telah melakukan kesalahan yang besar sekali.
Aku akan mencegah kalian dengan cara apapun."
"Seperti yang aku katakan kepada Ki Demang di Sangkal
Putung, jangan menghilangkan sikap hormat kami kepada
orang tua2. Menepilah. Cepat."
"Tidak" teriak Ki Demang di Semangkak "aku tidak akan
menepi. Kalau kalian akan berbuat gila, akulah korban yang
pertama." Anak-anak Sangkal Putung itu menjadi semakin tegang.
Sejenak mereka tercenung melihat sikap Ki Demang
Semangkak yang ternyata justru lebih keras dari sikap Ki
Demang di Sangkal Putung.
Tetapi nalar anak-anak itu benar-benar sudah menjadi
butek. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berteriak
"Kami tidak peduli. Siapapun korban yang pertama. Jika
seseorang mencoba menghalangi kami, maka kami akan
bertindak." "Ayo, lakukan. Lakukanlah" teriak Ki Demang yang menjadi
sangat marah. Tetapi Ki Demang Sangkal Putung menjadi cemas. Jika
suasana bertambah panas, dan terjadi sesuatu diantara
mereka, maka Kademangan Sangkal Putunglah yang akan
menjadi korban. Mungkin anak-anak itu benar-benar akan
membakar rumah ini. Dan jika demikian, maka sulitlah untuk
mencoba mengendalikan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
Karena itu. maka ia masih mencoba menengahi"
Tunggulah. Aku minta kita berbicara."
"Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi" geram Ki
Demang di Semangkak. "Aku akan mengatakan sekali lagi kepada mereka, bahwa
rumah ini tidak saja didiami oleh Swandaru. Aku, isteriku dan
seorang anak gadisku. Mereka tidak tahu menahu tentang
tingkah laku Swandaru. Karena itu, jangan membuat mereka
menjadi ketakutan." Tiba-tiba Wita mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki
Demang itu justru membuka persoalan baru baginya,
sehingga tanpa diduga-duga ia berkata "Apakah mereka ada
dirumah ?" Tanpa prasangka jelek, Ki Demang menjawab ?"Ya, mereka
ketakutan dibelakang."
"Terima kasih. Aku akan mengambil Sekar Mirah"
"He ?" Ki Demang di Sangkal Putung, Ki Demang
Semangkak dan semua orang yang mendengar kata-kata itu
terkejut bukan kepalang. "Jangan terkejut" berkata Wita "aku memerlukan Sekar
Mirah." "Kenapa dengan Sekar Mirah ?" bertanya Ki Demang.
"Sebelum Swandaru datang menjemput adiknya Sekar
Mirah tidak akan aku lepaskan."
"Gila, itu lebih gila lagi" Ki Demang di Semangkak masih
berteriak "sudah aku katakan. Aku akan menghalangi kegilaan
kalian. Biarlah aku menjadi korban yang pertama. Kalian
sudah cukup banyak membuat aku sakit hati, membuat aku
pening dan gelisah. Sekarang ini adalah puncak dari kegilaan
kalian." "Jangan menghinakan diri sendiri Ki Demang" berkata Wita
"kami tetap pada pendirian kami. Jika Swandaru tidak ada,
kami memerlukan Sekar Mirah.."
Suasana yang tegang menjadi semakin tegang. Tiba-tiba
saja seorang anak muda yang lain berteriak "Bawa gadis itu."
Hampir berbareng beberapa orang menyahut "Ya. Bawa
gadis itu. Bawa gadis itu."
"Diam. Diam" teriak Ki Demang di Semangkak.
Tetapi justru anak-anak muda itu mendesak maju
ketangga. Bahkan beberapa orang yang semula berdiri
dipinggir halaman, melangkah pula mendekat sambil berteriak
"Ya, bawa gadis itu."
Suasana menjadi semakin panas. Ki Jagabaya Semangkak
yang tidak banyak berbicara seperti kebiasaannya sehari,
melangkah maju dengan wajah yang membara. Tiba-tiba saja
ia memutar kerisnya sambil berteriak "Kalian, kalian akan
melawan aku?" Anak-anak muda Semangkak itu terhenti sejenak, namun


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian Wita berteriak pula "Menepilah Ki Jagabaya. Aku
hanya memerlukan gadis itu, agar Swandarulah yang kelak
menjemputnya." Orang-orang tua yang marah dipendapa itu justru
terbungkam. Tetapi mereka tentu tidak akan membiarkan
semuanya itu berlangsung, apapun yang akan terjadi atas diri
mereka. Karena itu, tanpa berjanji, merekapun mulai bergerak
melebar, seakan-akan ingin menahan arus gelombang yang
menghantam tebing. Tetapi anak-anak muda Semangkak itu bagaikan sedang
mabuk tuak. Tidak ada cara untuk menahan mereka.
Namun demikian, tiba-tiba semua orang yang ada
dihalaman itu tergetar ketika mereka mendengar suara
seorang gadis yang melengking "Aku setuju."
Suara itu benar-benar telah mengejutkan setiap telinga
yang mendengarnya, Apalagi ketika mereka kemudian melihat
Sekar Mirah naik kependapa dari arah samping.
"Mirah" desis Ki Demang Sangkal Putung.
"Aku sependapat dengan usul Wita. Biarlah ia membawa
aku. Atau laki-laki yang manapun juga dari Semangkak."
"Mirah" wajah Ki Demang menjadi merah. "Tetapi aku
mempunyai syarat." "Apa syaratmu" Wita berteriak.
"Hanya laki-laki yang mampu memaksa aku dengan
kekerasan yang dapat membawa aku ke Semangkak. Tetapi
laki-laki itu harus laki-laki jantan, yang berani bertindak atas
tanggung jawabnya sendiri."
Halaman Itu bagaikan dicengkam oleh kesenyapan yang
tajam. Setiap orang menahan nafasnya sambil memandang
Sekar Mirah yang berdiri ditengah-tengah pendapa, dalam
cahaya samar-samar lampu minyak.
"Mirah" terdengar suara lain berdesis. Agaknya Sumangkar
yang mengikuti peristiwa itu menjadi cemas pula.
Sekar Mirah hanya berpaling, tetapi ia tidak surut. Bahkan
ia berkata selanjutnya "Nah, laki-laki Semangkak yang
manakah yang akan membawa aku serta ?"
Setiap orang masih saja terheran-hera. Mereka sama sekali
belum mengetahui maksud Sekar Mirah itu, sementara
Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Temyata perasaan Sekar Mirahpun telah terlanjur menyala
seperti anak-anak Semangkak yang datang kerumahnya itu.
Ki Demang di Sangkal Putungpun kemudian menyadari,
bahwa ia sudah berbuat suatu kesalahan. Yang selama ini
diperhatikan dan dijaganya agar tidak melonjak adalah
perasaan anak-anak mudanya, Atas usaha Swandaru, anakanak
muda itu dapat dikendalikan. Tetapi Ki Demang dan para
bebahu Sangkal Putung agaknya telah lupa, bahwa disamping
anak-anak muda itu masih ada seorang lagi yang perlu
diperhatikan. Orang itu adalah anak gadisnya, Sekar Mirah.
Tetapi kini sudah terlambat. Sekar Mirah sudah berada
dipendapa. Bahkan telah menantang anak-anak muda
Semangkak yang datang kerumahnya.
Dalam pada itu anak-anak muda Semangkak masih
dicengkam oleh keheranan. Mereka belum tahu pasti maksud
Sekar Mirah. Karena itu, maka Witapun bertanya pula
"Jelaskan madsudmu Mirah."
"Baik" Sekar Mirah mendekat tanpa ragu-ragu. Ternyata
bahwa pakaian Sekar Mirah membuat anak-anak muda
Semangkak semakin heran. Sekar Mirah berpakaian seperti
seorang laki-laki. Meskipun ia tidak memakai ikat kepala,
tetapi rambutnya telah disanggulnya tinggi-tinggi dan diikatnya
erat-erat. "Wita" berkata Sekar Mirah "kau sudah beberapa lama
berada di Sangkal Putung. Tentu tidak akan kami duga,
bahwa kau pada suatu saat akan datang membawa kawankawanmu.
Tetapi itu sudah terjadi. Sekarang, kita lanjutkan
persetujuan kita. Kalau kau mau membawa aku, bawalah.
Tetapi syaratnya, kalau kau dapat mengalahkan aku."
Wajah Wita menjadi merah sesaat. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa ia mendapat tantangan dari seorang gadis.
Dari Sekar Mirah. Dan apalagi ketika Sekar Mirah melanjutkan
"Jika kau menang, taruhannya adalah diriku. Apapun yang
akan kau perbuat, Karena aku adalah barang taruhan. Tetapi
kalau kau kalah, bawa kawan-kawanmu pergi. Kau setuju?"
Wita masih berdiri tegang. Di Semangkak ia terhitung anak
muda yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya
diantara beberapa orang yang lain yang tidak banyak
jumlahnya, tetapi yang justru tidak mau membantunya saat ini.
"Kenapa kau diam saja Wita" desak Sekar Mirah.
Tetapi Wita masih berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu Ki Demang Sangkal Putunglah yang
bergeser mendekati Sekar Mirah sambil berdesis "Kau sudah
gila Mirah." Sekar Mirah justru tersenyum sambil berbisik "Terpaksa
ayah. Jika tidak demikian, aku kira keadaan akan menjadi
semakin buruk. Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung, maka Ki
Demang di Semangkak serta bebahu lainnya berdiri saja
terheran-hera. Ia tidak mengerti, apakah Sekar Mirah itu
bersungguh-sungguh atau suatu cara penyelesaian yang tidak
dimengertinya. Tetapi agaknya gadis itu bersungguh-sungguh. Ternyata ia
berkata "Ayo, siapakah yang akan mewakili kalian jika bukan
Wita. Aku memberi kesempatan kepada tiga orang anak-anak
muda dari Semangkak. Mereka harus berkelahi seorang demi
seorang, justru untuk menghormati harga diri kalian.
Kemudian kita masing-masing harus memenuhi perjanjian
yang telah kita buat, Kalau aku kalah, akulah taruhannya,
meskipun aku harus menjadi juru masak atau pekatik kuda
sekalipun. Tetapi kalau kalian kalah, kalian harus pergi," Sekar
Mirah berhenti sejenak. Beberapa langkah ia maju mendekati
anak-anak muda Semangkak yang sudah mulai nalk tangga
pendapa "Cepat, tentukan wakil-wakil kalian."
Wita yang ragu-ragu berdiri saja ditempatnya.
Dipandanginya Sekar Mirah dengan tatapan mata yang
hampir tidak berkedip. Ketika gadis itu berdiri beberapa
langkah di hadapannya, ternyata bahwa gadis itu msmang
terlalu cantik. Selagi Wita masih ragu-ragu, tiba-tiba saja terdengar suara
dibelakang "Baik. Aku terima perjanjian itu. Aku akan mewakili
kawan-kawanku." "Nah, aku sudah menemukan lawan" berkata Sekar Mirah
Masih ada kesempatan bagi dua orang."
"Gila" teriak Wita "tetapi kalau itu yang kau kehendaki,
baiklah. Aku menjadi orang ketiga, dan masih ada
kesempatan bagi orang kedua."
Seorang anak muda jangkung mengacukan tangannya.
Katanya "Aku orang kedua itu."
Ketiganya memang anak-anak terpandang di Sangkal
Putung. Mereka adalah anak muda yang paling menyulitkan
pimpinan Kademangan. Dan kini mereka pulalah yang akan
mewakili kawan-kawannya mencoba mengalahkan Sekar
Mirah dan membawanya ke Semangkak.
"Bagus" berkata Sekar Mirah kemudian "minggirlah yang
lain. Kita membuat arena, Kalian harus berdiri mengelilingi
arena itu dan tidak boleh ikut campur didalam perkelahian,
karena kalian sudah diwakili. Aku percaya bahwa mulut anakanak
muda Semangkak masih dapat dipercaya. Kalian masih
cukup jantan untuk menepati janji kalian sendiri."
Sekar Mirah seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi.
Ia langsung berjalan menerobos anak-anak muda Semangkak
yang masih berdiri di tangga pendapa Tetapi justru dengan
demikian mereka telah menyibak dengan sendirinya.
"Marilah." ajak Sekar Mirah "lingkari arena yang kita buat
dihalaman ini. Tanpa tali dan tanpa gawar. Kita melakukan
sayembara tanding." Tiba-tiba saja halaman itu telah dicengkam oleh
ketegangan yang lain. Bukan karena anak-anak Semangkak
akan membakar rumah itu, tetapi perhatian mereka kini justru
terpusat pada seorang gadis yang berpakaian seperti seperti
orang laki-laki berdiri bertolak pinggang ditengah-tengah
halaman Kademangan Sangkal Putung.
"Ki Demang" desis Demang Semangkak "bagaimana
dengan gadismu itu?"
Ki Demang di Sangkal Putung hanya menarik nafas dalamdalam.
Bagaimanapun juga ia mencemaskan nasib Sekar
Mirah. Ia menyesal bahwa ia telah melupakan gadisnya itu,
sehingga menghadapi kedatangan anak-anak muda dari
Semangkak, ia tidak berpesan apapun juga kepadanya.
"Kini Sekar Mirah sudah mengatakan suatu ketentuan.
Adalah menjadi sifatnya. bahwa ia tidak akan menarik katakatanya"
berkata Ki Demang Sangkal Putung itu dengan nada
yang datar. "Tetapi" sahut Ki Demang di Semangkak "apakah ia tidak
memikirkan akibatnya" Mungkin ia masih mengharap bahwa
anak-anak Semangkak itu menghargai kegadisannya dan
bersifat jantan. Tetapi mereka adalah anak-anak bengal yang
tidak berperasaan lagi. Apakah kau tidak mencoba untuk
mencegahnya sebelum terlambat" Anak-anak itu pasti akan
memperlakukannya seperti yang dikatakannya itu. Bukan
sekedar juru masak, atau pekatik kuda, tetapi pasti lebih dari
itu. Tebusannya adalah Swandaru sendiri.
"Mudah-mudahan ia dapat menjaga dirinya" desis Ki
Demang Sangkal Putung "aku harus menghargai katakatanya.
Jika tidak, ia akan berbuat aneh-aneh. Meskipun ia
seorang gadis, tetapi jiwanya sekeras batu padas. Dan ia ingin
bersikap jantan meskipun kadang-kadang tidak mengena
sasarannya. "Tetapi masih belum terlanjur."
"Terlambat" desis Ki Demang Sangkal Putung.
Keduanya dan para bebahu kedua Kademangan itu kini
berdiri tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Ki Demang
Sangkal Putung maju menyibakkan anak-anak muda
Semangkak yang telah mengelilingi sebuah arena yang cukup
luas didalam gelap yang samar-samar. Sinar lampu minyak
dipendapa tidak begitu terasa pengaruhnya, meskipun
memberikan bayangan yang kemerah-merahan.
Ki Demang dan para bebahu dari kedua Kademangan
itupun kemudian berdiri mengelilingi arena itu pula. Yang
berdiri ditengah-tengah lingkaran itu adalah Sekar Mirah dan
seorang anak muda Semangkak. Anak muda yang berwajah
keras dan bertubuh kekar meskipun tidak begitu tinggi.
Rambutnya yang mencuat dari ikat kepalanya yang tidak
mapan, bergayutan dibelakang telinganya. Bahkan seperti
segumpal ijuk yang tidak terpelihara.
"Aku akan memboyongmu" desisnya. Kawan-kawannya
yang semula tegang, tiba-tiba tertawa melihat tingkah lakunya.
Godfather Terakhir 10 My Silly Engagement Karya Dewi Sartika Kuil Perawan Ganas 1
^