Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 18

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18


Bahkan anak itu berkata selanjutnya "Kau terlalu cantik untuk
menjadi juru dang atau juru pengangsu. Apalagi pekatik kuda.
Kau akan menjadi pekatikku saja."
Sekali lagi suara tertawa meledak disekitar arena itu.
"Kau tentu tidak akan menyesal atas perjanjian yang kau
buat sendiri." berkata anak muda itu lebih lanjut, lalu "tetapi
kau memang cantik. Aku tidak mengerti, kenapa kau membuat
semacam sayembara tanding. Apakah kau sebenarnya
memang ingin memilih salah seorang diantara kami tetapi
jalan inilah yang dapat kau tempuh ?"
Suara tertawa anak-anak muda Semangkak itu bagai
meledak. Dan anak muda itu bagatkan mabuk mendengar
suara kawan-kawannya, sehingga ia menjadi semakin berani
"Nah, sekarang katakanlah bahwa kau sudah kalah. Aku akan
membawamu pulang ke Semangkak. Aku akan berhenti
berkelahi berkelahi hampir setiap hari aku lakukan. Aku akan
tinggal dirumah peninggalan ayah dan ibuku yang kini dipakai
oleh ibu tiriku. Aku akan merampasnya kembali dan
memberikannya kepadamu."
Ketika suara tertawa mengguruh, Ki Demang dl Sangkal
Putung sempat menilai anak muda yang seperti kehilangan
keseimbangan itu. Ternyata ia mempunyai ibu tiri. Itulah
agaknya yang telah menggoncangkan sendi-sendi ketenangan
hidup berkeluarga. Dan anak itu mencari pelarian ketempat
yang keliru. "Kenapa kau diam saja?" anak itu menjadi semakin berani.
Selangkah ia maju "Sayang sekali, kalau aku harus berkelahi
melawan gadis semanis kau. Apakah kau benar-benar
bermaksud berkelahi dalam arti berkelahi?"
Suara tertawa bagaikan menggetarkan rumah
Kademangan. Tetapi suara itu tiba-tiba terputus ketika anak
muda yang ada diarena itu mengaduh tertahan. Ternyata
Sekar Mirah telah menampar pipinya ketika anak muda itu
menjadi semakin dekat. "Oh" anak muda itu meloncat mundur "kau me-mukul?"
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ia menjadi muak
melihat tingkah lakunya. Anak muda itu maju selangkah sambil berkata "Jadi kau
betul-betul ingin berkelahi" Apakah kau sudah berlatih
bantingan?" Sebelum anak-anak muda yang lain sempat tertawa. sekali
lagi tangan Sekar Mirah telah melekat dipipinya. Kali ini agak
lebih keras sehingga anak muda itu menyeringai sambil
mengusapnya "Bukan main" ia mulai menjadi tegang"kau ingin berkelahi
sungguh-sungguh" Baik. Aku akan melayanimu. Aku sering
berkelahi dengan seribu macam cara Aku mem-pelajari olah
kanuragan. Aku sering bantingan dan binten. Aku mampu
menguasai tangan dan kakiku baik-baik. Dan aku akan
menaklukkan kau tanpa menyakitimu."
Tetapi sekali lagi sebuah pukulan mengenai bukan saja
pipinya, tetapi kini pelipisnya sehmgga ia terdorong beberapa
langkah surut. Kawan-kawannya yang semula selalu tertawa kini mulai
mengerutkan kening. Ternyata bahwa gadls yang bernama
Sekar Mirah itu tidak sekedar bermain-main. Ia ingin benarbenar
berkelahi. Karena itu, merekapun mulai bersungguhsungguh.
Demikianlah, anak muda yang mulai benar-benar merasa
sakit itu tidak lagi menganggap Sekar Mirah sebagai golek
kayu yang dapat dilela-lela. Karena itu, iapun kini maju dengan
berhati-hati. "Mulailah" geram Sekar Mirah "jangan menganggap aku
seekor tikus jika kau seekor kucing. Tetapi aku adalah Sekar
Mirah." Anak muda itu memang sudah mulai bersungguh-sungguh.
Tetapi kepalanya sudah menjadi pening karena pukulan
tangan Sekar Mirah dipelipisnya itu.
Tetapi anak muda dari Semangkak itu benar-benar telah
bemiat untuk menundukkan Sekar Mirah yang meskipun agak
galak, tetapi cantik. Karena itu, maka dengan kening yang
berkerut-merut ia melangkah mendekatinya.
Sekar Mirah sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Bahkan ditengadahkannya dadanya sambil bertolak pinggang.
"Gila" anak muda yang kini berdiri dihadapannya Itu
berdesis. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk mengusir
perasaannya yang kisruh melihat sikap Sekar Mirah yang
menantang itu. "Kenapa kau masih diam saja?" bertanya Sekar Mirah "atau
aku yang harus mulai?"
Anak muda itu seolah-olah mulai tersadar dari mimpi
indahnya. Yang berdiri dihadapannya tidak kurang dari seekor
macan betina yang dapat mencengkamnya dengan kukukukunya
yang tajam. Dengan demikian maka anak muda itupun segera
rnempersiapkan dirinya. Ia tidak mau dldahului, diterkam oleh
Sekar Mirah. Lebih baik ialah yang meloncat menerkamnya
dan membantingnya ditanah. Jika ia sudah tidak berdaya,
maka ia akan dapat membawanya pulang.
Sejenak kemudian anak muda itu mengambil ancangancang.
Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun. lagi,
iapun meloncat sambil mengembangkan tangannya
menerkam Sekar Mirah sambil berkata didalam hati "Aku tidak
peduli apa saja yang akan dikatakan oleh kawan-kawanku.
Aku akan menerkamnya seperti menerkam seekor kijang. Hal
itu sudah dikehendaki oleh gadis itu sendiri."
Namun yang terjadi adalah diluar dugaannya. Ketika kedua
tangannya yang berkembang itu hampir menyentuh tubuh
Sekar Mirah, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah bergeser
selangkah kesamping. Kemudian didorongnya anak muda
yang masih terayun oleh kekuatannya sendiri itu, sehingga
dua kekuatan yang tergabung itu seakan-akan telah
melemparkannya dengan kerasnya.
Anak muda itu sama sekali tidak dapat menjaga
keseimbangannya. Seperti menyuruk ia meluncur dan jatuh
terjerambab. Adalah diluar dugaan bahwa kepalanya telah
membentur tangga pendapa yang pertama ketika kawsankawannya
justru menyibak melihat ia seakan-akan sedang
menyerudukkan kepalanya. Masih terdengar ia mengaduh perlahan-lahan. Tetapi
sejenak kemudian iapun menjadi pingsan.
Wita berdiri termangu-mangu. Demikian juga anak-anak
muda Semangkak yang lain. Bahkan bebahu Sangkal Putung
sendiri terheran-heran melihat ketangkasan Sekar Mirah itu.
Apalagi ternyata bahwa anak muda Semangkak itu tidak
segera dapat bangkit lagi.
Beberapa orang kawannyapun segera mengerumuninya
dan mengguncang-guncangnya. Tetapi untuk beberapa lama
anak muda itu tetap diam.
"Nah" suara Sekar Mirah telah menyobek ketegangan itu
"apakah aku harus menunggu ia sadar, atau aku akan
melayani orang kedua?"
Tidak segera ada jawaban. Dan karena itu maka Sekar
Mirahlah yang mengambil keputusan "Bangunkan kawanmu
yang pingsan itu. Marilah, kita isi waktu kita dengan orang
kedua." Tetapi masih tidak ada iawaban.
"Ayo, siapa yang menyatakan dirinya orang kedua
diadalam sayembara ini?"
Tidak seorangpun yang menampakkan dirinya.
Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Diedarkannya
tatapan matanya yang tajam berkeliling. Tetapi karena belum
ada. yang memasuki arena, maka sekali lagi Sekar Mirah
berkata "Cepat. Mumpung belum terlampau malam."
Sekar Mirah berpaling ketika ia mendengar sedikit ribut
dibelakangnya. Ketika ia memperhatikan tempat itu, dilihatnya
beberapa anak muda Semangkak sedang mendorong
kawannya. "Bukankah kau yang menyatakan diri menjadi orang kedua"
desis salah seorang dari mereka.
"Majulah. Tangkaplah gadis itu dan bawalah pulang ke
Semangkak." Tetapi anak muda jangkung yang didorong-dorongnya itu
tidak juga mau maju. Sekar Mirah dapat mengenali anak muda itu, betapapun
lemahnya cahaya lampu dlpendapa. Karena itu maka katanya
"Nah, bukankah kau yang akan bertaruh kini ?"
Tetapi anak muda itu menggeleng "Tidak. Aku tidak."
"Bukankah kau sudah menyatakan dirimu?"
"Tidak. Tidak pantas aku berkelahi dengan perempuan."
"Kenapa ?" bertanya Sekar Mirah.
"Tidak adil." "Apa yang tidak adil ?"
"Jika aku menang, hal itu dianggap biasa, Laki-laki menang
atas seorang perempuan. Tetapi kalau aku kalah, memalukan
sekali." "Tidak peduli. Kalau kau mau berkelahi, mari." Tetapi lakilaki
itu menggeleng. Wita yang berdiri termangu-mangu tiba-tiba
menggeretakkan giginya. Sambil melangkah maju ia
menggeram "Minggir, biarlah aku selesaikan perempuan ini.
Aku tidak peduli kata orang. Dan aku tidak peduli taruhan apa
yang akan aku terima. Tetapi perempuan ini sudah
menyatakan diri sebagai tebusan. Aku akan menganggapnya
berhadapan sendiri dengan Swandaru. Jangan menyesal
kalau aku benar-benar akan berkelahi seperti aku berkelahi
melawan Swandaru." Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama
sekali tidak gentar. Bahkan dengan serta-merta ia
bertanya"Bukankah kau dengan mudah dapat dikalahkan oleh
kakang Swandaru?" "Persetan, aku belum siap. Seperti kawanku yang kau
kalahkan itu sebenarnya hanya karena ia tidak siap
menghadapl kenyataan ini. Ia terlampau menganggap kau
sebagai seorang gadis sombong yang kesurupan."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi iapun dapat
mengerti bahwa lawannya yang pingsan itu menganggapnya
tidak lebih dari seorang gadis yang keras kepala, sehingga
karena itu ia kurang berhati-hati menghadapinya.
Tetapi kali ini lawannya tidak akan dapat didorongnya
begitu saja sehingga kepalanya membentur tangga. Lawannya
yang terakhir ini pasti akan berusaha menentukan keadaan,
jika lawannya itu menang, maka ia akan menjadi taruhan dan
hanya dapat diambil oleh Swandaru sendiri.
Dengan demikian Sekar Mirahpun bersiaga sebaik-baiknya.
Ia tidak mau menjadi korban janjinya sendiri. Namun ia sudah
dapat menduga, bahwa lawannya jauh berada di bawah
kemampuan kakaknya Swandaru. Itulah sebabnya, maka
Sekar Mirah berani menjadikan dirinya sebagai taruhan
didalam perkelahian ini. Sejenak kemudian Wita yang melangkah semakin dekat
berkata dengan lantang "Bersiaplah. Sebentar lagi kau akan
berada di Semangkak."
Sekar Mirah tidak menyahut. Ditatapnya tangan Wita
dengan tajamnya. Ternyata bahwa Witapun tidak menunggu
jawaban Sekar Mirah. Tangan itu segera bergerak menyerang
Sekar Mirah. Agaknya Wita benar-benar tidak bermain-main.
Serangannya datang dengan derasnya menyambar kening
Sekar Mirah. Sekar Mirah terkejut mendapat serangan yang langsung
mengarah ke keningnya. Namun itu baginya merupakan
pertanda bahwa Wita tidak lagi bermain-main. Ia benar-benar
ingin menjatuhkannya. Bukan saja untuk membawanya
sebagai tanggungan, sampai saatnya Swandaru datang
mengambilnya, yang tentu tidak akan diberikannya begitu
saja, tetapi Wita tentu ingin juga memperbaiki nama anakanak
muda Semangkak yang tercemar oleh kekalahan
kawannya dalam waktu yang terlalu singkat. Apalagi
kawannya yang kedua menjadi berkerut terlampau kecil,
setelah ia melihat kekalahan orang yang pertama.
Tetapi Sekar Mirah adalah seorang gadis yang memiliki
bekal terlampau banyak untuk sekedar melawan Wita.
Meskipun Sekar Mirah cukup berhati-hati, namun segera
tampak pada setiap orang yang menyaksikan, bahwa Sekar
Mirah adalah lawan yang berat bagi Wita.
Sambil mengelakkan serangan pertama. Sekar Mirahpun
telah menyerang lambung Wita. Tetapi Wita masih sempat
menggeliat dan mengelakkan serangan itu, meskipun ia
hampir kehilangan keeeimbangan. Apalagi ternyata Sekar
Mirah melihat kelemahan sesaat itu, sehingga ia meloncat
memburunya. Tetapi Wita menyadari kelemahannya, sehingga
karena itu, ia justru berguling sama sekali untuk menjauhi
lawannya. Dengan lincahnya ia melenting dan berdiri tegak
sambil menyilangkan tangannya didadanya. Tetapi ia terkejut
bukan buatan, bahwa begitu ia tegak, tangan Sekar Mirah
telah mendorongnya. Kali ini Wita tidak dapat bertahan lagi. Dorongan Sekar
Mirah itu telah melemparkannya jatuh terlentang, meskipun
dengan cepatnya ia berhasil meloncat berdiri.
Namun dengan demikian, hampir setiap orang sudah dapat
menilai kemampuan dari kedua orang yang sedang-berkelahi
itu. Dengan dada berdebar-debar anak-anak muda
Semangkak menyaksikan kelanjutan yang akan berlangsung.
Hanya dengan keajaiban sajalah wita akan dapat bertahan
terus, apalagi memenangkan perkelahian itu.
Dalam pada itu, Ki Demang di Sangkal Putung menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sekar.Mirah yang keras
hati itu, mampu juga menahan diri. Ia tidak dengan serta merta
mengalahkan lawannya, apalagi membuatnya terluka parah.
Dengan demikian ia tidak membakar perasaan anak-anak
muda Semangkak yang memang sedang panas itu. Agaknya
Sekar Mirah kali ini berusaha mengalahkan lawannya dengan
hati-hati. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa
orang kawannya tidak lagi berada dikandang. Selagi halaman
Kademangan itu diriuhkan oleh suara tertawa dan teriakanakan
liar anak-anak muda Semangkak, sebelum Sekar Mirah
mulai berkelahi, anak-anak Semangkak yang tersebar di
halaman berlari-larian ingin melihat apa yang terjadi


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihalamnan. Swandaru dan Agung Sedayu beserta kawankawannya,
yang merasa tidak akan mendapat pengawasan
lagi, segera turun dari kandang dan dengan hati-hati
menyelinap didalam kegelapan. Tetapi ternyata bahwa
mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi dihalaman karena
anak-anak Semangkak telah melingkari arena sehingga
merekapun segera berusaha memanjat sebatang pohon. Dari
atas dahan mereka berhasil lnenyaksikan, bagaimana Sekar
Mirah berkelahi melawan Wita.
Agung Sedayu menyaksikan perkelahian itu dengan dada
berdebar-debar. Bukan karena la mencemaskan Sekar Mirah,
bahwa ia akan dapat dikalahkan oleh Wita, tetapi justru karena
perasaan Sekar Mirah sendiri yang melonjak-lonjak, yang
akan dapat membuat suasana lebih memburuk.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin seru.
Tetapi Wita hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali
untuk berbuat sesuatu. Semakin lama serangan Sekar Mirah
menjadi semakin cepat, meskipun tidak berbahaya. Namun
demikian, kadang-kadang wajah Wita menjadi merah padam,
apabila beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling. Ia tidak
menyangka sama sekali bahwa adik Swandaru itu ternyata
benar-benar memiliki kemampuan berkelahi. Bahkan
kemampuannya berada diatasnya.
Tetapi alangkah memalukan sekali kalau ia harus
menyerah. Karena itu, Wita menjadi semakin bemafsu. Di
kerahkan semua tenaga untuk mencoba memenangkan
perkelahian Itu. Namun ia sama sekali tidak mempunyai
harapan apapun. Karena itu, timbullah sifatnya yang licik. Ia harus berusaha
membangkitkan kemarahan anak-anak Semangkak sebelum
ia berhasil dikalahkan. Dengan demikian la tidak akan
terlampau terhina oleh kekalahan itu. Ia tidak memikirkan
akibat apa yang akan dapat timbul dari kelicikannya itu.
Sesaat berikutnya Wita masih berkelahi. Meskipun ia selalu
terdesak mundur, namun ia ingin membuat kesan, bahwa ia
sengaja menjauhi lawannya. Setiap kali ia siap untuk
menyerang, tetapi serangan itu diurungkannya.
Melihat sikap Wita, Sekar Mirah menjadi termangu-mangu.
Ia memang tidak ingin menghinakan anak Semangkak itu
dihadapan kawan-kawannya dengan berlebih-lebihan. Ia tidak
ingin membuat Wita semakin mendendam. Karena itu, iapun
mengurangi tekanannya dan mencoba mengerti maksud
lawannya. Tetapi keadaan itu telah dimanfaatkan oleh Wita yang
kemudian meloncat surut sambil berkata "Ternyata tidak ada
untungnya aku berkelahi melawan perempuan."
Sekar Mirahpun terhenti pula Dengan dahi yang berkerutmerut
ia memandang Wita dengan tajamnya. Namun ia tidak
akan menyangka sama sekali kalau Wita kemudian berteri"ak
"He anak-anak Semangkak. Aku tidak mau berkelahi lagi
dengan perempuan. Beberapa langkah lagi aku pasti akan
dapat menjatuhkannya. Tetapi aku tentu akan ditertawakan
orang. Jika aku menang, memang tidak akan ada seorangpun
yang mengagumi, tetapi jika aku mengalah, disangkanya aku
dapat dikalahkan oleh perempuan. Apalagi jika aku benarbenar
kalah. Kali ini aku masih mempunyai belas kasihan
kepadanya. Aku sadar, jika gadis itu aku bawa ke Semangkak,
akibatnya tidak akan baik baginya dan bagi kita sendiri.
Karena itu, jangan hiraukan dia, cari Swandaru sampai
ketemu. Kalau perlu, bakar saja rumah ini."
"Tunggu" Sekar Mirah yang mendengar kata-kata Wita itu
terkejut. Bahkan Ki Demang dan bebahu dari kedua
Kademangan itupun terkejut pula "kau licik. Kau kalah, tetapi
kau tidak mau mengakui karena kau ingin mengingkari
perjanjian yang sudah kita setujui bersama. Semula aku masih
mempunyai harga diri."
"Aku masih mempunyai harga diri. Karena itu aku tidak mau
berkelahi melawan perempuan."
"Tidak. Mari kita teruskah. Kita tepati perjanjian kita. Kalau
perlu, kita yakini kemenangan yang terjadi. Kita berkelahi
dengan senjata. Kita tentukan siapa yang mati diantara kita.
Dengan demikian tidak akan ada yang dapat ditipu lagi, siapa
yang sebenarnya kalah dan menang.
Tantangan Sekar Mirah itu benar-benar mendebarkan
jantung. Agaknya gadis itu benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Ia merasa telah diingkari oleh anak Semangkak
itu. Sehingga dengan demikian usahanya untuk mencapa
penyelesaian tanpa menimbulkan korban tidak dapat
dilakukannya. Bahkan Wita telah dengan licik menghindari
akhir dari perkelahian ini
Kemarahan itu tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga
karena Wita masih termangu-mangu, Sekar Mirah
mendesaknya "Ayo. Kita tegaskan. Siapa yang kalah dan
siapa yang menang dengan taruhan nyawa. Tidak saja
taruhan wadagku dan sikap jantanmu."
Wita masih termangu-mangu. Namun ternyata bahwa ia
benar-benar seorang anak muda yang licik, sehingga dengan
tidak malu-malu sama sekali ia menjawab "Aku tidak peduli,
tetapi berkelahi dengan perempuan benar-benar telah
merendahkan derajatku." Lalu katanya kepada kawankawannya
"Ayo, jangan hiraukan perempuan kesurupan itu.
Kita cari Swandaru. Tetapi kalau perempuan itu menghalangi,
terserah kepada kalian. Apakah kalian akan menangkapnya
beramai-ramai atau akan melumpuhkannya, terserah kepada
kalian." Darah Sekar Mirah serasa mendidih karenanya. Jika saat
itu ia membawa pedang, maka ia pasti sudah mencabut
pedangnya. Tetapi karena la tidak menduga, bahwa lawannya
adalah orang yang licik, maka ia tidak bersenjata karenanya.
Dalam kekalutan itu Sekar Mirah teringat kepada gurunya.
Tentu gurunya tidak akan mengijinkan jika ia mempergunakan
senjata. Apalagi senjata tongkat berkepala tengkorak itu.
Namun ia mengharap juga gurunya berbuat sesuatu untuk
meredakan suasana. Atau bahkan memerintahkannya
berrtempur sama sekali. Sekar Mirah tahu bahwa dihalaman rumahnya ada dua
orang tua yang pasti tidak akan terlawan. Kiai Gringsing dan
Sumangkar. Ia tahu pula bahwa kedua Demang dan bebahu
kedua Kademangan itu pasti tidak akan membiarkan anakanak
Semangkak itu berbuat liar. Selain mereka masih ada
juga Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang anak
muda Sangkal Putung yang terpilih didalam kandahg.
Tetapi Sekar Mirahpun tahu, bahwa bukan penyelesaian
dengan cara itulah ysng dikehendaki. Namun demikian,
apabila keadaan memaksa, apaboleh buat.
Dalam pada itu wajah-wajah anak Semangkak telah
menjadi tegang, seperti wajah Ki Demang dan bebahu dari
kedua Kademangan itu. Bahkan Ki Jagabaya dari Semangkak
sendiri telah menjadi gelisah dan Sesekali menatap wajah Ki
Demang di Semangkak, seolah-olah menunggu jatuhnya
perintah. Dalam ketegangan itu sekali lagi terdengar suara Wita
"Ayo, jangan termangu-mangu. Kita sudah memutuskan untuk
mengambil Swandaru, apapun yang akan terjadi."
Swandaru sendiri telah menjadi gemetar. Bukan karena
ketakutan Tetapi kemarahan yang menghentak-hentak
dadanya, hampir tidak tertahankan lagi jika setiap kali Agung
Sedayu tidak menggamitnya. Hampir saja ia meloncat turun
dari riahan yang rendah itu. Namun Agung Sedayu masih
berhasil mencegahnya. Tunggu. Kita lihat perkembangan
keadaan." Dalam ketegangan itu, tiba-tiba halaman rumah Ki Demang
Sangkal Putung itu digetarkan oleh suara tertawa yang
berkepanjangan. Semua orang yang berada dihalaman itu
berpalitjg. Didalam keremangan cahaya pelita, seseorang naik
kependapa sambil tertawa, diiringi oleh beberapa anak muda
yang kemudian berdiri saja ditangga. Bersama mereka telah
datang pula ayah Wita dan adiknya yang masih kecil itu.
Dada Wita berdesir melihat kehadiran mereka. Ia tidak
segera mengetahui maksud kehadiran orang yang tertawa itu,
apalagi bersama ayah dan adiknya.
Ki Demang di Semangkak serta bebahunya berdiri
termangu-mangu sambil menahan gelora didada masingmasing.
"Orang itulah yang telah membuat onar" bisik Ki Jagabaya
ketelinga Ki Demang. "Ya, ialah yang telah mengajari anak-anak Semangkak
berkelahi. Kehadirannya akan menambah keruh suasana. Jika
la membela anak yang telah dilatihnya itu, suasana akan
bertambah buruk. Apalagi ia membawa beberapa orang anak
muda pula, yang agaknya justru lebih matang dari anak-anak
ini." "Ya. Mereka adalah murid-muridnya terdekat."
Ki Demang di Semangkak menjadi semakin tegang.
Tetapi ia sudah bertekad untuk mencegah kegilaan anakanak
muda Kademangannya. Apapun yang akan terjadi dan
apapun yang akan dikatakan orang atasnya, ia tetap akan
berkelahi melawan anak-anak yang sudah tidak dapat
dicegahnya dengan kata-kata. Ia yakin bahwa orang-orang
Sangkal Putung itupun pasti akan membantunya, meskipun Ki
Demang di Semangkak ita menjadi heran, kenapa anak-anakmuda
Sangkal Putung tidak seorangpun yang nampak. Menilik
kemampuan Sekar Mirah, seorang gadis, maka kemampuan
anak-anak mudanya pasti akan menggetarkan jantung. Tetapi
Ki Demangpun menduga, bahwa anak-anak itu dengan
sengaja telah disingkirkan sekedar untuk menghindari
bentrokan. Bukan karena anak-anak Sangkal Putung menjadi
ketakutan dan bersembunyi.
Suara tertawa Itupun semakin mereda. Bahkan kemudian
berhenti dengan tiba-tiba. Sambil bertolak pinggang orang itu
kemudian bertanya "He, mana Wita?"
Wita berdiri termangu-mangu ditempatnya.
"Ha, jangan bersembunyi. Kemari. Kemari." Wita masih
berdiri mematung ditempatnya.
"Wita, kemari. Ini ayahmu mencarimu." Wita sama sekali
tidak beranjak. "Ternyata kau benar-benar seorang anak muda yang
berani. Kau tidak mau dihinakan oleh Swandaru, dan
sekarang kau datang untuk menuntut balas."
Kata-kata itu benar-benar telah menegangkan jantung
Swandaru yang meskipun amat-lamat, dapat mendengarnya
juga. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.
"Aku bunuh orang gila itu" desis Swandaru.
"Tunggu" sahut Agung Sedayu.
Dalam pada itu orang yang berdiri dibibir pendapa berkata
lagi "Tetapi sayang, bahwa kau bukan seorang laki-laki jantan.
Kau hanya berani melakukan pembalasan beramai-ramai
seperti nonton wayang beber. Tetapi kau tidak berani
menengadahkan dadamu" orang itu berhenti sejenak, lalu
"apalagi setelah aku melihat kekalahanmu dari Sekar Mirah.
Aku menjadi sangat malu."
Wajah Wita. menjadi merah padam. Dengan serta-merta ia
menjawab "Aku belum kalah."
Orang itu tertawa meledak sehingga tubuhnya terguncangguncang.
Katanya ketika suara tertawanya mereda. "Kau
dapat menipu adikmu yang kecil itu. Tetapi kau tidak dapat
menipu aku. Kau kalah. Kalah mutlak" tiba-tiba suaranya
meninggi dan bersungguh-sungguh "Wita, aku tidak malu
karena kau kalah. Adalah wajar kalau kau kalah, kalah karena
bekalmu terlampau sedikit dibandingkan dengan gadis itu.
Tetapi yang membuat aku sangat malu adalah bahwa kau
justru tidak mau mengakui kekalahan itu" Lalu suaranya
bertambah keras, bahkan membentak-bentak "Ternyata kau
sudah gila. Kau sama sekali tidak dapat dianggap seorang
yang baik didalam segala hal. Selagi kau sudan kalah mutlak,
kau masih mengelak, dan menganjurkan membakar rumah ini.
Itu gila, gila sekali" ia berhenti sejenak. Suaranya menjadi
bergetar, karena ia berusaha menahan perasaannya yang
meluap-luap."Kedatanganmu ke Sangkal Putung bersama
tikus-tikus dungu itu sudah membuat aku sangat kecewa.
Itukah hasil yang kalian peroleh dari ajaran-ajaan olah
kanuragan yang aku berikan" Aku mengakui, bahwa aku tidak
menilik kau seorang demi seorang dari segi sikap dan sifat.
Tetapi bukan maksudku agar kau memusuhi tetanggatetangga
Kademangan dengan sikap yang bodoh" orang itu
berhenti sejenak, lalu "kalian membuat aku kehilangan
kesempatan untuk menang kali ini. Ketika ayah Wita menyusul
aku diperjudian, aku sebenarnya sedang berada diatas angin.
Aku sedang menan jak mendekap kemenangan demi
kemenangan. Tiba-tiba saja aku harus berhenti. Dan tentu aku
kehilangan kesempatan. Jika aku mulai lagi, mungkin aku
akan kalah" lalu suaranya tampir berteriak "Kalianlah yang
gila. Wita dan kawan-kawannya itu sudah gila. Aku tidak dapat
memberikan kalian mencoba mengganggu Sangkal Putung.
Karena itu aku korbankan kemenangan-kemenangan yang
akan aku dapatkan dari perjudian itu. Aku tidak ingin melihat
atau mendengar kebodohan kalian. Meskipun aku penjudi,
pemabuk, penyabung ayam, tetapi aku tidak mau bersikap
licik dan pengecut. Dan kalian adalah anak-anak yang paling
bodoh diseluruh muka bumi. Kenapa kalian tidak pernah
berpikir kenapa kalian tidak menjumpai seorang anak
mudapun dari Sangkal Putung" Alangkah bodohnya.
Alangkah sombongnya kalian dan olak kalian memang sudah
membeku. Aku adalah bekas seorang prajurit. Karena umurku
aku tidak lagi berada dikesatuanku. Aku pernah ikut bertempur
melawan Tohpati di Sangkal Putung dibawah pimpinan Ki
Widura dan Ki Untara. Kalau anak-anak Sangkal Putung ingin
melawan, kalian dapat ditumpas seperti pasukan Tohpati.
Mengerti " Mengerti " He ?" orang itu telah berteriak-teriak
tidak menentu karena kemarahan yang memuncak. Dan tibatiba
saja suaranya merendah "Ayo" kalian kembali ke
Semangkak. Wita sudah membuat perjanjian, jika ia kalah dari
Sekar Mirah, kalian akan dibawanya kembali. Dan Wita sudah
kalah. Mutlak. Tiga Wita bersama-sama tidak akan menang
atas Sekar Mirah. Ayo, cepat pulang, alau aku akan memukul
kalian seorang demi. seorang."
Ketika orang itu berhenti berbicara, maka halaman itu tibatiba
saja menjadi sepi. Semua mata terpancang kepadanya
dan kepada anak-anak muda yang berdiri ditangga
dihadapannya.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena tidak ada seorangpun yang berbicara maka bekas
prajurit itu pulalah yang memecah kesenyapan "Kenapa kalian
berdiri bingung disitu. Ayo pulang, kataku. Aku datang
bersama kawan-kawanmu yang masih dapat berpikir jernih
dan tidak mau bersama kalian berbuat gila di Sangkal Putung
ini. Apakah aku harus memaksa dengan kekerasan atau aku
akan membiarkan kalian menjadi endog pangamun-amun di
Sangkal Putung, karena orang-orang dan anak-anak muda di
Sangkal Putung menjadi muak melihat kebodohan kalian "
Anak-anak muda itu masih termangu-mangu.
"Aku akan menghitung sampai tiga. Satu, dua?" Ternyata
anak-anak muda Semangkak itu mulai bergerak surut tanpa
mereka sadari Bahkan Witapun mundur selangkah. Lalu,
bekas prajurit itu melanjutkan "Tiga."
Seperti air surut, anak-anak muda Semangkak itu bergerak.
mundur. Namun mereka masih mendengar bekas prajurit itu
berkata "Nah, bagus. Kita pulang bersama-sama. Ikuti aku.
Kalau ada yang berani berbuat sesuatu, aku patahkah
tangannya" Lalu orang itu berpaling kepada bebahu
Kademangan Sangkal Putung dan Semangkak "Maaf Ki
Demang berdua. Biarlah aku giring kambing-kambing bodoh
ini kembali ke Semangkak. Mereka sudah merampas
kesempatanku untuk menang lebih banyak. Jika aku kembali
teperjudian, mungkin aku akan kalah. Seandainya ayah Wita
tidak mencari aku dan aku tidak perlu meninggalkan perjudian,
mungkin besok aku sudah menjadi serang yang kaya raya."
"Terima kasih atas pengorbananmu" jawab Ki Demang di
Semangkak "Mudah-mudahan anak-anak asuhanmu itu tidak
menjadi bengal lagi."
"Aku akan mengawasinya baik-baik." Demikianlah maka
bekas prajurit itu telah menggiring anak-anak Semangkak
kembali ke Kademangan mereka. Mereka tidak dapat berbuat
lain daripada mematuhi perintah itu. Bagaimanapun juga
mereka harus memperhitungkan jumlah lawan mereka yang
semakin banyak. Dan lawan yang terutama adalah kawankawan
mereka sendiri dari Semangkak yang justru mereka
segani bersama bekas prajurit yang selama ini mereka
anggap sebagai guru mereka.
Dengan dada yang berdebar-debar anak Semangkak itu
melangkah perlahan-lahan meninggalkan Kademangan.
Apapun yang bergejolak didalam hati, namun mereka harus
kembali ke Semangkak. Wita yang berjalan dipaling depan menundukkan
kepalanya. Iapun harus mundur meskipun hatinya sebenarnya
memberontak. Ia ingin melihat Kademangan Sangkal Putung
menjadi bosah baseh dan menemukan Swandaru yang
bersembunyi ketakutan. Ia ingin mengikat anak yang gemuk
bulat itu dan memukuli perutnya dan pipinya yang gembung.
Tetapi pengasuhnya didalam olah kanuragan telah
mencegahnya dan menggiring mereka kembali dengan
kecewa. "Kami gagal kali ini" desis Wita "orang itu menggagalkan
rencana yang sudah kami susun baik-baik."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kawannya itu sudah
mulai ragu-ragu, jika seandainya niat itu diteruskan, apakah
tidak akan timbul akibat-akibat lain yang lebih buruk.
Sebenarnyalah memang ada beberapa tanggapan dari
anak-anak muda Semangkak itu. Ada yang berkata didalam
hatinya "Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur."
Tetapi ada yang mengumpat "Gila orang itu. Kenapa kami
dcegahnya " Jika tidak, kami akan mendapatkan umpan yang
menyenangkan sekali. Seekor kelinci gemuk dan seorang
gadis cantik sekaligus. Jika kami beramai-ramai
menangkapnya, menyeretnya ke Semangkak, tidak akan ada
yang menyalahkan kami." Meskipun timbul juga persoalan
didaiam hatinya. "Bagaimana jika anak-anak Sangkal Putung
marah dan menyusulnya ?"
"Persetan" dijawabnya sendiri jika anak-anak Sangkal
Putung mempunyai keberanian, ia pasti sudah menyongsong
kedatangan kami karena mereka pasti sudah mendengar
sebelumnya. Jagabaya Sangkal Putung itu pasti sudah
memberitahukan kepada anak-anak Sangkal Putung, dan
mereka hanya berani bersembunyi. Adalah omong kosong
bahwa mereka ikut bertempur melawan pasukan Tohpati saat
itu." Namun belum lagi angan-angannya itu berakhir, anak-anak
muda Semangkak yang sudah sampai dipintu gerbang
Kademangan induk, terkejut bukan kepalang ketika mereka
melihat beberapa orang anak muda berdiri didalam kegelapan.
Mereka hanya melihat bayangan mereka dibawah cahaya
lampu minyak diemper gardu.
"Gila, ada juga anak muda yang berani menampakkan diri"
desis Wita didalam hati. Tanpa sesadarnya ia berpaling.
Diujung belakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu
terdapat pengasuhnya didalam olah kanuragan, dan kawankawannya
dari Semangkak yang memang agak mereka
segani. "Jika tidak ada mereka, anak-anak Sangkal Putung
yang ada digardu itu dapat menjadi sasaran yang
menyenangkan setelah kami dikecewakan habis-habisan."
Wita hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi rasarasanya
tangannya memang menjadi gatal. Bahkan ia berkata
kepada diri sendiri "Apaboleh buat. Apakah aku dapat
menyeret salah seorang dari mereka tanpa ribut-ribut?"
Namun ternyata anak-anak muda Sangkal Putung yang
melihat iring-iringan itu lewat, segera menymgkir menepi,
Mereka meloncati parit diluar padukuhan dan berdiri
diseberang parit. Tetapi, dada anak-anak Semangkak itu tiba-tiba bergetar
dahsyat sekali. Ketika mereka keluar dari padukuhan itu,
barulah mereka melihat suatu kenyataan tentang anak-anak
muda Sangkal Putung. Yang berdiri diluar padesan,
diseberang parit itu, bukannya sekedar anak-anak muda yang
dilihatnya pada cahaya lampu minyak digardu disudut
halaman, sehingga apabila timbul niat salah seorang dari
mereka untuk membakar gardu itu, maka niat itu harus
dipikirkannya berulang kali
Ketika mereka mula-mula memandang kedalam gelap,
setelah mereka melintasi sinar pelita digardu, mereka menjadi
termangu-mangu Seakan-akan mereka melihat tanaman
disawah, diluar padesan itu tumbuh demikian rapatnya
setinggi tubuh manusia. Bahkan hampir seperti sebuah
dinding yang membujur disebelah parit.
Namun kemudian barulah dapat mereka lihat dengan jelas,
setelah merekapun ada dibulak itu. Yang mereka lihat sama
sekali bukan tanaman jagung raksasa yang rapat berhimpithimpitan,
bukan pula sebuah dinding batu dipinggir parit, tetapi
yang mereka lihat adalah anak-anak muda Sangkal Putung
yang berdiri berjajar rapat disebelah menyebelah jalan.
Darah anak-anak muda Semangkak itu bagaikan berhenti
mengalir. Mereka tidak dapat mengirakan, berapa jumlah
anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mungkin empat atau
lima kali lipat jumlah mereka.
Tetapi ternyata anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak
berbuat apa-apa. Mereka hanya. berdiri saja seakan-akan
membeku. Ketika anak-anak Semangkak menyadari bahwa disebelah
menyebelah mereka berdiri anak-anak Sangkal Putung dalam
jumlah yang tidak mereka duga, terasa betapa kecutnya hati
mereka. Anak-anak bengal yang semula membusungkan
dada, menjadi semakin berkerut melihat kenyataan itu.
Mereka mulai ragu-ragu sejak seorang gadis bernama Sekar
Mirah dengan mudahnya berhasil mengalahkan anak-anak
muda Semangkak yang mereka anggap anak-anak terbaik
dikalangan mereka. Apalagi kini mereka melihat anak-anak
mudanya dalam jumlah yang tidak dapat mereka perkirakan.
Wita sendiri yang berjalan didepan rasa-rasanya hampir
tidak lagi dapat mengangkat kakinya. Kakinya itu seakan-akan
menjadi berat, dan meskipun ia melangkah terus, tetapi
seakan-akan ia tidak bergerak maju. Setiap kail ia
memandang dengan sudut matanya, masih saja dilihatnya
bayangan hitam yang berderet diseberang parit.
"Gila, mereka memang gila" ia menggeram didalam
hatinya. Namun ia dapat juga berpikir "Jika Seorang gadis
dapat mengalahkan aku, apa saja yang dapat dilakukan oleh
anak-anak muda Sangkal Putung itu ?"
Wita terkeiut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara
dibelakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu "Ha,
ternyata dugaanku benar. Anak-anak Sangkal Putung yang
sekarang masih seperti anak-anak mudanya pada masa-masa
Tohpati ada dimulut gerbang Kademangan kalian. He. apakah
masih ada diantara kalian yang mengenal aku?"
Tidak terdengar jawaban. "Siapakah yang masih mengenal aku " Dimana Swandaru
?" Baru kemudian terdengar jawaban "Ia berada dl-rumahnya.
"Dirumahnya Jadi ia berada di Kademangan ?"
"Ya. Ia sudah siap melindungi rumahnya jika terjadi sesuatu
bersama Agung Sedayu."
"Maksudmu adik Senapatl Untara?"
"Ya, bersama gurunya dan guru Tohpati."
"He gila kau. Gurunya dan guru Tohpati ?"
"Ya, Kiai Gringsing dan paman guru Tohpati, Sumangkar."
"Bukan main, bukan main" bekas prajurit Pajang itu
mengangguk-angguk. Lalu "Terima kasih atas kebaikan hati
kalian. Ternyata kalian bersikap cukup dewasa. Kalian tidak
terpancing oleh kebodohan anakku ini. Dan kalian telah
menang tanpa mengalahkan kami."
Anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak menjawab.
Namun terdengar anak muda yang lain berkata "Selamat jalan
mudah-mudahan hal yang serupa tidak terulang lagi."
"Terima kasih. Terima kasih. Aku akan menjaganya.
Seharusnya aku menang diperjudian malam ini. Hari ini adalah
hari yang paling baik bagiku. Tetapi lewat tengah malam.
kabegjan itu sudah beralih pada orang lain." lalu iapun
mengumpat "anak setan. Kalian sudah mengganggu
Kemujurunku malam ini."
Anak-anak Semangkak itu berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Hati mereka memang sudah berkerut. Dan mereka
tidak berani memandang wajah-wajah anak Sangkal Putung
meskipun didalam kegelapan.
Ternyata bahwa anak-anak Sangkal Putung yang berdiri
memanjang dipinggir jalan itu cukup banyak. Rasa-asanya
pagar itu tidak habis-habisnya sampai ketengah bulak. Dan
rasa-rasanya kaki anak-anak muda Semangkak itu semakin
lama menjadi semakin berat. Mereka yang berdiri dipinggir
jalan tidak sekedar anak-anak dari induk Kademangan saja,
tetapi juga dari padukuhan-padukuhan lain di Kademangan
Sangkal Putung. Susunan tata hubungan anak-anak muda
Sangkal Putung yang dibentuk sejak Tohpati masih berada
dihadapan hidung mereka, temyata masih memungkinkan
mereka bergerak cepat dan teratur. Meskipun mereka
berkumpul dalam jumlah yang besar, tetapi mereka tetap
terkendali oleh pemimpin kelompok yang harus bertanggung
jawab kepada Swandaru. Demikianlah, ketika Wita berhasil mencapai ujung dari
pagar manusia itu, tiba-tiba langkahnya menjadi semakin
cepat. Rasa-rasanya ia sudah terlepas dari hisapan tanah
disepanjang jalan, dan terasa kakinya menjadi semakin
ringan. Demikian pula kawan-kawannya yang lain. Mereka
berjalan semakin cepat, bahkan seolah-olah mereka telah
berlari-lari kecil. Dengan kepala tunduk mereka mau tidak mau harus
meresapi suatu pengalaman baru didalam hidup. Mau tidak
mau mereka harus mulai menilai kembali perbuatan yang baru
saja mereka lakukan. Terlebih-lebih Wita. Meskipun mulamula
ia berusaha untuk mencari alasan yang dapat
menyenangkan hatinya sendiri, namun akhirnya ia jatuh
kedalarn suatu pengakuan, bahwa perbuatan yang baru saja
dilakukan adalah perbuatan yang bodoh.
Kini hatinya menjadi berdebar-debar. Pengasuhnya itu pasti
akan marah-marah tiada terkirakan. Mungkin ia benar-benar
akan memukuli anak-anak muda itu seorang demi seorang.
Atau bahkan tidak mau lagi mengajari mereka dengan olah
kanuragan. Jika danikian maka kawan-kawannya itu pasti
akan mulai menyalahkannya, karena ia adalah sumber dari
peristiwa ini. Sejenak Wita yang gelisah itu berpaling. Dilihatnya kawankawannya
berjalan dengan kepala tunduk pula.
Demikianlah maka anak-anak muda itu berjalan semakin
cepat tanpa berbicara lagi yang satu dengan yang lain. Yang
masih terdengar bergeremang adalah bekas prajurit yang
berjalan bersama beberapa anak muda yang tidak mau
membantu Wita. Karena setiap kali bekas prajurit itu masih
saja berkata " Aku kehilangan kesempatan. Jika aku menang
dan meniadi kaya, kalian akan aku belikan sepasang ayam
yang paling baik. Ayam-ayam itu akan bertelur dan menetas
menjadi banyak Kalian dapat menjualnya dan membeli
kambing" Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi beberapa orang
dtantara mereka hanya tersenyum saja.
Sepeninggal anak-anak Semangkak, maka para bebahu
Semangkakpun segera minta diri. Seperti juga ayah Wita,
maka para bebahu Kademangan Semangkak itupun minta
maaf atas segala kelalaian mereka mengurusi anak-anak itu.
"Kami akan berusaha lebih baik lagi dimasa datang"
berkata Ki Demang di Semangkak "kami menjadi iri melihat,
bagaimana kalian disini berhasil menguasai anak-anak muda
kalian." "Anak-anak muda itu sendiri bersedia membantu kami.
Mereka berusaha mengendalikan diri masing-masing" sahut Ki
Demang di Sangkal Putung "tetapi itu bukan berarti bahwa
tidak ada persoalan sama sekali disini"
"Tetapi aku melihat Kademanganmu selalu tenang."
"Kadang-kadang ada juga gelombang-gelombang kecil
didalam tata pergaulan. Tetapi justru perjuangan untuk
mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran itulah
yang telah mengikat anak-anak kita. meskipun ada juga yang
berusaha melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah
terjadi." "Salah" desis Ki Demang di Semangkak "kalian yang sudah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai kesempatan yang baik harus tetap memelihara
kesadaran itu. Kesadaran atas pengorbanan yang pernah
kalian berikan untuk mempertahankan Kademangan ini dari
kehancuran. Kami yang meskipun juga mengalami tetapi tidak
sedahsyat Sangkal Putung, telah terlanjur kehilangan ikatan
itu. Dan ini adalah kesalahan kami yang terbesar."
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Perjuangan itu adalah puncak perjuangan bagi kalian.
Yang dapat kita lakukan sekarang adalah akibat dari
perjuangan kalian dibantu oleh prajurit Pajang."
"Setiap masa mempunyai puncak-puncak perjuangan
masing-masing, yang merupakan mata rantai perjalanan
sejarah Kademangan ini menjelang masa depan yang baik.
Setiap masa menyimpan kemungkinan yang sama dan setaraf
dalam pembentukan wajah Kademangan ini. Namun yang
satu tidak boleh bertentangan dengan yang lain. Yang
kemudian tidak boleh menghapuskan nilai-nilai yang hakiki
yang pernah dicapai sebelumnya, apalagi jika diingat korbankorban
yang pernah jatuh. Tentu mereka tidak akan
merelakan dirinya menjadi korban tanpa suatu keyakinan atas
tujuan perjuangannya. Itulah yang kita kenang. Dan tujuan itu
tidak boleh menyimpang. Sekarang dan seterusnya"
Ki Demang di Semangkak dan bebahunya menganggukanggukkan
kepalanya. Katanya "Aku akan berusaha. Kami di
Semangkak pernah mengalaminya juga meskipun tidak
sebesar Sangkal Putung. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami
sekarang dapat berbuat sekehendak hati. Dan inilah yang
sudah terjadi didaerah kami. Tuak, judi, sabung ayam dan
semuanya yang sama sekali tidak pernah dibayangkan akan
berkembang sampai demikian luasnya."
"Dan yang tidak pernah dibayangkan oleh siapapun juga
disaat-saat kita menggenggam senjata dipeperangan" tiba-tiba
terdengar suara lain dibelakang mereka.
Ketika mereka berpaling. dilihatnya Swandaru datang diikuti
oleh Agung Sedayu. "O, kau" desis Ki Demang di Semangkak "dimana kau
selama ini" Adikmu telah membuat kami semuanya kagum.
Meskipun ia seorang gadis, namun tindakannya yang tepat
hampir menentukan. Kelicikan sebagian anak-anak muda
Semangkak itu akhirnya dapat diatasi oleh guru mereka
sendiri." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia
berpaling memandang Sekar Mirah yang duduk ditangga
pendapa. Sambil tersenyum ia berkata "Kau tentu kecewa
bahwa anak-anak muda itu tidak berhasil mengalahkan kau."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
"Aku juga ikut berharap agar salah seorang dari mereka
dapat menang atasmu, dan kau akan ikut berani dengan
mereka." Sekar Mirah menjadi tegang sejenak. namun kemudian
tangannya meraba-raba dibawah kakinya. Ketika terpegang
olehnya sebutir batu maka batu itupun segera dilemparkan
kepada kakaknya sambil berkata "Kaulah yang membuat garagara."
"Eh, jangan" Swandaru sempat menghindar. Ketika Sekar
Mirah mencari batu berikutnya, Swandarupun segera
berlindung dibalik ayahnya yang sedang berdiri berhadapan
dengan Ki Demang Semangkak.
"Sst, ketegangan didada kami masih belum mereda"
berkata Ki Demang "jangan bergurau. Ki Demang di
Semangkak masih ada disini."
"O" Swandaru menganggukkan kepalanya sambil berkata
"aku melihat semuanya dari dahan pohon disebelah halaman."
Ki Demang di Semangkak mengerutkan keningnya.
Didalam kegelapan ia melihat beberapa anak muda berdiri
termangu-mangu. "Ternyata bahwa kalian mampu mengendalikan diri.
Perjuangan yang berat dimasa lewat itu membuat kalian
benar-benar menjadi anak muda yang masak. Yang
bertanggung jawab." "Ah, Ki Demang memuji." sahut Swandaru "tidak semua
anak-anak muda Semangkak mudah dibakar oleh api
perasaan sendiri. Tetapi karena jumlah mereka yang dewasa
lebih sedikit dari mereka yang sedang bergulat dalam
pembentukan pribadi itu ternyata bahwa mereka tampaknya
justru tersisih." Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang di
Semangkakpun minta diri kepada Ki Demang di Sangkal
putung. Bersama beberapa orang bebahu yang lain iapun
kemudian meninggalkan halaman Kademangan. Tetapi
agaknya Ki Demang Sangkal Putung tidak melepaskannya
begitu saja. Maka diantarkannya Ki Demang itu sampai lepas
dari padukuhan induk Sangkal Putung.
Didepan regol, kedua Demang itu mengerutkan keningnya.
Mereka masih menjumpai anak-anak muda Sangkal Putung
diluar padesan berdiri berjajar disebelah menyebelah jalan.
"Apa yang terjadi?" Ki Demang Sangkal Putung bertanya
dengan cemas. Namun jawab salah seorang dari anak-anak muda itu
membuatnya menarik nafas lega "Tidak ada apa-apa Ki
Demang." "Jadi, darimanakah kalian ?" bertanya Ki Demang di
Semangkak. "Kami baru datang menyingkirkan diri."
"O" Ki Demang di Semangkak mengangguk-anggukkan
kepalanya "terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian telah
menghindari benturan yang dapat terjadi."
Anak muda itu tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja.
"Aku minta diri" berkata Ki Demang di Semangkak kepada
anak-anak muda itu "mudah-mudahan persoalannya tidak
akan terulang lagi. Aku minta maaf."
"Mudah-mudahan Ki Demang" sahut anak-anak muda itu.
Ki Demang di Semangkak dan beberapa orang Semangkak
yang lain itupun segera meninggalkan Sangkal Putung.
Ternyata mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mengendalikan anak mudanya. Bahkan ayah Wita yang
hampir saja melepaskan anaknya yang tidak dapat diaturnya
lagi, untuk kali yang terakhir berusaha menghindarkan
benturan antara anak-anak Semangkak dan Sangkal Putung.
Meskipun demikian kadang-kadang tumbuh juga dihati
Demang di Semangkak, bahkan para bebahu yang lain yang
hampir-hampir tidak dapat menahan kejengkelannya terhadap
anak-anak mereka sendiri pendirian "Jika anak-anak
Semangkak itu sudah menjadi babak belur oleh anak-Sangkal
Putung, barulah mereka akan jera."
Dalam pada itu, sepeninggal para bebahu Kademangan
Semangkak, Ki Demang di Sangkal Putung berbisik kepada
Swandaru "Apa kerja anak-anak itu diluar regol " Apakah
mereka dengan sengaja memancing persoalan atas
Semangkak yang justru sudah berhasil didorong keluar dari
Kademangan ini?" Swandaru menarik natas dalam-dalam. Jawabnya "Mereka
tidak berbuat apa-apa ayah."
"Tetapi kenapa mereka berada disitu " Dalam keadaan
yang panas, sesuatu masih mungkin terjadi. Bukankah aku
minta kau menyingkirkan anak-anak itu ?"
"Aku memang sudah menyingkirkan mereka. Tetapi
bagaimana jika terjadi sesuatu " Aku memang minta mereka
tidak pergi terlampau jauh."
Namun Ki Demang memotong "Dan kau memang meminta
kepada mereka agar mereka berdiri berderet-deret jika anakanak
Semangkak itu kembali meninggalkan Sangkal Putung.
Kau ingin mengatakan kepada mereka bahwa sebenarnya
anak-anak muda Semangkak itu sama sekali tidak ada arti
apa-apa bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Kau ingin
mengatakan. Jika kami mau, kalian akan dapat kami
hancurkan. Bukankah begitu ?"
Swandaru tidak menyahut. "Permainanmu termasuk berbahaya Swandaru masih juga
tidak dapat melepaskan perasaanmu sama sekali. Disatu
pihak kau menyingkirkan anak-anak muda itu agar tidak terjadi
benturan, tetapi dilain pihak, kesombongan masih saja belum
dapat kau tekan sedalam-dalamnya. Kau masih tidak mau
disebut, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung lari.
Bukankah begitu?" Swandaru masih belum menyahut. Kepalanya tertunduk
semakin dalam. "Bayangkan. Kau mengumpulkan anak-anak muda sekian
banyaknya, jika terjadi sesuatu, anak-anak Semangkak itu
pasti akan babak belur. Jika sudah terpercik setitik api
pertengkaran, kau tidak akan dapat mencegahnva lagi. Dan
jika akibatnya terlampau berat bagi anak-anak Semangkak,
maka anak-anak yang lain, yang sebenarnya tidak ikut-ikutan,
akan menjadi sakit hati juga. Bagaimanapun juga mereka
adalah kawan-kawan sepermainan. Bahkan mungkin mereka
akan berusaha berbuat sesuatu untuk menghapuskan sakit
hati mereka itu." Swandaru mengangguk-angguk keeil. Dipandanginva anakanak
muda Sangkal Putung yang masih berkeliaran diluar
regol. "Nah, akan kau suruh kemana mereka sekarang. Tentu ada
sesuatu yang tersimpan didalam dada dan masih belum
tersalur. Mereka tidak akan puas berdiri saja dipinggir desa,
kemudian pulang tanpa berbuat apa-apa."
Swandaru menjadi bingung. Ditatapnya waiah Agung
Sedayu sejenak, seolah-olah la ingin bertanya "Bagaimana
sebaiknya ?" Tetapi Agung Sedayu ternyata menyesali pula sikap
Swandaru yang seolah-olah bermain-main dengan api
disamping seonggok jerami yang basah karena minyak.
"Lalu apakah yang sebaiknya kita kerjakan ayah ?"
bertanya Swandaru kemudian.
Ki Demang di Sangkal Putung termangu-mangu sejenak.
Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan anak-anak itu begitu
saja dan bubar dengan sendirinya. Karena itu, maka katanya
kepada Swandaru "Suruhlah mereka bubar. Tetapi kau harus
berusaha agar anak-anak itu tidak kecewa setelah berdiri saja
tanpa berbuat apa-apa."
"Jadi bagaimana ?"
"Mereka harus berada digardu-gardu dipadukuhan mereka
masing-masing. Katakan kepada mereka, bahwa keadaan
sudah akan mereda dengan perlahan-lahan. Jika tidak ada
apa-apa lagi, maka kau sendiri akan berkeliling kesetiap
gardu." Swandaru mengerutkan keningnya. Itu berarti bahwa
semalam suntuk ia tidak akan dapat tidur, karena ia pergi dari
gardu ke gardu. Dari padukuhan ke padukuhan.
Tetapi Swandaru tidak dapat menolak. Ia harus
memberikan imbangan, karena anak-anak muda itu telah
berkumpul di Kademangan induk untuk sekedar berdiri
berjajar di pinggir jalan.
"Untunglah bahwa mereka cukup kuat menahan perasaan"
berkata Swandaru didalam hatinya. Baru kini merasa,
permainan itu cukup berbahaya. Dan untuk sekedar
memanjakan harga dirinya.
"Kenapa kau diam saja Swandaru ?" bertanya ayahnya.
Swandaru mengangguk sambil menjawab "Ya Aku akan
menemui mereka." "Cepat. Aku akan kembali. Para bebahu yang lainpun akan
kembali" Demikianlah maka dengan langkah yang berat Swandaru
pergi keluar regol padukuhannya. Atas permintaanya maka
Agung Sedayupun mengikutinya pula.
Hati Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihanak-
anak muda itu masih utuh dan menunggunya. Agaknnya
mereka dengan patuh memenuhi segala pesannya untuk
menahan diri jika tidak ada persoalan yang tidak terhindarkan
lagi, karena anak-anak Semangkak telah memulai
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Swandaru"
bertanya salah seorang dari mereka.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
"Pertama-tama kita bersukur bahwa tidak terjadi sesuatu
diantara kita dengan anak-anak Semangkak itu."
"Aku berpikir lain" desis seorang dari mereka aku merasa
kecewa bahwa mereka tidak berbuat apa-apa. Jika mereka
memulainya akan ada alasan bagi kita untuk memukul mereka
sampai jera." "Ya, dan kita ternyata hanya sekedar berdiri saja menjadi
makanan nyamuk." "Tetapi kita sudah berbangga."
"Apa yang dapat kita banggakan." bertanya seorang yang
bertubuh tinggi. "Kita berhasil menahan perasaan yang bergejolak di dalam
dada kita. Itu adalah suatu perjuangan tersendiri. Perjuangan
yang paling berat. Yang tidak dapat dilakukan oleh anak-anak
muda Semangkak sehingga mereka datang berramai-ramai
kemari. Sedang kita yang yakin akan kelebihan dan
kemenangan kita, tidak berbuat apapun juga meskipun anakanak
Semangkak itu sudah berada dihadapan hidung kita.
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
"Lalu sekarang ?"bertanya salah seorang dari mereka.
"Sebagian dari kuwajiban kita sudah selesai. Mudahmudahan
tidak ada akibat apapun yang menyusul."
Anak-anak yang lebih muda dari Swandaru menjadi
kecewa. Tetapi yang lebih tua dari merekapun kemudian
berkata "Marilah kita kembali. Lebih baik tidak terjadi sesuatu
daripada kita harus mempersoalkannya sampai
berkepanjangan" "Selanjutnya aku akan memberi kabar kepada kalian"
berkata Swandaru kemudian.
"Kabar apa ?" bertanya salah seorang dari mereka
"Aku akan memberikan kabar tentang perkembangan
keadaan. Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui kalian
di-gardu-gardu dipadukuhan kalian."
"Kau akan mengelilingi Kademangan ?"
"Ya." "Semalam suntuk?"
"Ya." Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak
Kemudian salah seorang bertanya"Kau benar-benar akan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengelilingi Kademangan ini?"
"Ya, kenapa ?" jawab Swandaru" didalam keadaan yang
tenang dan aman seperti sekarang, mengelilingi Kademangan
adalah suatu tamasya yang menarik. Apalagi dimalam hari.
Sedang disaat Kademangan ini berada di ujung kuku Tohpati,
aku kadang-kadang harus mengelilingi Kademangan ini
dimalam hati." Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka percaya bahwa Swandaru memang ikut menghayati
perjuangan melawan Tohpati seperti beberapa orang anakanak
muda itu. Sedang mereka yang lebih muda saat itu,
mengetahui pula, bahwa Swandaru merupakan seorang yang
ikut memimpin anak-anak muda Sangkal Putung.
Demikianlah, maka dengan hati yang kecewa, anak-anak
muda itu kembali kepadukuhan masing-masing. Meskipun
mereka berhasil menahan perasaan namun sebenarnya,
sebagian besar dari mereka ingin berbuat sesuatu, ingin
membuat anak-anak muda Semangkak itu menjadi jera.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan itu.
Karena itu, mereka melepaskan kekecewaan itu dengan
duduk-duduk dan berbaring digardu-gardu. Berbicara,
berkelakar dan bahkan ada yang melontarkan tembang
macapat keras-keras. "Kau kawani aku" berkata Swandaru kepada Agung
Sedayu. "Mengelilingi Kademangan ?"
"Ya." Agung Sedayu menggelengkan kepala sambil menyahut
"Aku lelah sekali. Pergilah sendiri. Apakah kau takut ?"
"Takut tidak Tetapi seorang diri dimalam begini menyelusur
bulak adalah kerja yang menjemukan sekali."
"Salahmu." "Kenapa salahku ?"
"Kau suruh anak-anak itu berkumpul didepan regol."
"Kalau terjadi sesuatu ?"
"Asal mereka tahu. Dengan kentongan kita dapat
memanggil mereka tanpa membuat mereka jemu berdiri
dipinggir parit bernyamuk itu."
Swandaru tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah
Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak mendapat kesan
apapun dari wajah yang kosong itu.
"Jadi kau juga menyalahkan aku seperti ayah?" bertanya
Swandaru. "Ya. Barangkali setiap orang di Sangkal Putung
menganggap kau salah."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
kemudian berkata "Baiklah. Katakanlah aku telah melakukan
kesalahan. Tetapi kau harus mau mengawani aku mengelilingi
Sangkal Putung." Agung Sedayu menggeleng "Aku akan tidur."
"Aku akan memukul kentongan" berkata Swandaru.
"Kenapa?" "Kau orang asing disini."
"Ah" Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
"Pilih salah satu" berkata Swandaru "pergi bersamaku atau
aku memanggil anak-anak itu kemari Disini ada orang asing
Biarlah mereka menyalurkan kekecewaannya disini, sehingga
dengan demikian aku tidak usah pergi mengelilingi
Kademangan." "Ah, macammu." "Swandaru tidak menyahut Tetapi tiba-tiba ia tertawa
sambil berkata "Kau tinggal memilih. Aku akan menghitung
sampai tiga. Kau harus menentukan pilihan."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia berjalan kembali
ke Kademangan. "Jika kau tidak menjawab, artinya kau bersedia. Kita
memang harus kembali ke Kademangan mengambil kuda."
"Macam kau" gumam Agung Sedayu "cepat sedikit,
sehingga kita masih mempunyai kesempatan untuk tidur
barang sekejap." Swandaru masih tertawa. Tetapi iapun berlari-lari
dibelakang Agung Sedayu kembali ke Kademangan untuk
mengambil kuda. Sejenak kemudian mereka berdua telah menjelajahi
Kademangan Sangkal Putung diatas punggung kuda. Disetiap
bulak mereka seakan-akan berpacu, agar mereka segera
mencapai padukuhan berikutnya. Disetiap padukuhan mereka
berhenti pada gardu-gardu yang berserakan sekedar
menampakkan diri untuk mengurangi perasaan kecewa yang
mencengkam. Namun anak-anak muda yang lebih besar
dapat juga memberikan penjelasan sehingga anak yang lebih
muda dapat mengerti, maksud dan tujuan Swandaru.
"Swandaru ingin membuat mereka jera tanpa menimbulkan
benturan" berkata salah seorang pemimpin kelompok kepada
anak buahnya. "Aku lebih senang berkelahi" desis seorang anak tanggung
yang baru saja meningkat masa yang gelisah.
"Mungkin kau senang mendapat suatu pengalaman. Tetapi
akibatnya akan berkepanjangan. Kita tidak ingin berperang
melawan Semangkak meskipun kita menang, karena kita
memiliki ikatan kesatuan dengan Kademangan disekitar
Sangkal Putung- Anak-anak yang lebih muda itu tidak menjawab. Mereka
mencoba untuk mengerti arti kata-kata kawannya yang lebih
tua itu. Demikianlah Swandaru dan Agung Sedayu benar-benar
telah mengelilingi Kademangan Sangkal Putung tanpa ada
yang dilampauinya. Terutama padukuhan-padukuhan yang
terdekat dengan induk Kademangan, yang telah mengirimkan
beberapa orang anak-anak mudanya untuk pergi ke Sangkal
Putung, berdiri berderet-deret ditepi parit.
Dalam pada itu, di Kademangan Ki Demang Sangkal
Putung masih berbicara sejenak dengan para bebahu
Kademangan dan kedua orang guru yang tinggal di
Kademangan itu pula, Kiai Gringsing dan Sumangkar. Tetapi
karena malam menjadi semakin larut, maka para bebahu yang
lainpun segera minta diri pula.
"Swandaru masih belum mencapai separo perjalanannya"
desis Ki Jagabaya "kasihan anak itu."
Ki Demang tidak menyahut. la hanya tersenyum saja ia
tahu benar, bahwa keadaan di Kademangan ini sudah cukup
baik, sehingga tidak akan ada bahaya diperjalanan.
Kecuali kalau karena lelah dan kantuk, anak itu
dilemparkan oleh kudanya. Tetapi Swandaru dan Agung
Sedayu adalah penunggang kuda yang baik.
Demikianlah, setelah Kademangan itu menjadi sepi, Kiai
Gringsing dan Sumangkar duduk diserambi gandok. Pendapa
Kademangan telah menjadi lengang dan dihalamanpun tidak
ada lagi anak-anak muda yang berkeliaran, selain beberapa
orang yang berada di gardu. Keduanya masih belum dapat
tidur jika Swandaru dan Agung Sedayu masih belum datang
kembali. Namun selain kedua anak-anak muda itu, keduanya
melihat keadaan yang berkembang didaerah Selatan ini
dengan sudut pandangan mereka sendiri. Meskipun demikian
agaknya keduanya mendapatkan beberapa persesuaian
penilaian atas keadaan itu.
"Mudah-mudahan goncangan-angan atas nilai peradaban
ini tidak berkembang terus" berkata Kiai Gringsing "sebab
dengan demikian keadaan akan semakin goyah, sejalan
dengan perkembangan hubungan yang memburuk antara
Pajang dan Mataram. Menurut Agung Sedayu, diantara para
prajurit Pajang telah berkembang suatu pandangan yang
sangat buruk terhadap Mataram. Bahkan ada diantara perwira
yang tidak dapat mempergunakan nalarnya lagi."
"Kesan keseluruhan, ada kecurigaan yang semakin lama
semakin memuncak" sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
"Dan disini kita menemukan goncangan-goncangan semacam
itu pula, meskipun dari segi yang berbeda. Jika anak-anak
muda itu tidak terkendali, maka jika terjadi sesuatu antara
Mataram dan Pajang, yang seharusnya masih mungkin
dikendalikan, namun api itu pasti sudah membakar jiwa anakanak
muda yang masih belum punya pegangan hidup itu.
Mereka tidak akan menyadari arti dari persoalannya, tetapi
mereka akan menjadi minyak yang paling peka terhadap api
itu." "Itulah yang mencemaskan" berkata Sumangkar kemudian
"suasana yang berkembang mirip sekali dengan keadaan
menjelang Pajang berdiri. Saling curiga mencurigai, saling
mendendam dan berkelahi tanpa sebab."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata
Sumangkar yang pernah tinggal di Kepatihan Jipang
memandang keadaan ini bukan saja dipermukaannya. Bukan
saja riak-riak kecil diatas wajah air yang bergetar karena
angin. Tetapi Sumangkar sudah menilai arus yang mengalir
dibawah gelombang yang katon.
Dan Kiai Gringsingpun sebenarnya menjadi sangat cemas
pula. Jika para prajurit Pajang tidak lagi mempunyai
kepercayaan terhadap kehadiran Mataram, maka
pengaruhnya pasti akan meluas.
Tetapi keduanya kini tidak mempunyai banyak kesempatan
untuk berbuat sesuatu. Keduanya bukan orang-orang istana
dan bukan pula perwira tertinggi prajurit Pajang. Karena itu,
mereka hanya dapat berharap, agar para pemimpin di Pajang
mampu mengendalikan dirinya, sehingga persoalannya
dengan Mataram dapat diselesaikan sewajarnya.
Demikianlah keduanya untuk beberapa lamanya masih saja
berbincang. Meskipun tidak ada yang dapat mereka lakukan
untuk ikut menentukan perkembangan keadaan secara pasti,
tetapi mereka berketetapan hati akan menempug segala cara
jikalau mungkin, untuk membantu menjernihkan suasana.
"Tetapi Sultan Pajang ternyata bukan seorang yang teguh
memegang pendirian" berkata Sumangkar tiba-tiba.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sumangkar adalah
adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang dikalahkan
oleh Sultan Pajang, sehingga penilaiannya pasti masih
dipengaruhi oleh keadaannya itu.
Namun Sumangkar melanjutkan" Aku adalah orang yang
paling lunak menghadapi Pajang pada saat Jipang masih kuat.
Aku memang berpengharapan, bahwa Sultan Pajang yang
sekarang akan dapat mengembangkan kebesaran Demak
yang hancur karena setiap orang ingin berkuasa. Setiap orang
merasa dirinya berhak dan mampu memerintah. Tetapi yang
terjadi adalah kehancuran yang hampir tidak dapat ditolong
lagi. Dalam keadaan yang gawat itu tampil Adiwijaya. Adipati
Pajang. Namun setelah ia berhasil mewarisi kekuasaan
Demak, maka pemerintahan yang dipimpinnya sama sekali
tidak berkembang. Orang-orang yang paling penting
disekitarnya, ternyata telah pergi. Meskipun orang-orang itu
lahir dari celah-celah rakyat kecil, tetapi kemampuan mereka
dalam olah kanuragan dan tata pemerintahan memberikan
banyak keuntungan bagi Pajang dan bagi Adiwijaya sendiri.
Tetapi orang-orang itu kini tidak ada lagi diistana. Mereka
telah berada di Pati dan Mataram yang baru dibuka.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah
lama ia bergaul dengan Sumangkar. Tetapi jarang sekali ia
menyatakan pendapatnya tentang pemerintahan Pajang. Kini
agaknya ia tidak dapat menahan kecewa yang mendesak
didalam hatinya terhadap Sultan Adiwijaya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak menanggapinya dalam
keadaan yang semakin parah, Sumangkar pasti tidak terlepas
dari pengaruh lingkungannya dahulu. Dan seakan-akan
terbayang dimatanya kata-kata hatinya "Jika Arya
Penangsang yang berhasil menduduki tahta, keadaan akan
berbeda." Namun bagi Kiai Gringsing, baik Arya Penangsang maupun
Adiwijaya, ternyata terdapat kelemahan-kelemahan yang
mengganggu perkembangan negeri ini. Adiwijaya yang
membinasakan Arya Penangsang dengan dorongan Ratu
Kalinyamat, yang bahkan telah menyediakan dua orang gadis
cantik buatnya, kini semakin dalam tenggelam dalam
kebesarannya sendiri. Adiwijaya sibuk dengan persoalanpersoalan
pribadinya, sehingga pemerintahannya seakanakan
telah dikesampingkan. Sejak Pajang berkuasa, maka
tidak ada perubahan penting yang tumbuh dan tidak ada
pembaharuan dapat menguntungkan rakyatnya.
Tetapi itu tidak berarti bahwa jika Arya Penangsang
memegang pimpinan, Jipang akan mampu mengangkat bekas
daerah kekuasaan Demak menjadi suatu negara besar. Arya
Penangsang memang lebih lincah dan cita-citanya pasti
melambung tinggi. Tetapi ia adalah orang yang keras hati yang pasti akan
lebih mementingkan kekerasan dari pembicaraanpembicaraan
yang baik. Tiba-tiba Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam,
sehingga Sumangkar berpaling kepadanya. Tetapi Kiai
Gringsing tidak berkata apapun juga.
"O" desis Sumangkar "apakah aku sudah berbicara
terlampau banyak ?" "Tidak, tidak" cepat-cepat Kiai Gringsing menyahut. Aku
senang mendengar pendapatmu tentang Pajang, Pati dan
Mataram. Dengan demikian barulah kau tampak, bahwa kau
bukan sekedar seorang juru masak Tohpati dihutan-hutan
rindang itu. Tetapi kau benar-benar adik seperguru Patth Mantahun
dari Jipang." Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
telah mendapat pengampunan khusus dari Pajang. Saat itu
Pemanahanlah yang membawa aku menghadap Sultan
Adiwijaya. Dan aku merasa sangat berterima kasih. Sultan
Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh kasihan
kepada rakyatnya." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia masih menunggu, kelanjutan dari kata-kata Sumangkar.
Namun Sumangkar tidak berkata apapun.
Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Tentu kalimat Sumangkar itu masih ada kelanjutannya. Ia
pasti akan memperbandingkan sifat-sifat yang baik yang ada
pada Adiwijaya dan kelemahan-kelemahannya. Tetapi katakata


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah disusunnya itu ditelannya kembali.
Justru karena itu, maka Kiai Gringsinglah yang berkata
"Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh
banyak belas kasihan. Tetapi cita-citanya yang meledak-ledak
dimasa mudanya tiba-tiba terhenti diantara isteri-istri dan selirselirnya."
"Ah." "Memang bukan kau yang mengatakannya. Tetapi aku."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menanggapinya. Bagaimanapun juga ia masih selalu
dibayangi oleh keadaannya beberapa saat yang lampau.
Bagaimanapun juga ia berada didalam pasukan Tohpati yang
telah mengeraskan hatinya, melawan Pajang sepeninggal
Arya Penangsang. Kiai Gringsingpun tidak mempersoalkannya lagi. Iapun
sadar, bahwa Sumangkar pasti masih belum dapat dibawa
berbicara terbuka sepenuhnya. Ia pasti belum dapat
mengatakan seluruhnya yang tersimpan didalam hati. Juga
karena ia merasa berhutang budi kepada Sultan Pajang, tetapi
juga kepada Ki Gede Pemanahan.
Meskipun demikian, pandangan yang tajam dari kedua
orang tua itu, mendapatkan tanggapan dan penilaian yang
serupa tentang Pajang meskipun sebagian masih disimpan
didalam hati. Bahkan penilaian mereka sampai juga kepada Pangeran
Benawa, Putera Sultan Pajang yang seharusnya diangkat
menjadi Putera Mahkota. Tetapi menilik sikapnya yang lemah,
ia tidak akan mungkin dapat mengangkat Pajang melampaui
ayahnya, Sultan Adiwijaya. Pangeran Benawa adalah putera
yang sangat dikasihi oleh ayah bundanya. Namun dengan
demikian, Pangeran itu menjadi manja dan kehilangan
kesempatan untuk menempa diri didalam linigkungan, yang
lebih keras. Seperti kerasnya tantangan yang dihadapi oleh
pajang saat itu. Pangeran Benawa menganggap bahwa perjuangan
ayahnya telah sampai pada titik akhir. Seakan-akan semuanya
sudah tercapai. Seakan-akan Pajang telah menjadi tenang
dan bahkan tertidur nyenyak.
Pangeran Benawa tidak mengena kerasnya benturan
perjuangan membuka Alas Mentaok. Tidak melihat gejolak
gelombang dipesisir yang diperintah oleh para Adipati
Tidak mendengar desau angin yang menghembus lajar
para nelayan dan lebih-lebih lagi pedagang asing yang
merapat dipantai, meskipun sampai juga ditelinganya,
bagaimana perjuangan leluhurnya, Pangeran Pati Unus yang
menjelajahi lautan. Bergesernya pemerintahan dari Demak masuk kedaerah
yang semakin dalam telah memisahkan Pajang dari
keakraban dengan buih lautan.
"Pusat pemerintahan tidak perlu berada dipantai" berkata
Kiai Gringsing didalam hatinya "tetapi pimpinan pemerintahan
harus menyadari, betapa pentingnya air lautan bagi tanah ini."
Dan hidup yang dilingkungi oleh gemerlapnya istana dan
cantiknya wanita telah memisahkan Adiwijaya dan Puteranya
dari kerasnya gelombang dan pepohonan hutan.
Terlebih-lebih lagi, Pajang tidak berhasil menguasai hasrat
hidup dan kesatuan pandangan hidup yang tercermin di dalam
persoalan-persoalan kecil di Sangkal Putung dan Jati anom.
Namun persoalan-persoalan kecil itu tumbuh justru pada jalur
arus antara Pajang dan Mataram.
Dalam pada itu, kedua orang-orang tua yang seakan-akan
lelap dalam angan-angan masing-masing itu terkejut ketika
mereka mendengar derap kuda memasuki halaman.
"Mereka datang" berkata Ki Sumangkar. Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya sambil berdiri diikuti oleh
Sumangkar. Keduanyapun kemudian luar dari gandok,
menyongsong kedua anak-anak muda yang baru datang
setelah mengelilingi seluruh Kademangan. Namun dalam
pada itu, langitpun sudah mulai semburat merah. Hampir fajar.
"Perjalanan yang menyenangkan" Swandaru meloncat
turun dari kudanya sambil tersenyum. Ketika seseorang
datang kepadanya, maka diserahkannya kudanya-sama sekali
dengan kuda Agung Sedayu yang telah turun pula.
"Aku hampir tertidur dipunggung kuda" Swandaru
meneruskan. "Untunglah aku tidak seorang diri, sehingga ada
kawan berbicara ditengah-tengah bulak yang dingin.
"Beristirahatlah" Berkata Kiai Gringsing kepada kedua
muridnya. "Aku akan mencuci kaki" desis Agung Sedayu sambil
melangkah ke pakiwan bersama Swandaru. Tetapi langkah
mereka berhenti dilongkangan ketika mereka melihat Sekar
Mirah berdiri dipintu butulan
"Kau tidak mengajak aku" ia bersungut-sungut.
"Jangan mencari perkara. Mengelilingi
Kademangandimalam hari terasa sangat melelahkan. Tidur
sajalah" "Bukankah kau baru saja berkelahi" sahut Swandaru
"Sayang, Wita tidak bersungguh-sungguh."
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ketika ia mencari
sesuatu dibawah kakinya, Swandaru segera berlari
meninggalkannya langsung ke pakiwan dibelakang rumah.
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. la belum
sempat herbicara banyak dengan gadis itu sejak ia kembali
dari Alas Mentaok, karena ia segera pergi ke Jati Anom dan
begitu ia kembaii, ia sudah dihadapkan pada anak-anak muda
yang berkumpul dipendapa, bahkan persoalan kentongan
itupun telah merampas perhatiannya. Dihari berikutnya,
suasana Kademangan diliputi oleh kegelisahan karena pokal
Wita pula, sehingga waktunya seakan-akan terampas habis
untuk ikut berbicara tentang kemungkinan yang bakal terjadi.
Apalagi semalaman ia harus bersembunyi di kandang,
memanjat pohon dan mengelilingi Kademangan diatas
punggung kuda. Tetapi keduanya tidak berbicara apapun. Namun sentuhan
tatapan mata merekalah yang banyak melontarkan isi hati
masing-masing. Tiba-tiba saja Sekar Mirah melangkah surut, masuk
kedalam sambil berkata "Selamat tidur kakang."
Agung Sedayu mengangguk kaku. Sebelum ia menjawab,
pintu itu sudah tertutup.
Perlahan-lahan ia melangkah menyusul Swandaru dengan
kepala tunduk. Terbayang kesibukan yang akan segera terjadi
di Jati Anom jika kakaknya kawin kelak. Setelah itu, jalan telah
terbuka pula baginya. Setelah membersihkan dirinya, maka iapun kemudian
kembali kepada gurunya, menyusul Swandaru yang telah lebih
dahulu. Sejenak mereka menunggu gurunya yang juga pergi
kepakiwan bersama Ki Sumangkar untuk kemudian bersamasama
menghadap Tuhannya, dalam suatu saat yang khusuk.
Setelah selesai, barulah Agung Sedayu dan Swandaru
pergi beristirahat, berbaring-baring sejenak didalam bilik
gandok itu. Mereka bangkit ketika gurunya masuk keruangan itu
bersama Ki Sumangkar, namun gurunya segera berkata
"Berbaringlah. Kau perlu beristirahat."
"Kami tidak terlalu lelah" jawab Agung Sedayu.
"Tidak. Kau tentu lelah. Seandainya tidak, berbaringlah.
Aku tidak akan membicarakan masalah yang berat. Aku hanya
akan berbicara saja untuk mengisi waktu sampai matahari
naik." Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
tersenyum sambil berkata "Maaf, kami berbaring."
"Ya, berbaringlah."
Swandarupun menyahut "Tetapi dengan berbaring, aku
dapat tertidur tanpa aku sadari,"
"Tidurlah jikakau mengantuk."
Swandaru tersenyum. Tetapi ia memang lebih senang
berbaring daripada duduk dibibir amben bambunya, setelah
hampir semalam suntuk ia duduk diatas punggung kuda.
"Bagaimana dengan anak-anak muda itu?" bertanya Kiai
Gringsing kemudian. "Tidak apa-apa guru" jawab Swandaru "meskipun mereka
masih berkeliaran dan berkumpul di-gardu-gardu, tetapi
mereka sudah dapat ditenangkan."
"Kehadiranmu memang dapat menenangkan mereka,
meskipun kekecewaan masih tetap ada didalam hati. Namun
mereka merasa kau perhatikan, sehingga meskipun malam
telah larut, kau kunjungi mereka digardu-gardu."
"Ya." "Jadikanlah suatu pengalaman" berkata Kiai Gringsing
"anak-anak muda yang sudah bergerak, tetapi tidak mendapat
sasaran, kadang-kadang dapat menumbuhkan persoalan
tersendiri. Namun demikian, didalam keadaan yang semakin
gawat ini, cobalah memelihara ikatan yang telah ada."
Swandaru mengerutkan keningnya.
"Disadari atau tidak disadari, Sangkal Putung akan
tersentuh oleh perkembangan hubungan antara Pajang dan
Mataram. Jika hubungan itu semakin baik, daerah inipun akan
menjadi semakin baik, tetapi jika hubungan itu memburuk,
maka daerah ini akan mengalami kesulitan pula, karena
daerah ini berada dijalur lurus antara Pajang dan Mataram."
Swandaru mengerutkan keningnya. la menyadari, bahwa
persoalan Pajang dan Mataram pasti akan mempengaruhi
Kademangannya. Persoalan Jipang dan Pajangpun
menyangkut keamanan dan ketenteraman Sangkal Putung,
apalagi Mataram dan Pajang.
Justru karena Sangkal Putung merupakan daerah yang
subur, maka Sangkal Putung akan dapat dijadikan daerah
perbekalan yang mantap. Baik Mataram maupun Pajang
didalam keadaan yang memburuk, memerlukan daerah
perbekalan. "Karena itu Swandaru" berkata Kiai Gringsing "sebelum
persoalan yang menyangkut daerah ini menjadi semakin
gawat, meskipun bukan itu yang kami harapkan, maka Kau
lebih dahulu dapat menyiapkan dirimu sendiri dan Agung
Sedayu. Maksudku, sebelum kau terlibat didaliam persoalan
yang berlarut-larut tanpa diketahui ujung dan lebih baik kau
selesaikan dahulu persoalan-persoalan pribadimu.
Tiba-tiba hampir berbareng Swandaru dan Agung Sedayu
bangkit. Hampir berbarengan pula keduanya bertanya
"Maksud guru?" "Tentu persoalan-persoalan kalian berdua sebagai anakanak
muda. Bukankah menurut Agung Sedayu, anakmas
Untara juga hampir menginjak masa baru didalam hidupnya "
Nah, jika demikian, Swandaru dan Agung Sedayupun dapat
segera menyusulnya. Tetapi tentu terlebih dahulu, persoalanpersoalan
yang menyangkut adat upacara harus dipenuhi."
Kedua anak-anak muda itu menundukkan kepalanya,
"Maksudku, setelah anakmas Untara selesai, ayahmu
Swandaru, harus segera datang ke Menoreh. Ki Gede
Menoreh pasti sudah terlampau lama menunggu. Apalagi ia
kini menjadi cacat. Tentu ia memerlukan seseorang yang akan
segera menjadi pelindung Pandan Wangi. Berbareng dengan
itu, anakmas Untarapun harus menghadap Ki Demang
Sangkal Putung, untuk minta secara resmi, agar Sekar Mirah
diperkenankan hidup bersama Agung Sedayu."
(***) Buku 65 KEDUA anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut.
Tetapi keduanya hanya menundukkan kepalanya saja,
meskipun keduanya dapat mengerti, bahwa yang dikatakan
oleh gurunya itu memang bukan sekedar persoalan yang tidak
bersungguh-sungguh yang dapat sekedar didengarkannya
sambil berbaring. Namun demikian keduanya tidak dapat
segera menanggapinya. Tetapi Kiai Gringsing pun memang tidak memerlukan
jawaban. Ia hanya sekedar memberi bahan pertimbangan bagi
anak-anak itu agar dikemukakannya kepada orang tuanya.
Tetapi Swandaru ternyata bertanya, "Apakah ayah dan ibu
harus pergi menempuh jarak sejauh itu, Guru?"
"Ya. Terutama ayahmu. Tetapi karena perjalanan yang
sulit, maka agaknya ibumu tidak usah ikut pun tidak akan
menimbulkan persoalan apa pun. Selain Nyai Gede Argapati
juga sudah tidak ada lagi, Ki Gede pun akan menyadari,
betapa sulitnya perjalanan seorang perempuan melintasi Alas
Mentaok, yang meskipun sebagian sudah dibuka.
Menyeberangi Kali Opak dan menghadapi kerusuhan yang
dapat timbul di sepanjang jalan. Karena setiap saat dapat
tumbuh kelompok-kelompok penyamun yang mengganggu
jalan di daerah yang berhutan-hutan. Apalagi daerah yang
semakin ramai, tetapi belum dilengkapi dengan jalur-jalur jalan
yang memadai." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti,
bahwa hal itu memang harus dilakukan dan ayahnya pun
harus tidak berkeberatan. Tetapi yang menjadi persoalan
kemudian adalah, apakah dalam keadaan yang semakin
gawat, ayahnya dapat meninggalkan Sangkal Putung.
"Tetapi Untara, seorang senapati yang bertanggung jawab
di daerah Selatan ini sempat juga memikirkan kebutuhan
manusiawi. Sebagai seorang laki-laki, ia akan sampai juga
pada suatu saat, bahwa ia harus hidup bersama dengan
seorang isteri," berkata Swandaru di dalam hatinya. Namun
kemudian, "Tetapi ia tidak perlu meninggalkan tugasnya."
Tetapi Swandaru tidak mengatakan persoalan itu.
Waktunya masih cukup panjang. Setelah bulan depan.
Setelah Untara benar-benar kawin, sehingga ayahnya akan
sempat menghadiri perkawinan itu.
Demikianlah, ternyata bahwa Untara tidak sekeras yang
dibayangkan oleh Agung Sedayu sebelumnya. Ternyata ia
menerima adiknya dengan baik, setiap Agung Sedayu
berkunjung kepadanya bahkan sekali-sekali bersama-sama
dengan Swandaru. "He, kau masih saja bulat," berkata Untara ketika Swandaru
datang untuk pertama kalinya ke Jati Anom.
Swandaru tertawa. "Tetapi kau jadi bertambah pendek," Untara meneruskan.
"Mungkin," jawab Swandaru, "aku memang bertambah
pendek. Tetapi Kakang Untara bertambah tampan. Aku belum
pernah melihat Kakang Untara berpakaian serasi sekarang.
"Ah." "Semakin dekat dengan hari-hari yang mendebarkan itu,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakang Untara harus lebih banyak mesu diri. Berpuasa dan
banyak memberi kepada orang lain, agar kelak Kakang Untara
mendapat seorang anak yang seperti dicita-citakan."
Untara tertawa. Selama di Sangkal Putung ia mengenal
Swandaru sebagai seorang anak muda yang terbuka hatinya,
suka bergurau, tetapi hatinya sekeras batu.
Namun ternyata, hubungan yang akrab antara Untara dan
adiknya, apalagi dengan Swandaru, menimbulkan ketidakpuasan
bagi sebagian perwiranya. Kebencian mereka kepada
Agung Sedayu masih saja melekat di hati mereka. Terutama
perwira yang pernah dikalahkan di dalam perkelahian di
tengah sawah oleh Agung Sedayu.
Tetapi Untara adalah seorang senapati yang sangat
berpengaruh bagi mereka, sehingga tidak seoran pun yang
dengan terang-terangan berani menentangnya.
Saat perkawinan Untara itu pun semakin lama menjadi
semakin dekat. Sebagai seorang senapati, maka para perwira
tinggi di Pajang, mau tidak mau harus memperhatikan hari
yang penting bagi jalur kehidupan Untara itu. Karena itu, maka
Jati Anom pun untuk beberapa saat menjadi pusat perhatian
bagi pemimpin pemerintahan di Pajang.
Yang akan dirayakan adalah seorang senapati besar,
sedang yang memangku perhelatan yang akan berlangsung
adalah Widura, pengganti ayah ibunya, juga seorang bekas
prajurit Pajang yang namanya dikenal sejak perlawanan yang
sangat berat menghadapi tekanan Tohpati di Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang di Jati Anom
sibuk menghadapi hari yang besar bagi Untara, yang menjadi
semakin dekat, Agung Sedayu dan Swandaru yang sedang
berada di luar padukuhannya terkejut, ketika dijumpainya
seorang yang berdiri di tengah jalan menghentikan
langkahnya. Menilik pakaiannya, ia bukan orang Sangkal
Putung, bukan pula dari padukuhan di sekitamya. Pakaiannya
yang kotor dan kumal menunjukkan, bahwa ia telah
menempuh suatu perjalanan yang jauh. Namun dua pasang
mata yang tajam itu, melihat di balik bajunya, sebilah keris
yang dianggar di lambungnya.
"Bukankah Ki Sanak yang bernama Agung Sedayu dan
Swandaru Geni," bertanya orang itu.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menyahut.
Namun akhirnya hampir berbareng mereka berkata lantang,
"Wanakerti." Orang itu membuka tudung kepalanya. Sambil tersenyum
ia berkata, "Kalian masih mengenal aku."
Sambil menepuk pundaknya Agung Sedayu menyahut,
"Wajahmu hampir tidak aku kenal karena debu yang melekat.
Tetapi aku tidak lupa warna suaramu."
Wanakerti tertawa. "Marilah, datanglah ke rumahku. Bukankah kau memang
mencari kami berdua?"
Wanakerti menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
memang mencari kalian berdua. Tetapi aku tidak akan
singgah ke Kademangan Sangkal Putung."
"Kenapa?" Wanakerti tidak segera menjawab. Keragu-raguan
membayang pada sorot matanya. Namun kemudian ia
berkata, "Apakah aku masih berhadapan dengan Agung
Sedayu dan Swandaru yang dahulu."
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang
menyahut adalah Agung Sedayu, "Kaulah yang terasa asing
bagiku. Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya demikian?"
Wanakerti tersenyum. Jawabnya kemudian, "Jika demikian,
kalian masih tetap Agung Sedayu dan Swandaru yang aku
kenal dan yang dikenal baik oleh Raden Sutawijaya."
"Kau mengemban tugas dari Raden Sutawijaya?" Agung
Sedayu langsung menyentuh persoalan yang dibawa oleh
Wanakerti. Wanakerti menganggukkan kepalanya.
"Apakah kau akan mengatakan kepadaku?"
"Ya. Hanya Agung Sedayu-lah yang dapat menjawabnya
dengan tepat jika dikehendakinya."
"Kau aneh," desis Agung Sedayu.
"Maksudku, aku hanya ingin berhati-hati."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mencoba mengerti, kenapa Wanakerti menjadi sangat berhatihati
terhadapnya setelah ia berada di Sangkal Putung.
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, kemudian, "aku akan
menjawab pertanyaan-pertanyaanmu kalau aku mengerti."
"Kau tentu mengerti," Wanakerti tersenyum.
Agung Sedayu mencoba tersenyum pula betapa pun
hambarnya. "Agung Sedayu," berkata Wanakerti, "aku hanya ingin
mendapat kepastian, apakah Untara benar-benar akan
kawin?" Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, "Kau
tentu sudah mendengarnya."
"Ya. Aku memang mendengar ceritera, bahwa Untara akan
segera kawin. Karena itu aku akan meyakinkannya."
"Kau terlampau teliti. Maksudku Raden Sutawijaya."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Kau tentu sudah mendapat bahan yang
lengkap dari hari perkawinan itu."
"Aku memang harus mendapat bahan yang lengkap. Jika
aku kembali ke Mataram, aku harus memberikan perincian
yang sekecil-kecilnya dari perkawinan itu. Dan aku
mengharapkan dapat memenuhi tugas itu. Karena itu, aku
menemuimu." Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
"Bagiku kau adalah seorang yang paling dekat dengan
Untara, dan kau adalah orang yang sudah aku kenal dan
mengenal aku dan Raden Sutawijaya."
"Apakah yang sebenarnya ingin kau ketahui" Hari
perkawinannya atau siapakah isterinya?"
"Kedua-duanya, dan kenapa Untara kawin dengan puteri
Rangga Parasta?" "O, jadi kau sudah tahu, dengan siapa Kakang Untara akan
kawin?" Aku juga sudah mendengar, bahwa isteri Kakang
Untara bernama Tundunsari, puteri Rangga Parasta. Tetapi
aku tidak tahu apakah sebabnya" Menurut paman Widura,
isteri Kakang Untara sebaiknya adalah seorang gadis yang
mengerti tentang Kakang Untara, sabar, dan luruh. Menurut
pendapatku, Tundunsari memenuhi syarat itu, sehingga
agaknya Paman Widura-lah yang telah menghubungkannya."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia bertanya, "Memang mungkin suatu kebetulan. Tetapi
Rangga Parasta adalah salah seorang yang tidak pernah
sesuai jalan pikirannya dengan Ki Gede Pemanahan, hampir
di segala hal." "Ah," desis Agung Sedayu dan Swandaru hampir
berbareng. "Tanggapan itu agaknya sudah terlampau jauh,"
sahut Agung Sedayu "Barangkali Kakang Untara tidak pernah memikirkannya,"
sambung Swandaru. "Memang mungkin sekali. Untara mungkin tidak pernah
memikirkan hal itu. Tetapi siapakah yang menempatkan
Untara pada tempat yang akan menjadi pusat persoalan itulah
yang ingin aku ketahui."
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Katanya, "Itu pun tidak ada hubungannya apa-apa. Tentu
Paman Widura yang menjadi penghubung. Mungkin Paman
Widura sama sekali tidak menghiraukan persoalan-persoalan
semacam itu." Wanakerti tersenyum. Katanya, "Widura adalah bekas
seorang pemimpin prajurit Pajang."
"Jadi kau menyangka, bahwa bukan saja kebetulan kalau
Paman Widura memilih Tundunsari bagi isteri Kakang
Untara?" "Mungkin bukan Widura sendiri. Aku sangka pasti ada
perantara yang lain yang telah mempertemukan Widura
dengan Rangga Parasta."
"Aku tahu. Paman Widura mengenal Rangga Parasta
dengan baik. Mungkin dalam suatu kunjungan atau dalam
suatu pembicaraan masalah itu tersentuh, sehingga
terbukalah jalan bagi persoalan itu untuk seterusnya."
Wanakerti mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
mungkin. Tetapi kemungkinan yang aku katakan, bukan
mustahil. Seseorang yang ingin menyeret langsung Untara ke
dalam persoalan yang gawat ini dengan mempergunakan
hubungan yang paling erat di dalam hidup seseorang. Kau
tentu sudah tahu, bahwa banyak prajurit yang tidak senang
melihat perkembangan Mataram. Mereka merindukan Pajang
yang besar. Tetapi mereka kehilangan harapan karena sifat
Sultan Pajang yang dengan perlahan-lahan telah berubah dari
perjuangan yang gigih untuk mencapai cita-citanya kepada
kemukten yang berlebih-lebihan sekarang ini. Namun mereka
tidak ingin melihat orang lainlah yang akan dapat meneruskan
perjuangan Pajang untuk mencapai kebesarannya, meskipun
pusat pemerintahan itu kelak akan berganti nama."
"Ki Wanakerti," bertanya Agung Sedayu, "apakah kira-kira
demikian juga yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, jika aku
langsung menjumpainya?"
Tiba-tiba saja wajah Wanakerti menegang. Namun sejenak
kemudian ia tertawa, "Memang mungkin tidak tepat seperti
yang aku katakan. Agaknya kau memang seorang anak muda
yang tangkas. Kau agaknya menangkap sikapku sendiri
terselip di antara kata-kataku. Namun demikian, sikap Raden
Sutawijaya tidak akan jauh berbeda."
"Kau sudah mengambil kesimpulan, Ki Wanakerti," berkata
Swandaru. "Agaknya Raden Sutawijaya belum mengambil
kesimpulan sejauh itu."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku keliru. Ternyata aku berbicara dengan murid-murid Truna
Podang. Tetapi pada dasarnya, tugas itu memang harus aku
jalankan." "Aku percaya, bahwa Raden Sutawijaya ingin mendapat
bahan pertimbangan tentang perkawinan Kakang Untara
dengan Tundunsari. Tetapi belum mengambil sikap seperti
yang kau katakan." Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ternyata ia berhadapan dengan anak-anak muda
yang berpikir dengan tangkas, seperti ketangkasan mereka
dalam olah kanuragan. Karena itu, maka katanya kemudian,
"Baiklah. Aku akan surut beberapa langkah. Aku akan
membatasi pertanyaanku dengan pertanyaan-pertanyaanku
yang pertama. Apakah perkawinan Untara dengan puteri
Rangga Parasta itu hanya suatu kebetulan atau ada
seseorang yang sengaja menjerat Untara ke dalam suatu
sikap yang keras terhadap Mataram?"
"Ki Wanakerti," berkata Agung Sedayu, "aku yakin, bahwa
Kakang Untara bukan anak-anak lagi. Ia adalah seorang
senapati yang sudah dewasa. Senapati yang mempunyai
sikap yang masak. Jika ia sudah menempatkan dirinya di
bawah perintah Sultan Pajang, ia akan menjalankannya,
menjadi atau tidak menjadi menantu Rangga Parasta. Tetapi
kalau Kakang Untara bersikap lunak terhadap Mataram, ia
akan tetap bersikap demikian. Jika kemudian ada
perkembangan sikapnya, itu sama sekali bukan karena ia
memperisteri puteri Rangga Parasta, tetapi itu adalah
perkembangan nalarnya sendiri."
Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, "Ya, aku mengerti. Tetapi kalian tidak boleh
mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan
kehidupan kita. Mungkin karena kalian belum kawin sajalah
kalian tidak menyadari betapa pentingnya. Kau lihat, apa yang
terjadi dengan Sultan Pajang sekarang ini?"
"Kau berkata lagi tentang sikapmu sendiri."
"O, maaf. Tetapi baiklah. Mudah-mudahan tanggapanmu
terhadap Untara tepat. Kau adalah adiknya dan kau pasti
mengenal sifat-sifatnya."
"Aku yakin. Demikian juga sikap Paman Widura."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Jadi
tepatnya kapan Untara akan kawin?"
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan
sejenak. Mereka tampak ragu-ragu untuk menjawab.
"Aku tidak akan berbuat apa-apa," berkata Wanakerti.
"Juga Raden Sutawijaya tidak akan berbuat apa-apa. Kami
hanya ingin tahu. Maaf, apakah perkawinan inilah yang
sebenarnya meningkatkan kesibukan pasukan Pajang di Jati
Anom?" "O," Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"aku mengerti. Baiklah. Perkawinan akan berlangsung sepuluh
hari lagi. Tentu kehadiran para prajurit di Jati Anom adalah
karena perkawinan Kakang Untara. Bukan karena perkawinan
itu sekedar sebagai alasan yang tersamar untuk meningkatkan
kegiatan para prajurit Pajang yang sedang menghadapi
Mataram, atau katakanlah, bahwa selagi Untara kawin,
pasukan yang sudah dipersiapkan akan maju mendekat ke
Mataram, bahkan lebih jelek lagi dari itu, menyerang
Mataram." Wajah Wanakerti menegang sejenak. Namun sekali lagi ia
tersenyum dan berkata, "Terima kasih. Beruntunglah, bahwa
aku berbicara dengan anak-anak muda yang dewasa. Aku kira
bahan-bahan yang harus aku kumpulkan untuk sementara
sudah cukup." "Apakah Ki Wanakerti benar-benar tidak akan singgah ke
rumahku?" bertanya Swandaru.
"Terima kasih. Lain kali aku akan singgah. Sekarang aku
harus secepatnya kembali. Raden Sutawijaya menunggu
keteranganku." Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun Swandaru masih juga berkata, "Ki
Wanakerti. Guru, eh maksudku Ki Truna Podang akan senang
sekali menerimamu, jika kau mau singgah."
"Maaf, sampaikan kepada Kiai Gringsing, bukankah
gurumu bernama Kiai Gringsjng?" sahut Wanakerti. "Bahkan
kali ini aku tidak akan dapat singgah."
"Sayang sekali. Jika Ki Wanakerti dapat bertemu, maka
setidak-tidaknya guru akan teringat kepada hutan yang lebat
itu dan mungkin kau akan mendengar pertanyaannya,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana sikapmu dan sikap Raden Sutawijaya terhadap
Pangeran Benawa." "Ah," sekali lagi wajah Wanakerti menegang. Tetapi ia pun
tersenyum pula sambil berkata, "Pangeran Benawa adalah
seorang yang baik menurut Raden Sutawijaya. Terlalu baik."
Namun kemudian Wanakerti berkata, "Sudahlah. Lain kali kita
berbicara banyak tentang Pajang, tentang Sultan Adiwijaya,
tentang Pangeran Benawa."
"Dan tentang Raden Sutawijaya sendiri," potong Agung
Sedayu. "Ya, tentang Raden Sutawijaya sendiri," Wanakerti
mengangguk-angguk. "Sekarang aku minta diri. Aku
menunggu kalian sejak pagi di bawah pohon randu itu. Aku
yakin, bahwa suatu saat kalian akan keluar dari padukuhan."
"Kebetulan sekali. Bagaimana kalau aku tidak keluar juga?"
"Terpaksa sekali aku berjalan melalui regol kademangan.
Tetapi aku memang tidak ingin singgah. Maaf. Sekarang aku
minta diri." "Apakah kau tidak membawa tunggangan?"
Wanakerti tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. Bahkan
Swandaru berkata, "Aku tahu, kau sembunyikan kudamu, atau
seseorang menunggumu di tempat lain sambil menunggui
kudamu. Apakah kau sekarang menjadi petugas sandi dari
Mataram?" "Ah," Wanakerti berdesis. Tetapi ia tidak menjawab selain
senyumnya yang masih saja tampak di bibir.
"Hati-hatilah. Jangan kau sesorah di simpang empat, "inilah
petugas sandi dari Mataram," supaya orang-orang itu tahu
bahwa kau seorang petugas sandi."
"Ah," Agung Sedayu-lah yang kemudian menggamit
Swandaru. "Terima kasih," berkata Wanakerti sambil masih saja
tersenyum. "Aku minta diri."
Demikianlah, maka Wanakerti pun segera meninggalkan
Agung Sedayu dan Swandaru yang masih termangu-mangu
untuk sesaat. Namun ketika Wanakerti menjadi semakin jauh,
maka Agung Sedayu pun berkata, "Marilah kita kembali. Kita
beritahukan kedatangannya kepada guru."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih
memandang Wanakerti yang berjalan semakin lama seakanakan
menjadi semakin cepat. Desisnya, "Di mana kudanya
ditinggalkan?" "Tentu agak jauh. Tetapi biarlah. Kita sekarang menemui
guru." Keduanya pun kemudian segera kembali ke Kademangan.
Yang pertama-tama mereka beritahu tentang kehadiran
Wanakerti adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing
kemudian berkata, "Ternyata ketegangan yang ada antara
Mataram dan Pajang semakin lama semakin meningkat,
meskipun masih belum sampai pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Tetapi agaknya Mataram pun selalu
bercuriga seperti juga para prajurit di Pajang."
"Setiap orang membuat terjemahan sendiri mengenai
keadaan yang berkembang," sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
Sumangkar pun berkata, "Mungkin sekedar suatu sikap
berhati-hati." "Ya," berkata Swandaru, "tetapi agak berlebih-lebihan."
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka memang membayangkan hubungan batin yang
semakin renggang telah terjadi antara Sultan Pajang dengan
putera angkatnya, Raden Sutawijaya. Keduanya tidak dapat
menemukan jalan yang menghindarkan mereka dari
ketegangan itu. "Tetapi Mataram tidak akan berbuat sesuatu lebih dahulu,"
berkata Kiai Gringsing. "Kecuali Mataram memang belum siap,
aku kira para pemimpin di Mataram masih menaruh hormat
kepada Sultan Pajang, meskipun ternyata mereka tidak lagi
dapat bekerja bersama."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka
pun berpendapat, bahwa Sutawijaya tidak akan mengambil
sikap yang keras terhadap Pajang jika tidak terpaksa.
Namun mereka pun sadar, bahwa yang menentukan bukan
saja Sutawijaya. Orang-orang yang langsung berada di
lingkungan keprajuritan dapat memancing suasana, sehingga
pada suatu saat, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh
selain kekerasan. Demikian juga agaknya para prajurit Pajang. Mereka tidak
ingin menunggu Mataram menjadi kuat. Bahkan beberapa
orang di antara mereka berpendapat, Mataram harus
dihancurkan segera sebelum berkembang.
Tetapi pemimpin tertinggi dari kedua daerah yang semakin
lama menjadi semakin jauh itu masih selalu mencoba
mengekang diri, agar mereka tidak terperosok ke dalam
pertentangan yang semakin dalam.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan murid-muridnya
serta Ki Sumangkar tidak menganggap perlu menyampaikan
hal itu kepada Untara. Dengan demikian akan dapat
menimbulkan ketegangan perasaan justru menjelang hari
perkawinannya. Karena mereka berpendapat, Mataram tidak
akan berbuat kasar. Namun demikian, memang mungkin sekali ada orang yang
berusaha memancing di air keruh, atau sengaja menimbulkan
kesan tentang hubungan yang semakin jelek antara Pajang
dan Mataram. Orang-orang yang licik seperti Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak, dapat saja berbuat sesuatu yang dapat
menumbuhkan kesan seakan-akan pihak-pihak yang sedang
dibakar oleh ketegangan itulah yang telah berbuat. Bahkan
mungkin orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang
kecewa atas kegagalan mereka, sengaja membuat keributan
di sekitar Jati Anom dan menyebut dirinya orang-orang dari
Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat
mengambil keuntungan dari pertentangan yang akan terjadi.
"Apakah kita dapat berbuat sesuatu, Guru?" bertanya
Swandaru. "Mungkin kita dapat berbuat sesuatu," jawab gurunya.
"Dalam saat-saat perkawinan itu, kita pasti akan hadir. Nah
kita dapat berhati-hati menanggapi setiap persoalan. Di
tempat itu tentu akan penuh dengan perwira dari Pajang
kawan-kawan Untara. Jika penjagaan tidak cukup baik,
memang mungkin sekali timbul persoalan yang tidak kita
kehendaki dari orang-orang yang sengaja akan mengambil
keuntungan dari suasana yang memburuk itu."
"Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati. Kita adalah
orang-orang yang berdiri di luar pertentangan itu sendiri,
"berkata Sumangkar, "sehingga kita dapat memandang
persoalannya dari jarak yang cukup."
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, dan
mereka pun telah menyediakan diri mereka untuk melihat
setiap kemungkinan yang tidak diharapkan selama
perkawinan Senapati Pajang yang berkuasa di daerah Selatan
ini berlangsung, apalagi di datam kemelutnya ketegangan
yang semakin memuncak. Demikianlah, semakin dekat dengan hari-hari perkawinan,
Widura yang akan menjadi orang tua Untara, menjadi semakin
sibuk. Rumahnya menjadi semakin ramai oleh orang-orang
yang mulai menyiapkan segala sesuatu. Dari rumah itulah,
Untara akan berangkat ke rumah mempelai perempuan
beberapa hari sebelum hari perkawinan. Dan pada hari yang
kelima, di rumah Widura itulah akan diselenggarakan upacara
menerima sepasang pengantin itu oleh orang tua penganten
laki-laki yang akan dilakukan oleh Widura.
Hari-hari yang menegangkan adalah justru pada hari
kelima. Pada hari upacara sepasaran dan menjemput
pengantin itulah, kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi,
karena justru rumah Untara di Jati Anom, sedang mempelai
perempuan, putera Rangga Parasta, berada jauh di belakang
garis tegang antara Pajang dan Mataram, karena Rangga
Parasta tinggal di Pengging.
Tetapi Rangga Parasta sendiri jarang sekali berada di
rumahnya. Ia hampir selalu berada di Pajang karena setiap
saat ia diperlukan oleh pimpinan tertinggi pemerintahan di
Pajang. Demikianlah, maka menjelang keberangkatan Untara ke
Pengging beberapa hari menjelang hari perkawinan itu, Agung
Sedayu sudah berada di Jati Anom. Sebagai seorang saudara
muda, ia ikut sibuk menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan. Bahkan Swandaru pun ternyata bersedia tinggal
bersamanya di rumah Widura untuk mengawaninya.
"Kenapa kau tidak tinggal di rumahmu sendiri?" bertanya
Swandaru. "Bukankah rumahmu cukup besar. Bahkan
seandainya Untara merayakan perkawinannya di rumahnya itu
pun agaknya pantas juga, karena rumah itu cukup baik."
"Ruman itu kini dipergunakan untuk kepentingan prajurit
Pajang. Apalagi Paman Widura yang mewakili ayah dan ibu
minta Untara tinggal di sini. Agaknya Paman Widura ingin
sekali-sekali menyelenggarakan perhelatan, karena anakanaknya
sendiri masih terlalu muda untuk kawin."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti, bahwa Untara seorang senapati besar dari Pajang
itu, pasti akan merelakan rumahnya untuk kepentingan para
prajurit, meskipun ia sendiri membutuhkannya.
"Jadi, bagaimana dengan kau kelak?" tibat-tiba saja
Swandaru bertanya. "Bagaimana dengan aku?"
"Ya, jika kau kawin kelak, dan rumah itu masih saja
ditempati para prajurit."
"Mereka tidak akan tinggal di rumah itu untuk selamannya.
Aku juga tidak tahu, di mana Kakang Untara akan tinggal
setelah ia kawin. Apakah ia akan tinggal bersama-sama
dengan para perwira itu, atau ia akan tinggal bersama Paman
Widura." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, rumah Widura menjadi semakin sibuk.
Untara sudah meninggalkan rumahnya sendiri yang dihuni
oleh para perwira dan tinggal bersama Widura. Tugasnya
sehari-hari telah diserahkannya kepada perwira yang tertua
kedudukan dan umurnya. Tetapi hal-hal yang penting masih
tetap ditanganinya sendiri.
"Kau sudah harus mulai mengurangi makan dan minum,"
gurau Swandaru yang juga tinggal bersama Agung Sedayu di
rumah Widura menjelang hari perkawinan itu.
Untara tertawa, jawabnya, "Aku harus makan dan minum
lebih banyak lagi, supaya aku kelihatan agak gemuk. Kalau
kau kelak kawin, maka setahun sebelumnya kau harus sudah
mengurangi makan dan minum supaya kau sedikit ramping
karenanya." Keduanya tertawa. Agung Sedayu yang ada di antara
mereka pun tertawa pula. Namun di dalam hati Agung Sedayu
melihat perubahan, meskipun perlahan-lahan, pada diri
kakaknya. Sebelum kakaknya bebicara tentang kawin,
wajahnya selalu bersungguh-sungguh dan hampir tidak
pernah tersenyum, apalagi tertawa. Tetapi kini ia sudah dapat
bergurau. Tiba-tiba terngiang kata-kata Wanakerti di telinganya,
"Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak
menyadari betapa pengaruhnya," dan sebelumnya, "Tetapi
kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan
di dalam jalan kehidupai kita."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Belum lagi
Untara kawin, pengaruh itu sudah nampak padanya. Apalagi
kelak, jika setiap hari Untara akan bergaul dengan isterinya.
Jika isterinya mempunyai sikap tertentu, sikap itu pasti akan
berpengaruh betapapun kecilnya.
"Tergantung kepada sifat seorang perempuan," berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya. "Ia dapat berpengaruh baik
dan dapat berpengaruh kurang baik, bahkan dapat menjadi
buruk." Dan tibatiba saja terbersit suatu pertanyaan di dalam
dirinya, "Bagaimana dengan Sekar Mirah?"
Agung Sedayu mencoba untuk menilai gadis Sangkal
Putung itu. Namun sebelum ia menemukan sesuatu padanya,
terdengar Untara berkata, "Aku berterima kasih jika kalian mau
tinggal di sini selama aku berada di Pengging. Menjelang hari
kelima setelah hari perkawinan, Paman Widura pasti sibuk
sekali. Apakah kalian bersedia?"
"Tentu," sahut Swandaru, "aku senang tinggal di sini, asal
dapur Paman Widura masih terus berasap. Tetapi jika api
sudah padam, aku akan segera kembali ke Sangkal Putung."
Sekali lagi mereka tertawa. Dan Swandaru pun kemudian
berkata, "Guru akan datang juga bersama Ki Sumangkar pada
hari kelima itu. Mereka akan datang bersama ayah, ibu, dan
Sekar Mirah. Mereka akan ikut merayakan upacara ngunduh
penganten pada hari kelima itu."
"Tentu. Paman Widura dengan resmi sudah mengundang
mereka. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka tidak akan datang
tepat pada hari sepasaran itu. Kami mengharap mereka
datang sehari atau dua hari sebelumnya."
"Ayah terlampau sibuk. Tetapi mungkin guru dan Ki
Sumangkar." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas tampak
sesuatu membayang di wajahnya, namun ia pun kemudian
tersenyum, "Beberapa orang prajurit akan ikut membantu
Paman Widura pula. Jika tidak, Paman Widura pasti akan
terlalu lelah." Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun mereka pun dapat menangkap ungkapan
yang terloncat dari keterangan itu. Bahkan rumah ini memang
memerlukan pengamanan yang sebaik-baiknya menjelang
hari-hari yang akan menjadi sangat ramai itu. Para prajurit
yang akan berada di halaman rumah ini tentu bukan sekedar
membantu memasang tarub dan membuat pagar-pagar batas
di halaman. Agaknya Untara pun mengetahui, bahwa Agung Sedayu
dan Swandaru yang memiliki ketajaman daya tangkap itu
dapat mengerti maksud kata-katanya, sehingga karena itu,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka Untara pun tersenyum sambil berkata, "Bukankah
Paman Widura memang perlu dibantu?"
"Ya, ya," sahut Agung Sedayu, "Paman Widura memang
perlu dibantu oleh para prajurit, meskipun anak-anak muda
Jati Anom cukup banyak yang pandai memasang tarub."
Untara tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tertawa
pula. "Itulah sulitnya," berkata Untara kemudian. "Sebenarnya
aku lebih senang hidup dalam suasana yang wajar. Jika kalian
kawin, tidak banyak orang akan mempersoalkan. Dan sudah
barang tentu tidak banyak orang yang berniat untuk berbuat
sesuatu. Tetapi itulah kesulitanku. Aku harus memperhatikan
banyak segi yang mungkin dapat terjadi."
"Itu pun wajar," sahut Swandaru, "setiap persoalan
mempunyai neracanya masing-masing. Ada yang baik ada
yang buruk. Ada yang menguntungkan ada yang justru
merepotkan. Demikian juga yang akan terjadi dengan Kakang
Untara. Jika aku kawin, tidak akan ada sekelompok perwira
yang akan mengiringi aku, tidak ada sepasukan kehormatan
yang akan berjalan di depanku dan tidak akan ada salam
selamat dari Sultan Pajang. Tetapi aku juga tidak perlu
mengawasi setiap sudut rumahku, karena tidak akan ada
kemungkinan gangguan apa pun juga, selain dari laki-laki
yang kebetulan jatuh cinta kepada bakal isteriku."
Untara tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang
yang sedang sibuk di halaman berpaling kepadanya. Untara
nampaknya memang gembira sekali menjelang hari
perkawinannya itu. "Selama ini Kakang Untara selalu bergulat dengan tugastugas
keprajuritannya," berkata Agung Sedayu di dalam hati.
"Sekarang ia dapat melupakan tugas-tugas itu sejenak,
sehingga ia sempat bergurau dan tertawa dengan bebas
tanpa diganggu oleh perkembangan keamanan dan
ketegangan yang semakin meningkat di perbatasan Alas
Mentaok." Namun dalam pada itu, selagi mereka bergurau dan
tertawa berkepanjangan di pendapa, seseorang naik dengan
tergesa-gesa. Meskipun ia tidak berpakaian seorang prajurit,
tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti seorang petugas sandi
yang diperbantukan kepada Widura di dalam perhelatan itu.
"Ki Untara," ia berkata dengan suara yang dalam, "ada
sekelompok orang memasuki padukuhan Jati Anom."
"Siapa menurut dugaanmu?"
"Kami belum mendapat kepastian, tetapi kami kira mereka
datang dari Mataram."
"Mataram," Untara mengerutkan keningnya, sedang Agung
Sedayu dan Swandaru pun terkejut pula karenanya.
"Apakah kau sudah melaporkan kepada pimpinan yang aku
serahi tugas pengamanan daerah ini"
"Tidak. Mereka bukan sepasukan prajurit bersenjata."
"Jadi?" "Sepasukan prajurit sudah siap di sekitar jalan masuk ke
paduhan ini. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka adalah sekelompok orang yang membawa lima
atau enam buah jodang yang dihiasi dengan janur-janur
kuning. Mereka menuju ke rumah ini."
"Jodang" Dari mana kau bilang" Dari Mataram?" Untara
menjadi tegang sejenak. "Mungkin. Tetapi kami belum mendapat kepastian."
"Apakah para penjaga regol tidak menghentikan mereka
dan bertanya tentang mereka?"
"Ya, sedang dilakukan."
Untara menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka ia pun
segera berkata, "Kemasi pendapa ini. Bentangkan tikar yang
baik. Jika benar mereka datang dari Mataram, mereka adalah
tamu-tamu terhormat." Untara berhenti sejenak, lalu katanya
kepada Agung Sedayu, "Aku akan membenahi pakaian, dan
panggillah Paman Widura."
Agung Sedayu pun kemudian bergeser. Ketika Swandaru
akan ikut pula, Untara mencegahnya, "Kau di sini. Sebelum
Paman Widura datang, temuilah jika mereka naik ke pendapa.
Kau mewakili aku sampai aku selesai."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Karena itu,
ketika Agung Sedayu pergi mencari Widura dan Untara masuk
ke ruang dalam, Swandaru masih tetap berada di pendapa.
Bahkan ia turut membantu membentangkan tikar yang lebih
baik dari yang mereka pakai sehari-hari.
Sejenak kemudian, orang-orang yang tinggal di sebelahmenyebelah
yang dilalui oleh iring-iringan itu pun saling
berdesakan di pinggir jalan yang menghubungkan jalan-jalan
padukuhan di Kademangan Jati Anom. Orang-orang dari
Banyu Asri pun dengan terheran-heran melihat sekelompok
orang-orang dalam pakaian kebesaran dan kelengkapan yang
sangat baik membawa beberapa buah jodang yang dihias
sebaik-baiknya pula dengan janur kuning dan kain berwarna.
"Tentu hadiah dari Sultan Pajang untuk Untara," desis
seseorang. "Anak Ki Sidewa itu ternyata bernasib baik. Ia
mempunyai kedudukan yang terpandang dan mendapat
perhatian khusus dari Sultan."
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi pakaian
kebesaran yang dipakai oleh orang-orang yang membawa
jodang itu sangat mempesona. Seakan-akan orang-orang itu
sedang mengikuti upacara terbesar di Istana Pajang.
Meskipun demikian, pakaian kebesaran yang
mengagumkan itu ternyata telah kotor oleh debu. Tampaknya
mereka sudah menempuh jalan yang panjang sebelum
mereka memasuki Kademangan Jati Anom. Ternyata pula,
bahwa di antara iring-iringan itu terdapat beberapa pengawal
bersenjata, untuk menjaga agar barang-barang itu tidak
Perhitungan Terakhir Nyi Peri 1 Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 13
^