Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


petu"gas yang bersedia meminjamkan alat-alatnya itu hanya
mengerutkan keningnya saja.
Terlintas di kepala Kiai Gringsing pembicaraan Sutawijaya
dengan para pengawalnya. Memang ada satu dua orang yang
menjadi ketakutan dan meninggalkan daerah-daerah yang
masih sedang dibuka, masuk ke tempat yang sudah mulai
ramai. "Marilah. Ikuti aku ke gubukku," ajak petugas itu.
Kiai Gringsing pun menganggukkan kepalanya. Kemudian
diikutinya petugas yang bersedia meminjamkan alat-alat
kepadanya dan kepada anak-anaknya. Sedang petugas yang
lain, masih ber"sungut-sungut, "Kau mencari kesulitan. Orangorang
macam itu tidak akan bermanfaat. Ia tidak akan berhasil
membuka tanah yang bagaimanapun baiknya."
Tetapi petugas yang membawa Kiai Gringsing itu tidak
mengacuhkannya. Dibawanya Kiai Gringsing langsung ke
sebuah gubuk kecil di antara beberapa gubuk yang lain.
"Inilah rumahku selama aku bertugas di pinggir hutan ini,"
berkata petugas itu. Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya menganggukanggukkan
kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya
berkeliling. Dilihatnya beberapa buah gubuk-gubuk kecil untuk
para petugas. Kemu"dian gubuk-gubuk yang lebih besar
dengan sebuah barak yang panjang.
"Sementara hutan belum dapat dipergunakan oleh mereka
yang membuka tanah, mereka kami tampung di sini," berkata
petugas itu. "Berapa ratus orang yang ada di barak itu?" bertanya Kiai
Gringsing. "Tidak banyak. Yang tinggal di barak itu selalu bergiliran.
Mereka yang sudah berhasil membuka sebidang tanah
garapan dan halaman, mereka akan segera mendirikan
gubuk-gubuk mereka sendiri. Dan mereka akan tinggal di
rumah-rumah mereka yang baru." Orang itu berhenti sejenak,
tetapi suaranya menjadi lambat, "Namun akhir-akhir ini barakbarak
itu menjadi semakin penuh kembali."
"Begitu banyak orang-orang yang datang?"
"Tidak. Sekarang sudah tidak banyak lagi di bagian ini.
Tetapi di bagian Selatan-lah yang menjadi semakin ramai."
"Kenapa?" "Tetapi aku kira di segala bagian dari hutan yang dibuka ini,
nafsu para pembuka hutan menjadi susut."
"Kenapa?" "Mereka menjadi ketakutan tinggal di rumah-rumah yang
telah mereka bangun sendiri, sehingga mereka kini berhimpitKang
Zusi - http://kangzusi.com/
himpitan di barak itu bersama-sama beberapa keluarga
sekaligus. Di siang hari mereka menggarap tanah mereka,
tetapi di malam hari mereka berkumpul di sini. Yang tidak
mendapat tempat di dalam barak, mereka lebih baik tidur di
emper-emper gubuk ini, daripada kembali ke rumah-rumah
mereka yang baru selesai mereka bangun."
"Kenapa?" desak Kiai Gringsing.
"Hantu-hantu penghuni hutan ini, tiba-tiba saja menjadi
marah karena penebangan-penebangan ini."
"Maksud Tuan, hantu-hantu itu sebenarnya hantu atau
perampok-perampok dan penyamun-penyamun yang merasa
terganggu dengan pembukaan hutan ini?"
"Hantu, sebenarnya hantu," orang itu berhenti sejenak
sambil memandang sudut-sudut gubuknya. "Sebaiknya aku
tidak mengatakannya."
"Kenapa Tuan" Aku ingin mendengarnya."
"Tetapi, hantu-hantu itu pasti mendengar apa yang aku
percakapkan sekarang."
"Kita tidak berniat jahat. Kita akan mengatakan apa yang
benar-benar telah terjadi."
Petugas itu masih ragu-ragu sejenak.
"Bukankah kita tidak bermaksud apa-apa?"
"Tetapi kau bertanggung jawab?" bertanya petugas itu.
"Aku bertanggung jawab."
"Kau terlampau berani. Tetapi itu karena kau belum melihat
hantu itu." Ia berhenti sejenak, lalu, "Sebaiknya aku berterus
terang. Daerah yang aku tunjukkan kepadamu, adalah daerah
yang termasuk baik. Daerah yang sudah mulai ditebang,
sehingga pohon-pohonan yang besar sudah tidak banyak lagi.
Tanahnya pun cukup subur, tidak seperti yang sudah aku
katakan ke"padamu. Tetapi daerah itu sering dilewati hantuhantu,
bahkan hantu-hantu berkuda semberani."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah kau berani meneruskan kerja yang terbengkelai
itu?" "Aku akan mencoba. Sudah aku katakan, bahwa maksud
kita baik. Kita sama sekali tidak akan mengganggu mereka,
dan sudah tentu kita mengharap mereka tidak mengganggu
kita pula." Petugas itu nampak menjadi gelisah. Katanya, "Baiklah,
aku pun akan mengatakan apa yang terjadi tanpa maksud
jelek." Ia berhenti sejenak. Lalu, "Beberapa orang dari
sekelompok pendatang yang menebang pepohonan, di daerah
yang aku katakan kepadamu itu, jatuh sakit."
"Sakit apa, Tuan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Panastis. Kemudian mengigau," orang itu berhenti
berbicara. Wajahnya menjadi tegang dan keringatnya
mengaliri seluruh tubuhnya. "Rasa-rasanya badanku pun
menjadi panas." Kiai Gringsing mengerutkan keningya. Tetapi ia
menggeleng. "Tidak, Tuan. Memang udara terasa panas
sekali. Bukan"kah aku pun basah oleh keringat?"
"O, jadi kau pun merasa panas?"
"Ya. Panas sekali. Hampir aku tidak betah tinggal di dalam
gubuk yang terlalu rendah ini. Ya, gubuk ini memang terlalu
rendah, sehingga udara di bawah atap ilalang ini terasa amat
panas." Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak.
Mereka sama sekali tidak merasakan udara yang panas.
Bahkan angin bertiup lewat lubang pintu dari daerah hutan
yang hijau lebat itu terasa betapa sejuknya.
*** "Apakah ada yang meninggal karenanya?"
"Tidak. Tetapi mereka tidak berani lagi meneruskan ker"ja
mereka. Bahkan mereka telah pergi meninggalkan tempat ini.
Barang-barangnyalah yang dititipkan kepadaku." Sekali lagi ia
ber"henti untuk menarik nafas dalam-dalam. "Namun ternyata
bahwa orang-orang lain pun melihat hantu itu pula. Kini hantuhantu
itu telah menempuh jalan yang lebih dekat lagi dari
gubuk-gubuk ini." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana?" bertanya petugas itu, "Apakah kau berani?"
"Apakah tidak ada bagian lain yang dapat dibuka?"
bertanya Kiai Gringsing. "Kalau ada, apakah kami
diperkenankan memilih tempat itu?"
Petugas itu terdiam sejenak. Namun kemudian sambil
mengerutkan keningnya, ia menggelengkan kepalanya.
Dipandangi"nya Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya
berganti-ganti. Sesaat kemudian ia berkata, "Sayang. Kalau aku
memberikan bagian-bagian yang lain, kalian bertiga pasti tidak
akan sanggup melakukannya. Apakah kalian bertiga mampu
menebas hutan se"lebat itu hanya bertiga?"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kami memang tidak akan mungkin melakukannya.
Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu itu?"
"Tergantung sekali kepadamu dan kepada anak-anakmu."
Kiai Gringsing, yang menyebut dirinya Truna Podang itu
berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, "Apa boleh buat. Aku
akan mencoba meneruskan kerja yang terhenti itu. Aku
mem"punyai pendirian, bahwa apabila kita tidak berniat jelek,
maka kita pasti tidak akan diganggu."
"Terserahlah kepadamu. Semua itu akan menjadi tanggung
jawabmu bertiga." "Baiklah, Tuan. Kami menerima pekerjaan itu."
"Aku tidak memberimu pekerjaan. Aku memberi kau tanah."
"Ya, ya. Maksudku, tanah itu aku terima dengan senang
hati dan berterima kasih."
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudi"an, "Kalau begitu kau dapat mempergunakan alat-alat
itu. Kalau kau menemui kesulitan, hubungilah aku. Namaku
Wanakerti." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Wanakerti. Ya, aku akan menghubungi Tuan, Ki Wanakerti."
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia pun berdiri dan mengambil alat-alat yang dititipkan
kepadanya. "Bawalah apa yang kau butuhkan."
"Kami hanya memerlukan tiga buah kapak, parang dan
beberapa gulung tampar."
"Ambillah." Kiai Gringsing beserta kedua muridnya pun, kemudian
memilih beberapa macam alat yang dipergunakan. Sambil
memisahkan alat-alat itu, Kiai Gringsing berkata, "Kami
merasa sangat beruntung atas kebaikan hati Tuan, sehingga
kami tidak perlu kembali ke tempat kami semula. Tempat yang
sama sekali tidak memberikan harapan apa pun kepada kami
sekeluarga." "Kalau kalian memang bersedia meneruskan kerja itu,
marilah aku tunjukkan letak tanah itu. Bawalah alat-alat yang
kau perlukan itu sama sekali."
"Marilah, Tuan. Aku akan melihat, apakah kami akan
mam"pu melakukan kerja itu."
Sambil menjinjing alat-alat untuk membuka hutan beserta
bungkusan pakaian masing-masing, maka Kiai Gringsing
bersama kedua muridnya itu pun mengikuti petugas yang
bernama Wanakerti itu. Sampai di tempat para petugas yang lain menunggui gardu
pengawas bagi mereka yang sedang membuka hutan itu,
maka seorang petugas berkata, "He, kau bawa ke mana
orang-orang itu?" "Mereka akan meneruskan kerja yang terbengkalai itu."
"Jangan pedulikan mereka. Suruh mereka pergi orangorang
malas itu, tidak akan berguna," teriak petugas yang
selalu marah-marah saja. "Mereka akan mencoba," jawab Wanakerti.
"Tidak ada gunanya. Suruh mereka pergi."
Tetapi Wanakerti hanya tersenyum saja.
"Kau bawa juga mereka ke sana?" petugas itu mendesak.
Wanakerti menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya.
Mereka akan melihat daerah itu."
"Gila!" Tetapi kemudian ia menggeram, "Persetan de"ngan
orang-orang malas itu."
Wanakerti tidak menjawab lagi. Ia berjalan terus diikuti oleh
Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
"Kenapa ia selalu marah-marah saja?" bertanya Kiai
Gringsing. "Orang itu tidak marah-marah," jawab petugas yang
bernama Wanakerti itu. "Tetapi, ia membentak-bentak."
"Memang suaranya terdengar seolah-olah ia membentakbentak.
Apalagi bagi yang belum mengenalnya. Tetapi ia
orang baik. Sebenarnya ia merasa sayang bahwa kalian akan
terjerumus ke bagian yang mulai dijauhi orang."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tetapi kenapa
tuan menem"patkan aku dan kedua anak-anakku di sana?"
Wanakerti tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang
menyusun jawaban yang tepat atas pertanyaan yang sulit itu.
Na"mun kemudian ia berkata, "Aku sendiri tidak tahu. Tetapi
aku melihat kelainan pada kalian bertiga. Tetapi kalau kau
bertanya, kelainan yang mana tampak olehku, itu pun aku
tidak akan dapat menjawab."
Terasa debar yang keras menyentuh dinding jantung Kiai
Gringsing. Agaknya daya tangkap mata hati orang yang
bernama Wanakerti ini pun agak lebih baik dari kawankawannya.
"Aku kira tidak ada bedanya, Tuan."
"Ternyata ada. Aku sudah pernah bertanya kepada lebih
dari sepuluh orang, apakah mereka bersedia meneruskan
kerja yang terhenti itu. Tetapi tidak seorang pun yang berani."
"Tetapi apakah maksud Tuan, dengan keinginan Tuan agar
tanah itu tetap dibuka?"
"Sebenarnya aku hanya ingin meyakinkan, apakah yang
sudah terjadi itu memang sebenarnya telah terjadi." Tetepi
tiba-tiba suaranya meninggi, "Maksudku, bukan aku tidak
percaya, atau aku kurang meyakininya. Aku percaya dan aku
memang tidak akan berbuat apa-apa."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
me"ngerti bahwa Ki Wanakerti sedang di ombang-ambingkan
oleh perasaannya sendiri. Di antara percaya, bahkan dengan
dibayangi oleh ketakutan, dan keinginannya untuk
meyakinkan, apakah hantu-hantu itu benar-benar seperti apa
yang pernah didengarnya" Namun ia tidak mempunyai cukup
keberanian untuk membuktikannya sendiri.
Sejenak kemudian, mereka pun berjalan sambil berdiam
diri. Kiai Gringsing dan kedua muridnya kini dapat
menyaksikan be"berapa kelompok orang-orang yang sedang
membuka hutan. Sebagian telah menjadi tanah garapan,
pategalan, dan halaman. Semakin jauh mereka dari gardu pengawas, maka mereka
pun menjadi semakin berdebar-debar. Di bagian lain masih
tampak kelompok-kelompok yang menebang pepohonan yang
besar dan tinggi. Kadang-kadang mereka dikejutkan oleh
gemerasak seperti suara pra"hara, apabila sebatang pohon
yang besar rebah menimpa pepohonan di sekitarnya.
"Bukankah mereka masih juga meneruskan kerja mereka?"
bertanya Kiai Gringsing kepada petugas yang bernama
Wanakerti. "Ya, di sini. Tetapi, di sebelah daerah ini adalah daerah
yang semakin lama menjadi semakin sepi. Hanya orang-orang
yang tabah sajalah yang berani tetap mengerjakan tanahnya,
meskipun mereka harus berkelompok-kelompok di malam


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari." "Apakah mereka masih harus tidur di barak-barak itu?"
"Mereka sudah membuat rumah sendiri. Bukankah kau lihat
tanah yang sudah dibuka dan sudah mulai digarap, dan
gubuk-gubuk kecil di atasnya" Yang mereka kerjakan itu
menurut rencana kami, akan dijadikan tanah persawahan di
sebelah padukuhan yang mulai terisi itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tanah yang akan aku berikan kepadamu, menurut
rencana kami adalah padukuhan berikutnya. Di seberang
daerah persawahan yang sedang dibuka ini,"
"Jadi, apabila tanah ini telah terbuka, bagian itu akan
terletak di seberang bulak?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
kemudian ia bertanya pula, "Masih ada berapa kelompok yang
ada di bagian itu?" "Sudah aku katakan. Tidak seorang pun yang berani
memulainya lagi." "He?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Aku sudah mengatakannya."
"Tetapi bukankah Tuan mengatakan bahwa daerah itu
menjadi semakin sepi, sehingga menurut tangkapanku masih
juga ada orang yang bekerja meskipun semakin sedikit."
"Bukan daerah yang akan aku berikan kepadamu. Tetapi
yang mereka kerjakan adalah sambungan dari bulak yang
panjang ini." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
menyadari, bahwa mereka bertiga bersama murid-muridnya
benar-benar akan bekerja tanpa orang lain, di tempat yang
terasing. Sebenarnyalah, bahwa semakin jauh mereka berjalan,
tampaknya menjadi semakin sepi, meskipun masih juga ada
sekelom"pok dua kelompok orang-orang yang bekerja. Tetapi
seperti apa yang dikatakan oleh petugas itu, mereka akan
berkumpul di tempat yang lebih ramai di malam hari, di sekitar
gubuk dan barak yang sudah disediakan.
"Di malam hari, kau dapat juga berkumpul bersama kami,"
berkata petugas itu. Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya.
"Selama tanah garapanmu belum menghasilkan apa-apa,
kau dan kedua anak-anakmu akan mendapat rangsum makan
dari kami. Tetapi sudah tentu makan yang sederhana."
"O, kami akan sangat berterima kasih, Tuan. Di rumah
kami, makan sederhana pun jarang-jarang kami peroleh
dengan teratur." "Tetapi anakmu yang seorang itu gemuk sekali."
Kiai Gringsing berpaling. Dipandanginya Swandaru yang
berjalan beberapa langkah di belakangnya.
"Keduanya senang sekali berburu, Tuan. Agaknya daging
buruannya itulah yang membuat mereka gemuk, terutama
yang muda." "O. Jadi kalian senang berburu juga?"
"Anak-anakku." "Hutan ini penuh dengan binatang buruan. Bahkan
binatang-binatang buas. Tetapi di antara para pendatang,
tidak banyak yang berani berburu."
"Kenapa" Apakah mereka takut kepada binatang-binatang
buas atau kepada hantu-hantu, yang barangkali dianggap oleh
mereka sebagai pemilik binatang-binatang di hutan ini."
Petugas itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
tidak bertanya pula. Kini mereka menyusup di antara pepohonan hutan yang
masih rimbun. Kiai Gringsing sudah tidak melihat lagi
kelompok-kelompok yang menebang hutan di daerah ini.
Namun nampaknya bahwa hutan ini pun pernah digarap oleh
manusia. Di sana-sini pohon-pohon yang roboh masih terbujur
lintang. "Inilah tanah yang harus kalian kerjakan. Sebagian besar
dari pepohonan yang tinggi dan besar sudah dirobohkan.
Kalian tinggal meneruskan."
"Apakah kami bertiga harus membuka seluruh padukuhan
yang direncanakan?" "Kalian dapat memiliki tanah seluas dapat kalian kerja"kan.
Kalau kalian mampu menyelesaikan sisa pekerjaan untuk
seluruh padukuhan yang direncanakan, kami akan
mengesahkan bahwa padukuhan ini milik kalian. Orang-orang
yang telah me"mulainya lebih dahulu, kami anggap telah
melepaskan haknya sama sekali."
"Kalau kami hanya dapat membuka sebagian kecil?"
"Hak kalian juga hanya yang sebagian kecil itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini mereka berempat berdiri termangu-mangu
memandang hutan yang masih tampak liar, meskipun
sebagian dari pepohonannya sudah ditundukkan. Sejenak Kiai
Gringsing berpaling kepada kedua murid-muridnya yang
sedang melihat-lihat daerah yang akan men"jadi tanah
garapan mereka. "Berapa puluh tahun aku harus tinggal di neraka ini?"
Swandaru mengumpat-umpat di dalam hatinya. "Guru selalu
saja mencari pekerjaan. Apakah dari tempat yang sesepi
kuburan ini, aku dapat melihat daerah baru ini" Dipandang
dari segi kepentingan Sangkal Putung dan Menoreh?"
Setelah mereka melihat-lihat daerah yang sepi itu sejenak,
maka petugas yang menunjukkan tempat itu pun kemudian
membawa Kiai Gringsing beserta anak-anaknya kembali.
"Besok kalian dapat mulai bekerja. Tinggalkan saja alat-alat
kalian di sini. Tidak akan ada yang mengambilnya. Kalau ada
binatang buas yang berkeliaran sampai ke tempat ini malam
nanti, mereka tidak akan menelan kapak dan parang kalian
itu," berkata petugas itu.
Demikianlah, setelah bermalam satu malam bersama-sama
para pendatang yang sedang membuka hutan itu, Kiai
Gringsing sudah mendapat sedikit gambaran tentang daerah
baru yang dihadapinya. "Ki Gede Pemanahan menyebut daerah ini, Mataram,"
berkata salah seorang dari mereka.
"Mataram yang akan berdiri di atas alas Mentaok," desis
Kiai Gringsing. Sekilas lewat di kepalanya ceritera tentang
kerajaan Mataram Lama. "Apakah Ki Gede Pemanahan
menghubungkan daerah baru ini dalam suatu garis
perkembangan kerajaan yang bernama Mataram itu?"
bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun ia tidak
mengucapkan pertanyaan itu kepada siapa pun juga.
Agung Sedayu dan Swandaru yang berbicara dengan
anak-anak muda sebayanya pun mendengar, bahwa daerah
yang sudah mu"lai digarap, di seberang bulak yang
direncanakan itu memang sudah ditinggalkan.
"Aku dahulu ikut di dalam kelompok yang mulai menebangi
pepohonan di tempat itu," berkata seorang anak muda, "tetapi
kelompok kami memutuskan untuk menghentikan pekerjaan
kami. Sebagian telah bergeser ke tempat lain, dan sebagian
kembali ke padukuhan mereka semula."
"Apakah mereka diganggu oleh hantu-hantu itu?"
"Ya," jawab anak muda itu, "kami telah melihat sendiri.
Beberapa orang di antara kami menjadi sakit."
Agung Sedayu dan Swandaru hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Sementara itu, seorang yang sudah berjanggut putih
berkata kepada Kiai Gringsing, "Jangan meneruskan kerja
yang telah kami tinggalkan. Bekerjalah bersama dengan kami,
membuka tanah persawahan itu. Selain kalian akan selamat,
tanah itu pun akan segera menghasilkan."
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Namun justru di
dalam hati, orang tua itu semakin bernafsu untuk melihat, apa
yang sebenarnya sudah terjadi di daerah yang menakutkan
itu. Di pagi harinya, Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya
telah berangkat pada saat fajar menyingsing, ke tanah
garapan yang diperuntukkan bagi mereka.
Beberapa orang yang mengetahui, bahwa orang tua itu
bersama kedua anak-anaknya akan melanjutkan kerja yang
terhenti itu, memandangnya dengan takjub. Seorang yang
bertubuh kurus berkata, "Kasihan. Mereka akan kecewa. Tidak
lebih dari sebulan mereka pasti sudah jera meneruskan kerja
itu." Sedang orang yang bertubuh tinggi kekar menyahut, "Salah
sendiri. Mereka adalah orang-orang yang bodoh, tetapi
sombong. Bukankah dengan demikian banyak orang akan
mengaguminya" Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat apaapa.
Pada saatnya mereka pasti akan lari terbirit-birit. Belum
lagi mereka menghasilkan apa pun juga, mereka pasti sudah
pergi. Mungkin mereka tidak akan melaporkan kepergian
mereka kepada para petugas, karena malu."
Tidak ada orang lain yang membantah. Tetapi seorang
petugas yang mendengarnya menyahut, "Tetapi ia akan tetap
tidur di barak ini di malam hari. Mereka akan kerja di siang hari
saja. Dengan demikian diharap bahwa mereka akan dapat
melakukan pekerjaan mereka tanpa ketakutan."
"Meskipun mereka hanya bekerja di siang hari, mereka
pasti akan diganggu. Mereka akan jatuh sakit, dan apabila
mereka terlampau sombong, mungkin mereka akan mati."
Petugas itu pun terdiam. Namun ia menjadi ragu-ragu pula
di dalam hati. Wanakerti sendiri akhirnya menjadi ragu-ragu. Bahkan di
dalam hati ia berkata, "Apakah aku tidak menjerumuskan
orang tua dan kedua anak-anaknya itu ke dalam kesulitan?"
Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata pula,
"Aku melihat sesuatu yang lain pada ketiga orang itu. Mudahmudahan
aku tidak membuat kesulitan bagi mereka, dan
bagiku sendiri." Sejenak kemudian, ketika matahari mulai memanjat langit,
maka setiap orang di dalam barak itu pun telah siap dengan
alat-alat masing-masing. Kelompok demi kelompok, mereka
berangkat ke tempat kerja. Sedang mereka yang telah
membuat rumahnya masing-masing dan terletak tidak jauh
dari gardu pengawas itu pun meninggal"kan rumah mereka
pula untuk meneruskan kerja, membuka hutan untuk membuat
tanah persawahan. Namun rumah-rumah yang meskipun sudah berdiri dan
dirapati dengan dinding-dinding kayu, namun yang letaknya
agak berjauhan, ternyata masih juga tetap dikosongkan.
Kiai Gringsing dan kedua muridnya yang telah sampai di
daerah kerja mereka, tidak segera mulai. Sejenak mereka
mengamati keadaan di sekitarnya. Kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi dan usaha-usaha yang akan
dapat mereka lakukan di atas tanah yang dianggap angker
dan menakutkan itu. "Aku tidak melihat sesuatu," berkata Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya.
Aku pun tidak melihat sesuatu yang memberikan tanda-tanda
adanya suatu kelainan atau kemungkinan yang dapat
menumbuhkan dugaan-dugaan tentang hantu-hantu itu."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Seperti kedua muridnya ia
pun tidak melihat sesuatu. Karena itu maka katanya,
"Baik"lah, kita mulai dengan kerja kita."
"Tetapi," bertanya Swandaru, "apakah kita benar-benar
akan membuka daerah ini dan membuatnya menjadi
padukuhan?" Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bukan
itu maksud kita. Sudah tentu kau tidak akan betah tinggal di
sini terlampau lama, seperti tinggal di Tanah Perdikan
Menoreh." "Ah," Swandaru berdesah. "Kakang Sedayu pun ingin
segera pergi ke Sangkal Putung, menyusul Ki Sumangkar."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian,
ia pun tersenyum. Katanya, "Ya. Aku pasti akan segera
menyusul Paman Sumangkar."
"Tentu," jawab Kiai Gringsing, "apalagi kalau Kiai
Sumangkar pergi seorang diri."
Swandaru tertawa sejenak. Tetapi, kemudian ia bertanya,
"Jadi sampai kapan kita akan tinggal di sini, Guru?"
"Tergantung pada keadaan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah. Marilah, alat-alat itu menunggu kita. Selama kita
masih berada di sini, kita akan membuka tanah ini sampai
saatnya kita pergi."
Kedua murid-muridnya itu pun kemudian segera mengambil
alat-alat yang mereka pinjam. Kapak dan parang. Maka
mereka pun segera mulai menebangi pepohonan. Karena
pohon-pohon yang besar telah rebah, mereka pun tidak begitu
banyak lagi mendapatkan kesu"karan dengan pohon-pohon
yang agak lebih kecil. Ternyata bahwa keduanya dapat bekerja sebagai pembuka
hutan yang baik. Swandaru yang memiliki kekuatan yang
besar itu, mengayunkan kapaknya dengan derasnya.
Beberapa kali tebas, maka pohon-pohon yang tidak begitu
besar itu pun segera roboh.
"Kita sisihkan kayu-kayu yang malang melintang ini,"
berkata Kiai Gringsing, "sehingga tanah ini pun akan segera
lebih bersih dan lapang."
Swandaru menganggukkan kepalanya. Tetapi kemudian
keningnya berkerut, "Apakah pohon-pohon sebesar ini dapat
kita angkat hanya bertiga?"
"Ah, kau," desis gurunya, "sudah tentu kita harus
mempergunakan alat-alat kita. Kita potong dan kita pecah.
Dengan mudahnya kita akan menyingkirkannya."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
tersenyum sen"diri atas kebodohannya.
Demikianlah maka dengan tidak mereka sadari matahari
pun menjadi semakin rendah di Barat. Sebentar lagi langit
menjadi kemerah-merahan. Dan angin pun menjadi semakin
sejuk. "Apakah kita akan kembali ke perkemahan?" bertanya
Swandaru. "Malam ini kita masih akan kembali ke sana," jawab
Gurunya. "Bagaimana mungkin kita dapat mengetahui serba sedikit


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang hantu itu, apabila kita berada di tengah-tengah
mereka, Guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Besok malam saja kita akan tinggal di sini, supaya mereka
tidak melihat kelainan yang sangat besar pada kita dan orangorang
lain itu," jawab Gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mengerti maksud gurunya, sehingga dengan demikian tidak
segera menum"buhkan kecurigaan, seakan-akan mereka
bukannya orang-orang kebanyakan.
Demikianlah ketika senja mendatang, ketiganya pun
kembali ke barak yang sebenarnya sudah terisi penuh. Tetapi
karena mereka hanya bertiga dan tidak membawa apa pun
selain sebung"kus pakaian mereka, maka meskipun hanya
sekedar di sudut, mereka masih mendapat tempat untuk
membentangkan tikar pan"dan yang kasar, yang mereka
terima dari para petugas.
Setelah mereka selesai makan rangsum yang mereka
terima dari para petugas, seperti orang-orang yang lain, yang
masih belum dapat memetik hasil jerih payah mereka, maka
beberapa orang telah mengerumui tiga orang itu sambil
bertanya-tanya. "Apakah kalian mengalami sesuatu?" bertanya seseorang
yang tinggi kurus. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Kami tidak
mengalami sesuatu yang aneh menurut penglihatan kami."
"Angin yang tiba-tiba saja datang dan berputaran?"
bertanya yang lain. "Angin pusaran maksudmu?"
"Ya, tetapi angin pusaran tidak akan dapat memutar
pepohonan hutan," jawab orang itu.
Kiai Gringsing menggeleng, "Tidak. Kami tidak melihat
angin semacam itu." "Gelundung pringis misalnya?" bertanya yang lain lagi.
"Juga tidak." "Hati-hatilah," desis orang yang tinggi besar, yang melihat
keberangkatan ketiga orang itu dengan curiga. "Jangan
terlampau sombong. Kalau kepala salah seorang dari kalian
telah ter"penggal dan tergantung di ujung pohon yang paling
tinggi, yang tidak mungkin dipanjat oleh manusia, barulah
kalian akan menye"sal. Apalagi kalau kemudian kepala itu
dapat membara di malam hari dan masih mampu mengeluh
kesakitan meskipun tubuhnya sudah dikubur."
"Mengerikan sekali," berkata Kiai Gringsing. "Apakah hal itu
pernah terjadi?" "Tentu," jawab orang yang tinggi kekar itu.
"Kapan dan dimana" Petugas yang mengantarkan aku
tidak mengatakan demikian. Memang ada beberapa orang
yang jatuh sakit. Tetapi tidak sampai meninggal dunia."
"Hampir, hampir saja hal itu terjadi. Tetapi kami pernah
melihat kepala orang, maksudku tengkorak yang membara di
malam hari selagi kami masih memberanikan diri tidur di
tempat kerja kami itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
"Demi keselamatan kalian," berkata orang yang tinggi kekar
itu, "sebaiknya kalian urungkan niat kalian. Kau sudah
terlampau tua, sedang kedua anak-anak itu masih terlampau
muda mengalami hal-hal yang tidak kalian harapkan."
Kiai Gringsing masih terdiam.
"Apakah kalian memang sudah berputus asa" Karena
kalian tidak mendapatkan kemungkinan lain lagi bagi hidup
kalian, sehingga kalian memilih mati dimakan hantu?"
Kiai Gringsing belum menyahut sepatah kata pun.
"Aku nasehati kalian bertiga," orang yang kekar itu berkata
terus, "urungkan niat itu. Kau dengar, he, Truna Podang?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. "Kami akan
mem-pertimbangkannya," jawabnya.
Tetapi orang yang tinggi kekar itu agaknya tidak puas
mendengar jawaban Kiai Gringsing. Meskipun ia tidak berkata
apa pun lagi, tetapi nampak di wajahnya, bahwa sesuatu
masih tersimpan di hatinya.
Setelah Kiai Gringsing bercakap-cakap sejenak, maka ia
bersama kedua muridnya pun kemudian berjalan-jalan di
antara mereka yang berada di sekitar barak itu. Tidak begitu
jauh, terletak gardu pengawas yang dijaga oleh beberapa
orang petugas bersenjata. Sedang di sebelah-menyebelah
lorong yang menusuk ke daerah yang sedang dibuka,
beberapa buah rumah sudah dihuni oleh beberapa orang
keluarga. Lampu minyak yang bercahaya kemerah-merahan
menyusup di antara dinding yang belum rapat benar, mencuat
di kegelapan malam. Ternyata bahwa bukan sekedar di sebelah-menyebelah
lorong itu saja berserakan rumah-rumah yang sudah dihuni.
Tetapi di arah yang lain, rumah-rumah pun sudah mulai
ditempati oleh beberapa kelu"arga sekaligus, sehubungan
dengan berita yang telah mengecil"kan hati mereka. Sedang
meskipun agak ke tengah rumah-rumah sudah siap pula,
namun rumah-rumah itu kini menjadi kosong kembali, karena
penghuninya tidak berani tinggal hanya sekeluarga saja. Itulah
sebabnya maka pada umumnya rumah-rumah tempat tinggal
itu berisi dua atau tiga keluarga sekaligus.
"Suasana sepi sekali," desis Swandaru.
"Mereka benar-benar di dalam ketakutan," sahut Agung
Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Marilah kita pergi ke gardu pengawas. Apa saja
yang dikerjakan oleh para petugas itu di malam hari?"
Ketika Kiai Gringsing melangkah mendekati gardu
pengawas, dilihatnya beberapa orang bersama-sama berdiri
sambil menggenggam senjata masing-masing.
"Kami, Tuan. Truna Podang."
"Gila kau," geram seorang di antara para pengawas itu.
"Kami tidak begitu dapat melihat kalian, di kegelapan. Tetapi
agaknya kalian dapat melihat kami dengan jelas."
"Ya, Tuan." "Kenapa kalian kemari" Apakah kalian tidak lelah setelah
sehari bekerja" Atau kalian hanya sekedar duduk-duduk
saja di tanah garapanmu?"
"Tidak, Tuan. Kami bekerja keras. Yang mula-mula kami
kerjakan adalah menyingkirkan kayu-kayu yang malangmelintang.
Kemudian, kami akan segera menyelesaikan
penebangan pohon-pohon yang lebih kecil."
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang dari mereka bertanya, "Lalu apa kerjamu sekarang?"
"Kami tidak biasa tidur di sore hari,Ttuan. Karena itu, kami
hanya sekedar berjalan-jalan saja."
Para petugas itu menarik nafas dalam-dalam. Wanakerti
yang ada di antara mereka bertanya, "Apakah kau akan
duduk-duduk di sini sebelum kalian akan tidur?"
"Terima kasih, Tuan. Kami memang ingin kawan bercakapcakap.
Kawan-kawan yang lain rupa-rupanya sudah malas
untuk berbicara. Mereka sudah berbaring di tempat masingmasing."
"Begitulah kebiasaan mereka. Kalau senja menjadi gelap,
mereka pun segera tidur. Seperti ayam saja agaknya. Dan
gubuk-gubuk yang berserakan itu pun pasti sudah tertutup
rapat. Pintu-pintu pasti telah diselarak. Kalau kau mengetuk
salah satu dari pintu-pintu itu, sebelum mereka pasti siapa
yang berada di luar, kau tidak akan mendapat kesempatan
apa pun. Pintu pasti tidak akan terbuka."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah ketakutan sudah mencengkam semua daerah.
"Kalau keadaan ini dibiarkan terus-menerus, maka nafsu
para pembuka hutan itu pun pasti menjadi semakin susut,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
"Masuklah," Wanakerti pun kemudian mempersilahkan Kiai
Gringsing dan kedua anaknya.
Setelah mereka duduk di dalam gardu yang cukup besar
dan kemudian mendapat hidangan air panas, maka mereka
pun segera berbicara tentang daerah yang sepi itu.
"He," bertanya Wanakerti tiba-tiba, "bagaimana kau nanti
kembali ke barak itu?"
"Kenapa?" "Apakah kalian tidak takut?"
"Takut?" Kiai Gringsing menjadi heran. "Bukankah jarak ini
tidak terlampau panjang?"
Wanakerti mengangguk. "Tetapi biasanya tidak seorang
pun yang berani berjalan di luar di malam hari, meskipun
jaraknya tidak terlampau jauh."
"Tetapi ada di antara mereka yang tidur di luar, di serambiserambi
yang terbuka." "Mereka tidur berhimpitan sambil menyelubungi diri mereka
dengan kain panjang. Itu karena mereka tidak mendapat
tempat di dalam barak. Dan di serambi itu agaknya lebih baik
bagi mereka, karena mereka tinggal bersama-sama beberapa
keluarga sekaligus, daripada mereka tinggal di gubuk-gubuk
yang sudah mereka buat, tetapi berpencaran."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia merenungi keadaan tempat itu, sedang Swandaru menyuapi
mu"lutnya dengan jenang alot yang dihidangkan oleh
Wanakerti kepada mereka. Namun tiba-tiba, setiap orang di dalam gardu itu
mengangkat kepala mereka. Lamat-lamat mereka mendengar
suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat, dibarengi
oleh derap kaki kuda di atas jalan yang menuju ke
perkemahan itu. "Nah," desis salah seorang petugas, "kalian dengar?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Sedang Agung
Sedayu bertanya, "Suara apakah itu" "
Tidak seorang pun yang berani menjawab. Mereka saling
berpandangan sambil memegang senjata masing-masing
semakin erat. Tetapi ternyata bahwa tangan mereka menjadi
gemetar. "Suara apakah itu?" Agung Sedayu mengulangi. Wanakerti
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak men"jawab.
Orang-orang di dalam gardu itu benar-benar seakan-akan
tercekik. Tidak seorang pun yang berani mengucapkan
sepatah kata pun. Bahkan senjata-senjata di tangan mereka
pun menjadi bergetar oleh gemetar tangan yang
menggenggamnya. Swandaru yang duduk tidak begitu jauh dari pintu segera
melangkah untuk menjenguk keluar. Namun Wanakerti segera
meloncat menariknya. "Jangan gila."
"Aku ingin melihat," desis Swandaru.
"Jangan gila," Wanakerti mengulangi.
Sejenak Swandaru berdiri termangu-mangu.
Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang tegang, kemudian
wajah gurunya yang termangu-mangu.
"Aku pemimpin para petugas di sini," berkata seorang yang
berkumis tebal, "kalian jangan membuat ribut. Kalian tidak
boleh keluar dari tempat ini."
Swandaru yang benar-benar bernafsu untuk melangkah ke
luar gardu terpaksa mengurungkan niatnya karena gurunya
mengge"lengkan kepalanya, dan segera duduk kembali di
tempatnya. Sejenak kemudian suara gemerincing itu menjadi semakin
nyata, seperti suara derap kuda itu pula.
"Dua ekor kuda," Agung Sedayu berdesis.
"Sst," pemimpin pengawas itu menempelkan jarinya di
bibirnya. Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia mencoba
mendengar suara apakah itu sebenarnya.
Dalam keheningan itulah ia mendengar suara itu berputarputar
sejenak mengelilingi gardu pengawas. Kemudian suara
itu agak menjauh. Namun tidak seorang pun yang berhasil
melihat apakah yang telah berbunyi seperti gemerincingnya
genta-genta kecil itu. Di luar gelap malam menjadi semakin
pekat, sedang di dalam gardu itu remang-remang cahaya
pelita bergerak-gerak ditiup angin yang lemah.
Kini suara gemerincing itu bergerak di sekitar barak,
kemudian menjauh dan berpindah di antara rumah-rumah
yang sudah tertutup rapat. Suara itu seolah-olah mengelilingi
setiap rumah yang berpenghuni, yang berserakan sebelahmenyebelah
lorong kecil dan di sepanjang daerah yang sudah
dapat dihuni. Suara itu berputaran beberapa saat lamanya. Sedang para
petugas yang ada di dalam gardu itu pun duduk membeku di
tempat masing-masing. Keringat yang dingin menitik dari
kening mereka yang basah.
Baru setelah beberapa lama, suara itu terdengar menjadi
semakin jauh, semakin jauh dan akhirnya hilang.
Ketika malam kembali menjadi senyap, dan tidak lagi
terdengar suara apa pun, para petugas itu menarik nafas
dalam-dalam. "Hem," pemimpin petugas itu berdesah, "belum lagi sampai
tengah malam, mereka sudah mulai berkeliaran."
"Apakah yang lewat itu hantu-hantu yang menjadi
pembicaraan?" Pemimpin pengawas itu menganggukkan kepalanya, "Ya.
Itulah sebabnya kami melarang kalian keluar."
"Apakah mereka akan menyerang?"
"Kami tidak tahu. Tetapi seandainya mereka hanya
menerkam orang-orang yang dilihatnya, kami tidak akan
berkeberatan." "Lalu, kenapa Tuan menahan aku?" bertanya Swandaru.
"Aku masih sayang akan nyawamu. Kau orang baru di sini."
"Apakah benar-benar sudah ada yang mati diterkamnya" "
"Mati belum. Tetapi seorang yang mencoba
memberani"kan diri melihat hantu itu, di pagi harinya ia
mendadak menjadi sakit keras. Ia mengigau tidak
berketentuan. Dan bahwa hantu yang dilihatnya itu sudah
merasuk ke dalam tubuhnya. Dengan nada yang marah, hantu
yang merasuk itu mengancam, bahwa siapa yang berani
melihat hantu-hantu itu sekali lagi, maka tidak akan ada
ampun. Nyawanyalah yang akan diambilnya."
Kiai Gringsing dan kedua muridnya menganggukanggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan orang tua itu berdesis,
"Aku mengucapkan terima kasih, bahwa Tuan telah mencegah
anakku yang gemuk itu."
"Tetapi hati-hatilah. Anak-anakmu agaknya anak-anak yang
bengal. Jangan kau biarkan semuanya itu terjadi atas anakanakmu


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu." "Terima kasih, Tuan," jawab Kiai Gringsing. Lalu, "Tetapi
kini perkenankanlah kami minta diri. Kami akan segera
kembali ke barak." "Kalian masih juga berani keluar?"
"Bukankah hantu itu sudah pergi?"
"Kalian memang orang-orang berani," desis Wanakerti,
"tetapi biarlah kalian tidur di sini. Kalian dapat tidur di atas tikar
di sudut itu. Kami para pengawas harus bergantian tidur."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia
bertanya, "Apakah sebenarnya yang mereka awasi?"
Tetapi yang diucapkannya adalah, "Kami akan memenuhi
tempat yang sebenarnya dapat Tuan pakai di sini. Biarlah
kami akan berjalan cepat-cepat ke barak itu."
Pemimpin pengawas itu memandangi Kiai Gringsing
dengan sorot mata keheranan. Namun kemudian ia berdesis,
"Memang orang-orang baru biasanya masih belum mengenal
takut. Baiklah. Tetapi kalau kalian mengalami sesuatu, cepatcepat
kembalilah kemari dan tidurlah di sini, di antara para
pengawas." Buku 52 KIAI GRINGSING termenung sejenak. Namun kemudian ia
menjawab, "Terima kasih, Tuan."
Maka Kiai Gringsiug yang dikenal bernama Truna Podang
itu pun meninggalkan gardu pengawas itu bersama kedua
murid"nya. Ketika mereka sudah berada beberapa langkah
dari gardu, Kiai Gringsiug pun bergumam, "Sayang. Ketika
hantu-hantu itu le"wat kita berada di dalam gardu pengawas."
"Sebenarnya aku masih sempat meloncat," sahut
Swandaru. "Berbahaya." "Tetapi, apakah Guru percaya bahwa hantu-hantu itu dapat
mengalahkan manusia."
"Bukan. Bukan hantu-hantu itu yang aku maksudkan,
meskipun barangkali mereka berbahaya juga. Tetapi yang aku
maksudkan adalah para pengawas itu. Mereka akan
menganggap kita som"bong dan ?"". Sehingga mereka
tidak akan senang lagi ke"pada kita. Bahkan mungkin kita
akan mereka usir dari daerah ini. Apalagi seandainya terjadi
bencana oleh sebab apa pun. Me"reka pasti akan segera
menuduh kita, bahwa kita telah membuat hantu-hantu itu
menjadi marah." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti
maksud gurunya. Para petugas itu tidak kalah berbahaya bagi
mereka, apabila mereka tidak mau tunduk pada perintahnya.
"Lalu sekarang?" tiba-tiba Agung Sedayu bertanya.
Kiai Gringsing termenung sejenak. Dan Swandaru
menya"hut, "Apakah maksud Guru, kita mencoba mencari
hantu-hantu itu." "Mereka telah pergi."
"Kita kehilangan kesempatan."
"Tetapi kesempatan yang bakal datang masih cukup
banyak." "Apakah hantu-hantu itu setiap malam datang kemari?"
ber"tanya Agung Sedayu.
"Menurut pembicaraan orang-orang yang terdahulu tinggal
di sini tidak setiap malam. Hanya kadang-kadang saja."
"Pada suatu saat Raden Sutawijaya pasti akan datang
kemari." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kalau
lapo"ran itu kelak sampai pada Mas Ngabehi Loring Pasar, ia
pasti akan datang kemari. Ia ingin sekali pada suatu saat
bertemu dengan hantu-hantu itu. Ia selalu membawa
pusakanya, tombak Kiai Pasir Sewukir. Bahkan mungkin ia
membawa pula keris Kiai Naga Kemala."
Kedua murid-muridnya menganggukkan kepalanya. Dan
tiba-tiba Swandaru bertanya, "Sekarang kita ke mana?"
"Kembali ke barak itu dan tidur."
Swandaru dan Agung Sedayu tidak bertanya apa-apa lagi.
Keduanya berjalan mengiringi gurunya sambil menundukkan
kepalanya. Masih terngiang suara gemerincing di sela-sela
derap kaki kuda. Ketika Agung Sedayu teringat sesuatu, tiba-tiba ia
bertanya, "Guru, kenapa kita dapat mendengar derap kaki-kaki
kuda itu?" "Kenapa?" "Bukankah menurut ceritera orang, hantu-hantu itu tidak
me"nyentuh tanah" Kalau kuda-kuda itu kuda hantu, maka
kaki-kaki kuda itu pun tidak akan menyentuh tanah. Apalagi
ada yang menga"takan, bahwa kuda yang dipakai oleh hantuhantu
itu adalah kuda semberani."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Seperti bergumam
kepada diri sendiri ia berkata, "Aku tidak tahu, manakah yang
benar. Tetapi memang sebaiknya kita melihat, apakah hantuhantu
itu menyentuh tanah atau tidak."
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Di hadapan mereka
lam"pu minyak di serambi barak masih menyala. Di serambi
itu nampak orang-orang yang tidur melingkar berkerudung
kain menyelubungi se"luruh tubuh mereka.
"Mereka agaknya ketakutan mendengar bunyi gemerincing
itu," desis Swandaru.
"Ya. Biarlah mereka menyembunyikan diri di balik selimut
mereka. Mereka sangka, seandainya hantu-hantu itu ingin
berbuat sesuatu, maka mereka yang berkerudung selimut itu
tidak dapat terlihat lagi oleh hantu-hantu itu," desis Agung
Sedayu. Kiai Gringsing tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah
yang terangguk lemah. Ketika mereka kemudian menginjakkan kakinya di lantai
serambi barak yang panjang itu, Kiai Gringsing dan kedua
murid-muridnya mendengar nafas mereka yang sedang
berkerudung selimut itu tersengal-sengal. Bahkan ada di
antara mereka yang men"jadi gemetar dan tidur berhimpithimpitan.
Kiai Gringsing tidak mau mengganggu mereka atau bahkan
mengejutkan mereka. Dengan hati-hati ia berjalan di antara
orang-orang yang sedang menyembunyikan diri di bawah
selimutnya, diikuti oleh kedua orang murid-muridnya.
Supaya orang-orang itu tidak menjadi bertambah
ketakutan, ma"ka Kiai Gringsing pun berkata kepada
muridnya, "Tidurlah. Kalian pasti sudah mengantuk."
Beberapa orang yang bersembunyi di bawah selimutnya itu
pun mendengar pula suaranya. Sebagian dari mereka
mengenal bahwa suara itu suara Truna Podang. Karena itu
dengan herannya mereka mencoba mengintip orang tua itu
dari sela-sela keru"dungnya. Sebenarnyalah bahwa mereka
melihat Truna Podang yang sejak malam mulai gelap,
meninggalkan barak mereka
Salah seorang dari mereka memberanikan diri membuka
ke"rudung di kepalanya. Perlahan-lahan ia menyapa, "Truna
Podang?" Kiai Gringsing berpaling. Dilihatnya seseorang mengangkat
kepalanya memandanginya. "Ya, aku Truna Podang."
"Dari mana kalian?"
"Dari gardu pengawas."
"He, apakah kalian pergi ke sana?"
"Ya." "Tetapi, apakah kalian tidak mendengar?"
"Mendengar apa?"
"Mendengar "., mendengar "," orang itu tidak
meneruskan kata-katanya. "O," Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
"suara gemerincing dan derap kaki kuda itu?"
"Sst, jangan ribut."
"Ya, kami mendengarnya ketika kami berada di gardu
pe"ngawas. Para pengawas pun mendengar pula."
"Dan kalian tidak takut pulang kemari?"
"Suara itu sudah tidak terdengar lagi. Dan kuda-kuda yang
gemerincing itu sudah pergi." Kiai Gringsing berhenti sejenak,
lalu, "Apakah kalian di sini juga mendengar?"
"Sudahlah, sudahlah," tiba-tiba seseorang memotong dari
balik selimutnya, "jangan bicarakan itu lagi. Kalau kalian mau
tidur, tidurlah. Hari sudah larut malam. Besok kita akan
bangun pagi-pagi dan segera bekerja kembali."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
bersama, kedua muridnya mereka pun melangkah ke sudut,
tempat yang su"dah disediakan untuk mereka bertiga,
meskipun sebenarnya ter"lampau sempit.
"Hem, untuk aku sendiri saja tidak cukup," gumam
Swandaru. "Perutmu terlampau besar. Tetapi apa-boleh buat. Tempat
yang disediakan untuk kami hanyalah sejengkal ini."
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera
me"rebahkan dirinya.
Agung Sedayu dan gurunya memandang anak muda yang
gemuk itu sejenak. Namun mereka pun tersenyum. Tempat itu
benar-benar telah menjadi penuh.
"Kami berdua tidak mendapat tempat lagi," gumam Agung
Sedayu. Swandaru pura-pura tidak mendengarnya. Bahkan ia pun
kemudian memejamkan matanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau duduk saja sambil
menunggui Swandaru. Ia pun kemudian mendesak anak yang
gemuk itu ambil berkata, "Minggir. Kalau tidak perutmu akan
ter"gilas." "He, nanti dulu. Nanti dulu," desis Swandaru.
"Nah, ingat. Jangan kau letakkan perutmu di sembarang
tempat. Bagaimana kalau kau taruh saja perutmu di luar."
"Uh, uh," Swandaru bergeser dengan susah payah.
"Tetapi bagaimana dengan guru," tiba-tiba Agung Sedayu
bangkit dan bertanya kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing tersenyum, "Aku sudah biasa tidur sambil
duduk. Apalagi aku mendapat sandaran tiang, sedangkan
tanpa sandaran sama sekali, aku dapat juga tidur nyenyak."
"Kalau Guru ingin berbaring, silahkanlah. Biarlah aku duduk
bergantian, dengan Adi Swandaru."
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidurlah. Aku
juga akan tidur." Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dan gurunya
mengu"langinya, "Tidurlah."
Akhirnya Agung Sedayu pun berbaring pula di samping
Swan"daru yang sudah tidur mendekur.
Di hari berikutnya, pagi-pagi benar seisi barak itu pun
sudah bangun. Sambil berbisik-bisik mereka
mempercakapkan, apa yang mereka dengar semalam. Suara
gemerincing dan derap kaki-kaki kuda.
"Ternyata mereka benar-benar ketakutan," desis Swandaru.
"Ya. Suara itu memang aneh," sahut Agung Sedayu. "Aku
jadi benar-benar ingin melihat."
"Tetapi kita harus berusaha menyingkir dari orang-orang
yang ketakutan itu, supaya mereka tidak menyalahkan kita
kalau ter"jadi sesuatu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kita
harus mencari akal."
Mereka berhenti berbicara ketika orang yang tinggi kekar
mendatanginya bersama orang yang kurus. Belum lagi
mereka mengucapkan apa-apa, orang yang kekar itu sudah
mendahului ber"kata sambil menegangkan lehernya, "Nah,
sekarang kalian su"dah mengalami sendiri. Bukankah
semalam kalian mendengar suara itu" Coba sebutkan suara
apakah itu." "Suara genta kecil-kecil yang banyak jumlahnya," jawab
Kiai Gringsing. "Mirip suara genta, tetapi sama sekali bukan suara genta,"
sahut orang itu. "Itulah yang telah menyebar ketakutan di
antara kami di sini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Beberapa orang lain pun kemudian ikut pula berkerumun dan
berbicara me"ngenai suara yang mereka dengar itu.
"Apakah belum ada seorang pun yang melihat dengan
pas"ti, bagaimana bentuk hantu-hantu itu?" bertanya
Swandaru tiba-tiba. "Ah, kau anak bengal," orang yang kekar itu menjawab.
"Mungkin kau perlu tahu, apa yang pernah dialami oleh Darpa
Kancil. Hampir saja ia mati karena ia mencoba melihat hantu
itu." Orang yang kurus, yang ternyata bernama Darpa Kancil itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak berani
menyebut-nyebutnya lagi."
"Tetapi orang-orang baru ini perlu mengerti. Kasihan
apabila mereka terdorong oleh kesombongannya, akhirnya
akan menjadi korban seperti kau. Jangan ingkar, bahwa kau
juga terlampau sombong waktu kau datang kemari."
"Terserahlah kepadamu kalau kau mau menceriterakan.
Tetapi aku tidak," orang yang kurus itu telah benar-benar
keta"kutan. Orang yang kekar itu berpikir sejenak. Dengan wajah yang
tegang ia memandang berkeliling, seolah-olah ingin melihat
apakah hantu-hantu itu ada di sekitarnya.
"Waktu itu," ia berbisik, "suara itu datang. Ini, orang ini
dengan sombongnya berkata, bahwa ia tidak takut kepada
hantu-hantu. Dengan beraninya ia turun dari barak dan
mengejar suara itu. Tetapi katanya, dan orangnya sekarang
ada di sini, bahwa ia tidak dapat menemukan suara itu.
Kadang-kadang suara itu ada di depan, tetapi kemudian suara
itu seakan-akan mengikutinya di belakang. Tetapi orang yang
kurus ini agaknya orang yang memang berani, sehingga ia
masih juga berusaha mencari terus. Namun ia tidak
menemukannya." Orang yang kekar itu ber"henti sejenak,
lalu, "Tetapi apa yang terjadi di pagi harinya telah membuat
barak itu gempar. Ia tiba-tiba saja kesurupan dan mengigau.
Tubuhnya menjadi panas sekali seperti bara. Agaknya hantu
yang dicarinya semalam itulah yang merasuk di dalam
diri"nya, ia mengancam semua orang yang sombong seperti
orang yang kurus kering ini. Bahkan akan membunuhnya."
Sekali lagi ia berhenti. Kemudian suaranya menjadi semakin
lirih, "Kami mencoba untuk mencegah kalian."
"Ya. Hindarilah bencana itu. Kau orang baru di sini. Seperti
beberapa orang yang terdahulu. Tetapi orang-orang yang
merasa dirinya berani itulah yang akhirnya paling awal pergi."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Terima
ka"sih. Terima kasih atas nasehat kalian."
"Ini orangnya masih hidup. Aku tidak berbohong. Maksudku
bukan menakut-nakuti, tetapi sekedar menghindarkan kalian
dari bencana, karena aku menganggap semua orang yang
datang di tempat ini adalah saudara-saudara senasib."
"Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Para petugas pun
per"nah mengatakannya. Tetapi kini aku bertemu langsung
dengan orang yang mengalaminya."
"Aku sudah minta maaf dengan syarat seperti yang
dinasehatkan seorang dukun. Ayam putih mulus, nasi kuning,
dan tuntut pisang," berkata orang yang kurus kemudian.
Kiai Gringsing sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Orang-orang di barak itu memang merasa selalu
dibayangi oleh keta"kutan. Sedang kedua muridnya
mengerutkan keningnya sambil mempertimbangkan semua
peristiwa yang didengarnya.
Tetapi belum lagi mereka meninggalkan tempat itu dan
pergi ke kerja masing-masing sambil mengambil bekal
rangsum mereka di gardu pengawas, mereka dikejutkan oleh
seorang perempuan yang datang berlari-lari.
"Kakang, Kakang," perempuan itu berteriak dengan
cemasnya, dan langsung menemui orang yang kurus itu,
"anak kita, anak kita."
"Kenapa dengan anak kita?"
"Ia tiba-tiba saja jatuh pingsan."
"Pingsan?" orang yang kurus itu menjadi gelisah.
"Ya. Pingsan tanpa sebab."
"Apakah sekarang masih juga pingsan?"
Perempuan itu menggeleng, "Beberapa orang perempuan
menolong kami. Anak itu, kini sudah sadar."
"O, tetapi, tetapi, anak itu tidak apa-apa?"
"Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti." Perempuan
itu berhenti sejenak, lalu, "di dalam pingsannya anak itu
mengigau." "He, mengigau" Apa katanya?"
"Ia hanya berbisik-bisik. Katanya "jangan ulangi, jangan
ulangi"." "O," orang yang kurus itu menarik nafas dalam-dalam,
"me"reka masih mengancam. Sekali aku bersalah, maka
setiap kali aku selalu mendapat peringatan."
"Tetapi, tengoklah anak itu sebelum kau berangkat kerja."
Laki-laki kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Baiklah. Aku akan menengoknya sebentar."
Kedua suami isteri itu pun kemudian pergi meninggalkan
mereka yang sedang berbincang. Kiai Gringsing dan kedua
murid"nya berdiri termangu-mangu. Sedang orang yamg
bertubuh kekar itu berkata, "Nah ini adalah suatu bukti. Ia
terlampau sombong pada saat ia baru saja datang kemari."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak, dan orang yang
tinggi kekar itu berkata, "Marilah, kita mempersiapkan diri
dengan alat-alat kita. Sebentar lagi kita akan berangkat."
"Tetapi di manakah anak yang sakit itu?"
"Ia berada di barak khusus untuk perempuan dan anakanak
yang masih terlampau kecil. Perempuan yang tidak
mempunyai anak-anak kecil menyediakan makan kita seharihari.
Bukankah kau lihat mereda sedang memasak?"
"Maksudku anak-anak kecil itu. Aku ingin melihatnya,"
sahut Kiai Gringsing. Sebagai seorang dukun timbullah
niatnya untuk melihat jenis-jenis penyakit yang aneh itu.
"Tidak perlu. Anak itu sudah baik. Jangan menambah
persoalan lagi. Hantu-hantu yang merasuk ke dalam tubuhnya
telah pergi setelah mereka sekedar memberikan peringatan."
Kiai Gringsing tidak dapat memaksa orang itu untuk
me"ngantarkannya. Sebab dengan demikian, mungkin akan
dapat timbul salah paham yang semakin dalam.
Sejenak kemudian maka orang-orang yang bersiap-siap
untuk pergi ke daerah garapan masing-masing pun sudah
siap. Mereka berjalan beriringan sambil menerima bekal
rangsum mereka yang akan mereka bawa ke tempat kerja
mereka. Menjelang tengah hari me"reka akan berhenti
bekerja dan makan rangsum itu.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi berurutan itu memang telah
mem-pengaruhi sikap Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
Bahkan Swandaru mulai berpikir, apakah hantu-hantu itu
memang ada. "Bagaimana pendapat Guru?"
Gurunya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku belum
dapat menemukan jawaban. Tetapi hantu-hantu itu memang
telah mengganggu." "Tetapi menurut orang yang kurus itu, dengan ayam putih
mulus dan kelengkapannya, persoalan hantu-hantu itu dapat
se"gera diselesaikan. Bukankah Guru juga seorang dukun"
Agaknya Guru dapat juga mencari jalan untuk berhubungan,
dengan hantu-hantu itu dengan cara yang lain daripada
hubungan wadag." Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, "Aku memang
seorang dukun, tetapi bukan dukun hantu-hantu. Aku dukun
yang hanya dapat berusaha mengobati penyakit. Itu pun
terbatas sekali, karena setiap persoalan, keputusam terakhir
ada di tangan Yang Maha Kuasa."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang
Agung Sedayu bertanya, "Apakah masalah hantu itu pada
suatu saat dapat menggoncang rencana Ki Gede
Pemanahan?" "Tentu. Kalau hantu-hantu itu telah tersebar di segala
penjuru dari daerah yang baru dan sedang mengembangkan
diri ini, dan setiap orang akhirnya dicengkam oleh ketakutan,
maka akhir"nya daerah ini akan menjadi sepi kembali. Tanah
garapan yang sudah dibuka itu akan menjadi rimbun kembali
oleh batang-batang ilalang yang liar, karena tidak lagi disentuh
tangan." Kedua murid Kiai Gringsing itu pun menganggukanggukkan
kepalanya. Tanpa terasa mereka telah sampai ke
tanah garapan mereka yang agak terpencil.
"Aku memerlukan busur," desis Swandaru.
"Buat apa?" "Aku sudah ketagihan daging rusa."
"Ah kau," desis Agung Sedayu sambil menyiapkan alat-alat
mereka. Sejenak kemudian mereka pun telah tenggelam di dalam
ker"ja. Seperti di hari pertama mereka tidak menjumpai
masalah-masalah yang aneh bagi mereka, selain suara
burung kedasih yang tidak ada putus-putusnya.
"He, burung-burung itu agaknya tidak mau pergi dari tempat
ini," desis Swandaru.
"Begitulah suara burung kedasih. Ia tidak dapat berbunyi
dengan nada yang lain. Tidak seperti kau. Kau dapat
menyebut jenang alot, jadah ketan ireng, atau pondoh nasi
gaga," sahut Agung Sedayu.
Suara tertawa Swandaru meledak tanpa dapat
dikendalikan. Namun tiba-tiba suara tertawanya itu pun
terputus. Perlahan-lahan ia berdesis, "He, suara kedasih itu
pun berhenti pula." Agung Sedayu dan gurunya pun kemudian memasang
teli"nganya. Suara burung kedasih itu telah berhenti pula.
Sehingga dengan demikian, hutan itu pun menjadi serasa
sunyi sekali. "Bukankah suara burung itu terhenti pula?" bertanya
Swandaru. Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
"Aneh." "Tidak aneh," berkata Kiai Gringsing, "burung itu pun
terkejut mendengar suara tertawamu."
"Bukan karena burung itu berhenti berbunyi," jawab
Swandaru. "Lalu, apakah yang aneh?"
"Burung kedasih biasanya berbunyi di malam hari. Tetapi
hari ini, hampir sehari penuh, suara burung itu tidak hentihentinya.
"Ya. Tetapi tidak selalu malam hari. Kadang-kadang di
siang hari pun burung kedasih berbunyi pula seperti burung
kedasih itu." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
masih nampak keheranan membayang di wajahnya, karena
suara burung kedasih itu.
Demikianlah maka ketika menjelang senja hari, Kiai
Gring"sing dan kedua muridnya itu pun menyudahi kerjanya.
Setelah mereka menyimpan alat-alat mereka di tempat yang
kemarin, di bawah sebatang kayu yang besar, yang telah
dirobohkan oleh orang-orang yang bekerja di tempat itu
sebelum mereka, maka ketiganya pun kemudian
meninggalkan tanah garapan itu.
Beberapa orang segera mendapatkannya dan bertanya,
apa"kah yang dilihatnya dan dialaminya.
"Tidak ada apa-apa," jawab Kiai Gringsing.
Tetapi Swan"daru menambahkannya, "Hanya suara
burung kedasih yang terus-menerus. Menjengkelkan sekali."
"Hus, jangan berkata begitu."
"Kenapa?" bertanya Swandaru.
"Jangan. Jangan berkata kurang sopan terhadap peristiwaperistiwa
yang aneh-aneh yang terjadi di sekitarmu," desis
seorang yang telah beruban di keningnya.
Swandaru menjadi heran. Tetapi kemudian ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang di tempat itu
percaya bahwa ka"dang-kadang hal-hal yang aneh itu dapat
mendatangkan bencana. Ketika kemudian malam tiba, Kiai Gringsing dan kedua
muridnya tidak lagi pergi ke gardu pengawas. Disana mereka
tidak akan mendapat kesempatan untuk melihat apabila
mereka mendengar gemerincing genta dan suara derap kaki
kuda. "Kemana kita?" bertanya Agung Sedayu.
"Asal kita keluar," jawab gurunya.
Ketika malam menjadi semakin malam, dan datang saatnya
seperti kemarin malam ketika suara gemerincing itu mengitari
barak. Kiai Gringsing itu berdesah, "Uh perutku sakit."
Seseorang yang sudah berbaring di sampingnya bertanya,
"Kenapa perutmu?"
"Sakit, aku akan pergi ke sungai."
"He," orang itu terkejut, "malam-malam begini?"
"Ya, perutku sakit tidak tertahankan lagi."
"Kau berani pergi ke sungai?"
"Tidak. Tetapi biarlah kedua anak-anakku itu mengantarkan
aku." "Bodoh sekali. Kau bodoh sekali. Kemarin malam. Di saatsaat
seperti ini".. O, ngeri sekali," orang itu tidak berani
menye"butkan apa yang telah terjadi kemarin malam.
Tetapi Kiai Gringsing dan muridnya mengerti, bahwa yang
dimaksudkan itu adalah suara gemerincing genta itu.
"Tetapi, bagaimana dengan perutku ini."
Orang itu tiba-tiba mengerutkan keningnya, "Apakah kau
mengalami sesuatu siang tadi?"
Kiai Gringsing menggeleng.
"Anakmu yang telah mengumpati burung kedasih itu.
Burung itu memang sering terdengar berbunyi di siang hari."
"O, tetapi kenapa perutku yang sakit" Aku tentu tidak akan
dapat mengganggu kalian di sini dengan bau yang tidak
sedap. Karena itu biarlah aku pergi ke sungai."
"Jangan pergi."
"Terpaksa sekali. Sebentar saja."
Kiai Gringsing pun kemudian mengajak kedua anakanaknya
pergi. Beberapa orang telah berusaha mencegahnya.
Orang yang kurus itu bahkan menahan tangannya sambil
berkata, "O, jangan kau lakukan. Jangan membuat dirimu
menjadi korban kebodohanmu sendiri."
"Tetapi bagaimana dengan isi perutku ini."
Dan orang yang tinggi kekar berkata, "Kau bukan sanak
dan bukan kadangku. Seharusnya aku pun tidak merasa
kehilangan kalau kalian tidak akan dapat kembali lagi ke barak
ini. Te"tapi aku masih mencoba berbuat baik terhadapmu."
"Terima kasih. Tetapi apakah kau dapat memberi jalan lain
untuk menyelesaikan perutku ini."
Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya.
"O, aku sudah tidak kuat lagi. Apakah aku sudah
dikutuknya" Sakit perutku tidak tertahankan lagi. Aduh".,"
Kiai Gringsing menyeringai sambil memegangi perutnya,
sedang orang-orang yang kemudian mengerumuninya
menjadi saling berpan"dangan.
"Apa boleh buat," berkata salah seorang dari mereka, "kita
sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia tetap akan pergi."
"Bukan maksudku untuk tidak mendengarkan nasehat
ka"lian. Aku pun sebenarnya takut sekali pergi ke sungai itu.
Tetapi apakah memang ada jalan lain?" Kiai Gringsing
menghentak-hentakkan kakinya sambil berdesis.
"Apa boleh buat," dan yang lain menyahut, "apa boleh
buat." Kiai Gringsing kemudian diantar oleh Agung Sedayu dan
Swandaru melangkah pergi. Orang tua itu masih sempat
bertanya, "Siapakah yang mau menolong kami, mengawani
kami pergi ke sungai?"
Tidak ada seorang pun yang menganggukkan kepalanya.
Bahkan orang yang kurus itu berkata, "Kami tidak mau mati
ketakutan." Beberapa orang melihat ketiga orang yang menghilang ke
dalam gelap itu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa
dari an"tara mereka menarik nafas sambil berdesah, "Mereka
adalah orang-orang yang berani."
Tetapi orang yang tinggi kekar berkata, "Mereka
terlam"pau sombong. Kalau mereka sudah mengalami
peristiwa seperti si kurus itu barulah mereka akan percaya."
Kiai Gringsing dan kedua muridnya, setelah menghilang ke
dalam gelap, segera berhenti. Dari balik pepohonan mereka
masih dapat melihat lamat-lamat cahaya lampu-lampu minyak
di serambi barak yang panjang.
"Kemana kita, Guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Menunggu. Menunggu kuda semberani yang
bergemerincing itu lewat."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
Swandaru-lah yang bertanya kemudian, "Kita menunggu di
sini?"

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," jawab Kiai Gringsing.
"Kalau begitu aku harus mendapatkan sandaran duduk."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku akan tidur."
"Ah, kau," desah Agung Sedayu. Tetapi Swandaru tidak
menghiraukannya. Beberapa langkah ia beringsut, kemudian
bersandar pada sebatang pohon lamtara yang hanya sebesar
lengan. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian
duduk pu"la. Mereka menunggu suara gemerincing dan
telapak kaki kuda itu lewat. Dengan dada yang berdebardebar
mereka duduk tanpa berbicara apa pun lagi.
Tetapi suara gemerincing itu tidak kunjung datang. Waktu
yang mereka pergunakan untuk menunggu sudah jauh lebih
panjang dari waktu yang wajar bagi orang yang pergi ke
sungai. Namun kuda itu tidak lewat juga.
Swandaru menjadi tidak sabar lagi. Sambil terkantukkantuk
ia bergumam, "Lebih baik kita yang mencari."
"Kemana?" bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia sibuk menggarukgaruk
kakinya yang digigit nyamuk.
"Marilah kita kembali," desis Kiai Gringsing, "kita tidak
berhasil lagi malam ini."
"Apakah hantu-hantu itu mengetahui bahwa kita sedang
menunggu mereka di sini?" bertanya Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
Ketiganya pun kemudian kembali ke barak mereka. Ketika
Kiai Gringsing mendehem, hampir bersamaan beberapa orang
menarik selimut yang mereka selubungkan ke kepala.
"Kau Truna?" bertanya seseorang.
"Uh, kau pergi terlampau lama. Kami sudah cemas, janganjangan
kau tidak akan kembali lagi kemari."
"Jalan ke sungai itu gelap sekali," jawab Kiai Gringsing.
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
tidak seorang pun yang menanyakan kepadanya, apakah
Truna Podang itu tidak bertemu dengan hantu. Sedang Kiai
Gringsing pun sa"dar, bahwa mereka harus menyimpan
pertanyaan itu sampai be"sok, karena mereka tidak berani
mengucapkannya saat itu. Sebenarnyalah di pagi hari berikutnya, Truna Podang
sudah dikerumuni oleh beberapa orang yang bertanya
kepadanya, "Apakah kau melihat sesuatu?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
"Tidak," jawabnya, "aku tidak melihat apa pun."
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi beberapa orang yang lain berkata di antara mereka,
"Belum saja mereka mengalami. Apabila pada suatu saat
mereka benar-benar ber"temu dengan hantu itu, barulah
mereka menjadi jera."
"Kalau hanya sekedar bertemu dengan hantu, tentu tidak
akan menyedihkan. Tetapi kalau hantu-hantu itu benar-benar
marah dan mencabut nyawa mereka?"
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seseorang ber-desis, "Kasihan. Mereka terlampau keras
kepala." Ketika matahari menjadi semakin terang, maka orangorang
itu pun segera meninggalkan tempat itu pergi ke tanah
garapan masing-masing, setelah mereka mengambil bekal
mereka dari gardu pe"ngawas.
Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun pergi pula ke
tempat kerja mereka. "Apakah burung kedasih itu masih berbunyi lagi di
sepanjang hari?" tiba-tiba saja Swandaru berdesis.
"Bukankah kita sudah mendapatkan cara untuk
menghentikannya?" sahut Agung Sedayu.
"Bagaimana?" bertanya Swandaru.
"Kau berteriak keras-keras. Burung itu akan ketakutan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menyahut. Demikianlah, maka mereka bertiga bekerja dengan
tekun"nya. Suara burung kedasih itu sudah tidak mengganggu
lagi. Namun terik matahari yang semakin tinggi serasa telah
membakar tubuh mereka. Ketika mereka sedang sibuk menebasi batang-batang
pepohonan yang sudah rebah, maka mereka pun kehilangan
perhatian me"reka kepada keadaan di sekitar tanah yang
sunyi itu. Yang men"jadi pusat perhatian mereka adalah
kapak-kapak mereka yang terayun-ayun dengan kerasnya,
melontarkan bunyi yang membelah sepinya suasana hutan.
Namun tiba-tiba mereka bertiga terkejut ketika mereka
men"dengar pekik memanjang. Gemanya terpantul dari
segala arah, sehingga pekik itu terdengar seakan-akan
terulang-ulang. Swandaru, Agung Sedayu, dan gurunya segera berhenti
be"kerja. Meskipun kapak mereka masih ada di dalam
genggaman namun mereka kini berdiri tegak bagaikan patung
yang beku. Sekali lagi suara itu terdengar meninggi dan
berkepanjangan. Tiba-tiba saja Swandaru melemparkan kapaknya dan
meloncat berlari. Namun langkahnya tertahan karena gurunya
segera me"nangkap lengannya.
"Tunggu, Swandaru," desis Kiai Gringsing, "kita ber"ada di
tempat yang asing. Jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu
kalau kau tidak ingin terjebak."
Sejenak Swandaru berdiri termangu-mangu. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Kini ditatapnya
hutan yang lebat di sebelah tanah yang sedang digarap. Dan,
ia memang tidak mengetahui, apakah yang tersimpan di
dalam lebatnya hutan itu, di balik pohon-pohon raksasa dan di
dalam gerumbul-gerumbul perdu yang liar.
Agung Seadayu telah meletakkan kapaknya pula. Tanpa
disadarinya tangannya telah meraba tangkai cambuknya yang
melilit di lambung. Dalam keragu-raguan itu Kiai Gringsing dan kedua
muridnya mendengar lengking yang tinggi itu sekali lagi. Dan
kini berada agak lebih-dekat.
"Hati-hatilah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kita
berhadapan dengan sesuatu yang masih belum dapat kita
jajagi." Kedua muridnya menganggukkan kepalanya. Setapak
Agung Sedayu bergeser maju, sedang Kiai Gringsing berdiri
tegak sam"bil menengadahkan kepalanya.
"Seseorang mendekat kemari," bisiknya.
Kedua muridnya pun mencoba untuk mendengar sesuatu.
Namun baru sejenak kemudian mereka mendengar langkah
orang berlari-lari. "Ya, seseorang telah datang kemari," ulang Agung Sedayu.
Ternyata dugaan mereka benar. Sejenak kemudian
sese"orang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang
lebat. Masih terdengar betapa ia merintih kesakitan.
Ditekankannya kedua tela"pak tangannya di dadanya yang
ternyata menghamburkan darah yang merah.
"Tolong, tolong Ki Sanak," suaranya gemetar, sedang
langkahnya menjadi terhuyung-huyung.
Kiai Gringsing selangkah demi selangkah maju
mendekati"nya. "Kenapa kau Ki Sanak?" bertanya orang tua itu.
"O, hantu, hantu itu."
Dada ketiga orang itu berdesir.
"Kenapa?" "Mereka telah menerkam aku. Aku digigitnya dengan
taring." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Beberapa langkah
ia maju mendekat, sedang Swandaru langsung
menghampirinya sambil bertanya, "Apakah kau bertemu
dengan hantu itu?" Orang itu terdiam seienak. Dipandanginya Swandaru
de"ngan mata yang merah. Tiba-tiba ia berpaling. Dengan
penuh ke"takutan ia berteriak, "He, ia mengejar aku. Tolong,
tolong Ki Sanak." Semua orang berpaling ke arah tatapan mata orang yang
terluka itu. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
"Itu. Itu." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama
se"kali tidak melihat apa pun, selain daun yang bergerakgerak
disentuh angin. Tiba-tiba saja orang itu berada di puncak ketakutannya.
Sekali lagi ia berteriak, "Ampun, Ampun. Tolong Ki Sanak,
tolong." Tanpa menghiraukan apa pun lagi, dengan serta-merta ia
meloncat mendekap Swandaru yang berdiri di dekatnya.
Dengan suara gemetar ia masih saja berteriak-teriak, "Tolong
Ki Sanak, tolong." Swandaru terperanjat ketika tiba-tiba saja nafasnya serasa
menjadi sesak. Orang itu mendekapnya terlampau kuat dan
bahkan mengguncang-guncangnya sehingga hampir saja
Swandaru itu pun terjatuh karenanya.
"He, jangan berbuat seperti anak kecil," teriak Swan"daru.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya.
"Itu, lihat. Hantu itu mengejar aku."
"Tenanglah Ki Sanak," desis Kiai Gringsing, "tenang"lah
dan berbicaralah supaya kami mengerti apa yang telah
ter"jadi atasmu."
"Aku dikejar hantu. Hantu jerangkong bermata bara,
membawa sebatang tongkat panjang. Oh, dadaku terluka dan
tengkukku telah digigitnya."
"Kenapa dadamu terluka?"
"Tongkat itu. Tongkat itu," dan sejenak kemudian sambil
mendekap Swandaru semakin erat, ia melonjak-lonjak.
"Tolong, tolong. Aduh. Ia akan menerkam aku."
Kiai Gringsing kemudian mendekatinya. Tetapi sebelum ia
sempat meraba orang itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara sebuah benda yang berat terjatuh.
Kiai Gringsing tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba
saja ia meloncat ke arah suara itu, meskipun ia cukup berhatihati.
De"ngan indera pendengarannya yang tajam ia
mengenali apa yang ada di sekitarnya.
Agung Sedayu pun mengikutnya pula, sedang Swandaru
tiba-tiba saja telah mendorong orang yang mendekapnya
sambil ber"kata, "Tunggu di sini. Aku akan melihat."
Orang itu terdorong beberapa langkah sebelum ia terjatuh
di tanah, tetapi Swandaru tidak menghiraukannya lagi. Ia pun
segera berlari menyusul gurunya.
Ketika Kiai Gringsing sudah memasuki hutan, maka
langkahnya pun segera diperlambatnya. Dicobanya untuk
mendengar setiap desah yang mencurigakan. Tetapi yang
didengarnya ha"nyalah desir angin di dedaunan.
"Hati-hatilah," ia berdesis kepada murid-muridnya.
Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah ada di
sampingnya pun mengangguk pula.
Tetapi sampai beberapa, langkah kemudian, mereka tidak
menjumpai apa pun juga. Apalagi hantu, seekor kelinci pun
tidak. Namun tiba-tiba Kiai Gringsing itu mengerutkan keningnya.
Dilihatnya sebuah batu yang besar tergolek di tanah.
"Batu ini," desis Kiai Gringsing.
"Kenapa dengan batu ini?" bertanya Swandaru.
"Suara itu adalah suara batu ini terjatuh."
"Dari mana?" bertanya Agung Sedayu.
Ketiganya pun serentak menengadahkan wajah mereka.
Te"tapi mereka tidak melihat sesuatu, selain sebatang pohon
yang tinggi dan lebat. Dengan teliti Kiai Gringsing mencoba
mengamat-amati pohon itu. Tetapi ia memang tidak melihat
atau mendengar sesuatu. Perhatiannya kemudian dialihkan kepada batu besar yang
tergolek di dekat ujung kakinya. Batu itu adalah batu hitam
yang berat. "Apakah Guru memastikan bahwa suara itu adalah suara
batu ini?" bertanya Swandaru.
"Ya, " jawab gurunya, "lihatlah, rerumputan di sekitarya.
Ranting-ranting perdu yang berpatahan. Bekas itu adalah
bekas-bekas batu sehingga batu ini pasti baru saja jatuh dari
atas." Swandaru mengerutkan keningnya. Sedang Agung Sedayu
memandangi daun pohon yang rimbun itu sekali lagi. Ia
hampir tidak dapat mempercayainya bahwa batu itu jatuh
begitu saja dari atas sebatang pohon yang demikian tinggi.
"Aneh," tanpa sesadarnya ia berdesis.
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya
meskipun ia belum dapat menebak teka-teki yang sulit itu.
Sebagai sese"orang yang banyak melakukan pengembaraan
sejak masa muda"nya, Kiai Gringsing sudah banyak sekali
mengalami masalah-masalah yang aneh dan berbahaya.
Tetapi kali ini ia tidak segera menemukan jawaban dari
peristiwa yang membingungkannya itu.
*** "Sudahlah," berkata Kiai Gringsing, "jangan hiraukan lagi
batu itu. Biarlah ia tetap di situ. Sekarang, marilah kita lihat
orang yang luka itu." Lalu ia berpaling kepada Swandaru,
"Orang itu kau tinggalkan di dalam ketakutan."
Swandaru tidak segera menyahut.
"Sebaiknya kau tunggui orang itu," sambung gurunya,
"mungkin ia akan mati ketakutan."
"Aku ingin juga melihat apa yang terjadi di sini," jawab
Swandaru tanpa memandang wajah gurunya.
"Sudahlah. Marilah kita lihat," sahut Kiai Gringsing
kemudian. Ketiganya pun berjalan dengan tergesa-gesa kembali ke
tanah garapan mereka. Mereka ingin segera melihat, apakah
yang su"dah terjadi dengan orang yang terluka dan ketakutan
itu. Ketika mereka muncul dari balik pepohonan yang rimbun,
mereka melihat tanah garapan mereka itu masih tetap sepi.
Na"mun mereka tidak segera melihat orang yang sedang
dicengkam oleh ketakutan itu. Karena itu, maka langkah
mereka pun men"jadi semakin cepat, meloncati pepohonan
yang sudah diroboh"kan, tetapi masih saja malang melintang.
"Di mana orang itu?" desis Swandaru.
"Di mana kau tinggalkan tadi?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku mendorongnya sehingga ia jatuh tertelentang."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O, mungkin ia pingsan. Marilah kita lihat."
Ketiganya berjalan semakin cepat. Bahkan kemudian
me"reka pun seolah-olah berlari sambil meloncat-loncat,
melangkahi kayu-kayu yang roboh dan gerumbul-gerumbul
perdu. Namun darah mereka serasa berhenti mengalir, ketika
me"reka tidak melihat orang yang ketakutan itu di tempatnya.
Yang mereka lihat adalah percikan-percikan darah di
sekitarnya. Bahkan sesobek dari pakaian orang yang terluka
itu. "Guru, apakah yang kira-kira sudah terjadi?" Swandaru
terpekik. Kiai Gringsing pun dengan serta merta berjongkok di
tempat itu untuk melihat apa-apa yang kiranya sudah terjadi.
"Mungkinkah ada binatang buas?" bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tentu bukan
binatang buas," katanya, "tidak ada bekas binatang buas
sama sekali." Ketiganya sejenak saling berdiam diri. Dengan cermat
me"reka melihat bekas-bekas yang dapat mereka pergunakan
sebagai bahan untuk mengenali peristiwa yang aneh itu.
"Darah itu menodai rerumputan di sekitar tempat ini, Guru,"
desis Agung Sedayu kemudian.
"Apakah telah terjadi pergulatan yang sengit?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Mungkin
bu"kan pergulatan. Tetapi orang yang ketakutan itu telah
meronta-ronta sehingga darahnya memercik ke segala arah."
"Lihat," tiba-tiba Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun segera berdiri dan
mendekatinya. "Darah itu menitik menuju kemari."
"Terus," sambung Agung Sedayu, "di sini pun terdapat
bekas-bekasnya memanjang."
"Tentu orang itu sudah dibawa masuk ke dalam hutan itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya.
Orang itu sudah dibawa masuk kembali ke dalam hutan.
Tetapi agaknya bukan binatang buas."
"Atau ada binatang jenis lain yang belum kita kenal, Guru?"
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, "Hampir
se"mua jenis binatang di hutan ini sudah aku kenal. Memang
mungkin ada satu dua yang belum pernah aku lihat. Tetapi
bekas-bekas"nya pasti ada di sekitar tempat ini. Bekas-bekas
kaki atau kuku atau apa pun."
"Apakah mungkin dongeng tentang burung garuda
rak"sasa itu benar-benar ada, Guru?"
"Garuda raksasa itu pun pasti akan meninggalkan bekas.
Sentuhan sayapnya atau kuku-kuku kakinya. Tetapi kita tidak
me"lihat bekas apa pun selain percikan-percikan darah."
Swandaru dan Agung Sedayu hanya dapat menganggukanggukkan
kepalanya saja. Tetapi mereka sudah mulai
dirayapi oleh kebimbangan menghadapi masalah yang bagi
mereka sangat membingungkan ini.
Gurunya pun segera melihat kebimbangan yang melonjak
di dada murid-muridnya. Usia mereka dan pengalaman
mereka yang ma"sih terlampau sedikit, memang masih
memungkinkan keteguhan hati mereka tergoyahkan.
Karena itu, maka katanya, "Jangan kau ributkan lagi
ma"salah ini. Mungkin kita belum menemukan pemecahannya
saja. Tetapi hampir tidak ada rahasia lahiriah yang tidak
terpecah"kan." "Tetapi orang-orang yang sudah lama di tempat ini pun
masih belum dapat menduga apa yang sebenarnya telah
terjadi, selain anggapan mereka bahwa semuanya ini
disebabkan oleh hantu-hantu."
"Itu adalah satu dari banyak kemungkinan, tetapi bukan
satu-satunya." Kedua murid Kiai Gringsing itu pun kemudian tidak
ber"tanya lagi. Tetapi mereka masih saja memandangi
percikan da"rah yang berserakan. Berbagai macam dugaan
telah merayapi dada mereka. Bahkan betapapun kecilnya,
tetapi tumbuh juga bertanyaan, "Apakah daerah ini benarbenar
telah dijelajahi oleh hantu-hantu?"
Ketika kemudian Kiai Gringsing kembali mengambil
kapaknya, maka kedua muridnya itu pun kembali pula kepada
kerja mereka, meskipun dengan hati yang bimbang.
Orang yang ketakutan itu telah menumbuhkan pertanyaan
yang masih belum terjawab. Apalagi orang itu tiba-tiba saja
telah hilang tanpa bekas.
"Inikah sebabnya, maka tanah ini ditinggalkan oleh
penggarap-penggarapnya yang terdahulu?" bertanya
Swandaru sambil berbisik kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Mungkin juga. Tetapi kita tidak akan dapat meyakinkan hal
itu." "Ya. Memang benar juga kata guru bahwa mencari
ja"wabnya pada hantu-hantu adalah salah satu saja dari
sekian banyak jawaban-jawanan yang lain."
"Ya. Dan itu termasuk rencana kita untuk memecahkan
teka-teki ini. Seandainya kita benar-benar berhadapan dengan
hantu-hantu, maka kita pun pasti, hantu yang mana yang
mengganggu kerja yang besar dari Ki Gede Pemanahan ini."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia
sudah ti"dak bertanya lagi. Perlahan-lahan ia mulai
mengangkat kapaknya, kemudian terayun pada batang-batang
pohon yang besar, yang harus mereka singkirkan.
"Badanku terasa lungkrah," desis Swandaru, "tenaga"ku
tidak seperti biasanya."
"Kau terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi,"
sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, "Memang,
hal itu mungkin sekali," jawabnya. "Aku tidak dapat
melepaskan pikiran itu. Orang itu telah dibawa oleh seseorang
atau katakan sesuatu yang sangat ditakutinya. Hal itu tentu
merupakan suatu peristiwa yang mengerikan sekali baginya.
Mungkin juga tidak akan menjadi sangat ketakutan seperti itu
seandainya ia dihukum mati sama sekali."
"Ya," jawab Agung Sedayu. "Dan tidak seorang pun yang
mengetahui, apa yang telah terjadi atasnya kini. Apakah
tubuhnya telah menjadi santapan harimau lapar, atau oleh
seri"gala liar, atau memang diperlukan oleh hantu-hantu itu."
Swandaru tidak menyahut. Kepalanya terangguk-angguk
kecil. Dicobanya untuk melupakan apa yang telah terjadi.
"Aku bukan apa-apanya. Orang itu bukan keluarga atau
sa"habatku," ia mencoba berkata di dalam dirinya untuk
mengu"rangi perasaan ibanya yang menghentak-hentak.
Namun Swandaru tidak berhasil. Seperti juga Agung
Se"dayu, Swandaru selalu diganggu oleh perasaan iba dan
belas kasihan. Tetapi yang sama sekali tidak dimengerti oleh Swandaru,
badannya sendiri serasa menjadi tidak enak. Nafasnya serasa
semakin sesak, dan wajahnya menjadi panas.
Dengan susah payah ia mencoba untuk bertahan agar ia
tidak mengganggu gurunya yang sedang asyik bekerja.
meskipun Kiai Gringsing sudah agak lanjut usia, tetapi
tenagamya masih melampaui tenaga anak-anak muda.
Kapaknya terayun-ayun deras sekali.
"Kakang," desis Swandaru kemudian, "badanku benarbenar
terasa tidak enak." "Tenanglah," jawab Agung Sedayu, "kau sudah
terpengaruh oleh perasaanmu sendiri. Aku memang menaruh
belas kasihan kepada orang itu. Aku juga membayangkan apa
yang kira-kira terjadi atasnya. Tetapi jangan terlampau
merasuk ke dalam hati." Agung Sedavu berhenti sejenak, "Kita
memang kadang-kadang merasa seolah-olah kita diterkam
oleh perasaan tidak enak. Bukan karena tubuh kita memang
disentuh oleh penyakit, tetapi semata-mata karena perasaan
kita." "Tetapi sudah tentu tidak sekuat ini, Kakang. Aku merasa
seakan-akan tubuhku menjadi panas seperti terbakar."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia
memandang wajah adik seperguruannya dengan saksama,
maka ia pun terkejut. Wajah itu menjadi pucat sekali.
"Apakah kau merasa panas?"
Swandaru mengangguk. Disentuhnya kening Swandaru dengan punggung telapak
tangannya. Dan Agung Sedayu menjadi semakin terkejut
karenanya, "Dingin sekali."
"Ya, tetapi di dalam dadaku, serasa darahku telah
men"didih." "Kita berkata kepada guru."
"Jangan. Aku hanya akan mengganggu saja. Guru pasti
akan berkata seperti yang kau katakan. Aku terlampau
dipenga"ruhi oleh perasaanku."
"Aku kira kau benar Swandaru, bahwa kau tidak sekedar
dipengaruhi oleh perasaanmu."
"Tetapi, jangan kau katakan kepada guru," Swandaru
berhenti sejenak. "Jangan-jangan kita akan ditertawakannya."
"Kenapa?" "Kita sudah menjadi ketakutan kepada hantu-hantu itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, "Tetapi
keadaan"mu agaknya memerlukan perhatiannya."
Swandaru tidak menyahut. Tetapi kini tubuhnya serasa
menggigil kedinginan meskipun di dalam dadanya masih
terasa panas sekali. Dengan kekuatan yang masih ada padanya masih
men"coba untuk bekerja, karena ia tidak mau disebut oleh
gurunya sebagai anak yang cengeng dan manja. Diangkatnya
kapaknya tinggi-tinggi, kemudian diayunkannya deras sekali.
Tetapi untuk me"ngangkat kapak itu kembali, nafasnya telah
menjadi terengah-engah "Jangan kau paksa," desis Agung Sedayu, "beristirahat"lah.
Keringatmu menjadi semakin banyak."
Swandaru menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi
tubuhnya memang menjadi lemah sekali, sehingga mau tidak
mau ia pun kemudian duduk di atas sebatang pohon yang
rebah sambil me"mijit-mijit keningnya yang sakit.
Gurunya pun kemudian melihatnya pula. Tetapi sana sekali
tidak menyangka bahwa muridnya telah terserang oleh
sesuatu penyakit begitu cepatnya.
"Aku harus mengatakannya kepada guru," berkata Agung
Sedayu kemudian. "Kau menjadi semakin pucat."
"Jangan dulu," suara Swandaru menjadi dalam, "biar"lah
aku mencoba mengatasi perasaanku."
"Jangan menunggu sampai terlambat," berkata Agung
Sedayu. "Aku kira kau tidak sekedar sedang dipengaruhi oleh
perasaanmu saja." "Kakang," berkata Swandaru dengan nafas yang terengahengah,
"aku pernah melihat orang yang terserang penyakit
karena perasaannya seperti yang kau katakan. Meskipun
Guru hanya memberikan air biasa, yang diambilnya dari
sumur, dan disuruhnya ia minum, maka orang itu merasa
badannya segera sembuh."
"Tetapi tentu tidak sekuat ini. Gejala-gejala yang tampak
pa"da tubuhmu bukan sekedar karena kau tidak dapat
melupakan orang yang luka parah itu saja."
Swandaru tidak menyahut lagi. Kepalanya ditundukkannya
dalam-dalam. "Duduklah," desisnya.
Swandaru tidak mencegahnya lagi. Dengan mata yang
su"ram dipandanginya kakak seperguruannya yang
melangkah men"dekati gurunya yang sedang bekerja keras.
"Apakah kalian sudah lelah?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sebentar lagi matahari sudah menjadi semakin rendah. Kita
akan segera beristirahat."
"Guru," berkata Agung Sedayu dengan bersungguhsungguh,
"Adi Swandaru tiba-tiba saja menjadi sakit."
Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum, "Swandaru sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang
baru saja terjadi. Mungkin ia merasa bersalah, karena ia
sudah me"ninggalkan orang yang terluka itu seorang diri,
sehingga orang itu kemudian hilang tidak berbekas. Perasaan
itulah yang agaknya membuat ia menjadi seolah-olah sakit."
"Guru," berkata Agung Sedayu, "tubuhnya dingin meskipun
ia merasa panas." "Itulah gejalanya."
"Keringatnya seakan-akan terperas dan wajahnya menjadi
sangat pucat." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. "Cobalah aku
melihatnya." Kiai Gringsing pun kemudian meletakkan alat-alat kerjanya,
dan dengan tergesa-gesa mendapatkan muridnya yang duduk
te"pekur. "Kenapa kau Swandaru?" bertanya Kiai Gringsing.
Swandaru mengangkat wajannya sambil menjawab,
"Tu"buhku rasa-rasanya menjadi sangat lemah Guru. Panas
di dalam, te"tapi aku menggigil seperti orang kedinginan."
Kiai Gringsing terkejut melihat keadaan muridnya. Apa"lagi
ketika ia menyentuh tubuhnya.
"Bagaimana, Guru?" bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Anak
ini memang benar-benar sakit. Bukan sekedar dipengaruhi
oleh perasa"annya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sakit yang tibatiba
itu telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
segera dapat terjawab. "Apakah kau makan sesuatu Swandaru?" bertanya
gurunya. Swandaru menggelengkan kepalanya, "Tidak, Guru."
Kiai Grinsing mengerutkan keningnya. Dipijit-pijitnya
teng"kuk muridnya. Katanya kemudian, "Berdirilah."
Tetapi tubuh Swandaru menjadi sangat lemah. meskipun
de"mikian dipaksanya juga untuk berdiri dibantu oleh Agung
Sedayu. Dengan teliti Kiai Gringsing memeriksa tubuh Swandaru.
Setiap bagian dilihatnya dengan saksama, kalau-kalau ada
sesuatu yang dapat dipakainya sebagai pancadan untuk
mengenai penya"kitnya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menemukan sesuatu.
"Bibirnya menjadi biru sekali, Guru," desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. "Duduklah," katanya


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian. Dan di antara terdengar dan tidak, orang tua itu
ber"gumam, "Menurut tanda-tanda di badanmu, kau telah
keracunan." "Keracunan?" desis Swandaru, "tetapi, aku tidak makan
apa-apa." "Keracunan tidak hanya terjadi karena makanan." Kiai
Gringsing mengerutkan keningnya, "Mungkin kau digigit
serangga atau binatang-binatang berbisa lainnya."
"Aku tidak merasa, Guru."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kapalanya. Tibatiba
ia berkata, "Tundukkan kepalamu."
Swandaru tidak mengerti maksud gurunya, sehingga
dengan termangu-mangu ia memandanginya
"Tundukkan kepalamu," sekali lagi gurunya berkata.
Dengan ragu-ragu Swandaru menundukkan kepalanya, ia
ter"peranjat ketika gurunya kemudian mencekam tengkuknya.
Se"makin lama semakin keras, sehingga hampir saja ia
tercekik ka"renanya.
Sejenak kemudian perutnya merasa mual sekali. Seakanakan
ada sesuatu yang bergejolak di dalam perut itu. Semakin
lama semakin mual, sehingga pada suatu saat ia tidak dapat
bertahan lagi. Dengan serta-merta, maka anak muda yang
gemuk itu pun muntah-muntah.
Tetapi sekali lagi ia terperanjat, seperti juga Agung
Se"dayu. Dari mulut Swandaru selain keluar isi perutnya, di
antaranya meloncat pula gumpalan-gumpalan darah yang
sudah menjadi kehitam-hitaman.
"Darah, Guru, darah," suara Agung Sedayu gemetar.
Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Karenanya,
"Ter"nyata Swandaru telah benar terserang oleh racun yang
mem"bahayakan jiwanya."
Karena itu, maka Kiai Gringsing itu pun memijit lebih keras
lagi. Sebagai seorang dukun yang berpengalaman, Kiai
Gringsing dapat menyentuh urat-urat leher Swandaru, yang
kemudian dapat membuatnya muntah.
"Muntahlah Swandaru," berkata gurunya, "jangan kau
tahan-tahan lagi. Semakin banyak kau dapat mengeluarkan isi
perutmu, akibatnya akan menjadi lebih baik.
Swandaru mengangguk lemah. Terasa sesuatu berputar
lagi diperutnya, dan sejenak kemudian gumpalan-gumpalan
darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman meloncat keluar,
disusul oleh darah yang merah segar.
"Kau benar-benar keracunan," desis gurunya, "racun yang
termasuk kuat." Swandaru menjadi semakin lemah. Keringatnya telah
mem"basahi seluruh tubuhnya.
"Berbaringlah di atas pohon besar ini," berkata gurunya.
Swandaru pun kemudian dipapah oleh Agung Sedayu dan
dibaringkannya di atas sebatang pohon besar yang telah
roboh. "Aturlah pernafasanmu," berkata gurunya kemudian.
"Racun ini harus dilawan lebih dahulu, agar kau tidak menjadi
semakin tidak berdaya menghadapinya."
Swandaru tidak menjawab. Hanya matanya sajalah yang
bergerak-gerak. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tanpa
disadarinya, angan-angannya terbang ke dunia yang lain.
Anak itu sedang mem"persiapkan dirinya untuk melamar
seorang gadis yang ditinggal"kannya di Tanah Perdikan
Menoreh. Kemudian ia akan meng"gantikan ayahnya seorang
Demang di Sangkal Putung, atau mungkin ia akan memilih
memerintah Tanah Perdikan Menoreh"
Sekilas justru terbayang Pandan Wangi yang menanti
ke"luarga Swandaru datang kepada keluarganya di Menoreh.
Pan"dan Wangi yang duduk bertopang dagu di tangga
pendapa ru"mahnya. Bukan saja Pandan Wangi, tetapi juga ayah dan ibunya.
Kalau Sekar Mirah telah sampai di rumahnya, maka ia pasti
akan segera berceritera tentang kakaknya yang gemuk itu.
"Kini ayah dan ibunya bahkan juga Sekar Mirah dan
Sumangkar, pasti sedang menunggu kita di sana," ia berkata
di dalam hatinya. Agung Sedayu itu tersentak ketika ia mendengar Swandaru
berdesah. Wajahnya yang pucat menjadi semakin putih,
sedang bibirnya tampak menjadi semakin biru.
"Bagaimana, Guru?" tiba-tiba ia bertanya.
Gurunya masih merenungi muridnya yang keracunan itu
sejenak. "Apakah "..," kata Agung Sedayu tidak dilanjutkannya.
"Tidak," desis gurunya, "kau akan menghubungkan hal ini
dengan hantu-hantu?"
Agung Sedayu tidak menyahut.
"Sama sekali tidak ada hubungannya dengan hantu-hantu.
Anak ini benar-benar telah keracunan. Aku akan menunggu
sesaat. Kemudian aku akan memberikan obat kepadanya,
setelah gejolak di dalam perutnya mereda."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Dengan cemasnya
ia memandang wajah adik seperguruannya yang semakin
pucat, sedang nafasnya serasa menjadi semakin sesak.
"Kenapa Guru belum memberinya obat," ia bertanya di
dalam hatinya, tetapi ia tidak berani mengucapkannya, "Guru
pasti jauh jauh lebih tahu daripada aku."
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing itu pun memijit-mijit perut
Swandaru. Ditelusurnya bagian-bagian di sekitar pusarnya.
Kemudian katanya, "Belum terlambat. Untung kalian segera
mengatakan"nya kepadaku. Racun ini termasuk racun yang
kuat." Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia hampir tidak tahan
lagi. Gurunya merasa bersukur bahwa keadaan Swandaru
masih belum terlambat, tetapi kenapa ia berdiam diri saja"
Apakah Kiai Gringsing itu memang sedang menunggu agar
terlambat" Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menjawab sendiri di dalam
hatinya, "Guru pasti lebih tahu daripadaku."
Ternyata bahwa sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun
mengambil sesuatu dari tlekeman di ikat pinggangnya.
Sebuah bumbung kecil yang disumbatnya dengan cempol
kelapa. Dari dalam bumbung kecil itu, Kiai Gringsing mengeluarkan
dua butir obat yang telah dikeringkan menjadi butiran-butiran
yang kecil. "Swandaru," ia berdesis.
Swandaru menggerakkan kepalanya, tetapi ia tidak
menja"wab. Penyakit yang tiba-tiba mencekamnya itu rasarasanya
seperti penyakit yang sudah bertahun-tahun hinggap
di tubuhnya. "Apakah perutmu sudah tenang?"
Swandaru mengangguk kecil.
"Sekarang makanlah obat ini, agar daya tahan tubuhmu
bertambah kuat." Swandaru membuka mulutnya perlahan-lahan. Kemudian
Kiai Gringsing melontarkan dua butir obat itu ke dalam mulut
Swandaru. Sejenak Swandaru tidak bergerak. Namun kemudian ia
menggeliat sambil berdesah.
"Guru," dengan serta merta Agung Sedayu bergeser maju.
"Tenanglah Sedayu, benturan antara dua macam
kekuat"an telah terjadi di dalam tubuh Swandaru. Itulah
sebabnya, ba"dannya akan menjadi panas sekali. Tetapi
setelah itu, mudah-mudahan ia akan berangsur baik.
meskipun untuk beberapa hari ia harus beristirahat."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
seakan-akan di luar sadarnya ia berkata, "Apakah yang akan
dikata"kan orang tentang Swandaru?"
"Tentu, mereka akan menghubung-hubungkannya dengan
hantu. Apalagi kalau mereka melihat atau mendengar tentang
orang yang terluka dan kemudian hilang itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
beta"pa pun juga, ia sendiri pun telah terpengaruh pula oleh
peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.
"Untunglah bahwa Guru seorang ahli obat-obatan. Kalau
tidak, entahlah, apa yang akan terjadi atas Swandaru.
Mungkin keada"annya akan menjadi semakin jelek dan
berbahaya," berkata Agung Sedayu dalam hatinya.
Dalam pada itu Swandaru tampaknya menjadi semakin
ge"lisah. Meskipun matanya terpejam, tetapi tubuhnya selalu
ber"gerak dan mengeliat. Agaknya perasaan sakit yang
sangat telah mengganggunya.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu di samping adik
seperguruannya. Wajahnya membayangkan kecemasan yang
sangat. Te"tapi ia tidak berani bertanya lagi, karena gurunya
pun menjadi tegang pula karenanya.
Ketika Kiai Gringsing menyentuh kening Swandaru, terasa
betapa tubuh anak itu menjadi panas. Sekali-sekali terdengar
ia menahan desah di mulutnya.
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya ketika ia
mende"ngar suara burung kedasih di kejauhan. Terasa desir
yang lembut menyentuh dadanya. Biasanya burung kedasih
berbunyi di malam hari. Tetapi kini, seperti kemarin, burung itu
berbunyi tiada hentinya. "Kalau Swandaru tidak sedang sakit, ia pasti berteriak
keras-keras untuk mengejutkan burung itu," berkata Agung
Sedayu di dalam hatinya. Ketika Agung Sedayu berpaling, memandang wajah adik
seperguruannya itu pula, maka dilihatnya Swandaru sudah
men"jadi agak tenang, meskipun wajahnya masih tampak
pucat. "Bagaimana, Guru?" tanpa sesadarnya ia bertanya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku harap keadaannya akan menjadi bertambah
baik." Agung Sedayu pun tidak bertanya lagi. Dengan penuh
peng"harapan ia menunggui adik seperguruannya yang
tampak men"jadi bertambah baik. Nafasnya sudah menjadi
teratur, dan wajahnya pun tidak begitu pucat lagi.
"Bagaimana Swandaru bisa keracunan, Guru," Agung
Sedayu bertanya sekenanya saja.
Gurunya menggeleng, "Aku tidak tahu. Ia tidak merasa
digigit atau disengat apa pun."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
bergeser maju sambil bertanya, "Guru, apakah ada
kemungkinan orang yang terluka parah itu juga keracunan?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku
tidak tahu. Tetapi menilik lukanya, ia benar-benar telah
terkena sen"jata seperti yang dikatakannya."
"Bukankah ia mengatakan bahwa hantu itu menggigit
tengkuknya" Dan apa yang disebutnya hantu itu sesuatu yang
mengandung racun?" Kiai Gringsing tidak menjawab. Keningnya menjadi
berkerut-merut. Sejengkal ia bergeser maju. Kemudian
diamatinya Swandaru dengan saksama.
Tiba-tiba Kiai Gringsing itu tersentak. Disambarnya tangan
Swandaru. Dilihatnya tangan itu dengan tajamnya.
Pergelangan, kemudian punggung telapak tangan.
"Kenapa, Guru?" Agung Sedayu bertanya dengan
heran"nya. Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Kini dilihatnya
bagian-bagian tubuh Swandaru yang lain.
Ketika Kiai Gringsing melihat sesuatu di leher Swandaru, ia
pun mengerutkan keningnya. Sebuah luka yang hampir tidak
nampak melekat di leher anak yang gemuk itu.
"Luka yang kecil ini pasti cukup dalam," berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya.
"Apakah Guru menemukan sesuatu?" bertanya Agung
Sedayu. "Mudah-mudahan," jawab Kiai Gringsing. Tetapi ia belum
mengatakan apa yang dilihatnya.
Agung Sedayu kemudian dengan tegangnya memandang
gurunya yang sedang merenungi sebuah bintik yang kehitamhitaman
di leher Swadaru itu. Kemudian dengan hati-hati Kiai
Gringsing memijit-mijit bagian leher Swandaru di sekitar bintik
yang kehitam-hitaman itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
sesadarnya kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya,
"Luka inilah sumber keracunan yang telan menjalar di seluruh
tubuh Swandaru." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia bertanya, "Darimana ia mendapatkan luka itu,
Guru?" "Itulah yang masih harus diselidiki," jawab gurunya. Setelah
merenung sejenak, maka ia melanjutkannya, "Aku mempunyai
beberapa macam dugaan. Mungkin dihutan itu ada se"jenis
pepohonan yang beracun. Tanpa disadarinya Swandaru telah
tersentuh oleh durinya yang dapat memberikan racun ke
dalam tubuhnya. Mungkin juga sejenis binatang kecil yang
tam"paknya tidak berbahaya sama sekali, tapi ternyata lewat
ludah atau giginya, binatang itu telah meracuninya, atau ?","
Kiai Gringsing tidak melanjutkannya.
"Atau apa, Guru?"
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Tampak keragu-raguan
membayang di wajahnya. "Agung Sedayu," katanya kemudian, "mudah-mudahan aku
berhasil melenyapkan racun dari tubuh adik seperguruanmu.
Tampaknya ia berangsur baik. Nafasnya sudah mulai teratur
dan darahnya sudah mulai beredar dengan wajar."
"Ya, Guru." "Aku memang mempunyai dugaan yang barangkali kurang
dapat dipercaya. Seperti katamu, orang yang luka parah itu
memang mungkin mengandung racun."
"Jadi?" "Bukankah orang itu telah dicengkam oleh ketakutan yang
luar biasa sehingga ia telah mendekap Swandaru" Nah,
dalam keadaan yang tidak terkendali, di dalam puncak
ketakutannya, ia telah melukai leher Swandaru. Di
pergelangan tangannya aku melihat juga goresan-goresan
yang kehitam-hitaman, tetapi tidak cukup da"lam untuk
menyalurkan racun ke dalam darah. Sedang luka dileher yang
kecil namun dalam inilah agaknya pintu yang telah dilalui
racun itu." "Jadi, apakah maksud Guru orang itu juga keracunan?"


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin. Mungkin seperti yang dikatakan, lehernya
di"gigit hantu, meskipun kenyataannya tidak setepat seperti
yang dikatakan. Dalam puncak ketakutannya, ia tidak dapat
membe"dakan apa saja yang telah melukainya itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya
meskipun ia masih belum begitu jelas, apakah yang
sebenarnya telah terjadi. Namun agaknya keadaan Swandaru
yang semakin baik, telah membuatnya menjadi agak tenteram.
Meskipun demikian ia masih bertanya kepada gurunya,
"Guru, tetapi apakah orang yang keracunan itu dapat
meracuni Swandaru dengan luka yang dibuatnya tanpa
sengaja itu?" "Hal itu memang mungkin meskipun masih harus
dibuk"tikan kebenarannya," jawab gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi
ia tidak bertanya lagi. Sejenak mereka saling berdiam diri. Swandaru yang sakit
itu telah berangsur menjadi baik, meskipun tubuhnya masih
te"rasa lemah sekali.
Dalam keheningan itulah tiba-tiba mereka mendengar
suara tertawa yang seakan-akan membelah Alas Mentaok.
Tidak begitu keras, namun gemanya yang memantul dari
segenap arah, mem"buat seakan-akan orang yang
mendengarnya telah terlibat di dalam suatu kepungan suara
hantu yang dahsyat. Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan wajah yang
tegang. Untuk sementara ia mengalami kesulitan, dari
manakah sebenarnya sumber suara itu. Namun kemudian ia
berdesis, "Tidak terlampau dekat, Guru."
Kiai Gringsing yang telah berdiri pula, menganggukanggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Ya, tidak terlampau dekat."
"Suara apakah itu, Guru?"
"Suara tertawa seseorang. Apakah kau ragu-ragu?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan Kiai Gringsing
ber"kata seterusnya, "Kau sudah mulai ragu-ragu. Apakah
kau sangka suara itu suara hantu?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi memang tumbuh
pengakuan di dalam dirinya, bahwa ia memang mulai
memikirkan, apakah mereka memang benar-benar sedang
dilingkari oleh hantu-hantu.
Suara tertawa itu pun kemudian hilang dengan sendirinya,
sehingga hutan itu pun telah menjadi sepi kembali. Desah
angin yang lembut sajalah yang terdengar mengusik
dedaunan. Sementara itu langit pun telah menjadi semakin buram,
ka"rena matahari yamg telah mengarungi hampir seluruh
jalannya itu telah hampir sampai di batas cakrawala.
"Kita harus segera kembali," berkata Kiai Gringsing, "kalau
keadaan menjadi semakin gelap, sukarlah kita membawa
Swandaru melalui jalan-jalan yang masih sulit ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnya ia memang ingin segera menyingkirkan
Swandaru. Bukan karena ketakutan yang mencekam, tetapi
apabila anak yang sakit itu su"dah tidak berada di tempat
terbuka yang aneh ini, maka mereka akan leluasa untuk
berbuat apa pun, apalagi apabila keadaan me"maksa.
Demikianlah maka Kiai Gringsing pun berkata kepada
Swan"daru, "Swandaru, apakah keadaanmu sudah
bertambah baik?" Swandaru menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Marilah, kau akan kami papah pulang ke
perkemahan. Tetapi ingat, kalau seseorang bertanya
kepadamu, maka jawablah bahwa kau telah digigit oleh seekor
ular Pudakgrama. Ular yang mempunyai racun yang cukup
keras, tetapi masih terlawan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
sedang Agung Sedayu bertanya, "Kenapa digigit ular, Guru?"
"Jangan membuat orang-orang di perkemahan dan
sekitarnya itu menjadi semakin ketakutan. Kalau kalian
menceriterakan apa adanya, maka mereka akan langsung
menanggapi keadaan ini dengan menghubungkannya
langsung kepada hantu-hantu itu."
"Tetapi apakah mereka tidak akan mendapat gambaran
yang salah sehingga mereka tidak dapat mempersiapkan diri
untuk menghadapi keadaan yang sama?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, "Hanya
daerah inilah yang selalu ditinggalkan oleh para pekerja yang
sedang membuka hutan itu. Karena daerah ini adalah daerah
yang paling ganas bagi mereka. Daerah yang mereka
ang"gap paling banyak diraba oleh tangan-tangan hantu yang
sangat me"reka takuti itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia
dapat mengerti maksud gurunya, meskipun di sudut hatinya
yang paling dalam, memercik pula keragu-raguan dan
kecemasan. Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu
pun segera memapah Swandaru yang sudah menjadi
berangsur baik itu kembali ke perkemahan. Karena jalan yang
harus mereka lewati adalah jalan-jalan yang sulit, maka
mereka pun maju dengan lambannya. Sekali-sekali mereka
masih harus melangkahi pohon-pohon yang membujur di
tengah-tengah jalan, kemudian menyusup di bawah
rimbun"nya perdu yang liar, dan bahkan kadang-kadang
berduri. "Hati-hatilah," desis Kiai Gringsing, "ada kesengajaan untuk
membuat kita menjadi takut."
"Bagaimana Guru mengetahui?"
"Suara burung kedasih dan suara tertawa itu. Mungkin juga
bukan kita bertigalah yang dimaksud, tetapi orang yang
ketakutan dan hilang itu bersama dengan beberapa orang
kawan-kawannya. Tetapi mungkin juga, memang kitalah
sasaran mereka kali ini."
"Sasaran hantu-hantu itu?"
"Untuk sementara, baiklah kita sebut demikian."
"Kenapa untuk sementara Guru?"
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia menganggukangguk.
Demikianlah maka mereka pun perlahan-lahan
semakin dekat dengan perkemahan. Namun sebelum mereka
sampai ke ujung hutan, maka orang-orang yang bekerja di
tempat-tempat yang sudah semakin bersih segera melihat
mereka. Karena itu, berlari-larilah orang-orang itu
menyongsongnya sambil bertanya berebut dahulu, "Kenapa
dengan anakmu itu, Truna Podang?"
Kiai Gringsiug berhenti sejenak. Dipandanginya orangorang
yang sudah mulai berkemas dan yang kini
mengerumuninya itu sejenak.
"Kenapa he, kenapa?"
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya setiap
wajah yang menjadi tegang. Dari sorot mata mereka Kiai
Gring"sing menangkap siratan perasaan mereka. Ketakutan.
Swandaru yang lemah masih tergantung pada guru dan
ka"kak seperguruannya. Suara orang yang mengerumuninya
terde"ngar semakin ribut. Dan mereka terdiam ketika Kiai
Gringsing menjawab, "Anakku telah digigit ular."
"Digigit ular?" hampir serentak orang-orang itu mengulang.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat
ia menunggu. Kemudian didengarnya nafas yang berdesah
dari hidung mereka yang mengerumuninya. Bahkan ada
seseorang yang ber"kata tanpa disadarinya, "Sokurlah."
"He, kenapa kau berkata begitu?" bertanya Kiai Gring"sing.
"Maksudku itu lebih baik daripada digigit hantu. Di"gigit ular
masih mungkin diobati. Tetapi digigit hantu?" orang itu
mengangkat bahunya. Kiai Gringsing menangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah murid-muridnya sejenak, kemudian
katanya, "Ya. Sokurlah bahwa yang menggigit anakku adalah
ular. Bukan hantu." Orang-orang yang mengerumuninya mengangguk-angguk.
Tetapi se"jenak kemudian salah seorang bertanya, "Tetapi,
meskipun anakmu hanya digigit ular, bagaimana keadaannya"
Apakah ia sudah berangsur baik atau masih perlu mendapat
pertolongan" Di perkemahan ada seorang dukun yang pandai,
yang mungkin dapat mengobati bisa ular. Tetapi kalau
sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, kau harus
berhubungan dengan dukun yang lain."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya
kemu"dian, "Sementara anakku sudah tertolong. Tetapi
baiklah aku akan menghubungi dukun yang pandai itu."
"Baiklah. Baiklah. Marilah kita pulang. Kami pun telah mulai
berkemas-kemas pula."
Maka Kiai Gringsing pun kemudian meneruskan
langkahnya sambil memapah Swandaru bersama-sama
dengan orang-orang yang me"mang telah selesai bekerja
untuk hari itu. "Itulah rumahnya. Ia sudah berhasil membuat rumah
sen"diri meskipun kecil," berkata orang yang mengenal dukun
yang pandai itu. "Datanglah kepadanya."
"O, ia tidak tinggal di perkemahan?"
"Beberapa orang yang tinggal dekat dengan perkemahan,
menempati rumah mereka masing-masing. Tetapi setiap
rumah masih dihuni oleh dua atau tiga keluarga untuk
mengurangi ketakutan di malam hari. Sedang rumah-rumah
yang meskipun sudah siap ditempati, tetapi terletak agak jauh,
ternyata sampai saat ini masih tetap kosong."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Terima kasih," katanya, "aku akan singgah ke rumah itu."
Kiai Gringsing pun kemudian membawa Swandaru singgah
ke rumah yang ditunjukkan kepadanya. Perlahan-lahan ia
mengetuk pintu rumah itu yang masih sedikit terbuka.
Seorang yang berjanggut dan berambut putih
menjengukkan kepalanya dari lubang pintunya. Sambil
mengerutkan keningnya ia bertanya, "He, siapa kau?"
"Kiai," berkata Kiai Gringsing, "anakku telah keracun"an.
Apakah Kiai sudi mengobatinya?"
"He, anakmu?" "Ya, anakku, Sangkan."
Tetapi jawab yang didengarnya telah membuat hati Kiai
Gringsing dan kedua muridnya kecewa, "Tunggu. Bukankah
kau lihat bahwa aku baru saja datang dari kerja seperti kalian"
Aku masih belum mandi."
Kiai Gringsing menjadi heran. Seorang dukun seharusnya
lebih mementingkan orang-orang yang sakit daripada
membersihkan diri betapa pun kotor tubuhnya. Apalagi
keracunan. Karena itu ia mencoba menjelaskan, "Kiai, anakku telah
keracunan. Aku sudah berhasil menahannya untuk sementara.
Tetapi aku memerlukan seorang dukun untuk meyakinkan
kerja racun yang ada di dalam tubuh anakku."
"Tunggu. Tunggu!" orang itu membentak. "Lihat, aku belum
meletakkan parang pemotong kayu ini. Ikat kepalaku pun
masih tersangkut di leher. Kalau kau tidak sempat menunggu,
pergilah." Kiai Gringsing benar-benar menjadi kecewa. Niatnya untuk
mencoba bersama-sama mempelajari kemungkinankemungkinan
yang terjadi atas Swandaru telah lenyap.
Iblis Lengan Tunggal 1 Cintaku Selalu Padamu Karya Motinggo Busye Pendekar Kidal 7
^