Pencarian

Iblis Lengan Tunggal 1

Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka
IBLIS LENGAN TUNGGAL Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
tapi kita cuman merubah bentuknya aja , tidak memproduksi :p Hak Cipta ada "pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Iblis Lengan Tunggal
1 "Traaaz....! Glegaaaaaaar!" Suara petir memecahkan kelamnya langit dengan lidah-
lidah sinar yang
amat menyilaukan. Bersamaan dengan itu derasnya air hujan menyiram permukaan
bumi. Membuat seluruh
jalan itu becek dan tergenang air.
Seorang mengenakan tudung lebar berlari mene-
robos derasnya hujan. Bajunya sudah nampak basah
kuyup, tubuhnya juga kelihatan menggigil. Langkah-
nya cepat menyeruak tanah becek.
Suasana malam itu demikian dingin dan menye-
ramkan. Apalagi di sisi jalan nampak jelas puluhan patok kuburan yang telah
usang. Pemandangan seperti
itu sama sekali tidak membuat takut orang yang berla-ri melintasi daerah itu.
Di luar dugaan, orang itu membelok ke arah ta-
nah pemakaman. Tidak jarang kakinya yang melang-
kah cepat menerjang tanpa sengaja patok usang sam-
pai patah.. Orang itu tetap lari tak perduli. Sampai ki-ra-kira ia melangkah
sepanjang tiga puluh tombak ia berhenti. Pandangannya menerobos derasnya hujan.
Tertuju pada sebuah kuburan batu. Ia dapat melihat lapat-lapat nyala api.
Kuburan batu itu mirip sebuah tempat peristirahatan, sayang sudah tak terurus.
Dengan penuh keyakinan, ia melangkah menuju
ke situ. Semakin dekat ia mendengar suara halus letu-pan api unggun.
"Seta Wungu....! Seta Wungu...! Aku datang....!"
Suaranya lantang bercampur dengan gemuruh deras-
nya hujan. Orang yang telah basah kuyup berjalan
mendekati kuburan tua. Ia dapat melihat jelas seseorang duduk tenang menghadapi
api unggun. Tempat
itu cukup lumayan, dapat terlindung dari derasnya hujan.
Air hujan menetes dari baju yang telah basah
kuyup, orang itu berdiri di belakang seseorang yang tengah menghadapi api
unggun.... Lalu membuka tudung lebarnya. Wajahnya nampak pucat karena hawa
dingin. "Maafkan.... Aku datang terlambat... Cuacanya
kurang memungkinkan, Seta Wungu...." katanya lagi.
Orang yang diajak bicara diam. Ia nampak tengah me-
nikmati hangatnya api unggun.... "Glegaaaar!" Sekali lagi suara geledek
memekakkan telinga. Tubuh kuyup
itu menoleh keluar. Dilihatnya hujan semakin deras....
Suasana nampak gelap menakutkan....
"Siapa yang kau inginkan, Somarengga" Katakan
sekarang...." Tiba-tiba saja orang itu mengeluarkan suara. Pandangannya masih
tertunduk menatap lidah-
lidah api, Tubuh kuyup itu tidak berani mendekat
maupun duduk di sebelahnya, ia hanya berdiri di belakang. Lalu dengan gemetar ia
berani bicara....
"Sadewo.... Sadewo Mangli... Orang itu yang
kuinginkan!"
"Sadewo Mangli...." Kenapa semua orang-orang yang kau inginkan rata-rata dari
pembesar kerajaan....?" Orang yang disebut Seta Wungu menoleh ke belakang. Lalu
ia berdiri di tempat. Nampak wajahnya yang angker. Begitu juga sebilah pedang
tersampir di punggungnya. Sebelah lengannya kutung. Terlihat jelas lengan
bajunya melambai-lambai tertiup angin.
Lengan kirinya kekar dilapisi dengan lengan baju sampai sebatas pergelangan
tangannya. Tubuh kuyub itu tidak berani menatap. Dari ba-
lik bajunya yang basah ia mengeluarkan sebuah kan-
tong sebesar kepala bayi. Dari situ terdengar suara gemerincingnya uang logam.
Sudah pasti kantong itu berisi penuh dengan uang.
"Sebelumnya terimalah tanda jasa ini Seta Wun-
gu...." "Untuk Sadewo Mangli, aku minta bayaran dua
kali lipat...." kata Seta Wungu. Somarengga yang kuyup kedinginan menatap dalam.
"Atau kita batalkan saja transaksi ini...!" Seta Wungu bicara lagi. Somarengga
makin diam kedua kelopak matanya berkedip.
"Ba-ba-baiklah.... Setelah urusan ini beres, akan ku tambahkan lagi...." janji
Somarengga "Tapi ingat....
Harus berhasil, Seta Wungu....!" kata Somarengga lagi.
"Asal kau tepati janjimu.... Kau tak usah khawatir...." jawab Seta Wungu mantap.
"Traaaaz!" Guratan kilat dengan lidah-lidahnya yang runcing merobek langit.
Tempat itu terang dalam sekejap. Hujan masih deras. Percikan air hampir
membasahi pinggiran lantai kuburan, batu. Tubuh
tanpa lengan itu berdiri menatap derasnya hujan.
"Di mana bisa kutemui Sadewo Mangli....?" Suara Seta Wungu terdengar datar.
"Besok malam bisa kau temui pada pesta malam
di Joglo Alun...." jawab Somarengga sambil mengenakan kembali tudung lebarnya.
Seta Wungu kembali
duduk menghadapi api unggun, Sebelah lengannya
membetulkan letak kayu bakar yang hampir mati.
"Sekarang aku permisi.... Kutunggu hasilnya lu-sa.... Selamat tinggal...,"
Setelah mengenakan tudung lebarnya, Somarengga langsung beranjak dari tempat
itu. Keduanya sama-sama acuh tak perduli.
Dengan berlari kecil, Somarengga menerobos de-
rasnya air hujan melintasi tanah pekuburan. Beberapa kayu nisan ambruk lagi
tertendang tanpa sengaja oleh langkah-langkah itu.
Seta Wungu masih menekuri api unggun. Dalam
pikirannya melintas seraut wajah lelaki setengah tua.
Ia mengingat-ingat raut wajah itu.... Selintas pula se-nyumnya pahit. Lengan
kanan bajunya melambai-
lambai tertiup angin.
* * * Joglo Alun sebenarnya tidak lebih dari sebuah
lapangan luas. Tapi pada pesta malam seperti itu,
orang-orang kampung itu menyulapnya menjadi se-
buah tempat yang amat menyenangkan. Tenda-tenda
didirikan di sana-sini. Segala macam hiburan ada pada tiap-tiap tenda. Para
pedagangpun tidak sedikit yang ikut menyemarakkan tempat itu. Tiap setahun
sekali tempat itu memang selalu ramai. Dan malam ini betul-betul nampak lebih
meriah dibanding tahun-tahun
yang lalu. Orang-orang dari desa manapun pasti berdatan-
gan ke Joglo Alun. Pesta malam yang diadakan setiap setahun sekali memang
merupakan tradisi untuk
mencari kesenangan atau menghibur diri seusai panen padi. Tidak heran kalau
penduduk desa lain bermata
hijau melihat lenggak-lenggok para gadis Joglo Alun yang berseliweran di
situ.... Musik-musik gending Jawa maupun sejenisnya
bercampur aduk terdengar. Tapi bagi orang-orang yang berada dalam tenda, musik
yang mereka hadapi terdengar jelas. Dan hampir tiap-tiap tenda penuh dengan para
pendatang yang keluar masuk. Dari kaum lelaki, perempuan sampai anak-anak....
Hanya sebuah tenda di bagian paling sudut nam-
pak sepi. Tapi di dalamnya ada beberapa orang duduk
menghadapi hidangan. Mereka adalah orang-orang ke-
rajaan yang bertugas di situ sebagai penjaga keama-
nan. Badewo Mangli sebentar-sebentar ke luar dari
tenda itu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya.
Beberapa penjaga yang berdiri di luar tenda sampai terheran-heran.
Seorang gadis memeluk kecapi (alat musik) berja-
lan menerobos dari kerumunan orang-orang yang ber-
lalu lalang. Jemarinya yang lentik sengaja menyentil-nyentil tali senar. Maka
terdengar alunan musik dentingan senar kecapi. Pandangannya memutar menga-
wasi keramaian itu. Hingga akhirnya tertuju pada sebuah tenda di sudut lapangan.
Senyumnya tersungg-
ing, iapun menuju ke situ.
Mendengar alunan denting kecapi, Sadewo Man-
gli langsung berjingkat bangun dari tempat duduknya.
Begitu ia ke luar tenda, matanya langsung tertuju pada seorang gadis pemetik
kecapi yang telah berdiri di hadapannya.
"Arum Kemuning....! Ah, aku kira kau tidak da-
tang.... Mari masuk semua sudah menunggumu.... Ma-
ri....!" Sadewo Mangli menyambut ramah.
"Mana bisa begitu, Tuan... Pekerjaan saya me-
mang menjual suara... Kalau saya tidak datang, berarti sama saja menolak
rejeki....." Suara gadis itu lembut, ia melangkah memasuki tenda. Di dalamnya
telah menunggu empat orang pembesar istana duduk berderet
membentuk setengah lingkaran.
"Nah, sobat-sobat.... Inilah Arum Kemuning yang kumaksudkan.... Dia sengaja ku
undang ke mari untuk menghibur kita." kata Sadewo Mangli setelah memasuki tenda.
Arum Kemuning senyum-senyum sam-
bil menundukkan wajah berkali-kali ke arah tamu-
tamu itu. "Orang-orang menyebutnya Putri Kecapi.... Sua-
ranya pun sudah banyak didengar orang. Termasuk
aku pengagumnya... Kalian boleh dengar nanti..." kata Sadewo Mangli sambil
memberikan tempat duduk kepada Arum Kemuning si Putri Kecapi. Tempat itu su-
dah disediakan sebelumnya Sebuah bantalan empuk
berlapis Sutra berwarna kuning emas. Terletak di tengah-tengah ruangan tenda.
Para pembesar itu begitu kagum setelah melihat
penampilan Putri Kecapi yang anggun menawan. Me-
reka tidak henti-hentinya memandangi wajah cantik
itu. Arum Kemuning tertunduk malu.... Sadewo Mangli tersenyum melihat sobat-
sobatnya merasa puas
dengan kehadiran si jelita Arum Kemuning.
Tanpa diperintah lagi, Arum Kemuning mulai
memainkan kecapinya. Jari-jemari lentik terlihat halus memetik senar. Suaranya
yang merdu mengisi alunan
denting kecapi. Semua para pembesar yang berjumlah
lima orang termasuk Sadewo Mangli betul-betul kagum dibuatnya. Mereka semua
termangu mendengar si Pu-
tri Kecapi beraksi.
Dua orang penjaga di hadapan pintu tenda ikut
pula mendengarkan suara dan musik kecapi. Mereka
seakan hanyut dalam alunan merdunya dentingan se-
nar. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan sen-
jata sebilah tombak. Keasyikannya benar-benar terusik ketika ia melihat
seseorang berpakaian serba hitam.
Dua penjaga tenda itu dapat melihat jelas sosok yang mendekatinya itu orang
cacat. Sebelah lengannya kutung. Di balik punggungnya tersoren sebilah pedang.
Wajahnya yang angker menatap para penjaga itu.
Kedua penjaga pintu tenda langsung menyilang-
kan tombak-tombaknya ketika orang berlengan tunggal itu mendekati. Salah satunya
malah melarang....
"Maaf, Kisanak.... Tenda ini bukan untuk umum, di sini khusus para pembesar...."
jelasnya. Sosok serba hitam itu tidak menyahut. Ia malah
maju selangkah, lengan kirinya cepat bergerak mencabut gagang pedang. Kedua
penjaga itu tidak dapat
mengikuti kecepatan sebelah tangan yang bergerak
menyilang. Seberkas sinar putih menyilaukan mem-
bersit.... Menghantam putus tombak-tombak mereka.
Lalu dengan gerakan merunduk ia membabat memutar
pedangnya.... "Sreeet!.... Sreeeet! Wuaaaa....!" Mereka menjerit dengan masing-masing luka
sayatan pedang di perut.
Satu berguling.... Satu lagi ambruk masuk ke dalam
tenda. Sudah tentu keduanya tewas.
Ketika tubuh bergelimang darah itu ambruk me-
masuki tenda, tubuh itu hampir jatuh menimpa Arum
Kemuning yang tengah memainkan kecapi. Seketika
alunan yang merdu terhenti, malah berganti dengan
suara teriakan kaget.... Kelima pembesar istana itupun tersentak menyaksikan
tubuh penjaga tenda tahu-tahu ambruk dalam ruangan mereka. Sadewo Mangli berdiri
sambil tangannya siap mencabut pedang dari ping-
gang. Yang empat orang lagi ikut-ikutan bangkit, malah ada yang lebih dulu
mencabut pedang.
Di hadapan mereka telah berdiri sosok hitam
dengan pedang terhunus. Pandangannya tajam men-
gawasi kelima orang yang berada dalam ruangan ten-
da. "Bandit buntung....! Mau apa bikin onar di sini....
Cari mampus!" hardik Sadewo Mangli.... Kini keli-manya sudah mencabut senjata.
Arum Kemuning be-
ringsut ketakutan. Cepat ia berlari ke belakang Sadewo Mangli. Manusia berlengan
tunggal itu tidak perduli, ia melangkah terus berdiri sampai di ruangan
tengah.... Perlahan sekali ia mengangkat pedangnya. Bersamaan
dengan itu, para pembesar mulai menerjang menye-
rang.... Babatan-babatan pedang bagaikan lecutan-
lecutan sinar siap merencah. Sosok hitam melesat ke atas sambil pedangnya
berputar menyambut gen-caran itu...
"Trang....! Traang!" Senjata-senjata mereka beradu. Ketika kakinya menyentuh
tanah, sosok hitam
menggerakkan pedangnya sekuat-kuat ke samping ki-
ri.... "Bwet....! Arghhhhhh!" Salah seorang tewas dengan batang lehernya hampir
putus. Darahnya me-
nyembur tenda.... Datang lagi dua orang dengan babatan-babatan garang mengarah.
Sosok hitam berbalik
menyambut, lalu bagaikan serigala kelaparan ia meng-ganas. Ia mainkan pedangnya
menerjang ke arah
Orang-orang itu. Melancarkan pembunuhan-
pembunuhan sadis.
Pedangnya bergerak menebas, darah segar seperti
air mancur! muncrat berhamburan. Dibarengi dengan
batok kepala yang menggelinding ke tanah. Seorang la-gi tidak mampu menjerit.
Dengan mata terbelalak pe-
dangnya terlepas dari genggaman. Perutnya telah me-
nembus sebilah pedang yang telah berlumuran darah.
Dan saat sosok hitam menarik pedangnya, tubuh yang
telah tertembus itu ambruk terjungkal. Pedang itu tidak cukup berhenti! sampai
di situ. Setelah menarik pedangnya, sosok hitam menyambut serangan yang
datang dari arah belakang....


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Traaang!" Kalau saja ia tidak cepat menyilangkan pedangnya ke atas kepala,
sudah pasti kepalanya terbelah dua... Saat itu pula ia melancarkan tendangan
menghantam keras di perut lawannya....
"Des!" Tubuh itu terhuyung beberapa langkah ke
belakang... Dengan beringas sosok hitam lompat me-
nerjang. Babatan pedangnya keras menghantam....
"Breeet!" Tubuh yang terhuyung tadi ambruk dengan luka menggores dari dada ke
perut. Sadewo Mangli
mundur selangkah sembari melindungi Arum Kemun-
ing. Diam-diam ia cukup gentar menghadapi sosok hi-
tam itu. Meskipun ia berlengan tunggal, tapi permainan pedangnya jauh di luar
kemampuannya. "Sebenarnya aku hanya membutuhkan nyawa-
mu, Sadewo Mangli.... Sayang mereka ikut menjadi
korban...." kata sosok hitam dengan nada dingin....
Kedua matanya tidak berkedip menatap Sadewo Man-
gli. Arum Kemuning yang berdiri di belakang Sadewo
Mangli gemetar ketakutan. Sosok hitam melangkah
maju mendekati mereka. Telapak tangannya meng-
genggam erat gagang pedang. Sadewo Mangli sudah
tahu akan mendapat serangan. Maka ketika sosok hi-
tam membabatkan pedangnya, cepat Sadewo Mangli
memutar pedang itu ke depan....
"Traaang!" Pedang mereka beradu.... Sekali lagi sosok hitam membalikkan
pedangnya.... Berkelebat
cepat ke arah muka.... "Sreeet!" Sebelum mata pedang itu mengenai sasaran,
Sadewo Mangli merunduk bergulir ke samping. Tapi Arum Kemuning yang berdiri di
belakangnya menjerit hebat.... Gadis itu bergulingan di tanah. Kedua telapak
tangannya memegangi rongga
matanya yang tampak mengeluarkan darah....
"Waaaaaa-aaaaaaaa!" Wajah cantik itu telah berlumuran darah. Tubuhnya
berkelojotan menahan sakit.
Sebenarnya bukan maksud si sosok hitam melu-
kai gadis itu, ia telah kelepasan membabatkan pe-
dangnya ke arah Sadewo Mangli tadi, Kalau saja Sade-wo Mangli tidak melarikan
diri tentunya gadis itu tidak akan terluka.
Melihat gadis itu berkelojotan sambil berteriak-
teriak, Sadewo Mangli marah bukan kepalang... Ia tidak lagi memandangi akan
kehebatan ilmu pedang la-
wannya. Dengan nekad ia melompat maju sambil
membabatkan pedangnya membabi buta.... Tapi gera-
kan sosok hitam lebih cepat lagi.... Ia menghantam babatan-babatan pedang Sadewo
Mangli dengan pedang-
nya.... "Traak!" Sadewo Mangli tersentak melihat pedangnya patah dua.... Dalam
ketersiapannya itu ia tidak sempat menghindari babatan pedang yang meng-
hantam putus lehernya...
* * * 2 Beberapa saat kemudian, tenda yang berada di
sudut lapangan penuh dikerumuni orang. Semua per-
tunjukan hiburan berhenti. Alunan bermacam-macam
musik lenyap berganti dengan riuhnya suara para
pendatang pada pesta malam itu. Hampir semua orang
menyaksikan korban-korban pembunuhan sadis di da-
lam tenda. Beberapa pasukan dikerahkan untuk men-
jaga kegaduhan itu. Membuat pagar betis agar orang-orang yang berada di situ
tidak masuk semua ke dalam tenda. Namun mereka masih saja menimbulkan suara-
suara gaduh. Seorang pemuda dengan pakaian bulu binatang
menerobos kerumunan itu. Ia berusaha melawan de-
sakan-desakan dengan sekuat. tenaga. Orang-orang
yang berada di dekatnya seperti terdorong ketika pemuda itu melewatinya. Pemuda
yang tidak lain adalah Pengelana Sakti seakan tidak perduli. Padahal ia sengaja
mendorong dengan menggunakan tenaga dalam.
Kalau tidak dengan cara demikian, mana mungkin ia
bisa berada paling depan, pikir Wintara si Pengelana Sakti. Ia pun ingin melihat
para korban pembunuhan.
Setelah berada paling depan, Wintara dapat meli-
hat jelas para korban berserakan di dalam tenda yang sudah terbuka lebar. Mayat-
mayat itu dijejerkan ber-
deret. Keadaan mereka semua cukup mengerikan. Per-
lahan Wintara mencoba melangkah lebih dekat, tapi seorang penjaga mendorong
kembali. Pandangannya
mengawasi seluruh ruangan dalam. Wintara dapat me-
lihat lima orang terbujur kaku rebah berderet. Ada sesuatu yang menjadi
perhatiannya... Sebuah benda tergeletak dengan noda-noda darah. Sebuah alat
musik.... Sebuah kecapi! Wintara mengernyitkan alisnya.
"Minggir....! Minggir! Kereta pengangkut mayat datang! Minggir.... Kasih
lewat....!" Tiba-tiba terdengar seruan. Deretan orang-orang yang mengerubungi
tempat itu menyeruak. Sebuah kereta gerobak menuju ke
situ. Orang-orang langsung menyingkir. Penumpang
kereta itu tiga orang. Sesampai di tenda yang tertimpa bencana, ketiga orang
turun dari kereta. Langsung
memasuki tenda dan melihat kelima orang yang berna-
sib malang. "Siapa ketiga orang itu, Pak...." tanya Wintara pada orang yang berdiri di
sebelahnya. Bapak itu tidak langsung menjawab, ia malah memandang heran ke
arah Wintara. Lalu...
"Aneh kau ini, Dik.... Masakah kau tidak mengenali mereka?" bapak di sebelah
Wintara berbalik tanya.
"Sungguh, Pak.... Saya betul-betul tidak mengenali mereka...." jawab Wintara
polos. "Ah.... Berarti kau bukan orang Joglo Alun,
ya....?" "Betul.... Saya hanya seorang pendatang..."
"Pantas... Mereka orang-orang kepercayaan Kepatihan." Bapak itu menjelaskan.
Wintara manggut-manggut.
"Orang yang berpakaian ningrat itu bernama
Akuwu Mambang, pemimpin dari kelima orang yang
tewas itu.... Nah yang dua orang lagi.... Itu-tuh di belakangnya...." kata bapak
di sebelah Wintara sambil menunjuk ketiga orang yang baru turun dari kereta.
"Mereka tidak begitu penting.... Karena sama derajatnya dengan kelima temannya
yang tewas...." sam-bungnya lagi. Wintara memandangi orang yang berpa-
kaian ningrat. Orang itu nampak memungut kecapi
yang bernoda darah. Ia mengawasi benda itu. Setelah itu ia menyerahkan benda
tersebut kepada salah seorang yang ikut bersamanya. Akuwu Mambang bukan-
nya tidak mengenali benda itu. Dengan melihat kecapi itu saja ia sudah dapat
membayangkan wajah Arum
Kemuning. Kini ia melihat pula alat musik itu bersimbah dengan darah...
Kalau Arum Kemuning terbunuh juga, sudah ten-
tu mayatnya ada di sini. Tapi kenapa kecapi ini tertinggal begitu saja....
Apakah Arum Kemuning melarikan diri pada saat kejadian. Kalau benar demikian
benar... Tentulah Arum Kemuning dapat mengenal siapa
pembunuh sadis itu.... Itu menurut perkiraan Akuwu Mambang.... Bagaimana kalau
perkiraannya mele-
set...." Andaikata pembunuh itu membawa lari Arum
Kemuning untuk maksud-maksud tertentu...." Biadab!
Gerutu Akuwu Mambang.
* * * * Letak pondok Tabib Sakti Nayan Gunta jauh di
kaki gunung. Tepatnya di sekitar danau dekat sebuah jeram. Pondok itu cukup
besar dan berdiri kokoh di
atas batu karang. Di sekitar bawah batu karang menghampar tumbuhan kecil dengan
bunga-bunga yang
bermekaran berwarna-warni. Selain itu ada juga tum-
buhan yang merambat sampai ke atas batu karang.
Terlebih-lebih pada bagian tangga yang menghubung-
kan sampai ke pondok. Hampir seluruhnya dirambati
oleh tumbuhan. Pondok itu sendiri tidak ada satupun tumbuhan
yang ada. Mungkin karena letak bangunan itu berdiri di atas batu karang. Kecuali
pada pot-pot yang tergantung pada tiang-tiang kayu.... tumbuhan-tumbuhan
aneh selalu ada pada sekeliling pondok itu.
Bau aroma menyengat hidung. Asap putih men-
gepul ke luar melalui celah jendela pondok itu... Beberapa saat kemudian jendela
itupun terbuka. Nampak
seraut wajah tua dengan kedua lengan membuka lebar
masih menyibakkan dua daun jendela. Pandangannya
tertuju ke luar menikmati keindahan di sekitar pon-doknya.
Raut wajah tua yang ditumbuhi dengan rambut
serta jenggot memutih berpaling meninggalkan jendela yang barusan dibukanya.
Dalam ruangan itu duduk
seorang berpakaian serba hitam. Sosok tubuh itu tertunduk. Lengan kirinya
menutup wajahnya seperti ada rasa penyesalan selama hidupnya. Dengan tubuh
membungkuk, sosok tua berambut serta jenggot yang
memutih mendekati orang itu.
"Jangan khawatir, Seta Wungu.... Gadis! itu tidak akan mati! Cuma dia harus
menerima keadaan.... Sebab ada kemungkinan kedua matanya...." Kakek
bungkuk yang berjuluk Tabib Sakti Nayan Gunta tidak meneruskan kata-katanya.
"Maksudmu gadis itu akan buta....?" kata Seta Wungu sambil bangkit.
"Kira-kira demikian...." jawab kakek bungkuk itu.
"Tidak....! Kau harus bisa memulihkan penglihatannya, Nayan Gunta!" Seta Wungu
menatap nanar pada kakek bungkuk di hadapannya. Ia berdiri beringas. Lengan
kanannya yang kutung terlihat jelas.
"Perkataan mu sama beringasnya pada beberapa
tahun yang lalu, Seta Wungu.... Dulu kau pernah da-
tang ke mari membawa lengan kananmu yang ku-
tung.... Kau berharap aku dapat menyambung len-
ganmu... Aku hanya seorang tabib, Seta Wungu... Aku
tidak bisa melakukannya.... Demikian pula dengan gadis ini.... Aku tidak dapat
berbuat banyak.... Sekalipun aku telah mengerahkan segala kemampuanku.... Gadis
ini akan tetap buta!"
"Tidaaak....!" Seta Wungu berteriak. Untuk ini aku bisa membayar mu dengan harga
tinggi, Nayan Gunta.... Aku berani membayar mahal....!" kata Seta Wungu berteriak-teriak.
"Aku tidak sanggup, Seta Wungu... Aku tidak
sanggup memulihkan penglihatan gadis itu... Karena selaput penglihatannya telah
robek...." Nayan Gunta menjelaskan.
Arum Kemuning tergeletak membujur pada se-
buah balai. Dua kelopak matanya tertutup dedaunan yang telah diramu oleh Tabib
Sakti Nayan Gunta. Nafasnya begitu lemah. Seta Wungu duduk menatap dari
kejauhan. Ia benar-benar menyesali akan tindakannya itu.
"Aku berjanji menjaganya, Nayan Gunta.... Seo-
rang gadis buta, sama saja dengan seorang yang tidak mempunyai pegangan," kata
Seta Wungu tertunduk.
Tabib Sakti Nayan Gunta menoleh tersenyum.
"Sssst.... Diam..." bisiknya pada Seta Wungu. Tabib Sakti Nayan Gunta duduk di
samping balai. Ia melihat gadis yang terbaring lemas mulai bergerak. Bibirnya
yang mungil menganga menahan sakit. Gadis itu
berusaha bangun, tapi Nayan Gunta segera menahan-
nya. Seta Wungu bangkit dari kursinya tanpa bersua-
ra. "Akhhh.... Mataku.... Mataku...." rintih Arum Kemuning.
"Tenang, Nak.... Tenang.... Aku tengah mengobatimu di sini.... Kau bersama
seseorang tabib yang berusaha mengobati kedua matamu...." kata Nayan Gunta. Ia
membantu Arum Kemuning duduk menyandar
pada dinding. "Mengapa semuanya nampak gelap..." Dan mata-
ku terasa sakit sekali...."
"Semuanya sudah takdir.... Aku sudah berusaha sebatas kemampuanku.... Ternyata
tidak dapat men-gembalikan penglihatanmu lagi.... Aku hanya sanggup mengobati
luka-lukanya saja." Tabib Sakti Nayan Gunta menjelaskan.
"Oh.... Tidak!" Arum Kemuning menjerit. Ia berontak. Cepat Nayan Gunta menahan.
"Sadarlah.... Jangan terlalu bergerak, lukamu itu belum kering betul.... Nanti
ke luar darah lagi.... Dan kau tidak akan tertolong...." Nayan Gunta membujuk.
Dan ternyata bujukan itu mengena.... Sesaat kemu-
dian Arum Kemuning diam menarik nafas dalam-
dalam. Tubuhnya bersandar tenang pada dinding
kayu. "Tahan, ya.... Aku akan mengganti daun ramuan
yang melekat pada kelopak matamu..." Kedua telapak
tangan Nayan Gunta menarik perlahan daun-daun
yang hampir mengering pada bagian mata gadis itu....
Arum Kemuning menggigit bibirnya menahan sakit.
"Seseorang telah membawamu ke tempat ini.... Ia meminta agar aku mengobatimu....
Yaaaah, mungkin
karena aku seorang tabib jadi tak bisa menolak...." ka-ta Nayan Gunta sembari
mengganti ramuan daun ke
mata Arum Kemuning.
"Siapa orang itu...." Sadewo Mangli-kah....?"
tanya gadis itu cepat.
"Bukan.... Bukan dia.... Tapi seorang lelaki yang bernama Seta Wungu....
Kabarnya Sadewo Mangli tewas malam itu juga...." Nampak sekali kesedihan yang
melanda dalam gambaran wajah Arum Kemuning. Dalam hatinya ia menyebut nama
Sadewo Mangli. Dari
rongga matanya yang luka itu masih bisa mengelua-
rkan air mata.... Bibir mungil Arum Kemuning berge-
tar. "Pembunuh itu berlengan tunggal! Aku sendiri
melihat dengan mata kepala.... Ia seorang yang sa-
dis....! Kejam!" Datar sekali nada bicara Arum Kemuning. Pembunuh berlengan
tunggal! Nama yang cukup
mengerikan itu sama sekali tidak membuat Tabib Sakti Nayan Gunta merasa gentar.
Ia hanya menoleh ke arah Seta Wungu yang sudah berdiri di sampingnya. Dan ia pun
tahu siapa sebenarnya Seta Wungu!
"Apakah kau ingin menyampaikan pesan pada
orang yang telah menolongmu...." Kebetulan Seta
Wungu ada di sini...." kata Nayan Gunta mengalihkan pembicaraan.
"Oh.... Maaf.... Aku sampai melupakan orang
yang menyelamatkan diriku. Mana..." Arum Kemuning menggapai-gapai tangan nya.
"Dari tadi Seta Wungu sudah ada di samping ki-
rimu. Dia yang menjaga selama kau tidak sadarkan di-ri...."
"Ah, begitu merepotkan.... Terimakasih Entahlah aku harus memanggil apa...."
Tuan...." Kakang...."
Yang jelas aku mengucapkan beribu-ribu terima ka-
sih.... Bahkan rasanya aku tidak dapat membalas budi baik ini...." kata Arum
Kemuning sambil melemparkan senyum ke samping kiri.
"A-A-Aku melakukan yang semestinya Nona....
Karena...." Seta Wungu gugup.
"Tentunya kalau tidak ada orang yang bernama
Seta Wungu, mungkin diriku sudah menjadi mayat se-
perti kakang Sadewo Mangli...." Arum Kemuning cepat memotong. Seta Wungu diam,
wajahnya tertunduk. La-lu....
"Aku berharap selama lukamu belum sembuh,
tinggallah di sini bersama Tabib Sakti Nayan Gunta....
Aku rasa dia tidak keberatan...." Seta Wungu memberi usul.
"Dengan senang hati.... Tinggallah di sini..." kata


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nayan Gunta menyambut.
"Nanti akan bertambah repot...." Arum Kemuning basa-basi.
"Tidak.... Soal repot memang sudah biasa bagi-
ku.... Malah kalau kau berminat tinggal di sini aku merasa senang, karena pondok
terpencil ini tidak lagi se-pi...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta memberi
semangat. Arum Kemuning tersenyum.
"Nah, sekarang kau perlu istirahat, keadaanmu
belum sehat betul.... Berbaringlah...." Arum Kemuning menurut, Tabib Sakti Nayan
Gunta membantu memba-ringkan tubuh itu.
Udara siang itu cukup segar. Seta Wungu yang
berdiri pada teras pondok terpencil itu dapat menghi-rupnya. Lengan baju kirinya
yang kosong bergerak-
gerak terhembus angin. Matanya mengarah pada se-
buah jeram yang mengalirkan air begitu deras laksana air bah. Di bawah jeram itu
menghimpun kumpulan
air membentuk sebuah danau yang cukup luas. Bu-
rung-burungpun banyak beterbangan berkeliling saling mengejar. Bahkan ada pula
yang hinggap pada batang-batang pohon yang ada di sekitar danau.
Seta Wungu berpaling ketika ia mendengar lang-
kah seseorang mendekati. Ia sudah dapat menebak ka-
lau orang itu adalah Tabib Sakti Nayan Gunta. Ternya-ta perkiraannya memang
benar Nayan Gunta meng-
hampiri dengan membawa segelas air yang masih
mengepulkan asap kental.
"Obat ramuan penguat saraf mata tinggal terakhir ini... Nanti aku berikan
resepnya dan kau belikan di kota.... Jangan sampai terlambat, obat ini harus
terus-menerus diminum oleh gadis itu..." kata Nayan Gunta sambil meniupi asap
kental yang keluar dari
mulut gelas bambu. Seta Wungu mengangguk, lalu ia-
pun melangkah mengiringi Nayan Gunta.
"Ada sesuatu yang akan kusampaikan padamu,
Nayan Gunta...," Mereka berjalan beriringan. Mereka menuju sebuah ruangan tempat
pembuatan ramuan.
"Tolong rahasiakan...." kata Seta Wungu lagi.
"Seorang tabib harus memegang rahasia... Tapi
aku tidak bertanggung jawab, seandainya gadis itu ta-hu siapa yang telah
membutakan matanya dan mem-
bunuh Sadewo Mangli calon suaminya itu.... Pa-
ham....?" jawab Tabib Sakti Nayan Gunta yang sekaligus menjadi pertanyaan.
Seta Wungu sengaja tidak ikut masuk ke dalam
ruangan itu. Ia tetap berdiri di depan pintu. Namun ta-tapannya masih mengikuti
Nayan Gunta yang tengah
memberesi semua peralatannya.
"Apapun yang akan terjadi, akan kuhadapi den-
gan kenyataan...." kata Seta Wungu yang bersandar tenang pada tiang pintu. Nayan
Gunta dapat mendengarnya meskipun ia berada dalam ruangan itu. Malah
ia menjawabnya.
"Mudah-mudahan saja tidak akan terjadi, Seta
Wungu.... Aku ikut berdoa!" kata Tabib Sakti Nayan Gunta yang nampak ke luar. Ia
menyerahkan secarik kertas pada Seta Wungu.
"Ini resep yang harus kau beli nanti, secepatnya kau kembali lagi...."
* * * * 3 Bulan yang bersinar penuh jadi kelam karena ter-
tutup oleh awan berarak. Tanah pekuburan yang tadi nampak seram kini menjadi
lebih seram lagi. Manakala suara binatang malam membisingkan di sekitar tanah
pekuburan. Jauh di tengah-tengah sebuah kuburan
batu yang tak terurus nampak terang oleh onggokan
api unggun yang meletup-letup nyaring.
Seseorang yang berpakaian serba hitam tanpa
lengan kanan berdiri menatap hamparan batu-batu ni-
san. Pedangnya yang tersoren di punggung mengkilat
terkena cahaya api. Seta Wungu berdiri menikmati kesunyian malam itu.
Ia hanya memalingkan wajahnya ketika menden-
gar langkah yang menginjak tanah berkerikil. Seseo-
rang datang mengejutkan ketenangannya.
"Aku datang untuk menepati janji ku, Seta Wun-
gu...." kata orang yang baru datang sambil mengeluarkan sebuah kantong sebesar
kepala bayi dari balik bajunya.
"Terimalah ini.... Karena kaupun telah memenuhi permintaanku..." kata orang itu
lagi. Tanpa menjawab Seta Wungu menerima kantong berisi uang. Ia memasukkannya
ke dalam baju hitamnya. Lalu orang yang memberikan uang itu melangkah mendekat...
"Aku ada tugas lagi untukmu, Seta Wungu...."
"Membunuh lagi....?" tanya Seta Wungu. Orang itu mengangguk.
"Tidak.... Setelah Sadewo Mangli aku tak akan
membunuh lagi, Somarengga.... petualangan ini harus kuakhiri...." kata Seta
Wungu.... Pandangannya menatap tajam.
"Aneh....! Setan apa yang merubah pikiranmu
sampai sedemikian terbaliknya.... Apakah kau takut, karena semua orang yang kau
bunuh itu Orang-orang
kerajaan..." Baiklah kalau kau merasa takut dan akan
melepaskan jabatanmu sebagai pembunuh bayaran...
Tapi ku mohon kau mau memenuhi permintaanku un-
tuk yang terakhir kali, Seta Wungu. Setelah itu kita tidak akan pernah berurusan
lagi..." "Pikiranku telah berubah, Somarengga. Tak
mungkin memenuhi permintaan mu....!!"
"Aku bersedia membayar berapapun juga.... Be-
rapa yang kau kehendaki?" Somarengga memaksa.
Dan Seta Wungu betul-betul terdesak. Apalagi ketika mendengar Somarengga
bersedia berani membayar berapa yang ia minta. Teringat lagi akan gadis Arum
Kemuning di pondok Tabib Sakti Nayan Gunta. La belum
bisa memberikan apa-apa sebagai tanda rasa penyesa-
lannya. Belum lagi seluruh biaya yang ia keluarkan
nanti untuk pengobatan luka di kedua matanya.... Sudah tentu tidak sedikit.
Tabib Sakti Nayan Gunta memang tidak memerlukan biaya. Tapi persediaan obat-
obatan telah habis. Seta Wungu mempertimbangkan-
nya masak-masak.... Dan ia mengambil keputusan.
"Ini untuk terakhir kali, Somarengga...! Katakan siapa orang itu?" Suara Seta
Wungu dalam. Somarengga tersenyum melangkah ke sampingnya. Lalu ia
membisikkan sesuatu ke telinga Seta Wungu.
"Akuwu Mambang,...?" Seta Wungu mengulang meyakinkan bisikan Somarengga
"Betul! Akuwu Mambang....! Orang itu yang sekarang ku inginkan." jawab
Somarengga. Seta Wungu di-am, ia memandang bulan yang sudah terbebas dari
kurungan awan berarak. Tanah pekuburan menjadi te-
rang meskipun malam hampir larut.
"Untuk Akuwu Mambang.... Aku butuh lima kan-
tong uang yang sama besar dengan kantong tadi...."
Seta Wungu menentukan harga.
"Baik.... Sekarang aku tidak membawa Uang se-
kepingpun.... Lusa setelah urusan ini beres, kita boleh
bertemu lagi di sini...." Somarengga setuju.
* * * Rumah bertingkat letaknya tidak jauh dari kera-
maian desa Joglo Alun. Pada halaman rumah berting-
kat itu kelihatan begitu rapih. Jalan yang menghu-
bungkan ke pintu pagar terbuat dari susunan batu ter-tanam ke tanah. Kedua sisi
jalan itu ditumbuhi dengan tanaman bunga berwarna-warni bermekaran. Beberapa
penjaga nampak patuh berdiri di muka pintu ru-
mah. Mereka bersenjatakan tombak.
Pada ruangan tingkat atas, Akuwu Mambang ber-
jalan mondar-mandir. Sebentar-sebentar matanya ter-
tuju pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja berukir. Benda yang menjadi
perhatiannya sebuah alat musik yang ternoda dengan bercak-bercak darah.... Di
mana Arum Kemuning berada" Tanya Akuwu Mambang dalam hati. Ia betul-betul tak
habis pikir dengan kejadian yang melanda kelima anak buahnya berikut
Arum Kemuning si Putri Kecapi pada pesta malam itu.
Kenapa hampir semua anak buahnya mati di
tangan seorang pembunuh sadis. Kalau dulu, anak
buahnya mati satu demi satu. Tapi pada malam pesta
itu, ia harus kehilangan lima orang anak buahnya sekaligus.... Dengan motif
pembunuhan yang sama. Di
tangan seorang yang ahli dalam ilmu pedang. Akuwu
Mambang berdiri menghadapi meja berukir yang di
atasnya tergeletak sebuah kecapi dengan pikiran kalut.
Sementara itu bayangan hitam melesat cepat dari
pohon ke pohon yang lain. Pohon-pohon besar itu berderet mengelilingi pagar
rumah bertingkat. Para praju-rit tidak melihat sama sekali ketika sosok bayangan
hitam melesat ke arah genting atap ruang atas. Sinar matahari jelas memantulkan
bayangan sosok hitam itu ke tanah. Tapi para penjaga itu bagai tersirap tak
perduli. Sedangkan dalam ruangan atas, Akuwu Mam-
bang tengah menyulut rokok cerutunya sambil duduk
pada kursi kayu berukir pula. la hembuskan asap ce-
rutu kuat-kuat.... Pandangannya masih tertuju pada
sebuah alat musik. Ia menoleh cepat ke arah jendela, ketika dilihatnya sebuah
bayangan hitam berkelebat.
Dengan perasaan was-was ia bangkit melangkah ke
arah pedang yang tergantung pada dinding ruangan
itu. Perlahan sekali ia mencabut pedang dari sarungnya. Hampir tidak bersuara.
Tiba-tiba saja kaca jendela pecah. Suaranya ber-
gemeretak nyaring. Bersamaan dengan itu sosok
bayangan hitam masuk bagai sebatang anak panah
menjurus ke arah Akuwu Mambang.
"Traaaaang!" Akuwu Mambang menyambut lesatan yang menubruk demikian cepat dengan
pedang- nya. Setelah mengalami benturan senjata mereka, so-
sok hitam berjumpalitan di udara beberapa kali.... Lalu hinggap di atas lantai
begitu tenang. Akuwu Mambang dapat melihat orang itu. Sosok
hitam tanpa lengan kanan, namun lengan kirinya yang menggenggam pedang siap
mengirim maut. Karena begitu dia hinggap, orang cacat itu membabat ke bagian
atas. Akuwu Mambang menyambar serangan itu dengan pedangnya....
"Traang!" Kembali pedang mereka beradu. Lalu Akuwu Mambang membalas serangan
itu.... Pedangnya
berkelebat menyambar....
"Wees!" Sosok hitam berlengan tunggal itu terdesak mundur.... Ia memutar
pedangnya ke atas
"Traang!" Benturan itu lebih keras, Akuwu Mambang sendiri sampai terhuyung
dibuatnya. Ilmu pedang Akuwu Mambang bisa diandalkan
untuk menghadapi serangan-serangan itu. Padahal so-
sok hitam berlengan tunggal sudah habis-habisan
menggempurnya Pantaslah kalau Akuwu Mambang
menjabat sebagai orang kepercayaan kepatihan. Siang itupun sosok hitam harus
kerja keras untuk menun-taskan tugasnya. Kilatan-kilatan pedang berkelebat
menyambar.... Sosok hitam kewalahan menghindarinya.... Sekali ia menyambut,
Akuwu Mambang meng-
hantam kuat pedangnya....
"Tralaaak!" Pedang dalam genggaman sosok hi-
tam berlengan tunggal terlepas. Baru kali ini ia mendapat lawan sedemikian
tangguhnya. "Baru ku tahu sekarang.... Kaulah orangnya yang telah membunuh semua anak buahku
pada pesta malam itu di Joglo Alun.... Sekarang tak ada ampun lagi buatmu,
Pembunuh terkutuk....!" kata Akuwu Mambang menudingkan pedangnya.
Sosok hitam tidak menyahut. Ia malah bergerak-
gerak seperti mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Telapak tangan kirinya mengepal erat seolah-olah
menggenggam sesuatu.... Matanya tajam memandang
ke arah Akuwu Mambang.
"Dengan pedang ini, tubuhmu akan terbagi men-
jadi empat bagian...." Sambil berkata demikian Akuwu Mambang melancarkan
serangan bertubi-tubi. Sosok
hitam itu bergulingan menghindari babatan-babatan
pedang.... Telapak tangan kirinya yang mengepal dapat menghantam keras lengan
Akuwu Mambang....
"Des!" Terasa sekali denyutan itu. Akuwu Mambang sendiri tidak menyangka akan
mendapat seran-
gan balik seperti itu. Dan ia memekik kaget ketika sosok hitam menendang
lengannya sampai pedang dalam
genggaman Akuwu Mambang terlempar jauh....
"Weeess!" Untuk tendangan yang kedua kalinya Akuwu Mambang dapat menghindari. Ia
melihat gerakan-gerakan aneh yang dilakukan oleh sosok hitam
lengan tunggal. Dan tahu-tahu saja lengan kirinya
yang tergenggam menjurus ke depan. Padahal gengga-
man itu belum sempat menyentuh tenggorokan
Akuwu Mambang.... Tapi akibatnya demikian hebat.
Tubuh Akuwu Mambang terlempar dengan semburan
darah dari mulutnya.... Tubuh itu terbanting membentur dinding dengan keras
Akuwu Mambang masih
mampu berdiri tegar.
"Ilmu Pedang Tanpa Wujud. Hhhhh...." desahnya sambil menyeka darah yang mengalir
di sela-sela mulutnya. Sebaliknya, sosok hitam berlengan tunggal tersenyum....
Akuwu Mambang maju dengan serangan
yang mematikan. Kedua lengannya bergerak menghantam.... Dengan lengan kirinya,
sosok hitam lengan tunggal menyambut hantaman-hantaman itu. Lalu gerakan kaki
yang begitu cepat menyambar tubuh Aku-
wu Mambang.... "Deees!" Sekali lagi tubuh Akuwu Mambang terbanting keras. Pada waktu yang
bersamaan sosok hi-
tam melesat menerjang dengan tendangannya, maka....
"Der!" Dua kali Akuwu Mambang mendapat tendangan geledek, tubuhnya yang
terlempar keras membentur
jendela kaca. Bahkan tubuh ningrat itu menerobos da-ri jendela itu ke luar
ruangan. Akuwu Mambang sudah tidak ingat apa-apa lagi
di saat tubuhnya terlempar dan jatuh dari ruangan
atas. Dan ketika kepalanya hampir menyentuh tanah,
sosok bayangan lain berkelebat menyambar tubuh
Akuwu Mambang.... Bayangan misterius itu langsung
melompati pagar halaman membawa pergi Akuwu
Mambang yang sudah tidak sadarkan diri.
Sosok hitam lengan tunggal bermaksud melom-
pati jendela setelah memungut pedangnya. Tapi ia di-kejutkan oleh sebatang
tombak yang menjurus deras
ke arahnya. Sambil membalikkan tubuh sosok hitam
memutar pedangnya.... "Traaak!" Tombak yang hampir menembus di tubuhnya patah
dua. Dia kedatangan ti-ga orang penjaga bersenjata tombak. Rupanya para
penjaga itu langsung naik ke atas ketika mendengar
suara gaduh. Menemui seorang berpakaian serba hi-
tam, para penjaga itu langsung menyerang. Mereka
mengepung dari segala arah. Tombak-tombak mereka
merejam sosok hitam yang berjumpalitan menghindar.
Seleret sinar putih berkelebat menyambar...
"Trak...! Trak!" Tongkat-tongkat itu patah dua semua.
Sosok hitam itu melompat ke atas sambil lengannya yang menggenggam pedang
bergerak cepat menghantam, dua orang ambruk sekaligus. Tinggal seorang lagi yang
masih ragu-ragu menyerang. Tapi ia jadi bergidik setelah melihat kedua temannya


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati dengan mengerikan. Tubuh mereka tergeletak dengan masing-masing
tenggorokan yang hampir putus.
Seorang yang ketakutan itu mendadak semangat.
Sepuluh penjaga berdatangan dalam ruangan itu. Me-
reka bersenjatakan pedang dan tombak. Tempat itu ja-
di penuh sesak. Sosok hitam lengan tunggal berdiri tenang, pedangnya siap
berputar lagi. Dan ketika tiga orang maju menyerang... "Sreeet!" Babatan pedang
lebih dulu menyambar di tubuh mereka. Maka ketiganya
ambruk dengan nyawa melayang seketika. Perut mere-
ka robek, satu di antaranya sampai menghamburkan
usus. Sekalipun mereka tahu akan kehebatan sosok hi-
tam itu, para penjaga tidak gentar sedikitpun. Dengan serempak mereka menyerang.
Senjata-senjata mereka
berkelebatan di sana-sini mencecar sosok hitam. Tapi di saat sosok hitam
menggerakkan pedangnya selalu
saja memakan korban.
Tidak semestinya sosok hitam membantai para
penjaga itu. Tujuannya hanya untuk membunuh Aku-
wu Mambang. Mungkin karena sudah kepalang tang-
gung mereka mengetahui tujuannya, sosok hitam itu
jadi tidak setengah-setengah bertindak.
Sekalipun ditambah lagi dengan sepuluh orang,
sosok hitam itu sama sekali tidak mengalami kesuli-
tan. Ia membabat ke sana kemari dengan terarah dan
tepat mengenai sasaran. Satu demi satu para penjaga itu tumbang dengan
berlumuran darah.
Gerakannya yang sangat cepat membuat pedang-
nya berkelebat bagaikan sinar putih yang siap men-
jemput maut. Dua orang terlempar ke luar dari jendela kaca yang telah rusak.
Jeritan mereka terhenti ketika
kepala mereka membentur permukaan tanah.
Ruangan tingkat itu menjadi sunyi. Belasan
mayat bergelimpangan memenuhi lantai rumah. Sosok
hitam berdiri mengawasi mayat-mayat itu. Lengannya
masih menggenggam pedang. Bilah pedang itu telah
berlumur darah. Ia khawatir kalau-kalau masih ada
yang tertinggal. Dan mengetahui perbuatannya. Hal itu akan berbahaya sekali buat
dirinya. Sosok hitam melangkah mendekati jendela kaca.
Pandangannya menuju ke bawah... Wajahnya menda-
dak berkerut. Ia hanya melihat dua orang penjaga tergeletak dengan kepala remuk
serta perut yang berlumuran darah. Selain itu tidak ada siapa-siapa lagi.
"Bangsat....! Ke mana Akuwu Mambang" Jelas
tadi terlempar di sini.... Mengapa tidak ada di ba-
wah....?" gerutunya dalam hati.
Tanpa membersihkan pedangnya ia langsung
menyarungkan ke punggung, lalu bermaksud mening-
galkan tempat itu. Sebelum ia pergi, sosok hitam sempat melihat sebuah benda
yang tergeletak di atas meja berukir. Sebuah kecapi.... Ia teringat akan Arum
Kemuning. Ingat pula ketika ia melihat Arum Kemuning
memainkan kecapi itu pada pesta malam. Mungkin
Arum Kemuning akan bertambah senang bila kecapi
miliknya kembali.
Setelah menyambar alat musik itu, sesosok hitam
melesat melalui jendela. Hinggap di atas pagar, kemu-
dian melesat lagi ke cabang-cabang pohon berpindah-pindah semakin jauh.
Gerakannya begitu cepat se-
hingga sukar diikuti dengan pandangan mata.
Kepergian sosok hitam itu bukannya tak diketa-
hui, seseorang yang tadi membawa pergi tubuh Akuwu
Mambang ternyata masih bersembunyi di balik rerim-
bunan daun. Dan ia melihat ke mana sosok hitam itu
pergi. Setelah sosok hitam itu betul-betul sudah tidak nampak, barulah ia
turunkan Akuwu Mambang yang
belum juga sadar, ketika orang itu membawa masuk ke dalam rumahnya. Setelah
melihat adanya sebuah
bangku panjang dalam ruangan itu, orang itu meletakkan tubuh Akuwu Mambang.
Ia memperhatikan seluruh ruangan yang sangat
bagus. Seluruh perabotannya barang-barang mewah.
Banyak barang-barang seni menghiasi ruangan itu. Di sebelah sudut terdapat
sebuah tangga menuju ke atas.
Orang itu menuju tangga, dan ia menjajakinya perla-
han. Bukan main terkejutnya ketika sampai pada
ruangan atas. Ruangan yang sama bagusnya dengan
ruangan bawah telah bergelimpangan mayat-mayat
dengan bentuk yang mengerikan. Iapun sempat meng-
hitung jumlah para korban, termasuk dua orang yang
tergeletak di luar. Semuanya berjumlah tiga belas
orang. Mulutnya berdecak.... Ia betul-betul kagum
akan kehebatan ilmu pedang si pembunuh. Ia dapat
menebak kehebatan si pembunuh setelah menghitung
jumlah korban yang tidak sedikit, dapat dibereskan dalam waktu yang sangat
singkat. * * * * 4 Mendengar erangan panjang dari mulut Akuwu
Mambang, orang itu langsung bergegas ke arah Akuwu
Mambang yang tengah berusaha bangkit. Perlahan
Akuwu Mambang membuka matanya, pandangannya
yang semula remang berangsur pulih. Di hadapannya
berdiri seorang pemuda tanggung memakai baju dari
kulit binatang.
Tentu saja Akuwu Mambang jadi terkejut melihat
orang asing berada dalam ruangan itu. Maka menda-
dak lengannya melancarkan serangan. Pemuda itu ce-
pat mundur. Ketika Akuwu Mambang bergerak melan-
carkan serangan, dadanya terasa sesak. Sesuatu se-
perti mendorong dari dalam perut. Sambil berpegangan pada bangku panjang Akuwu
Mambang memuntahkan
darah hitam. Tubuhnya mengejang, urat-uratnya me-
nonjol dari kulit seperti mau ke luar ketika ia memuntahkan gumpalan-gumpalan
darah hitam. Ia meman-
dang nanar ke arah pemuda yang masih berdiri di de-
katnya... "Ketika aku lewati jalan itu, aku melihat tubuh-mu terlempar dari jendela
atas... Dan juga kulihat seorang pendekar buntung mengamuk di sana...." kata
pemuda yang tak lain adalah Wintara si Pengelana
Sakti. Akuwu Mambang menarik nafas. Dadanya turun
naik.... Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.
Mendengar ucapan Wintara menyebut 'Pendekar Bun-
tung' Akuwu Mambang jadi teringat akan wajah si
pembunuh yang ternyata berlengan tunggal.
"Kau lihat para anak buahku..." Di mana mere-
ka..?" tanya Akuwu Mambang, dadanya masih terasa sakit dan tidak mungkin dapat
berdiri, Wintara mendekat membantu tubuh Akuwu Mambang duduk pada
bangku panjang itu.
"Mereka semua tewas di ruangan atas...." kata Wintara sambil menunjuk ke arah
langit ruangan.
Akuwu Mambang mengikuti arah telunjuk Wintara.
Kalau saja ia tidak begitu parah, Akuwu Mambang su-
dah naik ke atas untuk melihatnya.
"Dua orang tewas terkapar di luar dengan kepala remuk...."
"Khepharaaaaaat....!" Akuwu Mambang menggeram.
"Tidak adakah kerabat mu yang tinggal di si-
ni....?" tanya Wintara.
"Tidak ada! Mereka tidak tinggal sini.... Karena
rumah ini merupakan pos pertahanan desa Joglo
Alun.... Ada apa?"
"Aku khawatir tidak ada yang merawat luka-
lukamu...." jawab Wintara cepat.
"Percuma... Luka-luka ini sangat parah aku rasa harus memerlukan tabib..." Ah!
Wintara kecewa. Ia membuka kancing baju Akuwu Mambang setelah minta ijin
terlebih dahulu. Pada dada serta bagian rusuk kanan membekas luka memar yang
masih memerah. "Anak muda.... Sudikah kau menolongku...." Suara Akuwu Mambang berat.
"Kenapa tidak....?" jawab Wintara sambil melon-tarkan senyum.
"Aku mengenal seorang tabib yang terkenal sakti, namanya Nayan Gunta.... Maukah
kau mengantarkan
aku ke sana...." Mudah-mudahan ia bisa menyembuh-
kan luka-luka ini...." Wintara menganggukkan kepala.
Lalu.... "Kapan kita berangkat.... Tapi menurut hematku, kita harus pergi sekarang juga."
Wintara memberikan keputusan sendiri.
"Yaaah! Mumpung belum terlambat.... ambillah
seekor kuda di kandang belakang, sementara itu aku
akan menulis surat mengabarkan peristiwa ini pada
kepatihan, agar mereka dapat mengurus semuanya...."
kata Akuwu Mambang sambil melangkah menuju meja
tulis. Langkahnya demikian lemah dan lambat. Untuk
mencapai meja Akuwu Mambang memerlukan waktu
yang cukup lama. Karena jarak meja tulis itu cukup jauh juga. Ada kira-kira lima
tombak. Di kandang belakang Wintara melihat ada tiga
ekor kuda tertambat. Ia melepaskan salah seekor kuda yang paling gemuk. Ia
menuntunnya sampai ke depan
pintu rumah. Akuwu Mambang belum selesai menulis surat,
tapi setelah ia melihat Wintara kembali ia mempercepat tulisannya. Tak lama ia
melipat kertas itu dan
memasukkannya ke dalam saku yang ada di balik ba-
ju. Ia sengaja meninggalkan penanya tergeletak begitu saja di atas meja. Melihat
Akuwu Mambang selesai
menulis surat, Wintara membantunya melangkah ke
luar. Dalam setiap langkahnya, Akuwu Mambang sela-
lu meringis menahan sakit.
Seekor kuda telah menunggu di depan pintu.
Wintara langsung membantu Akuwu Mambang naik ke
atas pelana. "Anak muda, siapakah namamu...." Dari tadi
sampai lupa aku menanyakannya..." tanya Akuwu
Mambang setelah dengan susah payah berusaha naik
ke atas pelana. Sekarang ia dapat duduk tenang.
"Namaku Wintara.... Asalku dari Karang Ham-
par.... Dan aku tidak punya tempat tinggal" jawab Wintara singkat sambil
menyusul menunggang kuda itu di belakang Akuwu Mambang.
"Kiranya seorang pengelana.... Tentunya bukan
pengelana sembarangan...." kata Akuwu Mambang sembari memberikan tali kendali
pada Wintara. Ia
menginginkan Wintara yang mengendalikan kudanya
selama dalam perjalanan.
"Ah! Kau terlalu berlebihan memuji..." Wintara menghentakkan tali kekang, maka
kuda itupun berlari meninggalkan rumah bertingkat megah. Debu-debu
beterbangan di saat kuda itu melangkah cepat....
* * * * Rambut Arum Kemuning berderai-derai halus ter-
tiup angin. Begitu juga dengan rambut serta jenggot yang memutih Tabib sakti
Nayan Gunta. Senja itu angin berhembus kencang. Tubuh bongkok Nayan Gunta
menuntun Arum Kemuning menuruni anak tangga ba-
tu karang yang dipenuhi dengan tumbuhan merambat.
Arum Kemuning merasakan kesejukan itu.
Nayan Gunta membawanya pada halaman sekitar
bukit karang. Di mana menghampar bunga-bunga
bermekaran. Di situ terdapat batu-batu menonjol
membentuk kursi-kursi. Nayan Gunta mendudukkan-
nya pada salah satu batu yang agak besar.
"Sayang kau tak dapat melihat, Arum Kemun-
ing.... Sayang sekali! Kau tak perlu menyesali hidup-
mu.... Semuanya sudah kehendak Hyang Whidi....
Meskipun matamu buta, tapi kau masih memiliki hati
nurani yang begitu jernih...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta menghibur. Arum
Kemuning yang kedua rongga
matanya masih tertutup dengan daun ramuan terse-
nyum. "Aku mendengar suara air mengalir deras... Be-
tulkah perkiraan ku?" kata Arum Kemuning mempertajam pendengarannya.
"Betul....! Betul sekali....! Di hadapanmu sebuah jeram menerjunkan airnya
demikian deras.... Air terjun itu menimpah batu-batu karang sehingga menimbulkan
suara yang begitu hebat... Di bawahnya menyam-
but kumpulan air membentuk sebuah danau. Nayan
Gunta menggambarkan pemandangan di hadapan me-
reka dengan kata-kata.
"Tempat yang indah.... Aku dapat menghirup
udaranya yang segar...." kata Arum Kemuning, wajahnya berseri-seri.
"Semuanya lebih dari apa yang kau perkirakan, Arum.... Coba kau terka apa yang
menghampar di bawah kedua kakimu..." Arum Kemuning tidak menja-
wab. Ia merunduk, kedua telapak tangannya meraba-
raba sekitar kedua kakinya. Mula-mula ia menyentuh rumput-rumput kecil yang
menghampar. "Bergeser sedikit ke kiri, Arum.... Yak! Sedikit la-gi...." Nayan Gunta memberi
semangat. Arum Kemun-
ing cepat menggeser telapak tangannya, maka ia me-
nyentuh suatu yang amat lembut.
"Bunga....! Aku dapat memastikan yang kupegang ini adalah sekuntum bunga!" Arum
Kemuning mencabut sesuatu yang disentuhnya tadi. Nayan Gunta tersenyum melihat
tingkah gadis itu yang nampak men-
cium bunga. "Oh" Ini bunga mawar.... Yah! Pasti mawar. Tidak salah lagi... Betulkah itu?"
"Yang kau genggam itu memang sekuntum ma-
war, Arum...." Nayan Gunta membenarkan.
"Begitu banyakkah mawar-mawar ini mengham-
par....?" tanya Arum Kemuning yang masih menciumi mawar dalam genggamannya.
"Seandainya kau dapat melihat.... Kau tak akan mampu menghitung jumlah mawar-
mawar yang bertebaran di sini...." kata Nayan Gunta.
"Kau pandai memilih tempat tinggal, Tabib Nayan Gunta.... Kau laki-laki berdarah
seni.... Dari ucapan-mu saja aku sudah dapat menyukai tempat ini.... Be-
tulkah mawar-mawar itu sukar untuk di hitung....?"
Wajah Arum Kemuning makin berseri-seri. Sekalipun
Arum Kemuning tidak dapat melihat keindahan yang
sebenarnya. Dalam pada itu.... "Triiing....!" Arum Kemuning dapat mendengar
suara itu. Tabib Sakti Nayan Gunta langsung menoleh ke arah dentingan suara itu.
Ia melihat Seta Wungu berjalan mendekat dengan
membawa sesuatu dalam rengkuhan lengan kirinya.
"Kecapi...! Itu suara kecapiku...." Arum Kemuning menggapai-gapai tangannya.
Dentingan suara senar
makin mendekat. Nayan Gunta menyentuh pundak
Arum Kemuning agar tetap tenang.


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seta Wungu yang menghampiri kedua orang itu,
langsung menyerahkan alat musik pada Arum Kemun-
ing.... Sudah tentu Arum Kemuning tidak dapat mene-
rimanya. Pandangan Arum Kemuning sendiri begitu
gelap. Tapi yang jelas ia dapat mendengar langkah
orang lain mendekatinya. Seta Wungu yang membawa
alat musik itu menyentil tali-tali senar di hadapan Arum Kemuning. Seta Wungu
sendiri berharap agar
Arum Kemuning dapat mengetahui kehadirannya....
Maka ketika senar berdenting lagi Arum Kemuning
menggapaikan kedua tangannya ke samping kanan....
Seta Wungu sendiri mendekatkan kecapi itu ke lengan Arum Kemuning. Seperti tidak
percaya Arum Kemuning menjamahnya. Terlebih-lebih ketika ia menelusuri lekuk-
lekuk alat musik itu. Wajahnya nampak bersinar, penuh dengan perasaan girang
yang tiada terki-
ra.... "Ini kecapi milikku....! Oh, siapa yang membawanya ke mari...." Ohh...." Suara
Arum Kemuning ha-ru. Sebelah lengannya menggapi-gapai agar bisa me-
nyentuh seseorang yang membawakan kecapi miliknya
Tabib Sakti Nayan Gunta membantu lengan Arum Ke-
muning menyentuh baju Seta Wungu
"Oh... Diakah orangnya.." Siapa lagi.." Seta Wungukah..?" Tanya gadis itu.
"Yah.... Dialah Seta Wungu... Si penyelamat dirimu...!" kata Nayan Gunta
membenarkan. "Terima kasih.... Terima kasih, kakang Seta Wun-gu.... Kau baik sekali....
Darimana kau mendapatkan benda yang ku sayangi ini, kakang....?" Arum Kemuning
memeluki kecapinya. Seta Wungu gelagapan men-
cari alasan, lalu...
"A-A-Aku mendapatkannya dari seorang teman
baik, Arum...," kata Seta Wungu gugup.
"Siapakah temanmu itu, kakang...." Bagaimana
ia bisa berada di tangannya....?"
"Entahlah.... Dia bilang menemukan kecapi ini di Joglo Alun pada pesta
malam...." Wajah Arum Kemuning berseri. Seta Wungu dapat menatap raut wajah
yang amat cantik, Yah...! Arum Kemuning memang
cantik, meskipun sekarang ia kehilangan kedua pen-
glihatannya. Setiap kali Seta Wungu menatap wajah
buta itu, selalu ada rasa penyesalan.
"Untunglah kecapi ini tidak rusak, kakang Seta Wungu.... Aku bisa
memainkannya.... Oh, ya....! Sampaikan juga rasa terima kasihku pada temanmu,
ka- kang." Arum Kemuning menyentil-nyentil tali senar.
"Kakek Nayan Gunta dan kakang Seta Wungu,
apakah kalian ingin mendengarkan aku menyanyi...."
Anggap saja sebagai rasa terima kasih...."
"Mendengar suara bicaramu sudah begitu mer-
du.... Apalagi kalau sedang menyanyi diiringi kecapi...
Tentunya akan lebih merdu lagi! Cobalah, sekali-kali aku mendengar alunan Putri
Kecapi....!" kata kakek Nayan Gunta si Tabib Sakti. Wajah Arum Kemuning
memerah. Tapi ia dapat menguasainya....
Dan tanpa menunggu waktu, jari jemarinya yang
lentik memainkan kecapi. Maka suara merdu Arum
Kemuning yang diiringi dentingan kecapi mengalun
mengisi suasana senja itu.... Angin tetap berhembus dan burung-burung
beterbangan di atas langit yang
memancarkan sinar kemerahan. Pohon-pohon besar
yang lebat tumbuh di pinggiran danau seakan berbaris menyaksikan permainan Putri
Kecapi. Demikian juga
dengan kakek bongkok Nayan Gunta serta Seta Wun-
gu, keduanya betul-betul hanyut oleh alunan suara
Putri Kecapi yang amat merdu bagai buluh perindu....
Meskipun pandangan Arum Kemuning gelap, se-
puluh jarinya bagaikan lima pasang mata yang tidak pernah meleset dalam memetik
senar-senar kecapi dalam pelukannya.
Kurang lebih Arum Kemuning memainkan tiga
buah lagu, Seta Wungu mengeluarkan sebuah bung-
kusan dari balik bajunya. Bungkusan itu diserahkan
pada Tabib Sakti Nayan Gunta. Kakek bongkok be-
rambut putih itu sudah tahu isi dalam bungkusan. Ka-
rena sewaktu Seta Wungu menyerahkan bungkusan
itu, selembar kertas resep yang pernah diberikannya pada beberapa hari yang lalu
ikut diberikannya pula.
Kemudian tabib Sakti Nayan Gunta melangkah men-
dekati Arum Kemuning yang masih mendendangkan
senandung yang keempat.
"Sudahlah, Arum... Kami berdua sudah menden-
gar... Kau memang pantas disebut 'Putri Kecapi'... Isti-rahatlah, mungkin kau
lelah..." kata Nayan Gunta setelah berada di sebelah gadis itu. Arum Kemuning
menghentikan permainannya, kemudian....
"Aku belum lelah, kakek Nayan Gunta... biarkanlah aku menghibur diri dengan
kecapi ini... Aku masih merindukannya...." kata Arum Kemuning menolak.
"Kalau begitu, tetaplah kau di sini.... Aku dan Se-ta Wungu akan ke pondok
membuat ramuan.... Nanti
menjelang gelap Seta Wungu akan menjemput mu...."
Nayan Gunta menyentuh punggung gadis itu, Arum
Kemuning seolah tengadah ke arah kakek bongkok be-
rambut putih disebelahnya. Ia kemudian mengangguk
sambil tersenyum. Setelah menepuk perlahan dua kali punggung gadis itu, Tabib
Sakti Nayan Gunta mening-galkannya. Seta Wungu mengikuti langkahnya di bela-
kang. Arum Kemuning tidak perduli, ia melanjutkan
permainan kecapinya.
Matahari belum tenggelam. Sinarnya yang tertu-
tup awan membiaskan sinar keperakan. Air jeram yang
terjun demikian deras menimbulkan suara bergeru-
muh. Deru itu bercampur dengan kicauan burung-
burung yang beterbangan kembali ke sarangnya.
Tiga sosok bayangan mengendap-endap dari balik
batu-batu karang yang menonjol besar. Ketiga orang itu berwajah menyeramkan.
Gerak-geriknya sangat
mencurigakan pastilah ada suatu maksud yang tidak
baik Apalagi mereka mulai bergerak mendekati Arum Kemuning. Langkah-langkah
mereka begitu hati-hati
sekali.... Salah seorang dari mereka membawa seutas tali yang tergulung di
lengan kanannya.
Ketika hampir mendekat, Arum Kemuning men-
dengar tumbuhan di sebelahnya bergemeresek. Ia ber-
henti memetik kecapi, lalu....
"Kakang Seta Wungukah itu.... Apakah sekarang
sudah menjelang malam....?" tanya Arum Kemuning sambil menoleh ke krah suara
langkah-langkah itu.
Ketika orang itu melihat Arum Kemuning, mereka baru tahu kalau gadis itu buta.
Pantaslah kehadiran mereka tidak diketahui sama sekali.
"Kakang Seta Wungu....?" tanya Arum Kemuning lagi dengan penasaran.
"Ya.... Ya. Aku Kakang Seta Wungu...." Kata salah seorang yang berusaha
mendekati "Kau bukan kakang Seta Wungu.... Suaramu
sangat menyeramkan....! Juga kau bukan si Tabib Sak-ti Nayan Gunta..., Siapa
kau....?" Arum Kemuning
bangkit dari duduknya. Sebuah lengan kekar menarik-
nya dengan kasar. Seorang lagi membekapnya. Arum
Kemuning meronta-ronta. Ia menjerit sekuatnya....
Orang yang membawa tali susah payah mengikat tu-
buh ramping Arum Kemuning.
* * * * 5 Seta Wungu maupun Tabib Sakti Nayan Gunta
tersentak kaget mendengar suara jeritan Arum Kemun-
ing. Maka dengan cepat Seta Wungu berlari ke luar.
Matanya yang selalu awas, melihat Arum Kemuning
meronta-ronta dengan tubuh terikat. Tiga orang ber-tampang menyeramkan berusaha
membawanya kabur.
Lengan kirinya yang cekatan menarik gagang pedang.
Lalu menghentakkan kedua kakinya, maka tubuhnya
itu melesat cepat menerjang ke arah tiga orang yang membawa Arum Kemuning.
Ia tidak berani ceroboh membabatkan pedangnya
ke arah mereka. Karena Arum Kemuning dekat di an-
tara orang-orang itu. Ia takut kalau-kalau sambaran pedangnya akan salah
mengenai sasaran... Perasaan
yang selalu menghantui pikirannya.
Terjangannya yang disertai sebuah tendangan,
menghantam salah seorang penculik sampai bergulin-
gan.... "Des!" Mulutnya menyembur darah, tapi ia masih dapat bangkit.
"Lepaskan gadis itu, kalau tidak.... Aku tidak pandang lagi siapapun adanya
kalian! " kata Seta Wungu tenang, ia berdiri dengan genggaman yang erat memegang
gagang pedang. Arum Kemuning yang mengenali suara Seta Wungu berontak.
"Kakang Seta Wungu. Tolooooong....!"
"Tenang, Arum.... Tenang....!" Seta Wungu bersiap-siap dengan pedangnya setelah
melihat dua orang menyeramkan itu mencabut senjata mereka. Begitu ju-ga dengan
orang yang tadi bergulingan menyemburkan
darah. Ia sudah berdiri garang dengan senjata pedang terhunus. Tubuh Arum
Kemuning sengaja dibiarkan
terikat. Keadaan menjadi hening.
Dan ketika salah seorang menerjang menyerang
dengan pedangnya, Seta Wungu menyambut.
"Traaang....!" terdengar nyaring senjata mereka beradu.
Arum Kemuning dapat mendengarnya. Ia dapat me-
mastikan kalau Seta Wungu menggunakan pedang
menghadapi orang-orang itu. Arum Kemuning khawatir
sekali, karena ia tahu orang-orang yang bermaksud
membawa dirinya lebih dari satu orang....
Seta Wungu menghantam keras pedangnya, ma-
ka.... "Waaaark!" Seorang lawannya menjerit kesakitan, pergelangan tangannya
putus melayang tinggi di udara. Serangan Seta Wungu tidak berhenti sampai di si-
tu. Kakinya dengan keras menendang ke depan....
"Deeeer!" Menghantam dada orang yang masih menjerit itu sampai terlempar
beberapa tombak ke belakang. Ia berpaling lagi pada dua orang yang siap-siap
menyerang.... Mereka maju serempak. Pedang mereka
berkelebat menyilang bergantian.... Seta Wungu me-
lompat mundur, tapi pedang terus berputar menyam-
but babatan-babatan itu.
Serangan kedua orang itu makin gencar. Teria-
kan-teriakan makin lantang menggempur. Sekali Seta
Wungu menghentakkan pedangnya.... Benturan keras
tak terelakkan lagi. "Traaang!" Lengan Seta Wungu sendiri kesemutan. Tapi bagi
lawannya yang tersentak kaget, ia tidak percaya pedangnya terlempar begitu sa-ja
dari genggamannya. Seta Wungu melesat ke atas
mengikuti ke mana pedang lawannya terlempar, lalu
dengan kecepatan bagai kilat ia menyambar pedang itu dengan pedangnya....
"Traaak!" Pedang itu kembali ke bawah menjurus cepat, dalam sekejap pedang itu
menancap tembus di antara kedua mata pemiliknya....
"Aaaaaaarght!" Tubuh dengan kepala tertembus pedang kelojotan hebat, kemudian
tak berkutik lagi.
Seta Wungu membabat cepat ke samping kiri menge-
tahui lawannya yang tinggal seorang lagi datang menyerang....
"Traaang!" Penyerang itu menyambutnya dengan babatan pedang pula. Lalu pedangnya
menyabet berkali-kali.... "Bret..! ret....! Bret....! Waaaaarg!" Penyerang itu
ambruk bersimbah darah yang mengerikan...
Kalau saja tadi Seta Wungu mengerahkan seluruh te-
naganya mungkin tubuh itu sudah terpotong menjadi tiga bagian.
Langkah Seta Wungu cepat menghampiri Arum
Kemuning yang terikat erat. Ia sudah tidak mendengar suara-suara benturan pedang
maupun teriakan-teriakan jerit kesakitan. Pertarungan sudah berakhir,
pikirnya... Bagaimana keadaan Seta Wungu.." Apakah ia mampu menghadapi orang-
orang itu...." Tanya
Arum Kemuning dalam hati.
"Kau tidak apa-apa, Arum....?" tanya Seta Wungu langsung membuka ikatan-ikatan
tubuhnya. Mendengar suara yang sudah dikenalnya itu, Arum Kemuning
merasa lega. "Kakang Seta Wungu.... Ah! Syukurlah kau sela-
mat.... Bagaimana dengan orang-orang itu?" tanya Arum Kemuning. Setelah semua
ikatan itu terlepas barulah Seta Wungu menjawab....
"Mereka tewas... Yang seorang lagi, aku tidak ta-hu bagaimana keadaannya...."
jawab Seta Wungu jujur.
"Kau membunuhnya, Kakang....?"
"Terpaksa, Arum.... Kalau tidak, mungkin nyawa-ku yang melayang...."
"Rupanya kakang pandai juga memainkan pe-
dang..." Seta Wungu terpojok. Dari mana Arum Kemuning tahu ia menghadapi lawan-
lawannya menggu-
nakan pedang... Sedangkan kedua matanya buta! Ba-
gaimana ia dapat mengetahuinya...."
"Aku memang mempunyai sebilah pedang.... Yah,
untuk sekedar menjaga diri. Setiap laki-laki harus memiliki pedang. Dan harus
membawanya ke manapun ia pergi...." Seta Wungu menjelaskan. Arum Kemuning
mengangguk mengerti.
"Sebagai wanitapun, kau harus bisa menjaga di-ri..." katanya lagi.
"Maksudmu mengerti ilmu bela diri... Sayang....
Sejak kecil aku tidak menyukai ilmu silat, aku malah tertarik dengan seni."
tutur Arum Kemuning. Mendengar Arum Kemuning mengucap 'seni', Seta Wungu ti-
dak melihat kecapi miliknya. Maka ia blingsatan mencari-cari, pandangannya
mengawasi di mana tadi gadis itu duduk memainkan alat musiknya.... Dan ternyata
kecapi itu masih ada tergeletak di tanah berumput.
"Kakang.... Kenapa diam saja?" tanya Arum Kemuning, Seta Wungu tersentak.
"Ah, tidak.... Aku tengah memikirkan kau harus bagaimana...."
"Apanya yang bagaimana...." tanya gadis itu keheranan.
"Paling tidak mengerti sedikit ilmu bela diri....
Nah coba kau pegang ini!" Seta Wungu meraih lengan gadis itu yang halus. Ia
meletakkan gagang pedang ke dalam telapak tangan Arum Kemuning.
"Yang kau pegang ini adalah gagang pedang...
Genggamlah yang erat..." perintah Seta Wungu, Arum Kemuning menurut... Maka
dengan kedua telapak tangannya gadis itu menghunuskan pedang... Pedang itu masih
berlumuran darah, kalau saja Arum Kemuning
dapat melihat, tentunya ia akan merasa jijik... Bahkan mungkin tidak berani
memegang pedang itu.
"Kedua kakimu jangan terlalu rapat...! Melebar sedikit ke belakang... Ya, begitu
baru benar...!" Arum Kemuning tersenyum ia masih merasa kikuk. Seta
Wungu mundur beberapa langkah sebelum itu ia me-
mungut beberapa batu karang sebesar kepalan tangan.
"Aku akan melemparkan batu ini satu demi sa-
tu... Kau tahu apa yang harus kau lakukan...?" kata Seta Wungu yang telah siap-
siap melempar. Arum Kemuning menggeleng...
"Babatkan pedang itu ke arah suara jatuhnya ba-tu... Mengerti....?"
"Hanya demikian" Baiklah akan ku coba...." Senyum Arum Kemuning berseri.
"Nah.... Bersiaplah..."
Keadaan hening... Gadis buta itu memasang te-
linga tajam-tajam... Sedangkan batu menjurus perlahan ke samping... Begitu batu
karang itu jatuh ke tanah, gadis itu melompat kaku sambil membabatkan
pedangnya ke arah di mana batu karang itu jatuh...
Seta Wungu hampir tertawa menahan geli... Bagaima-
na tidak, ketika Arum Kemuning melompat memba-


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batkan pedangnya, ia terjatuh... Mungkin karena gadis itu terlalu bersemangat!
"Sewaktu membabatkan pedang kau tak perlu
melompat, Arum.... Kedua kakimu tetap berpijak pada tanah... Salurkan tenagamu
pada kedua lenganmu
yang menggenggam gagang pedang... Nah! Ayo berdiri
lagi... Kita ulangi...." Sambil nyengir, gadis itu bangkit bergerak pada posisi
seperti semula...
Kembali sebongkah batu karang melesat perla-
han... Begitu batu itu jatuh ke tanah, Arum Kemuning bergerak sesuai dengan
ajaran Seta Wungu... "Bweeet!"
Pedang itu bergerak cepat membentuk kilatan sinar
putih ke arah suara jatuhnya batu karang. Hal itu di-lakukannya berkali-kali,
Seta Wungu sendiri merasa gembira melihat gerakan-gerakan Arum Kemuning
yang demikian lincahnya... Beberapa kali ia memba-
batkan pedangnya pada arah jatuhnya batu karang
yang dilemparkan oleh Seta Wungu. Seta Wungu sen-
gaja melempar batu-batu itu makin lama makin ce-
pat... Sampai pada batu karang terakhir, lemparan
batu itu sengaja dipercepat.... "Weeeees!" Anginnya berdesir keras. Arum
Kemuning langsung membabatkan pedangnya ke samping kanan....."Praaaaak!"
Batu karang itu hancur sebelum mencapai tanah. Seta Wungu tidak menyangka sama
sekali, ia mengira tindakan itu hanyalah kebetulan belaka. Maka sekali lagi Seta
Wungu memungut sebongkah batu yang ukuran-nya lebih kecil. Meskipun batu-batu karang itu telah habis, Arum Kemuning masih mengira
Seta Wungu masih memiliki batu-batu itu. Maka ia masih terus
berjaga-jaga, malah gerakannya itu seperti seorang ahli pedang layaknya... Dan
ketika batu kecil melesat ke arahnya... Kali ini Seta Wungu melempar tepat ke
arah Arum Kemuning... "Weeeeees!" Tanpa melangkah, gadis itu menyambut ke arah
desiran angin... "Prrrak" Batu yang hampir mengenai tubuhnya hancur berkeping-
keping. Seta Wungu ternganga melihat kehebatan gadis
itu yang menjelma begitu cepat. Terdengar pula derai tawa Arum Kemuning. Seta
Wungu pun jadi ikut tertawa....
"Aku menganggapnya seperti memainkan kecapi,
Kakang Seta Wungu.... Tanpa melihat, tapi aku dapat memainkan sebuah lagu dengan
sentilan jari-jemari tanganku... Begitu juga ketika kau melemparkan batu, aku
dapat menghitung kecepatan yang kau lempar-
kan... Justru sewaktu kau melempar perlahan, aku tidak dapat mendengar desiran
anginnya...." Arum Kemuning menjelaskan. Seta Wungu terpana mendengar
apa yang diucapkan gadis itu.
"Ternyata kau gadis yang cerdik Arum...
Aku tidak menyangka sama sekali...! Selama ini kau tidak boleh memegang
pedang... Nanti aku bua-tkan satu senjata untuk dirimu... Kalau kau ku per-
senjatai sebilah pedang, tentunya akan berbahaya...
Aku takut bila suatu saat aku datang kepadamu, lalu kau membabatkan pedang ke
arahku... Aku bisa mati
konyol!" "Ha... ha... ha... ha... ha..." Arum Kemuning tertawa lepas. Belum pernah Seta
Wungu mendengar ge-
lak tawa yang begitu lepas.
"Aku dapat melihat keadaan, Kakang Seta Wun-
gu... Mana mungkin aku berani membabatkan pedang
di saat-saat yang bukan tepat pada waktunya..." kata Arum Kemuning penuh
semangat. "Ternyata memainkan sebilah pedang lebih mu-
dah dibandingkan dengan memetik kecapi" katanya la-gi. Arum Kemuning kasih
menghunuskan pedang. Seta
Wungu tidak berani mendekat, Takut kalau langkah-
nya itu dikira lemparan sebuah batu karang. Sebelum ia maju melangkah mendekati
gadis itu.... "Sudahlah, Arum... Sekarang kau sudah mengerti apa yang dimaksudkan ilmu bela
diri. Aku berharap
kau dapat mengingatnya..." kata Seta Wungu sambil melangkah mendekati Arum
Kemuning. Gadis itu menyerahkan bilah pedang pada Seta Wungu.
Pada waktu itu sosok yang telah menggeletak di
tanah berusaha bangkit... Ternyata orang yang kehi-
langan pergelangan tangannya berlari meninggalkan
tempat itu. Ingin rasanya Seta Wungu merebut cepat pedang dalam genggaman Arum
Kemuning tapi Seta
Wungu membatalkan niatnya... Ia tidak ingin kekasa-rannya dapat diketahui oleh
gadis itu. Bagi Arum Kemuning, ia dapat mendengar suara
langkah yang demikian cepatnya...
"Suara apa itu.." Aku mendengar suara langkah orang berlari...!" kata Arum
Kemuning setelah mendengar langkah-langkah yang semakin halus men-
jauh.... "Bukan apa-apa, Arum... Itu cuma seekor rusa
yang lari menjauh ketika melihat kau memegang pe-
dang..." Seta Wungu membohongi.
"Oh... Aku khawatir lawan-lawanmu tadi masih ada yang tersisa dan menyerangmu,
kakang Seta Wungu... Hanya itu kekhawatiran ku...."
"Baru saja kau mempelajari dasar ilmu pedang, tapi kau sudah berpikiran buruk..."
* * * * Sambil memegangi pergelangan tangannya, orang
itu terus melarikan diri. Darah menetes pada setiap ia melangkah. Tercecer di
sepanjang jalan yang menembus ke dalam hutan. Larinya pontang-panting, seben-
tar-sebentar ia menoleh ke belakang. Sepertinya ia takut kalau-kalau ada
seseorang yang membuntutinya.
Tidak ada rasa takut sama sekali ketika kakinya
melangkah cepat memasuki hutan yang begitu lebat.
Hutan yang menyeramkan itu banyak ditumbuhi se-
mak-semak belukar, juga akar-akaran yang merambat
naik hampir ke setiap pohon-pohon besar yang ada di situ. Orang itu pun
terkadang harus merunduk molos
melewati akar-akaran yang malang melintang mengha-
lang. Darah masih terus menetes mengikuti ke mana ia
pergi. Ketika ia melihat sebuah tenda, langkahnya dipercepat. Belasan orang
nampak duduk-duduk di
sekitar tenda, ada juga yang berbincang-bincang berdiri bersandar pada sebatang
pohon. Malah ada yang re-bahan pada tanah berumput. Mereka langsung meno-
leh ketika melihat seseorang berlari mendekati....
Orang itu tidak perduli sambil memegangi perge-
langan tangannya yang kutung, ia langsung memasuki
tenda. Di dalam tenda seseorang telah menunggu, se-
seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun lebih. Duduk tenang menghadapi
sepundi arak. Mu-
kanya sudah merah, mungkin terlalu banyak minum...
Dan ia langsung melotot ketika melihat kehadiran seseorang dengan pergelangan
tangan berceceran da-
rah... Mengotori ruangan itu.
"Maaf, Tuan... Kami gagal membawa Arum Ke-
muning ke sini... Kalau saja Seta Wungu tidak muncul, kami sudah berhasil
membawanya... Hanya saya sendiri yang berhasil lolos... Dua teman saya tewas...!
Orang yang baru datang itu menjelaskan, wajahnya
pucat. "Mengapa kau harus kembali..." Pengecut...!" Lelaki berpakaian mewah itu berdiri
menatap pergelangan tangan yang menjijikkan. Lalu ia melangkah men-
dekat. "Agar saya dapat mengabarkan bahwa Seta Wun-
gu berada disana..." Ia meringis menahan sakit pada pergelangan tangannya.
Lelaki setengah baya itu
menghentakkan kakinya ke depan... "Des!" Menghantam orang yang berdiri di
hadapannya, lalu sambil melompat tendangannya berputar lagi... "Deeeer!" Kali
ini membuat orang itu terlempar ke luar tenda. Ambruk
ke tanah tanpa berkutik.
Orang-orang yang berada di luar terkejut. Mereka
semua berdiri menatap tubuh yang terkapar tanpa
nyawa... Sosok tubuh berpakaian mewah ke luar dari
tenda. Ia berdiri di samping mayat itu, lalu meluda-hinya... Tak satupun dari
belasan orang yang berada di situ tak ada yang berani mengeluarkan suara.
"Kalian akan bernasib seperti ini bila membang-kang perintahku, mengerti...!"
katanya terdengar seperti tidak main-main. Orang-orang itu menunduk.
"Ditempat ini kalian harus hati-hati... karena Se-ta Wungu berada tidak jauh
dari sini... Dan juga..."
Orang itu tidak meneruskan kata-katanya, ia menoleh dengan pandangan yang
menerobos jauh. Suara derap
kaki kuda terdengar sayup-sayup. Langkah-langkah
kuda itu makin lama jelas terdengar. Lalu laki-laki setengah baya itu memberi
aba-aba dengan kedua len-
gannya. Maka belasan orang yang berada di situ berlarian berpencar.
* * * * 6 Kuda putih menerobos rimbunnya semak-semak
dalam hutan itu. Berjalan mengikuti jalan yang selalu ditumbuhi oleh semak-semak
dan rumput liar. Dua
orang penunggangnya setengah mati mencari jalan
yang dapat dilalui. Wintara yang memegang tali kekang hati-hati sekali
mengendalikan kudanya. Akuwu Mambang yang duduk di depannya selalu dan menarik
na- fas dalam-dalam ketika dirasakan luka terguncang.
Tanah berumput itu memang tidak selalu rata.
Dan juga mereka memang harus melaluinya. Tidak ada
jalan yang menghubungkan menuju pondok Tabib
Sakti Nayan Gunta. Kecuali menerobos hutan belukar.
"Bagaimana dengan luka-lukamu..." Terasa tam-
bah parahkah....?" tanya Wintara. Kedua lengannya menjaga agar tubuh Akuwu
Mambang tidak bergulir ke
samping. "Entahlah... Sekarang aku merasakan sakit seka-li..." jawab Akuwu Mambang tanpa
menoleh. Wintara dapat melihat raut muka yang menahan sakit meskipun ia duduk
dibelakangnya. Ia menarik tali kekang
agar kuda berhenti...
"Mungkin kita perlu beristirahat...?" usul Wintara.
"Tidak... Tidak usah, pondok Tabib Sakti Nayan Gunta tidak jauh lagi dari
sini...." kata Akuwu Mambang menolak. "Tetap saja lurus sebentar lagi kita akan
melewati hutan ini," katanya lagi. Wintara menurut, ia menghela keras, maka kuda
itu berlari kencang menerobos di antara batang-batang pohon besar. Tidak luput
juga, dengan alang-alang serta semak yang
menghalang. Tiba-tiba saja kuda itu berhenti mendadak, dan
meringkik kencang. Dua orang penunggangnya beru-
saha tetap duduk mengendalikan keseimbangan. Kuda
itu malah menyepak-nyepak berontak. Dari atas pohon
belasan orang terjun ke bawah menukik bagai rajawali berebut mangsa. Wintara
maupun Akuwu Mambang
melihat mereka semua. Tentulah mereka bermaksud
menghadang. Salah seorang dari mereka, ketika loncat dari
atas pohon langsung melancarkan serangan ke arah
dua penunggang kuda. Wintara menyambut tendangan
itu "Plaaak!" Sebelum penyerangnya menginjak tanah, Wintara melayangkan
tendangannya.... "Deees!" Penyerang itu terbanting keras mencium tanah dengan
ber- gulingan. Akuwu Mambang begitu melihat orang-orang
yang menghadang langsung melompat. Ia tidak perduli dengan luka-lukanya Wintara
jadi khawatir. Apalagi para penyerang itu rata-rata bersenjata... Dan di saat
mereka menyerbu serempak, Wintara berlari ke arah
Akuwu Mambang...
Dengan gerakan lincah, ia menyambut enam
orang sekaligus. Keenamnya membabatkan senjata...
Peristiwa Merah Salju 1 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Hina Kelana 17
^