Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 25

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25


menganggukkan kepalanya ia meninggalkan Pandan Wangi
dan mendekati Prastawa yang masih juga heran melihat sikap
Pandan Wangi. "Siapakah tamu-tamu itu?"
Prastawa ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
"Bertanyalah kepada Pandan Wangi."
"He?" anak muda itu menjadi termangu-mangu pula.
Katanya, "Apakah sebenarnya yang telah terjadi" Dan
siapakah sebenarnya orang di pendapa itu" Aku bertanya
kepada Pandan Wangi, disuruhnya aku bertanya kepadamu.
Sekarang aku bertanya kepadamu, kau suruh aku bertanya
kepada Pandan Wangi."
"O, apakah Pandan Wangi menyuruhmu bertanya
kepadaku?" "Ya." Prastawa masih ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab,
"Mereka datang dari seberang Alas Tambak Baya, bahkan
dari seberang candi Prambanan."
"Jauh?" "Ya. Cukup jauh. Salah seorang dari mereka adalah
Demang di Sangkal Putung."
"Demang di Sangkal Putung," anak muda itu mengulangi.
"Ya, Demang di Sangkal Putung. Sedang anak-anak muda
yang ada di antara mereka adalah anak-anak muda yang
pernah tinggal di rumah ini."
"Tinggal di rumah ini" Kenapa?"
Prastawa menjadi berdebar-debar mendengar pertanyaan
itu. Peristiwa yang pernah terjadi di atas Tanah Perdikan
Menoreh merupakan goresan yang tajam di hatinya. Ia ingin
melupakannya sama sekali. Karena itu, maka ia tidak dapat
menjawab sebenarnya. Katanya, "Mereka berada di sini untuk
beberapa lamanya. Mereka adalah perantau yg berkeliling dari
satu daerah ke daerah lain tanpa tujuan."
"Perantau" Apakah mereka tidak mempunyai tempat
tinggal untuk menetap."
Prastawa tidak segera menyahut. Dipandanginya anak
muda itu sejenak, seakan-akan ingin mengetahui alasan
pertanyaan-pertanyaannya itu.
Dan anak muda itu mendesaknya, "Jadi mereka tidak
mempunyai rumah?" Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu.
Sudah aku katakan, mereka berasal dari Sangkal Putung.
Mereka merantau karena panggilan hatinya, bukan karena
mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Yang seorang dari
mereka itu adalah Demang Sangkal Putung Dan sudah
barang tentu Ki Demang itu bukan perantau seperti yang lain,
karena ia mempunyai tugas tertentu di rumahnya."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia masih bertanya lagi, "Kenapa mereka datang kemari?"
"Mereka adalah sahabat-sahabat Ki Gede. Dan anak-anak
muda yang ada di antara mereka adalah sahabat anak-anak
muda Menoreh." "Sahabat anak-anak muda Menoreh. Bagaimana
mungkin?" "Ceritera panjang sekali. Tetapi yang penting kau ketahui
adalah bahwa anak muda yang gemuk itu adalah putera Ki
Demang di Sangka Putung. Tentu mereka mempunyai
kepentingan khusus karena mereka datang dari jarak yang
jauh." "Apakah kepentingan khusus itu"
"Bertanyalah kepada Pandan Wangi."
"Tentu ia tidak akan menjawab. Tentu ia akan menyuruhku
bertanya kepadamu lagi. Ternyata kalian memperolok-olokkan
aku sehingga aku menjadi bingung."
"Semua orang merasa dirinya diperolok-olokkan. Aku tidak
tahu bagaimana aku harus melayani kalian. Sudahlah. Nanti
kalian akan tahu juga apa kepentingan mereka datang
kemari." Anak muda itu tidak bertanya lagi. Sebenarnya ia memang
ingin bertanya kepada Pandan Wangi. Tetapi ketika ia
berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sudah berdiri dan
melangkah masuk ke ruang dalam, dan langsung ke dalam
biliknya. Setelah menutup pintu rapat-rapat, maka Pandan Wangi
pun merebahkan dirinya di pembaringan. Bagaimana pun juga
ia tidak dapat mengingkari perasaan yang sebenarnya
bergejolak di dalam hatinya.
Sudah terlalu lama ia menunggu. Bahkan hampir saja ia
menjadi berputus asa. Seakan-akan ia sedang menunggu
terbitnya bulan di musim hujan. Setiap kali ia menengadahkan
wajahnya, maka langit selalu gelap disaput olen hawa yang
kelabu. Namun tiba-tiba saja kini yang ditunggunya itu datang,
"Apakah mereka datang untuk memenuhi upacara seperti
yang lazim, melamar dengan resmi atau justru sebaliknya?"
pertanyaan itu masih juga mengganggunya. Untuk
menenangkan dirinya sendiri. Pandan Wangi berkata di dalam
hati, "Jika tidak demikian, aku kira mereka tidak akan datang.
Sejauh-jauhnya mereka akan menyuruh seseorang untuk
menyampaikannya kepada Ayah."
Terasa sesuatu bergejolak di dalam hati Pandan Wangi. Ia
tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Tetapi harapan yang selama ini rasa-rasanya menjadi
semakin pudar itu pun tumbuh kembali.
Di luar sadarnya Pandan Wangi pun kemudian bangkit
perlahan-lahan. Diamat-amatinya jari-jari tangannya yang
lentik tetapi tidak sehalus tangan gadis pingitan, karena
tangannya itu sering tersentuh tangkai pedang atau
menggenggam busur dan anak panah, kadang-kadang
memegangi kendali kuda. (***) Buku 70 PANDAN WANGI menarik nafas dalam-dalam. Sekali dua
kali ayahnya sudah harus menolak lamaran yang datang dari
orang-orang penting di Menoreh, bahkan dari daerah
tetangga. Agaknya ayahnya pun masih juga menunggu karena
ia sudah pernah membicarakannya dengan Kiai Gringsing,
apalagi Ki Argapati mengetahui bahwa agaknya anaknya telah
bersetuju di dalam hati. Perlahan-lahan Pandan Wangi itu pun kemudian
mengambil pakaiannya yang disimpannya di geledeg bambu.
Seperti di luar kehendaknya sendiri, maka dilepaskannya
pakaian berburunya. Dikenakannya pakaiannya yang lain,
pakaian seorang gadis. Bahkan dibenahinya rambutnya yang
kusut dan disaputnya wajahnya dengan kain yang dibasahinya
dengan air kendi. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba ia menyembunyikan wajahnya di balik ke
dua telapak tangannya. Ia menjadi malu kepada diri sendiri.
Seakan-akan berpuluh-puluh pasang mata sedang
memandanginya. Memandang seorang gadis yang sedang
dibayangi oleh angan-angannya sendiri.
Dengan tergesa-gesa, Pandan Wangi duduk di
pembaringannya. Kepalanya masih saja menunduk dalamdalam.
Gadis itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara
gelak di pendapa. Agaknya ayahnya dan tamu-tamunya
sedang membicarakan kenangan yang menggelikan pada
saat tamu-tamunya itu berada di Tanah Perdikan ini.
Pandan Wangi pun tanpa disadarinya telah tersenyum pula
meskipun ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
"Ternyata ayah sama sekali tidak marah," ia berkata
kepada diri sendiri. Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar pintunya
diketuk dari luar. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan
melangkah membukanya. "Ada apa, Prastawa," ia bertanya kepada saudara
sepupunya itu. "Sudah waktunya menghidangkan makan, Pandan Wangi."
"Bukankah sudah dihidangkan?"
"Belum. Baru minum dan makanan. Belum makan. Baru
saja nasi masak." Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Namun tibatiba
saja memberengut. Katanya, "Bukankah ada pelayan
yang dapat menghidangkan suguhan itu" Biarlah mereka
membawanya ke pendapa."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Itu sama sekali bukan
kebiasaan Pandan Wangi. Jika ada tamu yang khusus,
biasanya Pandan Wangi sendirilah yang mengantarkan
suguhan itu ke pendapa. Seperti saat-saat yang lewat, untuk
tamu-tamu yang masih ada hubungan keluarga, atau tamutamu
ayahnya yang terdekat, Pandan Wangi tidak
membiarkan orang lain membawakannya. Tetapi kini justru
tamu yang datang dari jauh, dan seperti yang sudah didengar
oleh Prastawa, hubungan yang pernah terjalin antara
Swandaru dan Pandan Wangi, Pandan Wangi menolak
membawakannya kepada mereka.
"He. Kenapa kau diam saja dan seperti membeku di situ?"
bertanya Pandan Wangi kepada anak muda yang
kebingungan itu. "Jadi, bagaimanakah maksudmu sebenarnya?" bertanya
Prastawa. "Aku sedang lelah sekali. Biar orang lain saja yang
menghidangkannya. Apakah ayah menyuruhmu memanggil
aku dan menghidangkan makan itu?"
"Tidak. Tetapi bukankah itu kebiasaanmu" Jika kau tidak
membawanya ke pendapa saat ini, tentu Ki Gede akan
bertanya-tanya, meskipun hanya di dalam hati."
"Aku lelah sekali," Pandan Wangi menarik nafas dalamdalam.
Prastawa tidak menyahut. Tetapi dipandanginya saja
Pandan Wangi yang sudah berpakaian rapi. Bukan lagi
pakaian berburunya. Tetapi pakaian seorang gadis.
"He, kenapa kau memandang aku seperti itu?" bertanya
Pandan Wangi kepada adik sepupunya.
"O," Prastawa tergagap. Namun ia masih sempat
menjawab sambil tersenyum, "Kau jarang sekali berhias diri
seperti sekarang." "Ah." "Aku tidak pernah melihat kau secantik itu."
"Prastawa," potong Pandan Wangi, "pantaskah kau berkata
begitu buat kakakmu sendiri."
"Tentu tidak pantas jika aku berkata buat aku sendiri. Tetapi
aku berkata buat tamuku yang gemuk itu."
"Ah, kau," Pandan Wangi melangkah maju. Tangannya
sudah terjulur untuk mencubit lengan adiknya. Tetapi
Prastawa dengan tergesa-gesa meninggalkannya sambil
berkata, "Aku berani berkejar-kejaran sekarang jika kau
memakai pakaian seperti itu."
Pandan Wangi tidak menyahut. Ia mengacukan tangannya
ketika ia melihat adik sepupunya itu berpaling. Tetapi sejenak
kemudian Prastawa itu sudah hilang di balik pintu.
Prastawa terkejut ketika hampir saja ia melanggar anak
muda yang mengikuti Pandan Wangi berburu. Sambil
mengerutkan keningnya ia berkata, "Ah kau. Hampir saja aku
terantuk." "Kenapa dengan Pandan Wangi?" anak muda itu bertanya.
"Ia sedang bersembunyi."
"Ya, kenapa?" "Aku tidak tahu. Bertanyalah kepadanya."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Di
mana Pandan Wangi sekarang?"
"Di dalam biliknya. Ia sedang merias diri."
"Merias diri" Kenapa?"
"Aku tidak tahu, bertanyalah. Ia menjadi cantik sekali. Tidak
lagi seperti laki-laki di atas punggung kuda."
Anak muda itu ragu-ragu sejenak. Tetapi wajahnya yang
berkerut-merut itu membuat kesan yang aneh di hati
Prastawa. Karena itu ia justru mengganggunya, "Lihatlah
sendiri. Apa yang sedang dikerjakannya."
Anak muda itu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia melangkah
masuk ke ruang dalam. Prastawa memandanginya dari kejauhan. Tetapi ketika ia
melihat anak muda itu mengayunkan tangannya mengetuk
pintu bilik Pandan Wangi yang tertutup, hatinya berdesir.
Dengan serta-merta ia berdesis sambil memberikan isyarat
agar niat itu diurungkan. Tetapi ia terlambat. Tangan itu sudah
mengetuk pintu. "Bodoh sekali," desis Prastawa.
Perlahan-lahan pintu bilik itu terbuka. Pandan Wangi
terkejut ketika dilihatnya anak muda itu berdiri di muka pintu.
"He, kenapa kau mengetuk pintu?"
Anak muda itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sedang kau
kerjakan. Menurut Prastawa, kau sedang berhias. Dan kau
menjadi sangat cantik, tidak seperti seorang laki-laki di atas
punggung kuda. Tetapi kau benar-benar menjadi seorang
gadis." "Ah," Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Wajahnya
menjadi kemerah-merahan. Ketika ia melihat Prastawa
menjengukkan kepalanya di pintu belakang, sekali lagi ia
mengacukan tangannya. Tetapi Prastawa itu pun segera
menghilang. "Aku tidak berhias," berkata Pandan Wangi kemudian, "aku
sekedar berganti pakaian. Jika ayah memanggilku dan
menyuruh aku membawa hidangan ke pendapa, aku sudah
berpakaian rapi." Anak muda itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi
matanya kemudian hinggap di wajah Pandan Wangi. Matanya
seakan-akan tidak berkedip sehingga Pandan Wangi menjadi
bingung karenanya. "Kau memang menjadi cantik sekali seperti yang dikatakan
oleh Prastawa." "Ah, sudahlah. Jangan hiraukan anak bengal itu."
"Tidak. Bukan karena Prastawa. Aku benar-benar
menganggap kau seorang gadis yang sangat cantik. Sejak
aku datang, aku tidak pernah melihat kau berhias seperti ini.
Kenapa sekarang kau tiba-tiba saja berhias" Ketika kau
menghidangkan suguhan bagi ayah dan ibu di pendapa, kau
juga berpakaian seorang gadis. Tetapi kau tidak secantik
sekarang."

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, sudahlah. Jangan memuji. Aku akan beristirahat
sebentar di dalam bilik."
Pandan Wangi pun kemudian melangkah surut. Tetapi ia
menjadi heran karena anak muda itu tidak segera pergi.
Bahkan ia melangkah maju pula sambil berkata, "Aku juga
akan beristirahat Pandan Wangi. Aku juga lelah se-kali."
"Di mana kau akan beristirahat?"
"Apakah salahnya jika aku beristirahat di bilikmu juga."
"He," wajah Pandan Wangi menjadi merah padam, "apakah
maksudmu?" "Beristirahat," katanya dengan jujur.
"Kenapa di sini" Apa tidak ada tempat lain."
"Apakah aku tidak boleh masuk."
"Sudah disediakan tempat sendiri buatmu dan ayah ibumu."
Anak muda itu menjadi kecewa. Katanya, "Kau terlampau
tinggi hati, Pandan Wangi. Baiklah, memang tempatku tidak di
ruang dalam. Aku hanya seorang tamu dari daerah terpencil.
Tetapi kau harus ingat bahwa ayahku seorang yang kaya."
"O," Pandan Wangi justru menjadi termangu-mangu,
"bukan maksudku. Tetapi sebaiknya kau tidak berada di dalam
bilikku. Aku akan tidur sejenak."
Anak muda itu pun kemudian melangkah pergi. Di luar pintu
ruang dalam ia melihat Prastawa sedang menunggui para
pelayan yang mengatur hidangan yang akan disuguhkan ke
pendapa. Sejenak Prastawa memandangi anak muda itu.
Kemudian ia mendengar anak muda itu mengeluh.
"Pandan Wangi terlampau tinggi hati. Aku tidak boleh
masuk ke dalam biliknya."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya,
"Kenapa kau akan masuk ke dalam biliknya" Itu tidak pantas.
Ia adalah seorang gadis."
"Kenapa" Aku hanya ingin memandanginya. Ia memang
cantik sekali dalam pakaian yang belum pernah aku lihat
sebelumnya. Kenapa ia berpakaian begitu bagusnya
sekarang" Kenapa tidak ketika ia akan menghidangkan
suguhan bagi ayah dan ibuku pada saat kami datang?"
"Ah, tentu ia tidak akan memakai pakaian yang sama saja.
Itu hanyalah suatu kebetulan bahwa yang dipakainya
sekarang agak lebih baik dari yang dipakainya dahulu."
"Ayahku seorang yang paling kaya di daerahku yang kecil
itu. Mungkin juga karena ayah datang dari daerah kecil,
sedang tamu-tamu itu datang dari sebuah kademangan yang
besar. Begitu?" Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau senang
merangkai perasaan. Ada baiknya. Tetapi jika berlebih-lebihan
kau akan menjadi seorang anak muda perasa yang agak
cengeng." "He," mata anak muda itu menyala sesaat. Namun
kemudian katanya, "Kalian tidak menghormati tamu kalian.
Pandan Wangi tidak, dan kau juga tidak. Ayahku adalah
keluarga Ki Gede Menoreh. Kami adalah tamu dari orang yang
berkedudukan paling tinggi di Menoreh. Kalian harus
menghormati aku." Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Ia sadar, bahwa anak muda itu sedang
merajuk. "Agaknya ia adalah anak yang terlalu manja. Manja sekali,"
berkata Prastawa di dalam hati. "Jika Pandan Wangi menjadi
jengkel akan kelakuannya itu, salah-salah ia dapat
dibantingnya sampai pingsan."
Prastawa hanya memandanginya berjalan ke pintu
samping. Namun supaya tidak menimbulkan kesan yang
dapat membuat anak muda itu semakin merajuk, dan
mengatakannya kepada ayah ibunya agak berlebih-lebihan,
maka Prastawa pun berkata, "Kami minta maaf. Kami tidak
tahu maksudmu yang sebenarnya."
Anak muda itu berpaling. Dilihatnya Prastawa sejenak.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Aku
akan melupakannya. Kau anak yang baik."
Prastawa menahan senyumnya. Memang anak muda itu
agaknya lebih tua daripadanya. Tetapi karena tempaan
keadaan, Prastawa menjadi lebih dewasa. Pengalamannya di
saat-saat kemelutnya pertentangan di atas Tanah Perdikan ini,
membuatnya cepat menjadi dewasa. Kematian Sidanti dan
bahkan dirinya sendiri yang hampir saja tenggelam di dalam
keputus-asaan, membuatnya lebih matang menghadapi
persoalan-persoalan hidup.
Prastawa itu terkejut ketika di belakangnya terdengar suara
kakak sepupunya, "Apa yang dikatakannya?"
Prastawa berpaling. Sambil tertawa ia berkata, "Anak itu
merajuk. Ayo, kau apakan saja tamumu itu?"
"Aku pilin telingamu. Aku tidak berbuat apa-apa."
"Katanya kau terlampau tinggi hati karena ia tidak kau
perkenankan ikut beristirahat di dalam bilikmu."
"Ah, anak gila."
"Tetapi ia tidak bermaksud apa-apa. Ia berkata dengan
sorot mata yang jujur. Kau sadari itu?"
Pandan Wangi mengangguk. Katanya, "Anak itu tentu
merupakan sebuah golek kencana yang hidup di rumahnya. Ia
anak orang yang kaya. Anak satu-satunya."
"Seperti kau. Anak satu-satunya. Tetapi kau tidak cengeng
seperti anak itu." "Kau memuji lagi. Tentu kaulah yang menyebabkannya
seperti orang mabuk tuak. Ia memuji seperti memuji bakal
isterinya." "Sedang kau adalah bakal isteri orang lain."
"Hus." Prastawa bergeser. Pandan Wangi benar-benar akan
memilin telinganya. "Jangan," berkata adik sepupunya itu, "tetapi lihat,
hidangan sudah tersedia. Siapakah yang akan
menghidangkannya ke pendapa" Pelayan atau aku atau kau?"
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak, lalu, "Marilah,
kita bersama-sama menghidangkannya. Kau membawa nasi
dan lauk pauknya." "Lalu kau membawa apa?"
Pandan Wangi tersenyum. Dipandanginya hidangan yang
sudah tersedia itu sejenak, lalu katanya, "Aku membawa
nampannya." "Ah," Prastawa berdesah, lalu katanya, "cepatlah. Nanti
Paman Argapati menunggu."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Marilah kita hidangkan bersama.
Kaulah dahulu. Aku di belakang. Bawa apa saja, sisanya aku
yang akan membawanya."
Demikianlah, maka hidangan itu tidak jadi disuguhkan oleh
para pelayan yang sudah siap, tetapi Prastawa dan Pandan
Wangi sendiri akan membawanya ke pendapa.
Beberapa orang pelayan yang berdiri di ruang belakang itu
kemudian saling menggamit. Mereka tahu siapakah tamu yang
ada di pendapa itu, sehingga seorang di antaranya tidak dapat
menahan senyumnya. Karena itu, maka kepalanya pun segera
ditundukkannya dalam-dalam. Apalagi ketika ia merasa bahwa
Pandan Wangi sedang memandanginya dengan tajamnya.
Ketika pintu pendapa berderit, maka semuanya pun segera
berpaling. Yang mula-mula mereka lihat adalah Prastawa.
Namun kemudian Pandan Wangi pun melangkah ke luar
dengan kepala tunduk. Berbeda dengan kebiasaannya, bahwa ia dapat dengan
cekatan menghidangkan suguhan bagi tamu-tamu ayahnya,
maka kali ini Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia sama sekali
tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali.
"Ha, inilah anak itu," berkata Ki Gede Menoreh, "ia baru
pulang dari berburu bersama tamu kami."
Kiai Gringsing tertawa. Di luar sadarnya ia bertanya,
"Siapakah nama anak muda itu?"
"Rudita," jawab Ki Gede.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Nah, tentu hidangan ini hasil buruan
Angger Pandan Wangi."
Pandan Wangi mendengar namanya disebut. Tetapi ia
tidak dapat menangkap kata-kata Kiai Gringsing dengan jelas.
Terasa tubuhnya benar-benar telah menggigil seperti
kedinginan. Namun demikian ia masih juga mencoba
tersenyum. Orang-orang tua yang ada di pendapa itu sama sekali tidak
heran melihat keadaan Pandan Wangi. Agak gemetar dan
kepalanya selalu menunduk.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Pandan Wangi pun
kemudian melangkah surut setelah meletakkan hidangan yang
dibawanya. Begitu ia melangkahi pintu, maka ia pun segera
berlari-lari ke belakang. Dilemparkannya nampan yang
dibawanya dan dengan serta-merta ia pun membanting dirinya
duduk di atas sebuah amben yang besar di belakang.
Nafasnya menjadi terengah-engah seperti ketika ia sedang
memburu kijang di hutan perburuan.
Prastawa pun kemudian menyusulnya. Sambil tersenyum ia
berkata, "Kenapa kau menjadi begitu gelisah" Kau sudah
terbiasa membawa hidangan bagi para tamu. Apakah
bedanya tamu yang sekarang dengan tamu-tamu yang lain?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Dicobanya menenangkan
hatinya sambil duduk bersandar kedua tangannya.
"Sudahlah. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya.
Duduk sajalah. Jika kau sekali lagi membawa hidangan itu,
maka hidangan itu tentu akan tumpah."
Pandan Wangi masih tetap diam saja. Dipandanginya
bayangan dedaunan di longkangan lewat pintu samping yang
terbuka. Ketika Prastawa kemudian menyelesaikan membawa
hidangan itu ke pendapa, maka anak muda yang berburu
bersama Pandan Wangi dan bernama Rudita itu sudah berada
di gandok Kulon menemui kedua orang tuanya.
"Tamu yang datang itu agaknya lebih dihormati oleh
Pandan Wangi dari kita, Ayah," berkata anak muda itu.
"Kenapa?" "Aku tidak tahu. Tetapi ia adalah seorang Demang."
"O," ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya, "tentu
kawan baik Ki Gede Menoreh."
"Ya," jawab anaknya. "Pandan Wangi mengenakan
pakaiannya yang sangat bagus. Lebih bagus dari yang
dipakainya saat membawa suguhan buat kita."
"Ah, kau." "Dan ternyata Pandan Wangi sangat cantik."
"Cantik" Jadi menurut penilaianmu anak itu sangat cantik?"
"Ya, Ayah. Cantik sekali. Aku belum pernah melihat gadis
secantik Pandan Wangi."
"Berbanggalah bahwa kau mempunyai seorang saudara
yang sangat cantik."
"Ya, Ayah. Aku berbangga," jawab anak muda itu, "tetapi
apakah Pandan Wangi termasuk sanak kita yang dekat?"
Ayahnya menggelengkan kepalanya, "Ia bukan sanak kita
yang dekat. Sudah agak jauh, lewat garis keturunan ibunya."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak berkata apa-apa lagi.
Ayahnya memandanginya sejenak. Ketika anak itu agak
membelakanginya, ibunya menggamit ayah Rudita yang
duduk di sebelahnya. Keduanya saling berpandangan
sejenak, dan ayah Rudita itu pun tersenyum.
Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak
berbicara apa pun juga. Mereka hanya duduk saja berdiam diri
sambil memandangi anak laki-lakinya yang kemudian berdiri
dan melangkah ke luar. "Ia sudah dapat menyebut tentang seorang gadis yang
cantik. Sayang yang disebut itu adalah Pandan Wangi, sanak
sendiri," berkata ibu anak muda itu.
Ayah Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya isterinya sejenak, kemudian sambil menarik
nafas ia berkata, "Sekarang ia menyebut Pandan Wangi.
Tetapi dengan demikian perhatiannya kepada perempuan
mulai bangkit. Aku berharap bahwa selain Pandan Wangi ada
pula perempuan cantik menurut anggapannya nanti."
"Bagaimana jika tidak?" bertanya isterinya.
"Maksudmu?" "Jika tidak ada perempuan lain yang menarik selain Pandan
Wangi?" "Ah tentu tidak. Ia tahu bahwa Pandan Wangi adalah sanak
sendiri." Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
demikian ia bergumam seperti kepada diri sendiri, "Mereka
bukan sanak yang dekat."
Ayah Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya pula tanpa
disadarinya. Namun sesaat kemudian ayahnya itu
mengerutkan keningnya dan berkata, "Tetapi siapakah tamu
Ki Gede dipendapa itu?"
Isterinya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Orang itu tentu sangat dihormati oleh Ki Gede. Jika tidak,
meskipun ia seorang Demang, maka ia tidak akan mendapat
pelayanan yang begitu baik dan sambutan yang sangat
hangat." Isterinya masih berdiam diri.
"Aku ingin memperkenalkan diri," berkata ayah Rudita.
"Sekarang?" "Tentu tidak. Tetapi agaknya mereka akan bermalam di sini
pula. kesempatan masih panjang."
Tetapi belum lagi ia selesai berbicara, dilihatnya Prastawa
datang kepadanya sambil berkata, "Paman, Ki Gede
mempersilahkan Paman makan bersama tamu-tamu yang
datang dari Sangkal Putung itu."
"O," ayah Rudita itu mengerutkan keningnya.
"Dan Paman sekarang dipersilahkan ke pendapa bersama
Bibi." Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu, "Baiklah.
Kami akan datang. Kami akan membenahi pakaian kami
sebentar." Demikianlah maka kedua suami isteri itu pun kemudian
diperkenalkan dengan tamu-tamu Ki Gede yang datang dari
Sangkal Putung itu. Namun mereka masih belum tahu maksud
tamu-tamu yang datang dari Sangkal Putung itu. Mereka
hanya mendapat keterangan dari Ki Gede, bahwa tamutamunya
adalah sahabat-sahabatnya yang sudah lama tidak


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang. Apalagi tamu-tamu itu sendiri memang belum mengatakan
sesuatu tentang Swandaru, karena dirasa waktunya belum
tepat. Setelah makan, maka tamu-tamu itu pun dipersilahkannya
untuk beristirahat. Ayah dan ibu Rudita berada di gandok
Kulon, sedang tamu-tamu dari Sangkal Putung itu
dipersilahkan beristirahat di gandok Wetan.
Dalam pada itu, selagi orang-orang tua beristirahat dan
berbicara di antara mereka, maka Swandaru dari Agung
Sedayu duduk di serambi gandok. Sejenak mereka saling
berdiam diri memandang halaman rumah yang sudah berubah
itu. Suasananya benar-benar telah jauh berbeda. Halaman
rumah itu kini ditanami dengan pohon bunga-bunga di pinggirpinggir
pagar batu. Sebatang bunga soka putih, seolah-olah
tidak berdaun lagi karena bunganya yang sedang
berkembang. Sedang di sudut halaman itu kini tumbuh
sebatang bunga kemuning. Keduanya berpaling ketika mereka mendengar langkah
mendekatinya. Ternyata yang datang itu adalah Prastawa.
Agung Sedayu dan Swandaru bergeser sedikit untuk
memberikan tempat kepada anak muda itu, yang sambil
tersenyum kemudian Prastawa pun duduk pula di antara
mereka. Sama sekali tidak ada lagi kesan permusuhan di antara
mereka seperti juga pada Pandan Wangi dan adik sepupunya
itu. Prastawa mencoba memperbaiki keadaannya dengan
berbuat sebaik-baiknya, meskipun kadang-kadang hatinya
masih juga merasa pedih. Sejenak mereka berbicara tentang keadaan masingmasing.
Meskipun mereka masih juga tetap berhati-hati agar
pembicaraan mereka sama sekali tidak menyentuh persoalan
yang dapat mengungkat hubungan di masa lalu itu.
Selagi mereka dengan asyiknya berbicara, di halaman
melintas seorang anak muda yang pergi berburu bersama
Pandan Wangi. Sejenak anak muda itu berpaling memandang
Prastawa, namun ia pun kemudian melangkah terus
meninggalkan halaman, masuk ke longkangan gandok Kulon.
"Siapakah anak muda itu?" bertanya Swandaru.
"Rudita," jawab Prastawa, "ia adalah kadang yang sudah
agak jauh dari Kakak Pandan Wangi dari garis ibunya."
"O," Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
"Apakah ia sudah lama berada di sini?"
"Tidak. Ia datang bersama ayah dan ibunya, dua hari yang
lalu. Sudah lama mereka tidak berkunjung kemari. Agar
hubungan persaudaraan itu tidak terputus, mereka
memerlukan mengunjungi Ki Gede di sini."
Swandaru masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya,
dan kemudian ia masih bertanya lagi, "Apakah ia pandai
berburu?" Prastawa tersenyum. Tetapi ia menjawab, "Ya. Ia senang
berburu." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia
menyahut maka seseorang datang mendekatinya sambil
berkata kepada Prastawa, "Rudita memanggilmu."
Prastawa mengerutkan keningnya. "Ada apa?"
"Aku tidak tahu."
Prastawa mengangkat pundaknya. Namun ia pun kemudian
berdiri dan berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru. "Ia
memerlukan pelayanan melampaui seorang gadis kecil yang
paling manja." Swandaru dan Agung Sedayu berpandangan sejenak.
Namun keduanya tidak mengatakan apa pun. Mereka hanya
memandangi saja langkah Prastawa yang pergi ke gandok
Kulon. Di longkangan, Rudita telah menunggu kedatangan
Prastawa. Dengan wajah yang tegang Rudita itu bertanya,
"Siapakah mereka itu?"
"Yang mana?" Prastawa ganti bertanya.
"Dua orang anak muda di serambi gandok Wetan itu."
"O, tamu Ki Gede yang baru datang hari ini. Bukankah
keduanya ikut duduk di pendapa pada saat kami
menghidangkan makanan?"
"Aku sudah tahu. Siapa nama mereka?"
"O," Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Yang gemuk itu namanya Swandaru. Ia adalah
putra Ki Demang Sangkal Putung. Sedang yang sedang itu
bernama Agung Sedayu."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
masih bertanya, "Kenapa mereka datang kemari" Apakah
mereka masih kadang Ki Gede?"
Prastawa menggeleng. "Bukan. Bukan sanak, bukan
kadang. Tetapi jika mati, kami akan kehilangan."
Rudita mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa," jawab Prastawa, lalu katanya, "marilah.
Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu."
"Bukan aku. Merekalah yang harus datang
memperkenalkan diri kepadaku. Aku adalah kadang Ki Gede
Menoreh. Ayahku meskipun bukan Demang, tetapi ia adalah
orang yang terpandang, karena ayahku lebih kaya dari
Demang di Tempuran."
Prastawa mengerutkan dahinya. Jawabnya kemudian,
"Mereka tentu tidak akan berani berbuat demikian, karena
mereka merasa diri mereka kecil."
Rudita merenung sejenak, lalu katanya, "Jadi bagaimana
sebaiknya?" "Kaulah yang datang kepadanya. Mereka akan menyambut
dengan senang hati."
Sekali lagi Rudita merenung. Namun kemudian katanya,
"Baik, aku akan datang kepadanya. Tetapi jika mereka
ternyata menyombongkan diri, aku pilin lehernya sampai
patah. Kau dan kedua anak-anak muda itu harus mengerti,
bahwa aku adalah murid Kiai Kuda Prakosa."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi
berdebar-debar juga. Agaknya anak muda yang manja ini
mempunyai bekal dalam olah kanuragan pula. Bahkan ia telah
menyebut pula nama gurunya. Tetapi nama itu belum pernah
dikenalnya. "He, kenapa kau diam saja" Kau tidak usah takut
mendengar nama guruku. Aku tidak akan berbuat apa-apa
kepadamu. Juga kepada kedua anak-anak muda itu pun aku
tidak akan berbuat apa-apa jika mereka menghormati aku
seperti seharusnya."
"Aku akan mengatakannya. Dan mereka tentu akan
menghormatimu." "Baiklah jika demikian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan,
jangan mempermainkan aku. Kau pun jangan
mempermainkan aku." "Tidak, tentu aku tidak berani mempermainkan kau,"
berkata Prastawa. "Marilah," ajak Rudita.
"Tunggulah di sini. Aku akan mempersiapkan kedua anakanak
muda itu agar mereka mengetahui siapakah kau
sebenarnya sebelum kau memperkenalkan diri."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya,
"Baik. Pergilah."
Prastawa pun kemudian berlalu. Hampir saja ia yang masih
sangat muda itu tidak dapat menahan tawanya. Di dalam
kemelutnya api peperangan, ia sudah berani memegang
pedang di medan pertempuran yang paling ganas sekali pun.
Namun menghadapi anak muda yang terlalu cengeng, ia
masih juga dapat menahan diri, untuk tidak menyakiti hatinya.
Apalagi Prastawa tahu bahwa anak itu adalah kadang Pandan
Wangi dari saluran darah ibunya, sedang ia bersumber dari
saluran darah ayahnya. Anak muda yang cepat menjadi
dewasa berpikir karena tempaan keadaan itu tidak mau
memberikan kesan yang kurang baik kepada tamunya itu.
"Tetapi bagaimanakah jika sikapnya kemudian menjadi
berlebih-lebihan?" ia bertanya kepada diri sendiri di dalam
hatinya. Namun kemudian dijawabnya sendiri, "Biarlah
Pandan Wangi sendiri mengurusnya."
Agar tidak menimbulkan persoalan, maka Prastawa pun
kemudian berkata berterus terang kepada Agung Sedayu dan
Swandaru tentang anak muda yang bernama Rudita itu.
"Sekali-sekali anak semacam itu perlu diperkenalkan
dengan kehidupan yang sewajarnya," berkata Swandaru.
"Ah, kau," potong Agung Sedayu, "itu bukan urusanmu.
Biarlah ayahnya membenturkannya kepada kenyataan hidup
yang pahit dan keras. Biarlah kita menghindarkan diri dari
persoalan-persoalan yang dapat timbul. Apakah ruginya jika
kita berbuat demikian dan karena itu dapat menye-nangkan
hati orang lain?" "Kau tidak pernah berusaha menyenangkan hatiku," sahut
Swandaru. "Apa" Kau sangka aku tidak sedang menyenangkan hatimu
sekarang, sehingga aku terlunta-lunta sampai ke tempat ini."
Prastawa-lah yang tersenyum. Katanya, "Tentu. Kita semua
sedang menyenangkan hati Swandaru. Semakin senang ia
akan menjadi semakin gemuk."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima
kasih Ki Sanak, terima kasih."
Prastawa justru menjadi tertawa karenanya. Dipandanginya
wajah Swandaru yang bulat itu. Lalu katanya, "Ingat, kita akan
bermain-main dengan sebatang ranting yang kering. Jika kita
salah raba, ranting itu akan patah."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyahut. Mereka
hanya memandangi Prastawa yang kemudian pergi menemui
Rudita, dan mengajaknya ke serambi gandok Wetan.
Agung Sedayu dan Swandaru yg melihat Prastawa dan
Rudita berjalan ke arahnya, tergopoh-gopoh berdiri dan
menyongsongnya. Namun Swandaru masih juga sempat
bergumam perlahan-lahan, "Jika ada orang yang melihat sikap
kita seperti kucing melihat tulang ini, mereka tentu akan mentertawakan."
Agung Sedayu tidak menghiraukan. Ia bergegas
mendapatkan Rudita sambil ngapurancang dan membungkuk
dalam-dalam. "Siapa namamu?" bertanya Rudita.
"Namaku Agung Sedayu, Ki Sanak."
"Rudita, panggil aku Rudita."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang
kemudian menganggukkan kepala adalah Swandaru. Dan
ketika Rudita bertanya namanya, maka dijawabnya, "Namaku
Swandaru. Semula Swandaru Geni."
"Kenapa semula?"
"Sekarang api itu sudah menjadi suram."
Rudita mengerutkan keningnya dan Agung Sedayu
menarik, nafas dalam-dalam.
"Apa keperluan kalian kemari?" bertanya Rudita kemudian.
"Tidak apa-apa," Agung Sedayu-lah yang menjawab, "kami
hanya ingin melihat tanah yang sudah sangat lama kami
tinggalkan. Beberapa waktu yang lampau, aku dan adikku
pernah tinggal di padukuhan ini untuk beberapa lamanya."
"Kenapa kalian pergi."
"Kami pulang ke Sangkal Putung."
"Kenapa saat itu kau tinggal di sini" Di rumah ini
maksudmu?" "Tidak, tidak dirumah ini. Kami tinggal di gubug di
padukuhan sebelah. Kami adalah penggembala kambing."
"Kenapa sekarang kau mengunjungi Tanah Perdikan
Menoreh langsung menemui Ki Gede" Kenapa kau tidak pergi
ke rumah gubugmu itu?"
"Anak ini memang ingin dipilin lehernya," berkata Swandaru
di dalam hatinya, "dan Kakang Agung Sedayu agaknya
menjadi kambuh pula."
"Rudita," berkata Agung Sedayu kemudian, "tidak ada
tempat yang lebih baik dari rumah ini bagi kami. Itulah
sebabnya, ayah kami yang tua itu pun ikut pula untuk
mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede Menoreh."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Kalian harus mencoba menyesuaikan diri di sini. Aku dengar
ayah kalian seorang Demang di Sangkal Putung. Jangan
kalian menyangka bahwa pangkat Demang adalah pangkat
yang sangat tinggi."
"Tentu tidak," Swandaru-lah yang tiba-tiba saja menyahut.
Tetapi sebelum ia melanjutkan, Agung Sedayu telah
mendahului, "Kami memang merasa, bahwa ayah kami adalah
seorang Demang dari sebuah kademangan yang kecil."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa
bahwa kedua anak-anak muda itu cukup menghormatinya.
Karena itu, maka ia pun bersikap semakin tinggi, seakan-akan
ia memang benar-benar seorang yang pantas dihormati.
Dalam pada itu dari celah-celah dinding pendapa,
seseorang sedang mengintip peristiwa yang terjadi di halaman
dekat dengan longkangan di muka serambi gandok Wetan.
Selain orang itu dapat melihat semua yang terjadi, maka
meskipun lamat-lamat, ia mendengar pembicaraan mereka,
sehingga hampir saja ia tidak dapat menahan hatinya.
Kadang-kadang ia menjadi geli sehingga tertawanya harus
ditahankannya di dada. Namun kadang-kadang terasa betapa
jengkelnya mendengar kata-kata Rudita itu.
Orang itu adalah Pandan Wangi. Bahkan Pandan Wangi itu
mengumpat di dalam hati, "Kakang Agung Sedayu selalu
bersikap begitu. Tetapi sebenarnya kini sudah bukan masanya
lagi untuk berpura-pura. Apalagi berpura-pura menjadi
seorang yang sangat rendah martabatnya. Sekali-sekali
Rudita memang harus melihat kehidupan ini dengan
sewajarnya." Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
hanya dapat menyaksikan sambil mengumpat-umpat di dalam
hati. "Marilah kita duduk di pendapa," ajak Rudita.
"Terima kasih," jawab Agung Sedayu, "udaranya sangat
panas. Lebih baik aku duduk di serambi. Udaranya terasa
agak segar oleh angin yang lembab."
"Duduklah di pendapa. Aku mengajak kalian duduk di
pendapa. Jangan membuat rencana sendiri. Jika aku
mempersilahkan kalian ke pendapa, maka kalian akan ke
pendapa, bukan pergi ke tempat yang kalian sukai masingmasing.
Aku adalah keluarga Ki Gede Menoreh, dan kalian
adalah tamu-tamu kami."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandaru berpaling kepada Prastawa. Ia pun kadang
langsung dari Ki Gede. Tetapi ia tidak pernah bersikap
seangkuh itu. Namun demikian, ketika sekali lagi Rudita menyuruh
mereka naik, maka mereka pun segera naik pula ke pendapa,
dan duduk saling berhadapan.
"Ada juga untungnya berkenalan dengan kalian," berkata
anak muda itu, "mungkin kalian lebih banyak mengenal hutan
daripadaku. Benar?" "Maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah kau sering berburu?"
"Kadang-kadang."
"Kau dapat mempergunakan anak panah dan busur?"
"Serba sedikit, Rudita. Tetapi aku memang pernah
mencoba." Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku
ingin memberikan sebuah hadiah yang menarik buat Pandan
Wangi. Seekor rusa hasil buruan. Apakah kau mau pergi
bersamaku ke hutan perburuan itu?"
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan
sejenak. Ketika mereka berpaling kepada Prastawa dilihatnya
anak muda itu menganggukkan kepalanya, sehingga Agung
Sedayu pun kemudian berkata, "Baiklah. Aku senang sekali
mendapat kesempatan mengantarkan kau berburu. Tetapi
sebenarnya aku sendiri tidak begitu mengerti cara-cara yang
harus dilakukan untuk mendapatkan seekor binatang buruan."
"Katamu, kau pernah berburu."
"Hanya kadang-kadang. Kadang-kadang sekali. Itu pun di
hutan yang kecil di sekitar Kademangan Sangkal Putung.
Memang kami pernah mendapat seekor rusa di hutan itu."
"Kau panah?" "Tidak." "Bagaimana kau mendapatkannya?"
"Kami beramai-ramai mengejarnya. Tiga puluh orang anak
muda." "Bodoh sekali," berkata Rudita. Namun katanya kemudian,
"Baiklah, kita coba. Kita akan berburu."
"Kapan?" "Sekarang." "O, kita akan kemalaman di hutan perburuan itu. Kenapa
tidak besok pagi?" "Aku ingin memberikan hadiah seekor rusa malam nanti."
"Tetapi, waktunya tinggal sedikit. Sebentar lagi matahari
akan mulai turun di Barat."
"Aku tidak peduli. Aku ingin sekarang. Akulah yang ingin
sekarang. Bukan kalian." Lalu Rudita itu berpaling kepada
Prastawa, "Di manakah hutan perburuan yang paling banyak
mempunyai rusa atau kijang?"
Prastawa mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
menjawab, "Di ujung Timur dari Tanah Perdikan ini. Dekat Kali
Praga." "Yang baru saja kami kunjungi, bersama Pandan Wangi?"
"Terlalu jauh. Hutan itu sedikit lebih dekat."
"Berapa lama kita sampai ke tempat itu?"
"Menjelang senja kita sampai ke tempat itu."
"Bodoh sekali kau. Apa yang dapat kita kerjakan di dalam
gelapnya malam?" "Tidak ada hutan yang lebih dekat lagi yang memiliki
binatang buruan sebanyak hutan itu. Di hutan rindang di
sebelah Barat ada juga satu dua ekor kijang. Tetapi terlalu
sedikit untuk diburu dengan tergesa-gesa."
"Baiklah," berkata Rudita, "besok pagi saja kita berangkat.
Pagi-pagi benar. Kita mengharap bahwa di sore hari kita
sudah pulang membawa seekor rusa."
"Pandan Wangi sering berburu di malam hari. Bahkan
pernah ia bermalam dua malam berturut-turut di hutan
buruan." Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Prastawa
sejenak, lalu, "Kau berkata sebenarnya?"
"Ya, aku berkata sebenarnya."
"Dan Pandan Wangi mendapatkan binatang buruan?"
"Ya. Kadang-kadang mendapatkannya. Tetapi kadangkadang
bukan Pandan Wangi sendiri yang berhasil, tetapi
para pengiringnya." Rudita memandang Prastawa dengan tajamnya. Lalu
katanya, "Itulah sebabnya aku ingin memberikan hadiah
kepadanya seekor rusa buruan."
Pandan Wangi yang mengikuti pembicaraan itu dari dalam
rumahnya hampir tidak dapat menahan hati lagi. Suara
tertawanya hampir saja meledak. Tetapi ia bertahan sekuatkuatnya.
Bahkan kemudian ia pun segera berlalu, agar pada
suatu saat ia tidak kehilangan mengendalikan diri.
Demikianlah, anak-anak muda itu masih saja duduk di
pendapa. Sebenarnya Pandan Wangi tidak sabar lagi
menunggu Rudita itu meninggalkan anak-anak muda dari
Sangkal Putung itu. Ada sesuatu yang mendesaknya untuk
menemui mereka. Namun kadang-kadang ia mencoba
menekan perasaan itu sedalam-dalamnya, justru karena ia
adalah seorang gadis. Namun Pandan Wangi yang duduk sendiri di ruang dalam
itu terkejut ketika ayahnya berkata dari balik pintu, "Pandan
Wangi." "O," Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu. Agaknya ayahnya
mengetahui bahwa ia mengintip anak-anak muda yang
sedang di pendapa itu. Tetapi sebenarnya ia tidak sedang
mengintip Swandaru. Justru ia sedang mengintip Rudita yang
berbuat aneh-aneh menurut penilaiannya.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya. Ketika
ia kemudian berpaling dan memandang wajah ayahnya,
pipinya sendiri menjadi semakin merah, karena ayahnya
tersenyum dengan pandangan yang menggelitik hatinya.
"Pandan Wangi," berkata ayahnya, "mumpung mereka
duduk di pendapa, kau dapat menyuguhkan minuman panas
bagi mereka." Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya
menunduk dalam-dalam. "Aku kira tidak ada salahnya jika kau menghidangkan
minuman bagi mereka. Mereka bukan orang lain bagi kita.
Meskipun mereka tamu dari jauh, tetapi mereka sengaja
datang untuk memperpendek jarak antara Sangkal Putung
dan Tanah Perdikan Menoreh." Ayahnya pun kemudian
mendekatinya sambil berkata lirih, "Pandan Wangi. Marilah
kita melihat ke dalam diri kita. Aku memang termasuk orang
tua yang ketinggalan batasan hidup seperti yang dikehendaki
oleh anak-anak muda. Tetapi aku mengerti bahwa kedatangan
Ki Demang Sangkal Putung mempunyai maksud yang khusus.
Meskipun belum dikatakan, tetapi sudah membayang di dalam
pembicaraan kami. Karena itu aku tidak berkeberatan kau
menemui anak Ki Demang itu bersama dengan saudara
seperguruannya." Wajah Pandan Wangi menjadi panas, tetapi hatinya
memang terlonjak untuk melakukannya.
Ayahnya masih memandanginya sejenak. Senyumnya
masih saja membayang di bibirnya. Bahkan kemudian ia
berkata, "Kau memang seorang gadis yang lain dari gadis
sebayamu. Kadang-kadang kau bersikap dan bertindak
sebagai seorang laki-laki. Namun dalam pakaian seorang
gadis yang baik, kau adalah seorang gadis yang utuh.
Meskipun demikian lebih baik bagimu keluar sama sekali ke
pendapa daripada kau duduk di dalam seorang diri."
Wajah Pandan Wangi yang merah menjadi semakin
tunduk. Ayahnya tidak menyebut saja bahwa ia mengintip.
Jika demikian justru ia dapat membantah bahwa sebenarnya
ia sekedar tertarik pada sikap Rudita. Tetapi justru karena
ayahnya tidak menyebutkannya, ia menjadi bingung.
"Sudahlah, Pandan Wangi. Yang paling baik buat mereka,
sediakan minuman hangat. Agaknya Rudita tertarik pula untuk
menemui mereka." Pandan Wangi tidak menjawab. Ia pun kemudian pergi ke
dapur, menyediakan minuman hangat bagi anak-anak muda
yang duduk di pendapa. Ketika pintu pendapa itu terbuka dari dalam, anak-anak
muda itu pun berpaling. Sejenak mereka memandang seorang
gadis yang berdiri di muka pintu sambil membawa nampan
berisi beberapa mangkuk minuman.
Perlahan-lahan Pandan Wangi melangkah mendekati
mereka. Ditundukkannya saja kepalanya, agar ia tidak menjadi
gemetar jika pandangannya beradu dengan tatapan mata
Swandaru. Tetapi yang mula-mula berbicara adalah Rudita, "Ha,
duduklah di sini, Pandan Wangi." Lalu sambil berpaling ia
berkata, "Prastawa, kau dapat menerima nampan itu."
Prastawa mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia beringsut
juga menerima nampan yang dibawa oleh Pandan Wangi
yang mulai gemetar itu. "Duduklah di sini. Apakah kau sudah mengenal anak-anak
yang baru datang dari Sangkal Putung ini?"
Prastawa hampir tidak dapat menahan gelaknya
mendengar pertanyaan itu.
"Apa salahnya kau duduk di sini bersamaku menemui
tamu-tamu ayahmu ini. Mereka adalah anak-anak yang datang
dari Sangkal Putung."
"Kakak Pandan Wangi pernah mengenal mereka," berkata
Prastawa. "Bukankah sudah aku katakan, bahwa mereka
pernah tinggal di sini" Eh, apakah aku belum
mengatakannya?" Rudita mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu mulutnya pun
bergerak, "Jadi kalian memang pernah berkenalan?"
Yang menjawab adalah Prastawa, "Mereka sudah saling
mengenal." "O," Rudita masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu, "Kalau begitu, duduklah, Pandan Wangi. Kita temui
tamu-tamu kita ini."
Pandan Wangi menjadi semakin segan duduk di antara
mereka justru karena ada Rudita. Tetapi ia tidak dapat pergi
lagi karena Prastawa pun mempersilahkannya pula.
"Kita sedang merencanakan untuk pergi berburu," berkata
Rudita. "Aku ingin memberikan hadiah seekor rusa buruan
kepadamu." Kata-kata itu tidak disangka-sangka akan dikatakannya
kepadanya, sehingga karena itu Pandan Wangi justru menjadi
tersipu-sipu. Kepalanya menjadi semakin tunduk dan sikapnya
yang gelisah menjadi semakin gelisah.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Swandaru pun menjadi
bingung menghadapi Pandan Wangi. Setelah sekian lamanya
mereka tidak bertemu, dan kini Pandan Wangi menemuinya
dengan pakaian seorang gadis yang menurut penilaiannya
cukup sempurna, maka hatinya pun menjadi berdebar-debar.
Karena itu, meskipun ada juga debar di jantungnya, namun
tidak sekeras debar jantung Swandaru, maka Agung Sedayulah
yang mulai bertanya kepada gadis itu, "Apakah sejak saat
kami meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kau masih saja
senang berburu, Pandan Wangi."
Pertanyaan yang tidak langsung menyentuh dirinya itu
membuat gadis itu seakan-akan terlepas dari belenggu yang
menyesakkan. Karena itu maka jawabnya, "Sekali-sekali aku
masih berburu, Kakang."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
kemudian. bertanya tentang hutan perburuan di daerah
Menoreh dan bahkan hutan-hutan yang kadang-kadang masih
belum banyak dijamah oleh seseorang.
"Kita akan berburu ke hutan yang lebat itu," berkata Agung
Sedayu, "tentu binatang buruannya masih jauh lebih banyak
dari hutan-hutan perburuan."
"Maksudmu?" bertanya Rudita yang menjadi heran, bukan
saja hubungan Agung Sedayu dan Pandan Wangi yang
tampaknya sudah begitu erat, juga karena Agung Sedayu
menyebut-nyebut hutan yang lebat dan jarang disentuh tangan
manusia. "Kita berburu di hutan itu. Tentu akan lebih menarik dari
sekedar berburu di hutan perburuan."
Belum lagi Rudita mengerti sepenuhnya, Pandan Wangi
justru menyahut, "Kita akan mencobanya."
Sambil menyentuh Swandaru, Agung Sedayu bertanya,
"He, bagaimana dengan kau, Swandaru Geni."
Swandaru tergagap. Tetapi ia menyahut, "Tentu
menyenangkan sekali. Aku sependapat."
Tetapi tiba-tiba saja Prastawa menyahut sambil tersenyum,
"Kau tidak usah berburu kemana-mana Swandaru. Kau
berburu saja di sini."
Sejenak Swandaru justru terbungkam. Sepercik warna
merah menjalar di wajahnya. Bahkan bukan saja Swandaru,
tetapi Pandan Wangi yang mengerti maksud itu pun menjadi
semakin tertunduk dalam-dalam.
Tetapi Swandaru cepat dapat mengatasi kesulitannya,
bahkan ia sempat menyahut, "Bagaimana aku akan berburu,
kalau yang diburu tidak ada di sini di saat perburuan besok,
karena justru akan pergi ke hutan."
Prastawa tidak dapat menahan gelaknya. Agung Sedayu
pun tertawa pula. Meskipun wajah Pandan Wangi terasa
panas, namun ia tersenyum pula.
Yang terheran-heran adalah Rudita. Ia tidak mengerti
kenapa hal itu dapat menimbulkan tertawa. Karena itu ia pun
dengan serta-merta bertanya, "He, siapakah yang kalian
maksud" Siapakah yang harus diburu di sini" Aku" Atau
siapa?" Prastawa menahan suara tertawanya. Katanya, "Jangan
terlampau perasa. Kami berbicara tentang diri kami. Bukan
kau. Kami memang saling memburu pada saat lampau pada
saat Menoreh masih belum setenteram sekarang. Akulah yang
selalu diburu oleh Kakak Pandan Wangi dan kedua anak-anak
muda ini. Tetapi sekarang aku sudah menyadari keadaanku,
dosa-dosaku, dan kesalahan-kesalahanku."
Rudita mengerutkan keningnya. Persoalan yang dikatakan
Prastawa adalah persoalan yang berat bagi Menoreh. Bukan
persoalan yang dapat disebut sambil lalu saja. Tetapi
Prastawa mengucapkannya sambil tertawa-tawa, meskipun ia
menyebut dirinya sendiri sebagai buruan.
Sejenak Rudita termenung. Namun kemudian ia berkata,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian membohongi aku. Kalian jangan berbicara tentang
persoalan-persoalan yang aku tidak mengerti. Di dalam
pembicaraan dengan banyak pihak, kalian harus mengambil
persoalan yang tidak dapat menimbulkan salah paham."
Prastawa menganggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah.
Kita akan berbicara saja tentang binatang buruan di hutan
lebat itu. Jika kita berburu ke hutan buruan di sebelah Kali
Praga kita akan dapat menyusur ke Utara dan kita akan
sampai ke hutan yang masih liar. Tentu di daerah itu banyak
sekali binatang buruan. Apalagi tidak terlalu jauh dari aliran
Kali Praga sebagai tempat untuk mendapatkan air bagi
binatang-binatang yang kehausan, karena tebingnya yang
landai." "Aku tidak mau," berkata Rudita, "aku hanya akan berburu
di hutan buruan." Namun di luar dugaannya, Pandan Wangi yang selama itu
berdiam diri sambil menunduk, tiba-tiba menyahut, "Aku ingin
berburu di hutan itu. Jika kau tidak berani, kau dapat
menunggu kami di luar hutan."
"Pandan Wangi," desis Rudita dengan sorot mata yang
aneh. Apalagi saat itu Pandan Wangi mengenakan pakaian
seorang gadis yang hampir sempurna. Tidak pantaslah
nampaknya jika ia berbicara tentang perburuan.
Namun sebelum ia melanjutkan, Pandan Wangi yang
mengenakan kain panjang yang singset dan baju yang rapat
itu tersenyum kepadanya sambil berkata, "Ya Rudita. Kami
akan berburu di hutan yang paling liar di Menoreh. Tentu
menyenangkan sekali. Tidak ada orang yang pernah
melakukannya selain aku dan ayah. Sekarang ayah sudah
tidak pernah lagi melakukannya sejak kakinya tidak mau pulih
seperti sediakala. Dan kini aku mempunyai beberapa orang
kawan untuk melakukannya."
Prastawa memandang Pandan Wangi dengan tegangnya.
Dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya, "Gila. Tentu di
hutan liar banyak binatang buas, ular-ular berbisa dan bahkan
serangga yang dapat menghentikan jalan darah."
"Masih banyak lagi. Kumbang biru, semut sabuk putih, kera
yang buas berambut merah, harimau dahan yang licik, anjing
hutan." "Cukup," Rudita memotong. Wajahnya menjadi kemerahmerahan
seperti wajah Pandan Wangi ketika ia baru saja
keluar dari pintu depan. "Apakah kau tidak ingin ikut?" bertanya Pandan Wangi.
Wajah Rudita yang merah menjadi tegang. Namun katanya
kemudian, "Aku akan ikut. Akulah yang ingin berburu."
"Baiklah. Kita akan berangkat besok pagi-pagi. Mungkin
kita akan bermalam di hutan itu."
"Bermalam?" Rudita menjadi heran. "Apakah Paman
Argapati mengijinkan kau bermalam" Bukankah kau seorang
gadis" Dan apakah kau sering melakukannya seperti yang
dikatakan oleh Prastawa, bermalam di hutan dua tiga malam
bersama banyak pengiring laki-laki."
"Kenapa?" bertanya Pandan Wangi.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Dipeganginya
keningnya. Lalu katanya, "Baik, baik. Aku akan pergi berburu
besok. Sekarang aku akan berkemas."
Dengan tergesa-gesa Rudita pun kemudian meninggalkan
pendapa itu. Pandan Wangi dan Prastawa memandanginya
sambil tersenyum. Namun mereka tidak berkata apa pun juga,
sedang Swandaru dan Agung Sedayu pun segan juga
bertanya tentang anak muda itu, karena mereka
mengetahuinya, bahwa Rudita adalah masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Pandan Wangi lewat jalur ibunya.
Sejenak kemudian, ketika Rudita telah hilang di
longkangan, maka Pandan Wangi pun berkata pula, "Kita
benar-benar akan berburu besok. Tetapi yang kita hadapi dan
yang mungkin kita temui bukan sekedar binatang buas atau
binatang-binatang berbisa. Tetapi mungkin juga bahaya yang
lain." "Apa yang kau maksud?" bertanya Agung Sedayu.
"Kita harus bersenjata selengkapnya, bukan sekedar
senjata untuk berburu, karena di sepaniang tepian Kali Praga
kadang-kadang kita jumpai orang-orang yang tidak kita
kehendaki." Ternyata kata-kata Pandan Wangi itu telah menarik
perhatian Agung Sedayu dan Swandaru sehingga tanpa
mereka sadari, hampir bersamaan mereka bertanya,
"Siapakah mereka itu?"
Pandan Wangi sadar bahwa kata-katanya pasti akan
menarik perhatian. Karena itu maka ia pun segera menjawab,
"Kami di sini tidak tahu dengan pasti. Tetapi mereka adalah
orang-orang yang menyeberang dari sebelah Kali Praga. Kami
mengetahui bahwa telah terjadi pertentangan bersenjata di
seberang. Dan kami tidak ingin Menoreh menjadi tempat
pelarian atau landasan di dalam pertentangan bersenjata itu."
Kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata bahwa ceritera
pemilik getek yang membawa mereka menyeberang itu pasti
bukan sekedar ceritera atau desas-desus.
Namun dalam pada itu, ternyata Swandaru menjadi sangat
tertarik, sehingga katanya kemudian, "Jika demikian, besok
kita benar-benar pergi ke Kali Praga, berburu atau tidak
berburu." "Ah, kau," desis Agung Sedayu, "tujuan kita adalah berburu.
Jika kita menjumpai persoalan lain kecuali binatang buruan,
kita tidak dapat lari lagi dari padanya."
Swandaru tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu
sejenak, lalu, "Baiklah, jika itu istilah yang paling baik
dipergunakan." Prastawa pun tersenyum pula, sedang Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Demikianlah maka mereka masih berbicara beberapa lama
tentang hutan liar di sebelah Kali Praga itu. Juga tentang
orang-orang bersenjata yang kadang-kadang menyeberang ke
Barat setelah terjadi benturan senjata di sebelah Timur Kali
Praga. "Ah," berkata Prastawa, "kenapa kita berbicara tentang halhal
yang dapat menegangkan syaraf. Marilah kita berbicara
tentang diri kita." Ia berhenti sejenak, lalu, "Aku akan pergi
sebentar ke belakang. Aku ingin melihat, apakah kuda-kuda
sudah dibersihkan." Prastawa tidak menunggu jawaban siapa pun. Ia pun
segera bergeser. Namun sebelum ia pergi, Agung Sedayu
menyela, "Apakah aku dapat melihat bagian belakang dari
halaman ini. Aku tidak tahu lagi, di manakah letak pakiwan."
"Baiklah, aku akan menunjukkannya," sahut Prastawa.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi berkata, "Prastawa
tunggulah di sini. Biarlah aku yang menunjukkannya."
"Ah." Pandan Wangi pun kemudian berdiri. Ia tahu maksud
kedua anak-anak muda ini. Namun rasa-rasanya masih asing
bagi Pandan Wangi untuk duduk berdua saja dengan
Swandaru di pendapa itu. Karena itu dengan tergesa-gesa ia
melangkah sambil berkata, "Marilah, Kakang Agung Sedayu."
Tetapi Agung Sedayu-lah yang kemudian tersenyum sambil
berkata, "Ah, tentu tidak pantas jika kau mengantarkan aku ke
pakiwan." "Apa salahnya. Aku pantas pergi berburu dan bermalam di
hutan." Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia justru memperbaiki letak
duduknya dan bergeser mendekati Swandaru.
"Terserahlah," berkata Pandan Wangi, "tetapi jika perlu,
biarlah Prastawa mengantarkanmu."
Prastawa tidak menyahut. Tetapi tatapan matanya sajalah
yang membuat Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu.
Demikianlah, ketiga anak-anak muda itu masih berbincang
sejenak mengenai orang-orang yang tidak dikehendaki di
hutan di sepanjang Kali Praga. Kemudian Agung Sedayu dan
Swandaru pun segera kembali ke gandok.
Dalam pada itu maka orang tua di kedua belah pihak,
Swandaru dan Pandan Wangi, ternyata telah mempersiapkan
diri masing-masing untuk pada saatnya memasuki
pembicaraan yang resmi. Agar mereka tidak terlalu lama
berada di Menoreh, maka Ki Demang Sangkal Pulung telah
sependapat dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bahwa
pada malam harinya mereka akan menyampaikan maksud
kedatangan mereka di Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itulah, maka ketika Tanah Perdikan Menoreh,
dibayangi oleh cahaya senja, Kiai Gringsing-lah yang pertamatama
menemui Ki Gede Menoreh, dan mengatakan bahwa
malam nanti Ki Demang di Sangkal Putung, ingin
menyampaikan suatu kepentingan kepada Ki Argapati.
Ki Argapati tersenyum. Katanya kepada Kiai Gringsing,
"Aku menjadi berdebar-debar. Tetapi aku mendapat firasat
bahwa kedatangan Kiai adalah kelanjutan dari apa yang
pernah Kiai katakan sebelumnya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Demikianlah adanya, Ki Gede. Sekarang Ki
Demang sudah berada di Menoreh. Biarlah nanti malam Ki
Demang menyampaikannya sendiri."
"Baiklah, Kiai Gringsing. Aku akan menerimanya. Dan
karena kebetulan di rumah ini ada juga seorang tamu yang
sudah agak lama tidak saling mengunjungi, maka kami akan
membawanya menerima Ki Demang, Kiai sendiri, dan Ki
Sumangkar." "Terima kasih, Ki Gede," desis Kiai Gringsing, "sebenarnya
persoalannya sudah jelas jika tidak ada persoalan lain yang
selama ini telah terjadi. Tetapi semuanya harus dilakukan
sesuai dengan jalur jalan yang sewajarnya."
"Ya, ya Kiai. Aku mengerti dan berterima kasih."
Demikianlah, maka segala sesuatunya pun telah
dipersiapkan. Ki Gede Menoreh telah menemui ayah Rudita.
Dimintanya ayah Rudita untuk ikut menerima Ki Demang
Sangkal Putung yang akan membicarakan Pandan Wangi
secara resmi. "Ayah," berkata Rudita sepeninggal Ki Gede, "apakah
maksud Ki Argapati sebenarnya."
Ayahnya memandang Rudita sejenak. Lalu sambil tertawa
ia pun berkata, "Rudita, Pandan Wangi sudah cukup dewasa.
Bahkan umurnya justru sudah agak lampau bagi seorang
gadis. Namun sebenarnyalah pembicaraan tentang
hubungannya dengan anak Sangkal Putung itu sudah agak
lama. Tetapi berhubung dengan banyak persoalan, baru
sekarang mereka datang dengan resmi untuk
membicarakannya." Rudita memandang ayahnya dengan wajah yang tegang.
Lalu tiba-tiba saja ia berkata, "Jadi, maksud Ayah, Pandan
Wangi akan kawin?" Ayahnya menganggukkan kepalanya.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia menjadi kecewa mendengar
kata-kata ayahnya itu. Bahkan Ia pun kemudian berkata,
"Sayang sekali."
"Kenapa?" bertanya ayahnya.
"Ia cantik sekali."
Ayahnya tertawa. Katanya, "Apakah seseorang yang cantik
sekali itu tidak seharusnya mengakhiri masa remajanya dan
kemudian kawin?" Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau pun sebenarnya sudah dewasa Rudita. Dan sekarang
ternyata kau sudah mengenal kecantikan seorang gadis.
Memang sudah waktunya bagimu untuk berbicara tentang
gadis." "Tetapi Pandan Wangi sudah akan kawin."
"Ya, tentu. Dan kau pun pada saatnya akan kawin juga.
Pada suatu kali kau tentu akan menjumpai seorang gadis
yang pantas untuk kau jadikan seorang isteri."
Anak muda itu tidak menjawab.
"Nah, kau harus mengucapkan selamat kepada Pandan
Wangi. Meskipun sudah tidak terlampau dekat, kau adalah
sanak kadangnya." Rudita tidak menyahut. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
Tanpa disadarinya ia mulai memandang dirinya sendiri.
Bahkan kemudian ia mencoba memperbandingkan dirinya
sendiri dengan anak muda Sangkal Putung itu. Namun tibatiba
ia bertanya, "Ayah, yang manakah yang kelak akan
menjadi suami Pandan Wangi."
Ayahnya memandanginya sejenak, lalu, "Yang gemuk dan
berwajah cerah seperti wajah kanak-anak yang tidak berlapis."
"Yang tidak berlapis?"
"Ya. Yang di luar dan di dalamnya sama sekali tidak
berbeda. Mudah-mudahan dugaanku benar, karena aku hanya
menangkap kulit luarnya saja. Memang mungkin sifat yang
terbaca pada bentuk dan cahaya matanya itu tidak tepat."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi sayang, bahwa betapa pun bersihnya hati
seseorang, ada juga nodanya meskipun hanya setitik. Anak
yang gemuk itu agak terlampau bernafsu untuk memenuhi
semua keinginannya tanpa kendali. Mudah-mudahan aku
salah." "Tidak, Ayah tidak pernah salah."
Ayahnya tersenyum, katanya, "Mana mungkin seseorang
tidak pernah salah."
"Pada umumnya. Jika seseorang bertanya kepada Ayah
tentang sesuatu, biasanya Ayah benar. Bukankah karena itu
Ayah menjadi terkenal dan disegani. Juga bukankah karena
itu Ayah menjadi kaya?"
"Ah," potong ayahnya, "tidak seorang pun yang mengerti
tepat seperti yang kemudian terjadi. Yang aku lihat adalah
semacam isyarat dari setiap peristiwa. Karena itu ada dua
kemungkinan yang dapat membuat aku keliru. Isyarat itu tidak
tepat, atau uraianku tentang isyarat itulah yang tidak tepat."
Anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mungkin demikian. Tetapi sampai sekarang, kesalahan
semacam itu jarang sekali terjadi. Dan Ayah semakin lama
menjadi semakin dikenal orang."
Ayahnya tersenyum. Katanya, "Berterima kasihlah kepada
Yang Maha Murah, bahwa aku mendapat anugerah ketajaman
pengamatan atas peristiwa yang bakal terjadi. Tetapi ingat,
bahwa yang dapat aku katakan, hanyalah yang aku lihat


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isyaratnya. Karena banyak sekali persoalan yang tidak dapat
aku jawab. Aku juga tidak tahu, apa yang akan terjadi dengan
diri kita, dengan Ki Gede Menoreh dan tentang banyak orang.
Namun kadang-kadang seseorang yang datang kepadaku
membawa persoalan-persoalan yang sudah disertai dengan
isyarat itu sendiri."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Selama ini ia
tidak pernah tertarik dengan ketajaman indera ayahnya. Yang
ia tahu ayahnya adalah seorang yang kaya dan disegani.
Yang banyak dikunjungi orang dan setiap kali dapat
meramalkan apa yang akan terjadi atas suatu persoalan.
"Atas sesuatu persoalan," berkata Rudita di dalam hatinya,
"jadi tidak pada setiap persoalan. Menurut Ayah, banyak sekali
pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya."
Dan tiba-tiba saja Rudita bertanya, "Ayah, siapakah bakal
suami Pandan Wangi."
Ayahnya menjadi heran. Jawabnya, "Kau aneh. Bukankah
Ki Gede sedang menerima lamaran seseorang" Tentu anak
muda Sangkal Putung itulah bakal suaminya. Dalam hal ini,
kita tentu tidak perlu menunggu bentuk isyarat yang mana pun
dan kemudian mengurainya."
"Maksudku, apakah benar-benar akan terjadi, bahwa
Pandan Wangi akan kawin dengan anak muda Sangkal
Putung itu." Ayahnya tersenyum. Katanya, "Aku tidak berusaha melihat
isyarat lain. Kita menganggap bahwa perkawinan itu akan
terjadi." "Cobalah, Ayah. Buatlah suatu isyarat bahwa perkawinan
itu tidak akan berlangsung."
Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah
anaknya sejenak tanpa mengucapkan kata-kata.
"Ayah," ulang anaknya, "buatkan suatu isyarat. Agar kelak
perkawinan itu gagal."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Yang aku
lihat itu adalah suatu isyarat. Bukan syarat-syarat untuk
melakukan sesuatu." "Apakah bedanya?"
"Ah kau. Kelak kau akan mengetahui dengan sendirinya.
Tetapi dengan mudah dapat aku katakan bahwa syarat-syarat
diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau untuk mengharap
sesuatu terjadi. Tetapi isyarat adalah sekedar petunjuk, tandatanda
atau semacam itu bahwa sesuatu akan terjadi. Jika aku
melihat suatu isyarat bahwa seseorang akan mengalami
bencana, bukan akulah yang menyebabkan bencana itu
terjadi, atau bukan isyarat itulah yang menyebabkan sesuatu
itu terjadi. Tetapi yang akan terjadi itu tetap terjadi dengan
atau tidak dengan isyarat."
Rudita mengerutkan keningnya. Ia selama ini hampir tidak
pernah berbicara dengan ayahnya tentang kerja ayahnya itu.
Dan tiba-tiba saja ia menjadi tertarik karenanya.
"Jika kau masih juga tidak mengerti Rudita, cobalah
perhatikan. Jika malam menjelang fajar, maka kau akan
mendengar ayam jantan berkokok. Nah, bagaimana
seandainya semua ayam di dunia ini dibungkam" Tentu
matahari akan tetap terbit, karena bukannya matahari itu terbit
karena ayam berkokok, tetapi kokok ayam adalah suatu
isyarat akan datangnya fajar."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia
tidak begitu mengerti, tetapi sudah mulai terbayang maksud
ayahnya. Karena itu maka katanya, "Jika demikian, apakah Ayah
tidak dapat berbuat sesuatu agar yang akan terjadi itu urung
atau batal sama sekali."
Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Tidak Rudita. Aku
sebenarnya tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk mengetahui
isyarat itu pun tidak setiap kali dapat aku lakukan. Kadang aku
gagal dan sama sekali tidak melihat apa-apa, tetapi kadangkadang
aku salah mengartikan isyarat itu dengan bahasa
sehari-hari." Rudita mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Baiklah,
Ayah." "Kenapa?" bertanya ayahnya dengan curiga.
"Tidak apa-apa. Bukankah Ayah mengatakan bahwa Ayah
tidak dapat berbuat apa-apa."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Terasa sesuatu
menyentuh hatinya. Sudah lama ia mengharap anaknya itu
menyebut sesuatu tentang perempuan, karena umurnya
memang sudah cukup dewasa meskipun sifatnya yang
kadang masih kekanak-kanakan.
Dan yang membuatnya prihatin, ayah Rudita itu masih saja
gagal melihat kemungkinan yang bakal terjadi dengan
anaknya, seperti yang kadang-kadang memang terjadi. Tetapi
bagi masa depan anaknya, bukan saja karena ia tidak berhasil
tetapi sebagian karena pemusatan pikirannya terganggu oleh
perasaan takut dan cemas. Ayah Rudita itu tidak berani
melihat kenyataan tentang anaknya karena sikap dan sifat
anaknya itu sendiri. Jika ia melihat se-suatu yang gelap di
masa depan itu, tentu ia akan bersedih. Apalagi jika isterinya
mengetahuinya pula. Karena itulah kemudian ayah Rudita itu hanya pasrah saja
kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun yang terjadi pasti akan
terjadi. Diketahui atau tidak diketahui lebih dahulu. Dan tentu
demikian pula atas anaknya itu.
Namun pertanyaan ayahnya tentang kemungkinan yang
akan terjadi atas Pandan Wangi itu telah membuatnya
berprihatin. Ia mengerti, bahwa anaknya yang jarang sekali
bergaul dengan perempuan itu telah tertarik oleh Pandan
Wangi meskipun mungkin sekali umur Pandan Wangi agak
lebih tua daripadanya, dan keduanya masih mempunyai
hubungan darah. Ternyata bukan saja ayahnya. Ibunya yang sama sekali
tidak mencampuri pembicaraan itu pun menjadi berprihatin
pula. Ketika anaknya kemudian pergi dengan kepala tunduk,
maka ibunya mendekati suaminya sambil berkata, "Apakah
yang Kakang pikirkan tentang Rudita?"
"Aku justru menjadi semakin prihatin, Nyai," jawabnya.
"Agaknya ia mulai tertarik kepada perempuan."
"Ya. Tetapi sayang sekali, bahwa perempuan itu adalah
Pandan Wangi." "Ya sayang sekali. Tetapi cobalah Kakang, apakah sama
sekali tidak ada kemungkinan untuk menuruti keinginan anak
itu?" "Ah, kau. Bagaimana mungkin. Anak muda Sangkal Putung
itu sudah datang untuk melamarnya. Sebentar lagi mereka
tentu akan kawin. Apa yang dapat aku lakukan?"
"Batalkan perkawinan itu."
"Ah," suaminya bergeser sejenak, lalu, "mana mungkin,
Nyai. Mana mungkin seseorang dapat merubah keharusan
yang bakal terjadi. Jika hal itu akan terjadi, terjadilah. Tetapi
jika batal, itu sama sekali bukan karena seseorang."
"Kakang," berkata isterinya, "selama ini kau sudah
melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang
lain. Selama ini kau dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat
oleh orang lain. Jika demikian, maka kau pun tentu dapat
berbuat sesuatu yang tidak dapat diperbuat oleh orang lain
pula. Selama ini kau hanya berusaha melihat apa yang bakal
terjadi. Tetapi kekuatan batiniah yang sudah ada itu, tentu
akan dapat kau pergunakan untuk mem-pengaruhi sesuatu
yang bakal terjadi itu, karena hubungan sebab dan akibat. Jika
yang bakal terjadi itu adalah satu saja rangkaian peristiwa dari
kejadian-kejadian, maka pengaruh kekuatan batinmu akan
berlaku." Ayah Rudita itu mengerutkan keningnya. Ia memang
memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Ia dapat melihat
isyarat yang ada pada seseorang, sehingga kadang-kadang ia
dapat mengatakan sesuatu yang akan terjadi pada seseorang,
meskipun ia tidak ingkar bahwa kadang-kadang ia keliru.
Keliru melihat isyarat itu atau keliru mengurai.
"Nyai," berkata ayah Rudita itu kemudian, "aku pun senang
sekali jika aku dapat menuruti keinginan anak itu seperti yang
selalu kita lakukan sampai sekarang. Tetapi yang satu ini
menyangkut beberapa macam persoalan. Selain aku belum
dengan sungguh-sungguh berusaha melihat isyarat apa yang
ada pada Pandan Wangi, pada anak muda Sangkal Putung itu
dan pada diri anak kita sendiri, sebenarnya aku pun
mempunyai beberapa keberatan. Pandan Wangi adalah sanak
kita sendiri, sehingga pada kedua anak itu terdapat tetesan
darah yang sama. Selain daripada itu, agaknya Pandan Wangi
lebih tua dari Rudita."
"Ah, keberatanmu bukan persoalan yang pokok di dalam
kehidupan rumah tangga. Banyak sekali perkawinan antara
sanak yang sudah jauh dan sangat berbahagia. Juga umur
dua orang suami isteri tidak menentukan."
"Kau benar. Memang kedua masalah itu tidak menentukan.
Tetapi bagiku lebih baik jika Rudita itu kita carikan jodoh yang
lain. Bukan Pandan Wangi yang sudah mengikat pembicaraan
dengan Demang Sangkal Putung itu."
"Ah, kau aneh, Kakang. Yang diingini anak kita adalah
Pandan Wangi. Ia adalah anak seorang Kepala Tanah
Perdikan. Meskipun umurnya lebih tua, tetapi di dalamnya
banyak mengandung kemungkinan yang baik bagi Rudita.
Kelak Rudita tentu akan dapat menggantikan kedudukan Ki
Gede Menoreh. Dibekali dengan kekayaan kita, maka
kedudukan Rudita tentu akan menjadi sangat kuat di bagian
Barat Kali Praga ini. Apalagi menghadapi perkembangan
daerah baru di seberang Timur Kali Praga yang dipimpin oleh
Ki Gede Pemanahan itu."
Ayah Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu
adalah pamrih yang berlebih-lebihan. Soalnya adalah Rudita
dan Pandan Wangi itu lebih dahulu. Jika Rudita karena
kemanjaannya saja dengan tiba-tiba menganggapnya Pandan
Wangi seorang perempuan yang paling cantik, itu adalah
sangat berbahaya. Setiap saat anggapan itu dapat berubah.
Jika demikian maka perkawinannya akan goyah."
"Kau dapat melihatnya. Seandainya demikian, kau pun
dapat mencoba memberikan pengaruh atas rangkaian sebab
dan akibat dari kehidupan keduanya sehingga kesulitan itu
tidak akan terjadi."
"Itulah kesalahan orang lain menilai diriku. Bahkan isteriku
sendiri. Pengaruh batiniah dari seseorang atas orang lain,
hanya dapat terjadi sepanjang tidak menyilang garis
keharusannya yang sudah tersusun dalam rangkaian
kehidupan seseorang. Dan itu pun hanya dapat dilakukan oleh
orang tertentu. Bukan aku yang mempunyai kerunia
penglihatan saja. Jika seseorang mencoba memaksakan
pengaruhnya atas orang lain dan bahkan kemudian dengan
sifat kekerasan, maka ia sudah melawan kehendak Maha
Penciptanya. Dan itu berarti bahwa ia mencoba melawan
Maha Kekuatan di atas langit dan bumi. Mungkin di dalam
bentuk lahiriahnya, orang itu akan berhasil. Tetapi sudah tentu
bahwa ia tidak akan berhasil berusaha menyelamatkan dirinya
sendiri dari tuntutan Yang Maha Adil."
Isterinya mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Jika Yang Maha Adil itu tidak berkenan di hati, maka
kenapa sesuatu itu dapat terjadi" Bukankah kuasanya dapat
mencegah peristiwa yang akan berlaku. Jika yang berlaku itu
sudah berlaku, itu tandanya bahwa tidak ada persoalan lagi di
hadapan Yang Maha Penciptanya."
"Itulah justru sifat Yang Maha Besar. Bahwa manusia
mendapat kebebasan atas dirinya sendiri untuk menentukan
sikapnya. Di sinilah letak ujian bagi manusia itu sendiri. Di
dalam dirinya ia mendapatkan wewenang untuk memilih sikap
dan perbuatan jasmaniah dan rohaniah. Hasil pilihan itulah
sebenarnya yang menentukan jalan baginya untuk sampai
kepada Yang Maha Pencipta. Itu pun bukan karena
kemampuan diri sendiri, tetapi dengan cahaya kasih Yang
Maha Kasih itu juga adanya."
"Di sini aku melihat kecemasan seseorang yang
menggenggam senjata atas senjatanya. Memang tidak
bijaksana untuk menusuk jantung sendiri. Tetapi jika hati
berpandangan terang, yakinilah bahwa senjata itu dapat
dipergunakan bagi suatu perjuangan. Kebebasan memilih
adalah suatu kurnia pula sehingga tidak akan ada aibnya
mempergunakan kurnia atas kita. Kakang seharusnya tidak
mengingkari kekuatan alam yang ada di sekitar kita untuk
dimanfaatkan seperlunya. Sedangkan aku tahu, bahwa
kekuatan Kakang jauh berada di atas kekuatan yang Kakang
perlihatkan kepadaku. Dan jika itu melanggar Kuasa-Nya
karena Kuasa-Nya tidak terbatas, maka senjata itu akan
direnggutnya dari tanganmu."
"Memang tidak bijaksana menusuk jantung sendiri. Tetapi
juga tidak bijaksana menusuk jantung orang lain tanpa
sentuhan sebab yang wajar. Dan bahwa Yang Kuasa tidak
merampas yang melanggar Kuasa-Nya, itulah sifatnya yang
Maha Agung. Tetapi bahwa di dalam alam ini ada kekuatan
yang menentang Kuasa-Nya kita harus meyakini, mereka
yang sejak semula menyediakan diri dan kekuatannya untuk
menentang Kasih dari Yang Maha Kasih dengan pemanjaan
nafsu lahiriah dan kekuasaan yang semu. Disinilah manusia
berdiri." Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu, "Berdoalah
Nyai. Barangkali doamu dapat mendekatkan kau kepada
kemurnian kurnianya kepadaku. Dan apakah aku dibenarkan
untuk melakukan perbuatan seperti yang kau kehendaki,
karena pada dasarnya itu pun sekedar pemanjaan nafsu
lahiriah. Justru karena Pandan Wangi seorang gadis yang
cantik menurut pengamatan Rudita."
Isterinya tidak segera menjawab. Tetapi seperti biasanya
apabila mereka berselisih pendapat tentang Rudita, maka
perempuan itu pun menundukkan kepalanya sambil
menitikkan air matanya. "Hem," ayah. Rudita itu menarik nafas dalam-dalam. Sudah
berpuluh kali ia mengalami persoalan yang serupa. Isterinya
menangis karena ia tidak dapat memenuhi permintaan anak
laki-laki satu-satunya yang menjadi sangat manja itu.
Tetapi tidak seperti biasanya, laki-laki itu berkata, "Nyai.
Biasanya aku tidak dapat menolak jika kau sudah mulai
menitikkan air mata. Sebenarnya kali ini pun aku ingin
memenuhinya. Tetapi apa boleh buat. Persoalannya ada di
luar kemampuanku. Aku tidak dapat merobah jalan hidup
seseorang jika itu memang harus berlaku."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan tidak dapat, tetapi kau tidak mau melakukannya,"
jawab isterinya di sela-sela sedu sedannya.
Sekali lagi ayah Rudita menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku tidak tahu, bagaimana aku harus mengatakan.
Tetapi aku benar-benar tidak mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi jalan hidup seseorang dengan kekuatan
batinku." Isterinya tidak menyahut lagi. Tetapi kediamannya terasa
bukan kediaman yang ikhlas. Agaknya isterinya kali ini merasa
bahwa suaminya tidak lagi mau menuruti permintaannya dan
permintaan anaknya. Meskipun perasaan itu direndamnya,
namun suaminya yang mempunyai pengamatan tajam sekali
atas peristiwa manusiawi dan alami di sekitarnya merasakan
kekecewaan yang dalam itu. Namun demikian ia pun tidak
dapat berbuat apa-apa. "Nyai," berkata ayah Rudita itu kemudian, "aku tahu bahwa
kau kecewa, Nyai. Tetapi aku harap bahwa kau dapat
mengerti keadaanku pula." Ia berhenti sejenak, lalu, "Aku tidak
dapat menolak, bahwa malam nanti aku akan ikut
membicarakan persoalan Pandan Wangi itu secara resmi
dengan Ki Demang di Sangkal Putung."
Tetapi isterinya sama sekali tidak menjawab. Bahkan titik
air matanya sajalah yang menjadi semakin deras. Sambil
terisak ia berkata, "Rudita adalah satu-satunya anak kita.
Alangkah malang nasibnya. Dan alangkah kecil arti orangorang
tua yang tidak dapat memenuhi keinginan anaknya.
Kelahiran yang tanpa dimintanya itu adalah sepenuhnya
tanggung jawab kita, sehingga kelanjutan dari kelahirannya itu
pun akan tetap menjadi tanggung jawab kita."
Suaminya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. Di dalam keadaan yang demikian, isterinya
terlampau sulit untuk dapat mengerti kata-katanya. Tetapi kali
ini ia sama sekali tidak akan berniat untuk mencoba
memenuhi permintaan isterinya itu. Selain ia merasa bahwa ia
akan memaksakan dirinya menjelajahi daerah kemampuan
yang tersembunyi baginya, juga karena ia merasa terlampau
berat untuk mengiakannya.
Dengan demikian maka untuk beberapa lamanya keduanya
berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh angan-angan
yang berselisih jalan. Dalam pada itu Rudita sendiri sedang berjalan-jalan di
kebun belakang. Ada sesuatu yang belum pernah hinggap di
perasaannya. Tiba-tiba saja ia merasa tertarik sekali kepada
Pandan Wangi. Gadis itu serasa gadis yang paling cantik yang
pernah dilihatnya. Selama ini ia tidak pernah menghiraukan
gadis yang mana pun juga. Namun tiba-tiba ia merasa tertarik
kepada gadis yang masih mempunyai saluran darah dari
sumber yang sama. Langkahnya terhenti ketika kemudian ia melihat Prastawa
sedang sibuk di kandang kudanya. Sejenak ia memandang
dari kejauhan. Tetapi ia tidak mendekatinya. Sambil
menundukkan kepalanya, ia melanjutkan langkahnya
menyelusuri pepohonan yang rimbun.
"Besok aku akan berburu," berkata Rudita di dalam hati,
"tetapi anak yang gemuk itu tentu akan lebih menarik bagi
Pandan Wangi. Apalagi apabila pembicaraan tentang mereka
sudah selesai." Rudita mengerutkan keningnya. Lalu, "Ayah kali ini tidak
mau membantuku." Kekecewaan yang sangat telah mencengkam hati anak
muda itu. Namun ia tidak mempunyai jalan untuk
memecahkannya. Demikianlah ketika waktu yang dibicarakan tiba, secara
resmi Ki Demang Sangkal Putung, diiringi oleh Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar naik ke pendapa diterima oleh Ki Gede
Menoreh bersama ayah Rudita.
Mula-mula mereka memperkenalkan diri masing-masing
sebelum mereka terlibat di dalam pembicaraan pendahuluan
yang riuh di seling dengan gelak tertawa.
"Namanya Waskita," berkata Ki Gede Menoreh. Lalu,
"Bukan saja karena ia kemudian dapat melihat peristiwa yang
bakal terjadi atas seseorang, tetapi nama itu dimilikinya sejak
kecil. Adalah kebetulan saja, maksudku adalah terpenuhi
keinginan orang tuanya dengan memberinya nama Waskita."
"Tidak melihat peristiwa yang bakal terjadi atas seseorang.
Tetapi aku sekedar mencoba menguraikan isyarat yang dapat
aku lihat. Hanya yang dapat aku lihat. Dan yang dapat aku
lihat jumlahnya terlampau sedikit dibandingkan dengan
kejadian alam yang tidak terhitung jumlahnya."
"Yang sedikit itu pun sudah merupakan kelebihan, karena
pada umumnya kami tidak dapat melihatnya sama sekali."
"Bukan tidak melihat. Tetapi perhatian kalian tidak tertuju
pada penggunaan mata hati untuk melihat isyarat-isyarat yang
ada. Kalian tertarik pada persoalan yang lain yang aku tidak
dapat melakukannya."
"Tentu tidak. Kau pun memiliki ilmu yang hampir sempurna
di bidang kanuragan. Itulah kelebihanmu."
Orang yang bernama Waskita itu tersenyum.
Dipandanginya Ki Gede Menoreh sesaat, lalu katanya,
"Jangan menyebut ilmu di dalam olah kanuragan. Aku menjadi
malu karenanya. Benar-benar tidak berarti dibandingkan
dengan Ki Gede. Apalagi sebelum Ki Gede kena cidera."
Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya kemudian, "Kau
memang seorang yang rendah hati." Lalu katanya kepada Ki
Demang di Sangkal Putung dan kawan-kawannya, "Inilah
orang yang sekarang ada di rumah ini. Sudah lama sekali ia
tidak berkunjung kemari. Tiba-tiba saja tanpa mimpi apa pun,
aku mendapat kunjungannya."
"Tentu Ki Gede tidak mengetahuinya bahwa akan ada tamu
berkunjung kemari," bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak." "Dan kunjungan kami?"
"Juga tidak." "Tetapi bagi Ki Waskita, barangkali kunjungan kami tidak
mengejutkannya." "Ah, tentu mengejutkan. Aku sama sekali tidak
mengetahuinya bahwa sesudah kami akan datang tamu dari
Sangkal Putung. Sudah aku katakan, hanya jika ada isyarat
aku mengetahuinya. Itu pun kadang-kadang harus dengan
tekun dan sengaja mencari pada seseorang atau keadaan."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan
dalam, ia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh
Waskita. Demikian juga Ki Sumangkar dan Ki Demang di
Sangkal Putung, seperti juga Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu, pembicaraan mereka pun segera
berkembang dari satu persoalan ke persoalan yang lain,
sehingga akhirnya Ki Demang Sangkal Putung sampai juga
pada pokok persoalannya membicarakan hubungan yang
sudah lama terjalin antara Swandaru yang gemuk itu dengan
Pandan Wangi. Tidak ada kesulitan di dalam pembicaraan itu. Ki Gede
Menoreh yang sebenarnya memang sudah lama menunggu
kedatangan mereka, dengan senang hati menerimanya,
meskipun sebagai kelaziman seorang ayah Ki Gede berkata,
"Baiklah Ki Demang, lamaran Ki Demang bagi putera Ki
Demang yang bernama Swandaru itu aku terima. Meskipun
demikian, karena bukan aku orangnya yang akan
menjalaninya, maka aku akan menanyakannya kepada
anakku. Karena itu, kami persilahkan Ki Demang tinggal dua
tiga hari di sini. Pada saatnya kami akan memberikan jawaban
atas lamaran Ki Demang bagi putera Ki Demang itu."
Ki Demang pun mengetahui, bahwa akan demikian
jawaban Ki Gede Menoreh. Itulah sebabnya ia sudah bersedia
jawaban pula. "Baiklah, Ki Gede. Kami akan menunggu
sampai pintu yang kami ketuk itu terbuka."
Demikianlah pembicaraan itu tidak mengalami persoalan
apa pun. Semuanya berlangsung seperti yang diharapkan.
Meskipun kadang-kadang terasa perasaan Ki Waskita
tersentuh. Setiap kali ia teringat kepada anak laki-lakinya.
Namun demikian sama sekali tidak terlintas di dalam anganangannya
untuk berbuat sesuatu atas pembicaraan itu. Ia
tidak ingin mempergunakan sesuatu yang dimilikinya untuk
mempengaruhinya. "Jika terjadi sesuatu, biarlah itu terjadi karena seharusnya
terjadi. Bukan karena aku dan apalagi karena usahaku untuk
mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi itu."
Tetapi kegelisahan di hati Ki Waskita seakan-akan selalu
mengganggunya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka
dicobanya untuk menilik di dalam dirinya, apakah ia
menemukan sesuatu yang kurang wajar di dalam persoalan
yang sedang dihadapinya. Tiba-tiba keringat dingin mengembun di keningnya. Ia
melihat sesuatu yang seakan-akan disaput oleh mendung
yang kelabu. "Tidak, tidak," desisnya di dalam hati.
Tetapi itu di luar kuasanya. Ia hanya melihat. Ia tidak dapat
berbuat apa pun atas penglihatannya.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti,
di manakah letak kesalahan dari persoalan yang dihadapinya
karena ia tidak sempat merenunginya ketika pembicaraan itu
kemudian berlangsung dengan riuhnya, diselingi oleh gelak
tertawa. Ki Waskita mencoba juga untuk tertawa. Namun setiap kali
terbayang di rongga mata hatinya, bahwa perkawinan yang
dibicarakan ini bagai bayang-bayang di dalam gelapnya kabut
yang buram. "Kenapa?" timbul pertanyaan yang membelit hatinya. Tetapi
Ki Waskita tidak sempat mencari jawab. Bahkan menurut
tanggapannya di dalam kesempatan yang sempit itu, seakanakan
perkawinan yang akan terjadi antara Swandaru dan
Pandan Wangi, akan diliputi oleh kegelapan hati, meskipun
perkawinan itu sendiri akan berlangsung.
"Mudah-mudahan aku salah," ia berkata kepada diri sendiri
di dalam hatinya, "aku tidak mendapat waktu yang luas untuk
meyakini isyarat yang tidak aku kehendaki terselip di dalam
hati ini." Namun yang terjadi kemudian adalah pembicaraanpembicaraan
yang berkepanjangan, yang kadang-kadang
sudah menyimpang dari persoalan yang sebenarnya.
Sesaat kemudian maka Pandan Wangi pun
menghidangkan makanan dan minuman bagi mereka, bahkan
makan malam sama sekali. "Biarlah anak-anak muda makan kemudian," berkata Ki
Gede Menoreh. Lalu, "Biarlah nanti Swandaru, Agung Sedayu
dan Rudita berbujana sendiri dengan Prastawa dan Pandan
Wangi." Ki Gede berhenti sejenak, kemudian, "Di mana
mereka sekarang?" "Mereka ada di gandok. Atau mungkin di gardu peronda.
Agaknya mereka ingin menemui kawan-kawannya ketika
mereka berada di Tanah Perdikan ini."
Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil tersenyum. Bagi Swandaru dan Agung Sedayu, maka
sudah banyak sekali anak-anak muda di Tanah Perdikan ini
yang dikenalnya. Karena itu, maka mereka tentu ingin juga
bertemu dan sedikit membicarakan kenangan masa lampau
itu meskipun bagi orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh,
masalah-masalah di masa lampau itu sudah tidak ingin
dikenangnya lagi. Tetapi dalam pada itu, ternyata hanya Agung Sedayu
sendirilah yang pergi ke gardu di regol halaman. Ketika udara
di gandok terasa terlampau panas, maka kedua anak muda itu
pun duduk di serambi. Mereka tidak ikut Ki Demang
menghadap Ki Gede Menoreh, karena persoalan yang akan
dibicarakan adalah persoalan Swandaru.
"Kakang Agung Sedayu," berkata Swandaru yang gemuk
itu, "udara panasnya bukan main. Aku akan ke pakiwan
sebentar." "Kenapa?" "Aku akan membasahi wajahku sejenak. Mencuci muka,
agar badanku terasa agak segar."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia
pun kemudian duduk sendiri di serambi.
Tetapi ternyata Swandaru lama sekali tidak kembali ke
serambi gandok. Karena itulah maka Agung Sedayu yang
kesepian itu pun berdiri dan melangkah pergi ke gardu di regol
untuk menemui beberapa orang yang sedang bertugas
meronda. Ternyata ada di antara mereka yang sudah
dikenalnya ketika ia berada di Tanah Perdikan itu, sehingga
dengan demikian maka Agung Sedayu pun segera terlibat
dalam pembicaraan yang mengasyikkan.
Dalam pada itu, Swandaru yang pergi ke pakiwan, dan
mencuci mukanya, tidak segera kembali ke serambi gandok
karena kebetulan saja ia berpapasan dengan Prastawa.
Sejenak mereka bercakap-cakap di dalam keremangan malam
di serambi belakang. Tetapi sejenak kemudian, seseorang
telah mendekati mereka sambil bertanya, "Apa kerjamu di situ,
Prastawa?" Prastawa berpaling. Lalu jawabnya, "Aku kurang mengerti
apa yang dikehendaki orang ini."
"Siapa?" bertanya orang itu.
"Seorang pekatik. Ia bertanya tentang kudamu yang hitam
itu." "Kenapa kuda itu?"
Prastawa tidak menjawab. Tetapi dengan sengaja ia
bergeser membayangi Swandaru, sehingga tidak dapat terlihat
dengan jelas. Swandaru menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ia
melihat orang yang mendekatinya itu.
"Apa katanya?" orang itu masih bertanya.
"Bertanyalah sendiri kepadanya."
Ketika orang itu berdiri di hadapan Prastawa, maka tiba-tiba
Prastawa berkata, "Uruslah kudamu. Aku akan menyiapkan
keperluan tamu-tamu di pendapa itu."
"Prastawa," orang itu mencoba mencegah, tetapi Prastawa
sudah meninggalkannya. "Anak Bengal," orang itu mengumpat. Wajahnya menjadi
merah ketika ia melihat bahwa yang disebutnya pekatik itu
adalah Swandaru. Tetapi ia masih berdiri saja sambil menundukkan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya. Ada sesuatu yang seakan-akan mengikatnya untuk
tetap di situ. Swandaru pun menjadi bingung, karena orang itu adalah
Pandan Wangi. Sejak Prastawa memanggil gadis itu, maka
hampir saja mulutnya terbuka untuk menyatakan dirinya.
Tetapi ternyata kata-katanya tidak meloncat dari sela-sela
bibirnya. Kini keduanya berdiri berhadapan di dalam keremangan
malam di serambi belakang dalam suasana yang beku.
Tetapi Swandaru pun akhirnya dapat menguasai
perasaannya dan berkata, "Bukan maksudku memanggilmu.
Tetapi apakah pekerjaanmu sudah selesai" Bukankah kau
sedang mempersiapkan hidangan buat para tamu?"
Dengan keringat yang membasahi punggungnya, Pandan
Wangi menjawab seperti di luar sadarnya, "Aku sudah selesai.
Aku sudah menghidangkan suguhan itu."
"O," Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
dalam pada itu ada sepercik kegembiraan bahwa Pandan
Wangi tidak perlu lagi meninggalkannya.
Namun suaranya masih terasa sendat ketika ia bertanya,
"Apakah mereka sudah selesai berbincang?"
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya, "Rupa-rupanya
pembicaraan mereka sudah selesai."
"Jadi, jadi," suara Swandaru bahkan menjadi gemetar,
"apakah ayahmu tidak berkeberatan?"
Pandan Wangi nnenundukkan kepalanya. Dengan suara
yang hampir tidak terdengar ia berkata, "Ayah menyerahkan
persoalannya kepadaku. Aku mendengar ayah berkata, bahwa
ayah akan bertanya kepadaku lebih dahulu."
Dada Swandaru menjadi semakin berdebar-debar. Ketika
terlihat olehnya sebuah dingklik bambu di serambi belakang,
maka katanya, "Apakah kita akan duduk saja di dingklik itu?"
Pandan Wangi tidak mengerti, pesona apakah yang telah
menggerakkan kepalanya, sehingga kepalanya itu teranggukangguk.
Keduanya pun kemudian duduk di atas dingklik bambu di
serambi belakang di dalam keremangan malam. Ketika amben
bambu itu bergoncang dan keduanya tanpa sengaja
bersentuhan, terasa sesuatu bagaikan mengalir di sepanjang
jalur darah kedua anak muda itu dan merayap sampai ke
pusat jantungnya. Namun dengan demikian mulut mereka
justru seakan-akan menjadi terbungkam.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Dalam kesenyapan
malam yang menjadi semakin dalam, terdengar jantung
mereka berdegup terlampau keras.
Namun perlahan-lahan keduanya berhasil menguasai
kegelisahannya. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika
ia mendengar pembantu-pembantunya sibuk mencuci alat-alat
dapur di sebelah serambi itu.
"Aku mempunyai pekerjaan di dapur," berkata Pandan
Wangi. Swandaru .menganggukkan kepalanya sambil menjawab
singkat, "Ya." Tetapi Pandan Wangi tidak beringsut dari tempatnya. Ia
masih saja duduk di samping Swandaru. Tatapan matanya
bahkan jauh menembus ke dalam gelapnya malam.
"Pandan Wangi," sejenak kemudian terdengar suara
Swandaru perlahan-lahan, "tentu ayah dan Ki Gede
membicarakan persoalan kita sampai sejauh-jauhnya.
Meskipun Ki Gede masih akan bertanya kepadamu, namun
sebenarnya mereka telah mengetahui jawabnya, karena Kiai
Gringsing sudah mengatakannya kepada ayah bahwa pernah
dibicarakannya masalah ini sebagai pendahuluan."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Meskipun demikian Pandan Wangi, sebaiknya kau
mengenal aku lebih jauh lagi. Tentu aku tidak akan dapat
mengatakan tentang diriku sendiri. Selama kami masih akan
tinggal di sini beberapa hari lagi untuk menunggu jawabmu,
selama itu kau dapat bertanya kepada guru tentang diriku atau
kepada Kakang Agung Sedayu. Kau mengenal aku selama ini
sebagai tamu di rumah ini. Karena itu, tentu tingkah lakuku,
tutur kataku, aku jaga sebaik-baiknya. Tetapi tidak demikian
halnya jika aku berada di rumahku sendiri."
Pandan Wangi berpaling sejenak. Tetapi hanya sejenak.
Kata-kata Swandaru itu mempunyai kesan yang aneh di dalam
hatinya. Justru karena keterbukaannya itulah, maka Pandan
Wangi merasa semakin tertarik kepada anak yang gemuk ini.
Hampir di luar sadarnya ia menjawab, "Betapa pun sifatmu,
Kakang, tetapi aku melihat kejujuran di dalam sikap, kata, dan
kalau aku tidak salah tangkap juga angan-anganmu. Itu
adalah bekal yang sangat berharga bagi kita kelak, karena aku
tidak ingin ada rahasia di antara keluarga, apalagi pada suami
dan isterinya. Pengalaman yang pahit di dalam keluargaku
sendiri menyatakan, bahwa ketidak-jujuran hanya akan
menimbulkan malapetaka saja."
Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah
Pandan Wangi yang tiba-tiba menjadi sayu. Karena itu ia tidak
bertanya lebih lanjut. Karena persoalannya pasti akan
menyangkut kakaknya, Sidanti, yang pernah menggemparkan
Tanah Perdikan ini dan bahkan tanpa dikehendakinya, Sidanti
terbunuh oleh adiknya itu sendiri.
"Pandan Wangi," berkata Swandaru kemudian, "terima
kasih atas pengertianmu. Tetapi keterbukaan hati kadangkadang
ujudnya adalah sikap yang barangkali tampak kasar
dan tidak sopan. Aku merasakan betapa kadang-kadang
orang tuaku, atau guruku, atau orang lain tidak senang melihat
sikapku. Aku memang berusaha untuk sedikit melunakkan
keterbukaan hatiku dengan bentuk yang lebih baik. Tetapi
tidak selalu berhasil. Setiap kali tiba-tiba saja meloncat
sikapku yang kadang-kadang menyinggung perasaan orang
lain. Apalagi di hadapan Kakang Agung Sedayu yang
mempunyai sifat-sifat yang kadang-kadang tidak dimengerti
oleh orang lain." Pandan Wangi sekali lagi mengangkat wajahnya dan
memandang wajah Swandaru yang bulat. Tetapi juga hanya
sesaat. "Kakang Swandaru," berkata Pandan Wangi kemudian,
"kekasaran bukan sifat yang kurang baik apabila itu disadari
dan dilandasi dengan niat-niat yang baik. Namun kejujuran itu
sendiri mempunyai nilai yang sangat tinggi bagiku." Pandan
Wangi menundukkan kepalanya semakin dalam, lalu, "Dan
aku bukannya orang yang terbuka, meskipun aku berusaha
untuk berbuat sejujur-jujurnya. Tetapi Kakang, aku adalah
seorang gadis yang murung sejak kanak-kanak."
"Aku mengerti, Pandan Wangi," jawab Swandaru, "kau
pernah kehilangan sesuatu yang paling mahal harganya, yaitu
kasih ibumu. Tetapi ayahmu adalah seorang yang sangat baik
bagimu sehingga kau dapat berkembang seperti sekarang ini."
"Aku hanya ingin kau juga mengetahui, Kakang. Jika aku
setiap kali berwajah murung, sama sekali bukan selalu karena
persoalan yang aku hadapi pada suatu saat. Tetapi itu adalah
sifatku yang mungkin sangat menjemukan bagi orang lain."
"Aku pernah mendengar guruku menasehati aku, Pandan
Wangi. bahwa di dalam hidup berkeluarga itu, masing-masing
tidak memasang harga diri yang mati. Kadang kita masingmasing
harus berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
keinginan sendiri. Itulah agaknya salah satu bentuk
pengorbanan yang kecil, dan tentu kau pun pernah
mendengar uraian yang panjang lebar di dalam setiap upacara
perkawinan. Jika kita memperhatikan setiap nasehat meskipun
tidak ditujukan kepada kita, tetapi kepada nganten yang
dirayakan saat itu, kita akan dapat mengambil manfaat
sebanyak-banyaknya. Tetapi pokok dari persoalannya adalah
bahwa kita masing-masing harus menerima sisihan kita itu
seutuhnya. Bukan hanya yang baik saja yang ada padanya,
tetapi dengan segada kekurangan-kekurangannya."
"Aku mengerti, Kakang," berkata Pandan Wangi. "Dan kita
bukan anak-anak yang baru menginjak usia remaja yang
membayangkan malam terang bulan di sepanjang tahun,
namun yang dengan segera menjadi kecewa ketika melihat
bulan tidak bulat lagi."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Ya. Kita memang bukan remaja kecil lagi. Mudah-mudahan
aku dapat menyesuaikan diriku dalam kehidupan yang lebih
dewasa. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, aku
berharap bahwa kita dapat mempertahankan segala yang baik
dan mengurangi sejauh mungkin kekurangan-kekurangan di
hati kita masing-masing."
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi kata-kata
Swandaru itu membuatnya berbangga. Sehari-hari ia melihat
Swandaru itu seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh
dalam setiap persoalan. Namun ternyata, menghadapi
perkawinannya, Swandaru dapat berbicara seperti seorang
kakek di depan sepasang mempelai yang sedang
dipersandingkan. "Mudah-mudahan semuanya itu bukan sekedar petuahprtuah
yang didengarnya di dalam perhelatan-perhelatan
saja," berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, "tetapi benarbenar
tumbuh dari dasar hatinya."
Namun dalam pada itu, selagi keduanya masih sedang
mencernakan pembicaraan mereka, maka mereka telah
dikejutkan oleh desir langkah seseorang di kegelapan.
Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga
pendengaran mereka pun cukup terlatih. Karena itulah, maka
keduanya pun segera memperhatikan suara yang mereka
dengar itu dengan lebih saksama.
Langkah itu terdengar semakin jelas. Dan tiba-tiba saja dari
kegelapan mereka mendengar seseorang berkata, "Pandan
Wangi, apakah pantas hal itu kau lakukan?"
Kedua anak muda yang duduk di amben bambu itu segera
melihat bayangan di dalam kegelapan. Namun mereka pun
segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Rudita.
Perlahan-lahan Rudita mendekati keduanya sambil berkata,
"Pandan Wangi. Aku adalah saudaramu. Aku berkeberatan
melihat caramu bergaul dengan laki-laki. Laki-laki itu kini
bukan sanakmu, bukan kadangmu. Karena itu kau tidak boleh
duduk berdua saja di dalam gelap. Sentuhan kulit kalian,
membuat kalian menjadi kotor, dan harus disucikan."
Wajah Pandan Wangi menjadi merah padam. Hampir saja
ia meloncat menerkam Rudita dan meremas mulutnya. Namun
untunglah bahwa ia masih sempat menguasai perasaannya.
Rudita yang sudah berdiri di hadapan mereka sambil
bertolak pinggang berkata, "Pandan Wangi. Kau adalah
contoh dari setiap gadis di Tanah Perdikan ini. Jika anak gadis
kepala Tanah Perdikannya saja berbuat seperti itu, apakah
yang akan dilakukan oleh gadis-gadis yang lain?"
"Rudita," jawab Pandan Wangi yang berusaha menahan
hati itu, "berbicaralah yang agak baik. Apakah yang salah
padaku sekarang" Apakah salahnya aku duduk di sini
bersama Kakang Swandaru?"
"Kau sudah melanggar pantangan bagi seorang gadis."
"Rudita," berkata Pandan Wangi kemudian, "barangkali aku
sudah terlampau sering melanggar pantangan serupa ini jika
hal serupa ini merupakan sebuah pantangan. Aku dibentuk
oleh ayah menjadi seorang gadis yang memang agak lain dari
gadis yang lain. Aku oleh ayah diperkenankan pergi berburu
dan bermalam di perburuan. Aku adalah satu-satunya
perempuan di perburuan itu. Tentu di hutan perburuan aku
selalu duduk bersama dengan lebih dari tiga empat orang lakilaki
pengiringku." "Soalnya berbeda," sahut Rudita, "kau benar-benar tidak
mempunyai sentuhan apa pun dengan laki-laki itu. Lahir dan
batin. Tetapi dengan Swandaru, kau telah bersentuhan
jasmaniah dan rohaniah. Itu adalah perbuatan terlarang
sebelum kalian menjadi pasangan suami isteri yang sah."
"Ah," Pandan Wangi berdesah, "kau jangan membuat
keributan Rudita. Aku berterima kasih jika kau
memperingatkan kesalahanku. Tetapi jangan berbicara terlalu
tajam. Kata-kata bagi seseorang dapat berpengaruh baik
tetapi juga dapat berpengaruh buruk bagi diri sendiri."
"Apa yang aku katakan?" bertanya Rudita. "Memang
mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sudah barang tentu
seseorang tidak akan dengan senang hati melihat cacat di
tubuh sendiri. Tetapi aku merasa wajib. Dan kau harus
menjaga bahwa hal yang serupa ini tidak berkelanjutan."
Wajah Pandan Wangi terasa menjadi panas. Namun ia
masih tetap bertahan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat
menimbulkan persoalan lebih jauh karena orang tua Rudita itu
pun sedang menjadi tamu ayahnya pula. Na-mun yang
mencemaskannya adalah Swandaru yang masih berdiam diri.
Pandan Wangi sedikit banyak mengenal watak Swandaru.
Karena itu, jika anak muda yang gemuk itu menjadi jengkel,
maka ia akan dapat berbuat sesuatu yang dapat
menumbuhkan keributan dan bahkan mungkin akan
berkepanjangan. Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun berkata, "Rudita.
Aku berterima kasih. Sekarang, barangkali ibumu mencarimu.
Aku pun akan segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan
kita." "Kau harus pergi lebih dahulu," berkata Rudita, "jika tidak,
maka sepeninggalku kau dapat berbuat apa saja di dalam
gelap." "Rudita, apakah kau dengar suara para pelayan mencuci
alat dapur di balik dinding ini" Mereka tentu mendengar
percakapan kita, juga jika aku berbicara dengan Kakang
Swandaru. Di sebelah kiri dari tempat duduk ini adalah sumur
dan pakiwan. Setiap saat orang akan pergi hilir-mudik ke
sumur. Karena itu kami tidak melanggar pantangan. Terutama
pantangan ayahku sendiri, karena yang berkuasa di dalam
rumah ini adalah ayah. Selama aku belum melanggar perintah
dan pantangannya, maka aku merasa bahwa aku masih dapat
melakukannya." Wajah Rudita menjadi tegang, dan Pandan Wangi berkata
selanjutnya, "Ingat, ayahlah yang paling berkuasa di sini.
Tidak hanya di rumah ini, tetapi di seluruh Tanah Perdikan
Menoreh. Karena itu, untuk mengukur apakah aku telah
berbuat kesalahan di rumah ini dan di atas Tanah Perdikan ini,
bertanyalah kepada ayahku. Katakan apa yang kau lihat, dan
mintalah pendapatnya."
Rudita menjadi semakin tegang. Dipandanginya wajah
Pandan Wangi sejenak, kemudian wajah Swandaru yang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir bulat itu. Bagi Rudita, kata-kata Pandan Wangi itu seolah-olah
merupakan tantangan, bahwa gadis itu tidak akan
mendengarkan semua pendapatnya. Pandan Wangi merasa
bahwa apa yang dilakukannya itu masih belum melanggar
pantangan. Karena itu, maka dirasa dadanya semakin lama menjadi
semakin pepat. Kemanjaannya membuatnya menjadi sakit
hati. Kebiasaannya adalah, bahwa semua keinginan dan katakatanya
terpenuhi atau setidak-tidaknya orang lain berusaha
untuk memenuhinya. Namun kini Pandan Wangi justru
bersandar kepada kekuasaan ayahnya di atas Tanah Perdikan
ini. Sejenak Rudita berdiri termangu-mangu. Namun sejenak
kemudian ia pun meninggalkan kedua anak muda itu tanpa
berkata sepatah kata pun.
Pandan Wangi menarik nafas dalam. Sebenarnya ia sama
sekali tidak ingin menyakiti hati tamunya itu. Tetapi ia tidak
mempunyai cara lain, apalagi Rudita sudah melanggar haknya
sebagai seorang tamu. Seandainya ia tidak senang
melihatnya berbicara berdua dengan Swandaru, sebaiknya ia
tidak dengan langsung menegurnya.
Pandan Wangi berpaling ketika ia mendengar Swandaru
berkata, "Maafkan Pandan Wangi, jika kehadiranku di sini
menimbulkan persoalan di antara kalian, di antara sanak dan
kadangmu, karena bukankah Rudita itu masih bersangkut paut
keluarga denganmu?" "Ia tidak berhak mempersoalkannya, Kakang Swandaru,"
jawab Pandan Wangi. "Mungkin maksudnya baik. Tetapi sifatnya yang terlalu
memandang setiap persoalan berkisar pada dirinya dan
kemanjaannyalah yang membuatnya berbuat sesuatu yang
nampaknya kurang menghiraukan perasaan orang lain."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
"Mungkin begitu, Kakang. Dan aku pun berterima kasih karena
Kakang menanggapi persoalan ini dengan hati yang lapang.
Sebenarnya aku sudah cemas, jika tiba-tiba saja Kakang
Swandaru merasa tersinggung dan bertindak langsung
terhadapnya." Swandaru tersenyum. Katanya, "Aku pun tamu di sini.
Karena itu, sejauh mungkin aku harus menyesuaikan diriku
dengan keadaan apa pun di sini."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
katanya, "Sudahlah, Kakang Swandaru, aku akan pergi ke
dapur. Jika tamu-tamu di pendapa itu sudah selesai, maka kita
akan makan bersama-sama."
Swandaru memandang Pandan Wangi sejenak, namun
kemudian ia menganggukkan kepalanya meskipun
sebenarnya ia masih ingin duduk bersamanya agak lebih lama
lagi, "Baiklah, Wangi."
Pandan Wangi pun kemudian berdiri dan melangkah
perlahan-lahan meninggalkan Swandaru yang masih duduk di
atas amben bambu. Baru beberapa langkah Pandan Wangi
berhenti sejenak. Ketika ia berpaling, Swandaru pun sedang
memandanginya sehingga tatapan mata keduanya pun
beradu. Dengan tergesa-gesa Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Tetapi ia masih tetap saja berdiri di tempatnya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
Sejenak kemudian, Pandan Wangi menyadari keadaannya.
Sekali lagi ia memandang Swandaru sambil tersenyum.
Kemudian ia pun meneruskan langkahnya ke pintu dapur.
Swandaru termangu-mangu sejenak di tempatnya. Bahkan
kemudian ia bersandar tiang di belakang amben bambunya.
Dipandanginya kegelapan malam yang semakin pekat
menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian di
balik kegelapan itu seakan-akan dilihatnya Rudita sedang
berdiri tegang di balik dedaunan mengawasi setiap gerakgeriknya.
Ketika ia mendengar suara Pandan Wangi yang sedang
berbicara dengan pembantunya di dapur, barulah Swandaru
menyadari dirinya. Ia pun kemudian berdiri pula dan berjalan
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, kembali ke gandok.
Tetapi ia tidak menjumpai Agung Sedayu di gandok itu.
Meskipun demikian, ia tidak segera mencarinya. Ketika
dilihatnya mereka yang sedang berbincang masih berada di
pendapa, bahkan bekas makan malam mereka pun masih
belum disingkirkan, maka Swandaru pun justru masuk ke
dalam gandok dan membaringkan dirinya di amben yang
besar sambil menarik nafas dalam-dalam. Dibiarkannya
angan-angannya terbang ke dalam dunia yang asing baginya,
namun memberikan harapan yang cerah bagi hari depannya.
Dalam pada itu, Pandan Wangi mulai menyibukkan dirinya
di dapur. Beberapa orang pelayannya pun kemudian pergi ke
pendapa untuk menyingkirkan mangkuk dan tempat nasi yang
masih ada di pendapa itu. Sementara ayahnya berpesan, agar
bagi anak-anak muda yang ada disediakan makan di
pringgitan saja, karena orang-orang tua itu masih ingin
berbicara panjang, meskipun persoalannya sudah berkisar
dari persoalan pokok yang sebenarnya sudah selesai.
Sambil mengatur makan malam bagi Swandaru dan anakanak
muda yang lain, perasaan Pandan Wangi pun selalu
disentuh oleh hubungannya dengan anak muda yang gemuk
itu. Bahkan ia pun kemudian bertanya kepada diri sendiri,
"Apakah benar aku sudah melanggar pantangan bagi seorang
gadis?" Tanpa disadarinya dikenangnya jalan hidup ibunya yang
telah diperciki noda yang tidak akan dapat terhapus sepanjang
umurnya. Tanpa dikehendakinya sendiri, ia membayangkan
apa saja yang dilakukan ibunya. Pergaulan yang melanggar
batas dan bahkan kehilangan kekang atas diri sendiri,
sehingga lahirlah kakaknya Sidanti, bukan karena ayahnya Ki
Argapati. Kelahiran yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh
Sidanti sendiri, sehingga karena itu, maka Sidanti tidak akan
dapat dianggap bersalah oleh keadaannya itu.
Diam-diam Pandan Wangi mcmperbandingkan
hubungannya dengan Swandaru dengan apa yang pernah
terjadi dengan ibunya, sehingga ia berkata di dalam hatinya,
"Aku tidak boleh mengulangi yang pernah terjadi dengan
ibuku, agar aku tidak termasuk di dalam kata orang, bahwa
kacang tidak dapat ingkar dari lanjaran. Tetapi aku juga tidak
dapat membelenggu diriku di dalam bilik yang gelap, karena
pada dasarnya ayah telah memberikan kebebasan kepadaku.
Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin terluka sampai
dua kali oleh tusukan keadaan yang sama. Jika ibu pernah
melukai hatinya, maka aku harus membuktikan, bahwa aku
dapat menjaga diriku sendiri."
Meskipun demikian, kenangannya atas peristiwa yang
pernah terjadi atas ibunya, telah membuatnya menjadi muram.
Bahkan kadang-kadang ia terpaksa menghapus setitik air
yang mengembang di pelupuknya, meskipun tidak seorang
pun yang melihatnya. Pandan Wangi pun kemudian semakin menyibukkan diri
dengan kerja di dapur menyiapkan makan malam tamutamunya
dan dirinya sendiri di pringgitan. Pandan Wangi
berusaha melupakan kepedihan hatinya itu.
Sejenak kemudian, maka semuanya pun telah bersiap,
Prastawa-lah yang kemudian mencari Swandaru di gandok,
dan diketemukannya anak muda yang gemuk itu sedang
berbaring. "He, bukankah kau belum makan?" ia bertanya.
Swandaru terkejut. Perlahan-lahan ia bangkit dan dilihatnya
Prastawa telah berdiri di pintu.
"Ah, agaknya kau sedang melamun, sehingga kau tidak
mendengar kedatanganku. Di medan kau dapat mendengar
langkah seseorang pada jarak yang jauh. Ternyata di sini kau
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 3 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Rahasia Si Badju Perak 7
^