Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 26

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26


tidak mendengar langkahku sampai ke ambang pintu."
"Aku tertidur," jawab Swandaru.
"Hanya nampaknya kau tertidur. Tetapi angan-anganmu
pasti sedang terbang sampai ke bintang."
Swandaru tersenyum. Dibenahinya pakaiannya yang
menjadi agak kusut. Prastawa pun kemudian mempersilahkannya pergi ke
pringgitan. Kemudian dipanggilnya pula Agung Sedayu yang
diketemukannya di gardu depan, dan ia masih harus mencari
Rudita di gandok yang lain.
"Makanlah sendiri," berkata Rudita.
"Ah," Prastawa menyahut, "sebaiknya kau pergi ke
pringgitan. Kita makan bersama-sama."
"Biarlah Pandan Wangi makan bersama anak yang gemuk
itu." Prastawa menarik nafas dalam-dalam.
"Aku malu mempunyai seorang saudara perempuan seperti
Pandan Wangi. Ia duduk berdua di dalam kegelapan. Itu
melanggar kesusilaan."
Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi
mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya duduk di amben
yang kebetulan terlindung dari sinar lampu di serambi
belakang." "Itulah salah mereka. Tentu bukan sekedar kebetulan."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Sudahlah, jangan hiraukan mereka. Marilah kita
makan." "Aku memang tidak berkepentingan. Tetapi sebagai
seorang yang tahu akan kesopanan dan kesusilaan, aku tidak
dapat melihat hal serupa itu terjadi"
"Biarlah hal itu diselesaikan oleh orang-orang tua, oleh
ayah mereka atau oleh siapa pun juga."
"O, ternyata kau juga tidak bertanggung jawab. Ternyata
kau bukan seorang pembina kesusilaan yang baik."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
menemukan jawab, "Aku mengerti. Memang sebaiknya
mereka tidak melakukannya. Aku akan mencoba
mencegahnya, justru karena aku adalah saudara sepupu
Pandan Wangi. Mungkin karena aku tidak melihat sendiri, aku
kurang menaruh perhatian. Namun pada suatu saat jika aku
melihatnya, aku akan menegur mereka."
Rudita memandang Prastawa sejenak. Kemudian sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Berbuatlah
sesuatu sebagai seorang yang beradab. Yang mengerti baik
dan buruk." "Aku akan mencobanya," sahut Prastawa, lalu, "sekarang,
marilah kita makan."
Rudita termenung sejenak. Lalu katanya sambil
menganggukkan kepalanya, "Baiklah."
Akhirnya anak-anak muda itu pun makan bersama di
pringgitan. Namun suasananya jadi agak tegang. Rudita
seakan-akan tidak mau berbicara apa pun juga selain
sepatah-sepatah saja, sehingga dengan demikian Pandan
Wangi pun menjadi semakin diam pula.
"Besok kita pergi berburu," Prastawa-lah yang mencoba
membuka pembicaraan agar suasananya tidak menjadi beku.
"Ya," Agung Sedayu-lah yang pertama-tama menyahut,
"kita akan pergi berburu besok. Bukankah begitu?"
Dengan sudut matanya Pandan Wangi memandang wajah
Rudita yang tegang. Namun kemudian anak muda itu
menganggukkan kepalanya sambil menyahut, "Baiklah. Kita
besok pergi berburu."
Pandan Wangi tidak menyahut. Hampir saja ia menyebut
hutan yang liar itu. Namun untunglah bahwa ia tidak
mengucapkannya. "Kita pergi bersama beberapa orang pengiring," berkata
Rudita. "Bukankah kita sudah berlima?" bertanya Agung Sedayu.
"Belum cukup," jawab Rudita.
Sebelum Agung Sedayu menyahut, Prastawa-lah yang
menengahi, "Ya, kita membawa beberapa orang pengawal.
Seperti yang sudah kita bicarakan, di pinggir Kali Praga itu
sekarang tidak saja dihuni oleh binatang-binatang buas, tetapi
juga orang-orang bersenjata yang tidak diketahui kedudukan
dan asal usulnya. Namun demikian, senjata-senjata mereka
itu tetap berbahaya."
"Jika kita tidak berbuat apa-apa?" bertanya Rudita.
"Mereka pun tidak berbuat apa-apa," sahut Prastawa
sebelum Agung Sedayu membuat Rudita menjadi ketakutan.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika terpandang
olehnya wajah Prastawa, maka anak muda itu mengedipkan
matanya. Isyarat itu dapat dimengerti oleh Agung Sedayu, sehingga
karena itu ia hanya menarik nafas saja panjang.
"Besok kita membawa tiga orang pengawal pilihan," berkata
Prastawa, lalu, "ditambah dengan dua orang yang akan
melayani kebutuhan kita selama berburu. Makan, minum, dan
membawa busur dan anak panah."
"Kenapa hanya tiga?" bertanya Rudita.
"Masih ditambah dua orang lagi."
"Tetapi mereka hanya sekedar pesuruh atau pelayan atau
juru masak." "Tetapi sekaligus pengawal yang berpengalaman
mempergunakan senjata."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Dengan ragu-ragu ia
pun bertanya, "Bagaimana dengan kau" Apakah kau berani
juga pergi berburu hanya dengan lima orang pengawal?"
Agung Sedayu menjadi bingung. Kenapa justru Rudita itu
bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia pun kemudian
menjawab dengan ragu-ragu pula, "Terserahlah kepadamu."
Rudita mengangkat wajahnya sambil berkata, "Kau belum
mengerti bahaya yang dapat ditimbulkan oleh hutan-hutan liar.
Baru saja aku berburu dengan Pandan Wangi di hutan
perburuan. Di hutan perburuan itu pun kita dapat menemukan
bahaya yang tidak tersangka-sangka. Dan kau dengan tanpa
berpikir berkata "Kita sudah berlima." Nah. Apakah kau dapat
membayangkan bahaya yang dapat kita jumpai di perjalanan"
Jika kau sudah dapat membayangkannya, maka kau tentu
akan minta pengawal lebih dari sepuluh orang."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya dengan suara yang tertahan, "Terserahlah
kepadamu. Jika Prastawa berani bertanggung jawab hanya
dengan lima orang pengawal, aku juga berani, karena aku
percaya bahwa ia sudah mengenal medan dengan sebaikbaiknya."
Tetapi ternyata bahwa Swandaru mulai digelitik oleh
perasaan sendiri, sehingga ia tidak dapat menahan dirinya
dan berkata, "Untunglah bahwa selama perjalanan kami
berlima tidak ditelan oleh ganasnya Alas Mentaok. Padahal
Alas Mentaok jauh lebih ganas dari hutan yang mana pun juga
di sebelah Selatan sepanjang tanah ini."
"Ah," desis Agung Sedayu.
Namun untunglah bahwa Prastawa tidak mengetahui
maksud Swandaru yang sebenarnya sehingga ia justru
menyahut, "Ya, beruntunglah kalian, bahwa kalian masih tetap
hidup. Memang bagi orang yang tidak mengetahui bahaya
yang terdapat di perjalanannya, mereka justru tidak akan
mengenal takut. Meskipun sebenarnya bukan karena
keberanian dan percaya kepada diri sendiri, tetapi justru
karena kalian tidak mengerti apakah yang kalian hadapi."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika
Agung Sedayu menggamitnya Swandaru tersenyum.
"Demikian juga agaknya sikap kalian tentang perburuan
yang akan kita lakukan. Kalian menganggap bahwa perburuan
itu seperti sebuah tamasya saja."
Swandaru masih mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya
ia sudah jemu mendengar sesorah itu. Meskipun demikian ia
masih tetap menghormati anak muda yang manja itu.
Ternyata kemudian Prastawa-lah yang berhasil menutup
persoalan seperti ia membukanya, "Baiklah. Kita sekarang
beristirahat. Kita akan tidur nyenyak malam ini. Besok kita
akan berangkat pagi-pagi benar. Nanti sesudah pembicaraan
di pendapa selesai, kita masing-masing akan minta ijin. Tentu
Pandan Wangi akan minta ijin kepada Ki Gede dan minta
beberapa orang untuk mengawalnya."
Demikianlah pembicaraan itu seakan-akan telah selesai.
Demikian juga acara makan malam pun selesai pula. Namun
di pendapa ternyata masih terdengar gelak tertawa yang
berkepanjangan. Hampir tengah malam, barulah pembicaraan di pendapa itu
diakhiri. Seperti yang sudah direncanakan oleh anak-anak
muda yang berkumpul di pringgitan untuk makan malam,
masing-masing minta ijin kepada orang tuanya untuk pergi
berburu besok pagi-pagi benar dan kembali di hari berikutnya.
"Berhati-hatilah," berkata Ki Gede Menoreh, "bawalah obat
penawar racun karena di hutan liar itu masih banyak terdapat
binatang berbisa. Tetapi juga bersiaplah menghadapi
kemungkinan yang lain, karena kadang-kadang beberapa
orang bersenjata telah menyeberangi Kali Praga jika mereka
berbenturan dengan pasukan pengawal Tanah Mataram yang
sedang tumbuh itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak
diketahui sikap dan pendiriannya dengan pasti, sehingga
siapa pun dapat dianggapnya sebagai lawannya."
"Baik, Ayah," jawab Pandan Wangi, "kami akan membawa
beberapa orang pengawal dan orang-orang yang akan
membawa perlengkapan berburu kami."
"Baiklah. Nanti aku akan mempersiapkannya."
"Kami akan berangkat besok pagi-pagi benar."
"Ya. Aku akan memanggil orang yang bertugas di gardu
malam ini dan menyuruhnya menghubungi orang itu."
"Terima kasih, Ayah."
"Tetapi, apakah Rudita akan ikut serta?"
"Ya, Ayah." "Suruhlah ia minta ijin kepada ayahnya."
"Kami masing-masing akan minta ijin lebih dahulu," sahut
Pandan Wangi, "dan karena bersama Rudita itulah, kami
memerlukan beberapa orang pengawal yang sebenarnya tidak
kami perlukan." "Tentu kalian perlukan. Bukan sekedar untuk menangkap
kijang." Pandan Wangi memandang ayahnya sejenak. Namun
kemudian kepalanya pun terangguk-angguk. Ia mengerti
maksud ayahnya, bahwa ayahnya pun menganggap perlu
untuk berhati-hati menghadapi orang-orang yang tidak dikenal
itu. "Sekarang, beristirahatlah," berkata Ki Gede, "aku akan
memanggil peronda itu untuk menghubungi orang-orang yang
akan aku tunjuk ikut di dalam perburuan itu. Agaknya
perburuan memang menjadi suguhan yang menyenangkan,
bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Mungkin juga Rudita."
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, katanya,
"Rudita bukan seorang pemburu yang baik."
"Mungkin," desis ayahnya, "namun ayahnya adalah
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian,
jika Rudita ikut serta, hati-hatilah. Jagalah anak muda yang
manja itu, agar kulitnya tidak terluka. Jika ia tergores duri
betapa pun kecilnya, ibunya akan menjadi sangat cemas dan
ketakutan." "Baiklah, Ayah," Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya, "sekarang aku akan tidur saja. Besok pagi-pagi
aku akan berangkat."
Demikianlah maka Pandan Wangi pun pergi ke dalam
biliknya. Namun ia tidak segera dapat tertidur. Sebagai
seorang gadis, maka ia pun berangan-angan tentang hari
depannya. Apalagi setelah ayah Swandaru benar-benar
datang ke Tanah Perdikan Menoreh setelah sekian lama
bagaikan hilang tidak ada kabar beritanya.
Untunglah bahwa ayahnya termasuk seorang yang tabah,
yang tidak segera goyah. Meskipun cukup lama Swandaru
tidak ada kabar beritanya, namun ayahnya tetap percaya
bahwa pada suatu saat anak muda itu akan kembali. Orang
seperti Kiai Gringsing tentu dapat dipercaya kata-katanya.
Dan sebenarnyalah bahwa akhirnya ayah Swandaru itu pun
datang untuk melamarnya dengan resmi.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru pun telah
minta ijin kepada gurunya dan kepada Ki Demang untuk pergi
berburu besok pagi-pagi bersama Pandan Wangi. Seperti
yang didengarnya, maka dikatakannya pula, bahwa daerah di
sebelah-menyebelah Kali Praga memang sering dilalui oleh
orang-orang yang tidak dikenal. Karena itulah maka mereka
selain pergi berlima, akan pergi juga beberapa orang
pengawal. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Hati-hatilah. Jangan menyia-nyiakan waktu yang
sebenarnya sangat berharga bagimu Swandaru."
"Aku mengerti, Guru."
"Tetapi ingat, jangan menyeberangi Kali Praga. Jika
kebetulan kau bertemu dengan orang-orang bersenjata dan
ternyata mereka adalah orang-orang Mataram yang belum kau
kenal sehingga terjadi bentrokan senjata, maka kau akan
membuat persoalan baru. Menurut dugaanku, orang-orang
Ma-taram tidak akan menyeberang Kali Praga, sehingga jika
ada sepasukan orang-orang bersenjata di sebelah Barat Kali
Praga, maka sudah tentu bukan orang-orang Mataram."
"Baik, Guru," jawab Agung Sedayu, "kami akan selalu
menjaga diri. Kami tidak akan menyeberang ke Timur kali ini."
"Baiklah. Jagalah dirimu baik-baik," pesan gurunya.
"Jangan membuat persoalan, dengan siapa pun juga di
atas Tanah Perdikan ini Swandaru," pesan ayahnya.
"Tentu, Ayah. Aku akan menjaga diriku baik-baik."
Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun pergi ke
pembaringan. Berbeda dengan Pandan Wangi, maka
keduanya tidak sekedar merenung. Swandaru mempunyai
kawan berbincang untuk mengisi waktu sebelum matanya
terpejam. Di bilik yang lain, Rudita ternyata tidak juga dapat tidur.
Bermacam-macam persoalan mengganggu perasaannya.
Betapa pun ia mencoba mengusirnya, namun setiap kali
bayangan-bayangan yang muram pun datang lagi hinggap di


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya. "Persetan," geramnya, lalu, "aku tidak peduli." Namun
ternyata ia memerlukan waktu yang lama pula untuk dapat
tertidur. Bahkan di dalam tidur pun Rudita masih juga
diganggu oleh mimpi yang menyeramkan, seakan-akan
seekor harimau sedang merunduk untuk menerkamnya.
Untunglah ia segera terbangun sebelum mulutnya
berteriak-teriak. Namun rasa-rasanya seluruh bulu-bulunya
tegak berdiri. Ketika terlihat olehnya ayahnya tidur di
pembaringan yang besar itu juga, maka hatinya pun menjadi
tentram. Ketika kemudian ayam jantan berkokok, maka anak-anak
muda di rumah Ki Gede itu pun sudah terbangun. Prastawa
sudah sibuk mengisi jambangan pakiwan. Tanpa dimintanya
Agung Sedayu pun ikut pula membantunya, menimba air
untuk mengisi gentong di dapur.
Sejenak kemudian anak-anak muda itu pun segera bersiap.
Rudita pun segera mandi dan mempersiapkan diri. Demikian
juga Agung Sedayu setelah selesai mengambil air.
Sebelum matahari terbit, semuanya sudah siap di pendapa.
Bahkan para pengawal pun telah siap pula. Semalammalaman
para peronda berkeliling ke rumah mereka
memberitahukan bahwa pagi-pagi benar mereka harus sudah
siap di halaman rumah Ki Gede Menoreh untuk mengawal
Panduan Wangi dan tamu-tamunya berburu.
Meskipun hari masih pagi, namun mereka pun sempat juga
makan pagi sekedarnya. Baru kemudian mereka turun ke
halaman menuju ke kuda masing-masing.
Sekali lagi anak-anak muda itu minta ijin. Rudita mendapat
beberapa pesan dari ibunya yang agaknya sangat berat
melepaskannya. "Biarlah, Nyai," berkata ayahnya, "di sini ia mendapat
kawan anak-anak muda. Biarlah Rudita menjadi seorang anak
muda." Isterinya tidak menyahut. Dipandanginya saja anaknya
yang kemudian meloncat ke punggung kudanya.
"Lihatlah, betapa gagahnya," desis ayah Rudita itu. Istrinya
hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak
menyahut. Sejenak kemudian beberapa ekor kuda itu pun berderap
meninggalkan halaman. Debu yang putih mengepul di
keremangan pagi. Di langit cahaya merah mulai memancar
membayang di wajah yang kebiru-biruan.
Orang-orang tua yang melepas anak-anak muda itu pun
kemudian kembali masuk ke tempat mereka masing-masing.
Ki Gede naik ke pendapa sedang Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan Ki Demang kembali ke gandok
peristirahatannya, sedang ayah dan ibu Rudita di gandok yang
lain. Sementara itu pengawal yang sedang meronda di halaman
rumah Ki Argapati, memandang iring-iringan itu dengan
perasaan yang aneh. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru
bukan anak-anak Tanah Perdikan, namun anak-anak Menoreh
mempunyai perhatian terhadap mereka. Apalagi mereka yang
pernah bersama-sama berjuang mengatasi perpecahan yang
pernah membakar Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, iring-iringan kuda itu pun telah keluar dari
padukuhan induk, tepat pada saat matahari merayap naik ke
atas punggung bukit. Pandan Wangi yang sedang dibelit oleh perasaan gairah
seorang gadis yang menjelang hari-hari perkawinannya,
tampak begitu cerah di dalam cahaya matahari pagi. Pandan
Wangi itu pulalah yang berkuda di paling depan. Dengan dada
tengadah ia memegang kendali kudanya yang tegar,
memandang tanah persawahan yang hijau terbentang di
hadapannya. Cahaya matahari yang kekuning-kuningan
terpantul di wajah daun yang hijau menumbuhkan sinar yang
menyentuh hati. Di belakangnya Rudita memandangnya tanpa berkedip.
Rambutnya yang disanggul tinggi-tinggi, lehernya yang
jenjang, kemudian pakaiannya yang tidak lazim dipergunakan
oleh seorang gadis, dengan endong panah di lambung kuda
dan busur menyilang punggung, membuat Pandan Wangi
bagaikan seorang tokoh yang hanya terdapat dalam dongeng
dan mimpi. Di belakang Rudita, Prastawa berkuda berjajar tiga dengan
Agung Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali mereka
mengedarkan pandangan mata mereka menyapu langit yang
jernih dan ujung pegunungan di kejauhan.
Namun sekali-sekali Swandaru sempat memandang Rudita
dan memperhatikan sikapnya. Namun ia selalu mencoba
untuk tidak berprasangka, karena Rudita adalah masih ada
hubungan darah dengan Pandan Wangi.
Perjalanan ke hutan di pinggir Kali Praga itu merupakan
perjalanan yang segar bagi Agung Sedayu dan Swandaru
yang sudah lama tidak menjelajahi Tanah Perdikan ini.
Sawah dan ladang yang luas, yang kadang-kadang masih
diseling dengan hutan-hutan sempit yang sengaja dibiarkan
untuk kepentingan masa depan Tanah Perdikan Menoreh,
jalan yang lebar dan dipagari oleh parit yang mengalirkan air
yang jernih, pematang yang panjang dan lurus, ditumbuhi
rerumputan yang hijau di sela-sela batang padi yang tumbuh
dengan suburnya. Tanpa disadarinya Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Ada, sesuatu yang menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia
teringat kepada Sangkal Patung yang subur. Betapa suburnya
Menoreh, namun daerah di sebelah Barat merupakan daerah
pegunungan padas yang keras. Sedangkan Sangkal Putung
adalah daerah perbekalan yang terbesar di bagian Selatan, di
sebelah Timur Alas Tambak Baya. Bahkan Prambanan tidak
sesubur Sangkal Putung. "Pada suatu saat aku harus memilih," tiba-tiba saja
Swandaru berangan-angan, "apakah aku harus menangani
Tanah Perdikan Menoreh ini atau aku harus berada di
kampung halaman kelahiranku. Sudah barang tentu aku tidak
akan dapat berada di kedua tempat ini bersama-sama. Jika
aku berdiri sebagai menantu Ki Argapati, maka aku adalah
orang yang melakukan tugas Pandan Wangi, sebagai Kepala
Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi dengan demikian aku harus
meninggalkan Sangkal Putung. Daerah yang selama ini
merupakan tanah yang memberiku segala macam kebutuhan
hidupku, dan yang selama ini telah dibina oleh ayah serta
seluruh rakyatnya yang baik. Yang sudah dipertahankan
dengan segala pengorbanan dari bahaya kehancuran pada
saat Tohpati berada di daerah Selatan ini. Jika aku berada di
sini, maka tugasku di Sangkal Putung akan melimpah kepada
Sekar Mirah, dan itu berarti akan jatuh di pundak Kakang
Agung Sedayu." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia akan
menghadapi persoalan, di mana ia harus menjatuhkan pilihan.
"Tetapi itu masih cukup lama. Selama Ki Gede Menoreh
masih dapat menjalankan tugasnya, maka hal itu belum akan
menjadi persoalan yang penting bagiku. Juga selama Ayah
masih tetap berada di tempatnya, maka semuanya masih
akan berjalan seperti biasa. Namun memang akan datang
saatnya aku harus memikirkannya."
Tanpa disadarinya Swandaru memandang kepada Agung
Sedayu yang berkuda di sebelah Prastawa.
Namun jantung Swandaru bergetar ketika ia melihat
Prastawa yang berkuda sambil memandang lurus ke depan. Ia
adalah kemanakan Ki Gede Menoreh. Jika ia tidak mau
menerima jabatan Ki Gede Menoreh, karena ia memberatkan
kampung halamannya, maka itu berarti bahwa kekuasaan
Menoreh akan jatuh ke tangan Ki Argajaya, ayah Prastawa.
Dan itu akan berarti pula bahwa arus kekuasaan itu akan
sampai kepada Prastawa. Tidak kepada orang lain.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin
mengusir persoalan itu. Persoalan yang belum waktunya
dipikirkannya sekarang. Namun bagaimana pun juga
persoalan itu masih saja membayanginya.
"Aku tidak peduli," geramnya di dalam hati. Dan Swandaru
itu pun kemudian melemparkan pandangan matanya jauhjauh.
Dengan sepenuh niat ia ingin melupakan persoalan itu
dan memandang ujung-ujung pepohonan yang hijau berkilat
ditempa cahaya matahari pagi.
"Apakah perjalanan ini masih jauh," tiba-tiba saja Swandaru
bertanya untuk melepaskan kepepatan di dadanya.
Yang mendengar pertanyaan itu menjadi heran. Swandaru
pernah berada di Tanah Perdikan ini, sehingga seharusnya
sudah mengetahui, bahwa perjalanan mereka itu baru saja
mulai. "Pertanyaanmu aneh," desis Agung Sedayu.
"O," Swandaru tidak dapat menahan tertawanya Tetapi kali
ini ia mentertawakan dirinya sendiri. Karena itu dengan
tergesa-gesa ia berkata, "Maksudku, apakah kita akan
langsung pergi ke hutan liar itu, atau kita akan beristirahat
dahulu sambil melihat-lihat hutan-hutan kecil yang bertebaran
itu." "Hutan-hutan itu sudah kosong," Pandan Wangi-lah yang
menyahut, "yang ada hanyalah tikus-tikus tanah. Namun
dengan demikian, kadang-kadang dapat menimbulkan
bencana bagi tanaman."
"O," Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya,
"apakah tidak ada usaha untuk mengatasinya?"
"Tentu. Dan usaha itu nampaknya akan berhasil."
Rudita yang berkuda di belakang Pandan Wangi tiba-tiba
saja memotong, "Kenapa kita berbicara tentang tikus tanah"
Kenapa kita tidak berbicara tentang harimau loreng atau
harimau kumbang yang licik. Atau tentang ular sebesar paha."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ternyata bahwa
ia tidak dapat melepaskan sama sekali kebiasaannya,
sehingga hampir tanpa disadarinya ia bertanya, "Paha siapa?"
Rudita berpaling mendergar pertanyaan itu. Wajahnya
menegang. Ia merasa bahwa Swandaru sedang
mempermainkannya. Tetapi Swandaru menundukkan kepalanya, sedang
Prastawa mencoba menyembunyikan tertawanya yang
ditahan-tahannya sekuat tenaga. Bahkan Pandan Wangi yang
berkuda di paling depan pun tersenyum. Demikian juga para
pengawal yang mendengar pertanyaan itu. Bahkan salah
seorang dari mereka berbisik, "Paha anak-anak. Bahkan bayi."
Kawannya tidak menjawab. Mereka mengerti bahwa Rudita
sama sekali bukan seorang pemburu yang baik. Bahkan ia
masih harus berteriak-teriak memanggil ketika Pandan Wangi
memburu kijang di hutan perburuan kemarin.
Ketika Swandaru itu kemudian berpaling memandang
Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menggelenggelengkan
kepalanya. Dan Swandaru pun mendekatinya
sambil berbisik, "Aku benar-benar tidak sengaja, Kakang."
"Itulah. Kau biasa melepaskan setiap kata yang kau
pikirkan. Anak itu tentu tersinggung."
"Begitu saja kata-kata itu terlontar dari bibirku," Swandaru
berhenti sejenak lalu, "sebenarnya aku agak bosan
mendengar kata-katanya."
"Kau tidak mau melihat alasan, kenapa ia berkata begitu."
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya,
"Apakah alasannya" Untuk menyombongkan diri?"
"Ya, tetapi bukan semata-mata karena ia sombong," jawab
Agung Sedayu. "Ternyata ia merasa betapa dirinya terlampau
kecil sehingga ia perlu membusungkan dadanya, agar ia dapat
seimbang dengan kebesaran pribadi Pandan Wangi."
"Kenapa Pandan Wangi?"
"Bukankah ia merasa bahwa masih ada hubungan keluarga
dengan gadis itu betapa pun jauh jaraknya" Karena itulah,
maka ia harus seimbang dengan pribadi Pandan Wangi.
Apalagi ia seorang laki-laki, sedang Pandan Wangi seorang
gadis. Selain dari itu, ayahnya pun termasuk orang
terpandang, sehingga ia perlu menyesuaikan dirinya."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hatinya yang kecil jangan kau injak sama sekali," berkata
Agung Sedayu pula. "Cobalah kendalikan kebiasaanmu itu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baik. Baik. Aku akan mengendalikan kebiasaanku ini."
Namun Agung Sedayu pun kemudian menarik nafas dalamdalam.
Gurunya pun kadang-kadang berbuat sesuatu yang
aneh menurut tanggapan kebanyakan orang, meskipun
maksudnya jauh lebih jelas dan bermanfaat dari sekedar
letupan hati Swandaru. Samar-samar teringat oleh Agung Sedayu, bagaimana
gurunya itu mengenakan topeng dan menegurnya sebagai
seorang pertapa ketika ia terjun ke dalam parit, karena ia
dicengkam oleh ketakutan tiada taranya selagi dikejar oleh
Alap-alap Jalatunda selagi ia meneruskan tugas kakaknya
Untara. Begitu juga permainan gurunya di hutan Tambak Baya
selagi ia bertiga pergi ke Alas Mentaok bersama Swandaru
dan Raden Sutawijaya. Swandaru memang merupakan tanah yang subur bagi
benih yang ditaburkan oleh gurunya itu, dengan sikap yang
kadang-kadang aneh. Namun keterbukaan sifat Swandaru
membuat sikap yang aneh itu kadang-kadang terlampau
langsung dan menyinggung orang lain.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Pandan
Wangi masih tetap berkuda di paling depan. Rudita yang di
belakangnya kadang-kadang masih saja berpaling
memandang Swandaru. Tetapi Swandaru selalu menghindari
tatapan mata itu. "Jangan hiraukan," tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
Swandaru menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya. Aku
justru sedang menghiraukan daerah ini. Aku tidak tahu,
kenapa hutan-hutan kecil itu tidak dibuka sama sekali."
"Sebuah persediaan di masa mendatang. Pada saatnya
kita akan kekurangan tanah garapan. Padahal sementara ini
kita sudah cukup." Swandaru mengerutkan keningnya, katanya, "Apakah jika
kita sudah cukup, kita harus berhenti."
"Bukan berhenti. Tetapi kami justru menyediakan tanah itu
buat perkembangan di masa datang."
Ternyata Swandaru, anak laki-laki seorang Demang yang
kelak akan menggantikan kedudukannya itu mempunyai sikap
tersendiri. Karena itu, maka katanya, "Sebenarnya Tanah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perdikan ini dapat berbuat lain. Hutan itu sebagian dapat
dibuka. Hanya sebagian kecil sajalah yang dapat dibiarkan
untuk kepentingan khusus. Meskipun saat ini lahan pertanian
bagi Tanah Perdikan ini sudah cukup, namun alangkah
baiknya jika hutan-hutan itu dapat digarap sebagai tanah
pertanian. Jika ada kelebihan hasil sawah, maka hasil sawah
itu dapat dijual atau ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan lain
yang akan menjadi kebutuhan Tanah Perdikan ini meskipun
tidak sekarang, tetapi masa depan. Dengan demikian maka
Tanah Perdikan ini sudah mempunyai tabungan yang
bermanfaat bagi masa mendatang."
Prastawa mengerutkan keningnya. Dan Swandaru berkata
seterusnya, "Ada baiknya kita bekerja keras sekarang. Jika
kita sudah mendapat sesuap nasi, bukan berarti kita sudah
harus puas. Tetapi tidak ada salahnya jika masih ada waktu
kita mengumpulkan dua suap nasi. Yang sesuap untuk
kepentingan-kepentingan lain bagi kesejahteraan hidup kita."
Prastawa masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Bagus sekali. Mungkin kelak Tanah Perdikan ini
akan berbuat demikian. Sisa tenaga yang ada sekarang,
daripada sekedar untuk termenung di pojok padukuhan atau
berbincang tentang hal yang tidak bermanfaat, ada baiknya
dipergunakan untuk membuat hutan-hutan yang berserakan
itu menjadi tanah garapan, setelah diperhitungkan, berapa
banyaknya yang harus disisakan, sehingga tanah itu dapat
merupakan jaminan bagi masa datang. Bukan sekedar
persediaan." "Begitulah. Kecuali jika tenaga kita sekarang memang
sudah tidak mampu lagi, sehingga kita harus menunggu
perkembangan." Prastawa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari
menjadi semakin tinggi. Sedang dalam pada itu Agung
Sedayu sudah berada agak di depan mereka, tepat di
belakang Rudita. Demikianlah perjalanan itu pun semakin lama menjadi
semakin jauh dari induk Tanah Perdikan. Matahari pun
menjadi semakin tinggi memanjat langit, sehingga dedaunan
yang hijau bagaikan menyala di kejauhan memantulkan
cahaya matahari, yang mulai terasa panas di wajah kulit.
Ketika Agung Sedayu melihat gerumbul-gerumbul perdu
yang semakin lebat, maka ia pun memperlambat kudanya dan
kemudian kepada Prastawa itu berkata, "Bukankah kita sudah
mendekati tujuan?" "Ya. Di seberang hutan perdu inilah kita mendapatkan
sebuah lapangan pasir yang agak luas, sampai ke tepian Kali
Praga." "Jika begitu, bukankah hutan yang tampak itulah yang akan
kita tuju?" "Hutan perburuan."
"Ya, bukankah kita akan berburu?"
"Tetapi bukankah kita ingin berburu di hutan yang masih
liar" Tidak di hutan perburuan itu."
"O, jika demikian, ke mana kita akan pergi?"
"Kita tidak langsung sampai ke tepian. Kita berbelok di
pinggir hutan perdu itu dan kita akan sampai di hutan
perburuan. Jika kita ingin beristirahat, kita beristirahat
sebentar. Tetapi jika kita ingin langsung berburu di hutan yang
liar itu, kita berjalan terus dan kita akan memasuki daerah
yang semakin lama menjadi semakin lebat dengan jenis-jenis
binatang hutan yang ganas."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
rasa-rasanya ia akan mendapatkan permainan yang
mengasyikkan. Sudah lama ia tidak bermain-main dengan alat
bidik. Kini ia membawa busur dan anak panah.
"Bagaimana rencana kita selanjutnya?" justru Agung
Sedayu-lah yang kemudian bertanya. "Apakah kita akan
berhenti atau terus?"
"Terserah kepada kita," jawab Prastawa.
"Kalau begitu, bertanyalah kepada Pandan Wangi."
Prastawa pun kemudian mempercepat kudanya dan
melampaui Rudita. Ketika ia berada di samping Pandan
Wangi, maka ia pun bertanya, "Bagaimana rencanamu,
Pandan Wangi?" "Rencana yang mana?"
"Apakah kita akan langsung pergi ke hutan yang buas?"
Sebelum Pandan Wangi menyahut, Rudita telah menyahut,
"Tentu ke hutan perburuan. Kita akan menangkap seekor
kijang. Aku akan menghadiahkannya kepada Pandan Wangi."
Semua orang berpaling kepadanya. Pandan Wangi
memandanginya dengan heran. Namun Swandaru-lah yang
kemudian bertanya, "Bagaimana jika Pandan Wangi yang
mendapat lebih dahulu dari kita?"
Rudita mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, "Tentu
tidak. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia akan menunggu kita
mendapatkan seekor buatnya."
"Bagaimana jika Agung Sedayu yang mendapatkannya?"
bertanya Prastawa. "Semua yang kita dapatkan, akulah yang akan
menyerahkannya kepada Pandan Wangi. Itu sudah menjadi
keputusanku. Tidak ada orang lain yang berhak atas hasil
buruan ini, selain aku yang akan menyerahkannya kepada
Pandan Wangi." Swandaru dan Agung Sedayu berpandangan sejenak.
Namun mereka pun tidak menghiraukannya lagi. Sikap itu
bagaikan sikap anak yang sedang dalam pertumbuhannya,
yang menganggap dirinya adalah pusat berkisarnya dunia.
Karena itulah, maka justru mereka tidak memberi
tanggapan apa pun juga. Swandaru yang mempunyai sifat
yang aneh itu pun kemudian berdiam diri.
(***) Buku 71 PANDAN WANGI yang juga mendengar rencana Rudita itu
menjadi gelisah. Tetapi ia berterima kasih di dalam hati,
bahwa anak-anak muda yang lain seakan-akan tidak
berkeberatan atas keputusan yang telah diambil oleh Rudita
itu, sehingga dengan demikian tidak timbul persoalan yang
tegang di antara mereka. Dalam pada itu Prastawa pun bertanya pula kepada
Pandan Wangi karena Pandan Wangi belum sempat
menjawab, "Jadi kemana kita, Pandan Wangi?"
"Jangan bertanya lagi," bentak Rudita, "aku sudah
menjawab." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
berkata, "Rudita. Aku ingin pergi ke hutan yang liar itu.
Bukankah kita kemarin malam sudah membicarakannya."
"Aku tidak sependapat. Kita berburu di hutan perburuan."
"Memang ada dua macam daerah perburuan. Mereka yang
berjiwa jantan akan memilih hutan yang liar itu, tetapi bagi
yang berjiwa betina akan memilih hutan perburuan itu.
Anehnya bahwa aku memilih hutan yang liar itu, bukan karena
aku seorang gadis yang berjiwa jantan, tetapi hutan itu
menyimpan binatang jauh lebih banyak dari hutan perburuan."
"Tidak Aku tidak mau pergi ke hutan yang liar itu, yang
dikatakan masih dihuni oleh berbagai jenis harimau, ular, dan
serangga-serangga berbisa."
"Sayang, bahwa kami akan pergi ke hutan itu. Ayah sudah
membekali aku dengan obat pemunah racun. Dengan
demikian berarti bahwa aku diperkenankannya memasuki
hutan liar itu." "Aku juga," tiba-tiba saja Swandaru menyahut, "Guru telah
memberikan sejenis obat pemunah racun. Jika salah seorang
dari kita kena racun, maka obat itu dapat ditaburkan di luka
yang terkena racun itu. Namun ada pula sejenis obat yang
dapat kita minum." Rudita memandang Swandaru sejenak. Anak yang gemuk
itu semakin lama semakin menjemukan baginya. Karena itu
maka jawabnya, "Jika kau sudah membawa obat itu dan akan
pergi berburu ke hutan liar itu, pergilah. Ajaklah siapa saja
yang ingin pergi. Tetapi rombongan ini akan berhenti di hutan
perburuan itu. Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat."
Swandaru yang gemuk itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan seperti acuh tidak acuh saja ia berkata,
"Baiklah. Jika demikian, siapakah yang akan ikut aku pergi
berburu ke hutan liar itu" Menurut Rudita, rombongan kecil ini
akan berhenti di hutan perburuan, sedang yang ingin ikut
bersama aku, diberinya kesempatan."
Sejenak mereka saling berpandangan. Tiba-tiba saja
Agung Sedayu berdesis, "Aku pergi bersama Swandaru."
"Itu urusanmu. Memang sebaiknya kalian berdua tidak
pergi bersama kami."
Tetapi tiba-tiba Prastawa pun berkata, "Aku pergi bersama
Swandaru. Hutan perburuan tidak memberi kepuasan lagi bagi
kita yang sudah terlalu sering berburu di dalamnya. Karena itu,
mumpung kita berada di dalam suatu rombongan yang kuat,
kita pergi berburu di hutan liar."
Belum lagi Prastawa selesai berbicara, maka Pandan
Wangi telah berkata pula, "Aku pun ikut bersama mereka yang
pergi ke hutan liar itu."
Keringat dingin membasahi tubuh Rudita seperti disiram
dengan air. Wajahnya menjadi tegang dan dadanya bagaikan
bergetar. Dipandanginya Pandan Wangi dan Prastawa
berganti-ganti. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, "Jadi
kalian tidak lagi menuruti keputusan yang aku ambil?"
Pandan Wangi menahan kudanya sehingga Rudita berada
di sisinya. "Bukan begitu Rudita," katanya, "tetapi kadangkadang
kita ingin sesuatu yang lain dari kebiasaan kita.
Dengan demikian kita akan mendapatkan kesegaran baru di
dalam perburuan ini. Jika setiap kali kita berburu di hutan
perburuan, baik yang ada di tepi Kali Praga mau pun yang
berada di daerah Selatan dari Tanah Perdikan ini, mau pun
yang di ujung Utara di lereng pegunungan itu, kita tidak akan
mendapatkan apa-apa lagi selain jenis binatang yang selalu
kita buru. Tetapi di hutan yang liar itu kita akan bertemu
dengan jenis-jenis binatang yang lain. Kita tidak saja berburu
kijang atau menjangan, tetapi kita akan bertemu dengan
seekor harimau. Mungkin seekor kijang dari jenis yang lain,
yang berbintik-bintik di punggungnya, atau seekor menjangan
yang berleher agak panjang. Tetapi mungkin juga kita bertemu
dengan binatang-binatang yang berbahaya yang dapat
menambah pengalaman hidup kita. Anjing liar, babi hutan,
atau sejenis ular pohon berwarna coklat."
Terasa bulu-bulu tengkuk Rudita meremang.
"Nah, bagaimana dengan kau?" bertanya Prastawa.
"Ternyata kami semuanya ikut dengan Swandaru ke hutan liar
itu. Apakah kau akan memasuki hutan perburuan itu sendiri?"
Rudita tidak segera menjawab. Tampaklah matanya
menjadi redup dan bahkan basah.
"Jika kau tidak berkeberatan," berkata Pandan Wangi
kemudian, "ikutlah dengan kami."
Rudita memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu
maka dengan suara parau ia berkata, "Kalian telah berbuat
kesalahan karena kalian tidak menurut aku. Tetapi apa boleh
buat, jika aku memang harus pergi bersama kalian. Tetapi
jangan merasa bahwa kalian dapat merubah keputusanku.
Keputusanku tetap seperti yang aku katakan. Meskipun kita
berburu di hutan liar, tetapi hasil yang kita peroleh akan aku
berikan sebagai hadiah buat Pandan Wangi."
"Terima kasih," sahut Pandan Wangi, "aku akan berusaha
membantumu." "He," Rudita membelalakkan matanya.
Sambil tersenyum Pandan Wangi berkata, "Sudahlah.
Keputusan kita sudah pasti, kita pergi ke hutan liar itu."
Rudita memandang Pandan Wangi dengan heran, namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti
sifat dan sikap orang-orang yang pergi bersamanya berburu.
Seakan-akan mereka tidak dapat ditertibkan. Mereka seakanakan
berbicara menurut kehendak dan keinginan mereka
masing-masing, bahkan kadang-kadang dengan tajam
memotong keputusannya. "Kenapa aku tidak membawa pengawal dari rumahku,"
berkata Rudita di dalam hati. "Orang-orang di Tanah Perdikan
Menoreh bukannya orang yang baik seperti orang-orangku di
rumah. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Mereka tidak selalu membantah dan bahkan kadang-kadang
menentukan sikap menurut kehendak sendiri."
Tetapi Rudita yang sudah berada di antara orang-orang
yang menurut pendapatnya bersikap aneh itu, tidak dapat
berbuat lain. Bahkan menurut pendapatnya, Pandan Wangi
sendiri pun ternyata bersikap aneh. Ia sama sekali tidak
bersikap sebagai seorang gadis, karena ia sama sekali tidak
melonjak kegirangan dan berterima kasih ketika ia berkata
bahwa ia akan, memberikan hadiah dari hasil perburuan itu.
"Gila sekali," katanya di dalam hati, "ia justru berkata
bahwa ia akan berusaha membantu."
Tetapi Rudita tidak berkata lebih banyak lagi. Iring-iringan
itu sudah berbelok di sebelah hutan perdu. Sebentar lagi
mereka akan melintas di sebelah hutan perburuan dan
langsung pergi ke hutan yang masih liar dan pepat.
Namun sebenarnya yang disebut hutan yang masih liar itu
tidak seliar Alas Mentaok. Isinya pun tidak seberbahaya Alas
Mentaok, karena selain binatang buas Alas Mentaok juga
menyimpan jenis-jenis serangga yang beracun, bahkan jenis
semut pemakan daging. Di samping bahaya-bahaya yang
terdapat di hutan-hutan yang liar itu, Mentaok juga menyimpan
bahaya yang khusus, yaitu perampok dan yang terakhir orangorang
yang berusaha untuk memisahkan Mataram dari dunia
peradaban yang lain. Dan bagi Agung Sedayu dan Swandaru
yang sudah beberapa kali menyeberangi Alas Mentaok itu,
bahaya-bahaya serupa itu sudah terlalu sering dihadapinya.
Meskipun demikian, mereka tidak boleh lengah. Meskipun
mereka sudah beberapa kali berhasil dengan selamat melintas
hutan yang lebih dahsyat dari hutan yang dihadapi itu, namun
memang mungkin sekali di hutan yang tidak selebat Mentaok
itu, mereka akan bertemu dengan bahaya yang sebenarnya.
Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah sampai di
daerah hutan perburuan. Hutan yang tampaknya menjadi
bersih dan terpelihara. Namun di dalam hutan perburuan itu
memang masih juga terdapat beberapa jenis binatang.
Bahkan satu dua masih ada juga harimau yang berkeliaran.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi binatang buas itu lebih senang hidup di hutan yang
masih liar, karena di hutan itu yang diburu pun masih cukup
banyak. Rudita yang masih saja berada di belakang Pandan Wangi
menjadi berdebar-debar. Sedang di hutan perburuan pun ia
kadang-kadang menjadi cemas dan ketakutan. Apalagi
apabila mereka harus memasuki hutan yang liar itu.
Berbeda dengan Rudita, tampak wajah Pandan Wangi
menjadi cerah, seperti juga Prastawa. Kesempatan semacam
itu jarang sekali mereka dapatkan. Jika mereka tidak bersama
Agung Sedayu dan Swandaru, maka mungkin mereka tidak
akan diperkenankan oleh Ki Gede Menoreh. Namun karena Ki
Gede percaya, kepada kedua anak-anak muda itu, maka
bersama Pandan Wangi dan Prastawa, mereka dianggap
cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi liarnya hutan
itu, karena Ki Gede pun mengetahui dengan pasti, bahwa
Agung Sedayu dan Swandaru sering kali melewati daerah
Alas Mentaok yang buas. Daerah hutan perburuan dan hutan yang liar itu dipisahkan
oleh sebuah lapangan rumput dan perdu yang tidak begitu
luas. Karena itu, memang kadang-kadang binatang dari kedua
daerah itu saling menyeberang. Namun hutan perburuan yang
bersih memang bukan merupakan lapangan hidup yang
menarik bagi berbagai jenis binatang.
"Itulah hutan itu," Pandan Wangi hampir berteriak ketika
mereka berada di sebelah hutan perburuan.
Agung Sedayu dan Swandaru memandang hutan itu
dengan saksama. Pepohonan yang liar berserakan di selasela
gerumbul-gerumbul yang cepat. Sulur-sulur kayu dan
dedaunan merambat tumbuh berbelitan di antara pepohonan
yang roboh melintang, bersandar pada pohon-pohon raksasa.
Dada Rudita bergetar melihat liarnya hutan itu. Sama
sekali tidak ada lorong yang licin dan bersih melintas masuk
ke dalamnya, selain sebuah lubang yang mirip dengan goa
yang gelap. Kadang-kadang memang ada satu dua orang
memasuki hutan itu untuk mencari kayu bakar dan barangkali
lebah tawon gula. Tetapi mereka hanya memasuki hutan itu
beberapa langkah saja dan tidak berani menusuk langsung ke
jantung hutan itu. Itulah bedanya dengan Alas Mentaok. Betapa lebatnya
Alas Mentaok, namun di dalamnya terdapat semacam jalur
yang meskipun jarang sekali dilalui orang, namun di jalur itu
seakan-akan hutan menjadi agak mudah dikuasai. Tetapi di
hutan yang liar ini sama sekali tidak ada jalur jalan.
"Apakah kita dapat masuk sambil membawa kuda-kuda
kita?" bertanya Prastawa.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Di lebatnya Alas
Mentaok, mereka masih dapat melintas dengan mengendarai
seekor kuda. Tetapi di hutan itu, kuda hanya akan menambah
kesulitan saja. "Kita tinggalkan kuda kita di luar," berkata Swandaru.
"Jadi bagaimana dengan kita?" bertanya Rudita.
Swandaru memandang anak muda yang menjadi cemas
itu. Kemudian dipandanginya Pandan Wangi yang
diharapkannya memberikan jawaban, agar tidak
menumbuhkan salah paham. "Tentu kita akan meninggalkan kuda dan perlengkapan kita
di luar. Kita pun akan berkemah di luar. Setiap kali kita
memasuki hutan ini dengan busur dan anak panah.
Nyanggong di pepohonan atau mengikuti jejak binatang
buruan. Jika kita lelah, kita akan kembali ke luar dan
beristirahat. Memang lebih baik kita berkemah di tengahKang
Zusi - http://kangzusi.com/
tengah. Tetapi terlalu sulit untuk masuk ke dalamnya sambil
membawa kuda dan perbekalan."
"Aku tidak mengerti. Jadi apakah kita tidak berburu
sekarang dan kemudian kembali?" bertanya Rudita.
"Kita akan berada di sini tiga hari tiga malam."
"Tiga hari tiga malam?" wajah Rudita menjadi tegang.
"Tidak mungkin."
"Kenapa?" "Aku harus kembali kepada ayah dan ibu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
segera menyahut. "Aku tidak pernah bepergian sampai sekian lamanya,"
Rudita melanjutkan. "Rudita," berkata Pandan Wangi, "kita sebenarnya tidak
berada di tempat yang jauh. Kita masih tetap berada di atas
Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana kau lihat, sebelum
tengah hari kita sudah sampai di sini. Jika kita ingin kembali di
dalam sekejap saja seakan-akan kita sudah berada di rumah.
Seandainya dalam waktu tiga hari ini kau tidak kerasan tinggal
di hutan, kau dapat pulang balik setiap saat kau kehendaki."
Rudita mengerutkan keningnya, lalu, "Kalian tidak
mengatakan bahwa kalian akan tinggal di sini tiga hari tiga
malam." "Kami memang tidak merencanakan berapa lama kami
akan tinggal di sini. Jika besok kami sudah ingin pulang, kami
akan pulang. Jika kau ingin mendahului, kami persilahkan kau
mendahului dan jika kau masih akan kembali lagi ke mari,
kembalilah ke mari. Kenapa kita harus memikirkannya dengan
kening yang berkerut-merut. Mungkin besok justru ayah
datang pula ke tempat ini. Ayah dahulu juga sering berburu.
Tetapi sejak kakinya menjadi agak cacat, ia seakan-akan
menghentikan kegemarannya itu."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Penjelasan
Pandan Wangi itu agak menenteramkan kegelisahannya.
Sebenarnyalah tempat ini tidak begitu jauh dari padukuhan
yang berserakan di Tanah Perdikan Menoreh.
"Sekarang," berkata Pandan Wangi kemudian, "kita akan
beristirahat dahulu sambil mencari tempat yang paling baik
untuk berkemah. Tempat yang paling aman dari gangguan
binatang berbisa." Demikianlah, mereka pun segera meloncat turun dari kuda
masing-masing. Para pengiring dan orang-orang yang
membawa perlengkapan rombongan kecil itu pun segera
mempersiapkan tempat yang kemudian mereka pilih untuk
meletakkan semua perbekalan dan alat-alat berburu mereka.
"Kita beristirahat di sini," berkata Pandan Wangi sambil
mengikat kudanya pada sebatang pohon.
Yang lain pun mengikat kuda masing-masing pula. Sambil
bertolak pinggang Prastawa memandang hutan yang
terbentang di hadapannya. Hutan yang lebat dan liar. Namun
tampak kegembiraan membayang di wajahnya. Seperti
Pandan Wangi, ia pun sebenarnya sudah jemu berburu di
hutan perburuan yang tidak begitu banyak lagi menyimpan
binatang buruan. "Tetapi belum pasti, bahwa di hutan ini kau akan
mendapatkan seekor binatang pun," Agung Sedayu tiba-tiba
berdesis. Prastawa berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, "Ya.
Memang mungkin. Tentu lebih sulit berburu di daerah yang
lebat ini. "Tidak selebat yang kita duga," sahut Apung Sedayu. "Jika
kita sudah berada di dalam, maka kita akan mendapatkan
jalan untuk mengejar binatang buruan. Alas Mentaok yang
lebat itu pun dapat disusupi. Bukan lewat jalur jalan yang
sudah ada. Tetapi lewat di antara pepohonan yang padat.
Bahkan di Alas Mentaok, ada sekelompok orang yang sempat
bermain hantu-hantuan."
Prastawa mengerutkan keningnya, "Hantu-hantuan?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ya. Tetapi baiklah
kita melupakannya. Meskipun demikian kita harus selalu ingat
pesan Ki Gede, bahwa di daerah yang berdekatan dengan
Kali Praga, kita tidak hanya harus berhati-hati terhadap
binatang buas dan serangga-serangga berbisa, tetapi juga
terhadap orang-orang yang tidak kita kenal."
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kadang-kadang para peronda memang menjumpai beberapa
orang bersenjata. Dan kadang-kadang mereka memang
menghilang di pinggir Kali Praga, menyusup ke dalam hutan
perburuan itu atau hutan yang liar ini. Mungkin mereka sadar,
bahwa tidak banyak tempat untuk bersembunyi di hutan
perburuan itu." Agung sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
Prastawa pun melanjutkan, "Kadang-kadang di lapangan pasir
sampai ke tepian itu memang terdapat jejak beberapa ekor
kuda memasuki hutan perdu. Tentu mereka telah berada di
daerah Tanah Perdikan Menoreh dan menghilang tidak tentu
kemana." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
tiba-tiba saja ia berkata, "Aku ingin menerobos hutan ini
sampai ke pinggir Kali Praga."
"Itu menarik sekali," sahut Prastawa, "kita bukan saja
berburu binatang. Tetapi kita sama sekali melihat apa yang
bersembunyi di balik hutan ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak dipandanginya wajah Swandaru yang sedang
memandanginya pula. Dan tampaklah anak muda yang gemuk
itu tersenyum. Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil
berkata, "Jika kita ingin melihat di balik hutan ini, kita tidak
perlu menyusup lewat belukar yang lebat, dan barangkali
berduri. Kita dapat melingkar lewat sepanjang tepian, dan kita
akan sampai ke pinggir Kali Praga."
"Ah," desah Prastawa, "itu namanya bukan berburu
binatang. Dengan demikian kita tidak akan mendapat seekor
pun." "Seekor bulus barangkali?" sahut Swandaru.
Suara tertawa Prastawa tidak dapat ditahankannya,
sehingga Pandan Wangi dan orang-orang yang lain terkejut
dan berpaling kepadanya. "Hus," desis Swandaru, "suaramu mengganggu harimau
yang sedang tidur nyenyak di hutan itu."
Prastawa menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Namun ia tidak dapat segera berhenti.
Rudita yang mendengar Prastawa tertawa menyentak itu
pun segera mendekatinya dan bertanya, "Ada apa?"
Prastawa menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
"Tidak ada apa-apa."
"Apa yang kau tertawakan?"
"Bukan apa-apa," jawab Prastawa pula.
"Tentu tidak. Tentu ada yang kau tertawakan."
"Aku hanya tertawa. Tetapi tidak mentertawakan siapa pun
juga." "Bohong!" tiba-tiba Rudita membentak sehingga Prastawa
benar-benar terkejut. Sambil mengerutkan keningnya di
pandanginya Rudita dengan tajamnya. Katanya, "Kau
membentak aku?" "Kau tidak mengatakan, siapa atau apa yang kau
tertawakan. Kau sudah menghina aku. Seandainya kau
mentertawakan seseorang, kau dapat menyebut namanya.
Jika kau mentertawakan apa pun, kau dapat mengatakannya.
Tetapi kau ingkar. Itu menyakitkan hati."
Prastawa masih berdiri dengan tegangnya. Kini ia sudah
tidak tertawa lagi. Tetapi justru keningnya menjadi berkerutmerut
Pandan Wangi yang melihatnya segera mendekatinya.
Hatinya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Prastawa
masih terlalu muda untuk setiap kali mengalah dan bahkan
kadang-kadang selalu berusaha menyenangkan hati Rudita.
Sejak semula Pandan Wangi sudah menduga, bahwa pada
suatu saat ia akan menjadi jemu.
Tetapi perselisihan tidak boleh terjadi. Keduanya adalah
saudaranya. Prastawa adalah saudara dekatnya, saudara
sepupu dari aliran darah ayahnya, sedang Rudita adalah
saudaranya meskipun sudah agak jauh, dari aliran darah
ibunya. Karena itu, maka sambil mendekati Rudita ia berkata,
"Jangan hiraukan Prastawa. Ia masih seperti kanak-kanak
saja. Ia tertawa tanpa sebab, dan bahkan kadang-kadang ia
masih juga menangis tanpa diketahui alasannya."
Rudita memandang Prastawa dengan tajamnya. Kemudian
Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi kedua anak muda ini
mencoba menghindari tatapan matanya. Agung Sedayu tidak
ingin melihat mata yang baginya mempunyai sorot yang aneh,
sedang Swandaru bahkan hampir tidak dapat menahan
tertawanya melihat wajah Rudita yang mempunyai kesan
tersendiri itu. "Marilah kita menyiapkan perkemahan kita," berkata
Pandan Wangi kepada Rudita, "kita akan beristirahat sejenak,
kemudian kita akan melihat-melihat ke dalam hutan itu,
sekaligus membawa senjata kita."
Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera
mengikuti Pandan Wangi, pergi ke tempat para pengiringnya
mengatur perkemahan mereka.
"Nah, di sini kita akan beristirahat," berkata Pandan Wangi
kemudian, "jika kita lelah berburu, kita akan kembali ke tempat
ini. Berbaring sejenak, dan barangkali makan atau minum.
Kedua orang pengawal akan berada di sini, menyediakan
keperluan kita seluruhnya."
"Jadi berapa orang yang akan ikut berburu?"
"Selain kita, mereka ada lima orang."
Rudita termangu-mangu. Dipandanginya tempat yang
sedang dibersihkan itu sejenak. Lalu, "Kita akan tidur di sini di
malam hari?" "Kita akan berburu. Jika kita lelah, baru kita akan tidur di
sini." "Tentu tidak di malam hari,"
"Ya, di malam hari. Tetapi tidak di tengah-tengah hutan itu.
Kita mencoba mengintai buruan kita. Hanya di pinggirnya
saja." Rudita termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya bulubulu
tengkuknya telah meremang. Namun ia mencoba
menahan kecemasan dan ketakutan itu di dalam hati. Ia tidak
mau mengeluh justru orang lain tampaknya bergembira. Dan
lebih-lebih lagi, ia tidak mau disebut sebagai seorang penakut
di antara anak-anak muda yang hampir sebayanya.
Namun ia tidak dapat mengingkari dirinya sendiri.
Bagaimana pun juga, terasa jantungnya berdebaran.
Dalam pada itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Prastawa
telah bertekad untuk melintasi hutan ini sampai ke seberang,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi mereka memilih jalan
menerobos hutan itu daripada menyusur pasir tepian, karena
mereka memang ingin melihat isi hutan yang lebat itu.
"Apakah kau akan ikut?" bertanya Prastawa kepada
Pandan Wangi setelah ia mengatakan rencananya.
"Tidak," Rudita-lah yang menjawab.
Prastawa memandang Rudita sejenak. Namun ia hanya
menarik nafas dalam-dalam. Ditahannya semua perasaan
yang menyesak dadanya. Sebenarnyalah Rudita semakin
lama semakin menjemukan baginya.
"Rudita," berkata Pandan Wangi kemudian, "bukankah kita
memang sengaja pergi berburu" Karena itu, sebaiknya kita
memasuki hutan. Jika ketiga anak-anak muda itu ingin
menyeberangi hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga, aku kira
memang tidak ada salahnya. Sebagian besar binatang buruan
tentu berada di tepi seberang yang dekat dengan air. Karena
itu, mau tidak mau kita harus pergi ke sana."
"Tentu tidak. Itu hanya suatu cara untuk memaksaku pergi.
Aku tidak mau." "Baiklah. Jika kau tidak mau, tinggallah di sini bersama
kedua pengawal yang akan menunggui kuda-kuda kita dan
menyediakan keperluan kita."
"Jadi aku harus menyediakan keperluan kalian?"
"Bukan kau, kedua pengawal itu."
Rudita memandang Pandan Wangi dengan mata yang
murung. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Jadi kalian
tidak mau mengurungkan niat kalian meskipun aku tidak
pergi?" "Tentu saja bahwa kami akan pergi, dengan atau tidak
dengan kau." "O, seharusnya kalian mengurungkan niat itu karena aku
tidak pergi. Tetapi kalian sama sekali tidak menghiraukan aku.
Bahkan kalian akan membiarkan aku berada di antara
pengawal-pengawal yang akan menyediakan keperluan
kalian." "Jadi bagaimana" Kalau kau tidak akan pergi baiklah kau
tinggal di sini. Jika kau akan pergi, marilah kita pergi bersamasama."
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu, "Kalian
benar-benar tidak mengerti. Jika aku berkata tidak ikut,
seharusnya rencana itu dibatalkan. Tetapi ternyata kalian
masih juga akan pergi."
"Kami akan tetap pergi. Kau memang boleh memilih. Pergi
bersama kami menyeberangi hutan ini bersama lima orang
pengiring, atau tinggal di sini dengan dua orang yang lain.
Kami tidak akan memaksamu."
"Kenapa aku harus memilih."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Biasanya aku tidak memilih. Tetapi menentukan. Dan
kalian sama sekali tidak mendengarkan aku."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang wajah Prastawa, Swandaru, dan Agung Sedayu
tampak betapa kesalnya mereka. Swandaru yang hampir tidak
dapat menahan diri justru melangkahkan kakinya perlahanlahan
menjauh. Dipandanginya ujung pepohonan yang
menjulang tinggi ke langit.
Ia terkejut ketika ia mendengar kudanya meringkik.
Kemudian beberapa ekor kuda yang lain. Agung Sedayu,
Pandan Wangi, dan Prastawa pun segera tertarik kepada
kuda-kuda yang menjadi gelisah itu.
"Marilah kita masuk," tiba-tiba saja Prastawa mengajak,
"tentu kuda-kuda itu mencium bau binatang buas."
"Ya," desis Swandaru, "mungkin ada seekor harimau."
"Mungkin seekor harimau. Angin bertiup dari Utara.
Harimau itu ada di arah Utara. Mungkin harimau itu sama
sekali belum mengetahui bahwa ada seekor kuda atau lebih di
luar hutan ini. Namun ringkik kuda itu agaknya telah
memanggilnya," berkata Agung Sedayu.
"Jadi bagaimana dengan kita?" bertanya Prastawa.
"Aku sependapat. Kita mencarinya."
"Atau harimau itulah yang akan keluar dari hutan ini
mencari kuda." Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Jika mereka
meninggalkan kuda-kuda mereka, sedang kedua pengawal itu
sedang sibuk menyiapkan keperluan rombongan kecil itu
mungkin sekali mereka akan lengah.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Marilah kita
memasuki hutan ini. Seandainya harimau itu sedang tidur,
biarlah kita membangunkannya. Tetapi sudah tentu bahwa
tidak hanya dua orang saja yang akan kita tinggalkan di sini
menunggui kuda dan menyiapkan keperluan kita semuanya."
"Jadi bagaimana?"
"Sebaiknya empat orang tinggal di sini, dan tiga orang
yang lain bersama kita. Jika harimau itu tidak kita jumpai dan
tiba-tiba saja berusaha menerkam kuda-kuda itu, biarlah ada
beberapa orang yang melawannya. Kita tidak dapat
mengorbankan seekor kuda pun bagi mereka."
"Ya," sahut Pandan Wangi, "kita akan pergi bertiga. Kalian
berempat tinggal di sini. Jika nanti malam kita pergi memasuki
hutan ini pula, kalian akan pergi bergantian."
Pandan Wangi pun kemudian menunjuk empat orang yang
tetap tinggal di luar. Menyiapkan keperluan rombongan kecil
itu dan melindungi kuda-kuda mereka dari sergapan harimau.
"Ikatlah kuda-kuda itu di tempat yang agak jauh dari
pepohonan hutan, agar kalian dapat melihat seandainya
seekor harimau sedang merunduknya, atau bahkan sedang
merunduk untuk menyergap kalian," berkata Pandan Wangi.
"Aku akan segera masuk."
Demikianlah, maka mereka pun menyingkirkan kuda-kuda
itu dan mengikatnya pada pepohonan agak jauh dari hutan.
Keempat orang yang ditinggalkan oleh Pandan Wangi dan
kawan-kawannya pun kemudian mempersiapkan diri mereka.
Selain busur dan anak panah, mereka juga menyediakan
tombak-tombak pendek. "Anak muda yang seorang itu agaknya tidak seberani yang
lain," desis salah seorang dari mereka.
"Ya, memang Rudita mempunyai sifat yang berbeda,
Sebenarnyalah Rudita masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia tidak
dapat berbuat lain daripada ikut bersama Pandan Wangi
memasuki hutan yang liar itu, karena ternyata Pandan Wangi
dan anak-anak muda yang lain bersama tiga orang
pengiringnya benar-benar akan berburu di dalam hutan itu."
Namun rasa-rasanya Rudita hampir menangis karena
sikap dan tingkah laku mereka. Sebenarnya ia ingin Pandan
Wangi berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya. Tetapi
ternyata ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
"Sebenarnya ia harus mengerti dengan sendirinya, bahwa
aku ingin kami semuanya tinggal di luar hutan ini. Seharusnya
ia mengerti bahwa ia harus mengurungkan niatnya dan
mencegah anak-anak itu pergi ke dalam hutan. Tetapi ia tidak
berbuat demikian," keluh Rudita di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun dengan hati yang berat dan
dibayangi oleh kecemasan berjalan di belakang Pandan
Wangi. Sedang di belakangnya lagi masih ada dua orang yang
lain, Agung Sedayu dan Swandaru selain para pengiring. Dan
di paling depan Prastawa berjalan dengan dada tengadah.
Dengan susah payah mereka menembus gerumbulgerumbul
liar dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul berduri,
menyusup di bawah batang-batang pohon yang roboh, silang
melintang di bawah sulur-sulur kayu yang lebat dan rantingranting
yang berpatahan. Swandaru dan Agung Sedayu yang berjalan di belakang
Rudita memandangi lebatnya hutan itu sambil mengerutkan
keningnya. Ternyata hutan yang liar di daerah Menoreh ini
juga lebat pepat, meskipun tidak seluas dan segarang Alas
Mentaok. Namun daerah yang banyak mengandung air,
tetumbuhan hutan ini rasa-rasanya menjadi sangat subur.
Gemeresak dedaunan dan ranting yang perpatahan oleh
kaki-kaki serombongan kecil itu telah mengejutkan burungburung
yang bertengger di atas dahan kayu. Beberapa ekor
burung berterbangan sambil mencicit menyusup dedaunan
dan hilang di balik lebatnya hutan. Sedang yang lain meloncat
ke dahan yang lebih tinggi lagi untuk menghindarkan diri dari
bahaya yang mungkin sedang mengintai.
Rudita terkejut bukan buatan ketika ia mendengar seekor
kera yang berteriak keras-keras karena ia melihat kehadiran
mahluk yang jarang sekali dilihatnya, disahut oleh beberapa
ekor kera yang lain yang sedang bergayutan di pepohonan.
"Itu dia," teriak Rudita, "banyak sekali, dan alangkah
besarnya. Hampir sebesar kita."
Pandan Wangi berpaling. Dianggukkannya kepalanya
sambil berkata, "Diam sajalah. Mereka tidak akan berbuat
apa-apa, jika kita juga tidak berbuat apa-apa."
Rudita mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
berdiam diri saja meskipun hatinya menjadi berdebar-debar.
Beberapa ekor kera rasa-rasanya telah mengikuti mereka
yang sedang berjalan di dalam lebatnya hutan itu.
Dalam pada itu selagi mareka berjalan perlahan-lahan
maju, tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, "Sayang sekali."
"Kenapa?" Prastawa yang ada dipaling depanlah yang
bertanya. "Harimau itu tidak ada di sekitar tempat ini."
"Kenapa?" "Jika ada seekor harimau di tempat ini, tentu tidak akan
ada kera yang berani bergayutan."
"Ya," Pandan Wangi-lah yang menyahut, "tentu tidak ada
seekor harimau di tempat ini."
"Tetapi kenapa kuda-kuda itu meringkik dan agaknya
menjadi ketakutan?" bertanya Prastawa.
"Mungkin kuda-kuda itu memang mencium bau seekor
harimau, tetapi harimau itu sendiri masih berada di tempat
yang agak jauh, yang justru tidak tercium dari tempat ini."
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
demikian, ia masih berharap untuk dapat bertemu dengan
seekor binatang buruan. Bukan sekedar seekor binatang
buruan yang kecil, tetapi ia mengharap dapat bertemu dengan
seekor harimau. Untuk beberapa lamanya mereka sama sekali tidak
berbicara. Mereka berjalan dengan hati-hati menyusup
dedaunan. Sedang Rudita yang semakin lama menjadi
semakin ketakutan, hampir tidak mengucapkan sepatah kata
pun juga. Namun sejenak kemudian, perhatian mereka yang sedang
berburu itu tertarik oleh arus beberapa ekor burung yang
berterbangan ke satu arah. Burung-burung kecil dan burungburung
yang lebih besar. Dan sejenak kemudian disusul oleh.
beberapa ekor kera yang berloncatan seperti sedang berkejarkejaran.
Sejenak anak-anak muda yang sedang berburu itu
memperhatikan keadaan itu. Beberapa ekor kera yang seolaholah
sedang mengikuti mereka pun sudah tidak kelihatan lagi.
Prastawa yang ada di paling depan itu pun berhenti. Anak
muda itu adalah anak muda yang berani. Tetapi ia belum
menguasai kemampuan berburu sebaik-baiknya. Itulah
sebabnya ia ragu-ragu, meskipun firasatnya mengatakan
sesuatu kepadanya. Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, "Siapkan
senjata kalian." "Ya, kita harus berpencar," desis Swandaru.
Rudita yang ketakutan tiba-tiba bergeser mendekati
Pandan Wangi sambil berkata, "Kenapa kita harus berpencar"
Dan kenapa kita harus menyiapkan senjata?"
Ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi suasana
seperti anak-anak muda yang lain. Maka katanya, "Tentu ada
binatang buas yang sedang bergerak. Jika tidak, binatangbinatang
kecil itu tidak akan berlarian."
"Harimau maksudmu?"
"Mungkin." "Suara ringkik kuda yang keras itu agaknya telah menarik
perhatiannya," desis Agung Sedayu.
"Bagus sekali," sahut Prastawa dengan serta-merta.
Anak-anak muda itu pun mulai menebar. Agung Sedayu
bergeser menjauh diikuti oleh Swandaru yang pergi ke arah
yang sama tetapi dengan jarak beberapa langkah, sementara
Prastawa telah maju pula beberapa langkah.
"Tunggu," desis Rudita, ketika Pandan Wangi mulai
bergerak pula. "Sst, kita berpencar," desis Pandan Wangi.
"Aku bersamamu," sahut Rudita.
"Bergeraklah sedikit dengan jarak yang tidak terlampau
dekat. Kita maju bersama-sama."
"Tidak, aku pergi bersamamu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Prastawa dan kedua murid Kiai Gringsing yang
termangu-mangu. "Mereka menunggu kami," berkata Pandan Wangi
kemudian. "Aku bersamamu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Apa boleh buat. Berjalanlah perlahan-lahan dan
hati-hati. Tetapi di belakangku."
Rudita bergeser beberapa beberapa langkah. Ketika
Pandan Wangi maju masuk hutan itu lebih dalam lagi bersama
anak-anak muda yang lain dalam garis lurus yang berjarak
beberapa langkah, Rudita mengikutinya di belakang. Ketika ia
melihat senjata yang siap di tangan masing-masing, maka
hatinya menjadi gemetar. Ia membawa juga busur dan anak
panah seperti yang lain. Tetapi tangannya yang memegang
busur itu pun gemetar. Sekali-sekali Agung Sedayu memandanginya. Sempat
juga ia mengenang masa kecilnya. Ketika oleh kemanjaannya
ia dijerumuskan ke dalam ikatan ketakutan yang membuat
dunianya menjadi gelap. "Tetapi sejak aku masih diikat oleh ketakutan, aku sudah
belajar tata bela diri dan mempergunakan senjata," berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun rasa-rasanya ayah
Rudita pun seorang yang memiliki ilmu sehingga mungkin
Rudita pun sudah mulai diajarinya pula.
"Ia harus mengalami benturan perasaan yang dahsyat
untuk dapat merubahnya menjadi seorang yang lain," berkata
Agung Sedaya. Namun meskipun kadang-kadang ia malu
kepada dirinya sendiri. Agung Sedayu masih juga dapat


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat perbedaan yang besar antara dirinya sendiri pada saat
itu dengan Rudita. Ia sama sekali bukan seorang anak muda
yang sombong, dan bukan pula anak muda yang seakan-akan
merasa berkuasa atas orang lain, karena saat itu ia sudah
menjadi seorang piatu. Ia hidup di dalam suasana yang
berbeda dengan cara hidup Rudita kini, sehingga sikap anak
muda yang manja ini kadang-kadang memang
menjengkelkan, bukan sebaliknya.
Dan kini ia terpaksa menahan senyumnya melihat Rudita
yang dengan wajah pucat merunduk di belakang Pandan
Wangi. Demikianlah mereka bergerak semakin lama semakin
dalam. Para pengiring mereka pun ikut menebar di antara
keempat anak-anak muda itu beserta Rudita di belakang
Pandan Wangi. Tetapi mereka lambat sekali maju karena pepohonan
perdu yang lebat di bawah pepohonan yang besar di hutan itu.
Apalagi mereka memang harus berhati-hati, karena bukan
saja harimau yang buas yang harus mereka hadapi, tetapi
juga binatang-binatang kecil yang berbisa.
Dalam pada itu, beberapa ekor burung masih
berterbangan di antara dahan-dahan kayu, dan masih pula
ada beberapa ekor kera yang sambil berteriak-teriak
berloncatan di pepohonan.
Agung Sedayu yang berada di ujung dari kelompok yang
sedang maju di dalam garis lurus itu sudah menyiapkan anak
panah pada busurnya. Ia mengharap bahwa kemampuan
bidiknya masih tetap utuh. Beberapa langkah daripadanya
adalah Swandaru yang sudah siap pula. Kemudian agak di
belakangnya seorang pengiring. Kemudian Pandan Wangi dan
Rudita. Di sebelahnya adalah Prastawa, dan di ujung yang lain
adalah kedua pengiring pula yang seperti yang lain juga sudah
siap dengan senjata mereka.
Sejenak Agung Sedayu yang berpandangan tajam itu
melihat sebuah gerumbul yang bergerak. Dengan sigapnya ia
meloncat maju. Ketika sesuatu tersembul dari gerumbul itu,
anak panahnya telah siap untuk meluncur.
Tetapi anak panah itu masih tetap pada busurnya.
Dibiarkannya seekor binatang berlari kebingungan. Binatang
itu tidak berani berani kembali ke tengah hutan, namun tidak
pula dapat terus. Sejenak binatang itu meloncat masuk ke
dalam gerumbul yang lain, kemudian berlari menghindar.
Agung Sedayu menarik nafas. Ia sadar, bahwa ia memang
bukan seorang pemburu yang baik. Kadang-kadang ia masih
juga diganggu oleh keragu-raguan untuk membunuh meskipun
hanya seekor anak kijang.
"Kau biarkan kijang itu lari?" desis Swandaru.
Agung Sedayu tidak menjawab. Katanya di dalam hati,
"Seandainya bukan seekor kijang yang masih muda. Ia
dengan ketakutan ingin melepaskan diri dari kejaran binatang
buas, alangkah malang nasibnya jika ia berpapasan dengan
manusia yang ternyata tidak kalah buasnya dari binatang yang
paling buas itu. Karena justru manusialah yang telah
membunuhnya." Swandaru melihat keragu-raguan di mata Agung Sedayu,
sehingga ia berkata, "Penyakitmu sudah kambuh lagi, Kakang.
Bukan saatnya untuk ragu-ragu di saat kita sedang berburu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Kijang yang masih sangat
muda itu sudah hilang. Namun di balik belukar yang lebat itu,
mungkin sekali akan mereka temukan seekor harimau yang
buas. Demikianlah mereka melangkah maju lagi. Setapak demi
setapak. Sedang angin bertiup ke arah yang berlawanan.
Sehingga mereka berharap bahwa hidung harimau itu tidak
lebih dahulu mencium bau orang-orang yang mencoba
memburunya. Sejenak kemudian, maka terasa hutan itu menjadi sepi.
Sepi sekali. Tidak terdengar teriakan kera di pepohonan, dan
tidak terdengar pula kicau burung di udara.
Orang-orang yang sedang berburu itu menjadi semakin
tegang. Ternyata bahwa mereka akan segera berhadapan
dengan binatang buas di hutan liar itu.
Karena itu, maka anak panah mereka telah siap dipasang
pada busurnya, siap untuk dilepaskan.
Tetapi beberapa saat lamanya mereka tidak melihat
sesuatu yang bergerak di dalam gerumbul. Setiap kali mereka
hanya melihat seekor kupu yang tidak menyadari bahaya yang
ada di hutan itu. Namun tiba-tiba Agung Sedayu tertegun sejenak. Hampir
berbareng dengan Swandaru ia berkata, "Aku mencium bau
yang lain." Pandan Wangi pun menganggukkan kepalanya sambil
berdesis, "Ya. Bau ini tentu bukan bau seekor harimau."
"Aku tidak mencium bau apa pun," berkata Prastawa.
"Cobalah perhatikan. Ada yang lain."
Orang-orang yang sedang berburu itu pun kemudian
berhenti sejenak. Seorang pengiring yang sudah
berpengalaman berkata, "Berhati-hatilah. Bau ini sudah
memberi peringatan kepada kita."
"Ya, ya. Aku mencium bau itu."
"Bau apakah yang sudah kalian cium?" bertanya Rudita.
Wajahnya menjadi semakin pucat. "Aku tidak mencium bau
apa pun juga." "Bau yang wengur ini," berkata pengiring itu.
"Ya, tetapi bau apa?"
Sebelum orang itu menjawab, Agung Sedayu berkata
sambil menunjuk kekejauhan, "Kau lihat ujung pohon itu?"
"Nah," berkata pengiring itu, "kini sudah pasti. Bukan
seekor harimau yang kita hadapi."
Pandan Wangi pun menjadi tegang. Jarang sekali terjadi,
bahwa di dalam hutan mereka akan berpapasan dengan
kejadian itu. "Apa, kenapa dengan ujung pepohonan itu," Rudita
bergeser semakin mendekati Pandan Wangi.
"Bagaimana dengan kita?" bertanya Pandan Wangi
kemudian kepada pengiring itu, tanpa menghiraukan Rudita.
"Terserahlah kepada kita. Apakah kita akan memburunya
juga, atau kita akan mengambil jalan lain dan menjauh seperti
binatang-binatang buruan yang lain."
"Marilah, kita lihat," berkata Prastawa.
"Jangan terburu-buru," berkata pengiring itu, "lebih baik
bertemu dengan seekor harimau daripada kita mendekatinya."
"Apa yang kalian lihat, apa?" desak Rudita.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ujung pepohonan itu bagaikan ditiup angin pusaran. Apakah
kau benar-benar tidak mengerti, apakah yang ada di sana."
Rudita memandang ujung pohon itu. Katanya, "Maksudmu
pohon yang besar itu?"
"Ya." "Bukan setiap pepohonan."
"Ya, maksudku pohon yang besar itu."
Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak
mengerti." Pandan Wangi memandang Agung Sedayu dan Swandaru
berganti-ganti. Kemudian pengiring yang menyertainya itu.
"Katakan," desak Rudita.
Sekali lagi Pandan Wangi memandang pengiringnya,
seakan-akan menyuruhnya mengatakan tentang ujung pohon
yang bergerak-gerak itu. "Itu adalah bahaya yang paling besar di dalam hutan ini
bagi binatang-binatang yang ada di dalamnya. Lebih
berbahaya dari seekor harimau yang sedang lapar."
"Aku sudah mendengar kalian mengatakannya. Tetapi
apa?" "Seekor ular naga."
"Ular naga," dada Rudita bagaikan berhenti bergetar, "ular
naga. Jadi apakah benar ada seekor ular naga?"
"Maksudku seekor ular yang besar sekali. Orang-orang
yang pernah menyaksikannya menyebutnya ular naga. Di
telinganya terdapat semacam sumping kebesaran, dan bagi
sejenis ular, terdapat taji di bagian ekornya."
"O, apakah ular naga itu berkaki juga?"
Pengiring itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tidak. Ular naga biasanya tidak berkaki."
"Tetapi kenapa ujung pohon itu seperti ditiup angin
pusaran?" "Ular itu sedang lapar."
"Ya, tetapi kenapa ujung pohon itu?"
"Ular yang lapar membelitkan ujung ekornya pada
sebatang dahan yang besar di pohon itu, kemudian kepalanya
sajalah yang terayun-ayun di sekitar pohon itu. Setiap mahluk
yang lewat di jarak jangkaunya, tentu akan disambarnya dan
langsung ditelannya. Juga seekor kijang dan bahkan seekor
harimau. Tetapi sudah barang tentu, jika yang disambarnya
seekor harimau maka tentu akan terjadi pergulatan yang
sengit, karena seekor harimau tidak akan menyerah begitu
saja. Bahkan dapat terjadi, jika pohon itu berada di tepi Kali
Praga, ular itu akan menyambar seekor buaya yang sedang
berjemur. Namun yang terjadi adalah pergulatan yang sengit
antara ular itu dengan seekor buaya yang kuat."
Terasa bulu-bulu tengkuk Rudita meremang, terbayang di
matanya seekor naga raksasa yang buas sedang terayunayun
di pohon itu sambil membelitkan ekornya. Kepalanya
merupakan alat yang sangat berbahaya untuk menyambar
mangsanya. Jika seekor harimau dapat disambarnya
meskipun kemudian harus bergulat dengan sengit, apa yang
dapat dilakukan oleh seseorang"
Karena itu, maka Rudita menjadi semakin ketakutan.
Setiap kali ia memandang ujung pohon yang bergerak-gerak
itu. Namun kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya
lagi sehingga katanya kepada Pandan Wangi, "Apakah kita
tidak sebaiknya kembali saja?"
"Kita maju beberapa langkah lagi. Mungkin kita tidak akan
mendapat kesempatan melihat seekor ular raksasa yang lapar
mencari makan di tengah-tengah hutan yang lebat seperti ini."
"Tetapi kenapa ular itu tiba-tiba saja menjadi lapar ketika
kita mendekatinya?" "Tentu tidak. Ular menjadi lapar untuk waktu yang panjang.
Adalah kebetulan bahwa pada saat kita memasuki hutan ini,
ular itu mulai mencari mangsanya. Tetapi tentu ular itu sudah
cukup lama menahan lapar. Memang mungkin ringkik kuda
yang keras itu menambah seleranya sehingga tiba-tiba saja ia
berniat untuk menyambarnya. Tetapi kuda itu tidak akan
melalui daerah berbahaya itu. Binatang-binatang yang lain pun
biasanya menjauhinya."
"Kenapa justru kita mendekat?"
"Kita bukan binatang yang tersesat ke daerah jangkau
kepala ular yang lapar itu. Tetapi kita dengan sadar
mendekatinya, sehingga kita dapat memperhitungkan jarak
sebaik-baiknya." "Tetapi apakah gunanya kita mendekat?"
"Aku ingin melihat," lalu Pandan Wangi memandang anakanak
muda yang lain sambil bertanya, "Bagaimana dengan
kalian?" "Aku juga belum pernah melihat, bagaimana seekor ular
yang lapar mencari mangsanya," sahut Prastawa.
"Tetapi itu berbahaya sekali," gumam Rudita.
"Asal kita berhati-hati, kita tidak akan terjebak ke dalam
mulutnya," berkata Swandaru kemudian, "karena itu, kita
harus mampu memperhitungkan setiap kemungkinan.
Memang mungkin luar itu menyelusur turun sedikit, sehingga
jarak jangkaunya bertambah lebar, tetapi tentu terbatas,
karena panjang tubuhnya juga terbatas."
Rudita tidak dapat memaksa kawan-kawannya berburu
untuk kembali. Betapa pun ia dibelit oleh perasaan takut,
namun ia terpaksa ikut maju juga mendekati sebatang pohon
yang sedang diguncang oleh ular yang kelaparan itu.
"Jangan mendekat lagi," desis Rudita.
"Sst, ular itu mempunyai telinga. Jika ia mendengar
suaramu, maka perhatiannya akan tertuju sepenuhnya ke
mari." "Dan mempunyai hidung," desis Swandaru, "ia akan dapat
mencium bau manusia."
Rudita sama sekali tidak berani membuka mulutnya. Ia
menjadi semakin lama semakin ketakutan, sehingga karena
ituia bahkan sekali-sekali berpegangan pada baju Pandan
Wangi. "Sst," Pandan Wangi kadang-kadang merasa geli juga,
sehingga sekali-sekali tangan Rudita itu pun dikibaskannya.
Agung Sedayu yang melihat, betapa Rudita dicengkam
oleh ketakutan menjadi kasihan karenanya. Ia sendiri pernah
merasakan betapa sakitnya perasaan takut itu menyiksa
dirinya. Namun ia tidak dapat menolongnya. Ketakutan yang
demikian tidak dapat ditolong dengan mengawaninya.
Dalam pada itu, mereka menjadi semakin lama semakin
dekat dengan pohon yang diguncang oleh ular raksasa itu.
Bau yang wengur semakin lama semakin terasa menusuk
hidung, sedang daerah di sekitar tempat itu menjadi semakin
sepi. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak oleh
sentuhan binatang hutan selain di sekitar pohon yang
bagaikan dipermainkan oleh angin pusaran itu.
"O," Rudita menjadi gemetar ketika ia melihat sesuatu
yang bergerak-gerak pada pohon itu. Ternyata seperti yang
lain, ia mulai dapat melihat tubuh ular yang tersangkut pada
dahan pohon itu. Ular yang ternyata benar-benar ular raksasa.
Prastawa yang juga melihat ular itu, hampir saja meloncat
maju didorong oleh keinginannya yang meluap melihat seluruh
tubuh ular itu. Untunglah pengiring yang berpengalaman itu
sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia
menjadi berhati-hati. "Kita belum melihat kepalanya," bisik orang itu, "kita belum
tahu pasti panjang ular itu."
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak sekelompok orang-orang yang ingin melihat ular
raksasa itu berdiri membeku. Mereka masih belum tahu pasti
berapa jauh jarak jangkau kepala ular raksasa itu.
"Tinggallah kalian di sini," berkata pengiring yang sudah
banyak mengetahui seluk-beluk hutan itu, "aku akan mencoba
melihat, sampai di mana jauh jangkau kepala ular itu."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hati-hatilah," desis Pandan Wangi.
"Aku akan pergi bersamanya," berkata Agung Sedayu.
"Aku juga," berkata Swandaru.
"Tinggallah di sini," sahut Agung Sedayu, "jika terlalu
banyak orang yang pergi, ular itu akan segera mengetahui
kehadiran kita." Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pengiring itu pun kemudian bergeser maju diikuti oleh
Agung Sedayu. Mereka dengan hati-hati menyusup sebuah
gerumbul kecil yang tidak begitu rimbun. Namun karena
mereka masih belum dapat melihat kepala ular itu, maka
mereka pun bergeser beberapa langkah lagi, dan berlindung
di balik sebatang pohon. "Firasatku mengatakan bahwa ular itu sudah mencium bau
manusia." "Kita, maksudmu?"
"Ya, lihatlah gerak tubuhnya."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kita mendekat lagi."
Orang itu menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia
melangkah maju, maka Agung Sedayu pun segera
menyambarnya. Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melakukannya.
Ketika orang itu berguling karena tarikan tangan Agung
Sedayu, ia masih sempat melihat sesuatu bergerak
digerumbul beberapa langkah di hadapannya.
Dengan tubuh yang gemetar orang itu meloncat berdiri dan
bersama dengan Agung Sedayu melangkah surut ke
belakang. "Aku tidak mengira, bahwa kepala ular itu sudah begitu
dekat," berkata orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat kepala itu mulai
bergerak-gerak. Agaknya ular itu tidak saja ingin menunggu,
tetapi ia berusaha untuk dapat mencapai mangsanya yang
belum dapat ditangkapnya itu.
Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu di balik
sebatang pohon yang besar, meskipun mereka sadar, bahwa
mereka tidak akan dapat bersembunyi apabila ular itu
berusaha untuk maju. Tetapi agaknya kepala ular raksasa itu masih, saja
terayun-ayun, meskipun kini agaknya lebih tertuju kepada
kedua orang yang berusaha bersembunyi itu.
Agung Sedayu dan pengiring itu masih saja berdiri diam di
tempatnya. Mereka sedang terpukau oleh kekaguman atas
ular yang besar itu. Kepalanya yang sebesar kepala kerbau itu
tampak kehitam-hitaman mengkilap seperti dilumuri minyak.
Seperti ceritera yang pernah mereka dengar, bahwa
sebenarnyalah pada telinga ular itu seakan-akan terlukis
sebuah jamang berwarna kemerah-merahan. Matanya yang
tajam bagaikan memancarkan cahaya yang kekuningkuningan.
"Mengerikan sekali," desis pengiring itu.
"Ya, mengerikan sekali," sahut Agung Sedayu, "ular itu
tentu sangat berbahaya. Bukan saja bagi binatang-binatang
hutan tetapi juga bagi seseorang yang kebetulan masuk ke
dalam hutan ini. Tentu ular itu tidak selamanya bergayutan di
pohon itu. Apabila ia sudah kenyang, ia akan pergi sehingga
datang saatnya ia kelaparan lagi dan melakukan perbuatan
yang serupa. Mungkin di tengah hutan ini, tetapi mungkin di
tempat lain yang sering dikunjungi orang."
"Jika kepalaku disambarnya," berkata pengiring itu, "maka
aku tidak akan sempat berteriak. Tubuhku akan segera
dilumatkan dengan belitan yang kuat, sehingga dengan
tulang-tulang yang remuk dengan mudahnya aku akan
ditelan." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kemudian ia terpaksa melangkah surut sambil berkata,
"Ular itu agaknya akan menyerang kita."
"Ya. Ular itu akan menyerang. Marilah kita pergi."
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah ular yang
berbahaya itu akan ditinggalkan begitu saja.
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Agung Sedayu terkejut
karena ia mendengar suara Rudita, "Jangan maju lagi.
Jangan." "Gila," geram Agung Sedayu, "kenapa anak itu dibawa ke
mari?" Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang ditinggalkan
oleh Agung Sedayu itu tidak sabar lagi menunggu. Apalagi
Swandaru dan Pandan Wangi disentuh pula oleh perasaan
cemas apabila sesuatu telah terjadi atas Agung Sedayu dan
seorang pengiringnya. "Jangan maju lagi," desis Agung Sedayu.
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu, sedang Rudita
yang kemudian melihat juga kepala yang terayun-ayun itu
menjadi gemetar seperti orang yang sedang kedinginan.
"Hati-hatilah, Kakang," Swandaru tiba-tiba berteriak.
Agung Sedayu dan pengiring itu meloncat menjauh.
Agaknya ular raksasa itu telah berusaha menjangkau kedua
mangsanya itu. Namun karena ekornya masih harus
berpegangan pada dahan kayu yang besar, maka ia masih
belum berhasil mencapai mahluk yang masih agak asing
baginya. Ternyata percakapan itu membuat ular raksasa itu
semakin marah. Kepala yang mengerikan itu terayun-ayun
semakin keras, sehingga batang pohon tempat ekornya
berpegangan menjadi semakin keras bergetar.
Tetapi bukan itu saja, ternyata ular itu pun berusaha
semakin menjulur ke bawah. Ternyata ia berusaha
mengendorkan belitan ekornya, agar kepalanya menjadi
semakin panjang menjangkau mangsanya.
Tetapi kemarahan ular raksasa itu telah mengguncang
dahan pohon tempatnya bergantung semakin keras. Semakin
lama semakin keras, sehingga pada suatu saat, dahan itu
tidak mampu lagi menahan ayunan tubuh yang seakan-akan
menjadi semakin berat. Yang terdengar kemudian adalah dahan itu mulai retak.
Sejalan dengan itu, maka kepala ular itu pun menjadi semakin
rendah, dan semakin dekat menjangkau Agung Sedayu dan
pengiringnya. "Kakang, dahan itu patah," teriak Swandaru.
Dengan gerak naluriah, maka Agung Sedayu pun
menjauh. Tetapi dengan gerak naluriah pula, Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah
menarik anak panah pada busurnya. Hampir berbareng
dengan derak dahan yang patah itu, beberapa anak panah
telah meluncur ke arah kepala ular raksasa itu.
Namun ternyata bahwa kepala ular yang bergerak itu tidak
terlalu mudah dikenainya. Anak panah yang meluncur dari
busurnya itu tidak sempat mengenai sasarannya, kecuali anak
panah Agung Sedayu, meskipun tidak tepat, karena anak
panah itu menembus leher.
Luka di leher ular itu, membuat ular raksasa itu menjadi
seakan-akan gila. Tiba-tiba saja ular itu melonjak dan dahan
yang patah itu pun berderak jatuh di tanah.
Kesakitan yang amat samgat pada lehernya, dan tubuhnya
yang justru tertindih dahan yang besar itu, membuatnya
semakin gila. Ular itu bergulung-gulung seperti pusaran air. Dengan
berdesis mengerikan ular itu berusaha melemparkan dahan
yang besar yang menindih tubuhnya. Namun kesakitan pada
lehernya bagaikan tersentuh bara besi baja.
Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya ular raksasa
itu seakan-akan bergulat dengan dirinya sendiri. Namun
dengan kemarahan yang luar biasa tiba-tiba kepalanya yang
mengkilap itu tegak, dengan mulut ternganga.
Ular itu bagaikan menyemburkan api dari dalam mulutnya.
Rudita benar-benar sudah kehilangan keberaniannya
sama sekali. Tubuhnya menggigil seperti terbenam di dalam
air embun. Bahkan ketika kawan-kawannya bergeser surut, ia
sudah tidak mampu lagi mengangkat kakinya.
"Rudita," teriak Pandan Wangi.
"O," Rudita mencoba melangkah. Tetapi kakinya terantuk
sepotong akar yang menyilang di depannya. Tiba-tiba saja ia
justru terjatuh tertelungkup.
Pada saat itulah ular raksasa yang bagaikan gila itu
menjulurkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang
bergerak-gerak. Dan itu adalah Rudita yang sedang berusaha
bangun. "Rudita," sekali lagi Pandan Wangi berteriak.
Tetapi kepala ular itu mulai bergerak, lidahnya mencuat
seperti ujung api yang akan membakar tubuh Rudita yang
lemah. Sekejap semua orang yang menyaksikannya dicengkam
oleh perasaan tegang. Mata ular yang membara dan taringnya
yang tajam, membuat setiap jantung bagaikan berhenti
berdenyut. Namun tidak seorang pun yang menghendaki Rudita akan
ditelan oleh ular yang sedang kesakitan itu. Karena itu, maka
sekali lagi beberapa orang telah melepaskah anak panah.
Tetapi anak panah itu tidak tepat mengenai sasarannya. Satu
dua daripadanya berhasil mengenai leher ular itu dan
menyusup di antara sisiknya yang bagaikan perisai besi.
"Rudita," Pandan Wangi benar-benar menjadi cemas.
Pada saat yang paling berbahaya itu, tidak ada jalan lain
kecuali mencoba mengusir ular itu dengan anak panah yang
dilontarkan bagaikan hujan.
Tetapi ular itu benar-benar sudah gila. Ia sama sekali tidak
menjadi surut meskipun ada beberapa anak panah yang
bergayutan pada sisiknya.
Tidak ada lagi harapan yang masih tersisa di hati Rudita.
Ia sempat melihat kepala ular itu merunduk menghampirinya
dengan mulut menganga, lidah yang belah dan taring yang
tajam. Namun pada saat itu, Agung Sedayu masih melakukan
usaha terakhir. Dengan cepatnya ia menyambar tombak
pendek seorang pengiring yang sedang termangu-mangu.
Dengan kemampuan bidiknya, ia melontarkan tombak itu
selagi ular itu tidak sedang bergejolak seperti wajah air yang
sedang mendidih. Ternyata usaha Agung Sedayu yang terakhir itu berhasil.
Pada saatnya, tombak pendek itu meluncur tepat mengenai
sebelah mata ular yang marah itu.
Sekali terdengar ular itu berdesis keras sekali sambil
menarik kepalanya cepat-cepat. Kemudian, sekali lagi ular itu
bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan tenaga raksasanya
ia berusaha melepaskan diri dari cengkaman kesakitan. Tetapi
ia tidak berhasil melepaskan diri dari ujung tombak dan
beberapa anak panah yang mengenainya.
Dalam keadaan itulah, maka sekali lagi Agung Sedayu
menyerang dengan anak panahnya. Tetapi ia tidak berhasil
mengenainya. Anak panahnya justru meloncat mengenai
tubuh ular yang sedang mengamuk itu.
Ketika ular itu sekali lagi menengadahkan kepalanya yang
sudah mulai dilumuri darah dari luka-lukanya dan terutama
dari sebelah matanya, Swandaru sudah sempat menarik
Rudita dan menyeretnya menjauhi ular itu.
Tetapi betapa garangnya ular raksasa itu, namun akhirnya
lambat laun ia kehilangan tenaganya. Darahnya yang
mencucur dari lukanya, dan ujung tombak yang justru semakin
dalam menancap di kepalanya, mulai menyentuh otaknya.
Akhirnya, badai yang berkecamuk itu menjadi semakin
lama semakin reda. Perlahan-lahan namun pasti, maka
akhirnya ular raksasa itu kehilangan segenap tenaganya dan
bahkan kemudian kehilangan hidupnya. Tombak Agung
Sedayu yang justru menjadi semakin dalam menghunjam di
kepalanya, telah menghabisi nyawanya.
Ular raksasa itu pun akhirnya telah mati dengan
meninggalkan bekas yang sangat mengerikan. Dahan-dahan
yang berpatahan. Bahkan pepohonan yang tidak begitu besar
pun telah roboh karenanya.
Sejenak Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan
Prastawa dan para pengiringnya berdiri termangu-mangu,
sementara Rudita masih saja menggigil ketakutan.
Tetapi ternyata bau darah yang khusus dari darah ular
raksasa itu telah mengundang penghuni rimba itu yang lain.
Dari kejauhan terdengar seekor harimau mengaum dengan
dahsyatnya. "Itulah dia," tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
"O," suara Rudita gemetar hampir tidak terdengar, "apa
lagi yang akan datang?"
"Tentu seekor harimau yang mencium bau darah ini,"
jawab Prastawa, "bahkan mungkin tidak hanya seekor."
"O," Rudita menjadi semakin pucat.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
hutan di tepi Kali Praga ini isinya tidak kalah dahsyatnya dari
Alas Mentaok, karena di Alas Mentaok yang paling berbahaya
bukan saja binatangnya, tetapi perampok dan penyamunnya.
Sejenak Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi
termangu-mangu. Di hadapan mereka adalah hutan yang
menjadi porak poranda karena amukan ular yang menjadi gila
itu. Sedang lamat-lamat mereka telah mendengar seekor
harimau mengaum di kejauhan.
Karena itulah maka mereka masih tetap berdiri di
tempatnya. Mereka telah siap menghadapi setiap
kemungkinan. Meskipun ada dua ekor harimau yang
berdatangan sekaligus, mereka tidak akan gentar.
Tetapi suara harimau itu tidak terdengar lagi. Mungkin
harimau yang mencium bau darah seekor ular, sama sekali
tidak tertarik untuk mendekatinya,
Sejenak mereka masih menunggu. Tetapi karena mereka
tidak mendengar apa pun lagi, maka Agung Sedayu pun
berkata, "Harimau itu tidak datang ke mari."
"Benar begitu?" bertanya Rudita dengan serta-merta.
"Aku kira begitu."
"Jawablah yang baik. Jangan sekedar mengira. Aku
memerlukan kepastian," suaranya masih bergetar.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun agar
anak itu tidak selalu ribut, maka ia pun menjawab, "Aku pasti.
Harimau itu tidak akan datang ke mari."
Rudita memandang Agung Sedayu sejenak. Namun


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya, "Tentu kau hanya ingin menenteramkan hatiku.
Jawablah yang sebenarnya. Jawablah."
Agung Sedayu menjadi bingung. Sejenak ia termangumangu
memandang Pandan Wangi, seolah-olah ia ingin
mendapat pertolongannya untuk menjawab pertanyaan Rudita
yang kacau itu. "Rudita," ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi
tatapan mata Agung Sedayu itu sehingga didekatinya Rudita,
"memang harimau itu tidak akan datang ke mari."
"Aku tahu, kalian hanya sekedar menenteramkan hatiku.
Tetapi bagaimana sebenarnya" Apakah harimau itu datang ke
mari nanti?" "Tidak. Aku yakin tidak."
"Jangan membohongi aku."
"Baiklah," berkata Pandan Wangi, "menurut perhitungan
kami, harimau itu tidak akan datang. Tetapi seandainya ia
datang juga, kami sudah siap menghadapinya."
"Katakan dengan pasti. Kalian selalu mempermainkan
aku." "Rudita," Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam,
"sudahlah. Jangan kau pikirkan harimau itu. Ia mempunyai
kaki. Terserah ke mana ia akan pergi."
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu, "Kau
tidak menjawab sebaik-baiknya. Kenapa kalian bersikap
demikian terhadapku?"
Ternyata Prastawa tidak dapat menahan hatinya sehingga
ia menyahut, "Biarlah harimau itu datang. Aku akan
menunggunya. Dan memang kedatangannya itu sangat aku
harapkan." "Kau gila," teriak Rudita, "kau ingin harimau itu datang
kemari dan menerkam aku seperti yang hampir saja terjadi
dengan ular raksasa itu?"
"Tentu tidak," jawab Prastawa, "aku akan membunuhnya.
Atau kau sendiri harus membunuhnya."
Rudita memandang Prastawa dengan wajah yang tegang.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka terdengar suara
Swandaru melengking, "He, ikut aku. Cepat."
Semua orang memandang kepadanya. Dan sekali lagi
Swandaru berkata, "Cepat, ikut aku."
Tanpa menunggu lagi ia berjalan tergesa-gesa mendekati
kepala ular raksasa yang telah mati itu.
Orang-orang lain yang tidak begitu mengerti maksudnya itu
pun mengikutinya. Rudita yang ketakutan terpaksa melangkah
juga dengan kaki gemetar mendekati ular raksasa itu.
Ketika Swandaru sudah berada beberapa langkah dari ular
itu, maka ia pun berhenti. Dilihatnya darah yang berceceran,
sedang tombak pendek yang mengenai mata ular itu masih
menancap di tempatnya. "Mengerikan," katanya, "jika ular ini harus bergumul
dengan seekor harimau, maka harimau itu tentu akan dapat
diremukkan tulang-belulangnya."
"Aku belum pernah mendengar ceritera, bahwa di dalam
hutan ini ada seekor ular raksasa sebesar ini," berkata
pengiring Pandan Wangi, "karena itu, sebenarnya aku agak
takut juga menghadapinya. Untunglah Anakmas Agung
Sedayu memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, sehingga
anak panahnya yang pertama yang mengenai leher ular itu,
membuatnya kehilangan ketenangannya. Dan lontaran
tombak yang tepat itu ternyata telah memaksa ular itu
menyerah untuk selama-lamanya."
"Suatu kebetulan," jawab Agung Sedayu.
"Bukan suatu kebetulan," sahut Swandaru, "Kakang Agung
Sedayu dapat membidik dan mengenai seekor burung yang
sedang terbang. Aku pernah melihatnya, meskipun tidak
setiap saat ia mau memamerkannya."
"Mana mungkin," tiba-tiba saja Rudita menyahut, "tidak ada
seorang pun yang mampu mengenai seekor burung yang
sedang terbang." Prastawa berpaling kepadanya. Tetapi ia hanya menarik
nafas dalam-dalam. Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi Swandarulah
yang berkata kemudian, "Rudita. Ternyata keinginanmu
terkabul." "Apa?" jawab Rudita.
"Hasil buruan kita yang pertama akan kau jadikan hadiah
yang akan kau berikan kepada Pandan Wangi. Nah ternyata
hasil buruan kita yang pertama adalah seekor ular naga
raksasa. Tentu kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa
setiap hasil kita bersama adalah hakmu dan akan kau berikan
sebagai hadiah kepadanya."
Rudita tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah
Swandaru yang bulat itu dengan tatapan mata yang
mengandung kebimbangan. Namun kemudian katanya,
"Apakah ular ini baik juga aku berikan sebagai hadiah?"
Swandaru-lah yang justru terkejut mendengar pertanyaan
itu. Namun ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
"Ya. tentu. Kau tahu bahwa kulit ular raksasa ini mempunyai
nilai yang besar." Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Baiklah. Kulit ular ini akan aku hadiahkan
kepadamu Pandan Wangi."
"Ah," wajah Pandan Wangi menegang sejenak. Sikap
Rudita benar-benar merupakan sebuah lelucon yang
menjemukan. Namun demikian Pandan Wangi menjawab,
"Terima kasih Rudita. Aku akan membawanya pulang. Kulit
ular itu tentu menjadi bahan tontonan. Jarang sekali kita
melihat ular sebesar itu."
"Jadi kau mau juga menerimanya?"
"Tentu, aku sangat berterima kasih. Aku lebih senang
menerima kulit ular itu dari pada seekor kijang atau
menjangan." "Aku senang sekali, bahwa kau mau menerimanya.
Mudah-mudahan dapat menjadi kenang-kenangan sepanjang
hidupmu." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang Swandaru dengan sudut matanya, dilihatnya
anak muda itu berpaling memandang kekejauhan, sedang
Agung Sedayu sudah membelakanginya. Prastawa menarik
nafas dalam-dalam sambi1 terbatuk-batuk.
"Anak ini benar-benar cengeng," berkata Pandan Wangi di
dalam hatinya, "bukan saja di dalam sikap, tetapi ia benarbenar
cengeng di dalam segala hal."
Hampir saja Pandan Wangi tertawa tanpa dapat ditahan
lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Rudita bertanya, "Tetapi
bagaimana kita mendapatkan kulit ular itu?"
"Serahkan kepada para pengiring," jawab Pandan Wangi,
"mereka akan dapat mengulitinya. Mereka sudah sering
menguliti seekor ular yang besar sekalipun. Tetapi tidak
sebesar ular yang terbunuh ini."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara
Pandan Wangi bertanya kepada ketiga pengiringnya, "Kalian
dapat menguliti ular itu?"
Mereka mengangguk sambil menjawab, "Tentu."
"Kulitilah. Kita bawa kulitnya pulang."
Salah seorang dari mereka menjawab, "Bagaimana
dengan dagingnya?" "Kita tidak memerlukannya. Biarlah dagingnya menjadi
mangsa binatang hutan."
Ketiga pengiringnya mengangguk-anggukkan kepala.
Salah seorang berkata, "Baiklah kita mengulitinya sekarang."
"Lakukanlah," berkata Pandan Wangi, "kami akan
beristirahat." "Jadi kita akan keluar dari hutan ini?" bertanya Rudita
dengan serta merta. "Tidak, kami akan beristirahat di sini."
"O, di sini?" Rudita menjadi kecewa.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian
berkata kepada anak-anak muda yang lain, "Kita beristirahat di
sini untuk menunggu mereka menguliti ular ini."
"Tentu memerlukan waktu yang lama," jawab Prastawa,
lalu ia pun bertanya, "apakah tidak sebaiknya kita berbuat
sesuatu yang lain?" "Tidak," jawab Pandan Wangi, "kita menunggu mereka
agar jika ada sejenis binatang yang lain datang ke tempat ini,
mereka tidak menemui kesulitan."
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya Tetapi
sebenarnya ia lebih senang menerobos masuk ke dalam
jantung hutan yang liar itu daripada duduk beristirahat tanpa
berbuat sesuatu. Namun seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, orangorang
yang sedang sibuk menguliti ular itu memang tidak
dapat ditinggalkannya. Dengan demikian maka mereka pun hanya sekedar
beringsut dari tempatnya melihat-lihat bekas belukar yang
rusak karana amukan ular raksasa itu. Dahan yang patah dan
justru telah menimpa tubuh ular itu sendiri. Meskipun akhirnya
ular itu dapat melepaskan diri dari himpitan dahan itu, namun
luka-lukanya, apalagi sebatang tombak yang menancap tepat
di matanya, dan bekas tindihan kayu itulah yang membuatnya
kemudian tidak berhasil melepaskan diri dari maut.
Namun demikian, ternyata Prastawa, Agung Sedayu, dan
Swandaru bergeser beberapa langkah menjauhi tempat itu
tanpa mereka sadari. Mereka melangkah satu-satu sambil
melihat-lihat semak-semak yang hancur, pepohonan yang
roboh dan dahan-dahan yang patah.
"Apa yang terdapat di dalam lebatnya hutan itu?" tiba-tiba
saja Prastawa bertanya. "Bermacam-macam," jawab Swandaru, "di antaranya
seperti sudah kita lihat, ular raksasa ini, dan yang sudah kita
dengar suaranya, beberapa ekor harimau."
"Itu kurang menarik bagi kita," Agung Sedayu-lah yang
menyahut. "Mungkin ada penghuni yang belum pernah kita
lihat. Itulah yang penting, seperti yang dikatakan oleh orangorang
Menoreh." "Orang-orang bersenjata?" bertanya Prastawa.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
"Jika demikian, kita harus menembus hutan ini sampai ke
tepian Kali Praga. Mungkin di bagian itulah kita akan dapat
menemukan, setidak-tidaknya bekasnya sebagai bahan untuk
melihat keseluruhan yang pernah terjadi di daerah ini."
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang ia ingin benar melihat kemungkinan yang
ada dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Pengalamannya
mengatakan, bahwa sebenarnya Mataram yang sedang
tumbuh itu pasti sudah dikepung. Tentu orang-orang yang
tidak senang melihat perkembangan Mataram itu mempunyai
perhitungan yang luas, karena perkembangan Mataram tidak
hanya datang dari satu arah. Dari segala penjuru orang
berdatangan dan membuat Mataram menjadi semakin besar.
"Tetapi," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, "karena
daerah di sekitar Mataram mempunyai kemungkinan yang
berbeda dipandang dari bermacam-macam segi, maka orangorang
yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu
pun tentu memperhitungkannya. Perhatian mereka yang
terutama tentu terarah pada perbatasan yang tidak nyata di
antara pusat pemerintahan Pajang dan Mataram. Sedang di
perbatasan dengan daerah-daerah lain yang juga termasuk
daerah Pajang, tentu tidak akan banyak mendapat perhatian
mereka." Namun itu bukan berarti bahwa Mataram dapat
mengabaikan daerah di sekitarnya. Karena orang-orang itu
dapat menimbulkan kesan tersendiri di perbatasan Mataram
yang sedang tumbuh ini. Seperti kesan yang mereka
usahakan, bahwa orang-orang Mataram telah mengacaukan
Jati Anom maka mereka pun tentu akan dapat membuat
kesan yang lain di perbatasan antara Mataram yang sedang
tumbuh itu dengan daerah di sekitarnya.
Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
Orang-orang yang tidak dikenal itu akan dapat menumbuhkan
kesan, bahwa mereka adalah orang-orang Menoreh yang
tidak senang melihat Mataram tumbuh, sehingga dengan
demikian akan timbul permusuhan antara Mataram yang
sedang tumbuh itu dengan Menoreh yang sebenarnya tidak
tahu menahu persoalannya.
"Mungkin Ki Argapati sudah memperhitungkannya,
sehingga ia merasa perlu untuk mengirimkan perondaperonda
khusus di sepanjang Kali Praga. Peronda-peronda
khusus itu tentu bertugas untuk mencegah kesan yang
ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, bahwa
seolah-olah mereka adalah orang-orang Menoreh," berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Prastawa yang kemudian menjadi
termangu-mangu itu pun bertanya, "Jadi apakah kita akan
pergi menembus hutan ini sekarang?"
"Kita menunggu mereka yang sedang menguliti ular itu.
Kita akan pergi bersama-sama," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi," Prastawa menjadi ragu-ragu.
"Tetapi apa?" bertanya Swandaru.
"Anak cengeng itu semakin lama terasa semakin
mengganggu saja," sahut Prastawa.
Swandaru tersenyum. Katanya, "Semula aku menjadi
muak melihatnya, bahkan rasa-rasanya ada sesuatu yang
membuat aku membencinya. Terus terang, aku tidak senang
pada sikapnya yang seakan-akan terlampau cemburu
meskipun hubungannya dengan Pandan Wangi tidak jelas.
Namun akhirnya aku tidak lagi merasa demikian. Aku justru
menjadi kasihan kepadanya."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku pun merasa kasihan. Aku tahu betapa
tersiksanya dikejar oleh perasaan takut. Apalagi mereka yang
tidak mau menyadari bahwa dirinya telah dicengkam oleh
ketakutan." Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Memang ada juga perasaan itu di dalam hatiku. Tetapi bahwa
ia sama sekali tidak mau menyadari keadaan dirinya itulah
yang kadang-kadang hampir membuat aku kehilangan kekang
atas diri sendiri. Sikapnya yang memerintah dan berkuasa
itulah yang sangat menjemukan."
"Ia adalah anak yang terlalu manja. Ia merasa bahwa
dunia ini berkisar di seputarnya, dan ia adalah pusat dari


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala-galanya," berkata Agung Sedayu.
"Aku juga anak manja waktu itu," berkata Prastawa
kemudian, "aku juga menganggap dunia ini berputar untuk
kepentinganku. Tetapi aku tidak menjadi begitu dungu seperti
Rudita." "Itulah kelebihanmu," jawab Swandaru.
"Ah," Prastawa pun berdesah. Sekilas teringat di
kepalanya, bagaimana ia berhadapan dengan Agung Sedayu
sebagai lawan. Agung Sedayu pun masih seorang anak muda.
Namun sikapnya telah menunjukkan kemasakan jiwa
meskipun belum seutuhnya.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar
kehendaknya bahwa tiba-tiba ia pun teringat kepada seorang
gadis yang waktu itu datang juga ke Menoreh. Gadis yang
memiliki pedang di lambung seperti Pandan Wangi. Dan gadis
yang demikian memang sangat menarik perhatian.
"Tetapi gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu,"
berkata Prastawa di dalam hatinya.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tidak seorang pun
yang mengetahui, apakah yang terbersit di dalam hatinya.
Tidak seorang pun yang melihat, seperti apa yang tampak
oleh mata hati anak yang masih sangat muda itu.
Sebenarnyalah bahwa wajah dan sikap Sekar Mirah yang
pernah dilihatnya mempunyai sesuatu yang sangat menarik
hatinya. Tetapi karena ia mengetahuinya bahwa Sekar Mirah
itu adalah bakal isteri Agung Sedayu dan adik Swandaru,
maka ia tidak dapat menyebut namanya, apalagi memujinya di
hadapan anak-anak muda itu.
"Aku tidak dapat berbuat begitu bodoh seperti Rudita.
Meskipun ia tahu, bahwa Pandan Wangi sudah dilamar oleh
Swandaru namun ia masih saja bersikap demikian dungunya.
Untunglah, bahwa Swandaru yang biasanya berbuat apa saja
tanpa dipikirkan masak-masak, kali ini dapat mengerti sifat
dan watak Rudita," berkata Prastawa di dalam hatinya.
Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi masih saja
sibuk menguliti ular raksasa yang sudah terbunuh itu.
Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan dalam
waktu yang singkat, sedang Pandan Wangi tidak sampai hati
meninggalkan mereka di dalam kesibukan itu. Apabila tiba-tiba
saja datang binatang buas yang berbahaya, maka mereka
tidak akan mempunyai banyak kesempatan untuk membela
diri. "Apakah kita akan menunggui mereka sampai selesai?"
bertanya Rudita yang masih saja selalu berada dekat Pandan
Wangi. "Ya. Kita akan menunggui mereka sampai selesai."
"Jika sampai malam hari mereka masih belum selesai,
apakah kita juga akan berada di sini sampai malai hari?"
"Tentu, kita akan menunggui mereka sampai kapan pun."
"Ah," desah Rudita, "kita harus keluar dan hutan ini. Aku
tidak mau berada di tempat ini sampai malam hari.
Nyamuknya terlampau banyak. Semutnya amat buas dan
barangkali ada ular-ular kecil yang justru berbisa. Tidak seperti
ular raksasa itu. Meskipun ujudnya begitu besar, tetapi ular
semacam itu, sejenis ular sawah tentu tidak berbisa. Aku tidak
begitu takut kepada ular sawah betapa pun besarnya, tetapi
terhadap ular yang kecil aku justru menjadi cemas, karena kita
tidak dapat berhadapan langsung. Tahu-tahu kaki kita
digigitnya dan kita tidak mendapat kesempatan untuk
melawan." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat
mengerti bahwa Prastawa pada suatu saat hampir saja tidak
dapat menahan diri. Kini ketika ular raksasa itu sudah dikuliti,
maka dapat saja ia mengatakan bahwa ia lebih takut kepada
ular-ular kecil yang berbisa daripada ular raksasa itu.
Tetapi Pandan Wangi harus menahan perasaannya.
Rudita adalah tamu keluarganya. Ia adalah saudara dari
saluran darah ibunya yang sudah tidak ada lagi, sehingga
karena itu, ia adalah orang yang paling berkepentingan.
Untunglah bahwa ayahnya cukup berjiwa besar. Meskipun
ibunya pernah mengecewakan ayahnya, namun ayahnya
dapat menerima setiap orang yang masih ada sangkut
pautnya dengan ibunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Ayahnya menerima mereka dengan baik, karena ayahnya
mengerti, bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang dosa
yang ditanggungkan oleh ibunya justru sebelum dirinya
dilahirkan. "Pandan Wangi," berkata Rudita kemudian, "apakah
sebabnya justru kita harus menunggui orang ini?"
"Tentu kita tidak akan sampai hati meninggalkan mereka
bekerja di sini," sahut Pandan Wangi.
"Biarlah Agung Sedayu dan Swandaru menunggui mereka
bersama Prastawa. Kita dapat keluar dari hutan ini dan
beristirahat di perkemahan yang sudah disiapkan itu. Di sana
ada juga beberapa orang pengiring dan barang kali mereka
sudah menyiapkan bekal kita dan memasaknya."
"Apakah kita berdua akan keluar dari hutan ini tanpa
menunggu yang lain?"
"Aku tidak memerlukan mereka," jawab Rudita, "sebaiknya
kita keluar." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia masih bertanya, "Jadi bagaimana dengan Prastawa dan
kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu?"
"Biar saja mereka berbuat sekehendak hati mereka. Aku
ingin keluar." Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
lebatnya hutan di sekitamya. Lalu katanya, "Kau masih tetap
menggenggam anak panahmu. Baiklah. Kita keluar berdua.
Tetapi siapkan senjata."
"Kenapa?" "Kau mendengar aum harimau itu" Ia tentu mencium bau
darah, sehingga mungkin sekali satu atau dua ekor di antara
mereka telah berada di sekitar kita saat ini."
Wajah Rudita tiba-tiba berubah. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Apakah benar begitu?"
"Mungkin sekali."
"Jangan sekedar mungkin. Apakah benar ada harimau di
sekitar kita." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia
terlibat dalam pembicaraan yang sulit dengan Rudita. Seperti
yang pernah terjadi, maka ia tidak akan dapat lagi menjawab
dengan baik. Jika ia menjawab ya, maka ia tentu disangka
Seruling Sakti 4 Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat Pesanggrahan Keramat 1
^