Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


Rudita akan mengalami nasib yang sangat jelek."
Ki Sumangkar tidak menyahut. Ia hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Sementara itu mereka pun berjalan semakin cepat
menembus gerumbul-gerumbul liar di lereng pebukitan.
Dalam pada itu, pasukan pengawal dari Mataram dan
Menoreh itu pun sudah bergerak kembali. Mereka benar-benar
membagi diri menjadi tiga kelompok. Yang berjalan di tengah
adalah kelompok Raden Sutawijaya dengan sepasukan
pengawal dari Mataram yang kuat, bersama para
pemimpinnya yang dapat dipercaya.
Yang kemudian memanjat tebing yang diduga dilalui oleh
orang-orang Daksina, dipimpin oleh Kiai Gringsing dan kedua
muridnya bersama Ki Demang Sangkal Putung dengan
sebagian pengawal dari Menoreh. Sedang sebagian lagi
pengawal dari Menoreh mengitari lereng sebelah, dan akan
sampai di tebing sebelah. Mereka akan merunduk para
penjaga di pihak lawan yang mengawasi pintu gerbang
memasuki daerah mereka yang terpencil itu.
Dengan pengalaman yang pernah terjadi atas para
pengawas yang mendahului perjalanan mereka, maka setiap
kelompok pasukan telah mempersiapkan beberapa orangnya
untuk menghadapi pertempuran jarak jauh. Karena lawanlawan
mereka mempergunakan anak panah, maka untuk
melindungi gerakan pasukan seluruhnya, merekapun
mempersiapkan beberapa orang yang dipersenjatai dengan
panah, meskipun sebagian dari kepentingan mereka adalah
untuk memberikan isyarat-isyarat.
Pasukan yang di tengah, yang dipimpin oleh Sutawijaya
adalah kelompok yang terkuat. Mereka terdiri dari pasukan
pengawal berkuda dari Mataram, meskipun saat itu mereka
tidak dapat mempergunakan kuda-kuda mereka. Namun
mereka adalah orang-orang yang berpengalatnan. Yang
memiliki ilmu bukan saja yang mereka terima selama mereka
menjadi seorang pengawal. Tetapi mereka pada umumnya
telah memiliki ilmu sebagai bekal pendadaran mereka
memasuki pasukan pengawal Mataram. Bahkan sebagian dari
mereka adalah bekas prajurit-prajurit Pajang yang
berpengaruh. Di antara mereka adalah Ki Lurah Branjangan.
Menurut perhitungan, maka pertahanan terkuat dari pihak
lawan adalah yang di tempatkan di lembah itu. Mereka tentu
berpendapat, bahwa pasukan Sutawijaya akan melalui jalan
itu. Sementara itu Kiai Gringsing pun maju terus meskipun
perlahan. Mereka berjalan di sepanjang tebing yang agak
miring. Sebuah jalur yang dapat mereka lalui menyelusur di
sisi tebing itu. Beberapa batang pohon tumbuh di lereng dan di
pinggir jalan setapak itu.
"Tunggu," berkata Kiai Gringsing, "ternyata bahwa dugaan
para pengawas itu benar. Kita menemukan jejak kaki yang
menyelusuri lereng ini."
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya.
Mereka pun mengamati tempat di sekitar mereka dengan
saksama. Dan mereka memang menemukan sesuatu yan
mencurigakan, yang mungkin adalah jejak kaki seseorang
yang sudah diusahakan untuk dihapuskan.
"Kita berjalan lewat jalur yang benar," desis Kiai Gringsing.
"Apakah kita akan memberikan isyarat?" bertanya Ki
Demang Sangkal Putung. "Belum sekarang," sahut Kiai Gringsing.
Sementara itu pasukan di lereng seberang pun maju terus
lewat di bawah rimbunnya dedaunan. Kelompok itu di pimpin
langsung oleh Ki Argapati. Meskipun kaki Ki Argapati masih
belum pulih sama sekali, namun ia tidak mengalami kesulitan
apa pun berjalan di lereng yang terjal bertelekan pada tangkai
tombak pendeknya. Di belakangnya berjalan Pandan Wangi dan Prastawa.
Sedang mengikuti mereka itu adalah sekelompok yang bagi
Menoreh adalah pengawal yang paling baik, seperti juga
pengawal terpilih dari Mataram. Para pengawal dari Menoreh
itu pun sebagian besar telah memiliki pengalaman, bukan saja
disadap dari ceritera-ceritera dan kitab-kitab, tetapi mereka
pun pernah mengalami berbagai macam suasana medan yang
berbeda-beda. Dalam pada itu, selagi para pengawal dari Mataram dan
Menoreh merayap maju mendekati sarang orang-orang yang
tidak banyak mereka kenal, termasuk Daksina, maka di
padepokan yang terpencil, seseorang sedang berbicara
dengan dua orang yang agaknya siap untuk menempuh
perjalanan yang agak jauh dan sulit.
"Kau harus singgah di padesan itu untuk mengambil kuda.
Kau harus segera sampai di Mataram," berkata seseorang
yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati.
"Ya. Kami akan berpacu secepat dapat kami lakukan,"
jawab salah seorang dari keduanya.
"Aku yakin, bahwa pasukan yang kuat akan datang. Tetapi
kami tidak akan mempertahankan padepokan ini dengan
sepenuh kekuatan. Kami sudah mengatur, bahwa kami akan
segera menarik diri jika pertempuran telah berkobar, kecuali
jika kami yakin bahwa kami dapat menumpas lawan yang
datang itu. Pertahanan kami yang sebenarnya adalah di
depan padepokan Panembahan Agung. Kami akan melihat
suatu permainan yang sangat menarik. Orang-orang Mataram
akan menjadi kebingungan melawan ilmu Panembahan
Agung." "Ya. Sebenarnya aku pun ingin melihatnya."
"Tidak. Kalian harus pergi seperti yang sudah kita sepakati
dengan Daksina. Kemampuan Panembahan Agung itu pun
terbatas. Jika ia menghadapi pasukan segelar sepapan, maka
pada suatu saat, jika lawannya itu tidak juga segera dapat
disingkirkan, maka kemampuan ilmu itu berkurang, karena
Panembahan akan menjadi lelah.
(***) Buku 74 "TETAPI tentu lawan sudah sangat lemah, dan kita tinggal
menghancurkan mereka seperti memijat buah ranti."
"Kau benar. Namun segala jalan akan kita tempuh. Kau
harus berusaha dapat menghadap Ki Gede Pemanahan atau
orang yang dipercaya, yang dapat diyakini akan
menyampaikan kabar itu kepada Ki Gede."
"Ya. Kami akan berusaha."
"Nah, berangkatlah. Saat ini Sutawijaya tentu berada di
perjalanan. Jika tidak, sekiranya Sutawijaya ada di Mataram,
kau dapat mengambil kebijaksanaan lain."
"Baik." "Jangan lupa. Kau harus menyebut, bahwa gadis yang
telah terjerat oleh Raden Sutawijaya itu adalah salah seorang
gadis dari Kalinyamat, yang sedianya disimpan untuk Sultan
Pajang. Jika Ki Gede Pemanahan mendengar, ia tentu akan
marah kepada puteranya, karena akan dapat menumbuhkan
persoalan baru di Mataram. Bukan persoalan Tanah Mataram
lagi, tetapi karena kelancangan Raden Sutawijaya.
Kemarahan Ki Gede Pemanahan akan mempengaruhi usaha
Raden Sutawijaya kali ini. Jika ia berhasil memasuki
padepokan ini hari ini juga, maka besok akan datang utusan
dari Mataram untuk memanggilnya."
Kedua orang yang sudah bersiap untuk berangkat itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan waktu yang sudah kita perhitungkan
tidak meleset. Pada saat yang bersamaan, maka akan
tersebar desas-desus tentang persoalan yang sama di Pajang.
Jika kemudian Sultan Pajang mendengar dan mengambil
tindakan, semuanya akan menjadi lebih lancar."
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Semula kita sudah hampir kehabisan akal. Api apakah
yang akan kita pergunakan untuk membakar hubungan antara
Pajang dan Mataram yang memang sudah agak buruk. Usaha
kita selalu gagal. Untunglah bahwa Raden Sutawijaya sendiri
telah menyediakan persoalan baru bagi kita, sehingga
agaknya kali ini Sultan Pajang yang tidak dapat
mengendalikan diri terhadap perempuan itu akan marah dan
mengambil tindakan bukan saja secara pribadi terhadap
Raden Sutawijaya karena telah berani menyadap kegadisan
simpanannya, puteri dari Kalinyamat itu."
"Aku kira persoalan ini merupakan persoalan yang sangat
gawat bagi Mataram. Mudah-mudahan Sultan Pajang akan
segera menjatuhkan hukuman. Jika Raden Sutawijaya
melawan, maka benturan itu tidak akan dapat dihindarkan lagi.
Justru bukan atas usaha kita."
"Baiklah, segeralah berangkat. Hati-hati, jangan sampai
menimbulkan kecurigaan. Kalian memang bekas prajuritKang
Zusi - http://kangzusi.com/
prajurit Pajang yang akan dapat bersikap benar-benar seperti
orang Pajang." Demikianlah, selagi padepokan itu sedang diancam oleh
bahaya yang memang sudah disadari oleh Putut Nantang Pati,
namun mereka masih juga mengirimkan orangnya pergi ke
Mataram untuk mempengaruhi Ki Gede Pemanahan agar
memanggil Raden Sutawijaya. Tentu Raden Sutawijaya
menjadi sangat kecewa dan perlawanannya pun tidak akan
segigih semula. Adalah menyenangkan sekali jika mereka
berhasil menangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup, kemudian
dipergunakan untuk memeras ayahandanya, Ki Gede
Pemanahan agar ia bersedia diperalat, dan menempatkan
orang-orang dari padepokan Panembahan Agung untuk
memegang jabatan-jabatan penting di Mataram, yang
memungkinkan memancing pertentangan terbuka dengan
Pajang atas nama Mataram yang dipimpin oleh Ki Gede
Pemanahan. Kedua orang utusan ke Mataram itu pun kemudian
menuruni pebukitan rendah itu melalui jalur yang
berseberangan dengan arah kedatangan para pengawal dari
Mataram dan Menoreh. Di padukuhan tidak terlampau jauh
dari kaki pebukitan itu, mereka akan dapat mengambil kuda
mereka untuk menempuh perjalanan ke Mataram. Tetapi
mereka tidak dapat mengambil jalan yang menghubungkan
Menoreh dan Mataram. Mereka harus melingkar sedikit,
meskipun jaraknya juga tidak akan bergeser terlalu jauh.
Putut Nantang Pati yang kemudian menemui Daksina
mengatakan bahwa dua orang sudah berangkat ke Mataram.
Mereka harus berusaha menyampaikan berita itu kepada Ki
Gede Pemanahan secepatnya.
"Tetapi apakah berita itu dapat dipercaya?" bertanya Putut
Nantang Pati kepada Daksina.
"Maksudmu berita tentang Raden Sutawijaya itu?" Daksina
ganti bertanya. "Ya." "Yakinlah. Jika seandainya saja kedua puteri yang
dijanjikan Ratu Kalinyamat itu dipanggil ke dalam istana dan
ditanya seorang demi seorang, maka akan ternyata bahwa
berita itu bukan sekedar berita bohong. Bahkan menurut
pendengaranku, salah seorang dari kedua puteri itu sudah
mengandung." "Ah." "Percayalah." "Jika demikian kita tidak perlu memancing persoalan lagi.
Pajang tentu akan datang ke Mataram, menghukum Raden
Sutawijaya." "Nah, bukankah kita tidak perlu mengorbankan orangorang
seperti yang terjadi di Jati Anom."
"Kita masih belum mengetahui hal itu. Tetapi kini kita
tinggal menunggu Mataram dahulu akan hancur. Baru
kemudian kita akan membangun Mataram yang kuat.
Bersama Mangir kita akan dapat menghancurkan Pajang.
Apalagi jika kita berhasil memeras Ki Gede Pemanahan.
"Bagaimana jika Pemanahan ikut musna bersama
Mataram dan Sutawijaya sendiri."
"Bukan soal lagi bagi kita. Kita akan membangun sebuah
negeri yang lebih baik dari Mataram sekarang dan sudah
barang tentu lebih kuat."
Daksina mengerutkan keningnya. Dipandanginya Putut
Nantang Pati sejenak, lalu katanya, "Tetapi persoalan
Mataram bukan sekedar persoalan Mataram itu sendiri,
Pajang pun bukan sekedar kota Pajang yang kita lihat itu.
Tetapi jika kita berbicara tentang Pajang, kita harus mengingat
kekuatan para adipati di daerah Pesisir Utara dan Bang
Wetan." Putut Nantang Pati tidak segera menyahut. Ia mencoba
membayangkan kekuatan yang tersembunyi di belakang
Pajang. Kekuatan para Adipati itu. Tanpa sesadarnya ia
berdesis, "Jika saja kita dapat memaksa Ki Gede Pemanahan.
Ia mempunyai pengaruh yang kuat atas para adipati."
Daksina mengangguk-angguk, "Itu memang harus
dipikirkan masak-masak. Sutawijaya harus tertangkap hiduphidup.
Jika perintah Ki Gede Pemanahan untuk memanggilnya
sampai, ia akan kehilangan segala gairah. Nah, kesempatan
itu akan kita pergunakan."
"Ada dua kemungkinan. Ia kehilangan gairah untuk
meneruskan pertempuran, atau justru karena putus asa ia
menjadi liar dan berkelahi dengan buasnya."
"Kedua-duanya baik bagi kita. Jika ia menjadi liar dan
gelap hati, maka Panembahan Agung akan segera
menguasainya. Dengan kekuatan ilmunya ia dapat memaksa
Sutawijaya untuk diam. Jika tiba-tiba saja di sekeliling anak
muda itu terdapat sebuah pagar besi, maka ia tentu akan
segera menyerah." Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya dan
bertanya, "Apakah kau berkata sebenarnya?"
"Ya, sebenarnya. Bukankah menurut ceriteramu dan anak
buahmu, Panembahan Agung dapat menciptakan yang tidak
ada menjadi ada?" "Bukan menciptakan yang ada menjadi ada."
"Jadi bagaimana?"
"Membuat yang tidak ada seolah-olah ada. Itulah kekuatan
ilmunya." Daksina tersenyum. Namun tiba-tiba saja ia berusaha
untuk tidak menimbulkan kesan apa pun di wajahnya. Namun
yang sekilas itu dapat tertangkap oleh Putut Nantang Pati,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga wajah Putut itu menjadi tegang sejenak. Putut
Nantang Pati menyadari bahwa Daksina tidak begitu
membanggakan ilmu Panembahan Agung. Mungkin Daksina
masih belum pernah menyaksikannya sendiri dan apalagi
mengalami, yang diketahui oleh Daksina adalah bahwa
Panembahan Agung mempunyai beberapa orang pembantu
yang dapat dibanggakan. Termasuk Putut Nantang Pati
sendiri selain mereka yang telah terbunuh seorang demi
seorang di Alas Mentaok sendiri dan di Jati Anom.
"Sekali-sekali kau memang harus mengetahui, betapa
besarnya kekuatan ilmu Panembahan Agung. Ia mampu
menyesatkan indera seseorang. Bahkan kau."
"Ya," jawab Daksina yang tidak ingin menyakiti hati Putut
Nantang Pati justru di saat mereka menghadapi pasukan
Mataram yang kuat. Putut Nantang Pati terdiam. Memang masih harus
dibuktikan bahwa kekuatan yang demikian itu dimiliki oleh
Panembahan Agung. Namun selagi mereka terdiam untuk sejenak, tiba-tiba
telah datang dengan tergesa-gesa seorang cantrik dari
padepokan Medang. Padepokan Panembahan Agung.
"Aku mendapat perintah untuk menyampaikan pesan,"
berkata cantrik itu. "Apakah pesan itu?"
"Kalian di sini harus menyiapkan diri untuk menghadapi
lawan yang kuat sekali. Yang datang bukan saja para
pengawal dari Mataram, tetapi juga para pengawal dari
Menoreh. Di antara mereka terdapat orang-orang yang harus
diperhitungkan." "He?" Putut Nantang Pati terkejut. Demikian pula Daksina
sehingga ia bergeser maju.
Sejenak mereka berdua memandangi cantrik itu dengan
wajah yang tegang. Namun kemudian Putut Nantang Pati
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Ya. Aku percaya.
Tapi bukankah pertahanan yang sebenarnya di hadapan
padepokan Panembahan Agung sudah dipersiapkan?"
"Ya. Semuanya sudah siap. Jika Panembahan Agung itu
menyampaikan pesan kepada padepokan ini, agar mereka
yang di sini tidak terjebak, dan berkesempatan untuk
menghindari korban yang akan berjatuhan."
"Terima kasih. Kami di sini akan berhati-hati menghadapi
pasukan yang sangat kuat itu."
Daksina yang untuk beberapa saat berdiam diri kemudian
berkata, "Apakah jaringan pengawas sandi Panembahan
Agung jauh lebih ketat dari pengawasanmu justru kau berada
di sini sekedar merupakan bayangan padepokan Panembahan
Agung" Bukankah seharusnya kita yang berada di sinilah
yang memberikan laporan kepadanya tentang gerakan
pasukan lawan seperti yang pernah kita laporkan itu?"
Putut Nantang Pati tersenyum. Katanya, "Kau mulai
melihat kelebihan Panembahan Agung. Jika ia ingin melihat
sesuatu, maka ia tidak perlu menembus batas tempat dan
jarak. Ia dapat melihat dari kejauhan apa yang akan terjadi
meskipun sekedar berupa isyarat."
"Apakah itu yang disebut sebangsa aji Sapta Pangrasa,
Sapta Pameling, dan Sapta Pengrungu, yang dapat melihat,
mendengar, dan bahkan berbicara dari jarak yang jauh?"
"Aku tidak pernah mempersoalkan nama. Ketika aku mulai
mempelajari ilmu itu, aku sama sekali tidak peduli bahwa
Panembahan Agung menyebutnya sebagai aji Pangangenangen."
Daksina mengerutkan keningnya. Dan Putut Nantang Pati
tersenyum sambil berkata, "Tetapi sayang, bahwa aku baru
dalam tahap permulaan ketika kami di sini harus sudah mulai
dengan segala macam usaha menggagalkah berdirinya
Mataram sehingga aku belum menguasai permulaannya saja
dari ilmu itu." Daksina tidak menjawab. Tetapi ia mulai berdebar-debar
membayangkan jenis ilmu yang disebut ilmu Pangangenangen
itu. "Baiklah," berkata Putut Nantang Pati kemudian kepada
cantrik yang mendengarkan pembicaraan itu dengan heran,
"kembalilah kepada Panembahan Agung. Beritahukan
kepadanya bahwa aku akan menyesuaikan diri dengan
keadaan lawan dan rencana kita semula."
Sepeninggal cantrik itu, maka Putut Nantang Pati masih
saja tersenyum-senyum dan berkata, "Mungkin kau tidak
percaya. Tetapi baiklah. Aku tidak akan bercerita tentang
Panembahan Agung dengan cara yang berlebih-lebihan. Aku
harap kau akan dapat melihatnya sendiri. Meskipun demikian
kami tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya pun terbatas.
Maksudku, bahwa ia bukan orang yang dapat melihat seisi
bumi ini." Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku memang tidak
pernah menolak kenyataan serupa itu. Tetapi di dalam perang
yang cukup besar, maka ilmu itu tidak akan dapat menyeluruh.
Maksudku, kemampuan pengaruhnya pun terbatas. Tidak
semua pasukan lawan dapat dipengaruhi oleh ilmu itu."
"Kau benar. Tetapi jika yang terpengaruh itu senapatinya,
maka keadaan lawan itu akan menjadi gawat."
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. "Marilah," berkata Putut Nantang Pati, "pasukan Mataram
dan Menoreh itu tentu sudah menjadi semakin dekat. Kita
harus menyesuaikan diri dengan kekuatan mereka. Jalur
untuk menarik diri sudah kita persiapkan baik-baik. Mudahmudahan
pasukan Mataram dan Menoreh itu akan terpancing
dan kita dapat menjebaknya di lembah di hadapan padepokan
Panembahan Agung. Seandainya lembah itu tidak dapat
dipengaruhi oleh ilmu Panembahan Agung yang disebutnya aji
Pangangan-angen itu, namun keadaan Pasukan Mataram dan
Menoreh tentu akan berada di dalam kesulitan. Kami akan
dapat menggulingkan batu-batu padas dan akan menimpa
mereka seperti menimbuni puluhan mayat di dalam satu
lubang yang besar." "Jangan terlampau berbangga atas diri sendiri," sahut
Daksina, "di dalam lingkungan keprajuritan Pajang, maka
setiap sikap yang terlampau berbangga atas diri sendiri,
merupakan suatu cela yang besar."
"Aku tahu. Meskipun aku belum pernah menjadi seorang
prajurit, apalagi seorang perwira, tetapi aku mempelajari ilmu
keprajuritan. Namun jika aku mengatakan tentang prajurit
Mataram dan Menoreh, maka itu karena aku yakin akan
berhasil." Daksina mengangguk-angguk pula.
"Marilah ke pengawasan yang terdepan," berkata Putut
Nantang Pati, "kita akan melihat kehadiran pasukan Mataram
dan Menoreh. Panembahan Agung menyebut beberapa orang
yang memiliki ilmu yang perlu diperhitungkan. Mungkin
mereka adalah orang-orang bercambuk itu."
"Tentu mereka yang dimaksudkan."
"Kita tidak usah cemas. Meskipun barangkali aku sendiri
tidak dapat mengalahkannya seperti para pemimpin
kepercayaan kami yang berada di perbatasan Alas Mentaok
dan juga Kiai Damar dan bahkan Kiai Telapak Jalak, tapi aku
tidak akan cemas menghadapi mereka. Sebentar lagi mereka
akan berkubur di lembah yang curam itu."
"Kau yakin?" "Kenapa tidak?"
"Kau yakin dapat lolos dari tangannya ke dalam jalur yang
sudah kau buat?" "Aku yakin. Beberapa orang prajurit sudah mapan untuk
melindungi aku dengan senjata jarak jauh. Dan bukankah kau
akan ikut bersamaku?"
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Putut
Nantang Pati percaya sepenuhnya kepada penglihatan
Panembahan Agung, namun ia mempergunakan juga
perhitungannya untuk setiap rencana yang disusunnya. Dan ia
tidak dapat mengingkari ketelitian rencana Putut Nantang Pati
untuk menghindari pertempuran jika agaknya mereka tidak
akan dapat menahan pasukan lawan yang bakal datang.
Apalagi setelah mereka mendapat keterangan, bahwa yang
datang bukan saja para pengawal Mataram di bawah
pimpinan Sutawijaya, tetapi beserta mereka adalah pasukan
pengawal Menoreh. "Tentu anak gadis Ki Argapati itu," berkata Daksina di
dalam hatinya. Sejenak kemudian, maka mereka berdua pun pergi ke
lereng di kaki pebukitan itu. Dari balik pepohonan mereka
melihat lembah dan lereng di hadapan mereka.
"Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan datang?"
bertanya Putut Nantang Pati kepada para pengawas yang
bertebaran di antara gerumbul-gerumbul liar.
"Belum," sahut salah seorang dari mereka.
"Jangan lengah. Gerumbul-gerumbul di lereng itu memang
memungkinkan untuk berlindung."
"Tetapi tidak untuk berlindung sebuah pasukan."
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, "Berhati-hatilah, aku akan pergi ke depan."
Putut Nantang Pati, Daksina, dan beberapa orang
pengawalnya pun maju lagi untuk menemui para pengawas
yang paling depan. Dengan hati-hati mereka merayap tebing
di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun.
Dalam pada itu, kelompok-kelompok pasukan Mataram
dan Menoreh maju semakin dekat. Mereka menyusup di
antara pepohonan. Namun kadang-kadang mereka harus
melalui tempat yang terbuka beberapa langkah, sehingga
memungkinkan para pengawas lawan dapat melihat mereka.
Dan ternyata demikianlah yang terjadi. Ketika pasukan
pengawal Menoreh yang dipimpin oleh Ki Argapati menjadi
semakin dekat, dan sekilas mereka terpaksa menyeberangi
daerah terbuka, salah seorang dari para pengawas terdepan
dari padepokan Putut Nantang Pati dapat melihatnya. Sejenak
orang itu memperhatikan seseorang yang merunduk sambil
berlari-lari. Kemudian orang-orang berikutnya.
Pengawas itu pun kemudian menggamit kawan-kawannya
dan dengan ujung jarinya menunjuk ke arah pasukan yang
mendekat. "Mereka justru melalui jalan itu," desis salah seorang dari
mereka, "agaknya mereka akan langsung memotong pasukan
kita, karena dari lereng itulah salah seorang kawan kami telah
melepaskan anak panah. Mereka tentu menduga bahwa di
tempat itu kini sudah disiapkan pengawasan yang ketat."
"Tetapi kehadiran mereka harus kita laporkan"
"Tentu. Nah, siapakah yang akan pergi?"
Salah seorang dari para pengawas itu pun kemudian
merayap naik untuk melaporkan, bahwa mereka telah melihat
sebuah pasukan yang mendekati padepokan mereka.
Tetapi orang itu terhenti, justru karena mereka bertemu
dengan Putut Nantang Pati dan Daksina, sehingga dengan
demikian maka Putut Nantang Pati dan Daksina sempat
melihat sendiri pasukan yang bergerak maju itu. Tetapi
keduanya tidak sempat melihat, siapakah yang telah
memimpin pasukan mereka, "Tidak terlalu banyak," desis Putut Nantang Pati. "Adalah
kesombongan tiada taranya bahwa hanya dengan pasukan
yang sangat kecil, bahkan hanya sekelompok kecil pasukan
pengawal mereka akan menembus padepokanku."
"Jangan menyangka demikian," desis Daksina.
"Kenapa?" "Aku yang mencoba menjebak mereka justru pernah
terjebak. Kau sangka bahwa yang kita lihat itu sudah seluruh
pasukan?" "Kalau begitu, siapakah mereka?"
"Mungkin mereka hanyalah sekedar pengawas yang
merintis perjalanan. Mungkin sepasukan pengawal yang
sudah pasrah akan nyawanya. Mungkin mereka sekedar
menjajagi, dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan
yang lain. Namun kita harus berhati-hati menghadapi pasukan
dari Mataram dan Menoreh."
"Kau dasarkan pertimbanganmu kepada peringatan yang
telah diberikan oleh Panembahan Agung?"
Daksina mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Bukan
hanya pesan itu, tetapi menurut perhitunganku, demikian akan
jadinya. Aku pernah mengalaminya."
Putut Nantang Pati mengangguk-angguk, lalu katanya
kepada para pengawas, "Kalian tetap di sini. Jika kalian
tergesa-gesa, kalian tidak usah datang kepada kami. Kalian
dapat melemparkan isyarat."
Demikianlah maka Putut Nantang Pati dan Daksina itu pun
kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepada induk
pasukannya. Sesuai dengan peringatan Daksina, maka Putut
Nantang Pati pun harus berhati-hati. Diperintahkannya
sebagian dari pasukannya untuk bersiap menghadapi jalur
arah kelompok lawan yang mendekati mereka.
"Tahan mereka. Tetapi ingat, jika tengara itu berbunyi,
kalian harus menarik diri, lewat lekuk yang ditentukan
sebelumnya itu. Jika pasukan lawan mengejar kalian lewat
jalur jalan itu, maka akan dapat kita menghancurkannya selagi
mereka menerobos lembah yang sempit itu. Putuskan tali
pengikat batang-batang kayu itu. Dan lembah yang sempit itu
akan menjadi kuburan yang besar. Tetapi jika mereka berhasil
menerobos masuk meskipun hanya sisa-sisanya saja, mereka
akan kita hancurkan di pertahanan terkuat, di hadapan
padepokan Panembahan Agung," berkata Putut Nantang Pati
kepada seorang pemimpin kelompok pengawalnya.
Putut Nantang Pati dan Daksina pun kemudian kembali ke
induk pasukannya. Mereka sudah menempatkan diri mereka
di medan yang mereka pilih. Jika keadaan memaksa mereka
akan dengan mudah menarik diri. Dengan sedikit arah tipuan,
mereka akan dapat menjebak pasukan lewat sebuah lembah
yang sempit, yang memang dipersiapkan untuk mengubur
pasukan Mataram dan Menoreh dengan pokok-pokok kayu
yang diikat dengan tali yang kuat diatas tebing. Jika tali-tali itu
diputuskan dengan kapak, maka pokok-pokok kayu itu akan
menggelinding melanda batu-batu padas dilereng sebelah
menyebelah lembah yang sempit itu dan bersama-sama
menimbun pasukan yang sedang lewat.
"Terlalu sulit untuk melarikan diri. Apalagi tali yang
pertama-tama diputuskan adalah di kedua ujung lembah itu,"


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Putut Nantang Pati.
"Tetapi bagaimana jika pasukan Mataram dan Menoreh itu
berjalan dalam jarak yang panjang, sehingga seluruh
pasukannya menjadi panjang sekali?" bertanya Daksina.
"Kita mengambil pangkalnya sehingga ujungnya akan
terjebak dan tidak akan mungkin melarikan diri lagi."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Cara yang
sederhana itu memang memungkinkan untuk mengurangi
kekuatan pasukan Mataram dan Menoreh, dan terutama
menimbulkan kekacauan di antara mereka. Dalam kekacauan
itulah maka pasukannya akan dapat menyerang dan
membinasakan lawan sebanyak-banyaknya.
Namun dalam pada itu, selagi Putut Nantang Pati dan
Daksina mempersiapkan diri, maka para pengawas di paling
depan itu pun terkejut. Ternyata selain para pengawal yang
mereka lihat menyusur tebing dan agaknya berniat langsung
memotong pasukan bersenjata panah itu, mereka melihat
pasukan yang lebih besar merayap maju di lembah
pegunungan itu, di sela-sela pepohonan yang rimbun.
"O," desis salah seorang dari mereka, "tentu induk
pasukannya." Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mereka memang pandai menyusun kekuatan. Kekuatan yang
tidak terlampau besar akan dapat dipergunakan dengan baik
jika pimpinannya cakap mengatur laku dan gelar."
"Gelar apakah yang kita lihat sekarang?"
"Kita belum melihatnya. Agaknya mereka pun masih belum
membuka gelar. Mereka baru sekedar merayap mendekat."
"Tetapi mereka menyusun diri dalam urut-urutan yang
panjang. Seorang demi seorang dalam jarak beberapa
langkah." "Itulah kelebihan mereka. Susunan barisan yang demikian
memang sulit untuk dijebak dalam kepungan."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Lalu,
"Kita harus memberikan isyarat secepatnya. Ternyata yang
datang benar-benar sebuah pasukan yang kuat.
"Kita tidak perlu memberikan isyarat. Kita dapat
menggabungkan diri saja langsung dengan induk pasukan.
Kita sudah melihat arah pasukan induk yang datang dari
Mataram dan Menoreh itu. Agaknya pasukan yang besar
itulah pasukan Mataram, sedang pasukan yang kecil yang
menyusur lereng itu adalah pasukan pengawal Menoreh."
Kawannya merenung sejenak, lalu, "Baiklah. Kita pergi ke
induk pasukan. Tetapi hati-hati, jangan sampai mereka melihat
kita." Demikianlah para pengawas itu pun dengan hati-hati telah
meninggalkan tempatnya menggabungkan diri ke induk
pasukan sekaligus melaporkan apa yang dilihatnya.
"Kami tidak memberikan isyarat agar mereka tidak segera
mengetahui bahwa kita akan menyambut kedatangannya."
"Baiklah. Pasukan induk kita pun akan menyambut mereka
sebelum mereka kita seret lewat jebakan yang sudah
dipersiapkan. Sementara itu, sebuah pasukan kecil akan
menahan pasukan yang menyelusuri lereng itu. Agaknya
mereka menganggap bahwa pasukan kita yang
mempergunakan panah, masih tetap berada di lereng itu,"
desis Putut Nantang Pati.
"Apakah mereka tidak kita pancing sama sekali turun ke
lembah?" bertanya Daksina.
"Tetapi pasukan kecil itu jika berjalan terus akan dapat
mengganggu orang-orang kita yang berada di tebing, yang
siap memotong tali-temali itu."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Tetapi
meskipun pasukan itu kecil, namun aku kira pasukan itu cukup
kuat. Apalagi jika para pemimpin Menoreh dan orang-orang
bercambuk itu ada di sana, maka kita akan kehilangan banyak
kesempatan." "Kita akan menahan mereka dengan pasukan yang kuat.
Aku sendiri akan memimpin pasukan itu, sambil melindungi
orang-orang yang akan memotong tali. Aku harap kau
memimpin induk pasukan yang sebagian juga terdiri dari
prajurit-prajurit Pajang untuk menahan Sutawijaya. Aku kira
induk pasukan itu memang orang-orang Mataram. Jika yang
datang Ki Pemanahan sendiri dengan pasukan yang memang
tidak akan dapat kita hadapi, kau harus memberikan isyarat,
agar aku dapat mempertimbangkan keadaan dan jika perlu
segera berusaha menjebak mereka."
Daksina menganggukkan kepalanya. Ia pun segera
mempersiapkan diri dan membagi pasukan. Sebuah pasukan
kecil yang kuat akan menghadapi sekelompok pasukan
pengawal yang menyusuri tebing, sedang yang lain akan turun
ke lembah dan menyambut induk pasukan sebelum mereka
akan menyeret pasukan Mataram itu ke dalam kuburan
raksasa yang sudah dipersiapkan.
Sejenak kemudian maka pasukan itu pun segera terbagi.
Putut Nantang Pati sendiri memimpin pasukan kecil itu dan
memisahkan diri dari pasukan induk menyelusur tebing
menyongsong lawan. Tetapi mereka tidak terlalu jauh maju,
karena sebagian dari mereka harus melindungi orangorangnya
yang siap dengan kapak di tangan untuk memotong
tali jebakan. Dalam pada itu, Daksina pun mulai menuruni tebing
dengan penunjuk jalan para pengawas yang melihat pasukan
Mataram mendatangi mereka, sedang Putut Nantang Pati
yang sudah melihat sendiri pasukan yang mendatangi
menyelusur tebang, tidak memerlukan penunjuk jalan sama
sekali. Tetapi Daksina memang tidak ingin bertempur mati-matian.
Tugasnya hanya sekedar menahan pasukan itu dan kemudian
memancing mereka karena ternyata pasukan itu terlampau
kuat untuk dihancurkan dengan kekuatan pasukannya.
Sambil menggenggam senjatanya, Daksina maju diikuti
oleh pasukan yang sebenarnya juga cukup kuat. Apalagi di
antara mereka terdapat beberapa orang bekas prajurit Pajang
yang bertekad untuk ikut serta dengan Daksina, apa pun yang
terjadi. Tetapi karena nafsu perlawanan mereka tidak sekuat
pengawal Mataram, maka sudah barang tentu bahwa hal itu
akan mempengaruhi jalannya peperangan.
Setiap orang di dalam pasukan itu sudah mengetahui
dengan pasti, bahwa mereka akan segera menarik diri, jika
lawan cukup kuat. Karena itu, gairah untuk bertempur sebelum
mereka sampai di pertahanan yang terakhir, di hadapan
padepokan Panembahan Agung, agaknya memang sangat
kecil selain sekedar mempertahankan hidup, karena mereka
tidak mau mati lebih dahulu sebelum mereka melihat, betapa
para pengawal Mataram dan Menoreh itu akan kebingungan
menghadapi ilmu Panembahan Agung yang sakti.
Di bagian lain dari tebing pegunungan itu, beberapa orang
sudah siap dengan anak panah. Mereka harus melindungi
pasukan yang sedang mundur lewat sebuah lembah yang
sempit dengan anak panah itu. Kemudian, jika pasukan lawan
mengejar terus, dan itulah yang memang diharapkan, maka
mereka harus memberikan isyarat kepada orang-orang yang
memegang kapak di tangannya untuk memotong tali temali
yang mengikat beberapa batang pokok kayu yang panjang.
Dengan demikian, maka anak panah mereka tidak boleh
menghentikan sama sekali laju lawan. Anak panah itu
tugasnya hanya sekedar menahan agar pasukan
Panembahan Agung terpisah dari pasukan yang mengejarnya
beberapa puluh langkah. Sementara itu, di lembah yang ditumbuhi oleh pepohon
yang pepat, seolah-olah sebuah hutan kecil, pasukan Daksina
berhenti. Mereka mempersiapkan diri untuk menyergap
pasukan Mataram yang pasti akan melalui daerah itu pula.
Beberapa orang di antara mereka memanjat dahan-dahan
yang rendah dengan pedang di tangan. Jika lawan mereka
lewat dibawahnya, maka mereka yang memanjat itu sudah
siap untuk meloncat menerkam sambil menghunjamkan
senjata mereka masing-masing di punggung atau dada lawan.
Dalam pada itu, pasukan Mataram yang dipimpin oleh
Sutawijaya, maju terus selangkah demi selangkah. Mereka
menjadi berhati-hati karena seakan-akan mereka telah
mendapat firasat bahwa musuh memang sudah ada di depan
hidung mereka. Apalagi para pengawas yang mendahului dan yang salah
seorang telah terluka itu berkata, "Sebentar lagi kita akan
sampai ke tempat para pengawas yang bersenjatakan anak
panah itu. Mereka berada di tebing itu."
"Sekelompok dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
melalui tebing itu. Bukankah maksud kelompok kecil itu juga
untuk melindungi pasukan ini jika pengawal yang
bersenjatakan anak panah itu masih tetap berada di
tempatnya, dan apalagi ditambah jumlahnya," sahut
Sutawijaya. Pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Mudah-mudahan mereka menemukan tempat
itu, dan justru tidak terjebak."
Sementara pasukan yang di lembah itu maju, maka Ki
Argapati pun membawa pasukannya maju pula. Menurut
petunjuk, agaknya sekelompok pengawal dari Menoreh itu
memang sudah berada dekat dengan tempat yang disebut
oleh para pengawal sebagai pusat pertahanan pasukan
bersenjata jarak jauh. "Kita harus menemukan mereka, sebelum mereka sempat
menghujani pasukan Mataram itu dengan anak panah,"
berkata Ki Argapati kepada anak gadisnya.
"Ya, Ayah. Tetapi agaknya mereka sudah berpindah
tempat. Jika mereka merasa bahwa kehadiran mereka sudah
diketahui, maka mereka akan mencari tempat yang lebih baik
lagi." "Tidak ada tempat yang agaknya lebih baik dari tempat itu.
Namun demikian, agaknya kini mereka merasa terganggu.
Mudah-mudahan pasukan pengawal dari Mataram itu dapat
mempergunakan kesempatan. Mereka harus segera maju.
Tetapi jika mereka tidak mendapatkan serangan di tempat
yang mereka duga, maka mereka akan menjadi semakin
berhati-hati dan akan berarti bahwa perjalanan mereka akan
menjadi semakin lambat, sebab menurut perhitungan mereka
lawan telah berpindah di tempat yang belum mereka ketahui."
Pandan Wangi tidak menyahut. Agaknya mereka telah
berada beberapa langkah saja, seperti yang ditunjukkan oleh
para pengawas, dari tempat orang-orang Daksina melepaskan
anak panah kepada pengawas yang memanjat tebing.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan mulai
menjalari dadanya. Ternyata bahwa lawan pun membuat
perhitungan yang cukup cermat.
Dari tempatnya Ki Argapati melihat ke lembah di
bawahnya. Sejenak ia memperhatikan setiap gerakan. Dan
tiba-tiba saja ia melihat bayangan memintas sekejap dari
bawah pohon yang satu ke pohon yang lain.
"Pandan Wangi," desisnya, "kemari."
Pandan Wangi pun bergeser maju diikuti oleh Prastawa.
"Aku melihat seseorang meskipun hanya sepintas. Aku
tidak dapat menyebutkan siapa orang itu. Tetapi arahnya
bukan arah yang ditempuh oleh pasukan Mataram."
"Maksud Ayah?" "Marilah kita tunggu sejenak. Barangkali kita
berkesempatan melihatnya lagi di sela-sela pepohonan yang
rimbun." Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi ia bergeser maju
diikuti oleh Prastawa. Sejenak mereka berjongkok sambil
berdiam diri di balik dedaunan. Namun dari tempat mereka,
mereka dapat melihat lembah di bawah.
Sejenak kemudian mereka pun melihat seseorang
bergerak di bawah pepohonan itu pula. Meskipun tidak jelas
namun mereka mendapat kesan, bahwa orang itu tentu bukan
bagian dari pasukan Mataram yang bergerak maju.
"Ya," desis Prastawa, "seolah-olah orang itu bukan bagian
dari pasukan yang bergerak."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
Pandan Wangi menyahut dengan kata-kata yang bernada
gelisah, "Apakah mereka bukan bagian dari pasukan lawan
yang sedang menunggu?"
"Itulah yang akan aku katakan. Tetapi kita harus
meyakinkan lebih dahulu."
Pandan Wangi tidak menyahut. Namun ketika mereka
melihat orang-orang yang kurang cermat bersembunyi itu
melintas lagi, maka mereka pun segera mengambil
kesimpulan. "Pasukan lawan telah menunggu pasukan Mataram itu,"
berkata Ki Argapati, "kita harus memberitahukan kepada
mereka, apa yang telah kita lihat."
"Apakah kita akan mengirimkan seseorang menuruni
tebing dan menemui Raden Sutawijaya?"
"Terlambat. Pasukan Raden Sutawijaya tentu sudah amat
dekat dengan orang-orang yang menunggu. Jika dengan tibatiba
pasukan itu terlibat dalam perkelahian sebelum mereka
bersiap, maka akibatnya akan sangat merugikan."
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan Ayah?"
"Kita memberikan isyarat."
"Bagaimana kita akan memberikan isyarat, kita belum tahu
pasti, di mana pasukan mereka berada."
"Kita lepaskan senjata-senjata jarak jauh langsung kepada
orang yang agaknya sedang bersembunyi di hutan kecil itu."
"Gunanya?" "Jika mereka melakukan perlawanan, maka pasukan
Raden Sutawijaya tentu akan melibat, bahwa di hadapannya
ada sepasukan lawan yang sedang menunggu, sehingga
isyarat itu datang dari mereka sendiri."
"Tetapi akibatnya, kehadiran kita pun akan diketahui pula."
"Biarlah, kita sudah siap bertempur. Jika ternyata kekuatan
kita tidak memadai pasukan lawan yang barangkali juga
sedang menunggu kita, kita akan memberikan isyarat lagi.
Tetapi jika kita bersama-sama mengalami tekanan yang berat,
apa boleh buat." "Masih ada sekelompok yang mungkin masih bebas."
"Belum tentu. Mungkin mereka pun menjumpai lawan yang
bertebaran." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun ia tidak menjawab, namun agaknya ia


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyetujuinya. Karena itu, maka sejenak kemudian, setelah mereka
menjadi semakin yakin akan keadaan yang mereka hadapi,
maka Ki Argapati pun kemudian memerintahkan beberapa
orang yang membawa busur dan anak panah untuk bersiap.
"Salah seorang dari kalian yang membawa perisai,
perlihatkan dirimu. Mereka akan berbuat sesuatu, dan kita
akan menjadi semakin yakin atas mereka," perintah Ki
Argapati. "Sedang yang lain siap untuk melontarkan anak
panah kalian." Beberapa orang pun kemudian bergeser menepi.
Seseorang yang membawa perisai pun kemudian melangkah
maju, justru menampakkan diri di atas tebing.
Ternyata usaha Ki Argapati itu berhasil memancing
perhatian lawan yang sedang bersembunyi. Ketka seseorang
melihat seorang pengawal Menoreh itu berdiri di tebing, maka
orang itu pun segera melaporkannya kepada Daksina.
"Siapakah orang itu?" bertanya Daksina.
"Kita tidak mengetahuinya, tetapi jelas bukan salah
seorang dari kita." Daksina menjadi ragu-ragu sejenak. Namun selagi ia
belum mengambil keputusan, dilihatnya sebatang anak panah
yang meluncur jatuh di sela-sela dedaunan.
"He, anak panah siapakah itu?"
Salah seorang memungut anak panah itu. Dan dengan
suara bergetar ia menyahut, "Bukan anak panah kita. Ujung
bedornya pipih dan bulu keseimbangannya melingkar."
"Anak panah itu berputar selagi meluncur," desis Daksina,
"tentu anak panah orang Menoreh."
Sebenarnyalah bahwa Ki Argapati telah memerintahkan
melepaskan anak panah. Meskipun mereka tidak melihat
seseorang namun mereka melepaskan juga anak panah ke
arah yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian
mereka. Dalam pada itu Daksina menjadi termangu-mangu. Apalagi
ketika sebuah anak panah yang lain meluncur pula jatuh di
antara mereka. "Tentu orang yang berdiri di tebing itu melihat kita."
"Apakah yang dapat kita lakukan?"
"Apa boleh buat. Kita tunggu sejenak, jika anak panah itu
masih meluncur, kita akan membalas meskipun dengan
demikian kehadiran kita di sini akan diketahui oleh pasukan di
hadapan kita. Bukankah jika sebagian dari mereka sudah
melihat kita, maka tidak ada gunanya lagi kita bersembunyi"
Tetapi selagi mungkin, kita akan menghindari."
Namun dalam pada itu, bukan saja Daksina dan orangorangnya
yang melihat orang berperisai itu. Ternyata Putut
Nantang Pati pun telah melihatnya pula.
"Gila," geram Putut Nantang Pati, "ternyata pasukan yang
menyelusur tebing inilah yang mengetahui lebih dahulu
pasukan yang dipimpin Daksina, yang berusaha menyergap
pasukan yang datang dan lembah. Jangan beri kesempatan.
Kita harus menyerangnya lebih dahulu selagi perhatian
mereka tertuju kepada orang-orang di lembah itu."
Anak buah Putut Nantang Pati pun kemudian menyiapkan
diri. Mereka tidak lagi menunggu. Tetapi kini mereka merayap
maju menyerang kedudukan Ki Argapati yang sedang
memancing perlawanan orang-orang yang ada di lembah.
Kedatangan Putut Nantang Pati telah mengejutkan
pengawas yang dengan penuh kewaspadaan memperhatikan
suasana di sekitarnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun
meneriakkan isyarat, bahwa sepasukan lawan telah
mendekat. Ki Argapati mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir,
lalu, "Kita hadapi lawan yang datang. Tetapi biarlah dua tiga
orang meneruskan pancingan mereka. Lemparkan anak
panah yang lebih banyak. Tetapi hati-hati bagi mereka yang
tidak menyandang perisai. Jangan menjadi arah bidikan yang
mapan. Berusahalah tetap bersembunyi di balik pepohonan."
Lalu katanya kepada Pandan Wangi dan Prastawa, "Hatihati1ah,
kita menghadapi lawan yang belum kita ketahui
kekuatannya." Demikianlah maka Ki Argapati telah mempersiapkan
dirinya dengan tombak pendeknya. Dalam keadaan itu, terasa
kakinya memang agak mengganggu. Jika saja kakinya tidak
menjadi cacat meskipun berangsur pulih, maka ia akan dapat
berbuat lebih banyak lagi, siapa pun yang dihadapinya.
Sejenak Pandan Wangi memandangi ayahnya, seolaholah
ia ingin mendapat penjelasan tentang keadaan ayahnya
itu. "Kakiku sudah baik Pandan Wangi," tiba-tiba ayahnya
berdesis seakan-akan ia mengetahui kegelisahan yang
memancar dari tatapan mata anak gadisnya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
"Hati-hatilah," desis ayahnya, "aku sudah mendengar
suara pasukan itu mendekat."
Pandan Wangi pun kemudian mempersiapkan dirinya. Kali
ini ia membawa sepasang pedang. Disampingnya Prastawa
pun telah mempersiapkan dirinya pula. Ia pun bersenjata
pedang yang lebih besar dari pedang Pandan Wangi.
"Beberapa orang di antara kalian, naiklah lebih tinggi,"
perintah Ki Argapati, "usahakan agar kalian dapat bergerak
lebih leluasa. Kita harus menyadari, bahwa lawan-lawan kita
akan mempergunakan cara yang sering mereka tempuh.
Kasar dan sedikit liar. Karena itu, kalian harus mempunyai
ruang yang agak luas untuk melawan mereka."
Dengan demikian, maka sekelompok pengawal dari
Menoreh yang terpilih itu pun segera memencar. Mereka telah
bersiap dengan senjata masing-masing. Beberapa orang di
dalam kelompok tersendiri bersenjatakan tombak pendek.
Yang lain pedang dan seorang yang berbadan tinggi kekar
membawa sepasang bindi yang besar. Sedang mereka yang
memanjat tebing lebih tinggi lagi selain bersenjata pedang,
mereka pun memiliki beberapa buah pisau-pisau kecil diikat
pinggangnya. Mereka adalah pengawal yang telah terlatih
mempergunakan lemparan-lemparan pisau belati kecil.
Dalam pada itu, beberapa orang di antara mereka masih
saja melontarkan anak panah ke lembah. Mereka semakin
pasti bahwa yang ada di lembah itu bukan pasukan Mataram.
Tetapi Daksina ternyata tidak mudah terpancing.
Diperintahkannya anak buahnya untuk tetap berdiam diri.
"Jangan memberikan perlawanan. Musuh yang kita tunggu
adalah mereka yang akan datang lewat lembah ini. Serahkan
mereka yang di atas tebing kepada Putut Nantang Pati dan
kelompoknya. Kita tetap menunggu di sini."
Anak buahnya pun menyadari keadaan mereka, sehingga
karena itu, mereka pun segera berusaha berlindung di balik
pepohonan dan dedaunan yang rimbun. Namun demikian,
anak panah yang diberi bulu-bulu keseimbangan membelit
dan berbedor pipih itu, kadang-kadang dapat menembus
rimbunnya dedaunan karena putaran anak panah itu.
Sejenak Ki Argapati menilai keadaan. Ia pun sadar, bahwa
Daksina seorang perwira dari Pajang itu bukannya anak kecil.
Apalagi kehadiran Ki Argapati telah benar-benar diketahui oleh
lawannya, sehingga akhirnya ia berkata lantang, "Berikan
isyarat panah sendaren. Pasukan di lembah agaknya sudah
berada di hadapan pasukan yang bersembunyi untuk
menjebak." Begitu perintah itu selesai, maka benturan sudah tidak
dapat dihindarkan lagi. Pasukan Putut Nantang Pati melanda
para pengawal Menoreh bagaikan banjir. Tetapi pasukan
pengawal dari Menoreh itu sudah bersiaga, sehingga mereka
pun sudah siap menyambut kedatangan lawannya.
Ternyata bahwa usaha Ki Argapati mengurangi jumlah
lawannya pada benturan pertama itu pun berhasil. Para
pengawal yang berada di tebing yang agak lebih tinggi,
menyambut kedatangan lawan mereka dengan lontaran pisaupisau
kecilnya, sehingga beberapa orang lawan pun terluka
karenanya. Bahkan lemparan yang tepat mengenai pundak
kanan, seakan-akan membuat lawan itu menjadi lumpuh dan
tidak dapat menggerakkan senjatanya lagi. Kecuali mereka
tidak biasa mempergunakan senjata di tangan kiri, juga
agaknya darah yang mengalir telah merampas sebagian besar
dari tenaganya. Apalagi mereka yang langsung terpotong nadi
pundaknya. Namun demikian, beberapa orang yang berada di
belakang pertempuran itu masih sempat melemparkan isyarat.
Tiga buah anak panah sendaren meluncur sambil bersiul.
Dalam pada itu, pasukan Sutawijaya memang sudah
berada semakin dekat pada jebakan yang dipasang oleh
Daksina. Dan agaknya suara panah sendaren itu memang
menarik perhatian. Namun yang mula-mula terlintas di anganangan
Sutawijaya adalah isyarat bahwa pasukan Ki Argapati
sudah terlibat di dalam pertempuran.
"Lihat," berkata Sutawijaya yang dapat melihat dari jarak
yang jauh pertempuran di atas tebing, "mereka sudah mulai.
Tetapi kau lihat beberapa orang berdiri di tebing dengan busur
dan anak panah itu?"
Beberapa orang pimpinan pengawalnya memandang ke
arah tebing itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka
harus memperhitungkan apakah yang sebenarnya sudah
terjadi. "Mereka melemparkan anak panah ke lembah di depan
kita," desis Ki Lurah Branjangan.
"Dan itu sangat menarik perhatian," sahut Sutawijaya.
Tetapi orang-orang yang melemparkan anak panah itu pun
segera menghilang. Mereka ternyata telah terlibat di dalam
pertempuran. Sejenak Sutawijaya menilai keadaan. Meskipun hanya
sepintas, namun anak panah yang dilontarkan ke lembah itu
harus diperhitungkan. "Isyarat dan arah anak panah itu agaknya mempunyai
maksud tertentu," berkata Sutawijaya kemudian. "Apa
salahnya kita berhati-hati sekali. Agaknya mereka memberi
peringatan kepada kita, bahwa di lembah di hadapan kita ini
pun, para pengawal padepokan ini telah menunggu."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Mungkin. Memang mungkin sekali.
Agaknya mereka pun telah memecah pasukannya."
"Pengalaman mereka atas kegagalan yang pernah terjadi
membuat mereka semakin berhati-hati," desis Sutawijaya.
"Jika demikian, marilah kita maju dengan waspada. Kita
tidak dapat membuat gelar yang wajar karena keadaan
medan. Tetapi kita akan bergerak maju dalam tiga deret. Yang
tengah akan lewat dasar lembah. Yang dua melalui sisi
sebelah-menyebelah. Di dalam keadaan yang belum kita
ketahui, kita dapat merubah kedudukan. Tetapi ada baiknya
jika pasukan yang menjadi sayap itu berjalan seiring meskipun
mereka harus berjalan di tebing yang miring."
"Sayap itu lebih baik sedikit maju," sahut Ki Lurah
Branjangan yang sudah memiliki pengalaman yang cukup,
"justru induk pasukan agak mundur beberapa langkah. Kita
mungkin akan jatuh dalam keadaan perang brubuh, atau
sebelah-menyebelah dari sayap ini akan melanda lawan
dalam gelar glatik neba. Tetapi jika lawan berpencar maka
perang brubuh itulah yang paling mungkin terjadi."
"Baiklah. Kita mempersiapkan diri menghadapi keadaan
itu. Kita harus mengenal diri kita sebaik-baiknya. Di dalam
perang brubuh kita masih harus tetap berada di dalam satu
kesatuan." Demikianlah maka Lurah Branjangan segera mengatur
pasukannya. Ia sendiri berada di sayap kanan, dan seorang
senapati yang dipercaya berada di sayap kiri.
"Kita akan bertemu dengan Daksina," desis Sutawijaya.
"Jangan dilawan seorang diri. Raden harus melihat
kenyataan bahwa Daksina memiliki kelebihan. Jika aku yang
menjumpainya, aku pun akan melawannya di dalam lingkaran
perang brubuh, bukan seorang diri. Aku sudah
mempersiapkan beberapa orang untuk menghadapinya.
Sebaiknya sambil berjalan maju setiap barisan
mempersiapkan dirinya."
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya, "aku akan bersiap
menghadapinya. Sekelompok pengawal akan menyertaiku
melawannya jika aku menjumpainya. Demikian juga
seharusnya yang dilakukan oleh penjawat kiri dari gelar yang
sederhana ini." Demikianlah maka perlahan-lahan pasukan itu maju.
Kedua sayap pasukan berjalan mendahului beberapa langkah
dan mereka berjalan menyelusuri tebing yang miring. Sedang
di tengah-tengah Sutawijaya dan pengawal-pengawalnya
berderap maju mendekati daerah yang seolah-olah terasa
menjadi semakin rimbun. Firasat keprajuritannya seakan-akan memberitahukan
kepadanya bahwa beberapa langkah lagi, ia harus
memperhatikan setiap lembar daun dan setiap batang ranting,
karena seakan-akan Sutawijaya itu melihat bayangan yang
bersembunyi dan sedang mengintip pasukannya.
Di hadapan mereka, Daksina menunggu dengan tegang.
Dua orang pengawas terdepan hampir tidak sabar menunggu
kedatangan lawan. Namun mereka pun terkejut ketika mereka
melihat pasukan lawan itu mendatangi dalam barisan yang
panjang di tebing yang miring. Bukan hanya di sebelah, tetapi
sebelah-menyebelah. "Gila," desis pengawas itu, "kita menunggu mereka di
tengah lembah." "Cepat kita laporkan, agar pasukan kita sempat merubah
keadaan." Kedua pengawas itu pun kemudian berlari-lari
meninggalkan tempatnya, melaporkan apa yang dilihatnya
tentang pasukan lawannya itu.
"Gila," geram Daksina, "cepat rubah keadaan ini. Kita akan
menghadapi lawan yang berada di sisi sebelah-menyebelah.
Tidak ada gunanya kalian menunggu di dahan-dahan dan
belakang gerumbul. Mereka akan menusuk lambung. Jika
mungkin mereka akan menerobos ke dalam pasukan kita.
Dengan demikian, kita akan mengalami kesulitan menarik diri.
Karena kita harus bertempur dalam medan yang dibatasi oleh
garis tegas, maka kita harus menahan pasukan lawan."
Demikianlah, maka pasukan Daksina itu pun segera
merubah garis pertahanan mereka. Sebagian dari mereka


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru berada di sisi tebing. Mereka harus menghentikan
gerakan maju sehingga pasukan lawan tidak akan dapat
menerobos masuk ke dalam garis pertahanan mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pasukan
sayap itu pun mendekati letak pasukan lawan. Pada jarak
beberapa puluh langkah, mereka sudah saling menyadari,
bahwa mereka kini telah benar-benar berhadapan. Karena
itulah, maka setiap senjata sudah mulai merunduk dan setiap
tangan mulai bergetar. Kedua pimpinan pengawal yang menjadi penjawat kanan
dan kiri dari pasukan Mataram segera meneriakkan aba-aba.
Sejenak kemudian pasukannya maju sejauh-jauh dapat
dijangkau sebelum lawannya menyongsong mereka dengan
garis pertahanan yang rapat, karena mereka memang
berkeinginan untuk menarik garis medan yang tegas.
Demikianlah, maka kedua pasukan itu mulai terlibat dalam
pertempuran. Daksina, seorang perwira yang berpengalaman
itu berhasil membendung pasukan lawannya, sehingga kedua
sayap itu tidak dapat bergerak maju sama sekali. Bahkan
mereka tidak dapat menghindarkan tekanan pasukan Daksina
yang berat, sehingga pasukan yang berjajar surut itu mulai
menebar. Ki Lurah Branjangan yang ada di sayap kanan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa yang
dihadapi adalah seorang perwira yang mumpuni. Karena itu,
ketika ia melihat Daksna mengayun-ayunkan pedangnya ia
berbisik kepada dua orang kepercayaannya, "Kawani aku
mengikat perwira itu dalam pertempuran agar anak buahnya
kehilangan bimbingan."
"Tetapi ia bukan satu-satunya senapati."
"Kau benar, tetapi tidak ada orang lain yang meliki
kemampuan seperti Daksina."
Demikianlah Ki Lurah Branjangan dengan dua orang
pengawal kepercayaannya, menerobos riuhnya pertempuran,
mendekati senapati lawan.
"Daksina," panggil Ki Lurah Branjangan, "aku tidak mengira
bahwa kita akan bertemu lagi."
Daksina mengerutkan keningnya, lalu katanya, "He,
kaukah itu pengkhianat. Ternyata kau berada di Mataram
tanpa meninggalkan pesan apa pun bagi pasukanmu."
Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, "Jangan membual.
Aku meninggalkan lingkungan keprajuritan Pajang setelah aku
minta diri. Aku tidak lari seperti kau. He, apakah kau mendapat
perintah dari Kanjeng Sultan Pajang untuk mengacaukan
Mataram?" Daksina berpikir sejenak, lalu, "Ya. Kau pandai menebak."
Tetapi Ki Lurah Branjangan justru tertawa, "Jangan seperti
kanak-kanak. Bukankah kau pernah berceritera kepada Raden
Sutawijaya tentang rencanamu untuk mengadu dombakan
Mataram dan Pajang."
"Aku menjawab pertanyaan kanak-kanak dengan istilah
kanak-kanak pula. Jika kau sudah tahu, apa gunanya kau
bertanya?" Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Agaknya
tidak ada kesempatan untuk banyak berbicara. Karena itu,
maka ia pun segera melangkah maju dan mengulurkan
pedangnya lurus ke depan. Dua orang pengawal
kepercayaannya pun maju pula dan bersiap menghadapi
segala kemungkinan. "O, inikah cara orang Mataram bertempur" Sejak kapan
kau kehilangan sifat jantanmu, Branjangan. Aku kira kau
masih tetap seperti ketika kau berada di Pajang, pernyata kau
tidak ubahnya Sutawijaya yang bertempur bersama beberapa
orang sekaligus. He, di mana Sutawijaya" Apakah ia
memimpin kelompok prajurit yang berjalan di atas tebing itu?"
"Daksina," sahut Branjangan, "kita tidak sedang berperang
tanding. Di dalam perang brubuh semacam ini, tidak akan
sempat menghitung berapa jumlah prajurit kita masingmasing.
Apakah jika kita harus bertempur seorang melawan
seorang, jika ada kelebihan di satu pihak, prajurit itu harus
duduk saja menonton" Jika seorang lawan mati maka seorang
dari pihak yang lain harus keluar gelanggang."
"Ah, kau sudah pandai membela diri. Baik. Jika kau akan
berkelahi dengan kelompokmu. Aku berterima kasih karena
dengan demikian kau mengakui, bahwa Daksina memang
bukan lawanmu." "Di dalam peperangan semua orang adalah lawan semua
orang." "Bagus. Bersiaplah untuk mati."
Ki Lurah Branjangan tidak menyahut. Tetapi ia
mempersiapkan dirinya dengan penuh kewaspadaan, karena
sebenarnyalah ia mengerti, bahwa Daksina memiliki beberapa
kelebihan dari prajurit-prajurit Pajang yang lain, sehingga
karena itulah maka ia merayap dari pangkat yang satu ke
pangkat di atasnya. Sejenak kemudian mereka pun mulai terlibat di dalam
pertempuran. Daksina harus berhadapan dengan Ki Lurah
Branjangan dibantu oleh dua orang pengawalnya.
Namun ternyata bahwa Daksina benar-benar seorang
yang tangguh. Ia mampu menghadapi ketiga lawannya
dengan gigih. Sekali-sekali seorang dua orang pasukannya
berusaha membantunya. Namun setiap kali pengawal
Mataram yang lain telah memisahkan mereka dari lingkaran
pertempuran itu. Meskipun demikian, orang-orang Daksina adalah orangorang
yang terlatih baik. Di antara mereka terdapat bekas
prajurit-prajurit Pajang seperti juga pasukan dari Mataram.
Sehingga karena itu, maka amat sulitlah bagi Ki Lurah
Branjangan untuk sepenuhnya bertempur bersama kedua
pengawalnya yang terpercaya itu. Setiap kali mereka bertiga
gagal melakukan tekanan serentak, karena orang-orang
Daksina pun cukup cekatan menanggapi keadaan.
Ki Lurah Branjangan mengumpat di dalam hati. Daksina
masih tetap seorang perwira yang cerdik di medan. Sayang, ia
telah melakukan kesalahan menurut penilaiannya, karena ia
terlibat dalam perbuatan yang bagi Lurah Branjangan, sematamata
memanjakan kepentingan dan pamrih sendiri.
Perkelahian di medan itu pun menjadi semakin riuh. Tetapi
ternyata bahwa pasukan Daksina berhasil menahan arus
pasukan Mataram. Di kedua sisi lembah itu telah terjadi
pertempuran yang seru, sehingga selain terdengar
gemerincing senjata, gemeretak gigi dan hentakan kaki, juga
terdengar derak ranting-ranting patah dan dedaunan yang
runtuh sebelum saatnya. Di sayap yang lain pasukan Mataram pun sama sekali
tidak dapat mendesak lawannya yang bertahan pada satu
garis pertahanan yang tegas.
Dengan demikian maka usaha Daksina untuk menahan
pasukan penyerang itu berhasil. Ia masih harus bertempur
untuk beberapa saat. Ia ingin menjajagi kekuatan lawannya,
yang menurut penilaiannya tidak sekuat yang disangkanya.
"Jika aku berhasil menghancurkannya di sini, apa
salahnya," berkata Daksina. "Pertempuran ini tidak perlu
menyentuh padepokan Panembahan Agung."
Namun Daksina itu masih juga dibayangi oleh keraguKang
Zusi - http://kangzusi.com/
raguan. Yang dihadapinya adalah Lurah Branjangan.
Sehingga karena itu, maka ia pun masih menunggu seseorang
yang tentu ada di antara lawan-lawannya, yaitu Sutawijaya.
Bahkan selagi bertempur melawan Ki Lurah Branjangan,
Daksina yang curiga dan apalagi dilambari oleh firasatnya
sebagai seorang prajurit, ia masih sempat memerintahkan dua
orang anak buahnya untuk mencari Sutawijaya.
"Jika ia berpakaian seperti pengawal biasa, kalian pun
tentu akan mengenalnya."
Tetapi selagi kedua orang anak buah Daksina itu bergeser
dari tempatnya, mereka terkejut bukan kepalang. Sekelompok
pengawal ternyata telah menusuk daerah pertempuran itu
langsung dipimpin oleh Sutawijaya sendiri.
Kedatangan pasukan itu memang mengejutkan Daksina
yang segera mendapat laporan. Karena itu, maka ia pun
kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mengambil
alih perlawanannya terhadap Ki Lurah Branjangan. Daksina
sendiri kemudian bersama beberapa orang pengawal
langsung menyongsong Sutawijaya.
Ternyata kedatangan Sutawijaya telah menggoncangkan
pertempuran itu. Kekuatan pasukan Mataram telah bertambah
besar, sehingga tidak ada harapan sama sekali bagi Daksina
untuk menunjukkan kebesarannya dengan menghancurkan
pasukan Mataram sebelum mereka mendekati padepokan
Panembahahan Agung. "Gila," desis Daksina, "agaknya Mataram benar-benar ingin
menyelesaikan pertikaiannya dengan Panembahan Agung."
Namun dalam pada itu, Daksina masih dapat tersenyum
sambil berkata di dalam hati, "Jika kalian tidak binasa di sini,
kalian akan binasa dikubur di leher lembah itu. Dan jika masih
ada juga yang lolos, maka kalian menjadi sasaran yang paling
menyenangkan dalam pertahanan terakhir dari susunan
pengawal padepokan Panembahan Agung."
Ternyata bahwa yang terjadi kemudian benar-benar tidak
tertahankan lagi oleh Daksina. Itulah sebabnya, maka ia mulai
dengan susunan perlawanan seperti yang direncanakan.
Sekedar bertahan menurut batas lurus sepanjang lebar
lembah daerah pertempuran itu. Kemudian, mereka akan
segera mengundurkan diri, yang ternyata harus dilakukan
lebih cepat dari yang diperkirakan karena tekanan lawan yang
cukup berat, dengan korban yang lebih banyak pula dari
perhitungannya. Sekali-sekali Daksina masih sempat mencoba melihat
pertempuran diatas tebing. Sekilas ia masih melihat senjata
berkilat. Kadang-kadang ia mendengar sorak yang gemuruh di
atas tebing itu meskipun pertempuran tidak seriuh di dalam
lembah. Tetapi agaknya anak buah Putut Nantang Pati
berusaha menghalau lawannya seperti sedang mengejar
tupai. Mengayunkan senjata sambil berteriak-teriak.
Tetapi Ki Argapati yang sudah menduga sebelumnya,
sama sekali tidak terkejut menghadapi cara lawannya. Untuk
meneguhkan hati anak buahnya, maka Ki Argapati pun
kadang-kadang meneriakkan aba-aba yang keras. Di sebelahmenyebelahnya,
Pandan Wangi dan Prastawa mendesak
lawannya yang bertempur dengan kasar.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Putut Nantang Pati benarbenar
seorang yang pilih tanding. Dengan tangkasnya ia
menghadapi Ki Argapati yang bersenjata tombak pendek.
Kakinya yang kokoh itu berloncatan di atas tanah, berbatu
padas. Sedang senjatanya berputar seperti baling-baling.
Sebilah pedang besar yang bermata rangkap sebelahmenyebelah.
Namun Ki Argapati adalah seorang yang matang di dalam
ilmunya, apalagi ia memiliki pengalaman yang cukup banyak
di sepanjang hidupnya. Sehingga dengan demikian, ia dapat
dengan tenang menghadapi Putut Nantang pati, murid
terpercaya dari Panembahan Agung.
Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung beberapa saat
lamanya, terasa sesuatu agak mengganggu. Meskipun Ki
Argapati semula berhasil sedikit demi sedikit mendesak
lawannya, namun semakin lama terasa sesuatu yang tidak
wajar pada kakinya yang cacat. Rasa-rasanya di dalam daging
dipaha dan dilututnya terdapat duri yang tajam, yang mulai
menusuk dagingnya. "Ah," Ki Argapati mengeluh di dalam hati, "apakah kakiku
tiba-tiba saja akan kambuh lagi?"
Tetapi Ki Argapati berusaha untuk menahan rasa sakit
yang semakin mengganggunya. Untuk beberapa saat ia masih
mampu bertempur tanpa menunjukkan tanda-tanda
kelemahan pada kakinya. Yang dilihat lawannya sejak mereka
mulai terlibat di dalam pertempuran adalah, bahwa kaki Ki
Argapati itu cacat dan timpang. Tetapi ternyata bahwa ketika
mereka terlibat langsung, kemampuan Ki Argapati telah
mengejutkan Putut Nantang Pati, sehingga perlahan-lahan
Putut itu harus mengakui, bahwa lawannya memiliki
kemampuan yang tidak akan dapat diatasinya.
Namun, Putut Nantang Pati juga tidak yakin bahwa ia akan
dapat dikalahkan. Meskipun Ki Argapati memiliki ilmu yang
dahsyat, namun kakinya itu telah menahannya untuk berbuat
terlampau banyak. Dan kelemahan kaki ini merupakan
peluang yang mungkin dapat dipergunakan oleh Putut
Nantang Pati. Ki Argapati menyadari perhitungan itu. Dan apalagi ketika
kakinya merasa semakin lama semakin sakit. Gerakannya
mulai terganggu oleh perasaan pedih yang menyengatnyengat,
sehingga Ki Argapati terpaksa memusatkan
perlawanannya pada kecepatan ujung tombaknya saja.
Betapa pun Ki Argapati berusaha, namun lawannya yang
memiliki kemampuan yang hampir mengimbanginya itu pun
merasa, bahwa ada perubahan padanya. Beberapa kali Putut
Nantang Pati meyakinkan, bahwa Ki Argapati tidak lagi
mampu mempergunakan kakinya dengan wajar. Sekali-sekali
Putut itu menyerang dengan garangnya, kemudian berkisar
dengan cepat. Selangkah ia surut dengan menyilangkan
senjata. Tetapi Ki Argapati tidak meloncat menyerangnya.
Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu hanya mencoba
menjulurkan tombak pendeknya di sela-sela ayunan pedang
Putut yang besar. Tetapi dengan mencondongkan tubuhnya,
Putut Nantang Pati dengan mudah menghindarkan dirinya.
Beberapa saat kemudian, setelah Putut Nantang Pati itu
yakin bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya tiba-tiba
saja ia tertawa berkepanjangan.
"Sayang," katanya, "kedatanganmu kali ini hanya sekedar
mengantarkan nyawamu. Aku tahu bahwa yang bersenjata
tombak pendek dalam lambaran ilmu yang mapan ini adalah
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang tidak terkalahkan.
Seseorang yang tidak saja mampu bertempur di darat tetapi
juga dilautan. Tetapi aku pun tahu, bahwa agaknya Kepala
Tanah Perdikan yang perkasa ini mengindap penyakit yang
parah di kakinya." Mendengar kata-kata itu, Ki Argapati menjadi tegang. Ia
sadar, bahwa Putut Nantang Pati telah mengetahui
kelemahannya. "Nah, Ki Gede Menoreh," berkata Putut Nantang Pati,
"jangan menyesal bahwa kau sudah melibatkan diri dengan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persoalan yang sebenarnya tidak menjadi urusanmu."
Ki Argapati sama sekali tidak menjawab. Bahkan selagi
Putut Nantang Pati berteriak sambil tertawa berkepanjangan,
Ki Argapati berdiri saja di tempatnya. Ia merasa mendapat
kesempatan untuk beristirahat sejenak. Sekali-sekali ia
sempat memijit kakinya yang terasa sakit.
"Ki Gede," berkata Putut Nantang Pati kemudian, "cobalah
menyadari kesalahanmu sebelum kau mati. Kenapa kau
bersedia membantu orang-orang Mataram" Jika Mataram
menjadi besar di bawah pimpinan Sutawijaya itu, maka
Menoreh akan tertutup sama sekali oleh kekuasaannya,
sehingga Menoreh tidak akan lebih besar dari sebuah
pedukuhan yang tidak berarti. Jika Mataram tidak sempat
berdiri dan pemerintahan masih tetap berada di Pajang,
Menoreh mendapat kesempatan untuk mengembangkan
dirinya menjadi sebuah Tanah Perdikan yang besar dan luas."
Ki Argapati masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa
kakinya yang sempat beristirahat itu menjadi agak baik.
Karena itu ia mengharap agar Putut Nantang Pati itu berbicara
saja berkepanjangan. Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi yang bertempur
dengan tangkasnya itu pun mendengar kata-kata Putut
Nantang Pati tentang kaki ayahnya. Karena itu, maka ia pun
menjadi berdebar-debar. Beberapa saat ia terdesak oleh dua
orang lawannya sekaligus. Namun kemudian ia menjadi
mapan kembali. Apalagi tiba-tiba saja Prastawa bagaikan
seekor burung elang menyambar dengan pedangnya,
sehingga kedua orang lawan Pandan Wangi itu terdesak
surut. "Prastawa," desis Pandan Wangi, "jaga mereka agar tidak
mengganggu aku. Kau dengar bahwa ayah mulai disengat
oleh rasa sakit di kakinya?"
"Lepaskan mereka," berkata Prastawa yang kemudian
bertempur dengan garangnya. Pedangnya menyambarnyambar
seperti kuku-kuku yang tajam dari seekor burung
elang raksasa yang marah.
Di bagian lain dari pertempuran itu, pasukan pengawal
Menoreh mulai mendesak lawannya dengan perlahan-lahan,
berapa orang yang benar-benar terlatih berhasil bertahan dan
bahkan kemudian menunjukkan bahwa mereka pun memiliki
pengalaman bertempur yang dapat mengimbangi anak buah
Putut Nantang Pati. Betapa pun kasarnya lawan mereka,
tetapi karena sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya, maka para pengawal itu tidak terkejut dan
menjadi bingung. Namun dalam pada itu, Ki Argapati sendirilah yang tidak
berhasil mempertahankan desakan Putut Nantang Pati. Ketika
Putut Nantang Pati selesai berbicara dan tertawa, maka
mulailah ia memusatkan serangan-serangannya.
"Sekarang memang sudah waktunya kau menjalani
hukuman atas kelancanganmu. Sebelum kau mencapai batas
pertahanan Panembahan Agung, kau akan mati lebih dahulu.
Sayang, kau tidak akan pernah melihat kesaktiannya yang
tidak ada taranya. Jika kau tidak mempercayainya, maka
sepanjang hidupmu, kau tidak akan pernah melihat buktinya."
Ki Argapati masih tetap berdiam diri. Tetapi tangannya
rasa-rasanya menjadi semakin mantap menggenggam
tombaknya. Sejenak kemudian serangan Putut Nantang Pati itu pun
menjadi semakin dahsyat. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa
kelemahan Ki Argapati ada pada kakinya. Itulah sebabnya
maka ia berloncatan dengan lincahnya, menyerang lawannya
dari segala arah. Ternyata bahwa waktu yang hanya sejenak, yang seakanakan
memberi kesempatan kepada kakinya yang sakit untuk
beristirahat, tidak berarti apa-apa sama sekali. Ketika ia mulai
terlibat lagi dalam pertempuran melawan Putut Nantang Pati,
maka perlahan-lahan perasaan sakitnya itu pun kambuh
kembali. Pandan Wangi yang berhasil mendekati ayahnya melihat
kelemahan itu pula. Karena itu, maka ia pun segera
menyerang Putut Nantang Pati dengan pedang rangkapnya.
Putut Nantang Pati terkejut sehingga ia melangkah surut.
Namun ia pun tertawa sambil berkata, "He, agaknya kaulah
yang bernama Pandan Wangi."
"Wangi," desis Ki Argapati kemudian, "menyingkirlah."
"Aku akan menyingkirkan orang ini, Ayah."
"Serahkan ia kepadaku, Wangi."
Pandan Wangi yang menyadari keadaan ayahnya tidak
segera meninggalkan Putut Nantang Pati. Ia justru
menyerangnya semakin garang sehingga untuk beberapa saat
lamanya Putut Nantang Pati harus berusaha menghindarkan
serangan-serangan itu. Betapa pun kemampuan Pandan Wangi yang berkembang
dengan pesat, namun ia masih belum dapat mengimbangi
Putut yang garang itu. Karena itulah, maka dalam waktu yang
singkat Nantang Pati segera dapat menguasai keadaan.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati telah menempatkan diri
di dalam pertempuran melawan Putut itu pula, meskipun ia
hanya dapat mempergunakan tangannya, sehingga dengan
demikian Putut Nantang Pati harus bertempur melawan dua
orang sekaligus. Tetapi karena kaki Ki Argapati benar-benar tidak mampu
lagi mengimbangi kemampuan ilmunya, maka geraknya pun
menjadi sangat terbatas. Dalam keadaan yang demikian itulah Ki Argapati sempat
menyebut kebesaran nama Tuhan. Ia memang yakin bahwa
kemampuan manusia sangat terbatas. Meskipun ia memiliki
ilmu yang sempurna sekali pun, namun dibatasi oleh
kemampuan jasmaniahnya, maka ilmu itu seakan-akan tidak
banyak berguna lagi. Dan tidak seorang manusia pun yang
dapat melawan susutnya kemampuan jasmaniah apabila
umurnya sudah mencapai batas. Semakin tua seseorang
memang akan menjadi semakin matang. Tetapi apabila
kemampuan jasmaniah sudah mulai susut, maka setiap orang
harus mengakui pertanda ini. Dan terpujilah nama Tuhan yang
Adil dan Maha Kuasa, yang dengan pertanda alam
menunjukkan Kuasa-Nya yang tanpa batas.
Dan pertanda itu kini terasa oleh Ki Argapati. Betapa pun
ilmu yang selama ini disempurnakan di dalam dirinya, namun
ia tidak akan dapat melawan sakit di kakinya sendiri. Dan Ki
Argapati menerima keadaannya meskipun bukan berarti
bahwa ia harus berputus asa.
Sementara itu Pandan Wangi-lah yang mengambil alih
serangan-serangan beruntun. Namun serangan-serangannya
tidak merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Putut Nantang
Pati. Sekali-sekali ia menghindar, namun kemudian dengan
ragu-ragu ia mendesak gadis Menoreh itu.
"Pandan Wangi," berkata Putut Nantang Pati, "sebenarnya
kau tidak pantas melawan aku. Aku ingin perang tanding di
dalam arena ini melawan Ki Argapati. Sebaiknya kau tidak
usah mengganggu. Setelah aku selesai dengan Ki Argapati,
maka akan datang giliranmu. Tetapi aku tidak ingin
membunuh seorang gadis yang cantik seperti kau."
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi ia menyerang
semakin garang. Putut Nantang Pati akhirnya menjadi marah juga kepada
Pandan Wangi. Bahkan ia pun kemudian ingin menyingkirkan
gadis itu, atau menghentikan perlawanannya, meskipun ia
tidak ingin membunuhnya agar gadis itu tidak mengganggu
perkelahiannya dengan Ki Argapati.
Karena itulah, maka Putut Nantang Pati ingin memisahkan
Pandan Wangi dari ayahnya. Selagi mereka masih tetap
bertempur berpasangan, maka Pandan Wangi yang masih
belum memiliki ilmu setinggi ayahnya itu, seakan-akan mampu
mengisi kekurangan pada kaki Ki Argapati. Tetapi jika
keduanya terpisah, maka Putut Nantang Pati akan dapat
mengalahkannya. Tetapi Pandan Wangi pun mampu berpikir dengan baik.
Setiap kali Putut Nantang Pati memancingnya, maka Pandan
Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap berdiri
saja di sisi ayahnya dengan pedang rangkapnya. Dibiarkannya
Putut Nantang Pati yang meloncat menjauh yang seakan-akan
membiarkan dirinya diserang oleh Pandan Wangi.
Akhirnya Putut Nantang Pati benar-benar menjadi marah.
Karena itu ia tidak lagi mengekang diri. Karena ia merasa tidak
akan dapat lagi memisahkan gadis itu dari ayahnya, tiba-tiba
saja ia memberikan isyarat kepada anak buahnya, dan
berteriak, "Pisahkan gadis itu dari ayahnya."
Beberapa orang anak buahnya yang mendengar aba-aba
itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka mencoba
melepaskan lawan-lawannya dan beberapa orang berusaha
mendekati Pandan Wangi. Tetapi ternyata bahwa aba-aba itu merupakan aba-aba
juga bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan
terutama bagi Prastawa. Itulah sebabnya, maka mereka pun
memusatkan perlawanan mereka agar anak buah Putut
Nantang Pati tidak sempat menyerang Pandan Wangi yang
bertempur berpasangan dengan ayahnya Ki Argapati yang
tidak lagi memiliki kemampuannya yang utuh.
Dengan demikian pertempuran itu pun berkisar di seputar
Ki Argapati, sehingga dengan demikian maka ruang dari para
pengawal di kedua belah pihak itu pun menjadi sangat sempit.
Namun demikian keadaan itu justru menjadi berbahaya bagi
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, beberapa orang anak buah Putut Nantang
Pati yang berada di belakang garis pertempuran itu telah
mempersiapkan diri mereka dengan kapak dan beberapa
orang yang lain dengan anak panah. Jika pertempuran di
lembah itu bergeser karena Daksina menarik diri, maka
mereka harus menahan orang-orang Mataram dengan anak
panah mereka. Kemudian, membiarkan mereka lewat apabila
kedua pasukan itu telah terpisah, sementara itu orang-orang
lain harus memotong tali-tali pengikat batang-batang kayu
dengan kapak. Sebenarnyalah banwa Daksina tidak berhasrat untuk
bertempur lebih lama lagi. Korban telah berjatuhan, dan tidak
ada kemungkinan sama sekali untuk bertahan. Karena itu,
maka ia harus segera menarik diri melalui lembah yang
sempit. Jika sebagian pasukan Mataram itu telah dibinasakan
di lembah itu, maka sebagian yang lain akan dengan mudah
dikalahkan. "Mudah-mudahan Sutawijaya tetap hidup dan dapat kita
tangkap hidup-hidup," berkata Daksina di dalam hatinya.
Demikianlah maka Daksina pun akhirnya mengambil
keputusan untuk dengan perlahan-lahan mundur. Pasukan
Mataram itu harus mengikutinya sampai mereka masuk ke
dalam lembah yang sempit.
"Sutawijaya tentu ada di ujung pasukannya," berkata
Daksina di dalam hatinya. "Jika pokok-pokok kayu dan batubatu
itu menimpa bagian tengah dan ekor pasukan Mataram,
maka yang tersisa adalah bagian ujungnya bersama
Sutawijaya." Seperti yang sudah dijanjikan, jika Daksina mulai menarik
diri, maka ia akan memberikan isyarat kepada Putut Nantang
Pati, karena Putut itu pun harus menarik diri pula setelah
orang-orangnya selesai dengan tugasnya, meruntuhkan tebing
dengan pokok-pokok kayu dan batu-batu padas. Orang-orang
yang semula menunggui tali-temali dan mereka yang
menyandang anak panah akan dapat membantunya menahan
pasukan Ki Argapati. Apabila Ki Argapati mengejarnya terus,
selewat lembah yang sempit, maka pasukan Daksina yang
sudah kehilangan lawan itu akan membantunya
menghancurkan pasukan Menoreh itu.
Sejenak kemudian maka terdengar suara tanda di lembah.
Seseorang yang membawa kentongan kecil telah memukulnya
dengan irama titir. Selain isyarat kepada Putut Nantang Pati,
maka suara titir dari sebuah kentongan kecil itu pun
merupakan perintah bagi setiap orang untuk bersiap di
tugasnya masing-masing. Mereka yang berada di sebelahmenyebelah
tebing harus siap dengan kapak-kapak dan busur
mereka. Sedang pasukan yang ada di lembah itu harus
menarik diri dengan hati-hati melalui jalan yang sudah
ditentukan. Dan Putut Nantang Pati pun harus menyesuaikan
dirinya. Ketika isyarat itu berbunyi, maka pasukan Daksina pun
mulai mengatur diri. Sambil melakukan perlawanan sejauh
dapat mereka berikan, mereka pun mulai menarik dari.
Ternyata Sutawijaya dan orang-orang terpenting di dalam
pasukannya tidak dapat menerobos garis pertahanan yang
sengaja dibuat oleh pasukan yang sedang menarik diri itu,
karena Daksina adalah seorang yang memiliki ilmu melampaui
siapa saja di dalam pasukan Mataram. Kelompok-kelompok di
dalam pasukan pengawal Mataram tidak banyak berarti,
karena Daksina pun telah menyusun kekuatan serupa. Karena
itu yang dapat dilakukan oleh Sutawijaya adalah mendesak
lawannya dan menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya,
meskipun hal itu pun terlampau sulit dilakukan. Apalagi ketika
lembah semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Sejenak Sutawijaya memandang tebing dihadapannya.
Rasa-rasanya tebing itu akan bertemu diujung lembah. Namun
sebenarnyalah bahwa di antara kedua tebing itu terdapat
sebuah lembah yang sempit. Dan di sebelah-menyebelah
itulah beberapa orang lawan telah siap menunggu untuk
menjebaknya. Dalam pada itu, Putut Nantang Pati pun terpengaruh pula
oleh suara isyarat itu. Meskipun pasukannya tidak akan
dengan mudah didesak oleh pasukan Menoreh, apalagi
setelah kelemahan kaki Ki Argapati menjadi semakin parah,
namun ia harus menyesuaikan diri dengan seluruh gerakan
dari pasukannya. Karena itulah, maka pasukan Putut Nantang Pati itu pum
kemudian mulai mengundurkan diri perlahan-lahan. Mereka
tidak boleh melampaui anak buahnya yang akan menimbuni
lembah dengan pokok-pokok kayu dan batu-batu, karena
pasukannya harus melindungi mereka agar mereka dapat
melakukan tugasnya dengan baik.
Ketika pasukan lawan itu menarik diri, maka Ki Argapati
yang merasa dirinya terhimpit oleh kesulitan di kakinya itu
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar bahwa yang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi itu sebenarnya baru permulaan saja dari pekerjaan
mereka yang sulit. Meskipun demikian, bahwa pasukannya
berhasil melampaui babak pertama dari keseluruhan
perjuangan ini, membuatnya cukup berbesar hati.
"Ayah, isyarat itu meragukan," desis Pandan Wangi
kepada ayahnya ketika ia menolongnya maju mendekati
pasukan lawan yang menarik diri.
"Ya, memang menimbulkan kecurigaan. Tetapi berhatihatilah.
Tahan agar Prastawa tidak mendesak pasukan lawan
terlampau maju. Bahwa mereka mengundurkan itu perlu
diperhitungkan." "Mungkin pasukan Raden Sutawijaya berhasil mendesak
lawannya." "Mungkin. Dan kemungkinan yang lain pun dapat terjadi."
Pandan Wangi menyadarinya. Karena itu, maka ia pun
kemudian minta agar Prastawa mengendalikan pasukannya
untuk tidak mendesak lawan terlampau rapat. Selain isyarat
yang didengarnya itu dianggap meragukan, juga karena di
antara mereka masih ada Putut Nantang Pati.
"Apakah kita biarkan mereka terlepas dari tangan kita?"
"Apa boleh buat. Kekuatan kita tidak cukup untuk menahan
mereka. Jika kita memaksa diri, korban akan semakin banyak
berjatuhan. Apalagi Ayah agaknya telah terganggu oleh
perasaan sakit di kakinya."
Putut Nantang Pati pun menyadari, bahwa lawannya yang
terbatas itu tidak mendesaknya. Karena itulah maka ia merasa
mempunyai peluang yang cukup untuk mengatur orangorangnya
yang akan memotong tali dan mengubur pasukan
Mataram yang sedang ada di lembah.
Karena itu, maka Putut Nantang Pati pun tidak jadi
terlampau tergesa-gesa. Ia sendiri kemudian meninggalkan
pasukannya yang baru mundur setelah ia yakin bahwa Ki
Argapati dan anaknya tidak mengejarnya terus.
"Kalian bertahan di sini," perintahnya kepada anak
buahnya, "jika pasukan Menoreh itu mendesakmu, kalian
mundur saja perlahan-lahan. Sementara itu kita akan selesai
dengan tugas yang harus diperhitungkan dengan tepat itu, jika
kita terlalu cepat memotong tali, maka justru pasukan kitalah
yang akan terkubur di lembah."
Anak buah Putut itu pun mengerti, bahwa sebenarnyalah
yang dikerjakan oleh orang-orang yang memegang kapak itu
harus tepat. Karena itulah maka mereka pun menyadari,
bahwa mereka harus melindunginya baik-baik.
Tetapi karena pasukan Menoreh yang seakan-akan
kehilangan senopatinya itu tidak mengejarnya, maka mereka
pun tidak harus berjuang mati-matian. Namun di dalam
kesempatan itu mereka sempat menghitung kawan-kawannya
yang menjadi korban dan terluka.
Dalam pada itu, Putut Nantang Pati sendiri sudah berada
di antara mereka yang berada di lereng tebing di atas lembah
yang sempit itu. Sambil berlindung di balik pepohonan Putut
Nantang Pati memperhatikan setiap gerakan yang ada di
lembah. "Itulah mereka," desisnya, "pasukan Daksina sudah
mendekati lembah." Anak buahnya menjadi tegang.
"Biarlah mereka lewat. Mereka harus mundur sambil
mempertahankan diri. Jika ujung pasukan Mataram sudah
masuk, maka kalian harus melemparkan anak-anak panah
sehingga pasukan yang mendesak itu tertahan sejenak di
lembah. Biar sajalah jika sebagian ujung pasukan Mataram itu
lolos termasuk Sutawijaya. Kekuatan mereka tidak akan
berarti apa-apa, meskipun ditambah dengan orang-orang
Menoreh yang dipimpin oleh Argapati sendiri itu."
Anak buahnya tidak menjawab. Tetapi ketegangan telah
mulai merayapi dadanya. "Jika kalian mulai melepaskan anak panah, kalian harus
memperhitungkan, apakah orang-orang kita di tebing sebelah
juga melakukannya. Jika tidak, maka kita harus memberikan
isyarat. Mungkin mereka tidak memperhatikan yang tepat atau
barangkali mereka sedang lengah."
Demikianlah setiap saat rasa-rasanya dada mereka
semakin bergetar. Sebentar lagi mereka akan membuat
sebuah kuburan raksasa di lembah ini. Mereka tidak akan
sempat lari kemana pun, karena pokok kayu dan bebatuan itu
yang pertama-tama akan runtuh adalah bagian ujung dan
pangkal dari lembah yang sempit itu dari kedua belah pihak
tebing di sebelah-menyebelah.
Dalam pada itu Daksina berhasil menarik pasukannya
seperti yang direncanakan. Ia sendiri bertahan pada bagian
terakhir dari pasukannya yang bergerak mundur bersama
beberapa orang yang memang sudah ditentukan. Orang-yang
memiliki kemampuan melampaui orang-orang lain sehingga
mereka berhasil melawan Raden Sutawijaya dan para
pemimpin dari Mataram yang lain.
Ketika pasukan mereka mendekati mulut lembah yang
sempit, Sutawijaya sudah mulai diragukan oleh gerakan
lawannya. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan
terjadi di lembah yang sempit itu.
Namun Sutawijaya tidak mempunyai banyak kesempatan
untuk memperhitungkan keadaannya. Ia merasa bahwa
pasukannya akan mampu menghancurkan lawannya apabila
ada kesempatan. Kemungkinan yang terkilas di dalam hatinya
adalah bahwa Daksina ingin bertahan di mulut lembah yang
sempit agar pasukannya tidak terjebak dalam kepungan.
"Kita akan memanjat tebing meskipun agak curam," desis
Sutawijaya di dalam hatinya, karena menurut perhitungannya,
tebing itu masih dapat dipanjat.
Daksina yang membawa pasukannya mundur itu pun
menjadi berdebar-debar. Jika orang-orang di atas tebing itu
salah membuat perhitungan, maka rencana itu akan gagal.
Beberapa potong kayu yang membujur tidak akan dapat
berguling dengan cepat. Mungkin beberapa bongkah batu
yang sudah dipersiapkan, dengan satu dorongan akan dapat
berguling dengan cepat dan meruntuhkan batu-batu padas
dan mendorong pokok-pokok kayu untuk meluncur semakin
cepat di atas batu-batu di tebing. Pohon-pohon perdu yang
tumbuh di lereng itu tentu tidak akan dapat menahan
meluncurnya kayu dan batu.
Perlahan-lahan Daksina pun kemudian memasuki lembah
yang sempit. Sebagian dari pasukannya sudah
mendahuluinya. Sedang Daksina sendiri bersama orang
terpilih masih bertahan beberapa saat di mulut lembah itu.
Pada saat itulah, maka Putut Nantang Pati yang
memperhatikan perkelahian itu dari atas tebing sambil
berlindung di balik pepohonan mulai memperhatikan keadaan.
Dengan tegang ia mengikuti setiap gerakan yang dilakukan
oleh Daksina. Selangkah demi selangkah Daksina dan
beberapa orang terpilih itu mundur masuk ke dalam lembah
sempit itu. "Pisahkan pasukan Mataram itu dengan Daksina."
"Perkelahian itu masih terjadi."
"Jangan pada garis pertempuran. Biar saja Sutawijaya dan
orang pentingnya mendesak. Tetapi pasukannya harus kalian
hentikan agar ada sedikit jarak. Apabila mereka maju lagi dan
pangkal pasukannya itu sudah berada di ujung lembah, maka
tali yang pertama harus dipotong. Kayu yang besar dan
melintang itu akan menggelinding, disusul oleh tali-tali yang
lain dan batu-batu yang harus didorong."
Pembantu Putut Nantang Pati itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Siapkan orang-orangmu yang membawa panah," desis
Putut Nantang Pati. Demikianlah ketika Sutawijaya mendesak lebih jauh,
sehingga sebagian besar dari pasukannya sudah berada di
lembah yang sempit, Putut Nantang Pati pun menjatuhkan
perintah, dan meluncurlah anak panah dari tebing itu.
Serangan itu mengejutkan anak buah Sutawijaya. Tetapi
segera mereka menyesuaikan diri. Yang berperisai segera
melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi para pengawal di
sebelah-menyebelahnya. Sedang yang tidak berperisai
berusaha menangkis anak panah itu dengan senjata yang ada
pada mereka. Dengan demikian maka kemajuan pasukan
Mataram itu mulai terhambat. Beberapa orang yang lengah,
tersentuh oleh ujung anak panah sehingga kulit mereka pun
terluka. Namun agaknya orang-orang yang berdiri di atas tebing itu
tidak berani meluncurkan anak panahnya pada pasukan
pengawal Mataram yang justru sedang bertempur. Karena
dengan demikian anak panah itu akan dapat mengenai kawan
mereka sendiri. Para pengawal Mataram itu pun kemudian menjadi marah
kepada orang-orang di tebing. Beberapa orang dari mereka
yang membawa busur dan anak panah, segera mendapat
perlindungan dari kawan-kawannya yang berperisai, dan
melontarkan serangan balasan dengan anak panah pula.
Serangan balasan itu berhasil mengurangi deras anak panah
lawannya, karena orang-orang yang berdiri di tebing itu pun
harus menyerang sambil berlindung pula.
Tetapi yang penting bagi Putut Nantang Pati adalah,
bahwa orang-orangnya berhasil mengurangi laju desakan para
pengawal Mataram. Bahkan dengan serangan itu mereka
telah berhasil memisahkan bagian dari pasukan Mataram itu
dengan pemimpin-pemimpinnya yang masih saja mendesak
sambil bertempur. "Apakah kita meluncurkan pokok-pokok kayu dan batu
sekarang?" bertanya salah seorang anak buah Putut Nantang
Pati. "Biarlah mereka masuk ke dalam lembah seluruhnya,"
jawab Putut Nantang Pati.
Namun demikian, agaknya ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Ternyata anak buahnya yang ada di tebing
seberang tidak melemparkan anak panah mereka ke dalam
lembah itu seperti yang diharapkan.
"Kenapa hanya satu dua orang saja yang meluncurkan
anak panah dari tebing seberang?" bertanya Putut Nantang
Pati. Orang yang ditanya itu menggelengkan kepalanya.
Katanya, "Aku tidak tahu. Seharusnya mereka dapat
meluncurkan anak panah lebih banyak lagi."
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Mungkin mereka merasa bahwa kita sudah cukup
banyak melemparkan anak panah dan berhasil memisahkan
ujung dan tubuh pasukan pengawal yang harus menyusuri
jalan sempit dan agak sulit itu, sehingga sebagian dari mereka
menyiapkan diri untuk memotong kayu melemparkan batubatu
padas itu." "Mungkin, memang mungkin sekali," jawab yang diajak
berbicara. Putut Nantang Pati pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia bahkan kemudian yakin bahwa memang
demikianlah yang terjadi. Tali temali dan batu-batu itu
sebaiknya memang harus diluncurkan serentak. Yang lebih
cepat akan menimpa orang-orang Mataram itu adalah
bebatuan. Baru kemudian pokok-pokok kayu yang malang
melintang sehingga mereka tidak akan sempat melarikan diri
kemana pun juga. Sementara itu, pasukan pengawal Menoreh yang ada di
atas tebing, terkejut pula melihat anak panah yang meluncur
ke lembah memotong pasukan pengawal dari Mataram.
Karena itu, maka Ki Argapati yang terganggu oleh kakinya itu
pun menjadi tegang. "Ayah," berkata Pandan Wangi, "bagaimana dengan
penyerang-penyerang itu?"
Ki Argapati termenung sejenak. Ia sadar, bahwa orangorang
yang bersenjata panah itu ada di belakang pasukan
Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri. Pasukan kecil itu
tentu akan menutup jalan apabila pengawal Menoreh
berusaha menghentikan serangan anak panah itu.
"Ayah, kita tidak akan dapat tinggal diam."
"Ya. Kita tidak akan dapat tinggal diam," sahut Prastawa.
"Benar. Tetapi kita harus menemukan jalan untuk
menghentikannya. Adalah terlalu sulit untuk menembus orangorang
yang menahan kita di sini. Pimpinannya adalah orang
yang cukup tangguh. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan
dapat terjerat pula karenanya."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Tatapan matanya
merayap memanjat tebing. Tetapi tebing itu semakin tinggi
menjadi semakin curam. Bahkan seakan-akan batu-batu
padas di atas mereka merupakan sebuah dinding yang tegak.
"Kita tidak dapat menyerang dari tempat yang lebih tinggi,"
berkata Prastawa. "Ya," desis Pandan Wangi, lalu, "bagaimana kalau kita
maju terus, Ayah" Setidak-tidaknya kita dapat memecah
perhatian mereka jika terjadi pertempuran."
"Tetapi orang yang memimpin perlawanan itu berbahaya
bagimu, Pandan Wangi."
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak
dapat membiarkan hal itu terjadi.
Tiba-tiba saja Prastawa yang melihat anak panah
meluncur ke lembah itu berkata mengejut, "Aku tahu. Kita
menyerang mereka dari tempat ini."
"Maksudmu?" "Kita mendekat sedikit. Kita menyerang mereka dengan
anak panah pula. Yang ada pada kita saja, sekedar untuk
mengurangi tekanan atas para pengawal Mataram itu."
Pandan Wangi berpikir sejenak, lalu, "Tidak banyak
gunanya. Tetapi ada baiknya juga."
"Cobalah," berkata Ki Argapati.
Prastawa pun segera menyiapkan beberapa orang yang
membawa busur dan anak panah. Kemudian mereka
melontarkan anak panah mereka melampaui para pengawal
Padepokan Putut Nantang Pati yang melindungi orangorangnya
yang sudah siap dengan kapak.
Namun sementara itu, pasukan Sutawijaya sudah semakin
dalam masuk kelembah yang sempit itu. Ternyata pengaruh
anak panah yang dilontarkan oleh pengawal Menoreh tidak
begitu terasa pengaruhnya oleh Putut Nantang Pati yang
sudah siap menjatuhkan perintah memotong tali-tali pengikat
kayu dan bebatuan.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, Sutawijaya yang tidak menduga sama
sekali bahwa di atas tebing sebelah-menyebelah telah
disiapkan batang-batang kayu dan bebatuan untuk mengubur
pasukannya, masih selalu mendesak. Sutawijaya pun tahu
bahwa sebagian pasukannya di bagian belakang telah
tertahan. Tetapi ia tidak mau melepaskan Daksina, sehingga
ia berusaha untuk mendesak terus. Menurut perhitungannya,
jika mereka sudah lewat leher lembah yang sempit itu, maka
ia akan mendapat kesempatan untuk bertempur bersama
anak buahnya lagi seperti yang sudah terjadi.
Selagi Sutawijaya dan para pemimpin pasukan pengawal
Mataram berhasil mendesak lawannya terus, maka bagian
dari pasukannya yang ada di belakang benar-benar tertahan
oleh anak panah yang meluncur dari tebing sebelahmenyebelah.
Tetapi yang dari arah pasukan yang di pimpin
oleh Argapati-lah serangan itu datang jauh lebih banyak. Dari
tebing sebelah hanya ada beberapa anak panah sajalah yang
meluncur, dan itu pun hampir tidak menyentuh sasaran sama
sekali. Namun pasukan pengawal dari Mataram itu pun sama
sekali tidak menduga bahwa ditebing itu pun pokok-pokok
kayu dan bebatuan siap untuk meluncur menimpa tubuh
mereka sampai hancur. Demikianlah, ketika pasukan Mataram itu seluruhnya
sudah masuk ke dalam lembah yang sempit itu, maka Putut
Nantang Pati mulai mengangkat tangannya tanpa
menghiraukan serangan anak panah dari anak buah Argapati.
Meskipun anak panah itu akhirnya terasa mengganggu juga.
Berbareng dengan itu, orang-orangnya pun mulai
mengangkat kapaknya pula, siap untuk memotong tali-temali.
"Bunyikan tanda itu, kita akan memotong tali. Mereka
seluruhnya sudah masuk," teriak Putut Nantang Pati.
Sejenak kemudian maka terdengar suara kentongan yang
berteriak lima ganda. Suatu pertanda bahwa mereka, harus
mulai memotong tali-tali.
Sesaat kemudian tangan Putut Nantang Pati itu pun
terayun turun, sehingga beberapa orang yang memperhatikan
tangan itu pun mengayunkan kapak mereka pula memotong
tali-temali yang mengikat batang-batang kayu yang siap
meluncur. Yang lain mendorong batu-batu padas sehingga
batu-batu itu mulai bergeser setapak demi setapak dan ketika
batu itu sudah sampai di bibir tebing, maka dengan suara
gemuruh batu-batu itu berguling turun.
Namun pada saat yang bersamaan, terdengar suara
cambuk meledak. Sesaat kemudian terdengar beberapa orang
berteriak berbareng seperti diatur, "Naik ke tebing kiri. Cepat
sebelum kalian terkubur di lembah."
Sekali dua kali suara itu tidak segera dimengerti. Tetapi
kemudian mereka pun mendengar suara gemuruh di tebing
sebelah kanan. Beberapa pohon perdu di atas tebing itu
tampak terguncang, dan debu berhamburan.
Dalam waktu yang singkat mereka menyadari apa yang
sedang mereka hadapi. Tebing yang tinggi itu bagaikan runtuh
menimpa mereka dan mengubur mereka di lembah yang
sempit itu. Tetapi dalam kecemasan itu mereka mendengar suara itu
lagi, "Cepat naik ke tebing kiri."
Suara cambuk itu agaknya menjadi jaminan, bahwa yang
berteriak itu bukannya sekedar orang-orang yang dengan
sengaja menjebak mereka, tetapi suara itu pasti datang dari
Kiai Gringsing atau murid-muridnya.
Karena itu, maka mereka pun tidak berpikir panjang lagi.
Selagi batu dan batang-batang kayu itu belum menimpa
kepala mereka, maka mereka pun segera berloncatan
memanjat tebing sebelah kiri secepat dapat mereka lakukan.
Bukan saja orang-orang yang terpisah di belakang, tetapi juga
orang-orang yang sedang bertempur di bagian depan,
sehingga dengan demikian, maka seakan-akan Daksina telah
ditinggalkan begitu saja oleh lawan-lawannya. Bagi pengawal
Mataram, memang lebih baik bertempur melawan Daksina
dan Panembahan Agung sekali pun daripada harus bertempur
melawan tebing-tebing yang runtuh.
Daksina sejenak tercenung mendengar suara yang
bergemuruh itu. Tetapi ia pun segera terkejut ketika
mendengar teriakan dari tebing sebelah dengan pertanda
ledakan cambuk, bahwa orang-orang Mataram itu supaya
memanjat saja ke tebing kiri.
"Apakah sebenarnya yang sudah terjadi?" ia bertanya
kepada diri sendiri. Tetapi yang terjadi adalah sedemikian cepatnya. Begitu
orang-orang Mataram itu mulai naik, maka batu-batu pun
runtuh bersama batang-batang kayu. Bukan saja yang
memang sudah dipersiapkan, tetapi batu-batu tebing yang
tertimpa pun ikut runtuh pula.
Satu dua orang yang tidak sempat meloncat naik, hampir
saja ditimpa oleh reruntuhan itu jika kawan-kawannya tidak
cepat menyambar tangannya dan menyeretnya naik meskipun
hanya selangkah dua langkah.
Namun reruntuhan itu bukannya tidak menelan korban.
Dan itulah yang membakar hati Sutawijaya dan para pemimpin
pasukan dari Mataram. Sutawijaya yang pula memanjat
tebing, dapat menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa
ada di antara anak buahnya yang dengan teriakan nyaring
ditelan oleh gumpalan batu padas.
Tetapi bahwa reruntuhan itu hanya datang dari tebing yang
sebelah, telah mengejutkan Daksina dan anak buahnya. Juga
Putut Nantang Pati yang berdiri di tebing. Ia tidak segera
mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Usaha yang
sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya itu, ternyata tidak
berhasil memusnakan sebagian besar prajurit Mataram.
Bahwa ada juga korban di antara mereka, namun sama sekali
tidak berarti. Kekuatan pasukan pengawal Mataram hampir
tidak berkurang sama sekali. Kekuatan mereka ternyata masih
tetap utuh. Tetapi meskipun Daksina dicengkam oleh keheranan atas
anak buahnya di tebing sebelah, bahkan dari tebing itu
terdengar suara cambuk dan isyarat agar orang-orang
Mataram naik ke tebing sebelah kiri, namun ia tetap
melaksanakan rencananya. Mundur ke belakang leher lembah
yang sempit. Pasukan Mataram yang kemudian bertengger di lereng
tebing tidak banyak dapat berbuat. Lembah itu masih di saput
oleh debu yang tebal, dan sekali-sekali masih terdengar batu
dan pokok-pokok kayu yang runtuh.
Ketika suara yang gemuruh di lembah itu sudah tenang,
maka debu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Orangorang
Mataram mulai dapat melihat, apa yang kini ada di
lembah itu. "Mengerikan sekali," desis Ki Lurah Branjangan.
Sutawijaya memandang pokok-pokok kayu yang malang
melintang dan batu-batu padas yang menimbuni lembah
sempit itu dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan
tiada terhingga. Dengan suara gemetar ia berkata, "Hampir
saja kalian berkubur di lembah itu. Mungkin aku yang berada
di garis pertempuran tidak akan tertimbun karena mereka tidak
ingin menimbun orang-orang mereka sendiri. Tetapi sebagian
besar dari kita tidak akan sempat dapat keluar dari lembah
ini." Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika ia mengedarkan tatapan matanya memandang para
pengawal Mataram yang masih di tebing, tampaklah wajah
mereka yang pucat dan perasaan yang bergejolak, betapa pun
keberanian mendasari perjuangan mereka, tetapi yang
disaksikannya adalah peristiwa yang mengerikan sekali. Dan
mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin
berperang melawan pokok-pokok kayu dan bebatuan yang
runtuh itu. Sehingga dengan demikian maka sebagian dari
mereka akan musna di bawah reruntuhan itu.
Di atas tebing, Ki Argapati dan anak buahnya menjadi
termenung pula beberapa lamanya. Mereka melihat tebing
yang bagaikan disapu oleh arus banjir bandang. Pohon perdu
dan gerumbul-gerumbul di tebing telah larut oleh arus pokokpokok
kayu dan batu-batu padas yang sengaja digulingkan
oleh orang-orang Putut Nantang Pati.
Demikian dahsyatnya reruntuhan di tebing itu, sehingga
segenap perhatian seluruh pasukan Ki Argapati tertumpah
pada debu putih dan suara gemuruh. Dengan demikian
mereka tidak sempat memperhatikan, bahwa Putut Nantang
Pati dan anak buahnya pun telah menarik diri pula.
"Apakah kita akan turun?" bertanya Pandan Wangi.
"Ya," jawab ayahnya, "kita mencari jalan. Kita harus
menemui Raden Sutawijaya."
"Kita melingkari daerah yang runtuh itu," berkata Prastawa.
"Tetapi bagaimana dengan kaki Ayah?"
"Kita turun perlahan-lahan," jawab ayahnya.
Dengan dibantu oleh Pandan Wangi dan Prastawa maka
Ki Argapati pun kemudian melingkari daerah yang runtuh itu
turun ke lembah. Meskipun agak sulit, tetapi akhirnya ia
sampai juga ke lembah yang sempit yang sudah ditimbuni
oleh pokok-pokok kayu dan batu.
Sutawijaya yang melihat Ki Argapati itu pun turun pula.
Dengan wajah yang tegang ia memandang reruntuhan itu
sambil berdesis, "Lembah ini ternyata telah menjadi kuburan
beberapa orang anak buahku."
"O," Ki Argapati mengangguk perlahan, "rasa-rasanya bukit
ini akan runtuh. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa
mereka telah menyiapkan jebakan. Aku kira mereka hanya
akan menyerang dengan anak panah dari atas tebing,
sehingga yang kami lakukan pun tidak berhasil mencegah
tebing ini runtuh." Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kita memang tidak menyangka. Tetapi kita masih dilindungi
oleh Maha Pencipta. Agaknya Kiai Gringsing menemukan cara
untuk menyelamatkan kita."
Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Ketika ia
memandang ke atas tebing, maka dilihatnya Kiai Gringsing
dan beberapa orang anak buahnya bersama Agung Sedayu
dan Swandaru menuruni tebing.
"Terima kasih atas peringatan yang Kiai berikan kepada
kami sehingga kami sempat menghindarkan diri," berkata
Sutawijaya kepada Kiai Gringsing ketika orang tua itu telah
berada di lembah itu pula.
"Tetapi lembah ini masih tetap berbahaya. Beberapa orang
pengawal dari Menoreh tetap berada di atas tebing untuk
mengawal daerah ini dan beberapa orang tawanan."
"Maksud Kiai?" "Bukankah Daksina menyiapkan orang-orangnya di
sebelah-menyebelah tebing?"
"Ya. Kami mendapat serangan anak panah dari kedua
tebing" "Kamilah yang melemparkan anak panah itu agar Daksina
dan orang-orangnya, apalagi yang ditebing seberang tidak
curiga bahwa kami telah berhasil menguasai orang-orangnya.
Meskipun anak panah kami tidak mengenai sasaran, tetapi
mereka menganggap bahwa anak buah mereka masih tetap
ada di tempatnya." Sutawijaya dan Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka mulai mengerti, apa yang sudah dikerjakan
oleh Kiai Gringsing. Namun mereka menjadi tegang karena
Kiai Gringsing berkata kemudian, "Sebaiknya kita
meninggalkan lembah ini. Aku ingin meruntuhkan batu-batu
padas dan batang-batang kayu yang ada di tebing kiri."
"Jadi ditebing itu juga ada batang-batang kayu dan batubatu
yang siap mereka luncurkan?"
"Ya. Jika rencana mereka berhasil, maka pasukan
Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dari dua tebing
sebelah-menyebelah, batang-batang kayu dan batu-batu
meluncur menimbuni lembah itu bersama seluruh pasukan
pengawal dari Mataram. Dan tamatlah usaha kita untuk
membebaskan Rudita."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada
yang berdebar-debar ia memandang ke tebing di sebelah kiri.
Tidak tampak sesuatu yang dapat memberikan kesan, bahwa
di tebing itu masih bergayutan nafas-nafas maut yang sudah
siap menerkam mereka. "Marilah," berkata Sutawijaya kemudian, "kita berjalan
maju. Meskipun dengan demikian kita sudah terpisah dari
Daksina dan anak buahnya, namun kita akan dapat
menyelusur jejaknya. Kita akan menemukan
persembunyiannya, dan barangkali juga Rudita."
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing, "tetapi kita sekarang
mempunyai beban beberapa orang tawanan. Beberapa orang
yang lain terpaksa dimusnakan, karena mereka melawan dan
berusaha memberikan isyarat. Namun selain itu, aku
berpendapat, bahwa batu dan batang-batang kayu itu
sebaiknya diruntuhkan saja sama sekali agar tidak berbahaya
bagi siapa pun juga kelak. Karena tali-tali itu semakin lama
akan menjadi semakin rapuh, sehingga pada suatu ketika
akan putus dengan sendirinya. Apabila pada saat itu ada
orang di lembah ini, siapa pun juga, maka batu dan kayu itu
akan berbahaya bagi mereka."
Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Kiai.
Marilah kita menyingkir. Biarlah batu dan kayu-kayu itu
diruntuhkan sama sekali."
Demikianlah maka mereka pun segera menyingkir.
Beberapa orang kemudian memotong tali temali yang
mengikat batang-batang kayu dan mendorong batu-batu yang
memang sudah dipersiapkan.
Tebing pegunungan itu bagaikan diguncang oleh gempa.
Sekali lagi debu mengepul di udara. Dan batu-batu padas pun
hanyut menimbuni lembah yang sempit itu.
Sutawijaya adalah seorang anak muda yang hampir tidak
mengenal takut. Tetapi ketika ia melihat batang-batang kayu
dan batu-batu padas yang tertimbun itu, rasa-rasanya ia
menjadi terlampau kecil. Terasa betapa perkasanya alam, dan
siapa yang berhasil menjinakkannya dan mempergunakannya,
maka ia akan mendapat kekuatan yang tidak terlawan. Bukan
saja pasukan berkuda dari Mataram yang terpilih, tetapi
pasukan yang mana pun juga dari permukaan bumi ini, tidak
akan mampu melawan batu-batu padas dan batang-batang
kayu yang meluncur itu selain keajaiban.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita perlu beristirahat," berkata Sutawijaya setelah getar di
dadanya, "terutama agaknya Ki Gede Menoreh mulai
diganggu oleh perasaan sakit di kakinya."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
dapat ingkar lagi. "Baiklah," katanya, "kakiku memang mulai mengganggu."
Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya. Perlahanlahan
dirabanya kakinya, dan katanya, "Ya. Kita memang
perlu beristirahat."
Untuk beberapa lamanya pasukan yang kemudian telah
bergabung kembali itu pun beristirahat. Dalam kesempatan itu
Kiai Gringsing mencoba mengurangi perasaan sakit pada kaki
Ki Argapati dengan memberikan sejenis serbuk yang harus
dicairkannya lebih dahulu.
Dengan air persediaan untuk minum yang dibawa oleh
para pengawal yang bertugas untuk menyiapkan perbekalan,
maka serbuk itu pun kemudian diaduk di dalam air dari
digosokkan pada kaki yang sakit itu.
Terasa kaki itu menjadi panas. Namun kemudian perasaan
sakit itu pun menjadi semakin berkurang, meskipun hanya
untuk sementara. "Kita masih harus menempuh jalan yang panjang," berkata
Sutawijaya kemudian. "Ya. Kita akan menghadapi garis pertahanan yang tentu
akan disusun oleh Daksina."
"Ya, dan tetindih pasukan kecil yang menghentikan
pasukan kami," sahut Ki Gede Menoreh, "ternyata adalah
orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Aku tidak
dapat mengalahkannya."
Mereka yang mendengar keterangan itu terkejut. Namun
Pandan Wangi menjelaskan, "Tetapi Ayah tidak saja melawan
orang itu, tetapi Ayah juga harus melawan perasaan sakit di
kakinya." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi sebenarnyalah orang itu memiliki ilmu yang tinggi,"
sahut Ki Argapati, "agaknya ia lebih baik atau setidak-tidaknya
mempunyai ilmu yang setingkat dengan Daksina."
"Ya," sambung Pandan Wangi.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang
dihadapi agaknya benar-benar suatu gerombolan yang sudah
dipersiapkan. Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Sumangkar yang
sedang menempuh perjalanan yang berat di lereng tebingtebing
yang terjal, tiba-tiba terhenti. Agaknya ada sesuatu
yang mengganggu perasaan Ki Waskita sehingga untuk
beberapa saat ia berdiri sambil memejamkan matanya.
Ki Sumangkar yang mengerti bahwa Ki Waskita sedang
mencoba menghubungkan getaran di dalam dirinya dengan
alam luas di sekitarnya, sama sekali tidak mengganggunya.
"Ki Sumangkar," tiba-tiba Ki Waskita berdesis, "ada
sesuatu yang perlu diperhatikan."
"Apakah itu?" "Aku tidak tahu. Tetapi pasukan Mataram memang perlu
mendapat peringatan. Mungkin aku menangkap isyarat,
bahwa mereka akan menghadapi rintangan yang berat. Aku
kira aku hanya dicemaskan oleh kegelisahanku. Tetapi aku
ternyata mendapatkan isyarat itu. Bahaya yang besar yang
berlapis-lapis." Ia berhenti sejenak. "O, isyarat itu menjadi
kabur. Aku akan berhenti di sini sejenak untuk menemukannya
kembali." Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. Ia pun menjadi
berdebar-debar. Meskipun pasukan itu adalah pasukan yang
cukup kuat, namun lawannya pun adalah lawan yang kuat
pula. Sejenak Ki Waskita berdiri diam. Kepalanya tunduk dan
tangannya bersilang di dada.
"Mereka telah melepaskan diri dari bahaya yang besar,
yang hampir saja memusnakan seluruh pasukan," Ki Waskita
seakan-akan bergumam untuk diri sendiri. Kepalanya masih
tertunduk dan matanya masih terpejam. "Tetapi itu bukannya
rintangan yang terakhir."
Ki Sumangkar tidak menjawab. Tetapi wajahnya pun
menjadi tegang pula. Sejenak kemudian ayah Rudita itu menarik nafas dalamdalam.
Kemelut Di Majapahit 8 Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan Insan Tanpa Wajah 1
^