Api Di Bukit Menoreh 5
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5
pula. Agung Sedayu dan Swamdaru pun telah tegak pula di
belakang gurunya. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang.
Namun mereka masih berusaha untuk menahan diri. Mereka
masih belum tahu benar, apakah yang akan dilakukan oleh
gurunya. "Cobalah dengar," berkata Kiai Gringsing, "aku masih ingin
mendapat kesempatan sekali lagi atas tanggung jawabku
sendiri. Aku yakin bahwa pada suatu saat aku akan dapat
ber"kata kepada mereka dalam suasana yang sebaik-baiknya.
Aku yakin bahwa Kiai Damar bukan seorang pembohong."
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu mengerutkan
kening"nya, "Kenapa kau singgung-singgung nama Kiai
Damar." "Ya, Kiai Damar adalah seorang dukun sakti yang mampu
berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Bukankah semua
orang sudah mengenalnya, meski pun belum mengenal
namanya." Orang yang tinggi kekar itu tidak menyahut. Tetapi ketika
Kiai Gringsing mengedarkan tatapan matanya, maka setiap
orang yang dipandanginya menganggukkan kepalanya.
"Nah, aku yakin akan hal itu. Yakin bahwa Kiai Damar
adalah seorang yang dapat dipercaya."
Orang yang tinggi besar itu tampak termangu-mangu.
"Bukankah begitu?"
"Apa katanya?" bertanya orang itu.
"Ketika aku datang kepadanya untuk minta obat bagi
anakku, ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah
sebab"nya aku percaya sepenuhnya kepadanya."
"Apa yang diketahuinya."
"Ia berkata kepadaku saat itu "Pulanglah, anakmu akan
sembuh dengan sendirinya." Ternyata anakku benar-benar
telah sembuh. Sudah tentu setelah Kiai Damar berbicara
dengan hantu-hantu." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Di
dalam per"soalan tanah garapan itu pun Kiai Damar sudah
berbicara dengan mereka menurut keterangan Kiai Damar."
"Bohong!" "Sebenarnya aku tidak boleh mengatakannya kepada siapa
pun sebelum aku berhasil."
"Apa?" "Pada saatnya akan aku katakan. Tetapi di antaranya dapat
kalian ketahui, bahwa Kiai Damar menganjurkan aku bekerja
terus. Bekerja menurut petunjuknya."
"Apa petunjuk itu?"
"Sudah aku katakan, pada saatnya kalian akan
mengeta"hui. Aku takut mengatakannya sekarang."
Orang yang kekar itu menjadi ragu-ragu sejenak.
"Ada sesuatu yang harus aku lakukan di tanah garapan itu."
"Kau membual." "Aku akan menghadap Kiai Damar sekali lagi. Kalau aku
memang tidak diijinkan untuk meneruskan kerja ini, maka
biarlah persoalannya akan aku serahkan kembali kepada Kiai
Damar." Orang yang tinggi kekar itu menjadi semakin ragu-ragu.
"Atau apakah ada di antara kalian yang akan bertanya
kepadanya" Aku akan berterima kasih kalau seseorang
memerlu"kan membuktikan kebenaran kata-kataku."
Sejenak orang-orang yang mengerumuninya itu terdiam.
Orang yang tinggi itu pun terdiam pula. Tanpa sesadarnya ia
berpaling memandang orang yang kekurus-kurusan. Tetapi
wajah orang yang kekurus-kurusan itu pun membayangkan
keragu-raguan pula. "Baiklah," tiba-tiba orang yang kekar itu berkata, "kalau kau
memang sudah mendapat suatu pesan dari Kiai Damar.
Tetapi kalau kau berbohong maka lehermu menjadi taruhan."
Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kenapa hantu-hantu
itu marah?" "Mungkin ada persoalan lain yang tidak kita mengerti.
Hantu-hantu itu pasti tidak akan mempersoalkan kerjaku lagi.
Kerja yang sudah mendapat ijin mereka atau setidak-tidaknya
sepengeta"huan mereka."
Orang yang tinggi kekar itu masih berdiri di tempatnya.
Na"mun kemudian ia menggeram, "Kita akan membuktikan,
apakah kau sekedar berbohong, atau sebenarnya memang
demikian. Kita akan melihat akibat selanjutnya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
bersungguh-sungguh ia memandang orang yang tinggi kekar
itu. Kemudian kepada wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
"Aku tidak berbohong," ia berdesis.
Orang yang tinggi kekar tidak menyahut lagi. Dengan
mengumpat-umpat ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing dan
kedua anak-anaknya. Sepeninggal orang yang tinggi kekar itu, maka beberapa
orang masih tetap mengerumuninya. Namun kemudian
seorang demi seorang mereka pun meninggalkannya.
Ketika tidak banyak lagi orang yang berdiri di dekat Kiai
Gringsing maka seseorang telah bertanya, "Apakah kau
berkata sebenarnya?"
Kiai Gringsing yang tidak mengenal orang itu sampai ke
dalam jantungnya mengangguk dan menjawab, "Ya, tentu aku
berkata sebenarnya."
"Dan kau masih akan mencoba seperti yang kau katakan?"
"Ya." "Berbahaya sekali."
"Aku yakin Kiai Damar akan melindungi aku."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahanlahan
melangkah meninggalkan Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing kemudian bersama-sama kedua muridmuridnya
duduk kembali di tempatnya. Sejenak mereka saling
berdiam diri. Na"mun demikian Kiai Gringsing menyadari
betapa kedua murid-muridnya telah menahan hati mereka.
"Pada suatu saat, dada ini akan meledak," desah
Swandaru. Kiai Gringsing tersenyum. Dilihatnya beberapa orang telah
berbaring kembali di tempatnya.
"Suatu latihan kesabaran yang paling baik, Swandaru."
"Tetapi sampai kapan?"
"Sampai pada suatu saat yang tidak akan lama lagi."
"Saat yang tidak akan lama lagi itu adalah suatu waktu
yang tidak dapat dibayangkan."
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Agung Sedayu yang tidak bertanya apa pun itu kemudian
berbaring pula. Betapa darahnya serasa mengalir semakin
cepat, namun ia masih tetap mencoba menguasai
perasaannya. Swandaru pun kemudian menyusulnya pula. Berbaring di
sampingnya agak berdesak-desakkan. Sedang Kiai Gringsing
duduk bersandar dinding sambil memandang orang-orang
yang sudah mulai mencoba untuk dapat tidur kembali.
"Kasihan. Jiwa mereka bagaikan daun kering yang
di"ombang-ambingkan gelombang di permukaan wajah
lautan. Tidak menentu dan sama sekali tanpa pegangan."
Tetapi Kiai Gringsing masih belum dapat berbuat apa-apa.
Yang dapat dilakukannya adalah mengusap dadanya dengan
pe"nuh iba. "Mudah-mudahan kalian tidak akan lebih lama lagi
mengalami tekanan perasaan serupa itu," ia berkata di dalam
hatinya. Ternyata sisa malam sudah tidak terlampau panjang lagi.
Sejenak kemudian langit di ujung Timur pun telah mulai
menjadi kemerah-merahan. Barak itu pun tidak lama kemudian menjadi terbangun pula
karenanya. Beberapa orang dengan sikap ragu-ragu telah
keluar dan turun ke halaman. Seorang demi seorang mereka
pergi ke sumur dan ke parit yang tidak begitu jauh dari barak
itu. Namun bagaimana pun juga mereka masih terap
dibayangi oleh ketakutan apabila mereka teringat kepada
suara-suara hantu semalam.
"Tetapi hantu-hantu tidak akan mau menampakkan dirinya
setelah ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya," berkata
mereka di dalam hati untuk menenteramkan perasaan masingmasing.
Demikianlah maka pada saatnya mereka pun telah
mening"galkan barak dan gardu pengawas pergi ke tempat
kerja masing-masing sambil membawa rangsum masingmasing.
Demikian juga Kiai Gring"sing dan kedua muridnya.
Mereka pun telah pergi ke tempat kerja mereka, yang sampai
saat terakhir masih menjadi persoalan.
"Kalau mereka berhasil mengusir kita dan setiap orang
yang akan melanjutkan kerja ini, maka lambat laun mereka
akan berhasil mengusir orang-orang yang berada di dalam
barak itu pula dengan cara mereka. Semakin lama maka
semakin tipislah usaha untuk memperluas tanah garapan ini,
sehingga pada suatu saat, maka hantu-hantu itu akan masuk
ke tempat-tempat yang lebih ramai dan mengusir orang-orang
dari daerah Mataram yang sedang dibangun ini," berkata Kiai
Gringsing kepada murid-muridnya. Lalu, "Ka"rena itu, apa pun
yang akan terjadi, kita harus tetap bertahan. Mungkin kita
memang harus berkelahi dengan hantu-hantu itu. Te"tapi apa
boleh buat." Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang sangat menarik sekali apabila pada suatu saat
mereka dapat berkelahi dengan hantu-hantu yang telah
mencoba mengganggu ketenteraman orang-orang yang
sedang membuka hutan itu.
"Guru," tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "supaya kita
dapat berbuat lebih leluasa, bagaimanakah kalau kita minta
ke"pada para pengawas untuk dapat tinggal di gubug-gubug
kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya itu" Kita dapat
berbuat se"suai dengan rencana kita sendiri tanpa ada orang
yang meng"halanginya, dan sudah tentu, kita tidak akan
mengganggu dan menggelisahkan orang di dalam barak itu
apabila kita dikatakan telah membuat hantu-hantu itu marah
yang kemarahannya akan me"nimpa semua orang di dalam
barak itu." Kiai Gringsing merenung sejenak. Katanya, "Itu suatu
pendapat yang baik. Aku setuju. Aku akan mencoba
mengata"kannya agar kita diberi kesempatan untuk tinggal di
gubug-gubug kecil yang kosong itu."
Demikianlah, ketika mereka telah selesai bekerja sehari
penuh, mereka pun segera kembali. Sebenarnya tidak ada
yang mereka kerjakan selain membersihkan beberapa bagian
dari rerumputan liar dan mengawasi tempat itu dengan lebih
saksama lagi. Mereka tidak segera kembali ke barak, tetapi Kiai Gringsing
bersama kedua muridnya telah menemui para pengawas
untuk menyampaikan maksudnya itu.
Para pengawas yang mendengar permintaan Kiai Gringsing
itu menjadi heran. Ada di antara mereka yang tidak langsung
mempercayai pendengarannya sehingga bertanya, "Apakah
kau sekedar bergurau?"
"Tidak, Tuan," jawab Kiai Gringsing, "kami bersungguhsungguh."
Beberapa orang pengawas menarik nafas dalam-dalam.
Seseorang yang gemuk pendek berambut jarang menggelenggelengkan
kepala"nya sambil bergumam, "Aku tidak
mengerti." Ki Wanakerti, salah seorang dari para pengawas itu
berkata, "Kalian menunjukkan sikap yang lain dari orang-orang
yang ada di sini sejak kalian datang. Kalian pernah mengalami
banyak hal yang dapat mendesak kalian untuk meninggalkan
tempat ini, namun justru kalian menjadi semakin berani."
"Bukan begitu, Tuan. Kami hanya bermaksud sekedar
menghindari sikap yang dapat berakibat kurang baik dari
beberapa orang yang tidak senang terhadap kami. Karena itu,
me"mang sebaiknya kami memisahkan diri dari mereka."
"Aku mengerti, tetapi apakah kalian pada suatu saat tidak
akan mati ketakutan?"
"Bukankah beberapa keluarga tinggal juga di gubug-gubug
itu?" "Tetapi gubug-gubug yang sangat berdekatan. Dan gubuggubug
itu sudah berjejal-jejal diisi oleh beberapa keluarga."
"Tetapi bukankah masih ada yang kosong?"
Wanakerti mengerutkan keningnya. Sejenak ditatapnya
wajah Kiai Gringsing, kemudian dipandanginya wajah
kawan"nya yang keheran-heranan.
"Apa boleh buat," berkata pemimpin pengawas itu, "kalau
kau memang berniat demikian. Ternyata niat itu telah
menimbulkan sesuatu yang lain di dalam hatiku." Orang itu
ber"henti sejenak, lalu, "Tetapi bukan maksudku untuk
menentukan sesuatu atas niatmu itu," sekali lagi ia berhenti.
Wajahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia
berkata, "Memang aneh. Tetapi aku memang ingin melihat,
apakah yang akan ter"jadi atas kalian. Atas tempat tinggal
yang akan kalian pilih dan tentang tanah garapan kalian itu.
Tetapi sekali lagi, sama sekali bukan maksudku untuk
mempergunakan kalian sebagai bahan percobaan."
"Kami mengerti," jawab Kiai Gringsing. "Memang sama
sekali bukan percobaan. Hal ini tumbuh dari keinginan kami
sendiri. Dan kami tidak akan meletakkan tanggung jawab
kepada orang lain di dalam hal ini."
"Baiklah," pemimpin petugas itu menganggukkan
kepala"nya, "pilihlah sendiri tempat tinggal yang akan kau
perguna"kan." "Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Sejak malam ini kami
akan menempatinya." "Sejak malam ini?"
"Ya." Sekali lagi para pengawas itu menjadi heran. Salah
seorang dari mereka berkata, "Tingkah laku kalian memang
sangat me"narik perhatian."
"Sama sekali tidak, Tuan. Kami hanya ingin menjauhkan
diri dari pertengkaran yang tidak perlu. Sebenarnyalah bahwa
kami agak merasa takut menghadapi orang yang tinggi kekar
dan orang yang kekurus-kurusan, yang selalu saja
mengancam kami." "Apakah kau menjadi sedemikian ketakutan sehingga
mengatasi ketakutanmu terhadap hantu-hantu yang hampir
membunuh anakmu?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian
jawab"nya, "Terhadap hantu-hantu itu aku sudah mempunyai
jaminan. Kiai Damar dan hantu-hantu pendatang. Di antaranya
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari Gunung Merapi. Tetapi terhadap orang yang tinggi kekar
itu aku sama sekali tidak mempunyai pelindung."
Petugas itu menggeleng-gelengkan kepalanya pula.
Katanya, "Terserah kepada kalian. Kalian akan bertanggung
jawab atas kalian sendiri."
Demikianlah, maka pada malam itu Kiai Gringsing minta diri
kepada kawan-kawannya yang ada di dalam barak.
Dijinjingnya sebungkus pakaian kumal yang hampir tidak
berharga lagi. "Kalian memang orang-orang aneh. Berani tetapi bodoh,"
de"sis seseorang. Kiai Gringstng tersenyum. Tetapi ia tidak menanggapinya.
Namun ia terpaksa berhenti ketika di depan pintu
dijumpai"nya orang yang tinggi kekar itu berdiri di samping
orang yang kekurus-kurusan.
"Kalian memang orang-orang gila," geram orang yang
tinggi. "Maksud kami, agar kami terpisah dari kalian. Agar
kesalahan-kesalahan yang kami perbuat tidak akan menimpa
kalian pula apabila hantu itu menjadi marah. Misalnya, apabila
mereka me"lempari kami dengan batu atau cara apa pun
juga." "Persetan. Tetapi kalian harus mengurungkan niat ini, atau
kalian benar-benar akan ditelan oleh bahaya yang tidak
terkira"kan." "Relakanlah kami. Kami sangat berterima kasih atas
nasehat dan usaha kalian menyelamatkan kami. Tetapi kami
adalah orang-orang yang keras kepala, yang hanya akan
menumbuhkan kesulitan saja pada kalian."
Orang yang tinggi itu menggeram. Namun tiba-tiba saja
orang yang kekurus-kurusan berkata, "Lepaskan mereka.
Mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab kami."
Orang yang tinggi besar itu mengerutkan keningnya.
Na"mun kemudian ia pun menepi sambil berkata, "Baiklah.
Silahkan. Tetapi jalan yang kau tempuh adalah jalan yang
paling me"ngerikan, yang pernah dikenal orang selama ini."
Kiai Gringsing tertegun sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk-angguk sambil menjawab, "Mudah-mudahan
kami dapat keluar de"ngan selamat. Kami terlampau percaya
kepada Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi. Mudah-mudahan
kami mendapat perlindungan."
Orang yang tinggi besar itu memandang Kiai Gringsing
dengan sorot mata yang aneh. Terbayang di balik tatapan
ma"tanya itu, sesuatu yang ditahankannya. Kemarahan dan
kedeng"kian yang tiada taranya.
Orang-orang yang ada di dalam barak itu pun kemudian
melepaskan tiga orang ayah beranak itu dengan tatapan mata
yang dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan. Mereka
sama sekali tidak dapat mengerti jalan pikiran orang tua itu.
Menurut me"reka, ketiganya seakan-akan sengaja membunuh
dirinya di dalam gubug yang telah dipilihnya.
Meskipun demikian masih juga terngiang di telinga orangorang
itu nama-nama Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi.
"Apakah benar orang tua dan kedua anak-anaknya itu akan
mendapat perlindungan dari mereka?"
Sepeninggal Kiai Gringsing orang yang tinggi kekar itu
bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, "Kenapa mereka
di"biarkan pergi?"
Tanpa berpaling orang yang kekurus-kurusan menyahut,
"Me"reka akan menyesal apabila mereka sempat menyadari
tindakan mereka." Orang yang tinggi itu hanya dapat menarik nafas.
Kemu"dian sambil bersungut-sungut melangkah pergi ke
serambi. Beberapa orang telah duduk-duduk di tempat
masing-masing karena tidak ada yang akan mereka kerjakan,
selain merenungi jalan hidup yang sam"pai saat itu mereka
tempuh. Seseorang mengerutkan keningnya, ketika orang yang
tinggi besar itu duduk di sampingnya sambil berdesah, "Ada
juga orang gila di tempat ini."
Orang yang duduk di sampingnya tidak menyahut.
"Memang kita semua adalah orang gila," desis orang yang
tinggi kekar itu kemudian.
Tidak seorang pun yang menyahut. Orang yang duduk di
sebelah-menyebelah pun hanya berpaling memandanginya
dengan dahi yang berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang
mengucapkan sepatah kata pun.
Dan orang yang tinggi itu berkata selanjutnya, "Apakah
sebenarnya yang telah menarik kita ke neraka ini?"
Masih tidak ada seorang pun yang menjawab.
"Ini adalah kegilaan yang sebenarnya melampaui kegilaan
ketiga ayah-beranak itu," orang itu berhenti sejenak. Tetapi
agaknya ia memang tidak ingin mendapat jawaban dari siapa
pun juga, karena itu ia berbicara terus, "Kita sama sekali tidak
berpengharapan apa pun di sini. Sebentar lagi hantu-hantu di
Alas Mentaok pasti akan mengerahkan semua pasukannya
untuk me"ngusir kita. Dan kita akan kehilangan segalagalanya.
Waktu, ke"sempatan, dan tanah garapan. Daerahdaerah
yang sudah dibuka itu akan segara menjadi hutan
kembali, jauh lebih lebat dari yang sekarang."
Orang yang tinggi itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian tanpa menghiraukan orang-orang lain, ia pun
segera berbaring menelentang.
Orang-orang yang lain pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Namun kata-kata yang dilontarkan oleh
orang yang tinggi itu masih saja terngiang di hampir setiap
telinga yang mendengar"nya. "Kita sama sekali tidak
berpengharapan apa pun di sini."
"Kita tidak berpengharapan apa pun," hati mereka pun
bahkan menyahut pula. Dan sebuah pertanyaan telah timbul di dalam dada mereka,
"Kenapa kita sampai saat ini masih di sini?"
Pertanyaan itu tidak dapat ditemukan jawaban. Sekilas
terbayang pula harapan-harapan yang membubung setinggi
langit se"lagi mereka mulai membuka hutan ini. Kelak
Mataram akan menjadi sebuah negeri yang besar dan mereka
akan mendapat"kan kesempatan hidup tenteram di dalamnya.
"Tetapi gambaran sebuah negeri yang besar itu justru
semakin lama menjadi semakin pudar," hati mereka pun
menjadi semakin kuncup. "Selama ini kita tidak pernah
berpikir, bahwa di Mentaok kita akan berhadapan dengan
hantu-hantu." Sementara itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah
sampai ke sebuah gubug yang kosong, yang telah mereka
pilih menjadi tempat tinggal mereka. Dari para petugas
mereka men"dapatkan sebuah dlupak yang telah terisi minyak
kelapa, untuk menerangi gubug itu.
"Kita tidak sempat membersihkan tempat ini," desis
Swandaru. "Biarlah," sahut gurunya, "besok, pagi-pagi sebelum kita
berangkat, kita mengambil waktu sejenak untuk
membersihkan"nya. Sayang sekali. Gubug ini adalah gubug
yang kuat." Swandaru pun kemudian menyalakan dlupak minyak
kelapa dan meletakkannya di atas planggrangan bambu yang
memang sudah ada di dalam gubug itu.
Sinar yang kekuning-kuningan memancar ke seluruh
ruangan. Sarang laba-laba yang kehitam-hitaman tersangkut
di setiap sudut. Swan"daru terkejut ketika tiba-tiba saja seekor
tikus tanah yang besar berlari melintasi lantai di ruang dalam.
"He, tikus yang cukup besar."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Di mana kita tidur nanti, Guru?" bertanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Ketika ia berpaling
ke arah Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu sedang
mem"perhatikan lantai tanah yang kotor dan lembab.
"Kita tidak dapat tidur di lantai," desis Agung Sedayu.
"Kenapa?" bertanya gurunya.
"Serangga berkeliaran di sana-sini. Mungkin juga binatangbinatang
melata yang lain." Kiai Gringsing menggangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kita tidak akan tidur malam ini."
"He?" Swandaru membelalakkan matanya.
"Seorang perantau harus dapat mencegah kantuk tidak
hanya semalam suntuk," berkata gurunya pula.
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalamdalam
sambil menggaruk tengkuknya.
"Aku mendapat firasat, bahwa sesuatu akan terjadi. Be"sar
atau kecil," berkata gurunya pula.
"Hantu-hantu?" desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia pun tersenyum. Katanya, "Kita akan duduk untuk semalam
suntuk. Nanti lampu minyak itu akan kita sisihkan di balik
din"ding itu." Agung Sedayu dan Swamdaru saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian mereka pun menganggukanggukkan
kepala mereka. Dipandanginya sebuah amben
bambu kecil yang sudah hampir roboh, yang tidak mungkin
sama sekali dipakai untuk berbaring. Apa lagi tiga orang,
untuk Swandaru sendiri pun sudah terlampau kecil. Tetapi
amben bambu itu masih cukup untuk tempat duduk mereka
bertiga. Di atas amben itulah mereka kemudian duduk sambil
me"renungi suasana, sementara malam di luar menjadi
semakin ke"lam. Sejenak kemudian Kiai Gringsing pun berkata, "Pindah"kan
lampu itu, supaya tidak seorang pun yang dapat melihat kita
duduk di sini dari luar."
"Siapakah kira-kira yang akan mengintip kita, Guru?"
ber"tanya Agung Sedayu. "Hantu-hantu itu?"
Kiai Gringsing menggeleng. Tetapi ia hanya menjawab, "Itu
hanya suatu dugaan. Mudah-mudahan tidak ada."
Swandaru pun kemudian memindahkan lampu minyak
tanah itu ke balik dinding penyekat ruangan yang sempit itu,
sehingga mereka pun kemudian berada di dalam bayangan
yang kegelap-gelapan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, ketiganya
sa"ma sekali tidak dapat membaringkan dirinya. Mereka harus
te"tap duduk, betapa pun kantuk telah menjalari mata mereka.
Sekali-sekali Swandaru terlena sehingga kepalanya
terangguk-angguk. Namun kemudian digosok-gosoknya
matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sampai tengah malam, mereka tidak menjumpai sesuatu
yang aneh di dalam gubug itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa
akan terjadi sesuatu seperti yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing, se"hingga dengan demikian Agung Sedayu dan
Swandaru pun ke"mudian bersandar dinding sambil
memejamkan mata mereka meski pun mereka tidak juga
berani tidur. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang masih tetap duduk
ber"sila di atas amben itu. Tangannya bersilang di dada,
sedang ke"palanya tertunduk meski pun matanya tetap
terbuka. Tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahanlahan
diangkatnya kepalanya, seakan-akan ia mendengar
sesuatu. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihatnya, mereka
pun mencoba untuk mendengar. Namun ketika Swandaru
akan membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu, Kiai
Gringsing memberi isyarat kepadanya, agar ia tetap berdiam
diri di tempatnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya kedua anak-anak muda itu pun mendengarnya.
Desir yang lembut di sudut rumah itu.
Dada mereka menjadi berdebar-debar karenanya. Apakah
mere"ka pada malam ini harus berhadapan dengan hantuhantu"
Sejenak mereka bertiga menahan nafas. Bahkan Kiai
Gring"sing sendiri tidak tahu, apakah yang akan dihadapinya
malam ini. Tetapi ia yakin, bahwa ia akan berhadapan dengan
bahaya yang sebenarnya. Lambat atau cepat.
Dalam pada itu suara gemerisik di sudut rumah itu menjadi
semakin jelas. Bahkan kemudian mereka mendengar seakanakan
dinding bambu yang sudah sangat lemah itu berpatahan.
Ketiga orang yang berada di dalam gubug itu menjadi
te"gang. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Tanpa
mereka sa"dari tangan-tangan mereka telah meraba lambung.
Ketika tersentuh tangkai cambuk mereka yang melingkar di
bawah baju, hati me"reka menjadi agak tenang. Di dalam
keadaan yang memaksa, maka senjata-senjata itulah yang
akan dapat membantu mereka me"ngatasi kesulitan.
Namun sejenak kemudian, suara itu pun seolah-olah
lenyap begitu saja. Mereka tidak mendengar lagi bambu
berpatahan. Tetapi telinga mereka yang tajam itu masih dapat
mendengar desah nafas yang tertahan-tahan. Karena itu,
mereka yang ada di dalam gubug itu masih tetap duduk di
tempatnya tanpa bergerak sama sekali bahkan nafas mereka
pun seolah-olah tidak lagi dapat didengar oleh orang lain.
"Mereka telah berhasil membuka sudut gubug ini," ber"kata
Swandaru di dalam hatinya. "Kini mereka sedang
meya"kinkan diri mereka, apakah mereka akan dapat masuk
dengan aman atau tidak."
Sedang Agung Sedayu berpikir di dalam hatinya, "Pasti
bukan hantu. Hantu tidak memerlukan lubang apa pun karena
tubuhnya yang lembut. Menurut kata orang, hantu tidak
menge"nal lagi batas, sehingga batas itu tidak berlaku bagi
mereka. Kalau ada yang memasuki gubug ini dengan
memecah sudut itu, pasti bukan apa yang selalu diributkan
orang dengan nama hantu."
Namun dalam pada itu, mereka masih tetap dicengkam
oleh ketegangan. Semakin lama semakin tegang, sehingga
dada kedua anak-anak muda itu seolah-olah akan meledak
karenanya. Me"reka masih harus tetap berada di tempat
mereka sambil menung"gu apa yang akan terjadi kemudian.
Tetapi sejenak mereka saling berpandangan ketika mereka
mendengar desir langkah kaki. Tidak semakin dekat
memasuki gubug itu, tetapi justru menjadi semakin jauh.
"Apakah artinya ini?" pertanyaan itu melonjak tidak saja di
dalam dada Agung Sedayu dan Swandaru, tetapi juga di hati
Kiai Gringsing. Mereka tidak segera dapat mengerti, ke"napa
mereka yang bersusah payah merusak sudut gubug itu, tidak
berbuat sesuatu"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah mereka menyadari, bahwa kami masih belum
tidur?" bertanya Kiai Gringsing pula di dalam hatinya.
Meski pun demikian, ketiganya masih tetap berdiam diri
dengan tegangnya di tempat masing-masing. Mereka masih
menunggu apa yang kira-kira akan terjadi selanjutnya. Apakah
mereka yang merusak sudut gubug itu benar-benar telah pergi
seluruhnya" Menilik suara nafas mereka yang kini sudah tidak
terdengar sama sekali maka mereka pasti telah meninggalkan
gubug ini. Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh suara
yang lain. Suara desis berkepanjangam di sudut gubug itu.
Se"makin lama semakin keras.
Sejenak ketiganya hanya dapat saling perpandangan.
Sua"ra itu adalah suara yang belum mereka kenal. Desir dan
desis yang semakin jelas.
Agaknya Swandaru tidak sabar lagi menunggu. Dengan
ser"ta-merta ia meloncat dari tempat duduknya. Tetapi ia
tertegun karena gurunya menggamitnya dan memberinya
isyarat untuk tetap duduk di tempatnya.
Kening Swandaru menjadi berkerut-merut. Tetapi ia tidak
dapat melawan perintah gurunya.
Sejenak kemudian mereka masih tetap menunggu. Suara
itu menjadi semakin jelas mendekati mereka.
Kiai Gringsing masih tetap membeku di tempatnya. Namun
kemudian tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya sambil
berdesis, "Hati-hati. Bahaya itu telah datang menyerang kita.
Angkat kaki"mu. Kita harus melawannya."
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangkat kakinya.
Begitu kakinya naik ke atas amben, mereka pun segera
melihat, beberapa ekor ular yang cukup besar menggeliat di
atas lantai. "Apakah kalian sudah melihat?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru yang dengan tanpa
sesadar"nya telah berdiri di atas amben, memandangi ularular
itu dengan tegangnya. Ular yang menyelusur lantai adalah
ular hitam yang berbelang-belang putih.
"Weling," desis Swandaru.
"Tidak. Welang. Ular weling tidak dapat menjadi se"besar
itu," sahut Agung Sedayu.
"Ya. Welang," desis Kiai Gringsing. "Agaknya ular ini sudah
terlatih. Mereka mengerti di mana kita berada. Dan me"reka
sudah siap untuk menyerang kita."
"Tetapi, welang tidak mempunyai bintik-bintik yang
bercahaya seperti itu, Guru," berkata Agung Sedayu
kemudian. "Memang, ular welang pada umumnya tidak mempunyai
bintik-binitk yang bercahaya. Tetapi kita tidak tahu, apakah
bintik-bintik bercahaya itu benar-benar bintik-bintik ular welang
itu." "Maksud Guru?" "Bintik-bintik dan noda-noda yang dapat memancarkan
cahaya itu dapat dibuat."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak sempat bertanya lagi.
Ular-ular itu sudah menjadi semakin dekat di bawah amben
mereka. "Hati-hati, mereka dapat memanjat. Kita harus berkelahi
melawan ular-ular ini."
Tiba-tiba Swandaru tidak menunggu lagi. Ia pun segera
mengu"rai cambuk yang membelit dilambungnya. Namun
sebelum ia mempergunakannya gurunya berpesan, "Jangan
menimbulkan bunyi terlampau keras. Kita harus tetap
berusaha menyelubungi diri sejauh mungkin, sebelum kita
pasti, apakah yang sebenarnya kita hadapi."
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
me"lihat bagaimana gurunya menggenggam senjatanya.
Ternyata Kiai Gringsing memegang cambuknya tidak pada
tangkainya, tetapi pada ujungnya.
"Kalian tetap di situ," berkata gurunya. Ia tidak me"nunggu
jawaban lagi. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri"nya,
dan ketika kakinya menjejak di atas tanah, ia sudah berdiri
justru di belakang ular-ular yang merayap maju.
Ternyata seekor ular yang merayap dipaling belakang
men"jadi terkejut karenanya. Tetapi ketika ular itu berpaling,
dan mencoba memutar diri untuk berbalik menyerang Kiai
Gring"sing, tangkai cambuk orang tua itu telah menyambar
kepalanya, sehingga ular itu terpelanting membentur dinding
bambu. Te"tapi ular itu masih mencoba menggeliat. Agaknya
sentuhan tang"kai cambuk Kiai Gringsing itu tidak segera
membunuhnya. Namun sekejap kemudan Kiai Gringsing telah berdiri di
sisinya. Sejenak tangkai cambuknya berputar, dan sejenak
ke"mudian maka kepala ular welang itu pun sekali lagi
terpukul. Kali ini agaknya Kiai Gringsing tidak perlu
mengulanginya lagi. Tetapi selain ular yang telah mati itu, masih ada beberapa
ekor lagi yang sedang merayap mendekati amben tempat
Agung Sedayu dan Swandaru berdiri. Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun segera mendekatinya dengan hati-hati.
Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri di atas amben
pun telah memutar tangkai cambuk masing-masing. Ketika
perlahan-lahan sebuah kepala tersembul dari bawah amben,
maka dengan serta-merta tangkai cambuk Agung Sedayu dan
Swandaru menyambar hampir bersamaan. Ular welang itu
mencoba bertahan sejenak. Namun kemudian ia pun terjatuh
dan mati. Demikianlah Agung Sedayu dan Swamdaru telah berhasil
membunuh beberapa ekor ular yang mencoba merambat naik
ke atas amben. Sedang yang tersisa sudah dibunuh pula oleh
Kiai Gringsing dengan tangkai cambuknya.
"Apakah sudah habis Guru?" bertanya Swandaru yang
merasa ngeri juga melihat ular-ular itu berkeliaran.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, "Sudah.
Agaknya memang sudah habis."
"Kita akan menghitung jumlahnya," desis Swandaru.
"Tetapi jangan kau pegang dengan tanganmu. Kita ma"sih
belum tahu, apakah yang membuat ular-ular itu berbintik-bintik
dan bercahaya." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
sebatang tongkat bambu yang dilolosnya dari dinding rumah
itu, dikum"pulkannya bangkai ular yang berserakan itu.
"Lima," desis Swandaru.
"Enam," sahut Agung Sedayu.
"Ya, enam. Besar dan kecil," berkata gurunya. "Suatu
permainan yang mengerikan." Kiai Grrngsing berhenti sejenak,
lalu, "kita benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang
sedang bermain-main dengan racun. Hampir setiap hambatan
yang kita jumpai pasti mengandung racun. Kuat atau lemah.
Kini kita telah ter"jerumus ke dalam sarang ular welang yang
berbahaya. Tidak mustahil bahwa bintik-bintik yang bercahaya
itu pun mengandung racun pula." Kepada Swandaru ia
berkata, "Ambillah lampu itu. Kita lihat apakah sebenarnya
bintik-bintik yang bersinar kehijau-hijauan ini."
*** Swandaru pun kemudian melangkah ke balik dinding yang
menyekat ruangan di dalam gubug itu. Diambilnya lampu
minyak yang masih menyala kekuning-kuningan.
Kiai Gringsing yang kemudian menerima lampu itu
menga"mati bintik yang bercahaya pada tubuh ular-ular itu.
Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, "Tidak
beracun," katanya. "Apa Guru?" bertanya Agung Sedayu dan Swandaru
hampir bersamaan. "Rena dan kunang-kunang yang dilekatkan dengan
sebangsa getah pada tubuh ular ini, sehingga binatangbinatang
kecil itu masih tetap hidup untuk beberapa lama."
"Hem," Swandaru menarik nafas dalam-dalam, "benar
suatu permainan yang mengasyikkan."
"Demikian pulalah agaknya setiap cahaya yang terdapat
pada hantu-hantu itu. Pada tengkorak-tengkorak jerangkong
dan pada kuda-kuda yang sering disebut-sebut orang."
"Apakah Guru memastikan?"
"Belum. Tetapi pendapat ini dapat menjadi bahan
penye"lidikan seterusnya. Kita harus meyakini, dan kita harus
ber"usaha memecahkan teka-teki itu. Kalau kita berhasil, kita
pun harus tahu, alasan apakah yang telah mendorong orangorang
itu berbuat demikian."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka sadar, gurunya telah mengambil
kesimpulan, bahwa kepercayaannya terhadap hantu-hantu itu
menjadi semakin tipis. "Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu yang datang dari
luar Alas Mentaok?" "Pada suatu ketika kita akan mendapatkan jawabnya pula."
"Dan Kiai Damar?"
"Memang masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan
yang belum terjawab kini. Itulah sebabnya kita masih harus
tetap dalam keadaan kita sekarang." Kiai Gringsiug terdiam
sejenak, "Namun setelah ular-ular ini, mungkin kita masih
akan mendapat mainan yang lain, yang kita masih belum
dapat mengetahuinya."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi mereka pun kemudian merenungi bangkai-bangkai ular
yang berserakan di lantai. Terbayang di dalam angan-angan
mereka, kemungkinan yang lain yang tidak kalah
berbahayanya dari ular-ular itu.
"Guru," tiba-tiba Swandaru bertanya, "bagaimanakah
de"ngan cambuk-cambuk kita?"
"Kenapa?" "Kami telah memukul ular-ular itu dengan tangkai cambuk
ini." "Tidak apa-apa. Tidak akan dikotori oleh racun-racun."
Swandaru mengangguk-angguk sekali lagi. Tetapi ia masih
juga ragu-ragu ketika ia melingkarkan cambuknya di
lambungnya. Agung Sedayu pun kemudian menyimpan senjatanya
pu"la. Sementara Kiai Gringsing masih saja mengamati ularular
yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
"Sudahlah," katanya, "besok pagi kita tanam di belakang
rumah ini. Sekarang beristirahatlah, meski pun kalian ma"sih
harus berjaga-jaga semalam suntuk. Mungkin masih ada
per"soalan-persoalan lain yang akan menyusul kemudian."
Agung Sedayu dan Swandaru berpandangan sejenak.
Na"mun tanpa mengucapkan kata-kata, mereka segera duduk
kembali di atas amben bambu bersandar dinding. Dan sejenak
kemudian gurunya pun ikut duduk pula terkantuk-kantuk,
meski pun ia sama se"kali tidak kehilangan kewaspadaan.
Ternyata sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang
menyusul. Dari celah-celah dinding, mereka kemudian melihat
bayangan fajar yang kemerah-merahan.
"Kita masih sempat melihat fajar," desis Swandaru.
"Hus," desis Agung Sedayu.
"Ular-ular itu hampir saja mengakhiri petualangan kita,"
sahut Swandaru. "Marilah kita tanam di kebun belakang."
Mereka pun kemudian membawa ular-ular itu dengan
galah-galah bambu ke belakang gubug. Selagi fajar masih
remang-remang, mereka dengan tergesa-gesa telah
menanam bangkai-bangkai ular itu.
"Kita tidak perlu mengatakannya kepada siapa pun bahwa
kita telah disambut oleh sekelompok ular-ular yang sisiknya
bercahaya," berkata Kiai Gringsing.
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika hari menjadi semakin terang, maka mereka pun
telah selesai dengan kerja mereka. Karena itu, maka mereka
pun se"gera berkemas. Karena di sekitar gubug itu tidak ada
air, maka mereka terpaksa pergi ke gardu pengawas untuk
mencuci muka dan sekaligus mengambil rangsum mereka
sebelum mereka berangkat ke tanah garapan.
"He, apakah kalian dapat tidur?" bertanya salah se"orang
petugas. "Nyenyak sekali. Ternyata tempat itu jauh lebih baik dari
pada ikut berjejal-jejal di dalam barak," jawab Swamdaru.
Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja, meski pun ia cemas juga, bahwa kadang-kadang
Swandaru berbicara asal saja melontarkan kata-kata.
Tetapi berkata Swandaru pula, "Kami masih harus
membersihkan tempat yang masih terlampau kotor itu.
Agaknya sejak gubug itu dikosongkan, sama sekali tidak
pernah disentuh tangan."
?"Memang tidak ada orang yang merasa berkepentingan
untuk membersihkannya."
"Sayang sekali. Dan agaknya kami kerasan tinggal di dalam
gubug itu." Petugas itu mengerutkan keningnya. Tetapi di dalam hati ia
berkata, "Kalau pada suatu ketika, kau didatangi oleh hantuhantu,
maka kau akan berkata lain."
Setelah mencuci muka, serta mengambil rangsumnya
sama sekali, maka ketiganya pun kemudian kembali ke gubug
yang ter"pencil itu.
"Kita tidak sempat membersihkannya pagi ini. Nanti sa"ja
setelah kita kembali dari tanah garapan," berkata Kiai
Gringsing. Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Agaknya matahari memang sudah melonjak
naik ke punggung bukit. Meski pun tidak ada seorang pun
yang mengharus"kan mereka berangkat pada saat-saat yang
lazim, tetapi rasa-rasanya kurang baiklah kiranya apabila
mereka berangkat terlampau siang.
"Tempatkan barang-barangmu di tempat yang kau kenali
baik-baik. Lihatlah segala benda-benda yang ada. Nanti kalau
kita kembali, kita akan melihat, apakah ada perubahan betapa
pun kecilnya di dalam gubug ini."
"Baik, Guru," jawab keduanya hampir bersamaan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian mencoba
me"ngenali setiap benda yang ada di dalam gubug itu.
Bahkan sudut-sudut dinding pun mereka amat-amati. Mereka
masih melihat sehelai kain yang kasar di sudut ruang yang
terbuka, karena beberapa potong bambu dindingya telah
dirusak semalam.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan kain yang kasar dan tebal inilah mereka
mem"bawa enam ekor ular itu," desis Swandaru.
"Ya. Ular yang telah dilatih untuk menyerang manusia,"
sahut Agung Sedayu. "Benar begitu?"
"Menurut Guru."
Swandaru mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak
menja"wab lagi. Sejenak kemudian setelah mereka selesai mengamati
setiap benda yang ada di dalam gubug itu, maka mereka pun
segera me"ninggalkannya setelah mereka menutup pintu
lereg. Sambil menjinjing rangsum mereka, mereka pun kemudian
berjalan ke gardu pengawas. Beberapa orang sudah
berkerumun sambil membawa alat-alat mereka masingmasing.
Mereka akan segera berangkat ke tanah garapan
masing-masing setelah mereka mengambil rangsum mereka.
"He, kau sudah membawa rangsum?" bertanya
seseo"rang. "Aku datang jauh sebelum kalian," jawab Kiai Gringsing.
"Bagaimana dengan gubug itu?" bertanya yang lain.
"Menarik sekali," jawab Kiai Gringsing. Tetapi sebe"lum ia
melanjutkan kata-katanya, terasa lengannya digamit
sese"orang. Ketika Kiai Gringsing berpaling dilihatnya orang
yang kekurus-kurusan itu memandanginya dengan mata
terbelalak, "Kau sudah ada di sini sepagi ini?" ia bertanya.
"Kalian juga sudah ada di sini," sahut Kiai Gringsing.
Sejenak orang yang kekurus-kurusan itu memandangi Kiai
Gringsing seperti orang yang keheran-heranan.
"He, kenapa kau memandang aku seperti itu?" bertanya
Kiai Gringsing. "Apakah kau belum pernah melihat aku?"
"O," orang itu tergagap. Jawabnya, "Kau memang orangorang
yang berani. Apakah kau tidak diganggu oleh hantuhantu
dalam ujud apa pun?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tidak
ada yang mengganggu sama sekali."
"Belum. Di malam-malam berikutnya kau tidak akan dapat
ti"dur sama sekali."
"Mudah-mudahan tidak ada gangguan apa pun seperti di
malam pertama." Orang yang kekurus-kurusan itu masih saja
memandanginya dengan herannya. Namun sejenak kemudian
ia pun pergi meniggalkan Kiai Gringsing.
"Kenapa ia tampak menjadi heran melihat Guru?"
ber"tanya Agung Sedayu.
"Itulah yang menarik perhatian," jawab gurunya, "te"tapi
kita masih belum dapat mengambil kesimpulan yang pasti."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tetapi ia terkejut
ke"tika tiba-tiba saja seseorang telah mengguncang-guncang
tubuh gurunya. "Kau masih juga hidup?" terdengar seseorang
menggeram. Kiai Gringsing dan kedua muridnya serentak berpaling.
Dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri di belakang Kiai
Gringsing. "O, pundakku sakit," desah Kiai Gringsing.
"Kau masih hidup, he?" ulang orang itu.
"Seperti yang kau lihat."
"Kami seisi barak menjadi cemas."
"Kenapa?" "Aku yang kebetulan saja melihat. Kau tahu, bahwa aku
tidur di serambi." "Ya." "Hampir tengah malam kami mendengar suara berdesing
berputaran di atas barak. Tetapi semua orang sudah tertidur."
"Kau saja yang mendengar?"
"Ya," orang itu menjadi bersungguh-sungguh, "ternyata
sua"ra itu adalah suara ular Gundala."
"He, ular apakah itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sejenis ular yang dapat terbang. Ada dua jenis ular
Gundala. Ular Gundala Seta yang berwarna putih dan ada ular
Gundala Wereng yang berwarna hitam."
"Tetapi"..," Swandaru hampir saja menyahut kalau
gurunya tidak menggamitnya.
"Lalu, ular apakah yang kau lihat malam tadi" Yang putih
atau yang hitam?" "Bagaimana aku tahu."
"Tetapi, kenapa kau tahu bahwa yang berdesing di udara
itu ular Gundala." "Baik yang putih mau pun yang hitam mempunyai ciri yang
sama. Keduanya mempunyai bintik-bintik yang bercahaya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
orang yang tinggi itu berkata, "Ular-ular itu adalah salah satu
dari jenis-jenis senjata pasukan kajiman di Alas Mentaok. Aku
sudah mencemaskan nasibmu, kalau-kalau ular itu
menyerangmu." "Beruntunglah, bahwa ular-ular itu tidak menyerang kami."
"Tidak seorang pun yang mampu mengelakkan
serangan"nya." "Untunglah. Dan bersukurlah kami bahwa kami tidak
menjadi korbannya. Aku berterima kasih atas perhatianmu dan
bukankah kau katakan seisi barak ini menjadi cemas?"
Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya.
Se"jenak ia memandangi wajah Kiai Gringsing. Namun
kemudian ia menyahut, "Kenapa dengan seisi barak ini?"
"Bukankah kau yang mengatakan, bahwa seisi barak ini
menjadi cemas?" "Dan kau akan mempertentangkan kata-kata itu dengan
kata-kataku, bahwa hanya akulah yang melihat ular itu
terbang?" Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi kesan di wajahnya
membenarkannya. "Tentu bukan semua orang di barak ini. Aku memang
mengatakan kepada beberapa orang."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau memang harus berhati-hati," berkata orang yang tinggi
itu. "Kau sedang dimusuhi oleh hantu-hantu. Apalagi kalau kau
membuat musuh di antara kita."
"O, tentu tidak," jawab Kiai Gringsing.
"Kau suka mempersoalkan masalah-masalah yang kecil.
Mem"buat orang lain menjadi bingung. Mempersoalkan katakata
yang sedikit terselip. Dan banyak lagi. Tetapi ingat,
sebenarnya aku memang ingin mendapat kesempatan untuk
membuat kalian bertiga jera. Aku merasa bahwa aku akan
sanggup melaksanakannya tanpa hantu-hantu itu."
"Maksudmu?" Orang itu tampak ragu-ragu sejenak. Tetapi karena
agaknya tidak ada orang lain yang memperhatikannya, ia
berkata, "Aku ingin memukuli kalian pada suatu saat."
"He, apakah salah kami?"
"Kalian telah mengabaikan segala nasehatku. Segala niat
baikku. Itu suatu penghinaan. Dan kalian merasa diri kalian
pahlawan-pahlawan yang berani. Sombong dan banyak
bicara. Ingat, aku adalah orang yang paling ditakuti di sini.
Para pengawas pun tidak berani berbuat apa-apa atasku.
Kalau aku memukuli kalian, tidak akan ada orang yang berani
mencegah apabila itu sudah terjadi. Memang kadang-kadang
mereka mencoba mengurungkan niatku. Mereka adalah
orang-orang baik yang tidak suka berselisih. Tetapi kalau
kesabaranku habis, kalian akan menyesal."
"Jangan begitu," desis Kiai Gringsing, "sebaiknya kau
berpikir dari arah lain. Lepaskanlah kami. Biarlah kami
dimakan hantu, harimau, atau apa saja. Ular Gundala Seta
dan Wereng sekali pun."
"Sudah seribu kali aku katakan. Kau tidak dapat berdiri
sendiri di mata hantu-hantu itu. Kau adalah satu dengan
kami." Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Ketika Swandaru
ber"geser setapak, maka gurunya telah menginjak kakinya,
sehingga Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Terserahlah kepadamu. Aku akan berangkat. Semua
sudah selesai," berkata orang yang tinggi itu.
Ketika Kiai Gringsing berpaling, dilihatnya gardu itu
me"mang sudah agak sepi. Hanya beberapa orang yang
datang dengan tergesa-gesa karena agak lambatlah, yang
masih berada di muka pintu untuk menerima rangsum mereka.
Setelah itu, mereka pun dengan tergesa-gesa segera
berangkat menyusul kawan-kawan mereka yang telah pergi
lebih dahulu. "Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok," berkata orang
yang tinggi itu, "sehingga mereka harus mulai bersama-sama.
Tetapi itu lebih baik daripada sifat sombong yang kau
pertahankan." Kiai Gringsing tidak sempat menjawab, karena orang itu
pun kemudian pergi meninggalkannya.
"Orang aneh," desis Agung Sedayu.
"Aku tidak sabar lagi," sahut Swandaru.
"Jangan berbuat bodoh," potong gurunya. "Marilah, kita pun
harus segera berangkat, supaya kita tidak dianggap sebagai
orang-orang malas yang hanya akan menghabiskan rangsum
makan saja." Ketiganya pun kemudian pergi lewat di depan gardu
penga"was. Sambil membungkukkan kepalanya Kiai
Gringsing berkata, "Kami sudah mendapat rangsum, Tuan."
Seorang pengawas tertawa sambil menyahut, "Kalian
termasuk orang aneh di sini."
Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak
menja"wab. Bersama kedua muridnya ia pun pergi ke tanah
garapan mereka yang dianggap oleh orang-orang yang
sedang membuka hutan itu sebagai daerah yang paling wingit.
Dengan penuh kewaspadaan mereka bekerja. Setiap kali
mereka memperhatikan sesuatu yang agak asing, karena
mereka tahu, bahwa ada pihak-pihak yang sedang bermainmain
dengan racun di daerah ini. Untunglah bahwa Kiai
Gringsing adalah seorang dukun tua yang sudah terlampau
kaya dengan pengalaman, dengan segala macam penyakit
dan juga dengan segala macam racun.
Lamat-lamat mereka masih juga mendengar suara burung
kedasih yang umumnya hanya berbunyi di malam hari. Tetapi
karena mereka sudah biasa mendengarnya, maka mereka
sudah tidak menghiraukannya lagi.
Tetapi ternyata sehari itu mereka, tidak menjumpai
peristiwa apa pun. Pada saatnya mereka pulang, mereka pun
segera mening"galkan pekerjaan mereka.
Ketika mereka sampai di gubug yang telah mereka
pergunakan sebagai tempat tinggal, maka mulailah mereka
membersihkannya. Setiap benda mereka amati sebelum
mereka pindahkan. "Tidak ada sebuah benda pun yang bergeser, Guru,"
ber"kata Agung Sedayu.
"Ya, agaknya memang tidak ada seorang pun yang
mema"suki gubug ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita
dapat tidur dengan nyenyak nanti malam."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan
sejenak. "Jangan takut," berkata Kiai Gringsing yang seolah-olah
mengerti perasaan kedua anak-anak muda itu, "kita akan
dapat tidur. Tetapi kita harus mengatur diri, sehingga setiap
kali pasti ada yang terjaga di antara kita."
Demikianlah, setelah gubug itu menjadi bersih dari sarangsarang
laba-laba dan kotoran-kotoran lain, debu dan
serangga-serangga kecil, mereka pun menjadi semakin
kerasan tinggal di dalam gubug itu.
Swandaru tidak lagi segan berbaring di pembaringan,
meski" pun selalu diganggu oleh bunyinya yang berderit-derit.
Tetapi amben bambu itu sudah tidak dilekati lagi oleh debu
yang tebal dan sarang laba-laba yang kehitam-hitaman.
"Di sebelah masih ada beberapa jenis alat-alat dapur,"
desis Swandaru kemudian. "Kita tidak memerlukannya. Bukankah kita sudah
menda"pat makan?"
"Kalau kita haus?"
"Ambil saja di gardu pengawas," sahut Agung Sedayu,
"bukankah di sana disediakan berapa saja kita akan minum."
"Di malam hari kadang-kadang kita haus. Atau barangkali di
pagi hari, begitu kira bangun tidur, ingin juga rasa-rasanya
minum air panas, seperti ketika kita berada di Tanah Perdikan
Menoreh." "Hus," desis Agung Sedayu, "kau mulai mengigau.
"Swandaru tersenyum. Memang terkilas sebuah kenangan
atas Tanah Perdikan itu dengan segala isinya.
"Barangkali kau memang tidak kerasan, tinggal di sini,"
berkata Agung Sedayu, "karena di sini kita hanya berkawan
hantu-hantu saja. Kalau di sini ada orang yang menyediakan
minummu di pagi hari, mungkin kau kerasan juga."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tersenyum
sambil mengusap-usap pipinya yang gembung, meski pun
beberapa hari terakhir tampak ia agak susut sedikit.
"Nanti kalian tidurlah dahulu," berkata Kiai Gringsing
kemudian, "aku akan berjaga-jaga. Kemudian aku akan tidur,
dan kalian berdualah yang harus berjaga-jaga."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia mengerutkan keningnya ketika ia memandangi amben yang
seolah-olah sudah penuh dipergunakan oleh Swandaru sendiri
"Minggirlah sedikit," desis Agung Sedayu kemudian.
Swandaru tersenyum pula. "Kau akan tidur sekarang?" ia
bertanya. "Tidak. Aku hanya akan berbaring sejenak."
Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula di sisi
Swandaru, sementara Kiai Gringsing duduk di sebuah dingklik
kayu yang usang. Sejenak mereka saling berdiam diri.
Agaknya mereka sedang menjelajahi angan-angan masingmasing
yang menyelusur ke dunia yang asing.
Ketika gelap menjadi semakin pekat, maka mereka pun
segera menyalakan lampu minyak kelapa. Dari para
pengawas mereka mendapatkan minyak untuk mengisi pelita.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Swandaru-lah yang
lebih dahulu akan tidur. Gurunya akan tetap berjaga-jaga
sampai tengah malam, sementara Agung Sedayu dan
Swandaru bangun, gurunyalah yang akan beristirahat.
Sampai menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk terkantuk-kantuk di dalam lindungan bayangan dinding
yang menyekat ruangan gubug itu tidak melihat tanda-tanda
yang mencurigakan. Meski pun demikian ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Setiap desir, betapa pun lembutnya, tidak lepas
dari pengamatan telinga"nya yang tajam.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu yang dapat
menumbuhkan kegelisahan. Sampai tengah malam Kiai Gringsing duduk tanpa bergerak
di tempatnya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru telah
tertidur dengan nyenyaknya. Meski pun kadang-kadang
amben yang mereka per"gunakan berderit-derit keras, kedua
anak-anak muda itu tidak meng"hiraukannya. Bahkan
Swandaru setiap kali berdesah apabila derit pembaringannya
itu telah membangunkannya.
Sedikit lewat tengah malam, Kiai Gringsing mulai menguap.
Ingin juga ia berbaring meski pun hanya sejenak. Agaknya
Agung Sedayu dan Swandaru sudah cukup lama beristirahat.
"Biarlah mereka ganti berjaga-jaga," katanya di dalam hati.
Tetapi sebelum ia bangkit dari tempat duduknya yang
ter"lindung bayangan dinding penyekat terasa sesuatu
berdesir di dadanya, sehingga Kiai Gringsing itu
mengurungkan niatnya. Kini jelas ditelinganya ia mendengar sesuatu. Tetapi pasti
bukan bunyi desis ular seperti semalam.
"Apalagi yang akan terjadi?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing tidak segera berbuat sesuatu. Ia
menunggu saja, apakah kira-kira yang akan terjadi.
Sejenak suara-suara yang mencurigakannya itu terdiam.
Yang didengar oleh Kiai Gringsing hanya desah nafas Agung
Sedaya dan Swandaru yang masih tertidur nyenyak.
"Tetapi tidak," Kiai Gringsing berkata di dalam hati, "aku
mendengar suara nafas yang lain. Tidak teratur seperti nafas
anak-anak muda yang sedang tidur itu."
Dengan demikian Kiai Gringsing mengetahui, bahwa di luar
rumah itu ada seseorang yang sedang mengintip, sehingga
orang tua itu sama sekali tidak bergerak dan bahkan nafasnya
pun diaturnya baik-baik. Dalam keheningan malam, di antara desah nafas anakanak
muda yang sedang tidur, dan nafas seseorang yang ada
diluar gubug. Kiai Gringsing mendengar suara berbisik,
"Mereka sudah tidur."
Dada Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar.
Kalau begitu pasti tidak hanya seorang saja yang berada di
luar rumah ini. Sedikit-dikitnya pasti dua orang,
"Apakah kita lakukan sekarang?" bisik yang lain.
Sejenak tidak terdengar jawaban, sehingga dada Kiai
Gringsing pun menjadi tegang pula. Sebuah pertanyaan
melonjak di hatinya, "Apakah yang akan mereka lakukan
sekarang?" Tetapi Kiai Gringsing harus tetap bersabar. Ia harus tetap
berada di tempatnya, di bayangan dinding penyekat, supaya ia
tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar gubug,
sehingga mereka mengurungkan niat mereka.
Yang dilakukan Kiai Gringsing adalah mempersiapkan
diri"nya untuk menghadapi segala kemungkinan, ia dapat
meloncat selangkah untuk mencapai ujung amben Agung
Sedayu dan Swandaru apabila diperlukan.
Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu selain
tarikan nafas yang memburu. Agaknya orang-orang yang
berada di luar rumah itu pun menjadi gelisah.
"Sekarang," desis salah seorang dari mereka.
"Ya, sekarang," jawab yang lain.
Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Apalagi sejenak
kemudian ia mendengar gemerisik di depan pintu rumahnya.
"Bunyi apa lagi sekarang?" ia bertanya di dalam hati"nya.
Tetapi bunyi itu sama sekali berbeda dari bunyi ular yang
menyelusur lantai dan berdesis-desis.
Sejenak Kiai Gringsing menunggu. Dibiarkannya saja apa
yang akan dilakukan oleh orang-orang di luar rumah itu.
Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar
orang-orang itu bergeser. Kini mereka berada di sudut gubug.
Sekali lagi ia mendengar bunyi yang aneh itu. Gemerisik.
Ternyata bunyi itu berpindah-pindah dari satu sudut ke
sudut yang lain. Bahkan kemudian di beberapa tempat di
seputar rumah itu. Dari sudut ke sudut.
"Cukup?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Cukup," jawab yang lain.
"Jadi, kita mulai saja sekarang."
Tidak ada jawaban. Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu. Orangorang
itu pun agaknya bergeser menjauh, sehingga desah
nafas mereka tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing duduk sambil menahan nafasnya. Ia yakin
bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Karena itu, ia tidak
berbuat apa pun agar yang akan terjadi itu terjadilah. Ia pun
tidak berusaha untuk menangkap keduanya, agar setiap orang
masih tetap menganggap mereka sebagai petani-petani
miskin yang tidak berarti, sehingga perhatian orang-orang di
barak dan para penga"was tidak berubah. Dengan demikian
Kiai Gringsing bermaksud untuk mendapat kesempatan yang
agak luas tanpa, prasangka apa-apa.
Tiba-tiba Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar suara
gemericik, tetapi bukan suara air. Dengan serta-merta ia
meman"dang keluar, lewat celah-celah dinding. Sesaat ia
tidak melihat bayangan apa pun di luar karena gelap malam.
Tetapi sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Bayangan
kemerah-merahan telah mewarnai lubang-lubang dinding yang
jarang. "Api," desisnya. Hampir saja Kiai Gringsing meloncat
mengejar orang-orang yang ada di luar gubugnya. Tetapi ia
pun segera menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya Agung
Sedayu dan Swandaru masih tertidur nyenyak.
"Mereka harus segera bangun," desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian meloncat ke pembaringan.
Diguncangnya tubuh kedua muridnya itu sambil berdesis,
"Bangun. Rumah ini akan terbakar."
Agung Sedayu segera meloncat bangkit. Tetapi Swandaru
masih menggeliat sambil berdesis, "Apa lagi, Guru"
"Api. Rumah ini sedang terbakar."
Swandaru pun kemudian bangkit. Tetapi matanya segera
terbelalak ketika ia melihat api mulai merayapi pintu.
"Pintu sudah terbakar," desis Swandaru.
Kiai Gringsing kini mengerti, bahwa agaknya suara
gemerisik itu adalah suara batang-batang ilalang, daun-daun
rerumputan kering, yang sengaja diletakkan oleh orang-orang
yang membakar gubug ini. "Kita harus segera keluar dari rumah ini," berkata Kiai
Gringsing. Tetapi ternyata api sudah menjalar hampir di seputar gubug
kecil itu. "Kita sudah dilingkari api," berkata Swandaru kemudian.
"Belum. Kita masih mempunyai jalan. Mari, cepat. Ikuti
aku." Kiai Gringsing pun kemudian mengambil ancang-ancang
sejenak. Dengan sepenuh kekuatan ia mendorong dinding
yang masih baru mulai dijalari api. Tetapi ternyata dinding itu
tidak sekuat yang diduganya sehingga, kekuatan Kiai
Gringsing jauh melam"paui kemampuan dinding bambu itu.
Dengan demikian Kiai Gringsing justru terdorong oleh
kekuatannya sendiri sehingga ia terpelanting beberapa
langkah. Karena itu, ia pun segera ber"guling sekali, lalu
dengan sigapnya melenting berdiri.
Meski pun api sudah menjilat hampir segenap bagian
dinding gubug itu, Swandaru masih sempat menyambar
bungkusan pakai"an mereka. Sedang Agung Sedayu sempat
pula tersenyum meli"hat gurunya yang hampir kehilangan
keseimbangan. Kedua anak-anak muda itu pun kemudian berloncatan pula
di atas api yang mulai membakar dinding yang sudah roboh
itu. "Guru sempat berlatih, bergumul dengan padas," desis
Swandaru yang melihat juga betapa gurunya berguling di
tanah. Kiai Gringsing berdiri bertolak pinggang sambil memandang
api yang menjadi semakin besar.
"Aku kira dinding itu masih cukup kuat," sahutnya, "apalagi
aku agak tergesa-gesa juga."
"Untunglah bahwa rumah ini tidak ikut serta roboh. Jika
demikian maka kami yang ada di dalam, justru tidak akan
men"dapat kesempatan lolos lagi, karena timbunan
reruntuhan itu akan segera dimakan api," gumam Swandaru.
"Ah kau," berkata gurunya, "bukankah kalian bukan cacingcacing
yang mudah sekali menyerah kepada keadaan?"
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia masih juga tersenyum
membayangkan bagaimana gurunya jatuh berguling-guling
karena kekuatannya sendiri.
Sejenak kemudian mereka bertiga berdiri tegak
memancang api yang menjadi semakin besar menelan gubug
yang dibuat dari kayu dan bambu itu. Begitu cepatnya, seolaholah
gubug itu meru"pakan makanan yang sangat lezat bagi
api yang melonjak-lonjak menggapai-gapai langit
"Kenapa gubug itu tiba-tiba saja terbakar?" bertanya Agung
Sedayu kemudian. Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya
saja api yang semakin lama menjadi semakin besar. Sejenak
kemudian mereka mendengar gubug itu berderak-derak
roboh. "Ada kesengajaan," jawab Kiai Gringsing kemudian.
"Darimana Guru mengetahui?"
"Aku mendengar suara orang di luar dan suara rerumputan
kering yang ditimbun di muka pintu dan di seputar gubug itu."
"Dan Guru membiarkan hal itu terjadi?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya, "Aku ingin tahu
apa saja yang mereka lakukan. Sampai di mana usaha
mereka untuk menekankan maksudnya, agar kita
meninggalkan tempat ini."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil meman"dangi api yang menjilat ke udara.
Sejenak ketiganya saling berdiam diri. Wajah-wajah mereka
men"jadi kemerah-merahan tersentuh oleh cahaya api. Titiktitik
keringat tampak mengembun di kening dan dahi.
"Tidak ada seorang pun yang datang menjenguk," desis
Swandaru tiba-tiba. "Tentu tidak," sahut gurunya, "tidak ada orang yang berani
keluar dari barak." "Para petugas?"
"Mereka pun tidak berani keluar dari gardu pengawas."
"Bagaimana kalau terjadi kebakaran hutan di dalam
keada"an begini?"
"Semuanya akan habis menjadi abu. Tetapi itu lebih baik.
Kita tidak usah menebang pepohonan lagi."
"Apakah dapat kita coba?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tidak. Tidak akan dapat. Hutan ini adalah hutan yang hijau
dan lebat. Sulit sekali terjadi kebakaran. Apalagi tanahnya
yang lembab mengandung air."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka masih saja memandangi api yang
melonjak-lonjak meski pun semakin lama menjadi semakin
susut. "Kita kehilangan gubug yang baru saja kita pergunakan.
Kalau tahu, gubug itu akan terbakar, kita tidak usah
membersih"kannya," gumam Swandaru.
"Kalau saja kita tahu," sahut Agung Sedayu, "tetapi
untunglah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi,
sehingga dengan demikian kita berbuat sesuatu. Kalau kita
tahu apa yang akan terjadi, maka kita tidak akan berbuat apaapa."
"Yang kita tahu pasti," berkata gurunya, "besok matahari
akan terbit lagi. Kemudian berjalan mengarungi langit dan
tenggelam di sebelah Barat. Tetapi apa yang terjadi selama
itu, adalah di luar kemampuan kita untuk mengetahuinya.
Bahkan apa yang akan terjadi atas diri kita sendiri."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
masih saja memandangi api yang masih menyala. Sekalisekali
masih ter"dengar derak kayu-kayu yang patah dan
bambu yang meledak. Namun semakin lama api itu pun menjadi semakin susut.
Gubug yang terpencil itu, sejenak kemudian telah menjadi
se"onggok bara yang merah, yang perlahan-lahan menjadi
semakin suram. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Guru?" bertanya
Swandaru kemudian. "Mencari orang-orang yang membakar
gubug kita itu?" Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidak. Kita tidak
akan dapat mencarinya. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu
saat kita akan menemukannya."
Swandaru mengerutkan keningnya yang kemerah-merahan
oleh cahaya bara yang sudah hampir padam.
"Tidak seorang pun yang berani keluar dari barak dan dari
gardu pengawas," desis Swandaru kemudian.
"Ya. Mereka telah benar-benar ketakutan. Itulah yang
menyulitkan," sahut gurunya.
"Kita masih dapat mengerti, kalau orang-orang yang di
dalam barak itu tidak berani keluar. Mereka takut kepada
hantu-hantu, tetapi mereka juga selalu ditakut-takuti oleh
orang-orang tertentu seperti kita," potong Agung Sedayu.
"Tetapi seharusnya tidak demi"kian bagi para pengawas
digardu itu." "Agaknya mereka sudah terlalu lama berada di tempat ini.
Sebaiknya setiap kali para pengawas itu diganti dengan
orang-orang baru, sehingga menumbuhkan kesegaran dan
kegairahan kerja di sepanjang daerah pembukaan hutan ini."
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Sudahlah. Relakan gubug itu. Gubug itu memang bukan
milik kita," berkata gurunya kemudian. Lalu, "tetapi kita harus
bersiap-siap menghadapi orang dari barak itu. Mereka pasti
akan menyalahkan kita dengan segala macam dalih dan
kemudian ber"usaha mengusir kita."
"Darimana Guru tahu?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah maksud mereka sebenarnya."
"Lalu, apakah kita akan pergi?"
"Tentu tidak. Kita akan tetap di sini. Kita akan menge"tahui
lebih lanjut, apakah yang akan terjadi di sini, yang pasti
merupakan salah satu gambaran dari daerah-daerah lain di
sepanjang jalur perluasan Tanah Mataram ini."
Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. "Pada suatu saat kita akan bertemu dengan usaha Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar beserta
Ki Gede Pemanahan, yang pasti tidak akan tetap tinggal diam
menghadapi keadaan serupa ini."
Kedua muridnya masih saja mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, sekarang justru kalian akan dapat tidur. Tidurlah, aku
akan menunggui kalian."
"Tidak Guru," jawab Agung Sedayu, "kami sudah tidur lebih
dari separo malam. Apakah Guru tidak lelah, dan ingin
beristirahat?" Gurunya tersenyum. Katanya, "Lihat, langit sudah men"jadi
kemerah-merahan. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangkat kepalanya
bersama-sama. Mereka pun melihat warna merah yang
membayang di langit. Sementara bintang-bintang telah
bergeser jauh ke Barat. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Tetapi masih ada waktu sedikit, Guru. Kita dapat
duduk di bawah pepohonan itu dan melepaskan lelah
sejenak." Kiai Gringsing tersenyum, "Aku tidak lelah."
"Dua malam Guru tidak tidur sekejap pun."
"Baru dua malam. Kita harus dapat menguasai tubuh kita
sebaik-baiknya. Tidak hanya dua malam. Dalam keadaan
tertentu, kita harus dapat berbuat lebih banyak lagi. Tetapi
sudah tentu bahwa kita menyadari, kekuatan tubuh kita pun
sangat terbatas. Namun demikian dengan latihan-latihan yang
baik, sedikit demi sedikit kita dapat memperlengkapi
kemampuan yang sebenarnya memang sudah ada di dalam
diri kita." Agung Sedayu tidak menyahut. Ditatapnya wajah gurunya
yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut ketuaannya. Tetapi
wajah itu masih tampak segar, sesegar dedaunan yang basah
oleh embun. Sementara Swandaru menundukkan kepalanya
sambil mengusap dagunya. "Tetapi, baiklah," berkata gurunya kemudian, "kita tidak
perlu berdiri di sini sampai pagi. Kita dapat duduk di bawah
pohon itu sambil menunggu, siapakah orang yang pertamatama
akan datang kemari."
*** Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang pohon
di halaman gubug yang sudah terbakar itu. Sejenak mereka
saling berdiam diri. Namun tatapan mereka masih saja
melekat pada seonggok abu yang masih mengepulkan asap
yang kehitam-hitaman. Sementara itu, langit menjadi semakin cerah. Dan
bayangan cahaya matahari pun menjadi semakin terang,
menyentuh mega putih yang bergumpal-gumpal di punggung
cakrawala. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu menyelusuri bayangan
fajar yang merah. Tanah Mataram memang sudah terbuka,
seolah-olah menghadap ke Timur. Sedang di bagian Barat,
hutan ma"sih terbujur seperti dinding raksasa yang
membatasi tanah yang sedang tumbuh ini.
Namun angan-angannya justru menerawang semakin jauh.
Terbayang di rongga matanya hutan yang meski pun tidak
sebesar Mentaok, namun cukup lebat adalah hutan Tambak
Baya, yang menurut pendengarannya sudah mulai disentuh
pula oleh tangan para pendatang di tanah Mataram ini. Kalau
hutan itu kelak terbuka, maka jalur jalan ke Timur menjadi
semakin luas. Batas Tanah Mataram akan langsung
bersentuhan dengan padukuhan dan kademangankademangan
yang kini ada di sebelah Timur Hutan Tambak
Baya. Desa-desa kecil yang terpisah dari jalur-jalur jalan ramai
itu akan mengalami banyak sekali perubahan. Cupu Watu,
Temu Agal, Bogeman yang mulai ramai dan terletak di sisi
Barat Kademangan Prambanan. Jalur ini akan terus merambat
ke Timur, lewat hutan-hutan yang tidak begitu garang, dan
yang memang sudah tertembus oleh jalan-jalan niaga, akan
segera sampai ke tlatah padukuhan Benda dan kemudian
Kademangan Sangkal Putung.
Agung Sedayu menarik nafas. Tanpa sesadarnya ia
berpaling memandang wajah Swandaru yang bulat itu.
Terkilas se"jenak wajah seorang gadis, adik anak muda yang
gemuk itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
ingkar, bahwa ia sebenarnya ingin juga segera meninggalkan
hutan ini pergi ke Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba matanya seakan-akan
telah menembus hutan yang hijau kehitam-hitaman,
menyeberangi Kali Praga menginjak ke tlatah Menoreh. Tanah
Perdikan yang baru saja ditinggalkannya. Tanah Perdikan
yang kini sedang ber"usaha menyembuhkan luka-luka yang
telah mencengkamnya selama ini, seperti juga Ki Gede
Menoreh berusaha menyembuhkan luka-luka pada dirinya.
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi
Swanda"ru. Dan bahkan terbersit suatu pertanyaan di
kepalanya. "Agak"nya Tanah Perdikan Menoreh masih harus
mengalami banyak masalah. Apakah kelak Swandaru akan
menjadi Demang di Sangkal Putung sekaligus Kepala Tanah
Perdikan Menoreh atas nama Pandan Wangi, apabila mereka
benar-benar akan menjadi suami isteri?"
Agung Sedayu yang sedang menerawang di dunia anganangannya
itu, tiba-tiba tersadar ketika Swandaru
menggamitnya sambil ber"kata, "Hem, aku mengantuk lagi."
"Tidurlah," hampir tidak sadar Agung Sedayu men"jawab.
"Tidur" Sekarang ini?"
"O, maksudku, bukan kau sudah tidur separo malam."
Swandaru tiba-tiba memandang wajah Agung Sedayu
dengan tatapan mata yang aneh. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata dalam nada yang tinggi,
meski pun perlahan-lahan, "He, agaknya kau sedang
melamun, Kakang. Nah, apa saja yang kau pikirkan" Tentu
bukan hutan yang lebat ini, dan tentu bukan hantu-hantu dan
eh, kau tahu bahwa hantu-hantu perempuan, maksudku hantu
betina. Mana yang benar, perempuan atau betina, nama"nya
peri. Apakah kau melihat sesosok peri" Peri berbentuk seorang
perempuan yang sangat, sangat cantik. Seperti bidadari
dalam pengertian yang bertolak belakang. Bentuknya saja
se"perti bidadari."
"Kau pernah melihat bidadari?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Kata
orang. Sedang peri itu pun sekedar kata orang."
"Kau percaya?" "Tentu, hantu-hantu tidak semuanya laki-laki. Mereka
berumah tangga seperti manusia. Bukankah kesimpulan
daripada itu, ada juga hantu-hantu perempuan" Hanya hantu
yang bertingkat tinggi sajalah yang beristerikan peri. Bukan
jerangkong. Kalau jerangkong, isterinya wewe. Tetapi kalau
prayangan, itulah yang beristerikan peri."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi masih saja seperti
orang yang tidak menyadari dirinya, ia menganggukanggukkan
ke"palanya. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru meraba
da"hinya sambil berdesis, "Eh, tidak panas."
"Hus," desis Agung Sedayu sambil menggeliat, "jangan
main-main. Lihat, langit sudah terang. Sebentar lagi mereka
akan datang." Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
mengang"kat wajah menatap langit. Meskipun demikian ia
masih bertanya kepada Agung Sedayu, "Siapakah yang akan
datang" Peri-peri yang cantik itu?"
"Ah," desah Agung Sedayu sambil berdiri, "orang-orang itu
pasti sudah bangun. Mereka akan segera mendengar bahwa
ru"mah kita telah terbakar. Mereka akan beramai-ramai
datang kemari. Orang yang kurus dan orang yang tinggi kekar
itu pasti akan marah lagi kepada kita."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Orang itu meskipun bertubuh kekar, hatinya sekecil menir.
Demikian ketakutan mencengkam jantungnya, sehingga ia
begitu bernafsu untuk mengusir kita."
"Mungkin tidak begitu," berkata Kiai Gringsing, "bukan
karena ketakutan yang mencengkamnya. Tetapi barang"kali
ia mempunyai maksud-maksud lain."
"Apakah kira-kira maksud itu, Guru?" bertanya Swandaru
sambil berpaling. "Itulah yang masih harus kita selidiki. Kita ingin
menge"tahui apakah sebenarnya yang dikehendakinya."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
guru"nya berkata seterusnya, "Karena itu, kita harus menahan
diri. Kecuali apabila kita sudah terpaksa, kita akan
menentukan si"kap sejauh harus kita lakukan. Tetapi pada
dasarnya kita akan tetap berada di daerah ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika
ia ke"mudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit
menjadi semakin cerah. "Sebentar lagi mereka akan datang," desisnya.
Sebelum gurunya menyahut, Swandaru berkata, "Para
pengawas pun pasti akan datang juga. Agaknya merekalah
yang melihat api itu lebih dahulu dari gardunya daripada
orang-orang yang ada di dalam barak."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika di dalam
keremangan pagi ia melihat seseorang berjalan dengan
tergesa-gesa. "Siapakah itu?" ia bertanya.
Swandaru dan gurunya pun kemudian berdiri.
Dipandangi"nya orang yang semakin lama menjadi semakin
dekat. "Seorang petugas."
"Ki Wanakerti."
Sebenarnyalah bahwa orang yang mendekati mereka itu
adalah Wanakerti. Dengan suara yang terbata-bata ia berkata,
"Syukurlah kalau kalian selamat. Aku cemas, bahwa kami para
pengawas hanya akan menemukan abu dari kerangka kalian.
Sejak api itu berkobar, hatiku sama sekali tidak tenteram.
Ka"rena itu, aku telah mendahului kawan-kawanku untuk
menengok kalian. Ketika aku melihat beberapa sosok tubuh di
sini, hatiku menjadi agak tenteram. Ternyata kalian benarbenar
masih selamat." "Tuhan masih melindungi kami," berkata Kiai Gringsing.
"Syukurlah. Sebentar lagi beberapa orang petugas yang
lain pasti akan datang juga. Mereka pun menjadi cemas,
bahwa mereka tidak akan dapat melihat kalian lagi."
"Ternyata kami masih akan menyambut mereka."
"Sudah tentu orang-orang di barak itu pun akan datang pula
kemari." "Ya. Mereka ingin tahu, apa yang sudah terjadi di sini."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kami berpendapat, bahwa hantu-hantu itu memang benarbenar
telah marah ke"pada kalian, sehingga kalian telah
dibakarnya hidup-hidup."
"Tetapi mereka tidak berhasil."
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
keheran"an yang sangat telah terbersit di wajahnya. Di dalam
hati ia ber"kata, "Orang-orang ini memang orang-orang aneh."
Namun dalam pada itu pembicaraan mereka pun terhenti.
Di kejauhan tampak bayangan beberapa orang yang
berdatangan. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata yang datang adalah beberapa orang dari barak
dan beberapa orang petugas.
"Hem, kalian memang orang-orang yang bernasib baik,"
ber"kata salah seorang petugas. "Kami sudah menyangka,
bahwa ka"lian telah menjadi abu."
"Seperti yang Tuan lihat," jawab Kiai Gringsing.
"Jangan sombong," orang yang tinggi kekar itu menyahut,
"kali ini kalian bernasib baik. Tetapi besok, lusa, kalian akan
mengalami perlakuan yang sangat mengerikan."
"Seperti yang sudah aku katakan kepada Ki Wanakerti.
Tuhan selalu melindungi kami," berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi lain kali kau tidak akan dapat lolos. Dan kami pun
tidak dapat memberi kesempatan hal itu terjadi. Sebab
kemungkinan yang paling besar, lain kali barak kami itulah
yang akan menjadi sasaran kemarahan hantu-hantu itu."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "kami sudah
melepaskan diri dari kalian. Tidak ada sangkut pautnya lagi.
Biar"lah kemarahan itu menimpa diri kami."
"Gila. Sudah aku katakan. Tidak mungkin. Tidak mung"kin."
"Kami sudah siap seandainya kami harus mengalami
per"lakuan yang sangat mengerikan seperti apapun. Kami
yakin bahwa Tuhan masih melindungi kami. Itu adalah
pendapat kami yang sebenarnya. Kiai Damar, hantu dari
Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan siapa
pun lagi, adalah lantaran-lantaran yang dapat saja
dipergunakan oleh Tuhan untuk menye"lamatkan kami. Tetapi
adalah menjadi pegangan kami yang se"benarnya, bahwa
kehendak Tuhan-lah yang akan berlaku. Bukan kehendak
hantu-hantu yang manapun juga. Betapa hantu-hantu itu
men"jadi marah kepada kami, tetapi selama Tuhan tidak
membiarkan kami menjadi korbannya, tidak ada suatu pun
yang dapat dila"kukannya atas kami di sini."
"Persetan," teriak orang yang tinggi kekar itu, "kalian telah
menghasut kami dan membiarkan kami menjadi korban.
Kalian memang benar-benar pengkhianat yang harus
dimusnah"kan. Dengar, bahwa kami pun dapat memusnahkan
kalian sekarang juga. Sekarang."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya saja
wajah orang yang tinggi kekar itu. Wajah yang menjadi
kemerah-merahan oleh perasaannya yang meledak-ledak.
Sekali lagi Kiai Gringsing harus menggamit Swandaru yang
menjadi gelisah. "Tidak ada maaf lagi bagi kalian sekarang," berkata orang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tinggi kekar itu. "Kami sudah terlampau banyak memberi
kesempatan. Tetapi setiap kali kalian seolah-olah telah
menghinakan kami." "Sama sekali tidak," jawab Kiai Gringsing.
"Semuanya telah terbukti. Mula-mula hanya anakmu
sajalah yang telah dikutuk oleh hantu-hantu itu sehingga
menjadi sakit dan bahkan hampir mati. Kemudian barak kami
telah dilempari de"ngan batu. Sekarang salah satu gubug
kami telah terbakar. Ma"ka besok atau lusa, barak kamilah
yang akan terbakar habis. Nah, jika demikian, maka kami
semuanya akan menderita. Usaha ka"mi selama ini akan siasia."
"Itu tidak mungkin. Barak kalian tidak akan terbakar. Biarlah
hantu-hantu itu datang kepada kami. Kami akan memberi
me"reka penjelasan."
"Omang kosong. Semuanya omong kosong," berkata orang
yang tinggi kekar itu. "Kami sudah mengambil keputusan,
bahwa kalian memang harus pergi dari sini. Sekarang tidak
akan dapat kau tunda lagi. Tidak akan ada alasan apa pun
yang dapat kalian kemukakan."
"Tunggu," sahut Kai Gringsing, "aku masih mem"punyai
masalah yang dapat aku katakan kepada kalian."
"Tidak. Kau tidak mendapat kesempatan apa pun. Pagi ini
kalian harus pergi dari tempat ini. Selama ini kalian tidak
bermanfaat apa pun bagi kami, justru kalian telah membuat
kami semakin tidak tenteram. Karena itu, kalian hanya dapat
per"gi. Pergi. Bawalah semua yang kalian punyai di sini.
Kalian tidak akan dapat kembali lagi."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "siapa"kah
yang sebenarnya berkuasa dan berhak mengatur tata tertib di
sini. Kau atau para petugas yang resmi di tempatkan di sini?"
"Akulah yang berkuasa," berkata orang yang tinggi ke"kar
itu. "O, tentu tidak. Kau pendatang seperti kami."
"Jangan kau bantah lagi. Akulah yang di dalam
kenyata"annya berkuasa di sini. Ayo, bertanyalah kepada
para petugas. Di sini ada beberapa orang petugas. Mereka
tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap aku."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya saja
orang yang tinggi kekar itu. Namun sebagai seorang yang
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, ia
memang me"lihat sesuatu pada orang yang tinggi kekar itu.
"Kesempatan terakhir buat kalian adalah minta diri. Ayo,
berpamitanlah kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabatmu
di sini, serta ke"pada para petugas."
Kiai Gringsing tidak segera menyahut, ia masih tetap
ber"diri termangu-mangu di tempatnya.
"Cepat, sebelum kami kehabisan kesabaran," berkata
orang yang tinggi kekar itu.
Selagi Kiai Gringsing masih termangu-mangu, maka
seseorang telah maju mendekatinya. Katanya, "Sebenarnya
kami merasa sayang juga kehilangan kalian. Tetapi apa boleh
buat. Memang sebaiknya kalian pergi meninggalkan tempat
ini." "Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Setidak-tidaknya kau tidak akan menimbulkan keributan.
Kau tidak akan mengalami nasib yang buruk seperti yang
pernah terjadi. Seseorang yang tidak menjadi sakit karena
hantu-hantu, te"tapi justru karena ia keras kepala, sehingga
terpaksa diusir dengan kekerasan. Apalagi orang itu mencoba
melawan. Maka akhirnya ia menjadi kecewa dan menyesal. Ia
mengalami luka-luka dan harus meninggalkan tempat ini pula."
"Siapakah yang melukainya?"
"Orang ini juga. Ia selalu mencoba menyelamatkan barak
kami seisinya dengan menyingkirkan orang-orang yang
mungkin akan mendatangkan bencana bagi kami."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ja"wabnya sangat mengejutkan, "Maaf, Ki Sanak. Kami sudah
bertekad untuk tetap tinggal di sini. Selama para petugas tidak
mengusir kami, kami tidak akan pergi. Bahkan seandainya hak
kami dicabut sekalipun oleh para petugas, kami akan
menghadap langsung kepada Ki Gede Pemanahan atau
puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, karena kami merasa
berhak ikut serta membuka hutan ini."
"Kami tidak berbicara tentang hak," potong orang yang
tinggi kekar itu, "tetapi kami ingin menyelamatkan diri kami."
"Sudahlah," berkata orang yang kekurus-kurusan,
"ting"galkan tempat ini selagi kalian masih sehat."
"Ya," berkata orang yang lain. "Lebih baik kalian pergi.
Pergilah ke pedukuhan yang telah menjadi ramai di pusat
Tanah Mataram. Kalian akan menemukan lapangan yang
cukup untuk mencari sesuap nasi."
"Ya, pergilah, pergilah," yang lain lagi berkata, "untuk
kebaikanmu sendiri."
Tetapi Kiai Gringsing masih tetap membungkam.
Kening"nya menjadi semakin berkerut-merut.
"He, apakah kalian menunggu kesabaranku habis?" teriak
orang yang tinggi kekar itu.
Kiai Gringsing memandang wajah para petugas yang
di"liputi oleh keragu-raguan. Mereka berdiri saja mematung
tanpa da"pat berbuat apa pun juga, sehingga Kiai Gringsing
bertanya kepada mereka, "Bagaimana Tuan" Apakah aku
memang sudah boleh tinggal di sini?"
Sebelum para petugas itu dapat menjawab, orang yang
ting"gi itu mendahului, "Tidak ada kesempatan lagi. Pergi,
seka"rang ini juga. Kalau kalian masih juga berbicara, maka
mulut kalian akan aku sobek."
Mata orang itu terbelalak ketika ia melihat Swandaru
mem"buka mulutnya. Bahkan terlalu lebar. Hampir saja ia
meloncat menampar pipinya yang gembung itu. Tetapi niat itu
diurungkannya, karena ternyata Swandaru hanya menguap.
Namun wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah
padam, ketika ia mendengar Swandaru berdesis, "Aku jadi
mengantuk sekali." Orang yang tinggi kekar itu benar-benar merasa terhina.
Ka"rena itu ia menjadi gemetar. Tetapi ketika ia melangkah
maju, beberapa orang mencoba mencegahnya, "Sudahlah.
Biarlah me"reka pergi."
Salah seorang telah mendekati Kiai Gringsing sambil
ber"bisik, "Sudahlah. Tinggalkan tempat yang sama sekali
tidak memberikan harapan apa pun ini. Mungkin besok atau
lusa, da"tang giliranku untuk meninggalkan tempat ini."
"Maaf," Kiai Gringsing menggeleng, "aku tetap ting"gal di
sini." Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia
ber"kata, "Terserahlah kepadamu. Kami sudah mencoba
mencegah keributan dan mencoba memberimu peringatan.
Tetapi kalau kau tetap keras kepala, kami tidak dapat berbuat
apa-apa apabila sesuatu terjadi atas kalian. Para petugas itu
pun tidak." Kiai Gringsing tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan
kemudian ia berpaling kepada kedua muridnya. Ketika ia
me"ngangguk kecil, seperti berebutan Agung Sedayu dan
Swandaru berloncatan maju.
"Biarlah Swandaru menguap lagi," berkata Kiai Gringsing.
Sikap ketiganya sama sekali tidak dimengerti oleh orangorang
yang berdiri di seputar mereka. Sejenak mereka berdiri
mematung, sementara cahaya matahari telah mulai
menyentuh ujung de"daunan.
"Matahari telah naik," Kiai Gringsing justru berkata, "kenapa
kalian tidak mempersiapkan diri untuk pergi bekerja?"
"Gila, gila!" orang yang tinggi kekar itu berteriak. "Memang
kalian ingin mengalaminya. Minggir! Minggir!"
Wajah-wajah di sekitar orang yang tinggi kekar itu menjadi
te"gang. Mereka kini tidak akan dapat mencegahnya lagi.
Sebagi"an dari mereka telah menjadi gelisah. Tetapi sebagian
yang lain berkata di dalam hatinya, "Terserahlah. Kami sudah
mencoba memperingatkannya. Tetapi mereka benar-benar
orang-orang yang keras kepala."
Dan orang yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian
me"nyibak, seolah-olah membuat suatu lingkaran di sekeliling
orang yang tinggi kekar yang kini berdiri berhadapan dengan
Kiai Gringsing itu. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu pun maju
selang"kah sambil berkata, "Kalian telah menyia-nyiakan
maksud baik kami. Sekarang, kalian akan mengalaminya.
Kalian akan menye"sal karenanya. Tetapi penyesalan itu tidak
akan banyak berarti. Nanti, setelah kalian pingsan, kalian akan
dilempar ke pinggir hutan. Terserahlah akan nasib kalian.
Apakah kalian akan mati ditelan harimau, atau sama sekali
disendal mayang oleh hantu-hantu, itu bukan urusan kami
lagi." "Apakah hal itu dapat dibenarkan oleh tata tertib kehidupan
beradab di Mataram?" bertanya Kiai Gringsing.
Ternyata pertanyaan itu telah membuat orang yang
kekurus-kurusan itu menjadi ragu-ragu sejenak, sedang Kiai
Gringsing berkata terus, "Kalian telah melakukan pelanggaran
tata tertib kehidupan yang beradab bagi Mataram. Kalau hal
itu kalian lakukan, maka saksi-saksi akan berbicara. Atau
Mataram memang tidak mempunyai hukum sama sekali,
sehingga setiap orang ber"hak berbuat sekehendak hatinya"
Apakah di sini kekuatan akan berarti kekuasaan?"
Orang yang kurus itu masih termangu-mangu, sementara
para petugas mengerutkan keningnya.
Tetapi orang yang tinggi kekar itu agaknya sama sekali
sudah tidak dapat menguasai kemarahannya. Selangkah demi
se"langkah ia maju. Bahkan ia pun kemudian berteriak, "Ayo.
Kalau kalian akan melawan, lawanlah bertiga. Kalau tidak,
siapa yang lebih dahulu aku pukuli sampai pingsan?"
Benar-benar di luar dugaan bahwa Swandaru tertawa
karenanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat
menggelikan ba"ginya.
Agung Sedayu yang berdiri di sampingnya menggamitnya.
Tetapi ia pun telah tersenyum pula.
"Aku tidak dapat menahan hati lagi," berkata Swandaru
sambil maju selangkah. Agaknya gurunya memang telah
memberi kesempatan kepadanya. "Pertanyaanmu lucu sekali.
Siapa yang dengan suka rela bersedia dipukuli sampai
pingsan" Kau barangkali."
Wajah orang yang tinggi kekar itu menegang sejenak.
Seperti orang-orang lain, ia tidak menyangka sama sekali,
bahwa anak yang baru saja sembuh itu, dengan beraninya
maju men"dekatinya selagi ia marah bukan kepalang.
Namun dengan demikian, orang itu justru membeku
se"jenak di tempatnya, seolah-olah ia tidak percaya atas
penglihatan"nya. "He, kenapa kau justru mematung?" bertanya Swandaru
yang tidak lagi berusaha mengekang kata-katanya.
"Sebenarnya aku harus mengucapkan terima kasih, karena
kau telah memberi air selagi aku kehausan. Kau ingat" Air
apakah yang kau berikan kepadaku itu?" Swandaru berhenti
sejenak. Ditatapnya orang yang tinggi kekar dan orang yang
kekurus-kurusan itu berganti-ganti. "He, kau ingat kepada air
itu" Sayang, air itu tidak berhasil membunuhku. Kemudian,
apakah kau dapat meyakinkan kami tentang ceritera ular
Gundala Seta dan Gundala Wereng justru ceritera itu
bersamaan dengan serangan beberapa ekor ular di dalam
gubug kami" Dan yang terakhir ceritera tentang gubug kami
yang terbakar yang kau katakan, dibakar oleh hantu-hantu?"
Orang yang tinggi kekar itu tidak dapat menahan hati lagi.
Dengan serta-merta ia meloncat maju sambil mengayunkan
te"lapak tangannya ke pipi Swandaru yang gembung itu,
meskipun sudah agak susut.
Swandaru sama sekali tidak bergeser. Ia hanya menarik
kepalanya sambil berpaling.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, seakan-akan
membeku karenanya. Darah mereka serasa berhenti dan
wajah-wajah mereka menjadi pucat. Orang yang tinggi kekar
itu adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Mereka pernah melihat bagaimana ia kehilangan kesabaran,
karena seseorang yang tidak mau menuruti nasehatnya.
Kini hal itu terulang lagi. Meskipun orang tua itu
mem"punyai dua orang anak yang masih muda, dan yang
mungkin memiliki keberanian pula untuk berkelahi, tetapi
melawan orang yang tinggi kekar itu sama sekali pasti tidak
akan berarti. Tetapi kini mereka melihat anak yang gemuk itu tanpa
membayangkan kecemasan dan ketakutan sama sekali telah
ber"diri menghadapinya.
Apalagi, ketika mereka melihat tangan orang yang tinggi
kekar itu terayun di depan wajah Swandaru, hampir
menyentuh pipinya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak
menyinggungnya, meskipun Swandaru masih tetap berdiri di
tempatnya. Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran.
Mereka hampir tidak melihat bagaimana Swandaru
menghindar. Dan mereka menganggap bahwa orang yang
tinggi kekar itu telah bergerak begitu cepatnya.
Orang yang tinggi kekar, yang merasa tangannya sama
se"kali tidak menyinggung sasarannya, menjadi semakin
marah. Hal itu tidak pernah terjadi atasnya. Ia pernah
memukul seorang anak muda di dalam lingkungan para
pendatang yang mencoba melawan kehendaknya. Bahkan ia
pernah berkelahi melawan sekelompok pendatang yang
merasa dirugikan oleh tindakan-tindakannya. Dan ia pun
pernah menghajar seseorang yang tidak mau diusir dari
daerah pembukaan hutan ini, sehingga orang itu men"jadi
pingsan. Dan kini anak muda yang gemuk itu, yang pernah hampir
mati karena sakit dan bisa itu, dengan begitu saja telah
berhasil menghindari tangannya.
Karena itu sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah
Swandaru sejenak. Tetapi kemarahan di dadanya serasa
menja"di semakin menyala, karena Swandaru justru
tersenyum kepada"nya sambil berkata, "Kau memang
terlampau kasar. Apakah, kau benar-benar tidak mau
berbicara lagi?" Orang itu tidak menjawab. Kini ia telah bersiap untuk
dengan bersungguh-sungguh berkelahi melawan Swandaru.
Karena menurut dugaannya, Swandaru sedikit atau banyak,
pasti mam"pu pula berkelahi, ternyata dengan caranya
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindari tangannya. Swandaru melihat sikap orang yang tinggi kekar itu dengan
dada yang berdebar-debar. Kemudian perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, Swandaru pun menduga,
orang ini memang se"orang yang pantas ditakuti di daerah
pembukaan hutan ini, bah"kan para petugas yang bersenjata
pun tidak dapat berbuat apa-apa atasnya.
Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap untuk
mengha"dapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang berdiri
mengitari mereka pun semakin menyibak pula. Mereka
menduga bahwa akan terjadi suatu perkelahian. Tetapi dalam
pada itu mereka me"naruh belas yang semakin mendalam
kepada Swandaru yang sombong itu. Kalau orang yang tinggi
kekar itu tidak lagi dapat menahan diri, maka kemungkinan
yang paling buruk dapat ter"jadi atas Swandaru. Bukan saja ia
akan menjadi pingsan, tetapi barangkali lebih daripada itu.
Apalagi kalau saudara laki-lakinya dan ayahnya itu ikut
membantu pula. Maka akibatnya akan menyedihkan sekali.
Swandaru yang sudah bersiap pula menghadapi orang
yang tinggi kekar itu tidak mau bermain-main lagi. Ia tidak
tahu, sampai berapa jauh kemampuan lawannya. Kalau orang
itu tidak ber"hasil memukul pipinya, itu bukannya suatu
ukuran, karena hal itu dilakukannya sambil lalu saja, dan
tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya akan
menghindar. Sejenak kemudian, ketegangan pun memuncak ketika
orang yang tinggi itu mulai menyerang. Dengan kecepatan
yang luar biasa ia meloncat langsung menyerang Swandaru,
dengan kakinya yang mendatar, sedang tubuhnya yang miring
agak me"rendah pada lutut kakinya yang lain.
Namun Swandaru pun telah bersiap menghadapinya.
De"ngan tangkasnya pula ia menarik sebelah kakinya. Ketika
kaki lawannya meluncur di sisinya, dengan cepat ia
mendorong kaki itu ke depan. Namun lawannya pun lincah
pula. Begitu kakinya yang terlempar itu menjejak tanah, maka
ia pun segera berputar dengan sebuah serangan kaki
mendatar. Swandaru terpaksa meloncat surut. Tetapi segera ia
ber"siap untuk menyerang lawannya yang masih terputar
setengah lingkar. Begitu lawannya itu berhenti berputar,
Swandaru me"loncat maju. Tangannya yang kuat langsung
menjulur ke arah pundak kanan. Tetapi orang itu masih
sempat menggeliat. Sambil memiringkan tubuhnya ia
menangkis pukulan Swandaru itu. Ia terlampau percaya akan
kekuatannya, sehingga ia yakin, bahwa anak yang gemuk itu
pasti akan terpental oleh kekuatan"nya sendiri.
Tetapi Swandaru ternyata telah mempergunakan sebagian
besar dari kekuatannya, karena ia belum tahu betapa besar
ke"kuatan lawannya. Karena itu sentuhan pukulan Swandaru
de"ngan lengan orang yang tinggi kekar, yang menangkis
serangan"nya itu, merupakan suatu benturan dua kekuatan
yang besar. Swandaru tergetar selangkah surut. Namun ia
segera tegak di atas kedua kakinya yang renggang, sedikit
merendah di atas lututnya. Satu tangannya bersilang di muka
dadanya, sedang tangannya yang lain terjulur lurus ke depan.
Telapak tangannya terbuka, dan keempat jari-jarinya merapat,
sedang ibu jarinya se"dikit merenggang di hadapan telapak
tangannya. Suatu sikap dalam unsur gerak Naga Rangsang.
Dalam pada itu, setiap dada serasa berhenti berdetak
ke"tika mereka melihat akibat yang terjadi atas seorang yang
tinggi kekar itu. Tanpa diduga sama sekali oleh setiap orang, maka orang
yang tinggi kekar itu ternyata telah terlempar tiga langkah.
Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Hanya dengan
susah payah ia masih dapat tetap bertahan berdiri di atas
kedua kakinya. Karena itu, orang yang tinggi kekar itu tidak akan sempat
untuk berbuat sesuatu, apabila Swandaru langsung
menyerang"nya. Sikap Naga Rangsang itu sangat berbahaya
baginya. Setiap saat Swandaru dapat meloncat dan kedua
tangannya mematuk seperti seekor naga dari arah yang
berbeda. Jari-jari tangannya yang merapat, adalah senjata
dari unsur gerak itu yang sangat berbahaya. Jari-jari tangan
Swandaru yang terlatih baik itu, akan mampu mencengkam
daging lawannya. Apalagi apabila daya tahan lawannya tidak
memadai. Tetapi ketika Swandaru melihat akibat benturan itu, ia tidak
segera menyerang. Bahkan ia sempat berpaling memandang
gurunya yang berdiri di luar arena.
Swandaru masih melihat gurunya menggelengkan
kepala"nya. Karena itu, maka sikapnya pun mengendor pula.
Tangannya kini tidak lagi terjulur lurus ke depan. Kakinya tidak
lagi me"renggang dan merendah pada lututnya, meskipun
satu tangannya masih bersilang di depan dadanya.
Benturan itu dapat memberinya petunjuk, bahwa
lawan"nya bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan
luar biasa. Ia adalah seseorang yang kuat dan berilmu. Tetapi
bukan orang yang tidak terkalahkan.
Meskipun benturan itu belum berarti penentuan akhir dari
perkelahian itu, tetapi setidak-tidaknya Swandaru telah
mempunyai sedikit gambaran tentang lawannya.
Karena itulah, maka ketika lawannya sedang memperbaiki
keadaannya, maka Swandaru melangkah seenaknya
mendekati"nya, meskipun sebenarnya ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Tangan kirinya masih tetap bersilang di muka
dadanya, tetapi tangan kanannya melenggang di sisi
tubuhnya. "Luar biasa," ia berdesis.
Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Ia
pun mengerti pula, bahwa Swandaru kini dapat menilai
ke"mampuannya. Namun demikian orang yang tinggi kekar itu
tidak segera menyerah kepada keadaan. Benturan itu
memang bukan penentuan. Karena itu, ia pun segera
mempersiapkan diri. Namun sikap Swandaru kemudian justru
sangat menyakitkan hatinya. Anak yang gemuk itu berjalan
seperti ayam aduan menghadapi lawannya yang sudah terikat
kedua belah kakinya. "Setan alas!" orang yang tinggi itu mengumpat.
"Jangan menyebut nama itu. Kalau ada hantu yang
men"dengar, ia akan marah. Bukankah di sini banyak hantu?"
ber"kata Swandaru. "Sebutlah yang lain, jangan setan alas.
Apalagi Alas Mentaok. Sebutlah setan gunung atau setan
jurang atau setan apa pun."
Kemarahan orang itu benar-benar serasa meledakkan
dadanya. Karena itu ia tidak menyahut lagi. Dengan sertamerta
ia me"loncat menyerang Swandaru. Kali ini ia telah
mengerahkan se"genap kemampuan yang ada padanya.
Swandaru yang sebenarnya sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan, segera menghindar. Tangan orang yang tinggi
kekar itu terjulur di samping dadanya. Dengan serta-merta
Swandaru memutar tubuhnya sambil menangkap tangan itu.
Dengan sekuat tenaga Swandaru menarik tangan orang itu
le"wat di atas pundak, sedang tubuhnya merendah di atas
lututnya, membelakangi lawannya.
Orang itu tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Terdorong
oleh kekuatannya sendiri, ditarik pula oleh kekuatan
Swandaru, ma"ka orang yang tinggi bertubuh kekar itu
terpelanting lewat di atas kepala Swandaru. Setelah sekali ia
terputar di udara, maka ia pun kemudian terlempar dan jatuh
terbanting di tanah. Setiap mulut hampir saja berteriak melihat hal itu. Tetapi
setiap mulut itu pun tertahan oleh bibir yang terkatup rapat.
Bahkan ada di antara mereka yang menutup mulutnya dengan
telapak tangannya. Bukan saja orang-orang yang tinggal di dalam barak, tetapi
para pengawas pun menjadi sangat kagum melihat cara
Swandaru menguasai lawannya yang lebih tinggi dan besar
daripadanya. Apalagi melihat tubuh Swandaru yang gemuk itu,
mereka menjadi terheran-heran melihat kelincahannya.
Sejenak orang yang tinggi kekar yang masih terbaring di
tanah itu menggeliat. Mulutnya menyeringai menahan sakit.
Tangannya ditekankan pada lambungnya yang agaknya
men"jadi sangat sakit.
Sejenak orang itu tidak segera mampu berdiri. Perlahanlahan
ia berusaha duduk. Meskipun, matanya menjadi merah
oleh ke"marahan yang memuncak, tetapi ia benar-benar tidak
segera dapat bangun. "Anak iblis!" ia mengumpat.
Swandaru masih berdiri di tempatnya. Ditatapnya saja
wa"jah orang itu. Wajah yang menjadi semakin tegang.
Namun dalam pada itu, perhatian setiap orang kini
berpin"dah. Tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan
melangkahi mendekati orang yang tinggi kekar, yang masih
saja duduk di tanah. "Berdirilah," katanya.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera berdiri.
"Marilah, aku tolong," berkata orang yang kurus itu.
Maka orang yang tinggi kekar itu pun dibantunya berdiri.
Meskipun dengan susah payah, akhirnya ia dapat tegak di
atas kedua kakinya. "Apakah kau masih mampu berkelahi?" orang yang
kekurus-kurusan itu bertanya.
Sekali orang yang tinggi itu menggeliat. Namun ia tidak
segera menjawab. "Apakah kau masih mampu berkelahi?" orang yang
kekurus-kurusan itu bertanya lagi. Lalu, "Inilah kebodohan kita.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang dengan sengaja
ingin membuat kisruh di tempat ini. Mereka memang bukan
orang kebanyakan. Anak yang gemuk ini telah mampu
membantingmu. Agaknya kau menganggapnya terlampau
rendah. Sekarang, hati-hatilah. Bersungguh-sungguhlah.
Kalau perlu, kau dapat mempergunakan senjatamu. Aku akan
mengawasi ayah dan kakaknya. Mereka pun bukan orangorang
kebanyakan." Orang yang tinggi kekar itu menjadi ragu-ragu. Tanpa
sesa"darnya ia meraba ikat pinggangnya yang besar.
Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Demikian juga
Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Mereka memang melihat
hu"bungan dari keduanya. Tetapi kini semakin ternyata bahwa
keduanya memang bukan orang lain. Keduanya pasti
mempunyai ikatan lebih dari kawan di dalam pembukaan
hutan ini. Namun yang mengherankan, agaknya orang yang kekuruskurusan
itulah yang mempunyai pengaruh yang lebih besar
dari"pada orang yang tinggi kekar, sehingga seandainya
benar-benar me"reka mempunyai ikatan tertentu, maka orang
yang kekurus-kurusan itu pasti mempunyai kedudukan selapis
lebih tinggi. Dalam pada itu, wajah Swandaru, Agung Sedayu, dan Kiai
Gringsing menegang, ketika mereka melihat orang yang tinggi
kekar itu tiba-tiba mencabut sepasang pisau di kedua
tangannya. "Nah, tidak ada salahnya kalau kau mempergunakannya,"
berkata orang yang kekurus-kurusan itu. "Bahkan kalau
terpaksa orang-orang itu mati, sama sekali bukan salah kita.
Mereka telah melawan ketentuan yang ada di sini."
"Tunggu," sela Kiai Gringsing, "siapakah yang berhak
mengawasi daerah ini" Kalau ada pelanggaran atau
perlawanan terhadap peraturan yang berlaku, siapakah yang
berhak ber"tindak?"
"Persetan," desis orang yang kekurus-kurusan, "kami akan
berjasa kalau kami dapat membantu melakukan tugas para
pe"ngawas." "Demikian juga kami," tiba-tiba saja Swandaru menyahut.
Orang yang kekurus-kurusan, orang yang tinggi kekar, dan
orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun menjadi heran.
"Kami juga merasa membantu para petugas, apabila kami
dapat membuat kalian jera. Kalian adalah orang-orang yang
sama sekali tidak menghargai orang lain, termasuk para
petugas yang ada di sini. Justru kalian menganggap beberapa
petugas yang ada itu sama sekali tidak mampu berbuat apaapa,
sehingga kalian perlu membantu mereka."
"Diam!" teriak orang yang kekurus-kurusan.
Suara teriakannya telah mengejutkan setiap orang yang
men"dengarnya. Suara itu keras, lantang dan berat, sehingga
sama sekali berbeda dengan sifat-sifat yang setiap kali dilihat
oleh orang-orang di dalam barak itu. Orang yang kekuruskurusan
itu sering menggigil ketakutan apabila ia melihat
sesuatu, bahkan kesannya ia ada"lah seorang penakut yang
cengeng. Tetapi kini tiba-tiba saja ia menjadi sangat garang
dan kasar. "Jangan biarkan ia berbicara lagi. Bunuhlah kalau kau
terpaksa melakukannya. Kau dan kita semua, tidak akan
dihu"kum oleh siapa pun."
Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba matanya menjadi liar dan kemerah-merahan, sedang
kedua pisau di tangannya menjadi gemetar.
Sekilas Swandaru memandang mata pisau yang bergetar
itu. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika tampak olehnya
bahwa daun pisau itu berwarna hitam kemerah-merahan.
Sama sekali tidak putih mengkilap seperti sebilah pedang.
Gurunya melihat pula warna itu, sekaligus melihat
ke"raguan Swandaru. Karena itu, maka ia pun kemudian
berkata, "Hati-hatilah atas sepasang pisau itu."
Orang yang kekurus-kurusan dan orang yang tinggi kekar
itu pun berpaling kepadanya, sementara Kiai Gringsing
berkata te"rus, "Pisau itu berbahaya bagimu. Setiap goresan
di kulitmu, akibatnya akan sangat berbahaya bagimu. Ingat,
orang-orang itu ada"lah orang-orang yang senang sekali
bermain-main dengan racun. Demikian juga pisau itu. Pisau itu
tidak sekedar diberi warangan biasa, tetapi warangan yang
mengandung racun yang paling tajam."
"Persetan dengan igauanmu," potong orang yang kekuruskurusan.
"Tetapi jangan takut," berkata Kiai Gringsang pula, "kau
adalah orang yang kebal, setidak-tidaknya telah dibekali
dengan berbagai macam obat untuk melawan racun. Berapa
kali kau hampir mati karena racun. Tetapi kau masih tetap
hidup sampai sekarang."
Tetapi suara Kiai Gringsing terputus ketika orang yang
kekurus-kurusan itu berteriak, "Jangan hiraukan kicau orang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua itu. Cepat, lakukanlah tugas ini sebaik-baiknya."
Orang yang tinggi kekar itu memang tidak menunggu lagi.
Perlahan-lahan ia maju mendekati Swandaru. Meskipun
tenaganya kini sudah jauh berkurang, namun sepasang pisau
itu benar-benar telah mendebarkan jantung.
Pisau yang beracun itu seakan-akan terayun-ayun di
tangan orang yang tinggi itu. Sekali-sekali berputar dan sekalisekali
terjulur lurus ke depan. "Gila," berkata Swandaru di dalam hatinya. "Untunglah,
bahwa tenaganya sudah hampir habis. Nafasnya pun agaknya
sudah hampir putus. Kalau aku dapat menghindar terusmenerus,
tanpa perlawanan apa pun, ia pasti akan berhenti
dengan sendiri"nya, kehabisan nafas."
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang itu pun sudah
mulai menyerang. Meskipun geraknya tidak lagi terlampau
ce"pat, tetapi kini ia memusatkan serangannya pada ujung
pisau"nya. Swandaru merasa, bahwa ia harus benar-benar berhatihati.
Menurut gurunya, racun itu adalah racun yang sangat
kuat. Sehingga karena itu, maka ia pun selalu menghindari
serangan-serangan yang se"gera datang beruntun.
Dengan ragu-ragu Swandaru mencari kesempatan untuk
menye"rang. Tetapi sepasang pisau itu benar-benar sangat
berbahaya. Se"kali ia memang melihat pertahanan orang itu
terbuka. Namun ternyata Swandaru cukup waspada juga
karena ia melihat jebakan-jebakan yang akan menyeretnya
untuk berpelukan dengan maut.
Dalam pada itu, ternyata untuk beberapa saat Swandaru
sama sekali tidak berdaya menghadapi kedua pisau beracun
itu. Ia sama sekali tidak mau tergores meskipun hanya
seujung ram"but. Dengan demikian, maka ia hanya dapat
berloncatan mundur dan berputar di arena perkelahian itu
tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk menyerang.
"Selesaikan saja anak itu," berkata orang yang kekuruskurusan.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Swandaru, maka
orang itu pun sudah menjadi semakin lelah. Nafasnya menjadi
terengah-engah dan keringatnya sudah membasahi seluruh
permuka"an kulitnya.
"Apakah kau masih mampu mempergunakan tenagamu
terakhir," bertanya orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu menggeram. Ditatapnya wajah Swandaru yang
menegang sejenak. Tetapi Swandaru itu justru kemudian
terse"nyum sambil menjawab, "Mari kita berlomba lari.
Berputar-putar di arena ini. Pada suatu saat, tanpa
perlawanan apa pun kau akan pingsan. Nafasmu tinggal
tersangkut di ujung hidungmu."
"Licik," teriak orang yang kekurus-kurusan, "Kau sangat
licik. Itu bukan perbuatan jantan."
"Senjata itu sangat berbahaya," sahut Swandaru.
"Sentuhan yang tidak berarti dapat membuatku mati. Dan aku
tidak mau. Lebih baik kita berkejar-kejaran sampai kawanmu
itu pingsan sendiri."
"Kenapa kau tidak pulang saja?" bertanya orang yang
kekurus-kurusan. "Kenapa?" bertanya Swandaru.
*** "Menanak nasi seperti perempuan. Kalau kau laki-laki, kau
tidak akan berkelahi dengan cara itu. Kau pasti akan berusaha
melawan meskipun akibatnya mati."
Wajah Swandaru menegang kembali. Terasa darahnya
me"lonjak mendengar penghinaan itu. Dan orang yang
kekurus-kurusan itu masih berkata, "Nah, apa katamu
sekarang" Orang-orang di sekitar kita menjadi saksi, bahwa
ternyata kau adalah orang yang hanya dapat berteriak-teriak
tanpa arti." Sejenak Swandaru tidak menyahut. Namun kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Jadi
menurut penilaianmu sekarang ini akulah yang licik meskipun
kawanmu yang menggenggam senjata yang ganas itu?"
Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga-duga. Orang yang
kekurus-kurusan itu mengharap Swandaru marah dan
langsung menye"rang. Tetapi agaknya anak yang gemuk itu
masih saja dapat menahan diri. Karena itu justru ia sendirilah
yang menjadi tidak sabar lagi. Katanya kepada orang yang
tinggi kekar, "Nah, kau telah cukup mendapat istirahat.
Lakukanlah sekarang. Kejar anak gemuk itu sampai dapat.
Kalau ia menghadapkan dadanya tikamlah dadanya. Kalau ia
lari tikamlah punggungnya."
"Kalau aku miring?" bertanya Swandaru.
"Gila," teriak orang yang kekurus-kurusan. "Lakukan
se"karang!" Orang yang kekar itu menggeram, ia maju selangkah demi
selangkah dengan wajah yang semakin liar.
Dalam pada itu Swandaru menjadi lebih berhati-hati
menghadapinya. Namun demikian ia memang merasa, kalau
dengan cara ini maka perkelahian akan berlangsung terlalu
lama. Ia harus menemukan kesempatan yang sebaik-baiknya
untuk mengalah"kan lawannya, tetapi kulitnya sendiri tidak
tergores ujung sen"jata beracun itu.
Namun akhirnya Swandaru menarik nafas ketika gurunya
berkata, "Sudahlah, jangan biarkan permainan ini berlangsung
terlampau lama. Bukankah kita ini gembala yang baik, yang
masih tetap menyimpan cambuk kita masing-masing"
Pergunakan cam"bukmu untuk mencegah pisau-pisau
beracun itu." Agung Sedayu menegang sejenak, memandangi wajah
guru"nya. Tetapi ia pun segera mengangguk-angguk.
Gurunya sama sekali tidak sekedar diburu oleh kegelisahan.
Namun agaknya gurunya memang merasa tidak perlu lagi
menyembunyikan cambuk-cambuk ini. Sebagian dari cirri-ciri
dirinya sudah mulai diperlihatkannya.
Swandaru yang semula juga ragu-ragu, kemudian
tersenyum ketika ia melihat gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan ia masih sempat berkata, "Apakah aku
harus menggembalakan pisau ini?"
Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang yang tinggi
ke"kar itu sudah mulai menyerangnya sambil menggeram,
"Per"setan dengan gembala gila seperti kalian."
Swandaru masih harus meloncat menghindar. Namun
kemudian ketika ia berdiri di atas sepasang kakinya,
tangannya sudah menggenggam cambuknya yang diurai dari
bawah ba"junya. "Nah," katanya, "sekarang kita masing-masing sudah
ber"senjata. Senjatamu adalah senjata seseorang yang
menguasai racun, sedang senjataku adalah senjata seorang
gembala." Mata orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam.
Sejenak dipandanginya ujung cambuk Swandaru. Namun
kemudian ia menggeram, "Persetan! Kau sangka aku sekedar
seekor kambing domba yang ketakutan mendengar bunyi
cambuk." Swandaru tidak menjawab. Tetapi diputarnya cambuknya di
atas kepalanya. Sudah agak lama ia tidak mempergunakan
cambuk itu, sehingga ia merasa perlu untuk melemaskan otototot
Ratu Cendana Sutera 2 Wiro Sableng 123 Gondoruwo Patah Hati Suramnya Bayang Bayang 21
pula. Agung Sedayu dan Swamdaru pun telah tegak pula di
belakang gurunya. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang.
Namun mereka masih berusaha untuk menahan diri. Mereka
masih belum tahu benar, apakah yang akan dilakukan oleh
gurunya. "Cobalah dengar," berkata Kiai Gringsing, "aku masih ingin
mendapat kesempatan sekali lagi atas tanggung jawabku
sendiri. Aku yakin bahwa pada suatu saat aku akan dapat
ber"kata kepada mereka dalam suasana yang sebaik-baiknya.
Aku yakin bahwa Kiai Damar bukan seorang pembohong."
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu mengerutkan
kening"nya, "Kenapa kau singgung-singgung nama Kiai
Damar." "Ya, Kiai Damar adalah seorang dukun sakti yang mampu
berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Bukankah semua
orang sudah mengenalnya, meski pun belum mengenal
namanya." Orang yang tinggi kekar itu tidak menyahut. Tetapi ketika
Kiai Gringsing mengedarkan tatapan matanya, maka setiap
orang yang dipandanginya menganggukkan kepalanya.
"Nah, aku yakin akan hal itu. Yakin bahwa Kiai Damar
adalah seorang yang dapat dipercaya."
Orang yang tinggi besar itu tampak termangu-mangu.
"Bukankah begitu?"
"Apa katanya?" bertanya orang itu.
"Ketika aku datang kepadanya untuk minta obat bagi
anakku, ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah
sebab"nya aku percaya sepenuhnya kepadanya."
"Apa yang diketahuinya."
"Ia berkata kepadaku saat itu "Pulanglah, anakmu akan
sembuh dengan sendirinya." Ternyata anakku benar-benar
telah sembuh. Sudah tentu setelah Kiai Damar berbicara
dengan hantu-hantu." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Di
dalam per"soalan tanah garapan itu pun Kiai Damar sudah
berbicara dengan mereka menurut keterangan Kiai Damar."
"Bohong!" "Sebenarnya aku tidak boleh mengatakannya kepada siapa
pun sebelum aku berhasil."
"Apa?" "Pada saatnya akan aku katakan. Tetapi di antaranya dapat
kalian ketahui, bahwa Kiai Damar menganjurkan aku bekerja
terus. Bekerja menurut petunjuknya."
"Apa petunjuk itu?"
"Sudah aku katakan, pada saatnya kalian akan
mengeta"hui. Aku takut mengatakannya sekarang."
Orang yang kekar itu menjadi ragu-ragu sejenak.
"Ada sesuatu yang harus aku lakukan di tanah garapan itu."
"Kau membual." "Aku akan menghadap Kiai Damar sekali lagi. Kalau aku
memang tidak diijinkan untuk meneruskan kerja ini, maka
biarlah persoalannya akan aku serahkan kembali kepada Kiai
Damar." Orang yang tinggi kekar itu menjadi semakin ragu-ragu.
"Atau apakah ada di antara kalian yang akan bertanya
kepadanya" Aku akan berterima kasih kalau seseorang
memerlu"kan membuktikan kebenaran kata-kataku."
Sejenak orang-orang yang mengerumuninya itu terdiam.
Orang yang tinggi itu pun terdiam pula. Tanpa sesadarnya ia
berpaling memandang orang yang kekurus-kurusan. Tetapi
wajah orang yang kekurus-kurusan itu pun membayangkan
keragu-raguan pula. "Baiklah," tiba-tiba orang yang kekar itu berkata, "kalau kau
memang sudah mendapat suatu pesan dari Kiai Damar.
Tetapi kalau kau berbohong maka lehermu menjadi taruhan."
Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kenapa hantu-hantu
itu marah?" "Mungkin ada persoalan lain yang tidak kita mengerti.
Hantu-hantu itu pasti tidak akan mempersoalkan kerjaku lagi.
Kerja yang sudah mendapat ijin mereka atau setidak-tidaknya
sepengeta"huan mereka."
Orang yang tinggi kekar itu masih berdiri di tempatnya.
Na"mun kemudian ia menggeram, "Kita akan membuktikan,
apakah kau sekedar berbohong, atau sebenarnya memang
demikian. Kita akan melihat akibat selanjutnya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
bersungguh-sungguh ia memandang orang yang tinggi kekar
itu. Kemudian kepada wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
"Aku tidak berbohong," ia berdesis.
Orang yang tinggi kekar tidak menyahut lagi. Dengan
mengumpat-umpat ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing dan
kedua anak-anaknya. Sepeninggal orang yang tinggi kekar itu, maka beberapa
orang masih tetap mengerumuninya. Namun kemudian
seorang demi seorang mereka pun meninggalkannya.
Ketika tidak banyak lagi orang yang berdiri di dekat Kiai
Gringsing maka seseorang telah bertanya, "Apakah kau
berkata sebenarnya?"
Kiai Gringsing yang tidak mengenal orang itu sampai ke
dalam jantungnya mengangguk dan menjawab, "Ya, tentu aku
berkata sebenarnya."
"Dan kau masih akan mencoba seperti yang kau katakan?"
"Ya." "Berbahaya sekali."
"Aku yakin Kiai Damar akan melindungi aku."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahanlahan
melangkah meninggalkan Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing kemudian bersama-sama kedua muridmuridnya
duduk kembali di tempatnya. Sejenak mereka saling
berdiam diri. Na"mun demikian Kiai Gringsing menyadari
betapa kedua murid-muridnya telah menahan hati mereka.
"Pada suatu saat, dada ini akan meledak," desah
Swandaru. Kiai Gringsing tersenyum. Dilihatnya beberapa orang telah
berbaring kembali di tempatnya.
"Suatu latihan kesabaran yang paling baik, Swandaru."
"Tetapi sampai kapan?"
"Sampai pada suatu saat yang tidak akan lama lagi."
"Saat yang tidak akan lama lagi itu adalah suatu waktu
yang tidak dapat dibayangkan."
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Agung Sedayu yang tidak bertanya apa pun itu kemudian
berbaring pula. Betapa darahnya serasa mengalir semakin
cepat, namun ia masih tetap mencoba menguasai
perasaannya. Swandaru pun kemudian menyusulnya pula. Berbaring di
sampingnya agak berdesak-desakkan. Sedang Kiai Gringsing
duduk bersandar dinding sambil memandang orang-orang
yang sudah mulai mencoba untuk dapat tidur kembali.
"Kasihan. Jiwa mereka bagaikan daun kering yang
di"ombang-ambingkan gelombang di permukaan wajah
lautan. Tidak menentu dan sama sekali tanpa pegangan."
Tetapi Kiai Gringsing masih belum dapat berbuat apa-apa.
Yang dapat dilakukannya adalah mengusap dadanya dengan
pe"nuh iba. "Mudah-mudahan kalian tidak akan lebih lama lagi
mengalami tekanan perasaan serupa itu," ia berkata di dalam
hatinya. Ternyata sisa malam sudah tidak terlampau panjang lagi.
Sejenak kemudian langit di ujung Timur pun telah mulai
menjadi kemerah-merahan. Barak itu pun tidak lama kemudian menjadi terbangun pula
karenanya. Beberapa orang dengan sikap ragu-ragu telah
keluar dan turun ke halaman. Seorang demi seorang mereka
pergi ke sumur dan ke parit yang tidak begitu jauh dari barak
itu. Namun bagaimana pun juga mereka masih terap
dibayangi oleh ketakutan apabila mereka teringat kepada
suara-suara hantu semalam.
"Tetapi hantu-hantu tidak akan mau menampakkan dirinya
setelah ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya," berkata
mereka di dalam hati untuk menenteramkan perasaan masingmasing.
Demikianlah maka pada saatnya mereka pun telah
mening"galkan barak dan gardu pengawas pergi ke tempat
kerja masing-masing sambil membawa rangsum masingmasing.
Demikian juga Kiai Gring"sing dan kedua muridnya.
Mereka pun telah pergi ke tempat kerja mereka, yang sampai
saat terakhir masih menjadi persoalan.
"Kalau mereka berhasil mengusir kita dan setiap orang
yang akan melanjutkan kerja ini, maka lambat laun mereka
akan berhasil mengusir orang-orang yang berada di dalam
barak itu pula dengan cara mereka. Semakin lama maka
semakin tipislah usaha untuk memperluas tanah garapan ini,
sehingga pada suatu saat, maka hantu-hantu itu akan masuk
ke tempat-tempat yang lebih ramai dan mengusir orang-orang
dari daerah Mataram yang sedang dibangun ini," berkata Kiai
Gringsing kepada murid-muridnya. Lalu, "Ka"rena itu, apa pun
yang akan terjadi, kita harus tetap bertahan. Mungkin kita
memang harus berkelahi dengan hantu-hantu itu. Te"tapi apa
boleh buat." Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang sangat menarik sekali apabila pada suatu saat
mereka dapat berkelahi dengan hantu-hantu yang telah
mencoba mengganggu ketenteraman orang-orang yang
sedang membuka hutan itu.
"Guru," tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "supaya kita
dapat berbuat lebih leluasa, bagaimanakah kalau kita minta
ke"pada para pengawas untuk dapat tinggal di gubug-gubug
kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya itu" Kita dapat
berbuat se"suai dengan rencana kita sendiri tanpa ada orang
yang meng"halanginya, dan sudah tentu, kita tidak akan
mengganggu dan menggelisahkan orang di dalam barak itu
apabila kita dikatakan telah membuat hantu-hantu itu marah
yang kemarahannya akan me"nimpa semua orang di dalam
barak itu." Kiai Gringsing merenung sejenak. Katanya, "Itu suatu
pendapat yang baik. Aku setuju. Aku akan mencoba
mengata"kannya agar kita diberi kesempatan untuk tinggal di
gubug-gubug kecil yang kosong itu."
Demikianlah, ketika mereka telah selesai bekerja sehari
penuh, mereka pun segera kembali. Sebenarnya tidak ada
yang mereka kerjakan selain membersihkan beberapa bagian
dari rerumputan liar dan mengawasi tempat itu dengan lebih
saksama lagi. Mereka tidak segera kembali ke barak, tetapi Kiai Gringsing
bersama kedua muridnya telah menemui para pengawas
untuk menyampaikan maksudnya itu.
Para pengawas yang mendengar permintaan Kiai Gringsing
itu menjadi heran. Ada di antara mereka yang tidak langsung
mempercayai pendengarannya sehingga bertanya, "Apakah
kau sekedar bergurau?"
"Tidak, Tuan," jawab Kiai Gringsing, "kami bersungguhsungguh."
Beberapa orang pengawas menarik nafas dalam-dalam.
Seseorang yang gemuk pendek berambut jarang menggelenggelengkan
kepala"nya sambil bergumam, "Aku tidak
mengerti." Ki Wanakerti, salah seorang dari para pengawas itu
berkata, "Kalian menunjukkan sikap yang lain dari orang-orang
yang ada di sini sejak kalian datang. Kalian pernah mengalami
banyak hal yang dapat mendesak kalian untuk meninggalkan
tempat ini, namun justru kalian menjadi semakin berani."
"Bukan begitu, Tuan. Kami hanya bermaksud sekedar
menghindari sikap yang dapat berakibat kurang baik dari
beberapa orang yang tidak senang terhadap kami. Karena itu,
me"mang sebaiknya kami memisahkan diri dari mereka."
"Aku mengerti, tetapi apakah kalian pada suatu saat tidak
akan mati ketakutan?"
"Bukankah beberapa keluarga tinggal juga di gubug-gubug
itu?" "Tetapi gubug-gubug yang sangat berdekatan. Dan gubuggubug
itu sudah berjejal-jejal diisi oleh beberapa keluarga."
"Tetapi bukankah masih ada yang kosong?"
Wanakerti mengerutkan keningnya. Sejenak ditatapnya
wajah Kiai Gringsing, kemudian dipandanginya wajah
kawan"nya yang keheran-heranan.
"Apa boleh buat," berkata pemimpin pengawas itu, "kalau
kau memang berniat demikian. Ternyata niat itu telah
menimbulkan sesuatu yang lain di dalam hatiku." Orang itu
ber"henti sejenak, lalu, "Tetapi bukan maksudku untuk
menentukan sesuatu atas niatmu itu," sekali lagi ia berhenti.
Wajahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia
berkata, "Memang aneh. Tetapi aku memang ingin melihat,
apakah yang akan ter"jadi atas kalian. Atas tempat tinggal
yang akan kalian pilih dan tentang tanah garapan kalian itu.
Tetapi sekali lagi, sama sekali bukan maksudku untuk
mempergunakan kalian sebagai bahan percobaan."
"Kami mengerti," jawab Kiai Gringsing. "Memang sama
sekali bukan percobaan. Hal ini tumbuh dari keinginan kami
sendiri. Dan kami tidak akan meletakkan tanggung jawab
kepada orang lain di dalam hal ini."
"Baiklah," pemimpin petugas itu menganggukkan
kepala"nya, "pilihlah sendiri tempat tinggal yang akan kau
perguna"kan." "Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Sejak malam ini kami
akan menempatinya." "Sejak malam ini?"
"Ya." Sekali lagi para pengawas itu menjadi heran. Salah
seorang dari mereka berkata, "Tingkah laku kalian memang
sangat me"narik perhatian."
"Sama sekali tidak, Tuan. Kami hanya ingin menjauhkan
diri dari pertengkaran yang tidak perlu. Sebenarnyalah bahwa
kami agak merasa takut menghadapi orang yang tinggi kekar
dan orang yang kekurus-kurusan, yang selalu saja
mengancam kami." "Apakah kau menjadi sedemikian ketakutan sehingga
mengatasi ketakutanmu terhadap hantu-hantu yang hampir
membunuh anakmu?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian
jawab"nya, "Terhadap hantu-hantu itu aku sudah mempunyai
jaminan. Kiai Damar dan hantu-hantu pendatang. Di antaranya
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari Gunung Merapi. Tetapi terhadap orang yang tinggi kekar
itu aku sama sekali tidak mempunyai pelindung."
Petugas itu menggeleng-gelengkan kepalanya pula.
Katanya, "Terserah kepada kalian. Kalian akan bertanggung
jawab atas kalian sendiri."
Demikianlah, maka pada malam itu Kiai Gringsing minta diri
kepada kawan-kawannya yang ada di dalam barak.
Dijinjingnya sebungkus pakaian kumal yang hampir tidak
berharga lagi. "Kalian memang orang-orang aneh. Berani tetapi bodoh,"
de"sis seseorang. Kiai Gringstng tersenyum. Tetapi ia tidak menanggapinya.
Namun ia terpaksa berhenti ketika di depan pintu
dijumpai"nya orang yang tinggi kekar itu berdiri di samping
orang yang kekurus-kurusan.
"Kalian memang orang-orang gila," geram orang yang
tinggi. "Maksud kami, agar kami terpisah dari kalian. Agar
kesalahan-kesalahan yang kami perbuat tidak akan menimpa
kalian pula apabila hantu itu menjadi marah. Misalnya, apabila
mereka me"lempari kami dengan batu atau cara apa pun
juga." "Persetan. Tetapi kalian harus mengurungkan niat ini, atau
kalian benar-benar akan ditelan oleh bahaya yang tidak
terkira"kan." "Relakanlah kami. Kami sangat berterima kasih atas
nasehat dan usaha kalian menyelamatkan kami. Tetapi kami
adalah orang-orang yang keras kepala, yang hanya akan
menumbuhkan kesulitan saja pada kalian."
Orang yang tinggi itu menggeram. Namun tiba-tiba saja
orang yang kekurus-kurusan berkata, "Lepaskan mereka.
Mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab kami."
Orang yang tinggi besar itu mengerutkan keningnya.
Na"mun kemudian ia pun menepi sambil berkata, "Baiklah.
Silahkan. Tetapi jalan yang kau tempuh adalah jalan yang
paling me"ngerikan, yang pernah dikenal orang selama ini."
Kiai Gringsing tertegun sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk-angguk sambil menjawab, "Mudah-mudahan
kami dapat keluar de"ngan selamat. Kami terlampau percaya
kepada Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi. Mudah-mudahan
kami mendapat perlindungan."
Orang yang tinggi besar itu memandang Kiai Gringsing
dengan sorot mata yang aneh. Terbayang di balik tatapan
ma"tanya itu, sesuatu yang ditahankannya. Kemarahan dan
kedeng"kian yang tiada taranya.
Orang-orang yang ada di dalam barak itu pun kemudian
melepaskan tiga orang ayah beranak itu dengan tatapan mata
yang dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan. Mereka
sama sekali tidak dapat mengerti jalan pikiran orang tua itu.
Menurut me"reka, ketiganya seakan-akan sengaja membunuh
dirinya di dalam gubug yang telah dipilihnya.
Meskipun demikian masih juga terngiang di telinga orangorang
itu nama-nama Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi.
"Apakah benar orang tua dan kedua anak-anaknya itu akan
mendapat perlindungan dari mereka?"
Sepeninggal Kiai Gringsing orang yang tinggi kekar itu
bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, "Kenapa mereka
di"biarkan pergi?"
Tanpa berpaling orang yang kekurus-kurusan menyahut,
"Me"reka akan menyesal apabila mereka sempat menyadari
tindakan mereka." Orang yang tinggi itu hanya dapat menarik nafas.
Kemu"dian sambil bersungut-sungut melangkah pergi ke
serambi. Beberapa orang telah duduk-duduk di tempat
masing-masing karena tidak ada yang akan mereka kerjakan,
selain merenungi jalan hidup yang sam"pai saat itu mereka
tempuh. Seseorang mengerutkan keningnya, ketika orang yang
tinggi besar itu duduk di sampingnya sambil berdesah, "Ada
juga orang gila di tempat ini."
Orang yang duduk di sampingnya tidak menyahut.
"Memang kita semua adalah orang gila," desis orang yang
tinggi kekar itu kemudian.
Tidak seorang pun yang menyahut. Orang yang duduk di
sebelah-menyebelah pun hanya berpaling memandanginya
dengan dahi yang berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang
mengucapkan sepatah kata pun.
Dan orang yang tinggi itu berkata selanjutnya, "Apakah
sebenarnya yang telah menarik kita ke neraka ini?"
Masih tidak ada seorang pun yang menjawab.
"Ini adalah kegilaan yang sebenarnya melampaui kegilaan
ketiga ayah-beranak itu," orang itu berhenti sejenak. Tetapi
agaknya ia memang tidak ingin mendapat jawaban dari siapa
pun juga, karena itu ia berbicara terus, "Kita sama sekali tidak
berpengharapan apa pun di sini. Sebentar lagi hantu-hantu di
Alas Mentaok pasti akan mengerahkan semua pasukannya
untuk me"ngusir kita. Dan kita akan kehilangan segalagalanya.
Waktu, ke"sempatan, dan tanah garapan. Daerahdaerah
yang sudah dibuka itu akan segara menjadi hutan
kembali, jauh lebih lebat dari yang sekarang."
Orang yang tinggi itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian tanpa menghiraukan orang-orang lain, ia pun
segera berbaring menelentang.
Orang-orang yang lain pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Namun kata-kata yang dilontarkan oleh
orang yang tinggi itu masih saja terngiang di hampir setiap
telinga yang mendengar"nya. "Kita sama sekali tidak
berpengharapan apa pun di sini."
"Kita tidak berpengharapan apa pun," hati mereka pun
bahkan menyahut pula. Dan sebuah pertanyaan telah timbul di dalam dada mereka,
"Kenapa kita sampai saat ini masih di sini?"
Pertanyaan itu tidak dapat ditemukan jawaban. Sekilas
terbayang pula harapan-harapan yang membubung setinggi
langit se"lagi mereka mulai membuka hutan ini. Kelak
Mataram akan menjadi sebuah negeri yang besar dan mereka
akan mendapat"kan kesempatan hidup tenteram di dalamnya.
"Tetapi gambaran sebuah negeri yang besar itu justru
semakin lama menjadi semakin pudar," hati mereka pun
menjadi semakin kuncup. "Selama ini kita tidak pernah
berpikir, bahwa di Mentaok kita akan berhadapan dengan
hantu-hantu." Sementara itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah
sampai ke sebuah gubug yang kosong, yang telah mereka
pilih menjadi tempat tinggal mereka. Dari para petugas
mereka men"dapatkan sebuah dlupak yang telah terisi minyak
kelapa, untuk menerangi gubug itu.
"Kita tidak sempat membersihkan tempat ini," desis
Swandaru. "Biarlah," sahut gurunya, "besok, pagi-pagi sebelum kita
berangkat, kita mengambil waktu sejenak untuk
membersihkan"nya. Sayang sekali. Gubug ini adalah gubug
yang kuat." Swandaru pun kemudian menyalakan dlupak minyak
kelapa dan meletakkannya di atas planggrangan bambu yang
memang sudah ada di dalam gubug itu.
Sinar yang kekuning-kuningan memancar ke seluruh
ruangan. Sarang laba-laba yang kehitam-hitaman tersangkut
di setiap sudut. Swan"daru terkejut ketika tiba-tiba saja seekor
tikus tanah yang besar berlari melintasi lantai di ruang dalam.
"He, tikus yang cukup besar."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Di mana kita tidur nanti, Guru?" bertanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Ketika ia berpaling
ke arah Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu sedang
mem"perhatikan lantai tanah yang kotor dan lembab.
"Kita tidak dapat tidur di lantai," desis Agung Sedayu.
"Kenapa?" bertanya gurunya.
"Serangga berkeliaran di sana-sini. Mungkin juga binatangbinatang
melata yang lain." Kiai Gringsing menggangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kita tidak akan tidur malam ini."
"He?" Swandaru membelalakkan matanya.
"Seorang perantau harus dapat mencegah kantuk tidak
hanya semalam suntuk," berkata gurunya pula.
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalamdalam
sambil menggaruk tengkuknya.
"Aku mendapat firasat, bahwa sesuatu akan terjadi. Be"sar
atau kecil," berkata gurunya pula.
"Hantu-hantu?" desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia pun tersenyum. Katanya, "Kita akan duduk untuk semalam
suntuk. Nanti lampu minyak itu akan kita sisihkan di balik
din"ding itu." Agung Sedayu dan Swamdaru saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian mereka pun menganggukanggukkan
kepala mereka. Dipandanginya sebuah amben
bambu kecil yang sudah hampir roboh, yang tidak mungkin
sama sekali dipakai untuk berbaring. Apa lagi tiga orang,
untuk Swandaru sendiri pun sudah terlampau kecil. Tetapi
amben bambu itu masih cukup untuk tempat duduk mereka
bertiga. Di atas amben itulah mereka kemudian duduk sambil
me"renungi suasana, sementara malam di luar menjadi
semakin ke"lam. Sejenak kemudian Kiai Gringsing pun berkata, "Pindah"kan
lampu itu, supaya tidak seorang pun yang dapat melihat kita
duduk di sini dari luar."
"Siapakah kira-kira yang akan mengintip kita, Guru?"
ber"tanya Agung Sedayu. "Hantu-hantu itu?"
Kiai Gringsing menggeleng. Tetapi ia hanya menjawab, "Itu
hanya suatu dugaan. Mudah-mudahan tidak ada."
Swandaru pun kemudian memindahkan lampu minyak
tanah itu ke balik dinding penyekat ruangan yang sempit itu,
sehingga mereka pun kemudian berada di dalam bayangan
yang kegelap-gelapan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, ketiganya
sa"ma sekali tidak dapat membaringkan dirinya. Mereka harus
te"tap duduk, betapa pun kantuk telah menjalari mata mereka.
Sekali-sekali Swandaru terlena sehingga kepalanya
terangguk-angguk. Namun kemudian digosok-gosoknya
matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sampai tengah malam, mereka tidak menjumpai sesuatu
yang aneh di dalam gubug itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa
akan terjadi sesuatu seperti yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing, se"hingga dengan demikian Agung Sedayu dan
Swandaru pun ke"mudian bersandar dinding sambil
memejamkan mata mereka meski pun mereka tidak juga
berani tidur. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang masih tetap duduk
ber"sila di atas amben itu. Tangannya bersilang di dada,
sedang ke"palanya tertunduk meski pun matanya tetap
terbuka. Tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahanlahan
diangkatnya kepalanya, seakan-akan ia mendengar
sesuatu. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihatnya, mereka
pun mencoba untuk mendengar. Namun ketika Swandaru
akan membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu, Kiai
Gringsing memberi isyarat kepadanya, agar ia tetap berdiam
diri di tempatnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya kedua anak-anak muda itu pun mendengarnya.
Desir yang lembut di sudut rumah itu.
Dada mereka menjadi berdebar-debar karenanya. Apakah
mere"ka pada malam ini harus berhadapan dengan hantuhantu"
Sejenak mereka bertiga menahan nafas. Bahkan Kiai
Gring"sing sendiri tidak tahu, apakah yang akan dihadapinya
malam ini. Tetapi ia yakin, bahwa ia akan berhadapan dengan
bahaya yang sebenarnya. Lambat atau cepat.
Dalam pada itu suara gemerisik di sudut rumah itu menjadi
semakin jelas. Bahkan kemudian mereka mendengar seakanakan
dinding bambu yang sudah sangat lemah itu berpatahan.
Ketiga orang yang berada di dalam gubug itu menjadi
te"gang. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Tanpa
mereka sa"dari tangan-tangan mereka telah meraba lambung.
Ketika tersentuh tangkai cambuk mereka yang melingkar di
bawah baju, hati me"reka menjadi agak tenang. Di dalam
keadaan yang memaksa, maka senjata-senjata itulah yang
akan dapat membantu mereka me"ngatasi kesulitan.
Namun sejenak kemudian, suara itu pun seolah-olah
lenyap begitu saja. Mereka tidak mendengar lagi bambu
berpatahan. Tetapi telinga mereka yang tajam itu masih dapat
mendengar desah nafas yang tertahan-tahan. Karena itu,
mereka yang ada di dalam gubug itu masih tetap duduk di
tempatnya tanpa bergerak sama sekali bahkan nafas mereka
pun seolah-olah tidak lagi dapat didengar oleh orang lain.
"Mereka telah berhasil membuka sudut gubug ini," ber"kata
Swandaru di dalam hatinya. "Kini mereka sedang
meya"kinkan diri mereka, apakah mereka akan dapat masuk
dengan aman atau tidak."
Sedang Agung Sedayu berpikir di dalam hatinya, "Pasti
bukan hantu. Hantu tidak memerlukan lubang apa pun karena
tubuhnya yang lembut. Menurut kata orang, hantu tidak
menge"nal lagi batas, sehingga batas itu tidak berlaku bagi
mereka. Kalau ada yang memasuki gubug ini dengan
memecah sudut itu, pasti bukan apa yang selalu diributkan
orang dengan nama hantu."
Namun dalam pada itu, mereka masih tetap dicengkam
oleh ketegangan. Semakin lama semakin tegang, sehingga
dada kedua anak-anak muda itu seolah-olah akan meledak
karenanya. Me"reka masih harus tetap berada di tempat
mereka sambil menung"gu apa yang akan terjadi kemudian.
Tetapi sejenak mereka saling berpandangan ketika mereka
mendengar desir langkah kaki. Tidak semakin dekat
memasuki gubug itu, tetapi justru menjadi semakin jauh.
"Apakah artinya ini?" pertanyaan itu melonjak tidak saja di
dalam dada Agung Sedayu dan Swandaru, tetapi juga di hati
Kiai Gringsing. Mereka tidak segera dapat mengerti, ke"napa
mereka yang bersusah payah merusak sudut gubug itu, tidak
berbuat sesuatu"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah mereka menyadari, bahwa kami masih belum
tidur?" bertanya Kiai Gringsing pula di dalam hatinya.
Meski pun demikian, ketiganya masih tetap berdiam diri
dengan tegangnya di tempat masing-masing. Mereka masih
menunggu apa yang kira-kira akan terjadi selanjutnya. Apakah
mereka yang merusak sudut gubug itu benar-benar telah pergi
seluruhnya" Menilik suara nafas mereka yang kini sudah tidak
terdengar sama sekali maka mereka pasti telah meninggalkan
gubug ini. Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh suara
yang lain. Suara desis berkepanjangam di sudut gubug itu.
Se"makin lama semakin keras.
Sejenak ketiganya hanya dapat saling perpandangan.
Sua"ra itu adalah suara yang belum mereka kenal. Desir dan
desis yang semakin jelas.
Agaknya Swandaru tidak sabar lagi menunggu. Dengan
ser"ta-merta ia meloncat dari tempat duduknya. Tetapi ia
tertegun karena gurunya menggamitnya dan memberinya
isyarat untuk tetap duduk di tempatnya.
Kening Swandaru menjadi berkerut-merut. Tetapi ia tidak
dapat melawan perintah gurunya.
Sejenak kemudian mereka masih tetap menunggu. Suara
itu menjadi semakin jelas mendekati mereka.
Kiai Gringsing masih tetap membeku di tempatnya. Namun
kemudian tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya sambil
berdesis, "Hati-hati. Bahaya itu telah datang menyerang kita.
Angkat kaki"mu. Kita harus melawannya."
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangkat kakinya.
Begitu kakinya naik ke atas amben, mereka pun segera
melihat, beberapa ekor ular yang cukup besar menggeliat di
atas lantai. "Apakah kalian sudah melihat?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru yang dengan tanpa
sesadar"nya telah berdiri di atas amben, memandangi ularular
itu dengan tegangnya. Ular yang menyelusur lantai adalah
ular hitam yang berbelang-belang putih.
"Weling," desis Swandaru.
"Tidak. Welang. Ular weling tidak dapat menjadi se"besar
itu," sahut Agung Sedayu.
"Ya. Welang," desis Kiai Gringsing. "Agaknya ular ini sudah
terlatih. Mereka mengerti di mana kita berada. Dan me"reka
sudah siap untuk menyerang kita."
"Tetapi, welang tidak mempunyai bintik-bintik yang
bercahaya seperti itu, Guru," berkata Agung Sedayu
kemudian. "Memang, ular welang pada umumnya tidak mempunyai
bintik-binitk yang bercahaya. Tetapi kita tidak tahu, apakah
bintik-bintik bercahaya itu benar-benar bintik-bintik ular welang
itu." "Maksud Guru?" "Bintik-bintik dan noda-noda yang dapat memancarkan
cahaya itu dapat dibuat."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak sempat bertanya lagi.
Ular-ular itu sudah menjadi semakin dekat di bawah amben
mereka. "Hati-hati, mereka dapat memanjat. Kita harus berkelahi
melawan ular-ular ini."
Tiba-tiba Swandaru tidak menunggu lagi. Ia pun segera
mengu"rai cambuk yang membelit dilambungnya. Namun
sebelum ia mempergunakannya gurunya berpesan, "Jangan
menimbulkan bunyi terlampau keras. Kita harus tetap
berusaha menyelubungi diri sejauh mungkin, sebelum kita
pasti, apakah yang sebenarnya kita hadapi."
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
me"lihat bagaimana gurunya menggenggam senjatanya.
Ternyata Kiai Gringsing memegang cambuknya tidak pada
tangkainya, tetapi pada ujungnya.
"Kalian tetap di situ," berkata gurunya. Ia tidak me"nunggu
jawaban lagi. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri"nya,
dan ketika kakinya menjejak di atas tanah, ia sudah berdiri
justru di belakang ular-ular yang merayap maju.
Ternyata seekor ular yang merayap dipaling belakang
men"jadi terkejut karenanya. Tetapi ketika ular itu berpaling,
dan mencoba memutar diri untuk berbalik menyerang Kiai
Gring"sing, tangkai cambuk orang tua itu telah menyambar
kepalanya, sehingga ular itu terpelanting membentur dinding
bambu. Te"tapi ular itu masih mencoba menggeliat. Agaknya
sentuhan tang"kai cambuk Kiai Gringsing itu tidak segera
membunuhnya. Namun sekejap kemudan Kiai Gringsing telah berdiri di
sisinya. Sejenak tangkai cambuknya berputar, dan sejenak
ke"mudian maka kepala ular welang itu pun sekali lagi
terpukul. Kali ini agaknya Kiai Gringsing tidak perlu
mengulanginya lagi. Tetapi selain ular yang telah mati itu, masih ada beberapa
ekor lagi yang sedang merayap mendekati amben tempat
Agung Sedayu dan Swandaru berdiri. Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun segera mendekatinya dengan hati-hati.
Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri di atas amben
pun telah memutar tangkai cambuk masing-masing. Ketika
perlahan-lahan sebuah kepala tersembul dari bawah amben,
maka dengan serta-merta tangkai cambuk Agung Sedayu dan
Swandaru menyambar hampir bersamaan. Ular welang itu
mencoba bertahan sejenak. Namun kemudian ia pun terjatuh
dan mati. Demikianlah Agung Sedayu dan Swamdaru telah berhasil
membunuh beberapa ekor ular yang mencoba merambat naik
ke atas amben. Sedang yang tersisa sudah dibunuh pula oleh
Kiai Gringsing dengan tangkai cambuknya.
"Apakah sudah habis Guru?" bertanya Swandaru yang
merasa ngeri juga melihat ular-ular itu berkeliaran.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, "Sudah.
Agaknya memang sudah habis."
"Kita akan menghitung jumlahnya," desis Swandaru.
"Tetapi jangan kau pegang dengan tanganmu. Kita ma"sih
belum tahu, apakah yang membuat ular-ular itu berbintik-bintik
dan bercahaya." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
sebatang tongkat bambu yang dilolosnya dari dinding rumah
itu, dikum"pulkannya bangkai ular yang berserakan itu.
"Lima," desis Swandaru.
"Enam," sahut Agung Sedayu.
"Ya, enam. Besar dan kecil," berkata gurunya. "Suatu
permainan yang mengerikan." Kiai Grrngsing berhenti sejenak,
lalu, "kita benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang
sedang bermain-main dengan racun. Hampir setiap hambatan
yang kita jumpai pasti mengandung racun. Kuat atau lemah.
Kini kita telah ter"jerumus ke dalam sarang ular welang yang
berbahaya. Tidak mustahil bahwa bintik-bintik yang bercahaya
itu pun mengandung racun pula." Kepada Swandaru ia
berkata, "Ambillah lampu itu. Kita lihat apakah sebenarnya
bintik-bintik yang bersinar kehijau-hijauan ini."
*** Swandaru pun kemudian melangkah ke balik dinding yang
menyekat ruangan di dalam gubug itu. Diambilnya lampu
minyak yang masih menyala kekuning-kuningan.
Kiai Gringsing yang kemudian menerima lampu itu
menga"mati bintik yang bercahaya pada tubuh ular-ular itu.
Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, "Tidak
beracun," katanya. "Apa Guru?" bertanya Agung Sedayu dan Swandaru
hampir bersamaan. "Rena dan kunang-kunang yang dilekatkan dengan
sebangsa getah pada tubuh ular ini, sehingga binatangbinatang
kecil itu masih tetap hidup untuk beberapa lama."
"Hem," Swandaru menarik nafas dalam-dalam, "benar
suatu permainan yang mengasyikkan."
"Demikian pulalah agaknya setiap cahaya yang terdapat
pada hantu-hantu itu. Pada tengkorak-tengkorak jerangkong
dan pada kuda-kuda yang sering disebut-sebut orang."
"Apakah Guru memastikan?"
"Belum. Tetapi pendapat ini dapat menjadi bahan
penye"lidikan seterusnya. Kita harus meyakini, dan kita harus
ber"usaha memecahkan teka-teki itu. Kalau kita berhasil, kita
pun harus tahu, alasan apakah yang telah mendorong orangorang
itu berbuat demikian."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka sadar, gurunya telah mengambil
kesimpulan, bahwa kepercayaannya terhadap hantu-hantu itu
menjadi semakin tipis. "Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu yang datang dari
luar Alas Mentaok?" "Pada suatu ketika kita akan mendapatkan jawabnya pula."
"Dan Kiai Damar?"
"Memang masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan
yang belum terjawab kini. Itulah sebabnya kita masih harus
tetap dalam keadaan kita sekarang." Kiai Gringsiug terdiam
sejenak, "Namun setelah ular-ular ini, mungkin kita masih
akan mendapat mainan yang lain, yang kita masih belum
dapat mengetahuinya."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi mereka pun kemudian merenungi bangkai-bangkai ular
yang berserakan di lantai. Terbayang di dalam angan-angan
mereka, kemungkinan yang lain yang tidak kalah
berbahayanya dari ular-ular itu.
"Guru," tiba-tiba Swandaru bertanya, "bagaimanakah
de"ngan cambuk-cambuk kita?"
"Kenapa?" "Kami telah memukul ular-ular itu dengan tangkai cambuk
ini." "Tidak apa-apa. Tidak akan dikotori oleh racun-racun."
Swandaru mengangguk-angguk sekali lagi. Tetapi ia masih
juga ragu-ragu ketika ia melingkarkan cambuknya di
lambungnya. Agung Sedayu pun kemudian menyimpan senjatanya
pu"la. Sementara Kiai Gringsing masih saja mengamati ularular
yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
"Sudahlah," katanya, "besok pagi kita tanam di belakang
rumah ini. Sekarang beristirahatlah, meski pun kalian ma"sih
harus berjaga-jaga semalam suntuk. Mungkin masih ada
per"soalan-persoalan lain yang akan menyusul kemudian."
Agung Sedayu dan Swandaru berpandangan sejenak.
Na"mun tanpa mengucapkan kata-kata, mereka segera duduk
kembali di atas amben bambu bersandar dinding. Dan sejenak
kemudian gurunya pun ikut duduk pula terkantuk-kantuk,
meski pun ia sama se"kali tidak kehilangan kewaspadaan.
Ternyata sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang
menyusul. Dari celah-celah dinding, mereka kemudian melihat
bayangan fajar yang kemerah-merahan.
"Kita masih sempat melihat fajar," desis Swandaru.
"Hus," desis Agung Sedayu.
"Ular-ular itu hampir saja mengakhiri petualangan kita,"
sahut Swandaru. "Marilah kita tanam di kebun belakang."
Mereka pun kemudian membawa ular-ular itu dengan
galah-galah bambu ke belakang gubug. Selagi fajar masih
remang-remang, mereka dengan tergesa-gesa telah
menanam bangkai-bangkai ular itu.
"Kita tidak perlu mengatakannya kepada siapa pun bahwa
kita telah disambut oleh sekelompok ular-ular yang sisiknya
bercahaya," berkata Kiai Gringsing.
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika hari menjadi semakin terang, maka mereka pun
telah selesai dengan kerja mereka. Karena itu, maka mereka
pun se"gera berkemas. Karena di sekitar gubug itu tidak ada
air, maka mereka terpaksa pergi ke gardu pengawas untuk
mencuci muka dan sekaligus mengambil rangsum mereka
sebelum mereka berangkat ke tanah garapan.
"He, apakah kalian dapat tidur?" bertanya salah se"orang
petugas. "Nyenyak sekali. Ternyata tempat itu jauh lebih baik dari
pada ikut berjejal-jejal di dalam barak," jawab Swamdaru.
Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja, meski pun ia cemas juga, bahwa kadang-kadang
Swandaru berbicara asal saja melontarkan kata-kata.
Tetapi berkata Swandaru pula, "Kami masih harus
membersihkan tempat yang masih terlampau kotor itu.
Agaknya sejak gubug itu dikosongkan, sama sekali tidak
pernah disentuh tangan."
?"Memang tidak ada orang yang merasa berkepentingan
untuk membersihkannya."
"Sayang sekali. Dan agaknya kami kerasan tinggal di dalam
gubug itu." Petugas itu mengerutkan keningnya. Tetapi di dalam hati ia
berkata, "Kalau pada suatu ketika, kau didatangi oleh hantuhantu,
maka kau akan berkata lain."
Setelah mencuci muka, serta mengambil rangsumnya
sama sekali, maka ketiganya pun kemudian kembali ke gubug
yang ter"pencil itu.
"Kita tidak sempat membersihkannya pagi ini. Nanti sa"ja
setelah kita kembali dari tanah garapan," berkata Kiai
Gringsing. Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Agaknya matahari memang sudah melonjak
naik ke punggung bukit. Meski pun tidak ada seorang pun
yang mengharus"kan mereka berangkat pada saat-saat yang
lazim, tetapi rasa-rasanya kurang baiklah kiranya apabila
mereka berangkat terlampau siang.
"Tempatkan barang-barangmu di tempat yang kau kenali
baik-baik. Lihatlah segala benda-benda yang ada. Nanti kalau
kita kembali, kita akan melihat, apakah ada perubahan betapa
pun kecilnya di dalam gubug ini."
"Baik, Guru," jawab keduanya hampir bersamaan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian mencoba
me"ngenali setiap benda yang ada di dalam gubug itu.
Bahkan sudut-sudut dinding pun mereka amat-amati. Mereka
masih melihat sehelai kain yang kasar di sudut ruang yang
terbuka, karena beberapa potong bambu dindingya telah
dirusak semalam.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan kain yang kasar dan tebal inilah mereka
mem"bawa enam ekor ular itu," desis Swandaru.
"Ya. Ular yang telah dilatih untuk menyerang manusia,"
sahut Agung Sedayu. "Benar begitu?"
"Menurut Guru."
Swandaru mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak
menja"wab lagi. Sejenak kemudian setelah mereka selesai mengamati
setiap benda yang ada di dalam gubug itu, maka mereka pun
segera me"ninggalkannya setelah mereka menutup pintu
lereg. Sambil menjinjing rangsum mereka, mereka pun kemudian
berjalan ke gardu pengawas. Beberapa orang sudah
berkerumun sambil membawa alat-alat mereka masingmasing.
Mereka akan segera berangkat ke tanah garapan
masing-masing setelah mereka mengambil rangsum mereka.
"He, kau sudah membawa rangsum?" bertanya
seseo"rang. "Aku datang jauh sebelum kalian," jawab Kiai Gringsing.
"Bagaimana dengan gubug itu?" bertanya yang lain.
"Menarik sekali," jawab Kiai Gringsing. Tetapi sebe"lum ia
melanjutkan kata-katanya, terasa lengannya digamit
sese"orang. Ketika Kiai Gringsing berpaling dilihatnya orang
yang kekurus-kurusan itu memandanginya dengan mata
terbelalak, "Kau sudah ada di sini sepagi ini?" ia bertanya.
"Kalian juga sudah ada di sini," sahut Kiai Gringsing.
Sejenak orang yang kekurus-kurusan itu memandangi Kiai
Gringsing seperti orang yang keheran-heranan.
"He, kenapa kau memandang aku seperti itu?" bertanya
Kiai Gringsing. "Apakah kau belum pernah melihat aku?"
"O," orang itu tergagap. Jawabnya, "Kau memang orangorang
yang berani. Apakah kau tidak diganggu oleh hantuhantu
dalam ujud apa pun?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tidak
ada yang mengganggu sama sekali."
"Belum. Di malam-malam berikutnya kau tidak akan dapat
ti"dur sama sekali."
"Mudah-mudahan tidak ada gangguan apa pun seperti di
malam pertama." Orang yang kekurus-kurusan itu masih saja
memandanginya dengan herannya. Namun sejenak kemudian
ia pun pergi meniggalkan Kiai Gringsing.
"Kenapa ia tampak menjadi heran melihat Guru?"
ber"tanya Agung Sedayu.
"Itulah yang menarik perhatian," jawab gurunya, "te"tapi
kita masih belum dapat mengambil kesimpulan yang pasti."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tetapi ia terkejut
ke"tika tiba-tiba saja seseorang telah mengguncang-guncang
tubuh gurunya. "Kau masih juga hidup?" terdengar seseorang
menggeram. Kiai Gringsing dan kedua muridnya serentak berpaling.
Dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri di belakang Kiai
Gringsing. "O, pundakku sakit," desah Kiai Gringsing.
"Kau masih hidup, he?" ulang orang itu.
"Seperti yang kau lihat."
"Kami seisi barak menjadi cemas."
"Kenapa?" "Aku yang kebetulan saja melihat. Kau tahu, bahwa aku
tidur di serambi." "Ya." "Hampir tengah malam kami mendengar suara berdesing
berputaran di atas barak. Tetapi semua orang sudah tertidur."
"Kau saja yang mendengar?"
"Ya," orang itu menjadi bersungguh-sungguh, "ternyata
sua"ra itu adalah suara ular Gundala."
"He, ular apakah itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sejenis ular yang dapat terbang. Ada dua jenis ular
Gundala. Ular Gundala Seta yang berwarna putih dan ada ular
Gundala Wereng yang berwarna hitam."
"Tetapi"..," Swandaru hampir saja menyahut kalau
gurunya tidak menggamitnya.
"Lalu, ular apakah yang kau lihat malam tadi" Yang putih
atau yang hitam?" "Bagaimana aku tahu."
"Tetapi, kenapa kau tahu bahwa yang berdesing di udara
itu ular Gundala." "Baik yang putih mau pun yang hitam mempunyai ciri yang
sama. Keduanya mempunyai bintik-bintik yang bercahaya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
orang yang tinggi itu berkata, "Ular-ular itu adalah salah satu
dari jenis-jenis senjata pasukan kajiman di Alas Mentaok. Aku
sudah mencemaskan nasibmu, kalau-kalau ular itu
menyerangmu." "Beruntunglah, bahwa ular-ular itu tidak menyerang kami."
"Tidak seorang pun yang mampu mengelakkan
serangan"nya." "Untunglah. Dan bersukurlah kami bahwa kami tidak
menjadi korbannya. Aku berterima kasih atas perhatianmu dan
bukankah kau katakan seisi barak ini menjadi cemas?"
Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya.
Se"jenak ia memandangi wajah Kiai Gringsing. Namun
kemudian ia menyahut, "Kenapa dengan seisi barak ini?"
"Bukankah kau yang mengatakan, bahwa seisi barak ini
menjadi cemas?" "Dan kau akan mempertentangkan kata-kata itu dengan
kata-kataku, bahwa hanya akulah yang melihat ular itu
terbang?" Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi kesan di wajahnya
membenarkannya. "Tentu bukan semua orang di barak ini. Aku memang
mengatakan kepada beberapa orang."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau memang harus berhati-hati," berkata orang yang tinggi
itu. "Kau sedang dimusuhi oleh hantu-hantu. Apalagi kalau kau
membuat musuh di antara kita."
"O, tentu tidak," jawab Kiai Gringsing.
"Kau suka mempersoalkan masalah-masalah yang kecil.
Mem"buat orang lain menjadi bingung. Mempersoalkan katakata
yang sedikit terselip. Dan banyak lagi. Tetapi ingat,
sebenarnya aku memang ingin mendapat kesempatan untuk
membuat kalian bertiga jera. Aku merasa bahwa aku akan
sanggup melaksanakannya tanpa hantu-hantu itu."
"Maksudmu?" Orang itu tampak ragu-ragu sejenak. Tetapi karena
agaknya tidak ada orang lain yang memperhatikannya, ia
berkata, "Aku ingin memukuli kalian pada suatu saat."
"He, apakah salah kami?"
"Kalian telah mengabaikan segala nasehatku. Segala niat
baikku. Itu suatu penghinaan. Dan kalian merasa diri kalian
pahlawan-pahlawan yang berani. Sombong dan banyak
bicara. Ingat, aku adalah orang yang paling ditakuti di sini.
Para pengawas pun tidak berani berbuat apa-apa atasku.
Kalau aku memukuli kalian, tidak akan ada orang yang berani
mencegah apabila itu sudah terjadi. Memang kadang-kadang
mereka mencoba mengurungkan niatku. Mereka adalah
orang-orang baik yang tidak suka berselisih. Tetapi kalau
kesabaranku habis, kalian akan menyesal."
"Jangan begitu," desis Kiai Gringsing, "sebaiknya kau
berpikir dari arah lain. Lepaskanlah kami. Biarlah kami
dimakan hantu, harimau, atau apa saja. Ular Gundala Seta
dan Wereng sekali pun."
"Sudah seribu kali aku katakan. Kau tidak dapat berdiri
sendiri di mata hantu-hantu itu. Kau adalah satu dengan
kami." Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Ketika Swandaru
ber"geser setapak, maka gurunya telah menginjak kakinya,
sehingga Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Terserahlah kepadamu. Aku akan berangkat. Semua
sudah selesai," berkata orang yang tinggi itu.
Ketika Kiai Gringsing berpaling, dilihatnya gardu itu
me"mang sudah agak sepi. Hanya beberapa orang yang
datang dengan tergesa-gesa karena agak lambatlah, yang
masih berada di muka pintu untuk menerima rangsum mereka.
Setelah itu, mereka pun dengan tergesa-gesa segera
berangkat menyusul kawan-kawan mereka yang telah pergi
lebih dahulu. "Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok," berkata orang
yang tinggi itu, "sehingga mereka harus mulai bersama-sama.
Tetapi itu lebih baik daripada sifat sombong yang kau
pertahankan." Kiai Gringsing tidak sempat menjawab, karena orang itu
pun kemudian pergi meninggalkannya.
"Orang aneh," desis Agung Sedayu.
"Aku tidak sabar lagi," sahut Swandaru.
"Jangan berbuat bodoh," potong gurunya. "Marilah, kita pun
harus segera berangkat, supaya kita tidak dianggap sebagai
orang-orang malas yang hanya akan menghabiskan rangsum
makan saja." Ketiganya pun kemudian pergi lewat di depan gardu
penga"was. Sambil membungkukkan kepalanya Kiai
Gringsing berkata, "Kami sudah mendapat rangsum, Tuan."
Seorang pengawas tertawa sambil menyahut, "Kalian
termasuk orang aneh di sini."
Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak
menja"wab. Bersama kedua muridnya ia pun pergi ke tanah
garapan mereka yang dianggap oleh orang-orang yang
sedang membuka hutan itu sebagai daerah yang paling wingit.
Dengan penuh kewaspadaan mereka bekerja. Setiap kali
mereka memperhatikan sesuatu yang agak asing, karena
mereka tahu, bahwa ada pihak-pihak yang sedang bermainmain
dengan racun di daerah ini. Untunglah bahwa Kiai
Gringsing adalah seorang dukun tua yang sudah terlampau
kaya dengan pengalaman, dengan segala macam penyakit
dan juga dengan segala macam racun.
Lamat-lamat mereka masih juga mendengar suara burung
kedasih yang umumnya hanya berbunyi di malam hari. Tetapi
karena mereka sudah biasa mendengarnya, maka mereka
sudah tidak menghiraukannya lagi.
Tetapi ternyata sehari itu mereka, tidak menjumpai
peristiwa apa pun. Pada saatnya mereka pulang, mereka pun
segera mening"galkan pekerjaan mereka.
Ketika mereka sampai di gubug yang telah mereka
pergunakan sebagai tempat tinggal, maka mulailah mereka
membersihkannya. Setiap benda mereka amati sebelum
mereka pindahkan. "Tidak ada sebuah benda pun yang bergeser, Guru,"
ber"kata Agung Sedayu.
"Ya, agaknya memang tidak ada seorang pun yang
mema"suki gubug ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita
dapat tidur dengan nyenyak nanti malam."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan
sejenak. "Jangan takut," berkata Kiai Gringsing yang seolah-olah
mengerti perasaan kedua anak-anak muda itu, "kita akan
dapat tidur. Tetapi kita harus mengatur diri, sehingga setiap
kali pasti ada yang terjaga di antara kita."
Demikianlah, setelah gubug itu menjadi bersih dari sarangsarang
laba-laba dan kotoran-kotoran lain, debu dan
serangga-serangga kecil, mereka pun menjadi semakin
kerasan tinggal di dalam gubug itu.
Swandaru tidak lagi segan berbaring di pembaringan,
meski" pun selalu diganggu oleh bunyinya yang berderit-derit.
Tetapi amben bambu itu sudah tidak dilekati lagi oleh debu
yang tebal dan sarang laba-laba yang kehitam-hitaman.
"Di sebelah masih ada beberapa jenis alat-alat dapur,"
desis Swandaru kemudian. "Kita tidak memerlukannya. Bukankah kita sudah
menda"pat makan?"
"Kalau kita haus?"
"Ambil saja di gardu pengawas," sahut Agung Sedayu,
"bukankah di sana disediakan berapa saja kita akan minum."
"Di malam hari kadang-kadang kita haus. Atau barangkali di
pagi hari, begitu kira bangun tidur, ingin juga rasa-rasanya
minum air panas, seperti ketika kita berada di Tanah Perdikan
Menoreh." "Hus," desis Agung Sedayu, "kau mulai mengigau.
"Swandaru tersenyum. Memang terkilas sebuah kenangan
atas Tanah Perdikan itu dengan segala isinya.
"Barangkali kau memang tidak kerasan, tinggal di sini,"
berkata Agung Sedayu, "karena di sini kita hanya berkawan
hantu-hantu saja. Kalau di sini ada orang yang menyediakan
minummu di pagi hari, mungkin kau kerasan juga."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tersenyum
sambil mengusap-usap pipinya yang gembung, meski pun
beberapa hari terakhir tampak ia agak susut sedikit.
"Nanti kalian tidurlah dahulu," berkata Kiai Gringsing
kemudian, "aku akan berjaga-jaga. Kemudian aku akan tidur,
dan kalian berdualah yang harus berjaga-jaga."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia mengerutkan keningnya ketika ia memandangi amben yang
seolah-olah sudah penuh dipergunakan oleh Swandaru sendiri
"Minggirlah sedikit," desis Agung Sedayu kemudian.
Swandaru tersenyum pula. "Kau akan tidur sekarang?" ia
bertanya. "Tidak. Aku hanya akan berbaring sejenak."
Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula di sisi
Swandaru, sementara Kiai Gringsing duduk di sebuah dingklik
kayu yang usang. Sejenak mereka saling berdiam diri.
Agaknya mereka sedang menjelajahi angan-angan masingmasing
yang menyelusur ke dunia yang asing.
Ketika gelap menjadi semakin pekat, maka mereka pun
segera menyalakan lampu minyak kelapa. Dari para
pengawas mereka mendapatkan minyak untuk mengisi pelita.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Swandaru-lah yang
lebih dahulu akan tidur. Gurunya akan tetap berjaga-jaga
sampai tengah malam, sementara Agung Sedayu dan
Swandaru bangun, gurunyalah yang akan beristirahat.
Sampai menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk terkantuk-kantuk di dalam lindungan bayangan dinding
yang menyekat ruangan gubug itu tidak melihat tanda-tanda
yang mencurigakan. Meski pun demikian ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Setiap desir, betapa pun lembutnya, tidak lepas
dari pengamatan telinga"nya yang tajam.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu yang dapat
menumbuhkan kegelisahan. Sampai tengah malam Kiai Gringsing duduk tanpa bergerak
di tempatnya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru telah
tertidur dengan nyenyaknya. Meski pun kadang-kadang
amben yang mereka per"gunakan berderit-derit keras, kedua
anak-anak muda itu tidak meng"hiraukannya. Bahkan
Swandaru setiap kali berdesah apabila derit pembaringannya
itu telah membangunkannya.
Sedikit lewat tengah malam, Kiai Gringsing mulai menguap.
Ingin juga ia berbaring meski pun hanya sejenak. Agaknya
Agung Sedayu dan Swandaru sudah cukup lama beristirahat.
"Biarlah mereka ganti berjaga-jaga," katanya di dalam hati.
Tetapi sebelum ia bangkit dari tempat duduknya yang
ter"lindung bayangan dinding penyekat terasa sesuatu
berdesir di dadanya, sehingga Kiai Gringsing itu
mengurungkan niatnya. Kini jelas ditelinganya ia mendengar sesuatu. Tetapi pasti
bukan bunyi desis ular seperti semalam.
"Apalagi yang akan terjadi?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing tidak segera berbuat sesuatu. Ia
menunggu saja, apakah kira-kira yang akan terjadi.
Sejenak suara-suara yang mencurigakannya itu terdiam.
Yang didengar oleh Kiai Gringsing hanya desah nafas Agung
Sedaya dan Swandaru yang masih tertidur nyenyak.
"Tetapi tidak," Kiai Gringsing berkata di dalam hati, "aku
mendengar suara nafas yang lain. Tidak teratur seperti nafas
anak-anak muda yang sedang tidur itu."
Dengan demikian Kiai Gringsing mengetahui, bahwa di luar
rumah itu ada seseorang yang sedang mengintip, sehingga
orang tua itu sama sekali tidak bergerak dan bahkan nafasnya
pun diaturnya baik-baik. Dalam keheningan malam, di antara desah nafas anakanak
muda yang sedang tidur, dan nafas seseorang yang ada
diluar gubug. Kiai Gringsing mendengar suara berbisik,
"Mereka sudah tidur."
Dada Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar.
Kalau begitu pasti tidak hanya seorang saja yang berada di
luar rumah ini. Sedikit-dikitnya pasti dua orang,
"Apakah kita lakukan sekarang?" bisik yang lain.
Sejenak tidak terdengar jawaban, sehingga dada Kiai
Gringsing pun menjadi tegang pula. Sebuah pertanyaan
melonjak di hatinya, "Apakah yang akan mereka lakukan
sekarang?" Tetapi Kiai Gringsing harus tetap bersabar. Ia harus tetap
berada di tempatnya, di bayangan dinding penyekat, supaya ia
tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar gubug,
sehingga mereka mengurungkan niat mereka.
Yang dilakukan Kiai Gringsing adalah mempersiapkan
diri"nya untuk menghadapi segala kemungkinan, ia dapat
meloncat selangkah untuk mencapai ujung amben Agung
Sedayu dan Swandaru apabila diperlukan.
Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu selain
tarikan nafas yang memburu. Agaknya orang-orang yang
berada di luar rumah itu pun menjadi gelisah.
"Sekarang," desis salah seorang dari mereka.
"Ya, sekarang," jawab yang lain.
Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Apalagi sejenak
kemudian ia mendengar gemerisik di depan pintu rumahnya.
"Bunyi apa lagi sekarang?" ia bertanya di dalam hati"nya.
Tetapi bunyi itu sama sekali berbeda dari bunyi ular yang
menyelusur lantai dan berdesis-desis.
Sejenak Kiai Gringsing menunggu. Dibiarkannya saja apa
yang akan dilakukan oleh orang-orang di luar rumah itu.
Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar
orang-orang itu bergeser. Kini mereka berada di sudut gubug.
Sekali lagi ia mendengar bunyi yang aneh itu. Gemerisik.
Ternyata bunyi itu berpindah-pindah dari satu sudut ke
sudut yang lain. Bahkan kemudian di beberapa tempat di
seputar rumah itu. Dari sudut ke sudut.
"Cukup?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Cukup," jawab yang lain.
"Jadi, kita mulai saja sekarang."
Tidak ada jawaban. Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu. Orangorang
itu pun agaknya bergeser menjauh, sehingga desah
nafas mereka tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing duduk sambil menahan nafasnya. Ia yakin
bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Karena itu, ia tidak
berbuat apa pun agar yang akan terjadi itu terjadilah. Ia pun
tidak berusaha untuk menangkap keduanya, agar setiap orang
masih tetap menganggap mereka sebagai petani-petani
miskin yang tidak berarti, sehingga perhatian orang-orang di
barak dan para penga"was tidak berubah. Dengan demikian
Kiai Gringsing bermaksud untuk mendapat kesempatan yang
agak luas tanpa, prasangka apa-apa.
Tiba-tiba Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar suara
gemericik, tetapi bukan suara air. Dengan serta-merta ia
meman"dang keluar, lewat celah-celah dinding. Sesaat ia
tidak melihat bayangan apa pun di luar karena gelap malam.
Tetapi sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Bayangan
kemerah-merahan telah mewarnai lubang-lubang dinding yang
jarang. "Api," desisnya. Hampir saja Kiai Gringsing meloncat
mengejar orang-orang yang ada di luar gubugnya. Tetapi ia
pun segera menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya Agung
Sedayu dan Swandaru masih tertidur nyenyak.
"Mereka harus segera bangun," desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian meloncat ke pembaringan.
Diguncangnya tubuh kedua muridnya itu sambil berdesis,
"Bangun. Rumah ini akan terbakar."
Agung Sedayu segera meloncat bangkit. Tetapi Swandaru
masih menggeliat sambil berdesis, "Apa lagi, Guru"
"Api. Rumah ini sedang terbakar."
Swandaru pun kemudian bangkit. Tetapi matanya segera
terbelalak ketika ia melihat api mulai merayapi pintu.
"Pintu sudah terbakar," desis Swandaru.
Kiai Gringsing kini mengerti, bahwa agaknya suara
gemerisik itu adalah suara batang-batang ilalang, daun-daun
rerumputan kering, yang sengaja diletakkan oleh orang-orang
yang membakar gubug ini. "Kita harus segera keluar dari rumah ini," berkata Kiai
Gringsing. Tetapi ternyata api sudah menjalar hampir di seputar gubug
kecil itu. "Kita sudah dilingkari api," berkata Swandaru kemudian.
"Belum. Kita masih mempunyai jalan. Mari, cepat. Ikuti
aku." Kiai Gringsing pun kemudian mengambil ancang-ancang
sejenak. Dengan sepenuh kekuatan ia mendorong dinding
yang masih baru mulai dijalari api. Tetapi ternyata dinding itu
tidak sekuat yang diduganya sehingga, kekuatan Kiai
Gringsing jauh melam"paui kemampuan dinding bambu itu.
Dengan demikian Kiai Gringsing justru terdorong oleh
kekuatannya sendiri sehingga ia terpelanting beberapa
langkah. Karena itu, ia pun segera ber"guling sekali, lalu
dengan sigapnya melenting berdiri.
Meski pun api sudah menjilat hampir segenap bagian
dinding gubug itu, Swandaru masih sempat menyambar
bungkusan pakai"an mereka. Sedang Agung Sedayu sempat
pula tersenyum meli"hat gurunya yang hampir kehilangan
keseimbangan. Kedua anak-anak muda itu pun kemudian berloncatan pula
di atas api yang mulai membakar dinding yang sudah roboh
itu. "Guru sempat berlatih, bergumul dengan padas," desis
Swandaru yang melihat juga betapa gurunya berguling di
tanah. Kiai Gringsing berdiri bertolak pinggang sambil memandang
api yang menjadi semakin besar.
"Aku kira dinding itu masih cukup kuat," sahutnya, "apalagi
aku agak tergesa-gesa juga."
"Untunglah bahwa rumah ini tidak ikut serta roboh. Jika
demikian maka kami yang ada di dalam, justru tidak akan
men"dapat kesempatan lolos lagi, karena timbunan
reruntuhan itu akan segera dimakan api," gumam Swandaru.
"Ah kau," berkata gurunya, "bukankah kalian bukan cacingcacing
yang mudah sekali menyerah kepada keadaan?"
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia masih juga tersenyum
membayangkan bagaimana gurunya jatuh berguling-guling
karena kekuatannya sendiri.
Sejenak kemudian mereka bertiga berdiri tegak
memancang api yang menjadi semakin besar menelan gubug
yang dibuat dari kayu dan bambu itu. Begitu cepatnya, seolaholah
gubug itu meru"pakan makanan yang sangat lezat bagi
api yang melonjak-lonjak menggapai-gapai langit
"Kenapa gubug itu tiba-tiba saja terbakar?" bertanya Agung
Sedayu kemudian. Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya
saja api yang semakin lama menjadi semakin besar. Sejenak
kemudian mereka mendengar gubug itu berderak-derak
roboh. "Ada kesengajaan," jawab Kiai Gringsing kemudian.
"Darimana Guru mengetahui?"
"Aku mendengar suara orang di luar dan suara rerumputan
kering yang ditimbun di muka pintu dan di seputar gubug itu."
"Dan Guru membiarkan hal itu terjadi?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya, "Aku ingin tahu
apa saja yang mereka lakukan. Sampai di mana usaha
mereka untuk menekankan maksudnya, agar kita
meninggalkan tempat ini."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil meman"dangi api yang menjilat ke udara.
Sejenak ketiganya saling berdiam diri. Wajah-wajah mereka
men"jadi kemerah-merahan tersentuh oleh cahaya api. Titiktitik
keringat tampak mengembun di kening dan dahi.
"Tidak ada seorang pun yang datang menjenguk," desis
Swandaru tiba-tiba. "Tentu tidak," sahut gurunya, "tidak ada orang yang berani
keluar dari barak." "Para petugas?"
"Mereka pun tidak berani keluar dari gardu pengawas."
"Bagaimana kalau terjadi kebakaran hutan di dalam
keada"an begini?"
"Semuanya akan habis menjadi abu. Tetapi itu lebih baik.
Kita tidak usah menebang pepohonan lagi."
"Apakah dapat kita coba?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tidak. Tidak akan dapat. Hutan ini adalah hutan yang hijau
dan lebat. Sulit sekali terjadi kebakaran. Apalagi tanahnya
yang lembab mengandung air."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka masih saja memandangi api yang
melonjak-lonjak meski pun semakin lama menjadi semakin
susut. "Kita kehilangan gubug yang baru saja kita pergunakan.
Kalau tahu, gubug itu akan terbakar, kita tidak usah
membersih"kannya," gumam Swandaru.
"Kalau saja kita tahu," sahut Agung Sedayu, "tetapi
untunglah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi,
sehingga dengan demikian kita berbuat sesuatu. Kalau kita
tahu apa yang akan terjadi, maka kita tidak akan berbuat apaapa."
"Yang kita tahu pasti," berkata gurunya, "besok matahari
akan terbit lagi. Kemudian berjalan mengarungi langit dan
tenggelam di sebelah Barat. Tetapi apa yang terjadi selama
itu, adalah di luar kemampuan kita untuk mengetahuinya.
Bahkan apa yang akan terjadi atas diri kita sendiri."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
masih saja memandangi api yang masih menyala. Sekalisekali
masih ter"dengar derak kayu-kayu yang patah dan
bambu yang meledak. Namun semakin lama api itu pun menjadi semakin susut.
Gubug yang terpencil itu, sejenak kemudian telah menjadi
se"onggok bara yang merah, yang perlahan-lahan menjadi
semakin suram. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Guru?" bertanya
Swandaru kemudian. "Mencari orang-orang yang membakar
gubug kita itu?" Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidak. Kita tidak
akan dapat mencarinya. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu
saat kita akan menemukannya."
Swandaru mengerutkan keningnya yang kemerah-merahan
oleh cahaya bara yang sudah hampir padam.
"Tidak seorang pun yang berani keluar dari barak dan dari
gardu pengawas," desis Swandaru kemudian.
"Ya. Mereka telah benar-benar ketakutan. Itulah yang
menyulitkan," sahut gurunya.
"Kita masih dapat mengerti, kalau orang-orang yang di
dalam barak itu tidak berani keluar. Mereka takut kepada
hantu-hantu, tetapi mereka juga selalu ditakut-takuti oleh
orang-orang tertentu seperti kita," potong Agung Sedayu.
"Tetapi seharusnya tidak demi"kian bagi para pengawas
digardu itu." "Agaknya mereka sudah terlalu lama berada di tempat ini.
Sebaiknya setiap kali para pengawas itu diganti dengan
orang-orang baru, sehingga menumbuhkan kesegaran dan
kegairahan kerja di sepanjang daerah pembukaan hutan ini."
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Sudahlah. Relakan gubug itu. Gubug itu memang bukan
milik kita," berkata gurunya kemudian. Lalu, "tetapi kita harus
bersiap-siap menghadapi orang dari barak itu. Mereka pasti
akan menyalahkan kita dengan segala macam dalih dan
kemudian ber"usaha mengusir kita."
"Darimana Guru tahu?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah maksud mereka sebenarnya."
"Lalu, apakah kita akan pergi?"
"Tentu tidak. Kita akan tetap di sini. Kita akan menge"tahui
lebih lanjut, apakah yang akan terjadi di sini, yang pasti
merupakan salah satu gambaran dari daerah-daerah lain di
sepanjang jalur perluasan Tanah Mataram ini."
Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. "Pada suatu saat kita akan bertemu dengan usaha Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar beserta
Ki Gede Pemanahan, yang pasti tidak akan tetap tinggal diam
menghadapi keadaan serupa ini."
Kedua muridnya masih saja mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, sekarang justru kalian akan dapat tidur. Tidurlah, aku
akan menunggui kalian."
"Tidak Guru," jawab Agung Sedayu, "kami sudah tidur lebih
dari separo malam. Apakah Guru tidak lelah, dan ingin
beristirahat?" Gurunya tersenyum. Katanya, "Lihat, langit sudah men"jadi
kemerah-merahan. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangkat kepalanya
bersama-sama. Mereka pun melihat warna merah yang
membayang di langit. Sementara bintang-bintang telah
bergeser jauh ke Barat. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Tetapi masih ada waktu sedikit, Guru. Kita dapat
duduk di bawah pepohonan itu dan melepaskan lelah
sejenak." Kiai Gringsing tersenyum, "Aku tidak lelah."
"Dua malam Guru tidak tidur sekejap pun."
"Baru dua malam. Kita harus dapat menguasai tubuh kita
sebaik-baiknya. Tidak hanya dua malam. Dalam keadaan
tertentu, kita harus dapat berbuat lebih banyak lagi. Tetapi
sudah tentu bahwa kita menyadari, kekuatan tubuh kita pun
sangat terbatas. Namun demikian dengan latihan-latihan yang
baik, sedikit demi sedikit kita dapat memperlengkapi
kemampuan yang sebenarnya memang sudah ada di dalam
diri kita." Agung Sedayu tidak menyahut. Ditatapnya wajah gurunya
yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut ketuaannya. Tetapi
wajah itu masih tampak segar, sesegar dedaunan yang basah
oleh embun. Sementara Swandaru menundukkan kepalanya
sambil mengusap dagunya. "Tetapi, baiklah," berkata gurunya kemudian, "kita tidak
perlu berdiri di sini sampai pagi. Kita dapat duduk di bawah
pohon itu sambil menunggu, siapakah orang yang pertamatama
akan datang kemari."
*** Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang pohon
di halaman gubug yang sudah terbakar itu. Sejenak mereka
saling berdiam diri. Namun tatapan mereka masih saja
melekat pada seonggok abu yang masih mengepulkan asap
yang kehitam-hitaman. Sementara itu, langit menjadi semakin cerah. Dan
bayangan cahaya matahari pun menjadi semakin terang,
menyentuh mega putih yang bergumpal-gumpal di punggung
cakrawala. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu menyelusuri bayangan
fajar yang merah. Tanah Mataram memang sudah terbuka,
seolah-olah menghadap ke Timur. Sedang di bagian Barat,
hutan ma"sih terbujur seperti dinding raksasa yang
membatasi tanah yang sedang tumbuh ini.
Namun angan-angannya justru menerawang semakin jauh.
Terbayang di rongga matanya hutan yang meski pun tidak
sebesar Mentaok, namun cukup lebat adalah hutan Tambak
Baya, yang menurut pendengarannya sudah mulai disentuh
pula oleh tangan para pendatang di tanah Mataram ini. Kalau
hutan itu kelak terbuka, maka jalur jalan ke Timur menjadi
semakin luas. Batas Tanah Mataram akan langsung
bersentuhan dengan padukuhan dan kademangankademangan
yang kini ada di sebelah Timur Hutan Tambak
Baya. Desa-desa kecil yang terpisah dari jalur-jalur jalan ramai
itu akan mengalami banyak sekali perubahan. Cupu Watu,
Temu Agal, Bogeman yang mulai ramai dan terletak di sisi
Barat Kademangan Prambanan. Jalur ini akan terus merambat
ke Timur, lewat hutan-hutan yang tidak begitu garang, dan
yang memang sudah tertembus oleh jalan-jalan niaga, akan
segera sampai ke tlatah padukuhan Benda dan kemudian
Kademangan Sangkal Putung.
Agung Sedayu menarik nafas. Tanpa sesadarnya ia
berpaling memandang wajah Swandaru yang bulat itu.
Terkilas se"jenak wajah seorang gadis, adik anak muda yang
gemuk itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
ingkar, bahwa ia sebenarnya ingin juga segera meninggalkan
hutan ini pergi ke Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba matanya seakan-akan
telah menembus hutan yang hijau kehitam-hitaman,
menyeberangi Kali Praga menginjak ke tlatah Menoreh. Tanah
Perdikan yang baru saja ditinggalkannya. Tanah Perdikan
yang kini sedang ber"usaha menyembuhkan luka-luka yang
telah mencengkamnya selama ini, seperti juga Ki Gede
Menoreh berusaha menyembuhkan luka-luka pada dirinya.
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi
Swanda"ru. Dan bahkan terbersit suatu pertanyaan di
kepalanya. "Agak"nya Tanah Perdikan Menoreh masih harus
mengalami banyak masalah. Apakah kelak Swandaru akan
menjadi Demang di Sangkal Putung sekaligus Kepala Tanah
Perdikan Menoreh atas nama Pandan Wangi, apabila mereka
benar-benar akan menjadi suami isteri?"
Agung Sedayu yang sedang menerawang di dunia anganangannya
itu, tiba-tiba tersadar ketika Swandaru
menggamitnya sambil ber"kata, "Hem, aku mengantuk lagi."
"Tidurlah," hampir tidak sadar Agung Sedayu men"jawab.
"Tidur" Sekarang ini?"
"O, maksudku, bukan kau sudah tidur separo malam."
Swandaru tiba-tiba memandang wajah Agung Sedayu
dengan tatapan mata yang aneh. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata dalam nada yang tinggi,
meski pun perlahan-lahan, "He, agaknya kau sedang
melamun, Kakang. Nah, apa saja yang kau pikirkan" Tentu
bukan hutan yang lebat ini, dan tentu bukan hantu-hantu dan
eh, kau tahu bahwa hantu-hantu perempuan, maksudku hantu
betina. Mana yang benar, perempuan atau betina, nama"nya
peri. Apakah kau melihat sesosok peri" Peri berbentuk seorang
perempuan yang sangat, sangat cantik. Seperti bidadari
dalam pengertian yang bertolak belakang. Bentuknya saja
se"perti bidadari."
"Kau pernah melihat bidadari?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Kata
orang. Sedang peri itu pun sekedar kata orang."
"Kau percaya?" "Tentu, hantu-hantu tidak semuanya laki-laki. Mereka
berumah tangga seperti manusia. Bukankah kesimpulan
daripada itu, ada juga hantu-hantu perempuan" Hanya hantu
yang bertingkat tinggi sajalah yang beristerikan peri. Bukan
jerangkong. Kalau jerangkong, isterinya wewe. Tetapi kalau
prayangan, itulah yang beristerikan peri."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi masih saja seperti
orang yang tidak menyadari dirinya, ia menganggukanggukkan
ke"palanya. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru meraba
da"hinya sambil berdesis, "Eh, tidak panas."
"Hus," desis Agung Sedayu sambil menggeliat, "jangan
main-main. Lihat, langit sudah terang. Sebentar lagi mereka
akan datang." Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
mengang"kat wajah menatap langit. Meskipun demikian ia
masih bertanya kepada Agung Sedayu, "Siapakah yang akan
datang" Peri-peri yang cantik itu?"
"Ah," desah Agung Sedayu sambil berdiri, "orang-orang itu
pasti sudah bangun. Mereka akan segera mendengar bahwa
ru"mah kita telah terbakar. Mereka akan beramai-ramai
datang kemari. Orang yang kurus dan orang yang tinggi kekar
itu pasti akan marah lagi kepada kita."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Orang itu meskipun bertubuh kekar, hatinya sekecil menir.
Demikian ketakutan mencengkam jantungnya, sehingga ia
begitu bernafsu untuk mengusir kita."
"Mungkin tidak begitu," berkata Kiai Gringsing, "bukan
karena ketakutan yang mencengkamnya. Tetapi barang"kali
ia mempunyai maksud-maksud lain."
"Apakah kira-kira maksud itu, Guru?" bertanya Swandaru
sambil berpaling. "Itulah yang masih harus kita selidiki. Kita ingin
menge"tahui apakah sebenarnya yang dikehendakinya."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
guru"nya berkata seterusnya, "Karena itu, kita harus menahan
diri. Kecuali apabila kita sudah terpaksa, kita akan
menentukan si"kap sejauh harus kita lakukan. Tetapi pada
dasarnya kita akan tetap berada di daerah ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika
ia ke"mudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit
menjadi semakin cerah. "Sebentar lagi mereka akan datang," desisnya.
Sebelum gurunya menyahut, Swandaru berkata, "Para
pengawas pun pasti akan datang juga. Agaknya merekalah
yang melihat api itu lebih dahulu dari gardunya daripada
orang-orang yang ada di dalam barak."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika di dalam
keremangan pagi ia melihat seseorang berjalan dengan
tergesa-gesa. "Siapakah itu?" ia bertanya.
Swandaru dan gurunya pun kemudian berdiri.
Dipandangi"nya orang yang semakin lama menjadi semakin
dekat. "Seorang petugas."
"Ki Wanakerti."
Sebenarnyalah bahwa orang yang mendekati mereka itu
adalah Wanakerti. Dengan suara yang terbata-bata ia berkata,
"Syukurlah kalau kalian selamat. Aku cemas, bahwa kami para
pengawas hanya akan menemukan abu dari kerangka kalian.
Sejak api itu berkobar, hatiku sama sekali tidak tenteram.
Ka"rena itu, aku telah mendahului kawan-kawanku untuk
menengok kalian. Ketika aku melihat beberapa sosok tubuh di
sini, hatiku menjadi agak tenteram. Ternyata kalian benarbenar
masih selamat." "Tuhan masih melindungi kami," berkata Kiai Gringsing.
"Syukurlah. Sebentar lagi beberapa orang petugas yang
lain pasti akan datang juga. Mereka pun menjadi cemas,
bahwa mereka tidak akan dapat melihat kalian lagi."
"Ternyata kami masih akan menyambut mereka."
"Sudah tentu orang-orang di barak itu pun akan datang pula
kemari." "Ya. Mereka ingin tahu, apa yang sudah terjadi di sini."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kami berpendapat, bahwa hantu-hantu itu memang benarbenar
telah marah ke"pada kalian, sehingga kalian telah
dibakarnya hidup-hidup."
"Tetapi mereka tidak berhasil."
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
keheran"an yang sangat telah terbersit di wajahnya. Di dalam
hati ia ber"kata, "Orang-orang ini memang orang-orang aneh."
Namun dalam pada itu pembicaraan mereka pun terhenti.
Di kejauhan tampak bayangan beberapa orang yang
berdatangan. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata yang datang adalah beberapa orang dari barak
dan beberapa orang petugas.
"Hem, kalian memang orang-orang yang bernasib baik,"
ber"kata salah seorang petugas. "Kami sudah menyangka,
bahwa ka"lian telah menjadi abu."
"Seperti yang Tuan lihat," jawab Kiai Gringsing.
"Jangan sombong," orang yang tinggi kekar itu menyahut,
"kali ini kalian bernasib baik. Tetapi besok, lusa, kalian akan
mengalami perlakuan yang sangat mengerikan."
"Seperti yang sudah aku katakan kepada Ki Wanakerti.
Tuhan selalu melindungi kami," berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi lain kali kau tidak akan dapat lolos. Dan kami pun
tidak dapat memberi kesempatan hal itu terjadi. Sebab
kemungkinan yang paling besar, lain kali barak kami itulah
yang akan menjadi sasaran kemarahan hantu-hantu itu."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "kami sudah
melepaskan diri dari kalian. Tidak ada sangkut pautnya lagi.
Biar"lah kemarahan itu menimpa diri kami."
"Gila. Sudah aku katakan. Tidak mungkin. Tidak mung"kin."
"Kami sudah siap seandainya kami harus mengalami
per"lakuan yang sangat mengerikan seperti apapun. Kami
yakin bahwa Tuhan masih melindungi kami. Itu adalah
pendapat kami yang sebenarnya. Kiai Damar, hantu dari
Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan siapa
pun lagi, adalah lantaran-lantaran yang dapat saja
dipergunakan oleh Tuhan untuk menye"lamatkan kami. Tetapi
adalah menjadi pegangan kami yang se"benarnya, bahwa
kehendak Tuhan-lah yang akan berlaku. Bukan kehendak
hantu-hantu yang manapun juga. Betapa hantu-hantu itu
men"jadi marah kepada kami, tetapi selama Tuhan tidak
membiarkan kami menjadi korbannya, tidak ada suatu pun
yang dapat dila"kukannya atas kami di sini."
"Persetan," teriak orang yang tinggi kekar itu, "kalian telah
menghasut kami dan membiarkan kami menjadi korban.
Kalian memang benar-benar pengkhianat yang harus
dimusnah"kan. Dengar, bahwa kami pun dapat memusnahkan
kalian sekarang juga. Sekarang."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya saja
wajah orang yang tinggi kekar itu. Wajah yang menjadi
kemerah-merahan oleh perasaannya yang meledak-ledak.
Sekali lagi Kiai Gringsing harus menggamit Swandaru yang
menjadi gelisah. "Tidak ada maaf lagi bagi kalian sekarang," berkata orang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tinggi kekar itu. "Kami sudah terlampau banyak memberi
kesempatan. Tetapi setiap kali kalian seolah-olah telah
menghinakan kami." "Sama sekali tidak," jawab Kiai Gringsing.
"Semuanya telah terbukti. Mula-mula hanya anakmu
sajalah yang telah dikutuk oleh hantu-hantu itu sehingga
menjadi sakit dan bahkan hampir mati. Kemudian barak kami
telah dilempari de"ngan batu. Sekarang salah satu gubug
kami telah terbakar. Ma"ka besok atau lusa, barak kamilah
yang akan terbakar habis. Nah, jika demikian, maka kami
semuanya akan menderita. Usaha ka"mi selama ini akan siasia."
"Itu tidak mungkin. Barak kalian tidak akan terbakar. Biarlah
hantu-hantu itu datang kepada kami. Kami akan memberi
me"reka penjelasan."
"Omang kosong. Semuanya omong kosong," berkata orang
yang tinggi kekar itu. "Kami sudah mengambil keputusan,
bahwa kalian memang harus pergi dari sini. Sekarang tidak
akan dapat kau tunda lagi. Tidak akan ada alasan apa pun
yang dapat kalian kemukakan."
"Tunggu," sahut Kai Gringsing, "aku masih mem"punyai
masalah yang dapat aku katakan kepada kalian."
"Tidak. Kau tidak mendapat kesempatan apa pun. Pagi ini
kalian harus pergi dari tempat ini. Selama ini kalian tidak
bermanfaat apa pun bagi kami, justru kalian telah membuat
kami semakin tidak tenteram. Karena itu, kalian hanya dapat
per"gi. Pergi. Bawalah semua yang kalian punyai di sini.
Kalian tidak akan dapat kembali lagi."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "siapa"kah
yang sebenarnya berkuasa dan berhak mengatur tata tertib di
sini. Kau atau para petugas yang resmi di tempatkan di sini?"
"Akulah yang berkuasa," berkata orang yang tinggi ke"kar
itu. "O, tentu tidak. Kau pendatang seperti kami."
"Jangan kau bantah lagi. Akulah yang di dalam
kenyata"annya berkuasa di sini. Ayo, bertanyalah kepada
para petugas. Di sini ada beberapa orang petugas. Mereka
tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap aku."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya saja
orang yang tinggi kekar itu. Namun sebagai seorang yang
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, ia
memang me"lihat sesuatu pada orang yang tinggi kekar itu.
"Kesempatan terakhir buat kalian adalah minta diri. Ayo,
berpamitanlah kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabatmu
di sini, serta ke"pada para petugas."
Kiai Gringsing tidak segera menyahut, ia masih tetap
ber"diri termangu-mangu di tempatnya.
"Cepat, sebelum kami kehabisan kesabaran," berkata
orang yang tinggi kekar itu.
Selagi Kiai Gringsing masih termangu-mangu, maka
seseorang telah maju mendekatinya. Katanya, "Sebenarnya
kami merasa sayang juga kehilangan kalian. Tetapi apa boleh
buat. Memang sebaiknya kalian pergi meninggalkan tempat
ini." "Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Setidak-tidaknya kau tidak akan menimbulkan keributan.
Kau tidak akan mengalami nasib yang buruk seperti yang
pernah terjadi. Seseorang yang tidak menjadi sakit karena
hantu-hantu, te"tapi justru karena ia keras kepala, sehingga
terpaksa diusir dengan kekerasan. Apalagi orang itu mencoba
melawan. Maka akhirnya ia menjadi kecewa dan menyesal. Ia
mengalami luka-luka dan harus meninggalkan tempat ini pula."
"Siapakah yang melukainya?"
"Orang ini juga. Ia selalu mencoba menyelamatkan barak
kami seisinya dengan menyingkirkan orang-orang yang
mungkin akan mendatangkan bencana bagi kami."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ja"wabnya sangat mengejutkan, "Maaf, Ki Sanak. Kami sudah
bertekad untuk tetap tinggal di sini. Selama para petugas tidak
mengusir kami, kami tidak akan pergi. Bahkan seandainya hak
kami dicabut sekalipun oleh para petugas, kami akan
menghadap langsung kepada Ki Gede Pemanahan atau
puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, karena kami merasa
berhak ikut serta membuka hutan ini."
"Kami tidak berbicara tentang hak," potong orang yang
tinggi kekar itu, "tetapi kami ingin menyelamatkan diri kami."
"Sudahlah," berkata orang yang kekurus-kurusan,
"ting"galkan tempat ini selagi kalian masih sehat."
"Ya," berkata orang yang lain. "Lebih baik kalian pergi.
Pergilah ke pedukuhan yang telah menjadi ramai di pusat
Tanah Mataram. Kalian akan menemukan lapangan yang
cukup untuk mencari sesuap nasi."
"Ya, pergilah, pergilah," yang lain lagi berkata, "untuk
kebaikanmu sendiri."
Tetapi Kiai Gringsing masih tetap membungkam.
Kening"nya menjadi semakin berkerut-merut.
"He, apakah kalian menunggu kesabaranku habis?" teriak
orang yang tinggi kekar itu.
Kiai Gringsing memandang wajah para petugas yang
di"liputi oleh keragu-raguan. Mereka berdiri saja mematung
tanpa da"pat berbuat apa pun juga, sehingga Kiai Gringsing
bertanya kepada mereka, "Bagaimana Tuan" Apakah aku
memang sudah boleh tinggal di sini?"
Sebelum para petugas itu dapat menjawab, orang yang
ting"gi itu mendahului, "Tidak ada kesempatan lagi. Pergi,
seka"rang ini juga. Kalau kalian masih juga berbicara, maka
mulut kalian akan aku sobek."
Mata orang itu terbelalak ketika ia melihat Swandaru
mem"buka mulutnya. Bahkan terlalu lebar. Hampir saja ia
meloncat menampar pipinya yang gembung itu. Tetapi niat itu
diurungkannya, karena ternyata Swandaru hanya menguap.
Namun wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah
padam, ketika ia mendengar Swandaru berdesis, "Aku jadi
mengantuk sekali." Orang yang tinggi kekar itu benar-benar merasa terhina.
Ka"rena itu ia menjadi gemetar. Tetapi ketika ia melangkah
maju, beberapa orang mencoba mencegahnya, "Sudahlah.
Biarlah me"reka pergi."
Salah seorang telah mendekati Kiai Gringsing sambil
ber"bisik, "Sudahlah. Tinggalkan tempat yang sama sekali
tidak memberikan harapan apa pun ini. Mungkin besok atau
lusa, da"tang giliranku untuk meninggalkan tempat ini."
"Maaf," Kiai Gringsing menggeleng, "aku tetap ting"gal di
sini." Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia
ber"kata, "Terserahlah kepadamu. Kami sudah mencoba
mencegah keributan dan mencoba memberimu peringatan.
Tetapi kalau kau tetap keras kepala, kami tidak dapat berbuat
apa-apa apabila sesuatu terjadi atas kalian. Para petugas itu
pun tidak." Kiai Gringsing tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan
kemudian ia berpaling kepada kedua muridnya. Ketika ia
me"ngangguk kecil, seperti berebutan Agung Sedayu dan
Swandaru berloncatan maju.
"Biarlah Swandaru menguap lagi," berkata Kiai Gringsing.
Sikap ketiganya sama sekali tidak dimengerti oleh orangorang
yang berdiri di seputar mereka. Sejenak mereka berdiri
mematung, sementara cahaya matahari telah mulai
menyentuh ujung de"daunan.
"Matahari telah naik," Kiai Gringsing justru berkata, "kenapa
kalian tidak mempersiapkan diri untuk pergi bekerja?"
"Gila, gila!" orang yang tinggi kekar itu berteriak. "Memang
kalian ingin mengalaminya. Minggir! Minggir!"
Wajah-wajah di sekitar orang yang tinggi kekar itu menjadi
te"gang. Mereka kini tidak akan dapat mencegahnya lagi.
Sebagi"an dari mereka telah menjadi gelisah. Tetapi sebagian
yang lain berkata di dalam hatinya, "Terserahlah. Kami sudah
mencoba memperingatkannya. Tetapi mereka benar-benar
orang-orang yang keras kepala."
Dan orang yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian
me"nyibak, seolah-olah membuat suatu lingkaran di sekeliling
orang yang tinggi kekar yang kini berdiri berhadapan dengan
Kiai Gringsing itu. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu pun maju
selang"kah sambil berkata, "Kalian telah menyia-nyiakan
maksud baik kami. Sekarang, kalian akan mengalaminya.
Kalian akan menye"sal karenanya. Tetapi penyesalan itu tidak
akan banyak berarti. Nanti, setelah kalian pingsan, kalian akan
dilempar ke pinggir hutan. Terserahlah akan nasib kalian.
Apakah kalian akan mati ditelan harimau, atau sama sekali
disendal mayang oleh hantu-hantu, itu bukan urusan kami
lagi." "Apakah hal itu dapat dibenarkan oleh tata tertib kehidupan
beradab di Mataram?" bertanya Kiai Gringsing.
Ternyata pertanyaan itu telah membuat orang yang
kekurus-kurusan itu menjadi ragu-ragu sejenak, sedang Kiai
Gringsing berkata terus, "Kalian telah melakukan pelanggaran
tata tertib kehidupan yang beradab bagi Mataram. Kalau hal
itu kalian lakukan, maka saksi-saksi akan berbicara. Atau
Mataram memang tidak mempunyai hukum sama sekali,
sehingga setiap orang ber"hak berbuat sekehendak hatinya"
Apakah di sini kekuatan akan berarti kekuasaan?"
Orang yang kurus itu masih termangu-mangu, sementara
para petugas mengerutkan keningnya.
Tetapi orang yang tinggi kekar itu agaknya sama sekali
sudah tidak dapat menguasai kemarahannya. Selangkah demi
se"langkah ia maju. Bahkan ia pun kemudian berteriak, "Ayo.
Kalau kalian akan melawan, lawanlah bertiga. Kalau tidak,
siapa yang lebih dahulu aku pukuli sampai pingsan?"
Benar-benar di luar dugaan bahwa Swandaru tertawa
karenanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat
menggelikan ba"ginya.
Agung Sedayu yang berdiri di sampingnya menggamitnya.
Tetapi ia pun telah tersenyum pula.
"Aku tidak dapat menahan hati lagi," berkata Swandaru
sambil maju selangkah. Agaknya gurunya memang telah
memberi kesempatan kepadanya. "Pertanyaanmu lucu sekali.
Siapa yang dengan suka rela bersedia dipukuli sampai
pingsan" Kau barangkali."
Wajah orang yang tinggi kekar itu menegang sejenak.
Seperti orang-orang lain, ia tidak menyangka sama sekali,
bahwa anak yang baru saja sembuh itu, dengan beraninya
maju men"dekatinya selagi ia marah bukan kepalang.
Namun dengan demikian, orang itu justru membeku
se"jenak di tempatnya, seolah-olah ia tidak percaya atas
penglihatan"nya. "He, kenapa kau justru mematung?" bertanya Swandaru
yang tidak lagi berusaha mengekang kata-katanya.
"Sebenarnya aku harus mengucapkan terima kasih, karena
kau telah memberi air selagi aku kehausan. Kau ingat" Air
apakah yang kau berikan kepadaku itu?" Swandaru berhenti
sejenak. Ditatapnya orang yang tinggi kekar dan orang yang
kekurus-kurusan itu berganti-ganti. "He, kau ingat kepada air
itu" Sayang, air itu tidak berhasil membunuhku. Kemudian,
apakah kau dapat meyakinkan kami tentang ceritera ular
Gundala Seta dan Gundala Wereng justru ceritera itu
bersamaan dengan serangan beberapa ekor ular di dalam
gubug kami" Dan yang terakhir ceritera tentang gubug kami
yang terbakar yang kau katakan, dibakar oleh hantu-hantu?"
Orang yang tinggi kekar itu tidak dapat menahan hati lagi.
Dengan serta-merta ia meloncat maju sambil mengayunkan
te"lapak tangannya ke pipi Swandaru yang gembung itu,
meskipun sudah agak susut.
Swandaru sama sekali tidak bergeser. Ia hanya menarik
kepalanya sambil berpaling.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, seakan-akan
membeku karenanya. Darah mereka serasa berhenti dan
wajah-wajah mereka menjadi pucat. Orang yang tinggi kekar
itu adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Mereka pernah melihat bagaimana ia kehilangan kesabaran,
karena seseorang yang tidak mau menuruti nasehatnya.
Kini hal itu terulang lagi. Meskipun orang tua itu
mem"punyai dua orang anak yang masih muda, dan yang
mungkin memiliki keberanian pula untuk berkelahi, tetapi
melawan orang yang tinggi kekar itu sama sekali pasti tidak
akan berarti. Tetapi kini mereka melihat anak yang gemuk itu tanpa
membayangkan kecemasan dan ketakutan sama sekali telah
ber"diri menghadapinya.
Apalagi, ketika mereka melihat tangan orang yang tinggi
kekar itu terayun di depan wajah Swandaru, hampir
menyentuh pipinya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak
menyinggungnya, meskipun Swandaru masih tetap berdiri di
tempatnya. Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran.
Mereka hampir tidak melihat bagaimana Swandaru
menghindar. Dan mereka menganggap bahwa orang yang
tinggi kekar itu telah bergerak begitu cepatnya.
Orang yang tinggi kekar, yang merasa tangannya sama
se"kali tidak menyinggung sasarannya, menjadi semakin
marah. Hal itu tidak pernah terjadi atasnya. Ia pernah
memukul seorang anak muda di dalam lingkungan para
pendatang yang mencoba melawan kehendaknya. Bahkan ia
pernah berkelahi melawan sekelompok pendatang yang
merasa dirugikan oleh tindakan-tindakannya. Dan ia pun
pernah menghajar seseorang yang tidak mau diusir dari
daerah pembukaan hutan ini, sehingga orang itu men"jadi
pingsan. Dan kini anak muda yang gemuk itu, yang pernah hampir
mati karena sakit dan bisa itu, dengan begitu saja telah
berhasil menghindari tangannya.
Karena itu sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah
Swandaru sejenak. Tetapi kemarahan di dadanya serasa
menja"di semakin menyala, karena Swandaru justru
tersenyum kepada"nya sambil berkata, "Kau memang
terlampau kasar. Apakah, kau benar-benar tidak mau
berbicara lagi?" Orang itu tidak menjawab. Kini ia telah bersiap untuk
dengan bersungguh-sungguh berkelahi melawan Swandaru.
Karena menurut dugaannya, Swandaru sedikit atau banyak,
pasti mam"pu pula berkelahi, ternyata dengan caranya
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindari tangannya. Swandaru melihat sikap orang yang tinggi kekar itu dengan
dada yang berdebar-debar. Kemudian perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, Swandaru pun menduga,
orang ini memang se"orang yang pantas ditakuti di daerah
pembukaan hutan ini, bah"kan para petugas yang bersenjata
pun tidak dapat berbuat apa-apa atasnya.
Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap untuk
mengha"dapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang berdiri
mengitari mereka pun semakin menyibak pula. Mereka
menduga bahwa akan terjadi suatu perkelahian. Tetapi dalam
pada itu mereka me"naruh belas yang semakin mendalam
kepada Swandaru yang sombong itu. Kalau orang yang tinggi
kekar itu tidak lagi dapat menahan diri, maka kemungkinan
yang paling buruk dapat ter"jadi atas Swandaru. Bukan saja ia
akan menjadi pingsan, tetapi barangkali lebih daripada itu.
Apalagi kalau saudara laki-lakinya dan ayahnya itu ikut
membantu pula. Maka akibatnya akan menyedihkan sekali.
Swandaru yang sudah bersiap pula menghadapi orang
yang tinggi kekar itu tidak mau bermain-main lagi. Ia tidak
tahu, sampai berapa jauh kemampuan lawannya. Kalau orang
itu tidak ber"hasil memukul pipinya, itu bukannya suatu
ukuran, karena hal itu dilakukannya sambil lalu saja, dan
tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya akan
menghindar. Sejenak kemudian, ketegangan pun memuncak ketika
orang yang tinggi itu mulai menyerang. Dengan kecepatan
yang luar biasa ia meloncat langsung menyerang Swandaru,
dengan kakinya yang mendatar, sedang tubuhnya yang miring
agak me"rendah pada lutut kakinya yang lain.
Namun Swandaru pun telah bersiap menghadapinya.
De"ngan tangkasnya pula ia menarik sebelah kakinya. Ketika
kaki lawannya meluncur di sisinya, dengan cepat ia
mendorong kaki itu ke depan. Namun lawannya pun lincah
pula. Begitu kakinya yang terlempar itu menjejak tanah, maka
ia pun segera berputar dengan sebuah serangan kaki
mendatar. Swandaru terpaksa meloncat surut. Tetapi segera ia
ber"siap untuk menyerang lawannya yang masih terputar
setengah lingkar. Begitu lawannya itu berhenti berputar,
Swandaru me"loncat maju. Tangannya yang kuat langsung
menjulur ke arah pundak kanan. Tetapi orang itu masih
sempat menggeliat. Sambil memiringkan tubuhnya ia
menangkis pukulan Swandaru itu. Ia terlampau percaya akan
kekuatannya, sehingga ia yakin, bahwa anak yang gemuk itu
pasti akan terpental oleh kekuatan"nya sendiri.
Tetapi Swandaru ternyata telah mempergunakan sebagian
besar dari kekuatannya, karena ia belum tahu betapa besar
ke"kuatan lawannya. Karena itu sentuhan pukulan Swandaru
de"ngan lengan orang yang tinggi kekar, yang menangkis
serangan"nya itu, merupakan suatu benturan dua kekuatan
yang besar. Swandaru tergetar selangkah surut. Namun ia
segera tegak di atas kedua kakinya yang renggang, sedikit
merendah di atas lututnya. Satu tangannya bersilang di muka
dadanya, sedang tangannya yang lain terjulur lurus ke depan.
Telapak tangannya terbuka, dan keempat jari-jarinya merapat,
sedang ibu jarinya se"dikit merenggang di hadapan telapak
tangannya. Suatu sikap dalam unsur gerak Naga Rangsang.
Dalam pada itu, setiap dada serasa berhenti berdetak
ke"tika mereka melihat akibat yang terjadi atas seorang yang
tinggi kekar itu. Tanpa diduga sama sekali oleh setiap orang, maka orang
yang tinggi kekar itu ternyata telah terlempar tiga langkah.
Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Hanya dengan
susah payah ia masih dapat tetap bertahan berdiri di atas
kedua kakinya. Karena itu, orang yang tinggi kekar itu tidak akan sempat
untuk berbuat sesuatu, apabila Swandaru langsung
menyerang"nya. Sikap Naga Rangsang itu sangat berbahaya
baginya. Setiap saat Swandaru dapat meloncat dan kedua
tangannya mematuk seperti seekor naga dari arah yang
berbeda. Jari-jari tangannya yang merapat, adalah senjata
dari unsur gerak itu yang sangat berbahaya. Jari-jari tangan
Swandaru yang terlatih baik itu, akan mampu mencengkam
daging lawannya. Apalagi apabila daya tahan lawannya tidak
memadai. Tetapi ketika Swandaru melihat akibat benturan itu, ia tidak
segera menyerang. Bahkan ia sempat berpaling memandang
gurunya yang berdiri di luar arena.
Swandaru masih melihat gurunya menggelengkan
kepala"nya. Karena itu, maka sikapnya pun mengendor pula.
Tangannya kini tidak lagi terjulur lurus ke depan. Kakinya tidak
lagi me"renggang dan merendah pada lututnya, meskipun
satu tangannya masih bersilang di depan dadanya.
Benturan itu dapat memberinya petunjuk, bahwa
lawan"nya bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan
luar biasa. Ia adalah seseorang yang kuat dan berilmu. Tetapi
bukan orang yang tidak terkalahkan.
Meskipun benturan itu belum berarti penentuan akhir dari
perkelahian itu, tetapi setidak-tidaknya Swandaru telah
mempunyai sedikit gambaran tentang lawannya.
Karena itulah, maka ketika lawannya sedang memperbaiki
keadaannya, maka Swandaru melangkah seenaknya
mendekati"nya, meskipun sebenarnya ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Tangan kirinya masih tetap bersilang di muka
dadanya, tetapi tangan kanannya melenggang di sisi
tubuhnya. "Luar biasa," ia berdesis.
Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Ia
pun mengerti pula, bahwa Swandaru kini dapat menilai
ke"mampuannya. Namun demikian orang yang tinggi kekar itu
tidak segera menyerah kepada keadaan. Benturan itu
memang bukan penentuan. Karena itu, ia pun segera
mempersiapkan diri. Namun sikap Swandaru kemudian justru
sangat menyakitkan hatinya. Anak yang gemuk itu berjalan
seperti ayam aduan menghadapi lawannya yang sudah terikat
kedua belah kakinya. "Setan alas!" orang yang tinggi itu mengumpat.
"Jangan menyebut nama itu. Kalau ada hantu yang
men"dengar, ia akan marah. Bukankah di sini banyak hantu?"
ber"kata Swandaru. "Sebutlah yang lain, jangan setan alas.
Apalagi Alas Mentaok. Sebutlah setan gunung atau setan
jurang atau setan apa pun."
Kemarahan orang itu benar-benar serasa meledakkan
dadanya. Karena itu ia tidak menyahut lagi. Dengan sertamerta
ia me"loncat menyerang Swandaru. Kali ini ia telah
mengerahkan se"genap kemampuan yang ada padanya.
Swandaru yang sebenarnya sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan, segera menghindar. Tangan orang yang tinggi
kekar itu terjulur di samping dadanya. Dengan serta-merta
Swandaru memutar tubuhnya sambil menangkap tangan itu.
Dengan sekuat tenaga Swandaru menarik tangan orang itu
le"wat di atas pundak, sedang tubuhnya merendah di atas
lututnya, membelakangi lawannya.
Orang itu tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Terdorong
oleh kekuatannya sendiri, ditarik pula oleh kekuatan
Swandaru, ma"ka orang yang tinggi bertubuh kekar itu
terpelanting lewat di atas kepala Swandaru. Setelah sekali ia
terputar di udara, maka ia pun kemudian terlempar dan jatuh
terbanting di tanah. Setiap mulut hampir saja berteriak melihat hal itu. Tetapi
setiap mulut itu pun tertahan oleh bibir yang terkatup rapat.
Bahkan ada di antara mereka yang menutup mulutnya dengan
telapak tangannya. Bukan saja orang-orang yang tinggal di dalam barak, tetapi
para pengawas pun menjadi sangat kagum melihat cara
Swandaru menguasai lawannya yang lebih tinggi dan besar
daripadanya. Apalagi melihat tubuh Swandaru yang gemuk itu,
mereka menjadi terheran-heran melihat kelincahannya.
Sejenak orang yang tinggi kekar yang masih terbaring di
tanah itu menggeliat. Mulutnya menyeringai menahan sakit.
Tangannya ditekankan pada lambungnya yang agaknya
men"jadi sangat sakit.
Sejenak orang itu tidak segera mampu berdiri. Perlahanlahan
ia berusaha duduk. Meskipun, matanya menjadi merah
oleh ke"marahan yang memuncak, tetapi ia benar-benar tidak
segera dapat bangun. "Anak iblis!" ia mengumpat.
Swandaru masih berdiri di tempatnya. Ditatapnya saja
wa"jah orang itu. Wajah yang menjadi semakin tegang.
Namun dalam pada itu, perhatian setiap orang kini
berpin"dah. Tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan
melangkahi mendekati orang yang tinggi kekar, yang masih
saja duduk di tanah. "Berdirilah," katanya.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera berdiri.
"Marilah, aku tolong," berkata orang yang kurus itu.
Maka orang yang tinggi kekar itu pun dibantunya berdiri.
Meskipun dengan susah payah, akhirnya ia dapat tegak di
atas kedua kakinya. "Apakah kau masih mampu berkelahi?" orang yang
kekurus-kurusan itu bertanya.
Sekali orang yang tinggi itu menggeliat. Namun ia tidak
segera menjawab. "Apakah kau masih mampu berkelahi?" orang yang
kekurus-kurusan itu bertanya lagi. Lalu, "Inilah kebodohan kita.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang dengan sengaja
ingin membuat kisruh di tempat ini. Mereka memang bukan
orang kebanyakan. Anak yang gemuk ini telah mampu
membantingmu. Agaknya kau menganggapnya terlampau
rendah. Sekarang, hati-hatilah. Bersungguh-sungguhlah.
Kalau perlu, kau dapat mempergunakan senjatamu. Aku akan
mengawasi ayah dan kakaknya. Mereka pun bukan orangorang
kebanyakan." Orang yang tinggi kekar itu menjadi ragu-ragu. Tanpa
sesa"darnya ia meraba ikat pinggangnya yang besar.
Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Demikian juga
Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Mereka memang melihat
hu"bungan dari keduanya. Tetapi kini semakin ternyata bahwa
keduanya memang bukan orang lain. Keduanya pasti
mempunyai ikatan lebih dari kawan di dalam pembukaan
hutan ini. Namun yang mengherankan, agaknya orang yang kekuruskurusan
itulah yang mempunyai pengaruh yang lebih besar
dari"pada orang yang tinggi kekar, sehingga seandainya
benar-benar me"reka mempunyai ikatan tertentu, maka orang
yang kekurus-kurusan itu pasti mempunyai kedudukan selapis
lebih tinggi. Dalam pada itu, wajah Swandaru, Agung Sedayu, dan Kiai
Gringsing menegang, ketika mereka melihat orang yang tinggi
kekar itu tiba-tiba mencabut sepasang pisau di kedua
tangannya. "Nah, tidak ada salahnya kalau kau mempergunakannya,"
berkata orang yang kekurus-kurusan itu. "Bahkan kalau
terpaksa orang-orang itu mati, sama sekali bukan salah kita.
Mereka telah melawan ketentuan yang ada di sini."
"Tunggu," sela Kiai Gringsing, "siapakah yang berhak
mengawasi daerah ini" Kalau ada pelanggaran atau
perlawanan terhadap peraturan yang berlaku, siapakah yang
berhak ber"tindak?"
"Persetan," desis orang yang kekurus-kurusan, "kami akan
berjasa kalau kami dapat membantu melakukan tugas para
pe"ngawas." "Demikian juga kami," tiba-tiba saja Swandaru menyahut.
Orang yang kekurus-kurusan, orang yang tinggi kekar, dan
orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun menjadi heran.
"Kami juga merasa membantu para petugas, apabila kami
dapat membuat kalian jera. Kalian adalah orang-orang yang
sama sekali tidak menghargai orang lain, termasuk para
petugas yang ada di sini. Justru kalian menganggap beberapa
petugas yang ada itu sama sekali tidak mampu berbuat apaapa,
sehingga kalian perlu membantu mereka."
"Diam!" teriak orang yang kekurus-kurusan.
Suara teriakannya telah mengejutkan setiap orang yang
men"dengarnya. Suara itu keras, lantang dan berat, sehingga
sama sekali berbeda dengan sifat-sifat yang setiap kali dilihat
oleh orang-orang di dalam barak itu. Orang yang kekuruskurusan
itu sering menggigil ketakutan apabila ia melihat
sesuatu, bahkan kesannya ia ada"lah seorang penakut yang
cengeng. Tetapi kini tiba-tiba saja ia menjadi sangat garang
dan kasar. "Jangan biarkan ia berbicara lagi. Bunuhlah kalau kau
terpaksa melakukannya. Kau dan kita semua, tidak akan
dihu"kum oleh siapa pun."
Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba matanya menjadi liar dan kemerah-merahan, sedang
kedua pisau di tangannya menjadi gemetar.
Sekilas Swandaru memandang mata pisau yang bergetar
itu. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika tampak olehnya
bahwa daun pisau itu berwarna hitam kemerah-merahan.
Sama sekali tidak putih mengkilap seperti sebilah pedang.
Gurunya melihat pula warna itu, sekaligus melihat
ke"raguan Swandaru. Karena itu, maka ia pun kemudian
berkata, "Hati-hatilah atas sepasang pisau itu."
Orang yang kekurus-kurusan dan orang yang tinggi kekar
itu pun berpaling kepadanya, sementara Kiai Gringsing
berkata te"rus, "Pisau itu berbahaya bagimu. Setiap goresan
di kulitmu, akibatnya akan sangat berbahaya bagimu. Ingat,
orang-orang itu ada"lah orang-orang yang senang sekali
bermain-main dengan racun. Demikian juga pisau itu. Pisau itu
tidak sekedar diberi warangan biasa, tetapi warangan yang
mengandung racun yang paling tajam."
"Persetan dengan igauanmu," potong orang yang kekuruskurusan.
"Tetapi jangan takut," berkata Kiai Gringsang pula, "kau
adalah orang yang kebal, setidak-tidaknya telah dibekali
dengan berbagai macam obat untuk melawan racun. Berapa
kali kau hampir mati karena racun. Tetapi kau masih tetap
hidup sampai sekarang."
Tetapi suara Kiai Gringsing terputus ketika orang yang
kekurus-kurusan itu berteriak, "Jangan hiraukan kicau orang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua itu. Cepat, lakukanlah tugas ini sebaik-baiknya."
Orang yang tinggi kekar itu memang tidak menunggu lagi.
Perlahan-lahan ia maju mendekati Swandaru. Meskipun
tenaganya kini sudah jauh berkurang, namun sepasang pisau
itu benar-benar telah mendebarkan jantung.
Pisau yang beracun itu seakan-akan terayun-ayun di
tangan orang yang tinggi itu. Sekali-sekali berputar dan sekalisekali
terjulur lurus ke depan. "Gila," berkata Swandaru di dalam hatinya. "Untunglah,
bahwa tenaganya sudah hampir habis. Nafasnya pun agaknya
sudah hampir putus. Kalau aku dapat menghindar terusmenerus,
tanpa perlawanan apa pun, ia pasti akan berhenti
dengan sendiri"nya, kehabisan nafas."
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang itu pun sudah
mulai menyerang. Meskipun geraknya tidak lagi terlampau
ce"pat, tetapi kini ia memusatkan serangannya pada ujung
pisau"nya. Swandaru merasa, bahwa ia harus benar-benar berhatihati.
Menurut gurunya, racun itu adalah racun yang sangat
kuat. Sehingga karena itu, maka ia pun selalu menghindari
serangan-serangan yang se"gera datang beruntun.
Dengan ragu-ragu Swandaru mencari kesempatan untuk
menye"rang. Tetapi sepasang pisau itu benar-benar sangat
berbahaya. Se"kali ia memang melihat pertahanan orang itu
terbuka. Namun ternyata Swandaru cukup waspada juga
karena ia melihat jebakan-jebakan yang akan menyeretnya
untuk berpelukan dengan maut.
Dalam pada itu, ternyata untuk beberapa saat Swandaru
sama sekali tidak berdaya menghadapi kedua pisau beracun
itu. Ia sama sekali tidak mau tergores meskipun hanya
seujung ram"but. Dengan demikian, maka ia hanya dapat
berloncatan mundur dan berputar di arena perkelahian itu
tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk menyerang.
"Selesaikan saja anak itu," berkata orang yang kekuruskurusan.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Swandaru, maka
orang itu pun sudah menjadi semakin lelah. Nafasnya menjadi
terengah-engah dan keringatnya sudah membasahi seluruh
permuka"an kulitnya.
"Apakah kau masih mampu mempergunakan tenagamu
terakhir," bertanya orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu menggeram. Ditatapnya wajah Swandaru yang
menegang sejenak. Tetapi Swandaru itu justru kemudian
terse"nyum sambil menjawab, "Mari kita berlomba lari.
Berputar-putar di arena ini. Pada suatu saat, tanpa
perlawanan apa pun kau akan pingsan. Nafasmu tinggal
tersangkut di ujung hidungmu."
"Licik," teriak orang yang kekurus-kurusan, "Kau sangat
licik. Itu bukan perbuatan jantan."
"Senjata itu sangat berbahaya," sahut Swandaru.
"Sentuhan yang tidak berarti dapat membuatku mati. Dan aku
tidak mau. Lebih baik kita berkejar-kejaran sampai kawanmu
itu pingsan sendiri."
"Kenapa kau tidak pulang saja?" bertanya orang yang
kekurus-kurusan. "Kenapa?" bertanya Swandaru.
*** "Menanak nasi seperti perempuan. Kalau kau laki-laki, kau
tidak akan berkelahi dengan cara itu. Kau pasti akan berusaha
melawan meskipun akibatnya mati."
Wajah Swandaru menegang kembali. Terasa darahnya
me"lonjak mendengar penghinaan itu. Dan orang yang
kekurus-kurusan itu masih berkata, "Nah, apa katamu
sekarang" Orang-orang di sekitar kita menjadi saksi, bahwa
ternyata kau adalah orang yang hanya dapat berteriak-teriak
tanpa arti." Sejenak Swandaru tidak menyahut. Namun kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Jadi
menurut penilaianmu sekarang ini akulah yang licik meskipun
kawanmu yang menggenggam senjata yang ganas itu?"
Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga-duga. Orang yang
kekurus-kurusan itu mengharap Swandaru marah dan
langsung menye"rang. Tetapi agaknya anak yang gemuk itu
masih saja dapat menahan diri. Karena itu justru ia sendirilah
yang menjadi tidak sabar lagi. Katanya kepada orang yang
tinggi kekar, "Nah, kau telah cukup mendapat istirahat.
Lakukanlah sekarang. Kejar anak gemuk itu sampai dapat.
Kalau ia menghadapkan dadanya tikamlah dadanya. Kalau ia
lari tikamlah punggungnya."
"Kalau aku miring?" bertanya Swandaru.
"Gila," teriak orang yang kekurus-kurusan. "Lakukan
se"karang!" Orang yang kekar itu menggeram, ia maju selangkah demi
selangkah dengan wajah yang semakin liar.
Dalam pada itu Swandaru menjadi lebih berhati-hati
menghadapinya. Namun demikian ia memang merasa, kalau
dengan cara ini maka perkelahian akan berlangsung terlalu
lama. Ia harus menemukan kesempatan yang sebaik-baiknya
untuk mengalah"kan lawannya, tetapi kulitnya sendiri tidak
tergores ujung sen"jata beracun itu.
Namun akhirnya Swandaru menarik nafas ketika gurunya
berkata, "Sudahlah, jangan biarkan permainan ini berlangsung
terlampau lama. Bukankah kita ini gembala yang baik, yang
masih tetap menyimpan cambuk kita masing-masing"
Pergunakan cam"bukmu untuk mencegah pisau-pisau
beracun itu." Agung Sedayu menegang sejenak, memandangi wajah
guru"nya. Tetapi ia pun segera mengangguk-angguk.
Gurunya sama sekali tidak sekedar diburu oleh kegelisahan.
Namun agaknya gurunya memang merasa tidak perlu lagi
menyembunyikan cambuk-cambuk ini. Sebagian dari cirri-ciri
dirinya sudah mulai diperlihatkannya.
Swandaru yang semula juga ragu-ragu, kemudian
tersenyum ketika ia melihat gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan ia masih sempat berkata, "Apakah aku
harus menggembalakan pisau ini?"
Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang yang tinggi
ke"kar itu sudah mulai menyerangnya sambil menggeram,
"Per"setan dengan gembala gila seperti kalian."
Swandaru masih harus meloncat menghindar. Namun
kemudian ketika ia berdiri di atas sepasang kakinya,
tangannya sudah menggenggam cambuknya yang diurai dari
bawah ba"junya. "Nah," katanya, "sekarang kita masing-masing sudah
ber"senjata. Senjatamu adalah senjata seseorang yang
menguasai racun, sedang senjataku adalah senjata seorang
gembala." Mata orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam.
Sejenak dipandanginya ujung cambuk Swandaru. Namun
kemudian ia menggeram, "Persetan! Kau sangka aku sekedar
seekor kambing domba yang ketakutan mendengar bunyi
cambuk." Swandaru tidak menjawab. Tetapi diputarnya cambuknya di
atas kepalanya. Sudah agak lama ia tidak mempergunakan
cambuk itu, sehingga ia merasa perlu untuk melemaskan otototot
Ratu Cendana Sutera 2 Wiro Sableng 123 Gondoruwo Patah Hati Suramnya Bayang Bayang 21