Suramnya Bayang Bayang 21
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 21
gambaran tentang imbangan kekuatan itu?"
Dengan terperinci Ki Wiradana memberitahukan sebagaimana
didengarnya dari para pemimpin pengawal tentang
keseimbangan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan.
Karena padukuhan yang memberontak itu lebih kecil dari yang
lainnya, maka jumlah pengawalnya pun ternyata lebih sedikit.
Juga mereka yang meninggalkan barak dibandingkan dengan
mereka yang tetap setia kepada Ki Wiradana.
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya aku ingin
menunda sampai hari berikutnya untuk meyakinkan
keseimbangan kekuatan ini. Tetapi dengan kehadiran kakek dan
Ki Rangga maka aku sudah mendapat keyakinan itu."
"Jadi kau setuju bahwa besok kita mulai bergerak?" bertanya
Ki Rangga. "Ya," jawab Warsi.
"Bagus," sahut Ki Saudagar. "Aku sudah mengusulkan sejak
semula. Tetapi Warsi menganggap sikap itu sebagai kehilangan
akal dan tergesa-gesa."
"Yang aku perlukan sudah aku dapatkan," berkata Warsi. Lalu
katanya kepada Ki Wiradana, "Kakang, siapkan para pengawal.
Besok pagi kita bergerak. Kita harus membuat para bekel yang
memberontak itu menjadi jera."
"Hanya sekadar menjadi jera?" bertanya Ki Rangga.
"Kita akan melihat ukuran kesalahan mereka. Jika mereka
sekadar terpaksa karena tingkah anak-anak mudanya, maka ia
akan mendapat pengampunan. Tetapi jika mereka ikut terlibat
31 SH. Mintardja langsung, maka mereka akan dihukum mati," jawab Warsi.
"Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagi seorang
pengkhianat." Ki Wiradana hanya dapat mengangkat wajahnya sejenak.
Namun wajah itu pun kemudian menunduk lagi. Ia memang
tidak dapat ikut menentukan apapun lagi di Tanah Perdikan itu,
meskipun ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan.
"Nah, kau menunggu apa lagi kakang. Siapkan semua
pengawal. Waktu kita tinggal sedikit. Tetapi masih ada waktu
untuk sekadar beristirahat. Juga bagi para pengawal."
Ki Wiradana tidak dapat menolak. Sekali lagi ia keluar dari
ruangan itu dengan kepala tunduk. Kemudian ia berpacu lagi
diatas punggung kuda ke barak bersama beberapa orang
pengawal. Kepada pemimpin pengawal Ki Wiradana
menjatuhkan perintah, "Sekarang sudah pasti."
"Jadi besok kita akan bergerak?" bertanya pemimpin pengawal
yang sudah hampir tertidur itu.
"Ya. Siapkan semua pengawal. Bukan hanya yang ada dibarak
ini. Tetapi semua pengawal dari padukuhan-padukuhan. Kita
akan bergerak. Sekali pukul, kita harus sudah menyelesaikan
persoalan kita dengan para pemberontak. Sudah disiapkan tiga
tiang gantungan untuk tiga orang bekel dan tiga lagi untuk tiga
orang pemimpin pengawal," berkata Ki Wiradana.
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun telah membenahi diri bersama dua orang
pembantunya. "Kita akan menjalankan perintah. Kita akan menghubungi
para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan," berkata
pemimpin pengawal itu. "Baiklah. Aku akan kembali dan bersiap-siap untuk melakukan
tindakan atas kebodohan para bekel di padukuhan-padukuhan
yang telah memberontak itu," berkata Ki Wiradana.
32 SH. Mintardja Sejenak kemudian maka kuda-kuda pun berderap. Ki
Wiradana dan pengawalnya kembali ke rumahnya, dan para
pemimpin pengawal itu pergi ke padukuhan-padukuhan untuk
memberikan perintah agar semua pengawal dipersiapkan besok
pagi. Ketika ia sampai ke rumahnya, Ki Wiradana itu menjadi
berdebar-debar. Semua orang ternyata telah tertidur. Tetapi dua
di antara mereka masih duduk sambil berbincang dengan wajah
yang cerah. Warsi dengan Ki Rangga Gupita.
"O," Warsi berpaling ketika suaminya mendorong pintu,
"Bagaimana" Apakah kau sudah menghubungi pemimpin
pengawal itu?" "Aku sudah memerintahkan mereka untuk bersiap-siap,"
jawab Ki Wiradana. "Bagus," jawab Warsi. "Nah, jika demikian, kita dapat
mempergunakan sisa pagi ini untuk beristirahat."
Ki Wiradana tidak menjawab. Sementara itu Warsi berkata
kepada Ki Rangga, "Mudah-mudahan semua rencana dapat kita
lakukan dengan sempurna, sehingga peristiwa pemberontakan
seperti ini tidak akan terulang lagi. Sekarang silakan Ki Rangga
untuk beristirahat."
Ki Rangga tersenyum. Sambil menepuk bahu Ki Wiradana ia
berkata, "Besok aku akan berjuang bagi tegaknya
kewibawaanmu." Ki Wiradana memandang wajah Ki Rangga sekilas. Hampir
diluar sadarnya ia berdesis, "Terima kasih."
"Dan kamu kemudian harus tahu diri. Aku memerlukan anak-
anak muda Tanah Perdikan ini untuk menghancurkan Pajang.
Sekaligus memberikan pengalaman bagi para pengawalmu.
Dengan demikian maka kelak Tanah Perdikan ini akan
merupakan Tanah Perdikan yang sangat kuat, karena memiliki
pengawal yang berpengalaman dan berilmu tinggi," berkata Ki
Rangga itu selanjutnya. 33 SH. Mintardja Betapa panasnya terasa darah didada Ki Wiradana. Ia merasa
diperlakukan sebagai kanak-kanak yang baru dapat melangkah
satu-satu sambil menghisap ibu jari tangannya. Namun ia tidak
dapat menolak perlakuan itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga pun telah meninggalkan
ruangan itu untuk pergi ke gandok. Sementara Ki Wiradana dan
istrinya telah pergi ke biliknya pula. Dengan suara memerintah
Nyi Wiradana berkata, "Kakang harus menyiapkan segala
sesuatunya besok menjelang fajar. Sebagai pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan kakang akan memimpin pasukan Tanah
Perdikan ini untuk menumpas pemberontak itu.
Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah meletakkan tubuhnya diatas
pembaringan. Namun ternyata
bahwa angan-angannya telah
bergejolak menyelusuri jalan
hidupnya yang terasa sangat
pahit itu. Ki Wiradana menarik nafas
dalam-dalam ketika sejenak
kemudian ternyata Warsi telah
tertidur disampingnya, tanpa
menengok anaknya yang tidur
bersama seorang pembantunya. Untunglah bahwa pembantunya itu demikian sayangnya kepada
anak itu, sebagaimana kepada anak sendiri.
Sesaat Ki Wiradana justru membayangkan anak itu. Bahkan
anak Iswari yang tentu juga sudah lahir.
Terdengar tarikan nafas yang panjang. Penyesalan yang
datang terlambat itu membuat Ki Wiradana bagaikan kehilangan
nalarnya. Ia membayangkan bahwa kedua anaknya itu kelak akan
34 SH. Mintardja saling bermusuhan, sebagaimana ibu mereka. Kesalahannya
terletak dipundaknya. "Adalah wajar sekali jika Iswari berusaha untuk berbuat
sesuatu," berkata Ki Wiradana di dalam hatinya. "Ia sudah
disingkirkan. Bahkan sudah dilakukan rencana pembunuhan atas
dirinya. Hanya tangan Tuhan sajalah yang telah mencegahnya."
Sampai menjelang fajar Ki Wiradana sama sekali tidak dapat
memejamkan matanya. Berbagai macam angan-angan bergejolak
di dalam kepalanya. Ketika ayam jantan berkokok didini hari, maka ia pun telah
bangkit. Ia tidak mau terlambat. Karena itu, maka ia pun segera
keluar dan pergi ke pekiwan, sementara itu ia sempat singgah di
gardu dan memberikan perintah-perintah.
Ternyata bahwa perintahnya masih tetap diindahkan oleh para
pengawal. Dalam kesiagaan, maka para petugas didapur telah
bangun jauh sebelumnya dan menyiapkan makanan bagi para
pengawal yang akan menunaikan tugas yang sangat berat.
Baru sejenak kemudian Warsi pun telah terbangun pula. Ia
tersenyum ketika ia melihat Ki Wiradana telah bersiap
sepenuhnya. Bahkan pedang pun telah tergantung
dipinggangnya. Ternyata para pemimpin Tanah Perdikan itu pun dengan cepat
pula mempersiapkan diri. Mereka pun segera makan dan minum
minuman panas sebagaimana dilakukan oleh para pengawal.
Bahkan para pengawal di padukuhan-padukuhan tentu telah
melakukannya lebih dahulu, karena sebelum matahari terbit,
mereka harus sudah berkumpul di ara-ara yang luas tidak jauh
dari barak. Di ara-ara itu pasukan Tanah Perdikan itu akan
bergerak menuju ke padukuhan yang terbesar di antara ketiga
padukuhan yang telah menutup dan memisahkan diri dari
kesatuan Tanah Perdikan Sembojan.
Demikianlah menjelang matahari terbit, pasukan Tanah
Perdikan itu sudah berkumpul. Mereka telah memasang semua
pertanda kebesaran Tanah Perdikan untuk menunjukkan bahwa
35 SH. Mintardja mereka adalah penguasa yang mempunyai wewenang untuk
mengambil langkah-langkah yang perlu bagi Tanah Perdikan itu.
Namun sebelum mereka berangkat, mereka telah dikejutkan
oleh suara isyarat yang aneh. Isyarat yang tidak mereka mengerti
maknanya, bersahutan di kejauhan.
Tetapi dengan cepat, Ki Rangga mampu menanggapinya dan
berkata, "Itu tentu isyarat yang telah dibuat dan dimengerti oleh
para pengawal yang memberontak. Agaknya mereka telah
mendengar rencana kami dari pengkhianat-pengkhianat yang
ternyata bertebaran dimana-mana."
"Gila," geram Warsi. "Tetapi tidak apa. Kekuatan kami lebih
besar dari kekuatan mereka. Para pemimpin Tanah Perdikan ini
pun tentu lebih baik dari mereka, sehingga kami akan mampu
menghancurkan mereka meskipun mereka akan menyongsong
kehadiran kami." Ki Randukeling dengan nada dalam menyahut, "Kalian masih
saja meributkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Bukankah sudah pasti bagi kita, bahwa segalanya akan dapat kita
selesaikan hari ini?"
"Ya kakek. Mungkin hanya karena aku bermaksud terlalu
berhati-hati," jawab Warsi.
"Karena itu, marilah. Kita jangan merisaukan lagi hasil
langkah kita ini. Kita yakin bahwa kita akan berhasil. Karena itu,
maka tanpa ragu-ragu kita akan berangkat sekarang,"berkata Ki
Randukeling selanjutnya. Warsi pun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah, kakek.
Sebentar lagi matahari akan naik ke atas bukit. Kita sudah siap
untuk berangkat," lalu Warsi pun berpaling kepada Ki Wiradana.
"Kita sudah siap?"
Ki Wiradana mengangguk. Ia pun kemudian memberikan
isyarat kepada pemimpin pasukan yang selanjutnya meneriakkan
aba-aba kepada pasukan itu untuk berangkat.
36 SH. Mintardja Ternyata bahwa pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu pun
cukup menggetarkan jantung. Mereka membawa tunggul dan
umbul-umbul. Pasukan itu bagaikan pasukan kerajaan Agung
yang siap menumpas perlawanan dari sebuah lingkungan yang
sedang memberontak. Tetapi demikian pasukan itu mulai bergerak, telah terdengar
isyarat dikejauhan yang sahut menyahut. Padukuhan-padukuhan
yang memberontak itu telah membunyikan kentongan dengan
irama yang tidak dikenal sebelumnya.
"Mereka telah bersiap menyambut kedatangan kita," berkata
Ki Rangga. "Mereka terdiri dari orang-orang gila. Apakah mereka
tidak mempunyai otak, sehingga mereka berani melakukan
perlawanan seperti ini" Perlawanan terbuka?" geram Warsi.
"Kita harus memikirkannya," berkata Ki Randukeling.
"Meskipun menurut penilaianmu berdasarkan keterangan para
pemimpin pengawal, bahwa kekuatan kita lebih besar dari
kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan itu, namun kita
harus tetap berhati-hati."
"Ya kakek," jawab Warsi. "Kita harus selalu berhati-hati."
Ki Randukeling tidak menjawab lagi. Sementara itu pasukan
Tanah Perdikan Sembojan yang terdiri dari para pengawal dari
padukuhan-padukuhan serta para pengawal yang sedang ditempa
di dalam barak itu bergerak dengan cepat menuju ke padukuhan
yang terbesar dari ketiga padukuhan yang menyatakan diri
terpisah dari Tanah Perdikan Sembojan dengan membuat batas-
batas. Beberapa saat kemudian, orang-orang di dalam pasukan itu
perhatiannya telah tertarik kepada kepulan debu di jalan bulak
sebelah. Dua ekor kuda telah berpacu menuju ke arah yang sama
dijalan yang dibatasi oleh kotak-kotak persawahan.
"Mereka tentu pengawas dari para pemberontak," geram Ki
Rangga. 37 SH. Mintardja "Ya," jawab Ki Randukeling. "Tetapi tidak apa. Biar mereka
memberikan laporan, bahwa telah datang pasukan yang kuat
untuk menumpas mereka."
Ki Rangga tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
"Sebuah cermin dari batas kematian mereka. Memang ada
baiknya." Demikianlah, maka pasukan itu pun bergerak terus. Mereka
melewati bulak-bulak yang memisahkan desa dan desa,
padukuhan dan padukuhan. Dengan jantung yang berdebaran,
pasukan itu menjadi semakin dekat dengan sasaran.
Ki Wiradana sendiri rasa-rasanya bagaikan terpanggang diatas
api. Ia sama sekali tidak sependapat dengan langkah yang diambil
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Tetapi ia tidak mempunyai kekuatan untuk menolaknya.
Bahkan ia sendiri telah hanyut di dalamnya dan ikut pula di
dalam pasukan yang akan menghancurkan saudara-saudara
mereka sendiri dengan sikap yang keras. Bahkan dengan bekal
niat menghukum mati beberapa orang penghuni padukuhan itu.
Dalam pada itu, di padukuhan-padukuhan yang sudah
bertekad untuk menuntut satu perubahan di Tanah Perdikan
Sembojan telah bersiap pula. Dari beberapa keterangan yang
terkumpul, serta arah perjalanan pasukan itu yang dapat dilihat
oleh para pengawas, maka iring-iringan pasukan itu menuju ke
padukuhan terbesar dari ketiga padukuhan yang menyatakan diri
terlepas dari kuasa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak
memimpin Tanah Perdikan itu.
Ketiga orang bekel dengan para pemimpin kelompok pengawal
di padukuhan-padukuhan itu telah menyusun satu pasukan yang
diperkuat oleh anak-anak muda yang semula berada didalam
barak. Bahkan Ki Bekel telah memanggil laki-laki yang dengan
suka rela bersedia untuk ikut mempertahankan diri jika serangan
yang sudah diperhitungkan itu akan datang.
Ternyata beberapa orang yang pernah menjadi pengawal
Tanah Perdikan itu, bahkan ada beberapa orang bekas prajurit
Pajang yang sudah kembali ke kampung halamannya karena
38 SH. Mintardja umur mereka, telah bersedia ikut dalam pasukan yang tersusun
dengan cepat itu. Meskipun para bekas prajurit itu sudah
terhitung tua, tetapi mereka memiliki bekal kemampuan seorang
prajurit. Didorong oleh keyakinan yang mantap, maka rasa-
rasanya mereka masih juga semuda pada saat-saat mereka berada
didalam lingkungan prajurit Pajang.
Pasukan yang demikian itulah yang tidak diperhitungkan oleh
Warsi dan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan
orang-orang yang belum pernah meraba senjata pun telah
menyatakan diri untuk ikut serta mempertahankan kampung
halaman mereka dari kuasa orang-orang yang sebenarnya tidak
berhak. Dengan demikian maka pasukan yang tersusun itu
nampaknya menjadi sebuah pasukan yang sangat besar.
Namun para pemimpin pengawal padukuhan itu telah
berpesan agar mereka yang
belum memiliki dasar-dasar
olah kanuragan sama sekali,
sebaiknya tidak berada digaris-
garis terdepan. "Nampaknya pertempuran
benar-benar akan terjadi,"
berkata Ki Bekel dari padukuhan terbesar itu. Seorang Bekel dari padukuhan yang lain pun mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
pun sudah siap. Apapun yang terjadi, kita berdiri diatas satu
keyakinan." "Pasukan yang datang itu ternyata membawa segala macam
tanda kebesaran Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Bekel
yang seorang lagi. 39 SH. Mintardja "Kita akan mengimbanginya," terdengar suara disamping
mereka. Ketika para Bekel itu berpaling, dilihatnya Kiai Badra berdiri
disamping Iswari yang telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Mereka sudah bersiap dalam pakaian tempur.
Sementara itu di tangan Iswari dipegang sebatang tunggul
pertanda wewenang dari Pajang.
"Tunggul ini mempunyai nilai tersendiri," berkata Kiai Badra.
Para Bekel itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah
mendapat penjelasan tentang tunggul itu. Dengan demikian
maka mereka menjadi semakin mantap. Apalagi ketika mereka
melihat bahwa Iswari dan orang-orang yang terbiasa
mengiringinya jika ia menari, telah bersiap pula di antara
mereka. "Kita akan memasang tunggul itu," berkata Kiai Badra. "Aku
memerlukan orang-orang yang mengenakan pakaian prajurit
Pajang. "Beberapa orang bekas prajurit Pajang ada di antara kita,"
berkata salah seorang Bekel. "Mereka mengenakan pakaian
keprajuritan mereka ketika mereka masih muda."
"Tolong Ki Bekel. Panggil mereka," sahut Kiai Badra.
Ki Bekel itu pun kemudian telah memerintahkan untuk
memanggil semua orang bekas prajurit Pajang yang mengenakan
pakaian keprajuritan. Ketika mereka telah berkumpul, maka Kiai Badra pun berkata,
"Kalian adalah prajurit-prajurit Pajang. Meskipun umur kalian
telah menjadi semakin tua, tetapi sifat-sifat kesatria yang melekat
didiri kalian ternyata masih kalian miliki terus. Karena itu, maka
kalian akan mendapat kehormatan untuk mengawal Tunggul ini.
Tunggul ini adalah pertanda kuasa Pajang yang dilimpahkan
kepada kita untuk bertindak atas orang-orang yang telah
menyalahgunakan kekuasaannya di Tanah Perdikan ini. Tunggul
ini adalah pertanda bahwa kita sedang mengemban tugas yang
40 SH. Mintardja dibebankan oleh Pajang, untuk mengembalikan kedudukan
Tanah Perdikan ini sebagaimana seharusnya."
Para bekas prajurit yang mengenakan pakaian keprajuritan itu
mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka yang
rambutnya telah bercampur uban berkata, "Kami akan bertindak
sebagaimana seorang prajurit Pajang. Jiwa itu akan tetap melekat
di dalam hati kami."
"Terima kasih. Tunggul ini akan dibawa oleh Iswari sendiri
sebagai seorang yang mendapat wewenang," berkata Kiai Badra.
Namun wajah Iswari nampaknya tidak secerah biasanya.
Bahkan ia pun kemudian mendekati kakeknya sambil berdesis,
"Kenapa aku harus membawa tunggul ini kakek. Aku ingin turun
langsung di medan. Setelah untuk waktu yang cukup lama aku
menempa diri di padepokan Tlaga Kembang, maka rasa-rasanya
aku sudah mempunyai bekal yang cukup. Tetapi nampaknya
kakek masih belum mengijinkan aku menghadapi perempuan
cantik itu tanpa diganggu oleh tunggul ini."
Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Kau harus mengendapkan
perasaanmu lebih dahulu Iswari. Jika pada benturan pertama kau
langsung berhadapan dengan Nyi Wiradana, maka semua niat
perjuanganmu bagi tegaknya kembali wibawa Tanah Perdikan ini
telah hilang. Yang bergejolak didalam dadamu adalah dendam
seorang perempuan." "Tidak kakek," jawab Iswari. "Aku akan menempatkan diriku
sebaik-baiknya." "Iswari," berkata Kiai Badra. "Cobalah kali ini kau mengikuti
petunjuk kakek. Bukankah sejak kecil kau adalah seorang
penurut?" Iswari menarik nafas dalam-dalam. Betapa perasaan kecewa
mencengkam jantungnya, namun ternyata bahwa ia telah
menurut perintah kakeknya. Ialah yang kemudian membawa
tunggul, dikawal oleh para prajurit Pajang. Namun Kiai Badra
tidak melepaskan Iswari sekadar dikawal oleh bekas prajurit yang
41 SH. Mintardja sudah menjadi semakin tua itu. Tetapi para pengiringnya jika ia
menari ada disekitarnya. Sementara itu, para pengawal pun telah menebar. Yang telah
melarikan diri dari baraknya telah berada didalam barisan.
Sementara orang-orang yang merasa serba sedikit pernah
menggenggam senjata ikut pula bersama mereka. Sedangkan
dibelakang mereka adalah hampir semua laki-laki yang masih
kuat yang merasa ikut bertanggung jawab atas padukuhan
mereka. Dengan tertib pasukan itu telah menunggu dibalik dinding
banjar panjang dipadukuhan terbesar. Pada saat-saat terakhir
para pemimpin pengawal masih memberikan pesan-pesan
terakhir kepada kelompok masing-masing.
"Yang akan berdiri dipaling depan adalah Iswari dengan
tunggul yang diterimanya dari Pajang sebagai pertanda bahwa
yang kita lakukan adalah atas nama kuasa Pajang yang
dilimpahkan bagi kita untuk mengembalikan kedudukan Tanah
Perdikan ini. Jadi sama sekali tidak benar bahwa kita adalah
pemberontak. Tetapi kita adalah kekuatan yang mendapat kuasa
justru untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin Tanah Perdikan ini," berkata pimpinan pengawal itu
kepada kelompok masing-masing.
Dalam pada itu, iring-iringan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan pun menjadi semakin dekat. Mereka telah melampaui
batas padukuhan dan memasuki daerah sasaran.
Ketika mereka sampai pada jalan yang ditutup patok-patok
yang kuat, maka Ki Wiradana pun memerintahkan untuk
merusak patok-patok itu, sehingga jalan pun telah terbuka pula.
Beberapa saat kemudian banjar panjang padukuhan yang
menjadi pusat pertahanan pasukan yang dianggap memberontak
telah ada dihadapan mereka, sehingga karena itu, maka Ki
Wiradana pun telah memberikan isyarat agar pasukannya
berhenti. 42 SH. Mintardja "Kita akan memasang gelar," berkata Ki Wiradana kepada Ki
Rangga Gupita. "Bagus," jawab Ki Rangga. "Ternyata kau benar-benar seorang
Senapati yang baik. Tetapi sebaiknya kita maju lebih dekat lagi.
Kita tidak usah cemas, bahwa lawan akan mendahului menyerang
kita. Agaknya mereka akan bertahan dibalik dinding padukuhan."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Dihadapan mereka
memang belum nampak kekuatan segelar sepapan. Yang mereka
lihat hanyalah beberapa orang yang mengamati keadaan. Sekali-
kali mereka muncul diatas dinding dan didepan regol. Namun
mereka pun segera hilang kembali.
Ki Wiradana pun telah memerintahkan pasukannya untuk
maju lebih dekat lagi, sehingga jarak mereka dengan banjar
panjang itu menjadi semakin dekat.
"Nah," berkata Ki Rangga. "Aku kira jarak sudah cukup dekat.
Kita akan memasang gelar, dan kemudian memerintahkan
pasukan ini maju memasuki banjar panjang itu. Kita akan
menghancurkan mereka sampai lumat. Tetapi sekali lagi harus
diingat, mereka yang menyerah dan bersedia pergi ke Pajang
akan diampuni. Mereka akan diperlakukan seperti kawan-kawan
mereka yang tidak memberontak."
Ki Wiradana mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baiklah.
Aku akan mengumpulkan para pemimpin kelompok sebelum kita
mulai." "Bagus," Ki Rangga tertawa. "Kau memang pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan yang sangat baik. Lebih baik dari yang
kuduga semula." Ki Wiradana tidak menjawab. Tetapi diperintahkannya untuk
memanggil para pemimpin kelompok.
Kepada para pemimpin kelompk dijelaskan apa yang harus
mereka lakukan. Mereka pun telah mendapat pesan sebagaimana
dikatakan oleh Ki Rangga tentang mereka yang menyerah dan
bersedia pergi ke Pajang.
43 SH. Mintardja Para pemimpin kelompok itu mendengarkan pesan Ki
Wiradana dengan sungguh-sungguh. Namun beberapa orang di
antara mereka justru menjadi gelisah. Para pemimpin Tanah
Perdikan itu menghendaki agar mereka berlaku sebagai serigala
lapar atas saudara-saudara mereka sendiri. Membunuh,
membakar dengan maksud agar yang terjadi itu dapat menakut-
nakuti seluruh rakyat Tanah Perdikan. Dengan demikian maka
yang terjadi itu untuk seterusnya tidak akan terulang kembali.
Bahkan jika ketiga orang Bekel dari tiga padukuhan yang
dianggap memberontak itu beserta para pemimpin pengawalnya
tertangkap, maka mereka akan dihukum gantung jika ternyata
mereka terlibat langsung dalam pemberontakan itu.
Tetapi para pemimpin pengawal itu tidak bertanya lebih jauh.
Ketika mereka memandang wajah orang-orang yang ada
disekeliling pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan mereka
rasa-rasanya di wajah itu memang sudah terbayang nafas maut.
Dengan demikian, maka Ki Wiradana pun segera
memerintahkan mereka kembali ke kelompok masing-masing.
Sebentar lagi, Ki Wiradana akan memberikan isyarat untuk
membuka gelar dan siap untuk menyerang, memasuki banjar
panjang di hadapan mereka.
"Jika kekuatan induk lawan tidak ada di banjar itu, maka
banjar itulah yang akan kita lumatkan menjadi abu," perintah Ki
Wiradana. "Bagus," desis Ki Rangga Gupita, "Satu perintah yang tegas.
Akhirnya aku harus memujimu Ki Wiradana."
Ki Wiradana tidak menjawab. Namun ketika ia memandang ke
arah banjar panjang dihadapannya, rasa-rasanya kepalanya
menjadi pening. Apakah banjar panjang yang merupakan bagian
dari Tanah Perdikan Sembojan itu benar-benar harus
dihancurkan" Orang-orang yang tinggal di dalamnya harus
dikorbankan tanpa ampun"
Justru pada saat Ki Wiradana dicengkam oleh bayangan-
bayangan yang mengerikan itu, ia terkejut. Ki Rangga telah
44 SH. Mintardja menggamitnya dan berdesis, "Sudah waktunya. Perintah untuk
menebar dalam gelar sudah dapat dilakukan."
"O," Ki Wiradana tergagap. Namun sejenak kemudian maka ia
pun telah meneriakkan aba-aba.
Para pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Dan
sejenak kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu
telah menebar. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu telah
memiliki pengetahuan yang cukup untuk turun ke medan. Dalam
waktu dekat, maka pasukan mereka telah tersusun dalam gelar
yang menebar. Gelar Garuda Nglayang.
Kekuatan utama pasukan itu berada di induk pasukan yang
merupakan paruh dari gelar. Kemudian pada sebelah menyebelah
yang dipimpin oleh Senapati pengapit, yang merupakan kuku-
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuku gelar yang tajam, yang akan dapat meremas dan
menghancurkan lawan. Sedangkan kekuatan yang lain terletak
beberapa langkah dari ujung gelar. Kekuatan yang dapat
menghancurkan sayap lawan dan kemudian menggulungnya
sebelum keseluruhan gelar lawan dikoyak-koyak oleh kekuatan
kuku dan paruh yang kuat dan tajam di induk pasukan.
Sementara itu, para pengawal yang berada di belakang dinding
banjar panjang itu pun telah bersiap pula. Ketika mereka melihat
pasukan Tanah Perdi kan sudah memasang gelar maka Kiai
Badra pun berkata, "Sudah waktunya kita melangkah."
"Apa yang kita lakukan lebih dahulu?" bertanya pemimpin
pasukan pengawal yang mendapat kepercayaan dari para
pemimpin yang lain untuk memimpin seluruh kekuatan mereka.
Kiai Badra memandang Iswari sesaat. Kemudian jawabnya,
"Tunggul itu. Buka pintu gerbang. Tunggul itu akan keluar
dikawal oleh para prajurit Pajang. Kemudian kita akan
memberikan aba-aba agar anak-anak kita keluar dari padukuhan
dengan kesiagaan sepenuhnya.
45 SH. Mintardja Pemimpin pengawal dari pasukan yang disebut telah
memberontak itu pun kemudian memerintahkan untuk
membuka gerbang padukuhan. Sejenak kemudian, Iswari pun
telah keluar dari pintu gerbang dengan tunggul ditangannya yang
dilekati sebuah kelebet pertanda kuasa Pajang, diikuti oleh
mereka yang pernah menjadi prajurit Pajang pada masa
mudanya. Namun mereka telah mengenakan pakaian kebanggaan
mereka, selagi mereka masih menjadi prajurit. Kemudian
beberapa orang keluar dari dua padepokan yang akan menjaga
Iswari dan tunggul itu dari kemungkinan yang kurang baik.
Sementara itu, terdengar aba-aba yang lain, sehingga sejenak
kemudian, maka para pengawal pun telah berloncatan keluar dari
balik dinding banjar panjang mereka. Ternyata jumlahnya jauh
lebih banyak dari yang diperkirakan, karena dibelakang para
pengawal, hampir semua laki-laki telah ikut pula di dalam
barisan itu. Kehadiran pasukan yang besar itu memang mengejutkan.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah, hadirnya sebuah
tunggul yang tentu bukan tunggul kebanyakan. Menilik ujud,
bentuk dan pancaran wibawanya, maka para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan, terutama Ki Rangga Gupita, segera
mengenalinya, bahwa tunggul itu tentu ada hubungannya dengan
Pajang. Apalagi Ki Rangga juga mengenali pakaian orang-orang
yang mengawal tunggul itu.
Dalam pada itu, selagi mereka sedang dicengkam oleh
kebimbangan, tiba-tiba saja tiga batang lembing telah meluncur
dan jatuh beberapa langkah dihadapan para pemimpin Tanah
Perdikan itu. Dengan serta merta maka para pemimpin itu pun
menghentikan langkah mereka. Bahkan mereka pun telah
memberikan isyarat kepada pasukannya dalam keseluruhan
untuk berhenti sejenak. Yang terdengar adalah aba-aba yang diteriakkan oleh Ki
Wiradana dan disambung oleh para pemimpin kelompok,
46 SH. Mintardja sehingga dengan demikian maka pasukan Tanah Perdikan itu
pun telah berhenti sepelempar lembing dari dinding banjar
panjang yang menjadi sasaran.
"Gila," geram Ki Rangga. "Permainan apa saja yang
sebenarnya dilakukan oleh orang-orang itu?"
Warsi menggeram. Ketika ia melihat seorang perempuan
dengan tunggul ditangannya, bahkan yang bagaikan
memancarkan cahaya yang cerah itu, jantungnya bagaikan
terbakar. "Aku ingin meremas wajahnya yang sangat cantik itu,"
katanya. Dalam pada itu, maka terdengar seseorang di antara orang-
orang yang disebut memberontak itu berkata, "Selamat datang
dipadukuhan kami para pemimpin dan pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan Sembojan."
Orang-orang Sembojan itu termangu-mangu. Namun justru
para pemimpinnya mengumpat mendengar kata-kata lantang itu.
Apalagi ketika mereka melihat Ki Bekel dari padukuhan yang
menjadi sasaran serangan itulah yang telah menyambut mereka
dengan sebuah sesorah pendek itu. Bahkan Ki Bekel itu
melanjutkan, "Kami memang sudah mengira bahwa kalian akan
datang dengan pasukan. Karena itu maka kami pun berusaha
untuk tidak mengecewakan kalian dalam penyambutan ini.
Namun seperti yang kalian lihat, kalian ternyata berhadapan
dengan pengemban kuasa dari para pemimpin di Pajang. Dengan
tunggul pertanda kuasa Pajang itu, maka penyambutan kami
akan menjadi lebih bersifat resmi."
"Diam," Ki Ranggalah yang tidak dapat menahan sendiri
sehingga berteriak nyaring. "Kau dapat saja membawa tunggul
apapun yang kau sebut sebagai pertanda bahwa kalian
mengemban tugas dari Pajang. Tetapi seandainya tunggul itu
benar kalian terima dari Pajang, maka adalah kebetulan sekali
bahwa kalian memang harus ditumpas. Tanah Perdikan ini
47 SH. Mintardja adalah bagian dari Jipang yang kini memang sedang bermusuhan
dengan Pajang." Tetapi Ki Bekel itu menjawab tidak kalah lantangnya,
"Siapakah yang meneriakkan kata-kata sumbang itu" Darimana
kau dapat menyebut bahwa Tanah Perdikan ini merupakan
bagian dari Jipang" He, dengar orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan, apakah kalian tidak pernah mengerti, kepada siapa
kalian selama ini berlindung" Pajang atau Jipang" Siapakah yang
telah menempatkan dan kemudian mewisuda para pemimpin,
khusus Kepala Tanah Perdikan ini sejak beberapa keturunan,
sehingga sampai pada saat wisuda terakhir, yang menetapkan Ki
Gede Sembojan sebagai Kepala Tanah Perdikan ini, dan yang
kemudian telah menyiapkan untuk mewisuda Ki Wiradana untuk
menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan menggantikan
ayahnya yang dibunuh oleh orang-orang licik yang ingin menelan
Tanah Perdikan ini?"
"Tutup mulutmu orang gila," teriak Ki Rangga. "Bersiaplah,
sebentar lagi pasukan kami siap untuk melumatkan
padukuhanmu." "Baik. Kami telah bersiap. Tetapi dengar pertanyaanku,
apakah kalian menyadari, bahwa yang membunuh Ki Gede
Sembojan adalah gabungan kekuatan dari keluarga Kalamerta
yang telah dibunuh oleh Ki Gede dengan kekuatan sandi Jipang
di Tanah Perdikan ini. Kemudian menjerat kelemahan hati Ki
Wiradana dengan penari jalanan yang kemudian justru berkuasa.
He, dimanakah bersembunyi kekuatan Kalamerta itu?" teriak Ki
Bekel lebih keras lagi. Sementara itu, kedua Bekel yang lain telah
berdiri sebelah menyebelah didepan Tunggul yang diterima dari
Pajang itu. Wajah Ki Rangga menjadi merah-padam. Sementara para
pemimpin tanah Perdikan Semboyan yang lain menjadi semakin
marah. Dengan garang Warsi berkata, "Jangan beri kesempatan
lagi. Kita harus menghancurkannya"
Ki Rangga pun menyahut, "Ya. Kita harus cepat bergerak."
48 SH. Mintardja "Cepat kakang," berkata Warsi. "Berikan aba-aba itu."
Ki Wiradana segera beringsut. Namun dalam pada itu,
terdengar Ki Bekel itu pun berkata, "Nah, bukankah kalian sudah
siap untuk bergerak. Bagus. Siapa yang ingin melawan kuasa
Pajang yang dilimpahkan kepada kami marilah. Dengan demikian
maka kalian telah memberontak dan tidak lagi tunduk kepada
Pajang. Pada saatnya seorang pemberontak akan mendapat
hukuman sepadan dengan kesalahan. Dan dengarlah, he para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Hukuman bagi para
pemberontak adalah hukuman mati."
"Cukup-cukup," teriak Ki Rangga. "Satu pikiran gila. Cepat, Ki
Wiradana. Berikan aba-aba itu."
Ki Wiradana pun kemudian telah memberikan aba-aba
sehingga para pemimpin kelompok pun telah bersiap dengan
pasukan masing-masing. Namun dalam pada itu, para pengawal masih mendengar Ki
Bekel berkata, "Nah, sebelum terlambat. Siapakah yang ingin
kembali ke jalan yang benar" Tidak terpengaruh oleh orang-
orang yang sebenarnya tidak berhak memimpin Tanah Perdikan
ini" Nyi Wiradana itu sama sekali bukan orang Tanah Perdikan
ini. Ki Saudagar adalah seorang yang hanya tahu mencari uang
dan keuntungan bagi diri sendiri. Sedangkan Ki Randukeling
adalah bayangan dari kekuatan Kalamerta di Tanah Perdikan ini.
Dan ia adalah kakek Nyi Wiradana yang bernama Warsi, penari
jalanan yang garang itu. Kemudian satu pertanyaan yang harus
kalian jawab, siapakah yang sebenarnya telah membunuh Ki
Gede Sembojan?" Pertanyaan itu telah menggetarkan medan dan seakan-akan
telah mengetuk setiap jantung. Meskipun Ki Wiradana
mengulangi meneriakkan aba-aba agar pasukannya bergerak,
namun suara Ki Bekel itu seakan-akan telah mengumandang dan
terdengar berulang-ulang tanpa henti-hentinya.
Suaranya bergulung-gulung seperti mendung dilangit
berputaran dan berdengung disetiap telinga.
49 SH. Mintardja "Gila," geram Ki Randukeling. "Kekuatan apakah yang telah
membuat suaranya bagaikan gemuruhnya guntur dilangit."
Ki Rangga pun termangu-mangu. Ternyata lontaran suara itu
bukan saja lontaran suara wajar betapapun kerasnya. Tetapi
tentu ada kekuatan yang mendukung lontaran suara itu.
Sebenarnyalah tanpa diketahui oleh para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan, dibelakang Ki Bekel itu berdiri Kiai Badra
yang dengan kedua telapak tangannya telah menekan punggung
Ki Bekel. Dengan demikian, maka seolah-olah telah tersalur
kekuatan yang luar biasa yang mendorong suara Ki Bekel
sehingga suara itu telah memenuhi bulak yang luas dengan
bergema di dinding padukuhan-padukuhan.
Namun bagi orang-orang Sembojan suara itu bagaikan suara
dari langit yang telah menghentak-hentak di dalam dada mereka.
Untuk beberapa saat para pengawal Tanah Perdikan Sembojan
itu justru tidak mendengar aba-aba yang diteriakkan semakin
keras oleh Ki Wiradana. Bahkan para pemimpin kelompok yang
harus mengulangi perintah itu pun menjadi termangu-mangu.
Keadaan para pengawal itu telah membuat Warsi menjadi
semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata kepada Ki
Wiradana, "Kakang. Perintahkan sekali lagi. Cepat. Kita jangan
memberi terlalu banyak kesempatan kepada orang-orang gila
itu." Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah berteriak semakin
keras memerintahkan agar para pengawal dengan cepat bergerak
maju menuju ke sasaran. Namun ternyata sesuatu telah terjadi. Tiba-tiba saja seorang
pemimpin kelompok dari para pengawal yang justru tinggal di
barak untuk ditempa menjadi pengawal yang memiliki
kemampuan seimbang dengan para prajurit itu seakan-akan telah
mendengar satu berita yang telah menggerakkan jantungnya
untuk mencari jawab, siapakah yang telah membunuh Ki Gede
Sembojan" Dan apakah hal itu ada hubungannya dengan orang-
orang yang kemudian berkuasa disekitar Ki Wiradana"
50 SH. Mintardja Justru karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka ia pun
menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian tiba-tiba saja pemimpin
kelompok itu bertanya kepada para pengawal di dalam
kelompoknya, "He, apakah kita akan dapat bertempur melawan
saudara-saudara kita sendiri?"
Sebenarnyalah pertanyaan seperti itu telah menghinggapi
perasaan para pengawal, sehingga karena itu, maka salah seorang
di antara para pengawal itu menjawab, "Apakah tidak ada jalan
lain?" "Ya," desis yang lain. "Kita menjadi ragu-ragu. Apakah benar
mereka bersalah" Ataukah kita yang selama ini menjadi dungu?"
Pemimpin kelompok yang berjalan dipaling depan itu
kemudian berkata, "Kita tidak akan bertempur bersungguh-
sungguh. Kita akan berterus terang kepada saudara-saudara kita
nanti jika pasukan ini bertemu. Kita tidak berniat untuk saling
membunuh." Ternyata para pengawal di dalam kelompok itu setuju,
sehingga jika pasukannya berbenturan dengan pasukan dari
padukuhan dihadapan mereka, maka para pengawal itu tidak
akan bertempur bersungguh-sungguh.
Sebenarnyalah perasaan yang demikian itu ada di dalam hati
para pengawal yang lain. Namun mereka tidak berani
mengatakannya, karena mereka tidak tahu perasaan apakah yang
tersimpan dihati kawan-kawannya sebelah-menyebelah.
Dalam pada itu, maka Ki Bekel dari padukuhan yang terbesar
itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Badra, "Apakah kita juga
harus bergerak?" "Ya, sudah waktunya kita menyongsong pasukan mereka.
Mudah-mudahan para pengawal kita dapat memenuhi pesan Ki
Bekel, sehingga pertempuran yang kemudian terjadi bukannya
pembantaian keluarga sendiri," berkata Kiai Badra.
"Mudah-mudahan Kiai. Anak-anak akan mencoba meyakinkan
para pengawal Tanah Perdikan yang akan menjadi lawan mereka,
51 SH. Mintardja bahwa sebaiknya mereka menempuh jalan lain daripada saling
terbunuh," berkata Ki Bekel.
Dengan demikian maka sejenak kemudian kedua pasukan itu
pun menjadi semakin dekat. Namun rasa-rasanya pada kedua
belah pihak tidak nampak api permusuhan yang menyala yang
mendorong kedua pasukan itu untuk dengan penuh geram saling
menyongsong. Yang tidak tertahankan lagi adalah justru Warsi. Rasa-rasanya
ia ingin meloncat menerkam Iswari yang membawa pertanda
limpahan kuasa Pajang. Tetapi Warsi menjadi kecewa. Nampaknya Iswari tidak akan
menyongsongnya dan melawannya. Sebagai seorang yang
membawa tunggul maka jika tidak dalam keadaan yang terpaksa,
ia tidak akan melibatkan diri ke dalam pertempuran. Kecuali jika
karena pelindungnya telah kehilangan kemampuan, maka
pembawa tunggul itu akan mempergunakannya sebagai senjata.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itulah, maka justru para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan lah yang nampak dengan gelora didalam dadanya,
bergegas melangkah bagaikan menerkam lawan. Sementara para
pengawal semakin dibayangi oleh keragu-raguan ketika kedua
pasukan itu menjadi semakin dekat. Pasukan Tanah Perdikan itu
melihat, wajah-wajah dari para pengawal yang disebut
pemberontak itu sama sekali tidak menunjukkan nyala dendam
dan kemarahan. Senjata di tangan mereka yang meskipun sudah
merunduk, tetapi sama sekali tidak bergetar.
Sebenarnyalah, bahwa Warsi memang tidak mendapat
kesempatan untuk langsung melawan Iswari. Seorang yang
dikenal sebagai penari yang sangat cantik, yang telah
mengguncangkan kedudukannya sebagai istri Ki Wiradana dan
bahkan kemudian telah mengguncangkan kekuasaan di Tanah
Perdikan itu. Ketika Warsi menjadi semakin dekat, maka yang
menyongsongnya memang seorang perempuan. Tetapi
perempuan itu bukan Iswari. Bukan pula perempuan yang
52 SH. Mintardja menyebut dirinya pemomong Iswari, karena yang menyongsong
adalah Nyai Soka sendiri.
"Serahkan perempuan itu kepadaku," berkata Gandar.
"Jangan Gandar," berkata Nyai Soka. "Jika kau tidak dapat
mengendalikan kemarahanmu, maka kau mungkin sekali tidak
akan membunuhnya. Kita masih memerlukannya sebagaimana
orang-orang lain disekitar Ki Wiradana. Kita harus tahu, sampai
dimana peran keluarga Kalamerta dalam hal ini, agar kelak tidak
akan menjadi semacam api di dalam sekam. Dendam keluarga
Kalamerta yang tidak kita kenal akan sangat berbahaya."
"Jadi buat apa perempuan itu dibiarkan hidup?" bertanya
Gandar. "Kita akan memancing kekuatan Kalamerta sampai tuntas,"
jawab Nyai Soka. "Aku tidak yakin, bahwa mereka hanya terdiri
dari orang-orang yang sekarang ada. Ki Randukeling tentu
mempunyai landasan kekuatan yang jika diperlukan dapat
dikerahkan. Sementara itu kita juga harus melihat sampai
dimana peran para petugas sandi Jipang di Tanah Perdikan ini.
Itu harus kita pancing seluruhnya agar keluar. Dengan demikian
mereka tidak akan menganggu pada saat-saat justru kita tidak
berbuat apa-apa lagi. yang pada suatu saat mungkin akan
mengalami kesulitan adalah Iswari atau justru anaknya."
Gandar mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan
Nyai Soka sehingga dengan demikian, maka ia pun telah
berusaha untuk menunggu lawan yang lain.
Sementara itu, para pengawal dari kedua belah pihak pun
menjadi semakin dekat. Para bekas prajurit Pajang yang
mengenakan pakaian keprajuritan telah berada di depan Iswari
yang membawa tunggul. Namun disekitar mereka terdapat
keluarga Iswari sendiri yang siap untuk melindunginya serta
menjaga tunggul dari Pajang itu.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu benar-benar telah
berbenturan. Adalah kebetulan bahwa Gandar telah bertemu
dengan Ki Rangga Gupita, sementara Warsi benar-benar harus
53 SH. Mintardja berhadapan dengan seorang perempuan tua yang bernama Nyai
Soka. Sementara itu Kiai Soka lah yang telah berusaha untuk
menghadapi Ki Randukeling, karena Kiai Soka menyadari, bahwa
pertapa itu memiliki kemampuan yang tinggi, sementara ia tidak
ingin melepaskannya untuk melawan Kiai Badra, karena dalam
kedudukannya, maka Kiai Badra akan menjadi pendamping Ki
Bekel yang seolah-olah telah mengatur seluruh pasukan.
Warsi yang tiba-tiba saja telah berada di hadapan seorang
perempuan tua telah berkata lantang, "Kenapa aku harus
berhadapan dengan perempuan tua" Apakah perempuan cantik
itu tidak berani turun ke medan."
Telinga Iswari bagaikan tersentuh api. Tetapi Nyai Sokalah
yang menjawab, "Aku adalah seorang pemomongnya. Kau baru
boleh menyentuh kainnya jika kau sudah dapat mengalahkan
aku. Ki Wiradana, pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu
tidak mampu mengalahkan pemomong Iswari yang seorang lagi.
Nah, sekarang kau berhadapan dengan pemomongnya yang lain."
"Persetan," geram Warsi sambil menyerang. Ia masih
mempergunakan senjata yang wajar dipergunakan dipeperangan.
Pedang. Namun Nyai Soka telah memperhitungkannya. Karena itu,
maka ia pun dengan cepat pula menghindar.
Dalam pada itu, Ki Wiradana yang berada di induk pasukan itu
pula menjadi termangu-mangu melihat Iswari yang cantik, yang
membawa tunggul pertanda limpahan kuasa dari Pajang. Ia mulai
bertanya kepada diri sendiri. Apakah yang sebenarnya telah
terjadi pada dirinya pada saat ini. Apakah yang telah
mendorongnya untuk berbuat gila, mengupah Serigala Betina
untuk membunuh Iswari yang sedang mengandung.
Diluar sadarnya, Ki Wiradana yang masih belum terlibat ke
dalam pertempuran itu sempat berpaling mengamati Warsi yang
bertempur melawan seorang perempuan tua. Dengan jantung
yang berdegupan semakin keras, Ki Wiradana telah bertanya pula
54 SH. Mintardja kepada diri sendiri, "Kenapa aku memilih Warsi. Apakah
kelebihan Warsi dari Iswari?"
Dalam pertempuran yang menjadi semakin seru itu, maka
seorang perempuan lain yang bertubuh tegap telah
menghampirinya. Dengan nada lembut perempuan itu berkata,
"Selamat bertemu kembali Ki Wiradana."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Perempuan itu adalah
Serigala Betina. Dengan demikian maka jantungnya terasa
berdegupan semakin keras.
Namun perempuan itu berkata, "Aku tidak akan berbuat apa-
apa. Aku hanya akan melayanimu sejauh dapat kau lakukan. Aku
tidak akan mengalahkanmu dan tidak akan menangkapmu."
"Persetan," geram Ki Wiradana. "Kau membuat aku menjadi
gila." "Aku berkata sebenarnya Ki Wiradana," berkata perempuan
itu. "Sebaiknya kau memenuhi tugasmu sebagai pemimpin
pasukan. Kau harus bertempur. Atau aku akan memaksamu
bertempur?" Ki Wiradana tidak dapat berbuat lain. ia pun kemudian
mengayunkan pedangnya menyerang Serigala Betina itu.
Serigala Betina itu meloncat menghindar. Ia pun telah
memegang senjata pula. Tidak seperti yang dipergunakannya
bertempur melawan Ki Wiradana di pasar. Tetapi ia
mempergunakan pedang seperti para prajurit yang lain.
Namun ternyata seperti dikatakan. Serigala Betina tidak
berusaha mengalahkan Ki Wiradana. Ia memang bertempur
melawannya. Namun seolah-olah Serigala Betina itu hanya
sekadar mempertahankan diri.
Yang kemudian bertemu lagi adalah Sambi Wulung dengan Ki
Saudagar yang pernah dirampoknya. Namun nampaknya Ki
Saudagar tidak mengenalinya.
55 SH. Mintardja Dengan demikian, maka para pemimpin dari kedua belah
pihak itu pun telah menemukan lawannya masing-masing.
Pengendang yang pernah diaku sebagai ayah Warsi itu bertemu
dengan Ki Jati Wulung. Bertemunya dua tataran ilmu yang tidak
seimbang. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Nyai Soka, bahwa
pertempuran itu bukannya pertempuran yang menentukan. Para
pemimpin Tanah Perdikan itu masih diperlukan untuk
memancing kekuatan lawan sampai tuntas.
Dengan demikian, maka bekal dari setiap orang dari pasukan
yang dianggap memberontak itu memang bukan untuk
membunuh. Mereka hanya ingin menunjukkan kekuatan yang
tidak dapat diabaikan. "Jika kita berhasil mengusir mereka dari Tanah Perdikan ini,
maka mereka tentu akan datang dengan kekuatan yang ada pada
mereka sepenuhnya," berkata Kiai Badra di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu benar-benar telah
berbenturan. Bukan saja induk pasukan. Tetapi dari ujung
sampai ke ujung sayap. Namun demikian, maka ternyata di dalam pertempuran itu
masih juga terjadi pembicaraan. Para pengawal dari lingkungan
yang disebut pemberontak itu masih berusaha untuk berbicara.
Seorang pemimpin kelompok telah berkata lantang disela-sela
dentang senjata, "Apakah kita benar-benar akan saling
membunuh?" Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Sementara
pemimpin kelompok itu menjawab sendiri, "Kita adalah satu
keluarga besar. Kita bersaudara. Dan kita telah menempatkan
jalan sesat sampai saat ini. Apakah kita masih akan mengikuti
jalan sesat ini?" Para pengawal yang berada di pasukan Tanah Perdikan
Sembojan termangu-mangu. Sementara itu, mereka merasakan,
56 SH. Mintardja bahwa para pengawal yang dianggap memberontak itu tidak
dengan keras berusaha untuk menghancurkan lawannya.
"Kita dapat memilih satu jalan," berkata pemimpin pengawal
itu. "Kita tidak bertempur dengan sungguh-sungguh.
Lawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya tawaran itu dapat
mereka terima, sehingga dengan demikian maka pertempuran
yang terjadi itu pun seakan-akan hanya sekadar latihan yang
keras. Meskipun ada juga di antara mereka yang terluka, namun
ternyata pembicaraan yang serupa telah terjadi dimana-mana. Di
ujung sampai ke ujung. Sehingga dengan demikian, maka
pertempuran yang terjadi antara kedua pasukan itu tidak
menunjukkan benturan kekuatan yang sebenarnya. Apalagi
karena sejak semula, para pengawal yang berpihak kepada Ki
Wiradana itu sudah menjadi ragu-ragu.
Yang benar-benar bertempur adalah justru para pemimpin
dari kedua belah pihak dan beberapa orang pengawal yang paling
dekat dengan Ki Wiradana dan para pemimpin dari pengawal
yang pernah mendapat latihan berat sebelumnya, yang tersisa
dari mereka yang dibawa ke Pajang.
Namun mereka benar-benar membentur kekuatan para
pengawal yang disebut pemberontak, karena di antara mereka
terdapat para bekas prajurit yang sebenarnya meskipun sudah
menjadi semakin tua, namun mereka masih mempunyai hasrat
pengabdian yang sangat tinggi. Apalagi disekitar mereka terdapat
para pengawal yang masih muda dan memiliki latihan yang
cukup pula. Dalam pada itu, Ki Rangga yang sekali-kali sempat
memperhatikan seluruh arena pertempuran itu mengumpat di
dalam hati. Bahkan karena kepepatan perasaannya, tiba-tiba saja
ia berteriak, "He, pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Tunjukkan
sikap kepahlawanan kalian. Pertahankan wibawa Tanah Perdikan
dengan menghancurkan pemberontakan ini."
57 SH. Mintardja Para pengawal di paruh gelar Garuda Nglayang itu memang
terpengaruh juga dan berusaha untuk menumpahkan segenap
kemampuan mereka. Namun lawan-lawan mereka pun telah
berbuat serupa. Mereka pun telah mengerahkan segenap
kekuatan mereka untuk menghadapi kekuatan Tanah Perdikan
Sembojan yang merasa dibebani tugas menumpas
pemberontakan. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi hambar
karenanya. Rasa-rasanya tidak ada hentakan-hentakan kekuatan.
Tidak terdengar teriakan-teriakan yang menggelegar dan tidak
ada keluh dan ratap kesakitan. Jika ada satu dua orang yang
terluka maka orang itu pun segera bergeser surut dan tempatnya
segera diisi oleh orang lain dengan beban perasaan yang sama.
Kejanggalan itu ternyata terasa oleh para pemimpin Tanah
Perdikan. Mereka merasa bahwa sesuatu telah terjadi dengan
tidak sewajarnya, meskipun mereka tidak dapat menyebutnya
dengan tepat. Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu menganggap
bahwa, jika mereka telah menyelesaikan tugas mereka,
menghadapi pemimpin pasukan yang mereka sebut pemberontak
itu, mereka akan dapat berbuat banyak atas para pengawal.
Yang kemudian mereka lakukan, adalah sekadar memelihara
agar garis pertempuran itu tidak bergeser surut.
Karena itulah, maka Ki Rangga Gupita telah mengerahkan
kemampuannya untuk segera mengalahkan lawannya. Jika ia
berhasil membunuh lawannya, maka ia akan dapat melibatkan
diri bersama para pengawal. Kematian demi kematian akan
terjadi dan meskipun para pengawal tidak bertempur dengan
sepenuh kemampuan mereka oleh keragu-raguan, maka
kehadiran Ki Rangga di antara para pengawal tentu akan
memberikan pengaruh. Tetapi yang dihadapi Ki Rangga adalah Gandar. Seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi pula. Seorang yang memiliki kekuatan
58 SH. Mintardja yang jarang ada duanya dan mampu melakukan sesuatu dalam
ilmu kanuragan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Karena itu, maka pertempuran antara Ki Rangga dan Gandar
pun menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihan.
Tetapi keduanya pun juga memiliki kelemahan.
Dalam pada itu, Warsi yang menjadi garang dan bahkan
hampir menjadi liar, telah berusaha menekan Nyai Soka dengan
segenap kemampuannya. Namun Nyai Soka adalah seorang
perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga
dengan demikian Warsi itu sama sekali tidak berarti.
Dalam pada itu, Nyai Soka sebenarnyalah sedang berpikir,
apakah ia akan menangkap Warsi hidup-hidup atau
membiarkannya terlepas. Jika ia menangkap Warsi, maka kekuatan yang ada dibelakang
Warsi mungkin tidak akan segera muncul. Tetapi pada satu saat
yang tidak diperhitungkan, mereka datang untuk menghancurkan
Tanah Perdikan ini, sebagaimana dilakukan oleh keluarga
Kalamerta. Mereka tidak berani dengan terbuka menyerang
Tanah Perdikan itu pada saat Ki Gede Sembojan masih hidup.
Tetapi mereka telah mempergunakan cara yang sangat licik.
Karena itu, maka Nyai Soka memutuskan untuk membiarkan
orang-orang yang mengelilingi Ki Wiradana itu untuk tetap hidup
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan melepaskan mereka. Nyai Soka mengharap bahwa dengan
demikian maka mereka akan segera kembali dengan segenap
kekuatan yang ada pada mereka. Jika demikian maka mereka
akan dapat menyelesaikan persoalannya sampai tuntas.
Dengan pikiran itu, maka Nyai Soka tidak ingin menunjukkan
tingkat kemampuannya yang sebenarnya. Ia bertempur melawan
Warsi sekadar untuk tidak dikalahkannya.
Dalam pada itu, ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung pun
mampu menyesuaikan diri. Mereka sebenarnya dapat
mengalahkan lawan mereka dengan segera, namun mereka
bertahan sebagaimana dilakukan oleh Nyai Soka.
59 SH. Mintardja Berbeda dengan mereka adalah Gandar. Gandar yang
bertempur melawan Ki Rangga Gupita benar-benar telah
bertempur bertaruh nyawa.
Seperti yang lain, Gandar pun telah mempergunakan senjata
sebagaimana yang biasa dipergunakan dalam pertempuran. Ia
membawa sebatang tombak pendek, sementara Ki Rangga Gupita
mempergunakan sebilah pedang yang besar.
Dengan senjata tersebut, maka keduanya benar-benar
merupakan lawan yang menggetarkan.
Pedang Ki Rangga Gupita yang berputaran bagaikan gumpalan
awan itu telah melibat Gandar yang bertahan dengan tombaknya.
Namun dalam benturan ilmu, tiba-tiba saja tombak Gandar telah
berhasil memecahkan putaran pedang Ki Rangga sehingga
gumpalan awan itu bagaikan pecah dan lenyap di udara.
Sementara itu, tombak Gandarlah yang telah mematuk seperti
paruh seekor ikan cucut yang ganas di lautan.
Ki Rangga telah meloncat sambil memukul tombak Gandar
menyamping. Namun tombak itu terayun dan berputar. Sekali
lagi tombak itu telah mematuk, hampir saja mengenai keningnya.
Untunglah bahwa Ki Rangga masih sempat memiringkan
kepalanya, sehingga ujung tombak itu berdesing hampir
menyentuh telinga. Gandar ternyata tidak mau melepaskannya. Tombak itu tiba-
tiba telah bergerak mendatar menyambar leher. Namun Ki
Rangga telah berhasil memperbaiki letak kakinya, sehingga
dengan putaran setengah lingkaran, maka ujung tombak itu
berdesing tanpa menyentuhnya. Bahkan kemudian searah,
dengan sambaran tombak itu Ki Rangga meloncat selangkah
maju sambil menjulurkan pedangnya yang besar ke arah
lambung. Gandarlah yang harus meloncat mundur. Namun kemudian
bagaikan badai tombaknya berputar mendatar. Satu sambaran
yang hampir saja mengoyak pundak Ki Rangga. Untunglah ia
60 SH. Mintardja masih sempat merendahkan diri. Bahkan sekaligus menjulurkan
pedangnya ke arah perut. Pertempuran antara Gandar dan Ki Rangga itu menjadi
semakin sengit. Seakan-akan keduanya adalah lawan yang penuh
dengan dendam. Masing-masing ternyata telah mengerahkan
segenap kemampuan yang ada. Dengan tenaga cadangan yang
mungkin dikerahkan, keduanya telah saling menyerang dan
menghindar. Namun dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian,
dalam puncak kekuatan mereka berlandaskan cadangan yang
ada, maka benturan antara Ki Rangga Gupita dan Gandar
merupakan pertempuran yang sangat seru.
Tetapi dalam puncak dorongan tenaga cadangan mereka,
ternyata bahwa kemampuan Gandar terasa lebih mantap.
Demikian pula kematangan ilmunya, sehingga dengan demikian
maka mereka yang memiliki pengamatan yang sangat tajam
dalam olah kanuragan akan dapat menilai, bahwa Ki Rangga
mulai merasakan kesulitan menghadapi ujung tombak Gandar.
Dalam pada itu, pertempuran di kedua sayap pasukan itu
terasa sangat hambar. Para pengawal hanya sekadar mengacu-
acukan senjata sambil berteriak-teriak tanpa tekanan. Meskipun
demikian satu dua di antara mereka dengan tidak sengaja telah
tergores oleh ujung-ujung senjata yang silang melintang di
medan itu. Hanya di pasukan induk pertempuran benar-benar telah
terjadi. Para pengawal pengikut Ki Wiradana bertempur dengan
sepenuh kemampuan yang ada. Namun yang mereka hadapi
ternyata sebagian adalah bekas prajurit Pajang yang memiliki
pengetahuan yang luas tentang ilmu senjata. Disamping mereka
adalah para pengawal yang telah melarikan diri dari barak
mereka dan bergabung dengan kekuatan yang disebut
pemberontak itu. Sebenarnyalah bahwa di induk pasukan itu, terdengar
beberapa orang pengawal mulai mengeluh. Dalam pertempuran
61 SH. Mintardja yang seru, orang-orang tua bekas prajurit Pajang itu mampu
membuat permainan gelar yang kadang-kadang mengejutkan
lawan-lawannya. Ternyata mereka masih mampu mengungkit
kembali perbendaharaan pengalaman mereka sebagai prajurit
dan dituangkannya dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka yang terjadi di induk pasukan itu pun
telah sangat mengecewakan Warsi dan keluarganya. Juga Ki
Rangga Gupita yang berharap dapat menyelesaikan
pemberontakan itu dalam waktu yang pendek sebelum para
pengawal itu akan dibawa ke Pajang.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi itu sama sekali tidak
seperti yang diharapkan. Di kedua sayap pasukan pengawal
Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak dapat kemajuan apa-
apa. Rasa-rasanya pertempuran yang terjadi di kedua sayap itu
adalah benturan dua kekuatan yang seimbang. Namun yang
sebenarnya, karena kedua belah pihak seakan-akan bersepakat
untuk tidak bertempur dengan sungguh-sungguh.
Tetapi di induk pasukan itu, korban telah benar-benar jatuh
dari kedua belah pihak. Bukan hanya terluka. Tetapi ada di antara
mereka yang terbunuh. Kematian itu telah membakar jantung para pengawal dari
kedua belah pihak. Kematian kawan mereka telah mengetuk
jantung mereka untuk menuntut balas.
Dengan demikian maka di induk pasukan para pengawal dari
kedua belah pihak telah benar-benar berdiri dalam sisi yang
bermusuhan meskipun mereka telah saling mengenal
sebelumnya. Bahkan tinggal dibarak yang sama. Tetapi para
pengawal terpilih mendampingi para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan itu telah terlalu banyak menerima bagian dari
penghisapan yang dilakukan oleh Warsi dan keluarganya atas
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu, gejolak perasaan, yang memang telah
membekali Gandar sejak sebelumnya, telah membuatnya
semakin garang. Dengan demikian, maka lambat laun, Ki Rangga
62 SH. Mintardja pun tidak dapat ingkar lagi bahwa lawannya itu tentu sulit sekali
untuk dikalahkannya. Ketika Ki Rangga sempat berpaling ke arah Wasi, maka ia pun
melihat, bahwa Warsi tidak banyak dapat berbuat atas lawannya
yang tua itu. Bahkan setiap kali Warsi justru telah terdesak
meskipun serangan-serangan perempuan tua itu tidak berbahaya
baginya. Sementara itu, Ki Sudagar pun tidak banyak mempunyai
kesempatan. Apalagi pengendang yang pernah diaku sebagai ayah
Warsi itu. Sementara itu Ki Wiradana pun tidak akan dapat
mengalahkan lawannya, perempuan yang telah diupahnya untuk
membunuh Iswari, tetapi tidak dilakukannya.
Dengan demikian maka kekuatan di induk pasukan itu telah
mulai nampak tidak seimbang. Sementara itu kekuatan pasukan
Tanah Perdikan Sembojan dikedua sayap tidak mampu membuat
keseimbangan pula atas tekanan pasukan yang disebut
pemberontak itu di induk pasukan.
Dengan demikian maka pertempuran di induk pasukan itu
pun semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa pasukan Ki
Wiradana menjadi terdesak. Korban berjatuhan dan para
pemimpin disekitar Ki Wiradana tidak mampu menolong mereka.
Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba saja terdengar
suara nyaring, suara seorang perempuan. "Atas nama kuasa
Pajang, menyerahlah."
Suara itu bagaikan jilatan lidah api ditelinga Warsi. Dengan
lantang ia menjawab, "Kemarilah perempuan cantik. Aku ingin
memotong lidahmu yang bercabang seperti lidah ular itu."
Tetapi sekali lagi terdengar suara Iswari, "Menyerahlah. Tidak
ada pilihan lain bagi kalian. Antas nama Adipati Pajang."
Warsi menghentakkan kemampuannya. Tetapi ia berhadapan
dengan Nyai Soka, sehingga kekuatannya itu bagaikan
membentur dinding karang ditebing pegunungan. Sama sekali
tidak bergetar. 63 SH. Mintardja Betapapun kemarahan menghentak-hentak di dalam dadanya,
namun ternyata bahwa ia benar-benar tidak mampu berbuat apa-
apa, sehingga ia pun kemudian harus melihat kenyataan itu.
Yang masih berusaha untuk menundukkan lawannya adalah
Ki Rangga Gupita. Ketika ia mendapat tekanan yang semakin
berat dari Gandar, maka mulailah ia mengetrapkan ilmunya yang
mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Sebagaimana ia telah berhasil membuat Ki Tumenggung
Wirajaya menjadi cemas, maka ilmunya itu pun telah
diterapkannya untuk menghancurkan perlawanan Gandar.
Gandar lah yang kemudian terkejut. Ketika tombaknya
menyentuh pedang Ki Rangga, maka gandar tiba-tiba saja telah
meloncat surut. Aliran panas yang mengejutkan telah menyengat
telapak tangannya yang menggenggam tombak. Hanya sesaat.
Tetapi hampir saja ia melepaskan tombaknya.
Namun untunglah bahwa Gandar segera menyadari apa yang
terjadi. Bara yang menyentuh tangannya itu tentu disebabkan
oleh kekuatan ilmu lawannya. Gandar telah mengetahui bahwa
sejenis ilmu dapat mengalir lewat sentuhan senjata dan
membakar kulit lawannya. Dengan demikian, maka Gandar menjadi lebih berhati-hati.
Namun ia tidak lagi dengan kemampuannya dapat mendorong Ki
Rangga keluar dari benturan kekuatan antara Pajang dan Jipang
untuk bertempur tanpa terganggu. Bahkan sekali-kali Gandarlah
yang harus berloncatan surut.
Tetapi keadaan itu tidak diimbangi dengan keadaan
pertempuran dalam keseluruhan. Jika Ki Rangga masih mampu
bertahan dan sekali-kali mendesak lawannya, maka pertempuran
itu dalam keseluruhan sama sekali tidak menguntungkan bagi
pasukan Ki Wiradana. Apalagi, ketika Gandar telah mapan dan mencari kekuatan di
dalam dirinya untuk melawan ilmu Ki Rangga.
64 SH. Mintardja Sementara itu, Ki Randukeling yang berhadapan dengan Kiai
Soka lebih banyak saling menjajagi daripada bertempur dengan
ujud kewadagan mereka. Karena itulah, maka Ki Randukeling
pun kemudian menyadari, bahwa usaha mereka tidak akan dapat
berhasil hari ini. Sebagai seorang yang berilmu tinggi maka Ki Randukeling
mengetahui, bahwa pertempurannya melawan Kiai Soka tidak
akan segera dapat diselesaikan.
Demikian pula dengan Kiai Soka. Ia sudah mengira bahwa Ki
Randukeling adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Karena itu untuk menundukkannya diperlukan waktu dan
benturan ilmu yang keras. Mungkin ia harus mengerahkan
seganap ilmunya untuk dapat mengatasi ilmu Ki Randukeling.
Bahkan Kiai Soka itu tidak dapat menentukan bahwa dirinya
dalam puncak kekuatan, kemampuan dan ilmunya akan dapat
mengalahkan dalam arti yang sebenarnya atas Ki Randukeling.
Dengan kesadaran atas kenyataan yang terjadi, maka Ki
Randukeling melihat pertempuran itu dalam keseluruhan.
Sekilas-sekilas ia sempat melihat pertempuran yang tengah
berlangsung. Ia melihat Warsi yang bertempur melawan seorang
perempuan tua. Meskipun perempuan tua itu tidak menunjukkan
tingkat kemampuan yang sebenarnya, namun Ki Randukeling
melihat, bahwa sebenarnya tataran ilmunya jauh lebih baik dari
Warsi. Demikian pula orang-orang yang lain dari pasukannya,
ternyata sangat mengecewakan. Hanya Ki Rangga Gupita sajalah
yang mampu menunjukkan bahwa ia adalah seorang Senapati
dari Jipang. Senaati dari satu kekuatan yang besar di lingkungan
Demak yang kemudian menjadi sasaran dan sumber perselisihan.
Ki Randukeling pun telah berusaha menilai pertempuran yang
terjadi disayap sebelah menyebelah. Dengan kesal ia berkata di
dalam hatinya, "Mereka adalah bersaudara. Mereka adalah kawan
bermain sebelumnya. Kawan bergurau dan sebagian di antara
mereka telah berada di dalam satu barak untuk waktu yang cukup
65 SH. Mintardja lama. Bahkan mungkin di antara mereka terdapat anak-anak
muda yang masih mempunyai hubungan sanak kadang, sehingga
mereka tidak dapat bertempur dengan sungguh-sungguh dan
dengan penuh dendam berusaha untuk saling membunuh.
Kesadaran itulah yang kemudian membuatnya semakin yakin,
bahwa pasukan Ki Wiradana tidak akan berhasil menyelesaikan
pemberontakan itu dalam sehari.
"Ki Rangga harus menyadari akan hal ini," berkata Ki
Randukeling itu didalam hatinya. "Sehingga karena itu ia tidak
akan dapat menuntut secepatnya pasukan Tanah Perdikan ini
harus dibawa ke Pajang."
Demikianlah unutk beberapa saat pertempuran itu masih
berlangsung. Namun kemudian Ki Rangga itu pun menyadari
sebagaimana Ki Randukeling, bahwa mereka tidak akan dapat
memaksakan sesuatu pada pertempuran yang sedang
berlangsung itu. Sementara itu Gandar telah menemukan di dalam dirinya
kemampuan untuk mengimbangi ilmu Ki Rangga Gupita. Dengan
mengerahkan daya tahan tubuhnya, serta kemampuannya
mempermainkan tombaknya, maka Gandar mampu mengelakkan
semua benturan senjata yang mungkin terjadi, setidak-tidaknya
mengurangi kemungkinan itu sampai sekecil-kecilnya. Gandar
mengambil keuntungan pada senjatanya yang lebih panjang dari
senjata Ki Rangga, sehingga karena itu, maka Gandar berusaha
untuk dapat menyerang lebih banyak dan dengan kecepatan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geraknya mengatasi sentuhan pada saat-saat Ki Rangga
menangkis serangannya. Namun ketika Gandar masih juga sekali-sekali mengalami
kesulitan, sehingga hampir saja tombaknya terlepas dari
genggaman karena perasaan sakit yang menyengat ketika sekali-
kali tombaknya masih menyentuh pedang Ki Rangga, maka
Gandar pun telah berusaha mempergunakan unsur kekuatannya
yang sangat besar untuk memperkuat perlawanannya. Jika
terpaksa terjadi sentuhan, maka bukan saja senjata Gandar yang
66 SH. Mintardja akan terlepas karena tangannya bagaikan menggenggam bara,
namun tangan Ki Rangga pun menjadi pedih karena ia harus
mempertahankan senjatanya yang membentur kekuatan yang
sangat besar. Gandar tidak saja mempergunakan tombak yang
mematuk, tetapi sekali-kali diayunkannya tombaknya mendatar,
sengaja untuk dengan kekuatannya sepenuhnya menghentakkan
senjata lawannya. Dalam keadaan yang demikian itu Ki Randukeling berkata
kepada lawannya, "Ki Sanak. Tidak ada gunanya jika kita akan
bertempur kali ini dengan bersungguh-sungguh. Pertempuran
yang sungguh-sungguh di antara kita memerlukan satu suasana
yang khusus. Karena itu, maka sebaiknya kali ini kami menarik
diri." "Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan," berkata Kiai Soka.
"Kami akan dapat menangkap kalian."
"Tidak," jawab Ki Randukeling. "Kau tahu bahwa hal itu tidak
akan dapat kau lakukan atasku. Mungkin juga atas beberapa
orang lain. Tetapi jika kau memaksanya, maka aku pun dapat
berbuat banyak untuk membunuh membabi buta. Usaha kalian
untuk menangkap kami harus kalian tebus dengan berpuluh-
puluh jiwa anak-anak mudamu."
"Apakah kalian akan menjadi berputus asa?" bertanya Kiai
Soka. "Ya. Aku dapat saja menjadi putus asa dan berbuat sesuatu
yang tidak wajar. Meskipun kau mungkin dapat menguasai
keadaan, tetapi kematian dapat terjadi dalam sekejap," berkata Ki
Randukeling. Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki
Randukeling yang berusaha menggeser putaran pertempurannya
mendekati Ki Wiradana memberikan isyarat agar Ki Wiradana
memberikan aba-aba untuk menarik pasukannya.
Ki Wiradana memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun
kemudian memberikan perintah untuk menarik pasukannya dari
medan. 67 SH. Mintardja Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat
mencegah ketika pasukan lawan itu mulai bergeser surut.
Para pemimpin dari pasukan yang berpihak kepada Iswari
memang sudah mendapat perintah, agar merreka membiarkan
Warsi dan orang-orang yang mendukungnya untuk melepaskan
diri. Mereka akan menjadi alat untuk memancing kekuatan
Kalamerta seluruhnya, sehingga dengan demikian, maka
persoalannya akan dapat diselesaikan dengan tuntas.
Karena itu, ketika Jati Wulung dan Sambi Wulung berusaha
untuk dengan sungguh-sungguh menangkap lawan-lawan
mereka, Kiai Badra pun telah mendekati mereka sambil berkata,
"Biarkan mereka. Kita akan menunggu bahwa pada suatu saat,
mereka akan datang lagi."
Kedua orang bersaudara seperguruan itu tidak membantah.
Mereka pun kemudian tidak lagi berusaha untuk menangkap
kedua lawannya. Dibiarkannya kedua orang itu hanyut dalam
arus pasukan Tanah Perdikan yang mundur.
Yang sebenarnya dibiarkan saja oleh Kiai Badra adalah
Gandar. Menurut pendapat Kiai Badra, maka Gandar tidak akan
dengan mudah menguasai Ki Rangga Gupita. Meskipun dalam
beberapa hal Gandar nampak lebih mantap, namun Ki Rangga
pun memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Karena itulah, maka ketika pasukan Tanah Perdikan mundur,
serta Ki Rangga berada di dalamnya, Gandar mengalami
kesulitan untuk berbuat lebih banyak. Para pengawal Tanah
Perdikan diinduk pasukan itu benar-benar telah menarik
pasukan sebagaimana seharusnya. Mereka tidak mengelak ketika
mereka kemudian menjadi perisai dari beberapa orang pemimpin
mereka yang berlindung dibalik gerakan mundur itu.
Kiai Badra tidak memerintahkan pasukannya untuk memburu
mereka. Tetapi Kiai Badra memberikan isyarat, agar pasukannya
berada ditempat. Para Bekel pun telah meneriakkan aba-aba yang disambung
oleh para pemimpin kelompok, agar mereka tidak mengejar
68 SH. Mintardja lawan-lawan mereka. Apalagi mereka yang berada disayap
pasukan. Namun ternyata bahwa telah terjadi sesuatu di sayap pasukan
itu. Ternyata beberapa kelompok pasukan Tanah Perdikan tidak
ikut serta dalam gerakan mundur. Mereka telah menyatakan diri
menyerah dan bergabung dengan pasukan Iswari yang berhasil
menahan gerak pasukan Tanah Perdikan yang hari itu berusaha
untuk menumpas pemberontakan. Namun yang akibatnya justru
kebalikannya. Dengan demikian maka pertempuran yang dibayangkan oleh
Warsi dan orang-orang yang mengelilingi Ki Wiradana itu akan
merupakan pertempuran yang sengit dan bagaikan arus badai
yang tidak akan tertahankan oleh orang-orang yang mereka
anggap pemberontak itu, ternyata tidak terjadi. Pertempuran itu
bukannya pertempuran yang dahsyat yang menghancurkan
pertahanan para pengikut Iswari, tetapi justru telah
menunjukkan bahwa pengaruh Iswari masih cukup besar di
Tanah Perdikan Sembojan. Gerak mundur pasukan Ki Wiradana itu berlangsung dengan
cepat. Rasa-rasanya tidak ada hambatan dan kesulitan apa-apa.
Namun kebanggaan dan harga diri orang-orang yang ada di
sekitar Ki Wiradana itulah yang hancur karenanya.
"Pengkhianat," geram Warsi. "Kau lihat kakang. Berapa bagian
dari orang-orangmu yang berkhianat. Itulah sebabnya maka yang
terjadi disayap sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Jika
orang-orangmu tidak berkhianat, maka kita benar-benar akan
dapat menumpas mereka."
Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah mendengar laporan
dari para pemimpin pengawal, terutama disayap pasukan sebelah
menyebelah, bahwa ada di antara mereka yang tidak ikut menarik
diri, tetapi justru telah menyerah.
Keadaan itu telah membuat semua rencana menjadi kacau. Ki
Rangga Gupita yang sudah hampir bermimpi untuk membawa
69 SH. Mintardja sebagian dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
tersisa itu ke Pajang, ternyata menghadapi satu kenyataan lain.
Karena itu dengan kesal ia berkata, "Kebodohan yang telah
memerintah Tanah Perdikan ini membuat semua rencana
menjadi rusak." Ki Wiradana tidak juga menjawab. Ia sadar, bahwa semua
kesalahan tentu akan ditimpakan kepadanya. Jika mereka sudah
sampai di induk padukuhan, dan mereka sempat berbincang
tentang pertempuran itu, maka semua orang tentu akan
memakinya. Di padukuhan yang ditinggalkan oleh pasukan Ki Wiradana,
para bekel pun kemudian berkumpul. Mereka telah menerima
beberapa kelompok pengawal yang menyatakan kesediaan
mereka untuk ikut dalam pasukan mereka yang disebut
pemberontak itu. Para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah diterima di
antara para pemimpin pengawal yang memang telah berada di
pihak Iswari untuk menerima beberapa pesan dan petunjuk.
"Kita dapat beristirahat hari ini," berkata Kiai Badra, "Besok
kitalah yang akan menyerang. Kita akan mengusir orang-orang
yang tidak berhak atas Tanah Perdikan ini, apalagi memegang
pimpinan. Tidak akan terjadi pertempuran yang sengit, karena
mereka tidak akan bertahan sepenginang. Namun kita harus
segera mempersiapkan diri, karena yang akan terjadi kemudian
adalah beban-beban yang berat yang harus kita pikul. Mereka
yang terusir itu akan kembali membawa kekuatan yang besar,
karena mereka adalah keluarga besar Kalamerta. Bahkan
mungkin Jipang pun akan ikut campur. Namun agaknya mereka
masih harus menunggu. Betapapun Ki Rangga Gupita merasa
terhina, tetapi ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya
terhadap pasukan Jipang di Pajang."
Dengan demikian maka para pemimpin pasukan serta para
pengawal sempat mempergunakan waktunya untuk beristirahat.
Sementara itu beberapa di antara mereka telah mengumpulkan
70 SH. Mintardja kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan pertempuran yang
benar-benar terjadi di induk pasukan memang telah menuntut
korban. Bagaimanapun juga, ada di antara mereka yang gugur
dipeperangan itu. Sementara itu, maka Kiai Badra telah memanggil para
pemimpin dari ketiga padukuhan yang telah menyatakan
kesediaan mereka dan telah mereka buktikan, bahwa mereka
memang menghendaki perubahan di Tanah Perdikan itu.
Namun yang wajahnya nampak buram adalah justru Iswari. Ia
merasa tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia
tidak lebih dari seorang yang hanya membawa tunggul dan tanpa
berbuat apa-apa membiarkan semua terjadi di sekelilingnya.
"Iswari," berkata Kiai Badra. "Kau harus mengerti maksudku
dan orang-orang tua yang lain. Yang terjadi ini baru permulaan
dari satu perjalanan yang panjang untuk kepentingan Tanah
Perdikan Sembojan dan sekaligus anakmu. Kau jangan tergesa-
gesa ingin menyelesaikan sesuatu yang nampaknya dapat terjadi
dengan cepat dan mudah."
Iswari tidak menjawab. Sementara Kiai Badra berkata
selanjutnya, "Aku, kakek dan nenekmu serta para pemimpin
padukuhan ini bersepakat, untuk memancing kekuatan lawan
seluruhnya. Sudah beberapa kali aku katakan, lebih baik
persoalan ini kita selesaikan dengan tuntas, daripada suatu saat
kau akan mengalami kesulitan. Jika kita tidak berhasil
menghancurkan gerombolan Kalamerta sampai ke akarnya, maka
akan terjadi sebagaimana terjadi Ki Gede Sembojan."
Iswari masih tetap berdiam diri. Kepalanya tertunduk dalam-
dalam. Namun hatinya mulai terbuka atas persoalan yang
dihadapinya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Badra pun telah
berbincang dengan para pemimpin dari mereka yang dianggap
memberontak itu. Mereka sepakat, bahwa mereka tidak akan
hanya sekadar bergerak di ketiga padukuhan itu. Tetapi sejak
esok pagi mereka akan memasuki padukuhan-padukuhan lain
71 SH. Mintardja dan berbicara dengan para pemimpinnya, sehingga akhirnya
seluruh Tanah Perdikan itu dapat dikuasainya.
"Kita harus mengusir orang-orang yang berada disekitar Ki
Wiradana itu keluar dan menunggu mereka datang kembali
dengan mambawa kekuatan mereka yang sebenarnya. Kita akan
menghancurkan mereka untuk tidak akan mengganggu lagi untuk
selama-lamanya," berkata Kiai Badra.
Karena itulah, maka para pemimpin pengawal pun telah
mendapat perintah untuk mempersiapkan diri, karena esok pagi
mereka akan bergerak ke padukuhan-padukuhan disekitar
mereka. *** Ketika para pemimpin dari ketiga padukuhan yang dianggap
memberontak itu mulai beristirahat, sementara para pemimpin
pengawal sudah berada di antara pasukan masing-masing, maka
pada saat itu di padukuhan induk Ki Wiradana benar-benar
mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan hati dari orang-
orang yang selalu membayanginya.
Dengan suara lantang Ki Rangga Gupita berkata, "Aku tidak
tahu, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Wiradana atas Tanah
Perdikan ini. Selama ini kami para prajurit dari Jipang sudah
membantunya dengan sekuat tenaga. Namun hasilnya tidak lebih
dari satu pemberontakan."
Ki Wiradana sama sekali tidak menjawab. Ia berhadapan
dengan beberapa orang yang sedang marah, yang semuanya
memiliki kelebihan daripadanya.
Bahkan istrinya hampir saja kehilangan kesabarannya ketika
dengan menjerit ia telah mencengkam baju Ki Wiradana, "Kau
laki-laki tidak berarti sama sekali. Kau hanya pantas menjadi
bapak dan sama sekali bukan Kepala Tanah Perdikan."
Namun Ki Randukeling telah berusaha menenangkan sambil
berkata, "Warsi, bagaimanapun juga laki-laki itu adalah
suamimu. Kita memang melihat banyak kekurangan terdapat
72 SH. Mintardja padanya. Bodoh, dungu, pengecut dan banyak lagi kekurangan-
kekurangannya. Tetapi adalah kewajiban kita untuk mencari
jalan keluar dari kesulitan yang kemudian telah ada dihadapan
kita sekarang ini." "Jerih payah kami tidak berarti sama sekali," geram Ki Rangga
Gupita. "Ternyata pada saat yang sangat diperlukan, Tanah
Perdikan ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu
Jipang." "Marilah sekarang kita bicarakan, apa yang paling baik kita
lakukan," berkata Ki Randukeling.
"Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan," sahut Ki Rangga
Gupita. "Bagaimana jika kita mengambil langkah yang sebaliknya dari
rencana Ki Rangga," jawab Ki Randukeling kemudian, "Untuk
dapat membawa anak-anak Tanah Perdikan ini ke Pajang, biarlah
pasukan Jipang yang ada di Pajang atau katakanlah anak-anak
Tanah Perdikan ini yang ada Pajang, kita tarik untuk
menghancurkan pemberontakan itu. Baru kemudian Ki Rangga
kembali ke Pajang sambil membawa para pengawal Tanah
Perdikan ini." "Sulit untuk dilakukan," jawab Ki Rangga, "Panglima pasukan
Jipang di Pajang belum tentu sependapat. Apalagi setiap saat
prajurit Pajang akan dapat menyerang kedudukan Jipang
meskipun sudah ditarik mundur dan membangun pertahanan
baru."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kira itu jalan yang paling dekat," berkata Ki Randukeling.
"Apa ada jalan lain?" bertanya Ki Rangga.
"Jalan yang agak jauh adalah pengerahan kekuatan yang ada
disekeliling kita," jawab Ki Randukeling.
"Disekeliling kita yang mana?" bertanya Ki Rangga.
73 SH. Mintardja "Di antara para pertapa yang sejalan dengan sikapku serta
mengumpulkan kembali keluarga Kalamerta yang telah
terpencar," jawab Ki Randukeling.
"Untuk itu diperlukan waktu yang sangat panjang, sementara
Jipang idak memerlukan lagi pasukan apapun juga karena Pajang
tentu sudah hancur," sahur Ki Rangga.
"Sudah aku katakan. Jalan itu agak panjang. Tetapi mungkin
dapat ditempuh bagi kepentingan Tanah Perdikan ini.
Pemberontakan itu harus dihancurkan. Sementara kita tidak
dapat lagi mempercayakan kekuatan pada pendukung Ki
Wiradana di Tanah Perdikan ini," berkata Ki Randukeling.
"Aku memerlukan sekarang," berkata Ki Rangga, "Aku tidak
dapat menunggu sampai besok."
"Lalu apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Ki Randukeling.
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Semuanya telah rusak. Tanggung jawab dari kesulitan
yang kita hadapi ada pada pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan ini." Ki Randukeling berpaling ke arah Ki Wiradana yang
menundukkan kepalanya. Namun ia tidak berkata apapun juga.
Warsi lah yang tiba-tiba saja berkata, "Kita dapat menempuh
kedua-duanya. Biarlah pasukan yang masih ada itu dibawa oleh
Ki Rangga ke Pajang, sementara itu kita akan mengumpulkan
kekuatan. Kita akan memanggil orang-orang yang akan dapat
memperkuat kekuatan kita disini. Biarlah kita bersama-sama
menyelesaikan tugas kita dengan baik. Disini dan di Pajang."
Ki Randukeling menggelengkan kepalanya, katanya, "Sulit
untuk dilakukan. Kita memerlukan pasukan betapapun kecilnya
untuk setidak-tidaknya mengganggu kesombongan perempuan
yang membawa tunggul itu. Aku yakin bahwa mereka tidak akan
berhenti pada kedudukan mereka sekarang. Mereka mungkin
akan bergerak di padukuhan sebelah menyebelah."
74 SH. Mintardja "Jika mereka bergerak, apa yang dapat kita lakukan?" bertanya
Ki Rangga Gupita. "Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan sama
sekali tidak mempunyai wibawa lagi. Beberapa kelompok
pasukan yang tidak berjuang dengan sungguh-sungguh di arena
itu justru telah menyerah dan sudah tentu akan merupakan
kekuatan baru bagi para pemberontak."
"Dan kekuatan yang sedikit itu akan kau bawa?" bertanya Ki
Randukeling. "Disini mereka pun tidak mempunyai arti apa-apa," Warsi
menyahut. "Lebih baik mereka diserahkan saja kepada Ki Rangga
agar mereka justru mempunyai arti bagi Tanah Perdikan ini
dalam hubungannya dengan Jipang. Sementara kita
mengumpulkan kekuatan sekaligus menunggu tugas prajurit
Jipang selesai di Pajang. Dengan demikian, maka kita akan dapat
berbuat apa saja disini."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 18. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
75 SH. Mintardja Jilid Ke delapan belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 76 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KI RANDUKELING mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Menurut perhitunganku, perselisihan antara
Pajang dan Jipang itu tidak akan cepat selesai. Kemenangan
pasukan Jipang atas Pajang disatu medan, belum merupakan
ukuran kemenangan di segala putaran pertempuran. Pajang disisi
Barat, disebelah menyebelah Bengawan Sore, bahkan di batas
kota Jipang sendiri, karena Pajang pun mengambil langkah yang
sama dengan Jipang dalam perselisihan ini."
"Tetapi tentu kita tidak akan dapat membiarkan kekalahan
demi kekalahan terjadi di medan perang yang mana pun juga
kakek," jawab Warsi.
"Yang perlu kita lakukan adalah justru membangunkan
landasan perjuangan yang akan mampu menopang perjuangan
ini untuk waktu yang panjang. Perang antara Jipang dan Pajang
nampaknya bukan sekadar perang di benturan pasukan. Tetapi
seandainya salah satu pihak dapat dihancurkan di arena, namun
perlawanannya masih akan berlangsung untuk waktu yang lama,"
jawab Ki Randukeling. Lalu katanya pula, "Karena itu, maka kita
perlu membangun landasan yang kokoh disini."
"Tetapi apakah kita mampu bertahan terhadap
pemberontakan itu?" bertanya Ki Rangga.
"Kita masih akan mencoba meskipun agaknya terasa sulit.
Tetapi kita tidak menyakiti hati para pengawal yang masih ada
dan ternyata setia kepada Ki Wiradana. Jika perlu mereka akan
kita bawa keluar, tetapi tidak ke Pajang. Dari kedudukan kita
yang akan kita tentukan kemudian, kita akan mengadakan
pembalasan, sementara kekuatan baru akan datang di Tanah
Perdikan ini. Tetapi sudah barang tentu bahwa kekuatan baru
tanpa dukungan sama sekali dari Tanah Perdikan ini sendiri,
agaknya tidak akan memberikan arti apapun juga," jawab Ki
Randukeling. "Kakek," berkata Warsi, "Kita hanya akan kehilangan banyak
waktu. Perjuangan Jipang di Pajang sudah sampai pada satu
2 SH. Mintardja tataran yang menentukan. Sementara kita disini masih harus
menemukan cara untuk mengatasi kesulitan. Sementara kita
berpikir, biarlah kita memberikan kekuatan baru kepada Jipang,
sehingga akan memberikan keuntungan pula bagi para pengawal,
karena mereka akan mendapatkan pengalaman yang berharga."
Tetapi agakya Ki Randukeling masih tetap pada pendiriannya.
Karena itu, maka katanya, "Aku adalah salah seorang pendukung
tegaknya Jipang. Aku mempunyai hubungan yang khusus dengan
Patih Mantahun dan Arya Jipang sendiri. Tetapi aku mempunyai
perhitungan lain. Landasan perjuangan seperti Tanah Perdikan
ini justru harus kita pertahankan mati-matian, karena aku tidak
menganggap bahwa perang Jipang dan Pajang akan selesai besok.
WAJAH Ki Rangga menjadi semakin tegang. Ternyata Ki
Randukeling tetap bertahan pada pendiriannya, meskipun
agaknya Warsi tidak berkeberatan.
Namun dalam pembicaraan itu justru tidak didengar pendapat
Ki Wiradana. Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan, karena ki Wiradana dianggap tidak mempunyai arti
apa-apa lagi. Dalam pada itu, maka Warsi pun telah berkata, "Kakek.
Marilah kita melihat keadaan dengan wajar. Kakek agaknya
kurang melihat keadaan yang sebenarnya kita hadapi. Dalam
keadaan seperti ini Sembojan tidak akan mungkin kita
pergunakan sebagai landasan. Tetapi Sembojan justru akan
menelan kita dan menghancurlumatkan. Karena itu, maka selagi
masih ada kesempatan, biarlah kekuatan yang ada itu kita bawa
ke Pajang. Tetapi dengan pengertian, bahwa setelah Pajang
runtuh, pasukan Jipang akan mengembalikan kewibawaan
kakang Wiradana disini. Jika perlu dengan kekerasan."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ada
perbedaan sikap antara mereka. Namun kemudian, hampir diluar
kehendaknya sendiri Ki Randukeling bertanya kepada Ki
Wiradana, "Apa katamu Wiradana" Bukankah kau masih
pemangku jabatan Tanah Perdikan ini?"
3 SH. Mintardja Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tidak
mampu lagi berpikir dan ia memang tidak berpikir apapun juga,
karena ia sadar, bahwa pikirannya tidak akan berarti apa-apa.
Ketika ia mendengar pertanyaan itu, ia justru menjadi
semakin bingung, sehingga untuk beberapa saat ia tidak dapat
menjawab. "Nah, kakek. Lihat. Itu adalah pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan ini. Apa yang dapat diharapkan dari padanya" Ia
tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Dan bahkan ia tidak lagi
tahu, apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini," berkata
Warsi. Tetapi Rangga Gupita sengaja membuat suasana menjadi semakin panas. Katanya, "Yang diingatnya
hanyalah penari yang disebut
sebagai bekas istrinya itu saja."
"O, benar begitu?" wajah
Warsi menjadi tegang. Wajah Ki Wiradana menjadi
pucat. Tetapi ia berusaha
menjawab, "Aku sedang
mencoba untuk melihat keadaan Tanah Perdikan ini
dalam keseluruhan." "Bagus," geram Warsi. "Jadi
kau masih juga berpikir tentang
Tanah Perdikanmu" Tetapi akhirnya apa yang kau lihat" Apa"
Apakah kau dapat mengatakan sesuatu tentang Tanah Perdikan
ini dalam keseluruhan itu?"
Ki Wiradana menjadi bertambah bingung, sehingga ia pun
kemudian harus mengatupkan kembali mulutnya rapat-rapat.
4 SH. Mintardja "Nah," berkata Warsi dengan nada tinggi, "Bukankah kau lihat
bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan
sudah tidak tahu apa-apa lagi sekarang ini" Karena itu, kitalah
yang harus mengambil keputusan. Kita tidak perlu
mendengarkan pendapatnya yang tidak akan ada artinya."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
masih juga bergumam, "Warsi, bagaimana pun juga ia adalah
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini dan sekaligus
suamimu. Setiap kali aku memperingatkanmu agar kau bersikap
lebih lunak sedikit terhadapnya."
"Sudah aku katakan pula berulang kali kakek, bahwa aku
sudah mencoba menghormatinya. Bahkan berlebih-lebihan. Aku
sama sekali menyembunyikan kemampuanku agar aku tidak
menyinggung harga dirinya. Tetapi aku tidak dapat bertahan
terlalu lama, karena ternyata kakang Wiradana sama sekali tidak
mempunyai kemampuan sedikit pun untuk melakukan tugasnya
sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan," jawab Warsi.
Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Namun agaknya
Warsi masih ingin menekankan pendapatnya, "Kakek. Karena itu,
aku kira kita harus mengambil langkah yang paling berarti bagi
kita. Menurut pendapatku, kita tidak akan dapat bertahan lebih
lama lagi di Tanah Perdikan ini dalam keadaan seperti ini. Karena
itu, maka biarlah kita bawa pengawal yang tersisa itu untuk
meninggalkan Tanah Perdikan ini dan bergabung dengan
pasukan Jipang di Pajang. Kita memang untuk sementara
melepaskan Tanah Perdikan ini. Tetapi kita akan kembali dengan
kekuatan yang memadai."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kepada Ki Saudagar, maka Ki Saudagar itu pun berkata,
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa disini. Aku yakin bahwa
semakin lama jumlah pengawal itu pun akan menjadi semakin
susut." 5 SH. Mintardja Untuk beberapa saat Ki Randukeling berdiam diri. Namun
kemudian ia pun bergumam, "Jadi Tanah Perdikan ini tidak akan
ada artinya sama sekali bagi kita?"
"Tentu ada kakek. Sepasukan pengawal telah berada di Pajang.
Sementara itu, kita akan membawa lagi sepasukan yang masih
tersisa sekarang. Bukankah itu berarti bahwa kekuatan Tanah
Perdikan ini sudah ikut serta dalam perang antara Jipang dan
Pajang" Ki Rangga menjadi saksi, sehingga pada saatnya Pajang
hancur nanti, Tanah Perdikan ini akan mempunyai kedudukan
yang khusus di antara wilayah Jipang yang lain. Bukan saja
kedudukannya sebagai Tanah Perdikan tetapi juga batas daerah
Tanah Perdikan ini akan mencakup lembah yang subur disebelah
pegunungan yang sekarang masih dalam kedudukan sebagai
sebuah Kademangan kecil yang tidak mempunyai pengaruh
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apapun juga dalam hubungannya dengan pemerintahan Pajang
dan sudah tentu kelak dengan Jipang. Tetapi jika lembah yang
subur itu termasuk dalam lingkungan Tanah Perdikan ini, maka
tanah yang subur itu akan berarti bagi pertanian dan
peternakan." Sekali lagi Ki Randukeling memandang Ki Wiradana. Tetapi ia
tidak menemukan apapun di mata pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan itu. Apapun yang tergejolak di dalam
perasaannya, maka Ki Wiradana itu tidak akan berani
mengatakannya. Bahkan menunjukkan kesan diwajahnya pun ia
tidak berani. Ki Randukeling ternyata berusaha untuk mengerti pendapat
orang-orang disekitarnya itu. Apalagi Warsi pun kemudian
berkata, "Kakek. Seandainya kita tidak meninggalkan Tanah
Perdikan ini, kita pun akan didesak dengan kekerasan."
"Kau tidak yakin tentang kemampuanku?" bertanya Ki
Randukeling. "Aku yakin kakek. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak untuk
dihadapi," jawab Warsi.
6 SH. Mintardja Ki Randukeling kemudian ternyata mengalah. Katanya,
"Baiklah. Aku tidak akan berkeras mempertahankan sikapku.
Jika kalian menganggap bahwa persoalan Tanah Perdikan ini
dapat ditinggalkan untuk sementara, serta mengerahkan
pemusatan untuk melawan Pajang, maka aku akan tunduk
kepada keputusan kalian. Tetapi ingat, medan yang dihadapi oleh
Jipang tidak hanya Pajang disisi sebelah Timur. Perang antara
Jipang dan Pajang tidak tergantung kepada medan yang kecil itu.
Bahkan seandainya Jipang mampu memasuki Pajang dan
mendudukinya, belum tentu bahwa Jipang sudah memenangkan
pertempuran. Meskipun pasukan Pajang disebelah Bengawan
Sore justru akan memecahkan pertahanan Jipang dan memasuki
Jipang pula bersama pasukan dari Demak yang dapat
dipengaruhi oleh Hadiwijaya."
Ki Ranggalah yang menjawab, "Jangan mencemaskan pasukan
Jipang di tepi Bengawan Sore. Pasukan itu dipimpin sendiri oleh
Kanjeng Adipati Arya Penangsang. Tidak ada kekuatan yang
dapat mencegah kekuatan Adipati Pajang. Sipat kandelnya,
kudanya yang disebut Gagak Rimang dan pusakanya Setan Kober
akan mampu menghancurkan seluruh kekuatan Pajang disebelah
Bengawan Sore. "Mungkin perhitunganmu benar," berkata Ki Randukeling.
"Tetapi di dalam perang kita juga harus memperhitungkan
kekuatan lawan. Arya Penangsang dan Patih Mantahun memang
memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas. Tetapi
kita harus ingat, bahwa Pajang memiliki Tombak Kiai Pleret dan
Senapati besar seperti Ki Pemanahan dan Ki Penjawi."
Ki Rangga masih saja tertawa. Katanya, "Ki Randukeling
memiliki ketajaman pandangan dan sikap yang hati-hati yang
diperlukan oleh para Senapati di medan perang. Tetapi satu hal
yang kurang dipahami, bahwa Ki Randukeling tidak mengetahui
keseluruhan kekuatan Jipang. Jumlah prajuritnya dan para
pengawal yang mampu digerakkan, justru karena Ki Randukeling
lebih banyak berada di pertapaan. Namun demikian, aku akan
berbicara dengan para Senapati Jipang, agar mereka menaruh
7 SH. Mintardja perhatian terhadap banyak persoalan yang mungkin dihadapi
oleh para prajurit Jipang dalam perang melawan Pajang."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Ia benar-benar tidak
dapat bertahan atas sikapnya. Karena itu, maka ia lebih condong
menyerahkan persoalannya kepada Warsi.
Dengan demikian maka Warsi pun telah menentukan sikap
Tanah Perdikan Sembojan yang dipaksanya kepada pemangku
Jabatan Kepala Tanah Perdikannya. Malam itu juga, pasukan
Sembojan yang tersisa akan meninggalkan Tanah Perdikannya
untuk membantu pasukan Jipang yang berada di Pajang.
"Siapkan mereka," berkata Warsi. "Bawa mereka seluruhnya
kemari. Jangan beri kesempatan mereka mengetahui apa yang
harus mereka lakukan malam nanti untuk menghindarkan
pengkhianatan." Ki Wiradana tidak dapat menjawab apapun juga. Ia pun
kemudian pergi ke barak dan berbicara dengan para pemimpin
pengawal yang setia kepadanya.
"Jangan sampai bocor," berkata Ki Wiradana. "Para pengawal
harus sudah berada di halaman rumahku sebelum para
pemberontak membuat gerakan-gerakan yang semakin
merugikan kita." Para pemimpin pengawal yang setia itu pun telah melakukan
perintah Ki Wiradana. Mereka telah menggerakkan semua
pengawal yang masih tersisa untuk dibawa ke rumah Ki
Wiradana. Mereka berkumpul dihalaman rumah yang luas itu.
Namun sebagian dari mereka telah berada di pinggir jalan di
depan rumah itu bahkan di halaman rumah sebelah menyebelah.
Para pemimpin yang berada di pendapa telah mendapatkan
beberapa penjelasan tentang kedudukan mereka yang memang
sulit. Dengan hati-hati, agar tidak dianggap membuat kesalahan
Ki Wiradana berkata, "Tanah Perdikan ini sudah memberikan
terlalu banyak kepada kalian. Karena itu, maka kalian harus
menyadari. Apa yang kalian dapatkan itu, harus kalian syukuri
dengan langkah-langkah yang nyata. Pengorbanan bagi Tanah
8 SH. Mintardja Perdikan ini. Dengan demikian, maka tegaknya Tanah Perdikan
ini tergantung kepada kalian. Kepada kita semua."
Para pemimpin pengawal yang setia itu mengangguk-angguk.
Namun Ki Wiradana masih belum mengatakan, bahwa pasukan
itu akan dibawa ke Pajang malam nanti. Jika satu dua di antara
pemimpin pengawal yang sudah mendapat penjelasan khusus
dari Ki Wiradana di barak mereka, maka mereka adalah para
pemimpin yang paling dipercaya, justru untuk mengawasi agar
tidak ada gerakan-gerakan yang dapat merugikan.
Kepada para pengawal, para pemimpin itu memberikan
keterangan tentang para pemberontak. Karena itu, maka mereka
harus bersiap untuk bertempur dalam kesiagaan tertinggi.
Sementara itu, para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan
telah membuat rencana-rencana terperinci, bagaimana mereka
akan meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka harus
menempuh jalan melingkar, sehingga perjalanan itu tidak akan
diganggu oleh para pemberontak.
Namun ternyata bahwa apa yang dirahasiakan oleh para
pemimpin Tanah Perdikan itu telah bocor pula. Satu di antara
para pemimpin yang masih mendapat kepercayaan dari Ki
Wiradana telah menembus kerahasiaan itu. Dengan sangat hati-
hati ia telah memerintahkan seorang di antara para pengawal
untuk berusaha melarikan diri dan menghubungi para pengawal
yang disebut pemberontak itu.
Sebenarnyalah, ketika para pengawal yang dikumpulkan di
rumah Ki Wiradana dan sekitarnya itu beristirahat, maka
pengawal yang seorang itu telah mencari jalan keluar. Ia sadar
bahwa beberapa orang kepercayaan Ki Wiradana sedang
mengawasi mereka dan mengadakan penjagaan yang ketat,
sehingga sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri. Namun
pengawal yang mendapat tugas untuk menghubungi kawan-
kawannya yang disebut pemberontak itu mengenal lingkungan
itu dengan baik, ebagaimana kawan-kawannya yang lain. Karena
9 SH. Mintardja itu, betapapun ketatnya penjagaan, maka ia akan tetap berusaha
untuk dapat lepas dari pengamatan mereka.
Waktu yang ada memang tidak terlalu banyak. Pengawal itu
mendapat penjelasan dari seorang kepercayaan Ki Wiradana yang
memerintahkannya menyampaikan berita itu kepada kawan-
kawan mereka yang disebut pemberontak, bahwa lewat tengah
malam mereka akan disiapkan, sehingga menjelang fajar pasukan
itu sudah akan berangkat ke Pajang.
Karena itu, maka ketika suasana menjadi sepi dan terdengar
dengkur yang sahut menyahut dari para pengawal yang tertidur
betebaran di pendapa, di halaman, digardu-gadu dan bahkan di
regol-regol halaman tetangga, maka pengawal itu pun mulai
bersiap-siap untuk menyelinap.
Dengan hati-hati ia harus memperhatikan para petugas yang
berjalan hilir mudik. Namun kesempatan itu pun terbuka ketika
seorang pengawas justru baru saja lewat membelakanginya.
Dengan sigap ia telah meloncat dinding rumah tetangga dan
hilang dikegelapan. Meskipun demikian, pengawal itu masih harus
memperhatikan jalan-jalan di lingkungan padukuhan induk itu.
Ia sadar, bahwa setiap sudut dan simpang jalan mendapat
pengawasan dengan seksama. Karena itu, maka ia harus sangat
berhati-hati. Namun akhirnya, pengawal yang seorang itu dapat juga keluar
dari dinding padukuhan induk. Demikian ia berada diluar, maka
ia pun telah menarik nafas dalam-dalam.
Dengan hati-hati ia menyuruk di antara tanaman jagung yang
muda untuk menghindari penglihatan para petugas yang berjaga-
jaga di beberapa tempat disekitar padukuhan induk itu.
Ketika beberapa kotak sawah telah dilampaui, maka pengawal
itu merasa bahwa dirinya telah terlepas dari setiap pengamatan,
sehingga karena itu, maka ia pun telah muncul disebuah jalan
kecil yang jarang sekali dilalui orang.
10 SH. Mintardja Namun tiba-tiba saja jantungnya berdegup semakin cepat.
Hampir berbareng pada saat ia meloncati parit, telah muncul
pula seorang yang lain di simpang tiga jalan kecil itu.
Dengan sigapnya keduanya telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Dalam keremangan malam akhirnya keduanya saling
mengenali yang satu atas yang lainnya. Keduanya adalah
pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Pengawal yang berusaha untuk menghubungi kawan-
kawannya yang disebut pemberontak itu menjadi tegang. Namun
ia sudah bertekad untuk melakukannya. Karena itu,
maka apapun yang dihadapinya,
ia tidak boleh ingkar. Bahkan
seandainya maut akan datang
menjemputnya. "Kau akan kemana?" tiba-
tiba saja terdengar suara parau
dari pengawal yang muncul
dengan tiba-tiba disimpang tiga
itu. "Aku akan kesungai," jawab
pengawal yang menyuruk di
antara batang-batang jagung
muda itu. "Untuk apa?" bertanya
pengawal itu. "Perutku sakit," jawab pengawal yang ingin melarikan diri itu.
"Langkahmu mencurigakan," berkata pengawal yang muncul
disimpang tiga, "Kenapa kau merunduk dibawah batang jagung"
Jika kau benar pergi ke sungai dan mendapat ijin, maka kau tidak
akan berbuat seperti itu."
11 SH. Mintardja Pengawal yang menyuruk dibawah batang jagung itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tanpa menjawab
lagi dicabutnya pedangnya sambil berkata dengan nada berat,
"Kita adalah dua orang dari lingkungan yang sama. Kita
berkawan sejak kanak-kanak. Tetapi dalam menegakkan
keyakinan apaboleh buat. Jangan ganggu aku, atau kita akan
saling membunuh. Kau atau aku yang akan mati di pategalan ini."
Wajah pengawal yang muncul disimpang tiga itu menegang.
Namun kemudian suaranya justru merendah, "Jangan
kehilangan akal. Kita tidak usah bermusuhan. Katakan,
sebenarnya kau akan kemana?"
"Aku akan melepaskan diri dari lingkungan orang-orang gila
disekitar Ki Wiradana. Karena itu pergilah. Beri kesempatan aku
lari melintasi bulak ini, sehingga aku tidak akan dapat dikejar
lagi. Sebenarnyalah aku masih segan untuk saling membunuh
dengan kawan-kawan bermain semasa kanak-kanak."
Pengawal yang muncul disimpang tiga itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya, "Kita tidak akan saling membunuh.
Aku juga sedang melarikan diri dari lingkungan yang semakin
lama menjadi semakin gila itu. Aku mendengar diluar niatku
untuk mendengarkan, dua orang kepercayaan Wiradana
berbicara tentang keberangkatan para pengawal ke Pajang."
"Apakah kau bersungguh-sungguh?" bertanya pengawal yang
menyuruk di kebun jagung itu.
"Aku bersungguh-sungguh. Aku tidak mau diumpankan di
Pajang. Jika aku harus mati, biarlah aku mati di Tanah Perdikan
kelahiran ini, dan bagi tanah kelahiran ini pula," berkata
pengawal yang muncul disimpang tiga itu.
Pengawal yang menyuruk di tanaman jagung itu kemudian
berkata, "Jika benar katamu, maka marilah. Waktu kita tinggal
sedikit." "Kenapa" Bukankah kita sudah bebas" Kita tidak perlu
tergesa-gesa. Biar saja Ki Wiradana pergi ke Pajang" jawab
pengawal yang berada disimpang tiga.
12 SH. Mintardja "Kita sampaikan persoalan ini kepada Ki Bekel yang dianggap
memberontak itu," jawab yang lain. "Mungkin ada sesuatu yang
dapat mereka lakukan."
Kedua pengawal itu pun akhirnya sepakat untuk berlari-lari
kecil menuju ke tempat kawan-kawan mereka yang dianggap
memberontak. Kedatangan kedua orang itu memang mengejutkan para
penjaga. Dengan tombak merunduk, orang-orang yang berlari-
lari kecil itu telah dihentikan.
"Aku membawa kabar penting," berkata salah seorang dari
kedua pengawal itu. "Beri kesempatan aku bertemu dengan salah
seorang di antara ketiga orang bekel itu atau jika mungkin aku
ingin bertemu dengan penari itu."
"Nyi Iswari maksudmu?" bertanya penjaga yang
menghentikan kedua pengawal itu.
"Ya. Aku ingin menyampaikan berita yang barangkali penting,"
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab pengawal itu. Para penjaga itu pun tidak merasa keberatan. Apalagi mereka
hanya berdua. Karena itu, maka keduanya pun telah dibawa ke
tempat Iswari dan kakeknya yang tinggal di rumah Ki Bekel.
"Tinggalkan senjatamu," minta pengawal yang membawa
keduanya masuk ke ruang dalam.
Iswari memang sudah tidur. Namun ia sama sekali tidak
berkeberatan dibangunkan jika keadaan memang
memerlukannya. "Ada apa?" bertanya Iswari dan beberapa orang tua yang
terbangun pula. Para pengawal itu tidak mau kehilangan waktu. Mereka pun
segera menceriterakan apa yang mereka ketahui tentang rencana
Ki Wiradana untuk membawa pasukan pengawal yang tersisa ke
Pajang. 13 SH. Mintardja "Bukankah pasukan itu tinggal beberapa kelompok kecil saja?"
bertanya Iswari. "Ya. Dan beberapa kelompok itu akan menjadi umpan pula di
medan perang yang garang di Pajang," desis Kiai Badra.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Atas nama anak laki-
lakinya serta kuasa Pajang atas dirinya, maka ia merasa
berkeberatan apabila para pengawal itu benar-benar akan dibawa
ke Pajang justru untuk memperkuat pasukan Jipang. Karena itu,
maka katanya, "Kita akan mencegahnya. Kita akan
menghancurkan orang-orang yang telah engendalikan pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang lemah itu."
"Maksudmu?" bertanya Kiai Badra.
"Kita tidak akan memberi kesempatan lagi kepada mereka,"
berkata Iswari dengan perasaan yang bergejolak.
"Kita tidak memang akan mencegahnya Iswari," berkata Kiai
Badra. "Tetapi sudah aku katakan, biarkan saja orang-orang dari
bayangan kekuatan Kalamerta itu bermain untuk beberapa saat
lagi. Aku mengharap mereka akan datang pada kesempatan lain.
Agaknya dengan seluruh kekuatan yang ada pada mereka,
sehingga ita tidak akan mencemaskan lagi dimasa-masa
mendatang." "Kakek," jawab Iswari. "Kita tidak boleh merendahkan
kemampuan mereka. Jika kita memancing seluruh kekuatan
Kalamerta, apakah kita akan dapat melawannya. Tetapi jika apa
yang ada ini kita binasakan, maka kekuatan Kalamerta itu sudah
jauh berkurang." "Dan yang tersisa itu akan menjadi duri di dalam kehidupan
Tanah Perdikan ini. Pada saat-saat yang lengah mereka akan
memasuki Tanah Perdikan ini sebagaimana Nyi Wiradana dan
orang-orang yang ada disekitarnya sekarang ini. Mungkin dengan
cara lain tetapi mungkin mereka mempergunakan kekerasan
justru pada saat-saat Tanah Perdikan ini sepi," sahut Kiai Badra.
Lalu, "Karena itu, maka biarlah kita berusaha mencegah
kelompok-kelompok yang akan dibawa ke Pajang itu, namun
14 SH. Mintardja sekali lagi aku minta, jangan kita tumpas orang-orang yang
mungkin akan dapat memancing kekuatan yang masih
tersembunyi, karena aku yakin bahwa kekuatan Kalamerta yang
terkenal itu tersebar sepeninggalan Kalamerta itu sendiri. Bahkan
mungkin masih ada kekuatan yang sejajar dengan Kalamerta itu
sendiri yang akan dapat kita ungkit ke luar dari sarangnya."
Iswari tidak membantah. Namun ia memang harus berbuat
cepat. Karena itu, maka ia pun minta para bekel yang
dipanggilnya untuk menyiapkan para pengawal.
Para Bekel itu pun kemudian memanggil para pemimpin
pengawal dan memerintahkan mereka untuk bersiap dalam
waktu yang singkat. Namun dalam pada itu, di padukuhan induk telah terjadi
sesuatu yang mengguncangkan. Ternyata bahwa kepergian dua
orang pengawal itu diketahui oleh kelompok masing-masing.
Pemimpin kelompok mereka yang setia kepada Ki Wiradana,
segera melaporkan kehilangan itu kepada Ki Wiradana.
Wajah Ki Wiradana menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia
justru terdiam. Namun yang bergejolak di dalam dadanya
ternyata tidak sebagaimana diduga oleh para pemimpin
kelompok itu. Para pemimpin kelompok yang melaporkan
kepadanya itu menganggap bahwa kemarahan yang menghentak
di dada Ki Wiradana membuatnya tidak dapat bertindak dengan
segera. Para pemimpin kelompok itu menganggap bahwa Ki
Wiradana sedang berusaha menenangkan hatinya karena laporan
yang mengejutkan itu. Namun sebenarnya Ki Wiradana telah dicengkam oleh
kebimbangan. Ketika mereka mendengar bahwa ada dua orang
pengawal yang hilang dari kelompok masing-masing, maka tiba-
tiba saja Ki Wiradana merasa bersyukur, bahwa keberangkatan
itu akan didengar oleh mereka yang disebut pemberontak, karena
Ki Wiradana yakin bahwa orang-orang itu tentu akan pergi
kepada orang-orang yang disebut pemberontak itu. Namun Ki
Wiradana menjadi cemas juga, bahwa akhirnya ia juga yang akan
15 SH. Mintardja menjadi sasaran umpatan dan makian dari orang-orang yang ada
disekitarnya itu. Namun Ki Wiradana tidak dapat berdiam diri dalam
kebimbangannya. Ia memang harus mengambil sikap. Karena itu,
maka ia pun telah menemui Ki Randukeling. Seorang yang
menurut pendapat Ki Wiradana adalah orang yang berpendirian
paling lunak terhadapnya.
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Dengan nada datar
dan yang hanya didengar oleh dirinya sendiri, ia bergumam, "Aku
sudah menduga bahwa rahasia ini tidak akan dapat
dipertahankan dengan ketat. Menilik sikap orang-orang Tanah
Perdikan ini sendiri."
Namun Ki Randukeling tidak mengatakan kepada siapapun
juga. Juga tidak kepada Ki Wiradana.
Tetapi seperti Ki Wiradana, maka ia pun merasa wajib untuk
mengambil langkah-langkah. Karena itu, maka ia pun telah
memanggil Warsi dan Rangga Gupita serta beberapa orang lain.
"Setan," geram Warsi. "Siapa yang telah berkhianat" Atau
barangkali kau sendiri kakang?"
"Jangan menuduh begitu," potong Ki Randukeling. "Pada saat
seperti ini kita jangan bertengkar lagi. Kita harus mengambil
langkah yang paling baik."
"Aku memang tidak dapat percaya lagi kepada orang-orang
Hong Lui Bun 14 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Rahasia Ciok Kwan Im 4
gambaran tentang imbangan kekuatan itu?"
Dengan terperinci Ki Wiradana memberitahukan sebagaimana
didengarnya dari para pemimpin pengawal tentang
keseimbangan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan.
Karena padukuhan yang memberontak itu lebih kecil dari yang
lainnya, maka jumlah pengawalnya pun ternyata lebih sedikit.
Juga mereka yang meninggalkan barak dibandingkan dengan
mereka yang tetap setia kepada Ki Wiradana.
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya aku ingin
menunda sampai hari berikutnya untuk meyakinkan
keseimbangan kekuatan ini. Tetapi dengan kehadiran kakek dan
Ki Rangga maka aku sudah mendapat keyakinan itu."
"Jadi kau setuju bahwa besok kita mulai bergerak?" bertanya
Ki Rangga. "Ya," jawab Warsi.
"Bagus," sahut Ki Saudagar. "Aku sudah mengusulkan sejak
semula. Tetapi Warsi menganggap sikap itu sebagai kehilangan
akal dan tergesa-gesa."
"Yang aku perlukan sudah aku dapatkan," berkata Warsi. Lalu
katanya kepada Ki Wiradana, "Kakang, siapkan para pengawal.
Besok pagi kita bergerak. Kita harus membuat para bekel yang
memberontak itu menjadi jera."
"Hanya sekadar menjadi jera?" bertanya Ki Rangga.
"Kita akan melihat ukuran kesalahan mereka. Jika mereka
sekadar terpaksa karena tingkah anak-anak mudanya, maka ia
akan mendapat pengampunan. Tetapi jika mereka ikut terlibat
31 SH. Mintardja langsung, maka mereka akan dihukum mati," jawab Warsi.
"Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagi seorang
pengkhianat." Ki Wiradana hanya dapat mengangkat wajahnya sejenak.
Namun wajah itu pun kemudian menunduk lagi. Ia memang
tidak dapat ikut menentukan apapun lagi di Tanah Perdikan itu,
meskipun ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan.
"Nah, kau menunggu apa lagi kakang. Siapkan semua
pengawal. Waktu kita tinggal sedikit. Tetapi masih ada waktu
untuk sekadar beristirahat. Juga bagi para pengawal."
Ki Wiradana tidak dapat menolak. Sekali lagi ia keluar dari
ruangan itu dengan kepala tunduk. Kemudian ia berpacu lagi
diatas punggung kuda ke barak bersama beberapa orang
pengawal. Kepada pemimpin pengawal Ki Wiradana
menjatuhkan perintah, "Sekarang sudah pasti."
"Jadi besok kita akan bergerak?" bertanya pemimpin pengawal
yang sudah hampir tertidur itu.
"Ya. Siapkan semua pengawal. Bukan hanya yang ada dibarak
ini. Tetapi semua pengawal dari padukuhan-padukuhan. Kita
akan bergerak. Sekali pukul, kita harus sudah menyelesaikan
persoalan kita dengan para pemberontak. Sudah disiapkan tiga
tiang gantungan untuk tiga orang bekel dan tiga lagi untuk tiga
orang pemimpin pengawal," berkata Ki Wiradana.
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun telah membenahi diri bersama dua orang
pembantunya. "Kita akan menjalankan perintah. Kita akan menghubungi
para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan," berkata
pemimpin pengawal itu. "Baiklah. Aku akan kembali dan bersiap-siap untuk melakukan
tindakan atas kebodohan para bekel di padukuhan-padukuhan
yang telah memberontak itu," berkata Ki Wiradana.
32 SH. Mintardja Sejenak kemudian maka kuda-kuda pun berderap. Ki
Wiradana dan pengawalnya kembali ke rumahnya, dan para
pemimpin pengawal itu pergi ke padukuhan-padukuhan untuk
memberikan perintah agar semua pengawal dipersiapkan besok
pagi. Ketika ia sampai ke rumahnya, Ki Wiradana itu menjadi
berdebar-debar. Semua orang ternyata telah tertidur. Tetapi dua
di antara mereka masih duduk sambil berbincang dengan wajah
yang cerah. Warsi dengan Ki Rangga Gupita.
"O," Warsi berpaling ketika suaminya mendorong pintu,
"Bagaimana" Apakah kau sudah menghubungi pemimpin
pengawal itu?" "Aku sudah memerintahkan mereka untuk bersiap-siap,"
jawab Ki Wiradana. "Bagus," jawab Warsi. "Nah, jika demikian, kita dapat
mempergunakan sisa pagi ini untuk beristirahat."
Ki Wiradana tidak menjawab. Sementara itu Warsi berkata
kepada Ki Rangga, "Mudah-mudahan semua rencana dapat kita
lakukan dengan sempurna, sehingga peristiwa pemberontakan
seperti ini tidak akan terulang lagi. Sekarang silakan Ki Rangga
untuk beristirahat."
Ki Rangga tersenyum. Sambil menepuk bahu Ki Wiradana ia
berkata, "Besok aku akan berjuang bagi tegaknya
kewibawaanmu." Ki Wiradana memandang wajah Ki Rangga sekilas. Hampir
diluar sadarnya ia berdesis, "Terima kasih."
"Dan kamu kemudian harus tahu diri. Aku memerlukan anak-
anak muda Tanah Perdikan ini untuk menghancurkan Pajang.
Sekaligus memberikan pengalaman bagi para pengawalmu.
Dengan demikian maka kelak Tanah Perdikan ini akan
merupakan Tanah Perdikan yang sangat kuat, karena memiliki
pengawal yang berpengalaman dan berilmu tinggi," berkata Ki
Rangga itu selanjutnya. 33 SH. Mintardja Betapa panasnya terasa darah didada Ki Wiradana. Ia merasa
diperlakukan sebagai kanak-kanak yang baru dapat melangkah
satu-satu sambil menghisap ibu jari tangannya. Namun ia tidak
dapat menolak perlakuan itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga pun telah meninggalkan
ruangan itu untuk pergi ke gandok. Sementara Ki Wiradana dan
istrinya telah pergi ke biliknya pula. Dengan suara memerintah
Nyi Wiradana berkata, "Kakang harus menyiapkan segala
sesuatunya besok menjelang fajar. Sebagai pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan kakang akan memimpin pasukan Tanah
Perdikan ini untuk menumpas pemberontak itu.
Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah meletakkan tubuhnya diatas
pembaringan. Namun ternyata
bahwa angan-angannya telah
bergejolak menyelusuri jalan
hidupnya yang terasa sangat
pahit itu. Ki Wiradana menarik nafas
dalam-dalam ketika sejenak
kemudian ternyata Warsi telah
tertidur disampingnya, tanpa
menengok anaknya yang tidur
bersama seorang pembantunya. Untunglah bahwa pembantunya itu demikian sayangnya kepada
anak itu, sebagaimana kepada anak sendiri.
Sesaat Ki Wiradana justru membayangkan anak itu. Bahkan
anak Iswari yang tentu juga sudah lahir.
Terdengar tarikan nafas yang panjang. Penyesalan yang
datang terlambat itu membuat Ki Wiradana bagaikan kehilangan
nalarnya. Ia membayangkan bahwa kedua anaknya itu kelak akan
34 SH. Mintardja saling bermusuhan, sebagaimana ibu mereka. Kesalahannya
terletak dipundaknya. "Adalah wajar sekali jika Iswari berusaha untuk berbuat
sesuatu," berkata Ki Wiradana di dalam hatinya. "Ia sudah
disingkirkan. Bahkan sudah dilakukan rencana pembunuhan atas
dirinya. Hanya tangan Tuhan sajalah yang telah mencegahnya."
Sampai menjelang fajar Ki Wiradana sama sekali tidak dapat
memejamkan matanya. Berbagai macam angan-angan bergejolak
di dalam kepalanya. Ketika ayam jantan berkokok didini hari, maka ia pun telah
bangkit. Ia tidak mau terlambat. Karena itu, maka ia pun segera
keluar dan pergi ke pekiwan, sementara itu ia sempat singgah di
gardu dan memberikan perintah-perintah.
Ternyata bahwa perintahnya masih tetap diindahkan oleh para
pengawal. Dalam kesiagaan, maka para petugas didapur telah
bangun jauh sebelumnya dan menyiapkan makanan bagi para
pengawal yang akan menunaikan tugas yang sangat berat.
Baru sejenak kemudian Warsi pun telah terbangun pula. Ia
tersenyum ketika ia melihat Ki Wiradana telah bersiap
sepenuhnya. Bahkan pedang pun telah tergantung
dipinggangnya. Ternyata para pemimpin Tanah Perdikan itu pun dengan cepat
pula mempersiapkan diri. Mereka pun segera makan dan minum
minuman panas sebagaimana dilakukan oleh para pengawal.
Bahkan para pengawal di padukuhan-padukuhan tentu telah
melakukannya lebih dahulu, karena sebelum matahari terbit,
mereka harus sudah berkumpul di ara-ara yang luas tidak jauh
dari barak. Di ara-ara itu pasukan Tanah Perdikan itu akan
bergerak menuju ke padukuhan yang terbesar di antara ketiga
padukuhan yang telah menutup dan memisahkan diri dari
kesatuan Tanah Perdikan Sembojan.
Demikianlah menjelang matahari terbit, pasukan Tanah
Perdikan itu sudah berkumpul. Mereka telah memasang semua
pertanda kebesaran Tanah Perdikan untuk menunjukkan bahwa
35 SH. Mintardja mereka adalah penguasa yang mempunyai wewenang untuk
mengambil langkah-langkah yang perlu bagi Tanah Perdikan itu.
Namun sebelum mereka berangkat, mereka telah dikejutkan
oleh suara isyarat yang aneh. Isyarat yang tidak mereka mengerti
maknanya, bersahutan di kejauhan.
Tetapi dengan cepat, Ki Rangga mampu menanggapinya dan
berkata, "Itu tentu isyarat yang telah dibuat dan dimengerti oleh
para pengawal yang memberontak. Agaknya mereka telah
mendengar rencana kami dari pengkhianat-pengkhianat yang
ternyata bertebaran dimana-mana."
"Gila," geram Warsi. "Tetapi tidak apa. Kekuatan kami lebih
besar dari kekuatan mereka. Para pemimpin Tanah Perdikan ini
pun tentu lebih baik dari mereka, sehingga kami akan mampu
menghancurkan mereka meskipun mereka akan menyongsong
kehadiran kami." Ki Randukeling dengan nada dalam menyahut, "Kalian masih
saja meributkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Bukankah sudah pasti bagi kita, bahwa segalanya akan dapat kita
selesaikan hari ini?"
"Ya kakek. Mungkin hanya karena aku bermaksud terlalu
berhati-hati," jawab Warsi.
"Karena itu, marilah. Kita jangan merisaukan lagi hasil
langkah kita ini. Kita yakin bahwa kita akan berhasil. Karena itu,
maka tanpa ragu-ragu kita akan berangkat sekarang,"berkata Ki
Randukeling selanjutnya. Warsi pun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah, kakek.
Sebentar lagi matahari akan naik ke atas bukit. Kita sudah siap
untuk berangkat," lalu Warsi pun berpaling kepada Ki Wiradana.
"Kita sudah siap?"
Ki Wiradana mengangguk. Ia pun kemudian memberikan
isyarat kepada pemimpin pasukan yang selanjutnya meneriakkan
aba-aba kepada pasukan itu untuk berangkat.
36 SH. Mintardja Ternyata bahwa pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu pun
cukup menggetarkan jantung. Mereka membawa tunggul dan
umbul-umbul. Pasukan itu bagaikan pasukan kerajaan Agung
yang siap menumpas perlawanan dari sebuah lingkungan yang
sedang memberontak. Tetapi demikian pasukan itu mulai bergerak, telah terdengar
isyarat dikejauhan yang sahut menyahut. Padukuhan-padukuhan
yang memberontak itu telah membunyikan kentongan dengan
irama yang tidak dikenal sebelumnya.
"Mereka telah bersiap menyambut kedatangan kita," berkata
Ki Rangga. "Mereka terdiri dari orang-orang gila. Apakah mereka
tidak mempunyai otak, sehingga mereka berani melakukan
perlawanan seperti ini" Perlawanan terbuka?" geram Warsi.
"Kita harus memikirkannya," berkata Ki Randukeling.
"Meskipun menurut penilaianmu berdasarkan keterangan para
pemimpin pengawal, bahwa kekuatan kita lebih besar dari
kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan itu, namun kita
harus tetap berhati-hati."
"Ya kakek," jawab Warsi. "Kita harus selalu berhati-hati."
Ki Randukeling tidak menjawab lagi. Sementara itu pasukan
Tanah Perdikan Sembojan yang terdiri dari para pengawal dari
padukuhan-padukuhan serta para pengawal yang sedang ditempa
di dalam barak itu bergerak dengan cepat menuju ke padukuhan
yang terbesar dari ketiga padukuhan yang menyatakan diri
terpisah dari Tanah Perdikan Sembojan dengan membuat batas-
batas. Beberapa saat kemudian, orang-orang di dalam pasukan itu
perhatiannya telah tertarik kepada kepulan debu di jalan bulak
sebelah. Dua ekor kuda telah berpacu menuju ke arah yang sama
dijalan yang dibatasi oleh kotak-kotak persawahan.
"Mereka tentu pengawas dari para pemberontak," geram Ki
Rangga. 37 SH. Mintardja "Ya," jawab Ki Randukeling. "Tetapi tidak apa. Biar mereka
memberikan laporan, bahwa telah datang pasukan yang kuat
untuk menumpas mereka."
Ki Rangga tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
"Sebuah cermin dari batas kematian mereka. Memang ada
baiknya." Demikianlah, maka pasukan itu pun bergerak terus. Mereka
melewati bulak-bulak yang memisahkan desa dan desa,
padukuhan dan padukuhan. Dengan jantung yang berdebaran,
pasukan itu menjadi semakin dekat dengan sasaran.
Ki Wiradana sendiri rasa-rasanya bagaikan terpanggang diatas
api. Ia sama sekali tidak sependapat dengan langkah yang diambil
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Tetapi ia tidak mempunyai kekuatan untuk menolaknya.
Bahkan ia sendiri telah hanyut di dalamnya dan ikut pula di
dalam pasukan yang akan menghancurkan saudara-saudara
mereka sendiri dengan sikap yang keras. Bahkan dengan bekal
niat menghukum mati beberapa orang penghuni padukuhan itu.
Dalam pada itu, di padukuhan-padukuhan yang sudah
bertekad untuk menuntut satu perubahan di Tanah Perdikan
Sembojan telah bersiap pula. Dari beberapa keterangan yang
terkumpul, serta arah perjalanan pasukan itu yang dapat dilihat
oleh para pengawas, maka iring-iringan pasukan itu menuju ke
padukuhan terbesar dari ketiga padukuhan yang menyatakan diri
terlepas dari kuasa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak
memimpin Tanah Perdikan itu.
Ketiga orang bekel dengan para pemimpin kelompok pengawal
di padukuhan-padukuhan itu telah menyusun satu pasukan yang
diperkuat oleh anak-anak muda yang semula berada didalam
barak. Bahkan Ki Bekel telah memanggil laki-laki yang dengan
suka rela bersedia untuk ikut mempertahankan diri jika serangan
yang sudah diperhitungkan itu akan datang.
Ternyata beberapa orang yang pernah menjadi pengawal
Tanah Perdikan itu, bahkan ada beberapa orang bekas prajurit
Pajang yang sudah kembali ke kampung halamannya karena
38 SH. Mintardja umur mereka, telah bersedia ikut dalam pasukan yang tersusun
dengan cepat itu. Meskipun para bekas prajurit itu sudah
terhitung tua, tetapi mereka memiliki bekal kemampuan seorang
prajurit. Didorong oleh keyakinan yang mantap, maka rasa-
rasanya mereka masih juga semuda pada saat-saat mereka berada
didalam lingkungan prajurit Pajang.
Pasukan yang demikian itulah yang tidak diperhitungkan oleh
Warsi dan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan
orang-orang yang belum pernah meraba senjata pun telah
menyatakan diri untuk ikut serta mempertahankan kampung
halaman mereka dari kuasa orang-orang yang sebenarnya tidak
berhak. Dengan demikian maka pasukan yang tersusun itu
nampaknya menjadi sebuah pasukan yang sangat besar.
Namun para pemimpin pengawal padukuhan itu telah
berpesan agar mereka yang
belum memiliki dasar-dasar
olah kanuragan sama sekali,
sebaiknya tidak berada digaris-
garis terdepan. "Nampaknya pertempuran
benar-benar akan terjadi,"
berkata Ki Bekel dari padukuhan terbesar itu. Seorang Bekel dari padukuhan yang lain pun mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
pun sudah siap. Apapun yang terjadi, kita berdiri diatas satu
keyakinan." "Pasukan yang datang itu ternyata membawa segala macam
tanda kebesaran Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Bekel
yang seorang lagi. 39 SH. Mintardja "Kita akan mengimbanginya," terdengar suara disamping
mereka. Ketika para Bekel itu berpaling, dilihatnya Kiai Badra berdiri
disamping Iswari yang telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Mereka sudah bersiap dalam pakaian tempur.
Sementara itu di tangan Iswari dipegang sebatang tunggul
pertanda wewenang dari Pajang.
"Tunggul ini mempunyai nilai tersendiri," berkata Kiai Badra.
Para Bekel itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah
mendapat penjelasan tentang tunggul itu. Dengan demikian
maka mereka menjadi semakin mantap. Apalagi ketika mereka
melihat bahwa Iswari dan orang-orang yang terbiasa
mengiringinya jika ia menari, telah bersiap pula di antara
mereka. "Kita akan memasang tunggul itu," berkata Kiai Badra. "Aku
memerlukan orang-orang yang mengenakan pakaian prajurit
Pajang. "Beberapa orang bekas prajurit Pajang ada di antara kita,"
berkata salah seorang Bekel. "Mereka mengenakan pakaian
keprajuritan mereka ketika mereka masih muda."
"Tolong Ki Bekel. Panggil mereka," sahut Kiai Badra.
Ki Bekel itu pun kemudian telah memerintahkan untuk
memanggil semua orang bekas prajurit Pajang yang mengenakan
pakaian keprajuritan. Ketika mereka telah berkumpul, maka Kiai Badra pun berkata,
"Kalian adalah prajurit-prajurit Pajang. Meskipun umur kalian
telah menjadi semakin tua, tetapi sifat-sifat kesatria yang melekat
didiri kalian ternyata masih kalian miliki terus. Karena itu, maka
kalian akan mendapat kehormatan untuk mengawal Tunggul ini.
Tunggul ini adalah pertanda kuasa Pajang yang dilimpahkan
kepada kita untuk bertindak atas orang-orang yang telah
menyalahgunakan kekuasaannya di Tanah Perdikan ini. Tunggul
ini adalah pertanda bahwa kita sedang mengemban tugas yang
40 SH. Mintardja dibebankan oleh Pajang, untuk mengembalikan kedudukan
Tanah Perdikan ini sebagaimana seharusnya."
Para bekas prajurit yang mengenakan pakaian keprajuritan itu
mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka yang
rambutnya telah bercampur uban berkata, "Kami akan bertindak
sebagaimana seorang prajurit Pajang. Jiwa itu akan tetap melekat
di dalam hati kami."
"Terima kasih. Tunggul ini akan dibawa oleh Iswari sendiri
sebagai seorang yang mendapat wewenang," berkata Kiai Badra.
Namun wajah Iswari nampaknya tidak secerah biasanya.
Bahkan ia pun kemudian mendekati kakeknya sambil berdesis,
"Kenapa aku harus membawa tunggul ini kakek. Aku ingin turun
langsung di medan. Setelah untuk waktu yang cukup lama aku
menempa diri di padepokan Tlaga Kembang, maka rasa-rasanya
aku sudah mempunyai bekal yang cukup. Tetapi nampaknya
kakek masih belum mengijinkan aku menghadapi perempuan
cantik itu tanpa diganggu oleh tunggul ini."
Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Kau harus mengendapkan
perasaanmu lebih dahulu Iswari. Jika pada benturan pertama kau
langsung berhadapan dengan Nyi Wiradana, maka semua niat
perjuanganmu bagi tegaknya kembali wibawa Tanah Perdikan ini
telah hilang. Yang bergejolak didalam dadamu adalah dendam
seorang perempuan." "Tidak kakek," jawab Iswari. "Aku akan menempatkan diriku
sebaik-baiknya." "Iswari," berkata Kiai Badra. "Cobalah kali ini kau mengikuti
petunjuk kakek. Bukankah sejak kecil kau adalah seorang
penurut?" Iswari menarik nafas dalam-dalam. Betapa perasaan kecewa
mencengkam jantungnya, namun ternyata bahwa ia telah
menurut perintah kakeknya. Ialah yang kemudian membawa
tunggul, dikawal oleh para prajurit Pajang. Namun Kiai Badra
tidak melepaskan Iswari sekadar dikawal oleh bekas prajurit yang
41 SH. Mintardja sudah menjadi semakin tua itu. Tetapi para pengiringnya jika ia
menari ada disekitarnya. Sementara itu, para pengawal pun telah menebar. Yang telah
melarikan diri dari baraknya telah berada didalam barisan.
Sementara orang-orang yang merasa serba sedikit pernah
menggenggam senjata ikut pula bersama mereka. Sedangkan
dibelakang mereka adalah hampir semua laki-laki yang masih
kuat yang merasa ikut bertanggung jawab atas padukuhan
mereka. Dengan tertib pasukan itu telah menunggu dibalik dinding
banjar panjang dipadukuhan terbesar. Pada saat-saat terakhir
para pemimpin pengawal masih memberikan pesan-pesan
terakhir kepada kelompok masing-masing.
"Yang akan berdiri dipaling depan adalah Iswari dengan
tunggul yang diterimanya dari Pajang sebagai pertanda bahwa
yang kita lakukan adalah atas nama kuasa Pajang yang
dilimpahkan bagi kita untuk mengembalikan kedudukan Tanah
Perdikan ini. Jadi sama sekali tidak benar bahwa kita adalah
pemberontak. Tetapi kita adalah kekuatan yang mendapat kuasa
justru untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin Tanah Perdikan ini," berkata pimpinan pengawal itu
kepada kelompok masing-masing.
Dalam pada itu, iring-iringan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan pun menjadi semakin dekat. Mereka telah melampaui
batas padukuhan dan memasuki daerah sasaran.
Ketika mereka sampai pada jalan yang ditutup patok-patok
yang kuat, maka Ki Wiradana pun memerintahkan untuk
merusak patok-patok itu, sehingga jalan pun telah terbuka pula.
Beberapa saat kemudian banjar panjang padukuhan yang
menjadi pusat pertahanan pasukan yang dianggap memberontak
telah ada dihadapan mereka, sehingga karena itu, maka Ki
Wiradana pun telah memberikan isyarat agar pasukannya
berhenti. 42 SH. Mintardja "Kita akan memasang gelar," berkata Ki Wiradana kepada Ki
Rangga Gupita. "Bagus," jawab Ki Rangga. "Ternyata kau benar-benar seorang
Senapati yang baik. Tetapi sebaiknya kita maju lebih dekat lagi.
Kita tidak usah cemas, bahwa lawan akan mendahului menyerang
kita. Agaknya mereka akan bertahan dibalik dinding padukuhan."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Dihadapan mereka
memang belum nampak kekuatan segelar sepapan. Yang mereka
lihat hanyalah beberapa orang yang mengamati keadaan. Sekali-
kali mereka muncul diatas dinding dan didepan regol. Namun
mereka pun segera hilang kembali.
Ki Wiradana pun telah memerintahkan pasukannya untuk
maju lebih dekat lagi, sehingga jarak mereka dengan banjar
panjang itu menjadi semakin dekat.
"Nah," berkata Ki Rangga. "Aku kira jarak sudah cukup dekat.
Kita akan memasang gelar, dan kemudian memerintahkan
pasukan ini maju memasuki banjar panjang itu. Kita akan
menghancurkan mereka sampai lumat. Tetapi sekali lagi harus
diingat, mereka yang menyerah dan bersedia pergi ke Pajang
akan diampuni. Mereka akan diperlakukan seperti kawan-kawan
mereka yang tidak memberontak."
Ki Wiradana mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baiklah.
Aku akan mengumpulkan para pemimpin kelompok sebelum kita
mulai." "Bagus," Ki Rangga tertawa. "Kau memang pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan yang sangat baik. Lebih baik dari yang
kuduga semula." Ki Wiradana tidak menjawab. Tetapi diperintahkannya untuk
memanggil para pemimpin kelompok.
Kepada para pemimpin kelompk dijelaskan apa yang harus
mereka lakukan. Mereka pun telah mendapat pesan sebagaimana
dikatakan oleh Ki Rangga tentang mereka yang menyerah dan
bersedia pergi ke Pajang.
43 SH. Mintardja Para pemimpin kelompok itu mendengarkan pesan Ki
Wiradana dengan sungguh-sungguh. Namun beberapa orang di
antara mereka justru menjadi gelisah. Para pemimpin Tanah
Perdikan itu menghendaki agar mereka berlaku sebagai serigala
lapar atas saudara-saudara mereka sendiri. Membunuh,
membakar dengan maksud agar yang terjadi itu dapat menakut-
nakuti seluruh rakyat Tanah Perdikan. Dengan demikian maka
yang terjadi itu untuk seterusnya tidak akan terulang kembali.
Bahkan jika ketiga orang Bekel dari tiga padukuhan yang
dianggap memberontak itu beserta para pemimpin pengawalnya
tertangkap, maka mereka akan dihukum gantung jika ternyata
mereka terlibat langsung dalam pemberontakan itu.
Tetapi para pemimpin pengawal itu tidak bertanya lebih jauh.
Ketika mereka memandang wajah orang-orang yang ada
disekeliling pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan mereka
rasa-rasanya di wajah itu memang sudah terbayang nafas maut.
Dengan demikian, maka Ki Wiradana pun segera
memerintahkan mereka kembali ke kelompok masing-masing.
Sebentar lagi, Ki Wiradana akan memberikan isyarat untuk
membuka gelar dan siap untuk menyerang, memasuki banjar
panjang di hadapan mereka.
"Jika kekuatan induk lawan tidak ada di banjar itu, maka
banjar itulah yang akan kita lumatkan menjadi abu," perintah Ki
Wiradana. "Bagus," desis Ki Rangga Gupita, "Satu perintah yang tegas.
Akhirnya aku harus memujimu Ki Wiradana."
Ki Wiradana tidak menjawab. Namun ketika ia memandang ke
arah banjar panjang dihadapannya, rasa-rasanya kepalanya
menjadi pening. Apakah banjar panjang yang merupakan bagian
dari Tanah Perdikan Sembojan itu benar-benar harus
dihancurkan" Orang-orang yang tinggal di dalamnya harus
dikorbankan tanpa ampun"
Justru pada saat Ki Wiradana dicengkam oleh bayangan-
bayangan yang mengerikan itu, ia terkejut. Ki Rangga telah
44 SH. Mintardja menggamitnya dan berdesis, "Sudah waktunya. Perintah untuk
menebar dalam gelar sudah dapat dilakukan."
"O," Ki Wiradana tergagap. Namun sejenak kemudian maka ia
pun telah meneriakkan aba-aba.
Para pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Dan
sejenak kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu
telah menebar. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu telah
memiliki pengetahuan yang cukup untuk turun ke medan. Dalam
waktu dekat, maka pasukan mereka telah tersusun dalam gelar
yang menebar. Gelar Garuda Nglayang.
Kekuatan utama pasukan itu berada di induk pasukan yang
merupakan paruh dari gelar. Kemudian pada sebelah menyebelah
yang dipimpin oleh Senapati pengapit, yang merupakan kuku-
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuku gelar yang tajam, yang akan dapat meremas dan
menghancurkan lawan. Sedangkan kekuatan yang lain terletak
beberapa langkah dari ujung gelar. Kekuatan yang dapat
menghancurkan sayap lawan dan kemudian menggulungnya
sebelum keseluruhan gelar lawan dikoyak-koyak oleh kekuatan
kuku dan paruh yang kuat dan tajam di induk pasukan.
Sementara itu, para pengawal yang berada di belakang dinding
banjar panjang itu pun telah bersiap pula. Ketika mereka melihat
pasukan Tanah Perdi kan sudah memasang gelar maka Kiai
Badra pun berkata, "Sudah waktunya kita melangkah."
"Apa yang kita lakukan lebih dahulu?" bertanya pemimpin
pasukan pengawal yang mendapat kepercayaan dari para
pemimpin yang lain untuk memimpin seluruh kekuatan mereka.
Kiai Badra memandang Iswari sesaat. Kemudian jawabnya,
"Tunggul itu. Buka pintu gerbang. Tunggul itu akan keluar
dikawal oleh para prajurit Pajang. Kemudian kita akan
memberikan aba-aba agar anak-anak kita keluar dari padukuhan
dengan kesiagaan sepenuhnya.
45 SH. Mintardja Pemimpin pengawal dari pasukan yang disebut telah
memberontak itu pun kemudian memerintahkan untuk
membuka gerbang padukuhan. Sejenak kemudian, Iswari pun
telah keluar dari pintu gerbang dengan tunggul ditangannya yang
dilekati sebuah kelebet pertanda kuasa Pajang, diikuti oleh
mereka yang pernah menjadi prajurit Pajang pada masa
mudanya. Namun mereka telah mengenakan pakaian kebanggaan
mereka, selagi mereka masih menjadi prajurit. Kemudian
beberapa orang keluar dari dua padepokan yang akan menjaga
Iswari dan tunggul itu dari kemungkinan yang kurang baik.
Sementara itu, terdengar aba-aba yang lain, sehingga sejenak
kemudian, maka para pengawal pun telah berloncatan keluar dari
balik dinding banjar panjang mereka. Ternyata jumlahnya jauh
lebih banyak dari yang diperkirakan, karena dibelakang para
pengawal, hampir semua laki-laki telah ikut pula di dalam
barisan itu. Kehadiran pasukan yang besar itu memang mengejutkan.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah, hadirnya sebuah
tunggul yang tentu bukan tunggul kebanyakan. Menilik ujud,
bentuk dan pancaran wibawanya, maka para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan, terutama Ki Rangga Gupita, segera
mengenalinya, bahwa tunggul itu tentu ada hubungannya dengan
Pajang. Apalagi Ki Rangga juga mengenali pakaian orang-orang
yang mengawal tunggul itu.
Dalam pada itu, selagi mereka sedang dicengkam oleh
kebimbangan, tiba-tiba saja tiga batang lembing telah meluncur
dan jatuh beberapa langkah dihadapan para pemimpin Tanah
Perdikan itu. Dengan serta merta maka para pemimpin itu pun
menghentikan langkah mereka. Bahkan mereka pun telah
memberikan isyarat kepada pasukannya dalam keseluruhan
untuk berhenti sejenak. Yang terdengar adalah aba-aba yang diteriakkan oleh Ki
Wiradana dan disambung oleh para pemimpin kelompok,
46 SH. Mintardja sehingga dengan demikian maka pasukan Tanah Perdikan itu
pun telah berhenti sepelempar lembing dari dinding banjar
panjang yang menjadi sasaran.
"Gila," geram Ki Rangga. "Permainan apa saja yang
sebenarnya dilakukan oleh orang-orang itu?"
Warsi menggeram. Ketika ia melihat seorang perempuan
dengan tunggul ditangannya, bahkan yang bagaikan
memancarkan cahaya yang cerah itu, jantungnya bagaikan
terbakar. "Aku ingin meremas wajahnya yang sangat cantik itu,"
katanya. Dalam pada itu, maka terdengar seseorang di antara orang-
orang yang disebut memberontak itu berkata, "Selamat datang
dipadukuhan kami para pemimpin dan pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan Sembojan."
Orang-orang Sembojan itu termangu-mangu. Namun justru
para pemimpinnya mengumpat mendengar kata-kata lantang itu.
Apalagi ketika mereka melihat Ki Bekel dari padukuhan yang
menjadi sasaran serangan itulah yang telah menyambut mereka
dengan sebuah sesorah pendek itu. Bahkan Ki Bekel itu
melanjutkan, "Kami memang sudah mengira bahwa kalian akan
datang dengan pasukan. Karena itu maka kami pun berusaha
untuk tidak mengecewakan kalian dalam penyambutan ini.
Namun seperti yang kalian lihat, kalian ternyata berhadapan
dengan pengemban kuasa dari para pemimpin di Pajang. Dengan
tunggul pertanda kuasa Pajang itu, maka penyambutan kami
akan menjadi lebih bersifat resmi."
"Diam," Ki Ranggalah yang tidak dapat menahan sendiri
sehingga berteriak nyaring. "Kau dapat saja membawa tunggul
apapun yang kau sebut sebagai pertanda bahwa kalian
mengemban tugas dari Pajang. Tetapi seandainya tunggul itu
benar kalian terima dari Pajang, maka adalah kebetulan sekali
bahwa kalian memang harus ditumpas. Tanah Perdikan ini
47 SH. Mintardja adalah bagian dari Jipang yang kini memang sedang bermusuhan
dengan Pajang." Tetapi Ki Bekel itu menjawab tidak kalah lantangnya,
"Siapakah yang meneriakkan kata-kata sumbang itu" Darimana
kau dapat menyebut bahwa Tanah Perdikan ini merupakan
bagian dari Jipang" He, dengar orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan, apakah kalian tidak pernah mengerti, kepada siapa
kalian selama ini berlindung" Pajang atau Jipang" Siapakah yang
telah menempatkan dan kemudian mewisuda para pemimpin,
khusus Kepala Tanah Perdikan ini sejak beberapa keturunan,
sehingga sampai pada saat wisuda terakhir, yang menetapkan Ki
Gede Sembojan sebagai Kepala Tanah Perdikan ini, dan yang
kemudian telah menyiapkan untuk mewisuda Ki Wiradana untuk
menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan menggantikan
ayahnya yang dibunuh oleh orang-orang licik yang ingin menelan
Tanah Perdikan ini?"
"Tutup mulutmu orang gila," teriak Ki Rangga. "Bersiaplah,
sebentar lagi pasukan kami siap untuk melumatkan
padukuhanmu." "Baik. Kami telah bersiap. Tetapi dengar pertanyaanku,
apakah kalian menyadari, bahwa yang membunuh Ki Gede
Sembojan adalah gabungan kekuatan dari keluarga Kalamerta
yang telah dibunuh oleh Ki Gede dengan kekuatan sandi Jipang
di Tanah Perdikan ini. Kemudian menjerat kelemahan hati Ki
Wiradana dengan penari jalanan yang kemudian justru berkuasa.
He, dimanakah bersembunyi kekuatan Kalamerta itu?" teriak Ki
Bekel lebih keras lagi. Sementara itu, kedua Bekel yang lain telah
berdiri sebelah menyebelah didepan Tunggul yang diterima dari
Pajang itu. Wajah Ki Rangga menjadi merah-padam. Sementara para
pemimpin tanah Perdikan Semboyan yang lain menjadi semakin
marah. Dengan garang Warsi berkata, "Jangan beri kesempatan
lagi. Kita harus menghancurkannya"
Ki Rangga pun menyahut, "Ya. Kita harus cepat bergerak."
48 SH. Mintardja "Cepat kakang," berkata Warsi. "Berikan aba-aba itu."
Ki Wiradana segera beringsut. Namun dalam pada itu,
terdengar Ki Bekel itu pun berkata, "Nah, bukankah kalian sudah
siap untuk bergerak. Bagus. Siapa yang ingin melawan kuasa
Pajang yang dilimpahkan kepada kami marilah. Dengan demikian
maka kalian telah memberontak dan tidak lagi tunduk kepada
Pajang. Pada saatnya seorang pemberontak akan mendapat
hukuman sepadan dengan kesalahan. Dan dengarlah, he para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Hukuman bagi para
pemberontak adalah hukuman mati."
"Cukup-cukup," teriak Ki Rangga. "Satu pikiran gila. Cepat, Ki
Wiradana. Berikan aba-aba itu."
Ki Wiradana pun kemudian telah memberikan aba-aba
sehingga para pemimpin kelompok pun telah bersiap dengan
pasukan masing-masing. Namun dalam pada itu, para pengawal masih mendengar Ki
Bekel berkata, "Nah, sebelum terlambat. Siapakah yang ingin
kembali ke jalan yang benar" Tidak terpengaruh oleh orang-
orang yang sebenarnya tidak berhak memimpin Tanah Perdikan
ini" Nyi Wiradana itu sama sekali bukan orang Tanah Perdikan
ini. Ki Saudagar adalah seorang yang hanya tahu mencari uang
dan keuntungan bagi diri sendiri. Sedangkan Ki Randukeling
adalah bayangan dari kekuatan Kalamerta di Tanah Perdikan ini.
Dan ia adalah kakek Nyi Wiradana yang bernama Warsi, penari
jalanan yang garang itu. Kemudian satu pertanyaan yang harus
kalian jawab, siapakah yang sebenarnya telah membunuh Ki
Gede Sembojan?" Pertanyaan itu telah menggetarkan medan dan seakan-akan
telah mengetuk setiap jantung. Meskipun Ki Wiradana
mengulangi meneriakkan aba-aba agar pasukannya bergerak,
namun suara Ki Bekel itu seakan-akan telah mengumandang dan
terdengar berulang-ulang tanpa henti-hentinya.
Suaranya bergulung-gulung seperti mendung dilangit
berputaran dan berdengung disetiap telinga.
49 SH. Mintardja "Gila," geram Ki Randukeling. "Kekuatan apakah yang telah
membuat suaranya bagaikan gemuruhnya guntur dilangit."
Ki Rangga pun termangu-mangu. Ternyata lontaran suara itu
bukan saja lontaran suara wajar betapapun kerasnya. Tetapi
tentu ada kekuatan yang mendukung lontaran suara itu.
Sebenarnyalah tanpa diketahui oleh para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan, dibelakang Ki Bekel itu berdiri Kiai Badra
yang dengan kedua telapak tangannya telah menekan punggung
Ki Bekel. Dengan demikian, maka seolah-olah telah tersalur
kekuatan yang luar biasa yang mendorong suara Ki Bekel
sehingga suara itu telah memenuhi bulak yang luas dengan
bergema di dinding padukuhan-padukuhan.
Namun bagi orang-orang Sembojan suara itu bagaikan suara
dari langit yang telah menghentak-hentak di dalam dada mereka.
Untuk beberapa saat para pengawal Tanah Perdikan Sembojan
itu justru tidak mendengar aba-aba yang diteriakkan semakin
keras oleh Ki Wiradana. Bahkan para pemimpin kelompok yang
harus mengulangi perintah itu pun menjadi termangu-mangu.
Keadaan para pengawal itu telah membuat Warsi menjadi
semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata kepada Ki
Wiradana, "Kakang. Perintahkan sekali lagi. Cepat. Kita jangan
memberi terlalu banyak kesempatan kepada orang-orang gila
itu." Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah berteriak semakin
keras memerintahkan agar para pengawal dengan cepat bergerak
maju menuju ke sasaran. Namun ternyata sesuatu telah terjadi. Tiba-tiba saja seorang
pemimpin kelompok dari para pengawal yang justru tinggal di
barak untuk ditempa menjadi pengawal yang memiliki
kemampuan seimbang dengan para prajurit itu seakan-akan telah
mendengar satu berita yang telah menggerakkan jantungnya
untuk mencari jawab, siapakah yang telah membunuh Ki Gede
Sembojan" Dan apakah hal itu ada hubungannya dengan orang-
orang yang kemudian berkuasa disekitar Ki Wiradana"
50 SH. Mintardja Justru karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka ia pun
menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian tiba-tiba saja pemimpin
kelompok itu bertanya kepada para pengawal di dalam
kelompoknya, "He, apakah kita akan dapat bertempur melawan
saudara-saudara kita sendiri?"
Sebenarnyalah pertanyaan seperti itu telah menghinggapi
perasaan para pengawal, sehingga karena itu, maka salah seorang
di antara para pengawal itu menjawab, "Apakah tidak ada jalan
lain?" "Ya," desis yang lain. "Kita menjadi ragu-ragu. Apakah benar
mereka bersalah" Ataukah kita yang selama ini menjadi dungu?"
Pemimpin kelompok yang berjalan dipaling depan itu
kemudian berkata, "Kita tidak akan bertempur bersungguh-
sungguh. Kita akan berterus terang kepada saudara-saudara kita
nanti jika pasukan ini bertemu. Kita tidak berniat untuk saling
membunuh." Ternyata para pengawal di dalam kelompok itu setuju,
sehingga jika pasukannya berbenturan dengan pasukan dari
padukuhan dihadapan mereka, maka para pengawal itu tidak
akan bertempur bersungguh-sungguh.
Sebenarnyalah perasaan yang demikian itu ada di dalam hati
para pengawal yang lain. Namun mereka tidak berani
mengatakannya, karena mereka tidak tahu perasaan apakah yang
tersimpan dihati kawan-kawannya sebelah-menyebelah.
Dalam pada itu, maka Ki Bekel dari padukuhan yang terbesar
itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Badra, "Apakah kita juga
harus bergerak?" "Ya, sudah waktunya kita menyongsong pasukan mereka.
Mudah-mudahan para pengawal kita dapat memenuhi pesan Ki
Bekel, sehingga pertempuran yang kemudian terjadi bukannya
pembantaian keluarga sendiri," berkata Kiai Badra.
"Mudah-mudahan Kiai. Anak-anak akan mencoba meyakinkan
para pengawal Tanah Perdikan yang akan menjadi lawan mereka,
51 SH. Mintardja bahwa sebaiknya mereka menempuh jalan lain daripada saling
terbunuh," berkata Ki Bekel.
Dengan demikian maka sejenak kemudian kedua pasukan itu
pun menjadi semakin dekat. Namun rasa-rasanya pada kedua
belah pihak tidak nampak api permusuhan yang menyala yang
mendorong kedua pasukan itu untuk dengan penuh geram saling
menyongsong. Yang tidak tertahankan lagi adalah justru Warsi. Rasa-rasanya
ia ingin meloncat menerkam Iswari yang membawa pertanda
limpahan kuasa Pajang. Tetapi Warsi menjadi kecewa. Nampaknya Iswari tidak akan
menyongsongnya dan melawannya. Sebagai seorang yang
membawa tunggul maka jika tidak dalam keadaan yang terpaksa,
ia tidak akan melibatkan diri ke dalam pertempuran. Kecuali jika
karena pelindungnya telah kehilangan kemampuan, maka
pembawa tunggul itu akan mempergunakannya sebagai senjata.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itulah, maka justru para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan lah yang nampak dengan gelora didalam dadanya,
bergegas melangkah bagaikan menerkam lawan. Sementara para
pengawal semakin dibayangi oleh keragu-raguan ketika kedua
pasukan itu menjadi semakin dekat. Pasukan Tanah Perdikan itu
melihat, wajah-wajah dari para pengawal yang disebut
pemberontak itu sama sekali tidak menunjukkan nyala dendam
dan kemarahan. Senjata di tangan mereka yang meskipun sudah
merunduk, tetapi sama sekali tidak bergetar.
Sebenarnyalah, bahwa Warsi memang tidak mendapat
kesempatan untuk langsung melawan Iswari. Seorang yang
dikenal sebagai penari yang sangat cantik, yang telah
mengguncangkan kedudukannya sebagai istri Ki Wiradana dan
bahkan kemudian telah mengguncangkan kekuasaan di Tanah
Perdikan itu. Ketika Warsi menjadi semakin dekat, maka yang
menyongsongnya memang seorang perempuan. Tetapi
perempuan itu bukan Iswari. Bukan pula perempuan yang
52 SH. Mintardja menyebut dirinya pemomong Iswari, karena yang menyongsong
adalah Nyai Soka sendiri.
"Serahkan perempuan itu kepadaku," berkata Gandar.
"Jangan Gandar," berkata Nyai Soka. "Jika kau tidak dapat
mengendalikan kemarahanmu, maka kau mungkin sekali tidak
akan membunuhnya. Kita masih memerlukannya sebagaimana
orang-orang lain disekitar Ki Wiradana. Kita harus tahu, sampai
dimana peran keluarga Kalamerta dalam hal ini, agar kelak tidak
akan menjadi semacam api di dalam sekam. Dendam keluarga
Kalamerta yang tidak kita kenal akan sangat berbahaya."
"Jadi buat apa perempuan itu dibiarkan hidup?" bertanya
Gandar. "Kita akan memancing kekuatan Kalamerta sampai tuntas,"
jawab Nyai Soka. "Aku tidak yakin, bahwa mereka hanya terdiri
dari orang-orang yang sekarang ada. Ki Randukeling tentu
mempunyai landasan kekuatan yang jika diperlukan dapat
dikerahkan. Sementara itu kita juga harus melihat sampai
dimana peran para petugas sandi Jipang di Tanah Perdikan ini.
Itu harus kita pancing seluruhnya agar keluar. Dengan demikian
mereka tidak akan menganggu pada saat-saat justru kita tidak
berbuat apa-apa lagi. yang pada suatu saat mungkin akan
mengalami kesulitan adalah Iswari atau justru anaknya."
Gandar mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan
Nyai Soka sehingga dengan demikian, maka ia pun telah
berusaha untuk menunggu lawan yang lain.
Sementara itu, para pengawal dari kedua belah pihak pun
menjadi semakin dekat. Para bekas prajurit Pajang yang
mengenakan pakaian keprajuritan telah berada di depan Iswari
yang membawa tunggul. Namun disekitar mereka terdapat
keluarga Iswari sendiri yang siap untuk melindunginya serta
menjaga tunggul dari Pajang itu.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu benar-benar telah
berbenturan. Adalah kebetulan bahwa Gandar telah bertemu
dengan Ki Rangga Gupita, sementara Warsi benar-benar harus
53 SH. Mintardja berhadapan dengan seorang perempuan tua yang bernama Nyai
Soka. Sementara itu Kiai Soka lah yang telah berusaha untuk
menghadapi Ki Randukeling, karena Kiai Soka menyadari, bahwa
pertapa itu memiliki kemampuan yang tinggi, sementara ia tidak
ingin melepaskannya untuk melawan Kiai Badra, karena dalam
kedudukannya, maka Kiai Badra akan menjadi pendamping Ki
Bekel yang seolah-olah telah mengatur seluruh pasukan.
Warsi yang tiba-tiba saja telah berada di hadapan seorang
perempuan tua telah berkata lantang, "Kenapa aku harus
berhadapan dengan perempuan tua" Apakah perempuan cantik
itu tidak berani turun ke medan."
Telinga Iswari bagaikan tersentuh api. Tetapi Nyai Sokalah
yang menjawab, "Aku adalah seorang pemomongnya. Kau baru
boleh menyentuh kainnya jika kau sudah dapat mengalahkan
aku. Ki Wiradana, pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu
tidak mampu mengalahkan pemomong Iswari yang seorang lagi.
Nah, sekarang kau berhadapan dengan pemomongnya yang lain."
"Persetan," geram Warsi sambil menyerang. Ia masih
mempergunakan senjata yang wajar dipergunakan dipeperangan.
Pedang. Namun Nyai Soka telah memperhitungkannya. Karena itu,
maka ia pun dengan cepat pula menghindar.
Dalam pada itu, Ki Wiradana yang berada di induk pasukan itu
pula menjadi termangu-mangu melihat Iswari yang cantik, yang
membawa tunggul pertanda limpahan kuasa dari Pajang. Ia mulai
bertanya kepada diri sendiri. Apakah yang sebenarnya telah
terjadi pada dirinya pada saat ini. Apakah yang telah
mendorongnya untuk berbuat gila, mengupah Serigala Betina
untuk membunuh Iswari yang sedang mengandung.
Diluar sadarnya, Ki Wiradana yang masih belum terlibat ke
dalam pertempuran itu sempat berpaling mengamati Warsi yang
bertempur melawan seorang perempuan tua. Dengan jantung
yang berdegupan semakin keras, Ki Wiradana telah bertanya pula
54 SH. Mintardja kepada diri sendiri, "Kenapa aku memilih Warsi. Apakah
kelebihan Warsi dari Iswari?"
Dalam pertempuran yang menjadi semakin seru itu, maka
seorang perempuan lain yang bertubuh tegap telah
menghampirinya. Dengan nada lembut perempuan itu berkata,
"Selamat bertemu kembali Ki Wiradana."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Perempuan itu adalah
Serigala Betina. Dengan demikian maka jantungnya terasa
berdegupan semakin keras.
Namun perempuan itu berkata, "Aku tidak akan berbuat apa-
apa. Aku hanya akan melayanimu sejauh dapat kau lakukan. Aku
tidak akan mengalahkanmu dan tidak akan menangkapmu."
"Persetan," geram Ki Wiradana. "Kau membuat aku menjadi
gila." "Aku berkata sebenarnya Ki Wiradana," berkata perempuan
itu. "Sebaiknya kau memenuhi tugasmu sebagai pemimpin
pasukan. Kau harus bertempur. Atau aku akan memaksamu
bertempur?" Ki Wiradana tidak dapat berbuat lain. ia pun kemudian
mengayunkan pedangnya menyerang Serigala Betina itu.
Serigala Betina itu meloncat menghindar. Ia pun telah
memegang senjata pula. Tidak seperti yang dipergunakannya
bertempur melawan Ki Wiradana di pasar. Tetapi ia
mempergunakan pedang seperti para prajurit yang lain.
Namun ternyata seperti dikatakan. Serigala Betina tidak
berusaha mengalahkan Ki Wiradana. Ia memang bertempur
melawannya. Namun seolah-olah Serigala Betina itu hanya
sekadar mempertahankan diri.
Yang kemudian bertemu lagi adalah Sambi Wulung dengan Ki
Saudagar yang pernah dirampoknya. Namun nampaknya Ki
Saudagar tidak mengenalinya.
55 SH. Mintardja Dengan demikian, maka para pemimpin dari kedua belah
pihak itu pun telah menemukan lawannya masing-masing.
Pengendang yang pernah diaku sebagai ayah Warsi itu bertemu
dengan Ki Jati Wulung. Bertemunya dua tataran ilmu yang tidak
seimbang. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Nyai Soka, bahwa
pertempuran itu bukannya pertempuran yang menentukan. Para
pemimpin Tanah Perdikan itu masih diperlukan untuk
memancing kekuatan lawan sampai tuntas.
Dengan demikian, maka bekal dari setiap orang dari pasukan
yang dianggap memberontak itu memang bukan untuk
membunuh. Mereka hanya ingin menunjukkan kekuatan yang
tidak dapat diabaikan. "Jika kita berhasil mengusir mereka dari Tanah Perdikan ini,
maka mereka tentu akan datang dengan kekuatan yang ada pada
mereka sepenuhnya," berkata Kiai Badra di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu benar-benar telah
berbenturan. Bukan saja induk pasukan. Tetapi dari ujung
sampai ke ujung sayap. Namun demikian, maka ternyata di dalam pertempuran itu
masih juga terjadi pembicaraan. Para pengawal dari lingkungan
yang disebut pemberontak itu masih berusaha untuk berbicara.
Seorang pemimpin kelompok telah berkata lantang disela-sela
dentang senjata, "Apakah kita benar-benar akan saling
membunuh?" Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Sementara
pemimpin kelompok itu menjawab sendiri, "Kita adalah satu
keluarga besar. Kita bersaudara. Dan kita telah menempatkan
jalan sesat sampai saat ini. Apakah kita masih akan mengikuti
jalan sesat ini?" Para pengawal yang berada di pasukan Tanah Perdikan
Sembojan termangu-mangu. Sementara itu, mereka merasakan,
56 SH. Mintardja bahwa para pengawal yang dianggap memberontak itu tidak
dengan keras berusaha untuk menghancurkan lawannya.
"Kita dapat memilih satu jalan," berkata pemimpin pengawal
itu. "Kita tidak bertempur dengan sungguh-sungguh.
Lawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya tawaran itu dapat
mereka terima, sehingga dengan demikian maka pertempuran
yang terjadi itu pun seakan-akan hanya sekadar latihan yang
keras. Meskipun ada juga di antara mereka yang terluka, namun
ternyata pembicaraan yang serupa telah terjadi dimana-mana. Di
ujung sampai ke ujung. Sehingga dengan demikian, maka
pertempuran yang terjadi antara kedua pasukan itu tidak
menunjukkan benturan kekuatan yang sebenarnya. Apalagi
karena sejak semula, para pengawal yang berpihak kepada Ki
Wiradana itu sudah menjadi ragu-ragu.
Yang benar-benar bertempur adalah justru para pemimpin
dari kedua belah pihak dan beberapa orang pengawal yang paling
dekat dengan Ki Wiradana dan para pemimpin dari pengawal
yang pernah mendapat latihan berat sebelumnya, yang tersisa
dari mereka yang dibawa ke Pajang.
Namun mereka benar-benar membentur kekuatan para
pengawal yang disebut pemberontak, karena di antara mereka
terdapat para bekas prajurit yang sebenarnya meskipun sudah
menjadi semakin tua, namun mereka masih mempunyai hasrat
pengabdian yang sangat tinggi. Apalagi disekitar mereka terdapat
para pengawal yang masih muda dan memiliki latihan yang
cukup pula. Dalam pada itu, Ki Rangga yang sekali-kali sempat
memperhatikan seluruh arena pertempuran itu mengumpat di
dalam hati. Bahkan karena kepepatan perasaannya, tiba-tiba saja
ia berteriak, "He, pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Tunjukkan
sikap kepahlawanan kalian. Pertahankan wibawa Tanah Perdikan
dengan menghancurkan pemberontakan ini."
57 SH. Mintardja Para pengawal di paruh gelar Garuda Nglayang itu memang
terpengaruh juga dan berusaha untuk menumpahkan segenap
kemampuan mereka. Namun lawan-lawan mereka pun telah
berbuat serupa. Mereka pun telah mengerahkan segenap
kekuatan mereka untuk menghadapi kekuatan Tanah Perdikan
Sembojan yang merasa dibebani tugas menumpas
pemberontakan. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi hambar
karenanya. Rasa-rasanya tidak ada hentakan-hentakan kekuatan.
Tidak terdengar teriakan-teriakan yang menggelegar dan tidak
ada keluh dan ratap kesakitan. Jika ada satu dua orang yang
terluka maka orang itu pun segera bergeser surut dan tempatnya
segera diisi oleh orang lain dengan beban perasaan yang sama.
Kejanggalan itu ternyata terasa oleh para pemimpin Tanah
Perdikan. Mereka merasa bahwa sesuatu telah terjadi dengan
tidak sewajarnya, meskipun mereka tidak dapat menyebutnya
dengan tepat. Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu menganggap
bahwa, jika mereka telah menyelesaikan tugas mereka,
menghadapi pemimpin pasukan yang mereka sebut pemberontak
itu, mereka akan dapat berbuat banyak atas para pengawal.
Yang kemudian mereka lakukan, adalah sekadar memelihara
agar garis pertempuran itu tidak bergeser surut.
Karena itulah, maka Ki Rangga Gupita telah mengerahkan
kemampuannya untuk segera mengalahkan lawannya. Jika ia
berhasil membunuh lawannya, maka ia akan dapat melibatkan
diri bersama para pengawal. Kematian demi kematian akan
terjadi dan meskipun para pengawal tidak bertempur dengan
sepenuh kemampuan mereka oleh keragu-raguan, maka
kehadiran Ki Rangga di antara para pengawal tentu akan
memberikan pengaruh. Tetapi yang dihadapi Ki Rangga adalah Gandar. Seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi pula. Seorang yang memiliki kekuatan
58 SH. Mintardja yang jarang ada duanya dan mampu melakukan sesuatu dalam
ilmu kanuragan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Karena itu, maka pertempuran antara Ki Rangga dan Gandar
pun menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihan.
Tetapi keduanya pun juga memiliki kelemahan.
Dalam pada itu, Warsi yang menjadi garang dan bahkan
hampir menjadi liar, telah berusaha menekan Nyai Soka dengan
segenap kemampuannya. Namun Nyai Soka adalah seorang
perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga
dengan demikian Warsi itu sama sekali tidak berarti.
Dalam pada itu, Nyai Soka sebenarnyalah sedang berpikir,
apakah ia akan menangkap Warsi hidup-hidup atau
membiarkannya terlepas. Jika ia menangkap Warsi, maka kekuatan yang ada dibelakang
Warsi mungkin tidak akan segera muncul. Tetapi pada satu saat
yang tidak diperhitungkan, mereka datang untuk menghancurkan
Tanah Perdikan ini, sebagaimana dilakukan oleh keluarga
Kalamerta. Mereka tidak berani dengan terbuka menyerang
Tanah Perdikan itu pada saat Ki Gede Sembojan masih hidup.
Tetapi mereka telah mempergunakan cara yang sangat licik.
Karena itu, maka Nyai Soka memutuskan untuk membiarkan
orang-orang yang mengelilingi Ki Wiradana itu untuk tetap hidup
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan melepaskan mereka. Nyai Soka mengharap bahwa dengan
demikian maka mereka akan segera kembali dengan segenap
kekuatan yang ada pada mereka. Jika demikian maka mereka
akan dapat menyelesaikan persoalannya sampai tuntas.
Dengan pikiran itu, maka Nyai Soka tidak ingin menunjukkan
tingkat kemampuannya yang sebenarnya. Ia bertempur melawan
Warsi sekadar untuk tidak dikalahkannya.
Dalam pada itu, ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung pun
mampu menyesuaikan diri. Mereka sebenarnya dapat
mengalahkan lawan mereka dengan segera, namun mereka
bertahan sebagaimana dilakukan oleh Nyai Soka.
59 SH. Mintardja Berbeda dengan mereka adalah Gandar. Gandar yang
bertempur melawan Ki Rangga Gupita benar-benar telah
bertempur bertaruh nyawa.
Seperti yang lain, Gandar pun telah mempergunakan senjata
sebagaimana yang biasa dipergunakan dalam pertempuran. Ia
membawa sebatang tombak pendek, sementara Ki Rangga Gupita
mempergunakan sebilah pedang yang besar.
Dengan senjata tersebut, maka keduanya benar-benar
merupakan lawan yang menggetarkan.
Pedang Ki Rangga Gupita yang berputaran bagaikan gumpalan
awan itu telah melibat Gandar yang bertahan dengan tombaknya.
Namun dalam benturan ilmu, tiba-tiba saja tombak Gandar telah
berhasil memecahkan putaran pedang Ki Rangga sehingga
gumpalan awan itu bagaikan pecah dan lenyap di udara.
Sementara itu, tombak Gandarlah yang telah mematuk seperti
paruh seekor ikan cucut yang ganas di lautan.
Ki Rangga telah meloncat sambil memukul tombak Gandar
menyamping. Namun tombak itu terayun dan berputar. Sekali
lagi tombak itu telah mematuk, hampir saja mengenai keningnya.
Untunglah bahwa Ki Rangga masih sempat memiringkan
kepalanya, sehingga ujung tombak itu berdesing hampir
menyentuh telinga. Gandar ternyata tidak mau melepaskannya. Tombak itu tiba-
tiba telah bergerak mendatar menyambar leher. Namun Ki
Rangga telah berhasil memperbaiki letak kakinya, sehingga
dengan putaran setengah lingkaran, maka ujung tombak itu
berdesing tanpa menyentuhnya. Bahkan kemudian searah,
dengan sambaran tombak itu Ki Rangga meloncat selangkah
maju sambil menjulurkan pedangnya yang besar ke arah
lambung. Gandarlah yang harus meloncat mundur. Namun kemudian
bagaikan badai tombaknya berputar mendatar. Satu sambaran
yang hampir saja mengoyak pundak Ki Rangga. Untunglah ia
60 SH. Mintardja masih sempat merendahkan diri. Bahkan sekaligus menjulurkan
pedangnya ke arah perut. Pertempuran antara Gandar dan Ki Rangga itu menjadi
semakin sengit. Seakan-akan keduanya adalah lawan yang penuh
dengan dendam. Masing-masing ternyata telah mengerahkan
segenap kemampuan yang ada. Dengan tenaga cadangan yang
mungkin dikerahkan, keduanya telah saling menyerang dan
menghindar. Namun dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian,
dalam puncak kekuatan mereka berlandaskan cadangan yang
ada, maka benturan antara Ki Rangga Gupita dan Gandar
merupakan pertempuran yang sangat seru.
Tetapi dalam puncak dorongan tenaga cadangan mereka,
ternyata bahwa kemampuan Gandar terasa lebih mantap.
Demikian pula kematangan ilmunya, sehingga dengan demikian
maka mereka yang memiliki pengamatan yang sangat tajam
dalam olah kanuragan akan dapat menilai, bahwa Ki Rangga
mulai merasakan kesulitan menghadapi ujung tombak Gandar.
Dalam pada itu, pertempuran di kedua sayap pasukan itu
terasa sangat hambar. Para pengawal hanya sekadar mengacu-
acukan senjata sambil berteriak-teriak tanpa tekanan. Meskipun
demikian satu dua di antara mereka dengan tidak sengaja telah
tergores oleh ujung-ujung senjata yang silang melintang di
medan itu. Hanya di pasukan induk pertempuran benar-benar telah
terjadi. Para pengawal pengikut Ki Wiradana bertempur dengan
sepenuh kemampuan yang ada. Namun yang mereka hadapi
ternyata sebagian adalah bekas prajurit Pajang yang memiliki
pengetahuan yang luas tentang ilmu senjata. Disamping mereka
adalah para pengawal yang telah melarikan diri dari barak
mereka dan bergabung dengan kekuatan yang disebut
pemberontak itu. Sebenarnyalah bahwa di induk pasukan itu, terdengar
beberapa orang pengawal mulai mengeluh. Dalam pertempuran
61 SH. Mintardja yang seru, orang-orang tua bekas prajurit Pajang itu mampu
membuat permainan gelar yang kadang-kadang mengejutkan
lawan-lawannya. Ternyata mereka masih mampu mengungkit
kembali perbendaharaan pengalaman mereka sebagai prajurit
dan dituangkannya dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka yang terjadi di induk pasukan itu pun
telah sangat mengecewakan Warsi dan keluarganya. Juga Ki
Rangga Gupita yang berharap dapat menyelesaikan
pemberontakan itu dalam waktu yang pendek sebelum para
pengawal itu akan dibawa ke Pajang.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi itu sama sekali tidak
seperti yang diharapkan. Di kedua sayap pasukan pengawal
Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak dapat kemajuan apa-
apa. Rasa-rasanya pertempuran yang terjadi di kedua sayap itu
adalah benturan dua kekuatan yang seimbang. Namun yang
sebenarnya, karena kedua belah pihak seakan-akan bersepakat
untuk tidak bertempur dengan sungguh-sungguh.
Tetapi di induk pasukan itu, korban telah benar-benar jatuh
dari kedua belah pihak. Bukan hanya terluka. Tetapi ada di antara
mereka yang terbunuh. Kematian itu telah membakar jantung para pengawal dari
kedua belah pihak. Kematian kawan mereka telah mengetuk
jantung mereka untuk menuntut balas.
Dengan demikian maka di induk pasukan para pengawal dari
kedua belah pihak telah benar-benar berdiri dalam sisi yang
bermusuhan meskipun mereka telah saling mengenal
sebelumnya. Bahkan tinggal dibarak yang sama. Tetapi para
pengawal terpilih mendampingi para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan itu telah terlalu banyak menerima bagian dari
penghisapan yang dilakukan oleh Warsi dan keluarganya atas
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu, gejolak perasaan, yang memang telah
membekali Gandar sejak sebelumnya, telah membuatnya
semakin garang. Dengan demikian, maka lambat laun, Ki Rangga
62 SH. Mintardja pun tidak dapat ingkar lagi bahwa lawannya itu tentu sulit sekali
untuk dikalahkannya. Ketika Ki Rangga sempat berpaling ke arah Wasi, maka ia pun
melihat, bahwa Warsi tidak banyak dapat berbuat atas lawannya
yang tua itu. Bahkan setiap kali Warsi justru telah terdesak
meskipun serangan-serangan perempuan tua itu tidak berbahaya
baginya. Sementara itu, Ki Sudagar pun tidak banyak mempunyai
kesempatan. Apalagi pengendang yang pernah diaku sebagai ayah
Warsi itu. Sementara itu Ki Wiradana pun tidak akan dapat
mengalahkan lawannya, perempuan yang telah diupahnya untuk
membunuh Iswari, tetapi tidak dilakukannya.
Dengan demikian maka kekuatan di induk pasukan itu telah
mulai nampak tidak seimbang. Sementara itu kekuatan pasukan
Tanah Perdikan Sembojan dikedua sayap tidak mampu membuat
keseimbangan pula atas tekanan pasukan yang disebut
pemberontak itu di induk pasukan.
Dengan demikian maka pertempuran di induk pasukan itu
pun semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa pasukan Ki
Wiradana menjadi terdesak. Korban berjatuhan dan para
pemimpin disekitar Ki Wiradana tidak mampu menolong mereka.
Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba saja terdengar
suara nyaring, suara seorang perempuan. "Atas nama kuasa
Pajang, menyerahlah."
Suara itu bagaikan jilatan lidah api ditelinga Warsi. Dengan
lantang ia menjawab, "Kemarilah perempuan cantik. Aku ingin
memotong lidahmu yang bercabang seperti lidah ular itu."
Tetapi sekali lagi terdengar suara Iswari, "Menyerahlah. Tidak
ada pilihan lain bagi kalian. Antas nama Adipati Pajang."
Warsi menghentakkan kemampuannya. Tetapi ia berhadapan
dengan Nyai Soka, sehingga kekuatannya itu bagaikan
membentur dinding karang ditebing pegunungan. Sama sekali
tidak bergetar. 63 SH. Mintardja Betapapun kemarahan menghentak-hentak di dalam dadanya,
namun ternyata bahwa ia benar-benar tidak mampu berbuat apa-
apa, sehingga ia pun kemudian harus melihat kenyataan itu.
Yang masih berusaha untuk menundukkan lawannya adalah
Ki Rangga Gupita. Ketika ia mendapat tekanan yang semakin
berat dari Gandar, maka mulailah ia mengetrapkan ilmunya yang
mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Sebagaimana ia telah berhasil membuat Ki Tumenggung
Wirajaya menjadi cemas, maka ilmunya itu pun telah
diterapkannya untuk menghancurkan perlawanan Gandar.
Gandar lah yang kemudian terkejut. Ketika tombaknya
menyentuh pedang Ki Rangga, maka gandar tiba-tiba saja telah
meloncat surut. Aliran panas yang mengejutkan telah menyengat
telapak tangannya yang menggenggam tombak. Hanya sesaat.
Tetapi hampir saja ia melepaskan tombaknya.
Namun untunglah bahwa Gandar segera menyadari apa yang
terjadi. Bara yang menyentuh tangannya itu tentu disebabkan
oleh kekuatan ilmu lawannya. Gandar telah mengetahui bahwa
sejenis ilmu dapat mengalir lewat sentuhan senjata dan
membakar kulit lawannya. Dengan demikian, maka Gandar menjadi lebih berhati-hati.
Namun ia tidak lagi dengan kemampuannya dapat mendorong Ki
Rangga keluar dari benturan kekuatan antara Pajang dan Jipang
untuk bertempur tanpa terganggu. Bahkan sekali-kali Gandarlah
yang harus berloncatan surut.
Tetapi keadaan itu tidak diimbangi dengan keadaan
pertempuran dalam keseluruhan. Jika Ki Rangga masih mampu
bertahan dan sekali-kali mendesak lawannya, maka pertempuran
itu dalam keseluruhan sama sekali tidak menguntungkan bagi
pasukan Ki Wiradana. Apalagi, ketika Gandar telah mapan dan mencari kekuatan di
dalam dirinya untuk melawan ilmu Ki Rangga.
64 SH. Mintardja Sementara itu, Ki Randukeling yang berhadapan dengan Kiai
Soka lebih banyak saling menjajagi daripada bertempur dengan
ujud kewadagan mereka. Karena itulah, maka Ki Randukeling
pun kemudian menyadari, bahwa usaha mereka tidak akan dapat
berhasil hari ini. Sebagai seorang yang berilmu tinggi maka Ki Randukeling
mengetahui, bahwa pertempurannya melawan Kiai Soka tidak
akan segera dapat diselesaikan.
Demikian pula dengan Kiai Soka. Ia sudah mengira bahwa Ki
Randukeling adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Karena itu untuk menundukkannya diperlukan waktu dan
benturan ilmu yang keras. Mungkin ia harus mengerahkan
seganap ilmunya untuk dapat mengatasi ilmu Ki Randukeling.
Bahkan Kiai Soka itu tidak dapat menentukan bahwa dirinya
dalam puncak kekuatan, kemampuan dan ilmunya akan dapat
mengalahkan dalam arti yang sebenarnya atas Ki Randukeling.
Dengan kesadaran atas kenyataan yang terjadi, maka Ki
Randukeling melihat pertempuran itu dalam keseluruhan.
Sekilas-sekilas ia sempat melihat pertempuran yang tengah
berlangsung. Ia melihat Warsi yang bertempur melawan seorang
perempuan tua. Meskipun perempuan tua itu tidak menunjukkan
tingkat kemampuan yang sebenarnya, namun Ki Randukeling
melihat, bahwa sebenarnya tataran ilmunya jauh lebih baik dari
Warsi. Demikian pula orang-orang yang lain dari pasukannya,
ternyata sangat mengecewakan. Hanya Ki Rangga Gupita sajalah
yang mampu menunjukkan bahwa ia adalah seorang Senapati
dari Jipang. Senaati dari satu kekuatan yang besar di lingkungan
Demak yang kemudian menjadi sasaran dan sumber perselisihan.
Ki Randukeling pun telah berusaha menilai pertempuran yang
terjadi disayap sebelah menyebelah. Dengan kesal ia berkata di
dalam hatinya, "Mereka adalah bersaudara. Mereka adalah kawan
bermain sebelumnya. Kawan bergurau dan sebagian di antara
mereka telah berada di dalam satu barak untuk waktu yang cukup
65 SH. Mintardja lama. Bahkan mungkin di antara mereka terdapat anak-anak
muda yang masih mempunyai hubungan sanak kadang, sehingga
mereka tidak dapat bertempur dengan sungguh-sungguh dan
dengan penuh dendam berusaha untuk saling membunuh.
Kesadaran itulah yang kemudian membuatnya semakin yakin,
bahwa pasukan Ki Wiradana tidak akan berhasil menyelesaikan
pemberontakan itu dalam sehari.
"Ki Rangga harus menyadari akan hal ini," berkata Ki
Randukeling itu didalam hatinya. "Sehingga karena itu ia tidak
akan dapat menuntut secepatnya pasukan Tanah Perdikan ini
harus dibawa ke Pajang."
Demikianlah unutk beberapa saat pertempuran itu masih
berlangsung. Namun kemudian Ki Rangga itu pun menyadari
sebagaimana Ki Randukeling, bahwa mereka tidak akan dapat
memaksakan sesuatu pada pertempuran yang sedang
berlangsung itu. Sementara itu Gandar telah menemukan di dalam dirinya
kemampuan untuk mengimbangi ilmu Ki Rangga Gupita. Dengan
mengerahkan daya tahan tubuhnya, serta kemampuannya
mempermainkan tombaknya, maka Gandar mampu mengelakkan
semua benturan senjata yang mungkin terjadi, setidak-tidaknya
mengurangi kemungkinan itu sampai sekecil-kecilnya. Gandar
mengambil keuntungan pada senjatanya yang lebih panjang dari
senjata Ki Rangga, sehingga karena itu, maka Gandar berusaha
untuk dapat menyerang lebih banyak dan dengan kecepatan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geraknya mengatasi sentuhan pada saat-saat Ki Rangga
menangkis serangannya. Namun ketika Gandar masih juga sekali-sekali mengalami
kesulitan, sehingga hampir saja tombaknya terlepas dari
genggaman karena perasaan sakit yang menyengat ketika sekali-
kali tombaknya masih menyentuh pedang Ki Rangga, maka
Gandar pun telah berusaha mempergunakan unsur kekuatannya
yang sangat besar untuk memperkuat perlawanannya. Jika
terpaksa terjadi sentuhan, maka bukan saja senjata Gandar yang
66 SH. Mintardja akan terlepas karena tangannya bagaikan menggenggam bara,
namun tangan Ki Rangga pun menjadi pedih karena ia harus
mempertahankan senjatanya yang membentur kekuatan yang
sangat besar. Gandar tidak saja mempergunakan tombak yang
mematuk, tetapi sekali-kali diayunkannya tombaknya mendatar,
sengaja untuk dengan kekuatannya sepenuhnya menghentakkan
senjata lawannya. Dalam keadaan yang demikian itu Ki Randukeling berkata
kepada lawannya, "Ki Sanak. Tidak ada gunanya jika kita akan
bertempur kali ini dengan bersungguh-sungguh. Pertempuran
yang sungguh-sungguh di antara kita memerlukan satu suasana
yang khusus. Karena itu, maka sebaiknya kali ini kami menarik
diri." "Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan," berkata Kiai Soka.
"Kami akan dapat menangkap kalian."
"Tidak," jawab Ki Randukeling. "Kau tahu bahwa hal itu tidak
akan dapat kau lakukan atasku. Mungkin juga atas beberapa
orang lain. Tetapi jika kau memaksanya, maka aku pun dapat
berbuat banyak untuk membunuh membabi buta. Usaha kalian
untuk menangkap kami harus kalian tebus dengan berpuluh-
puluh jiwa anak-anak mudamu."
"Apakah kalian akan menjadi berputus asa?" bertanya Kiai
Soka. "Ya. Aku dapat saja menjadi putus asa dan berbuat sesuatu
yang tidak wajar. Meskipun kau mungkin dapat menguasai
keadaan, tetapi kematian dapat terjadi dalam sekejap," berkata Ki
Randukeling. Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki
Randukeling yang berusaha menggeser putaran pertempurannya
mendekati Ki Wiradana memberikan isyarat agar Ki Wiradana
memberikan aba-aba untuk menarik pasukannya.
Ki Wiradana memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun
kemudian memberikan perintah untuk menarik pasukannya dari
medan. 67 SH. Mintardja Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat
mencegah ketika pasukan lawan itu mulai bergeser surut.
Para pemimpin dari pasukan yang berpihak kepada Iswari
memang sudah mendapat perintah, agar merreka membiarkan
Warsi dan orang-orang yang mendukungnya untuk melepaskan
diri. Mereka akan menjadi alat untuk memancing kekuatan
Kalamerta seluruhnya, sehingga dengan demikian, maka
persoalannya akan dapat diselesaikan dengan tuntas.
Karena itu, ketika Jati Wulung dan Sambi Wulung berusaha
untuk dengan sungguh-sungguh menangkap lawan-lawan
mereka, Kiai Badra pun telah mendekati mereka sambil berkata,
"Biarkan mereka. Kita akan menunggu bahwa pada suatu saat,
mereka akan datang lagi."
Kedua orang bersaudara seperguruan itu tidak membantah.
Mereka pun kemudian tidak lagi berusaha untuk menangkap
kedua lawannya. Dibiarkannya kedua orang itu hanyut dalam
arus pasukan Tanah Perdikan yang mundur.
Yang sebenarnya dibiarkan saja oleh Kiai Badra adalah
Gandar. Menurut pendapat Kiai Badra, maka Gandar tidak akan
dengan mudah menguasai Ki Rangga Gupita. Meskipun dalam
beberapa hal Gandar nampak lebih mantap, namun Ki Rangga
pun memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Karena itulah, maka ketika pasukan Tanah Perdikan mundur,
serta Ki Rangga berada di dalamnya, Gandar mengalami
kesulitan untuk berbuat lebih banyak. Para pengawal Tanah
Perdikan diinduk pasukan itu benar-benar telah menarik
pasukan sebagaimana seharusnya. Mereka tidak mengelak ketika
mereka kemudian menjadi perisai dari beberapa orang pemimpin
mereka yang berlindung dibalik gerakan mundur itu.
Kiai Badra tidak memerintahkan pasukannya untuk memburu
mereka. Tetapi Kiai Badra memberikan isyarat, agar pasukannya
berada ditempat. Para Bekel pun telah meneriakkan aba-aba yang disambung
oleh para pemimpin kelompok, agar mereka tidak mengejar
68 SH. Mintardja lawan-lawan mereka. Apalagi mereka yang berada disayap
pasukan. Namun ternyata bahwa telah terjadi sesuatu di sayap pasukan
itu. Ternyata beberapa kelompok pasukan Tanah Perdikan tidak
ikut serta dalam gerakan mundur. Mereka telah menyatakan diri
menyerah dan bergabung dengan pasukan Iswari yang berhasil
menahan gerak pasukan Tanah Perdikan yang hari itu berusaha
untuk menumpas pemberontakan. Namun yang akibatnya justru
kebalikannya. Dengan demikian maka pertempuran yang dibayangkan oleh
Warsi dan orang-orang yang mengelilingi Ki Wiradana itu akan
merupakan pertempuran yang sengit dan bagaikan arus badai
yang tidak akan tertahankan oleh orang-orang yang mereka
anggap pemberontak itu, ternyata tidak terjadi. Pertempuran itu
bukannya pertempuran yang dahsyat yang menghancurkan
pertahanan para pengikut Iswari, tetapi justru telah
menunjukkan bahwa pengaruh Iswari masih cukup besar di
Tanah Perdikan Sembojan. Gerak mundur pasukan Ki Wiradana itu berlangsung dengan
cepat. Rasa-rasanya tidak ada hambatan dan kesulitan apa-apa.
Namun kebanggaan dan harga diri orang-orang yang ada di
sekitar Ki Wiradana itulah yang hancur karenanya.
"Pengkhianat," geram Warsi. "Kau lihat kakang. Berapa bagian
dari orang-orangmu yang berkhianat. Itulah sebabnya maka yang
terjadi disayap sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Jika
orang-orangmu tidak berkhianat, maka kita benar-benar akan
dapat menumpas mereka."
Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah mendengar laporan
dari para pemimpin pengawal, terutama disayap pasukan sebelah
menyebelah, bahwa ada di antara mereka yang tidak ikut menarik
diri, tetapi justru telah menyerah.
Keadaan itu telah membuat semua rencana menjadi kacau. Ki
Rangga Gupita yang sudah hampir bermimpi untuk membawa
69 SH. Mintardja sebagian dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
tersisa itu ke Pajang, ternyata menghadapi satu kenyataan lain.
Karena itu dengan kesal ia berkata, "Kebodohan yang telah
memerintah Tanah Perdikan ini membuat semua rencana
menjadi rusak." Ki Wiradana tidak juga menjawab. Ia sadar, bahwa semua
kesalahan tentu akan ditimpakan kepadanya. Jika mereka sudah
sampai di induk padukuhan, dan mereka sempat berbincang
tentang pertempuran itu, maka semua orang tentu akan
memakinya. Di padukuhan yang ditinggalkan oleh pasukan Ki Wiradana,
para bekel pun kemudian berkumpul. Mereka telah menerima
beberapa kelompok pengawal yang menyatakan kesediaan
mereka untuk ikut dalam pasukan mereka yang disebut
pemberontak itu. Para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah diterima di
antara para pemimpin pengawal yang memang telah berada di
pihak Iswari untuk menerima beberapa pesan dan petunjuk.
"Kita dapat beristirahat hari ini," berkata Kiai Badra, "Besok
kitalah yang akan menyerang. Kita akan mengusir orang-orang
yang tidak berhak atas Tanah Perdikan ini, apalagi memegang
pimpinan. Tidak akan terjadi pertempuran yang sengit, karena
mereka tidak akan bertahan sepenginang. Namun kita harus
segera mempersiapkan diri, karena yang akan terjadi kemudian
adalah beban-beban yang berat yang harus kita pikul. Mereka
yang terusir itu akan kembali membawa kekuatan yang besar,
karena mereka adalah keluarga besar Kalamerta. Bahkan
mungkin Jipang pun akan ikut campur. Namun agaknya mereka
masih harus menunggu. Betapapun Ki Rangga Gupita merasa
terhina, tetapi ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya
terhadap pasukan Jipang di Pajang."
Dengan demikian maka para pemimpin pasukan serta para
pengawal sempat mempergunakan waktunya untuk beristirahat.
Sementara itu beberapa di antara mereka telah mengumpulkan
70 SH. Mintardja kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan pertempuran yang
benar-benar terjadi di induk pasukan memang telah menuntut
korban. Bagaimanapun juga, ada di antara mereka yang gugur
dipeperangan itu. Sementara itu, maka Kiai Badra telah memanggil para
pemimpin dari ketiga padukuhan yang telah menyatakan
kesediaan mereka dan telah mereka buktikan, bahwa mereka
memang menghendaki perubahan di Tanah Perdikan itu.
Namun yang wajahnya nampak buram adalah justru Iswari. Ia
merasa tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia
tidak lebih dari seorang yang hanya membawa tunggul dan tanpa
berbuat apa-apa membiarkan semua terjadi di sekelilingnya.
"Iswari," berkata Kiai Badra. "Kau harus mengerti maksudku
dan orang-orang tua yang lain. Yang terjadi ini baru permulaan
dari satu perjalanan yang panjang untuk kepentingan Tanah
Perdikan Sembojan dan sekaligus anakmu. Kau jangan tergesa-
gesa ingin menyelesaikan sesuatu yang nampaknya dapat terjadi
dengan cepat dan mudah."
Iswari tidak menjawab. Sementara Kiai Badra berkata
selanjutnya, "Aku, kakek dan nenekmu serta para pemimpin
padukuhan ini bersepakat, untuk memancing kekuatan lawan
seluruhnya. Sudah beberapa kali aku katakan, lebih baik
persoalan ini kita selesaikan dengan tuntas, daripada suatu saat
kau akan mengalami kesulitan. Jika kita tidak berhasil
menghancurkan gerombolan Kalamerta sampai ke akarnya, maka
akan terjadi sebagaimana terjadi Ki Gede Sembojan."
Iswari masih tetap berdiam diri. Kepalanya tertunduk dalam-
dalam. Namun hatinya mulai terbuka atas persoalan yang
dihadapinya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Badra pun telah
berbincang dengan para pemimpin dari mereka yang dianggap
memberontak itu. Mereka sepakat, bahwa mereka tidak akan
hanya sekadar bergerak di ketiga padukuhan itu. Tetapi sejak
esok pagi mereka akan memasuki padukuhan-padukuhan lain
71 SH. Mintardja dan berbicara dengan para pemimpinnya, sehingga akhirnya
seluruh Tanah Perdikan itu dapat dikuasainya.
"Kita harus mengusir orang-orang yang berada disekitar Ki
Wiradana itu keluar dan menunggu mereka datang kembali
dengan mambawa kekuatan mereka yang sebenarnya. Kita akan
menghancurkan mereka untuk tidak akan mengganggu lagi untuk
selama-lamanya," berkata Kiai Badra.
Karena itulah, maka para pemimpin pengawal pun telah
mendapat perintah untuk mempersiapkan diri, karena esok pagi
mereka akan bergerak ke padukuhan-padukuhan disekitar
mereka. *** Ketika para pemimpin dari ketiga padukuhan yang dianggap
memberontak itu mulai beristirahat, sementara para pemimpin
pengawal sudah berada di antara pasukan masing-masing, maka
pada saat itu di padukuhan induk Ki Wiradana benar-benar
mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan hati dari orang-
orang yang selalu membayanginya.
Dengan suara lantang Ki Rangga Gupita berkata, "Aku tidak
tahu, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Wiradana atas Tanah
Perdikan ini. Selama ini kami para prajurit dari Jipang sudah
membantunya dengan sekuat tenaga. Namun hasilnya tidak lebih
dari satu pemberontakan."
Ki Wiradana sama sekali tidak menjawab. Ia berhadapan
dengan beberapa orang yang sedang marah, yang semuanya
memiliki kelebihan daripadanya.
Bahkan istrinya hampir saja kehilangan kesabarannya ketika
dengan menjerit ia telah mencengkam baju Ki Wiradana, "Kau
laki-laki tidak berarti sama sekali. Kau hanya pantas menjadi
bapak dan sama sekali bukan Kepala Tanah Perdikan."
Namun Ki Randukeling telah berusaha menenangkan sambil
berkata, "Warsi, bagaimanapun juga laki-laki itu adalah
suamimu. Kita memang melihat banyak kekurangan terdapat
72 SH. Mintardja padanya. Bodoh, dungu, pengecut dan banyak lagi kekurangan-
kekurangannya. Tetapi adalah kewajiban kita untuk mencari
jalan keluar dari kesulitan yang kemudian telah ada dihadapan
kita sekarang ini." "Jerih payah kami tidak berarti sama sekali," geram Ki Rangga
Gupita. "Ternyata pada saat yang sangat diperlukan, Tanah
Perdikan ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu
Jipang." "Marilah sekarang kita bicarakan, apa yang paling baik kita
lakukan," berkata Ki Randukeling.
"Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan," sahut Ki Rangga
Gupita. "Bagaimana jika kita mengambil langkah yang sebaliknya dari
rencana Ki Rangga," jawab Ki Randukeling kemudian, "Untuk
dapat membawa anak-anak Tanah Perdikan ini ke Pajang, biarlah
pasukan Jipang yang ada di Pajang atau katakanlah anak-anak
Tanah Perdikan ini yang ada Pajang, kita tarik untuk
menghancurkan pemberontakan itu. Baru kemudian Ki Rangga
kembali ke Pajang sambil membawa para pengawal Tanah
Perdikan ini." "Sulit untuk dilakukan," jawab Ki Rangga, "Panglima pasukan
Jipang di Pajang belum tentu sependapat. Apalagi setiap saat
prajurit Pajang akan dapat menyerang kedudukan Jipang
meskipun sudah ditarik mundur dan membangun pertahanan
baru."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kira itu jalan yang paling dekat," berkata Ki Randukeling.
"Apa ada jalan lain?" bertanya Ki Rangga.
"Jalan yang agak jauh adalah pengerahan kekuatan yang ada
disekeliling kita," jawab Ki Randukeling.
"Disekeliling kita yang mana?" bertanya Ki Rangga.
73 SH. Mintardja "Di antara para pertapa yang sejalan dengan sikapku serta
mengumpulkan kembali keluarga Kalamerta yang telah
terpencar," jawab Ki Randukeling.
"Untuk itu diperlukan waktu yang sangat panjang, sementara
Jipang idak memerlukan lagi pasukan apapun juga karena Pajang
tentu sudah hancur," sahur Ki Rangga.
"Sudah aku katakan. Jalan itu agak panjang. Tetapi mungkin
dapat ditempuh bagi kepentingan Tanah Perdikan ini.
Pemberontakan itu harus dihancurkan. Sementara kita tidak
dapat lagi mempercayakan kekuatan pada pendukung Ki
Wiradana di Tanah Perdikan ini," berkata Ki Randukeling.
"Aku memerlukan sekarang," berkata Ki Rangga, "Aku tidak
dapat menunggu sampai besok."
"Lalu apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Ki Randukeling.
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Semuanya telah rusak. Tanggung jawab dari kesulitan
yang kita hadapi ada pada pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan ini." Ki Randukeling berpaling ke arah Ki Wiradana yang
menundukkan kepalanya. Namun ia tidak berkata apapun juga.
Warsi lah yang tiba-tiba saja berkata, "Kita dapat menempuh
kedua-duanya. Biarlah pasukan yang masih ada itu dibawa oleh
Ki Rangga ke Pajang, sementara itu kita akan mengumpulkan
kekuatan. Kita akan memanggil orang-orang yang akan dapat
memperkuat kekuatan kita disini. Biarlah kita bersama-sama
menyelesaikan tugas kita dengan baik. Disini dan di Pajang."
Ki Randukeling menggelengkan kepalanya, katanya, "Sulit
untuk dilakukan. Kita memerlukan pasukan betapapun kecilnya
untuk setidak-tidaknya mengganggu kesombongan perempuan
yang membawa tunggul itu. Aku yakin bahwa mereka tidak akan
berhenti pada kedudukan mereka sekarang. Mereka mungkin
akan bergerak di padukuhan sebelah menyebelah."
74 SH. Mintardja "Jika mereka bergerak, apa yang dapat kita lakukan?" bertanya
Ki Rangga Gupita. "Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan sama
sekali tidak mempunyai wibawa lagi. Beberapa kelompok
pasukan yang tidak berjuang dengan sungguh-sungguh di arena
itu justru telah menyerah dan sudah tentu akan merupakan
kekuatan baru bagi para pemberontak."
"Dan kekuatan yang sedikit itu akan kau bawa?" bertanya Ki
Randukeling. "Disini mereka pun tidak mempunyai arti apa-apa," Warsi
menyahut. "Lebih baik mereka diserahkan saja kepada Ki Rangga
agar mereka justru mempunyai arti bagi Tanah Perdikan ini
dalam hubungannya dengan Jipang. Sementara kita
mengumpulkan kekuatan sekaligus menunggu tugas prajurit
Jipang selesai di Pajang. Dengan demikian, maka kita akan dapat
berbuat apa saja disini."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 18. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
75 SH. Mintardja Jilid Ke delapan belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 76 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KI RANDUKELING mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Menurut perhitunganku, perselisihan antara
Pajang dan Jipang itu tidak akan cepat selesai. Kemenangan
pasukan Jipang atas Pajang disatu medan, belum merupakan
ukuran kemenangan di segala putaran pertempuran. Pajang disisi
Barat, disebelah menyebelah Bengawan Sore, bahkan di batas
kota Jipang sendiri, karena Pajang pun mengambil langkah yang
sama dengan Jipang dalam perselisihan ini."
"Tetapi tentu kita tidak akan dapat membiarkan kekalahan
demi kekalahan terjadi di medan perang yang mana pun juga
kakek," jawab Warsi.
"Yang perlu kita lakukan adalah justru membangunkan
landasan perjuangan yang akan mampu menopang perjuangan
ini untuk waktu yang panjang. Perang antara Jipang dan Pajang
nampaknya bukan sekadar perang di benturan pasukan. Tetapi
seandainya salah satu pihak dapat dihancurkan di arena, namun
perlawanannya masih akan berlangsung untuk waktu yang lama,"
jawab Ki Randukeling. Lalu katanya pula, "Karena itu, maka kita
perlu membangun landasan yang kokoh disini."
"Tetapi apakah kita mampu bertahan terhadap
pemberontakan itu?" bertanya Ki Rangga.
"Kita masih akan mencoba meskipun agaknya terasa sulit.
Tetapi kita tidak menyakiti hati para pengawal yang masih ada
dan ternyata setia kepada Ki Wiradana. Jika perlu mereka akan
kita bawa keluar, tetapi tidak ke Pajang. Dari kedudukan kita
yang akan kita tentukan kemudian, kita akan mengadakan
pembalasan, sementara kekuatan baru akan datang di Tanah
Perdikan ini. Tetapi sudah barang tentu bahwa kekuatan baru
tanpa dukungan sama sekali dari Tanah Perdikan ini sendiri,
agaknya tidak akan memberikan arti apapun juga," jawab Ki
Randukeling. "Kakek," berkata Warsi, "Kita hanya akan kehilangan banyak
waktu. Perjuangan Jipang di Pajang sudah sampai pada satu
2 SH. Mintardja tataran yang menentukan. Sementara kita disini masih harus
menemukan cara untuk mengatasi kesulitan. Sementara kita
berpikir, biarlah kita memberikan kekuatan baru kepada Jipang,
sehingga akan memberikan keuntungan pula bagi para pengawal,
karena mereka akan mendapatkan pengalaman yang berharga."
Tetapi agakya Ki Randukeling masih tetap pada pendiriannya.
Karena itu, maka katanya, "Aku adalah salah seorang pendukung
tegaknya Jipang. Aku mempunyai hubungan yang khusus dengan
Patih Mantahun dan Arya Jipang sendiri. Tetapi aku mempunyai
perhitungan lain. Landasan perjuangan seperti Tanah Perdikan
ini justru harus kita pertahankan mati-matian, karena aku tidak
menganggap bahwa perang Jipang dan Pajang akan selesai besok.
WAJAH Ki Rangga menjadi semakin tegang. Ternyata Ki
Randukeling tetap bertahan pada pendiriannya, meskipun
agaknya Warsi tidak berkeberatan.
Namun dalam pembicaraan itu justru tidak didengar pendapat
Ki Wiradana. Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan, karena ki Wiradana dianggap tidak mempunyai arti
apa-apa lagi. Dalam pada itu, maka Warsi pun telah berkata, "Kakek.
Marilah kita melihat keadaan dengan wajar. Kakek agaknya
kurang melihat keadaan yang sebenarnya kita hadapi. Dalam
keadaan seperti ini Sembojan tidak akan mungkin kita
pergunakan sebagai landasan. Tetapi Sembojan justru akan
menelan kita dan menghancurlumatkan. Karena itu, maka selagi
masih ada kesempatan, biarlah kekuatan yang ada itu kita bawa
ke Pajang. Tetapi dengan pengertian, bahwa setelah Pajang
runtuh, pasukan Jipang akan mengembalikan kewibawaan
kakang Wiradana disini. Jika perlu dengan kekerasan."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ada
perbedaan sikap antara mereka. Namun kemudian, hampir diluar
kehendaknya sendiri Ki Randukeling bertanya kepada Ki
Wiradana, "Apa katamu Wiradana" Bukankah kau masih
pemangku jabatan Tanah Perdikan ini?"
3 SH. Mintardja Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tidak
mampu lagi berpikir dan ia memang tidak berpikir apapun juga,
karena ia sadar, bahwa pikirannya tidak akan berarti apa-apa.
Ketika ia mendengar pertanyaan itu, ia justru menjadi
semakin bingung, sehingga untuk beberapa saat ia tidak dapat
menjawab. "Nah, kakek. Lihat. Itu adalah pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan ini. Apa yang dapat diharapkan dari padanya" Ia
tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Dan bahkan ia tidak lagi
tahu, apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini," berkata
Warsi. Tetapi Rangga Gupita sengaja membuat suasana menjadi semakin panas. Katanya, "Yang diingatnya
hanyalah penari yang disebut
sebagai bekas istrinya itu saja."
"O, benar begitu?" wajah
Warsi menjadi tegang. Wajah Ki Wiradana menjadi
pucat. Tetapi ia berusaha
menjawab, "Aku sedang
mencoba untuk melihat keadaan Tanah Perdikan ini
dalam keseluruhan." "Bagus," geram Warsi. "Jadi
kau masih juga berpikir tentang
Tanah Perdikanmu" Tetapi akhirnya apa yang kau lihat" Apa"
Apakah kau dapat mengatakan sesuatu tentang Tanah Perdikan
ini dalam keseluruhan itu?"
Ki Wiradana menjadi bertambah bingung, sehingga ia pun
kemudian harus mengatupkan kembali mulutnya rapat-rapat.
4 SH. Mintardja "Nah," berkata Warsi dengan nada tinggi, "Bukankah kau lihat
bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan
sudah tidak tahu apa-apa lagi sekarang ini" Karena itu, kitalah
yang harus mengambil keputusan. Kita tidak perlu
mendengarkan pendapatnya yang tidak akan ada artinya."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
masih juga bergumam, "Warsi, bagaimana pun juga ia adalah
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini dan sekaligus
suamimu. Setiap kali aku memperingatkanmu agar kau bersikap
lebih lunak sedikit terhadapnya."
"Sudah aku katakan pula berulang kali kakek, bahwa aku
sudah mencoba menghormatinya. Bahkan berlebih-lebihan. Aku
sama sekali menyembunyikan kemampuanku agar aku tidak
menyinggung harga dirinya. Tetapi aku tidak dapat bertahan
terlalu lama, karena ternyata kakang Wiradana sama sekali tidak
mempunyai kemampuan sedikit pun untuk melakukan tugasnya
sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan," jawab Warsi.
Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Namun agaknya
Warsi masih ingin menekankan pendapatnya, "Kakek. Karena itu,
aku kira kita harus mengambil langkah yang paling berarti bagi
kita. Menurut pendapatku, kita tidak akan dapat bertahan lebih
lama lagi di Tanah Perdikan ini dalam keadaan seperti ini. Karena
itu, maka biarlah kita bawa pengawal yang tersisa itu untuk
meninggalkan Tanah Perdikan ini dan bergabung dengan
pasukan Jipang di Pajang. Kita memang untuk sementara
melepaskan Tanah Perdikan ini. Tetapi kita akan kembali dengan
kekuatan yang memadai."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kepada Ki Saudagar, maka Ki Saudagar itu pun berkata,
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa disini. Aku yakin bahwa
semakin lama jumlah pengawal itu pun akan menjadi semakin
susut." 5 SH. Mintardja Untuk beberapa saat Ki Randukeling berdiam diri. Namun
kemudian ia pun bergumam, "Jadi Tanah Perdikan ini tidak akan
ada artinya sama sekali bagi kita?"
"Tentu ada kakek. Sepasukan pengawal telah berada di Pajang.
Sementara itu, kita akan membawa lagi sepasukan yang masih
tersisa sekarang. Bukankah itu berarti bahwa kekuatan Tanah
Perdikan ini sudah ikut serta dalam perang antara Jipang dan
Pajang" Ki Rangga menjadi saksi, sehingga pada saatnya Pajang
hancur nanti, Tanah Perdikan ini akan mempunyai kedudukan
yang khusus di antara wilayah Jipang yang lain. Bukan saja
kedudukannya sebagai Tanah Perdikan tetapi juga batas daerah
Tanah Perdikan ini akan mencakup lembah yang subur disebelah
pegunungan yang sekarang masih dalam kedudukan sebagai
sebuah Kademangan kecil yang tidak mempunyai pengaruh
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apapun juga dalam hubungannya dengan pemerintahan Pajang
dan sudah tentu kelak dengan Jipang. Tetapi jika lembah yang
subur itu termasuk dalam lingkungan Tanah Perdikan ini, maka
tanah yang subur itu akan berarti bagi pertanian dan
peternakan." Sekali lagi Ki Randukeling memandang Ki Wiradana. Tetapi ia
tidak menemukan apapun di mata pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan itu. Apapun yang tergejolak di dalam
perasaannya, maka Ki Wiradana itu tidak akan berani
mengatakannya. Bahkan menunjukkan kesan diwajahnya pun ia
tidak berani. Ki Randukeling ternyata berusaha untuk mengerti pendapat
orang-orang disekitarnya itu. Apalagi Warsi pun kemudian
berkata, "Kakek. Seandainya kita tidak meninggalkan Tanah
Perdikan ini, kita pun akan didesak dengan kekerasan."
"Kau tidak yakin tentang kemampuanku?" bertanya Ki
Randukeling. "Aku yakin kakek. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak untuk
dihadapi," jawab Warsi.
6 SH. Mintardja Ki Randukeling kemudian ternyata mengalah. Katanya,
"Baiklah. Aku tidak akan berkeras mempertahankan sikapku.
Jika kalian menganggap bahwa persoalan Tanah Perdikan ini
dapat ditinggalkan untuk sementara, serta mengerahkan
pemusatan untuk melawan Pajang, maka aku akan tunduk
kepada keputusan kalian. Tetapi ingat, medan yang dihadapi oleh
Jipang tidak hanya Pajang disisi sebelah Timur. Perang antara
Jipang dan Pajang tidak tergantung kepada medan yang kecil itu.
Bahkan seandainya Jipang mampu memasuki Pajang dan
mendudukinya, belum tentu bahwa Jipang sudah memenangkan
pertempuran. Meskipun pasukan Pajang disebelah Bengawan
Sore justru akan memecahkan pertahanan Jipang dan memasuki
Jipang pula bersama pasukan dari Demak yang dapat
dipengaruhi oleh Hadiwijaya."
Ki Ranggalah yang menjawab, "Jangan mencemaskan pasukan
Jipang di tepi Bengawan Sore. Pasukan itu dipimpin sendiri oleh
Kanjeng Adipati Arya Penangsang. Tidak ada kekuatan yang
dapat mencegah kekuatan Adipati Pajang. Sipat kandelnya,
kudanya yang disebut Gagak Rimang dan pusakanya Setan Kober
akan mampu menghancurkan seluruh kekuatan Pajang disebelah
Bengawan Sore. "Mungkin perhitunganmu benar," berkata Ki Randukeling.
"Tetapi di dalam perang kita juga harus memperhitungkan
kekuatan lawan. Arya Penangsang dan Patih Mantahun memang
memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas. Tetapi
kita harus ingat, bahwa Pajang memiliki Tombak Kiai Pleret dan
Senapati besar seperti Ki Pemanahan dan Ki Penjawi."
Ki Rangga masih saja tertawa. Katanya, "Ki Randukeling
memiliki ketajaman pandangan dan sikap yang hati-hati yang
diperlukan oleh para Senapati di medan perang. Tetapi satu hal
yang kurang dipahami, bahwa Ki Randukeling tidak mengetahui
keseluruhan kekuatan Jipang. Jumlah prajuritnya dan para
pengawal yang mampu digerakkan, justru karena Ki Randukeling
lebih banyak berada di pertapaan. Namun demikian, aku akan
berbicara dengan para Senapati Jipang, agar mereka menaruh
7 SH. Mintardja perhatian terhadap banyak persoalan yang mungkin dihadapi
oleh para prajurit Jipang dalam perang melawan Pajang."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Ia benar-benar tidak
dapat bertahan atas sikapnya. Karena itu, maka ia lebih condong
menyerahkan persoalannya kepada Warsi.
Dengan demikian maka Warsi pun telah menentukan sikap
Tanah Perdikan Sembojan yang dipaksanya kepada pemangku
Jabatan Kepala Tanah Perdikannya. Malam itu juga, pasukan
Sembojan yang tersisa akan meninggalkan Tanah Perdikannya
untuk membantu pasukan Jipang yang berada di Pajang.
"Siapkan mereka," berkata Warsi. "Bawa mereka seluruhnya
kemari. Jangan beri kesempatan mereka mengetahui apa yang
harus mereka lakukan malam nanti untuk menghindarkan
pengkhianatan." Ki Wiradana tidak dapat menjawab apapun juga. Ia pun
kemudian pergi ke barak dan berbicara dengan para pemimpin
pengawal yang setia kepadanya.
"Jangan sampai bocor," berkata Ki Wiradana. "Para pengawal
harus sudah berada di halaman rumahku sebelum para
pemberontak membuat gerakan-gerakan yang semakin
merugikan kita." Para pemimpin pengawal yang setia itu pun telah melakukan
perintah Ki Wiradana. Mereka telah menggerakkan semua
pengawal yang masih tersisa untuk dibawa ke rumah Ki
Wiradana. Mereka berkumpul dihalaman rumah yang luas itu.
Namun sebagian dari mereka telah berada di pinggir jalan di
depan rumah itu bahkan di halaman rumah sebelah menyebelah.
Para pemimpin yang berada di pendapa telah mendapatkan
beberapa penjelasan tentang kedudukan mereka yang memang
sulit. Dengan hati-hati, agar tidak dianggap membuat kesalahan
Ki Wiradana berkata, "Tanah Perdikan ini sudah memberikan
terlalu banyak kepada kalian. Karena itu, maka kalian harus
menyadari. Apa yang kalian dapatkan itu, harus kalian syukuri
dengan langkah-langkah yang nyata. Pengorbanan bagi Tanah
8 SH. Mintardja Perdikan ini. Dengan demikian, maka tegaknya Tanah Perdikan
ini tergantung kepada kalian. Kepada kita semua."
Para pemimpin pengawal yang setia itu mengangguk-angguk.
Namun Ki Wiradana masih belum mengatakan, bahwa pasukan
itu akan dibawa ke Pajang malam nanti. Jika satu dua di antara
pemimpin pengawal yang sudah mendapat penjelasan khusus
dari Ki Wiradana di barak mereka, maka mereka adalah para
pemimpin yang paling dipercaya, justru untuk mengawasi agar
tidak ada gerakan-gerakan yang dapat merugikan.
Kepada para pengawal, para pemimpin itu memberikan
keterangan tentang para pemberontak. Karena itu, maka mereka
harus bersiap untuk bertempur dalam kesiagaan tertinggi.
Sementara itu, para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan
telah membuat rencana-rencana terperinci, bagaimana mereka
akan meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka harus
menempuh jalan melingkar, sehingga perjalanan itu tidak akan
diganggu oleh para pemberontak.
Namun ternyata bahwa apa yang dirahasiakan oleh para
pemimpin Tanah Perdikan itu telah bocor pula. Satu di antara
para pemimpin yang masih mendapat kepercayaan dari Ki
Wiradana telah menembus kerahasiaan itu. Dengan sangat hati-
hati ia telah memerintahkan seorang di antara para pengawal
untuk berusaha melarikan diri dan menghubungi para pengawal
yang disebut pemberontak itu.
Sebenarnyalah, ketika para pengawal yang dikumpulkan di
rumah Ki Wiradana dan sekitarnya itu beristirahat, maka
pengawal yang seorang itu telah mencari jalan keluar. Ia sadar
bahwa beberapa orang kepercayaan Ki Wiradana sedang
mengawasi mereka dan mengadakan penjagaan yang ketat,
sehingga sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri. Namun
pengawal yang mendapat tugas untuk menghubungi kawan-
kawannya yang disebut pemberontak itu mengenal lingkungan
itu dengan baik, ebagaimana kawan-kawannya yang lain. Karena
9 SH. Mintardja itu, betapapun ketatnya penjagaan, maka ia akan tetap berusaha
untuk dapat lepas dari pengamatan mereka.
Waktu yang ada memang tidak terlalu banyak. Pengawal itu
mendapat penjelasan dari seorang kepercayaan Ki Wiradana yang
memerintahkannya menyampaikan berita itu kepada kawan-
kawan mereka yang disebut pemberontak, bahwa lewat tengah
malam mereka akan disiapkan, sehingga menjelang fajar pasukan
itu sudah akan berangkat ke Pajang.
Karena itu, maka ketika suasana menjadi sepi dan terdengar
dengkur yang sahut menyahut dari para pengawal yang tertidur
betebaran di pendapa, di halaman, digardu-gadu dan bahkan di
regol-regol halaman tetangga, maka pengawal itu pun mulai
bersiap-siap untuk menyelinap.
Dengan hati-hati ia harus memperhatikan para petugas yang
berjalan hilir mudik. Namun kesempatan itu pun terbuka ketika
seorang pengawas justru baru saja lewat membelakanginya.
Dengan sigap ia telah meloncat dinding rumah tetangga dan
hilang dikegelapan. Meskipun demikian, pengawal itu masih harus
memperhatikan jalan-jalan di lingkungan padukuhan induk itu.
Ia sadar, bahwa setiap sudut dan simpang jalan mendapat
pengawasan dengan seksama. Karena itu, maka ia harus sangat
berhati-hati. Namun akhirnya, pengawal yang seorang itu dapat juga keluar
dari dinding padukuhan induk. Demikian ia berada diluar, maka
ia pun telah menarik nafas dalam-dalam.
Dengan hati-hati ia menyuruk di antara tanaman jagung yang
muda untuk menghindari penglihatan para petugas yang berjaga-
jaga di beberapa tempat disekitar padukuhan induk itu.
Ketika beberapa kotak sawah telah dilampaui, maka pengawal
itu merasa bahwa dirinya telah terlepas dari setiap pengamatan,
sehingga karena itu, maka ia pun telah muncul disebuah jalan
kecil yang jarang sekali dilalui orang.
10 SH. Mintardja Namun tiba-tiba saja jantungnya berdegup semakin cepat.
Hampir berbareng pada saat ia meloncati parit, telah muncul
pula seorang yang lain di simpang tiga jalan kecil itu.
Dengan sigapnya keduanya telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Dalam keremangan malam akhirnya keduanya saling
mengenali yang satu atas yang lainnya. Keduanya adalah
pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Pengawal yang berusaha untuk menghubungi kawan-
kawannya yang disebut pemberontak itu menjadi tegang. Namun
ia sudah bertekad untuk melakukannya. Karena itu,
maka apapun yang dihadapinya,
ia tidak boleh ingkar. Bahkan
seandainya maut akan datang
menjemputnya. "Kau akan kemana?" tiba-
tiba saja terdengar suara parau
dari pengawal yang muncul
dengan tiba-tiba disimpang tiga
itu. "Aku akan kesungai," jawab
pengawal yang menyuruk di
antara batang-batang jagung
muda itu. "Untuk apa?" bertanya
pengawal itu. "Perutku sakit," jawab pengawal yang ingin melarikan diri itu.
"Langkahmu mencurigakan," berkata pengawal yang muncul
disimpang tiga, "Kenapa kau merunduk dibawah batang jagung"
Jika kau benar pergi ke sungai dan mendapat ijin, maka kau tidak
akan berbuat seperti itu."
11 SH. Mintardja Pengawal yang menyuruk dibawah batang jagung itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tanpa menjawab
lagi dicabutnya pedangnya sambil berkata dengan nada berat,
"Kita adalah dua orang dari lingkungan yang sama. Kita
berkawan sejak kanak-kanak. Tetapi dalam menegakkan
keyakinan apaboleh buat. Jangan ganggu aku, atau kita akan
saling membunuh. Kau atau aku yang akan mati di pategalan ini."
Wajah pengawal yang muncul disimpang tiga itu menegang.
Namun kemudian suaranya justru merendah, "Jangan
kehilangan akal. Kita tidak usah bermusuhan. Katakan,
sebenarnya kau akan kemana?"
"Aku akan melepaskan diri dari lingkungan orang-orang gila
disekitar Ki Wiradana. Karena itu pergilah. Beri kesempatan aku
lari melintasi bulak ini, sehingga aku tidak akan dapat dikejar
lagi. Sebenarnyalah aku masih segan untuk saling membunuh
dengan kawan-kawan bermain semasa kanak-kanak."
Pengawal yang muncul disimpang tiga itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya, "Kita tidak akan saling membunuh.
Aku juga sedang melarikan diri dari lingkungan yang semakin
lama menjadi semakin gila itu. Aku mendengar diluar niatku
untuk mendengarkan, dua orang kepercayaan Wiradana
berbicara tentang keberangkatan para pengawal ke Pajang."
"Apakah kau bersungguh-sungguh?" bertanya pengawal yang
menyuruk di kebun jagung itu.
"Aku bersungguh-sungguh. Aku tidak mau diumpankan di
Pajang. Jika aku harus mati, biarlah aku mati di Tanah Perdikan
kelahiran ini, dan bagi tanah kelahiran ini pula," berkata
pengawal yang muncul disimpang tiga itu.
Pengawal yang menyuruk di tanaman jagung itu kemudian
berkata, "Jika benar katamu, maka marilah. Waktu kita tinggal
sedikit." "Kenapa" Bukankah kita sudah bebas" Kita tidak perlu
tergesa-gesa. Biar saja Ki Wiradana pergi ke Pajang" jawab
pengawal yang berada disimpang tiga.
12 SH. Mintardja "Kita sampaikan persoalan ini kepada Ki Bekel yang dianggap
memberontak itu," jawab yang lain. "Mungkin ada sesuatu yang
dapat mereka lakukan."
Kedua pengawal itu pun akhirnya sepakat untuk berlari-lari
kecil menuju ke tempat kawan-kawan mereka yang dianggap
memberontak. Kedatangan kedua orang itu memang mengejutkan para
penjaga. Dengan tombak merunduk, orang-orang yang berlari-
lari kecil itu telah dihentikan.
"Aku membawa kabar penting," berkata salah seorang dari
kedua pengawal itu. "Beri kesempatan aku bertemu dengan salah
seorang di antara ketiga orang bekel itu atau jika mungkin aku
ingin bertemu dengan penari itu."
"Nyi Iswari maksudmu?" bertanya penjaga yang
menghentikan kedua pengawal itu.
"Ya. Aku ingin menyampaikan berita yang barangkali penting,"
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab pengawal itu. Para penjaga itu pun tidak merasa keberatan. Apalagi mereka
hanya berdua. Karena itu, maka keduanya pun telah dibawa ke
tempat Iswari dan kakeknya yang tinggal di rumah Ki Bekel.
"Tinggalkan senjatamu," minta pengawal yang membawa
keduanya masuk ke ruang dalam.
Iswari memang sudah tidur. Namun ia sama sekali tidak
berkeberatan dibangunkan jika keadaan memang
memerlukannya. "Ada apa?" bertanya Iswari dan beberapa orang tua yang
terbangun pula. Para pengawal itu tidak mau kehilangan waktu. Mereka pun
segera menceriterakan apa yang mereka ketahui tentang rencana
Ki Wiradana untuk membawa pasukan pengawal yang tersisa ke
Pajang. 13 SH. Mintardja "Bukankah pasukan itu tinggal beberapa kelompok kecil saja?"
bertanya Iswari. "Ya. Dan beberapa kelompok itu akan menjadi umpan pula di
medan perang yang garang di Pajang," desis Kiai Badra.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Atas nama anak laki-
lakinya serta kuasa Pajang atas dirinya, maka ia merasa
berkeberatan apabila para pengawal itu benar-benar akan dibawa
ke Pajang justru untuk memperkuat pasukan Jipang. Karena itu,
maka katanya, "Kita akan mencegahnya. Kita akan
menghancurkan orang-orang yang telah engendalikan pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang lemah itu."
"Maksudmu?" bertanya Kiai Badra.
"Kita tidak akan memberi kesempatan lagi kepada mereka,"
berkata Iswari dengan perasaan yang bergejolak.
"Kita tidak memang akan mencegahnya Iswari," berkata Kiai
Badra. "Tetapi sudah aku katakan, biarkan saja orang-orang dari
bayangan kekuatan Kalamerta itu bermain untuk beberapa saat
lagi. Aku mengharap mereka akan datang pada kesempatan lain.
Agaknya dengan seluruh kekuatan yang ada pada mereka,
sehingga ita tidak akan mencemaskan lagi dimasa-masa
mendatang." "Kakek," jawab Iswari. "Kita tidak boleh merendahkan
kemampuan mereka. Jika kita memancing seluruh kekuatan
Kalamerta, apakah kita akan dapat melawannya. Tetapi jika apa
yang ada ini kita binasakan, maka kekuatan Kalamerta itu sudah
jauh berkurang." "Dan yang tersisa itu akan menjadi duri di dalam kehidupan
Tanah Perdikan ini. Pada saat-saat yang lengah mereka akan
memasuki Tanah Perdikan ini sebagaimana Nyi Wiradana dan
orang-orang yang ada disekitarnya sekarang ini. Mungkin dengan
cara lain tetapi mungkin mereka mempergunakan kekerasan
justru pada saat-saat Tanah Perdikan ini sepi," sahut Kiai Badra.
Lalu, "Karena itu, maka biarlah kita berusaha mencegah
kelompok-kelompok yang akan dibawa ke Pajang itu, namun
14 SH. Mintardja sekali lagi aku minta, jangan kita tumpas orang-orang yang
mungkin akan dapat memancing kekuatan yang masih
tersembunyi, karena aku yakin bahwa kekuatan Kalamerta yang
terkenal itu tersebar sepeninggalan Kalamerta itu sendiri. Bahkan
mungkin masih ada kekuatan yang sejajar dengan Kalamerta itu
sendiri yang akan dapat kita ungkit ke luar dari sarangnya."
Iswari tidak membantah. Namun ia memang harus berbuat
cepat. Karena itu, maka ia pun minta para bekel yang
dipanggilnya untuk menyiapkan para pengawal.
Para Bekel itu pun kemudian memanggil para pemimpin
pengawal dan memerintahkan mereka untuk bersiap dalam
waktu yang singkat. Namun dalam pada itu, di padukuhan induk telah terjadi
sesuatu yang mengguncangkan. Ternyata bahwa kepergian dua
orang pengawal itu diketahui oleh kelompok masing-masing.
Pemimpin kelompok mereka yang setia kepada Ki Wiradana,
segera melaporkan kehilangan itu kepada Ki Wiradana.
Wajah Ki Wiradana menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia
justru terdiam. Namun yang bergejolak di dalam dadanya
ternyata tidak sebagaimana diduga oleh para pemimpin
kelompok itu. Para pemimpin kelompok yang melaporkan
kepadanya itu menganggap bahwa kemarahan yang menghentak
di dada Ki Wiradana membuatnya tidak dapat bertindak dengan
segera. Para pemimpin kelompok itu menganggap bahwa Ki
Wiradana sedang berusaha menenangkan hatinya karena laporan
yang mengejutkan itu. Namun sebenarnya Ki Wiradana telah dicengkam oleh
kebimbangan. Ketika mereka mendengar bahwa ada dua orang
pengawal yang hilang dari kelompok masing-masing, maka tiba-
tiba saja Ki Wiradana merasa bersyukur, bahwa keberangkatan
itu akan didengar oleh mereka yang disebut pemberontak, karena
Ki Wiradana yakin bahwa orang-orang itu tentu akan pergi
kepada orang-orang yang disebut pemberontak itu. Namun Ki
Wiradana menjadi cemas juga, bahwa akhirnya ia juga yang akan
15 SH. Mintardja menjadi sasaran umpatan dan makian dari orang-orang yang ada
disekitarnya itu. Namun Ki Wiradana tidak dapat berdiam diri dalam
kebimbangannya. Ia memang harus mengambil sikap. Karena itu,
maka ia pun telah menemui Ki Randukeling. Seorang yang
menurut pendapat Ki Wiradana adalah orang yang berpendirian
paling lunak terhadapnya.
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Dengan nada datar
dan yang hanya didengar oleh dirinya sendiri, ia bergumam, "Aku
sudah menduga bahwa rahasia ini tidak akan dapat
dipertahankan dengan ketat. Menilik sikap orang-orang Tanah
Perdikan ini sendiri."
Namun Ki Randukeling tidak mengatakan kepada siapapun
juga. Juga tidak kepada Ki Wiradana.
Tetapi seperti Ki Wiradana, maka ia pun merasa wajib untuk
mengambil langkah-langkah. Karena itu, maka ia pun telah
memanggil Warsi dan Rangga Gupita serta beberapa orang lain.
"Setan," geram Warsi. "Siapa yang telah berkhianat" Atau
barangkali kau sendiri kakang?"
"Jangan menuduh begitu," potong Ki Randukeling. "Pada saat
seperti ini kita jangan bertengkar lagi. Kita harus mengambil
langkah yang paling baik."
"Aku memang tidak dapat percaya lagi kepada orang-orang
Hong Lui Bun 14 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Rahasia Ciok Kwan Im 4