Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 35

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 35


gerak y ang lambat, Mahisa Murti menilai setiap sentuhan,
kaitan dan benturan dengan senjata lawan.
Untuk melengkapinya, maka bergantian mereka
mencoba mengurai nilai yang terkandung pada kedua
tajamnya dan ujung tombak yang runcing itu. Namun mereka
pun menilai kelemahannya justru karena lawannya akan dapat
mengait senjata itu dan menghentakkannya.
Dengan mengetahui kelemahan dan kekuatannya, maka
mereka berdua pun akan dapat mengenali watak senjata itu
dengan baik. Ternyata bahwa pekerjaan mengenali watak-watak
berjenis-jenis senjata itu sangat menarik. Mahisa Pukat yang
pernah mengenali sebelumnya penggunaan dan watak trisula
bertangkai pendek, telah mencoba mempergunakan trisula
bertangkai panjang, sepanjang tangkai tombak pendek.
Dengan cermat Mahisa Pukat berusaha untuk memanfaatkan
ketiga mata trisula yang panjangnya tidak sama. Namun
ternyata bahwa trisula itu dapat memberikan kemungkinan
yang besar untuk melemparkan senjata lawan. Jika mata
trisula itu berhasil menjebak senjata lawan menyisip di
antaranya, maka putaran yang menghentak akan dapat
merenggut senjata lawan itu.
Bukan hanya Mahisa Pukat, tetapi Mahisa Murti pun
ternyata sangat tertarik pula kepada senjata yang bermata tiga
itu. Selain trisula, m aka j enis nenggala pun sangat m enarik
keduanya. Senjata y ang tidak terlalu panjang, lebih pendek
dari tombak bertangkai pendek, tetapi mempunyai mata
tombak di kedua belah ujungnya.
"Aku akan mencoba dengan orang-orang dari perguruan
Suriantal," berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi agak sulit m embawa senjata jenis ini," berkata
Mahisa Murti. "Bukankah m ereka terbiasa membawa tongkat panjang
ke mana-mana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tetapi justru runcing di kedua ujungnya. Ujung-ujung
nenggala itu akan dapat mengenai kaki mereka sendiri,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat tertawa. Jawabnya, "Itu namanya
kecelakaan." Mahisa Murti pun tertawa juga. Tetapi ia pun
sependapat, bahwa mereka akan berusaha memperkenalkan
senjata-senjata itu kepada para penghuni padepokan. Jika
mereka tidak juga senang mempergunakannya, setidaktidaknya
satu pengalaman bagi mereka menghadapi jenis
senjata seperti itu. Apalagi orang-orang yang tinggal di pesisir.
Jika datang orang asing m enginjakkan kakinya di bumi ini,
mereka membawa senjata yang belum banyak dikenal di sini.
Jika kedatangan orang-orang itu tidak dengan m aksud baik
dan sikap yang damai, maka benturan-benturan kekerasan
memang akan dapat terjadi. Karena itu mengenalkan atas
jenis-jenis senjata y ang tidak, banyak dipergunakan itu pun
tentu ada gunanya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
berusaha untuk memilahkan jeni s-jenis senjata yang baik
dipergunakan oleh orang y ang mempunyai kekuatan yang
besar dan senjata yang paling sesuai dengan mereka yang
kekuatannya tidak terlalu besar, sehingga diperlukan
kecekatan dan kecepatan yang lebih tinggi.
Ternyata keduanya memerlukan waktu untuk melakukan
penelitian itu. Apalagi ketika mereka ketemukan di antara
berjenis-jenis senjata itu senjata y ang memang dibuat di
negeri a sing, sebagaimana ciri-ciri dan huruf-huruf yang
tercantum pada landean atau pada wrangkanya.
"Sri Maharaja dengan sengaja memberikan senjatasenjata
itu," berkata Mahisa Murti.
"Ya. Kita tidak terbiasa membuat pedang y ang lengkung,
seperti ini. Tipis, tetapi tajamnya luar biasa," sahut Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun sedang
mengamati sebuah pedang yang tidak terlalu besar, pendek,
tetapi bertangkai seperti tombak.
"Tentu bukannya tanpa maksud jika Sri Maharaja
memberikan senjata-senjata seperti itu," berkata Mahisa Murti
pula. "Satu kemurahan Sri Maharaja berkenan mendor ong
kita, agar kita meny empatkan diri mempelajari dan meneliti
berjenis-jenis senjata yang sebelumnya kurang kita kenal,"
berkata Mahisa Pukat. "Karena itu tergantung kepada kita," jawab Mahisa
Murti, "apakah kita akan melakukannya atau tidak."
"Kita sudah melakukannya, meskipun baru sebagian,"
desis Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka kedua anak muda itu pun
menjadi semakin tekun. Namun sambil melanjutkan
pengamatannya atas berjeni s-jenis senjata, mereka telah mulai
memperkenalkan jenis-jeni s senjata itu kepada seisi
padepokan. "Kita akan mulai dengan tahap-tahap menurut
kelompok-kelompok a sal perguruan mereka. Terutama orangorang
dari perguruan Suriantal," berkata Mahisa Murti.
"Yang lain memang sudah semakin kabur," jawab
Mahisa Pukat. "Agaknya memang hanya orang-orang Suriantal
yang masih nampak berpegang pada sumbernya, meskipun
sudah menjadi semakin meningkat."
Dengan demikian, maka yang pertama-tama
dikumpulkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah
orang-orang Suriantal. Mereka mulai diperkenalkan dengan jeni s-jeni s senjata
yang ada di padepokan itu, y ang telah dihadiahkan oleh Sri
Maharaja di Singasari. "Jika kalian tidak berminat untuk mempelajarinya,
setidak-tidaknya kalian tahu bagaimana melawan orang-orang
yang mempergunakan senjata seperti itu," berkata Mahisa
Murti. Dengan demikian maka orang-orang dari perguruan
Suriantal itu pun telah bermain pula untuk mengetahui serba
sedikit tentang berbagai macam senjata itu.
"Kami juga bukan seorang y ang benar-benar menguasai
senjata-senjata itu," berkata Mahisa Pukat, "namun kami
sudah berusaha untuk mencoba, menilai dan mengurai
kegunaannya. Mudah-mudahan y ang telah kami lakukan itu
bermanfaat." Orang-orang Suriantal itu mengangguk-angguk. Bagi
mereka kedua anak muda itu mempunyai ilmu yang jauh lebih
tinggi dari mereka. Karena itu, maka apa y ang dilakukan tentu
akan memberikan arti yang baik bagi mereka.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mencoba beberapa jeni s senjata panjang. Orang-orang
Suriantal y ang telah terbia sa mempergunakan tongkat
panjang, berusaha untuk meny esuaikan diri dengan beberapa
jenis senjata itu. Antara lain tombak biasa, namun juga
tombak bermata dua di kedua ujungnya, karena ada jenis
tombak lain y ang bermata dua di satu ujungnya, sejenis
dengan trisula, yang mereka sebut canggah.
Perlahan-lahan, orang -orang Suriantal memang
menemukan satu wawasan baru terhadap senjatanya. Selama
ini mereka menganggap bahwa mereka mutlak harus
mempergunakan tongkat panjang. Ketika Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menganjurkan agar tongkat-tongkat mereka
agak diperpendek, mereka tidak y akin bahwa tongkat yang
demikian akan lebih berarti. Namun setelah mereka
menyesuaikan diri dengan tongkat mereka yang lebih pendek,
ternyata mereka justru dapat mempergunakan dengan lebih
baik. Kemudian mereka dihadapkan pada berjenis-jenis
tongkat yang di ujungnya terdapat beberapa m acam bentuk
yang mempunyai watak y ang berbeda -beda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberi kesempatan
kepada setiap orang untuk mencoba mempergunakan
berjenis-jenis senjata itu. Sekali-sekali mencoba
mempergunakannya untuk melawan Mahisa Murti atau
Mahisa Pukat. Ternyata mereka tidak mengalami perkembangan
wawasan y ang sama tentang jeni s-jeni s senjata baru. Ada yang
tetap pada sikapnya. Bahwa senjata yang paling sesuai bagi
mereka adalah tongkat panjangnya, meskipun sudah agak
diperpendek. Tetapi ada y ang bersikap lain. Tiba-tiba saja ia tertarik
kepada tongkat sebagaimana yang dipergunakannya, namun
sentuhan ujung senjatanya akan berakibat lebih buruk
daripada jika tongkatnya tidak mempunyai ujung yang
runcing. Meskipun diakuinya, bahwa dengan ujung trisula
keseimbangannya memang agak berbeda. Tetapi dengan
membiasakannya, maka akhirnya akan dikuasainya pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan beberapa
petunjuk dan tuntunan. Kemudian dibiarkan mereka
melakukannya. Tidak hanya satu kali, tetapi beberapa kali.
Sementara itu, kelompok yang lain pun telah m endapat
giliran pula. Mereka y ang memang tidak terbia sa
mempergunakan senjata panjang, memang tidak banyak
tertarik kepada senjata-senjata bertangkai itu. Tetapi kepada
mereka pun oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ditunjukkan
watak serta sifat senjata-senjata itu.
Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya, sekelompok
demi sekelompok orang-orang padepokan itu telah
mengadakan latihan-latihan khusus. Di samping mereka yang
menemukan jeni s-jeni s senjata baru yang lebih sesuai bagi
dirinya, maka y ang lain pun telah mengenali jeni s-jeni s senjata
yang tidak banyak dipergunakan. Dengan demikian, maka jika
mereka pada suatu saat harus berhadapan dengan senjata
jenis tersebut, mereka tidak akan menjadi terkejut dan
bingung. Meskipun mungkin ada gerakan-gerakan yang belum
dikenal oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi secara
umum mereka telah mengetahuinya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri
masih memerlukan waktu untuk berlatih terus. Mereka
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengenali watak
senjata-senjata itu. Ternyata keduanya memang benar-benar orang berilmu
tinggi. Perlahan-lahan namun mereka selalu merangkak maju.
Keduanya berhasil menguasai segala jenis senjata yang
sebelumnya tidak mereka kenal atau tidak pernah mereka
pergunakan meskipun pernah melihat ujudnya. Bahkan
keduanya pun telah m emahami watak bindi yang berbentuk
belimbing dengan lingkar-lingkar yang tajam. Dalam
pergumulan yang seru jeni s senjata ini memang akan dapat
melukai dirinya sendiri, jika pemakainya kurang
menguasainya. Keduanya pun telah mampu m empergunakan
canggah, trisula dan nenggala dengan baik, sehingga beberapa
orang Suriantal y ang berminat telah pula dapat
mempergunakannya, sebagaimana mereka mempergunakan
tongkatnya. Bahkan mereka pun telah mampu memanfaatkan
kelebihan-kelebihan yang terdapat pada senjata mereka yang
baru dan menimbangnya dengan keseimbangan y ang mapan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun kemudian telah berniat untuk menyesuaikan
kemampuan orang-orang padepokan itu dan memberikan ciriciri
y ang dapat merangkum keseluruhan penghuni. Dengan
demikian maka akan terdapat ujud kesatuan y ang lebih utuh
di antara para penghuni padepokan itu.
Tetapi dengan demikian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah berusaha untuk meluluhkan setiap
penghuni padepokan itu sehingga mereka tidak akan terpisahpisahkan
lagi. "Kita akan berbicara dengan mereka," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat sependapat. Memang lebih baik dilakukan
secara terbuka daripada m ereka berdua harus melakukannya
dengan diam-diam, sehingga orang-orang padepokan itu
melakukannya dengan tanpa kesadaran.
Seperti y ang mereka rencanakan maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan semua orang yang
menghuni padepokan itu. Dengan terbuka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memberikan penjelasan kepada mereka,
niat keduanya untuk menjadikan isi padepokan itu menjadi
satu. "Selama ini kita masih dibay angi oleh alas berpijak k ita
masing-masing," berkata Mahisa Murti, "tetapi satu keny ataan
yang tidak dapat diingkari bahwa kita sudah berada di sini.
Kita merasa menjadi satu keluarga, senang atau tidak senang.
Kita harus memikul suka dan duka atas padepokan ini
bersama-sama. Bahkan jika ada di antara kita y ang semula
bermusuhan, m aka kini kita harus memikul beban bersama
pula. Karena itu, alangkah baiknya jika kita dapat melebur diri
dan menamakan diri kita satu keluarga."
Beberapa orang saling berpandangan. Tiba-tiba saja
bagaikan merayap di hati mereka masing-masing, satu
kesadaran, bahwa mereka memang satu keluarga.
Karena itu, maka tidak seorang pun y ang menyatakan
keberatan mereka. Untuk beberapa lamanya, mereka memang
sudah merasakan satu penanggungan. Pergolakan yang terjadi
beberapa kali, membuat mereka merasa diri menjadi satu.
Namun dengan demikian, tanpa disadari Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat seakan-akan telah mendirikan satu
perguruan baru di padepokan yang semula bernama
padepokan Suriantal, karena dihuni khusus bagi perguruan
Suriantal yang sudah larut.
"Kita akan segera mulai m engambil langkah-langkah,"
berkata Mahisa Murti, "jika kita m emang sudah merasa satu,
maka bukan saja kesediaan batin, t etapi kita akan
mewujudkannya dalam sikap dan tingkah laku. Bahkan ilmu."
Orang-orang padepokan itu mengangguk-angguk.
Meskipun bagi mereka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
terlalu muda, namun keduanya benar-benar telah
menunjukkan kemampuan y ang sangat tinggi, sehingga sudah
sepantasnya, bahwa kedua anak muda itu mereka anggap guru
didalam ilmu kanuragan. "Jika kalian sudah bulat, maka kita akan menentukan
ciri buat diri kita. Kita akan m embentuk satu pribadi yang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utuh y ang memberikan warna y ang berbeda dengan pribadi
yang lain. Kita adalah kita," berkata Mahisa Murti, "karena itu,
untuk menghapuskan kesan kesendirian, maka aku ingin
mengusulkan, terutama y ang semula berasal dari perguruan
Suriantal, untuk mengesampingkan nama itu. Kita tidak akan
mempergunakan nama Suriantal lagi. Tetapi kita akan
mempergunakan nama baru yang lebih mencakup dan sesuai
dengan kepribadian y ang akan kita tegakkan kemudian."
Sesaat suasana menjadi hening. Beberapa orang y ang
semula berasal dari perguruan Suriantal pun saling
berpandangan. Namun dari sorot mata mereka, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat melihat, bahwa mereka tidak berkeberatan.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Jika ada yang berkeberatan, katakanlah. Jika tidak, maka itu
berarti bahwa kalian telah sependapat dengan kami."
Ternyata tidak seorang pun yang menyatakan
keberatannya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata
selanjutnya, "Baiklah. Jika demikian, maka kita akan segera
bersiap-siap. Kita juga harus memikirkan nama dari
padepokan kita yang akan tersusun kemudian."
"Bukan hanya sebuah padepokan, tetapi sebuah
perguruan," tiba -tiba seorang di antara penghuni padepokan
itu berteriak. Ternyata beberapa orang telah menyahut, "Ya. Sebuah
perguruan. Kita harus membuat diri kita baru sama sekali,
dalam satu lingkungan yang baru pula."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Sebuah
perguruan diperlukan seorang y ang mempunyai pengetahuan
yang luas dan ilmu yang tinggi. Bukan saja dalam olah
kanuragan, tetapi juga olah kajiwan."
"Orang-orang itu sudah ada di antara kita," sahut
seseorang. "Ya," beberapa orang bersama-sama menyahut, "kita
sudah memiliki." Beberapa orang pun kemudian telah berteriak-teriak
pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud
mereka. Untuk sementara mereka tidak ingin memberikan
jawaban. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian
berkata lantang, "Kita akan beristirahat dahulu sekarang
kecuali y ang bertugas. Kita akan sempat berpikir apa yang
paling baik kita lakukan. Besok kita akan berbicara lagi
tentang nama padepokan ini. Kemudian kita akan berbicara
pula tentang perguruan."
Orang-orang padepokan itu termangu-mangu sejenak.
Namun mereka pun kemudian meninggalkan tempatnya,
kembali ke barak masing-masing.
Ternyata bahwa rencana untuk memberikan nama bagi
padepokan itu untuk menggantikan nama Suriantal telah
mendapat sambutan y ang sangat baik. Mereka masih juga
membicarakan rencana itu. Dan bahkan satu dua orang telah
mereka-reka nama yang paling baik untuk padepokan itu.
Namun seorang yang lain pun berkata, "Agaknya
memang kurang pantas jika anak-anak muda memimpin
sebuah perguruan. Apalagi disebut guru. Masih pantas jika
mereka sekedar menjadi pemimpin padepokan."
Kawannya mengangguk. Tetapi katanya, "Menilik ujud
dan umurnya memang belum pantas. Tetapi menilik sikap,
kata-kata dan apalagi ilmu mereka, maka mereka memang
sudah pantas untuk menjadi pemimpin sebuah perguruan dan
sekaligus menjadi seorang guru. Kita mendapat kehormatan
menjadi murid-muridnya y ang pertama."
"Ya," sahut y ang lain, "tetapi kita harus menyadari,
bahwa kita adalah murid mereka dalam arti y ang umum sekali.
Mereka pada saatnya tentu akan mengambil satu atau dua
orang murid saja yang benar -benar akan ditempa menjadi
seorang y ang berilmu tinggi sebagaimana mereka berdua."
"Apa pun yang diwariskan kepada kita, itu sudah cukup,"
berkata kawannya. Beberapa orang y ang terlihat ke dalam pembicaraan itu
mengangguk-angguk. Mereka memang sulit untuk
menentukan satu sikap y ang sesuai antara penalaran dan
perasaan mereka. Menurut nalar, kedua anak muda itu sudah
sepantasnya mereka sebut guru dan pemimpin sebuah
perguruan. Tetapi m enurut perasaan mereka, maka keduanya
masih sangat muda. Bahkan keduanya belum pernah
berkeluarga. "Terserah kepada mereka," tiba-tiba seorang y ang
bertubuh gemuk berkata, "Apa pun namanya, yang mereka
lakukan tidak akan banyak berbeda. Menempa kita,
membongkar kemampuan dan ilmu y ang sudah kita miliki
kemudian membentuk kita sesuai dengan pola pikirannya
sebagaimana y ang sudah kita sepakati. Kita harus mempunyai
satu kepribadian tersendiri."
Ternyata kawan-kawannya sependapat. Mereka memang
tidak perlu bersusah pay ah m emberikan penilaian terhadap
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Yang penting bagi m ereka,
bahwa mereka telah sepakat untuk, membentuk satu
lingkungan yang utuh. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bertekad untuk merubah warna padepokan itu dengan
nama y ang lain dan watak yang lain.
Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil.
Mereka telah mencoba melihat berulang balik. Manakah yang
paling baik dilakukan. Kedua anak muda itu pun kemudian memang sampai
pada satu kesimpulan bahwa y ang mereka lakukan itu
mengarah pada satu perguruan baru.
"Apakah kita akan dapat mempertanggung jawabkan?"
bertanya Mahisa Pukat. "Kita dapat menentukan lain," bertanya Mahisa Murti,
"kita bukan berniat untuk mendapatkan satu kedudukan yang
dihormati. Tetapi yang penting bagi kita, padepokan ini
mendapat ujud yang baru dan utuh."
"Tetapi kelanjutan dari hidup padepokan itu terletak
atas pundak kita," berkata Mahisa Pukat.
"Ya. Sekarang kita m emang harus bertanya kepada diri
kita, apakah kita akan dapat dengan bulat menyerahkan hidup
kita untuk padepokan ini," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian
ia -pun bertanya, "Apakah masih ada y ang akan kita cari?"
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Kita sudah
mendapatkan semuanya. Segalanya terserah kepada kita
sendiri. Tidak ada orang lain y ang kita harapkan untuk
membantu meningkatkan ilmu kita, kecuali datang orangorang
ju stru di luar segala harapan kita. Karena itu, maka kita
akan dapat mengisi masa depan kita berlandaskan setidaktidaknya
apa y ang telah kita miliki."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, " Jika demikian aku
rasa, kita akan dapat melakukannya, bahkan seandainya
disebut mendirikan perguruan sekalipun."
"Ya," sahut Mahisa Murti, "tetapi jika kita sudah
melangkah, maka kita tidak akan dapat surut lagi."
"Kita memang harus meyakini itu," berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun mereka
berdua telah membulatkan tekad untuk menyusun satu
perguruan. Meskipun kemudian mereka pun mencoba menilai
diri mereka sendiri. "Apakah kita tidak terlalu muda untuk melakukannya?"
bertanya Mahisa Pukat. "Kita menempuh cara y ang agak berbeda dengan orang
lain," jawab Mahisa Murti, "kita tidak harus berdiri sebagai
seorang guru yang mumpuni ilmu kewadagan dan kejiwaan.
Tetapi kita dapat meny ebut diri kita apa saja. Tetapi kita sudah
berniat untuk melakukannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya menemukan
sebutan yang paling baik bagi mereka berdua. Mereka tidak
akan disebut guru oleh siapa pun juga. Tetapi mereka akan
menyebut diri mereka dengan Putut. Putut Mahisa Murti dan
Putut Mahisa Pukat. "Jika mereka ingin lebih singkat, mereka dapat
menyebut kita masing -masing Putut Murti dan Putut Pukat,"
berkata Mahisa Pukat. Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Ya. Agaknya sebutan
itu lebih baik dari sebutan bagi seorang guru yang tuntas
dalam berbagai macam ilmu. Kecuali jika ayah Mahendra atau
paman Mahisa Agni dan paman Witantra bersedia tinggal di
sini." "Mereka sudah menjadi semakin tua," desis Mahisa
Pukat, "biarlah mereka tetap berada di istana."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Kau
benar." "Nah," berkata Mahisa Pukat kemudian, "besok kita
akan berbicara lagi dengan orang-orang padepokan ini. Tetapi
kita memang perlu meny iapkan sebuah nama bagi padepokan
ini." "Kita akan mendengarkan beberapa pendapat. Mungkin
orang-orang y ang lebih tua dari kita akan mendapatkan nama
yang lebih baik dari yang dapat kita ketemukan," berkata
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang
tidak perlu tergesa -gesa. Karena itu maka Mahisa Pukat pun
berkata, "Sebaiknya kita memang menunggu."
Demikianlah, seperti y ang mereka bicarakan, maka di
hari berikutnya pun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengundang orang-orang yang menghuni padepokan itu.
Mahisa Murti lah yang berbicara dihadapan mereka,
"Marilah saudara-saudaraku. Kita berbicara lagi tentang diri
kita sendiri. Kita lanjutkan pembicaraan kita kemarin. Kita
akan menyusun satu bentuk baru dari padepokan ini. Kami
berdua telah memutuskan, disetujui atau tidak disetujui,
bahwa kami berdualah yang akan memimpin padepokan ini."
Di luar dugaan, orang-orang itu menjawab hampir
serentak, "Kami setuju."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "kami akan
menentukan sebutan y ang paling pantas untuk kami berdua."
"Guru," teriak seseorang, "kami bersedia untuk menjadi
murid-murid pertama."
"Ya. Kami akan memanggil, guru," sahut y ang lain
disusul oleh beberapa orang bersahutan.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Tidak.
Kal ian tidak akan m eny ebut kami, guru. Tetapi panggil kami
berdua dengan sebutan Putut. Putut Mahisa Murti dan Putut
Mahisa Pukat." "Putut?" beberapa orang bertanya.
"Putut adalah saudara tua bagi cantrik-cantrik di satu
padepokan," jawab Mahisa Murti.
Orang-orang padepokan itu mengangguk-angguk.
Namun seorang y ang sudah menjelang usia tuanya berkata,
"Meskipun demikian, jika Putut itu dapat disebut saudara tua,
maka harus ada pula ayah ibunya. Atau katakanlah ayahnya
sa ja jika sudah menjadi piatu."
"Ya. Itulah y ang kami perlukan di sini," berkata beberapa
orang kemudian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun kemudian Mahisa Pukat lah y ang menjawab, "Kita
adalah anak-anak yatim piatu. Kami yang tertua di antara
kalian, meskipun bukan umurnya, mempunyai kewajiban
menggantikan kedudukan ayah bunda, m eskipun kedudukan
kami tetap sebagai saudara tua."
Orang-orang padepokan itu sebagian masih juga belum
puas. Namun Mahisa Murti berkata selanjutnya, "Ingat. Hanya
sekedar sebutan. Yang akan kami lakukan sama saja, apa pun
buny i sebutan itu."
Beberapa orang m engangguk-angguk. Mereka m emang
sudah bersikap sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Murti itu.
Karena itu maka tidak ada lagi y ang mencoba untuk merubah
sebutan y ang diusulkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Kedudukan itu agak m emperingan tanggung jawabku,"
berkata Mahisa Murti kemudian, "berbeda jika kami berdua
disebut guru, atau Ki Ajar, apalagi Panembahan dan sebutansebutan
y ang lain. Karena itu, biarlah kita y ang yatim piatu di
sini mencoba menentukan hari depan kita bersama-sama."
Orang-orang padepokan itu pun mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian b ertanya,
"Nah, siapakah di antara kita yang sudah menemukan nama
yang paling sesuai bagi padepokan kita ini?"
"Terserah kepada Putut berdua," jawab orang y ang
sudah menjelang umur tuanya.
"Mungkin ada di antara kalian yang mempunyai nama
yang mapan?" bertanya Mahisa Pukat.
Tidak ada yang menjawab. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun kemudian memutuskan bahwa mereka akan
mencari nama y ang sebaik-baiknya bagi padepokan dan
bahkan perguruan mereka. "Baiklah," berkata Mahisa Murti," besok aku akan
mengumumkan nama itu. Jika di antara kalian ada yang tidak
sependapat, maka masih banyak kemungkinan untuk
merubahnya." Dengan demikian maka pertemuan itu pun telah selesai
dan para penghuni padepokan itu pun tinggal menunggu
nama yang akan ditentukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat lagi sibuk membicarakan nama padepokan itu dilewat
senja, orang y ang sudah m enjelang usia tuanya itu pun telah
datang menemuinya. Katanya, "Apakah aku diperkenankan
berbicara dengan Putut berdua" "
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian katanya,
"Putut berdua. Ada sesuatu y ang ingin aku sampaikan.
Memang sekedar pikiran orang tua y ang selalu ketakutan.
Tetapi mungkin dapat dianggap berhati-hati."
"Katakanlah," sahut Mahisa Murti, "sikap hati-hati
agaknya memang bermanfaat bagi kita y ang akan m elakukan
langkah-langkah y ang penting ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang belum terbiasa


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disebut Putut. Meskipun demikian mereka pun segera
mengerti, bahwa orang itu tentu mempunyai persoalan yang
dianggapnya penting untuk dibicarakan.
"Marilah, silahkan," berkata Mahisa Murti kemudian
sambil mempersilahkan orang itu duduk di amben dibiliknya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa
Pukat yang agaknya segera ingin tahu mendesak, "Katakanlah.
Kami akan berterima kasih atas pendapatmu. Mungkin
pendapatmu itu akan sangat berarti bagi bukan saja kami
berdua, tetapi bagi kita semua."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah anakanak
muda. Sebenarnya y ang akan aku sampaikan ini
mungkin sudah kalian pikirkan. Bahwa dalam dunia
kanuragan itu terdapat beberapa warna y ang barangkali saling
bertentangan. Sebagaimana sifat manusia pendukungnya,
maka dunia kanuragan diwarnai dengan hati yang bersih,
putih dan hati yang kotor, hitam. Jika kita di sini mendirikan,
atau katakanlah memperbaharui milik kita di sini, maka tentu
akan ada tanggapan dari beberapa pihak. Ada tanggapan yang
baik dengan uluran tangan persahabatan, tetapi ada juga yang
berniat ingin menjajagi kemampuan padepokan dan
perguruan baru itu. Penjajagan itu pun ada dua kemungkinan.
Ada yang sekedar ingin menjajagi tanpa niat buruk, tetapi ada
yang memang sengaja ingin menghancurkan, sebagaimana
mereka yang memang tidak ingin melihat kehadiran satu
perguruan baru." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Terima kasih
atas peringatanmu. Kita memang harus selalu waspada.
Terutama menghadapi mereka yang memang berniat buruk."
"Putut-putut muda," berkata orang itu, "aku yakin akan
kemampuan kalian. Tetapi aku ingin menyampaikan
pendapatku, bahwa sebaiknya jangan tergesa -gesa
menyatakan berdirinya padepokan baru untuk menggantikan
padepokan Suriantal. Aku tahu pula, bahwa penghuni
padepokan ini telah ditempa dengan sungguh-sungguh
sehingga kemampuan mereka telah meningkat. Tetapi jika
benar-benar i si padepokan ini akan dilahirkan kembali dalam
kesatuan ilmu, m aka untuk beberapa saat, kita semua tentu
akan mengalami kemunduran meskipun hanya sementara.
Nah, aku mengusulkan, agar pernyataan berdirinya padepokan
baru sebagai pengganti y ang lama dilakukan setelah kita
berhasil mengatasi kemunduran sementara itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, "Terima kasih. Aku
mengerti maksudmu." Orang tua itu m engangguk-angguk pula. Katanya, "Aku
pun m engucapkan terima kasih. Aku sudah ragu-ragu untuk
menyampaikan pertimbangan ini, karena menurut dugaanku,
anak-anak muda kurang menghargai pendapat orang-orang
tua. Apalagi anak-anak muda y ang m emang sudah m emiliki
kelebihan dari orang -orang tua seperti kalian berdua."
"Bagi kami, semua pendapat akan kami dengarkan. Kami
akan merenungkannya. Yang baik akan kami pergunakan
sedang yang kurang sesuai akan kami tinggalkan," jawab
Mahisa Murti. Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian telah minta diri untuk kembali ke baraknya.
Sepeninggal orang tua itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah membicarakannya pula. Ternyata
keduanya memang sependapat. Karena itu, keduanya pun
berniat untuk melakukannya. Mereka harus membentuk isi
padepokan itu lebih dahulu. Baru kemudian menyatakannya
keluar lingkungan. Namun padepokan itu sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak m au menunggu lebih lama lagi. Mereka berniat untuk
segera mulai dengan rencana mereka. Melebur isi padepokan
itu untuk menemukan satu kesatuan ilmu, meskipun keduanya
yakin, bahwa betapapun kecilnya tentu masih akan dapat
diketemukan perbedaan-perbedaan. Tetapi tentu bukan yang
paling penting untuk menentukan watak dari ilmu itu.
Di hari-hari berikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mulai dengan usahanya untuk mewujudkan
keinginannya untuk membuat isi padepokan itu benar-benar
menjadi satu keluarga dalam kesatuan ilmu.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
harus bergerak mundur. Mereka harus mencari batas
kesamaan dalam landasan ilmu kanuragan y ang paling
sederhana dan mendasar. Beberapa hari ia harus melihat
gerak-gerak dasar dari para penghuni padepokan itu yang
terdiri dari beberapa sumber ilmu. Namun akhirnya Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berhasil menemukan landasan dasar
dari ilmu mereka y ang mempunyai unsur-unsur yang
bersamaan, sebagaimana dipelajari sendiri pada
permulaannya. Dengan landasan itulah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akan mulai dengan memberikan tuntunan kepada para
penghuni padepokan itu. Namun sebagaimana mereka bersepakat untuk
melakukannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
minta kepada mereka agar m ereka mengikhlaskan apa yang
mereka miliki. "Lupakan. Tanpa melupakannya, kalian tidak akan dapat
menemukan yang baru," berkata Mahisa Murti.
"Kami sedang berusaha," sahut seseorang.
"Kalian harus melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Kal ian harus menempuh laku yang hanya dapat kalian
tentukan sendiri. Dengan niat, bahwa kalian akan
mengosongkan diri dari ilmu y ang pernah kalian m iliki. Jika
kalian benar-benar melakukannya dengan tekad y ang bulat,
maka kalian tentu akan berhasil," berkata Mahisa Murti
kemudian. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah memberikan kesempatan kepada mereka tiga hari tiga
malam. Agar dalam waktu itu, setidak -tidaknya orang-orang
padepokan itu sama sekali tidak lagi berniat kembali ke dalam
kemampuan ilmu mereka dan merasa diri mereka benar-benar
telah kosong. Tiga hari tiga malam bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat terasa memang terlalu lama. Tetapi dibandingkan
dengan masa-masa yang akan mereka tempuh, maka waktu itu
memang dapat diabaikan. Demikianlah ketika hari -hari itu telah dilampaui, maka
mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan
latihan-latihan bagi m ereka. Tataran yang menjadi jangkauan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada langkah pertama adalah
tataran seorang prajurit. Mereka tidak ingin langsung
menuntun orang-orang padepokan itu menjadi orang-orang
berilmu tinggi. Selain mereka membutuhkan waktu yang lama,
keduanya juga merasa bahwa dengan demikian mereka telah
mengembalikan tataran ilmu orang-orang padepokan itu
dalam bentuk dan watak y ang berbeda. Bahkan seandainya
datang bahaya yang mengancam, m aka padepokan itu akan
mampu mempertahankan dirinya.
Baru kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
memilih di antara mereka untuk benar-benar mendapat
tuntunan khusus, sehingga mereka akan dapat membantunya
memimpin padepokan itu untuk selanjutnya. Padepokan yang
masih akan diberi nama y ang baru.
Ternyata bahwa para penghuni padepokan itu dengan
bersungguh-sungguh telah m elakukan perintah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Bagaimanapun juga mereka telah
menganggap kedua anak muda itu sebagai pemimpin mereka
dan bahkan kemudian guru m ereka. Tidak seorang pun yang
mengeluh karena latihan-latihan y ang berat.
Bahkan orang -orang y ang telah memasuki pertengahan
abad pun masih juga menunjukkan kesungguhan mereka
untuk berlatih dengan keras.
Memang berbeda dengan langkah-langkah kecil bagi
mereka y ang benar -benar baru mulai. Bagi orang-orang
padepokan y ang telah melampaui tataran permulaan dan
bahkan pernah menguasai ilmu y ang lebih tinggi itu, ternyata
lebih cepat untuk menyadap ilmu yang diberikan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian, maka
rasa-rasanya kemajuan y ang dicapai oleh para penghuni
padepokan itu menjadi dua kali lebih cepat dari m ereka yang
memang benar-benar baru mulai.
Namun dengan demikian, untuk melahirkan sebuah
padepokan baru, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
menunda sampai sedikitnya enam bulan. Jika enam bulan
telah lewat, maka kekuatan padepokan itu telah hampir pulih
kembali, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat
menyatakan lahirnya satu padepokan dan perguruan baru.
Dalam waktu enam bulan seisi padepokan itu harus
bekerja keras. Mereka telah menempa diri tanpa mengeluh.
Siang malam. Mereka telah berlatih untuk bertempur secara
pribadi, tetapi juga berada dalam gelar besar atau kecil. Juga
bertempur dalam kelompok-kelompok.
Namun y ang mendapat tekanan adalah kemampuan
secara pribadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memberikan ciri -ciri khusus pada tata gerak dan olah
kanuragan bagi seisi padepokan itu. Mereka mempelajari satu
jenis dasar ilmu y ang sama.
Dengan teliti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menilik
setiap orang didalam padepokan itu. Mereka seorang-seorang
secara khusus telah mendapat pendadaran dari Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pada tingkat-tingkat kemampuan ilmu.
Sehingga akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendapatkan satu kepastian bahwa para penghuni padepokan
itu telah m encapai satu tataran ilmu y ang setingkat dengan
kemampuan seorang prajurit di dalam perang gelar, perang
dalam kelompok-kelompok tertentu besar maupun kecil.
Namun tanpa meninggalkan i lmu da sar dari perguruan yang
akan berdiri. Dengan dasar itulah maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menganggap bahwa kedudukan padepokannya sudah
cukup kuat untuk menghadapi setiap kemungkinan y ang bakal
timbul. Ber samaan dengan persiapan untuk menentukan
berdirinya satu padepokan dan perguruan baru, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mulai dengan memberikan
tuntunan perluasan dan pengembangan ilmu yang dimiliki
oleh setiap orang. "Jangan terpancang pada satu jenis senjata," berkata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kepada orang-orang yang
menyadap ilmu mereka. "Dalam ilmu senjata, kita harus
menguasai beberapa jeni s senjata. Kemudian kita harus
berlatih untuk dapat mempergunakan segala macam senjata
yang dapat kita pergunakan. Tetapi mungkin kita hanya
menemukan sebuah batu, atau sepotong kayu atau seutas tali.
Bahkan kita harus mampu mempergunakan apa yang ada
dalam diri kita. Ikat kepala, ikat pinggang atau kain panjang
kita." Dengan demikian maka latihan-latihan pun menjadi
berkembang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memberikan wewenang kepada masing-masing untuk
mengembangkan ilmunya. Mereka masing-masing berusaha
untuk mencari pasangan-pasangan y ang dapat berlatih
mempergunakan berjenis-jenis senjata.
Namun di samping mempergunakan senjata, maka
mereka-pun telah berusaha untuk memperluas ilmunya dan
mengembangkannya dalam bentuk kekerasan tanpa senjata.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menolak
kemungkinan bahwa setiap orang akan mengembangkan
unsur -unsur gerak mereka masing-masing dengan atau tanpa
sa dar, y ang dipengaruhi oleh pengetahuan mereka tentang
ilmu y ang mereka bawa dari perguruan mereka semula.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
berkeberatan, karena setelah mereka menempa diri dan
menemukan satu ujud kepribadian dalam olah kanuragan,
maka y ang kemudian mempengaruhi perluasan dan
perkembangan ilmunya itu tidak akan dapat mengguncang
kepribadiannya. Meskipun unsur-unsur ilmu y ang mereka bawa dari
perguruan mereka masing-masing akan menyusup didalam
ilmu yang mereka sadap dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
namun yang nampak akan tetap tata gerak dari perguruan
mereka y ang baru. Dengan demikian, memang mulai nampak beberapa
perbedaan di antara para penghuni padepokan itu dalam
perwujudan ilmu yang sama-sama mereka sadap. Namun
wataknya akan tetap dikenal bahwa mereka m emiliki sumber
ilmu yang sama di perguruan yang sama, namun yang masih
belum mempunyai nama itu.
Dalam pada itu, ketika waktunya dianggap sudah masak,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanggil orang
yang dianggapnya telah cukup tua di antara para penghuni
padepokan itu. "Bagaimanakah pendapatmu sekarang?" bertanya
Mahisa Murti. "Putut-Putut muda berdua," berkata orang itu, "ternyata
semuanya terjadi jauh m elampaui perhitunganku. Padepokan
ini benar-benar merupakan padepokan y ang sangat kuat
dibanding padepokan-padepokan y ang sudah kita kenal.
Seperti y ang sudah kita duga semula bahwa kekuatan
padepokan ini akan mundur sesaat dengan usaha untuk
menyatukan ilmu. Kemudian perlahan-lahan ilmu kami telah
meningkat. Bahkan pada satu saat ternyata telah m elampaui
tataran ilmu semula meskipun dengan ujud dan watak yang
berbeda." "Begitukah menurut penilaianmu?" bertanya Mahisa
Pukat, "Tetapi apakah hal itu kau katakan dengan jujur, atau
sekedar ingin menyenangkan kami berdua?"
"Aku berkata sebenarnya menurut kemampuan
jangkauan nalarku," berkata orang tua itu.
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "jika demikian,
maka sudah waktunya pula kita meny ebut padepokan ini
dengan nama lain dari y ang kita pergunakan sampai saat ini."
"Jika hal itu akan dilakukan, maka sekarang aku tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan berkeberatan lagi," berkata orang tua itu.
"Tetapi aku belum mempunyai nama yang pantas," desis
Mahisa Murti. "Tentu pada satu hari Putut Muda berdua akan
menemukannya," berkata orang tua itu, "bukankah kita tidak
tergesa -gesa" Besok, lusa atau bahkan pekan y ang akan datang
tidak akan banyak berarti bagi kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, "Baiklah. Kita
akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh."
Namun orang tua itu pun kemudian berkata kepada
kedua anak muda itu, "Putut-putut muda. Aku kira kalian akan
mendapatkan kebijaksanaan dalam menyusun sebuah
perguruan baru. Kau sudah memiliki murid yang cukup
banyak dan cukup kuat. Mudah-mudahan segala sesuatunya
akan dapat berlangsung sebagaimana kalian inginkan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada
berat Mahisa Pukat berkata, "Kita akan berusaha bersamasama.
Tetapi kita memang tidak tergesa -gesa. Ternyata yang
terpenting justru sudah kita lakukan. Sekarang kita sudah
menemukan satu ujud bagi padepokan ini dengan mantap.
Apa pun namanya, isi padepokan ini tidak akan berubah."
"Ya." orang tua itu mengangguk-angguk, "kami akan
menunggu. Tetapi seperti y ang kalian katakan, y ang terpenting
sudah kita dapatkan."
Orang tua itu pun kemudian meninggalkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, kedua anak muda itu
masih juga belum m enemukan nama yang sesuai bagi sebuah
perguruan. Tetapi yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat kemudian adalah mencari orang-orang terbaik dari
penghuni padepokan itu untuk mendapat latihan-latihan
khusus. Mereka adalah orang -orang yang akan dibebani tugastugas
y ang dapat membantu tugas-tugas kedua anak muda itu.
Namun pada umumnya y ang diambil oleh keduanya
adalah orang -orang yang sejak sebelumnya memang telah
memimpin kelompok-kelompok y ang ada di padepokan itu.
Sedang orang yang dalam beberapa hal diserahi tugas-tugas
terpenting sebelumnya, telah ditunjuk pula untuk memimpin
kawan-kawannya langsung dibawah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan demikian maka tidak terjadi hambatanhambatan
perasaan pada para penghuni padepokan itu.
Mereka menerima susunan itu tanpa persoalan, karena
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seakan-akan hanya sekedar
mengesahkan saja apa yang memang sudah ada sebelumnya.
Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menunjuk beberapa orang anak muda di antara mereka.
Kelompok anak-anak muda y ang pada umumnya masih
mampu berkembang jauh itu, telah ditempa secara khusus
untuk calon-calon pemimpin di masa datang. Mereka telah
dipersiapkan lahir dan batin. Namun tidak untuk waktu yang
singkat. Mereka dipersiapkan untuk tahun-tahun yang masih
panjang menggantikan para pemimpin yang kelak akan
menjadi tua. Anak-anak muda itu akan mendapat latihanlatihan
bukan saja secara khusus didalam sanggar, latihanlatihan
secara pribadi, kelompok dan bahkan gelar perang
yang besar, tetapi juga latihan-latihan memegang pimpinan
meskipun pimpinan dari tataran yang paling rendah
sekalipun. Dengan demikian, maka susunan kedudukan di
padepokan itu sudah diatur oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, sehingga bukan saja mapan untuk saat mereka
dipersiapkan, tetapi juga dalam jangkauan masa depan yang
panjang. Di samping itu, dengan latihan-latihan khusus bagi para
pemimpin y ang akan membantu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, serta anak-anak muda y ang dipersiapkan untuk masa
datang, maka kekuatan padepokan itu pun telah bertambah.
Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bukan saja membangun padepokannya. Ia berusaha agar
padepokannya tidak menjadi asing dari pergaulan sesama.
Karena itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membuat
hubungan dengan padukuhan-padukuhan terdekat menjadi
lebih akrab. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pernah minta
bantuan kepada padukuhan-padukuhan itu. Sehingga
keduanya tinggal meningkatkan saja keakraban hubungan
dengan para tetangga. Jika orang-orang padukuhan sebelumnya m enganggap
bahwa padepokan itu sebagai sarang hantu, lambat laun
anggapan itu menjadi semakin kabur. Orang -orang padepokan
itu yang mereka kenal, ternyata memiliki sikap yang tidak
berbeda dengan mereka. Orang-orang padepokan itu juga
mengenal adat dan unggah-ungguh. Mereka pun
mempergunakan cara y ang sama dengan orang-orang
padukuhan itu untuk memiliki beberapa jeni s barang. Mereka
juga membeli atau menukarnya dengan apa y ang ada di
padepokan. Bahkan setiap kali orang-orang padepokan itu
telah m enjual hasil tanaman mereka di sawah dan pategalan
ke pa sar, sehingga di padepokan itu akan didapati uang yang
sama sebagaimana dipergunakan oleh orang-orang padukuhan
sebagai rakyat tlatah Singasari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak jemu-jemunya
memberikan sesuluh tentang sikap dan tingkah laku bagi
orang-orangnya, terutama menghadapi orang -orang di luar
padepokan. "Kita tidak boleh terlepas dari pergaulan hidup di
Singasari ini. Kita bukan sekelompok perampok yang
bersembunyi di satu sarang y ang dirahasiakan. Kita bukan
pelarian yang takut diikuti jejaknya oleh para prajurit. Karena
itu, maka hubungan kita harus terbuka dengan padukuhanpadukuhan
di sekitar kita," berkata Mahisa Murti kepada
orang-orangnya. Sebagian dari para penghuni padepokan itu memang
harus berusaha meny esuaikan diri. Namun karena pada
dasarnya seseorang itu ingin hidup di tengah-tengah
pergaulan sesamanya, maka mereka tidak banyak m engalami
kesulitan untuk melakukannya. Bahkan orang-orang
padukuhanlah y ang semula merasa ragu-ragu untuk menerima
sikap y ang terbuka itu. Namun akhirnya semua dapat
berlangsung dengan baik. Perkembangan dari padepokan itu memang tidak
terlepas dari pengamatan beberapa pihak. Terutama para
pemimpin padepokan y ang sejak semula mengetahui, bahwa
di tempat itu memang ada sebuah padepokan y ang disebut
padepokan Suriantal y ang dihuni oleh orang-orang dari
perguruan Suriantal. Namun agaknya telah terjadi perubahan-perubahan di
padepokan itu. Perubahan bukan sekedar perubahan kecil.
Tetapi justru perubahan yang sangat mendasar.
Hubungan yang terbuka antara padepokan yang dikenal
bernama Suriantal itu dengan padukuhan-padukuhan di
sekitarnya telah m enarik perhatian pula. Namun keterbukaan
itu telah mempermudah pula bagi orang-orang y ang ingin
mendapat keterangan tentang padepokan itu.
Namun ternyata bahwa tidak banyak yang dapat
diketahui oleh orang-orang padukuhan di sekitar padepokan
itu tentang keadaan di dalam dinding padepokan. Meskipun
mereka dapat bergaul dengan wajar, sebagaimana seharusnya
hubungan antara tetangga, namun per soalan yang bersifat ke
dalam, ternyata dapat dipegang teguh kerahasiaannya oleh
orang-orang padepokan. Tidak seorang pun y ang pernah
berceritera tentang usaha mempersatukan ilmu bagi para
penghuni padepokan itu. Tidak ada ceritera tentang
peningkatan kemampuan bagi beberapa orang y ang b ertugas
untuk memimpin kelompok-kelompok serta membantu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tidak pula terdengar berita
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m enunjuk pula
sekelompok anak-anak m uda terpilih untuk calon pemimpin
di masa datang, y ang m endapat tempaan ilmu dengan keras
dan berat. Yang diketahui oleh orang-orang padukuhan di sekitar
padepokan itu adalah, bahwa orang-orang padukuhan
Suriantal itu sering menjual hasil sawah dan pategalan mereka
yang lebih ke pasar. Bahkan ternyata bahwa di dalam
padepokan itu kemudian telah terdapat pula pande besi yang
mampu membuat alat-alat pertanian dan pertukangan yang
dapat dijual kepada orang-orang padukuhan yang
membutuhkan. Namun kadang-kadang orang-orang
padukuhan itu diminta untuk meny ediakan beberapa ekor
ay am yang akan dibeli oleh orang-orang padepokan.
Tetapi ternyata bahwa pada kesempatan terakhir, orangorang
padepokan itu telah beternak pula.
Orang-orang dari beberapa perguruan y ang mencium
perubahan-perubahan yang mendasar terjadi di padepokan
Suriantal itu tidak berhasil mendapat keterangan lebih jauh.
Orang-orang padukuhan hanya mengetahui, bahwa kini
hubungan mereka dengan padepokan itu menjadi lebih
terbuka. "Yang belum dapat dilakukan oleh orang-orang
padepokan itu adalah menenun bahan pakaian," berkata salah
seorang padukuhan yang ditemui oleh seorang y ang tidak
dikenal. "Jadi m ereka dapat membuat senjata sendiri?" b ertanya
orang itu. "Yang kami tahu, mereka dapat membuat alat-alat
pertanian. Seperti cangkul, sabit, parang, pisau dan beberapa
macam alat yang lain. Bahkan ani-ani mereka telah membuat.
Tetapi entahlah apa mereka dapat membuat senjata atau
tidak," jawab orang padukuhan itu.
"Kalau mereka dapat membuat parang dan barangkali
kapak, maka mereka tentu dapat membuat senjata," desis
orang y ang tidak dikenal itu.
Tetapi orang padukuhan y ang diajak b erbicara itu tidak
juga mengerti. Karena itu ia tetap menggeleng sambil
menjawab, "Aku tidak mengerti."
"Aku tidak bertanya, dungu," orang y ang tidak dikenal
itu menjadi jengkel, "tetapi aku justru memberitahukan
kepadamu, bahwa jika mereka dapat membuat alat-alat
pertanian dan pertukangan, m aka mereka tentu dapat pula
membuat senjata." Orang padukuhan itu m engangguk-angguk. Ia m emang
tersinggung, tetapi melihat bentuk tubuh dan kekerasan wajah
orang y ang tidak dikenal itu, maka orang padukuhan itu pun
tidak berani berbuat apa-apa.
Namun ternyata bahwa sikap itu telah membekas di
dalam hati orang padukuhan itu.
Pa da saat y ang lain, ketika ia bertemu dengan salah
seorang penghuni padepokan itu, maka orang y ang disakiti
hatinya itu telah berbicara, bahwa ternyata ada orang yang
memperhatikan perkembangan di padepokan itu.
"Mereka orang-orang kasar," berkata orang padukuhan
yang ter singgung itu. Lalu, "Maaf, sekasar orang-orang
padepokan Suriantal dahulu. Aku katakan dahulu. Bukan
sekarang. Sebenarnyalah memang telah t erjadi perubahan
sikap orang -orang padepokan Suriantal."
Orang yang diberitahu tentang orang a sing itu pun
tersenyum. Katanya, "Sekarang pun kami masih sering berlaku
kasar." Ia berhenti sejenak, lalu "tetapi apa saja y ang ingin
diketahuinya?" "Terutama tentang kemampuan orang-orang padepokan
itu membuat senjata. He, apakah kalian dapat membuat
senjata" Yang kami ketahui kalian dapat membuat alat-alat
pertanian dengan baik. Tetapi senjata kami tidak tahu."
Orang padepokan itu justru malah tertawa. Katanya,
"Untuk apa kami membuat senjata?"
"Untuk m embela diri. He, kau juga membawa pedang,"
berkata orang padukuhan itu.
"Jika kami satu-satu sudah m enyandang pedang, tentu
kami tidak memerlukan senjata lagi," jawab orang padepokan
itu. "Jika senjata kalian rusak?" bertanya orang padukuhan
itu. "Senjata jarang sekali rusak, karena memang jarang
dipergunakan. Apalagi sekarang. Kami ingin berhubungan
dengan baik dengan siapa pun juga. Kami tidak mimpi untuk
berkelahi. Bukankah lebih baik kita bersahabat daripada
bermusuhan?" "Tetapi jika padepokan itu diserang?" desak orang
padukuhan. "Tentu kami membela diri. Bukankah keadaan y ang
demikian itu bagi kami sekarang jarang sekali terjadi?" jawab
orang padepokan y ang masih saja disebut Suriantal.
Orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Aku akan menyampaikan tentang apa
yang aku alami." Orang padepokan itu dengan serta merta menyahut,
"Baiklah. Aku mengucapkan terima kasih atas keteranganmu.
Mungkin akan berarti bagi kami, seisi padepokan."
"Mudah-mudahan tidak ada niat buruk dari orang a sing
itu. Mudah-mudahan ia hanya sekedar ingin tahu," berkata
orang padukuhan itu pula.
Namun agaknya hal itu menjadi bahan laporan y ang
disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tertarik
pada laporan itu. Karena itu, m aka ia pun telah menugaskan
beberapa orang padepokan untuk mengadakan pengamatan
tandingan. "Kita akan bekerja sama dengan para penghuni
padukuhan di sekitar padepokan ini. Atas persetujuan mereka
kita akan m enempatkan orang-orang kita untuk mengawasi
orang-orang asing yang berkeliaran di padukuhan itu," berkata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
berpesan agar mereka jangan menyakiti hati orang-orang
padukuhan itu. "Selama ini mereka telah memberikan bantuan
kepada kita. Kita harus memelihara hubungan baik itu."
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memberikan pesan kepada setiap orang yang
ditugaskannya untuk berada di padukuhan, agar kehadiran


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka justru tidak merugikan padepokan mereka yang
sedang mereka bina itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendapat bantuan sepenuhnya dari padukuhan-padukuhan di
sekitarnya. Orang asing y ang mencari keterangan tentang
padepokan itu, tidak hanya terbatas pada satu dua padukuhan.
Tetapi beberapa padukuhan telah didatangi orang y ang ingin
tahu beberapa hal tentang padepokan itu.
Ketika hal itu dibicarakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dengan para pemimpin padepokan, termasuk orang tua
yang banyak berbincang dengan kedua Putut muda itu, maka
para penghuni padepokan itu telah memutuskan untuk
mempertinggi kesiagaan. "Putut-putut muda," berkata orang tua itu, "belum lagi
lahir satu perguruan baru, maka sudah ada orang y ang ingin
menjajagi tingkat kemampuan ilmu padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Aku tidak tahu,
untuk apa sebenarnya orang-orang perguruan itu demikian
ingin tahu tentang kelahiran saudara -saudaranya. Jika kita
dapat menganggap bahwa setiap kelahiran akan dapat
memperbanyak sahabat, maka tentu tidak akan ada sikap
seperti itu." "Tetapi banyak orang y ang berpandangan justru
kebalikannya. Kehadiran perguruan baru akan dapat menjadi
sa ingan dari perguruan yang sudah ada," jawab orang tua itu.
" Ini disebabkan oleh ketamakan kita," berkata Mahisa
Pukat, " sementara belum ada sesuatu y ang dilakukan oleh
orang lain, kita sudah merasa akan kehilangan."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Sebenarnyalah seperti y ang kalian katakan. Tetapi kita tidak
dapat meninggalkan kesiagaan. Keny ataan yang mungkin
pahit itu, harus kita hadapi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Memang kita
tidak mempunyai pilihan lain."
Dalam pada itu, maka para petugas yang berada di
padukuhan-padukuhan melihat orang -orang asing itu semakin
sering. Dengan saksama mereka mengikuti perkembangan itu
dan selalu melaporkannya kepada pimpinan padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun semakin menyadari
kedudukan padepokan yang semakin gawat.
Ketegangan yang semakin memuncak itu kemudian
menjadi lebih tajam lagi ketika sekelompok orang ternyata
telah mendekati pintu gerbang padepokan y ang masih
bernama Suriantal itu. Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memerintahkan agar kesiagaan padepokan itu tidak boleh
dapat segera dilihat oleh orang-orang y ang akan datang ke
padepokan itu. "Jangan m emancing ketegangan. Mungkin niat mereka
baik. Tetapi kesiagaan kita m embuat mereka menjadi curiga
dan mengambil langkah-langkah y ang mengarah pada
permusuhan," berkata Mahisa Murti.
Para pemimpin kelompok pun kemudian dengan cepat
mengatur orang-orangnya sehingga sama sekali tidak
menunjukkan, betapa padepokan itu sudah siap menghadapi
segala kemungkinan. Kegiatan sehari-hari y ang semakin luas,
nampak berjalan seperti biasa. Di salah satu sudut padepokan
itu, nampak perapian pande besi masih menyala. Bahkan
beberapa orang y ang bekerja di tempat itu m asih berkeringat
meskipun nampaknya mereka sedang beristirahat. Sedangkan
yang lain sibuk menjemur hasil sawah. Jagung dan kedele.
Petugas yang berada di reg ol padepokan itu telah
menyapa sekelompok orang yang dengan ragu-ragu mendekati
regol itu. Seorang y ang agaknya pemimpin mereka telah
menemui pemimpin petugas di regol itu.
"Ki Sanak," berkata pemimpin petugas di reg ol, "apakah
maksud Ki Sanak mendekati reg ol padepokan kami?"
"Maaf Ki Sanak. Padepokan apakah namanya padepokan
ini sekarang" Atau mungkin nama sebuah perguruan?"
bertanya pemimpin kelompok itu.
"Padepokan ini sejak semula bernama padepokan
Suriantal. Di sini tidak ada sebuah perguruan y ang utuh.
Pa depokan ini seakan-akan telah kehilangan ujudnya. Namun
kami y ang ada di padepokan ini telah menyatakan satu
keinginan untuk menjadi satu keluarga besar yang bulat,
meskipun kami berasal dari beberapa perguruan yang
terpecah-pecah," jawab pemimpin penjaga itu.
Orang-orang yang mendatangi padepokan itu
mengangguk-angguk. Menurut dugaan mereka, isi padepokan
itu m emang pecahan-pecahan dari beberapa perguruan yang
sudah surut. Namun mereka ternyata sudah mendapat keterangan
dari beberapa orang yang melihat perkembangan yang
berbeda di padepokan itu meskipun tidak terlalu jelas bagi
mereka. Namun agaknya telah tercium pula berita, bahwa ada
usaha untuk menjadikan padepokan itu satu kesatuan ilmu
yang baru, y ang tentu akan disebut sebuah perguruan.
Karena itu, maka pemimpin dari sekelompok orang itu
pun k emudian berkata, "Siapakah pemimpin dari padepokan
ini sekarang" Mungkin seorang Ajar, seorang Panembahan
atau gelar lain yang dipergunakan. Atau barangkali seorang
mPu yang mumpuni atas segala macam ilmu lahir dan batin."
"Tidak Ki Sanak," jawab pemimpin petugas y ang berada
di reg ol, "tidak ada seorang mPu disini. Yang ada hanyalah dua
orang Putut y ang masih sangat muda, y ang sekarang
memimpin padepokan ini untuk sementara."
"Dua orang Putut?" ulang pemimpin kelompok itu,
"Putut dari perguruan mana" Ia berada di padepokan ini tentu
atas nama gurunya." "Tidak," jawab pemimpin dari petugas di reg ol,
"keduanya memimpin padepokan ini atas nama mereka
sendiri." Tetapi pemimpin kelompok itu terseny um. Katanya,
"Tentu tidak. Tetapi baiklah. Aku m inta ijin untuk m enemui
kedua orang Putut itu."
"Kami akan menyampaikannya," jawab pemimpin dari
para petugas di regol itu.
"Silahkan," jawab pemimpin dari kelompok y ang datang
itu. Lalu, "katakan, bahwa kami datang atas nama tiga
perguruan yang ingin berkenalan dengan perguruan y ang kini
tinggal di padepokan Suriantal atau barangkali telah
diperbaharui namanya."
Pemimpin dari para petugas di regol itu pun kemudian
memerintahkan dua orang petugas untuk menyampaikan
pesan dari sekelompok orang y ang meny ebut diri mereka atas
nama tiga buah perguruan, untuk bertemu dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah
mendapat laporan bahwa sekelompok orang telah mendekati
padepokan sejak pintu regol masih belum dibuka. Karena itu,
mereka pun sudah bersiap-siap untuk menerimanya.
Ketika dua orang petugas itu menyampaikan kepada
mereka maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
memerintahkan agar mereka dipersilahkan menunggu di
pendapa bangunan induk. "Berapa orang y ang memasuki padepokan ini?" bertanya
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.
"Sekitar sepuluh orang," jawab petugas itu.
"Baiklah," jawab Mahisa Murti, "kami segera datang."
Ketika sekelompok orang itu telah berada di pendapa,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah pergi ke
pendapa itu pula untuk menemui mereka.
Beberapa orang y ang datang ke padepokan itu memang
tidak percaya bahwa y ang memimpin padepokan itu tidak
lebih dari kedua orang anak muda itu. Mereka yakin bahwa
tentu ada orang lain yang mengendalikan kedua orang anak
muda itu m emimpin padepokan yang dapat dianggap sebuah
padepokan y ang besar dengan jumlah orang y ang cukup
banyak tinggal di dalamnya. Apalagi orang -orang itu terdiri
dari orang-orang y ang berasal dari banyak perguruan.
Sehingga tentu agak sulit untuk dapat mengikat mereka dalam
satu kesatuan. Karena itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperkenalkan diri sebagai dua orang Putut yang
memimpin padepokan itu, maka orang y ang memimpin
sekelompok orang y ang datang ke padepokan itu terseny um
sambil berkata, "Anak-anak muda. Aku percaya bahwa kalian
adalah dua orang Putut y ang terpercaya. Tetapi siapakah yang
menjadi pelindung kalian" Atau katakan, .siapakah guru kalian
yang mengendalikan kalian memimpin padepokan ini?"
"Tidak ada orang lain Ki Sanak," jawab Mahisa Murti,
"kami berdualah yang memimpin padepokan ini. Tugas kami
berdua ternyata sangat ringan. Mungkin kalian
membayangkan, bahwa seorang pemimpin dari sebuah
padepokan harus seorang yang sudah tua?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang tidak harus seorang y ang sudah tua. Tetapi semakin
tua seseorang, tentu pengalamannya akan menjadi semakin
banyak dan mengendap. Karena itu maka agaknya lebih
pantas jika seorang yang sudah cukup umurnya sajalah yang
pantas memimpin sebuah padepokan. Jika kalian berada di
sini dan dianggap sebagai pemimpin, maka kalian tentu
bertindak atas nama guru kalian."
"Guru kami adalah ayah kami sendiri," jawab Mahisa
Pukat, "sedangkan ayah sama sekali tidak tahu menahu
tentang padepokan ini. Karena itu, maka kamilah yang dengan
kemampuan kami sendiri memimpin padepokan ini."
Tetapi orang itu tertawa. Bahkan orang-orang y ang lain -
pun tertawa pula. Dengan nada rendah orang itu berkata, "jadi
masih juga orang itu kalian rahasiakan?"
"Kami tidak m erahasiakan seseorang," berkata Mahisa
Murti, "tetapi jika kalian tetap tidak percaya dan menganggap
bahwa ada orang lain di belakangku, terserah sajalah. Bagi
kami berdua hal itu tidak akan menjadi masalah." Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berhenti sejenak, lalu "Nah, apakah
keinginan Ki Sanak datang ke padepokan ini?"
"Sebenarnya, kami atas nama tiga perguruan ingin
memperkenalkan diri dengan pemimpin tertinggi padepokan
ini. Atau setidak-tidaknya kami akan dapat kepastian, apakah
pemimpin tertinggi dari padepokan ini dapat meny ertai
pertemuan para pemimpin tertinggi beberapa padepokan yang
kami anggap besar dan pantas untuk diundang."
"Pertemuan apa?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang y ang agaknya memimpin kelompok yang datang
ke padepokan itu termangu-mangu. Sejenak ia berpaling
kepada kawan-kawannya. Namun kemudian katanya, "Kami
tidak dapat mengundang orang lain kecuali pemimpin
tertinggi dari padepokan ini. Semua yang akan hadir dalam
pertemuan itu adalah beberapa orang pemimpin tertinggi."
"Kami tidak mempunyai pemimpin tertinggi di sini,"
jawab Mahisa Murti, "beberapa kali sudah kami beritahukan."
"Kalian m erendahkan derajad kami. Kami m engundang
orang-orang y ang pantas duduk bersama para pemimpin
padepokan. Tidak untuk beberapa orang Putut," jawab orang
itu. "Terserahlah kepada kalian," jawab Mahisa Murti,
"diundang atau tidak diundang bukanlah masalah kami. Tetapi
pemimpin padepokan ini adalah kami berdua. Jika kalian
menganggap derajad kami belum setingkat dengan derajad
kalian, maka jangan mengundang kami. Karena sebenarnyalah
tegak dan condongnya padepokan ini tidak terletak di tangan
kalian, atau pada pertemuan y ang akan kalian selenggarakan."
"Kata-katamu menyakitkan hati kami," berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kalian telah menghina kami," jawab Mahisa Pukat,
"apakah kau kira sikapmu tidak menyakiti hati kami?"
"Jika pemimpin tertinggi padepokanmu ini tidak terlalu
sombong dengan menolak berhubungan dan m enerima kami,
apakah itu bukan satu sikap yang sangat t ercela di antara para
pemimpin padepokan?" berkata salah seorang di antara
mereka. "Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "kalian ini sebenarnya
pemimpin dari padepokan mana?"
Orang-orang itu tertegun. Pertanyaan itu memang telah
menyudutkan mereka. Namun mereka memang tidak akan
berani melanggar hak para pemimpin padepokan mereka.
Karena itu, mau tidak mau maka pemimpin dari kelompok itu
menjawab, "Kami bukan pemimpin tertinggi di padepokan
kami. Tetapi kami mengakui bahwa ada orang y ang berada di
puncak kepemimpinan padepokan-padepokan kami. Dan kami
datang atas nama mereka, sehingga pembicaraan y ang kami
sampaikan sama nilainya dengan ucapan para pemimpin
padepokan-padepokan kami. Tetapi karena kau tidak
mengakui kepemimpinan yang lebih tinggi dari padepokan ini,
maka kata-katamu tidak sama nilainya dengan kata-kata yang
sebenarnya akan diucapkan oleh pemimpinmu, karena
barangkali pemimpinmu atau gurumu akan bersikap lain dari
sikapmu ini." "Ki Sanak," Mahisa Pukat hampir kehilangan kesabaran,
"jika kalian datang sekedar untuk menghina kami, maka kami
persilahkan kalian meninggalkan kami. Kami tidak
memerlukan Ki Sanak. Ki Sanak datang atas kehendak Ki
Sanak sendiri." Wajah orang-orang itu menjadi merah. Orang y ang
memimpin kelompok itu berkata, "Kalian benar-benar anakanak
yang sombong. Seharusny alah kalian menyadari, bahwa
langsung atau tidak langsung kalian berhadapan dengan tiga
padepokan. Apakah kalian tidak menyadari, bahwa sikap
kalian itu merupakan tantangan bagi kami?"
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "memang tidak ada
cara untuk menyalahkan kalian. Tetapi apakah sikap kalian itu
bukan satu sikap deksura" Kalian datang ke tempat kami,
kemudian tidak mempercayai kami dan mengucapkan katakata
y ang menyinggung perasaan kami. Nah, apakah yang
pantas kami lakukan selain mempersilahkan kalian
meninggalkan padepokan ini?"
"Baik," berkata pemimpin dari sekelompok orang y ang
datang itu, "kami akan meninggalkan tempat ini tanpa


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan undangan kepada kalian yang tidak sederajad
dengan para pemimpin padepokan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut.
Mereka telah berusaha untuk menahan diri sejauh dapat
mereka lakukan. Sejenak kemudian, maka sekelompok orang itu telah
minta diri. Namun di regol padepokan seorang di antara
mereka berkata, "Ingat. Kami mewakili tiga padepokan."
Namun Mahisa Pukat menjawab, "Padepokan ini terdiri
dari mereka yang berasal dari beberapa padepokan. Tidak
hanya tiga, tetapi enam padepokan."
Orang-orang itu mengerutkan keningnya, sementara
Mahisa Pukat berkata selanjutnya, "Kami juga akan
mengadakan pertemuan dari enam padepokan untuk
menandingi pertemuan y ang kalian lakukan."
Orang-orang itu tidak m enjawab. Namun mereka pun
segera meninggalkan padepokan Suriantal itu.
Sepeninggal orang-orang itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah m emanggil para pemimpin kelompok di
padepokan itu serta mereka y ang mendapat tugas di
padukuhan di sekitar padepokan itu. Dengan singkat kedua
anak muda itu telah menjelaskan apa y ang baru saja terjadi.
"Mereka sama sekali tidak akan mengundang siapapun,"
berkata orang yang dianggap tertua di padepokan itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Mahisa
Murti. "Mereka sekedar ingin melihat-lihat padepokan ini,"
berkata orang tua itu, "untunglah bahwa yang kita lakukan di
sini tidak sangat menarik perhatian mereka kecuali orangorang
y ang berjalan hilir mudik."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Kita harus
berhati-hati. Kita tidak boleh lengah menghadapi perguruan
yang masih belum sempat berdiri ini. Aku kira pada suatu saat
mereka akan kembali dengan kekuatan y ang besar apa pun
alasannya. Mungkin penghinaan, mungkin kesombongan atau
mungkin apa pun yang mereka katakan."
Para pemimpin kelompok di padepokan itu pun
menyadari bahwa mereka memang harus berhati-hati. Belum
lagi perguruan m ereka lahir, agaknya telah ada sekelompok
orang y ang merasa disaingi.
Ternyata kenyataan yang dihadapi oleh sekelompok
orang yang datang ke padepokan yang masih saja disebut
Suriantal itu telah m erupakan jawaban dari pertanyaan yang
sebenarnya memang mereka bawa untuk diy akinkan
jawabannya. Dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mereka benarbenar
telah mendapat jawaban, bahwa di padepokan itu tidak
ada seorang pemimpin y ang dianggap cukup memiliki ilmu
yang mumpuni. "Betapa tinggi ilmu anak-anak muda itu, namun seumur
mereka tidak akan dapat mereka capai satu tataran yang perlu
dicemaskan," berkata orang y ang memimpin sekelompok
orang y ang datang ke padepokan itu.
Sebenarnyalah bahwa sekelompok orang itu datang dari
tiga buah padepokan. Mereka memang ingin mengetahui
secara pasti, isi dari padepokan itu. Usaha mereka untuk
meyakinkan dugaan m ereka t elah berhasil. Di padepokan itu
hanya terdapat dua orang Putut muda.
Kepastian itulah yang kemudian akan mereka sampaikan
kepada pemimpin padepokan mereka masing-masing yang
telah berkumpul untuk menunggu utusan mereka itu.
Laporan yang disampaikan oleh sekelompok orang itu
memang telah m enggembirakan mereka. Dengan nada tinggi
salah seorang dari para pemimpin kelompok itu berkata, "Kita
hapus saja padepokan itu."
"Maksudmu?" bertanya pemimpin padepokan y ang lain.
"Buat apa kita membiarkan padepokan itu tetap berdiri,
sementara kami tidak dapat mengharapkan apa pun dari
padanya," berkata pemimpin padepokan y ang pertama, "lebih
baik kita hancurkan saja padepokan itu, sementara tempat
yang ditinggalkannya akan menjadi satu lingkungan baru buat
kita. Selebihnya, kita tidak y akin bahwa pendapat mereka akan
sesuai dengan pendapat kita tentang hubungan antara Kediri
dan Singasari." "Menurut pendengaran kita dari mereka y ang
melakukan tugas sandi, dari beberapa pihak diketahui bahwa
para pemimpin dari padepokan itu adalah adik dari Akuwu
Sangling," berkata pemimpin padepokan y ang lain.
"Adik Akuwu Sangling," bertanya pemimpin padepokan
yang pertama. "Ya," jawab yang memberitahukan hal itu.
"Jika demikian tentu lebih baik," berkata pemimpin
padepokan y ang pertama, "mereka tentu akan memilih
Singasari daripada Kediri. Kegagalan demi kegagalan telah
terjadi karena perlawanan dilakukan dari dalam lingkungan
istana. Kita akan mencoba untuk memulainya dari padepokanpadepokan,
namun kita juga harus berusaha untuk dapat
menggerakkan orang-orang istana. Dahulu Akuwu Tumapel
yang kemudian menjadi Sri Maharaja Singasari y ang pertama
memanfaatkan kekecewaan para pemimpin di bidang
kerohanian untuk mengalahkan Kediri. Sekarang keadaannya
sudah berbeda, sehingga kekuatan y ang ada di Kediri akan
dapat dimanfaatkan."
"Ya," jawab pemimpin padepokan yang lain, "kita
manfaatkan untuk kepentingan yang sebalikny a. Kediri harus
dapat menguasai Singasari. Dengan demikian, maka
kedudukan dan martabat orang-orang Kediri akan m eningkat
di mata orang Singasari. Kita pun akan mendapat kesempatan
untuk mendapatkan kedudukan dan tempat y ang jauh lebih
baik dari y ang kita miliki sekarang. Mungkin sebuah
padepokan dan Tanah Perdikan di sekitarnya meskipun di
tlatah Singasari di luar Kediri sekarang."
"Tanah Perdikan merupakan keinginan yang sampai
sekarang belum terpenuhi dalam keadaan susunan
pemerintahan seperti ini," berkata pemimpin padepokan yang
pertama. Dengan demikian maka mereka pun telah sepakat untuk
mematahkan sebatang bibit y ang baru akan bersemi.
"Sebelum padepokan itu benar -benar tumbuh dan akan
menjadi pendukung kekuatan kuasa Singasari di antara
padepokan-padepokan yang ada, maka lebih baik kita
hancurkan secepatnya," sahut y ang lain.
Demikianlah, maka para pemimpin padepokan itu telah
memutuskan untuk segera mempersiapkan diri. Mereka setuju
untuk bersama-sama menghancurkan padepokan Suriantal.
Sebenarnyalah bahwa ketiga padepokan itu bersumber
dari padepokan y ang satu. Tetapi tiga orang murid terpilih
telah m endapat wewenang untuk mendirikan padepokan dan
perguruan masing -masing dengan nama yang sama.
Perguruan Windu Putih. Karena itulah maka perguruan Windu Putih memang
sebuah perguruan y ang berpengaruh. Jika sekelompok orang
yang datang ke padepokan Suriantal meny ebut bahwa mereka
datang dari perguruan Windu Putih, maka sebagian besar
orang-orang Suriantal tentu sudah pernah mendengarnya.
Nampaknya perguruan itu tidak ingin membuang waktu
terlalu banyak. Mereka memang tidak sekedar ingin
memperluas pengaruh mereka dengan menduduki padepokan
Suriantal, namun mereka juga memerlukan orang-orang yang
cukup banyak untuk memperkuat barisan mereka. Jika
padepokan Suriantal benar-benar dapat dihancurkan maka
orang-orangnya mau tidak mau akan menjadi tawanan
mereka. Dalam keadaan y ang demikian, m aka tawaran untuk
menyatukan diri dengan kedudukan y ang lebih baik dari
seorang tawanan tentu akan diterima.
(Bersambung ke Jilid 52).
Jilid 052 PERSIAPAN-persiapan y ang sungguh-sungguh pun
telah dipersiapkan. Latihan-latihan yang melampaui kebia saan
serta hubungan y ang terus menerus diantara ketiga padepokan
itu. Namun sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah mempersiapkan diri pula menghadapi segala
kemungkinan. Karena kemudaan m ereka, ia ternyata mampu
bergerak cepat dan keras sehingga kemajuan-kemajuan pun
dapat dicapai dengan segera.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggap
bahwa kehadiran sekelompok orang ke padepokannya itu
bukan sekedar bermain-main. Kedua anak muda itu merasa
bahwa tanpa seorang y ang dianggap pemimpin tertinggi yang
memiliki kemampuan mumpuni dalam olah kanuragan dan
olah kajiwan, maka padepokan itu dapat dianggap sebagai
padepokan yang tidak mempunyai pelindung y ang berarti.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
ingin padepokannya menjadi korban. Jika benar orang-orang
berilmu tinggi y ang memimpin tiga buah padepokan akan
datang, maka diperlukan tiga orang untuk mengimbangi
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan dapat
mengharapkan kakak mereka, Mahisa Bungalan untuk ikut
bersama mereka karena tugas-tugasnya. Karena itu, maka
kedua orang anak muda itu sepakat untuk menghubungi
Mahendra. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat
meninggalkan padepokan itu. Keduanya cemas bahwa justru
pada saat mereka pergi, orang-orang yang menganggap
padepokan itu sebagai padepokan y ang kurang genap itu
datang kembali dengan maksud buruk.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memerintahkan dua orang terbaik dari padepokan itu untuk
pergi ke Singasari. Dengan ancar -ancar y ang jelas keduanya
diminta datang ke rumah Mahendra dan mohon agar ayahnya
itu bersedia datang ke padepokannya. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sengaja tidak memberitahukan persoalan itu
kepada paman-pamannya Mahisa Agni dan Witantra yang
sudah terlalu tua, sehingga mereka sudah tidak pantas lagi
untuk melakukan perjalanan y ang terlalu jauh.
"Hati-hatilah," pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua orang padepokan Suriantal itu pun meninggalkan
padepokan di pagi-pagi benar di hari berikutnya.
Keduanya menempuh perjalanan panjang dan berpacu
dengan waktu. Tetapi agaknya orang -orang perguruan Windu
Putih tidak segera bertindak. Mereka masih menghimpun
kekuatan dan pertimbangan-pertimbangan lain sehingga
mereka masih belum mulai bergerak.
Ternyata bahwa kedua orang padepokan Suriantal itu
berhasil mendahului gerakan orang-orang Windu Putih.
Keduanya telah kembali bersama dengan Mahendra setelah
menempuh perjalanan y ang melelahkan.
"Silahkan beristirahat," berkata Mahisa Murti kepada
kedua orang yang kelelahan itu. Namun sementara itu
Mahendra y ang tua itu agaknya tidak nampak terlalu letih
seperti kedua orang y ang menjemputnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
menceriterakan kehadiran sekelompok orang y ang mengaku
berasal dari tiga perguruan. Mereka merasa tersinggung ju stru
karena di padepokan itu tidak ada seorang yang dianggap
sebagai pemimpin tertinggi.
Mahendra m engangguk-angguk. Dengan nada berat ia
berkata, "Jadi kalian sudah bertekad untuk mendirikan sebuah
perguruan?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab sambil
menundukkan kepalanya, "Ya ayah."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan
mengangguk kecil Mahendra berkata, "Kalian masih t erlalu
muda. Tetapi jika itu memang sudah menjadi keputusan
kalian apa boleh buat. Aku kira orang -orang y ang datang itu
menyimpan di dalam hati mereka, pengertian bahwa di
padepokan ini tidak ada orang tua yang menjadi pelindungnya.
Mereka akan datang untuk mengambil alih, apapun tujuan
mereka yang sebenarnya. Mereka akan segera meny ebut
padepokan ini dengan nama padepokan mereka dan
menjadikan tempat ini sebagai landasan bagi gerakan-gerakan
mereka berikutnya." "Kami juga memperhitungkan kemungkinan itu ay ah,"
sahut Mahisa Pukat, "karena itulah m aka kami mohon ay ah
datang. Jika benar yang datang itu tiga buah padepokan, maka
berarti bahwa harus ada orang sedikitnya tiga untuk
mengimbangi kekuatan mereka."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan berada di padepokan ini. Tetapi aku bukan pemimpin
dari padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada ay ah m ereka yang telah
bersedia berada di padepokan itu.
Namun di satu pagi, ketika cahaya matahari mulai
menguak kelamnya sisa malam, seseorang telah berdiri di
depan regol padepokan Suriantal. Dengan sikap y ang tidak
dimengerti orang itu berdiri saja tanpa berbuat sesuatu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang mendapat laporan
itu pun segera pergi ke regol, justru bersama ayah mereka
Mahendra. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat rasa-rasanya
pernah melihat orang itu. Karena itu, maka keduanya pun
telah melangkah mendekatinya diikuti oleh Mahendra.
Bagaimanapun juga ketiganya telah bersiaga sepenuhnya,
karena mereka tidak tahu, siapakah dan untuk apakah ia
datang. Ketika mereka bertiga telah menjadi semakin dekat,
maka orang itu pun berkata, "Apakah kalian tidak ingat lagi
kepadaku. Aku adalah guru dari Akuwu Sangling y ang lama,
yang digantikan oleh Akuwu yang sekarang, Mahisa
Bungalan." "Oo," Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Dengan nada ragu Mahisa Murti berkata, "Untuk apa kau
kemari?" "Aku ingin mengunjungi kalian. Apakah kalian
berkeberatan?" bertanya orang itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak segera
dapat menjawab. Namun Mahendra lah yang menjawab,
"Marilah. Silahkan Ki Sanak."
Orang itu m engangguk hormat. Katanya, "Terima kasih
atas penerimaan yang baik dari kalian semuanya."
Demikianlah Mahendra diiringi oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah m empersilahkan tamu m ereka memasuki
bangunan induk padepokan Suriantal. Mereka duduk di
pendapa, sementara di regol beberapa orang sedang
membicarakan tamu yang agaknya menarik perhatian itu.
"Aku harap kalian tidak lupa kepadaku," berkata orang
yang meny ebut guru Akuwu Sangling y ang lama itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Dengan
nada berat Mahisa Murti berkata, "Aku ingat itu."
"Baiklah," berkata orang itu, "jika demikian maka
kedatanganku tidak akan sia -sia."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Sementara itu Mahendra pun bertanya, "Apakah
keperluan Ki Sanak datang ke padepokan ini?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Dahulu
sebuah batu yang berwarna kehijauan sangat menarik
perhatian orang. Namun sekarang, setelah batu itu tidak ada
di sini, m aka padepokan yang tumbuh dan berkembang ini
pun tetap menarik perhatian orang lain."
"Apakah maksud Ki Sanak?" bertanya Mahendra.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku adalah orang yang telah menyatakan diri untuk
membantu setiap kesulitan y ang terjadi di Sangling dibawah
perintah Akuwu yang sekarang ini, sebagai tebusan kesalahan
anak muridku y ang memerintah sebelumnya. Tentu saja
sejauh kemampuan y ang ada padaku. Namun ketika aku
mendengar bahaya y ang mengancam padepokan ini, yang
dipimpin oleh dua orang anak muda adik Mahisa Bungalan
yang m enjadi Akuwu di Sangling sekarang, ternyata aku juga
tidak sampai hati untuk hanya berdiam diri saja."
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Bahaya yang mana yang Ki Sanak
maksudkan?" Orang itu merenung sejenak, namun kemudian katanya,
"Anak-anak m uda y ang memimpin padepokan ini. Menurut
pendengaranku, m aka perguruan Windu Putih telah bersiapsiap
untuk menebarkan sayapnya, yang akan meliputi
padepokan yang sedang berkembang ini. Perguruan Windu
Putih adalah perguruan y ang besar yang telah membagi diri
menjadi tiga perguruan. Meskipun semuanya masih juga
menyebut perguruan mereka dengan nama y ang sama, tetapi
masing-masing seakan-akan telah berdiri sendiri. Ketiga
perguruan itu telah siap untuk datang ke padepokan ini dan
berusaha untuk menghancurkannya dan merampas segala
isiny a termasuk mereka y ang akan meny erah."
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Jadi perhitunganmu benar, anak-anak."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk,
sementara Mahendra berkata kepada tamunya, "Sekelompok
orang y ang mengaku datang dari tiga padepokan telah datang
kemari tanpa menyebut nama padepokannya."
Orang yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling y ang
lama itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Mereka tidak bermain-main. Apa yang mereka lakukan
disini?" Mahisa Murti sempat menceritakan apa y ang telah
dilakukan oleh orang-orang y ang mengaku datang dari tiga
padepokan itu. "Mereka memang sedang mencari keterangan," berkata
guru Akuwu Sangling yang lama itu, "mereka pun k emudian
yakin, bahwa padepokan ini hanya ditunggui oleh anak-anak
muda saja." " Itulah sebabnya aku mengundang ayah kemari,"
berkata Mahisa Pukat. "Syukurlah," berkata orang itu. Namun kemudian
katanya, "Aku sebenarnya ingin menyatakan niatku untuk
membantu kalian. Karena semula aku tidak tahu bahwa ay ah
anak-anak muda telah berada disini pula."
"Kami mengucapkan terima kasih," berkata Mahendra,
"jika aku ada disini sebenarnyalah aku hanya sekedar
membesarkan hati anak-anakku. Kami akan sangat senang jika
Ki Sanak tetap berada disini sebagaimana Ki Sanak
rencanakan." Orang itu tersenyum kecil. Katanya, "Siapa y ang tidak
mengenal kemampuan i lmu ayah Mahisa Bungalan," berkata
guru Akuwu Sangling yang lama itu, "namun demikian jika
kalian berkenan, aku m emang ingin berada disini. Selain aku
memang ingin membantu sejauh dapat aku lakukan, aku pun
sebenarnya telah lama sekali mempunyai keinginan untuk
bertemu dengan Kiai Windu Putih secara pribadi."
"Kiai Windu Putih?" bertanya Mahendra.
"Orang meny ebutnya Kiai Windu Putih. Tetapi nama
sebenarnya adalah Kuda Santaka," jawab orang itu.
"Kuda Santaka," ulang Mahendra, "rasa-rasanya aku
sudah m endengar nama itu. Sebagai seorang yang berkeliling
untuk menjajakan barang-barang daganganku, maka pada
suatu saat aku m emang pernah berhubungan dengan orang
yang m enyebut diriny a Kuda Santaka. Tetapi ternyata bahwa
hubungan kami sebagai penjual dan pembeli tidak dapat
berpaut." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
berterima kasih jika aku diperkenankan membuat perhitungan
dengan orang y ang bernama Kuda Santaka itu. Mungkin anakanak
muda dan Ki Mahendra akan menuduhku memanfaatkan
keadaan untuk kepentingan pribadiku. Mungkin memang
demikian. Tetapi bukankah dengan demikian kita akan dapat
sal ing membantu. Sudah tentu aku seorang diri akan
mengalami kesulitan berhadapan dengan Kuda Santaka yang
telah mampu mengembangkan padepokannya menjadi tiga
buah padepokan. Sementara itu, barangkali disini tenagaku
akan dapat berarti bagi padepokan ini meskipun hanya
seorang diri." Mahendra ternyata telah mendahului anak-anaknya,
"Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak
bergabung dengan kami. Mudah-mudahan kami dengan
kekuatan y ang ada akan dapat mempertahankan diri dan
mempertahankan padepokan ini."
Orang yang meny ebut dirinya guru Akuwu Sangling itupun
kemudian berkata dengan nada berat, "Aku mengucapkan
terima kasih atas kepercayaan ini. Karena itu, maka aku
berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya dalam persoalan yang
menyangkut padepokan Windu Putih itu. Namun perlu kami
beritahukan bahwa padepokan Windu Putih yang sudah
menjadi tiga bagian itu, memiliki kekuatan yang sangat besar,
sehingga untuk itu, maka padepokan ini harus benar-benar
sudah siap menghadapinya."
"Kami sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.
Para penghuni padepokan ini sudah m elatih diri hampir di
setiap saat untuk meningkatkan kemampuan kami," berkata
Mahisa Murti, "namun bagaimanapun juga kemampuan kami
memang sangat terbatas."
"Bagaimanapun juga kita usaha sejauh mungkin sudah
dilakukan, maka hasilnya tentu akan berarti," berkata orang
yang meny ebut dirinya guru Akuwu Sangling itu.
Demikianlah, sejak saat itu, orang y ang meny ebut
dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu berada di
padepokan y ang masih saja disebut Suriantal. Sementara itu,
latihan-latihan di padepokan itu berlangsung semakin keras.
Para pemimpin kelompok telah m endapat penjelasan, bahwa
perguruan yang besar berusaha untuk menguasai padepokan
ini, sehingga karena itu, maka bagaimanapun juga padepokan
itu harus dipertahankan. Dalam pada itu, maka rencana perguruan Windu Putih
pun menjadi semakin matang. Padepokan yang semula
bernama Suriantal itu tidak boleh tumbuh dan berkembang
sehingga akan dapat mempersempit pengaruh perguruan
Windu Putih. "Kami agaknya memang sudah terlambat," berkata
orang y ang disebut Windu Putih, yang sebenarnya bernama
Kuda Santaka itu. "Kenapa t erlambat?" bertanya salah seorang muridnya
yang juga telah diserahi tanggung jawab atas sebuah
padepokan. "Seharusnya kami membuat per soalan dengan
padepokan itu di saat batu y ang berwarna kehijauan itu belum
diserahkan ke Singasari. Tetapi kini batu itu telah menjadi
sebuah patung sehingga kedua anak muda yang m emimpin
padepokan itu mendapat penghargaan yang tinggi dari Sri
Maharaja di Singasari," berkata Kiai Windu Putih.
"Biarlah," sahut seorang muridnya y ang lain, y ang juga
memimpin sebuah padepokan, "sekarang kita datang ke
padepokan itu dan mengambil segala isiny a, termasuk orangorang
y ang tersisa." Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai
Windu Putih berkata, "Terlambat atau tidak, kita akan
memasuki padepokan itu. Kedua anak muda itu tidak akan
banyak berarti bagi kita, sehingga tugas ini bukanlah tugas
yang terlalu berat. Sementara itu kita akan membawa pasukan
yang cukup besar untuk menghancurkan padepokan itu.
Namun kita harus berusaha sebanyak mungkin untuk
menawan penghuni padepokan itu, sehingga mereka akan
dapat kita jadikan budak-budak yang sangat berarti bagi kita,
karena m ereka akan mampu menjadi tenaga y ang baik bukan
sa ja di dalam kerja di padepokan, tetapi juga membantu di
peperangan. Asal mereka kita tebarkan di ketiga padepokan
dan kita pecah menjadi kelompok-kelompok kecil, maka
mereka tidak akan berbahaya lagi. Setiap hari kita makan
membuat jiwa mereka semakin kecil dan kerdil, sehingga
mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan."
Para pemimpin di padepokan itu m engangguk-angguk.
Mereka merasa bahwa mereka akan segera dapat
menyelesaikan tugas mereka tanpa mengalami kesulitan.
Pa da saat yang sudah ditentukan, maka para pemimpin
di ketiga padepokan itu telah meny iapkan pasukan mereka.
Dua diantara padepokan itu telah membawa pasukannya
berkumpul di padepokan y ang dipimpin oleh murid Kiai
Windu Putih y ang tertua. Dari padepokan itu, mereka akan
bersama-sama pergi ke padepokan Suriantal.
Jarak y ang akan ditempuh memang cukup jauh. Namun
jika padepokan itu jatuh, maka padepokan itu akan dapat
dikembangkan menjadi satu diantara padepokan dari
perguruan Windu Putih. Satu diantaranya akan dipimpin oleh
Kiai Windu Putih sendiri, y ang akan menjadi padepokan
induk, sementara tiga y ang lain akan dipimpin oleh ketiga
muridnya. Iring-iringan pasukan itu memang menempuh jalan
yang tidak sering dilalui oleh orang-orang padukuhan. Mereka
menempuh jalan melalui pinggir-pinggir hutan, kaki
pegunungan dan jika m ereka harus menempuh perjalanan di
jalan yang ramai, maka mereka terpaksa menunggu sampai
malam hari. Pa sukan itu ternyata berhasil lepa s dari penglihatan
prajurit peronda Sangling, meskipun iring-iringan itu melalui
daerah Sangling. Tetapi ternyata pasukan itu tidak terlepas
dari penglihatan petugas sandinya.
Dua orang petugas sandi berhasil m engikuti dari jarak
yang jauh. Namun ketika mereka yakin akan arah perjalanan
pasukan itu, maka keduanya menjadi cemas.
"Nampaknya mereka menuju ke padepokan Suriantal,"
berkata seorang diantara mereka.
"Satu pasukan y ang besar dari perguruan Windu Putih,"
sahut yang lain. "Jika mereka benar-benar menuju ke padepokan
Suriantal, maka padepokan itu akan terancam," berkata yang
pertama, "kekuatan itu tidak akan terlawan. Agaknya ketiga
pecahan perguruan Windu Putih terlibat di dalamnya."
"Kau ikuti terus pasukan itu. Amati apa yang m ereka
lakukan. Aku akan melaporkannya kepada Akuwu Sangling."
berkata yang seorang diantara kedua petugas sandi itu.
"Terlambat," sahut kawannya, "kapan kau akan sampai
ke Sangling, sementara padepokan Suriantal tinggal abunya
sa ja." "Aku akan berusaha mendapatkan seekor kuda dari
manapun," jawab kawannya pula.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kecuali
jika kau berhasil m endapatkan kuda sementara Sangling juga
menggerakkan pasukan berkuda."
Kawan termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Ya. Aku
akan mencari seekor kuda, dan mohon Akuwu Sangling untuk
menggerakkan pasukan berkuda berapa pun jumlahnya."
"Tetapi apakah ada juga orang yang dapat
mempercayaimu dan m eminjamkan seekor kuda" Kita sama
sekali tidak dikenal di sini," jawab y ang lain.
"Entahlah," berkata kawannya. "Aku belum tahu
bagaimana caranya. Tetapi aku harus mendapatkannya."
Ketika kawannya masih akan berbicara lagi, ia berkata,
"Jika kita berbicara saja, maka aku tidak akan segera pergi."
Kawannya hanya menarik nafas dalam-dalam,
sementara y ang lain telah meloncat pergi ke padukuhan
terdekat. Memang tidak mudah untuk dapat meminjam seekor
kuda. Apalagi kuda y ang baik. Karena itu, maka petugas sandi
itu bertekad untuk mengambil saja seekor kuda dan akan
diperhitungkan kemudian. "Tetapi jika terjadi per soalan dengan orang-orang
padukuhan maka akibatnya justru akan menghambat
perjalanan ini," berkata orang itu kepada diri sendiri.
Akhirnya orang itu telah memutuskan untuk pergi ke
rumah Ki Bekel di padukuhan y ang terdekat. Tetapi sudah
barang tentu ia tidak akan dapat menunjukkan ciri
kesatuannya sebagai pasukan sandi.
Agar per soalannya dapat menjadi cepat, maka orang itu
telah melepas timangnya y ang terbuat dari emas. Katanya,
"Aku tinggalkan timang emasku ini. Jika kuda itu kelak sudah
selesai, maka aku akan mengembalikannya."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Bekel sebenarnya ingin lebih banyak bertanya. Tetapi
ternyata orang y ang memerlukan seekor kuda itu begitu
tergesa -gesa, sehingga ia menunda pertanyaan sampai orang
itu mengembalikan kudanya itu.
Demikianlah, maka petugas sandi itu telah berpacu
menuju ke Sangling. Untunglah bahwa kuda Ki Bekel itu
adalah kuda y ang baik sehingga ia dapat berpacu cepat sekali.
Betapapun petugas itu tergesa -gesa, tetapi ia tidak dapat
memaksa kudanya berpacu tanpa beristirahat. Karena itu,
maka dalam saat-saat tertentu ia sudah berhenti di tempat
yang teduh. Di pinggir parit y ang berair jernih dan berumput
subur atau di tepian sungai y ang tidak terlalu besar.
Tetapi ia sudah berusaha sejauh dapat dilakukan.
Ketika ia sampai di istana Akuwu Sangling, maka ia
sudah menempuh perjalanan hampir sehari penuh.
Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, sedangkan
nafasnya terengah-engah. "Ada apa?" bertanya seorang perwira y ang bertugas.
"Aku mohon menghadap Akuwu," jawab petugas itu.
"Untuk apa" Tidak semudah itu menghadap Akuwu.
Tidak setiap orang y ang datang dengan tergesa-gesa langsung
dapat diterima oleh akuwu. Kau siapa, dari mana dan apa
keperluanmu?" bertanya perwira y ang bertugas.
Petugas sandi itu tidak sabar. Segalanya harus
berlangsung cepat. Karena itu, maka ia pun telah
menunjukkan ciri dari seorang perwira petugas sandi.
Perwira y ang menghentikannya itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia menyadari, bahwa petugas sandi memang
mempunyai kesempatan y ang khusus karena persoalan yang
dibawanya mungkin sekali m erupakan persoalan yang sangat
penting. Sebenarnyalah, bahwa perwira yang bertugas itu sudah
mengusahakan menghubungi pelay an dalam, sehingga secara
khusus petugas itu dapat diterima oleh Akuwu Sangling.
Dengan singkat, perwira dari petugas sandi itu segera
menceriterakan apa y ang telah terjadi. Karena itu, maka
Akuwu pun dengan cepat pula telah mengambil keputusan.
"Pasukan berkuda y ang b ertugas, siap untuk berangkat
sekarang juga," perintah Akuwu dengan suara berat.
Sejenak kemudian, perwira pasukan berkuda y ang
sedang bertugas itu pun telah menghadap. Perintah Akuwu
pun telah jatuh, bahwa pada saat itu juga sekelompok pasukan
berkuda y ang bertugas supaya berangkat. Tidak ada waktu
untuk menghimpun prajurit-prajurit berkuda y ang lain.
"Berapa orang?" bertanya Akuwu.
"Tiga puluh orang," jawab perwira pasukan berkuda,
"mereka bertugas di empat tempat."
"Kumpulkan dan segera berangkat. Aku tidak m emberi
perintah lagi. Pergilah bersama prajurit sandi ini," berkata
Akuwu. Ternyata pasukan berkuda Sangling itu benar-benar
pasukan yang terlatih. Dalam waktu y ang singkat, mereka
telah berkumpul dengan kelengkapan perang yang memadai.
Seperti y ang diperintahkan Akuwu mereka tidak menunggu
perintah berikutnya. Demikian mereka siap, maka mereka pun
segera berangkat. Ternyata y ang kemudian berpacu diatas punggung kuda
tidak hanya tigapuluh orang, tetapi tigapuluh empat orang
ditambah dengan perwira dari pasukan berkuda dan perwira
dari petugas sandi sehingga semuanya berjumlah tigapuluh
enam orang. Derap kaki-kaki kuda itu m emang m engejutkan orangorang
Sangling. Namun mereka tidak sempat bertanya. Kudakuda
itu berlari seperti anak panah yang dilepaskan dari
busurnya. Sementara itu, pasukan perguruan Windu Putih y ang
besar telah menjadi semakin dekat. Untunglah bahwa mereka
berusaha untuk tidak banyak diketahui orang, sehingga
perjalanan mereka menjadi agak lamban.
Seorang dari prajurit sandi telah dengan sangat berhatihati
mengikutinya dari jauh. Ketika ia y akin bahwa arah
pasukan itu memang menuju ke padepokan Suriantal, maka ia
pun telah berusaha untuk memotong jalan, mendahului
pasukan yang berjalan dengan lamban itu.
Prajurit Sandi itu memang berhasil mendahului pasukan
yang cukup besar dari ketiga perguruan y ang masih disebut
dengan nama y ang sama itu. Dengan berlari-lari kecil,
melintasi pematang-pematang sawah dan pategalan,
menyeberangi sungai dan meloncati parit-parit, maka
akhirnya petugas sandi itu sampai ke jalan y ang lurus menuju
ke padepokan yang semula disebut padepokan Suriantal itu.
Ia memang menjadi ragu-ragu karena sama sekali tidak
dikenal oleh para penghuni padepokan itu. Namun ia tidak
dapat membiarkan padepokan itu disergap tanpa sempat
melawan, karena ia tahu bahwa yang memimpin padepokan
itu adalah dua orang Adik Akuwu Sangling. Bagaimanapun
juga, Sangling tentu tidak akan rela hal itu terjadi.
Ketika orang itu kemudian m endekati regol padepokan
yang di siang hari memang terbuka, maka para petugas di
regol itu pun telah menyapanya dengan ramah.
"Siapakah kau Ki Sanak" Dan apakah kau mempunyai
keperluan dengan isi padepokan ini?"
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia
berkata, "Aku ingin menghadap kedua orang adik Akuwu
Sangling." "Untuk apa?" bertanya petugas regol itu.
"Ada sesuatu yang penting yang ingin aku sampaikan,"
jawab orang itu. "Siapakah kau sebenarnya?" bertanya petugas di reg ol
itu pula. Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun kemudian
untuk tidak memperpanjang per soalan maka ia pun
menjawab, "Aku adalah prajurit sandi dari Sangling."
Petugas itu memang terkejut. Namun prajurit sandi itu
telah menunjukkan pertanda tentang dirinya, bahwa ia adalah
memang seorang prajurit sandi.
Meskipun petugas di reg ol itu belum mengenal pertanda
prajurit sandi dari Sangling, tetapi ia pun kemudian berkata,
"Baiklah. Silahkan duduk di pendapa. Kami akan
menyampaikannya kepada kedua orang pemimpin kami."
Petugas sandi dari Sangling itu m engangguk kecil. Oleh
seorang petugas ia pun telah dibawa naik ke pendapa
bangunan induk, sementara y ang lain telah melaporkannya
kepada dua orang yang meny ebut dirinya Putut di padepokan
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka
menduga bahwa orang itu telah mendapat perintah dari
kakaknya untuk satu keperluan y ang penting, sementara itu
mereka sendiri sedang menunggu perkembangan keadaan
antara padepokan itu dengan padepokan y ang dipimpin oleh
Kiai Windu Putih. Tetapi kejela sannya adalah apabila orang itu sudah
mengatakan sendirinya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun segera telah menemui orang yang mengaku prajurit
sandi dari Sangling itu. Ketika orang itu kemudian menyampaikan keperluannya
serta menceriterakan apa y ang dilihatnya, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah mengangguk-angguk. Mereka
memang harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh
berita y ang dibawa oleh prajurit sandi itu. Namun mereka pun
tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan yang lain t entang kakak
mereka y ang berada di Sangling.
"Terima kasih Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "semula
aku merasa cemas bahwa berita y ang Ki Sanak bawa
menyangkut kakang Mahisa Bungalan. Apalagi jika kakang
memerlukan kami datang, sementara padepokan ini m emang
sedang dalam bahaya."
"Tidak ada y ang perlu dicemaskan tentang Sangling.
Namun ju stru pasukan y ang besar itu telah mendekati
padepokan ini," berkata prajurit sandi dari Sangling itu.
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti sekali lagi, "kami
akan segera mempersiapkan pasukan."
"Silahkan," berkata petugas sandi itu, "mereka memang
sedang mendekati padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera telah
memanggil beberapa orang pemimpin kelompok yang ada di
padepokan itu. Mereka harus dengan cepat m empersiapkan
pasukan y ang ada untuk m enghadapi orang-orang dari ketiga
padepokan yang tergabung dalam perguruan Windu Putih
yang telah bergerak menuju ke padepokan yang masih disebut
padepokan Suriantal itu. Ternyata petugas sandi itu menjadi ragu-ragu untuk
memberitahukan bahwa seorang kawannya telah m enuju ke
Pakuwon Sangling untuk m inta dikirimkan bantuan segera.
Jika usaha itu gagal, sementara orang-orang Suriantal sangat
mengharapkannya, maka mereka akan menjadi kecewa
sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi perlawanan
mereka. Namun dalam pada itu, ketika pasukan berkuda y ang
berjumlah tidak lebih dari tiga puluh enam orang itu sudah
berangkat, maka Mahisa Bungalan telah memerintahkan
untuk menghimpun lagi pasukan berkuda yang dapat dengan
cepat digerakkan menuju padepokan Suriantal. Sehingga
dengan demikian, maka pada gelombang kedua itu, dua puluh
dua orang prajurit berkuda telah berpacu m enyusul pasukan
yang terdahulu menuju ke padepokan Suriantal, dipimpin
langsung oleh para perwira pilihan dari Sangling.
Sementara itu Akuwu Sangling sendiri telah
mempersiapkan diri pula. Namun ia masih harus memberikan
beberapa pesan, petunjuk dan perintah-perintah, sehingga
karena itu, maka ia tidak dapat bergerak secepat kedua
gelombang pasukannya. Tetapi beberapa saat kemudian, maka
Akuwu Sangling pun telah berangkat pula menyusul dengan
dua puluh lima orang pengawal pilihan, dengan jarak yang
tidak terlalu jauh. Bahkan karena Akuwu dan pengawalnya
mempergunakan kuda-kuda pilihan pula, jarak antara
pasukan gelombang kedua dengan pasukan y ang dipimpin
oleh Akuwu itu sendiri tidak menjadi semakin jauh, justru
menjadi semakin dekat. Seorang penghubung yang terampil dan berkuda di
paling depan, telah melepaskan isy arat dengan panah
sendaren yang melambung tinggi di udara.
Suara panah sendaren itu bergaung di udara. Ternyata
pasukan berkuda y ang bertolak pada gelombang kedua sempat
menangkap suara bergaung itu, sehingga dengan demikian
mereka pun mengerti, bahwa Akuwu Sangling berada tidak
terlalu jauh di belakang mereka.
Demikianlah tiga gelombang pasukan berkuda telah
berpacu menuju padepokan yang disebut semula padepokan
Suriantal. Namun jarak antara Sangling dan padepokan itu
bukannya jarak y ang dekat. Sehingga karena itu, maka
perjalanan yang mereka tempuh pun merupakan perjalanan
yang panjang. Sekali-sekali mereka memang harus berhenti, karena
kuda-kuda mereka tidak akan dapat dipaksa berpacu terus
menerus sampai mereka sampai ke tujuan.
Jumlah seluruh prajurit dari pasukan berkuda itu
memang tidak terlalu banyak. Tetapi bagi padepokan Suriantal
akan memberikan arti y ang besar, sehingga akan dapat
menumbuhkan harapan untuk dapat mengatasi kesulitan yang
datang. Namun pasukan dari ketiga perguruan y ang disebut
perguruan Windu Putih itu cukup besar.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang sudah memperhitungkan bahwa serangan dari
perguruan Windu Putih itu akan datang menjelang fajar.
Mereka akan bergerak dan m engepung padepokan itu di dini
hari, sehingga demikian matahari t erbit, maka pasukan itu
akan meny erang. Atau bahkan menjelang cahaya matahari
mulai dilemparkan keatas padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah memerintahkan untuk bersiap-siap sesuai dengan
perhitungannya. Meskipun demikian Mahisa Murti telah
memerintahkan untuk berhati-hati bahwa kemungkinan lain
dapat terjadi. Karena itu, maka penjagaan di malam hari harus
diperkuat. Namun mereka harus mampu mengatur diri,
sehingga semua orang mempunyai kesempatan y ang cukup
untuk beristirahat, karena besok kemungkinan yang gawat
akan dapat terjadi. Dengan demikian, maka malam itu juga, semua
persiapan telah dilakukan. Beberapa onggok lembing telah
diletakkan di-atas panggungan di dalam dinding padepokan.
Busur dan anak panah y ang tidak terhitung jumlahnya telah
disiapkan pula, sehingga setiap saat akan dapat dipergunakan.
Di beberapa tempat, para petugas dengan cermat
mengamati keadaan. Namun di samping para per onda yang
memang ditempatkan di gardu-gardu penjagaan di atas
panggungan, m aka beberapa orang y ang lain, justru berjagajaga
di belakang dinding tanpa dapat dilihat oleh orang-orang
yang berada di luar. Sebenarnyalah bahwa perhitungan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak salah. Para pemimpin perguruan Windu
Putih memang berniat untuk menyerang padepokan itu di saat
matahari terbit. Karena itu maka mereka pun telah
menyiapkan pasukan mereka di malam hari. Mereka telah
meletakkan pasukannya di tempat-tempat yang dianggapnya
paling baik untuk mulai dengan serangan-serangannya ketika
matahari mulai melemparkan cahayanya.
"Kita perkuat pasukan kita di sebelah Timur," berkata
pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih itu.
"Apakah kita tidak meny erang dari Utara dengan
memecahkan pintu gerbang?" bertanya salah seorang
pemimpin perguruan itu yang lain.
"Kita memang akan berusaha untuk m emecahkan pintu
gerbang. Tetapi matahari akan terbit di arah Timur. Mereka
akan menjadi silau jika mereka menentang matahari,
sementara kita akan mendapat kesempatan lebih baik,"
berkata pemimpin tertinggi itu.
Para pemimpin yang lain mengangguk-angguk. Mereka


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang sependapat untuk memanfaatkan cahaya matahari
pagi. Namun dengan demikian, maka mereka harus
mempersiapkan kemungkinan lain daripada memecahkan
pintu gerbang. Jika mereka mendapat kesempatan karena
keuntungan mereka di saat matahari terbit, maka mereka
harus mempersiapkan tangga sebanyak-banyaknya.
Hal itu sudah dipikirkan oleh para pemimpin perguruan
Windu Putih. Meskipun mereka tidak mempersiapkan tangga,
tetapi mereka telah terlatih mempergunakan alat lain. Dengan
tongkat-tongkat y ang disandarkan pada dinding, maka mereka
akan berloncatan naik, sementara kawan-kawannya akan
melindungi mereka dengan serangan anak panah.
Dalam pada itu, pemimpin tertinggi perguruan Windu
Putih itu pun telah memperingatkan pada para pemimpin
yang lain, bahwa perhitungan mereka tentu sama dengan
perhitungan para pemimpin padepokan Suriantal. Karena itu
maka pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih itu pun
telah berkata, "Kalian menang harus berhati-hati. Para
pemimpin dari Suriantal itu tentu sudah menebak, bahwa kita
akan bergerak m enjelang fajar. Tetapi aku tidak tahu, apakah
mereka juga memperhitungkan bahwa tekanan serangan kita
justru akan datang dari arah Timur. Tidak dari arah depan
padepokan yang menghadap ke Utara.
Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk,
sementara pemimpin tertingginya pun telah memerintahkan
pula untuk beristirahat sebanyak-banyaknya.
"Kita tidak tahu, berapa lama kita akan bertempur esok.
Mungkin sehari penuh kita belum dapat memecahkan dinding
dan pintu gerbang. Namun kita yakin, bahwa kita akan dapat
menghancurkan padepokan y ang kecil dan sombong ini,"
berkata pemimpin tertinggi padepokan itu.
"Bukan padepokan y ang kecil," desis yang lain,
"padepokan ini termasuk sebuah padepokan y ang besar.
Ditinjau dari jumlah orang y ang ada di dalamnya."
"Tetapi mereka berasal dari sumber y ang berbeda -beda
sehingga kekuatan mereka tentu tidak akan utuh," jawab
pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka percaya akan
perhitungan pemimpin tertinggi mereka.
Dendam Si Anak Haram 7 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Perempuan Kedua 2
^