Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 34

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 34


kemampuan pula untuk bertempur pada jarak pendek. Dari
ay ahnya Mahisa Pukat memang mewarisi k emampuan untuk
bertempur dan bahkan kekuatan ilmu yang jarang ada
bandingnya. Ternyata bahwa Ki Bekel telah salah menilai anak muda
itu. Ki Bekel menganggap bahwa anak muda itu hanya
memiliki kemampuan ilmu yang dianggapnya sebagai sihir.
Namun ternyata bahwa kedua anak muda itu mampu
mengimbangi kekuatan dan kemampuan ilmunya yang
dibanggakannya. Bahkan pada benturan-benturan selanjutnya, di saatsaat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meningkatkan ilmunya
semakin tinggi, Ki Bekel dan Ki Jagabaya mulai merasa cemas
bahwa mereka tidak akan segera dapat mengakhiri
pertempuran itu. Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu pun
menjadi sangat tegang menyaksikan pertempuran itu. Mereka
tidak segera mengetahui, siapakah sebenarnya y ang lebih kuat
di antara mereka. Yang mereka lihat adalah, kedua belah pihak
sal ing mendesak, saling meny erang dan saling mengelak.
Sementara itu, orang-orang dari padepokan Suriantal
mulai dapat menilai, apakah y ang sebenarnya terjadi. Ki Bekel
dan Ki Jagabaya tidak mendapat banyak kesempatan lagi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang kemudian lebih
banyak meny erang dan mendesak lawannya.
Ki Bekel dan Ki Jagabaya benar-benar merasa cemas
dengan kekuatan dan kecepatan gerak k edua anak muda itu.
Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin cepat.
Karena itu, ketika Ki Bekel menjadi semakin terdesak,
maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja ia sudah
menarik senjatanya. Sebuah pedang.
Dengan cepat ia memutar pedangnya. Ki Bekel ingin
menyerang dengan tiba-tiba tanpa menunggu lawannya
sempat menarik pedangnya pula.
Tetapi Mahisa Murti ternyata memiliki kecepatan gerak
melampaui lawannya. Itulah sebabnya, maka pedangnya tidak
menyentuh anak muda itu sama sekali. Ketika Ki Bekel
kemudian meloncat memburu Mahisa Murti y ang mengelak
dengan meloncat ke samping, maka Ki Bekel itu pun terkejut.
Ternyata pedang Mahisa Murti pun telah teracu pula ke
arahnya. "Anak setan," geram Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Marilah. Kita selesaikan persoalan ini
dengan tuntas. Ki Buyut akan menjadi saksi, bahwa kita
bertempur dengan jujur."
Ki Bekel m emandang Mahisa Murti dengan kemarahan
yang memuncak. Sambil menggeram tiba-tiba saja Ki Bekel itu
meloncat menerkam dengan ujung pedangnya. Namun Mahisa
Murti sempat menangkis serangan itu sambil bergeser ke
samping. Tetapi Ki Bekel yang marah itu telah memutar
tubuhnya sambil mengayunkan pedangnya m endatar. Karena
Mahisa Murti melangkah surut, maka ayunan pedangnya itu
sama sekali tidak menyentuhnya.
Di lingkungan pertempuran y ang lain, Ki Jagabaya
justru telah terdesak beberapa langkah surut. Seperti Ki Bekel,
maka Ki Jagabaya pun telah bersenjata pula. Namun
ketrampilan Mahisa Pukat mempermainkan pedangnya sama
sekali tidak dapat diimbangi oleh Ki Jagabaya.
Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah semakin
terdesak, sehingga seakan-akan telah kehilangan kesempatan
sama sekali untuk membalas menyerang. Yang dilakukan tidak
lebih dari berusaha untuk melindungi dirinya dengan
mengelak dan menangkis serangan-serangan Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa Mahisa Pukat tidak perlu menjamah
ilmu puncaknya. Dengan kemampuan ilmu pedangnya, ia
sudah berhasil mengurung Ki Jagabaya dalam lingkaran yang
mengikatnya. Sementara itu, Ki Bekel pun tidak lagi mempunyai
harapan untuk dapat memenangkan pertempuran itu dengan
pedangnya. Karena itu, maka Ki Bekel pun telah
mempergunakan kemampuannya y ang lain. Pada saat
lawannya sedang menangkis serangan-serangannya, maka
tiba -tiba saja tangan kiri Ki Bekel itu telah melontarkan
senjata simpanannya. Pisau-pisau kecil. Namun beracun.
Dua buah pisau menyambar Mahisa Murti dengan
cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat mengelakkan
kedua -duanya. Meskipun Mahisa Murti berusaha bergeser ke
samping, namun sebuah di antara pisau-pisau itu telah
menggores lengannya. Mahisa Murti m eloncat surut. Ketika ia meraba lukanya
memang terasa hangatnya darah. Tetapi seakan-akan hanya
setitik. Kemudian darah itu bagaikan membeku.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Ki Bekel
yang berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia berkata, "Nah
anak muda. Kau sudah terluka. Pisauku beracun sangat tajam.
Kau tidak mempunyai harapan untuk tetap hidup."
Mahisa Murti memandang orang itu dengan penuh
kebencian. Ternyata orang y ang disebut Ki Bekel itu benarbenar
akan membunuhnya. Ia sudah melepaskan pisau-pisau
beracun dan bahkan telah mengenainya.
"Tidak ada pilihan lain kecuali mati," berkata Ki Bekel,
"Ki Buyut adalah saksi, bahwa aku telah m embunuh seorang
perampok y ang meny embunyikan hasil rampokannya yang
dimuat diatas pedati yang tertutup rapat."
"Ki Bekel," berkata Mahisa Murti, "kau tidak akan
sempat menyesal." "Jangan bermimpi," berkata Ki Bekel y ang masih
tertawa, "tidak ada orang yang sempat m eny elamatkan diri
dari racun-racunku. Kau pun tidak."
Namun Ki Bekel menjadi heran melihat darah m eleleh
dari luka di lengan Mahisa Murti. Darah yang mula-mula
memang kehitam-hitaman. Namun kemudian darah itu
menjadi merah segar. Seakan-akan racun yang menikam urat
darah Mahisa Murti itu sudah dimuntahkan keluar.
Mahisa Murti yang melihat ketegangan di wajah Ki Bekel
itu pun kemudian berkata, "Ki Bekel. Agaknya kita sudah
memasuki satu pertempuran antara hidup dan mati. Baiklah.
Kita sudah menentukan arena ini menjadi arena perang
tanding. Jika demikian, maka seorang di antara kita m emang
akan mati." Ki Bekel m enjadi tegang. Namun tiba -tiba saja ia telah
meloncat meny erang. Ia tidak mau didahului oleh Mahisa
Pukat dengan serangan ilmu sihirnya. Pedangnya terayun
dengan derasnya mengarah ke leher Mahisa Murti.
Mahisa Murti memang sudah menduga, bahwa akan
datang serangan y ang tiba -tiba. Karena itu, maka ia sama
sekali tidak terkejut. Bahkan ia pun kemudian sempat
memperhatikan kemungkinan Ki Bekel meny erangnya dengan
pisau-pisau kecilnya. "Anak iblis," geram Ki Bekel, "ternyata kau memiliki
kekuatan untuk menawarkan racun."
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia pun kemudian
telah meny erang Ki Bekel dengan garangnya.
Ki Bekel benar -benar telah terdesak. Mahisa Murti telah
mengerahkan ilmu pedangnya, sehingga Ki Bekel benar-benar
kehilangan kesempatan untuk menyerang.
Namun sekali-sekali Ki Bekel masih melontarkan pisaupisau
kecilnya. Tetapi karena Mahisa Murti sudah
mengetahuinya, maka ia pun menjadi cukup waspada
menghadapinya. Dengan demikian maka lontaran-lontaran pisau kecil itu
tidak lagi pernah meny entuhnya, meskipun Mahisa Murti
tidak merasa gentar seandainya tubuhnya tergores racun.
Namun jika pisau-pisau itu m engenai bagian tubuhnya yang
lemah, maka pisau itu akan dapat menghambat
perlawanannya. Bahkan mungkin akan dapat
menghentikannya sama sekali.
Ki Bekel benar-benar menjadi gelisah. Mahisa Murti
semakin mendesaknya. Bahkan kemudian ujung pedang
Mahisa Murti itu pun telah sempat tergores di pundaknya.
Sementara itu Ki Jagabaya pun sama sekali sudah tidak
mempunyai kesempatan sama sekali. Mahisa Pukat
mendesaknya tanpa dapat ditahankannya lagi. Serangannya
datang bagaikan badai y ang mendera pepohonan di hutan
ilalang. Bahkan ketika benturan-benturan terjadi semakin seru,
Ki Jagabaya yang garang itu, ternyata tidak mampu
mempertahankan pedangnya di tangannya. Satu ayunan yang
keras sekali tidak sempat dielakkan oleh Ki Jagabaya. sehingga
ia pun harus menangkis serangan itu dengan pedangnya pula.
Tetapi ternyata kekuatan Mahisa Pukat terlalu besar bagi Ki
Jagabaya y ang garang itu. Sehingga ternyata bahwa Ki
Jagabaya tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya itu.
Ki Jagabaya sendiri terkejut ketika pedangnya itu
terlepas dari tangannya. Dengan cepat ia berusaha untuk
meloncat dan meraih pedangnya itu. Namun Mahisa Pukat
ternyata bergerak lebih cepat. Ketika tangan Ki Jagabaya
sempat meny entuh pedangnya itu, maka kaki Mahisa Pukat
sudah menginjak daun pedangnya.
Ki Jagabaya menjadi sangat tegang. Apalagi ketika terasa
ujung pedang Mahisa Pukat menyentuh tengkuknya.
Tetapi tiba -tiba Mahisa Pukat itu bergeser surut
beberapa langkah sambil berkata, "Baiklah. Am bil pendangmu
jika kau belum puas. Kita akan bertempur lagi sampai ada di
antara kita yang terbunuh."
Ki Jagabaya memandang wajah Mahisa Pukat dengan
sangat tegang. Perlahan-lahan ia menggenggam pedangnya
dan bangkit berdiri. Sejenak pedangnya itu bergetar di
tangannya y ang sudah terasa pedih pada telapaknya.
Keduanya kemudian berdiri tegak saling berhadapan.
Masing-masing masih menggenggam pedang di tangan.
Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan
dengan tajam, seakan-akan masing-masing akan melihat
gejolak perasaan di dalam dada lawannya.
Namun tiba -tiba ketegangan itu dipecahkan oleh Ki
Jagabaya, ketika dengan serta merta ia pun telah m elepaskan
pedangnya. "Apa artinya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku meny erah," sahut Ki Jagabaya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Jika kau m enyerah, maka m enyingkirlah. Duduklah
di bawah pohon itu."
"Aku berdiri di sini," jawab Ki Jagabaya.
"Sekali lagi aku ulang. Duduklah dibawah pohon itu,
atau kita akan bertempur terus sampai salah seorang di antara
kita mati," geram Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya menjadi tegang. Di luar sadarnya ia
berpaling ke arah orang-orang padukuhan dan Ki Buyut yang
berdiri termangu-mangu. Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Ia sadar bahwa Ki
Jagabaya harus menjaga harga dirinya dihadapan orang-orang
padukuhan. Apalagi untuk waktu yang lama ia tentu
merupakan orang y ang ditakuti sebagaimana Ki Bekel,
sehingga Ki Buyut-pun agaknya telah menjadi takut pula
kepada mereka. Karena itu, m aka Mahisa Pukat pun kemudian berkata,
"Jika kau malu duduk di bawah pohon itu, maka kau harus
berdiri di bawah pohon itu. Terserah kepadamu, apakah kau
akan tetap berdiri tegak, atau kau akan m engalami perlakuan
yang lebih buruk lagi."
Ki Jagabaya itu tidak berbuat lain. Ia pun kemudian
melangkah m enuju k e pohon y ang b erdiri di tanggul parit di
sebelah jalan y ang berbelok tajam itu.
Ketika Mahisa Pukat berpaling kepada orang-orang
padepokan yang ikut mengawal pedati itu, maka agaknya
mereka-pun mengerti, bahwa mereka harus mengawasi Ki
Jagabaya itu. Dalam pada itu Ki Bekel masih berjuang untuk
mempertahankan dirinya. Namun serangan demi serangan
telah membuatnya kehilangan kesempatan sama sekali. Ketika
ia sudah terdesak, maka ia telah berusaha untuk
mempergunakan dua pisaunya yang terakhir. Dengan tangan
kirinya Ki Bekel telah melontarkan pisaunya itu beruntun
dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Tetapi Mahisa Murti sudah memperhitungkannya,
bahwa Ki Bekel masih akan meny erangnya dengan pisau-pisau
kecilnya. Karena itu, ketika pisau-pisau kecil itu diluncurkan,
maka Mahisa Murti pun telah meloncat ke samping sambil
merendahkan dirinya. Lambung lawannya yang terbuka
karena lontaran pisau y ang tidak mengenai sa saran itu,
merupakan kesempatan bagi Mahisa Murti. Karena itu, maka
tiba -tiba saja ia telah menjulurkan pedangnya, menggapai
lambung itu. Ki Bekel mengaduh tertahan. Ia terdorong beberapa
langkah surut. Namun lambungnya telah terasa pedih sekali.
Luka yang panjang telah menganga di lam bung Ki Bekel.
Demikian tajam perasaan sakit y ang menderanya, sehingga Ki
Bekel tidak mampu lagi mengatasinya. Apalagi darah semakin
deras mengalir dari lukanya.
Ki Bekel terpaksa berjongkok sambil memegangi
lambungnya. Perasaan sakit itu tidak dapat ditahankannya
lagi. Seakan-akan perasaan sakit itu telah menggigit seluruh
tubuhnya, dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
Mahisa Murti yang melihat keadaan Ki Bekel itu pun
kemudian berpaling ke arah Ki Buyut yang termangu -mangu.
Dengan isy arat ia telah mengundang Ki Buyut untuk
mendekat. Dengan ragu-ragu Ki Buyut pun telah mendekati Ki
Bekel y ang berjongkok sambil berusaha menahan perasaan
sakit itu. Mahisa Pukat pun telah mendekat pula, sementara Ki
Jagabaya telah diawasi oleh para pengawal pedati itu.
Demikian pula prajurit Singasari y ang juga seorang pemahat
itu. "Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "terserah kepada Ki
Buyut, apa y ang sebaiknya kita lakukan. Jika kita biarkan
orang ini dalam keadaannya, maka aku y akin bahwa ia akan
terbunuh karenanya. Kecuali jika Ki Buyut memutuskan,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa orang ini memang harus mati."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan
nada datar dalam ia berkata kepada seorang pengawalnya,
"Panggil tabib kita itu."
Orang itu pun kemudian dengan tergesa -gesa telah
berlari menuju ke padukuhan. Bukan padukuhan yang
dipimpin oleh Ki Bekel y ang terluka itu. Tetapi padukuhan
yang lain, y ang agak lebih jauh dari padukuhan sebelah.
Namun agaknya keadaan Ki Bekel benar-benar telah
menjadi semakin parah, sehingga Mahisa Murti pun kemudian
tidak dapat membiarkannya dalam keadaan seperti itu.
Ketika ia memandang adiknya, maka Mahisa Pukat pun
menanggapinya. Ia pun kemudian mengangguk kecil sambil
berdesis, "Aku membawanya."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti.
Keduanya pun kemudian telah membaringkan Ki Bekel
yang menjadi semakin lemah. Kepada Ki Buyut ia berkata,
"Aku mempunyai obat, t etapi hanya untuk sementara."
Ki Buyut mengangguk kecil. Namun nampak ketegangan
mencengkam jantungnya. Demikianlah maka Mahisa Pukat pun kemudian telah
menaburkan serbuk obatnya ke luka y ang cukup parah di
lambung Ki Bekel. Terdengar Ki Bekel mengeluh menahan
sakit y ang rasa-rasanya semakin mencengkam. Namun Mahisa
Pukat pun berkata, "Diam sajalah. Darahmu akan berkurang
mengalir." Ki Bekel berusaha untuk bertahan. Agaknya obat y ang
ditaburkan oleh Mahisa Pukat itu ternyata telah m engurangi
arus darah y ang keluar dari lukanya sambil menunggu
kedatangan tabib y ang telah dipanggil itu .
Tetapi tabib itu rasa-rasanya terlalu lama. Untunglah
bahwa obat y ang ditaburkan di luka Ki Bekel itu benar-benar
mampu menolongnya meskipun hanya bersifat sementara.
Pa da saat yang tegang itu, Mahisa Pukat telah m emberi
isy arat kepada Ki Jagabaya untuk mendekat.
Semula Ki Jagabaya masih juga ragu-ragu. Namun
akhirnya Ki Jagabaya itu pun mendekat pula.
"Apakah Ki Bekel perlu dibawa ke Banjar?" bertanya
Mahisa Murti kepada Ki Buyut.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya,
" Ia harus segera mendapat pertolongan."
Ki Jagabaya berdiri termangu-mangu. Setelah ia berdiri
semakin dekat, maka barulah ia m elihat bahwa luka Ki Bekel
memang sangat parah. Karena itu, maka Ki Jagabaya itu pun
merasa beruntung bahwa ia telah mengambil langkah yang
menyelamatkannya dari kemungkinan y ang sangat buruk itu.
Baru sejenak kemudian, seorang yang berjanggut putih
dan berkerut di dahinya pertanda umurnya y ang lanjut,
berjalan tergesa -gesa mendekati Ki Buyut, diiringi oleh orang
yang telah memanggilnya. "Ki Buyut memanggilku?" bertanya orang tua itu.
Ki Buyut mengangguk. Katanya, "Lihatlah. Ki Bekel telah
terluka." "Terluka?" bertanya tabib itu.
"Lihatlah," desis Ki Buyut sambil menunjuk ke arah Ki
Bekel, "lambungnya terluka. Cukup parah."
Tabib itu mengangguk-angguk. Dengan nada y ang
berdebar-debar ia melihat luka y ang menganga di lambung Ki
Bekel. "Apa yang terjadi?" bertanya tabib itu.
"Nanti aku akan menceritakan," jawab Ki Buyut,
"sekarang, tolonglah orang itu.
Nampak wajah tabib itu memantulkan perasaannya y ang
gelisah. Namun Ki Buyut itu pun berkata, "Lupakan apa yang
pernah terjadi. Ia memerlukan pert olongan."
Tabib itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
berjongkok di sisi tubuh y ang terbaring itu.
"Nampaknya luka ini sudah diobati," berkata tabib itu.
"Hanya untuk sementara," sahut Mahisa Murti,
"sebelum mendapat pengobatan yang lebih baik. Aku
mencemaskan darahnya y ang akan dapat terkuras habis."
"Pengobatan y ang memadai," berkata tabib itu, "tetapi
baiklah. Aku akan m emberikan pengobatan yang lebih baik.
Namun, apakah sebaiknya Ki Bekel tidak dibawa ke tempat
yang lebih mapan?" "Terserah kepadamu," jawab Ki Buyut, "apabila kau
berpendapat demikian, maka biarlah Ki Bekel dibawa ke
banjar padukuhannya. Disini banyak terdapat orangorangnya.
Bahkan seorang di antara mereka agaknya juga
telah terluka meskipun tidak terlalu parah."
Tabib itu memandang Ki Buyut beberapa saat. Ki Buyut
melihat kegelisahan di wajah tabib itu. Karena itu, maka Ki
Buyut pun berkata, "Lakukan. Tidak akan terjadi sesuatu."
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Ki Jagabaya, "Tolong, bawalah Ki Bekel ini ke
banjar. Mungkin aku akan dapat bekerja lebih tenang. Untuk
sementara obat y ang sudah ditaburkan ini akan dapat
menolongnya." Ki Jagabaya m engangguk. Ia pun kemudian memanggil
beberapa orang di antara orang-orang padukuhan y ang masih
tetap berkerumun pada jarak yang agak jauh.
Dengan isy arat itu, maka beberapa orang telah
mendekat. Dengan nada rendah Ki Jagabaya itu pun berkata,
"Bawalah Ki Bekel ke banjar."
Orang-orang padukuhan itu pun segera mengangkat
tubuh itu. Namun seorang di antara mereka bertanya, "Ke
banjar atau ke rumah?"
Ki Jagabaya termangu-mangu. Diluar sadarnya ia
memandang Ki Buyut y ang kemudian berkata, "Ke banjar.
Tidak ke rumahnya." Ki Jagabaya pun kemudian berdesis kepada orang-orang
yang mengangkat tubuh itu, "Ke banjar. Kalian dengar?"
Tidak ada lagi y ang bertanya. Mereka pun kemudian
mengangkat Ki Bekel itu menuju ke padukuhan.
Ki Jagabaya termangu-mangu ditempatinya. Ia tidak
berani dengan serta merta meninggalkan Ki Buyut dan kedua
orang anak muda itu m engikuti Ki Bekel y ang telah diusung
itu. Bagaimanapun juga ia merasa bahwa dirinya memang
seorang tawanan. "Tunggulah sebentar Ki Jagabaya," berkata Mahisa
Pukat. Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
menjadi cemas bahwa ia akan dibawa oleh anak-anak muda
yang mengaku membawa patung itu.
Demikian tubuh Ki Bekel itu dibawa pergi diikuti oleh
tabib yang akan mengobatinya itu, Ki Jagabaya berdiri sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan ini?"
bertanya Mahisa Murti, "aku melihat kelainan sikap Ki Bekel
dan Ki Jagabaya terhadap Ki Buyut. Bahkan Ki Bekel telah
berani membentak dan mengancam. Apakah memang
demikian seharusnya?"
Ki Jagabaya tidak menjawab. Kepalanya masih tetap
menunduk. Sementara Ki Buyut hanya menarik nafas dalamdalam.
"Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "kami masih
mempunyai pekerjaan y ang harus kami selesaikan. Roda
pedati kami masih harus kami perbaiki. Karena itu, kami ingin
segera mendapat penjelasan, meskipun sekedarnya saja."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Aku m engerti
anak-anak muda. Kalian tentu ingin mengetahui, apakah
sebabnya hal itu dapat terjadi. Memang sesuatu y ang tidak
wajar. Namun demikianlah agaknya. Mungkin anak-anak
muda telah dapat meraba apakah y ang sebenarnya telah
terjadi disini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun berkata,
"Jangan berteka-teki. Apakah Ki Bekel itu memang berhak
duduk di jabatannya, atau ia memaksa dengan kelebihannya
untuk menjadi salah seorang Bekel di daerah Kabuyutan ini
untuk kemudian memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari Ki
Buyut sendiri?" Ki Buyut mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Mirip
dengan itu. Ki Bekel memang seorang y ang berasal dari
padukuhan itu. Ia sama sekali bukan orang asing di sini. Ia
lahir dan dibesarkan di sini. Kemudian menginjak remaja ia
meninggalkan padukuhannya dan kembali setelah dewasa
penuh. Ternyata anak y ang sudah m engecap ilmu itu, telah
memaksakan dirinya untuk mengganti kedudukan Ki Bekel
dari padukuhan itu, meskipun Ki Bekel mempunyai seorang
anak laki -laki yang berhak untuk menggantikannya. Tidak ada
arang yang berani menentang kehendaknya. Ia dapat berbuat
apa saja di Kabuyutan ini. Dibantu oleh Ki Jagabaya. Nah, Ki
Jagabaya itulah y ang orang asing di sini. Ia adalah seorang
pendatang y ang dibawa oleh Ki Bekel. Agaknya ia adalah
saudara seperguruan dari Ki Bekel itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun berpaling ke
arah Ki Jagabaya y ang semakin menunduk. Dengan nada
datar Mahisa Pukat pun berkata, "Kenapa Ki Buyut tidak
melaporkannya kepada Akuwu misalny a?"
"Orang-orang itu selalu m engancam. Dan aku memang
tidak m empunyai keberanian untuk melakukannya," berkata
Ki Buyut. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Dengan suara berat Mahisa Murti berkata, "Satu
cara pemerasan yang kasar."
Ki Buyut mengangguk-angguk pula.
Dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata kepada Ki
Jagabaya, "Ki Sanak. Tingkah laku Ki Sanak sudah berlebihan
di sini. Kenapa Ki Sanak melakukannya?"
Ki Jagabaya masih tetap menunduk.
"Jika demikian, aku ingin bertemu Ki Bekel setelah
pekerjaanku selesai," berkata Mahisa Murti.
Ki Jagabaya mengangkat wajahnya sejenak. Namun ia
pun telah menunduk lagi. "Silahkan Ki Buyut melihat Ki Bekel itu," berkata Mahisa
Murti, "nanti aku akan pergi ke banjar."
Ki Buyut termangu-mangu. Namun Mahisa Murti itu
pun berkata kepada Ki Jagabaya, " Bawa Ki Buyut ke banjar.
Ingat, aku dapat berbuat lebih buruk dari y ang pernah kau
lakukan di sini. Aku bukan orang y ang selalu berbuat lembut
dan hati-hati." Ki Jagabaya tidak menjawab. Namun ketika Ki Buyut
beranjak dari tempatnya, Ki Jagabaya itu mengikutinya.
Beberapa pengawal Ki Buyut memang ragu-ragu. Namun
Ki Buyut itu pun kemudian berjalan dengan mantap m enuju
ke banjar untuk melihat keadaan Ki Bekel diantar oleh Ki
Jagabaya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
untuk sesaat sempat memandangi orang-orang padukuhan
yang kemudian mengiringi Ki Buyut pergi ke padukuhan.
Namun senjata-senjata mereka sudah tidak lagi teracu.
"Kita lanjutkan kerja kita," berkata Mahisa Murti
kemudian. Mahisa Pukat pun mengangguk. Ia pun segera kembali
berjongkok di samping pedatinya untuk memperbaiki r odanya
yang goyah. Dengan demikian, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
orang-orang padepokan yang ikut mengawal patung itu dapat
bekerja tanpa terganggu. Pemahat kakak beradik itu pun ikut
pula bekerja keras membantu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Ketika kerja mereka hampir selesai, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah m eny erahkan peny elesaian itu
kepada m ereka yang ikut mengawal patung itu serta kepada
kedua orang pemahat kakak beradik dari Singasari itu.
"Kami akan melihat perkembangan keadaan Ki Bekel ke
padukuhan," berkata Mahisa Murti.
"Baiklah," sahut pemahat itu, "tetapi cepat kembali."
Mahisa Murti hanya mengangguk saja, sementara
bersama Mahisa Pukat mereka telah meninggalkan pedati dan
patung di atasnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terlalu sulit untuk
menemukan banjar padukuhan. Ketika keduanya m emasuki
halaman banjar, maka orang-orang y ang berkerumun di
halaman pun segera m eny ibak. Bagi m ereka kedua orang itu
adalah orang y ang luar bia sa. Ternyata m ereka berdua dapat
mengalahkan Ki Bekel dan Ki Jagabaya, y ang selama itu
mereka anggap sebagai orang yang tidak terkalahkan.
Di banjar itu ternyata telah berbaring dua orang. Ki
Bekel y ang parah dan seorang lagi y ang tidak terlalu parah,
meskipun punggungnya serasa patah. Orang y ang bertubuh
tinggi tegap dan berjambang panjang.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian
berada di sebelah Ki Bekel berbaring, tabib yang mengobatinya
agaknya sudah berhasil mengatasi saat-saat y ang paling gawat.
Ki Bekel itu agaknya sudah mulai merasa tenang.
Ketika ia membuka matanya dan melihat Ki Buyut
berdiri di sampingnya, serta tabib y ang mengobatinya, hatinya
pun telah tersentuh. Bahkan dengan nada dalam ia bertanya,
"Kenapa Ki Buyut membiarkan aku mendapat pengobatan."
"Aku yang membawa tabib itu kepadamu," jawab Ki
Buyut. "Kenapa Ki Buyut tidak membiarkan aku mati?"
bertanya orang itu pula. "Kenapa" " Ki Buyut lah yang ganti bertanya.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia pun
kemudian melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di
belakang Ki Buyut itu pula.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun
kemudian Mahisa Murti itu pun bertanya, "Kenapa selama ini
kau berbuat begitu kasar terhadap Ki Buyut?"
Ki Bekel tidak segera menjawab. Namun ia pun
kemudian berdesis, "Ada beberapa macam sebab. Tetapi
kenapa Ki Buyut tidak membiarkan aku mati. Bukankah
selama ini aku telah membebani dengan tindakan-tindakan
yang tidak sesuai dengan kehendaknya?"
"Aku bukan pembunuh," jawab Ki Buyut.
"Kenapa anak muda itu juga tidak membunuh aku?"
bertanya Ki Bekel pula. Mahisa Murti sama sekali tidak menjawab. Ia berdiri


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan membeku di sebelah Ki Buyut.
"Kenapa" " Ki Bekel itu berteriak.
Namun Mahisa Murti m asih tetap diam. Mahisa Pukat
pun sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
"Kenapa" " Ki Bekel itu berteriak pula.
Namun tiba -tiba lukanya terasa menjadi semakin pedih.
Bahkan tabib yang mengobatinya itu pun berkata, "Jangan
berteriak begitu. Lukamu akan menjadi semakin parah."
"Aku tidak peduli," teriak Ki Bekel, "seharusnya aku
memang sudah mati." "Kau tidak akan mati sekarang," berkata Ki Buyut, "jika
kau sendiri m au m embantu, maka keadaanmu akan m enjadi
semakin baik." "Aku tidak perlu bela s kasihan kalian. Jika kalian ingin
membunuhku, biarlah aku mati. Kenapa kalian berusaha
mengobati aku jika kalian telah melukaiku?" teriak Ki Bekel.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Lupakan apa yang sudah terjadi. Mungkin kita masih
mempunyai kesempatan untuk bekerja dengan baik di harihari
mendatang. Kau memiliki kelebihan yang dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi Kabuyutan kita jika kau
bersedia." "Tidak. Aku tidak mau diperalat oleh siapapun juga. Jika
kalian mengobati dan m eny embuhkan luka-lukaku, maka aku
akan membalas dendam. Mungkin akulah y ang akan
membunuh," berkata Ki Bekel.
"Apakah keuntunganmu dengan berbuat seperti itu?"
bertanya Ki Buyut, "Ki Bekel. Jika kau sempat mengenangkan
apa yang telah kau lakukan, maka kau akan mengerti nilai dari
hidupmu selama ini. Apakah kau sempat memanfaatkan nilai
yang ada di dalam dirimu itu sebaik-baiknya sehingga nilai itu
akan mempunyai arti?"
Ki Bekel memandang wajah Ki Buyut sejenak. Ia
memang tidak m elihat dendam di sor ot m ata Ki Buyut itu.
Bahkan pada wajah itu nampak kecemasan y ang lembut.
Ki Bekel yang hampir saja berteriak itu telah menelan
kembali kata -katanya. Namun darah di lukanya yang sudah hampir mampat itu
telah mulai mengalir lagi.
"Aku harus bekerja lagi," berkata tabib itu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "bekerjalah
sebaik-baiknya." Tabib itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera berusaha
untuk mengobati luka-luka yang berdarah lagi itu.
Ki Buyut pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sudah melihat sedikit pengakuan di hati Ki Bekel tentang
sikapnya selama itu. Namun ketika Ki Bekel itu mulai bergerak, terdengar
suara Ki Bekel sendat, "Ki Buyut."
Ki Buyut itu berhenti sejenak. Ketika ia berpaling, Ki
Bekel itu berdesis lagi, "Kemarilah Ki Buyut."
Ki Buyut melangkah m endekat. Ketika ia berdiri di sisi
Ki Bekel m aka ia pun melihat Ki Bekel itu memandanginya
dengan sor ot mata yang lain.
"Ki Buyut," berkata Ki Bekel, "aku minta maaf. Aku telah
melakukan kesalahan y ang besar sekali."
"Sudahlah Ki Bekel, "sahut Ki Buyut, "luka-lukamu itu
akan segera sembuh. Karena itu, beristirahatlah dengan baik.
Ki Jagabaya akan menungguimu."
"Katakan Ki Buyut, bahwa Ki Buyut akan m emaafkan
aku," berkata Ki Bekel ter sendat-sendat.
Ki Buyut meny entuh bahu Ki Bekel sambil berkata, "aku
sudah memaafkanmu. Kau tidak akan m elakukan kesalahan
lagi." Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
mengembalikan jabatan y ang bukan hakku itu."
"Jangan kau pikirkan sekarang," berkata Ki Buyut.
Ki Bekel tidak berkata-kata lagi. Namun pada wajahnya
nampak peny esalan y ang mendalam.
Sementara itu tabib y ang mengobatinya telah bekerja
lagi untuk memampatkan darah y ang mulai mengalir dari luka
itu. Sejenak k emudian Ki Buyut, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah meninggalkan Ki Bekel y ang terbaring. Sementara
seorang yang lain pun masih juga terbaring beberapa langkah
di sebelah Ki Bekel. Orang y ang bertubuh tinggi tegap dan
berjambang panjang itu ternyata mengeluh dan merintih tidak
henti-hentinya. Bahkan ia telah menangis t ertahan-tahan.
Ketika Ki Buyut m endekatinya, orang itu berkata, "Ki
Buyut. Tulang punggungku patah."
"Tidak," jawab Ki Buyut, "kau tidak apa-apa. Kau hanya
terkejut dan terjatuh. Kau tidak luka, selain beberapa bagian
kulitmu terkelupas, seperti anak-anak y ang terjatuh waktu
berlari-lari." Orang itu menjadi heran. Dengan ragu ia bertanya, "jadi
aku tidak apa-apa?" "Tidak," jawab Ki Buyut, "kecuali jika kau memang
cengeng." Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ketika Ki
Buyut meninggalkannya, m aka ia pun telah mencoba untuk
bangkit. Ternyata bahwa tubuhnya m emang tidak terasa terlalu
sakit lagi. Meskipun masih juga ada tulang-tulangnya yang
rasa-rasanya kurang m apan, tetapi ternyata bahwa tubuhnya
memang tidak terlalu sakit sehingga ia perlu merintih dan
bahkan menangis. Seorang anak muda tiba -tiba mendekatinya, sehingga
wajahnya menjadi pucat. Mahisa Pukat dengan kerut di kening
menghampirinya. "Kau tidak pantas menangis. Tubuhmu y ang tinggi kekar
dan jambangmu yang panjang memberikan kesan kejantanan.
Tetapi ternyata kau lebih cengeng dari seorang perempuan,"
desis Mahisa Pukat. Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Dirabanya
jambangnya y ang panjang. Kemudian sekali lagi ia merasakan
apakah ia sakit atau tidak.
"He, aku tidak sakit. Tubuhku tidak apa -apa. Aku
memang memiliki day a tahan melampaui orang lain," berkata
orang itu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka orang itu tidak berbaring lagi.
Ia juga tidak mau merintih dan apalagi menangis. Dengan
tegap ia melangkah keluar banjar.
Di halaman banjar ia melihat kawan-kawannya
bertebaran di halaman dan di serambi gandok. Mereka duduk
dengan gelisah tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan
selanjutnya. Sementara itu Mahisa Pukat telah menyusul Mahisa
Murti y ang berjalan di samping Ki Buyut di halaman. Dengan
nada rendah Ki Buyut berkata, "Aku atas nama seisi
Kabuyutan ini mengucapkan terima kasih anak muda.
Kehadiran kalian, tanpa kalian sengaja telah memberikan arti
yang sangat besar. Ki Bekel a dalah orang yang tidak dapat
diatur lewat paugeran y ang manapun. Ia merasa dirinya tidak
dapat dilawan oleh siapapun di Kabuyutan ini. Bahkan ia
berhasil mempengaruhi hampir seisi padukuhannya. Orangorang
padukuhan ini merasa mendapat perlindungan dari
orang terkuat sehingga mereka pun bertingkah laku seperti Ki
Bekel pula dalam ukuran yang lebih kecil."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
" Itulah agaknya yang membuat anak-anak mudanya juga
bersikap keras dan memaksa untuk membuka kerudung
patung itu." "Ki Sanak," berkata Ki Buyut, "kami ingin
mempersilahkan Ki Sanak singgah di Kabuyutan barang
sejenak." "Terima kasih Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "kami
harus m elanjutkan perjalanan kami. Kami sudah terlalu lama
berada di perjalanan ini."
"Mudah-mudahan untuk selanjutnya Ki Bekel akan
menjadi baik. Menilik sikapnya y ang terakhir, maka aku kira ia
akan mendapatkan kesadarannya, bahwa ia adalah warga
Kabuyutan yang baik pula. Sedangkan Ki Jagabaya, meskipun
bukan orang yang memang berasal dari Kabuyutan ini, namun
agaknya ia pun menyadari, bahwa yang dilakukannya selama
ini telah merugikan tatanan kehidupan di Kabuyutan ini.
Apalagi jika Ki Bekel yang membawanya kemari sudah
berubah pula." "Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "jika tugasku sudah
selesai, m aka aku akan kembali ke Kabuyutan ini. Aku akan
melihat, apa y ang dilakukan oleh Ki Bekel itu kemudian. Jika
ia memang tidak mungkin berubah lagi, maka kita akan
memikirkan langkah-langkah selanjutnya."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Ki Buyut. Lalu ia -pun
tiba -tiba bertanya, "Tetapi apakah y ang sebenarnya Ki Sanak
bawa itu?" "Sebuah patung," jawab Mahisa Murti, "tetapi kami
memang tidak dapat membukanya sebelum kami serahkan
kepada Sri Maharaja di Singasari."
"Sri Maharaja di Singasari" Jadi kalian berhubungan
dengan Sri Maharaja?" bertanya Ki Buyut.
"Ya," jawab Mahisa Murti singkat.
Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
persoalan yang timbul di Kabuyutan ini menghambat
kehadiranmu di istana Singasari sampaikan permohonan
maafku kepada Sri Maharaja. Kau tahu apa y ang t erjadi di
Kabuyutan ini." "Bukan salah kalian di sini," jawab Mahisa Murti, "roda
pedati kamilah yang rusak."
Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Katanya, "terserah
kepada kebijaksanaan kalian. Kalian telah menunjukkan
kebesaran jiwa kalian."
Mahisa Murti dan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Pukat
sambil berkata, "Marilah. Pedati itu mudah-mudahan sudah
selesai." "Silahkan anak-anak muda. Biarlah aku tetap berada di
banjar," berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
minta diri. Keduanya meninggalkan Ki Buyut y ang mengantar
mereka sampai ke pintu gerbang.
Demikian keduanya meninggalkan Ki Buyut, maka
keduanya pun mempercepat langkah mereka menuju ke
tikungan y ang tajam, tempat mereka meninggalkan pedati
mereka y ang sedang diperbaiki.
Ketika keduanya sampai di pedati itu, ternyata usaha
untuk memperbaikinya sudah hampir selesai. Karena itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak perlu lagi
membantunya. Mereka tinggal menunggu saja, sehingga
akhirnya roda pedati yang hampir lepas itu telah menjadi baik
kembali. "Kita sudah selesai," berkata prajurit Singasari y ang juga
menjadi pemahat batu itu, "kita sudah siap berangkat."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi beri kesempatan kami untuk minum," desis
adiknya, y ang juga seorang pemahat.
"Silahkan," sahut Mahisa Pukat, "aku pun ingin
beristirahat barang sejenak."
Demikianlah untuk beberapa saat, Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan seluruh iring-iringan masih beristirahat. Mereka
masih sempat m inum dari air yang m ereka bawa di dalam
impes-impes mereka. Baru setelah keringat mereka menjadi kering, maka
Mahisa Murti pun bertanya kepada mereka, "Apakah kita
dapat berangkat sekarang?"
"Marilah," sahut salah seorang di antara para pengawal
patung itu. Beberapa y ang lain pun telah menyahut pula, "Kami
sudah siap." Mahisa Murti, Mahisa Pukat, kakak beradik prajurit
Singasari y ang menjadi pemahat itu pun segera bersiap pula.
Lembu yang menarik pedati itu pun agaknya telah cukup lama
pula beristirahat serta telah minum dan makan secukupnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian iring-iringan itu pun telah
bersiap pula untuk berangkat.
Tetapi langkah y ang baru akan m enapak itu pun telah
tertegun. Mereka melihat orang-orang padukuhan
berdatangan pula. Di paling depan adalah justru Ki Buyut
serta beberapa orang pengawalnya serta Ki Jagabaya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun tanpa mengucapkan sepatah kata pun
keduanya segera melangkah m eny ongsong orang-orang yang
dengan tergesa -gesa datang mendekati iring-iringan yang
sudah hampir berangkat itu.
Kedua kakak beradik prajurit Singasari itu pun telah
bersiap pula, sementara orang-orang padepokan yang
mengawal patung itu pun dengan sigapnya telah
menempatkan diri. Jika terjadi sesuatu maka mereka pun
telah siap untuk bertindak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m enjadi semakin tidak
mengerti ketika mereka melihat Ki Buyut melambailambaikan
tangannya sebelum ia menjadi semakin dekat.
"Apa sebenarnya y ang terjadi," desis Mahisa Murti.
"Kami sudah berbuat sebaik-baiknya," berkata Mahisa
Pukat. "tetapi jika y ang telah kami lakukan itu ditanggapi
sebaliknya, apa boleh buat. Kami benar-benar akan berbuat
kasar." Mahisa Murti tidak menyahut. Ia dapat mengerti
perasaan Mahisa Pukat. Bahkan perasaannya sendiri pun
agaknya tidak jauh berbeda dengan perasaan Mahisa Pukat
itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tertegun pula
ketika mereka melihat Ki Buyut itu berlari -lari. Hampir
berteriak ia berkata, "Jangan salah mengerti. Kami datang
untuk maksud baik. Kami ingin memberikan penghormatan
kami pada saat kalian berangkat untuk meneruskan
perjalanan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu sama sekali
tidak membawa senjata lagi di tangan mereka.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
berkata kepada orang-orangnya, "Tenanglah. Mereka
bermaksud baik." Sebenarnyalah, Ki Buyut dan Ki Jagabaya sama sekali
tidak lagi menunjukkan sikap bermusuhan. Beberapa orang
di-antara orang-orang padukuhan itu ikut mendekat. Tetapi
yang lain masih juga merasa ragu. Mereka takut jika terjadi
salah paham. "Anak-anak muda," berkata Ki Buyut, "ternyata Ki
Jagabaya ingin juga berbicara sejenak, mewakili orang-orang
Kabuyutan ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melangkah
mendekat, diikuti oleh kedua orang prajurit Singasari itu.
Bagaimanapun juga m asih ada kecurigaan mereka terhadap
orang-orang padukuhan itu, terutama Ki Jagabaya.
Namun Ki Jagabaya itulah y ang kemudian melangkah
mendekat sambil b erkata, "Anak-anak muda. Perkenankanlah
kami mohon maaf atas segala tingkah laku kami. Kami bukan
sa ja telah m enghambat perjalanan kalian ke Singasari. Tetapi
kami juga telah menyinggung perasaan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan
nada dalam Mahisa Murti berkata, "Sudahlah Ki Jagabaya.
Lupakan. Soalny a kemudian adalah, bagaimana selanjutnya."
"Kami mengerti. Kami akan berusaha berbuat sebaikbaiknya.
Karena aku berbicara atas nama semua orang
padukuhan." Ki Jagabaya itu pun berhenti sejenak, lalu "Kamipun
mengucapkan terima kasih y ang sebesar-besarnya atas
perlakuan kalian terhadap kami. Bukankah jika kalian
kehendaki, kami telah hancur. Mungkin korban akan jatuh
berserakan tanpa dapat dihitung. Dan aku sendiri pun tidak
akan lagi dapat melihat cahaya matahari."
"Sudahlah," desis Mahisa Murti, "kami mohon diri.
Semoga untuk selanjutnya, semua akan berjalan dengan baik."
"Selamat jalan anak-anak muda," desis Ki Jagabaya,
"selamat jalan semuanya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
memberikan isy arat kepada orang-orangnya untuk segera
bersiap k embali di tempat m ereka masing-masing. Sementara
itu, sekali lagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah
mohon diri kepada Ki Buyut dan memberikan isyarat pula
kepada seluruh orang-orang padukuhan yang masih ragu-ragu
itu. Serentak orang-orang padukuhan itu mengangkat
tangan mereka. Melambai -lambai dan m engucapkan selamat
jalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terseny um. Sementara
itu Ki Buyut mendekati mereka pula sambil berkata, "Selamat
jalan, anak-anak muda. Tidak ada batasnya terima kasih kami
semuanya kepada kalian. Kami melihat masa depan y ang lebih
cerah bagi Kabuyutan yang miskin ini."
"Mudah-mudahan Ki Buyut," jawab Mahisa Pukat, "lain
kali kami akan singgah untuk melihat perkembangan dari
Kabuyutan ini." "Kami akan menunggu kehadiran kalian anak-anak
muda," jawab Ki Buyut.
Demikianlah maka iring-iringan itu pun mulai bergerak.
Pedati y ang sudah diperbaiki itu berjalan lagi meninggalkan
tikungan y ang tajam hampir saja membuat segalanya menjadi
rusak dan hancur. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan kedua kakak beradik
prajurit Singasari yang telah memahat patung itu pun berjalan
di paling depan. Bagaimanapun juga mereka menjadi cemas
bahwa hal y ang serupa akan dapat terjadi di perjalanan,
karena setiap kali m ereka masih saja menjumpai orang-orang
yang bertanya, apakah y ang berada dibawah kerudung kain
putih itu. Dan setiap kali dijawab bahwa yang dibawa itu adalah
sebuah patung, maka pada umumnya mereka tidak
mempercayainya, atau mendor ong mereka ingin melihatnya.
Namun beruntunglah, bahwa tidak ada segolongan
orang yang hendak memaksa membuka kerudung itu,
sebagaimana dilakukan sekelompok orang padukuhan yang
dipimpin oleh seorang Bekel yang keras dan kasar. Bahkan
yang telah merebut kedudukannya dengan kekerasan pula.
Semakin lama iring-iringan itu pun akhirnya mendekati
Kota Raja pula. Namun mereka terpaksa bermalam tiga malam
sepanjang perjalanan mereka. Pedati itu berjalan lam bat
sekali, bahkan kadang-kadang rasa-rasanya tidak pernah maju
dari tempatnya apabila mereka melintasi jalan-jalan yang
berlubang-lubang atau menanjak.
Ketika iring-iringan itu m endekati pintu gerbang, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m enghentikan m ereka.
Kepada prajurit Singasari y ang telah membuat patung yang
akan diper sembahkan kepada Sri Maharaja itu, Mahisa Murti
berkata, "Aku akan memberitahukan kehadiran kita agar tidak
menimbulkan salah paham. Jika para prajurit di pintu gerbang
ingin juga melihat apa y ang tersembuny i dibalik kerudung itu,
maka kita akan mengalami kesulitan."
"Baiklah," jawab prajurit itu, "tetapi cepatlah kembali."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendahului iringiringan
itu menuju ke istana Singasari. Keduanya telah
menemui Mahisa Agni untuk menyampaikan pemberitahuan
bahwa patung y ang mereka bawa telah berada di luar kota,
tidak terlalu jauh dari pintu gerbang.
"Kenapa t idak kau bawa masuk saja?" bertanya Mahisa
Agni. Mahisa Murti pun kemudian memberikan keterangan
tentang kemungkinan yang tidak mereka inginkan.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku dan
pamanmu Witantra akan meny ongsong kalian."
"Jadi kami harus menunggu paman diluar pintu
gerbang," bertanya Mahisa Pukat.
"Kita pergi bersama-sama," jawab Mahisa Agni.
Dengan gembira Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menuju ke tempat iring-iringannya berhenti. Bersama Mahisa
Agni dan Witantra mereka tentu tidak akan diganggu oleh
siapa-pun juga. Sebenarnyalah, bahwa iring-iringan itu pun mulai
bergerak lagi setelah Mahisa Agni dan Witantra sampai ke
tempat mereka menunggu. Mereka akan dapat melewati pintu
gerbang dengan aman. Tidak seorang pun y ang akan berani
memaksa membuka kerudung itu.
Ternyata perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu benar. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang, para
penjaga memang menyatakan bahwa seharusny a kerudung itu
dibuka. Mereka curiga bahwa apa y ang disembuny ikan itu
tidak wajar y ang akan dapat mengacaukan Kota Raja.
Tetapi Mahisa Agni dan Witantra agaknya menjadi
tanggungan, sehingga para prajurit Singasari tidak berani
memaksanya. "Aku tahu pasti apa yang disembunyikan itu," berkata
Mahisa Agni, "sama sekali bukan benda-benda yang
berbahaya. Tetapi sesuatu y ang sangat berharga, yang hanya
dapat dibuka oleh Sri Maharaja di Singasari sendiri."
Para prajurit itu tidak ada y ang berani membantah.
Mereka m engenal siapakah Mahisa Agni dan Witantra yang
sudah menjadi semakin tua itu. Namun keduanya masih tetap
orang-orang penting di istana Singasari.
Iring-iringan itu pun kemudian telah memasuki pintu
gerbang kota. Atas perintah Mahisa Agni maka pedati itu pun
telah langsung menuju ke istana.
Tetapi Mahisa Agni telah membawa pedati itu ke bagian
belakang istana Singasari. Patung itu masih belum diketahui
oleh Sri Maharaja, bahwa telah berada di istana. Karena itu,
maka Mahisa Agni dan Witantra harus memberitahukan
kedatangannya kepada Sri Maharaja.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah merasa
tenang bahwa patung itu sudah berada di dalam lingkungan
istana, sehingga tidak akan diganggu lagi oleh siapa pun juga.
Para penghuni padepokan Suriantal y ang mengawal
patung itu pun telah mendapat tempat y ang baik selama
mereka berada di Singasari.
Hari itu juga Mahisa Agni dan Witantra telah m endapat
kesempatan untuk menghadap Sri Baginda. Mereka pun
langsung m enyampaikan laporan, bahwa patung yang pernah
diberitahukan itu telah berada di Singasari.
"Jadi mereka telah membawa patung itu kemari?"
bertanya Sri Maharaja. "Hamba Sri Maharaja," jawab Mahisa Agni, "patung itu
masih tetap berada diatas pedati besar y ang dipergunakan
untuk mengusung patung itu."
"Baiklah," berkata Sri Maharaja, "biarlah patung itu
tetap di tempatnya. Besok aku baru akan melihat, ujud dari
patung itu, sehingga aku akan dapat menempatkannya di
tempat y ang paling sesuai."
"Segala sesuatunya kami serahkan kepada Sri Maharaja,"
jawab Mahisa Agni. Malam itu patung itu bermalam di bagian belakang
istana Singasari. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun mendapat tempat pula di bagian belakang istana itu
bersama para penghuni padepokan y ang ikut bersama. Sedang
dua orang prajurit Singasari y ang ikut bersama mereka, tidak
pula segera kembali ke kesatuan. Mereka akan ikut serta
menyerahkan patung itu. Bahkan m ereka merupakan orangorang
penting y ang akan terlibat dalam upacara pembukaan
selubung patung itu. Di hari berikutnya, seperti y ang dikatakan oleh Sri
Maharaja, maka ia berkenan untuk melihat patung itu
bersama Ratu Angabaya. Ketika patung itu kemudian terbuka, maka Sri Maharaja
itu pun telah terkejut. Batu itu berwarna kehijauan. Bukan
seperti batu kebanyakan. Sementara itu kedua orang pemimpin tertinggi Singasari
itu telah melihat satu pahatan patung yang bagus sekali.
Kecuali batu itu sendiri merupakan batu y ang jarang terdapat,
maka pahatan patung itu pun berupa perlambang dari
persatuan dan keperkasaan Sri Maharaja sendiri dengan Ratu
Angabaya. Sekilas wajah Sri Maharaja itu berseri. Namun kemudian
Sri Maharaja itu bergumam, "Sayang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
"Apakah Sri Maharaja tidak berkenan dengan
patungnya itu?" Namun Sri Maharaja itu berkata, "Patung itu bagus
sekali. Batunya pun batu y ang sangat berharga. Sebesar batu
untuk cincin pun harganya tentu sudah tinggi. Apalagi batu
sebesar itu." Mahisa Murti, Mahisa Pukat serta kedua pemahatnya,
bahkan Mahisa Agni dan Witantra y ang menunggui juga,
menjadi berdebar-debar melihat sikap Sri Maharaja. Namun
kemudian mereka pun m engerti, apakah yang m embuat Sri
Maharaja kecewa. "Aku kagum pada patung itu bahkan dengan bahannya
pula. Jika aku tahu sebelumnya, maka aku akan dapat
membuat patung perlambang kasukmaan. Bukan sekedar
kewadagan, meskipun y ang kewadagan itu pun sangat
berharga bagi kami."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sri Maharaja
memang kecewa. Tetapi ju stru karena ia sangat mengagumi
batu yang dipergunakan untuk membuat patung itu.
Namun sejenak kemudian Sri Maharaja itu berkata,
"Aku sangat berbangga dengan patung y ang berbentuk
sepasang ular naga itu."
Mahisa Agni pun kemudian memberitahukan kepada Sri
Maharaja bahwa pemahat patung itu adalah dua orang kakak
beradik prajurit Singasari dibantu oleh dua orang dari
padepokan itu sendiri. "Dua orang prajurit Singasari?" bertanya Sri Maharaja.
"Hamba Sri Maharaja," jawab Mahisa Agni sambil
menunjuk kepada kedua orang prajurit itu.
Sri Maharaja ternyata sangat berkenan di hati. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata kepada Panglima prajurit
Singasari, "Mereka berhak naik pangkat mendahului masa
kenaikannya dua tingkat lebih tinggi."
Panglima prajurit Singasari itu m engerutkan keningnya.
Namun nampaknya ia tidak mengerti kenapa Sri Maharaja
mengambil keputusan demikian cepat.
"Kenapa?" bertanya Sri Maharaja y ang melihat sorot
mata Panglima y ang agak kebingungan itu.
"Ampun Sri Maharaja," jawab Panglima itu, "hamba
akan melaksanakan segala perintah. Namun perkenankan
hamba mengetahui kenapa keduanya mendapat
penghormatan begitu tinggi, justru keduanya tidak melakukan
tugas keprajuritan. Apalagi melakukan satu tugas penting yang
sangat berarti bagi keprajuritan Singasari."
Sri Maharaja termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Panglima. Keduanya berhak mendapat
penghormatan yang sangat tinggi, justru karena keduanya
telah melakukan satu tugas yang sangat berarti tanpa memilih
tugas khusus y ang harus diembannya. Seorang prajurit
memang pantas dihargai jika ia dapat berbuat sesuatu yang
sangat berarti bagi keprajuritan di Singasari. Tetapi keduanya
pun berhak mendapat penghargaan karena keduanya telah
melakukan pekerjaan yang besar justru diluar bidang
keprajuritan. Seorang prajurit di Singasari harus dapat
melakukan tugas keprajuritannya dengan baik, tetapi juga
tugas lainnya di luar bidang keprajuritan."
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya, "Hamba
mengerti Sri Maharaja."
"Nah, jika demikian kau dapat memerintahkan kepada
yang berwenang untuk melaksanakan perintahku secepatnya,"
berkata Sri Maharaja. "Hamba Sri Maharaja. Hamba akan melakukan
secepatnya," jawab Panglima itu.
Sri Maharaja m engangguk-angguk. Ketika ia kemudian
memandangi patung itu lagi, maka ia pun berkata," Aku akan
menentukan tempat yang paling baik bagi patung ini. Patung
ini sesuai dengan ujudnya sebagai perlambang kewadagan,
akan aku tempatkan di tempat yang paling banyak didatangi
oleh para prajurit. Tidak hanya di halaman salah satu barak,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi jika mungkin di tempat lain y ang lebih baik."
"Ampun Sri Maharaja," berkata Panglima prajurit itu,
"jika demikian bagaimana jika patung itu ditempatkan di araara
tempat para prajurit melakukan gladi perang?"
Sri Maharaja mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Batu itu adalah batu y ang sangat berharga. Apakah
batu itu tidak akan diambil orang jika ditempatkan di ara -ara
terbuka tempat para prajurit melakukan gladi perang."
Panglima itu mengerutkan keningnya. Dengan nada
berat ia berkata, "Ditugaskan kepada para prajurit untuk
menjaganya. Didirikan gardu bagi mereka yang khusus
menjaga patung itu."
Sri Maharaja Singasari mengangguk-angguk. Dengan
nada dalam ia berkata, "Aku sependapat. Akan didirikan
sebuah gardu yang khusus untuk m enjaga patung itu di araara
tempat para prajurit menempa diri. Meskipun tempat itu
tidak akan sama nilainy a dengan tempat-tempat khusus bagi
kegiatan rohani, namun tempat itu akan dapat menjadi tempat
yang memberikan kebanggaan bagi Singasari jika mereka
memang benar m engakui kesatuan rasa dan pikir dari para
pemimpinnya." "Jika demikian, maka titah Sri Maharaja hamba tunggu,"
sahut Panglima itu. Sri Maharaja berpikir sejenak. Ia pun kemudian
berpaling kepada Ratu Angabaya sambil berdesis, "Apakah
pendapatmu?" "Hamba sependapat dengan Sri Maharaja?" jawab Ratu
Angabaya. Sri Maharaja mengangguk-angguk. Kemudian katanya
kepada Panglima prajurit Singasari itu, "perintahkan untuk
membangun sebuah gardu y ang pantas. Alas dari patung yang
besar dan berat itu. Jika semuanya sudah siap, m aka akan
diadakan upacara peresmian patung itu sebagai kebanggaan
dan lam bang persatuan rakyat Singasari. Semuanya harus siap
dalam waktu dekat, sehingga anak-anak muda itu tidak
menunggu terlalu lama di sini."
Demikianlah, ketika kemudian Sri Maharaja
meninggalkan tempat patung yang besar itu bersama Ratu
Angabaya, maka Panglima itu pun telah berusaha untuk
mendengarkan pendapat Mahisa Agni dan Witantra sebagai
orang-orang tua y ang memiliki pengaruh y ang besar di
Singasari. Ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantra tidak
mempunyai terlalu banyak pendapat. Mereka hanya
memberikan beberapa keterangan tentang patung itu
sebagaimana yang mereka ketahui. Alas patung itu memang
harus kuat sehingga patung itu lambat laun tidak akan
semakin dalam terperosok ke dalam tanah. Sedangkan
menurut mereka, gardu itu jangan terlalu dekat dengan patung
yang akan ditempatkan di ara-ara itu agar tidak mengganggu
pandangan dan mengurangi keindahan ujudnya.
"Terima kasih," berkata Panglima itu, "aku akan
melakukannya. Dalam waktu dekat, gardu itu tentu sudah jadi.
Alas itu pun akan segera siap pula, sehingga patung itu akan
segera pula dapat ditempatkan."
Demikianlah, maka sejenak kemudian patung itu pun
telah, ditutup kembali. Panglima itu bergegas pula
meninggalkan tempat itu. Ia harus segera mulai
merencanakan pembangunan sebuah gardu y ang khusus yang
tentu saja harus sesuai dengan nilai patung yang dipahat dari
batu y ang berwarna kehijau-hijauan itu. Jika rencana itu
kemudian disetujui Sri Maharaja, maka pembangunannya pun
harus segera dilakukan pula.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
harus berada di Singasari untuk waktu y ang agak lama
bersama orang-orangnya. Namun mereka selama berada di
Singasari telah m endapat tempat dan kelengkapan yang lain
dengan sebaik-baiknya. Dalam pada itu, maka Panglima prajurit Singasari itu
pun telah meny iapkan sebuah rencana yang mapan dalam
waktu dekat. Ketika rencana itu ditunjukkan kepada Sri
Maharaja, maka Sri Maharaja pun telah sependapat. Tidak
banyak perubahan y ang diberikan oleh Sri Maharaja. Hanya
beberapa bagian dari gardu yang besar itu telah diberinya
sayap, sehingga dengan demikian maka gardu itu bukan saja
merupakan tempat untuk para prajurit yang menjaga patung
itu. Tetapi juga merupakan tempat yang cukup luas untuk
beristirahat bagi para prajurit yang sedang berlatih. Dari
tempat itu, mereka dapat melihat patung itu dengan jelas.
Dengan persetujuan Sri Maharaja, maka pembangunan
gardu itu pun segera dilak sanakan. Tetapi untuk itu Sri
Maharaja mengisyaratkan bahwa bahannya bukan batu. Tetapi
kayu. Kecuali untuk alasny a dan umpak tiang-tiangnya.
Panglima itu telah memanggil sejumlah tukang kayu
yang mumpuni. Mereka harus meny elesaikan gardu itu dalam
waktu yang secepat-cepatnya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
harus m enunggu peny elesaian dari alas patung dan gardu itu,
mempunyai waktu untuk mengunjungi ayahnya atas ijin
Mahisa Agni. Bahkan atas perm intaan Mahisa Agni, maka
Mahendra-pun telah diundang untuk datang ke Singasari,
menyaksikan nanti pada saatnya peresmian patung yang
ditempatkan di ara-ara tempat para prajurit Singasari berlatih.
Ketika semuanya sudah hampir siap, maka sampailah
saatnya untuk merencanakan pula cara menempatkan patung
diatas alasnya y ang terbuat dari batu.
Hal itu ternyata bukan satu pekerjaan y ang mudah.
Patung itu sangat b erat, sehingga tidak mungkin untuk dapat
diangkat. Karena itu maka diperlukan cara y ang paling t epat
untuk melakukannya. "Kita harus mempunyai kekuatan y ang sangat besar
untuk dapat m engangkat patung itu. Kita memerlukan pula
kayu-kayu yang besar dan panjang diatas alas patung itu,"
berkata Mahisa Agni. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah tanggap.
Memang cara yang dapat ditempuh adalah cara sebagaimana
dikatakan oleh Mahisa Agni itu.
Karena itu, kepada Panglima prajurit Singasari itu
Mahisa Murti telah mengajukan rencananya pula untuk
menempatkan patung yang besar dan berat itu.
"Diperlukan empat atau lima batang balok yang besar
dan kukuh. Kemudian sebuah belandar balok kayu y ang bulat
dan kuat pula. Tampar-tampar dari serat nanas dan lembulembu
penarik pedati itu," berkata Mahisa Murti.
Panglima itu pun mengerti rencana itu. Karena itu, maka
ia -pun harus mengusahakannya.
Pada saat y ang ditentukan, m aka segala-galanya telah
disiapkan. Pada saat gardu y ang besar itu hampir selesai, maka
segala sesuatunya untuk memasang patung itu pun telah siap
pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah m eny iapkan
patungnya pula untuk dibawa ke ara-ara. Setelah patung itu
dilihat oleh Sri Maharaja, maka rasa-rasanya kerudung itu
bukan lagi harus dipertahankan mati-matian. Namun
demikian ketika kemudian patung itu dibawa ke ara-ara, maka
kerudung itu masih juga menutupinya.
Ketika patung itu m ulai bergerak dari bagian belakang
istana Singasari, maka ara-ara y ang cukup luas itu telah diberi
gawar, sehingga tidak lagi seorang pun yang tidak
berkepentingan dapat masuk. Di bagian-bagian yang terbuka
telah dijaga oleh prajurit-prajurit ber senjata.
Namun ketika pedati y ang m embawa patung itu mulai
bergerak keluar istana, maka sebuah iring-iringan yang
semakin lama menjadi semakin panjang telah m engikutinya.
Namun ketika pedati itu memasuki ara-ara, maka orang-orang
yang mengiringi harus tinggal di luar gawar. Hanya mereka
yang m emang mengawal patung itulah y ang boleh memasuki
ara-ara. Para pengawal yang mengikuti perjalanan patung itu
dari padepokan Suriantal.
Ternyata bahwa hari itu, patung itu masih belum dapat
diangkat dan dipasang di tempat y ang telah disediakan. Ma sih
harus dilakukan beberapa persiapan lagi. Karena itu, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menjaga dan
mengawasi patung itu sampai saatnya patung itu dipasang dan
siap untuk diresmikan. Karena itu maka m alam itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat serta para pengawal yang meny ertainya tidak lagi tidur
di ruang yang hangat di istana. Tetapi mereka tidur di gardu
bersayap yang besar y ang ada di ara-ara itu, m eskipun gardu
itu masih dalam tataran peny elesaian.
Namun hal itu tidak menjadi persoalan. Bahwa mereka
masih berada di bawah atap ternyata masih cukup baik
dibandingkan jika mereka harus bermalam di pategalanpategalan
atau bahkan di padang rumput sekalipun.
Seperti y ang direncanakan, maka peresmian dari patung
itu akan dilakukan oleh Sri Maharaja di Singasari sepekan
mendatang. Karena itu, maka semua orang harus bekerja
keras sehingga pada saat yang telah ditentukan, tidak lagi
mengecewakan. Pekerjaan yang masih meragukan
peny elesaiannya telah dikerjakan siang dan m alam sehingga
para petugas y akin bahwa sepekan lagi, semuanya sudah siap.
Karena itulah, maka ara-ara itu siang dan malam
seakan-akan tidak pernah menjadi lengang. Di malam hari, di
beberapa tempat terpasang obor -obor besar untuk m enerangi
para pekerja yang sibuk. Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
sudah mulai merasa gelisah. Jika usahanya memasang patung
itu gagal diselesaikan dalam lima hari, maka segalanya akan
menjadi kacau. Karena itu, maka dalam kegelisahan itu Mahisa Murti
berkata," Besok kita harus sudah dapat menyiapkan semua
peralatan yang diperlukan. Yang ada ini ternyata baru
sebagian. Kita belum m empunyai tali-tali yang kita perlukan
untuk menarik batu itu."
"Bukankah kita sudah menyampaikan semua kebutuhan
kita?" sahut Mahisa Pukat, "tetapi ternyata m asih juga ada
yang terlambat." "Biarlah besok kita sampaikan lagi kekurangan itu,"
berkata Mahisa Murti. "Namun kita besok sebaiknya mulai
dengan kerja y ang dapat kita lakukan."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat. Apapun yang dapat kita lakukan, besok kita akan
melakukannya. Sepekan itu pada saatnya akan terasa terlalu
singkat." Demikianlah, maka malam itu Mahisa Murti harus tidak
dalam keadaan yang kurang tenang. Setiap kali ia dibay angi
oleh waktu y ang tinggal sepekan.
Namun agak berbeda dengan Mahisa Pukat, la merasa
bahwa apa pun y ang dipikirkannya, namun t idak ada pilihan
lain bahwa besok mereka baru dapat mulai berbuat sesuatu.
Sementara itu, para pengawal yang ikut dari padepokan
Suriantal pun telah tertidur nyenyak. Demikian juga kedua
orang prajurit y ang telah memahat patung itu.
Tetapi menjelang pagi Mahisa Murti pun sempat juga
tidur beberapa lama. Ketika fajar menyingsing, maka mereka pun telah
terbangun pula. Di bagian lain dari ara-ara itu, beberapa
pekerja masih juga sibuk meny elesaikan pintu gerbang ara -ara
itu. Sedangkan di sisi y ang lain, beberapa puluh pekerja
menyelesaikan pagar kayu y ang tidak terlalu tinggi di seputar
ara-ara itu. Beberapa buah obor masih terpasang, sementara
langit menjadi semakin merah.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, dua orang pemahat patung
itu dan para pengawal yang lain pun segera m embenahi diri.
Mereka telah pergi ke sungai terdekat untuk mandi.
Demikian matahari terbit, maka mereka pun telah
bersiap-siap untuk mulai dengan kerja m ereka. Hari mereka
telah susut satu lagi, sehingga waktu yang ter sedia itu tinggal
empat hari. Dengan bahan-bahan y ang ada, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mulai mempersiapkan peralatan y ang akan
dipergunakan untuk memasang patung y ang besar itu.
Dengan bantuan batang -batang kayu yang besar y ang
dipasang tegak saling bersandar dengan belandar sebuah
balok y ang bulat, maka m ereka akan m engangkat patung itu,
kemudian pedati itu harus digeser sehingga patung itu akan
dapat diletakkan di tanah. Kemudian dengan tenaga manusia
patung itu diangkat dengan beberapa utas tali dan kayu-kayu
panjang untuk memikul patung y ang besar itu. Patung itu
kemudian akan diangkat dan digantungkan dengan bantuan
alat y ang sama dan perlahan-lahan diletakkan diatas alas yang
terlalu tinggi jika dilakukan langsung dari bahu para
pemikulnya. Namun agaknya mereka memang masih harus
menunggu tambang serat nanas y ang mereka butuhkan.
Ternyata bahwa setelah matahari naik diatas pepohonan,
barulah tambang serat nanas itu diterima oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka mereka pun mulai dengan kerja
sepenuhnya. Bersama-sama para pengawal yang mengiringkan
patung itu dari padepokan Suriantal mereka telah mendirikan
balok-balok kayu y ang besar dan panjang.
"Untunglah bahwa kita datang bersama beberapa orang
"desis Mahisa Pukat.
"Ya," pemahat itulah y ang menjawab, "meskipun di sini
banyak orang, tetapi agaknya mereka mempunyai kesibukan
sendiri-sendiri. Tetapi seandainya kita tidak membawa banyak
kawan, maka aku akan dapat memanggil kawan-kawanku dari
kesatuanku." "Kau memerlukan ijin untuk itu," berkata Mahisa Pukat.
"Tentu," jawab pemahat y ang juga prajurit Singasari itu,
"tetapi untuk kerja besar seperti ini, mereka tentu akan
mendapat ijin." "Tetapi sekarang agaknya kita belum memerlukannya,"
berkata Mahisa Murti. Prajurit itu m engangguk-angguk. Sementara itu, maka
ia -pun telah ikut bekerja keras untuk mengangkat patung itu
dan kemudian meny ingkirkan pedati yang besar dan
meletakkan patung itu ke tanah.
Semakin tinggi matahari, m aka kerja di ara-ara itu pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi semakin riuh. Semua bagian yang belum selesai, telah
dikerjakan dengan mengerahkan tenaga sebanyak-banyaknya.
Siang dan malam. Namun Panglima prajurit Singasari agaknya yakin
bahwa semuanya akan dapat diselesaikan dengan baik. Pintu
gerbang, pagar keliling sebagaimana gawar yang terentang.
Gardu bersay ap y ang besar dan alas bagi patung yang berat
itu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
bekerja keras pula. Namun baru sesaat setelah matahari
melewati puncaknya, patung batu itu terangkat. Beberapa
orang kemudian menarik pedati yang besar beberapa langkah
maju. Dengan tambang-tambang serat nanas patung itu
bagaikan diayun-ayunkan. Perlahan-lahan patung itu
diturunkan sehingga akhirnya terletak di atas tanah.
Namun mereka harus memindahkan balok-balok itu
dekat dengan alas y ang sudah disediakan sebelumnya.
Kemudian m endirikan lagi balok-balok kayu y ang besar dan
panjang saling bersandar untuk membuat dua kaki bagi
gantungan tali-tali yang akan mengangkat patung itu pada
blandar yang bulat dan besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa
mereka tidak akan dapat m enempatkan patung m ereka pada
hari itu. Demikian m ereka selesai dengan m endirikan balokbalok
hari itu, maka hari akan menjadi gelap. Namun Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat belum m enganggap perlu bekerja di
malam hari. Karena itu, di m alam hari Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan orang-orangnya sempat beristirahat di dalam gardu yang
besar itu. Meskipun tanpa alas, mereka dapat tidur dengan
ny enyak, karena kelelahan. Setelah mandi di sungai dan
makan malam, maka mereka pun telah berbaring silang
melintang di atas lantai batu tanpa alas. Bahkan dalam waktu
singkat mereka pun telah tertidur. Hanya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang masih keluar lagi dari gardu yang besar itu
untuk melihat-lihat patung y ang sudah siap untuk diangkat
besok. Karena di pintu gerbang dan di seputar ara-ara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat orang-orang yang
bekerja di bawah sinar obor, maka ia pun tidak mencemaskan
patung batunya. Tentu tidak mungkin ada orang yang. dapat
mengambil patung batu sebesar itu tanpa dilihat oleh para
pekerja atau oleh para petugas y ang menunggui kerja itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun kemudian telah kembali ke gardu untuk ikut
berbaring pula di antara para pekerja. Bahkan sejenak
kemudian mereka pun telah tertidur ny enyak.
Sebelum matahari terbit, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun telah bersiap pula. Mereka telah m enengok patung
batu di luar. Ketika mereka melihat patung batu itu tidak
terganggu apa pun juga, maka mereka pun telah pergi ke
sungai. Beberapa saat kemudian barulah orang-orangnya
menyusul bergantian. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun telah selesai berbenah diri. Mereka pun kemudian
telah menunggui patungnya bersama kedua pemahatnya
untuk memperhitungkan cara y ang paling baik untuk
memasang patung itu pada alasny a.
Demikian matahari terbit, maka kerja pun telah dimulai
lagi. Mereka sadar, bahwa sisa kesempatan mereka tinggal tiga
hari lagi. Namun jika tidak ada hambatan apapun juga, patung
itu akan terpasang selambat-lambatnya besok.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun
telah bekerja keras. Dengan seluruh tenaga y ang ada, mereka
telah mengusung patung itu dengan meletakkannya dekat
sekali dengan alas y ang telah disediakan.
(Bersambung ke Jilid 51 ).
Jilid 051 SEJENAK mereka memikirkan cara yang paling baik
untuk melaksanakan rencana m ereka. Meskipun sebelumnya
mereka telah membuat perhitungan-perhitungan, namun di
saat terakhir mereka harus menilai kembali apakah
perhitungan mereka itu dapat diterapkannya.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yakin bahwa
mereka akan berhasil. "Patung itu harus terletak di tempatnya sekarang. Kita
akan bekerja terus sampai patung itu berada di tempatnya
meskipun hari menjadi gelap. Kita akan mempergunakan
obor -obor. Demikian patung itu berada di tempatnya, kita
akan beristirahat. Besok kita tinggal mengerjakan
peny elesaiannya. Semakin tinggi matahari, maka ara-ara itu pun menjadi
semakin riuh. Prajurit berkuda telah berada pula di dalam araara
itu. Mereka berada di sebelah menyebelah gardu yang
bersayap di belakang patung. Di m uka serambi depan gardu
yang dihiasi dengan janur kuning itu, ditempatkan sebuah alas
yang agak tinggi, tempat Sri Maharaja dan Ratu Angabaya
akan berdiri. Ketika saatnya tiba, maka dua orang penunggang kuda
telah m emasuki pintu gerbang ara -ara itu. Kepada pemimpin
pasukan y ang ada di ara-ara itu, diberitahukan bahwa Sri
Maharaja dan Ratu Angabaya akan segera datang.
Laporan itu pun diteruskan kepada Panglima prajurit
Singasari yang langsung memberikan perintah-perintah
kepada para Senopati untuk meny iapkan diri.
"Sri Maharaja dan Ratu Angabaya sudah berada di
perjalanan menuju ke tempat upacara ini," perintah Panglima
itu, "karena itu segala sesuatunya supaya disiapkan."
Sejenak kemudian, telah terdengar pula suara
sangkakala meskipun masih agak jauh. Pertanda, bahwa iringiringan
Sri Maharaja sudah menghampiri tempat upacara.
Bende pun kemudian dibuny ikan. Semua unsur y ang ada
di ara-ara itu benar-benar telah siap m enyambut kedatangan
Sri Maharaja dan Ratu Angabaya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar
pula. Di sebelah menyebelah pintu gerbang nampak umbulumbul
y ang tinggi bagaikan menggapai awan. Sementara itu,
rontek dan kelebet telah dipasang di beberapa tempat di
seputar ara-ara itu. Beberapa saat lamanya mereka menunggu. Ketika
mereka mendengar suara sangkakala m enjadi semakin dekat,
para prajurit pun benar-benar telah bersiap.
Sebentar kemudian, maka iring-iringan pun mulai
mendekati pintu gerbang. Namun tunggul kebesaran, rontek
dan kelebet telah pula meny emarakkan iring-iringan itu.
Beberapa orang y ang menjadi paruh perjalanan telah
memasuki pintu gerbang. Kemudian Sri Maharaja dan Ratu
Angabaya y ang masing-masing berada di punggung kuda. Di
belakang mereka, beberapa kelompok pasukan pengawal telah
memasuki pintu pula dengan pertanda kebesaran masingmasing.
Tunggui pertanda kesatuan dan kelebet ciri dari
pasukan mereka. Pa da saat Sri Maharaja memasuki ara-ara, maka sorak
pun meledak bagaikan hendak meruntuhkan langit. Rakyat
Kota Raja menyambut Maharaja y ang diagungkan dengan
gelora y ang melonjak-lonjak.
Demikianlah, maka setelah Sri Maharaja dan Ratu
Angabaya hadir dan b erdiri diatas panggungan kecil di depan
serambi gardu di ara-ara itu, maka upacara pun segera
dimulai. Tekanan upacara itu lebih banyak diarahkan pada
upacara keprajuritan. Sehingga Sri Maharaja dan Ratu
Angabaya bertindak dan bersikap sebagai Panglima Agung
dari seluruh kekuatan yang ada di Singasari.
Sesaat kemudian, maka upacara pun dimulai. Yang
tampil dalam upacara itu sebagian besar adalah para Panglima
dan Senapati. Beberapa orang pemimpin pemerintahan dan
para keluarga istana. Upacara y ang megah pun kemudian berlangsung.
Diwarnai oleh gelora gejolak jiwa para prajurit Singasari.
Dalam kesempatan itu, Sri Maharaja telah menyampaikan
sesorah pendek. Sedikit saja, namun m eny entuh hati setiap
prajurit Singasari dari pasukan yang manapun.
Dengan singkat Sri Maharaja meny ebut patung y ang
terselubung itu. Satu perlambang y ang ju stru merupakan
beban tanggung jawab baginya.
"Satu ikatan y ang harus kami pertahankan sampai akhir
hayat kami. Semoga dapat menjadi perlambang kekebalan
ikatan jiwa kami yang menjadi tuntunan kesatuan seluruh
Singasari," berkata Sri Maharaja kepada para Panglima,
Senapati, pemimpin pemerintahan dan m ereka yang hadir di
ara-ara itu. Akhirnya sampailah saatnya, Sri Maharaja dan Ratu
Angabaya membuka selubung dari patung yang besar itu.
Ketika sorak m embahana bagaikan memecahkan langit,
dua orang y ang berdiri di antara mereka y ang menyaksikan
upacara itu di luar dinding ara-ara, memperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Perlahan-lahan selubung patung itu
tersingkap. Perlahan-lahan pula patung yang besar yang
terbuat dari batu y ang berwarna kehijauan itu muncul.
Ara -ara itu bagaikan diguncang gempa ketika akhirnya
selubung itu terbuka seluruhnya. Sebuah patung yang
melukiskan sepasang ular naga dalam satu sarang. Demikian
rumitnya, namun memancarkan gelora y ang memuat
pancaran kesatuan dan sifat kesatria dari kedua orang yang
memegang pimpinan tertinggi di Singasari.
Kedua orang y ang memperhatikan saat-saat y ang
penting itu, m engangguk-angguk. Seorang di antara mereka
berkata, "Bukan main. Bukan saja pahatannya yang
menyentuh, tetapi bahannya adalah batu yang sangat mahal."
"Dari mana mereka mendapatkan batu itu" " desis yang
lain. " Itulah y ang aku cari. Aku mendengar ceritera tentang
batu y ang jatuh dari langit di satu tempat y ang tidak aku
ketahui. Sekarang batu itu sudah berada disini dalam ujud
sebuah patung y ang sangat baik," berkata orang y ang pertama.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
demikian batu itu tentu sangat berharga. Kenapa mereka
menempatkannya di ara-ara terbuka seperti ini?"
" Itulah sebabnya maka dibuat pula bangunan itu.
Didalam bangunan itu tentu akan ditempatkan sekelompok
prajurit y ang bertugas bergantian menjaga batu itu," jawab
yang pertama. "Untuk selama-lamanya?" bertanya yang lain.
"Agaknya memang demikian," jawab orang y ang
pertama, "namun akhirnya mereka akan menjadi lengah juga."
Kawannya mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga
ketatnya pengawasan atas batu itu, namun pada satu saat,
para prajurit Singasari tentu akan lengah juga. Apalagi jika
tidak seorang pun y ang pernah mengusikny a, sehingga para
prajurit Singasari m enganggap bahwa tidak akan pernah ada
orang y ang berniat buruk atas batu itu.
Untuk beberapa saat lamanya kedua orang itu
menyaksikan upacara yang berlangsung. Dalam upacara
selanjutnya, maka diperkenalkan pula dua orang prajurit
Singasari y ang menjadi pemahat patung itu bersama dua
orang padepokan Suriantal y ang membantunya. Kemudian
diperkenalkan pula dua orang anak muda y ang mempunyai
gagasan serta yang memiliki batu itu.
Tepuk tangan y ang gemuruh menyambut kehadiran
mereka didekat patung batu yang sudah terbuka itu.
"Bagaimana anak-anak itu mendapatkan batu y ang
sangat berharga itu." Agaknya mereka tidak m engerti bahwa
batu itu termasuk batu berharga. Jika mereka tahu, maka
mereka tidak akan membuatnya menjadi patung dan
mempersembahkannya kepada Sri Maharaja," berkata seorang
di antara keduanya. "Alangkah bodohnya," sahut y ang lain, "Jika mereka
tahu, maka mereka tentu akan sangat kecewa."
Kawannya tertawa. Katanya, "Ada juga baiknya kedua
anak-anak itu tahu, betapa tinggi nilai batu itu."
Namun kedua orang itu terkejut, ketika diberitahukan,
bahwa kedua anak muda itu adalah adik Mahisa Bungalan
yang telah diangkat dan diwisuda menjadi Akuwu di Sangling.
"Adik Mahisa Bungalan," desis salah seorang dari
keduanya. "Kenapa?" bertanya yang lain.
"Kau tahu, bahwa Mahisa Bungalan adalah anak
Mahendra," jawab orang itu.
"Kenapa dengan Mahendra?" bertanya y ang lain.
" Ia adalah seorang pedagang wesi aji dan batu-batu
berharga. Selain permata juga batu akik dan sebangsanya.
Mustahil bahwa ia tidak mengetahui nilai dari batu itu," jawab
orang itu dengan nada tinggi, "selebihnya Mahendra adalah
orang y ang memiliki ilmu y ang sangat tinggi. Mahisa Bungalan
pun memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga ia mampu
menempuh pendadaran untuk menjadi Akuwu di Sangling."
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Adalah
kebetulan bahwa Mahisa Bungalan itu sudah berada di tempat
yang jauh. Bahkan mungkin kedua anak muda itu pun tidak
akan menunggui patungnya. Seandainya mereka
menungguinya, maka mereka tentu tidak memiliki
kemampuan ilmu sebagaimana ayahnya."
"Aku kira memang tidak," jawab orang itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Mereka m elihat
upacara itu sampai ke taraf terakhir ketika doa telah
dipanjatkan kepada Yang Maha Agung.
Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, upacara pun
telah berakhir. Sri Maharaja dan Ratu Angabaya telah
meninggalkan panggungan dan naik keatas punggung kuda.
Pa sukan pengawal telah mendahului meninggalkan tempat itu.
Tetapi mereka berhenti di pintu gerbang, menunggu Sri
Maharaja. Segala macam pertanda kebesaran sebagian mendahului
Sri Maharaja, namun sebagian berada di belakang mereka.
Perlahan-lahan iring-iringan itu meninggalkan ara-ara
diantar oleh sorak rakyat yang berada diluar dinding rendah
yang mengelilingi ara -ara itu.
Namun ketika iring-iringan itu menjadi semakin jauh,
maka orang-orang yang berada diluar dinding itu pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangsur berkurang. Satu dua di antara mereka
meninggalkan tempat itu. Namun berurutan semakin lama semakin banyak.
Sehingga jumlah mereka berdesakkan itu pun m enjadi cepat
su sut. Para prajurit dan mereka yang mengikuti upacara pun
telah berangsur meninggalkan tempat itu pula. Kesatuankesatuan
y ang ikut dalam upacara pun telah kembali ke
kesatuan masing -masing. Prajurit berkuda pun telah keluar
pula dari ara-ara itu. Beberapa saat kemudian, maka ara-ara itu pun telah
ditinggalkan oleh sebagian besar dari m ereka y ang baru saja
meramaikan upacara itu. Namun sekelompok kecil prajurit
masih tetap tinggal. Mereka adalah orang -orang yang
mendapat giliran pertama menjaga patung itu. Di samping
kelompok itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih
tetap tinggal pula di tempat itu. Demikian pula orang-orang
Suriantal yang datang bersamanya.
Ketika ara -ara itu benar-benar telah menjadi lengang,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berbicara
dengan perwira yang memimpin para prajurit y ang bertugas
itu. "Kami bertugas disini selama tiga hari," berkata perwira
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk,
sementara perwira itu berkata lebih lanjut, "Tetapi rasarasanya
meny enangkan m endapat tugas yang baru ini. Kami
dapat tinggal di gardu yang besar dengan halaman y ang sekian
luasnya. Kami dapat memanfaatkan ara-ara ini untuk
mengadakan latihan perang watang berkuda."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Bahkan katanya kemudian, "Hari ini kami, sekelompok orang
dari Suriantal akan ikut menunggui patung ini. Bahkan jika
diijinkan selama kami masih akan tinggal di Singasari ini
untuk beberapa hari."
"Ah, bukankah kalian mendapat tempat yang baik di
istana?" sahut perwira itu.
"Tetapi rasa-rasanya kami akan merasa lebih senang
disini, dekat dengan patung itu. Beberapa hari lagi kami akan
meninggalkan patung itu disini, sementara kami kembali ke
padepokan." Perwira itu mengangguk-angguk. Sementara kedua
orang prajurit y ang telah memahat patung itu pun berkata,
"Hari ini aku juga masih belum akan kembali ke kesatuanku."
Ternyata tidak ada y ang berkeberatan dengan
permohonan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk berada di
ara-ara bersama sekelompok orang-orang padukuhan
Suriantal. Namun mereka tidak dapat menempatkan pedati
dan lembu-lembu m ereka di ara-ara itu, sehingga pedati dan
lembu-lembu itu masih tetap berada di belakang istana. Dua
orang y ang bertugas m emelihara lembu-lembu itu setiap hari
hilir mudik ke kandang y ang disediakan bagi lembu-lembu itu,
sementara rumput bagi makanan lembu itu telah sekaligus
disediakan oleh para pemelihara kuda dan lembu di istana
Singasari. Beberapa hari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di
Singasari. Ternyata mereka bukan saja sekedar memenuhi
keinginan para pemimpin di Singasari, termasuk Panglima
Prajurit Singasari, namun keduanya mempergunakan saatsaat
itu untuk menunaikan pewarisan ilmu mereka dari
ay ahnya yang khusus datang ke Singasari. Atas tuntunan
ay ahnya pula maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meramu segala macam ilmu y ang ada di dalam dirinya,
sehingga m ereka benar-benar telah menjadi anak-anak muda
yang perkasa. Dalam hal ilmu y ang semakin mapan, maka
Mahisa Agni dan Witantra pun telah berusaha untuk
membantu pula. Hanya karena keduanya sudah menjadi
semakin tua, maka y ang dapat diberikan oleh keduanya pun
menjadi semakin terbatas, sebagaimana keterbatasan
kemampuan manusia. Betapa tinggi ilmunya, namun pada
saatnya mereka memang harus mengakui satu keny ataan
tentang dirinya. Bahkan mereka y ang dapat mengetrapkan
ilmu y ang sudah jarang dimiliki, bahwa seseorang dapat
mempertahankan ujud kemudaannya, namun pada akhirnya
mereka tidak juga dapat menghindar dari batas.
Dengan demikian, maka kehadiran Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat bukan saja sekedar m eny erahkan patung yang
sangat berharga itu, tetapi juga berarti bagi mereka berdua.
Ara -ara yang luas itu m erupakan tempat latihan y ang
sangat baik bagi mereka di malam hari, sehingga hampir tidak
ada y ang sempat memperhatikannya. Para prajurit Singasari
yang mendapat giliran bertugas, tidak pula mampu
menangkap apakah sebenarnya yang dilakukan oleh kedua
anak muda di belakang gardu bersayap yang besar itu.
Sehingga karena itu mereka tidak terlalu banyak
mengikutinya. Sebenarnyalah bahwa y ang dilakukan oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat di belakang gardu itu, dibawah tuntunan
ay ahnya Mahendra dan kedua pamannya Mahisa Agni dan
Witantra, sekedar mengurai, meramu dan menilai kembali
segala sesuatunya yang telah m enjadi kekayaan ilmu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun jika m ereka ingin melihat
hasil ramuan itu, serta usaha mereka untuk membuat ilmu
yang ada didalam diri mereka dapat saling mengisi dan
mengangkat, maka mereka telah pergi ke tempat y ang terasing
dari sentuhan kaki manusia.
Tetapi mereka tidak dapat terlalu lama berada di
Singasari. Meskipun para pemimpin di Singasari masih
mempersilahkan mereka tinggal, namun setelah lebih dari dua
pekan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa
telah terlalu lama meninggalkan padepokannya.
Apalagi ketika mereka merasa bahwa ilmunya telah
menjadi semakin utuh. Maka mereka pun merasa bahwa
sudah waktunya untuk kembali ke padepokan. Mereka masih
memerlukan waktu beberapa lama untuk membuat ilmu
mereka yang hampir utuh itu menjadi mapan dan apalagi
benar-benar menjadi utuh bulat.
Karena itu, m aka m ereka pun telah bersiap-siap untuk
meninggalkan Singasari. Malam itu juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berbicara dengan Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra,
bahwa keduanya akan segera minta diri kembali ke padepokan
Suriantal. "Kami sudah merasa bahwa bekal kami sudah semakin
lengkap. Ilmu y ang kami sadap dari beberapa sumber telah
menjadi luluh di dalam diri kami. Mudah-mudahan kam i akan
dapat membuatnya semakin mapan dan kami benar-benar
memiliki y ang terbaik dari setiap kemungkinan bagi kami,"
berkata Mahisa Murti. Ketiga orang tua itu mengangguk-angguk. Sementara
Mahisa Pukat pun berkata, "Untuk itu agaknya akan dapat
kami lakukan di padepokan."
"Ya," jawab Mahendra, "aku pun y akin bahwa kalian
akan dapat meny elesaikannya tataran terakhir itu tanpa orang
lain. Dengan demikian, maka kalian berdua akan menjadi
orang y ang memiliki bekal y ang lengkap. Selanjutnya segala
sesuatunya ter serah kepada kalian. Apakah kalian akan
mengarahkan ilmu kalian bagi kebaikan atau sebaliknya.
Apakah ilmu kalian akan menjadi alat untuk menyatakan
kasih say ang dengan m elindungi kelemahan atau sebaliknya
menjadi pancaran kebencian dan nafsu ketamakan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan
kepalanya. Sementara itu ayahnya berkata pula, "Mungkin hal
seperti itu sudah aku ucapkan berpuluh kali. T etapi aku tidak
akan jemu-jemunya mengucapkannya, agar kalian selalu ingat,
di mana kalian berpijak."
Kedua anak muda itu tidak menjawab. Mereka memang
sudah beberapa kali mendengar pesan ayahnya. Namun
mereka pun sama sekali tidak merasa jemu. Setiap kali mereka
mendengar, m aka rasa-rasanya ketahanan jiwa mereka pun
telah dikuatkan. Kesadaran mereka tentang diri mereka
dihadapan Yang Maha Agung pun menjadi semakin tebal
karenanya. Mahisa Agni dan Witantra pun telah memberikan
beberapa pesan pula, sehingga rasa-rasanya jiwa kedua anak
muda itu telah dipenuhi oleh pengertian tentang baik dan
buruk. Namun demikian segala sesuatunya memang
tergantung kepada mereka berdua.
Demikianlah, maka kedua anak m uda itu pun berniat
untuk meninggalkan Singasari di dini hari dua hari
mendatang. Mereka masih mempunyai satu hari untuk
membenahi diri. Sebenarnya Sri Maharaja di Singasari dan Ratu
Angabaya, bahkan beberapa orang pemimpin y ang lain masih
menahan agar m ereka dapat tinggal di Singasari lebih lama
lagi. Bahkan beberapa orang Senapati telah menawarkan agar
keduanya bersedia untuk menjadi prajurit Singasari dalam
kesatuan Senapati itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum
dapat menerimanya. "Apakah kalian ingin menjadi prajurit di Sangling?"
bertanya seorang Senapati yang mengetahui bahwa keduanya
adalah adik Mahisa Bungalan, Akuwu Sangling.
Namun kedua anak muda itu pun menggeleng. Mahisa
Murti pun kemudian menjawab, "Juga tidak. Kami masih
ingin mengumpulkan bekal y ang lebih baik bagi masa depan
kami. Kami m asih ingin m endapat pengalaman-pengalaman
yang lebih berarti sebelum kami memasuki satu lingkungan
yang mapan." Para Senapati yang ingin menarik kedua anak muda itu
ke dalam kesatuan masing-masing tidak dapat memaksa
mereka. Agaknya kedua anak muda itu masih ingin
melanjutkan pengembaraannya atau justru menetap beberapa
lama di padepokan Suriantal yang sudah berubah isiny a.
Bahkan tawaran Panglima prajurit Singasari pun
terpaksa tidak dapat pula diterima oleh kedua anak muda.
"Kami mohon maaf," berkata Mahisa Murti, "kami tidak
tahu apakah di masa-masa datang kami akan menghadap
untuk menyatakan diri memasuki dunia keprajuritan di
Singasari." Dengan demikian, m aka kedua anak muda itu, benarbenar
akan meninggalkan Singasari pada hari yang sudah
direncanakan. Malam menjelang keberangkatan mereka, Panglima
prajurit Singasari masih menjamu keduanya bersama para
pengikutnya dari padepokan Suriantal. Hadir pula dalam
perjamuan itu Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra.
Demikianlah, menjelang fajar, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah bersiap. Sekali lagi mereka minta diri kepada para
pemimpin yang memerlukan hadir mengantar keberangkatan
mereka, termasuk Panglima prajurit di Singasari, di samping
Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berangkat
meninggalkan Singasari dari ara-ara, tempat patung batu yang
berwarna kehijauan itu diletakkan.
Sebelum matahari terbit, maka iring-iringan itu pun
telah berangkat. Prajurit Singasari kakak b eradik, yang telah
memahat patung itu pun hadir pula di ara-ara. Memang terasa
berat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan
patung serta pemahatnya itu, tetapi bagi mereka hal itu
merupakan satu keharusan.
"Kami titipkan pemeliharaan patung itu kepada kalian,"
berkata Mahisa Murti. "Tentu," jawab pemahat itu. "kami akan memelihara
patung itu sebaik-baiknya."
"Kaulah y ang memahatnya," desis Mahisa Pukat, "maka
kau tidak akan sampai hati melihat patung itu tidak
terpelihara." Pemahat itu tersenyum. Katanya, "Aku akan memohon
agar aku m endapat tugas terus menerus untuk memelihara
patung itu. Di samping pangkatku y ang baru, mudahmudahan
aku mendapat tugas y ang baru pula."
Dalam pada itu, iring-iringan yang m embawa kembali
sebuah pedati y ang besar itu pun semakin lama menjadi
semakin jauh. Pedati yang besar itu ternyata tidak kosong. Sri
Maharaja di Singasari telah memberikan beberapa hadiah
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta orang-orangnya.
Beberapa bungkus bahan pakaian, peralatan pertanian dan
bahkan beberapa jenis senjata yang dapat dipergunakan bagi
para penghuni padepokan Suriantal.
Perjalanan kembali ke padepokan Suriantal tidak seberat
saat m ereka berangkat. Mereka tidak lagi membawa patung
yang diselubungi y ang justru telah menarik banyak perhatian.
Meskipun yang kemudian mereka bawa juga terbungkus rapi,
tetapi tidak terlalu nampak dari luar pedati yang besar itu.
Ketika iring-iringan itu sampai ke Kabuyutan y ang
bergejolak di saat mereka berangkat, maka seperti yang
dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa
mereka akan singgah barang sebentar.
Ternyata bahwa Ki Bekel y ang terluka itu sudah
berangsur baik. Nampaknya Ki Bekel tidak lagi merasa dirinya
orang yang paling berkuasa. Sementara Ki Jagabaya pun telah
mengakui segala kekeliruan langkahnya. Apalagi ia bukan
orang y ang berasal dari Kademangan itu sendiri.
Di Kademangan itu, iring-iringan itu pun bermalam satu
malam. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya yang
masih panjang. Sebuah pedati, m eski k osong sekalipun, tidak
akan dapat berjalan lebih cepat lagi dari kecepatan seekor
lembu yang berjalan. Beberapa orang yang melihat iring-iringan itu saat
berangkat, ada yang menanyakan kepada para pengiring
pedati: "Di mana benda y ang berkerudung diatas pedati itu?"
"Sudah laku," jawab seorang di antara para pengiring itu
sambil tertawa. Yang bertanya ikut pula tertawa. Mereka mengerti
bahwa benda y ang berkerudung itu tentu bukan benda yang
diperdagangkan. Demikianlah, maka perjalanan mereka kembali ke
padepokan Suriantal tidak mengalami hambatan sebagaimana
saat mereka berangkat. Iring-iringan itu telah mendekati


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan Suriantal dengan selamat.
Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang menjadi berdebar-debar, jangan-jangan sesuatu telah
terjadi di padepokan yang telah mereka tinggalkan untuk
waktu yang agak lama. Tetapi ternyata bahwa padepokan Suriantal itu masih
seperti saat ditinggalkannya. Tidak ada perubahan yang
terjadi. Orang-orang yang ada didalamnya adalah orang-orang
yang ditinggalkannya beberapa saat yang lalu.
Ketika orang-orang Suriantal itu mengetahui bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta para pengiringnya
datang, maka mereka pun telah beramai-ramai meny ongsong
di pintu gerbang. Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah
memasuki pintu gerbang padepokan. Pedati yang besar,
hampir memenuhi selebar pintu gerbang itu sendiri.
Kegembiraan telah meliputi padepokan itu. Seperti
anak-anak y ang telah lama menunggu ayah ibunya y ang pergi
ke pasar. Mereka bukan saja gembira karena y ang ditunggu
telah datang. Tetapi mereka melihat, ada sesuatu yang
menarik diatas pedati itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera
membuka kerudung diatas pedati itu. Ia telah memberikan
waktu kepada para pengiringnya untuk beristirahat. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga dengan sengaja
mengganggu para penghuni padepokan itu y ang terlalu ingin
tahu, apa y ang telah dibawanya.
Sebenarnyalah beberapa orang penghuni padepokan itu
telah mengelilingi pedati itu dan memperbincangkan apa yang
ada di atasnya. Tetapi baru sehari kemudian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mengumpulkan seluruh isi padepokan Suriantal.
"Kita akan membuka bersama-sama, apa y ang
terbungkus diatas pedati itu," berkata Mahisa Murti.
Semua orang memang ingin segera mengetahui, apa
yang ada di dalam pedati itu.
Sebelum Mahisa Murti mulai membukanya, maka
Mahisa Pukat telah b erkata kepada penghuni padepokan itu,
"Yang kami bawa adalah hadiah dari Sri Maharaja di Singasari.
Kami juga tidak tahu dengan pasti, apa saja y ang ada di dalam
pedati itu, karena yang kami ketahui, tiba-tiba saja barangbarang
itu sudah berada di sana."
"Kita akan segera melihat," berkata seorang y ang tidak
sabar. Mahisa Pukat terseny um, sementara Mahisa Murti
sudah ada diatas pedati. Tetapi Mahisa Murti justru membuat orang-orang itu
semakin ingin tahu. Beberapa kali ia meraba kerudung bendabenda
yang ada diatas pedati itu.
"Apa isiny a?" seorang y ang benar-benar tidak sabar
berteriak. "Ular," jawab Mahisa Murti.
"Ah," orang itu berdesah, sementara y ang lain telah
berkeringat pula. Baru kemudian sambil tertawa Mahisa Murti berkata,
"Baiklah. Aku akan membukanya."
Orang-orang itu menjadi tegang.
Yang pertama-tama dibuka oleh Mahisa Murti adalah
sebuah bungkusan yang besar yang berisi bahan-bahan
pakaian. Bukan saja bahan pakaian yang pantas dipakai oleh
orang-orang padepokan tetapi bahan pakaian y ang terlalu
bagus bagi mereka. Beberapa orang menjadi tercengang-cengang melihat
bahan-bahan pakaian itu. Namun mereka justru menjadi
kurang berminat. Seorang yang berpakaian sederhana, bahkan kainnya
telah nampak lusuh berkata kepada kawannya, "Apakah aku
pantas memakai pakaian dengan bahan seperti itu?"
"Ah kau," sahut kawannya, "katak pun akan
mentertawakanmu." Orang yang pertama itu mengerutkan keningnya. Tetapi
ia berkata dengan dahi berkerut, "jangan menghina. Jika aku
berpakaian dengan bahan seperti itu, maka aku tidak akan ada
ubahnya seperti seorang bangsawan di Singasari, setidaktidaknya
bangsawan di Kediri, atau paling buruk seperti
bangsawan di Pakuwon Lemah Warah atau Sangling."
"Dan yang lebih buruk lagi seperti seorang kesatria dari
padepokan Suriantal," sahut kawannya sambil t ertawa.
Beberapa orang yang mendengar pun tertawa pula,
sementara Mahisa Murti berkata, "Hanya mereka yang
memiliki darah kesatria yang pantas memakai pakaian dengan
bahan seperti ini. Sedangkan menurut penilaianku, kalian
adalah kesatria-kesatria sejati dari padepokan Suriantal."
Beberapa orang saling berpandangan. Namun mereka
justru menarik keningnya sambil berkata didalam hati, "Tentu
aku tidak pantas memakainya."
Karena orang-orang padepokan itu nampaknya tidak
tertarik maka Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah. Aku akan
membuka kerudung y ang kedua."
Orang-orang itu menjadi tegang. Namun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah menyibakkan bahan-bahan pakaian
yang bagi orang-orang padepokan itu terlalu mahal.
Ketika mereka m embuka kerudung y ang kedua, maka
tiba -tiba orang-orang padepokan itu bersorak. Mereka melihat
alat-alat pertanian y ang lebih baik dari y ang mereka miliki.
Meskipun di padepokan itu ada juga alat-alat pertanian
yang baik, tetapi jumlahnya terlalu sedikit, sehingga tidak
mencukupi untuk mengolah sawah padepokan y ang semakin
luas. "Nah, kita akan dapat bekerja lebih baik," berkata salah
seorang di antara mereka.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang
di antara mereka berdesis, "Apalagi menurut dugaanmu yang
satu lagi?" "Bahan makanan," jawab kawannya.
Orang yang bertanya itu pun mengangguk-angguk.
Tetapi bahan makanan bukan merupakan hal yang menarik
buat mereka. Karena itu, maka beberapa orang di antara penghuni
padepokan itu justru tidak tertarik lagi dengan kerudung yang
masih ter sisa. Mereka memang menduga, bahwa yang dibawa
itu selain bahan pakaian tentu juga bahan makanan.
Sementara itu Suriantal tidak lagi merasa kekurangan bahan
makanan. Sawah yang mereka kerjakan cukup luas, sehingga
hasilny a mencukupi bagi seisi padepokan.
Meskipun demikian, orang-orang padepokan Suriantal
itu masih juga mengerumuni pedati itu.
Seorang di antara m ereka yang masih juga ingin tahu
telah m endekati kawannya y ang mendapat kesempatan untuk
ikut ke Singasari dan bertanya, "He, apa yang terbungkus itu?"
Kawannya ter senyum sambil menggeleng. Jawabnya,
"Aku tidak tahu."
"Bohong. Kau tentu tahu," geramnya.
Kawannya justru tertawa. Katanya, "Aku m emang tahu,
tetapi aku tidak mau memberitahukan kepadamu."
"Anak iblis," orang itu mengumpat.
Kawannya tertawa semakin panjang. Tetapi ia memang
tidak mau memberitahukan, apa y ang berada di bawah
selubung itu. Sehingga dengan demikian seisi padepokan itu
memang harus menunggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
membuka kerudung itu. Ketika orang-orang padepokan itu menjadi semakin
tegang, meskipun ada juga y ang bahkan kurang tertarik
perhatiannya karena mereka menduga bahwa isinya adalah
bahan makanan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
menarik tali-tali pengikatnya dan kemudian membuka
selubungnya. Orang-orang yang menyaksikan itu pun terbelalak.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun mereka pun
kemudian telah bersorak lebih keras dari saat mereka melihat,
bahwa di antara yang dibawa di dalam pedati itu adalah alatalat
pertanian. Yang kemudian mereka lihat adalah justru alat-alat
senjata y ang bermacam-macam yang buatannya jauh lebih
baik dari senjata-senjata y ang dimiliki oleh orang-orang
Suriantal. Apalagi orang-orang yang memang berasal dari
perguruan Suriantal, yang biasanya hanya bersenjatakan
tongkat kayu. Mereka melihat senjata-senjata itu dengan
jantung yang berdebar-debar.
"Senjata apa saja yang ada di pedati itu" " desis salah
seorang y ang berasal dari perguruan Suriantal.
"Bukan main," sahut kawannya, "ternyata senjatasenjata
itu sangat baik, bahkan terlalu baik bagi kita. Kita
terbiasa mempergunakan parang y ang dibuat oleh pande besi
di pasar sebelah. Kini kita dihadapi senjata y ang dibuat khusus
oleh ahli-ahli." "Memang bukan main. Tetapi akibatnya sama saja,"
berkata y ang lain, "meskipun parang kita dibuat pande besi di
pasar padukuhan sebelah, namun jika tajamnya tergores di
leher, maka y ang terkena itu pun akan mati."
"Tetapi dalam benturan-benturan senjata, tentu tidak
sama," sahut yang lain lagi.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang padepokan itu
bagaikan terhentak melihat berbagai jeni s senjata.
Bagaimanapun Juga m ereka adalah orang-orang yang akrab
dengan senjata. Setiap hari mereka membawa senjata di
lambung. Orang-orang dari perguruan Suriantal membawa
tongkat-tongkatnya. Meskipun setelah m ereka menempa diri
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka telah
membiasakan mempergunakan tongkat y ang lebih pendek dari
sebelumnya, namun y ang kegunaannya justru lebih baik dari
yang panjang itu. Senjata y ang ada di pedati itu ternyata cukup banyak,
meskipun tidak akan dapat terbagi untuk seluruh penghuni
padepokan itu. "Nah," berkata Mahisa Murti kemudian, "aku telah
membawa senjata dari Singasari. Senjata ini adalah pemberian
dari Sri Maharaja di Singasari. Kita diperkenankan untuk
mempergunakannya. Aku tahu, bahwa ada di antara kalian
yang telah memiliki senjata khusus yang kalian anggap paling
sesuai dengan diri kalian masing-masing. Tetapi banyak di
antara kalian y ang masih mempergunakan senjata yang
kurang mantap. Karena itu, bagi m ereka y ang m erasa belum
memiliki senjata y ang dapat dianggap berarti, maka kami akan
mempersilahkan untuk mengambil satu di antara senjatasenjata
y ang tersedia. Namun sudah tentu, bahwa kalian akan
mengambil senjata y ang paling baik untuk dipergunakan."
Para penghuni padepokan itu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah beberapa orang di antara mereka telah
memiliki senjata yang mantap. Yang mereka terima dari orang
tua mereka, atau dari perguruan mereka atau dari orang-orang
yang mereka anggap penting.
Orang-orang perguruan Suriantal, ternyata lebih senang
mempergunakan senjata mereka sendiri. Tongkat y ang tidak
lagi terlalu panjang. Meskipun demikian ada juga di antara
mereka yang ingin memiliki pisau-pisau belati y ang akan
dapat menjadi senjata rangkapan tongkat yang mereka miliki.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak mau menunda-nunda lagi. Ia pun kemudian
memerintahkan para penghuni padepokan itu y ang merasa
perlu untuk memiliki senjata baru, agar memilih senjatasenjata
yang ada di pedati itu. Memang tidak semuanya, karena seperti yang dikatakan
oleh Mahisa Murti bahwa di antara m ereka terdapat orangorang
y ang sudah memiliki senjata y ang mantap.
Dalam pada itu, maka beberapa puluh orang telah
berdiri berjajar ke belakang. Ditunggui oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, satu-satu mereka memilih senjata y ang paling
baik menurut anggapan mereka, terutama mereka yang hanya
memiliki senjata sederhana yang didapat dari pande besi
kebanyakan, y ang terbiasa membuat alat-alat untuk bertani.
Satu-satu orang-orang Suriantal itu telah memilih.
Namun ada juga y ang merasa bahwa senjata-senjata itu masih
juga kurang berarti dibanding senjata -senjata pusaka yang
mereka terima dari orang-orang y ang mereka hormati.
Namun beberapa orang yang lain menjadi sangat
gembira dengan senjata-senjata mereka yang baru. Di antara
senjata-senjata itu y ang paling banyak adalah pedang. Bukan
sa ja pedang itu terbuat dari besi baja pilihan, tetapi pedangpedang
itu mempunyai wrangka y ang jauh lebih bagus dari
pedang-pedang mereka. Yang ragu-ragu adalah orang-orang dari perguruan
Suriantal. Namun mereka diberi kesempatan pula oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sebagaimana mereka menginginkan
memiliki pisau-pisau belati atau pedang pendek sebagai
rangkapan senjata mereka sejak m ereka berada di perguruan
yang sudah tidak berjalan dengan wajar lagi. Namun mereka
masih juga menaruh hormat kepada tongkat-tongkat m ereka,
karena sejak mereka pertama kali berguru, maka mereka
sudah mempelajari cara mempergunakan tongkat-tongkat itu.
Namun demikian, ada juga satu dua orang y ang ingin
mencoba mempergunakan senjata sejenis, tetapi yang
berujung runcing. Dua orang dari perguruan Suriantal telah
memungut tombak-tombak pendek. Meskipun mereka kurang
terbiasa, tetapi mereka berharap untuk segera dapat
menyesuaikan diri. Demikianlah, senjata yang dibawa dari Singasari itu
ternyata masih juga tersisa. Ada jeni s-jeni s senjata y ang tidak
banyak disukai. Orang-orang padepokan itu tidak terbia sa
mempergunakan canggah bertangkai, atau kapak bertangkai
panjang. Bahkan kapak bertangkai y ang bermata rangkap.
Ra sa -rasanya mereka harus berlatih kembali untuk
mempergunakan senjata-senjata seperti itu, ju stru dari
permulaan. Ketika sudah tidak ada lagi yang ingin memiliki senjatasenjata
y ang dibawa dari Singasari itu, maka Mahisa Murti
telah memerintahkan beberapa orang untuk menyimpannya.
"Nah," berkata Mahisa Murti kemudian, "kita sudah
mendapatkan hadiah dari Sri Maharaja. Meskipun agaknya
kalian tidak tertarik, tetapi bahan pakaian ini adalah milik kita


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya. Kita dapat m emakainya jika kita inginkan. Karena
itu, bahan pakaian itu akan aku simpan. Siapa yang
memerlukan supaya datang kepadaku."
Tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang padepokan
itu berkata, "Bagaimana jika bahan-bahan itu kita jual saja
atau kita tukarkan dengan bahan y ang lebih sesuai dengan
kita" Maka agaknya kita akan m endapat bahan lipat dua atau
tiga kali lebih banyak."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Murti pun sambil terseny um
menjawab, "Bahan-bahan pakaian itu adalah hadiah dari Sri
Maharaja. Kita akan merasa segan untuk tidak
mempergunakannya. Apalagi dijual meskipun untuk
mendapatkan y ang lebih banyak lagi."
Beberapa orang yang sebenarnya sependapat dan
hampir saja berteriak pula, telah m enelan kembali suaranya
yang sudah berada di tenggor okan. Bahkan m ereka pun telah
menundukkan wajah-wajah m ereka sambil meny embunyikan
senyum y ang asam. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah meny impan sisa senjata dan bahan-bahan pakaian, serta
menyerahkan alat-alat pertanian kepada para penghuni
padepokan itu. "Pergunakan dengan sebaik-baiknya," berkata Mahisa
Pukat kepada orang y ang dibebani tanggung jawab atas alatalat
itu, "jika kita tidak mendapat hadiah dari Sri Maharaja,
sampai kapan pun kita tidak akan dapat membeli alat-alat
pertanian sebaik dan sebanyak itu."
Dengan alat-alat itu, maka kemudian orang-orang
padepokan Suriantal itu telah bekerja lebih baik dan
bersungguh-sungguh. Selain mereka menghormati hadiah
yang diberikan oleh Sri Maharaja, maka dengan alat-alat yang
lebih lengkap dan lebih baik, rasa-rasanya kerja pun akan
semakin cepat selesai. Karena itulah, maka sawah dan pategalan y ang digarap
oleh orang-orang padepokan itu pun menjadi semakin hijau
dan batang pun tumbuh semakin subur.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
telah tertarik kepada senjata-senjata yang tersisa. Memang
senjata y ang tidak terlalu la zim dipergunakan. Namun ju stru
karena itu rasa-rasanya keduanya ingin mengetahui k ekuatan
dan kelemahannya. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya, kedua anak
muda itu selain memantapkan ilmu mereka yang dengan
tuntas telah diwarisinya dari ayahnya, juga beberapa unsur
yang dapat melengkapinya y ang diberikan oleh Mahisa Agni
dan Witantra, serta segala macam ilmu yang diterimanya atas
kebaikan hati beberapa orang yang berilmu tinggi, mereka pun
ingin bermain-main dengan senjata-senjata yang tidak t erlalu
sering dipergunakan orang itu.
Di m alam hari, jika orang-orang padepokan y ang tidak
bertugas telah tidur ny enyak, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah berada di dalam sanggar dengan berjenis-jenis
senjata. Mereka m ula-mula mencoba kemampuan dan mencari
kelemahan sebuah kapak yang tajamnya menghadap kedua
arah yang bertolak belakang, kemudian m asih ditambah lagi
dengan mata tombak yang runcing yang m encuat di antara
punggung kedua kapak itu.
Dengan hati-hati Mahisa Murti menggerakkan senjata
itu, sementara Mahisa Pukat dengan mempergunakan pedang
sekali-sekali menahan, menangkis dan m enghindar. Dengan
Pedang Kiri Pedang Kanan 18 Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu Geger Kitab Inti Jagad 2
^