Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 7

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 7


masih akan singgah dan bermalam barang satu malam di
rumah pekatik sahabat kami itu."
"Menyesal sekali," berkata Pangeran Singa Narpada,
"tetapi bagaimana dengan anak-anak muda itu?"
"Kami titipkan kedua orang anak itu disini," jawab
Mahendra, "Aku sendiri terutama akan segera kembali.
Nampaknya aku juga akan mendapat pasaran di sini
dengan barang-barang jualanku."
"Aku akan membantu," berkata Pangeran Singa
Narpada, "jika kau membawa permata yang tidak terlalu
mahal serta barangkali wesi aji yang menarik, para prajurit
terutama para perwira akan menjadi pembeli cukup
banyak." Dengan demikian maka orang-orang tua itu pun telah
bersiap-siap untuk meninggalkan istana itu. Tetapi atas
permintaan Pangeran Singa Narpada mereka masih tinggal
semalam lagi. Dengan demikian maka keadaan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin baik ketika
orang-orang tua itu benar-benar meninggalkan mereka
untuk pergi bermalam satu malam di rumah pekatik tempat
mereka menumpang sejak mereka berada di Kediri.
"Bukankah di istana Pangeran Singa Narpada
keadaannya jauh lebih baik dari di rumah ini tuan," berkata
pekatik itu. "Ingat Ki Sanak," jawab Mahisa Agni, "kami adalah
pengembara." Pekatik itu hanya tersenyum. Tetapi ia mengerti maksud
jawaban Mahisa Agni itu. Di rumah itu ketiga orang Singasari itu masih bermalam
satu malam. Mereka pun segera meninggalkan rumah
pekatik itu untuk menempuh satu perjalanan panjang.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
tetap berada di istana Pangeran Singa Narpada. Mereka
mendapat perawatan yang sebaik-baiknya, sehingga
keadaan mereka dengan cepat berangsur baik.
Disamping Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka
ampat orang bertongkat itu pun mendapat perawatan yang
baik pula. Mereka pun menjadi berangsur-angsur sembuh
pula, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, mereka
akan segera dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Namun agaknya keadaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat lah yang lebih cepat menjadi baik. Ketahanan tubuh
anak-anak muda itu benar-benar mengagumkan. Pada
waktu-waktu tertentu, ketika orang-orang tua masih berada
di istana Pangeran Singa Narpada, mereka telah membantu
kedua anak muda itu untuk meningkatkan daya tahan
tubuh. mereka serta untuk mengatasi rasa sakit. Namun
ketika keadaan kedua anak muda itu berangsur baik, maka
hal itu tidak diperlukannya lagi.
Pangeran Singa Narpada benar-benar menjadi heran
terhadap kedua orang anak muda itu. Meskipun Pangeran
Singa Narpada mengerti bahwa keduanya telah mewarisi
satu kekuatan ilmu yang dahsyat, namun dalam usia
mereka yang masih sangat muda, keduanya telah mampu
mengembangkan ilmu mereka dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnyalah pertempuran yang terjadi antara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat disatu pihak melawan Kebo Sarik
dilain pihak, agaknya sangat berarti bagi kedua anak muda
itu. Dengan pertempuran itu, maka keduanya mendapatkan
satu pengalaman yang sangat berarti. Dalam keadaan yang
tersudut, keduanya telah menghentakkan ilmunya dan
bahkan kadang-kadang di luar sadar mereka melakukan
sesuatu yang sangat berarti dan menentukan.
Keadaan yang demikian itu, perlu mereka pelajari.
Pangeran Singa Narpada yang merasa kagum terhadap
anak muda itu tidak segan-segan telah memberikan
beberapa petunjuk. Meskipun Pangeran Singa Narpada
sendiri terluka dalam pertempuran itu, namun ia sempat
berbicara banyak dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
meskipun masih terbatas pada kemungkinan keadaan tubuh
mereka yang lemah. Tetapi baik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maupun
Pangeran Singa Narpada bersama-sama dari hari ke hari
menjadi semakin pulih pada keadaan mereka sebagaimana
sebelum terjadi peristiwa usaha untuk mengambil mahkota
yang disangkanya ada di dalam peti perak itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka Pangeran Singa
Narpada telah menyempatkan waktunya untuk
memberikan petunjuk kepada anak-anak muda itu sesuai
dengan dasar ilmu yang ada di dalam diri mereka.
"Ilmu kalian adalah ilmu yang dahsyat," berkata
Pangeran Singa Narpada, "sebagian telah dapat kalian
kembangkan dengan baik. Namun jika kalian mendapat
banyak kesempatan untuk mengembangkannya terus, maka
kalian benar-benar akan menjadi orang-orang yang
memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingannya."
"Pangeran terlalu memuji," berkata Mahisa Murti,
"yang kami miliki adalah setitik kecil dari kemungkinan
yang sangat luas di dalam dunia olah kanuragan."
"Yang kau miliki sudah terlalu banyak sebagai bekal
dalam umur kalian," berkata Pangeran Singa Narpada,
"karena itu kesempatan kalian masih sangat luas."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
mengangguk-angguk saja. Namun mereka selalu menyadari
bahwa apa yang pernah mereka terima dari ayah mereka
barulah tubuh ilmu itu sendiri, sampai ke puncak sehingga
masih harus dikembangkannya.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata
selanjutnya, "Pengalamanmu bertempur melawan Kebo
Sarik itu sangat berarti meskipun kau dilukainya, bahkan
menurut penilaianku, kau menjadi benar-benar parah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari
keadaannya. Lukanya memang sangat parah. Namun
keadaan mereka sudah menjadi berangsur baik karena
pengobatan yang teratur dan dilakukan oleh ahli yang
terpercaya, karena itu adalah tabib pribadi Pangeran Singa
Narpada. Ketika keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah
hampir sampai pada tataran pulih kembali, maka Pangeran
Singa Narpada yang merasa sangat tertarik kepada anakanak
itu pun berkata, "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kalian telah membantu kesulitanku tidak hanya kali ini.
Tetapi kau ikut pula menemukan Mahkota itu ketika
Mahkota itu berhasil diambil dan dibawa keluar dari
Gudang Perbendaharaan. Karena itu, maka sudah
selayaknya Kediri mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya
kepadamu dan kepada orang-orang terdekat
didalam keluargamu. Kakakmu yang kali ini tidak ikut
hadir dalam permainan yang sangat berbahaya yang
seharusnya tidak aku lakukan, ayahmu sendiri dan kedua
pamanmu yang ternyata adalah orang-orang penting yang
pernah mewakili Singasari dalam jabatan tertinggi di
Kediri. Namun yang kali ini datang dalam ujud sebagai
pengembara dan berada di rumah seorang pekatik."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi
mereka memang merasa berdebar-debar. Pangeran Singa
Narpada nampaknya begitu bersungguh-sungguh.
Lalu katanya pula, "Aku minta kalian berdua tidak
tergesa-gesa meninggalkan rumahku. Orang-orang yang
tertawan itu pun sudah berangsur baik, sehingga akan
datang saatnya untuk mengajukan beberapa pertanyaan
kepada mereka. Sementara itu, atas nama Kediri aku ingin
mengucapkan terima kasih kepada kalian, jika guru dan
sekaligus ayahmu itu tidak berkeberatan. Karena itu, aku
minta kalian tinggal disini, sampai pada satu hari ayahmu
akan datang kemari."
"Apakah ayah akan datang kemari?" bertanya Mahisa
Pukat. "Tentu. Dan aku yakin bahwa ia akan datang," jawab
Pangeran Singa Narpada, "ayahmu adalah seorang
pedagang keliling. Nampaknya ia akan mengadakan
hubungan dengan orang-orang Kediri dalam dunia
perdagangannya. Selebihnya, ia tentu akan menengok
kalian karena pada saat ditinggalkannya, kau masih dalam
keadaan terluka." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya,
"Terima kasih kami tidak akan banyak berarti bagi kalian,
tetapi karena hanya itu yang aku punya, maka aku ingin
memberikannya juga kepada kalian, itu pun tergantung
pada kalian dan seperti yang aku katakan, jika guru dan
sekaligus ayah kalian itu tidak berkeberatan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera menangkap
maksud Pangeran Singa Narpada. Namun sebelum mereka
menjawab, Pangeran Singa Narpada meneruskan, "Tetapi
jangan salah menangkap maksudku. Aku sama sekali tidak
merasa mempunyai kelebihan dari ayah dan sekaligus
gurumu itu. Yang ada padaku barangkali tidak sebaik yang
ada pada ayahmu. Tetapi agaknya apa yang dimiliki oleh
ayahmu itu berbeda dengan yang aku miliki. Jika yang
berbeda itu mampu kau tangkap pula, maka didalam dirimu
akan tersimpan beberapa macam ilmu. Meskipun ilmu yang
dapat aku berikan kepadamu itu tidak lebih baik dari ilmu
ayahmu, tetapi pada satu saat agaknya ada semacam ilmu
arang lain yang lebih tepat kalian hadapi dengan ilmu itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Baru sejenak kemudian Mahisa Murti menjawab, "Kami
tentu akan berterima kasih sekali atas kemurahan hati
Pangeran. Namun segala sesuatunya memang terserah
kepada ayah. Jika ayah tidak berkeberatan karena beberapa
pertimbangan, maka kami berdua akan menerima dengan
segala kesungguhan hati dan rasa terima kasih."
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "karena itu
tinggallah disini untuk beberapa saat lamanya. Selain
menunggu kau sembuh benar-benar, maka aku pun
menunggu kedatangan ayahmu. Sementara itu, orang-orang
yang kita tawan pun akan menjadi sembuh pula
karenanya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
mereka sebenarnya memang berharap untuk dapat
melengkapi ilmu mereka dengan kekuatan ilmu yang lain.
Kakaknya, Mahisa Bungalan, yang juga pernah menerima
ilmu ayahnya, namun justru ia berada pada puncak
kemampuannya beralaskan ilmu yang diterimanya dari
Mahisa Agni. Karena itulah, maka untuk beberapa saat kemudian
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di
istana Pangeran Singa Narpada. Perawatan yang dilakukan
sudah hampir dilepaskan sama sekali, karena keduanya
telah menjadi sembuh meskipun mereka masih harus
memulihkan keadaan tubuh mereka.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa saat
kemudian Mahendra telah datang pula ke istana Pangeran
Singa Narpada. Ternyata seperti yang dikatakan oleh
Pangeran Singa Narpada, bahwa Mahendra tidak hanya
sekedar menengok anaknya yang terluka, tetapi ia benarbenar
telah membawa beberapa macam barang dagangan.
"Apa salahnya," berkata Mahendra, "mudah-mudahan
aku mendapatkan pasaran di sini."
Namun sebenarnyalah Mahendra menjadi gembira
melihat kedua anaknya telah menjadi hampir pulih kembali.
Namun dalam kesempatan itu pula, ternyata bahwa
Mahendra benar-benar mendapat kesempatan untuk
memperluas daerah perdagangannya. Ternyata beberapa
orang perwira di Kediri tertarik untuk membeli beberapa
jenis batu-batu yang berharga. Batu akik dan jenis-jenis batu
yang semacam. Beberapa cincin berbatu akik telah terjual.
Bahkan satu dua orang di antara mereka telah membeli pula
batu-batu permata. Beberapa hari Mahendra berada di Kediri. Pangeran
Singa Narpada telah memberikan tempat baginya untuk
bermalam. Bahkan Pangeran Singa Narpada pulalah yang
telah menghubungkannya dengan para perwira dan
bangsawan di Kediri sehingga Mahendra dapat membuka
pasaran baru. "Ayah memanfaatkan keadaan ini," berkata Mahisa
Murti. "Tidak ada salahnya," sahut Pangeran Singa Narpada,
"ayahmu tidak merugikan orang lain. Dalam hubungan jual
beli keduanya memang harus bersetuju."
Mahendra sendiri tersenyum. Katanya, "Aku membawa
barang-barang yang paling baik yang aku punya."
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada telah
menyampaikan maksudnya kepada Mahendra, bahwa ia
ingin menyatakan terima kasihnya atas kedua anak muda
itu dengan memberikan sesuatu kepada mereka.
"Aku bukan termasuk Pangeran yang berada, yang
memiliki harta benda yang tidak terhitung. Karena itu, yang
ingin aku berikan kepada kedua anak-anak muda itu adalah
apa yang aku punya," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran terlalu merendahkan diri," jawab Mahendra,
"Pangeran mempunyai segala-galanya. Bahkan seandainya
Pangeran menghendaki, maka Kediri adalah milik
Pangeran." "Tentu tidak," jawab Pangeran Singa Narpada, "selain
itu, agaknya anak-anak muda itu tentu akan menolak jika
aku memberikan pernyataan terima kasih dengan cara yang
lain, dengan cara sebagaimana kebanyakan dilakukan
orang." Namun dalam pembicaraan selanjutnya, ternyata
Mahendra sama sekali tidak merasa berkeberatan jika
Pangeran Singa Narpada ingin membantu meningkatkan
kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Tetapi aku mohon Pangeran mampu menyesuaikan
dengan ilmu yang telah dimiliki oleh anak-anak itu,"
berkata Mahendra kemudian.
"Aku akan berusaha," berkata Pangeran Singa Narpada,
"jika aku mengalami kesulitan, maka aku akan
mengurungkan niat itu."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah Pangeran. Sudah sewajarnya aku sebagai
ayahnya, mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati
Pangeran," jawab Mahendra.
Demikialah, maka Pangeran Singa Narpada sudah
berkenan untuk menurunkan ilmunya kepada kedua anak
muda yang ternyata telah menarik hatinya itu. Dua orang
anak muda yang memiliki kemampuan sebagai bekalnya
melampaui dugaannya setelah keduanya ternyata mampu
mengalahkan Kebo Sarik, yang agaknya seorang yang telah
banyak makan garamnya kehidupan yang keras dalam
dunia kanuragan. Namun dengan demikian, maka atas ijin Mahendra,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada di
istana Pangeran Singa Narpada untuk waktu yang cukup
lama. "Sementara kita dapat berlatih bersama, sekaligus
berusaha mendapat keterangan dari orang-orang bertongkat
itu," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran," berkata
Mahendra, "aku menitipkan anak-anak itu disini. Tetapi
mohon Pangeran mengetahui, bahwa mereka adalah anakanak
dari padukuhan kecil yang kurang memahami unggahungguh
dan paugeran hidup di lingkungan yang lebih
tinggi." "Aku tertarik kepada keduanya sebagaimana adanya,"
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Terima kasih Pangeran," berkata Mahendra,
"Pangeran telah memberikan terlalu banyak kepada
keluarga kami. Kedua anakku akan menerima ilmu yang
tidak dapat dinilai harganya, sementara itu, aku telah
mendapat pasaran baru yang memberikan keuntungan
dalam duniaku sebagai seorang pedagang."
"Aku tidak akan kehilangan apapun," jawab Pangeran
Singa Narpada, "karena itu, maka aku merasa tidak berbuat
apa-apa yang berlebihan."
"Baiklah Pangeran," berkata Mahendra, "jika besok aku
mohon diri, maka biarlah anak-anak tinggal di sini. Segala
sesuatunya terserah kepada Pangeran."
"Tetapi bukankah kau akan sering datang" Apakah
dalam hubungan kedua anak muda yang tinggal disini, atau
karena kau mempunyai dagangan baru yang barangkali
menarik," berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahendra tertawa. Namun katanya kemudian, "Aku
akan datang lagi. Mungkin dengan Mahisa Agni atau
Witantra atau keduanya."
"Dimana mereka sekarang?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Kita kembali ke Kediri saat itu. Tetapi Mahisa Agni
dan Witantra ternyata masih ingin mengulangi
pengembaraan dimasa mudanya. Agaknya keduanya
merasa tidak mempunyai kewajiban yang mengikat lagi di
istana Singasari." "Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "besok
anak-anak itu akan mulai dengan laku yang harus mereka
jalani sementara aku ingin melihat celah-celah ilmu mereka
yang dapat aku sisipi ilmu yang mudah-mudahan berarti
bagi keduanya." Sebagaimana direncanakan, maka dihari berikutnya
Mahendra telah meninggalkan Kediri. Baru sepeninggal
Mahendra, Pangeran Singa Narpada bersiap-siap untuk
menempa kedua orang anak muda yang sangat menarik
baginya itu. Kedua anak muda itu harus mulai dengan laku
yang dapat memberikan kejelasan bagi Pangeran Singa
Narpada tentang ilmu yang pernah dimilikinya.
Pangeran Singa Narpada sendiri tidak mengerti, kenapa
ia lebih tertarik kepada kedua anak muda itu daripada
lingkungan istana Kediri sendiri. Kepercayaannya kepada
para bangsawan Kediri telah menjadi kabur sejak beberapa
tingkat pemberontakan yang pernah terjadi. Yang terakhir
adalah pemberontakan Pangeran Kuda Permati.
Sementara itu, nampaknya para bangsawan Kediri tidak
bersungguh-sungguh berusaha untuk menumpas
pemberontakan itu. Bahkan Sri Baginda sendiri nampak
ragu-ragu dengan langkah-langkahnya. Sehingga Pangeran
Singa Narpada sendiri pernah justru ditangkap dan ditahan
untuk beberapa lama. Karena itu, rasa-rasanya Pangeran Singa Narpada tidak
rela untuk mewariskan ilmunya kepada orang-orang yang
kurang dipercayainya. Orang-orang yang pada suatu saat
mungkin akan bersikap lain, bahkan bertentangan dengan
dirinya. Dengan demikian maka bagi Pangeran Singa Narpada
lebih baik untuk mewariskan ilmunya justru kepada orang
lain sama sekali yang sudah jelas menunjukkan satu sikap
yang bagi Pangeran Singa Narpada sangat menarik. Sejalan
dengan keyakinannya sendiri.
Meskipun demikian Pangeran Singa Narpada tidak
melakukannya dengan semata-mata. Pangeran Singa
Narpada telah berusaha agar yang dilakukan itu tidak
diketahui oleh orang-orang Kediri terutama di lingkungan
para bangsawan, sehingga tidak akan menimbulkan iri hati
pada mereka yang merasa memerlukan peningkatan ilmu.
Karena itulah, maka waktu yang dipergunakan oleh
Pangeran Singa Narpada adalah waktu yang khusus.
Malam hari. Waktu yang tidak banyak diperlukan oleh
orang lain. Di hari-hari pertama, yang dilakukan oleh Pangeran
Singa Narpada adalah menjajagi kemampuan dan ilmu
yang ada didalam diri Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Agar Pangeran Singa Narpada tidak salah menyisipkan
ilmunya kedalam celah-celah ilmu kedua anak muda itu,
maka ia harus memahami benar-benar, apa yang telah
dimiliki oleh kedua orang anak muda itu.
Dengan sungguh-sungguh Pangeran Singa Narpada
berusaha untuk memeras kemampuan kedua anak muda
itu. Didalam sanggar yang tertutup, Pangeran Singa
Narpada telah bertempur melawan kedua orang anak muda
itu dalam tataran ilmu tertinggi, meskipun mereka tidak
sampai pada ilmu pamungkas. Namun dengan
mengetrapkan ilmu tertinggi, maka Pangeran Singa
Narpada mengerti, bahwa kedua orang anak muda itu
benar-benar telah berada dalam tataran tertinggi di
lingkungan dunia olah kanuragan.
Karena itu, maka untuk mengimbangi kedua orang anak
muda itu benar-benar terasa pada Pangeran Singa Narpada,
betapa beratnya. Dengan penjajagan itu, maka Pangeran Singa Narpada
dapat melihat kenyataan yang ada di dalam diri Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, sehingga ia akan dapat
menemukan celah-celah yang akan dapat menerima ilmu
yang akan diwariskannya. Namun demikian, ketika penjajagan itu berakhir, maka
Pangeran Singa Narpada masih ingin melihat kemampuan
kedua anak muda dalam ilmu puncaknya, karena dengan
ilmu puncaknya itu keduanya telah mampu menghentikan
perlawanan Kebo Sarik meskipun keduanya kemudian
menjadi pingsan. Dalam kesempatan yang khusus, maka Pangeran Singa
Narpada telah membawa kedua orang anak muda itu ke
tempat yang terbuka. Tempat yang jarang sekali disentuh
kaki manusia. Di tempat itu Pangeran Singa Narpada minta agar
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunjukkan kepadanya,
kemampuan pamungkas yang dapat dilakukan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat untuk menghancurkan sasaran.
Di tempat yang terasing itulah, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menunjukkan kemampuan puncak ilmu
mereka. Dengan tangan mereka, maka keduanya telah
berhasil merobohkan pohon-pohon yang besar dan kuat.
-ooo0dw0ooo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 028 "PANTAS," desis Pangeran Singa Narpada, "dengan
kekuatan yang luar biasa itulah, maka Kebo Sarik telah
dilumpuhkan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu, jika kalian
berdua kelak mampu mengembangkannya dan
mengungkapkannya dengan landasan yang matang.
Namun, menilik umur kalian sekarang, maka kesempatan
masih sangat luas, sehingga menurut perhitungan, maka
kalian pada suatu saat akan menjadi orang-orang yang sulit
dicari bandingnya. Namun dengan demikian, maka beban
dipundak kalian pun menjadi bertambah berat. Dengan
ilmu yang semakin tinggi, maka kalian akan mendapat
godaan yang semakin besar. Mungkin dengan ilmu kalian
yang sulit dicari bandingnya, kalian akan dapat melawan
orang lain yang ingin menyulitkan keadaan kalian, tetapi
pada suatu saat kalian akan menghadapi lawan yang sulit
untuk dikalahkan. Lawan itu adalah diri sendiri. Dengan
kemampuan yang sangat tinggi, maka kalian akan dapat
dikuasai oleh ketamakan, oleh kedengkian dan keinginan
yang tidak terbatas, serta nafsu untuk berkuasa atas orang
lain dengan mempergunakan ilmu dan kemampuan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi
maknanya pernah juga didengarnya baik dari ayahnya, dari
paman-pamannya Witantra dan Mahisa Agni. Karena itu,
keduanya berusaha untuk menyimpan pesan itu didalam
hati. Dengan bahan-bahan yang lengkap atas pengamatannya
terhadap kedua orang anak muda itu, maka Pangeran Singa
Narpada pun kemudian menyiapkan diri serta menyiapkan
kedua orang anak muda itu untuk mulai dengan latihanlatihan.
Pangeran Singa Narpada tidak perlu mulai dari
tataran pertama, tetapi ia akan dapat langsung sampai pada
tahap-tahap terakhir, karena Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memiliki bekal yang cukup.
Latihan-latihan di sanggar maupun di udara terbuka
sebagian terbesar dilakukan pada malam hari. Dengan
sungguh-sungguh dan sangat berhati-hati Pangeran Singa
Narpada memperkenalkan jalur ilmunya kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sedikit demi sedikit keduanya belajar melihat
perbandingan antara ilmu yang telah dikuasainya dengan
ilmu yang diperkenalkan oleh Pangeran Singa Narpada.
Mereka pun mulai mempelajari persamaan dan
perbedaannya, sehingga mereka akan dapat dengan cepat
menyadari, di jalur mana mereka berada.
"Jika kalian telah memahaminya dengan baik," berkata
Pangeran Singa Narpada, "maka kalian akan dapat
berpindah-pindah seperti meloncat-loncat dari satu sisi ke
sisi parit yang lain dengan penuh kesadaran dan tidak akan
menjadi tumpang suh lagi. Dengan demikian, maka kalian
akan dapat mempergunakan kedua jalur ilmu atau lebih di
dalam dirimu bersamaan waktunya dan bahkan pada
saatnya akan dapat saling mendukung dan saling mengisi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk angguk
penuh pengertian. Petunjuk-petunjuk yang diterimanya
memang menunjukkan kepada mereka, arah yang harus
mereka tempuh dalam perjalanan mereka mengarungi
dunia olah kanuragan yang kadang-kadang keras dan
gawat. Di siang hari, mereka lebih banyak berada di gandok.
Mereka lebih banyak berbicara dan berbincang tentang ilmu
yang sedang mereka tekuni. Bahkan kadang-kadang mereka
telah membuat gambar di atas rontal atau di atas papan
atau bahkan di atas lantai dengan-arang atau alat-alat lain.
Mereka menekuni latihan-latihan mereka lewat
pembicaraan denggan langkah-langkah yang mereka
goreskan dalam gambar. Namun ternyata bahwa goresan-goresan dan
pembicaraan itu banyak bermanfaat bagi keduanya. Dalam
latihan-latihan yang sebenarnya, maka yang mereka
lakukan itu seakan-akan memberikan banyak tuntunan.
Pemecahan persoalan-persoalan yang mungkin timbul
dengan tiba-tiba serta kemungkinan-kemungkinan yang
tanpa dipersiapkan lebih dulu akan sangat sulit dipecahkan.
Pangeran Singa Narpada memang menjadi heran melihat
perkembangan kedua orang anak muda itu. Kecepatan
mereka meningkat melampaui perhitungan Pangeran Singa
Narpada, sehingga dengan demikian Pangeran Singa
Narpada semakin merasa tertarik kepada keduanya dan ia
pun menjadi semakin bergairah untuk memberikan latihanlatihan
yang semakin hari menjadi semakin berat.
Di antara kerja keras itu, ternyata Pangeran Singa
Narpada masih juga menyempatkan diri berbicara dengan
orang-orang bertongkat yang telah ditawannya. Namun
pembicaraan mereka tidak segera menemukan jalur yang
mampu menunjukkan pemecahan atas persoalan yang
dihadapinya. Ternyata bahwa orang-orang bertongkat itu memiliki
keteguhan hati untuk tidak mengatakan sesuatu yang
mereka anggap rahasia dari lingkungan mereka.
Namun ketika mereka mendengar bahwa guru mereka
dan Kebo Sarik benar-benar telah terbunuh, maka rasarasanya
mereka pun telah kehilangan segala macam citacita
yang semula bagaikan terbang setinggi bintang.
Meskipun demikian, tidak mudah bagi Pangeran Singa
Narpada untuk mengetahui siapakah mereka sebenarnya.
Namun dari pembicaraan yang dapat ditangkap oleh


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Singa Narpada dengan ketajaman telinga
batinnya, maka orang-orang itu seakan-akan telah menjadi
berputus-asa. "Kita akan tetap menahan mereka," berkata Pangeran
Singa Narpada, "setiap hari kita akan berbicara dengan
mereka. Siapakah yang menjadi jemu lebih dahulu. Kita
atau orang-orang itu. Jika kita menjadi jemu lebih dahulu,
maka kita akan berhenti bertanya sebelum kita mendengar
jawabnya Tetapi jika mereka menjadi jemu lebih dahulu,
maka merekalah yang akan mengakhiri pembicaraan
sehingga mereka akan menjawab segala pertanyaan kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Keduanya menyadari, bahwa memang sulit untuk dapat
menguasai perasaan keempat orang bertongkat itu.
Namun dalam pada itu, latihan-latihan yang dilakukan
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki ke
bagian yang gawat. Keduanya harus semakin tekun
mengenali kedua jenis ilmu yang akan menjadi bagian dari
kemampuan mereka. Dalam keadaan yang demikian, maka kedua anak muda
itu dianjurkan oleh Pangeran Singa Narpada untuk mulai
menjalani laku. Mereka harus mulai mengurangi jenis
makanan yang mereka makan, meskipun mereka masih
belum diharuskan untuk tidak makan nasi menguranginya.
Sementara itu, ternyata bahwa Mahendra menjadi sering
berkunjung ke Kediri kerena kesibukan perdagangannya
meskipun sekaligus ia harus menengok anak-anaknya.
Suatu kali Mahendra telah mendapat kesempatan untuk
melihat apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Keduanya mampu menunjukkan kepada
Mahendra, bagaimana kedua anaknya itu mampu
mempergunakan jalur ilmu yang diterimanya dari ayahnya
dan dari Pangeran Singa Narpada hampir berbareng tanpa
menimbulkan bentur-benturan di dalam diri mereka.
Bahkan dengan demikian maka unsur yang nampak pada
kedua anaknya itu menjadi semakin banyak dan meliputi
berbagai macam kegunaan. Namun Pangeran Singa Narpada masih belum mulai
dengan ilmu puncaknya, sehingga dengan demikian, maka
kedua anak muda itu masih harus bekerja keras dan berbuat
banyak. Namun apa yang dapat disaksikan itu telah membuat
Mahendra berbangga. Ia yakin bahwa kedua anaknya akan
menjadi orang yang memiliki ilmu yang cukup dihari tua
mereka. Tetapi untuk sampai kepada ilmu puncak yang dimiliki
oleh Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa
Narpada masih harus membicarakannya dengan Mahendra.
Selain ilmu yang dapat melontarkan kekuatan yang tidak
ada taranya. Pangeran Singa Narpada juga memiliki ilmu
yang disebut oleh beberapa orang sebagai ilmu yang licik,
meskipun Pangeran Singa Narpada sendiri tidak mengerti,
kenapa ilmunya disebut ilmu licik.
Karena itu, sebelum ia mewariskan ilmu itu kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Pangeran Singa
Narpada memerlukan berbicara lebih dahulu dengan ayah
anak-anak muda itu. "Terserah kepada Ki Mahendra," berkata Pangeran
Singa Narpada, "apakah Ki Mahendra keberatan atau
tidak. Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti, kenapa orang
lain menyebutnya sebagai ilmu yang licik."
"Aku tidak menyebutnya sebagai ilmu yang licik,"
berkata Mahendra, "karena itu, aku tidak keberatan jika
Pangeran menurunkan ilmu itu kepada anak-anakku. Justru
dengan demikian maka aku akan berharap, anak-anak akan
memiliki bekal semakin lengkap untuk mengabdi kepada
sesama." "Aku juga berharap demikian," berkata Pangeran Singa
Narpada, "aku sudah berulang kali mengatakan kepada
kedua anak muda itu, bahwa semakin tinggi ilmu yang
mereka sandang, maka tanggung jawab mereka terhadap
sesama menjadi semakin besar."
"Bagaimana kesan Pangeran terhadap anak-anak itu?"
bertanya Mahendra. "Aku kira mereka akan dapat memenuhi keinginan
ayahnya," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Syukurlah," jawab Mahendra, "jika demikian, maka
aku serahkan kebijaksanaannya kepada Pangeran. Ilmu itu
sama sekali bukan ilinu yang licik. Bukan seperti laku
seorang pencuri yang mengambil milik orang dengan diamdiam.
Tetapi sebagai laku seorang kesatria yang mengambil
kejahatan orang lain untuk melindungi sesamanya."
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "jika
demikian, maka aku akan memberikan ilmu itu kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar di samping ilmu
mereka yang dahsyat, yang diterima dari ayahnya, juga
memiliki kemampuan untuk mengambil ilmu hitam dari
orang lain." Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada tidak
ragu-ragu lagi. Bahkan keragu-raguannya tentang dirinya
sendiri pun menjadi semakin tipis. Ketika gurunya
memberikan ilmu itu kepadanya, maka gurunya itu pun
telah berpesan, "Jika kau salah langkah, maka ilmu ini akan
menjadi ilmu yang sangat licik. Meskipun ditakuti oleh
banyak orang, tetapi akan dikutuk oleh orang-orang yang
mengabdikan diri kepada kebenaran. Tetapi jika kau
mampu mengetrapkan kepada jalan kebenaran itu, maka
kau akan menjadi sahabat umat manusia."
Pesan itulah yang juga harus disampaikan kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada saatnya.
Untuk menerima puncak ilmu Pangeran Singa Narpada
itu, maka mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar
harus mempersiapkan diri, itu maka dibutuhkan waktu
yang cukup panjang. Yang harus dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat adalah menjalani laku lahir dan batin. Mereka mulai
mengurangi makanan pokok mereka sedikit demi sedikit,
sementara itu, di malam hari pada hari-hari tentu mereka
mulai berendam di dalam air sungai yang mengalir lambat.
Sedangkan di hari-hari lain mereka harus melatih wadag
mereka dengan mendaki gunung dan menuruni lereng
digelapnya malam. Berlari-lari di sepanjang sungai berbatubatu.
Namun yang terutama adalah latihan-latihan yang tekun
bagi pernafasan. Mengatur keseimbangan kekuatan di
dalam dan di luar dirinya, berlatih mengetrapkan kekuatan
yang dihirupnya pada jalur pernafasannya, sehingga
kekuatan ke seluruh tubuh, kemudian jika dikehendaki telah
memusat pada bagian-bagian tubuhnya sesuai dengan
maksud dan kegunaannya. Mahendra tidak dapat menunggui anaknya dalam laku
yang dijalani, karena ia harus kembali ke Singasari. Namun
ia percayakan kedua anaknya kepada Pangeran Singa
Narpada. Dengan demikian maka kedua anak muda itu benarbenar
tlah bekerja keras. Mereka sama sekali tidak
mengenal waktu dan lebih. Meskipun sebagian besar waktu
yang mereka pergunakan adalah malam hari.
Sementara itu, Kediri semakin lama memang menjadi
semakin tenang. Tidak banyak timbul persoalan-persoalan
yang dapat menjadikan Sri Baginda resah dan gelisah.
Pemerintahan berjalan dengan wajar dan hubungan dengan
Singasari masih terjalin sebagaimana seharusnya.
Namun dengan demikian bukan berarti bahwa tidak ada
masalah sama sekali yang terjadi di Kediri. Kekuatankekuatan
yang semula diikat oleh para pemimpinnya yang
gagal, dan kemudian terpecah-pecah, telah dibekali dengan
dendam dan kebencian. Mereka memang tidak dapat berbuat banyak atas Kediri
dalam keseluruhan. Tetapi mereka akan mampu berbuat
sesuatu bagi bagian-bagian kecil dari Kediri.
Meskipun demikian, para prajurit Kediri pada umumnya
mampu mengatasi persoalan-persoalan yang timbul itu
dengan cepat. Para prajurit Kediri tidak mau mengalami
kesulitan sebagaimana pernah terjadi. Jika mereka
terlambat, maka kekuatan yang kecil itu akan dapat mekar
dan menjadi kiblat dari dendam dan kebencian yang masih
terdapat di mana-mana. Sementara itu, keempat orang bertongkat yang masih
tetap ditahan di bagian belakang dari istana Pangeran Singa
Narpada ternyata memang tidak dapat memberikan
keterangan selain tentang diri mereka sendiri. Yang tertua
di antara mereka, yang telah dengan cerdik mempersilahkan
Pangeran Singa Narpada membuat peti perak, namun yang
ternyata telah terjerumus sendiri kedalam kesulitan,
agaknya memang masih menyimpan sesuatu yang belum
disebutkannya. Namun agaknya yang mereka lakukan
adalah sekedar didorong oleh keinginan mereka sendiri.
Tidak sebagaimana dilakukan oleh Ki Ajar Bomantara yang
berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata. Sedangkan
sampai saat-saat terakhir, Pangeran Lembu Sabdata masih
juga belum benar-benar dapat disembuhkan. Berbagai cara
sudah ditempuh. Meskipun keadaannya menjadi semakin
baik, tetapi ia masih tetap menutup diri.
Dalam kehidupannya sehari-hari, meskipun masih
ditempatkan di tempat yang khusus dan mendapat
pengawasan yang kuat, Pangeran Lembu Sabdata sudah
dapat melayani dirinya sendiri. Ia mulai sadar tentang
kehadirannya. Tetapi orang lain baginya tetap dianggapnya
sebagai bahaya yang setiap saat dapat menerkamnya.
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata masih belum
bersedia bergaul dengan siapa pun juga. Bahkan dengan
tabib yang mengobatinya dengan tekun sabar dan
bersungguh-sungguh itu pun masih saja terbentang jarak
yang sulit untuk ditutup.
Namun dalam pada itu, kehidupan sehari-hari di Kediri
telah berangsur menjadi baik dan mapan. Suasana yang
demikian ternyata telah dapat dimanfaatkan oleh
Mahendra, itu pun masih saja seorang pedagang batu-batu
permata, batu bertuah dan benda-benda pusaka.
Sementara itu, kedua anaknya telah menekuni ilmu yang
luar biasa yang siap diwariskan oleh Pangeran Singa
Narpada. Untuk itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menjalani laku yang sangat berat. Sehingga akhirnya,
Pangeran Singa Narpada memandang bahwa waktunya
sudah tiba. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
benar-benar siap, karena sebelum ia menjalani laku untuk
menerima ilmu yang tinggi dari Pangeran Singa Narpada,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pernah menjalani
laku untuk menerima ilmu puncak dari ayahnya sendiri
yang juga menjadi gurunya.
Karena itu, maka untuk menjalani laku sebelum
menerima ilmu Pangeran Singa Narpada, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat mampu melakukannya dengan
baik dalam waktu yang terhitung cepat.
Dengan demikian, maka akhirnya saatnya telah sampai
pula bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk menerima
ilmu yang sulit dicari bandingnya itu, dan bahkan sudah
jarang ditemui duanya. Menjelang senja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melakukan mandi keramas. Mereka telah membersihkan
wadag mereka sebelum mereka memasuki sanggar dan
menjalani laku hening untuk melihat ke dalam diri mereka
sendiri. Tanpa ada orang lain yang menunjuk maka dalam
laku hening, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha
untuk menilai diri mereka sendiri. Apakah mereka sudah
cukup pantas untuk memasuki tataran yang lebih tinggi
dalam olah kanuragan. Apakah mereka sudah cukup
mampu mempertanggung-jawabkan ilmu yang akan
diterimanya. Dalam laku hening, keduanya seakan-akan telah
memisahkan dirinya yang menilai dan dirinya yang dinilai.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk bersila dengan
menyilangkan tangan di dadanya, dalam memejamkan
matanya, justru seakan-akan mereka melihat diri mereka
duduk di hadapan mereka. Dalam kesempatan yang
demikian maka keduanya telah menerawang sampai ke
pusat jantung, untuk menilai perasaan, dan sampai ke pusat
otak untuk menilai penalaran, siapakah mereka itu di dalam
keluarga besar umat manusia.
Demikianlah mereka lakukan sampai tengah malam.
Baru setelah kentongan tengah malam berbunyi, maka
Pangeran Singa Narpada telah memasuki sanggar.
Untuk beberapa saat masih dilakukan laku terakhir. Baru
setelah semuanya dilakukan dengan tuntas, maka Pangeran
Singa Narpada itu mulai menurunkan ilmunya kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Suasana di istana itu terasa hening. Tidak banyak orang
yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam sanggar. Dua
orang prajurit yang bertugas pada saat mengelilingi
halaman istana dan lewat di dekat sanggar, memang telah
mendengar sesuatu yang tidak jelas di dalam sanggar itu.
Namun mereka menyangka bahwa seseorang sedang
mengadakan latihan di dalam sanggar itu. Para prajurit itu
tidak mengira, bahwa di dalam sanggar itu telah terjadi
sesuatu yang sangat penting. Pangeran Singa Narpada
sedang mewariskan ilmunya yang jarang ada duanya
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Seperti juga puncak ilmunya yang diterimanya dari
ayahnya, maka yang diturunkan oleh Pangeran Singa
Narpada adalah pokok landasan dari ilmunya, sehingga
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berkewajiban untuk
mengembangkannya dan mematangkannya di dalam
dirinya. Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar, maka
Pangeran Singa Narpada yang letih telah keluar dari
sanggar itu. Untuk menyegarkan tubuhnya, maka Pangeran
Singa Narpada langsung pergi ke pakiwan untuk mandi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ternyata masih tetap berada di dalam sanggar. Rasa-rasanya


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh mereka menjadi sangat lemah dan kehilangan tulang
belulangnya setelah mereka mengerahkan segenap
kemampuan yang ada di dalam diri mereka untuk
menerima ilmu yang diturunkan oleh Pangeran Singa
Narpada. Untuk beberapa lama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih duduk bersila di sanggar dengan tangan berada di
atas lutut. Mereka masih berusaha mengatur pernafasan
mereka yang terengah-engah. Dengan sebulat hati mereka
berusaha untuk memulihkan keadaan tubuh mereka,
meskipun tidak dengan serta merta dan sepenuhnya.
Demikianlah, perlahan-lahan terasa angin pagi yang
menyusup lewat celah-celah dinding mulai menyentuh
tubuh mereka, sehingga rasa-rasanya menjadi semakin
segar. Darah mereka yang mengalir dengan keras dan
degup jantung yang bagaikan berguncang-guncang telah
mulai mereda dan bahkan menjadi pulih kembali.
Namun agaknya mereka memerlukan waktu yang agak
panjang. Ketika matahari sudah naik, keduanya masih
belum nampak keluar dari sanggar.
Tetapi Pangeran Singa Narpada dapat memakluminya.
Kedua anak itu jika ditilik dari umurnya masih terlalu
muda. Hanya karena keduanya telah pernah menerima
puncak ilmu ayahnya sajalah, maka Pangeran Singa
Narpada berani memberikan ilmunya kepada kedua orang
anak itu. Karena menurut pengertian Pangeran Singa
Narpada, jika yang menerima ilmu itu ternyata masih
belum memiliki kesediaan badani yang cukup, maka
jatungnya justru akan dapat meledak.
Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benarbenar
telah siap menerima ilmu yang luar biasa itu,
meskipun untuk beberapa saat, keadaan tubuh mereka
terasa menjadi lemah. Bahkan mungkin diperlukan waktu
yang lebih lama lagi untuk memulihkan seluruh kekuatan
tubuh kedua anak muda itu.
Ketika matahari kemudian naik semakin tinggi, bahkan
hampir mencapai puncak langit, maka kedua anak muda itu
baru merasa keadaan mereka sudah menjadi cukup baik.
Karena itu, maka mereka pun telah menghentikan samadi
mereka. Setelah membenahi pakaian mereka, maka kedua orang
anak muda itu pun telah keluar dari dalam sanggar dan
seperti juga Pangeran Singa Narpada, mereka pun langsung
pergi untuk menyegarkan badan. Ketika mereka mulai
menyiram tubuh mereka dengan air di pakiwan, rasarasanya
segalanya memang telah menjadi pulih kembali.
Namun dalam pada itu, meski pun tingkat mewariskan
ilmu itu sudah selesai, namun masih ada sesuatu yang harus
diberikan oleh Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, ketika keduanya telah selesai membenahi
diri, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"beristirahatlah sebaik-baiknya lahir dan batin. Malam
nanti kita masih akan berbicara."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sebenarnyalah mereka ingin beristirahat sebaik-baiknya.
Karena itu, maka sehari itu, keduanya hampir tidak keluar
dari dalam bilik mereka. Mereka telah mempergunakan
waktu mereka untuk sejenak tidur. Tetapi karena tidak
menjadi kebiasaan mereka tidur di siang hari, maka mereka
pun hanya sejenak dapat lenyap.
Ketika malam turun, maka kedua anak muda itu telah
bersiap. Bersama Pangeran Singa Narpada mereka
memasuki sanggar pula. Namun mereka tidak akan lagi
melakukan pewarisan ilmu sebagaimana telah dilakukan
semalam, tetapi mereka hanya duduk saja di atas selembar
tikar. Di sebelah mereka lampu minyak menyala di atas
ajuk-ajuk bambu. Dalam kesempatan itu, Pangeran Singa Narpada telah
memberikan beberapa macam petunjuk sebagaimana
diterimanya dari gurunya. Bagaimana Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat dapat mengembangkan ilmu mereka.
Selebihnya Pangeran Singa Narpada juga memberikan
petunjuk-petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagai pewaris ilmunya.
"Agaknya tidak akan berbeda jauh dari pesan-pesan
yang pernah kau terima dari ayahmu," berkata Pangeran
Singa Narpada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, "Karena
itu, usahakanlah, agar kalian dapat melakukan sebagaimana
di harapkan oleh ayahmu."
"Kami akan berusaha Pangeran," desis Mahisa Murti.
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada, "aku yakin akan
kejujuran hati kalian. Kalian adalah anak-anak muda yang
memiliki bekal yang tidak ada bandingnya. Ilmu dari
ayahmu, dan sekarang yang aku wariskan kepadamu,
sementara itu, kalian telah memiliki penangkal racun yang
dapat menolak racun dan bisa yang bagaimanapun
tajamnya." Mahisa Murtidan Mahisa Pukat menundukkan
kepalanya. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata,
"Dengan bekal yang kalian miliki, maka pada suatu saat
kalian akan menjadi orang yang sulit ada tandingnya.
Namun itu bukan berarti bahwa kalian dapat berbuat apa
saja, karena sebenarnyalah bahwa yang terkuat itu pun pada
suatu saat akan dikalahkan oleh kekuatan baru tanpa di
pilih a pakah itu kekuatan hitam kekuatan putih. Karena itu,
seseorang tidak boleh menjadi sombong karena ilmu-ilmu
yang dimilikinya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja menunduk.
Masih banyak pesan-pesan yang diberikan oleh Pangeran
Singa Narpada disamping petunjuk-petunjuk apakah yang
harus dilakukan dalam waktu dekat dan panjang.
Akhirnya Pangeran Singa Narpada berkata, "Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Jika aku mewariskan ilmuku
kepada kalian, itu agaknya bukannya tanpa pamrih. Karena
itu, maka aku minta, kalian akan bersedia memenuhi
permintaanku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang sejenak.
Namun mereka pun berusaha untuk menghapuskan semua
kesan itu dari wajah mereka. Bahkan keduanya pun
kemudian berusaha untuk mendengarkan sebaik-baiknya,
pesan apakah yang akan diberikan oleh Pangeran Singa
Narpada itu. Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada justru
terdiam. Namun kemudian setelah menarik nafas dalamdalam
ia pun berkata, "Aku terpaksa mengatakannya.
Tetapi niatku baik."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh
Pangeran Singa Narpada itu.
Baru sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada
berkata, "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan
maksudku untuk mengorek rahasia keluarga sendiri, karena
setiap cacad yang terdapat di dalam lingkungan keluargaku
adalah cacadku juga."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
berdebar-debar. Sementara itu Pangeran Singa Narpada
berkata selanjutnya, "Dengarlah baik-baik, meskipun aku
harus mengatakannya sambil menyembunyikan wajahku.
Sebenarnyalah aku tidak dapat mempercayai lagi siapa pun
juga di dalam lingkungan keluargaku sendiri. Ada beberapa
alasan yang dapat aku sebut. Tetapi aku kira aku tidak perlu
mengatakan kepadamu. Karena itu, tidak seorang pun di
antara mereka yang menurut pendengaranku pantas untuk
menerima warisan ilmuku." Pangeran Singa Narpada
berhenti sejenak, lalu, "Namun dengan demikian, aku telah
mencemaskan Tanah Kediri. Jika tidak ada orang yang
memiliki bekal ilmu yang cukup, maka pada suatu saat, jika
datang orang yang ingin mengganggu ketenangan Tanah
ini, tidak akan ada seorang pun yang akan dapat
mengatasinya. Karena itu, maka aku akan minta tolong
kepadamu. Meskipun kau bukan keluarga Kediri, namun
aku berharap agar kau bersedia berbuat sesuatu bagi Tanah
ini." Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terasa berdebar
semakin cepat. Namun keduanya dapat merasakan betapa
pahitnya perasaan Pangeran Singa Narpada. Ia merasa
sendiri di ramainya Tanah Kediri.
Memang ada beberapa Senapati yang dapat
dipercayainya. Tetapi mereka tidak mampu menarik
kepercayaan Pangeran Singa Narpada sepenuhnya.
Karena itulah, maka beruntung sekali Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang justru telah menerima warisan ilmu
yang luar biasa dari Pangeran Singa Narpada.
Tetapi justru karena itu, maka keduanya tentu tidak akan
dapat menolak permintaan Pangeran Singa Narpada itu.
"Bagaimanakah kira-kira tanggapan kalian?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Namun kemudian katanya,
"Tetapi aku tidak memaksakan keinginan ini. Aku pun
tidak tergesa-gesa ingin mendengar jawab kalian. Kalian
dapat memikirkannya barang satu dua pekan. Pada suatu
saat kalian akan dapat memberikan jawaban tanpa raguragu
lagi serta tidak akan menyesal di kemudian hari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak, baru kemudian Mahisa Murti menyahut,
"Pangeran. Adalah tidak pantas sama sekali bagi kami
apabila kami mengelak satu kewajiban yang dibebankan
oleh guru kami kepada kami, apapun ujud dan bentuknya.
Namun agaknya Pangeran tidak ingin berbicara selaku guru
terhadap murid-muridnya, karena Pangeran merasa bahwa
Pangeran tidak membentuk kami sejak permulaan. Namun
bagaimanapun juga kami adalah murid-murid yang wajib
setia pada gurunya. Meskipun demikian sebagaimana yang
Pangeran katakan, kami akan mempertimbangkannya
dalam beberapa hari ini, meskipun sebenarnya itu tidak
perlu." "Terima kasih," jawab Pangeran Singa Narpada, "aku
akan menunggu jawabnya. Tetapi aku akan dapat salah
duga. Jika demikian yang terjadi, maka aku tidak akan
merasa sangat kecewa, karena semuanya yang memang
halus terjadi dan akan terjadi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
kepala mereka telah tertunduk semakin dalam. Keduanya
mencoba untuk menerawang Kediri yang besar. Apakah
tidak ada seorang pun di antara para bangsawan yang dapat
dipercaya oleh Pangeran Singa Narpada?"
Bahkan diluar sadarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir-hampir telah menyatakan ketidak percayaannya.
Untunglah bahwa hal itu masih belum diucapkannya.
Sementara itu, malam telah menjadi semakin malam.
Karena itu maka Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"sudahlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian tentu
menjadi sangat letih semalam. Mungkin kalian sudah
merasa cukup beristirahat. Tetapi biarlah kekuatan kalian
pulih kembali seutuhnya. Besok kau tidak harus menjalani
laku lagi. Sementara itu waktu kita menjadi bertambah
panjang untuk berbicara dengan orang-orang bertongkat
yang sudah sangat lama berada di sini. Jika kita memang
tidak memerlukan lagi, maka mereka akan aku kirimkan ke
penjara istana, agar mereka dapat disimpan saja di sana.
"Sulit untuk mendengar keterangannya Pangeran,"
berkata Mahisa Pukat. "Ya. Namun kita masih akan mencoba. Sementara ini
kita tidak dapat memusatkan perhatian kita. Namun
agaknya mulai besok kita tidak akan lagi terganggu
waktunya. Siang dan malam kita akan dapat
melakukannya. Meskipun aku tahu, bahwa apa yang akan
kita dengar tidak akan berarti apa-apa."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia
pun mempunyai perhitungan yang demikian. Tetapi
memang tidak ada salahnya untuk mencoba sekali lagi
berbicara dengan orang-orang bertongkat itu.
Dengan demikian maka sejenak kemudian, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri untuk kembali
ke dalam biliknya. Mereka memang masih ingin beristirahat
untuk beberapa saat lagi. Apalagi dimalam itu.
Ketika fajar membayang di hari berikutnya, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di luar
biliknya sebagaimana dilakukannya sehari-hari. Mereka
tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka untuk berbuat
sesuatu. Membersihkan halaman atau mengambil air dari
sumur untuk memenuhi jambangan di pakiwan atau kerjakerja
yang lain. Tetapi, karena di istana Pangeran Singa Narpada
semuanya itu sudah dilakukan oleh orang-orang tertentu,
maka keduanya setiap pagi telah berada di dalam sanggar.
Apalagi ketika mereka telah menerima ilmu dari Pangeran
Singa Narpada, maka mereka merasa perlu untuk selalu
berusaha mengembangkannya bersama-sama dengan ilmu
yang diwarisinya dari ayahnya.
Namun mereka tidak dapat melakukannya dengan serta
merta. Mereka sadar, bahwa mereka harus melangkah
dengan sabar. Hari itu adalah hari-hari permulaan bagi
mereka menanggapi ilmu yang diwarisinya dari Pangeran
Singa Narpada. Karena itu, maka mereka pun tidak dengan
cepat ingin memaksa diri untuk mencapai satu loncatan
panjang. Tetapi sebagaimana di hari-hari lain, maka untuk tidak
menimbulkan kesan-kesan tersendiri, maka keduanya tidak
terlalu lama berada di dalam sanggar. Di siang hari, mereka
adalah tamu yang khusus jika mereka di istana, tetapi jika
mereka berada di padang terbuka, maka mereka adalah
murid-murid yang bekerja keras untuk mempersiapkan diri
mereka. Sedangkan di malam hari, waktu mereka lebih
banyak justru berada di dalam sanggar.
Kebiasaan itu akan berlaku untuk waktu berikutnya.
Namun dengan langkah-langkah yang berbeda. Mereka
tidak lagi mempersiapkan diri untuk menerima ilmu yang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jarang ada duanya, tetapi mereka menelusuri langkahlangkah
untuk mengembangkan ilmu mereka.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memerlukan untuk menemui orangorang
bertongkat yang masih saja berada di dalam tahanan.
Kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu
diterima dengan penuh kecurigaan oleh oang-orang
bertongkat itu, sebagaimana kehadiran Pangeran Singa
Narpada. Namun keempat orang itu tidak akan dapat
menolak. Mereka harus menerima kedua orang anak muda
itu betapapun mereka tidak senang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memasuki bilik
tahanan keempat orang itu pun kemudian telah berusaha
berbicara dengan mereka. Tetapi kedua anak muda itu
segera merasakan, bahwa tidak akan banyak persoalan yang
dapat mereka simpulkan dari pembicaraan itu sebagaimana
yang pernah dilakukan. Namun Mahisa Pukat masih juga bertanya, "Siapakah di
antara kalian yang paling tua?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang wajar, sehingga
salah seorang di antara keempat orang itu telah menunjuk
orang bertubuh kecil yang duduk di sudut sambil memeluk
lututnya. Mahisa Pukat berpaling ke arah orang bertubuh kecil itu.
Sambil tersenyum ia berkata, "Kita sudah pernah bertemu
sebelum kalian berada di bilik ini."
"Ya," jawab orang bertubuh kecil itu, "kita pernah
bertempur. Kalian berdua bersama-sama melawan aku.
Waktu itu kalian berdua menang."
"Aku tidak menyangka bahwa kau termasuk seorang
yang licik dan pengecut," berkata Mahisa Pukat.
Wajah orang bertubuh kecil itu menjadi merah.
"Kami waktu itu menyangka bahwa kau adalah seorang
yang baik budi. Kami menyangka bahwa kau telah dengan
hati terbuka memberitahukan kepada Pangeran Singa
Narpada, bagaimana menyelamatkan benda berharga itu.
Ternyata bahwa yang kau lakukan itu merupakan satu
langkah dari rencanamu yang sangat rumit dan curang."
"Adalah salah kalian bahwa kalian, terutama Pangeran
Singa Narpada, mempercayainya," sahut orang itu.
"O, Kau kira Pangeran Singa Narpada
mempercayaimu?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang bertubuh kecil itu terdiam. Namun sorot matanya
masih telah menunjukkan hatinya yang bergejolak
menanggapi sikap Mahisa Pukat.
"Sudah berapa lama kalian berada di sini?" bertanya
Mahisa Pukat tiba-tiba. "Kau tahu itu," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Dan kau masih tetap tidak bersedia membantu kami,"
berkala Mahisa Pukat. "Apa yang harus aku bantu?" bertanya orang itu.
"Sampai saat ini kau masih belum menyebutkan,
siapakah kalian sebenarnya. Siapakah orang-orang yang
telah terbunuh itu" Dan untuk apa kalian berusaha
mengambil benda berharga dari Gedung Perbendaharaan
itu," berkata Mahisa Pukat.
"Aku sudah mengatakan semua yang aku ketahui,"
berkata orang itu, "apalagi?"
"Masih ada," jawab Mahisa Pukat, "sebut, dari
manakah asal kalian. Di manakah padepokan kalian dan
untuk apa kalian mengambil pusaka itu."
"Sudah kami jawab. Padepokan kami terletak jauh
sekali. Kau tidak akan dapat membayangkan di manakah
letaknya. Dan padukuhan kami" Sementara itu aku pun
sudah menjawab kepadamu, kepada Pangeran Singa
Narpada dan kepada siapapun yang bertanya kepada kami,
bahwa yang terbunuh itu adalah guruku dan paman guruku.
Nah, bukankah sudah jelas" Sedangkan untuk apa pusakapusaka
itu, hanya guruku sajalah yang tahu. Sedang guruku
sudah dibunuh oleh Pangeran Singa Narpada. Dengan
demikian, maka pertanyaanmu yang terakhir itu tidak akan
pernah dapat dijawab."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya
pembicaraan itu sudah menjadi buntu sebagimana yang
pernah dilakukannya. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Siapakah nama
gurumu dan gelarnya?"
"Kenapa kau tidak bertanya sendiri ketika guru masih
hidup?" bertanya orang bertubuh kecil.
"Tentu aku tidak mendapat kesempatan untuk
melakukannya," berkata Mahisa Pukat, "tetapi agaknya
gurumu itu justru tidak begitu berkepentingan dengan
pusaka yang kau ambil itu, karena menurut pengamatan
kami, ia baru datang setelah pusaka itu diambil oleh paman
gurumu." Orang bertubuh kecil itu tidak menjawab. Sementara itu
Mahisa Pukat berkata, "Menurut pengamatanku, gurumu
benar-benar seorang pertapa yang sudah tidak lagi
memerlukan kebutuhan duniawi. Tetapi kenapa ia masih
demikian tamaknya bahkan gejolak keinginan duniawinya
masih sangat besar, karena ia masih berharap untuk
menjadi seorang raja?"
"Bohong," tiba-tiba salah seorang di antara keempat
orang bertongkat itu memotong, "guru memang seorang
pertapa yang bersih dari nafas keduniawian."
"Jangan mimpi," sahut Mahisa Pukat, "setiap orang
melihat bahwa gurumu adalah seorang yang tamak sekali.
Dalam umurnya yang sudah menginjak ketuaan, apakah
sebenarnya yang ingin dicapai?"
"Guru memang tidak menginginkan apa-apa lagi. Yang
dilakukannya semata-mata adalah karena cintanya kepada
murid-muridnya." Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia bertanya, "Siapakah nama guru kalian itu?"
Keempat orang itu terdiam. Tidak seorang pun yang
menjawabnya. "Nah," berkata Mahisa Pukat, "bukankah kalian malu
menyebut nama gurumu" Itu adalah pertanda bahwa kalian
memang mengakui, guru kalian adalah orang yang
namanya pernah cemar atau tercemar."
"Tidak," salah seorang di antara keempat orang itu
hampir berteriak, "kalian jangan mengigau."
"Jangan berteriak begitu," Mahisa Murti lah yang
menyahut, "kamilah yang sepantasnya membentak-bentak
kalian. Bukankah kalian adalah tawanan kami?"
Orang bertongkat itu menggeram.
"Kalian harus menerima nasib kalian. Kalian adalah
korban ketamakan guru kalian," berkata Mahisa Murti.
"Tidak. Sama sekali tidak," sahut orang bertongkat itu.
"Kenapa tidak" Gurumu mati atas ulahnya sendiri.
Sekarang kalianlah yang tinggal hidup akan mengalami
nasib yang tidak dapat kalian ramalkan. Bukankah hal itu
adalah sekedar akibat nafsu gurumu" " ulang Mahisa Pukat.
Wajah orang-orang bertongkat itu menjadi merah. Tetapi
mereka tidak dapat menyangkal bahwa nasib mereka
memang menjadi sangat buruk. Tetapi mereka sama sekali
tidak rela bahwa gurunyalah yang menjadi sasaran
kesalahan itu. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka
berkata, "Maaf jika aku berteriak. Tetapi aku tidak dapat
menerima sikapmu yang merendahkan guruku."
"Jadi bagaimana yang sebenarnya terjadi?" bertanya
Mahisa Pukat tiba-tiba. Pertanyaan itu memang mengejutkan. Orang bertubuh
kecil itu pun menundukkan kepalanya. Ia tidak akan dapat
mengelak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tentu akan
datang seperti datangnya ombak di tepi laut. Bergulunggulung
susul menyusul tidak henti-hentinya.
Namun orang bertubuh kecil itu tidak menunjukkan
kegelisahannya. Meskipun kepalanya tertunduk, namun ia
tidak berdesah. "Bagaimana yang sebenarnya?" Mahisa Pukat mencoba
mendesak, "siapakah sebenarnya yang tahu rencana
pengambilan pusaka itu" Untuk apa" Jika kalian tidak ingin
disebutkan korban ketamakan guru kalian, maka kalian
tentu tidak akan menyangkal bahwa bukan guru kalianlah
yang bernafsu untuk mengambil mahkota itu. Jika guru
kalian terlibat, maka itu adalah karena cinta guru kalian
terhadap kalian." Keempat orang bertongkat itu tidak menjawab.
"Masih ada kesempatan bagi kalian," berkata Mahisa
Pukat, "atau orang-orang Kediri akan mengambil
kesimpulan bahwa seorang pertapa tua dari sebuah
padepokan telah mengorbankan murid-muridnya bagi
memenuhi ketamakannya."
Keempat orang itu masih tetap berdiam diri. Wajahwajah
mereka tetap menunduk. Namun hati mereka tetap
memberontak jika nama gurunya dicemarkan.
Hal itulah yang diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Karena itu, maka keduanya berniat untuk
mempergunakan hal itu sebagai senjata untuk mendengar
keterangan orang-orang bertongkat itu kemudian.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin
memaksa mereka langsung berbicara. Karena itu, maka
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Baiklah. Aku kira
hari ini kalian masih belum siap untuk berbicara. Besok aku
akan kembali lagi. Jika besok kalian juga belum siap, maka
hari berikutnya dan hari berikutnya dan seterusnya sampai
kalian mau berbicara meskipun kami harus menahan diri
untuk tidak mengumumkan kenistaan gurumu kepada
seluruh rakyat Kediri bahkan seluruh rakyat Singasari."
Wajah orang-orang itu menjadi merah padam. Tetapi
mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
adalah tawanan yang terkurung dan dikelilingi oleh
kekuatan yang jauh melampaui kekuatan mereka.
Kecuali jika mereka memang berhasrat untuk
membunuh diri. Dengan demikian maka keempat orang itu harus
menahan gejolak perasaannya betapapun sakitnya. Bukan
saja karena penghinaan terhadap guru mereka, tetapi juga
karena keadaan mereka sendiri Tetapi perasaan mereka
menjadi semakin sakit jika orang-orang Kediri mengatakan
bahwa mereka adalah korban ketamakan gurunya.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang berada didalam bilik tahanan itu pun telah
minta diri. Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan
kekerasan perasaan mereka. Namun keempat orang
bertongkat itu menyadari, bahwa meskipun demikian anakanak
muda itu akan mampu bertindak tegas terhadap
mereka. Beberapa saat kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu pun meninggalkan bilik itu. Sehingga dengan
demikian maka keempat orang bertongkat itu pun
mendapat kesempatan untuk saling berbicara di antara
mereka. Tetapi rasa-rasanya pembicaraan mereka pun terasa
hambar. Dengan nada rendah orang bertubuh kecil, saudara
tertua di antara keempat orang itu pun berkata, "Anak-anak
muda itu berhasil memancing perasaan kita terhadap guru."
"Kita memang tidak dapat berbuat lain," jawab salah
seorang di antara orang-orang bertongkat itu, "aku tidak
tahan mendengar mereka menghinakan guru."
"Mereka sengaja berbuat demikian untuk, mengikuti
perasaan kita," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Apa pun alasannya, tetapi apakah kita akan sampai
hati mendengar, bahwa kesalahan ini ditimpakan
seluruhnya kepada guru kita" Sementara guru kita ikut
terlibat dalam hal ini karena cintanya kepada kita?" sahut
salah seorang adik seperguruannya itu.
"Aku mengerti," berkata orang bertubuh kecil itu,
"Tetapi jika seandainya kita ingkar pada kenyataan dan
tidak membantah kata-kata pancingan itu, semata-mata
juga untuk kepentingan padepokan kita."
"Tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat mendengar
penghinaan atas guru," berkata adik seperguruannya yang
lain, "Bahkan aku bersedia mengalami apa saja di dalam
tahanan ini untuk mempertahankan nama guru."
"Jika demikian, apakah kita harus berterus terang
tentang padepokan kita yang besar itu. Tentang persiapanpersiapan
yang sudah kita lakukan, serta tentang salah
seorang di antara keluarga kita yang masih mempunyai
darah keturunan raja-raja yang besar yang kita harapkan
akan dapat merebut kekuasaan Kediri yang goyah?"
bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Memang hal itu tergantung kepada ketahanan kita
untuk tetap membungkam," jawab adik seperguruannya
yang lain, "Jika kita mengalami tekanan, maka kita harus
menahankannya. Jika sampai terloncat dari mulut kita
bahwa di padepokan kita telah terkumpul kekuatan yang
besar, maka Kediri tentu akan mengambil langkah-langkah,
terutama Pangeran Singa Narpada, sementara kekuatan di
padepokan kita belum siap. Apalagi dengan hilangnya guru
dan paman yang sebenarnya akan dapat membantu
kekuatan di padepokan kita."
"Baiklah," berkata orang bertubuh kecil itu, "kita akan
tetap bertahan, apapun yang akan kita alami."
Dengan tekad itulah, maka orang-orang bertongkat itu
akan mempertanggung jawabkan nasib mereka sendiri,
sementara orang-orang yang mereka tinggalkan telah
menunggu mereka dengan harapan didalam hati mereka.
Demikianlah, maka dengan hati yang selalu berdebardebar
mereka menunggu waktu melintas dengan lambatnya!
Ketegangan itu rasa-rasanya telah mencengkam semakin
lama semakin kuat. Dihari berikutnya, sejak matahari terbit, mereka dengan
jantung yang berdegupan telah menunggu kehadiran
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang akan bertanya seribu
macam persoalan yang harus mereka elakkan jawabnya.
Tetapi ternyata hari itu sampai lewat tengah hari Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tidak nampak datang mengunjungi


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Namun ketika mereka menganggap bahwa Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pada hari itu tidak akan datang, tiba-tiba
saja pintu bilik tahanan itu terbuka.
"Gila," orang-orang bertongkat itu mengumpat.
Mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri
di depan pintu. Namun orang-orang bertongkat itu merasa heran, bahwa
mereka melihat kedua orang anak muda itu mengenakan
pakaian lengkap dengan pedang di lambung.
"Selamat sore," berkata Mahisa Murti.
Orang-orang bertongkat itu menjawab sapa itu dengan
malesnya. Meskipun jantung mereka berdebaran, namun
mereka berusaha untuk nampak selalu tenang. Keempat
orang itu tetap duduk berpencar di dalam ruang itu.
"Maaf, bahwa kami akan mengganggu ketenangan
kalian," berkata Mahisa Murti. Lalu, "Tetapi aku minta
salah seorang di antara kalian pergi bersamaku."
Wajah-wajah itu menjadi tegang.
"Tidak apa-apa. Tetapi para pemimpin prajurit Kediri
ingin berbicara dengan salah seorang di antara kalian. Nah,
siapakah di antara kalian yang akan pergi bersama kami?"
bertanya Mahisa Pukat. Keempat orang itu saling berpandangan. Namun
akhirnya orang yang tertua di antara mereka tidak dapat
ingkar. Katanya, "Aku adalah saudara tertua di antara kami
berempat. Karena itu, jika hanya seorang saja yang harus
ikut, maka biarlah aku yang ikut bersamamu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Dengan nada datar Mahisa Pukat berkata, "Bagus.
Itu adalah satu tanggung jawab yang pantas dihargai.
Marilah, kita akan pergi sejenak."
Orang bertubuh kecil itu pun kemudian melangkah
kepintu. Namun ia masih berhenti sejenak dan berpaling ke
arah saudara-saudara seperguruannya. Rasa-rasanya ia
ingin memandang mereka sampai tuntas, seolah-olah ia
tidak akan bertemu lagi dengan adik-adik seperguruannya
itu. Sejenak kemudian, maka orang bertubuh kecil itu pun
telah melangkah pintu dan pintu itu pun tertutup kembali
dan diselarak dari luar. Namun demikian ketegangan masih tetap mencengkam
hati ketiga orang yang masih tinggal di dalam bilik itu.
Dengan cemas seorang di antara mereka bergumam, "Ke
mana ia di bawa!?" Kedua saudara seperguruannya berpaling ke arahnya.
Dengan nada dalam salah seorang di antara keduanya itu
menyamhut. "Ia tidak akan pergi terlalu lama. Seperti kata
anak-anak muda itu, bahwa para pemimpin prajurit Kediri
akan berbicara. Agaknya tidak akan terjadi sesuatu, justru
karena ia akan berbicara dengan para pemimpin."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Namun mereka sadar, bahwa saudara seperguruannya yang
mengatakan itu pun tidak yakin akan kebenaran katakatanya,
karena yang diucapkan itu adalah sekedar untuk
menenangkan hati saja. Dengan tegang ketiga orang itu menunggu saudara
seperguruannya yang tertua itu kembali. Namun sampai
saatnya seorang prajurit menyalakan lampu minyak di
dalam ruang itu, orang bertubuh kecil itu belum kembali.
"Kau tahu, ke mana saudaraku itu dibawa?" bertanya
salah seorang dari ketiga orang yang menunggu itu.
Prajurit yang menyalakan lampu minyak itu menggeleng.
Tetapi ia menjawab juga, "Aku tidak tahu ke mana ia
dibawa. Yang aku lihat adalah bahwa saudaramu itu telah
diikat di belakang seekor kuda."
"Apa?" hampir berbareng ketiga orang itu bertanya.
"Ya. Saudaramu diikat di belakang seekor kuda, harus
mengikuti kuda itu meninggalkan istana ini. Mungkin ia
akan dibawa menghadap para panglima dan Senapati,
"jawab prajurit itu.
"Gila," geram salah seorang di antara ketiga orang itu,
"Apakah kau berkata sebenarnya?"
Prajurit itu memandang orang yang bertanya itu dengan
tajamnya. Kemudian ia pun bertanya pula, "Apakah kau
kira aku berbohong" Buat apa aku membohongimu?"
Orang-orang bertongkat itu tidak bertanya lagi. Namun
jantung mereka menjadi berdentangan. Mereka tidak
mengira bahwa saudaranya itu akan diperlakukan demikian
oleh para prajurit Kediri.
"Perlakuan yang kejam," geram salah seorang di antara
mereka. Saudara-saudaranya tidak menjawab. Tetapi rasarasanya
darah mereka telah mendidih.
Karena itulah, maka hampir semalam suntuk ketiga
orang yang berada didalam bilik tahanan itu hampir tidak
dapat memejamkan matanya. Hanya sesaat sebelum
matahari terbit mereka sempat tidur sejenak.
Ketika matahari terbit, maka mereka telah kembali
dicengkam oleh kegelisahan. Mereka telah menunggu dan
menunggu. Namun pada hari itu, saudara seperguruannya
belum juga kembali kedalam bilik itu.
Dengan demikian maka ketiga orang bersaudara
seperguruan itu menjadi semakin gelisah dan tegang. Selain
semalam mereka tidak dapat tidur, maka rasa-rasanya
mereka pun tidak dapat menelan makan yang dihidangkan
bagi mereka hari itu. Makan yang dihidangkan tiga kali
dalam sehari, hampir tidak disentuhnya karena jantung
mereka yang berdebaran. Namun disore hari, prajurit yang menghidangkan makan
tidak mengambil sisa makan mereka dan membiarkan
makan itu tetap didalam bilik itu.
Ternyata ketika tengah malam saudara seperguruan
mereka belum pulang dan mereka tidak juga dapat tertidur,
makan itu telah mereka makan meskipun hanya sebagian
kecil saja. Malam itu, orang yang mereka tunggu-tunggu itu pun
belum juga kembali. Karena itu, maka ketiga orang itu pun
telah berusaha untuk tertidur barang sejenak menjelang
pagi. Namun sebelum fajar, mereka telah dikejutkan oleh
derak pintu yang terbuka. Ketika mereka membuka mata,
maka mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berdiri didepan mereka. "Dimana saudaraku itu," bertanya salah seorang di
antara mereka. Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Aku tidak tahu.
Aku telah menyerahkannya kepada para panglima dan
Senapati yang menghendaki berbicara dengan saudaramu
itu." "Apakah sekarang ia masih berada di antara para
pemimpin" Berapa pekan para pemimpin itu akan berbicara
dengan saudaraku?" bertanya yang lain.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian dilemparkannya sebuah bungkusan kepada ketiga
orang itu. Katanya, "Aku mendapat titipan dari para
Senapati itu untuk disampaikan kepada kalian."
"Apa" " ketiga orang itu menjadi cemas.
"Bukalah," berkata Mahisa Pukat.
Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian
yang tertua di antara mereka pun telah membuka
bungkusan itu. Darahnya terasa bagaikan berhenti mengalir
ketika ia melihat bahwa didalam bungkusan itu terdapat
pakaian saudara seperguruannya yang pergi itu.
Tangannya tiba-tiba telah menjadi gemetar. Wajahnya
menjadi pucat dan rasa-rasanya ia tidak mampu lagi untuk
membuka bungkusan itu lebih lanjut.
Kedua orang saudara seperguruannya menjadi tidak
sabar. Berloncatan mereka menerkam bungkusan itu.
Namun mereka pun telah menjadi pucat pula ketika mereka
melihat bahwa isi bungkusan itu adalah pakaian saudara
mereka yang tertua. "Apa artinya?" bertanya salah seorang di antara mereka
dengan suara gemetar. "Aku tidak tahu," jawab Mahisa Pukat, "aku hanya
mendapat pesan untak menyampaikan barang-barang itu
kepada kalian tanpa mengetahui isinya. Jika aku boleh
tahu, apakah isinya" "
"Ini adalah pakaian saudara kami," jawab salah seorang
di antara mereka. "Pakaian" " ulang Mahisa Pukat.
"Ya," jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sementara itu
ketiga orang yang sudah berhasil menguasai perasaannya
itu telah mencoba membuka lebih jauh lagi. Mereka mulai
membentangkan pakaian-pakaian itu.
Namun dengan demikian keringat dingin telah
membasahi seluruh tubuh mereka. Pakaian itu benar-benar
membuat mereka menjadi sangat ngeri.
Di beberapa bagian dari pakaian itu terdapat noda-noda
darah sementara dibagian yang lain terdapat lubang-lubang
karena pakaian itu telah koyak.
"Apa artinya ini Ki Sanak, apa artinya," tiba-tiba
seorang di antara ketiga orang itu berteriak semakin keras
sambil mengibas-kibaskan pakaian itu.
"Tenanglah," berkata Mahisa Murti, "Mundurlah."
"Tetapi bukankah dengan demikian berarti saudaraku
itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan" Apakah
arti dari pakaiannya yang telah terkoyak-koyak itu dan apa
pula artinya noda-noda darah pakaian itu?" bertanya salah
seorang di antara ketiga orang itu.
"Tenanglah," berkata Mahisa Murti, "kami tidak tahu
apa yang terjadi. Tetapi kami berjanji untuk menanyakan,
apakah arti dari peristiwa ini."
"Aku tidak percaya bahwa kalian berdua tidak
mengetahui apa yang terjadi. Kalian tentu telah ikut dalam
pembantaian yang kejam, yang tidak pantas dilakukan oleh
orang-orang beradap," berkata salah seorang dari ketiga
orang. "Yang menjadi tawanan di sini adalah kalian. Jika di
antara kita ada perasaan tidak percaya, maka kamilah yang
sepantasnya tidak percaya kepada keterangan kalian. Bukan
kalian yang memaksa kami untuk mengatakan apa yang
sebenarnya menurut pendapat kalian," jawab Mahisa
Pukat. "Persoalannya tidak pada tawanan atau bukan
tawanan," jawab salah seorang dari mereka bertiga, "tetapi
apakah pantas bahwa prajurit dan apalagi para Senapatinya
memperlakukan seorang tawanan seperti itu."
"Kita belum tahu pasti apa yang terjadi," berkata
Mahisa Murti, "karena itu aku berjanji untuk
mempersoalkannya besok."
"Omong kosong. Kalian datang pada saat seperti ini dan
menyerahkan kepada kami pakaian yang koyak-koyak dan
bernoda darah. Bukankah itu sudah pasti?" geram seorang
di antara ketiga orang itu.
Tetapi Mahisa Murti menjawab, "Terserahlah menurut
penilaian kalian. Tetapi aku minta diri. Aku ingin
beristirahat di sisa fajar ini meskipun barangkali hanya
sekejap saja." Ketiga orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dengan sorot mata yang membara. Namun mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak kemudian Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah keluar dari dalam bilik
itu, dan pintu pun kembali ditutup dan diselarak.
Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ketiga
orang bertongkat itu masih saja merenungi pakaian saudara
seperguruannya yang tertua itu. Mereka membayangkan
apa yang telah terjadi atasnya. Ketika saudaranya itu
dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia telah
diikat dibelakang kuda dan dipaksa untuk berjalan
mengikutinya. Kemudian, tentu sesuatu yang mengerikan telah terjadi.
Saudaranya itu telah dipaksa untuk berterus terang. Tetapi
agaknya saudara seperguruannya yang tertua itu tetap
membungkam, sehingga ia mengalami perlakuan diluar
batas perikemanusiaan. Akhirnya yang dapat mereka renungi hanyalah
pakaiannya yang koyak dan bernoda darah.
"Besok akan datang saatnya, kita masing-masing
mengalami nasib yang sama," desis salah seorang di antara
ketiga orang itu. "Apaboleh buat," geram orang yang tertua di antara
mereka bertiga. Lalu, "Kita tidak akan dapat berkhianat
terhadap perguruan kita."
"Mati dengan cara yang sangat menyakitkan hati," desis
yang lain. "Bagaimana jika kita membunuh diri saya?"
"Membunuh diri?" bertanya yang tertua, "itu bukan
perbuatan terpuji. Kita tidak boleh mengelakkan
penderitaan yang datang untuk kepentingan padepokan
kita." "Bukan membunuh diri dengan menusuk dada kita
sampai ke jantung," jawab saudaranya.
"Jadi apa maksudmu?" bertanya yang tertua di antara
mereka. "Kita melawan para penjaga sampai mati," jawab
saudara seperguruannya, "itu akan lebih baik dari mati
dalam keadaan seperti ini."
Yang tertua mengerutkan keningnya. Lalu katanya,"
belum tentu juga kita akan mati. Mungkin kita akan
mengalami keadaan yang lebih mengerikan lagi."
Kedua orang adik seperguruannya menarik nafas dalamdalam.
Namun mereka benar-benar tidak dapat menerima
keadaan itu. Karena itu, maka sejenak kemudian seorang di
antara mereka berkata, "Kami harus melarikan diri, tanpa
mempedulikan apa yang dapat terjadi atas diri kami. Mati
pun kami kehendaki."
Saudara tertua yang tertinggal di antara mereka hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang
tidak ada pilihan lain.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi adalah diluar dugaan mereka, bahwa petugas
yang mengawasi mereka telah mendengarkan dengan
cermat apa yang telah mereka bicarakan. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang berpesan, bahwa sepeninggal
mereka mungkin ketiga orang itu akan berbicara tentang
pakaian kakak seperguruannya yang baru saja mereka
berikan itu. Dengan demikian maka di antara para petugas itu
memang dengan sengaja telah menempel pada dinding bilik
itu untuk mendengarkan pembicaraan ketiga orang saudara
seperguruan yang marah itu, sehingga mereka tidak
mengekang kata-katanya. Para petugas yang mendengar percakapan itu pun segera
telah melaporkannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, sehingga keduanya tahu bahwa ketiga orang itu akan
berusaha untuk melarikan diri.
"Hal itu dilakukan dalam rangka usaha mereka
membunuh diri," berkata Mahisa Murti kepada Pangeran
Singa Narpada ketika kedua anak muda itu melaporkan
pula hal itu kepada Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya, "Kita harus berhati-hati. Kita harus dapat
menangkap mereka kembali tanpa membunuh. Karena
kematian justru mereka kehendaki. Namun sebelumnya
harus dilakukan usaha agar mereka tidak sempat melarikan
diri." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, "Jika benar
mereka keluar dari bilik itu, maka kalian akan bertempur
menghadapi dua di antara mereka. Kalian dapat mencoba
kemampuan kalian dengan ilmu yang aku wariskan kepada
kalian, sehingga akhirnya mereka akan kehilangan
kemampuan untuk bertempur tanpa membunuhnya.
Serahkan yang seorang kepadaku. Aku tidak akan banyak
mengalami kesulitan."
Demikianlah, maka para petugas yang mengawasi bilik
tawanan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Pada suatu
saat, ketiga orang itu tentu berusaha untuk melarikan diri.
Mungkin pada saat-saat para petugas memberikan makan
mereka dan mengambil sisa makanan sebelumnya. Atau
pada kesempatan lain yang tiba-tiba.
Karena itu, ketika memberikan makan kedalam bilik itu,
pengawalan telah dilakukan dengan lebih ketat. Sementara
itu yang menyerahkan tiga nampan makanan kedalam bilik
itu pun bukan petugas sebagaimana biasanya. Tetapi tiga
orang perempuan yang diminta oleh nara pengawal untuk
melakukannya. Tiga orang yang biasanya hanya bekerja di
dapur. Mula-mula ketiganya memang takut. Tetapi para
pengawal menjamin keselamatan mereka jika terjadi
sesuatu. Sebenarnya lah ketiga orang saudara seperguruan itu
mengumpat tidak habis-habisnya. Mereka sebenarnya ingin
mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan
perlawanan. Mereka dapat melumpuhkan orang yang
memberikan makan kepada mereka dan meloncat keluar.
Kemudian menghadapi para pengawal dengan tekad untuk
mati. Tetapi betapapun buasnya ketiga orang bertongkat itu,
ketika mereka melihat tiga orang perempuan memasuki
bilik itu sambil membawa nampan berisi makan bagi
mereka dengan sikap yang lugu dan kepala tunduk, hati
mereka menjadi luluh. Apalagi seorang di antara ketiga
orang perempuan itu rambutnya telah separo putih,
sementara tangannya menjadi gemetar ketika ia meletakkan
nampan itu diatas amben bambu.
"Setan orang-orang Kediri," geram orang-orang itu,
"Mereka ternyata sangat licik, pengecut dan biadab."
Ketiga orang itu gagal dengan niatnya. Tetapi bukan
berarti mati setelah bertempur dengan para pengawal.
Karena itu, maka ketiga orang itu pun sepakat untuk
memecahkan dinding kayu yang tidak begitu tebal. Mereka
merasa akan mampu melakukannya.
Karena itu, maka mereka pun telah bersepakat untuk
mencari waktu yang paling baik untuk melakukannya.
"Lewat tengah hari," berkata salah seorang di antara
mereka. Yang lain sependapat, sehingga dengan tegang mereka
telah menunggu sampai matahari lewat dari puncak langit.
Dengan melihat lubang-lubang yang ditembus cahaya
matahari di celah-celah atap dan dinding, maka mereka
dapat mengetahui bahwa tengah hari telah datang. Karena
itu, maka mereka pun telah bersiap-siap. Mereka tidak
menghiraukan lagi makan yang kemudian diberikan kepada
mereka juga oleh tiga orang perempuan yang telah
memberikan sebelumnya. Demikianlah, seperti yang mereka rencanakan, maka
ketika matahari mulai turun, ketiga orang itu benar-benar
telah berusaha memecahkan pintu bilik tawanannya.
Tidak seorang pun berusaha mencegah. Namun
demikian dinding itu pecah, maka yang berdiri di hadapan
mereka bukannya para pengawal, tetapi Pangeran Singa
Narpada sendiri, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi orang-orang bertongkat itu tidak lagi mau surut.
Mereka telah menantang ketiga orang itu meskipun tongkat
mereka sudah dirampas. "Bunuh kami," geram salah seorang dari ketiga orang
itu. "Apakah kalian memerlukan bantuan kami untuk
membunuh diri?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Pertanyaan itu memang menyakitkan hati. Tetapi salah
seorang dari ketiga orang saudara seperguruan itu
menjawab, "Apapun yang kalian katakan namun bagi kami
sebagai laki-laki tentu akan lebih baik daripada mati
sebagaimana saudara kami yang tertua. Mati dengan
pakaian yang koyak-koyak penuh noda darah. Mati karena
tingkah yang biadab dan tidak berperi kemanusiaan."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya, "Cukup Ki Sanak. Kau tidak
usah mengigau terlalu panjang. Apapun yang kalian
kehendaki, kalian adalah tawanan kami. Karena itu, maka
kamilah yang akan menentukan, apakah yang sebaiknya
kami lakukan atas kalian."
Ketiga orang tawanan itu menggeram. Namun mereka
sudah bertekad untuk mati. Karena itu, maka yang tertua
dari ketiganya berkata, "Kami akan menentukan apa yang
paling baik buat kami. Bukan kalian. Apalagi kami sudah
berada di luar bilik tahanan sehingga kami adalah orangorang
yang bebas seperti kalian."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Kalian tentu tahu pasti, bahwa akulah yang
membunuh orang yang kalian sebut dengan guru kalian itu.
Dua orang anak muda ini adalah orang-orang yang telah
membunuh orang yang kau sebut dengan Kebo Sarik itu.
Nah, apakah kalian benar-benar ingin melawan?"
"Semakin tinggi tingkat ilmu kalian, akan menjadi
semakin baik buat kami. Karena dengan demikian maka
kami akan semakin cepat kalian selesaikan dan mati,"
jawab salah seorang dari ketiga orang itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah. Marilah kita melihat, apakah kalian
akan dapat melakukan apa yang kalian inginkan itu."
Ketiga orang pun segera bersiap. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah menghadapi lawan
masing-masing. Yang tertua di antara mereka merasa
bertanggung jawab untuk memilih lawan yang terbaik,
karena itu, maka ia pun telah maju menghadapi Pangeran
Singa Narpada. Pangeran Singa Narpada menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata ketiga orang itu benar-benar
bertekad untuk mati. Sementara itu, ketiga orang itu pun masih sempat merasa
heran. Di sekitar mereka sama sekali tidak nampak seorang
prajuritpun. Apalagi sekelompok prajurit yang dapat saja
diperintahkan oleh Pangeran Singa Narpada untuk
menghancurkan mereka. Tetapi ternyata hal itu tidak
dilakukan. Dan prajurit itu sama sekali tidak nampak di
sekitar arena itu. Dengan demikian maka mereka telah berhadapan
masing-masing seorang melawan seorang.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mulai
bertempur. Yang tertua di antara mereka, yang bertempur
melawan Pangeran Singa Narpada justru merasa heran.
Rasa-rasanya ilmunya mampu mengimbangi ilmu Pangeran
Singa Narpada yang telah membunuh gurunya. Bahkan
beberapa kali Pangeran Singa Narpada telah berloncatan
surut. Apalagi ketika lawan Pangeran Singa Narpada itu
telah mempergunakan ilmunya yang melontarkan semacam
cahaya yang mampu meledakkan sasarannya meskipun
mereka tidak mempergunakan tongkatnya. Ilmunya itu
seakan-akan memancar dari telapak tangannya. Namun
agaknya memang tidak sedahsyat jika ilmunya itu
dilontarkan dengan lontaran tongkat-tongkat yang agaknya
merupakan senjata khusus mereka.
Dengan demikian maka rasa-rasanya pertempuran itu
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Beberapa kali
Pangeran Singa Narpada yang terpaksa menghindari
serangan itu berloncatan mengambil jarak.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bertempur melawan kedua orang yang lain. Keduanya
bertempur dengan garangnya justru karena keduanya tidak
mengharapkan lagi dapat hidup terus. Bagi mereka tidak
ada keinginan yang lain daripada mati saja di arena
pertempuran itu. Sebenarnyalah bahwa ketiga orang tawanan itu tubuhnya
masih dipengaruhi oleh pertempuran yang mereka lakukan
pada saat mereka mengambil pusaka dari Gedung
Perbendaharaan. Meskipun hal itu sudah terjadi beberapa
lama, namun keadaan mereka masih belum pulih
seutuhnya. Karena itu, maka kadang-kadang masih terasa
sesuatu yang agak mengganggu.
Namun mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
Mereka bertempur semakin lama semakin garang. Langkah
dan gerak mereka menjadi semakin keras.
Namun dalam keadaannya yang demikian, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat justru sedang mencoba
kemampuan ilmu mereka sendiri. Karena itu, ketika
keduanya mulai mengetrapkan ilmu mereka untuk
mengimbangi ilmu lawannya yang dilontarkan dari telapak
tangannya, maka mereka mulai meyakini akan kemampuan
mereka sendiri. Pertempuran yang meningkat semakin garang itu,
kemudian justru sebaliknya. Kemampuan ketiga orang
saudara seperguruan itu dengan cepat telah susut, dan
bahkan tenaga mereka pun rasa-rasanya tidak lagi mampu
mendukung gejolak perlawanan mereka.
"Apa yang terjadi" " mereka telah bertanya kepada diri
sendiri. Namun mereka tidak segera menemukan jawabnya.
Yang terjadi atas mereka adalah bahwa pada satu saat,
mereka seakan-akan tidak lagi mempunyai kekuatan untuk
berbuat sesuatu. Pada saat terakhir, barulah mereka sadar, bahwa mereka
berhadapan dengan ilmu yang nggegirisi. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk mencoba
kemampuan ilmunya, yang ternyata memiliki akibat yang
sangat menentukan bagi lawan-lawannya.
Dengan demikian, maka ketiga orang saudara
seperguruan itu akhirnya kehilangan semua kesempatan
untuk melakukan perlawanan, karena kekuatan mereka
bagaikan telah terhisap habis.
Ketika pada kesempatan terakhir, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat dapat mencengkam tangan lawan-lawannya
serta masih dalam lembaran ilmunya, maka kekuatan
lawannya benar-benar telah terhisap tanpa tersisa sama
sekali, sehingga untuk berdiri saja mereka sama sekali
sudah tidak mampu lagi. Karena itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melepaskan mereka, maka kedua orang itu pun telah
terjatuh di tanah. Sementara itu lawan Pangeran Singa
Narpada pun sama sekali sudah tidak berdaya untuk
berbuat sesuatu. Bahkan untuk membunuh diri sendiri pun
ia tidak akan mampu melakukannya seandainya ia
mengggenggam senjata di tangan.
Baru setelah ketiga orang itu tidak berdaya, maka
terdengar Pangeran Singa Narpada bersuit nyaring.
Sejenak kemudian, beberapa orang prajurit telah
bermunculan. Mereka dengan sigapnya berloncatan
mendekat. Namun ketika mereka melihat ketiga orang itu
sudah tidak berdaya, maka mereka pun telah menarik nafas
dalam-dalam. "Siapkah tempat yang baru bagi mereka," berkata
Pangeran Singa Narpada, "karena tempat mereka sudah
mereka pecahkan." "Baik Pangeran," jawab seorang prajurit.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata
selanjutnya, "setelah tempat itu siap, bahwa ketiga orang itu
kedalamnya. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa,
karena mereka telah kehilangan tenaga mereka sampai
tuntas." Ketiga orang itu hanya dapat mengumpat didalam hati.
Mereka benar-benar menjadi lumpuh seluruh tubuhnya.
Karena itu, ketika mereka diangkat oleh para prajurit,
mereka memang tidak mampu berbuat sesuatu.
"Dalam waktu tiga hari belum seluruh kekuatan mereka
pulih kembali," berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk,
sementara Pangeran Singa Narpada berkata, "Ternyata
kalian mendapat kesempatan untuk mencoba kemampuan
kalian." "Ya Pangeran," jawab Mahisa Murti, "kami telah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat kemurahan hati Pangeran tiada taranya. Dengan
kemampuan yang kami warisi dari Pangeran, kami akan
dapat memikul beban yang lebih berat bagi kepentingan
sesama." "Syukurlah jika hal itu kau sadari," sahut Pangeran
Singa Narpada, "mudah-mudahan Yang Maha Agung akan
selalu menerangi hati kalian."
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada telah
memberi kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk beristirahat. Dalam tiga hari mereka tidak akan
berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang lumpuh untuk
sementara itu. Baru setelah tiga hari, maka mereka baru
akan dapat berhubungan lagi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
beristirahat sebaik-baiknya. Namun pada saat-saat tertentu
mereka tentu berada didalam sanggar. Dengan atau tidak
dengan Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian maka dari hari ke hari kedua orang
anak muda itu mampu mengembangkan ilmunya meskipun
dengan langkah-langkah kecil sekalipun. Namun ternyata
bahwa keduanya tidak pernah tinggal diam.
Dalam tiga hari kedua anak muda itu tidak mengusik
tawanan mereka. Baru setelah hari keempat, pagi-pagi
benar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki
bilik tahanan yang baru itu.
"Udara lebih nyaman di sini," berkata Mahisa Pukat.
Ketiga orang bersaudara seperguruan itu masih duduk
dengan tubuh yang sangat lemah. Kekuatan mereka masih
belum pulih. Bahkan masih jauh dari utuh.
Mereka bertiga hanya memandang saja kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Tetapi mereka
tidak menjawab. Hari itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berbuat
apa-apa terhadap mereka bertiga. Mahisa Murti hanya
menanyakan tentang kekuatan mereka. Namun jawab
ketiga orang itu sama sekali tidak sedap didengar.
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat, "aku mengerti, bahwa
dalam usaha kalian membunuh diri, kalian sengaja
membuat kami marah. Tetapi kami sudah bertekad untuk
tidak akan membantu usaha kalian membunuh diri itu."
"Persetan," geram orang tertua di antara ketiga orang
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja.
Namun mereka pun segera meninggalkan tempat itu.
Ketiga orang itu mengumpat-umpat didalam hati. Tetapi
mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Dua hari berikutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak muncul sementara ketiga orang itu kekuatannya
menjadi semakin baik. Bahkan mereka seakan-akan telah
mendapatkan kembali seluruh kekuatan dan kemampuan
mereka. Baru pada hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahis
Pukat telah muncul. Sambil tersenyum mgreka memandang
ketiga orang tawanan yang sudah mampu bergerak dengan
tangkas itu. "Wajah kalian sangat memuakkan," berkata orang
tertua di antara mereka, "aku sudah jemu memandang
kalian berdiri didepan pintu itu."
"Ah jangan begitu," jawab Mahisa Murti, "Bukankah
kami tidak berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hatimu?"
"Omong kosong," geram orang tertua di antara ketiga
orang itu, "pergilah."
"Baiklah Ki Sanak. Kami akan pergi. Tetapi ketahuilah,
bahwa aku membawa perintah untuk membawa salah
seorang di antara kalian pergi bersamaku menghadap para
perwira prajurit Kediri," jawab Mahisa Pukat.
Jawaban Mahisa Pukat itu bagaikan bunyi petir yang
meledak di atas kepala mereka. Sejenak ketiga orang itu
justru bagaikan membeku. "Apakah hal itu mengejutkan kalian?" bertanya Mahisa
Pukat. "Gila," geram orang tertua di antara mereka, "jadi
kebiadaban itu masih akan terjadi lagi."
"Kebiadaban yang mana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Jangan berpura-pura," geram orang tertua di antara
mereka. Namun kemudian katanya dengan nada datar,
"Jika kalian akan membawa salah seorang di antara kami,
bawalah aku." "Ya," jawab Mahisa Pukat, "siapa pun di antara
kalian." Ketiga orang tawanan itu saling berpandangan sejenak.
Yang termuda di antara mereka berkata, "Jangan kau
kakang. Biarlah aku saja."
"Aku adalah orang tertua di sini," berkata yang tertua
itu, "adalah menjadi kewajibanku mempertanggung
jawabkan segala persoalan yang timbul atas kita."
Kedua adik seperguruannya tidak membantah. Ketika
orang tertua di antara mereka itu melangkah keluar, maka
rasa-rasanya mereka memang tidak akan bertemu lagi.
Ketika pintu kemudian tertutup dan diselarak dari luar,
maka kedua orang yang masih tinggal di dalam bilik itu pun
mengumpat. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali
menghentakkan kaki mereka sambil menggeram.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah membawa seorang di antara mereka keluar dan
meninggalkan bilik itu. Seperti yang pernah terjadi, maka kedua orang yang
berada di dalam bilik itu telah dicengkam oleh ketegangan
yang luar biasa. Sehari itu, saudara mereka seperguruan
yang tertua itu tidak kembali. Bahkan pada hari kedua.
Rasa-rasanya mereka telah menggantungkan tatapan mata
mereka ke arah pintu. Namun setiap pintu itu terbuka,
maka yang nampak adalah orang-orang yang lain.
Rasa-rasanya kedua orang itu hampir menjadi gila
menunggu. Tetapi sampai pada hari ketiga, orang yang
mereka tunggu itu tidak juga datang.
Namun ketika senja turun, maka kedua orang yang
sudah sampai pada puncak ketegangannya itu melihat pintu
terbuka. Jantung mereka bagaikan berhenti berdentang
ketika mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berdiri dimuka pintu. Tetapi kedua orang itu justru terbungkam ketika Mahisa
Murti itu malahan bertanya, "Apakah kakak
seperguruanmu itu sudah kembali?"
"Jangan berpura-pura," geram salah seorang dari kedua
orang itu, "kau tentu tahu tentang itu."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Lampu minyak
didalam bilik itu sudah dinyalakan.
"Jangan terlalu berprasangka," berkata Mahisa Murti
"Kami tidak lebih dari utusan-utusan yang menjalankan
perintah. Karena itu, maka kami tidak tahu apa yang telah
terjadi atas saudara seperguruan itu."
"Omong kosong," jawab salah seorang dari keduanya
"Nah, sekarang apa yang akan kau lakukan."
"Aku membawa kiriman bagi kalian," jawab Mahisa
Murti. Wajah kedua orang itu pun telah menjadi pucat. Karena
itu, maka seorang di antara mereka telah mendahului
menebak dengan suara parau, "Kau membawa pakaian
saudaraku?" "Aku tidak tahu, apakah isinya," jawab Mahisa Murti
sambil melemparkan sebuah bungkusan.
Darah kedua orang itu bagaikan mendidih didalam
tubuh mereka. Dalam cahaya lampu minyak mereka
langsung dapat mengenali, bahwa pembungkus dari barangbarang
yang dilemparkan oleh Mahisa Murti itu adalah ikat
kepala saudara seperguruannya.
Dengan tangan gemetar maka salah seorang di antara
mereka telah membuka bungkusan itu. Ternyata bahwa
isinya sebagaimana mereka duga, adalah pakaian saudara
seperguruan yang telah kotor, koyak-koyak dan bernoda
darah. Seorang di antara kedua orang itu pun tiba-tiba
menggeram, "Kau akan membawa aku sekarang?"
"Membawa kemana?" bertanya Mahisa Murti.
"Ke tempat pembantaian yang biadab itu," jawab orang
itu dengan tandas. Mahisa Murti tersenyum. Tetapi senyumannya itu sangat
memuakkan bagi kedua orang yang berada didalam bilik
itu. "Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "aku tidak
mendapat perintah apapun juga kecuali menyerahkan
bungkusan itu. Karena itu maka aku tidak dapat berbuat
lain." "Aku ingin mencekik lehermu," berkata orang yang
tertua itu, "aku tahu bahwa kau memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari aku. Tetapi kau tidak berhak berbuat sewenangwenang
seperti itu." "Aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya memanggil
saudara seperguruanmu dan membawa kepada para
Senapati prajurit Kediri. Sekarang aku mendapat perintah
untuk menyerahkan bungkusan itu. Aku sendiri tidak
berbuat apa-apa," jawab Mahisa Murti.
"Wajahmu bagaikan wajah iblis," geram orang yang
marah itu, "senyummu adalah senyum iblis itu pula."
"Kalian salah sangka," berkata Mahisa Pukat, "tetapi
baiklah. Agaknya kalian tidak akan dapat mempercayai
kami. Sedangkan kami tidak dapat berbuat lebih banyak
dari yang telah kami lakukan sekarang ini," Mahisa Pukat
berhenti sejenak, lalu, "baiklah kami minta diri."
"Persetan," geram kedua orang tawanan itu hampir
berbareng. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
meninggalkan tempat itu. Sementara kedua orang tawanan
yang ditinggal di dalam bilik itu pun merenungi nasib
mereka yang paling buruk.
"Akan datang saatnya, kita berdua mengalaminya,"
berkata yang tertua dari keduanya.
"Benar-benar tingkah laku iblis," geram adik
seperguruannya. "Tetapi kita tidak dapat mencegahnya."
Kakak seperguruannya mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa,
kecuali menunggu kapan datang giliran mereka dibantai
dengan cara yang sangat kejam.
Karena itu, maka dari waktu ke waktu, dari hari ke hari
keduanya selalu dicengkam oleh ketegangan. Mereka
seakan-akan tidak dapat tidur nyenyak dan tidak dapat
merasakan asinnya garam manisnya gula.
Tetapi sampai tiga ampat hari, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya,
jika pintu terbuka, maka yang nampak adalah perempuan
yang membawa makanan bagi mereka. Jika merekalah yang
keluar untuk mandi dan keperluan lain, maka beberapa
orang pengawal mengawal mereka dengan senjata
telanjang. Dihari-hari berikutnya, maka kedua orang itu hampirhampir
tidak tahan lagi. Meskipun mereka tidak
diperlakukan kasar, tetapi mereka seakan-akan telah hampir
menjadi gila. Namun pada hari keenam, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah datang pula kedalam bilik itu. Demikian
keduanya melihat wajah itu, maka tiba-tiba yang termuda di
antara keduanya telah berteriak keras-keras. Seakan-akan
yang dilihatnya adalah wajah-wajah hantu yang sangat
menakutkan. Saudaranya yang tertua telah menangkap
lengannya dan mengguncangkan sambil berdesis, "He, kau
kenapa?" Untuk beberapa saat orang itu masih berteriak. Namun
akhirnya terdengar kata-katanya mengumpat, "Anak iblis,
setan alas. Bunuh kami sekarang juga."
"Siapa yang akan membunuh?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian yang nampaknya sebagai manusia itu, namun
hatimu lebih hitam dan hati iblis yang paling terkutuk,"
berkata orang itu. "Aku tidak akan berbuat apa-apa," berkata Mahisa
Pukat. "Sudahlah. Tutup mulutmu," bentak yang tertua di
antara kedua orang itu, "kau tentu akan membawa aku.
Bawalah dan lakukanlah apa yang ingin kau lakukan
atasku." "Tidak, tidak," teriak yang muda, "akulah yang akan
pergi bersamanya. Biarlah aku yang diperlakukan dengan
biadab. Aku ingin segera mengetahui apa yang dilakukan
atas kakak-kakak seperguruanku yang terdahulu."
"Jangan," berkata yang tua, "aku lebih tua darimu.
Karena itu biarlah aku saja yang pergi. Seandainya akan
terjadi juga atasmu kelak, maka tabahkan hatimu. Kita
adalah murid-murid dari perguruan yang besar, yang tidak
akan gentar menghadapi apapun juga. Jangan tunjukkan
kelemahan hatimu agar kita tidak menodai kebesaran jiwa
perguruan kita." Adik seperguruannya itu memandang kakaknya dengan
pandangan yang tajam. Namun kemudian ia pun menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata kata-kata kakak
seperguruannya itu mampu menyentuh hatinya sehingga ia
pun telah berusaha untuk memperkuat ketahanan jiwanya
menghadapi peristiwa yang sangat menggoncangkan itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian seorang di antara
kedua orang itu telah dibawa pergi oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka orang bertongkat
yang telah kehilangan tongkatnya itu tinggal sendiri
didalam biliknya. Rasa-rasanya ia memang sudah menjadi
gila. Ingin ia berteriak keras-keras dan bahkan sekali-sekali
ia telah membenturkan kepalanya pada dinding biliknya.
Pada hari berikutnya, ketegangan benar-benar terasa
semakin memuncak didalam dadanya. Untunglah bahwa
setiap kali ia menjadi teringat kepada pesan saudara
seperguruannya. "Jangan tunjukkan kelemahan hatimu agar kita tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menodai kebesaran jiwa perguruan kita."
Dengan perpegang pada pesan itulah, orang bertongkat
yang terakhir itu ingin menunjukkan kebesaran jiwanya.
Untuk beberapa hari ia bertahan dengan ketegangan jiwa
yang memuncak. Sehingga akhirnya, muncul lagi wajahwajah
yang sangat dibencinya pada hari yang keempat.
Dengan geram orang yang tinggal satu-satunya itu telah
meloncat menyerang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang telah mempersiapkan diri, sehingga
serangan itu tidak mengenainya.
Namun ternyata orang itu tidak menyerang terus.
Bahkan ia pun kemudian telah terduduk di tanah dengan
kepala terkulai. "Masuklah," berkata Mahisa Murti.
"Aku tidak mau melihat bungkusan yang kau bawa.
Bawa pergi dan bakar saja ditempat sampah. Jangan
tunjukkan aku," geram orang itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti dengan nada datar,
"aku dapat memaklumi. Aku pun akhirnya dapat menebak
isi dari bungkusan ini. Karena itu, maka aku tidak akan
memberikan kepadamu."
"Bakar saja. Jangan kau perlihatkan kepadaku," berkata
orang itu. "Tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan
memberikan kepadamu," berkata Mahisa Murti. "Aku akan
memenuhi permintaanmu untuk membakarnya. Tetapi
masuklah ke dalam bilikmu."
"Kapan kau akan membawa aku?" bertanya orang itu.
"Aku tidak tahu," jawab Mahisa Murti, "Biarlah kau
menunggu." "Aku dapat menjadi gila. Bunuh saja aku sekarang di
sini," teriaknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian terdengar Mahisa Murti berkata,
"Silahkan masuk ke dalam bilikmu. Aku tidak mendapat
perintah untuk membawamu sekarang. Entah besok atau
lusa." "Aku tidak mau menunda-nunda kematian dengan cara
ini," berkata orang itu, "Bunuh aku. Semakin cepat semakin
baik." "Aku tidak pernah mendapat tugas untuk membunuh.
Karena itu aku tidak akan dapat melakukannya," jawab
Mahisa Murti. "Omong kosong. Kalian selalu berpura-pura, sehingga
apa yang kau katakan tidak pernah mengandung
kebenaran," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya ia berkata, "Sudahlah. Masuklah ke dalam
bilikmu." "Tidak. Bunuh saja aku," geram orang itu.
"Sudah aku katakan," jawab Mahisa Murti, "aku tidak
akan membunuhmu. Karena itu, masuklah ke dalam
bilikmu. Jika kau tidak mau masuk juga, maka kami dapat
menyeretmu seperti menyeret seekor kambing."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia mencoba
mengangkat wajahnya dan memandang wajah Mahisa
Murti, maka darahnya berdesir tajam di dalam jantungnya.
Wajah Mahisa Murti benar-benar bagaikan wajah hantu
yang siap menerkam tengkuknya dan menghisap darahnya.
Dengan demikian maka rasa-rasanya orang itu tidak
akan dapat berbuat lain kecuali menjalankan perintahnya.
Betapapun keadaannya, maka orang itu pun kemudian
beringsut bangkit dan masuk kembali ke dalam biliknya.
Namun ketika bilik itu ditutup, maka terdengar orang itu
berteriak keras-keras. Rasa-rasanya jantungnya sudah tidak
dapat lagi menampung perasaannya yang bergejolak itu.
Demikian kerasnya sehingga bilik itu rasa-rasanya telah
berguncang sehingga sambungan dan ikatan kayu-kayunya
dari tali-tali ijuk bergerak dan bergeser betapapun kecilnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih berada di
luar bilik itu tidak segera meninggalkannya. Keduanya
untuk beberapa lama masih berada di antara para penjaga di
depan bilik itu. Mereka masih harus mengamati keadaan,
jika orang itu tiba-tiba saja kehilangan kesadaran diri dan
justru mengamuk tanpa dapat dikendalikan. Dengan
ilmunya ia akan dapat berbuat berbagai macam langkahlangkah
yang tidak terduga jika ia benar-benar telah
dicengkam oleh keputus-asaan.
Tetapi ternyata ketika teriakan-teriakan itu mereda, maka
tidak terjadi sesuatu di dalam bilik itu, sehingga Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah mohon diri kepada para
penjaga. "Jika terjadi sesuatu yang mencemaskan, beri kami
isyarat. Kami akan segera datang. Bahkan mungkin
Pangeran Singa Narpada sendiri."
"Sekarang kalian akan ke mana?" bertanya salah
seorang di antara para penjaga itu.
"Aku akan beristirahat," jawab Mahisa Pukat.
Demikianlah keduanya telah meninggalkan tempat itu
dan menuju bilik mereka untuk beristirahat.
Dalam pada itu, orang bertongkat yang tinggal satusatunya
di dalam biliknya itu rasa-rasanya sudah tidak
tahan lagi menunggu. Dalam keadaan yang paling
menggelisahkan itu, kadang-kadang terdengar ia berteriak
nyaring. Benar-benar seperti orang yang sudah menjadi gila.
Di hentak-hentakkannya pintu bilik itu, sehingga para
penjaga mengawasinya setiap kejap tanpa kehilangan
kewaspadaan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
kemudian pergi ke bilik mereka sendiri itu pun masih saja
memperbincangkan orang itu.
"Bagaimana jika ia benar-benar menjadi gila?" bertanya
Mahisa Pukat. "Apakah kita harus segera bertindak" Jika ia benar-benar
menjadi gila, maka kita memang akan kehilangan
kesempatan untuk mendengar keterangannya," jawab
Mahisa Murti. "Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Baiklah kita biarkan ia semalam ini. Besok kita akan
melihat, apakah ia menjadi gila atau tidak," bertanya
Mahisa Murti. "Besok kita harus mencoba mengoreknya," desis
Mahisa Pukat. Namun demikian, keduanya masih saja selalu cemas,
"Bahwa orang bertongkat itu akan benar-benar menjadi gila
dan tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya
dengan baik." Karena itu, maka ketika malam lewat, pagi-pagi benar
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi ke bilik
tahanan itu. Dengan cemas keduanya telah membuka pintu
bilik. Namun keduanya berada dalam kesiapan tertinggi
sehingga apabila orang itu dengan tiba-tiba menyerang,
mereka dapat menempatkan diri mereka.
Namun ternyata bahwa orang itu tidak berbuat apa-apa.
Ia justru duduk saja di sudut bilik itu sambil memeluk
lulutnya. Tetapi ketika orang itu melihat wajah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja tubuhnya telah menjadi
Balada Padang Pasir 15 Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa Lauw Pang Vs Hang Ie 1
^