Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 6

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 6


penglihatannya, kedua orang tua itu adalah orang-orang
yang pernah ditemuinya. Dalam pada itu, maka Mahisa Agni lah yang menyahut,
"Aku sudah terlalu tua untuk melibatkan diri kedalam
permainan seperti ini. Tetapi karena sudah tidak ada orang
lain, maka biarlah aku melakukannya. Tetapi dengan janji,
bahwa kita akan melakukan perlahan-lahan agar nafasku
tidak terputus karenanya."
Suara tertawa guru dari orang-orang bertongkat itu
bagaikan meledak. Katanya, "Menyenangkan sekali
berhubungan dengan kalian. Ternyata kalian adalah orangorang
yang gembira dan penuh gurau betapapun peliknya
persoalan yang kalian hadapi. Nah, marilah kita mulai
dengan pemainan yang perlahan-lahan saja, sekedar untuk
menghangatkan badan di malam yang dingin ini."
Tetapi berbeda dengan gurunya, orang bertongkat yang
bertubuh kecil itu sama sekali tidak senang dengan sikap
Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, "Marilah orang
tua yang licik. Kau sudah berpura-pura ketika kau bertemu
dengan aku. Sekarang kau memancing perasaanku, agar
kau menaruh belas kasihan kepadamu. Tetapi aku mengerti,
jika belas kasihanku sudah runtuh, maka kau akan
mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan
aku." "Ah, kau terlalu berprasangka," berkata gurunya,
"layani orang itu sebagaimana kemauannya. Kalian akan
menemukan satu permainan yang mengasikkan."
Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia mencoba mengerti pesan gurunya. Tentu gurunya
mencoba menasehatinya agar ia tidak terperosok kedalam
dorongan perasaannya yang bergejolak karena sikap
lawannya. Sementara itu, maka seorang lagi diantara orang-orang
bertongkat itu berkata, "Biarlah orang tua yang seorang lagi
menjadi lawanku." "O," berkata Witantra, "Ada juga yang menghargai
aku" Marilah, mungkin kita sempat bermain-main. Mudahmudahan
aku mampu berbuat sesuatu."
Orang bertongkat itu pun kemudian menyahut, "Kita
mencari tempat yang lapang. Aku akan mempergunakan
tongkatku yang panjang."
"Silahkan. Aku kali ini juga akan mempergunakan
tongkat meskipun tidak sepanjang tongkatmu," berkata
Witantra. "Baik. Kita akan mempergunakan tongkat. Tetapi
agaknya tongkatmu adalah sekedar sebatang kayu yang kau
ketemukan di pinggir jalan. Karena itu, maka agaknya kau
memang dengan sengaja menghina aku. Kau kira bahwa
dengan tongkat semacam itu kau akan mampu melawan
tongkatku?" Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, "Tongkatku
bukan sembarang tongkat. Memang bukan tongkat sebaik
tongkatmu. Tetapi mudah-mudahan aku dapat
mengimbangi tongkatmu."
Orang bertongkat itu tidak menjawab. Beberapa langkah
mereka beringsut untuk mendapatkan tempat yang luas.
"Mudah-mudahan kita tidak diketemukan oleh peronda
yang kadang-kadang nganglang," berkata Witantra.
"Persetan," jawab lawannya, "mereka tidur seperti mati.
Kita akan mendapat waktu yang leluasa sampai menjelang
pagi." "Bagus," jawab Witantra, "Kita pergunakan kesempatan
ini sebaik-baiknya."
Keduanya pun kemudian segera mempersiapkan diri.
Sementara kedua saudara seperguruan orang bertongkat itu
tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus berhadapan
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka orang-orang itu pun telah
terlibat dalam pertempuran di belakang istana, di sebuah
halaman yang luas tanpa takut terganggu, karena pengaruh
sirep yang menebar sampai ke tempat itu.
Yang kemudian terlibat kedalam pertempuran adalah
semua orang yang ada di tempat itu. Masing-masing telah
mendapatkan lawannya. Pangeran Singa Narpada yang
bertanggung jawab atas pusaka yang ingin dimiliki oleh
orang-orang bertongkat itu harus bertempur dengan guru
dari orang-orang bertongkat itu. Orang yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra harus
bermain-main dengan dua orang di antara keempat orang
bertongkat itu. Sedangkan Mahendra harus bertempur
melawan Kebo Sarik. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mendapat lawan di antara orang-orang bertongkat itu pula.
Tetapi bukan orang bertubuh kecil yang pernah dilawannya
berdua. Yang dihadapinya adalah adik seperguruan dari
orang bertubuh kecil itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
harus bertempur dengan sangat berhati-hati. Keduanya
harus memperhitungkan kemampuan lawannya baik-baik.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat
memperhitungkan kekuatan lawannya atas dasar
pengenalan mereka terhadap ilmu orang bertubuh kecil
yang pernah mereka lawan berdua.
Namun ketika mereka telah bertempur beberapa saat
lamanya, maka terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, bahwa ternyata kemampuan kedua orang itu masih
belum pada tataran orang bertubuh kecil itu.
Meskipun demikian baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat, tidak dapat lengah. Agaknya kedua orang itu pun
telah memiliki dasar ilmu yang nggegirisi, yang mampu
melontarkan serangan sebagaimana dilakukan oleh orang
bertubuh kecil itu. Sementara itu, maka di lingkungan pertempuran yang
lain pun benturan ilmu telah menjadi semakin sengit. Yang
paling menggetarkan adalah pertempuran antara Pangeran
Singa Narpada melawan guru dari orang-orang bertongkat
itu. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi,
sehingga seolah-olah yang mereka lakukan sama sekali
diluar pengamatan kewadagan.
Yang tidak kalah sengitnya adalah pertempuran antara
Kebo Sarik dan Mahendra. Ternyata kemampuan
Mahendra telah mengejutkan Kebo Sarik. Ia mengira
bahwa selain kakak seperguruannya yang bertempur
melawan Pangeran Singa Narpada, tidak ada orang lain
yang dapat mengimbangi, ilmunya. Namun ternyata bahwa
lawannya saat itu, memiliki kemampuan diluar dugaannya
itu. Karena itu, maka kemarahan Kebo Sarik telah
menghentak-hentak di dadanya. Selapis demi selapis ia
meningkatkan kemampuannya. Namun ternyata bahwa
lawannya itu pun mampu meningkat kan kemampuannya
pula. Dengan demikian, maka pertempuran antara Kebo Sarik
dan Mahendra itu pun menjadi semakin dahsyat. Keduanya
memiliki ilmu yang tinggi.
Pada saat-saat keduanya mendekati puncak kemampuannya,
maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat.
Bahkan kemudian keduanya seakan-akan telah berubah
menjadi bayangan yang berputaran di dorong oleh angin
pusaran. Sementara itu, Mahisa Agni yang menghadapi orang
bertubuh kecil itu pun ternyata harus berhati-hati. Orang
bertongkat yang bertubuh kecil itu memiliki bekal pula
untuk bertempur dalam putaran ilmu kanuragan. Tetapi
ternyata bahwa saat itu ia telah mendapat lawan Mahisa
Agni. Seorang yang memiliki landasan ilmu yang masak.
Meskipun demikian, Mahisa Agni yang sudah menjadi
terlalu tua itu, tidak ingin menyakiti hati lawannya. Ia tidak
menunjukkan dengan serta merta kelebihannya, meskipun
ia sadar, bahwa tenaga wadagnya tidak lagi utuh
sebagaimana saat ia berumur sebaya lawannya itu.
Tetapi tingkat ilmu Mahisa Agani dan orang bertubuh
kecil itu memang terpaut beberapa lapis yang cukup tebal.
Sehingga apabila Mahisa Agni menghendaki, maka ia akan
dengan cepat menyudahi pertempuran itu.
Yang terjadi sebagaimana Mahisa Agni adalah Witantra
yang bertempur melawan adik seperguruan orang bertubuh
kecil itu. Meskipun Witantra tidak mau mengabaikan
lawannya sehingga ia berbuat satu kesalahan yang dapat
menjeratnya, namun selisih ilmu yang cukup banyak
membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung.
Bahkan Witantra masih juga sempat sekali-sekali
memperhatikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
bertempur melawan dua orang saudara seperguruan orang
bertubuh kecil itu. Ternyata bahwa dasar ilmu puncak
Mahisa Murti dan Mahisa Bungalan tidak perlu mereka
pergunakan untuk mengatasi serangan-serangan lawannya
yang garang. Namun pada suatu saat, ternyata Mahisa Murti
dikejutkan oleh serangan lawannya sebagaimana pernah
dilakukan oleh orang bertubuh kecil itu. Ketika orang itu
mendapat kesempaian, maka ia lelah mengacungkan
tongkatnya. Dan dari ujung tongkat itu telah meluncur
cahaya yang silau. Mahisa Murti sempat meloncat. Dengan demikian maka
cahaya itu tidak sempat menyentuhnya. Ketika cahaya itu
mengenai tanah di belakang Mahisa Murti semula berpijak,
maka telah terjadi ledakan. Tetapi ledakan itu tidak
mengejutkan dan tidak sedahsyat ledakan pada saat Mahisa
Murti melawan orang bertubuh kecil itu.
"Ilmunya belum terlalu mapan," berkata Mahisa Murti
di dalam hatinya. Meskipun demikian Mahisa Murti sadar,
bahwa jika serangan itu mengenainya, maka ia akan
mengalami nasib yang buruk. Kulitnya tentu akan
terkelupas se bagaimana jika kulitnya tersentuh api.
Karena itu, maka Mahisa Murti itu pun harus selalu
berhati-hati menghadapinya.
Sebagaimana terjadi pada Mahisa Murti, maka telah
terjadi pula pada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat juga
merasakan bahwa tingkat ilmu lawannya masih berada
dibawah ilmu orang bertubuh kecil yang pernah bertempur
melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berdua.
Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat merasa
bahwa jika ia tidak melakukan kesalahan, maka ia sendiri
akan mampu mengimbangi lawannya itu.
Dengan hati-hati maka Mahisa Pukat telah
meningkatkan serangan-serangannya. Tetapi Mahisa Pukat
masih membatasi diri untuk tidak mempergunakan ilmu
puncaknya yang memiliki daya penghancur yang sangat
besar. Dalam keadaan terdesak, maka lawannya itu pun tidak
dapat berbuat lain kecuali melepaskan kemampuannya yang
jarang dimiliki oleh orang lain.
Dengan demikian maka sejenak kemudian tongkat lawan
Mahisa Pukat itu pun mulai teracung. Sebagaimana lawan
Mahisa Murti maka serangan-serangan yang meluncur dari
ujung tongkat itu telah menyambar-nyambar.
Namun juga seperti Mahisa Murti, Mahisa Pukat masih
selalu mampu menghindarinya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa membalas
serangan-serangan itu dengan paser-paser kecilnya. Tetapi
ia masih mencoba melawan serangan-serangan itu dengan
kecepatan geraknya. Karena itulah maka setiap kali Mahisa Pukat berusaha
untuk bertempur pada jarak yang dekat. Dengan demikian
maka lawannya tidak sempat mengacungkan tongkatnya
untuk melontarkan serangannya yang berbahaya itu. Setiap
kali tongkatnya siap teracu, maka Mahisa Pukat dengan
cepat menyerangnya sehingga lawannya itu harus
menghindar atau menangkis serangan itu sebelum ujung
tongkatnya sempat tepat mengarah kesasaran.
Ternyata Mahisa Pukat berhasil mengacaukan
pemusatan serangan-serangan lawannya. Dengan demikian
maka lawannya harus bekerja keras untuk mengimbangi
kecepatan gerak Mahisa Pukat.
Mahisa Agni masih juga bertempur melawan orang
bertubuh kecil, saudara seperguruan tertua diantara orangorang
bertongkat itu. Namun orang itu tidak banyak dapat
berbuat meskipun lawannya adalah orang yang sudah
terlalu tua untuk turun kemedan.
Mahisa Agni ternyata berusaha untuk menyesuaikan diri
dengan keadaannya. Jika lawannya melepaskan serangan
dengan ujung tongkatnya, maka seolah-olah tidak nampak
oleh lawannya, kapan ia bergerak. Namun cahaya yang
meluncur dari ujung tongkat itu sama sekali tidak
mengenainya Orang kedua di antara orang-orang
bertongkat itu pun sama sekali tidak berdaya menghadapi
Witantra. Tetapi seperti Mahisa Agni, Witantra
memberinya kesempatan untuk bermain-main.
Yang sungguh-sungguh bertempur dengan sengitnya
adalah Mahendra dengan Kebo Sarik disamping Pangeran
Singa Narpada melawan guru dari orang-orang bertongkat
itu. Ternyata Kebo Sarik benar-benar seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi. Kekuatannya melampaui
dugaan. Tenaga cadangannya ternyata sangat mengejutkan.
Namun Mahendra mampu berloncatan tidak kalah
cepatnya. Dengan tangkas ia mampu menghindari setiap
serangan. Bahkan pada saat-saat tertentu serangannyalah
yang mengejutkan Kebo Sarik.
Semakin lama keduanya telah terlibat kedalam
pertempuran yang semakin sengit. Keduanya berloncatan
sambar menyambar. Mehendra yang meskipun sudah
terhitung tua, tetapi ia adalah saudara seperguruan Witantra
yang paling muda, masih memiliki gejolak yang bergelora
di dalam dadanya. Karena ilulah, maka perlahan-lahan
kemarahannya mulai terungkit ketika serangan lawannya
mulai menyentuhnya. Meskipun demikian Mahendra tidak pernah memandang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya dengan perasaannya yang buram. Meskipun ia
mulai menjadi marah, tetapi ia masih tetap berusaha
menguasai perasaannya, agar ia tidak terseret kedalam
langkah-langkah yang tidak wajar.
Pada saat-saat berikutnya, keduanya benar-benar
bagaikan terlibat kedalam putaran angin pusaran. Semakin
lama menjadi semakin cepat, sehingga pertempuran itu
tidak lagi nampak ujudnya.
Namun Mahendra yang memiliki landasan ilmu yang
mapan sama sekali tidak merasa kebingungan. Apapun
yang dilakukan oleh lawannya, tidak terlepas dari
pengamatannya, sehingga karena itu, maka ia pun selalu
mampu mengimbanginya. Ketika Kebo Sarik dengan kemampuan ilmunya
menyambar Mahendra dengan ayunan tangan mendatar,
maka dengan loncatan kecil Mahendra tergeser surut.
Tetapi tiba-tiba saja tubuhnya berputar dengan kaki
mendatar menyambar lambung lawannya. Namun Kebo
Sarik pun dengan sigapnya melenting selangkah surut.
Bahkan tiba-tiba saja sambil merebahkan dirinya, kakinya
telah menyambar kaki Mahendra yang menjadi tumpuan
putarannya. Mehendra terkejut. Namun kemampuannya yang tinggi,
membuatnya tidak terjebak dalam kesulitan. Ia justru
menjatuhkan diri dan berguling sekali. Bahkan kemudian ia
pun telah melenting berdiri mendahului Kebo Sarik yang
juga bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, hampir saja
tangan Mahendra menyambar kening.
Tetapi Kebo Sarik yang merasa memiliki kekuatan yang
sangat besar memang dengan sengaja tidak
menghindarinya. Ia ingin membentur langsung kekuatan
Mahendra. Karena itu, Kebo Sarik telah menangkis
serangan itu. Satu benturan yang keras telah terjadi. Kebo Sarik
mengharap bahwa benturan itu akan mengecilkan hati
Mahendra yang akan dapat mengukur kekuatannya.
Tetapi ternyata Kebo Sarik telah salah menilai.
Mahendra tidak menyeringai, menahan sakit. Tetapi pada
benturan itu justru Kebo Sarik merasa betapa besarnya
tenaga Mahendra. Dengan demikian bukan Mahendra yang menjadi
berkecil hati, tetapi justru Kebo Sarik lah yang menjadi
marah. Ia merasa bahwa kekuatannya adalah kekuatan
yang tidak ada bandingannya. Ternyata bahwa seseorang
telah mampu mengimbanginya.
Dengan demikian maka Kebo Sarik itu pun telah
mengerahkan kemampuan dan ilmunya untuk dapat
menghancurkan Mahendra. Tetapi usahanya tidak segera
dapat berhasil. Bahkan sekali-sekali ialah yang telah
terdesak karena kecepatan gerak Mahendra.
Dalam pada itu, Mahisa Murti telah mendesak lawannya
pula. Meskipun lawannya mampu juga melepaskan
ilmunya, tetapi kekuatan ilmu itu masih belum mapan.
Mahisa Murti masih mampu menghindari setiap serangan
dan bahkan mempunyai kesempatan untuk menyerang
kembali. Ketika Mahisa Murti semakin mendesaknya, maka
kesempatannya untuk melepaskan serangan ilmunya itu
pun menjadi sempit. Meskipun demikian Mahisa Murti
tidak menjadi lengah. Bagaimanapun juga jika serangan itu
mengenainya, maka ia akan mengalami luka-luka yang
dapat membahayakannya, karena selanjutnya, lawannya
tentu akan mempergunakan kesempatan untuk
menyerangnya terus. Keadaan Mahisa Pukat pun berangsur semakin baik
pula. Mahisa Pukat menekan lawannya semakin berat.
Serangan-serangannya datang membadai. Sekali-sekali
Mahisa Pukat memang harus berloncatan menghindar.
Namun kemudian serangannya datang lagi bergulunggulung
sehingga sulit untuk dibendung.
Ketika lawannya melepaskan ilmunya mengarah ke
dadanya, maka Mahisa Pukat pun sempat meloncat
kesamping. Tetapi lawannya tidak membiarkannya.
Demikian Mahisa Pukat tegak, maka sekali lagi serangan
itu menyambarnya, sehingga Mahisa Pukat harus meloncat
menghindar. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat melenting dan
berputar sekali di udara. Ketika ia melekatkan kakinya di
tanah, maka ia berada selangkah disamping lawannya.
Demikian lawannya mengayunkan tongkatnya mendatar
setinggi lambung, Mahisa Pukat telah menjatuhkan dirinya,
sekaligus menjulurkan kakinya ke arah lutut lawannya.
Lawannya tidak sempat mengelak. Juga tidak sempat
menangkis. Hal itu terjadi demikian cepatnya, sehingga
karena lututnya yang dikenai serangan lawannya, maka
orang itu bagaikan dihentakkan kesamping.
Untunglah bahwa orang itu pun memiliki kemampuan
yang cukup tinggi. Ketika ia jatuh menyamping maka ia
masih mampu berputar sehingga tubuhnya tidak terbanting
sebagaimana sebatang pisang yang roboh. Namun tubuh itu
pun terguling beberapa kali sebelum kemudian melenting
berdiri. Namun demikian ia berdiri, maka tongkatnya pun telah
mengarah ke tubuh lawannya dan ilmunya telah
menyambar ke arah lawannya yang sudah siap pula
menunggu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak terkejut lagi
atas serangan itu. Dengan sigapnya ia telah bergeser
menghindarinya dengan cepat. Bahkan dengan satu
loncatan yang panjang justru mendekati tubuh lawannya.
Ketika lawannya berusaha bergeser, maka ketegangan
telah mencengkamnya. Ternyata ia baru merasa bahwa
lututnya yang dikenai serangan Mahisa Pukat itu terasa
sakit. Perasaan sakit itu benar-benar telah mengganggunya.
Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali menahan rasa
sakit itu. Apalagi serangan Mahisa Pukat pun telah datang
membadai. Dengan demikian maka Mahisa Pukat lah orang yang
pertama-tama menguasai lawannya di antara mereka yang
tengah bertempur itu. Dengan lutut yang sakit, maka
lawannya tidak lagi dapat sepenuhnya mengerahkan
kemampuannya. Setiap kali ia berusaha untuk meloncat
menjauh. Jika ia mendapat kesempatan mengambil jarak,
maka ia dapat menyerang dengan ujung tongkatnya yang
melepaskan semacam cahaya yang mampu mengelupas
kulit. Saudara-saudara seperguruannya pun melihat keadaan
itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Apalagi mereka
yang bertempur melawan Mahisa Agni dan Witantra.
Sedangkan yang bertempur melawan Mahisa Murti pun
telah merasa bahwa ia menjadi semakin terdesak.
Yang masih bertempur dalam keadaan yang sebenarnya
seimbang adalah Pangeran Singa Narpada dengan guru dari
keempat orang bertongkat itu. Namun demikian, keadaan
murid-muridnya sebenarnyalah telah mengganggu
ketenangan pemusatan nalar budi orang itu. Ketajaman
penglihatannya telah mengatakan kepadanya, bahwa tidak
seorang dari keempat muridnya yang mampu mengatasi
ilmu lawannya. Meskipun muridnya yang tertua, yang
bertubuh kecil itu nampaknya seimbang dengan lawannya,
namun gurunya itu mengerti, bahwa sebenarnya lawan
muridnya itu hanya sekedar bergurau saja sebagaimana
kata-kata dan tingkah lakunya sebelum pertempuran itu
benar-benar dimulai. Demikian pula muridnya yang kedua. Witantra tidak
dengan sungguh-sungguh berusaha mengalahkan lawannya
itu dengan cepat. Dibiarkannya lawannya mengerahkan
segenap kemampuannya sehingga pada saatnya ia menjadi
kelelahan. Sementara itu, kedua muridnya yang lain, yang
bertempur dengan anak-anak yang masih terlalu muda itu,
ternyata tidak juga mampu mengimbanginya.
Dengan demikian maka disamping lawannya yang
memang berilmu tinggi, seorang Pangeran yang seakanakan
menjadi lambang kekuatan Kediri, maka orang itu
pun telah menggelisahkan keadaan keempat muridnya pula.
Bahkan ketika ia sempat serba sedikit memperhatikan Kebo
Sarik, maka adik seperguruannya itu pun agaknya
menghadapi lawan yang sangat berat pula. Bahkan sekalisekali
Kebo Sarik itu telah mulai terdesak.
Dengan demikian maka Kebo Sarik itu pun harus
berjuang dengan segenap kemampuannya melawan
Mahendra. Dikerahkannya segenap ilmunya, namun
ternyata bahwa kemampuan Mahendra memang berada di
atas kemampuannya. Karena itulah, maka akhirnya Kebo Sarik berusaha
untuk mengatasi kesulitannya dengan senjata andalannya.
Ternyata Kebo Sarik tidak mempergunakan kemampuan
ilmu sebagaimana dimiliki oleh perguruannya yang sudah
diwarisi oleh orang-orang bertongkat itu. Ia sadar bahwa
lawannya tentu mempunyai cara untuk melawannya.
Karena itu, maka ia pun telah mempergunakan
senjatanya yang khusus. Bahkan senjata kebanyakan
sebagaimana dipergunakan dalam pertempuran, tetapi
Kebo Sarik mempunyai senjata-senjata yang aneh.
Dalam keadaan yang paling sulit, maka tiba-tiba saja
Kebo Sarik telah mengambil sesuatu dari kantong yang
tergantung didalamnya. Satu di antara senjata-senjatanya
yang tersimpan di dalam kantung itu.
Dengan cepatnya Kebo Sarik telah melontarkan sesuatu
ke arah Mahendra. Untunglah Mahendra cepat menanggapi
keadaan. Karena itu, maka ia pun dengan tangkas
mengelak. Tetapi senjata Kebo Sarik itu seolah-olah mampu
menggeliat dan berbelok arah.
Mahendra harus meloncat sekali lagi dengan tergesagesa.
Untunglah bahwa ia memiliki kemampuan bergerak
cepat, sehingga senjata itu tidak menyentuhnya.
Ketika senjata itu jatuh di tanah, maka sadarlah
Mahendra, bahwa yang dilontarkan itu adalah seekor ular.
Mahendra tidak sempat merenungi senjata yang aneh itu,
karena ular itu seakan-akan tahu apa yang harus
dilakukannya. Ular itu sempat meluncur dengan cepat ke
arah Mahendra. "Gila," geram Mahendra, "senjata-senjata yang aneh itu
memerlukan perlakuan khusus."
Sebenarnyalah bahwa Mahendra memang harus
melawan ular itu dengan cara yang khusus. Selain dengan
kecepatan geraknya, maka ia harus berusaha untuk dapat
membunuh ular itu. Sementara Mahendra harus
memperhatikan ular yang tidak juga merayap pergi, maka
Kebo Sarik pun telah menyerangnya pula dengan garang.
"Kau mempunyai cara yang aneh dalam perkelahian
seperti ini," berkata Mahendra.
"Kau akan mati dipatuk ular-ularku dengan racunnya
yang paling ganas. Kau tidak akan dapat menghindarinya,"
berkata Kebo Sarik. Mahendra tidak menjawab. Ia harus menghindari
serangan-serangan Kebo Sarik dan sekaligus menghindari
patukan ular yang masih saja berada di arena itu dan
menelusur ke mana saja ia bergeser.
Ternyata kecepatan gerak Mahendra masih mampu
melawan serangan yang datang dari Kebo Sarik dan
ularnya yang terlatih baik. Namun ketika Kebo Sarik
melepaskan ular masih saja berada di arena itu dan ularnya
yang lain, maka Mahendra pun telah menjadi kesulitan.
Dalam pada itu, yang terjadi dengan Mahendra itu tidak
terlepas dari pengamatan kedua anak-anaknya. Karena itu,
maka tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, "Apa yang
terjadi ayah. Nampaknya ayah menghadapi cara yang
licik." "Ular," jawab Mahendra.
"O," desis Mahisa Murti, "serahkan kepadaku."
"Aku ikut," berkata Mahisa Pukat pula.
Mahendra tidak menjawab. Sejenak ia berloncatan
sambil berpikir. Ia tahu, bahwa kedua anaknya itu dapat
membebaskan diri dari racun ular dan bisa yang betapapun
tajamnya. Tetapi Mahendra masih juga harus berpikir, apakah
kedua anak-anaknya itu akan mampu menghadapi ilmu
Kebo Sarik. Namun Mahendra pun kemudian mempercayakannya,
kepada ilmu yang telah diwariskannya. Dalam keadaan
yang sulit, maka kedua anaknya akan dapat melepaskan
ilmu pamungkasnya. Mungkin Kebo Sarik juga mempunyai
tingkat kemampuan yang akan dapat melawan ilmu itu,
tetapi anaknya berdua tentu memiliki paduan kekuatan
yang luar biasa. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian memilih
untuk memberikan kesempatan kepada kedua anaknya
untuk menguji kemampuannya daripada mengambil alih
penangkal racunnya, atau sampai pada puncak ilmu Bajra
Geni dalam bentuk yang lunak.
Dengan demikian maka Mahendra pun kemudian
berkata, "Baiklah. Cobalah kemampuan kalian menghadapi
orang ini. Orang ini memiliki ilmu yang tinggi. Mungkin
kalian akan dapat menghadapinya berdua."
"Bagaimana dengan lawan-lawan kami?" bertanya
Mahisa Murti. "Lepaskan mereka," jawab Mahendra, "tetapi jika
kalian mengalami kesulitan atas Kerbau Gila ini, serahkan
kembali kepadaku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
melepaskan lawan mereka kedua orang bertongkat. Mereka
mula-mula berusaha untuk menahan kedua anak muda itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menggiring lawan-lawannya mendekati arena perkelahian
antara Mahendra dan Kebo Sarik.
Kemudian dengan cepat Mahendra meninggalkan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya dan arena yang ditelusuri oleh beberapa ekor ular
yang ganas itu. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dengan cepat mamasukinya.
"Gila," geram Kebo Sarik, "kalian tentu mempunyai
panangkal racun." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun keduanya telah mulai menyerang Kebo Sarik itu
dengan garangnya. Pertempuran antara kedua orang anak muda melawan
Kebo Sarik itu ternyata mempunyai warna yang lain dari
sebelumnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menghiraukan ular-ular yang menjalar di bawah kaki
mereka. Jika ular itu menggigit, maka Mahisa Murti atau
Mahisa Pukat hanya mengibaskannya. Atau mungkin
memijit kepala ular itu sehingga diremukkannya.
Dengan demikian maka senjata ular yang berbisa itu
tidak mampu melindungi Kebo Sarik dari lawannya yang
bergerak sangat cepat dan tangkas.
Tetapi Kebo Sarik tidak tertarik untuk mempergunakan
ular-ularnya melawan kedua orang anak muda itu. Namun
demikian ia sempat menggeram, "Pengecut. Kenapa orang
itu lari?" "Tidak," jawab Mahisa Murti, "ia tidak lari. Ia hanya
ingin memberikan kesempatan kepada kami berdua."
"Omong kosong," jawab Kebo Sarik, "orang itu tidak
dapat melawan ular-ularku."
"O," Mahisa Murti menjawab sambil menyerang, "kau
salah mengartikan langkahnya. Ia memang tidak dapat
melawan ular-ularmu dengan cara yang wajar sebagaimana
dilalukannya. Tetapi ia masih belum ingin melepaskan
ilmunya yang tertinggi."
"Jika demikian maka ia tentu tidak akan melarikan
diri," berkata Kebo Sarik.
Mahisa Pukat tidak berkata apapun juga. Tetapi
serangannya datang membadai.
Namun Kebo Sarik memang memiliki kemampuan yang
luar biasa. Itulah sebabnya, maka kedua anak muda itu
harus mengerahkan segenap kemampuannya.
Namu ternyata bahwa gabungan kekuatan dan ilmu
Mahisa Murti dan mahisa Pukat mampu juga
menggetarkan pertahanan Kebo Sarik.
Sementara itu, Mahendra sendiri tidak mengalami
banyak kesukaran mengatasi kedua lawannya yang semula
bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Meskipun kadang-kadang ia harus berloncatan menghindari
serangan-serangan mereka yang seolah-olah meluncur dari
ujung tongkatnya, namun yang terjadi sama sekali tidak
membahayakan. Namun dalam pada itu, seorang diantara orang-orang
bertongkat itu bertanya kepadanya, "Kenapa kau lari he?"
"O," Mahendra menarik serangannya, justru karena
pertanyaan itu, "Baiklah kau mendengar jawabnya sebelum
kau kehilangan kesadaranmu."
"Persetan," geram orang bertongkat itu, "kau terlalu
menghina." "Maaf. Tetapi dengarlah. Aku tidak lari. Tetapi aku
memang menghindarkan diri dari ular-ularnya agar aku
tidak terpaksa melepaskan sesuatu yang tidak perlu, justru
karena ada kedua orang anak muda itu," jawabnya.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan," jawab
orang bertongkat itu, sementara Mahendra harus
menghindari serangan lawannya yang seorang lagi.
"O," desis Mahendra, "jadi kau tidak juga mengerti"
Baiklah. Aku akan menundjukkan serba sedikit, bahwa kau
tidak akan dapat menundukkan lagi bahwa aku melarikan
diri dari ular-ular itu."
Lawannya tidak menjawab. Tetapi kedua orang
bertongkat itu telah menyerang bersama-sama.
Semakin lama serangan itu datang semakin cepat,
sementara Mahendra tidak lagi terlalu banyak menyerang.
Hanya pada saat ilmu lawannya menyambarnya ia bergerak
menghindar. Kedua lawannya mula-mula menjadi heran, bahwa
orang tua itu tidak lagi terasa garang. Karena itu, maka
justru keduanyalah yang telah menyerang Mahendra
semakin berani. Tetapi beberapa saai kemudian keduanya merasa sesuatu
yang lain. Semakin sering mereka menyerang, maka rasarasanya
sesuatu telah menyesakkan dada mereka. Bahkan
mereka merasa seakan-akan mereka telah memasuki
lingkaran panasnya api. Semakin lama semakin menyengat
tubuh mereka. Dengan demikian, maka keduanya telah bergeser
menjauh. Keduanya tidak lagi dapat mendekati Mahendra.
Setiap Mahendra bergeser, maka mereka pun harus bergeser
pula. Bahkan jika mereka melontarkan serangan lewat
ujung tombak mereka, maka cahaya yang meluncur dari
ujung tongkat itu seakan-akan telah pecah ketika cahaya itu
memasuki lingkaran tertentu di seputar Mahendra.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat
kemudian udara panas itu bagaikan telah terhembus oleh
angin dan hanyut tidak tentu arah.
Kedua orang bertongkat itu termangu-mangu karenanya.
Sementara itu Mahendra pun tersenyum. Katanya, "Nah,
bukankah aku tidak seharusnya takut menghadapi ular-ular
itu. Panas udara akan mengusir mereka dan tidak akan
dapat menggigitku." Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian
seorang diantara mereka bertanya, "Kenapa kau
menghindari paman Kebo Sarik."
Mahendra meloncat selangkah surut. Sambil tertawa ia
berkata, "Ada dua alasan. Pertama aku ingin mencoba
kemampuan kedua anah-anak itu. Kemudian, aku masih
belum merasa perlu untuk mempergunakan ilmuku."
Kedua orang bertongkat itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian keduanya telah menyerang bersamasama
dengan garangnya. Tetapi serangan-serangan itu tidak
banyak menyulitkan Mahendra.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk
mengatasi kemampuan ilmu Kebo Sarik. Kedua anak muda
itu pernah bertempur melawan orang bertongkat yang
bertubuh kecil dan mengatasi ilmunya. Namun ternyata
Kebo Sarik memiliki kelebihan.
Meskipun demikian kedua anak muda itu sama sekali
tidak menjadi gentar. Mereka memiliki bekal yang cukup
untuk menghadapi raksasa dalam olah kanuragan itu.
Keduanya memiliki kecepatan gerak sehingga berganti-ganti
mereka menyerang dan menghindar.
Kebo Sarik yang menjadi semakin marah itu pun
memutuskan untuk melawan kedua orang anak muda itu
dengan ilmu yang diwarisinya dari perguruannya. Ilmu
sebagaimana pernah ditunjukkan oleh orang bertongkat
yang bertubuh kecil itu. "Ular-ularku tidak berdaya atas kedua anak muda ini,"
berkata Kebo Sarik di dalam hatinya, "karena itu, maka
harus aku pergunakan cara yang lain."
Sejenak kemudian, maka Kebo Sarik itu pun telah
mengetrapkan ilmunya. Karena ia tidak membawa tongkat
panjang, maka ia pun telah mempergunakan caranya
sendiri untuk melepaskan kekuatan yang bagaikan
meluncurnya cahaya yang menyilaukan itu.
Pada saat-saat kedua anak muda itu menyerang bagaikan
angin pusaran, maka Kebo Sarik itu telah mengacungkan
ujung jarinya ke arah Mahisa Murti.
Untunglah bahwa Mahisa Murti cepat menanggapi
keadaan. Ia segera mengerti bahwa dengan mengacungkan
ujung jarinya ke arahnya, maka orang ku tentu akan
menyerangnya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun dengan cepat telah
meloncat menghindari arah ujung jari itu, sehingga dengan
demikian maka ketika serangan Kebo Sarik meluncur, maka
serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun sebongkah
batu yang tersentuhnya, telah pecah bagaikan meledak.
"Luar biasa," desis Mahisa Murti, "agaknya kekuatan
ilmu itu melampaui ilmu orang bertubuh kecil itu."
Namun Mahisa Murti tidak sempat berlama-lama
mengagumi kemampuan lawannya, karena serangan
berikutnya segera menyusul.
Tetapi Kebo Sarik tidak sempat melontarkan serangan
berikutnya, karena Mahisa Pukat telah menyerangnya
dengan cepat dan tangkas.
Kebo Sarik terpaksa harus menghindari serangan itu.
Karena itu maka Mahisa Murti mendapat kesempatan
uniuk memperbaiki keadaannya. Mahisa Pukat yang tidak
mengenal lawannya itu pun dengan cepat telah berputar
dan serangannya datang sekali lagi mengarah ke lambung.
Namun serangan itu pun tidak mengenainya. Bahkan
Kebo Sarik yang bergeser masih sempat mengangkat jarinya
dan menunjuk ke arah Mahisa Pukat.
Seperti Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun segera
meloncat dan berguling sekali untuk menghindarkan diri.
Sementara itu, Kebo Sarik yang gagal mengenai
serangannya telah siap untuk menyerang kembali. Tetapi
Mahisa Murti yang telah bersiap, mulai menyerang pula.
Kebo Sariklah yang kemudian meloncat menghindar.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi
semakin sengit. Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin cepat. Tetapi mereka pun akhirnya
menjadi kesulitan melawan serangan-serangan Kebo Sarik
yang semakin cepat dan terarah.
Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mempergunakan senjata mereka yang
telah berhasil mengalahkan orang bertubuh kecil itu.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat itu pun
kemudian telah mempergunakan paser-paser kecil mereka.
Untuk mengurangi serangan lawannya, maka keduanya
telah melontarkan serangan-serangan dari jarak tertentu
sebagaimana dilakukan oleh Kebo Sarik.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menjadi
berdebar-debar ketika mereka melihat Kebo Sarik tertawa.
Katanya, "Aku adalah orang yang terbiasa bermain-main
dengan ular. Kalian tentu mengerti, bahwa aku tentu yakin
akan diriku sendiri bahwa bisa ular dan bahkan segala
macam racun itu tidak akan dapat membunuhku. Nah,
bukahkah senjata-senjata kecilmu itu tentu beracun?"
"Gila," geram Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Murti berkata, "Baiklah. Katakan bahwa
kau tidak lagi dapat dibunuh dengan racun, karena kau
kebal racun. Tetapi paser-paserku ini jika mengenai bagianbagian
tubuhmu yang lemah, meskipun racunnya tidak
berpengaruh, tetapi ada pengaruh yang lain."
"Apa artinya jarum-jarum kecil itu jika bukan karena
racunnya?" bertanya Kebo Sarik.
"Kami adalah pembidik-pembidik yang baik. Kami
tentu akan dapat membidik ke arah mata atau telinga atau
bagian-bagian tubuh yang lain yang lemah. Bahkan
seandainya jarum-jarum kami mengenai bagian-bagian
tubuhmu yang lain pun tentu akan berpengaruh, karena
jarumku akan menusuk sampai ketulang," berkata Mahisa
Pukat. Kebo Sarik tidak menjawab. Beberapa kali ia harus
berloncatan menghindar. Desing paser-paser kecil itu
memang menunjukkan kepadanya, bahwa paser-paser itu
dilontarkan dengan kuatnya yang sangat besar. Karena itu,
maka jika paser itu benar-benar mengenai matanya atau
telinganya, bahkan bagian-bagian tubuhnya yang lain,
meskipun bukan karena racunnya. Namun tusukan jarum
benar-benar akan menembus sampai ketulang.
Karena itu, maka Kebo Sarik selalu berusaha untuk
menghindar. Namun sementara itu, sekali-sekali serangan
Kebo Sarik pun masih juga menyambar-nyambar.
Mahendra sekali-sekali sempat memperhatikan kedua
anaknya. Ternyata bahwa ia masih dapat menahan diri
untuk tidak merasa sangat cemas.
Sementara itu, maka Mahisa Agni dan Witantra agaknya
sudah mulai jemu dengan permainan itu. Orang-orang tua
itu memang sudah tidak mempunyai kemauan sebagaimana
mereka masih muda untuk bermain-main di medan. Pada
masa-masa muda mereka akan membiarkan lawan-lawan
mereka kehabisan nafas dan kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu meskipun akan memerlukan waktu yang
cukup lama. Tetapi ketika umur mereka menjadi semakin tua, maka
rasa-rasanya tidak pantas lagi mempermainkan lawan dan
membiarkan mereka terkapar karena kehabisan tenaga.
Karena itu, maka baik Mahisa Agni maupun Witantra
berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran itu.
Bagi keduanya sama sekali bukan merupakan sesuatu
yang sulit untuk dilakukan. Ketika keduanya memang
menghendaki, maka dengan cepat mereka pun telah
berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Meskipun lawanlawan
mereka termasuk orang-orang yang berilmu tinggi,
karena mereka adalah murid-murid tertentu dan terpercaya,
namun Mahisa Agni dan Witantra adalah perbendaharaan
ilmu dan pengalaman yang sangat luas.
Dengan menyalurkan kemampuan mereka, maka dengan
cepat Mahisa Agni dan Witantra berhasil menguasai lawanlawan
mereka. Kemana lawan-lawan mereka meloncat,
mereka telah menghadapi, serangan-serangan yang
menekan. Meskipun lawan-lawan Mahisa Agni dan Witantra itu
masih juga melepaskan serangan-serangan mereka dengan
lontaran semacam cahaya yang mampu membakar tubuh,
namun serangan-serangan itu tidak banyak memberikan
arti. Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, orangorang
bertongkat itu benar-benar berada didalam kesulitan.
Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu masih mencoba
untuk memberikan perlawanan lebih banyak lagi. Dengan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempergunakan kecepatan gerak ia mencoba untuk
menembus pertahanan lawannya. Namun usahanya itu siasia.
Orang-orang tua itu ternyata memiliki pengamatan
yang sangat luas terhadap olah kanuragan, sehingga seakanakan
apa yang akan dilakukannya telah dapat ditebak lebih
dahulu. Dengan demikian, maka kedua orang tua itu telah
memberikan tekanan yang semakin lama semakin berat.
Bahkan kemudian baik Mahisa Agni maupun Witantra
telah mulai menekan mereka dengan sungguh-sungguh dan
bahkan keduanya mulai menyentuh kedua orang bertongkat
itu. Sebenarnyalah kedua orang bertongkat itu memang
harus mengakui bahwa kedua orang tua adalah orang-orang
terkuat didalam dunia olah kanuragan. Kedua orang
bertongkat itu tidak dapat mengatakan, siapakah yang lebih
baik. Orang-orang itu atau gurunya. Bahkan menilik sikap
dan geraknya yang mantap dan penuh dengan tenaga,
sehingga meskipun ayunan tangan mereka tidak menyentuh
tubuh orang bertongkat itu, namun terasa angin bagaikan
bertiup dengan kencangnya.
Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu pun kemudian
berkata di dalam hatinya, "Kedua anak muda itu tentu
murid dari orang-orang tua yang memiliki ilmu yang
nggegirisi itu. Karena itu, maka mereka mampu melawan
paman Kebo Sarik. Bahkan hanya sekedar melawanku
beberapa saat yang lampau."
Dengan demikian maka orang-orang bertongkat itu suda
dah tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, maka rasa
rasanya mereka telah menjadi putus asa dan bertempur
dengan menghentakkan kemampuan mereka.
Namun yang mereka lakukan itu tidak berarti lagi.
Semakin sering mereka melepaskan serangan dengan
hentakkar ilmu puncak mereka, maka mereka telah
melepaskan pula bagian dari tenaga mereka, sehingga
dengan demikian maka mereka pun bertambah lemah
karenanya. Sebenarnyalah bahwa kemampuan dan kekuatan mereka
bukannya tidak terbatas. Dasar kekuatan wadag mereka,
landasan ilmu serta perbendaharaan pengalaman mereka
merupakan unsur dari seluruh kemampuan mereka.
Ketika mereka sudah sampai kebatas kemampuan, maka
mereka yakin, bahwa mereka telah tidak mempunyai
kesempatan apapun untuk menghadapi orang-orang tua itu.
Dalam kesulitan itu, maka ada sepercik niat mereka
untuk melepaskan diri dari pertempuran itu. Namun
mereka pun yakin bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat
mereka lakukan. Kedua orang tua itu tentu akan dengan
mudah menghalau usaha mereka melarikan diri.
"Tidak ada kemungkinan lain," berkata orang-orang
bertongkat itu, "Batas terakhir dari langkah seorang laki-laki
adalah kematian. Aku tidak peduli lagi terhadap kematian."
Dengan demikian maka orang bertubuh kecil itu pun
kemudian telah menghentakkan segenap kemampuan dan
ilmunya. Meskipun ia sadar, setiap kali ia melepaskan
serangan dengan ilmu puncaknya maka berarti bahwa
simpanan tenaganya menjadi susut sehingga terakhir ia
akan sampai kebatas. Namun Mahisa Agni dan Witantra tidak menunggu.
Merekalah yang kemudian menguasai medan. Seranganserangan
orang-orang tua itu datang semakin cepat dan
sekali-sekali menyentuh sasaran.
Dengan demikian maka keduanya telah mendorong
orang-orang bertongkat itu memaksa diri dengan
mengerahkan kemampuan dan ilmu mereka, sehingga
beberapa saat kemudian, orang-orang bertongkat itu pun
telah menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya nafas mereka
akan terputus di tengah dan tulang-tulang mereka pun
menjadi lemah dan tidak berdaya.
Itulah sebabnya, maka sentuhan serangan Mahisa Agni
dan Witantra dengan mudah telah mendorong mereka jatuh
berguling-guling. Bahkan ketika mereka akan bangkit
kembali, terasa urat nadi mereka tidak lagi dapat bekerja
dengan wajar. Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra
dengan cepat telah mengakhiri perlawanan orang-orang
bertongkat itu. Pukulan mereka pada sasaran tertentu telah
membuat lawan-lawan mereka kehilangan kesempatan
untuk meneruskan perlawanannya.
Orang yang bertubuh kecil itu telah terlempar beberapa
langkah dan terbanting jatuh. Kemudian rasa-rasanya
malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang nampak
menjadi kuning pudar, sehingga akhirnya semuanya
menjadi hilang. Ternyata orang bertubuh kecil itu menjadi pingsan.
Sementara itu lawan Witantra pun menyadari, bahwa ia
tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Pukulan Witantra
membuat tangannya bagaikan lumpuh dan tidak mampu
bergerak lagi. Bahkan ketika ia memikirkan kemungkinan
untuk lari, kakinya pun terasa menjadi sangat berat.
Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Bahkan oleh
perasaan sakit maka orang-orang bertongkat itu rasarasanya
tidak mampu lagi berbuat apa-apa meskipun ia
tidak menjadi pingsan seperti saudara seperguruannya.
Sementara itu dua orang bertongkat yang lain masih
bertempur melawan Mahendra. Meskipun mereka berdua,
tetapi dengan bekal yang ada pada mereka, maka keduanya
agaknya sama sekali lidak mampu mengimbangi lawannya.
Mahendra mampu berbuat apa saja untuk mengatasinya
ilmu kedua orang bertongkat itu. Bahkan kedua orang
bertongkat itu menyadari, bahwa Mahendra masih belum
mempergunakan ilmu pamungkasnya yang baru
diperlihatkan sebagian. Meskipun demikian, kedua lawannya masih bertempur
dengan segenap kemampuan mereka. Dengan ujung
tongkat mereka, keduanya menyerang Mahendra beruntun,
ganti berganti, meskipun serangan mereka tidak pernah
memberikan arti apapun juga, bahkan serangan puncak
kemampuan mereka yang bagaikan cahaya itu.
Bahkan semakin lama perlawanan keduanya menjadi
semakin lemah. Berbeda dengan mereka adalah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dengan landasan ilmu yang telah mereka
warisi dari ayahnya, serta pengalaman yang semakin
berkembang, maka ilmu mereka pun menjadi semakin
mantap dan matang. Seakan-akan dari hari ke hari ilmu
kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat.
Pada saat-saat ia bertempur melawan Kebo Sarik, tanpa
mereka sadari, keduanya telah mematangkan ilmu mereka
pula. Serangan-serangan yang berat yang terlontar dari
Kebo Sarik yang memiliki kekuatan yang sangat besar, serta
ilmunya yang menggetarkan telah memaksa kedua anak
muda itu mengembangkan ilmu dan kemampuannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara Kebo Sarik
melawan Mahisa Murti dan Mahisa, Pukat semakin lama
justru menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang sudah memiliki bekal yang cukup itu ternyata
mampu mengembangkan ilmu mereka, justru pada saat-saat
yang gawat. Kebo Sarik yang sudah memiliki pengalaman yang
sangat luas itu merasa heran atas kemajuan kedua anak
yang dianggapnya masih terlalu muda itu. Betapapun ia
meningkatkan ilmunya, namun kedua anak muda itu
dengan rapi mampu melawannya berpasangan. Apalagi
keduanya ternyata benar-benar kebal racun dari bisa ular
yang sangat tajam sebagaimana ular-ularnya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
mempergunakan paser-paser kecilnya untuk mengimbangi
serangan-serangan ilmu Kebo Sarik dari jarak tertentu.
Meskipun demikian, keduanya sadar, bahwa racun-racun
pasernya tidak akan mampu melumpuhkan lawannya.
Dengan demikian maka keduanya berusaha untuk
mengenai Kebo Sarik pada bagian-bagian tubuhnya yang
lemah. Dibagian lain, Pangeran Singa Narpada masih bertempur
melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Keduanya
adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Guru dari
orang-orang bertongkat itu mampu menyerang Pangeran
Singa Narpada dengan mengembangkan telapak tangannya.
Cahaya yang meloncat dari ujung-ujung tongkat
sebagaimana dilakukan oleh murid-muridnya seolah-olah
dapat meluncur dari telapak tangannya yang
dikembangkan. Serangan-serangan itu sangat berbahaya,
karena sentuhan-sentuhannya pada bebatuan, cabang
pepohonan dan bahkan tanah tempat Pangeran Singa
Narpada berpijak, bagaikan meledak karenanya.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada harus
mengatasinya dengan kecepatan gerak. Bahkan sekali-sekali
Pangeran Singa Narpada masih mampu meloncat mendekat
dan menyerang lawannya. Gerak yang sangat cepat dan tiba-tiba, memang kadangkadang
mengejutkan, sehingga sekali-sekali serangan itu
mampu menyentuh tubuhnya.
Tetapi sentuhan itu sama sekali tidak menyakitinya.
Bahkan guru dari keempat orang bertongkat itu
mengabaikan sentuhan-sentuhan yang dianggapnya tidak
berarti itu. Meskipun demikian kemarahan guru orang-orang
bertongkat itu bagaikan membakar jantungnya ketika ia
melihat keadaan murid-muridnya, bahkan karena Kebo
Sarik juga tidak segera mengalahkan kedua lawannya yang
masih terlalu muda itu. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk dengan cepat
mengalahkan lawannya. Pangeran Singa Narpada. Dengan
demikian maka ia akan dapat banyak berbuat bagi muridmuridnya.
Namun Pangeran Singa Narpada pun telah
meningkatkan kemampuannya. Untuk melawan lawannya.
Pangeran Singa Narpada lebih banyak bertumpu pada
kecepatan geraknya. Ketika tangan Pangeran Singa Narpada mengenai
pundak lawannya tanpa menimbulkan rasa sakit, lawannya
menggeram, "Buat apa kau menggamit aku?"
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia
justru menghindari serangan lawannya yang
menyambarnya. Meskipun serangan itu tidak mengenainya, tetapi udara
panas bagaikan menyengatnya, karena Pangeran Singa
Narpada tidak cukup jauh menghindar. Namun sekali lagi
dengan loncatan panjang ia berhasil mendekati lawannya
dan kakinya yang terjulur sempat menggapai lambung.
Tetapi serangan kaki itu sama sekali tidak membuat
lawannya merasa sakit, karena sentuhan itu memang tidak
terlalu keras, sementara itu, daya tahan guru orang-orang
bertongkat itu memang tinggi.
Namun demikian sekali lagi Pangeran Singa Narpada
menyerang. Ia telah berputar bertumpu pada sebelah
tumitnya, sementara kakinya yang lain terayun dengan
derasnya. Ketika kaki itu hampir mengenai perut lawannya,
maka lawannya itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan
lawannya itu telah memiringkan tubuhnya dan menangkis
serangan itu dengan sikunya.
Terjadi benturan yang keras. Namun Pangeran Singa
Narpada lah yang terpaksa bergeser selangkah surut,
sementara lawannya tetap berada ditempatnya.
Guru dari orang-orang bertongkat itu pun merasa, bahwa
ia memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya.
Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa cemas lagi
jika serangan-serangan Pangeran Singa Narpada yang
datang dengan cepat, tetapi tidak menyakitinya.
Perasaan itulah yang membuat orang itu menjadi lengah.
Pada saat-saat ia berusaha memaksakan kemenangannya,
karena ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran
untuk menolong murid-muridnya, maka ia tidak lagi
berusaha menghindari serangan-serangan Pangeran Singa
Narpada. Dengan mengerahkan daya tahannya, ia telah
menangkis hampir semua serangan. Sementara itu
serangan-serangannya sendiri masih belum juga berhasil
mengenai lawannya, meskipun kadang-kadang sentuhan
udara yang panas karena ilmu orang itu pun telah terasa
oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, datanglah saat-saat yang sama
sekali tidak diperhitungkan oleh lawan Pangeran Singa
Narpada itu. Ketika Pangeran Singa Narpada mulai
mengerahkan ilmunya, maka perlahan-lahan namun pasti,
ia akan mampu menguasai lawannya.
Dalam setiap sentuhan, maka seakan-akan Pangeran
Singa Narpada telah menghisap sebagian kekuatan
lawannya. Sedikit demi sedikit, tanpa terasa. Namun
beberapa saat kemudian, maka lawan Pangeran Singa
Narpada itu mulai merasa satu kelainan didalam dirinya.
Ketika ia melepaskan serangannya, maka ia merasa
bahwa serangannya tidak lagi terasa mantap. Ledakan yang
terjadi tidak lagi menghentak, dan mengejutkan. Apalagi
ketika ia mencoba bertahan dengan menangkis serangan
Pangeran Singa Narpada. Rasa-rasanya tenaganya menjadi
semakin lemah. Sepercik pertanyaan telah menyentuh hati guru dari
orang-orang bertongkat itu. Beberapa kali ia mencoba
membentur kekuatan Pangeran Singa Narpada. Namun
tiba-tiba saja orang itu berteriak, "Licik kau Pangeran. Kau
mempergunakan ilmu yang tidak pantas dipergunakan
dalam pertempuran antara laki-laki jantan. Kau berlaku
sebagai seorang pencuri yang dengan bersembunyisembunyi
telah mencuri kekuatannya."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Seperti Ki Ajar Bomantara, maka orang ini pun
menganggapnya licik. "Apakah benar aku telah bertempur dengan licik?"
pertanyaan itu pun terasa mengganggu sekali didalam
jantung Pangeran Singa Narpada.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, ketika Pangeran Singa Narpada sedang
dicengkam oleh keragu-raguan, maka sebuah serangan telah
menyambarnya. Pangeran Singa Narpada terkejut.
Meskipun ia sempat mengelak, tetapi serangan itu telah
menyentuh kulitnya. Pangeran Singa Narpada bagaikan terlempar beberapa
langkah dan jatuh berguling. Untunglah ia sempat
mengelak ketika serangan berikutnya menyambarnya,
sehingga tanah tempat ia berguling itulah yang bagaikan
telah meledak, meskipun ledakannya tidak lagi sedahsyat
pada saat-saat ilmu itu mulai ditrapkan.
Sambil melenting Pangeran Singa Narpada telah
menyerang lawannya. Guru dari orang-orang bertongkat
itu-pun segera menghindarinya. Ia tidak lagi mau terjebak
dalam hisapan kekuatan oleh ilmu Pangeran Singa
Narpada. Tetapi gerak Pangeran Singa Narpada demikian
cepatnya. Demikian lawannya mengelak, maka ia pun lelah
memburunya, sehingga tangannya berhasil menyentuh
pundak guru dari orang-orang bertongkat itu.
Sentuhan itu memang tidak menyakiti. Tetapi dengan
demikian selapis lagi kekuatannya telah terhisap.
"Gila," geram orang itu. Sementara itu, Pangeran Singa
Narpada telah melibatnya bagaikan angin pusaran.
Lawannya tidak mampu mengelakkan diri sepenuhnya.
Beberapa kali Pangeran Singa Narpada berhasil
menyentuhnya, sehingga lawannya telah kehilangan
beberapa lapis lagi kekuatannya. Namun demikian,
lawannya telah berhasil pula mengenai lengan Pangeran
Singa Narpada telah terpental dan jatuh berguling di tanah.
Perasaan sakit yang luar biasa telah menyengat
tubuhnya. Lengannya bagaikan terbakar, sementara
kulitnya terasa telah terkelupas.
Meskipun demikian, Pangeran Singa Narpada masih
melihat serangan berikutnya yang datang ke arahnya,
sehingga sambil menyeringai ia masih sempat meloncat
menghindar. Sejenak kemudian, betapapun perasaan sakit membakar
lengannya, namun ia telah bersiap untuk menghadapi
segala kemungkinan. Pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu
nampaknya menjadi semakin cepat. Tetapi tenaga dan
kemampuan mereka sebenarnya telah jauh susut, sehingga
setiap serangan rasa-rasanya tidak terasa menggetarkan lagi.
Meskipun demikian, luka di lengan Pangeran Singa
Narpada terasa bagaikan menggigit sampai ketulang.
Yang terjadi selanjutnya adalah serangan silih berganti
yang tidak dapat, dihindari seluruhnya oleh kedua belah
pihak, sehingga karena itu, maka tenaga dan kemampuan
guru dari orang-orang bertongkat itu pun menjadi semakin
susut, sementara tubuh Pangeran Singa Narpada pun
semakin banyak terluka oleh sentuhan ilmu Pamungkas
lawannya. Namun beberapa saat kemudian, maka lawan Pangeran
anga Narpada itu benar-benar sudah kehabisan tenaga.
Ketika ia berusaha menghentakkan sisa tenaganya, maka
tidak ada lagi yang dapat memancar dari telapak
tangannya. Bahkan seakan-akan segenap tenaganya telah
terperas habis. Karena itu, ketika dengan tenaga yang sudah menjadi
semakin lemah, Pangeran Singa Narpada menyerangnya,
maka rasa-rasanya tubuh guru dari orang-orang bertongkat
itu bagaikan tertimpa segerobag batu hitam.
Dadanya bagaikan pecah dan nafasnya pun menjadi
terengah-engah. Sehingga sejenak kemudian, maka orang
itu pun telah terbaring diam.
Namun Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah
menghentakkan ilmunya yang tersisa. Karena itu, demikian
ia mengenai lawannya, maka ia pun terhuyung-huyung dan
jatuh di sebelah lawannya terbaring.
Mahisa Agni dan Witantra yang telah kehilangan
lawannya itu pun dengan cepat memburunya. Tetapi
mereka tidak sempat menangkap tubuh yang terjatuh itu.
Namun Mahisa Agni itu pun berdesis, "Masih ada
tarikan nafasnya." Witantra lah yang kemudian duduk di sisinya.
Diletakkannya tangannya pada dada Pangeran Singa
Narpada yang terbaring diam menelentang. Sementara
Mahisa Agni menungguinya dengan hati-hati karena
kemungkinan yang lain akan dapat terjadi.
Perlahan-lahan terasa nafas Pangeran Singa Narpada
mengalir kembali dengan wajar. Darahnya yang bagaikan
terhenti pun telah menelusuri urat-uratnya, sedangkan
jantungnya berdetak sebagaimana seharusnya.
Mahisa Agni yang melihat keadaan Pangeran Singa
Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba
kakinya, maka terasa tubuh itu menjadi semakin hangat
kembali. Karena itu ia yakin bahwa keadaan Pangeran
Singa Narpada akan berangsur baik, meskipun luka-lukanya
harus mendapatkan pengobatan yang khusus.
Pada saat yang demikian, ternyata Mahendra telah
menyelesaikan kedua lawannya pula. Tetapi ternyata tidak
terlalu mudah sebagaimana diduga sebelumnya. Pada saatsaat
yang sangat gawat, kedua orang itu bagaikan menjadi
liar, sehingga agak sulit bagi Mahendra untuk
menguasainya. Serangan-serangan mereka justru menjadi
lebih cepat dan keras. Karena itu, Mahendra terpaksa mempergunakan ilmu
Bajra Geni dalam bentuk yang lunak, sehingga udara yang
panas bertebaran di seputarnya.
Dengan demikian, maka kedua orang lawannya itu tidak
dapat mengenainya dengan serangan-serangannya yang
berbahaya. Cahaya yang meluncur dari ujung tongkat
mereka, seakan-akan telah membentur lingkaran yang
melindunginya. Serangan itu seakan-akan telah pecah dan
hancur sebelum menyentuh Mahendra yang berlindung
dibalik kekuatan ilmunya.
Pada saat-saat yang demikian maka Mahendra telah
melumpuhkan kedua lawannya, sehingga keduanya
menjadi tidak berdaya. Berbeda dengan kedua orang bertongkat maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan ilmu mereka
pula, namun dalam keadaan yang lebih baik. Setiap kali
mereka mampu mengimbangi ilmu Kebo Sarik dengan
lontaran-lontaran paser-paser kecil yang dibidikkan ke arah
bagian-bagian tubuhnya yang lemah.
Namun jumlah paser-paser mereka pun terbatas. Pada
suatu saat paser-paser itu akan habis. Jika demikian maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka meskipun mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk membicarakannya, tetapi dengan isyarat
keduanya mengerti bahwa keduanya harus mempergunakan
kesempatan bergantian. Demikianlah, pada saat-saat Kebo Sarik berusaha untuk
menekan kedua anak muda itu, agar mereka kehilangan
kesempatan untuk berbuat lebih banyak, bahkan agar paserpaser
kecil mereka tidak sempat mencari sasaran, maka
kedua anak muda itu telah sampai ke puncak ilmu mereka.
Ketika Mahisa Murti berhasil memancing perhatian
Kebo Sarik sepenuhnya dengan melontarkan sisa-sisa
pasernya beruntun, maka Mahisa Pukat sempat
membangunkan ilmu pamungkasnya.
Dengan landasan ilmu puncaknya didasari dengan
kekuatan tenaga cadangannya, maka Mahisa Pukat telah
meloncat menyerang Kebo Sarik.
Kebo Sarik sempat melihat serangan itu. Demikian
cepatnya justru pada saat ia berusaha menghindari serangan
paser kecil yang mengarah ke lehernya.
Karena itu, maka Kebo Sarik tidak sempat berbuat
banyak. Serangan itu demikian cepat datang. Namun Kebo
Sarik masih sempat menghentakkan daya tahan tubuhnya
untuk melawan serangan yang mengejutkan itu.
Sejenak kemudian maka telah terjadi benturan yang
menggetarkan. Kekuatan ilmu puncak Mahisa Pukat yang
diwarisinya dari ayahnya, telah membentur kekuatan daya
tahan seorang Kebo Sarik yang memiliki ilmu yang tinggi
pengalaman yang luas dalam olah kanuragan.
Akibat benturan itu memang dahsyat sekali. Kebo Sarik
telah terdorong beberapa langkah surut. Namun ternyata
bahwa Kebo Sarik masih tetap mampu memelihara
keseimbangannya. Bahkan sejenak kemudian ia telah siap
menghadapi segala kemungkinan yang mungkin dapat
terjadi. Sementara itu, Mahisa Pukat telah membehtur kekuatan
yang tidak dapat dikoyak dengan ilmu puncaknya. Justru
Mahisa Pukat seakan-akan telah terpental karena kekuatan
sendiri. Beberapa langkah ia terlempar dan bahkan jatuh
berguling. Terasa tulang-tulang Mahisa Pukat bagaikan retak.
Namun ia masih berpikir jernih. Ia justru berguling
menjauhi lawannya beberapa langkah untuk mengambil
jarak. Ketika Kebo Sarik siap meloncat menerkamnya, maka
Mahisa Murti pun telah bersiap pula. Namun ternyata
bahwa Kebo Sarik mengurungkan niatnya. Ternyata bahwa
dalam benturan yang terjadi, meskipun ia masih tetap
mampu bertahan dan menjaga keseimbangannya, namun
terasa dadanya menjadi sakit. Ketika ia berusaha untuk
menghentakkan kekuatannya, barulah ia merasa bahwa
sesuatu telah terjadi di dalam dirinya dalam benturan yang
dahsyat itu. Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya. Justru ia
telah bergeser surut beberapa langkah. Sejenak ia berusaha
untuk memperbaiki keadaannya dengan menarik nafas
dalam-dalam. Mahisa Murti tidak tergesa-gesa menyerangnya. Ia justru
bersiaga menghadapi segala kemungkinan jika orang itu
dengan tiba-tiba telah menyerang Mahisa Pukat yang
dengan sedikit kesulitan bangkit dan duduk sejenak.
Beberapa kali ia sempat menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata tubuhnya menjadi sedikit segar sehingga dengan
demikian, maka ia pun segera bangkit berdiri.
Dikembangkannya tangannya sambil menarik nafas
beberapa kali sehingga terasa dadanya menjadi semakin
longgar. Sejenak kemudian, maka keadaan Mahisa Pukat itu pun
telah berangsur baik. Meskipun ia masih merasa sakit di
beberapa bagian tubuhnya justru karena kekuatannya
sendiri seakan-akan telah memental ketika ia membentur
kekuatan lawannya, namun Mahisa Pukat pun kemudian
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan pula.
Kebo Sarik menggeram ketika ia melihat Mahisa Pukat
telah bersiap pula. Dengan suara berat ia bergumam,
"Setan. Ternyata kau tidak mati karena ilmumu sendiri."
Mahisa Pukat menarik nafas pula sambil berkata, "Kita
sama-sama mengalami akibat. Aku tidak ingkar, bahwa
keadaanku mungkin lebih parah dari keadaanmu. Tetapi
aku pun telah bersiap untuk bertempur."
Kebo Sarik memandang anak muda itu dengan mata
yang menyala. Namun tiba-tiba saja ia telah menyerang
Mahisa Pukat dengan ilmunya.
Mahisa Pukat yang melihat gerak Kebo Sarik itu sudah
memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, betapapun
tubuhnya terasa sakit, namun ia telah berusaha untuk
meloncat menghidar. Kebo Sarik yang melihat keadaan Mahisa Pukat, maka ia
pun berusaha untuk menghancurkannya sama sekali. Selagi
ia masih sempat. Tetapi ketika Kebo Sarik siap untuk melontarkan
ilmunya, maka paser kecil telah meluncur dari tangan
Mahisa Murti, tepat mengarah ke wajahnya. Karena itulah,
maka ia telah mengurungkan niatnya dan berusaha
mengelakan serangan Mahisa Murti itu.
Pada saat yang demikian di dadanya terasa lagi seakanakan
telah terdapat luka yang menggigit di bagian dalam.
Namun Kebo Sarik itu sempat menghindari serangan
Mahisa Murti. Bahkan ia pun telah siap pula untuk
menyerangnya. Pada saat yang demikian Mahisa Pukat telah bersiap
sepenuhnya. Ia berusaha untuk mengatasi perasaan
sakitnya, sehingga seakan-akan ia benar-benar telah pulih
kembali. Dengan garangnya Mahisa Pukat pun kemudian telah
berusaha untuk meloncat menyerang. Tetapi justru Kebo
Sarik lah yang menyongsongnya dengan lontaran ilmunya.
Dengan menggigit bibirnya untuk menahan sakit Mahisa
Pukat telah menggeliat menghindari serangan itu. Tetapi
ternyata bahwa sambil menghindar ia sempat mengambil
sebuah paser kecil dan sekaligus melemparkannya ke arah
jantung Kebo Sarik. Kebo Sarik menyadari kekuatan lemparan lawannya
yang masih muda itu. Paser itu akan dapat menyusup kulit
dagingnya sampai menyentuh jantung. Karena itulah, maka
Kebo Sariklah yang kemudian berusaha untuk menghindar.
Namun pada saat yang demikian, diluar perhitungan
Kebo Sarik, maka Mahisa Murti lah yang kemudian
meloncat menyerang dengan ilmu puncaknya pula,
sebagaimana Mahisa Pukat.
Sekali lagi Kebo Sarik tersudut untuk menangkis
serangan iiu karena ia sama sekali sudah tidak sempat lagi
mengenai. Sekali lagi telah terjadi benturan yang dahsyat.
Mahisa Murti dengan kekuatan puncaknya telah
membentur Kebo Sarik yang tengah bertahan dengan
mengerahkan daya tahannya.
Sebenarnyalah bahwa telah terdapat bibit luka di dalam
dada Kebo Sarik. Ketika sekali lagi ia harus berbenturan
ilmu dengan anak muda itu maka jantungnya telah benarbenar
terguncang sehingga karena itu, maka Kebo Sarik
tidak lagi mampu menahan serangan itu sebagaimana
dilakukan atas serangan Mahisa Pukat.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian, maka dada Kebo Sarik itu benarbenar
bagaikan pecah. Ia telah terdorong beberapa langkah
surut. Ternyata bahwa dalam keadaannya, Kebo Sarik tidak
mampu untuk mempertahankan keseimbangannya. Karena
itu, maka ia pun kemudian terjatuh berguling.
Namun dengan susah payah Kebo Sarik itu berusaha
untuk bangkit kembali dengan berdiri tegak untuk menanti
kemungkinan yang bakal terjadi kemudian.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah terpental dan
jatuh pula berguling. Tetapi seperti Kebo Sarik, maka
Mahisa Murti pun kemudian telah tegak kembali. Namun
betapa perasaan sakit telah menyengat bagian dalam
dadanya. Sejenak Mahisa Murti berusaha untuk mengatasi
perasaan sakitnya. Dengan mengerahkan daya tahannya,
maka Mahisa Murti telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Sejenak ketiga orang yang berada di arena itu justru
bagaikan membeku. Ketiga-tiganya sudah terluka dibagian
dalamnya, sehingga karena itu, maka mereka pun telah
menjadi semakin berhati-hati.
Ternyata bahwa Kebo Sarik masih dibakar oleh
keinginannya untuk membinasakan kedua lawannya yang
masih sangat muda itu. Karena itu, maka sejenak
kemudian, ia pun telah menghentakkan ilmunya pula
menyerang Mahisa Murti dari tempatnya dengan
mengembangkan telapak tangannya.
Mahisa Murti yang masih berusaha menahan rasa
sakitnya mengumpat didalam hati. Ia pun harus
mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk menghindari
serangan itu. Hampir saja Mahisa Murti terlambat karena hambatan
dari dalam dirinya. Namun ternyata bahwa ia masih
mampu melepaskan diri dari sentuhan ilmu itu.
Sebenarnyalah bahwa serangan Kebo Sarik itu pun
sudah tidak lagi sedahsyat sebelumnya. Tenaga dorong atas
ilmunya itu memang sudah berkurang, sehingga lontaran
ilmunya telah susut pula.
Ketika Kebo Sarik akan mengulangi serangannya, maka
Mahisa Pukat berusaha untuk mencegahnya. Dengan
cepatnya, Mahisa Pukat telah melontarkan pasernya sekali
lagi mengarah Kebo Sarik.
Kebo Sarik lah yang kemudian harus menghindar. Tetapi
ketika ia meloncat, maka ia pun telah menyeringai
menahan sakit di dalam dadanya. Rasa-rasanya jantungnya
akan terlepas dari tangkainya.
Mahisa Pukat melihat keadaan Kebo Sarik. Sejenak telah
timbul keraguan di dalam hatinya, karena keadaan
tubuhnya sendiri yang terluka di dalam. Namun Mahisa
Pukat tidak mau melepaskan kesempatan ia memaksa diri
dengan mengerahkan kemampuan, tenaga dan pemusatan
nalar dan budinya, maka Mahisa Pukat telah meloncat
menyerang Kebo Sarik dengan segenap kekuatan yang
masih tersisa dalam puncak ilmunya.
Kebo Sarik terkejut melihat serangan itu. Tetapi ia tidak
sempat mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah sekali
lagi menangkis serangan itu.
Seperti Mahisa Pukat, maka Kebo Sarik pun telah
mengerahkan sisa tenaga yang ada padanya. Betapa
perasaan sakit menyengat dadanya, namun ia masih
mampu menghentakkan daya tahannya.
Sekali lagi telah terjadi benturan antara dua kekuatan
raksasa yang telah menyusut. Mahisa Pukat yang telah
mengerahkan kekuatannya yang tersisa itu, seakan-akan
telah memeras apa yang masih tinggal didalam dirinya.
Demikian benturan terjadi, maka Mahisa Pukat itu pun
telah terlempar jatuh dan dunia pun rasa-rasanya telah
menjadi gelap. Ternyata Mahisa Pukat menjadi pingsan.
Kebo Sarik yang membentur ilmu pamungkas Mahisa
Pukat meskipun kekuatannya sudah menjadi susut, namun
karena keadaan Kebo Sarik sendiri yang lemah dibagian
dalam tubuhnya, maka ia pun telah terlempar pula beberapa
langkah dan terbanting jatuh.
Kepala Kebo Sarik pun menjadi pening. Nafasnya terasa
sesak. Meskipun demikian Kebo Sarik masih tetap
menyadari, bahwa ia masih dalam keadaan yang gawat.
Karena itu, maka ia pun berusaha untuk segera bangkit
berdiri. Mahisa Murti telah melihat apa yang terjadi. Ia melihat
Mahisa Pukat jatuh pingsan. Sehingga karena itu, maka
jantungnya bagaikan berhenti berdentang. Nalar pun
menjadi buram dan Mahisa Murti itu tidak berpikir panjang
lagi. Meskipun keadaan tubuhnya masih sangat lemah,
namun keadaan saudaranya itu membuatnya tidak sempat
menimbang lagi. Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti
telah membangunkan kekuatan yang tersisa didalam
dirinya. Pada saat Kebo Sarik masih belum tegak benar,
maka Mahisa Murti pun telah meloncat menyerang
lawannya dengan ilmu pamungkasnya.
Mahisa Agni dan Witantra yang sempat
menyaksikannya telah berbareng memanggilnya. Namun
Mahisa Murti telah meloncat dan membenturkan kekuatan
ilmunya yang masih tersisa di dalam dirinya yang menjadi
lemah itu. Kebo Sarik benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Ia
memang mencoba membangunkan kemampuan untuk
bertahan dari apa yang masih ada didalam dirinya. Namun
ternyata bahwa yang tertinggal itu tidak mampu lagi
melindunginya. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti telah
membenturkan ilmunya Kebo Sarik. Satu benturan yang
ternyata telah mengakhiri pertempuran itu. Kebo Sarik yang
sudah menjadi sangat lemah itu, sama sekali tidak mampu
lagi bertahan, ketika kekuatan raksasa Mahisa Murti,
meskipun sudah susut, menghantamnya, maka isi dadanya
telah bergetar dan bahkan jalan pernafasannya menjadi
bagaikan tersumbat. Ternyata Kebo Sarik tidak dapat mengatasi kesulitan
didalam dirinya. Isi dadanya bagaikan telah diremukkan
oleh ilmu anak-anak muda itu. Nafasnya pun menjadi
sesak, dan detak jantungnya telah terhenti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah
terlempar dan terbanting jatuh. Seperti Mahisa Pukat, maka
semuanya telah menjadi gelap. Dan Mahisa Murti pun
menjadi pingsan. Mahendra yang telah melumpuhkan kedua lawannya
terkejut melihat keadaan itu. Tiba-tiba saja ia telah
memukul kedua orang yang telah dikalahkannya itu pada
punggungnya, sehingga keduanya telah jatuh pingsan pula.
"Kubunuh kalian jika anak-anakku mengalami cidera,"
geram Mahendra yang kemudian berlari ke arah kedua
anak-anaknya. Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian dengan
tergesa-gesa telah mendekati Mahisa Murti yang kemudian
perlahan dan hati-hati telah diangkatnya dan
dibaringkannya disamping Mahisa Pukat.
"Mereka keduanya menjadi pingsan," desis Mahisa
Agni. Wajah Mahendra menjadi tegang. Namun ia pun
mengangguk-angguk, meskipun getar didalam dadanya
masih terasa menggelora. Dengan kemampuan dan ilmu yang ada didalam diri
mereka, maka Mahendra dan Witantra, masing-masing
berusaha untuk membantu ke dua orang anak muda itu.
Mereka memiliki arus ilmu dari satu perguruan, sehingga
dengan demikian maka hendaknya memiliki pengetahuan
untuk membantu kedua orang anak muda itu.
Witantra telah menggenggam kedua tangan Mahisa
Murti dengan kedua tangannya. Kemudian dipusatkannya
daya kemampuan ilmunya untuk menyalurkan daya
ketahanan kedalam diri Mahisa Murti, sementara itu
Mahendra telah melakukan hal yang sama atas Mahisa
Pukat. Mahisa Agni berdiri lermangu-mangu mengamati kedua
anak muda yang sedang pingsan itu. Ketika ia berpaling ke
arah Pangeran Singa Narpada, maka ia pun menarik nafas
dalam-dalam. Pangeran Singa Narpada ternyata telah
berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dalam
pergulatannya melawan maut karena luka-luka dalamnya.
Beberapa saat kemudian, maka baik Witantra, maupun
Mahendra telah berhasil menghubungkan kekuatan yang
tersalur dari dalam dirinya dengan jalur daya tahan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak berdaya sama
sekali. Namun dengan hubungan itu, maka perlahan-lahan
kekuatan daya tahan kedua anak muda itu mulai
dibangunkannya kembali. Dengan demikian, maka Witantra dan Mahendra itu
mulai berharap bahwa kedua orang anak muda iiu akan
mampu berlahan untuk tetap hidup.
Ada semacam penyesalan di dalam hati Mahendra,
bahwa ia telah memberikan kesempatan kepada anakanaknya
yang masih sangat muda untuk melawan Kebo
Sarik, yang semula hanya karena kesegarannya untuk
mempergunakan ilmunya dalam bentuk yang lunak untuk
mengusir ular-ular yang sangat berbahaya baginya, dan
digelitik oleh keinginannya untuk melihat tataran
kemampuan anak-anaknya dalam dunia olah kanuragan
yang terlalu garang. Dan kini, ia harus melihat akibat aias kedua anakanaknya.
Untuk beberapa saat Witantra dan Mahendra
berjuang mengatasi kesulitan didalam diri Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun karena kekuatan Witantra dan
Mahendra telah tersalur kejalur kekuatan daya tahan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keadaan kedua
anak muda itu memang mulai berangsur membaik.
Perlahan-lahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
mulai bergerak. Perlahan-lahan pula keduanya mulai
membuka matanya. Yang mula-mula mereka lihat adalah kegelapan dan titiktitik
yang bertebaran di langit. Baru kemudian dalam
keremangan malam dilihatnya bayangan orang-orang yang
ada di sisinya. Untuk beberapa saat dibiarkannya kedua orang anak
muda itu mulai menyadari dirinya dan didorong oleh
kekuatan yang tersalur dari Witantra dan Mahendra,
mengatasi segala kesulitan didalam diri mereka.
Sementara itu, keadaan Pangeran Singa Narpada
menjadi semakin baik. Bahkan karena kekuatan tubuhnya
yang melampaui kekuatan orang kebanyakan, maka
ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada telah mampu
mengatasi kesulitan yang paling tajam didalam dirinya,
sehingga meskipun masih dalam keadaan yang sangat
lemah maka Pangeran Singa Narpada telah mampu
bangkit. Mahisa Agni telah membantunya untuk berdiri. Semula
Mahisa Agni ingin mempersilahkannya untuk beristirahat
sejenak. Namun Pangeran Singa Narpada berkata, "Aku
sudah berangsur baik. Bagaimana dengan anak-anak itu?"
"Nampaknya mereka akan dapat tertolong, meskipun
keadaan mereka cukup parah," jawab Mahisa Agni.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Untunglah bahwa mereka mampu mengatasi
lawan mereka dan tidak menjadi korban karenanya. Jika
terjadi demikian, maka aku akan merasa sangat menyesal,
bahwa permainanku telah menyeret keduanya yang
sebenarnya masih terlalu muda."
"Kesalahannya tidak sepenuhnya berada pada
Pangeran," jawab Mahisa Agni, "ayah anak-anak itu pun
juga bertanggung jawab."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Sokurlah bahwa keduanya tidak menjadi korban
karenanya." Namun dalam pada itu, cahaya kemerah-merahan mulai
nampak membayang di langit. Karena itu, maka Pangeran
Singa Narpada pun berkata, "Kekuatan sirep itu akan
segera lenyap karena orang yang melontarkannya telah
terbunuh, apalagi sesaat kemudian kita akan sampai kebatas
ujung malam." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil memandang langit yang semakin cerah,
ia berkata, "orang-orang yang tinggal di sebelah
menyebelah ini pun akan segera terbangun. Mereka akan
menemukan kita dan menjadi heran atas diri mereka
sendiri, bahwa mereka tidak mendengar apa yang telah
terjadi, karena mereka tidak menyadari, bahwa mereka
telah terpukau oleh pengaruh sirep yang sangat tajam, yang
ternyata mampu menjangkau daerah yang luas.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ketika ia memandang ke
arah Mahisa Pukat, maka dilihatnya anak muda itu telah
menyeringai menahan sakit di seluruh tubuhnya.
Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada
maka pengaruh sirep pun semakin lama menjadi berkurang.
Selain karena orang yang melontarkan sirep itu sudah
terbunuh, juga karena pengaruh sirep itu memang tidak
dapat berlangsung untuk waktu yang terlalu lama.
Beberapa orang prajurit yang bertugas, mulai terbangun
dari tidur mereka yang nyenyak. Seorang perwira yang
memimpin para prajurit yang bertugas rasa-rasanya
bagaikan kehilangan jantung ketika ia melihat pintu
Gedung Perbendaharaan yang terbuka.
"Apa yang terjadi," perwira itu hampir berteriak.
Para petugas pun menjadi gempar. Yang masih belum
terbangun dari tidurnya yang terlalu nyenyak, telah
mengalami perlakuan yang kasar dari perwiranya.
Ditendangnya paha orang-orang yang masih tertidur itu
dengan bentakan-bentakan keras.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, apa yang kalian lakukan dalam tugas kalian,"
perwira itu hampir berteriak, "pintu Gedung
Perbendaharaan telah terbuka."
Para prajurit pun terhentak karena terkejut. Gedung
Perbendaharaan itu terbuka.
Selagi para prajurit itu kebingungan dan tidak tahu apa
yang dilakukannya, maka perwira pun telah
memerintahkan agar mereka untuk sementara tidak
melaporkan kepada siapapun juga.
"Aku akan menghadap Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Singa Narpada lah yang telah menangani bendabenda
terpenting didalam Gedung itu sejak Kediri
kehilangan benda yang sangat berharga," berkata Perwira
itu. "Peti perak yang ada di dalam Gedung Perbendaharaan
itu nampaknya tidak berada ditempatnya," desis seorang
prajurit yang pernah menyaksikan dari luar para petugas
yang merawat benda-benda berharga itu memasuki Gedung
Perbendaharaan. "Kita tidak tahu apa-apa tentang isi Gedung itu," jawab
perwira yang memimpin penjagaan malam itu, "karena itu,
sebelum Sri Baginda mendengar, aku akan menghubungi
Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian kita menjadi
pasti, apakah yang telah terjadi."
"Justru terbalik," berkata seorang prajurit, "kita
sebaiknya melaporkannya kepada Sri Baginda. Jika kita
menyampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka
belum lagi persoalannya diusut, kita sudah dicekiknya
sampai mati." "Tidak," jawab perwira itu, "aku yakin tidak. Pangeran
Singa Narpada memang seorang yang keras. Tetapi ia
bukan seorang pembunuh. Jika benda-benda berharga di
Gedung Perbendaharaan ini memang hilang, kita pantas
digantung di alun-alun. Aku tidak akan ingkar. Tetapi jika
yang terjadi lain, maka kita pun akan segera mengetahui
sehingga jantung kita tidak selalu diganggu oleh ketegangan
di setiap saat." Prajurit-prajuritnya pun tidak dapat mencegahnya lagi.
Perwira itu pun berniat untuk pergi ke istana Pangeran
Singa Narpada dan melaporkan apa yang terjadi, sekaligus
menyerahkan dirinya bersama para petugas yang lain untuk
diperlakukan apa saja. Namun dalam pada itu, ditempat lain pun telah terjadi
kegemparan pula. Beberapa orang yang terbangun dengan
perasaan heran karena mereka tertidur sangat nyenyak, dan
bahkan bangun sedikit kesiangan itu, telah menemukan
sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi di sebelah rumah
mereka. Bahkan sesuatu yang sangat mengerikan.
Ternyata ada diantara mereka yang terbangun itu yang
telah mengenali Pangeran Singa Narpada. Karena itu,
dengan wajah yang tegang orang itu menghadap sambil
bertanya, "Apa yang telah terjadi Pangeran?"
Pangeran yang masih sangat lemah karena luka-lukanya
yang cukup parah itu pun berkata, "Sampaikan keadaanku
kepada para prajurit yang bertugas di istanaku. Jangan
kepada yang lain. Aku memerlukan pertolonganmu."
Dengan tergesa-gesa orang itu pun telah berjalan menuju
ke istana Pangeran Singa Narpada, sementara Pangeran
Singa Narpada berpesan kepada orang-orang yang melihat
peristiwa itu, agar apa yang mereka lihat, jangan disebar
luaskan dahulu. Demikianlah, ketika orang yang mendapat perintah
Pangeran Singa Narpada itu sampai di istananya dan
menghubungi perwira prajurit yang bertugas, maka perwira
yang memimpin para petugas di Gedung Perbendaharaan
pun telah berada di istana itu pula.
Karena itu, maka ia pun telah mendengar dari mulut
orang yang mendapat perintah dari Pangeran Singa
Narpada, apa yang telah terjadi.
Dengan demikian maka para prajurit yang bertugas di
istana Pangeran Singa Narpada pun menjadi sibuk. Dengan
tergesa-gesa mereka telah menyiapkan beberapa ekor kuda.
Sejenak kemudian beberapa orang prajurit telah berderap
menuju ke tempat yang telah disebut oleh orang yang
memberitahukan apa yang telah terjadi dengan Pangeran
Singa Narpada itu. Bahkan perwira yang bertugas di
Gedung Pembendaharaan itu telah ikut pula bersama
mereka. Rasa-rasanya ia memang ingin bertemu dengan
Pangeran Singa Narpada, apapun yang akan terjadi atas
dirinya, biarlah terjadi.
Akhirnya Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra telah
ikut bersama Pangeran Singa Narpada. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang memerlukan perawatan yang lebih
baik agar luka mereka yang parah tidak membahayakan
jiwa mereka. Sejenak kemudian, maka pedati-pedati itu pun telah
meninggalkan bekas medan yang garang itu. Diiringi
beberapa orang prajurit, maka iring-iringan itu memang
tidak dapat menghindarkan diri dari perhatian rakyat
Kediri. Namun para prajurit yang mengawal pedati-pedati itu
tidak memberikan kesan ketegangan sama sekali. Wajah
mereka nampak cerah dan sikap mereka pun tidak menjadi
garang. Mereka tidak memegang senjata di tangan.
Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang melihat
iring-iringan itu tidak mendapat kesan bahwa sesuatu yang
garang telah terjadi di Kediri.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra berada
didalam pedati yang sama dengan Pangeran Singa Narpada
yang lemah. Sementara Mahendra menunggu kedua
anaknya yang dibaringkannya didalam pedati yang lain. Di
pedati berikutnya, terbaring orang-orang bertongkat yang
terluka dan menjadi lemah sekali. Di sebelah menyebelah
pedati-pedati yang dipergunakan untuk membawa mereka,
para pengawal berkuda mengamatinya dengan cermat,
meskipun tidak menimbulkan kesan kegarangan. Bahkan
orang-orang yang berada ditepi jalan melihat para pengawal
itu seakan-akan sedang mengiringi para bangsawan yang
sedang bertamasya. Beberapa saat kemudian pedati-pedati itu telah
memasuki halaman istana Pangeran Singa Narpada.
Sementara itu perwira yang bertugas di Gedung
Perbendaharaan Istana diperintahkan untuk kembali ke
tugasnya. "Kalian tidak perlu memberikan laporan apapun juga.
Peti itu akan segera aku kembalikan ke tempatnya. Aku
yakin meskipun aku belum melihatnya, tidak ada bendabenda
berharga lainnya yang hilang," berkata Pangeran
Singa Narpada. Perwira itu pun mengangguk hormat. Kemudian ia pun
telah memisahkan diri dan kembali ke tempat tugasnya.
Para prajurit yang bertugas semalam menerima
kedatangan perwiranya dengan jantung yang berdebardebar.
Rasa-rasanya mereka tidak tahan lagi menunggu
terlalu lama karena ketegangan yang mendesak didalam
dada mereka. Karena itu, begitu perwira itu meloncat dari kudanya
maka para prajurit itu pun telah mendekatinya dan
kemudian mengerumuninya. "Apakah kami akan digantung?" bertanya salah seorang
prajurit. Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
belum tahu, hukuman apa yang akan ditimpakan kepada
kita. Tetapi Pangeran Singa Narpada memerintahkan untuk
menutup kembali pintu yang terbuka itu. Pangeran Singa
Narpada tidak merasa perlu untuk melihat isinya lebih
dahulu. Mungkin karena Pangeran Singa Narpada yakin
bahwa memang tidak ada benda berharga yang hilang,
tetapi mungkin juga karena Pangeran Singa Narpada masih
dalam keadaan yang sangat lemah."
"Apa yang terjadi dengan Pangeran Singa Narpada?"
bertanya para prajurit. Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Singa
Narpada masih belum menceriterakan secara terperinci, apa
yang telah terjadi atas dirinya dan orang-orang yang
terbunuh dan terluka. Namun serba sedikit perwira itu
sudah dapat menangkap peristiwa yang mendebarkan.
Dengan singkat ia berkata, "Ada kekuatan yang telah
memasuki Gedung Perbendaharaan ini. Agaknya kita
sudah dicengkam oleh kekuatan sirep yang sangat kuat,
sehingga kita semuanya telah tertidur nyenyak. Peristiwa ini
mirip sekali dengan saat-saat sebuah benda yang paling
berharga hilang dari Gedung Perbendaharaan ini. Hal itu
ternyata telah terulang kembali, meskipun menurut
Pangeran Singa Narpada, tidak ada sesuatu yang hilang.
Mungkin isi dari peti perak itu sudah berhasil dikuasai
kembali oleh Pangeran Singa Narpada, sehingga Pangeran
Singa Narpada menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang
pantas digelisahkan."
Keterangan perwira itu memang sedikit dapat
menurunkan ketegangan para prajurit. Tetapi para prajurit
itu pun tahu, bahwa Pangeran Singa Narpada bukan
seorang yang dikendalikan saja oleh perasaannya. Mungkin
penalarannya telah mengekangnya untuk dengan cepat
mengambil keputusan. Namun sikapnya yang keras dan
tidak berdebar-debar, karena tidak mustahil mereka
dipanggil oleh Pangeran Singa.Narpada dan sambil
memandangi dengan wajah yang tenang tanpa
menunjukkan sikap yang keras, Pangeran itu mengucapkan
keputusan hukuman bagi mereka.
Namun dalam pada itu, perwira itu pun telah mematuhi
perintah Pangeran Singa Narpada. Ia sama sekali tidak
membuat laporan apapun. Perwira itu mengerti, bahwa
laporan yang diberikannya jika ia menyebut juga tentang
peti perak yang hilang, maka hal itu tentu akan
menggembirakan lingkungan keprajuritan dan tidak
mustahil akan segera sampai kepada Sri Baginda. Padahal,
sama sekali tidak terjadi sesuatu sebagaimana dimaksud
oleh Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian, maka yang tidak terjadi sesuatu itu
akan dapat menimbulkan persoalan yang mungkin akan
berkepanjangan. Karena itu, maka perwira itu juga memerintahkan
kepada para prajuritnya untuk tidak menyebut-nyebut apa
yang telah mereka alami. Mereka tidak usah mengatakan
tentang sirep dan apa yang telah terjadi atas mereka.
Beberapa orang prajurit yang berkuda di pagi-pagi yang
dingin itu memang menarik perhatian beberapa orang.
Tetapi karena para prajurit itu nampaknya tidak
menunjukkan sesuatu yang menimbulkan persoalan di
dalam hati orang-orang yang melihatnya, maka beberapa
saat kemudian, mereka pun telah melupakannya.
Dalam waktu yang singkat, maka para prajurit itu sudah
sampai di tempat Pangeran Singa Narpada menunggu.
Mereka pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat
keadaan Pangeran Singa Narpada, dan bahkan beberapa
sosok tubuh yang terbaring.
"Apa yang telah terjadi Pangeran?" bertanya perwira
yang memimpin sekelompok prajurit itu.
"Ceritera yang panjang," jawab Pangeran Singa
Narpada, "sekarang usahakan untuk mengatasi peristiwa ini
agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat
menggelisahkan rakyat Kediri khususnya di Kota Raja ini."
Perwira itu tidak mendesak untuk mendengar peristiwa
itu dalam keseluruhan. Pangeran Singa Narpada hanya
memberikan beberapa perintah tentang mayat-mayat yang
terdapat di tempat itu, serta mencari beberapa buah pedati
untuk membawa mereka yang terluka dan yang tertawan.
"Aku sendiri juga harus menumpang sebuah pedati,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Perwira itu pun segera melaksanakan perintah Pangeran
Singa Narpada dibantu oleh orang-orang yang tinggal di
sekitar tempat kejadian itu. Namun dengan pesan, agar
peristiwa itu tidak menimbulkan kegelisahan, sehingga
orang-orang yang ikut menyelenggarakan beberapa sosok
mayat, mendapat pesan untuk berhati-hati jika mereka pada
suatu saat harus menceriterakan kejadian yang mereka lihat
itu. Dalam pada itu, perwira yang bertugas di Gedung
Perbendaharaan Istana tidak sabar lagi menunggu. Karena
itu, ketika para prajurit dan orang-orang di sekitar tempat
itu sibuk mengurusi mayat-mayat dan orang-orang yang
terluka maka perwira itu telah menghadap Pangeran Singa
Narpada yang masih sangat lemah untuk menyampaikan
persoalannya. "Ampun Pangeran, hukuman apapun yang harus kami
terima, kami tidak akan ingkar. Tetapi perkenankanlah
kami mengetahui, apakah peti perak itu memang hilang
atau hanya dipindahkan tempatnya saja, atau mungkin
justru selain peti itu ada juga benda-benda berharga lainnya
yang hilang," bertanya perwira itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil menunjuk sebuah peti perak yang dibawa
oleh orang-orang yang telah dilumpuhkan itu Pangeran
Singa Narpada bertanya, "Peti itu yang kau maksud?"
Wajah orang itu menegang. Ia melihat sebuah peti perak
yang tergeletak begitu saja di dekat tempat yang menjadi
ajang pertempuran itu. Dengan ragu-ragu orang itu pun
kemudian bertanya, "Apa artinya ini Pangeran?"
"Nanti aku akan berceritera," berkata Pangeran Singa
Narpada, "tetapi jangan cemas tentang peti perak itu."
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
masih juga bertanya, "Atau mungkin ada benda-benda lain
yang hilang?" "Aku belum melihatnya, tetapi aku kira tidak ada benda
lain yang hilang, karena yang mereka cari adalah peti perak
itu," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Bukankah di dalam peti itu tersimpan benda yang
paling berharga?" bertanya perwira itu.
"Peti itu kosong. Seandainya tidak ada seorang pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melihat, maka kita tidak akan merasa kehilangan
apapun juga kecuali peti itu sendiri," jawab Pangeran Singa
Narpada, "tetapi baiklah kita berbicara nanti tentang peti
itu. Sekarang aku memerlukan kalian untuk menghapuskan
bekas-bekas peristiwa yang baru saja terjadi."
Perwira itu tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi dengan
demikian, maka ia tidak lagi dibayangi oleh ketegangan
tentang benda-benda berharga yang hilang. Peti perak itu
ternyata tidak berisi apapun juga. Apalagi benda yang
paling berharga sebagaimana dicemaskannya.
Dalam pada itu, maka dengan cepat segala sesuatunya
telah diselesaikan. Telah datang pula ke tempat itu beberapa
buah pedati yang akan dipergunakan untuk membawa
orang-orang yang tertawan, yang ternyata juga telah
terluka, Pangeran Singa Narpada sendiri serta Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang meskipun sudah sadar, tetapi
keadaannya masih sangat lemah.
Kepada orang-orang yang tinggal di sekitar tempat itu,
sekali lagi Pangeran Singa Narpada berpesan, agar mereka
tidak membuat kegelisahan dengan ceritera yang
berlebihan. "Semuanya sudah diatasi," berkata Pangeran Singa
Narpada, "karena itu, maka jika kalian berceritera harus
ada kesan, bahwa tidak akan ada bahaya apapun yang
mengancam kita semuanya."
Orang-orang yang tinggal di sekitar, arena itu dan yang
telah membantu menyelesaikan akibat dari pertempuran itu
mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka memang
melihat bahwa Pangeran Singa Narpada dan beberapa
orang yang belum mereka kenal, telah mengatasi semua
kesulitan. Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra tidak dapat
menolak ketika Pangeran Singa Narpada mempersilahkan
mereka untuk singgah di Istana Pangeran Singa Narpada.
"Kami tinggal di rumah sahabat kami," berkata Mahisa
Agni, "karena itu, maka sebaiknya kami minta diri lebih
dahulu." "Biarlah orang itu juga diundang ke istana kami,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "dengan demikian, maka
kita tidak kehilangan waktu sekarang ini, mengingat
keadaan kedua anak muda itu."
Kepada para prajuritnya perwira itu berkata, "Biarlah
Pangeran Singa Narpada sendiri melihatnya dan
memberikan laporan kepada Sri Baginda. Dengan demikian
maka semuanya akan jelas sebagaimana adanya. Jika Sri
Baginda hanya sekedar mendengar dari mulut kemulut dan
ceritera orang-orang yang tidak berhak, maka mungkin
ceritera itu akan berkisar dari keadaan yang sebenarnya."
Karena itulah, maka para jurit sama sekali tidak
berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi semalam.
Mereka saling berdiam diri, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada di istananya
telah mendapat pengobatan yang sebaik-baiknya. Seorang
tabib yang terbiasa merawatnya telah diundang.
Namun ternyata tabib itu berkata, "Ampun Pangeran.
Keadaan Pangeran ternyata cukup gawat. Karena itu,
pengobatannya adalah diluar kemampuanku. Namun aku
akan memanggil seorang kawanku yang akan bersamasama
dengan aku mencoba mengobati Pangeran. Luka-luka
di dalam tubuh Pangeran bukan sekedar luka sewajarnya.
Karena itu, untuk menyembuhkannya juga diperlukan
perawatan yang khusus."
Dengan demikian, maka di istana itu telah hadir dua
orang tabib yang bukan hanya sekedar mengobati Pangeran
Singa Narpada, tetapi juga yang lain-lain. Bahkan juga
orang-orang bertongkat yang telah menjadi tawanan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendapat
perhatian yan sungguh-sungguh karena keduanya benarbenar
dalam keadaan yang gawat. Untunglah, bahwa dalam
saluran ilmu, Witantra dan Mahendra setiap kali dapat
membantunya dengan menyalurkan ketahanan di dalam
tubuh masing-masing membantu kesulitan yang dialami
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam dirinya.
"Aku harus segera melaporkan keadaan ini kepada Sri
Baginda," berkata Pangeran Singa Narpada, "Sri Baginda
harus mendengar laporan ini dari mulutku langsung agar Sri
Baginda tidak mendapat gambaran yang salah."
"Tetapi Pangeran harus beristirahat dahulu," berkata
Mahisa Agni, "jika keadaan Pangeran sudah berangsur
baik, maka Pangeran akan dapat menghadap Sri Baginda."
"Tetapi selama itu, berita yang bersimpang siur telah
didengar oleh Sri Baginda," berkata Pangeran Singa
Narpada, "karena itu, maka aku harus menghadap
meskipun keadaan masih, sangat lemah. Aku memang
memerlukan seorang kawan yang akan dapat
membantuku." "Mungkin satu dua orang perwira kepercayaan
Pangeran?" bertanya Mahisa Agni, "namun Pangeran harus
dapat membatasi diri. Menghadap sebagaimana perlunya
saja. Selanjutnya Pangeran harus beristirahat sebanyakbanyaknya."
"Bagaimana jika kita menghadap bersama-sama?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Pangeran, sebaiknya aku tidak menghadap Sri Baginda.
Pangeran pun tidak usah melaporkan kehadiranku di
Kediri." "Kenapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Aku ingin berada di Kediri tanpa ikat-ikatan paugeran
justru karena aku pernah berada di Kediri," jawab Mahisa
Agni. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun katanya, "Baiklah. Aku akan menyebut orangorang
yang tidak dikenal yang telah membantuku."
Mahisa Agni tersenyum. Dengan nada datar ia berkata,
"Aku mengerti kesulitan Pangeran untuk memberikan
laporan, karena Pangeran tentu tidak seorang diri mengatasi
orang-orang yang memasuki Gedung Perbendaharaan.
Apalagi empat orang di antara mereka dapat ditangkap
hidup-hidup." "Aku akan menyebut anak-anak muda yang terluka itu
dan guru mereka yang kemudian dengan tergesa-gesa
meninggalkan istana ini," berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Agni tersenyum. Namun sementara itu, setelah
berbicara dengan Witantra dan Mahendra, Pangeran Singa
Narpada memutuskan untuk melaporkannya sebagaimana
dikatakannya itu. Tetapi karena keadaan Pangeran Singa Narpada yang
lemah, terpaksa Pangeran Singa Narpada mempergunakan
sebuah kereta untuk naik kereta yang ditarik oleh seekor
kuda. Tetapi biasanya ia lebih senang naik kuda saja.
Kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Sri
Baginda. Ternyata Sri Baginda telah mendengar laporan
tentang ristiwa yang baru saja terjadi meskipun tidak
lengkap dan simpang siur.
"Aku memang menunggu kedatanganmu," berkata Sri
Baginda. "Ampun Sri Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"hamba telah datang terlambat."
"Aku telah mendengar bahwa sesuatu telah terjadi di
luar dinding istana. Banyak orang yang menyaksikan, kau
tarluka dalam satu pertempuran. Namun lawan-lawanmu
telah terbunuh dan tertangkap," berkata Sri Baginda.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Memang sulit untuk merahasiakan satu peristiwa yang
dilihat oleh banyak orang. Mungkin mereka tidak dengan
sengaja menyebarkan berita itu dan apalagi
memutarbalikkan kenyataan yang terjadi. Namun karena
mereka sekedar membicarakannya sehingga berita itu
tersebar dari mulut kemulut, maka kemungkinan bahwa
berita itu telah berkembang dan menyusut, memang besar
sekali. Dengan nada dalam Pangeran Singa Narpada pun
kemudian berkata, "Ampun Sri Baginda. Justru karena
hamba telah terluka cukup parah, maka hamba telah
terlambat menghadap untuk memberikan laporan."
Sri Baginda mengangguk-angguk. Ia memang melihat
keadaan Pangeran Singa Narpada yang sangat lemah.
Bahkan masih nampak pada wajahnya yang kadang-kadang
menjadi tegang menahan sakit didalam tubuhnya.
"Sebaiknya kau beristirahat," berkata Sri Baginda.
"Hamba memang akan segera mohon ijin untuk
beristirahat sesuai pula dengan petunjuk tabib yang
mengobati hamba," berkata Pangeran Singa Narpada,
"namun hamba ingin menyampaikan laporan terperinci,
agar Sri Baginda dapat mendengar langsung dari mulut
hamba, karena jika Sri Baginda mendengar dari pihak yang
lain, mungkin akan ada selisih dari kenyataan yang terjadi
di Gedung Perbendaharaan itu."
Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti maksudmu. Katakanlah. Dengan demikian maka
kau akan dapat segera beristirahat."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia pun kemudian memberikan laporan terperinci
tentang peristiwa yang terjadi di istana dan tentang peti
peraknya yang diambil oleh orang-orang yang
mempergunakan cara seperti yang pernah terjadi. Para
penjaga telah terbius oleh ilmu sirep yang justru sangat
tajam, sehingga tidak terlawan oleh para perwira yang
bertugas. "Tetapi seandainya tidak ada orang yang melihat peti
perak itu diambil seseorang, maka kita tidak akan
kehilangan," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Kenapa?" bertanya Sri Baginda.
"Mahkota itu tidak ada didalam peti perak itu," jawab
Pangeran Singa Narpada. "Aku sudah menduga. Tetapi kenapa kau curiga dan
tidak menyimpan mahkota itu didalamnya," bertanya Sri
Baginda. "Orang bertongkat itu mengatakan, bahwa peti dapat
menyerap cahaya teja. Tetapi ketika mahkota itu sudah ada
didalam peti perak itu, maka ketika dengan susah payah
aku memusatkan penglihatan batinku, ternyata aku masih
melihat cahaya itu berdiri tegak seakan-akan menusuk
langit. Dengan demikian aku menjadi curiga karenanya,
dan aku tidak menyimpan mahkota itu didalam peti perak,
karena aku sudah menduga, bahwa cara itu sekedar untuk
mempermudah orang-orang didalam gerombolan itu untuk
mengambilnya." Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun Sri Baginda
sudah dapat menelusuri cara berpikir Pangeran Singa
Narpada sehingga ialah yang kemudian justru telah
mengelabuhi orang-orang yang ingin mencuri pusaka yang
sangat berharga. Namun kemudian Sri Baginda pun bertanya, "Tetapi
siapakah orang-orang yang telah membantumu. Menurut
pendengaranku, sama sekali bukan prajurit Kediri."
"Anak-anak muda dari sebuah perguruan bersama
gurunya," jawab Pangeran Singa Narpada, "dua anak muda
yang membantu hamba untuk menangkap orang-orang
yang mencuri peti itu. Sebenarnya hamba dapat
membiarkan saja mereka membawa peti itu karena peti itu
memang tidak berisi mahkota sebagaimana mereka
inginkan. Tetapi timbul keinginan hamba untuk menangkap
mereka dan kemudian bertanya kepada mereka, apakah hal
itu mereka lakukan untuk kepentingan mereka sendiri, atau
ada pihak lain yang memperalat mereka. Karena itu, maka
terjadilah pertempuran, yang ternyata dalam pertempuran
itu hamba tetah terluka dan kedua anak muda itu telah
terluka parah. Namun hamba telah berhasil membunuh
guru dari orang-orang yang berusaha mencuri mahkota itu."
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun
Pangeran Singa Narpada telah memenuhi permintaan
Mahisa Agni dan Witantra untuk tidak menyebut namanya.
Ketika Sri Baginda bertanya, siapakah guru anak-anak
muda yang terluka itu, maka Pangeran Singa Narpada
menjawab, "Namanya Mahendra. Sebenarnya ia adalah
seorang pedagang keliling. Mahendra bukan seorang
pertapa yang tinggal di sebuah padepokan. Tetapi ia telah
menjadikan kedua orang anaknya sebagai muridnya."
"Dimanakah Mahendra itu sekarang?" bertanya Sri
Baginda. Pangeran Singa Narpada ragu-ragu untuk mengatakan
bahwa Mahendra masih berada di rumahnya. Karena
dengan demikian Sri Baginda akan dapat memanggilnya
dan bertanya tentang bermacam-macam persoalan. Jika ada
terselip kata, Mahendra akan dapat menyebut Mahisa Agni
atau Witantra. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Mahendra telah meninggalkan Kediri. Namun setiap saat
ia akan kembali ke rumah hamba, karena kedua anaknya
ada di rumah hamba untuk mendapat pengobatan."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu ketika Sri
Baginda tidak segera menyatakan sesuatu.
Namun akhirnya Sri Baginda berkata, "Baiklah. Jika
kedua anak yang membantumu itu sembuh, bawalah
mereka menghadap. Adalah lebih baik jika kau bawa juga
ayahnya yang juga gurunya itu apabila pada suatu saat ia
datang." "Hamba Sri Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"Mahendra adalah seorang pedagang keliling. Pada suatu
saat yang dekat ia tentu akan datang ke Kediri. Selain
menengok anaknya ia juga mempunyai hubungan dagang
dengan beberapa orang Kediri."
"Baiklah," sahut Sri Baginda. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang kau
tawan?" "Mereka masih dalam keadaan parah. Jika mereka
berangsur baik, maka kita akan dapat menyadap keterangan
dari orang-orang itu," jawab Pangeran Singa Narpada.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan dengan perawatan yang baik, mereka
akan cepat sembuh, setidak-tidaknya mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan kita."
Sri Baginda mengangguk-angguk. Dengan laporan
Pangeran Singa Narpada ia menjadi jelas, apa yang telah
terjadi. Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada telah
menyelamatkan lagi mahkota yang ternyata hampir saja
hilang lagi setelah dengan mempertaruhkan nyawanya
Pangeran Singa Narpada mencarinya hingga mahkota itu
diketemukan. Dan kini Pangeran Singa Narpada pun dalam keadaan
terluka sehingga keadaannya masih sangat lemah.
Namun karena itu, maka Sri Baginda pun berkata,
"Singa Narpada. Bukankah dengan peristiwa-peristiwa itu
berarti bahwa beberapa pihak diluar istana ini mengetahui,
dan bahkan mereka menerima anggapan bahwa di dalam
mahkota itu telah tersimpan wahyu keraton."
"Ya Sri Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"anggapan itu tentu akan tersebar semakin lama semakin
luas. Orang-orang akan menganggap bahwa siapa yang
memiliki atau menyimpan mahkota itu akan dapat
memegang kekuasaan di Kediri. Anggapan itulah yang
berbahaya, sehingga banyak pihak yang berusaha untuk
memiliki mahkota itu."
"Dengan demikian maka kita harus memikirkan, cara
pengamanan yang lebih baik dari masa yang lewat. Jika kali
ini kau tidak menaruh kecurigaan dan menyimpan mahkota
itu dengan cara yang khusus, maka mahkota itu tentu sudah
hilang lagi dari Gedung Perbendaharaan," berkata Sri
Baginda. Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Kita akan segera mengambil langkah-langkah Sri
Baginda." Sri Baginda pun mengangguk-angguk pula. Namun
nampak oleh Sri Baginda bahwa keadaan Pangeran Singa
Narpada masih sangat letih. Karena itu maka katanya,
"Baiklah Singa Narpada. Kita masih akan dapat berbicara
panjang jika keadaanmu sudah memungkinkan. Sekarang
kembalilah ke istanamu. Beristirahatlah sebaik-baiknya.
Untuk langkah pertama, maka kau akan memerintahkan
untuk melipatkan penjagaan. Prajurit akan tersebar di satu
daerah yang luas, sehingga apabila terjadi lagi seorang yang
memiliki ilmu sirep yang tajam, maka prajurit yang tersebar
itu akan mengalami tingkat cengkaman ilmu sirep yang
berbeda, sehingga memungkinkan beberapa orang
diantaranya dapat mengenalinya. Kelak jika kau sudah
baik, maka segalanya terserah kepadamu."
"Ampun Baginda," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Terima kasih atas kesempatan bagi hamba untuk
beritirahat. Namun hamba masih ingin singgah sejenak di
Gedung Perbendaharaan Istana untuk melihat dan meneliti
apa yang telah terjadi."
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun
mengundurkan diri dari hadapan Sri Baginda. Bersama
perwira yang menyertainya telah pergi ke Gedung
Perbendaharaan. Dengan cermat ia melihat isi Gedung
Perbedaharaan yang ternyata masih utuh itu. Mahkota yang
menjadi sasaran orang-orang bertongkat itu masih berada
dilemparnya, karena mahkota itu memang tidak disimpan
di dalam peti perak, meskipun peti perak itu semula
diletakkan di tempat yang langsung dapat menarik
perhatian orang-orang yang memasuki Gedung
Perbedaharaan. Dengan demikian maka dengan hati yang tenang,
Pangeran Singa Narpada telah berkata kepada perwira yang
bertugas pada saat mahkota itu hilang, "Jangan cemas. Kau
tidak kehilangan apapun juga malam ini, kecuali nyawaku
yang hampir saja dibawa oleh para pencuri itu."
"Ampun Pangeran," perwira itu menunduk dalamdalam,
"hukuman apapun yang harus kami pikul, akan
kami jalani dengan pasrah."
"Kalian tidak akan dihukum. Tetapi kalian harus lebih
berhati-hati. Kalian harus berjuang melawan ilmu sirep.
Sebab jika kalian menyerah, maka kalian benar-benar akan
dicengkam oleh ilmu itu tanpa dapat melawan."
"Kami mengerti Pangeran," jawab perwira itu, "kami
telah mendapat satu pengalaman yang sangat menarik kali
ini." "Baiklah," jawab Pangeran Singa Narpada, "kalian akan
segera mendapat kesempatan beristirahat, karena pengganti
kalian seharusnya telah melakukan tugasnya sejak pagi hari.
Kalian dapat menceriterakan pengalaman kalian kepada
pengganti kalian agar pengganti kalian menjadi berhati-hati.
Meskipun beberapa orang diantara mereka telah tertangkap,
tetapi kita tidak tahu, apakah jumlah mereka dan para
pengikutnya yang lain tidak akan berbuat apa-apa."
"Baiklah Pangeran," jawab perwira itu, "hamba akan
melakukannya sebaik-baiknya."
Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada itu
pun meninggalkan istana itu dengan hati yang tenang.
Apalagi Sri Baginda memang sudah memerintahkan untuk
memperkuat penjagaan dan memberikan perintah kepada
perwira untuk mengambil langkah-langkah menghindari
cengkaman sirep yang tajam yang akan dapat membius
semua orang petugas. Pangeran Singa Narpada yang masih sangat lemah itu
pun kemudian telah kembali ke istananya dan
menceriterakan apa yang telah dilakukannya.
"Aku mengatakan bahwa yang ada di istana ini tinggal
kedua anak-anak muda itu," berkata Pangeran Singa
Narpada kemudian. "Terima kasih Pangeran," jawab Mahisa Agni, "dengan
demikian telah dihindari satu hubungan yang diikat oleh
paugeran dan basa basi yang justru akan menjadi sangat aku
dan menegangkan. Agaknya kami yang tua-tua ini lebih
senang berada di Kediri dengan cara ini."
"Aku mengerti," sahut Pangeran Singa Narpada,
"karena itu aku tidak melaporkannya kepada Sri Baginda.
Mudah-mudahan hal ini tidak menjadi sebab kesalahanku
jika pada suatu saat Sri Baginda mengetahuinya."
"Bagaimana dengan orang-orang yang terbunuh dan
yang menyerah," bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Agni tersenyum. Namun ia pun kemudian
berkata, "Sri Baginda tidak akan mengetahui Pangeran.
Kami memang tidak akan terlalu lama berada di Kediri."
"Kami sama sekali tidak mengusir kalian," jawab
Pangeran Singa Narpada, "kami akan senang sekali jika
kalian tetap tinggal disini."
"Terima kasih," jawab Mahisa Agni, "kami berdua
adalah perantau yang tidak akan dapat menetap terlalu
lama di sini. Kami akan meninggalkan Kediri, tetapi kami
Kembalinya Sang Mumi 1 Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Lembah Akhirat 2
^