Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 14

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14


"Terima kasih Kiai. Tetapi rasa-rasanya memang sukar untuk melepaskan diri sama sekali dari pengaruh berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan."
"Kami mengerti. Tetapi kami harus dapat membagi perhatian kami. Memang mungkin kami akan melakukan dua tugas sekaligus jika kami pada saatnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Demang mengangguk-angguk sekali lagi. Katanya, "Semuanya sudah tersusun. Terserah kepada Kiai, kapan Kiai akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Keputusan kami sekeluarga, berdasarkan keputusan pembicaraan orang-orang tua di Sangkal Putung."
"Tetapi keputusan itu harus dimatangkan, dan suatu kepastian harus diambil agar kelak tidak akan dapat menumbuhkan persoalan lagi." .
"Baiklah. Aku akan mengundamg orang-orang tua sekali lagi. Lalu semuanya akan pasti. Dan Kiai akan segera berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang ia pun ingin segera pergi, sekaligus menemui Ki Juru Martani di Mataram yang tentu sedang dicengkam oleh kegelisahan dan kekhawatiran atas hilangnya kedua pusaka itu.
"Mudah-mudahan hilangnya dua pusaka itu akan tetap merupakan rahasia yang tidak akan pecah dan mengalir ke luar dinding rumah Raden Sutawijaya," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Demikianlah maka persoalan-persoalan yang susul menyusul tumbuh dihati Ki Demang di Sangkal Putung dan tamu-tamunya. Betapa mereka berusaha untuk memisahkan persoalan yang satu dengan yang lain, namun di dalam diri mereka, keduanya saling berdesakkan berebut tempat.
Di dalam biliknya, Kiai Gringsing masih selalu mengamati benda yang berlukiskan ciri-ciri yang belum dapat dikenalnya itu. Bahkan Kiai Gringsing pun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa ciri-ciri yang terpahat pada benda pipih yang terbuat dari perak bakar yang berwarna kehitam-hitaman itu tentu ciri-ciri yang baru saja dibuat oleh sebuah perguruan yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit. Ciri-ciri itu tentu bukan seperti ciri-ciri yang terdapat dipergelangan tangannya, karena hampir setiap perguruan mengenal perguruan yang dipimpin oleh Empu Windujati. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Ia pun teringat betapa orang-orang dari goa yang disebut Susuhing Angin mencoba mencampuri persoalan yang saat itu membakar Demak oleh api pertentangan antara Pajang dan Jipang. Dalam keadaan yang mendesak sekali, ia pun mulai melepaskan ciri-ciri perguruan Windujati, Dan ternyata ciri-ciri itu membawa pengaruh atas orang-orang dari goa yang disebut Susuhing Angin itu. Mereka dengan diam-diam menarik diri dari persoalan yang sedang membakar Pajang dan Jipang, karena mereka tidak bersedia berhadapan dengan orang-orang dari perguruan Windujati.
(BERSAMBUNG) "Apakah orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu dan menyatakan dirinya keturunan darah Majapahit itu akan dapat dipengaruhi dengan ciri-ciri perguruan Windujati?" bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri.
"Semuanya masih samar-samar," ia menjawab sendiri, "mungkin mereka justru memancing timbulnya orang-orang yang menganggap diri mereka keturunan Majapahit pula," berkata Kiai Gringsing kemudian di dalam hatinya, "karena itu, agaknya lebih baik bagiku untuk menunggu. Jika datang saatnya, maka perkembangan keadaan akan dapat menentukan, apakah yang sebaiknya aku lakukan."
Dengan demikian, maka akhirnya Kiai Gringsing tidak berusaha untuk mengambil sikap apa pun juga sebelum ia dapat bertemu dengan Ki Juru. Yang dapat dilakukannya segera adalah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh membawa pesan Ki Demang dan ikut membantu penyelenggaraan peralatan perkawinan itu.
Namun demikian, sekali-sekali Kiai Gringsing tanpa disadarinya, memandang lukisan yang ada di pergelangan tangannya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan dirinya, bahwa ciri-ciri itu masih akan tetap mempunyai pengaruh terhadap me reka yang mengaku keturunan darah Majapahit.
Tetapi Kiai Gringsing tidak berbuat apa-apa. Ia benar-benar menunggu sampai saatnya ia akan pergi ke Mataram.
Selain Kiai Gringsing sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar dan Ki Waskita pun selalu dipengaruhi oleh berita hilangnya kedua pusaka yang diambil oleh orang-orang yang dengan sengaja menyebut dirinya keturunan Majapahit itu. Tetapi agaknya mereka mengerti, bahwa Kiai Gringsing masih belum ingin membicarakannya, sampai saatnya mereka berada di Mataram.
Karena itu, maka mereka pun tanpa berjanji tidak menanyakan lebih lanjut tentang kedua pusaka yang hilang dan tentang ciri yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Seolah-olah mereka pun telah bersepakat untuk membicarakannya kelak apabila diantara mereka terdapat Ki Juru Martani..
Yang menjadi persoalan seterusnya adalah hari-hari perkawinan Swandaru. Ki Demang memanggil orang-orang tua di Kademangannya untuk sekali lagi mematangkan pembicaraan. Seterusnya, mereka bersama telah sependapat, bahwa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskitalah yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyampaikan keputusan yang terakhir itu.
Kiai Gringsing tanpa mempertimbangkannya lagi langsung menerima tugas itu. Semula ia berniat untuk mengantarkan saja satu atau dua orang tua dari Sangkal Putung yang akan dengan resmi mewakili Ki Demang. Tetapi karena keadaan yang berkembang tanpa dikehendakinya, maka ia mengurungkan niatnya, dan langsung mengambil tugas itu diatas pundaknya.
"Jika ada orang lain diantara kami, maka ia justru hanya akan mengganggu tugas kami dan terlebih-lebih lagi semua pembicaraan dengan Ki Juru," berkata Kiai Gringsing di dalam hati, lalu, "adalah kebetulan sekali aku adalah guru Swandaru yang dapat mewakili orang tuanya sepenuhnya, seperti orang-orang tua dari Sangka1 Putung."
"Perkawinan akan berlangsung kira-kira empat puluh hari lagi," berkata Ki Demaug kepada Kiai Gringsing, "masih ada waktu untuk memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede mempunyai pertimbangan lain, masih ada waktu pula untuk merubah saat itu. Mudah-mudahat perjalanan Kiai tidak terganggu oleh peristiwa apa pun sehingga Kiai baru dapat kembali ke Sangkal Putung setelah lewat empat puluh hari."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Kami akan secepatnya kembali. Jika ada persoalan yang menghambat perjalanan kami, maka salah seorang dari kami akan mendahului dan memberitahukan hasil perjalanan kami."
Ternyata yang kemudian menjadi tergesa-gesa adalah Kiai Gringsing. Sebelum Ki Demang menentukan saat keberangkatan mereka, Kiai Gringsing sudah berkata, "Besok pagi-pagi aku akan berangkat."
Hampir saja Ki Demang menebak maksud Kiai Gringsing, bahwa ia akan segera menemui Ki Juru untuk membicarakan masalah pusaka-pusaka yang hilang. Untunglah ia pun segera menyadari bahwa hilangnya kedua-pusaka itu merupakan rahasia yang harus disimpan rapat-rapat.
Namun oleh karena Ki Demang mengerti kepentingan yang sebenarnya mendorong Kiai Gringsinn untuk pergi dengan segera, maka ia pun menjawab, "Baiklah Kiai. Bagi kami semakin cepat semakin baik. Juga bagi Ki Gede Menoreh. Kira-kira selapan hari adalah waktu yang sangat pendek bagi persiapan peralatan perkawinan. Apalagi bagi seorang anak perempuan Kepala Tanah Perdikan. Meskipun sebelumnya Ki Argapati tentu sudah membuat beberapa persiapan, namun kepastian hari baru akan didengarnya setelah Kiai sampai ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Kami menyadari," sahut Kiai Gringsing, "karena itu kami akan segera pergi."
Ternyata bahwa waktu keberangkatan itu telah menjadi keputusan. Kiai Gringsing dan kedua kawannya akan berangkat pada pagi-pagi dihari berikutnya.
Di malam hari menjelang keberangkatan Kiai Gringsing, maka dipanggilnyalah kedua murid-muridnya. Kepada Swandaru ia berkata, "Kau akan menempuh suatu masa yang paling penting di dalam kehidupanmu. Karena itu, sebaiknya untuk sementara kau tinggal di rumah. Tidak baik kau ikut dalam perjalanan yang mungkin akan dapat membahayakan dirimu."
Swandaru menganggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa. calon pengantin tidak dibenarkan untuk menempuh perjalanan yang jauh apalagi berbahaya.
Kemudian Kiai Gringsing berpaling kepada Agung Sedayu, "Kau pun tidak perlu mengikuti perjalanan kami kali ini. Kau kawani Swandaru di rumah. Lebih daripada itu, kalian harus mengerti, bahwa kemungkinan-kemungkinan yang gawat dapat terjadi pula atas Sangkal Putung. Karena itu, tenagamu mungkin sangat diperlukan disini. Kau, Swandaru dan Sekar Mirah, di samping pengawal-pengawal Kademangan, akan merupakan kekuatan yang cukup untuk melindungi Kademangan ini. Hilangnya pusaka-pusaka itu dari Mataram memerlukan pengamatan yang bersungguh-sungguh dari setiap pihak. Apalagi apabila ada diantara orang-orang itu yang mengerti bahwa di Kademangan ini sering singgah orang-orang yang bersenjata cambuk."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Sebenarnya ia sangat kecewa, bahwa ia tidak dapat ikut pergi bersama gurunya. Namun ia mengerti, bahwa memang sebaiknya ia mengawani Swandaru di rumahnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu masih juga bertanya kepada gurunya , "Kapankah kira-kira2 Kiai akan kembali?"
"Aku tidak dapat mengatakan," jawab Kiai Gringsing, "tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mengabaikan saat-saat perkawinan Swandaru. Dengan demikian kami harus segera kembali. Jika ada sesuatu yang penting sehingga aku sendiri tertahan diperjalanan, maka salah seorang dari kami akan mendahului. Dalam keadaan seperti ini aku berharap agar Ki Waskita tidak sekedar minta diantar pulang."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan singgah saja sebentar agar keluargaku tidak selalu dibayangi oleh kecemasan. Aku kemudian akan minta diri untuk mengantar Kiai Gringsing yang sedang membicarakan masalah perkawinan. Dengan demikian keluargaku mendapat gambaran yang selalu baik terhadap perjalananku yang kemudian."
"Terima kasih," sahut Kiai Gringsing, lalu katanya kepada kedua muridnya, "Hati-hatilah kalian di rumah. Kita tidak tahu perkembangan apa saja yang akan terjadi di Mataram dan juga di Pajang. Kademangan ini berada dijalur lurus antara Pajang dan Mataram."
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu.
"Aku tidak membayangkan yang bukan-bukan," berkata Kiai Gringsing kemudian, "tetapi agaknya ada orang-orang yang tidak sabar lagi melihat perkembangan Mataram. Dan orang-orang itu adalah orang-orang Pajang. Kau tentu tidak akan dapat melupakan Ki Gede Pemanahan dan kemudian Ki Juru Martani sendiri harus melihat kenyataan yang pahit itu."
Kedua murid Kiai Gringsing itu menarik nafas. Namun pada Agung Sedayu terasa tekanan yang sangat berat. Jika benar-benar terjadi sesuatu, yang paling mencemaskannya bukannya, garis lurus antara Pajang dan Mataram. Jika datang pasukan segelar sepapan dari Pajang yang dipimpin oleh orang-orang yang sekedar dibakar perasaan iri, maka ia tidak akan gentar meskipun tidak dapat dikatakan dengan pasti, bahwa Sangkal Putung akan dapat melindungi dirinya sendiri.
Tetapi yang paling pahit baginya, apabila ia harus berhadapan dengan pasukan yang justru tidak datang langsung dari Pajang. Bagaimana jika pada suatu saat Untanr dapat di pengaruhi oleh orang-orang yang menentang berdirinya Mataram dan membawa pasukannya turun dari Jati Anom"
Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada siapa pun. ia tetap menyimpan perasaan-perasaan itu, dan menghibur dirinya sendiri, "Agaknya aku di gelisahkan oleh angan-angan yang sama sekali belum nampak kemungkinannya akan terjadi.?"
Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih memberikan beberapa pesan kepada murid-muridnya. Ia tidak lupa memperingatkan bahwa yang mereka ketahui tentang pusaka-pusaka yang hilang itu adalah rahasia yang paling besar bagi Mataram disaat pertumbuhannya.
"Apakah Sekar Mirah boleh mengetahuinya?" bertanya Ki Sumangkar.
"Jika Ki Sumangkar yakin bahwa Sekar Mirah pun dapat memegang rahasia seperti Agung Sedayu dan Swandaru, maka tidak ada keberatannya ia mengetahuinya. Tetapi aku kira tidak dengan Nyai Demang. Dan aku berharap bahwa Ki Demang tidak mengatakannya pula kepada Nyai Demang."
"Tentu Ki Demang tidak akan mengatakannya kepada Nyai Demang," sahut Ki Waskita, "Ki Demang dapat membedak-bedakan manakah yang dapat dan manakah yang tidak dapat dikatakannya."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk.
"Malam sudah larut," berkata Kiai Gringsing, "kami yang esok akan pergi, perlu beristirahat barang sejenak. Namun demikian, aku masih perlu memberitahukan kepada Agung Sedayu dan Swandaru bahwa kau harus berusaha untuk mengatasi setiap kesulitan yang dapat terjadi sebelum kesulitan yang sebenarnya. Maksudku, seperti Mataram, sebe-lum kedua pusaka itu hilang, rumah Ki Gede Pemanahan telah diliputi oleh suasana yang tidak wajar karena kekuatan sirep. Aku telah memberikan petunjuk kepada kalian berdua, bagaimana melawan kekuatan sirep itu. Jika kalian merasakan ketidak wajaran menyelimuti suasana Kademangan ini, maka kalian harus dengan cepat berusaha memusatkan semua daya tahan yang ada di dalam diri kalian untuk mela-wannya. Pemusatan pikiran dan getaran diri akan dapat membebaskan kalian sebelum kalian dapat membebaskan orang lain yang memiliki kekuatan betapa pun kecilnya, dan yang masih belum terlanjur dicengkam oleh pengaruh itu."
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Sejak terasa suasana yang tidak wajar selagi mereka akan meninggalkan Mataram, Kiai Gringsing sudah memperdalam ilmu yang ada di dalam diri murid-muridnya untuk melawan kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata seperti ilmu sirep.
Demikianlah maka mereka pun kemudian pergi ke pembaringan masing-masing. Untuk beberapa saat mereka masih tetap berangan-angan. Tetapi kemudian mereka pun segera tertidur dengan nyenyaknya. Hanya Swandaru sajalah yang menjadi gelisah. Bukan saja karena pusaka-pusaka yang hilang, tetapi ia selalu dibayangi oleh berbagai macam kecemasan tentang hari-hari perkawinannya.
Namun akhirnya Swandaru pun tertidur pula menjelang; dini hari.
Ketika cahaya merah mulai membayang, maka Kiai Gringsing telah bangkit dari pembaringannya, diikuti oleh Ki Waskita dan Sumangkar. Mereka pun segera pergi kepakiwan. untuk mandi dan kemudian berbenah, karena mereka ingin berangkat pagi-pagi benar agar mereka tidak kepanasan disepanjang perjalanan, sementara Agung Sedayu telah mengisi jambangan dipakiwan itu.
Seluruh keluarga Kademangan Sangkal Putung mengantar Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar sampai ke pintu gerbang halaman ketika mereka berangkat. Sambil menepuk pundak Swandaru, Kiai Gringsting yang sudah memegangi kendali kudanya berkata, "Hati-hatilah. Kau harus banyak berprihatin menghadapi hari-hari yang sangat penting di dalam hidupmu," ia berhenti sejenak, lalu, "dan yang penting, agar kau menjadi bertambah langsing."
Yang mendengar pesan itu tertawa. Swandaru pun tertawa pula sambil menjawab, "Baik Guru. Aku akan mengurangi makar dan tidur. Sehari tidak lebih dari tiga kali makan dan tidak lebih banyak lagi dari batas kekenyangan."
Sekar Mirah mencubit lengan kakaknya sambil berdesis, "Pantas. Dihari perkawinan itu kau akan benar-benar menjadi bulat seperti jeruk bali."
Demikianlah sejenak kemudian Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera meloncat kepnnggung kudanya. Sambil, tersenyum Ki Sumangkar berkata, "Kini kami yang tua-tualah yang akan bertamasya."
"Selamat jalan," berkata Ki Demang, "salamku kepada semuanya. Ki Gede Menoreh, Ki Juru, Raden Sutawijaya dan siapa saja."
Agung Sedayu yang berdiri disebelah Swandaru memandang ketiga orang yang segera berangkat itu dengan wajah yang tegang. Seolah-olah ia tidak melihat perjalanan itu sebagai sebuah perjalanan utusan yang akan membicarakan masalah perkawinan. Tetapi yang menempuh perjalanan itu adalah orang-orang yang memiliki Ilmu yang tinggi yang sedang digelisahkan oleh hilangnya dua buah pusaka dari Tanah Mataram. Pusaka-pusaka yang sangat penting artinya bagi gairah perjuangan Raden Sutawijaya. Apalagi ditangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, pusaka-pusaka itu akan menjadi pendorong untuk melakuKan tindakan-tindakan yang lebih jauh lagi.
Sekali-sekali Kiai Gringsing masih juga berpaling. Ada sesuatu yang terasa melonjak didatam hati. Kepergiannya bertiga memang akan menjadi sebuah perjalanan yang penting. Tetapi jika orang-orang yang mengambil pusaka itu mempunyai tujuan yang lain pula, apalagi apabila mereka mengenal bahwa orang-orang bercambuk yang ada di Sangkal Putung adalah orang-orang yang mempunyai sentuhan ilmu dengan perguruan Windujati yang sudah lama tidak terdengar lagi, maka murid-muridnya akan dapat mengalami kemungkinan yang pahit.
"Mudah-mudahan tidak demikian," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, "mudah-mudahan perhatian mereka terpusat kepada pusaka-pusaka yang ada di Mataram itu saja."
Namun demikian Kiai Gringsing tidak mengatakannya kepada kedua kawannya diperjalanan. Kecemasannya itu disimpannya saja di dalam hatinya.
Namun, meskipun Kiai Gringsing tidak mengatakannya, agaknya kedua kawan seperjalanannya pun merasakannya juga kecemasan yang serupa.. Bahkan Ki Sumangkar berkata di dalam hatinya, "Jika orang-orang yang mengambil pusaka itu sengaja menunggu kami meninggalkan Mataram karena mengetahui bahwa diantara kami terdapat seseorang keturunan Empu Windujati, maka kesulitan yang dialami oleh Mataram itu akan dapat menjalar ke Sangkal Putung, justru karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak pergi bersama kami." Tetapi kemudian, "mudah-mudahan tidak."
Berbeda dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, maka Ki Waskita mencoba melihat sesuatu yang barangkali akan dapat menjadi isyarat apa pun yang dapat memberinya sekedar petunjuk, apakah yang bakal terjadi kemudian di Sangkal Putung. Namun ia tidak melihat sesuatu. Dan Ki Waskita mengambil kesimpulan, bahwa untuk waktu yang pendek, Sangkal Putung tidak akan .mengalami kesulitan. Tetapi waktu yang pendek itu merupakan sebuah teka-teki pula baginya.
"Persoalan yang terlampau banyak mengandung segi-segi kemungkinan, memang sulit untuk dilihat," berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Namun kemudian, "Memang penglihatan seseorang betapa pun sempurnanya, tentu akan menjadi sangat terbatas untuk mengetahui seluruh rahasia dari alam ini."
Dengan demikian, maka di perjalanan ke Mataram, tidak banyak yang dipercakapkan oleh ketiga orang tua-tua itu. Mereka lebih banyak berbicara dengan angan-angan mereka masing-masing.
Dalam pada itu, yang mereka tinggalkan di Sangkal Putung pun menjadi sibuk pula dengan kerja masing-masing. Kademangan Sangkal Putung mendapat perbaikan yang cukup banyak. Sudah lama rumah itu tidak mendapat perbaikan apalagi perubahan.
Maka menjelang saat-saat perkawinan anak laki-laki satu-satunya dari Ki Demang Sangkal Putung, rumahnya pun mendapat perhatian sepenuhnya.
Dalam pada itu, meskipun masih juga ada ingatan Swandaru atas pusaka-pusaka yang hilang, namun perhatiannya semakin lama semakin condong kepada kepentingannya sendiri yang sudah dekat. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu saat yang sudah ditentukan oleh ayahnya dan orang-orang tua di Sangkal Putung itu. Apalagi apabila Ki Gede Me-noreh kemudian justru menunda saat-saat perkawinan itu dengan berbagai macam alasan.
Berbeda dengan Swandaru, perhatian Agung Sedayu masih lebih banyak tertumpah kepada perjalanan Kiai Gringsing dan kedua orang kawannya itu. Rasa-rasanya ada hubungan yang rapat antara hilangnya kedua pusaka itu dengan kehadiran gurunya yang juga disebut sebagai keturunan dari Majapahit, meskipun ia tidak tahu lebih banyak lagi tentang gurunya selain sekedar seorang yang memiliki darah keturunan Majapahit seperti yang didengarnya.
Meskipun demikian Agung Sedayu ikut pula sibuk membantu keluarga Ki Demang di Sangkal Putung. Pada dasarnya Agung Sedayu memang seorang anak muda yang rajin dan ringan tangan. Namun di Sangkal Putung, ia medapat tanggapan yang lain. Seorang anak muda Sangkal Putung sambil tersenyum menggamit kawannya dan berbisik, "Lihat calon menantu Ki Demang itu. Betapa rajinnya."
Yang lain tertawa tertahan. Jawabnya, "Tetapi aku tidak iri hati."
"Ah, macam kau. Pantasnya kau menjadi pekatiknya."
Keduanya pun tertawa. Tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan wajahnya, agar Agung Sedayu tidak merasa bahwa mereka sedang memperhatikannya.
Tetapi Agung Sedayu tidak memperhatikan apa pun juga. Perhatiannya benar-benar tertambat kepada gurunya. Ia dapat merasa betapa Kiai Gringsing ikut merasa bertanggung jawab akan hilangnya Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung dari Mataram. Jika ternyata ada darah keturunan Majapahit yang berbuat berdasarkan nafsu semata-mata, maka mereka tentu akan mencemarkan seluruh keturunan Majapahit. Betapa besarnya Majapahit yang pernah hadir di persada Tanah Kelahiran yang terbentang meliputi beribu-ribu pulau sebagai ujud hasrat persatuan rakyatnya, namun jika keturunannya adalah orang-orang yang sekedar dikuasai oleh nafsu justru setelah Majapahit surut, maka kesan yang tumbuh adalah, bahwa sebenarnya Majapahit adalah sekedar perbendaharaan nafsu semata-mata. Kekuasaan yang dilandasi olen kekuatan dan kemampuan mempertahankan kekuasaan itu.
Kesan yang demikian itulah yang tentu sangat mengganggu Kiai Gringsing. Seorang keturunan Majapahit yang sama sekali tidak pernah memikirkan kekuasaan dan mempergunakan kekuatannya untuk membangunkan kekuasaan.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya berpacu semakin cepat. Perjalanan ke Mataram bukan perjalanan yang sulit lagi. Meskipun belum sempurna, tetapi jalur-jalur jalan sudah dapat dilalui dengan mudah. Diantara lebatnya hutan Tambak Baya, seleret jalan setapak bagaikan segores garis yang sangat tebal yang menyobek rimbun-nya pepohonan.
Ternyata jalan itu sudah menjadi semakin ramai dan semakin banyak dilalui orang, karena keamanan memang menjadi semakin baik. Tidak banyak lagi gangguan-gangguan yang dijumpai oleh para pedagang. Tidak ada lagi perampok-perampok yang kuat mencegat perjalanan mereka. Apalagi pasukan pengawal Mataram bagaikan hilir mudik melalui jalan yang membelah hutan itu.
Disepanjang jalan Kiai Gringsing dan kedua kawannya bertemu juga dengan serombongan pedagang. Mereka masih tetap merasa lebih aman melintas dalam kelompok yang agak besar karena kadang-kadang masih saja mereka ingat tentang perampokan yang pernah terjadi di hutan yang lebat itu. Namun ada juga dua tiga orang yang lewat dengan tenang, karena mereka yakin bahwa perjalanan mereka tidak akan terganggu lagi, atau karena mereka percaya kepada diri sendiri bahwa mereka akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan kecil yang mungkin terjadi disepanjang perjalanan.
Meskipun nampaknya Kiai Gringsing hampir tidak menghiraukan sama sekali orang-orang yang lewat itu, namun kadang-kadang terpercik juga pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah orang-orang ini tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan hilangnya kedua pusaka itu?"
Tetapi Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung adalah pusaka-pusaka yang bertangkai panjang. Dengan demikian maka untuk membawanya tentu agak lebih sulit dari pusaka-pusaka yang pendek, seperti Kanjeng Kiai Naga Sasra dan Kanjeng Kiai Sabuk Inten, atau Kanjeng Kiai Sangkelat.
Dalam pada itu, perjalanan mereka tidak menemui kesulitan apa pun juga. Sekali-sekali mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum barang seteguk dan beristirahat sejenak. Kemudian mereka pun segera meneruskan perjalanan ke Mataram.
Demikian mereka melintasi sisa-sisa Alas Mentaok, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Dihadapan mereka terbentang padukuhun-padukuhan kecil yang sedang tumbuh, ditembus oleh jalan yang semakin baik dan lebar. Rumah-rumah yang bertebaran diantara pepohonan yang masih muda. Hanya disana-sini beberapa batang pohon-pohon besar sengaja ditinggalkan sebagai perindang bagi padukuhan-padukuhan yang masih muda itu.
Namun demikian, diatas sawah yang terbentang, tumbuh batang-batang padi yang hijau rimbun. Dalam silirnya angin, wajah batang-batang padi itu, bagaikan gelombang dipermukaan telaga yang hijau kebiruan, seolah-olah mengalir dari tepi ketepi yang lain, jauh sampai batas tatapan mata.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kearah kedua kawan seperjalanannya, agaknya mereka pun sedang merenungi suburnya telah yang baru dibuka itu.
"Mataram memang akan dapat menjadi sebuah negeri yang ramai," berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Bukan saja karena ia melihat sawah yang luas, batang-batang padi yang hijau, subur, pedukuhan yang tumbuh dengan cepatnya, tetapi ia juga melihat isyarat yang cerah yang dapat memercikkan arti kecerahan bagi masa mendatang.
Demikianlah, hampir tanpa pembicaraan yang berarti, akhirnya mereka memasuki gerbang kota. Para penjaga yang; memang sudah mengenal Kiai Gringsing dan kedua kawannya, segera mempersilahkan mereka meneruskan perjalanan menyusuri jalan kota, langsung menuju ke rumah Raden Sutawijaya. Mereka bertiga sudah bersepakat untuk singgah barang sehari di Mataram sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Menoreh.
Kedatangan ketiga orang itu di Mataram, disambut dengan gembira oleh Ki Juru Martani, Raden sutawijaya, dan Ki Lurah Branjangan. Bagi Ki Juru, Kiai Gringsing dan kawan-kawannya adalah orang-orang tua yang akan dapat diajaknya berbicara agak jauh mengenai hilangnya kedua pusaka yang ada di Mataram meskipun keduanya dapat disebut orang lain bagi Mataram. Namun menilik apa yang pernah dilakukan oleh ketiga orang itu, maka Ki Juru berpengharapan bahwa mereka pun akan dapat dibawa berbicara sebaik-baiknya.
Seperti biasanya, maka ketiganya pun kemudian disambut dengan berbagai macam pertanyaan tentang keselamatan mereka diperjalanan, dan orang-orang yang mereka tinggalkan. Mereka tidak langsung dibawa kedalam pembicaraan pokok atas hilangnya pusaka-pusaka dari Mataram. Apalagi hilangnya kedua pusaka itu merupakan puncak rahasia bagi orang-orang Mataram sendiri, selain beberapa orang tertentu saja.
"Kami hanya singgah sejenak," berkata Kiai Gringsing kemudian kepada Ki Juru, "besok kami akan meneruskan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Kami sudah mendengar. Bukankah Kiai akan memberikan keputusan terakhir tentang saat perkawinan Angger Swandaru dengan Angger Pandan Wangi?"
"Ya Ki Juru." "Kami akan ikut bersenang hati. Karena itu, kami tidak akan menahan Kiai untuk singgah disini lebih dari satu hari satu malam."
"Sejauh-jauhnya satu hari satu malam," jawab Kiai Gringsing.
Ki Juru Martani tertawa. Katanya, "Ya. Sejauh-jauhnya satu hari satu malam."
"Karena kami akan berangkat besok pagi-pagi benar, bukankah kehadiran kami disini tidak cukup satu hari satu malam?"
Ki Juru tertawa, meskipun nada suara tertawanya agak sumbang karena perasaannya yang tertekan.
Untuk beberapa lama mereka yang ada dipendapa Mataram itu berbicara tentang berbagai macam persoalan yang justru tidak menyangkut masalah pusaka-pusaka itu.
Dengan demikian, maka bagi kebanyakan pemimpin Mataram, menganggap bahwa kehadiran Kiai Gringsing adalah sekedar singgah dalam perjalanannya ke Menoreh. Mereka tidak tahu sama sekali, bahwa kedatangan Kiai Gringsing ke Mataram saat itu mempunyai arti yang jauh lebih penting dari sekedar singgah saja.
Baru ketika matahari tenggelam di sisi langit sebelah Barat, dan kegelapan mulai menyelubungi Tanah Mataram, Ki Juru Martani membawa tamu-tamunya masuk keruang dalam. Tanpa orang lain yang tidak mengetahui persoalan pusaka-pusaka yang hilang itu, Ki Juru ingin mengadakan pembicaraan dengan tamu-tamunya.
Sutawijaya dan Ki Luran Branjangan yang memang sudah mengerti serba sedikit mengenai Kiai Gringsing dan hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu pun diperkenankan untuk ikut serta dalam pembicaraan dengan ketiga tamu-tamu Ki Juru Martani.
"Aku bawa kepingan perak bakar yang berwarna hitam itu," berkata Kiai Gringsing setelah mereka terdiam sejenak.
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya memang sebuah tantangan yang langsung ditujukan kepada Mataram. Seolah-olah orang-orang yang mewarisi Mataram dari Ki Gede Pemanahan itu tidak berhak untuk memimpin pemerintahan bagaimana pun juga bentuknya."
"Ya Ki Juru. Seolah-olah hanya mereka yang mempunyai darah keturunan Majapahit langsung sajalah yang berhak untuk memegang pimpinan."
Ki Juru mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, "Bagaimana pendapat Kiai?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dari kantong ikat pinggangnya ia mengambil sebuah kampil kecil yang berisi sekeping perak yang dipahatkan lukisan yang sangat menarik bagi orang-orang tua itu dan secarik kain yang ditulisi dengan darah.
"Kiai," berkata Ki Juru Martani, "pusaka adalah lambang kekuasaan, pangkat dan derajad. Meskipun pangkat dan derajad bukan kebutuhan mutlak dari seseorang, tetapi pangkat dan derajad adalah pakaian seseorang di dalam riuhnya pergaulan hidup. Memang tidak dapat dibenarkan seseorang menghambakan diri pada derajad dan pangkat. Tetapi bahwa derajad dan pangkat mempunyai akibat yang luas pada diri seseorang tidak akan dapat diingkari lagi. Karena itulah, maka kadang-kadang seseorang mempuyai tanggapan yang salah sehingga dengan segala jalan dan cara ia mempertahankan dan mengejar derajad dan pangkat yang setinggi-tingginya," Kiai Gringsing dan kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Juru berkata seterusnya. "Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar. Jika aku dan Angger Raden Sutawijaya menjadi sangat berprihatin atas hilangnya pusaka-pusaka itu dari Mataram, sebenarnyalah bahwa kami mempunyai tanggapan dan penilaian yang tinggi terhadap sih yang diberikan oleh Kanjeng Sultan di Pajang kepada kami, khususnya Raden Sutawijaya. Kemudian atas penilaian kami dalam hubungannya dengan derajad dan pangkat, cobalah Kiai bertanya langsung kepada Angger Sutawijaya karena ialah sebenarnya yang mendapat anugerah dari Kanjeng Sultan di Pajang.
Kiai Gringsing menarik natas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Dari sorot matanya memancar sepercik pertanyaan yang menusuk langsung ke pusat jantung Raden Sutawijaya, seolah-olah ia ingin melihat, apakah yang sebenarnya terpahat didinding jantung itu.
Raden Sutawijaya justru menundukkan kepalanya, ia mengerti, bahwa Kiat Gringsing dan kedua kawannya ingin mengerti tanggapannya dengan jujur atas kedua pusaka lambang derajad dan pangkat itu.
"Raden," berkata Kiai Gringsing, "cobalah Raden menyatakan sesuai dengan hati nurani, apakah yang sebenarnya Raden kehendaki dengan Mataram."
"Kiai," jawab Raden Sutawijaya, "Mataram adalah tanah yang tumbuh atas jerih payah. kami bersama-sama yang kini menjadi penghuninya, tanpa melupakan jasa Kiai, Ki Waskita, Ki Sumangkar dan anak-anak muda murid Kiai, serta jasa siapa pun juga yang telah membantu kami. Tanpa melupakan anugerah dari Ayahanda Sultan Pajang yang dengan hati terbuka memberikan kesempatan kepada Mataram untuk berkembang. Bahkan di Mataram telah ada dua buah pusaka yang memiliki arti yang besar bagi seseorang yaug memilikinya. Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung. Bahkan ada beberapa orang yang percaya bahwa hadirnya Kiai Pleret dan Kiai Mendung di Mataram adalah pertanda bahwa Kanjeng Sultan di Pajang telah menyerahkan kekuasaan meskipun perlahan-lahan kepada Mataram. Dan ada orang yang percaya, bahwa kedua pusaka yang berada di Mataram itu adalah kelengkapan dari beberapa pusaka yang lain untuk mendapatkan wahyu keraton, sehingga ada orang-orang yang dengan segala cara berusaha untuk memilikinya. Tetapi ternyata kedua pusaka itu kini hilang dari Mataram." Raden Sutatwijaya berhenti sejenak, lalu, "Kiai, tanggapanku atas derajad dan pangkat, tidak dapat aku jelaskan dengan beberapa kalimat saja. Tetapi dalam garis besarnya, bagiku yang terpenting adalah cita-cita atas bentuk kekuasaan di Mataram dan bahkan di Pajang. Kiai, sebenarnya aku tidak ingin untuk memiliki derajad dan pangkat itu sendiri. Yang ada padaku adalah cita-cita bagaimana derajad dan pangkat itu dipergunakan dalam bentuk kekuasaan. Siapa pun yang memiliki derajad dan pangkat, dan dalam bentuknya sebagai kekuasaan dipergunakan sebaik-baiknya seperti yang aku cita-citakan bagi kepentingan Mataram seisinya dan bahkan Pajang, maka aku tidak akan berkeberatan. Apakah yang memegang kekuasaan itu seorang yang bernama Raden Sutawi jaya, seorang yang bergelar Sultan Hadiwijaya, Adimas Benawa atau keturunan-keturunan langsung dari Majapahit, bagiku bukannya soal yang pokok. Tetapi jika tidak ada orang lain yang dapat membawakan derajad dan pangkatnya dalam bentuk kekuasaan seperti yang aku cita-citakan, maka barulah aku memikirkan, kenapa bukan aku sajalah yang memegang kekuasaan itu."
Kiai Gringsing dan kedua kawannya memperhatikan penjelasan Raden Sutawijaya itu dengan saksama. Ketika Raden Sutawijaya berhenti sejenak, Ki Waskita pun menyela, "Bagaimanakah menurut Raden, bentuk dari kekuasaan sebagal ujud dari derajad dan pangkat itu."
Raden Sutatwijaya memandang Ki Juru sejenak. Kemudian barulah ia menjawab, "Ki Waskita. Bagiku kekuasaan adalah tanggung jawab. Kekuasaan bukanlah sekedar kesempatan untuk dapat memaksakan kehendak atas orang lain. Kekuasaan bukan minat untuk dihormati dan disegani." Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "seandainya demikian halnya, maka kekuasaan adalah nafsu semata-mata."
"Jadi bagaimanakah sebenarnya yang Raden kehendaki," sela Ki Sumangkar pula.
"Jika derajad dan pangkat sekedar pamrih dari pribadi seseorang, maka itu adalah nafsu ketamakan. Bagiku, derajad dan pangkat harus berarti bagi keseluruhan. Sebenarnyalah kekuasaan adalah semata-mata kesempatan pelayanan. Kekuasaan yang ada di dalam diri seseorang harus bermanfaat bagi semuanya di dalam lingkungannya. Karena itulah maka kekuasaan yang bertanggung jawab harus dilandasi oleh kesediaan pengabdian. Bukan sebaliknya."
"Jelasnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kekuasaan, yang menjadi ujud dari derajad dan pangkat, adalah suatu alat. Jika kita memegang suatu alat, maka terserahlah kepada kita bagaimana kita mempergunakannya. Kita dapat menentukan pilihan seperti yang kita kehendaki. Pilihan itulah yang penting untuk dinilai. Apakah pilihan itu berlandaskan cita-cita yang bertanggung jawab, atau sekedar dilandasi oleh nafsu pribadi. Kita masing-masinglah yang harus menentukan pilihan, dan orang akan menilai kita masing-masing atas dasar pilihan itu. Apakah kita manusia yang berarti bagi sesama atau justru sebaliknya."
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Namun diluar sadar mereka mengerling kepada Ki Juru Martani meskipun tidak sepatah kata pun yang mereka katakan kepada orang tua itu.
Namun diluar dugaan, maka Raden Sutawijayalah yang kemudian dengan jujur berkata, "Kiai, sebenarnyalah yang aku katakan itu adalah dasar dari pendirianku. Tetapi bukanlah semata-mata lahir karena kemampuanku untuk menyatakannya dengan lesan," Raden Sutawijaya berhenti sejenak, ia pun kemudaan berpaling kepada Ki Juru Martani sambil berkata, "Uwa Juru Martanilah yang mengajari aku."
Ketiga tamu Raden Sutawijaya itu pun tersenyum. Mereka memang sudah menduga, bahwa Ki Juru akan dapat menuntun Raden Sutawijaya sebaik-baiknya tanpa mematahkan perjuangan anak muda itu. Tetapi agaknya Ki Juru telah berhasil memberikan pengarahan yang sangat berarti bagi Raden Sutawijaya sebagai landasan jalan hidupnya menda-tang. Dengan landasan itu pulalah agaknya Raden Sutawijaya bertekad untuk menemukan kembali pusaka-pusakanya yang hilang yang akan dapat menjadi kelengkapan derajad dan pangkatnya, dalam arti pertanggungan jawab dan pengabdian.
Bagi Kiai Gringsing, maka tekad Raden Sutawijaya itu merupakan suatu pilihan yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Meskipun ia bukan orang yang wajib menentukan, siapakah yang sebaiknya memegang kekuasaan pemerintahan setelah Sultan Hadiwijaya, namun ia merasa bahwa ia akan dapat ikut memikirkannya.
"Aku akan dapat berbuat sesuatu," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. "Dalam keadaan yang memang mendesak, barangkali aku dapat mempergunakan pengaruh perguruan Windujati."
Tetapi Kiai Gringsing masih harus menemukan, siapakah orang yang dengan sengaja meninggalkan ciri-ciri yang baginya masih asing, dan yang dengan sengaja meninggalkan isyarat tantangan buat Mataram. Orang itu tentu mengetahui bahwa di Mataram ada seorang yang pantas disegani, Ki Juru Martani. Namun agaknya orang yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit itu sudah bertekad untuk melawan dan mengalahkan orang yang bernama Ki Juru Martani itu.
"Tetapi bagaimanakah halnya, jika orang yang mengambil pusaka itu menurut penilaianku akan dapat menjadi lebih baik dari Sutawijaya" Apakah aku akan terkait kepada nama Sutawijaya yang sudah aku kenal baik-baik, atau aku akan dapat menjatuhkan pilihan dengan jujur?" pertanyaan itu tumbuh pula di dalam hati Kiai Gringsing .
Tetapi Kiai Gringsing masih belum akan memikirkannya. Ia akan melihat lebih dahulu perkembangan Mataram dan Raden Sutawijaya itu sendiri.
"Keinginan Raden Sutawijaya untuk menemukan kembali kedua pusaka itu agaknya memang tidak semata-mata dilandasi oleh nafsu ketamakan untuk berkuasa semata-mata. Tetapi seperti ayahandanya, Raden Sutawijaya tentu bercitia-cita bagi Mataram seisinya," kesimpulan itulah yang untuk sementara telah diambil oleh Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, sambil meletakkan kepingan perak yang berwarna kehitam-hitaman itu Kiai Gringsing berkata, "Nah Ki Juru, sekarang, apakah yang dapat kita perbincangkan mengenai lukisan yang terpahat pada kepingan perak itu?"
(BERSAMBUNG) Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti seolah-olah ingm mendapatkan bahan pembicaraan dari mereka. Tetapi baik Ki Waskita mau pun Ki Sumangkar masih tetap berdiam diri sambil memandang benda yang kehitam-hitaman itu.
"Lukisan yang terpahat itu memang sangat menarik," berkata Kiai Gringsing, "seakan-akan memberikan kesan, bahwa pemiliknya adalah orang-orang yang hatinya kelam, seperti kelamnya malam."
"Ya, golongan yang kadang-kadang disebut golongan hitam," sahut Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Sedangkan Ki Juru berkata selanjutnya, "karena itulah kita berhadapan dengan lawan yang memiliki banyak kelebihan. Dan lebih dari itu, mereka akan. mempergunakan segala macam cara untuk mencapai tujuan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mulai membayangkan, siapakah yang sedang mereka hadapi. Namun sedemikian jauh, ia sama sekali masih belum dapat menghubungkan ciri-ciri yang ada itu dengan segolongan orang yang pernah dikenalnya, juga mereka yang tergolong keturunan langsung dari Majapahit.
"Ki Juru," berkata Kiai Gringsing kemudian, "sebenarnyalah bahwa semuanya masih gelap bagi kita. Karena itu, apakah Ki Juru tidak berkeberatan, apabila ciri-ciri yang terpahat pada kepingan perak itu diperbanyak?"
"Maksud Kiai?" "Kita masing-masing akan membawa satu. Selama kami menempuh perjalanan kembali dari Tanah Perdikan Menoreh, kami dapat selalu mempelajari, apakah arti dari ciri-ciri yang terpahat pada kepingan perak itu, sementara aslinya masih tetap ada pada Ki Juru, yang mungkin memerlukan untuk mencari maknanya pula."
Ki Juru merenung sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku tidak berkeberatan Kiai. Tetapi aku akan memilih seorang ahli yang dapat aku percaya sehingga ia tidak membuat lebih dari yang kita perlukan. Mungkin ia tidak mengerti makna dari yang dibuatnya, sehingga kelebihan itu akan mengakibatkan kesulitan baginya kelak."
"Baiklah Ki Juru. Pada saatnya kami kembali dari Menoreh, kami akan singgah pula. Kami akan mengambil tiruan dari ciri yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang telah mengambil pusaka-pusaka itu. Mungkin kami memerlukan satu dua hari, tetapi mungkin satu dua pekan atau bulan untuk dapat mencari jalan memecahkan persoalan yang sangat rumit itu."
"Kami akan mencoba menyediakannya Kiai. Berapa hari menurut rencana Kiai akan berada di Tanah Perdikan Menoreh?"
"Tidak terlampau lama. Apalagi menghadapi persoalan yang pelik ini. Mungkin aku hanya akan bermalam satu atau dua malam saja. Jika persoalan yang kami bawa sudah selesai, maka kami pun akan segera kembali."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Mudah-mudahan kita bersama akan segera dapat memecahkan persoalan itu. Tetapi kami di Mataram, tidak ingin selalu mengganggu niat Ki Demang untuk mengawinkan anak laki-lakinya. Jika Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar terlibat terlampau jauh di dalam masalah hilangnya kedua pusaka itu dari Mataram, maka kedatangan kalian akan terlambat di Sangkal Putung. Dan itu berani mengundurkan rencana perkawinan Angger Swandaru."
"Kami akan mencoba minum sambil mandi," jawab Kiai Gringsing.
Ki Juru Martani tersenyum. Meskipun ia belum terlampau lama bergaul dengan Kiai Gringsing, tetapi ia sudah mengerti sifat-sifatnya. Istilah yang nampaknya sekedar merupakan pelepasan dan bahkan terasa tidak lebih dari sebuah sendau gurau, namun memiliki arti yang dalam dan bersungguh-sungguh.
Demikianlah maka Ki Juru Martani pun kemudian memanggil seorang yang pandai membuat barang-barang perhiasan dari perak. Selebihnya orang itu sudah dikenalnya baik-baik dan dapat dipercaya. Kepadanyalah tugas itu diserahkan.
"Buatlah lima tiruan dari benda ini," berkata Ki Juru Martani, "hanya lima. Tidak lebih."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamatinya kepingan perak bakar yang kehitam-hitaman itu. Pada kepingan perak itu terpahat lukisan sebuah perisai yang bulat bergerigi dan ditengahnya seekor kelelawar dengan sayapnya yang mengembang.
Sambil masih mengangguk -anggukan kepalanya ia menyahut, "Aku akan membuatnya, sejauh-jauhnya mendekati pahatan perak itu. Tetapi, apakah gunanya benda-benda serupa itu?"
"Itulah yang akan aku beritahukan," berkata Ki Juru, lalu, "benda ini adalah benda keramat. Kau tidak akan dapat membuat lebih dari lima keping tiruan. Jika kau melanggar, aku takut bahwa kau akan mendapat kesulitan."
Wajah orang itu menjadi tegang.
"Tetapi jangan takut," dengan cepat Ki Juru menyambung, "asal kau tidak melanggar pantangan, maka tidak akan terjadi apa-apa. Kami sudah mengadakan selamatan sebelum kami memanggilmu. Tetapi ingat, benda ini jangan sampai berada dibawah pusarmu."
"O," orang itu bertambah tegang.
"Lakukanlah." "Jadi aku harus menaruhnya dimana?"
"Selipkan pada ikat kepalamu."
Orang itu termangu-mangu sejenak, lalu, "Ah, sebaiknya aku tidak bermain-main dengan benda-benda keramat seperti itu."
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Tidak apa-apa. Semua persoalan yang dapat timbul menjadi tanggung jawabku. Tetapi ingat pesanku, jangan membuat lebih dari lima, dan jangan mengatakan kepada siapa pun juga bahwa kau membuat benda-benda tiruan itu. Kepada anak isterimu pun jangan.Apalagi kepada pembantu-pembantumu di rumah, atau anak-anak muda yang belajar membuat barang-barang perak di rumahmu."
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu.
"Kerjakanlah. Jika kau memenuhi semua syarat, maka kau akan mendapat rejeki."
Orang itu tidak menyahut, sedang Kiai Gringsing melanjutkan, "Setidak-tidaknya kau akan mendapat upah yang baik dari kerjamu itu."
Ketika orang itu kemudian minta diri, setelah menyelipkan kampil berisi sekeping perak bakar itu di ikat kepalanya. Ki Waskita dani Ki Sumangkar tersenyum. Ki Sumangkar bahkan kemudian tertawa kecil sambil berkata, "Apakah orang itu masih perlu ditakut-takuti?"
Ki Juru pun tersenyum pula. Jawabnya, "Ia orang yang baik dan dapat dipercaya. Tetapi kadang-kadang seseorang diluar sadarnya melakukan kesalahan. Aku ingin bahwa dengan demikian ia menjadi lebih berhati-hati."
"Tetapi Ki Juru memberikan kampil itu seluruhnya. Bukankah di dalam kampil itu terdapat secarik kain yang. bertulisan darah?" bertanya Ki Waskita.
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Aku sudah menyimpannya."
Kiai Gringsing yang hampir saja menanyakan hal itu pula, mengangguk-angguk sambil berkata, "Jika ia melihat tulisan itu, ia akan menjadi semakin ketakutan. Barangkali ia akan mengembalikannya, dan tidak mau mengerjakannya lagi."
Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih saja memperbincangkan kepingan perak bakar itu. Namun mereka masih belum dapat mengambil kesimpulan yang agak meyakinkan. Mereka masih bertanya-tanya di dalam hati, "Perguruau manakah yang kemudian mempergunakan tanda-tanda yang aneh itu?"
Namun seperti pendapat Kiai Gringsing, perguruan itu tentu perguruan yang semula tidak pernah berkembang.
"Atau justru sebuah kelompok yang baru sama sekali," gumam Ki Juru Martani.
Demikianlah, seperti yang, direncanakan, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar benar-benar hanya bermalam semalam saja di Mataram. Ketika kemudian pagi mulai pecah dihari berikutnya, ketiganya pun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Ketiga orang-orang tua itu sengaja menampakkan diri sebagai pedagang keliling yang menempuh perjalanan dari satu tempat ketempat yang lain, meskipun mereka tidak membawa barang-barang apa pun selain beberapa lembar pakaian yang terbungkus rapi dan diikat pada pelana kuda masing-masing.
"Ki Waskita dan Ki Sumangkar," berkata Kiai Gringsing ketika mereka sudah berada diluar kota Mataram yang sedang berkembang itu, "jika kita menghadap Ki Argapati, apakah kita sebaiknya mengatakan tentang hilangnya kedua pusaka itu atau tidak?"
Keduanya mengerutkan keningnya. Sejenak mereka merenung. Kemudian Ki Sumangkar pun menjawab, "Menurut pertimbanganku, tidak ada salahnya kita mengatakannya. Ki Argapati adalah seorang yang cukup masak menanggapi setiap keadaan, seperti pada saat Raden Sutawijaya berusaha menghancurkan Panembahan Agung yang berada diujung kekuasaan Ki Argapati."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sedang Ki Waskita pun berkata, "Kita wajib mempercayainya. Apalagi tidak ada kesulitan hubungan antaraMatamm dan Menoreh."
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Jawaban-jawaban itu agaknya memang sesuai dengan sikapnya. Baginya, Ki Argapati adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedang dihadapi. Ia bukan orang yang hanya mementingkan diri sendiri saja, tetapi ia juga memikirkan kepentingan-kepentingan orang lain.
Karena itu maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, "Aku sependapat. Memang Ki Argapati adalah orang yang cukup matang, dan memang tidak ada persoalan apa pun juga antara Menoreh dan Mataram."
"Mudah-mudahan Mataram tidak mempunyai persoalan pula dengan tetangga-tetangganya yang lain," desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi seperti Ki Waskita maka Kiai Gringsing pun segera melontarkan angan-angannya ke laladan Mangir. Daerah yang sudah mulai nama pula, disebelah Selatan Alas Mentaok. Beberapa Kademangan yang merasa wajib membuat semacaam ikatan yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir, berkembang pula disamping Mataram. Tetapi agaknya Mataram maju jauh lebih pesat dari Mangir meskipun sebenarnya Mangir lebih tua dari Mataram yang tumbuh diatas tanah Alas Mentaok.
Demikianlah sambil berbicara tentang berbagai kemungkinan maka mereka pun semakin lama semakin mendekati Kali Praga. Untuk mencapai daerah Menoreh mereka harus menyeberangi sungai yang cukup lebar itu. Dalam musim basah, maka mereka harus menyeberang dengan mempergunakan getek, karena arus airnya menjadi agak deras dan dalam.
Ketika mereka kemudian melewati sebuah padang ilalang, dan kemudian sampai ke daerah yang sudah berpasir mendekati tepian, mereka menjadi berdebar-debar. Biasanya di tempat itu banyak getek yang siap untuk menyeberang dengan upah sekedarnya, Tetapi saat itu, tepian itu pun menjadi sepi, meskipun masih nampak beberapa buah getek yang tertlambat pada patok-patok bambu yang kuat.
Kiai Gringsing memandang air yang berwarna lumpur itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Ki Waskita dan Ki Sumangkar menebarkan pandangan matanya berkeliling.
"Aneh," desis Kiai Gringsing.
"Ya, aneh," Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun menyahut hampir bersamaan.
"Tidak seorang pun yang nampak. Biasanya disaat begini, ada beberapa buah getek yang hilr mudik."
"Marilah kita mendekat," berkata Ki Sumangkar kemudian.
Mereka bertiga pun kemudian bergerak mendekati getek-getek yang tertambat. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka melihat beberapa orang yang agaknya akan menyeberang pula.
"Marilah kita mendekati mereka," ajak Kiai Gringsing.
Ketiganya pun kemudian mendekati orang-orang yang berjalan dengan ragu-ragu. Agaknya mereka pun menjadi heran, bahwa tidak sebuah pun dari getek-getek itu yang menyeberangi sungai.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing sambil meloncat turun dari kudanya ketika ia sudah berada didekat orang yang termangu-mangu, "apakah Ki Sanak akan menyeberang?"
"Ya. Kami akan menyeberang," jawab salah seorang; dari mereka, "tetapi aneh, Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga sungai itu menjadi sangat sepi."
"Apakah kira-kira baru saja ada getek yang hanyut atau terbalik ditengah sungai sehingga yang lain menjadi ketakutan?" bertanya Ki Sumangkar yang telah turun pula bersama Ki Waskita.
"Tentu tidak," jawab orang itu, "meskipun ada diantara mereka yang terbenam sekali pun yang lain tidak akan menjadi ketakutan. Apalagi air tidak begitu deras. Tetapi tentu kami tidak akan dapat menyeberanginya."
"Kami juga akan menyeberang," berkata Ki Waskita, "kami mempunyai sedikit keperluan diseberang sungai,"
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, "Aku mempunyai kenalan baik diantara para tukang perahu. Mungkin aku dapat bertanya kepadanya, apa yang sudah terjadi sehingga mereka tidak turun ke sungai hari ini."
"Bertanyalah. Dan jika ia tidak berkeberatan., bawa ia kemari khusus untuk menyeberangkan kita. Bukankah mereka tidak akan menolak ajakanmu jika kau sudah kenal dengan baik."
"Aku akan mencoba."
Salah seorang dari mereka pula segera pergi meninggalkan kawan-kawannya melintasi pasir tepian menuju kepadukuhan yang berada tidak begitu jauh dari Kali Praga itu.
Sambil menunggu orang yang menjemput tukang perahu yang sudah dikenalnya baik-baik itu, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun berbicara tentang berbagai hal dengan orang-orang yang akan menyeberang itu pula. Ternyata mereka adadah pedagang-pedagang yang akan pergi ke tlatah Menoreh untuk mengambil berbagai jenis rempah-rempah yang kemudian akan mereka bawa ke daerah Pajang.
"Kita tidak pernah mengalami hal seperti ini akhir-akhir ini," berkata salah seorang dari mereka, "beberapa saat yang lalu, ketika jalan yang melintas dari Timur ke Barat sering terganggu, memang kadang-kadang tidak seorang pun yang mau menyeberangkan kami. Tetapi kemudian keadaan menjadi bertambah baik, dan jalan kami pun menjadi aman."
"Mengherankan," berkata yang lain.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka bertanya, "Siapakah Ki Sanak bertiga ini?"
"Kami adalah orang-orang Sangkal Putung," jawab Kiai Gringsing, "kami mempunyai keperluan untuk me-nengok sanak kami yang ada di Menoreh."
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang berkata, "Kami kira kalian adalah pedagang mas dari Pajang, atau blantik lembu dan kerbau yang akan mencari dagangan ke tlatah Menoreh."
Ki Waskita dan Ki Sumangkar menahan senyum yang hampir saja menggerakkan dibibir mereka. Agaknya orang-orang itu tidak mengenal mereka sebagai petualang yang datang dan pergi dari satu daerah ke daerah yang lain.
"Kami memang mengharapkan dugaan yang demikian," berkata Ki Waskita dan Ki Sumangkar di dalam hatinya. Karena dengan demikian tidak akan banyak orang yang memperhatikan perjalanan mereka.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing menjawab, "Dugaan Ki Sanak tidak banyak meleset. Meskipun kami akan mengunjungi saudara kami di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kami memang tidak semata-mata pergi tanpa keperluan yang lain. Kami adalah perantara jual dan beli besi-besi aji."
"Maksud Ki Sanak, pusaka-pusaka?"
Kiai Gringsing mengangguk.
"Yang Ki Sanak pentingkan, wilahan-wilahan besi keramat atau pakaian dari pusaka-pusaka itu. Maksudku, pendok mas tretes berlian, ukiran dengan batu-batu permata dan serupa itu."
"Keduanya. Jika ternyata ada yang jodoh, maka kami dapat mencarikan pusaka-pusaka yang mempunyai kasiat bagi pemiliknya. Tetapi kami juga berdagang barang-barang mas dan permata, termasuk pendok keris."
"Dan akik," sambung Ki Waskita.
Kiai Gringsing berpaling. Tetapi tidak ada kesan apa pun yang nampak pada wajahnya.
"Ya," jawab orang yang bertanya tentang barang-barang mas dan permata itu, "biasa pedagang wesi aji juga membawa batu-batu bertuah. Akik, ujung tanduk menjangan mati, ngurak yang ujudnya sudah membatu, watu ireng belah putih dan sebagainya. Nah, apakah Ki Sanak membawa batu akik" Aku pernah mendengar ada batu akik yang dapat memberikan pengaruh baik dan buruk pada pemiliknya."
"Memang," jawab Kiai Gringsing, "tetapi sayang, bahwa kami sekarang tidak membawa apa pun juga. Kami sebenarnya sedang dalam perjalanan mengambil beberapa pusaka dari saudara kami yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu tentang pusaka-pusaka yang dikenalnya.
Sementara itu, kawannya yang pergi menjemput beberapa orang tukang satang telah datang bersama dengan empat orang yang barangkali bersedia menyeberangkan orang yang sudah dikenalnya dengan baik itu.
"Sebenarnya kami tidak ingin turun ke sungai hari ini," berkata salah seorang dari mereka, "tetapi kawan yang sudah kami kenal ini memaksa kami."
"Kami minta pertolongan Ki Sanak," berkata salah seorang dari mereka yang datang dalam kelompok kecil itu.
Beberapa orang tukang perahu itu termangu-mangu. Mereka memandang orang-orang itu satu demi satu. Kemudian tatapan mata mereka hinggap pada Kiai Gringsing dan kedua kawannya.
Meskipun tidak ada kata-kata yang mereka ucapkan, tetapi nampak kecurigaan memancar diwajah mereka, sehingga karena itu maka Kiai Gringsing pun berkata, "Aku juga termasuk dalam rombongan yang akan menyeberang Sungai Praga. Aku tidak membawa apa-apa selain pakaian beberapa lembar."
Orang-orang itu tidak segera menjawab. Tetapi mereka agaknya masih tetap bercuriga.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "mungkin kalian melihat kelainan pada kami bertiga. Bukan karena pakaian dan kuda-kuda kami, tetapi barangkali dalam sikap dan kata-kata kami. Tetapi kelainan itu wajar sekali, karena pekerjaan kami yang berbeda dan daerah tempat tinggal kami."
Orang-orang itu masih memandang dengan penuh curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, "Sebenarnya kami tidak pernah memilih siapa saja yang akan kami seberangkan. Tetapi peristiwa kemarin malam, membuat kami agak ketakutan."
"Apakah yang sudah terjadi?" bertanya Kiai Gringsing, "dan apakah karena kejadian itu maka kalian tidak turun ke sungai hari ini."
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
"Mengerikan sekali," berkata salah seorang dari mereka.
"Apa?" "Menjelang dini hari, beberapa orang akan menyeberangi sungai ini. Adalah kebetulan sekali aku tidur diatas perahu yang tertambat ditepian. Dengan demikian aku melihat apa yang telah terjadi."
"Apa yang terjadi?"
"Beberapa orang yang menyeberangi sungai ini telah membangunkan tiga orang kawanku yang tidur ditepian, di atas sehelai ketepe. Agaknya mereka tidak melihat aku sehingga mereka tidak menghiraukan sama sekali, karena perahuku memang tertambat agak jauh."
"Mereka akan menyeberang?"
"Ya. Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Tetapi agaknya mereka sedang tawar menawar. Menyeberang dimalam hari kadang-kadang merupakan penghasilan khusus yang agak baik bagi kami. Mereka tentu orang-orang yang tergesa-gesa sehingga tidak sempat menunggu pagi. Dan kadang-kadang kami juga berbuat salah dengan memanfaatkan kesulitan orang lain dengan memaksakan upah yang lebih tinggi," orang itu berhenti sejenak, lalu, "yang aku ketahui mereka pun kemudian menyeberang. Tetapi sungguh diluar dugaan. Ketika mereka sudah mencapai tepi sebelah Barat, maka mereka sama sekali tidak memberikan upah. Tetapi ketiga orang kawan-kawanku itu pun dibunuhnya dengan tanpa belas kasihan."
"Dibunuh?" Ki Waskita mengulang.
"Ya. Mereka dibunuh hanya karena orang-orang yang menyeberang itu tidak mau membayar upah, sedangkan tukang-tukang perahu itu menuntutnya."
Ki Waskita dan kawan-kawannya terkejut mendengar jawaban itu. Demikian juga sekelompok orang yang akan menyeberang Sungai Praga itu pula.
"Kami tidak mau mengulangi peristiwa yang mengerikan itu lagi," berkata tukang perahu itu.
"Tetapi kalian sudah mengenal aku," berkata salah seorang dari sekelompok orang yang ingin menyeberang itu.
"Kami sudah mengenal kau, tetapi".." orang itu tidak meneruskan.
Meskipun demikian, orang yang sudah di kenal oleh tukang perahu itu mengerti dan menyahut dengan serta-merta, "Mereka adalah kawan-kawanku. Aku akan bertanggung jawab bahwa mereka tidak akan berbuat seperti orang-orang2 yang kejam itu. Kami adalah pedagang yang setiap kali memerlukan bantuan kalian. Jika kami berbuat salah, maka jalan kami akan tertutup, dan itu berarti kesulitan bagi kehidupan kami."
Tukang-tukang perahu itu saling berpandangan sejenak. Namun hampir diluar sadar, mereka bersama-sama memandang Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
"Aku mengerti bahwa kalian pun mencurigai aku," berkata Kiai Gringsing, "tetapi aku berharap bahwa kalian dapat mengerti dan mempercayai kami. Kami sudah sering menyeberang sungai ini pula meskipun barangkali orang-orang lain yang menolong kami. Tetapi kami pun tidak mau kehilangan kesempatan dengan berbuat demikian tidak berperikemanusiaan. Berapa sebenarnya upah yang harus dibayar" Seandainya lipat lima sekali pun dari yang seharusnya" Sedangkan nyawa orang mempunyai nilai yang tidak dapat disebutkan dengan nilai uang. Selebihnya, kami akan berdosa dengan melakukan kejahatan serupa itu."
Sejenak tukang perahu itu ragu-ragu. Agaknya mereka sedang mempertimbangkannya.
"Sudah barang tentu kami tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan sekian banyak orang," berkata Ki Sumangkar, "seandainya ada niat dihati kami untuk melakukan kejahatan yang sangat merugikan itu, kami tentu tidak akan melakukannya dihadapan orang lain."
Seorang yang bertubuh tinggi kekar, yang agaknya orang tertua diantara tukang perahu itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Baiklah. Aku percaya kepada kalian, karena ada diantara kalian yang sudah aku kenal baik."
Demikianlah maka sekelompok orang itu, termasuk Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar beserta kuda mereka pun segera naik keatas sebuah getek yang besar. Perlahan getek itu mulai bergerak. Mula-mula menyusur tepian menurut arus air, kemudian perlahan lahan semakin ke tengah, dan memotong Kali Praga.
Tidak banyak yang meresa percakapkan ditengah-tengah Kali Praga. Namun ada yang penting yang didengar oleh Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
Salah seorang dari sekelompok pedagang yang menyeberang itu bertanya, "Apakah kau dapat mengenal ciri-ciri dari orang-orang yang berbuat kejam itu?"
"Tentu tidak. Malam cukup gelap, dan jarak kami pun menjadi teramat jauh karena mereka sudah sampai diseberang."
"Apa yang kau ketahui tentang mereka?"
"Tidak ada. Kami hanya mendengar pertengkaran sejenak. Kemudian jerit ngeri dari tiga orang kawan kami. Di pagi hari berikutnya, kami menemukan mayat-mayat itu. Perutnya sobek dan darah memerah dibibir perahu. Bahkan sudah menjadi hitam pula."
"Tanpa mengenal ciri-ciri mereka, kita tidak akan dapat mencarinya, atau berhati-hati terhadap orang yang demikian disaat yang lain."
"Aku tidak menyangka bahwa hal itu terjadi," ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi yang pasti menurut penglihatanku, salah seorang dari mereka membawa sebatang benda yang panjang."
"Benda panjang," diluar sadarnya Kiai Gringsing bertanya.
Orang itu berpaling sambil mengangguk, "Ya. Mungkin sebuah payung."


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Payung?" "Payung itu dibungkus rapi dengan sehelai kain putih."
Dada Kiai Gringsing serasa semakin cepat berdetak. Demikian juga agaknya Ki Waskita dan Ki Sumangkar.
"Hanya satu?" bertanya Kiai Gringsing sambil menahan perasaannya yang bergejolak.
"Ya. Menurut penglihatanku hanya satu."
K"ai Gringsing tidak bertanya lagi. Ia menahan semua desakan di dalam hatinya. Demikian juga agaknya kedua kawannya.
Namun keterangan itu memberikan banyak bahan bagi Kiai Gringsing dan kedua kawannya. Agaknya orang-orang yang mengambil pusaka dari Mataram itulah yang telah menyeberangi Kali Praga. Tetapi mereka tidak membawa kedua pusaka itu bersama-sama.
"Mereka berusaha untuk memisahkannya," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, dan agaknya demikian juga Ki Waskita dan Ki Sumangkar. Tanpa membicarakannya lebih dahulu ketiganya dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk mengamankan pusaka yang tidak ada duanya itu, maka mereka membawa ke arah yang berbeda. Yang satu dibawa menyeberang Kali Praga, sedang yang lain dibawa ke arah lain pula.
"Tetapi mungkin juga mereka membagi pusaka-pusaka itu agar mereka untuk sementara terikat di dalam satu kelompok yang tidak akan saling mengkhianati," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mendapatkan bahan lebih banyak dari itu. Bahkan kemudian ia berpura-pura tidak menghiraukannya lagi, ketika justru orang-orang lainlah yang bertanya tentang payung itu.
Seorang yang bertubuh.kurus agaknya tertarik juga pada ceritera payung itu sehingga ia pun kemudian bertanya, "Payung itu memiliki kelebihan apa sehingga diselongsong dengan kain putih?"
"Tentu aku tidak tahu. Aku hanya melihat dari kejauhan, Aku pernah melihat sebuah payung bertangkai panjang seperti yang dibawa orang itu, ketika aku masih kecil."
"Dimana?" bertanya yang lain.
"Ketika aku ikut Biyung mengunjungi sanak keluarga kami yang berada di Pajang. Ia menghambakan diri kepada seorang bangsawan. Dan aku melihat di rumah itu ada payung bertangkai panjang."
"Seperti songsong orang mati?"
"Ya," tukang perahu itu berhenti sejenak ketika perahunya menjadi sedikit oleng. Kemudian, "payung di rumah bangsawan itu pun diselongsongi pula dengan kain putih."
Dan tiba-tiba saja diluar dugaan Kiai Gringsing dan kawan-kawannya salah seorang dari pedagang yang bersama menyeberang itu berkata, "Agaknya yang membawa payung itu pencuri. Mereka mencuri payung dan dibawanya lari di malam hari."
Tetapi tukang perahu itu menjawab, "Apakah seseorang mempertaruhkan dirinya sekedar untuk mendapat sebuah payung yang dibuat dari kayu dan sesobek kain itu?"
"O, bodoh kau. Yang kau lihat adalah payung itu. Tetapi apakah kau mengetahui bahwa mereka membawa sebungkus emas dan permata?"
"Ah. Aku tidak tahu."
Demikianlah maka mereka pun kemudian terdiam. Perahu itu perlahan-lahan maju memotong arus sungai yang tidak begitu deras, meskipun masih terlalu berbahaya untuk diseberangi tanpa perahu.
Setelah mereka sampai diseberang, maka sambil mengucapkan terima kasih, maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera membayar upah yang harus mereka berikan. Demikian juga pedagang-pedagang yang akan mengambil rempah di tlatah Menoreh itu.
"Bagaimana aku menyeberang kembali besok," bertanya salah seorang pedagang itu, "jika masih belum ada orang yang berani melintas sungai ini" Dari arah Timur aku dapat memanggil kau kerumah. Tetapi dari arah Barat, aku belum mempunyai kenalan yang rapat."
"Kapan kau akan kembali?"
"Mungkin besok, selambat-lambatnya lusa."
"Menjelang tengah hari aku ada diseberang meskipun tidak ditempat penyeberangan karena kami masih ketakutan. Jika kau berdiri ditepian dan bersuit dua kali sambil melambaikan tangan, aku akan menjemputmu jika masin belum ada orang lain. Tetapi jika ada, maka rejeki itu adalah hak kawan-kawan dari seberang Barat. Aku tidak dapat merampas dari mereka."
"Jika mereka tidak ada."
"Kecuali. Seperti aku katakan, beri aku tanda. Aku ada ditepian meskipun barangkali aku bersembunyi."
Demikianlah maka mereka yang telah menyeberang itu pun meninggalkan tepian. Kiai Gringsing dan kedua kawannya minta diri untuk mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika kuda-kuda mereka telah berlari meskipun, tidak begitu cepat, melintasi bulak persawahan memasuki tlatah Menoreh, maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya mulai menilai keterangan tukang perahu yang telah melihat sekelompok orang yang membawa payung bertangkai panjang dan berselongsong putih itu.
"Aku hampir memastikan," berkata Kiai Gringsing, "bahwa payung yang mereka bawa itu adalah songsong yang hilang dari Mataram."
"Ya," sahut Ki Waskita, "jika payung itu bukan payung yang bernilai melampaui nilai orang-orang yang membawa itu sendiri menurut dugaan mereka, maka mereka tidak akan membunuh tukang perahu yang tidak berdosa itu."
"Mereka berusaha menghilangkan jejak agar tidak seorang pun yang mengetahui arah kepergian mereka," sambung Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan kedua kawannya bahwa payung itu adalah Kanjeng Kiai Mendung.
"Tetapi kemana Kanjeng Kiai Pleret mereka bawa?" desis Ki Waskita.
"Dengan memisahkan kedua pusaka itu, maka mereka akan merasa semakin aman. Aman dari segi penelitian orang-orang Mataram, dan aman bagi mereka sendiri. Jika salah satu pihak dari mereka membawa keduanya, maka wahyu itu akan berada pada pihak yang membawa kedua pusaka itu," desis Kiai Gringsing.
"Menurut dugaan Kiai, apakah ada semacam pertentangan yang meskipun tersembunyi diantara mereka yang mengambil pusaka itu?" bertanya Ki Waskita.
"Aku belum dapat mengambil kesimpulan. Mungkin saja hal itu terjadi, tetapi mungkin sekedar untuk pengamanan."
"Tetapi pada suatu saat, kedua pusaka itu akan berkumpul," berkata Ki Sumangkar selanjutnya, "mungkin setelah mereka berhasil mengambil pusaka-pusaka yang lain dari Pajang."
"Ya. Agaknya harus demikian."
Ketiganya mengangguk-angguk. Sejenak mereka saling berdiam diri. Meskipun tatapan mata mereka manyapu kehijauan dedaunan ditlatah Tanah Perdikan Menoreh, namun pikiran mereka masih tetap dicengkam oleh ceritera tukang perahu itu.
Namun seperti terbangun dari mimpi, mereka pun kemudian mulai mempersiapkan diri ketika mereka mulai berpapasan dengan beberapa orang petani yang lewat ditanggul parit ditepi jalan. Beberapa orang dari mereka menganggukkan kepalanya, karena agaknya mereka pernah melihat orang yang bernama Kiai Gringsing dan kawan-kawannya itu.
Demikianlah maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera mengatur diri, membenahi rambut yang berjuntai ditiup angin selama perjalanan dan mengatur kata-kata yang nanti akan disampaikan kepada Ki Gede Menoreh, sesuai dengan pesan Ki Demang Sangkal Putung.
Tidak seperti saat-saat yang lampau, mereka selalu berpapasan dengan kelompok-kelompok peronda, maka kini agaknya Tanah Per-dikan Menoreh telah benar-benar menjadi tenang. Meskipun agaknya Tanah Perdikan Menoreh tidak lengah sama sekali, namun mereka tidak diganggu oleh kegelisahan persiapan bersenjata di sepanjang jalan. Hanya sekali-sekali saja mereka melihat dua orang pengawal berkuda melintas dan apabila mereka berpapasan, pengawal-pengawal itu pun mengangguk hormat, karena mereka pun telah mengenal Kiai Gringsing dan kedua kawannya itu.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun kedatangan mereka bertiga, sama sekali tidak mengejutkan orang-orang di Menoreh. Terlebih-lebih Ki Gede Menoreh sendiri yang sebenarnya memang sedang menunggu kedatangan tamu-tamu dari Sangkal Putung. Dan bahkan Ki Gede sudah memastikan, bahwa yang akan datang adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Tetapi ternyata diantara mereka terdapat pula Ki Waskita.
Sebelum mereka memasuki halaman rumah Ki Argapati, maka sekali lagi mereka menyesuaikan pendapat mereka, bahwa sebaiknya Ki Argapati mendapat sedikit keterangan tentang hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu dan menyampaikan pula keterangan tukang perahu yang melihat, bahwa satu diantara kedua pusaka yang hilang telah menye-berang Kali Praga.
"Mereka membunuh tukang-tukang perahu itu untuk menghapuskan jejak mereka bahwa Kiai Mendung telah melintasi Kali Praga," berkata Kiai Gringsing.
Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat sepenuhnya dengan Kiai Gringsing itu, karena Ki Argapati pun agaknya akan terlibat pula seperti saat-saat Mataram berusaha menemukan sarang Panembahan Agung, Apalagi ketika mereka yakin bahwa Tanah Perdikan Menoreh setidak-tidaknya menjadi tempat atau jalur jalan orang orang yang membawa salah satu dari pusaka yang hilang itu.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya pun telah memasuki regol halaman rumah Ki Argapati. Ki Argapati sendiri telah turun dari tangga rumahnya dan menyongsong tamu-tamunya yang memang sudah ditunggunya.
Kedatangan Kiai Gringsing dan kedua kawannya disambut oleh keluarga Ki Argapati dengan wajah-wajah yang cerah. Mereka sudah tahu persoalan apa yang dibawa oleh Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Namun berita yang sekarang dibawa itu adalah berita kepastian tentang saat-saat yang sudah lama dinantikan itu.
Demikianlah mereka pun kemudian duduk melingkar di atas sehelai tikar pandan dipendapa. Seperti kebiasaan yang berlaku, maka mereka pun segera saling menanyakan keselamatan dan berita tentang keluarga masing-masing. Keluarga Tanah Perdikan Menoreh dan keluarga di Sangkal Putung.
(***) BUKU 86 PEMBICARAAN mereka pun kemudian dengan lancar merambat kepada berbagai macam persoalan. Kiai Grirgsing sengaja tidak dengan tergesa-gesa menyampaikan pesan-pesan dari Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya Ki Argapati tentu akan mengumpulkan beberapa orang tua-tua di Tanah Perdikan Menoreh dan membicarakannya sama sekali. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun menunggu apabila saatnya telah datang.
Seperti yang diduga, maka Ki Argapati kemudian telah siap menyuruh memanggil orang-orang tua yang biasa dibawanya berbincang. Dan kepada Kiai Gringsing ia berkata, "Kiai. Jika sekiranya perlu, aku akan memanggil orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku tidak salah tanggapan, Kiai kali ini datang atas nama Ki Demang Sangkal putung."
"Sebenarnyalah demikian, Ki Gede. Dan aku beserta kedua kawanku seperjalanan dengan senang hati akan menyampaikan semua pesan-pesan Ki Demang Sangkal Putung, kapan saja yang sebaiknya bagi Ki Argapati."
"Baiklah. Malam nanti kita akan berkumpul di pendapa. Apakah Kiai sudah tidak terulampau letih?"
"Tentu tidak." "Kami pun ingin segera mendengarnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, "Memang semakin cepat semakin baik. Seakan-akan aku telah meletakkan beban yang tersangkut di dalam dada ini."
Ki Argapati tertawa. Tetapi ia tidak menduga sama sekali bahwa beban yang tersangkut di hati Kiai Gringsing dan kawan-kawannya adalah beban ganda. Jika mereka telah menyampaikan pesan Ki Demang Sangkal Putung, maka akan datang gilirannya, mereka menyampaikan pesan tentang kedua pusaka yang hilang itu, meskipun hanya kepada Ki Argapati seorang diri.
Sebelum malam turun di atas Tanah Perdikan Menoreh, maka tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh itu pun dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah kiri. Mereka segera mendapat jamuan makan setelah mereka membersihkan diri di pakiwan.
Beberapa lamanya mereka menunggu di gandok sambil berbicara di antara mereka. Tetapi mereka tidak lagi membicarakan pesan Ki Demang di Sangkal Putung, tetapi mereka membicarakan persoalan pusaka-pusaka yang hilang itu.
"Besok," berkata Ki Waskita tiba-tiba, "aku akan minta waktu barang satu malam untuk singgah sebentar ke rumah. Aku harus memberitahukan bahwa aku akan memperpanjang waktu kepergianku dengan hilangnya pusaka-pusaka itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi, lusa kami sudah akan kembali."
"Ya. Besok pagi-pagi aku pergi, di pagi berikutnya aku tentu sudah berada di sini kembali."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar saling berpandangan sejenak. Namun keduanya pun kemudian mengangguk.
"Kami tidak berkeberatan," berkata Kiai Gringsing, "tetapi di pagi hari berikutnya, Ki Waskita kami harap sudah berada di antara kami, karena kita bersama-sama akan segera pergi ke Mataram. Persoalannya akan segera beralih kepada persoalan yang barangkali tidak kalah pentingnya dengan hari-hari perkawinan Swandaru. Justru dalam lingkungan yang lebih luas. Tetapi kita pun tidak akan dapat mengabaikan hari-hari yang sudah ditunggu oleh Ki Demang Sangkal Putung sekeluarga."
"Baiklah, Kiai. Mudah-mudahan tidak ada persoalan apa pun yang menghambat perjalananku. Namun demikian, jika pada saatnya aku tidak datang, tentu ada sesuatu yang menahan aku. Mungkin di rumah, mungkin di perjalanan.."
"Apakah kami harus menyusul?" bertanya Ki Sumangkar.
Ki Waskita termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, "Aku kira tidak perlu. Dengan demikian aku justru akan memperlambat perjalanan kalian dalam tugas ganda yang berat itu."
"Tetapi Ki Waskita adalah kawan yang terpercaya bagi kami berdua," sahut Kiai Gringsing.
Ki Waskita tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata, "Tentu tidak. Aku adalah pupuk bawang saja di dalam persoalan ini. Baik persoalan Ki Demang Sangkal Putung maupun persoalan hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu."
"Jika Ki Waskita pupuk bawang, lalu apakah kedudukanku?" bertanya Ki Sumangkar.
Keduanya tersenyum. Tetapi Ki Waskita tidak menjawab pertanyaan Ki Sumangkar.
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan menyelubungi perbukitan Menoreh, maka beberapa orang-orang tua di Menoreh mulai berdatangan di pendapa Ki Gede. Mereka adalah orang-orang yang dipanggil oleh Ki Argapati untuk ikut membicarakan persoalan Pandan Wangi. Sementara Pandan Wangi sendiri seolah-olah tidak mau keluar dari ruang dalam. Hanya sekali-sekali saja ia pergi ke dapur. Tetapi jika beberapa orang gadis yang membantu menyediakan jamuan buat para tamu mulai mengganggunya, maka ia pun berlari masuk lagi ke ruang dalam.
Setelah orang-orang tua yang diundang oleh Ki Argapati berkumpul di pendapa, dan Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar telah duduk pula bersama mereka, maka mulailah Ki Argapati membuka pertemuan itu dan mempersilahkan Kiai Gringsing menyampaikan kepentingan yang dipesankan oleh Ki Demang Sangkal Putung kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku menyerahkan keputusan persoalan ini kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan ini," berkata Ki Argapati. "Karena itu, kami ingin mempertemukan orang-orang tua di Menoreh langsung dengan utusan Ki Demang di Sangkal Putung."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia harus menyisihkan persoalan pusaka-pusaka yang hilang untuk sesaat, dan memusatkan pembicaraannya kepada pesan Ki Demang Sangkal Putung.
"Nah," berkata Ki Gede Menoreh kemudian, "aku persilahkan Kiai untuk memulainya."
Kiai Gringsing beringsut sedikit. Kemudian ia pun memandang berkeliling. Sambil mengangguk-angguk kecil ia pun kemudian berkata, "Sebenarnyalah bahwa aku membawa pesan Ki Demang Sangkal Putung. Aku akan menyampaikan pesan itu kepada Ki Argapati di hadapan Ki Sanak semuanya."
Orang yang hadir di pendapa itu pun mengangguk-angguk. Dan Ki Argapati pun menyahut, "Kami sudah siap, Kiai."
Kiai Gringsing tersenyum. Agaknya Ki Argapati sendiri ingin segera mendengar pesan itu.
"Ki Gede," berkata Kiai Gringsing kemudian, "yang penting yang harus kami sampaikan tinggallah masalah waktu. Sudah barang tentu kami tidak akan mengulangi semua basa-basi seperti pada saat kami mengantarkan Ki Demang melamar Angger Pandan Wangi. Pembicaraan sudah berkembang lebih jauh daripada itu." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Untuk menyampaikan persoalan waktu itulah maka kami datang kemari."
Kiai Gringsing pun kemudian menyampaikan hasil pembicaraan orang-orang tua di Sangkal Putung, sebagai pihak bakal pengantin laki-laki. Namun karena ajang perkawinan yang pokok adalah pada pihak pengantin perempuan, maka semuanya terserah kepada keluarga dan orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
"Jadi, menurut perhitungan Ki Demang, perkawinan itu akan berlangsung kira-kira empat puluh hari lagi?" bertanya seorang yang rambut dan janggutnya sudah putih.
"Ya, Ki Sanak," jawab Kiai Gringsing. "Itu adalah permohonan waktu yang diberikan oleh Ki Demang atas perhitungan orang-orang tua di Sangkal Putung."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih belum mengambil kesimpulan. Namun rasa-rasanya ia tidak mempunyai keberatan apa pun tentang hari yang ditetapkan itu, kecuali apabila menurut orang-orang tua hal itu merupakan hari pantangan.
"Empat puluh hari bagi persiapan sebuah perkawinan adalah waktu yang pendek," berkata salah seorang dari orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
"Hari itu sendiri tidak mengandung keberatan apa pun. Tetapi persoalannya adalah waktu yang pendek itu," berkata orang lain, "sehingga dengan demikian persoalannya tergantung sekali kepada Ki Gede Menoreh."
Semua orang memandang ke arah Ki Gede Menoreh yang terangguk-angguk. Keningnya nampak berkerut. Agaknya ia sedang mempertimbangkan berbagai kemungkinan tentang saat yang diminta oleh K i Demang Sangkal Putung itu.
Untuk beberapa saat pendapa kademangan itu menjadi sepi. Agaknya masing-masing sedang membuat pertimbangan-pertimbangan di dalam hati.
Ki Gede Menoreh agaknya menyadari bahwa persoalannya banyak tergantung kepadanya. Jika ia tidak berkeberatan melaksanakan perkawinan anaknya dalam waktu singkat itu, muka semuanya akan dapat menerimanya, karena tidak ada seorang pun yang mengajukan keberatan sesuai dengan waktu yang disebutkan oleh Kiai Gringsing.
"Rabo Manis," desis Ki Gede Menoreh di dalam hatinya, "hari itu adalah hari lahir Swandaru. Waktunya tepat saat matahari terbenam."
Bagi Ki Argapati sendiri, hari bukannya ketentuan yang paling penting. Baginya tidak ada hari yang mempunyai kelebihan dari hari-hari yang lain. Jika ia memerlukan memanggil orang-orang tua untuk memperhitungkan saat, maka hal itu semata-mata untuk memberikan kesan, bahwa ia tidak meninggalkan perhitungan dan pertimbangan dari orang-orang tua. Jika terjadi sesuatu kelak, orang-orang tua dan tetangga di seputarnya tidak akan menyalahkannya.
Baginya kini yang terpenting adalah pertimbangan jarak waktu. Kira-kira empat puluh hari lagi.
"Untunglah bahwa selama ini aku sudah membuat beberapa persiapan. Perempuan-perempuan tua sudah mulai menyediakan beberapa macam keperluan yang dapat disimpan. Kayu bakar telah tertimbun di belakang kandang. Padi yang paling baik sudah disisihkan dan dikeringkan. Setiap saat padi itu dapat ditumbuk dan menjadi beras yang putih."
Sementara Ki Argapati membuat pertimbangan di dalam hatinya, maka orang-orang tua di Menoreh pun seakan-akan menunggunya untuk memberikan jawaban.
"Kiai," berkata Ki Argapati kemudian, "agaknya aku tidak mendengar pendapat yang tidak menyetujui saat perkawinan yang diusulkan oleh Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sebagian dari orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh agaknya menyerahkan persoalan adbmcadangan.wordpress.com itu kepadaku. Bukan atas perhitungan hari, karena agaknya hari yang diusulkan oleh Ki Demang itu tidak merupakan saat pantangan, tetapi tekanannya kepada waktu yang sempit."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil menjawab, "Demikilanlah agaknya Ki Gede. Namun segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede Menoreh."
"Kiai," berkata Ki Gede, "sebenarnyalah bahwa hari-hari itu memang sudah kita tunggu. Sedikit atau banyak, kami di sini sebenarnya telah membuat beberapa persiapan yang mungkin. Karena itu, agaknya aku pun tidak berkeberatan atas jarak waktu yang dipesankan oleh Ki Demang Sangkal Putung itu."
"Jadi tegasnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku dapat menerima dengan baik hari itu, kecuali jika ada pertimbangan lain dari orang-orang tua."
Seorang tua menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Seperti yang sudah dikatakan. Hari itu bukan hari pantangan. Apabila Ki Gede mempertimbangkan pelaksanaannya dapat dilakukan pada hari itu, maka agaknya tidak ada persoalan lagi. Rabo Manis, selapan hari lebih sedikit, karena besok, hari Rabo itu pun hari Rabo Manis pula."
"Ya, kira-kira empat puluh hari lagi," sahut Ki Gede Menoreh.
"Semuanya terserah kepada Ki Gede," berkata seorang tua yang lain. "Hari itu memang bukan hari pantangan, apa lagi hari itu merupakan hari lahir Angger Swandaru."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Baiklah. Semuanya merupakan pertimbangan yang menentukan bagiku. Biarlah aku berpikir semalam. Besok aku akan memberikan jawaban kepada Kiai Gringsing sebagai wakil dari Ki Demang di Sangkal Putung." Ia berhenti sejenak, lalu, "Yang penting bagiku, bahwa tidak ada keberatan apa pun juga dengan hari yang sudah ditentukan oleh Ki Demang itu."
Dengan demikian maka pertemuan itu pun sudah mencapai pokok persoalannya. Pertemuan seterusnya tinggallah membicarakan tentang rangkaian dari upacara itu. Pakaian yang akan dikenakan. Berapa hari pengantin laki-laki harus berada di rumah pengantin perempuan sebelum saat perkawinan dan kelengkapan upacara yang lain sambil menikmati hidangan yang satu persatu disuguhkan.
Tetapi pembicaraan itu sudah tidak begitu penting lagi. Meskipun demikian satu demi satu Kiai Gringsing dan kedua kawannya harus ingat benar apa saja yang sudah dibicarakan, supaya pada saatnya tidak terjadi kesalahan dan kekisruhan.
Akhirnya pembicaraan itu pun berakhir. Meskipun Ki Gede masih akan memberi keterangan besok, tetapi rasa-rasanya semuanya sudah pasti.
Demikianlah maka orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh itu pun minta diri ketika malam menjadi semakin larut. Udara menjadi bertambah dingin dan angin yang basah bertiup menyusup masuk ke pendapa yang terbuka, mengguncang nyala pelita yang berwarna kemerahan.
Sepeninggal orang-orang tua itu, maka Ki Gede pun segera mempersilahkan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita untuk beristirahat. Ki Argapat mengerti, bahwa mereka tentu merasa letih karena perjalanan mereka dan pembicaraan yang melelahkan pula.
Tetapi Kiai Gringsing pun berkata, "Ki Gede. Kami minta maaf, bahwa kami masih minta waktu sedikit. Kami masih ingin berbicara dengan Ki Gede seorang diri tanpa orang lain."
Wajah Ki Argapati menjadi tegang. Dipandangnya ketiga tamunya itu berganti-ganti. Namun ia tidak segera dapat menangkap kesan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang rasa-rasanya tetap tenang dan tidak melontarkan kesan kegelisahan sama sekali.
"Apakah masih ada yang kurang dari pembicaraan kita?" bertanya Ki Argapai.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ditatapnya wajah Ki Argapati yang tegang.
"Ki Gede," berkata Kiai Gringsing kemudian, "memang masih ada yang kurang. Agaknya yang kurang itu tidak kalah pentingnya dari yang sudah kita bicarakan."
Ki Argapati menjadi semakin tegang. Sejengkal ia bergeser maju mendekat.
"Tetapi Ki Gede," berkata Kiai Gringsing, "aku mempunyai permintaan. Persoalan yang akan kami sampaikan nanti, hendaknya jangan sampai mengganggu persoalan yang tengah dihadapi oleh Ki Gede dan seluruh warga Tanah Perdikan Menoreh."
"Aku tidak mengerti," desis Ki Argapati.
"Persoalan yang akan kami kemukakan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rencana Ki Gede untuk menyelenggarakan perelatan perkawinan Angger Pandan Wangi dan Swandaru. Meskipun demikian, sebaiknya Ki Gede mengetahuinya agar dapat membuat persiapan-persiapan yang masak menghadapi masa-masa perkawinan itu."
"Baiklah Kiai. Meskipun aku tidak mengerti apa yang akan Kiai katakan, tetapi aku sudah lebih dahulu mempersiapkan diri melakukan semua pesan Kiai."
"Ki Gede," Kiai Gringsing pun bergeser mendekat, "menjelang perkawinan Angger Pandan Wangi, ternyata Tanah Perdikan Menoreh telah disusupi lagi dengan sebuah masalah yang dapat menimbulkan kesulitan."
Ki Gede Menoreh hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sebenarnya ia ingin segera mendengar persoalan apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing itu, tetapi ia masih tetap menahan diri.
"Ki Gede," berkata Kiai Gringsing kemudian, "yang mula-mula perlu kami sampaikan adalah sebuah berita yang agak menggetarkan hati."
"Tentang wafatnya Ki Gede Pemanahan?"
"Bukan. Aku yakin bahwa berita itu telah tersebar sampai ke ujung Barat dan Timur dari Tanah Pajang."
"Jadi?" "Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, Mataram telah di guncang oleh hilangnya dua buah pusaka. Pusaka yang merupakan kekuatan batiniah bagi tegaknya Mataram. Bahkan beberapa orang percaya bahwa pusaka-pusaka itu dapat menuntun wahyu keraton."
"Maksud Kiai?" "Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung telah jengkar dari ruang pusaka di Mataram."
"He," Ki Argapati terkejut bukan kepalang. Wajahnya yang tegang menjadi bertambah tegang.
"Kedua pusaka itu hilang diambil oleh beberapa orang yang berhasil memasuki ruang pusaka di Mataram."
"Jadi Mataram telah dimasuki pencuri-pencuri ulung?"
"Bukan saja pencuri, teapi perampok."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Keheranan yang sangat telah terpancar di wajahnya.
"Apakah Mataram saat itu sedang kosong sama sekali?"
"Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya ada di Mataram."
"Ki Juru Martani ada" Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?"
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan serba sedikit dari beberapa hal yang diketahuinya tentang hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ceritera Kiai Gringsing itu sulit untuk dipercayai. Namun dalam persoalan yang penting ini, Kiai Gringsing tidak sedang bergurau.
"Peristiwa itu memang aneh," berkata Kiai Gringsing
"Tentu ada sekelompok orang-orang sakti. Bukan hanya satu atau dua orang."
"Ya. Agaknya memang demikian. Dan agaknya orang-orang itu dengan sengaja telah meninggalkan tanda-tanda tertentu."
"Tanda-tanda?" Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan pula mengenai tanda-tanda yang dengan sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu.
"Tanda-tanda yang aneh. Aku belum pernah melihat ciri-ciri yang demikian. Mungkin suatu perguruan yang kurang terkenal. Mungkin suatu perguruan yang baru sekali meskipun pimpinannya mengaku mempunyai tetesan darah Majapahit."
"Mungkin sekali."
"Tetapi apakah Ki Sumangkar dan Ki Waskita juga belum pernah melihatnya?"
Keduanya menggelengkan kepalanya
"Selagi Ki Sumangkar berada di Jipang, apakah ada tanda-tanda yang mirip dengan tanda-tanda itu?"
"Aku belum pernah melihat ciri-ciri seperti itu," sahut Sumangkar kemudian. "Beberapa buah perguruan kecil yang pada waktu itu membantu Adipati Jipang tidak ada yang memiliki ciri-ciri yang mirip, atau mempunyai arti serupa dengan ciri-ciri yang ditinggalkan itu."
"Jika demikian, orang itu sengaja menimbulkan kebingungan. Mereka menanggalkan tantangan yang tidak bertanggung jawab, karena siapa pun dapat membuat ciri-ciri yang aneh-aneh sekalipun," berkata Ki Gede Menoreh.
"Mungkin memang demikian," sahut Kiai Gringsing. "Besok jika aku kembal ke Sangkal Putung, aku akan mengambil tiruan dari ciri-ciri itu. Mudah-mudahan dapat aku pergunakan untuk menemukan kelompok yang mengaku keturunan Majapahit itu."
"Mudah-mudahan Kiai. Aku akan menunggu pemberitahuan berikutnya. Mungkin persoalan ini akan merambat sampai ke tlatah Menoreh seperti persoalan Panembahan Agung beberapa saat lampau."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sekilas ia memandang wajah Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian katanya, "Ki Gede. Masih ada yang ingin aku sampaikan."
Ki Gede tidak menyahut. "Adalah kebetulan sekali, pada saat kami menyeberang Kali Praga, dengan tidak kami sengaja kami mendapat sedikit petunjuk arah kepergian salah satu dari kedua pusaka yang hilang itu."
Ki Argapati menjadi tegang. Bahkan ia pun bergeser setapak sambil bertanya, "Ke mana arah itu, Kiai?"
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan pendengarannya pada saat itu menyeberang Kali Praga. Tentang sekelompok orang yang membawa sebuah songsong dan yang kemudian membunuh para tukang perahu.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku sudah menduga, bahwa mau tidak mau aku pasti akan terlibat lagi. Jadi salah satu dari pusaka yang hilang itu di bawa menyeberang Kali Praga dan pergi ke tlatah Menoreh?"
"Begitulah kira-kira Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih, Kiai. Memang seharusnya Kiai memberitahukan kepadaku. Dengan demikian aku dapat berjaga-jaga."
"Tetapi semuanya ini adalah rahasia, Ki Gede. Bukan saja untuk ketenangan tlatah Menoreh yang akan melaksanakan perelatan, tetapi bagi Mataram, kehilangan kedua pusaka itu pun merupakan rahasia pula. Rakyat Mataram tidak boleh mengetahui bahwa kedua pusaka itu telah hilang. Sebab jika demikian, maka seluruh rakyat Mataram akan menjadi gelisah, dan barangkali akan mempengaruhi kepercayaan mereka kepada pemimpinnya."
Ki Argapati masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku mengerti, Kiai. Aku akan merahasiakannya, demi kepentinganku sendiri dan kepentingan Mataram yang baru tumbuh itu."
"Terima kasih, Ki Gede. Kelak, jika tiruan ciri-ciri itu sudah siap, aku akan membawa sekeping buat Ki Gede. Mungkin akan berguna bagi Ki Gede dan bagi Mataram. Namun sebelum keperluan Ki Gede sendiri selesai, maka sebaiknya Ki Gede tidak perlu merisaukannya. Karena sebenarnyalah bahwa keperluan Ki Gede sendiri adalah keperluan yang penting bagi masa depan anak perempuan Ki Gede itu."
"Terima kasih, Kiai. Tetapi justru dalam kesibukan itu aku harus berwaspada. Sudah barang tentu, ada satu atau dua orang kepercayaanku yang akan aku beritahu hal itu. Tetapi dengan jaminan bahwa mereka akan dapat memegang rahasia."
Kai Gringsing tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk.
"Kepada mereka itulah aku akan menyerahkan pengamanan Menoreh selama perelatan itu nanti berlangsung."
"Ya, Ki Gede. Memang agaknya tidak akan dapat diabaikan kemungkinan yang sama sekali tidak kita harapkan. Mungkin mereka akan mempergunakan kelengahan masa-masa perelatan itu untuk kepentingan mereka."
"Memang tidak mustahil. Untunglah bahwa Kiai kebetulan mendengar bahwa salah satu dari kedua pusaka itu berada di tlatah Menoreh. Setidak-tidaknya lewat tlatah Menoreh. Bahkan mungkin kedua-duanya, meskipun tidak bersama-sama atau mengambil jalan penyeberangan yang lain."
"Mungkin sekali, Ki Gede."
"Baiklah, Kiai. Aku akan mencoba mencari keterangan lewat orang-orangku yang paling aku percaya. Aku akan mencoba mencari berita, apakah ada orang atau sekelompok orang-orang yang membawa sejenis pusaka yang menyeberang di tempat-tempat penyeberangan yang lain."
"Keterangan yang demikian akan berguna sekali, Ki Gede."
"Agaknya persoalan yang menghambat tumbuhnya Mataram masih saja timbul."
"Usaha itu akan dilakukan terus-menerus dalam usaha sekelompok orang untuk menggagalkan Mataram. Bahkan lebih jauh lagi, hancurnya Pajang sama sekali. Dan mereka adalah sekelompok orang yang berada di bawah pengaruh orang yang menyebut dirinya mempunyai keturunan darah Majapahit."
"Aku semula menyangka bahwa setelah Panembahan Agung dapat diselesaikan, maka tekanan pada Mataram akan menjadi semakin ringan. Tetapi ternyata justru sebaliknya."
"Karena itulah maka kita tidak akan dapat tinggal diam, Ki Gede."
"Apakah selama ini Kiai hanya tinggal diam?"
Kiai Gringsing tersenyum. SekiIas dipandanginya Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian katanya, "Seharusnya aku berkata lain. Kita selama ini memang tidak tinggal diam. Juga Ki Argapati."
Yang lain pun tersenyum pula. Betapa pahitnya peristiwa yang terjadi atas Mataram, namun orang-orang tua itu masih juga sempat berkelakar.
Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan mereka pun berakhir. Ki Argapati mengerti sepenuhnya, apa yang harus dilakukan, seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya. Bahkan, ia merasa bersyukur, bahwa dengan demikian ia dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, dan tidak tenggelam dalam kesibukan hari-hari perelatan.
"Orang-orang itu mungkin akan menyalakan pertentangan seperti yang mereka lakukan atas Mataram dan Pajang. Kehadiran pusaka itu di Menoreh akan dapat menumbuhkan salah paham, apabila belum saling dimengerti," berkata Ki Argapati kemudian. "Karena itu, kami mengharap agar Kiai menyampaikan persoalan pusaka yang menyeberang ke Menoreh itu kepada Ki Juru Martani."
"Tentu. Dengan demikian kami akan mendapat keterangan yang lengkap, dan untuk selanjutnya saling melengkapi."
Ternyata keterangan itu sangat penting artinya bagi Ki Argapati. Meskipun mungkin pusaka itu hanya dibawa lewat saja tlatah Menoreh, namun hal itu akan dapat menumbuhkan berbagai macam masalah apabila Ki Argapati tidak mendapat keterangan lebih dahulu tentang pusaka itu.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera kembali ke dalam bilik yang disediakan bagi mereka.
Beberapa saat mereka masih membicarakan masalah pusaka-pusaka itu. Namun kemudian mereka pun segera pergi ke pembaringan dan tidur dengani nyenyaknya.
Pagi-pagi benar mereka telah terbangun. Ki Waskita tetap pada rencananya untuk mengunjungi keluarganya semalam agar mereka tidak terlampau gelisah karena kepergiannya yang berlarut-larut.
"Aku menunggu sampai besok," berkata Kiai Gringsing.
"Ya. Dan perjalanan Kiai jangan sampai tertunda karena aku. Jika aku tidak datang besok, aku harap Kiai melanjutkan perjalanan seperti rencana. Jika ada kesempatan, aku akan menyusul sampai ke Sangkal Putung."
Ki Waskita pun kemudian minta diri pula kepada Ki Argapati untuk mengunjungi keluarganya barang satu malam.
"Jadi, aku hanya dapat menyampaikan jawaban resmiku kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar malam nanti?" bertanya Ki Argapati.
Sambil tersenyum Ki Waskita menjawab, "Jawaban Ki Argapati sudah aku ketahui dengan pasti meskipun baru malam nanti diucapkan dengan resmi."
"O. Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang Ki Waskita yang benar-benar waskita."
"Ah. Tidak. Bukan berdasarkan atas ilmu apa pun. Sekedar pertimbangan lahiriah saja. Bukan saja aku, tetapi agaknya Ki Demang Sangkal Putung yang tidak ikut serta datang ke Menoreh pun sudah mengetahui jawaban Ki Gede yang akan diucapkan nanti."
"Ah. Ki Wasfkita tidak boleh mengurangi ketegangan kami," berkata Ki Sumangkar, "biar saja kami menunggu jawaban itu dengan tegang."
Mereka pun tertawa. Ki Sumangkar meneruskan, "Bukankah, kadang-kadang kita senang mengalami ketegangan oleh sebuah teka-teki" Seperti kanak-kanak senang melakukannya?"
Ketika matahari kemudian memanjat semakin tinggi, maka Ki Waskita pun kemudian berangkat meninggalkan Menoreh, kembali ke rumahnya untuk sekedar mengurangi ketegangan keluarganya yang telah menunggunya beberapa lama.
Dengan demikian, maka di malam hari berikutnya, Kiai Gringsing hanya berdua saja dengan Ki Sumangkar, duduk di antara orang-orang tua di Menoreh untuk mendengarkan jawaban Ki Argapati. Jawaban yang sebenarnya sudah diketahui sebelumnya
Dengan demikian maka pertemuan itu pun berjalan dengan cepat Tidak ada persoalan lagi di antara Ki Argapati dan Kiai Gringsing sebagai wakil Ki Demang Sangkal Putung.
Karena itu, maka pertemuan itu pun kemudian sebagian hanya sekedar pembicaraan yang tidak penting dari acara-acara perkawinan yang bakal diadakan itu.
Namun sementara itu, Ki Waskita yang telah berada di rumahnya, dirisaukan oleh persoalan yang tidak dsangkanya. Ternyata Rudita tidak ada di rumah. Ia minta diri kepada ibunya untuk pergi beberapa hari. Meskipun ibunya tidak mengijinkannya, tetapi ia memaksanya juga.
"Aku sudah dewasa, Ibu. Dan aku bukan sekedar sebuah golek yang hanya pantas diemban dengan cinde. Aku pun ingin mengenal dunia ini dengan segala macam isinya. Yang halus, yang kasar, dan segala bentuknya," berkata Rudita.
Bagaimana pun juga ibunya menahannya, bahkan dengan air mata, namun Rudita tetap juga pergi meninggalkan rumahnya.
"Aku akan mencarinya," berkata Ki Waskita.
"Kau harus menemukannya," berkata ibunya, "bukankah Kakang dapat mengetahui di mana Rudita sekarang berada?"
"Aku dapat menduga arahnya," berkata Ki Waskita, "tetapi aku tidak tahu tepat, di mana ia sekarang."
"Ia tidak pernah pergi ke mana pun juga selama ini. Apalagi sepeninggalmu, Kakang. Ia berada saja di dalam biliknya. Siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berjalan-jalan dihalaman. Bergurau dengan pelayan-pelayan. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berada di dalam biliknya lagi."
"Apa saja yang dilakukannya di dalam biliknya?"
"Membaca rontal."
"Rontal?" "Ya. Rontal yang diambilnya dari atas belandar, di dalam sebuah peti kecil."
Dada Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Ia pun kemudian pergi ke tempat ia menyimpan rontal. Tetapi peti itu masih ada di tempatnya.
"Rontal itu dikembalikannya ketika ia berangkat."
"Ia membacanya dengan tekun?"
"Ya. Hampir tidak pernah berhenti. Seperti yang aku katakan, kadang-kadang saja ia keluar dari biliknya, menghirup udara dan berkelakar sejenak, kemudian kembali lagi ke dalam bilik itu."
Ki Waskita pun kemudan mengambil peti kecil di atas belandar di dalam biliknya. Ketika ia membuka peti itu, sebuah rontal yang disimpan di dalamnya masih utuh. Dengan hati yang berdebar-debar diambilnya rontal itu dan diamat-amatinya. Ia melihat beberapa goresan tanda yang tentu dibuat oleh Rudita.
"Ia telah mempelajari ilmu itu tanpa tuntunanku," katanya di dalam hati, "sungguh mendebarkan, jika ia mengambil arah yang salah, maka semuanya akan rusak."
Tetapi hati Ki Waskita pun menjadi agak terhibur. Tidak cukup waktu bagi Rudita untuk mempelajari ilmu itu sebaik-baiknya, sehingga seandainya ia dapat menguasai beberapa bagian dan terbenam dalam tujuan yang dikendalikan oleh nafsu, maka ia bukan seorang yang sangat berbahaya.
Meskipun demikian Ki Waskita masih juga cemas, jika Rudita ternyata mengembara di daerah yang sederhana dan tenang, daerah yang hampir tidak pernah terjadi keributan apa pun juga, maka ia akan dapat menjadi hantu yang paling menakutkan.
Tetapi Ki Waskita tidak mengatakan kepada isterinya, bahwa Rudita telah menyadap ilmu di dalam rontal itu, karena ia pun masih belum yakin bahwa Rudita berbuat demikian.
"Mungkin ia hanya sekedar membaca dan ingin mengetahui serba sedikit tentang isinya Kemudian mengembalikannya lagi," katanya di dalam hati.
Namun ternyata ketika Ki Waskita merenungi bilik anaknya, ia menemukan sehelai rontal di bawah tikar di pembaringannya. Dengan dada yang bergetar ia mengamati rontal itu. Rontal yang berisi goresan-goresan huruf-huruf dan gambar.
"Rudita telah mengutipnya," ia bergumam di dalam hati.
Kegelisahan Ki Waskita pun melonjak di dalam dadanya. Rasa-rasanya ia ingin segera berlari menemukan anaknya. Tetapi ia tidak mau membuat isterinya bertambah gelisah, sehingga karena itu, maka ia telah menekan segala perasaan itu di dalam dirinya sendiri.
Selama di rumahnya, Ki Waskita mencoba untuk bersikap wajar. Tanpa menumbuhkan berbagai prasangka dan pertanyaan pada isterinya. Ia sempat menceriterakan, bahwa ia telah terlibat daham pembicaraan mengenai saat-saat perkawinan Swardaru dengan Pandan Wangi.
"Aku tidak dapat mengelak," katanya, "justru karena Rudita penah dengan berterus terang menunjukkan sikap yang tidak sewajarnya terhadap Pandan Wangi."
"Tetapi Rudita adalah anak yang sangat baik. Ia sama sekali tidak menjadi kecewa dan berkecil hati karena keangkuhan Swandaru," jawab isterinya.
"Anak itu sama sekali tidak angkuh."
"Ia merasa dirinya menang. Apalagi Ki Argapati agaknya berpihak kepadanya."
"Kau salah sangka. Sama sekali tidak ada perasaan yang demikian. Anggapanmu bahwa Rudita adalah anak yang baik itu sudah benar. Ia, menarik diri tanpa tekanan dari siapa pun juga sehingga tidak seorang pun merasa menang atasnya."
"Tetapi ternyata, ada semacam endapan di dalam hatinya. Semakin lama semakin padat, sehingga akhirnya meledak. Jika tidak demikian, maka ia tidak akan meninggalkan rumah ini dan pergi tanpa arah. Bukankah itu semacam ledakan yang tidak tertahankan?"
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku kira bukan, ia pergi karena desakan jiwa petualangannya yang tumbuh setelah beberapa lamanya ia terkungkung dalam sifat-sifat kemanjaannya."
"Tentu tidak. Aku tidak pernah mengajarinya menjadi seorang petualang. Aku mengerti, betapa jauh bedanya kehidupan seorang petualang dengan kehidupan orang-orang kebanyakan. Aku pernah mengalami hidup menjadi isteri seorang petualang. Sehingga karena itu, aku ingin anakku tidak menjadi petualang seperti ayahnya."
Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa 1 Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar San Pek Eng Tay 3
^